Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

38
CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO 374 Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative Media, 11 Agustus 2018 Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell Untuk Catu Daya Pada Node Wireless Sensor Network (WSN) Risa Farrid Christianti 1 , Dodi Zulherman 2 S1 Teknik Elektro 1 , S1 Teknik Telekomunikasi 2 , Fakultas Teknik Telekomunikasi dan Elektro, Institut Teknologi Telkom Purwokerto 1,2 Jl. D.I.Panjaitan no.128 Purwokerto, 53147, Jawa Tengah, Indonesia [email protected] Implementasi wireless sensor network (WSN) yang cukup pesat, sebagai bagian dari sistem Internet of Things (IoT), membutuhkan catu daya terkendali yang dapat beroperasi secara kontinyu dan adaptif. Perkembangan teknologi pembangkit listrik sel surya atau photovoltaic (PV) yang sangat pesat memberikan peluang sumber pencatuan bagi sistem WSN di daerah yang jauh dari layanan sistem kelistrikan konvensional. Namun implementasi sel surya secara konvensional memiliki efisiensi yang rendah, sehingga metode Maximum Power Point Tracker (MPPT) sering digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut. MPPT mampu mengoptimalkan kinerja sel surya sehingga menghasilkan efisiensi terbaik, dengan cara menjaga tegangan solar panel pada tegangan optimalnya (Vs =Vm), serta memaksimalkan transfer daya dari solar panel ke baterai. Karena daya pada keluaran konverter merupakan hasil perkalian Vb dan Ib, sedangkan tegangan baterai diasumsikan konstan selama siklus pengendalian. Dalam penelitian ini, dilakukan perancangan dan implementasi sistem pencatuan node WSN dengan sumber pencatuan dari sel surya dan rangkaian pengendalian MPPT adaptif. Perangkat berbasis mikropengendali diimplementasikan sebagai pengatur titik MPP sel surya dengan sistem kendali adaptif. Hasil sementara yang didapatkan adalah tegangan keluaran MPPT berfluktuasi antara 3,28V hingga 9,27V untuk jangkauan tegangan masukan 3,4 hingga 9,67V. Kata kunci Maximum Power Point Tracker, Buck Converter, Solar Cell, Sistem Adaptif, Node WSN AbstractThe rapid implementation of wireless sensor network (WSN), as part of the IoT system, requires a controlled power supply that can operate continuously and adaptively. The rapidly growing technology of solar cell or photovoltaic (PV) generating opportunities provides a power source for WSN systems in areas far from conventional electrical system services. But conventional solar cell implementations have low efficiency, so the Maximum Power Point Tracker (MPPT) method is often used to overcome these problems. MPPT is able to optimize the performance of solar cells to produce the best efficiency, by maintaining the solar panel voltage at its optimum voltage (V s = V m ), and maximizing the power transfer from the solar panel to the battery. Since the power at the converter output is the product of V b and I b , whereas the battery voltage is assumed to be constant during the control cycle. In this research, the design and implementation of WSN node power supply with solar cell as a power source and adaptive MPPT control circuit. The microprocessor based device is implemented as a solar cell MPP point regulator with adaptive methods. The interim results obtained are MPPT output voltage fluctuating between 3.28V to 9.27V for input voltage range 3.4 to 9.67V. Keywords- Maximum Power Point Tracker, Buck Converter, Solar Cell, Adaptive System, WSN node. I. PENDAHULUAN Kebutuhan energi untuk mensuplai teknologi Jaringan Sensor Nirkabel, atau dikenal dengan Wireless Sensor Network (WSN), adalah masalah utama yang akan ditangani dalam penelitian ini, untuk memberikan efektivitas dalam berbagai aplikasi yang luas dan durasi penggunaan yang lama. Jaringan Sensor Nirkabel atau dalam banyak literatur disebut Wireless Sensor Network (WSN) adalah sebuah jaringan yang menghubungkan beberapa perangkat

Transcript of Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

Page 1: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

374

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell Untuk Catu Daya Pada Node Wireless

Sensor Network (WSN)

Risa Farrid Christianti 1, Dodi Zulherman

2

S1 Teknik Elektro1, S1 Teknik Telekomunikasi

2, Fakultas Teknik Telekomunikasi dan Elektro,

Institut Teknologi Telkom Purwokerto 1,2

Jl. D.I.Panjaitan no.128 Purwokerto, 53147, Jawa Tengah, Indonesia

[email protected]

Implementasi wireless sensor network (WSN) yang cukup pesat, sebagai bagian dari sistem Internet of Things (IoT), membutuhkan catu daya terkendali yang dapat beroperasi secara kontinyu dan adaptif. Perkembangan teknologi pembangkit listrik sel surya atau photovoltaic (PV) yang sangat pesat memberikan peluang sumber pencatuan bagi sistem WSN di daerah yang jauh dari layanan sistem kelistrikan konvensional. Namun implementasi sel surya secara konvensional memiliki efisiensi yang rendah, sehingga metode Maximum Power Point Tracker (MPPT) sering digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut. MPPT mampu mengoptimalkan kinerja sel surya sehingga menghasilkan efisiensi terbaik, dengan cara menjaga tegangan solar panel pada tegangan optimalnya (Vs =Vm), serta memaksimalkan transfer daya dari solar panel ke baterai. Karena daya pada keluaran konverter merupakan hasil perkalian Vb dan Ib, sedangkan tegangan baterai diasumsikan konstan selama siklus pengendalian. Dalam penelitian ini, dilakukan perancangan dan implementasi sistem pencatuan node WSN dengan sumber pencatuan dari sel surya dan rangkaian pengendalian MPPT adaptif. Perangkat berbasis mikropengendali diimplementasikan sebagai pengatur titik MPP sel surya dengan sistem kendali adaptif. Hasil sementara yang didapatkan adalah tegangan keluaran MPPT berfluktuasi antara 3,28V hingga 9,27V untuk jangkauan tegangan masukan 3,4 hingga 9,67V. Kata kunci – Maximum Power Point Tracker, Buck Converter, Solar Cell, Sistem Adaptif, Node WSN

Abstract— The rapid implementation of wireless sensor network (WSN), as part of the IoT system, requires a controlled power supply that can operate continuously and adaptively. The rapidly growing technology of solar cell or photovoltaic (PV) generating opportunities provides a power source for WSN systems in areas far from conventional electrical system services. But conventional solar cell implementations have low efficiency, so the Maximum Power Point Tracker (MPPT) method is often used to overcome these problems. MPPT is able to optimize the performance of solar cells to produce the best efficiency, by maintaining the solar panel voltage at its optimum voltage (Vs = Vm), and maximizing the power transfer from the solar panel to the battery. Since the power at the converter output is the product of Vb and Ib, whereas the battery voltage is assumed to be constant during the control cycle. In this research, the design and implementation of WSN node power supply with solar cell as a power source and adaptive MPPT control circuit. The microprocessor based device is implemented as a solar cell MPP point regulator with adaptive methods. The interim results obtained are MPPT output voltage fluctuating between 3.28V to 9.27V for input voltage range 3.4 to 9.67V.

Keywords- Maximum Power Point Tracker, Buck Converter, Solar Cell, Adaptive System, WSN node.

I. PENDAHULUAN

Kebutuhan energi untuk mensuplai teknologi Jaringan Sensor Nirkabel, atau dikenal dengan Wireless Sensor Network (WSN), adalah masalah utama yang akan ditangani dalam

penelitian ini, untuk memberikan efektivitas dalam berbagai aplikasi yang luas dan durasi penggunaan yang lama. Jaringan Sensor Nirkabel atau dalam banyak literatur disebut Wireless Sensor Network (WSN) adalah sebuah jaringan yang menghubungkan beberapa perangkat

Page 2: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

375

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

seperti sensor node, router dan sink node. Perangkat ini terhubung secara ad-hoc dan digunakan untuk komunikasi multi-hop. Istilah ad-hoc mengacu pada kemampuan perangkat untuk berkomunikasi satu sama lain secara langsung tanpa menggunakan infrastruktur jaringan seperti router atau acces point. Sedangkan node sensor atau node WSN adalah simpul (node) dalam jaringan sensor yang mampu melakukan beberapa pemrosesan, antara lain mengumpulkan informasi sensorik dan berkomunikasi dengan node lain yang terhubung dalam jaringan nirkabel. Arsitektur dari node WSN adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Arsitektur Node Wireless Sensor Network.

Pada kenyataannya, node-node WSN

kebanyakan diaplikasikan pada penggunaan di

lapangan (outdoor) dalam durasi waktu operasi

yang lama, namun hanya menggunakan baterai

atau accu sebagai catu dayanya. Masih sangat

jarang yang menggunakan pasokan sumber energi

eksternal. Di sisi lain, node WSN merupakan ujung

tombak sistem WSN yang membutuhkan performa

kinerja yang tinggi sebagai pusat informasi dalam

suatu sistem komunikasi.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka diharapkan

ada suatu sistem yang dapat membuat node WSN

bekerja secara optimal dan mampu bekerja dalam

waktu operasi yang lama. Untuk itulah dibutuhkan

sumber energi yang mampu mensuplai baterai agar

node WSN selalu didukung dengan catu daya yang

dapat bertahan lama dengan memanfaatkan energi

surya.

Pada penelitian ini, difokuskan pada pemanfaatan energi surya sebagai catu daya, melalui solar cell yang dikendalikan oleh rangkaian MPPT. Penggunaan rangkaian MPPT sebagai kendali catu daya pada node WSN, diharapkan dapat mentransfer energi surya seefektif mungkin dari solar cell ke baterai sebagai

media penyimpan energi, dengan menggunakan algoritma sistem adaptif.

II. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode eksperimental

dan cross sectional time dengan durasi waktu

penelitian satu tahun. Penelitian juga menggunakan

penjelasan deskriptif untuk menguraikan hasil

penelitian.

Studi Literatur

Sistem daya PV (Photo Voltaic) atau yang

sering disebut sistem Solar Cell merupakan satu

dari teknologi energi terbarukan yang

pertumbuhannya paling cepat, yang menyediakan

sumber daya yang paling aman dan mensuplai

listrik bebas polusi. Sayangnya, biaya fabrikasi

sistem PV sangat tinggi dan efisiensi konversi

energinya rendah. Karena kelistrikan PV yang

mahal dibandingkan listrik dari PLN, maka

penggunaan daya keluaran dari sistem PV secara

maksimum sangat dibutuhkan[1].

Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, ada

solusi pemanenan energi surya untuk node WSN,

dengan membayangkan mekanisme pemuatan

ambang batas ON/OFF sederhana dengan

mengandalkan diode yang menghubungkan solar

cell dengan baterai isi ulang[2]. Sayangnya, solusi

berbasis diode mempunyai tiga kelemahan utama,

yaitu :

1. Titik kerja sel diatur oleh tegangan baterai dan

tidak dapat disesuaikan untuk memaksimalkan

perpindahan energi dalam perubahan

lingkungan;

2. Ambang batas mencegah sistem untuk

beroperasi secara efisien di rating daya listrik

rendah (selama kondisi surya tidak optimal);

3. Karakteristik listrik dari sel surya harus dipilih

untuk benar-benar sesuai dengan tegangan

nominal baterai, jika tidak demikian, akan

menghambat solar panel dan baterai.

Semua masalah tersebut dapat diatasi dengan

mengganti rangkaian berbasis dioda dengan

rangkaian MPPT. Filosofi desainnya menggunakan

pengembangan sistem adaptif untuk mentransfer

energi yang dihasilkan dari solar cell ke baterai

yang berfungsi sebagai media penyimpanan, sambil

Page 3: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

376

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

mempertahankan titik kerja sel di kondisi

optimalnya (dimana transfer dayanya

dimaksimalkan).

Sistem PV harus dioperasikan pada daya

keluaran maksimalnya (Maximum Power Point)

dalam berbagai kondisi lingkungan. Titik operasi

maksimumnya berada pada perpotongan kurva arus

dan tegangan (I-V curves) pada sistem PV dan

beban, saat sistem PV terhubung secara langsung

ke beban. Titik daya maksimum dari sistem PV

tidak tercapai setiap waktu. Masalah tersebut

diatasi dengan menggunakan algoritma MPPT

yang mempertahankan titik operasi sistem PV di

titik daya maksimumnya. Ada beberapa algoritma

pencarian MPPT yang telah banyak diusulkan

dalam literatur yang menggunakan karakteristik

solar panel dan lokasi titik daya maksimum yang

berbeda, termasuk metode perturb and observe,

metode open-and-circuit, algoritma konduktif

inkremental, logika fuzzy dan jaringan syaraf

tiruan[3].

Secara umum, rangkaian MPPT tradisional

dibedakan berdasarkan desain kekuatan

mengkonversi secara elektronik dan strategi

kendalinya. Rangkaian konverter buck standar dan

boost DC to DC, serta kapasitor seri dan

konfigurasi induktor telah dilaporkan[4][5][6].

MPPT telah dilakukan dengan pemodelan apriori

dari sel[7][8], dengan loop kontrol analog[9], atau

lagi, melalui jaringan saraf tiruan dan logika

Fuzzy[10]. Sayangnya, solusi ini tidak mengatasi

tiga utama kendala terkait dengan node WSN :

1. Ketersediaan sumber daya yang semakin lama

semakin berkurang pada node;

2. Kebutuhan konsumsi daya MPPT yang sangat

rendah, untuk memungkinkan sebagian besar

energi yang dipanen untuk disampaikan

kepada baterai;

3. Tarif operasi daya yang sangat rendah[11].

Dalam makalah ini, akan dijelaskan

implementasi sistem adaptif yang dikendalikan

secara digital oleh rangkaian MPPT, didesain

khusus untuk node WSN. Desain dibuat sesuai

dengan persyaratan dari target perangkat tertanam,

yang memiliki : konsumsi daya yang sangat rendah

dari MPPT, adaptasi cepat sesuai dengan

perubahan lingkungan, efisiensi perpindahan energi

tinggi dan biaya rendah.

Konverter DC-DC merupakan bagian inti dari

rangkaian MPPT. Konverter DC-DC secara umum

digunakan untuk mengubah dan mendistribusikan

daya DC dalam suatu sistem. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat diagram blok sistem konverter DC-

DC pada gambar berikut [12] :

Gambar 2. Sistem Konversi Tegangan DC-to-DC

(Source : Ned Mohan, “Power Electronics”, Wiley and Sons

Inc.)

Fungsi konverter DC-DC dalam sistem

tersebut adalah sebagai berikut :

1. Mengubah tegangan masukan DC tidak

terkendali menjadi tegangan keluaran DC

terkendali.

2. Mengatur tegangan keluaran DC terhadap

beban dan tegangan masukan DC yang

bervariasi.

3. Mengurangi riak tegangan AC pada tegangan

keluaran DC di bawah tingkat yang

disyaratkan.

4. Menyediakan isolasi antara sumber masukan

dan beban (isolasi tidak selalu dipenuhi).

5. Melindungi sistem yang disuplai dan sumber

masukan dari gangguan elektromagnetik (EMI

= Electro Magnetic Interference).

Rangkaian konverter yang diaplikasikan di sini

adalah Buck Converter yang berfungsi untuk

menghasilkan tegangan keluaran DC yang lebih

rendah daripada tegangan masukannya. Rangkaian

konverter ini terdiri dari tegangan masukan DC

(Vd), saklar pengendali (S), Induktor (L),

Kapasitor (C), Diode (D), dan resistansi beban (R).

Gambar 3. Rangkaian Buck DC-to-DC Converter

Sistem adaptif merupakan suatu sistem yang

mampu menyesuaikan dirinya terhadap perubahan

yang terjadi di lingkungan sekitarnya, sehingga

diharapkan akan mampu mengatasi perubahan

akibat beragam gangguan.

Page 4: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

377

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

Sistem adaptif kerap digunakan dalam bidang-

bidang berikut ini:

1. Identifikasi sistem

2. Prediksi

3. Inverse modelling

4. Interference canceling

Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, ada

solusi pemanenan energi surya untuk node WSN,

dengan membayangkan mekanisme pemuatan

ambang batas ON/OFF sederhana dengan

mengandalkan diode yang menghubungkan solar

cell dengan baterai isi ulang [2]. Sayangnya, solusi

berbasis diode mempunyai tiga kelemahan utama,

yaitu :

1. Titik kerja sel diatur oleh tegangan baterai dan

tidak dapat disesuaikan untuk memaksimalkan

perpindahan energi dalam perubahan

lingkungan;

2. Ambang batas mencegah sistem untuk

beroperasi secara efisien di rating daya listrik

rendah (selama kondisi surya tidak optimal);

3. Karakteristik listrik dari sel surya harus dipilih

untuk benar-benar sesuai dengan tegangan

nominal baterai, jika tidak demikian, akan

menghambat solar panel dan baterai).

Semua masalah tersebut dapat diatasi dengan

mengganti rangkaian berbasis dioda dengan

rangkaian MPPT. Filosofi desainnya menggunakan

pengembangan sistem adaptif untuk mentransfer

energi yang dihasilkan dari solar cell ke baterai

yang berfungsi sebagai media penyimpanan, sambil

mempertahankan titik kerja sel di kondisi

optimalnya (dimana transfer dayanya

dimaksimalkan).

Perancangan dan pembuatan alat

Pada tahap ini, dilakukan pembaharuan dalam

perancangan dan penentuan jenis, serta nilai-nilai

komponen/perangkat elektronik yang digunakan,

berdasarkan kebutuhan energi node WSN. Berikut

ini beberapa karakteristik dan nilai parameter dari

komponen-komponen utama yang digunakan

dalam perancangan sistem ini :

Tabel 1. Jenis dan karakteristik komponen yang digunakan

No

.

Jenis

Komponen

Karakteristik Elektrik

1 Solar Panel Daya = 10W ±5%; Tegangan

= 5 - 20V; Arus = 0,55A

2 Baterai Li-Po Daya = 16,28WH; Tegangan

= 7,64V; Arus = 2200mAh

3 Lampu LED

Flood Light

Daya = 30W; Lumens =

80lm/W; PF = 0,5

4 Mikropengendali

Tegangan = 5V

5 Sensor Arus DT-

sense

Respon keluaran = 5µs,

Bandwidth = 80kHz, tegangan = 5V

Tahapan perancangan dilakukan dalam dua

tahap yaitu perancangan perangkat keras dan

perangkat lunak. Perancangan perangkat keras

meliputi proses perancangan model sistem berbasis

aplikasi dan pengimplementasian model sistem

menggunakan trainer board. Perancangan

perangkat lunak dilakukan setelah perancangan

perangkat keras dilaksanakan. Sasaran akhir yang

ingin dicapai yaitu sebuah perangkat embedded

yang dapat menghasilkan daya untuk pencatuan

WSN dengan spesifikasi yang telah ditetapkan.

Untuk perancangan perangkat lunak, dibuat

gaftar alir (flowchart) sebagai acuan dalam

membuat program berbasis sistem adaptif, sebagai

berikut :

Gambar 4. Algoritma kendali untuk mengidentifikasi dan

mengadaptasi nilai Vs optimal.

Pengujian Komponen

Pengujian komponen dilakukan secara

beriringan dengan proses perancangan. Proses

Page 5: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

378

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

pengujian perangkat dilakukan dalam tiga tahapan

yaitu pengujian komponen penyusun sistem seperti

pengujian solar panel, pengujian instrumen ukur

seperti sensor arus dan sensor tegangan, pengujian

rangkaian mikropengendali; pengujian perangkat

lunak sistem; pengujian sistem secara keseluruhan.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan pada saat proses

pengujian perangkat. Data yang telah dikumpulkan

akan dipergunakan sebagai dasar analisis sistem.

Pengumpulan data juga dilakukan dalam beberapa

tahapan yaitu pengumpulan data pengujian masing-

masing komponen penyusun, dan pengumpulan

data sistem secara keseluruhan.

Pengumpulan data menggunakan teknik eksperimental. Proses pengumpulan data dilakukan dengan menguji komponen-komponen penyusun secara terpisah dengan memvariasikan masukan secara eksperimental. Selanjutnya pengumpulan data kinerja sistem dengan menggunakan sistem pengendali dan kinerja sistem tanpa penggunaan sistem pengendali. Data-data yang telah diperoleh akan digunakan sebagai bahan analisis. Metode analisis yang akan digunakan merupakan bentuk gabungan deskriptif, komparatif dan asosiatif. Analisis deskriptif akan menjelaskan gambaran sistem dan kinerjanya secara mendetail seperti spesifikasi panel surya. Analisis komperatif digunakan untuk menggambarkan perbandingan penggunaan MPPT dan tanpa penggunaan MPPT dalam pengaturan luaran sistem. Sedangkan analisis asosiatif akan mengamati pengaruh duty cycle terhadap luaran dan pengaruh daya masukan terhadap daya keluaran.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk menjelaskan hasil penelitian ini, akan dibagi dalam dua bagian, yaitu : perancangan perangkat keras dan perancangan perangkat lunak. Perancangan perangkat keras menjabarkan detail rangkaian di setiap blok sistem, dan perancangan perangkat lunak menjelaskan algoritma sistem kendali adaptif yang ditanamkan dalam unit mikropengendali, dalam menjalankan fungsinya sebagai kendali MPPT.

Pada dasarnya, loop kendali rangkaian MPPT

bertujuan menjaga tegangan keluaran solar panel

berada pada tegangan referensi optimalnya, dengan

memaksimalkan transfer daya dari solar cell ke

baterai. Karena daya pada keluaran konverter

adalah hasil perkalian antara tegangan dan arus

baterai, serta tegangan baterai dapat dianggap

konstan selama siklus kontrol. Daya yang tersimpan

proporsional dengan arus keluaran (dalam hal ini

kendali memenuhi beberapa detik pada saat

perintah Vb konstan selama 1 jam).

Gambar 5 menunjukkan dua jenis perilaku

solar cell yang diiluminasikan dalam dua kondisi

berbeda; arus dan daya yang dibangkitkan

merupakan fungsi tegangan solar panel yang

diberikan (dalam kurva A daya radiasinya lebih

besar daripada kurva B). Apapun teknologi solar

panelnya (inorganik atau organik), bentuk kurva

daya versus tegangan cell P(Vp,Ip) menunjukkan

perilaku convex yang dikarakterisasi oleh suatu nilai

maksimum unik yang berhubungan dengan

fenomena transduksi energi

Gambar 5. Karakteristik solar cell dalam 2 kondisi radiasi.

.

Pada kenyataannya, algoritma kendali dalam

eksekusi CPU harus diidentifikasi tegangan optimal

Vm dimana daya yang ditransmisikan maksimal

dan, mengacu pada perubahan kondisi, melacaknya,

sehingga secara adaptif Vs konvergen ke Vm yang

sebagai gantinya akan berubah terhadap waktu.

Tegangan optimal Vm pada waktu yang diberikan

secara instan akan menjadi nilai referensi bagi loop

kendali analog.

Dalam bentuk arus, algoritma yang disediakan

adalah teknik peningkatan gradien sederhana pada

kurva Vs (berhimpit dengan akhir fasa transien dari

kendali). Titik awal algoritma tidak langsung secara

iteratif disediakan oleh amplitudo, mencari cara

yang secara periodik mengamati kurva daya

terhadap tegangan.

Pengujian solar panel merupakan tahapan

pertama yang dilakukan dalam perancangan.

Gambar 6 menampilkan perangkat pengujian solar

panel yang terdiri dari lampu, panel photovoltaic,

dan multimeter. Proses pengujian menggunakan

jarak lampu dangan PV sejauh 35cm, posisi lampu

Page 6: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

379

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

tegak lurus terhadap permukaan panel dan sejajar

dengan titik tengah panel, durasi pengamatan

dilakukan selama 60 detik.

Gambar 6. Perangkat Pengujian solar panel.

- Jarak dari Lampu ke PV = 35cm

- Posisi Lampu tepat di tengah PV (tegak lurus)

- Interval pengambilan data = 60 detik.

Tabel 2. Pengukuran Tegangan Solar Panel (PV) tanpa rangkaian MPPT

N

o

Keterangan Hari Ke-1

(Volt)

Hari Ke-2

(Volt)

Hari

Ke-3

(Volt)

1 Pengujian di

lapangan :

a. Kondisi panas

20,85 - -

b. Kondisi

mendung

18,8 - -

2 Pengujian di ruangan :

a. Tanpa

penyinaran

5,77 6,77 6,72

b. Dengan

penyinaran

15,81 15,81 15,82

Bentuk gelombang tegangan keluaran Solar

Panel saat belum disinari ditampilkan pada gambar

7 kiri, sedangkan bentuk luaran solar panel yang

telah disinari di tampilan pada gambar 7 kanan.

Gambar 7. Kondisi luaran solar panel dalam kondisi : (a) gelap

dan (b) terang.

Dengan implementasi rangkaian MPPT pada rangkaian yang menghubungkan antara solar panel dengan baterai, maka dilakukan pengujian alat tahap awal, dengan hasil sebagai berikut :

Tabel 3. Hasil pengujian tegangan keluaran solar panel

dengan tegangan keluaran Konverter Buck DC-DC.

sampling

ke-

Tegangan SP

(Volt)

Tegangan DC-DC

Converter (Volt)

Jarak Lampu - SP

(cm)

1 3.430 3.284 38.5

2 3.440 3.296 38.4

3 3.461 3.312 38.25

4 3.980 3.806 38.2

5 3.482 3.333 38

6 9.430 9.040 34.5

7 9.440 9.050 34.4

8 9.450 9.060 34.3

9 9.460 9.070 34.2

10 9.490 9.110 34.1

11 9.510 9.120 34

12 9.560 9.170 33.9

13 9.570 9.180 33.8

14 9.590 9.200 33.7

15 9.600 9.200 33.6

16 9.630 9.230 33.5

17 9.640 9.240 33.4

18 9.650 9.250 33.3

19 9.660 9.260 33.2

20 9.670 9.270 33.1

Berdasarkan hasil pengujian tegangan keluaran

solar panel dengan tegangan keluaran Konverter

Buck DC-DC, maka dapat dibuat grafik sebagai

berikut :

(a) (b)

Page 7: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

380

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

Gambar 8. Grafik tegangan keluaran solar panel dan buck

converter terhadap jarak lampu – solar panel (SP).

Dari tabel data dan grafik tersebut, maka

diperoleh rata-rata tegangan keluaran solar panel

sebesar 8,057V, sedangkan rata-rata tegangan

keluaran Buck Converter sebesar 7,724V. Jika

dibandingkan dengan kebutuhan catu node WSN,

ditinjau dari spesifikasi baterai sebesar 7,64V,

maka dapat disimpulkan bahwa keluaran sistem

MPPT memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai

sumber pencatuan baterai pada node WSN.

Kemudian didapatkan bahwa jarak optimal untuk

mendapatkan tegangan yang sesuai proses

pencatuan adalah pada jangkauan jarak 34,5 –

38cm. Tentu saja hal ini berlaku dalam lingkup di

dalam ruangan, dengan mengasumsikan lampu

sebagai matahari.

Dengan membandingkan antara data tegangan

keluaran solar panel dengan MPPT, dengan data

tegangan keluaran solar panel tanpa MPPT pada

kondisi penyinaran, disimpulkan bahwa tegangan

keluaran solar panel tanpa MPPT lebih tinggi

dibandingkan dengan menggunakan MPPT

(15,81V). Namun yang menjadi prioritas

penelitian terletak pada kekonsistenan solar panel

dalam menyediakan tegangan yang dibutuhkan

untuk mencatu node WSN. Dalam pengujian,

ditemukan bahwa solar panel tanpa MPPT

menghasilkan tegangan keluaran yang fluktuatif,

karena bergantung pada intensitas cahaya matahari

yang diterima oleh solar cell.

Untuk tahap penelitian berikutnya, akan dilakukan pengujian secara terintegrasi, yaitu MPPT, mikropengendali sebagai implementator pengendali sistem adaptif, sensor arus, dan baterai. Pengujian tahap lanjutan ini yang akan membuktikan apakah sistem adaptif mampu mengendalikan MPPT sehingga dapat berfungsi sebagai sumber pencatuan node WSN

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Implementasi MPPT pada keluaran solar

panel mampu menjaga tegangan keluaran lebih konsisten (tidak fluktuatif), dengan rata-rata selisih tegangan 0,33V.

2. Jarak dan intensitas cahaya sangat berpengaruh terhadap tegangan keluaran solar panel. Semakin dekat jarak cahaya terhadap solar panel, makin besar tegangan yang dihasilkan. Berdasarkan hasil penelitian, tegangan maksimal yang dihasilkan solar panel dengan menggunakan rangkaian MPPT sebesar 9,27V.

B. Saran

1. Proses pengujian perlu diperbaiki, agar hasil data pengujian dapat lebih valid.

2. Sistem adaptif yang diimplementasikan disimulasikan terlebih dahulu, agar dalam

perancangannya lebih efektif.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Z. Farooqui, “Study of Maximum Power

Point Tracking ( MPPT ) Techniques in a

Solar Photovoltaic Array,” vol. 2, no. 5, pp.

178–189, 2017.

[2] M. S. V. Raghunathan, A. Kansal, J. Hsu, J.

Friedman, “Design considerations for solar

energy harvesting wireless embedded

systems,” in IEEE Int.Conf. Inf. Process.

Sensor Netw., 2005, pp. 457–462.

[3] A. Lomi, A. Soetedjo, A. Lomi, Y. I.

Nakhoda, and A. U. Krismanto, “Modeling

of Maximum Power Point Tracking

Controller for Solar Power System

Modeling of Maximum Power Point

Tracking Controller for Solar Power

System,” no. July, 2012.

[4] and P. N. M. N. K. Lujara, J. D. van Wyk,

“Power electronic loss models of DC-DC

converters in photovoltaic applications,” in

Proc.IEEE Int. Symp. Ind. Electron, 1998,

pp. 35–39.

[5] and K. U. M. Veerachary, T. Senjyu,

“Neural-network-based maximum-power-

Page 8: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

381

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

point tracking of coupled-inductor

interleavedboost-converter-supplied PV

system using fuzzy controller,” in

IEEETrans. Ind. Electron, 2003, pp. 749–

757.

[6] J. H. R. Enslin and D. B. Snyman,

“Combined low-cost, high-efficient inverter,

peak power tracker and regulator for PV

applications,” IEEETrans. Power Electron,

vol. 6, no, pp. 73–82, 1991.

[7] and W. S. J. H. R. Enslin, M. S. Wolf, D. B.

Snyman, “Integrated photovoltaic maximum

power point tracking converter,”

IEEETrans. Ind. Electron, vol. 44, n, pp.

769–773, 1997.

[8] and E. F. F. M. A. S. Masoum, H.

Dehbonei, “Theoretical and experimental

analyses of photovoltaic systems with

voltage- and currentbased maximum power-

point tracking,” IEEE Trans. Energy Conv.,

vol. 17, n, pp. 514–522, 2002.

[9] Y. H. Lim and D. C. Hamill, “Synthesis,

simulation and experimental verification of

a maximum power point tracker from

nonlinear dynamics,” in Proc. IEEE 32nd

Annu. Power Electron. Specialists Conf.,

2001, pp. 199–204.

[10] and H.-S. K. C.-Y. Won, D.-H. Kim, S.-C.

Kim, W.-S. Kim, “A new maximum power

point tracker of photovoltaic arrays using

fuzzy controller,” in Proc. 25th Annu.

Power Electron. Specialists Conf., 1994, pp.

396–403.

[11] C. Alippi and C. Galperti, “An Adaptive

System for Optimal Solar Energy

Harvesting in Wireless Sensor Network

Nodes,” vol. 55, no. 6, pp. 1742–1750,

2008.

[12] Ashari M., Desain Konverter Elektronika

Daya. Informatika, 2017.

Page 9: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

382

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

Analisis Unjuk Kerja Penguat Hybrid pada Sistem DWDM (Dense Wavelength Division Multiplexing)

Amin Sudibyo1, Fauza Khair

2, Dodi Zulherman

3

1,2,3Fakultas Teknik Telekomunikasi dan Elektro. Institut Teknologi Telkom Purwokerto

[email protected],

[email protected],

[email protected]

ABSTRAK

Dense Wavelengrh Division Multiplexing adalah salah satu teknologi yang dapat digunakan

dalam mengirimkan informasi dengan menggunakan media transmisi serat optik. Penguat optik digunakan

untuk mengatasi adanya gangguan saat proses transmisi, dalam menerapkan penguat optik dapat

menggunakan metode hybrid. Penelitian ini akan dilakukan perancangan sistem DWDM dengan

menggunakan 32 kanal dengan spasi kanal 100 Ghz dan panjang link 100 Km. Penguat hybrid yang

digunakan yaitu EDFA dan SOA. Penelitian dilakukan dengan memvariasikan posisi penguat hybrid

menjadi 2 skenario, dengan variasi daya laser -4, -2, 0, 2, dan 4 dBm. Berdasarkan hasil pengujian dengan

menggunakan daya rendah -4 dBm skenario 2 dengan posisi penguat hybrid EDFA di inline dan SOA di

premaplifier memiliki unjuk kerja yang lebih baik dibandingkan skenario yang lain, dengan nilai Q-faktor

pada daya -4 dBm sebesar 8,327 dan BER 4,14×10-17

. Sedangkan untuk daya tinggi 4 dBm skenario 1

memiliki untuk kerja yang lebih baik dengan nilai Q-faktor sebesar 8,425 dan BER 1,25×10-17.

Berdasarkan

hasil pengujian menunjukan penempatan posisi penguat hybrid dengan daya rendah dan daya tinggi

mempengaruhi unjuk kerja sistem.

Kata kunci – DWDM , Hybrid Amplifier, Q-faktor, BER

ABSTRACT

Dense Wavelength Division Multiplexing is one technology that can be used in sending

information by using fiber optic transmission media. An optical amplifier is used to overcome the

disruption during the transmission process, in applying optical amplifier can use a hybrid method. This

research will be done by designing DWDM systems using 32 channels with 100 GHz channel span and 100

km link length. Hybrid amplifier used is EDFA and SOA. The study was conducted by varying the position

of the hybrid amplifier into 2 scenarios, with variations in laser power -4, -2, 0, 2, and 4 dBm. Based on

test results using low power -4 dBm scenario 2 with EDFA hybrid amplifier position in inline and SOA in

premaplifier has better performance compared to other scenario, with a value of Q-factor at power -4 dB

of 8,327 and BER 4,14×10-17

. Whereas for high power 4 dBm scenario 1 have to better work with a value

of Q-factor equal to 8,425 and BER 1,25×10-17

. Based on the test results show placement of hybrid

reinforcement position with low power and high power affect the performance of the system.

Keywords - DWDM , Hybrid Amplifier, Q-faktor, BER. I. PENDAHULUAN

Serat optik dalam mentrasmisikan informasi

atau data dengan menggunakan media cahaya, sistem komunikasi serat optik terdiri dari tiga bagian utama yaitu bagian pengirim, bagian media transmisi fiber optik, dan juga bagian penerima [1]. Salah satu teknologi yang dapat digunakan dalam mengirimkan informasi dengan menggunakan media transmisi serat optik adalah Dense

Wavelengrh Division Multiplexing (DWDM). Untuk mengatasi adanya gangguan pada komunikasi serat optik digunakan sebuah penguat optik, penguat optik juga dapat berfungsi untuk menguatkan sinyal yang ditransmisikan [1]. Dalam menerapkan penguat optik dapat menggunakan suatu metode hybrid, metode hybrid berarti menggabungkan

Page 10: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

383

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

beberapa penguat optik dalam satu link serat optik [2] .

Penelitian Dr. Ali Y Fattah dan Sadeq S

Madlool pada tahun 2017 yang berjudul “Soliton

Transmission in DWDM Network” meneliti

tentang pengaruh bagian transmisi pada sistem

DWDM terhadap unjuk kerja. Penelitian dilakukan

dengan cara membandingkan transmisi dengan

menggunakan Optical Soliton dan transmisi dengan

menggunakan CW Laser Source. Unjuk kerja

terbaik dilihat dari nilai parameter Q-factor dan

BER yang didapatkan, hasil yang didapatkan dari

penelitian ini yaitu transmisi dengan Optical

Soliton lebih baik dibandingkan dengan transmisi

CW Laser Source karena nilai parameter Q-factor

dan BER yang didapatkan lebih besar [3].

Penelitian Nabil Elsheikh Mohamed E pada tahun

2017 yang berjudul “Performance Analysis of

Optical Amplifier EDFA and SOA” meneliti

mengenai unjuk kerja dari penguat EDFA dan SOA

pada komunikasi serat optik. Penelitian terhadap

penguat optik dilakukan untuk mengetahui unjuk

kerja yang terbaik dari kedua penguat tersebut, dari

hasil yang diperoleh menjukan kedua penguat

tersebut memiliki unjuk kerja yang baik karena

memiliki hasil dari Q-faktor dan BER yang

memenuhi standar, namun untuk hasil terbaik

terdapat pada penguat EDFA [1].

Kemudian penelitian Anil Agrawal dan

Sudhir Kumar Sharma pada tahun 2014 yang

berjudul “Performance Comparasion of Single &

Hybrid Optical Amplifiers for DWDM System

using Optisystem” meneliti tentang perbedaan ujuk

kerja antara single amplifier dan hybrid amplifier

pada sistem DWDM. Penelitian dilakukan dengan

mengamati nilai Q-faktor dan BER dengan variasi

panjang serat optik, dari hasil yang diperoleh

menunjukan bahwa hybrid amplifier memiliki nilai

performansi yang lebih baik [4].

Penelitian Nija Shafi daan Gokul P.G pada tahun

2016 yang berjudul “performance Analysis of

Photodetectors and Effect of Photodetection Noises

in Optical Communication System” meneliti

tentang pengaruh yang dihasilkan dari

photodetectors pada komunikasi serat optik.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan dua

jenis photodetectors yang berbeda yaitu jenis PIN

dan APD. Dari penelitian yang telah dilakukan

didapatkan hasil bahwa phtodectector jenis APD

memiliki unjuk kerja yang baik dibandingkan

dengan photodector jenis PIN [5].

Penelitian Arumdina Islamiq pada tahun

2017 yang berjudul “Analysis Comaparasion

Performance Position Optical Amplifier Hybrid

SOA-EDFA in a System DWDM based Soliton”

meneliti tentang penguat hybrid SOA-EDFA pada

sistem DWDM, dimana penguat hybrid

ditempatkan secara seri pada posisi yang sama

yaitu sebagai booster, inline, dan pre-amplifier,

dengan jumlah kanal pada transmistter sebanyak 16

kanal. Dari hasil penelitian munjukan bahwa skema

pre-amplifier merupakan skema terbaik

dibandingkan skema yang lain, sedangkan untuk

kedua skema yang lain memiliki nilai yang kurang

baik atau memiliki nilai dibawah standart [6].

Penelitian Annapurna Kumari dan Pankaj

Srivastava pada tahun 2018 yang berjudul

“Performance Analysis of 16 Channel CWDM

System with EDFA and SOA Amplifier” meneliti

tentang pengaruh yang ditimbuhkan oleh penguat

EDFA dan SOA yang disusun secara hybrid,

dimana penguat diletakan pada posisi yang berbeda

dalam satu link optik. Dari penelitian yang telah

dilakukan mendapatkan hasil Q-faktor dan BER

yang baik [7]. Pada penelitian ini membahas perbandingan

unjuk kerja penguat hybrid SOA dan EDFA dengan posisi yang berbeda menggunakan 32 kanal pada sistem DWDM dengan transmisi soliton berdasarkan Q-faktor dan Bit Error Rate (BER).

II. METODE PENELITIAN

A. Diagram Alir Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan dalam beberapa tahap

seperti yang digambarkan pada gambar 2.1 yang

meliputi tahap tinjauan pustaka, rumusan masalah,

tahap pengumpulan data, tahap simulasi sistem,

tahap analisis dari hasil simulasi sistem, dan yang

terakhir tahap kesimpulan.

Tujuan tinjauan pustaka pada penelitian

ini yaitu agar mendapatkan gambaran mengenai

variasi yang dilakukan pada model rancangan,

metode pengujian, dan juga metode analisis.

Tahap selanjutnya yaitu rumusan malah. Pada

tahap ini akan terdapat rumusan masalah yang

mendasari perancangan pada sistem yang akan

menjadi ladasan utama pengujian, pembahasan dan

juga kesimpulan dari penelitian.

Setelah mendapatkan rumusan masalah

untuk penelitian ini, tahap selanjutnya yaitu

pengumpulan data. Pada tahap ini data-data yang

akan digunakan untuk penelitian akan

dikumpulkan, data tersebut diantarnya berupa

spesifikasi dari komponen yang akan digunakan

Page 11: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

384

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

dalam perancangan sistem dan juga data dari

parameter yang akan dianalisis.

Mulai

Rumusan Masalah

Pengumpulan Data

Perancangan Sistem

Menggunakan OptiSystem

Analisis Hasil Perancangan

Kesimpulan

Selesai

Tinjauan Pustaka

Gambar 2.1 Diagram Alir Penelitian

Tahap selanjutnya setelah data spesifikasi dan juga

parameter diperoleh, melakukan perancangan

sistem. Perancangan sistem dilakukan dengan

menggunakan software OptiSystem. OptiSystem

adalah suatu software yang dapat digunakan untuk

membuat siumlasi jaringan pada sistem komunikasi

serat optik. Perancangan sistem akan dilakukan

sesuai dengan rumusan masalah.

Analisis dilakukan agar dapat mengetahui

bagaimana perbandingan unjuk kerja dari penguat

hybrid EDFA dan SOA pada sistem DWDM yang

sebelumnya telah dirancang dalam software

OptiSystem, kemudian dari hasil analisis yang telah

dilakukan terhadap sistem, maka akan diambil

kesimpulan.

Diagram Blok Sistem

Gambar 2.2 Blok Pengirim

Rancangan sistem yang terdapat pada blok

pengirim, yang terdiri dari Pseudo Random Binary

Sequence (PRSB), Soliton Optical Pulse

Generator, dan juga WDM Multiplexer. Pada

simulasi ini menggunakan 32 PRBS dengan bitrate

yang akan digunakan untuk setiap kanal yaitu

sebesar 2,5 Gbps dan 10 Gbps. PRBS akan

mengirimkan sinyal biner secara acak ke soliton

optical pulse generator. Rentang frekuensi yang

digunakan dalam simulasi ini yaitu 191.6-194.7

Thz dengan spasi kanal sebesar 100 Ghz, power

yang digunakan akan divariasi yaitu sebesar -4, -2,

0, 2, 4 dBm

Gambar 2.3 Blok Penerima

rancangan sistem yang terdapat pada blok

pengirim, yang terdiri dari WDM demux, Optical

Receiver dan BER Analyzer. WDM demux

memiliki 1 port masukan dan 32 port keluaran,

yang berfungsi untuk memisahkan kembali sinyal

optik berdasarkan panjang gelombang sesuai

dengan yang dikirimkan oleh pengirim. Sinyal

keluaran dari WDM demux akan dihubungkan

dengan optical receiver, dan menggunakan

photodector jenis APD.

Pada bagian transmisi terdiri dari serat optik, dan

juga penguat optik. Serat optik yang digunakan

yaitu jenis single mode fiber (SMF) yang memiliki

panjang 100 Km, dengan nilai attenuasi sebesar

0,30 dB/Km, dan nilai dispersi sebesar 18,6

ps/nm/km. Penguat optik yang digunakan yaitu

Page 12: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

385

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

SOA dan EDFA yang akan disusun secara seri.

Untuk mengetahui pengaruh dari penempatan

posisi penguat hybrid SOA dan EDFA terhadap

sistem DWDM, perancangan sistem pada blok

transmisi memiliki 2 skenario, dimana penguat

hybrid SOA dan EDFA akan diletakan secara

berbeda yaitu pada inline amplifier, dan pre-

amplifier seperti yang terlihat pada gambar 2.4, dan

gambar 2.5.

FIBER FIBERSOA EDFA

WDM

MUX

WDM

DEMUX

Gambar 2.4 Skenario 1 Fiber-SOA-Fiber-EDFA

FIBER FIBEREDFA SOA

WDM

MUX

WDM

DEMUX

Gambar 2.5 Skenario 4 Fiber-EDFA-Fiber-SOA

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 3.1 Hasil perbandingan Q-Faktor

Skenario /

Daya (dBm)

Fiber-SOA-

Fiber-EDFA

Fiber-EDFA-

Fiber-SOA

-4 8,240 8,327

-2 8,315 8,344

0 8,363 8,354

2 8,398 8,361

4 8,425 8,366

Gambar 3.1 Grafik Q-Faktor

Tabel 3.2 Hasil Perbandingan Bit Error Rate

(BER)

Skenario /

Daya (dBm)

Fiber-SOA-

Fiber-EDFA

Fiber-EDFA-

Fiber-SOA

-4 7,74E-17 4,14E-17

-2 3,82E-17 3,26E-17

0 2,37E-17 2,76E-17

2 1,67E-17 2,46E-17

4 1,25E-17 2,27E-17

Gambar 3.2 Grafik Bit Error Rate (BER)

PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan dengan membandingkan

unjuk kerja terhadap penempatan posisi penguat

hybrid EDFA dan SOA, dimana penguat

ditempatkan dengan posisi yang berbeda yaitu

Page 13: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

386

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

inline amplifier dan preamplifier seperti pada

skenario yang sudah ditentukan. Dengan

menggunakan variasi pada daya input laser,

diharapkan dapat mengetahui bagaimana

perubahan unjuk kerja terhadap daya laser yang

bernilai negative dan juga positif, variasi daya laser

yang digunakan yaitu bernilai -4, -2, 0, 2 dan 4

dBm.

Tabel 3.1 menunjukan hasil nilai Q-faktor terhadap

perubahan daya pada skenario 1 dan 2. Skenario 1

dengan posisi penguat hybrid SOA di inline

amplifier dan EDFA di preamplifier pada daya -4

dBm mendapat Q-faktor sebesar 8,240, kemudian

daya input -2 dBm nilai Q-faktor sebesar 8,135,

untuk daya 0 dBm nilai Q-faktor sebesar 8,398,

pada daya 2 dBm nilai Q-faktor sebesar 8,398, dan

untuk daya 4 dBm nilai Q-faktor sebesar 8,425.

Pada skenario 2 dengan posisi penguat hybrid

EDFA di inline amplifier dan SOA di preamplifier

nilai Q-faktor dengan daya -4 dBm sebesar 8,327,

kemudian daya -2 dBm nilai Q-faktor sebesar

8,344, kemudian untuk daya 0 dBm nilai Q-faktor

sebesar 8,354, pada daya 2 dBm nilai Q-faktor

sebesar 8,361, dan untuk daya 4 dBm nilai Q-faktor

sebesar 8,366. Dari hasil yang didapatkan semua

skenario memiliki nilai Q-faktor yang diatas

standard yaitu >6.

Untuk daya rendah atau -4 dBm nilai Q-faktor

terbaik terdapat pada skenario 2 yaitu sebesar

8,327. Sedangkan untuk skenario 1 mendapatkan

nilai Q-faktor sebesar 8,240. Kemudian untuk daya

tinggi atau 4 dBm skenario 1 memiliki nilai Q-

faktor lebih besar dibandingkan dengan skenario 2,

dengan nilai Q-faktor sebesar 8,425, dan untuk

skenario 2 memiliki Q-faktor sebesar 8,366.

Skenario 1 dan skenario 2 memiliki peningkatan

nilai Q-faktor dari daya rendah -4 dBm ke daya

tinggi 4 dBm, namun untuk daya rendah -4 dBm

dan -2 dBm skenario 2 memiliki nilai Q-faktor

yang lebih baik dibandingkan skenario 1.

Sedangkan untuk daya tinggi 0, 2 dan 4 dBm

skenario 1 memiliki nilai Q-faktor yang lebih baik

dibandingkan dengan skenario 2. Tabel 3.2 dan gambar 3.2 menunjukan perbandingan Bit Error Rate (BER) yang didapatkan pada setiap skenario. BER adalah perbandingan antara bit yang mengalami error dengan keseluruhan bit yang dikirimkan. Semakin kecil nilai BER yang didapatkan maka kinerja sistem akan semakin baik, pada panelitian ini skenario yang memilik nilai BER yang paling kecil dengan menggunakan daya rendah -4 dBm yaitu skenario 2 dengan nilai BER 4,14×10

-17 atau nilai

log minimum BER sebesar -16,382 sedangkan

untuk skenario 1 mendapatkan nilai BER sebesar 7,74×10

-17 atau nilai log BER sebesar -16,111.

Sedangkan pada daya tinggi 4 dBm skenario 1 memiliki nilai BER yang paling kecil yaitu 1,25×10

-17 dengan nilai log minimum BER sebesar

-16,90 dan untuk skenario 2 nilai BER sebesar 2,27×10

-17 dengan log minimum BER sebesar -

16,644 IV. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengujian

sistem, perbedaan daya source laser dan

perbedaan posisi penguat mempengaruhi unjuk

kerja sistem. Untuk daya rendah -4 dBm dan -2

dBm skenario 2 dengan posisi penguat EDFA di

inline dan SOA di preamplifier memiliki unjuk

kerja yang lebih baik dibandingkan yang lain,

sedangkan untuk daya laser tinggi 0, 2, dan 4 dBm

skenario 1 dengan posisi penguat SOA di inline

dan EDFA di preamplifier memiliki unjuk kerja

yang lebih baik dibandingkan skenario yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

[1] N. E. Mohamed Elmak and A. B. A/Nabil

Mustafa, "Performance Analysis of Optical

Amplifier (EDFA and SOA)," IOSR Journal of

Electronics and Communication Engineering,

vol. 12, no. 2278-8735, pp. 05-07, 2017.

[2] P. A. Praja, A. Hambali and A. D. Pambudi,

"Analisis Performance Hybrid Optical

Amplifier pada Sistem Long Haul Ultra-Dense

Wavelength Division Multiplexing," e-

Proceeding of Engineering, vol. 4, p. 124,

2017.

[3] A. Y. Fattah and S. S. Madlool, "Soliton

Transmission in DWDM Network,"

International Journal of Scientific and

Research Publication, vol. 7, no. 5, 2017.

[4] A. Agarwal and S. K. Sharma, "Performance

Comparasion of Single and Hybrid Optical

Amplifier for DWDM system Using

Optisystem," IOSR Journal of Electronics and

Communication Engineering, vol. 9, no. 1, pp.

28-33, 2014.

[5] N. Shafi and G. P. G, "Performance Analysis of

Photodectors and Effect of Photodetection

Noises in Optical Communication System,"

International Journal of Innovative Research in

Computer and Communication Engineering,

vol. 4, no. 2, 2016.

Page 14: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

387

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

[6] A. Islamiq, A. Hambali and A. D. Pambudi,

"Analisis Perbandingan Performansi Posisi

Penguat Optic Hybrid SOA-EDFA pada sistem

DWDM berbasis Soliton," e-Proceeding of

Engineering, vol. 1, p. 132, 2017.

[7] A. Kumari and P. Srivastava, "Performance

Analysis of 16-Channel CWDM System with

EDFA and SOA amplifier," International

Conference on Microwave and Phoronics,

2018.

Page 15: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

388

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

Perancangan Antena Waveguide 32 Slot untuk Radar Pengawas Pantai

Eva Yovita Dwi Utami1, Hanna A. Indharti

2, F. Dalu Setiaji

3, Yuyu Wahyu

4

1,2,3 Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik Elektronika dan Komputer, Universitas Kristen Satya

Wacana, Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga 50711 Indonesia

4Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Jl. Sangkuriang - Komplek LIPI

Gedung 20, Lt. 4

Bandung 40315 Indonesia

Email : [email protected]

ABSTRAK Pada penelitian ini, telah dirancang dan direalisasikan antena waveguide 32 slot pada frekuensi 9,4 GHz

untuk aplikasi radar pengawas pantai. Antena slot waveguide dengan penambahan jumlah slot dirancang

untuk mendapatkan beamwidth yang sempit dan meningkatkan gain antena. Perancangan antena

menggunakan software simulasi CST Microwave Studio dan difabrikasi menggunakan bahan plat

kuningan. Nilai VSWR dan return loss hasil simulasi maupun pengukuran telah memenuhi spesifikasi pada

frekuensi kerja dan bandwidth yang diperoleh pada pengukuran dengan VSWR < 1,5 adalah 122,5 MHz.

Gain antena yang diperoleh dari pengukuran sebesar 19,44 dB pada frekuensi 9,4 GHz. Half power

beamwidth yang diperoleh sebesar 3,8. Peningkatan jumlah slot pada antena slot waveguide dapat

memperbaiki nilai beamwidth dan meningkatkan gain antena.

Kata kunci – antena, slot waveguide, radar, beamwidth

ABSTRACT In this study, 32-slotted waveguide antenna has been designed and realized at a frequency of 9.4 GHz for

coastal surveillance radar applications. The slotted waveguide antenna with an additional number of slots

is designed to obtain narrower beamwidth and enhance the gain of the antenna. The design of antenna used

CST Microwave Studio simulation software. Antenna simulation design then is fabricated made by brass

plate material. The VSWR and return loss values of the simulation and measurement results have

accomplished the specification on the operation frequency and the bandwidth obtained on the measurement

with VSWR <1.5 is 122.5 MHz. The antenna gain achieved from the measurement is 19.44 dB at a

frequency of 9.4 GHz. Half power beamwidth obtained 3.8 degrees. Increasing the number of slots of the

waveguide slot antenna can improve the beamwidth value and increase the antenna gain value.

Keywords- antenna, slotted waveguide, radar, beamwidth.

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan

dengan luas dua per tiganya berupa lautan,

memiliki 17.504 pulau dan pantai sepanjang 81.000

km. Salah satu cara untuk meningkatkan

kemampuan pemerintah dalam mengawasi dan

melindungi perairan Indonesia adalah melalui

penggunaan radar pengawas pantai. Radar ini

digunakan untuk mengawasi pergerakan kapal-

kapal laut sehingga dapat dicegah tindakan-

tindakan yang dapat merugikan negara dan juga

tabrakan kapal apabila hendak merapat ke

pelabuhan.

Prototype radar yang telah dikembangkan

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

berkolaborasi dengan IRCTR-TU Delft dan

institusi lainnya dinamakan dengan INDRA

Page 16: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

389

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

(Indonesian Radar) [1] dan ISRA (Indonesian

Surveillance Radar) [2].

Radar atau radio detecting and ranging merupakan

sistem penginderaan jarak jauh yang dapat

mendeteksi adanya objek dan menentukan jarak

dari objek tersebut menggunakan gelombang

elektromagnetik [3] Untuk mengirimkan dan

menerima gelombang elektromagnetik tersebut

diperlukan perangkat antena pada sistem radar.

Jarak jangkauan radar ditentukan oleh daya pancar,

bandwidth, propagasi sinyal, penguatan antena,

polarisasi antena dan beamwidth.

Penelitian dan perancangan antena di

Indonesia sebelumnya telah menghasilkan

beberapa jenis desain antena untuk radar pengawas

pantai (coastal surveillance radar). Pada penelitian

[4] didesain antena mikrostrip susun 4 patch

horizontal pada pita frekuensi S-band atau 3 GHz.

Sementara itu, perancangan antena radar pada

frekuensi X-band yaitu pada frekuensi 9,4 GHz,

telah dilaporkan dalam [5] dengan desain planar

susun menggunakan bahan alumina dan [6] yang

mendesain pengembangan mikrostrip susun.

Rancangan antena radar pengawas pantai juga

direalisasikan dalam bentuk antena slotted

waveguide. Penelitian [7] melaporkan

pengembangan antena waveguide 8-slot dan pada

[8] berhasil direalisasikan antena waveguide 16

slot.

Antena slotted waveguide adalah antena

gabungan dari salah satu jenis antena aperture

yang berbentuk waveguide dan antena susun.

Kelebihan dari antena ini yaitu mudah difabrikasi

dan sederhana dibandingkan dengan antena

aperture lain, misalnya antena horn, teknik

pencatuan sederhana, distribusi aperture yang

presisi dan rugi-rugi yang rendah. Hal ini

menjadikan antena ini banyak digunakan pada

aplikasi komunikasi radar.

Pada penelitian [8] di atas telah dirancang dan

direalisasikan antena waveguide 16 slot dengan

beamwidth yang dihasilkan kurang sempit,

sehingga menyebabkan antena sulit untuk dapat

membedakan objek satu dengan yang lainnya.

Maka dalam makalah ini akan dilaporkan hasil

pengembangan antena slotted waveguide dengan

menambahkan jumlah slot menjadi 32 slot yang

bekerja pada frekuensi 9,4 GHz untuk

mendapatkan gain yang lebih besar dan beamwidth

yang lebih sempit.

II. METODE PENELITIAN

A. Spesifikasi Antena

Antena radar pengawas pantai yang

dirancang diharapkan dapat bekerja pada

frekuensi 9,4 GHz sesuai dengan frekuensi

radar untuk pengawas pantai. Frekuensi

kerja ini akan menjadi parameter frekuensi

dalam menentukan parameter-parameter

lain seperti tinggi monopole, jarak slot dari

garis tengah, dan jarak konektor dengan

slot terdekat. Antena diharapkan memiliki

parameter VSWR ≤ 1,5, gain ≥ 15 dB dan

beamwidth ≤ 10. Antena dibuat dari

bahan plat kuningan yang memiliki

konduktivitas 1,6 × 107.

B. Perhitungan dimensi slot

Antena slot waveguide dibentuk dengan

membuat slot diposisikan pada permukaan

waveguide. Struktur waveguide adalah

segi empat (rectangular) dengan bahan

kuningan. Slot ditempatkan secara paralel

secara bergantian pada sisi kanan dan kiri

dari garis tengah permukaan sisi

waveguide seperti yang ditunjukkan pada

Gambar 1.

Dalam merancang antena, perlu dilakukan

penentuan ukuran-ukuran suatu slot

waveguide seperti ditunjukkan pada

Gambar 2. Persamaan-persamaan yang

digunakan berdasarkan pada formula

Stevenson [9].

Gambar 1. Struktur antena waveguide

Page 17: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

390

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

Gambar 2. Slot waveguide tampak atas beserta dengan ukuran-

ukurannya

Setelah dilakukan perhitungan secara

teorittis, antena dimodelkan dalam

software simulasi CST Microwave Studio

dan kinerja parameternya disimulasikan

untuk melihat kesesuaian dengan

spesifikasi yang diinginkan. Akan tetapi

hasil simulasi yang pertama belum

menghasilkan kinerja antena sesuai

spesifikasi maka diperlukan optimasi

rancangan dengan cara mengubah tinggi

monopole, jarak slot dari garis tengah, dan

jarak konektor dengan slot terdekat. Untuk

melihat perubahan pada optimasi yang

dilakukan, beberapa parameter seperti

return loss, VSWR, dan impedansi diamati.

Tabel 1 menunjukkan ukuran-ukuran yang

harus dihitung berdasarkan Gambar 2

disertai nilai hasil perhitungan teoritis dan

hasil optimasi.

C. Simulasi

Desain hasil optimasi disimulasikan dan

diperoleh grafik kinerja antena. Gambar 3

adalah hasil simulasi return loss yang

menunjukkan bahwa pada frekuensi 9,4

GHz, diperoleh return loss sebesar -25,43

dB. Sedangkan Gambar 4 menunjukkan

hasil simulasi VSWR pada frekuensi 9,4

GHz, yaitu sebesar 1,113. Gambar 5

menunjukkan hasil simulasi impedansi

pada frekuensi 9,4 GHz adalah

51,62+j5,41Ω, ini mendekati dengan nilai

impedansi yang diinginkan yaitu 50 Ω.

Nilai dari hasil simulasi yang didapatkan

telah memenuhi nilai yang diinginkan

yaitu VSWR ≤ 1,5 dan nilai return loss ≤ -

14dB.

TABEL 1. DIMENSI HASIL PERHITUNGAN DAN OPTIMASI

variabel

dimensi

slot

Perhitungan

(mm)

Optimasi

(mm)

Keterangan

pada Gambar 2

L 44,56 45,06 a: jarak konektor

dengan slot

variabel

dimensi

slot

Perhitungan

(mm)

Optimasi

(mm)

Keterangan

pada Gambar 2

terdekat

dantarslot 22,28 22,28 b :Jarak antar

tengah slot

x 1,16 1,16 c :Jarak slot dari garis tengah

Wslot 2,23 2,23 d : Lebar slot

Lslot 15,96 15,96 e : Panjang slot

r 11,14 11,14 f, g : End spacing

l 7,6 6,1 Tinggi monopole

Gambar 3. Return Loss simulasi

Gambar 4. VSWR Optimasi

Gambar 5. Impedansi Antena

Gambar 6. Gain hasil simulasi

Page 18: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

391

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

Gambar 7. Hasil simulasi beamwidth

Pada Gambar 6 dapat dilihat hasil simulasi gain

yang diperoleh sebesar 20,6 dB. Gambar 7

menunjukkan pola radiasi hasil simulasi yang dapat

menunjukkan beamwidth yang didapatkan adalah

2,4o

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah didapatkan desain antena yang

menghasilkan kinerja terbaik, maka desain tersebut

direalisasikan dengan fabrikasi menggunakan plat

kuningan. Antena yang telah difabrikasi

ditunjukkan pada Gambar 8. Setelah itu dilakukan

pengukuran antena untuk mendapatkan nilai return

loss, VSWR, gain, impedansi dan beamwidth

antena.

Hasil pengukuran terhadap return loss antena

slot waveguide ditunjukkan pada Gambar 9. Dapat

diamati bahwa pada marker 2 (MKRO2) di

frekuensi 9,4 GHz didapatkan nilai return loss = -

18,188 dB. Nilai ini telah memenuhi nilai yang

diinginkan.

Gambar 8. Antena waveguide 32 slot

Gambar 9. Grafik nilai return loss hasil pengukuran

Hasil pengukuran terhadap VSWR antena

slot waveguide ditunjukkan pada Gambar 10.

Pengamatan pada marker 2 (MKRO2)

memperlihatkan nilai VSWR yang diperoleh

sebesar 1,281 pada frekuensi 9,4 GHz. Nilai ini

telah memenuhi nilai yang diinginkan yaitu VSWR

≤ 1,5. Gambar 10 ini juga menunjukkan nilai

bandwidth antena berada pada rentang frekuensi

9,350 GHz pada marker 1 (MKRO1) dan frekuensi

9,4725 pada marker 4 (MKRO4). Bandwidth yang

dicapai pada nilai VSWR ≤ 1,5 adalah 122,5 MHz

atau 1,3%.

Dari hasil pengukuran terhadap antena slot

waveguide, pada Gambar 11 marker 2 (MKRO2) di

frekuensi 9,4 GHz diperoleh nilai impedansi

56,182+j11,616Ω. Nilai impedansi yang paling

baik yaitu 50 Ω adalah di frekuensi 9,436 GHz

yang ditunjukkan oleh marker 3 (MKRO3).

Pengukuran pola radiasi dilakukan dengan dengan

interval 1. Hasil pengukuran ditunjukkan pada

Gambar 12 dan Gambar 13 yang menunjukkan

bahwa antena slot waveguide ini mendapatkan

beamwidth dari 88,2o sampai 92,0 atau sebesar

3,8. Pengukuran beamwidth yang diambil adalah

ketika terjadi penurunan 3dB secara logaritmik

pada half power beamwidth yang menunjukkan

lebar berkas pancaran.

Page 19: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

392

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

Gambar 10. Grafik nilai VSWR hasil pengukuran antena

Gambar 11. Grafik Smith Chart impedansi hasil pengukuran antena

Gambar 12. Grafik polar hasil pengukuran pola radiasi elevasi

antena slot waveguide

Gambar 13 Grafik kartesian hasil pengukuran beamwidth antena

slot waveguide pada frekuensi 9,4 GHz

Pengukuran gain dilakukan dengan

menggunakan antena horn 12 dB sebagai

referensi, menghasilkan nilai gain antena

waveguide 32 slot sebesar 19,44 dB. Dari hasil pengukuran, dapat diamati bahwa

beamwidth yang diperoleh adalah 3,8 yang berarti dapat memperbaiki nilai beamwidth pada antena slot waveguide 8 slot [7] dan 16 slot [8]. Selain itu nilai gain waveguide 8 slot sebesar 14,17 dB dan waveguide 16 slot sebesar 12,93 dapat ditingkatkan menjadi 19,44 dB pada antena waveguide 32 slot. IV. KESIMPULAN

Kesimpulan

Seluruh tahapan perancangan, realisasi,

pengukuran dan analisis antena waveguide 32 slot

telah dilakukan. Nilai VSWR dan return loss hasil

simulasi maupun pengukuran telah memenuhi

spesfikasi pada frekuensi kerja dan bandwidth yang

diperoleh pada pengukuran dengan VSWR < 1,5

adalah 122,5 MHz. Gain antena yang diperoleh

dari pengukuran sebesar 19,44 dB pada frekuensi

9,4 GHz. Half power beamwidth yang didapatkan

sebesar 3,8. Dengan demikian peningkatan jumlah

slot pada antena slot waveguide dapat memperbaiki

nilai beamwidth dan meningkatkan nilai gain

antena.

DAFTAR PUSTAKA

[1] A.A. Lestari, P. Hakkaart, J.H. Zijderveld, F. v.d.

Zwan, M. Hajian, L.P. Ligthart, “INDRA: the

Indonesian maritime radar,” Proc. 2008 European

Radar Conf. (EuRAD 2008), Amsterdam, The

Netherlands, Oct. 2008, pp 1600-1603

Page 20: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

393

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

[2] M. Wahab, Y. Wahyu, Sulistyaningsih dan N. D.

Susanti, “Penelitian dan Pengembangan Radar

Pengawas Pantai ISRA Generasi IV”, Proceeding

Seminar Ilmu Pengetahuan Teknik 2012, pp 442-447

[3] M. Wahab, D. P. Kurniadi, T. T. Estu, D.

Mahmudin, Y. Y. Maulana, Sulistyaningsih,

“Development of Coastal Radar Network at Sunda

Strait”, TELKOMNIKA, Vol.14, No.2, June 2016,

pp. 507~514

[4] F. Oktafiani Y. P. Saputera, “Antena Patch Array

untuk Portable Coastal Radar pada Frekuensi S-

Band, Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi, Vol.

13, No. 1, Juni 2013, pp 18-22

[5] Y.Wahyu, Y. P. Saputera, I. D. P. Hermida, “Array

Planar Antenna Using Thick Film on Alumina

Substrate for X band Radar”, The 7th National

Radar Seminar and The 2ndInternational

Conference on Radar, Antenna, Microwave,

Electronics and Telecommunications (ICRAMET)

[6] F. Y. Zulkifli, Y. Wahyu, Basari, dan E. T.

Rahardjo, “Pengembangan Antena Mikrostrip

Susun untuk Radar Pengawas Pantai”, Jurnal

Elektronika dan Telekomunikasi, Vol. 13, No. 2,

Desember 2013, pp 55-59

[7] F.Y. Zulkifli, E. T. Rahardjo. U. Ulya, Y. Wahyu,

“Pengembangan Antena Waveguide 8 slot untuk

Aplikasi Radar Pengawas Pantai”, Jurnal

elektronika dan telekomunikasi Vol 12 no 1, 2012

pp 53-57

[8] R. K. Landyanto, T. A. Riza, Y.Wahyu,

“Perancangan dan Realisasi Antena 16 slot

Waveguide pada Frekuensi X-band (9,4 GHz) untuk

Aplikasi Radar Pengawas Pantai, , IT Telkom

Journal on leT, Volume 1 Nomor 2 September

Tahun 2012

Gilbert, A. Roland. Antena Engineering Handbook. New

York : McGraw-Hill, 2007.

Page 21: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

394

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

Perbandingan hasil simulasi dan Real Plant Pada Sistem Pasteurisasi dengan Pengendali PID CASCADE

Yulian Zetta Maulana

Teknik Elektro, Fakultas Teknik Telekomunikasi dan Elektro, Institut Teknologi Telkom Purwokerto

Jl. DI Panjaitan 128, 53147, Purwokerto, Indonesia

[email protected]

ABSTRAK

Pengontrolan suhu pada sistem pasteurisasi dibutuhkan agar susu yang dihasilkan memiliki

kualitas yang bagus. Salah satu jenis pengontrolan yang digunakan pada sistem pasteurisasi adalah PID

Cascade. Pada sistem ini, output temperatur yang berupa temperatur pemanas menjadi input sistem yang

lain. Di saat yang bersamaan, identifikasi sistem pasteurisasi dibutuhkan agar simulasi pengontrolan bisa

dijalankan untuk jenis pengontrolan yang berbeda-beda. Salah satu metode identifikasi yang biasa

digunakan adalah dengan mengambil model matematika yang meminimalkan nilai Sum Squared Error.

Tetapi walaupun nilai Sum Squared Error dari hasil identifikasi sistem menunjukkan nilai yang kecil, dan

pada saat dilakukan simulasi tanpa pengonrol menunjukkan hasil yang sesuai, performansi simulasi bisa

jadi berbeda saat sistem diberi pengontrol. Pada penelitian ini, dilakukan proses identifikasi sistem pada

sistem yang belum dikontrol dan hasilnya digunakan untuk melakukan simulasi pada sistem yang

menggunakan pengontrol. Dari identifikasi sistem tersebut, maka akan dibandingkan dengan hasil pada

real plant. Dari hasil simulasi, ditemukan nilai rise time adalah 585 detik, sementara nilai pada plant

realnya adalah 251 detik. Nilai Time peak pada simulasi adalah 911 detik, sementara pada real Plantnya

adalah 550 detik. Maksimum Overshoot pada simulasi adalah 44,95 %, sementara pada real time adalah

53,17%. Nilai settling time 5 persen untuk simulasi adalah 1688 detik, sementara pada real time adalah

856 detik. Mean Squared Error setelah rise time pada Real Plant adalah 7,45. Sedangkan pada simulasi

adalah 11,51. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa simulasi sistem dengan menggunakan hasil

identifikasi sistem menunjukkan pola grafik yang mirip dengan real plant. Namun hasil simulasi

menunjukkan nilai delay yang lebih besar.

Kata kunci –Pasteurisasi, Identifikasi sistem, PID Cascade, Sum Squared Error

ABSTRACT Temperature control in the pasteurization system is needed so that the milk produced has a good quality.

One type of control used in pasteurization systems is a Cascade PID. In this system, the temperature output

in the form of a heating temperature becomes an input for another systems. At the same time, the

identification of the pasteurization system is needed so that controlling simulations can be carried out for

different types of controls. One of the commonly used identification methods is to take a mathematical

model that minimizes the Sum Squared Error value. But even though the Sum Squared Error value of the

system identification results shows a small value, and when simulated without a controller shows the

appropriate result, the simulation performance may be different when the system is controlled. Therefore,

in this study, the process of identifying the system on a system that has not been controlled and the results

used to simulate at system that uses the controller. From the identification of the system, we compared with

the results in the real plant. From the simulation results,we found the rise time value is 585 seconds, while

the rise time of the real plant value is 251 seconds. The peak time value of the simulation is 911 seconds,

while in the real Plant, the value is 550 seconds. Maximum Overshoot on simulation is 44.95%, while at the

real time is 53.17%. The settling time value of 5 percent for the simulation is 1688 seconds, while in real

time is 856 seconds. Mean Squared Error for the real plant is 7,45, while in simulation is 11,51. From the

results of the study, we found that the simulation of the system by using the results of identification system

shows a graph pattern similar to real plant. But the simulation results show a larger delay value.

Keywords-Pasteurization, System Identification, PID Cascade, Sum Squared Error.

Page 22: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

395

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

Metoda Produk Suhu Waktu

Vat Pasteuruzation Susu 62,8 °C 30 menit

High Temperature Short Time SUsu 71,7 °C 15 detik

88,3 °C 1 detik

90 °°C 0,5 detik

93,8 °C 0,05 detik

SUsuHigher Heat Shorter Time

I. PENDAHULUAN

Dalam dunia industri pasteurisasi susu,

dibutuhkan suatu proses pemanasan dan

pendinginan produk. Proses pemanasan dilakukan

untuk mematikan mikroba pathogen pada susu,

sementara proses pendinginan dilakukan agar

produk bisa dimasukkan ke dalam kemasan.

Sehingga kecepatan proses pasteurisasi sangat

menentukan berapa banyak produk yang dapat

dibuat. Di mana banyaknya produk yang bisa

dibuat akan berbanding lurus dengan laba industri

pasteurisasi susu. Pengontrolan yang efisien pada

proses pasteurisasi sangatlah dibutuhkan.

Di sisi lain, industri pasteurisasi susu juga

harus memastikan bahwa produk susu yang

dihasilkan adalah aman untuk dikonsumsi

masyarakat. Dengan tetap memperhatikan

kandungan gizi di dalam susu yang diproduksi.

Proses pasteurisasi ini sangat penting dan banyak

digunakan pada industri susu, yogurt dan keju.

Setiap pemanasan susu memiliki lama waktu

pemanasan yang berbeda, sehingga pengontrolan

pada sistem pasteurisasi dapat dikategorikan

sebagai pengontrolan kritis. Berikut adalah tabel

pasteurisasi susu dan lama pemanasan berdasarkan

temperatur yang dicapai.

Tabel 1. Lama pemanasan pada pasteurisasi[1]

Proses pasteurisasi menghilangkan mikroba

patogen dengan memanaskan produk dengan temperatur 71,7° dalam waktu 15 detik atau biasa disebut HTST (High Temperature Short Time). Untuk mencapai temperatur yang tinggi dalam waktu singkat diperlukan sistem kontrol agar produk yang dihasilkan semakin terjamin keamanannya untuk dikonsumsi. Sedangkan untuk bisa mengaplikasikan sistem kontrol tersebut untuk berbagai jenis pengontrol, dibutuhkan identifikasi sistem sehingga performansi pengontrol tidak harus langsung diterapkan pada plant, melainkan bisa dilakukan simulasi terlebih dahulu. Sehingga, setelah diperoleh hasil yang optimal pada simulasi, parameter pengotnrol yang sama bisa diterapkan pada real Plant.

II. METODE PENELITIAN

A. Studi Literature

Pada penelitian dengan judul temperatur

control system using ANFIS, Berto Maria isabel

dkk.[2] membandingkan pengontrolan temperatur

pada mesin pasteurisasi juice. Jenis pengontrol

yang dibandingkan adalah pengontrol PID

feedback dan PID feedback feedforward.

Kontribusi yang diberikan Maria Isabel dalam

penelitian ini adalah hasil perbandingan

performansi pengontrol pada plant pasteurisasi,

walaupun plant pasteurisasinya adalah untuk

pasteurisasi jus. Hasil penelitian menunjukkan

tidak ada perbedaan performansi yang signifikan

saat temperatur dikontrol menggunakan metoda

PID feedback dan PID feedback feedforward.

Pada penelitian selanjutnya Wan Moktar

meneliti tentang Performansi pengontrol PID pada

alat penukar panas pada mesin pasteurisasi buah

puree jambu[3]. Ada 4 tipe tuning PID yang

dilakukan. Perbandingan dilakukan pada simulasi

dan eksperimen. Hasilnya menunjukkan bahwa

pengontrol PID dengan tuning minimalisasi IAE

memiliki performansi paling baik. Namun masih

terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil

simulasi dengan hasil eksperimen.

Penelitian selanjutnya adalah Tugas akhir

yang dilakukan oleh Ratih Rizki Dahlia dan Nur

afifah[4]. Penelitian menggunakan plant

pasteurisasi dan membandingkan performansi

pengontrol PID SIMRC, PID cohen coon dengan

pengontrol PID cascade. Plant yang digunakan

sama dengan plant yang digunakan pada tesis ini.

Pengontrol yang digunakan adalah PLC. Hasilnya

menunjukkan PID cascade memiliki performansi

paling baik.

B. Sistem Pasteurisasi

Proses pengontrolan pada plant ini

menggunakan menggunakan PLC. Namun program

PID, tidak akan diprogram menggunakan ladder

diagram pada PLC. Algoritma PID Cascade dibuat

Matlab. Ladder diagram pada PLC pada penelitian

ini lebih berfungsi sebagai interface alamat-alamat

pada OPC dengan Sensor pada plant. Komunikasi

antara PLC dan MATLAB akan menggunakan

OPC kepserverex. [5].Diagram sistem pasteurisasi

dapat dilihat pada gambar 1.

Page 23: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

396

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

Gambar 1. Diagram sistem Pasteurisasi[6]

Sensor yang dihubungkan dengan OPC

kepserver adalah sensor temperature pada holding

tube (T1) dan sensor temperatur pada tangki

pemanas (T2). Sensor tersebut akan terhubung

dengan PORT PLC input analog. PLC kemudian

akan melakukan program untuk menghubungkan

antara input dari sensor dengan input pada OPC.

Kedua Jenis variabel tersebut akan dimasukkan ke

dalam OPC kepserverex menggunakan kabel

komunikasi RS232 dengan protocol DF1[6]. Pada

OPC kepserver, variabel tersebut akan dimasukkan

ke dalam program Matlab. Pada Matlab kemudian

akan dirancang algoritma PID Cascade yang sesuai

dengan set poin yang diinginkan. Output dari

Matlab akan berupa variabel untuk memberikan

nilai analog pada pemanas. Variabel tersebut akan

dikirimkan ke OPC lalu kembali dikirim ke PLC.

Output analog pada PLC akan mengirimkan sinyal

tegangan pada pemanas.

Kontrol secara otomatis adalah

membandingkan antara output aktual (hasil

pengukuran oleh sensor) dengan set point (nilai

besaran yang diinginkan) untuk memberikan sinyal

kontrol U pada aktuator yang akan mengurangi

deviasi (output dengan set point) menjadi nol atau

sekecil mungkin sehingga output menjadi sama

dengan set point yang diinginkan. Pada penelitian

ini digunakan PID Cascade di mana output dari 1

proses menjadi input bagi proses yang lain. Block

diagram PID cascade dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Blok Diagram PID Cascade

Pengendali PID Cascade memiliki keunggulan

dibandingkan dengan single control karena respon

keluaran dari single control seringkali tidak sesuai

dengan yang diharapkan. Sehingga terdapat

penambahan variabel sekunder di dalam

pengendalian plant. Oleh karena itu, dengan

adanya pengendali sekunder, pengendali dapat

mengatasi gangguan pada loop sekunder

Tabel tuning untuk PID cascade pada loop primer

dan sekunder dapat dilihat di tabel 2.[8]

Tabel 2. Penalaan PID Cascade

Di mana K1 adalah gain sistem primer, τ1

merupakan konstanta waktu sistem primer, dan θ1

waktu tunda sistem primer. Sedangkan K2 adalah

gain sistem sekunder, τ2 merupakan konstanta

waktu sistem sekunder, dan θ2 waktu tunda sistem

sekunder.

D. Identifikasi sistem

Sistem yang diidentifikasi adalah sistem

pasteurisasi di mana hubungan antara Temperatur

output akan diukur dan dibandingkan dengan

masukan pada pemanas. Hasil identifikasi tersebut

akan digunakan untuk menentukan parameter

pengontrol. Identifikasi sistem dilakukan untuk

memperoleh fungsi transfer yang digunakan untuk

merancang pengontrol yang paling tepat untuk

digunakan pada plant pasteurisasi.Lalu dilakukan

proses penyesuaian model matematika dengan

model input output yang diperoleh. Persamaan

matematikanya dipilih berdasarkan nilai Sum

Squared error terkecil. Di mana model fungsi

transfer yang akan dipilih adalah model yang

Page 24: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

397

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

memiliki nilai kesesuaian paling tinggi dengan nilai

perbandingan input dan output secara real.

Digunakan sum square error (SSE) untuk

menentukan model mana yang memiliki SSE

terkecil[9].

Hasil identifikasi sistem tersebut akan

dibandingkan performansinya dengan hasil pada

real plant pasteurisasinya. Dari perbandingan

tersebut dilihat berapa besar kehandalan dari

identifikasi sistem tersebut.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Perancangan Identifikasi Sistem

Identifikasi dilakukan dengan memberikan

input daya pemanas sebesar 20,75% dari daya

maksimal. Sehingga daya yang diberikan adalah

0,3465 kW. Nilai 0,3465 kW diperoleh dengan

memberikan nilai 3400 pada Input. Input diberikan

pada Matlab. Dari Matlab, nilai tersebut akan

dikirim ke OPC, lalu ke PLC, dan dari output

analog PLC akan dikirim ke pemanas. Nilai

integer maksimal dari PLC untuk pemanas adalah

16383 yang menyatakan daya pemanas sebesar

100%

Hasil yang diperoleh adalah bentuk kurva yang

menyatakan hubungan temperatur T2 (temperatur

fluida panas) terhadap daya pemanas dan

temperatur T1 (Holding temperatur) terhadap daya

pemanas. Agar penguatan atau gain mendekati nilai

1, maka terdapat faktor pengali dan pembagi pada

Matlab. Output temperatur yang diukur oleh

thermocouple berada pada range 0 sampai 16383

yang menyatakan suhu antara 0-150 °C. Hal itu

berarti nilai 1 °C ekivalen dengan pembacaan nilai

integer sensor suhu sebesar 109,22.

Nilai T1 awal disamakan pada temperatur 36

°C yang berarti pembacaan sensor pada waktu itu

sebesar 3932. Sehingga pada saat pembacaan nilai

output dari sensor yang terbaca di Matlab akan

dikurangi dengan nilai 3932. Sementara nilai T2

awal disamakan pada temperatur 40 °C yang

berarti pembacaan sensor pada saat itu sebesar

4369. Sehingga pada kondisi awal, nilai sensor

suhu yang mengukur T2 dikurangi dengan nilai

4369.

B. Fungsi Transfer T2 dan T1 terhadap Heater

Dari hasil percobaan, diperoleh grafik fungsi

transfer T2 dan T1 terhadap input heater. Setelah

dilakukan pemanasan dengan membuat nilai flow

aliran air dingin dibuat konstan sebesar 150

ml/menit dan flow air panas sebesar 61,03% dari

flow maksimal, maka diperoleh kurva seperti pada

gambar 3.

Gambar 3. Respon Fungsi T2 dan T1 terhadap

Heater

Dari kurva di atas dilakukan analisis untuk

mencari respon fungsi transfer antara T2 dengan

pemanas dan T1 dengan pemanas. Dengan

menggunakan Metode Sum Squared Error, dicari

nilai respon fungsi transfer yang memiliki nilai

kesesuaian terbaik dengan hasil percobaan. Dari

grafik sebenarnya sudah diperoleh besar dari dead

time-nya sehingga dead time dibuat sesuai dengan

apa yang diperoleh pada grafik.

Fungsi transfer T2 terhadap pemanas yang

diperoleh adalah untuk sistem untuk orde 1:

15.1071

98347.0)(

22

1

s

esG

s

(IV.1)

C. Fungsi Transfer T1 terhadap T2

Sementara untuk mencari fungsi transfer antara

T2 dengan T1, nilai T2 dibuat konstan. Walaupun

pada kenyataannya nilai T2 akan mengalami

penurunan saat nilai T1 naik karena terjadi transfer

kalor di anatara fluida panas dengan fluida dingin.

Grafik hubungan antara nilai T2 dengan nilai T1

dapat dilihat pada gambar IV.4.

Page 25: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

398

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

1886.82

6407.0)(

30

2

s

esG

s

Gambar 4 Respon T1 terhadap T2

Dari grafik, persamaan fungsi transfer yang

menghubungkan antara T2 dengan T1 adalah

PEMBAHASAN

A. Perfomansi sistem menggunakan PID cascade pada sistem asteurisasi

Dari data didapatkan nilai maksimum overshoot

53,17 %, dengan rise time sebesar 251 s. Nilai

settling time bisa diperoleh di mana settling time

untuk error 5% sebesar 856 s dan settling time

untuk error 2% sebesar 956 s. Overshoot yang

terjadi pada PID Cascade sangat besar. Hal ini

terjadi karena saat start awal, pemanas tidak

berhenti memanaskan sebelum Suhu fluida yang

dipanaskan tercapai walaupun suhu fluida panas

sudah sangat panas. Pada saat yang bersamaan,

masih ada dead time yang terjadi saat transfer

panas dari fluida panas ke fluida dingin. Sehingga

saat pemanas sudah tidak diberi daya full, proses

transfer panas masih terjadi. Mean square error

setelah rise time adalah 7.45.

Dari gambar 5 terlihat bahwa sistem yang

dikontrol dengan PID cascade mengalami

overshoot yang sangat besar. Dead time pada

proses transfer kalor dari fluida panas ke fluida

dingin lebih besar dibandingkan dengan

dead time pada proses pemanasan fluida panas.

Sehingga saat pemanas diaktifkan, maka nilai T2

(temperature fluida panas) akan naik terlebih

dahulu dibandingkan T1 dengan rentang perbedaan

yang cukup jauh. Sementara pada saat pemanasan

awal nilai input pemanas adalah hasil kali dari error

sekunder dengan gain proporsional sistem

sekunder. Sementara set poinnya adalah hasil kali

error sistem primer dengan gain proporsional

sistem primer. Set poin di keadaan awal sangat

tinggi yang memaksa pemanas bekerja terus

menerus pada keadaan maksimalnya. Pemanas

akan terus bekerja maksimal sampai pada suatu

keadaan di mana nilai T1 sudah mendekati nilai set

poinnya. Namun saat itu nilai T2 sudah sangat

tinggi sehingga walaupun pemanas sudah

dimatikan, transfer panas dari T2 ke T1 masih terus

terjadi. Sehingga mengakibatkan nilai T1 masih

terus menerus naik walaupun pemanas sudah

dimatikan.

Pada saat nilai T2 sudah mengalami penurunan,

maka nilai T1 juga akan menurun. Ketika nilai T1

sudah berada di bawah set poin, maka pemanas

akan kembali bekerja. Namun karena proses waktu

tunda pada saat transfer panas antara fluida T2

dengan T1, maka suhu T1 masih terus menurun

untuk beberapa saat walaupun pemanas sudah

bekerja kembali.Respon sistem dapat dilihat pada

gambar 5.

Gambar 5 Respon sistem menggunakan PID

cascade

Secara umum performansi pengendali PID

cascade memiliki 2 keadaan yang cukup kontras.

Pada keadaan awal di mana temperatur menuju

keadaan steady state, performansinya sangat buruk.

Maksimal overshoot yang terjadi sangat besar.

Daya yang digunakan pun sangat tinggi. Pada

keadaan ini nilai MSEnya juga paling besar.

Namun ketika keadaan sudah berada dalam

keadaan steady, sistem memiliki performansi yang

sangat bagus.Nilai settling time untuk error 2%

relative cepat. Daya yang digunakan cukup kecil,

serta nilai MSEnya kecil.

B. Performansi sistem menggunakan Simulasi

Hasil Simulasi dapat dilihat pada gambar 6.

Page 26: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

399

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

Gambar 6. Respon simulasi sistem

menggunakan PID cascade

Dari data didapatkan nilai maksimum

overshoot 44,95 %, dengan rise time sebesar 251

s. Nilai settling time bisa diperoleh di mana settling

time untuk error 5% sebesar 1688 s dan settling

time untuk error 2% sebesar 956 s. Hasil simulasi

menunjukka performansi yang lebih lambat

daripada hasil pada real Plant. Tapi pola grafiknya

adalah sama. Hal ini berarti perlu dilakukan

modifikasi pada proses identifikasi sistem. Pada

gambar simulasi 6 terlihat sistem memiliki

overshoot lebih kecil jika dibandingkan dengan real

plant. Perbandingan performansi pada real plant

dengan simulasi dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan Hasil Simulasi

Dan Real Plant

Parameter Real Simulasi

Overshoot 53,17% 44,95%

Rise time 251 s 585 s

Peak time 550 s 911 s

settling time 5% 856 s 1688 s

settling time 2% 956 s 2152 s

MSE setelah rise time 7,45 11,51

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan dari hasil simulasi PID Cascade

pada sistem pasteurisasi dan perbandingannya

dengan Real Plantnya adalah:

1. Hasil simulasi maupun hasil real plantnya

menunjukkan nilai overshoot yang sangat

tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa PID

Cascade kurang tepat diterapkan pada

proses pasteurisasi.

2. Secara umum performansi hasil simulasi

menunjukkan hasil yang lebih buruk

dibandingkan hasil pada real plant. Hal ini

menunjukkan bahwa identifikasi sistem

untuk sistem masih belum optimal.

3. Pada saat sistem sudah stabil, nilai

MSEnya menunjukkan nilai yang kecil.

Hal itu berarti sistem PID Cascade cocok

diterapkan hybrid dengan pengontrol lain,

di mana PID Cascade akan digunakan saat

sistem sudah stabil.

Saran

1. Identifikasi sistem dilakukan

menggunakan orde yang lebih besar

daripada satu.

2. Identifikasi sistem dilakukan dengan

menggunakan metode lain

3. Optimasi pada sistem pasteurisasi

dilakukan dengan pengontrol lain yang

tidak menimbulkan overshoot yang terlalu

besar.

DAFTAR PUSTAKA

[9] Wilson GS. The Pasteurization of Milk. Br Med J.

1943;1 (4286):261-262

[10] Berto, Maria Isabel, Silveira Vivaldo, Jr. Configuration of PID/feedback and PID/Feedback/Feedforward Controllers in temperatur control of a HTST Heat Exchanger.2012. Journal 4th mercosur congress on process sistem engineering.

[11] Mokhtar, Wan, F.S. Taip, N. Aziz, Abdul, S.B. Mohd Noor. Process Control of Pink Guava Puree Pasteurization Process: Simulation and Validation by Experiment. 2012. International Journal on Advanced Science, Engineering, Information Technology vol 2 (2012) No 4. ISSN: 2088 5334

[12] Dahlia, Rizki Ratih dan Afifah, Nur. 2015. Perancangan Otomasi dan Pengontrol Pada Miniatur Proses pasteurisasi Dengan Menggunakan PLC. Tugas akhir. Departemen Teknik Fisika. Institut Teknologi Bandung.

[13] OPC Foundation. What is OPC. September 2006. www.OPCFoundation.org/Default.aspx/01_about/01_whatis.asp?MID=AboutOPC

[14] “PCT23MkII : Process Plant Trainer (Process Control Trainer).” [Online]. Available: http://discoverarmfield.com/en/products/view/pct23/process-plant-trainer-process-control-trainer.

[15] Zhang Lieping, Zeng Aiqun, Zhang Yunsheng. 2007. On Remote Real-time Communication between MATLAB and PLC Based on OPC Technology. Proceedings of the 26th Chinese Control Conference.

[16] S.P.Yongho Lee. PID controller tuning to obtain desired closed loop response sfor cascade control systems, Ind. Amp Eng. Chem. Res., vol. 37, no. 5, 1998.

[17] B.W.Bequette. ProcessControl: Modeling, Design, and Simulation. Prentice Hall Professional, 2003. New Jersey. USA

Page 27: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

CENTIVE 2018 INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

400

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and

Creative Media, 11 Agustus 2018

Page 28: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

401

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative

Media, 11 Agustus 2018

Perancangan dan Pembuatan Pembagi Tegangan untuk

Pengaturan Level Keluaran Sistem DSP Pada Aplikasi

Radar Pengawas Udara

Sulistyaningsih1,Yussi Perdana Saputera

2

1,2 Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

1,2 Kampus LIPI Gd 20 Lt 4, Jl Sangkuriang, Bandung 40135, Indonesia

[email protected]

Abstrak – Dalam sistem radar digital, pemrosesan sinyal digital (DSP) digunakan untuk membuat keputusan.

Setelah ada sinyal yang ditransmisikan, penerima mulai menerima sinyal kembali, yang berasal dari dekat

benda yang datang lebih dahulu karena waktu kedatangan diterjemahkan ke dalam kisaran target. Prosesor

sinyal menempatkan raster dari range bins selama periode waktu, dan sekarang harus membuat keputusan

untuk setiap range bins, apakah itu berisi objek atau tidak. Pengambilan keputusan ini terhambat oleh noise.

Noise dari atmosfer masuk ke dalam sistem melalui antena, dan semua elektronik di jalur sinyal radar

menghasilkan noise yang terlalu banyak. Hal pertama yang dilakukan adalah membuka bagian rangkaian

pembagi frekuensi yang terdapat pada DDS kit, setelah bagian rangkaian pembagi frekuensi di lepas dari DDS

kit, maka selanjutnya dilakukan proses penggambaran wiring diagram menggunakan software. Dalam tahapan

selanjutnya melakukan dua kali pengukuran pada pin IC rangkaian pembagi frekuensi yang sudah ditandai

kotak berwarna merah, kegiatan ini dilakukan untuk membandingkan hasil pengukuran pertama dan kedua

apakah terdapat perbedaan atau tidak apabila menggunakan signal generator yang berbeda. Pengukuran

pertama menghubungkan input rangkaian pembagi frekuensi dengan HP 8640B Signal Generator dan

pengukuran kedua menghubungkan input rangkaian pembagi frekuensi dengan Feel Tech FY6600

Function/Arbitary Waveform Generator. Selanjutnya output pada rangkaian pembagi frekuensi dihubungkan

dengan osiloskop untuk melihat sinyal keluaran dari IC pembagi frekuensi. Rangkaian pembagi frekuensi pada

DDS kit dapat bekerja dengan baik dengan membagi frekuensi dari sinyal input melalui pembagi satuan,

puluhan, ratusan, puluhan ribu, dan ratusan ribu.

Kata kunci – pembagi tegangan, DSP, radar, pengawas udara, DDS

Abstract – In digital radar systems, digital signal processing (DSP) is applied to make decisions. Once a signal

has been transmitted, the receiver begins to receive a return signal, which comes from near the object that

comes first because the arrival time is translated into the target range. The signal processor puts the raster of

range bins over a period of time, and now has to make a decision for each range of bins whether it contains an

object or not. This decision-making is hampered by noise. Noise from the atmosphere enters the system through

the antenna, and all the electronics in the radar signal path produce too much noise. The first thing to do is to

open the part of the frequency divider circuits contained in the DDS kit, after the frequency divider circuit part is

loose from the DDS kit, then the wiring diagram is deployed using the software. In the next stage, the

measurement in the IC pin frequency divider circuit that has been marked red box is done/should be done twice,

this activity is done to compare the first and second measurement results whether there is difference or not when

using different signal generator. The first measurement connects the input-frequency divider circuit with the HP

8640B Signal Generator and the second measurement connects the input of the frequency divider circuit with

Feel Tech FY6600 Function/Arbitary Waveform Generator. Next the output in the frequency divider circuit is

connected to the oscilloscope to see the output signal of the frequency divider IC. The frequency divider circuit

in the DDS kit can work well by dividing the frequency of the input signal through unit division, tens, hundreds,

tens of thousands, and hundreds of thousands.

Keywords - voltage divider; DSP; radar; air surveillance; DDS

I. PENDAHULUAN

Radar mentransmisikan sinyal radio pada

suatu objek yang berada pada jarak yang jauh dan

menganalisis sinyal pantulannya. Data yang dapat

dikumpulkan termasuk posisi dan pergerakan objek,

juga radar dapat mengidentifikasi objek melalui

Page 29: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

402

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative

Media, 11 Agustus 2018

"signature"- refleksi berbeda yang dihasilkannya. Ada

banyak bentuk radar seperti continuous, CW,

Doppler, ground penetrating atau synthetic aperture

dan digunakan dalam banyak aplikasi dari kontrol lalu

lintas udara hingga prediksi cuacavarious table text

styles are provided. The formatter will need to create

these components, incorporating the applicable

criteria that follow.

II.METODE PENELITIAN

Radar Digital Signal Processing.

Dalam sistem radar digital, pemrosesan sinyal digital

(DSP) digunakan secara ekstensif. Pada ujung

pemancar untuk menghasilkan dan membentuk pulsa

transmisi, mengontrol pola pancar antena pada bagian

penerima, DSP melakukan banyak tugas kompleks,

termasuk STAP (Space Time Adaptive Processing) -

penghapusan clutter dan beamforming [1].

Tugas utama dari prosesor sinyal radar adalah untuk

membuat keputusan. Setelah ada sinyal yang

ditransmisikan, penerima mulai menerima sinyal

kembali, yang berasal dari dekat benda yang datang

lebih dahulu karena waktu kedatangan diterjemahkan

ke dalam kisaran target. Prosesor sinyal menempatkan

raster dari range bins selama periode waktu, dan

sekarang harus membuat keputusan untuk setiap

range bins, apakah itu berisi objek atau tidak.

Pengambilan keputusan ini terhambat oleh noise.

Noise dari atmosfer masuk ke dalam sistem melalui

antena, dan semua elektronik di jalur sinyal radar

menghasilkan noise yang terlalu banyak.

Sistem radar modern

Komponen utama radar modern adalah antena,

komputer RF dan sinyal generator. Tracking

Computer pada radar modern melakukan berbagai

fungsi. Dengan penjadwalan posisi antena yang sesuai

dan sinyal yang dikirim sebagai fungsi waktu,

melacak target dan menjalankan sistem tampilan [1].

Gambar 1. Diagram blok dari sistem radar modern

[1].

Bahkan jika atenuasi dari atmosfer dapat diabaikan,

kembalinya objek dari jarak yang jauh sangat lemah.

Pengembalian target sering tidak lebih kuat dari dua

kali tingkat noise level rata-rata. Cukup sulit untuk

menentukan suatu ambang untuk keputusan apakah

suatu puncak tertentu adalah noise atau target nyata.

Jika ambang batas terlalu tinggi maka ada target yang

ditekan yaitu, Probability of Detection (PD) akan

turun. Jika ambang batas terlalu rendah maka akan

terjadi noise puncak dilaporkan sebagai target yaitu,

Probability of False Alarms (PFA) akan naik.

Biasanya Probability of Detection memiliki

kemungkinan deteksi 90% dan tingkat suatu false

alarms yaitu 10-6

. Untuk mempertahankan (PFA)

yang dikenal sebagai Constant False Alarm Rate

(CFAR). Daripada mempertahankan ambang batas

pada titik tetap, sirkuit (CFAR) memeriksa satu range

bin setelah yang lainnya dan membandingkan signal

level yang ditemukan di sana dengan signal level

yang ditemukan di neighboring bins. Jika tingkat

noise level cukup tinggi (misalnya, karena curah

huajn), maka sirkuit (CFAR) akan menaikkan ambang

batas yang sesuai [1],[2].

Tugas Signal Prosesing [1]

Menggabungkan informasi radar pengawas

sekunder seperti yang berada di bandara dapat

meminta transponder pesawat untuk informasi

seperti ketinggian, nomor penerbangan, atau

keadaan bahan bakar. Pilot juga dapat

memberitahu sinyal marabahaya melalui

transponder. Ground dari radar sinyal prosesor,

mengkombinasi data dengan pengukuran

jangkauannya sendiri dan arah sudut, dan plot

bersama semuanya pada ruang lingkup yang

tepat.

Membentuk lintasan, dengan menghubungkan set

data yang diperoleh dalam pemindaian siklus

yang berurutan, radar dapat menghitung vektor

penerbangan yang menunjukan kecepatan

pesawat dan posisi yang diharapkan untuk

periode pemindaian berikutnya. Radar bandara

mampu melacak ratusan target secara

bersamaan, dan keselamatan penerbangan

sangat bergantung pada keandalan mereka.

Radar pelacak militer menggunakan informasi

ini untuk meletakkan atau mengarahkan

senjata rudal ke dalam beberapa titik tabrakan

yang dihitung.

Mengatasi ambiguitas dalam jarak atau

pengukuran Doppler, Tergantung pada Pulse

Repetition Frequency (PRF) radar, pembacaan

rentang, Doppler atau bahkan keduanya

ambigu. Sinyal prosesor menyadari hal ini dan

memilih (PRF) yang berbeda saat objek yang

dimaksud diukur lagi. Dengan set (PRF) yang

sesuai, ambiguitas dapat dihilangkan dan

posisi target yang sebenarnya dapat ditentukan.

Ground Clutter Mapping, Clutter adalah istilah

kolektif untuk semua blip yang tidak

diinginkan pada layar radar. Ground clutter

berasal dari bangunan, mobil, gunung, dll, dan

clutter map berfungsi untuk menaikkan

ambang keputusan di area-area di mana

diketahui sumber clutter berada.

Page 30: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

403

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative

Media, 11 Agustus 2018

Waktu dan manajemen daya, Dalam suatu jendela

sekitar 60°x40°, phased array radar dapat

langsung mengalihkan posisi pancaran ke

posisi apapun di azimuth dan elevation. Ketika

radar ditugaskan untuk mensurvei sektornya

dan melacak lusinan target, terdapat bahaya

baik dari mengabaikan bagian sektor pencarian

atau kehilangan target jika rekaman jejak yang

sesuai tidak dapat diperbaharui tepat waktu.

Manajemen waktu berfungsi untuk menjaga

antrian prioritas dari semua tugas dan

menghasilkan jadwal untuk perangkat beam

steering. Manajemen daya diperlukan jika

sirkuit pemancar menjalankan bahaya

overheating. Jika tidak ada perangkat keras

cadangan maka satu-satunya cara untuk

melanjutkan operasi reguler adalah

menggunakan lebih sedikit daya bila lebih

sedikit daya yang diperlukan, misalnya untuk

melacak konfirmasi.

Melawan gangguan, Gangguan dapat berupa alam

atau buatan manusia. Gangguan alam bisa berupa

hujan deras atau badai hujan es, dan juga kondisi

propagasi bervariasi. Gangguan buatan manusia jika

dibuat dengan sengaja disebut jamming dan salah

satunya sarana penanggulangan elektronik.

III. HASIL PENELITIAN

Gambar 2. Diagram Blok Pengoperasian DSP Radar

[2]

DSP radar ini, bagian komputer berfungsi sebagai

pengatur on/off pada motor, kontrol sampling sinyal

beat, digital signal processing, dan streaming data

display PPI. Sedangkan bagian radar berfungsi

sebagai penghasil sinyal pemancar RF, beat, trigger,

dan clock [2].

Perancangan Hardware DSP

Wiring diagram rangkaian pembagi frekuensi yang

terdapat pada DDS kit ditunjukkan pada gambar 3.

Hal pertama yang dilakukan adalah membuka bagian

rangkaian pembagi frekuensi yang terdapat pada DDS

kit, setelah bagian rangkaian pembagi frekuensi di

lepas dari DDS kit, maka selanjutnya dilakukan

proses penggambaran wiring diagram menggunakan

software [2].

Gambar 3. Wiring diagram rangkaian pembagi

frekuensi [2]

Gambar 4. Rangkaian pembagi frekuensi yang

terdapat pada DDS kit.

Dalam tahapan selanjutnya melakukan 2 kali

pengukuran pada pin IC rangkaian pembagi frekuensi

yang sudah ditandai kotak berwarna merah, kegiatan

ini dilakukan untuk membandingkan hasil

pengukuran pertama dan kedua apakah terdapat

perbedaan atau tidak apabila menggunakan signal

generator yang berbeda. Pengukuran pertama

menghubungkan input rangkaian pembagi frekuensi

dengan HP 8640B Signal Generator dan pengukuran

kedua menghubungkan input rangkaian pembagi

frekuensi dengan Feel Tech FY6600

Function/Arbitary Waveform Generator. Selanjutnya

output pada rangkaian pembagi frekuensi

dihubungkan dengan osiloskop untuk melihat sinyal

keluaran dari IC pembagi frekuensi.

Pengukuran Pertama Menggunakan HP 8640B Signal Generator

Proses pertama menghubungkan HP 8640B Signal

Generator dengan rangkaian pembagi frekuensi

menggunakan kabel konektor N to N. Hal ini

bertujuan untuk mengetahui besaran frekuensi dan

amplitudonya dalam dBm. Dengan menggunakan

power supply 5V untuk memberi tegangan pada

rangkaian pembagi frekuensi. Kemudian Hubungkan

output RF pada HP 8640B Signal Generator dengan

input rangkaian pembagi frekuensi yang sudah diberi

Page 31: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

404

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative

Media, 11 Agustus 2018

tegangan 5 V menggunakan kabel konektor N to

SMA. Lalu ukur menggunakan osiloskop pada bagian

input dan output pin IC dari rangkaian pembagi

frekuensi yang sebelumnya sudah di beri tanda

berwarna merah. Atur frekuensi pada HP 8640B

Signal Generator hingga 98.310 MHz seperti

pengukuran pada DDS kit minggu lalu. Pada saat

melakukan pengukuran, terdapat suatu kendala yaitu,

frekuensi pada HP 8640B Signal Generator tidak

dapat diatur untuk dinaikan atau diturunkan menjadi

98.310 MHz, tetap pada frekuensi 392 MHz pada

tampilan di spectrum analyzer, sehingga tidak dapat

melakukan pengukuran karena frekuensi pada HP

8640B Signal Generator terlalu besar.

Gambar 5. Pengukuran rangkaian pembagi frekuensi

menggunakan HP 8640B Signal Generator.

Pengukuran kedua menggunakan FeelTech FY6600 Function/Arbitary Waveform Generator

Hubungkan output pada FeelTech FY6600

Function/Arbitary Waveform Generator dengan input

rangkaian pembagi frekuensi yang sudah diberi

tegangan 5 V menggunakan kabel konektor N to

BNC. Lalu ukur menggunakan osiloskop pada bagian

input dan output IC dari rangkaian pembagi frekuensi

yang sebelumnya sudah di beri tanda berwarna merah.

Atur frekuensi hingga 98.310 MHz seperti

pengukuran sebelumnya. Pada saat melakukan

pengukuran, FeelTech FY6600 Function/Arbitary

Waveform Generator memiliki keterbatasan yaitu

hanya mampu menghasilkan frekuensi maksimum

hingga 30 MHz, tidak dapat dinaikan menjadi 98.310

MHz. Maka atur frekuensi maksimum hingga 30

MHz.

Gambar 6. Sinyal input frekuensi 30 MHz dari

pengukuran pada bagian sync out.

Sinyal output dari pengukuran IC ke-1 tipe SN74F74N.

(a). Sinyal output IC pin

5 dan 6 frekuensi 10

MHz

(b). Sinyal output IC pin 8

dan 9 frekuensi 7.5 MHz

Gambar 7. Sinyal output dari pengukuran IC ke-1 tipe

SN74F74N.

Sinyal output dari pengukuran IC ke-2 tipe SN74F74N.

(a). Sinyal output IC pin 5

dan 6 frekuensi 3.75

MHz

(b). Sinyal output IC pin 8

dan 9 frekuensi 1.875 MHz

Gambar 8. Sinyal output dari pengukuran IC ke-2 tipe

SN74F74N.

Sinyal output dari pengukuran IC ke-3 tipe M74HC393B1.

(a). Sinyal output IC pin 3

frekuensi 937.50 kHz

(b). Sinyal output IC pin 4

frekuensi 468.75 kHz

Page 32: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

405

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative

Media, 11 Agustus 2018

(c). Sinyal output IC pin 5 frekuensi 234.37 kHz

Gambar 9. Sinyal output dari pengukuran IC ke-3 tipe

M74HC393B1

Sinyal output dari pengukuran IC ke-4 tipe M74HC393B1.

(a). Sinyal output IC pin 5

frekuensi 915.52 Hz

(b). Sinyal output IC pin 6

frekuensi 457.76 Hz

(a). Sinyal output IC pin

10 frekuensi 144.42 Hz

(b). Sinyal output IC pin

11 frekuensi 228.88 Hz

Gambar 10. Sinyal output dari pengukuran IC ke-4 tipe M74HC393B1.

Sinyal output dari pengukuran IC ke-5 tipe 74F00PC.

(a). Sinyal output IC pin 3 dan

11 frekuensi 937.50 kHz

(b). Sinyal output IC pin 6 dan 8

frekuensi 228.88 Hz

Gambar 11. Sinyal output dari pengukuran IC ke-5 tipe 74F00PC

Tabel 1. Pengukuran sinyal output dari ke lima IC

dalam rangkaian pembagi frekuensi.

Sinyal output Frekuensi Pembagi Keterangan

Pembagi

Pin 5 dan 6

IC Ke-1

SN74F74N

10 MHz ÷ 3 Satuan

Pin 8 dan 9

IC Ke-1

SN74F74N

7.5 MHz ÷ 4 Satuan

Pin 5 dan 6

IC Ke-2

3.75 MHz ÷ 8 Satuan

SN74F74N

Pin 8 dan 9

IC Ke-2

SN74F74N

1.875

MHz

÷ 16 Belasan

Pin 3 IC Ke-3

M74HC393B1

937.50

kHz

÷ 32 Puluhan

Pin 4 IC Ke-3

M74HC393B1

468.75

kHz

÷ 64 Puluhan

Pin 5 IC Ke-3

M74HC393B1

234.37

kHz

÷ 128 Ratusan

Pin 5 IC Ke-4

M74HC393B1

915.52 Hz ÷ 32.77

k

Puluhan

Ribu

Pin 6 IC Ke-4

M74HC393B1

457.76 Hz ÷ 65.5 k Puluhan

Ribu

Pin 11 IC Ke-

4

M74HC393B1

228.88 Hz ÷ 131 k Ratusan

Ribu

Pin 10 IC Ke-

4

M74HC393B1

144.42 Hz ÷

207.72k

Ratusan

Ribu

Pin 3 dan 11

IC Ke-5

74F00PC

937.50

kHz

÷ 32 Puluhan

Pin 6 dan 8

IC Ke-5

74F00PC

228.88 Hz ÷ 131 k Ratusan

Ribu

Dari tabel 1 diatas, diperoleh kesimpulan bahwa

rangkaian pembagi frekuensi pada DDS kit dapat

bekerja dengan baik dengan membagi frekuensi dari

sinyal input melalui pembagi satuan, puluhan,

ratusan, puluhan ribu, dan ratusan ribu.

IV. PEMBAHASAN

Dari hasil pengujian, Sinyal input dari pengukuran

pada bagian sync out memiliki frekuensi sebesar 30

MHz, pada frekuensi ini sinyal masih belum melewati

rangkaian pembagi frekuensi sehingga nilai frekuensi

yang terukur masih sama yaitu 30 MHz. Sinyal input

menunjukan bahwa sinyal berbentuk sinusoida. Sinyal

output dari pengukuran IC ke-1 tipe SN74F74N

menunjukan bahwa pada saat pengukuran sinyal

output IC pin 5 dan 6 frekuensi yang terukur sebesar

10 MHz karena telah melewati rangkaian pembagi

frekuensi bernilai satuan yaitu pembagi 3, sedangkan

pada sinyal output IC pin 5 dan 6 frekuensi yang

terukur sebesar 7.5 MHz karena telah melewati

rangkaian pembagi frekuensi bernilai satuan yaitu

pembagi 4, bentuk dari kedua sinyal output

menyerupai bentuk sinusoida tetapi tidak sempurna.

Sinyal output dari pengukuran IC ke-2 tipe

SN74F74N menunjukan bahwa pada saat pengukuran

sinyal output IC pin 5 dan 6 frekuensi yang terukur

sebesar 3.75 MHz karena telah melewati rangkaian

pembagi frekuensi bernilai satuan yaitu pembagi 8,

sedangkan pada sinyal output IC pin 8 dan 9 frekuensi

yang terukur sebesar 1.875 MHz karena telah

Page 33: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

406

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative

Media, 11 Agustus 2018

melewati rangkaian pembagi frekuensi bernilai

belasan yaitu pembagi 16, bentuk dari kedua sinyal

output menyerupai bentuk pulsa tetapi tidak

sempurna. Sinyal output dari pengukuran IC ke-3 tipe

M74HC393B1 menunjukan bahwa pada saat

pengukuran sinyal output IC pin 3 frekuensi yang

terukur sebesar 937.50 kHz karena telah melewati

rangkaian pembagi frekuensi bernilai puluhan yaitu

pembagi 32, pada sinyal output IC pin 4 frekuensi

yang terukur sebesar 468.75 kHz karena telah

melewati rangkaian pembagi frekuensi bernilai

puluhan yaitu pembagi 64, dan pada saat pengukuran

sinyal output IC pin 5 frekuensi yang terukur sebesar

234.37 kHz karena telah melewati rangkaian pembagi

frekuensi bernilai ratusan yaitu pembagi 128. Bentuk

dari ketiga sinyal output menyerupai bentuk pulsa dan

terdapat noise sehingga tidak berbentuk pulsa

sempurna. Untuk sinyal output dari pengukuran IC

ke-4 tipe M74HC393B1 menunjukan bahwa pada saat

pengukuran sinyal output IC pin 5 frekuensi yang

terukur sebesar 915.52 kHz karena telah melewati

rangkaian pembagi frekuensi bernilai puluhanan ribu

yaitu pembagi 32.77k , pada sinyal output IC pin 6

frekuensi yang terukur sebesar 457.76 kHz karena

telah melewati rangkaian pembagi frekuensi bernilai

puluhanan ribu yaitu pembagi 65.5k, pada saat

pengukuran sinyal output IC pin 10 frekuensi yang

terukur sebesar 144.42 Hz karena telah melewati

rangkaian pembagi frekuensi bernilai ratusan ribu

yaitu pembagi 207.72k, dan pada saat pengukuran

sinyal output IC pin 11 frekuensi yang terukur sebesar

288.88 Hz karena telah melewati rangkaian pembagi

frekuensi bernilai ratusan ribu yaitu pembagi 131k.

Bentuk dari keempat sinyal output menyerupai bentuk

pulsa tetapi tidak berbentuk pulsa sempurna. Dan

sinyal output dari pengukuran IC ke-5 tipe 74F00PC

menunjukan bahwa pada saat pengukuran sinyal

output IC pin 3 dan 11 frekuensi yang terukur sebesar

937.50 kHz karena telah melewati rangkaian pembagi

frekuensi bernilai puluhan yaitu pembagi 32,

sedangkan pada sinyal output IC pin 6 dan 8 frekuensi

yang terukur sebesar 228.88 Hz karena telah melewati

rangkaian pembagi frekuensi bernilai ratusan ribu

yaitu pembagi 131k, bentuk dari kedua sinyal output

menyerupai bentuk pulsa tetapi tidak sempurna.

V. PENUTUP

Kesimpulan

Rangkaian pembagi frekuensi pada DDS kit dapat

bekerja dengan baik dengan membagi frekuensi dari

sinyal input melalui pembagi satuan, puluhan,

ratusan, puluhan ribu, dan ratusan ribu. Pada saat

menggunakan IC tipe ke 1, 2, dan 3, sinyal output

melewati rangkaian pembagi frekuensi dengan nilai

pembagi bilangan bulat yaitu pembagi 3, 4, 8, 16, 32,

64, 128. Dan saat menggunakan IC tipe 4 dan 5 sinyal

output melewati rangkaian pembagi frekuensi dengan

nilai pembagi pecahan desimal yaitu pembagi 32.77k,

65.5k, 131k, 207.72k, 32k dan 131k

Saran

Salah satu faktor yang menyebabkan gambar

sinyal yang terukur pada osiloskop tidak berbentuk

sempurna yaitu probe osiloskop yang longgar

sehingga mengakibatkan bentuk sinyal yang terukur

menjadi tidak sempurna, sehingga kedepannya dalam

penggunaan probe osiloskop ini perlu hati-hati agar

sinyal yang terukur dapat menunjukan bentuk yang

sempurna

ACKNOWLEDGMENT

Kegiatan penelitian ini untuk mendukung penelitian

yang didanai oleh kegiatan Insinas RistekDikti 2018.

DAFTAR PUSTAKA

[18] S.Bhaktavatsala, Dr Vikram M. Gadre, “DSP

APPLICATIONS IN RADAR” M. Tech Credit

Seminar Report, Electronic Systems Group, EE

Dept, IIT Bombay, Nov2002.

[19] Radar Documen Project, PT. Radar Telekomunikasi Indonesia, Arhanud TNI-AD Project, 2017.

[20] Skolnik, Merrill I., Introduction to Radar Systems. New York: McGraw-Hill, 1980.

Firooz Sadjadi, Mike Helgenson, Jeff Radke, Gunter

Stein, “ Radar Synthetic vision system for Adverse

Weather Aircraft Landing”, IEEE Transactions on

Aerospace and Electronic Systems,” Jan 1999, Vol

35, No.1, pp2-15.

Page 34: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

407

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative

Media, 11 Agustus 2018

Rancang Bangun Antena Mikrostrip Patch lingkaran

untuk Aplikasi Global Positioning System (GPS)

Karunia Elisabeth Bulamey1, Eva Yovita Dwi Utami

2

1,2Program Studi Teknik Elektro, Universitas Kristen Satya Wacana

1,2 Jl. Diponegoro No 52-60, kota Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia 50711

[email protected]

Abstrak – Dalam perancangan ini dibuat antena mikrostrip bentuk patch lingkaran untuk aplikasi Global

Positioning System (GPS) pada frekuensi 1.575 GHz. Antena telah dirancang dan disimulasikan menggunakan

software simulator High Frequency Structure Simulator (HFSS) versi 13. Bahan yang digunakan yaitu FR4-

Epoxy dengan ketebalan substrat sebesar 1.6 mm ,ketebalan patch 0.03 mm, konstanta dielektrikum sebesar 4.6

. Dalam proses simulasi didapat hasil yaitu parameter S sebesar -19.7419 dB dengan bandwidth 30 Mhz

(1.5675-1.5975 Ghz), VSWR sebesar 1.2298, dan impedansi masukkan yang mendekati 50 . Gain yang

didapatkan yaitu sebesar 2.01 dB dengan bentuk pola radiasi directional. Setelah dilakukan pengujian

menggunakan Network analyzer Advantest R3770 (300 KHz – 20GHz) didapat hasil dari parameter-parameter

yang diuji antara lain parameter S sebesar -17.752 dB, VSWR sebesar 1.433, impedansi masukkan sebesar

45.289 yang mendekati 50 dan memiliki gain sebesar 2.67 dB dengan bentuk pola radiasi yang mendekati

pola directional . Hasil yang diperoleh dari simulasi dan pengujian yang telah dilakukan menyatakan bahwa

antena yang di rancang dapat bekerja dengan baik.

Kata kunci – antena mikrostrip, antena GPS, Parameter S, VSWR

Abstract— the design of circular microstrip antenna for Global Positioning System (GPS) using frequency 1.575

GHz. The antenna has designed and simulated using High Frequency Structure Simulator (HFSS) software

version 13. Material that used are FR4-Epoxy with substrate thickness 1.6 mm, patch thickness 0.03 mm, and

relative permittivity 4.6. The results of simulation are S parameter -19.7419 dB with 30 MHz bandwidth (1.5675

– 1.5975 GHz), VSWR 1.2298, and impedance value is approximately 50 Ohm. Gain obtained from simulation is

2.01 dB with directional radiation pattern. Network analyzer advantest R3770 (300 KHz – 20GHz) is used to

measure the value of S-parameters, VSWR and 45.289 for impedance that approaching 50 with gain 2.67

dB with radiaton pattern that approaching to directional pattern. The result that obtained from this simulation and

testing that has been performed states that the designed antenna can work properly.

Keywords – Microstrip antenna, GPS antenna, S parameter, VSWR

I. PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi informasi semakin

berkembang pesat dalam berbagai bidang.

Kepentingan navigasi menjadi salah satu bidang yang

menjadi sorotan perkembangan teknologi saat ini.

Melalui teknologi navigasi manusia dapat bertukar

informasi posisi atau lokasi dengan tepat dan akurat

tanpa perlu repot mencari secara manual.

Global Position System (GPS) merupakan sistem

yang mampu memberikan informasi posisi,

kecepatan, dan waktu secara akurat. GPS merupakan

salah satu aplikasi dalam bidang navigasi yang mudah

dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Dengan

teknologi komunikasi satelit [1], GPS dapat

menyediakan informasi posisi dengan akurat dan

tepat. GPS yang digunakan untuk mengakses posisi

atau lokasi bekerja pada frekuensi 1.575GHz. GPS

sendiri sudah menjadi fitur yang tidak bisa lepas

kaitannya pada perangkat komunikasi, salah satunya

adalah telepon genggam.

Page 35: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

408

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative

Media, 11 Agustus 2018

Dalam hal ini dibutuhkan sebuah antena

yang dapat digunakan untuk menerima

informasi navigasi dari satelit GPS. Antena

mikrostrip dipilih dalam perancang ini

karena dimensinya yang kecil,sehingga

mudah dipasangkan pada terminal pengguna

. Selain itu antena mikrostrip juga mudah

dalam proses fabrikasinya.

II. METODE PENELITIAN

Pada makalah ini akan dirancang Antena

Mikrostrip dengan bentuk patch lingkaran. Bahan

yang digunakan yaitu FR4-Epoxy yang mempunyai

ketebalan substrat (h) 1.6 mm, tebal patch (t)

0.03mm, dan memiliki nilai konstanta dielektrikum

( ) 4.6mm.

Spesifikasi Antena dalam perancangan agar

Antena dapat bekerja dengan baik yaitu sebagai

berikut :

Frekuensi kerja : 1.575 Ghz

Return loss : ≤ -10 dB

VSWR : ≤ 2

Impedansi masukkan : 50Ω Perancangan ini diinginkan antena yang bekerja

pada frekuensi 1.575 GHz dengan bentuk patch

lingkaran dengan radius patch dapat dihitung dengan

menggunakan persamaan [2]

(1)

Dengan ;

a = dimensi radius circular (mm)

h = ketebalan substrat (mm)

= permitivitas dielektrik relatif substrat (F/m)

F = fungsi logaritmik elemen peradiasi

Sedangkan fungsi elemen peradiasi dapat dicari

dengan menggunakan persamaan [2]

(2)

Dengan ;

frekuensi kerja (GHz)

permitivitas dielektrik relatif substrat (F/m)

Saluran transmisi yang digunakan pada

antena yaitu inset feed yang panjangnya dapat dicari

menggunakan persamaan [3][4]

(3)

(4)

Untuk lebar patch dapat dicari menggunakan

persamaan [5]

(5)

Dengan ;

d = diameter (mm)

c = kecepatan cahaya diruang bebas (m/s)

t =tebal patch(mm)

= hambatan masukkan ( ).

Dengan menggunakan persamaan diatas dalam

mencari besaran-besaran yang dipakai dalam dimensi

antena didapat ukuran a= 23.548mm, = 14.12mm,

L= 22.7mm, dan W=2.96mm. hasil tersebut

dimasukkan dalam simulasi yang menggunakan

software simulator High Frequency Structure

Simulator (HFSS) versi 13.0. Setelah melakukan

simulasi, hasil yang didapat tidak sesuai dengan

spesifikasi antena. Agar mendapatkan hasil yang

sesuai dengan spesifikasi maka dilakukan optimasi

ulang dengan mengubah ukuran dan letak patch.

Apabila optimasi yang dilakukan sudah memenuhi

spesifikasi, maka ukuran yang dipakai saat simulasi

tersebut akan menjadi ukuran saat melakukan

fabrikasi.

Gambar 1(a) menunjukkan bentuk antena

rancangan dan besaran-besaran dimensi antena yang

telah didapatkan dari perhitungan dan optimasi,

Gambar 1(b) menunjukkan antena yang telah di

fabrikasi, dengan total dimensi 64.64mmx59.73mm.

Page 36: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

409

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative

Media, 11 Agustus 2018

Gambar 1 (a). Rancangan Antena Mikrostrip yang

Akan di Rancang Bangun

Gambar 1(b). Antena Mikrostrip setelah di Fabrikasi.

III. HASIL PENELITIAN

Antena telah dirancang dan disimulasikan

menggunakan software simulator High Frequency

Structure Simulator (HFSS) versi 13.0. Gambar 2

menunjukkan hasil simulasi parameter S pada

frekuensi kerja. Parameter VSWR yang telah di

simulasikan ditunjukkan oleh Gambar 3. Impedansi

saluran antena dari hasil simulasi ditunjukkan oleh

Gambar 4. Dengan mengalikan 50 untuk parameter

RX dari grafik didapatkan nilai resistansi dan

reaktansi dari hambatan saluran antena. Gain antena

dari hasil simulasi ditunjukkan pada Gambar 5. Dan

pola radiasi dari simulasi ditunjukkan pada Gambar 6

dan Gambar 7. Untuk masing-masing hasil parameter

yang didapatkan dari simulasi, telah memenuhi batas

minimum yang diperlukan yaitu return loss sebesar -

19.7419 dB, VSWR sebesar 1.2298 dan impedansi

masukkan yang mendekati 50 . Gain yang didapat

sebesar 2.01 dB dengan bentuk pola radiasi

directional.

Gambar 2. Parameter S pada Frekuensi Kerja

Gamber 3. VSWR pada Frekuensi Kerja

Gambar 4. Impedansi Masukkan pada Frekuensi

Kerja

Page 37: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

410

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative

Media, 11 Agustus 2018

Gambar 5 . Gain pada Frekuensi Kerja

Gambar 6. E-Plane Pola Radiasi pada Frekuensi Kerja

Gambar 7. H-Plane Pola Radiasi pada Frekuensi

Kerja

Gambar 8. Hasil pengukuran Return Loss

Gambar 9. Hasil pengukuran VSWR

Gambar 10. Hasil pengukuran Impedansi Masukkan

Gambar 11. Hasil pengukuran H-plane pola radiasi

pada frekuensi kerja

Page 38: Rancang Bangun Sistem Kendali Adaptif Pada Solar Cell ...

411

Proceedings on Conference on Electrical Engineering, Telematics, Industrial Technology, and Creative

Media, 11 Agustus 2018

Gambar 12. Hasil pengukuran E-plane pola radiasi

pada frekuensi kerja

Network analyzer Advantest R3770 (300 KHz –

20GHz) digunakan untuk mengukur parameter S,

VSWR, dan impedansi masukkan antena yang telah di

Fabrikasi. Gambar 8 menunjukkan hasil pengukuran

parameter S pada frekuensi kerja yaitu -17.752 dB.

Nilai VSWR ditunjukkan oleh Gambar 9 yaitu 1.433

pada frekuensi kerja. Gambar 10 menunjukkan besar

hambatan saluran antena yang terukur yaitu 45.289 Ω.

Dengan bandwidth sebesar 30 Mhz (1.5675-1.5975

Ghz) diperoleh dari hasil pengukuran Parameter S dan

VSWR. Gain yang didapat dalam pengukuran ini

sebesar 2.67 dB dengan bentuk pola radiasi yang

mendekati directional. Hasil pengukuran parameter-

parameter antena yang telah didapat telah memenuhi

batas minimum untuk mencapai antena yang baik,

perbedaan hasil antara simulasi dan pengukuran dapat

disebabkan oleh ketidaksempurnaan proses fabrikasi

dan toleransi dari permitivitas substrat.

IV. PENUTUP

Kesimpulan

Telah dirancang bangun antena mikrostrip dengan

bentuk patch lingkaran untuk aplikasi GPS pada

frekuensi 1.575GHz. Hasil parameter yang telah

didapat dari simulasi dan pengukuran telah memenuhi

nilai minimum untuk masing Parameter S, VSWR,

hambatan saluran antena, gain, dan pola radiasi.

Perbedaan antara hasil simulasi dan pengukuran dapat

disebabkan oleh ketidaksempurnaan proses fabrikasi

dan toleransi dari permitivitas substrat

DAFTAR PUSTAKA

[1] Purnama. B. E. 2009 “Pemanfaatan Global

Positioning System Untuk Pelacak Objek

Bergerak”

[2] Balanis, C. A. 2005. Antenna Theory Analysis

And Design Third Edition, New Jersey: JWS,

2005.

[3] Kurniawan. D. F, Dahlan E. A, dan Pratama. A.

Y. “Antena Mikrostrip Circular Dual

Frekuensi”, Jurnal EECCIS Vol. IV, No. 1, Juni

2010.

[4] Leung, Martin. 2002. Microstrip Antenna Using

Mstrip40. Division of Management and

Technology University of Canberra Act 2601.

[5] Everything RF [online] available :

https://www.everythingrf.com/rf-

calculators/microstrip-width-calculator . diakses

pada tanggal 9 april 2018.