RANGKUMAN BUKU PROF LILI.doc

32
RANGKUMAN BUKU MOCHTAR KUSUMA ATMADJA TEORI HUKUM PEMBANGUNAN (EKSISTENSI DAN IMPLIKASI) TUGAS FILSAFAT HUKUM Posisi Pemikiran Teori Hukum Pembangunan Dalam Konfigurasi Aliran Pemikiran Hukum Pokok-pokok pandangan Mochtar terkait Teori Hukum Pembangunan, lebih dapat diinventarisasi sebagai berikut: 1) Hukum adalah salah satu dari kaidah sosial (di samping kaidah moral, agama, susila, kesopanan, adat kebiasaan, dan lain-lain),” yang merupakan cerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, sehingga hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (living law). 2) Hukum tidak hanya kompleks kaidah dan asas yang mengatur, tetapi juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan berlakunya hukum itu dalam kenyataan. 1

Transcript of RANGKUMAN BUKU PROF LILI.doc

RANGKUMAN BUKU

MOCHTAR KUSUMA ATMADJA

TEORI HUKUM PEMBANGUNAN (EKSISTENSI DAN IMPLIKASI)TUGAS FILSAFAT HUKUM

Posisi Pemikiran Teori Hukum Pembangunan Dalam Konfigurasi Aliran Pemikiran HukumPokok-pokok pandangan Mochtar terkait Teori Hukum Pembangunan, lebih dapat diinventarisasi sebagai berikut:1) Hukum adalah salah satu dari kaidah sosial (di samping kaidah moral, agama, susila, kesopanan, adat kebiasaan, dan lain-lain), yang merupakan cerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, sehingga hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (living law).

2) Hukum tidak hanya kompleks kaidah dan asas yang mengatur, tetapi juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan berlakunya hukum itu dalam kenyataan.

3) Hukum bercirikan pemaksaan oleh negara melalui alat-alat perlengkapannya, sebab tanpa kekuasaan hukum hanyalah kaidah anjuran; kekuasaan diperlukan demi kehidupan masyarakat yang tertib (teratur); hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan harus ada batasbatasnya (kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman).4) Kekuasaan dapat memunculkan wibawa dan bertahan lama jika is mendapat dukungan dari pihak yang dikuasai; untuk itu, penguasa harus memiliki semangat mengabdi kepentingan umum (sense of public service), dan yang dikuasai memiliki kewajiban tunduk pada penguasa (the duty of civil obidience); keduanya harus dididik agar memiliki kesadaran kepentingan umum (public spirit).5) Tujuan pokok dan pertama dari segala hukum adalah ketertiban, yang merupakan syarat fundamental bagi adanya suatu masyarakat yang teratur; untuk tercapai ketertiban diperlukan kepastian dalam pergaulan antarmanusia dalam masyarakat; tujuan kedua setelah ketertiban adalah keadilan, yang isi keadilan ini berbedabeda menurut masyarakat dan zamannya.6) Masyarakat Indonesia sedang dalam masa peralihan (transisi) dari tertutup menuju terbuka, dinamis, dan maju (modern); hakikat masalah pembangunan adalah pembaruan cara berpikir (sikap, sifat, nilai-nilai), baik pada penguasa maupun yang dikuasai, misalnya pada anggota masyarakat harus berubah dari sekadar bersikap mental sebagai kaula negara menjadi bersikap mental sebagai warga negara (tidak hanya pasif mengikuti perintah penguasa tetapi juga aktif mengetahui bahkan berani menuntut hak-haknya).7) Dalam masyarakat yang sedang membangun, hukum tidak cukup hanya bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah dicapai (sifat konservatif dari hukum), tetapi juga berperan merekayasa masyarakat; namun intinya tetap harus ada ketertiban (selama perubahan dilakukan dengan cara yang tertib, selama itu masih ada tempat bagi peranan hukum).8) Pembangunan harus dimaknai seluas-luasnya meliputi segala segi dari kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan ekonomi belaka.9) Hukum sebagai alat pembaruan dalam masyarakat yang sedang membangun itu dapat Pula merugikan, sehingga harus dilakukan dengan hati-hati; oleh sebab itu penggunaan hukum itu harus dikaitkan juga dengan segi-segi sosiologi, antropologi dan kebudayaan; ahli hukum dalam masyarakat yang sedang membangun perlu mempelajari hukum positif dengan spektrum ilmu-ilmu social dan budaya.10) Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur (tertib); hukum berperan melalui bantuan perundang-undangan dan keputusan [sic] pengadilan, atau kombinasi dari keduanya; namun pembentukan perundang-undangan adalah cara yang paling rasional dan cepat dibandingkan dengan meteode pengembangan hukum lain seperti yurisprudensi dan hukum kebiasaan.11) Kendala atau kesukaran yang dihadapi dalam rangka beperannya hukum dalam pembangunan: (a) sukarnya menentukan tujuan dari perkembangan (pembaruan) hukum; (b) sedikitnya data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan suatu analisis deskriptif dan prediktif; (c) sukarnya mengadakan ukuran yang objektif tentang berhasil tidaknya usaha pembaruan hukum; (d) adanya kepimpinan kharismatis yang kebanyakan bertentangan kepentingannya dengan cita-cita legal engineering menuju suatumasyarakatatau negarahukum; (e) masih rendahnya kepercayaan dan keseganan terhadap hukum (respect for the law) dan peranannya dalam masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang lahir melalui keguncangan politik (revolusi); (f) reaksi masyarakat karena menganggap perubahan itu bisa melukai kebanggaan nasional; (d) reaksi yang berdasarkan rasa salah diri, yaitu golongan intelektualnya sendiri tidak mempraktikkan nilai atau sifat yang mereka anjurkan;36 heterogenitas masyarakat Indonesia, baik dari segi tingkat kemajuan, agama, bahasa, dan lain-lain;12) Dalam rangka pembentukan perundang-undangan dalam era Indonesia yang sedang membangun, perlu diprioritaskan pembentukan peraturan perundangundangan di bidang-bidang hukum yang netral (tidak sensitif). Ranah hukum demikian praktis tidak akan banyak menimbulkan kontroversi terkait dengan adat istiadat, agama, dan nilai-nilai primordial lainnya

Menurut Lili Rasjidi dikatakan bahwa pemikiran Mochtar di atas perlu dilengkapi dengan fase kedua yang memperlihatkan sejumlah ciri, dan yang paling penting adalah Mochtar mulai akrab dengan terminologi Pancasila. Filsafat Pancasila mulai digunakan sebagai landasan fundamental untuk menggantikan posisi teori-teori dari pemikir seperti Northrop, Pound, Lassswell, dan McDougal. Istilah-istilah seperti cita hukum Pancasila, filsafat hukum Pancasila, dan negara hukum Pancasila, mulai diwacanakannya. Tatkala is menyinggung tentang tujuan Tujuan utama hukum pada umumnya adalah ketertiban dan keadilan. Tujuan keadilan ini mencakup di dalamnya keadilan sosial (sila kelima dari Pancasila). Persoalan manusia Indonesia di dalam pembangunan didasarkan pada asumsi penerimaan Pancasila dan UUD 1945 sebagai suatu kenyataan dan landasan berpikir dan bertindak manusia Indonesia.Selanjutnya, Beberapa nama penting yang disinggung dalam karya-karya Mochtar, yaitu :

1) Filmer Stuart Cuckow (F.S.C.) Northrop (1893-1992)Kaitan antara pandangan Northrop dan Teori Hukum Pembangunan terutama pada poin satu dan poin dua dari rangkaian kata-kata kunci di atas, yang menegaskan bahwa hukum adalah salah satu dari kaidah sosial, yang merupakan cerminan dai nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (living law). Hukum tidak hanya kompleks kaidah dan asas yang mengatur, tetapi juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan berlakunya hukum itu dalam kenyataan. 2) Harold Dwight Lasswell (1902-1978) dan Myers S. McDougal (1906-1998) Lasswell telah mengembangkan teori-teorinya di bidang hukum internasional dan hukum pidana, serta mengajar dalam mata kuliah Law, Science, and Policy, The Public Order of the World Community, Criminal Law and Public Order, Communication and Law, dan Case Presentation and Negotiation.41 Tokoh kedua, yakni McDougal adalah seorang ahli hukum yang juga pernah mengajar di Universitas Yale. Ia dikenal sebagai pakar dan guru besar hukum internasional dan ahli dalam hukum benda (property law). Tahun 1969, McDougal menjadi anggota delegasi Amerika Serikat dalam Convention on the Law of Treaties di Wina.3) Nathan Roscoe Pound (18701964) Seorang ahli hukum Amerika Serikat yang memiliki latar belakang botani. Pada usia 14 tahun Pound sudah menjadi mahasiswa ilmu botani. Setelah menjadi sarjana botani is mengambil studi hukum di Harvard Law School, namun tidak sampai selesai. Pada usia 20-an, dengan bekal pengetahuannya di bidang hukum itu, Pound memutuskan untuk berpraktik sebagai pengacara (sambil terus menekuni ilmu botaninya, bahkan menjadi doktorbotanitahun 1898; publikasi disertasinya diapresiasi sebagai karya studi ekologi pertama berbahasa Inggris). Prestasi Pound di bidang hukum pun ternyata menarik perhatian banyak pihak, sehingga pada tahun 1901 ia diangkat menjadi komisioner di Komisi Mahkamah Agung Nebraska, negara bagian kelahirannya. Dua tahun kemudian ia diminta menjadi dekan di Sekolah Hukum Universitas Nebraska, sambil juga mengajar di Universitas Northwestern dan Universitas Chicago. Dalam perjalanan hidupnya, Pound justru lebih dikenal Was ketika ia menjabat sebagai dekan di Harvard Law School.Untuk memahami sekilas keterkaitan pandangan tokoh-tokoh di atas dengan Mochtar, ada satu skema yang pernah dibuat oleh Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra dalam buku mereka Hukum sebagai Suatu Sistem.42 Skema yang dimaksud adalah sebagai berikut:TEORI HUKUM PEMBANGUNAN MOCHTAR

SHAPE \* MERGEFORMAT

Skema yang disampaikan oleh Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra mengingatkan pada pembedaan antara teori hukum (theory of law) dan teori tentang hukum (theory about law), yang disampaikan oleh Lasswell-McDougal. Sama halnya seperti Teori Hukum Progresif yang diajukan oleh Satjipto Rahardjo, teori dari Mochtar inipun tidak cukup detail (teknis) untuk dipakai sebagai pedoman dan justifikasi bagi para partisipan hukum dalam proses pengambilan keputusan. Atas dasar pandangan ini, dapat dibangun hipotesis bahwa Teori Hukum Pembangunan adalah sebuah teori tentang hukum (theory about law) dan bukan teori hukum (theory of law) menurut versi Lasswell-McDougal. Sebuah teori tentang politik hukum

Seperti halnya Roscoe Pound, apa yang dikemukakan oleh Mochtar dengan Teori Hukum Pembangunannya masih belum beranjak dari tataran filosofis tentang hukum. Fokus Mochtar adalah tentang fungsi hukum di dalam konteks pembangunan sebuah negara berkembang bernama Indonesia. Kendati Mochtar menyinggung soal hukum yang netral dan non-netral, ia sama sekali tidak menilik ke persoalan substansi hukum yang lebih mendalam daripada itu. Formulasi yang lebih konkret tentang teori Mochtar dapat saja ditunjukkan pada rumusan redaksional GBHN 1973 dan Repelita II, tetapi narasi yang termuat dalam kedua dokumen itu tidak menunjukkan secara jelas karakteristik sebagai kumpulan substansial (materi muatan) sebagaimana diidealkan di dalam Teori Hukum Pembangunan. Misalnya, di dalamnya tidak tergambarkan seperti apa hukum yang hidup yang dipandang sesuai dengan kondisi Indonesia yang sedang membangun itu.Apabila dua dokumen hukum (GBHN 1973 dan Repelita II) yang disebutkan di atas dijadikan acuan untuk melihat penjabaran Teori Hukum Pembangunan, maka terlihat bahwa teori ini lebih menonjolkan dimensi politik hukum yang menempatkan hukum sebagai subordinasi dari ideologi pembangunan itu sendiri. Tidak tergambarkan apa yang dimaksud oleh Mochtar sebagai sarana pembaruan masyarakat itu. Bahkan, dalam penerapannya di kemudian hari, banyak fenomena yang menunjukkan arah pembangunan hukum Indonesia bertolak belakang dengan pernyataanpernyataan Mochtar sendiri. Sebagai contoh, Mochtar pernah mengutarakan pandangannya bahwa kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Dan, tanpa menujukan kondisi ini sebagai tanggung jawab pribadi seorang intelektual bernama Mochtar Kusuma-Atmadja, postulat demikian ternyata memang menjadi kenyataan ketika kediktatoran politik benar-benar menguasai jagad sistem hukum Indonesia pada kurun waktu cukup lama semasa dan sesudah Mochtar sendiri duduk di pemerintahan.Teori Hukum Pembangunan pada hakikatnya memang dibangun untuk adalah sebuah teori tentang hukum menurut perspektif Lasswell-McDougal, atau lebih tepatnya lagi sebuah teori tentang politik hukum. Sebagai sebuah teori di bidang politik hukum, nuansa ideologis sangat penting dilihat sebagai koridor berpikir para eksponennya. Mochtar menyadari benar bahwa Orde Baru sangat mengedepankan trilogi ideologisnya, yakni pembangunan, pemerataan, dan stabilitas. Konsep-konsep Teori Hukum Pembangunan tidak dapat dipisahkan dari keberpihakan Mochtar terhadap ideologi Orba ini.Dalam ideologi seperti itu, Pemerintah berusaha mengedepankan peran negara di atas semua institusi yang ada. Hukum negara pun ditempatkan di posisi lebih tinggi daripada hukum-hukum non-negara, seperti hukum adat dan hukum agama. Lembaga-lembaga resmi, termasuk pengadilan, harus pula merepresentasikan dominasi kekuasaan negara itu. Dominasi demikian memiliki dampak destruktif karena institusi-instutusi tradisional dengan segala kearifan lokal mereka menjadi termarginalkan. Dalam ideologi demi pembangunan yang sentralistis tersebut, dunia hukum Indonesia pelan tapi pasti terjerembab dan terkooptasi menjadi instrumen kekuasaan. Ironisnya, kondisi seperti ini justru yang ingin dihindari oleh Teori Hukum Pembangunan. Bagaimanapun Mochtar pernah mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Dan, memang itulah yang kemudian diperagakan secara berulang-ulang oleh rezim penguasa di negeri ini.Konfigurasi Pemikiran

Sebagaimana dinyatakan oleh Lili Rasjidi dalam tulisannya di buku ini, ada fase kedua dari pemikiran Mochtar yang belum sempat terbaca luas oleh komunitas ilmuwan hukum Indonesia, yang sungguh-sungguh menarik untuk dielaborasi. Mochtar telah menjajaki perjalanan ke arah itu dengan mulai menyentuh dimensi filosofis dari Pancasila di dalam pembangunan Indonesia. Sayangnya, sebagian tulisantulisan ini tidak banyak mendapat perhatian atau dikaitkan dengan Teori Hukum Pembangunannya, dan dalam waktu bersamaan kondisi kesehatan Mochtar telah membuat beliau tidak lagi dapat aktif mengembangkan dan mengkomunikasikan gagasan-gagasannya.Teori Hukum Pembangunan menggunakan konfigurasi dasar pemikiran Sociological Jurisprudence ini. Hanya saja, pola pikir Sociological Jurisprudence ini digunakan sebagai context of discovery dalam rangka pembentukan undangundang, sebuah konteks yang tidak pernah diperhitungkan oleh penganut legisme sejati karena mereka berpendapat konteks ini di luar wacana ilmu hukum. Bagi mereka, hukum dimulai ketika undang-undang sudah selesai dibuat dan ditetapkan (dipositifkan) dan keberadaan hukum positif itu tinggal diaktifkan melalui peristiwa-peristiwa konkret. Teori Hukum Pembangunan memandang konteks ini perlu diangkat untuk kemudian dipakai sebagai titik berdiri dalam penerapannya pada setiap peristiwa konkret (context of justification). Dengan demikian, terlihat bahwa Teori Hukum Pembangunan pada akhirnya memang lebih mengedepankan aspek aksiologis ke arah kepastian hukum dalam konteks penerapan hukum itu di lapangan. Inilah yang ditekankan oleh Mochtar sebagai ketertiban di atas segalanya. Tentu saja, ketertiban ini bukan tanpa tolok ukur karena ketertiban itu berasal dari proses pembentukan undang-undang yang sudah memperhitungkan kemanfaatan yang muncul dalam hukum yang hidup (living law).Teori Hukum Pembangunan sangat mensyaratkan adanya iklim politik yang sehat, yang mampu memberi ruang diskursus publik yang leluasa dan cukup bernas untuk ikut mengoreksi kualitas undang-undang yang dibentuk penguasa. Tanpa syarat ini, Teori Hukum Pembangunan, akan mudah terjerat dalam lingkaran permainan kekuasaan yang merugikan masyarakat luas.Dapat disimpulkan sebagai berikut:1) Teori Hukum Pembangunan menempati posisi yang paling mendekati aliran Sociological Jurisprudence, dengan perbedaan penting pada aspek ontologis, sementara pada aspek epistemologis dan aksiologisnya diberikan tambahan agar dapat koheren dengan karakter sistem hukum di keluarga civil law system. Ini berarti posisi Teori Hukum Pembangunan dalam konfi

2) Sociological Jurisprudence mengambil sintesis dari pemikiran Positivisme Hukum dan Mazhab Sejarah. Sintesis demikian dapat secara leluasa dijalankan melalui figur hakim, sehingga hukum dalam kaca mata Sociological Jurisprudence adalah judge-made law. Keleluasaan ini dihilangkan dalam Teori Hukum Pembangunan ketika peraturan perundang-undangan ditempatkan secara sangat dominan sebagai sumber formal hukum. Alhasil, kritik-kritik yang dialamatkan ke paham legisme (kritikyangsesungguhnya juga dilakukan oleh Mochtar), tidak pernah cukup terbentengi agar kelemahan-kelemahan itu tidak sampai terjadi melalui Teori Hukum Pembangunan.

3) Teori Hukum Pembangunan memiliki kesempatan untuk dibuktikan dalam ranah empiris sebagai landasan teoretis politik hukum nasional, tetapi dominasi politik penguasa eksekutif dan pragmatisme ideologi Orde Baru tidak memberi cukup energi, ruang, dan waktu bagi Mochtar, sekalipun is mungkin memiliki itikad baik dan kemauan mengimplementasikan teorinya ke dalam realitas Indonesia yang sedang membangun. Penilaian negatif terhadap Teori Hukum Pembangunan akan terasa tidak fair diberikan jika semata-mata diambil melalui potret riil kerusakan sistem hukum Indonesia pada era Orde Baru yang notabene sudah dimulai sebelum Mochtar masuk dalam jajaran pemerintahan dan terus berlangsung secara masif sesudahnya.

4) Teori Hukum Pembangunan dalam taraf perkembangannya sampai saat ini akan lebih nyaman didudukkan sebagai teori tentang hukum (theory about law) sebagaimana dimaknai oleh Lasswell-McDougal. Dalam posisi demikian, Teori Hukum Pembangunan sebenarnya memang tidak didesain cukup detail sebagai pedoman menjawab problema-problema konkret di lapangan. Hal ini sekaligus menjadi dalih mengapa aura negatif penegakan hukum pada era Orde Baru tidak dapat begitu saja diidentikkan dengan kegagalan Teori Hukum Pembangunan sebagai landasan teoretis politik hukum nasional.

5) Dalam kedudukan sebagai teori tentang hukum (theory about law), Teori Hukum Pembangunan jelas berpotensi untuk menjadi sebuah aliran berpikir (baca: aliran filsafat hukum) sepanjang pilar-pilar kognitif yang menopangnya terus dibangun melalui wacana-wacana komunitas ilmiah, sehingga tidak jalan di tempat dengan terus berkutat pada pemikiran-pemikiran awal Mochtar. Untuk itu diperlukan puluhan bahkan ratusan buku, artikel, kertas kerja, yang terpublikasi secara luas untuk menaikkan tingkat kontemplatif teori ini, sehingga suatu saat benarbenar diterima luas sebagai sebuah aliran filsafat hukum.6) Amunisi untuk membawa Teori Hukum Pembangunan ke dalam perbincangan kontemplatif tidak cukup dilakukan dengan sekadar menyitir beberapa argumentasi parsial dari pemikir-pemikir lain, seperti Northrop, LasswellMcDougal, atau Pound. Semangat eklektisistis dengan mencari-cari titik simpul dari pemikir-pemikir lain tanpa menyelidiki akar filosofis pemikiran mereka, mengundang bahaya karena berpeluang menghadirkan kontradiksi-kontradiksi fundamental atas bangunan sebuah teori. Hal inilah yang justru diperlihatkan dalam tulisan-tulisan Mochtar tatkala ia mengintroduksi teori ini pertama kali.

7) Upaya memberi konteks keindonesiaan dengan melekatkan terma Pancasila pada Teori Hukum Pembangunan dapat saja mempersempit ruang penerimaan teori ini karena dikesankan sangat khas Indonesia. Namun di sisi lain, upaya pengayaan Teori Hukum Pembangunan demikian juga patut disambut positif di tengah kelesuan diskursus tematik tentang Pancasila akhir-akhir ini. Mochtar sudah mengisyaratkan minatnya kepada kajian tentang Pancasila ini, sekalipun ia tetap menghindar dari upaya mencari kedalaman konsep-konsep Pancasila itu dan sekadar membawanya secara futuristis ke konteks Indonesia di masa depan. Pengaitan Pancasila dengan cara demikian, tidaklah memadai apalagi jika Teori Hukum Pembangunan ingin diarahkan menjadi sebuah teori tentang hukum (theory about law) yang kontemplatif dan makin dekat ke domain filsafat hukum. Pancasila jelas bukan asesoris yang sekadar ditambahkan sebagai elemen pelembut atas sebuah teori, tanpa terlebih dulu menelaahnya secara historis, sosiologis, komparatif, dan futuristis.

8) Masa depan Teori Hukum Pembangunan dengan demikian, tidak lagi di tangan Mochtar sebagai penggagas. Masa depannya ada di tangan generasi pemikir-pemikir hukum berikutnya, tidak selalu dalam pengertian sebagai penganut atau pendukung, melainkan juga sebagai pengkritik.

Fase Kedua Perjalanan Teori Hukum Pembangunan (H. Lili Rasjidi)Sekalipun tidak banyak yang memberikan kritikan terbuka, ada tudingan yang dialamatkan kepada Teori Hukum Pembangunan, bahwa teori ini merupakan landasan pembangunan hukum yang sangat khas Orde Baru. Artinya, teori ini dikhususkan untuk mendukung politik hukum kekuasaan rezim Orde Baru. Keterlibatan Mochtar sebagai pejabat penting dalam lingkaran utama kekuasaan Orde Baru memang mudah mengundang sinisme demikian.Teori Hukum Pembangunan tidak pernah diarahkan untuk membenarkan penggunaan kekuasaan secara semena-mena. Hukum memang berhubungan dengan kekuasaan karena kekuasaan tanpa hukum tidak akan memiliki daya pemaksa untuk menjamin penegakannya. Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, sebaliknya kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Mochtar berkali-kali menekankan dalam tulisannya agar kekuasaan tunduk pada hukum.Kritik terhadap Teori Hukum Pembangunan juga datang dari sejumlah ahli hukum yang notabene memberi apresiasi tinggi terhadap Mochtar Kusuma-Atmadja. Tanggapan datang dari beberapa kalangan. Ada yang menyatakan, bahwa pemikiran Mochtar dipengaruhi oleh paham sosialis. Kritikan lain menilai pemikiran Mochtar kurang futuristis atau terlalu pragmatis, yakni hanya untuk kondisi suatu saat (for the time being), padahal pembentukan undang-undang harus memikirkan sekian tahun ke depan. Ada pula yang mengkritisi konsep perekayasaan (engineering) dari Teori Hukum Pembangunan yang lebih terfQkus pada aspek sosial, sementara perekayasaan yang tidak kalah pentingnya adalah pembaruan birokratis agar yang semula koruptif dapat berubah menjadi bermoral tinggi.

Pokok-Pokok Pikiran

Pokok-pokok pikiran Mochtar terkait dengan fase kedua dari Teori Hukum Pembangunan, yaitu:1. Filsafat Pancasila digunakan sebagai landasan fundamental untuk menggantikan posisi teori-teori dari pemikir asing, seperti Northrop, Pound, Lassswell, dan McDougal yang sebelumnya diakui Mochtar sempat mempengaruhi pandangannya. la mulai menulis dan menggunakan istilah cita hukum Pancasila, filsafat hukum Pancasila, dan negara hukum Pancasila.

2. Mochtar tetap setuju bahwa tujuan utama hukum pada umumnya adalah ketertiban dan keadilan. Tujuan keadilan ini dikaitkan Mochtar dengan tujuan hukum dalam suatu negara hukum Pancasila. Dalam setiap negara hukum, kekuasaan diatur dan oleh karena itu, harus pula tunduk pada hukum. Tujuan keadilan ini mencakup di dalamnya keadilan sosial (sila kelima dari Pancasila).

3. Selain itu keadilan sebagai tujuan hukum juga berkaitan dengan kedudukan dan hak yang sama bagi semua orang di dalam hukum. Hal ini dapat dihubungkan dengan sila kerakyatan dalam Pancasila (asas persamaan). Apabila tujuan hukum dalam negara pancasila pada analisis di atas adalah keadilan sosial, maka fungsi hukum jadinya adalah untuk mewujudkan tujuan atau cita-cita itu dalam kenyataan.

4. Hukum suatu negara, bagaimanapun baiknya tujuannya, tidak akan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat kalau tidak ditegakkan. Penegakan hukum dilakukan dalam hal terjadi pelanggaran hukum, yaitu ketika hukum yang mengatur tidakberhasil atau terganggu dalam menjalankan fungsinya. Instansi terakhir dalam penegakan hukum ini dijalankan oleh hakim. Hakim memeriksa perkara dan memberi keputusannya berdasarkan hukum dan demi keadilan.

5. Penegakan hukum tidak hanya menjadi urusan aparat penegak hukum (polisi, jaksa, atau advokat) melainkan pada instansi terakhir juga bergantung pada pencari keadilan itu sendiri. Untuk itulah perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa berperkara itu adalah demi menegakkan hukum dan keadilan, tidak semata-mata demi memenangkan perkara.

6. Dalam menumbuhkan kesadaran ini, ada peran etika di dalamnya. Etika dan hukum sama-sama merupakan kaidah yang mengatur kehidupan manusia di dalam masyarakat. Etika mengatur tindakan manusia dari dalam diri manusia tersebut, sedangkan hukum mengatur aspek tindakan lahiriah manusia dalam masyarakat. Khusus bagi aparat penegak hukum, etika ini berhubungan dengan etika profesi, yang dijalankan demi penegakan undang-undang dan hukum, demi melindungi/membela kepentingan terdakwa atau klien, dan demi memegang kerahasiaan profesi.

7. Mochtar mengakui ada penekanan tahap pertama pembangunan yang diberikan pada upaya pelembagaan (institutionalization) pada usaha-usaha besar pembinaan bangsa (a great nation building effort). Pada tahap pertama memang tekanan diberikan pada pelembagaan usahausaha atau proses ini, sehingga orang perorangan mungkin terdesak, namun hal ini tidak berarti individualitas dari orang perorangan terebut tidak boleh diberi kesempatan untuk berkembang, mengingat analisis terakhir terhadap satuan-satuan masyarakat itu akan berujung pada individu juga.

8. Persoalan manusia di dalam pembangunan Indonesia tersebut didasarkan pada asumsi penerimaan Pancasila dan UUD 1945 sebagai suatu kenyataan dan landasan berpikir dan bertindak manusia Indonesia.

9. Pembangunan manusia Indonesia harus dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Selain percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, juga harus percaya pada kemampuan diri sendiri dan pada hari depan Indonesia yang lebih baik;

b. Sebagai insan politik, harus committed pada sistem politik negara yang pada titik puncaknya telah menerima Pancasila sebagai asas tunggal yang cocok bagi bangsa Indonesia; dan

c. Sadar pada hak dan kewajiban, baik sebagai orang perorangan maupun sebagai anggota masyarakat, sehingga pengertian individu tidak bisa dilepaskan dari pengertian masyarakat tempat individu itu mendapat kesempatan berkembang sepenuhnya.

10. Manusia Indonesia masa kini yang terlibat dalam pembangunan tersebut diupayakan agar memiliki karakter sebagai insan modern, yang mencakup sifat-sifat ideal sebagai berikut:

a. Cermat, sebagai lawan dari kecerobohan dan asal saja;

b. Hemat, dalam arti dapat mengatur kekayaannya (termasuk tenaga, pikiran, dan waktu) untuk tujuantujuan produktif;

c. Rajin, dalam arti suka bekerja untuk memenangkan persaingan;

d. Jujur, sebagai sifat terpuji yang menjadi keharusan untuk mendapatkan kepercayaan sebagai modal dalam berusaha, terlepas dari apakah ada tidaknya anjuran sifat jujur ini di dalam agama atau norma-norma etika;

e. Tepat waktu (tepat janji), sebagai sifat untuk menghormati rekan pergaulan dan hal ini juga menjadi modal daar yang penting dalam usha dana perdagangan;

f. Tegas tetapi bijaksana, mengingat tegas penting untuk menghilangkan keragu-raguan pada pihak ketiga dalam berhubungan dengan kita dan bijaksana perlu karena terkait dengan pihak ketiga yang menjadi sasaran ketegasan tersebut;

g. Berani tetapi berhati-hati, dalam arti siap menghadapi risiko demi perubahan dan perbaikan serta berhatihati agar risiko tersebut dilandasi perhitungan yang matang;h. Teguh memegang prinsip yakni sifat untuk tidak mudah goyah atau tergoda melakukan hal-hal yang kurang baik dan menjerumuskan.

Pengajaran Teori dan Filsafat Hukum

Teori Hukum Pembangunan, khususnya yang diintroduksi oleh Mochtar pada fase pertama, disebarluaskan melalui jalur pendidikan tinggi hukum, khususnya dalam mata kuliah Teori Hukum dan Filsafat Hukum.Teori Hukum Pembangunan pada fase kedua pemikiran Mochtar dapat dikatakan telah memberi inspirasi bagi para ahli hukum Indonesia agar mau menukik kepada pencarian teori dan filsafat hukum Indonesia yang lebih membumi. Pada fase kedua ini Mochtar telah beranjak dari seorang pemikir teoretikal menuju ke pemikir filosofikal. Apabila seseorang ilmuwan mengambil dasar-dasar filsafat, maka sesungguhnya is sedang bergerak menjadi filsuf. Dalam posisi demikian, semua pikirannya tentang berbagai persoalan (hukum, ekonomi, politik, dan sebagainya) telah dipengaruhi sudut pandang dari dasar-dasar filsafatnya itu. Jadi, untuk mendalami filsafat Pancasila versi Mochtar, sebenarnya tidak cukup hanya menganalisisnya dari sudut filsafat hukum saja, tetapi juga pandangan-pandangannya yang menyeluruh tentang aspek kehidupan lainnya. Dari sudut ini, maka filsafat Pancasila (termasuk filsafat hukum Pancasila) ala Mochtar akan berbeda dengan filsafat Pancasila dari tokoh-tokoh hukum lainnya. Dalam konteks ini, Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar KusumaAtmadja bisa didekati pada face kedua ini dengan menggunakan kerangka berpikir filsafat Pancasila, sehingga hasil analisis kita terhadap Teori Hukum Pembangunan ini bukan tidak mungkin suatu saat akan berkembang menjadi kajian Filsafat Hukum Pembangunan.

Disesuikan dengan kondisi Indonesia

Teori Hukum Mochtar

Teori Kebudayaan Northrop + Teori Policy Oriented Lasswell-McDought)

Teori Hukum Mochtar

Teori Kebudayaan Northrop + Teori Policy Oriented Lasswell-McDought)

1