RABU, 23 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA tani Diguyur … · mengaruhi pasokan sayur-mayur ke pasar...

1
USANTARA 23 RABU, 23 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA tani Diguyur Erupsi MI/BAGUS SURYO SUPARTO, 41, berdiri mematung. Tatapan matanya kosong memandang lautan pasir kaldera di depannya. Warga Dusun Cemorolawang, Desa Nga- disari, Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, ini adalah satu dari ratusan pemilik kuda wisata di Gunung Bromo. Sudah tiga bulan ia mengandangkan ku- danya. Sejak Bromo menghentak, November lalu, kaldera yang berada 2 km dari kawah Bromo harus dikosongkan. Warga dan wisatawan dilarang beraktivitas di kawasan ini. “Bi- asanya dalam sehari saya bisa mendapatkan hasil Rp300 ribu,” tutur Suparto. Meskipun sedih, tapi Suparto masih te- tap bersemangat. “Masih ada hari esok,” tegasnya. Kendati bertubi-tubi mendapat cobaan, warga suku Tengger di sekitar Gunung Bro- mo tidak menganggapnya sebagai bencana. Mereka memahami situasi itu sebagai ujian dan berkah, yang harus dijawab dengan menggelar ritual, doa, dan selamatan. “Tidak boleh mengeluh meskipun erupsi Bromo mengakibatkan kerusakan pada lahan pertanian,” kata Karmadi, petani kentang di Desa Ngadiwono, Kabupaten Pasuruan. Warga percaya bila mengeluh, dampak yang mereka terima akan semakin buruk. Se- bab, akan ditambahkan bencana yang lebih besar. Itu sebabnya warga Tengger bersikap biasa-biasa saja kendati mereka merasakan pedihnya erupsi Bromo sudah menghancur- kan pertanian. Ada keyakinan di balik cobaan terdapat hikmah yang bisa dipetik, dan itu terbukti. Salah satunya dinikmati petani yang mena- nam kentang. Hasil panen mereka dihargai lebih di pa- saran, dari semula Rp4.000 per kilogram menjadi Rp6.000. Petani lain di Pasuruan, Hariadi, warga Desa/Kecamatan Sukapura, mengaku tidak pernah mengeluh kendati Bromo terus me- muntahkan material vulkanis. “Saya percaya tidak ada apa-apa,” ujarnya. Bagi masyarakat Tengger, Bromo meru- pakan bangunan suci yang harus dijaga sepanjang masa. Caranya dengan mengirim serangkaian sesajen sebagai ungkapan rasa syukur dan pemujaan kepada Tuhan dan leluhur. Itu sebabnya suku Tengger memiliki keter- ikatan sangat kuat terhadap Gunung Bromo. Ini pengejawantahan sikap menyatu dengan alam, leluhur, dan Yang Maha Kuasa. Mereka meyakini leluhur Tengger mendi- ami Gunung Bromo. Warga juga menyakral- kan sejumlah kawasan seperti Gunung Batok, Gunung Kursi, Gunung Widodaren, dan Gu- nung Watangan. Selain itu, ada tempat suci lain seperti Kutugan (pintu masuk), Watu Balang, Watu Wungkuk, Pura Luhur Poten, dan Widodaren, sebagai tempat suci. Dosen Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang Blasius Suprapta mengakui suku Tengger memang pantang mengeluh. Me- reka umumnya pekerja keras dan berjiwa besar. Hidupnya dimaknai sebagai kesatuan dengan alam. “Itu sebabnya air, api, tanah, dan angin selalu dikirimi sesajen sebagai bentuk peng- hormatan dan rasa syukur terhadap Tuhan. Meskipun dilanda bencana separah itu, jarang dijumpai ada warga yang mengeluh,” ujarnya. Ketua Dukun Tengger Mudjono menya- takan semua hasil pertanian yang rusak itu sedang dipinjam oleh leluhur suku Tengger yang bersemayam di Bromo. Sebab, sang leluhur sedang punya hajat. “Suatu ketika akan dikembalikan, bahkan lebih banyak daripada sekarang.” Kredit lunak Namun, dalam kondisi terpuruk sekarang, tetap saja anak-anak Tengger butuh uluran tangan. Hanya saja, kata Mudjono, yang me- reka harapkan adalah bantuan kredit lunak Ini Ujian, bukan Bencana hitam, bukan merah. Cokelat dan hitam tidak berbahaya. Karmadi merugi karena kerusakan fatal pada tanaman kentangnya mencapai 2 hek- tare dari 4 hektare lahan miliknya. Tanaman berumur 40 hari mati, tertimbun abu, dan kerugiannya jika dihitung dengan uang mencapai Rp15 juta-Rp20 juta. Camat Tosari, Pasuruan, Gatot Suprapto, melaporkan kerusakan tanaman kentang di wilayahnya mencapai 355 hektare. Tersebar di delapan desa, di antaranya Balidono, Daeng, Wonokitri, Tosari, Ngaduwono, Kandangan, dan Podokoyo. “Kerugian yang dialami petani menca- pai Rp4 miliar,” tegasnya. Setelah hancur pada guyuran abu pertama, areal seluas 355 hektare itu sebagian sudah ditanami lagi. Namun, pekan lalu, lahan itu kembali diguyur hujan abu. Petani, yang belum menanami lahan mereka karena sudah kehabisan modal, sedikit beruntung, karena tidak merugi untuk kedua kalinya. Di Kabupaten Malang, kerusakan tanam- an pertanian mencapai luasan 10 hektare milik 20 petani di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusu- mo. La- han ber- ada di Dusun Ngadas dan Jarak Ijo. Tanam- an beru- mur dua bulan hancur tertimbun abu. “Kerugian mencapai Rp100 juta,” kata Kepala Desa Ngadas Kartono. Porak-poranda lahan pertanian me- mengaruhi pasokan sayur-mayur ke pasar utama. Petugas Pusat Agrobisnis Pasar Mantung, Kabupaten Malang, Pujiono me- ngatakan sejak Bromo bergemuruh, pasokan sayur-mayur menurun. Dari 10 ton-13 ton menjadi 5,7 ton per hari. Penyebabnya pasokan sayur dari daerah pegunungan di Jawa Timur sudah habis dipanen. Selain itu, banyak lahan rusak akibat abu letusan Bromo. “Dam- pak letusan Gunung Bromo berpenga- ruh besar terhadap turunnya pasokan sayur akhir-akhir ini,” tandasnya. Kini, erupsi Bromo masih berlangsung, dan belum diketahui hingga kapan mereda. Masa tanggap darurat bencana sendiri sudah dicabut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, pada 22 Januari 2011. Pemerintah Kabupaten Probolinggo pun kebingungan karena dana bencana sudah habis. Tak ada uang untuk membeli sembako lagi. (N-2) [email protected] dari pemerintah, untuk menghidupkan kembali usaha pertanian. “Kami tidak mau terus mendapat bantuan sembako. Kasihan pemerintah,” tegasnya. Bagi warga Tengger, bantuan sembako memang penting. Tapi lebih penting lagi adalah mendapatkan bantuan kredit lu- nak agar masyarakat bisa hidup mandiri. Sehingga tidak selalu menggantungkan bantuan dari pemerintah. “Kami ingin hidup mandiri,” ulang Mudjono. Jumlah warga Tengger sekitar 137 ribu jiwa. Mereka tinggal di 41 desa di Malang, Probolinggo, Pasuruan, dan Lumajang. Adapun dukun yang berfungsi sebagai tokoh agama dan masyarakat berjumlah 47 orang. Kredit lunak yang diharapkan itu se- besar Rp5 juta-Rp10 juta ke atas dengan bunga ringan. Akibat ‘batuk’ Bromo, kerugian petani kentang rata-rata men- capai Rp15 juta. Itu setara dengan modal yang dikeluarkan untuk 1 ton bibit. “Kredit lunak itu akan kami kembali- kan dalam jangka waktu 2-3 tahun,” janji Mudjono. Kredit lunak sangat penting. Tanpa itu akan sulit menghidupkan kembali usaha pertanian. Namun, kredit itu bukan untuk seka- rang. Saat ini, hajat Bromo belum usai. Menjadi percuma ketika lahan yang diolah nantinya diguyur abu vulkanis kembali. Kepala Badan Penanggulangan Ben- cana Probolinggo Mashuri Efendi juga sepakat bantuan sembako bukan yang ter- penting. Ia berharap petani mendapatkan bantuan secara cepat dan tepat. “Korban tidak bisa dibiarkan dengan hanya menerima bantuan sembako terus- menerus. Bantuan berupa program padat karya jauh lebih baik agar mereka bisa hidup mandiri.” (BN/N-2) SEKOLAH ROBOH: Siswa berjalan di depan SMP Negeri Ngadirejo yang roboh tertutup abu letusan Gunung Bromo di Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. TERTUTUP ABU: Penunggang kuda menuju lautan pasir Gunung Bromo yang terhalang pohon roboh di Desa Ngadisari, Probolinggo, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. yang tertutup Desa Ngadisari, u lalu. ANTARA/ARI BOWO SUCIPTO ANTARA/MUSYAWIR MI/BAGUS SURYO

Transcript of RABU, 23 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA tani Diguyur … · mengaruhi pasokan sayur-mayur ke pasar...

Page 1: RABU, 23 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA tani Diguyur … · mengaruhi pasokan sayur-mayur ke pasar utama. Petugas Pusat Agrobisnis Pasar Mantung, Kabupaten Malang, Pujiono me-ngatakan

USANTARA 23RABU, 23 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA

tani Diguyur Erupsi

MI/BAGUS SURYO

SUPARTO, 41, berdiri mematung. Tatapan matanya kosong memandang lautan pasir kaldera di depannya.

Warga Dusun Cemorolawang, Desa Nga-disari, Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, ini adalah satu dari ratusan pemilik kuda wisata di Gunung Bromo. Sudah tiga bulan ia mengandangkan ku-danya.

Sejak Bromo menghentak, November lalu, kaldera yang berada 2 km dari kawah Bromo harus dikosongkan. Warga dan wisatawan dilarang beraktivitas di kawasan ini. “Bi-asanya dalam sehari saya bisa mendapatkan hasil Rp300 ribu,” tutur Suparto.

Meskipun sedih, tapi Suparto masih te-tap bersema ngat. “Masih ada hari esok,” tegasnya.

Kendati bertubi-tubi mendapat cobaan, warga suku Tengger di sekitar Gunung Bro-mo tidak menganggapnya sebagai bencana. Mereka memahami situasi itu sebagai ujian dan berkah, yang harus dijawab dengan menggelar ritual, doa, dan selamatan.

“Tidak boleh mengeluh meskipun erupsi Bromo mengakibatkan kerusakan pada lahan pertanian,” kata Karmadi, petani kentang di Desa Ngadiwono, Kabupaten Pasuruan.

Warga percaya bila mengeluh, dampak yang mereka terima akan semakin buruk. Se-bab, akan ditambahkan bencana yang lebih besar. Itu sebabnya warga Tengger bersikap biasa-biasa saja kendati mereka merasakan pedihnya erupsi Bromo sudah menghancur-kan pertanian.

Ada keyakinan di balik cobaan terdapat hikmah yang bisa dipetik, dan itu terbukti. Salah satunya dinikmati petani yang mena-nam kentang.

Hasil panen mereka dihargai lebih di pa-saran, dari semula Rp4.000 per kilogram menjadi Rp6.000.

Petani lain di Pasuruan, Hariadi, warga Desa/Kecamatan Sukapura, mengaku tidak pernah mengeluh kendati Bromo terus me-

muntahkan material vulkanis. “Saya percaya tidak ada apa-apa,” ujarnya.

Bagi masyarakat Tengger, Bromo meru-pakan bangunan suci yang harus dijaga sepanjang masa. Caranya dengan mengirim serangkaian sesajen sebagai ungkapan rasa syukur dan pemujaan kepada Tuhan dan leluhur.

Itu sebabnya suku Tengger memiliki keter-ikatan sangat kuat terhadap Gunung Bromo. Ini pengejawantahan sikap menyatu dengan alam, leluhur, dan Yang Maha Kuasa.

Mereka meyakini leluhur Tengger mendi-ami Gunung Bromo. Warga juga menyakral-kan sejumlah kawasan seperti Gunung Batok, Gunung Kursi, Gunung Widodaren, dan Gu-nung Watangan. Selain itu, ada tempat suci lain seperti Kutugan (pintu masuk), Watu Balang, Watu Wungkuk, Pura Luhur Poten, dan Widodaren, sebagai tempat suci.

Dosen Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang Blasius Suprapta mengakui suku Tengger memang pantang mengeluh. Me-reka umumnya pekerja keras dan berjiwa besar. Hidupnya dimaknai sebagai kesatuan dengan alam.

“Itu sebabnya air, api, tanah, dan angin selalu dikirimi sesajen sebagai bentuk peng-hormatan dan rasa syukur terhadap Tuhan. Meskipun dilanda bencana separah itu, jarang dijumpai ada warga yang mengeluh,” ujarnya.

Ketua Dukun Tengger Mudjono menya-takan semua hasil pertanian yang rusak itu sedang dipinjam oleh leluhur suku Tengger yang bersemayam di Bromo. Sebab, sang leluhur sedang punya hajat. “Suatu ketika akan dikembalikan, bahkan lebih banyak daripada sekarang.”

Kredit lunakNamun, dalam kondisi terpuruk sekarang,

tetap saja anak-anak Tengger butuh uluran tangan. Hanya saja, kata Mudjono, yang me-reka harapkan adalah bantuan kredit lunak

Ini Ujian, bukan Bencana

hitam, bukan merah. Cokelat dan hitam tidak berbahaya.

Karmadi merugi karena kerusakan fatal pada tanaman kentangnya mencapai 2 hek-tare dari 4 hektare lahan miliknya. Tanaman berumur 40 hari mati, tertimbun abu, dan kerugiannya jika dihitung dengan uang mencapai Rp15 juta-Rp20 juta.

Camat Tosari, Pasuruan, Gatot Suprapto, melaporkan kerusakan tanaman kentang di

wilayahnya mencapai 355 hektare. Tersebar di delapan desa, di antaranya Balidono, Daeng, Wonokitri, Tosari, Ngaduwono, Kandangan, dan Podokoyo.

“Kerugian yang dialami petani menca-pai Rp4 miliar,” tegasnya. Setelah hancur pada guyuran abu pertama, areal seluas 355 hektare itu sebagian sudah ditanami lagi. Namun, pekan lalu, lahan itu kembali diguyur hujan abu.

Petani, yang belum menanami lahan mereka karena sudah kehabisan modal, sedikit beruntung, karena tidak merugi untuk kedua kalinya.

Di Kabupaten Malang, kerusakan tanam-an pertanian mencapai luasan 10 hektare milik 20 petani di Desa Ngadas, Kecamatan

Poncokusu-m o . L a -han ber-a d a d i

D u s u n N g a d a s dan Jarak

Ijo. Tanam-an beru-

mur dua bulan hancur tertimbun abu. “Kerugian mencapai Rp100 juta,” kata Kepala Desa Ngadas Kartono.

Porak-poranda lahan pertanian me-mengaruhi pasokan sayur-mayur ke pasar utama. Petugas Pusat Agrobisnis Pasar Mantung, Kabupaten Malang, Pujiono me-ngatakan sejak Bromo bergemuruh, pasokan sayur-mayur menurun. Dari 10 ton-13 ton menjadi 5,7 ton per hari.

Penyebabnya pasokan sayur dari daerah pegunungan di Jawa Timur sudah habis dipanen. Selain itu, banyak lahan rusak akibat abu letusan Bromo. “Dam-

pak letusan Gunung Bromo berpenga-

ruh besar terhadap turunnya pasokan sayur akhir-akhir ini,” tandasnya.

Kini, erupsi Bromo masih berlangsung, dan belum diketahui hingga kapan mereda. Masa tanggap darurat bencana sendiri sudah dicabut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, pada 22 Januari 2011.

Pemerintah Kabupaten Probolinggo pun kebingungan karena dana bencana sudah habis. Tak ada uang untuk membeli sembako lagi. (N-2)

[email protected]

dari pemerintah, untuk menghidupkan kembali usaha pertanian.

“Kami tidak mau terus mendapat bantuan sembako. Kasihan pemerintah,” tegasnya.

Bagi warga Tengger, bantuan sembako memang penting. Tapi lebih penting lagi adalah mendapatkan bantuan kredit lu-nak agar masyarakat bisa hidup mandiri. Sehingga tidak selalu menggantungkan bantuan dari pemerintah. “Kami ingin hidup mandiri,” ulang Mudjono.

Jumlah warga Tengger sekitar 137 ribu jiwa. Mereka tinggal di 41 desa di Malang, Probolinggo, Pasuruan, dan Lumajang. Adapun dukun yang berfungsi sebagai tokoh agama dan masyarakat berjumlah 47 orang.

Kredit lunak yang diharapkan itu se-besar Rp5 juta-Rp10 juta ke atas dengan bunga ringan. Akibat ‘batuk’ Bromo, kerugian petani kentang rata-rata men-capai Rp15 juta. Itu setara dengan modal yang dikeluarkan untuk 1 ton bibit.

“Kredit lunak itu akan kami kembali-kan dalam jangka waktu 2-3 tahun,” janji Mudjono.

Kredit lunak sangat penting. Tanpa itu akan sulit menghidupkan kembali usaha pertanian.

Namun, kredit itu bukan untuk seka-rang. Saat ini, hajat Bromo belum usai. Menjadi percuma ketika lahan yang diolah nantinya diguyur abu vulkanis kembali.

Kepala Badan Penanggulangan Ben-cana Probolinggo Mashuri Efendi juga sepakat bantuan sembako bukan yang ter-penting. Ia berharap petani mendapatkan bantuan secara cepat dan tepat.

“Korban tidak bisa dibiarkan dengan hanya menerima bantuan sembako terus-menerus. Bantuan berupa program padat karya jauh lebih baik agar mereka bisa hidup mandiri.” (BN/N-2)

SEKOLAH ROBOH: Siswa berjalan di depan SMP Negeri Ngadirejo yang roboh tertutup abu letusan Gunung Bromo di Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.

TERTUTUP ABU: Penunggang kuda menuju lautan pasir Gunung Bromo yang terhalang pohon roboh di Desa Ngadisari, Probolinggo, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.

yang tertutup Desa Ngadisari, u lalu.

ANTARA/ARI BOWO SUCIPTO

ANTARA/MUSYAWIR

MI/BAGUS SURYO