Rasionalitas Indonesia dalam Pengimplementasian “40+9 ...

13
PENDAHULUAN Pada bulan Februari 2001, satuan kerja internasional yang bergerak di bidang pencucian uang Financial Action Task Force (FATF) mempublikasikan kelompok negara-negara yang dianggap rentan terhadap jenis kejahatan keuangan melalui daftar Non-cooperative Countries and Territories (NCCTs). Publikasi tersebut pada akhirnya mendorong negara-negara yang masuk di dalam daftar tersebut, dan negara-negara lain, untuk mengadopsi standar rezim anti-pencucian uang yang dibuat oleh FATF dalam “40 Rekomendasi” (selanjutnya menjadi “40+9 Rekomendasi” dengan penambahan sembilan standar terkait pencegahan Rasionalitas Indonesia dalam Pengimplementasian “40+9 Rekomendasi” FATF Sheiffi Puspapertiwi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Diponegoro. Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah 50275 [email protected] Submitted: 04 February 2016, Accepted: 12 April 2016 Abstract Global anti-money laundering and countering the financing of terrorism (AML/CFT) regime set up by G7 countries in 1989 had established a non- treaty yet significantly influencing standard setter body named Financial Action Task Force (FATF). Regime norms codified by FATF in “40+9 Recommendations”, hand in hand with “Non-cooperative Countries and Territories (NCCTs)” list have become two most powerful instruments in enforcing international AML/CFT regime, not only for member but also non member countries, including Indonesia. This study is aimed to explore the reasons behind Indonesia’s decision to adopt and thus implement “40+9 Recommendations”. Using power-based regime approach and the economic sanction theory, this research finds that the said decision is a result of rational calculation, considering both international and domestic dynamics. On international side, there are global financial hegemon countries as FATF members behind “40+9 Recommendations” who can act unilaterally to foster and enforce its global implementation. On the domestic side, its implementation can provide a basis for good financial governance, a much needed foundation to build anti-corruption and anti-terrorism national regime. Keywords: AML/CFT regime, FATF, 40+9 Recommendations, Indonesia Abstrak Rezim Anti Pencucian Uang dan Pembiayaan terhadap Pembiayaan Terorisme (APU-PPT) global yang dibentuk oleh negara-negara G7 pada tahun 1989 telah menjadi badan penentu standar non-traktat namun berpengaruh dalam bentuk Financial Action Task Force (FATF). Norma rezim yang dikodifikasikan oleh FATF dalam “40+9 Rekomendasi” yang berjalan beriringan dengan daftar “Non-cooperative Countries and Territories (NCCTs)” kemudian menjadi dua instrumen paling kuat dalam menegakkan rezim APU-PPT internasional, tidak hanya terhadap negara-negara anggota, tetapi juga kepada mereka yang bukan negara anggota, termasuk Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan di balik keputusan Indonesia untuk mengadopsi dan kemudian mengimplementasikan “40+9 Rekomendasi”. Dengan menggunakan pendekatan rezim berbasis kekuatan serta teori sanksi ekonomi, penelitian ini menemukan bahwa keputusan tersebut merupakan hasil kalkulasi rasional dengan mempertimbangkan dinamika internasional maupun domestik. Dari sisi internasional, terdapat negara-negara hegemon finansial global sebagai anggota FATF di belakang “40+9 Rekomendasi” yang dapat bertindak secara unilateral untuk mempercepat penegakan implementasinya di level global. Sementara dari sisi domestik, implementasi rekomendasi dapat menjadi landasan bagi lahirnya tata kelola finansial yang baik, sebuah fondasi yang sangat diperlukan untuk membangun rezim anti-korupsi dan anti-terorisme nasional. Kata Kunci: rezim APU-PPT, FATF, 40+9 Rekomendasi, Indonesia http://dx.doi.org/10.18196/hi.2016.0089.100-112

Transcript of Rasionalitas Indonesia dalam Pengimplementasian “40+9 ...

Page 1: Rasionalitas Indonesia dalam Pengimplementasian “40+9 ...

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

PENDAHULUANPada bulan Februari 2001, satuan kerja

internasional yang bergerak di bidang pencucian uangFinancial Action Task Force (FATF) mempublikasikankelompok negara-negara yang dianggap rentan terhadapjenis kejahatan keuangan melalui daftar Non-cooperativeCountries and Territories (NCCTs). Publikasi tersebut

pada akhirnya mendorong negara-negara yang masuk didalam daftar tersebut, dan negara-negara lain, untukmengadopsi standar rezim anti-pencucian uang yangdibuat oleh FATF dalam “40 Rekomendasi”(selanjutnya menjadi “40+9 Rekomendasi” denganpenambahan sembilan standar terkait pencegahan

Rasionalitas Indonesia dalamPengimplementasian “40+9Rekomendasi” FATFSheiffi PuspapertiwiHubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan PolitikUniversitas Diponegoro. Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah [email protected]

Submitted: 04 February 2016, Accepted: 12 April 2016

AbstractGlobal anti-money laundering and countering the financing of terrorism (AML/CFT) regime set up by G7 countries in 1989 had established a non-treaty yet significantly influencing standard setter body named Financial Action Task Force (FATF). Regime norms codified by FATF in “40+9Recommendations”, hand in hand with “Non-cooperative Countries and Territories (NCCTs)” list have become two most powerful instruments inenforcing international AML/CFT regime, not only for member but also non member countries, including Indonesia. This study is aimed to explorethe reasons behind Indonesia’s decision to adopt and thus implement “40+9 Recommendations”. Using power-based regime approach and theeconomic sanction theory, this research finds that the said decision is a result of rational calculation, considering both international and domesticdynamics. On international side, there are global financial hegemon countries as FATF members behind “40+9 Recommendations” who can actunilaterally to foster and enforce its global implementation. On the domestic side, its implementation can provide a basis for good financialgovernance, a much needed foundation to build anti-corruption and anti-terrorism national regime.Keywords: AML/CFT regime, FATF, 40+9 Recommendations, Indonesia

AbstrakRezim Anti Pencucian Uang dan Pembiayaan terhadap Pembiayaan Terorisme (APU-PPT) global yang dibentuk oleh negara-negara G7 pada tahun 1989telah menjadi badan penentu standar non-traktat namun berpengaruh dalam bentuk Financial Action Task Force (FATF). Norma rezim yang dikodifikasikanoleh FATF dalam “40+9 Rekomendasi” yang berjalan beriringan dengan daftar “Non-cooperative Countries and Territories (NCCTs)” kemudian menjadidua instrumen paling kuat dalam menegakkan rezim APU-PPT internasional, tidak hanya terhadap negara-negara anggota, tetapi juga kepada merekayang bukan negara anggota, termasuk Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan di balik keputusan Indonesia untuk mengadopsi dankemudian mengimplementasikan “40+9 Rekomendasi”. Dengan menggunakan pendekatan rezim berbasis kekuatan serta teori sanksi ekonomi,penelitian ini menemukan bahwa keputusan tersebut merupakan hasil kalkulasi rasional dengan mempertimbangkan dinamika internasional maupundomestik. Dari sisi internasional, terdapat negara-negara hegemon finansial global sebagai anggota FATF di belakang “40+9 Rekomendasi” yang dapatbertindak secara unilateral untuk mempercepat penegakan implementasinya di level global. Sementara dari sisi domestik, implementasi rekomendasidapat menjadi landasan bagi lahirnya tata kelola finansial yang baik, sebuah fondasi yang sangat diperlukan untuk membangun rezim anti-korupsi dananti-terorisme nasional.Kata Kunci: rezim APU-PPT, FATF, 40+9 Rekomendasi, Indonesia

http://dx.doi.org/10.18196/hi.2016.0089.100-112

Page 2: Rasionalitas Indonesia dalam Pengimplementasian “40+9 ...

101

pembiayaan terorisme).Dalam publikasi tersebut, Indonesia dimasukkan

FATF ke dalam kelompok NCCTs bersama ketigabelas negara dan teritorial lainnya1. Sebagai responpertama terkait dengan daftar tersebut, PemerintahIndonesia mengesahkan Peraturan Bank Indonesia No.3/10/PBI Tahun 2001 mengenai penerapan prinsip“Know Your Customer (KYC)” dalam sektor finansialperbankan, sebagai langkah implementasi preskripsidalam “40 Rekomendasi” FATF. Selanjutnya,Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 15Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang,yang juga mengamanatkan pembentukan PusatPelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)sebagai interpretasi rekomendasi FATF yang lain, yaitumembentuk financial intelligence unit (FIU) (PPATK,n.d.).

Meskipun dianggap memiliki permasalahan serius,kenyataannya Indonesia bukan merupakan negaratujuan pencucian uang internasional utama. Indonesiatidak dikenal sebagai yurisdiksi tax haven seperti PulauCayman atau Bahama yang memiliki potensi tinggidijadikan tempat pencucian uang karena kelonggaranregulasi finansial. Indonesia juga bukan merupakanpusat finansial regional yang menawarkan kemudahansirkulasi uang keluar dari yurisdiksinya atau dengandikonversi ke mata uang utama lainnya (Know YourCountry, 2015). Beranjak dari kontrakdiksi tersebut,studi ini selanjutnya berupaya untuk mengetahuialasan di balik keputusan Indonesia dalammengimplementasikan “40+9 Rekomendasi” yangdibuat oleh FATF. Perlunya studi terkait denganalasan-alasan Indonesia dalam mengadopsirekomendasi tersebut tidak terlepas dari keterbatasankajian akademis yang ada. Pembahasan yang telahdilakukan terkait dengan topik ini telah banyakdilakukan dari sisi hukum (Manthovani dan Jatna,2012; Husein, 2001, 2002, 2005, 2007) sertaekonomi bisnis (Kusumaningtyas, 2012; Pakpahan,2012). Penelitian-penelitian tersebut telah memberikanpembahasan terhadap implementasi “40+9Rekomendasi” di Indonesia dalam perspektifnyamasing-masing, sementara belum banyak membahas

alasan-alasan di balik keputusan pengimplementasianrekomendasi itu sendiri. Studi ini selanjutnyaberupaya untuk melengkapi kajian yang telahdilakukan dengan menggali aspek politis dariimplementasi tersebut, sehingga dapat melengkapistudi-studi yang telah dilakukan sebelumnya mengenairezim anti-pencucian uang di Indonesia.

KERANGKA PEMIKIRANREZIM INTERNASIONAL DAN SANKSI EKONOMI

Studi ini dilakukan dengan mengembangkankerangka pemikiran dari teori rezim yang ditelaahdengan pendekatan berbasis kekuatan (power based).Pendekatan power based beranjak dari pemahamankaum realis terhadap perpolitikan dunia, di manaperilaku aktor didasarkan pada pertimbangankemampuan kekuatan. Pendekatan ini banyakdipengaruhi oleh teori stabilitas hegemoni, yangmengasumsikan bahwa sistem unipolar atau adanyasatu negara hegemon merupakan kunci eksistensi dankeberlangsungan suatu rezim.

Para pendukung pendekatan power-based klasikpercaya bahwa suatu rezim hanya dapat berdiri jika adahegemon atau penyeimbang yang memiliki kekuatansuperlatif di antara yang lain. Dalam konteks tersebut,mereka beranggapan bahwa distribusi kekuatan dalamrezim juga perlu bersifat asimetris agar tetap stabil, dimana upaya redistribusi di antara aktor-aktor yangterlibat akan meruntuhkan rezim. Dengan menerimaasumsi tersebut, selanjutnya mereka berargumenbahwa ketika hegemon mengalami penurunankekuatan, rezim akan berakhir atau menjadi tidakefektif. Hal tersebut terjadi karena aktor anggotadengan mudah melanggar norma atau ketentuan rezimketika dirasa lebih sesuai dengan kepentingannya,karena tidak ada sanksi dari hegemon yang dapatmeningkatkan biaya dari pengabaian aturan rezim(Hasenclever, et al., 1997: 84-90).

Terkait dengan konsepsi mengenai sanksi sebagaiinstrumen hegemon untuk memastikan kepatuhananggota rezim, Dean Lacy dan Emerson Niou (2004)memberikan teorinya mengenai sanksi ekonomi.Dalam teorisasinya, sanksi ekonomi memiliki kaitan

Page 3: Rasionalitas Indonesia dalam Pengimplementasian “40+9 ...

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 5 EDISI 1 / APRIL 2016102

erat dengan isu terkait (issue linkage), yang digunakanpihak pemberi sanksi untuk memaksa pihak penerimaagar mengikuti keinginannya. Memahami peranancaman memiliki signifikansi yang sama denganmemahami sanksi itu sendiri. Perubahan perilakupenerima diakibatkan oleh keefektifan ancamanpemberian sanksi, bukan pengenaan sanksi itu sendiri.Selanjutnya, terdapat kecenderungan preferensiketidakpatuhan sebagai strategi dominan bahkansetelah sanksi dijatuhkan, sejak aktor penerimamenunjukkan pengabaian terhadap ancaman yangdiberikan. Meskipun demikian, pemberian sanksitersebut tidak akan menjadi hal yang sia-sia, karenadapat menguatkan status pemberi sanksi sebagai aktoryang memiliki determinasi, sehingga dapatmempengaruhi kalkulasi aktor-aktor lain yang jugadiberi ancaman yang sama dan sedangmempertimbangkan preferensi yang akan diambilnya(Lacy dan Niou, 2004: 26). Selanjutnya, pendekatanrezim berbasis kekuatan dan teori sanksi ekonomi akanmenjadi kerangka pemikiran dalam menganalisapengimplementasian “40+9 Rekomendasi” olehIndonesia.

PEMBAHASANREZIM ANTI-PENCUCIAN UANG INTERNASIONAL, FATF,DAN “40+9 REKOMENDASI”

Pada bulan Juli 1989, negara-negara anggota G7dalam pertemuannya di Paris memasukkan isupemberantas kejahatan finansial pencucian uang dalamagenda pembicaraan pertemuan. Komitmen politikketujuh negara maju tersebut terkait dengan upayamemerangi pencucian uang ditindaklanjuti denganmembentuk sebuah satuan tugas dengan nama Finan-cial Action Task Force (FATF) yang kemudian menjadiagen utama penggerak rezim anti-pencucian uangglobal. Sebagai langkah pertama untuk merealisasikanmisinya, FATF mengeluarkan suatu standar goodpractices yang disebut sebagai “40 Rekomendasi” padatahun 1990 (FATF, 2001: 3).

Di awal terbentuknya, FATF memiliki 16 anggotadan terus bertambah hingga berjumlah 36 anggotapada tahun 2014 (FATF, n.d.). Tidak semua negara

dapat menjadi anggota organisasi ini, mengingatpersyaratan kualitatif dan kuantitatif yang harusdipenuhi. Indikator kuantitatif yang dimaksud antaralain adalah besar GDP, ukuran sektor finansial sertajumlah populasi. Selain itu, terdapat indikatorkualitatif yang juga dipertimbangkan yaitu dampakterhadap sistem finansial global, partisipasi dalamrezim serta tingkat kepatuhan terhadap standar anti-pencucian uang/pembiayaan terorisme (FATF, 2008).

Di antara ke-36 anggota tersebut, hanya delapannegara yang bukan anggota OECD, yaitu: AfrikaSelatan, Argentina, Brazil, China, Hong Kong, India,Rusia, dan Singapura (FATF, n.d.). Dominasi negara-negara OECD dalam keanggotaan FATF dapatdijelaskan dengan beberapa faktor. Pertama, FATFdidirikan berdasarkan mandat dari negara-negara G7yang semuanya juga merupakan anggota OECD.Faktor keanggotaan dalam OECD tersebut kemudianberkorelasi dengan faktor yang kedua, yaitu strategiFATF dalam mengefektifkan rezim APU-PPT global.

Keefektifan rezim sendiri dapat dilihat dari duaparameter. Pertama, kepatuhan anggota terhadapnorma yang diberlakukan dalam rezim. Semakin besartingkat kepatuhan anggota, semakin efektif pula rezimtersebut serta berlaku pula sebaliknya. Pada umumnyaterdapat dua mekanisme yang dapat dipakai oleh rezimuntuk memastikan kepatuhan tersebut, yaitu denganadanya sanksi, penghargaan, atau kombinasi di antarakeduanya. Keefektifan yang kedua dapat dilihat dariperolehan anggota dengan mengikuti skema kerja samayang ditawarkan dalam rezim. Apabila perolehananggota dalam skema kerja sama lebih besar daripadaperolehan anggota ketika mengupayakan sebuahkebijakan sendiri, maka rezim tersebut dapat dikatakanmemiliki keefektifan (Hasenclever, Meyer, danRittberger, 1997: 2). Terkait dengan pemahamantersebut, maka dominasi negara-negara OECD sertanegara lain yang juga memiliki dampak sistemikfinansial yang tinggi di dalam FATF dapat menjelaskanstrategi rezim dalam memastikan keefektifan, terutamadalam konteks sanksi.

Dalam rezim anti-pencucian uang/pencegahan

Page 4: Rasionalitas Indonesia dalam Pengimplementasian “40+9 ...

103

pembiayaan terorisme global, FATF merupakan suatubadan pembuat standar yang tidak memilikikewenangan untuk memberikan sanksi terhadapnegara-negara anggota maupun non-anggota yangdinilai tidak patuh terhadap norma rezim. Alih-alihlegitimasi untuk menjatuhkan sanksi, FATF memilikiproduk berupa daftar negara-negara yang dinilai tidakkooperatif. Dalam istilah Levi dan Reuter (2000),mekanisme “name and shame” tersebut tidak memilikikekuatan untuk menghukum negara-negara yang lalaidalam menjalankan rezim APU-PPT. Meskipundemikian, mekanisme “name and shame” mampumembuat negara-negara yang dicantumkan dalamdaftar hitam tersebut untuk mengubah perilaku untukmenyesuaikan dengan norma umum rezim, yangdikodifikasikan dalam “40+9 Rekomendasi”. Di titikinilah muncul elemen fundamental yang mendasarikeefektifan rezim, yaitu kekuatan negara-negara anggotadalam memberikan sanksi kepada negara yang dianggapmelakukan deviasi secara individual.

Tekanan yang dimaksud dilakukan denganmemberikan peringatan kepada institusi finansial dinegaranya agar memberlakukan regulasi ketat terhadapsegala bentuk aktifitas yang terkait dengan negara daftarhitam FATF. Dalam era di mana tidak ada negaraautarki yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri,terlibat dalam aktifitas perdagangan global samaartinya dengan ikut serta dalam sistem finansial global.Tidak terelakkannya integrasi dalam sistem finansialglobal juga dapat dilihat dari keperluan negara-negara,terutama negara berkembang, untuk memperolehinvestasi asing langsung. Bantuan asing dalam bentukhibah maupun pinjaman yang diperlukan oleh negarakurang berkembang hingga berkembang jugamemerlukan fasilitas perbankan global. Denganmelihat signifikansi dari arus finansial internasionalterhadap perkembangan ekonomi dan pembangunansebuah negara, maka dapat dikatakan bahwamekanisme “name and shame” dalam daftar NCCTsyang dikeluarkan FATF memiliki kekuatan secara tidaklangsung untuk memaksa negara-negara bahkan di luarkeanggotaannya untuk mengikuti standar yangditetapkan.

Peringatan dalam daftar hitam FATF memberikansinyal akan peningkatan resiko yang dihadapi olehinstitusi finansial terutama terkait dengan kontaminasiuang ilegal ke dalam sistem finansial institusi yangberisiko mengganggu kesehatan maupun reputasifinansial. Kenaikan resiko tersebut kemudiandiantisipasi dengan menaikkan biaya transaksi sehinggamenjadi relatif lebih tinggi daripada biaya yangdikenakan untuk transaksi normal, atau bahkanmenghentikan sama sekali aktifitas finansial dengannegara daftar hitam FATF. Kemampuan untukmenjadikan proses tersebut efektif sebagai sanksi atautekanan hanya dapat terjadi jika negara yangmemberlakukan kebijakan tersebut memiliki bankyang telah memiliki jaringan global sehingga banyaksistem finansial negara yang menggunakan jasanya,seperti bank-bank yang dikategorikan ke dalamkelompok global systemically important banks (G-SIBs)2

yang kenyataannya dimiliki oleh semua negara anggotaFATF (Financial Stability Board, 2014). Denganberbekal kekuatan dalam bentuk hegemoni finansialglobal, negara-negara anggota FATF dapat memastikanbahwa tekanan berupa pemberlakuan regulasi ketatterhadap aktifitas finansial dengan negara daftar hitamdapat menjadi mekanisme yang efektif untukmendorong perubahan perilaku negara-negara deviantersebut, atau dengan kata lain ikutmengimplementasikan norma-norma rezim anti-pencucian uang/pencegahan pembiayaan terorismedalam “40+9 Rekomendasi”, meskipun bukan anggotaFATF.

IMPLEMENTASI “40+9 REKOMENDASI” OLEH INDONESIADimasukkannya Indonesia ke dalam daftar NCCTs

pada pertengahan tahun 2000 menjadi titik mulainisiasi pengadopsian “40+9 Rekomendasi”, terlepasdari fakta bahwa Indonesia bukan anggota FATF dantidak memiliki permasalahan kritis terkait pencucianuang. Dalam penjelasan yang diberikan, FATF menilaiIndonesia memiliki kekurangan substansial karenamasih banyaknya kriteria pencegahan dalam regulasinyayang belum terpenuhi. Lebih fundamental lagi,Indonesia belum menjadikan pencucian uang sebagai

Page 5: Rasionalitas Indonesia dalam Pengimplementasian “40+9 ...

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 5 EDISI 1 / APRIL 2016104

tindak pidana yang dapat diprosekusi berdasarkankejahatan tersebut (FATF, 2014).

Faktor lain yang menjadi alasan masuknya Indone-sia ke dalam daftar NCCTs adalah kurangkomprehensifnya upaya pencegahan pencucian uang disektor finansial melalui penerapan prinsip KYC.Implementasi parsial tersebut dapat dilihat darikebijakan pengidentifikasian nasabah yangdiberlakukan sejak tahun 1999 meskipun secararegulasi belum ada landasan formalnya. ImplementasiKYC juga masih terbatas pada institusi finansialperbankan terutama bank-bank besar, sementarainstitusi finansial non-bank belum ikutmengimplementasikannya (FATF, 2014).

Dua sinyal tersebut menjadi pendorong bagiPemerintah Indonesia untuk segera melakukanpenyesuaian, dimulai dengan merancang undang-undang tindak pidana pencucian uang yang disahkanoleh Presiden Megawati pada tanggal 17 April 2002melalui UU No. 15 Tahun 2002 tentang TindakPidana Pencucian Uang (Husein, 2005). Disahkannyaundang-undang tersebut, ditambah dengan peraturanBI mengenai penerapan prinsip KYC melalui PBI No.3/10/PBI/2001 dan PBI No. 3/10/PBI/2001dimaksudkan sebagai jawaban atas kekurangan-kekurangan yang ditemukan FATF dalam evaluasi yangdilakukannya pada tahun 1999-2000 yang berakibatmasuknya Indonesia dalam daftar NCCT. Meskipundemikian, dalam pertemuan lanjutan pada tanggal 1-3Oktober 2003 di Stockholm, Swedia, FATF menilaibahwa perundangan tersebut belum memadai sehinggadiberikan sepuluh rekomendasi tambahan untukmemperbaiki kekurangan dalam UU No. 15 Tahun2002 serta meminta Indonesia untuk mempersiapkanrencana aksi nasional untuk dilaporkan di evaluasiselanjutnya (Husein, 2005).

Hasil evaluasi tersebut semakin memberi tekananpada Indonesia karena adanya potensi bertambahnyatekanan melalui additional counter measure seperti yangdirekomendasikan, dan kemudian dilakukan olehnegara-negara anggota FATF terhadap Filipina danNauru. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesiakembali mengupayakan restrukturisasi institusional

dengan melakukan revisi terhadap UU TPPU tahun2002. Langkah tersebut direalisasikan dengandisahkannya UU No. 23 Tahun 2003 yangmenggantikan UU No. 15 Tahun 2002 tentangTindak Pidana Pencucian Uang pada tanggal 13Oktober 2003.

Langkah lanjutan yang dilakukan oleh PemerintahIndonesia adalah peresmian pendirian financial intelli-gence unit dalam bentuk Pusat Pelaporan dan AnalisisTransaksi Keuangan (PPATK) pada tanggal 17 Oktober2003 yang telah diamanatkan undang-undang TPPUsejak tahun 2002 (Husein, 2005). Dua langkah besardalam pengimplementasian kebijakan anti-pencucianuang di Indonesia tersebut kemudian dilaporkanIndonesia kepada FATF sebagai bagian dari rencanaaksi nasionalnya pada tanggal 18 Februari 2004.Laporan tersebut mendapat respon positif dari FATFhingga akhirnya pada 11 Februari 2005 Indonesiasecara resmi dinyatakan keluar dari daftar NCCT(Husein, 2005).

Setelah dinilai berhasil memenuhi rekomendasidasar mengenai pencucian uang, selanjutnya Indonesiamelakukan penyesuaian dengan standar FATF yangtelah diekstensifikasi dengan penambahan sembilanrekomendasi terkait pembiayaan terorisme dalam“40+9 Rekomendasi” yang mulai dilakukan padatahun 2006. RUU tersebut diajukan kepada DPRpada tanggal 10 Oktober 2006 dengan sebelumnyameratifikasi International Convention for the Suppression ofthe Financing of Terrorism melalui UU No. 6 Tahun2006 (Husein, 2007).

Pengesahan dari RUU tersebut melahirkan UU No.8 tahun 2010. Proses pengesahan RUU denganpenambahan klausa mengenai pencegahan pembiayaanterorisme tersebut memakan waktu yang lebih lamadibandingkan dengan masa yang diperlukan untukpengadopsian rekomendasi awal. Hal ini dapatdisebabkan oleh posisi Indonesia yang relatif “aman”dari ancaman counter measure karena tidak sedangberada dalam daftar hitam, sehingga ancamannyadirasa tidak segera akan terjadi.

Perilaku yang demikian nyatanya kembalimenimbulkan masalah yang mempengaruhi pandangan

Page 6: Rasionalitas Indonesia dalam Pengimplementasian “40+9 ...

105

dunia internasional terhadap komitmen PemerintahIndonesia dalam menegakkan rezim anti-pencucianuang/pencegahan pembiayaan terorisme di negaranya.Evaluasi bersama yang kemudian dilakukan oleh Asia/Pacific Group % FATF-styled body di tingkat regionalyang diikuti oleh Indonesia % pada tahun 2008menyatakan bahwa Indonesia kembali memilikimasalah dalam kebijakan institusinya terutama karenaketiadaan regulasi terkait kejahatan afiliasi pencucianuang seperti pembiayaan terorisme dan korupsi (APG,n.d). Evaluasi tersebut dilakukan ketika UU No. 8tahun 2010 masih dalam tahap pembahasan di DPR,sehingga belum ada pernyataan FATF untukmenanggapi situasi di Indonesia.

Respon dari FATF terhadap upaya pengadopsian“40+9 Recommendations” baru diberikan pada bulanOktober 2012, di mana FATF menilai bahwa klausamengenai pencegahan pembiayaan terorisme dalamUU No. 8 tahun 2010 serta upaya-upaya lain yangtelah ditempuh Pemerintah Indonesia tidakmencukupi. Hasil evaluasi tersebut membuat Indone-sia kembali berada dalam zona kuning pengawasanketat FATF serta menerima rekomendasi tambahanagar segera memperkuat regulasi yang terkait denganpencegahan pendanaan terorisme. Terkait dengan hasilevaluasi dan pernyataan yang telah diberikan di manaIndonesia kembali berada dalam daftar pengawasanFATF, Pemerintah Indonesia segera merespon situasitersebut dengan mengeluarkan UU No. 9 Tahun 2013mengenai Pemberantasan dan Pencegahan TindakPidana Pendanaan Terorisme (Department of State,2013).

Dalam perkembangannya, penambahan regulasimengenai pencegahan pembiayaan terorisme sebagaiupaya harmonisasi “40+9 Recommendations” kedalam regulasi nasional belum berhasil meyakinkanpublik internasional akan komitmen Indonesia dalammemberantas pencucian uang serta penggunaannyasebagai pembiayaan terorisme. Tekanan dan perhatiandunia internasional melalui FATF terhadap aspekpembiayaan terorisme dapat dipahami mengingatIndonesia merupakan salah satu negara basiskelompok-kelompok radikal yang berpotensi atau telah

menjadi teroris. Tekanan tersebut kemudiandirefleksikan dalam pernyataan publik FATF padatanggal 24 Oktober 2014 yang mengklasifikasikanIndonesia dalam kelompok yurisdiksi dengankekurangan strategis anti-pencucian uang/pencegahanpembiayaan terorisme bersama dengan Aljazair,Ekuador, dan Myanmar (FATF, 2014).

Kembalinya Indonesia dalam daftar abu-abu FATFmenjadi sinyal bagi pemerintah untuk melakukanupaya lanjutan untuk meyakinkan FATF. Kecepatandalam mengambil tindakan terkait juga menjadituntutan tersendiri mengingat FATF akan kembalimelakukan pertemuan pada bulan Februari 2015.Salah satu langkah penting yang diambil olehPemerintah Indonesia adalah mengupayakanpemahaman bersama antara institusi-institusipemerintahan terkait seperti Kementerian Luar Negeri,Kepolisian Republik Indonesia, Badan NasionalPenanggulangan Teroris, PPATK, serta MahkamahAgung. Hasil koordinasi bersama antara lima institusitersebut terkait interpretasi dan implementasi UU No.9 Tahun 2013 disepakati dalam sebuah suratkeputusan bersama yang dicantumkan dalam BeritaNegara RI Tahun 2015 Nomor 231 (SekretariatKabinet Republik Indonesia, 2015). Salah satu poinpenting dalam SKB tersebut adalah adanyakesepahaman terhadap mekanisme pembekuan asetterhadap terduga teroris yang terafiliasi dengan jaringanAl Qaeda dan Taliban, seperti yang telah dicatumkandalam daftar DK PBB Nomor 1267 (Handoko, 2015).

Upaya yang telah dilakukan oleh PemerintahIndonesia untuk mempertegas komitmen politiknyaterhadap implementasi rezim anti-pencucian uang/pencegahan pembiayaan terorisme tersebut mendapatrespon postif melalui pemberian label “peningkatan”pada bulan Februari 2015 (FATF, 2015a) sebelumakhirnya dinyatakan keluar dari daftar pengawasansecara permanen pada Juni 2015 (FATF, 2015b).

RASIONALITAS PENGIMPLEMENTASIAN “40+9REKOMENDASI”

Melalui penjelasan yang telah dipaparkan, dapatdiketahui bahwa Indonesia telah menempuh langkah

Page 7: Rasionalitas Indonesia dalam Pengimplementasian “40+9 ...

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 5 EDISI 1 / APRIL 2016106

yang panjang hingga secara substansial dinyatakan telahpatuh terhadap norma rezim anti-pencucian uang/pencegahan pembiayaan terorisme internasionalmelalui “40+9 Rekomendasi”. Kebijakan tersebuttidak terlepas dari besarnya pengaruh FATF berikutnegara-negara anggotanya dalam menekan Indonesiaagar secepatnya mengharmonisasikan regulasinasionalnya dengan standar praktek yang telahditetapkan di dalam rezim. Meskipun demikian, perludipahami juga bahwa tekanan dalam bentuk ancamantersebut hanya dapat berjalan efektif jika memilikikekuatan di belakangnya, yang nyatanya dijamin olehnegara-negara anggota FATF melalui hegemoni finansialyang dimilikinya.

Untuk memahami kebijakan Indonesia dalammengadopsi rekomendasi tersebut, perlu dipahamiterlebih dahulu bahwa titik mula dari kalkulasikepentingan dimulai dari dimasukkannya Indonesiadalam daftar hitam FATF pada bulan Juni 2000.Publikasi daftar NCCTs sendiri tidak memilikikonsekuensi langsung terhadap negara-negara yangberada dalam daftar tersebut, namun menjadi sinyalakan datangnya sanksi dalam bentuk counter measures.

Situasi yang demikian terlihat dalam kasus Indone-sia, di mana Pemerintah Indonesia memilih preferensikepatuhan terhadap rekomendasi FATF setelahmemperoleh ancaman yang berwujud daftar NCCTs.Dengan melihat pengalaman-pengalaman negara sepertiSt Kitts and Nevis, Vanuatu, dan Cook Island yangtelah dijatuhi counter measure oleh negara-negaraanggota FATF (Sharman, 2009: 586-587), Indonesiamemperoleh gambaran atas apa yang akan terjadi dimasa depan (shadow of the future) jika memilih untuktidak patuh terhadap ancaman daftar NCCTs. Padaakhirnya, kondisi tersebut mempengaruhi preferensiIndonesia untuk memilih opsi bekerja sama denganmengadopsi rekomendasi FATF. Harmonisasiberkelanjutan yang dilakukan oleh Pemerintah Indone-sia memperlihatkan preferensi Indonesia untuk tetappatuh terhadap rezim, yang dapat dilihat darikomposisi undang-undang TPPU yang sama persisdengan isi rekomendasi FATF, serta respon cepatpemerintah dalam menindaklanjuti permintaan revisi

atau rekomendasi FATF.Perilaku Indonesia yang demikian tidak dapat

dilepaskan dari konsekuensi counter measure itu sendiri.Pada bagian sebelumnya, telah disampaikan bahwapengenaan sanksi oleh negara-negara anggota FATFdalam bentuk counter measure dapat mempengaruhisektor finansial investasi dan riil perdagangan suatunegara, mengingat cara yang digunakan adalah denganmengandalkan sektor finansial negaranya untukmengenakan biaya tinggi, termasuk juga penghentianhubungan. Ancaman tersebut akan memberi dampakyang signifikan kepada negara yang didaftarhitamkan,terutama jika negara-negara tersebut memilikiketergantungan tinggi dengan negara-negara FATF atauinstitusi-institusi yang memiliki hubungankompleksitas rezim dengannya.

Dalam kasus Indonesia, dapat diketahui bahwapada publikasi daftar NCCTs yang pertama, Indonesiatengah berada dalam masa pemulihan ekonomi paskaKrisis 1998. Salah satu upaya yang perlu dilakukandalam membangun kembali perekonomian adalahmenjaga ketersediaan pendanaan baik untukmenggerakkan bisnis dalam bentuk modal maupununtuk menjalankan APBN yang ditujukan untukpembangunan negara. Ketika Indonesia berada dalamkrisis maupun ketika proses pemulihan, akumulasikapital dari dalam negeri adalah suatu hal yangmustahil karena adanya perlambatan ekonomi sehinggasektor-sektor yang produktif sekalipun tidak dapatmemberikan pemasukan yang signifikan bagi negara.Dalam kondisi tersebut, negara dihadapkan padapilihan pendanaan eksternal, baik melalui hutangmaupun investasi asing. Dalam Tabel 1 berikut dapatdilihat komponen berikut besaran pendanaaneksternal dari tahun 1998 hingga 2001, atau masaketika krisis terjadi hingga tahun ketika Pemerintahmulai menyiapkan kerangka keputusan untukmerespon fakta bahwa Indonesia masuk ke dalamdaftar NCCTs.

Dari data tersebut dapat diketahui bahwa Indonesiamengalami defisit dalam arus investasi asing dengandefisit terbesar terjadi pada tahun 2000. Denganmenurunnya arus investasi langsung yang

Page 8: Rasionalitas Indonesia dalam Pengimplementasian “40+9 ...

107

mengindikasikan kelesuan di sektor ekonomi privat,pemerintah mengemban tanggung jawab yang lebihbesar untuk menjadi penggerak dalam perekonomiannasional, misalnya dengan melakukan pengeluaranpemerintah. Dengan menimbang fakta atas ketiadaankemampuan akumulasi kapital domestik sepertimelalui pajak, pemerintah dihadapkan pada opsihutang luar negeri baik dalam skema official developmentassitance (ODA) maupun official assistance (OA).

Komposisi hutang luar negeri yang mencapai53,79% dari PDB Indonesia pada tahun 1998 serta44,62% pada tahun 1999 membuktikan tingginyaketergantungan Indonesia terhadap sistem finansialglobal. Besaran ODA maupun OA, meskipunmengalami penurunan dari sejak tahun 1999, tetapmemberikan gambaran atas lemahnya kondisiperekonomian Indonesia pada saat itu. Kondisi inikemudian menjadi pertimbangan bagi pemerintahdalam menentukan kebijakan luar negerinya, di manapreferensi utama yang rasional adalah mengikuti aturanmain yang berlaku agar Indonesia dapat tetapmemperoleh manfaat dari sistem finansial global,terutama akses terhadap hutang.

Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yangyang terdaftar dalam kelompok negara-negaraberpendapatan menengah bawah penerima ODAuntuk periode 1997-1999 (OECD, n.d.a) kemudiankelompok negara berpendapatan rendah lainnya padatahun 2000-2001 (OECD, 2000; n.d.b), sehinggamemiliki hak untuk mengakses dana ODA, terlepasdari kepatuhan terhadap rezim anti-pencucian uang/pencegahan pembiayaan terorisme. Yang menjadi

potensi permasalahan di kemudian hari terkait dengankepatuhan tersebut adalah teknis dari penyaluran danatersebut, di mana negara donornya adalah negara-negara anggota FATF dengan menggunakan jaringanfinansial global yang juga dikuasai oleh institusiperbankannya, yang memiliki kewajiban untukmemberlakukan counter measure kepada negara-negarapenerima yang tidak patuh terhadap rezim.

Sebagian besar negara donor ODA maupun OAyang tergabung dalam Development Assistance Committee(DAC) merupakan negara-negara anggota FATF, yangnotabene memiliki kapasitas dan legitimasi untukmenerapkan counter measure secara unilateral baginegara-negara devian3. Untuk kasus Indonesia sendiri,negara-negara donor ODA utama untuk periode 1998-2001 merupakan negara-negara anggota FATF sepertiJepang, AS, Inggris, Jerman, dan Belanda (WorldBank, n.d.) yang merupakan negara-negara anggotaFATF. Kondisi yang demikian semakin menaikkanposisi tawar rezim, sehingga pada akhirnya Indonesiadalam mengkalkulasikan biaya dan keuntungan darikeikursertaan rezim mendapatkan konklusi untukmemilih kebijakan pre-emptive compliance sebagai respondari daftar NCCTs tahun 2000 tersebut.

Selain mempengaruhi sektor finansial dalam bentuksumber pendanaan, masuk ke dalam daftar NCCTspada dasarnya akan menjadi peringatan akankredibilitas institusi-institusi finansial di negaratersebut, atau dengan kata lain terdapat resiko reputasiyang ikut menjadi pertimbangan. Salah satu carauntuk melihat indikasi kepercayaan publik terhadapinstitusi finansial adalah dengan melihat pergerakan

Tabel 1Sumber Finansial Eksternal Indonesia Tahun 1998-2001

Sumber: World Bank

Page 9: Rasionalitas Indonesia dalam Pengimplementasian “40+9 ...

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 5 EDISI 1 / APRIL 2016108

indeks harga saham gabungan (IHSG) negara tersebut,karena bank-bank mendaftarkan perusahaannya kedalam pasar saham dan pada umumnya saham-sahaminstitusi perbankan termasuk dalam kelompok saham-saham yang diperdagangkan dalam skala besar sehinggamemiliki kontribusi signifikan terhadap pergerakanIHSG.

Reputasi institusi finansial memiliki tingkatsensitifitas tinggi dan reputasi menjadi salah satufaktor yang dapat mempengaruhi harga sahamnya.Dengan kondisi demikian, maka adanya isu pencucianuang yang dapat mengganggu kesehatan finansialinstitusi juga akan mempengaruhi volume perdagangansaham perusahaan. Kemudian secara akumulatif,fluktuasi terhadap nilai saham institusi finansial-perbankan nantinya juga akan mempengaruhi nilaiIHSG.

Dari data yang diperoleh tersebut, dapat diketahuibahwa IHSG Indonesia mengalami tekanan padaperiode tahun 2000-2002. Kondisi tersebut jikadikorelasikan dengan adanya publikasi NCCTs dapatdimaknai bahwa pemerintah perlu untuk tidakmenambah tekanan terhadap sektor perbankan Indo-nesia agar nilai IHSG tidak semakin anjlok. Hal

tersebut nantinya dapat merugikan sektor-sektorindustri lainnya, dan pada akhirnya dapatmemperlambat upaya pemulihan ekonomi paska Krisis1998 yang sedang dilakukan oleh pemerintah.

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan ekonomitersebut, ditambah dengan adanya shadow of the futuredari sanksi yang dapat diterima, Indonesia memilihuntuk mengambil preferensi patuh terhadap rezimanti-pencucian uang yang diisyaratkan melaluimekanisme blacklisting dalam daftar NCCTs FATF.Dalam kelanjutannya, preferensi tidak mengalamiperubahan sehingga Indonesia juga tetap mengikutiperubahan-perubahan yang terjadi dalam rezim,misalnya dengan ikut menyesuaian ekstensifikasi rezimdengan menambahkan isu pencegahan pembiayaanterorisme dalam regulasi nasional anti-pencucianuangnya.

Selain pertimbangan dari sektor ekonomi finansialterkait dengan akses terhadap sumber pendanaan sertakepentingan untuk menjaga reputasi institusifinansialnya, Indonesia juga memiliki kepentingan laindalam pengadopsian rezim anti-pencucian uang/pencegahan pembiayaan terorisme terkait denganadanya overlapping antara rezim tersebut dengan rezim

Gambar 1. Pergerakan IHSG Bursa Efek Indonesia tahun 1989-2014

Sumber: Indonesia Stock Exchange, 2015

Page 10: Rasionalitas Indonesia dalam Pengimplementasian “40+9 ...

109

anti-korupsi, di mana korupsi menjadi salah satuagenda politik prioritas dalam periode awal reformasi.

Urgensi tersebut dapat dikaitkan dengan kejatuhanRezim Soeharto yang memunculkan kesadaran danperlawanan bangsa Indonesia terhadap korupsi,terutama jenis korupsi politik, yang menjadi kejahatanpredikat dari pencucian uang. Dalam kasus negaraberkembang seperti Indonesia, kejahatan predikatseperti perdagangan obat-obatan terlarang sertapenghindaran pajak bukan menjadi perhatian utamakarena dampaknya yang dipersepsikan masih jauh darikepentingan publik. Sementara itu, korupsi, yangdimaknai sebagai penyalahgunaan kekuasaan untukmemperoleh keuntungan pribadi, telah menimbulkankerugian yang nyata bagi masyarakat Indonesia sehinggadianggap sebagai sebuah permasalahan penting danperlu adanya pendayagunaan seluruh modalitas yangdimiliki untuk memberantas kejahatan tersebut.

Dengan adanya urgensi demikian, padakenyataannya korupsi merupakan sebuah kejahatanyang sulit dideteksi karena sifat kerahasiaannyasehingga memerlukan berbagai pendekatan untukmenindak kejahatan tersebut, yang salah satunyadiupayakan dengan menggunakan prinsip “follow themoney” seperti dalam rezim anti-pencucian uang (Halif,2002: 70). Selain itu, nilai dalam rezim anti-pencucianuang terkait dengan transparansi melalui implementasiprinsip KYC juga dapat menjadi salah satu upayapreventif serta pendeteksian dini dana-dana hasilkorupsi yang akan disimpan oleh para koruptor.

Selain adanya regulasi perbankan untuk menjamintransparansi dan akuntabilitas dalam KYC, rezim anti-pencucian uang/pencegahan pembiayaan terorismejuga dilengkapi dengan satu agen penting yangmemainkan fungsinya sebagai intelijen keuangan dalambentuk FIU. Agen anti-pencucian uang ini nyatanyadapat difungsikan juga untuk memperkuat rezim anti-korupsi, dengan memperhatikan prinsip specialty4 yangdipegang oleh FIU. Sementara Indonesia belummemiliki lembaga tersebut, asistensi dari negara-negaraFATF terhadap pembentukan FIU nasional yangkemudian diwujudkan dalam bentuk PPATK menjadisebuah potensi keuntungan dari diadopsinya rezim

anti-pencucian uang. Adanya persinggungan-persinggungan dalam norma maupun regulasi antararezim anti-pencucian uang/pencegahan pembiayaanterorisme dan rezim anti-korupsi ini kemudian dilihatsebagai langkah strategis untuk mengamankankepentingan Indonesia dari dua sisi, yaitu di hadapanpublik internasional dan politik domestik.

Dalam konteks politik internasional, keikutsertaanIndonesia dalam rezim anti-pencucian uang dapatmenjadi suatu langkah strategis untuk melindungikepentingan-kepentingan ekonomi Indonesia dariancaman sanksi finansial yang dapat dilakukan olehnegara-negara anggota FATF. Sementara itu, kebijakanpengadopsian rezim tersebut nyatanya juga dapatmenjadi sumber modalitas bagi Pemerintah Indonesiadalam menciptakan good financial governance di leveldomestik, yang di dalamnya mencakup sebuah tatananpolitik ekonomi yang mampu menekan potensipenyelewengan seperti korupsi hingga pembiayaanterorisme.

Urgensi dari pencegahan pembiayaan terorisme diIndonesia terkait erat dengan kemunculan gerakan-gerakan radikal di wilayah Indonesia yang kemudianmenjadi gerakan teroris. Terorisme juga menjadipermasalahan pelik dalam kehidupan politik-keamanannegara, yang mana memerlukan sumber daya yangbesar untuk menanggulangi dan mencegahnya. Salahsatu sumber daya yang diperlukan adalah legitimasidan informasi, yang dapat diperoleh dengankeikutsertaan dalam rezim-rezim internasional yangberkaitan, termasuk di antaranya rezim anti-pencucianuang yang telah dikembangkan menjadi rezim anti-pencucian uang/pencegahan pembiayaan terorisme.

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwasetidaknya terdapat dua alasan utama untukmemahami pilihan Indonesia pada saat itu untuk ikutmengadopsi rezim anti-pencucian uang. Di satu sisi,terdapat kalkulasi resiko yang berasal dari faktor-faktoreksternal, terutama ancaman akan adanya sanksifinansial dari negara-negara anggota Financial ActionTask Force (FATF). Ancaman akan diberikannya counter-measures oleh negara-negara anggota FATFdikalkulasikan dapat memperberat upaya Indonesia

Page 11: Rasionalitas Indonesia dalam Pengimplementasian “40+9 ...

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 5 EDISI 1 / APRIL 2016110

dalam agenda pemulihan ekonomi paska Krisis 1998,baik dalam sektor non-riil terkait investasi asingmaupun sektor riil seperti perdagangan internasional.Pertimbangan ini menjadi landasan rasionalitas atasfaktor shadow of the future apabila Indonesia tidak ikutmendukung agenda global tersebut. Di sisi lain,terdapat pula rasionalisasi dalam konteks issue linkage,di mana Indonesia memerlukan legitimasi dandukungan, baik nasional maupun internasional, dalamagenda pemberantasan korupsi karena struktur dalamrezim anti-pencucian uang memiliki koherensi dalambentuk kompleksitas overlapping regime dengan rezimanti-korupsi. Dengan adanya hubungan kompleksitastersebut, Pemerintah Indonesia mengkalkukasikanadanya keuntungan tambahan yang diperoleh, yaituadanya penguatan melalui penambahan modalitas yangdapat membantu optimalisasi realisasi agendapemberantasan korupsi.

KESIMPULANKasus Indonesia dalam pengadopsian rezim anti-

pencucian uang/pencegahan pembiayaan terorismedapat menjadi gambaran atas apa yang terjadi dinegara-negara berkembang. Pada kenyataannya, fokusmasalah di negara-negara tersebut memiliki perbedaandengan apa yang terjadi di negara-negara maju, ataudengan kata lain negara-negara yang menjadi promotorrezim ini, di mana perdagangan obat-obatan terlarangserta tipe kejahatan keuangan kerah putih menjadi isuutama. Perbedaan fokus tersebut nyatanya tidakmenyurutkan proliferasi rezim karena kemampuannyaberadaptasi dengan perubahan lingkungan. Nilai dannorma yang universal seperti transparansi danakuntabilitas menjadi kunci pembuka ke pintukedaulatan negara-negara dunia dengan mengemasnyasebagai satu label baru, yaitu financial governance.Meskipun demikian, perlu ditekankan lagi bahwakunci tersebut pada kenyataannya dapat memilikikemampuan untuk melintasi pintu kedaulatan negara-negara (berkembang) karena adanya tangan-tangannegara maju yang menggerakkannya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa padaakhirnya konsep hegemoni dan kekuasaan tidak dapat

dilepaskan dari rezim dan bagaimana rezim tersebutdapat berjalan secara efektif. Rezim internasional anti-pencucian uang/pencegahan pembiayaan terorismetelah memberikan bukti bahwa meskipun hanyamemiliki organisasi seperti FATF yang bersifat ad hoctanpa kapasitas maupun kapabilitas untukmemberikan insentif atau sanksi, rezim tersebutmemiliki kesuksesannya tersendiri karena mampumendorong negara-negara dunia, termasuk negaraberkembang seperti Indonesia yang memilikipermasalahan kompleks lebih dari sekedar pencucianuang dan keterbatasan sumber daya, ikut mengadopsirezim tersebut.

CATATAN AKHIR1 Ketiga belas negara yang masuk dalam daftar NCCT tahun 2001

adalah: Cook Islands, Dominika, Filipina, Guatemala, Hungaria,Indonesia, Israel, Lebanon, Marshall Islands, Mesir, Myanmar,Nauru, Nigeria, Niue, Russia, St. Kitts and Nevis, dan St. Vincentand the Grenadines (FATF, 2001: 4)

2 Global Systemically Important Bank merupakan bank yang memilikipotensi sebagai penyebab krisis finansial sebagai dampak darijaringan finansialnya yang kuat di dunia. Daftar tersebut disusunatas dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh BaselCommittee dan dipublikasikan secara berkala oleh Financial StabilityBoard. Beberapa indikator yang dipakai untuk menilai dampaksistemik suatu institusi perbankan antara lain adalah: keterkaitanantar sistem finansial, infrastruktur finansial institusi, nilai bukuperdagangan dan nilai penjualan yang tersedia (Bank ForInterapgnational Settlements, 2011).

3 Negara-negara yang tergabung dalam DAC adalah: Australia,Austria, Belgia, Kanada, Rep. Ceko, Denmark, UE, Finlandia,Perancis, Jerman, Yunani, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Rep.Korea, Luksemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia,Portugal, Rep. Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swis, Inggris, danAS (OECD, n.d.c).

4 Prinsip specialty berkenaan dengan otoritas dan legalitaspenggunaan data keuangan oleh pihak ketiga. FIU melaluiperundangan dapat memiliki wewenang untuk meminta data-datakeuangan nasabah dari penyedia jasa keuangan, namun prinsipspecialty memberikan konsekuensi adanya pembatasan terhadappenggunaan data yang diperoleh, misal hanya untuk memprosespengusutan pencucian uang, untuk memproses kejahatankeuangan lain, atau apakah dapat digunakan juga untukkepentingan fiskal. (Stessens, 2000: 193-195)

REFERENSIBuku dan Bagian dalam BukuHasenclever, A., Meyer, P., & Rittberger, V. (1997) Theories of Interna-

tional Regime. Cambridge: Cambridge University Press.Hennida, C. (2015) Rezim dan Organisasi Internasional. Malang: Intrans

Page 12: Rasionalitas Indonesia dalam Pengimplementasian “40+9 ...

111

Publishing.Manthovani, R & R. N. Jatna (2012). Rezim Anti-Pencucian Uang dan

Perolehan Hasil Kejahatan di Indonesia. Jakarta: Malibu.Pickett, S & J. M. Pickett. (2002) Financial Crime Investigation and

Control. New York: John Wiley & Sons, Inc. 2002.Schott, P. A. (2006) Reference Guide to Anti-Money Laundering and

Combating the Financing of Terrorism. Washington: The Interna-tional Monetary Fund.

Stessens, G. (2000) Money Laundering: A New International LawEnforcement Model. Cambridge: Cambridge University Press.

Sanova, E. U. & M. A. de Feo. (1997) “International Money LaunderingTrends and Prevention/Control Policies” in Sanova, Ernesto U (eds).(1997) Responding to Money Laundeing: International Perspec-tive. Amsterdam: Harwood Academic Publisher.

Artikel JurnalAlldridge, P. (2008) Money Laundering and Globalization. Journal of

Law and Society, 35(4) December, pp. 437-463.Halif (2002) Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

melalui Undang-undang Pencucian Uang. Jurnal Anti-korupsi 2(2)November, pp. 69-84.

Lacy, D. & Niou, E.M.S. (2004) A Theory of Economic Sanctions andIssue Linkage: The Roles of Preferences, Information and Threats.The Journal of Politics 66(1) February, pp. 25-42.

Levi, M. (2002) Money Laundrying and Its Regulation. Annals of theAmerican Academy of Political and Social Science 582(1) July, pp.181-194.

Levi, M. & Reuter, P. (2006) Money Laundering. Crime and Justice34(1), pp. 289-375.

Sharman, J. (2009) The Bark is the Bite: International Organizations andBlacklisting. Review of International Political Economy 16(4)November, pp. 573-596.

LaporanADB (2003, March). Manual on Money Laundering and the Financing

of Terrorism.FATF (2001, June). FATF Annual Report 2000-2001. Paris: FATF

Secretariat.Indonesia Stock Exchange (2015). IDX Fact Book 2014. Jakarta:

Indonesia Stock Exchange.

Artikel MajalahHusein, Y. (2005) Upaya Indonesia untuk Keluar dari NCCTs: Kerja Keras

yang Berkelanjutan. Buletin Hukum Perbankan danKebanksentralan, Agustus 2005.

Makalah dipresentasikan dalam SeminarHusein, Y. (2007, Februari) Perkembangan Terkini Rezim Anti-Pencucian

Uang. Makalah dipresentasikan di Amerika Serikat.

InternetAPG. (n.d.) APG 2nd Mutual Evaluation Report of Indonesia [Online].

Available from <http://www.apgml.org/documents/Default.aspx?pcPage=14> [Accessed 29 July 2015].

Bank For International Settlements. (2011) Global Systemically

Important Banks: Assessment Methodology and the AdditionalLoss Absorbency Requirement [Online]. Available from<www.bis.org/publ/bcbs201.pdf> [Accessed 31 Agustus 2015].

Department of State. (2013) 2013 International Narcotics ControlStrategy Report (INCSR) - Volume II: Money Laundering andFinancial Crimes Country Database [Online]. Available from <http://www.state.gov/j/inl/rls/nrcrpt/2013/database/211182.htm>[Accessed 29 July 2015].

FATF. (n.d.) FATF Members and Observers [Online]. Available from<http://www.fatf-gafi.org/pages/aboutus/membersandobservers/#d.en.3147> [Accessed 29 August 2015].

FATF. (2008) FATF Membership Policy [Online]. Available from <http://www.fatf-gafi.org/pages/aboutus/membersandobservers/fatfmembershippolicy.html> [Accessed 29 August 2015].

FATF. (2012) FATF Standard [Online]. Available from <http://www.fatf-gafi.org/media/fatf/documents/recommendations/pdfs/FATF_Recommendations.pdf> [Accessed 20 April 2015].

FATF. (2014) High-risk and Non-cooperative Jurisdictions [Online].Available from <http://www.fatf-gafi.org/topics/key/public-statement-oct2014.html> [Accessed 29 July 2015].

FATF (2015a). Improving Global AML/CFT Compliance: on-goingprocess - 27 February 2015 [Online]. Available from <http://www.fatf-gafi.org/topics/high-riskandnon-cooperativejurisdictions/documents/fatf-co mpliance-february-2015.html> [Accessed 20April 2015].

FATF (2015b). Improving Global AML/CFT Compliance: On-goingProcess - 26 June 2015 [Online]. Available from <http://www.fatf-gafi.org/topics/high-riskandnon- cooperativejurisdictions/docu-ments/fatf-compliance-june-2015.html> [Accessed 13 July 2015].

Financial Stability Board. (2014) 2014 Update of List of GlobalSystemically Important Banks (G-SIBs) [Online]. Available from<http://www.financialstabilityboard.org/2014/11/2014-update-of-list-of-global-systemically-important-banks/> [Accessed 31 August2015].

G8 Information Centre. (n.d.) Economic Declaration [Online]. Availablefrom <http://www.g8.utoronto.ca/summit/1989paris/communi-que/index.html#drugs> [Accessed 13 July 2015].

Handoko. (2015) Indonesia Keluar dari Daftar Hitam Pencucian Uang[Online]. Tersedia dalam <http://nasional.tempo.co/read/news/2015/06/25/063678200/indonesia-keluar-dari-daftar-hitam-pencucian-uang> [Diakses 29 Juli 2015].

Know Your Country. (2015) Country Ratings Table [Online]. Availablefrom <http://www.knowyourcountry.com/1ratingtable.html>[Accessed 20 April 2015].

OECD. (n.d.a) DAC List of Aid Recipients used for 1997, 1998 and1999 flows [Online]. Available from <http://www.oecd.org/dac/stats/documentupload/1809409.htm> [Accessed 13 December2015].

OECD. (n.d.b) DAC List of Aid Recipients used for 2001-2002 flows[Online]. Available from <http://www.oecd.org/dac/stats/documentupload/1808900.htm> [Accessed 13 December 2015].

OECD. (n.d.c) DAC Members [Online]. Available from <http://www.oecd.org/dac/dacmembers.htm> [Accessed 13 December2015].

OECD. (2000) DAC List of Aid Recipients used for 2000 flows [Online].Available from <http://www.oecd.org/dac/stats/documentupload/

Page 13: Rasionalitas Indonesia dalam Pengimplementasian “40+9 ...

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 5 EDISI 1 / APRIL 2016112

1809192.htm> [Accessed 13 December 2015].PPATK. (n.d.) Sejarah PPATK [Online]. Tersedia dalam <http://

www.ppatk.go.id/pages/view/13?reloaded=yes> [Diakses 20 April2015].

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. (2015) Indonesia Keluar dariDaftar Negara Rezim Anti Pemberantasan Pembiayaan Terorisme[Online]. Tersedia dalam <http://setkab.go.id/indonesia-keluar-dari-daftar-negara-rezim-anti-pemberantasan-pendanaan-terorisme/>[Diakses 29 Juli 2015].

World Bank (n.d.). Net official development assistance and official aidreceived (current US$) [Online]. Available from <http://data.worldbank.org/indicator/DT.ODA.ALLD.CD/countries>[Accessed 12 December 2015].

World Bank. (2009) Combating Money Laundering and the Financingof Terrorism [Online]. Available from <http://siteresources.worldbank.org/FINANCIALSECTOR/Resources/CombattingMLandTF.pdf> [Accessed 13 July 2015].