RAGAM HIAS PADA CANDI SEBAGAI MOTIF BATIK Temple …

16
Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019 Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814 A1-1 RAGAM HIAS PADA CANDI SEBAGAI MOTIF BATIK Temple Ornaments as Batik Motifs Sugeng Riyanto Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jl. Gedong Kuning No. 174 Kotagede Yogyakarta Korenspondesi Penulis Email : [email protected] Kata kunci: batik, candi, Prambanan, Mataram kuno Keywords: batik, temple, Prambanan, Ancient Mataram ABSTRAK Kain batik berbeda dengan produk tekstil bermotif batik meskipun sama-sama berbahan kain, juga motifnya yang dapat digolongkan sebagai susunan “ornamen batik”. Perbedaan paling mendasar pada keduanya ada pada proses pembuatannya. Kain batik dilukis atau dicap, atau kombinasi keduanya dengan menggunakan lilin (malam), dan seterusnya melalui proses yang khas hingga menjadi kain batik. Di sisi lain, dalam konsep batik tradisional, motif diciptakan dengan tujuan simbolis yang penuh makna, jadi tidak semata-mata menghadirkan keindahan estetis melalui lukisan. Belakangan lukisan pada kain batik berkembang sangat pesat, bahkan setiap daerah seolah berlomba menghadirkan motif khas. Sesugguhnya ragam hias tradisional dan hiasan-hiasan pada barang atau bangunan kuno - salah satunya adalah candi - di Indonesia dapat digali menjadi bahan inspirasi pengembangan motif pada kain batik. Selain sebagai warisan budaya leluhur dengan berbagai kandungan maknanya, ragam hias tersebut juga sangat kaya akan bahan grafis beserta variasi-variasinya yang khas. Untuk itu, makalah ini ditulis dengan cara pandang yang spesifik, yaitu kekayaan hiasan yang ada pada bangunan candi sebagai potensi pengembangan motif batik. Lebih dari itu, jelas-jelas bangunan candi dengan segenap komponen dan kelengkapannya adalah buah karya leluhur, sejak abad VIII - XV. Berkaitan dengan tersebut penggalian sumber unsur dekoratif pada candi dan arca yang secara khusus lokasinya difokuskan di area Prambanan dan sekitarnya, dilakukan sebagai inspirasi dalam pengembangan motif batik. ABSTRACT In this case, what is meant by batik fabric is not the same as batik-patterned textile products. Both of them are both made of cloth, also motifs that can be classified as a composition of "batik ornaments". The most fundamental difference between the two is in the manufacturing process. Batik cloth is painted or stamped, or a combination of both using wax (malam), and so on through a typical process to become batik cloth. On the other hand, in the concept of traditional batik, the motives were created with symbolic purposes that are full of meaning, so it does not merely present aesthetic beauty through painting. Later paintings on batik cloth developed very rapidly, in fact each area seemed to compete to present their own distinctive motifs. Indeed, the variety of traditional decorations and decorations on ancient objects or buildings - one of which is a temple - in Indonesia can be excavated as an inspiration for developing motifs on batik cloth. Aside from being an ancestral cultural heritage with various meanings, the decoration is also very rich in graphic material and its unique variations. For this reason, this paper is written with a specific perspective, namely the richness of decoration in the temple building as a potential development of batik motifs. More than that, it is clear that the temple building with all its components and accessories is the work of ancestors, since the VIII - XV century. In this connection, the research of sources of decorative elements in temples and statues, specifically located in the Prambanan area and its surroundings, was carried out as inspiration in the development of batik motifs.

Transcript of RAGAM HIAS PADA CANDI SEBAGAI MOTIF BATIK Temple …

Page 1: RAGAM HIAS PADA CANDI SEBAGAI MOTIF BATIK Temple …

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

A1-1

RAGAM HIAS PADA CANDI SEBAGAI MOTIF BATIK

Temple Ornaments as Batik Motifs

Sugeng Riyanto

Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jl. Gedong Kuning No. 174 Kotagede Yogyakarta

Korenspondesi Penulis

Email : [email protected]

Kata kunci: batik, candi, Prambanan, Mataram kuno

Keywords: batik, temple, Prambanan, Ancient Mataram

ABSTRAK

Kain batik berbeda dengan produk tekstil bermotif batik meskipun sama-sama berbahan kain, juga

motifnya yang dapat digolongkan sebagai susunan “ornamen batik”. Perbedaan paling mendasar pada

keduanya ada pada proses pembuatannya. Kain batik dilukis atau dicap, atau kombinasi keduanya

dengan menggunakan lilin (malam), dan seterusnya melalui proses yang khas hingga menjadi kain batik.

Di sisi lain, dalam konsep batik tradisional, motif diciptakan dengan tujuan simbolis yang penuh makna,

jadi tidak semata-mata menghadirkan keindahan estetis melalui lukisan. Belakangan lukisan pada kain

batik berkembang sangat pesat, bahkan setiap daerah seolah berlomba menghadirkan motif khas.

Sesugguhnya ragam hias tradisional dan hiasan-hiasan pada barang atau bangunan kuno - salah

satunya adalah candi - di Indonesia dapat digali menjadi bahan inspirasi pengembangan motif pada

kain batik. Selain sebagai warisan budaya leluhur dengan berbagai kandungan maknanya, ragam hias

tersebut juga sangat kaya akan bahan grafis beserta variasi-variasinya yang khas. Untuk itu, makalah ini

ditulis dengan cara pandang yang spesifik, yaitu kekayaan hiasan yang ada pada bangunan candi

sebagai potensi pengembangan motif batik. Lebih dari itu, jelas-jelas bangunan candi dengan segenap

komponen dan kelengkapannya adalah buah karya leluhur, sejak abad VIII - XV. Berkaitan dengan

tersebut penggalian sumber unsur dekoratif pada candi dan arca yang secara khusus lokasinya

difokuskan di area Prambanan dan sekitarnya, dilakukan sebagai inspirasi dalam pengembangan motif

batik.

ABSTRACT

In this case, what is meant by batik fabric is not the same as batik-patterned textile products. Both of

them are both made of cloth, also motifs that can be classified as a composition of "batik ornaments".

The most fundamental difference between the two is in the manufacturing process. Batik cloth is painted

or stamped, or a combination of both using wax (malam), and so on through a typical process to become

batik cloth. On the other hand, in the concept of traditional batik, the motives were created with

symbolic purposes that are full of meaning, so it does not merely present aesthetic beauty through

painting. Later paintings on batik cloth developed very rapidly, in fact each area seemed to compete to

present their own distinctive motifs. Indeed, the variety of traditional decorations and decorations on

ancient objects or buildings - one of which is a temple - in Indonesia can be excavated as an inspiration

for developing motifs on batik cloth. Aside from being an ancestral cultural heritage with various

meanings, the decoration is also very rich in graphic material and its unique variations. For this reason,

this paper is written with a specific perspective, namely the richness of decoration in the temple building

as a potential development of batik motifs. More than that, it is clear that the temple building with all

its components and accessories is the work of ancestors, since the VIII - XV century. In this connection,

the research of sources of decorative elements in temples and statues, specifically located in the

Prambanan area and its surroundings, was carried out as inspiration in the development of batik motifs.

Page 2: RAGAM HIAS PADA CANDI SEBAGAI MOTIF BATIK Temple …

A1-2

PENDAHULUAN

Bangunan candi menyimpan berbagai makna luhur yang tercermin pada kemegahan

arsitektural, teknologi pembangunan, maupun filosofi desainnya. Di dibalik itu, sebagai buah

karya adiluhung kerajaan Mataram Kuno masa Hindu-Buddha, bangunan candi ternyata juga

memiliki kekayaan estetika. Hal ini tercermin pada aspek dekoratif berupa pahatan-pahatan

relief maupun unsur-unsur dekoratif pada arca yang biasanya menyertai bangunan candi.

Dengan kata lain, candi adalah salah satu heritage yang harus dilestarikan dan dipromosikan

untuk berbagai kepentingan.

Setidaknya ada tiga kategori aspek dekoratif berupa relief yang dipahatkan pada

bangunan candi, yaitu: 1) relief cerita, adalah visualisasi cerita berdasarkan kitab keagamaan

masa itu maupun visualisasi cerita bertema pendidikan; 2) Relief tanpa cerita, adalah relief

yang tidak menggambarkan alur cerita tertentu, biasanya berupa bentuk-bentuk hiasan atau

simbol-simbol mitologi-religius; 3) relief candrasengkala, adalah relief yang menggambarkan

figur (manusia, hewan, atau mahluk mitologis) yang dapat diartikan sebagai sebuah kalimat;

selanjutnya dapat diterjemahkan sebagai angka yang menunjuk pada tahun tertentu.

Sementara itu, aspek dekoratif pada arca dapat dibedakan menjadi: 1) hiasan yang

digambarkan pada pakaian yang dikenakan, 2) aksesoris yang biasanya juga melengkapi

wujud sebuah arca, seperti gelang kaki, kalung, gelang lengan, dan mahkota; 3) hiasan yang

dipahatkan pada tempat duduk dan sandaran arca.

Salah satu kawasan yang memiliki banyak bangunan candi adalah kawasan Prambanan

yang meliputi wilayah Kabupaten Sleman di Yogyakarta dan Kabupaten Klaten di Jawa Tengah.

Prambanan tidak sekedar ditempatkan sebagai nama sebuah candi atau nama sebuah lokasi,

akan tetapi ditempatkan sebagai sebuah kawasan yang memiliki kekhasan budaya yang unik,

baik sebagai objek arkeologis, objek wisata, maupun wilayah permukiman. Seluruh potensi ini

dianggap sangat potensial untuk dikembangkan sebagai pusat wisata budaya yang mampu

memberdayakan masyarakat setempat tanpa harus kehilangan identitasnya sejalan dengan

modernisasi yang tengah dan terus berlangsung (Suryo, et.al., 1999).

C.A. Lons, seorang pegawai VOC di Semarang yang pada tahun 1733 berkesempatan

mengunjungi Candi Prambanan, selalu disebut sebagai “orang pertama” yang menemukan

candi Prambanan (Santiko, 1992). Sejak itu, berbagai penelitian di situs ini terus berlangsung

yang dimulai pada tahun 1805 oleh H.C. Cornelis dengan pengukuran yang sistematis (Santiko,

1992). Tahun 1952, Candi Çiva, salah satu bangunan utama di komples Candi Prambanan,

selesai dipugar dan diresmikan dengan ditandai upacara selamatan sederhana (Kempers,

1985). Sejak itu, telah dihasilkan berbagai kajian tentang situs dan bangunan ini, antara lain

meliputi seni arca, arsitektur, keagamaan, dan sejarah politik Jawa Kuna. Bukan hanya itu,

penelitian dan pemugaran juga meluas keseluruh kawasan Prambanan, seperti Candi Sewu,

Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Ijo, serta candi-candi lainnya.

Beberapa ahli telah sepakat bahwa warisan budaya adalah milik masyarakat luas; dan

sebagai konsekuensinya, semua kegiatan yang berkaitan dengan warisan budaya, baik berupa

Page 3: RAGAM HIAS PADA CANDI SEBAGAI MOTIF BATIK Temple …

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

A1-3

penelitian, penyelamatan, pengelolaan dan pemanfaatannya harus tetap mengutamakan

kepentingan masyarakat luas (Tanudirjo, et.al., 1993/1994). Berkaitan dengan pemanfaatan,

Cleere (1989) menjelaskan bahwa manajemen sumber daya arkeologi memiliki tiga tumpuan

pemanfaatan, yaitu: ideologik yang terkait erat dengan pendidikan (edukasional) antara lain

untuk mewujudkan “cultural identity”; akademik, yaitu hasil penelitian yang dimanfaatkan

untuk kegiatan ilmiah lainnya maupun pengembangan ilmu, dan ekonomik yaitu keuntungan

ekonomis misalnya melalui kepariwisataan maupun pengembangan industri kreatif, termasuk

batik.

Pengertian batik dapat didefinisikan sebagai gambar pada kain dasar mori, sutera, atau

lainnya dengan menggunakan lilin sebagai bahan pencegah masuknya warna, dilukis dengan

alat canting, kuas, atau sejenisnya yang kemudian diberi warna serta akhirnya diakukan proses

penghilangan lilin (Suyanto, 1998). Tiga aspek yang sangat khas pada batik meliputi proses,

lukisan motif atau pola, dan bahan kain merupakan satu kesatuan dalam pembatikan (Gustami,

1998). Dengan pengertian itu, maka batik tergolong dalam seni kriya yang mudah beralih

menjadi barang ekonomis karena memiliki kecenderungan sebagai komoditi, bukan seni

murni.

Secara agak rinci, proses pembuatan kain batik setidaknya meliputi hal-hal berikut ini.

1) Menyiapkan kain, biasanya jenis mori, melalui pencucian, pemberian tepung kanji,

dan menyeterika

2) Melukiskan cairan lilin pada kain dengan motif tertentu menggunakan canting, cap,

atau kuas; dalam hal ini lilin digunakan untuk menolak warna yang akan diberikan

pada kain dalam proses selanjutnya

3) Mewarnai kain batik dengan cara mencelupkan kain batik ke dalam warna tertentu

atau dengan cara coletan dan painting. Pewarnaan dilakukan secara dingin agar

warna yang digunakan tidak hilang ketika lilin dihilangkan

4) Menghilangkan lilin atau disebut dengan melorod pada bagian-bagian tertentu

dengan cara mengerok (Susanto, 1980).

Sebagai komoditas, dalam kurun waktu tertentu batik diperdagangkan di Nusantara

dengan berbagai cerita di belakangnya, setidaknya sejak abad XVI M. Pada tahun 1520 batik

Jawa diberitakan dengan sitilah “tulis”, sebuah istilah yang hingga sekarang digunakan untuk

menyebut batik tulis yang halus. Tahun 1641 bahkan sudah muncul istilah batick dalam daftar

barang (bill of lading) yang dikirim ke Bengkulu dari Jakarta (Soedarso, 1998). Perlu

dipertanyakan, apakah kain yang diperdagangkan tersebut adalah batik Jawa dengan proses

yang khas ?

Page 4: RAGAM HIAS PADA CANDI SEBAGAI MOTIF BATIK Temple …

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

A1-4

Paling tidak, sejak tahun 1656 di lingkungan keraton Mataram terdapat tidak kurang dari

empat ribu wanita yang bekerja di dapur, memintal, menenun, menyulam, menjahit, dan

melukis (membatik) sebagaimana laporan Rijcklof van Goens. Mungkin sekali waktu itu sudah

digunakan canting, wadah kecil dari tembaga yang diberi gagang bambu untuk membatik.

Canting adalah alat paling khas dalam proses pembuatan kain batik yang tidak ditemukan di

belahan dunia mana pun. Penggunaan canting untuk membatik akhirnya tersebar ke seluruh

Jawa, sangat mungkin penyebaran ini melalui para wanita bangsawan, yang awalnya hanya

membatik untuk mengisi waktu luang, beserta para pelayannya. Keterlibatan para pelayan

dalam proses pembuatan kain batik dikarenakan lamanya waktu yang dibutuhkan; pembuatan

kain batik yang kaya akan hiasan membutuhkan waktu tidak kurang dari enam bulan. Oleh

karena itu para wanita bangsawan kemudian melibatkan para pelayan dan akhirnya canting

pun menjadi luas penggunaannya di Jawa. Sementara itu, istilah “batik” barangkali pertama

kali diperkenalkan oleh Chastelein dalam laporannya di akhir masa tugasnya di Indonesia pada

tahun 1705. Selain mengabarkan bahwa penanaman kapas beserta penenunannya sudah luas

di Jawa, ia juga melaporkan bahwa penduduk biasa memakai kain katun buatan sendiri yang

sederhana dan dibubuhi lukisan dengan cara mereka. Kain seperti itu disebut “batex” kain khas

berupa selendang, yang tidak lain adalah kain batik (Veldhuisen, 2007).

Pada tahun 1785 Sultan Hamengku Buwana I, di Keraton Yogyakarta mencanangkan motif

batik parang rusak dan menjadi motif atau pola yang diakui milik keraton dan hanya boleh

dikenakan oleh raja, bangsawan, atau pejabat kerajaan. Selain parang rusak sebelumnya sudah

diciptakan motif batik jenis semen dengan sawat, lar cemengkiran, dan udan liris. Selain itu,

motif kawung yang secara grafis digambarkan dalam empat bulatan adalah simbol kekuasaan

dan dapat diartikan sebagai empat bentuk yang mengelilingi pusat. Hal ini dikaitan dengan

keberadaan empat arah sumber tenaga alam. Arah timur merupakan tempat terbitnya

matahari sebagai sumber tenaga bagi segala kehidupan; arah barat adalah tempat

terbenamnya matahari yang diartikan arah menurunnya keberuntungan; arah selatan

dihubungkan dengan zenith atau puncak dari segala hal; sedangkan arah utara diartikan

sebagai arah kematian. Konsep kekuasaan yang dihubungkan dengan empat arah sumber

tenaga itu dinamakan macapat atau keblat papat lima pancer (Dwiyanto (ed.), 2009).

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VII muncul motif batik yang tidak

tergolong geometri, yaitu motif huk. Secara keseluruhan batik berpola huk mengandung

harapan agar raja menjadi pemimpin yang berbudi luhur, dapat memberi kemakmuran bagi

rakyat, dan selalu tabah dalam menjalankan roda pemerintahan. Motif ini terdiri atas

gambaran beberapa hewan yaitu motif kerang, burung huk, garuda, serta gambaran sawat

dan cakra. Dalam hal ini motif kerang melambangkan air atau dunia bawah yang bermakna

lapang hati; motif binatang sebagai simbol watak yang sentosa dan pemberi kemakmuran;

motif burung huk melambangkan kepemimpinan yang berbudi luhur, sedangkan motif sawat

adalah lambang ketabahan hati.

Page 5: RAGAM HIAS PADA CANDI SEBAGAI MOTIF BATIK Temple …

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

A1-5

Di lingkungan keraton, motif batik yang diciptakan dengan perlambangan dan

pemaknaan kultural selain motif huk yang juga banyak dikenal adalah motif parang. Motif

parang adalah penggambaran bentuk pedang yang dibuat dalam komposisi miring atau

lereng atau lerek. Secara keseluruhan motif parang ini melambangkan kekuasaan dan gerak

cepat. Pada motif parang terdapat garis-garis lengkung yang melambangkan ombak lautan

dan diartikan sebagai pusat tenaga alam bagi raja. Ada dua varian yang dikenal dalam motif

parang berdasarkan ukurannya, yaitu parang barong berukuran 10 – 12 cm dan parang rusak

barong yang ukurannya antara 8 sampai 10 cm. Keduanya mempunyai peruntukan yang

berbeda, parang barong hanya boleh dikenakan oleh raja, permaisuri, atau putera mahkota,

sedangkan parang rusak barong boleh dipakai oleh garwa ampeyan dalem, para pangeran,

dan pangeran sentana. Sebenarnya masih ada satu lagi varian motif parang, yaitu parang rusak

klithik, berukuran 4 cm yang khusus disediakan untuk K. G. P. A. A. Sejak masa Sri Sultan

Hamengku Buwana VIII, kain batik motif parang digunakan untuk menentukan derajat

kebangsawanan seseorang di lingkungan keraton Yogyakarta (Dwiyanto (ed.), 2009).

(1) (2) (3)

Gambar 1, 2, 3. Batik Motif Kawung, Parang, dan Huk (Sumber: Dwiyanto (ed.), 2009: 42-43)

Di kalangan masyarakat Jawa, batik dikenal memiliki makna khusus, sebagai sesuatu yang

diagungkan karena mencerminkan pandangan hidup yang spesifik dan kompleks,

mengandung makna simbolis yang dapat memberikan semangat dalam meraih kebahagiaan

di masa datang (Suyanto, 1998). Keberadaan relief sebagai penghias bangunan candi dan

pahatan ornamental pada arca di Prambanan dan sekitarnya tergolong melimpah. Hal ini

dapat dijadikan sebagai bahan inspirasi untuk mengembangkan ragam motif batik, baik

sebagai seni kriya maupun seni murni yang berakar pada peradaban luhur Mataram Kuno,

abad VIII - X.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran populasi, keragaman bentuk

hiasan, dan varian ragam hias yang terdapat pada candi dan arca di Prambanan dan sekitarnya.

Secara khusus pada gilirannya ragam hias tersebut digunakan sebagai bahan grafis untuk

mendukung kemungkinan pengembangan motif batik. Bahan grafis tersebut bersumber dari

ragam hias yang terdapat pada bangunan candi dan arca di kawasan Prambanan.

Page 6: RAGAM HIAS PADA CANDI SEBAGAI MOTIF BATIK Temple …

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

A1-6

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Danim

(2002) menggambarkan bahwa penelitian deskriptif (descriptive research) dimaksudkan untuk

mendeskripsikan suatu situasi atau area populasi tertentu yang bersifat faktual secara

sistematis dan akurat. Pengertian yang sama mengenai penelitian deskriptif antara lain juga

dikemukakan oleh Azwar (1998) dan Haryono (1993) yang pada intinya mengemukakan bahwa

penelitian jenis ini bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis dan akurat mengenai

populasi atau bidang tertentu, dalam hal ini adalah ragam hias pada candi dan arca.

Sementara itu, menurut Sumanto (1995) penelitian deskriptif analitis berusaha

mendeskripsi dan menginterpretasi apa yang ada; dapat mengenai kondisi atau hubungan

yang ada, pendapat yang sedang tumbuh, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek

yang terjadi, atau kecenderungan yang tengah berkembang. Dalam hal ini, biasanya data

dikumpulkan melalui survei angket, wawancara, atau observasi sebagai fakta empiris. Fakta

empiris yang diperoleh kemudian dianalisis dengan cara pemilahan fakta berdasarkan

kategori-kategori tertentu. Hasil pemilahan ini diharapkan memberi gambaran mengenai

kondisi tertentu, sesuai dengan tujuan penelitian. Gambaran tersebut selanjutnya digunakan

sebagai dasar untuk menjelaskan tujuan penelitian yang diajukan.

Prosedur kerja serta alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini meliputi:

1) Plotting, yaitu perekaman data lokasi astronomis setiap sasaran, yaitu situs candi –

arca di Prambanan dan sekitarnya. Perekaman data ini dilakukan dengan

menggunakan alat global positioning system (GPS) untuk mendapatkan data lokasi

astronomis berupa angka koordinat lintang dan bujur. Data hasil perekaman

selanjutnya diolah dalam peta tertentu untuk mendapatkan gambaran sebaran

lokasional setiap sasaran penelitian, yaitu sebaran situs candi – arca

2) Deskripsi, yaitu uraian verbal atas data yang direkam dalam survei. Alat utama

dalam pendeskripsian sasaran penelitian adalah fomat-format data yang telah

disusun dan disiapkan dalam perekaman data.

3) Tabulasi, yaitu peringkasan data primer dari formulir-formulir isian dalam bentuk

tabel. Tabel-tabel yang dibuat untuk meringkas dan merekapitulasi data formulir

tersebut, setidaknya meliputi tabel rekapitulasi data ragam hias pada candi dan

tabel rekapitulasi ragam hias pada arca. Tabel-tabel ini selanjutnya menjadi bahan

untuk analisis, kategorisasi, dan pembahasan atas data hasil penelitian.

Dokumentasi, yaitu perekaman secara visual sasaran dan objek-objek survei, khususnya

pemotretan. Pendokumentasian foto menggunakan kamera tipe DSLR (Digital Single Lens

Reflec). Khusus untuk dokumen foto ragam hias, dokumen digital ini selanjutnya

dikelompokkan berdasarkan objek utama diolah untuk keperluan pemilahan dan konversi

menjadi motif batik.

Page 7: RAGAM HIAS PADA CANDI SEBAGAI MOTIF BATIK Temple …

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

A1-7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ragam Hias Candi dan Arca

Bangunan candi dan arca di kawasan Prambanan merupakan sasaran utama dalam

penelitian ini, khususnya berkaitan dengan aspek ornamental atau ragam hias. Secara umum

hasil pelaksanaan penelitian menunjukkan bahwa bangunan candi dapat dikelompokkan

berdasarkan:

• Latar belakang keagamaan, yaitu candi dengan latar belakang agama Hindu dan

candi berlatar belakang agama Buddha

o Contoh candi Hindu : Candi Prambanan

o Contoh candi Buddha : Candi Plaosan Lor

• Kompleksitas, yaitu bangunan candi dalam satuan yang kompleks dan bangunan

candi tunggal

o Contoh candi kompleks : Candi Prambanan

o Contoh candi tunggal : Candi Kalasan

• Kondisi, yaitu bangunan candi yang sudah berdiri (dipugar) dan bangunan candi

yang masih dalam keadaan runtuh

o Contoh candi yang sudah dipugar : Candi Kalasan, Candi Sojiwan

o Contoh candi yang runtuh : Candi Kedulan

Untuk ragam hias pada arca, berdasarkan locus dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

• Arca kontekstual dengan bangunan candi, seperti beberapa arca di Candi Plaosan

Lor

• Arca koleksi, yaitu kumpulan arca yang ditemukan di sekitar Prambanan dan

sekarang disimpan di tempat penyimpanan di BPCB Yogyakarta Unit Candi

Prambanan dan BPCB Jawa Tengah Unit Candi Sewu

Hasil survei meliputi 11 situs candi yang berada di wlayah Kabupaten Sleman, Yogyakarta

maupun situs candi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Dari 11 situs candi, berhasil direkam

sejumlah 161 hiasan dan ragam hias pada arca berjumlah 68. Populasi hiasan meliputi bebagai

kategori dan bentuk dasar, bahkan beberapa di antaranya memiliki kesamaan atau kemiripan.

Secara umum hiasan yang didata dapat dikatakan lengkap, setidaknya berdasarkan kategori,

yaitu geometris, flora, fauna, antropomorfik, serta kombinasi.

Kelompok Ragam Hias Candi

Hasil survei Ragam hias pada candi secara umum dapat dibagi ke dalam 14 kelompok

ornamen. Secara ringkas, hasil pengelompokkan ragam hias pada candi dapat dilihat pada

tabel 1,2 dan gambar di berikut ini.

Page 8: RAGAM HIAS PADA CANDI SEBAGAI MOTIF BATIK Temple …

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

A1-8

Tabel 1. Kelompok ragam hias candi

NO KELOMPOK JUMLAH

1 Antefiks 3

2 Belah Ketupat 10

3 Geometris 12

4 Bunga 19

5 Antropomorfik dan Fauna 9

6 Bangunan 4

7 Kala 20

8 Tumbuhan & Sulur 31

9 Kertas Tempel 8

10 Benda 6

11 Makara 10

12 Sangkha 5

13 Tirai 20

14 Tumpal 4

JUMLAH 161

Kelompok Ragam Hias Arca

Hasil survei Ragam hias pada arca secara umum meliputi 68 rekaman data yang terbagi

ke dalam 7 kelompok ornamen. Pengelompokkan ragam hias pada arca hasil survei dapat

disusun dalam bentuk tabel dan grafik sebagai berikut.

Tabel 2. Kelompok ragam hias arca

No Kelompok Jumlah

1 Ikonografis 5

2 Geometris 11

3 Bunga 17

4 Sulur dan Tumbuhan 2

5 Teratai 10

6 Tumpal 8

7 Untaian Mutiara dan Rantai 15

JUMLAH 68

Ornamen Pada Candi untuk Motif Batik

Gambar-gambar ornamental hasil hasil survei ragam hias pada candi dan arca dapat

dikonversi menjadi bahan dasar grafis untuk motif batik yang; selanjutnya disusun dan

dikombinasikan menjadi motif-motif batik yang secara teknis siap dipres (digambar sebagai

pola pada kain). Dalam proses penyusunan, satu motif tidak dibatasi jumlah dan jenis

ornamennya, artinya sebuah motif dapat terdiri atas:

Page 9: RAGAM HIAS PADA CANDI SEBAGAI MOTIF BATIK Temple …

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

A1-9

• Ornamen utama + ornamen pinggiran + ornamen isen-isen

• Beberapa ornamen utama + ornamen isen-isen

• Beberapa ornamen utama + ornamen pinggiran

• Beberapa ornamen utama

Berikut ini adalah lima contoh motif batik hasil peyusunan dan kombinasi oramen atau

ragam hias yang sudah dikonversi.

(4)

(5) (6)

Gambar 4, 5, 6. Motif 1, gabungan antara ragam hias di candi Prambanan

PRA36 dan Prambanan PRA08

(7) (8)

Gambar 7, 8. Motif 2, gabungan antara ragam hias arca tokoh YOG/TOK03/01

dan Candi Barong BAR02

Page 10: RAGAM HIAS PADA CANDI SEBAGAI MOTIF BATIK Temple …

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

A1-10

(9) (10) (11)

Gambar 9, 10, 11. Motif 3, gabungan antara ragam hias di candi Plaosan Lor PLL03 dan candi Kalasan

KAL03

(12) (13)

Gambar 12, 13. Motif 4, ragam hias di candi Prambanan PRA08

Penentuan susunan ornamen untuk nantinya diproduksi menjadi kain batik oleh perajin,

dipilih dari lima motif tersebut di atas, dengan beberapa kombinasi. Beberapa pertimbangan

yang digunakan dalam penentuan motif ini antara lain:

• Aspek kelengakapan

• Aspek keterwakilan

• Aspek teknis

Aspek kelengkapan yang dimaksud dalam hal ini adalah motif yang memiliki komposisi

berupa ornamen utama, isen-isen, dan pinggiran sekaligus. Dengan demikian, maka dalam

motif tersebut setidaknya terdiri atas tiga gambar ornamen. Aspek keterwakilan yang

dimaksud dalam hal ini adalah ornamen yang digunakan pada motif tersebut tidak berasal

dari sumber yang sama, satu candi saja atau satu arca saja. Hal ini dimaksudkan agar dalam

contoh produk yang akan dihasilkan dapat menggambarkan kekayaan estetis candi dan arca

di kawasan Prambanan sebagai buah karya peradaban Matarām Kuno.

Page 11: RAGAM HIAS PADA CANDI SEBAGAI MOTIF BATIK Temple …

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

A1-11

(14)

(15) (16) (17)

Gambar 14, 15, 16, 17. Motif 5, gabungan antara ragam hias di candi Prambanan PRA34 sebagai

ornamen utama dengan ornamen tambahan dari candi Barong BAR02, Kalasan KAL10, dan dan

Prambanan PRA 38

Sementara itu pertimbangan teknis dalam hal ini diperlukan terutama kaitanya dengan

proses produksi, yaitu mulai dari ngepres (pembuatan pola pada kain), mbatik (melukis pola

dengan cairan malam menggunakan canting), pewarnaan, dan seterusnya. Karena

merupakan motif dan pola yang relatif baru, maka motif yang dipilih sebagai sampel produk

secara teknis dianggap relatif “mudah” dalam proses produksi dan dapat diselesaikan dalam

waktu yang juga relatif cepat. Salah seorang perajin batik di sentra kerajinan batik Bayat,

Klaten, dipilih untuk memproduksi batik tersebut. Berikut ini contoh hasil-hasilnya.

Page 12: RAGAM HIAS PADA CANDI SEBAGAI MOTIF BATIK Temple …

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

A1-12

(18) (19)

Gambar 18, 19. Baju batik dengan motif nomor 2

Tampak ada pancaran peradaban leluhur dari baju batik ini. Motif pada kain batik itu

ornamennya dipetik dari arca tokoh yang disimpan di BPCB DIY dan kombinasi ornamen dari

candi Barong. Sampel motif nomor 2 adalah gabungan antara ragam hias YOG/TOK03/01

(“tangkai kuncup teratai”), pinggiran BAR02 (“bunga berbingkai”), dan ornamen tambahan

cecek dan daun. Warna dasar juga dapat diganti sesuai selera, misalnya hijau atau cokelat.

(20) (21)

Gambar 20, 21. Baju batik motif nomor 5

Baju batik yang dibuat dari kain batik beridentitas, hasil ornamen di candi Barong, candi

Kalasan, dan candi Prambanan. Ini adalah contoh produk dari Motif nomor 5. Perhatikan

ornamennya, tersusun dari gabungan antara ragam hias PRA34 sebagai ornamen utama

dengan ornamen tambahan dari BAR02, KAL10, dan PRA 38. Warna dasar batik dapat

disesuaikan oleh perajin berdasarkan pemesanan. Alternatif warna dasar yang disarankan

adalah cokelat tua atau hitam

Page 13: RAGAM HIAS PADA CANDI SEBAGAI MOTIF BATIK Temple …

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

A1-13

(22)

PRA34

(23)

PLL09

(24)

Gambar 22, 23, 24. Kain Batik Kombinasi ornamen dari Candi dengan Ornamen Batik Klasik

Improvisasi motif batik berdasarkan susunan ornamen PRA34 (Candi Prambanan) “kalpataru

diapit kinara-kinari” dan ornamen PLL09 (Candi Plaosan Lor) “ceplok dalam belah ketupat”.

Ceplok bunga diganti dengan ornamen PLL09 (Candi Plaosan Lor) “ceplok dalam belah

ketupat”. Ceplok bunga diganti dengan ornamen PRA 34, berselang-seling dengan ornamen

klasik meru-daun. Kombinasi seperti ini, ornamen dari candi dengan ornamen batik klasik,

ternyata juga memiliki makna kultural yang dalam.

(25) (26)

Gambar 25, 26. Kemeja dengan motif 3, gabungan ornamen sangkha bersayap

di tengah tumbuhan (dari candi Plaosan Lor) di apit ornamen sulur lung-lungan (candi Kalasan)

Dari Barang Tradisi Menjadi Barang Niaga

Pada awalnya, batik di Jawa memang dibuat untuk kebutuhan sendiri dan diproduksi

sendiri dengan caranya yang sangat khas. Kekhasan batik Jawa terletak pada fakta bahwa

polanya diterakan dengan kecermatan serupa pada kedua sisi. Hal inilah yang menjadikan

batik Jawa sangat bernilai dan dihargai mengingat adanya kemungkinan untuk membuat batik

dengan satu sisi yang sangat bermutu (Veldhuisen, 2007: 21). Dalam konteks ini, batik

Page 14: RAGAM HIAS PADA CANDI SEBAGAI MOTIF BATIK Temple …

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

A1-14

tergolong sebagai karya seni rupa warisan leluhur yang sangat kuat ikatannya dengan

kebudayaan dan tradisi di lingkungan keraton Jawa. Batik dengan motif tradisional di Jawa

digunakan sebagai pakaian sehari-hari maupun upacara-upacara tradisi tertentu (Suyanto,

1998: 89).

Pengaruh nuansa keraton pada kain batik diserap oleh masyarakat, bahkan kemudian

berlanjut hingga menjadi barang komoditas yang diperdagangkan. Transformasi kain batik

sebagai karya seni warisan leluhur menjadi barang komoditas menunjukkan adanya

perubahan fungsi dari kain batik yang bernilai sakral kemudian berkembang menjadi barang

niaga. Akhirnya batik tidak saja merupakan warisan sebagai karya seni murni tetapi juga

berkembang menjadi karya seni kriya (craft) (Suyanto, 1998: 90-91).

Pesisir utara dapat dikatakan sebagai pelopor batik Jawa komersial yang dikembangkan

oleh penduduk dalam sistem bisnis ala badan usaha Indo-Eropa dan Cina. Coraknya yang khas

dan mencolok, barangkali pengaruh kain chinz -India, adalah salah satu daya pikatnya. Akan

tetapi corak itu justru sempat mendapat reaksi keras di Belanda, terutama oleh para penulis di

sana pada awal abad XX.

Seiring berjalannya waktu, pengaruh Eropa dan Cina pada kain batik “Pesisir Utara”

memang semakin nyata, hingga sejak awal abad XIX lahirlah produk-produk batik yang

beraneka warna. Selain saling meniru desain dan menggunakan motif tradisional Jawa, para

pengusaha juga menambahkan berbagai variasi hingga tercipta kain batik Belanda dengan

motif yang unik, bahkan terkesan “aneh” jika dibandingkan dengan motif tradisional Jawa.

Jenis-jenis batik yang “aneh” dan sempat berkembang adalah Batik Dongeng yang

menampilkan figur-figur dongeng Eropa, Jawa, dan Cina; Batik Wayang, yaitu varian dari mitos

Cina dan dongeng Eropa dalam figur wayang di antara bidang wajik dan parang; Batik Puisi

merupakan varian dari Batik Dongeng yang diisi dengan syair berbahasa Melayu; bahkan Batik

Perang Jawa dan Batik Perang Lombok yang menggambarkan situasi Perangan Diponegro dan

pertempuran di Lombok (Veldhuisen, 2007: 40-44).

Bagaimanapun juga, batik Jawa dengan pengaruh “gaya-bisnis” Belanda itu sebenarnya

termasuk batik modern, terutama jika dibandingkan dengan motif-motif batik yang secara

tradisional digunakan di Jawa pada umumnya. Setidaknya dapat dipahami bahwa batik

memiliki potensi yang besar untuk menjadi komoditi, bahkan ketika mengabaikan makna dan

simbol pada motifnya hingga terkesan “aneh”. Meskipun begitu, karya-karya tersebut dapat

menjadi bahan inspirasi untuk pengayaan motif batik, tentu saja dengan tetap menjaga

prosesnya sebagai karya seni batik.

Aplikasi oramen pada bangunan candi dan arca menjadi motif batik sebenarnya juga

termasuk batik modern, namun memiliki nilai yang berbeda jika dibandingkan motif pengaruh

“gaya-bisnis” Belanda. Jika diperhatikan, ornamen pada candi memiliki banyak kemiripan

dengan motif batik Jawa tradisional, seperti kawung, lung-lungan, suluran, tumpal, dan

sebagainya. Oleh karena itu, batik dengan motif batik yang diambil dari ornamen bangunan

candi maupun arca tidak akan terkesan “aneh”. Bukan hanya itu, karena memiliki makna

Page 15: RAGAM HIAS PADA CANDI SEBAGAI MOTIF BATIK Temple …

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

A1-15

simbolis yang berakar jauh ke belakang hingga kerajaan Mataram Kuno abad VIII - X, karya ini

dapat menjadi unggulan dibandingkan batik modern yang lain; perhatikan Gambar 18 –

Gambar 26.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Batik harus dibedakan dengan tekstil, bahkan ketika memiliki motif yang sama, karena

batik memiliki dua aspek integral, yaitu proses dan motif. Perkembangan batik dari barang

tradisi menjadi barang niaga ada pada motifnya, bukan prosesnya, sehingga sebagai sebuah

teknik yang sangat khas, tradisi tetap terjaga. Pengembangan karya batik melalui diversifikasi

motif yang mengacu langsung pada bangunan candi dan arca dalam batasan tertentu memiliki

keunggulan. Keunggulan tersebut antara lain dalam hal keunikan, kelangkaan, makna kultural,

warisan leluhur yang adiluhung, dan bahkan kekayaan sumbernya. Besarnya jumlah dan ragam

ornamen pada candi dan arca memberi keleluasaan dalam menyusun motif batik, dari

ornamen utama, pinggiran, maupun isen-isen.

Sebagai buah karya peradaban yang tinggi dari masa Mataram Kuno, nilai estetik dan nilai

kultural ornamen tentunya melekat pada nilai luhur yang terkandung pada bangunan candi

dan arca. Oleh karena itu ornamen tersebut tidak semata-mata sebagai komponen hiasan

karena di dalamnya tertanam “roh” suatu peradaban adiluhung yang berkambang maju sekitar

abad VIII – X Masehi. Seubungan dengan hal itu, hasil penelitian atas ragam hias pada candi

dan arca di Pramabanan dan sekitarnya dapat didifusikan sebagai bahan diversifikasi motif

batik sehingga memiliki kelayakan komersial dan bisnis melalui industri kerajinan batik.

Saran

Beberapa contoh cuplikan ornamen pada candi dan arca yang diaplikasikan menjadi motif

batik hingga sampel produksi berupa kain dan pakaian, adalah bagian dari penelitian ini,

sehingga masih sangat terbatas, baik cupilkan ornamennya maupun susunan ornamen

sebagai motif batik. Sehubungan dengan hal itu, Kementerian Perindustrian dapat berperan

dalam pengembangan aplikasi ornamen pada candi dan arca sebagai motif batik.

Pengembangan yang dimaksud setidaknya meliputi memperbanyak cuplikan ornamen yang

ada pada candi dan arca, memperbanyak motif yang tersusun dari ornamen-ornamen candi

dan arca, serta memperbanyak sampel produksi dengan melibatkan perajin batik, utamanya

perajin tradisional.

Selain di kawasan Prambanan, bangunan candi dan arca juga banyak tersebar di daerah

lain di Jawa Tengah, bahkan hingga luar Jawa, khususnya Sumatera dan Bali. Sehubungna

dengan hal ini, cakupan pencuplikan ornamen pada candi dan arca juga perlu dikembangkan

pada candi dan arca di daerah lain, tentu saja dengan memperhatikan aspek keunikan dan

kekhasan masing-masing. Ke depan, pengembangan motif batik juga dapat merujuk bukan

hanya pada ornamen yang ada pada candi dan arca, tetapi juga pada ornamen yang ada pada

Page 16: RAGAM HIAS PADA CANDI SEBAGAI MOTIF BATIK Temple …

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

A1-16

heritage atau peninggalan arkeolgis yang lain. Untuk itu para peneliti dapat berperan dalam

penggalian sumber-sumber ornamental tersebut yang difokuskan pada pengembangan motif

batik. Sementara itu, Kementerian Perindustrian juga dapat berperan sebagaimana dalam

pengembangan motif batik yang bersumber dari ornamen pada bangunan candi dan arca di

Prambanan.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Saifuddin. (1998). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Cleere, Henry. (1989). Introduction: The Rationale of Archaeological Heritage Management. In Henry F.

Cleere (Ed.). Archaeological Heritage Management in the Modern World. (pp. 1-19). London: Unwin

Hyman.

Danim, Sudarwan. (2002). Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.

Dwiyanto, Djoko (Ed.). (2009). Ensiklopedi Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta.

Gustami, S.P. (1998). Mempersoalkan Nilai Keabadian Seni Lukis Batik. In Seni Lukis Batik Indonesia. (pp.

71-78). Yogyakarta: Taman Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta – IKIP Negeri Yogyakarta.

Haryono, Timbul. (1993). Metodologi dan Aplikasinya dalam Penelitian Arkeologi. Artefak, 13(Agustus

1993). 9-14.

Kempers, A.J. Bernet. (1985). Pembinaan Kembali Candi Prambanan, Menyambut Tercapainya Puncak

Candi Prambanan. Amerta, 1, (2nd ed.). 30-37.

Santiko, Hariani. (1992). Candi Prambanan: Deskripsi, Latar Belakang Agama dan Masa Pendidirannya.

Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta.

Soedarso. (1998). Seni Lukis Batik, Riwayat Sebuah Transfer Fungsi yang Berhasil. Seni Lukis Batik

Indonesia. (pp. 7-30). Yogyakarta: Taman Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta – IKIP Negeri

Yogyakarta.

Sumanto. (1995). Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset.

Suryo, Djoko. et.al. (1999). Dasar Pemikiran untuk Pengembangan Kawasan Prambanan Menuju

Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan. Yogyakarta: Pusat Studi Jepang Universitas Gadjah Mada

& Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Susanto, S.K. Sewan. (1980). Seni Kerajinan Batik Indonesia. Jakarta: Balai Penelitian Batik dan Kerajinan,

Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, Departemen Perindustrian R.I.

Suyanto, A.N. 1998. Batik dan Seni Kriya (Craft) ke Seni Murni (Fine Art), Pendekatan Dari Aspe Teknik.

Dalam Seni Lukis Batik Indonesia. (pp. 89 – 98). Yogyakarta: Taman Budaya Daerah Istimewa

Yogyakarta – IKIP Negeri Yogyakarta.

Tanudirjo, Daud Aris. et.al. (1993/1994). Laporan Penelitian Kualitas Penyajian Warisan Budaya Kepada

Masyarakat: Studi Kasus Manajemen Sumberdya Budaya Candi Borobudur. PAU-SS Universitas

Gadjah Mada. Yogyakarta.

Veldhuisen, Harmen C. (2007). Batik Belanda 1840 – 1940. Pengaruh Belanda pada Batik dari Jawa,

Sejarah dan Kisah-kisah di Sekitarnya. Jakarta: Gaya Favorit Press