Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah - Edisi Kedua

155
Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah http://www.internnews.or.id 1 RADIO Pagar Hidup Otonomi Daerah membangun “semangat kebersamaan dan keterbukaan” menuju pemerintahan daerah yang otonom dan demokratis melalui radio siaran: mengoptimalkan RRI, memberdayakan Radio Siaran Swasta dan menumbuhkembangkan Radio Swadya Masyarakat Hinca IP Pandjaitan, SH., MH Christiana Chelsia Chan, SH Louis Carl Schramm, SH Louie N Tabing edisi kedua Media Law Department Internews Indonesia Februari 2000

description

Pemerintahan Otonomi Daerah

Transcript of Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah - Edisi Kedua

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    1

    RADIO Pagar Hidup

    Otonomi Daerah

    membangun semangat kebersamaan dan keterbukaan menuju pemerintahan daerah yang otonom dan demokratis

    melalui radio siaran: mengoptimalkan RRI, memberdayakan Radio Siaran Swasta dan

    menumbuhkembangkan Radio Swadya Masyarakat

    Hinca IP Pandjaitan, SH., MH Christiana Chelsia Chan, SH

    Louis Carl Schramm, SH Louie N Tabing

    edisi kedua

    Media Law Department

    Internews Indonesia Februari 2000

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    2

    Kata Pengantar

    Edisi Pertama

    Menutup tahun 1999, Media Law Department Internews Indonesia kembali

    menghadirkan sebuah buku yang berupa pensarian ulang dari beberapa makalah dua

    pembicara pada seminar yang dilakukan di Pekanbaru, Manado dan Jakarta. Kedua

    pembicara itu adalah Louie N Tabing dari AMARC yang kedudukannya saat ini

    adalah sebagai Vice Presiden for ASIA dan Hinca IP Pandjaitan,SH.MH, sebagai

    Media Law Ombudsperson Internews Indonesia. Kedua pembicara mengupas dan

    menggagas bagaimana mengantarkan proses penyerahan ---pengembalian,

    barangkalai ?--- otonomi daerah yang seharusnya sudah harus dikembalikan dalam

    waktu singkat ke daerah. Sekalipun sesungguhnya, diberikan batas waktu

    mempersiapkan diri 48 bulan. Dua pokok pikiran yang disampaikan kedua

    pembicara memiliki rel pemikiran yang sangat pararel, yang dapat disajikan dalam

    suatu tema menggugah; Membangun Semangat Kebersamaan dan Keterbukaan

    Menuju Pemerintahan Daerah yang Otonom dan Demokratis Melalui Radio Siaran

    Swasta. Tema ini dapat dijadikan suatu pemikiran awal dalam lenturan kalimat;

    Mengoptimalkan RRI, Memberdayakan Radio Siaran Swasta dan

    Menumbuhkembangkan Radio Swadaya Masyarakat. Keseluruhan makna ini

    dipasang dalam satu bingkai judul RADIO PAGAR HIDUP OTONOMI DAERAH.

    Inilah pesan yang hendak disampaikan dalam buku ini.

    Seperti sudah dijelaskan bahwa buku ini merupakan pensarian ulang dari apa

    yang sudah diungkapkan kedua pembicara. Namun disadari bahwa pembukuan

    kembali pemikiran-pemikiran itu menjadi sangat bermakna bagi kebanyakan orang

    yang memang tidak sempat mengikuti acara seminar dimaksud. Barangkali buku,

    yang lebih merupakan gagasan awal, menarik untuk dibaca dan disikapi oleh

    Pemerintah, mulai dari Pemerintah Pusat sampai ke Pemerintah Daerah dan elemen

    masyarakat radio itu sendiri. Dan tentunya, masyarakat luas yang hendak mengetahui

    secara lebih lengkap materi muatan pemikiran yang terkandung di dalam buku ini.

    Sebagai pensariulang pemikiran kedua pembicara ini, kami menyadari bahwa

    buku ini masih belum sempurna, karena itu kami sangat berterimakasih atas kritik dan

    saran bagi penyempurnaan buku ini.

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    3

    Akhirnya, kami ucapkan terimakasih untuk semua pihak yang sudah

    membantu terlaksananya seminar sampai ke penerbitan buku ini. Pihak Radio PAS

    FM Pekanbaru, Radio Memora Manado, Perintis Radio Kampus Atma Jaya Jakarta

    disampaikan terimakasih atas kerjasamanya. Rekan-rekan di Internews Indonesia,

    Mita P Witjaksono, Teddy Wahyu, Teddy A Akrab, Efendy Rachmat, Aya Muchtar,

    Yon Tairun, Bela Kusumah dan kawan-kawan yang tak dapat disebut namanya satu

    per satu atas kerjasama yang sangat baik. Khusus untuk Daniel Bolger dan Kathleen

    Reen, disampaikan salam hangat dan terimakasih atas dukungan dan kepercayaannya

    untuk seluruh acara seminar sampai ke penerbitan buku. Terimakasih.

    Pensariulang,

    Desember 1999

    Hinca IP Pandjaitan, SH., MH

    Christiana Chelsia Chan, SH

    Tanpa diduga sebelumnya, ternyata buku dengan judul RADIO PAGAR HIDUP

    OTONOMI DAERAH yang kami terbitkan di penghujung tahun 1999 sangat dinanti

    para pembaca, sehingga dalam hitungan satu bulan buku itu sudah beredar luas dan

    habis. Di awal bulan Februari 2000, permintaan teman-teman dari seluruh pelosok

    tanah air agar buku ini diterbitkan ulang begitu besar. Dimulai dari Medan melalui

    LSM Kelompok Pelita Sejahtera yang meminta dikirimi sebanyak 1000 buah dan

    akan disebarluaskan ke masyarakat di Sumatera Utara, Radio El Bayu Gersik, Jawa

    Timur, Bali, Makasar, termasuk Badan Pembina Radio Siaran Non Pemerintah Pemda

    Dati I Jawa Timur, dan lain-lain baik melalui surat resmi maupun melalui telepon. Isu

    otonomi daerah yang menjadi perdebatan hangat di tengah masyarakat, juga turut

    mendorong permintaan agar buku ini diterbitkan ulang. Karena itu, kami

    berterimakasih atas atensi itu.

    Terdorong akan tantangan dan permintaan itu, Media Law Department Internews

    Indonesia sepakat untuk menerbitkan ulang menjadi edisi kedua dengan tambahan

    materi yang cukup banyak mengenai otonomi daerah. Pembahasan secara lengkap

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    4

    otonomi daerah itu dilakukan dalam dua bab, yaitu bab tentang Pemerintah Daerah

    dan bab tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Sebenarnya kedua bab ini

    adalah bentuk lain yang sederhana untuk mudah memahami Undang-undang Nomor

    22 tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, yang populer disebut

    dengan Undang-undang Otonomi Daerah. Dengan tambahan kedua materi muatan

    undang-undang itu, kami sangat berharap bahwa wawasan tentang RADIO PAGAR

    HIDUP OTONOMI DAERAH menjadi lebih lengkap, lebih berwarna dan lebih

    mudah dipahami.

    Namun demikian, kami menyadari bahwa buku ini masih mengandung beberapa

    kekurangan, karena itu kritik membangun dari para pembaca mendapat tempat yang

    sangat terhormat bagi kami untuk memperbaiki diri di kemudian hari.

    Buku tentang RADIO PAGAR HIDUP OTONOMI DAERAH edisi kedua ini, lahir

    sebagai upaya kerja keras tanpa henti dari semangat Media Law Department

    Internews Indonesia mendorong proses demokratisasi melalui radio siaran. Kepada

    semua pihak yang telah memberikan dorongan semangat, kami sampaikan

    terimakasih. Terimakasih sangat besar disampaikan kepada Kathleen Reen, Direktur

    INTERNEWS Indonesia yang memberikan dorongan untuk terbitnya buku edisi

    kedua ini. Kepada Penerbit Nuansa disampaikan terimakasih atas kerjasamanya.

    Pensariulang

    Jakarta, 4 Februari 2000.

    Hinca IP Pandjaitan, SH., MH

    Christiana Chelsia Chan, SH

    Louis Carl Schramm, SH

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    5

    Daftar Isi

    Kata Pengantar

    Daftar Isi

    Bagian Satu

    Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    Bagian Dua

    Pemerintah Daerah

    Bagian Tiga

    Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

    Bagian Empat

    Radio Swadaya Masyarakat

    Bagian Lima

    Kiat Pemprograman Radio Swadaya Masyarakat

    Bagian Enam

    Lampiran

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    6

    Bagian Satu

    RADIO

    Pagar Hidup Otonomi Daerah1

    A. Catatan Awal

    Dipercaya bahwa wacana ini sangat baru dan terasa asing, sekalipun di

    kalangan broadcaster itu sendiri apalagi bagi orang kebanyakan. Pertanyaan seputar

    apa sih hubungannya antara radio dengan otonomi daerah, memang akan menarik

    disiasati. Belum lagi pertanyaan kritis tentang Radio sebagai pagar hidup otonomi

    daerah ? Wacana otonomi daerah saja terasa asing, apalagi wacana tentang otonomi

    daerah dipararelkan dengan radio itu sendiri. Penulis, termasuk pada kelompok yang

    mempertanyakan hal ini. Tetapi, rasanya perlu memberanikan diri untuk membuka

    wacana ini sebagai suatu ide yang sangat debatable. Setidaknya menjadi awal

    perdebatan untuk menghasilkan gagasan yang lebih besar.

    Tema ini menarik ditekuni, sehubungan dengan wacana publik berskala

    nasional yang terkuras habis membicarakan perihal otonomi daerah. Gagasan yang

    berkembang adalah bahwa bagaimana secepatnya memberlakukan otonomi daerah

    tanpa menunggu dan menunggu lagi, yang memang sudah didisain dengan bagus

    dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan, memang demikianlah

    adanya sesungguhnya seturut undang-undang, hari ini pun sudah harus segera

    diserahkan, atau barangkali lebih tepat jika dikatakan dikembalikan. Bukan

    DIBERIKAN ! Tetapi kemudian yang muncul adalah pertanyaan klise yang menurut

    sebagian kecil orang, baca: aparatus negara, pantas diajukan adalah, seandainya hari

    ini diserahkan ke daerah, apa sudah siap ?

    Pertanyaan klise ini sebenarnya sudah usang. Pertanyaan kritis yang harus

    segera diajukan adalah Pakai apa mengangkut Otonomi Daerah itu ? Sesudah sampai

    lalu bagaimana mengelolanya ? Pertanyaan ini tentulah turunan dari pertanyaan

    umum yang dilontar petinggi negara, sebagaimana diurai di atas, apakah daerah

    sudah siap ? apakah sumber daya manusianya sudah siap ? Begitulah seterusnya.

    Akibatnya, tidak heran kalau yang muncul adalah nada sinisme Daerah yang

    1 Hinca IP Pandjaitan, SH., MH, Media Law Ombudsperson INTERNEWS INDONESIA. Bagian ini merupakan sajian makalah yang disampaikan dalam dua seminar di Pekanbaru dan Manado tentang Membangun Semangat Kebersamaan dan Keterbukaan Menuju Pemerintahan Daerah yang Otonom dan Dekokratis Melalui Radio Siaran Swasta.

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    7

    menyatakan bahwa Pemerintah Pusat terkesan mengulur-ulur waktur. Seperti main

    layangan saja !

    Atas dasar fakta demikian, dicoba memasuki pertemuran gagasan di wilayah

    ini; bagaimana sebaiknya mengantarkan penyerahan otonomi daerah ini ? Secara tidak

    ragu-ragu, ingin dikatakan bahwa media adalah salah satu jawabannya. Dan, dari

    sekian banyak media itu, maka radio siaran adalah salah satu kendaraan paling

    nyaman, aman, dan murah membawa kembali Otonomi Daerah dari terminal Pusat

    ke terminal Daerah, untuk selanjutnya, menyiapkan dan menyerahkannya ke

    mikrolet-mikrolet kecil yang mengantar dan menjamin lalulalang pelaksanaan

    otonomi daerah itu. Mikrolet-mikrolet kecil itu akan menjadi pelengkap terhadap bis

    kota, truck, dan bis-bis lain di daerah. Bis kota tak lain adalah Radio Republik

    Indonesia dan truck, bis-bis lain, mikrolet adalah radio siaran swasta. Bagaimana

    dengan radio siaran swadaya masyarakat ? Harus dibuka peluang bagi masyarakat

    sendiri untuk menyiapkan kendaraannya. Syarat mutlaknya, di daerahnya tidak ada

    bis kota, truck, mikrolet dan atau alat angkut lain. Jadi, Radio Siaran Swadaya

    masyarakat adalah kendaraan baru yang disiapkan oleh masyarakat itu sendiri,

    untuk masyarakat itu sendiri dan oleh masyarakat itu sendiri. Dalam tataran konsep

    yang demikian, konsep MARSIPATURE HUTANA BE (membangun kampung

    halaman sensiri) yang sangat populer di Sumatera Utara 10 tahun terakhir menjadi

    lebih bermakna. Dengan begitu, menarik sekali rasanya untuk membuat statement

    berupa ajakan bahwa perlu dibangun semangat kebersamaan dan keterbukaan

    menuju pemerintahan daerah yang otonom dan demokratis melalui radio siaran.

    Sebab, tanpa spirit kebersamaan dan spirit keterbukaan upaya penyerahan otonomi

    daerah menjadi tidak optimal. Dalam lantunan lain bolehlah ajakan ini diterjemahkan

    menjadi suatu asumsi awal Mengoptimalkan RRI, Memberdayakan Radio Siaran

    Swasta dan Menumbuhkembangkan Radio Swadaya Masyarakat dan pada posisi

    inilah tataran wacana RADIO PAGAR HIDUP OTONOMI DAERAH menjadi pas

    diperbincangkan.

    B. Euforia Otonomi Daerah

    Euforia perbincangan masalah Otonomi Daerah mengalir deras di pelataran bumi

    nusantara menjelang memasuki millenium baru. Tak berlebihan jika dikatakan dalam

    wacana nasional masalah Otonomi Daerah adalah salah satu kado khusus akhir abad

    ini. Bahkan ada yang kemudian menterjemahkannya sebagai federalisme,

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    8

    otonomi yang diperluas, dan banyak lagi. Ada pula yang menarik benang merah

    otonomi daerah ini ke masalah referendum menuju suatu kemerdekaan. Gambaran ini

    mendorong kita untuk berpikir keras dan merenung, dan barangkali harus mencari

    ensiklopedia untuk menjelaskan secara benar masalah Otonomi Daerah ini ? Padahal

    persoalan Otonomi Daerah ini telah dilansir dengan baik dan benar oleh dua undang-

    undang, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

    (7 Mei 1999) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan

    Keuangan Pusat dan Daerah (19 Mei 1999). Kedua undang-undang inilah yang

    sebenarnya acapkali disebut undang-undang otonomi daerah itu, yang sesungguhnya

    lahir atas amanah Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998. Dan, yang pasti kedua

    undang-undang ini membukakan babak baru (yang sebenarnya sudah dijanjikan oleh

    Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1974) duapuluh lima tahun yang lalu, dalam

    pelaksanaan pemerintahan daerah Indonesia.

    Gonjang-ganjing ini semakin menggila karena memang penerapan ataupun

    pelaksanaan dari kedua Undang-Undang ini merekomendasikan penyesuaian

    selambat-lambatnya dua tahun sejak ditetapkan. Sebenarnya masa waktu ini

    memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk mempersiapkan dan

    mengembangkan diri, dan millenium ketiga merupakan tahun yang sangat penting

    sebagai masa persiapan tersebut. Tetapi, hari ini pun sudah bisa dilaksanakan. Bahkan

    untuk mengantisipasinya, Pemerintahan Kabinet Persatuan di bawah kepemimpinan

    Presiden Abdurahmann Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri telah

    membentuk Kantor Menteri Negara Otonomi Daerah. Namun demikian ini, antisipasi

    ini masih jauh dari cukup !

    C. Makna Otonomi Daerah

    Sederhana saja, Otonomi Daerah itu adalah kewenangan Daerah Otonom untuk

    mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

    berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan. Yang

    manakah yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan itu ? Antara lain UU

    Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999. Sedangkan Daerah Otonom

    adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daearh tertentu berwenang

    mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    9

    berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.2

    Jadi, sebenarnya kata kunci dalam otonomi daerah adalah kewenangan daerah !

    Seberapa besarkah undang-undang memberikan kewenangan daerah itu ? Ini

    pertanyaan besarnya !

    Undang-undang3 secara tegas menyatakan bahwa kewenangan daerah mencakup

    kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang

    politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama,

    serta kewenangan bidang lain, yang meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional

    secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga

    perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia,

    pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi,

    dan standarisasi nasional. Artinya, kecuali yang disebutkan di atas diberikan menjadi

    kewenangan daerah. Apa yang hendak dikatakan dari aturan yang demikian ? Aturan

    yang ini adalah aturan setengah hati dan tidak iklas ! Sebab belum jelas dan belum

    tegas, sebenarnya kewenangan manasajakah yang akan diberikan ke daerah itu ?

    D. Filosofis Pelaksanaan Otonomi Daerah4

    Pada hakekatnya otonomi daerah ini merupakan amanat Ketetapan MPR

    Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, dimana ditegaskan

    akan pentingnya menyelenggarakan otonomi dengan memberikan kewenangan yang

    luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah, termasuk pengaturan, pembagian,

    dan pemanfaataan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan

    keuangan pusat dan daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Konsekuensinya, penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan

    memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada Daerah

    secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan

    pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan

    Pusat dan Daerah. Pelaksanaan otonomi daerah dilaksanakan juga dengan prinsip-

    prinsip denokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta

    memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah.

    Hal yang mendasar dari latar belakang pemikiran pelaksanaan otonomi daerah

    ini adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa

    2 Lihat lebih lanjut Pasal 1 huruf h dan huruf I UU Nomor 22 Tahun 1999. 3 Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 UU Nomor 22 Tahun 1999.

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    10

    dan kreativitas, meningkatkan peranserta masyarakat, mengembangkan peran dan

    fungsi DPRD. Konkritnya, Otonomi Daerah diberikan pada Daerah Kabupaten dan

    Daerah Kota.

    E. Berbagi Pendapatan: Pusat vs Daerah ?5

    Pembangunan daerah sebagai bagian integral pembagunan nasional

    dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya

    nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja

    daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani

    yang bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Penyelenggaraan pemerintahan

    daerah sebagai sub sistem pemerintahan negara dimaksudkan untuk meningkatkan

    dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

    Sebagai daerah otonom, Daerah mempunyai kewenangan dan tanggungjawab

    menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan,

    partisipasi masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat.

    Dalam tataran yang demikian, maka sesungguhnya pemerintahan suatu negara

    pada hakekatnya mengemban fungsi utama yakni fungsi alokasi yang meliputi antara

    lain; pendapatan dan kekayaan masyarakat, pemerataan pembangunan, dan fungsi

    stabilisasi yang meliputi antara lain pertahanan, keamanan, ekonomi dan moneter.

    Namun dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan kondisi dan situasi yang

    berbeda-beda dari masing-masing wilayah. Dengan demikian, pembagian ketiga

    fungsi dimaksud sangat penting sebagai landasan dalam penentuan dasar-dasar

    perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah secara jelas dan tegas.

    Sumber pembiayaan pemerintahan Pusat dan Daerah dilaksanakan atas dasar

    desentralisasi6, dekonsentrasi7, dan tugas pembantuan.8

    Sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri dari pendapatan

    asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah.

    Sumber pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dari

    dalam wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil

    4 Oenjelasan Umum UU Nomor 22 Tahun 1999 5 Penjelasan Umum UU Nomor 25 Tahun 1999 6 Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 7 Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat di Daerah.

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    11

    retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain

    pendapatan asli daerah yang sah.

    Dana perimbangan merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari bagian

    Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam, serta

    dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana perimbangan tersebut tidak dapat

    dipisahkan satu sama lain mengingat tujuan masing-masing jenis sumber tersebut

    saling mengisi dan melengkapi.

    Bagian Daerah dari perimanaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan

    Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimanaan sumber daya alam, merupakan

    sumber penerimaan yang pada dasarnya memperhatikan potensi daerah penghasil.

    Dana alokasi umum dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan

    potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, dan tingkat

    pendapatan masyarakat di Daerah, sehingga perbedaan antara daerah yang maju

    dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. Dana alokasi khusus

    bertujuan untuk membantu membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus Daerah. Di

    samping itu, untuk menanggulangi keadaan mendesak seperti bencana alam, kepada

    Daerah dapat dialokasikan Dana Darurat. Dengan demikian tergambar jelas prinsip

    dan landasan pengaturan pembagian keuangan antara Pusat dan Daerah.

    Dalam pelaksanaan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah ini, perlu

    memperhatikan kebutuhan pembiayaan bagi pelaksanaan kewenangan yang menjadi

    tanggungjawab Pemerintah Pusat, antara lain pembiayaan bagi politik luar negeri,

    pertahanan keamanan, peradilan, pengelolaan moneter dan fiskal, agama serta

    kewajiban pengembalian pinjaman Pemerintah Pusat.

    Daerah juga berwenang membentuk Dana Cadangan yang bersumber dari

    penerimaan Daerah, serta sistem pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan

    dalam pelaksanaan desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

    Pertanggungjawaban keuangan dalam rangka desentralisasi dilakukan oleh Kepala

    Daerah kepada DPRD. Berbagai laporan keuangan daerah ditempatkan dalam

    dokumen Daerah9 agar dapat diketahui masyarakat sehingga terwujud keterbukaan

    dan pengelolaan keuangan daerah. Pemeriksanaan keuangan Daerah dilakukan oleh

    8 Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan Desa dan dari Daerah ke Desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan. 9 Adalah semua dokumen yang diterbitkan Pemerintah Daerah yang bersifat terbuka dan ditempatkan dalam Lembaran Daerah.

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    12

    instansi pemeriksa fungsional. Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan sistem

    informasi keuangan daerah dan menetapkan Sekretariat Bidang Perimbangan

    Keuangan Pusat dan Daerah yang bertugas mempersiapkan rekomendasi mengenai

    perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah.

    F. Bagaimana konkritnya ?

    Penyelenggaraan tugas Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi

    dibiayai atas beban APBD, sedangkan penyelenggaraan tugas Pemerintah Pusat yang

    dilaksanakan oleh perangkat Daerah Propinsi dalam rangka pelaksanaan

    dekonsentrasi dibiayai APBN. Penyelenggaraan tugas Pemerintah Pusat yang

    dilaksanakan perangkat Daerah dan Desa dalam rangka tugas pembantuan dibiayai

    atas beban APBN. Penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat

    kepada Gubernur atau penyerahan kewenangan atau penugasan Pemerintah Pusat

    kepada Bupati/Walikota diikuti dengan pembiayaannya.10

    Konkrit perimbangan keuangan Pusat dan Daerah itu dapat dirinci sebagai

    berikut. Sumber-sumber penerimaan Daerah adalah:

    1. Pendapatan Asli Daerah, yang terdiri dari:

    1.1. hasil pajak Daerah;

    1.2. hasil retribusi Daerah;

    1.3. hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya

    yang dipisahkan;

    1.4. lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.

    2. Dana Perimbangan11, yang terdiri dari:

    2.1. Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan

    Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam;

    2.2. Dana Alokasi Umum12;

    2.3. Dana Alokasi Khusus13.

    3. Pinjaman Daerah14

    10 Lihat Pasal 2 UU Nomor 25 Tahun 1999 11 Adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Besarnya jumlah dana perimbangan ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN. Untuk selanjutnya periksa Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 UU Nomor 25 Tahun 1999. 12 Adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 13 Adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu.

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    13

    4. Lain-lain Penerimaan yang sah.

    Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dengan imbangan

    10% untuk Pusat dan 90% untuk Daerah. Penerimaan Negara dari Bea Perolehan Hak

    atas Tanah dan bangunan dibagi dengan imbangan 20% untuk Pusat dan 80% untuk

    Daerah. 10% dari penerimanaan Pajak Bumi dan Bangunan dan 20% penerimaan Bea

    Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang menjadi bagian Pusat dibagikan ke

    seluruh Kabupaten dan Kota. Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor

    kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan dibagi dengan

    imbangan 20% untuk Pusat dan 80% untuk Daerah. Untuk sektor kehutanan ini, 80%

    dari penerimaan Iuran HPH dibagi dengan rincian 16% untuk Propinsi dan 64% untuk

    Kabupaten/Kota. 80% dari penerimaan Provisi Sumber Daya Hutan dibagi dengan

    rincian 16% untuk bagian Propinsi, 32% untuk bagian Kabupaten/Kota Penghasil dan

    32% untuk bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Propinsi yang bersangkutan. Untuk

    sektor pertambangan umum dibagi sebagai berikut, 80% dari penerimaan Iuran Tetap

    (land rent0 dibagi dengan rincian 16% bagian Propinsi dan 64% bagian

    Kabupaten/Kota Penghasil. 80% dari penerimaan iuran eksploirasi dan iuaran

    ekploitasi (royalti) dibagi dengan rincian, 16% bagian Propinsi, 32% bagian

    Kabupaten/Kota penghasil, dan 32% bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Propinsi

    yang bersangkutan. 80% dari Pungutan Pengusahaan Perikanan dan Pungutan Hasil

    Perikanan dibagikan secara merata kepada seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia.

    Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan

    gas alam yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan

    imbangan sebagai berikut:

    Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi berasal dari wilayah Daerah

    setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi

    dengan imbangan 85% untuk Pusat dan 15% untuk Daerah. Bagian Daerah ini

    dibagi dengan rincian 2% bagian Propinsi yang bersangkutan, 6% bagian

    Kabupaten/Kota penghasil dan 6% bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Propinsi

    yang bersangkutan.

    Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari wilayah Daerah

    setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi

    14 Adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan.

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    14

    dengan imbangan 70% untuk Pusat dan 30% untuk Daerah. Bagian Daerah ini

    dibagi secara rinci, 6% bagian Propinsi yang bersangkutan, 12% bagian

    Kabupaten/Kota penghasil dan 12% bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam

    Propinsi yang bersangkutan.

    Dana alokasi umum ditetapkan sekurang-kurangngnya 25% dari penerimaan

    dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. Dana alokasi umum untuk Daerah

    Propinsi dan untuk Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90%

    dari Dana Alokasi Umum. Dalam hal terjadi perubahan kewenangan diantara Daerah

    Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota disesuaikan dengan perubahan tersebut.

    Dana Alokasi Umum untuk satu Daerah Propinsi tertentu ditetapkan

    berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Propinsi

    yang ditetapkan dalam APBN, dengan porsi Daerah Propinsi yang bersangkutan.

    Porsi Daerah Propinsi ini merupakan proporsi bobot Daerah Propinsi yang

    bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Propinsi di seluruh Indonesia.

    Dana alokasi khusus dapat dialokasikan dari APBD kepada daerah tertentu

    untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan dana dalam

    APBN. Kebutuhan khusus itu antara lain kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan

    dengan menggunakan rumus alokasi umum, dan/atau kebutuhan yang merupakan

    komitmen atau prioritas nasional. Dana alokasi khusus ini termasuk yang berasal dari

    dana reboisasi. Dana reboisasi ini dibagi dengan imbangan 40% dibagikan kepada

    Daerah penghasil sebagai Dana Alokasi Khusus dan 60% untuk Pemerintah Pusat.

    Kecuali dalam rangka reboisasi, Daerah yang mendapat pembiayaan kebutuhan

    khusus menyediakan dana pendamping dari APBD sesuai dengan kemampuan Daerah

    yang bersangkutan.

    G. Tujuan Otonomi Daerah15

    Sesungguhnya secara umum, tujuan pemberian otonomi daerah ini sangat

    baik, yakni:

    Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah;

    Menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil proporsional, rasional,

    transparan, partisipasif, bertanggungjawab (akuntabel), dan pasti;

    15 Penjelasan umum UU Nomor 25 Tahun 1999.

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    15

    Mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang

    mencerminkan pembagian tugas kewenangan dan tanggung jawab yang jelas

    antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, mendukung pelaksanaan

    otonomi Daerah dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang transparan,

    memperhatikan partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada

    masyarakat, mengurangi kesenjangan antar Daerah dalam kemampuannya untuk

    membiayai tanggungjawab otonominya, dan memberikan kepastian sumber

    keuangan Daerah yang bersal dari wilayah daerah yang bersangkutan;

    Menjadi acuan dalam alokasi penerimaan negara bagi Daerah;

    Mempertegas sistem pertanggungjawaban keuangan oleh Pemerintah Daerah;

    Menjadi pedoman pokok tentang keuangan Daerah.

    Dalam konteks tujuan mulia ini, maka sesungguhnya yang menjadi masalah saat

    ini dalam tataran diskursus wacana publik, adalah kelambanan dan

    ketidakmampuan pemerintah mensosialisasikan otonomi daerah itu sendiri secara

    cepat. Padahal menurut asas hukum, pemerintah wajib mensosialisasikan setiap

    undang-undang yang ada kepada masyarakat. Ternyata pemerintah kita, hanya

    produktif memproduksi undang-undang, tetapi sangat miskin dan lemah dalam

    mensosialisasikan apalagi me-law enforcement-nya. Nah, dalam tataran inilah saya

    mengusulkan untuk menyiapkan "kndaraannya", yang salah satunya adalah Radio

    Siaran, khususnya Radio Siaran Swadaya Masyarakat.

    H. Radio Siaran dan People Listener; apa sih itu!

    Sekarang mari bicara soal radio dan people listener ! Dipercaya, masih terasa

    sulit memaknai tema ini. Dari istilahnya saja kita sudah kerapkali terkecoh. Secara

    teknis, di Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi istilah radio itu banyak sekali,

    mulai radio panggil, radio tetap, astronomi radio, radio penentu, dan lain-lain. Bahkan

    ketika semasa Departemen Penerangan belum almarhum, radio siaran ini dibedakan

    dengan membaginya RRI (Radio Republik Indonesia) untuk menunjukkan radionya

    pemerintah, dan Non RRI, untuk menunjukkan radio swasta. Padahal istilah ini saja

    sudah diskriminatif dan sangat kabur. Apa sih yang dimaksud dengan Radio Non RRI

    ? Jika ditulis secara lengkap menjadi Non (bukan) Radio Republik Indonesia, kalau

    begitu radio republik yang mana ?

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    16

    Data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik melalui SUSPENAS 1995,

    menunjukkan bahwa dari 45.653.084 kepala keluarga yang tersebar di seluruh

    Indonesia ada 43,2 % yang memiliki pesawat televisi, yang setara dengan 19.709.480

    buah. Itu berarti, jika setiap satu televisi ditonton oleh lima anggota keluarga, maka

    ada 98.547.400 penonton televisi di seluruh Indonesia. Bagaimana dengan media

    cetak ? Sampai dengan tahun 1999 baru ada 1457 SIUPP, dan yang aktif hidup

    hanya 430-an dengan oplah sekitar 14,5 juta eksemplar. Kalau setiap koran

    diasumsikan dibaca oleh lima pembaca, maka ada 72.500.000 pembaca. Bagaimana

    dengan radio ? Ada 69,4% dari 45.653.084 kepala keluarga di Indonesia yang

    memiliki radio. Sehingga, jika diasumsikan satu radio didengar oleh lima pendengar

    maka akan terdapat 158.460.050 pendengar ! Bukan main ! Bahkan menurut hasil

    survey yang dilakukan oleh AC Nielsen yang dilakukan tahun 1999 periode Mei

    sampai dengan Agustus ternyata di kota besar, 4 dari 10 orang mendengarkan radio.16

    Bukankah ini sangat rentan untuk diolah menjadi people listener ? Kondisi

    seperti ini akan menjadi luar biasa pengaruhnya, sebab sampai tanggal 14 Oktober

    1999 pemerintahan BJ Habibibie sudah mengeluarkan 1070 buah izin radio siaran

    swasta. Padahal, tahun 1995/1996 baru terdapat 780 radio siaran swasta komersial, 4

    radio siaran swasta non komersial, 133 radio Pemerintah Daerah, 4 radio Departemen.

    Tahun 1996/1997 jumlah radio siaran swasta komersial meningkat menjadi 829 buah

    dan 7 bua radio milik ABRI, sedangkan yang lain tetap.17 People listener ini jika

    diolah dengan sangat baik dan benar, ia sekaligus merupakan kekuatan dan potensi

    besar sebagai sarana demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat Indonesia.

    Keadaan ini semakin terpacu oleh kebijakan Undang-undang Penyiaran

    Nomor 24 Tahun 1997 yang membolehkan radio membuat dan menyiarakan berita

    sendiri. Kebijakan ini diikuti dengan lahirnya Surat Keputusan Menteri Penerangan

    tanggal 5 Juni 1998 Nomor 134/Menpen/1998 yang menyebutkan bahwa radio siaran

    swasta diberi kesempatan untuk membuat berita (berjurnalistik) dan mengakhiri masa

    pahit selama 32 tahun melakukan relai dari RRI hampir setiap jam sekali. 18 kali

    sehari ! Bahkan dipersilahkan mencari sumber berita dari mana saja termasuk dari

    internet dan dari luar negeri. Kebijakan ini telah membukakan kebuntuan dan

    penjajahan terhadap informasi selama 32 tahun yang dialami radio siaran swasta.

    Kebijakan ini sekaligus membuka kesempatan bagi radio siaran swasta memainkan

    16 Harian Umum Media Indonesia, Selasa 16 Oktober 1999 Nomor 6997 Tahun ke-30, halaman 10. 17 Lihat Data dan Fakta RTF 1997/1998, Dirjen RTF, Departemen Penerangan, 1998, halaman 186.

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    17

    fungsinya sebagai the early warning system dalam mekanisme the fourth state sebagai

    media pensuplai dan pentransformasikan berbagai informasi yang dibutuhkan oleh

    masyarakat untuk menghasilkan mendukung dan mendorong terciptanyan

    pemerintahan daerah yang demokratis, jujur, transparan dan kokoh.

    I. Informasi sebagai Hak Asasi Manusia

    Untuk melihat secara jelas benang merah pemahaman tentang informasi

    sebagai bagian dari hak asasi manusia, mari kita telusuri Ketetapan MPR Nomor

    XVII/MPR/1998 tentang HAM secara selintas.

    Apa itu Hak Asasi Manusia ? Hak asasi manusia adalah hak dasar yang

    melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan

    Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan,

    perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau

    diganggu-gugat oleh siapa pun.

    Ada tiga pemahaman bagsa Indonesia terhadap Hak asasi manusia, yaitu:

    hak asasi merupakan hak dasar seluruh umat manusia tanpa ada perbedaan.

    Megingat hak dasar merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, maka

    pengertian hak asasi manusia adalah hak sebagai anugerak Tuhan Yang Maha Esa

    yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan

    dengan harkat dan martabat manusia.

    setiap manusia diakui dan dihormati mempunyai hak asasi yang sama tanpa

    membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, pandangan

    politik, status sosial, dan bahasa serta status lain. Pengabaian atau perampasannya,

    mengakibatkan hilangnya harkat dan martabat sebagai manusia, sehingga kurang

    dapat mengembangkan diri dan peranannya secara utuh.

    Bangsa Indonesia menyadari bahwa hak asasi manusia bersifat historis dan

    dinamis yang pelaksanaannya berkembang dalam kehidupan bermasyarakat,

    berbangsa, dan bernegara.

    Di dalam komunitas (rumah) Hak Asasi Manusia itu terdapat delapan

    substansi hak asasi manusia , yaitu:

    1. Hak untuk hidup

    2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan

    3. Hak mengembangkan diri

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    18

    4. Hak keadilan

    5. Hak kemerdekaan

    6. Hak berkomunikasi

    7. Hak keamanan, dan

    8. Hak kesejahteraan.

    Dari kedelapan hak asasi itu, sekalipun hak berkomunikasi itu ditempatkan

    pada urutan nomor enam, tetapi merupakan hak asasi manusia yang utama, sebab

    apalah artinya kehidupan manusia tanpa kebebasan berkomunikasi, tanpa

    kemerdekaan mendapatkan informasi. Bahkan sejak manusia masih dalam kandungan

    ibunya pun sudah mempunyai hak asasi mengakses informasi lewat ibunya. Lewat

    bahasa sentuhan ibunya. Karena itu, informasi itu dapat dianalogikan sebagai

    UDARA, dan karenanya menjadi NAFAS KEHIDUPAN. Artinya, tanpa informasi

    yang cukup sesungguhnya kehidupan kita tidak berarti apa-apa. Itulah sebabnya

    dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 secara tegas diatur tentang Hak atas

    Kebebasan Informasi. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh

    informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Setiap orang

    berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan

    menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

    Apa yang sudah digariskan secara tegas dalam Ketetapan MPR ini, kemudian

    dipertegas lagi dalm Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

    Manusia. Dalam posisi yang demikianlah, media penyiaran radio menjadi sangat

    penting, utamanya dalam konteks menjadi pipa raksasa penjamin terjadinya free

    flow of information dan cganges of ideas bagi masyarakat untuk memenuhi hak

    asasinya mendapatkan informasi itu. Pada gilirannya, jaminan free flow of information

    dan changes of ideas akan mendorong percepatan terciptanya pemerintahan daerah

    yang otonom, demokratis, transparan, jujur dan kokoh. Sang Gubernur atau Bupati

    dan jajaran aparatusnya, sang legislator beserta rombongannya, sang pebisnis dengan

    sejuta mitra bisnisnya, sang aktivis dengan ribuan gagasannya, sang tokoh adat dan

    pemuka agama dan sang yang lain, berada dalam jembatan yang sama, yakni spirit

    kebersamaan dan spirit keterbukaan, dan itu dapat dilakukan di RADIO SIARAN !!!!!

    Dengan penetrasi dan pengaruhnya yang besar sebagaimana diuraikan di atas, maka

    sangat logis untuk dikatakan bahwa radio itu sebenarnya dapat dijadikan pagar

    hidup otonomi daerah ! Radio adalah jawaban awal bagi membawa dari Pusat ke

    Daerah, lalu memulai, melaksanakan dan mengawal pelaksanaan otonomi daerah.

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    19

    Pagar hidup mengandung filosofis bahwa dipandang dari dalam otonomi daerah

    itu solid dan kokoh, sedangkan dipandang dari luar otonomi daerah itu indah.

    Jadi, radio disini berperan menjadi roh yang menghidupi otonomi daerah itu

    sendiri. Menghidupi dalam tataran proaktif, pagar dalam tataran jembatan

    emas. Pengejahwantahan otonomi daerah dalam perspektif civil society adalah

    pemberdayaan dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh komponen dan

    elemen daerah berpartisipasi aktif dalam menumbuhkembangkan pemerintahan

    daerah yang demokratis, jujur, transparan dan adil. Jika semua elemen ini adalah

    ikan, maka radio adalah kolam yang penuh dengan air-air kehidupan. Air

    tempat sang ikan berenang dan bersendagurang, bercengkrama dan hidup.

    Dalam konteks keterhubungan antara radio siaran dan hak asasi manusia ini,

    baiklah kita simak delapan substansi perlindungan dan pemajuan Hak asasi manusia,

    yang harus kita lakukan secara bersama-sama yaitu:

    Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

    nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui secara

    pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang

    berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan

    apapun (non-derogable).

    Setiap orang berhak bebas dari dan mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan

    yang tidak bersifat diskriminatif.

    Dalam pemenuhan hak asasi manusia, laki-laki dan perempuan berhak

    mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama.

    Kelompok masyarakat yang rentan, seperti anak-anak dan fakir miskin, berhak

    mendapatkan perlindungan lebih terhadap hak asasinya.

    Identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat

    dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

    Hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi di jamin dan

    dilindungi.

    Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama

    menjadi tanggung jawab Pemerintah.

    Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip

    negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin,

    diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    20

    Apa yang sudah dipatrikan dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 ini

    kemudian diaminkan oleh Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

    Asasi Manusia.

    J. Keunikan Radio Siaran

    Setelah dibicarakan benang merah antara radio, hak asasi manusia, dan

    otonomi daerah, mari kita dalami pemahaman perihal radio siaran ini. Sebab, dari

    pengalaman penulis selama satu tahun terakhir berbicara, berdiskusi dan berdebat

    tentang kelangsungan dan sepakterjang serta kehidupan radio, ingin dikatakan secara

    tegas bahwa Penyelenggaraan radio siaran itu unik ! Adalah suatu kenyataan bahwa

    media penyiaran radio, merupakan suatu yang sangat berbeda dengan media cetak.

    Perbedaan yang sangat menonjol itu adalah persoalan (1) dampak penyiaran yang

    ditimbulkannya sangat besar dan (2) keterbatasan sumber daya frekuensi. Artinya

    kedua persoalan ini dapat digambarkan sebagai suatu mata uang. Untuk yang

    disebutkan pertama kita sebut saja public goods (sebut saja informasi), sedangkan

    yang kedua kita sebut saja public domain atau ranah publik. Tidak akan pernah ada

    penyiaran yang dilakukan apabila public domainnya tidak ada. Dalam konteks mata

    uang itu, seolah terlihat paradoks. Di satu sisi, dalam rangka pemenuhan hak

    masyarakat untuk tahu dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi, maka

    seharusnya seluruh aspek public goods harus dibiarkan merdeka dan bebas. Di sisi

    lain, pendistribusian ranah publik tidak dapat dengan begitu saja dibiarkan bebas

    tanpa aturan yang ketat untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat. Sebab, selain harus

    tunduk pada pasal 27 dan Pasal 33 UUD 1945, harus pula diperhitungkan seberapa fit

    and propernya sang candidate untuk memanfaatkan frekuensi itu menghasilkan

    public goods yang memenuhi informasi sebagai tuntutan masyarakat yang berkualitas

    dan berstandar tinggi. Fit and proper ini juga harus diwujudkan dalam konteks

    performance promisies sang candidate, yang berarti seberapa layakkah finacial yang

    disiapkan untuk periode izin tertentu, seberapa layakkah content yang hendak

    dibroadcast memenuhi hak masyarakat akan informasi itu. Dengan begitu,

    pemahaman filosofis tentang pengaturan media penyiaran ini tidak bisa dipisah-

    pisahkan antara public goods dan public domainnya. Oleh karena itu, baik public

    goods maupun untuk public domain harus mencerminkan keberagaman kepemilikan

    dan keberagaman informasi yang disiarkan. Dalam tataran inilah UU Penyiaran

    dibutuhkan, yaitu memberikan landasan hukum yang kuat bagi terciptanya suatu

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    21

    public goods (baca; informasi) yang berkualitas dan berstandar tinggi dalam konteks

    memenuhi amanat Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998, Undang-undang Hak

    Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 dan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.

    K. Dampak Penyiaran Radio Siaran yang besar

    Penyiaran radio merupakan media dengar yang aktif dan memiliki kekuatan

    besar. Audiensnya sangat besar dan dapat terbangun menjadi sebuah listener power,

    heterogen tanpa mengenal batasan fisik, dan anonim tanpa mengenal strata.

    Penyelenggaraannya mahal dan membutuhkan pengorganisasian secara profesional.

    Content yang hendak disampaikan ke pendengarnya bersifat local content (untuk

    radio), sangat cepat, dan memiliki penetrasi sangat dalam. Media penyiaran radio

    adalah telinga bangsa. Ia merupakan pipa besar informasi sebagai bagian dari hak

    asasi manusia. Ia merupakan pejuang tanpa pamrih dalam memenuhi hak masyarakat

    untuk mengakses informasi. Dengan pendek kata dapat ditegaskan bahwa media

    penyiaran radio memiliki pengaruh yang sangat besar dalam turut serta membangun,

    mengawal dan mendorong berseminya demokrasi. Itulah sebabnya dunia penyiaran

    membutuhkan suatu regulasi yang lebih profesional dan berstandar tinggi dalam

    mendorong dan mewujudkan industri penyiaran yang mampu menjalankan fungsinya

    secara baik dan benar, BUKAN untuk DIBATASI secara semberono. Media

    penyiaran radio juga berperan aktif melakukan peringatan dini bagi

    penyelenggaraan pemerintahan yang lebih demokratis, lebih bersih, lebih transparan

    dan lebih jujur. Karena itu, sekalipun kebebasan dan kemerdekaan pers diserahkan

    pengaturannya kepada masyarakat, maka pemaknaan masyarakat itu harus

    diterjemahkan sebagai masyarakat penyiaran itu sendiri (broadcasting community).

    Pengaturan yang demikian memang sudah tidak tepat lagi berada dalam teritori

    pemerintah. Karena itu, kata kunci untuk jawaban persoalan ini adalah harus segera

    dibentuk INDEPENDENT REGULATORY BODY (IRB), yang mengurusi segala

    sesuatu yang berhubungan dengan penyiaran. IRB ini diwujudkan atas perintah

    undang-undang. Karena itu Undang-undang Penyiaran yang ada harus segera di revisi

    total. Revisi ini sudah tidak bisa ditawar lagi, karena secara tegas Ketetapan MPR

    Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM mengamanatkan agar akses masyarakat untuk

    mendapatkan informasi sebagai bagian dari hak asasinya dijamin. Di Indonesia,

    pentingnya hak masyarakat mengakses informasi telah mendapat tempat yang layak

    dalam tataran konstitusional. Pasal 28 UUD 1945, Ketetapan MPR Nomor

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    22

    XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun

    1999 tentang Pers telah memberikan jaminan yang sangat bagus. Pasal 20 Ketetapan

    MPR Nomor XVII/MPR/1998 dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak

    untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan

    lingkungan sosialnya. Pasal 21 dengan tegas menyatakan pula bahwa setiap orang

    berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan

    menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

    Pasal 42 menegaskan bahwa hak warga negara untuk berkomuniakasi dan

    memperoleh informasi dijamin dan dilindungi. Sesungguhnya dapat dikatakan bahwa

    konsekuensi pengaturan yang demikian, maka pemahaman terhadap pelanggaran

    HAM bukan hanya soal matinya orang atau penyiksaan terhadap penduduk, tetapi

    juga ketika masyarakat tidak mendapatkan informasi secara benar, itu juga termasuk

    pelanggaran HAM.

    L. Keterbatasan sumber daya frekuensi

    Penyiaran radio merupakan suatu bisnis yang unik. Sebab dalam

    menyelenggarakan siarannya membutuhkan suatu medium (baca: frekuensi) sebagai

    ranah publik. Dengan ranah publik inilah media penyiaran kemudian menghasilkan

    public goods. Padahal frekuensi sebagai ranah publik jumlahnya terbatas dan harus

    tunduk pada regulasi internasional. Oleh karena itu berdasarkan Pasal 33 UUD 1945,

    ranah publik ini harus dikuasai negara. Namun demikian, sekalipun ranah publik

    dikuasai negara harus diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

    Penyiaran yang menggunakan ranah publik sebagai medium utamanya harus

    memberikan informasi yang benar-benar berkualitas kepada publik. Ranah publik

    harus didelegasikan kepada masyarakat secara sama seturut Pasal 27 UUD 1945.

    Hanya media penyiaran radio yang fit and proper serta mampu memberikan

    informasi yang lebih baik ke publik-lah yang seharusnya boleh diberikan kepercayaan

    menggunakan ranah publik itu. Dengan demikian, masalah pengaturan pendistribusian

    ranah publik harus dibuat secara benar dan profesional dan ditegaskan dalam suatu

    undang-undang untuk kemudian dilaksanakan oleh sebuah INDEPENDENT

    REGULATORY BODY, yang oleh Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia disebut

    Komisi Penyiaran Indonesia. Ide ini menjadi penting sebagai antisipasi bubarnya

    Departemen Penerangan.18 Dengan begitu tuntutan kehadiran Undang-undang

    18 Sampai tulisan ini dibuat, perdebatan tentang bubarnya Departemen Penerangan sudah berakhir ketika Komisi I menggunakan haknya untuk bertanya kepada Presiden pada bulan November 1999 yang lalu, yang pada prinsipnya

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    23

    Penyiaran baru adalah tuntutan pengaturan standar pelayanan informasi publik

    bermutu tinggi.

    M. Radio Siaran dan UU Pers

    Seturut UU Pers, maka pers dimaknai sebagai pers dalam arti luas. Artinya,

    tidak hanya terbatas pada pers cetak tetapi juga pers elektronik seperti televisi, radio,

    internet dan lain-lain. Konsekuensinya, radio siaran yang selama ini sudah memulai

    menyajikan informasi atau berita ke masyarakat pendengarnya harus tunduk pada

    undang-undang ini. Dengan kata lain, ingin saya katakan bahwa ada perkembangan

    bagus dalam memberikan makna PERS di Indonesia. Undang-undang Nomor 40

    Tahun 1999 tentang Pers telah melakukan perubahan yang sangat radikal, termasuk

    memaknai pengertian pers itu sendiri. Jika sebelumnya, pemahaman tentang pers

    dibelenggu pada pemahaman dalam arti sempit, yaitu media cetak, maka kini

    pemahaman sempit itu diakhiri. Pers kini dimaknai sebagai lembaga sosial dan

    wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari,

    memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik

    dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun

    dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala

    jenis saluran yang tersedia.19 Ikutan dari pemaknaan ini, juga dirumuskan dalam

    Perusahaan Pers yaitu suatu badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha

    pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta

    perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan atau

    menyalurkan informasi. Sehingga Pers Nasional pun diberi makna yang lebih

    komprehensif, yaitu pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia

    Dengan begitu Radio Siaran yang melakukan kegiatan jurnalistik pastilah

    bagian dari perusahaan pers sebagaimana dimaksudkan oleh UU Nomor 40 Tahun

    1999. Artinya, Radio Siaran dan tentu media lainnya harus percaya diri, bahwa

    sesungguhnya undang-undang telah memberikan landasan yang sangat kuat bagi

    memang Departemen Penerangan tidak diperlukan lagi, karena urusan informasi ini seharusnya diatur oleh masyarakat itu sendiri. Namun demikian secara teknis, Presiden telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 136 Tahun 1999 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen tanggal 10 Nopember 1999. Dalam Keputusan Presiden ini ditegaskan bahwa persoalan penyiaran masuk wewenang tugasnya Departemen Perhubungan. Secara lengkap disebutkan bahwa ..: (a) penetapan kebijakan pelaksanaan, kebijakan teknis dan pengendalian pelaksanaannya, pengeleolaan kekayaan negara, serta perumusan dan penyiapan kebijakan umum dibidang perhubungan yang mencakup transportasi terpadu meliputi darat, laut, udara, pos dan telekomunikasi, serta penyiaran, search and rescue (SAR), dan meteorologi dan geofisika berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 19 Pasal 1 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    24

    pelaksanaan peran pers secara utuh, sekaligus sebagai amanah Ketetapan MPR

    Nomor XVII/MPR/1998. Peran yang utuh ini menjadi sangat hebat, jika kemudian

    dikaitkan dengan fungsi dan kewajiban pers itu sendiri. Fungsi pers ditegaskan

    sebagai media informasi, media pendidikan, media hiburan, dan media kontrol sosial,

    serta sebagai lembaga ekonomi. Di sisi lain berkewajiban untuk memberitakan

    peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan

    masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Selain itu berkewajiban pula melayani

    hak jawab20 dan hak tolak.21

    Pers nasional melaksanakan beberapa peran22 utama, yaitu:

    1. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;

    2. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi

    hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan;

    3. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan

    benar;

    4. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan

    dengan kepentingan umum;

    5. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

    Peran utama ini menjadi sangat penting terutama dalam tataran tanggungjawab

    pers nasional untuk memenuhi hak masarakat untuk mengetahui dan mengembangkan

    pendapat umum, dengan menyampaikan informasi yang tepat, akuran dan benar. Hal

    ini akan mendorong ditegakkannya keadilan dan kebenaran, serta diwujudkannya

    supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang tertib.

    Perlindungan bagi wartawan sesungguhnya disediakan oleh UU Pers secara

    tegas yang sekaligus memberikan garis pertahanan yang amat keras. Apa itu ? Jika

    dalam paradigma lama, wartawan akan dengan sangat mudah dijadikan kambing

    hitam dan lalu dikirim ke penjara, maka kini sebaliknya, orang yang secara melawan

    hukum dengan sengaja mengakibatkan terhambatnya atau terhalanginya fungsi pers

    dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak

    Rp. 500 juta. Misalnya, ketika sang wartawan radio siaran hendak meliput acara di

    Kantor Pemerintah Daerah, ia mendapatkan hambatan dan dihalang-halangi dalam

    20 Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. Sedangkan hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang meruginakan nama baiknya. 21 Pasal 3 dan Pasal 5 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers 22 Pasal 6 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    25

    bentuk apa saja, misalnya harus mendapat izin, maka aparat Pemerintah Daerah itu

    telah melakukan pelanggaran terhadap UU Pers yang dapat dituntut pidana penjara

    paling lama 2 tahun atau denda Rp. 500 juta.

    Tantangan lain adalah konsekuensi dibubarkannya Departemen Penerangan

    yang selama puluhan tahun memainkan peran sebagai komandan penjaga malam

    bagi media di Indonesia. Terlebih bagi media elektronik yang ditempatkan sebagai

    alat penguasa saja, bahkan untuk mengontrolnya dibentuk Dewan Pembina di setiap

    daerah. Konsekuensinya, radio siaran tak berdaya. Kebijakan pemerintah melakukan

    pembubaran atas Departemen Penerangan tentu memberikan dampak psikologis yang

    besar. Bisa diterjemahkan sebagai suatu karunia tetapi bisa diterjemahkan

    sebaliknya sebagai malapetaka. Meskipun sebenarnya sudah dijelaskan secara

    sangat terbuka oleh Gus Dur, bahwa soal informasi adalah soalnya masyarakat !

    Tetapi karena terlalu lama terkomando dan terbelenggu, terjemahannya bisa jadi lain.

    Barangkali bijak menjelaskannya dengan perumpamaan ini . Bagaikan seekor kelinci

    yang diikat di sebatang pohon, ia hanya bisa berlari dan berputar serta berkeliling di

    pusaran pohon karena memang dibina dan dilatih seperti itu. Karena lamanya

    (bayangkan 32 tahun !) ia berlatih mengitari pohon itu, sang kelinci menjadi sangat

    mahir berputar-putar. Sehingga sekalipun pohon sudah ditebang dan tali sudah

    dibuka sang kelinci masih saja berputar dan berputar

    N. Radio Siaran dan UU Penyiaran

    Selain tunduk terhadap UU Pers, saya ingin mengingatkan para insan radio

    untuk taat terhadap UU Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran. Di dalam undang-

    undang ini (seharusnya segera direvisi) terdapat dua jenis ancaman yang berat, yaitu

    ancaman sanksi adminsitratif dan ancaman pidana. Dalam hal sanksi adminsitratif,

    Pemerintah paling tidak dapat memilih dan mengenakan 57 (limapuluh tujuh) buah

    jenis sanksi. Tentu masih harus dipilah mana saja yang langsung berhubungan dengan

    penyelenggaraan radio siaran. Kelimapuluhtujuh jenis sanksi itu ialah sanksi

    administratif atas pelanggaran terhadap:

    1. pendirian LPS yang dilakukan oleh warga negara atau badan hukum Indonesia

    yang pernah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan dalam kegiatan

    yang menentang Pancasila, (Pasal 11 ayat (2));

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    26

    2. pendirian LPS dan LPSK semata-mata hanya dikhususkan untuk menyiarkan mata

    acara tentang aliran politik, ideologi, agama, aliran tertentu, perseorangan, atau

    golongan tertentu, (Pasal 11 ayat (3) jo Pasal 22 ayat (1));

    3. pendirian LPS dan LPSK yang modalnya dimiliki oleh orang yang bukan warga

    negara atau badan hukum Indonesia, (Pasal 12 ayat (1)jo Pasal 22 ayat (1));

    4. penambahan atau pemenuhan modal berikutnya bagi pengembangan LPS yang

    dilaksanakan oleh LPS yang bersangkutan sebelum mendapat persetujuan

    Pemerintah, (Pasal 12 ayat (2));

    5. pemilikan dan penguasaan LPS dan LPSK, baik yang mengarah pada pemusatan

    di satu tangan atau di satu badan hukum maupun yang mengarah pada pemusatan

    di satu tempat atau di satu wilayah, (Pasal 13 ayat (1) jo Pasal 22 ayat (1)). Yang

    dikenakan sanksi administratif adalah khusus kerja sama teknis dan jasa tanpa

    izin Pemerintah;

    6. kepemilikan silang antara LPS dengan perusahaan media cetak dan antara LPS

    dengan LPSK, baik langsung maupun tidak langsung, (Pasal 13 ayat (2) jo Pasal

    22 ayat (1));

    7. LPS dan LPSK yang tidak memberi hak memiliki saham bagi karyawannya,

    (Pasal 13 ayat (3) jo Pasal 22 ayat (1));

    8. LPS dan LPSK yang menerima bantuan modal dari pihak asing, (Pasal 14 jo

    Pasal 22 ayat (1));

    9. LPS yang menyelenggarakan siaran melebihi satu programa/saluran siaran, yaitu

    siaran lokal, siaran regional atau siaran nasional, (Pasal 16 ayat (3));

    10. LPS dan LPSK yang tidak membayar biaya izin penyelenggaraan penyiaran dan

    kontribusi kepada pemerintah, tidak termasuk LPS radio, (Pasal 17 ayat (4) jo

    Pasal 22 ayat (1));

    11. pemindahtanganan izin penyelenggaraan penyiaran, (Pasal 17 ayat (5) jo Pasal 22

    ayat (1));

    12. LPSK yang tidak menyelenggarakan sensor internal terhadap semua isi siaran

    yang akan disiarkan dan/atau disalurkan, (Pasal 22 ayat (2));

    13. penyelenggara siaran berlangganan melalui satelit yang tidak menggunakan sarana

    pemancar ke satelit (uplink) yang berlokasi di Indonesia dan tidak mengutamakan

    penggunaan satelit Indonesia, (Pasal 23 ayat (1));

    14. penyelenggara siaran berlangganan melalui satelit dan pemancar kabel yang

    menyelenggarakan siarannya tidak menyiarkan 1 (satu) siaran produksi dalam

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    27

    negeri berbanding 10 (sepuluh) siaran produksi luar negeri, sekurang-kurangnya 1

    (satu) siaran produksi dalam negeri, (Pasal 24 ayat (1));

    15. penyelenggara siaran berlangganan melalui pemancaran terestrial yang

    menyelenggarakan sirannya tidak menyiarkan 1 (satu) siaran produksi dalam

    negeri berbanding 5 (lima) siaran produksi luar negeri, sekurang-kurangnya 1

    (satu siaran produksi dalam negeri, (Pasal 24 ayat (2));

    16. penyelenggara siaran berlangganan melalui kabel yang tidak menyalurkan siaran

    televisi baik dari LPP maupun dari LPS yang dapat diterima di wilayah lokal,

    tempat lembaga yang bersangkutan melakukan kegiatan siaran berlangganan,

    (Pasal 25));

    17. LPA yang melakukan kegiatan siaran secara tidak tetap dari Indonesia membawa

    perangkat pengiriman siaran ke satelit tanpa izin dari Pemerintah, (Pasal 27 ayat

    (3));

    18. LPA yang membuka perwakilan atau menempatkan koresponden untuk

    melakukan kegiatan jurnalistik di Indonesia tanpa izin Pemerintah, (Pasal 27 ayat

    (4));

    19. LPA yang menyewa fasilitas transmisi ke satelit dan transponder satelit Indonesia

    untuk siaran internasional melakukan pengiriman siarannya dari Indonesia tanpa

    izin Pemerintah, (Pasal 27 ayat (6));

    20. LPS yang menjadi peserta atau anggota pada forum, badan, atau organisasi

    penyiaran internasional tanpa izin Pemerintah, (Pasal 30 ayat (3));

    21. kerja sama pemancaran siaran, teknik, dan jasa dengan LPA di luar negeri tanpa

    izin Pemerintah, (Pasal 31 ayat (1));

    22. isi siaran LPP dan LPS yang tidak memuat acara siaran produksi dalam negeri

    lebih banyak, (Pasal 32 ayat (1));

    23. mata acara siaran radio dan televisi dalam negeri yang tidak memuat paling sedikit

    70 (tujuh puluh) berbanding 30 (tiga puluh) dengan mata acara siaran yang berasal

    dari luar negeri, (Pasal 32 ayat (2));

    24. isi siaran yang disiarkan oleh LPP dan LPS yang tidak sesuai dengan standar isi

    siaran, terutama program produksi dalam negeri dan program anak, (Pasal 32 ayat

    (4));

    25. isi siaran yang tidak memberikan perlindungan dan pemberdayaan pada anak dan

    remaja dengan menyiarkan acara pada waktu khusus, (Pasal 32 ayat (5);

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    28

    26. menggunakan bahasa pengantar utama dalam pelaksanaan siaran bukan bahasa

    Indonesia, (Pasal 33 ayat (1));

    27. menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dalam pelaksanaan siaran

    tidak hanya untuk mendukung mata acara tertentu, (Pasal 33 ayat (2));

    28. menggunakan bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya sebagai bahasa pengantar

    tetapi tidak sesuai dengan keperluan suatu mata acara, (Pasal 33 ayat (3) dan ayat

    (4));

    29. penyiaran mata acara berbahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, kecuali bahasa

    yang serumpun dengan bahasa Indonesia, dalam radio tanpa narasi bahasa

    Indonesia, dan untuk televisi tanpa disulihsuarakan ke dalam bahasa Inggris dan

    tidak diberi narasi atau teks dalam bahasa Indonesia, (Pasal 33 ayat (6) dan ayat

    (7));

    30. setiap mata acara film atau rekaman video cerita yang akan disiarkan tanpa

    mendapat sensor dari LSF, (Pasal 34 ayat (3));

    31. mata acara yang bersumber dari rumah produksi yang tidak sesuai dengan standar

    isi siaran dan bertentangan dengan dasar, asas, tujuan, fungsi, dan arah penyiaran,

    (Pasal 34 ayat (4));

    32. rumah produksi yang tidak berbadan hukum dan tanpa izin dari Pemerintah,

    (Pasal 34 ayat (5));

    33. LPS yang tidak merelai siaran yang dilaksanakan oleh LPP dalam bentuk siaran

    sentral, (Pasal 35 ayat (1));

    34. lembaga penyiaran dalam negeri yang merelai siaran LPA untuk dijadikan acara

    tetap, (Pasal 35 ayat (3));

    35. kepemilikan hak siar yang tidak dicantumkan secara jelas dalam penjelasan mata

    acara, (Pasal 38 ayat (2));

    36. lembaga penyiaran yang tidak membuat klasifikasi acara siaran untuk film,

    sinetron, dan/atau mata acara tertentu, baik melalui radio maupun televisi, yang

    seharusnya disesuaikan dengan kelompok umur khlayak dan waktu penyiaran,

    (Pasal 39 ayat (1));

    37. penyiaran yang tidak mencantumkan klasifikasi acara siaran baik pada saat

    diiklankan maupun pada waktu disiarkan, (Pasal 39 ayat (2));

    38. LPS yang tidak memenuhi standar berita dan tidak menaati KES serta KEJ dalam

    melaksanakan siaran berita, (Pasal 40 ayat (2));

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    29

    39. LPKS yang menyelenggarakan siaran berlangganan menyiarkan berita sendiri,

    (Pasal 40 ayat (3));

    40. Rumah produksi yang memproduksi mata acara untuk keperluan siaran berita

    kecuali karangan khas (feature) atau hal-hal yang menarik perhatian orang (human

    interest), (Pasal 40 ayat (4));

    41. perusahaan yang membuat materi siaran iklan niaga tanpa memiliki izin dari

    Pemerintah atau oleh lembaga penyiaran itu sendiri, (Pasal 42 ayat (1));

    42. siaran iklan niaga yang melebihi persentase waktu siaran iklan niaga yang

    ditetapkan, siaran iklan niaga yang disipkan pada acara siaran sentral dan pada

    acara siaran agama, (Pasal 42 ayat (7));

    43. isi siaran iklan niaga yang tidak sesuai dengan standar isi siaran, (Pasal 42 ayat

    (8));

    44. LPS yang tidak menyiarkan siaran iklan layanan masyarakat sekurang-kurangnya

    10 % (sepuluh persen) dari waktu siaran iklan niaga, dan LPP yang tidak

    menyiarkan siaran iklan layanan masyarakat sekurang-kurangnya 20 (dua puluh)

    menit dalam sehari, yang disiarkan tersebar sepanjang waktu siaran, (Pasal 43);

    45. lembaga penyiaran yang tidak menyusun pola acara, (Pasal 46 ayat (1));

    46. lembaga penyiaran yang tidak membuat penggolongan acara siaran yang memuat

    jenis, tujuan, dan maksud acara siaran, (Pasal 46 ayat (2));

    47. lembaga penyiaran dan LPSK yang memperluas wilayah jangkauan siarannya

    melebihi ketentuan sebagaimana tercantum dalam izin penyelenggaraan penyiaran

    yang dimilikinya, (Pasal 47 ayat (5));

    48. lembaga penyiaran yang menggunakan sarana teknik siaran tidak sesuai dengan

    sistem dan tidak memenuhi standar kinerja teknik yang ditetapkan oleh

    Pemerintah, (Pasal 48 ayat (1));

    49. lembaga penyiaran yang tidak mengutamakan penggunaan sarana teknik yang

    telah dibuat di dalam negeri, sejauh telah terbukti sesuai dengan standar sistem

    dan memenuhi standar kinerja teknik berdasarkan hasil pengujian lembaga yang

    berwenang, (Pasal 48 ayat (2));

    50. badan usaha berbadan hukum Indonesia yang menggunakan perangkat khusus

    penerima siaran untuk tujuan komersial tanpa memenuhi persyaratan teknis yang

    ditetapkan oleh pemerintah, (Pasal 50 ayat (2) huruf b);

    51. LPS yang melaksanakan jasa tambahan penyiaran tanpa izin dari Pemerintah,

    (Pasal 51 ayat (1));

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    30

    52. LPS yang melaksanakan jasa tambahan penyiaran tanpa menggunakan standar

    sistem dan tidak memenuhi kinerja teknik yang ditetapkan Pemerintah, (Pasal 51

    ayat (2));

    53. penyelenggara penyiaran yang dalam melaksanakan kegiatan penyiarannya

    menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

    bernegara, (Pasal 52 ayat (1));

    54. lembaga penyiaran yang tidak menggunakan bahasa, tutur kata, dan sopan santu

    sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, (Pasal 52 ayat (2));

    55. lembaga penyiaran yang tidak meralat isi siaran dan/atau berita padahal diketahui

    telah terdapat kekeliruan atau telah terjadi sanggahan atas isi siaran dan/atau

    berita, (Pasal 54 ayat (1));

    56. lembaga penyiaran yang tidak menyimpan bahan siaran yang sudah disiarkan,

    baik berupa rekaman audio, rekaman video, gambar, maupun naskah, (Pasal 58

    ayat (1)); dan

    57. ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan pelaksana dari hal-hal yang

    disebutkan di atas.

    Sanksi-sanksi adminsitratif ini dapat berupa peringatan tertulis, pembatasan

    pelayanan administrasi tertentu, pembatasan kegiatan siaran, pembekuan kegiatan

    siaran untuk waktu tertentu atau pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran.

    Pengenaan sanksi administratif dilakukan secara bertahap. Khusus untuk pelanggaran

    tertentu, pengenaan sanksi administratif dapat dilakukan secara tidak bertahap,

    berdasarkan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan, misalnya lembaga

    penyiaran yang dinilai melakukan pelanggaran berat yang mengganggu keamanan dan

    ketertiban dapat langsung dikenai sanksi pembekuan kegiatan siarannya. Pengenaan

    sanksi administratif berupa pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran karena

    menyangkut aspek yang luas dilakukan secara cermat dan teliti melalui berbagai

    pertimbangan. Pembatasan pelayanan administrasi tertentu, misalnya tidak

    memberikan rekomendasi penyensoran film asing (impor) yang akan disiarkan oleh

    lembaga penyiaran yang bersangkutan. Dalam pengenaan sanksi administratif,

    Pemerintah memperhatikan pertimbangan BP3N.

    Dalam konteks bubarnya Departemen Penerangan, maka sanksi administratif

    ini sama sekali tidak dapat diberlakukan sebab Menteri Penerangan yang seharusnya

    menjadi tukang jagal-nya sudah tidak ada. Tambahan pula BP3N sebagai mitra

    tempat meminta pertimbangan yang seharusnya ada sebagai amanat UU Penyiaran tak

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    31

    kunjung padam, eh datang ! Tentu berbeda dengan ketentuan pidana, sebab yang jadi

    tukang jagalnya dalam hal ini adalah polisi. Dalam konteks Radio sebagai Pagar

    Hidup Daerah, maka Polisi sesungguhnya dapat membangun spirit kebersamaan dan

    spirit keterbukan dengan radio-radio siaran untuk melindungi dan mengayomi

    masyarakat.

    Namun demikian, para insan radio harus bekerja secara profesional sesuai

    kode etik jurnalistik dan hati nuraninya. Sebab, jika disisir dengan seksama UU

    Penyiaran, maka paling tidak ada 25 (duapuluh lima) ketentuan pidana yang dapat

    diancamkan kepada pelaku usaha bidang broadcasting, termasuk broadcaster yaitu:23

    1. barangsiapa dengan sengaja menyiarkan melalui radio, televisi atau media

    elektronik lainnya hal-hal yang bersifat menghasut, mempertentangkan, dan/atau

    bertentangan dengan ajaran agama, atau merendahkan martabat manusia dan

    budaya bangsa, atau memuat hal-hal yang patut dapat diduga mengganggu

    persatuan dan kesatuan bangsa, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7

    (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp. 700.000.000.oo (tujuh ratus juta

    rupiah ), (Pasal 32 ayat (9)). Atas perintah pengadilan rekaman audio dan

    rekaman audiovisual dirampas untuk dimusnahkan. Tindak pidana ini adalah

    kejahatan;

    2. barangsiapa dengan sengaja menyiarkan rekaman musik dan lagu dengan lirik

    yang mengungkapkan pornografi dan hal-hal yang bersifat menghasut,

    mempertentangkan, dan/atau bertentangn dengan ajar agama, atau merendahkan

    martabat manusia dan budaya bangsa atau memuat hal-hal yang patut dapat

    diduga mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa, dipidana dengan pidana

    penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp. 700.000.000.oo

    (tujuh ratus juta rupiah), (Pasal 37 ayat (2) huruf b)). Atas perintah pengadilan

    rekaman audio dan audiovisual dirampas untuk dimusnahkan. Tindak pidana ini

    adalah kejahatan;

    3. barangsiapa dengan sengaja menyiarkan hal-hal yang bersifat sadisme, pornografi,

    dan/atau bersifat perjudian, dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau

    denda paling banyak Rp. 300.000.000.oo (tiga ratus juta rupiah), (Pasal 32 ayat

    23 Namun demikian, jika ditelusuri dengan seksama antara apa yang diatur dalam UU Pers dan UU Penyiaran telah terjadi tabrakan besar, utamanya dalam hal kriminalisasi baru di UU Penyiaran. Jika UU Penyiaran masih memberikan ancaman yang besar, maka ternyata UU Pers sama sekali tidak lagi memberikan ancaman. Dalam hal terjadi masalah dengan wartawan media radio siaran dalam menjalankan tugas dan fungsi jurnalistiknya secara profesional, yang dipakai adalah UU Pers.

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    32

    (7)). Atas perintah pengadilan rekaman audio dan rekaman audivisual dirampas

    untuk dimusnahkan. Tindak pidana ini adalah kejahatan;

    4. barangsiapa dengan sengaja menyelenggarakan penyiaran tanpa izin, dipidana

    dengan pidana penjara paling lama 8 (delan) tahun dan/atau denda paling banyak

    Rp. 800.000.000.oo (delapan ratus juta rupiah), (Pasal 17 ayat (1)). Atas perintah

    pengadilan perangkat atau peralatan dirampas untuk negara. Tindak pidana ini

    adalah kejahatan;

    5. barangsiapa dengan sengaja mendirikan LPA di Indonesia , dipidana dengan

    pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp.

    1.000.000.000.oo (satu milyar rupiah), (Pasal 27 ayat (1)). Atas perintah

    pengadilan perangkat atau peralatan dirampas untuk negara. Tindak pidana ini

    adalah kejahatan;

    6. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan siaran berlangganan

    melalui satelit, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau

    denda paling banyak Rp. 500.000.000.oo (lima ratus juta rupiah), (Pasal 20 huruf

    a jo. Pasal 21). Atas perintah pengadilan perangkat dan peralatan dirampus untuk

    negara. Tindak pidana ini adalah kejahatan;

    7. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan siaran berlangganan

    melalui kabel, dipidan dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau

    denda paling banyak Rp. 500.000.000.oo (lima ratus juta rupiah), (Pasal 20 huruf

    c jo. Pasal 21). Atas perintah pengadilan perangkat atau peralatan dirampas untuk

    negara. Tindak pidana ini adalah kejahatan;

    8. barang siapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan siaran berlangganan

    melalui pemancaran terstrial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)

    tahun atau denda paling banyak Rp. 300.000.000.oo (tiga ratus juta rupiah), (Pasal

    20 huruf b jo. Pasal 21). Atas perintah pengadilan perangkat atau peralatan

    dirampas untuk negara. Tindah pidana ini adalah kejahatan;

    9. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan siaran yang khusus

    untuk disalurkan ke saluran radio atau televisi berlangganan atau ke

    penyelenggara penyiaran untuk menjadi bagian dari siaran, dipidana dengan

    pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.

    300.000.000.oo (tiga ratus juta rupiah), (Pasal 20 huruf d jo. Pasal 21). Atas

    perintah pengadilan perangkat atau peralatan dirampas untuk negara. Tindak

    pidana ini adalah kejahatan;

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    33

    10. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyalurkan siaran melalui satelit dengan

    1 (satu) saluran atau lebih, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)

    tahun atau denda paling banyak Rp. 300.000.000.oo (tiga ratus juta rupiah), (Pasal

    20 huruf f jo. Pasal 21). Atas perintah pengadilan perangkat atau peralatan

    dirampas untuk negara. Tindak pidana ini adalah kejahatan;

    11. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyalurkan siaran dalam lingkungan

    terbatas, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda

    paling banyak Rp. 300.000.000.oo (tiga ratus juta rupiah), (Pasal 20 huruf g jo.

    Pasal 21). Atas perintah pengadilan perangkat atau peralatan dirampas untuk

    negara. Tindak pidana ini adalah kejahatan;

    12. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan jasa audiovisual

    berdasarkan permintaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)

    tahun atau denda paling banyak Rp. 300.000.000.oo (tiga ratus juta rupiah), (Pasal

    20 huruf h jo. Pasal 21). Atas perintah pengadilan perangkat dan peralatan

    dirampas untuk negara. Tindak pidana ini adalah kejahatan;

    13. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan jasa layanan informasi

    multimedia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda

    paling banyak Rp. 300.000.000.oo (tiga ratus juta rupiah), (Pasal 20 huruf k jo.

    Pasal 21). Atas perintah pengadilan perangkat dan peralatan dirampas untuk

    negara. Tindak pidana ini adalah kejahatan;

    14. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan jasa audiovisual secara

    terbatas di lingkungan terbuka, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2

    (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000.oo (dua ratus juta rupiah),

    (Pasal 20 huruf e jo. Pasal 21). Atas perintah pengadilan perangkat dan peralatan

    dirampas untuk negara. Tindak pidana ini adalah kejahatan;

    15. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan jasa layanan informasi

    suara dengan teks, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau

    denda paling banyak Rp. 200.000.000.oo (dua ratus juta rupiah), (Pasal 20 huruf i

    jo. Pasal 21). Atas perintah pengadilan perangkat dan peralatan dirampas untuk

    negara. Tindak pidana ini adalah kejahatan;

    16. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan jasa layanan informasi

    gambar dengan teks, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun

    atau denda paling bayak Rp. 200.000.000.oo (dua ratus juta rupiah), (Pasal 20

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    34

    huruf j jo. Pasal 21). Atas perintah pengadilan perangkat dan peralatan dirampas

    untuk negara. Tindak pidana ini adalah kejahatan;

    17. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan siaran khusus, dipedana

    dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.

    500.000.000.oo (lima ratus juta rupiah), yang akan ditetapkan dalam Peraturan

    Pemerintah, (Pasal 20 huruf l jo. Pasal 21). Atas perintah pengadilan perangkat

    dan peralatan dirampas untuk negara. Tindak pidana ini adalah kejahatan

    18. barangsiapa dengan sengaja memindahtangankan izin penyelenggaraan penyiaran,

    dipidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.

    100.000.000.oo (seratus juta rupiah), (Pasal 17 ayat (5)). Tindak pidana ini adalah

    pelanggaran;

    19. barangsiapa tanpa izin melakukan kegiatan siaran secara tidak tetap dan/atau

    kegiatan jurnalistik asing di Indonesia, dipidana dengan pidana kurungan paling

    lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000.oo (seratus

    juta rupiah), (Pasal 27 ayat (2)). Tindak pidana ini adalah pelanggaran;

    20. barangsiapa tanpa izin melakukan kerja sama apemancaran siaran dengan LPA di

    luar negeri, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau

    denda paling banyak Rp. 200.000.000.oo (duaratus juta rupiah), (Pasal 31 ayat

    (1)). Tindak pidana ini adalah pelanggaran;

    21. barangsiapa tanpa izin menggunakan perangkat khusus penerima siaran untuk

    tujuan komersial, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 9 (sembilan)

    bulan atau denda paling banyak Rp. 100.000.000.oo (seratus juta rupiah), (Pasal

    50 ayat (2) huruf a). Atas perintah pengadilan perangkat dan peralatan dirampas

    untuk negara. Tindak pidana ini adalah pelanggaran;

    22. barangsiapa menyiarkan iklan niaga yang memuat promisi yang berkaitan dengan

    ajaran suatu agama atau aliran tertentu, ajaran politik atau idiologi tertentu,

    promosi pribadi, atau kelompok tertentu, dipidana dengan pidana kurungan paling

    lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000.oo (seratus juta

    rupiah), (Pasal 42 ayat (2) huruf a). Tindak pidana ini adalah pelanggaran;

    23. barangsiapa menyiarkan iklan niaga yang memuat promosi barang dan jasa yang

    berlebih-lebihan dan yang menyesatkan, baik mengenai mutu, asal, isi, ukuran,

    sifat, komposisi maupun keasliannya, dipidana dengan pidana kurungan paling

    lama 9 (sembilan) bulan atau denda paling banyak Rp. 100.000.000.oo (seratus

    juta rupiah), (Pasal 42 ayat (2) huruf b). Tindak pidana ini adalah pelanggaran;

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    35

    24. barangsiapa menyiarkan iklan niaga yang memuat iklan minuman keras dan

    sejenisnya, bahan/zat adiktif serta iklan yang menggambarkan penggunaan rokok,

    dipidana dengan pidana kurungan paling lama 9 (sembilan) bulan atau denda

    paling banyak Rp. 100.000.000.oo (seratus juta rupiah), Pasal 42 ayat (2) huruf

    c). Tindak pidana ini adalah pelanggaran; dan

    25. barangsiapa menyiarkan iklan niaga yang memuat hal-hal yang bertentangan

    dengan rasa kesusilaan masyarakat, dipidana dengan pidana kurungan paling lama

    9 (sembilan) bulan atau denda paling banyak Rp. 100.000.000.oo (seratus juta

    rupiah), (Pasal 42 ayat (2) huruf d). Tindak pidana ini adalah pelanggaran.

    O. Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah:

    Bagaimana Penerapannya ?

    Setelah terurai dengan sangat panjang dengan beragam dan berwarna gagasan

    yang berterbangan ke sana ke mari, mari kita rumuskan bagaimana penerapan radio

    siaran sebagai pagar hidup otonomi daerah.

    Pertama, mendorong seluruh radio siaran di daerah untuk menyamakan visi

    tentang pemahaman bahwa radio siaran di daerah bahwa pada prinsipnya adalah baik

    radio siaran maupun otonomi daerah bersifat local content. Artinyanya otonomi

    daerah dapat diwujudkan dalam bahasa kesaharian yang ringan lewat radio siaran.

    Sifat kelokalan radio siaran ini tampak dari adanya limitasi jangkauan siarannya,

    yang hanya berisfat lokal, atau per kabupaten atau per propinsi untuk DKI Jakarta.

    Sehingga, sebenarnya materi siaran radio itu hanya didengar di daerah itu sendiri. Dan

    sesungguhnya informasi yang dibutuhkan di daerah itulah yang seharusnya menjadi

    materi muatan siaran radio itu. Bagi pendegar di pinggiran pantai di pesisir Riau

    misalnya, lebih membutuhkan informasi tentang cuaca, harga ikan, dan informasi

    tentang kelautan yang lebih utama, ketimbang mendengar berita atau informasi

    tentang peperangan antara Chenchya dengan Rusia. Dalam konteks otonomi daerah,

    maka radio-radio di daerah seharusnya sudah berada pada posisi pemahaman yang

    jelas tentang kue iklan daerah yang bisa dikelola dengan baik, ketimbang meminta

    dan meminta kue iklan nasional. Misalnya kita hitung potensi Daerah Riau. Menurut

    Media Indonesia, 18 November 1999, disebutkan bahwa Riau termasuk propinsi

    terkaya di dunia, tetapi berapa anggaran dari pusat yang kembali ke daerah itu ?

  • Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah

    http://www.internnews.or.id

    36

    Ternyata hanya sekitar 1%.24 Dengan pelaksanaan otonomi daerah, seharusnya kue

    iklan nasional tidak perlu diburu oleh radio siaran di Riau, tetapi lebih menggali kue

    iklan daerah Riau sendiri. Hal ini sangat mudah mewujudkannya, yaitu perlu segera

    menetapkan aturan mainnya melalui Peraturan Daerah.

    Kedua, ketika visinya sudah sama, maka selanjutnya adalah membangun spirit

    kebersamaan dan spirit keterbukaan. Kebersamaan diantara sesama radio siaran untuk

    membuat acara bersama dengan menjual program semangat keterbukaan Gubernur

    atau Bupati dan rakyatnya dalam acara talkshow yang intraktif, misalnya setiap hari

    senin setiap minggu selama dua jam. Sang Gubernur atau sang Bupati berdialog

    secara terbuka di udara tentang apa yang sudah dikerjakannya minggu yang lalu dan

    apa yang akan dikerjakannya minggu yang akan datang. Demikian seterusnya. Acara

    ini bisa diselingi oleh tokoh legislator, pemuda, mahasiswa, pebisnis dan yang lain.

    Tentu acara ini sangat terbuka dengan pertanyaan dan perdebatan dari masyarakatnya.

    Dalam konteks inilah sesungguhnya proses demokratisasi dan pemberdayaan

    masyarakat dimulai, dilaksanakan dan dikawal terus di daerah itu. Semua itu bisa

    dilaksanakan melalui radio siaran.

    Ketiga, Pemerintah c.q. Pemerintah Daerah otonom seharusnya segera

    memprogramkan Radio Siaran Swadaya Masyarakat (radio community) utamanya di

    da