Rangkuman Filsafat Bahasa Tugas Besar
-
Upload
arifin-abidin -
Category
Documents
-
view
95 -
download
8
description
Transcript of Rangkuman Filsafat Bahasa Tugas Besar
Language PhilosophyProf. Dr. Mansur Akil, M.Pd.
REVIEW TEXTBOOK
FILSAFAT BAHASA SEMIOTIKA DAN HERMENEUTIKA
PROF. DR. KAELAN, M.S
Muh. Arifin
15B01072
Class A
ENGLISH EDUCATION GRADUATED PROGRAM
MAKASSAR STATE UNIVERSITY
2015
PENDAHLUAN
Hubungan bahasa dengan masalah-masalah filsafat telah lama menjadi perhatian
para filsuf, bahkan hal ini telah berlangsung sejak zaman Yunani. Suatu perubahan
terpenting terjadi ketika para filsuf mengetahui bahwa berbagai macam problem
filsafat dapat dijelaskan melalui suatu analisis bahasa. Sebagai contoh problem
filsafat yang menyangkut pertanyaan, ‘keadilan’, ‘kebaikan’, ‘kebenaran’,
‘kewajiban’, ‘hakikat ada’ dan pertanyaan-pertanyaan fundamental lainnya dapat
dijelaskan denga menggunakan metode analisis bahasa. Tradisi ini oleh ahli sejarah
filsafat disebut sebagai ‘Filsafat Analitik’, yang berkembang di Eropa terutama di
Inggris pada abad XX.
Berdasarkan pengamatan terhadap perkembangan sejarah filsafat bahasa maka filasfat
bahasa dikelompokkan menjadi dua macam pengertian yaitu:
1) Bahasa sebagai sarana analisis para filsuf dalam memecahkan, mamahami dan
menjelaskan konsep-konsep dan problema-problema filsafat. Analisis pengunaan
ungkapan-ungkapan bahasa disebut dengan pengertian filsafat analitik atau
filsafat analitika bahasa. Aliran-aliran filsafat analitik anatara lain Atomisme
logis, positivisme logis, dan filsafat bahasa biasa.
2) Filsafat bahasa membahas, menganalisis, dan mencari hakikat bahasa itu sendiri,
bahasa menjadi objek materia filsafat.
Bahasa pada hakikatnya merupakan suatu sistem simbol yang tidak hanya
merupakan urutan bunyi-bunyi secara empiris, melainkan memiliki makna yang
sifatnya non-empiris. Dengan demikian bahwa bahasa adalah sistem simbol yang
memiliki makna, merupakan alat komunikasi manusia, penuangan emosi manusia
serta merupakan sarana pengejawantahan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-
hari terutama dalam mencari hakikat kebenaran dalam hidupnya.
Filsafat merupakan aktivitas manusia yang berpangkal pada akal pikiran manusia
untuk menemukan kearifan dalam hidupnya, terutama dalam mencari dan
menemukan hakikatat realitas dari segalah sesuatu, dan memiliki hubungan yang
sangat erat dengan bahasa terutama bidang semantik. Bahasa merupakan gambaran
realitas, oleh karena itu untuk mengungkap struktur realitas diperlukan suatu symbol
bahasa yang memenuhi syarat logis sehinga satuan-satuan dalam ungkapan bahasa itu
terwujud dalam proposisi-proposisi.
Bahasa pada hakikatnya merupakan suatu sistem simbol yang tidak hanya
merupakan urutan bunyi-bunyi secara empiris, melainkan memiliki makna yang
sifatnya non-empiris. Dengan demikian bahwa bahasa adalah sistem simbol yang
memiliki makna, merupakan alat komunikasi manusia, penuangan emosi manusia
serta merupakan sarana pengejawantahan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-
hari terutama dalam mencari hakikat kebenaran dalam hidupnya.
Akan tetapi dalam kenyataannya bahasa memiliki sejumlah kelemahan dalam
hubungannya dengan ungkapan-ungkapan dalam aktifitas filsafat, antara lain;
vagueness (kesamaran), inexplicitness (tidak eksplisit), ambiguity (ketaksaan),
contex-dependence (tergantung pada konteks) dan misleadingness (menyesatkan).
(Alston, 1964:6).
Bahasa memiliki sifat vagueness karena makna yang terkandung dalam suatu
ungkapan bahasa pada dasarnya hanya mewakili realitas yang diacunya. Penjelasan
secara verbal tentang aneka warna bunga mawar, tidak akan setepat dan sejelas
pengamatan secara langsung tentang aneka bunga mawar tersebut.
Ambiguity berkaitan dengan ciri ketaksaan makna dari suatu bentuk kebahasaan.
Kata ‘orang tua’ misalnya, dapat berarti ‘bapak-ibu’ ataupun orang yang memang
sudah tua. Kesamaran dan ketaksaan bahasa tersebut disamping merupakan
kelemahan bahasa untuk aktivitas filsafat juga sebaliknya justeru kelebihan bahasa
manusia, yaitu bersifat ‘multifungsi’,selain berfungsi simbolik, bahasa juga memiliki
fungsi ‘emotif’ dan ‘afektif’. Selain itu adanya sinonimi, hiponimi, maupun polisemi
juga menjadi faktor kesamaran dan ketaksaan bahasa.
Metafisika adalah salah satu cabang filsafat di samping cabang-cabang lainnya.
Aristoteles menamakan metafisika sebagai filsafat yang pertama, yang membahas
tentang hakikat realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada secara keseluruhan
bersangkutan dengan sebab-sebab terdalam, prinsip konstitutif dan tertinggi dari
segala sesuatu. Untuk itu Aristoteles menyebutnya dengan istilah ‘sofia dan teologi’
(Steenberghen, 1970:8). Secara etimologis istilah metafisika berasal dari bahasa
Yunani ‘ta meta ta physica’ yang secara harfiah di balik fisika atau di balik hal-hal
yang bersifat fisik. Andronikus menemukan bahwa sesudah karya-karya Aristoteles
mengenai fisika, terdapat 14 buku tanpa nama dan ia menyebut empat belas karya
tersebut dengan ‘buku-buku yang datang sesudah fisika’. Dalam buku-buku ini ia
menemukan pembahasan mengenai realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada yang
tidak ada di dunia fisik. Kesimpulannya adalah terdapat hal-hal yang bersifat
metafisik.(Bagus,1991:18).
Aristoteles menjelaskan tentang 10 kategori yaitu meliputi substansi yang
merupakan hakikat dari segala sesuatu yang bersifat fundamental, dan sembilan
aksidensia. Keberadaan aksiden tergantung dan terlekat pada substansi yang meliputi:
1) Kuantitas, yaitu unsur fisis dari segala sesuatu yang meliputi luas, bentuk dan
berat sehingga menempati ruang tertentu, tempat tertentu.
2) Kualitas, berkaitan dengan aksidensia sifat-sifat terutama sifat-sifat yang dapat
ditangkap oleh indera (untuk substansi yang memiliki kuantitas).
3) Aksi, yaitu yang menyangkut perubahan dinamika segala sesuatu yang ada dan
yang mungkin terjadi.
4) Passi, menyangkut penerimaan perubahan yang dikaitkan dengan sesuatu yang
lain.
5) Relasi, setiap hal termasuk benda senantiasa memiliki hubungan dengan sesuatu
yang lainnya.
6) Tempat, segala sesuatu di alam semesta ini mengambil ruangan di mana sesuatu
itu berada, hal itu dikarenakan substansi memiliki kuantitas.
7) Waktu, segala sesuatu di dalam alam semesta ini berada dalam suatu waktu
tertentu, kapan sesuatu itu berada dan kapan sesuatu itu tidak berada kembali.
8) Keadaan, yaitu bagaimana sesuatu itu berada di tempatnya.
9) Kedudukan, bagaimana sesuatu itu berada di samping sesutu yang lainnya.
Epitemologi adalah salah satu cabang filsafat yang pokok, secara etimologis
istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani ‘episteme’ yang berarti pengetahuan.
Berdasarkan bidang pembahasannya epsitemologi adalah cabang filsafat yang
membahas tentang pengetahuan manusia yang meliputi sumber-sumber, watak dan
kebenaran pengetahuan manusia. Bilamana dirinci persoalan-persoalan epistemologi
meliputi bidang sebagai berikut:
(1) Apakah sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu
datang, dan bagaimana kita dapat mengetahui? Hal ini semua merupakan problem
asal pengetahuan manusia.
(2) Apakah watak dari pengetahuan itu? Adakah dunia yang reak du luar akal
manusia, dan kalau ada dapatkah kita mengetahuinya? Hal ini semuanya
merupakan problema penampilan terhadap realitas.
(3) Apakah pengetahuan kita benar (valid)? Bagaimana kita membedakan antara
kebenaran dan kekeliruan? Hal ini merupakan problema kebenaran pengetahuan
manusia. (Titus, 1984:20).
Berdasarkan analisis problema dasar epistemologi tersebut maka dua masalah
pokok sangat ditentukan oleh formulasi bahasa yang digunakan dalam
mengungkapkan pengetahuan manusia yaitu sumber pengetahuan manusia yang
pengetahuannya meliputi pengetahuan apriori dan aposteriori.
Selain dalam pengetahuan apriori peran penting bahasa dalam epistmologi
berkaitan erat dengan teori kebenaran. Terdapat tiga teori kebenaran dalam
epistemologi, yaitu:
(1) Koherensi, yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bila
pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar.
(2) Korespondensi, yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar
jika materi pengetahuan yang dikandung dalam pernyataan itu berkorespondensi
atau berhubungan dengan objek atau fakta yang diacu oleh pernyataan tersebut.
(3) Pragmatis, yang menyatakan bahwa suatu pernyataan dianggap benar bilamana
pernyataan itu memiliki kegunaan praktis bagi kehidupan manusia.
(Suriasumantri, 1984:55-59).
Dalam ranah logika dan penalaran, bahasa juga mengalami probel.
Ketidaksamaan dalam menentukan arti kata atau arti kalimat, dapat mengakibatkan
kesesatan dalam penalaran. Kesesatan karena bahasa itu biasanya hilang atau berubah
kalau penalaran dari satu bahasa disalin ke dalam bahasa yang lain. Kalau penalaran
itu diberi bentuk lambang, kesesatan itu akan hilang sama sekali, karena itu lambang-
lambang dalam logika diciptakan untuk menghindari ketidakpastian arti dalam
bahasa. Berikut beberapa kesalahan dalam bahasa. Kesesatan karena aksen atau
tekanan.
Dalam ucapan tiap-tiap kata ada suku kata yang diberi tekanan. Perubahan
tekanan dapat membawa perubahan arti, maka kurang perhatian terhadap tekanan
ucapan dapat mengakibatkan perbedaan arti dan kesesatan penalaran. Contoh:
Tiap pagi pasukan mengadakan apel.
Apel itu buah.
Jadi: tiap pagi pasukan mengadakan buah
Kesesatan karena term ekuivok Term ekuivok yaitu term yang mempunyai lebih
dari satu arti. Kalau dalam satu penalaran terjadi pergantian arti dari sebuah term
yang sama, maka terjadilah kesesatan penalaran. Contoh:
Sifat abadi adalah sifat Tuhan.
Joko adalah mahasiswa abadi.
Jadi: Joko adalah mahasiswa yang memiliki sifat Tuhan.
Kesesatan karena arti kiasan (metaphor)
Ada analogi antara arti kiasan dengan arti sebenarnya, artinya terdapat kesamaan
dan ada juga perbedaan perbedaannya. Kalau dalam penalaran sebuah arti kiasan
disamakan dengan arti sebenarnya atau sebaliknya, terjadilah kesesatan karena arti
kiasan. Kesesatan karena amfiboli (amphibolia)
Ampiboli terjadi kalau konstruksi kalimat itu sedemikian rupa, sehingga artinya
menjadi bercabang. Contoh:
Mahasiswa yang duduk di atas meja yang paling depan.
Apa yang paling depan, mahasiswanya atau mejanya?
Berdasarkan paparan di atas maka pembahasan filsafat bahasa meliputi masalah
sebagai berikut:
Pertama, salah satu tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep (conceptual
analysis), oleh karena itu salah satu bidang filsafat bahasa adalah untuk memberikan
analisis yang adekuat tentang konsep-konsep dasar dan hal ini dilakukan melalui
analisis bahasa.
Kedua, tidaklah tepat bilamana lingkup pembahasan filsafat bahasa itu berkaitan
dengan filsafat analitik. Lingkup lain filsafat bahasa adalah berkenaan dengan
penggunaan dan fungsi bahasa, yaitu pembahasan tentang bahasa dalam hubungannya
dengan penggunaan bagi tindakan manusia.
Ketiga, berkenaan dengan teori makna dan dimensi-dimensi makna. Pembahasan
tentang lingkup inilah filsafat memiliki keterkaitan erat dengan linguistik, yaitu
bidang semantik.
Keempat, selain masalah-masalah tersebut di atas, filsafat bahasa –sebagaimana
cabang-cabang filsafat lainnya – membahas hakikat bahasa sebagai objek materia
filsafat, bahkan lingkup pembahasan ini telah lama ditekuni oleh para filsuf. Antara
lain hakikat bahasa secara ontologis sebagai dualisme bentuk dan makna, hakikat
bahasa sebagai substansi dan bentuk, dan lain sebagainya. (Kaelan, 2002: 22).
KAJIAN FILSAFAT TENTANG BAHASA
Perhatian para filsuf terhadap bahasa nampaknya semakin kental, dan kemudian
muncul persoalan filosofis yaitu apakah bahasa dikuasai oleh alam, nature atau fisei
ataukah bahasa itu bersifat konvensi atau nomos.
Pendapat yang menyatakan bahwa bahasa adalah bersifat alamiah (fisesi) yaitu bahwa
bahasa mempunyai hubungan dengan asal-usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi
dan tak dapat diganti di luar manusia itu sendiri dan karena itu tak dapat ditolak.
Kaum naturalis dengan tokohnya seperti Cratylus dalam dialog Plato mengatakan
bahwa semua kata pada umumnya mendekati benda yang ia tunjuk, jadi ada
hubungan antara komposisi bunyi dengan apa yang dimaksud.
Sebaiknya kaum konvensionalis berpendapat bahwa makna bahasa diperoleh dari
hasil-hasil tradisi, kebiasaan-kebiasaan berupa ‘tacit agreement’ yang artinya
‘persetujuan diam’. Karena hal ini merupakan tradisi maka dapat dilanggar dan dapat
berubah dalam perjalanan zaman. Bahasa bukanlah pemberian Tuhan, melainkan
bahasa bersifat konvensional. Dalam dialog Plato pendapat ini diwakili oleh tokoh
yang dikenal saat itu Hermogenes.
Protagoras salah satu tokoh kaum sofis Athena membedakan tipe-tipe kalimat atas
tujuh tipe yaitu; narasi, pertanyaan, jawaban, perintah, laporan, doa, dan undangan.
Hal ini nampaknya mirip dengan konsep J.L. Austin yang membedakan bahasa atas
tindakan dalam menggunakan bahasa. Adapun Georgias membedakan tentang gaya
bahasa yang dewasa ini dikenal dalam studi bahasa secara luas. (Parera, 1977:42).
Protagoras menyatakan bahwa manusia adalah pusat semesta, dan manusia adalah
segala-galanya. Kaum sofis menemukan pendekatan baru yang lebih sederhana untuk
bahasa manusia, untuk itu mereka mengembangkan cabang pengetahuan baru, yaitu
‘retorika’. Dalam defenisi meeka tentang kebijaksanaan (sophia), retorika menduduki
tempat sentral. Semua pertikaian tentang kebenaran atau ketepatan (orthotes), istilah
dan kata menjadi sia-sia dan berlebihan. Tugas bahasa bukanlah untuk merefleksikan
benda-benda, tapi hanya untuk membangkitkan emosi manusia, bukan hanya untuk
menyampaikan gagasan-gagasan atau pikiran saja, tapi lebih mendorong agar
manusia melakukan suatu tindakan. (Cassirer, 1987:173).
Menganggapi kondisi kacau balau akibat kelicinan kaum sofis ini, Sokrates
merasa terpanggil untuk meluruskannya dengan suatu metode ‘dialektis-kritis’.
Proses dialektis kritis dalam hal ini mengandung pengertian “dialog antara dua
pendirian yang bertentangan atau merupakan perkembangan pemikiran dengan
memakai pertemuan antar-ide” (Titus, 1984:17).
Plato mengatakan hubungan antara simbol dengan objeknya haruslah natural tidak
semata-mata konvesional. Tanpa hubungan natural seperti itu, suatu kata dalam
perbendaharaan bahasa manusia tak akan dapat dipahami. Bila pengandaian ini
bersumber pada teori bahasa maka diperlukan suatu upaya pemecahannya. Dalam
persoalan ini Plato mengemukakan doktrin onomatopoeia (Cassier, 1987: 171).
Aristoteles mengemukakan pemikiran filosofisnya bahwa terdapat sesuatu yang
tetap akan tetapi tidak dalam suatu dunia ideal, melainkan dalam benda-benda
jasmani sendiri. Materi adalah suatu kemungkinan belaka untuk menerima suatu
bentuk (Bertens, 1989: 15).
Filsuf yang membuka cakrawala abad modern adalah Rene Descartes sehingga ia
layak mendapat gelar ‘bapak filsafat modern’. Menurut Descartes yang dipandang
sebagai pengetahuan yang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah, artinya
bahwa gagasan-gagasan atau ide itu harus dapat dibedakan dengan ide-ide lain.
Pengamatan inderawi tidak memberikan keterangan tentang hakikat dan sifat-sifat
dunia di luar kita. Hanya pemikiran yang jelas dan terpilah yang dapat mengajar
secara sempurna tentang hakikat segala sesuatu melalui pengertian-pengertian secara
langsung dan jelas. Yang diketahui pikiran secara langsung dan tanpa melalui
perantara adalah dirinya semata-mata, sedangkan hal-hal diluar diri diketahui secara
tidak langsung. Oleh karena itu, untuk mencapai kebenaran yang kedap dengan
keraguan dapat dilakukan dengan metode:
a. Bertolak dari keraguan metodis bahwa tidak ada yang diterima sebagai sesuatu
yang benar.
b. Semua bahan yang diteliti dibagi dalam sebanyak mungkin bagian.
c. Sistematika pikiran dimulai dari objek yang sederhana sampai pada pengertian
yang lebih kompleks.
d. Tinjauan maasalah yang lebih universal, sehingga ditemukan kepastian. (Bakker,
1984: 74-78).
Hanya satu hal yang tidak dapat diragukan Descartes yaitu bahwa cogito ergo sum
‘aku berpikir maka aku ada’.
Menurut John Locke seagala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih
dari itu. Akal bersifat pasif pada waktu pengetahuan didapat. Akal tidak melahirkan
pengetahuan dari dirinya sendiri, namum diperolehnya dari luar akal melalui indera
(Hadiwijono, 1983: 36). Semula akal semacam secarik kertas yang putih bersih ‘as a
white paper’ tanpa tulisan dan seluruh isinya berasal dari pengalaman inderawi
(Bertens, 1989: 51).
FILSAFAT ANALITIKA BAHASA
Analitika bahasa adalah suatu metode khas dalam filsafat untuk menjelaskan,
menguraikan, dan menguji kebenaran ungkapan-ungkapan filosofis. Filsafat analitika
bahasa imeliputi tiga aliran yang pokok yaitu: atomisme logis (logical atomism),
positivism logis (logical positivism) atau kadang disebut juga empirisme logis
(logical empirism), dan filsafat bahasa biasa.
1) Otomisme logis dikembangkan oleh Bertrand Russsel yang menyatakan bahwa
semua ide yang kompleks itu terdiri atas ide-ide yang sederhana atau ide yang
atomis (atomis ideas) yang merupakan ide yang terkecil. Hume percaya bahwa
filsuf hendaknya melaksanakan analis terhadap proposisi-proposisi.
2) Positivism logis dikembangkan oleh kelompok WINA yang dikembangkan
berdasakan tinjauan analitis, bahwa hubungan antara ungkapan bahasa dalam
suatu proposisi harus memiliki hubungan yang jelas dengan fakta empiris, atau
memang secara apriori memiliki struktur kebenaran.
3) Filsafat Bahasa Biasa dikembangkan olehWittgenstein yang menyatakan bahwa
keragaman dalam hidup manusia memerlukan bahasa yang digunakan dalam
konteks-konteks tertentu dan memiliki aturan-aturan main tertentu. Sebagaimana
layaknya permainan maka terdapat seperangkat aturan-aturan yang harus
dipatuhi yang merupakan pedoman dalam penyelenggaraan permainan tersebut.
SEMIOTIKA
Istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani ‘semeion’ yang berarti ‘tanda’ atau
‘seme’ yang berarti penafsiran tanda (Cobley dan Jansz, 1999:4). Semiotika atau
semiologi menurut Barthes, pada prinsipnya hendak mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity), memaknai hal-hal, segala sesuatu. Memaknai berarti bahwa
objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam arti dalam hal mana objek-objek
itu hendak berkomunikasi, melainkan juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari
tanda (Barthes, 1988:179; Kurniawan, 2001:53). Suatu tanda menandakan sesuatu
selain dirinya sendiri, dan makna adalah hubungan antara suatu objek atau ide dan
suatu.tanda.(Littlejohn,1996:64).
Dengan tanda-tanda kita mencoba mencari keteraturan di tengah-tengah dunia
yang serba beragam ini, agar setidaknya kita dapat memiliki pegangan. Sehingga
semiotika juga dapat dikatakan sebagai disiplin yang menyelidiki semua bentuk
komunikasi dengan menggunakan tanda (sign) berdasarkan pada sign system (code)
(Sergers, 2000:4).
Berdasarkan tingkatan hubungan semiotika, Nauta membedakan menjadi tiga
tingkatan yaitu syntactic level (tingkatan sintaktik), semantic level (tingkatan
semantik) dan pragmatic level (tingkatan pragamatik). Berdasarkan lingkup
pembahasannya semiotika dibedakan menjadi semiotika murni (pure), semiotika
deskriptif (descriptive) dan semiotika terapan (applied). (Sobur, 2004:19).
Menurut Ferdinand de Saussure sedikitnya ada lima hal dalam semiotika, yaitu:
a. Signifer (penanda) dan signified (petanda), tanda adalah kesatuan dari suatu
bentuk penanda dengan sebuah ide atau petanda. Dengan kata lain, penanda
adalah bunyi atau coretan yan bermakna. Petanda adalah gambaran mental,
pikiran atau konsep. (Bertens, 2001: 180).
b. Form and content (bentuk dan materi/isi), untuk membedakan antara form dan
content Saussure mencontohkan misalnya setiap hari kita menaiki kereta api
Parahayangan Bandung-Jakarta sehingga kita katakan bahwa kita menaiki kereta
api yang sama setiap hari, tetapi pada dasarnya kita menaiki kereta api yang
berbeda, karena boleh jadi susunan gerbong dan lokomotifnya berubah. Apa yang
‘tetap’ sehingga kita katakan kita naik kereta api yang sama, tidak lain adalah
wadah kereta api tersebut, sementara isinya berubah-ubah. Lalu persoalannya
yang membuat suatu kata berbeda dalam phonic dan conceptual form-nya?
Saussure mengatakan bahwa suatu kata distinctive form-nya atau bentuk khasnya,
tidak lain adalah diffrensiasi sistematis yang ada antara setiap kata dengan kata-
kata lain. Kata kalam, misalnya, dibedakan menurut suaranya dengan kata salam
dan malam, namun secara konseptual kata tersebut dibedakan dengan buku,
kertas, tinta dan sebagainya. Perbedaan yang memisahkan satu kata dengan kata
lainnya itulah yang menjadi identitas pada kata tersebut. Sehingga kata padi tidak
persis sama dengan kata rice dalam bahasa Inggris, karena kata padi terbedakan
dari kata rice. Artinya bahwa padi bukanlah diferensiasi sistem arti dalam bahasa
Inggris. (Sobur, 2004:48).
c. Langue and parole (bahasa dan tutur), objek yang tidak tergantung pada materi
tanda yang membentuknya disebut langue, tapi disamping itu terdapat parole yang
mencakup bagian bahasa yang sepenuhnya bersifat individual (bunyi, realisasi
aturan-aturan, dan kombinasi tanda) (Sobur, 2004:49). Jika langue mempunyai
objek studi sistem atau tanda atau kode, maka parole adalah living speech, yaitu
bahasa yang hidup atau bahasa yang sebagaimana terlihat dalam penggunaannya.
d. Synchronic and diachronic (sinkronik dan diakronik), menurut Saussure linguistik
harus memperhatikan sinkronik sebelum menghiraukan diakronik. Sinkronik
adalah studi bahasa tanpa mempersoalkan urutan waktu, sedangkan diakronik
adalah sebaliknya, studi bahasa yang memperhatikan deskripsi perkembangan
sejarah (waktu). Saussure mengatakan lingustik komparatif-historis harus
membandingkan bahasa sebagi system. Oleh sebab itu, system terlebih dahulu
musti dilukiskan tersendiri menurut prinsip sinkronis. Tak ada manfaatnya
mempelajari evolusi atau perkembangan satu unsur bahasa, terlepas dari system
dimana unsur itu berfungsi.
e. Syntagmatic and associative (sintagmatik dan paradigmatik), contoh sederhana.
Jika kita mengambil sekumpulan tanda, “seekor kucing berbaring di atas karpet”.
Maka satu elemen tertentu-kata ‘kucing’, menjadi bermakna sebab ia memang
bisa dibedakan dengan ‘seekor’, ‘berbaring’ atau ‘karpet’. Kemudian jika
digabungkan seluruh kata akan menghasilkan rangkaian yang membentuk sebuah
sintagma (kumpulan tanda yang berurut secara logis). Malalui cara ini, ‘kucing’
bisa dikatakan memiliki hubungan paradigmatik (hubungan yang saling
menggantikan) dengan ‘singa’ dan ‘harimau’.
HERMENEUTIKA
Kajian filsafat terus berkembang, tapi belum mampu mengungkap hakikat
kehidupan manusia yang sebenarnya.. menyadari hal ini maka para filsuf Jerman dan
Prancis terdorong untuk mengembangkan filsafatnya dengan mendasarkan bahasa
dalam proses ‘Hermeneutika’. Fisuf hermeutik berupaya untuk memahami realitas
kehidupan manusia. Mereka menawarkan suatu cara lain untuk melihat hakikat
bahasa, yaitu bahasa dilihat sebagai cara kita memahami kenyataan dan cara
kenyataan tampil pada kita. Dalam pengertian ini maka fungsi essensial bahasa yaitu
fungsi transformatifnya. Melalui bahasa kita mentransformasikan dunia dan melalui
bahasa pula dunia mentransformasikan kita. Bahasa tidak hanya dipahami sebagai
struktur dan makna serta penggunaannya dalam kehidupan melainkan fungsi bahasa
yang melukiskan seluruh realitas hidup manusia. Bahasa bukanlah sekedar medium,
dan pulah sekedar reprentasi kenyataan. Secara hakiki bahasa dapat juga kita sebut
sebagai manifestasi totalitas pikiran manusia, sebab tidak ada cara lain untuk berfikir
tentang haikat kenyataan itu selain melalui bahasa yang merupakan ungkapan
kebudayaan manusia (Rortry, 1982:xix)
Frederich Schleiermacher (1768-1834) berpendapat bahwa semua karya, baik
berupa dokumen hukum, kitab suci, atau karya sastra pada hakikatnya sama, yaitu
pemahaman merupakan masalah pokok semua bacaan. Semua teks tertulis
termanifestasikan melalui bahasa, oleh karena itu bilamana prinsip-prinsip
pemahaman melalui bahasa dapat dirumuskan, maka terwujudlah hermeneutika
umum.
“Semenjak seni berbicara, dan seni memahami berhubungan satu dengan yang
lain, maka bebicara hanya merupakan sisi luar dari berpikir dan hermeneutika adalah
merupakan bagian dari seni berpikir itu sehingga bersifat filosofis (Schleiermacher,
1977:77).
Hermeneutika adalah proses kejiwaan, suatu seni untuk menentukan atau
merekonstruksi suatu proses batin. Menurut Schleiermacher “bukan aku yang
berpikir”, tapi ‘objective geist’ yang berpikir dalam diriku. “Objective geist”
bereksistensi dalam komuniasi manusia, ekspresi dan pemakaian bahasa. Hubungan
antarpersonal dalam kehidupan merupakan sesuatu yang fundamental bagi
keberadaan manusia. Oleh karena itu dalam suatu analisis teks, memahami proses
batin penulis teks adalah bukan sesuatu kemustahilan.
Tugas hermeneutika menurut Dilthey adalah untuk melengkapi teori pembuktian
validitas interpretasi agar mutu sejarah tidak tercemari oleh pandangan-pandangan
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Sebelum interpretasi yang sesungguhnya dapat dimulai, maka dituntut adanya
suatu latarbelakang pengetahuan. Pengetahuan tersebut harus bersifat gramatikal
kebahasaan serta bersifat sejarah, maksudnya agar kita mempunyai alat dalam
mempertimbangkan karya, yang ada mengenai lingkungan munculnya karya dan
bahasa yang dipakai dalam karya tersebut. Dengan pengetahuan tersebut kita
mendekati tugas interpretasi. Interpretasi nampaknya niscaya berupa suatu proses
yang melingkar, yaitu setiap bagian dan suatu karya sastra misalnya dapat ditangkap
lewat keseluruhannya. Kemudian sebaliknya keseluruhannya hanya dapat ditangkap
lewat.bagian-bagiannya.
Menurut Dilthey, tugas Hermeneutika adalah untuk melengkapi teori pembuktian
validitas interpretasi agar mutu sejarah tidak tercemari oleh pandangan-pandangan
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum interpretasi yang sesungguhnya
dapat dimulai, maka dituntut adanya suatu latarbelakang pengetahuan. Pengetahuan
tersebut harus bersifat gramatikal kebahasaan serta bersifat sejarah, maksudnya agar
kita mempunyai alat dalam mempertimbangkan karya, yang ada mengenai
lingkungan munculnya karya dan bahasa yang dipakai dalam karya tersebut. Dengan
pengetahuan tersebut kita mendekati tugas interpretasi. Interpretasi nampaknya
niscaya berupa suatu proses yang melingkar, yaitu setiap bagian dan suatu karya
sastra misalnya dapat ditangkap lewat keseluruhannya. Kemudian sebaliknya
keseluruhannya hanya dapat ditangkap lewat bagian-bagiannya.
Martin Heidegger mengatakan, “Kalau dilihat dari penampakannya saja, maka
sebenarnya bahasa tidak mengatakan apa-apa. Hal ini memang tidak menampakkan
apa-apa selama yang kita dengar adalah kalimat yang diungkapkan lalu kalimat itu
diuji dengan logika. Akan tetapi bagaimana halnya bilamana yang dikatakan itu
sebagai pembimbing pemikiran kita” (Heidegger, 1962:24).
Menurut Heidegger bahasa tidaklah mungkin diformulasi dengan logika yang
ketat, karena dengan demikian, justeru tidak menunjukkan hakikat bahasa yang
sesungguhnya. Oleh karena itu hakikat bahasa ditunjukkan dengan berpikir dan
berkata atau mengungkapkan sesuatu, sebab dengan demikian bahasa akan benar-
benar berupaya untuk menampakkan ‘das sein’. Berkata atau mengungkapkan yang
sesungguhnya adalah memberitahukan, menampakkan atau menujukkan ‘das sein’,
sehingga membuatnya menjadi terbuka berpikir dan mengungkapkan suatu kata
adalah ‘sein lassen’ (membicarakan peristiwa ada). Di dalam berpikir dan berkata,
maka akan terciptalah ruang yang dibutuhkan bagi penampakan atau tampilnya ‘das
sein’. Bahasa dan pikiran adalah ruang tempat terjadinya peristiwa ‘das sein’ atau
‘ada’. (Poespoprodjo, 1987:90).
Setelah menimba gagasan dari Hegel dan Husserl, Jacques Derrida ingin
menunjukkan bahwa bahasa tidak lain adalah intensionalitas. Husserl telah
menujukkan perbedaan antara ‘noesis’ (pikiran) dengan ‘noema’ (yang dipikirkan).
Seperti misalnya seseorang melihat sebuah pohon, harus dibedakan antara siapa yang
melihat dengan dari sudut mana pohon itu dilihat. Sebab seorang tukang kayu dengan
seorang pematung akan mempunyai pandangan yang berbeda tentang pohon yang
dilihatnya itu.
Derrida menyatakan bahwa sebuah teks tidak akan mrupakan teks jikalau dalam
pandangan sekilas tidak menyembunyikan hukum-hukum, komposisinya dan aturan
permainannya. Teks tersebut harus selalu kelihatan seakan-akan sulit dimengerti.
Hukum dan aturan-aturannya tidak boleh tersembunyi di balik rahasia yang sulit
dipecahkan. Hukum dan aturan-aturan itu tidak boleh keliahatan rahasia hukum dan
aturan-aturan itu terlalu cepat diketahui oleh akal, maka akan selalu timbul resiko.
Lalu bagaimana kita menghindarkan ‘ketidakkelihatannya’ hukum-hukum dan
aturan-aturan tersebut. Untuk membuka kedok penyamaran susunan tersebut,
menurutnya memerlukan waktu berabad-abad (Derrida, 1972: 70).
Derrida dengan mengutip berbagai macam pendapat para filsuf, sampailah pada
pandangannya, bahwa secara ontologis tulisan mendahului ucapan. Tulisan dapat
mejadi jejak yang bisu, namun juga dapat menjadi saksi dari yang tidak hadir dan
yang belum dapat terkatakan. Yang mendahuli tulisan daripada ucapan hanyalah yang
berasal dari alam, bukan dari waktu. Menurut Derrida tulisan adalah barang ‘asing’
yang masuk ke dalam sistem bahasa (Derrida, 1967:44). Sudah menjadi suatu
keyakinan umum bahwa penulisan abjad menghadirkan ucapan dan sesaat kemudian
hilang dibalik kata-kata yang diucapkannya (Derrida, 1972:36).
Tulisan akan menghilang ketika ucapan akan mencapai kesempurnaannya, dan
akan sepenuhnya ditampilkan dalam pemindahan sistem penulisannya dan segera
hadir pada subjek yang mengucapkannya, dan pada ucapannya itu tulisan
memperoleh arti, isi serta nilainya.
Derrida mengatakan bahwa gerakan makna tidak akan mungkin bila setiap
unsurnya tidak ‘hadir’ atau tampil. Adapun yang muncul sebagai yang menampakkan
diri dan berhubungan dengan hal-hal berikut ini mempertahankan tanda unsur yang
lampau dalam dirinya sendiri dan membiarkan dirinya dilipat oleh tanda pertaliannya
dengan masa yang akan datang, jejaknya ditemukan tidak hanya pada masa yang akan
datang, namun pada masa lalunya dan menentukan kehadirannya melalui pertaliannya
dengan sesuatu yang lain dan bukan dengan dirinya sendiri, bukan pula dengan masa
lalu, masa depan atau dengan masa sekarangnya yang telah tergambarkan.
Derrida berkeyakinan bahwa meskipun orang belum mengucapkan kata-kata,
namun tulisan sudah siap untuk dicurahkan. Tulisan dibatasi oleh bahasa yang
diucapkan, karena ucapan itu makna yang tertunda kehadirannya sudah terdapat di
dalam tulisan. Hal ini mengingatkan kita pada logos atau akal pikiran. Sebab jikalau
seseorang berpikir, ia membentuk konsep di dalam bahasa yaitu logos yang
mengandaikan makna. Konsep ini kemudian dipindahkan ke dalam ucapan atau kata
yang diucapkan yang mengikuti aturan-aturan atau kaidah-kaidah tata bahasa dalam
suatu bahasa. Bahkan di balik kata-kata yang diucapkan sudah terdapat logos yang
menentukan unsur-unsur tulisan. Logos atau kata-kata konseptual itu dihasilkan oleh
bahasa, walaupun adanya mendahului bahasa. Untuk dapat berbicara kita harus
membedakan kata-kata. Namun makna ucapan pembicara ditunda dulu sampai
ucapan itu selesai. Oleh karena itu dalam berbicara atau percakapan terdapat
penantian harapan akan makna semacam itu serta arti yang datang dan pergi,
sehingga akhirnya orang memahami pesan yang terdapat di dalam sebuah ucapan dari
suatu proses komunikasi bahasa. Derrida mengatakan bahwa gerakan makna tidak
akan mungkin bila setiap unsurnya tidak ‘hadir’ atau tampil. Adapun yang muncul
sebagai yang menampakkan diri dan berhubungan dengan hal-hal berikut ini
mempertahankan tanda unsur yang lampau dalam dirinya sendiri dan membiarkan
dirinya dilipat oleh tanda pertaliannya dengan masa yang akan datang, jejaknya
ditemukan tidak hanya pada masa yang akan datang, namun pada masa lalunya dan
menentukan kehadirannya melalui pertaliannya dengan sesuatu yang lain dan bukan
dengan dirinya sendiri, bukan pula dengan masa lalu, masa depan atau dengan masa
sekarangnya yang telah tergambarkan. Sebuah interval harus berada di antara yang
ada (hadir) dan yang tidak ada (tidak hadir), agar supaya makna tampil dalam konteks
saat ini (Derrida, 1972:13).
PERANAN BAHASA
DALAM FILSAFAT POSTMODERNISME
Bilamana kita kaji pemikiran filsafat setidaknya terdapat empat fase pemikiran
filsafat, sejak dari perkembangan yang pertama sampai kini, yang menghiasi
panggung sejarah umat manusia. Pertama, kosmosentris: yaitu fase pemikiran filsafat
yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana filsafat yaitu yang yang
terjadi pada zaman kuno. Kedua, teosentris: yaitu fase pemikiran filsafat yang
meletakkan Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat, yang berkembang pada zaman
abad pertengahan. Ketiga, antroposentris: yaitu fase pemikiran filsafat yang
meletakkan manusia sebagai objek wacana filosofis, hal ini terjadi dan berkembang
pada zaman modern. Keempat, logosentris: yaitu fase pemikiran filsafat yang
meletakkan bahasa sebagai pusat wacana filsafat, hal ini berkembang setelah abad
modern sampai sekarang, yang sering disebut pasca modern atau’postmodern’.
Gejala postmodernisme itu muncul dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan
seni, antara lain dalam bidang seni sastra, arsitektur, ilmu fisika, ilmu sosial, filsafat
maupun bidang-bidang lainnya. Munculnya postmodernisme dalam berbagai bidang
ilmu pengetahuan, seni dan filsafat selain berkembang di Amerika juga di Eropa
terutama di Prancis. Kalangan historian berpendapat bahwa sebenarnya paham
postmodernisme itu muncul pada kira-kira tahun 1960-an, namun demikian
sebenarnya secara filosofis gejala itu memiliki hubungan kausalitas dengan filsafat
Friedrich Nietzsche, akhir abad XIX, dan Martin Heidegger awal abad XX (Awuy,
1995: 152);(Kaelan, 2002: 296).
Tradisi modernisme secara linguistik membangun suatu narasi besar yaitu
totalitarian dalam arti hanya ada satu prinsip saja yang mendasari dan membangun
realitas ini, yang menurut istilah Lyotard disebut ‘homologi’ (Awuy, 1995: 161).
Manusia tidak dipahami sebagai makhluk yang bersifat total tetapi bersifat parsial.
Oleh karena itu manusia haruslah dipahami dalam realitas keanekaragamannya.
Dalam keadaan yang demikian inilah maka hadirlah para pendekar filsafat untuk
melakukan suatu dekonstruksi terhadap paradigma modernisme tersebut, yaitu
melakukan suatu pembongkaran, dan menyusun kembali dalam suatu konstruksi baru
akan tetapi bukan melakukan penghapusan.
Kiranya berdasarkan perkembangan minat filsafat terhadap bahasa maka dasar
yang melandasi dominasi fungsi deskriptif bahasa adalah paradigma
“representasionalisme” dalam epistemologi modern. Beserta konsep dasarnya tentang
akal budi yang dianggap sebagai ‘cermin’ itu. Maka ketika cermin raksasa itu telah
didekonstruksikan, dan terpaksa berfilsafat tanpa cermin, bahasa representatif atau
bahasa deskriptif wibawanya semakin memudar. Kini bahasa dilihat secara lain, sejak
asumsi epistemologi modern tentang adanya kaitan alamiah satu banding satu antara
kata dengan benda diruntuhkan, bahasa kini lebih dilihat dalam sifat transformatifnya
(Sugiharto, 1996:94).
Berdasarkan pandangan para filsuf tentang bahasa pada umumnya persoalan
tentang batas bahasa pada dasarnya berakar pada dominasi paradigma deskriptif
dalam bahasa. Segala hal yang tidak dapat dideskripsikan lalu dengan segera
dikatakan sebagai wilayah transenden dalam bahasa. Maka sebenarnya bukan berarti
wilayah transenden itu tidak dapat dirumuskan melainkan hal yang transenden itu
adalah sebutan yang kita pakai untuk menunjuk deskriptif bahasa. Dalam pengertian
ini muncullah suatu pengandaian yang meleset tentang wilayah yang tidak dapat
dideskripsikan, atau hal yang bersifat transenden tadi. Dengan perkataan lain
keyakinan tentang adanya realitas yang tidak pernah bisa dikatakan, sebenarnya
merupakan suatu efek dari bahasa itu sendiri yaitu batas deskriptif bahasa.
Berdasarkan pada sifat keterbatasan bahasa, maka terbukalah suatu kemungkinan
paradigma lain dalam aspek pragmatis bahasa yang kiranya akan lebih memadai yaitu
paradigma transformatif, yang menekankan pada fungsi transformatif bahasa
(Kaelan,2002: 298,320).