Refarat Hepatitis

download Refarat Hepatitis

of 34

description

Referat Hepatitis

Transcript of Refarat Hepatitis

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya berkat rahmat dan anugerahNya saya dapat menyelesaikan referat ini dengan judul Hepatitis Virus pada waktu yang telah ditentukan.

Penulis sebagai dokter muda kepaniteraan bagian Ilmu Penyakit Dalam FK-UKI telah diberi kesempatan oleh Prof. Dr. J Boas Saragih DTM & H SpPD-KGEH untuk membuat sebuah referat dimana pembahasan yang ditulis adalah mengenai Virus Hepatitis A, Virus Hepatitis B, Virus Hepatitis C, Virus Hepatitis D, dan Virus Hepatitis E.Selama menyusun referat ini, penulis mendapat banyak bimbingan, arahan, kontribusi serta motivasi untuk menyelesaikan tugas ini. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Prof. dr. J Boas Saragih DTM & H SpPD-KGEH sebagai pembimbing dalam penulisan referat ini.

2. Seluruh staf pengajar Ilmu Penyakit Dalam yang telah memberikan banyak ilmu sehingga referat ini dapat diselesaikan.

3. Rekan-rekan satu bagian yang telah membantu dan mendukung tersusunnya referat ini.

Dalam penyusunan referat ini penulis merasa masih banyak kekurangan, untuk itu saya memohon maaf jika ada penulisan yang kurang berkenan dan saya juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Akhir kata, saya berharap referat ini dapat berguna bagi setiap pembaca, dan memberikan jendela pengetahuan baru bagi semuanya. Atas perhatiannya penulis mengucapkan terima kasih.

Jakarta, Juli 2012

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

1

Daftar Isi

2

Pendahuluan

3

Hepatitis Virus A

4Hepatitis Virus B

10Hepatitis Virus C

17Hepatitis Virus D

24Hepatitis Virus E

28DAFTAR PUSTAKA

33PENDAHULUANHepatitis virus akut merupakan infeksi sistemik yang dominan menyerang hati. Hampir semua kasus hepatitis virus akut disebabkan oleh salah satu dari lima jenis virus, yaitu virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HCV), hepatitis virus E (HEV). Jenis virus lain yang ditularkan pascatransfusi seperti virus hepatitis G dan virus TT telah dapat diidentifikasi akan tetapi tidak menyebabkan hepatitis. Semua jenis hepatitis virus yang menyerang manusia merupakan virus RNA kecuali virus hepatitis B, yang merupakan virus DNA. Walaupun virus-virus tersebut memperlihatkan kesamaan dalam perjalanan penyakitnya10.

Hepatitis virus akut merupakan urutan pertama dari berbagai penyakit hati diseluruh dunia. Penyakit tersebut ataupun gejala sisanya bertanggung jawab atas 1-2 juta kematian setiap tahunnya. Banyak episode hepatitis dengan klinis anikterik, tidak nyata atau subklinis. Secara global virus hepatitis merupakan penyebab utama viremia persisten10.

HEPATITIS A

Pendahuluan

Hepatitis A merupajan penyakit tertua yang menyerang umat manusia, telah diketahui menyebabkan letupan (outbreak) penyakit kuning pada berbagai kelompok populasi yang berbeda. Namun baru antara tahun 1820-1879 lebih dari 50 endemi hepatitis yang tercatat di Eropa, beberapa diantaranya mungkin disebabkan oleh virus hepatitis A yang terjadi saat peperangan. Tahun 1923 Blummer telah berhasil membuat suatu ringkasan yang sempurna mengenai penyakit ini berdasarkan analisa 63 letupan epidemic jaundice yang terjadi di Amerika Serikat antara tahun 1812-1923.1

Observasiberikutnya menyatakan adanya 2 bentuk utama virus hepatitis yaitu hepatitis infectious dan hepatitis serum. Tahun 1947 Fred Mac Callum memperkuat istilah hepatitis A dan hepatitis B untuk membedakan kedua jenis penyakit ini, dan ternyata istilah ini telah dibakukan oleh WHO (1993, 1977) 1Tahun 1950-1970 pola seroepidemiologi terhadap penyakit ini lebih diteliti oleh Murray, Krugman, yang secara kebetulan menuntun kita untuk kemungkinan-kemungkinan baru berupa pencegahan penyakit tersebut. Tahun 1973 virus hepatitis A untuk pertama kali ditemukan secara jelas dengan pemeriksaan immune electron microscopic pada spesimen tinja. Tahun 1979 Provost dan Hilleman berhasil membiakkan virus hepatitis A dalam kultur sel yang merupakan pembukan pintu terhadap proses pengembanganvakson hepatitis A. 1

EtiologiVirus hepatitis A tidak memiliki amplop 27-nm, tahan panas, asam, dan eter. Hepatitis A adalah virus RNA dalam genus hepatovirus dari keluarga picornavirus. (buku harrison). Ternyata hanya terdapat satu serotipe yang dapat menimbulkan hepatitis pada manusia1. Virus hepatitis A merupakan self limitting disease.Seuntai molekul RNA terdapat dalam kapsid, salah satu ujung dari RNA ini disebut viral protein genomik (VPg) yang berfungsi menyerang ribosom sitoplasma sel hati1. Setiap virion terdiri dari 4 kapsid polypeptida. Hepatitis A dapat diinaktivasikan dengan cara direbus selama 1 menit, terkena dengan formaldehyde dan chlorine, atau terpapar ultraviolet 2.Replikasi dalam tubuh dapat terjadi dalam sel epitel usus dan epitel hati. Virus hepatitis A yang ditemukan di tinja berasal dari empedu yang dieksresikan dari sel-sel hati setelah replikasinya, melalui sel saluran empedu dan dari sel epitel usus. Visrus hepatitis A sangat stabil pada suhu udara dan pH yang rendah. Tahan terhadap pH asam dan asam empedu memungkinkan VHA melalui lambung dan dikeluarkan dari tubuh melalui saluran empedu1.

TransmisiPenularan hepatitis A paling dominan adalah melalui fecal-oral yaitu melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh virus hepatitis A. Sering ditemukan kerang sebagai pembawa virus. Umumnya penularan dari orang ke orang. Pada kelompok homosexual amat mungkin cara penularan adalah fecal-anal-oral1.Masa Inkubasi

Hepatitis A memiliki masa inkubasi sampai dengan 4 minggu. Replikasinya terbatas pada hati, tetapi virus dapat ditemukan di hati, empedu, tinja, dan darah selama masa inkubasi akhir dan fase perikterik akut dari penyakit2.Gejala KlinisGejala dan perjalanan klinis hepatitis virus akut secara umum dapat dibedakan dalam 4 stadium, yaitu1 :1. Masa Tunas. Lamanya viremia pada hepatitis A adalah 2-4 minggu.2. Fase pra-ikterik. Keluhan umumnya tidak spesifik, dapat berlangsung 2-7 hari, gambaran sangan bervariasi secara individual. Dengan keluhan yang beraneka ragam ini sering menimbulkan kekeliruan pada waktu mendiagnosis, sering diduga sebagai penderita influenza, gastritis maupun arthritis.3. Fase Ikterik. Fase ini pada awalnya disadari oleh penderita, biasanya setelah demam turun penderita menyadari bahwa urinnya berwarna kuning pekat seperti air teh ataupun tanpa disadari, orang lain yang melihat sklera mata dan kulitnya berwarna kekuning-kuningan. Pada fase ini kuningnya akan meningkat, menetap, kemudian menurun secara perlahan-lahan, hal ini bisa berlangsung 10-14 hari. Pada stadium ini gejala klinis sudah mulaiberkurang dan pasien merasa lebih baik. Pada usia lebih tua dapat terjadi gejala kolestasis dengan kuning yang nyata dan bisa berlangsung lama.4. Fase Penyembuhan. Fase penyembuhan dimulai dengan menghilangnya sisa gejala tersebut diatas, ikterus mulai menghilang, penderita merasa segara kembali walau mungkin masih terasa cepat capai.Umumnya masa penyembuhan sempurna secara klinis dan biokimia memerlukan waktu sekitar 6 bulan. Menurut dan Koff (1922) pada beberapa kasus dapat terjadi penyimpangan : sebanyak 20% penderita memperlihatkan perjalanan yang polifasik, yaitu setelah penderita sembuh terjadi lagi peningkatan SGPT. Dilaporkan 50-90 hari setelah timbul keluhan dan hepatitis kolestasis timbul pada sebagian kecil kasus dimana terjadi peningkatan kembali bilirubin serum, yang baru menghilang 2-4 bulan kemudia ( prolonged cholestasis). Hepatitis fulminan, merupakan komplikasi yang sangat jarang yaitu kurang dari 1%, kematiannya yang tinggi tergantung pada usia penderita1.

DiagnosisDiagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan dibantu dengan sarana penunjang pemeriksaan laboratorium. Anamnesa: gelaja prodromal, riwayat kontak. Pemeriksaan jasmani: warna kuning terlihat paling mudah pada sklera, kulit, selaput lendir langit-langit mulut, pasa kasus yang berat (fulminant) didapatkan mulut berbau spesifik (foetor hepaticum). Pada perabaan hati membengkak, 2-3 jari dibawah arkus kosta dengan konsistensi lunak, tepi tajam, dan sedikit nyeri tekan. Perkusi abdomen kuadran kanan atas, menimbulkan rasa nyeri dan limpa kadang-kadang membesar, teraba lunak1. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan antibodi dari HAV (anti-HAV) selama kadar aminotransferase meningkat dan tinja berwarna dempul2. Kadang-kadang dapat disertai peninggian GGT, fosfatase alkali, dan tes serologi anti-HAV, yaitu igM anti-HAV yang positif. Antibodi ini akan hilang dalam waktu 3-6 bulan. IgM anti-HAVbadalah spesifik untuk diagnosis dan komfirmasi infeksi hepatitis A akut. Infeksi yang sudah lalu atau adanya imunisasi ditandai dengan adanya anti-HAV total yang terdiri dari IgG anti-HAV dan IgM anti-HAV. Antibodi IgG akan naik dengan ceoat setelah virus dieradikasikan lalu akan turun perlahan-perlahan setelah beberapa bulan.PenatalaksanaanPada dasarnya penatalaksanaan infeksi virus hepatitis A sama dengan hepatitis lainnya yaiu bersifat terapi suportif, tidak ada yang bersifat spesifik: tirah baring. Terutama pasa fase awal dari penyakitnya dan dalam keadaan penderita merasa lemah. Diet: makanan tinggi protein dan karbohidrat, rendah lemak untuk pasien yang dengan anoreksia dan nausea; simptomatik: pemberian obat-obatan terutama untuk mengurangi kaluhan; misalnya obat-obatan terutama untuk mengurani keluhan; misalnya tablet antipiretik parasetamol untuk demam, sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi, dan food suplement. Rawat inap dianjurkan terutama pada pasien dengan sakit berat, muntah yang terus menerus sehingga membutuhkan pemberian cairan parenteral dan pengawasan terhadap kemungkinan timbulnya jenis hepatitis fulminan1.PrognosisPrognosis penyakit ini baik dan sembuh sempurna. Angka kematian akubat hepatitis fulminan berkisar antara 0,1%-0,2% (Krugman, 1992). Laporan lain (John Ofrady, 1992) menunjukkan bahwa gagal hati fulminan, hanya terjadi pada 0,13%-0,35% kasus-kasus hospitalisasi. Kasus dikaitkan dengan umur penderita atau bila ada penyakit hepatiis kronik lain, terutama hepatitis kronik C1.PencegahanKesehatan perorangan, lingkungan dan sanitasi yang baik, pemakaian air besih, pembuangan eskreta, pembuatan sumur yang memenuhi standar, mencegah kontaminasu makanan, memasak dengan baik bahan makanan dan minuman dan masa penularan dari seorang penderita, terutama 2 minggu sebelum timbul kuning dan satu minggu sesudahnya1. Imunisasi pasif

Imunisasi pasif terbagi atas: Pencegahan segera setelah kontak yaitu untuk keluarga terdekat dan tinggal serumah dan pencegahan sebellum kontak yaitu terhadap mereka yang akan berpergian ke daerah endemis. Pemberian dengan mempergunakan HSIg (Human Normal Serum Imunoglobulin), dosis yang dianjurkan adalah 0,02 mL/kgBB, diberikan dalam kurun waktu tidak lebih satu minggu setelah kontak.Karena HSIg ini bersifat sementara, berlaku untuk kurun waktu 2 bulan maka United States Public Health Service Advisory Committee menganjurkan sebagai berikut: Kunjungan sinigkat kurang dari 2 bulan: dosis 0,02 mL/kgBB dan kunjungan lama lebih dari 4 bulan: dosis 0.08 mL/kgBB. bagi mereka yang sering berpergian ke daerah endemis dianjurkan untuk memeriksakan total anti-HAV sehingga bila hasil laboratorium yang didapatkan positif, maka tidak lagi diperlukan pemberian immunoglobulin, dan tentu saja diperlukan pemberian immunoglobulin, dan tentu saja bisa hasil laboratorium negatif sebaiknya diberikan imunisasi aktif sehingga kekebalan yang akan di dapat tentu akan lebih bertahan lama1.Imunisasi aktif

Dengan berhasilnya isolasi dan adaptasi virus hepatitis A di dalam kultur oleh Provost dan Hilleman pada tahun 1979, maka terbuka jalan untuk pembuatan vaksin hepatitis A. Vaksin hepatitis A yang tersedia saat ini adalah vaksin hidup yang telah dilemahkan (live attenuated). Perkembangan pembuatan vaksin tergantung kepada strain virus yang memberikan antigen yang cukup. Ternyata kandidat yang terbaika adalah strain HM-175 yang diisolasi dari ginjal monyet hijau Afrika dan diisolasi ke dalam sel MRC-5. Subtrat yang dipilih adalah human diploid cell line MRC-5 yang ternyata merupakan subtract yang terbaik. Dengan cara diatas maka pada akhir tahun 1980-an telah dapat dibuat jumlah besar virus hepatitis A yang dilanjutkan dengan pembuatan vaksin hepatitis A1.Baik imunisasi pasif dengan IG dan imunisasi aktif dengan vaksin yang telah tersedia. Semua persiapan IG mengandung konsentrasi anti-HAV yang cukup untuk menjadi pelindung. Bila diberikan sebelum paparan atau selama masa inkubasi awal, IG efektif dalam mencegah hepatitis A. klinis jelas untuk profilaksis pasca pajanan dari kontak intim (rumah tangga, sexual, institusi) pasien dengan hepatitis A segera setelah paparan jika memungkinkan, paling lama 2 minggu setelah paparan. Profilaksis tidak berguna jika pasien sudah pernah mendapatkan vaksin hepatitis A, biasa terpapar (kantor, pabrik, sekolah, atau rumah sakit), lansia, ataupun untuk orang yang sudah memiliki anti-HAV didalam serumnya2.HEPATITIS BPendahuluan

Infeksi virus hepatitis B (VHB) masih merupakan masalah yang besar di Indonesia karena prevalensi yang tinggi dan komplikasinya. Di daerah dengan endemic tinggi, infeksi VHB biasanya terjadi melalui infeksi perinatal atau pada awal masa kanak-kanak . VHB sendiri merupakan suatu proses dinamis dengan terjadinya interaksi atara virus, hepatosit, dan sistem imun manusia.

Perjalanan penyakit hepatitis B kronik dengan HBeAg, HBV DNA posotof di wilayah Asia-Pasifik masih belum banyak diteliti, namun reaktivasi hepatitis dan progresivitas penyakit memang dapat terjadi. Telah ditemukan di bidang biologi molekuler bahwa untuk pathogenesis VHB ada peran covalently closed circular DNA (cccDNA) dalam terjadinya infeksi kronik VHB yang menetap3.Etiologi

Virus Hepatitis B adalah virus DNA dengan struktur genom yang sangat kompak. Meskipun ukurannya yang kecil, bundar, berukuran 3200-bp, HBV DNA memiliki kode untuk empat set virus dengan struktur kompleks multi partikel. HBV mencapai genom yang ekonomis dengan mengandalkan strategi yang efisien berupa pengkodean protein dari empat gen yang tumpang tindih: S, C, P, dan X. Karena keunikan yang dimilikinya, HBV sekarang dikelompokkan ke dalam family of animal viruses, virus hepadna (virus hepatotropic DNA), dan diklasifikasikan sebagai hepadnavirus tipe 12.GejalaGejala hepatitis B amat bervariasi dari tanpa gejala sampai gejala yang berat seperti muntah darah dan koma. Pada hepatitis akut gejala amat ringan dan apabila ada gejala, maka gejala itu seperti gejala influenza. Gejala yang muncul dapat berupa demam, ringan, mual, lemas, hilang nafsu makan, mata jadi kuning, kencing berwarna gelap, diare, dan nyeri otot. Pada sebagian kecil gejala dapat menjadi berat dan terjadi fulminan hepatitis yang mengakibatkan kematian. Infeksi hepatitis B yang didapatkan pada masa perinatal dan balita biasanya asimtomatik dan dapat menjadi kronik pada kasus 90% kasus. Sekitar 30% infeksi hepatitis B yang terjadi pada orang dewasa akan menimbulkan ikterus padan pada 0,1-0,5% dapat berkembang menjadi fulminan. Pada orang dewasa 95% kasus akan sembuh dengan sempurna yang ditandai dengan menghilangnya HBsAg dan timbul anti HBs3.Infeksi kronik ditandai oleh persistensi HBsAg dan anti HBc dan serum HBV DNA dapat terdeteksi lebih dari 6 bulan dengan menggunakan pemeriksaan non PCR. Pada hepatitis kronik B ada 3 fase yaitu fase imunotolerans, fase replikatif dan fase intergrasi. Pada fase imunotolerans akan didapatkan HBsAg serta HBeAg didalam serum serta titerHBV DNA-nya tinggi akan tetapi ALT normal. Pada fase ini gejala bisa timbul dan terjadi peningkatan aminotransferase yang nantinya akan diikuti dengan terdapatnya anti-HBe (serokonversi). Pada fase non replikatif akan ditemukan HBV DNA yang rendah dan anti-HBe positif. Fase non replikatif ini sering pula disebut dengan keadaan pengidap tidak aktif dan dapat pula terjadi pada keadaan ini resolusi hepatitis B sehingga HBsAg tidak terdeteksi lagi. Apabila seseorang terinfeksi hepatitis B pada usia yang lebih lanjut biasanya gejala peradangannya singkat dan gejala penyakit tidak berat. Pada fase non replikatif masih dapat ditemukan replikasi visrus hepatitis B akan tetapi sangat sedikit sekali karena ditekan oleh respons imun penderita. Sebagian pasien dengan antigen negatif dapat menjadi aktif kembali akan tetapi dengan e antigen yang tetaap negatif. Jadi karena itu terdapat 2 jenis hepatitis kronik B yaitu hepatitis B kronik dengan HBeAg positif dan hepatitis B kronik dengan HBeAg negatif. Eksaserbasi hepatitis selain bisa disebabkan oleh reaktivasi virus dapat pula terjadi karena super infeksi virus hepatitis yang lain seperti HDV, HCV, HAV, atau karena obat obatan. Pada beberapa pasien karsinoma hati dapat pula terjadi biarpun tidak ditemukan sirosis hati. Hepatitis D dapat pula terjadi pada infeksi hepatitis B. Akan tetapi, hepatitis D ini jarang ditemukan atau hampir tidak ada ditemukan di Indonesia3.Neonatal yang memperoleh infeksi HBV dapat mencapai puncak gejalanyanya sepuluh tahun kemudian berupa sirosis dan karsinoma hepatoseluler. Sebaliknya, ketika infeksi HBV diperoleh selama masa remaja atau dewasa awal, respon kekebalan host terhadap HBV hepatosit yang terinfeksi cenderung kuat, yang paling sering muncul seperti hepatitis-like illnes, dan kegagalan untuk memulihkan adalah pengecualian. Jika setelah dewasa mendapatkan infeksi, jarang menjadi kronik, dan risiko karsinoma hepatoseluler sangat rendah2.

Bila menjadi kronik akan didapatkan gejala seperti perut membesar, edema tungkai, rambut rontok, kolateral, spider nevi, eritema Palmaris, splenomegali, asites, hemoroid, dan jari tabuh.

Diagnosis

Diagnosis hepatitis B ditegakkan dengan pemeriksaan biokimia dan serologic dan apabila diperlukan dengan pemeriksaan histopatologik. Pada hepatitis B akut akan ditemukan penikatan ALT yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan AST dengan kadar ALT-nya bisa mencapai 20-50 kali nilai normal. Ditemukan pula IgM anti HBc di dalam darah selain HBsAg, HBeAg, dan HBV DNA3.Pada hepatitis kronik peninggian ALT adalah sekitar 10-20 Batas Atas Nilai Normal (BANN) denga ratio de Ritis (ALT/AST) sekitar 1 atau lebih. Disamping itu IgM anti-HBc juga negatif.

Diagnosis hepatitis B kronik dipastikan dengan pemeriksaan patologi anatomik, disamping mungkin pula dengan pemeriksaan fibrotest. Pencitraan dengan USG atau CT scan dapat membantu bila proses sudah lanjut3.

Terapi

Interferon (IFN- )Pada pasien HBeAg positif dengan SGPT yang lebih besar 3 kali lipat dari BANN, respons angka keberhasilan terapi interferon adalah sekitas 30-40% dibandingkan 10-20% pada kontrol. Pemberian interferon 4,5 atau 5 seminggu 3x selama 4-6 bulan dapat efektif. Apabila pengobatan diberikan selama 12 bulan maka angka serokonversi HBeAg akan lebih meningkat.

Pemberian monoterpati dengan pegylated IFN- -2a menghasilkan angka keberhasilan serokonversi HBeAg lebih tinggi dibanding IFN- 2a konvensional. Pada pasien dengan kadar SGPT pra-terapi yang lebih rendah, angka serokonversi HBeAg lebih rendah tetapi dapat diperbaiki dengan pemberian kortikosteroid sebelum terapi interferon. Namun efek samping yang hebat pernah dilaporkan akibat penggunaan cara ini.

Pasien hepatitis B kronik aktif dengan HBeAg negatif, anti HBe positif, HBV DNA positif juga memberikan respons selama terapi interferon, tetapi biasanya terjadi relaps pada akhir terapi. Pengobatan ulangan dengan IFN- menunjukkan angka keberhasilan respons 20-40& baik pada HBeAg positif maupun negatif.

Pengobatan interferon biasanya berhubungan dengan efek samping seperti flu-like symptoms, neutropenia, trombositositopenia, yang biasanya masih dapat ditoleransi, namun kadang-kadang perlu dilakukan modifikasi dosis. Terapi interferon yang menginduksi hepatitis flare dapat menyebabkan dekompensasi pada pasien dengan sirosis dan dapat berbahaya bagi pasien dengan dekompensasi hati. Lama terapi interferon standar adalah 4-6 bulan sedangkan pegylated interferon adalah 12 bulan3.Antiviral

Ada berbagai pilihan antiviral untuk hepatitis B. Antara lain adalah Lamivudine, Adefovir Dipivoxil, dan Entecavir.LamivudinePertama dari analog nukleosida yang disetujui, lamivudine dideoksinukleosida, menghambat aktivitas transkriptase balik HIV dan HBV dan agen ampuh dan efektif untuk pasien dengan hepatitis B kronis. Dalam uji klinis antara pasien dengan HBeAgs-reaktif hepatitis B kronis, terapi lamivudine pada dosis harian 100 mg selama 48-52 minggu menekan HBV DNA dengan rata-rata sekitar 5,5 log10 kopi / mL dan tidak terdeteksi, yang diukur dengan tes amplifikasi PCR, di sekitar 40% pasien4. Penggunaan monoterapi biasanya dikaitkan dengan tingginya insiden karena terobosan virologi terhadap pemilihan dan hasil dari lamivudine-tahan HBV variants5.Pengamatan serupa dilaporkan setelah beberapa tahun monoterapi dengan Adefovir, analog nukleotida dikembangkan untuk HIV dan inhibitor kedua disetujui untuk HBV therapy.3 Karena 2 obat pilih berbeda resistensi terkait substitusi asam amino, mereka dikombinasikan untuk mencegah munculnya perlawanan. Strategi ini terbukti efisien, dengan terobosan sangat sedikit pada de novo atau add-on lamivudine-Adefovir kombinasi terapi, 4,5 dan masih yang pantas dalam pengaturan resourceconstrained5.

Adefovir Dipivoxil

Nukleotida asiklik analog Adefovir dipivoxil, prodrug dari Adefovir, adalah antivirus yang ampuh, dengan dosis harian oral 10 mg, mengurangi DNA HBV sekitar 3,5-4 log10 kopi / mL dan sama efektif dalam pengobatan pada pasien naif dan pasien yang tidak merespon IFN. Dalam HBeAg-reaktif hepatitis B kronis, program pengobatan selama 48-minggu Adefovir dipivoxil menunjukkan perbaikan histologis (dan mengurangi pengembangan fibrosis) dan normalisasi SGPT pada sebagian pasien, serokonversi HBeAg di tingkat 12% HBV DNA dalam 20 - 30%, dan yang diukur dengan PCR4.

Efektifitas Adefovir dipivoxil dapat dipakai pada pasien baru hepatitis B dengan replikasi virus yang aktif, pada pasien yang gagal dengan lamivudine, pasien pasca transplantasi hati hingga pasien dengan dekompensasi hati maupun yang dengan koinfeksi dengan HIV. Adefovir difosfat bekerja menghambat HBV polymerase dengan berkompetisi langsung dengan subtract endogen deoksiadenosin trifosfat dan setelah berintegerasi dengan HBV DNA sehingga pembentukan rantai DNA virus hepatitis B terhenti3. Efek samping penggunaan adefovir jika digunakan dosis tinggi (30 mg/hari) adalah gagal ginjal.

Entecavir

Entecavir adalah nukleosida analog yang mempunyai efek kuat anti virus hepatitis B. Juga aktif pada infeksi HIV, biarpun tidak mempunyai efek langsung terhadap HIV. Entecavir dapat digunakan untuk terapi hepatitis kronik B peningkatan pada orang dewasa yang dengan replikasi virus aktif. Sebaiknya bila disertai peningkatan kadar ALT lebih dari 1,3 (BANN) atau bila pada pemeriksaan histopatologis ditemukan gejala penyakit aktif baik fibrosis maupun sirosis.

Dosis yang dianjurkan adalah 0,5 mh/hari untuk pasien hepatitis kronik B. Untuk pasien dengan lamivudine resisten dosis ditinggikan menjadi 1 mg/hari. Gejala samping jarang ditemukan dan yang dapat terjadi adalah sakit kepala, mual, dan diare. Belum pernah dilaporkan terjadi mutan3.

Pegylated interferon -2aPegylated interferon -2a adalah interferon -2a yang dipegilasi. Berbeda dengan interferon yang terdahulu, kemajuan penting dalam teknologi pegilasi telah berhasil mengembangkan pegylated interferon -2a dengan molekul polyethylene glycol (PEG) generasi baru yang bercabang, berberat molkul lebih besar (40KD) serta ikatan antara protein dan PEG yang kuat dan stabil (ikatan Amida). Implikasinya adalah:

Interferon alfa erqada dalam sirkulasi darah lebih lama

Konsentrasi obat dalam plasma tetap bertahan sepanjang interval dosis (satu minggu penuh)

Besarnya variasi dalam serum sangat kecil sehingga menghasilkan profil tolerabilitas yang lebih baik dibandingkan interferon konvensional.

Sama seperti interferon -2a, pegylated interferon -2a memiliki mekanisme kerja ganda yang unik sebagai imunomodulator dan antivirus. Sebagai imunomodulator, pegylated interferon -2a akan mengaktivasi makrofag, sel natural killer (NK) dan limfosit T sitotoksik serta memodulasi pembentukan antibodi yang akan meningkatkan respons imun host untuk melawan virus hepatitis B. Sedangkan aktivitas anti virus dilakukan dengan menghambat replikasi virus hepatitis B secara langsung melalui aktivasi endoribonuclease, elevasi protein kinase dan induksi 2,5-oligodenylate synthetase3.Kombinasi obat dengan target virus yang berbeda dan non resistansi silang (terapi antiretroviral yang sangat aktif [HAART]) terbukti menjadi pilihan yang berharga untuk mencegah resistensi HIV dalam jangka panjang. Namun demikian, resistan terhadap virus muncul pada beberapa pasien pada terapi HAART, umumnya mereka yang telah memakai pengobatan selama bertahun-tahun dan telah menerima sejumlah obat yang berbeda selama hidup mereka. virus ini lolos dari efek antivirus dari semua obat yang tersedia dan perkembangan mereka bertanggung jawab terhadap kegagalan pengobatan, perkembangan penyakit, dan kematian5.

HEPATITIS CPendahuluan

Sejak berhasil ditemukannya virus hepatitis C dengan teknik cloning molekuler di tahun 1989, sejumlah perkembangan yang bermakna telah terjadi dalam pemahaman mengenai perjalanan alamiah, diagnosis dan terapi infeksi virus hepatitis C. Dahulu kita hanya mengenal infeksi ini sebagai infeksi virus hepatitis non-A non-B, namum saat ini telah diketahui bahwa infeksi yang memiliki tanda-tanda subklinis ringan ini ternyata memiliki tingkat kronisitas dan progresifitas kearah sirosis yang tinggi6.Etiologi

Setelah gagal dengan metode purifikasi virology konvensional, Choo dkk. kemudian berhasil membuat penemuan penting dalam pemahaman akan molekuler virus hepatitis C di tahun 1989. Boleh dikatakan bahwa di tahun inilah para ahli berhasil mengkloning genom HCV dan mempublikasikan pemeriksaan HCV dengan suatu tes antibody (generasi pertama). Setelah visualisasi dengan mikroskop electron, HCV terlihat sebagai partikel mirip virus dengan amplop (enveloped virus-like) yang berdiameter 50-60 nm.

HCV adalah virus hepatitis yang mengandung RNA rantai tunggal yang dapat diproses secara langsung untuk memproduksi protein-protein virus (hal ini karena HCV merupakan virus dengan RNA rantai positif). Genom HCV sangat mirip dengan genom virus family flavaviridae lain, seperti virus demam kuning dan dengue.

Genom HCV mengandung satu rantai tunggal buka baca (open reading frame) dan dua daerah yang tidak ditejermahkan (UTRs, untranslated regions). Berdasarkan keterkaitan molekuler, HCV dapat diidentifikasi menjadi 6 grup atau genotip utama yang mempergunakan angka 1-6 dan berbagai subtype. Genotip 1a dan 1b adalah genotip yang paling sering ditemukan di Amerika Serikat dan Eropa Barat, diikuti oleh genotip 2 dan 3. Genotip lain tampaknya tidak pernah ditemukan di Negara atau kawasan lain. Misalnya, genotip 4 banyak ditemukan di Mesir, genotip 5 di Afrika Selatan dan genotip 6 di Asia Tenggara6, Hongkong2.

Siklus Hidup Hepatitis Virus C

Jika masuk ke dalam darah maka HCV akan segera mencari hepatosit (sel hati) dan kemungkinan sel limfosit B. Hanya dalam sel hati HCV bisa berkembang biak. Sulitnya membiakkan HCV pada kultur, juga tidak ada model binatang non-primata, telah memperlambat lajunya riset HCV. Namun daur hidup HCV telah dapat dikemukakan seperti penjelasan dibawah ini.

1. HCV masuk ke dalam hepatosit dengan mengikat suatu reseptor permukaan sel yang spesifik. Reseptor ini belum teridentifikasi secara jelas, namun protein oermukaan CD81 adalah suatu HCV binding protein yang memainkan peranan dalam masuknya virus. Salah satu protein khusus virus yang dikenal sebagai protein E2 menempel pada reseptor site dibagian luar hepatosit.

2. Kemudian protein inti dari virus menembus dinding sel dengan suatu proses kimiawi, dimana selaput lemak bergabung dengan dinding sel dan selanjutnya dinding sel akan melingkupi dan menelan virus serta membawanya ke dalam hepatosit. Di dalam hepatosit, selaput virus (nukleokapsid) melarut dalam sitoplasma dan keluarlah RNA virus (virus uncoating) yang selanjutnya mengambil alih peran bagian dari ribosom hepatosit dalam membuat bahan-bahan untuk proses reproduksi.

3. Virus dapat membuat sel hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya sendiri. Selama proses ini virus menutuppi funsi normal haptosit atau membuat lebih banyak lagi hepatosit yg terinfeksi. Virus lalu membajak mekanisme sintesis protein hepatosit dalam memproduksi protein yang dibutuhkannya untuk berfungsi dan berkembang biak.

4. RNA virus dipergunakan sebagai cetakan (template) untuk produksi masal polipotein (proses translasi)

5. Poliprotein dipecah dalam unit-unit protein yang lebih kecil. Protein ini ada 2 jenis yaitu protein strukturan dan regulatori. Protein regulatori memullai sintesis kopi virus RNA asli.

6. Sekarang RNA vorus mengoppi dirinya sendiri dalam jumlah besar (miliaran kali lipat) untuk menghasilkan bahan dalam bentuk virus baru. Hasil kopi ini adalah bayangan cermin RNA orisinil dan dinamai RNA negatif lalu bertindak sebagai cetakan (template) untuk memproduksi serta RNA prositif yang sangat banyak merupakan kopi uidentik materi genetic virus.

7. Proses ini berlangsung terus dan memberikan kesampatan untuk terjadinya mutasi genetic yang menghasilkan RNA untuk strain baru virus dan subtype virus hepatitis C. Setiap kopi virus baru akan berinteraksi dengan protein strukturan, yang kemudian membentuk nukleokapsid dan kemudian inti virius baru. Amplop protein kemudian akan melapisi inti virus baru.

8. Virus dewasa kemudian dikeluarkan dari dalam hepatosit menuju ke pembuluh darah menembus membrane sel.

Replikasi HCV dalam sehari sangatlah melimpah dan diperkirakan bahwa seorang penderita dapat menghasilkan hingga 10 triliun birion per hari (bahkan dalam fase infeksi kronik sekalipun) 6.Diagnosis

Tidak seperti pada hepatitis B, pemeriksaan konvensional untuk mendeteksi keberadaan antigen-antigen HCV tidaklah tersedia., sehingga pemeriksaam untuk mendiagnosis infeksi HCV bergantung pada uji serologi untuk memeriksa antibody dan pemeriksaan molekuler utnuk partikel virus. Uji serologi yang berdasarkan pada deteksi antibody teloah membantu mengurangi risiko infeksi terkain tranfusi. Sekali seseorang pernah mengalami serokonversi, biasanya hasil pemeriksaan serologi akan tetap positif. Namun demikian, kadar antibody anti-HCV-nya akan menurun secara gradual sejalan dengan waktu pada sebagian pasien yang infeksinya mengalami resolusi spontan.

Antibodi terhadap HCV biasanya dideteksi dengan metode enzyme immunoassay yang sangat sensitive dan spesifik. Enyme immunoassay generasi ke-3 yang banyak dipergunakan saat ini mengandung protein core dan protein-protein structural yang dapat mendeteksi keberadaan antibody dalam waktu 4-10 minggu infeksi. Antibodi anti-HCV masih tetap dapat terdeteksi selama terrapin maupun setelahnya tanpa memandang respons terapi yang sudah dijalani, sehingga pemeriksaan anti-HCV tidak perlu dilakukan kembali apabila sudah pernah dilakukan sebelumnya6.

Dalam bebrapa tahun terakhir, pemeriksaan baru yang berdasarkan pada deteksi molekuler HCV RNA telah diperkenalkan. Pemeriksaan ini dapat memeriksan kadar HCV RNA secara kualitatif dan kuantitatif. Mengingat tidak stabilnya RNA virus, maka pemrosesan sampel harus dilakukan secara benar untuk meminimalkan risiko hasil pemeriksaan yang false negative, dimana sample yang akan diperiksa harus dipisahkan dan dibekukan dalam waktu 3 jam setelah flebotomi. Pemeriksaan untuk mengukut jumlah HCV RNA merupakan suatu cara yang dapat dipercaya untuk menunjukkan adanya infeksi HCV dan merupakan pemeriksaan yang paling spesifik.

Pemeriksaan genotip HCV dapat membantu memprediksi hasil dari terapi dan memilih rejimen terapi untuk seorang pasien. Terdapat beberapa metode yang berbeda untuk memeriksa genotip HCV, namun sebagian besar berbasis pada amplifikasi dengan pemeriksaan PCR.

Biopsi hati secara umum direkomendasikan untuk penilaian awal seorang pasien dnegan infeksi HCV kronis. Biopsi berguna untuk menentukan derajat beratnya penyakit (tingkat fibrosis) dan menentukan derajat nekrosis dan inflamasi. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab penyakit hati yang lain, seperti fitur alkoholik, non-alcogolic steatohepatitis (NASH), hepatitis autoimun, penyakit hati drug-induced atau overload besi6.

Penatalaksanaan

Penambahan ribavirin, suatu analog nukleosida, denga terapi interferon konvensional telah memperbaiki respons terapi secara substansial. Secrara keseluruhan sekitar 30-40% pasien diharapkan berhasil sembuh (mencapai SVR) dengan terapi kombinasi interferon dan ribavirin6.

Ribavirin

Richard dkk. pertama kali melaporkan penggunaan ribavirin pada pasien dengan hepatitis C kronik di tahun 1991. Ribavirin adalah suatu analoh nukleosida yang memiliki aktivitas antivirus berspektrum luas dan dapat dipakai untuk melawan virus RNA maupun DNA, termasuk virus kelompok flaviviridae. Ribavirin adalah suatu analog guanosin sintetik yang akan diubah menjadi bentuk aktifnya, ribavirin trifosfat, dengan fosforilasi intraseluler.

Dosis untuk terapi kombinasi dengan interferon pegilasi (penelirian hadiyannis) memperlihatkan bahwa genotip 1 yang erlu diingat adalah bahwa ribavirin merupakan obat dengan narrow divide antara toksisitas dan efektivitas dan bekerja melalui proses akumulasi dalam tubuh6.

Terapi Hepatitis C Akut

Data tentang efikasi terapi antivirus untuk hepatitis C akut masih sangat terbatas, namun pemberian terapi ditujukan untuk mencegah terjadinya persistensi infeksi virus, yang telah diketahui dapat memicu terjadinya inflamasi hati yang kronik. Terapi IFN (a dan b) dengan dosis yang lebih tinggi (6 -10 juta unit) selama 6 bulan dapat memicu normalisasi SGPT dan hilangnga (clearance) HCV RNA pada sekitas 50% pasien.

Pada tahun 2002, Alberti dkk. melakukan analisis pada 17 studi yang meneliti pemberian terapi pada pasien dengan hepatitis C akut dan melibatkan 369 pasien yang diberi terapi serta 201 pasien yang tidak diterapi. Dari ke-17 studi tersebut, 8 studi adalah studi prospektif, acak dan terkontrol yang membandingkan pemberian terapi interferon dan tanpa terapi. Lima strudi adalah strudi terkontrol tetapi tidak acak, dan 4 studi lagi bukan studi terkontrol serta hanya melibatkan kelompok pasien yang diterapi.

Hasil pooling data ke-17 studi menunjukkan hasil respon kimia end-of-treatment 76% (rentang 5 - 100%) pada kelompok yang diterapi disbanding 24% (rentang 10 - 44%) pada kelompok yang tidak diterapi, dan respon biokimia menetap terjadi 61% pasien disbanding 26% pasien yang tidak diterapi. Lebih lanjut, penelitian oleh Delwaide dkk. di tahun 2004 pda 28 pasien yang diterapi dengan interferon alfa 5 juta unit dan 16 pasien yang tidak diterapi menemukan bahwa terapi sejak dini pada pasien dengan hepatitis C akut dengan interferon alfan dapat mencegah terjadinya kronisitas6.

Terapi Hepatitis C Kronik

Menetapnya HCV setelah hepatitis akut hingga menjadi hepatitis kronik, dapat ditemukanpada lebih dari 85% pasien. Biasanya infeksi kronik hanya menunjukkan gejala yang sama dan kalaupun ada hanya berupa fatigue atau nyeri abdomen yang ringan. Sebagian besar kasus hepatitis C teridentifikasi selama fase kronik infeksi.

Pada dasarnya semua pasien dengan infeksi hepatitis C kronik merupakan kandidat untuk terapi antivirus. Beberapa jenis rejimen terapi untuk hepatitis C kronik telah diuji melalui sejumlah penelitin berskala besar, yang pertama kali disetujui penggunaannya pada tahun 1990 adalah interferon alfa konvesional (standar) monoterapi yang disuntikkan 3 kali seminggu dan yang terakhir pada tahun 2002 adalah kombinasi interferon alfa pegilasi dan ribavirin.

Rekomendasi terapi saat ini, yang berdasarkan ada data penelitian klinis fase III, acak dan multinasional, menganjurkan penggunaan kombinasi interferon pegilasi dan ribavirn sebagai pilihan pertama terapi, oleh karena lebih efektif secara signifikan disbanding kombinasi interferon alfa konvensional dan ribavirin. Mengingat monoterapi dengan interferon pegilasi secara bermakna kurang efektif dibading kombinasi interferon konvensional atau pegilasi dengan ribavirin, maka pemberian monoterapi hanya disarankan untuk pasien-pasien hepatitis C kronik yang memang tidak mendapat mentoleransi ribavirin maupun kontraindikasi dengan ribavirin6.

HEPATITIS DELTAPendahuluan

Pada tahun 1977, ditemukan antigen inti virus yang sebelumnya belum pernah diidentifikasi pada hepatosit pasien hepatitis kronik B. Antigen tersebut ternyata hanya dijumpai bila bersama dengan infeksi virus hepatitis B, tetapi sangat jarang besama dengan HBcAg. Selanjutnya antigen tersebut disebut antigen delta. Seperti banyak antigen virus yang lain, antigen delta juga dapat memacu pembentukan antibody anti-Delta. Pada tahun 1986, cloning dan sequencing VHD berhasil dilakukan. Dapat dibuktikan bahwa antigen delta merupakan komponen virus yang unik bila dibandingkan dengan virus hepatitis yang lain. Virus ini bersifat defektif, untuk melakukan replikasi, membentuk virus baru, ia harus berada bersama HBsAg. Disebut hepatitis delta bila dapat dibuktikan bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh virus hepatitis delta (VHD). Walaupun akhir-akhir ini secara epidemiologic prevalensi infeksi VHD menurun, pengetahuan tentang VHD tampaknya masih sangat penting7.Virologi

Virus Delta bila dilihat dari pandangan virologi binatang memang merupakan virus unik, virus ini termasuk virus RNA yang sangat kecil. Virion VHD hanya berukuran kira-kira 36 nm tersusun atas genom RNA single standed dan kira0kira 60 kopi antigen delta yang merupakan satu-satunya jenis protein yang dikode oleh VHD. Antigen Delta terdiri atas 2 jenis yakni large (L) dan small (S) Virion VHD mempunyai kapsul terdiri atas protein yang dihasilkan oleh VHB, Dinding luar tersebut terdiri atas lipid dan seluruh komponen HBsAg. Komponen HBsAg yang mendominasi adalah small HBsAg kira-kira sebanyak 95%. Proporsi seperti ini sangat berbeda dnegan proporsi yang terdapat pada VHB. Selain komponen utama dinding VHD, HBsAg juga diperllukan VHD untuk transmisi dan masuk ke hepatosit. HBsAg akan melindungi virion VHD tetapi secara langsung tidak mempengaruhi replikasi VHD. Replikasi VHD memerlukan sel inang (host) dan kehadiran HBsAg untuk seluruh proses replikasi, mulai dari melekatkan diri, penetrasi, melepaskan dinding, sintesis makromolekul, menyusun komponen-komponen virus sampai akhirnya melahirkan virion baru. Pada saat ini disepakati bahwa replikasi VHD hanya terjadi di hati7.Epidemiologi

Hepatitis Delta terdapat di seluruh dunia. Prevalensinya bervariasi antara satu daerah dengan daerah yang lain. Prevalensi HVD pada saat ini jauh berkurang dibandingkan dengan HVB dan HVC, Diseluruh dunia diperkirakan kira-kira 5% dari seluruh pasien pembawa HBsAg. Daerah yang mempunyai prevalensi tinggi antara lain: Mediterania, Timur Tengah, Asia Tengah, Afrika Barat, Lembah Amazon, dan pulau-pulau Pasifik Selatan. Sebaliknya Asia Timur, Taiwan, Cina, dan India dilaporkan prevalensinya rendah. Pernah dilaporkan epidemic HVD di MEditerania tahun 1970-an etapi sekarang sudah dinyatakan berakhir. Faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan prevalensi HVD adalah penurunan prevalensi HVB pada populasi umum diseluruh dunia, penggunaan jarum suntik sekali pakai yang semakin luas dan perbaikan faktor sosioekonomi7.

Secara umum dapat dikatakan bahwa prevalensi HVD semakin menurun, walaupun masih terdapat daerah-daerah kecil yang selalu dapat dijumpai kasus-kasus baru misalnya: pulau Okinawa, India Utara, beberapa daerah di Cina dan Albania. Transmisi virus ini mirip denhan VHP yakni: melalui kontak era kantar manusia atau premukosal, perkutan parenteral, dan perinatal walaupun jarang. Pada saat terjadi superinfeksi, titer VHD serum akan mencapai, puncak 2 - 5 minggu setelah inokulasi, yang akan menurun setelah 1 - 2 minggu kemudian7.Gambaran Klinis

Infeksi VHD hanya terjadi bila bersama-sama dengan infeksi VHB. Gambaran klinis secara umum dapat dibagi menjadi koinfeksi, superinfeksi, dan laten. Disebut koinfeksi bila infeksi VHD terjadi bersama-sama secara simultan dengan VHB, sedangkan superinfeksi bila infeksi VHD terjadi pada pasien infeksi kronik VHB. Koinfeksi akan dapat menimbulkan baik hepatitis akut B maupun hepatitis akut D. sebagian besar koinfeksi VHB dan VHD akan sembuh spontan. Kemungkinan menjadi menjadi hepatitis kronik D kurang dari 5%. Masa inkubasi hepatitis D sekitar 3 - 7 minggu7.

Keluhan pada masa praikterik biasanya merasa lemah, tidak suka makan, mual, keluhan-keluhan seperti flu. Pada saat itu ALT dan AST meningkat. Fase ikterus ditandai dengan feses pucat, urine bewarna gelap dan bilirubin serum meningkat. Keluhan-keluhan lain menghilang pada fase penyembuhan pada pasien-pasien yang sembuh spontan7.

Superinfeksi VHD pada hepatitis kronik B biasanya akan menimbulkan hepatitis akut berat, dengan masa inkubasi pendek, dan kira-kira 80% pasien akan berlanjut menjadi hepatitis kronik D. Hepatitis kronik D akibat superinfeksi biasanya berat, progresif, dan sering berlanjut menjadi sirosis hati7.

Diagnosis

Diagnosis HVD didasarkan pada sejumlah pemeriksaan. Hanya pasien yang mengandung HBsAg dalam darahnya atau mempunyai riwayat pernah teriinfeksi oleh VHB dapat dicurigai menderita HVD. Anti HDV dapat diperiksa dengan metoda radioimmunoassay (RIA) atau enzyme immunoassay (EIA), sedangkan RNA HVD dengan Polimerase chain reaction (PCR). Sebaiknya dipilih reverse transcription (RT-PCR) karena metoda ini sangat sensitive. Ketelitiannya sampai 10-100 kopi/ml7.

Pada koinfeksi HVD dan HVB akut, akan didapatkan pemeriksaan serologic sebagai berikut7:

Pada masa inkubasi, dapat dijumpai HBsAg, HBeAg dan DNA HVB, IgM anti-HVD, RND HVD, HDAg.

Anti HBc akan terdeteksi bila penyakit berlanjut.

Anti HVD terdeteksi pada akhir masa akut dan kemudian akan menurunkan titernya setelah penyakit membaik.

Semua petanda replikasi virus baik B maupun D akan menghilang pada saat memasuki masa penyembuhan.

Sedangkan IgG maupun IgM anti HVD dapat bertahan sampai beberapa bulan bahkan tahun setelah sembuh.

Superinfeksi VHD HVB, memberikan tanda sebagai berikut7:

Didapatkan tanda viremia HVD yakni RNA VHD dan HVDAg selama fase preakut.

Selama fase akut didapatkan IgM anti-HVD dan IgG anti HVD dalam titer tinggi dan keduanya dapat bertahan seterusnya pada infeksi persisten. Kejadian seperti ini dapat diartikan progresivitas penyakit menjadi kronik dan sirosis hati.

Bila HVDAg terdeteksi di serum, titer HBsAg akan menurun.

Viremia dapat dihibungkan dengan aktivitas penyakit,

Penatalaksanaan

Sampai saat ini, pengobatan terhadap HVD belum memuaskan. Interferon dosis 9 juta 3 kali seminggu atau 5 juta setiap hari selama 12 bulan, dapat menurunkan ALT serum dan menekan RNA HVD pada 40 -70% pasien. Walaupun demikian angka relapsnya tinggi yakni sekitar 60 - 97% pasien. Respons menetap, ditandai dengan HBsAg yang menjadi negatif, hanya dijumpai pada sedikit pasien dan terutama HVD yang masih baru. Obat-obat analog nukleosida terbukti tidak efektif. Hasil terapi koombinasi interferon dan lamivudin hingga saat ini masih kontroversi. Analog thomosin juga tidak memberikan hasil yang baik7.

Transplantasi hati pada HVD kronik yang sudah mencapai end stage merupaka metode terpilih. Ada pendapat bahwa reinfeksi HVB pada graf cenderung kebih rendah dubandingkan mereka yang hanya menderita HVB tetapi tidak mengalami HVD7.

Pencegahan

Pencegahan HVD hanya efektif terhadap mereka yang masih mungkin dicegah dari infeksi HVB. Artinya yang daoat dicegah hanya koinfeksi HVD dan HVB sedangkan untuk mencegah superinfeksi hingga saat ini mebelum ditemukan cara yang efektif7.HEPATITIS EPendahuluan

Hampir 30 tahun yang lalu, seorang relawan kebal terhadap virus hepatitis A (HAV) akut dikembangkan melalui eksperimental dengan mencerna suspensi feses dikumpulkan dari sembilan pasien fase akut dari wabah yang ditularkan melalui air non-A, non-Hepatitis B di Afghanistan. Virus-partikel seperti (VLPs) berbeda dari hepatitis A dan virus B divisualisasikan dalamkotorannya. Meskipun bukti-bukti serologis dan morfologi untuk novel enterically ditransmisikan non-A non-B virus hepatitis, sangat sulit untuk mengidentifikasi urutan virus ini karena viral load dalam sampel tinja itu sangat rendah dan tidak cukup untuk kloning dan sequencing. Perlu dicatat bahwa PCR tidak tersedia pada waktu itu. Menggunakan sampel empedu dari eksperimental terinfeksi monyet, cDNA dari virus ini akhirnya kloning dan diurutkan. Urutan nukleotida tidak homolog ke dalam database GenBank pada waktu itu dan bernama hepatitis E virus (HEV) dari kata 'enterically', cara penularan hepatitis virus itu. Beberapa tahun kemudian, penuh panjang genom HEV telah diurutkan dan ditentukan8.

Virologi

HEV merupakan sferis kecil (27-34 nm diameter), tidak memiliki amplop virus dengan RNA beruntai tunggal, positif genom kb 72 yang mengkode tiga open frame reading terbuka (ORFs: ORF1, ORF2 dan ORF3) antar struktur penutup pada 5 - akhir dan poli-(A) ekor pada 3 -end. Tiga ORFs encode untuk non-struktural poliprotein, protein kapsid dan terfosforilasi protein, masing-masing8. Meskipun HEV memiliki serotipe tunggal, keragaman genom genetic yang tinggi pada HEV. HEV dapat diklasifikasikan menjadi empat utama genotipe; genotipe 1, 2, 3 dan 4 [11]. fitur mereka dalam epidemiologi dan virulensi yang berbeda satu sama lain. Genotipe 1 dan 2 didistribusikan di hiper endemic wilayah di Asia, Amerika Tengah dan Afrika dan ditularkan melalui rute air. Sebaliknya, genotipe 3 ditemukan di seluruh dunia termasuk Asia, Amerika Utara dan Selatan, Eropa dan Oceania. Genotipe 4 dibatasi di Timur, Asia Tenggara dan jarang di Eropa dan tampaknya menyebabkan hepatitis lebih parah dari genotipe 3. Genotipe 3 dan 4 juga terisolasi dari serum, tinja, hati dan produk daging dari beberapa jenis hewan seperti babi ternak, babi hutan dan rusa. Beberapa waktu yang lalu, Selain empat genotype tersebut, ditemukan kelompok-kelompok genetik baru HEV yang diisolasi dari babi hutan di Jepang8.

Diagnosis

Hepatitis E didiagnosis dengan deteksi IgM, IgA, IgG atau anti HEV atau HEV RNA. N-stadium lanjut dipotong HEV kapsid protein dapat efisien diungkapkan dan mengatur dirinya sendiri dtersusun sebagai VLPs yang kosong dalam sel serangga yang terinfeksi baculovirus rekombinan. Para VLPs digunakan sebagai antigen bergerak selama ELISA sensitif untuk HEV antibodi spesifik. Digabung RT-PCR dan real-time RT-PCR menargetkan ORF1 wilayah atau ORF2 / 3 wilayah tumpang tindih yang digunakan untuk mendeteksi HEV RNA. Hepatitis E telah lama dianggap sebagai penyakit negara berkembang dengan kondisi sanitasi yang buruk dan diakui sebagai penyakit diimpor dari wisatawan kembali dari daerah endemik. Namun, bukti terakhir menunjukkan bahwa infeksi HEV asli terjadi pada negara-negara maju termasuk Jepang, dan tampaknya lebih umum daripada yang diperkirakan sebelumnya. Hepatitis E pada pasien tanpa riwayat perjalanan keluar negaranya yang ditemukan di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa dan strain HEV baru genotipe 3, berbeda dengan genotipe 1 dan 2 di endemic daerah, telah diidentifikasi8.Di Jepang, beberapa tahun kemudian, strain baru dari HEV genotype 3 penduduk asli di Jepang diisolasi dari pasien hepatitis E dengan etiologi tidak diketahui dan babi ternak, masing-masing. Setelah penemuan, banyak sporadic kasus dan wabah kecil beberapa infeksi HEV telah diakui di Jepang dari penduduk asli Jepang. HEV strain genotipe 3 dan 4 telah diidentifikasi pada manusia serta babi, babi hutan, rusa, luwak dan bivalvia Yamato-shijimi. Dengan demikian, HEV memiliki kisaran inang yang luas dan babi diakui sebagai reservoir penting dari HEV. Selain itu, studi penting tentang rute penularan HEV dilaporkan dari Jepang. Anggota dari dua keluarga yang terkena hepatitis E setelah konsumsi daging mentah dari rusa Jepang Sika. HEV RNA urutan genotipe 3 terisolasi dalam darah mereka itu identik dengan yang di sisa makanan daging yang didinginkan dalam freezer. Meskipun telah terjadi beberapa laporan tentang bukti-bukti tidak langsung dari infeksi HEV, ini adalah pertama infeksi langsung HEV dari hewan ke manusia8.Status infeksi HEV di Jepang dapat diringkas secara singkat sebagai beriku8t:

a. Infeksi HEV menyebar luas di seluruh Jepang

b. Hepatitis E adalah penyakit dari orang paruh baya dengan dominasi pria atas perempuan, c. strain HEV genotipe 3 dan 4 adalah asli di Jepang

d. Pasien yang lebih usia lebih lanjut akan lebih parah gejalanya

e. Genotipe 4 dikaitkan dengan lebih jelas dan lebih parah manifestasi klinis hepatitis dari genotipe 3, f. Tidak musiman dalam insiden yang diamati

g. Transmisi rute tetap tidak dikenal di sekitar. 60% kasus, meskipun sekitar 30%, 8%, dan 2% adalah ascribable untuk zoonosis bertalian dengan makanan transmisi, infeksi impor, dan melalui darah, masing-masing. Dengan demikian, status infeksi HEV di Jepang tampaknya berbeda dari yang di hiper endemic negara.

Sebagaimana disebutkan di atas, di daerah endemik hiper rute transmisi HEV adalah luas yang ditularkan melalui air tapi kemungkinan penularan vertikal maupun melalui darah transmisi telah disarankan. Di India, dua kasus transfusi menular hepatitis E dilaporkan dengan cara analisis retrospektif [28]. Namun, mereka tidak berhasil dalam menunjukkan hubungan antara transfusi darah dengan infeksi hepatitis E dengan pendekatan molekuler. Kami menunjukkan untuk pertama kalinya bahwa transfusi transmisi hepatitis E ada bahkan di negara yang dikembangkan oleh menunjukkan 100% urutan identitas HEV RNA genom baik dari donor dan penerima pada tahun 2002 [29]. Dalam hal ini, dua produk darah, plasma beku segar (FFP) dan konsentrasi sel darah merah (RCC) berasal dari darah HEV positif. FFP yang ditransfusikan ke pasien dan dia mengembangkan hepatitis E. urutan nukleotida HEV terisolasi dari tersimpan plasma dan dari pasien adalah identik dan milik genotipe 4 yang penduduk asli ke Hokkaido, Jepang. di Sebaliknya, HEV positif RCC yang ditransfusikan ke pasien lain di bawah kondisi imunosupresi melakukan tidak menyebabkan gejala hepatitis. Dia adalah negatif untuk setiap HEV spidol pada Hari 130 setelah transfusi. Viral load dari HEV dalam produk RCC bisa terlalu rendah untuk menyebabkan infeksi8Gejala Klinis

Virus hepatitis E mempunyai masa inkubasi 15-60 hari (rata-rata 40 hari) dan virus hepatitis E dapat dideteksi dari kotoran, empedu dan hati yang dieksresikan dalam kotoran selama periode akhir dari masa inkubasi. Anak-anak dan dewasa muda mengalami ikterik dan hepatitis subklinis atau yang tidak tampak. Tanpa memperhitungkan etiologi, keadaan hepatitis virus akut dibagi atas 3 stadium klinis, yaitu fase prodromal, fase ikterik dan fase konvalesens9.Fase Prodromal

Fase ini disebut juga fase preikterik yabg terjadi 1-10 hari. Selama fase ini, kebanyakan penderita mengalami sejumlah keluhan konstitusional yang non spesifik seperti malaise, kelelahan, demam dan gejala gangguan gastrointestinal seperti diare, nausea, dan muntah. Sindrom yang menyerupai serum sickness, seperti kulit kemerahan, artralgia, sakit kepala bisa terjadi selama periode ini9.

Fase Ikterik

Fase ikterik umumnya terjadi peningkatan kadar bilirubin dan enzim transaminase. Urine berwarna gelap biasanya terlihat dalamj beberapa hari sebelum awitan ikterik. Gejala konstitusional dan demam akan membaik setelah muncul ikterik. Hepatitis tanpa ikterik/anikterik paling sering terjadi pada semua hepatitis virus. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hepar yang teraba. Fase ikterik berlangsung sekitar 12-15 hari dan akan kembali normal setelah 1 bulan9.

Fase Konvalesens

Selama fase konvalesens, penurunan berat badan segera terkoreksi, tetapi kelelahan akan terus terjadi selama beberapa bulan. Hepatitis kolestais dengan kadar bilirubin serum yang tinggi dapat terjadi pada sejumlah kecil pasien. Defisiensi G6PD memiliki kaitan erat swngan ikterik berat pada hepatitis virus akut akibat hemodialisa9.

Pemeriksaan Laboratorium9

Untuk menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan laboratorium yaitu meliputi pemeriksaan: serum transaminase, bilirubin, serologis dengan metode ELISA seperti antibody HEV, IgG dan IgM anti-HEV dan PCR serum dan kotoran untuk mendeteksi hepatitis E RNA serta immunofluorescent antibody blocking assay untuk mendeteksi antibody terhadap antigen HEV diserum dan sel hati.

Serum transaminase (AST dan ALT) menunjukkan oeningkatan pada fase prodromal begitu juga dengan serum bilirubin. Namun demikian, kadar akut enzim ini tidak terkait dengan kerusakan sel hati. Kadar puncak bervariasi, mulai dari 400 sampai 4000 IU atau lebih, kadar ini biasanya dicapai pada waktu terjadinya ikterus secara klinis dan akan berkurang secara progresif selama fase pemulihan akut.

Diagnosis

Diagnosis hepatitis E berdasarkan gejala klinis, menunjukkan gejala hepatitis akut dan adanya riwayat sehabis mengadakan perjalanan ke daerah endemis, terutama jika tes untuk hepatitis lainnya tidak reaktif serta pemeriksaan laboratoris terhadap serologis dengan metode ELISA seperti anti-HEV, IgG dan IgM mendeteksi HEV RNA9.

Penatalaksanaan

Belum ada terapi khusus untuk hepatitis E. Penatalaksanaan umumnya dengan beristirahat dan diet serta penanganan simtomasit dan suportif. Menghindari aktivitas yang membutuhkan banyak tenaga/energi selama fase akut serta diet, yaitu dengan diet tinggi kalori/karbohidrat, jika terjadi mual muntah makan digunakan metoklopramid dan glukosan intravena serta tidak perlu dilakukan pembatasan lemak. Indikasi telah terjadi perbaikan dan penyembuhan, yaitu9:

1. Terjadi peningkatan nafsu makan dan hilangnya rasa mual dan muntah.2. Kadar serum bilirubin dan transaminase yang menjadi normal kembali, serta hilangnya rasa nyeri akibat penekanan hati.Indikasi dilakukan rawat inap apabila adanya danger signs seprti yang terdapat pada hepatitis fulminan yang mengancam kehidupan dengan adanya ikterus tanpa adanya obstruksi9.

Daftar Pustaka

1. Noer HM, Sundoro J. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Sulaiman HA, Akbar HN, Lesmana LA, dkk (ed). Hepatitis A. Jayabadi. 2007. pg 193-199 2. Dienstag JL. Harrisons Gastroenterology and Hepatology. Longo DL, Fauci AS, et al (ed). Acute Viral Hepatitis. The McGraw-Hill Companies. 2010. pg 349-375 3. Akbar HN. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Sulaiman HA, Akbar HN, Lesmana LA, dkk (ed). Hepatitis B. Jayabadi. 2007. pg 201-208 4. Dienstag JL. Harrisons Gastroenterology and Hepatology. Longo DL, Fauci AS, et al (ed). Chronic Hepatitis. The McGraw-Hill Companies. 2010. pg 390-375 5. Pawlotsky JM. Is Hepatitis Virus Resistance to Antiviral Drugs a Threat?. Gastroenterology 142: 1369-1372. 2012 6. Sulaiman HA. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Sulaiman HA, Akbar HN, Lesmana LA, dkk (ed). Hepatitis C. Jayabadi. 2007. pg 211-226 7. Hirlan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Sulaiman HA, Akbar HN, Lesmana LA, dkk (ed). Hepatitis Delta. Jayabadi. 2007. pg 249-2538. Matsubayashi K, Sakata H, Ikeda H. Hepatitis E Virus Infection and Blood Transfusion in Japan. ISBT Science Series 6: 344-349. 20119. Wenas NT. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Sulaiman HA, Akbar HN, Lesmana LA, dkk (ed). Hepatitis E. Jayabadi. 2007. pg 255-258 10. Sanityoso A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk (ed). Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. pg 427Refarat Hepatitis Virus | 33