Refarat Forensik ( Quarto )
Transcript of Refarat Forensik ( Quarto )
PROSEDUR DAN PENANGANAN BENCANA
DISUSUN OLEH :
Akmal Fajri ( 08171148p )
Libra Christian ( 08171153p )
Sayed Yasser Assegaf ( 08171155p )
PEMBIMBING
Dr. Monang, Sp.F
KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
RSUD DR. R.M. DJOELHAM BINJAI
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan kuasa-Nya
lah sehingga penulis dapat menyelesaikan refarat yang berjudul “Prosedur dan Penanganan
Bencana”.
Refarat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan
Klinik Senior di bagian Ilmu Kedokteran dan Kehakiman yang dilaksanakan di RSUD Dr. R. M.
Djoelham Binjai.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Monang, Sp.F selaku
dokter pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan agar
refarat ini lebih akurat dan bermanfaat.
Tentunya penulis menyadari bahwa refarat ini banyak kekurangan untuk itu epnulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca agar ke depannya
penulis dapat memperbaiki dan menyempurnakan kekurangan tersebut.
Besar harapan penulis agar refarat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca serta dapat
memberikan suatu pengetahuan baru bagi mahasiswa untuk meningkatkan keilmuannya.
Binjai, 18 November 2011
Tim Penulis
KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................................... ii
Bab I : Pendahuluan ....................................................................................................... 1
Bab II : Pembahasan ....................................................................................................... 4
1. Defenisi dan Klasifikasi Bencana ................................................................... 4
2. DVI ( Disaster Victim Identification ) ....................................................... 5
3. Identifikasi Korban ............................................................................... 5
4. Metodologi Identifikasi ............................................................................... 6
5. Identifikasi Massal ............................................................................... 9
Bab III : Pentutup ....................................................................................................... 12
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 13
KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
BAB I
PENDAHULUAN
Seperti kita ketahui bahwa bencana merupakan kejadian yang mendadak, tidak terduga
dan dapat terjadi pada siapa saja, dimana saja, kapan saja serta mengakibatkan kerusakan dan
kerugian harata benda, korban manusia yang relative besar baik mati maupun cedera.
Bencana dapat disebabkan karena alamiah seperti gunung meletus, banjir, tanah longsor
atau karena kesalahan manusia. Beberapa hal yang diakibatkan oleh kesalahan manusia antara
lain karena kelalaian yaitu kecelakaan lalu lintas udara, laut dan darat, serta kebakaran dan
runtuhnya gedung. Adapula bencana yang sengaja dilakukan oleh manusia antara lain peledakan
bom oleh teroris, pembakaran serta kerusuhan.
Beberapa macam bencana yang telah terjadi antara lain bencana alam, kecelakaan lalu
lintas darat, udara dan laut serta bom semuanya mengakibatkan banyak korban yang meninggal.
Identifikasi Korban Massal sangat penting mengingat kepastian seseorang hidup dan mati
sangat diperlukan untuk kepentingan hukum yang berkaitan dengan Asuransi, Pensiun, Warisan,
dan lain-lain.
Penanganan korban mati pada bencana selama ini belum mendapat perhatian yang serius,
penuh tantangan serta memerlukan dana, sarana dan prasarana yang cukup mahal serta
dibutuhkan profesionalisme dari para petugas yang menangani hal tersebut.
Selain itu terbatasnya sumber daya manusia yang menangani korban mati baik dalam
kuantitas maupun kualitas memerlukan perhatian khusus agar dapat memenuhi kebutuhan saat
ini.
Keberhasilan penanganan korban bencana diperlukan pedoman penatalaksanaan
identifikasi korban pada bencana massal untuk dipakai dalam penanganan korban pada setiap
bencana.
KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
Identifikasi Massal adalah proses pengenalan jati diri korban missal yang terjadi akibat
bencana. Identifikasi dilakukan dengan memanfaatkan ilmu kedokteran dan kedokteran gigi pada
korban baik hidup maupun mati.
Yang dimaksud dengan Metode identifikasi adalah cara atau teknik yang dapat digunakan
untuk menentukan identifikasi seseorang melalui metode Daktiloskopi, Fotografi, Superimpuse,
Odontologi, Antropometri, DNA, Sinyalemen dan Raut Wajah.
Dalam pelaksanaan identifikasi diperlukan data-data yang berupa data ante mortem
mapun data post mortem. Data ante mortem adalah data-data yang penting dari korban sebelum
kejadian atau pada waktu korban masih hidup, termasuk data vital tubuh, data gigi, data sidik
jari, dan data kepemilikan yang dipakai atau dibawa. Adapun data post mortem adalah data-data
hasil pemeriksaan forensic yang dilihat dan ditemukan pada jenazah korban.
Tentunya penanganan bencana massal merupakan usaha terpadu antar berbagai disiplin
dan instansi baik pemerintah maupun swasta yang semuanya bertujuan untuk menguranngi dan
memulihkan dampak suatu bencana.
Pada setiap bencana tentunya ada korban baik hidup maupun mati, penanggulangannya
akan bersifat kegawat daruratan. Identifikasi korban mati dianggap masih bagian dari pelayanan
kesehatan mengingat korban mati adalah korban juga. Oleh karena itu identifikasi medik tidak
memerlukan atau menunggu surat permintaan dari penyidik atau polisi.
Sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku, maka apabila pihak penyidik
ingin mendapatkan hasil pemeriksaan identifikasi berupa visum et repertum dapat dimintakan
pada Dinas Kesehatan atau Rumah Sakit setempat sesuai dengan prosedur yang berlaku,
sedangnkan informasi dan surat-surat resmi yang berkaitan denganhasil identifikasi akan
dikeluarkan oleh Tim Identifikasi yang ditanda-tangani oleh ahli-ahlli terkait.
Tim Identifikasi dapat dibentuk di tingkat nasional, tingkat regional maupun tingkat
propinsi. Tim ini berkoordinasi secara lintas sektoral dan lintas disiplin. Unit-unit yang terdapat
dalam tim identifikasi harus bekerja sebagai suatu kesatuan yang kompak dan terkoordinir. Tim
KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
identifikasi dapat menngadakan serta mengupayakan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga
asing atau Negara lain yang akan membantu pelaksanaan identifikasi.
Pembiayaan yang timbul dari pelaksanaan Tim Identifikasi korban Mati Pada Bencana
Massal tentunya bisa dibebankan pada Negara sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan
yang berlaku. Disamping itu guna mengantisipasi kekurangan dana dapat dilakukan berbagai
upaya bantuan luar negeri dan bantuan-bantuan lain yang tidak mengikat.
Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin sebelum diserahkan kepada keluarga
dilakukan perawatan jenazah dengan melakukan perbaikan atau rekonstruksi tubuh, pengawetan,
perawatan sesuai agama korban dan memasukkan dalam peti jenazah.
KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
BAB II
PEMBAHASAN
1. Defenisi dan Klasifikasi Bencana
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau dengan batas
luasnya sebesar 2.027.087 km2 mempunyai kurang lebih 129 gunung merapi. Secara geologis
Indonesia terletak di pertemuan di antara 3 plat tektonik utama (Eurasia, Indo-Australia dan
Mediterania) dan secara demografi terdiri dari bermacam-macam etnik, agama, latar belakang
sosial dan budaya, dimana keadaan tersebut memberikan petunjuk bahwa Indonesia berisiko
tinggi sebagai negara yang rawan dari bencana alam terjadinya gempa bumi, Tsunami, longsor,
banjir maupun kecelakaan baik darat, laut maupun udara.1,2.
Bencana massal didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang disebabkan oleh alam atau
karena ulah manusia, yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, yang menyebabkan
hilangnya jiwa manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan, serta melampaui kemampuan
dan sumber daya masyarakat untuk menanggulanginya.
Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim medis, para medis dan tim
pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban yang sudah mati yang perlu ditangani secara
khusus dengan membentuk tim khusus pula. Dalam penggolongannya bencana massal dibedakan
menjadi 2 tipe, yaitu :
Natural Disaster, seperti Tsunami, gempa bumi, banjir, tanah longsor dan sejenisnya.
Human Made Disaster yang dapat berupa kelalaian manusia itu sendiri seperti:
kecelakaan udara, laut, darat, kebakaran hutan dan sejenisnya serta akibat ulah manusia
yang telah irencanakannya seperti pada kasus terorisme.
KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
2. DVI (Disaster Victim Identification)
Disaster Victim Identification adalah suatu definisi yang diberikan sebagai sebuah
prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat
dipertanggung-jawabkan dan mengacu kepada standar baku Interpol. Adapun proses DVI
meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya, yang
terdiri dari ‘The Scene’, ‘The Mortuary’, ‘Ante Mortem Information Retrieval’, ‘Reconciliation’
and ‘Debriefing’.
Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan tehnik
identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan Primary Indentifiers
yang terdiri dari Fingerprints, Dental Records dan DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri
dari Medical, Property dan Photography. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan
membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan
semakin baik. Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan
Secondary Identifiers.
3. Identifikasi Korban
Pengetahuan mengenai identifikasi (pengenalan jati diri seseorang) pada awalnya
berkembang karena kebutuhan dalam proses penyidikan suatu tindak pidana khususnya untuk
menandai ciri pelaku tindak kriminal, dengan adanya perkembangan masalah-masalah sosial dan
perkembangan ilmu pengetahuan maka identifikasi dimanfaatkan juga untuk keperluan-
keperluan yang berhubungan dengan kesejahteraan umat manusia.
Pengetahuan identifikasi secara ilmiah diperkenalkan pertama kali oleh dokter Perancis
pada awal abad ke 19 bernama Alfonsus Bertillon tahun 1853-1914 dengan memanfaatkan ciri
umum seseorang seperti ukuran anthropometri, warna rambut, mata dan lain-lain. Kenyataan
cara ini banyak kendala-kendalanya oleh karena perubahanperubahan yang terjadi secara
KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
biologis pada seseorang dengan bertambahnya usia selain kesulitan dalam menyimpan data
secara sistematis.
Sistem yang berkembang kemudian adalah pendeteksian melalui sidik jari (Daktiloskopi)
yang awalnya diperkenalkan oleh Nehemiah Grew tahun 1614-1712, kemudian oleh Mercello
Malphigi tahun 1628-1694 dan dikembangkan secara ilmiah oleh dokter Henry Fauld tahun 1880
dan Francis Dalton tahun 1892 keduanya berasal dari Inggris. Berdasarkan perhitungan
matematis penggunaan sidik jari sebagai sarana identifikasi mempunyai ketepatan yang cukup
tinggi karena kemungkinan adanya 2 orang yang memiliki sidik jari yang sama adalah 64 x 109:
1, kendala dari sistem ini adalah diperlukan data dasar sidik jari dari seluruh penduduk untuk
pembanding.
Adanya perkembangan ilmu pengetahuan, saat ini berbagai disiplin ilmu pengetahuan
dapat dimanfaatkan untuk meng-identifikasi seseorang, namun yang paling berperan adalah
berbagai disiplin ilmu kedokteran mengingat yang dikenali adalah manusia. Identifikasi melalui
sarana ilmu kedokteran dikenal sebagai Identifikasi Medik.
Manfaat identifikasi semula hanya untuk kepentingan dalam bidang kriminal (mengenal
korban atau pelaku kejahatan), saat ini telah berkembang untuk kepentingan non kriminal seperti
asuransi, penentuan keturunan, ahli waris dan menelusuri sebab dan akibat kecelakaan, bahkan
identifikasi dapat dimanfaatkan untuk pencegahan cedera atau kematian akibat kecelakaan.
4. Metodologi Identifikasi
Prinsipnya adalah pemeriksaan identitas seseorang memerlukan berbagai metode dari
yang sederhana sampai yang rumit.
1. Metode sederhana
Cara visual, dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik, cara ini mudah karena
identitas dikenal melalui penampakan luar baik berupa profil tubuh atau muka. Cara ini
KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta harus
mempertimbangkan faktor psikologi keluarga korban (sedang berduka, stress, sedih, dll).
Melalui kepemilikan (property), identititas cukup dapat dipercaya terutama bila
kepemilikan tersebut (pakaian, perhiasan, surat jati diri) masih melekat pada tubuh
korban.
Dokumentasi, foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau SIM dan lain sebagainya.
2. Metode ilmiah, antara lain:
Sidik jari
Serologi
Odontologi
Antropologi
Biologi.
Cara-cara ini sekarang berkembang dengan pesat berbagai disiplin ilmu ternyata dapat
dimanfaatkan untuk identifikasi korban tidak dikenal. Dengan metode ilmiah ini didapatkan
akurasi yang sangat tinggi dan juga dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum.
Metode ilmiah yang paling mutakhir saat ini adalah DNA Profiling (Sidik DNA). Cara ini
mempunyai banyak keunggulan tetapi memerlukan pengetahuan dan sarana yang canggih dan
mahal. Dalam melakukan identifikasi selalu diusahakan cara-cara yang mudah dan tidak rumit.
Apabila dengan cara yang mudah tidak bisa, baru meningkat ke cara yang lebih rumit.
Selanjutnya dalam identifikasi tidak hanya menggunakan satu cara saja, segala cara yang
mungkin harus dilakukan, hal ini penting oleh karena semakin banyak kesamaan yang ditemukan
akan semakin akurat. Identifikasi tersebut minimal harus menggunakan 2 cara yang digunakan
memberikan hasil yang positif (tidak meragukan).
Prinsip dari proses identifikasi adalah mudah yaitu dengan membandingkan datadata
tersangka korban dengan data dari korban yang tak dikenal, semakin banyak kecocokan semakin
tinggi nilainya. Data gigi, sidik jari, atau DNA secara tersendiri sudah dapat digunakan sebagai
KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
faktor determinan primer, sedangkan data medis, property dan ciri fisik harus dikombinasikan
setidaknya dua jenis untuk dianggap sebagai ciri identitas yang pasti.
Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan
foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan
gigi ini menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti
halnya kebakaran.
Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita dapatkan 2
kemungkinan:
a. Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau menyempitkan
identifikasi. Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai:
o umur
o jenis kelamin
o ras
o golongan darah
o bentuk wajah
o DNA
Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas umur korban misalnya, maka
pencarian dapat dibatasi pada data-data orang hilang yang berada di sekitar umur korban.
Dengan demikian penyidikan akan menjadi lebih terarah.
b. Mencari ciri-ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut. Di sini dicatat ciri-
ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secara lebih akurat dari pada sekedar
mencari informasi tentang umur atau jenis kelamin. Ciri-ciri demikian antara lain:
misalnya adanya gigi yang dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah, lubang pada
bagian depan biasanya dapat lebih mudah dikenali oleh kenalan atau teman dekat atau
keluarga korban. Di samping ciri-ciri di atas, juga dapat dilakukan pencocokan antara
tengkorak korban dengan foto korban semasa hidupnya. Metode yang digunakan dikenal
KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
sebagai Superimposed Technique yaitu untuk membandingkan antara tengkorak korban
dengan foto semasa hidupnya.
3. Identifikasi dengan Teknik Superimposisi
Superimposisi adalah suatu sistem pemeriksaan untuk menentukan identitas seseorang
dengan membandingkan korban semasa hidupnya dengan tengkorak yang ditemukan. Kesulitan
dalam menggunakan tehnik ini adalah:
Korban tidak pernah membuat foto semasa hidupnya.
Foto korban harus baik posisinya maupun kwalitasnya.
Tengkorak yang ditemukan sudah hancur dan tidak berbentuk lagi.
Membutuhkan kamar gelap yang perlu biaya tersendiri.
5. Identifikasi Massal
Khusus pada korban bencana massal, telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai
yaitu:
Primer/utama : gigi geligi, sidik jari, DNA
Sekunder/pendukung : visual, properti, medik
Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan jenazah yang
meliputi antara lain:
a. Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah
b. Pengawetan jenazah (bila memungkinkan)
c. Perawatan sesuai agama korban
d. Memasukkan dalam peti jenazah, kemudian jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh
petugas khusus dari Komisi
Identifikasi berikut surat-surat yang diperlukan pencatatan yang penting pada proses
serah terima jenazah antara lain:
KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
Tanggal dan jamnya
Nomor registrasi jenazah
Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan keluarga dengan korban.
Dibawa kemana atau dimakamkan dimanaPerawatan jenazah setelah teridentifikasi
dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas
Pemakaman yang dibantu oleh keluarga korban.
Adalah sangat penting untuk tetap memperhatikan file record dan segala informasi yang
telah dibuat untuk dikelompokkan dan disimpan dengan baik. Dokumentasi berkas yang baik
juga berkepentingan agar pihak lain (Interpol misalnya) dapat melihat, mereview kasusnya,
sehingga menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan dengan baik dan penuh
perhatian.
Identifikasi pada korban bencana masal adalah suatu hal yang sangat sulit mengingat
berapa hal di bawah ini:
a. Jumlah korban banyak dan kondisi buruk
b. Lokasi kejadian sulit dicapai
c. Memerlukan sumber daya pelaksanaan dan dana yang cukup besar
d. Bersifat lintas sektoral sehingga memerlukan koordinasi yang baik.
Sehingga penting pada pelaksanaan tugas identifikasi massal ini adalah koordinasi yang
baik antara instansi dan dukungan peralatan komunikasi dan transportasi. Pada prinsipnya, tim
identifikasi pada korban massal tetap berada di bawah koordinasi Badan Penanggulangan
Bencana seperti: Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang telah terbentuk di Provinsi
Sumatera Utara diketuai oleh Gubernur dan instansi terkait seperti: Kepolisian Daerah Sumatera
Utara/Polda Sumut, Dinas Kesehatan Tk. I Sumut, Universitas Sumatera Utara, Dinas
Perhubungan, Dinas Sosial, Palang Merah Indonesia dan instansi terkait. Khusus tim identifikasi
di lapangan berada di bawah tim investigasi (Penyidik Polri/PPNS) yang melakukan peyelidikan
dan penyidikan sebab dan akibat dari bencana massal tersebut, karena hasil identifikasi korban
KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
banyak membantu dalam proses penyelidikan sebab dan akibat, selain tentunya pengeluaran
surat-surat legalitas harus melalui tim investigasi.
Bencana dapat terjadi karena alam, atau ulah manusia berupa kecelakaan, kelalaian
ataupun kesengajaan (teroris bom). Masih diperdebatkan mengenai jumlah korban untuk
dimasukkan dalam kriteria korban massal.
KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
BAB III
PENUTUP
Metode identifikasi terus berkembang, berbagai ilmu pengetahuan baik yang bersifat
ilmiah, komputerized atau yang sederhana lebih meningkatkan akurasi indentifikasi korban mati
atau hidup. Tantangan yang dihadapi para pelaksana identifikasi di kemudian hari adalah apabila
ada bencana massal, karena kuantitas korban makin meningkat.
Penanganan identifikasi korban bencana massal berdasarkan standar yang berlaku
merupakan suatu proses yang dapat dipertanggung-jawabkan, baik secara ilmiah dan secara
hukum. Diperlukan kerjasama dan pengertian yang baik di antara semua pihak yang terlibat
dalam penerapannya, sehingga proses identifikasi mencapai ketepatan dalam identifikasi dan
bukan hanya kecepatan dalam prosesnya.
KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
DAFTAR PUSTAKA
Asep M. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Penanggulangan Bencana. Bandung:
Fokus Media; 2007. h.1-6
Eddy S. DVI in Indonesia an Overview. DVI Workshop, Bandung; 2006.
Slamet P, Peter S, Yosephine L, Agus M. Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati
pada Bencana Massal. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia; 2004.
Amri A. Ilmu Kedokteran Forensik. Medan: Percetakan Ramadan; 2007.
Mason JK. Forensic Medicine for Lawyers. Great Britain: Oxford University Press; 1983.
Bernard K. Forensic Pathology. New York: Oxford University Press Inc; 1996.
Panduan Umum Pelatihan Penaggulangan Bencana Terpadu di Provinsi Sumatera Utara:
Pemprovsu/Poldasu; 2008
Lukman D. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Gigi Forensik. Jilid 1. CV Sagung Seto. Jakarta: 2006. 3.
KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK