Refarat Forensik ( Quarto )

23
REFARAT FORENSIK PROSEDUR DAN PENANGANAN BENCANA DISUSUN OLEH : Akmal Fajri ( 08171148p ) Libra Christian ( 08171153p ) Sayed Yasser Assegaf ( 08171155p ) PEMBIMBING Dr. Monang, Sp.F KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK RSUD DR. R.M. DJOELHAM BINJAI 2011

Transcript of Refarat Forensik ( Quarto )

Page 1: Refarat Forensik ( Quarto )

PROSEDUR DAN PENANGANAN BENCANA

DISUSUN OLEH :

Akmal Fajri ( 08171148p )

Libra Christian ( 08171153p )

Sayed Yasser Assegaf ( 08171155p )

PEMBIMBING

Dr. Monang, Sp.F

KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

RSUD DR. R.M. DJOELHAM BINJAI

2011

Page 2: Refarat Forensik ( Quarto )

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan kuasa-Nya

lah sehingga penulis dapat menyelesaikan refarat yang berjudul “Prosedur dan Penanganan

Bencana”.

Refarat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan

Klinik Senior di bagian Ilmu Kedokteran dan Kehakiman yang dilaksanakan di RSUD Dr. R. M.

Djoelham Binjai.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Monang, Sp.F selaku

dokter pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan agar

refarat ini lebih akurat dan bermanfaat.

Tentunya penulis menyadari bahwa refarat ini banyak kekurangan untuk itu epnulis

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca agar ke depannya

penulis dapat memperbaiki dan menyempurnakan kekurangan tersebut.

Besar harapan penulis agar refarat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca serta dapat

memberikan suatu pengetahuan baru bagi mahasiswa untuk meningkatkan keilmuannya.

Binjai, 18 November 2011

Tim Penulis

KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

Page 3: Refarat Forensik ( Quarto )

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................................... i

Daftar Isi ................................................................................................................... ii

Bab I : Pendahuluan ....................................................................................................... 1

Bab II : Pembahasan ....................................................................................................... 4

1. Defenisi dan Klasifikasi Bencana ................................................................... 4

2. DVI ( Disaster Victim Identification ) ....................................................... 5

3. Identifikasi Korban ............................................................................... 5

4. Metodologi Identifikasi ............................................................................... 6

5. Identifikasi Massal ............................................................................... 9

Bab III : Pentutup ....................................................................................................... 12

Daftar Pustaka ....................................................................................................... 13

KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

Page 4: Refarat Forensik ( Quarto )

BAB I

PENDAHULUAN

Seperti kita ketahui bahwa bencana merupakan kejadian yang mendadak, tidak terduga

dan dapat terjadi pada siapa saja, dimana saja, kapan saja serta mengakibatkan kerusakan dan

kerugian harata benda, korban manusia yang relative besar baik mati maupun cedera.

Bencana dapat disebabkan karena alamiah seperti gunung meletus, banjir, tanah longsor

atau karena kesalahan manusia. Beberapa hal yang diakibatkan oleh kesalahan manusia antara

lain karena kelalaian yaitu kecelakaan lalu lintas udara, laut dan darat, serta kebakaran dan

runtuhnya gedung. Adapula bencana yang sengaja dilakukan oleh manusia antara lain peledakan

bom oleh teroris, pembakaran serta kerusuhan.

Beberapa macam bencana yang telah terjadi antara lain bencana alam, kecelakaan lalu

lintas darat, udara dan laut serta bom semuanya mengakibatkan banyak korban yang meninggal.

Identifikasi Korban Massal sangat penting mengingat kepastian seseorang hidup dan mati

sangat diperlukan untuk kepentingan hukum yang berkaitan dengan Asuransi, Pensiun, Warisan,

dan lain-lain.

Penanganan korban mati pada bencana selama ini belum mendapat perhatian yang serius,

penuh tantangan serta memerlukan dana, sarana dan prasarana yang cukup mahal serta

dibutuhkan profesionalisme dari para petugas yang menangani hal tersebut.

Selain itu terbatasnya sumber daya manusia yang menangani korban mati baik dalam

kuantitas maupun kualitas memerlukan perhatian khusus agar dapat memenuhi kebutuhan saat

ini.

Keberhasilan penanganan korban bencana diperlukan pedoman penatalaksanaan

identifikasi korban pada bencana massal untuk dipakai dalam penanganan korban pada setiap

bencana.

KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

Page 5: Refarat Forensik ( Quarto )

Identifikasi Massal adalah proses pengenalan jati diri korban missal yang terjadi akibat

bencana. Identifikasi dilakukan dengan memanfaatkan ilmu kedokteran dan kedokteran gigi pada

korban baik hidup maupun mati.

Yang dimaksud dengan Metode identifikasi adalah cara atau teknik yang dapat digunakan

untuk menentukan identifikasi seseorang melalui metode Daktiloskopi, Fotografi, Superimpuse,

Odontologi, Antropometri, DNA, Sinyalemen dan Raut Wajah.

Dalam pelaksanaan identifikasi diperlukan data-data yang berupa data ante mortem

mapun data post mortem. Data ante mortem adalah data-data yang penting dari korban sebelum

kejadian atau pada waktu korban masih hidup, termasuk data vital tubuh, data gigi, data sidik

jari, dan data kepemilikan yang dipakai atau dibawa. Adapun data post mortem adalah data-data

hasil pemeriksaan forensic yang dilihat dan ditemukan pada jenazah korban.

Tentunya penanganan bencana massal merupakan usaha terpadu antar berbagai disiplin

dan instansi baik pemerintah maupun swasta yang semuanya bertujuan untuk menguranngi dan

memulihkan dampak suatu bencana.

Pada setiap bencana tentunya ada korban baik hidup maupun mati, penanggulangannya

akan bersifat kegawat daruratan. Identifikasi korban mati dianggap masih bagian dari pelayanan

kesehatan mengingat korban mati adalah korban juga. Oleh karena itu identifikasi medik tidak

memerlukan atau menunggu surat permintaan dari penyidik atau polisi.

Sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku, maka apabila pihak penyidik

ingin mendapatkan hasil pemeriksaan identifikasi berupa visum et repertum dapat dimintakan

pada Dinas Kesehatan atau Rumah Sakit setempat sesuai dengan prosedur yang berlaku,

sedangnkan informasi dan surat-surat resmi yang berkaitan denganhasil identifikasi akan

dikeluarkan oleh Tim Identifikasi yang ditanda-tangani oleh ahli-ahlli terkait.

Tim Identifikasi dapat dibentuk di tingkat nasional, tingkat regional maupun tingkat

propinsi. Tim ini berkoordinasi secara lintas sektoral dan lintas disiplin. Unit-unit yang terdapat

dalam tim identifikasi harus bekerja sebagai suatu kesatuan yang kompak dan terkoordinir. Tim

KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

Page 6: Refarat Forensik ( Quarto )

identifikasi dapat menngadakan serta mengupayakan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga

asing atau Negara lain yang akan membantu pelaksanaan identifikasi.

Pembiayaan yang timbul dari pelaksanaan Tim Identifikasi korban Mati Pada Bencana

Massal tentunya bisa dibebankan pada Negara sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan

yang berlaku. Disamping itu guna mengantisipasi kekurangan dana dapat dilakukan berbagai

upaya bantuan luar negeri dan bantuan-bantuan lain yang tidak mengikat.

Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin sebelum diserahkan kepada keluarga

dilakukan perawatan jenazah dengan melakukan perbaikan atau rekonstruksi tubuh, pengawetan,

perawatan sesuai agama korban dan memasukkan dalam peti jenazah.

KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

Page 7: Refarat Forensik ( Quarto )

BAB II

PEMBAHASAN

1. Defenisi dan Klasifikasi Bencana

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau dengan batas

luasnya sebesar 2.027.087 km2 mempunyai kurang lebih 129 gunung merapi. Secara geologis

Indonesia terletak di pertemuan di antara 3 plat tektonik utama (Eurasia, Indo-Australia dan

Mediterania) dan secara demografi terdiri dari bermacam-macam etnik, agama, latar belakang

sosial dan budaya, dimana keadaan tersebut memberikan petunjuk bahwa Indonesia berisiko

tinggi sebagai negara yang rawan dari bencana alam terjadinya gempa bumi, Tsunami, longsor,

banjir maupun kecelakaan baik darat, laut maupun udara.1,2.

Bencana massal didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang disebabkan oleh alam atau

karena ulah manusia, yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, yang menyebabkan

hilangnya jiwa manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan, serta melampaui kemampuan

dan sumber daya masyarakat untuk menanggulanginya.

Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim medis, para medis dan tim

pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban yang sudah mati yang perlu ditangani secara

khusus dengan membentuk tim khusus pula. Dalam penggolongannya bencana massal dibedakan

menjadi 2 tipe, yaitu :

Natural Disaster, seperti Tsunami, gempa bumi, banjir, tanah longsor dan sejenisnya.

Human Made Disaster yang dapat berupa kelalaian manusia itu sendiri seperti:

kecelakaan udara, laut, darat, kebakaran hutan dan sejenisnya serta akibat ulah manusia

yang telah irencanakannya seperti pada kasus terorisme.

KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

Page 8: Refarat Forensik ( Quarto )

2. DVI (Disaster Victim Identification)

Disaster Victim Identification adalah suatu definisi yang diberikan sebagai sebuah

prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat

dipertanggung-jawabkan dan mengacu kepada standar baku Interpol. Adapun proses DVI

meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya, yang

terdiri dari ‘The Scene’, ‘The Mortuary’, ‘Ante Mortem Information Retrieval’, ‘Reconciliation’

and ‘Debriefing’.

Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan tehnik

identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan Primary Indentifiers

yang terdiri dari Fingerprints, Dental Records dan DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri

dari Medical, Property dan Photography. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan

membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan

semakin baik. Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan

Secondary Identifiers.

3. Identifikasi Korban

Pengetahuan mengenai identifikasi (pengenalan jati diri seseorang) pada awalnya

berkembang karena kebutuhan dalam proses penyidikan suatu tindak pidana khususnya untuk

menandai ciri pelaku tindak kriminal, dengan adanya perkembangan masalah-masalah sosial dan

perkembangan ilmu pengetahuan maka identifikasi dimanfaatkan juga untuk keperluan-

keperluan yang berhubungan dengan kesejahteraan umat manusia.

Pengetahuan identifikasi secara ilmiah diperkenalkan pertama kali oleh dokter Perancis

pada awal abad ke 19 bernama Alfonsus Bertillon tahun 1853-1914 dengan memanfaatkan ciri

umum seseorang seperti ukuran anthropometri, warna rambut, mata dan lain-lain. Kenyataan

cara ini banyak kendala-kendalanya oleh karena perubahanperubahan yang terjadi secara

KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

Page 9: Refarat Forensik ( Quarto )

biologis pada seseorang dengan bertambahnya usia selain kesulitan dalam menyimpan data

secara sistematis.

Sistem yang berkembang kemudian adalah pendeteksian melalui sidik jari (Daktiloskopi)

yang awalnya diperkenalkan oleh Nehemiah Grew tahun 1614-1712, kemudian oleh Mercello

Malphigi tahun 1628-1694 dan dikembangkan secara ilmiah oleh dokter Henry Fauld tahun 1880

dan Francis Dalton tahun 1892 keduanya berasal dari Inggris. Berdasarkan perhitungan

matematis penggunaan sidik jari sebagai sarana identifikasi mempunyai ketepatan yang cukup

tinggi karena kemungkinan adanya 2 orang yang memiliki sidik jari yang sama adalah 64 x 109:

1, kendala dari sistem ini adalah diperlukan data dasar sidik jari dari seluruh penduduk untuk

pembanding.

Adanya perkembangan ilmu pengetahuan, saat ini berbagai disiplin ilmu pengetahuan

dapat dimanfaatkan untuk meng-identifikasi seseorang, namun yang paling berperan adalah

berbagai disiplin ilmu kedokteran mengingat yang dikenali adalah manusia. Identifikasi melalui

sarana ilmu kedokteran dikenal sebagai Identifikasi Medik.

Manfaat identifikasi semula hanya untuk kepentingan dalam bidang kriminal (mengenal

korban atau pelaku kejahatan), saat ini telah berkembang untuk kepentingan non kriminal seperti

asuransi, penentuan keturunan, ahli waris dan menelusuri sebab dan akibat kecelakaan, bahkan

identifikasi dapat dimanfaatkan untuk pencegahan cedera atau kematian akibat kecelakaan.

4. Metodologi Identifikasi

Prinsipnya adalah pemeriksaan identitas seseorang memerlukan berbagai metode dari

yang sederhana sampai yang rumit.

1. Metode sederhana

Cara visual, dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik, cara ini mudah karena

identitas dikenal melalui penampakan luar baik berupa profil tubuh atau muka. Cara ini

KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

Page 10: Refarat Forensik ( Quarto )

tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta harus

mempertimbangkan faktor psikologi keluarga korban (sedang berduka, stress, sedih, dll).

Melalui kepemilikan (property), identititas cukup dapat dipercaya terutama bila

kepemilikan tersebut (pakaian, perhiasan, surat jati diri) masih melekat pada tubuh

korban.

Dokumentasi, foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau SIM dan lain sebagainya.

2. Metode ilmiah, antara lain:

Sidik jari

Serologi

Odontologi

Antropologi

Biologi.

Cara-cara ini sekarang berkembang dengan pesat berbagai disiplin ilmu ternyata dapat

dimanfaatkan untuk identifikasi korban tidak dikenal. Dengan metode ilmiah ini didapatkan

akurasi yang sangat tinggi dan juga dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum.

Metode ilmiah yang paling mutakhir saat ini adalah DNA Profiling (Sidik DNA). Cara ini

mempunyai banyak keunggulan tetapi memerlukan pengetahuan dan sarana yang canggih dan

mahal. Dalam melakukan identifikasi selalu diusahakan cara-cara yang mudah dan tidak rumit.

Apabila dengan cara yang mudah tidak bisa, baru meningkat ke cara yang lebih rumit.

Selanjutnya dalam identifikasi tidak hanya menggunakan satu cara saja, segala cara yang

mungkin harus dilakukan, hal ini penting oleh karena semakin banyak kesamaan yang ditemukan

akan semakin akurat. Identifikasi tersebut minimal harus menggunakan 2 cara yang digunakan

memberikan hasil yang positif (tidak meragukan).

Prinsip dari proses identifikasi adalah mudah yaitu dengan membandingkan datadata

tersangka korban dengan data dari korban yang tak dikenal, semakin banyak kecocokan semakin

tinggi nilainya. Data gigi, sidik jari, atau DNA secara tersendiri sudah dapat digunakan sebagai

KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

Page 11: Refarat Forensik ( Quarto )

faktor determinan primer, sedangkan data medis, property dan ciri fisik harus dikombinasikan

setidaknya dua jenis untuk dianggap sebagai ciri identitas yang pasti.

Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan

foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan

gigi ini menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti

halnya kebakaran.

Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita dapatkan 2

kemungkinan:

a. Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau menyempitkan

identifikasi. Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai:

o umur

o jenis kelamin

o ras

o golongan darah

o bentuk wajah

o DNA

Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas umur korban misalnya, maka

pencarian dapat dibatasi pada data-data orang hilang yang berada di sekitar umur korban.

Dengan demikian penyidikan akan menjadi lebih terarah.

b. Mencari ciri-ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut. Di sini dicatat ciri-

ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secara lebih akurat dari pada sekedar

mencari informasi tentang umur atau jenis kelamin. Ciri-ciri demikian antara lain:

misalnya adanya gigi yang dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah, lubang pada

bagian depan biasanya dapat lebih mudah dikenali oleh kenalan atau teman dekat atau

keluarga korban. Di samping ciri-ciri di atas, juga dapat dilakukan pencocokan antara

tengkorak korban dengan foto korban semasa hidupnya. Metode yang digunakan dikenal

KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

Page 12: Refarat Forensik ( Quarto )

sebagai Superimposed Technique yaitu untuk membandingkan antara tengkorak korban

dengan foto semasa hidupnya.

3. Identifikasi dengan Teknik Superimposisi

Superimposisi adalah suatu sistem pemeriksaan untuk menentukan identitas seseorang

dengan membandingkan korban semasa hidupnya dengan tengkorak yang ditemukan. Kesulitan

dalam menggunakan tehnik ini adalah:

Korban tidak pernah membuat foto semasa hidupnya.

Foto korban harus baik posisinya maupun kwalitasnya.

Tengkorak yang ditemukan sudah hancur dan tidak berbentuk lagi.

Membutuhkan kamar gelap yang perlu biaya tersendiri.

5. Identifikasi Massal

Khusus pada korban bencana massal, telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai

yaitu:

Primer/utama : gigi geligi, sidik jari, DNA

Sekunder/pendukung : visual, properti, medik

Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan jenazah yang

meliputi antara lain:

a. Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah

b. Pengawetan jenazah (bila memungkinkan)

c. Perawatan sesuai agama korban

d. Memasukkan dalam peti jenazah, kemudian jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh

petugas khusus dari Komisi

Identifikasi berikut surat-surat yang diperlukan pencatatan yang penting pada proses

serah terima jenazah antara lain:

KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

Page 13: Refarat Forensik ( Quarto )

Tanggal dan jamnya

Nomor registrasi jenazah

Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan keluarga dengan korban.

Dibawa kemana atau dimakamkan dimanaPerawatan jenazah setelah teridentifikasi

dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas

Pemakaman yang dibantu oleh keluarga korban.

Adalah sangat penting untuk tetap memperhatikan file record dan segala informasi yang

telah dibuat untuk dikelompokkan dan disimpan dengan baik. Dokumentasi berkas yang baik

juga berkepentingan agar pihak lain (Interpol misalnya) dapat melihat, mereview kasusnya,

sehingga menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan dengan baik dan penuh

perhatian.

Identifikasi pada korban bencana masal adalah suatu hal yang sangat sulit mengingat

berapa hal di bawah ini:

a. Jumlah korban banyak dan kondisi buruk

b. Lokasi kejadian sulit dicapai

c. Memerlukan sumber daya pelaksanaan dan dana yang cukup besar

d. Bersifat lintas sektoral sehingga memerlukan koordinasi yang baik.

Sehingga penting pada pelaksanaan tugas identifikasi massal ini adalah koordinasi yang

baik antara instansi dan dukungan peralatan komunikasi dan transportasi. Pada prinsipnya, tim

identifikasi pada korban massal tetap berada di bawah koordinasi Badan Penanggulangan

Bencana seperti: Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang telah terbentuk di Provinsi

Sumatera Utara diketuai oleh Gubernur dan instansi terkait seperti: Kepolisian Daerah Sumatera

Utara/Polda Sumut, Dinas Kesehatan Tk. I Sumut, Universitas Sumatera Utara, Dinas

Perhubungan, Dinas Sosial, Palang Merah Indonesia dan instansi terkait. Khusus tim identifikasi

di lapangan berada di bawah tim investigasi (Penyidik Polri/PPNS) yang melakukan peyelidikan

dan penyidikan sebab dan akibat dari bencana massal tersebut, karena hasil identifikasi korban

KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

Page 14: Refarat Forensik ( Quarto )

banyak membantu dalam proses penyelidikan sebab dan akibat, selain tentunya pengeluaran

surat-surat legalitas harus melalui tim investigasi.

Bencana dapat terjadi karena alam, atau ulah manusia berupa kecelakaan, kelalaian

ataupun kesengajaan (teroris bom). Masih diperdebatkan mengenai jumlah korban untuk

dimasukkan dalam kriteria korban massal.

KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

Page 15: Refarat Forensik ( Quarto )

BAB III

PENUTUP

Metode identifikasi terus berkembang, berbagai ilmu pengetahuan baik yang bersifat

ilmiah, komputerized atau yang sederhana lebih meningkatkan akurasi indentifikasi korban mati

atau hidup. Tantangan yang dihadapi para pelaksana identifikasi di kemudian hari adalah apabila

ada bencana massal, karena kuantitas korban makin meningkat.

Penanganan identifikasi korban bencana massal berdasarkan standar yang berlaku

merupakan suatu proses yang dapat dipertanggung-jawabkan, baik secara ilmiah dan secara

hukum. Diperlukan kerjasama dan pengertian yang baik di antara semua pihak yang terlibat

dalam penerapannya, sehingga proses identifikasi mencapai ketepatan dalam identifikasi dan

bukan hanya kecepatan dalam prosesnya.

KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

Page 16: Refarat Forensik ( Quarto )

DAFTAR PUSTAKA

Asep M. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Penanggulangan Bencana. Bandung:

Fokus Media; 2007. h.1-6

Eddy S. DVI in Indonesia an Overview. DVI Workshop, Bandung; 2006.

Slamet P, Peter S, Yosephine L, Agus M. Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati

pada Bencana Massal. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan

Kepolisian Negara Republik Indonesia; 2004.

Amri A. Ilmu Kedokteran Forensik. Medan: Percetakan Ramadan; 2007.

Mason JK. Forensic Medicine for Lawyers. Great Britain: Oxford University Press; 1983.

Bernard K. Forensic Pathology. New York: Oxford University Press Inc; 1996.

Panduan Umum Pelatihan Penaggulangan Bencana Terpadu di Provinsi Sumatera Utara:

Pemprovsu/Poldasu; 2008

Lukman D. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Gigi Forensik. Jilid 1. CV Sagung Seto. Jakarta: 2006. 3.

KKS ILMU KEDOKTERAN FORENSIK