REDESAIN WISMA FAJAR SENAYAN UNTUK FUNGSI WISMA ATLET YANG...

15
REDESAIN WISMA FAJAR SENAYAN UNTUK FUNGSI WISMA ATLET YANG MENDUKUNG PEMULIHAN KELELAHAN Ferina Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Indonesia Abstrak Atlet dituntut untuk selalu memiliki kondisi tubuh yang prima, terutama pada musim pertandingan untuk mencapai hasil yang optimal. Adakalanya, kondisi fisik atlet terganggu oleh kelelahan yang dapat ditimbulkan oleh beban fisik dan mental dari latihan dan pertandingan, kondisi lingkungan yang tidak mendukung, kurangnya istirahat, tidak terpenuhinya sumber energi, dsb. Kelelahan ini sudah harus dapat pulih dalam waktu 24 jam agar tidak mengganggu aktivitas atlet, khususnya ketika menghadapi pertandingan. Pemulihan kelelahan dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan kegiatan istirahat, pemulihan pasif dan aktif, serta pengisian sumber energi yang diperlukan tubuh. Penanggulangan kelelahan tidak hanya dapat diupayakan dengan kegiatan pemulihan, tetapi juga dapat dicapai dengan menghindari penyebab kelelahan tersebut. Hal ini dapat ditunjang dengan rancangan permukiman atlet yang menerapkan prinsip-prinsip ergonomi. Fokus utama dalam prinsip ergonomi ini adalah setiap rancangan selalu mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan manusia, sehingga tercipta

Transcript of REDESAIN WISMA FAJAR SENAYAN UNTUK FUNGSI WISMA ATLET YANG...

REDESAIN WISMA FAJAR SENAYAN

UNTUK FUNGSI WISMA ATLET YANG

MENDUKUNG PEMULIHAN

KELELAHAN

Ferina

Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Indonesia

Abstrak

Atlet dituntut untuk selalu memiliki kondisi tubuh yang prima, terutama pada musim

pertandingan untuk mencapai hasil yang optimal. Adakalanya, kondisi fisik atlet terganggu oleh

kelelahan yang dapat ditimbulkan oleh beban fisik dan mental dari latihan dan pertandingan,

kondisi lingkungan yang tidak mendukung, kurangnya istirahat, tidak terpenuhinya sumber

energi, dsb. Kelelahan ini sudah harus dapat pulih dalam waktu 24 jam agar tidak mengganggu

aktivitas atlet, khususnya ketika menghadapi pertandingan. Pemulihan kelelahan dapat dilakukan

dengan berbagai cara, antara lain dengan kegiatan istirahat, pemulihan pasif dan aktif, serta

pengisian sumber energi yang diperlukan tubuh. Penanggulangan kelelahan tidak hanya dapat

diupayakan dengan kegiatan pemulihan, tetapi juga dapat dicapai dengan menghindari penyebab

kelelahan tersebut. Hal ini dapat ditunjang dengan rancangan permukiman atlet yang

menerapkan prinsip-prinsip ergonomi. Fokus utama dalam prinsip ergonomi ini adalah setiap

rancangan selalu mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan manusia, sehingga tercipta

kenyamanan dan dapat terhindar dari beban lelah tambahan. Wisma Fajar Senayan yang saat ini

sering digunakan untuk hunian atlet, dirasakan tidak nyaman oleh para atlet yang pernah

menempatinya, perasaan tidak nyaman ini terkadang memberikan pengaruh negatif pada

kegiatan istirahat mereka, khususnya tidur. Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa kondisi

Wisma Fajar kurang cocok untuk hunian atlet, khususnya untuk mendukung terjadinya

pemulihan kelelahan atlet. Untuk itu, dibutuhkan adanya redesain Wisma Fajar yang dapat

menjawab kebutuhan atlet akan hunian dan pemulihan kelelahan, sehingga atlet dapat selalu

tampil optimal.

Katakunci : Redesain, Wisma atlet, Pemulihan, Kelelahan

1. Pendahuluan

Atlet dituntut untuk selalu memiliki kondisi tubuh yang prima, terutama pada musim

pertandingan untuk mencapai hasil yang optimal. Atlet dengan jadwal pertandingan yang

padat memiliki kemungkinan cukup besar mengalami kelelahan fisik yang tentunya akan

sangat menyulitkan atlet yang mengikuti pertandingan untuk tampil optimal, dan jika

dipaksakan pun akan semakin memupuk tingkat kelelahan menjadi semakin besar.

Pemulihan kelelahan menjadi salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam

mencapai kondisi fisik atlet yang optimal. Pemulihan kelelahan dapat dicapai dengan

lingkungan yang mendukung. Tempat tinggal merupakan bagian dari lingkungan menjadi

salah satu faktor yang dapat mendukung pencapaian kondisi fisik optimal pada atlet.

Wisma Fajar dirasakan sebagian besar atlet kurang sesuai untuk mencapai kondisi

optimal seperti yang diharapkan, khususnya dalam hal pemulihan kelelahan fisik. Wisma

Fajar yang terletak pada kawasan Gelora Senayan, sejak awal memang tidak difungsikan

untuk hunian atlet, melainkan difungsikan sebagai mess karyawan Singapura, sehingga

layout ruang pada Wisma Fajar tidak seperti layout pada wisma atlet pada umumnya. Layout

Wisma Fajar seperti pada unit apartemen, dengan ruang bersama pada bagian depan dengan

koridor yang menghubungkan dengan kamar tidur. Lantai dasar Wisma Fajar juga hanya

berupa koridor terbuka yang memudahkan siapapun mengakses unit-unit wisma. Hal ini

kurang menguntungkan bagi atlet yang ingin menghindari gangguan dari publik, misalnya

dari media massa ataupun penggemar. Selain itu, Wisma juga tidak memiliki fasilitas untuk

tamu, misalnya lobby atau ruang penerima tamu, hal ini memungkinkan tamu menggunakan

fasilitas pada unit hunian yang mungkin menimbulkan kesesakan, kebisingan, dan gangguan

lain, baik bagi atlet yang menerima kunjungan, maupun tidak.

Wisma Fajar juga tidak memiliki fasilitas yang dapat membantu mempercepat proses

pemulihan kelelahan, misalnya fasilitas spa, massage, dll. Padahal, dibutuhkan beberapa

alternatif metode yang mampu memulihkan kelelahan secepat mungkin.

Pemaparan diatas menjelaskan pentingnya melakukan redesain Wisma Fajar dengan

memperhatikan kebutuhan atlet akan pemulihan kelelahan agar tercipta kondisi yang optimal.

Diharapkan dengan dilaksanakannya redesain dapat memberikan hunian yang lebih aman,

sehat, dan nyaman, melalui perancangan ruang dan fasilitas-fasilitas sesuai kebutuhan atlet,

sehingga dapat membantu proses pemulihan kelelahan atlet secara optimal.

2. Permasalahan

Untuk menyusun konsep perancangan dalam kasus redesain Wisma Fajar Senayan

untuk fungsi wisma atlet yang mendukung pemulihan kelelahan, perlu diketahui

permasalahan-permasalahan apa saja yang mungkin akan dihadapi selama proses

perancangan. Dalam hal ini perlu memperhatikan beberapa aspek, antara lain :

II.1 Aspek Manusia

Dengan mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas dan kebutuhan

manusia sebagai pelaku kegiatan, antara lain seperti: gaya hidup, kebiasaan, nilai-nilai

dan sistem yang dianut, standard-standard kenyamanan (dimensi tempat duduk, dimensi

ruang, dimensi furniture). Dalam hal ini permasalahan yang perlu dikaji adalah :

Bagaimana program ruang yang dapat menjawab kebutuhan atlet akan pemulihan

kelelahan?

II.2 Aspek Ruang

Dengan mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan ruang dalam suatu

bangunan yang dapat berupa ruang privat, maupun ruang publik. Pertimbangan dapat

berupa faktor kenyamanan dalam ruang (kenyamanan thermal, akustik, pencahayaan),

organisasi ruang, hubungan ruang, penggunaan warna dan material dalam ruang,

sirkuasi dalam ruang, penggunaan furniture yang sesuai, dsb. Dalam hal ini

permasalahan yang perlu dikaji adalah :

Bagaimana merancang ruang yang dapat mendukung proses pemulihan kelelahan atlet?

II.3 Aspek Lingkungan

Dengan mempertimbangkan hal-hal yang ada pada tapak, yang dapat berupa sirkulasi

dari lingkungan menuju bangunan dan sebaliknya, vegetasi pada tapak, faktor

ketidaknyamanan yang berasal dari lingkungan (suhu dan kelembaban udara,

kebisingan, dan radiasi matahari), dsb. Dalam hal ini permasalahan yang perlu dikaji,

antara lain :

Bagaimana meminimalisir ketidaknyamanan lingkungan yang dapat mengganggu

proses pemulihan kelelahan?

Bagaimana memanfaatkan potensi lingkungan sehingga dapat mendukung proses

pemulihan kelelahan atlet?

II.4 Aspek Bangunan

Dengan mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan bangunan, yang dapat

berupa sistem utilitas, massa bangunan, struktur bangunan fasad bangunan, material

pada bangunan, dsb. Dalam hal ini permasalahan yang perlu dikaji adalah :

Bagaimana sistem-sistem dalam bangunan yang dapat mendukung proses pemulihan

kelelahan, serta tidak menambah beban lelah bagi atlet?

.

3. Metodologi

Karya tulis ini menggabungkan 2 jenis metode, yaitu metode penelitian dan juga

metode perancangan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Alasan

pemilihan metode ini karena metode deskriptif cocok untuk mendapatkan variasi

permasalahan yang berkaitan dengan tingkah laku manusia. Proses penelitian deskriptif

dilakukan dengan pengumpulan data, penyusunan data, serta analisis dan penafsiran data

tersebut.

Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa metode, antara lain :

1. Metode studi literature, dengan mengkaji dari bahan-bahan pustaka dan referensi

yang diperoleh melalui buku, majalah, internet, dan sumber lainnya mengenai

permukiman atlet, kelelahan, pemulihan lelah, fasilitas pemulihan kelelahan.

2. Metode kuesioner, dengan membagikan kuesioner pada atlet dan pelatih, sehingga

diperoleh data yang berguna untuk perancangan.

3. Metode wawancara, dengan mewawancarai narasumber yang dapat memberikan

informasi seputar topik dan tema, yaitu atlet, pelatih, pengelola Wisma Fajar.

4. Metode observasi lapangan, dengan mengumpulkan data secara langsung di lapangan

dan mendokumentasikannya, serta mengambil beberapa objek sebagai bahan studi

banding.

Untuk metode perancangan dengan menggunakan pendekatan aspek manusia, ruang,

lingkungan, dan bangunan.

4. Hasil Dan Pembahasan

Karena perancangan arsitektur ditujukan untuk manusia, maka untuk mendapatkan

perancangan yang baik perencanaan dan perancangan harus didasarkan pada manusia dengan

segala perilakunya. Berdasarkan pemikiran tersebut, dalam perencanaan dan perancangan

ulang Wisma Fajar dilakukan sejumlah riset mengenai perilaku atlet yang berkaitan dengan

kelelahan dan pemulihannya, sehingga didapatkan bahan perancangan yang diharapkan dapat

menjawab kebutuhan atlet sebagai pengguna wisma atlet.

Dari penelitian yang dilakukan, diperoleh data bahwa mayoritas atlet sering

mengalami kelelahan, baik kelelahan fisik, maupun mental. Kelelahan fisik umumnya lebih

banyak dirasakan oleh atlet yang mengandalkan kekuatan fisik, sedangkan kelelahan mental

lebih banyak dirasakan oleh para atlet yang mengandalkan konsentrasi otak. Baik kelelahan

fisik, maupun mental sudah harus dipulihkan dalam waktu 24 jam agar tidak mengganggu

performa atlet di hari berikutnya, khususnya performa saat pertandingan. Setiap jenis

kelelahan memiliki cara pemulihan yang berbeda. Beberapa kegiatan yang umumnya

dilakukan untuk memulihkan kelelahan fisik adalah tidur, massage, spa, mandi air hangat,

bersantai, dan olahraga ringan, sedangkan untuk memulihkan kelelahan mental, umumnya

kegiatan yang dilakukan para atlet adalah mengobrol, bercanda, menonton televisi, jalan-

jalan, membaca buku, menikmati pemandangan alam, relaksasi, meditasi, dan yoga. Dengan

demikian, juga terdapat perbedaan fasilitas antara kelelahan fisik dan kelelahan mental.

Berbagai fasilitas pemulihan ini harus dirancang dengan kapasitas besar, sehingga dapat

menampung sejumlah besar atlet dalam waktu bersamaan karena adanya keterbatasan waktu

istirahat atlet dalam waktu sehari, sedangkan atlet sudah harus pulih dalam waktu 24 jam.

Selain dengan penyediaan fasilitas-fasilitas pemulihan, pemulihan kelelahan dapat

diwujudkan dengan rancangan wisma yang dapat menghambat terjadinya kelelahan, salah

satunya dengan penerapan ergonomi pada bangunan. Fokus perhatian dari sebuah kajian

ergonomis akan mengarah ke upaya pencapaian sebuah perancanganan desain suatu produk

yang memenuhi persyaratan ‘fitting the task to the man’ (Granjean, 1982), sehingga setiap

rancangan desain harus selalu memikirkan kepentingan manusia, yakni perihal keselamatan,

kesehatan, keamanan maupun kenyamanan. Penerapan ergonomi dalam perencanaan dan

perancangan wisma atlet ini meliputi :

1. Perancangan luasan ruang yang mempertimbangkan dimensi tubuh manusia, ruang

gerak manusia, dan dimensi furniture yang ideal bagi manusia.

2. Perancangan wisma dengan mempertimbangkan kekurangan dan kelebihan manusia,

yang diwujudkan dengan penyediaan fasilitas untuk kemudahan penyandang cacat

3. Perancangan ruang dalam dan luar yang mempertimbangkan aspek psikologi

manusia, seperti memasukkan suasana yang mendukung pemulihan kelelahan atlet.

4. Perancangan ruang dalam dan luar juga mempertimbangkan pengaruh lingkungan

terhadap manusia, antara lain berupa :

- Cahaya. Untuk pencahayaan alami digunakan ratio jendela dan lantai 1:5, untuk

menghindari silau dapat digunakan sun shading, gorden/ tirai, dan tumbuhan.

Untuk pencahayaan buatan digunakan lampu dengan kuat penerangan sesuai

standar, misalnya 120 lux untuk pencahayaan ruang tidur, 50 lux untuk lampu

tidur, 200-1000 lux untuk lampu baca.

- Kebisingan. Kebisingan pada unit hunian dapat diatasi dengan pembatasan jumlah

penghuni dalam ruang, penempatan area ruang tidur di zona private, penempatan

kamar mandi di bagian depan ruang tidur yang berbatasan dengan koridor, serta

menghindari penataan ruang dengan pintu-pintu saling berhadapan. Kebisingan

dari luar bangunan dapat diatasi dengan menempatkan barrier vegetasi, serta

penempatan bangunan di tengah tapak dengan dikelilingi taman.

- Getaran mekanis. Getaran mekanis dapat diatasi dengan menggunakan peredam di

sekitar benda yang mengeluarkan getaran mekanis, serta menggunakan material

yang dapat mengurangi getaran, seperti beton.

- Temperatur dan kelembaban. Karena suhu udara Jakarta cukup bervariasi, yaitu

24,4°C-33,8°C dan adanya perbedaan kebutuhan masing-masing individu akan

suhu udara yang nyaman, maka selain digunakan penghawaan alami dengan

ventilasi silang, juga menggunakan penghawaan buatan dengan AC.

- Warna. Penerapan warna yang tepat diyakini dapat memberikan efek positif bagi

pengguna ruang, misalnya untuk ruang makan digunakan warna biru dan biru

muda, untuk ruang makan digunakan kuning dan warna oranye, dsb.

Di samping penerapan aspek ergonomi, perlu juga dilakukan upaya-upaya lain untuk

mengurangi beban lelah tambahan, antara lain dengan menyediakan fasilitas kebutuhan

sehar-hari, seperti mini market, fasilitas laundry, dsb , sehingga memungkinkan atlet

menggunakan waktu istirahat mereka secara optimal, serta menyediakan fasilitas yang dapat

meminimalisir terjadinya gangguan-ganggunan (misalnya kebisingan karena kunjungan

tamu, penggemar, ataupun media massa) di area hunian, seperti adanya ruang menerima

tamu, konferensi pers, serta sistem kartu akses menuju area khusus atlet.

Mempertimbangkan beberapa kriteria di atas, Wisma Fajar dinilai membutuhkan

perancangan ulang atau redesain karena kondisinya berbeda jauh dari harapan para atlet akan

wisma atlet, khususnya untuk wisma atlet yang mendukung pemulihan kelelahan. Redesain

Wisma Fajar ini meliputi :

1. Pembongkaran Tower B yang awalnya terdiri dari 12 lapis dan terpisah dengan tower

lain menjadi tower baru dengan ketinggian 16 lapis yang terhubung dengan 2 tower

lainnya, yaitu tower A dan C. Pembongkaran ini dilakukan karena adanya kebutuhan

penambahan luasan ruang, baik untuk fasilitas, maupun hunian. Pembongkaran pada

tower B agar fasilitas pemulihan mudah diakses dari tower manapun.

4.1 Ilustrasi Perubahan pada Wisma Fajar

Sumber : Dokumentasi pribadi

Tower baru dirancang lebih menjorok karena adanya koridor terbuka pada lantai

dasar yang difungsikan sebagai tempat bersantai, serta adanya area-area terbuka pada

lantai 3 dan 4 yang difungsikan untuk ruang makan terbuka, serta area spa dan

massage terbuka, agar area-area tersebut terhalang dari cahaya matahari langsung

dengan letak yang diapit 2 tower lainnya.

Bentuk massa bangunan menyesuaikan dengan bangunan yang telah ada,

khususnya pada area hunian agar tercipta kesan adil, tidak ada perbedaan antara

hunian pada tower lama dan baru. Namun, terdapat modifikasi bentuk pada bagian-

bagian tertentu yang memungkinkan, misalnya pada bagian balkon podium

menggunakan bentuk lengkung, agar bangunan tidak terkesan kaku.

4.2 Bentuk Massa Bangunan

Sumber : Dokumentasi pribadi

2. Adanya perubahan layout pada Tower A dan Tower C, Dengan layout lama yang

seperti apartemen potensi terjadinya kebisingan dan interaksi yang tidak diinginkan

sangat besar.

4.3 Perubahan layout pada area hunian

Sumber : Dokumentasi pribadi

3. Adanya perubahan fasade karena adanya penyesuaian dengan rancangan bukaan dan

balkon. Fasade baru banyak menggunakan material alami seperti batu alam, warna

netral, serta banyak memasukkan vegetasi pada bangunan. Balkon memasukkan

unsur alam dengan menggunakan tanaman pada dinding pembatas.

4.4 Perubahan Fasade

Sumber : Dokumentasi pribadi

4. Adanya penambahan lift pada Tower A dan C karena waktu tunggu lift yang tidak

ideal, sehingga memungkinkan terjadi kepadatan saat menunggu lift dan penggunaan

tangga untuk mencapai unit hunian. Penambahan lift ini mencakup 1 lift penumpang

dan 1 lift barang. Sedangkan pada Tower B disediakan 3 lift penumpang dan1 buah

lift barang karena jumlah pengguna Tower B yang lebih banyak.

5. Adanya penambahan tangga darurat karena Wisma fajar tidak memiliki tangga

darurat yang terpisah dengan tangga sirkulasi. Setiap tower memiliki 2 unit tangga

darurat.

6. Adanya penggunaan sprinkler, smoke detector dan hydrant untuk pencegahan bahaya

kebakaran.

7. Menggunakan sistem daur ulang air

8. Adanya penggunaan ramp untuk transportasi vertical pada bagian podium, ramp ini

selain sebagai penghubung antara tower A dan C dengan Tower B pada bagian

podium, juga dimaksudkan untuk memfasilitasi kegiatan olahraga ringan.

9. Adanya penambahan entrance bagi pejalan kaki untuk memudahkan akses dari luar

tapak ke masing-masing tower .

10. Taman dirancang dengan bentuk lengkung yang dinamis dengan unsur air pada

taman, seperti kolam, air mancur, dsb agar tidak memberikan kesan monoton.

11. Ruang terbuka tidak hanya dijadikan lahan parkir, tetapi juga sebagai tempat

bersantai, relaksasi, dan olahraga ringan.

5. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa Wisma Fajar Senayan

kurang cocok untuk fungsi wisma atlet, khususnya untuk wisma atlet yang mendukung

pemulihan kelelahan, sehingga perlu adanya redesain yang disesuaikan dengan perilaku para

atlet sebagai pengguna bangunan. Dalam merancang wisma atlet yang mendukung

pemulihan kelelahan hal-hal yang perlu diperhatikan dan pertimbangkan antara lain :

1. Pentingnya prinsip ergonomic dalam perancangan wisma atlet yang mendukung

pemulihan kelelahan.

2. Perlunya penyediaan fasilitas-fasilitas pemulihan kelelahan, seperti fasilitas spa dan

massage, fasilitas menonton, fasilitas meditasi, jogging track, dsb.

3. Perlunya fasilitas pemenuhan kebutuhan sehari-hari agar para atlet dapat menggunakan

waktu istirahat secara efektif.

4. Perlunya penyediaan fasilitas untuk menerima tamu, serta sistem akses kartu untuk

menuju area khusus atlet agar atlet terbebas dari kunjungan yang tidak diinginkan,

sehingga waktu istirahat dapat digunakan secara efektif.

5. Pentingnya keadilan dalam rancangan wisma atlet, baik dalam hal kemudahan

pencapaian, fasilitas yang diberikan

6. Kemudahan akses, baik dari tapak ke dalam bangunan, lobby ke unit hunian, maupun

hunian ke fasilitas.

7. Menghindari terjadinya kesesakan pada ruang, baik dengan perancangan luasan ruang

yag memadai, maupun dengan perancangan ruang terbuka.

8. Menghindari terjadinya waktu tunggu lift yang lama.

9. Menerapkan bentuk-bentuk yang dinamis.

10. Suasana alami yang dapat mendukung pemulihan.

DAFTAR PUSTAKA

Almuktabar, N. T. K. (2009). Perspektif Fisiologi Suatu Analisis Kelelahan Saat Dehidrasi.

Jurnal IPTEK Olahraga, 11(2), 94-108.

American College of Sport Medicine. (2009). Nutrisi dan Performance Athletic. Official Journal

of the American College of Sport Medicine, 709-731.

Andiningsari, P. (2009). ”Hubungan Faktor Internal dan Eksternal terhadap Kelelahan (Fatigue)

pada Pengemudi Travel X-Trans Jakarta Trayek Jakarta-Bandung Tahun 2009”. Program

Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Darmasetiawan, C, Puspakesuma, L. (1991). Teknik Pencahayaan dan Tata Letak Lampu.

Jakarta: Grasindo.

Dinangsit, D. (2009). ”Perbedaan Pengaruh Metode Massage Air (Hydromassage) dan Metode

Massage Manual terhadap Performa setelah Kelelahan”. Program Studi Pendidikan

Olahraga Sekolah Pascasarjana. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

Frick, H, Suskiyanto, B. (2007). Dasar-dasar Arsitektur Ekologis. Yogyakarta: Kanisius.

Giriwijoyo, H. Y. S, Komaryah, L. Kartinah, N. T. (2007). Ilmu Kesehatan Olahraga. Bandung:

UPI.

Juwana, J. S. (2005). Sistem Bangunan Tinggi. Jakarta: Erlangga.

Manuaba, I. B. A. (1983). Aspek Ergonomi dalam Perencanaan Kompleks Olahraga dan

Rekreasi. Diskusi Rencana Induk Gelora Senayan.

Marcella, J. (2004). Arsitektur dan Perilaku Manusia. Jakarta: Grasindo.

Marlina, E. (2008). Panduan Perancangan Bangunan Komersial. Yogyakarta: ANDI.

Med Express. (2009). Bebas Kelelahan. Yogyakarta: Kanisius

Muhaimin, M. T. (2001). Teknologi Pencahayaan. Bandung: Refika.

Nuzuli (2005). Perbandingan Pengaruh Efektivitas Kebugaran Fisisk Daerah Pegunungan dengan

Daerah Dataran Rendah terhadap Cardiovascular. Jurnal Ilmu Keolahragaan Sport Sains,

1(1), 1-9.

Rini, D. S. (2011). ”Dampak Penerapan Pelatihan Harness terhadap Peningkatan Kemampuan

Dinamis Anaerobik”. Program Sarjana Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan.

Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

Panero, J. Zelnik, M. (2003). Dimensi Manusia dan Ruang Interior. Jakarta: Erlangga.

Sitepu, I. D. (2007). ”Efektifitas Massage terhadap Penurunan Kelelahan Otot Tangan Operator

Komputer PUSKOM UNIMED Tahun 2007”. Program Magister Ilmu Kesehatan

Masyarakat Kekhususan Kesehatan Kerja. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Silvanne, C. O. (2010). ”Desain Interior Asian Spa di Kawasan Wisata Tawangmangu”. Program

Sarjana Fakultas Sastra dan Seni Rupa. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Sudana. (2009). ”Perbedaan Kelelahan Kerja pada Operator SPBU antara Shift Pagi dan Shift

Pagi dan Shift Malam di SPBU 14203163 Tanjung Morawa Tahun 2009”. Program

Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Suptandar, J.P. (2004). Faktor Akustik dalam Perancangan Disain Interior. Jakarta: Djambatan.

Suptandar, J.P. (2004). Pengantar Mata Kuliah Desain Interior untuk Arsitek dan Desainer.

Jakarta: Universitas Trisakti.

Sari, S. M. (2003). Peran Warna pada Interior Rumah Sakit Berwawasan Healing Environment

terhadap Proses Penyembuhan Pasien. Dimensi Interior, 1(2), 141-156.

Sofia, Y. (2010). Hal-Hal Sepele yang Biasa Anda Remehkan tapi Sangat Bermanfaat bagi

Kesehatan. Yogyakarta: Madhara Pustaka.

Wardani, L.K. (2003). Evaluasi Ergonomi dalam Perancangan Desain. Dimensi Interior, 1(1),

61-73.

Zuhriyah, F. (2007). ”Hubungan antara Kesesakan dengan Kelelahan akibat Kerja pada

Karyawan Bagian Penjahitan Perusahaan Konveksi PT Mondrian Klaten Jawa Tengah”.

Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro. Semarang.