Rahim Nitip Print

95
Bagian Ilmu Kesehatan Anak REFLEKSI KASUS Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman HIV PADA ANAK oleh: ABD. Rahim (1010015017) Pembimbing: dr. William S Tseng, Sp.A Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik 1

description

jnkjn

Transcript of Rahim Nitip Print

Bagian Ilmu Kesehatan Anak REFLEKSI KASUSFakultas KedokteranUniversitas Mulawarman

HIV PADA ANAK

oleh:ABD. Rahim (1010015017)

Pembimbing:dr. William S Tseng, Sp.A

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan KlinikPada Bagian Ilmu Kesehatan AnakFakultas KedokteranUniversitas Mulawarman2015Bagian Ilmu Kesehatan Anak TUTORIAL KLINIKFakultas KedokteranUniversitas Mulawarman

HIV PADA ANAK

oleh:ABD. Rahim (1010015017)

Pembimbing:

dr. William S Tseng, Sp.A

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan KlinikPada Bagian Ilmu Kesehatan AnakFakultas KedokteranUniversitas Mulawarman2015

BAB IPENDAHULUAN

Sejauh ini lebih dari 6,5 juta perempuan di Indonesia jadi populasi rawan tertular HIV. Lebih dari 30% diantaranya melahirkan bayi yang tertular HIV. Pada tahun 2015, diperkirakan akan terjadi penularan pada 38.500 anak yang dilahirkan dan itu terinfeksi HIV. Sampai tahun 2006 diperkirakan 4.360 anak terkena HIV dan separuh diantaranya meninggal dunia. Saat ini diperkirakan 2320 anak terkena HIV. Kebanyakan wanita mengurus keluarga dan anak-anaknya selain mengurus diri sendiri, sehingga gangguan kesehatan pada wanita akan mempengaruhi seluruh keluarganya. Wanita dengan HIV/AIDS harus mendapatkan dukungan dan perawatan mencakup penyuluhan yang memadai tentang penyakitnya, perawatan, pengobatan, serta pencegahan penularan pada anak dan keluarganya.Penularan HIV ke bayi dan anak bisa dari ibu ke anak, penularan melalui darah, penularan melalui hubungan seks (pelecehan seksual pada anak). Penularan dari ibu ke anak terjadi karena wanita yang menderita HIV/AIDS sebagian besar (85%) berusia subur (15-44 tahun) sehingga terdapat resiko penularan infeksi yang bias terjadi pada saat kehamilan. Prevalensi penularan dari ibu ke bayi dalah 0,01% sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50%.Tingkat transmisi AIDS dapat dikurangi dari 25% - 30% menjadi kurang dari 2% (berkurang > 90%) kalau pakai obat antiretoviris (ARV) pada Trismester terakhir kehamilan, selama persalinan, dan kelahiran dan bayi diobati pascapersalinan selama 6 minggu dan tidak disusui. Aturan/resiman yang sangat efektif ini belum ada di Negara-negara sedang berkembang.InfeksiHuman immunodeficiency virus(HIV) pertama kali ditemukan pada anak tahun 1983 di Amerika Serikat,yang mempunyai beberapa perbedaan dengan infeksi HIV pada orang dewasa dalam berbagai hal seperti cara penularan, pola serokonversi, riwayat perjalanan dan penyebaran penyakit, faktor resiko, metode diagnosis, dan manifestasi oral.Dampakacquired immunodeficiency syndrome(AIDS) pada anak terus meningkat, dan saat ini menjadi penyebabpertamakematian anak diAfrika, dan peringkatkeempatpenyebab kematian anakdi seluruh dunia.Saat iniWorld Health Organization(WHO) memperkirakan 2,7 juta anak di dunia telah meninggal karena AIDS.Kasus pertama AIDS di Indonesia ditemukan pada tahun 1987 di Bali yaitu seorang warga negara Belanda. Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember1985 yang secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa 3 (tiga) kali diulang, menyatakan positif, namun hasil Western Blot yang dilakukan di Amerika Serikat ialah negatif sehingga tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS. Transmisi HIV secara vertikal dari ibu kepada anaknya merupakan jalur tersering infeksi pada masa kanak-kanak, dan angka terjadinya infeksi perinatal diperkirakan sebesar83%antara tahu 1992 sampai 2001. Di Amerika Serikat, infeksi HIV perinatal terjadi pada hampir 80% dari seluruh infeksi HIV pediatri. Infeksi perinatal sendiri dapat terjadi in-utero, selama periode peripartum, ataupun dari pemberian ASI, sedangkan transmisi virus melalui rute lain, seperti dari transfusi darah atau komponen darah relatif lebih jarang ditemukan. Selain itu, sexual abuse yang terjadi pada anak juga dapat menjadi penyebab terjadinya infeksi HIV, di mana hal ini lebih sering ditemukan pada masaremaja.(1),(2)Berbagai gejala dan tanda yang bervariasi dapat bermanifestasi dan ditemukan pada anak-anak yang sebelumnya tidak diperkirakan mengidap infeksi HIV harus menjadi suatu tanda peringatan bagi para petugas kesehatan, terutama para dokter untuk memikirkan kemungkinan terjadinya infeksi HIV. Gejala dan tanda-tanda yang mungkin terjadi meliputi infeksi bakteri yang berulang, demam yang sukar sembuh, diare yang sukar sembuh, sariawan yang sukar sembuh, parotitis kronis, pneumonia berulang, lymphadenopati generalisata, gangguan perkembangan yang disertaifailure to thrive, dan kelainan kulit kronis-berulang.BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi 2.1.1. Human immunodeficiency virusHIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Artinya bahwa HIV berbeda dengan AIDS tetapi HIV memungkinkan untuk menjadi pencetus terjadinya AIDS. Sampai saat ini masih ditemukan beberapa kontraversi tentang ketepatan mekanisme perusakan sistem imun oleh HIV.Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang termasuk dalam familia retrovirus yaitu kelompok virus berselubung(envelope virus)yang mempunyai enzim reverse transcriptase, enzim yang dapat mensintesis kopi DNA dari genon RNA. Virus ini masuk dalam sub familia lentivirus berdasarkan kesamaan segmen genon, morfologi dan siklus hidupnya. Sub familia lentivirus mempunyai sifat dapat menyebabkan infeksi laten, mempunyai efek sitopatik yang cepat, perkembangan penyakit lama dan dapat fatal.Infeksi HIV adalah infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih dan menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). AIDS adalah penyakit fatal yang merupakan stadium lanjut dari infeksi HIV. Infeksi oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara progresif, menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik. Gejala umum yang sering terjadi pada anak adalah diare berkepanjangan, sering mengalami infeksi atau demam lama, tumbuh jamur di mulut, badan semakin kurus dan berat badan terus turun. Serta gangguan sistem dan fungsi organ tubuh lainnya yang berlangsung kronis atau lama. Secara primer HIV dan AIDS terjadi pada dewasa muda, tapi jumlah anak-anak dan remaja yang terkena semakin bertambah jumlahnya.

2.2. Epidemiologi HIV/AIDSPada akhir tahun 2002, diperkirakan sejumlah 42 juta orang dewasa dan anak-anak hidup dengan HIV atau AIDS. Dari jumlah ini sekitar 28,5 juta (68%) tinggal di daerah sub Sahara Afrika dan 6 Juta (14%) hidup di Asia selatan dan Asia Tenggara. Pada tahun 2002, diperkirakan terdapat 5 juta orang dewasa dan anak-anak terinfeksi HIV dan 3,1 juta orang dewasa dan anak-anak meninggal karena HIV/AIDS. Sekitar 2,4 juta (77,4%) dari 3,1 juta kematian ini terjadi di sub Sahara Afrika. Sub Sahara Afrika merupakan kawasan dengan angka seroprevalensi HIV tertinggi (9% pada akhir tahun 2002) pada populasi orang dewasa (15-49 tahun).Dari 25 negara dengan seroprevalensi pada orang dewasa di atas 5% pada tahun 2001, 24 negara diantaranya terdapat di kawasan sub Sahara Afrika. Satu-satunya negara di luar sub Sahara Afrika dengan angka seroprevalensi pada orang dewasa di atas 5% adalah Haiti. Di 9 negara (semuanya di Selatan Afrika) seroprevalensi HIV pada orang dewasa adalah 15% atau lebih. Dengan demikian, sub Sahara Afrika merupakan daerah dengan beban epidemi HIV/AIDS terbesar. Beberapa negara di kawasan lain juga mengalami dampak HIV yang berat dengan seroprevalensi HIV pada orang dewasa sektar 1 - 5% misalnya Kamboja, Myanmar dan Thailand (Asia Tenggara) dan Belize, Guatemala, Guyana, Haiti, Honduras, Panama dan Suriname (Amerika). Seroprevalensi HIV tampaknya stabil di kawasan Sub Sahara Afrika namun tetap meningkat di beberapa negara dengan populasi besar seperti Federasi Rusia.Data jumlah kasus HIV dan AIDS di Indonesia meningkat dari tahun 2005 yaitu sebanyak 859 kasus HIV dan 2639 kasus AIDS menjadi 21031 kasus HIV dan 4162 kasus AIDS pada tahun 2011. Sedangkan 3 Provinsi dengan jumlah kumulatif kasus AIDS terbanyak dari tahun 1987-2011 adalah Provinsi DKI Jakarta sebanyak 5117 kasus AIDS, Provinsi Jawa Timur sebanyak 4598 kasus AIDS dan Provinsi Papua sebanyak 4449 kasus AIDS dengan proporsi terbanyak menurut jenis kelamin yaitu pada laki-laki sebesar 80,8%, terbanyak pada kelompok umur 20-29 tahun (46,8%) dengan faktor risiko terbanyak pada heteroseksual (71%).

2.3. EtiologiVirus penyebab defisiensi imun yang dengan namaHuman Immunodeficiency Virus(HIV) adalah suatu virus RNA dari familiRetrovirusdan subfamiliLentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebutlymphadenopathy associated virus type-2(LAV-2) yang hingga kini hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika, dan spektrum penyakit yang ditimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering, dahulu dikenal juga sebagaihuman T cell-lymphotropic virus type III(HTLV-III),lymphadenipathy-associated virus(LAV) danAIDS-associated virus.Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV.Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120akan berikatan dengan reseptor CD4, yaitu suatu reseptor yang terdapat pada permukaan sel T helper, makrofag, monosit, sel-sel langerhans pada kulit, sel-sel glial, dan epitel usus (terutama sel-sel kripta dan sel-sel enterokromafin).Sedangkangp 41atau disebut juga protein transmembran, dapat bekerja sebagai protein fusi yaitu protein yang dapat berikatan dengan reseptor sel lain yang berdekatan sehingga sel-sel yang berdekatan tersebut bersatu membentuk sinsitium.Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet.Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak.

KARAKTERISASI VIRUS HIV Partikel HIV terdiri atasinner core yang mengandung 2 untai DNA identik yang dikelilingi oleh selubung fosfolipid. Genon HIV mengandung genenvyang mengkode selubung glikoprotein, gen gag yang mengkode protein core yang terdiri dari protein p17 (BM 17.000) dan p24 (BM 24.000), dan gen pol yang mengkode beberapa enzim yaitu : reverse trans-criptase, integrase dan protease. Enzim-enzim tersebut dibuuhkan dalam proses replikasi. Selain itu HIV juga mengandung 6 gen lainnya yaituvpr, vif, rev, nefdanvpuyang mengatur proses reproduksi virus. Bagian paling infeksius dari HIV adalah selubung glikoprotein gp 120 (BM 120.000) dan gp 41 (BM 41.000). Kedua glikoprotein tersebut sangat ber-peran pada perlekatan virus HIV dengan sel hospes pada proses infeksi.HIV dikelompokkan berdasarkan struktur genom dan antigenitasnya yaitu HIV-1 dan HIV-2. Perbedaan infeksi kedua virus tersebut dapat dilihat pada tabel.

Tabel Perbedaan infeksi HIV-2 dan HIV-1

2.4. Patofisiologi Infeksi HIVSistem imun manusia sangat kompleks, kerusakan pada salah satu komponen sistem imun akan mempengaruhi sistem imun secara keseluruhan. HIV menginfeksi sel Thelperyang memiliki reseptor CD4 di permukaannya, makrofag, sel dendritik, organ limfoid. Fungsi penting sel Thelperantara lain menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai stimulasi pertumbuhan dan pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi, sehingga penurunan sel T CD4 menurunkan imunitas dan menyebabkan penderita mudah terinfeksi.Ketika HIV masuk melalui mukosa, sel yang pertama kali terinfeksi ialah sel dendritik. Kemudian sel-sel ini menarik sel-sel radang lainnya dan mengirim antigen tersebut ke sel-sel limfoid.HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4. Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan menempel pada sel yang mempunyai molekul CD4 pada permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, sehingga limfosit CD4 dihasilkan dan dikirim ke sel limfoid yang peka terhadap infeksi HIV. Limfosit-limfosit CD4 yang diakumulasikan di jaringan limfoid akan tampak sebagai limfadenopati dari sindrom retrovirus akut yang dapat terlihat pada remaja dan orang dewasa. HIV akan menginfeksi sel CD4 yang sangat berespon terhadapnya sehingga kehilangan respon dan kontrol pertumbuhan terhadap HIV. Ketika replikasi virus melebihi batas (biasanya 3-6 minggu sejak infeksi) akan terjadi viremia yang tampak secara klinis sebagaiflulike syndrome(demam, rash, limfadenopati, atrhralgia) terjadi 50-70% pada orang dewasa. Dengan terbentuknya respon imun humoral dan seluler selama 2-4 bulan, muatan virus dalam darah mengalami penurunan secara substansial, dan pasien memasuki masa dengan gejala yang sedikit dan jumlah CD4 yang meningkat sedikit.Mekanisme utama infeksi HIV adalah melalui perlekatan selubung glikoprotein virus gp120 pada molekul CD4. Partikel HIV yang berikatan dengan molekul CD4 kemudian masuk ke dalam sel hospes melalui fusi antara membran virus dengan membran sel hospes dengan bantuan gp41 yang terdapat pada permukaan membran virus. Molekul CD4 banyak terdapat pada sel limfosit T helper/ CD4+, narnun sel-sel lain seperti makrofag, monosit, sel dendritik, sel langerhans, sel stem hematopoetik dan sel mikrogial dapat juga terinfeksi HIV melalui ingesti kombinasi virus-antibodi atau melalui molekul CD4 yang diekspresikan oleh sel tersebut.Banyak bukti menunjukkan bahwa molekul CD4 memegang peranan penting pada petogenesis dan efek sitopatik HIV.Percobaan tranfeksi gen yang mengkode molekul CD4 pada sel tertentu yang tidak mempunyai molekul tersebut, menunjukkan bahwa sel yang semula resisten terhadap HIV berubah menjadi rentan terhadap infeksi tersebut. Efek sitopatik ini bervariasi pada sel CD4+, namun paling tinggi pada sel dengan densitas molekul CD4 permukaan yang paling tinggi yaitu sel limfosit T CD4+.Sekali virion HIV masuk ke dalam sel, maka enzim yang terdapat dalam nukleoprotein menjadi aktif dan memulai siklus reproduksi virus. Nukleoprotein inti virus menjadi rusak dan genom RNA virus akan ditranskripsi menjadi DNA untai ganda oleh enzimreverse transcriptasedan kemudian masuk ke nukleus. Enzim integrase akan mengkatalisa integrasi antara DNA virus dengan DNA genom dari sel hospes. Bentuk DNA integrasi dari HIV disebut provirus, yang mampu bertahan dalam bentuk inaktif selama beberapa bulan atau beberapa tahun tanpa memproduksi virion baru. Itu sebabnya infeksi HIV pada seseorang dapat bersifat laten dan virus terhindar dari sistem imun hospes.Partikel virus yang infeksius akan terbentuk pada saat sel limfosit T teraktivasi. Aktivasi sel T CD4+ yang telah terinfeksi HIV akan mengakibatkan aktivasiprovirusjuga. Aktivasi ini diawali dengan transkripsi gen struktural menjadi mRNA kemudian ditranslasikan menjadi protein virus. Karena protein virus dibentuk dalam sel hospes, maka membran plasma sel hospes akan disisipi oleh glikoprotein virus yaitu gp41 dan gp120. RNA virus danprotein corekemudian akan membentuk membran dan menggunakan membran plasma sel hospes yang telah dimodifikasi dengan glikoprotein virus, membentuk selubung virus dalam proses yang dikenal sebagai budding. Pada beberapa kasus aktivasi provirus HIV dan pembentukan partikel virus baru dapat menyebabkan lisisnya sel yang terinfeksi.Selama periode laten, HIV dapat berada dalam bentukprovirusyang berintegrasi dengan genom DNA hospes, tanpa mengadakan transkripsi. Ada beberapa faktor yang dapat mengaktivasi proses transkripsi virus tersebut. Secarain vitro telah dibuktikan pada sel-T yang terinfeksi virus laten, rangsangan TNF(Tumor Necrosis Factor)dan IL-6 dapat meningkatkan produksi virus yang infeksius. Hal ini penting karena monosit pada individu yang terinfeksi HIV cenderung melepaskan sitoksin dalam jumlah besar sehingga dapat menyebabkan meningkatnya transkripsi virus.Infeksi beberapa virus dapat meningkatkan transkripsi provirus DNA pada HIV sehingga berkembang menjadi AIDS yaitu; HTLV-1,cytomegalovirus, virus herpes simplex, virus Epstein-Barr, adeno-virus, papovirus dan virus hepatitisB.

Gambar Replikasi Virus HIV

Replikasi HIV-1 permulaan pada anak tidak menunjukkan adanya manifestai klinis pada anak. Walaupun di tes dengan menggunakan PCR atau isolasi virus untuk sequenceasam nukleat dari virus, hanya 3 pola penyakit ditemukan pada anak-anak. Tepatnya 15-25% bayi baru lahir yang terinfeksi HIV pada negara berkembang muncul dengan perjalanan penyakit yang cepat, dengan gejala dan onset AIDS dalam beberapa bulan pertama kehidupan, median waktu ketahanan hidup ialah 9 bulan jika tidak diobati. Pada negara miskin, mayoritas bayi baru lahir akan mengalami perjalanan penyakit seperti ini. Telah diketahui bahwa infeksi intrauterin bertepatan dengan periode pertumbuhan cepat CD4 pada janin. Migrasi yang normal dari sel-sel ini menuju ke sumsum tulang, limpa, dan timus yang menghasilkan penyebaran sistemik HIV, tidak dapat dicegah oleh sistem imun yang imatur dari janin. Infeksi dapat terjadi sebelum pembentukan ontogenik normal sel imun, yang mengakibatkan gangguan dari imunitas. Anak-anak dengan keadaan seperti ini menunjukkan hasil tes PCR yang positif (nilai median 11.000 kopi/ml) pada 48 jam pertama kehidupan. Bukti ini menunjukkan terjadinya infeksi inuterin. Muatan virus akan terus meningkat dalam 2-3 bulan (750000kopi/ml) dan menurun secara perlahan. Berbeda dengan orang dewasa bahwa muatan virus pada anak-anak tetapi tinggi selama 1-2 tahun pertama.Infeksi perinatal mayoritas yang terjadi di negara berkembang (60-80%) mengalami pola penyakit yang kedua ini, yang mempunyai perjalanan penyakit yang lebih lambat, dengan median ketahanan hidup selama 6 tahun. Banyak pasien dengan penyakit ini memiliki tes kultur yang negatif dalam 1 minggu pertama kehidupan dan dipertimbangkan sebagai pasien bayi yang terinfeksi intrapartum. Pada pasien mauatn virus akan meningkat dengan cepat dalam 2-3 bulan pertama kehidupan (median 100.000 kopi/ml) dan menurun secara lambat setelah 24 bulan. Ini berbeda dengan orang dewasa dimana muatan virus berkurang dengan cepat setelah infeksi primer.Pola ketiga dari perjalanan penyakit (long-term suvivors) muncul dalam jumlah kecil ( 6 minggu.2. Uji antibodi HIV negatif pada usia 18 bulan dan ASI sudah dihentikan > 6 minggu Bila uji antibodi HIV negatif saat usia 9 bulan dan ASI sudah dihentikan selama 6 minggu, dapat dikatakan tidak terinfeksi HIV. Uji antibodi HIV dapat dikerjakan sedini-dininya usia 9-12 bulan karena 74% dan 96% bayi yang tidak terinfeksi HIV akan menunjukkan hasil antibodi negatif pada usia tersebut.

Bagan Diagnosis HIV Pada Bayi dan Anak < 18 Bulan Dengan Status HIV Ibu Tidak Diketahui

Catatan: Jika pajanan HIV tidak pasti, lakukan pemeriksaan pada ibu terlebih dahulu sebelum uji virologi pada anak. Apabila hasil pemeriksaan HIV pada ibu negatif, cari faktor risiko lain untuk transmisi HIV. Anak yang mendapat ASI akan terus berisiko terinfeksi HIV, sehingga infeksi HIV baru dapat disingkirkan bila ASI sudah dihentikan > 6 minggu. Uji virologi HIV termasuk PCR HIV-DNA atau HIV-RNA (viral load) atau deteksi antigen p24. Uji virologi HIV dapat digunakan untuk memastikan diagnosis HIV pada usia berapa pun. Anak usia < 18 bulan dapat membawa antibodi HIV maternal, sehingga sulit untuk menginterpretasikan hasil uji antibodi HIV. Oleh karena itu, untuk memastikan diagnosis hanya uji virologi HIV yang direkomendasikan. Idealnya dilakukan pengulangan uji virologi HIV pada spesimen yang berbeda untuk konfirmasi hasil positif yang pertama. Pada keadaan yang terbatas, uji antibodi HIV dapat dilakukan setelah usia 18 bulan untuk konfirmasi infeksi HIV.

Bagan Diagnosis HIV Pada Bayi dan Anak < 18 Bulan dan Mendapat ASI

Catatan: Bila anak tidak pernah diperiksa uji virologi sebelumnya, masih mendapatkan ASI dan status ibu HIV positif, sebaiknya segera lakukan uji virologi pada usia berapa pun.

Bagan Diagnosis Hiv Pada Bayi dan Anak < 18 Bulan, Status Ibu Hiv Positif, Dengan Hasil Negatif Uji Virologi Awal dan Terdapat Tanda/Gejala Hiv Pada Kunjungan Berikutnya

Menegakkan Diagnosis Presumptif Hiv Pada Bayi dan Anak < 18 Bulan dan Terdapat Tanda/Gejala Hiv Yang Berat

Catatan:Menurut definisi Integrated Management of Childhood Illness (IMCI):a. Oral thrush adalah lapisan putih kekuningan di atas mukosa yang normal atau kemerahan (pseudomembran), atau bercak merah di lidah, langit-langit mulut atau tepi mulut, disertai rasa nyeri. Tidak bereaksi dengan pengobatan antifungal topikal.b. Pneumonia adalah batuk atau sesak napas pada anak dengan gambaran chest indrawing, stridor atau tanda bahaya seperti letargik atau penurunan kesadaran, tidak dapat minum atau menyusu, muntah, dan adanya kejang selama episode sakit sekarang. Membaik dengan pengobatan antibiotik.c. Sepsis adalah demam atau hipotermia pada bayi muda dengan tanda yang berat seperti bernapas cepat, chest indrawing, ubun-ubun besar membonjol, letargi, gerakan berkurang, tidak mau minum atau menyusu, kejang, dan lain-lain.

Bagan Diagnosis HIV Pada Bayi dan Anak 18 Bulan

Catatan: Hasil positif uji antibodi HIV awal (rapid atau ELISA) harus dikonfirmasi oleh uji kedua (ELISA) menggunakan reagen berbeda. Pada pemilihan uji antibodi HIV untuk diagnosis, uji pertama harus memiliki sensitivitas tertinggi, sedangkan uji kedua dan ketiga spesifisitas yang sama atau lebih tinggi daripada uji pertama. Umumnya, WHO menganjurkan uji yang mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang sama atau lebih tinggi. Di negara dengan estimasi prevalensi HIV rendah, uji konfirmasi (uji antibodi HIV ketiga) diperlukan pada bayi dan anak yang asimtomatik tanpa pajanan terhadap HIV. Diagnosis definitif HIV pada anak > 18 bulan (riwayat pajanan diketahui atau tidak) dapat dilakukan dengan uji antibodi HIV, sesuai algoritme pada dewasa. Uji virologi HIV dapat dilakukan pada usia berapapun.

Stadium HIV Pada AnakKriteria Klinis

Catatan: Stadium klinis anak yang tidak diterapi ART dapat menjadi prediksi mortalitasnya. Stadium klinis dapat digunakan untuk memulai pemberian kotrimoksazol dan memulai ART khususnya bila pemeriksaan CD4+ tidak tersedia.

Kriteria imunologis1. Berdasarkan CD4+

Catatan: CD4+ adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefisiensi. Digunakan bersamaan dengan penilaian klinis. CD4+ dapat menjadi petunjuk dini progresivitas penyakit karena nilai CD4+ menurun lebih dahulu dibandingkan kondisi klinis. Pemantauan CD4+ dapat digunakan untuk memulai pemberian ARV atau penggantian obat. Makin muda umur, makin tinggi nilai CD4+. Untuk anak < 5 tahun digunakan persentase CD4+. Bila 5 tahun, persentase CD4+ dan nilai CD4+ absolut dapat digunakan. Ambang batas kadar CD4+ untuk imunodefisiensi berat pada anak 1 tahun sesuai dengan risiko mortalitas dalam 12 bulan (5%). Pada anak < 1 tahun atau bahkan < 6 bulan, nilai CD4+ tidak dapat memprediksi mortalitas, karena risiko kematian dapat terjadi bahkan pada nilai CD4+ yang tinggi.

2. Berdasarkan Hitung Limfosit Total (Total Lymphocyte Count, TLC)

Catatan: Hitung limfosit total (TLC) digunakan bila pemeriksaan CD4+ tidak tersedia untuk kriteria memulai ART (imunodefisiensi berat) pada anak dengan stadium 2. Hitung TLC tidak dapat digunakan untuk pemantauan terapi ARV Perhitungan TLC = % limfosit X hitung total leukosit.

2.9. PENATALAKSANAANTerapi Anti Retroviral (ARV)Terapi saat ini tidak dapat mengeradikasi virus namun hanya untuk mensupres virus untuk memperpanjang waktu dan perubahan perjalanan penyakit ke arah yang kronis. Pengobatan infeksi virus HIV pada anak dimulai setelah menunjukkan adanya gejala klinis. Gejala klinis menurut klasifikasi CDC. Pengobatan ARV diberikan dengan pertimbangan :1. Adanya bukti supresi imun yang ditandai dengan menurunnya jumlah CD4 atau persentasenya.2. Usia 3. Bagi anak berusia > 1 tahun asimtomatis dengan status imunologi normal, terdapat 2 pilihan :a. Awali pengobatan tidak bergantung kepada gejala klinis.b. Tunda pengobatan pada keadaan resiko progresifitas perjalanan penyakit rendah atau adanya faktor lain misalnya pertimbangan lamanya respon pengobatan, keamanan dan kepatuhan.Pada kasus seperti ini faktor lain yang harus dipertimbangkan ialah : Peningkatanviral load Penurunan dengan cepat CD4 baik jumlah atau presentasi supresi imun Timbulnya gejala klinisKeputusan untuk memberikan terapi antiretrovirus harus memenuhi kriteria sebagai berikut :1) Tes HIV secara sukarela disertai konseling yang mudah dijangkau untuk mendiagnosis HIV secara dini.2) Tersedia dana yang cukup untuk membiayai Anti Retrovirus Terapi (ART) selama sedikitnya 1 tahun3) Konseling bagi pasien dan pendamping untuk memberikan pengertian tentang ART, pentingnya kepatuhan pada terapi, efek samping yang mungkin terjadi, dll.4) Konseling lanjutan untuk memberi dukungan psikososial dan mendorong kepatuhan serta untuk menghadapi masalah nutrisi yang dapat timbul akibat ART5) Laboratorium untuk memantau efek samping obat termasuk Hb, tes fungsi hati, dll.6) Kemampuan untuk mengenal dan menangani penyakit umum dan infeksi oportunistik akibat HIV7) Tersedianya obat yang bermutu dengan jumlah yang cukup, termasuk obat untuk infeksi oportunistik dan penyakit yang berhubungan dengan HIV.8) Tersedianya tim kesehatan termasuk dokter, perawat, konselor, pekerja sosial, dukungan sebaya. Tim ini seharusnya membantu pembentukan kelompok dukungan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan pendampinya.9) Adanya pelatihan, pendidikan berkelanjutan, pemantauan dan umpan balik tentang penatalaksanaan penyakit HIV yang efektif termasuk sistem untuk menyebarluaskan informasi dan pedoman baru.10) Obat ARV digunakan secara rasional sesuai pedoman yang berlaku.Perjalanan penyakit infeksi HIV dan penggunaan ART pada anak adalah serupa dengan orang dewasa tetapi ada beberapa pertimbangan khusus yang dibutuhkan untuk bayi, balita, dan anak yang terinfeksi HIV.Efek obat berbeda selama transisi dari bayi ke anak. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian khusus tentang dosis dan toksisitas pada bayi dan anak. Kepatuhan berobat pada anak menjadi tantangan tersendiri.Terapi ARV memberi manfaat klinis yang bermakna pada anak yang terinfeksi HIV yang menunjukkan gejala. Uji klinis terhadap anak sudah menunjukkan bahwa ART memberi manfaat serupa dengan pemberian ART pada orang dewasa.Saat ini ada 3 (tiga) golongan ART yang tersedia di Indonesia:1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors(NRTIs): Obat ini dikenal sebagai analog nukleosida yang menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA. Proses ini diperlukan agar virus dapat bereplikasi. Obat dalam golongan ini termasuk Zidovudine (AZT), Lamivudine (3TC), Didanosine (ddl), Stavudine (d4T), Zalcitabin (ddC), Abacavir (ABC).2. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors(NNRTI): obat ini berbeda dengan NRTI walaupun juga menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA. Obat dalam golongan ini termasuk nevirapine (NVP), Efavirenz (EFV), dan Delavirdine (DLV).3. Protease Inhibitor(PI): Obat ini bekerja menghambat enzim protease yang memotong rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Obat dalam golongan ini termasuk Indinavir (IDV), Nelfinavir (NFV), Saquinavir (SQV), Ritonavir (RTV), Amprenavir (APV), dan Lopinavir/ritonavir (LPV/r).

Kriteria Pemberian ART Menggunakan Kriteria Klinis dan Imunologis

Catatan: Risiko kematian tertinggi terjadi pada anak dengan stadium klinis 3 atau 4, sehingga harus segera dimulai ART. Anak usia < 12 bulan dan terutama < 6 bulan memiliki risiko paling tinggi untuk menjadi progresif atau mati pada nilai CD4+ normal. Pada anak > 12 bulan dengan tuberkulosis (TB), khususnya pulmonal dan kelenjar serta lymphoid-interstitial pneumonitis (LIP), kadar CD4+ harus diperiksa untuk menentukan kebutuhan dan waktu pemberian ART. Bila mungkin lakukan tes CD4+ saat anak tidak dalam kondisi sakit akut. Nilai CD4+ dapat berfluktuasi menurut individu dan penyakit yang dideritanya. Bila mungkin harus ada 2 nilai CD4+ di bawah ambang batas sebelum ART dimulai. Bila belum ada indikasi untuk ART lakukan evaluasi klinis dan nilai CD4+ setiap 3-6 bulan sekali, atau lebih sering pada anak dan bayi yang lebih muda. Pemantauan TLC tidak diperlukan. Bila terdapat > 2 gejala yang memenuhi stadium 2 WHO dan pemeriksaan CD4+ tidak tersedia maka dianjurkan untuk memulai pemberian ART (prosedur IV.2).

Bagan Pemberian ART Pada Anak < 18 Bulan Tanpa Konfirmasi Infeksi HIV Dengan Tanda Dan Gejala Penyakit HIV Yang Berat

1. Anak < 18 bulan dengan uji antibodi HIV positif dan berada dalam kondisi klinis yang berat dan tes PCR tidak tersedia harus segera mendapat terapi ARV setelah kondisi klinisnya stabil. Tes antibodi harus diulang pada usia 18 bulan.2. Anak < 18 bulan dengan uji PCR positif dan kondisi klinis yang berat atau tanpa gejala tetapi dengan persentase CD4+ < 25% harus mendapat ART secepatnya. Tes antibodi harus dilakukan pada usia 18 bulan.3. Anak > 18 bulan dengan hasil uji antibodi positif dan apakah sedang dalam kondisi klinis yang berat atau CD4 < 25% sebaiknya juga mendapat ART.

Regimen obat yang diusulkan di Indonesia ialah :Salah satu dari Kolom A dan salah satu kombinasi dari Kolom B

Kolom AKolom B

Nevirapine (NVP)AZT + ddl

Nelfinavir (NVF)ddl+3TC

d4T + ddl

AZT + 3TC

d4T + 3TC

Tabel Regimen ART yang diusulkan di Indonesia

Untuk neonatus, regimen obat yang diberikan berupa 2nucleoside reverse transcriptase inhibitors(NRTIs)atau nevirapine dengan 2NRTIsatauprotease inhibitordengan 2NRTIs. Selain itu, juga direkomendasikan pemberian zidovudine dengan didanosine atauzidovudine dengan lamivudine dikombinasi dengan nelfinavir atau ritonavir. Untuk bayi-bayi yang lebih tua dan anak-anak, direkomendasikan beberapa regimen antiretroviral.Protease inhibitorsebagai pilihan utama dengan 2NRTIs.Nonnucleoside reverse transcriptase inhibitoryang paling direkomendasikan untuk anak-anak berusia lebih dari tiga tahun adalah 2NRTIs dengan efavirenz (dapat disertai dengan atau tanpaprotease inhibitor). Untuk anak-anak berusia kurang dari tiga tahun yang belum dapat mendapat tablet, regimennonnucleosideterpiliih adalah 2NRTIs dengan nevirapine. Alternatif pemberian regimen terapinucleoside analogueadalah zidovudine dengan lamivudine dan abacavir.

Rejimen Lini Pertama Yang Direkomendasikan Adalah 2 Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) + 1 Non-nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)

Berdasarkan ketersediaan dan pedoman ART, terdapat 3 kombinasi NRTI yang dapat diberikan. Sebagian besar ARV yang tersedia untuk dewasa juga bisa digunakan untuk anak-anak, tetapi bentuk sediaan obat yang khusus anak belum tentu tersedia, oleh karena itu diperlukan modifikasi pemberian, dalam bentuk pembagian tablet dan pembuatan puyer. Sekarang sudah ada tablet ARV kombinasi dosis tetap (fixed dose combination = FDC) yang direkomendasikan oleh WHO, yang mengandung stavudin (d4T), lamivudine (3TC) dan nevirapin (NVP). Meskipun zidovudin (AZT) lebih dianjurkan sebagai pilihan pertama untuk ARV, tetapi dengan mudahnya pemberian FDC, maka saat ini mulai banyak digunakan di negara lain.

Langkah 1: Pilih 1 NRTI untuk dikombinasi dengan 3TC

Catatan : 3TC dapat digunakan pada 3 kombinasi karena memiliki catatan efikasi, keamanan dan tolerabilitas yang baik. Namun mudah timbul resistensi bila tidak patuh minum ARV. Zidovudin (AZT) merupakan pilihan utama. Namun bila Hb anak < 8 gr/dl maka dapat dipertimbangkan pemberian Abacavir(ABC) atau Stavudin(d4T). Karena FDC belum ada yang mengandung AZT, maka bila digunakan FDC, secara langsung digunakan d4T. Dengan adanya risiko lipodistrofi pada penggunaan d4T jangka panjang, maka dipertimbangkan mengubah d4T ke AZT (bila Hb anak > 8 gr/dl). Tetapi risiko ini rendah dan dokter perlu mempertimbangkan masak-masak antara ketersediaan dan kemudahan penggunaan FDC.

Langkah 2: Pilih 1 NNRTI

Ringkasan pemilihan ART lini pertamaPilih 3 obat dengan warna yang berbeda, kecuali bila tersedia FDC, otomatis menggunakan d4T, 3TC, dan NVP

Catatan : Anak yang terpajan oleh Nevirapin (NVP) dosis tunggal sewaktu dalam program pencegahan penularan ibu ke anak (PMTCT) mempunyai risiko tinggi untuk resistensi NNRTI, namun saat ini tidak ada data apakah perlu untuk mengganti regimen berbasis NNRTI. Oleh karena itu, 2 NRTI + 1 NNRTI tetap merupakan pilihan utama untuk anak-anak tersebut. NNRTI dapat menurunkan kadar obat kontrasepsi yang mengandung estrogen. Kondom harus selalu digunakan untuk mencegah penularan HIV tanpa melihat serostatus HIV. Remaja putri dalam masa reproduktif yang mendapat EFV harus menghindari kehamilan (lampiran C).

Rejimen Lini Pertama Bila Anak Mendapat Terapi TB Dengan RifampisinJika terapi TB telah berjalan, maka ART yang digunakan:

Catatan: Apabila diagnosis TB ditegakkan, terapi TB harus dimulai lebih dahulu dan ART diberikan 2-8 minggu setelah timbul toleransi terapi TB dan untuk menurunkan risiko sindrom pulih imun (immune reconstitution inflammatory syndrome, IRIS). Keuntungan dan kerugian memilih AZT atau d4T + 3TC + ABC : Keuntungan : Tidak ada interaksi dengan rifampisin. Kerugian : Kombinasi ini memiliki potensi yang kurang dibandingkan 2 NRTI + EFV. ABC lebih mahal dan tidak ada bentuk generik.

Jika akan memulai terapi TB pada anak yang sudah mendapat ART:

Pemantauan pengobatanPemantauan pengobatan diperlukan untuk melihat :1. Kepatuhan minum obat.2.Gejala baru yang timbul akibat efek samping obat maupun dari perjalanan penyakit itu sendiri.Pemantauan sebaiknya dilakukan setelah 1 bulan pengobatan dimulai dan selanjutnya setiap 3 bulan sekali.

Pemantauan keberhasilan dan toksisitas ART:1.Secara klinisa.Berat badan meningkatb.Tidak kena infeksi opportunistik, atau kalau pun terkena, infeksi tidak beratc.Anamnesis gejala yang berhubungan dengan HIV seperti batuk lebih dari 2 minggu, demam, diare, dll disertai pemeriksaan fisik.

2.Pemeriksaan laboratoriumTes darah rutin termasuk tes darah lengkap, SGOT/SGPT, kreatinin, gula darah, kolesterol dan trigliserid dibutuhkan untuk memantau efek samping obat dan perjalanan penyakit. Jenis tes yang dibutuhkan bergantung pada regimen obat yang digunakan. Tes jumlah CD4 setiap 6 bulan sekali diperlukan untuk menentukan kapan profilaksis dapat dihentikan. Bila tes ini belum dapat dilakukan maka dapat dipakai hitung limfosit total.

Indikasi untuk Mengganti Regimen atau Berhenti ARTMengganti regimen akibat toksisitas obat dapat dilakukan degan mengganti satu atau lebih obat dari golongan yang sama dengan obat yang dicurigai mengakibatkan toksisitas.Mengganti terapi akibat kegagalan, untuk hal ini terdapat kriteria khusus untuk penggantian terapi menjadi regimen yang baru secara keseluruhan (masing-masing obat dalam kombinasi diganti dengan yang baru) atau penghentian terapi penggantian atau penghentian dilakukan apabila :a. ODHA pernah menerima regimen yang sama sekali tidak efektif lagi misalnya monoterapi atau terapi dengan 2 nukleosida Nucleosida reverse transcriptase inhibitor (NRTI)b. Viral load masih terdeteksi setelah 4-6 bulan terapi, atau bila viral load menjadi terdeteksi kembali setelah beberapa bulan tidak terdeteksi.c. Jumlah CD4 terus-menerus menurun setelah dites 2 kali dengan interval beberapa minggud. Infeksi opportunistik denganimmune reconstitution syndrome/sindrom pemulihan kembali kekebalan.Asuhan GiziAsuhan gizi merupakan komponen penting dalam perawatan individu yang terinfeksi HIV. Mereka akan mengalami gangguan pertumbuhan dan penurunan berat badan dan hal ini berkaitan dengan kurang gizi. Penyebabnya multifaktorial antara lain karena anoreksia, gangguan penyerapan sari makanan pada saluran cerna, hilangnya cairan tubuh akibat diare dan muntah, dan gangguan metabolisme. Jika seseorang dengan HIV mempuyai status gizi yang baik maka daya tahan tubuh akan lebih baik sehingga menghambat memasuki tahap AIDS.Asuhan gizi dan terapi gizi bagi ODHA sangat penting bagi mereka yang mengkonsumsi ARV. Makanan yang dikonsumsi mempengaruhi penyerapan ARV dan obat infeksi opoortunistik dan juga sebaliknya, sehingga mmerlukan pengaturan diet seperti obat ARV dimakan ketika saat lambung kosong.Prinsip gizi medis pada ODHA ialah tinggi kalori tinggi protein (TKTP) diberikan secara oral, juga kaya vitamin meneral dan cukup air. Berdasarkan beberapa penelitian, pemberian stimulan nafsu makan, sepertimegestrol acetatedanhuman recombinant growth hormonedapat memberikan kenaikan berat badan dan pertumbuhan.Seiring dengan berkembangnya penyakit, akan terjadi penurunan berat badan yang sangat drastis (drastic wasting) dan terhambatnya pertumbuhan anak. Berkurangnya cadangan protein dapat diatasi dengan meningkatkan intake asam amino, terutama threonine dan methionine.Bayi yang lahir dari ibu HIV tidak boleh diberi ASI ibunya, sehingga bayi diberikan pengganti air susu ibu (PASI). Namun dalam keadaan tertentu dimana pemberian PASI tidak memungkinkan dan bayi akan jatuh ke dalam kurang gizi, ASI masih dapat diberikan dengan cara diperas dan dihangatkan terlebih dahulu pada suhu di atas 66OC untuk membunuh virus HIV.

Rekomendasi terkait menyusui untuk ibu dengan HIV adalah sebagai berikut :a. Menyusui bayinya secara eksklusif selama 4-6 bulan untuk ibu yang tidak terinfeksi atau ibu yang tidak diketahui status HIV-nya.b. Ibu dengan HIV positif dianjurkan untuk tidak memberikan ASI dan sebaliknya memberikan susu formula (PASI) atau susu sapi atau kambing yag diencerkan.c. Bila PASI tidak memungkinkan disarankan pemberian ASI eksklusif selama 4-6 bulan kemudian segera dihentikan untuk diganti dengan PASI.2.10. PROGNOSISViremia plasma dan hitung limfosit CD4 sesuai usia dapat menentukan resiko perjalanan penyakit dan komplikasi HIV. Prognosis yang buruk pada infeksi perinatal berhubungan dengan terjadinya encephalofati, infeksi, perkembangan menjadi AIDS lebih awal, dan berkurangnya jumlah limfosit CD4 yang cepat. Tanpa terapi, kurang lebih 30% bayi yang terinfeksi berkembang menjadi gejala klinis berat kategori C atau kematian dalam 1 tahun kehidupan. Dengan terapi yang optimal angka mortalitas dan morbiditas menjadi rendah

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Dalam: Pratomo H. et al. (eds). Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu dan bayi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2006; 13-16.2. Greenwood D, Slack R, Peutherer J, Barer M. Medical microbiology: a guide to microbial infections: pathogenesis, immunity, laboratory diagnosis and control. Edisi ke-17. UK: Churchill Livingstone; 2007.3. Isselbacher, J Kurt. dkk. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison. Editor: Ahmad H. Asdie. Volume 4, Edisi 13. Jakarta: EGC, 2000.4. Jaringan pencegahan HIV dari ibu ke anak. Kebijakan PMTCT Indonesia: PMTCT.net; 2008. h.1.5. Kemenkes RI.2011.Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu Ke Bayi.Jakarta6. LAPORAN KASUS HIV-AIDS DI INDONESIA Triwulan 3 Tahun 2011 Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan lingkungan, Kementerian Kesehatan RI7. Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV Pada Anak dan Terapi Antiretroviral Di Indonesia. 2008. WHO. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.8. Prof. Subowo, dr. Msc.Phd. 2010.Imunologi Klinik.CV. SAGUNG SETO. P.177.Jakarta9. Sarwo Handayani.Balitbang Depkes RI.Deplesi Sel Limfosit CD4+ pada infeksi HIV.Cermin Dunia Kedokteran No.130.200110. Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Human Imunodeficiency Virus. Dalam: Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi ke-2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. 243 247.

20