Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...
Transcript of Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
374
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell Untuk Catu Daya Pada Node Wireless
Sensor Network (WSN)
Risa Farrid Christianti 1, Dodi Zulherman
2
S1 Teknik Elektro1, S1 Teknik Telekomunikasi
2, Fakultas Teknik Telekomunikasi dan Elektro,
Institut Teknologi Telkom Purwokerto 1,2
Jl. D.I.Panjaitan no.128 Purwokerto, 53147, Jawa Tengah, Indonesia
Implementasi wireless sensor network (WSN) yang cukup pesat, sebagai bagian dari sistem Internet of Things (IoT), membutuhkan catu daya terkendali yang dapat beroperasi secara kontinyu dan adaptif. Perkembangan teknologi pembangkit listrik sel surya atau photovoltaic (PV) yang sangat pesat memberikan peluang sumber pencatuan bagi sistem WSN di daerah yang jauh dari layanan sistem kelistrikan konvensional. Namun implementasi sel surya secara konvensional memiliki efisiensi yang rendah, sehingga metode Maximum Power Point Tracker (MPPT) sering digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut. MPPT mampu mengoptimalkan kinerja sel surya sehingga menghasilkan efisiensi terbaik, dengan cara menjaga tegangan solar panel pada tegangan optimalnya (Vs =Vm), serta memaksimalkan transfer daya dari solar panel ke baterai. Karena daya pada keluaran konverter merupakan hasil perkalian Vb dan Ib, sedangkan tegangan baterai diasumsikan konstan selama siklus pengendalian. Dalam penelitian ini, dilakukan perancangan dan implementasi sistem pencatuan node WSN dengan sumber pencatuan dari sel surya dan rangkaian pengendalian MPPT adaptif. Perangkat berbasis mikropengendali diimplementasikan sebagai pengatur titik MPP sel surya dengan sistem kendali adaptif. Hasil sementara yang didapatkan adalah tegangan keluaran MPPT berfluktuasi antara 3,28V hingga 9,27V untuk jangkauan tegangan masukan 3,4 hingga 9,67V. Kata kunci – Maximum Power Point Tracker, Buck Converter, Solar Cell, Sistem Adaptif, Node WSN
Abstract— The rapid implementation of wireless sensor network (WSN), as part of the IoT system, requires a controlled power supply that can operate continuously and adaptively. The rapidly growing technology of solar cell or photovoltaic (PV) generating opportunities provides a power source for WSN systems in areas far from conventional electrical system services. But conventional solar cell implementations have low efficiency, so the Maximum Power Point Tracker (MPPT) method is often used to overcome these problems. MPPT is able to optimize the performance of solar cells to produce the best efficiency, by maintaining the solar panel voltage at its optimum voltage (Vs = Vm), and maximizing the power transfer from the solar panel to the battery. Since the power at the converter output is the product of Vb and Ib, whereas the battery voltage is assumed to be constant during the control cycle. In this research, the design and implementation of WSN node power supply with solar cell as a power source and adaptive MPPT control circuit. The microprocessor based device is implemented as a solar cell MPP point regulator with adaptive methods. The interim results obtained are MPPT output voltage fluctuating between 3.28V to 9.27V for input voltage range 3.4 to 9.67V.
Keywords- Maximum Power Point Tracker, Buck Converter, Solar Cell, Adaptive System, WSN node.
I. PENDAHULUAN
Kebutuhan energi untuk mensuplai teknologi Jaringan Sensor Nirkabel, atau dikenal dengan Wireless Sensor Network (WSN), adalah masalah utama yang akan ditangani dalam
penelitian ini, untuk memberikan efektivitas dalam berbagai aplikasi yang luas dan durasi penggunaan yang lama. Jaringan Sensor Nirkabel atau dalam banyak literatur disebut Wireless Sensor Network (WSN) adalah sebuah jaringan yang menghubungkan beberapa perangkat
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
375
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
seperti sensor node, router dan sink node. Perangkat ini terhubung secara ad-hoc dan digunakan untuk komunikasi multi-hop. Istilah ad-hoc mengacu pada kemampuan perangkat untuk berkomunikasi satu sama lain secara langsung tanpa menggunakan infrastruktur jaringan seperti router atau acces point. Sedangkan node sensor atau node WSN adalah simpul (node) dalam jaringan sensor yang mampu melakukan beberapa pemrosesan, antara lain mengumpulkan informasi sensorik dan berkomunikasi dengan node lain yang terhubung dalam jaringan nirkabel. Arsitektur dari node WSN adalah sebagai berikut :
Gambar 1. Arsitektur Node Wireless Sensor Network.
Pada kenyataannya, node-node WSN
kebanyakan diaplikasikan pada penggunaan di
lapangan (outdoor) dalam durasi waktu operasi
yang lama, namun hanya menggunakan baterai
atau accu sebagai catu dayanya. Masih sangat
jarang yang menggunakan pasokan sumber energi
eksternal. Di sisi lain, node WSN merupakan ujung
tombak sistem WSN yang membutuhkan performa
kinerja yang tinggi sebagai pusat informasi dalam
suatu sistem komunikasi.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka diharapkan
ada suatu sistem yang dapat membuat node WSN
bekerja secara optimal dan mampu bekerja dalam
waktu operasi yang lama. Untuk itulah dibutuhkan
sumber energi yang mampu mensuplai baterai agar
node WSN selalu didukung dengan catu daya yang
dapat bertahan lama dengan memanfaatkan energi
surya.
Pada penelitian ini, difokuskan pada pemanfaatan energi surya sebagai catu daya, melalui solar cell yang dikendalikan oleh rangkaian MPPT. Penggunaan rangkaian MPPT sebagai kendali catu daya pada node WSN, diharapkan dapat mentransfer energi surya seefektif mungkin dari solar cell ke baterai sebagai
media penyimpan energi, dengan menggunakan algoritma sistem adaptif.
II. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode eksperimental
dan cross sectional time dengan durasi waktu
penelitian satu tahun. Penelitian juga menggunakan
penjelasan deskriptif untuk menguraikan hasil
penelitian.
Studi Literatur
Sistem daya PV (Photo Voltaic) atau yang
sering disebut sistem Solar Cell merupakan satu
dari teknologi energi terbarukan yang
pertumbuhannya paling cepat, yang menyediakan
sumber daya yang paling aman dan mensuplai
listrik bebas polusi. Sayangnya, biaya fabrikasi
sistem PV sangat tinggi dan efisiensi konversi
energinya rendah. Karena kelistrikan PV yang
mahal dibandingkan listrik dari PLN, maka
penggunaan daya keluaran dari sistem PV secara
maksimum sangat dibutuhkan[1].
Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, ada
solusi pemanenan energi surya untuk node WSN,
dengan membayangkan mekanisme pemuatan
ambang batas ON/OFF sederhana dengan
mengandalkan diode yang menghubungkan solar
cell dengan baterai isi ulang[2]. Sayangnya, solusi
berbasis diode mempunyai tiga kelemahan utama,
yaitu :
1. Titik kerja sel diatur oleh tegangan baterai dan
tidak dapat disesuaikan untuk memaksimalkan
perpindahan energi dalam perubahan
lingkungan;
2. Ambang batas mencegah sistem untuk
beroperasi secara efisien di rating daya listrik
rendah (selama kondisi surya tidak optimal);
3. Karakteristik listrik dari sel surya harus dipilih
untuk benar-benar sesuai dengan tegangan
nominal baterai, jika tidak demikian, akan
menghambat solar panel dan baterai.
Semua masalah tersebut dapat diatasi dengan
mengganti rangkaian berbasis dioda dengan
rangkaian MPPT. Filosofi desainnya menggunakan
pengembangan sistem adaptif untuk mentransfer
energi yang dihasilkan dari solar cell ke baterai
yang berfungsi sebagai media penyimpanan, sambil
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
376
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
mempertahankan titik kerja sel di kondisi
optimalnya (dimana transfer dayanya
dimaksimalkan).
Sistem PV harus dioperasikan pada daya
keluaran maksimalnya (Maximum Power Point)
dalam berbagai kondisi lingkungan. Titik operasi
maksimumnya berada pada perpotongan kurva arus
dan tegangan (I-V curves) pada sistem PV dan
beban, saat sistem PV terhubung secara langsung
ke beban. Titik daya maksimum dari sistem PV
tidak tercapai setiap waktu. Masalah tersebut
diatasi dengan menggunakan algoritma MPPT
yang mempertahankan titik operasi sistem PV di
titik daya maksimumnya. Ada beberapa algoritma
pencarian MPPT yang telah banyak diusulkan
dalam literatur yang menggunakan karakteristik
solar panel dan lokasi titik daya maksimum yang
berbeda, termasuk metode perturb and observe,
metode open-and-circuit, algoritma konduktif
inkremental, logika fuzzy dan jaringan syaraf
tiruan[3].
Secara umum, rangkaian MPPT tradisional
dibedakan berdasarkan desain kekuatan
mengkonversi secara elektronik dan strategi
kendalinya. Rangkaian konverter buck standar dan
boost DC to DC, serta kapasitor seri dan
konfigurasi induktor telah dilaporkan[4][5][6].
MPPT telah dilakukan dengan pemodelan apriori
dari sel[7][8], dengan loop kontrol analog[9], atau
lagi, melalui jaringan saraf tiruan dan logika
Fuzzy[10]. Sayangnya, solusi ini tidak mengatasi
tiga utama kendala terkait dengan node WSN :
1. Ketersediaan sumber daya yang semakin lama
semakin berkurang pada node;
2. Kebutuhan konsumsi daya MPPT yang sangat
rendah, untuk memungkinkan sebagian besar
energi yang dipanen untuk disampaikan
kepada baterai;
3. Tarif operasi daya yang sangat rendah[11].
Dalam makalah ini, akan dijelaskan
implementasi sistem adaptif yang dikendalikan
secara digital oleh rangkaian MPPT, didesain
khusus untuk node WSN. Desain dibuat sesuai
dengan persyaratan dari target perangkat tertanam,
yang memiliki : konsumsi daya yang sangat rendah
dari MPPT, adaptasi cepat sesuai dengan
perubahan lingkungan, efisiensi perpindahan energi
tinggi dan biaya rendah.
Konverter DC-DC merupakan bagian inti dari
rangkaian MPPT. Konverter DC-DC secara umum
digunakan untuk mengubah dan mendistribusikan
daya DC dalam suatu sistem. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat diagram blok sistem konverter DC-
DC pada gambar berikut [12] :
Gambar 2. Sistem Konversi Tegangan DC-to-DC
(Source : Ned Mohan, “Power Electronics”, Wiley and Sons
Inc.)
Fungsi konverter DC-DC dalam sistem
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Mengubah tegangan masukan DC tidak
terkendali menjadi tegangan keluaran DC
terkendali.
2. Mengatur tegangan keluaran DC terhadap
beban dan tegangan masukan DC yang
bervariasi.
3. Mengurangi riak tegangan AC pada tegangan
keluaran DC di bawah tingkat yang
disyaratkan.
4. Menyediakan isolasi antara sumber masukan
dan beban (isolasi tidak selalu dipenuhi).
5. Melindungi sistem yang disuplai dan sumber
masukan dari gangguan elektromagnetik (EMI
= Electro Magnetic Interference).
Rangkaian konverter yang diaplikasikan di sini
adalah Buck Converter yang berfungsi untuk
menghasilkan tegangan keluaran DC yang lebih
rendah daripada tegangan masukannya. Rangkaian
konverter ini terdiri dari tegangan masukan DC
(Vd), saklar pengendali (S), Induktor (L),
Kapasitor (C), Diode (D), dan resistansi beban (R).
Gambar 3. Rangkaian Buck DC-to-DC Converter
Sistem adaptif merupakan suatu sistem yang
mampu menyesuaikan dirinya terhadap perubahan
yang terjadi di lingkungan sekitarnya, sehingga
diharapkan akan mampu mengatasi perubahan
akibat beragam gangguan.
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
377
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
Sistem adaptif kerap digunakan dalam bidang-
bidang berikut ini:
1. Identifikasi sistem
2. Prediksi
3. Inverse modelling
4. Interference canceling
Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, ada
solusi pemanenan energi surya untuk node WSN,
dengan membayangkan mekanisme pemuatan
ambang batas ON/OFF sederhana dengan
mengandalkan diode yang menghubungkan solar
cell dengan baterai isi ulang [2]. Sayangnya, solusi
berbasis diode mempunyai tiga kelemahan utama,
yaitu :
1. Titik kerja sel diatur oleh tegangan baterai dan
tidak dapat disesuaikan untuk memaksimalkan
perpindahan energi dalam perubahan
lingkungan;
2. Ambang batas mencegah sistem untuk
beroperasi secara efisien di rating daya listrik
rendah (selama kondisi surya tidak optimal);
3. Karakteristik listrik dari sel surya harus dipilih
untuk benar-benar sesuai dengan tegangan
nominal baterai, jika tidak demikian, akan
menghambat solar panel dan baterai).
Semua masalah tersebut dapat diatasi dengan
mengganti rangkaian berbasis dioda dengan
rangkaian MPPT. Filosofi desainnya menggunakan
pengembangan sistem adaptif untuk mentransfer
energi yang dihasilkan dari solar cell ke baterai
yang berfungsi sebagai media penyimpanan, sambil
mempertahankan titik kerja sel di kondisi
optimalnya (dimana transfer dayanya
dimaksimalkan).
Perancangan dan pembuatan alat
Pada tahap ini, dilakukan pembaharuan dalam
perancangan dan penentuan jenis, serta nilai-nilai
komponen/perangkat elektronik yang digunakan,
berdasarkan kebutuhan energi node WSN. Berikut
ini beberapa karakteristik dan nilai parameter dari
komponen-komponen utama yang digunakan
dalam perancangan sistem ini :
Tabel 1. Jenis dan karakteristik komponen yang digunakan
No
.
Jenis
Komponen
Karakteristik Elektrik
1 Solar Panel Daya = 10W ±5%; Tegangan
= 5 - 20V; Arus = 0,55A
2 Baterai Li-Po Daya = 16,28WH; Tegangan
= 7,64V; Arus = 2200mAh
3 Lampu LED
Flood Light
Daya = 30W; Lumens =
80lm/W; PF = 0,5
4 Mikropengendali
Tegangan = 5V
5 Sensor Arus DT-
sense
Respon keluaran = 5µs,
Bandwidth = 80kHz, tegangan = 5V
Tahapan perancangan dilakukan dalam dua
tahap yaitu perancangan perangkat keras dan
perangkat lunak. Perancangan perangkat keras
meliputi proses perancangan model sistem berbasis
aplikasi dan pengimplementasian model sistem
menggunakan trainer board. Perancangan
perangkat lunak dilakukan setelah perancangan
perangkat keras dilaksanakan. Sasaran akhir yang
ingin dicapai yaitu sebuah perangkat embedded
yang dapat menghasilkan daya untuk pencatuan
WSN dengan spesifikasi yang telah ditetapkan.
Untuk perancangan perangkat lunak, dibuat
gaftar alir (flowchart) sebagai acuan dalam
membuat program berbasis sistem adaptif, sebagai
berikut :
Gambar 4. Algoritma kendali untuk mengidentifikasi dan
mengadaptasi nilai Vs optimal.
Pengujian Komponen
Pengujian komponen dilakukan secara
beriringan dengan proses perancangan. Proses
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
378
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
pengujian perangkat dilakukan dalam tiga tahapan
yaitu pengujian komponen penyusun sistem seperti
pengujian solar panel, pengujian instrumen ukur
seperti sensor arus dan sensor tegangan, pengujian
rangkaian mikropengendali; pengujian perangkat
lunak sistem; pengujian sistem secara keseluruhan.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan pada saat proses
pengujian perangkat. Data yang telah dikumpulkan
akan dipergunakan sebagai dasar analisis sistem.
Pengumpulan data juga dilakukan dalam beberapa
tahapan yaitu pengumpulan data pengujian masing-
masing komponen penyusun, dan pengumpulan
data sistem secara keseluruhan.
Pengumpulan data menggunakan teknik eksperimental. Proses pengumpulan data dilakukan dengan menguji komponen-komponen penyusun secara terpisah dengan memvariasikan masukan secara eksperimental. Selanjutnya pengumpulan data kinerja sistem dengan menggunakan sistem pengendali dan kinerja sistem tanpa penggunaan sistem pengendali. Data-data yang telah diperoleh akan digunakan sebagai bahan analisis. Metode analisis yang akan digunakan merupakan bentuk gabungan deskriptif, komparatif dan asosiatif. Analisis deskriptif akan menjelaskan gambaran sistem dan kinerjanya secara mendetail seperti spesifikasi panel surya. Analisis komperatif digunakan untuk menggambarkan perbandingan penggunaan MPPT dan tanpa penggunaan MPPT dalam pengaturan luaran sistem. Sedangkan analisis asosiatif akan mengamati pengaruh duty cycle terhadap luaran dan pengaruh daya masukan terhadap daya keluaran.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk menjelaskan hasil penelitian ini, akan dibagi dalam dua bagian, yaitu : perancangan perangkat keras dan perancangan perangkat lunak. Perancangan perangkat keras menjabarkan detail rangkaian di setiap blok sistem, dan perancangan perangkat lunak menjelaskan algoritma sistem kendali adaptif yang ditanamkan dalam unit mikropengendali, dalam menjalankan fungsinya sebagai kendali MPPT.
Pada dasarnya, loop kendali rangkaian MPPT
bertujuan menjaga tegangan keluaran solar panel
berada pada tegangan referensi optimalnya, dengan
memaksimalkan transfer daya dari solar cell ke
baterai. Karena daya pada keluaran konverter
adalah hasil perkalian antara tegangan dan arus
baterai, serta tegangan baterai dapat dianggap
konstan selama siklus kontrol. Daya yang tersimpan
proporsional dengan arus keluaran (dalam hal ini
kendali memenuhi beberapa detik pada saat
perintah Vb konstan selama 1 jam).
Gambar 5 menunjukkan dua jenis perilaku
solar cell yang diiluminasikan dalam dua kondisi
berbeda; arus dan daya yang dibangkitkan
merupakan fungsi tegangan solar panel yang
diberikan (dalam kurva A daya radiasinya lebih
besar daripada kurva B). Apapun teknologi solar
panelnya (inorganik atau organik), bentuk kurva
daya versus tegangan cell P(Vp,Ip) menunjukkan
perilaku convex yang dikarakterisasi oleh suatu nilai
maksimum unik yang berhubungan dengan
fenomena transduksi energi
Gambar 5. Karakteristik solar cell dalam 2 kondisi radiasi.
.
Pada kenyataannya, algoritma kendali dalam
eksekusi CPU harus diidentifikasi tegangan optimal
Vm dimana daya yang ditransmisikan maksimal
dan, mengacu pada perubahan kondisi, melacaknya,
sehingga secara adaptif Vs konvergen ke Vm yang
sebagai gantinya akan berubah terhadap waktu.
Tegangan optimal Vm pada waktu yang diberikan
secara instan akan menjadi nilai referensi bagi loop
kendali analog.
Dalam bentuk arus, algoritma yang disediakan
adalah teknik peningkatan gradien sederhana pada
kurva Vs (berhimpit dengan akhir fasa transien dari
kendali). Titik awal algoritma tidak langsung secara
iteratif disediakan oleh amplitudo, mencari cara
yang secara periodik mengamati kurva daya
terhadap tegangan.
Pengujian solar panel merupakan tahapan
pertama yang dilakukan dalam perancangan.
Gambar 6 menampilkan perangkat pengujian solar
panel yang terdiri dari lampu, panel photovoltaic,
dan multimeter. Proses pengujian menggunakan
jarak lampu dangan PV sejauh 35cm, posisi lampu
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
379
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
tegak lurus terhadap permukaan panel dan sejajar
dengan titik tengah panel, durasi pengamatan
dilakukan selama 60 detik.
Gambar 6. Perangkat Pengujian solar panel.
- Jarak dari Lampu ke PV = 35cm
- Posisi Lampu tepat di tengah PV (tegak lurus)
- Interval pengambilan data = 60 detik.
Tabel 2. Pengukuran Tegangan Solar Panel (PV) tanpa rangkaian MPPT
N
o
Keterangan Hari Ke-1
(Volt)
Hari Ke-2
(Volt)
Hari
Ke-3
(Volt)
1 Pengujian di
lapangan :
a. Kondisi panas
20,85 - -
b. Kondisi
mendung
18,8 - -
2 Pengujian di ruangan :
a. Tanpa
penyinaran
5,77 6,77 6,72
b. Dengan
penyinaran
15,81 15,81 15,82
Bentuk gelombang tegangan keluaran Solar
Panel saat belum disinari ditampilkan pada gambar
7 kiri, sedangkan bentuk luaran solar panel yang
telah disinari di tampilan pada gambar 7 kanan.
Gambar 7. Kondisi luaran solar panel dalam kondisi : (a) gelap
dan (b) terang.
Dengan implementasi rangkaian MPPT pada rangkaian yang menghubungkan antara solar panel dengan baterai, maka dilakukan pengujian alat tahap awal, dengan hasil sebagai berikut :
Tabel 3. Hasil pengujian tegangan keluaran solar panel
dengan tegangan keluaran Konverter Buck DC-DC.
sampling
ke-
Tegangan SP
(Volt)
Tegangan DC-DC
Converter (Volt)
Jarak Lampu - SP
(cm)
1 3.430 3.284 38.5
2 3.440 3.296 38.4
3 3.461 3.312 38.25
4 3.980 3.806 38.2
5 3.482 3.333 38
6 9.430 9.040 34.5
7 9.440 9.050 34.4
8 9.450 9.060 34.3
9 9.460 9.070 34.2
10 9.490 9.110 34.1
11 9.510 9.120 34
12 9.560 9.170 33.9
13 9.570 9.180 33.8
14 9.590 9.200 33.7
15 9.600 9.200 33.6
16 9.630 9.230 33.5
17 9.640 9.240 33.4
18 9.650 9.250 33.3
19 9.660 9.260 33.2
20 9.670 9.270 33.1
Berdasarkan hasil pengujian tegangan keluaran
solar panel dengan tegangan keluaran Konverter
Buck DC-DC, maka dapat dibuat grafik sebagai
berikut :
(a) (b)
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
380
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
Gambar 8. Grafik tegangan keluaran solar panel dan buck
converter terhadap jarak lampu – solar panel (SP).
Dari tabel data dan grafik tersebut, maka
diperoleh rata-rata tegangan keluaran solar panel
sebesar 8,057V, sedangkan rata-rata tegangan
keluaran Buck Converter sebesar 7,724V. Jika
dibandingkan dengan kebutuhan catu node WSN,
ditinjau dari spesifikasi baterai sebesar 7,64V,
maka dapat disimpulkan bahwa keluaran sistem
MPPT memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai
sumber pencatuan baterai pada node WSN.
Kemudian didapatkan bahwa jarak optimal untuk
mendapatkan tegangan yang sesuai proses
pencatuan adalah pada jangkauan jarak 34,5 –
38cm. Tentu saja hal ini berlaku dalam lingkup di
dalam ruangan, dengan mengasumsikan lampu
sebagai matahari.
Dengan membandingkan antara data tegangan
keluaran solar panel dengan MPPT, dengan data
tegangan keluaran solar panel tanpa MPPT pada
kondisi penyinaran, disimpulkan bahwa tegangan
keluaran solar panel tanpa MPPT lebih tinggi
dibandingkan dengan menggunakan MPPT
(15,81V). Namun yang menjadi prioritas
penelitian terletak pada kekonsistenan solar panel
dalam menyediakan tegangan yang dibutuhkan
untuk mencatu node WSN. Dalam pengujian,
ditemukan bahwa solar panel tanpa MPPT
menghasilkan tegangan keluaran yang fluktuatif,
karena bergantung pada intensitas cahaya matahari
yang diterima oleh solar cell.
Untuk tahap penelitian berikutnya, akan dilakukan pengujian secara terintegrasi, yaitu MPPT, mikropengendali sebagai implementator pengendali sistem adaptif, sensor arus, dan baterai. Pengujian tahap lanjutan ini yang akan membuktikan apakah sistem adaptif mampu mengendalikan MPPT sehingga dapat berfungsi sebagai sumber pencatuan node WSN
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Implementasi MPPT pada keluaran solar
panel mampu menjaga tegangan keluaran lebih konsisten (tidak fluktuatif), dengan rata-rata selisih tegangan 0,33V.
2. Jarak dan intensitas cahaya sangat berpengaruh terhadap tegangan keluaran solar panel. Semakin dekat jarak cahaya terhadap solar panel, makin besar tegangan yang dihasilkan. Berdasarkan hasil penelitian, tegangan maksimal yang dihasilkan solar panel dengan menggunakan rangkaian MPPT sebesar 9,27V.
B. Saran
1. Proses pengujian perlu diperbaiki, agar hasil data pengujian dapat lebih valid.
2. Sistem adaptif yang diimplementasikan disimulasikan terlebih dahulu, agar dalam
perancangannya lebih efektif.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Z. Farooqui, “Study of Maximum Power
Point Tracking ( MPPT ) Techniques in a
Solar Photovoltaic Array,” vol. 2, no. 5, pp.
178–189, 2017.
[2] M. S. V. Raghunathan, A. Kansal, J. Hsu, J.
Friedman, “Design considerations for solar
energy harvesting wireless embedded
systems,” in IEEE Int.Conf. Inf. Process.
Sensor Netw., 2005, pp. 457–462.
[3] A. Lomi, A. Soetedjo, A. Lomi, Y. I.
Nakhoda, and A. U. Krismanto, “Modeling
of Maximum Power Point Tracking
Controller for Solar Power System
Modeling of Maximum Power Point
Tracking Controller for Solar Power
System,” no. July, 2012.
[4] and P. N. M. N. K. Lujara, J. D. van Wyk,
“Power electronic loss models of DC-DC
converters in photovoltaic applications,” in
Proc.IEEE Int. Symp. Ind. Electron, 1998,
pp. 35–39.
[5] and K. U. M. Veerachary, T. Senjyu,
“Neural-network-based maximum-power-
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
381
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
point tracking of coupled-inductor
interleavedboost-converter-supplied PV
system using fuzzy controller,” in
IEEETrans. Ind. Electron, 2003, pp. 749–
757.
[6] J. H. R. Enslin and D. B. Snyman,
“Combined low-cost, high-efficient inverter,
peak power tracker and regulator for PV
applications,” IEEETrans. Power Electron,
vol. 6, no, pp. 73–82, 1991.
[7] and W. S. J. H. R. Enslin, M. S. Wolf, D. B.
Snyman, “Integrated photovoltaic maximum
power point tracking converter,”
IEEETrans. Ind. Electron, vol. 44, n, pp.
769–773, 1997.
[8] and E. F. F. M. A. S. Masoum, H.
Dehbonei, “Theoretical and experimental
analyses of photovoltaic systems with
voltage- and currentbased maximum power-
point tracking,” IEEE Trans. Energy Conv.,
vol. 17, n, pp. 514–522, 2002.
[9] Y. H. Lim and D. C. Hamill, “Synthesis,
simulation and experimental verification of
a maximum power point tracker from
nonlinear dynamics,” in Proc. IEEE 32nd
Annu. Power Electron. Specialists Conf.,
2001, pp. 199–204.
[10] and H.-S. K. C.-Y. Won, D.-H. Kim, S.-C.
Kim, W.-S. Kim, “A new maximum power
point tracker of photovoltaic arrays using
fuzzy controller,” in Proc. 25th Annu.
Power Electron. Specialists Conf., 1994, pp.
396–403.
[11] C. Alippi and C. Galperti, “An Adaptive
System for Optimal Solar Energy
Harvesting in Wireless Sensor Network
Nodes,” vol. 55, no. 6, pp. 1742–1750,
2008.
[12] Ashari M., Desain Konverter Elektronika
Daya. Informatika, 2017.
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
382
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
Analisis Unjuk Kerja Penguat Hybrid pada Sistem DWDM (Dense Wavelength Division Multiplexing)
Amin Sudibyo1, Fauza Khair
2, Dodi Zulherman
3
1,2,3Fakultas Teknik Telekomunikasi dan Elektro. Institut Teknologi Telkom Purwokerto
ABSTRAK
Dense Wavelengrh Division Multiplexing adalah salah satu teknologi yang dapat digunakan
dalam mengirimkan informasi dengan menggunakan media transmisi serat optik. Penguat optik digunakan
untuk mengatasi adanya gangguan saat proses transmisi, dalam menerapkan penguat optik dapat
menggunakan metode hybrid. Penelitian ini akan dilakukan perancangan sistem DWDM dengan
menggunakan 32 kanal dengan spasi kanal 100 Ghz dan panjang link 100 Km. Penguat hybrid yang
digunakan yaitu EDFA dan SOA. Penelitian dilakukan dengan memvariasikan posisi penguat hybrid
menjadi 2 skenario, dengan variasi daya laser -4, -2, 0, 2, dan 4 dBm. Berdasarkan hasil pengujian dengan
menggunakan daya rendah -4 dBm skenario 2 dengan posisi penguat hybrid EDFA di inline dan SOA di
premaplifier memiliki unjuk kerja yang lebih baik dibandingkan skenario yang lain, dengan nilai Q-faktor
pada daya -4 dBm sebesar 8,327 dan BER 4,14×10-17
. Sedangkan untuk daya tinggi 4 dBm skenario 1
memiliki untuk kerja yang lebih baik dengan nilai Q-faktor sebesar 8,425 dan BER 1,25×10-17.
Berdasarkan
hasil pengujian menunjukan penempatan posisi penguat hybrid dengan daya rendah dan daya tinggi
mempengaruhi unjuk kerja sistem.
Kata kunci – DWDM , Hybrid Amplifier, Q-faktor, BER
ABSTRACT
Dense Wavelength Division Multiplexing is one technology that can be used in sending
information by using fiber optic transmission media. An optical amplifier is used to overcome the
disruption during the transmission process, in applying optical amplifier can use a hybrid method. This
research will be done by designing DWDM systems using 32 channels with 100 GHz channel span and 100
km link length. Hybrid amplifier used is EDFA and SOA. The study was conducted by varying the position
of the hybrid amplifier into 2 scenarios, with variations in laser power -4, -2, 0, 2, and 4 dBm. Based on
test results using low power -4 dBm scenario 2 with EDFA hybrid amplifier position in inline and SOA in
premaplifier has better performance compared to other scenario, with a value of Q-factor at power -4 dB
of 8,327 and BER 4,14×10-17
. Whereas for high power 4 dBm scenario 1 have to better work with a value
of Q-factor equal to 8,425 and BER 1,25×10-17
. Based on the test results show placement of hybrid
reinforcement position with low power and high power affect the performance of the system.
Keywords - DWDM , Hybrid Amplifier, Q-faktor, BER. I. PENDAHULUAN
Serat optik dalam mentrasmisikan informasi
atau data dengan menggunakan media cahaya, sistem komunikasi serat optik terdiri dari tiga bagian utama yaitu bagian pengirim, bagian media transmisi fiber optik, dan juga bagian penerima [1]. Salah satu teknologi yang dapat digunakan dalam mengirimkan informasi dengan menggunakan media transmisi serat optik adalah Dense
Wavelengrh Division Multiplexing (DWDM). Untuk mengatasi adanya gangguan pada komunikasi serat optik digunakan sebuah penguat optik, penguat optik juga dapat berfungsi untuk menguatkan sinyal yang ditransmisikan [1]. Dalam menerapkan penguat optik dapat menggunakan suatu metode hybrid, metode hybrid berarti menggabungkan
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
383
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
beberapa penguat optik dalam satu link serat optik [2] .
Penelitian Dr. Ali Y Fattah dan Sadeq S
Madlool pada tahun 2017 yang berjudul “Soliton
Transmission in DWDM Network” meneliti
tentang pengaruh bagian transmisi pada sistem
DWDM terhadap unjuk kerja. Penelitian dilakukan
dengan cara membandingkan transmisi dengan
menggunakan Optical Soliton dan transmisi dengan
menggunakan CW Laser Source. Unjuk kerja
terbaik dilihat dari nilai parameter Q-factor dan
BER yang didapatkan, hasil yang didapatkan dari
penelitian ini yaitu transmisi dengan Optical
Soliton lebih baik dibandingkan dengan transmisi
CW Laser Source karena nilai parameter Q-factor
dan BER yang didapatkan lebih besar [3].
Penelitian Nabil Elsheikh Mohamed E pada tahun
2017 yang berjudul “Performance Analysis of
Optical Amplifier EDFA and SOA” meneliti
mengenai unjuk kerja dari penguat EDFA dan SOA
pada komunikasi serat optik. Penelitian terhadap
penguat optik dilakukan untuk mengetahui unjuk
kerja yang terbaik dari kedua penguat tersebut, dari
hasil yang diperoleh menjukan kedua penguat
tersebut memiliki unjuk kerja yang baik karena
memiliki hasil dari Q-faktor dan BER yang
memenuhi standar, namun untuk hasil terbaik
terdapat pada penguat EDFA [1].
Kemudian penelitian Anil Agrawal dan
Sudhir Kumar Sharma pada tahun 2014 yang
berjudul “Performance Comparasion of Single &
Hybrid Optical Amplifiers for DWDM System
using Optisystem” meneliti tentang perbedaan ujuk
kerja antara single amplifier dan hybrid amplifier
pada sistem DWDM. Penelitian dilakukan dengan
mengamati nilai Q-faktor dan BER dengan variasi
panjang serat optik, dari hasil yang diperoleh
menunjukan bahwa hybrid amplifier memiliki nilai
performansi yang lebih baik [4].
Penelitian Nija Shafi daan Gokul P.G pada tahun
2016 yang berjudul “performance Analysis of
Photodetectors and Effect of Photodetection Noises
in Optical Communication System” meneliti
tentang pengaruh yang dihasilkan dari
photodetectors pada komunikasi serat optik.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan dua
jenis photodetectors yang berbeda yaitu jenis PIN
dan APD. Dari penelitian yang telah dilakukan
didapatkan hasil bahwa phtodectector jenis APD
memiliki unjuk kerja yang baik dibandingkan
dengan photodector jenis PIN [5].
Penelitian Arumdina Islamiq pada tahun
2017 yang berjudul “Analysis Comaparasion
Performance Position Optical Amplifier Hybrid
SOA-EDFA in a System DWDM based Soliton”
meneliti tentang penguat hybrid SOA-EDFA pada
sistem DWDM, dimana penguat hybrid
ditempatkan secara seri pada posisi yang sama
yaitu sebagai booster, inline, dan pre-amplifier,
dengan jumlah kanal pada transmistter sebanyak 16
kanal. Dari hasil penelitian munjukan bahwa skema
pre-amplifier merupakan skema terbaik
dibandingkan skema yang lain, sedangkan untuk
kedua skema yang lain memiliki nilai yang kurang
baik atau memiliki nilai dibawah standart [6].
Penelitian Annapurna Kumari dan Pankaj
Srivastava pada tahun 2018 yang berjudul
“Performance Analysis of 16 Channel CWDM
System with EDFA and SOA Amplifier” meneliti
tentang pengaruh yang ditimbuhkan oleh penguat
EDFA dan SOA yang disusun secara hybrid,
dimana penguat diletakan pada posisi yang berbeda
dalam satu link optik. Dari penelitian yang telah
dilakukan mendapatkan hasil Q-faktor dan BER
yang baik [7]. Pada penelitian ini membahas perbandingan
unjuk kerja penguat hybrid SOA dan EDFA dengan posisi yang berbeda menggunakan 32 kanal pada sistem DWDM dengan transmisi soliton berdasarkan Q-faktor dan Bit Error Rate (BER).
II. METODE PENELITIAN
A. Diagram Alir Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dalam beberapa tahap
seperti yang digambarkan pada gambar 2.1 yang
meliputi tahap tinjauan pustaka, rumusan masalah,
tahap pengumpulan data, tahap simulasi sistem,
tahap analisis dari hasil simulasi sistem, dan yang
terakhir tahap kesimpulan.
Tujuan tinjauan pustaka pada penelitian
ini yaitu agar mendapatkan gambaran mengenai
variasi yang dilakukan pada model rancangan,
metode pengujian, dan juga metode analisis.
Tahap selanjutnya yaitu rumusan malah. Pada
tahap ini akan terdapat rumusan masalah yang
mendasari perancangan pada sistem yang akan
menjadi ladasan utama pengujian, pembahasan dan
juga kesimpulan dari penelitian.
Setelah mendapatkan rumusan masalah
untuk penelitian ini, tahap selanjutnya yaitu
pengumpulan data. Pada tahap ini data-data yang
akan digunakan untuk penelitian akan
dikumpulkan, data tersebut diantarnya berupa
spesifikasi dari komponen yang akan digunakan
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
384
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
dalam perancangan sistem dan juga data dari
parameter yang akan dianalisis.
Mulai
Rumusan Masalah
Pengumpulan Data
Perancangan Sistem
Menggunakan OptiSystem
Analisis Hasil Perancangan
Kesimpulan
Selesai
Tinjauan Pustaka
Gambar 2.1 Diagram Alir Penelitian
Tahap selanjutnya setelah data spesifikasi dan juga
parameter diperoleh, melakukan perancangan
sistem. Perancangan sistem dilakukan dengan
menggunakan software OptiSystem. OptiSystem
adalah suatu software yang dapat digunakan untuk
membuat siumlasi jaringan pada sistem komunikasi
serat optik. Perancangan sistem akan dilakukan
sesuai dengan rumusan masalah.
Analisis dilakukan agar dapat mengetahui
bagaimana perbandingan unjuk kerja dari penguat
hybrid EDFA dan SOA pada sistem DWDM yang
sebelumnya telah dirancang dalam software
OptiSystem, kemudian dari hasil analisis yang telah
dilakukan terhadap sistem, maka akan diambil
kesimpulan.
Diagram Blok Sistem
Gambar 2.2 Blok Pengirim
Rancangan sistem yang terdapat pada blok
pengirim, yang terdiri dari Pseudo Random Binary
Sequence (PRSB), Soliton Optical Pulse
Generator, dan juga WDM Multiplexer. Pada
simulasi ini menggunakan 32 PRBS dengan bitrate
yang akan digunakan untuk setiap kanal yaitu
sebesar 2,5 Gbps dan 10 Gbps. PRBS akan
mengirimkan sinyal biner secara acak ke soliton
optical pulse generator. Rentang frekuensi yang
digunakan dalam simulasi ini yaitu 191.6-194.7
Thz dengan spasi kanal sebesar 100 Ghz, power
yang digunakan akan divariasi yaitu sebesar -4, -2,
0, 2, 4 dBm
Gambar 2.3 Blok Penerima
rancangan sistem yang terdapat pada blok
pengirim, yang terdiri dari WDM demux, Optical
Receiver dan BER Analyzer. WDM demux
memiliki 1 port masukan dan 32 port keluaran,
yang berfungsi untuk memisahkan kembali sinyal
optik berdasarkan panjang gelombang sesuai
dengan yang dikirimkan oleh pengirim. Sinyal
keluaran dari WDM demux akan dihubungkan
dengan optical receiver, dan menggunakan
photodector jenis APD.
Pada bagian transmisi terdiri dari serat optik, dan
juga penguat optik. Serat optik yang digunakan
yaitu jenis single mode fiber (SMF) yang memiliki
panjang 100 Km, dengan nilai attenuasi sebesar
0,30 dB/Km, dan nilai dispersi sebesar 18,6
ps/nm/km. Penguat optik yang digunakan yaitu
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
385
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
SOA dan EDFA yang akan disusun secara seri.
Untuk mengetahui pengaruh dari penempatan
posisi penguat hybrid SOA dan EDFA terhadap
sistem DWDM, perancangan sistem pada blok
transmisi memiliki 2 skenario, dimana penguat
hybrid SOA dan EDFA akan diletakan secara
berbeda yaitu pada inline amplifier, dan pre-
amplifier seperti yang terlihat pada gambar 2.4, dan
gambar 2.5.
FIBER FIBERSOA EDFA
WDM
MUX
WDM
DEMUX
Gambar 2.4 Skenario 1 Fiber-SOA-Fiber-EDFA
FIBER FIBEREDFA SOA
WDM
MUX
WDM
DEMUX
Gambar 2.5 Skenario 4 Fiber-EDFA-Fiber-SOA
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 3.1 Hasil perbandingan Q-Faktor
Skenario /
Daya (dBm)
Fiber-SOA-
Fiber-EDFA
Fiber-EDFA-
Fiber-SOA
-4 8,240 8,327
-2 8,315 8,344
0 8,363 8,354
2 8,398 8,361
4 8,425 8,366
Gambar 3.1 Grafik Q-Faktor
Tabel 3.2 Hasil Perbandingan Bit Error Rate
(BER)
Skenario /
Daya (dBm)
Fiber-SOA-
Fiber-EDFA
Fiber-EDFA-
Fiber-SOA
-4 7,74E-17 4,14E-17
-2 3,82E-17 3,26E-17
0 2,37E-17 2,76E-17
2 1,67E-17 2,46E-17
4 1,25E-17 2,27E-17
Gambar 3.2 Grafik Bit Error Rate (BER)
PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan dengan membandingkan
unjuk kerja terhadap penempatan posisi penguat
hybrid EDFA dan SOA, dimana penguat
ditempatkan dengan posisi yang berbeda yaitu
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
386
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
inline amplifier dan preamplifier seperti pada
skenario yang sudah ditentukan. Dengan
menggunakan variasi pada daya input laser,
diharapkan dapat mengetahui bagaimana
perubahan unjuk kerja terhadap daya laser yang
bernilai negative dan juga positif, variasi daya laser
yang digunakan yaitu bernilai -4, -2, 0, 2 dan 4
dBm.
Tabel 3.1 menunjukan hasil nilai Q-faktor terhadap
perubahan daya pada skenario 1 dan 2. Skenario 1
dengan posisi penguat hybrid SOA di inline
amplifier dan EDFA di preamplifier pada daya -4
dBm mendapat Q-faktor sebesar 8,240, kemudian
daya input -2 dBm nilai Q-faktor sebesar 8,135,
untuk daya 0 dBm nilai Q-faktor sebesar 8,398,
pada daya 2 dBm nilai Q-faktor sebesar 8,398, dan
untuk daya 4 dBm nilai Q-faktor sebesar 8,425.
Pada skenario 2 dengan posisi penguat hybrid
EDFA di inline amplifier dan SOA di preamplifier
nilai Q-faktor dengan daya -4 dBm sebesar 8,327,
kemudian daya -2 dBm nilai Q-faktor sebesar
8,344, kemudian untuk daya 0 dBm nilai Q-faktor
sebesar 8,354, pada daya 2 dBm nilai Q-faktor
sebesar 8,361, dan untuk daya 4 dBm nilai Q-faktor
sebesar 8,366. Dari hasil yang didapatkan semua
skenario memiliki nilai Q-faktor yang diatas
standard yaitu >6.
Untuk daya rendah atau -4 dBm nilai Q-faktor
terbaik terdapat pada skenario 2 yaitu sebesar
8,327. Sedangkan untuk skenario 1 mendapatkan
nilai Q-faktor sebesar 8,240. Kemudian untuk daya
tinggi atau 4 dBm skenario 1 memiliki nilai Q-
faktor lebih besar dibandingkan dengan skenario 2,
dengan nilai Q-faktor sebesar 8,425, dan untuk
skenario 2 memiliki Q-faktor sebesar 8,366.
Skenario 1 dan skenario 2 memiliki peningkatan
nilai Q-faktor dari daya rendah -4 dBm ke daya
tinggi 4 dBm, namun untuk daya rendah -4 dBm
dan -2 dBm skenario 2 memiliki nilai Q-faktor
yang lebih baik dibandingkan skenario 1.
Sedangkan untuk daya tinggi 0, 2 dan 4 dBm
skenario 1 memiliki nilai Q-faktor yang lebih baik
dibandingkan dengan skenario 2. Tabel 3.2 dan gambar 3.2 menunjukan perbandingan Bit Error Rate (BER) yang didapatkan pada setiap skenario. BER adalah perbandingan antara bit yang mengalami error dengan keseluruhan bit yang dikirimkan. Semakin kecil nilai BER yang didapatkan maka kinerja sistem akan semakin baik, pada panelitian ini skenario yang memilik nilai BER yang paling kecil dengan menggunakan daya rendah -4 dBm yaitu skenario 2 dengan nilai BER 4,14×10
-17 atau nilai
log minimum BER sebesar -16,382 sedangkan
untuk skenario 1 mendapatkan nilai BER sebesar 7,74×10
-17 atau nilai log BER sebesar -16,111.
Sedangkan pada daya tinggi 4 dBm skenario 1 memiliki nilai BER yang paling kecil yaitu 1,25×10
-17 dengan nilai log minimum BER sebesar
-16,90 dan untuk skenario 2 nilai BER sebesar 2,27×10
-17 dengan log minimum BER sebesar -
16,644 IV. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengujian
sistem, perbedaan daya source laser dan
perbedaan posisi penguat mempengaruhi unjuk
kerja sistem. Untuk daya rendah -4 dBm dan -2
dBm skenario 2 dengan posisi penguat EDFA di
inline dan SOA di preamplifier memiliki unjuk
kerja yang lebih baik dibandingkan yang lain,
sedangkan untuk daya laser tinggi 0, 2, dan 4 dBm
skenario 1 dengan posisi penguat SOA di inline
dan EDFA di preamplifier memiliki unjuk kerja
yang lebih baik dibandingkan skenario yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
[1] N. E. Mohamed Elmak and A. B. A/Nabil
Mustafa, "Performance Analysis of Optical
Amplifier (EDFA and SOA)," IOSR Journal of
Electronics and Communication Engineering,
vol. 12, no. 2278-8735, pp. 05-07, 2017.
[2] P. A. Praja, A. Hambali and A. D. Pambudi,
"Analisis Performance Hybrid Optical
Amplifier pada Sistem Long Haul Ultra-Dense
Wavelength Division Multiplexing," e-
Proceeding of Engineering, vol. 4, p. 124,
2017.
[3] A. Y. Fattah and S. S. Madlool, "Soliton
Transmission in DWDM Network,"
International Journal of Scientific and
Research Publication, vol. 7, no. 5, 2017.
[4] A. Agarwal and S. K. Sharma, "Performance
Comparasion of Single and Hybrid Optical
Amplifier for DWDM system Using
Optisystem," IOSR Journal of Electronics and
Communication Engineering, vol. 9, no. 1, pp.
28-33, 2014.
[5] N. Shafi and G. P. G, "Performance Analysis of
Photodectors and Effect of Photodetection
Noises in Optical Communication System,"
International Journal of Innovative Research in
Computer and Communication Engineering,
vol. 4, no. 2, 2016.
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
387
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
[6] A. Islamiq, A. Hambali and A. D. Pambudi,
"Analisis Perbandingan Performansi Posisi
Penguat Optic Hybrid SOA-EDFA pada sistem
DWDM berbasis Soliton," e-Proceeding of
Engineering, vol. 1, p. 132, 2017.
[7] A. Kumari and P. Srivastava, "Performance
Analysis of 16-Channel CWDM System with
EDFA and SOA amplifier," International
Conference on Microwave and Phoronics,
2018.
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
388
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
Perancangan Antena Waveguide 32 Slot untuk Radar Pengawas Pantai
Eva Yovita Dwi Utami1, Hanna A. Indharti
2, F. Dalu Setiaji
3, Yuyu Wahyu
4
1,2,3 Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik Elektronika dan Komputer, Universitas Kristen Satya
Wacana, Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga 50711 Indonesia
4Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jl. Sangkuriang - Komplek LIPI
Gedung 20, Lt. 4
Bandung 40315 Indonesia
Email : [email protected]
ABSTRAK Pada penelitian ini, telah dirancang dan direalisasikan antena waveguide 32 slot pada frekuensi 9,4 GHz
untuk aplikasi radar pengawas pantai. Antena slot waveguide dengan penambahan jumlah slot dirancang
untuk mendapatkan beamwidth yang sempit dan meningkatkan gain antena. Perancangan antena
menggunakan software simulasi CST Microwave Studio dan difabrikasi menggunakan bahan plat
kuningan. Nilai VSWR dan return loss hasil simulasi maupun pengukuran telah memenuhi spesifikasi pada
frekuensi kerja dan bandwidth yang diperoleh pada pengukuran dengan VSWR < 1,5 adalah 122,5 MHz.
Gain antena yang diperoleh dari pengukuran sebesar 19,44 dB pada frekuensi 9,4 GHz. Half power
beamwidth yang diperoleh sebesar 3,8. Peningkatan jumlah slot pada antena slot waveguide dapat
memperbaiki nilai beamwidth dan meningkatkan gain antena.
Kata kunci – antena, slot waveguide, radar, beamwidth
ABSTRACT In this study, 32-slotted waveguide antenna has been designed and realized at a frequency of 9.4 GHz for
coastal surveillance radar applications. The slotted waveguide antenna with an additional number of slots
is designed to obtain narrower beamwidth and enhance the gain of the antenna. The design of antenna used
CST Microwave Studio simulation software. Antenna simulation design then is fabricated made by brass
plate material. The VSWR and return loss values of the simulation and measurement results have
accomplished the specification on the operation frequency and the bandwidth obtained on the measurement
with VSWR <1.5 is 122.5 MHz. The antenna gain achieved from the measurement is 19.44 dB at a
frequency of 9.4 GHz. Half power beamwidth obtained 3.8 degrees. Increasing the number of slots of the
waveguide slot antenna can improve the beamwidth value and increase the antenna gain value.
Keywords- antenna, slotted waveguide, radar, beamwidth.
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan
dengan luas dua per tiganya berupa lautan,
memiliki 17.504 pulau dan pantai sepanjang 81.000
km. Salah satu cara untuk meningkatkan
kemampuan pemerintah dalam mengawasi dan
melindungi perairan Indonesia adalah melalui
penggunaan radar pengawas pantai. Radar ini
digunakan untuk mengawasi pergerakan kapal-
kapal laut sehingga dapat dicegah tindakan-
tindakan yang dapat merugikan negara dan juga
tabrakan kapal apabila hendak merapat ke
pelabuhan.
Prototype radar yang telah dikembangkan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
berkolaborasi dengan IRCTR-TU Delft dan
institusi lainnya dinamakan dengan INDRA
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
389
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
(Indonesian Radar) [1] dan ISRA (Indonesian
Surveillance Radar) [2].
Radar atau radio detecting and ranging merupakan
sistem penginderaan jarak jauh yang dapat
mendeteksi adanya objek dan menentukan jarak
dari objek tersebut menggunakan gelombang
elektromagnetik [3] Untuk mengirimkan dan
menerima gelombang elektromagnetik tersebut
diperlukan perangkat antena pada sistem radar.
Jarak jangkauan radar ditentukan oleh daya pancar,
bandwidth, propagasi sinyal, penguatan antena,
polarisasi antena dan beamwidth.
Penelitian dan perancangan antena di
Indonesia sebelumnya telah menghasilkan
beberapa jenis desain antena untuk radar pengawas
pantai (coastal surveillance radar). Pada penelitian
[4] didesain antena mikrostrip susun 4 patch
horizontal pada pita frekuensi S-band atau 3 GHz.
Sementara itu, perancangan antena radar pada
frekuensi X-band yaitu pada frekuensi 9,4 GHz,
telah dilaporkan dalam [5] dengan desain planar
susun menggunakan bahan alumina dan [6] yang
mendesain pengembangan mikrostrip susun.
Rancangan antena radar pengawas pantai juga
direalisasikan dalam bentuk antena slotted
waveguide. Penelitian [7] melaporkan
pengembangan antena waveguide 8-slot dan pada
[8] berhasil direalisasikan antena waveguide 16
slot.
Antena slotted waveguide adalah antena
gabungan dari salah satu jenis antena aperture
yang berbentuk waveguide dan antena susun.
Kelebihan dari antena ini yaitu mudah difabrikasi
dan sederhana dibandingkan dengan antena
aperture lain, misalnya antena horn, teknik
pencatuan sederhana, distribusi aperture yang
presisi dan rugi-rugi yang rendah. Hal ini
menjadikan antena ini banyak digunakan pada
aplikasi komunikasi radar.
Pada penelitian [8] di atas telah dirancang dan
direalisasikan antena waveguide 16 slot dengan
beamwidth yang dihasilkan kurang sempit,
sehingga menyebabkan antena sulit untuk dapat
membedakan objek satu dengan yang lainnya.
Maka dalam makalah ini akan dilaporkan hasil
pengembangan antena slotted waveguide dengan
menambahkan jumlah slot menjadi 32 slot yang
bekerja pada frekuensi 9,4 GHz untuk
mendapatkan gain yang lebih besar dan beamwidth
yang lebih sempit.
II. METODE PENELITIAN
A. Spesifikasi Antena
Antena radar pengawas pantai yang
dirancang diharapkan dapat bekerja pada
frekuensi 9,4 GHz sesuai dengan frekuensi
radar untuk pengawas pantai. Frekuensi
kerja ini akan menjadi parameter frekuensi
dalam menentukan parameter-parameter
lain seperti tinggi monopole, jarak slot dari
garis tengah, dan jarak konektor dengan
slot terdekat. Antena diharapkan memiliki
parameter VSWR ≤ 1,5, gain ≥ 15 dB dan
beamwidth ≤ 10. Antena dibuat dari
bahan plat kuningan yang memiliki
konduktivitas 1,6 × 107.
B. Perhitungan dimensi slot
Antena slot waveguide dibentuk dengan
membuat slot diposisikan pada permukaan
waveguide. Struktur waveguide adalah
segi empat (rectangular) dengan bahan
kuningan. Slot ditempatkan secara paralel
secara bergantian pada sisi kanan dan kiri
dari garis tengah permukaan sisi
waveguide seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 1.
Dalam merancang antena, perlu dilakukan
penentuan ukuran-ukuran suatu slot
waveguide seperti ditunjukkan pada
Gambar 2. Persamaan-persamaan yang
digunakan berdasarkan pada formula
Stevenson [9].
Gambar 1. Struktur antena waveguide
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
390
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
Gambar 2. Slot waveguide tampak atas beserta dengan ukuran-
ukurannya
Setelah dilakukan perhitungan secara
teorittis, antena dimodelkan dalam
software simulasi CST Microwave Studio
dan kinerja parameternya disimulasikan
untuk melihat kesesuaian dengan
spesifikasi yang diinginkan. Akan tetapi
hasil simulasi yang pertama belum
menghasilkan kinerja antena sesuai
spesifikasi maka diperlukan optimasi
rancangan dengan cara mengubah tinggi
monopole, jarak slot dari garis tengah, dan
jarak konektor dengan slot terdekat. Untuk
melihat perubahan pada optimasi yang
dilakukan, beberapa parameter seperti
return loss, VSWR, dan impedansi diamati.
Tabel 1 menunjukkan ukuran-ukuran yang
harus dihitung berdasarkan Gambar 2
disertai nilai hasil perhitungan teoritis dan
hasil optimasi.
C. Simulasi
Desain hasil optimasi disimulasikan dan
diperoleh grafik kinerja antena. Gambar 3
adalah hasil simulasi return loss yang
menunjukkan bahwa pada frekuensi 9,4
GHz, diperoleh return loss sebesar -25,43
dB. Sedangkan Gambar 4 menunjukkan
hasil simulasi VSWR pada frekuensi 9,4
GHz, yaitu sebesar 1,113. Gambar 5
menunjukkan hasil simulasi impedansi
pada frekuensi 9,4 GHz adalah
51,62+j5,41Ω, ini mendekati dengan nilai
impedansi yang diinginkan yaitu 50 Ω.
Nilai dari hasil simulasi yang didapatkan
telah memenuhi nilai yang diinginkan
yaitu VSWR ≤ 1,5 dan nilai return loss ≤ -
14dB.
TABEL 1. DIMENSI HASIL PERHITUNGAN DAN OPTIMASI
variabel
dimensi
slot
Perhitungan
(mm)
Optimasi
(mm)
Keterangan
pada Gambar 2
L 44,56 45,06 a: jarak konektor
dengan slot
variabel
dimensi
slot
Perhitungan
(mm)
Optimasi
(mm)
Keterangan
pada Gambar 2
terdekat
dantarslot 22,28 22,28 b :Jarak antar
tengah slot
x 1,16 1,16 c :Jarak slot dari garis tengah
Wslot 2,23 2,23 d : Lebar slot
Lslot 15,96 15,96 e : Panjang slot
r 11,14 11,14 f, g : End spacing
l 7,6 6,1 Tinggi monopole
Gambar 3. Return Loss simulasi
Gambar 4. VSWR Optimasi
Gambar 5. Impedansi Antena
Gambar 6. Gain hasil simulasi
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
391
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
Gambar 7. Hasil simulasi beamwidth
Pada Gambar 6 dapat dilihat hasil simulasi gain
yang diperoleh sebesar 20,6 dB. Gambar 7
menunjukkan pola radiasi hasil simulasi yang dapat
menunjukkan beamwidth yang didapatkan adalah
2,4o
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah didapatkan desain antena yang
menghasilkan kinerja terbaik, maka desain tersebut
direalisasikan dengan fabrikasi menggunakan plat
kuningan. Antena yang telah difabrikasi
ditunjukkan pada Gambar 8. Setelah itu dilakukan
pengukuran antena untuk mendapatkan nilai return
loss, VSWR, gain, impedansi dan beamwidth
antena.
Hasil pengukuran terhadap return loss antena
slot waveguide ditunjukkan pada Gambar 9. Dapat
diamati bahwa pada marker 2 (MKRO2) di
frekuensi 9,4 GHz didapatkan nilai return loss = -
18,188 dB. Nilai ini telah memenuhi nilai yang
diinginkan.
Gambar 8. Antena waveguide 32 slot
Gambar 9. Grafik nilai return loss hasil pengukuran
Hasil pengukuran terhadap VSWR antena
slot waveguide ditunjukkan pada Gambar 10.
Pengamatan pada marker 2 (MKRO2)
memperlihatkan nilai VSWR yang diperoleh
sebesar 1,281 pada frekuensi 9,4 GHz. Nilai ini
telah memenuhi nilai yang diinginkan yaitu VSWR
≤ 1,5. Gambar 10 ini juga menunjukkan nilai
bandwidth antena berada pada rentang frekuensi
9,350 GHz pada marker 1 (MKRO1) dan frekuensi
9,4725 pada marker 4 (MKRO4). Bandwidth yang
dicapai pada nilai VSWR ≤ 1,5 adalah 122,5 MHz
atau 1,3%.
Dari hasil pengukuran terhadap antena slot
waveguide, pada Gambar 11 marker 2 (MKRO2) di
frekuensi 9,4 GHz diperoleh nilai impedansi
56,182+j11,616Ω. Nilai impedansi yang paling
baik yaitu 50 Ω adalah di frekuensi 9,436 GHz
yang ditunjukkan oleh marker 3 (MKRO3).
Pengukuran pola radiasi dilakukan dengan dengan
interval 1. Hasil pengukuran ditunjukkan pada
Gambar 12 dan Gambar 13 yang menunjukkan
bahwa antena slot waveguide ini mendapatkan
beamwidth dari 88,2o sampai 92,0 atau sebesar
3,8. Pengukuran beamwidth yang diambil adalah
ketika terjadi penurunan 3dB secara logaritmik
pada half power beamwidth yang menunjukkan
lebar berkas pancaran.
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
392
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
Gambar 10. Grafik nilai VSWR hasil pengukuran antena
Gambar 11. Grafik Smith Chart impedansi hasil pengukuran antena
Gambar 12. Grafik polar hasil pengukuran pola radiasi elevasi
antena slot waveguide
Gambar 13 Grafik kartesian hasil pengukuran beamwidth antena
slot waveguide pada frekuensi 9,4 GHz
Pengukuran gain dilakukan dengan
menggunakan antena horn 12 dB sebagai
referensi, menghasilkan nilai gain antena
waveguide 32 slot sebesar 19,44 dB. Dari hasil pengukuran, dapat diamati bahwa
beamwidth yang diperoleh adalah 3,8 yang berarti dapat memperbaiki nilai beamwidth pada antena slot waveguide 8 slot [7] dan 16 slot [8]. Selain itu nilai gain waveguide 8 slot sebesar 14,17 dB dan waveguide 16 slot sebesar 12,93 dapat ditingkatkan menjadi 19,44 dB pada antena waveguide 32 slot. IV. KESIMPULAN
Kesimpulan
Seluruh tahapan perancangan, realisasi,
pengukuran dan analisis antena waveguide 32 slot
telah dilakukan. Nilai VSWR dan return loss hasil
simulasi maupun pengukuran telah memenuhi
spesfikasi pada frekuensi kerja dan bandwidth yang
diperoleh pada pengukuran dengan VSWR < 1,5
adalah 122,5 MHz. Gain antena yang diperoleh
dari pengukuran sebesar 19,44 dB pada frekuensi
9,4 GHz. Half power beamwidth yang didapatkan
sebesar 3,8. Dengan demikian peningkatan jumlah
slot pada antena slot waveguide dapat memperbaiki
nilai beamwidth dan meningkatkan nilai gain
antena.
DAFTAR PUSTAKA
[1] A.A. Lestari, P. Hakkaart, J.H. Zijderveld, F. v.d.
Zwan, M. Hajian, L.P. Ligthart, “INDRA: the
Indonesian maritime radar,” Proc. 2008 European
Radar Conf. (EuRAD 2008), Amsterdam, The
Netherlands, Oct. 2008, pp 1600-1603
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
393
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
[2] M. Wahab, Y. Wahyu, Sulistyaningsih dan N. D.
Susanti, “Penelitian dan Pengembangan Radar
Pengawas Pantai ISRA Generasi IV”, Proceeding
Seminar Ilmu Pengetahuan Teknik 2012, pp 442-447
[3] M. Wahab, D. P. Kurniadi, T. T. Estu, D.
Mahmudin, Y. Y. Maulana, Sulistyaningsih,
“Development of Coastal Radar Network at Sunda
Strait”, TELKOMNIKA, Vol.14, No.2, June 2016,
pp. 507~514
[4] F. Oktafiani Y. P. Saputera, “Antena Patch Array
untuk Portable Coastal Radar pada Frekuensi S-
Band, Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi, Vol.
13, No. 1, Juni 2013, pp 18-22
[5] Y.Wahyu, Y. P. Saputera, I. D. P. Hermida, “Array
Planar Antenna Using Thick Film on Alumina
Substrate for X band Radar”, The 7th National
Radar Seminar and The 2ndInternational
Conference on Radar, Antenna, Microwave,
Electronics and Telecommunications (ICRAMET)
[6] F. Y. Zulkifli, Y. Wahyu, Basari, dan E. T.
Rahardjo, “Pengembangan Antena Mikrostrip
Susun untuk Radar Pengawas Pantai”, Jurnal
Elektronika dan Telekomunikasi, Vol. 13, No. 2,
Desember 2013, pp 55-59
[7] F.Y. Zulkifli, E. T. Rahardjo. U. Ulya, Y. Wahyu,
“Pengembangan Antena Waveguide 8 slot untuk
Aplikasi Radar Pengawas Pantai”, Jurnal
elektronika dan telekomunikasi Vol 12 no 1, 2012
pp 53-57
[8] R. K. Landyanto, T. A. Riza, Y.Wahyu,
“Perancangan dan Realisasi Antena 16 slot
Waveguide pada Frekuensi X-band (9,4 GHz) untuk
Aplikasi Radar Pengawas Pantai, , IT Telkom
Journal on leT, Volume 1 Nomor 2 September
Tahun 2012
Gilbert, A. Roland. Antena Engineering Handbook. New
York : McGraw-Hill, 2007.
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
394
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
Perbandingan hasil simulasi dan Real Plant Pada Sistem Pasteurisasi dengan Pengendali PID CASCADE
Yulian Zetta Maulana
Teknik Elektro, Fakultas Teknik Telekomunikasi dan Elektro, Institut Teknologi Telkom Purwokerto
Jl. DI Panjaitan 128, 53147, Purwokerto, Indonesia
ABSTRAK
Pengontrolan suhu pada sistem pasteurisasi dibutuhkan agar susu yang dihasilkan memiliki
kualitas yang bagus. Salah satu jenis pengontrolan yang digunakan pada sistem pasteurisasi adalah PID
Cascade. Pada sistem ini, output temperatur yang berupa temperatur pemanas menjadi input sistem yang
lain. Di saat yang bersamaan, identifikasi sistem pasteurisasi dibutuhkan agar simulasi pengontrolan bisa
dijalankan untuk jenis pengontrolan yang berbeda-beda. Salah satu metode identifikasi yang biasa
digunakan adalah dengan mengambil model matematika yang meminimalkan nilai Sum Squared Error.
Tetapi walaupun nilai Sum Squared Error dari hasil identifikasi sistem menunjukkan nilai yang kecil, dan
pada saat dilakukan simulasi tanpa pengonrol menunjukkan hasil yang sesuai, performansi simulasi bisa
jadi berbeda saat sistem diberi pengontrol. Pada penelitian ini, dilakukan proses identifikasi sistem pada
sistem yang belum dikontrol dan hasilnya digunakan untuk melakukan simulasi pada sistem yang
menggunakan pengontrol. Dari identifikasi sistem tersebut, maka akan dibandingkan dengan hasil pada
real plant. Dari hasil simulasi, ditemukan nilai rise time adalah 585 detik, sementara nilai pada plant
realnya adalah 251 detik. Nilai Time peak pada simulasi adalah 911 detik, sementara pada real Plantnya
adalah 550 detik. Maksimum Overshoot pada simulasi adalah 44,95 %, sementara pada real time adalah
53,17%. Nilai settling time 5 persen untuk simulasi adalah 1688 detik, sementara pada real time adalah
856 detik. Mean Squared Error setelah rise time pada Real Plant adalah 7,45. Sedangkan pada simulasi
adalah 11,51. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa simulasi sistem dengan menggunakan hasil
identifikasi sistem menunjukkan pola grafik yang mirip dengan real plant. Namun hasil simulasi
menunjukkan nilai delay yang lebih besar.
Kata kunci –Pasteurisasi, Identifikasi sistem, PID Cascade, Sum Squared Error
ABSTRACT Temperature control in the pasteurization system is needed so that the milk produced has a good quality.
One type of control used in pasteurization systems is a Cascade PID. In this system, the temperature output
in the form of a heating temperature becomes an input for another systems. At the same time, the
identification of the pasteurization system is needed so that controlling simulations can be carried out for
different types of controls. One of the commonly used identification methods is to take a mathematical
model that minimizes the Sum Squared Error value. But even though the Sum Squared Error value of the
system identification results shows a small value, and when simulated without a controller shows the
appropriate result, the simulation performance may be different when the system is controlled. Therefore,
in this study, the process of identifying the system on a system that has not been controlled and the results
used to simulate at system that uses the controller. From the identification of the system, we compared with
the results in the real plant. From the simulation results,we found the rise time value is 585 seconds, while
the rise time of the real plant value is 251 seconds. The peak time value of the simulation is 911 seconds,
while in the real Plant, the value is 550 seconds. Maximum Overshoot on simulation is 44.95%, while at the
real time is 53.17%. The settling time value of 5 percent for the simulation is 1688 seconds, while in real
time is 856 seconds. Mean Squared Error for the real plant is 7,45, while in simulation is 11,51. From the
results of the study, we found that the simulation of the system by using the results of identification system
shows a graph pattern similar to real plant. But the simulation results show a larger delay value.
Keywords-Pasteurization, System Identification, PID Cascade, Sum Squared Error.
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
395
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
Metoda Produk Suhu Waktu
Vat Pasteuruzation Susu 62,8 °C 30 menit
High Temperature Short Time SUsu 71,7 °C 15 detik
88,3 °C 1 detik
90 °°C 0,5 detik
93,8 °C 0,05 detik
SUsuHigher Heat Shorter Time
I. PENDAHULUAN
Dalam dunia industri pasteurisasi susu,
dibutuhkan suatu proses pemanasan dan
pendinginan produk. Proses pemanasan dilakukan
untuk mematikan mikroba pathogen pada susu,
sementara proses pendinginan dilakukan agar
produk bisa dimasukkan ke dalam kemasan.
Sehingga kecepatan proses pasteurisasi sangat
menentukan berapa banyak produk yang dapat
dibuat. Di mana banyaknya produk yang bisa
dibuat akan berbanding lurus dengan laba industri
pasteurisasi susu. Pengontrolan yang efisien pada
proses pasteurisasi sangatlah dibutuhkan.
Di sisi lain, industri pasteurisasi susu juga
harus memastikan bahwa produk susu yang
dihasilkan adalah aman untuk dikonsumsi
masyarakat. Dengan tetap memperhatikan
kandungan gizi di dalam susu yang diproduksi.
Proses pasteurisasi ini sangat penting dan banyak
digunakan pada industri susu, yogurt dan keju.
Setiap pemanasan susu memiliki lama waktu
pemanasan yang berbeda, sehingga pengontrolan
pada sistem pasteurisasi dapat dikategorikan
sebagai pengontrolan kritis. Berikut adalah tabel
pasteurisasi susu dan lama pemanasan berdasarkan
temperatur yang dicapai.
Tabel 1. Lama pemanasan pada pasteurisasi[1]
Proses pasteurisasi menghilangkan mikroba
patogen dengan memanaskan produk dengan temperatur 71,7° dalam waktu 15 detik atau biasa disebut HTST (High Temperature Short Time). Untuk mencapai temperatur yang tinggi dalam waktu singkat diperlukan sistem kontrol agar produk yang dihasilkan semakin terjamin keamanannya untuk dikonsumsi. Sedangkan untuk bisa mengaplikasikan sistem kontrol tersebut untuk berbagai jenis pengontrol, dibutuhkan identifikasi sistem sehingga performansi pengontrol tidak harus langsung diterapkan pada plant, melainkan bisa dilakukan simulasi terlebih dahulu. Sehingga, setelah diperoleh hasil yang optimal pada simulasi, parameter pengotnrol yang sama bisa diterapkan pada real Plant.
II. METODE PENELITIAN
A. Studi Literature
Pada penelitian dengan judul temperatur
control system using ANFIS, Berto Maria isabel
dkk.[2] membandingkan pengontrolan temperatur
pada mesin pasteurisasi juice. Jenis pengontrol
yang dibandingkan adalah pengontrol PID
feedback dan PID feedback feedforward.
Kontribusi yang diberikan Maria Isabel dalam
penelitian ini adalah hasil perbandingan
performansi pengontrol pada plant pasteurisasi,
walaupun plant pasteurisasinya adalah untuk
pasteurisasi jus. Hasil penelitian menunjukkan
tidak ada perbedaan performansi yang signifikan
saat temperatur dikontrol menggunakan metoda
PID feedback dan PID feedback feedforward.
Pada penelitian selanjutnya Wan Moktar
meneliti tentang Performansi pengontrol PID pada
alat penukar panas pada mesin pasteurisasi buah
puree jambu[3]. Ada 4 tipe tuning PID yang
dilakukan. Perbandingan dilakukan pada simulasi
dan eksperimen. Hasilnya menunjukkan bahwa
pengontrol PID dengan tuning minimalisasi IAE
memiliki performansi paling baik. Namun masih
terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil
simulasi dengan hasil eksperimen.
Penelitian selanjutnya adalah Tugas akhir
yang dilakukan oleh Ratih Rizki Dahlia dan Nur
afifah[4]. Penelitian menggunakan plant
pasteurisasi dan membandingkan performansi
pengontrol PID SIMRC, PID cohen coon dengan
pengontrol PID cascade. Plant yang digunakan
sama dengan plant yang digunakan pada tesis ini.
Pengontrol yang digunakan adalah PLC. Hasilnya
menunjukkan PID cascade memiliki performansi
paling baik.
B. Sistem Pasteurisasi
Proses pengontrolan pada plant ini
menggunakan menggunakan PLC. Namun program
PID, tidak akan diprogram menggunakan ladder
diagram pada PLC. Algoritma PID Cascade dibuat
Matlab. Ladder diagram pada PLC pada penelitian
ini lebih berfungsi sebagai interface alamat-alamat
pada OPC dengan Sensor pada plant. Komunikasi
antara PLC dan MATLAB akan menggunakan
OPC kepserverex. [5].Diagram sistem pasteurisasi
dapat dilihat pada gambar 1.
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
396
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
Gambar 1. Diagram sistem Pasteurisasi[6]
Sensor yang dihubungkan dengan OPC
kepserver adalah sensor temperature pada holding
tube (T1) dan sensor temperatur pada tangki
pemanas (T2). Sensor tersebut akan terhubung
dengan PORT PLC input analog. PLC kemudian
akan melakukan program untuk menghubungkan
antara input dari sensor dengan input pada OPC.
Kedua Jenis variabel tersebut akan dimasukkan ke
dalam OPC kepserverex menggunakan kabel
komunikasi RS232 dengan protocol DF1[6]. Pada
OPC kepserver, variabel tersebut akan dimasukkan
ke dalam program Matlab. Pada Matlab kemudian
akan dirancang algoritma PID Cascade yang sesuai
dengan set poin yang diinginkan. Output dari
Matlab akan berupa variabel untuk memberikan
nilai analog pada pemanas. Variabel tersebut akan
dikirimkan ke OPC lalu kembali dikirim ke PLC.
Output analog pada PLC akan mengirimkan sinyal
tegangan pada pemanas.
Kontrol secara otomatis adalah
membandingkan antara output aktual (hasil
pengukuran oleh sensor) dengan set point (nilai
besaran yang diinginkan) untuk memberikan sinyal
kontrol U pada aktuator yang akan mengurangi
deviasi (output dengan set point) menjadi nol atau
sekecil mungkin sehingga output menjadi sama
dengan set point yang diinginkan. Pada penelitian
ini digunakan PID Cascade di mana output dari 1
proses menjadi input bagi proses yang lain. Block
diagram PID cascade dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Blok Diagram PID Cascade
Pengendali PID Cascade memiliki keunggulan
dibandingkan dengan single control karena respon
keluaran dari single control seringkali tidak sesuai
dengan yang diharapkan. Sehingga terdapat
penambahan variabel sekunder di dalam
pengendalian plant. Oleh karena itu, dengan
adanya pengendali sekunder, pengendali dapat
mengatasi gangguan pada loop sekunder
Tabel tuning untuk PID cascade pada loop primer
dan sekunder dapat dilihat di tabel 2.[8]
Tabel 2. Penalaan PID Cascade
Di mana K1 adalah gain sistem primer, τ1
merupakan konstanta waktu sistem primer, dan θ1
waktu tunda sistem primer. Sedangkan K2 adalah
gain sistem sekunder, τ2 merupakan konstanta
waktu sistem sekunder, dan θ2 waktu tunda sistem
sekunder.
D. Identifikasi sistem
Sistem yang diidentifikasi adalah sistem
pasteurisasi di mana hubungan antara Temperatur
output akan diukur dan dibandingkan dengan
masukan pada pemanas. Hasil identifikasi tersebut
akan digunakan untuk menentukan parameter
pengontrol. Identifikasi sistem dilakukan untuk
memperoleh fungsi transfer yang digunakan untuk
merancang pengontrol yang paling tepat untuk
digunakan pada plant pasteurisasi.Lalu dilakukan
proses penyesuaian model matematika dengan
model input output yang diperoleh. Persamaan
matematikanya dipilih berdasarkan nilai Sum
Squared error terkecil. Di mana model fungsi
transfer yang akan dipilih adalah model yang
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
397
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
memiliki nilai kesesuaian paling tinggi dengan nilai
perbandingan input dan output secara real.
Digunakan sum square error (SSE) untuk
menentukan model mana yang memiliki SSE
terkecil[9].
Hasil identifikasi sistem tersebut akan
dibandingkan performansinya dengan hasil pada
real plant pasteurisasinya. Dari perbandingan
tersebut dilihat berapa besar kehandalan dari
identifikasi sistem tersebut.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Perancangan Identifikasi Sistem
Identifikasi dilakukan dengan memberikan
input daya pemanas sebesar 20,75% dari daya
maksimal. Sehingga daya yang diberikan adalah
0,3465 kW. Nilai 0,3465 kW diperoleh dengan
memberikan nilai 3400 pada Input. Input diberikan
pada Matlab. Dari Matlab, nilai tersebut akan
dikirim ke OPC, lalu ke PLC, dan dari output
analog PLC akan dikirim ke pemanas. Nilai
integer maksimal dari PLC untuk pemanas adalah
16383 yang menyatakan daya pemanas sebesar
100%
Hasil yang diperoleh adalah bentuk kurva yang
menyatakan hubungan temperatur T2 (temperatur
fluida panas) terhadap daya pemanas dan
temperatur T1 (Holding temperatur) terhadap daya
pemanas. Agar penguatan atau gain mendekati nilai
1, maka terdapat faktor pengali dan pembagi pada
Matlab. Output temperatur yang diukur oleh
thermocouple berada pada range 0 sampai 16383
yang menyatakan suhu antara 0-150 °C. Hal itu
berarti nilai 1 °C ekivalen dengan pembacaan nilai
integer sensor suhu sebesar 109,22.
Nilai T1 awal disamakan pada temperatur 36
°C yang berarti pembacaan sensor pada waktu itu
sebesar 3932. Sehingga pada saat pembacaan nilai
output dari sensor yang terbaca di Matlab akan
dikurangi dengan nilai 3932. Sementara nilai T2
awal disamakan pada temperatur 40 °C yang
berarti pembacaan sensor pada saat itu sebesar
4369. Sehingga pada kondisi awal, nilai sensor
suhu yang mengukur T2 dikurangi dengan nilai
4369.
B. Fungsi Transfer T2 dan T1 terhadap Heater
Dari hasil percobaan, diperoleh grafik fungsi
transfer T2 dan T1 terhadap input heater. Setelah
dilakukan pemanasan dengan membuat nilai flow
aliran air dingin dibuat konstan sebesar 150
ml/menit dan flow air panas sebesar 61,03% dari
flow maksimal, maka diperoleh kurva seperti pada
gambar 3.
Gambar 3. Respon Fungsi T2 dan T1 terhadap
Heater
Dari kurva di atas dilakukan analisis untuk
mencari respon fungsi transfer antara T2 dengan
pemanas dan T1 dengan pemanas. Dengan
menggunakan Metode Sum Squared Error, dicari
nilai respon fungsi transfer yang memiliki nilai
kesesuaian terbaik dengan hasil percobaan. Dari
grafik sebenarnya sudah diperoleh besar dari dead
time-nya sehingga dead time dibuat sesuai dengan
apa yang diperoleh pada grafik.
Fungsi transfer T2 terhadap pemanas yang
diperoleh adalah untuk sistem untuk orde 1:
15.1071
98347.0)(
22
1
s
esG
s
(IV.1)
C. Fungsi Transfer T1 terhadap T2
Sementara untuk mencari fungsi transfer antara
T2 dengan T1, nilai T2 dibuat konstan. Walaupun
pada kenyataannya nilai T2 akan mengalami
penurunan saat nilai T1 naik karena terjadi transfer
kalor di anatara fluida panas dengan fluida dingin.
Grafik hubungan antara nilai T2 dengan nilai T1
dapat dilihat pada gambar IV.4.
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
398
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
1886.82
6407.0)(
30
2
s
esG
s
Gambar 4 Respon T1 terhadap T2
Dari grafik, persamaan fungsi transfer yang
menghubungkan antara T2 dengan T1 adalah
PEMBAHASAN
A. Perfomansi sistem menggunakan PID cascade pada sistem asteurisasi
Dari data didapatkan nilai maksimum overshoot
53,17 %, dengan rise time sebesar 251 s. Nilai
settling time bisa diperoleh di mana settling time
untuk error 5% sebesar 856 s dan settling time
untuk error 2% sebesar 956 s. Overshoot yang
terjadi pada PID Cascade sangat besar. Hal ini
terjadi karena saat start awal, pemanas tidak
berhenti memanaskan sebelum Suhu fluida yang
dipanaskan tercapai walaupun suhu fluida panas
sudah sangat panas. Pada saat yang bersamaan,
masih ada dead time yang terjadi saat transfer
panas dari fluida panas ke fluida dingin. Sehingga
saat pemanas sudah tidak diberi daya full, proses
transfer panas masih terjadi. Mean square error
setelah rise time adalah 7.45.
Dari gambar 5 terlihat bahwa sistem yang
dikontrol dengan PID cascade mengalami
overshoot yang sangat besar. Dead time pada
proses transfer kalor dari fluida panas ke fluida
dingin lebih besar dibandingkan dengan
dead time pada proses pemanasan fluida panas.
Sehingga saat pemanas diaktifkan, maka nilai T2
(temperature fluida panas) akan naik terlebih
dahulu dibandingkan T1 dengan rentang perbedaan
yang cukup jauh. Sementara pada saat pemanasan
awal nilai input pemanas adalah hasil kali dari error
sekunder dengan gain proporsional sistem
sekunder. Sementara set poinnya adalah hasil kali
error sistem primer dengan gain proporsional
sistem primer. Set poin di keadaan awal sangat
tinggi yang memaksa pemanas bekerja terus
menerus pada keadaan maksimalnya. Pemanas
akan terus bekerja maksimal sampai pada suatu
keadaan di mana nilai T1 sudah mendekati nilai set
poinnya. Namun saat itu nilai T2 sudah sangat
tinggi sehingga walaupun pemanas sudah
dimatikan, transfer panas dari T2 ke T1 masih terus
terjadi. Sehingga mengakibatkan nilai T1 masih
terus menerus naik walaupun pemanas sudah
dimatikan.
Pada saat nilai T2 sudah mengalami penurunan,
maka nilai T1 juga akan menurun. Ketika nilai T1
sudah berada di bawah set poin, maka pemanas
akan kembali bekerja. Namun karena proses waktu
tunda pada saat transfer panas antara fluida T2
dengan T1, maka suhu T1 masih terus menurun
untuk beberapa saat walaupun pemanas sudah
bekerja kembali.Respon sistem dapat dilihat pada
gambar 5.
Gambar 5 Respon sistem menggunakan PID
cascade
Secara umum performansi pengendali PID
cascade memiliki 2 keadaan yang cukup kontras.
Pada keadaan awal di mana temperatur menuju
keadaan steady state, performansinya sangat buruk.
Maksimal overshoot yang terjadi sangat besar.
Daya yang digunakan pun sangat tinggi. Pada
keadaan ini nilai MSEnya juga paling besar.
Namun ketika keadaan sudah berada dalam
keadaan steady, sistem memiliki performansi yang
sangat bagus.Nilai settling time untuk error 2%
relative cepat. Daya yang digunakan cukup kecil,
serta nilai MSEnya kecil.
B. Performansi sistem menggunakan Simulasi
Hasil Simulasi dapat dilihat pada gambar 6.
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
399
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
Gambar 6. Respon simulasi sistem
menggunakan PID cascade
Dari data didapatkan nilai maksimum
overshoot 44,95 %, dengan rise time sebesar 251
s. Nilai settling time bisa diperoleh di mana settling
time untuk error 5% sebesar 1688 s dan settling
time untuk error 2% sebesar 956 s. Hasil simulasi
menunjukka performansi yang lebih lambat
daripada hasil pada real Plant. Tapi pola grafiknya
adalah sama. Hal ini berarti perlu dilakukan
modifikasi pada proses identifikasi sistem. Pada
gambar simulasi 6 terlihat sistem memiliki
overshoot lebih kecil jika dibandingkan dengan real
plant. Perbandingan performansi pada real plant
dengan simulasi dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan Hasil Simulasi
Dan Real Plant
Parameter Real Simulasi
Overshoot 53,17% 44,95%
Rise time 251 s 585 s
Peak time 550 s 911 s
settling time 5% 856 s 1688 s
settling time 2% 956 s 2152 s
MSE setelah rise time 7,45 11,51
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil simulasi PID Cascade
pada sistem pasteurisasi dan perbandingannya
dengan Real Plantnya adalah:
1. Hasil simulasi maupun hasil real plantnya
menunjukkan nilai overshoot yang sangat
tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa PID
Cascade kurang tepat diterapkan pada
proses pasteurisasi.
2. Secara umum performansi hasil simulasi
menunjukkan hasil yang lebih buruk
dibandingkan hasil pada real plant. Hal ini
menunjukkan bahwa identifikasi sistem
untuk sistem masih belum optimal.
3. Pada saat sistem sudah stabil, nilai
MSEnya menunjukkan nilai yang kecil.
Hal itu berarti sistem PID Cascade cocok
diterapkan hybrid dengan pengontrol lain,
di mana PID Cascade akan digunakan saat
sistem sudah stabil.
Saran
1. Identifikasi sistem dilakukan
menggunakan orde yang lebih besar
daripada satu.
2. Identifikasi sistem dilakukan dengan
menggunakan metode lain
3. Optimasi pada sistem pasteurisasi
dilakukan dengan pengontrol lain yang
tidak menimbulkan overshoot yang terlalu
besar.
DAFTAR PUSTAKA
[9] Wilson GS. The Pasteurization of Milk. Br Med J.
1943;1 (4286):261-262
[10] Berto, Maria Isabel, Silveira Vivaldo, Jr. Configuration of PID/feedback and PID/Feedback/Feedforward Controllers in temperatur control of a HTST Heat Exchanger.2012. Journal 4th mercosur congress on process sistem engineering.
[11] Mokhtar, Wan, F.S. Taip, N. Aziz, Abdul, S.B. Mohd Noor. Process Control of Pink Guava Puree Pasteurization Process: Simulation and Validation by Experiment. 2012. International Journal on Advanced Science, Engineering, Information Technology vol 2 (2012) No 4. ISSN: 2088 5334
[12] Dahlia, Rizki Ratih dan Afifah, Nur. 2015. Perancangan Otomasi dan Pengontrol Pada Miniatur Proses pasteurisasi Dengan Menggunakan PLC. Tugas akhir. Departemen Teknik Fisika. Institut Teknologi Bandung.
[13] OPC Foundation. What is OPC. September 2006. www.OPCFoundation.org/Default.aspx/01_about/01_whatis.asp?MID=AboutOPC
[14] “PCT23MkII : Process Plant Trainer (Process Control Trainer).” [Online]. Available: http://discoverarmfield.com/en/products/view/pct23/process-plant-trainer-process-control-trainer.
[15] Zhang Lieping, Zeng Aiqun, Zhang Yunsheng. 2007. On Remote Real-time Communication between MATLAB and PLC Based on OPC Technology. Proceedings of the 26th Chinese Control Conference.
[16] S.P.Yongho Lee. PID controller tuning to obtain desired closed loop response sfor cascade control systems, Ind. Amp Eng. Chem. Res., vol. 37, no. 5, 1998.
[17] B.W.Bequette. ProcessControl: Modeling, Design, and Simulation. Prentice Hall Professional, 2003. New Jersey. USA
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO
400
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and
Creative Media, 11 Agustus 2018
401
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative
Media, 11 Agustus 2018
Perancangan dan Pembuatan Pembagi Tegangan untuk
Pengaturan Level Keluaran Sistem DSP Pada Aplikasi
Radar Pengawas Udara
Sulistyaningsih1,Yussi Perdana Saputera
2
1,2 Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
1,2 Kampus LIPI Gd 20 Lt 4, Jl Sangkuriang, Bandung 40135, Indonesia
Abstrak – Dalam sistem radar digital, pemrosesan sinyal digital (DSP) digunakan untuk membuat keputusan.
Setelah ada sinyal yang ditransmisikan, penerima mulai menerima sinyal kembali, yang berasal dari dekat
benda yang datang lebih dahulu karena waktu kedatangan diterjemahkan ke dalam kisaran target. Prosesor
sinyal menempatkan raster dari range bins selama periode waktu, dan sekarang harus membuat keputusan
untuk setiap range bins, apakah itu berisi objek atau tidak. Pengambilan keputusan ini terhambat oleh noise.
Noise dari atmosfer masuk ke dalam sistem melalui antena, dan semua elektronik di jalur sinyal radar
menghasilkan noise yang terlalu banyak. Hal pertama yang dilakukan adalah membuka bagian rangkaian
pembagi frekuensi yang terdapat pada DDS kit, setelah bagian rangkaian pembagi frekuensi di lepas dari DDS
kit, maka selanjutnya dilakukan proses penggambaran wiring diagram menggunakan software. Dalam tahapan
selanjutnya melakukan dua kali pengukuran pada pin IC rangkaian pembagi frekuensi yang sudah ditandai
kotak berwarna merah, kegiatan ini dilakukan untuk membandingkan hasil pengukuran pertama dan kedua
apakah terdapat perbedaan atau tidak apabila menggunakan signal generator yang berbeda. Pengukuran
pertama menghubungkan input rangkaian pembagi frekuensi dengan HP 8640B Signal Generator dan
pengukuran kedua menghubungkan input rangkaian pembagi frekuensi dengan Feel Tech FY6600
Function/Arbitary Waveform Generator. Selanjutnya output pada rangkaian pembagi frekuensi dihubungkan
dengan osiloskop untuk melihat sinyal keluaran dari IC pembagi frekuensi. Rangkaian pembagi frekuensi pada
DDS kit dapat bekerja dengan baik dengan membagi frekuensi dari sinyal input melalui pembagi satuan,
puluhan, ratusan, puluhan ribu, dan ratusan ribu.
Kata kunci – pembagi tegangan, DSP, radar, pengawas udara, DDS
Abstract – In digital radar systems, digital signal processing (DSP) is applied to make decisions. Once a signal
has been transmitted, the receiver begins to receive a return signal, which comes from near the object that
comes first because the arrival time is translated into the target range. The signal processor puts the raster of
range bins over a period of time, and now has to make a decision for each range of bins whether it contains an
object or not. This decision-making is hampered by noise. Noise from the atmosphere enters the system through
the antenna, and all the electronics in the radar signal path produce too much noise. The first thing to do is to
open the part of the frequency divider circuits contained in the DDS kit, after the frequency divider circuit part is
loose from the DDS kit, then the wiring diagram is deployed using the software. In the next stage, the
measurement in the IC pin frequency divider circuit that has been marked red box is done/should be done twice,
this activity is done to compare the first and second measurement results whether there is difference or not when
using different signal generator. The first measurement connects the input-frequency divider circuit with the HP
8640B Signal Generator and the second measurement connects the input of the frequency divider circuit with
Feel Tech FY6600 Function/Arbitary Waveform Generator. Next the output in the frequency divider circuit is
connected to the oscilloscope to see the output signal of the frequency divider IC. The frequency divider circuit
in the DDS kit can work well by dividing the frequency of the input signal through unit division, tens, hundreds,
tens of thousands, and hundreds of thousands.
Keywords - voltage divider; DSP; radar; air surveillance; DDS
I. PENDAHULUAN
Radar mentransmisikan sinyal radio pada
suatu objek yang berada pada jarak yang jauh dan
menganalisis sinyal pantulannya. Data yang dapat
dikumpulkan termasuk posisi dan pergerakan objek,
juga radar dapat mengidentifikasi objek melalui
402
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative
Media, 11 Agustus 2018
"signature"- refleksi berbeda yang dihasilkannya. Ada
banyak bentuk radar seperti continuous, CW,
Doppler, ground penetrating atau synthetic aperture
dan digunakan dalam banyak aplikasi dari kontrol lalu
lintas udara hingga prediksi cuacavarious table text
styles are provided. The formatter will need to create
these components, incorporating the applicable
criteria that follow.
II.METODE PENELITIAN
Radar Digital Signal Processing.
Dalam sistem radar digital, pemrosesan sinyal digital
(DSP) digunakan secara ekstensif. Pada ujung
pemancar untuk menghasilkan dan membentuk pulsa
transmisi, mengontrol pola pancar antena pada bagian
penerima, DSP melakukan banyak tugas kompleks,
termasuk STAP (Space Time Adaptive Processing) -
penghapusan clutter dan beamforming [1].
Tugas utama dari prosesor sinyal radar adalah untuk
membuat keputusan. Setelah ada sinyal yang
ditransmisikan, penerima mulai menerima sinyal
kembali, yang berasal dari dekat benda yang datang
lebih dahulu karena waktu kedatangan diterjemahkan
ke dalam kisaran target. Prosesor sinyal menempatkan
raster dari range bins selama periode waktu, dan
sekarang harus membuat keputusan untuk setiap
range bins, apakah itu berisi objek atau tidak.
Pengambilan keputusan ini terhambat oleh noise.
Noise dari atmosfer masuk ke dalam sistem melalui
antena, dan semua elektronik di jalur sinyal radar
menghasilkan noise yang terlalu banyak.
Sistem radar modern
Komponen utama radar modern adalah antena,
komputer RF dan sinyal generator. Tracking
Computer pada radar modern melakukan berbagai
fungsi. Dengan penjadwalan posisi antena yang sesuai
dan sinyal yang dikirim sebagai fungsi waktu,
melacak target dan menjalankan sistem tampilan [1].
Gambar 1. Diagram blok dari sistem radar modern
[1].
Bahkan jika atenuasi dari atmosfer dapat diabaikan,
kembalinya objek dari jarak yang jauh sangat lemah.
Pengembalian target sering tidak lebih kuat dari dua
kali tingkat noise level rata-rata. Cukup sulit untuk
menentukan suatu ambang untuk keputusan apakah
suatu puncak tertentu adalah noise atau target nyata.
Jika ambang batas terlalu tinggi maka ada target yang
ditekan yaitu, Probability of Detection (PD) akan
turun. Jika ambang batas terlalu rendah maka akan
terjadi noise puncak dilaporkan sebagai target yaitu,
Probability of False Alarms (PFA) akan naik.
Biasanya Probability of Detection memiliki
kemungkinan deteksi 90% dan tingkat suatu false
alarms yaitu 10-6
. Untuk mempertahankan (PFA)
yang dikenal sebagai Constant False Alarm Rate
(CFAR). Daripada mempertahankan ambang batas
pada titik tetap, sirkuit (CFAR) memeriksa satu range
bin setelah yang lainnya dan membandingkan signal
level yang ditemukan di sana dengan signal level
yang ditemukan di neighboring bins. Jika tingkat
noise level cukup tinggi (misalnya, karena curah
huajn), maka sirkuit (CFAR) akan menaikkan ambang
batas yang sesuai [1],[2].
Tugas Signal Prosesing [1]
Menggabungkan informasi radar pengawas
sekunder seperti yang berada di bandara dapat
meminta transponder pesawat untuk informasi
seperti ketinggian, nomor penerbangan, atau
keadaan bahan bakar. Pilot juga dapat
memberitahu sinyal marabahaya melalui
transponder. Ground dari radar sinyal prosesor,
mengkombinasi data dengan pengukuran
jangkauannya sendiri dan arah sudut, dan plot
bersama semuanya pada ruang lingkup yang
tepat.
Membentuk lintasan, dengan menghubungkan set
data yang diperoleh dalam pemindaian siklus
yang berurutan, radar dapat menghitung vektor
penerbangan yang menunjukan kecepatan
pesawat dan posisi yang diharapkan untuk
periode pemindaian berikutnya. Radar bandara
mampu melacak ratusan target secara
bersamaan, dan keselamatan penerbangan
sangat bergantung pada keandalan mereka.
Radar pelacak militer menggunakan informasi
ini untuk meletakkan atau mengarahkan
senjata rudal ke dalam beberapa titik tabrakan
yang dihitung.
Mengatasi ambiguitas dalam jarak atau
pengukuran Doppler, Tergantung pada Pulse
Repetition Frequency (PRF) radar, pembacaan
rentang, Doppler atau bahkan keduanya
ambigu. Sinyal prosesor menyadari hal ini dan
memilih (PRF) yang berbeda saat objek yang
dimaksud diukur lagi. Dengan set (PRF) yang
sesuai, ambiguitas dapat dihilangkan dan
posisi target yang sebenarnya dapat ditentukan.
Ground Clutter Mapping, Clutter adalah istilah
kolektif untuk semua blip yang tidak
diinginkan pada layar radar. Ground clutter
berasal dari bangunan, mobil, gunung, dll, dan
clutter map berfungsi untuk menaikkan
ambang keputusan di area-area di mana
diketahui sumber clutter berada.
403
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative
Media, 11 Agustus 2018
Waktu dan manajemen daya, Dalam suatu jendela
sekitar 60°x40°, phased array radar dapat
langsung mengalihkan posisi pancaran ke
posisi apapun di azimuth dan elevation. Ketika
radar ditugaskan untuk mensurvei sektornya
dan melacak lusinan target, terdapat bahaya
baik dari mengabaikan bagian sektor pencarian
atau kehilangan target jika rekaman jejak yang
sesuai tidak dapat diperbaharui tepat waktu.
Manajemen waktu berfungsi untuk menjaga
antrian prioritas dari semua tugas dan
menghasilkan jadwal untuk perangkat beam
steering. Manajemen daya diperlukan jika
sirkuit pemancar menjalankan bahaya
overheating. Jika tidak ada perangkat keras
cadangan maka satu-satunya cara untuk
melanjutkan operasi reguler adalah
menggunakan lebih sedikit daya bila lebih
sedikit daya yang diperlukan, misalnya untuk
melacak konfirmasi.
Melawan gangguan, Gangguan dapat berupa alam
atau buatan manusia. Gangguan alam bisa berupa
hujan deras atau badai hujan es, dan juga kondisi
propagasi bervariasi. Gangguan buatan manusia jika
dibuat dengan sengaja disebut jamming dan salah
satunya sarana penanggulangan elektronik.
III. HASIL PENELITIAN
Gambar 2. Diagram Blok Pengoperasian DSP Radar
[2]
DSP radar ini, bagian komputer berfungsi sebagai
pengatur on/off pada motor, kontrol sampling sinyal
beat, digital signal processing, dan streaming data
display PPI. Sedangkan bagian radar berfungsi
sebagai penghasil sinyal pemancar RF, beat, trigger,
dan clock [2].
Perancangan Hardware DSP
Wiring diagram rangkaian pembagi frekuensi yang
terdapat pada DDS kit ditunjukkan pada gambar 3.
Hal pertama yang dilakukan adalah membuka bagian
rangkaian pembagi frekuensi yang terdapat pada DDS
kit, setelah bagian rangkaian pembagi frekuensi di
lepas dari DDS kit, maka selanjutnya dilakukan
proses penggambaran wiring diagram menggunakan
software [2].
Gambar 3. Wiring diagram rangkaian pembagi
frekuensi [2]
Gambar 4. Rangkaian pembagi frekuensi yang
terdapat pada DDS kit.
Dalam tahapan selanjutnya melakukan 2 kali
pengukuran pada pin IC rangkaian pembagi frekuensi
yang sudah ditandai kotak berwarna merah, kegiatan
ini dilakukan untuk membandingkan hasil
pengukuran pertama dan kedua apakah terdapat
perbedaan atau tidak apabila menggunakan signal
generator yang berbeda. Pengukuran pertama
menghubungkan input rangkaian pembagi frekuensi
dengan HP 8640B Signal Generator dan pengukuran
kedua menghubungkan input rangkaian pembagi
frekuensi dengan Feel Tech FY6600
Function/Arbitary Waveform Generator. Selanjutnya
output pada rangkaian pembagi frekuensi
dihubungkan dengan osiloskop untuk melihat sinyal
keluaran dari IC pembagi frekuensi.
Pengukuran Pertama Menggunakan HP 8640B Signal Generator
Proses pertama menghubungkan HP 8640B Signal
Generator dengan rangkaian pembagi frekuensi
menggunakan kabel konektor N to N. Hal ini
bertujuan untuk mengetahui besaran frekuensi dan
amplitudonya dalam dBm. Dengan menggunakan
power supply 5V untuk memberi tegangan pada
rangkaian pembagi frekuensi. Kemudian Hubungkan
output RF pada HP 8640B Signal Generator dengan
input rangkaian pembagi frekuensi yang sudah diberi
404
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative
Media, 11 Agustus 2018
tegangan 5 V menggunakan kabel konektor N to
SMA. Lalu ukur menggunakan osiloskop pada bagian
input dan output pin IC dari rangkaian pembagi
frekuensi yang sebelumnya sudah di beri tanda
berwarna merah. Atur frekuensi pada HP 8640B
Signal Generator hingga 98.310 MHz seperti
pengukuran pada DDS kit minggu lalu. Pada saat
melakukan pengukuran, terdapat suatu kendala yaitu,
frekuensi pada HP 8640B Signal Generator tidak
dapat diatur untuk dinaikan atau diturunkan menjadi
98.310 MHz, tetap pada frekuensi 392 MHz pada
tampilan di spectrum analyzer, sehingga tidak dapat
melakukan pengukuran karena frekuensi pada HP
8640B Signal Generator terlalu besar.
Gambar 5. Pengukuran rangkaian pembagi frekuensi
menggunakan HP 8640B Signal Generator.
Pengukuran kedua menggunakan FeelTech FY6600 Function/Arbitary Waveform Generator
Hubungkan output pada FeelTech FY6600
Function/Arbitary Waveform Generator dengan input
rangkaian pembagi frekuensi yang sudah diberi
tegangan 5 V menggunakan kabel konektor N to
BNC. Lalu ukur menggunakan osiloskop pada bagian
input dan output IC dari rangkaian pembagi frekuensi
yang sebelumnya sudah di beri tanda berwarna merah.
Atur frekuensi hingga 98.310 MHz seperti
pengukuran sebelumnya. Pada saat melakukan
pengukuran, FeelTech FY6600 Function/Arbitary
Waveform Generator memiliki keterbatasan yaitu
hanya mampu menghasilkan frekuensi maksimum
hingga 30 MHz, tidak dapat dinaikan menjadi 98.310
MHz. Maka atur frekuensi maksimum hingga 30
MHz.
Gambar 6. Sinyal input frekuensi 30 MHz dari
pengukuran pada bagian sync out.
Sinyal output dari pengukuran IC ke-1 tipe SN74F74N.
(a). Sinyal output IC pin
5 dan 6 frekuensi 10
MHz
(b). Sinyal output IC pin 8
dan 9 frekuensi 7.5 MHz
Gambar 7. Sinyal output dari pengukuran IC ke-1 tipe
SN74F74N.
Sinyal output dari pengukuran IC ke-2 tipe SN74F74N.
(a). Sinyal output IC pin 5
dan 6 frekuensi 3.75
MHz
(b). Sinyal output IC pin 8
dan 9 frekuensi 1.875 MHz
Gambar 8. Sinyal output dari pengukuran IC ke-2 tipe
SN74F74N.
Sinyal output dari pengukuran IC ke-3 tipe M74HC393B1.
(a). Sinyal output IC pin 3
frekuensi 937.50 kHz
(b). Sinyal output IC pin 4
frekuensi 468.75 kHz
405
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative
Media, 11 Agustus 2018
(c). Sinyal output IC pin 5 frekuensi 234.37 kHz
Gambar 9. Sinyal output dari pengukuran IC ke-3 tipe
M74HC393B1
Sinyal output dari pengukuran IC ke-4 tipe M74HC393B1.
(a). Sinyal output IC pin 5
frekuensi 915.52 Hz
(b). Sinyal output IC pin 6
frekuensi 457.76 Hz
(a). Sinyal output IC pin
10 frekuensi 144.42 Hz
(b). Sinyal output IC pin
11 frekuensi 228.88 Hz
Gambar 10. Sinyal output dari pengukuran IC ke-4 tipe M74HC393B1.
Sinyal output dari pengukuran IC ke-5 tipe 74F00PC.
(a). Sinyal output IC pin 3 dan
11 frekuensi 937.50 kHz
(b). Sinyal output IC pin 6 dan 8
frekuensi 228.88 Hz
Gambar 11. Sinyal output dari pengukuran IC ke-5 tipe 74F00PC
Tabel 1. Pengukuran sinyal output dari ke lima IC
dalam rangkaian pembagi frekuensi.
Sinyal output Frekuensi Pembagi Keterangan
Pembagi
Pin 5 dan 6
IC Ke-1
SN74F74N
10 MHz ÷ 3 Satuan
Pin 8 dan 9
IC Ke-1
SN74F74N
7.5 MHz ÷ 4 Satuan
Pin 5 dan 6
IC Ke-2
3.75 MHz ÷ 8 Satuan
SN74F74N
Pin 8 dan 9
IC Ke-2
SN74F74N
1.875
MHz
÷ 16 Belasan
Pin 3 IC Ke-3
M74HC393B1
937.50
kHz
÷ 32 Puluhan
Pin 4 IC Ke-3
M74HC393B1
468.75
kHz
÷ 64 Puluhan
Pin 5 IC Ke-3
M74HC393B1
234.37
kHz
÷ 128 Ratusan
Pin 5 IC Ke-4
M74HC393B1
915.52 Hz ÷ 32.77
k
Puluhan
Ribu
Pin 6 IC Ke-4
M74HC393B1
457.76 Hz ÷ 65.5 k Puluhan
Ribu
Pin 11 IC Ke-
4
M74HC393B1
228.88 Hz ÷ 131 k Ratusan
Ribu
Pin 10 IC Ke-
4
M74HC393B1
144.42 Hz ÷
207.72k
Ratusan
Ribu
Pin 3 dan 11
IC Ke-5
74F00PC
937.50
kHz
÷ 32 Puluhan
Pin 6 dan 8
IC Ke-5
74F00PC
228.88 Hz ÷ 131 k Ratusan
Ribu
Dari tabel 1 diatas, diperoleh kesimpulan bahwa
rangkaian pembagi frekuensi pada DDS kit dapat
bekerja dengan baik dengan membagi frekuensi dari
sinyal input melalui pembagi satuan, puluhan,
ratusan, puluhan ribu, dan ratusan ribu.
IV. PEMBAHASAN
Dari hasil pengujian, Sinyal input dari pengukuran
pada bagian sync out memiliki frekuensi sebesar 30
MHz, pada frekuensi ini sinyal masih belum melewati
rangkaian pembagi frekuensi sehingga nilai frekuensi
yang terukur masih sama yaitu 30 MHz. Sinyal input
menunjukan bahwa sinyal berbentuk sinusoida. Sinyal
output dari pengukuran IC ke-1 tipe SN74F74N
menunjukan bahwa pada saat pengukuran sinyal
output IC pin 5 dan 6 frekuensi yang terukur sebesar
10 MHz karena telah melewati rangkaian pembagi
frekuensi bernilai satuan yaitu pembagi 3, sedangkan
pada sinyal output IC pin 5 dan 6 frekuensi yang
terukur sebesar 7.5 MHz karena telah melewati
rangkaian pembagi frekuensi bernilai satuan yaitu
pembagi 4, bentuk dari kedua sinyal output
menyerupai bentuk sinusoida tetapi tidak sempurna.
Sinyal output dari pengukuran IC ke-2 tipe
SN74F74N menunjukan bahwa pada saat pengukuran
sinyal output IC pin 5 dan 6 frekuensi yang terukur
sebesar 3.75 MHz karena telah melewati rangkaian
pembagi frekuensi bernilai satuan yaitu pembagi 8,
sedangkan pada sinyal output IC pin 8 dan 9 frekuensi
yang terukur sebesar 1.875 MHz karena telah
406
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative
Media, 11 Agustus 2018
melewati rangkaian pembagi frekuensi bernilai
belasan yaitu pembagi 16, bentuk dari kedua sinyal
output menyerupai bentuk pulsa tetapi tidak
sempurna. Sinyal output dari pengukuran IC ke-3 tipe
M74HC393B1 menunjukan bahwa pada saat
pengukuran sinyal output IC pin 3 frekuensi yang
terukur sebesar 937.50 kHz karena telah melewati
rangkaian pembagi frekuensi bernilai puluhan yaitu
pembagi 32, pada sinyal output IC pin 4 frekuensi
yang terukur sebesar 468.75 kHz karena telah
melewati rangkaian pembagi frekuensi bernilai
puluhan yaitu pembagi 64, dan pada saat pengukuran
sinyal output IC pin 5 frekuensi yang terukur sebesar
234.37 kHz karena telah melewati rangkaian pembagi
frekuensi bernilai ratusan yaitu pembagi 128. Bentuk
dari ketiga sinyal output menyerupai bentuk pulsa dan
terdapat noise sehingga tidak berbentuk pulsa
sempurna. Untuk sinyal output dari pengukuran IC
ke-4 tipe M74HC393B1 menunjukan bahwa pada saat
pengukuran sinyal output IC pin 5 frekuensi yang
terukur sebesar 915.52 kHz karena telah melewati
rangkaian pembagi frekuensi bernilai puluhanan ribu
yaitu pembagi 32.77k , pada sinyal output IC pin 6
frekuensi yang terukur sebesar 457.76 kHz karena
telah melewati rangkaian pembagi frekuensi bernilai
puluhanan ribu yaitu pembagi 65.5k, pada saat
pengukuran sinyal output IC pin 10 frekuensi yang
terukur sebesar 144.42 Hz karena telah melewati
rangkaian pembagi frekuensi bernilai ratusan ribu
yaitu pembagi 207.72k, dan pada saat pengukuran
sinyal output IC pin 11 frekuensi yang terukur sebesar
288.88 Hz karena telah melewati rangkaian pembagi
frekuensi bernilai ratusan ribu yaitu pembagi 131k.
Bentuk dari keempat sinyal output menyerupai bentuk
pulsa tetapi tidak berbentuk pulsa sempurna. Dan
sinyal output dari pengukuran IC ke-5 tipe 74F00PC
menunjukan bahwa pada saat pengukuran sinyal
output IC pin 3 dan 11 frekuensi yang terukur sebesar
937.50 kHz karena telah melewati rangkaian pembagi
frekuensi bernilai puluhan yaitu pembagi 32,
sedangkan pada sinyal output IC pin 6 dan 8 frekuensi
yang terukur sebesar 228.88 Hz karena telah melewati
rangkaian pembagi frekuensi bernilai ratusan ribu
yaitu pembagi 131k, bentuk dari kedua sinyal output
menyerupai bentuk pulsa tetapi tidak sempurna.
V. PENUTUP
Kesimpulan
Rangkaian pembagi frekuensi pada DDS kit dapat
bekerja dengan baik dengan membagi frekuensi dari
sinyal input melalui pembagi satuan, puluhan,
ratusan, puluhan ribu, dan ratusan ribu. Pada saat
menggunakan IC tipe ke 1, 2, dan 3, sinyal output
melewati rangkaian pembagi frekuensi dengan nilai
pembagi bilangan bulat yaitu pembagi 3, 4, 8, 16, 32,
64, 128. Dan saat menggunakan IC tipe 4 dan 5 sinyal
output melewati rangkaian pembagi frekuensi dengan
nilai pembagi pecahan desimal yaitu pembagi 32.77k,
65.5k, 131k, 207.72k, 32k dan 131k
Saran
Salah satu faktor yang menyebabkan gambar
sinyal yang terukur pada osiloskop tidak berbentuk
sempurna yaitu probe osiloskop yang longgar
sehingga mengakibatkan bentuk sinyal yang terukur
menjadi tidak sempurna, sehingga kedepannya dalam
penggunaan probe osiloskop ini perlu hati-hati agar
sinyal yang terukur dapat menunjukan bentuk yang
sempurna
ACKNOWLEDGMENT
Kegiatan penelitian ini untuk mendukung penelitian
yang didanai oleh kegiatan Insinas RistekDikti 2018.
DAFTAR PUSTAKA
[18] S.Bhaktavatsala, Dr Vikram M. Gadre, “DSP
APPLICATIONS IN RADAR” M. Tech Credit
Seminar Report, Electronic Systems Group, EE
Dept, IIT Bombay, Nov2002.
[19] Radar Documen Project, PT. Radar Telekomunikasi Indonesia, Arhanud TNI-AD Project, 2017.
[20] Skolnik, Merrill I., Introduction to Radar Systems. New York: McGraw-Hill, 1980.
Firooz Sadjadi, Mike Helgenson, Jeff Radke, Gunter
Stein, “ Radar Synthetic vision system for Adverse
Weather Aircraft Landing”, IEEE Transactions on
Aerospace and Electronic Systems,” Jan 1999, Vol
35, No.1, pp2-15.
407
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative
Media, 11 Agustus 2018
Rancang Bangun Antena Mikrostrip Patch lingkaran
untuk Aplikasi Global Positioning System (GPS)
Karunia Elisabeth Bulamey1, Eva Yovita Dwi Utami
2
1,2Program Studi Teknik Elektro, Universitas Kristen Satya Wacana
1,2 Jl. Diponegoro No 52-60, kota Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia 50711
Abstrak – Dalam perancangan ini dibuat antena mikrostrip bentuk patch lingkaran untuk aplikasi Global
Positioning System (GPS) pada frekuensi 1.575 GHz. Antena telah dirancang dan disimulasikan menggunakan
software simulator High Frequency Structure Simulator (HFSS) versi 13. Bahan yang digunakan yaitu FR4-
Epoxy dengan ketebalan substrat sebesar 1.6 mm ,ketebalan patch 0.03 mm, konstanta dielektrikum sebesar 4.6
. Dalam proses simulasi didapat hasil yaitu parameter S sebesar -19.7419 dB dengan bandwidth 30 Mhz
(1.5675-1.5975 Ghz), VSWR sebesar 1.2298, dan impedansi masukkan yang mendekati 50 . Gain yang
didapatkan yaitu sebesar 2.01 dB dengan bentuk pola radiasi directional. Setelah dilakukan pengujian
menggunakan Network analyzer Advantest R3770 (300 KHz – 20GHz) didapat hasil dari parameter-parameter
yang diuji antara lain parameter S sebesar -17.752 dB, VSWR sebesar 1.433, impedansi masukkan sebesar
45.289 yang mendekati 50 dan memiliki gain sebesar 2.67 dB dengan bentuk pola radiasi yang mendekati
pola directional . Hasil yang diperoleh dari simulasi dan pengujian yang telah dilakukan menyatakan bahwa
antena yang di rancang dapat bekerja dengan baik.
Kata kunci – antena mikrostrip, antena GPS, Parameter S, VSWR
Abstract— the design of circular microstrip antenna for Global Positioning System (GPS) using frequency 1.575
GHz. The antenna has designed and simulated using High Frequency Structure Simulator (HFSS) software
version 13. Material that used are FR4-Epoxy with substrate thickness 1.6 mm, patch thickness 0.03 mm, and
relative permittivity 4.6. The results of simulation are S parameter -19.7419 dB with 30 MHz bandwidth (1.5675
– 1.5975 GHz), VSWR 1.2298, and impedance value is approximately 50 Ohm. Gain obtained from simulation is
2.01 dB with directional radiation pattern. Network analyzer advantest R3770 (300 KHz – 20GHz) is used to
measure the value of S-parameters, VSWR and 45.289 for impedance that approaching 50 with gain 2.67
dB with radiaton pattern that approaching to directional pattern. The result that obtained from this simulation and
testing that has been performed states that the designed antenna can work properly.
Keywords – Microstrip antenna, GPS antenna, S parameter, VSWR
I. PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi informasi semakin
berkembang pesat dalam berbagai bidang.
Kepentingan navigasi menjadi salah satu bidang yang
menjadi sorotan perkembangan teknologi saat ini.
Melalui teknologi navigasi manusia dapat bertukar
informasi posisi atau lokasi dengan tepat dan akurat
tanpa perlu repot mencari secara manual.
Global Position System (GPS) merupakan sistem
yang mampu memberikan informasi posisi,
kecepatan, dan waktu secara akurat. GPS merupakan
salah satu aplikasi dalam bidang navigasi yang mudah
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
teknologi komunikasi satelit [1], GPS dapat
menyediakan informasi posisi dengan akurat dan
tepat. GPS yang digunakan untuk mengakses posisi
atau lokasi bekerja pada frekuensi 1.575GHz. GPS
sendiri sudah menjadi fitur yang tidak bisa lepas
kaitannya pada perangkat komunikasi, salah satunya
adalah telepon genggam.
408
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative
Media, 11 Agustus 2018
Dalam hal ini dibutuhkan sebuah antena
yang dapat digunakan untuk menerima
informasi navigasi dari satelit GPS. Antena
mikrostrip dipilih dalam perancang ini
karena dimensinya yang kecil,sehingga
mudah dipasangkan pada terminal pengguna
. Selain itu antena mikrostrip juga mudah
dalam proses fabrikasinya.
II. METODE PENELITIAN
Pada makalah ini akan dirancang Antena
Mikrostrip dengan bentuk patch lingkaran. Bahan
yang digunakan yaitu FR4-Epoxy yang mempunyai
ketebalan substrat (h) 1.6 mm, tebal patch (t)
0.03mm, dan memiliki nilai konstanta dielektrikum
( ) 4.6mm.
Spesifikasi Antena dalam perancangan agar
Antena dapat bekerja dengan baik yaitu sebagai
berikut :
Frekuensi kerja : 1.575 Ghz
Return loss : ≤ -10 dB
VSWR : ≤ 2
Impedansi masukkan : 50Ω Perancangan ini diinginkan antena yang bekerja
pada frekuensi 1.575 GHz dengan bentuk patch
lingkaran dengan radius patch dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan [2]
(1)
Dengan ;
a = dimensi radius circular (mm)
h = ketebalan substrat (mm)
= permitivitas dielektrik relatif substrat (F/m)
F = fungsi logaritmik elemen peradiasi
Sedangkan fungsi elemen peradiasi dapat dicari
dengan menggunakan persamaan [2]
(2)
Dengan ;
frekuensi kerja (GHz)
permitivitas dielektrik relatif substrat (F/m)
Saluran transmisi yang digunakan pada
antena yaitu inset feed yang panjangnya dapat dicari
menggunakan persamaan [3][4]
(3)
(4)
Untuk lebar patch dapat dicari menggunakan
persamaan [5]
(5)
Dengan ;
d = diameter (mm)
c = kecepatan cahaya diruang bebas (m/s)
t =tebal patch(mm)
= hambatan masukkan ( ).
Dengan menggunakan persamaan diatas dalam
mencari besaran-besaran yang dipakai dalam dimensi
antena didapat ukuran a= 23.548mm, = 14.12mm,
L= 22.7mm, dan W=2.96mm. hasil tersebut
dimasukkan dalam simulasi yang menggunakan
software simulator High Frequency Structure
Simulator (HFSS) versi 13.0. Setelah melakukan
simulasi, hasil yang didapat tidak sesuai dengan
spesifikasi antena. Agar mendapatkan hasil yang
sesuai dengan spesifikasi maka dilakukan optimasi
ulang dengan mengubah ukuran dan letak patch.
Apabila optimasi yang dilakukan sudah memenuhi
spesifikasi, maka ukuran yang dipakai saat simulasi
tersebut akan menjadi ukuran saat melakukan
fabrikasi.
Gambar 1(a) menunjukkan bentuk antena
rancangan dan besaran-besaran dimensi antena yang
telah didapatkan dari perhitungan dan optimasi,
Gambar 1(b) menunjukkan antena yang telah di
fabrikasi, dengan total dimensi 64.64mmx59.73mm.
409
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative
Media, 11 Agustus 2018
Gambar 1 (a). Rancangan Antena Mikrostrip yang
Akan di Rancang Bangun
Gambar 1(b). Antena Mikrostrip setelah di Fabrikasi.
III. HASIL PENELITIAN
Antena telah dirancang dan disimulasikan
menggunakan software simulator High Frequency
Structure Simulator (HFSS) versi 13.0. Gambar 2
menunjukkan hasil simulasi parameter S pada
frekuensi kerja. Parameter VSWR yang telah di
simulasikan ditunjukkan oleh Gambar 3. Impedansi
saluran antena dari hasil simulasi ditunjukkan oleh
Gambar 4. Dengan mengalikan 50 untuk parameter
RX dari grafik didapatkan nilai resistansi dan
reaktansi dari hambatan saluran antena. Gain antena
dari hasil simulasi ditunjukkan pada Gambar 5. Dan
pola radiasi dari simulasi ditunjukkan pada Gambar 6
dan Gambar 7. Untuk masing-masing hasil parameter
yang didapatkan dari simulasi, telah memenuhi batas
minimum yang diperlukan yaitu return loss sebesar -
19.7419 dB, VSWR sebesar 1.2298 dan impedansi
masukkan yang mendekati 50 . Gain yang didapat
sebesar 2.01 dB dengan bentuk pola radiasi
directional.
Gambar 2. Parameter S pada Frekuensi Kerja
Gamber 3. VSWR pada Frekuensi Kerja
Gambar 4. Impedansi Masukkan pada Frekuensi
Kerja
410
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative
Media, 11 Agustus 2018
Gambar 5 . Gain pada Frekuensi Kerja
Gambar 6. E-Plane Pola Radiasi pada Frekuensi Kerja
Gambar 7. H-Plane Pola Radiasi pada Frekuensi
Kerja
Gambar 8. Hasil pengukuran Return Loss
Gambar 9. Hasil pengukuran VSWR
Gambar 10. Hasil pengukuran Impedansi Masukkan
Gambar 11. Hasil pengukuran H-plane pola radiasi
pada frekuensi kerja
411
Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative
Media, 11 Agustus 2018
Gambar 12. Hasil pengukuran E-plane pola radiasi
pada frekuensi kerja
Network analyzer Advantest R3770 (300 KHz –
20GHz) digunakan untuk mengukur parameter S,
VSWR, dan impedansi masukkan antena yang telah di
Fabrikasi. Gambar 8 menunjukkan hasil pengukuran
parameter S pada frekuensi kerja yaitu -17.752 dB.
Nilai VSWR ditunjukkan oleh Gambar 9 yaitu 1.433
pada frekuensi kerja. Gambar 10 menunjukkan besar
hambatan saluran antena yang terukur yaitu 45.289 Ω.
Dengan bandwidth sebesar 30 Mhz (1.5675-1.5975
Ghz) diperoleh dari hasil pengukuran Parameter S dan
VSWR. Gain yang didapat dalam pengukuran ini
sebesar 2.67 dB dengan bentuk pola radiasi yang
mendekati directional. Hasil pengukuran parameter-
parameter antena yang telah didapat telah memenuhi
batas minimum untuk mencapai antena yang baik,
perbedaan hasil antara simulasi dan pengukuran dapat
disebabkan oleh ketidaksempurnaan proses fabrikasi
dan toleransi dari permitivitas substrat.
IV. PENUTUP
Kesimpulan
Telah dirancang bangun antena mikrostrip dengan
bentuk patch lingkaran untuk aplikasi GPS pada
frekuensi 1.575GHz. Hasil parameter yang telah
didapat dari simulasi dan pengukuran telah memenuhi
nilai minimum untuk masing Parameter S, VSWR,
hambatan saluran antena, gain, dan pola radiasi.
Perbedaan antara hasil simulasi dan pengukuran dapat
disebabkan oleh ketidaksempurnaan proses fabrikasi
dan toleransi dari permitivitas substrat
DAFTAR PUSTAKA
[1] Purnama. B. E. 2009 “Pemanfaatan Global
Positioning System Untuk Pelacak Objek
Bergerak”
[2] Balanis, C. A. 2005. Antenna Theory Analysis
And Design Third Edition, New Jersey: JWS,
2005.
[3] Kurniawan. D. F, Dahlan E. A, dan Pratama. A.
Y. “Antena Mikrostrip Circular Dual
Frekuensi”, Jurnal EECCIS Vol. IV, No. 1, Juni
2010.
[4] Leung, Martin. 2002. Microstrip Antenna Using
Mstrip40. Division of Management and
Technology University of Canberra Act 2601.
[5] Everything RF [online] available :
https://www.everythingrf.com/rf-
calculators/microstrip-width-calculator . diakses
pada tanggal 9 april 2018.