reaktor-nuklir-alam-merupakan-salah-satu-penemuan-dalam-bidang-geologi-yang-ditemukan-pada-tahun-1972...

download reaktor-nuklir-alam-merupakan-salah-satu-penemuan-dalam-bidang-geologi-yang-ditemukan-pada-tahun-1972

of 12

Transcript of reaktor-nuklir-alam-merupakan-salah-satu-penemuan-dalam-bidang-geologi-yang-ditemukan-pada-tahun-1972...

  • Reaktor nuklir alam merupakan salah satu penemuan dalam bidang geologi yang ditemukan pada tahun 1972. Saat itu, di fasilitas pengolahan bahan bakar nuklir Pierrelatte, Ilmuwan Perancis bernama Bougzigues sedang bekerja melakukan analisis rutin terhadap uranium yang telah diekstrak dari biji uranium. kemudian ia menyadari sesuatu yang aneh dari biji uranium yang ditelitinya.

    Uranium memiliki tiga isotop yang memiliki massa atom yang berbeda dengan proporsi yang berbeda, yaitu : U 238 sebanyak 99.274%, U 235 sebanyak 0.720% dan U 234 sebanyak 0.005%.

    Uranium 235 adalah uranium yang paling dicari diseluruh dunia karena kemampuannya menahan reaksi nuklir dan uranium inilah yang dipakai di reaktor nuklir modern. Dimanapun di bumi ini, atom uranium 235 membentuk 0,720 persen dari total uranium. Namun sampel yang dipegang olehnya hanya memiliki 0,717 persen. Ini menunjukkan bahwa sampel uranium ini pernah mengalami reaksi pelepasan energi (reaksi fisi). Badan tenaga atom Perancis segera bergerak untuk menyelidiki penyebabnya. Sampel itu dilacak hingga ke sebuah pertambangan di Oklo, Gabon, Afrika. Para ilmuwan bergegas ke Oklo. Penelitian lanjutan yang dilakukan menemukan ada enam belas lokasi yang berfungsi sama seperti reaktor nuklir modern dan reaktor purba itu diperkirakan berumur 2 milyar tahun.

    Badan tenaga atom Perancis berusaha mencari fungsinya. Dan kemudian mereka mendapatkan jawabannya dari sebuah tulisan tahun 1956 yang dibuat oleh Paul Kazuo Kuroda, seorang ahli kimia dari universitas Arkansas. Kuroda mengatakan apabila jumlah U235 cukup banyak dan ada moderator neutron seperti aliran air tanah, maka reaktor nuklir alam bisa terjadi. Kondisi pertambangan Oklo menyerupai apa yang diprediksi Kuroda.

    Misteri reaktor nuklir alam sebenarnya telah terjawab secara ilmiah oleh Paul Kuroda, jadi faktor misterinya boleh dibilang hampir lenyap.

    RISET NUKLIR INDONESIA jakarta-- Menurut International Atomic Energy Agency (IAEA), Indonesia termasuk dalam 13 negara terbaik dalam mengoperasikan reaktor nuklir dan pemanfaatan teknologi nuklir untuk maksud damai. Demikian dikatakan Deputi Kepala BATAN Bidang Pengembangan Teknologi dan Energi Nuklir Adiwardojo dalam Konferensi Pers Terapan Riset Nuklir Untuk Menjawab Kebutuhan Bangsa, Rabu (26/10/2011) di Hotel Menara Peninsula, Jakarta. Dijelaskan oleh Adiwardojo bahwa ini merupakan pengakuan Internasional, Indonesia sudah siap untuk mengoperasikan reaktor nuklir. Ini menunjukan bahwa internasional sudah mengakui Indonesia siap membangun PLTN, tegas Adiwardojo. Hal ini sangat penting, mengingat masalah nuklir tidak hanya terkait dengan masalah nasional, tetapi terkait dengan masalah internasional maupun regional. Menurutnya, untuk kesiapan internal, sampai saat ini Indonesia sudah memiliki tiga reaktor nuklir meskipun masih dalam skala riset. Bahkan salah satu reaktornya, yakni Reaktor Kartini di Yogyakarta didesain dan dibangun oleh tenaga-tenaga ahli Indonesia. Dengan memanfaatkan reaktor tersebut, maka didirikanlah sekolah tinggi teknologi nuklir (STTN) sebagai institusi yang akan mempersiapkan SDM nuklir di Indonesia. Untuk menyakinkan masyarakat bahwa Indonesia sudah dapat mengoperasikan reaktor nuklir dengan aman, Adiwardojo mengajak masyarakat untuk melihat reaktor nuklir yang berada di Kawasan Nuklir Serpong yang dimiliki BATAN. Kami sangat terbuka bagi masyarakat yang ingin melihat bahwa kita sudah mampu mengoperasikan dengan aman, kata Adiwardojo. Bahkan sejak ulang tahun BATAN ke-50, lanjutnya lagi, BATAN sudah dapat melakukan fabrikasi eleman bakar nuklir sendiri untuk pengopeasian reaktor nuklirnya. Selanjutnya, sesuai dengan UU No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, mestinya kesiapan ini ditambah dengan implemantasinya dengan membentuk suatu badan, bisa BUMN, koperasi, atau swasta, yang akan mengoperasikan PLTN. Keputusan inilah yang kita tunggu-tunggu, karena BATAN bukan yang akan mengoperasikan PLTN. BATAN hanya mempersiapkan semuanya termasuk dimana lokasi yang terbaik untuk dibangun PLTN, jelas Adiwardojo. Hadir dalam acara tersebut anggota DPR-RI Komisi VII Soetan Bathoegana dan Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi KemenESDM Kardaya Warnika. Menurut Soetan Bathoegana, SDM Indonesia sudah mampu untuk mengoperasikan reaktor nuklir (PLTN), bahkan Korea Selatan yang dulunya sama-sama belajar dengan Indonesia dengan memanfaatan reaktor riset yang di berada di Kawasan Nuklir Serpong, sudah dapat mengembangkan teknologi nuklir sehingga mampu membangun dan mengoperasikan PLTN, menjadi negara industri yang terbaik. Tetapi nyatanya sampai saat ini, Indonesia masih selalu saja ketinggalan. Ada grand design dari negara-negara maju untuk membuat Indonesia selalu terpuruk, sehingga membuat kita selalu ketinggalan dari negara-negara lain, tegas Soetan Bathoegana.

  • Hampir enam dekade lamanya Indonesia berkutat dalam mimpi memenuhi kebutuhan energi dari tenaga nuklir. Padahal, usaha ke arah pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia sudah dirintis sejak awal 1950-an, tetapi yang terjadi Indonesia semakin tertinggal dari negara lain yang secara terus menerus mengembangkan teknologi nuklirnya demi kesejahteraan masyarakat mereka. Berdasarkan data Asosiasi Nuklir Dunia (WNA), sampai dengan bulan Juli 2009, jumlah PLTN di dunia mencapai 436 unit yang tersebar di 32 negara. Amerika Serikat merupakan yang terbanyak memiliki PLTN, sebanyak 104 unit. Adapun di kawasan Asia, negara-negara yang paling banyak memiliki PLTN adalah Jepang, India, Korea, dan China. Di Indonesia, hasil riset nuklir secara nyata telah mampu memberikan kontribusi dalam pembangunan nasional. Yang paling menarik adalah di bidang pertanian, yaitu untuk penelitian mencari bibit-bibit unggul baru suatu tanaman pangan, seperti padi, kedelai, kacang hijau, sorghum, dan lain-lain. Di bidang peternakan, nuklir pun bisa digunakan untuk menciptakan suatu formula pakan ternak ruminansia (kambing, sapi, kerbau) guna meningkatkan bobot ternak, kualitas dan produksi susu ternak serta mempercepat reproduksi. Demikian juga di bidang kesehatan, nuklir digunakan untuk diagnosis dan terapi beberapa penyakit yang secara konvensional sulit dilakukan. Sayangnya, apa yang diharapkan dari pemanfaatan teknologi nuklir di tanah air ini tidak semudah apa yang diperoleh. Masih banyak masyarakat yang menentang pengembangan teknologi nuklir, khususnya pemanfaatannya untuk pembangkit listrik (PLTN). Beberapa kalangan menilai, nuklir bisa menimbulkan risiko besar, mengingat radiasi yang ditimbullkannya bisa mengancam masyarakat di sekitar apabila terjadi bencana. Padahal, menurut Kardaya Warnika, energi itu sangat dibutuhkan mengingat energi sebagai kebutuhan dasar manusia dan Indonesia kebutuhan listriknya semakin tinggi dan meningkat tajam. Sehingga energi nuklir harus benar-benar dipertimbangkan, kata Kardaya. Kuncinya adalah dengan penanganan yang baik dan benar serta prinsip kehati-hatian yang tinggi, tingkat presesi dan sesuai dengan standar maksimum yang sangat tinggi, segala dampak buruk nuklir bisa diatasi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa masalah nuklir adalah masalah dunia, artinya banyak negara-negara besar yang sangat berkepentingan dengan hal ini. Sejarah membuktikan, negara-negara maju yang ada sekarang ini, bisa menjadi besar setelah melalui era nuklir, jelasnya lagi. (arial)

    Program Nuklir Indonesia

    merupakan program Indonesia untuk membangun dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir baik di bidang non-energi maupun di bidang energi untuk tujuan damai. Pemanfaatan non-energi di Indonesia sudah berkembang cukup maju. Sedangkan dalam bidang energi (pembangkitan listrik), hingga tahun 2011 Indonesia masih berupaya mendapatkan dukungan publik, walaupun sudah dianggap kalangan internasional bahwa Indonesia sudah cukup mampu dan sudah saatnya menggunakannya.

    Kegiatan pengembangan dan pengaplikasian teknologi nuklir di Indonesia diawali dari pembentukan Panitia Negara untuk Penyelidikan Radioaktivitet tahun 1954. Panitia Negara tersebut mempunyai tugas melakukan penyelidikan terhadap kemungkinan adanya jatuhan radioaktif dari uji coba senjata nuklir di lautan Pasifik.

    Dengan memperhatikan perkembangan pendayagunaan dan pemanfaatan tenaga atom bagi kesejahteraan masyarakat, maka melalui Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 1958, pada tanggal 5 Desember 1958 dibentuklah Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom (LTA), yang kemudian disempurnakan menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) berdasarkan UU No. 31 tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom. Selanjutnya setiap tanggal 5 Desember yang merupakan tanggal bersejarah bagi perkembangan teknologi nuklir di Indonesia dan ditetapkan sebagai hari jadi BATAN.

    Pada perkembangan berikutnya, untuk lebih meningkatkan penguasaan di bidang iptek nuklir, pada tahun 1965 diresmikan pengoperasian reaktor atom pertama (Triga Mark II) di Bandung. Kemudian berturut-turut, dibangun pula beberapa fasilitas litbangyasa yang tersebar di berbagai pusat penelitian, antara lain Pusat Penelitian Tenaga Atom Pasar Jumat, Jakarta (1966), Pusat Penelitian Tenaga Atom GAMA, Yogyakarta (1967), dan Reaktor Serba Guna 30 MW (1987) disertai fasilitas penunjangnya, seperti: fabrikasi dan penelitian bahan bakar, uji keselamatan reaktor, pengelolaan limbah radioaktif dan fasilitas nuklir lainnya.

    Sementara itu dengan perubahan paradigma pada tahun 1997 ditetapkan UU No. 10 Tentang Ketenaganukliran yang diantaranya mengatur pemisahan unsur pelaksana kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir(BATAN)dengan unsur pengawas tenaga nuklir (BAPETEN).

  • Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) didirikan tahun 1998. Penelitian energi atom dimulai di Indonesia. Selain untuk memproduksi listrik, teknologi nuklir juga digunakan untuk kegunaan medis, manipulasi genetika dan agrikultur.

    Rencana untuk program PLTN dihentikan tahun 1997 karena penemuan gas alam Natuna dan krisis ekonomi dan politik. Tetapi program ini kembali dijalankan sejak tahun 2005.[1]

    Indonesia menyatakan bahwa, sebagai penandatangan NPT (Non-proliferation Treaty) dan Comprehensive Safeguard Agreement program akan berkembang dengan pantauan International Atomic Energy Agency (IAEA). Oleh sebab itu, Mohammed ElBaradei diundang untuk mengunjungi negara ini pada Desember 2006.

    Protes terhadap rencana ini muncul pada Juni 2007 didekat Jawa Tengah[1] dan juga lonjakan pada pertengahan 2007.[2]

    Pada maret 2008 , melalui menteri Riset dan Teknologi, Indonesia memaparkan rencananya untuk membangun 4 buah PLTN berkekuatan 4800 MWe (4 x 1200 MWe) [2]

    Untuk penelitian, reaktor riset telah dibuat di Indonesia:

    1. Bandung, Jawa Barat. Pusat Penelitian Tenaga Nuklir (PPTN) Bandung. (reaktor Triga Mark II - berkapasitas 250 kW diresmikan 1965 , kemudian ditingkatkan kapasitasnya menjadi 2 MW pada tahun 2000 ).[3]

    2. Yogyakarta, Jawa Tengah (Reaktor penelitian nuklir Kartini - kapasitas 100 kW operasi sejak 1979). 3. Serpong (Banten). (reaktor penelitian nuklir MPR RSG-GA Siwabessy - kapasitas 30 MW diresmikan tahun

    1987).

    Berbagai lokasi yang dipelajari kelayakannya sebagai calon tapak untuk membangun reaktor untuk memproduksi listrik (PLTN):

    1. Muria, Jawa Tengah. 2. Bangka, Provinsi Bangka Belitung.

    Berdasarkan UU No 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, PLTN hanya dapat dibangun dan dioperasikan oleh perusahaan swasta, BUMN atau Koperasi. Sedangkan BATAN berkewajiban menyiapkan infrastruktur dasar seperti persiapan SDM, studi kelayakan calon tapak, kajian teknologi sebagai TSO (technical support organization), dan pengolahan limbah.

    Sumber daya alam Indonesia memiliki dua lokasi eksplorasi uranium, yaitu tambang Remaja-Hitam dan tambang Rirang-Tanah Merah. Kedua uranium tersebut terletak di Kalimantan Barat. Jika uranium tidak cukup, Indonesia memiliki pilihan mengimpor uranium yang banyak tersedia di pasaran internasional. Kerja sama

    Indonesia adalah anggota aktif IAEA (International Atomic Energy Agency) yang berkedudukan di Vienna, Austria. Kerjasama multilateral via IAEA berlangsung baik dan telah menghasilkan ratusan pakar dan ahli di Indonesia melalui pelatihan di luar negeri maupun via kunjungan ekspert ke Indonesia. Selain itu ada pula kerjasama regional di Asia dan Asean yang berlangsung saling menguntungkan.

    Pada tahun 2006, Indonesia menandatangani perjanjian dengan negara lain untuk nuklir, termasuk Korea Selatan, Rusia, Australia dan Amerika Serikat. Australia tidak bermasalah untuk mengirim uranium ke Indonesia, dan terdapat kesepahaman dengan pihak Rusia yang menawarkan untuk membangun reaktor nuklir di Gorontalo.

    Motifasi

    Indonesia memiliki beberapa alasan untuk membangun reaktor tersebut:

    1. Konsumsi energi Indonesia yang besar dengan jumlah penduduk 237 juta (sensus 2010). 2. Nuklir akan mengurangi ketergantungan akan petroleum.

  • 3. Jika konsumsi energi dapat disediakan dengan nuklir, Indonesia dapat memproduksi lebih banyak minyak bumi. 4. Memproduksi energi yang dapat diperbaharui lainnya, seperti angin dan tenaga matahari lebih mahal. 5. Jepang, seperti Indonesia, sering terkena gempa bumi, tetapi memiliki reaktor nuklir. 6. Emisi gas dapat dikurangi.

    Kritik Rencana nuklir Indonesia dikritik oleh Greenpeace dan grup individual lainnya, seperti Gus Dur. Pada Juni 2007, hampir 4.000 demonstran di Jawa Tengah meminta pemerintah membatalkan rencana pembangunan reaktor nuklir. Mereka menolaknya karena bahaya limbah nuklir, dan lokasi Indonesia di Cincin Api Pasifik, dengan banyak aktivitas geologi, seperti gempa bumi dan letusan gunung, sehingga berbahaya untuk memiliki reaktor nuklir.[1]

    Reaktor nuklir sudah ada di Indonesia

    Reaktor nuklir sudah ada di Indonesia kendati masih dalam riset dan bukan pembangkit listrik, yakni di Serpong (Banten), Batan Bandung (Jawa Barat), dan Batan Yogyakarta.

    "Tiga reaktor nuklir itu tidak ada masalah apa-apa," ucap peneliti dari Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Khusnun Ain, ST, MSi.

    Ia mengatakan, Indonesia sebenarnya sudah siap dengan pengembangan nuklir termasuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).

    "Apalagi, kebutuhan listrik cukup mendesak karena bahan bakar fosil akan segera habis bahkan harganya kini naik terus," katanya di Surabaya, Sabtu.

    Menurut alumnus Teknik Nuklir UGM Yogyakarta itu, listrik di Jawa saja kurang apalagi di luar Jawa. "Listrik itu merupakan komponen penting kalau mau menarik investor ke Indonesia," katanya.

    Mengenai kesiapan ahli nuklir di Indonesia, ia menjelaskan, ahli-ahli Indonesia sudah sangat siap dan bahkan mereka sudah melakukan beberapa kali riset.

    "Teknik nuklir di Indonesia memang masih sebatas riset, tapi riset para ahli di Serpong, Batan Bandung, dan Batan Yogyakarta sendiri aman-aman saja," katanya.

    Mengenai bahaya radiasi reaktor nuklir yang bocor seperti reaktor nuklir di Fukushima, Jepang, pascatsunami (11/3/2011), ia mengatakan, bahaya itu ada di mana saja dan bukan hanya nuklir.

    "Pengamanan teknologi nuklir itu memiliki empat lapis dan sudah melakukan riset soal itu," ungkap master Fisika dari UGM Yogyakarta itu.

    Masalahnya, Indonesia hanya riset terus sejak tahun 1970-an, padahal Vietnam sudah punya bahkan Malaysia dan Filipina akan segera membangun PLTN.

    "Lalu, apa yang kita tunggu? Masalah mendasar di Indonesia adalah protes dari kalangan lembaga swadaya masyarakat tetapi protes itu sebenarnya tidak didasarkan data yang akurat," katanya.

    Menurut dia, protes itu lebih didorong persaingan antarnegara karena ada negara-negara tertentu yang tidak menghendaki negara lain menguasai teknologi nuklir, lalu mereka memanfaatkan para pegiat LSM.

    Oleh karena itu, sekarang tinggal bergantung kepada keputusan pemerintah karena bila lokasi PLTN di Jawa diprotes terus maka lokasi di luar Jawa dapat menjadi alternatif.

    "Saya dengar, masyarakat Riau berminat untuk ditempati lokasi PLTN, kemudian di Kalimantan juga begitu, tapi saya tidak ingat daerahnya. Saya kira luar Jawa lebih membutuhkan listrik," katanya.

  • Untuk dana, hal itu juga bukan persoalan mendasar karena Indonesia sudah lama mendapat tawaran dari Kanada dan Perancis.

    "Investasi awal memang mahal, tapi bisa bekerja sama dengan Kanada dan Perancis, lalu bila sudah operasional akan murah," katanya.

    Pandangan itu dibenarkan peneliti bencana dari ITS Surabaya, Dr Amien Widodo.

    Ia berpendapat, PLTN di Indonesia memang sangat dibutuhkan karena energi fosil di Indonesia mulai menyusut apalagi Indonesia sudah mempunyai ahli-ahli tentang nuklir.

    "Tetapi, ada banyak pertimbangan nonteknis yang harus dikaji secara serius," kata geolog yang pernah meneliti luapan lumpur Lapindo itu di Surabaya.

    Pertimbangan nonteknis, antara lain, belum adanya kemampuan Indonesia membuat peralatan terkait dengan PLTN.

    Ia mencontohkan saat trafo di Jakarta meledak maka PLN menunggu alat atau instrumen dari Perancis sehingga terjadi pemadaman listrik bergilir. "Bagaimana kalau PLTN?" kata Amien mempertanyakan.

    Pertimbangan nonteknis lainnya mengacu sejumlah penyebab kerusakan seperti bencana alam, sabotase, perawatan atau manajemen, dan faktor kesalahan atau kelalaian manusia termasuk korupsi.

    "Korupsi itu bisa mulai saat penentuan anggaran, saat penentuan lokasi PLTN tanpa perhitungan teknis, saat pembebasan lahan, saat konstruksi di luar spesifikasi, saat perawatan atau monitoring dengan manipulasi anggaran perawatan/monitoring, hingga saat uji kir yang hasilnya dimanipulasi juga," katanya.

    Kajian PLTN di Indonesia secara teknis sudah tidak bermasalah namun kajian PLTN secara nonteknis harus menjadi pertimbangan yang mendasar.

    "Kajian mendalam untuk beberapa pertimbangan nonteknis itu penting supaya PLTN benar-benar bermanfaat untuk masyarakat dan bukan menjadi ajang bisnis yang menyengsarakan semuanya," katanya.

    Menurut dia, kajian nonteknis itu penting agar pilihan Indonesia terhadap nuklir dapat dipertanggungjawabkan dibandingkan dengan energi lainnya sebagai alternatif.

    "Pilihan lain memang ada seperti energi panas bumi atau energi alternatif lainnya tetapi pilihan terhadap nuklir juga penting karena kebutuhan listrik di masa depan akan semakin tinggi," katanya.

    Agaknya, pertimbangan nonteknis itu akan menjadi kajian pemerintah termasuk bahaya radiasi nuklir seperti terjadi di Jepang.

    "Saya dengar, pemerintah sudah mengkaji soal itu, karena para ahli di seluruh dunia juga mengkaji dampak radiasi nuklir Jepang itu," kata Wakil Ketua Komisi IX DPR Ahmad Nizar Shihab.

    Ia mengemukakan hal itu di sela-sela kunjungan kerja sembilan anggota Komisi IX DPR di kampus Unair Surabaya.

    "Yang jelas, pembangunan PLTN itu harus didasarkan penelitian atau kajian yang mendalam bukan sekadar bencana di negara lain seperti Jepang," kata wakil ketua dari komisi yang membidangi kesehatan, kependudukan, tenaga kerja, dan transmigrasi itu.

    Penerimaan Masyarakat Terhadap Nuklir Rendah

  • HMINEWS.Com Tingkat pengetahuan dan penerimaan masyarakat terhadap teknologi nuklir masih rendah. Hal ditunjukkan dalam hasil survey nasional oleh BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional).

    Pada tahun 2011 telah dilakukan jajak pendapat iptek nuklir dengan sebaran responden 5.000 orang meliputi 33 provinsi. Diperoleh persentase tingkat penerimaan masayarakat terhadap iptek nuklir sebesar 49,5 menerima, 35,5% menolak dan 15% tidak tahu. Dari hasil jajak tersebut juga diketahui bahwa tingkat pengetahuan masyarakat terhadap iptek nuklir sangat rendah, kata Baskoro, Koordinator Pusat PT Andira Karya Persada dalam pelatihan koordinator wilayah survey BATAN di Wisma Kadeka, Pasar Minggu, Sabtu (6/10/2012).

    PT Andira merupakan mitra BATAN dalam melakukan survey yang dilakkan di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Bali.

    Hasil tersebut akan menjadi pijakan dalam menentukan strategi kegiatan sosialisasi dan disseminasi nuklir kepada masyarakat selanjutnya secara terpadu.

    Pada jajak tahun ini akan dilaksanakan di 33 provinsi dengan jumlah responden 5000 orang dewasa, mulai 7-22 Oktober 2012.

    Kepala Bidang Evaluasi dan Dokumentasi BATAN, Dedy Miharja mengatakan penelitian, pengembangan dan perekayasaan nuklir terbagi dua bidang: energi dan non energi.

    Untuk bidang energi diharapkan dapat mengatasi krisis listrik nasional. Apalagi kini telah ada Perpres No 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang menyebutkan energi nuklir 5 persen di samping sumber energi lain, terbarukan maupun tidak terbarukan.

    Disamping itu, sesuai UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), energi nuklir ditargetkan berkontribusi pada pemenuhan energi listrik pada tahun 2016, pungkas Dedy.

    Hasil Survei, Pengetahuan Nuklir Masyarakat Rendah

    JAKARTA - Dari hasil jajak pendapat yang dilakukan PT Andira Karya Persada, mayoritas masyarakat Indonesia masih memiliki pengetahuan yang minim terkait teknologi nuklir. Maka tak heran, 62 persen masyarakat tidak mengetahui manfaat teknologi nuklir, dan hanya 31 persen yang mengetahui pemanfaatan teknologi nuklir. "Dari hasil jajak pendapat yang kami lakukan, kami melihat bahwa pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai teknologi cukup minim," papar Bra Baskoro saat menjelaskan Temuan Jajak Pendapat Iptek Nuklir 2012 di kantor Batan, Jakarta (23/11/2012). Dari 4 ribu responden yang berasal dari seluruh wilayah di Tanah Air, 40,91 persen masyarakat cenderung mengetahui nuklir dimanfaatkan untuk energi, 28,54 persen untuk persenjataan atau militer, 16,99 persen untuk kesehatan, dan 0,12 persen untuk peternakan. "Hasil ini akan kami gunakan untuk mengevalusi dan mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa nuklir dapat dimanfaatkan untuk kesehatan, pertanian, peternakan dan sebagainya. Yang perlu diingat penggunaan nuklir di Indonesia tidak sebagai persenjataan dan hanya digunakan untuk kepentingan damai," kata Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Sulistio Wisnubroto. Sementara itu, dari hasil jajak pendapat yang dilakukan PT Andira karya Persada pada 7 Oktober hingga 21 Oktober 2012, menemukan bahwa 52,7 persen dari keseluruhan responden menerima pembangunan fasilitas Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Tanah Air, sedangkan 25,23 persen tidak setuju dan 22,83 persen tidak tahu. Angka ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, di mana pada 2011, terjadi penurunan penerimaan pembangunan PLTN dengan 49,5 persen setuju, 35,5 persen responden menolak, dan 15 persen tidak tahu.

  • "Ada yang menarik dari hasil jajak pendapat tahun ini, di mana angka penerimaan meningkat dan penolakan menurun dan suara mereka berpindah ke tidak tahu, ke depan angka penerimaan masyarakat diperkirakan akan meningkat," tandas Baskoro. (amr)

    Ribuan demonstran telah berunjuk rasa di Indonesia, Jawa Tengah, meminta pemerintah untuk membatalkan rencana untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir di pinggiran kota mereka. Pemerintah, di bawah tekanan yang meningkat untuk meningkatkan pasokan energi bagi bangsa keempat terpadat di dunia, berencana untuk membangun pabrik pertama di kaki Gunung Muria, gunung berapi aktif di pesisir utara pulau Jawa. Polisi mengatakan hampir 4.000 penduduk setempat, mahasiswa dan aktivis anti-nuklir turun ke jalan-jalan di kota Kudus, sekitar 30 kilometer dari gunung berapi. Lilo Sunarya, salah satu penyelenggara protes, mengatakan Pemerintah kabupaten akan mengirim surat ke Jakarta, mendesak otoritas nasional untuk membatalkan proyek tersebut karena khawatir akan bahaya yang ditimbulkan oleh limbah nuklir. Mr Sunarya mengatakan bahwa meskipun pabrik nuklir ini diharapkan dapat menghasilkan listrik untuk 40 sampai 50 tahun, limbah yang diciptakan bisa mengancam kesehatan penduduk setempat selama berabad-abad. Pemerintah Indonesia dipetieskan rencana untuk mengembangkan energi atom pada tahun 1997 dalam menghadapi oposisi publik pemasangan dan penemuan dan eksploitasi ladang gas Natuna yang besar. Namun rencana muncul kembali pada tahun 2005 di tengah kekurangan tenaga listrik meningkat dan sebagai bagian dari dorongan pemerintah untuk mengembangkan dan diversifikasi sumber daya energi. Badan Energi Atom Internasional telah didukung rencana Indonesia untuk membangun pembangkit nuklir, meskipun ada penentangan dari lingkungan. Greenpeace mengatakan rencana tersebut menimbulkan bahaya bagi rawan gempa Indonesia dan negara-negara tetangganya.

    fPersepsi dan Penerimaan Masyarakat terhadap PLTN

    "Hingga kini, energi nuklir tetap pilihan terakhir. Apalagi dengan ditemukannya beberapa sumber gas alam di Natuna, Irian Jaya,

    Kalimantan dan lain-lain. Penggunaan energi nuklir di Indonesia bahkan akan mundur dari tahun 2003 menjadi beberapa puluh

    tahun kemudian, bisa tahun 2020, bisa tahun 2030, tergantung analisis yang akan dilakukan terhadap skenario kebijakan energi

    nasional jangka panjang," kata Menristek/Ketua BPPT B.J. Habibie pada pembukaan Konferensi Energi, Sumber Daya Alam dan

    Lingkungan di Jakarta, 11 Maret 1997.

    Di lain pihak, kapanpun PLTN (bila jadi) dibangun, memberikan pengetahuan iptek nuklir kepada masyarakat secara obyektif perlu

    dilakukan, seperti saran H.A. Amiruddin, Ketua Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia pada Lokakarya Energi Nasional 16-18

    Oktober 1996. Berikut kutipan makalah H.A. Aminuddin secara lengkap.

    Pendahuluan

    Ada dua cara untuk menghasilkan listrik secara ekonomis dalam skala besar. Pertama menggunakan tenaga air dan kedua

    menggunakan tenaga panas. Tenaga air memanfaatkan energi grafitasi air terjun, sedangkan tenaga panas memanfaatkan energi

    yang terdapat pada uap bertekanan tinggi. Kedua-duanya untuk memutar turbin dan generator listrik. Murahnya pusat listrik tenaga

    air (PLTA) karena ia tidak memerlukan bahan bakar. Bahan bakar PLTA disuplai secara tidak langsung dari energi surya melalui

    siklus hidrologik. Jadi PLTA satu-satunya pemanfaatan energi surya sebagai pembangkit listrik yang layak secara ekonomi. Uap

    bertekanan tinggi pada pusat listrik tenaga uap dapat diperoleh dengan cara membakar batubara, minyak, gas kayu dan bahan-

    bahan lain yang dapat terbakar untuk memanaskan air. Pemanasan air ini juga dapat ditempuh dengan memanfaatkan energi

    yang dikeluarkan melalui proses pembelahan inti atom uranium (proses fissi inti). Pusat listrik yang terakhir ini dikenal dengan

    nama Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

    Dalam sudut pandang kebutuhan energi di masa sekarang dan akan datang, sebagian besar masyarakat sepakat bahwa

    Indonesia harus meningkatkan suplai energinya, terutama energi listrik yang peningkatan kebutuhannya untuk kini saja gagal

    diantisipasi oleh PLN. Selain listrik merupakan salah satu komponen dalam perhitungan produk domestik bruto (PDB), ia

    mempunyai peranan lain yaitu sebagai pendorong perekonomian, sehingga ada suatu korelasi antara konsumsi energi listrik dan

    keadaan perekonomian suatu masyarakat. Namun demikian, dari beberapa sumber energi yang ada perlu ditentukan beberapa

    alternatif pilihan. Alternatif-alternatif tersebut sudah sering ditawarkan oleh pemerintah dan telah banyak dibahas, dikaji dan

    dikomentari oleh para pakar energi, pakar listrik maupun masyarakat umum.

    Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana presepsi dan penerimaan masyarakat bila PLTN dipilih sebagai salah satu alternatif

    dalam pemenuhan kebutuhan energi listrik di masa mendatang. Dilihat secara garis besar pasang surut perkembangan

    pandangan masyarakat dunia tentang PLTN sejak berakhirnya perang dunia II hingga sekarang, kemudian hanya secara garis

  • besar, karena harus diakui bahwa hingga kini belum ada studi yang mendalam dan objektif dalam rangka mengukur presepsi atau

    penerimaan masyarakat terhadap kehadiran PLTN di Indonesia, akan dibahas berbagai pandangan yang berkembang di

    masyarakat tentang perlu tidaknya PLTN di Indonesia yang akhir-akhir semakin marak.

    Pandangan Masyarakat Terhadap PLTN

    Pada awalnya, ada kegairahan pasca perang terhadap segala sesuatu yang bersifat ilmiah yang telah dicakup oleh iptek nuklir,

    yang menimbulkan optimisme di kalangan media bahwa mobil dan listrik tenaga atom akan membuatnya "terlalu murah untuk

    diukur". Media memaklumkan bahwa "abad atom telah mulai". Tiga puluh tahun kemudian, pada pertengahan tahun 70-an mulai

    muncul suatu reaksi karena impian tentang tentang segalanya bertenaga nuklir ternyata tidak realistis. Pada kondisi ini, suara kritis

    dari gerakan anti nuklir mulai mendapat liputan lebih besar dari media.

    Pembalikan opini masyarakat besar-besaran terjadi setelah kecelakaan reaktor nuklir Three Mile Island (TMI) di Amerika Serikat

    pada tahun 1979. Kecelakaan ini konon disebabkan oleh kombinasi antara kegagalan salah satu bagian peralatan dan kesalahan

    operator yang akhirnya menyebabkan melelehnya sebagian dari bahan bakar di teras reaktor karena kehilangan air pendingin.

    Namun demikian pada kecelakaan itu struktur pembungkus reaktor berperilaku sebagaimana yang dirancang sehingga sangat

    sedikit zat radioaktif yang terlepas keluar bangunan reaktor. Sementara itu efek jangka panjang terhadap kesehatan diperkirakan

    kurang dari satu kematian statistik pada populasi yang berjumlah lima juta orang.

    Media memperlakukan TMI sebagai bencana besar dan bukan sekedar kecelakaan suatu industri mahal. Perlakuan ini sedikit

    banyak dibantu oleh pejabat hubungan masyarakat industri nuklir yang bertindak tidak pada tempatnya dan klaim yang berlebihan

    dari gerakan anti nuklir. Dengan terjadinya kecelakaan ini menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap tenaga nuklir

    sebagai pembangkit listrik yang aman. Kemudian ditambah lagi dengan terjadinya kecelakaan reaktor Chernobyl pada bulan April

    1996. Kecelakaan ini menelan korban 31 orang meninggal, 200 orang luka-luka dan sekitar 135 ribu orang pada zone 30 km di

    sekeliling reaktor dievakuasi, dan sebagian hingga kini belum diperkenankan kembali. Kontaminasi radioaktif tingkat rendah

    terbawa angin ke daerah yang lebih luas di Uni Sovyet dan Eropa.

    Gerakan anti-nuklir di dunia muncul sejak tahun 1950-an ketika Uni Sovyet meledakkan senjata nuklirnya yang pertama pada

    tahun 1949 yang disusul oleh Inggris pada tahun 1952. Motivasi awal gerakan ini adalah menentang penggunaan nuklir oleh

    pemerintah mereka untuk senjata pemusnah. Gerakan yang juga menyokong gerakan kampanye anti-nuklir adalah apa yang bila

    sebutannya diperhalus disebut gerakan kaum "environmentalis". Kata ini perlu diberi tanda petik karena sebenarnya sekarang ini

    setiap orang dapat disebut sebagai kaum environmentalis. Tidak ada seorangpun yang tidak suka mandi di air yang bersih atau

    bernafas di udara yang bersih. Sasaran utama dari gerakan ini pada awalnya adalah menentang meningkatnya kontaminasi dan

    polusi lingkungan dan industri. Mereka mempunyai kecocokan dengan gerakan anti-nuklir karena salah satu polutan di alam ini

    adalah radiasi nuklir.

    Persepsi Penerimaan Masyarakat Indonesia

    Introduksi PLTN di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1968 melalui seminar Cipayung atas prakarsa Dirjen Tenaga Listrik,

    Departemen PUTL bekerjasama dengan Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN). Seminar berikutnya diselenggarakan di

    Yogyakarta pada tanggal 19-24 Januari 1970 yang melahirkan usulan dibentuknya Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2-

    PLTN). Sejak saat itu, teknologi PLTN mulai mendapat perhatian serius oleh para ahli nuklir di Indonesia. Persiapan lebih serius

    dimulai setelah Presiden pada tanggal 11 Desember 1989, meresmikan labolatoria BATAN, LIPI dan BPPT dikawasan Puspitek

    Serpong, menginstruksikan agar dilakukan usaha persiapan sebaik-baiknya untuk membangun suatu PLTN di Indonesia. Instruksi

    tersebut dipertegas pada saat peresmian pemakaian beberapa instalasi nuklir yang terletak dikawasan yang sama pada tanggal

    12 Desember 1990. Instruksi Presiden ini memberikan dorongan dan pegangan yang kuat bagi para pekerja di bidang penyediaan

    energi listrik yang selama ini masih merasa ragu untuk merencanakan program energi nuklir di Indonesia. Keraguan ini jelas

    beralasan karena gencarnya kampanye sekelompok orang yang kurang menyukai pembangkit energi listrik tenaga nuklir. Bagi

    sebagian anggota masyarakat, kata-kata nuklir mengandung rasa ngeri. Hal ini mudah dipahami karena pertama kali terjadi

    pemboman nuklir atas Hirosima dan Nagasaki tahun 1945 dengan korban jiwa yang tidak sedikit. Usaha persiapan pembangunan

    PLTN tersebut dijabarkan secara lebih kongkrit dengan keputusan BAKOREN yang menunjuk Batan untuk memulai kegiatan yang

    terarah menuju pembangunan PLTN. Untuk itu BATAN melakukan pemutakhiran studi kelayakan Pembangunan PLTN yang

    dimulai sejak akhir tahun 1991 dan berakhir pada pertengahan tahun 1996 ini.

    Seiring dengan rencana pemerintah membangun PLTN tersebut, di dalam masyarakat berkembang tanggapan-tanggapan yang

    bernada setuju dan tidak setuju atau paling tidak bertanya-tanya mengenai rencana tersebut. Akhir-akhir ini sikap setuju dan tidak

    setuju makin marak berkenaan dengan hampir selesainya studi kelayakan, yang kemudian secara kebetulan disusul dengan

  • adanya RUU Tenaga Nuklir yang diusulkan pemerintah ke DPR. Yang perlu mendapat perhatian dari hasil studi tersebut adalah

    bahwa dari pihak yang tidak setuju sebagian besar tinjauan yang ditampilkan adalah dari sisi sosio-kultural, politik, ekonomi, dan

    lingkungan dengan sedikit porsi tinjauan teknis, sedangakan dari pihak yang setuju sebagaian besar tinjauan dari sisi teknis dan

    implementasi pembangunannya semata dan dianggap kurang mengakomodasi pertimbangan-pertimbangan sosial, kultural,

    ekonomi dan politis. Menarik pula dipaparkan kembali di sini menurut studi tersebut, lantunan yang sifatnya netral dan informatif

    sebagaian besar merupakan tinjauan dari segi teknis dan implementasi, sedangkan lantunan yang sifatnya setuju umumnya

    merupakan propaganda (impelentasi, krisis energi, dan pemasyarakatan). Meskipun validitas studi tersebut masih dapat

    dipertanyakan, namun paling tidak dapat memberikan gambaran kasar bahwa selama ini ada kesenjangan informasi yang perlu

    dipertemukan antara yang dilantunkan oleh pihak yang setuju dan tidak setuju. Sedikitnya porsi teknis yang dilantunkan oleh pihak

    yang tidak setuju adalah wajar karena latar belakang pengetahuan mereka tentang PLTN sebenarnya sangat minim. Oleh karena

    itu merupakan tantangan bagi pihak yang setuju untuk menyajikan yang benar dan objektif ditinjau dari sisi sosio-kultural, politik,

    ekonomi dan lingkungan dengan porsi yang lebih besar sehingga dapat mengimbangi lantunan teknisnya.

    Secara garis besar, masyarakat yang kurang senang akan kehadiran PLTN dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, pertama

    adalah kelompok masyarakat awam, bagi mereka nuklir menimbulkan rasa takut, karena kurang paham terhadap sifat-sifat atau

    karakter nuklir itu. Termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa budayawan, politikus, tokoh keagamaan dan beberapa anggota

    masyarakat umum lainnya. Ke dua adalah masyarakat yang sedikit pahamnya tentang nuklir. Mereka menyangsikan kemampuan

    orang Indonesia dalam megoperasikan PLTN dengan aman, termasuk pengambilan limbah radioaktif yang timbul dari

    pengoperasian PLTN itu. Termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa LSM dan kalangan akademis. Ke tiga adalah kelompok

    masyarakat yang cukup paham tentang nuklir tetapi mereka menolak kehadiran PLTN. Karena mereka melihat PLTN dari

    kacamata berbeda sehingga keluar argumen-argumen yang berbeda pula. Termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa pejabat

    dan mantan pejabat pemerintah yang pernah berhubungan dengan masalah keenergian, kelistrikan dan penukliran.

    Beberapa Usaha Pemasyarakatan PLTN

    Secara umum dapat disarankan memberikan pengetahuan iptek nuklir secara obyektif kepada masyarakat yang belum terkena

    pengaruh gerakan anti-nuklir adalah cara termudah untuk menghambat kampanye anti-nuklir. Untuk membendung pengaruh

    tersebut, berikut ini disajikan beberapa di antara banyak langkah yang mungkin dapat ditempuh antara lain :

    Meluruskan pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai dengan kenyataan Aktivitas anti-nuklir pada umumnya akan megeluarkan pernyataan-pernyataan yang sebenarnya keliru namun diucapkan secara berulang-ulang. Informasi y ang keliru ini bila tidak dikoreksi akan menjadi kontraversi dalam masyarakat. Sebagai "PLTN dapat meledak seperti bom atom ". Pada kenyataannya tidak mungkin suatu reaktor nuklir dapat meledak seperti bom atom. Hukum fisika tidak memungkinkan itu terjadi. Namun ketidakbenaran ini bila diucapkan berulang-ulang lambat atau cepat semakin banyak orang menerimannya. Contoh yang lebih aktual adalah khabar "akan terjadi penggusuran besar-besaran terhadap penduduk di sekitar calon tapak PLTN". Padahal kenyataannya PLTN merupakan suatu industri energi yang relatif tidak memakan tempat dibandingkan industri energi lain. Memberikan perbandingan resiko antara PLTN dengan aktivitas lain Gerakan anti nuklir biasanya dilatarbelakangi oleh adanya ketakutan terhadap kecelakaan nuklir. Sekecil apapun kecelakaan tersebut pasti akan dijadikan alat untuk kampanye anti nuklir. Pada umumnya aktivis anti-nuklir menolak untuk membuat perbandingan antara resiko PLTN dengan resiko kegiatan manusia sehari-hari yang lain. Padahal di dunia ini tidak ada kegiatan manusia yang bebas resiko, apakah itu mengendarai mobil, menumpang pesawat, membangun dan mengoperasikan pabrik kimia dan termasuk pula mengoperasikan PLTN. Semua kegiatan mengandung resiko, meskipun beberapa kegiatan memiliki resiko yang sangat kecil. Dalam hal pembangkit energi, secara teknis tidak ada pembangkit energi yang mempunyai faktor resiko lebih kecil daripada PLTN. Mengganti emosi dengan akal sehat Masyarakat anti nuklir amat mahir membangun kecemasan masyarakat terhadap kanker akibat radiasi, demikian pula efek genetik akibat radiasi yang sifatnya stokastik sering dilebih-lebihkan sehingga menimbulkan kecemasan yang berlebihan terutama terhadap wanita. Dengan demikian penjelasan yang abyektif terhadap masalah tersebut dari pihak yang berkompeten (misal dari dokter ahli di bidang tersebut) sangat diperlukan. Menguasai media sepenuhnya Media memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk opini masyarakat. Memang harus diakui bahwa karena minimnya pengetahuan para wartawan tentang nuklir, media mengalami kesulitan dalam memberikan cerita yang sebenarnya. Para wartawan sering tidak cukup memiliki pengetahuan tentang suatu topik agar mampu membedakan cerita nuklir yang benar dan sekedar isapan jempol. Akibatnya meskipun jika ceritannya menguntungkan industri nuklir, namun karena desakan keseimbangan berita, media juga harus mengakomodasikan suara-suara dari sudut pandang anti-nuklir. Disinilah kesempatan yang ditunggu-tunggu oleh gerakan anti nuklir, karena dengan model pemberitaan seperti ini orang awam menjadi bingung siapa yang benar dan siapa yang salah.

  • Bekerja secara hati-hati dan cermat sehingga hal-hal yang dikhawatirkan masyarakat benar-benar tidak terbukti.

    Secara obyektif, PLTN merupakan suatu industri energi yang relatif paling aman dibandingkan dengan industri energi yang lain.

    Namun oleh kalangan masyarakat anti-nuklir PLTN dianggap sebagai industri energi yang paling berbahaya. Sikap hati-hati

    tersebut misalnya dengan tidak berlaku gegabah dengan menggangap bahwa seluruh PLTN itu aman sebagimana 426 Unit PLTN

    yang sekarang beroperasi di dunia. Jadi setiap PLTN yang akan dibangun harus selalu diteliti dan diawasi kendalanya mulai dari

    sejak tahap persiapan, pengembangan dan pengoperasian.

    Mengapa Masyarakat Menolak PLTN ?

    Trauma nuklir yang menghinggapi masyarakat berawal dari kenyataan bahwa pemanfaatan energi nuklir adalah untuk keperluan perang. Penggunaan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki Jepang pada Agustus 1945 untuk mengakhiri Perang Dunia II, membentuk persepsi masyarakat tentang pemanfaatan nuklir yang destruktif dan tidak manusiawi.

    ISU tentang pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) kembali menghangat. Sebagaimana diberitakan Suara Merdeka dan Kompas (8/12-2006), Pemerintah melalui Kementerian Negara Riset dan Teknologi tetap akan merealisasi rencana pembangunan (PLTN) meskipun masih muncul pro dan kontra di kalangan masyarakat.

    Keputusan itu mengundang kekhawatiran berbagai kelompok masyarakat di Jepara serta Kudus dan sekitarnya, khususnya yang bergabung dalam Masyarakat Rekso Bumi (Marem).

    Rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Jepara, memiliki sejarah yang panjang. Pada 1982, rencana itu telah dirintis oleh Badan Tenaga Atom Nasional(BATAN) dengan mengkaji rencana tapak dan menghimpun pandangan masyarakat tentang PLTN. Pro dan kontra juga telah menyeruak ke permukaan. Gus Dur waktu itu mengancam akan tidur di sekitar proyek kalau sampai PLTN itu terhenti ketika Menristek Habibie menyatakan bahwa PLTN baru akan dibangun jika alternatif lain sudah tidak ada.

    Namun demikian, selama beberapa tahun terakhir ini, gagasan merealisasi pembangunan PLTN itu mencuat kembali. BATAN aktif menggandeng dua pusat penelitian dari sebuah perguruan tinggi untuk menginventariasi kondisi sosial ekonomi dan pandangan masyarakat terhadap proyek tersebut. Hasil penelitian yang dipresentasikan pada seminar di Jepara Juli 2006 mengundang banyak pertanyaan, karena simpulannya menyebutkan bahwa responden yang menyatakan setuju jumlahnya lebih besar ketimbang yang menentang. Kendatipun misalnya hasil penelitian itu valid, pemprakarsa proyek tetap harus memperhatikan kelompok yang kontra, karena mereka merupakan bagian dari stakeholder. Lebih dari itu, keberlanjutan sebuah proyek sangat bergantung kepada tingkat penerimaan masyarakat (social acceptance). Tulisan berikut menelaah mengapa masyarakat menolak PLTN.

    Trauma Nuklir

    Polemik tentang PLTN, sebagai sistem pembangkit listrik melalui konversi energi nuklir menjadi energi listrik, berkaitan dengan keselamatan reaktor dan keluaran limbah radioaktif yang termasuk dalam kategori limbah beracun (B3 ).

    Dengan dua isu utama itu dampak sosial yang muncul sebagai akibat pembangunan PLTN bukan hanya bersifat standar atau baku seperti terciptanya kesempatan kerja, kesempatan berusaha, timbulnya gangguan kenyamanan karena kemacetan lalu lintas, bising, getaran, debu, melainkan juga dampak yang bersifat spesifik seperti rasa cemas, khawatir dan takut yang besarnya tidak mudah dikuantifikasi. Dalam terminologi dampak sosial, dampak yang demikian itu disebut perceived impact atau dampak yang dipersepsikan.

  • Berbeda dengan dampak standar yang bersifat tangible dan mudah diukur, dampak persepsi muncul karena adanya pandangan masyarakat terhadeap proyek yang berhubungan dengan risiko yang mungkin timbul. Dalam konteks PLTN, persepsi itu terbentuk karena kekhawatiran masyarakat terhadap potensi kecelakaan, kebocoran atau kesalahan operasi. Dampak-dampak seperti itu kemudian bisa mewujud dalam bentuk rasa was-was, takut, dan cemas yang kemudian diekspresikan dalam sikap penolakan yang kadang disertai dengan tindakan kekerasan.

    Persepsi masyarakat tersebut tumbuh karena pengetahuan terhadap proyek sejenis di tempat lain. Kasus penolakan masyarakat disertai kekerasan terhadap proyek sejenis TPST (tempat pengolahan sampah terpadu ) di Bojong, Jawa Barat, dipicu oleh kenyataan akan buruknya pengolahan sampah di tempat lain seperti di Bantargebang, Bekasi, Sukolilo, Surabaya, dan di tempat-tempat lain. Dalam pandangan masyarakat, yang namanya tempat pengolahan akhir (TPA ) sampah identik dengan kumuh, bau, debu, lalat, ceceran sampah dan kontaminasi air tanah. Berbagai dampak tersebut ditengarai menjadi penyebab menurunnya nilai properti (rumah dan tanah).

    Bagaimana dengan PLTN ? Trauma nuklir yang menghinggapi masyarakat berawal dari kenyataan bahwa pemanfaatan energi nuklir adalah untuk keperluan perang. Penggunaan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki Jepang pada Agustus 1945 untuk mengakhiri Perang Dunia II, membentuk persepsi masyarakat tentang pemanfaatan nuklir yang destruktif dan tidak manusiawi.

    Citra menakutkan itu diperburuk oleh beberapa peristiwa kebocoran, seperti di Chernobyl dan Three Mile Island. Malapetaka di kedua tempat itu selalu menjadi referensi masyarakat lokal untuk menolak kehadiran PLTN. Hal demikian terjadi pada waktu masyarakat lokal di Warman, Saskatchawan, Kanada, menolak rencana pembangunan penyulingan uranium. Sikap penduduk yang didokumentasikan dalam buku Why People Say No itu didasari oleh peristiwa kebocoran di Three Mite Island dan di Port Hope, Ontario, Kanada. Buku itu menyebutkan bahwa hasil penyulingan uranium yang dipergunakan sebagai bahan bakar pembangkit nuklir ternyata sama bahayanya dengan pembangkit tenaga nuklir.

    Limbah Radioaktif

    Isu kedua yang memicu masyarakat untuk menolak kehadiran PLTN adalah tentang limbah radioaktif. Dalam operasinya, PLTN akan menghasilkan limbah radioaktif yang termasuk dalam kategori limbah khusus berbahaya. Sebagaimana dikemukakan Sasongko (2006), penumpukan bahan radioaktif hasil belahan dan bahan-bahan radioaktif pada sistem pendingin berpotensi tersebar keluar jika terjadi kebocoran/ kecelakaan reaktor. Radiasi yang berasal dari bahan radioaktif dapat menimbulkan kontaminasi terhadap manusia dan biosfernya. Prosedur dan standar keselamatan PLTN yang dilakukan di beberapa negara untuk mengelola potensi bahaya PLTN selama ini memang ditujukan untuk memberikan perlindungan lingkungan. Namun demikian, terjadinya kasus-kasus kebocoran dan kecelakaan PLTN mengundang pertanyaan sekelompok masyarakat yang kritis dan skeptis tentang efektivitas prosedur dan keselamatan tersebut.

    Keandalan PLTN berkembang menjadi isu kritis yang menimbulkan kekawatiran masyarakat. Armour (1988), pakar studi dampak sosial dari Kanada, mencatat sebab utama munculnya penggalangan warga Amerika Serikat dan Kanada untuk menolak kehadiran proyek nuklir adalah karena ketidakmampuan teknologi di dalam menanggulangi konsekuensi sosial dan ekologis.Kondisi tersebut akan menyebabkan setiap proyek yang dianggap akan mengusik keselamatan masyarakat dan lingkungan ditentang habis-habisan. Gerakan semacam itu disebut sebagai sindrom NIMBY (Not In My Back Yard atau jangan letakkan proyek itu di sekitar permukiman saya). Suka atau idak, fasilitas pembangkit tenaga nuklir dalam kamus masyarakat lokal di Amerika Utara (AS dan Kanada) masuk dalam kategori NIMBY. Di Indonesia, sindrom NIMBY telah merasuki sanubari masyarakat terhadap proyek TPA sampah dan di beberapa tempat untuk proyek jaringan transmisi.

    Selama ini, pemprakarsa PLTN selalu memaparkan keandalan teknologinya yang menjamin keamanan dan keselamatan. Namun demikian, rasanya masih sulit untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka tidak akan memikul risiko. Dampak sosial yang sifatnya spesifik memang sulit dikuantifikasi. Keuntungan-keuntungan yang mungkin diraup oleh masyarakat luas oleh kehadiran proyek (dalam bentuk penyediaan energi dan kesempatan kerja), belum mampu menghilangkan kekhawatiran atau derita yang mungkin akan dialami oleh masyarakat di sekitar proyek. Kelompok-kelompok masyarakat yang senantiasa dihinggapi kekawatiran itu layak mendapat perhatian sepadan.

  • Mengutip pandangan Finsterbusch (1989) dan Cernea (1991), dua pakar sosial dari Amerika Serikat, keputusan publik yang hanya mendasarkan pada hasil pembobotan akan menimbulkan ketidakadilan dan mengabaikan demokrasi serta kesederajatan. Sumber: Suara Merdeka