Ragam Metode Penelitian Bahasa
Transcript of Ragam Metode Penelitian Bahasa
Suplemen bagi tema penelitian bahasa
Ragam Metode Penelitian Bahasa
Akan sangat strategis bila kita berdiskusi terlebih dahulu untuk menentukan makna
dari metode dan teknik, daripada langsung berbicara tentang berbagai metode penelitian,
mengingat dua istilah ini kerap kali dipandang berbeda oleh banyak ahli, namun seringkali
juga dianggap sama. Pemahaman akan letak perbedaan dan kesamaannya akan mengantarkan
kita untuk lebih arif menakar istilah metode dan istilah teknik dalam bahasan kebahasaan.
Untuk memenuhi kepentingan ini, penyusun sangat merasa terbantu dengan membaca dan
”mengadopsi” pendapat para penggiat lingusitik yang menyampaikan pemikirannya
mengenai kedua istilah ini melalui tulisannya.
Istilah metode penelitian dan beberapa istilah lain yang berkaitan dengannya
merupakan istilah-istilah utama yang ada dalam metodologi penelitian ilmu bahasa dan sosial.
Dalam sebagian literatur ilmu bahasa, pengertian metode seringkali dibedakan dengan teknik
(Sudaryanto, 1993: 9; Subroto, 1992: 32). Metode dipahami sebagai cara penelitian yang lebih
abstrak, sedangkan teknik dipandang sebagai cara penelitian yang lebih kongkret atau bersifat
operasional. Di samping metode dan teknik, istilah metodologi dipakai sebagai acuan terhadap
ilmu tentang metode. Berbeda halnya dalam literatur ilmu sosial (seperti sosiologi dan
antropologi) (lih. Koentjaraningrat (ed.), 1994), pengertian metode dan teknik nyaris tidak
dibedakan. Istilah metode dan teknik diacu untuk satu pengertian yang sama, yaitu cara
melakukan penelitian. Bahkan, metodologi dengan metode juga hampir sulit dibedakan; di
satu literatur dipakai metodologi penelitian, di literatur lain dipakai metode penelitian. Kondisi
ini terkadang mengantarkan kita pada sebuah pemahaman bahwa teknik dan metode
merupakan satu hal yang sulit dibedakan pengertiannya. Dari sejumlah literatur tersebut, dapat
kita tarik sebuah benang merah, bahwa pengertian metode mengacu pada cara penelitian.
Dalam kata lain, metode dapat pula dirumuskan sebagai langkah-langkah yang diambil
peneliti untuk memecahkan masalah penelitian. Oleh karena itu, sesungguhnya, metode
penelitian ini dimulai dari penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis.
Sejak linguistik bersinggungan dengan berbagai disiplin ilmu dan membentuk disiplin
ilmu baru seperti sosiolinguistik, maka penting bagi penyusun untuk memahami cara pandang
mengenai makna metode dalam kacamata bahasa dan sosial. Di samping itu, penelitian bahasa
saat ini juga sudah jauh merambah masuk ke pedalaman fungsi bahasa. Artinya, bahasa tidak
hanya dipandang sebagai sebuah disiplin ilmu mandiri, namun juga dikaji sebagai sistem yang
berkaitan dengan aspek-aspek sosial penggunanya.
Bila kita cermati melalui kacamata sosial, langkah-langkah penelitian utamaya
berkisar pada metode penyediaan data. Sebaliknya, dalam ilmu bahasa terutama literatur
linguistik struktural, yang lebih diutamakan adalah metode analisis bahasa. Kondisi ini
sepertinya muncul dari keyakinan bahwa data bahasa lebih mudah diperoleh karena bahasa
tersedia pada penuturnya atau ada dalam teks yang bertebaran di sekitar kita. Walaupun
demikian, pendapat semacam ini tidak selalu benar karena data bahasa berbeda-beda sifat
pengadaan atau penyediaannya, seperti penyediaan data dalam ilmu sosial. Oleh karena itu, di
samping pentingnya analisis data, ilmu bahasa juga memandang penting metode penyediaan
data, bahkan penyajian hasil analisis.
Dalam tulisan sederhana ini, penyusun mengambil lima metode penelitian yang terkait
dengan bidang semantik, semiotik, sosiolinguistik, dan tentunya linguistik yang kemudian
salah satunya, yaitu metode penelitian sosiolinguistik dijabarkan sampai pada tataran
aplikatifnya.
I. Metode Penelitian Sosiolinguistik
Dalam bahasan di awal tulisan disampaikan bahwa objek kajian bisa diteliti
berdasarkan tiga langkah-langkah yang penting, yaitu langkah penyediaan data, langkah
analisis data, dan langkah penyajian hasil analisis. Satu hal yang harus diperhatikan dalam
penelitian sosiolinguistik, yaitu bahwa aspek luar bahasa sangat signifikan menjelaskan atau
dijelaskan oleh bahasa itu sendiri. Dengan kata lain, konsep dasar kajian sosiolinguistik adalah
konsep korelasi. Yang dilakukan peneliti di bidang ini adalah mengkorelasikan bahasa dengan
aspek sosial.
Metode yang digunakan dalam penelitian sosiolinguistik menemui kendala dalam
masalah penamaan. Walaupun para penelitinya merasa bahwa penamaan bukan masalah yang
urgen untuk membuat keputusan meneruskan atau menghentikan penelitian sosiolinguistik itu
karena tanpa penamaan terhadap jenis-jenis metode itu pun, mereka telah dapat mengamati
dan menjelaskan isu-isu dalam kajian sosiolinguistik. Oleh sebab itu, judul bagian inipun
cukup kemudian disederhanakan menjadi metode penelitian sosiolinguistik.
Untuk memenuhi kebutuhan penjabaran aplikatif dari metode penelitian
sosiolinguistik, pada bagian ini, penyusun akan mengarah kepada pemaparan metode yang
digunakan untuk mengetahui sikap berbahasa yang merupakan bagian dari penelitian di
bidang sosiolinguistik. Metodenya sendiri adalah direct method yang kemudian diikuti oleh
teknik wawancara (atau dalam beberapa literatur disebut dengan istilah metode wawancara).
Karena istilah sosioliguistik diungkapkan pertama kali dalam bagian ini, maka penyusun akan
mencoba menjabarkan terlebih dahulu posisi sosiolinguistik dalam penelitian bahasa dan
sosial.
Penelitian Sosiolinguistik Secara Umum
Sebagai langkah awal, seorang peneliti dalam bidang sosiolinguistik harus dapat
membedakan bahasa sebagaimana adanya (deskriptif) dan bahasa sebagaimana seharusnya
(preskriptif atau sering pula disebut normatif). Dalam studi sosiolinguistik jelas bahwa bahasa
harus diteliti sebagaimana adanya, oleh karena itu bahan atau data linguistik yang diperoleh
harus bersifat alamiah (naturally occuring language), tidak boleh dibuat-buat (contrived).
Pengertian data bahasa yang alamiah ini nyata adanya (real), sekalipun ia dapat dibangkitkan
oleh si peneliti tetapi data itu harus dapat diujikan kepada penutur asli lainnya. Walaupun data
dapat dibangkitkan peneliti, data bahasa yang diperoleh perlu diselaraskan dengan pemakaian
bahasa orang lain dalam masyarakat bahasa yang sama agar datanya valid.
Langkah selanjutnya, peneliti harus mampu menyediakan data sesuai dengan objek
dan masalah penelitiannya. Istilah yang sering digunakan untuk menjamin keamanan
penyediaan data penelitian adalah dengan bersemboyan ”lebih baik berlebih daripada kurang”.
Kuantitas tidak menjadi satu-satunya fokus dalam pengumpulan data penelitian, kesesuaian
data dengan objek dan masalah penelitian juga menjadi satu hal yang tidak boleh diabaikan.
Dalam hal ini peneliti mungkin akan menstimulus munculnya data bahasa yang diharapkan,
karena sikap pasif dan menunggu ujaran sasaran untuk keluar sendiri mungkin akan memakan
waktu yang sangat lama dan kinerja penelitian yang lebih melelahkan. Stimulus sebagaimana
diungkapkan di atas berupa metode observasi dan metode wawancara yang dikenal tidak
hanya dalam literatur ilmu bahasa tetapi juga dalam ilmu sosial. Metode observasi (dalam
literatur metodologi penelitian linguistik di Indonesia) disebut metode simak, sedangkan
metode wawancara disebut metode cakap (lih. Sudaryanto, 1993).
Metode Penelitian Sikap Berbahasa (Sprechverhalten, language attitude)
Ada dua cara pandang yang umum digunakan untuk mengkaji sikap terhadap bahasa,
yaitu perspektif mentalist dan perspektif behaviorist. Tujuan dari kedua teori ini pada
hakekatnya sama, yaitu memberikan kejelasan secara ilmiah mengenai sifat-sifat dari sikap.
Walaupun demikian, mentalist dan behaviorist memandang sikap dengan cara yang berbeda.
Pandangan mentalist terhadap sikap dapat diwakili oleh William (1974:21), yang menyatakan
bahwa sikap adalah sebuah kondisi internal yang muncul sebagai reaksi atas adanya stimulus
dan menjadi pengubung dengan respon yang mungkin diberikan. Sikap dipandang sebagai
variabel yang muncul antara stimulus dan respon. Kaum behaviorist memandang sikap
sebagai respon yang diambil oleh individu dalam situasi sosial tertentu. Selain itu, kaum
behaviorist memandang sikap sebagai unit tunggal, sedangkan kaum mentalist memandang
sikap sebagai sebuah unit yang terdiri atas beberapa bagian, yaitu kognitif, afektif dan konatif.
Meskipun sikap bersifat abstrak dan tidak senantiasa ajeg sebagaimana model-model
penelitian di bidang ilmu pengetahuan alam, metode dan teknik yang digunakan untuk
menjabarkan sikap terhadap bahasa dalam disiplin ilmu sosiolinguistik sudah mampu
mendeskripsikan dengan sangat baik sikap responden terhadap suatu bahasa tertentu.
Ada dua macam metode yang digunakan dalam penelitian mengenai sikap berbahasa
(Fasold 1984:149). Pertama adalah metode langsung, yaitu metode penelitian sikap terhadap
bahasa yang mengkondisikan responden agar memberikan respon terhadap pertanyaan-
pertanyaan yang telah disiapkan secara sistematis baik melalui angket maupun wawancara.
Metode ini jelas membuat responden atau objek penelitian sadar bahwa sikapnya terhadap
bahasa tengah diamati. Metode kedua adalah metode tidak langsung. Metode ini dirancang
sedemikian rupa, sehingga objek penelitian tidak menyadari bahwa sikapnya terhadap bahasa
tertentu tengah diamati. Salah satu tekniknya ialah dengan mengalihkan perhatian responden
pada hal lain selain tema bahasa, namun dalam waktu bersamaan sikapnya terhadap bahasa
bisa diamati.
Agheyisi dan Fishman (1970) mengemukakan tiga teknik yang dapat digunakan dalam
penelitian mengenai language attitudes. yaitu teknik angket, wawancara dan observasi.
Menarik untuk dicermati bahwa teknik wawancara dan teknik observasi dpandang sebagai
metode oleh Kartomiharjo (1988: 17-19) dan Spolsky (2003: 9-12), sehingga dalam literatur
kedua ahli tersebut, istilah yang digunakan adalah metode wawancara dan metode observasi.
Namun demikian, dalam tulisan ini istilah yang akan digunakan adalah metode bagi
wawancara dan observasi.
Teknik angket terbagi menjadi dua jenis, yaitu angket terbuka dan angket tertutup.
angket terbuka memberikan kebebasan kepada responden untuk memberikan jawaban sesuai
dengan artikulasinya sendiri, sedangkan angket tertutup menyediakan beberapa alternatif
jawaban, sehingga responden tinggal memilihnya saja.
Metode wawancara memiliki prinsip yang sama dengan angket terbuka, namun tidak
dilakukan secara tertulis. Responden diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan yang
diajukan. Jawaban yang dberikan kemudian direkam atau ditulis untuk dijadikan data
penelitian. Kelemahan utama teknik ini ialah waktu yang dibutuhkan sangat banyak dan
harganya relatif mahal.
Metode observasi umumnya digunakan oleh antropologis dan etnografis. Teknik ini
ditujukan untuk memperoleh data secara naturalis, tanpa ada pengkondisian sama sekali dari
peneliti. Teknik ini cendeung digunakan oleh kaum behavioris. Metode observasi adalah
metode penelitian yang dilakukan dengan cara mengamati objek kajian dalam konteksnya.
Misalnya, seorang peneliti sedang meneliti ragam ujaran dalam penyampaian maksud atau
keinginan, maka ia harus mengumpulkan ujaran itu bersama dengan konteks lain yang
menyertainyatermasuk unsur prakondisi atau aspek sosial dan budaya. Kemungkinan cara
pengamatan berdasarkan metode observasi ini bisa murni secara tekstual bisa pula secara
kontekstual. Dikatakan murni secara tekstual artinya bahwa si peneliti hanya mengamati teks
tanpa melihat kehadiran penuturnya. Misalnya, peneliti mengamati pemakaian peribahasa
dalam lagu, cerpen, novel, komik, dan media lainnya. Namun karena teks tersebut
menggunakan bahasa yang dipahami si peneliti maka maka peneliti seyogyanya mampu
menghadirkan kembali konteks sosial budaya yang bersifat bawaan dari bahasa itu.
Sebaliknya dikatakan secara kontekstual berarti bahwa peneliti mengamati teks lengkap
dengan konteks ketika bahasa itu tengah dipergunakan.
Dalam praktik pelaksanaan observasi ini, peneliti bisa melakukan pengamatan dengan
cara terlibat langsung, dan bisa pula dengan cara tidak terlibat langsung. Observasi terlibat
langsung ini sering dinamai metode observasi partisipasi atau metode observasi berperan
serta, sedangkan observasi tidak terlibat langsung dikenal pula sebagai metode observasi
nonpartisipasi atau metode observasi tidak berperan serta. Ada perbedaan yang menyolok
antara metode observasi partisipasi dengan nonpartisipasi. Dengan cara partisipasi, peneliti
mengamati objek sekaligus terlibat dalam interaksi dengan penutur lain. Sebaliknya, dengan
cara nonpartisipasi, peneliti memang mengamati objek tetapi tidak terlibat dalam interaksi
dengan penutur lain. Dalam konteks terakhir ini, peneliti betul-betul hanya mengamati
bagaimana data bahasa dipergunakan tanpa ada stimulus dari peneliti.
Metode lain yang umum digunakan dalam mengumpulka data penelitian ialah metode
wawancara (interview method). Pada prinsipnya, metode wawancara adalah metode
penyediaan data dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan secara langsung.
Hal ini perlu kita pahami dengan tegas karena apabila wawancara dilakukan orang lain maka
informasi yang diperoleh kurang memadai bahkan akan banyak kehilangan konteks.
Kemudian, informan di sini dipahami sebagai orang yang memberi informasi kepada peneliti.
Informasi yang diberikan itu disebut kemudian kita sebut data.
Dari beberapa jenis metode wawancara yang terdapat dalam literatur ilmu sosial, satu
jenis metode wawancara yang sering diacu dalam penelitian sosiolinguistik adalah metode
wawancara yang direncanakan secara terstruktur atau tidak terstruktur. Berdasarkan cara ini
pula, metode wawancara dibagi atas dua klasifikasi, yaitu metode wawancara terstruktur
(structured interview) dan metode wawancara tidak terstruktur (unstructured interview).
Metode wawancara jenis pertama menyangkut pada persiapan peneliti untuk menyusun daftar
pertanyaan kepada informan. Biasanya peneliti membuat sejumlah pertanyaan berdasarkan
rumusan masalah yang akan dipecahkan. Dengan data yang tersedia peneliti akan
menganalisis pemecahan masalah tersebut. Metode wawancara jenis kedua, peneliti justru
mempersiapkan pertanyaan pokok saja. Ketika wawancara berlangsung, informan akan
memberi jawaban pertama dan dengan jawaban pertama itu peneliti akan memperjelas
jawaban itu dengan mengajukan pertanyaan yang sifatnya lebih mendalam, begitu seterusnya
secara beruntun. Apabila dipandang sudah jelas, peneliti akan beralih pada pertanyaan dengan
pokok bahasan yang lain. Untuk mendapatkan data yang lengkap, peneliti bisa menggunakan
teknik elisitasi (Spolsky, 2003: 9), yaitu satu strategi untuk memancing atau mengarahkan
informan dalam memberi informasi yang sebenarnya. Sistem wawancara tidak terstruktur ini
seringkali disamakan pengertiannya dengan metode wawancara mendalam (indept
interwiewing method).
Tataran Aplikatif
Sekait dengan bahasan ini, penyusun pernah melakukan penelitian mengenai sikap
berbahasa orang Indonesia dan orang Jerman untuk mengetahui potensi hambatan
berkomunikasi diantara penutur dua bahasa yang tidak serumpun tersebut. Untuk memenuhi
tujuan penelitian, maka peneliti mengambil sampel penelitian yang terdiri atas lima orang
native bahasa Indonesia dan lima orang native bahasa Jerman. Langkah ini diambil untuk
mendapatkan data mengenai pola ujar kedua penutur. Sebagai pertimbangan kesesuain dengan
masalah penelitian, semua responden merupakan pembicara asli yang pernah berinteraksi
lintas budaya (cross cultural communication) antara bahasa Jerman dan baahsa Indonesia
selama minimal satu tahun.
Disamping itu, Penyusun juga melakukan kajian literatur untuk mengetahui aspek-
aspek sosial yang akan dikorelasikan dengan sikap berbahasa masing-masing penutur. Kajian
ini menyangkut sistem nilai, budaya, pola hidup pada umumnya dan kajian kebahasaan seperti
gramatika yang memenuhi fungsi kesopanan dan mencerminan strata sosial. Untuk menjamin
akurasi data kepustakaan, penyusun melakukan kajian literatur dengan objek berbagai buku
referensi, rekaman pidato dan dokumen terkait lainnya yang diambil langsung dari masing-
masing budaya, dalam hal ini langsung dari negeri Jerman dan Indonesia dalam bahasa aslinya
masing-masing.
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah indept interviewing method, peneliti
menyusun pertanyaan pokok untuk kemudian diajukan kepada responden untuk mendapatkan
data penelitian. Jawaban yang diberikan kerap kali dikejar dengan pertanyaan lanjutan agar
data yang diperoleh mencukupi secara kuantitas dan kualitas. Untuk menjaga agar data yang
telah diperoleh tidak mengalami distorsi dalam pencatatan, maka semua hasil wawancara
direkam untuk kemudian dibuat transkripnya.
Langkah selanjutnya adalah mengklasifikasikan data penelitian dan
mengkategorikannya sesuai dengan aspek-aspek yang akan diteliti. Data yang telah tersusun
rapi kemudian dikorelasikan dengan aspek sosial yang melatarbelakanginya. Langkah ini
berupaya untuk menemukan jawaban mengenai sikap berbahasa masing-masing penutur, yang
pada gilirannya akan membangun pemahaman dan pengertian dalam komunikasi lintas
budaya.
Langkah terakhir adalah menyimpulkan potensi hambatan komunikasi yang muncul
dalam situasi interaksi komunikasi yang melibatkan native bahasa Jerman dan native bahasa
Indonesia. Kesimpulan ini kemudian didukung oleh beberapa kasus yang terungkap melalui
wawancara dengan responden. Hasil penelitian bisa digunakan untuk menambah wawasan
para pendidik dan segenap khalayak yang karena alasan profesionalitas atau entertainment
sering berinteraksi dengan penutur bahasa asing, khususnya bangsa Jerman.
II. Metode Penelitian dyadic dalam Semiotika
Sebagaimana telah kita ketahui, istilah semiotik atau semiology berasal dari kata
semeion dalam bahasa Yunani yang berarti „tanda‟. Umumnya istilah semiotik dimaknai
secara sederhana sebagai ilmu mengenai tanda. Istilah ini diberikan oleh linguis besar asal
Swiss, Ferdinand de Saussure (1857-1913) ketika ia memberikan kuliah „course in general
lingustics‟ di universitas Jenewa. Model tanda yang dikemukakan oleh Saussure adalah model
tanda dua bagian, atau disebut pula dengan istilah „dyadic‟. Saussure menegaskan bahwa
tanda dibentuk dari dua hal, yaitu „sigifier’ (significant) dan „signified (signifiě). Signifier
dimaknai sebagai sebuah pola bunyi, yaitu impresi psikologis pendengar akan sebuah bunyi.
Pola bunyi (sound pattern) pada akhirnya membedakan makna yang dikandungnya dengan
bunyi. Signified sendiri tidak mengacu kepada objek atau benda, tapi cenderung mengacu
kepada konsep. Dengan demikian, Saussure menekankan bahwa tanda linguistik bukan
merupakan hubungan antara sebuah hal dengan sebuah nama, tapi merupakan hubungan
antara sebuah konsep dengan pola bunyi (sound pattern).
Sebagai pembanding terhadap model dyadic Saussure yang bisa digunakan untuk
menganalisa bahasa dari sisi tanda, ada baiknya kita cermati model semisal yang
dikembangkan oleh seorang tokoh besar dalam perkembangan semiotik yang berasal dari
Amerika. Linguis besar ini bernama Charles Sanders Pierce (1839-1914) yang mengemukakan
mode semiotik berbeda dalam waktu yang relatif bersamaan dengan Sussure. Berbeda dengan
model „dyadic‟ yang diungkapkan oleh Saussure, Peirce mengemukakan model triadic tanda,
yang terdiri atas elemen-elemen sebagai berikut.
a. Representamen, adalah bentuk yang diambil sebagai tanda (tidak senantiasa bersifat
material).
b. Interpretant, cenderung bermakna gagasan yang dimunculkan oleh tanda.
c. Objekt, adalah hal kemana tanda terkait mengacu.
Hubungan antara ketiga elemen tersebut disebut „semiosis‟. Untuk lebih memahaminya, kita
bisa ilustrasikan dengan lampu lalu lintas. Dalam model tanda yang dikemukakan oleh Peirce,
lampu tanda berhenti akan diwakili oleh lampu merah yang ada di persimpangan jalan
(sebagai representamen), kendaraan berhenti (sebagai objek) dan gagasan bahwa lampu merah
mengindikasikan kendaraan harus berhenti (sebagai interpretant).
Dalam model yang dikemukakan oleh Saussure, sebuah tanda hanya akan bermakna
ketika dikaitkan dengan tanda lainnya. Dalam diskusi semiotik, terdapat tiga hal utama yang
bisa dianalisis, antara lain:
a. Tanda itu sendiri
b. Kode atau sistem dimana tanda tersebut dibentuk
A
B
C sign vehicle
sense
referent
c. Budaya dimana kode dan tanda tersebut digunakan.
Pembedaan ini semakin menguatkan pendapat bahwa tanda tidak bisa terlepas dari
konteksnya. Kondisi ini diperkuat oleh pendapat Chandler yang menyatakan bahwa tanda
bukanlah makna, makna baru muncul melalui penafsiran dan konteksnya. Dengan demikian
dapat kita katakan bahwa semiotik merupakan sebuah hubungan sosial antara pembuat makna
dan tanda yang bisa ditafsirkan secara beragam.
Saussure membedakan struktur paradigmatik dan sintagmatik dari tanda. Istilah
paradigma dalam semiotik mengacu kepada kombinasi tanda yang membentuk kelompok
kategori makna yang relevan, sedangkan sintagma mengacu kepada kombinasi beraturan dari
tanda-tanda yang saling berkaitan sehingga membentuk makna keseluruhan. Klasifikasi ini
berimbas kepada adanya dua cara yang bisa digunakan untuk menganalisa tanda dalam sistem
bahasa.
III. Metode Penelitian Kuasi Eksperimen
Kuasi eksperimen adalah sebuah metode penelitian ilmiah yang umum digunakan di
bidang bahasa dan sosial. Kata „kuasi‟ berasal dari quasi yang artinya „kemiripan‟ atau
„tiruan‟, dengan demikian kuasi eksperimen memiliki berbagai karakter dari eksperimen yang
tujuannya adalah menemukan interfensi atau treatment tertentu. Kunci perbedaan dari
pendekatan empiris ini terletak pada kurangnya random assignment. Dengan kata lain, Metode
quasi eksperimen adalah metode penelitian yang bertujuan untuk memperoleh informasi yang
merupakan perkiraan bagi informasi yang dapat diperoleh dengan eksperimen yang
sebenarnya dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk mengontrol atau memanipulasi
semua variabel yang relevan.
Desain Penelitian
Langkah awal untuk menciptakan sebuah kuasi eksperimen adalah dengan
mengidentifikasi variabel-variabelnya. Kuasi- variabel bebas disebut dengan istilah variabel x,
adalah variabel yang dimanipulasi untuk mempengaruhi variabel terikat. “x” pada umumnya
berupa variabel yang berkelompok dengan level yang berbeda. Pengelompokan dalam hal ini
berarti dua kelompok atau lebih sebagai kelompok treatment dan sebuah kelompok sebagai
kelompok kontrol. Hasil yang diharapkan adalah variabel terikat yang disebut dengan istilah
variabel y. dalam analisis time series, variabel terikat diamati dalam rentang waktu tertentu
untuk mengetahui perubahan yang terjadi. Ketika variabel berhasil diidentifikasi dan
didefinisikan, sebuah prosedur kemudian diterapkan dan perbedaan dalam kelompok kemudia
diuji.
Kelebihan
Karena desain kuasi eksperimen digunakan ketika randomisasi tak mungkin dilakukan,
maka desain ini lebih mudah dilaksanakan daripada eksperimen penuh. Dibutuhkan relatif
lebih sedikit upaya untuk mempelajari dan membandingkan sekelompok subjek yang secara
natural telah terorganisir daripada melakukan random assignment terhadap banyak subjek.
Disamping itu, penggunaan kuasi eksperimen mampu meminimalisir ancaman terhadap
validitas eksternal, karena lingkungan alamiah tidak mengalami masalah artificial yang sama
dengan setting laboratorium yang dikontrol secara total. Karena kuasi eksperimen merupakan
eksperimen alamiah, satu kuasi eksperimen bisa kemudian diterapkan bagi subjek dan kondisi
lainnya, memungkinkan dilakukannya generalisasi bagi populasi. Selain itu, eksperimen
semacam ini efisien untuk dilakuka dalam penelitian longitudinal yang melibatkan periode
waktu yang lama, yang dapat ditindaklanjuti dalam lingkungan yang berbeda. Namun
demikian, kuasi eksperimen juga memiliki kelemahan, seperti misalnya kontrol yang ada
dalam upaya manipulasi variabel bebas dapat mengarahkan eksperimen kepada situasi yang
tidak alami.
Istilah kuasi eksperimen mengacu kepada sebuah tipe dari desain penelitian yang
memiliki banyak kemiripan dengan desain eksperimen tradisional, namun memiliki kekhasan
berupa kurangnya randomisasi. Dengan randomisasi, setiap partisipan memiliki kesempatan
yang sama untuk dimasukkan ke dalam kelompok treatment. Dengan demikian, randomisasi
mampu memberikan jaminan bahwa kelompok eksperimental dan kelompok control
ekuivalen.
Ada beberapa tipe kuasi eksperimen mulai dari yang paling sederhana sampai kepada
yang kompleks. Masing-masing memiliki kekuatan, kelemahan dan aplikasi tersendiri.
Desain-desain kuasi eksperimen ini antara lain:
1. Satu kelompok post test
2. Satu kelompok pre test post test
3. Desain removed-treatment
4. Desain control kasus
5. Desain control kelompok non-ekuivalen
6. Desain interrupted time-series
7. Desain regresi diskontinutas
Dari semua macam desain penelitian kuasi eksperimen ini, desain regresi
diskontinuitas (regression discontinuity design) adalah yang paling mirip dengan desain
eksperimental. Namun desain ini memerlukan lebih banyak partisipan dan model bentuk
fungsional yang lebih layak antara penugasan dengan outcome, agar memiliki kekuatan yang
sama dengan desain eksperimental.
IV. Indirect Method dengan Menggunakan Metode Penelitian Matched-Guise
Sebagaimana telah dikemukakan di awal, metode yang digunakan untuk menentukan
sikap mengenai bahasa dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Metode
langsung total mengarahkan subjek untuk menjawab kuesioner atau pertanyaan dalam
wawancara yang secara sederhana meminta pendapat responden mengenai suatu bahasa
tertentu. Sedangkan metode tidak langsung berusaha untuk menjaga responden agar tidak
menyadari bahwa sikapnya mengenai bahasa sedang diobservasi.
Salah satu contoh pendekatan tidak langsung adalah penelitian yang dilakukan oleh
Cooper dan Fishman (1974:16-17). Mereka tertarik untuk menguji hipotesis mengenai sikap
terhadap bahasa hebrew di Israel yang dipandang sebagai bahasa yang lebih relevan untuk
membahasa tema-tema ilmiah dan sikap terhadap bahasa Arab, yang dianggap sebagai bahasa
yang lebih layak untuk digunakan dalam bahasan-bahasan keagamaan.
Pengujian terhadap hipotesis tersebut dilakukan dengan cara mengambil responden
sekelompok muslim dewasa yang mampu berbahasa arab dan Hebrew dengan baik dan
menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Semua responden diminta mendengarkan
empat pesan yang masing-masing berdurasi satu menit dan direkam dari pembicara bahasa
Arab dan Hebrew yang fasih. Rekaman pertama berisi penjelasan mengenai buruknya efek
tembakau dalam rokok beserta penjelasan ilmiahnya dan di rekam dalam masing-masing
bahasa Arab dan Hebrew. Rekaman kedua juga direkam dalam kedua bahasa, berisikan
buruknya efek alkohol dan argumentasinya diambil dari ajaran agama Islam. Penelitian ini
menunjukkan hasil yang dramatis. Kelompok responden yang mendengarkan rekaman
mengenai efek buruk tembakau dan alasan ilmiahnya dalam bahasa Hebrew mendukung
diberlakukannya pajak yang tinggi bagi rokok, namun kelompok responden yang
mendengarkan rekaman tersebut dalam bahasa Arab tidak mendukung seluruhnya.
Sebaliknya, kelompok responden yang mendengarkan rekaman buruknya alkohol beserta
ajaran Islam yang melarangnya dalam bahasa Arab mendukung dinaikkannya pajak minuman
keras, namun kelompok responden yang mendengarkan rekaman sejenis dalam bahasa
Hebrew tidak seluruhnya mendukung kenaikan pajak bagi minuman keras.
Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis terbukti benar. Di Israel, sikap terhadap
bahasa Hebrew menjadikan bahasa ini lebih efektif digunakan dalam bidang ilmiah,
sedangkan sikap terhadap bahasa Arab menjadikan bahasa Arab lebih efektif digunakan untuk
menjelaskan mengenai ajaran keagamaan. Selama penelitian berlangsung, para responden
tidak menyadari bahwa mereka sedang diobservasi. Perhatian mereka teralihkan kepada isu
efek buruk dari tembakau dan minuman keras.
Sebuah metode eksperimental yang telah menjadi metode standar dalam penelitian
sikap terhadap bahasa adalah metode matched-guise yang dikembangkan oleh Wallace
Lambert dan rekan-rekannya. Metode matched-guised murni bertujuan mengontrol semua
variabel yang ada dalam penelitian, kecuali bahasa. Penelitian ini mengambil responden
sekelompok orang yang bilingual (misalnya 3 orang), kemudian diminta untuk membaca
sebuah teks yang sama persis, satu dalam sebuah bahasa dan satu lagi dalam bahasa lain. Hasil
rekaman kemudian diatur sedemikian rupa agar terkesan bahwa yang direkam terdiri atas
pembicara yang berbeda. Rekaman tersebut kemudian diperdengarkan kepada sampel yang
berasal dari komunitas yang sama. Sampel diminta untuk mendengarkan rekaman dan
menebak tingkat intelejensi dan kelas sosialnya.
Hasil yang diperoleh menunjukkan apakah satu responden dinilai berbeda oleh sampel
dari sisi intelejensi dan kelas sosialya ataukah tidak. Bila iya, maka pengaruh penilaian ini
pasti berasal dari bahasa yang digunakan, bukannya dari faktor lain, karena suara yang
diperdengarkan sama. Dengan demikian terungkaplah bagaimana sikap sampel yag dianggap
mewakili komunitas terhadap bahasa tertentu.
Dalam perkembangannya, metode matched-guised ini mengalami modifikasi, namun
tetap dengan dasar yang sama. Format yang digunakan untuk mencatat respon pendengar
adalah skala differensial semantik (semantic differential scales). Itulah sebabnya metode
matched-guised biasa dipasangkan dengan semantic differential scales dalam sebuah
penelitian.
Skala ini berupa turus yang dituliskan sesuai dengan penilaian pendengar terhadap
pembicara dalam rekaman. Sebagai contoh, bila pendengar menilai orang yang sedang
berbicara sifatnya tidak ramah, maka ia akan menuliskan turus dekat kepada kata „tidak
ramah‟, bila ia nilai ramah maka akan ditempatkan dekat kepada kata „ramah‟, namun bila
terkesan biasa maka akan dituliskan di tengah-tengah.
Ramah _____ _____ _____ _____ _____ _____ tidak ramah
Setelah respon dari semua pendengar dikumpulkan, maka dibuatlah tabulasi dari tiap
pembicara dengan cara yang sama. Bila satu orang yang berbicara dalam dua bahasa berbeda
diberikan penilaian berbeda dalam skala diferensial semantik, misalnya ketika berbicara dalam
bahasa Indonesia dianggap lebih dekat ke kutub tidak ramah, lalu ketika berbicara dala bahasa
Sunda dianggap ramah, maka perbedaan penilaian atau sikap ini pasti muncul akibat dari
bahasa, karena pada hakekatnya orang yang berbicara dalam dua bahasa berbeda itu adalah
sama, namun responden tidak menyadarinya.
V. Metode Deskriptif Analisis
Metode deskriptif analitis merupakan pengembangan dari metode deskriptif, yakni
metode yang mendeskripsikan gagasan manusia tanpa suatu analisis yang bersifat kritis.
Dengan kata lain, penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai proses pemecahan masalah
yang diselidiki dengan melukiskan keadaa subjek dan objek penelitian pada saat sekarang
berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau bagaimana adnya.
Pelaksanaan metode penelitian deskriptif tidak terbatas pada pengumpulan dan
penyusunan data, namun meliputi analisis dan interpretasi tentang data tersebut. Selain itu,
semua yang dikumpulkan memungkinkan menjadi kunci terhadap apa yang diteliti.
Sedangkan metode deskriptif analitis, seperti dikemukakan oleh Suriasumantri, yaitu
metode yang dipergunakan untuk meneliti gagasan atau produk pemikiran manusia yang telah
tertuang dalam bentuk media cetak, baik yang berbentuk naskah primer maupun naskah
sekunder dengan melakukan studi kritis terhadapnya. Fokus penelitian deskriptif analitis
adalah berusaha mendeskripsikan, membahas, dan mengkritik gagasan primer yang
selanjutnya dikonfrontasikan dengan gagasan primer yang lain dalam upaya melakukan studi
yang berupa perbandingan, hubungan, dan pengembangan model.
Dalam berbagai penelitian kebahasaan, banyak peneliti yang menggunakan
metode deskriptif analisis sebagai metode awal yang digunakan untuk menjelaskan fenomena
yang ada sesuai dengan kondiri riil di lapangan. Metode ini memiliki peranan strategis karena
terlebih dahulu mengenalkan objek dan kondisi permasalahan yang tengah diteliti kepada
segenap seluruh pihak yang berkepentingan dengan hasil penelitian. Metode deskriptif analisis
juga mempunyai dinamisasi yang baik untuk dilanjutkan dengan berbagai metode penelitian
lainnya. Dalam penelitian bahasa asing sebagai bahasa kedua, para peneliti umum
menggunakan metode deskriptif analisis sebagai langkah awal penelitian, kemudian
dilanjutkan dengan metode analisis kesalahan dalam bidang gramatika atau ujaran. Cukup
banyak pula penelitian S1 yang menggunakan metode deskriptif analisis sebagai langkah awal
penelitian, kemudian dilanjutkan dengan analisis kontrastif, termasuk dalam bidang kontrastif
lintas budaya.
DAFTAR PUSTAKA
A.R., Syamsuddin. 1998. Data dalam Pola Pikir dan Penelitian Ilmiah. Bahan Kuliah Kursus
Tenaga Pengajar Akademis Sesko AU. FPBS UPI. Bandung
A.R.,Syamsuddin. 1991. Proto Austronesia pada Bahasa Bima, Manggarai dan Sunda.
Kajian Historis Komparatif dari Segi Refleksi, Korespondensi, Masa Pisah dan
Penegelompokan. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Bandung
Bloomfield, Leonard. 1984. Language. The University of Chicago Press. Chicago and
London.
Chandler, Daniel. 2002. Semiotics: The Basic. London: Routledge
De Beaugrande.1991. Linguistic Theory.The Discourse of Fundamental Work. New York:
Longman Group UK Limited.
Kartomiharjo, Soeseno. 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Dpedikbud,
Dirjen Dikti, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan.
Nasution. 2004. Metode Research, Penelitian Ilmiah. (cetakan ke-7). Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Palmer, F.R.1981. Semantics. London, New York, New Rochelle, Melbourne, Sydney:
Cambridge University Press.
Spolsky, Bernard. 2003. Sociolinguistics. (Cetakan ke-4). Oxford: Oxford University Press
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana
Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.