Reaksi Reversal Htmpth

28
REAKSI REVERSAL I.PENDAHULUAN Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. 1 Kusta atau yang dikenal juga sebagai Morbus Hansen (MH) merupakan infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang manifestasi klinisnya terutama pada kulit dan saraf tepi. 2,3,4 Bakteri ini bersifat intraseluler obligat. 3,4,5 Kerusakan saraf yang paling sering muncul dapat berupa hilangnya sensasi dan paralisis. 6 Dalam perjalanannya sebagai penyakit kronik, pada kusta sering timbul suatu reaksi, reaksi ini terbagi atas dua bentuk, yaitu reaksi tipe 1 (reaksi reversal) dan reaksi tipe 2 (ENL). 1,7,8,9 Reaksi tipe 1 dapat ditandai oleh adanya neuritis akut dan atau inflamasi akut pada kulit. 2 Reaksi ini disebabkan oleh peningkatan respon Cell-Mediated Immunity (CMI) terhadap M. leprae yang melibatkan sistem imunologi seluler. 4,5,8,9 Umumnya dijumpai pada penderita kusta tipe non polar yaitu Borderline Tuberculoid (BT), Borderline Borderline (BB), dan Borderline Lepromatosa (BL). 9,10,11 Sedangkan reaksi tipe 2 (ENL) melibatkan sistem imunologi humoral. 1,7,9,10 1

description

sghagda

Transcript of Reaksi Reversal Htmpth

Page 1: Reaksi Reversal Htmpth

REAKSI REVERSAL

I. PENDAHULUAN

Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha,

dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi.1 Kusta atau yang dikenal juga sebagai

Morbus Hansen (MH) merupakan infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan

oleh Mycobacterium leprae yang manifestasi klinisnya terutama pada kulit dan saraf

tepi.2,3,4 Bakteri ini bersifat intraseluler obligat.3,4,5 Kerusakan saraf yang paling

sering muncul dapat berupa hilangnya sensasi dan paralisis.6

Dalam perjalanannya sebagai penyakit kronik, pada kusta sering timbul suatu

reaksi, reaksi ini terbagi atas dua bentuk, yaitu reaksi tipe 1 (reaksi reversal) dan

reaksi tipe 2 (ENL).1,7,8,9 Reaksi tipe 1 dapat ditandai oleh adanya neuritis akut dan

atau inflamasi akut pada kulit.2 Reaksi ini disebabkan oleh peningkatan respon Cell-

Mediated Immunity (CMI) terhadap M. leprae yang melibatkan sistem imunologi

seluler.4,5,8,9 Umumnya dijumpai pada penderita kusta tipe non polar yaitu Borderline

Tuberculoid (BT), Borderline Borderline (BB), dan Borderline Lepromatosa

(BL).9,10,11 Sedangkan reaksi tipe 2 (ENL) melibatkan sistem imunologi humoral.1,7,9,10

Terdapat dua keadaan yang termasuk reaksi tipe 1, yaitu up-grading reaction

(reaksi reversal) dan down-grading reaction.5,11 Pada referat ini akan dibahas lebih

lanjut tentang reaksi reversal.

II. EPIDEMIOLOGI

Menurut Data Kusta Nasional Tahun 2000, sebanyak 5% penderita kusta

mengalami reaksi kusta. Penderita tipe PB dapat mengalami reaksi kusta sebanyak 1

kali dan penderita MB sebanyak 2 kali. Menurut Pieter A.M Schreuder (1998),

sebanyak 12% penderita kusta mengalami reaksi tipe I selama masa pengobatan dan

1,6% terjadi setelah penderita Release from Treatment (RFT). Penelitian R. Bwire

dan H.J.S Kawuma (1993) menyatakan bahwa reaksi kusta dapat terjadi sebelum

1

Page 2: Reaksi Reversal Htmpth

pengobatan adalah 14,8%, selama pengobatan 80,5%, dan setelah pengobatan 4,7%.

Studi dari Scollard D.M, et al, menyimpulkan bahwa frekuensi terjadinya reaksi tipe I

adalah 32% dan frekuensi reaksi tipe II 37%. Frekuensi terjadinya reaksi kusta

menurut jenis kelamin adalah pada wanita 47% dan laki-laki 26%.12

III. ETIOLOGI

Pada reaksi reversal atau reaksi up-grading terjadi perubahan status imunologi

pasien, yaitu peningkatan respon Cell-Mediated Immunity (CMI).1,7 Tetapi

etiopatogenesis dari peningkatan Cell-Mediated Immunity (CMI) ini tidak diketahui

secara pasti, namun diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas

tipe lambat.1

Berbagai faktor yang merupakan faktor predisposisi terjadinya reaksi kusta

misalnya penderita dalam kondisi lemah, kehamilan, sesudah mendapat imunisasi,

dan stres.7

IV. PATOGENESIS

Meskipun reaksi kusta merupakan manifestasi klinik yang berat, penyebabnya

belum dapat diketahui dan patogenesisnya hanya sedikit yang dapat diterangkan.

Pada pendeirta kusta, Mycobacterium leprae dapat ditemukan di seluruh tubuh seperti

saraf, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Perubahan patologik dari saraf biasanya

merupakan respon dari ditemukannya Mycobacterium leprae dalam kulit yang

memunculkan reaksi imunologik pada penderita. Beberapa penderita mengalami

perluasan lesi dan rekuren yang berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-

tahun hingga menjadi kronik.12

Pada penderita yang mengalami pengobatan Multidrugs Therapy (MDT),

sebanyak 99,9% kuman kusta akan terbunuh, tetapi sekitar 30% penderita akan

mengalami reaksi tipe I. 13 Sisa kuman kusta yang mati atau pecah akan dibersihkan

sistem imun tubuh yang terkadang memicu terjadinya reaksi kusta. Reaksi kusta tipe I

2

Page 3: Reaksi Reversal Htmpth

merupakan reaksi hipersensitifitas tipe lambat, hal ini disebabkan rangsangan kuman

patogen secara terus menerus dan berkelanjutan. 12

Antigen yang berasal dari produk akibat basil yang telah mati akan bereaksi

dengan limfosit T disertai perubahan sistem imunitas seluler yang cepat. Pada

dasarnya reaksi ini terjadi akibat perubahan keseimbangan antara CMI dan basil.

Sehingga sebagai hasil akhir reaksi dapat terjadi up-grading, apabila menuju ke arah

bentuk tuberkuloid (terjadi peningkatan imunitas seluler) atau down-grading bila

menuju ke bentuk lepromatosa (terjadi penurunan imunitas seluler).5 Pasien BT dapat

mengalami down-grading tanpa pengobatan. Pasien multibasiler, khususnya mereka

yang berada di BL, kebanyakan mengalami up-grading setelah kemoterapi. Pasien

BB merupakan pasien yang paling tidak stabil dan akan bergerak dalam kedua kasus,

tuberkulous maupun lepromatous. Aspek yang paling penting dari reaksi tipe 1 bukan

kulit namun kondisi saraf tepi, dimana proses inflamasi terjadi. Reaksi menyebabkan

peningkatan inflamasi dan edema intraneural yang merusak. 8

V. GEJALA KLINIK

Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang

telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif

singkat.4,12 Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema makin

eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama

menjadi bertambah luas. Tidak perlu semua gejala harus ada, satu saja sudah cukup.1,3

Kadang-kadang terjadi edema pada wajah, tangan dan kaki; nyeri dan atau kelemahan

saraf; dan penyebaran nyeri yang sangat kuat pada kulit.2,3,9,14,15 Neuritis akut yang

melibatkan banyak saraf (meskipun hal ini tidak selalu terjadi3) penting untuk

diperhatikan karena tanpa penanganan yang cepat hal ini dapat menyebabkan

hilangnya fungsi motoris dan sensoris saraf.2

3

Page 4: Reaksi Reversal Htmpth

Gambar 1: Reaksi tipe 1 pada seorang pria Etiopia yang menderita kusta tipe

Borderline. Lesi inflamasinya mengalami peninggian, dan ulserasi.2

Gambar 2: Gambar pasien kusta tipe Borderline (BL) yang mengalami reaksi

reversal, tumidity, corak keunguan, dan batas yang meninggi

merupakan tandanya. Lesi ini tidak nyeri. 3

4

Page 5: Reaksi Reversal Htmpth

Menurut Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, reaksi kusta tipe

1 ini dapat dibedakan yaitu reaksi ringan dan reaksi berat.7

Tabel 1: Perbedaan gejala reaksi reversal ringan dan berat 7

GEJALA REAKSI RINGAN REAKSI BERAT

Lesi Kulit Tambah aktif, menebal,

merah, teraba panas, dan

nyeri tekan. Makula yang

menebal dapat sampai

membentuk plak.

Lesi membengkak sampai

ada yang pecah, merah,

teraba panas dan nyeri,

Ada kelainan kulit baru ,

tangan dan kaki

membengkak, sendi-sendi

sakit.

Saraf Tepi Tidak ada nyeri tekan saraf

dan gangguan fungsi

Nyeri tekan, dan atau

gangguan fungi, misalnya

kelemahan otot.

Catatan: Bila ada reaksi ringan pada lesi kulit yang dekat dengan lokasi saraf,

dikategorikan sebagai reaksi berat.

VI. DIAGNOSIS

Deteksi dini untuk reaksi reversal sangat penting untuk menekan tingkat

kecacatan irreversible yang mungkin terjadi sebagai gejala sisa. Tingkat keberhasilan

terapi tampak lebih baik jika reaksi reversal ini dideteksi dan ditangani secara dini.9

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis

Saat melakukan anamnesis, maka semua pasien yang kusta yang mengeluhkan

adanya nyeri di tubuhnya, ada demam, sakit kepala, edema, maupun adanya lesi

baru ditubuhnya, harus dicurigai sebagai pasien reaksi.16

5

Page 6: Reaksi Reversal Htmpth

2. Gambaran klinik

Gejala klinik tersebut diantara lain:

- Lesi kulit menjadi lebih merah dan membengkak

- Nyeri, terdapat pembesaran saraf tepi

- Tanda-tanda kerusakan saraf tepi

- Gangguan sensorik maupun motorik

- Edema pada wajah, kaki dan tangan

- Munculnya lesi-lesi baru pada kulit1,2,3,7,9,14

3. Laboratorium,

- Berupa tes serologis yang didasarkan atas terbentuknya antibodi pada

tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae (Tes Lepromin)1,3

- Tes bakteriologis1

4. Pemeriksaan histopatologi.1,3

Untuk melihat sel Langhans, eksositosis cepat sel radang ke epidermis serta

sejumlah perubahan histologist lain yang menandai perubahan atau upgrading

tipe kusta yang khas pada reaksi reversal.3

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis

adalah sebagai berikut:

1. Laboratorium

a. Tes Imunologis dan Lepromin:

Reaksi reversal memiliki hasil Tes Lepromin yang positif. Selain itu dalam

tes imunologis, ditemukan bahwa rasio CD4:CD8 untuk reaksi reversal pada

umumnya bernilai 2:1, berbeda dengan tipe ENL yang bernilai 1:2.3

b. Bakteriologi:

- Indeks bakteri menurun

- Indeks morfologi menurun1

6

Page 7: Reaksi Reversal Htmpth

2. Pemeriksaan histopatologi

Dari pemeriksaan ini ditemukan gambaran berupa; infiltrat limfosit yang

meningkat sehingga terjadi udem dan hiperemi, diferensiasi makrofag ke arah

peningkatan sel epiteloid dan sel Giant memberi gambaran sel Langerhans. Kadang-

kadang terdapat gambaran nekrosis di dalam granulosum. Penyembuhannya ditandai

dengan fibrosis.3

Gambar 3: Reaksi kusta tipe I menunjukkan sedikit jumlah sel mast pada

pinggiran granuloma dan di dalam interstitium 17

VIII. DIAGNOSIS BANDING

Reaksi reversal harus dibedakan dengan timbulnya relaps dari perjalanan

penyakit kusta. Adapun perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut7:

Tabel 2: Perbedaan reaksi reversal dengan relaps7

GEJALA DAN TANDA REAKSI REVERSAL RELAPS

Interval waktu Umumnya muncul selama

pengobatan atau dalam

kurun 6 bulan sesudah

penghentian pengobatan

Biasanya muncul sesudah

pengobatan dihentikan,

umumnya sesudah interval

1 tahun

7

Page 8: Reaksi Reversal Htmpth

Timbul Gejala Mendadak Perlahan

Gangguan Sistem Dapat disertai dengan

demam dan perasaan

kurang enak

Tidak pernah disertai

dengan demam dan

perasaan kurang enak

Lesi lama Beberapa lesi atau

seluruhnya menjadi eritem

Hanya pinggiran dari

sebagian lesi eritem dan

infiltrat

Lesi baru Pemunculan lesi baru

sangat sedikit

Beberapa lesi baru muncul

Ulserasi Lesi sering pecah dan

terjadi ulserasi

Jarang terjadi ulserasi

Penyembuhan Disertai dengan

deskuamasi

Tidak ada deskuamasi

Keterlibatan saraf Banyak saraf dapat dengan

nyeri tekan dan gangguan

motorik

Dapat terjadi hanya pada

satu saraf dan gangguan

motorik muncul perlahan-

lahan

Respon terhadap

kortikosteroid

(prednisone)

Sangat baik Tidak jelas

IX. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan reaksi reversal didasarkan pada pengetahuan tentang

imunopatologi reaksi reversal sebagai reaksi hipersensitifitas tipe lambat (tipe IV)

terhadap antigen M. leprae, sehingga pendekatan terapi yang digunakan adalah

dengan mengurangi paparan antigen dengan pemberian kemoterapi pada saat

penekanan respon Cell-Mediated Immunity (CMI). Penatalaksanaan dilakukan

8

Page 9: Reaksi Reversal Htmpth

dengan melanjutkan penggunaan obat anti mikroba, terapi anti inflamasi yang efektif

dan jangka panjang, analgetik yang adekuat, dan dukungan kesehatan fisik selama

fase aktif neuritis.. Jika sedang dalam pengobatan Multidrugs Therapy (MDT), maka

Multidrugs Therapy (MDT) diteruskan dengan dosis tidak diubah.9 Perlu

diperhatikan, apakah disertai dengan neuritis atau tidak. Sebab tanpa neuritis akut,

tidak perlu diberikan pengobatan tambahan. Imobilisasi dan tindakan bedah dapat

mencegah dan memulihkan gangguan saraf. 1

Penatalaksanaan reaksi reversal terdiri dari 5 aspek yang dilaksanakan secara

bersamaan karena kelima aspek tersebut sama pentingnya dan mempunyai efek

sinergis: 9,15

1. Mengendalikan neuritis untuk mencegah anastesi, paralisis dan kontraktur

dengan terapi anti inflamasi yang efektif dan lama

2. Menghentikan kerusakan pada mata untuk mencegah kebutaan

3. Mematikan basil kusta dan menghentikan progresi penyakit

4. Tindakan fisik untuk mencegah atau memulihkan kontraktur

5. Analgetik untuk meredakan nyeri.

Prinsip pengobatan pada reaksi reversal:

1. Prinsip pengobatan: 4

a) Istirahat/immobilisasi

b) Pemberian analgesik antipiretik

c) Atasi faktor pencetus

d) Pemberian obat anti reaksi pada reaksi berat

e) Jika sedang dalam pengobatan MDT, maka MDT diteruskan dengan

dosis tidak diubah.

2. Pengobatan reaksi ringan: 4

a) Berobat jalan, istirahat di rumah

b) Pemberian analgetik, atau penenang bila perlu

c) Atasi faktor pencetus

9

Page 10: Reaksi Reversal Htmpth

d) Jika sedang dalam pengobatan Multidrugs Therapy (MDT), maka

Multidrugs Therapy (MDT) diberikan terus dengan dosis tidak diubah

3. Pengobatan reaksi berat:4

a) Atasi faktor pencetus

b) Pemberian prednisone (kortikosteroid)

c) Pemberian analgetik, dan sedative

d) Immobilisasi lokal

e) Bila memungkinkan penderita dirawat inap (di rumah sakit).

Obat-obatan yang dapat diberikan pada reaksi reversal :

1. Kortikosteriod (Glukokortikoid)

Dasar pemakaian kortikosteroid disini adalah efek antiinflamasinya dan

kemampuan untuk menekan reaksi imun. Pada keadaan yang perlu

penanganan reaksi radang atau reaksi imun untuk mencegah kerusakan

jaringan yang parah dan menimbulkan kecacatan, penggunaan kortikosteroid

mungkin berbahaya bagi penyebabnya sehingga perlu disertai penanganan

yang tepat bagi penyebabnya. Yang dipakai adalah preparat kerja singkat dan

kerja sedang misalnya prednison atau prednisolon dengan dosis serendah

mungkin. 18

Pada reaksi reversal, dikarenakan resiko kerusakan permanen dari nervus,

pengobatan dengan terapi prednison (0,5-1 mg/kg/hari) direkomendasikan

(tetapi tetap dalam pengontrolan) untuk menekan proses inflamasi. Dosis dari

prednison dikurangi seiring dengan perbaikan dari nervus, gejala pasien dan

evaluasi sensorik dari tangan dan kaki. Sekali digunakan, terapi harus

dikurangi perlahan dan dilanjutkan selama minimal 6 bulan. Penggunaan

prednison dimulai dengan dosis 40-80 mg sehari, kemudian diturunkan

menjadi 40 mg setelah beberapa hari, dan lalu 5-10 mg setiap 2-4 minggu, dan

diakhiri dengan dosis 10 mg. 2,19

10

Page 11: Reaksi Reversal Htmpth

WHO (World Health Organization) merekomendasikan pemberian

kortikosteroid (prednison) dengan dosis:

a) Pada orang dewasa: 7

2 minggu I : 40 mg/hari (1 x 8 tab) pagi hari sesudah makan.

2 minggu II : 30 mg/hari (1 x 6 tab) pagi hari sesudah makan

2 minggu III : 20 mg/hari (1 x 4 tab) pagi hari sesudah makan

2 minggu IV : 15 mg/hari (1 x 3 tab) pagi hari sesudah makan

2 minggu V : 10 mg/hari (1 x 2 tab) pagi hari sesudah makan

2 minggu VI : 5 mg/hari (1 x 1 tab) pagi hari sesudah makan

b) Pada anak:7

Untuk pengobatan reaksi berat pada anak harus dikonsultasikan ke

dokter atau dirujuk, karena steroid dapat mengganggu proses pertumbuhan.

Dosis maksimum prednison pada anak tidak boleh melewati 1 mg/kg BB.

Minimal pengobatan 12 minggu-3 bulan.

Regimen tersebut dapat diterapkan pada penderita kusta tipe Borderline

Tuberculoid (BT) dan umumnya mendapatkan terapi selama 2-4 bulan.

Sedang penderita Kusta tipe Borderline Borderline (BB) dan Borderline

Lepromatous (BL) membutuhkan terapi yang lebih lama karena dengan

pengobatan seperti diatas masih sering terjadi reaksi ulangan. Pada kusta tipe

BL, dibutuhkan terapi 20 minggu dengan cara pemberian yaitu 40 mg sehari

selama 2 minggu, 30 mg sehari selama 4 minggu, 20 mg sehari selama 4

minggu dan 5 mg sehari selama 2 minggu. Sebagian besar reaksi dan neuritis

dapat diterapi dengan baik dengan pengobatan standar prednison selama 12

minggu. Jika timbul neuritis diberikan kortikosteroid (misal: prednison) 30-60

mg/hari. 9,15

Efek samping dapat timbul karena penghentian pemberian secara tiba-

tiba atau pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar. Pemberian

11

Page 12: Reaksi Reversal Htmpth

kortikosteroid jangka lama yang dihentikan secara tiba-tiba dapat

menimbulkan insufisiensi adrenal akut dengan gejala demam, mialgia

artralgia dan malaise. 18

Kortikosteroid, selain efek umum lain yang dikenal, juga bisa

menyebabkan eksaserbasi keberadaan beberapa penyakit, sepeti tuberkulosis,

hepatitis B, dan beberapa parasit gastrointestinal. 2

2. Klofazimin (Lamprene)

Obat ini tidak saja efektif untuk lepra jenis lepramatosis, tetapi juga

memiliki efek antiradang sehingga dapat mencegah timbulnya eritema

nodosum. 18. Klofazimin digunakan pada penderita reaksi reversal yang

membutuhkan terapi Kortikosteroid dosis tinggi yang lebih lama, atau timbul

efek samping steroid. Dosis yang digunakan biasanya 300 mg sehari, setelah

2-4 minggu dosis kortikosteroid diturunkan secara bertahap. Dosis

ditingkatkan ke dosis semula dan dipertahankan selama 2-4 minggu apabila

setelah penurunan dosis tidak menunjukkan perbaikan gejala klinis.

Penurunan dosis yang lebih lambat biasanya akan berhasil dan Kortikosteroid

biasanya dihentikan setelah 6-12 bulan. Kadang-kadang dosis 300 mg sehari

tidak dapat ditoleransi oleh penderita, sehingga dosis klofazimin diturunkan

menjadi 100 mg sehari selama 1-2 tahun, tetapi penurunan tersebut

mengakibatkan kegagalan pengobatan reaksi. Penggunaan klofazimin pada

reaksi reversal masih kontroversial dan tidak bermanfaat pada fase akut

reaksi. Efek samping dari klofazimin yaitu dapat menyebabkan terjadi

perubahan warna kulit mulai dari warna merah jambu sampai coklat-hitam. 1,9,15

Efek samping paling sering adalah discoloration pada kulit, dari dari

warna merah ke abu-abu hitam, derajat discoloration tergantung dari dosis.

Pigmentasi ini akan hilang setelah 6-12 bulan penghentian klofazimin. Urin,

sputum dan keringat mungkin berubah menjadi warna pink. Efek samping

12

Page 13: Reaksi Reversal Htmpth

gastrointestinal, yaitu mild cramp sampai diare dan weight loss, mungkin

terjadi akibat deposit kristal klofazimin pada dinding dari usus halus. 2,1

3. Dapson (4-4, diaminodifenilsulfon)

Dapson (DDS) dosis 50 mg atau dengan dosis yang lebih besar

menimbulkan efek supresif terhadap reaksi reversal. Prevalensi reaksi reversal

selama masa pengobatan penyakit kusta dibeberapa negara berkurang setelah

WHO menganjurkan penggunaan Multidrugs Therapy (MDT) yang

menggunakan dapson 100 mg sehari. Prevalensi reaksi reversal meningkat

setelah masa pengobatan kusta selesai, yang menunjukkan efek

imunosupressif dapson. Penderita reaksi dapat diterapi dengan kombinasi

dapson dan Kortikosteroid, tetapi apabila setelah beberapa minggu masih

membutuhkan Kortikosteroid dosis tinggi sebaiknya dilakukan perubahan

terapi dengan mengganti dapson dengan klofazimin. Dapson memiliki efek

samping yakni efek sistemik yang berat, atau efek toksik. 9

Sindrom DDS, yang kadang muncul pada pengunaan DDS, muncul

setelah 6 minggu penggunaan DDS dengan manifestasi dermatitis exfoliatif

disertai limfadenopati, hepatosplenomegali, demam dan hepatitis dan bisa

berakibat fatal. Agranulositosi, jaundice hepatitis dan kolestatik jarang terjadi

dengan terapi DDS. 2

4. Kloroquin (7-kloro-4(4 dietilamino-1-metil-butilamino)

Selain sebagai antimalaria, kloroquin juga memperlihatkan efek

antiradang. Efek ini kadang-kadang dimanfaatkan dalam pengobatan arttritis

reumatoid, lupus eritomatosus,lupus diskoid, dan lain-lain. Pada reaksi yang

ringan dapat diberikan kloroquin 3 kali 1 tablet selama 3-5 hari sementara

antilepra tetap diteruskan kalau perlu diberi analgetik dan sedatif. 18

Efek samping yang mungkin ditemukan pada pemberian kloroquin adalah

sakit kepala ringan, gangguan pencernaan, gangguan penglihatan, dan gatal-

13

Page 14: Reaksi Reversal Htmpth

gatal. Kloroquin harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan penyakit

hati,atau pada pasien dengan gangguan saluran cerna, neurologik dan darah

yang berat. Bila gangguan terjadi selama terapi, maka pengobatan harus

dihentikan.18

5. Metotreksat (4-amino, N10-metil asam folat)

Metotreksat diketahui menurunkan produksi sitokin proinflammatory,

menurunkan ekspresi dari Th1 cytokines dan meningkatkan ekpresi dari anti-

inflammatory Th2 cytokines. Mekanisme lain dari metotreksat yaitu

menghambat sintesis purin, promosi dari pelepasan adenosin, supresi

proliferasi limfosit, kemotaksis dan adherensi neutrofil, dan mereduksi serum

imunogobulin. Penelitian mengindikasikan bahwa mekanisme kerja yang

paling penting dari metotreksat dosis rendah adalah meningkatkan level

adeonosin dan mereduksi level dari proinflammatory cytokine dan

meningkatkan level dari anti-inflammatory cytokine. Semua efek ini

merupakan kelebihan metotreksat dalam pengobatan reaksi kusta.10

Dosis rendah metotreksat (5-7,5 mg/minggu) dapat menjadi suatu

alternatif pengobatan bagi pasien yang tidak bisa mendapatkan terapi

Kortikosteroid.9 Toksisitas obat ini terutama mengenai saluran cerna, sumsum

tulang dan mukosa mulut. Obat ini dikontraindikasikan untuk pasien dengan

gangguan sumsum tulang, hati dan terutama gangguan ginjal karena

metotreksat hanya dieliminasi melalui ginjal. Pengobatan dengan metotreksat

harus dihentikan bila stomatitis dan diare muncul karena enteritis hemoragik

dan perforasi dapat terjadi. Metotreksat tidak boleh diberkan pada trimester

pertama kehamilan karena dilaporkan menyebabkan abortus. 18

Pembedahan

14

Page 15: Reaksi Reversal Htmpth

Selama episode neuritis terdapat peningkatan volume cairan dalam saraf,

epineurium menebal dan jaringan sekitarnya membengkakan sehingga tekanan

intraneural meningkat. Pembengkakan pada saraf juga mengakibatkan aliran

darah ke saraf terganggu. Tindakan bedah dilakukan apabila setelah terapi

Kortikosteroid selama 48 jam belum tampak pengurangan nyeri atau tidak terjadi

pemulihan fungsi saraf. 9,19

X. PROGNOSIS

Reaksi reversal ini terjadi karena meningkatnya status imunologis penderita

umumnya setelah pengobatan disertai penurunan jumlah kuman pada pemeriksaan

bakteriologi. Prognosis reaksi reversal ditentukan dari seberapa cepat reaksi ini

terdeteksi dan diobati. 9

Semakin cepat diterapi maka prognosis semakin baik, sedangkan jika tidak cepat

dideteksi dan ditangani akan menimbulkan kecacatan irreversible pada sistem saraf

tepi yang terkena. Pengobatan yang terlambat mungkin akan menimbulkan kerusakan

nervus permanen deangan claw-hand atau facial paralysis. 7,8, 15 Reaksi reversal dapat

menimbulkan relaps. Seringkali pasien mengalami gangguan sensorik maupun

motorik secara tiba-tiba dan jika tidak mendapat pengobatan segera akan

menimbulkan gejala sisa, walaupun penyakitnya teratasi, yaitu timbulnya kecacatan

permanen (sensorik maupun motorik), dan beresiko tinggi untuk terjadinya suatu

deformitas. 9,15

XI. KESIMPULAN

Reaksi reversal merupakan episode akut dari penyakit kusta yang disebabkan

oleh peningkatan respon Cell-Mediated Immunity (CMI) terhadap M. leprae. Reaksi

ini ditandai oleh adanya inflamasi akut pada kulit dan/atau neuritis akut disertai

pembesaran dan hilangnya fungsi saraf. Reaksi reversal sering muncul dalam 6 bulan

pertama pengobatan Multidrugs Therapy (MDT) dan dapat muncul pada kusta

15

Page 16: Reaksi Reversal Htmpth

PaucyBacillary (PB) maupun MultyBacillary (MB), tetapi umumnya pada

PaucyBacillary (PB).

Prinsip pengobatan pada reaksi reversal adalah, istirahat/immobilisasi,

pemberian analgesik antipiretik, atasi faktor pencetus, pemberian obat anti reaksi

pada reaksi berat, jika sedang dalam pengobatan MDT, maka MDT diteruskan

dengan dosis tidak diubah. Obat-obatan yang dapat diberikan pada reaksi reversal,

antara lain : kortikosteroid (prednison), klofazimin (lamprene), dapsone (DDS),

kloroquin,dan metotreksat. Tindakan bedah dilakukan apabila setelah terapi

kortikosteroid selama 48 jam belum tampak pengurangan nyeri atau tidak terjadi

pemulihan fungsi saraf.

Prognosis reaksi reversal ditentukan dari seberapa cepat reaksi ini terdeteksi dan

diobati. Semakin cepat terapi pengobatan maka prognosis semakin baik, sedangkan

jika tidak cepat dideteksi atau ditangani akan menimbulkan kecacatan irreversible

pada sistem saraf tepi yang terkena.

DAFTAR PUSTAKA

16

Page 17: Reaksi Reversal Htmpth

1. Kosasih A, Wisnu IM, Daily ES, Menaldi SL. Kusta. In: Djuanda A, Hamzah M,

Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edition. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI; 2000. p.73-88

2. Lockwood DNJ. Leprosy. In: Burns T, Brethnach S, Cox N, Griffiths C, editors.

Rook’s Textbook of Dermatology.7th edition. Australia: Blackwell Publishing;

2004. p.29.1-29.21

3. Modlin TRR. Leprosy. In: Freedberg M, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF,

Goldsmith LA, Kate SI, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.

4th edition. New York: Hill; 1993. p.208

4. Family Doctor editorial staff. Leprosy. (online). 2009. [2010 October 15].

Available from http://familydoctor.org

5. Silva MR, Castro MCR. MycobacteriaL Infection. In: Bolognia JL, Jorisso L,

Rapini RP, editors. Dermatology. London: Mosby; 2003. p 1145-1152

6. Anonym. Leprosy (Hansen Disease). (Online). 2008. [2010 October 15].

Available from http://niaid.nih.gov

7. Instalasi Penyakit Kusta dan Penyakit Infeksi Endemik Rumah Sakit Penyakit

Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso. Modul Program Pengendalian Penyakit Kusta

Untuk Co Ass. Makassar: Pusat Latihan Kusta Nasional; 2010. p.46-51

8. Lucas S. Bacterial Disease. Elder DE, Elenitsas R, Johnson BI, Murphy GF,

editor. Lever’s Histopathology of the Skin. Chicago: Lippincott; 2007. p.574-576

9. Ranque B, et al. Age Is an Important Risk Factor for Onset and Sequelae of

Reversal Reactions in Vietnamese Patients with Leprosy. Chicago Journals 2007;

44: 33-40

10. Biosca G, Casallo S, Velez RL. Methotrexate Treatment for Type 1 (Reversal)

Leprosy Reactions. Chicago Journals 2007; 45: e7-e9

11. Anonym. Leprosy-Reactional States Type One and Two. (online). 2007. [2010

October 15]. Available from: www.webspawner.com

17

Page 18: Reaksi Reversal Htmpth

12. Prawoto. Faktor-Faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap Terjadinya Reaksi

Kusta. (online). 2008. [2010 October 15]. Available from:

eprints.undip.ac.id/18745/2/PRAWOTO.pdf

13. Walker SL, Lockwood DN. Leprosy Type 1 (Reversal) Reaction and Their

Management. Lepr Rev. 2008; 79(4): 372-86

14. Nery JAC, Vieiera LMM, De Matos HJ, Sarno EN. Reactional States In

Multibacillary Hansen Disease Patients During Multidrug Therapy. Rev. Inst.

Med. trop.1998; 40.

15. Burdick AE, de Paz AC, Frankel S. Leprosy. In: Tyring SK, Lupi O, Hengge UR,

editors. Tropical Dermatology. New York: Churchill Livingstone; 2006. p. 266-

269.

16. Motta ACF, et al. The recurrence of leprosy reactional episodes could be

associated with oral chronic infections and expression of serum IL-1, TNF-α, IL-

6, IFN-γ and IL-10. Braz.Dent.J 2010; 21.

17. Saadany SE, Kalla FE, NadIa E, Tatawy RE, Helmy A, Shorbagy SHE. Role of

Mast Cells and Cytokine Profile [TNF-α, IFN-γ, IL4 and IL-4 mRNA] in

Different Types of Leprosy. (online). 2008. [cited 2010 October 15]. Available

from http://knol.google.com

18. Setoabudy R, Mariana Y. Sulfonamid, Kotrimoksazol dan Antiseptik Saluran

Kemh. In: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth, editors. Farmakologi

Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. p. 633-637.

19. Smith DS. Leprosy: Treatment and Medication. (online). 2008. [cited 2010

October 15]. Available from http://emedicine.com

18