R. M. Joko Prawoto Mulyadi.pdf

105
NASIONALISME PERS: STUDI KASUS PERAN MEDAN PRIJAJI DALAM MENUMBUHKAN KESADARAN KEBANGSAAN Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Oleh: R. M. Joko Prawoto Mulyadi NIM: 105033201150 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432H/ 2011 M

Transcript of R. M. Joko Prawoto Mulyadi.pdf

NASIONALISME PERS: STUDI KASUS PERAN MEDAN PRIJAJI

DALAM MENUMBUHKAN KESADARAN KEBANGSAAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta

Oleh:

R. M. Joko Prawoto Mulyadi

NIM: 105033201150

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432H/ 2011 M

ii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : R.M. Joko Prawoto Mulyadi

Tempat / Tanggal lahir : Jakarta, 12 Januari 1986

Alamat : Jalan Kebon Nanas Selatan 2, OTISTA III

Rt.007/05 no.30 Jakarta Timur

Kebangsaan : Indonesia

Agama : Islam

Pendidikan :

1. TK. Islam An-Nuriyyah, Otista, Jakarta

Timur.

2. SD. Muhammadiyah 55, Tebet, Jakarta

Selatan.

3. Madrasah Diniyyah An-Nafi’ah

4. SMPN 73, Tebet, Jakarta Selatan.

5. SMUN 26, Tebet, Jakarta Selatan.

6. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, FISIP,

Ilmu Politik

iii

ABSTRAK

Judul : NASIONALISME PERS: STUDI KASUS PERAN

MEDAN PRIJAJI DALAM MENUMBUHKAN

KESADARAN KEBANGSAAN

Sebagai suatu tema kajian menarik, nasionalisme atau istilah lain yang

berkaitan dengannya juga memiliki keunikan dan kerumitannya sendiri. Hal yang

demikian itu terjadi akibat nasionalisme kerap ditulis dengan ‘N’ huruf awalan

kapital. Artinya, ia terlanjur diasosiasikan sebagai sebuah ideologi sebagaimana

juga ideologi lain semisal Marxisme, Sosialisme, dan sebagainya. Namun

demikian, apa yang akan saya bahas pada karya ini bukan Nasionalisme dengan

‘N’, melainkan nasionalisme dengan ‘n’. Sekilas lalu apalah artinya dari huruf

awalan kapital atau tidak, namun kelak dalam pembahasan itu akan berdampak

besar.

Apa yang dimaksud nasionalisme dengan ‘n’ bukanlah sebagai ideologi,

tapi suatu rasa kebangsaan. Atau dalam istilah lain juga disebut kesadaran

kebangsaan. Nasionalisme model ini yang akan menjadi pembahasan kita. Sebuah

kesadaran kebangsaan yang disemai di ladang kering tanah koloni bernama

Hindia Belanda. Bukan petani atau peladang, tapi jurnalis yang menyemai bibit

kesadaran kebangsaan itu melalui media berupa surat kabar.

Dalam hal ini, surat kabar yang dimaksud tentu adalah surat kabar yang

mengawali upaya pembenihan kesadaran kebangsaan tersebut. dan pilihan jatuh

pada sebuah surat kabar yang terbit pada 1907, Medan Prijaji, dengan seorang

jurnalis berwatak keras, R.M. Tirto Adhi Soerjo. Surat kabar ini menjadi pilihan

sebab selain ia selaku pionir dalam usaha pembibitan kesadaran ke ‘kita’an

sebagai sebuah bangsa, juga memiliki sikap politik yang tegas. Sejak dari jargon

sampai pada artikel, surat kabar yang sempat mencapai tiras 2000 ini benar-benar

menariik garis tegas antara ‘kami’ dan ‘kalian’, yakni antara penjajah Kolonial

dengan yang dijajahnya, yang dalam istilahnya digunakan identitas oposisi antara

’bangsa jang terprentah’ dengan ‘bangsa jang memerentah’.

iv

KATA PENGANTAR

Bismihi Ta’ala

Alhamdulillah, wash-sholatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa alihi al-

ath’har. Segala puji bagi Rabb semesta alam atas segala nikmatNya. Shalawat dan

salam terhatur kehadirat Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya. Semua itu adalah

ungkapan syukur karena berkat rahmat itulah skripsi “NASIONALISME PERS:

STUDI KASUS PERAN MEDAN PRIJAJI DALAM MENUMBUHKAN

KESADARAN KEBANGSAAN” terselesaikan.

Beragam kisah menarik saya jumpai di tengah perjalanan penulisan skripsi

yang berawal dari makalah saya dalam sebuah seminar tentang Pers dan

Kebangsaan di Universitas Negeri Yogyakarta beberapa tahun lalu. Biarlah

tersimpan dalam kenangan dan terbuka pada saatnya. Namun yang terpenting

adalah rampungnya penulisan skripsi ini sebagai syarat kelulusan dan beroleh

gelar sarjana. Tentu semua ini tak lepas dari jasa yang tak berbilang dari berbagai

pihak.

Untuk itu, saya haturkan rasa hormat dan terima kasih kepada:

1. Alm. R.M. Tirto Adhi Soerjo, kakek buyut yang secara ironis harus saya

kenal dari buku, baru kemudian diceritakan orang tua. Aku masih

menziarahimu, di makam dan pada ratusan lembar buah penamu dalam

Medan Prijaji.

2. Alm. S. Syahabuddin Shahab, kakek yang mengajariku bermain dengan

kertas, pena, dan mesin ketik sejak kecil. Seorang penyiar, pengajar tafsir,

dan Soekarnois yang membuatku akrab dengan dunia tulis menulis.

3. Alm. R.M. Dicky Permadi Tirtoadhisoerjo, ayah yang selalu mendidik

dengan caranya yang unik. Yang dengan santai namun pasti,

menjadikanku begitu akrab dengan buku. Amanat terakhirmu sebelum

wafat telah kujalankan, skripsi ini salah satunya. Pesanmu masih kuingat,

bahwa pilihan ‘menjadi seorang idealis harus tahan keadaan sulit’.

4. Syarifah Fathiyyah Shahab, ibu yang dengan segala keteguhan hati dan

kesabaran menjalani hari-hari menunggu kelulusanku. Pengertian yang

luar biasa atas jalan sunyi yang kupilih membuatku tetap tegar.

v

5. Pramoedya Ananta Toer. Bung, melalui bukumu, aku mengenal asal-

usulku, dan banyak hal luar biasa tentang nasion kita.

6. Prof. Dr. Bahtiar Efendi. Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

7. Dr. Ali Munhanif, ketua Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta

8. Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si, sekretaris Program Studi sekaligus dosen

pembimbing skripsi yang telah menyempatkan waktu di sela kesibukan

dan memberi bantuan referensi penting.

9. Seluruh dosen Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

10. Indra B Aden, melalui pria yang kutemui semasa kuliah di IISIP ini aku

mengenal Pram, dan akhirnya, Tirto.

11. Muhidin M Dahlan, yang telah memberikan foto copy Medan Prijaji

melalui Iswara yang didapatnya dari Bung Pram. Terus menulis, kawan.

12. Teman-teman peneliti di Jogja, khususnya Iswara N Raditya, kerja

kerasmu menulis Tirto akan berbuah suatu hari.

13. Kawan-kawan Kelompok Studi Kedai Pemikiran: Rendi, Aga, Lendi,

Nurman, Andika, yang telah bersama-sama mengkaji masalah

keIndonesiaan, termasuk pers dan membantu melengkapi referensi. Tetap

jalan, kawan. Ilmu untuk kemanusiaan!!.

14. Teman berbincang yang memberi kesan dengan segala warnanya: Hasan

sang pegandrung Semar, Riski si Aneuk Nangroe, Achmad Zaki dosen

muda yang menjadi teman diskusi tentang sastra, media, dan banyak hal.

15. Nabila ‘habiba’ al-Aidrus, ‘alarm’ terindah yang selalu mengingatkan

bahwa skripsi ini harus cepat selesai. Semoga segalanya indah pada

waktunya.

Semoga segala kebaikan terbalaskan. Sebagai sebuah skripsi yang beradu

cepat dengan waktu di sela kesibukan lain yang menghimpit, tentu karya

ini jauh dari sempurna. Namun semoga dapat bermanfaat bagi yang

membacanya.

Jakarta 15 Juni 2011

R.M. Joko Prawoto Mulyadi

vi

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN.......................................................................... i

DAFTAR RIWAYAT HIDUP..................................................................... ii

ABSTRAK..................................................................................................... iii

KATA PENGANTAR.................................................................................. iv

DAFTAR ISI.................................................................................................. vi

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah........................................................................ 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah............................................................. 6

C. Tujuan Penelitian.................................................................................. 7

D. Tinjauan Pustaka.................................................................................. 7

E. Metode Penelitian................................................................................ 10

F. Sistematika Penulisan.......................................................................... 11

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Pengertian Nasion dan Nasionalisme..................................................... 13

B. Peran Pers sebagai Kontra Opini Kolonial............................................. 24

C. Nasionalisme dalam Pers....................................................................... 30

BAB III. NASIONALISME YANG LAHIR DARI PERS

A. Geliat Pers di Hindia Belanda............................................................... 41

B. Medan Prijaji, Pers yang Berpolitik..................................................... 49

C. R.M Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Kebangsaan................................. 58

vii

BAB IV. NASIONALISME CETAK, PERLAWANAN PERS TERHADAP

PENJAJAHAN KOLONIALISME

A. Linguafranca sebagai Identitas Bangsa.................................................... 65

B. Kritisisme Medan Prijaji Terhadap Penguasa......................................... 70

C. Sentimen Kebangsaan Medan Prijaji: “Bangsa Jang Terprentah” dan

“Bangsa Jang Memrentah”....................................................................... 74

D. Pengaruh Medan Prijaji Terhadap Kemunculan Kaum Nasionalis

Revolusioner............................................................................................. 83

BAB V. KESIMPULAN..................................................................................... 86

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesadaran kebangsaan atau yang lebih akrab di telinga dengan istilah

„nasionalisme‟, merupakan tema perbincangan yang nyaris tak lekang digerogoti

usia. Sepertinya, hal tersebut akan terus dan terus diperbincangkan selama negeri

ini masih memiliki penghuni. Tema ini menjadi penting dan oleh karenanya selalu

up to date dikarenakan sifatnya yang merupakan bagian dari pembahasan jatidiri

bangsa, di mana di dalamnya terdapat temali cerita mengenai proses terbentuknya

sebuah bangsa. Bahkan dalam gaya yang agak hiperbolis namun saya pikir benar,

Hobsbawm menggambarkan bahwa sejarah manusia di planet Bumi ini tidak akan

dapat dipahami tanpa terlebih dahulu memahami istilah „bangsa‟ dan kosakata

yang berasal darinya, tentu termasuk di dalamnya „nasional‟ dan „nasionalisme‟

dalam segala bentuk dan polemik pembahasannya.1

Di samping itu pula, apa yang kita sebut dengan „nasionalisme‟ ini seolah

merupakan bahan bakar bagi lajunya sebuah bahtera besar bernama bangsa

dengan sekumpulan manusia yang bermula dari komunitas etni sebagai

penumpangnya. Dan bahan bakar itu harus terus menyala kobar mengepul demi

lajunya bahtera mengarungi luas samudera menuju satu pulau bernama

kemerdekaan sebagaimana bahtera itu ditujukan sejak awal.

1 E. J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI (Yogyakarta: Tiara Wacana,1992)

h.1

2

Namun demikian, apakah semua awak mengenali apa kiranya bahan bakar

yang bernama „nasionalisme‟ itu? Rasa-rasanya tidak semua dari mereka

memahaminya, tidak semua dari para penumpang bahtera bernama bangsa itu tahu

dari mana gerangan asal muasal diperolehnya bahan bakar „nasionalisme‟ itu.

Atau bahkan, jangan-jangan tidak semua dari penumpang itu tahu bagaimana

rupa-rupanya wujud daripada bahan bakar bernama „nasionalisme‟ tersebut.

Darimana ia digali atau dari rahim mana ia dilahirkan. Ini juga berarti bahwa apa

yang kita sebut sebagai para awak „bangsa‟ itu tidak mengenal betul dirinya sebab

„nasionalisme‟ atau kesadaran kebangsaan sejatinya merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari diri suatu bangsa, sebagaimana seseorang tak berjarak dengan

perasaannya.

Mengenai hal ini, saya teringat betapa dahulu di sekolah dasar hingga

sampai pada tingkat menengah atas, pelajaran sejarah memberi informasi

mengenai darimana datangnya kesadaran kebangsaan. Dan sepertinya, antara kita

tak jauh berbeda, sebab kita dibentuk di dalam suatu sistem pendidikan yang

sama, oleh rejim yang juga sama. Dari sana saya beroleh suatu pengetahuan

bahwa nasionalisme atau kesadaran kebangsaan itu dilahirkan oleh suatu

momentum besar. Sebuah momentum bernama Kebangkitan Nasional. Kita tahu,

bahwa konsekuensi dari menyebut dua kata „kebangkitan‟ dan „nasional‟ adalah

memunculkan dua kata yang tampaknya tak mau jauh-jauh dari momen itu,

„Boedi Oetomo‟. Mengapa demikian? Entah! Sebab kita terlanjur diajarkan

demikian. Kita terlanjur diajarkan bahwa rahim yang melahirkan momen

3

kebangkitan bangsa adalah organisasi modern yang lokomotifnya adalah Boedi

Oetomo.2

Tentang anggapan ini, pada mulanya sebagaimana pelajar lainnya, saya

hanya ikut saja. Sebab yang saya baca dan dengar pada umumnya memang

demikian. Pun dengan segala bacaan yang ada pada waktu itu. Sampai suatu

ketika saya bertemu dengan sebuah buku berjudul „Sang Pemula’ yang ditulis

oleh Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan beraliran realis yang banyak

menulis karya sastra historis. Meski dengan segala kerendahan hatinya Bung Pram

menyebut bahwa karyanya tersebut bukanlah karya ilmiah sejarah, namun para

sejarawan mengapresiasinya sebagai sebuah karya sejarah yang patut

diperhitungkan. Bahkan sejarawan besar sekelas Denys Lombard dalam

membahas sejarah masyarakat miskin Blora, merekomendasikan para pembaca

untuk juga merujuk karya Pramoedya „Cerita dari Blora’ untuk dapat menangkap

suasana Blora dengan kemiskinan yang meliputinya.3

Di dalam buku yang dilarang penguasa Orde Baru itu, saya mendapatkan

suatu informasi berharga yang membawa saya dalam perasaan senang sekaligus

terheran-heran sebab info semisal itu tak pernah saya dapati pada buku-buku

sejarah yang saya baca sebelumnya (tentunya versi Orde Baru). Satu dari sekian

banyak informasi berharga itu menyangkut kebangitan nasional atau cikal bakal

kebangkitan kesadaran kebangsaan. Uniknya, Bung Pram tidak hanya melihat sisi

kebangkitan tersebut dari faktor organisasi modern (yang juga berbeda dari versi

penguasa), tapi juga melihatnya dari aspek media, dalam hal ini pers. Alhasil,

2 Bambang E. Budhyono, Menggugat Boedi Oetomo dalam Indonesia Newsnet vol.1.

No.1, h. 17

3 Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Jogjakarta:Tiara Wacana, 2008) h. 29

4

dalam karya tersebut ia menggambarkan betapa pers, termasuk di dalamnya

Medan Prijaji, memainkan peran penting dalam membakar kesadaran kebangsaan

terutama bagi kalangan terpelajar.4

Namun demikian, kendati buku tersebut sudah dengan leluasa beredar dan

banyak dibaca kalangan akademisi, dan banyak pula menyusul karya senafas,

pembahasan seputar pers dan nasionalisme masih bernasib tak berbeda. Masih

menjadi topik yang kerap dilewatkan begitu saja, atau bahkan dilupakan. Mungkin

anggapan bahwa keberadaan pers kurang begitu mendapat perhatian akibat

ketidakpahaman akan betapa pentingnya instrumen yang satu ini menjadi sah

ketika ditujukan pada mereka yang awam. Tapi menjadi agak rancu dan amat

disayangkan ketika insan akademis pun masih belum membuka mata mengenai

hal ini. Berkenaan dengan masih belum ramainya jalan tersebut maka saya

memutuskan mengangkat tema penting ini untuk dituliskan.

Dalam skripsi ini, saya akan mencoba menuliskan betapa pers memainkan

peranan penting dalam proses penyemaian bibit kesadaran kebangsaan. Masalah

ini saya angkat dengan mengambil latar masa kolonial dengan Medan Prijaji

sebagai pers pada zaman tersebut. Ini saya lakukan bukan tanpa alasan. Pertama,

mengapa masa kolonial, sebab ini akan membantu kita untuk menemukan akar

genealogis proses lahirnya kesadaran kebangsaan. Kedua, mengapa pers, sebab

selama ini ketika berbicara masalah kebangkitan kesadaran kebangsaan, fokus

pembicaraan selalu ditujukan pada satu nama, Boedi Oetomo. Pandangan tersebut

seolah memberi kesan bahwa organisasi modern yang masih berwatak Jawa

4 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula (Jakarta: Hasta Mitra,1985) h. 68 dan 146

5

Sentris tersebut adalah satu-satunya pemberi sumbangsih atas bangkitnya

kesadaran kebangsaan.

Meskipun belakangan banyak lahir pandangan berbeda perihal siapa bidan

yang membantu proses lahirnya kesadaran kebangsaan semisal tesis yang diajukan

M.C. Ricklefs bahwa tonggak kebangkitan nasional bukanlah Boedi Oetomo,

melainkan PNI (Partai Nasional Indonesia) yang didirikan pada 4 Juli 1927 oleh

Bung Karno.5 Pendapat lain lagi datang dari Ahmad Syafii Maarif. Beliau seolah

berupaya mencarikan jalan tengah perihal momen kelahiran kebangkitan nasional

atau kesadaran kebangsaan. Jalan tengah itu adalah dengan mengusung hari

Sumpah Pemuda.6 Ini tentu bari sebagian pandangan, sebab ada berbagai pendapat

lain yang akan lahir berdasar pada latar cara pandang golongan atau orang yang

memberi pandangan. Kelompok Islam sentris misalnya pasti akan mengusung

Sarekat Islam sebagai tonggak kebangkitan nasional. Mengenai hal ini akan saya

bahas pada bab II dari karya tulis ini dalam bagian nasionalisme. Termasuk pada

bagian itu pula saya akan jelaskan mengapa pada bagian-bagian awal saya

memberi tanda kutip pada kata nasionalisme.

Namun demikian, bersamaan dengan beragamnya pandangan tersebut di

atas, agaknya peran pers tetap tak mendapat perhatian, atau bahkan tak begitu

dianggap keberadaannya. Padahal sejatinya daya tohok sebuah berita bisa

merogoh jantung penguasa. Sebagaimana digambarkan dalam terbitan Pertja

Selatan, sebuah suratkabar yang pada generasi setelah Medan Prijaji melakukan

5 M.C. Ricklefs, Kebangkitan Nasional dan Kebangkitan Nasionalisme dalam Jurnal

MAARIF vol.3. No. 2 edisi Mei 2008, h.4

6 Ahmad Syafii Maarif, Jelang 80 Tahun Kebangkitan Nasional dalam Jurnal MAARIF

vol.3. No. 2 edisi Mei 2008, h.11

6

perlawanan terhadap kolonialisme, bahwa ”journalist ada satoe toekang

gembreng, satoe censor, satoe adviseur, satoe regert dari keradjaan, satoe

pendjaga dari kebangsaan. Soerat kabar jang mardika ada lebih ditakoetin

daripada seriboe bajonet jang tadjem.”7 Pun demikian halnya dengan Medan

Prijaji, surat kabar pribumi pertama dengan kesadaran politik yang dibidani oleh

R.M. Tirtoadhisoerjo ini benar-benar seperti lambangnya, seorang ksatria

memanah. Medan Prijaji ibarat busur yang melejitkan anak panah pemikiran kritis

ke arah jantung „bangsa jang memrentah‟ dan kroni-kroninya hingga mereka

muntah darah.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Pembahasan seputar kesadaran kebangsaan atau nasionalisme merupakan

tema yang sangat luas dan dapat didekati dari berbagai sisi, demikian pula halnya

dengan tema seputar pers yang dapat diamati dari berbagai sudut. Terlebih ketika

keduanya disandingkan menjadi pasangan tema dalam sebuah karya tulis ilmiah,

tak terbayangkan betapa berlimpahnya aspek yang dapat disajikan.

Namun demikian, dengan segala keterbatasan yang menyelimuti saya

sebagai seorang mahasiswa program sarjana strata satu, dan untuk memudahkan

saya dalam menggembala sekawanan ide liar di tengah luasnya tema tersebut,

maka dalam skripisi ini, saya mencoba membatasi masalah pada kesadaran

kebangsaan atau nasionalisme Indonesia (pada masa itu istilah „Indonesia‟ sendiri

belum lahir) yang kesadaran awalnya dibangkitkan oleh pers bumiputera bernama

7 Basilus Triharyanto, Pers Perlawanan; Politik Anti Kolonialisme Pertja Selatan

(Yogyakarta: LKIS, 2009) h. xvi

7

Medan Prijaji. Dan untuk mempermudah, maka saya merumuskannya ke dalam

format pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah gagasan kesadaran kebangsaan terdapat dalam Medan

Prijaji?

2. Bagaimana kesadaran kebangsaan ditemukan dalam Medan Prijaji?

C. Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini ditujukan untuk memperkaya sudut pandang

mengenai proses kelahiran kesadaran kebangsaan atau momen

kebangkitan nasional yang selama ini didominasi oleh perspektif

gerakan organisasi moderen-sentris.

2. Penulis berharap hasil penelitian ini berguna bagi peminat studi

yang berkenaan dengan tema penelitian dan menambah referensi

mengingat terbatasnya referensi seputar tema penelitian ini.

D. Tinjauan Pustaka

Studi atau penelitian tentang bagaimana pers memainkan peran aktif dalam

upaya menyemai bibit kesadaran kebangsaan memang belum seramai tema

lainnya. Terlebih di Indonesia, penelitian yang memfokuskan diri pada

bagaimana peran pers dalam menanamkan dan sekaligus menyulut kesadaran

kebangsaan belum banyak dijumpai. Mengenai keterbatasan ini, saya alami

langsung dari betapa sulitnya mencari literatur berkenaan dengan tema

tersebut. Beruntung saya bertemu dengan karya Pramoedya Ananta Toer,

„Sang Pemula’ yang pada akhirnya membawa saya jauh masuk pada studi ini.

8

Karya ini terbilang kuat sebab ia menyandarkan analisisnya pada sumber

primer. Di dalamnya, sang penulis mencoba menuturkan sepak terjang Medan

Prijaji dengan merekam jejak langkah sang empunya, R.M. Tirtoadhosoerjo

yang pada saat kesadaran politiknya menjadi matang maka ia menjadikan

terbitannya sebagai pers yang berpolitik.

Karya lain yang juga komprehensif dan memiliki cakupan lebih luas

datang dari negeri Jiran. Sebuah buku yang sejatinya merupakan desertasi

doktoral Ahmat Adam berjudul „Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan

Kesadaran Keindonesiaan‟ juga memberikan gambaran jelas bagaimana

perjalanan panjang pers di Hindia Belanda, dari mulai berada di tangan bangsa

Eropa, Tionghoa, hingga berada total dalam genggaman bumiputera yang pada

gilirannya memainkan peran sebagai motor gerakan penyadaran kesadaran

kebangsaan. Bakan dalam karya ini, Adam juga memberi suatu gambaran

betapa kesadaran kebangsaan kita juga muncul, salah satunya akibat dari

memanasnya kesadaran kebangsaan warga Tionghoa di tanah Nusantara.8

Adapun karya terkini berkenaan dengan karya seputar Medan Prijaji dan

Tirtoadhisoerjo adalah beberapa karya yang merupakan buah kerja keras

kawan-kawan peneliti muda di Yogyakarta di bawah koordinasi Muhidin M

Dahlan. Karya semisal Tanah Air Bahasa, memang hanya menampilkan

sepintas lalau profil Medan Prijaji dan Tirtoadhisoerjo, namun format yang

selayang pandang itu bukan berarti bahwa buku yang merupakan kumpulan

artikel ini miskin data. Hanya saja memang karya yang memuat kumpulan esai

8 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran KeIndonesiaan ( Jakarta:

Hasta Mitra, 2003) h. 209

9

singkat tersebut tak cukup memadai bagi kita yang ingin menyelam lebih

dalam. Karya lain yang menurut saya luarbiasa adalah sebuah buku berjudul

„Karya-Karya Lengkap Tirtoadhisoerjo; Pers Pergerakan dan Kebangsaan‟

yang merupakan hasil penyusunan ulang karya-karya Tirtoadhisoerjo baik

yang termuat dalam Medan Prijaji maupun terbitan lain. Kendati merupakan

kompilasi karya yang disusun dan ditulis ulang, namun apa yang dilakukan

penyusunnya, Iswara N Raditya, merupakan suatu yang meletihkan. Selain itu,

karya ini layak diapresiasi sebab membantu memudahkan kita yang ingin

meneliti seputar Medan Prijaji, Tirtoadhisoerjo, suratkabar lainnya atau yang

berkenaan dengan itu tanpa harus bergulat dengan sulitnya mencari naskah

asli yang sulit ditemukan.

Namun demikian, karya-karya tersebut umumnya merupakan karya

sejarah yang disajikan selayaknya karya historis. „Sang Pemula’ misalnya,

lebih menyoroti pada tokoh Tirtoadhisoerjo dalam berbagai aspek

kehidupannya, salah satunya di bidang pers. Meskipun dalam buku yang lebih

nampak sebagai sebuah biografi ini termuat pula karya fiksi dan non-fiksi dari

Tirtoadhisoerjo yang dimuat dalam terbitan-terbitan, namun Pramoedya

Ananta Toer tidak fokus pada pembahasan seputar Medan Prijaji saja.9 Karya

lain semisal „Karya-Karya Lengkap Tirtoadhisoerjo; Pers Pergerakan dan

Kebangsaan‟ yang ditulis Iswara N Raditya pun bernafas sama, sejarah.

Sejatinya, karya ini lebih merupakan sebuah upaya penyelamatan naskah

9 Dalam Sang Pemula, khususnya pada bagian yang menerangkan kiprah Tirtoadhisoerjo

di bidang pers, Pramoedya tidak terfokus hanya pada Medan Prijaji, namun lebih kepada

menyoroti jejak langkah Tirtoadhisoerjo sebagai seorang jurnalis di beberapa media semisal

Pemberita Betawi yang di kepalai oleh seorang hoofdredactuur atau pemimpin redaksi asing,

hingga akhirnya ia memiliki terbitannya sendiri. Lih. Pramoedya ananta Toer. Sang Pemula.

Bagian I. Bab II (Jakarta: Hasta Mitra, 1985)

10

bersejarah yang disusun ulang ke dalam format buku. Dan karenanya kita

tidak bisa menuntut banyak tentang analisis seputar peran politik Medan

Prijaji di dalamnya. Kemudian karya Ahmat Adam „Sejarah Awal Pers dan

Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan‟ pun lebih fokus pada sudut pandang

historis, meskipun sebagai sebuah karya desertasi doktoral tentunya

menyiratkan banyak analisis. Karya-karya lain yang bertebaran seputar sejarah

pers pergerakan pun hanya memuat sepintas lalu tentang Medan Prijaji dan

kiprahnya. Ini membuat saya tertantang untuk menuliskan sebuah karya utuh

yang membahas peran Medan Prijaji dalam melawan laku kesewenangan dari

penguasa. Dan sebuah motivasi datang dari karya Basilus Triharyanto „Pers

Perlawanan‟ yang membahas secara utuh sepak terjang koran Pertja Selatan

di Palembang dalam menghadapi kolonialisme. Hingga akhirnya saya semakin

yakin dan optimis bahwa penulisan tentang kiprah Medan Prijaji dalam

menumbuhkan rasa kebangsaan ini harus terwujud.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian untuk kepentingan penulisan karya tulis ilmiah atau

skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif berbasis pada

kepustakaan dengan pendekatan deskriptif analitik, yakni dengan memberi

pemaparan umum menyengkut nasionalisme serta analisis lebih fokus pada

Suratkabar Medan Prijaji. Dan sebagai faktor penting dari proses penelitian

tersebut, tentu diperlukan data yang saya peroleh dari dua tipe data, yakni primer

11

dan sekunder.10

Data primer merupakan data yang saya peroleh berupa terbitan

Medan Prijaji tahun ke III. 1909. Sedangkan data sekunder merupakan data

pendukung yang saya ambil dari berbagai sumber semisal buku, jurnal, majalah,

koran, video yang berisi wawancara ataupun sumber lain yang berkaitan dengan

topik penelitian.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari beberapa bagian. Bab I. Merupakan bab

awal yang membahas tentang latar belakang masalah yang diteliti, batasan dan

rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka, serta

sistematika penulisan. Sedangkan pada bab berikutnya, bab II, memuat bahasan

seputar landasan teori yang menjelaskan mengenai apa itu pers, bagaimana peran

pers dalam membangun opini publik, apa itu nasionalisme, dan akhirnya

bagaimana gambaran nasionalisme dalam pers yang banyak merujuk pada

Benedict Anderson.

Pada bagian selanjutnya, yakni bab III, akan memuat mengenai latar

historis yang menjelaskan cikal bakal kelahiran nasionalisme yang dibidani oleh

pers dengan menggambarkan geliat pers di nusantara beserta coraknya masing-

masing, dari yang komersil sampai ideologis, dari yang agamis, kesukuan, hingga

berwatak nasional. Pada bab ini pula dimuat sosok Tirtoadhisoerjo, sang pelopor

pers kebangsaan yang tak bisa dilepaskan dari pembahasan. Dan pada bab IV akan

ditampilkan bagaimana Medan Prijaji memainkan peran dalam menumbuhkan

sentimen kebangsaan. Pada bab ini termuat betapa Medan Prijaji memuat artikel-

10 Tim Penyusun Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2008-2009 (Jakarta: Biro Akademik dan Kemahasiswaan UIN, 2009) h.466.

12

artikel tajam yang menyerang laku semena-mena penguasa, istilah “bangsa jang

memerentah” dan “bangsa jang terprentah” sebagai penegasan identitas nasional

sebuah bangsa, lingua franca sebagai bahasa operasional pers dan identitas

bangsa, serta akhirnya bagaimana Medan Prijaji memberi pengaruh terhadap

kemunculan kaum nasionalis revolusioner. Terakhir, bab V merupakan bagian

penutup yang memuat kesimpulan dan saran, serta daftar pustaka.

13

BAB II

LANDASAN TEORI

Studi nasionalisme memiliki keunikan dan kerumitannya sendiri. Oleh

karenanya, banyak disiplin ilmu lain yang kerap „turun tangan‟ dalam membahas

tema ini. Sebut saja pendekatan pscakolonial yang di dalamnya juga didapati

beragam analisis seperti linguistik, semiotik dan pers. Pada bagian ini saya tidak

akan berkutat pada pendekatan pascakolonial yang menurut beberapa tokohnya

sendiri, problematis. Tetapi saya akan membahas nasionalisme melalui salah satu

aspek pembentuknya saja, pers. Namun demikian, sebelum masuk pada

pembahasan menyangkut pers dan kaitannya dengan nasionalisme, terlebih dahulu

saya akan paparkan sedikit mengenai bangsa dan kebangsaan.

A. Pengertian Nasion dan Nasionalisme

Sebelum masuk pada pembahasan Nasionalisme, maka terlebih dahulu

saya akan berikan sedikit gambaran tentang apa itu bangsa. Sebab ini akan sangat

berkaitan meskipun pada akhirnya tidak tertutup kemungkinan pembahasan

„bangsa‟ terselip di tengah pembahasan nasionalisme. Pembahasan mengenai

bangsa juga menjadi penting sebab mau atau tidak, cepat atau lambat, kita akan

bertemu dengan pembahasan tentang yang mana melahirkan yang mana, apakah

bangsa melahirkan nasionalisme atau sebaliknya, nasionalisme (dalam

kapasitasnya sebagai kesadaran kebangsaan, atau lebih tepatnya nationalitas)

melahirkan bangsa.

Dalam pandangan teoritikus seperti Anthony D Smith, „bangsa‟

merupakan istilah yang paling problematik dan kerap mengundang perdebatan.

14

Mengenai hal ini, Charles Tilly menyebutnya sebagai salah satu hal yang paling

menimbulkan teka-teki dan tendensius dalam kamus politik.1

Upaya

mendefinisikan istilah bangsa memang tak semudah melafalkannya. Berbagai

definisi coba ditawarkan oleh teoritisi mulai dari definisi objektif yang

menekankan aspek bahasa, wilayah, dan sebagainya hingga definisi subjektif yang

lebih menekankan aspek sikap, sentimen dan persepsi.

Definisi objektif dapat kita ambil dari contoh pengertian yang datang dari

Joseph Stalin yang mengatakan bahwa sebuah bangsa terbentuk secara historis

yang merupakan komunitas rakyat stabil yang terbentuk dengan dasar kesamaan

bahasa, wilayah, kehidupan ekonomi, serta keadaan psikologis yang terwujud

dalam budaya bersama. Sedangkan definisi subjektif dapat kita ambil dari

Benedict Anderson yang berpandangan bahwa bangsa adalah suatu komunitas

politik yang dibayangkan.2

Dalam karya berjudul Nationalism a Very Short Introduction, Grosby

menuliskan:

“The nation is a territorial community of nativity...........It differs from

other territorial societies such as a tribe, city-state, or various „ethnic groups‟ not

merely by the greater extent of its territory, but also because of its relatively uniform

culture that provides stability, that is, continuation over time.”3

Meskipun Grosby menengarai definisi tersebut sebagai suatu pengertian yang

agak rumit meskipun pada gilirannya ia memberikan titik cerah bernama

kesadaran kolektif yang mendasari sebuah bangsa. Namun dari kutipan tersebut

1 Anthony D Smith, Nasionalisme: Teori, Ideologi, Sejarah (Jakarta: Erlangga,2002)h. 12

2 Benedict Anderson, Imagined Communities, (Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka

Pelajar, 2008) h. 8 3“Bangsa adalah sebuah komunitas teritorial... ini berbeda dari masyarakat teritorial

lainnya seperti suku, negara kota, atau berbagai kelompok etnik tidak hanya berdasar pada luas

teritori lebih besar, tapi juga karena kebudayaan yang relatif seragam yang memberikan stabilitas,

karenanya, berkelanjutan sepanjang waktu”. lihat Steven Grosby, Nationalism A Very Short

Introduction. (Oxford, 2005) h. 7

15

setidaknya kita memperoleh ilustrasi awal bahwa apa yang disebut bangsa

merupakan suatu yang berbeda dari sekadar suku atau etnik yang berkelompok

dalam sebuah komunitas. ini menjadi penting untuk digarisbawahi meski pada

gilirannya kita akan mendapati betapa sejarah nasionalisme Eropa menjadi

demikian rumit oleh sebab tumpang tindih antara bangsa dan ras.

Dalam sebuah bab mengenai nasionalisme, Lathrop Stoddard menuliskan

bahwa istilah bangsa dan ras kerap digunakan seenaknya dan oleh karenanya

menciptakan kebingungan.4

Ketumpangtindihan ini, dalam pandangan Smith,

merupakan akibat yang tak terhindarkan sebab bangsa dan komunitas lainnya

(seperti etnik atau ras) sama-sama merupakan bagian dari kelompok fenomena

yang sama. Hanya saja bangsa bukan merupakan komunitas etnik oleh karena apa

yang saya sebut terakhir tidak memiliki rujukan politik.5

Namun Smith menggarisbawahi bahwa dalam praktiknya, tidak ada garis

tegas yang membatasi antara bangsa dan komunitas etnik, terlebih jika melihat

pada definisi David Miler yang mengartikan bangsa secara sangat berdekatan

dengan komunitas etnik. Menurutnya, bangsa merupakan suatu komunitas yang

terbentuk dari keyakinan bersama dan komitmen saling menguntungkan, memiliki

latar sejarah, berkarakter aktif, berhubungan dengan wilayah tertentu, dan

dibedakan dari komunitas lain melalui budaya publiknya yang khas.6

Sementara menurut Stoddard, perbedaan antara bangsa dan ras sangatlah

jelas. Bangsa merupakan suatu pengertian yang berlandaskan pada keadaan

psikologis, sebuah gagasan. Sedangkan ras lebih bersifat jasmaniah yang dapat

4 Lathrop Stoddard, Dunia Baru Islam, (Jakarta: Panitia Penerbitan, 1966) h. 138

5 Anthony D Smith, Nasionalisme: Teori, Ideologi, Sejarah h. 14

6 Anthony, Nasionalisme...., h. 15

16

ditentukan oleh ciri fisik.7 Nah, berangkat dari pengertian bangsa tersebut, maka

kita akan sampai pada suatu pemahaman bahwa bangsa dilahirkan oleh sebuah

keadaan jiwa (sate of mind) yang menuntun seseorang atau sekelompok orang

untuk hidup bersama dalam semacam ikatan persaudaraan suci. Rasa kebangsaan

atau kesadaran kebangsaan inilah yang pada akhirnya kita kenal dengan gagasan

kebangsaan atau „nasionalisme‟.

Lantas bagaimana dengan pertanyaan mengapa sekelompok orang yang

sudah memiliki kemapanan identitas sebagai sebuah ras, etnik atau suku yang

merupakan realitas nyata harus membangun ulang identitas baru yang masih

berjarak dengan diri mereka. Identitas bernama bangsa itu saya katakan berjarak

sebab memang ia belum hadir bersama kelompok manusia yang berkumpul di

bawah naungan identitas suku atau etnis tertentu. Dalam bahasa yang juga kerap

dikutip orang, Bennedict Anderson bahkan menyebutnya masih dalam

pembayangan.

Namun tentu bukan sekadar lamunan, melainkan pembayangan yang

mampu melahirkan pentas drama ke “kita” an dengan segala keterikatan yang

menggugah, sekaligus kolosal.8 Tentu istilah bangsa yang lahir dari pembayangan

kembali mengundang perdebatan akibat ragam penafsiran atas istilah tersebut.

Namun pada bab empat kita akan coba membincang hal tersebut, bahwa masih

dalam upaya „pembayangan‟, Tirtoadhisoerjo tidak memetik gagasan kebangsaan

dari langit, namun memungutinya dari bumi.

7 Lathrop, Dunia Baru Islam. h. 138

8 Benedict Anderson, Imagined Communities, h. 11

17

Dan mengenai mengapa sekelompok orang memilih untuk beralih pada

indentitas baru bernama bangsa, tidak lain adalah karena mereka merasa bahwa

identitas lamanya tidak lagi menawarkan sesuatu di tengah dialektika sejarah dan

persentuhan mereka dengan realitas sosial politik yang terus bergulir sejurus

waktu. Dalam kasus Indonesia, kita bisa melihat bahwa pada mulanya bangsa ini

belum ada dan masih merupakan komunitas-komunitas etnik yang terpencar dan

tak terhubung dalam sebuah gulungan pola komunikasi sebagaimana saat ini kita

dapat beroleh informasi tentang apa yang menimpa saudara kita di Jogja dan

daerah lain dalam hitungan detik.

Mengenai hal ini, lebih lanjut akan kita bahas pada bagian berikut di mana

suratkabar memainkan peran melipat jarak dan oleh karenanya sebuah bangsa

memiliki peluang untuk dihadirkan dalam apa yang disebut Anderson dengan

„pembayangan‟. Pun demikian halnya dengan bab empat yang akan mempertajam

pembayangan tersebut melalui teks yang menghadirkan kontradiksi antara bangsa

„jang terprentah‟ dengan bangsa „jang memerentah‟.

Sekali lagi, jawaban atas pertanyaan mengapa sekelompok manusia mau

hidup bersama di bawah naungan baru bernama bangsa juga tak luput dari

pantauan seorang teoritikus Marxis, E. J. Hobsbawm. Dalam catatnnya,

Hobsbawm menggarisbawahi bahwa di antara alasan yang menjadikan sebab

mengapa sekelompok orang mau menjadi Bangsa adalah juga sama sebagaimana

pandangan umum, yakni pada adanya rasa kesamaan pada beberapa aspek semisal

bahasa, kebudayaan, teritori, atau kesukuan.9 Namun sebagaimana juga dirasa

9 E. J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI. (Yogyakarta: Tiara Wacana,

1992) h. 5

18

Hobsbawm, saya melihat bahwa kriteria ini tak selamanya cocok dalam beberapa

hal. Utamanya dalam hal dasar kesukuan. Saya khawatir bahwa aspek ini

memiliki kecenderungan untuk mengantarkan kita pada apa yang disebut Stoddard

sebagai pseudo rasial pada pengalaman Eropa.10

Sedangkan pembahasan mengenai bahasa sebagai salah satu instrumen

bangsa akan kita temukan pada bab empat yang akan menjelaskan peran media

dalam memediasi linguafranca sebagai identitas budaya dan politik sebuah

bangsa sekaligus sarana mengkonstruk realitas baru bernama bangsa itu sendiri di

kepala para pembacanya. Sedangkan aspek lain yang juga perlu mendapat catatan

adalah mengenai wilayah.

Tentu kita sepakat bahwa apa yang kita sebut dengan nasional bukan

hanya melulu manusia sebagai entitas bangsa, melainkan juga wilayah. Namun

patut kiranya dicatat mengenai keberadaan di mana seorang atau kelompok

berdiam di “luar” teritori nasional. Masih mengutip Hobsbawm bahwa

„nasionalitas‟ juga berhak dilekatkan pada seseorang di mana pun ia tinggal.11

Ada sebuah contoh mengenai hal ini dalam sejarah kebangsaan kita. Pada

polemik kebangkitan nasional, kerap kali kita dihadapkan pada perdebatan pelik

yang salah satu nadanya adalah penolakan terhadap mereka yang berada di luar

wilayah Nusantara. Namun pada saat yang sama juga kita tak dapat memungkiri

bahwa apa yang dilakukan sekelompok pelajar atau mahasiswa bumiputera di

negeri Belanda dalam sebuah kelompok bernama Indische Vereeniging atau kelak

10 Lathrop, Dunia Baru Islam, h. 141

11 Hobsbawm, Nasionalisme... h. 7

19

berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia pada 1922, juga memberikan

sumbangan berarti bagi gerakan kesadaran kebangsaan.12

Boleh jadi cara pandang ini juga yang mendasari pemikiran Syafii Maarif

untuk mengatakan bahwa organisasi yang pada gilirannya melahirkan sosok seperi

Hatta, Sjahrir, dan sebagainya ini merupakan salah satu tonggak kebangkitan

nasional.13

Ini sekaligus merupakan suatu contoh betapa keberadaan seorang dari

kelompok bernama bangsa itu bukan menjadi masalah sebagaimana juga

pandangan ini dilontarkan para Marxis Austria.14

Sekarang kita masuk pada pembahasan nasionalisme. Sebagai sebuah

pokok bahasan, nasionalisme memang cukup rumit dan memiliki keunikannya

sendiri. Pembahasannya pun menjadi tidak sesederhana ideologi lain semisal

sosialisme, komunisme, liberalisme, dan sebagainya. Oleh karena

ketidakmudahan mengurai tema ini maka pada bagian awal saya kerap

menggunakan tanda kutip pada kata nasionalisme. Ini memang sengaja saya

lakukan dengan maksud menekankan bahwa hal tersebut masih multi makna dan

akan saya bahas pada bagian ini.

Perdebatan demi perdebatan pasti akan kita jumpai dalam tema ini dan

kalau toh ada kesepakatan mengenai istilah nasionalisme, sebagaimana ditulis

Anthony D Smith, itu mengenai kesamaan pandangan mengenai nasionalisme

sebagai sebuah istilah modern. Sejarah nasionalisme memang tak bisa dilepaskan

dari akar kelahirannya, Eropa. Masih dalam catatan Smith bahwa istilah

12 M.C. Ricklefs, Kebangkitan Nasional dan Kebangkitan Nasionalisme dalam Jurnal

MAARIF vol.3. No.2, edisi Mei 2008, h. 8

13 Ahmad Syafii Maarif, Jelang 80 Tahun Kebangkitan Nasional dalam Jurnal MAARIF

vol.3. No.2, edisi Mei 2008, h. 11

14 Hobsbawm, Nasionalisme... h. 7

20

nasionalisme dalam konteks sosial politik merujuk pada dua nama, yakni filsuf

Jerman Johann Gottfried Herder dan seorang biarawan kontra-revolusioner

Perancis, Uskup Augustin de Barruel. Menurut Smith pada mulanya, sekitar tahun

1836, istilah nasionalisme hadir dalam bahasa Inggris berkenaan dengan doktrin

teologis yang mengatakan bahwa ada bangsa tertentu yang merupakan bangsa

pilihan Tuhan.15

Namun dalam catatan Lathrop Stoddard, alih-alih mengusung rasa

kebangsaan sebagai satu kesatuan entitas bangsa, sejarah nasionalisme Eropa

justeru sarat dengan muatan rasial. Ini tampak dari pemahaman mereka mengenai

nasionalisme atau rasa kebangsaan yang pada umumnya merujuk pada apa yang

disebut Stoddard dengan persamaan dan kesatuan kebudayaan, bahasa, dan

sejarah.16

Namun landasan kesamaan tersebut masih merujuk pada dasar ras

apakah itu Slavia, Latin, Anglosakson, Teuton dan semacamnya. Masih menurut

Stoddard bahwa pada mulanya ide kebangsaan berpangkal pada cara pandang

yang picik dari abad pertengahan yang menyandarkan sebab perbedaan antara

bangsa dengan batasan geografis, feodal, serta perbedaan logat bahasa. Namun

pada paruh pertama dari abad 19 pandangan tersebut kian meluas.

Dengan berkembangnya paham atau gagasan kebangsaan ini, maka

gagasan awal mulai ditinggalkan. Stoddard mencatat bahwa pada masa inilah

nasionalisme hampir-hampir dimaknai meliputi semua yang sedarah seketurunan

oleh ikatan bahasa, budaya, dan sejarah, meskipun mereka sangat berjauhan.17

15 Anthony, Nasionalisme.... h. 6

16

Lathrop, Dunia Baru Islam h. 140

17 Lathrop, Dunia Baru..... h. 140

21

Namun demikian, ini menunjukkan kepada kita bahwa dalam sejarah

nasionalisme Eropa, terjadi tumpang tindih antara kesadaran kebangsaan dengan

semangat kejayaan ras. Ini akan tampak jelas ketika pada akhirnya sejarah

menunjukkan pada kita bahwa nasionalisme Eropa sebagaimana kita bahas tadi

mengalami metamorfosa dan segera menjadi paseudo rasial (meminjam istilah

Stoddard) dengan diusungnya panji-panji “Pan Jermania”, “Pan slavia”, “Pan

Britania”, “Pan Latinia”, dan sebagainya.18

Kendati demikian, sebagaimana telah saya tuliskan di atas, bahwa

permasalahan tumpang tindihnya pemahaman antara nasionalisme dengan

pandangan rasial dapat dihindari ketika kita tidak tumpang tindih dalam

memahami antara bangsa dengan ras. Bahwa yang saya sebut pertama lebih

merupakan suatu yang berdasar pada keadaan psikologis sedangkan yang kedua

adalah keadaan jasmaniah yang ditandai dengan ciri fisik.

Maka berdasar pada pemahaman ini kita akan mendapati bahwa

nasionalisme sejatinya merupakan suatu keadaan jiwa, suatu keyakinan sejumlah

besar manusia untuk bersatu dan hidup bersama sebagai satu kesatuan sebagai

sebuah entitas bangsa.19

Sebuah tawaran mengenai penggunaan istilah nasionalisme datang dari

Anthony D Smith. Melalui definisi yang disodorkan Smith, kita dapat memetik

pandangan yang melihat nasionalisme setidaknya dalam lima sudut. Pertama,

Smith mengajak kita untuk melihat nasionalisme sebagai sebuah proses

pertumbuhan atau pembentukan bangsa. Kedua, ia memandang nasionalisme

18 Lathrop, Dunia Baru ..... h. 141

19

Lathrop, Dunia Baru..... h. 137

22

sebagai sentimen atau kesadaran memiliki bangsa. Ketiga, Smith menyorotinya

sebagai anasir yang memuat peran penting bahasa dan simbolisme bangsa.

Keempat, ia memandangnya sebagai sebuah gerakan sosial politik yang ditujukan

demi bangsa. Dan terakhir, ia mengartikannya sebagai sebuah doktrin dan atau

ideologi bangsa dalam artian umum maupun khusus.

Ada sebuah poin yang mesti digarisbawahi menyangkut pengertian kedua,

yakni sentimen atau kesadaran. Hal ini penting sebab merupakan kata kunci

pembahasan kita sekaligus menjadi alasan mengapa pada bagian awal tuisan ini,

saya menghindar sejak dini dari penggunaan istilah nasionalisme dan kalau toh

terpaksa maka saya menulisnya dalam tanda kutip. Mengenai pengertian kedua

ini, Smith memberi catatan khusus sebab sentimen kebangsaan seseorang tidak

serta merta membuat ia terlibat dalam gerakan nasionalis.20

Agak aneh terdengar

memang, tapi itulah faktanya menurut Smith. Dan secara tidak langsung,

penjelasan ini juga membantu menerangkan mengapa saya memilih istilah

kesadaran kebangsaan atau kita bisa menyebutnya proto nasionalisme. Sebab

istilah nasionalisme lebih cenderung mengarah pada konotasi ideologis yang

mapan dan tersistematisasi dan terlanjur dimaknai sebagai ideologi politik sebuah

partai dan semacamnya.

Kendati demikian, kita tak perlu terlalu dipusingkan dengan istilah tersebut

ketika kita tahu bahwa ada fase di mana kesadaran kebangsaan atau nasionalisme

berjalan pada tahapan-tahapan yang selaras dengan laju sejarah terbentuknya

bangsa. Sebagai kesadaran kebangsaan, kita melihat nasionalisme mula-mula atau

proto nasionalisme tak ubahnya fase penyemaian benih-benih sebuah bangsa

20 Anthony, Nasionalisme.... h. 7

23

sebagaimana dilakukan Tirtoadhisoerjo dengan suratkabarnya, Medan Prijaji.

Berikutnya, nasionalisme berkembang menjadi sebuah semangat gerakan

pembebasan sampai pada upaya pembentukan sebuah negara, dan setelah itu kita

bertemu dengan nasionalisme yang telah bermetamorfosa menjadi ideologi politik

partai dan semacamnya dalam konstelasi politik yang sudah berbeda dengan tahap

awal penyemaian benih-benih tadi.

Melalui ilustrasi tersebut, saya rasa kita tak akan terlilit kepeningan yang

lahir dari istilah nasionalisme. Sebuah tawaran yang datang dari Ben anderson

agaknya akan makin memperjelas mengenai bagaimana semestinya kita

memandang nasionalisme. Dalam pandangan Anderson, kerumitan yang selama

ini terjadi ialah akibat dari pemahaman kita yang terlanjur mencatat Nasionalisme

dengan “N” kapital. Sehingga konsekuensi logisnya, ia akan cenderung dimaknai

sejajar dengan Marxisme atau Liberalisme. Masih menurut Anderson, jika saja

kita melihat nasionalisme dengan “n” kecil, maka hal itu tidak akan teradi dan

oleh karenanya tak akan ada kerumitan. Ini juga sekaligus mengantarkan kita

untuk meletakkan nasionalisme menjadi sesuatu yang berbagi ruang dengan

agama atau kekerabatan, bukan dengan Isme-isme lain.21

Pengertian yang

ditawarkan Anderson ini akan membantu kita dalam melihat nasionalisme dalam

kaitannya dengan proses awal, yakni penyemaian benih kesadaran kebangsaan

yang dimainkan salah satunya oleh media, dalam hal ini Medan Prijaji.

Setelah jernih dengan penjelasan di atas, saya akan kembali mengajak kita

semua untuk bersentuhan dengan Smith. ia mencatat bahwa ada yang disebut

dengan definisi kerja nasionalisme yang diartikan sebagai suatu gerakan ideologis

21 Benedict Anderson, Imagined Communities, h.8

24

guna mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas sebuah

kelompok dengan sejumlah anggota yang memiliki kebulatan tekad untuk

membentuk bangsa.22

Ia juga mencatat bahwa di negara-negara pascakolonial di

kawasan Afrika dan Asia, tentu negara kita termasuk di dalamnya, nasionalisme

tidak berhenti atau terbatas hanya pada sasaran politik, tapi juga menyangkut

identitas nasional terutama berkenaan dengan masalah budaya.

Ia menambahkan bahwa setiap nasionalisme mengejar sasaran identitas

nasional ini dalam tingkatan berbeda-beda, namun akan kembali pada ideal

bangsa tersebut.23

Dalam kasus Indonesia, pembahasan-pembahasan lanjut akan

mengantarkan pembaca untuk sampai pada apa sebenarnya ideal daripada Bangsa

yang juga sekaligus menjelaskan pada kita watak nasionalisme kita. Dan tentunya,

bagaimana kesadaran kebangsaan itu disemai melalui peran penting surat kabar

yang tak hanya menjadi kontra opini penguasa, tapi juga mengkonstruksi gagasan

bangsa.

B. Peran Pers sebagai Kontra Opini Kolonial

Dalam kajian sosiologi politik dan atau komunikasi politik, kita akan

bertemu dengan pembahasan seputar bagaimana pers memainkan peran dalam

mengkonstruk opini publik. Namun demikian, terlebih dahulu kita akan sepakati

bahwa apa yang kita sebut dengan pers adalah media yang dicetak. Istilah ini

dapat kita tarik dari dua akar bahasa, yakni Belanda dan Inggris. Dalam bahasa

Inggris kita kerap menemuinya dalam kata „Press‟ sedangkan dalam bahasa

Belanda pers ditulis apa adanya dengan „pers‟. Namun keduanya memiliki arti

22 Anthony, Nasionalisme..... h. 11

23

Anthony , Nasionalisme..... h. 12

25

yang sama, yakni media yang dicetak dengan cara dipres atau ditekan. Tentu

istilah dengan definisi ini akan mengantarkan kita pada betapa sempitnya ruang

makna pers mengingat kemajuan teknologi mutakhir.

Benar bahwa pada gilirannya, pemaknaan pers tidak dibatasi hanya pada

lingkup media cetak saja, namun termasuk di dalamnya media lain semisal radio,

televisi, dan media online. Mengenai pengertian yang mengalami perluasan

makna ini kita dapat mengambil perumpamaan dari kegiatan “Press Conference”

di mana yang hadir bukan hanya para jurnalis cetak melainkan juga radio, televisi,

atau dunia maya.24

Namun demikian berkenaan dengan pembahasan kita

mengenai suratkabar, maka apa yang saya maksudkan dengan pers di sini tak lain

adalah dalam pengertiannya yang semula, media cetak. Dalam keterbatasan ruang

ini, saya juga tidak akan mengajak kita semua untuk masuk pada perdebatan

istilah yang tak jauh dari pers, yakni publisistik dan jurnalistik, sebab pada

akhirnya kesemuanya itu bermuara pada suatu proses pengemasan dan

pendistribusian informasi kepada orang banyak.

Oleh karena perannya sebagai pengawal opini publik, maka pers memiliki

peran penting yang juga sekaligus merupakan tanggung jawab moral yang dipikul

di pundaknya. Dalam pandangan Magnis Suseno misalnya, dikatakan bahwa salah

satu peran pers adalah mengawal kehidupan publik. Yakni dengan cara

menyediakan terus menerus informasi kepada masyarakat banyak yang tidak

hanya berupa apa yang ada, rekaman atas realitas objektif, tapi juga yang

seharusnya, pengetahuan tentang bagaimana cara pemecahan masalah yang

24 Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik: Pendekatan Teori dan Praktik (Jakarta: Logos,

1999) h. 26

26

melingkupi realitas tersebut. Masih meminjam cara pandang Magnis, bahwa

dalam kaitannya dengan alam kehidupan kolonialisme dan feodalisme, pers tidak

hanya menjadi satu dari sekian penggali makam Kolonialisme, tapi juga

mengubur feodalisme atau dalam istilah Magnis „feodalisme tradisional‟. Sebab

feodalisme dapat tetap bertahan hidup dikarenakan tersumbatnya akal pikiran

rakyat dari realitas objektif dan gagasan-gagasan pembaharuan.25

Masih menurut Romo yang juga profesor filsafat ini, ia melihat bahwa

dalam menjalankan misinya yang mulia itu, maka pers harus dibekali dengan etika

pers yang di dalamnya termuat setidaknya tiga aspek seperti tanggung jawab

dalam menyajikan informasi, mengemukakan penilaian, dan sebagai pasar ide

bagi seluruh masyarakat. Singkatnya, pers wajib untuk selalu menyajikan

kebenaran seutuhnya sebagai sebuah kebenaran sebenar-benarnya.26

Meskipun

jika kita menyelam lebih dalam lagi, kita akan bertanya-tanya perihal

ketelanjangan kebenaran dalam pers terkait dengan “Man behind the gun” baik

dalam domain ideologis maupun ekonomi. Tentu kita tidak akan berpanjang lebar

dalam pembahasan cara pandang ekonomi politik dalam menganalisa proses

produksi sebuah berita. Namun patut digarisbawahi bahwa proses terbitnya

suratkabar tidak hanya selesai di ruang rapat redaksi sebagaimana diyakini analisa

organisasional, tapi ada beberapa hal yang patut diperhatikan semisal tangan-

tangan gaib yang mengatur suratkabar dari balik tirai modal.27

Faktor ini juga yang pada gilirannya menentukan cara berpikir suratkabar

yang bersangkutan atau dalam bahasa teknis kerap disebut dengan „framing‟ yang

25 Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral (Jakarta: Gramedia, 1988) h. 120

26

Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, h.122

27Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana (Yogjakarta: LKIS, 2006) h.3-6

27

akan menggambarkan pijakan ideologis media tersebut. Hal ini menjadi penting

diingat meskipun pada gilirannya kita akan disuguhi dengan mitos bernama cover

both side yang mencitrakan seolah-olah suratkabar merupakan zona netral

kepentingan. Ini menjadi agak kontradiktif mengingat apa peran framing

sesungguhnya. Dan mengenai hal ini, ada pendapat menarik yang saya rasa masuk

akal, terlebih ketika kita membawanya pada konteks era kolonialisme. Pendapat

ini datang dari Njoto dalam bukunya Pers dan Massa, redaktur suratkabar Harian

Rakjat yang juga seniman ini mengatakan bahwa mustahil bagi suratkabar untuk

bersikap netral atau tidak berpihak pada suatu golongan terlebih di zaman di mana

pada saat itu penindasan dan penghisapan terjadi.28

Tentu ini juga menyangkut

pembentukan opini publik yang diarahkan untuk kepentingan apa dan siapa.

Menjadi penting untuk diperhatikan bahwa pers memainkan peran dalam

membentuk pendapat umum. Sebab hal ini bukan hanya berkenaan dengan sistem

komunikasi an sich, tapi lebih dari itu, berpengaruh pada tatanan politik. Di

negara-negara totaliter seperti Sovyet dan Jerman pada rezim Nazi misalnya, arus

media massa diawasi demikian ketatnya sebab informasi yang hilir mudik di

antara kepala rakyat harus „dikawal‟ demi menjaga stabilitas kekuasaan. Di

Jerman, di bawah rezim Nazi, ada suatu ketika di mana media massa mendapat

pengawasan yang luar biasa ketat, hingga suratkabar menerima arahan pada tiap

hari, mengenai apa yang harus mereka muat dan bagaimana mengemasnya.

Bahkan seorang editor harus dipastikan loyal pada kekuasaan, dan jika tidak,

maka suratkabar itu akan mendapat tekanan atau penggantian staf. Namun

demikian, kendati pola sistem komunikasi yang dikawal ketat ini mampu juga

28 Basilius Triharyanto, Pers Perlawanan; Politik Anti Kolonialisme.....hal. 8

28

mengawal opini publik, khususnya menyangkut penguasa, namun pengamat

seperti William Shirer menyebutnya sebagai suatu penyajian dalam bentuk

pemalsuan dan pemutarbalikan kenyataan selama bertahun-tahun yang melahirkan

kesan tertentu dalam pikiran orang tentang „kebenaran‟ versi penguasa yang pada

akhirnya, menyesatkan. 29

Menurut Rush dan Althoff, setidaknya ada dua faktor yang mempengaruhi

pendapat umum: pertama, jumlah perlawanan untuk mengubah. Kedua, evaluasi

sumber informasi. Mengenai kaitan hal ini dengan konteks yang penulis angkat

sebagai tema kita kali ini, akan terlihat betapa pendapat umum seolah menjadi

ruang tanding, arena perebutan pengaruh antara penguasa dengan elemen

perlawanan, yakni kolonial dengan rakyat terjajah.

Saya katakan demikian, sebab suratkabar yang beredar selalu dicengkeram

penguasa kolonial dengan aturan-aturan hukum seperti pengawasan oleh

plaatselijk Bestuur, Officier Van Justitie, Algemeene Secretarie, dan Komissi

Batjaan, hingga menggunakan tangan kuasa politik yang memata-matai

sebagaimana dilakukan oleh Adviseur Voor Indlandsche Zaken, yakni Penasihat

urusan pribumi yang hakikatnya adalah intelijen Kolonial.30

Dalam hal ini

penjajah kolonial, untuk mengedarkan „kebenaran‟ versi mereka yang pada

gilirannya harus dipercayai sebagai „kebenaran‟ tunggal bahwa tidak ada yang

salah mengenai bumi Nusantara yang sedang berada di bawah pendudukan

kolonial. Dan sebagai counter-opinion maka bertumbuhanlah suratkabar

29 Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: C.V. Rajawali,

1986) h. 270-271

30 Hilmar Farid, Kolonialisme dan Budaya dalam Jurnal Prisma 10 Oktober 1991

(Jakarta: LP3ES, 1991) h. 27, 32-33

29

berkesadaran yang di antaranya adalah Medan Prijaji, yang melek dengan

keadaan tersebut dan mencoba mengidentifikasi bahwa terdapat kesalahan pada

„kebenaran‟ itu. Ini terjadi sebab dalam pandangan kaum pergerakan, produksi

sumber bacaan semisal surat kabar adalah hal yang tidak terpisahkan dari

pergerakan itu sendiri. Surat kabar adalah corong bagi opini orang atau golongan

pergerakan yang dibagikan kepada khalayak luas agar tersiar kabar bahwa

keadaan telah berubah menjadi lebih buruk, yakni menyangkut penghisapan yang

kian menjadi-jadi.31

Namun demikian, tentu sebagaimana juga terjadi pada negara totaliter,

pemerintah kolonial tidak tinggal diam dan segera melakukan upaya

membungkam lisan pers yang melahirkan pendapat umum yang berbeda dari yang

mereka ciptakan. Ini dilakukan dengan berbagai cara mulai dari upaya hukum

persreglement dengan persdelict-nya, hingga stigma „Bacaan Liar‟ terhadap

media massa yang mencoba melahirkan opini tandingan. Ini menjadi lumrah

dalam perspektif logika kekuasaan sebab timbulnya suratkabar memungkinkan

akses lebih luas bagi rakyat terjajah untuk memperoleh dan menciptakan wacana

yang sebelumnya dikuasai segelintir orang saja.32

Mungkin kemampuan

suratkabar dalam memproduksi opini publik yang pada akhirnya bertendens pada

pendapat umum yang melahirkan kesadaran melawan ini yang membuat orang

segagah Napoleon harus mengatakan betapa ia lebih takut menghadapi tiga surat

kabar ketimbang seribu bayonet.33

31 Razif, Bacaan Liar; Budaya dan Politik Pada Zaman Pergerakan (Geocities) h.1

32

Hilmar Farid, Kolonialisme dan Budaya.. h.30

33 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: Rajawali Press, 2010) h.129

30

Ketakutan penguasa menjadi kian beralasan sebab melalui suratkabar,

pada gilirannya rakyat terjajah mampu mengangkat dagu mereka untuk

memandang wajah kolonialisme. Dalam pandangan Ania Loomba, tidak ada

perkataan manusia yang polos. Sebab kata-kata dapat dianalisis guna menangkap

kesadaran sejarah. Maka kata-kata, gambaran, sebagaimana tentunya tercetak

dalam suratkabar, menjadi fundamental untuk menganalisis proses sejarah seperti

halnya kolonialisme.34

Jika sebelum periode cetak, rakyat terjajah selalu

mendengar dongeng pembangunan tanah koloni sembari menunduk takzim pada

sang Kolonial. Maka setelah periode pers kebangsaan, mereka bukan hanya

mampu mengangkat dagu dan memandang tuan kolonial, tapi juga berani bertutur

tentang diri mereka sebagai rakyat terjajah.

C. Nasionalisme dalam Pers

Dalam pembahasan sebelumnya, kita telah bertemu pada pembahasan

mengenai bangsa dan kesadaran kebangsaan di mana salah satu pilarnya adalah

bahasa. Hal ini tentu akan sangat berkaitan erat dengan pembahasan seputar pers

dengan salah satu bentuknya, surat kabar yang menjadi rumah bagi bahasa untuk

pada gilirannya memainkan perannya sebagaimana akan dibahas pada bab empat.

Mengenai pembahasan bagaimana media cetak memainkan peran dalam

perubahan, khususnya dalam hal ini menyangkut kesadaran kebangsaan, tentu kita

tak bisa melupakan begitu saja sejarah yang terjadi di Jerman. Meski memiliki

sandaran sebab mula atau katakanlah stimulus yang berbeda, namun hal ini tetap

kita bicarakan setidaknya sebagai sebuah ilustrasi tentang bagaimana media cetak

34 Ania Loomba, Kolonialisme/Pacakolonialisme (Jogjakarta: Bentang, 2003) h. 49

31

memainkan peran dalam menimbulkan kesadaran kebangsaan. Dalam kasus

Jerman, kita akan melihat bahwa latar belakang dari lahirnya kesadaran

kebangsaan adalah perlawanan terhadap Tahta Suci Vatikan. Namun tanpa harus

masuk lebih jauh dalam perdebatan teologis antara keduanya (Paus Leo X dan

Martin Luther) kita tetap bisa menyaksikan bagaimana media cetak mampu

menjadi rumah bagi usaha penyebaran kesadaran kebangsaan.

Dalam pengalaman Jerman, nasionalisme mula-mula tak bisa dilepaskan

dari upaya penerjemahan Alkitab. Semua ini bermula dari perselisihan teologis

yang ditabuh Luther pada 31 Oktober 1517 dengan “95 tesis Wittenberg” yang

merupakan genderang perang bagi kekuasaan mutlak Vatikan. Serangan-serangan

Luther terhadap Curia Romana terkait pelanggaran terhadap Codex iuris

cannonici yang berisi regula fidei dan termasuk juga di dalamnya mengenai

Indulgensia ternyata berbuah ketegangan serius.35

Vatikan mengancamnya dengan

teguran keras melalui maklumat Exurge Domine yang mengutuknya sebagai

seorang pembawa ajaran bidaah. Apa mau dikata, bahwa reaksi ini dapat

dipandang sebagai suatu yang wajar mengingat kekhawatiran Vatikan mengenai

kekuasaannya. Terlebih ketika aksi-aksi perlawanan Luther terhadap kuasa

Vatikan semakin bernada provokatif dengan aksi balasan membakar surat-surat

dari Vatikan menjelang Natal 1520,36

benar-benar Natal kelabu bagi satu sisi dan

Natal penuh semangat pembaharuan bagi sisi lain.

35 Daniel Dhakidae, Memahami Rasa Kebangsaan dan Menyimak Bangsa sebagai

Komunitas Komunitas Terbayang dalam Benedict Anderson, Imagined Communities (yogyakarta:

Insist Press dan Pustaka Pelajar,2008) h.xxii

36 Daniel Dhakidae, Memahami Rasa Kebangsaan.... h.xxiii

32

Blessing in disguise, orang Barat kerap menyebut keadaan dimana suatu

musibah membuahkan keberuntungan di lain sisi pada saat bersamaan. Agaknya

istilah ini juga berlaku dalam pengalaman Jerman, di mana konflik teologis yang

dari sisi keagamaan boleh jadi dinilai sebagai suatu musibah namun menjadi

berkah bagi aspek lain, lahirnya kesadaran kebangsaan. „Berkah‟ ini mulai

bertumbuhan di sepanjang jalan pelarian Luther dengan upayanya menerjemahkan

Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jerman. Karena teramat indahnya karya

terjemahan sang pembaharu itu, hingga menjadi awal dari geliat perkembangan

bahasa Jerman dan karya sastra Jerman yang utuh sebagaimana dikatakan

Nietzsche bahwa karya Luther adalah mahakarya prosa Jerman.37

Pertanyaan boleh jadi timbul sebab terasa agak janggal ketika berbicara

pers tiba-tiba contoh yang diangkat malah Injil. Namun sebagaimana telah

disebutkan sebelumnya bahwa pengertian pers bukan hanya surat kabar, tapi

sesuatu yang dicetak, itu sebabnya saya kerap gunakan istilah media cetak dalam

contoh kasus Luther ini. Contoh lain adalah poster. Kita tahu bahwa reformasi

teologi Luther berdampak pada lahirnya semangat kebebasan dalam menafsirkan

Alkitab. Dalam catatan Daniel Dhakidae disebutkan bahwa kemerdekaan dalam

penafsiran memiliki dampak pada aspek lain yang pada gilirannya membuat

Jerman dilanda semangat “Frijheit”, kemerdekaan yang dicetak dan disebarkan

dalam bentuk pamflet yang mampu menggerakkan kaum tani. Mengenai hal ini,

Dhakidae mengutip pernyataan Frederick Engels dalam “The Peasant War in

Germany” yang mengatakan bahwa Luther telah memberikan senjata luar biasa

37Daniel Dhakidae, Memahami Rasa Kebangsaan, h. xxv

33

kepada kaum pergerakan yang mampu menggerakkan kaum petani menentang

para pangeran, bangsawan, dan rohaniwan.

Ini merupakan suatu gambaran betapa nasionalisme tahap awal muncul di

Jerman, Dakhidae menyebutnya sebagai suatu “titik awal ketika kebangsaan dan

rasa kebangsaan itu bersemi”, di mana semua itu menjadi mustahil tanpa peran

mesin cetak.38

Dalam pengalaman Jerman ini tentu setidaknya kita bisa melihat

bahwa bangsa dibangun di atas beberapa susun pondasi seperti bahasa dan

teknologi mesin cetak Gutenberg yang pada gilirannya memberi rumah pada

bahasa. „Rumah-rumah‟ bahasa pada pengalaman Jerman ini memiliki desainnya

yang khas, yakni Injil terjemahan Luther, di samping bentuk lain seperti pamflet-

pamflet.

Contoh lain juga dapat kita petik dari pengalaman sejarah Iran pada masa

Dinasti Qajar. Pada masa kekuasaan bebasis suku (Bani Qajar) ini, terjadi

kebangkitan kaum intelektual sebagaimana juga terjadi di Jerman dan tentunya

Bumi Nusantara. Hanya saja, ketika pada pengalaman Nusantara intelektual

tumbuh pasca era politik etis di bawah penjajahan langsung dari kolonialisme,

intelektual Iran lahir akibat persentuhan mereka dengan wacana Barat melalui

perjalanan pendidikan ke luar negeri. Kemunculan kaum intelektual ini

dimungkinkan oleh keadaan sosial ekonomi serta politik negara dan tentunya

pengaruh modernitas Barat serta iklim pemberontakan negara terjajah yang

sedang bangkit melawan penjajahan Eropa.39

38 Daniel Dhakidae, Memahami Rasa Kebangsaan, h. xxvi- xxvii

39

Hassan Bashir, Bagaimana Akar-Akar Revolusi Mulai Tumbuh? dalam Roger Garaudy,

dkk, Demi Kaum Tertindas; Akar Revolusi Islam di Iran (Jakarta: Citra, Tanpa Tahun) h. 21

34

Dalam catatan Hassan Bashir, perubahan sosial politik di Iran ini terjadi

dengan sokongan dua pengaruh, eksternal dan internal. Sebagaimana telah saya

tuliskan tadi, bahwa contoh dari faktor internal itu adalah kebangkitan kaum

intelektual. Adapun faktor eksternal yang dimaksud adalah aliran ide-ide baru

yang datang melalui interaksi langsung dengan orang-orang Barat ataupun melalui

media cetak.40

Dalam artikel yang sama, Bashir kembali menekankan peran

penting media cetak atau pers sebagai alat komunikasi modern yang menjadi

sarana sosialisasi ide-ide Barat modern kepada masyarakat Iran, pun demikian

halnya dengan buku-buku sebagai sarana transformasi gagasan-gagasan baru.41

Ia juga menambahkan betapa peran pers independen, semi independen,

atau pers yang dipublikasikan di pengasingan memiliki peranan penting dalam

upaya perubahan sosial politik.42

Termasuk di dalamnya perubahan cara pandang

yang menimbulkan pemikiran baru yang lahir dari bahasa baru, atau idiom politik

baru semisal nasionalisme yang membuahkan wacana seputar identitas, bahasa,

dan sejarah sebagai suatu formula wajib dalam meracik suatu pupuk bagi benih

kesadaran kebangsaan.43

Sekarang kita kembali berinteraksi dengan Anderson, dalam bab kedua

dari karya berjudul „Imagined Commuities‟, ia menjabarkan betapa media cetak,

termasuk dalam hal ini karya fiksi dalam bentuk novel, mampu membantu proses

persalinan sebuah bangsa. Tentu sebagaimana sudah sama-sama kita duga, ia

40 Hassan Bashir, Peranan Pers Iran Dalam Perkembangan Politik Iran Sebelum dan

Selama Revolusi Konstitusional Tahun 1906-1911 dalam Roger Garaudy, dkk. Demi Kaum

Tertindas, h.57

41 Hassan Bashir, Peranan Pers Iran....., h.59-60

42

Hassan Bashir, Peranan Pers Iran.... h.62

43 Hassan Bashir, Bagaimana Akar-Akar Revolusi.....h. 26

35

menuliskannya dalam kaitan dengan bagaimana karya sastra semisal Noli Me

Tangere karya Jose Rizal, dengan logika novel yang ditandai dengan plot dan

tokoh-tokoh anonimus44

mampu membantu Filipina untuk melakukan

„pembayangan‟ atas diri sendiri sebagai sebuah bangsa.45

Anderson juga memberikan contoh yang lebih dekat dengan kita, yakni

karya seorang nasionalis revolusioner yang juga seorang Marxis dan entah kita

harus menyebutnya sebagai suatu kebetulan atau tidak, juga seorang murid dari

Tirtoadhisoerjo yang terlibat langsung dalam suratkabar Medan Prijaji yang

sedang kita bahas. Ia adalah Mas Marco Kartodikromo, seorang jurnalis yang juga

menulis cerita fiksi „Semarang Hitam‟ yang akan kita bahas dalam kaitannya

dengan proses pembayangan sebuah bangsa. Pada gilirannya, kita akan

menyaksikan betapa karya ini juga menunjukkan bahwa tepat apa yang

digambarkan Plekhanov bahwa fungsi Seni adalah membantu perkembangan

kesadaran manusia serta memajukan sistem sosial.46

Tentu juga termasuk di

dalamnnya kesadaran akan bangsa dan kebangsaan.

Dalam karya yang diterbitkan pada tahun 1924 dengan format cerita

bersambung ini, Marco membantu kita untuk menyaksikan bagaimana cara kerja

proses pembayangan sebuah bangsa berlangsung melalui bantuan suratkabar. Ini

juga sekaligus menjadi ilustrasi awal betapa cara kerja yang sama juga dapat

diterapkan untuk melihat bagaimana proses penyemaian kesadaran kebangsaan

dilakukan melalui media suratkabar yang lahir terlebih dulu, yang juga terdapat

44 Mengenai para tokoh tanpa nama ini akan kita lihat dalam pembahasan karya Mas

Marco „Semarang Hitam‟.

45 Benedict Anderson, Imagined Communities, h.39

46

G. Plekhanov, Seni dan Kehidupan Sosial (Bandung: Ultimus, 2006) h.1

36

sentuhan Marco, Medan Prijaji. Namun rasanya kita harus kembali segera pada

„Semarang Hitam‟ untuk mengembalikan fokus pada proses pembayangan tadi.

Berikut ini kita akan sama-sama membaca beberapa kutipan „Semarang

Hitam‟ yang dinukil Anderson. ”...anak-anak muda Semarang tak pernah diam di

rumah pada Sabtu malam. Tetapi malam ini tak seorangpun terlihat. Sebab hujan

lebat seharian telah membuat jalanan menjadi becek dan sangat licin, semua

orang diam di rumah..... ”, kutipan ini tidak saya tuliskan secara utuh

sebagaimana termaktub dalam karya Anderson, namun saya mengambil beberapa

bagian tertentu yang saya rasa sangat penting dan merupakan kunci dari upaya

kita membaca teks tersebut. Bagian yang saya kutip tadi memberikan ilustrasi

suasana tempo dulu di Semarang dengan gambaran umum bahwa rasanya menjadi

lumrah pada sebuah daerah yang biasanya ramai, suasana akan menjadi berbeda

ketika hari digagahi lebatnya hujan. Dan oleh karenanya, orang-orang yang

biasanya pergi keluar rumah, malam itu mereka lebih memilih untuk berteduh di

bawah atap rumah. Dan pada keadaan malam seperti ini kita akan mendapati

betapa “.... Semarang lengang. Cahaya dari deretan lampu gas langsung

menyinari jalan aspal berkilauan. Sesekali cahaya terang dari lampu-lampu gas

itu meredup ketika angin bertiup dari timur....”. Dan di tengah keheningan itu,

kita mendapati “....Seorang laki-laki muda duduk di atas kursi rotan panjang

membaca koran. Ia tenggelam dalam keasyikan. Kemarahannya sekali-sekali dan

pada saat-saat lain senyumannya menjadi tanda pasti ia sangat menaruh minat

pada cerita yang dibacanya... ”. Kisah ini mulai mengantarkan kita mendekati

proses pembayangan sebuah bangsa yang dijalin benang merah berupa rasa

senasib sepenanggungan sampai tiba saat di mana laki-laki muda tanpa nama itu

37

membalikkan halaman koran dan “....berpikir mungkin ia dapat menemukan

sesuatu yang akan menghentikan perasaannya yang sangat menderita....”. Lembar

demi lembar dibuka hingga pada akhirnya lelaki tanpa nama itu bertemu sebuah

artikel berjudul “Kemakmuran” yang memberitakan tentang “seorang

gelandangan jatuh sakit dan tewas di tepi jalan karena kedinginan”.

Kemudian Marco menuliskan betapa “orang muda itu sangat tersentuh

oleh laporan singkat ini. Ia serasa dapat membayangkan penderitaan orang

malang itu ketika terbaring menyongsong ajal di pinggir jalan....”. Tak selesai di

situ, penulis kita yang memetik buah pikiran jurnalisme dari sang guru,

Tirtoadhisoerjo, juga melukiskan betapa pemuda tanpa nama yang sedang

membaca dan merasakan nasib malang gelandangan itu merasa iba dan

“....kemarahannya terarah kepada sistem sosial yang melahirkan kemelaratan

semacam itu, sambil membuat suatu kelompok kecil menjadi kaya raya”.47

Melaui karya Marco ini kita akan berada pada sebuah situasi di mana kita

sedang membaca cerita tentang lelaki tanpa nama yang sedang membaca berita.

Ini terjadi sebab cerita bersambung “semarang Hitam” di muat dalam suratkabar,

dan pada saat yang bersamaan menceritakan kisah tentang sosok lelaki yang

membaca suratkabar. Seperti realitas bertumpuk, kisah ini mengisahkan orang

yang sedang membaca kisah. Kita bisa menggarisbawahi keberadaan suratkabar

sebagai sesuatu yang penting. Sebuah kata kunci, kalau boleh dikatakan demikian.

Pasalnya, melalui suratkabar yang memuat karya Marco, kita dapat memperoleh

informasi tentang proses pembayangan sebuah bangsa oleh seorang tokoh tanpa

47 Benedict Anderson, Imagined Communities, h. 46-47

38

nama dalam cerita yang sedang membaca suratkabar pula, di mana pada akhirnya

ia membayangkan nasib malang sosok gelandangan yang juga tanpa nama.

Dalam cerita tersebut jelas digambarkan betapa suratkabar memiliki daya

melipat jarak dan pada saat yang sama menjadi penghantar bagi rasa ke‟kita‟an

yang lahir dari empati atas ketertindasan yang diderita orang lain, tanpa harus tahu

siapa nama gelandangan yang malang itu. Pun demikian halnya dengan sang

lelaki yang melakukan proses pembayangan. Ia di ceritakan sebagai sosok lelaki

tanpa nama, artinya bahwa upaya merajut rasa kebangsaan dilakukan tanpa saling

mengenal.

Namun demikian, melalui kisah itu kita bisa memetik suatu kesimpulan

bahwa satu-satunya identitas yang dimiliki adalah kesamaan nasib, yakni korban

dari “..sistem sosial yang melahirkan kemelaratan...”. Sementara nun di sana, di

seberang jurang sosial ekonomi yang berjarak, ada komunitas lain yang memiliki

identitas yang lagi-lagi dibedakan berdasarkan nasib dengan sebuah gambaran

betapa sistem bernama kolonialisme melahirkan keadaan di mana pada satu sisi

sekumpulan orang yang disebut Tirto dengan „bangsa jang terprentah‟48

dimiskinkan, ”....sambil membuat suatu kelompok kecil menjadi kaya raya”, tentu

kelompok yang dimaksud Marco adalah “bangsa jang memerentah”, mereka yang

terdiri dari para kolonial beserta „sekrup-sekrup mesin penghisap buatan dalam

negeri‟ yang menjual dirinya dengan sebongkah pragmatisme. Adapun mengenai

sosok laki-laki tanpa nama, saya tidak sampai jauh pada pembahasan mengapa

48 Mengenai iastilah „bangsa jang memerintah‟ dan „bangsa jang terprentah‟ lihat.

„Ucapan Selamat Anggota Parlemen Belanda‟ dalam Iswara N Raditya, Karya-karya Lengkap

Tirto Adhi Soerjo; Pers Pergerakan dan Kebangsaan (Jakarta: I;BOEKOE,2008) h.98

dengan judul asli dalam Medan Prijaji 1909 „Pemberian Selamet Seorang Anggota Staten

Generaal Pada Kita‟. Serta h.146 „Komentar Tirto Atas Terbitnya Buku Almanak‟ dengan judul

asli dalam Medan Prijaji 1909 „Selamat Poetra Baginda‟.

39

harus laki-laki. Sebab pembahasan kita kali ini memang tidak menyediakan kursi

bagi duduknya perdebatan seputar dominasi paternalistik dalam gerak sejarah, dan

tentunya lagi-lagi ini berdasar pada pembatasan masalah yang berdampak

langsung pada sempitnya ruang bincang kita kali ini.

Mengenai sistem kolonialisme yang digambarkan Marco sebagai biang

keladi dari pemiskinan anak negeri ini, Anderson memberikan penekanan bahwa

Marco mengarahkan kemarahan tokoh pada sistem sosial “itu”, bukan pada sistem

sosial “kita”.49

Ini meniscayakan bahwa ada jarak yang memang sudah ada,

namun dipertegas, antara sistem sosial yang dibangun oleh “orang lain” dengan

sang korban yang merupakan bagian dari “kita”. Melalui cara pandang “Kami dan

Kalian”, hal tersebut makin dipertegas lagi bahwa yang dimaksud dengan sistem

“itu” adalah sistem yang melahirkan kemalaratan bagi “kita” dan kekayaan bagi

“orang lain”. Dan agaknya “orang lain” dalam hal ini benar-benar bisa dianggap

sebagaimana Sartre menyebut “orang lain adalah neraka”. Sebab “orang lain”

dalam hikayat tanah koloni sejatinya memang para pencipta neraka bagi pemilik

rumah yang sesungguhnya. Ini mengingatkan kita pada pendapat Fanon yang

menggambarkan betapa zona kolonialisme adalah suatu “dunia yang terbagi ke

dalam kompartemen-kompartemen”, yakni suatu “dunia yang terbelah menjadi

dua”, di mana para penghuninya merupakan “dua spesies berbeda”.50

Dan pada

akhirnya kita tahu bahwa dua spesies berbeda itu adalah bangsa yang memerintah

dan bangsa yang terperintah.

49 Benedict Anderson, Imagined Communities, h. 48

50

Frantz Fanon, Bumi Berantakan (Jakarta: Teplok, 2000) h. 9

40

Apa yang dilakukan Marco dengan karya fiksinya tersebut membuat saya

teringat pendapat Chernyshevsky bahwa sebuah karya seni memang seharusnyaa

tidak hanya mereproduksi kehidupan, tetapi lebih dari itu memeberikan penjelasan

dan tentunya penilaian atas gejala-gejala sosial.51

Betapa tidak, sebagaimana telah

kita bicarakan tadi, melalui karyanya, Marco tidak hanya mereproduksi realitas,

tapi menukik dalam pada permasalahan sosial dan karenanya meniscayakan

penilaiannya atas sistem buruk yang menciptakan kemiskinan dan pada akhirnya

memperjelas posisi sang penulis.

Di titik ini, kita jelas mendapati betapa watak berpikir yang sama juga

bersemayam dalam kepala Tirtoadhisoerjo yang menjadi bingkai berpikir Medan

Prijaji yang konfrontatif dan dengan tegas memposisikan bangsa yang

“terprentah” berhadap-hadapan dengan bangsa yang “memerentah” sebagaimana

akan kita bicarakan pada bagian lain betapa cara berpikir seorang Hoofdredactie

merupakan jurumudi bagi pelayaran suratkabar. Di titik ini pula kita menemukan

betapa watak kebangsaan kita tidak hanya berhenti pada kesadaran ke‟kita‟an, tapi

juga menjadi sebuah kesadaran tentang “kita” yang anti terhadap penghisapan

kolonial.

51 G. Plekhanov, Seni dan Kehidupan..... h.2

41

BAB III

NASIONALISME YANG LAHIR DARI PERS

Pada umumnya, pembahasan menyangkut nasionalisme segera dilekatkan

dengan peran organisasi moderen. Namun, ada yang terlupa bahwa peran penting

yang dimainkan suratkabar terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja. pada

bagian ini, saya akan uraikan sedikit mengenai perkembangan suratkabar di bumi

Nusantara hingga pada akhirnya menggeliat sebagai alat perlawanan berupa pers

kebangsaan, pers yang memiliki kesadaran politik.

A. Geliat Pers di Hindia Belanda

Kedatangan mesin cetak ke bumi nusantara yang dibawa oleh VOC

memiliki pengaruh signifikan bagi perkembangan Pers di tanah air. Pasalnya,

melalui mesin cetak inilah pers memproduksi barang cetakan secara massif dan

pada gilirannya memainkan peran penting dalam upaya pembenihan rasa

kebangsaan. Pada awal kedatangannya, mesin cetak tidak langsung difungsikan

untuk memproduksi surat kabar, VOC menggunakan nya untuk mencetak

pemberitahuan resmi pemerintah berupa aturan-aturan hukum atau katakanlah

Lembaran Negara.1 Maka pada kalimat di atas saya tidak langsung menggunakan

istiah surat kabar, melainkan barang cetakan.

Disamping itu, mesin cetak juga digunakan oleh kalangan agama, dalam

hal ini gereja, untuk kepentingan misi penyebaran agama, yakni penerbitan kitab

suci dan kitab-kitab mengenai ajaran agama dan terbitan lain yang serupa dengan

itu. Namun semua rencana penerbitan tersebut sempat tertunda sebab tidak adanya

1 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran KeIndonesiaan (Jakarta:

Hasta Mitra, 2003) h. 12

42

tenaga terampil yang mampu mengoperasikan mesin ceetak tersebut. Berpuluh

tahun kemudian, mesin yang pada gilirannya melahirkan wacana pembaharuan itu

kembali berfungsi pada 1659 ditandai dengan tercetaknya suatu buku kalender.

Lagi-lagi mesin cetak kembali berhenti beroperasi hingga delapan tahun

berikutnya pemerintah kolonial membeli mesin cetak dengan spesifikasi lebih

baik untuk menerbitkan surat-surat penting yang salah satu contohnya adalah

perjanjian Bongaya.2

Mulai dari sinilah kemudian mesin cetak difungsikan

pemerintah kolonial sebagai alat propaganda, terlebih dengan berdirinya lembaga

pencetak buku pemerintah.

Kendati begitu rupa berfungsinya mesin cetak pada masa itu sebagai alat

propaganda, namun belum ada inisiatif menerbitkan surat kabar. Sedangkan

penerbitan surat kabar baru dimulai lama setelah itu, yakni dengan kemunculan

terbitan bernama Bataviase Nouvelles yang bertanggal 8 Agustus 1744.3

Namun dua tahun kemudian, penerbitan Bataviase Nouvelles harus

dihentikan atas petunjuk pemerintah. Pasalnya, koran yang sejatinya lebih pada

koran bisnis atau advertentie Blad ini mengkhawatirkan VOC berkenaan dengan

info-info usaha yang ada di dalamnya, yang di antaranya memberi gambaran

peluang bagi pesaing bisnis VOC. Dalam dunia niaga, informasi bernilai demikian

penting sehingga sebagai perusahaan raksasa, VOC merasa kebakaran jenggot

ketika informasi berkenaan hal niaga dapat diakses pihak lain.

Pada fase berikutnya, pada masa Daendels tepatnya koran mulai benar-

benar berfungsi sebagai alat negara, demikian pula hanya pada masa pendudukan

Inggris. Nama-nama seperti Bataviasche Koloniale Courant dan Java

2 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran KeIndonesiaan, h. 2

3 Abdurrachman Soerjomihardjo, dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di

Indonesia (Jakarta: Kompas, 2002) h. 25

43

Government, memperjelas bahwa koran mulai benar-benar berfungsi sebagai

media propaganda, dalam hal ini menggiring opini publik hingga membuat citra

tertentu, pastinya citra baik, mengenai pemerintahan penjajah Inggris. Awal

keberadaannya di tanah air, pers didominasi oleh surat kabar negara, sedangkan

surat kabar swasta baru terbit belakangan pada 1831.4

Fenomena geliat pers swasta ini ditandai dengan munculnya sejumlah

nama di tanah air semisal Bataviasch Advertentie blad (Batavia), Nederlandsch

Indisch Handelsblad (Batavia), Soerabajasche Courant, Semarangsch Advertentie

blad atau De Locomotief, Semarangsch Courant, dan lain sebagainya.5

Berkenaan dengan daerah dimana koran tersebut terbit, perlu kiranya

diingat bahwa Batavia, Semarang dan Surabaya merupakan daerah pelabuhan

dengan mobilitas perdagangan tinggi. Maka fungsi surat kabar tersebut masih

didominasi kepentingan dagang serta periklanan atau advertentie. Adapun

mengenai bahasa yang digunakan surat kabar pada masa itu, Ahmat Adam

memberi catatan bahwa sebelum 1855, baik surat kabar maupun berkala masih

menggunakan bahasa Belanda.

Masih merujuk pada Adam, bahwa pada masa sebelum tahun 1855 di

Hindia Belanda, pers hadir dalam format yang cenderung komersil dan

menggunakan bahasa Belanda. Kemudian pada awal tahun 1855, tepatnya Maret

tanggal 29 terbit sebuah koran bernama Bromartani (setelah sebelumnya, pada

Januari 1855 menerbitkan edisi percobaan) yang merupakan koran pertama yang

tampil dengan bahasa Jawa.6

4 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran KeIndonesiaan, h.8

5 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers.., h. 11-12

6 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers.., h. 27

44

Sebagai pendatang baru, media yang menggunakan kromo inggil sebagai

pilihan bahasa ini tampil agak berbeda dengan koran-koran atau berkala

sebelumnya. Jika masa sebelumnya orientasi media lebih mengarah pada bidang

komersil, maka Bromartani lebih merupakan koran dengan genre idealis. Isi yang

ditampilkan Bromartani cenderung mengarah pada isu-isu pendidikan

sebagaimana halnya dengan berkala Poespita Mantjawarna yang terbit semasa

dengan Bromartani. Masih menurut Adam, keduanya tergolong kategori pers

idealis.7

Bentuk idealisme dari kedua terbitan tersebut dapat terlihat dari muatannya

yang cenderung menekankan pada aspek pendidikan dan budaya, yakni sastra atau

cerita-cerita. Disamping itu, Bromartani pun masih menyisakan ruang bagi

periklanan komersil dan semacamnya. Namun ada kalanya, Bromartani

bersinggungan dengan isu-isu berbau politik seperti pada saat memuat liputan

“Naik Tahta” Susuhunan Surakarta. Namun sayang, Bromartani tak berumur

panjang.

Dalam kehidupan, pasang surut selalu ada. Patah tumbuh hilang berganti,

orang bilang. Meski sempat collaps, namun Bromartani mampu bangkit lagi dan

pada saat yang sama, Surabaya diramaikan dengan terbitnya koran baru, Soerat

Kabar Bahasa Melaijoe. Koran yang di terbitkan E. Fuhri ini lebih merupakan

terbitan komersil yang muatannya ditujukan bagi dunia perniagaan. Pada masa ini,

sebuah dobrakan pun mewarnai dunia media dengan hadirnya jurnal yang terbit

bulanan, Bintang Oetara.

7 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers, h. 25

45

Untuk ukuran media pada zaman itu, Bintang Oetara tampil lebih

progresif. Melalui bahasa melayu, Bintang Oetara yang terbit pada 1856 ini

menjanjikan beragam muatan yang memberi inspirasi semisal pengetahuan umum,

liputan-liputan berkenaan dengan keadaan luar negeri, sastra melayu dan indo-

persia, rubrik moral keagamaan, dan yang membuatnya tambah menarik adalah

dimuatnya permainan catur dan kuis. Sebagai jurnal di pertengahan abad

sembilanbelas, Bintang Oetara tampil menawan. Namun lagi-lagi terbitan ini

harus pupus karena “Terlalu berkualitas” bagi pelanggan. Pembahasan sastra dan

penggunaan bahasa Melayu buku atau Melayu tinggi membuat pelanggan yang

mayoritas Jawa-Sunda agak sulit mencerna muatan jurnal pencerahan ini.

Jika harus menampilkan dalam bentuk kronologis atau berdasar indeks

nama-nama, agaknya tulisan ini tak mencukupi, sebab masih tercecer sekian nama

terbitan berkenaan dengan pembahasan ini. Namun setidaknya ada beberapa hal

yang dapat kita cermati. Bahwa penerbitan pers berhasa pribumi ini dilatari oleh

berbagai kepentingan. Sebagian kalangan mencium aroma peluang untuk

melakukan misi penyebaran ajaran agama (baca: Kristiani). Sebagian lagi

melakukannya atas dasar idealisme, demi mencerdaskan bangsa.

Dan tentunya, yang tak kalah merebut perhatian ialah motif dagang.

Berkenaan dengan kepentingan niaga tersebutlah orang-orang Tionghoa

mendukung penerbitan dengan bahasa pribumi, bahkan mereka berlangganan.

Mungkin mereka melihat keberadaan terbitan dengan bahasa lokal sebagai sarana

iklan yang tak hanya dimengerti orang-orang Eropa, tapi juga pribumi yang mulai

dibidik sebagai mitra usaha. Dilain sisi, isu-isu seputar liberalisasi pers pun sedikit

banyak memberi pengaruh bagi bertebaranya terbitan-terbitan ini.

46

Tak pelak bahwa pengetahuan orang banyak tentang bahasa, memiliki

pengaruh signifikan bagi pertumbuhan pers. Demikian pula halnya yang terjadi di

Hindia Belanda. Bahwa pengetahuan penduduk tentang bahasa melayu masihlah

minim sekali. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi pers untuk tetap bertahan

hidup dan terus menggeliat di bumi Nusantara. Mengenai hal ini, kita akan

menemukan bahwa ada peranan faktor lain dalam perkembangan pergerakan pers.

Adam dan hampir rata-rata peneliti sejarah kebangkitan nasional mencatat bahwa

kebijakan pemerintah untuk membuka sekian banyak sekolah untuk kalangan

pribumi ini merupakan titik balik yang menentukan bagi pengetahuan orang

banyak. Pasalnya, melalui sekolah-sekolah tersebutlah, penduduk dibekali dengan

pengetahuan dan kemampuan berbahasa Melayu.8

Mengenai hal ini, tentu kita tak bisa tidak, harus membahas mengenai

politik etis. Sebab dari sistem inilah perubahan besar masyarakat bumi Nusantara

dimulai. Kita perlu kembali mengingat, bahwa masa kolonialisme Belanda

merupakan masa panjang dengan liku-liku di mana di dalamnya terdapat beragam

perubahan. Pasca zaman tanam paksa (1830-1870), pemerintahan kolonial

menerapkan sistem liberalisasi ekonomi yang menyerahkan sepenuhnya

pengelolaan aspek ekonomi pada modal swasta.

Dalam hal ini pemerintah tak ubahnya petugas ronda malam yang menjaga

kebun-kebun dan pabrik dari para pencuri. Perluasan wilayah kekuasaan kolonial

pada Era liberalisasi (1970-1900) ini juga dapat dimaknai sebagai perluasan

wilayah penghisapan oleh modal swasta.9

Pada 1901 pemerintah kolonial

menerapkan sebuah sistem baru, yang kita sebut politik etis, di mana negara mulai

8 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers....h. 36

9R.Z. Leirissa, Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950,

(Akademika Pressindo, 1985) h.11

47

kembali mencampuri banyak hal. Meskipun demikian, tak ada perubahan

mendasar menyangkut kegiatan ekonomi yang tetap memeberi ruang gerak bagi

pemodal swasta untuk menghisap kekayaan alam bumi Nusantara. Hanya saja

perbedaan datang dari aspek lain, sosial budaya.10

Sebuah artikel yang ditulis Van Deventer dalam majalah De Gids (1899)

akan membantu menjelaskan apa sebenarnya politik etis dan dampak sosial

budayanya. Dalam artikel berjudul “Een Eereschuld” Deventer menjelaskan

bahwa pemerintahan kolonial harusnya membalas hutang kehormatan atas

penghisapan yang selama ini dilakukan oleh pemerintahan kolonial yang sejatinya

adalah pertumbuhan kapitalisme moderen yang telah sampai pada dehumanisasi

yang dinilainya mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam artikel yang sama, ia

mengatakan bahwa apa yang dilakukan Kolonial mulai dari tanam paksa sejatinya

adalah „politik drainase‟ atau pengeringan yang menggambarkan kerakusan

kolonialisme menghisap sekering-keringnya kekayaan Nusantara.11

Pada catatan Deventer, sejatinya Kerajaan Belanda telah mengeluarkan

Comptabiliteitswet pada 1878. Undang-undang ini mengatur bahwa sebagian dari

pendapatan harus digunakan untuk kepentingan daerah jajahan. Namun hal ini

tidak dilakukan dan oleh karenanya Deventer menilai Kerajaan Belanda berhutang

pada koloni jajahan. Dalam catatannya, Deventer mengatakan bahwa sampai pada

1899 hutang itu bernilai 187.000.000 gulden, dan ini harus dibayar.12

Memang

artikel ini bukan satu-satunya penyebab direstuinya sistem baru tersebut.

Diterapkannya politik etis juga tak bisa dilepaskan dari penerapan sistem baru itu.

10 R.Z. Leirissa, Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah... h.23

11

R.Z. Leirissa, Terwujudnya...h.22

12 R.Z. Leirissa, Terwujudnya...h.23

48

Rasanya kita akan menyingkat pembahasan dengan langsung

mengerucutkan bahwa salah satu dari aspek sosial budaya hasil politik etis adalah

dibangunnya sarana pendidikan yang pada gilirannya melahirkan golongan baru

dalam masyarakat, yakni kalangan bumiputera terdidik. Gairah berburu

pengetahuan ini pada mulanya ditanggapi secara pragmatis oleh sementara

kalangan. Sebab pada masa itu, Pemerintah Hindia Belanda mulai membuka

peluang bagi priyayi atau „Indo‟ untuk menduduki posisi yang lebih tinggi dalam

dunia ambtenaar.13

Dibukanya peluang kerja yang lebih luas untuk pribumi dan Indo ini

membuat sebagian orang berlomba-lomba untuk mencicipi pendidikan model

barat. Alhasil pada tahap awal, geliat dunia pendidikan yang progresif ini

memiliki korelasi positif dengan dunia pers. Semakin maju pendidikan, semakin

banyak orang melek huruf. Artinya makin banyak ruang yang terbuka bagi arus

informasi dan edukasi dan semakin luas kesempatan bagi media untuk memainkan

peranannya. Di samping itu, penggunaan telegram dan jalur kereta api pun kian

membuat pers terus melaju melesat, terutama memudahkan diperoleh pada aspek

teknis semisal distribusi, korespondensi, pengiriman berita atau artikel. Semua ini

seolah menandakan bahwa babak baru pers berbahasa anak negeri telah dimulai

dengan interaksi yang semakin intens antara daerah satu dengan selainnya.14

Namun jika berbicara isi, maka tidak ada perubahan yang terlalu berarti.

Tidak ada perubahan fundamental sebab isi dari terbitan yang ada pada babak

baru ini tak ubahnya isi terbitan pada masa sebelumnya. Kebanyakan masih

bermuatan komersil dan berita seputar perdagangan. Sedangkan genre lain yang

13 R.Z. Leirissa, Terwujudnya..h.17

14

R.Z. Leirissa, Terwujudnya... h.18. Lihat juga Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers..h.38

49

turut mewarnai pun masih sama seperti masa sebelumnya, yakni genre misionaris.

Terbitan model ini sempat berkibar di bawah bendera terbitan Biang Lala yang

pada gilirannya berganti nama menjadi Bintang Djohar pada 1 Januari 1873.15

Nama-nama lain dari genre sejenis pun muncul semisal Tjahaja Sijang di

Minahasa. Sebagai koran misionaris, tak jarang Biang Lala memuat isu-isu

dengan gaya provokatif seputar Islam, Nabi Muhammad, perbandingan Qur‟an

dengan Injil, dan lain sebagainya.16

Kendati demikian, alhasil geliat pers babak

dua ini timbul dari sebuah kesadaran bahwa sebelumnya, berita-berita hanya

ditampilkan dalam bahasa Belanda dan tak dapat di akses pribumi. Maka

timbullah kesadaran untuk menerbitkan koran berbahasa anak negeri.

B. Medan Prijaji, Pers yang Berpolitik

Sebagaimana telah sedikit diurai pada bagian sebelumnya, selaku salah

satu sarana informasi, pers memainkan peranan penting. Peranan besar ini dapat

mencakup berbagai aspek baik itu bidang pendidikan, ekonomi, budaya, sosial,

keagamaan, politik, dan lain sebagainya. Kiprah pers sebagai corong informasi ini

bukan merupakan hal baru di Bumi Nusantara. Pada bagian sebelumnya telah

disinggung bahwa Jauh hari sebelum tercetus kata “Indonesia”, pers di Nusantara

sudah menggeliat memainkan perannya. Sejumlah nama tokoh dan Koran pun

turut mewarnai geliat awal pers di era Hindia Belanda.

Seiring perjalanan panjangnya, pers mengalami perubahan fungsi dari

sekadar alat advertentie blad yang berisi pengumuman perdagangan atau transaksi

niaga lainnya seperti pelelangan, kepada fungsi lain yakni mesin pembangun

15 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers....h. 61

16

Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers....h. 51

50

kesadaran kebangsaan. Meskipun pada fase awal pers sudah terbagi setidaknya

menjadi tiga genre utama yakni komersil, misionaris, dan idealis. Artinya sudah

terdapat jenis pers “pergerakan” dalam hal ini misionaris dan idealis yang

sejatinya dapat di “satu rumahkan”, namun genre tersebut belum dapat

dikategorikan sebagai pers kebangsaan (baca: pembangkit kesadaran kebangsaan).

Pasalnya, fokus pemberitaan pada terbitan berkala yang notabene idealis itu masih

difungsikan sebagai sarana edukasi yang bercorak lokal dan sektarian pada hal

tertentu.17

Kendati demikian, pada perkembangannya, kita bisa melihat bahwa

pers genre tersebut merupakan suatu pondasi bagi pijakan jejak langkah pers

kebangsaan yang menggeliat antara abad 19 hingga permulaan abad dua puluh.

Dari sejumlah nama tokoh maupun Koran yang ada pada kurun abad 19

hingga awal abad 20, ada satu nama yang akhir-akhir ini mendapat banyak

sorotan. Sosok itu bernama R.M. Tirto Adhi Soerjo. Sebagai seorang jurnalis

muda, Tirto yang juga tercatat sebagai siswa Sekolah Dokter Jawa (STOVIA) itu

merupakan sosok penting dalam sejarah pers nasional. Tanpa bermaksud

mengecilkan peran tokoh pers sebelum maupun setelahnya, sosok Tirto dan

Medan Prijaji seolah merupakan titik tolak pers kebangsaan yang „berdikari‟18

Sebab ditangannyalah pers berperan sebagai media yang berpolitik.

17 Terbitan semisal Biang Lala umpanyanya, kerap kali memuat artikel provokativ

tentang islam yang dikesankan “miring”, yang pada saat ini boleh dikategorikan sebagai penistaan

agama. Lih.pembahasan seputar Biang Lala, dalam Ahmat Adam, Sejarah awal pers dan

kebangkitan kesadaran keindonesiaan. (Jakarta: Hasta Mitra,2003).

18 Saya katakan demikian sebab banyak kritik menghujani kawan-kawan yang mengusung

Tirto dan Medan Prijaji sebagai titik tolak pers kebangsaan. Kritik ini datang dari berbagai pihak,

termasuk salah satunya Andreas Harsono, seorang kritikus media. Kritik tersebut, sebagaimana ia

tulis pada blog pribadinya, sejatinya diarahkan pada rekan-rekan Indexpress perihal metodologi

penulisan buku “Tanah Air Bahasa” yang menggambarkan bahwa penokohan Tirto seolah

berdasar pada rasisme. Menanggapi ini, saya akan berbagi sedikit yang saya paham. Namun

sebelumnya saya mohon maaf atas kelancangan intelektual ini sebab saya hanya seorang pemula

dalam kajian pers. Menanggapi penokohan Tirto dan dipilihnya Medan Prijaji sebagai tonggak

pers kebangsaan adalah hal yang bukan tanpa dasar. Pertama, boleh jadi pada masa sebelumnya

telah ada berkala yang terbit dan telah menggunakan bahasa Melayu pasar seperti pada Selompret

51

Berbagai nama koran baik harian maupun mingguan sempat berada di

bawah pimpinannya, baik itu sebagai redaktur atau pemilik langsung.

Sebagaimana ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam “Sang Pemula” sejumlah

nama semisal Soenda Berita, Pembrita Betawi, Soeara BOW, Soeara Spoor dan

traam, Medan Prijaji, dan Poetri Hindia pun digawangi Tirto sebagai sarana

penyeru kepada bangsa jang terprentah menyangkut hak dan kedudukan mereka

dari Bangsa jang memerentah.

Sebagai seorang yang sadar dan peduli pada keadaan bangsanya sebagai

Bangsa yang “terprentah”, ia menggunakan media pers sebagai alat

perjuangannya. Jika pada umumnya pahlawan dikenal sebagai orang yang

berjuang dengan senjata, maka yang menjadi senjata dalam perjuangan beliau

melawan kesewenangan Kolonial adalah pena tajamnya. Melalui berbagai Koran

yang dipimpinnya tersebut ia lakukan pembelaan pada bangsanya atas perlakuan

semena-mena para pejabat belanda ataupun pejabat pribumi yang menjadi kaki

tangan penjajah.

Dari sejumlah Koran yang dipimpinnya itu, ada satu nama yang patut

disoroti berkenaan dengan peranannya. Medan Prijaji (MP), adalah koran yang

berpolitik pada zamannya. Melalui koran inilah Tirto menyebarkan kesadaran

Melajoe. Namun redaksi, penerbitan, atau kepemilikannya belum secara utuh digawangi oleh

pribumi. Pada 1903, hadir Soenda Berita sebagai pers pribumi yang dikelola dan dimiliki oleh

pribumi (Tirto), namun mengenai perannya, SB belum secara signifikan membangkitkan

kesadaran kebangsaan. Sedangkan perihal Bintang Hindia yang juga digawangi Abdul Rivai,

medan perjuangan Bintang Hindia tidak seperti apa yang dihadapi Medan Prijaji. Proses

penerbitan Bitang Hindia berlangsung di negeri kincir angin yang tidak terlalu ketat perihal aturan

press. Sedangkan Medan Prijaji harus berulang kali terseok ke meja hijau akibat persdelict atau

persreglement yang membatasi sedemikian rupa. Jadi atas berbagai parameter tersebut maka

sekelompok orang sepakat Medan Prijaji sebagai pelopor pers kebangsaan yang murni pribumi

atau yang saya istilahkan dengan “kaffah” sebagai pers pribumi sekaligus pers kebangsaan.

Singkat kata, meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer, sebelum Medan Prijaji, surat kabar

masih bernada „dari mereka untuk pribumi‟, lih. Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula (Jakarta:

Hasta Mitra, 1985) h.24

52

kebangsaan. Sebagai media, Medan Prijaji memainkan peran penting pada

masanya dengan menjadi media yang berpolitik, Medan Prijaji menggeliat

sebagai alat propaganda yang menyebarkan kesadaran tentang konsep “bangsa”,

sebuah konsep kebangsaan yang di paparkan Tirto menggunakan bahasa yang

sederhana dengan membedakan antara bangsa yang “terprentah” dengan bangsa

yang “memrentah”.

Dari namanya, maka akan tampak bahwa surat kabar ini ditujukan pada

kelas terpelajar dan mereka yang mengabdi pada penguasa, yakni para prijaji.19

Secara umum, khalayak tahu bahwa apa yang disebut priyayi adalah seorang

dengan darah bangsawan yang mengalir dalam tubuhnya. Namun lain halnya

ketika kata priyayi telah bergeser maknanya. Priyayi, menurut Tirto, telah

bermakna pegawai negeri.20

Mengenai makna priyayi yang diartikan sebagai gelar administratur dan

tidak melulu genetis ini juga tergambar dalam cerita bersambung Tirto dalam

Medan Prijaji „Busono‟. Dalam kisah itu, Busono, yang merupakan alter-ego dari

sang penulis berbincang dengan asisten Residen Bandung. Busono ditawari

pekerjaan sebagai pegawai pajak dengan gaji f 40,- tiap bulan. Namun tawaran itu

ditolaknya, “ia mengucapkan banyak terimakasih. Malah dijanjikan kepadanya

akan diangkat menjadi priyayi segala. Tapi ia menolak”. Dari secuplik kisah

tersebut, kita dapat melihat bahwa pada masa itu, priyayi tak lagi melulu berdasar

darah, tapi bisa diberikan oleh „yang berwenang‟ dengan cara menjadi hamba

penguasa.21

19Bandingkan Abdurrachman Soerjomihardjo,dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah

Pers di Indonesia..., h. 77

20 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula... h.20, catatan kaki no.21

21

Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.405

53

Pengertian senada juga datang dari Van Niel, menurutnya priyayi adalah

administratur, pegawai pemerintah, dan orang berpendidikan yang berada di

tempat lebih baik dan bisa pula disebut elit.22

Dalam pada itulah Tirto

memaksudkan Medan Prijaji sebagai penyeru anak negeri agar jangan mau

menjual diri pada bangsa yang memerintah, sebab sejatinya mereka adalah anak-

anak bangsa yang terperintah yang justeru harus membebaskan bangsanya dari

belenggu kolonial.

Upaya penyadaran ini menjadi penting mengingat predikat priyayi dan

semacamnya seolah senjata kolonial untuk memberikan kehormatan semu pada

pribumi, yang sebelum masuk kolonial, tergiur dengan kehormatan bangsawan

feodal. Maka ini diihat sebagai peluang, sehingga sebagaimana dikutip dari

Fromberg, seorang Bupati berulah selayaknya pengeran feodal meskipun tetap

harus tunduk pada Residen yang berkebangsaan Belanda.23

Mari kita tengok semmboyan dari surat kabar yang merepotkan kolonial

ini. Pada tahun 1909 selagi masih berupa mingguan yang “terbit tiap-tiap hari

Djemaat” Medan Prijaji mengidentifikasi diri selaku “Swara oentoeq sekalian

radja-radja bangsawan asali, bangsawan pikiran, prijaji-prijaji dan kaum moeda

dari bangsa priboemi serta bangsa jang dipersamahken dengannja di seloeroeh

Hindia Olanda”.24

Namun pada saat formatnya berganti menjadi harian, maka

berganti pula semboyannya. Dalam catatan Pramoedya, dan beberapa tulisan lain

juga senada, semboyan itu berbunyi “Soeara bagai sekalian radja-radja,

bangsawan asali dan fikiran, prijaji dan sudagar Boemipoetra dan officier-officier

22 Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia (Jakarta: Pustaka Jaya, 2009) h.31

23

Goerge M.T Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (Jakarta: Sinar

Harapan,1995) h. 14

24 Halaman muka Medan Prijaji 1909

54

serta saudagar-saudagar dari bangsa jang terprentah laenja jang dipersamakan

dengan anak negri di seloeroeh Hindia Olanda”.

Kendati terjadi perubahan, namun semboyan tersebut menunjukkan sikap

tentang gagasan „bangsa‟. Bahwa suatu bangsa tidak didasarkan pada status sosial,

kasta, terlebih ras. Sebab semua itu “dipersamakan” sebagai bangsa yang

“terprentah”.25

Perubahan ini tak banyak diperhatikan sebab umumnya orang

merujuk pada semboyan versi harian.

Menyangkut peran penting Medan Prijaji dalam membangun kesadaran

kebangsaan, Pramoedya Ananta Toer yang juga seorang „Tirtois‟ mengajukan

sebuah pertanyaan bermakna mendalam. Pram mengandaikan jika kerja

membangun kesadaran kebangsaan “...tidak melalui tradisi menggunakan pers

sebagai alat perjuangan dan pemersatu dalam masyarakat heterogen seperti

Hindia, bagaimana kiranya nasion Indonesia akan terbentuk?”.26

Disamping itu, Medan Prijaji pun kerap tampil sebagai Koran dengan

semangat jurnalisme advokatif dengan melakukan fungsi advokasi atas

permasalahan yang dihadapi rakyat pribumi. Berbagai upaya dilakukan sebagai

aksi pendampingan pada warga yang terjerat masalah, utamanya dalam perkara

hukum. Ini dilakukan Tirto dengan begitu lihai sebab memang ia memiliki

pemahaman yang lumayan baik seputar hukum. Melalui pengetahuannya itulah ia

melakukan pembelaan atas bangsanya, bangsa yang “terprentah”.

Sikap Medan Prijaji ini tergambar pada delapan azas yang dijadikan garis

pijakan bagi misinya; 1. Memberi informasi, 2. Menjadi penyuluh keadilan, 3.

Memberikan bantuan hukum, 4. Tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, 5.

25 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.47

26

Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.9

55

Mencari pekerjaan bagi mereka yang membutuhkan pekerjaan di Betawi, 6.

Menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi atau mengorganisasi diri, 7.

Membangunkan dan memajukan bangsanya, 8. Memperkuat bangsanya dengan

usaha perdagangan.27

Tak jarang akibat aksi pembelaan atas bangsanya itu, Tirto harus

berhadapan dengan aksi kekerasan berupa pencambukan, pemukulan, atau jerat

hukum kolonial. Berbagai tuduhan kerap diarahkan padanya. Persdelict, adalah

satu dari sekian batu sandungan yang kerap menghalang-halangi jejak

langkahnya. Buah akibat aksi kritisnya terhadap pejabat belanda bernama A.

Simon ini tergambar dalam karyanya „persdelict: Umpatan‟ yang dikutip

Pramoedya dari Medan Prijaji.28

Contoh lain adalah penggerebegan kantor Medan

Prijaji oleh sekelompok orang di bawah pimpinan seorang jurnalis muda yang

kelak mendirikan kantor berita Aneta, Dominique Willem Beretty perihal kasus

skandal Van Hulten yang diungkap Medan Prijaji.29

Di lain pihak, ia pun kerap kali harus berhadapan dengan aksi intrik busuk

beberapa orang licik yang bermaksud membunuh karakternya. Semua „karma‟ itu

tentu buah akibat dari tajamnya anak panah surat kabar yang berawal sebagai

mingguan berukuran 12,5 x 19,5 cm pada 1907 ini. Pada tahun 10 Desember

1908, tahun ke dua terbit, secara sah berdasarkan akta notaris, berdiri sebuah

perusahaan yang menaungi penerbitannya, NV Javasche Boekhandel en Drukerij

27 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.46

28

Perdelict. Oepatan dan Penistaan. Aspirant Controleur A. Simon Contra R.M. Tirto

Adhi Soerjo Hoofd Redacteur Medan Prijaji, dalam Medan Prijaji Th.III/1909, h. 224.

Bandingkan, Pramoedya Ananta Toer, „ Persdelict: Umpatan, A. Simon Kontra R.M. Tirto

Adhi Soerjo. dalam Sang Pemula ,h. 208. Artikel lain berjudul Persdelict dalam Medan Prijaji

tahun III, h.669 juga memuat hal serupa.

29 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.63-64

56

Schrijfbehoften Medan Prijaji.30

Pada tahun ke tiga, 1909, Medan Prijaji telah

memberi pertolongan pada sedikitnya 225 orang. Mulai dari tukang ikan di pasar

hingga sultan di luar pulau Jawa ditolongnya.31

Panah yang mengarah pada laku

semena penguasa kulit putih maupun kulit berwarna itu mengubah diri pada 1910

menjadi harian ditambah terbitan ekstra pada hari Minggu dengan oplah mencapai

dua ribu eksemplar.

Akhir hayat Medan Prijaji pada 22 Agustus 1912 bukan disebabkan oleh

rasa takut pada penguasa. Bukan pula oleh sebab kehabisan anak panah yang

terkenal tajam. Melainkan sebaliknya, mereka yang pernah dibuat „muntah darah‟

oleh panahan sang Jurnalis semakin banyak. Mulai dari pejabat kecil hingga sang

penguasatama, Gubernur Jenderal Idenburg tak luput dari pantauannya. Idenburg

diserang dengan sebuah artikel yang menyebutnya sebagai „kyaine‟ yang

menggunakan uang rakyat bukan untuk semestinya.32

Rupa-rupanya, serangan bertubi-tubi ini membuat para penguasa geram

dan memulai suatu upaya merontokkan Medan Prijaji. Dengan cara yang serba

misterius, Medan Prijaji dinyatakan pailit oleh sebuah operasi tersembunyi. Ini

akibat berita yang keras membuat pelanggan takut pada penguasa dan

menghentikan berlangganan. Sebagian dari mereka tidak membayar sehingga

Medan Prijaji digerogoti hutang. Ini membuat Tirto disandera dan kemudian

sekali lagi, dibuang.

Sedemikian beracun panah Medan Prijaji sehingga para penguasa

menghelat suatu permufakatan jahat untuk menyudahi teriakan protesnya yang

lantang. Betapa bahayanya surat kabar ini tampak dari pengakuan Rinkes dalam

30 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.49

31

Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.64

32 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.65

57

surat rahasianya untuk Idenburg pada 1912 yang menyatakan bahwa “.. dalam

mingguan yang kemudian jadi harian itu, di bawah pimpinan redaktur-kepala,

direktur, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo..... diserang dengan keras pemerintahan

dan para pegawai pemerintah, peraturan-peraturan pemerintah dihaja”‟.

Ia juga menekankan betapa Medan Prijaji „meracuni‟ kepala kaum

setengah terpelajar untuk mengupayakan perbaikan nasib. Dan “semua ditulis

dengan berani, dan dengan tegas, sehingga mengesankan pada pembaca dan

membuat mereka pertama-tama menyadari, harian itu sebagai pejuang untuk

kepentingan mereka yang orang harus menunjang dan mengikuti”.33

Berbahayanya harian ini dikukuhkan Rinkes sekali lagi pada 1915 dengan

suatu pengakuan tentang pengamatannya mengenai dunia surat kabar bahwa “pers

pribumi di waktu-waktu belakangan sama sekali tidak menimbulkan alasan serius

tertentu untuk mengeluh, (di waktu-waktu semasa Tirto Adhi Soerjo hal itu lebih

gawat).”34

Kekhawatiran serupa juga tampak dari suatu dokumen Kementerian

Daerah Jajahan Belanda mengenai tinjauan ulang atas Drukpersreglement 1856

yang dilaksanakan pada 1906 dalam Staatsblad no. 770, di mana salah satu

pasalnya menyebutkan bahwa Medan Prijaji termasuk berbahaya dengan

“...bahasa yang menghasut.”35

Nampaknya Medan Prijaji telah benar-benar

membuktikan diri sebagai ruang perlawanan. Mengutip Saleh Abdullah bahwa

33 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.67

34

Beginilah Tirto Adhi Soerjo dalam Majalah Seabad Pers Kebangsaan (Jakarta:

Indexpress, 2007) h. 17

35 Abdurrachman Soerjomihardjo,dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di

Indonesia, h. 303

58

perlawanan tidak sebatas ide. Melainkan ia memerlukan ruang aktualisasi diri

untuk menunjukkan bahwa resistensi itu ada.36

Dari secuplik sejarah pers di ranah bumi Nusantara, kita dapat melihat

suatu fenomena betapa pers memiliki kekuatan politik sebagai pembangun

identitas bangsa yang sedang ”menjadi”. Dan dalam gerak sejarah yang demikian

itu, meminjam istilah Taufik Rahzen, Medan Prijaji merupakan patok awal di

mana nasionalisme untuk pertama kali dibangkitkan dengan jalan revolusi cetak.37

C. R.M Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Kebangsaan

Dalam sebuah ungkapan indah yang dicatat pada kisaran 1904 di mana

wartawan hidup dalam semangat patriotisme, Joseph Pulitzer memberikan

gambaran mengenai siapa seorang jurnalis. Dalam pandangan Pulitzer, wartawan

adalah seorang yang berdiri di anjungan kapal, senantiasa melakukan pengamatan.

Ia mencatat laju pelayaran, menggambarkan keadaan cakrawala yang cerah.

Membuat laporan mengenai yang terdampar agar kapal selamat. Berteman dengan

badai dan kabut agar dapat segera kirimkan kabar bahaya. Seorang yang tidak

memikirkan gaji. Ia berada di sana demi kesejahteraan rakyat atau siapapun yang

mempercayainya.38

Sepak terjangnya dituangkan Pramoedya Ananta Toer dalam bentuk fiksi

berjudul Jejak Langkah.39

Jurnalis kita, Tirto Adhi soerjo, seorang yang disebut

36 Saleh Abdullah, Melawan Arus, Menguasai Ruang dalam Jurnal Wacana (Jogjakarta:

Insist Press, 2008) h. 7

37 Bataviase Nouvelles, no.04 Februari (Jakarta: Indexpress, 2007) h. 36

38

Pawito, Komunikasi Politik (Yogyakarta: Jalasutera, 2009) h. 127-128

39 Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah (Jakarta: Lentera Dipantara, 2006)

59

Dakhideae memiliki pandangan jauh menembus zaman.40

Ia digambarkan S. De

Vries sebagai seorang dengan daya kerja luarbiasa yang digambarkan dengan

“setiap saat ia bekerja untuk kemajuan bangsanya, namun semua hasilnya

dipersembahkannya pada umum, sehingga ia tidak mengenal kekayaan...” tirto

juga disebut sebagai jurnalis yang “memberikan bantuan paada semua orang yang

membutuhkan...”41

Seorang seperti beliau dan para pengikut jejak langkahnya bukan sekadar

pencari berita “mereka itu bukan news getter, tapi pahlawan perdjuangan nasional,

pelopor tjita-tjita persatuan dan kesatuan. Mulai daripada jang tertua seperti

Tirtohadisurjo dengan Medan Prijaji-nja...”42

dalam kalimat singkat, Max Lane

menyebutnya sebagai “seorang pribumi pertama yang menerbitkan koran harian

dan menggunakannya untuk mendorong perjuangan menentang kolonialisme...”43

Namun demikian, kerapkali ia kerjakan tugas jurnalistiknya itu dari

pembuangan. Tirto memang tidak dipenjara sebab kebangsawanannya

memberinya suatu forum previlegiatum. Tapi seebuah kalimat agaknya bisa

digunakan menggambarkan betapa ia bekerja dengan sebelah kaki di

pembuangan. Sebagaimana hampir rata-rata nasib para jurnalis dan redaktur di

daerah jajahan yang kritis akan menjadi seorang yang “...selalu bekerja dengan

satu kakinya di penjara”.44

40Daniel Dakhideae, Sang Perintis.

http://metrotvnews.com/index.php/metromain/newsprograms/2007/04/17/1298/ pena. tajam.

Tirto. Adhi. Soerjo. hari. pers. nasional.

41 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 6-7

42

Abdurrachman Soerjomihardjo,dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di

Indonesia,h. 355

43 Max Lane, Bangsa yang Belum Selesai (Jakarta: Reform Institut,2007) h.xxv

44

Abdurrachman Soerjomihardjo,dkk, Beberapa Segi.... ,h. 31

60

Beberapa kali pembuangan dihadapinya tak lain sebagai buah yang harus

ia petik dari ketajaman penanya. Sebagai seorang bangsawan keturunan Pangeran

Sambernyowo, Tirto termasuk orang yang „menabrak garis‟. Sebab ia terbilang

anti terhadap watak feodal. Dalam pandangannya, boleh jadi satu-satunya sisi

positif dari kolonialisme adalah mendobrak feodalisme, tapi lebih dari itu ia

memusuhinya sebagai sistem yang menindas.45

Sebagai siswa STOVIA, tentu ia memiliki modal intelektual. Namun

ketajamannya menjadi kian terasah ketika ia bertemu dengan Karel Wijbrands di

dapur berita surat kabar Pembrita Betawi, seorang jurnalis senior yang

mengajarkannya cara mengelola usaha surat kabar serta ilmu hukum agar tepat

dalam melangkah.46

Dalam pengamatan Pramoedya, ketajaman kritik Tirto atas

kolonial dalam tulisan-tulisannya kian menjadi setelah ia kembali dari

pembuangan di Maluku. Sebab di sana ia mendengar pengakuan tentang

kekejaman kolonial.47

Sejak di awal-awal karirnya di Pembrita Betawi, ia sudah disoroti akibat

keberaniannya mengungkap skandal J.J Donner, residen Madiun, dalam perkara

upaya perebutan posisi. Donner menghadapkan Bupati ke hadapan hukum dan

mengalahkan Bupati Madiun, Brotodiningrat yang kemudian dibuang ke Padang.

Hal ini terus diungkap Tirto dalam Pembrita Betawi, dan karenanya ia harus

berhadapan dengan penguasa kolonial.48

45 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 14

46

Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 25

47 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 45

48

Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 29

61

Sebagai seorang penggerak perlawanan atas kolonialisme, Tirto memiliki

anomalinya sendiri. Jika umumnya orang menganggap agak janggal bagi seorang

aktivis perlawanan berdekat-dekat dengan penguasa. Lain halnya dengan Tirto, ia

terbilang dekat dengan Gubernur Jenderal Van Heustz. Agaknya kedekatannya ini

sebagai salah satu faktor begitu beraninya ia mengangkat suatu berita yang tak

berani dibicarakan orang. Namun setelah Van Heutsz digantikan oleh Idenburg,

malapetaka dimulai. Gubernur Jenderal yang baru itu segera mengendus jejak

perlawanan dan mengambil tindakan atasnya. Kesempatan ini dibaca dengan jeli

oleh lawan sang jurnalis, A.Simon. baginya ini adalah kesempatan baik untuk

balas dendam. Tirto didakwa atas tulisan-tulisannya yang memojokkan

pemerintahan kolonial sebagai aparat yang mementingkan bangsa yang

memerintah yang tidak menghargai hak bangsa yang diperintah. Ia juga didakwa

atas tulisan yang menyebutkan bahwa pemerintah kolonial tidak memberikan

kebebasan bersuara dalam pers serta pembiaran korupsi resmi.49

Akibat dakwaan itu, ia dikenakan hukuman. Bukan penjara atau gantung,

berkat previlese yang dimilikinya ia beroleh pembuangan ke Teluk Betung.50

Kendati mulai dibuntungi perlahan, jejak langkahnya masih mendapat simpati.

Seorang yang entah siapa, mengiriminya surat puitis dari Eropa. Dalam surat itu

dikatakan bahwa “penghukuman tuan menyedihkan saya, kesedihan yang

mendalam....” dan untunglah ada satu pepatah Perancis yang menghibur perihal

tuduhan yang ditimpakan atas Tirto, “C’est le crime, qui fait la honte et non pas

l’𝑐 hafaud.. ”, “kejahatanlah yang telah membikin aib, dan bukan tiang gantungan”

. Sang pengagum melihat sosok jurnalis kita sebagai seorang juru selamat,

49 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 62

50

Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 56

62

seorang Mahdi bagi bangsanya. Ini terlukis puitis dalam surat yang sama seolah

ingin mengatakan bahwa ia dihukum bukan karena salah “orang telah menyalib

Mahdi-ku namun tetaplah dia Juruselamat-ku. Hari-hari pembuangan untunglah

bagi tuan bukan hari-hari penebus dosa..... tuan bukanlah penjahat. Di mata

mereka yang berpikiran waras, tuan tetap keturunan terhormat seorang Ario

Jipang dan seorang Pangeran Sambernyowo”.51

Dari pembuangan di Teluk Betung, alih-alih patah, pena Sang Pemula

malah kian runcing. Dalam pembuangan itu ia memberikan pada pembacanya

suatu “Oleh-oleh dari Tempat Pembuangan” yang mengatakan bahwa watak

“berbuat sesuka sendiri dan pilih kasih adalah penyakit kebanyakan orang yang

berkuasa di Hindia ini”. Setiap hari ia mendengar pengaduan betapa masyarakat

jauh dari kebebasan dan perlakuan adil. Ini membuatnya berang hingga “...darah

kita sedang mendidih, gigi kita menggigit bibir, dan hati berdebar-debar karena

murka sudah menggunakan pena...”.52

Begitu dendamnya ia pada kolonial terlukiskan dalam penuturan seorang

yang pernah berjumpa pada pembuangan di Ambon. Menurutnya, Tirto pernah

berkata “jika interniran saya dicabut, saya akan pergi ke Japan. Dan ajak Japan

pukul atau runtuhkan Hindia Belanda”.53

Sedemikian berbahayanya tokoh kita,

sehingga dibikin tak banyak orang mengenalnya. Tentu bukan suatu kebetulan,

melainkan suatu upaya yang terencana. Kita akan lihat bagaimana Tirto dilukiskan

51 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 56-57. Lihat juga Bataviase Nouvelles no.04

Februari 2007, h. 37

52 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 246

53

Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 168

63

dalam syair yang ditulis Priatman berjudul „Siapa Pelopor Djurnalistik di

Indonesia- 1875-1917‟ sebagai berikut:

“Raden Mas Tirtoadisoerjo

Nama kecilnja Djokomono

Keturunan Tirtonoto

Bupati Bodjonegoro

Peladjar S.T.O.V.I.A. di Djakarta

Penulis pembela Bangsa

Membasmi sifat pendjajah Belanda

Dengan tulisan jang sangat tadjam penanja

Membuka sedjarah djurnalistiknja

„Medan Prijai‟ warta hariannja

Suluh keadilan dan Putri Hindia

Ada dalam pegangan Redaksinja

Tiap perbuatan dari pendjadjah

Jang akan membuat lemah

Terhadap Nusa dan Bangsa kita

Diserang dan dibasmi dengan sendjata penanja

Akibat dari sangat tadjam sendjata penanja

Pendjadjah dengan kekuasaannja

Mendjatuhkan hukumannja

Marhum Tirtoadisurjo diasingkan dari tempat kediamannja

Lampung adalah tempat tudjuannja

Setibanja di pengasingan terus berdjuang

Tak ada tempo jang terluang

„ntuk membela Nusa dan Bangsanja

Pelopor Djurnalistik Indonesia

Tahun 1875 adalah tahun lahirnja

Pada tahun 1917 wafatnja

Mangga Dua di Djakarta beliau dimakamkannja ”54

Dalam sang Pemula, Pramoedya memberi catatan mengenai syair ini.

Menurutnya terdapat ketidakakuratan mengenai tahun lahir dan wafat Tirto yang

seharusnya 1880-1918.55

Kini makamnya pun telah dipindah di sebidang tanah

berpagar yang dijadikan makam keluarga di tengah pemakaman umum di daerah

Blender, Bogor.

54 Priatman, Perdjoangan Indonesia dalam Sedjarah (Bogor: Badan Penerbiit

Patani,1950) h.89

55 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.3

64

Mengingat jejak langkahnya sebagai jurnalis yang „berbahaya‟, bukan

mustahil bahwa kiprahnya dihilangkan dari sejarah nasional. Bahkan upaya

menghapus kiprah Tirto ini sudah dimulai sejak ia masih hidup. Mengenai hal ini,

sedikitnya kita bisa menyebut tiga nama agen rahasia Belanda yang membuntuti

dan mencatat tindak-tanduknya, Dr. C. Snouck Hurgronje, Dr. G.A.J. Hazeu, dan

Dr. D.A. Rinkes yang melakukan upaya sistematis untuk mencitrakan Tirto

sebagai sosok yang bermasalah.56

Muhidin M Dahlan menyebutnya sebagai

operasi arsivaris yang bertujuan menghabisi jejak perjuangan Sang Pemula.57

Singkat kata, Tirto dikriminalisasi karena kerja jurnalistiknya dianggap berbahaya

bagi kolonial, sebagaimana diakui sendiri oleh Tirto bahwa “dengan bekerja

sebagai redaktur koran, saya bisa menggerakkan hati bangsa dan menggugah

mereka yang masih tidur nyenyak agar mulai menyadari kewajibannya ”.58

56 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 4

57

Muhidin M Dahlan, Revolusi yang Lahir dari Cetak dalam BASIS Januari-Februari

2009, h.6

58 Iswara N Raditya, Karya-karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo; Pers Pergerakan dan

Kebangsaan (Jakarta: I;BOEKOE, 2008) h.7

65

BAB IV

NASIONALISME CETAK, PERLAWANAN PERS TERHADAP

PENJAJAHAN KOLONIALISME

Bahasa menunjukkan bangsa, demikian bunyi sebuah adegium yang kerap

menyambangi daun telinga. Kalau memang benar demikian adanya, lantas sejauh

mana bahasa berpengaruh dalam upaya komunal mengidentifikasi dirinya sebagai

satu kesatuan bangsa dengan kriteria tertentu. Berikut akan saya paparkan

mengenai bahasa sebagai identitas sebuah bangsa yang memainkan peran melalui

suratkabar.

A. Linguafranca sebagai Identitas Bangsa

Setelah pada bab kedua kita telah membahas teori mengenai bagaimana

pers mengkonstruksi realitas bernama bangsa, maka Pada bagian ini kita akan

sedikit memberikan penekanan mengenai bagaimana bahasa bukan hanya sebagai

pelengkap identitas, namun lebih dari itu menjadi sarana pembentukan sebuah

bangsa. Tentu masih dalam rangka menjelaskan peran pers, dalam hal ini Medan

Prijaji, untuk memainkan sepak terjangnya di alam penghisapan kolonial untuk

pada akhirnya memberi tempat pada bahasa untuk menegaskan dirinya sebagai

sebuah bagian yang menjadi instrumen penting dari pembentukan sebuah bangsa.

Sebagaimana Loomba mengutip Ben Anderson bahwa di tengah proses

menjalin ikatan-ikatan antara komunitas yaang tak pernah saling tatap, suratkabar

memainkan peran menciptakan budaya, kepentingan, dan kosa kata bersama yang

66

menciptakan „bahasa cetak‟ tertentu.1 Dalam hal ini, apa yang dimaksud dengan

„bahasa cetak „ itu adalah linguafranca yang dirumahkan suratkabar.

Sebagaimana dikatakan Perry Anderson dalam “Modernity and

Revolution”, kebudayaan adalah kesadaran yang dirumuskan dengan aktivitas

bahasa. Bahasa adalah praktik kesadaran, sebagaimana kesadaran, hanya muncul

dari kebutuhan; kebutuhan terhadap pergaulan dengan manusia lain. Dengan kata

lain, kesadaran tertentu merupakan produk dari hubungan sosial tertentu.2 Kita

tentu masih ingat betapa bangsa juga diandaikan sebagai suatu „hubungan sosial

tertentu‟.

Sekarang bagaimana halnya dengan bahasa dan bangsa dalam kaitannya

dengan topik pembahasan kita. Dalam kasus Medan Prijaji, tentu kita bisa melihat

sekilas mata bahwa bahasa lingua franca yang digunakan sebagai bahasa

operasional media cetak tersebut. Namun, ternyata lingua franca yang semula

„berkeliaran‟ di pasar-pasar sebagai bahasa perdagangan itu bertransformasi

menjadi suatu yang tak sekadar transmisi antara penjual dan pembeli. Dalam

„asuhan‟ Medan Prijaji, bahasa yang pada akhirnya menjadi bahasa Nasional kita

ini, bermetamorfosa menjadi identitas budaya sekaligus politik, yang menarik

garis tegas antara “kami” dan “kalian”.

Dalam hal ini, “kami” dan “kalian” yang saya maksud tentu tidak lain

adalah “bangsa jang terprentah” dan “bangsa jang memerentah”. Dan ini

merupakan suatu instrumen penting bagi Bangsa yang berawal sebagai sebuah

1 Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme (Jogjakarta: Bentang, 2003) h.241

2 Perry Anderson, Modernity and Revolution, Newleft Review. No. 144, Maret-April

1984. Dalam Razif, Bacaan Liar: Budaya dan Politik Pada Zaman Pergerakan. (Geocities) h.8

catatan kaki no.10

67

kumpulan terpisah komunitas etni yang sedang mangalami demam kesadaran akan

suatu di luar dirinya. Realitas yang dipungut dan terkonstruk dalam pengandaian

akan sebuah entitas bangsa. Dan pada akhirnya, dalam suratkabar yang diasuh

Tirto ini, bahasa benar-benar menarik garis pembatas antara sebuah Bangsa yang

tertindas dan dicitrakan terbelakang dengan Barbarian yang dicitrakan „beradab‟,

atau meminjam istilah Lenin ”Civilized Barbarism”,3 dalam menggambarkan

betapa di balik gemerlap glamor kehidupan „beradab‟ dua kota, London dan Paris

ternyata tersimpan wajah menakutkan dari monster Kapitalisme. Dan dalam

konteks Nusantara, monster itu adalah sekelompok penghisap yang

mengeksploitasi habis harta benda milik bumi Nusantara di bawah panji

kolonialisme.

Mengenai bagaimana bahasa bekerja mengkonstuk bangsa. Ini merupakan

pembahasan menarik. Pertama, kita kembali mengingat bahwa bangsa kita

terbentuk dari sekumpulan komunitas etni. Ini berarti bahwa keduanya, yakni

bangsa dan suku bangsa, merupakan kelompok fenomena yang sama, dengan

kesadaran berbeda. Kesadaran yang pada awalnya hanya berupa ke „kita‟an dalam

batasan kesukuan bertransformasi dengan memperluas jangkauan ke „kita‟an

menjadi tidak hanya berdasar pada gen 4 dan etnisitas, tapi lebih terbuka dan

menjadi kesadaran kolektif. Ini dapat terjadi salah satunya berkat media massa

yang mampu „melipat jarak‟ sehingga proses pembagian kesadaran ke „kita‟an

menjadi lebih massif dan efektif.

3 V.I. Lenin, Civilized Barbarism dalam V.I. Lenin on Britain (Moscow: Foreign

Languages Publishing House) h. 187

4 Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009) h.90

68

Dalam pandangan De Fleur dan Ball- Rokeach, ada berbagai cara media

massa mempengaruhi bahasa, di antaranya dengan menciptakan istilah baru. Pada

gugusan sejarah di masa pendudukan kolonial, kita bisa melihat betapa tradisi

pendidikan modern mengenalkan istilah baru yang berkaitan erat dan berpengaruh

dengan pergerakan semisal vergadering, voordracht (pidato), accoord (setuju),

vakbonden (serikat buruh), communisme,Islamisme, dan tentunya nasionalisme.

Takashi Shiraishi menyebutkan bahwa istilah baru ini merupakan penanda bentuk

baru politik pergerakan yang menancapkan akarnya pada bahasa melayu. Dan

menurut Shiraishi “ Untuk memahami persoalan ini kita cukup mengingat kembali

Tirtoadhisoerjo”.5

Dalam kaitannya dengan Medan Prijaji, istilah baru yang

diciptakan adalah terminologi „bangsa‟, yakni „bangsa jang terprentah‟ dan

„bangsa jang memerentah‟. Kita tahu bahwa pada masa itu, kata bangsa biasanya

identik dengan etnisitas, misalnya bangsa Jawa, bangsa batak, dan semacamnya.

Namun Medan Prijaji melahirkan istilah dengan pengertian yang juga

baru. Bangsa tidak lagi dipahami sebagai Jawa, Madura, Batak, Ambon dan lain-

lain. Tapi sebagai ke‟kita‟an yang merupakan hasil relasi sosial yang dibangun

diatas pondasi kesadaran kolektif. Sebagaimana dikatakan Saussure bahwa

pandangan kita tentang realitas dikonstruksi oleh kata-kata6, maka di titik inilah

bahasa, melalui suratkabar, tidak hanya memantulkan realitas dalam sebuah

cerminan apa adanya, tapi lebih dari itu, sebagai sarana konseptualisasi, ia

mengkonstruk realitas7 tentang bangsa dengan pengertian yang sama sekali baru.

5 Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Jawa 1912-1926 (Jakarta:

Grafiti,2005) h.470

6 Alex Sobur, Analisis Teks Media....h.87

7 Alex Sobur, Analisis Teks Media... h.91

69

Pandangan konstruktivisme seperti Peter Berger maupun yang datang dari

kaum Marxis juga berpandangan senada, bahwa penggunaan bahasa dalam suatu

proses sosial ditujukan bukan hanya mendefinisikan, tapi juga mengkonstruksi

realitas dalam relasi kuasa tertentu.8 Tentu kita tidak dalam porsi membahas

politik bahasa secara mendalam, namun demikian, penggunaan linguafranca

menjadi pilihan strategis dalam upaya penyebaran kesadaran kolektif mengingat

bahasa tersebut digunakan oleh lapisan penduduk yang lebih banyak. Tentu

pilihan ini menjadi efektif mengingat apa yang dilakukan Medan Prijaji sejatinya

adalah counter-hegemony terhadap wacana yang disebarkan penguasa kolonial

baik menyangkut kolonialisme sebagai praktik ekonomi politik maupun budaya

yang disusupkan di antaranya. Berikut akan kita lihat bagaimana Medan Prijaji

menentukan sikap perihal bahasa pilihannya itu:

“... dalam tempat tempat pesisir itoe dimana bahasa kita soeda bertempat moela

moela, dalam bahagian berbanjak dalam koempoelan Hindia pada raajat negrinja di

dapet penggoenannja lingua franca, jani Melajoe rendah jani Melajoe jang sederhana

ditjampoer dengan roepa-roepa tjampoeran dari itoe bahasa Melajoe rendah sahaja

tida maoe kata djahat. Itoe ada bahoea jang berfaedah dan kerna sederhana

rangkaianja gampang dipeladjari olih dan antara berdjenis djenis raajat itoe.....”9

Dalam tulisan yang cukup panjang ini, sikap Medan Prijaji menyangkut

bahasa pilihannya sebagai identitas sebuah bangsa sangat jelas bahkan gamblang

tanpa tedeng aling-aling. Meminjam kacamata Taufik Rahzen, Seorang pemerhati

sejarah media yang juga mengidolakan Tirtoadhisoerjo, bahwa perjuangan surat

kabar inilah yang disebut sebagai nasionalisme cetak atau print-nationalism, yakni

nasionalisme yang bukan hanya memfungsikan pers sebagai sarana propaganda

8Dedy N Hidayat, Politik Media, Politik Bahasa dalam Proses Legitimasi dan

Delegitimasi Rejim Orde Baru dalam Dari Keseragaman Menuju Keberagaman (Jakarta: LSPP,

1999) h.47

9 T.A.S, Behasa Olanda di Hindia Olanda dalam Medan Prijaji th.III ( NV. Medan

Prijaji, 1909). h. 446-447

70

tapi lebih dari itu, merumahkan bahasa sebagai identitas budaya dan politik

bangsa, sebab pada bahasa tersirat gugusan politik identitas yang dirajut dalam

surat kabar.10

B. Kritisisme Medan Prijaji Terhadap Penguasa

Sebagaimana telah saya tuliskan pada bab kedua, dalam karya berjudul

Pers dan Massa, Njoto mengatakan bahwa “suratkabar tidak mungkin mengambil

jalan tengah atau tidak berpihak”. Pandangan ini kembali saya kutipkan sebagai

sebuah penekanan bahwa pada keadaan sebagaimana Medan Prijaji tumbuh dan

berkembang, yakni dalam nuansa penghisapan kolonial atas bangsa tanah koloni,

atau meminjam istilah Medan Prijaji penjajahan „bangsa jang memerentah‟ atas

„bangsa jang terprentah‟, mustahil bagi sebuah surat kabar untuk tidak berpihak

atau bersikap netral mengingat watak dasar Medan Prijaji sebagai pers yang

berpolitik.

Ini sekaligus menjelaskan bahwa sejak dari jargon, koran berlambang

kesatria memanah yang sempat mencapai oplah dua ribu eksemplar ini sudah

menentukan ke arah mana keberpihakannya ditujukan. Keberpihakan pada rakyat

tertindas yang diidentifikasi dengan nama „bangsa jang terprentah‟ ini

diartikulasikan dalam tulisan-tulisan yang menggigit. Baik fiksi maupun non fiksi,

keduanya memiliki daya tonjok yang telak mendarat di pelipis kekuasaan. Oleh

sebab gaya penulisan yang menyerang sekaligus sinis, surat kabar yang ngeh

politik ini kerap mendapat serangan balik dari pihak-pihak yang merasa aibnya

dibongkar.

10 Taufik Rahzen, Seratus yang Membangun Rumah Bahasa dalam Tanah Air Bahasa:

Seratus Jejak Pers Indonesia (Jakarta: I:BOEKOE, 2007) h.420-424

71

Karena konsistensinya mengawal kaum tertindas, Medan Prijaji juga

diberi predikat sebagai koran pengusung jurnalisme advokasi. Keadaan Medan

Prijaji yang demikian itu adalah suatu tanda betapa surat kabar memiliki daya

advokasi dan oleh karenanya ia tidak hanya hadir, tapi dirindukan oleh rakyat

kecil. Suatu keadaan di mana „teekenend dat de kleine man in den journalist zijn

verdendiger ziet...‟, bahwa orang kecil memandang jurnalis sebagai pembela

mereka.11

Tema dari artikel kritis suratkabar yang kerap merongrong penguasa ini

beragam. Namun dua diantaranya yang mencolok dan senafas dengan tema kita

adalah tema seputar kritik terhadap penguasa di satu sisi dan „sentimen

kebangsaan‟ di lain sisi. Namun sebenarnya kedua sisi tersebut memiliki satu

sasaran yang sama dan kadang kedua tema tersebut termuat dalam satu artikel,

kritik terhadap „bangsa jang memerrentah‟ yang kelak melahirkan konsekuensi

berupa lahirnya rasa ke‟kita‟an. Bahwa „kita‟ yakni „bangsa jang terprentah‟

berbeda, dan harus mengatakan tidak terhadap „mereka‟ yang tak lain „bangsa

jang memerentah‟.

Berkenaan dengan itu, tidak satu dua permasalahan yang dicuatkan oleh

suratkabar pembangkit bumiputra dari tidurnya ini. Tidak sedikit pula kasus yang

disorotinya berkenaan dengan laku semena para penguasa, baik itu dari bangsa

Eropa maupun bangsa pribumi yang bersatu dengan bangsa jang memerentah.

Boleh jadi watak konfrontatif dalam mengawal kasus kaum lemah dan kritik atas

penguasa ini yang membuat Medan Prijaji kerap berurusan dengan hukum.

Berikut kita akan melihat sebuah berita yang dimuat Medan Prjiaji berkenaan

11 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula (Jakarta: Hasta Mitra, 1985) h.211

72

dengan kritik-kritiknya terhadap penguasa, salah satunya adalah kritisisme Medan

Prijaji dalam upaya menolong orang-orang desa Bapangan atas laku kuasa

Aspirant Controleur Purworedjo, A. Simon yang berbuntut panjang.

Gambaran dari peristiwa saat itu kira-kira sebagai berikut; “.... kita

didakwa soeda mengoepat saakan akan kita ada toedoeh Asp. Controleur itu

terima smeer, tetapi toedoehan ini tida di terima olih en Raad van justitie en olih

Hof besar sehingga kita terlepas dari.... toedoehan itoe; akan hal ini soerat-soerat

kabar melaijoe jang ternama soeda menjatakan kegirangannja”.12

Dalam artikel yang sama, Tirto yang menulis dengan nama pena berupa

inisial T.A.S, mengutipkan suatu keadaan perkembangan kritisisme media yang

diberitakan ulang Medan Prijaji dari Java Bode No.226 bahwa pers bumiputera

sudah menggeliat luarbiasa maju. Dalam artikel itu, dikatakan bahwa “bagi

kebaekannja gerakan boemi poetra maka pers anak negeri ta‟akan moenkir lagi.

Maka boemi poetra soedah berdiam diri sekian lamanja, tetapi sekarang soedah

moelai hendak majoe, dan pers-pers disini soedah berterejak pandjang lebar”.13

Semangat yang berapi-api nampaknya juga akibat disulut rasa simpati dari

„orang-orang kecil‟ yang menuliskan surat berisi dukungan mereka untuk

berhadapan dengan sang Aspirant yang juga dimuat dalam Medan Prijaji sebagai

berikut:

“ Dipersembahkan pada toeankoe Raden Mas Tirtohadisoerjo jang berpangkat

hoofdredakteur Medan Prijaji di Bogor.

Hamba, 1.Soetodikromo, 2. Himan Djojo, 3. Mangoenkarso, 4. Matkarip, mendengar

kabar djikaloe padoeka didakwa olih toean Apirant Controleur Poerworedjo perkara

12 Tirtoadhisoerjo, Doenia Soerat-soerat Chabar Boemipoetra dalam Medan Prijaji

tahun III (NV. Medan Prijaji,1909) h.906

13 Tirtoadhisoerjo, Doenia Soerat-soerat Chabar Boemipoetra.., h. 902

73

padoeka soeda toeloeng pada hamba dan teman-teman semoea sedjoemblah 236

(orang). Hal itoe djangan koewatir djikaloe padoeka toean didenda, hamba orang 236

jang bersanggoep bajar, memang itoe poetoesannja toean tida adil.....”14

Seteru antara kedua pihak, Medan Prijaji kontra A. Simon ini dipertajam

dengan suatu kalimat sarkastik ketika Medan Prijaji menyebut A. Simon sebagai

Snot- aap alias monyet ingusan. Ini berawal dari kecurangan persekongkolan

politik dalam upaya memenangkan salah satu calon Lurah yang sudah kalah suara

pa pemilihan di distrik Cangkrep, Bapangan.15

Tak melulu mengenai sistem pemerintahan, Medan Prijaji juga menyoroti

ketidakberesan lain yang menurutnya harus diwartakan. Seolah tak rela

ketidakberesan itu terlanjur dianggap wajar, maka lekas-lekas ia menghantamnya.

Berikut adalah suatu kritik yang diwartakan menyangkut perilaku hidup mewah

seorang bupati yang “...soeda mendadak bisa bli automobiel bebrapa

sehinggaarganja betreak seperti treaknja boereoeng podang, ewoe, ewoe woe!!!

...”, usut punya usut ternyata kekayaan mendadak itu datang setelah “...ada fabriek

goela” yang dibuka di daerah sang Bupati. Alhasil dengan segala kepemilikan

bupati yang mewah itu “... orang ketjil soeda takoet dan srahkan sawahnja pada

paksa Bupati automobiel itoe akan disewa boeat kebon teboe...”.

Dan tentunya, akibat nafsu sang Bupati memperoleh untung dari upaya

penanaman tebu itu, ia perluas ladang tebu sehingga “orang ketjil betreak tida bisa

14 Soeratnja orang-orang desa Bapangan pada Hoofd Red M.P. dalam Medan Prijaji Th.

III/ 1909 h. 15

15 Perdelict. Oepatan dan Penistaan. Aspirant Controleur A. Simon Contra R.M. Tirto

Adhi Soerjo Hoofd Redacteur Medan Prijaji, dalam Medan Prijaji Th.III/1909 h. 224. Sebagai

catatan, Pramoedya Ananta Toer dalam Sang Pemula menuliskaannya dengan „Persdelict:

Umpatan, A. Simon Kontra R.M. Tirto Adhi Soerjo. Lih. Sang Pemula h. 208. Dalam Sang

Pemula, Pramoedya juga kerap mengubah tidak hanya ejaan tapi juga redaksional yang berbeda

dari teks asli Medan Prijaji. Dan itu diakuinya agar membuat nyaman para pembaca.

74

tanam padi atau polowidjo”. Dengan gaya bahasa yang sangat meledek, seperti

menyisipkan suara burung Kepodang tadi, Tirto menutup artikel itu “Eeee! Main

Ewoe Ewoe sadja! Apa lagi nanti kalau soeda giling, ewoe, ewoe orang dipaksa

djadi koeli, sebab, ewoe ewoe soeda masoek di kabopaten...”16

boleh jadi bunyi

kepodang yang dimaksudnya adalah bunyi mesin giling tebu. Kesulitan rakyat

kecil semacam ini digambarkan juga dalam Medan Prijaji dengan sebuah pantun

mengenai pemaksaan pemerintah pada rakyat untuk menanam sirih, dan jika

tidak, maka akan diancam hukuman, “melak seureuh di boeroehan, oi!. Prentah ti

kawedanaan, oi!. Abong menak pamarentahan, oi!. Henteu njaah kasamahan, oi!”,

menanam sirih di halaman, perintah dari kewedanaan, mentang-mentang pejabat

negeri (prijaji), tidak kasihan pada orang kecil.17

Kritisisme surat kabar yang menggunakan gaya bahasa menyerang ini tak

hanya berhenti pada upaya memanah penguasa baik lokal maupun penjajah asing

saja. lebih jauh lagi, bersamaan dengan itu ia menghembuskan sentimen

ke‟kita‟an dengan langsung menarik garis antara „bangsa jang memerentah‟ yakni

kolonial belanda beserta gigi roda penindasannya yang merupakan orang

bumiputera, dengan „bangsa jang terprentah‟ sebagaimana tertuang pada bagian

berikut.

C. Sentimen Kebangsaan Medan Prijaji: „Bangsa Jang Terprentah‟ dan

„Bangsa Jang Memrentah‟

Dalam pengertian yang paling sederhana, kolonialisme dapat diartikan

sebagai penghisapan kaum kolonialis atas tanah koloni atau jajahan. Sedangkan

16 TAS, Baoe Goela dalam Medan Prijaji tahun III (NV Medan Prijaji, 1909) h.787

17

Kamerdikaannja Peladang Kita dalam Medan Prijaji tahun III, h. 713

75

pengertian lebih jelas dapat kita lihat sebagaimana dikatakan oleh Ronald

Horvath:

“It seems generally, if not universally, agreed that colonialism is a form of

domination- the control by individuals or groups over the territory and/or behavior of

other individuals or groups. Colonialism has also been seen as a form of expolitation,

with emphasis on economic variables, as in the Marxist-Leninist literature, and as a

culture-change process, as in anthropology...”18

Dari kutipan di atas, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa hakikat

dari kolonialisme adalah upaya eksploitasi yang dilakukan perorangan maupun

kelompok, yang dapat berpengaruh tidak hanya secara ekonomi, tapi juga

berdampak pada budaya. Pandangan senada namun agak berbeda dengan

penekanan pada penghisapan ekonomi juga tercermin dari pernyataan Marco

bahwa menurutnya, kolonialisme adalah “...kapitalist Europa...” yang dinilai

Marco ”soedah sama bersepakat dengan bangsanja kapitalis alias membikin

Maatschappij jang besar-besar, dan akalnya menggaroek oeang, jaitoe menghisap

darahnja kromo....”.19

Pendapat tersebut mengindikasikan bahwa dampak kolonialisme tidak

hanya melulu berkutat pada ranah perekonomian tapi juga bergerak dan

berpengaruh pada aspek lain semisal tatanan sosial. Mengenai hal ini, kita bisa

melihat melalui sejarah kolonialisme yang setelah secara membabibuta

memberlakukan tanam paksa, pada gilirannya menerapkan liberalisasi ekonomi di

bumi Nusantara. Akibat dari penerapan sistem tersebut, modal swasta asing

18 ”rupanya secara umum, jika tidak secara keseluruhan, disepakati bahwa

kolonialisme adalah bentuk dominasi. Kontrol perorangan atau kelompok keluar teritori dan atau

sikap dari perorangan atau kelompok lain. Kolonialisme juga telah dilihat sebagai bentuk

eksploitasi, dengan penekanan pada variabel ekonomi, sebagaimana terdapat pada karya Marxis-

Leninis, dan sebagai sebuah perubahan budaya, sebagaimana terdapat pada kajian antropologi”

lihat Ronald Horvath, A Definition of Colonialism dalam Current Anthropology vol.13. no.1

(Chicago, 1972) diambil dari http://www.jstor.org

19

Razif, Bacaan Liar; Budaya dan Politik.... (Geocities) h.3

76

mengalir deras dan akhirnya berdirilah kegiatan ekonomi berlandaskan

industrialisasi. Singkatnya, pabrik-pabrik didirikan dan sawah berubah wujud

menjadi perkebunan. Ini bermula dengan diterapkannya sistem sewa tanah yang

mengubah tatanan sosial masyarakat. Sisi positif dari perubahan ini adalah

terkikisnya feodalisme, namun sisi negatifnya melahirkan kemelaratan rakyat. 20

Ania Loomba menyebut kolonialisme sebagai suatu penaklukan dan

penguasaan tanah dan kepemilikan rakyat oleh „orang lain‟. Lebih spesifik, dalam

kasus kolonialisme Eropa atas tanah koloni disebut sebagai kolonialisme modern.

Ini dilakukan untuk membedakannya dari kolonialisme lama yang merupakan

penaklukan-penaklukan pada zaman Aztec, Inca, Roma, dan sebagainya. Dalam

pandangan marxis, kolonialisme modern sejalan dengan ditegakkannya

kapitalisme Eropa Barat, sementara kolonialisme lama berada pada tahapan

prakapitalis.21

Apa yang sedari tadi kita sebut dengan „kesadaran kebangsaan‟ yang pada

gilirannya melahirkan bangsa, sejatinya merupakan respon atas sistem eksploitasi

para penghisap ini. Ian Adams menyebutkan bahwa merupakan pola yang wajar

ketika kemunculan nasionalisme merupakan suatu reaksi atas kolonisasi Eropa.22

Dalam istilah lain, kita bisa mengatakaan bahwa kolonialisme pada akhirnya harus

menemui takdir menggali lubang kuburnya sendiri, dan lubang kubur itu bernama

nasionalisme. Sebagaimana telah saya jelaskan sebelumnya, bahwa cangkul yang

digunakan oleh kolonialisme itu bernama politik etis. Ada sebuah perkataan

menarik dari Adams di mana ia mengatakan bahwa orang-orang Eropa sendiri,

20 Zainul Munasichin, Berebut Kiri (Jogjakarta: LKIS, 2005) h. 1-4

21

Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme.. h.2-5

22 Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir (Jogjakarta:Qalam, 2004) h. 131

77

tentu dalam konteks ini ia memaksudkannya dalam kapasitas kolonial, yang

memberikan perkakas kepada kaum nasionalis yang akhirnya mampu

menumbangkan kekuasaan sang pemberi alat-alat berupa modernisme dan ide-ide

dari Eropa seperti nasionalisme, Hak asasi dan sebagainya.23

Pada pembahasan sebelumnya, kita telah bertemu dengan beragam

pengertian bangsa dari berbagai cara pandang yang di dominasi oleh pengalaman

sejarah kesadaran kebangsaan Eropa. Dalam bab ini saya akan memaparkan

sebuah cara pandang yang datang dari anak Negeri. Suatu gagasan tentang bangsa

yang lahir dari kepala anak negeri dengan keunikan dan pengalaman sejarah

bangsanya sendiri. Namun demikian, pada bagian ini kita tentu masih akan tetap

bersinggungan dengan pengertian bangsa berdasar pengalaman Eropa.

Melalui corong suara pergerakan bernama Medan Prijaji, Tirto

menawarkan kepada kita sebuah cara pandang khas mengenai bangsa. Dalam

gagasannya tentang bangsa, Tirto melakukan klasifikasi kelompok manusia ke

dalam dua kategori bangsa antara “jang terprentah” dan “jang memerentah”,

istilah ini ternyata tidak sesederhana pelafalannya. Cara pandang Tirto seolah

mengingatkan kita pada cara pandang Kelas a la Karl Marx. Istilah ini bukan

sekadar jargon yang kerap dirapal Tirto sepanjang khotbah politiknya atau dalam

rangka meyakinkan kawan seperjuangannya. Namun dalam cara berpikirnya yang

maju, ia benar-benar menuangkan cara pandang „pertentangan kelas‟ ini ke dalam

bingkai berpikir suratkabar yang menjadi duta pemikirannya. Ini yang kemudian

menjadikan frame Medan Prijaji menampilkan sosok berita yang frontal, tanpa

23 Ian Adams, Ideologi Politik.... h. 131.

78

tedeng aling-aling. Sebab dalam pandangan Medan Prijaji dan sang Mpu-nya,

musuh sangat jelas di depan mata.

Melalui cara pandang ini pula kita dapat memasuki alam pikiran Medan

Prijaji dan sang Hoofdredactueur yang juga tertuang dalam artikel-artikelnya

tentang pembayangan sebuah bangsa. Pada literatur yang membahas seputar masa

kolonial di bumi Nusantara, kita akan mendapati sederetan nama semisal Jong

Java, Jong Celebes, Jong Ambon, dan semacamnya. Ini mengindikasikan betapa

watak kedaerahan pada masa itu masih begitu kuat, masih terfokus pada

ke‟kita‟an dalam lingkup komunitas etni ,dan pada saat yang sama belum ada

pemikiran tentang suatu entitas bangsa.

Kalau toh ada, apa yang disebut dengan bangsa pada masa itu berbasis

pada dasar kesukuan atau etnisitas sebab pada masa itu komunitas dari daerah

tertentu disebut bangsa, misalnya Bangsa Ambon, Bangsa Celebes, Bangsa

Borneo, bangsa Sumatera, bangsa Jawa, dan sebagainya. Di tengah keriuhan

bangsa-bangsa itu Tirto menggunakan istilah yang sama sekali baru, „Bangsa Jang

Terprentah‟. Suatu gagasan tentang kumpulan manusia yang berada di luar realitas

maupun pikiran masyarakat saat itu.

Dari sini kita bisa melihat bahwa apa yang Tirto inginkan dengan

istilahnya itu setidaknya ada dua. Pertama, ia ingin menarik orang-orang untuk

keluar dari kesadaran kedaerahan menuju kesadaran kebangsaan.24

Kedua, ia ingin

menyibak selubung penghisapan bernama kolonialisme dengan menyadarkan

rakyat bahwa mereka, kaum kolonial, adalah bangsa „jang memerentah‟ yang

24 Bandingkan R.E. Elson, The Idea of Indonesia (Jakarta: Serambi, 2009) h.22

79

dengan semena-mena mengatur kehidupan anak negeri dan pada saat yang sama

melakukan penindasan dalam berbagai aspek kehidupan.

Padahal sejatinya sebuah bangsa, selayaknya seorang manusia, bukan

berangkat dari apa yang orang pikirkan, tapi dari realitas yang memang ada.

Meminjam istilah Marx dalam German Ideology bahwa kita tidak berangkat dari

khayalan atau bayangan untuk sampai pada yang namanya manusia dalam

wujudnya yang seperti sekarang ini, melainkan manusia itu telah ada. Sedangkan

bayangan yang terbentuk dalam pikiran manusia merupakan gambaran dari proses

kehidupan nyata.25

Ini sekaligus menjawab apa yang saya maksudkan pada bab sebelumnya

bahwa kendati kita menggunakan „pembayangan‟ Ben Anderson, namun pada

Medan Prijaji pembayangan itu bukan selayaknya seorang seniman mengarang

karya serupa lukisan abstrak yang tak berbasis pada objek riil dan hanya

meluapkan rasa. Justeru sebaliknya, „Bangsa Jang Terprentah‟ adalah realitas

obyektif dari kehidupan anak negeri pada masa pendudukan kolonial. Artinya,

Jurnalis kita ini bukan sedang mengarang cerita tentang penindasan yang ia

khayal-khayalkan terjadi pada alam pikirannya. Akan tetapi sebaliknya, Tirto

melalui Medan Prijaji mampu merekam fakta dan memunculkan realitas objektif

bahwa penindasan itu sungguh terjadi, di saat kolonialisme menculiknya jauh dari

kesadaran banyak orang.

Berikut ini saya coba kutipkan artikel dalam Medan Prijaji yang ditulis

atas nama Diana. Melalui artikel ini kita akan melihat suatu gambaran bagaimana

25 Haris Rusly Moti dalam Njoto, Marxisme Ilmu dan Amalnya (Jakarta: Teplok Press,

2003) h.xviii. Lihat juga Terry Eagelton, Kritik Sastra Marxis (Jakarta: Desantara, 2002) h.10-11

80

keadaan bangsa jang terprentah itu demikian diremehkan oleh bangsa yang

memerentah sebagai bangsa „sopan‟.

“...demikianlah bangsa Tionghoa bisa djadi madjoe. Sekarang betapakah halnja

tentang orang Boemi poetera? ... orang berkoeli, jaitoe mentjeri makan dengan dapet

opahan dari angkatken orang laen punja barang...”

“ tjoba lihat, itoe disana ada koetsier, dan dinaiki seorang bangsa sopan. Dogcart

dibawa poeter kota, dari sini kesana, dari sana kemari, barangkali soedah empat lima

djam lamanja.. „sekarang berhenti disini sir‟, „saja toean‟, „ini sewanja... een kwartje‟,

„minta tambah, toean!‟, „apa! Kaoe berani boeka moeloet!‟, „tida toean, ini terlaloe

sedikit sebab dogcart dipake 4 djam lamanja‟, „Peng!‟. Apa itu, soeara bedil! Boekan!

Itoe soeara tapak tangan jang jatoeh dipipinja koetsir jang brutaal. Kasihan! ”

“...lihat itoe disana!... seorang Opziender poekoel pada koeli. Apa sebab? Oleh

koeli tida maoe berhormat dan madoeka pada itoe kandjeng toean besar Opziender.” 26

Buah pemahaman apa yang dapat kita petik dari artikel di atas. Tentu

semua kita yang membaca tulisan atas nama Diana tersebut akan menangkap

suatu gambaran bahwa laku semena atau penindasan benar-benar telah terjadi.

Baik itu hinaan, kekerasan fisik, atau eksploitasi. Dari artikel tersebut kita bisa

memungut gambaran bahwa penindasan itu menghujani keseharian rakyat dengan

berbagai profesi mulai dari kusir, kuli, dan sebagainya yang tak dituliskan sebab

menurut penulisnya terlalu banyak jika harus dibeberkan semua, “djikaloe disini

haroes diseboetken roepa-roepa hinaan itoe, tentoelah terlaloe makan banjak

tempat.”27

Alhasil itulah potret dari bangsa bumiputera yang diperlakukan sedemikian

rupa selayaknya binatang oleh bangsa „sopan‟ sebagaimana kata „sopan‟ itu

dipilih oleh penulis artikel untuk dikontraskan dengan laku semena atas kusir

yang dianggap brutal hanya karena berani menuntut haknya. Sebuah satire yang

menguak kesadaran sekaligus sentimen ke‟kita‟an dalam upaya merajut jalin

26 Diana, Mendjoendjoeng bangsa, dalam Medan Prijaji no.33 tahun III (NV Medan

Prijaji, 1909) h. 764-769

27 Diana, Mendjoendjoeng Bangsa...h. 769

81

temali terwujudnya sebuah nasion. Oleh sebab artikel semacam ini dapat

memberikan kabar menggantikan lisan untuk bertutur dan berbagi keluh peluh

atas penindasan yang dialami saudara sebangsa di belahan nusa yang tak saling

tatap mata. Dan lagi-lagi harus kita katakan bahwa di sinilah suratkabar berperan

melipat jarak, sehingga meski mata tak saling tatap namun satu sama lain bisa

saling pandang melalui kata dan berita.

Namun demikian, penulis artikel tersebut memberikan sikap sekaligus

pandangannya atas fenomena tersebut, bahwa keadaan seperti itu tidak bisa

didiamkan. Sebab menurutnya, binatang saja tidak boleh disakiti apalagi orang,

dan kebusukan dalam bentuk apapun harus diusir dari dunia.

Masih dalam artikel yang sama, penulis kita menjelaskan bahwa ini semua

bukan hanya disebabkan oleh perkara uang dan pengetahuan yang dimiliki kaum

yang dipertuan saja. tapi juga oleh sebab mental minder atau rasa rendah diri dari

kaum pribumi yang merasa takut sejak awal. Dan oleh karenanya, menurut artikel

tersebut, maka “tiada lain, soepaja orang Boemi terlepas dari penganiajaan,

haroeslah orang Boemi Poetra djadi koeat dan koeasa djoega”.28

Dan jaln satu-

satunya tiada lain adalah dengan merebut kemerdekaan harkat sebagai sebuah

bangsa terhormat. Dan untuk itu dalam artikel yang membakar kesadaran ini,

penulis kita memberikan uraian mengenai apa saja langkah yang harus ditempuh

untuk melakukan upaya membebaskan bangsa dari penindasan.

Menurut penulis yang menggunakan nama Diana ini setidaknya ada tiga

poin yang digarisbawahi. Menurutnya, orang harus memperhatikan modal

28Diana, Mendjoendjoeng Bangsa, dalam Medan Prijaji no.33 tahun III, h. 770

82

intelektual, bekerja keras, dan menggaungkan persatuan bangsa agar mampu

berdiri di atas kaki sendiri, “berame-rame menoeloeng bangsanja, mengangkat

dari tempat jang rendah ketempat jang tinggi...”.29

Melalui artikel-artikel tajam yang dilansir Medan Prijaji itulah,

sebagaimana juga telah saya ilustrasikan melalui karya Mas Marco pada bab dua,

para pembaca diajak untuk menaruh rasa empati pada apa yang menimpa saudara

senasibnya yang diberi predikat „bangsa jang terprentah‟ sebagai identitas

pengikat guna meyakinkan bahwa sejatinya mereka adalah satu kesatuan.

Dalam keadaan inilah proses pembayangan berlangsung pada jarak yang

dilipat suratkabar sehingga dalam keadaan „tak berjarak‟ itu proses pembayangan

meniscayakan timbulnya rasa ke‟kita‟an. Dari titik inilah kesadaran bumiputera

dibangunkan dari tidur nyenyak yang sengaja diciptakan kolonialisme dengan

dongeng-dongeng yang diamini mereka yang pragmatis dan tak peduli dengan

nasib saudaranya yang teramat nyata di hadapan mata.

Melalui pembahasan artikel-artikel di atas, sebagaimana juga pada bab dua

yang mengutip cerita yang ditulis Marco, maka dapat kita katakan bahwa apa

yang dilakukan Medan Prijaji adalah upaya untuk memanggil anak-anak bangsa

yang tercecer. Dalam kajian media dan ideologi, ada suatu pejelasan mengenai

interpelasi. Yakni di mana gagasan menginterpelasi individu-individu30

. Dalam

contoh sederhana, tiba-tiba ada yang memanggil dengan suara hei! Kau yang di

sana!!, dan secara refleks kita yang tiba-tiba merasa sebagai „kau yang di sana‟

memberikan respon. Ini terjadi dalam kasus tulisan Marco “Semarang Hitam”

29 Diana, Mendjoendjoeng Bangsa, h. 771

30

Tony Thwaites, dkk, Introducing Cultural Studies; Sebuah Pendekatan Semiotik

(Jogjakarta: Jalasutra, 2009) h.242

83

dengan lelaki tanpa nama. Demikian pula dengan artikel-artikel kritis Medan

Prijaji yang seolah memanggil bangsa jang terprentah untuk sadar. Dan ketika

respon diberikan seperti halnya oleh orang desa Bapangan, maka yang terjadi

adalah terbentuknya rasa ke„kita‟an yang tergambarkan betapa “senar-senarku

telah ditarik dari tempat lain, oleh suara yang bahkan tidak kukenal namun

tampaknya kutaati”.31

D. Pengaruh Medan Prijaji Terhadap Kemunculan Kaum Nasionalis

Revolusioner

Dari dalam newsroom Medan Prijaji kita telah menyaksikan bagaimana

sekerumun aksara diatur sedemikian rupa sehingga berubah wujud menjadi

sekawanan berita yang memburu mengejar para penguasa baik itu kolonial

Belanda maupun penduduk bumiputera yang menjadi hamba kolonial. Sejumlah

artikel yang dilesatkan dari busur pemikiran kritis membuat mereka yang bersalah

tak nyenyak tidur. Selayaknya lambang dari suratkabar pengusung Jurnalisme

advokasi yang berupa pendekar pemanah, berita yang dikandung Medan Prijaji

seolah melesat seperti anak panah mencari sasaran. Dalam bahasa yang berbau

hiperbolis, dalam beberapa literatur mengenai Medan Prijaji, kita akan mendapati

ilustrasi betapa pena tajam dari sang empunya mampu membuat para pejabat

muntah darah karena buah pikiran sang jurnalis. Watak yang selalu berpihak pada

mereka yang lemah inilah yang membuat Medan Prijaji tampil sebagai surat

kabar pembela kaum tertindas.32

31 Tony Thwaites, dkk, Introducing Cultural Studies... h.241-243

32

Iswara N Raditya, Para Pemula Indonesia dalam Sang Guru (Jogjakarta: Ekspresi

Buku, 2006) h.228

84

Namun demikian, newsroom Medan Prijaji ternyata tak hanya melahirkan

berita-berita pedas, artikel-artikel yang merongrong laku semena para penguasa,

maupun cerita bernada satire. Dari ruang penggodokan berita itu, tergodok pula

pemikiran seorang anak muda yang merupakan hasil didikan Tirtoadhisoerjo.

Sebagaimana kerap kita bicarakan pada bagian sebelumnya, anak muda yang kita

maksud tidak lain adalah Mas Marco Kartodikromo. Bagi jurnalis nasionalis-

Marxis ini, Medan Prijaji selayaknya sekolah yang mendidiknya tidak hanya

mengenai cara menyusun huruf selaku seorang letterzetter (penyusun aksara),

namun juga tempat di mana pikiran, gagasan, dan kepiawaiannya di dunia

jurnalistik diasah setajam anak panah pada lambang Medan Prijaji.

Berbagai literatur berkenaan dengan sosok Tirto seolah tak membiarkan

kedua nama ini terpisah. Hal serupa juga datang dari tulisan penulis muda, Iswara

N Raditya, yang menaruh perhatian dan meneliti cukup lama seputar

Tirtoadhisoerjo dan tentunya Medan Prijaji. Dalam karya yang merupakan

himpunan tulisan beberapa penulis muda itu ia menggambarkan betapa Marco

mengakui bahwa “lantaran pimpinannya saya bisa menjadi redaktur...”.33

Dalam

paparan yang lebih panjang, Pramoedya Ananta Toer menuliskan pengakuan

Marco mengenai sang guru bahwa “ ....saya mesti mengaku juga bahwa lantaran

pimpinannya.... saya bisa menjadi redacteur, pada keetika saya ada di Bandung,

kumpul serumah dengan beliau... seorang journalist Jawa paling tua......mashur di

seluruh Hindia lantaran keberaniannya mengusik laku sewenang-wenang...”34

Tulisan Marco ini sejatinya merupakan suatu upaya melepas wafatnya sang guru.

33 Iswara N Raditya, Para Pemula Indonesia .....h.230

34

Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula (Jakarta: Hasta Mitra, 1985) h.7

85

Marco menulisnya di Sinar Hindia lima hari setelah sang Guru menghembus

nafas akhir.

Keterbatasan tema pada karya ini membuat ruang kita membahas Marco

harus dibatasi pula. Oleh karenanya saya tidak akan berpanjang kalam dalam

pembahasan Marco, hanya selintas sekadar memberi petanda betapa hubungan

guru murid itu ada dan berpengaruh dalam dunia jurnalistik pergerakan. Berikut

saya kutipkan syair Marco Kartodikromo dalam surat kabar Sinar Hindia 14

Agustus 1918 berjudul „Awas! Kaoem Journalist!‟ sebagai suatu gambaran

mengenai sikap Marco sebagai seorang jurnalis yang dipelajarinya dari sang guru:

“Jadi Journalist zaman sekarang Berani dihukum dan di buang Karena dia yang mesti menendang Semua barang yang melangmalang

Journalist harus berani mati

Bekerja berat membanting diri

Sebab dia hendak melindungi

Guna mencari anak sendiri

Journalist harus bisa berdiri

Sendiri juga yang keras hati

Dan tidak boleh main komedi

Guna mencari enak sendiri

Koran itu tooneel umpamanya

Tuan membaca yang menontonnya

Journalisnya jadi pemainnya

Hoofdredacteur jadi kepalanya”35

35 Muhidin M Dahlan, Revolusi yang Lahir dari Cetak dalam majalah BASIS no. 01-02

Januari- Februari 2009. h. 4

86

BAB V

KESIMPULAN

Setelah berkutat sedemikian panjang dengan liku-liku pembahasan

mengenai bangsa dan kesadaran kebangsaan yang tidak sesederhana pelafalannya,

akhirnya kita sampai pada bagian akhir dari pembahasan. Pada bagian awal kita

telah berpanjang lebar dalam pembahasan tentang gagasan bangsa dan kesadaran

kebangsaan yang kerap tumpang tindih. Berbagai aspek dan pendekatan serta

beragam cara pandang dalam memaknai gagasan tersebut pun sudah kita

sambangi. Demikian pula halnya dengan apa yang menjadi sarana dari bekerjanya

kesadaran kebangsaan yang pada gilirannya mengkonstruk bangsa, media cetak.

Namun demikian, berlikunya jalan pembahasan mengenai hal yang

memang sudah problematik sejak dari istilah ini perlu kembali mendapatkan

penekanan. Saya katakan demikian sebab saya merasa perlu untuk kembali

mengingatkan kita semua bahwa kesadaran kebangsaan kita memiliki sejarahnya

sendiri yang berbeda dengan pengalaman sejarah Eropa. Mengenai hal ini,

sejatinya kerap saya kemukakan pada beberapa bagian sebab menjadi penting

untuk tidak mengukur ukuran pakaian kita berdasar pada ukuran badan orang lain.

Sebagaimana telah kita bahas bahwa pengalaman sejarah terbentuknya

bangsa kita sama sekali berbeda dengan catatan harian bangsa Eropa. Meski tentu

ada faktor-faktor pembentuk yang sama seperti teknologi mesin cetak yang pada

akhirnya memainkan peran penyebaran bibit kesadaran kebangsaan. Namun

pondasi yang menjadi alas bagi bangunan bangsa itu berbeda. Kita mendasarkan

bangunan kebangsaan kita di atas suatu kesadaran anti kolonialisme.

87

Akhirnya, melaui pembahasan tentang Medan Prijaji dan perannya dalam

menabur benih kesadaran kebangsaan melalui sentimen yang dibangun dengan

identitas yang secara langsung menarik garis, kita akan bertemu dengan hakikat

dari nasionalisme kita, watak bangsa kita. Dari gaya bahasa Medan Prijaji yang

konfrontatif sebagai suatu media dengan semangat Jurnalisme advokasi yang

membela orang tertindas dari kalangan ‘Bangsa jang terprentah’, kita akan

mendapati suatu pertanda bahwa watak bangsa kita adalah anti terhadap segala

bentuk penjajahan.

Melalui jargon yang dipampang suratkabar tersebut, kita akan menemukan

hakikat dari kesadaran kebangsaan kita yang dibangun tepat di atas sikap anti

terhadap kolonialisme. Mengenai sikap anti terhadap kolonialisme ini ia

tunjukkan secara gamblang tanpa tedeng aling-aling bahwa para kolonialis atau

penjajah adalah bangsa yang memerintah, pun demikian dengan kroni-kroninya

yang sudi menjadi sekrup bagi mesin penjajahan yang menggiling nasib anak

bangsa yang ia sebut sebagai bangsa yang terperintah yang harus bangkit melawan

sebagai suatu kesatuan bangsa yang dalam ruang pembayangan dirajut melalui

media cetak.

Nampaknya kita harus kembali mengingat istilah kolonialisme yang

menggali lubang kuburnya sendiri dengan cangkul bermerek politik etis. Bahwa

sebagai akibat dari politik etis yang melahirkan banyak kaum intelektual itu, serta

didukung kemajuan teknologi cetak, maka lahirlah pergerakan kaum intelektual

melalui dunia persuratkabaran yang mampu menjalin rasa keterikatan antara

bangsa yang terperintah di bumi Nusantara yang membelokkan cita-cita awal

kolonial menyatukan Nusantara sebagai tanah jajahan menjadi ladang

88

pembebasan Nasional. Dan akhirnya berlaku suatu perumpamaan kolonialisme tak

ubahnya seekor ayam petelur yang harus terkena serangan jantung di tengah

kesibukannya memproduksi, karena tak kuasa menahan kekagetan yang begitu

dahsyat ketika ia harus menyaksikan seekor Garuda menetas dari salah sebutir

telurnya yang dibuahi semangat perlawanan.

Daftar Pustaka

Buku

Adam, Ahmat. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan.

Jakarta: Hasta Mitra dan KITLV, 2003.

Adams, Ian. Ideologi Politik Mutakhir. Yogyakarta: Qalam,2004.

Algadri, Hamid, Mr. C. Snouck Hurgronje; Politik Belanda Terhadap Islam dan

Keturunan Arab. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.

Anderson, Benedict. Imagined Communities. Yogyakarta: Insist dan Pustaka

Pelajar, 2008.

Cangara, Hafied, Prof.Dr. M.Sc. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rajawali

Press, 2010.

Dahlan, Muhidin. M. Ed, dkk. Sang Guru. Jogjakarta: Ekspresi Buku, 2006.

Eagleton, Terry. Marxisme & Kritik Sastra. Depok: Desantara, 2002.

Elson, R.E. The Idea of Indonesia. Jakarta: Serambi, 2009.

Fairclough, Norman. Language and Power, Relasi Bahasa, Kekuasaan, dan

Ideologi. Gresik: Boyan, 2003.

Fanon, Frantz. Bumi Bernatakan. Jakarta: Teplok Press, 2000.

Garaudy, Roger,dkk. Demi Kaum Tertindas. Jakarta: Citra,tt.

Grosby, Steven. Nationalism A Very Short Introduction. Oxford, 2005

Hidayat, Dedy. N, dkk. Pers Dalam “Revolusi Mei”, Runtuhnya Sebuah

Hegemoni. Jakarta: Gramedia, 2000.

Hobsbawm, E.J. Nasionalisme Menjelang Abad XXI. Yogyakarta: Tiara Wacana,

1992.

Horvath, Ronald. A Definition of Colonialism dalam Current Anthropology

vol.13 no.1. Chicago, 1972. diambil dari http://www.jstor.org

Kahin, George M.T. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Jakarta: Sinar

Harapan, 1995.

Kartika, sandra. Ed. dari Keseragaman Menuju Keberagaman. Jakarta: LSPP

1999.

Kuntowijoyo. Penjelasan Sejarah. Jogjakarta: Tiara Wacana, 2008.

Latif, Yudi, Ph.D. Intelegensia Muslim dan Kuasa. Bandung: Mizan, 2005.

Lane, Max. Bangsa yang Belum Selesai, Indonesia Sebelum dan Sesudah

Soeharto. Jakarta: Reform Institut, 2007.

Leirissa, R.Z. Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia1900-

1950. Akademika Pressindo, 1985.

Lenin,V.I. V.I. Lenin on Britain . Moscow: Foreign Languages Publishing House

Loomba, Ania. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Jogjakarta: Bentang, 2003.

Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: C.V.

Rajawali, 1986.

Muhtadi, Asep. Saeful. Jurnalistik: Pendekatan Teori dan Praktik. Ciputat: Logos

wacana Ilmu, 1999.

Munasichin, Zainul. Berebut Kiri. Yogyakarta: LKIS, 2005.

Nasuhi, Hamid, dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Jakarta: Ceqda, 2007.

Njoto. Marxisme, Ilmu & Amalnya. Jakarta: Teplok press, 2003.

Niel, Robert Van. Munculnya Elit Modern di Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya,

2009.

Pawito, Ph.D. Komunikasi Politik, Media Massa dan Kampanye Pemilihan.

Yogyakarta: Jalasutera, 2009.

Plekhanov, G. Seni dan Kehidupan Sosial .Bandung: Ultimus, 2006.

Priatman. Perdjoangan Indonesia dalam Sedjarah. Bogor: Badan Penerbit Patani,

1950

Raditya, Iswara, N. Karya-karya Lengkap Tirtoadhisoerjo; Pers Pergerakan dan

Kebangsaan. Jakarta: I:BOEKOE, 2008.

Rahzen, Taufik, et al. Tanah Air Bahasa. Jakarta: I:BOEKOE, 2007.

Razif. Bacaan Liar; Budaya dan Politik Pada Zaman Pergerakan (Geocities)

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2005.

Said, Tribuana. Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila.

Jakarta: Haji Masagung, 1988.

Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak; Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.

Jakarta: Grafiti, 2005.

Smith, Anthony D. Nasionalisme; Teori, Ideologi, Sejarah. Jakarta: Erlangga,

2003.

Sobur, Alex, Drs.M.Si. Analisis Teks Wacana. Bandung: Remaja Rosdakarya,

2009.

Sukarno, Ir. di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitia Penerbit, 1965.

Stoddard, Lothrop. Dunia Baru Islam. Jakarta: Panitia Penerbit (diprakarsai oleh

Presiden Soekarno), 1966.

Sudibyo, Agus. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKIS,

2006.

Surjomihardjo, Abdurrachman. Dkk. Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers

di Indonesia. Jakarta: Kompas, 2002.

Suseno, Franz. Magnis. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia, 1988.

Thwaites, Tony, dkk. Introducing Cultural Studies. Jogjakarta: Jalasutra, 2009.

Tim Penyusun Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2008-2009. Jakarta: Biro

Akademik dan Kemahasiswaan UIN. 2009.

Toer, Pramoedya, Ananta. Sang Pemula. Jakarta: Hasta Mitra, 1985.

-------------------------------. Jejak Langkah. Jakarta: Lentera Dipantara, 2006

Triharyanto, Basilius. Pers Perlawanan; Politik Anti Kolonialisme Pertja Selatan.

Yogyakarta: LKIS, 2009.

Sumber suratkabar, jurnal, dan majalah

Bataviase Nouvelles no.04 Februari. Jakarta: Indexpress, 2007

Jurnal Maarif edisi vol.3 no.2 Mei 2008

Jurnal Wacana edisi 24, 2008. Insist Press

Majalah BASIS no. 01-02, 2009.

Majalah Prisma, Oktober 1991. LP3ES.

Majalah Seabad Pers Kebangsaan, Desember 2007. I:BOEKOE.

Medan Prijaji Th.III. 1909. NV Medan Prijaji

Tabloid Indonesia Newsnet vol.1. no.1. juni 2005.

Video (wawancara)

Sang Perintis,

http://metrotvnews.com/index.php/metromain/newsprograms/2007/04/17/129

8/PENA.TAJAM.TIRTO..ADHI.SOERJO.hari.pers.nasional.