Radiologi CA Nasofaring

39
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi tinggi, sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki peringkat pertama. 1,2. Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa. 1,2,3 Menegakkan diagnosis kanker nasofaring tidaklah mudah karena letak predileksinya yang tersembunyi. Pasien sering datang terlambat untuk berobat. Diagnosis dini karsinoma nasofaring sulit dilakukan karena gejala dan tanda sangat bervariasi, dan letak nasofaring yang tersembunyi sehingga tidak mudah diperiksa orang yang bukan ahli sehingga menyebabkan pasien telah berada di stadium lanjut dan telah terjadi penyebaran ke kelenjar limfe leher atau sudah terjadi gangguan syaraf saat diagnosis ditegakkan. Gejalanya adalah telinga gemrebeg, hidung buntu, kadang-kadang ingus disertai darah, serta timbul benjolan di leher. Keadaan ini sebenarnya sudah masuk stadium lanjut. Biasanya pasien mulai berobat bila sudah ada benjolan di leher. Pada gejala klinik yang 1

Transcript of Radiologi CA Nasofaring

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi tinggi, sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki peringkat pertama. 1,2. Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.1,2,3

Menegakkan diagnosis kanker nasofaring tidaklah mudah karena letak predileksinya yang tersembunyi. Pasien sering datang terlambat untuk berobat. Diagnosis dini karsinoma nasofaring sulit dilakukan karena gejala dan tanda sangat bervariasi, dan letak nasofaring yang tersembunyi sehingga tidak mudah diperiksa orang yang bukan ahli sehingga menyebabkan pasien telah berada di stadium lanjut dan telah terjadi penyebaran ke kelenjar limfe leher atau sudah terjadi gangguan syaraf saat diagnosis ditegakkan. Gejalanya adalah telinga gemrebeg, hidung buntu, kadang-kadang ingus disertai darah, serta timbul benjolan di leher. Keadaan ini sebenarnya sudah masuk stadium lanjut. Biasanya pasien mulai berobat bila sudah ada benjolan di leher. Pada gejala klinik yang lebih berat muncul rasa tebal di pipi, bicara pelo, tersedak bila minum, kesulitan menelan, pandangan mata dobel, sakit kepala berat, sesak nafas.4,5

Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi sehingga diagnosis sering terlambat.2Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang dikombinasikan radioterapi 2,3

Radioterapi dalam pengobatan kanker nasofaring diberikan dengan tujuan radioterapi kuratif atau paliatif. Radioterapi kuratif diberikan kepada pasien kanker nasofaring yang menunjukkan respon radiasi yang baik pada evaluasi awal, sedangkan radioterapi paliatif diberikan kepada pasien dengan metastase. Pemantauan terhadap pemberian radioterapi harus dilakukan baik selama pelaksanaan radiasi maupun setelah radiasi.6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Karsinoma Nasofaring mempunyai ciri bertempat di tempat khusus yaitu nasofaring, dan memliki keterkaitan secara anatomi dengan jaringan limfoid. Tumor ini juga dihubungkan dengan infeksi virus Epstein Barr. Tumor ini merupakan keganasan dari lapisan epitel mukosa nasofaring. Predileksi utamanya adalah pada fosa rosenmulleri. Anggapan ini berdasarkan atas teori bahwa tempat pergantian epitel merupakan predileksi terjadinya keganasan. Walaupun daerah Rosenmulleri atau dinding lateral nasofaring merupakan lokasi keganasan yang paling sering,tetapi kenyataannya keganasan dapat juga di tempat-tempat lain di nasofaring. Fosa rosenmulleri merupakan daerah pergantian epitel silindris atau epitel kuboid ke arah gepeng. Selain itu keganasan nasofaring dapat juga terjadi di dinding atas nasofaring (basis cranii), dinding depan nasofaring (di pinggir/tepi koanae), dan di sekitar tuba. Ada tiga pola tumor ini yaitu: (1) karsinoma sel skuama dengan keratin, (2) karsinoma sela skuama tanpa keratin, dan (3) karsinoma yang tidak berdiferensiasi, sering disebut lymphoepithelioma.7

A. Epidemiologi

Insiden karsinoma nasofaring tertinggi di dunia dijumpai pada penduduk daratan cina bagian selatan. Khusunya suku Kanton di provinsi Guang Dong dengan angka rata-rata 30-50 / 100.000 penduduk per tahun. Insidens karsinoma nasofaring juga banyak pada daerah yang banyak dijumpai imigran Cina, misalnya di Hong kong, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Sedangkan insidens terendah pada bangsa Kaukasian, Jepang, dan India. 10

Penderita karsinoma nasofaring sering dijumpai pada laki-laki dibanding pada wanita dengan rasio 2-3 : 1. Penyakit ini ditemukan terutama pada usia yang masih produktif (30-60 tahun), dengan usia terbanyak 40-50 tahun. 10Distribusi tumor ganas di daerah leher dan kepala ini sangat bervariasi untuk tiap-tiap negara. Hal ini berhubungan dengan faktor lingkungan, makanan, kondisi rumah, polusi, kebiasaan merokok, hygiene, inhalasi debu, serbuk kayu, adanya sifat genetik tertentu dan virus Epstein barr dapat menyebabkan timbulnya keganasan. 4

B. Etiologi dan Faktor Resiko

Penyebab pasti dari karsinoma nasofaring belum ditemukan. Dari beberapa penelitian dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga akhirnya disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor.

Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini di butuhkan suatu mediator. kebiasaan untuk mengkomsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masa kanak-kanak merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan Karsinoma Nasofaring.2Mediator di bawah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring:

Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin

Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan, dan kebiasaan hidup

Sering kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogenik (benzopyrenen, benzoanthracene, gas kimia, asap industri, asap kayu )

Ras dan keturunan

Radang kronik daerah nasofaring

Profil HLA

Penyebab Karsinoma Nasofaring sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Banyak pendapat para ahli yang masih belum jelas. Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab Karsinoma Nasofaring adalah virus Epstein Barr, karena pada semua pasien Karsinoma Nasofaring didapatkan titer anti-virus Epstein Barr yang cukup tinggi.1 Penyebab timbulnya kanker nasofaring didasarkan adanya interaksi antara faktor lingkungan, karsinogen, dan virus Ebstain Barr.1

C. Gejala dan Tanda

1. Gejala hidung

Gejala hidung merupakan gejala dini dan sangat membingungkan karena gejala ini juga terdapat pada penyakit hidung biasa, misalnya hanya pilek, keluar ingus encer, kental atau berbau sehingga seringkali didiagnosis sebagai rhinitis kronik, nasofaringitis kronik dan penyakit lain. Oleh karena itu, kecurigaan kanker nasofaring dari gejala hidung lebih ditekankan bila penderita rinore lebih dari 1 bulan, usia lebih dari 40 tahun atau rinore dengan ingus kental, bau busuk, lebih lebih bila bercampur titik titik darah tanpa kelainan di hidung dan sinus paranasal 8 Epistaksis

Sumbatan hidung

Sumbatan hidung menetap terjadi karena pertumbuhan tumor ke dalam rongga nasofaring dan menutupi koana.

2. Gejala telinga

Kataralis/Oklusi Tuba Eustachius

Pertumbuhan tumor yang bermula di fossa rosenmulleri menyebabkan penyumbatan muara tuba Eustachius, sehingga pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa berdengung yang kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala telinga ini merupakan gejala yang sangat dini dari KNF. Perlu diperhatikan jika gejala ini menetap atau sering timbul tanpa penyebab yang jelas.

Otitis media sampai perforasi dengan gangguan pendengaranHal ini dapat terjadi karena adanya tekanan cairan dalam kavum timpani yang tidak berkurang, sehingga terjadi iskemia akibat tekanan pada kapiler-kapiler tersebut. Timbul juga tromboplebitis pada vena-vena kecil dan nekrosis mukosa dan sub mukosa yang kemudian terjadi perforasi.

Gejala hidung dan telinga ini bukan merupakan gejala yang khas karena dapat dijumpai pada infeksi biasa seperti rhinitis dan sirusitis yang kronik. Namun jika keluhan ini timbul berulang kali tanpa penyebab yang jelas atau menetap walaupun telah diberikan pengobatan, kita harus waspada dan segera melakukan pemeriksaan yang teliti terhadap rongga nasofaring sampai terbukti bahwa bukan karsinoma nasofaring yang menjadi penyebabnya. Gangguan pendengaran kanker nasofaring hanya sekitar 15 20 %.

3. Gejala tumor leher

Melalui aliran pembuluh limfe, sel sel kanker dapat sampai di kelenjar limfe regional dan bertahan di sana karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan pertama agar sel sel kanker tidak langsung mengalir ke bagian tubuh yang lebih jauh. Di dalam kelenjar ini sel tersebut mengalami replikasi sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher samping, dapat unilateral maupun bilateral. Khas tumor leher pada kasus ini adalah bila letak tumor di ujung prosesus mastoideus, di belakang angulus mandibula, didalam m. sternokleidomastoideus, massa tumor yang keras, tidak sakit dan tidak mudah digerakkan. Para peneliti mengemukakan bahwa tumor leher yang terletak setengah bagian atas leher, harus dicurigai mempunyai induk tumor di nasofaring. Kecurigaan ini akan bertambah besar bila pada pemeriksaan rongga mulut, lidah, faring, tonsil, hipofaring dan laring tidak ditemukan kelainan. Gejala tumor leher inilah yang mendorong penderita dating berobat ke dokter, yang meliputi 70 90 % dari semua kasus kanker nasofaring.9 4.Gejala mata

Gejala mata yang ditimbulkan akibat karsinoma nasofaring dikarenakan kelumpuhan syaraf yang berhubungan dengan mata. Penderita sering mengeluh kurang penglihatan, tetapi bila ditanya secara teliti, penderita akan menerangkan bahwa melihat dobel (diplopia). Diplopia terjadi karena kelumpuhan N.VI yang letaknya diatas foramen laserum yang mengalami lesi akibat perluasan tumor. Keadaan lain yang dapat memberikan gejala pada mata terjadi karena kelumpuhan N. III dan N. IV sehingga menyebabkan kelumpuhan mata atau oftalmoplegi. Bila perluasan tumor mengenai kiasma optikum, maka terjadi lesi pada N. II dan penderita menjadi buta. Selain itu kelumpuhan pada N. III dapat menyebabkan proptosis bulbi.

5. Gejala kranial atau syaraf

Gejala kranii terjadi karena perluasan karsinoma dengan menembus jaringan sekitar dan juga secara hematogen.

Perluasan tumor primer ke dalam kavum kranial menyebabkan kelumpuhan nervi kranialis akibat kompresi ataupun infiltrasi tumor. Berdasarkan perluasannya gejala gejala syaraf ini meliputi :

Perluasan ke atas

Anosmia, kerusakan nervus I karena desakan melalui foramen olfaktorius.

Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa media, disebut penjalaran petrosfenoid. Biasanya melalui foramen laserum dan mengenai grup anterior saraf otak yaitu N. II sampai dengan N. VI sehingga gejala yang muncul antara lain strabismus, penurunan kelopak mata atas, kesulitan membuka mata dan penurunan ketajaman penglihatan.

Perluasan ke atas lebih sering ditemukan di Indonesia, tersering mengenai N. VI dengan keluhan berupa diplopia, kemudian N. V cabang I dengan keluhan berupa parestesi, hipestesi atau nyeri pada separuh wajah.

Sindroma petrosfenoid terjadi jika semua saraf grup anterior terkena. Tanda khasnya adalah :

Neuralgia trigeminal unilateral

Oflamoplegia unilateral

Amaurosis (kebutaan tanpa lesi yang nyata pada mata)

Gejala nyeri kepala hebat akibat penekanan tumor pada duramuter.

Perluasan ke belakang

Tumor meluas ke belakang secara ekstrakarnial sepanjang fossa posterior, disebut penjalaran retro paratidian. Yang terkena adalah grup posterior saraf otak, yaitu N. VII sampai dengan N. XII beserta nervus simpatikus servikalis.

Tumor dapat mengenai otot menyebabkan kekakuan otot-otot rahang sehingga terjadi trismus.

Sindroma retroparotidian terjadi akibat kelumpuhan N. IX, X, XI, dan XII.

Manifestasi kelumpuhan ialah :

N. IX:kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta gangguan pengecapan pada seperti belakang lidah.

N. X:hiper / hipo anestesi mukosa palatum mole, faring dan lasing disertai gangguan respirasi palatum mole.

N. XII:hemiparesis dan atrofi adalah sebelah lidah.

Kelumpuhan N. XI menyebabkan kelumpuhan m. sternokleidomastoideus dan m. Trpezius sehingga terjadi kesukaran memutar kepala atau dagu.

Kelainan kranii akibat perluasan kanker nasofaring dapat diketahui, karena adanya gejala subjektif dari penderita. Bila proses sudah lanjut adanya kelumpuhan saraf kranial. Dengan CT Scan akan terlihat lesi yang terjadi di otak maupun di tengkorak.

D. Diagnosis

Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada karsinoma nasofaring, protokol diagnosis yang perlu dilakukan antara lain:

1. Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior yaitu dengan menggunakan kaca tenggorok dibantu 2 buah kateter karet yang dimasukkan melalui masing-masing lubang hidung dan dikeluarkan dari mulut untuk menarik palatum molle ke atas sehingga rongga nasofaring dapat tampak lebih jelas.

Moch Zaman dan Theman membagi daerah timbulnya keganasan nasofaring menjadi tiga daerah yaitu :

1. Di dinding atas nasofaring atau basis kranii dan tempat di mana adenoid di dapat atau dinding atas belakang.

2. Di bagian depan nasofaring yaitu terdapat di pinggir atau di tepi koana.

3. Dinding lateral nasofaring terutama di fossa Rosenmulleri, yaitu mulai di belakang tuba (torus tubarius) sampai dinding faring dan palatum mole.

2. Biopsi nasofaring

Diagnostik pasti dengan melakukan biopsi nasofaring yang dapat melalui hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konkae media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi dari mulut dengan bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama sama ujung kateter yang berada di hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung di sebelahnya, sehingga palatum molle tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut.3. Histopatologi

Dengan pemeriksaan ini diagnosis dapat dipastikan serta dapat diketahui jenis karsinoma nasofaring.

Patologi Beberapa Ahli mengusulkan tentang gambaran dari karsinoma nasofaring. Dari usulan-usulan yang berbeda tersebut maka WHO pada tahun 1978 membagi jenis karsinoma nasofaring menjadi 3 tipe, yaitu 5A. Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi (5 YSR 16,3%)

B. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (5 YSR 31,5%)

C. Karsinoma undifferentiated

Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi, tampak adanya diferensiasi skuamosa dengan jembatan intersel dan keratinisasi (diskeratosis). Bentuk ini dibedakan menjadi diferensiasi baik sampai sedang. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi, tampak sel tumor tersusun berjajar teratur seperti susunan ubin batu, kadang bentuk fleksiform dengan batas sel yang jelas, tanpa diferensiasi skuamosa. Karsinoma tanpa diferensiasi, ditandai dengan bentuk sel tumor oval, bulat dan spindel dengan inti hiperkromatik serta batas sel tumor jelas dan tersusun dalam kelompok yang tidak teratur.

Jenis undifferentiated dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang serupa yaitu sama-sama radiosensitif serta mempunyai titer antibodi terhadap virus Epstein Barr, sedangkan jenis keratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan yang berarti dengan virus tersebut.

4. Serologis

Epstein Barr Virus (EBV) merupakan salah satu faktor dalam etiologi Karsinma Nasofaring, dan antibodi yang dihasilkan oleh virus ini dapat berguna sebagai penanda serologi untuk diagnosis awal karsinoma nasofaring.

Berbagai antibodi dihasilkan sebagai respon terhadap virus EBV diantaranya heterophile antibody, anti Viral Capsid Antigen (VCA), Early Antigen (EA), dan Epstein BarrNuclear Antigen (EBNA). Namun antibodi yang sevara signifikan berkaitan dengan karsinoma nasofaring adalah Ig A Anti-EBV VCA dan Ig A Anti-EBV EA.

Anti-EBV (IgA) mempunyai spesifitas klinis yang tinggi (100%), dan sebsitivitas yang agak rendah (80,2%). Sebaliknya Anti-EBV VCA IgA mempunyai sensitivitas klinis yang tinggi (97,3%) dan spesifisitas yang lebih rendah (46,8%). Dengan demikian pemakaian kedua pemeriksaan tersebut secara bersamaan akan dapat meningkatkan spesifisitas dan sensitivitas untuk diagnosis NPC.

Interpretasi hasil:

Anti EBV EA Ig AAnti EBV VCA Ig AKemungkinan NPC

++100%

+_100%

__5,5%

_+37,8%

Diagnosis pada pasien ini, berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan suspek karsinoma nasofaring. Untuk diagnosis pastinya perlu dilakukan pemeriksaan Patologi Anatomi dengan melakukan biopsi untuk dapat menegakkan diagnosis.

5. RadiologiPemeriksaan radiologi penting untuk menentukan luas tumor primer, invasi ke organ sekitar, adanya destruksi tulang serta metastasis jauh. Pemeriksaan yang diperlukan antara lain :

Foto thorax PA

Foto tengkorak (AP, lateral, dasar tengkorak dan waters),

Tumor nasofaring yang dapat dideteksi secara jelas dengan foto polos adalah jika tumor cukup besar, eksofitik, dan penyebaran jaringan sekitarnya telah meluas.

CT Scan koronal dan aksial dengan kontras, jika pada foto tengkorak diragukan adanya destruksi tulang dan jika klinis tidak ditemukan kelainan yang menyokong akan tetapi pada penderita direncanakan untuk radiasi intrakaviter.

Bone scintigraphy jika ada kecurigaan metastasis ke tulang, diikuti foto tulang lokal pada daerah yang dicurigai scintigraphy.

Ultrasonografi, jika didapatkan hepar yang membesar dan berbenjol.

MRI, kelebihannya dibandingkan CT Scan yaitu mempunyai resolusi yang lebih tinggi dalam membedakan berbagai jaringan lunak, memberikan berbagai potongan aksial dan koronal serta sagital tanpa merubah posisi penderita, tidak membutuhkan zat kontras untuk membedakan struktur vaskuler dari jaringan lunak atau kelenjar getah bening.

6. Pemeriksaan neuroophtalmologi

Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui perluasan tumor ke jaringan sekitar yang menyebabkan penekanan/ infiltrasi ke saraf otak. Manifestasinya tergantung dari saraf yang dikenai.A. Stadium klinik

Untuk menentukan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC

T = Tumor primer

T0 :tidak terdapat tumor primer.

T1 :tumor terbatas di daerah nasofaring.

T2 :tumor telah meluas ke jaringan lunak orofaring dan atau rongga hidung.

T2a Tanpa adanya perluasan ke daerah parafaring

T2b Dengan perluasan ke daerah parafaring

T3 :tumor telah menginvasi jaringan tulang dan atau semua sinus paranasalis.

T4 :tumor telah meluas ke intracranial dan atau mengenai saraf-saraf kranial, rongga infra temporal, daerah hipofaring atau rongga orbitaN = Pembesaran kelenjar getah bening regional

N0 : tidak ada metastasis ke KGB regional.

N1 : metastasis unilateral pada KGB di atas daerah supraklavicula dengan

diameter terpanjang kurang dari 6 cm.

N2 : metastasis bilateral pada KGB di atas daerah supraklavicula.

N3 : metastasis pada KGB

a. Diameter terpanjang lebih dari 6 cm

b. Pada daerah supraklavicula

M =Metastasis jauh

M0 : tidak ada metastasis jauh.

M1 : terdapat metastasis jauh.

5 year surv rate

Stadium I : T1 N0 M0 76,9%

Stadium II : T2 N0 M0 56 %

Stadium III : T3 N0 M0 38,4%

T1, T2 ,T3 N1 M0

Stadium IV : T4 N0,N1 M0 16,4%

Tiap T N2,N3 M0

Tiap T Tiap N M1F. Pengelolaan

1. Pengobatan Bedah

Tindakan pembedahan memegang peranan kecil pada terapi KNF. Tindakan ini terbatas pada biopsy dan diseksi leher radikal yang dilakukan jika masih ada kelenjar pasca radiasi atau kekambuhan kelenjar dengan syarat tumor primer sudah dinyatakan bersih. Menurut Wei (2003) nasofaringektomi terutama diindikasikan untuk KNF stadium dini yang persisten atau mengalami kekambuhan setelah menjalani radioterapi dosis lengkap.

Diseksi leher radikal ( RND ) dapat dilakukan bila dijumpai tumor persisten atau rekurensi di kelenjar leher, dengan persyaratan bila tumor primer di nasofaring sudah terkontrol. Menurut Chew ( 1997) survival penderita yang dilakukan RND lebih tinggi ( 40-80%) daripada penderita yang tidak dilakukan RND (19-28%).7Pada rencana operasi diperlukan keadaan umum pasien yang baik dengan system scoring tertentu, kadar HB minimal 10 , keadaan fisik alat vital dan kadar elektrolit juga harus baik.

2. Pengobatan dengan Sitostatika

Pengobatan dengan sitostatika pada karsinoma nasofaring merupakan pengobatan adjuvan atau bila pengobatan radioterapi ternyata kurang berhasil. Adapun kapan sebaiknya sitostatika diberikan adalah sebagai berikut:

Stadium I / II bila sesudah radiasi internal masih ada residu lokal.

Pada residif tumor primer

Pada stadium IV dengan residif / residu atau dengan metastasis jauh.

Sitostatika yang diberikan pada penderita karsinoma nasofaring adalah:

Cisplatinum 60 mg/m2 diberikan secara tetesan dalam 250 cc NaCl 0,9% hari I dan II

Bleomycin 8 mg diberikan secara intramuskular hari III dan IV

5 FU 750 mg diberikan secara tetesan dalam 250 cc dextrose 5% hari I dan II.

Siklus pengobatan diulangi setelah 1 bulan maksimal 5 kali. Fungsi ginjal harus diawasi dengan ketat pada pemberian platamin dan dianjurkan agar penderita minum 3 liter sehari. Obat-obat lainnya dapat diberikan untuk mengatasi efek samping yang mungkin timbul seperti antihistamin, antiemetik dan lain-lain. c. Radioterapi

Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan terpenting dalam penggobatan Karsinoma Nasofaring. Terapi ini menjadi pilihan utama KNF yang belum ada metastasis jauh. KNF merupakan kanker yang dapat disembuhkan dengan radiasi terutama pada stadium dini ( I,II ), berdasarkan faktor secara histopatologis bahwa kebanyakan KNF merupakan type 2 dan 3 yang sangat radiosensitif. Alasan lainnya adalah faktor anatomi nasofaring yang terletak didasar tengkorak dengan banyak organ vital menyebabkan tindakan pembedahan ekstensif untuk memperoleh daerah bebas tumor sangat sulit dikerjakan.7

Sebelum dilakukan radioterapi pasien harus memenuhi syarat seperti berikut diantaranya :

1. Keadaan umum baik

Efek radiasi dapat mengenai jaringan termasuk jaringan sumsum tulang. Bila keadaan umum pasien lemah sebaiknya tidak diberikan karena setelah radiasi hanya akan memeperlemah keadaan umum pasien. Adanya infeksi / kerusakan gigi harus diobati terlebih dahulu2. LaboratoriumMeliputi kadar Hb, leukosit maupun thrombosit.

3. Tumor masih terlokalisasi

Dosis yang diberikan 200 rad/ hari sampai mencapai 6000-6600 rad untuk tumor primer, sedangkan kelenjar leher yang membesar diberi 6000 rad. Jika tidak ada pembesaran kelenjar diberikan juga radiasi elektif sebesar 4000 rad. Radiasi juga diberikan pada keadaan kambuh atau pada metastase tulang. Untuk metastase tulang yang belum menimbulkan keadaan fraktur patologik.

G. Pencegahan

Adapun cara-cara pencegahan terhadap kemungkian timbulnya karsinoma nasofaring. Pemberian vaksin pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah tertentu (masih dalam percobaan)

Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah dengan resiko tinggi.

Penyuluhan mengenai kebiasaan hidup yang tidak sehat.

Mengubah cara dalam memasak makanan.

Mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya

Penerangan mengenai lingkungan hidup yang aman dari bahan-bahan berbahaya

Meningkatkan keadaan sosial ekonomi

Melakukan tes serologik IgA-VCA secara masal.

H. Prognosis

Ras, umur dan jenis kelamin tidak mempengaruhi prognosis secara signifikan. Pada penelitiannya Perez melaporkan angka 5 years survival rate pada pasien kurang dari 50 tahun adalah 45% dan 25-27% untuk pasien yang lebih tua. Pada penelitian Qin, pasien yang lebih muda dan wanita memiliki survival rate lebih baik daripada pria. Qin juga melaporkan survival rate pada pasien stadium awal (86% untuk stadium I, 59% untuk stadium II) lebih baik daripada stadium lanjut (45% untuk stadium III, 29,2% untuk stadium IV). Kerusakan saraf cranial tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan menurunnnya survival rate. Jenis histologik dari tumor mempengaruhi kontrol tumor dan survival rate. Chen dan Fletzer melaporkan 31-33% rekurensi untuk karsinoma sel squamosa dan 10-12% untuk limfoepitelioma. Tetapi pada penelitian Meyer dan Wang tidak ditemukan perbedaan untuk perbedaan variasi histologik.

I. Radioterapi

Sebagai pengobatan pilihan pada KNF ( karsinoma nasofaring ) penanganan radioterapi pada KNF dapat diberikan dengan cara :

Radiasi Externa / teleterapi

Brachiterapi

Kombinasi radiasi dengan kemoterapi

KNF biasanya memiliki lesi primer pada fossa Rosenmuller dengan metastase ke kelenjar getah bening leher. Karena letaknya yang sulit di deteksi, biasanya datang pada stadium lanjut. Radioterapi sendiri atau bersama kemoterapi biasanya merupakan pilihan utama. Radiasi dibedakan atas radiasi kuratif dan radiasi paliatif. I. Radiasi kuratif

Radiasi kuratif diberikan pada semua tingkatan penyakit kecuali penderita dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi pada radias kuratif adalah tumor primer bersama kelenjar getah bening leher dan supraklavicula. Jenis radiasi pada radiasi kuratif meliputi:

Radiasi eksterna yang mencakup tumor bed (nasofaring) beserta kelenjar getah bening leher, dengan dosis 60-66 Gy dan kelenjar supra-klavicula dengan dosis 50 Gy. Radiasi intrakaviter (brakhiterapi) sebagai dosis radiasi booster pada tumor primer diberikan dengan dosis (6x3 Gy), sehari 2x.Apabila secara teknis tidak bisa diberikan radiasi intrakaviter oleh karena pasien tidak mampu / menolak dilakukan tindakan brakhiterapi. Bila setelah dosis total 60 Gy, daerah sinus paranasalis tidak bersih, maka radiasi dilanjutkan sampai dengan 70 Gy.II. Radiasi paliatif

Radiasi paliatif diberikan bila stadium IV metastase jauh. Sasaran dan bentuk radiasi individual, tergantung keluhan yang perlu mendapat radiasi paliatif. Untuk tumor primer dosis radiasi 40-50 Gy. Untuk metastase jauh, tergantung lokasi metastase.

III. Teknik Radiasi

Pemberian terapi radiasi harus diimbangi dengan teknik radiasi yang baik dengan harapan mendapatkan hasil terbaik dengan efek samping radiasi seminimal mungkin, hal ini meliputi:

a) Persiapan Pra Radioterapi

(1) Perbaikan Keadaan Umum

Mempersiapkan keadaan umum penderita sebaik mungkin dengan mempertimbangkan waktu perluasan tumor.

(2) Dilakukan Pemeriksaan Keadaan Gigi dan Mulut

Meningkatakan Higiene dan menghilankan fokal infeksi di rongga mulut.b) Pesawat / Jenis Radiasi

Digunakan pesawat :

Tele Cobalt

Linier Akselerator Foton 4 mV/ 6 mV, ini dipilih karena tidak terlalu besar.

Digunakan pesawat terapi tele bertenaga tinggi ( Cobalt 60; linier akselerator 4 Mev) untuk mengurangi efek samping pada kulit serta jaringan lain.c) Alat bantu

Alat bantu terdiri dari :

Sebuah penopang tengkuk, agar kepala dapat ekstensi

Masker atau topeng, terbuat dari PVC (Poli Vinil Chloride), atau Thermoplast

Blok Timah hitam.

d) Simulasi

Simulasi Dilakukan dengan :

Alat Simulator

Alat Rontgen Konvensional untuk membuat foto lokalisasi dengan jarak fokus kulit sama dengan FSD (Focus Source Distance) alat radiasi, dimana pada Cobalt: 80 cm dan linec: 100 cm.

e) Jumlah lapangan radiasi minimal 2 (dua) lapangan

Untuk stadium I ,II lapangan radiasi Plan Paralel Lateral dan Supraklavikula

Untuk Stadium III lapangan radiasi isosenter : Anterior dan Plan Paralel Lateral Supraklavikula

Untuk Stadium IV Lapangan Radiasi tergantung

Bila KGB leher sangat besar, lapangan radiasi depan belakang (D-B)

Bila KGB leher cukup kecil atau tidak memotong tumor di leher radiasi bisa Anterior dan Plan Paralel Lateral Supraklavikula.

f) Batas-batas lapangan Penyinaran

batas atas meliputi seluruh dasar tengkorak termasuk sella tursika

batas anterior di depan choanae, mencapai setengah bagian posterior dari palatum durum, atau menyesuaikan perluasan tumor ke depan

batas posterior di sebelah belakang meatus akustikus eksternus, seluruh rantai sepanjang m. Sternocleidomastoideus atau sesuai dengan lesi metastase ( diberi marker logam )

batas bawah setinggi tepi bawah korpus vertebra C-2 atau setinggi tepi atas kartilago tiroidea Radiasi juga diberikan pada kelenjar getah bening supraklavikuler dan leher bawah. Arah sinar diberikan dari arah anterior dengan batas lapangan ini 0,5 cm di bawah lapangan laterolateral Blokade diberikan untuk mengamankan medula spinalis setelah dosis 40 Gy. Apabila terdapat pembesaran kelenjar limfe dari mastoid sampai ke supraklavicula maka diberikan radiasi dari depan ke belakang, batas atas lapangan radiasi harus mencakup seluruh dasar tengkorak, batas bawah pada tepi bawah klavicula (kiri dan kanan adalah 2/3 distal klavicula). Bagian medial leher (trakea, esofagus dan medula spinalis) harus dihindarkan dari radiasi dengan memasang blok timah pada daerah tersebut selebar 1 cm dan tinggi minimal 6 cm. Pengecilan lapangan radiasi dilakukan apabila tumor jauh mengecil, dosis radiasi mencapai 40 Gy. Batas posterior menjadi di sebelah depan meatus akustikus eksterna sehingga medula spinalis terletak di luar lapangan radiasi. Batas bawah menjadi setinggi angulus mandibula. Batas anterior tidak mengalami perubahan Apabila terdapat infiltrat tumor ke dalam sinus-sinus paranasal dan atau kavum nasi, maka lapangan radiasi sesuai dengan lapangan radiasi untuk tumor primer ditambah dengan lapangan anterior, yang pada pelaksanaannya menggunakan dua buah penyaringan pada lapangan lateral kiri-kanan guna mendapatkan dosis yang homogen pada seluruh tumor. Dosisnya adalah 2 Gy. Bola mata harus ikut serta mendapat radiasi apabila terbukti didapatkan infiltrasi pada ruang intraorbita, saraf optikus atau tulang-tulang sekitar mata.8 Untuk tumor-tumor yang terbatas pada nasofaring serta tidak ditemukan pembesaran kelenjar leher T2/T2 No batas batas lapangan diubah maka batas atas lebih rendah dari dasar tengkorak ( sela tursika di luar lapangan radiasi)Gambar: Lapangan Radiasi 10IV. Dosis Radiasi

Sasaran radiasi : tumor primer bersama kelenjar getah bening leher.

Dosis radiasi:

Untuk lapangan latero-lateral, setelah 40 Gy, dilakukan pengecilan lapangan, dimana batas posterior digeser kedepan untuk menghindari medula spinalis, batas atas diturunkan untuk menghindari hipofise, dan radiasi dilanjutkan sampai 60 Gy, kemudian ditambah booster dengan lapangan terbatas pada tumor primer saja antara 7 sampai 10 Gy. Booster dapat juga dilakukan dengan brakiterapi dengan menggunakan aplikatro Rotterdam. Untuk lapangan supraklavikuler, dosis hanya sampai 45 Gy.

Brakhiterapi pada karsinoma nasofaring bertujuan untuk memberikan dosis tinggi pada regio nasofaring dan bukan untuk kelenjar. Diberikan pada kasus-kasus T1-T2 yang setelah dosis eksterna 54-60 Gy, istirahat 2 minggu, kemudian baru dilakukan brakhiterapi. Dilakukan dengan cara after loading. Pada penderita cukup diberi anestesi lokal. Penderita dalam keadaan berbaring dan melalui kavum nasi dimasukkan aplikator sambil diraba dari rongga mulut apakah ujung aplikator benar-benar sudah melekat pada dinding faring. Aplikator kemudian difiksasi diantara sela-sela aplikator dengan rongga hidung. Sisanya yang berada di luar rongga hidung juga difiksasi. Diberikan dosis untuk kasus primer yang telah memperoleh radiasi eksterna sebanyak 60 Gy maka dosis brakiterapi tambahan adalah 3 Gy per fraksi, 2 fraksi perhari dengan interval 6 jam selama 2 hari. Untuk meningkatkan efek radiasi dan mengurangi efek samping terhadap jaringan sehat sekitar digunakan radiosensitizer serta radioprotektor saat pemberian radiasi.IV. Pemantauan Radiasi

1. Pemantauan selama pelaksanaan radiasi

pemeriksaan klinis sekurang-kurangnya setelah 5 kali radiasi atau setiap kali pasien mengalami keluhan baru yang timbul setelah radiasi.

catat keluhan pasien, bila perlu diberi terapi medikamentosa

periksa Hb, Leukosit, Trombosit setiap setelah 5 kali radiasi. Syarat dilakukan radiasi : Hb > dari 10 gr %, Leukosit > dari 3000, Trombosit > dari 80.000

2. Pemantauan setelah selesai radiasi

Dilakukan setiap bulan sekali selama 6 bulan minimal 3 bulan, kemudian setiap 3 bulan selama 2 tahun dan setiap 6 bulan selama 5 tahun.

Nilai keadaan umum, tanda-tanda metastasis ke hati, tulang atau paru-paru

Nilai tumor primer dan kelenjar-kelenjar, ada tidaknya residu tumor / kelenjar dilakukan paling sedikit 8 minggu setelah radiasi selesai. Harus dibedakan antara jaringan tumor dan fibrosis pasca radiasi.

BAB V

KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring adalah keganasan dari lapisan epitel mukosa nasofaring. Karsinoma nasofaring termasuk lima besar tumor ganas di Indonesia. Etiologi dari Karsinoma nasofaring masih belum diketahui. Banyak faktor yang mempengaruhi kemungkinan keganasan ini. Diagnosa ditegakkan dari gejala klinik, pemeriksaan klinik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang.

Berdasarkan studi-studi yang baru, didapatkan bahwa penderita karsinoma nasofaring stadium lanjut yang mendapatkan terapi kombinasi radioterapi dan kemoterapi menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan yang hanya mendapatkan terapi radioterapi saja.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ramsi lutan, dkk. Tinjauan Tumor Ganas di poliklinik THT RS Dr. Pirngadi Medan Tahun 1970-1979. Kumpulan naskah ilmiah kongres nsional VII Perhati, surabaya 21-23 agustus 1983 hal 771-81

2. Damayanti Sutjipto, karsinoma nasofaring dalam : Nurbaiti Iskandar (ed) Tumor Telinga Hidung tenggorok diagnosis dan penatalaksanaan . Jakarta : FK UI, 1989. H 71-84

3. Farid Wajdi, Ramsi Lutan. Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring. Referat.Medan : FK USU, 1998.h 1-20

4. Shanmugaratman K. Nasofaring Carcinoma: Epidemiology and Aetiology. Dalam: Kumpulan Naskah Seminar Kanker Nasofaring. Semarang: YKI Wilayah Jawa Tengah; 1993

5. Syafril A. Epidemiologi Tumor Ganas Telinga Hidung Tenggorok. Dalam: Tumor Telinga Hidung Tenggorok Diagnosis dan Penatalaksanaannya. Editor: Iskandar N, Munir M, Soetjipto D. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1989: 3-4

6. Nell III BH, Slavit DH. Nasopharyngeal cancer. In : Byron J, Bayle JB.Head and Neck Surgery Otolaryngology. Philadelphia : Lippincott Company 1993; 96 : 1257-12737. Asroel HA. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring. Fakultas Kedokteran Bagian Tenggorokan Hidung danTelinga Universitas Sumatera Utara Perhimpunan Onkologi Radiasi Indonesia. Standar Pelayanan Profesi Radioterapi Kanker Nasofaring. Medan; 20028. A. Roezin. Deteksi dan Pencegahan Karsinoma Nasofaring. Dalam : R.Susworo, Ahmad, AN Kurniawan, Siti BK, dkk. Pencegahan dan Diagnosa dini penyakit Kanker. Yayasan Kanker Indonesia.1996 : 274-889. Bambang SS. Diagnostik dan Pengelolaan Kanker Telinga Hidung dan Tenggorok dan Kepala leher . Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas diponegoro. 1992 10. Kentjono WA. Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring. Dalam: Makalah Lengkap Simposium Bedah Kepala Leher. Jakarta: FKUI. 2003

11. Susworo R. Radioterapi, Dasar Dasar Radioterapi Tata Laksana Radioterapi Penyakit Kanker. Jakarta: UI Press; 2007.25