Reaksi Hipersensitivitas Tipe III Reaksi Tipe III

5
Reaksi Hipersensitivitas Tipe III Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag. Faktor kemotatik yang ini akan menyebabkan pemasukan leukosit- leukosit PMN yang mulai memfagositosis kompleks-kompleks imun. Reaksi ini juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf, yakni berupa enzim proteolitik, dan enzim-enzim pembentukan kinin. Antigen pada reaksi tipe III ini dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan antigen dalam jumlah berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif. Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari : a. Infeksi persisten Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap adalah organ yang diinfektif dan ginjal. b. Autoimunitas Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah ginjal, sendi, dan pembuluh darah. c. Ekstrinsik Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat kompleks yang mengendap adalah paru. Reaksi hipersensitivitas tipe III sebagai bentuk penggabungan bentuk antigen dan antibodi dalam tubuh akan mengakibatkan reaksi peradangan akut. Jika komplemen diikat, anafilaktoksin

Transcript of Reaksi Hipersensitivitas Tipe III Reaksi Tipe III

Page 1: Reaksi Hipersensitivitas Tipe III Reaksi Tipe III

Reaksi Hipersensitivitas Tipe III Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah

reaksi yang terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/

dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan

sejenis IgM atau IgG sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor

kemotatik makrofag. Faktor kemotatik yang ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-

leukosit PMN yang mulai memfagositosis kompleks-kompleks imun. Reaksi ini juga

mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf,

yakni berupa enzim proteolitik, dan enzim-enzim pembentukan kinin. Antigen pada reaksi

tipe III ini dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang

terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan

sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan antigen dalam jumlah berlebihan,

tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif. Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III

yang sering terjadi, terdiri dari : a. Infeksi persisten Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba,

dimana tempat kompleks mengendap adalah organ yang diinfektif dan ginjal. b.

Autoimunitas Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap

adalah ginjal, sendi, dan pembuluh darah. c. Ekstrinsik Pada reaksi ini, antigen yang

berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat kompleks yang mengendap adalah

paru. Reaksi hipersensitivitas tipe III sebagai bentuk penggabungan bentuk antigen dan

antibodi dalam tubuh akan mengakibatkan reaksi peradangan akut. Jika komplemen diikat,

anafilaktoksin akan dilepaskan sebagai hasil pemecahan C3 dan C5 dan ini akan

menyebabkan pelepasan histamin serta perubahan permeabilitas pembuluh darah. Faktor-

faktor kemotaktik juga dihasilkan, ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN

yang mulai menfagositosis kompleks-kompleks imun. Deretan reaksi diatas juga

mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf

yakni berupa enzim-enzim proteolitik (termasuk kolagenase dan protein-protein netral),

enzim-enzim pembentukan kinin protein-protein polikationik yang meningkatkan

permeabilitas pembuluh darah melalui mekanisme mastolitik atau histamin bebas. Hal ini

akan merusak jaringan setempat dan memperkuat reaksi peradangan yang ditimbulkan.

Kerusakan lebih lanjut dapat disebabkan oleh reaksi lisis dimana C567 yang telah diaktifkan

menyerang sel-sel disekitarnya dan mengikat C89. Dalam keadaan tertentu, trombosit akan

menggumpal dengan dua konsekuensi, yaitu menjadi sumber yang menyediakan zat-zat

amina vasoaktif dan juga membentuk mikrotrombi yang dapat mengakibatkan iskemia

setempat. Kompleks antigen- antibodi dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai

berikut : a. Aktivasi komplemen 1). Melepaskan anafilaktoksin (C3a,C5a) yang merangsang

Page 2: Reaksi Hipersensitivitas Tipe III Reaksi Tipe III

mastosit untuk melepas histamine 2). Melepas faktor kemotaktik (C3a,C5a,C5-6-7)

mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan enzim polikationik b.

Menimbulkan agregasi trombosit 1). Menimbulkan mikrotrombi 2). Melepas amin vasoaktif

c. Mengaktifkan makrofag Melepas IL-1 dan produk lainnya Pada reaksi hipersensitivitas tipe

III terdaapt dua bentuk reaksi, yaitu : a. Reaksi Arthus Maurice Arthus menemukan bahwa

penyuntikan larutan antigen secara intradermal pada kelinci yang telah dibuat hiperimun

dengan antibodi konsentrasi tinggi akan menghasilkan reaksi eritema dan edema, yang

mencapai puncak setelah 3-8 jam dan kemudian menghilang. Lesi bercirikan adanya

peningkatan infiltrasi leukosit-leukosit PMN. Hal ini disebut fenomena Arthus yang

merupakan bentuk reaksi kompleks imun. Reaksi Arthus di dinding bronkus atau alveoli

diduga dapat menimbulkan reaksi asma lambat yang terjadi 7-8 jam setelah inhalasi antigen.

Reaksi Arthus ini biasanya memerlukan antibodi dan antigen dalam jumlah besar. Antigen

yang disuntikkan akan memebentuk kompleks yang tidak larut dalam sirkulasi atau

mengendap pada dinding pembuluh darah. Bila agregat besar, komplemen mulai diaktifkan.

C3a dan C5a yang terbentuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah menjadi edema.

Komponen lain yang bereperan adalah fakor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai

menimbun di tempat reaksi dan menimbulkan stasisi dan obstruksi total aliran darah.

Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang

digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease, kolagenase, dan bahan vasoaktif. b.

Reaksi serum sickness Istilah ini berasal dari pirquet dan Schick yang menemukannya

sebagai konsekuensi imunisasi pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus

dengan antiserum asal kuda. Penyuntikan serum asing dalam jumlah besar digunakan untuk

bermacam-macam tujuan pengobatan. Hal ini biasanya akan menimbulkan keadaan yang

dikenal sebagai penyakit serum kira-kira 8 hari setelah penyuntikan. Pada keadaan ini dapat

dijumpai kenaikan suhu, pembengkakan kelenjar-kelenjar limpa, ruam urtika yang tersebar

luas, sendi-sendi yang bengkak dan sakit yang dihubungkan dengan konsentrasi komplemen

serum rendah, dan mungkin juga ditemui albuminaria sementara. Pada berbagai infeksi, atas

dasar yang belum jelas, dibentuk Ig yang kemudian memberikan reaksi silang dengan

beberapa bahan jaringan normal. Hal ini kemudian yang menimbulkan reaksi disertai dengan

komplek imun. Contoh dari reaksi ini adalah : a. Demam reuma Infeksi streptococ golongan

A dapat menimbulkan inflamasi dan kerusakan jantung, sendi, dan ginjal. Berbagai antigen

dalam membran streptococ bereaksi silang dengan antigen dari otot jantung, tulang rawan,

dan membran glomerulus. Diduga antibodi terhadap streptococ mengikat antigen jaringan

normal tersebut dan mengakibatkan inflamasi. b. Artritis rheumatoid Kompleks yang

Page 3: Reaksi Hipersensitivitas Tipe III Reaksi Tipe III

dibentuk dari ikatan antara faktor rheumatoid (anti IgG yang berupa IgM) dengan Fc dari IgG

akan menimbulkan inflamasi di sendi dan kerusakan yang khas. c. Infeksi lain Pada beberapa

penyakit infeksi lain seperti malaria dan lepra, antigen mengikat Ig dan membentuk kompleks

imun yang ditimbun di beberapa tempat. d. Farmer’s lung Pada orang yang rentan, pajanan

terhadap jerami yang mengandung banyak spora actinomycete termofilik dapat menimbulkan

gangguan pernafasan pneumonitis yang terjadi 6-8 jam setelah pajanan. Pada tubuh orang

tersebut, diproduksi banyak IgG yang spesifik terhadap actynomycete termofilik dan

membentuk kompleks antigen-antibodi yang mengendap di paru-paru. 4. Reaksi

Hipersensitivitas Tipe IV Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell

mediatif immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang

timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T

yang sudah disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan

dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang

terangsang mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel

target yang mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.