Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

175
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta Editor Yohanes Widodo

Transcript of Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Page 1: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Program Studi Ilmu KomunikasiFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Atma Jaya Yogyakarta

EditorYohanes Widodo

Page 2: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Program Studi Ilmu KomunikasiFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Atma Jaya Yogyakarta2010

EditorYohanes Widodo

Page 3: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?Masa Depan Televisi dan Televisi Masa Depan

EditorYohanes Widodo

GrafisYugyas

Program Studi Ilmu KomunikasiFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Atma Jaya YogyakartaJalan Babarsari No 6 Yogyakartahttp://fisip.uajy.ac.id

© 2010

Page 4: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

3

5 Sekapur Sirih:‘Benci Tapi Rindu’ dengan Televisi

11 Selebrasi Necrocultura di Layar KacaBonaventura S. Bharata

40 Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TVEry Kurnia Putri

54 Televisi dan Rekonstruksi Kognitif MitosKetampananDesideria Cempaka Wijaya Murti danMeredian Alam

70 Sinetron Remaja Sebagai Ruang SempitIdentifikasiYahya Zakaria

82 Mana Acara Televisi untuk Anak?Astrid Risky Amelia danPaskalia Pramita Nareswari

94 Pluralisme Media dan Sistem Stasiun JaringanYohanes Widodo

107 Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga PenyiaranPublikAgusly Irawan

Daftar Isi

Page 5: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

4

119 “Melihat Kembali” TVRIBenedictus Yanuarto Purnomo danYohanes Bagas Nurogo

125 Televisi sebagai Ruang Publik dalam PolitikDemokrasi di Indonesia: Mungkinkah?Salvatore Simarmata

147 Parodi di Balik Layar KacaPaulina Damayanti dan Gusti Ayu Krista

157 TV Streaming sebagai Televisi AlternatifDwi Kartika Sirait dan Fransisca Yosi Wongi

168 IPTV: Televisi Impian di Masa DepanLusi Hasiana dan Yosefine Nandy Lestyana

Page 6: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

5

Sejarah pertelevisian di Indonesia diawali oleh kehadiran TVRI pada1962 di Jakarta, disusul kehadiran televisi swasta sejak 1989 hinggasekarang. Sejak kelahirannya, terutama sejak kehadiran stasiun-stasiuntelevisi swasta di Indonesia, dunia televisi berkembang pesat.

Televisi merupakan media yang paling mendapat perhatian khalayak,pengamat, dan pemerhati. Cukup banyak artikel, penelitian maupunbuku yang mengkaji tentang televisi. Benci tapi rindu! Di satu sisi TVbegitu dibenci. Ada gerakan “Matikan TV-mu”, “Jangan Nonton SinetronIndonesia”, dan lain-lain. Gerakan seperti ini merupakan ‘perlawanan’terhadap tayangan dan dampak buruk televisi yang makin seringdisuarakan.

Di sisi lain, banyak orang merindukan dan mencintai televisi. Televisimenjadi teman setia sejak bangun tidur hingga tidur. Televisi bahkanmenjadi sosok yang bisa menggantikan tugas guru, agamawan maupunorang tua sebagai educator. Televisi menyediakan role-model bagi anak-anak dan remaja, dan menjadi sumber acuan untuk mendefinisikan manayang baik dan mana yang buruk dan menjadi semacam agama sipilkontemporer (Robert N. Bellah, 1967, Ratna Noviani, 2008) yangmelibatkan bentuk-bentuk pemujaan baru lewat ritual-ritual menontondan mengkonsumsi media.

Perkembangan televisi di Indonesia telah memunculkan beragam isudan persoalan, seperti kualitas tayangan, wacana televisi jaringan, televisilokal, televisi digital, persoalan etika, sumber daya, persoalan kepemilikan,dan lain-lain. Berbagai isu dan permasalahan tersebut menantang kami,sebagai komunitas yang belajar dan melakukan studi tentang media dantelevisi untuk menyampaikan pemikiran, gagasan, dan gerundelan tentangtelevisi kita.

Lewat buku berjudul “Quo Vadis Televisi? Masa Depan Televisi dan TelevisiMasa Depan” kami ingin mempertanyakan ke mana masa depan televisidan bagaimana ‘wajah’ televisi di masa depan. Buku ini menyajikan

Sekapur Sirih:‘Benci Tapi Rindu’ dengan Televisi

Page 7: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

6

tulisan-tulisan hasil kajian dan pembacaan kami, komunitas orang-orangyang belajar Ilmu Komunikasi tentang kemana arah atau masa depantelevisi dan bagaimana televisi masa depan. Para penyumbang tulisansebagian besar adalah dosen, mahasiswa, dan alumni Prodi KomunikasiUniversitas Atma Jaya Yogyakarta. Buku ini merupakan hadiah ulangtahun ke-19 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma JayaYogyakarta.

Buku ini menyajikan sejumlah topik kajian yang beragam dandikelompokkan menjadi tiga bagian: (1) Program/acara televisi(infotainment, reality show, sinetron, acara anak-anak) (2) Televisi publik,sistem stasiun jaringan dan TVRI (3) Televisi Masa Depan (TV Streamingdan IPTV).

Dalam tulisan berjudul “Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca”,Bonaventura Satya Barata menemukan bahwa televisi mampu mengubahwajah kematian, dari peristiwa yang menyedihkan dan memilukan,menjadi peristiwa yang menghibur. Semua dilakukan melalui prosespembingkaian yang melibatkan konstruksi bahasa, baik verbal maupunnon verbal, dilakukan sedemikian rupa untuk mengubah wajah kematiantersebut. Insert Trans TV melakukannya dengan teknik produksi, baikmelalui pemberian bumper in, perpindahan gambar yang cepat danmanipulatif, penumpukan gambar, dan ilustrasi musik. Persinggunganantara realitas kematian dengan kepentingan ekonomi media (melaluiproses komodifikasi) mengubah secara radikal wajah peristiwa kematianmenjadi sebuah pertunjukan hiburan. Realitas kematian yang ditampilkanoleh media massa, menjadi sangat jauh dari kesan sedih dan duka, bahkanjauh dari menakutkan dan mengerikan.

Dalam penelitiannya tentang “Kekerasan dalam Tayangan Realigi TransTV”, Ery Kurnia Putri menemukan bahwa lima tayangan Realigi di TransTVsarat dengan kekerasan, meliputi: kekerasan fisik, kekerasan verbal, dankekerasan simbolik. Berbagai adegan penuh konflik seperti adu mulut,pengintaian, dan kekerasan fisik bukanlah sebuah tayangan yang memilikinilai edukasi khususnya bagi anak-anak mengingat acara ini masihditayangkan pada prime time.

Masih tentang program tayangan televisi, Desideria Cempaka WijayaMurti dan Meredian Alam lewat “Televisi dan Rekonstruksi Kognitif MitosKetampanan” menunjukkan bahwa kekuatan televisi yang besar untukmenjadi subtitute teacher membuat sebagian masyarakat yang lemah danmudah mengikuti arus televisi akan menjadi korban proses alienasi

Page 8: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

7

Sekapur Sirih: ‘Benci Tapi Rindu’ dengan Televisi

terhadap diri dan tubuhnya. Keberadaan televisi yang kuat, membuatindividu dan komunitas telalu berkaca pada media, sehingga individukehilangan keunikan dan identitas tubuhnya. Padahal keunikan individudapat mendefinisikan potensi yang dimiliki oleh individu manusia yangsangat berharga.

Sementara itu, Yahya Zakaria menyoroti “Sinetron Remaja SebagaiRuang Sempit Identifikasi”. Ia menegaskan, sudah saatnya sinetron remajamelakukan perubahan dan menjalankan fungsinya sebagai mediapembelajaran remaja sekaligus menjadi media identifikasi yang luas,beragam dan demokratis, karena dengan kondisi seperti saat ini, remajaakan terus menjadi korban, terus kerdil dan seragam. Production house,stasiun televisi dan produser sinetron remaja seharusnya menjadikanmoral sebagai orientasi, bukan hanya orientasi materi, karena jika hanyamateri yang dijadikan orientasi, hasilnya akan selalu seperti ini, tragis.Moral dibutuhkan untuk menjadi penyeimbang, menjadi tanggung jawab.Dengan adanya perubahan orientasi diharapkan sinetron remaja mampuberbenah, mampu menjadi ladang subur referensi identitas, dan terdapatkeberagaman identifikasi bagi remaja di dalamnya.

“Mana Acara Televisi untuk Anak?” Itu pertanyaan yang dilontarkanoleh Astrid Risky Amelia dan Paskalia Pramita Nareswari. Menurutmereka, perlu ada usaha untuk kembali memberikan ruang kepada anak-anak Indonesia untuk bisa mendapatkan apa yang dibutuhkan olehmereka melalui media massa seperti televisi. Kepedulian untukmemberikan tayangan sehat dan mendidik pada anak menjadi harapansemua orang tua dan pemerhati anak. Banyak yang dapat dilakukan untukmemenuhi kebutuhan informasi pada anak, salah satunya membuatprogram acara televisi yang berorientasi anak-anak. Pemenuhan danpemberian hak mendapatkan informasi untuk anak ini bisa dilakukandengan memberi jam tayang yang lebih banyak dan panjang untuk acaraanak. Alternatif lain adalah mengajak semua pemilik stasiun televisi danperusahaan yang memproduksi acara televisi untuk mulai memproduksiacara anak. Semakin banyak acara anak, maka pilihan anak akan tontonanyang cocok untuk mereka juga semakin banyak. Selama ini banyak anakyang menonton acara dewasa yang tidak sesuai umur karena mereka tidakmemiliki pilihan tontonan.

Sementara Yohanes Widodo mencoba menyoroti “Pluralisme Mediadan Sistem Stasiun Jaringan”. Ia menekankan, pihak televisi Jakarta harusbersedia bertransformasi menjadi stasiun berjaringan karena mereka

Page 9: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

8

menggunakan frekuensi yang merupakan domain publik. Jika selamaini publik Yogyakarta sekedar dimanfaatkan oleh televisi Jakarta untuktarget iklan dan memperkuat bisnis mereka, kini saatnya bagi publikuntuk mendapatkan haknya, dalam bentuk tayangan bermutu dan ruanguntuk menyampaikan pemikiran dan aspirasinya.

TVRI juga mendapat sorotan para penulis. Agusly menekankanperlunya “Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik”.Menurutnya, perubahan zaman dan kondisi di Indonesia menghendakiperubahan TVRI. TVRI harus menjadi lembaga yang berorientasi padapelayanan masyarakat dengan menjadikan TVRI sebagai lembagapenyiaran publik. Hal ini dianggap ideal karena dari perkembangankondisi saat ini, TVRI cocok untuk menjalankan peran ini. Karena DNATVRI berbeda dengan DNA stasiun televisi swasta. TVRI terlihat lebihmapan dari segi infrastuktur dan usia. Namun kenyataannya terbalik. Yangterjadi, usia bertambah tetapi TVRI tidak siap dalam menghadapiperubahan. Ia semakin ditinggalkan publiknya, TVRI juga tidak terlaludekat dengan pemerintah. Akhirnya ia sendirian menghadapi kerasnyapertarungan dengan stasiun televisi swasta.

Penulis lainnya, Benedictus Yanuarto Purnomo dan Yohanes BagasNurogo mengajak kita untuk “’Melihat Kembali’ TVRI” dalam arti menatakembali manajeman sampai programnya dan menyaksikan kembali TVRIkarena TVRI menyajikan acara-acara yang menarik, mengemban misipendidikan dan patut dibanggakan. TVRI seharusnya dapat dijadikanrujukan mengenai tayangan yang memiliki idealisme nilai dan melayanimasyarakat untuk dapat berpikir kritis, lepas dari semua orientasi mencarirating, keuntungan, dan kepentingan politis. Ruang publik penyiaranmencerminkan kemajemukan nilai dalam masyarakat, ramah keluarga,tidak bias gender, tidak diskriminatif, menghibur tetapi juga memberikannilai tambah dalam masyarakat. TVRI harus mewakili semua kalangan,sebagai wadah bersama, karena sifatnya dari rakyat dan untuk rakyat.TVRI bukan hanya menjadi alat propaganda budaya Jawa seperti eraSuharto, namun dapat diakses oleh semua golongan. TVRI harusmembantu daerah-daerah yang tertinggal menjadi berubah dan tidaksemata-mata berpatokan pada rating.

“Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia:Mungkinkah?” Itu pertanyaan Salvatore Simarmata. Ia menyimpulkanbahwa bahwa televisi secara struktural merupakan ruang publik yangideal. Analisisnya sampai pada kesimpulan bahwa televisi sebagai ruang

Page 10: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

9

Sekapur Sirih: ‘Benci Tapi Rindu’ dengan Televisi

publik di Indonesia seperti jauh panggang dari api. Realitas televisi kurangmencerminkan kualitas ruang publik sebagaimana diharapkan dalamkonteks berdemokrasi. Kekuatan struktural yang menggerogoti fungsikepublikan televisi tersebut adalah kepentingan kapitalis media, dankepentingan politis pemilik medianya sendiri. Untuk mewujudkan perantersebut diperlukan upaya pemerintah untuk menegakkan terjaminnyahak-hak publik dalam televisi. Di sisi lain, TV publik sudah waktunyaditransformasi secara total untuk memperjuangkan kepentingan publikdi tengah degradasi fungsi televisi komersil untuk demokrasi. Televisimestinya menjadi ruang publik strategis di tengah konsolidasi demokrasidi Indonesia sekarang ini.

Paulina Damayanti dan Gusti Ayu Krista megajak kita melihat “Parodidi Balik Layar Kaca”. Menurut mereka, di masa depan televisi bisa menjadisenjata perang di antara pemilik media atau penguasa untuk salingmenjatuhkan. Masyarakat pada akhirnya tidak lagi terkena imbas manfaat,melainkan akan dibuat bingung oleh media-media tersebut dan tidak tahulagi mana media yang bisa dipercaya. Konsentrasi kepemilikan media ditangan segelintir orang akan merusak asas demokratisasi. Hal ini berlakudi Jerman, Inggris, maupun Indonesia, konsentrasi dan kendali yangberada dalam kekuasaan segelintir orang, terutama investor asing, dapatmenggerogoti kedaulatan Negara.

Seperti apa televisi masa depan? Dwi Kartika Sirait dan Fransisca YosiWongi menawarkan konsep “TV Streaming sebagai Televisi Alternatif”.Menurut mereka, kemudahan akses teknologi komputer memungkinkanmasyarakat dapat memaksimalkan TV Streaming. Penggunaan cybermediayang meningkat dari hari ke hari sebagai sarana berkomunikasi, hiburan,dan bisnis, memungkinkan masyarakat modern lebih banyak mengaksesTV streaming. Dengan demikian, informasi yang didapatkan tidak lagihanya berupa teks digital tetapi siaran audio-visual. Akses yang murahdan lebih efisien tentu menjadi pilihan alternatif untuk mendapatkaninformasi dan hiburan di masa depan.

Sedangkan Lusi Hasiana dan Yosefine Nandy Lestyana menawarkanIPTV sebagai “Televisi Impian di Masa Depan”. Sebagai interaktif televisiberbasis internet, IPTV memiliki keunggulan dari segi tampilan yakniketajaman gambar yang sangat tinggi dan memberikan peluangkomunikasi dua arah dan multiple stream. Dengan kehadiran IPTV, konsepkomunikasi telah bergeser menjadi ‘broadcast yourself’ dimana semuapengguna bebas menentukan apa yang ingin dikonsumsi sesuai

Page 11: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

10

kebutuhannya. Kehadiran televisi masa depan ini membutuhkandukungan dari berbagai pihak termasuk regulasi yang menjaminkeamanan distribusi dan konsumsi layanan tersebut.

Demikian sajian kami. Semoga kajian dan gerundelan kami, orang-orangKomunikasi bisa menjadi pelepas dahaga publik yang mengharapkantayangan televisi yang pas dan mantap. Semoga!

Yohanes WidodoEditor

Page 12: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

11

Taufik Savalas, Asmuni, Basuki, Alda Risma, Chrisye, Gito Rollies: siapayang tidak kenal mereka? Tiga nama pertama merupakan komedian papanatas Indonesia. Tiga nama berikutnya adalah artis/penyanyi yang cukupdikenal oleh masyarakat Indonesia. Semuanya telah meninggal dunia pada2007-2008. Masyarakat Indonesia pun berduka. Semua informasi tentangmeninggalnya tokoh terkenal seperti artis dan pejabat pemerintah rata-rata diketahui masyarakat Indonesia dari media massa.

Media massa menginformasikan seluk-beluk meninggalnya para artistersebut, mulai dari penyebab meninggal, detik-detik terakhir, duka yangditinggalkan, hingga prosesi pemakamannya. Semuanya dideskripsikansecara detil. Tak hanya itu, dia awal 2004, TV7 (sekarang Trans7), bahkanpernah menyiarkan secara langsung detik-detik terakhir kehidupan artismuda Sukma Ayu, yang koma hampir setahun penuh pasca operasi yangdilakukan oleh tim dokter rumah sakit MMC Jakarta.

Perhatian media massa terhadap peristiwa kematian tidak hanyaberhenti sampai di sini. Saat meninggalnya mantan Presiden Soeharto padaakhir Januari 2008, perhatian media pada peristiwa kematian menjadi lebihbesar lagi. Semua media, baik cetak maupun elektronik, memberitakanperistiwa langka ini. Dua hari berturut-turut headline media cetakmemberitakan kematian mantan penguasa era Orde Baru ini. Semuasaluran televisi juga memberitakan secara langsung hal yang sama. Semuamedia berfokus pada pemberitaan mengenai wafat dan prosesipemakamannya. Hingga berita tentang naiknya harga minyak goreng dankacang kedelai yang meresahkan para pengrajin tahu dan tempe punsempat terpinggirkan. Hal ini memicu kontroversi. Beberapa elemenmasyarakat memprotes siaran langsung ini dengan dalih bahwa parapengelola stasiun televisi swasta tersebut dituding melakukan blockingtime siaran yang kemudian meniadakan siaran yang lain sebagai alternatiftontonan masyarakat.

Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

Bonaventura S. BharataDosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Page 13: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

12

Khusus untuk kasus kematian Soeharto, sangat menarik jikamencermati perilaku media dalam menyorot kematian tokoh yang dijulukiBapak Pembangunan tersebut. Wafat dan pemakaman sang jenderalberbintang lima ini tidak hanya muncul di acara-acara berita formal,namun muncul pula di beberapa segmen acara infotainment di televisi,seperti di acara Insert Investigasi (Trans TV), Cek dan Ricek (RCTI), KISS(Indosiar), dan Expresso (ANTV) yang nyata-nyata sebenarnya merupakanacara yang mengkhususkan diri pada para artisdan selebriti. Terbitanmedia cetak pun demikian. Berita tentang kematian Soeharto tak hanyamuncul di suratkabar besar macam Kompas, Republika, Suara Pembaruan,dan Koran Tempo, namun muncul pula di beberapa terbitan tabloid hiburanseperti Bintang Indonesia, Cek dan Ricek dan di tabloid khusus perempuan,seperti Nova.

Di sisi lain, perilaku media dalam memberitakan kematian juga bukantanpa cela. Siaran langsung yang mendeskripsikan detik-detik terakhirkehidupan artis Sukma Ayu ataupun siaran langsung yang mengiringiprosesi pemakaman Soeharto ternyata juga terselip iklan komersial.Khusus untuk wafatnya mantan Presiden Soeharto, situs Indonesia TV Guidedalam laporan khususnya menunjukkan bahwa penayangan kematianSoeharto ternyata mendongkrak rating1. Artinya, proses pemakamanSoeharto ternyata sangat menarik minat penonton televisi sehinggamengundang minat pengiklan untuk mensponsori acara tersebut. Takhanya di siaran langsungnya, ketika pemakaman Soeharto masuk dalamtayangan infotainment pun, iklan yang muncul pun tak kalah banyak. Saatperistiwa kematian artis-artis terkenal seperti Taufik Savalas, Chrisye,Basuki, Asmuni dan Gito Rollies, pun kondisinya tak jauh berbeda. Selipaniklan komersial pun tampak dalam tontonan tersebut.

Namun bisa pula dipahami bahwa selipan iklan dalam tayanganlangsung prosesi pemakaman mantan Presiden Soeharto tersebutditayangkan oleh televisi swasta. Televisi swasta atau televisi komersialuntuk Indonesia merupakan bentuk siaran televisi yangpenyelenggaraannya berbasis pada industri sehingga pembiayaanoperasionalnya sangat tergantung dari pendapatan iklan yang diperoleh.Artinya siaran televisi ini sangat mengandalkan perhitungan untung rugi.Bila diyakini sebuah tayangan bersifat laku jual, maka tayangan tersebutlayak ditayangkan di televisi. Namun sebaliknya, jika sebuah tayangandiyakini tidak mendatangkan laba, maka tayangan tersebut pun tidak akanbisa disiarkan di televisi. Dengan demikian dalam industri televisi,

Page 14: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

13

Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

dituntut untuk sekreatif mungkin memformat suatu acara agar laku jualdi mata pengiklan.

Di sinilah bertemunya realitas ini dengan term komodifikasi yangdiperkenalkan oleh Vincent Mosco dalam bukunya The Political Economyof Communication, Rethinking and Renewal. Secara ringkas komodifikasimerupakan cara kapitalisme dalam mencapai tujuannya untukmengakumulasikan kapital atau merealisasikan nilai melalui transformasidari penggunaan nilai-nilai ke dalam sistem pertukaran (Mosco, 1996).Artinya, jika ini terjadi dalam industri televisi adalah bagaimana carayang dilakukan oleh para pekerja media untuk mengubah realitas sosialmenjadi realitas media yang laku jual. Proses mengubah nilai pakaimenjadi nilai tukar atau proses perubahan produk dari yang nilainyaditentukan oleh kapasitasnya untuk memenuhi kebutuhan individu ataukelompok menjadi produk yang nilainya ditentukan oleh apa yang dapatdibawa produk itu ke pasar. Dalam fenomena ini, peristiwa kematianmengalami proses komodifikasi ketika bersentuhan dengan industrimedia. Pengelola media melakukan upaya sedemikian rupa untukmengemas sebuah peristiwa kematian untuk kemudian menjadi sebuahproduk berita dan tontonan yang mampu menarik perhatian audiens.Semakin besar perhatian audiens, semakin besar pula kemungkinanproduk ini meraih iklan. Dari sisi etis, inilah permasalahannya. Apakahpantas peristiwa kematian yang jelas merupakan peristiwa duka cita inikemudian mengalami proses komodifikasi sedemikian rupa untuk meraihaudiens dan dijual kepada para pengiklan untuk kemudian mendatangkanprofit yang tinggi?2

Penelitian tentang komodifikasi sendiri pernah dilakukan oleh DiahKurniati, dengan judul Komodifikasi Privasi di Ruang Publik, Analisis WacanaKritis terhadap Acara Harap-Harap Cemas (H2C) di SCTV. Dalam penelitianskripsi tersebut dinyatakan bahwa proses produksi tayangan reality showoleh rumah produksi (REC Production) ini ternyata masih sangatdipengaruhi oleh kepentingan untuk mendatangkan profit. Ini terwujuddalam bentuk adanya intervensi pada praktek produksi yang dilakukanoleh SCTV agar tayangan reality show ini lebih mampu menyesuaikandengan selera pasar. Padahal tayangan ini jelas-jelas melanggar privasipara pelakunya. Artinya, ditinjau secara etis komunikasi, acara inimelanggar norma-norma etika (Kurniati dalam Jurnal Thesis, 2006; 151).

Sedangkan penelitian tentang kematian, dalam hal ini iklan kematiandi surat kabar, pernah dilakukan oleh Iwan Awalludin Yusuf dalam

Page 15: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

14

bukunya Media, Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas, Representasi EtnikTionghoa dalam Iklan Duka Cita di SKH Suara Merdeka Semarang. Penelitianini dilakukan terhadap beragam iklan kematian yang diterbitkan atasinisiatif masyarakat Tionghoa di SKH Suara Merdeka pada rentang waktu1997-1999. Kesimpulan akhir dari penelitian ini, bahwa etnik Tionghoaternyata memaksimalkan peran iklan kematian yang diterbitkan di SKHSuara Merdeka untuk menunjukkan eksistensi komunitas Tionghoa ditengah tekanan sosial atas masyarakat Tionghoa akibat upaya represipemerintah Orde Baru. Upaya ini menemukan jalannya di tengahkapitalisasi industri media cetak di era yang sama, dalam hal ini SKHSuara Merdeka Semarang.

Temuan lain yang menarik adalah munculnya istilah necrocultura yangdipopulerkan oleh Fabio Giovannini. Necrocultura berarti pandanganpositif terhadap peristiwa kematian. Berbeda dengan masa lalu yangmemandang kematian sebagai sesuatu yang mengerikan dan ditakuti,pada masa sekarang kematian merupakan peristiwa yang logis atau bukansesuatu yang ditakuti karena merupakan peristiwa wajar yang akanmenimpa siapapun. Yang perlu dipersiapkan justru bagaimanamenghadapi kematian tersebut (dalam Yusuf, 2005; 70). Dalamperkembangan berikutnya kematian pun bahkan menjadi komoditas3.Peluang ini bertemu dengan konsep komodifikasi di ranah media massa.Media pun ikut merayakan necrocultura.

Penelitian lain yang menarik tentang kematian pernah ditulis olehRonny E. Turner dan Charles Edgley (dalam Mulyana dan Solatun, 2007;185-186). Mereka menjelaskan bagaimana peristiwa kematian dapatdikonstruksi sedemikian rupa hingga mengesankan sebuah pertunjukan.Dikatakan bahwa pada dasarnya para pengatur pemakaman merupakanpebisnis yang unik. Dikatakan unik karena para pengatur pemakamanini tidak dapat meningkatkan pendapatannya dengan meningkatkanjumlah kematian di lingkungannya. Karenanya bisnis ini harus dijalankansecara hati-hati. Iklan perusahaan pun dikemas sedemikian rupa sehinggatidak mengesankan adanya harapan akan jumlah kematian yangmeningkat untuk mendongkrak pendapatan. Peningkatan penghasilanjustru diperoleh seberapa ahli seorang pengatur pemakaman mengemasperistiwa kematian menjadi sebuah ’pertunjukan’. Keberhasilan ini akanberdampak pada reputasi mereka yang pada akhirnya mampumemperluas pasar sehingga secara tidak langsung mendongkrakpendapatan.

Page 16: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

15

Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

Hasil-hasil penelitian tersebut memberikan pemahaman bahwaternyata peristiwa kematian pun dapat merupakan sebuah komoditasketika bersentuhan dengan aspek kapital (uang). Ini tidak berbeda denganperistiwa ulang tahun, pernikahan, ataupun kelahiran. Masalahnya, jikaperistiwa-peristiwa ini merupakan peristiwa suka cita, peristiwa kematiansebenarnya lebih dekat dengan peristiwa duka cita. Namun ketikaperistiwa ini dilihat sebagai peluang bisnis, peristiwa kematian punberubah wujud menjadi sebuah pertunjukan yang tidak berbeda denganperistiwa ulang tahun, pernikahan, dan kelahiran. Lalu bagaimana bilaperistiwa kematian para tokoh terkenal bersentuhan dengan industrimedia? Apakah juga merupakan jalan untuk menjadi sebuah pertunjukanatau bahkan sebuah necrocultura? Penelitian ini dimaksudkan untukmenjawab pertanyaan bagaimanakah lembaga media (dalam hal ini TransTV) mengkonstruksi peristiwa kematian (Sophan Sophiaan)?

Program Insert Investigasi Kematian Sophan SophiaanInsert Investigasi ditayangkan setiap sore pukul 17.30 WIB. Menilik dari

namanya yang menggunakan kata investigasi, Insert Investigasi idealnyamerupakan tayangan dalam format laporan (mendalam) yang mendes-kripsikan permasalahan tertentu. Biasanya tayangan Insert Investigasiberupaya mengupas seorang sosok artis tertentu atau mengangkat tematertentu. Karena masuk dalam acara infotaiment (yang dalam pemahamanmasyarakat Indonesia adalah informasi tentang dunia hiburan), formatisinya pun diupayakan dalam bentuk yang sekiranya dapat menghibur.Walaupun dengan format menghibur, belum tentu isinya bersifatmenghibur. Salah satu topik yang sering diangkat oleh Insert Investigasiadalah masalah perceraian artis. Perceraian tentu bukanlah realitas yangmenghibur. Namun dalam tayangan Insert Investigasi, kabar perceraianartis ini mampu diformat dalam bentuk yang menghibur.

Demikian pula pada realitas kematian (artis). Kematian bagi siapa saja,tentu saja bukan merupakan peristiwa menghibur. Termasuk bagi keluargaartis sekalipun. Realitas kematian selalu dekat dengan suasana sedih, duka,isak tangis, kelam, dan hitam. Namun ketika realitas ini dinaikkan kelayar kaca melalui acara Insert Investigasi, kematian memiliki nuansa yangberbeda. Kematian bukanlah persitiwa yang sedih dan duka. Justrusebaliknya: kematian menjadi peristiwa yang memberikan hiburantersendiri. Seperti terjadi pada peristiwa kematian artis Sophan Sophiaan.

Page 17: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

16

Bagaimana Insert Investigasi mengkonstruksi peristiwa tersebut menjadikematian yang menghibur?

Dari Sisi Teknik Produksi:a. Dramatisasi Adegan

Dramatisasi adalah bagaimana membuat sebuah peristiwa yangsebenarnya biasa, menjadi tayangan yang memiliki kesan luar biasa atauimpresi yang mendalam. Dramatisasi dalam dunia produksi programtelevisi dapat dilakukan melalui proses pengambilan gambar dan prosesediting (baik suara maupun gambar). Melalui proses pengambilan gambar,misalnya ketika ingin menampilkan profil seseorang denganmengesankannya sebagai sosok yang kharismatis, kamerawan dapat sajamengambil gambar dari arah bawah. Pengambilan gambar denganmengarahkan kamera dari arah bawah (low angle) akan mengesankanseseorang menjadi sosok yang berwibawa dan kharismatik. Jikamenggunakan editing gambar, perubahan warna dari berwarna menjadihitam putih pada sebuah peristiwa akan memunculkan kesan masa lalubagi yang menyaksikannya. Dramatisasi dalam peristiwa kematian SophanSophiaan dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya:

b. Memformat bumper inBumper ini merupakan gambar atau rentetan potongan gambar atau

adegan yang disusun sedemikian rupa menjelang memasuki isi sebuahacara (Cremer, dkk, 1996: 419). Biasanya dilakukan untuk menggugahcalon penonton agar tertarik untuk menyaksikan acara tersebut. Gambar-gambar yang dipilih untuk mengisi bumper in ini biasanya diambil daribagian yang sekiranya paling menarik sehingga mampu memunculkanketertarikan penonton. Dalam tayangan Insert Investigasi tentang peristiwakematian Sophan Sophiaan, gambar yang dipilih untuk mengisi bumperin adalah gambar yang mengisahkan firasat yang dialami oleh Widyawati(istri Sophan Sophiaan) menjelang kematian Sophan Sophiaan.

Dalam bumper in yang dimunculkan sebagai pembuka pada acara InsertInvestigasi ini sebenarnya bukan hanya gambar yang mendeskripsikanfirasat yang dirasakan oleh Widyawati selaku istri almarhum SophanSophiaan, namun juga berisi gambar yang lain. Gambar-gambar tersebutdi antara lain pernyataan Paramitha Rusady, Winkey Wiryawan danKennes, serta kakak-beradik Chintami dan Minati Atmanegara, tentangkesan-pesan terhadap perkawinan Widyawati dan Sophan Sophiaan.Kemudian dilanjutkan dengan gambar nostalgia, yakni kenangan antara

Page 18: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

17

Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

Sophan Sophiaan dan Widyawati yang membeberkan rahasiakelanggengan rumah tangga mereka.

Time CodeNo Narasi Gambar

00:00-00.101. Bumper in

Widyawati : Buat saya dia

masih ada aja. Saya merasa kaya

mimpi gitu lho, lain kalo dalam

keadaan sakit. Tapi kalo seperti

ini, anda-anda pasti akan

seperti saya. Terakhir dia peluk

saya, Saya ga jawab. Saya sedih

bener itu.

00:10-00:132. Paramitha Rusady: Seperti di

kisah roman kalo saya bilang

sih...

00:13-00:153. Kennes : memang pasangan

yang ideal banget …

00:15-00184. Minati : gak ada ya yang punya

hubungan sehebat mereka …

Page 19: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

18

Dari beberapa gambar yang disajikan tersebut, gambar yangmendeskripsikan tentang firasat Widyawati mendapatkan porsi dominan.Selain mendapatkan posisi pertama (sebagai pembuka acara), durasinyapun memakan waktu sepuluh detik. Ini berbeda dengan gambar-gambarberikutnya yang hanya mendapatkan rata-rata durasi sekitar tiga detiksaja. Penempatan gambar pada posisi pertama dan memiliki durasi yangrelatif panjang dibandingkan dengan gambar yang lain dimaksudkansebagai impresi khusus untuk menggugah rasa tertarik calon khalayakuntuk bersedia menyaksikan acara tersebut.

Sebagai sebuah bumper in tayangan infotainment peristiwa kematian,Insert Investigasi Trans TV bisa dikatakan cerdik. Mengapa cerdik? Dalammasyarakat Indonesia, salah satu pembicaraan menarik dalam peristiwakematian adalah firasat apa yang sebenarnya muncul menjelang seseorangmeninggal dunia. Menjadi semakin menarik apabila yang bercerita adalahorang-orang terdekat dari individu yang meninggal dunia, seperti istridan anak-anak. Kisah yang dituturkan oleh Widyawati ketika mengalamifirasat tersebut menjadi peristiwa unik yang dipilih dan diduga akanmenarik perhatian penonton.

Dalam tayangan Insert Siang Minggu (18 Mei 2008), peristiwa firasatkematian Sophan Sophiaan juga ditampilkan. Kali ini firasat tersebutdialami oleh putera Sophan Sophiaan (Romy Sophiaan). Romy

Time CodeNo Narasi Gambar

00:18-00:225. Minati : gak ada ya yang punya

hubungan sehebat mereka …

00:22-00:386. Sophan : kuncinya kalo orang

jawa itu …. Nrimo

Page 20: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

19

Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

menceritakan bahwa Sophan Sophiaan pernah memiliki keinginan untukmenjual motor besarnya setelah selesai melakukan Touring Merah Putih.Ini akan dilakukan oleh Sophan Sophiaan karena ia sudah merasa yakinbila touring yang dijalaninya ini merupakan touring terakhirnya.

Dalam Insert Investigasi Minggu sore (18 Mei 2008), sekali lagi firasatyang dialami oleh keluarga Sophan Sophiaan diceritakan kembali olehputeranya Romy Sophiaan. Dikatakan bahwa dua hari sebelum kematianSophan, Romy merasa ada suara langkah kaki di depan kamar tidurnya.Ia merasakan bahwa itulah langkah kaki ayahnya. Padahal Sophan padasaat yang sama masih melakukan touring dalam rangka memperingati100 tahun Kebangkitan Nasional. Di samping itu firasat yang dirasakanoleh sesama rekan touring Sophan Sophiaan juga diceritakan dalam InsertInvestigasi tersebut. Dinyatakan oleh Freddy Soemitro, bahwa SophanSophiaan pernah menyatakan keinginan untuk cepat-cepat kembali keJakarta.

Penceritaan firasat atas kematian memang diakui sebagai bagian yangtermasuk menarik yang menyertai peristiwa kematian itu sendiri. Tidakmengherankan setiap ada penayangan kematian artis di infotainment InsertInvestigasi, penceritaan tentang firasat ini selalu muncul. Misalnya padapenayangan Insert Investigasi tentang kematian artis Gito Rollies beberapaminggu sebelum Sophan Sophiaan meninggal dunia. Istri Gito Rollies(Michelle) menceritakan bahwa suaminya sering meminta kepada sahabat-sahabatnya untuk selalu mendoakan dirinya.

c. Perpindahan gambar yang cepatDalam tayangan Insert Investigasi, ada beberapa bagian cerita yang

dideskripsikan secara cepat dan dinamis. Cepat di sini berarti perpindahandari gambar yang satu ke gambar yang lain dilakukan dengan tempo yangsingkat, dengan gambar yang beraneka ragam. Dinamis artinyaperpindahan dari gambar yang satu ke gambar yang lain dilakukandengan teknik tertentu, bisa dengan teknik cut to cut ataupun dissolve.Teknik perpindahan gambar ini memberikan impresi tertentu pula. Sepertiteknik cut to cut biasanya ingin menunjukkan perpindahan tema cerita(Bordwell dan Thompson, 2008: 477). Sedangkan dissolve, merupakanteknik perpindahan gambar yang ingin memunculkan kesinambunganantar gambar (Bordwell dan Thompson, 2008: 478).

Pada tayangan Insert Investigasi Sophan Sophiaan terdapat beberapabagian alur cerita yang disampaikan dengan tempo cepat. Ini ditandai

Page 21: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

20

perpindahan dari gambar yang satu ke gambar yang lain dalam waktusingkat. Teknik perpindahan gambarnya pun bervariasi, ada cut to cutdan ada pula yang dissolve. Perpindahan gambar yang cepat ini disertaidengan teknik perpindahan gambar yang bervariasi memberikan kesandinamis pada peristiwa. Sesuatu yang dinamis biasanya berkait denganhal yang menyenangkan dan menggembirakan. Tentu ini bertolakbelakang dengan peristiwa kematian itu sendiri. Kematian tentu tidak

Time CodeNo NarasiGambar dan

Perpindahan Gambar

01.081.

01.102.

(ilustrasi musik)

01.11

01.13

3.

4. Jika...

Page 22: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

21

Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

ditandai dengan kedinamisan peristiwa. Kematian biasanya dikesankansedih, duka, gelap, dan suram tentu jauh dari hal-hal yang bersifat dinamis.Namun dengan teknik editing tertentu, peristiwa kematian justriumendapatkan kesan dinamis tersebut.

Dari rentetan gambar dalam tayangan Insert Investigasi Trans TV,terkesan jelas bahwa perpindahan gambar atas peristiwa dilakukan

Time CodeNo NarasiGambar dan

Perpindahan Gambar

01.145.

01.156.

hidup adalah sebuah

film

Sophan Sophian adalah

01.16

01.18

7.

8.

lakon melodrama

terbaik…

Selama …. (delapan

windu perjalanannya …)

Page 23: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

22

dengan sangat cepat dan dinamis. Penampilan gambar hanya dilakukanrata-rata per satu detik. Bahkan proses perpindahan gambar denganmenggunakan teknik dissolve juga hanya memakan waktu satu detik saja.Perpindahan gambar yang sangat singkat ini tentu mempengaruhi narasiyang disampaikan. Narasi pun dibuat seringkas mungkin. Per satu detikdiucapkan rata-rata tiga kata (diksi). Tentu ini juga mempengaruhi secaratidak langsung durasi pengucapan yang juga dituntut cepat.

Demikian pula saat berganti antar sequences dari prolog menuju isicerita. Tak jarang perpindahan gambar yang cepat ini turut mengiringialur cerita yang disampaikan. Padahal peristiwa yang disampaikanadalah cuplikan-cuplikan gambar dari suasana pemakaman dari SophanSophiaan yang sudah dilakukan sehari sebelumnya dan tentu sudahditayangkan pada sore dan pagi hari sebelum tayangan Insert Investigasiini diudarakan. Selain itu juga cuplikan-cuplikan gambar yangmenunjukkan suasana tahlilan yang digelar di rumah duka. Namunkarena disampaikan dalam tempo yang cepat, susunan gambar tersebutmalah berkesan tidak menunjukkan kedukaan.

Di bagian tayangan yang lain, perpindahan gambar semuanya jugaada yang dilakukan per satu detik. Konsekuensinya pun berimbas padanarasi tayangan. Narasi yang dibacakan pun hanya sekitar tiga kata persatu detik. Sama dengan contoh sebelumnya. Perpindahan gambar padasuasana pemakaman dilakukan dengan teknik dissolve-flash. Ini tentudimaksudkan untuk melakukan semacam flashback (kembali ke masa lalu)pada peristiwa yang terjadi sehari sebelumnya, yakni peristiwapemakaman Sophan Sophiaan di Pemakaman Tanah Kusir (Jakarta).Ketika masuk rentetan gambar yang menunjukkan suasana tahlilan dirumah duka Widyawati, teknik perpindahan gambar yang digunakanadalah dissolve. Diruntutkan gambar-gambar yang mengetengahkan acaratahlilan tersebut dilakukan.

Teknik dissolve digunakan dalam sequences ini tentu dengan maksudmenunjukkan kepada penonton tentang kesinambungan kronologissuasana tahlilan di rumah duka. Namun ketika rentetan peristiwa tersebutdisajikan dengan tempo yang cepat dan teknik editing dengan perpindahangambar tertentu (dissolve flash dan dissolve), justru yang muncul adalahkesan yang dinamis dan bergairah. Kesan dinamis dan bergairah ini jauhdari kesan duka, sedih, gelap, dan kelam yang menjadi ciri pada realitaskematian itu sendiri. Di sinilah keunikan terjadi.

Page 24: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

23

Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

d. Penumpukan gambarSelain mengemas bumper in dan melakukan teknik perindahan gambar

yang cepat, dramatisasi adegan juga diberikan dengan cara melakukanpenumpukan gambar. Penumpukan gambar yang dimaksud adalahmenggabungkan dua buah gambar yang berbeda menjadi satu denganteknik editing tertentu. Teknik editing tertentu yang dimaksud adalahdengan cara seolah-olah akan melakukan perpindahan gambar denganteknik dissolve, namun hasilnya adalah dua gambar berbeda menumpukmenjadi satu.

Time CodeNo Narasi Gambar

03.26-03.281. Narator : Ada sebuah sapaan

03.28-03.292. Narator : terakhir dari

almarhum

03.29-03.303. Narator : yang tidak ia sadari

03.30-03.314. Sama sekali

Page 25: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

24

Dari runtutan gambar di atas, terdapat dua kali gambar yang dengansengaja ditumpuk. Keduanya adalah gambar Sophan Sophiaan danWidyawati pada menit ke 03.28 dan 03.31. Entah kebetulan atau tidak,penggabungan atau penumpukan dua gambar tersebut terasa mulus.Dalam arti, gambar Sophan Sophiaan yang ditumpukkan ke gambarWidyawati terlihat proporsional. Tidak terlihat salah satu obyek lebih besaratau lebih kecil dari yang lain. Sehingga mengesankan antara SophanSophiaan dan Widyawati terasa berimbang. Penumpukan gambar yangproporsional ini tentu memunculkan impresi tertentu. Impresi ini dapatbermakna macam-macam. Pertama, pekerja media ingin mengesankanhubungan yang tidak saling mendominasi antara Sophan Sophiaan danWidyawati. Kedua, impresi tersebut seakan ingin menyatakan bahwaantara Sophan Sophiaan dengan Widyawati itu ibarat dua sisi mata uang,dua sisi yang sebenarnya adalah satu jiwa. Impresi ini terasa pas denganpenguatan yang diperoleh dari penggabungan atau penumpuan duagambar dari masing-masing individu yang berbeda tersebut.

e. Penggunaan Diksi dan MajasUnsur dramatisasi lain yang diberikan oleh acara Insert Investigasi

adalah dengan menggunakan diksi yang menarik untuk mengantarkancerita. Harus diakui sebagai salah satu acara infotainment dari sekian

Time CodeNo Narasi Gambar

03.31-03.335. Layaknya pesan perpisahan

03.33-03.356. Widyawati : Terakhir dia peluk

saya … I love you, ma …

Page 26: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

25

Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

banyak acara serupa di televisi, Insert Investigasi memiliki tampilan yangberbeda untuk bahasa narasinya. Perbedaan yang menyolok dari sisibahasa ini adalah dengan penggunaan diksi yang dipilih sedemikan rupa.Selain itu Insert Investigasi juga sering menggunakan gaya bahasa ataumajas untuk memperindah pesan yang disampaikannya.

Gaya bahasa atau majas merupakan bahasa yang indah yang diguna-kan untuk meningkatkan impresi tertentu, dengan jalan memperkenalkanatau membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atauhal lain yang lebih umum (Sumadiria, 2006: 145). Penggunaan gaya bahasaatau majas dalam tayangan ini masih ditambah lagi dengan intonasi suarayang dikemas sedemikian rupa untuk menarik perhatian pemirsa.

Sebenarnya penggunaan bahasa baik dari sisi pemilihan diksi dan gayabahasa (serta intonasi pembawaan yang khusus karena ini adalah mediatelevisi) merupakan hal yang wajar dalam acara sejenis Insert Investigasi.Walaupun banyak pihak menolak bahwa infotainment bukanlah karyajurnalistik, harus diakui bahwa prosesnya tidak jauh berbeda dengan karyajurnalistik yang lain. Tayangan Insert sebagai sebuah infotainmentsebenarnya dapat dimasukkan sebagai berita ringan (soft news) ataupunberita kisah (feature). Berita ringan atau berita kisah merupakan formartberita yang mengandalkan nilai berita (news values) prominence atauketerkenalan, kedekatan (proximity) dan human interest (Itule danAnderson, 2008: 12).

Sebagai berita ringan atau berita kisah, tentu memiliki keluwesan yanglebih luas dibandingkan dengan jenis berita langsung (straight news atauhard news). Jika dalam berita langsung lebih mengandalkan pemilihandiksi yang bersifat lugas dan denotatif serta meminimalisir penggunaanmajas (gaya bahasa), maka berita ringan atau berita kisah justru sebaliknya.Berita ringan dan berita kisah justru dapat mengandalkan pemilihan diksiyang lebih luas dan memaksimalkan penggunaan majas. Tentu inidimaksudkan untuk mempercantik atau memperindah cerita yangdisusun.

Perhatikan penggunaan diksi dan majas dalam acara Insert InvestigasiTrans TV, Senin 19 Mei 2009: “Selamat sore pemirsa. Makam itu memangmasih basah. Untaian bunga masih segar di pusara. Dan air mata Widyawatipun terus mengalir membasahi hatinya yang masih luka karena kepergian sangbelahan jiwa. Kini hanya doa yang mampu terangkai untuk cinta yang telahterbang jauh. Bersama saya Deasy Noviani inilah Insert Investigasi.”(dinarasikan oleh Presenter Insert Investigasi Trans TV, Senin 19 Mei 2008).

Page 27: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

26

“Jika hidup adalah sebuah film, Sophan Sophiaan adalah lakon melodramaterbaik. Selama delapan windu perjalanan nafasnya, Sophan Sophiaanadalah aktor terbaik. Pria Makassar itu sempurna memerankan dua duniaterpisah yang musti dimainkannya. Dia merupakan seniman produktifdan politisi yang bersih anti korupsi dan feodalisme. Di sisi lain, Sophanjuga seorang suami terbaik, setia dengan perkawinannya. Almarhumadalah potret sebuah totalitas. Di saat banyak artis beramai-ramaimencalonkan diri untuk duduk di Senayan, Sophan Sophiaan malah memilihhengkang. Dia tak tergiur jabatan gubernur, walikota, bahkan bupati.Sophan bahkan memutuskan mundur dari DPR-MPR setelah 10 tahunmenghuni Senayan. Saat selebritis ramai-ramai bercerai, Sophan justrumakin mesra bersama Widyawati. Sayang tragika berdarah di alasWidodaren, Ngawi, Jawa Timur memungkas hidupnya, mencerabut seluruhmimpinya yang ada. Namun semangatnya tak ikut terkubur bersamajasadnya di tanah kusir. Seperti apa sosok Sophan di mata istri dan parasahabatnya? Apa saja mimpi-mimpi besar sang aktor nasionalis yangbelum terwujudkan? Pemirsa inilah Insert Investigasi!” (Narator dalamInsert Investigasi Trans TV, Senin 19 Mei 2008).

Diksi basah dalam kalimat: “Makam itu memang masih basah…” yangdiucapkan oleh presenter Deasy Novianti, tentu bermakna kiasan ataukonotatif. Basah dalam arti denotatif mensyaratkan adanya kadar air yangtinggi pada suatu obyek. Tentu kata “basah” yang digunakan dalamkalimat tersebut bukanlah bermakna bahwa makam Sophan Sophiaansedang tergenang air dalam volume yang besar. Namun lebih bermaknabahwa makam tersebut masih baru digali dan digunakan untukmemakamkan seseorang. Demikian pula dengan kata pusara dalamkalimat: “Untaian bunga masih segar di pusara” merupakan kata lain yanghalus dan lembut untuk kata “makam”. Bisa jadi ini dimaksudkan untukmencegah perulangan kata yang sama dalam narasi yang diucapkan, agartidak membosankan telinga pendengar.

Penggunaan majas juga tampak dari narasi yang dituturkan olehpresenter acara Insert Investigasi tersebut. Seperti dalam kalimat: “Kinihanya doa yang mampu terangkai untuk cinta yang telah terbang jauh.”Perhatikan anak kalimat cinta yang telah terbang jauh. Anak kalimat initentu merupakan majas simbolik. Majas simbolik merupakan majas ataugaya bahasa yang bertujuan untuk melukiskan sesuatu atau orang dengansimbol atau lambing tertentu. Tentu yang dimaksud cinta yang telah terbang

Page 28: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

27

Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

jauh di sini adalah sosok Sophan Sophiaan. Dengan meninggalnya SophanSophiaan, praktis Widyawati harus menjalani hidup seorang diri. SosokSophan Sophiaan yang sangat berarti bagi Widyawati ini disimbolkansebagai cinta. Karena kebetulan Sophan Sophiaan sudah meninggal dunia,maka dinyatakan sebagai cinta yang telah terbang jauh.

Demikian pula narasi yang dituturkan oleh narator acara InsertInvestigasi, banyak menggunakan majas atau gaya bahasa untukmempercantik pesan yang disampaikan. Seperti dalam kalimat: “Bila hidupadalah sebuah film, Sophan Sophiaan adalah lakon melodrama terbaik.” Kalimatini mengandung majas atau gaya bahasa alegori. Majas alegori merupakanmajas yang digunakan untuk menyatakan sesuatu dengan cara lain, bisamelalui kiasan atau penggambaran. Dinyatakan dalam kalimat tersebut,bahwa sosok kehidupan Sophan Sophiaan ibarat sebuah film. Dalamdrama kehidupan ini, Sophan Sophiaan menjadi lakon atau tokoh pemainyang terbaik yang berhasil menjalani kehidupannya di dunia nyata. Majasini pun bertujuan untuk mempercantik pesan yang disampaikan.

Penggunaan diksi yang unik juga muncul dalam kalimat: “Sayangtragika berdarah di alas Widodaren, Ngawi, Jawa Timur memungkashidupnya, mencerabut seluruh mimpinya yang ada”. Perhatikanpemilihan diksi tragika berdarah untuk menggantikan tragedi berdarah.Dalam Bahasa Indonesia memang dikenal kata tragika sebagai kata laintragedi. Namun diksi ini relatif masih jarang digunakan. Sehingga ketikaInsert Investigasi Trans TV menggunakan diksi ini, terasa ada sesuatu yangbaru, yang ingin disampaikan pada pemirsa.

Tidak sekali ini saja Insert Investigasi menggunakan kata-kata yangrelatif masih jarang terdengar. Dalam acara Insert yang lain, seperti InsertSiang pada Minggu, 18 Mei 2008, narator Insert juga menggunakan kataberdedai-dedai untuk mendeskripsikan suasana beramai-ramai dari parapolitisi, seniman, dan artis yang turut menjemput jenazah SophanSophiaan di Bandara Soekarno Hatta setelah diterbangkan dari Solo. Tentusaja dinyatakan unik karena diksi tersbut terhitung masih sangat jarangdigunakan dalam Bahasa Indonesia.

Sebagai perbandingan, perhatikan pemilihan diksi dan penggunaanmajas di acara Insert Investigasi Trans TV hari Minggu tanggal 18 Mei 2008:

“Derai air mata seakan menetes dari ribuan pasang mata, mengiringikepergian sang aktor legendaris Sophan Sophiaan. Kepergian untukselamanya yang begitu cepat masih terasa lirih membekas dalam hati.

Page 29: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

28

Akankah kekuatan itu masih tersisa meski ragamu sudah tak terlintas nyatalagi ? Bersama saya Deasy Novianty, inilah Insert Investigasi …” (Presenterdalam Insert Investigasi Trans TV, Minggu, 18 Mei 2008)

“Pemakaman Sophan Sophiaan berlangsung hikmat. Siang hari tadi,akhirnya jenazah aktor sekaligus sutradara kawakan Sophan Sophiaandikebumikan. Almarhum dibaringkan di TPU Tanah Kusir Jakarta Selatanberdampingan dengan pusara ayahanda, Manai Sophiaan. Ribuan pelayatmembanjir dari berbagai kalangan. Mulai dari pejabat, politisi, sampaisemua kolega di dunia seni Memang paruh terakhir dalam kehidupanalmarhum banyak dihabiskan di kancah politik nasional. Tetapi ternyataKhalam berkehendak lain. Seluruh reputasi kebesaran Sophan Sophiaanrupanya dicukupkan Sang Pencipta di usia 64 tahun. Sekali lagi bangsa iniberduka. Seperti apa suasana detik-detik terakhir pemakaman jenazahSophan Sophaan. Apa firasat dan pesan kematian almarhum? Pemirsainilah Insert Investigasi.” (Narator dalam Insert Investigasi Trans TV,Minggu, 18 Mei 2008)

Perhatikan penggunaan kata kepergian sang aktor legendaris pada kalimatyang diucapkan oleh presenter Insert Investigasi, Deasy Novianti untukedisi Minggu, 18 Mei 2008. Kata kepergian tentu untuk menggantikan katameninggal dunia. Kemudian sosok Sophan Sophiaan yang diwakili kataaktor legendaris masih diimbuhi kata sang. Kata sang biasanya diberikanuntuk orang-orang yang dipandang ahli. Karena dipandang sebagai orangyang ahli, kedudukan orang ini biasanya akan mendapatkan posisiistimewa di tengah masyarakat. Dengan demikian kata sang menunjukanpula pengakuan masyarakat kepada si tokoh yang diberikan mbuhan katatersebut. Demikian pula dengan kata membanjir yang digunakan olehnarator untuk menarasikan peristiwa pada acara yang sama. Katamembanjir yang merupakan majas atau gaya bahasa ini, tentu inginmengaskan demikian banyaknya pelayat yang menghadiri upacarapemakaman Sophan Sophiaan.

f. Ilustrasi musik dan laguIlustrasi musik dan lagu juga merupakan salah satu cara melakukan

dramatisasi dalam acara Insert Investigasi di Trans TV. Dalam sebuahtayangan program televisi ataupun film, alunan ilustrasi musik dan selipanlagu tentu dimaksudkan untuk memperkuat impresi pesan yangdisampaikan oleh acara tersebut (Bordwell dan Thompson, 2008: 273).Dalam teknik produksi, bagaimana suatu suasana hendak dibangun dalam

Page 30: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

29

Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

alunan cerita, salah satunya dilakukan dengan memberikan ilustrasi musikataupun selingan lagu. Dalam dunia penyiaran baik di radio maupun ditelevisi, ini sudah menjadi semacam pakem atau aturan main. Apabilaingin membangun suasana ceria, tentu diberikan ilustrasi musik atauselipan lagu dengan tempo cepat. Untuk membangun suasanabersemangat, tinggal diberikan ilustrasi musik atau selipan lagu dengantempo cepat dan bersifat menghentak. Bila ingin membangun suasanauntuk mengesankan peristiwa yang rutin terjadi, diberikan ilustrasi musikataupun selipan lagu dengan tempo sedang. Sebaliknya bila inginmenonjolkan suasana sedih, tinggal diberikan ilustrasi musik atapunselingan lagu dengan tempo lambat.

Dalam mengiringi peristiwa kematian, biasanya akan diberikan iringanlagu atau selingan lagu dengan tempo yang lambat. Dalam tradisikematian orang Kristiani, biasanya diperdengarkan lagu-lagu gregorianuntuk kematian. Lagu ini memiliki tempo yang lambat. Tentu inimenyesuaikan dengan suasana kematian yang tidak jauh dari dari kesansedih dan duka. Namun dalam acara Insert Investigasi Trans TV yangmendeskripsikan Sophan Sophiaan, ilustrasi musik yang menyertai narasitidaklah selalu didominasi oleh musik yang memiliki tempo lambat. Dibeberapa bagian cerita, ilustrasi musik justru diisi dengan iringan lagudalam tempo sedang, bahkan cepat. Untuk tempo cepat ini bahkan tampaknyata ketika mendeskripsikan secara ringkas pemakaman SophanSophiaan sebagai pembuka cerita sebelum memasuki adegan tahlilan dirumah duka. Tidak hanya itu ilustrasi musik yang mengiringi perpindahangambar bahkan dipilih dengan teknik smash.

Dari runtutan gambar di atas, dapat diperhatikan bagaimana InsertInvestigasi Trans TV memberikan ilustrasi musik pada peristiwapemakaman Sophan Sophiaan. Pemberian ilustrasi musik dengan tempocepat tentu merupakan konsekuensi dari perpindahan gambar yang jugacepat. Seperti yang diamati pada tabel transkrip di atas, perpindahanantargambar hanya berlangsung per satu detik dari gambar yang satu kegambar berikutnya. Belum lagi dalam perpindahan gambar, diberikanefek flash (kilat atau petir) berwarna putih terang. Ilustrasi musik punmengikuti dengan efek smash (dentuman). Dengan tempo cepat dan efekflash yang menyertai runtutan gambar tersebut, justru memberikan kesandinamis pada peristiwa yang disampaikan. Padahal sekali lagi, peristiwayang ditayangkan adalah peristiwa kematian, bukan peristiwa gembiraatau ceria.

Page 31: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

30

Dari Sisi Substansi:a. Tayangan Gambar yang Berulang-Ulang

Dalam tayangan Insert Investigasi (Senin, 19 Mei 2008) yangmengisahkan kematian Sophan Sophiaan seringkali ditemui pengulangangambar. Ada beberapa gambar yang digunakan secara berulang. Namunpengulangan tersebut pada frekuensi tidak lebih dari dua kali. Sedangkantiga gambar di atas muncul dalam frekuensi yang sangat sering (sekitartiga sampai lima kali penayangan). Bahkan di gambar terakhir (gambarnomor 3), gambar Sophan Sophiaan bersama motor besarnya muncul duakali dalam waktu yang sangat berdekatan, yakni di menit 11:10 dan 11:34.

Pengulangan gambar tidak hanya terjadi di dalam satu acara ini. Adabeberapa gambar yang digunakan secara berulang di dalam acara Insert.Jadi sudah digunakan pada Insert Siang dan Insert Investigasi di jam atauhari sebelumnya, kemudian digunakan di acara ini. Seperti misalnyagambar suasana pemakaman Sophan Sophiaan di Tanah Kusir, sudahdigunakan di Insert Siang edisi Minggu 18 Mei 2008 dan Senin 19 Mei2008, kemudian digunakan kembali untuk Insert Investigasi edisi Senin 19Mei 2008.

Sebagai sebuah acara hiburan, Insert Investigasi terikat pada teknik-teknik produksi tertentu. Seperti perpindahan gambar yang cepat agarterkesan dinamis dan durasi waktu yang sudah ditentukan. Perpindahangambar yang cepat dan tuntutan durasi waktu tertentu, tentu menuntutstok gambar yang cukup. Namun bisa jadi Trans TV tidak memiliki stokgambar yang cukup untuk memenuhi tuntutan produksi, hingga yangakhirnya yang dilakukan adalah pengulangan gambar. Pengulangangambar tentu menjadi solusi di tengah kurangnya stok gambar, walaupunsolusi ini sebenarnya dari sisi estetika tidak dibenarkan dalam produksiaudio visual karena dapat menyebabkan kebosanan di mata penonton.Padahal dalam sebuah produksi audio visual sebaiknya jangan sampaiterjadi penonton bosan dalam melihat sebuah karya produksi. Sehinggaperencanaan produksi harus dilakukan secara matang agar kekuranganstok gambar dapat dihindari.

b. Tema yang bervariasiSisi substansi lain yang dilakukan oleh Trans TV dalam tayangan Insert

Investigasi mengenai peristiwa kematian aktor Sophan Sophiaan adalahdengan melakukan variasi tema pada tayangan Insert Investigasi. Temayang diangkat untuk beberapa tayangan Insert Investigasi :

Page 32: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

31

Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

Insert Investigasi Minggu 18 Mei 2008 : Pemakaman Sophan

Sophiaan Insert Investigasi Senin 19 Mei 2008 : In Memoriam Sophan Sophiaan

(dikaitkan dengan hobi motor besar dan kelanggengan keluarga) Insert Investigasi Selasa, 20 Mei 2008 : In Memoriam Sophan

Sophiaan (dikaitkan dengan 100 tahun Kebangkitan Nasional) Insert Investigasi Rabu, 21 Mei 2008 : Pemakaman Ali Sadikin Insert Investigasi Kamis, 22 Mei 2008 : In Memoriam Ali Sadikin

dan Sophan Sophiaan (sebagai tokoh politik yang beraniberseberangan dengan penguasa)

Bila dikaitkan dengan jurnalisme, maka variasi tema biasanya akandilakukan oleh jurnalis untuk mengaktualkan peristiwa sehingga tetaplayak diberitakan. Variasi tema dalam tayangan Insert Investigasi mengenaikematian Sophan Sophiaan ini tentu dilakukan dengan maksud tersebut,yakni untuk mengaktualkan peristiwa agar tetap layak untuk disiarkan.Walaupun pelebaran tema ini juga memicu konsekuensi lain, yakniketersediaan gambar untuk membangun program acara tersebut. Tidakjarang ditemui pengulangan gambar yang dilakukan oleh Insert InvestigasiTrans TV untuk tema-tema yang berbeda tersebut. Namun karena temayang saling berbeda, penonton seakan diajak pula untuk selalumemperbaharui wawasan tentang Sophan Sophiaan meski harus melihatgambar yang sama.

Apalagi beberapa hari setelah Sophan Sophiaan meninggal dunia,disusul oleh meninggalnya Ali Sadikin. Ali Sadikin dan Sophan Sophiaankebetulan memiliki kedekatan karakter, yakni sama-sama merupakanorang-orang yang berani berseberangan dengan penguasa (Orde Baru).Ali Sadikin yang merupakan mantan gubernur Jakarta (1966-1977)merupakan tokoh Petisi 50 di era Presiden Soeharto berkuasa. Petisi 50merupakan sekelompok masyarakat yang menolak dicalonkannyakembali Soeharto sebagai Presiden untuk ketiga kalinya pasca Pemilu 1977.Kebetulan pula salah satu penanda tangan Petisi tersebut selain Ali Sadikinadalah Manai Sophiaan yang merupakan ayah kandung Sophan Sophiaan.Kebetulan yang tidak dirancang ini, akhirnya malah memperpanjangepisode penceritaan Sophan Sophiaan di layar kaca. Jika dihitung sejakmeninggalnya, artinya tayangan Sophan Sophiaan hampir memakanwaktu seminggu lamanya.

Page 33: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

32

Dan Kematian pun Menjadi HibuaranDari data yang diperoleh melalui analisis isi kualitatif, diperoleh

temuan bagaimana melalui sebuah proses kerja produksi media, peristiwakematian tidak lagi hadir dalam suasana yang sedih dan duka. Sebaliknya,peristiwa kematian dikonstruksi sedemikian rupa, melalui teknik produksitertentu, sehingga ketika dipertontonkan kembali justru memunculkanhiburan tersendiri. Di sini sebenarnya terlihat bagaimana kelihaian mediamelakukan konstruksi terhadap sebuah peristiwa, sehingga peristiwaberubah wajah ketika sampai di mata audiens. Termasuk dalam hal iniadalah peristiwa kematian. Peristiwa kematian yang sebenarnyamerupakan peristiwa sedih dan duka, namun di tangan media (pekerjamedia) mampu membalik semua itu menjadi peristiwa yang justrumemberian hiburan.

Masalah bagaimana media mampu melakukan konstruksi sedemikianrupa, tentu mengingatkan pada beberapa konsep dalam komunikasimassa. Pertama, konsep framing. Konsep framing sebenarnya lebih banyakdimunculkan dalam kasus-kasus produksi berita (jurnalisme). Dalamjurnalisme, framing memiliki arti bagaimana media membingkai sebuahperistiwa. Artinya framing merupakan proses bagaimana mediamemberikan definisi, penjelasan, evaluasi, bahkan rekomendasi terhadapsebuah peristiwa. Muara dari framing adalah bagaimana mediamemberikan pemaknaan tehadap sebuah peristiwa. Sebuah peristiwadapat dimaknai dengan cara yang berbeda-beda. Bahkan denganpemaknaan yang berbeda ini, sebuah peristiwa dapat tampil demikianberubah dibandingkan dengan realitas sosialnya ketika sudah menjaditeks media. (Nugroho, dkk, 1999). Dalam penelitian ini, peristiwa kematianSophan Sophiaan yang merupakan peristiwa sedih dan duka, dapat sangatberubah wajah melalui proses framing ini, untuk kemudian menjadi sebuahtontonan ataupun bacaan yang menghibur ketika tampil di media massa.

Lalu bagaiamana proses framing berlangsung di sebuah lembagamedia? Proses framing berlangsung dengan menggunakan bahasa. Dalamberita, seperti teks surat kabar misalnya, tentu bisa dipahami, bagaimanapekerja media, dalam hal ini jurnalis, banyak bermain dengan bahasaketika menuliskan realitas atau peristiwa yang diliputnya. Bahasa yangdigunakan adalah bahasa verbal dan non verbal. Bahasa verbal tentudigunakan jurnalis untuk mengurai substansi peristiwa. Di sini pun,jurnalis perlu untuk memilih diksi dan menyusun kalimat yang sekiranyatepat untuk menggambarkan peristiwa.

Page 34: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

33

Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

Selain bahasa verbal, jurnalis juga menggunakan bahasa non verbal.Bahasa non verbal digunakan untuk memberikan impresi khusus bagipembaca. Ini bisa dilakukan dengan penentuan placement berita di lembarsuratkabar, penulisan headline yang khusus (misalnya dengan huruf tebaldan tinta merah), kemudian memberikan tambahan foto (dengan angle,komposisi, warna, dan manipulasi tertentu) dan ilustrasi grafis tertentu(ilustrasi gambar, diagram, dan grafik misalnya) untuk memberikan kesantersendiri bagi pembaca.

Demikian pula dengan peristiwa kematian Sophan Sophiaan, di layarInsert Investigasi Trans TV. Terlihat jelas bagaimana pekerja media dilembaga media tersebut memanfaatkan semua potensi bahasa, baik verbalmaupun non verbal untuk mengkonstruksi peristiwa kematian SophanSophiaan. Misalnya, bagaimana mereka melakukan editing gambar untukmembangun kesan kelanggengan hubungan antara Sophan Sophiaan danWidyawati, memberikan ilustrasi musik tertentu untuk membangunsuasana tahlilan yang dilakukan di rumah duka, bahkan menyusun secarakhusus narasi cerita yang dilantunkan baik oleh presenter Insert Investigasiatau narator yang mendeskripsikan gambar-gambar tentang peristiwakematian Sophan Sophiaan.

Dalam konsep framing juga diutarakan, bahwa proses framing yangdilakukan oleh jurnalis dan lembaga media bukanlah tanpa maksud dantujuan. Artinya konstruksi yang dilakukan oleh jurnalis dan pekerja mediaterhadap sebuah peristiwa bukanlah tanpa kepentingan. Terdapatsejumlah kepentingan mengapa jurnalis dan lembaga media secara khususmelakuan konstruksi tertentu terhadap sebuah peristiwa. Jikabersinggungan dengan tradisi pemikiran kritis yang dipopulerkan olehMarx, salah satu kepentingan tersebut adalah mendapatkan keuntungan.

Di sinilah titik temu dengan konsep yang kedua, yakni kepentinganekonomi atau bisnis media. Dalam pemikiran kritis Marx yangmenyangkut media massa, diyakini bahwa media bukan merupakansaluran yang netral. Media massa pada dasarnya merupakan alat darikelompok penguasa dominan untuk melakukan dominasi pada kelompokyang lain. Dengan menjadi alat dari kelompok dominan, isi media punmencerminkan kepentingan dari kelompok dominan tersebut. Dalamkasus media, salah satu kepentingannya adalah kapital, dalam artikeuntungan yang sebesar-besarnya (Rogers, 1994: 102-125).

Dari deretan iklan yang muncul di Insert Investigasi, dapat dibayangkanberapa banyak pendapatan yang diterima oleh Trans TV. Satu kali tayang

Page 35: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

34

saja Insert Investigasi mampu menayangkan hampir 50 iklan. Padahal iklanyang ditampilkan sering pula tidak hanya sekali. Sebuah produk iklandapat ditayangkan dua hingga tiga kali dalam satu kali break iklan. Biladihitung kasar saja, harga iklan tersebut adalah 10 juta rupiah per sekalitayang, artinya ketika ada 50 iklan, berarti pendapatan kotor InsertInvestigasi Trans TV adalah 500 juta rupiah atau setengah milyar rupiahper tayangan. Padahal tayangan tentang kematian Sophan Sophiaan diInsert Investigasi tidak hanya sekali. Hampir satu pekan lamanya pascakematian Sophan Sophiaan, tayangan Insert Investigasi menyiarkan tematentang Sophan Sophiaan walau dengan angle yang berbeda-beda.

Seperti dipaparkan pada data di atas, peristiwa kematian SophanSophiaan masih bisa diaktualkan ketika Ali Sadikin (mantan GubernurJakarta) juga meninggal dunia. Katakanlah bila tayangan tentang kematianSophan Sophiaan muncul dalam lima kali acara Insert Investigasi, makapenghasilan kotor Insert Investigasi Trans TV mencapai 2,5 milyar rupiah.Ini tentu jumlah yang tidak kecil. Jumlah ini juga belum termasuk ketikaperistiwa kematian Sophan Sophiaan ini ditayangkan dalam programInsert yang lain, seperti Insert Pagi dan Insert Siang.

Dari sisi etis, yang kemudian bisa diperdebatkan adalah: apakah etismenayangkan peristiwa kematian, yang merupakan peristiwa sedih danduka untuk kemudian mendapatkan keuntungan sedemikian rupa?Padahal bila belajar dari kasus penyiaran di negara-negara maju,penayangan kematian sangat kecil untuk melibatkan pengiklan. Yangpaling diingat adalah siaran langsung dari peristiwa kematian danpemakaman Putri Diana dari Inggris. Kematian dan pemakaman PutriDiana disiarkan langsung oleh BBC Inggris dan direlai oleh hampir semuastasiun televisi di dunia. Namun BBC pun memberikan syarat, bahwasiaran relai boleh dilakukan, namun tidak untuk kemudian dijual kepadapengiklan.

Dari analisis inilah, ditemukan relevansi dengan konsep yang ketigayakni komodifikasi. Seperti telah dinyatakan dalam kerangka teori,komodifikasi atau commodification adalah upaya mengubah apapunmenjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat mendapatkankeuntungan. Artinya bagaimana mengubah komoditi dari nilai gunanyamenjadi nilai yang dapat dipertukarkan di pasar. Tiga hal yang salingterkait adalah: isi media, jumlah audiens dan iklan. Berita atau isi mediaadalah komoditas untuk menaikkan jumlah audiens atau oplah. Jumlahaudiens atau oplah juga merupakan komoditas yang dapat dijual pada

Page 36: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

35

Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

pengiklan. Uang yang masuk merupakan profit dan dapat digunakanuntuk ekspansi media. Ekspansi media menghasilkan kekuatan yang lebihbesar lagi dalam mengendalikan masyarakat melalui sumber-sumberproduksi media berupa teknologi, jaringan dan lainnya. Selain itu tentunyaprofit bagi pengusaha (dalam Mosco, 1996).

Demikian pula dalam peristiwa kematian Sophan Sophiaan.Pemberitaan Sophan Sophiaan tentu dilakukan untuk memberitahukanbahwa ada sosok tokoh masyarakat yang meninggal dunia akibatkecelakaan. Ini sebenarnya peristiwa lumrah dan biasa. Sama halnyaperistiwa kelahiran dan perkawinan yang juga selalu diikuti olehpemberitahuan kabar akan peristiwa tersebut kepada orang-orangterdekat, demikian pula dengan peristiwa kematian. Peristiwa kematianpun selalu akan dikabarkan kepada orang-orang terdekat.

Bila yang meninggal dunia adalah tokoh masyarakat, maka pengabaranatau pemberitahuan kematian pun biasanya akan bersifat massal denganmenggunakan fasilitas media massa. Namun karena yang mengabarkanadalah media massa yang berbasis industri (media massa komersial), makapesan kematian pun harus melalui proses modifikasi. Proses inilah yangkemudian mengubah pesan kematian, tidak hanya untuk mengabarkankematian semata, namun berubah wajah menjadi pesan kematian yangsifatnya komersial karena persentuhannya dengan industri (kapital). Disinilah proses komodifikasi berlangsung.

Dalam logika industri media massa, pertama yang harus dilakukanadalah bagaimana mengkonstruksi teks media, yang tidak hanya memilikinilai informatif namun juga laku jual. Laku jual di sini dalam arti diminatioleh audiens, baik penonton televisi maupun pembaca surat kabar (dalamhal ini adalah tabloid). Eksistensi audiens tentu memiliki arti penting bagimedia massa yang berbasis industri. Audiens atau khalayak inilah yangakan dijual oleh pihak pengelola lembaga media kepada para pengiklan.

Untuk media televisi, penjualan audiens ini biasa ditandai denganrating yang biasanya dilakukan oleh lembaga rating di luar kuasa media.Sedangkan untuk media cetak, seperti surat kabar, majalah, ataupuntabloid tentu terlihat dari jumlah eksemplar media yang mampu dijual.Di sisi lain, pengiklan juga akan mempertimbangkan besar kecilnyaaudiens guna memperhitungkan pemasangan iklannya. Pertemuankepentingan antara mendapatkan keuntungan bagi lembaga media massadengan kepentingan dalam mendapatkan jumlah audiens yang memadaidari lembaga pengiklan inilah yang kemudian memaksa pihak pengelola

Page 37: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

36

media untuk dapat merancang sedemikian rupa pesan teks media agardapat diminati audiens.

Inilah yang terjadi pada Insert Investigasi Trans TV: bagaima para pekerjamedia berusaha mengemas sedemikian rupa teks media, dalam hal inikematian aktor dan mantan politisi senior Sophan Sophiaan. Bahkan haruspula melakukan strategi tersendiri untuk mengaktualkan peristiwatersebut, misalnya dengan memberikan angle atau sudut pandang berbeda.Ketika tema atau sudut pandang ini terasa sudah mulai tidak aktual setelahbeberapa hari, Insert Trans TV mendapatkan ’berkah’ dengan kematianAli Sadikin (tiga hari sesudah kematian Sophan Sophiaan). Proseskomodifikasi pun terus berlangsung, karena memang secara tidak sengajakedua tokoh yang meninggal juga memiliki relasi satu dengan yanglainnya. Keuntungan usaha yang diperoleh pun terus mengalir.

Untuk menarik minat audiens, Trans TV dipaksa berpikir kerasmengenai format tampilan pesan teks media. Peristiwa kematian harusdikemas sedemikian rupa hingga jauh dari kesan sedih dan duka. Inidilakukan tentunya untuk menarik perhatian perhatian audiens. Kemasanyang ditampilkan kemudian adalah kemasan menghibur melalui teknik-teknik produksi tertentu. Dalam kasus Insert Investigasi Trans TV, inidilakukan melalui teknik pengambilan gambar, teknik editing gambardan suara, serta ilustrasi musik. Selain itu juga dengan memberi temaatau sudut pandang atau angle yang bervariasi. Dari sinilah kemudianbisa dipahami bagaimana masalah etis dikesampingkan dalam peristiwakematian. Dalam arti peristiwa kematian yang seharusnya bukanmerupakan komoditi yang diperjualbelikan. Namun karena formatnyasudah berubah dalam proses produksi media, justru menjadi hiburan bagiaudiens, yang kemudian menjadi sah apabila menjadi komoditi yangdiperjualbelikan.

Dari pemaparan analisis data di atas, membawa pada konsep terakhirdalam penelitian ini, yakni necrocultura. Seperti dipaparkan di kerangkateori, Necrocultura merupakan istilah yang dipopulerkan oleh FabioGiovanni, memiliki pemahaman suatu kebudayaan di mana kematianmenjadi kecintaan. Kematian tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yangmengerikan atau kesedihan yang teramat sangat. Namun dikemassedemikian rupa sehingga lebih merupakan perayaan daripada peristiwaduka cita (Giovanni dalam Sudiardja, 2002; 193). Bila dilihat daripemaparan di atas, terlihat bagaimana persinggungan antara kepentingankapitalistik media mengubah wajah realitas kematian Sophan Sophiaan.

Page 38: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

37

Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

Kematian Sophan Sophiaan jelas melahirkan perasaan duka yangmendalam bagi pihak yang ditinggalkannya, khususnya Widyawati selakuistri dan Romi-Roma Sophiaan selaku putera almarhum. Sebagai sosokterkenal, kematian Sophan Sophiaan pun diberitakan di media massa,termasuk di Insert Investigasi Trans TV. Namun karena Trans TV beradadalam satu latar sebagai media komersial, Insert Investigasi Trans TV perlupula mengkonstruksi realitas tersebut secara khusus karena adanyakepentingan media tersebut untuk mencari keuntungan.

Di sinilah sebenarnya persinggungan antara realitas kematian SophanSophiaan dengan kepentingan media yang kapitalistik bertemu.Perubahan wujud realitas kematian pun terjadi. Realitas kematian yangsemula bernuansa kesedihan dan duka, berubah wajah menjadi tontonanyang memberikan penghiburan tersendiri bagi para audiensnya. Jadilahakhirnya sebuah perayaan kematian yang menghibur ....

PenutupMerayakan realitas kematian bukan hanya milik adat istiadat dan

budaya tertentu dari sebagian keyakinan umat manusia. Merayakankematian ternyata juga merupakan milik media massa. Trans TV mampumengubah wajah kematian, dari peristiwa yang menyedihkan danmemilukan, menjadi peristiwa dengan karakter yang menghibur. Semuadilakukan melalui proses pembingkaian. Proses pembingkaian yangmelibatkan konstruksi bahasa, baik verbal maupun non verbal, dilakukansedemikian rupa untuk mengubah wajah kematian tersebut. Insert TransTV melakukannya dengan teknik produksi, baik melalui pemberianbumper in (penceritaan firasat dari si nara sumber), perpindahan gambaryang cepat dan manipulatif, penumpukan gambar, dan ilustrasi musik.

Persinggungan antara realitas kematian dengan kepentingan ekonomimedia (melalui proses komodifikasi) mengubah secara radikal wajahperistiwa kematian menjadi sebuah pertunjukan hiburan. Pekerja mediaperlu mengemas sedemikian rupa realitas kematian Sophan Sophiaantersebut, menjadi sebuah pertunjukan yang menghibur. Semua inidilakukan dalam rangka mendapatkan iklan sebsar-besarnya. InsertInvestigasi Trans TV dalam tafsiran penulis, mampu meraih sekitar 2,5milyar rupiah dari pendapatan iklannya. Realitas kematian yangditampilkan oleh media massa, menjadi sangat jauh dari kesan sedih danduka, bahkan jauh dari menakutkan dan mengerikan. Konstruksisedemikian rupa pada peristiwa kematian Sophan Sophiaan mampu

Page 39: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

38

memunculkan hiburan tersendiri bagi audiens media yang bersangkutan.Teks media pun menjadi bagian dari perayaan necrocultura itu sendiri.

Daftar PustakaBharata, Bonaventura S. dan Dina Listiorini, 2007, Ekonomi Politik Bahasa Siaran

dan Pekerja Media di Jaringan Radio Anak Muda – Studi Deskriptif Kualitatif diRadio Prambors, Yogyakarta, Riset Dosen Muda DIKTI

Bordwell, David and Kristin Thompson, 2008, Film Art, An Introduction, EightEdition, McGraw-Hill International,

Cremer, Charles F, Phillip O. Kirstead, Richard D. Yoakam, 1996, ENG TelevisionNews, Third Edition, McGraw-Hill Companies

Fiske, John, 1990, Introduction to Communication Studies, London, RoutledgeItule, Bruce D. and Douglas A. Anderson, 2008, News Writing and Reporting for

Today’s Media, McGraw Hill International, New York.Kurniati, Diah, 2006, Komodifikasi Privasi di Ruang Publik, Jurnal Penelitian Ilmu

Komunikasi Thesis V/1 Januari-April, Depok, Departemen Komunikasi FISIP-UI

Mosco, Vincent, 1996, The Political Economy of Communication: Rethinking andRenewal. California: Sage Publication

Mulyana, Deddy dan Solatun, 2007, Metode Penelitian Komunikasi, Contoh-ContohPenelitian Kualitatif dengan Pendekatan Praktis, Bandung, Penerbit Rosda

Nugroho, Bimo, dkk, 1999, Politik Media Mengemas Berita, Jakarta, ISAIRogers, Everett M., 1994, A History of Communication Study: A Biographical Approach,

New York, The Free PressSuara Pembaruan, 06/02/2008, “Pak Harto Dongkrak Rating” diakses dari http://

indonesiatvguide.blogspot.com/2008/02/pak-harto-dongkrak-rating.htmlSudiardja, A, 2002, Dan Kematian pun Semakin Akrab, Jurnal Ilmu Humaniora Baru

Retorik I/3, November, Yogyakarta, Ilmu Religi dan Budaya USDSumadiria, AS Haris, 2006, Bahasa Jurnalistik, Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis,

Simbiosa Rekatama Media, BandungYusuf, Iwan Awaluddin, 2005, Media, Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas,

Representasi Etnik Tionghoa dalam Iklan Duka Cita di SKH Suara Merdeka –Semarang, Yogyakarta, UII Press

Catatan:1 Berdasarkan data harian hasil survei elektronik kepemirsaan televisi AGB

Nielsen Media Research yang diterima SP, baru-baru ini, jumlah pemirsa diJakarta, Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta, yang menonton tayangan beritawafatnya Soeharto pada hari Minggu mencapai 5.504.000 pemirsa. Jumlahtersebut meningkat 1,4 persen dibandingkan hari sebelumnya (Sabtu, 26/1)yang mencapai 5.005.000 orang, atau mencapai 15,3 persen dari total populasi

Page 40: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

39

Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

individu yang memiliki televisi di empat kota tersebut dan berusia di atas 5tahun yang berjumlah 36.008.962 orang. Sementara tayangan pemakamanSoeharto pada hari Senin ditonton oleh 5.935.000 pemirsa atau meningkathingga 16,5 persen dari total populasi di keempat kota tersebut. (dalam http://indonesiatvguide.blogspot.com/2008/02/pak-harto-dongkrak-rating.html)

2 Sejenak mungkin perlu pula kita bercermin pada peristiwa serupa yang dialamioleh Putri Diana (Lady Diana) dari Inggris pada saat kematiannya di akhir Juli1997 lalu akibat kecelakaan di sebuah terowongan terkenal (Pont d’Alma) dikota Paris - Perancis. Televisi BBC memperkenankan stasiun televisi lain diseantero dunia untuk ikut menyiarkan siaran langsung prosesi pemakamannya,namun BBC melarang keras stasiun-stasiun TV tersebut menyelipkan iklandalam tayangan tersebut. Alasan etis merupakan landasan argumentasi BBCuntuk pelarangan penyelipan iklan pada tayangan tersebut. Padahal acaratersebut diyakini ditonton tidak kurang dari satu milyar penduduk dunia.Sebuah angka fantastis yang pasti menggiurkan untuk para pemasang iklandi industri televisi.

3 Tak pernah terbayangkan sebelumnya bila tanah pemakaman kemudianmampu berfungsi pula sebagai taman bermain dan belajar anak-anak. Menjadijamak pada masa sekarang, anggota masyarakat justru mengikuti programasuransi kematian sebagai sebuah persiapan. Dan tidak menjadi aneh apabilaupacara kematian yang digelar oleh beberapa suku tertentu justru memakanbiaya yang lebih besar daripada menyelenggarakan upacara pernikahan.Peluang-peluang ini yang kemudian ditangkap oleh beberapa orang sebagaisebuah bisnis yang menjanjikan.

Page 41: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

40

Beberapa acara yang ditayangkan di televisi kini makin mencemaskan.Banyak program acara televisi yang ditujukan untuk hiburanmemunculkan adegan kekerasan, pengintaian, kecemburuan, pengejaran,kemiskinan, sensualitas, hingga mistis. Acara tersebut bahkan mengeksposhal yang semestinya dalam ranah privasi menjadi konsumsi publik. Lihatsaja reality show yang menjamur di berbagai stasiun televisi. Acara semacamini menyajikan berbagai kemasan serta realitas yang ingin disuguhkankepada pemirsa. Dengan mengusung embel-embel ‘reality’ (kisah nyata),seolah menunjukkan bahwa masyarakat sesungguhnya bosan dengankisah-kisah sinetron yang ditayangkan di televisi yang selama ini dianggap‘meninabobokan’ pemirsanya.

Peristiwa atau hal yang sungguh-sungguh terjadi tentunya akan lebihbisa diterima oleh masyarakat. Respon pemirsa terhadap reality show puncukup tinggi, dan bila dilihat dari segi biaya produksi, acara seperti inilebih murah daripada membuat sinetron. Maka tak heran jika beberapatelevisi swasta dan production house berlomba-lomba membuat acaraserupa, seperti: Bedah Rumah (RCTI), Tolong (RCTI), Mata-mata (RCTI),Bukan Sinetron (Global TV), Masihkah Kau Mencintaiku (RCTI), Be a Man(Global TV), Pacar Pertama (SCTV), Maafin Gue Dong (ANTV), Curhat barengAnjasmara (TPI), Termehek-mehek, Orang Ketiga, Realigi, Make Over (TransTV), dan lain-lain.

Drama Reality Realigi

“Insyaflah wahai manusia jika dirimu bernoda. Dunia hanya naungan ‘tukmakhluk ciptaan Tuhan”.

Lirik lagu ini merupakan pembuka pada bumper opening drama realityRealigi di Trans TV. Lagu Keagungan Tuhan yang dinyanyikan dengansyahdu oleh Rita Effendi, seolah mewakili pesan dari acara itu, yaknimeminta manusia untuk bertobat. Realigi ditayangkan setiap Senin dan

Kekerasan dalam Tayangan RealigiTrans TV

Ery Kurnia PutriLulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Page 42: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

41

Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV

Rabu, pukul 20.00-21.00. Tayangan ini dinamakan Realigi, sesuaikepanjangannya Realiti Religi, karena mengemas dan mengangkat unsurreligi. Inilah yang membedakan acara ini dengan acara-acara reality lain.

Acara ini seolah ingin menampilkan pesan serta nilai-nilai positif dariperistiwa-peristiwa nyata yang terjadi dalam kehidupan kita. Misalnya,kisah tentang adik yang ingin menyadarkan kakaknya yang menjadipelacur; adik yang ingin menyadarkan kakaknya yang berebut warisan;adik yang ingin menyadarkan kakak yang ingin menjual dirinya; ibu yangingin menyadarkan anaknya dari jeratan narkoba; anak yang inginmenyadarkan ayahnya dari main perempuan; anak yang inginmenyadarkan ayahnya yang seorang banci; dan banyak kisah-kisahlainnya.

Konflik-konflik yang terjadi pada tayangan tersebut seringmempertontonkan adegan kekerasan, seperti berantem dan adu mulut.Pada akhir cerita ditampilkan pertobatan seseorang yang insyaf (tobat)dari kesalahan dan dosa yang telah diperbuatnya. Bisa juga ending dariceritanya adalah ganjaran atau akibat yang diterima oleh seseorang yangmelakukan kesalahan.

Pemahaman Mengenai KekerasanKebanyakan orang menganggap kekerasan dalam arti sempit, yakni

sesuatu yang sifatnya brutal seperti: perang, pembunuhan, danpenganiayaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 550),kekerasan dapat diartikan sebagai perihal (yang bersifat, berciri) keras:perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan kerusakanfisik atau barang orang lain; paksaan. Sedangkan menurut James Potter(1999: 217) kekerasan adalah segala tindakan yang membahayakanseseorang atau suatu nilai seseorang, seperti fisik, harta benda, reputasi,atau pemikiran. Tindakan bisa dalam bentuk fisik maupun verbal;dampaknya bisa jadi fisik, emosi, atau psikologis.

Sementara itu, Pierre Bourdieu menyebutkan ada bentuk lain darikekerasan. Dia menyebutnya dengan “la violence symbolique” ataukekerasan simbolik. Sebuah kekerasan yang tidak kasat mata dan tidakdapat terlihat dengan jelas tanpa adanya pemahaman kritis dan mendalamdari orang yang mengalaminya (korbannya). Kekerasan semacam ini olehkorbannya bahkan tidak dapat dilihat atau tidak dirasakan sebagai suatukekerasan, tetapi sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan memang harusterjadi (Kristiawan, 2007).

Page 43: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

42

Rainy Hutabarat (2008) mengatakan bahwa kekerasan simbolik adalahmekanisme komunikasi yang ditandai dengan relasi kekuasaan yangtimpang dan hegemoni di mana pihak yang satu memandang diri lebihsuperior entah dari segi moral, ras, etnis, agama ataupun jenis kelamindan usia. Tiap tindak kekerasan pada dasarnya mengandaikan hubungandan atau komunikasi yang sewenang-wenang di antara dua pihak.

Unit konteks dalam penelitian ini adalah acara Realigi, sedangkan unitrekamannya adalah narasi dan visualisasi dari acara tersebut. Unit analisisdan kategorinya, yaitu:

Adegan Kekerasan

Menendang, memukul, menampar,membanting, menusuk, menyiram, melemparbarang, mendorong, membenturkan,menginjak, mencekik, menarik paksa,menceburkan, dihimpit, menabrak, mencakar,dan menjambak rambut.Memaki, membentak, menghina, memfitnah,mengancam, mencemooh, menakut-nakuti,memprovokasi, dan meremehkan.Kekerasan agama: label “dosa”, pengejaran.Kekerasan terhadap perempuan: kekerasanekonomi, kekerasan seksual, dan kekerasanfungsional.Kombinasi fisik dan verbal.Kombinasi fisik dan simbolik.Kombinasi verbal dan simbolik.

Kombinasi fisik, verbal, dan simbolik.

Memar, luka-luka, dan rasa sakit yang dapatdilihat dari ekspresi wajah, bahasa tubuh dansuara (berteriak: “Aduh”, “Sakit”).Menangis, tertekan, marah, depresi, sedih,dan muram.Kombinasi fisik dan psikologis.

Durasi kekerasan(Jumlah detik)Fisik

Verbal

Simbolik

Fisik dan verbal.Fisik dan Simbolik.Verbal danSimbolikFisik, Verbal, danSimbolik.Fisik

Psikologis

Fisik danPsikologis

Kekerasan

Jenis kekerasan

Jenis AkibatKekerasan

1.

2.

Dimensi (Indikator)KategoriUnit AnalisisNo

Page 44: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

43

Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV

Kekerasan dalam Tayangan RealigiLima episode yang dianalisis dalam penelitian mengenai kekerasan

dalam tayangan drama reality Realigi ini, yaitu: (1) Mantan narapidanayang meninggalkan keluarga (Senin, 31/08/2009); (2) Seorang kakakterkena kasus menghamili seorang perempuan (Rabu, 02/09/2009); (3)Suami yang suka selingkuh (Senin, 07/09/2009); (4) Anak yang salahpergaulan hingga terjerumus narkotika (Senin, 14/09/2009); (5) Kakak yangmelupakan Ibunya (Rabu, 16/09/2009).

Berikut ini pembagian durasi acara pada ke lima tayangan Realigi:

Dalam tayangan Realigi tersebut terdapat porsi iklan yang cukup tinggi,terutama pada episode 31/08/2009, dengan durasi 1.467 detik (24 menit,27 detik). Sementara total durasi acara yang paling tinggi juga pada episode31/08/2009, yakni 3.894 detik (1 jam, 4 menit, 54 detik). Rata-rata durasitayangan (tanpa iklan) pada tiap episode yaitu 2.360 detik (39 menit, 20detik). Jumlah durasi iklan yang paling rendah pada episode 16/09/2009,yakni hanya 849 detik (14 menit, 9 detik), dengan total durasi acaraterendah yakni 3.187 detik (53 menit, 7 detik).

Durasi kekerasan pada tayangan Realigi:

Hari dan Tanggal Episode

Total Durasi

Senin, 31/08/2009

Rabu, 02/09/ 2009

Senin, 07/09/2009

Senin, 14/09/2009

Rabu, 16/09/2009

Durasi Tayangan

03:16:39

(11.799 detik)

40:27

(2.427 detik)

40:23

(2.423 detik)

40:00

(2.400 detik)

36:51

(2.211 detik)

38:58

(2.338 detik)

Durasi Iklan

01:38:59

(5.939 detik)

24:27

(1.467 detik)

17:50

(1.070 detik)

23:47

(1.427 detik)

18:46

(1.126 detik)

14:09

(849 detik)

No.

1.

2.

3.

4.

5.

Total Durasi Acara

04:55:38

(17.738 detik)

01:04:54

(3.894 detik)

58: 13

(3.493 detik)

01:03:47

(3.827 detik)

55:37

(3.337 detik)

53:07

(3.187 detik)

Episode

31/08/2009

02/09/2009

07/09/2009

14/09/2009

16/09/2009

Durasi Kekerasan

432 detik (7 menit 12 detik)

447 detik (7 menit 27 detik)

446 detik (7 menit 46 detik)

766 detik (12 menit 46 detik)

479 detik (7 menit 59 detik)

%

17,80

18,44

19,42

34,64

20,49

No.

1.

2.

3.

4.

5.

Page 45: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

44

Berdasarkan total durasi tayangan Realigi (tanpa iklan) sebesar 11.722detik (1 jam, 40 menit, 16 detik), maka dapat dilihat prosentase durasiadegan kekerasan dari tiap episode Realigi sebagai berikut:

Gambar 1: Diagram Prosentase Durasi Kekerasan pada Kelima Episode Realigi

Total durasi kekerasan pada kelima episode sebesar 23 persen, dimanaprosentase durasi kekerasan pada episode 14/09/2009 lebih besar dariprosentase durasi kekerasan episode lainnya, yakni sebesar tujuh persendari total durasi tayangan. Sebanyak 77 persen merupakan durasi lainyang tidak menunjukkan adanya adegan kekerasan. Meski demikian,adegan-adegan yang menampilkan akibat kekerasan seperti menangis,tertekan, dan murung dapat dilihat dari awal hingga akhir acara. Hanyasaja penelitian ini mencoba mengukur bagaimana kekerasan yang munculserta apa akibatnya, bukan mengukur seberapa besar akibat tindakankekerasan itu sendiri. Adanya adegan-adegan yang menampilkan akibatkekerasan, menunjukkan indikator adanya adegan kekerasan yang terjadi.

Jenis Kekerasan pada Tayangan RealigiRata-rata prosentase durasi berdasarkan jenis kekerasan dari kelima

tayangan Realigi tersebut di atas dapat dilihat pada gambar di bawahini.

Dari kelima tayangan Realigi tersebut, kita bisa menemukan rata-ratadurasi tiap jenis kekerasan yang ada pada tayangan itu. Kekerasan fisiksebesar lima persen, kekerasan verbal sebanyak 26 persen, kekerasansimbolik sebanyak empat persen, kombinasi kekerasan fisik dan verbal(F&V) sebanyak enam persen, kombinasi kekerasan verbal dan simbolik

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

31 Agustus 2009

2 September 2009

7 September 2009

14 September 2009

16 September 2009

Durasi Lainnya

aaaaaaaaa

aaaaaaaa

aaaa

aaaa

aaaa

4%

78%

4%

4%

4%

6%

Page 46: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

45

Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV

(V&S) sebanyak 34 persen, kombinasi kekerasan fisik dan simbolik (F&S)sebanyak dua persen, dan kombinasi kekerasan fisik, verbal dan simbolik(F,V&S) sebanyak 23 persen. Dapat dilihat disini durasi adegan kombinasikekerasan verbal dan simbolik (V&S) jauh lebih tinggi dibandingkandengan kekerasan lainnya, yakni sebesar 34 persen.

Kekerasan Simbolik dalam RealigiAda beberapa kekerasan dalam tayangan Realigi yang menunjukkan

adanya bentuk-bentuk kekerasan simbolik, yakni bentuk kekerasan agamadan kekerasan terhadap perempuan.Kekerasan Agama

Tayangan drama reality Realigi yang dikemas secara religius dan Islami,menampilkan kisah reality dimana seorang klien meminta bantuan timRealigi untuk menyadarkan seseorang yang dianggap telah melakukankesalahan (dosa) atau dianggap telah melakukan perbuatan yangmenyimpang dari ajaran agama Islam. Klien atau si pelapor ini memintabantuan dengan harapan masalahnya dapat terselesaikan.

Tim Realigi pun beraksi menemani klien melakukan pengintaian,pengejaran, dan memberi pengertian pada target dari klien. Adasemacam ajakan pada seseorang untuk bertobat. Berbagai adegan punterjadi mulai dari adu mulut hingga kontak fisik. Di akhir acara, seseorangyang dianggap melakukan perbuatan yang menyimpang akhirnyabertobat, kembali pada jalan yang benar (agama).

Gambar 2: Diagram Prosentase Rata-rata Durasi Berdasarkan Jenis Kekerasandari Kelima Tayangan Realigi (31/08/2009–16/09/2009)

Kekerasan Fisik

Kekerasan Verbal

Kekerasan Simbolik

Kekerasan Fisik & Verbal

Kekerasan Verbal & Simbolik

Kekerasan Fisik & Simbolik

Kekerasan Fisiko, Verbal& Simbolik

aaaaaaaaa

aaaaaaaa

aaaa

aaaa

aaaa

aaaaaaaaa

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaa

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

26%

4%

6%34%

2%

23%

5%

Page 47: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

46

Acara ditutup dengan tampilan orang bertobat yang melakukan shalatdiiringi backsound musik Islami, seolah ingin memberikan pesan moralbahwa kebaikan selalu berhasil mengalahkan yang jahat (konsep religius).Layaknya sebuah sinetron, kisah pun seolah berakhir happy ending. Waktupertobatan cukup instant. Hanya beberapa hari syuting, tim Realigi danklien berhasil menyadarkan seseorang (yang dianggap berdosa) untukbertobat atau kembali pada ajaran agama.

Kekerasan simbolik terjadi, salah satunya dalam bentuk kekerasanagama, yakni pemaksaan terhadap seseorang untuk bertobat sesuai ajaranagama. Justifikasi bahwa seseorang bersalah dan harus kembali padasesuatu yang dianggap benar (agama)—dikarenakan perbuatanmenyimpang—dianggap merugikan atau menyakiti pihak lain.

Kekerasan agama dapat ditemukan pada tiap episode yang sebagianbesar berupa adegan pengejaran pada target yang dilakukan oleh kliendan tim Realigi. Hal tersebut merupakan simbol adanya pemaksaanterhadap seseorang, terlepas apakah orang tersebut bersalah atau tidak.Target lari dan selalu menghindar karena dirinya merasa tidak nyamandan terancam. Terlebih lagi, target justru merasa takut dengan banyaknyaorang dengan membawa kamera menghampirinya seolah hendakmenghakiminya.

Kekerasan Terhadap PerempuanKekerasan simbolik terhadap perempuan meliputi segala bentuk

kekerasan berbasis jender dimana pihak yang dominan (dalam hal inilaki-laki) merasa berhak menentukan makna dari suatu hal sebagai satu-satunya pandangan yang paling benar. Sementara pihak yang terdominasi(dalam hal ini perempuan) menerima proses ini sebagai sesuatu yangmemang seharusnya berlaku. Di sini terjadi semacam proses ‘naturalisasi’ketika perempuan menerima bentuk kekerasan simbolik dari laki-lakisebagai suatu hal yang wajar.

Lima episode Realigi (31/08/2009-16/09/2009), ternyata menampilkanbentuk kekerasan simbolik terhadap perempuan. Kekerasan simboliktersebut meliputi: kekerasan ekonomi, kekerasan seksual, dan kekerasanfungsional.

Kekerasan simbolik terhadap perempuan pada tayangan Realigi dapatdilihat dari simbol-simbol baik teks maupun visual yang ditampilkan.Sebagian besar klien atau pelapor yang meminta bantuan tim Realigiadalah perempuan. Mengapa? Secara tidak langsung hal tersebut

Page 48: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

47

Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV

menunjukkan bahwa perempuan adalah kaum lemah yang tidak mampumenyelesaikan persoalannya.

Perempuan, dalam hal ini si pelapor harus meminta bantuan padaErwin (host Realigi) beserta timnya untuk membantu menyadarkan oranglain yang dianggap telah melakukan suatu kesalahan (dosa). Kita lihatsaja, bagaimana Erwin yang adalah laki-laki seolah berperan melindungiklien (perempuan) terutama saat klien harus bersinggungan ataubersitegang dengan laki-laki. Sosok laki-laki dalam Realigi dianggap lebihmemiliki power atau kekuatan untuk menyelesaikan persoalan.

Kekerasan ekonomi terhadap perempuan juga ada dalam tayanganRealigi ini. Misalnya, pada episode 31/08/2009, kita melihat bagaimanaPak Joko justru menelantarkan anak dan istrinya setelah ia keluar daripenjara. Sang istri menderita gangguan jiwa akibat perbuatan suamisehingga ia harus dirawat di rumah sakit jiwa. Pada episode 02/09/2009,kita lihat saat Bella diperas oleh Hadi kakaknya.

Gambar 3: Cuplikan Adegan Dalam Tayangan Realigi.Klien atau pelapor yang kebanyakan perempuan sedang curhat pada Erwin

Gambar 4: Cuplikan adegan dalam tayangan Realigi (07/09/2009)Mario memakai uang Nadia hanya untuk bersenang-senang dan main perempuan (gambar kiri). Wulan

mengaku dihamili oleh Mario (gambar tengah). Nadia sedih memergoki Mario telah menikah lagi(gambar kanan).

Page 49: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

48

Pada episode 07/09/2009, kita melihat Mario sebagai suami yang tidakbertanggung jawab. Sejak menikah ia tidak pernah memberi nafkah padaNadya. Sebaliknya justru Nadya yang membiayai kehidupan Mario yanghanya digunakan untuk bersenang-senang dengan perempuan lain.

Selain kekerasan ekonomi, ada lagi kekerasan seksual. Kekerasanseksual tidak hanya dipahami sebagai kekerasan seperti: pemerkosaan,dicium paksa, digerayangi paksa, namun segala bentuk pelecehan yangberkaitan dengan seksual merupakan kekerasan seksual. Pemakaian kata‘pakai’ pada episode Suami Selingkuh (07/09/2009), teks tersebutmenyamakan perempuan dengan barang yang bisa dipakai. ‘Dipakai’,memiliki arti tidur bersama (hubungan suami-istri). Kata-kata ‘pakai’biasa digunakan pada barang yakni menggunakan suatu barang. Perem-puan dengan kata ‘pakai’ seolah dianggap barang atau makhluk yangrendah yang bisa ‘dipakai’ siapa saja, kapan saja, dan bisa dibuang apabilasudah tidak dapat dipakai lagi, layaknya barang yang sudah usang.

Pada episode ini juga ditampilkan adegan mesra dan ciuman (di-blur)yang dilakukan Mario dengan beberapa wanita, mengesankan bahwa laki-laki seolah dibenarkan untuk berselingkuh dengan perempuan lain.Kekerasan seksual di sini, perempuan seolah bebas dan gampang untukdicium, dirangkul sekalipun oleh laki-laki yang telah bersuami.

Gambar 5: Cuplikan adegan pada tayangan Realigiepisode 02/09/2009Seorang perempuan keluar dari kamar Hadi.

Pada episode 02/09/2009, Hadi dipergoki neneknya tengah tidurbersama seorang perempuan di kamar. Perempuan tersebut lalu keluarkamar (di-blur) dan dimarahi oleh Bella adik Hadi. Di sini perempuandigambarkan bisa ‘tidur’ dengan laki-laki. Hadi yang terkena kasusmenghamili seorang perempuan, menunjukkan bahwa perempuanmemiliki resiko lebih besar ketika melakukan hubungan seks tanpa statuspernikahan. Ketika hamil, perempuan harus repot meminta pertanggung

Page 50: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

49

Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV

jawaban laki-laki yang menghamilinya, walaupun si laki-laki belum tentumau bertanggung jawab. Dilihat dari kasus ini, perempuan lebihdiberatkan sebagai pihak yang menanggung malu (aib) atas perbuatanyang melanggar susila. Perempuan menjadi pihak yang dipersalahkandan dicemooh oleh orang lain.

Dalam konteks kekerasan simbolik, dapat kita lihat bahwa apa yangdialami oleh perempuan pada lima episode di atas merupakan suatu halyang dianggap lumrah atau sewajarnya perempuan menerima perlakuanyang demikian. Perempuan tidak punya pilihan lain selain menuruti apaaturan laki-laki. Dominasi laki-laki terhadap perempuan inilah yangmungkin tidak disadari oleh si perempuan bahkan oleh pemirsa yangmenonton acara tersebut.

Perempuan dikonstruksi sebagai kaum yang lemah. Dalam kehidupansehari-hari, kaum pria dipandang pantas berbuat semena-mena, sepertimeninggalkan istri, selingkuh, berperilaku dan berkata kasar. Pria sebagaikepala rumah tangga dianggap memiliki kekuasaan lebih atas istri.Konstruksi di atas juga tak terlepas dari kesepakatan yang dibentuk olehkaum mayoritas (pria). Mayoritas disini bukanlah jumlah, melainkankekuasaan atau kemampuan dalam mengendalikan pihak lain (yangtertindas).

Akibat Tindakan Kekerasan dalam RealigiAkibat psikologis yang tampak bisa berupa guncangan jiwa (sakit),

emosi dan perasaan tertekan. Akibat dari tindakan kekerasan padatayangan Realigi ini sebagian besar berakibat pada aspek psikologis si

Psikologis

Fisik & Psikologis

aaaaaaaaa

aaaa

35%

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

65%

Gambar 6: Diagram Prosentase Rata-rata Durasi Berdasarkan Akibat Kekerasandari KelimaTayangan Realigi (Episode: 31/08/2009 – 16/09/2009)

Page 51: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

50

penderita dibandingkan dengan akibat fisik yang diderita, karena lebihbanyak mengandung kekerasan verbal. Pada tiap episode tayangan Realigiini dapat kita lihat bagaimana tekanan psikologis begitu ditampilkansejak awal tayangannya, yaitu pada saat klien menceritakanpermasalahannya pada tim Realigi. Hal itu dapat dilihat dari ekspresidan juga gesture (gerak tubuh) yang mencerminkan seseorang yangtengah menghadapi masalah dan beban berat.

1 2 3 4

5 6 7 8

Gambar 7: Cuplikan adegan-adegan yang menunjukkan adanya akibat psikologisdari tindakan kekerasan dalam tayangan Realigi

Dari kelima tayangan Realigi tersebut diatas, maka didapati rata-ratadurasi tiap akibat kekerasan yang ada pada tayangan itu. Terdapat akibatpsikologis sebesar 65 persen dan kombinasi akibat fisik dan psikologissebanyak 35 persen. Dapat dilihat disini rata-rata durasi akibat psikologisjauh lebih tinggi yakni sebesar 65 persen, dibandingkan dengan akibatfisik maupun kombinasi akibat fisik dan psikologis.

Pada cuplikan gambar diatas dapat kita lihat: (1) Bulan sedihmengingat Ayahnya. (2) Bella sedih mendapat kabar neneknya sakitkarena tertekan. (3) Nenek Bella shock, jatuh pingsan setelah bertengkardengan Hadi, cucunya. (4) dan (5) Nadia sedih karena suaminyaselingkuh. (6) Ibu Ina stres akibat Naya putrinya yang salah pergaulan.(7) Naya yang begitu tertekan karena tidak bisa menerima kedekatan

Page 52: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

51

Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV

Ibunya dengan sahabat almarhum ayahnya. (8) Ibu Nia sedih akibatperlakuan menantunya yang tidak menghargainya.

Proporsi akibat tindakan kekerasan pada kelima episode tayanganRealigi tersebut didominasi akibat psikologis. Akibat psikologis lebihbanyak terjadi dibandingkan akibat fisik yang diterima. Hal tersebutdapat dilihat dari ekspresi wajah seseorang yang mengalami kekerasan,yakni adanya perasaan tertekan dan sedih.

Realigi: Antara Kenyataan dan RekayasaSeperti hal-nya Termehek-Mehek, Realigi pun pada akhirnya menyebut

‘dirinya’ sebagai drama reality, karena adanya unsur dramatisasi danrekayasa. Peneliti menemukan temuan yang cukup menarik selamamengamati beberapa program drama reality di Trans TV. Misal saja adasalah satu peran dalam Termehek-Mehek yang pernah muncul di acarareality show ‘Ahmad Dhani Mencari Istri’ di SCTV. Kemudian peneliti secaratidak sengaja menemukan pemain Realigi, yakni Ibu Ina (Realigi episode14/09/2009) juga muncul di reality show Orang Ketiga di Trans TV. Jikadalam Realigi Ibu Ina berperan sebagai orang tua tunggal yang mengalamikesulitan ekonomi sejak suaminya meninggal dan hanya memiliki seoranganak yaitu Naya, dalam Orang Ketiga Ibu Ina berperan sebagai seorangibu yang kaya dan hendak mengikuti putrinya yang bermasalah. PutriIbu Ina dalam Orang Ketiga bukanlah Naya.

Dari temuan tersebut dapat kita lihat bahwa acara Realigi sebagai salahsatu program drama reality unggulan Trans TV sama hal-nya denganTermehek-mehek memang tidak murni kenyataan. Pihak Trans TV di harianSurya (12/06/2009) menyatakan, drama reality Termehek-Mehek yang direka-yasa. Acara semacam ini bisa diangkat berdasarkan pada kisah nyatanamun dihadirkan kembali dengan unsur dramatisasi agar menarik.

Hal yang perlu disikapi, ketika tayangan semacam itu hadir dandisaksikan oleh orang awam, maka tayangan tersebut akan dianggapsebagai suatu kenyataan yang sungguh-sungguh terjadi. Kasus-kasusyang dibumbui kekerasan ditampilkan cukup sering dan ditayangkancukup intensif (dua kali dalam seminggu) seolah menggambarkan bahwahal itu banyak terjadi di masyarakat kita dan dapat diterima sebagaisuatu kewajaran, padahal bisa saja kasus itu hanya terjadi di sebagiankecil masyarakat kita.

Page 53: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

52

KesimpulanKekerasan sangat terasa ada pada kelima episode Realigi (episode 31/

08/2009 hingga 16/09/2009). Kekerasan yang ditampilkan meliputi:kekerasan fisik, kekerasan verbal, dan kekerasan simbolik (kekerasanagama dan kekerasan terhadap perempuan). Secara keseluruhan,terdapat rata-rata tampilan adegan kekerasan sebesar 23 persen dari totaldurasi acara (tanpa iklan). Jika dilihat dari durasi adegan kekerasan padakelima tayangan Realigi tersebut secara keseluruhan, rata-rata kombinasikekerasan verbal dan simbolik menempati urutan paling tinggi yaknisebesar 34 persen. Konflik adu mulut memang lebih sering terjadidaripada kekerasan fisik seperti penyerangan dan pemukulan.

Tayangan drama reality ini bukan film perang yang penuh denganadegan action. Meski demikian, tayangan ini tetaplah mengandung unsurkekerasan yang seolah nyata dan sungguh-sungguh terjadi, terlebih lagidengan adanya bentuk kekerasan simbolik. Lain hal dengan pemirsa yangmenonton film kekerasan secara sadar dan paham bahwa itu hanyalahmerupakan akting serta cerita fiksi semata.

Dengan embel-embel: “Tayangan drama reality ini telah mendapatkanpersetujuan dari berbagai pihak yang terlibat”, justru mengesankanbahwa acara tersebut memang nyata, padahal mungkin saja tidak.Berbagai adegan penuh konflik seperti adu mulut, pengintaian, dankekerasan fisik bukanlah sebuah tayangan yang memiliki nilai edukasikhususnya bagi anak-anak mengingat acara ini masih ditayangkan padaprime time.

Daftar PustakaBourdieu, Pierre. 1995. Outline of A Theory of Practice. Cambridge University Press,

Cambridge.Jamil, Salmi. 2003. Kekerasan dan Kapitalisme. Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta.Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke-3. 2001. Balai Pustaka, Jakarta.Krippendorff, Klauss. 1991. Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi. Rajawali

Press, Bandung.Moi, Toril, 2000. Apropriating Bourdieu: Feminist Theory and Pierre Bourdieu’s Sociology

of Culture, dalam Pierre Bourdieu, vol. IV. Sage Publications Ltd, London.Muhadjir, Noeng. 1992. Metodologi Penelitian Kualitatif. Rake Sarasin, Yogyakarta.Mulyana, Deddy. 1997. Bercinta dengan Televisi. PT Remaja Rosdakarya, Bandung.Panjaitan, Erica L & TM. Dhani Iqbal. 2006. Matinya Rating Televisi. Yayasan Obor

Indonesia, Jakarta.Potter, W. James. 1999. On Media Violence. Sage Publications, Inc, USA.

Page 54: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

53

Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV

Putranto, Agus. 2004. Analisis Isi Suatu Pengantar dalam Praktek, dalam MetodePenelitian Komunikasi. Ed, Birowo, Antonius. Gitanyali, Yogyakarta.

Santoso, Thomas. 2002. Teori – teori Kekerasan. PT. Ghalia Indonesia, Jakarta.Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,

Analisis Semiotik, dan Analisis Framming. PT. Remaja Rosdakarya, BandungSubono, Nur Iman. 2000. Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Yayasan Jurnal

Perempuan dan The Asia Foundation.Sunarto. 2009. Televisi, Kekerasan, dan Perempuan. PT.Kompas Media Nusantara,

Jakarta.Windhu, I. Marsana. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung. Kanisius,

Yogyakarta.Putranti, Basilica Dyah. 2007. Kekerasan Simbolik Suami Terhadap Istri Dalam

Perspektif Budaya Jawa: Studi di Kampung Urban Yogyakarta. http://www.ppk.lipi.go.id/file/buletin/Artikel%204%20Basilica%20Dyah%20Putranti.doc. Diakses pada 11 Januari 2010.

Jahroni, Jajang. 2006. Tekstualisme, Islamisme, dan Kekerasan Agama. http://islamlib.com/id/artikel/tekstualisme-islamisme-dan-kekerasan-agama. Diaksespeneliti pada 26 April 2010.

Atmojo, Juwono Tri. Modul Analisis Isi (Content Analysis), Universitas MercubuanaJakarta.

h t tp : / /pksm.mercubuana.ac . id/new/elearning/ f i les_modul/94010-8296719548286.pdf. Diakses peneliti pada 3 Maret 2010.

Harun, Kristiawan. 2007. Kekerasan Simbolik di Sekolah. http://kristiawanharun.multiply.com/journal/item/2. Diakses peneliti pada 11 Januari2010.

Hutabarat, Rainy MP. 2008. Tentang Kekerasan Simbolik. http://yakomapgi.wordpress.com/2008/01/07/tentang-kekerasan-simbolik/. Diakses11 Januari 2010.

Termehek-mehek Bohongi Pemirsa. Jumat, 12 Juni 2009. http://www.surya.co.id/2009/06/12/termehek-mehek-bohongi-pemirsa.html

Page 55: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

54

Wayang kulit dari Jawa khususnya, mengisyaratkan ketampananArjuna dengan perut yang tipis, muka yang halus, dada bidang, dan badankerempeng. Ksatria Pandawa seperti Yudistira, Nakula dan Sadewa pundigambarkan memiliki tubuh yang kecil dan langsing dengan perut kecil,bentuk badan yang lincah dan kurus. Adapun Bima atau Wrekudarameskipun berbadan besar seperti raksasa, dalam penggambaran melaluimedia wayang dibentuk dengan perut belikat ramping dan badan yangtinggi. Lain halnya dengan gambaran para Kurawa atau Buto Cakil yangbermain antagonis dalam pewayangan Jawa, digambarkan dengan perutbuncit, badan yang menggelambir, dan postur yang lambat sertamembungkuk. Wajah pun digambarkan bertaring, bermuka lebar danberbadan besar.

Sebagai sebuah media hiburan pada masa 50 tahun yang lalu, wayangmenjadi media promosi bagi ajaran agama, kebijakan, dan kearifan lokal.Selain itu juga menjadi sebuah media yang mengkonstruksikan danmembentuk pemikiran masyarakat kala itu mengenai arti sebuahketampanan (Utami, 2008). Wayang sebagai media tontonan saat itu sudahmengklasifikasikan definisi ketampanan atau kesatria dengan gambaranatau wujud wayang Pandawa yang langsing, kurus, berperut tipis,berbadan tegap, lincah, serta berbahu bidang. Sedangkan klasifikasi untukpria jelek, antagonis, tidak kesatria, dan jahat cenderung digambarkanbuncit, badan menggelambir dengan lemak, prostur yang bungkuk danterlihat lambat. Semar juga digambarkan buncit, pendek, terlihat lambattetapi berperan protagonis dan bijak, tetapi tidak termasuk kategoriwayang yang tampan.

Setelah periode dominasi TVRI usai (1962-1971) dan munculnya SuratKeputusan Menteri Penerangan No.190A/KEP/MENPEN/1987 yang berisiperluasan konsepsi mengenai pertelevisian dengan mengadakan apa

Televisi dan Rekonstruksi KognitifMitos Ketampanan

Desideria Cempaka Wijaya Murti, Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma JayaYogyakarta dan Meredian Alam, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Oslo, Norwegia

Page 56: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

55

Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

yang disebut sebagai siaran saluran umum, mulailah media televisi swastayang masuk dalam industri televisi (Budi, 2004). Variasi program yangdihadirkan oleh televisi telah membuat masyarakat selangkah dua langkahmelupakan wayang dan kategorisasi wayang dalam gambaranketampanannya. Tetapi masyarakat, dalam hal ini obyek positioning daripenggambaran ketampanan itu tetap ada. Media televisi yang berperansebagai media massa juga menyuguhkan gambaran mengenai apa danbagaimana sebenarnya tampan itu.

Ajang di televisi swasta yang menayangkan mengenai kompetisi pria-pria tampan dan berotot yang diprakarsai dan disponsori oleh merek susupembentuk tubuh terkenal L-Men, memberikan visualisasi mengenaikategori ketampanan ini. Berbeda dengan wayang, kontes ajang pria ini,dalam hal ini disebut Handsome Pageant or Muscle Pageant menggambarkanproses perlombaan yang sudah memasuki babak final. Para penontondivisualisasikan proses seleksi yang cukup ketat dalam pemilihan Pria L-Men. Dari 2.500 peserta di 10 kota yang diaudisi, pada akhirnya hanyaada 12 grand finalist pria L-Men. Finalis ini akan dipilih satu yang menjadiL-Men of The Year, dan bertanding di Mr. International yang akandiselenggarakan di Indonesia tahun 2010 ini. Tidak ada satu pun pria yangmasuk ke babak final ini bertubuh kurus, kerempeng, atau sebaliknyabertubuh gemuk dan berperut buncit.

Pemirsa televisi disuguhi pria-pria yang masuk final sebagai priatampan, berkulit mulus agak kecoklatan, maupun jenis kulit putih yangmendominasi finalis L-Men. Pria-pria ini memiliki postur tubuh tegap,berperut six-packs atau berkotak-kotak berjumlah enam, dan badannyamengeluarkan otot-otot yang membentuk badannya sedemikian rupa,dalam bahasa Jawa digunakan istilah pothok, atau muscle man dalam istilahBahasa Inggris. Jenis postur tubuh ini mengisyaratkan ketampananseorang pria yang dilihat dari kegagahannya dan kekesatriaannya. Tubuhberotot yang berasal dari latihan keras di fitnes center atau gym diharapkannantinya dapat menghasilkan pria yang tampak kuat dan mampumelindungi wanita.

Jika melihat postur tubuh ini, penonton mungkin akan cenderungmembayangkan Superman (Super Hero dari Amerika) dari pada Arjuna.Agaknya jika dibayangkan lebih jauh, mungkin Janaka atau Arjuna akansulit untuk masuk babak final di ajang ini mengingat tubuhnya yangkerempeng dan perutnya yang tipis dan one pack, meskipun pada erakeemasannya Arjuna disebut-sebut mampu memikat banyak wanita,

Page 57: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

56

seperti Woro Srikandhi, Woro Sembodro, Larasati dan lain-lain. Atauakan sulit jika kini ada gubahan bentuk wayang Pandawa menjadi bentukwayang yang berotot dan berbentuk six packs untuk mengikuti trenketampanan masa kini, mungkin justru masyarakat akan merasa anehjika postur tubuh six packs dimasukkan dalam wayang.

Apakah Arjuna, jika mengikuti seleksi Man Peageant ini dapat lolossampai tahap final dan menang atau tidak bukan hal yang penting. Tetapiyang perlu diperhatikan dengan jeli adalah bahwa media massa baik ituwayang maupun media televisi dalam tayangan L-Men misalnya, memilikipedoman dan kategorisasi dalam arti ketampanan itu sendiri.

Mitos KetampananJaman memang berubah, jenis ketampanan pun berubah. Hanya

keberadaan ukuran ketampanan itu yang tetap ada. Ketampanan yangberubah dari jaman ke jaman, dari bangsa ke bangsa menjadikanketampanan menjadi sebuah wacana sosial. Ketampanan ini adalah sebuahkonstruksi sosial yang nantinya mengarah pada sebuah mitos yang olehkelompok tertentu berkuasa untuk memaknai dan menyebarkanpemaknaan itu kepada masyarakat luas

Pengertian mitos di sini tidak hanya menunjuk pada mitologi dalampengertian sehari-hari –seperti halnya cerita-cerita tentang dewa-dewi ataucerita Nyi Roro Kidul misalnya– melainkan sebuah cara pemaknaan.Roland Barthes (dalam Hermawan, 2008) menyebutnya sebagai tipewicara. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos munculdalam kurun waktu tertentu, kemudian hilang atau tenggelam oleh mitos-mitos yang lain. Oleh sebab itu, Barthes melihat bahwa mitos bukanlahtanda yang tak berdosa, netral atau bebas nilai; melainkan menjadipenanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang bisa jadi sangatberbeda dengan makna asalnya. Mitos juga tidak dapat disebut salah ataudinilai salah sehingga dipertentangkan dengan kebenaran. Tetapi mitosmerupakan sebuah fenomena sosial yang terjadi saat sebuah praktikpenandaan dilakukan sehingga memproduksi mitos. Produksi mitosdalam teks menggambarkan situasi sosial budaya, mitos juga mempunyaidimensi tambahan yang disebut naturalisasi. Melalui naturalsasi sistemmakna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa,dan mungkin tidak untuk masa yang lain.

Ada banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitostentang kecantikan, kejantanan atau ketampanan, pembagian peran dalam

Page 58: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

57

Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

gender dan lain-lain. Charles Darwin (Danandjaja, 1986 dalamSumaryono, 2009) menyebutkan bahwa dalam mitologi terjadi evolusi(evolusi kebudayaan sama halnya dengan evolusi biologi), dan AndrewLang juga menyatakan bahwa setiap kebudayaan di dunia ini mempunyaikemampuan berevolusi. Sehingga dapat dikatakan disini bahwa mitosketampanan itu ada dan mengalami evolusi dari jaman ke jaman.Perubahan evolusi mitos ketampanan yang dulu mirip seperti wayangdengan tubuh yang kurus lincah dan berperut tipis yang menggambarkanpria-pria Jawa masa lampau telah terganti menjadi pria bertubuh besarberperut six packs yang menggambarkan pria-pria superhero sepertiBatman dan Superman.

Jenis ketampanan yang berevolusi ini terjadi dalam tataran kognitifpada paradigma masyarakat. Teori sosial konstruktivisme dalam bukuAn Introduction to Social Constructionism oleh Vivien Burr (1995)menyebutkan: “Social constructionis a concept or practice that is the construct(or artifact) of a particular group. When we say that something is sociallyconstructed, we are focusing on its dependence on contingent variables of oursocial selves.” Dalam wacana ini, teori tersebut menguatkan pendapatbahwa konstruksi social mengenai ketampanan itu dibentuk olehkelompok tertentu. Suatu kelompok yang melihat bahwa konstruksiketampanan tersebut pada akhirnya akan membawa mereka pada tujuan-tujuan tertentu misalnya sales atau penjualan dan acceptance ataupenerimaan masyarakat.

Rekonstruksi KetampananMengkaji masalah tampan dan tidak tampan, sebenarnya merupakan

salah satu kajian tentang substansi dalam fenomena kebudayaan manusia,yakni berkaitan dengan sistem komunikasi dan persepsi yangmengikutinya. Hanya dengan komunikasi yang efektif dan intensif makakebudayaan manusia dapat dibentuk, diubah, atau dipertahankan.Umberto Eco menyebutkan dalam The Theory of Semiotics (1976): “Cultureis signification and communication and that humanity and society exist onlywhen communicative and significantive relationship are established” (dalamKasiyan, 2008: 78). Sehingga ketika suatu fenomena social akan diangkatmenjadi bagian dari budaya itu sendiri, maka ada proses komunikasi danproses signifikansi dari substansi dan signifansi hubungan yang dibangun.

Budaya sendiri mewujud dalam bentuk symbol-simbol, AL Kroeberdan C. Kluckhon dalam A Critical Review of Concepts and Definition yang

Page 59: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

58

menyebutkan bahwa substansi budaya adalah berupa bentuk-bentuk,baik secara implicit maupun eksplisit yang ditransmisikan melaluisymbol-simbol, secara konstruktif oleh sekelompok manusia. Sepertiberikut ini: “Culture consist of patterns, explicit and implicit, of and forbehaviour acquired and transmitted by symbol, constituting the distinctiveachievements of human groups, including their embodiments in artefacts.” (LiangGie,1977: 127)

Ini menunjukkan bahwa simbol-simbol ketampanan itu masuk dalambentuk-bentuk yang secara eksplisit maupun implisit disampaikan melaluisimbol baik dalam wayang maupun dalam kontes Man Peageant sepertiL-Men. Simbol tersebut ditransmisikan secara signifikan oleh interpretasisekelompok orang sehingga simbol tersebut pada akhirnya melahirkanarti yang ditangkap oleh banyak orang. Seperti dalam istilah Ernest Cassierdalam bukunya An Essay on Man, An Introduction to a Philosophy of HumanCulture, yang menyebutkan bahwa “human is anima symbolicum” atauhewan yang suka menyimbolkan sesuatu (Herusatoto, 2001: 9). Lebihtegas lagi Wieman dan Walter (1957) menyebutkan bahwa daya simbolini yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup manusia, bahwamanusia menangkap data melalui inderanya dan membuat simbol padadata tersebut. Manusia kemudian membuat arti dari simbol tersebut dansecara turun temurun mentransfer pengetahuan tersebut kepada generasiberikutnya.

Dalam konstruksi mengenai ketampanan ini, jaman dulu wayangmengalami proses simbol dari manusia, yakni manusia menangkap datamelalui indera yakni cerita pewayangan itu sendiri dan bentuk tubuhmanusia dinilai yang ideal saat itu menjadi bentuk wayang lalu kemudiaditransfer turun-temurun melalui budaya cerita wayang dan pertunjukkanwayang. Dalam kasus ini budaya pertunjukan wayang menjadi mediakomunikasi untuk mentransfer ilmu dan perspektif mengenai ketampananitu.

Sejalan dengan pudarnya budaya pertunjukkan wayang dan digantidengan kotak ajaib bernama televisi yang menampilkan berbagai macamcerita dan pertunjukkan, maka ada perubahan media yang signifikan danperubahan pesan pula. Konstruksi mengenai ketampanan ini tetap adatetapi mengalami pergeseran atau perubahan. Sekelompok orang dalamindustri pertelevisian dan produsen yang masuk dalam industri bina raga(seperti susu pembentuk otot tubuh ini) menangkap data melalui indera

Page 60: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

59

Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

misalnya film-film barat seperti Superman atau Batman yang memilikitubuh six packs kemudian membuat simbol atas data yang merekatangkap, lalu membuat arti dalam simbol itu yakni ketampanan dankegagahan lalu diturunkan dan ditransfer dari generasi ke generasimelalui televisi. Hal ini dapat dilihat perbedaan persepsi mengenaibentuk pemikiran mengenai ketampanan dulu dan sekarang.

Perubahan itu sejalan dengan wacana Goldmann mengenai vision dumonde atau visi duniawi, yakni kesadaran kolektif terhadap totalitaspikiran yang ekspresinya bisa berupa aspirasi atau perasaan, yang samasekali bukan kenyataan empiris (Wibowo, 2003). Visi duniawi ini munculseiring dengan krisis sosial dan menurut Goldmann pula visi duniawi iniselalu mencerminkan pandangan kelas sosial karena tumbuh danberkembang dari situasi social ekonomi tertentu yang dihadapi suatukomunitas. Visi duniawi ini misalnya tentang simbolisasi ketampanantersebut bagaimana terdapat pembentukan kesadaran kolektif terhadappemikiran mengenai ketampanan yang berupa aspirasi pembentukantubuh pria dan pembentukan pandangan ini diikuti dengan kenyataanyang bukan empiris. Sehingga ketampanan yang dikonstruksikan olehsekelompok orang yang terlibat dalam industri pembentuk ketampananseperti produsen yang mengklaim memiliki produk yang mampumenunjang ketampanan seseorang, semakin kuat. Dengan demikiantokoh-tokoh yang terlibat dalam pembentukan konstruksi ketampananini dianggap identik dengan tokoh model heroisme kapitalis industriketampanan.

Jika kini dapat dilihat mengenai rekonstruksi ketampanan yangberbeda dengan ketampanan pada jaman keemasan wayang maka dapatkita lihat arah kiblat ketampanan itu sendiri. Jika industri produk-produkpria dikuasai oleh hegemoni perusahaan dari barat, maka tidak heranbahwa konstruksi ketampanan itu sendiri akan berkiblat ke barat, sebagaistandard acuan industri tersebut.

Komunikasi Pemasaran dalam Konstruksi IdealIklan didefinisikan oleh Coutland Bouvee dan William Arens dalam

Contemporer Advertising sebagai “non-personal communication of informationthat paid for and naturaly persuasive about product, service or idea that identifiedthe sponsor through various media” (Bouvee and Arens, 1986: 5) makatayangan man paegeant dapat digolongkan dalam usaha untukmemperkuat iklan yang selama ini ada. Iklan dari produk susu pembentuk

Page 61: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

60

tubuh ini selalu menampilkan pria dengan bentuk tubuh six packs danselalu diperlihatkan bagaimana para wanita menatap dengan terpukaupada badan si pria.

Sebagai bentuk aktivitas yang mendukung iklan tersebutdilaksanakanlah suatu kompetisi ketampanan pria yang standarnya sesuaidengan keinginan produk tersebut. Philip Kotler dan Gary Armstrong(1984: 635) menyebutkan bahwa dalam aktivitas Marketing Communication,aktivitas yang mendukung antara lain advertising atau iklan, personal selling,sales promotion, publisitas dan public relations. Tayangan kontes ketampanandan kegagahan ini masuk dalam aktivitas marketing communication.

Industri yang menginginkan pembentukan konstruksi ketampanan inimenjadi semakin mengakar dibenak prospek, salah satunya adalah denganproses komunikasi dan signifikansi sehingga harapannya adalahkonstruksi ketampanan ini akan menjadi (bahkan) budaya dalammasyarakat Indonesia, yang dulunya konstruksi ketampanan itu sepertiArjuna yang kerempeng dan berperut tipis. Wahyu Wibowo (2003: 125)menyebutkan bahwa selain strategi 4P yang disebutkan oleh Phillip Kotleryakni Product (Produk), Price (Harga), Place (Kiat mengenai penenmpatandan distribusi produk), dan Promotion (atau kiat bagaimana produk itudipasarkan pada masyarakat luas, ada lagi satu strategi yakni Power ataukekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud adalah kekuasaan produsen untuk“memaksakan” penayangan iklannya, semua ini amat berkaitan denganmoney atau seberapa besar modal yang dimiliki produsen untukmembentuk konstruksi masyarakat mengenai standar ketampanansehingga akhirnya membeli produknya agar dapat sesuai denganidealisme ketampanan yang dimaksud oleh produsen.

Power dan 4P lainnya pada akhirnya ingin membentuk persepsi sesuaikeinginan produsen. Persepsi berasal dari kata percipere yang berarti menerima,perseption, pengumpulan, penerimaan, pandangan (Komarudin, 2000:91). DalamKamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 863) kata persepsi memiliki dua pengertianyaitu tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu dan proses seseorangmengetahui beberapa hal melalui pancainderanya. Sementara menurut Rahmat(1998: 51) persepsi adalah pengamatan tentang objek peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkanpesan. Persepsi juga memberikan makna pada stimuli inderawi. Melalui beberapapengertian diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi sangat ditentukan olehfaktor personal dan faktor situasional (Rahmat, 2004: 51 ). Sedangkan Krch danCrutchfield (1977: 235) menyebutkan perpsepsi sangat dipengaruhi oleh faktor

Page 62: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

61

Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

fungsional dan faktor struktural.Persepsi mengenai ketampanan ini dibentuk dalam proses seperti

yang disebut oleh Wahyu Wibowo dalam bukunya Sihir Iklan yakni: (a)Nilai, atau sikap kita terhadap faktualitas-juga aktualitas-berita atauinformasi yang berkembang. Nilai seseorang dipengaruhi oleh apa yangdirasakan seseorang pula. Berdasarkan nilai, persepsi masyarakat luasterbentuk bahwa penyaji iklan memiliki kuasa untuk mengisi iklannyasekehendaknya dengan substansi yang bebas. (b) Unsur Budaya, dalamhal ini budaya yang dimaksud adalah budaya konsemerisme yangmengalami proses pencampuran fakta dan imajinasi, sehingga gaya hidupyang ada dalam media diadopsi menjadi gaya hidup budaya masyarakatluas. Termasuk mengenai gaya hidup urban mengenai tubuh pria danketampanan. (c) Unsur Kepercayaan, yakni kepercayaan pada pengalamanmasa lalu seseorang yang erat dipengaruhi oleh konsep atau prinsipkebutuhannya. Persepsi seseorang pada suatu produk terutama dalamhal ini tayangan di televisi mengenai kontes ketampanan dan iklan-iklanyang mendukungnya membawa pengalaman masa lalu pria-pria yangmasuk dalam kategori finalis kontes yakni pengalaman masa lalu merekasaat mengkonsumsi produk sehingga menghasilkan tubuh seperti standarketampanan yang dibentuk oleh produsen.

Melalui penjelasan diatas dapat disimpulkan yakni tidak hanya produkyang terlibat dalam proses komunikasi pemasaran tetapi juga bisakonstruksi ideal, budaya, dan lain-lain. Bedanya wayang memiliki produkagama atau budaya lokal L-Men yang tujuan akhirnya adalah sales produksusu L-Men yang diharapkan meningkat. Konstruksi ideal atau figursebenarnya hanyalah sebagai sebuah alat untuk memvisualisasikan outputsuatu produk sebagai brand ambassador, tetapi tujuan sebenarnya adalahsales.

Wayang dan Televisi sebagai Media PersuasifPertunjukan wayang pada masa keemasannya dulu, sangat

digandrungi oleh banyak pemuda-pemudi pada zamannya, yang rela lek-lekan atau tidak tidur semalam suntuk untuk melihat pertunjukkan wayangyang menampilakn cerita-cerita Baratayudha atau Ramayana. Wayangyang pada saat itu juga sebagai media untuk mempromosikan kearifandan ajaran agama memiliki perspektif sendiri terhadap ketampanan yangdiwujudkan dalam bentuk wayangnya. Tetapi dalam hal ini kbentukwayang tersebut merupakan pesan sekunder yang disampaikan, dan

Page 63: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

62

bukan merupakan pesan utama karena wayang sendiri tidakmewujudkan diri dalam bentuk manusia sesungguhnya, hanya dalambentuk pupet atau boneka wayang. Sehingga konstruksi ketampanan itusendiri tidak terlihat sebegitu signifikan seperti dalam tayangan televisimengenai kontes pria tampan saat ini. Wayang hanya menunjukkanpostur tubuh sebagai penunjang pesan utamanya yakni cerita wayangitu sendiri.

Tayangan televisi mengenai Kontes bina raga yang salah satunya adalahPemilihan Pria L-Men, memiliki pesan utama yakni mengenai standarpostur tubuh pria sesuai dengan standar L-Men dan pembelian atau salesdari produk L-Men itu sendiri, didukung dengan iklan-iklannya di televisi.Dalam kekuatan media ini televisi menjadi media yang sangat dominanuntuk membentuk persepsi audience mengenai ketampanan itu. Hadad(1993) menyebutkan bagaimana media audio visual sebenarnya banyakmenghabiskan tenaga pemirsa, karena media tersebut memaksa pemirsaduduk berjam-jam untuk mengikuti acara yang ditayangkan, sementarajiwa pirsawan menerima semua yang disuguhkan kepadanya tanpamembantah (Budi, 2004). Ditambahkan pula bahwa televisi hadir di tengahbudaya membaca yang belum mapan. Karena itu bukan kehadirantelevisinya yang memberikan dampak pada masyarakat tetapi programtelevisinya yang berdampak pada masyarakat. Deddy Mulyana jugamenyebutkan bahwa bangsa kita adalah bangsa lisan yang kurang tertarikpada tulis menulis. Sehingga televisi menjadi media yang memilikikekuatan yang besar sebab merupakan media lisan yang masuk dalamkonteks budaya masyarakat yang lisan.

Dalam wacana kekuatan televisi sebagai media persuasif, Siregar (2001)menyebutkkan bahwa televisi telah mengganti peran sumber pendidikankonvensional dan tradisional bahkan menjadi surrogate parents atausubtitute teacher dimana kekuatan televisi sebagai media persuasif dalamkonteks pendidikan sangat kuat. Menurut Nugroho (1995) televisi jugamerupakan instrumen untuk memperoleh pengetahuan dan sekaligusmengajari kita cara untuk memperoleh pengetahuan itu sendiri. Sehinggatelevisi tidak hanya berfungsi untuk menyebarkan pesan tetapi nilai-nilaipesan itu sendiri. Televisi tidak hanya menyebarkan mengenai siapa yangtampan saja, tetapi apa makna dan standar tampan itu sendiri.

Salah satu teori yang mengungkapkan mengenai kekuatan media ituadalah teori Agenda Setting. Teori yang diangkat oleh Maxwell McCombsdan Donald Shaw (Griffin, 2003) ini mengemukakan beberapa pemikiran

Page 64: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

63

Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

mendasar mengenai bagaimana media mempengaruhi khalayak. Mediamassa memiliki kemampuan untuk mentransfer items dalam agenda beritamereka kepada agenda public sehingga membuat publik bukan lagiberfikir apa yang berfikir tetapi berfikir tentang apa. Dengan kata lain,media telah menyediakan segala hal yang perlu dipikirkan oleh audience,audience akan menyerap apa saja yang diperlukan olehnya. Untuk itubisa dikatakan bahwa media disini menjadi seperti peluru yangmenembakkan isinya kearah audiens. Sama halnya dengan tayangankontes man peageant ini yang sebenarnya sangat mengandalkan teori ini,dimana diharapkan bahwa dengan dipublikasikannya tayangan dan iklan-iklannya di televisi ini maka audiens akan memikirkan hal-hal yangdisuguhkan oleh media dan mempengaruhi konsumen untuk: (1) tertarikmemikirkannya (2) tertarik membicarakannya (3) tertarik mencobanya (4)tertarik mencobanya.

Agenda media dan agenda publik adalah pasangan yang dekat. Dalampremis ini media adalah puhak yang berkuasa untuk mendikte mengenaiapa yang perlu dipikirkan oleh publik. Demikian pula halnya dengantayangan kontes ketampanan di televisi ini yang mendikte apa yangsebenarnya dikehendaki oleh si tokoh yang akan memperoleh bentuktubuh “ideal” sesuai dengan standar yang dikehendaki producen denganmeminum susu pembentuk otot . Oleh karena itu, posisi tayangan kontesketampanan ini merupakan media yang digunakan untuk memberikanexposure kepada target audience.

Identitas ketampanan yang melekat dalam diri seorang lelaki dibentukmelalui proses kontruksi tentang ‘self’ yang dipertajam dalam media iklanyang tersirkulasi melalui televisi, surat kabar, dan online advertisement.Kesemua ini tidak terlepas dari technological packaging yangmempermudah setiap individu mengakses produk-produk dari mediaiklan tersebut. Dalam konteks ini, Zukin dan Macguire (2004) denganasertif mencoba mengingatkan tentang bagiaman identitas tentang ‘self’ini dibentuk dengan cair dalam konteks posmodernisme dimana dominasimedia dan kolaborasi apik dalam iklan telah melahirkan destruksi kreatiftentang ‘self’. Disini kita dapat memahami bahwa definisi individu tentangdirinya sendiri sudah tidak lagi secara otonomi, independen, dan bebasnilai dibentuk dan dikonstruksi melalui rasionalitasnya sendiri, tetapi lebihdari itu telah terdistorsi oleh nilai-nilai kolektif dalam iklan.

Tidak ada yang salah dalam iklan dan by nature memang ditampilkandan diproduksi untuk pemenuhan profit pembuatnya. Diskusi menjadi

Page 65: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

64

menarik ketika iklan tersebut dikontekstualisasikan dalam image buildingof identity yang dialami oleh individu. Tentu saja ini bukan suatu prosesyang ‘socially’ ahistoris. Leonore Davidoff dan Catherine Hall (dalam Segal1993:626) mengafirmasi argumentasi ini: “Masculinity and femininity areconstructs specifics to historical time and place. They are catagories and re-affirmedin social institution and practices as well as a range of ideologies.”

Dari kajian ini, dapat dipahami bahwa pembentukan identitas tidakterlepas dari praktek-praktek ideologi dimana seorang atau sekelompokindividu menjadi bagian dari penikmat produk dan institusi sebagai sphereuntuk berinteraksi lebih lanjut memperkuat proses ini. Kontes ketampanandan kegagahan seperti L-Men yang secara luas diikuti oleh remaja danlelaki dewasa laki-laki (dibawah 30 tahun) dalam kontekstualisasi inimempercepat pendefinisian tentang self yang mencitrakan framework lelakisehat dan bugar dengan perut ‘kotak-kotak’, tampan, atletis, dan otot bisepdan trisep menonjol. Praktek-praktek pembentukan identitas dalammemang tidak serta-merta diarahkan ke individu, tetapi secara simultanterjadi negosiasi antara teknologi dengan individu yang bersangkutan(Cerulo, 1997).

Kebutuhan Aktualisasi DiriKebutuhan manusia yang beragam, menjadi titik tolak industri untuk

membidik kebutuhan individu. Dalam bagan kebutuhan manusia, Maslowmemberi gambaran bahwa kebutuhan manusia dibentuk seperti piramidayang harus dipenuhi tingkat-pertingkat, tetapi sekarang ada banyakpandangan mengenai piramida Maslow tersebut dan memodifikasinya.Seperti Executive Values in Strategy Consultant dalam values frameworknyamencoba menginterpretasikan kembali piramida Maslow danmemodifikasinya menjadi Integrated Human Needs of Maslow Pyramidsdimodifikasi sebagai analisis kebutuhan manusia dan bagaimana industriberusaha memenuhi kebutuhan tersebut (lihat http://www.evsconsulting.co.uk/valuesFramework.htm).

Adaptasi Kebutuhan Maslow ini memberi gambaran kepada kitabahwa: (a) Manusia pada dasarnya ingin memenuhi kebutuhan dalamwaktu yang bersamaan. (b) Kebutuhan manusia dalam hirarki Maslowsebelumnya yang menyebut bahwa self esteem yang paling atas dan palingsedikit kini berubah menjadi semakin besar, kebutuhan manusia untukdihargai pada dasarnya merupakan kebutuhan terbesar manusia, danintegrasi seluruh kebutuhan adalah yang terbesar. (c) Gambar ini

Page 66: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

65

Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

membedakan tiga kebutuhan: Warna Merah yaitu kebutuhan yangberlangsung terus-menerus dan harus dipenuhi dengan kadar kontinuitasyang tinggi, tetapi belum itu kebutuhan ini yang terbesar, justru termasukyang kecil. Warna Kuning merupakan kebutuhan yang berdaasrkan padaorang lain, kondisi sekitar, dan pandangan sekitar terhadap manusia.Warna Biru sebagai kebutuhan dari dalam kognisi manusia yaitukebutuhan akan kecantikan atau keindahan, kebutuhan untuk tahu,menggali, dan mengerti serta integrasi dari kebutuhan seluruhnya. (d)Kebutuhan ini menjelaskan pada hakikatnya manusia merupakanmakhluk yang tidak pernah puas dengan apa yang diperolehnya, tetapiyang juga penting, bagaimana sekarang ini manusia disediakan suatupilihan untuk memenuhinya secara bersamaan dan mendapatkansemuanya. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa memang kebutuhanmanusia bukan merupakan sebuah bentuk yang pakem atau baku, tetapijuga dinamis dan fleksibel, tergantung pada kondisi jaman yang ada, dantentu kondisi seseorang.

Ini yang dibidik bahwa kebutuhan aktualisasi diri itu kebutuhan yangpenting yakni bagaimana dihargai orang lain. Caranya denganmenyesuaikan dengan tokoh ideal atau orang yang dianggap ideal, jikamendekati ideal maka akan dihargai. Kebutuhan manusia untuk diterimaoleh orang lain ini disesuaikan dengan persepsi dari masyarakat yangsudah dibentuk mengenai ketampanan itu yakni berbadan six packs,sehingga jika seseorang mendekati proporsi tubuh yang ideal seperti

Bagan Piramida Maslow yang sudah dimodifikasi

Ach

ievemen

t

Recognitio

n, A

ppro

val

Love,accepta

nce

Tokn

ow

, understan

d, exp

lore, b

eauty

Integ

ration

and

transcen

den

ceofall n

eeds

Sel

fes

teem

Este

em

from

Oth

ers

Belo

ngin

g

Cognitiv

e,ae

stet

ic

Sel

f Act

ual

izat

ion

AirFoodWaterSex

Source: Adopted from Maslow, 1970; Cultural Dinamics Ltd.

Inner directedCognitive, Aestetic

Outer directedEsteem, Achievement

Sustenance drivenSecurity, belonging

Page 67: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

66

persepsi masyarakat, maka diharapkan orang tersebut dapat semakinditerima oleh masyarakat dan disukai oleh masyarakat.

Kontes pria di televisi yang menawarkan secara audio dan vidualkegagahan dan ketampanan tubuh sesuai standar yang baru jugamembidik kebutuhan masyarakat secara integratif dan bersamaan.Kebutuhan yang dibidik secara integratif itu antara lain kebutuhan dicintaidan diterima (warna merah muda) yaitu menampilkan bagaimana pria-pria finalis kontes tersebut diterima dan disanjung oleh masyarakat,disukai oleh para wanita cantik, esteem from other atau penghargaan dariorang lain (warna kuning) yakni penghargaan sebagai pria tertampan dantergagah se-Indonesia, achievement (warna krem) yakni perasaanmemperoleh penghargaan, pujian seperti yang testimoni yang diberikanoleh para juri dan penonton kepada pemenang atau finalis kontes pria,dan secara kognitif (warna biru) kebutuhan bahwa dirinya sesuai danmasuk dalam standar ketampanan di televisi membuat kebutuhan initerintegrasi dan terpenuhi secara bersamaan (harapannya).

Penonton televisi yang melihat kontes tersebut diharapkan merasabahwa melalui produk yang ditawarkan kebutuhan-kebutuhan merekadapat dipenuhi. Hal ini digambarkan dengan jelas oleh media televisiyang mempunyai kekuatan untuk secara visual dan audio menampilkanpemenuhan kebutuhan ini.

Alienasi Ketampanan Meminjam dari MarxTeori alienisasi atau ‘proses menuju keterasingan’ dikeluarkan oleh Karl

Marx saat terjadi disparitas yang sangat tinggi antara rakyat biasa yangmenderita dengan kaum kapitalis yang menggambarkan keadaan paraburuh atau proletar mendapatkan sebuah keadaan yang terasing darikehidupanya. Karl Marx percaya bahwa alienisasi adalah hasil darieksploitasi kapitalisme terhadap buruh dengan mengartikanya sebagaimodal (Magnis-Suseno, 2000). Dalam kasus ini keterasingan dialamibukan dalam persepektif proletariat tetapi dalam perspektif non-sixpactariat atau pria maupun remaja laki-laki yang tidak memperolehstandar bentuk kegagahan dan ketampanan yang dikonstruksi oleh mediamassa saat ini.

Kaum non-sixpactariat ini memperoleh keadaan terasing sebab tidaksesuai dengan bentuk ideal seorang pria yang dibentuk media.Keterasingan atau alienasi dalam benak pria ini menjadi sebuah bentukketerasingan terhadap diri sendiri sebab mereka tidak dapat menikmati

Page 68: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

67

Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

potensi dan ketampanan mereka yang beragam. Refleksi dari alienasiini dapat berbentuk dalam berbagai macam kekecewaan terhadap dirisendiri, keterasingan pada bentuk tubuh sendiri karena terlalu kurusatau gemuk dan tidak sesuai dengan ketampanan ideal.

Kesamaan feeling of being the other atau alien dari planet diluar planetpria ini dengan kesamaan dengan kaum proletariat pada jaman Karl Marxantara lain: Pertama, Karl Marx menyebut bahwa kaum proletariat terasingdengan pekerjaanya sendiri, di mana tugas kerja tidak memberi kepuasanhati yang hakiki karena buruh tidak diberi kesempatan mengatur keadaanfisik atau batin dirinya sendiri sebab dikuasai oleh kekuatan eksternalnya.Sementara kaum non-sixpactariat terasing dari dirinya sendiri, dimanabentuk tubuh dan rupa sendiri tidak memberi kepuasan hati yang hakikidan adanya ketidakpuasan terhadap diri sen-diri, tidak nyaman pada dirisendiri sebab kekuatan eksternal yaitu mitos ketampanan status quo inginmembentuk setiap pria untuk menjadi ideal.

Kedua, pola hubungan sosial membawa buruh menjadi terasing.Hubungan masyarakat cenderung disederhanakan menjadi kegiatan-kegiatan pasar. Pola hubungan sosial juga membawa kaum non-sixpactariatmenjadi terasing karena tidak sesuai dengan kondisi ideal yang di blow-up media. Kemampuan dan kekuatan media mampu menghadirkanpersepsi ketampanan yang begitu kuat sehingga hubungan-hubungansosial pun dipengaruhi oleh bentuk-bentuk ideal dan standar industrikapitalis. Hubungan-hubungan sosial yang dalam, valuable, dan dinamismenjadi beralih pada hubungan-hubungan sosial yang memandang secaraperipheral atau sekedar rupa dan perut.

Ketiga, manusia hidup dalam hubungan aktif dengan alam yangmerupakan ekspresi dan hasil hubungannya dan menjadi pembeda antaramanusia dengan hewan. Pekerjaan yang terasing lebih menurunkankegiatan produktif manusia ke tingkat adaptasi pada alam, layaknyahewan. Disini kaum non-sixpactariat juga dibentuk untuk berpikir, bekerja,dan berolah raga demi sekedar tubuh six pacts seperti yang dibentuk olehmedia, produktivitas yang dipengaruhi motivasi untuk sehat dan menjadimanusia seutuhnya dikebiri menjadi aktivitas demi rupa dan tubuh sematayang sifatnya berevolusi, berubah, dan sementara. Muna Hada (1993)menyebutkan bahwa media audio visual sebenarnya memaksa pemirsanyauntuk duduk dan menerima tayangan yang disuguhkan tanpa adanyaperlawanan. Dalam hal ini para pria maupun wanita disuguhkan tayanganyang memberikan standar ketampanan dan kegagahan tanpa bisa

Page 69: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

68

melawan sehingga menimbulkan refleksi pada diri sendiri apakah dirinyasudah sesuai dengan standar di televisi.

Tentu saja asumsi yang meminjam dari Karl Marx adalah asumsi yangbergantung pada individu dan karakter market, sehingga tidak bisadipukiul rata pada semua orang, tetapi kekuatan exposure media mampumembentuk individu-individu untuk merasa terasing terhadap dirinyadan bentuk dirinya sendiri. Individu yang menderita karena melihatkenyataan bahwa tubuhnya tidak sesempurna idealisme industri dan apayang telah disediakan oleh televisi. Individu yang sangat berharga, dimanaketerasingan sedang menanti dengan kekuatan televisi sebagai mediaaudio visual yang begitu kuat. Meminjam salah satu status facebook seorangteman yang non-sixpactariat, yang kecewa terhadap konstruksi mediatelevisi terhadap mitos ketampanan dan sebagai bentuk pengusiranketerasingan dirinya terhadap tubuhnya sendiri. “Transform your body intosix pacts, to be “healthy outside, brainless inside”, trust me it works” (FacebookStatus: Meredian Alam, 11/07/2010).

PenutupMasyarakat, mau tidak mau, akan memperoleh media exposure

mengenai konstruksi ketampanan yang akan menunjang industri dankapitalisme. Kekuasaan kelompok tertentu untuk membentuk konstruksimasyarakat mengenai suatu simbol misalnya nilai dan standarketampanan terkadang tidak dapat dihindari. Ketampanan menjadi mitosyang akan selalu ada, meskipun mengalami perubahan dalam dinamikamasyarakat.

Proses revamping media dalam merekonstruksi mitos ketampanan inimerupakan bentuk power dari sekelompok masyarakat yang memilikiinterest dari pembentukan konstruksi kognitif masyarakat. Power inidimiliki oleh industri kapitalis yang memiliki money untuk melakukanserangkaian strategi marketing communication demi peningkatan salesproduknya melalui pencarian brand ambassador yakni kontes ketampanandimana brand ambassador harus sesuai dengan standar ketampanan yangditetapkan oleh industri tersebut.

Kekuatan televisi yang besar untuk menjadi subtitute teacher membuatsebagian masyarakat yang lemah dan mudah mengikuti arus televisi akanmenjadi korban proses alienasi terhadap diri dan tubuhnya. Keberadaantelevisi yang kuat, membuat individu dan komunitas telalu berkaca padamedia, sehingga individu kehilangan keunikan dan identitas tubuhnya.

Page 70: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

69

Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

Padahal keunikan individu dapat mendefinisikan potensi yang dimilikioleh individu manusia yang sangat berharga. Semoga individu Indonesiamenjadi lebih cerdas dan kritis dalam menyikapi media televisi, baikdalam mitos ketampanan maupun mitos-mitos yang lain.

Daftar PustakaBudi, Setio. 2004. Industri Televisi Swasta Indonesia dalam Persepektif Ekonomi Politik-

Jurnal Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Prodi Komunikasi UAJYCerulo, Karen A. 1997. “Identity Construction: New Issues, New Direction”. Annual

Review of Sociology, Vol. 23, pp. 385-409.Segal, Lynne. 1993. “Changing Men: Masculinities in Context”. Theory and Society,

ol. 22, No. 5, Special Issues: Masculinities (Oct., 1993), pp. 625-641.Zukin, Sharon & Maguire, Jennifer S. 2004. “Consumer and Consumption”. Annual

Review of Sociology, Vol. 30 (2004), pp. 173-197.LOTY 2010, http://www.l-men.com/category/loty/gran-finalis-loty/loty-2010-gran-

finalis-loty-loty, 31 Juli 2010Hermawan, Anang. 2008. Mitos dan Bahasa Media: Mengenal Semiotika Roland

Barthes,http://www.averroes.or.id/thought/mitos-dan-bahasa-media-mengenal-semiotika-

roland-barthes.html, diakses pada tanggal 31 Juli 2010Sumaryono. 2009. Teori Mitologi, http://gampingnews-support.socialgo.com/

magazine/read/teori-mitos_14.html diakses pada tanggal 31 juli 2010Values Framework, http://www.evsconsulting.co.uk/valuesFramework.htm

diakses pada tanggal 2 Agustus 2010, pukul 15.20.30Bouvee, Coutland dan Arens, William. 1986. Comtemporary Advertising. New York:

Irwin Mc Graw-HillBurr, Vivien (1995). An Introduction to Social Constructionism. London: RoutledgeGriffin. 2003. First Look at Communication Theory. New York: Mc Graw HillHerusatoto, Budiono. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: HaninditaKasiyan. 2008. Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan. Yogyakarta,

OmbakKotler, Philip dan Armstrong, Gary. 1984. Principles of Marketing. New Jersey:

Prentice-Hall IncLiang Gie. 1977. Suatu Konsepsi ke Arah Pengertian Bidang Filsafat. Yogyakarta: Karya

KencanaMagnis-Suseno, Franz. 2000. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

UtamaNugorho, Garin. 1995. Kekuasaan dan Hiburan. Yogyakarta: Yayasan Bentang BudayaUtami, Ayu. 2008. Bilangan Fu. Jakarta: Kepustakaan Populer GramediaWibowo, Wahyu. 2003. Sihir Iklan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Page 71: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

70

Sinetron remaja tumbuh subur seiring perkembangan stasiun televisidi Indonesia pada akhir 1990-an, saat Rajawali Citra Televisi Indonesia(RCTI) didirikan dan diikuti oleh kemunculan beberapa stasiun swastalainnya, seperti SCTV dan TPI. Dalam kemunculannya, televisi swastamemiliki jam tayang yang sangat terbatas dengan acara yang tentunyatidak beragam (Panjaitan dan Iqbal, 2006: 9-17). Kemunculan awal sinetronremaja di televisi swasta, menurut Sunardian Wirodono (2005: 35) ditandaioleh munculnya sinetron berjudul Pernikahan Dini pada 2001 yang memicukemunculan sinetron remaja lainnya.

Sinetron remaja yang hingga kini masih terus ditayangkan oleh stasiuntelevisi swasta di Indonesia merupakan produk dari production housedengan target audiens golongan umur 14-21 tahun. Melalui tema ceritayang mengangkat persoalan keseharian layaknya cinta, persahabatan,konflik keluarga, bahkan hingga ke seksualitas, sinetron remaja kiandiminati masyarakat dari hari ke hari. Tercatat, terdapat lebih dari 247judul sinetron remaja yang terdiri dari 14.762 episode atau 1.791 jam tayangsepanjang tahun 2007 menurut penelitian yang dilakukan oleh YayasanPengembangan Media Anak (YPMA-Kidia) (Suara Merdeka, 20/06/2008).Hal ini mengindikasikan, sinetron remaja tidak pernah sepi dari peminatbahkan hingga hari ini. Kecenderungan terus tingginya peminat terhadapsinetron remaja pada akhirnya menjadi alasan kuat bagi berbagaiproduction house untuk melakukan produksi massal.

Produksi massal sinetron remaja baik yang berbentuk serial maupunyang berbentuk film televisi (FTV), justru semakin menurunkan kualitassinetron remaja, baik dari segi tema cerita, maupun dari teknissinematografinya. Dari sisi tema cerita, kerap ditemui banyaknyakesamaan antara satu sinetron remaja dengan sinetron remaja lainnya,orisinalitas menguap, duplikasi terjadi, bahkan seolah menjadi hal lumrah.

Sinetron RemajaSebagai Ruang Sempit Identifikasi

Yahya ZakariaMahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman

Page 72: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

71

Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi

Tema cerita yang seharusnya mengandung pembelajaran bagi remajabukan lagi menjadi hal pokok dalam proses produksi. Selain itu, dari sisisinematografi, hampir setiap sinetron remaja memiliki standar yang sama,keunikan jarang ditemui di dalamnya. ‘Kejar tayang’, mungkin inilahistilah yang tepat menggambarkan bagaimana sinetron remaja diproduksimassal dalam jumlah besar-besaran, sehingga kualitas tidak lagi menjadiorientasi. Sunardian Wirodono (2005: 80) mengungkapkan, “...tidak pernahmuncul kegalauan para mahluk sinetron itu, jika karya mereka sesungguhnyatidak memiliki kedalaman. Ukuran-ukuran kesenian akan mereka patahkan denganjumawa bahwa yang penting mereka ‘kaya raya’...”

Remaja sebagai audiens, mau tidak mau akan terkena dampak dariburuknya kualitas sinetron remaja hari ini, karena sebagai salah satuproduk televisi, sinetron remaja—sebagaimana produk televisi lainnya—memiliki fungsi untuk menyampaikan nilai-nilai, berupa, gagasan, polapikir, sikap, hingga ke gaya hidup pada masyarakat luas. Lantas, nilai-nilai seperti apakah yang disampaikan oleh sinetron remaja padaaudiensnya? Karena nilai dalam pandangan Althusser merupakan sebuahkekuasaan, nilai menyimpan kepentingan dari kelas dominan dimasyarakat. Lebih jauh, dengan kondisi sinetron remaja yang tidakberkualitas, dangkal, serta berorientasi pada kepentingan materi, makanilai yang disampaikan akan berorientasi pada kepentingan para pemilikmodal sebagai kelas dominan dalam struktur sosial masyarakat.Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mekanisme kelas dominan dalammenjadikan nilai-nilai yang disampaikan sinetron remaja berpihak padakepentingan mereka?

Nilai dalam Sinetron Remaja Sebagai IdeologiUntuk menjawab pertaanyaan di atas, pembahasan akan bermula dari

pemikiran Althusser mengenai ideologi. Dalam konsepsinya mengenaiideologi, Althusser menyebutkan bahwa ideologi merupakan sebuahpraktik, sebuah mekanisme yang berjalan di wilayah deep structuremasyakat dan secara tidak sadar mengkonstruksi perilaku, sikap sertapandangan masyarakat, sehingga ideologi dalam konsepsi Althussersangat berbeda dengan ideologi yang dipahami oleh masyarakat saat ini.Lantas, ideologi bukanlah sesuatu yang terlepas dari kekuasaan, tetapimerupakan kekuasaan yang bersemayam di dalam struktur, sehinggaideologi menjadi mekanisme dalam struktur yang tak disadari telahmengkonstruksi pandangan dan pola pikir masyarakat agar sesuai dengan

Page 73: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

72

kepentingan kelas dominan. Eriyanto (2009: 99) menyebutkan: “Manusiasebagai subjek bagi struktur dimana struktur tadi bukan ciptaannya melainkanciptaan kelompok atau kelas tertentu. Karena struktur itu diciptakan untuk danidentik dengan kepentingan kelompok penciptanya.”

Sebagai pemikir yang terpengaruh gerakan strukturalisme pada tahun1960 di Prancis1, Althusser—layaknya Karl Marx—membagi masyarakatkedalam dua kelas, yakni kelas dominan dan kelas yang didominasi, kelasdominan adalah mereka yang memiliki alat produksi, seperti produser,pemegang saham stasiun TV, dsb. sementara kelas yang didominasi adalahmereka yang tidak memiliki alat produksi, sehingga harus menjualtenaganya demi mendapatkan imbalan. Relasi yang terjadi pada keduakelas tersebut merupakan relasi antagonistik, saling bersitegang, salingberebut kekuasaan, dari relasi yang antagonistik tersebut lahirlah ideologi.Pada titik ini, karakteristik dari struktralisme sangat kental terlihat, karenakeberadaan sesuatu dipandang sebagai akibat dari adanya hal yangberlawanan—oposisi. Jadi, tanpa adanya dua hal yang bertentangan,ideologi tidak akan pernah lahir.

Terdapat tiga landasan pokok ideologi menurut Althusser (2006: 39,42-44 dan 47-48). Pertama, ideologi merupakan representasi hubunganimajiner antarindividu dalam berbagai kondisi eksistensi riilnya. Dalamhal ini, sinetron remaja merepresentasikan relitas imajiner karena telahmenjadikan remaja kehilangan sejarahnya, seolah yang disebut sebagairemaja saat ini adalah sebagaimana direpresentasikan dalam sinetronremaja, sehingga wajar diikuti semua hal yang direpresentasikannya.

Kedua, ideologi merupakan sebuah kekuatan material di dalammasyarakat. Kekuatan material ideologi tidaklah berbentuk konkretlayaknya benda-benda di sekitar kita, tetapi ideologi memiliki kekuatanuntuk membuat individu di dalam masyarakat patuh secara suka relamengikuti mekanisme ideologi yang tak kasat mata, kepatuhan tersebutpada akhirnya akan termanifestasikan dalam bentuk atau wujud nyatayang kasat mata. Dalam konteks sinetron remaja, kekuatan material darimekanisme ideologi sinetron remaja tidak pernah terlihat wujudnya olehkita semua, tetapi kepatuhan secara suka rela akan terlihat secara nyata,misal, remaja mengadopsi cara berbicara dari sinetron remaja atau remajamengikuti cara berpakaian sebagaimana direpresentasikan oleh sinetronremaja. Jadi, dampak dari mekanisme ideologi yang akan mewujud secarakasat mata, sementara kekuatan material ideologi tak kasat mata.

Ketiga, ideologi meminta individu menjadi subjek di dalam ideologi-

Page 74: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

73

Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi

ideologi tertentu. Dalam proses meminta individu menjadi subjek ataudalam bahasa Althusser menginterpelasi subjek, ideologi melakukansubjeksi pada individu-individu. Subjeksi merupakan sebuah keadaandimana individu akan berpikir mengenai keberadaanya dengan prosesmembandingkan pada keberadaan orang lain. Identitas merupakan akhirdari subjeksi, dimana seorang individu akan mendefinisikan identitasnyamelalui perbandingan dengan identitas lain yang sedangmenginterpelasinya. Dalam kegiatan remaja mengkonsumsi sinetronremaja, hal tersebut merupakan sebuah subjeksi, melalui mekanismepemberian identitas, dimana remaja yang sedang menonton sinetron akanselalu mendefinisikan identitasnya dengan melakukan perbandinganterhadap identitas yang terdapat di dalam sinetron tersebut, maka secaratidak sadar, remaja yang sedang menonton tersebut diinterpelasi olehideologi untuk menjadi subjek secara suka rela.

Proses negosiasi yang terjadi ketika seorang remaja menonton sinetron,merupakan sebuah medan bagi dua identitas saling bertemu danberkontradiksi, saling memberikan penafsiran, di titik inilah ideologimeminta individu menjadi subjek. Dari ketiga landasan pokok yangtersebut, maka seluruh individu dalam masyarakat tidak akan mampumengelak dari ideologi. Diane MacDonell (2005: 39) menjelaskan: “Kitatidak dapat keluar dari ideologi. Kesadaran kita dikonstruksi dalam bentuksubjek imajiner... dalam praktik sehari-harinya, kita menjadi individutertentu yang bertindak di dalam keyakinan yang memberikan kita untukberpikir.” Althusser (2006: 45) menyatakan formula Pascal dimana,‘berlutut, gerakan bibirmu di dalam doa dan Anda akan percaya...”

Masyarakat secara umum dan khususnya remaja, akan selalu hidupdi dalam realitas imajiner selama sistem sosial masih dikuasai oleh kelasdominan, karena dengan terus terjaganya sistem sosial saat ini melaluireproduksi, maka struktur akan terus mengkonstruksi pikiran hinggasikap masyarakat. Ideologi dalam hal ini, terus melakukan reproduksiatas sistem sosial yang mapan, dengan tujuan “unified around the essentialinterest of the dominant class...” (Matheron and Corpet, ed., 2006: 286).Dengan fungsi ideologi sebagai ‘wadah’ yang menyatukan kepentinganmendasar dari kelas dominan dalam masyarakat, maka sinetron remajayang saat ini menjadi salah satu media dari ideologi untuk melakukanmekanisme dominasinya, akan terus merepresentasikan nilai dari kelasdominan untuk menciptakan realitas yang imajiner.

Page 75: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

74

Sebagai contoh, dalam sinetron remaja, perempuan kerapdirepresentasikan sebagai makhluk yang gemar menangis dan tergantungpada laki-laki. Sementara laki-laki direpresentasikan sebagai mahluk kuatyang mandiri dan tidak gemar menangis. Sungguh lumrah ketika seorangperempuan dalam sinetron remaja menyerah saat menghadapi mobilmogok dan perempuan tersebut menunggu pertolongan dari seorang laki-laki atau saat seorang perempuan berlari menangis karena memergokipacarnya selingkuh dengan perempuan lain. Sebaliknya, hal tersebut tidakakan menjadi lumrah ketika laki-laki dalam sinetron remaja menyerahketika menghadapi mobil yang mogok, ataupun ketika seseorang laki-laki menangis saat memergoki pacarnya berselingkuh dengan laki-lakilain.

Bayangkan saja, bagaimana ketika kita menonton sebuah sinetronremaja yang menceritakan seorang laki-laki mendapatkan bantuan dariseorang perempuan untuk memperbaiki mobilnya yang sedang mogok?Atau seorang laki-laki menangis karena diselingkuhi, hingga ia menguncidiri di kamar dan seharian menangisi hal tersebut? Mungkin kita akanmerasa janggal dan tidak terbiasa melihat hal-hal tersebut. Inilah buktiberjalannya mekanisme ideologi yang menciptakan relasi imajiner berupakelumrahan-kelumrahan atau nilai “kewajaran” dalam memandang relasilaki-laki dan perempuan dalam dunia sosial remaja, hingga seolah-olahrelasi perempuan dan laki-laki sebagaimana yang dicontohkan tadimerupakan sebuah kewajaran, dan remaja sebagai audiens patut untukmelakukannya.

Relasi imajiner sebagai hasil dari mekanisme ideologi memangmenjadikan sesuatu terlepas dari konteks sejarahnya, seolah-olah relasiperempuan dan laki-laki seperti apa yang direpresentasikan oleh sinteronremaja hari ini, tidak lebih, padahal relasi perempuan dan laki-laki yangdirepresentasikan oleh sinetron remaja memiliki sejarah, memiliki sebab,tidak serta merta relasi tersebut muncul dan mapan di tengah masyarakat.Maka, dengan terlepasnya konteks kesejarahan, sesuatu akan menjadisebuah kewajaran, atau masyarakat kerap menyebutnya: lumrah. Padaakhirnya kelumrahan tersebut akan melanggengkan kekuasaan kelasdominan, karena sistem sosial patriarkis merupakan sistem sosial yangselalu direproduksi, dijaga keberadaannya oleh kelas dominan demikeuntungannya.

Contoh lain adalah representasi gaya hidup kekinian remaja, yangsering direpresentasikan melalui cara berpakaian, cara berinteraksi, cara

Page 76: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

75

Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi

bergaul, hingga cara menyelasaikan masalah. Perempuan dengan hot pants,berambut lurus, langsing, blackberry, gemar berbelanja, dan sebagainya.Laki-laki dengan pakaian bergaya casual atau sporty, turun naik mobil,cool, rambut tersisir dengan rapi, dan sebagainya, merupakan kelumrahanatau kewajaran bagi remaja yang patut untuk ditiru. Mekanisme ideologiyang akhirnya menciptakan relasi imajiner pun terjadi. Seolah-olah gayahidup seperti itulah yang menjadi kewajaran di kalangan remaja: remajamasa kini adalah remaja yang memiliki kriteria sebagaimana disebutkandi atas. Pada titik ini, sejarah menguap, remaja menjadi kehilangan masalalunya, sehingga remaja tanpa sejarah adalah remaja masa kini, berikutsegala kriterianya.

Representasi gaya hidup remaja dan relasi perempuan dan laki-laki,keduanya merupakan nilai yang disampaikan melalui sinetron remaja.Nilai-nilai tersebut bersemayam di dalam struktur dan lambat launmengkonstruksi pandangan dan sikap remaja, hingga remaja berkubangdalam realitas imajiner, terasing dari sejarahnya dan menganggap wajarnilai-nilai tersebut. Setelah kewajaran muncul, remaja akan melayanikepentingan kelas dominan dan mempertahankan kekuasaannya yangtelah mapan. Dengan berlangsungnya proses tersebut, ideologi telah men-jalankan praktiknya dalam struktur, menjadi mekanisme bagi status quo.

Pandangan, sikap, cara berpakaian, hingga gaya hidup sehari-hari yangtelah dikonstruksi oleh ideologi merupakan sebuah identitas bagi individu.Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, individu memiliki identitasyang berbeda dengan individu lain, atau dalam terminologi Althusseradalah subjek-subjek ideologi yang berbeda satu dengan lainnya. Dalamkonstruksi identitas, seseorang akan melewati fase bernama identifikasi,yang merupakan sebuah proses pembentukan identitas melalui per-bandingan dengan identitas lain, maupun penerimaan dari identitas lain.

Remaja dan IdentifikasiIdentitas adalah perbedaan cara kita memandang diri sendiri

(Widiastuti, 2005: 13) atau dalam bahasa Amin Maalouf (2004: 10) identitassaya adalah apa yang mencegah saya jadi identik dengan orang lain.Identitas memang berfungsi untuk membedakan satu individu denganindividu lain berdasarkan keunikan masing-masing. Melalui perbedaancara pandang terhadap diri sendiri maupun cara pandang terhadap oranglain, seorang individu akan melakukan penafsiran hingga terjadi peniruan,penolakan maupun penggabungan identitas, karena identitas bukanlah

Page 77: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

76

hal yang tetap dan kekal, melainkan selalu berubah seiring bertumbuhnyausia dan berubahnya lingkungan sekitar. Struktur akan selalumengkonstruksi identitas tiap individu dan hal ini berlaku pula dalamproses penerimaan identitas dari nilai-nilai yang direpresentasikan olehsinetron remaja.

Amin Maalouf (2004: 23) menambahkan, identitas tidaklah terberisekali untuk selamanya: ia dibangun. Sebagai sebuah bangunan, identitasmampu dihancurkan atau dikuatkan, hal yang sama juga berlaku dalamkonteks remaja, dimana identitas remaja merupakan sebuah bangunanyang mampu hancur dan dibentuk. Proses pembangunan identitastersebut berjalan melalui proses yang disebut sebagai identifikasi.Identifikasi merupakan proses seorang individu ketika melakukanpendefinisian identitas dengan cara membandingkan dengan identitaslainnya. Dalam proses pendefinisian tersebut, seseorang akan melakukanproses peniruan, penolakan dan penggabungan identitas, hinggaseseorang puas akan identitasnya. Dalam kegiatan seorang remajamenonton sinetron remaja, representasi nilai-nilai akan ditangkap dandiinternalisasi oleh si remaja, lantas, proses identifikasi berjalan, yakni siremaja akan membandingkan identitasnya hari ini dengan identitas yangdirepresentasikan di dalam sinetron remaja. Proses tersebut terus berjalan,dan tanpa disadari secara perlahan, identitasnya akan bergeser menujuidentitas sebagaimana yang telah direpresentasikan oleh sinetron remaja.

Secara psikologis, remaja merupakan fase dimana identitas diri sedangmengalami pencarian bentuknya. Proses pencarian tersebut berlangsunghingga fase remaja telah terlewati. Institusi sekolah, keluarga, mediamassa, lingkungan bermain, hingga kebijakan pemerintah turut andilmemengaruhi pembentukan identitas remaja. Kecenderungan untukmeninggalkan ikatan emosional dengan orang tua sangat kuat. Nilai-nilaiyang ditanamkan oleh orang tua akan ditinggalkan dan mulai membukadiri untuk menerima nilai-nilai baru, sebagai referensi baru danpembanding identitas. Pembentukan identitas pada fase remaja akanmenentukan kehidupan dalam fase berikutnya. Sehingga wajar jika remajamerupakan fase yang labil sekaligus rentan dalam pembentukan identitas.Dalam hal ini Singgih D. Gunarsa (2008, 210) menambahkan, remaja padafase ini sedang merenggangkan diri dari ikatan emosional dengan orangtuanya. Mereka sedang membongkar landasan hidup yang sudahdiletakkan orang tuanya sepanjang masa anak... pada masa ini remajaharus menemukan identitas diri.

Page 78: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

77

Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi

Identitas diri bagi remaja merupakan kebutuhan yang tak terbendung.Fase pencarian dan krisis bagi remaja pada akhirnya membuat remajamembutuhkan banyak referensi identitas untuk melakukan identifikasidan memapankan identitasnya yang khas. Sinetron remaja menjadi salahsatu pilihan bagi remaja dalam proses identifikasi, karena menyediakanreferensi identitas. Pada titik inilah peliknya permasalahan, dimanasinetron remaja justru tidak mampu menyediakan referensi identitas yangluas, beragam dan demokratis bagi remaja, identitas yang direpresentasi-kan merupakan identitas yang didalamnya telah bersemayam mekanismeideologis yang penuh kepentingan kelas dominan. Dengan situasi ini,remaja menjadi miskin referensi, remaja mengidap krisis identitas. SinggihD. Gunarsa (2008, 211) menambahkan, remaja melihat tokoh yangdikagumi, ingin menjadi sama dengan tokoh tersebut. Sejuh manapersamaan bisa dicapai, tergantung dari kemampuan dan kesempatanbaginya. Masalah yang sering timbul dalam menunaikan tugasperkembangan ini, terletak pada ‘langkanya’ tokoh identifikasi.

Sinetron remaja memang belum mampu menyediakan ‘tokoh’identifikasi yang beragam bagi remaja. Tokoh identifikasi yang sering kitalihat di layar kaca selalu seragam, dengan gaya hidup yang tidak jauhberbeda. Tengok saja, Film Televisi atau FTV yang ditayangkan oleh salahsatu stasiun televisi swasta dengan segmen remaja, tokoh-tokohidentifikasi di dalamnya adalah mereka yang bergaya hidup mapan,keluar-masuk kendaraan pribadi, selalu ikut arus teknologi, makan direstoran, shopping di mall, pacaran, nongkrong di kafe, setting di Bali,Yogyakarta, Bandung, Jakarta—semuanya adalah kota-kota besar.Identitas tersebut seolah menjadi kewajaran, hal yang patut untukdijadikan identitas bagi remaja saat ini.

Identitas yang saling berinteraksi dan berkontradiksi dalam kegiatanseseorang menonton sinetron remaja bukanlah sebuah interaksi yangsetara, melainkan terdapat identitas yang superior. Identitas superioradalah identitas yang direpresentasikan dalam sinetron remaja, karenadengan kondisi psikologis remaja yang rentan dan labil, menyebabkantidak adanya sebuah mekanisme untuk mempertahankan diri secara kuatdalam menolak dominasi identitas sinetron remaja. Sementara itu, di lainpihak, identitas di dalam sinetron remaja memiliki kekuatan besar untukmengajak audiensnya secara tidak sadar menerima identitas yang telahmenjadi kewajaran. Ketidaksetaraan inilah yang menyebabkan banyaknyaremaja pada akhirnya mengadopsi identitas sebagaimana

Page 79: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

78

direpresentasikan sinetron remaja. Lebih lanjut, Sunardian Wirodono (140)menyebutkan: “Anak-anak, remaja dan kaum ibu, ketiganya memilikihubungan yang rentan dan sensitif terhadap televisi. Apalagi jika haltersebut dikaitkan dengan daya perlawanan, ketiga kelompok ini relatiflebih rendah. Bukan berarti bahwa kelompok umur di luar itu tidakterpengaruh. Namun dalam konteks struktur masyarakat mayoritasIndonesia, penetrasi media televisi pada kelompok umur ini tidak sekerasuntuk ketiganya.”

Sinetron Remaja: Representasi Kepentingan Kelas DominanSempitnya ruang identifikasi di dalam sinetron remaja pada akhirnya

membuat sebuah keseragaman identitas yang secara kasat mata terlihatberagam, unik dan demokratis, tetapi secara substansi memiliki satukesamaan prinsip: mendukung kepentingan kelas dominan. Itulahmengapa saat ini, sinetron remaja dinilai memiliki ruang sempitindentifikasi dan keseragaman identitas karena memiliki satu kesamaanprinsip. Dengan kepentingan kelas dominan, identitas remaja secara tidaksadar diarahkan pada konsumerisme serta liberalisasi gaya hidup:kemewahan, kebahagiaan material, kebanggaan atas hal-hal artifisial.Remaja menjadi sempit layaknya lembaran uang, menjadi obsesif padahal-hal material.

Dengan sistem sosial yang cenderung kapitalistik saat ini, makaorientasi kelas dominan adalah untuk semakin mengukuhkannya.Menjadikan remaja sebagai makhluk konsumtif merupakan salah satujalan untuk mengukuhkan sistem sosial yang telah mapan di Indonesia.Marcel Danesi, seorang pakar komunikasi dari University of Torontomemiliki keresahan yang tidak jauh berbeda pada praktek televisi hariini, yang produk-produknya kerap merepresentasikan kepentingan kelasdominan di dalam masyarakat. Ia menulis: “Pada kenyataannya, tekstelevisi nyaris tidak bersifat inovatif atau memberikan ilham. Televisihanya membuat acara-acara yang memperkuat kecenderungan gaya hidupyang sudah mapan” (Danesi, 2010: 165). Sinetron remaja sebagai salahsatu teks televisi memiliki kecenderungan untuk memapankan gaya hidupkelas dominan di dalam sistem sosial saat ini.

Lebih lanjut, kelas dominan juga menerapkan mekanisme kontroldalam proses identifikasi, sehingga remaja akan sulit mengelak danmelawan arus, karena kontrol yang diciptakan berupa nilai-nilai yangwajar atau dengan kata lain, nilai yang “baik”. Dalam terminologi Pecheux,

Page 80: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

79

Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi

seorang pemikir yang meneruskan tradisi Althusser: identifikasi adalahmodel ‘subjek yang baik’, bagi yang perhatian pada citra yang diberikanpada mereka (Macdonnel, … 40). Pada titik ini, dengan berlandaskanargumen Pecheux, kelas dominan telah membuat kontrol deganmengatasnamakan nilai yang ‘baik’, atau sering disebut, wajar, lumrah.Secara struktural, dengan adanya nilai ‘baik’, maka akan beroposisi dengannilai ‘buruk’, yakni segala sesuatu yang tak wajar dan tak lumrah. Oposisibiner antara nilai ‘baik’ dan nilai ‘buruk’, akan memaksa remaja mengejarnilai ‘baik’ agar identitasnya sesuai dengan kewajaran.

Nilai ‘baik’ merupakan kepentingan kelas dominan untuk melakukankontrol dan melakukan penghakiman secara tidak langsung pada nilai‘buruk’. Sebagai contoh, dalam sinetron remaja kerap direpresentasikanremaja yang ‘baik’ adalah remaja yang sukses secara material, bekerja disebuah perusahaan swasta, berikut segala pernak-pernik kehidupannyayang kekinian. Di luar itu merupakan sebuah nilai ‘buruk’, identitas yangtidak kekinian. Remaja secara tidak sadar dikonstruksi pola pikirnyahingga mengikuti standar nilai ‘baik’, agar identitasnya di tengahmasyarakat diakui. Konstruksi pikiran merupakan hasil dari mekanismeideologi sebagaimana telah diuraikan di awal. Nilai-nilai ‘baik’ terusdireproduksi hingga saat ini, dan struktur masyarakat menjadikannyasebagai ‘hidup remaja yang wajar’. Bayangkan ketika seorang remajabercita-cita menjadi pekerja kasar, buruh tani atau kuli harian, maka struktursosial akan memberikan penghakiman sebagai nilai ‘buruk’ dan bukanidentitas remaja keknian yang layak atau wajar untuk ditiru, karenamemang sinetron remaja tidak pernah memberikan representasi identitasremaja yang kekinian sebagai petani, buruh, atau pekerja kasar. Itulah contohdari oposisi antara nilai ‘baik’ dan ‘buruk’ dalam wilayah identitas profesibagi remaja.

Mekanisme ideologi dalam struktur masyarakat yang mewujud dalamnilai ‘baik’ memang menjebak remaja pada lingkaran yang sulit ditemukancelah untuk mengelak atau melawan arus, karena ketika seseorang akanmelawan arus, berarti harus berhadapan dengan masyarakat, berikut‘norma’ dan ‘batas kewajarannya’. Struktur pada akhrirnya menjepit,menghakimi dan memaksa secara halus remaja yang sedang berada dalamfase pencarian identitas. Dalam konteks ini, Althusser mencatat: “Theindividual/subject demands that he be recognized as an individuality and a unity,as ‘a someone’. But ‘the one’ (the subject) must be recognized by the other. It

Page 81: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

80

seems that one has a psychosocial need to identify with ‘the other’ in order torecognize one self as existing.” (Matheron and Corpet,ed., 2006: 284).

Dalam pandangan Althusser, kontrol yang dilakukan oleh kelasdominan akan berjalan di alam bawah sadar remaja, karena setiap remajamembutuhkan identitas dan identitas tidak akan ada tanpa identitaspembanding maupun tanpa pengakuan dari remaja-remaja lain. Dengankebutuhan akan pengakuan secara sosial maka kontrol pasti akan berjalan,karena kontrol lahir dari penilaian satu identitas terhadap identitas lain.Lebih jauh, kontrol mampu mewujud dalam beragam bentuk; rasa malu,minder, dijauhi, dimusuhi, dan sebagainya. Remaja pada akhirnya akantakluk dihadapan kontrol yang berjalan dalam struktur sosial, karenaditeror oleh rasa malu atau minder jika tidak memiliki identitas sesuaidengan nilai ‘baik’.

Sinetron remaja memang memberikan ruang sempit bagi para remajauntuk melakukan identifikasi sebagai proses pembentukan identitasnya,tidak ada keberagaman identitas dalam sinetron remaja, semua menjadiseragam, menjadi pendukung struktur sosial yang menguntungkan kelasdominan saat ini. Tak hanya itu, reproduksi sebuah identitas yangdilakukan oleh sinetron remaja pada akhirya menciptakaan nilai “baik”dan menjadi kontrol, agar remaja patuh, seragam, tidak melawan arus.

Masa Depan Sinetron RemajaSudah saatnya sinetron remaja melakukan perubahan dan menjalankan

fungsinya sebagai media pembelajaran remaja sekaligus menjadi mediaidentifikasi yang luas, beragam dan demokratis, karena dengan kondisiseperti saat ini, remaja akan terus menjadi korban, terus kerdil danseragam. Remaja seharusnya memiliki banyak referensi identitas agarmampu berkembang dan menjadi identitas yang dinamis serta kritis.Dalam sistem sosial Indonesia, remaja menempati posisi startegis karenaperannya sebagai penerus tongkat kepemimpinan negeri ini, maka jikakeadaan seperti ini terus dibiarkan, remaja hanya akan terjebak menjadiagen-agen kelas dominan untuk terus melakukan reproduksi kemapanan.

Production house, stasiun televisi dan produser sinetron remajaseharusnya menjadikan moral sebagai orientasi, bukan hanya orientasimateri, karena jika hanya materi yang dijadikan orientasi, hasilnya akanselalu seperti ini, tragis. Moral dibutuhkan untuk menjadi penyeimbang,menjadi tanggung jawab. Dengan adanya perubahan orientasi diharapkansinetron remaja mampu berbenah, mampu menjadi ladang subur referensi

Page 82: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

81

Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi

identitas, dan terdapat keberagaman identifikasi bagi remaja di dalamnya.Memang tidak sedikit waktu yang dibutuhkan untuk berbenah diri, tetapijika tidak dimulai dengan langkah kecil saat ini, maka keadaan tidak akansedikitpun berubah, remaja akan selalu mengidap krisis identitas, akanmenjadi individu yang tidak pernah kenyang mengkonsumsi.***

Daftar PustakaAlthusser, Louis. 2006. Tentang Ideologi; Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural

Studies. Jalasutra, Yogyakarta.Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Jalasutra, Yogyakarta.Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengatar Analisis Teks Media. LKIS, Yogyakarta.Gunarsa, Singgih D.. 2008. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. BPK Gunung

Mulia, Jakarta.Harian Suara Merdeka, edisi 20 Juni 2008.Maalouf, Amin. 2004. In The Name Of Identity. Resist Book, Yogyakarta.MacDonnel, Diane. 2005. Teori-Teori Diskursus. Penerbut Teraju, Jakarta.Matheron, Francois and Oliver Corpet (ed.). 2006. Philosophy of the Encounter Later

Writing 1978-1987 Louis Althusser. Verso, New York.Panjaitan, Erica L. dan TM. Dhani Iqbal. 2006. Matinya Rating Televisi. Yayasan

Obor Indonesia, Jakarta.Sarup, Madan. 2007. Posstrukturalisme dan Posmodernisme; Sebuah Pengantar Kritis.

Penerbit Jendela, Yogyakarta.Sunarto. 2009. Televisi, Kekerasan dan Perempuan. Peerbit Buku Kompas, Jakarta.Widiastuti, Tuti. Menggagas Komunikasi Antra Budaya Dalam Keragaman. Jurnal

Komunika, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Vol.8 No.2, 2005.Wirodono, Sunardian. 2005. Matikan TV-Mu. Resist Book, Yogyakarta.

Catatan1 Strukturalisme merupakan salah satu aliran pemikiran yang muncul sebagai

reaksi dan kritik terhadap perkembangan Marxisme—Leninisme, sertahumanisme—Sartre kala itu. Strukturalisme memiliki pandangan bahwa dalamsetiap aspek kehidupan, pikiran dan tindakan kita sebenarnya diatur olehstruktur dalam (deep structure) yang biasanya tidak kita sadari. Struktur-strukturdalam yang tidak kita sadari itu dapat digunakan untuk mempelajari aspek-aspek kehidupan manusia. Strukturalisme menjelaskan dari segi eksistensidan interaksi struktur yang mendasarinya, yakni sebagai ganti dari agensi,cara berfikir dan memutuskan manusia. Paham strukturalisme memandangmakna suatu unsur/elemen, tidak ditentukan oleh substansinya tetapi olehrelasi dengan beberapa unsur dalam struktur, sehingga strukturalisme lebihmengutamakan struktur dari pada subyek. (Lihat: MacDonnel. 2005: 1-7.Pembahasan lebih lanjut, lihat: Sarup. 2007: xvii-xxiii).

Page 83: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

82

Televisi sebagai bagian dari kebudayaan audiovisual baru merupakanmedium yang paling kuat pengaruhnya dalam membentuk sikap dankepribadian masyarakat. Hal ini disebabkan pesatnya perkembanganjaringan televisi yang menjangkau masyarakat hingga ke wilayah terpencil.Sajian dalam bahasa audiovisual lebih mudah diingat daripada apa yangditulis dan dibaca. Penggunaan bahasa verbal dan visual, sekaligus dalamrangka menyampaikan sesuatu seperti pesan, informasi, pengajaran, ilmu,dan hiburan (Wibowo, 1997). Televisi merupakan media multidimensikarena televisi dibangun dari adanya konsolidasi kepemilikan, perpaduanteknologi, dari visual dan audio, serta programnya merupakanpenysusunan bersama (King dan Russel, 2009: 323).

Televisi memercikkan rasa ingin tahu pada anak-anak dan membukamata mereka terhadap dunia-dunia yang jauh. Dengan melihat tayangandi televisi, anak-anak dapat berimajinasi tentang apa yang mereka lihatseperti istana, pangeran berkuda, bahkan sampai superhero yangmenyelamatkan dunia dengan tenaga supernya, yang tangannyamengelurkan api dan mempunyai kekuatan ajaib untuk menumpasmusuh. Dengan menonton secara selektif, televisi bisa memberikansumbangan besar bagi kesiapan untuk sekolah.

Tidak mengherankan televisi memiliki daya tarik yang luar biasaapabila sajian program dapat menyesuaikan dengan karakter televisi danmanusia yang terpengaruh oleh televisi (Wibowo, 1997). Apalagi bagianak-anak, televisi sangat mereka gemari. Setiap ada waktu, anak-anakmenghabiskan waktu untuk menonton televisi, apalagi progran acara yangsangat mereka senangi, mereka akan menyempatkan diri untukmenontonnya, terkadang sampai menunda jam belajar karena hanya inginmenonton acara kesukaan dan tokoh idolanya. Daya tarik yang kuat daritelevisi ini dikarenakan televisi merupakan gabungan dari gambar, warna,

Mana Acara Televisi untuk Anak?

Astrid Risky Amelia dan Paskalia Pramita NareswariMahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Page 84: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

83

Mana Acara Televisi untuk Anak?

suara, dan gerak, sehingga mampu menyihir penggunanya. Televisi siapsedia selama 24 jam, sehingga orang-orang tidak perlu khawatir ketikamereka belum bisa tidur di tengah malam (King dan Russel, 2009: 327).

Pentingnya Peran Orang TuaAnak-anak dan televisi adalah perpaduan yang sangat kuat. Anak-

anak senang sekali menonton televisi, bahkan untuk belajar pun ditundahanya untuk menonton acara kegemarannya. Tak banyak hal lain dalamkebudayaan kita yang mampu menandingi kemampuan televisi yang luarbiasa menyentuh anak-anak dan mempengaruhi cara berpikir sertaperilaku mereka. Selama anak-anak menonton televisi pasti ada tokohyang mereka idolakan dan itu menjadi salah satu ‘patokan’ dalamberperilaku seperti gaya bicara dan penampilan. Lebih dari 25 tahun,hampir tiap orang dalam bisnis televisi komersial masih saja memikirkancara mengeruk keuntungan dari anak-anak (Chen, 1996).

Televisi bisa membantu anak-anak mendapatkan pengetahuan atauwawasan yang luas, karena di sekolah tidak cukup untuk mendapatkanpengetahuan. Jam belajar di sekolah terbatas. Pengetahuan bisa didapatdari bimbingan belajar. Namun, anak-anak tidak terlalu tertarik mengikutibimbingan belajar. Mereka lebih memilih bermain atau menonton televisi.

Televisi bisa membantu anak-anak memahami hak-hak dan kewajiban,tetapi televisi tidak akan berhasil melayani anak-anak tanpa keterlibatanorang tua. Oleh sebab itu peran orang tua sangat penting untukmendampingi anak-anak saat menonton. Banyak program televisi yangditayangkan untuk anak-anak, tetapi tidak semua program televisi pantasditonton dan terdapat pengetahuan yang seharusnya ditujukan pada anak-anak. Daya tangkap anak-anak begitu cepat dan anak-anak mudah untukmengingat apa yang mereka lihat dan mereka akan menirukannya.Menonton televisi adalah kegiatan khusus. Program-program harusdiseleksi. Setiap kegiatan menonton televisi harus ada akhirnya.Maksudnya adalah setiap anak-anak setelah menonton televisi, merekamendapatkan pengetahuan yang mereka pantas terima dan terdapat pesanmoral (Chen, 1996).

Program Televisi untuk Anak-anak Masa LaluDahulu orang yang memiliki televisi masih jarang. Satu-satunya stasiun

televisi adalah TVRI. TVRI sangat terkenal dan banyak menayangkan acarayang berbau anak-anak, seperti lagu anak-anak, lagu daerah, kuis untukanak-anak. Saat itu sinetron sangat jarang bahkan tidak ada. Dahulu anak-

Page 85: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

84

anak tidak mengerti tentang pergaulan yang sangat luas seperti sekarang.Tayangannya banyak dikhususkan pada anak-anak agar mereka mendapatbekal yang cukup dan memiliki pengetahuan luas.

Ada pilihan program yang cukup memadai, yang bisa digunakan orangtua untuk menunjang kegiatan belajar anak melalui saluran televisi terbukamaupun televisi kabel. Salah satu hambatan utama orang tua adalah usahamemperoleh informasi mengenai bahan-bahan apa saja yang tersedia,kapan bahan-bahan itu tersedia, dan bahan-bahan apa yang terkait dengananak, sehingga anak-anak mendapatkan ilmu yang luas, karena televisiadalah salah satu media yang mendukung anak untuk mendapatkanpengetahuan yang layak.

Anak merupakan kelompok pemirsa yang paling rawan terhadapdampak negatif siaran televisi. Pada 2002, jumlah jam menonton TV padaanak di Indonesia sekitar 30-35 jam/minggu atau 1.560-1.820 jam/tahun.Angka ini jauh lebih besar dibanding jam belajar di sekolah dasar yangtidak sampai 1.000 jam/tahun. Tidak semua acara TV aman untuk anak.Bahkan, KIDIA mencatat, pada 2004 acara untuk anak yang aman hanya15 persen. Oleh karena itu harus betul-betul diseleksi. Saat ini jumlah acaraTV untuk anak usia prasekolah dan sekolah dasar perminggu sekitar 80judul ditayangkan dalam 300 kali penayangan selama 170 jam. Padahaldalam seminggu ada 24 jam x 7 = 168 jam! Jadi, selain sudah sangatberlebihan, acara untuk anak juga banyak yang tidak aman.

Acara TV bisa dikelompokkan dalam tiga kategori: aman, hati-hati,dan tidak aman untuk anak. Acara yang aman adalah acara yang tidakbanyak mengandung adegan kekerasan, seks, dan mistis. Acara ini amankarena kekuatan ceritanya yang sederhana dan mudah dipahami. Anak-anak boleh menonton tanpa didampingi. Acara yang hati-hati adalah acarayang isinya mengandung kekerasan, seks dan mistis, namun tidakberlebihan. Tema cerita dan jalan cerita mungkin agak kurang cocok untukanak usia SD sehingga harus didampingi ketika menonton. Acara yangtidak aman adalah acara yang isinya banyak mengandung adegankekerasan, seks, dan mistis yang berlebihan dan terbuka. Daya tarik yangutama ada pada adegan-adegan tersebut. Sebaiknya anak-anak tidakmenonton acara ini, jika anak mau nenonton televisi setidaknyadidampingi orang tua (www.suaramedia.com, 6/5/2010).

Beberapa acara yang ditayangkan di TVRI dikhususkan pada tayanganuntuk anak-anak, antara lain: Voyage from the Bottom of the Sea (filmmonster), Time Tunnel (lorong waktu), Land of the Giant (terdampar di

Page 86: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

85

Mana Acara Televisi untuk Anak?

planet raksasa), Little House on the Prairi (Laura Ingals, Mary dan anjinggondrongnya), Highway to Heaven, Battle Star Galactica (film ruang angkasayang popular pada jamannya), Bring ‘Em Back Alive (mirip Indiana Jones),Rintintin (untuk anak TK/SD) (9), The Iron Horse (Film cowboy tentangkereta api).

Selain itu, ada program tentang budaya, seperti Taman Bhineka TunggalIka dan program pendidikan seperti Cerdas Cermat (pengetahuan untukanak-anak dan ini terkait dengan pelajaran di sekolah) dan Hasta KaryaElektronika. Jadi ada beberapa program TVRI yang lebih diarahkan untukanak-anak, membantu anak-anak untuk mendapatkan apa yang inginmereka tahu dan penambah pengetahuan mereka. Jaman dahulu, TVRIadalah stasiun televisi banyak menyajikan acara untuk anak-anak.Beberapa acara kebanggaan lainnya yang ditayangkan di TVRI, sepertiAneka Ria Safari, Film Boneka Si Unyil, Film Cerita Akhir Pekan, SelektaPop, dan Ria Jenaka. Acara-acara tersebut merupakan acara kesayanganyang selalu di tunggu-tunggu jaman TVRI dulu.

Kehebatan TelevisiTelevisi adalah media yang paling lengkap bagi kebutuhan masyarakat.

Televisi menyajikan audio, visual, bahkan televisi dapat menjangkau jarakyang jauh. Media massa, khususnya televisi, telah membawa manusiamemasuki era globalisasi. Tidak ada lagi batasan-batasan atau sekat diantara manusia di seluruh dunia. Meskipun peran televisi hampirtergantikan oleh internet, namun pamornya tidak pernah turun.Kepemilikan televisi semakin luas. Orang-orang golongan rendah punsekarang memiliki televisi. Apabila tidak ada televisi, orang merasa adayang kurang dalam hidupnya. Televisi seakan sudah menjadi kebutuhanpokok selain sandang dan papan.

Pengaruh televisi sangat besar diterima oleh anak-anak. Faktor yangmempengaruhi, salah satunya, adalah pola pikir anak yang sederhanadan labil. Televisi memberi pengaruh pada emosi atau perasaan seseorang.Ketika orang menonton televisi, emosi mereka akan terlibat. Pembentukankepribadian seseorang akan berjalan secara sistematis dan terpola. Dimulaidari lingkungan terdekat, hingga akhirnya anak siap untuk belajar di luaryang lebih luas. Karena itu bimbingan orang terdekat, keluarga, terutamaorang tua adalah faktor penentu pembentukan kepribadian seseorang.

Kenyataannya, pembelajaran yang didapat anak bisa diperoleh daritelevisi. Mereka belajar banyak mengenai dunia di luar rumah mereka

Page 87: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

86

sendiri dan mudah didapatnya tanpa harus keluar rumah. Televisimenjadi ‘teman bermain’ anak di rumah. Mereka tahan berlama-lama didepan televisi hanya untuk menonton acara kesukaannya. Melalui caraitulah, televisi memasuki alam bawah sadar seseorang untuk setiamenontonya. Ini yang harus menjadi perhatian orang tua. Mereka harusbisa memilah-milah apa tontonan yang tepat untuk perkembangan anak.

Program televisi saat ini memang beragam. Bahkan kita bingung harusmenonton yang mana ketika beberapa acara menarik ditampilkan padajam tayang yang sama. Kita akan betah di depan televisi ketika kita merasakebutuhan informasi dan hiburan telah terpenuhi. Masalah yang sedangdihadapi sekarang adalah bagaimana dampak program televisi terhadapperkembangan anak. Banyak orang tua mulai khawatir terhadapperkembangan psikologis dan intelektual anak mereka. Pelajaran sekolahsoeralah kalah dengan televisi.

Program acaranya semakin memprihatinkan banyak pihak. Menurutpenelitian Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), persentaseprogram televisi yang ditujukan untuk anak-anak relatif kecil, hanyasekitar 2,7-4,5 persen dari seluruh acara yang ada. Angka ini sungguhmemprihatinkan karena kecukupan kebutuhan anak akan acara anak yangberkualitas sangat kurang (Anshori, 2006). Penelitian itu juga menemukanjumlah persentase acara anak tersebut memiliki materi acara yangmengkhawatirkan bagi perkembangan anak. Melihat fakta ini, bagaimanadengan hak asasi manusia untuk anak untuk bisa mendapatkanpengetahuan yang layak bagi perkembangan mereka? Jumlah anakIndonesia sangat besar, namun acara yang ditampilkan sangat sedikit.

Kita tahu seperti apa acara televisi saat ini, mulai dari humor, berita,dan pengetahuan. Banyak orang mengatakan program televisi semakintidak berkualitas. Niat ingin menghibur tidak selamanya memberitontonan yang layak. Contohnya acara Opera Van Java. Acara ini memilikirating tinggi karena dinilai lucu dan banyak yang terhibur dengan lawakanyang diberikan. Bahkan acara yang meniru konsep ini pun banyak. Namuntidak sedikit orang mengecam acara ini terutama karena humor yangdisertai kekerasan. Meski menerima kritik banyak pihak, tidak membuatkonsep acaranya berubah. Pihak pembuat acara hanya menambahkantulisan pada tampilan televisi bahwa properti yang digunakan tidakberbahaya. Muncul pendapat bahwa unsur lucunya berada pada aksiwayang yang mengalami kekerasan. Ini hanya salah satu contoh programtelevisi yang masih harus ditinjau ulang.

Page 88: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

87

Mana Acara Televisi untuk Anak?

Faktanya, program televisi baik hiburan, berita, atau program lainnyadibuat sesuai dengan kebutuhan orang dewasa. Para pengelola kurangmemperhatikan kebutuhan anak. Orang dewasa telah memiliki pikiranyang matang. Ketika mereka disuguhi hiburan yang mengandungkekerasan, mereka bisa menerima dengan akal sehat. Namun, pikiranorang dewasa berbeda dengan anak. Anak melihat orang dewasa tertawadan senang melihat adegan kekerasan jenaka itu, maka anak pun akanikut berpikir bahwa itu memang sah dilakukan. Ini yang berbahaya.Karena itu, bimbingan orang tua sangat dibutuhkan untuk menemani anakketika mereka menggunakan fasilitas televisi.

Beberapa contoh dampak kekerasan televisi pada anak-anak adalahkekerasan terhadap teman-temannya menirukan adegan Smack Down yangdiadopsi dari reality show Amerika. Acara kekerasan ini ditayangkansebelum masuk jam malam sehingga anak-anak bisa menonton. Bahkanpakaian bergambar Smack Down laris terjual di pasaran. Memang, tindakanseperti itu tidak dapat disalahkan sepenuhnya kepada pengaruh televisi.Anak yang sering melakukan kekerasan biasanya memiliki tingkat emosidan agresivitas yang tinggi.

Contoh lainnya, adalah gaya atau penampilan anak-anak hingga remajamasa kini. Jakarta yang selalu ditampilkan sebagai kota surga Indonesiaberhasil membius anak-anak dari berbagai pelosok mengikuti gaya paraartis. Band musik orang-orang dewasa, seperti Wali Band, Hijau Daun,Kangen Band menjadi idola baru bagi anak-anak. Padahal isi lirik lagu-lagu mereka tidak sesuai bagi anak-anak. Hal-hal seperti ini yang harusmenjadi perhatian semua pihak.

Anak-anak memiliki hak untuk mendapatkan program televisi yangsesuai usia mereka. Penentu kualitas berpikir anak Indonesia adalah kita,orang dewasa yang memproduksi program-program televisi. Sesuaikankebutuhan mereka dan beri ruang belajar yang besar untuk mereka.Semuanya membutuhkan informasi dan pengetahuan, namun alangkahlebih baiknya generasi penerus diberi ruang luas juga untukmendapatkannya.

Acara Televisi: Dulu dan SekarangPada masa kejayaan TVRI, tidak sembarang acara dapat tampil di sana.

Pemerintah berwenang memilah program apa yang cocok untuk TVIndonesia. Alasan inilah yang membuat TVRI memberikan sajian yangcukup baik, terutama hak anak Indonesia dalam menikmati televisi. Semua

Page 89: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

88

tingkat usia mendapatkan haknya untuk memperoleh informasi daritelevisi. Beberapa acara televisi yang pernah jaya di TVRI antara lain:Album Minggu Ini, Kethoprak, Flora Fauna, Belajar Menggambar, danlain-lain.

Bila dibandingkan dengan program televisi sekarang ini, sangat jauhperbandingannya. Berbagai acara luar negeri diadopsi dan isinya selaluberbicara tentang uang. Industri televisi hebat dalam mengerukkeuntungan dari penonton. Sayangnya masyarakat menikmati kapitalismeini. Membuat reality show yang mengharuskan penonton mengeluarkanuang. Misalnya, agar penyanyi idolanya menang, mereka harus memberisuara melalui SMS dukungan. Bayangkan saja, apabila satu SMS sehargaRp. 2000,00, dan jumlah masyarakat Indonesia yang mengikuti kuis itumencapai 800.000 jiwa, sudah bisa didapatkan 1,6 milyar rupiah dalamsemalam.

Sekarang ini hampir semua stasiun televisi di Indonesia menampilkansinetron, reality show, infotainment, berita kriminalitas, dan iklan. Bahkanuntuk berita kriminalitas, setiap stasiun televisi punya. Stasiun televisiyang sangat gemar menampilkan sinetron adalah RCTI, SCTV, danIndosiar. Sinetronnya pun tergolong sinetron yang tidak mendidik. BahkanTPI pun mulai sering menampilkan sinetron dengan efek-efek visual yangtidak masuk akal. Pembuatan sinetron yang berlandaskan agama tertentujuga harus hati-hati. Niat awal untuk memberi ajaran yang baik, namunpengemasannya malah menjadi tidak masuk akal dan tidak dapat diterimasebagai pendidikan. Bila sudah seperti ini anak-anak yang menjadi korban.

Anak-anak adalah sasaran empuk untuk dicekoki dengan sinetron danreality show. Tidak hanya anak-anak, tetapi remaja juga menjadi konsumensejati acara-acara seperti ini. Keahlian menampilkan reality show senaturalmungkin yang membuat orang tertegun dan tidak sadar bahwa ceritanyabelum tentu sesuai kisah nyatanya. Bukannya memberi tayangan yangdapat menjadi informasi pengetahuan, tetapi justru masyarakat Indonesiadibodohi oleh acara-acara televisi semacam itu.

Salah satu keprihatinan yang dapat dirasakan adalah saat harikemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2010. Pagi hingga siang, hampirseluruh stasiun televisi menampilkan prosesi upacara bendera, namunsalah satu stasiun swasta (Indosiar) menayangkan sinetron berjudul HippoSi Kuda Air Raksasa, sebuah sinetron dengan efek visual dan jalan ceritayang tidak masuk akal dan kurang mendidik. Seharusnya anak-anakdiajari dan disuguhi tontonan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme,

Page 90: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

89

Mana Acara Televisi untuk Anak?

tetapi justru disuguhi oleh sinetron seperti itu.Industri iklan pun semakin berkembang. Namun iklan di televisi pun

banyak yang menyesatkan, mengumbar mimpi, membuat orang terpukau,dan menjadkan ornag konsumtif. Ketika televisi swasta belumbermunculan, belum ada yang menggunakan iklan di televisi. TVRI puntidak menampilkan iklan. Namun sekarang jumlah iklan dalam sekalijeda bisa mencapai 30 iklan. Contohnya, sinetron Cinta Fitri. Jumlah iklanyang tayang ketika jeda mencapai 25 hingga 32 iklan. Angka yang cukupbesar, ditambah lagi penayangannya tidak hanya sekali, tetapi berulangkali.

Sinetron-sinetron menampilkan setting tempat mewah, pemeran yangcantik dan tampan, pakaian yang bagus, make up yang fotogenik,menggunakan kendaraan mewah, tempat makan mahal, peran jahat, iri,penentang, kekerasan, kecurangan, pornografi, dan lain-lain. Bahkan anak-anak memerankan peran jahat di dalamnya. Tayangan seperti ini yangbisa menumbuhkan sikap konsumerisme dan agresivitas, terutama padaanak dan remaja. Iklan-iklan komersil juga menumbuhkan sikap keinginanyang tinggi dalam diri anak untuk bisa memiliki barang yang diiklankan.

Infotainment yang sekarang sedang dalam pembicaraan pun punyapengaruh besar. Kehidupan selebritis dibongkar sehingga seluruhIndonesia tahu. Hingga cerita perselingkuhan selebriti, seperti Krisdayantidan Raul Lemos yang kemarin mendapat protes keras dari masyarakatIndonesia karena adegan tak pantas mereka di depan kamera. Beritaseperti ini tidak tepat apabila anak-anak menonton. Menggambarkanbagaimana kelakuan orang tuanya yang berselingkuh, bisa membentukkepribadian anak menjadi takut ataupun was-was dengan orang tuamereka sendiri.

Reality show semakin hari semakin kaya dengan mengeruk uangpemirsa yang mengikuti kuisnya, hingga kuis judi seperti Super Deal 2Milyar yang menampilkan penghamburan uang untuk orang-orang yangsudah mampu, sedangkan rakyat miskin hanya bisa melongo dan terpukaudengan uang-uang itu. Pada akhirnya mereka melakukan berbagai carauntuk mendapatkan uang banyak dengan mudah.

Bagaimana dengan anak-anak yang masih labil dan memilikikecenderungan meniru? Anak-anak menganggap apa yang dilakukanorang dewasa adalah tindakan yang benar. Akibatnya mereka akanmengikuti tindakan, sikap, hingga bahasa yang digunakan. Sinetron yangsering mengeluarkan kata hinaan kasar bisa memicu anak ikut

Page 91: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

90

mengucapkannya dalam pergaulan sehari-hari. Kalau sudah seperti iniyang repot lagi adalah orang tua. Mereka harus gencar menghentikanpengaruh-pengaruh seperti ini.

Perkembangan dunia pertelevisian memungkinkan acara-acara luarnegeri diadopsi di televisi nasional. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)harus ekstra ketat menyeleksi dan mengontrol tayangan televisi Indonesia.Sebenarnya televisi mampu menjangkau audiens tertentu. Televisimengandung variasi komposisi bagi audiennya, mulai dari isi program,waktu siaran, dan cakupan geografis siarannya (Morissan, 2007:187).Maka, seharusnya televisi dapat memenuhi semua golongan audiennya,tidak menguasai beberapa golongan saja.

Perkembangan anak, terutama pada usia sekolah dasar dan sekolahmenengah pertama, masih harus dibimbing. Mereka tergantung pada apayang ada di sekitar mereka. Jangan jadikan televisi menjadi musuh besartetapi jadikan televisi sebagai teman yang positif. Namun tidak seluruhnyaacara televisi nasional Indonesia merugikan. Masih ada orang yang pedulipada tontonan yang layak dan berkualitas. Misalnya Trans7 menayangkanacara untuk anak-anak seperti Si Bolang, Koki Cilik, Laptop si Unyil, AyoMenyanyi, atau acara pengetahuan yang dapat dikonsumsi oleh semuausia adalah Asal Usul.

Di TVRI dulu ada acara belajar menggambar yang dibawakan olehPak Tino Sidin. Anak-anak diberi kesempatan mengirimkan hasil gambarmereka. Ada pula acara Home Stay yang isinya pengetahuan kata-katabahasa Inggris untuk anak-anak dengan ditampilkan anak bule sebagaipengisi acaranya. Tayangan-tayangan seperti ini sebenarnya dapat menjadikonsumsi semua umur. Orang dewasa pun banyak yang menyukai acara-acara seperti ini. Sebenarnya acara anak-anak pun bisa dikonsumsi orangdewasa. Namun acara orang dewasa belum tentu layak dikonsumsi untukanak-anak. Keadaan ini seharusnya menyadarkan orang dewasa yangmemproduksi program acara televisi untuk memikirkan juga kebutuhananak Indonesia akan pengetahuan, informasi, dan hiburan yang tepat usia.Ini salah satu harapan besar semua pemerhati anak.

Program Televisi Anak: Sebuah HarapanPerkembangan komunikasi di zaman modern ini seharusnya lebih teliti

dan cermat. Tidak ada batas dan sekat bukan berarti semua tayangan layakditampilkan. Kebebasan berkreasi tidak dibatasi, namun tetap harus sesuainorma dan aturan yang berlaku. Semakin modern maka tantangan dunia

Page 92: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

91

Mana Acara Televisi untuk Anak?

semakin berat. Terutama tantangan orang tua zaman sekarang untuklebih berhati-hati mendidik anak. Mendidik tidak hanya diceramahisetiap hari, tetapi bisa melalui media-media pendukung seperti televisi,radio, ataupun koran. Namun, tetap ada batasan apa yang boleh dantidak boleh dikonsumsi oleh anak-anak mereka.

Televisi anak bisa diartikan sebagai usaha untuk kembali memberikanruang kepada anak-anak Indonesia untuk bisa mendapatkan apa yangdibutuhkan oleh mereka melalui media massa seperti televisi. Merekaberhak mendapatkan dukungan dari pihak yang lebih dewasa untukmembantu perkembangan pola pikir dan perilaku mereka. Pertelevisianyang modern, namun memberi keuntungan bagi semua pihak rasanyaakan lebih berguna dan bermakna. Pembimbingan paling besar sekarangini adalah pembimbingan bagi anak. Kalau tidak dibimbing sejak dini,akibat lanjutannya adalah saat mereka dewasa. Pengajaran untuk merekatidak hanya didapat dari sekolah dan lingkungan hidup, namun apa yangmereka lihat, baca, dan dengar menjadi pelajaran juga.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh pemerhati pertelevisian,ditemukan adanya peningkatan jumlah anak yang menonton televisi. Rata-rata anak yang menonton program televisi pada usia sekolah dasarmencapai 4-5 jam perhari pada hari biasa. Sedangkan untuk hari mingguatau hari libur mencapai 7-8 jam perhari. Bila dihitung keseluruhan anakmenghabiskan waktu menonton televisi sekitar 30-35 jam perminggu atau120-140 jam perbulan. Begitu baik apabila angka-angka itu digunakanuntuk menonton program televisi yang sesuai dengan usia mereka.Namun, sayangnya acara anak di televisi tidak mencapai jam tayangseperti di atas. Apabila acara anak hanya 1 jam dari jumlah waktu anakmenonton, maka 3-4 jam lainnya digunakan untuk menonton acara lain(acara dewasa, berita kriminalitas, infotainment, reality show, dan lain-lain.

Kepedulian untuk memberikan tayangan sehat dan mendidik padaanak menjadi harapan semua orang tua dan pemerhati anak. Paling tidakmereka mendapatkan pengetahuan yang tidak mereka dapatkan disekolah melalui media yang mereka konsumsi setiap hari karena belajarbisa didapat di mana saja selain di sekolah. Banyak yang dapat dilakukanuntuk memenuhi kebutuhan informasi pada anak, salah satunya membuatprogram acara televisi yang berorientasi anak-anak. Berisi pengetahuanyang berguna untuk anak, namun juga dapat dinikmati oleh siapa pun.Jumlah anak-anak di Indonesia tidak kalah banyak dibandingkan orangdewasa. Seharusnya para pengusaha industri televisi dan pembuat acara

Page 93: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

92

tidak perlu khawatir kehilangan pamor dan rating tinggi. Apabilaacaranya bisa berguna bagi semua orang terutama anak-anak, makamereka tidak akan kehilangan penonton.

Pemenuhan dan pemberian hak mendapatkan informasi untuk anakini bisa dilakukan dengan memberi jam tayang yang lebih banyak danpanjang untuk acara anak. Yang selama ini memiliki durasi hanya setengahjam, dapat ditambahkan menjadi satu jam. Alternatif lain adalah mengajaksemua pemilik stasiun televisi dan perusahaan yang memproduksi acaratelevisi untuk mulai memproduksi acara anak. Semakin banyak acaraanak, maka pilihan anak akan tontonan yang cocok untuk mereka jugasemakin banyak. Selama ini banyak anak yang menonton acara dewasayang tidak sesuai umur karena mereka tidak memiliki pilihan tontonan.

Biarkan acara seperti Laptop Si Unyil, Si Bolang, Ayo Menyanyi, AsalUsul, dan lain-lain bisa tetap bertahan. Belajar Indonesia yang ditayangkandi TransTV seharusnya menyadarkan kita sebagai warga negara Indonesiauntuk lebih peka dan bersedia belajar dan mengenal kebudayaan dalamnegeri sendiri yang begitu banyak. Kalau orang luar negeri saja mau danbangga belajar Indonesia, seharusnya orang Indonesia lebih antusias darimereka. Acara ini memberi pengetahuan kepada penonton mengenaikesenian dan kebiasaan adat istiadat suatu daerah di Indonesia.

Program kartun memang bagus untuk mengembangkan kemampuanimajinasi anak. Namun, kartun pun memiliki tingkatan sasarannya. Adabeberapa kartun dewasa seperti Crayon Sinchan dan Spongebob Square Pants,sayangnya kedua kartun ini sangat digemari oleh anak-anak. Asalkan adapembimbingan dari orang tua, maka kedua acara ini dapat diterimasebagai hiburan. Contoh kartun mendidik adalah Upin dan Ipin, Dora theExplorer, Go Diego Go, Barnie, dan lain-lain cocok untuk ditayangkan ditelevisi. Namun, penghargaan besar akan diberikan dari anak-anakIndonesia apabila Indonesia sendiri dapat membuat film kartun mendidikbagi mereka.

Stasiun televisi khusus anak sudah mulai dibuat oleh salah satu stasiunlokal Banten, yaitu Spacetoon. Stasiun televisi ini berisi semua acara anak,mulai dari kartun, lagu-lagu anak, pengetahuan-pengetahuan umum,kompetisi-kompetisi bakat, seperti lomba menyanyi, menggambar, danpelajaran. Lagu anak-anak yang semakin terkikis perlu dihidupkankembali. Penyanyi cilik seperti Umay dan Amel sudah mulai mengepakkansayap mereka di dunia musik anak. Kita juga jangan lupa dengan paraanak bangsa yang telah berkompetisi di ajang Idola Cilik yang telah

Page 94: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

93

Mana Acara Televisi untuk Anak?

diadakan hingga empat musim. Mereka yang telah berhasil menjadipenyanyi cilik Indonesia harus tetap dikembangkan agar dapat membantumengangkat popularitas lagu anak kembali. Diharapkan anak lebih senangdengan lagu anak, yang dulu pernah populer oleh penyanyi anak yangsekarang telah dewasa, seperti Bondan Prakoso, Eno Lerian, AgnesMonica, dan lain-lain.

Acara kuis yang berkonsep kompetisi pelajaran sekolah juga baikdilakukan. Dengan melihat teman-teman yang berprestasi, maka anak-anak yang menonton pun akan termotivasi untuk memiliki kemampuanyang sama dengan teman-teman yang berkompetisi di televisi. Juga, acarayang di dalamnya mengajarkan mata pelajaran, seperti acara BINAR(Bahasa Indonesia yang Benar) yang pernah ditayangkan oleh TVRI dandibawakan oleh Susan Bachtiar. Di sana diajarkan ejaan yang disempurkanyang menjadi dasar memahami Bahasa Indonesia dengan baik dan benardalam menulis maupun berbicara. Atau acara yang memberi pengajaranmatematika. Acara ini membantu anak-anak sekolah yang kurang pahamdengan matematika. Namun bukan berarti sekolah berpindah ke televisi.Acara-acara seperti itu membantu anak-anak untuk sadar bahwa merekaperlu belajar dengan baik. Acara seperti ini dapat membantu kesulitananak-anak dengan tampilan yang lebih menarik. Mereka juga bisaberbincang langsung dengan pengajar dalam acara tersebut untukbertanya kesulitan yang anak-anak hadapi. Kuis dapat dibuat secarabertingkat, mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA. Isi kuisnya adalah pelajaran-pelajaran yang telah mereka terima agar mereka dapat mengingat kembaliyang telah dipelajari. Bahkan mereka bisa mendapatkan pengetahuan lainyang belum didapat.

Sinetron dapat dibuat dengan konsep yang berbeda, lebih umum atautidak memihak pada satu ajaran agama, mematuhi norma dan aturan yangada, dan memiliki nilai moral yang mendidik. Sehingga kebaikan dapatditerima oleh anak, bukan kebohongan dan sajian kemewahan yangmembuat mereka materialistis. Sinetron yang menceritakan perjuanganseorang anak untuk mencapai sesuatu, tentunya dengan cara yang benardan halal, bisa diproduksi. TVRI pernah menayangkan sinetron Aku CintaIndonesia, Jendela Rumah Kita, sinetron untuk anak yaitu Cerita untuk Anak,serta sinetron Sangaji tentang seorang anak cerdas berkacamata miriptokoh Harry Potter.

Sebenarnya masih banyak cara yang dapat dilakukan untuk membuattelevisi anak yang mendidik sekaligus menghibur. Perkembangan anak-

Page 95: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

94

anak Indonesia harus menjadi yang utama juga. Apabila anak-anakIndonesia berkualitas, maka Indonesia pun akan berkualitas seperti putra-putri bangsanya. Sebutan Televisi Anak berarti berikan hak anak untukmemperoleh tontonan yang baik dan berguna bagi anak.

Daftar PustakaAnshori, Bahron (13/12/2006). Pengaruh Buruk TV Terhadap Anakhttp://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&jd=Pengaruh-Buruk-TV-

Terhadap-Anak&dn=20061124211425, tanggal akses 30 Agustus, 10.15.Berita SuaraMedia, (06/05/2010). Hati-Hati, Sering Nonton TV Bikin Anak Semakin

Bodoh, http://www.suaramedia.com/gaya-hidup/anak/21488-hati-hati-sering-nonton-tv-bikin-anak-semakin-bodoh.html, tanggal akses 27 Agustus, 13.30.

Chen, Milton. 1996. Anak-anak dan Televisi. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.King, Whitehill dan J. Thomas Russell. 2009. Prosedur Periklanan. Kleppner’s Edition

ke-17. Jilid 1. Indeks: Jakarta.Morissan. 2007. Periklanan dan Komunikasi Pemasaran Terpadu.Morissan. 2007. Periklanan dan Komunikasi Pemasaran Terpadu. Ramdina Prakarsa:

Tangerang.Wibowo, Fred. 1997. Dasar-dasar Produksi Program Televisi. PT Gramedia

Widiasarana Indonesia: Jakarta

Page 96: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

95

Perubahan yang cepat dan perkembangan sosial politik di Indonesiaberdampak pada perubahan landscape dan dinamika media di Indonesia.Pada masa Orde Baru (sebelum 1998), media didominasi oleh negara/pemerintah. Pada masa itu terjadi sejumlah pembredelan media lewatpencabutan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Pers dibayangitangan penguasa dan Undang-Undang, pengusaha, masyarakat, danpenegak hukum yang sewaktu-waktu bisa memberhentikan pers danmemenjarakan pekerja jurnalistik (Astraatmaja, 2009).

Di bidang penyiaran, negara lewat TVRI dan RRI mendominasiinformasi dengan menyiarkan program-program yang isinya lebih bersifatpropagandis. Media penyiaran menjadi instrumen pemerintahan yangotoriter. Demi mengamankan kepentingan Presiden Soeharto, lima stasiuntelevisi swasta pertama yang muncul di zaman Soeharto, dimiliki olehorang-orang di lingkungan Cendana, seperti Bambang Triatmodjo, SitiHardijanti Rukmana, Sudwikatmono, Sudono Salim, dan Peter Gontha(Widiyanto, 2006).

Reformasi 1998 diharapkan memberi arah baru bagi demokratisasi dandesentralisasi media di Indonesia. Pada era ini lahir Undang-Undang PersNomor 40 Tahun 1999 dan Undang Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun2002. Keduanya punya kontribusi penting bagi pemajuan prosesdemokratisasi di Indonesia.

Pasca reformasi 1998, terjadi perpindahan dominasi negara danpemerintah ke dalam sentralisasi dan dominasi sektor swasta dengandominasi segelintir pemilik modal (Siregar, 2008). Fenomena perpindahandari suatu sistem otoriter represif oleh negara ke dalam suatu sistemotoritarianisme dan monopoli baru oleh kelompok swasta ini samaberbahayanya dengan dominasi negara (Siregar, 2008).

Sentralisasi dan dominasi media-media Jakarta sangat tampak padamedia penyiaran yang melakukan siaran nasional. Implikasi darisentralisasi itu antara lain: Pertama, Jakarta mendikte isi siaran sesuai

Pluralisme Mediadan Sistem Stasiun Jaringan

Yohanes WidodoDosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Page 97: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

96

dengan selera Jakarta sehingga rujukan nilai isi siaran televisi adalahstandard budaya Jakarta. Kedua, masyarakat daerah tidak dapatmemanfaatkan televisi sebagai sarana informasi mengenai daerahnyasendiri. Ketiga, keuntungan ekonomi yang diperoleh dari kegiatanpertelevisian hanya bisa dinikmati oleh Jakarta dan bisnis pertelevisiantidak menumbuhkan industri pendukung maupun lapangan pekerjaandi daerah luar Jakarta. Keadaan inilah yang hendak dirombak oleh UndangUndang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 (Armando, 2007).

Mengapa bisnis media, terutama televisi, begitu menggiurkan pemilikmodal? Menurut Ishadi S.K, selain motif ekonomi, bisnis televisi jugamemberikan keuntungan politis. “Tak ada bisnis lain yang memilikikekuatan seperti media TV, yang mempunyai pengaruh ekonomi sekaliguspolitik. Diakui atau tidak, media TV ibarat pisau bermata ganda. Ia bisadimanfaatkan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat,tetapi juga bisa digunakan untuk memoles atau merusak citra seseorang.Media TV sangat efektif untuk mempengaruhi opini masyarakat.” (Hartoet.al; 2006)

Meski persaingannya ketat—bahkan pengusaha sekaliber JakobOetama yang terkenal visioner dan profesional di industri media akhirnyaharus merelakan mayoritas sahamnya di TV7 jatuh ke tangan TransTV—namun kue yang dijanjikan bisnis televisi sungguh mengundang selera.Nielsen Media Research mencatat, dari total belanja iklan di Indonesiayang mencapai Rp 23 triliun, televisi melahap sekitar Rp 16 triliun, atausekitar 70 persennya, dan sisanya yang 30 persen dibagi ke media lain.

Diversity of OwnershipIsu penting berkaitan dengan pluralitas kepemilikan (diversity of

ownership) adalah merger antarkorporasi media. Di satu sisi, mergerdipandang sebagai langkah ekonomi dengan pertimbangan-pertimbanganefisiensi dari pemilik modal. Di sisi lain, merger bisa dilihat sebagailangkah politik, terutama karena keterlibatan tokoh-tokoh politis dansistem industri media dalam pengambilan keputusannya.

Konglomerasi, akuisisi, dan merger antarkorporasi media membawasejumlah dampak. Pertama, semakin sedikit jumlah industri media yangmenjadi aktor dalam industri ini karena makin terkonsentrasi di tangansekelompok pengusaha. Kedua, banyak dari konglomerat ini yangmemiliki, mengontrol atau mempunyai kepentingan substansial dalamperusahaan media dan non media. Ini acapkali rentan menimbulkan

Page 98: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

97

Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan

konflik kepentingan: kepentingan jurnalistik dan kepentingan pemilikperusahaan. Ketiga, terjadinya homogenisasi karena pemilik hanya satumaka semua media memiliki konten yang serupa (Bagdikian 2000).Keempat, turunnya kualitas jurnalistik: berita, current affairs dan jurnalismeinvestigasi berubah ke arah hiburan, populisme dan infotainment yangbiayanya kecil namun mendatangkan keuntungan besar. Kelima, terjadinyamonopoli arus informasi yang disetir oleh segelintir orang atau pemilikmodal untuk kepentingan ekonomomi maupun politik. Lebih berbahayalagi bila segelintir orang tersebut juga menjadi elit politik di lingkarankekuasaan yang bisa mendikte arus informasi seperti apa yang akandikehendakinya, untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu.

Pluralitas pemilikan media bertujuan untuk mengurangi biaskepentingan pemilik media. Semakin plural kepemilikan media, makaakan mendorong semakin beragam pula isi media. Karena itu perluterjamin adanya pluralitas kepemilikan dan menjaga pluralitas darikemungkinan konsentrasi, yakni terjadinya monopoli horisontal ataukepemilikan di satu tangan terhadap berbagai media sejenis) ataupunmonopoli vertikal atau kepemilikan media dari hulu hingga hilir, misalnyamenguasai pabrik kertas, media cetak, hingga perusahaan distributornya(Faisal, 2009). Keberagaman media dalam konteks kepemilikan, kontendan agenda punya arti penting untuk membangun media-sphere yangdinamis, sehat dan mencerminkan kompleksitas persoalan yangberkembang di tengah masyarakat (Farid, 2010).

Diversity of ContentAda beberapa hal yang menjadi persoalan dalam jurnalistik secara

umum, terkait dengan monopoli kepemilikan dan pengaruhnya terhadapisi media. Pertama, pada tingkat tertentu mainstream media ini tidak bisamemenuhi kebutuhan masyarakat karena keterbatasan space, kepentinganindustri, dan bisnis. “Dalam menjalankan tugasnya, wartawan harustunduk pada agenda perusahaan. Seorang wartawan tidak sepenuhnyaleluasa mengangkat perspektif yang ingin ditekankannya karena ia harustunduk pada aturan perusahaan dan harus berkompromi padakepentingan bisnis media.” (Farid, 2006)

Kedua, banyak persoalan masyarakat, persoalan publik, tidakterakomodasi dengan baik di media karena media telah mengalamikondisi krisis. “Ruang-ruang redaksi kian sulit menghindarkan rutin itu:mencoba tidak bias, obyektif, imparsial, terus-menerus, dari hari ke hari,

Page 99: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

98

ketika publik telah mempunyai akses masing-masing yang ternyata amatmudah dan murah ke sebuah peristiwa yang sama. Pada persilangan ini,orang dengan gampang kecewa, misalnya, setelah dengan mudah dan,sekali lagi amat murah, dapat mendeteksi ketidakakuratan media massa.Keserbacepatan dan keserbamudahan informasi telah melahirkantantangan luar biasa pada elitisme media mainstream.” (Farid, 2006)

Ketiga, kecenderungan media Indonesia untuk mempromosikankapitalisme dan globalisasi dengan mencuci otak pikiran publik. Adadua tantangan besar bagi pluralisme media di Indonesia dalam hal ini.“Pertama, arus globalized news terlalu besar untuk dilawan. Kedua,pengelolaan media yang sudah tidak bisa lagi dibedakan denganpengelolaan jenis bisnis lainnya. Hal ini membuat elemen idealisme danperhatian terhadap berita yang benar-benar diinginkan audiens tidakmendapat tempat. Berita hari ini diproduksi dengan komando: Inilahinformasi yang menurut kami (sebagai pemilik modal) dianggap pentingbagi audiens.” (Farid, 2010)

Keempat, masyarakat cenderung merasa bosan dengan mainstreammedia karena adanya self censorship dan tingginya ketergantungan mediaterhadap iklan. “Media mainstream mendidik wartawannya denganserangkaian nilai ideal, sederet etika dan batasan norma dalammenjalankan tugas jurnalistiknya. Sayangnya, dalam prakteknya,wartawan seringkali lebih banyak gagal memenuhi segenap harapan idealini. Penyebabnya antara lain, kuatnya pengaruh bisnis dalam industripers sehingga terdapat kepentingan bisnis atau kelompok tertentu yangtidak dapat diganggu gugat atau diberitakan oleh media bersangkutan.Selain itu, semakin tingginya tingkat ketergantungan perusahaan mediaterhadap pemasukan iklan membuat kategori nilai berita juga lebihditentukan pada “sejauh mana berita tertentu memancing pendapataniklan”. Sebagai akibatnya, pendekatan sensasional pada liputan lebihdiutamakan demi memancing banyaknya pembaca.” (Farid, 2006).

Dengan kondisi pemilikan yang makin mengerucut, konsekuensi logisdari pengerucutan ini adalah efisiensi di ruang redaksi. Ini merupakantren global yang membuat berita semakin seragam. “Yang paling parahkena dampak berita seragam adalah audiens di daerah. Meski punyamedia lokal, sebagian isi media itu baik cetak dan elektronika diasup darisentra produksi di Jakarta. Media cetak masih agak mending, tapi tetapmemprihatinkan, karena berita lokal juga telah mengalami pergeseranmendasar. Ramuannya, mengutip Dan Gillmor, “when it bleeds, it leads”:

Page 100: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

99

Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan

kalau berita itu heboh, akan jadi headlines. Heboh di sini tak jauh dariberita kriminal dan provokatif, bukan berita investigatif.” (Farid, 2010)

Dengan kondisi demikian, maka dampak yang kelihatan adalahkeseragaman dalam hal content. Dengan pertimbangan komersial, makamedia, khususnya televisi menayangkan atau menyajikan content yangseragam. Ada semacam kelatahan dari pengelola acara-acara televisi untukmelihat keberhasilan suatu acara, kemudian diikuti dan ditiru. Saattayangan kriminal naik daun, hampir semua televisi berlomba ‘berdarah-darah’. Ketika tayangan bernuansa seksualitas mendapat rating bagus,seluruh televisi ramai-ramai menayangkan acara bernuansa seksualitas.Ketika tren bergeser ke tayangan reality show dan religi, hampir semuatelevisi jualan reality show dan tayangan religi. Jadi apa yang ditawarkanadalah apa yang menonjol dan up to date.

Keberhasilan suatu acara akan memberi keuntungan besar kepadapengelola acara televisi. Keseragaman ini adalah bentuk konformitas,yakni kesamaan dalam mengunggulkan acara-acara yang diperkirakandapat meningkatkan minat masyarakat untuk menonton acara tersebut.Hal ini sesuai dengan ide kapitalisme (Buwana, 2009). Efek darikeseragaman tayangan dan isi media adalah pembodohan dan membuatmasyarakat tidak berkembang.

Media dan KepentinganDari sisi hukum, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Semangat dari sistem stasiun berjaringanini adalah negara ingin mewujudkan dan menjamin pluralime media.Undang-Undang ini antara lain mengatur tentang kehadiran televise lokalyang bertujuan menjamin perkembangan media di daerah dan memberiruang tumbuh bagi pluralisme media (Farid, 2010). Namun dalampraktiknya, raja-raja media bisa dengan mudah memanfaatkan jaringanmedianya untuk kepentingan komersial dan pribadi mereka (Dhyatmikaand Herawatmo, 2006).

Gejala konglomerasi media perlu diwaspadai karena suksesnyapersilangan antara kepentingan kekuasaan (kehendak untuk berkuasa danmengontrol) kepentingan akumulasi modal serta pengejaran profit. Parapemilik modal menggunakan stasiun televisi—yang memperguna-kanpublik domain—untuk kepentingan bisnis, politik, dan kekuasaan.

Ada beberapa contoh yang bisa diangkat. Pertama, televisi seringmenjadi kepanjangan tangan pengusaha-pemiliknya dalam mempromosi-

Page 101: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

100

kan produk-produk yang kebetulan berada dalam genggamannya.Misalnya, di Trans TV, iklan Bank Mega muncul secara rutin. Iklan Esiakerap hadir di ANTV. RCTI-TPI-Global TV intens menayangkan iklanRadio Trijaya Network, majalah Trust, tabloid Genie, dan koran SeputarIndonesia. Indosiar punya program rutin malam mingguan Gebyar BCAmerujuk pada bank milik Salim.

Kedua, persaingan Surya Paloh dan Aburizal Bakrie dalammemperebutkan posisi Ketua Umum Partai Golkar. Surya Paloh (MediaIndonesia dan Metro TV) bersaing dengan Aburizal Bakrie (ANTV danTVOne). Tegangan di antara dua tokoh terus berlanjut. Bahkan AbrurizalBakrie menolak menjawab pertanyaan wartawan Metro TV yang bertanyasoal sengketa pajak yang melibatkan PT Kaltim Prima Coal (KPC). Ketikawartawan lain menanyakan, apakah kasus KPC ini sengaja digulirkan?“Tanya saja pihak-pihak yang merasa kalah dan mencari kesalahan oranglain. Kamu merasa kalah, nggak?” ujarnya seraya menunjuk ke wartawanMetro TV (Harahap, 2010). Berikut alasan Ical tidak mau menjawabpertanyaan wartawan Metro TV: “Kalau orang cari makan wartawan ‘kandari berita. Beritanya dipakai untuk ‘makan’ saya. Nah, saya nggak maungasih makan karena itu,” jawab Ical (Yunanto, 2010). Kentalnyakepentingan bisnis dan pengaruh kelompok pemilik media, menjadikanfungsi kontrol media terhadap penyelenggaraan kekuasaan, menjadi tidakefektif. Misalnya, Media Indonesia dan Metro TV milik Ketua DewanPembina Partai Golkar, Surya Paloh, mustahil dijadikan rujukan untukmencari berita-berita yang mengkritisi partai pimpinan Wakil PresidenJusuf Kalla itu (Farid, 2010).

Ketiga, kasus Negotiable Certificate of Deposit (NCD) ‘bodong’ senilai US$28 juta dari Unibank ke PT Citra Marga Nusaphala Persada yang menimpaBambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo (Harry Tanoe). Di sini, manajemenRCTI menyiapkan program khusus untuk menghadang ‘propagandahitam’ atas bos mereka. Program berkedok acara bincang-bincang itudidesain membela Harry Tanoe. Pembicaranya yang dipilih semuanyamemihak kepada Harry Tanoe (Dhyatmika and Herawatmo, 2006; Siregar,2008; Windyaningrum et.al, 2007).

Keempat, kasus ANTV dan TVOne milik kelompok Bakrie. Ketikameliput Lumpur Sidoarjo, televisi ini menggunakan framing sesuaikepentingan pemilik modal dengan penggunaan istilah “Lumpur Porong”atau “Lumpur Sidoarjo” sebagai pengganti “Lumpur Lapindo” (Yayat R.Cipasang, Indopos, 05/06/ 2008). Dari sini tampak bahwa monopoli dalam

Page 102: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

101

Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan

industry penyiaran tidak bisa dilihat hanya secara kuantitatif, tetapi jugakualitatif (monopoli laten atau ideologis). Dalam hal ini, pemilik tidakhanya memiliki kepentingan ekonomi tetapi juga ideologi, yang ujungnyaadalah juga kepentingan ekonomi.

Beberapa kalangan, terutama dari media mainstream, tidak terlalumerisaukan tentang isu kepemilikan. Misalnya, Pepih Nugraha (2010)mengatakan, kepemilikan silang sangat penting, karena kepemilikansilang dimungkinkan terjadinya konvergensi media maupun konten.Sehingga hampir semua konglomerasi media berkeinginan memiliki jenismedia yang beragam. Pepih juga tidak mengkhawatirkan dengankepemilikan (monopoli) media selama media tersebut tetap menjagaindependensinya.

Hal ini senada dengan mantan komisioner Komisi Penyiaran Indonesia(KPI), Bimo Nugroho, yang mengatakan bahwa kepemilikan satupengusaha terhadap berbagai media tidak menjadi masalah selama tidakada kontrol informasi dan penggalangan opini publik. Menurut BimoNugroho, kalau demi membela kepentingan politik atau ekonomi, lalupengusaha menggunakan media miliknya, itu baru masalah besar(Windyaningrum, et al., 2007).

Dalam kaitan ini, penulis berpendapat bahwa pembatasan perludilakukan demi terjaminnya landasan dasar bagi pluralisme media.Mengutip Ignatius Haryanto (2004): “Tanpa pluralitas suara dan pendapat,media tak bisa menunaikan tugasnya dalam kehidupan demokrasi.Pembatasan di sini dilakukan, berangkat dari suatu keprihatinan bahwaketerpusatan industri media kepada segelintir pemilik saja akanmengakibatkan kondisi yang tidak sehat dan tidak demokratis, karenacenderung mengabaikan pluralitas pendapat yang ada. Pembatasan inisendiri adalah demi sehatnya industri media itu sendiri, wibawapemerintah, dan sehatnya masyarakat.”

Sistem Stasiun JaringanPemberlakukan sistem siaran nasional menjadi sistem siaran lokal

berjaringan merupakan salah satu amanat dari Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran. Semangat dari sistem stasiun berjaringan iniadalah negara ingin mewujudkan dan menjamin pluralime media sebagaisalah satu kondisi mendasar bagi pembentukan public sphere dalammasyarakat demokratis (Klimkiewicz, 2005).

Page 103: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

102

Konsep stasiun berjaringan adalah satu upaya menghindari terjadinyapemusatan kepemilikan atau monopoli media. Konsep ini penting bagidemokratisasi penyiaran karena keterpusatan industri media kepadasegelintir pemilik saja akan cenderung mengabaikan pluralitas pendapatdan gagasan. Diversity of ownership menjadi penting karena kepemilikanmedia akan mempengaruhi isi media, dan isi media selalu merefleksikankepentingan mereka yang membiayainya (McQuail, 2000). Pluralitaspemilikan media bertujuan untuk mengurangi bias kepentingan pemilikmedia. Semakin plural kepemilikan media, maka akan mendorongsemakin beragam pula isi media.

Ada dua ketentuan penting dari Undang Undang Penyiaran tentangSistem Stasiun Jaringan. Pertama, televisi nasional tidak dapat lagimenyelenggarakan siarannya secara nasional yang menjangkau seluruhwilayah negara namun tetap dapat melakukan siaran melalui sistemstasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas (pasal 20 jo 31 ayat3). Kedua, dalam sistem stasiun jaringan, televisi nasional dapat bertindaksebagai induk stasiun jaringan dan televisi lokal bertindak sebagai anggotastasiun jaringan dimana induk bertindak sebagai koordinator yangsiarannya direlai oleh anggota (pasal 34 ayat 1). Televisi nasional yangsudah mempunyai stasiun relai di ibukota provinsi wajib melepaskankepemilikan atas stasiun relainya paling lambat 28 Desember 2009.

Pemberlakuan sistem stasiun jaringan ini di atas kertas memang sangatideal, namun di lapangan kita dihinggapi sejumlah pesimisme. Pertama,televisi nasional enggan untuk berubah. Meski telah disahkan sejak 2002,namun pelaksanaan ketentuan ini terus ditunda. Keterlambatan inimemperlihatkan keengganan berubah dari pemikiran yang bersifatsentralistis ke arah yang desentralistis (Siregar, 2008). Waktu tujuh tahunlebih tampaknya belum cukup bagi 10 televisi Jakarta yang terlanjur‘nyaman’ menjadi televisi ‘nasional’.

Ketidaksiapan itu terekam saat acara Evaluasi Dengar Pendapat (EDP)pengajuan ijin operasional televisi berjaringan yang diselenggarakan olehKomisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Yogyakarta, Januari 2010.Penulis menemukan bahwa perubahan yang diharapkan pascapemberlakukan Sistem Siaran Jaringan di Yogyakarta—terwujudnyakeragaman kepemilikan dan keragaman isi—tampaknya masih jauh.Evaluasi Dengar Pendapat seolah sekedar formalitas. Proposal yangdiajukan terkesan ala kadarnya. Kalau boleh membandingkan, kualitasnyatak lebih baik dari proposal mahasiswa.

Page 104: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

103

Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan

Kedua, dari segi keragaman kepemilikan juga tidak ada perubahansignifikan. Hampir semua televisi ‘nasional’ Jakarta yang mengajukan ijinmembentuk Perseroan Terbatas (PT) baru, dan orang yang dipasang adalahorang Jakarta. Kalau pun ada orang Yogyakarta, ia merupakan bagiandari manajemen televisi Jakarta. Televisi Jakarta belum mau menggandengtelevisi lokal. Sehingga, harapan bahwa kehadiran televisi jaringan bisamenampung sumber daya manusia lokal, menggairahkan iklim bisnis didaerah dan tumbuhnya industri kreatif di daerah, belum terlihat gambaranriilnya. Padahal, menurut Agus Yuniarto (2007) jika televisi Jakarta itumau bermitra atau menjalin kerjasama dengan televisi lokal, maka prosespendirian televsi swasta lokal yang selama ini terkendala karena rebutankanal, akan jauh lebih ‘mudah’.

Ketiga, kesiapan televisi Jakarta untuk mengusung konten lokalcenderung minimalis. Dari proses Evaluasi Dengar Pendapat terungkap,kebanyakan menawarkan program berita yang menurut mereka lebihgampang. Beberapa televisi menyediakan slot waktunya kurang dari satujam (pada jam-jam non prime time). Bahkan ada televisi yang‘menyempilkan’ program atau konten lokal pada jam 02.00 atau 04.00,saat dimana warga Yogyakarta masih tidur lelap. Dari sini tampak bahwatelevisi ‘nasional’ Jakarta tidak siap atau kurang serius melaksanakansistem stasiun jaringan dan mengubah stasiun daerah dari stasiun relaimenjadi stasiun mandiri.

Hambatan atau Peluang?Dari Evaluasi Dengar Pendapat juga terungkap sejumlah hambatan

yang dihadapi oleh televisi ‘nasional’ Jakarta untuk bermigrasi menjaditelevisi mandiri berjaringan. Pertama, persoalan infrastruktur—ini terkaitdengan biaya investasi. Mereka mengatakan bahwa bisnis televisimembutuhkan investasi besar. Dengan sistem stasiun jaringan ini, merekaharus mengelola stasiun relai menjadi stasiun mandiri yang biayainvestasinya mahal. Menurut Agus Yuniarso (2007), justru dengan sistemstasiun jaringan dan bermitra dengan televisi lokal, maka investasi teknisbisa relatif lebih rendah.

Kedua, program dengan konten lokal. Selama ini stasiun Jakarta terbiasamengelola program yang nasional. Ketika harus mengelola program lokal,mereka seperti kehilangan ide dan kreativitas. Sehingga program yangditawarkan kebanyakan program berita. Lewat kerjasama dengan mitralokal, televisi Jakarta tak perlu lagi pusing-pusing dengan program

Page 105: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

104

siarannya karena program lokal bisa disiapkan oleh mitra lokal. Untuktelevisi jaringan yang mengudara 24 jam sehari, televisi lokal anggotanyahanya perlu me-manage program siaran kurang dari 7 setengah jam.Itupun jumlah maksimal karena pada tahap awal, regulasi mensyaratkanhanya 10persen dari total jam siaran (sekitar 2,5 jam). Bicar konten lokaluntuk Yogyakarta seharusnya bukan masalah, karena Yogyakarta adalahgudangnya orang-orang kreatif.

Ketiga, sumber daya manusia. Ketersediaan sumber daya manusia yangmumpuni dan siap pakai menurut mereka menjadi persoalan. Meskidemikian, jika televisi Jakarta menjalin kerjasama dengan mitra lokal, makasumber daya manusia telah tersedia dan disiapkan oleh mitra local. Kalaupun tidak menjalin kerjasama, sumber daya manusia seharusnya jugabukan masalah karena di Yogyakarta terdapat beberapa universitas yangmembuka program studi Ilmu Komunikasi. Mereka adalah stakeholderyang menyiapkan sumber daya manusia untuk industri televisi dan bisamenjadi referensi dalam hal konten program.

Semangat dari sistem stasiun jaringan ini adalah agar penjajahanJakarta atas Indonesia harus dihentikan dan asas keberagaman dihormatisetinggi-tingginya (Ade Armando, 2007). Stasiun televisi berjaringan inidiharapkan ikut membangun berkembangnya televisi lokal, merangsangdan membangun dinamika ekonomi lokal dan sosial budaya lokal. Bilasemua stasiun ‘nasional’ Jakarta melakukan transformasi ke stasiun lokalberjaringan, maka akan tercipta sebuah sistem penyiaran yang sehat, yangmenjamin adanya diversity of ownership dan diversity of content, yang akanmemperkaya bangsa ini baik secara sosial, ekonomi, budaya dan politik.

PenutupSistem stasiun jaringan: quo vadis? Dalam hal ini, pihak televisi Jakarta

yang harus menjawabnya. Panggilan untuk bertransformasi menjadistasiun berjaringan ini berdasarkan pada fakta bahwa merekamenggunakan frekuensi yang merupakan domain publik Yogyakarta. Jikaselama ini publik Yogyakarta sekedar dimanfaatkan oleh televisi Jakartauntuk target iklan dan memperkuat bisnis mereka, kini saatnya bagi publikYogyakarta untuk mendapatkan haknya, dalam bentuk tayangan bermutudan mereka mendapatkan ruang untuk meyampaikan pemikiran danaspirasinya.

Untuk itu, televisi Jakarta yang ingin menjadi stasiun siaran jaringandi Yogyakarta diharapkan lebih serius karena publik Yogyakarta yang

Page 106: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

105

Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan

merupakan publik yang terdidik. Gerakan literasi media di Yogyakartajuga cukup masif. Jika program-program yang ditawarkan oleh televisiJakarta sekadar ‘itu lagi, itu lagi!’, dan tidak ada sesuatu yang lebih baikdan kekhasan yang ditawarkan kepada public Yogyakarta, maka program-program televisi Jakarta ini akan ditinggalkan pemirsanya.

Untuk mewujudkan hal itu, perlu dukungan pemerintah, KomisiPenyiaran Indonesia Daerah (KPID), serta masyarakat. Pemerintah harustegas menegakkan hukum. Jangan sampai pemerintah justru diperdayadan dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk kepentingan bisnis mereka.Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) perlu memperjuangkanaspirasi publik Yogyakarta. Jika televisi-televisi ‘nasional’ Jakarta itu tidakserius mentransformasi stasiun relai menjadi stasiun televisi lokalberjaringan, ijin penyelenggaraan itu semestinya tidak diberikan.

Publik perlu memonitor pelaksanaan ketentuaan Undang-UndangPenyiaran tentang sistem stasiun jaringan ini. Jika terjadi pelanggaran,kita wajib melaporkan sesuai ketentuan yang berlaku. Kita berharapdengan sistem stasiun jarngan ini, tayangan yang sehat dan membumi;tontonan yang bisa menjadi tuntunan, akan mewarnai televisi kita.

Daftar PustakaArmando, A. 2007. (Seharusnya) Tak Ada Lagi Stasiun Televisi Nasional, http://

adearmando.wordpress.com/2007/08/30/seharusnya-tak-ada-lagi-stasiun-televisi-nasional/

Astraatmadja, A. 2009. “Tuntutan Zaman ; Kebebasan Pers dan Ekspresi. Jakarta:VHRBook

Bagdikian, Ben H. 2000. The New Media Monopoly, Beacon PressBuwana, D.S.2009. “Ramadhan di Lazar Kaca”, Republika, 10/09/2009, http://

www.republika.co.id/koran/24/75368/Ramadhan_di_Layar_KacaCahya, N.W. 2007. “Mengerucutnya kepemilikan media televisi di Indonesia,”

http://nurulwibawacahya.blogspot.com/2007/01/mengerucutnya-kepemilikan-media.html

Dhyatmika, W. and Herawatmo. 2006. “Jangan Seperti Jualan Kacang Goreng,”http://reporter-jakarta.blogspot.com/2006/06/laporan-utama-jangan-seperti-jualan.html

Farid, Lily Y. 2006a. Merayakan Jurnalisme Orang Biasa di Panyingkul!(unpublished)

Farid, Lily Y. 2006b. Citizen Journalism: sebuah pengantar (unpublished)Harto, PP., Ratnasari, E; Saragih, HP.,Mudjiono, 2010. “Raja-Raja TV: Raja TV,

Raja Akuisisi”, Warta Ekonomi, 19 December 2006

Page 107: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

106

Haryanto, I. 2004. Kepemilikan Media Terpusat dan Ancaman terhadapDemokrasi, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0408/04/Bentara/1189006.htm)

Klimkiewicz, Beata. 2005. 2005. Media Pluralis: European Regulatory Policies andthe Case of Central Europe, European University Institute

Luwarso, Lukas. 2000. Pers Indonesia, Pergulatan untuk Kebebasan, http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/08/31/0006.html

McQuail, Denis, 2000. Mass Communication Theory. Sage PublicationMeier, Werner A. 2002 “Media Ownership – Does It Matter?” In Networking

Knowledge for Information Societies: Institutions & Intervention Edited byRobin Mansell, Rohan Samarajiva and Amy Mahan, Delft University Press

Munandar, Satrio, Sen, Krishna and David T. Hill. 2001. Media, Budaya dan Politikdi Indonesia, ISAI

Siregar, A.E. 2008. Ekonomi Politik Televisi: Melawan PEmusatan Kepemilikandan Penguasaan, paper presented in Forum Studi Komunikasi, UAJY.

Widiyanto. 2006. Televisi Batavia, http://andreasharsono.blogspot.com/2006/02/televisi-batavia.html)

Windyaningrum, A; Ratnasari, E , dan SHP. 2007. “Sekali di Udara,Tetap di Udara,Warta Ekonomi, Jum’at, 25 Mei 2007

Yusuf, I.A. 2009. Pentingnya Regulasi Monopoli dan Konglomerasi Media, http://bincangmedia.wordpress.com/?archives-list=1

WawancaraFarid, Lily Yulianti (email and chatting): 11/02/2007; 14/03/2008; 20/06/2010Nugraha, Pepih (email): 07/06/2010

Page 108: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

107

Televisi Republik Indonesia (TVRI) merupakan stasiun televisi yangmemiliki sejarah panjang. Sebagai stasiun televisi tertua di Indonesia,sangat masuk akal bila TVRI menjadi stasiun televisi yang mapan darisegi organisasi maupun dalam hal menghasilkan output siaran yangberkualitas. TVRI sempat menjadi media yang sangat digemari danmenjadi pilihan masyarakat Indonesia.

Periode keemasan memang sempat dialami TVRI. TVRI menjadi satu-satunya pilihan pemirsa televisi di Indonesia. Hal ini masuk akal karenasejak berdiri hingga akhir 1980-an, TVRI hanya menjadi satu-satunyapilihan pemirsa. Namun ketika keran keterbukaan dibuka dan beberapastasiun televisi swasta mulai mengudara, perlahan-lahan TVRI mengalamipenurunan hingga tidak lagi berdaya melawan kepungan stasiun televisiswasta.

Persoalan TVRI semakin rumit ketika masa reformasi bergulir.Semangat reformasi mampu mengubah tatanan kehidupan berdemokrasidi Indonesia. Hal ini juga berimbas pada TVRI. Selama 30 tahun, TVRIdicap sebagai stasiun televisi pemerintah dan corong pemerintah untukmenyampaikan pesan dan ideologi Orde Baru. Singkatnya, TVRI akhirnyadilemahkan perannya. Pemerintah tidak lagi boleh berkuasa penuh atasTVRI. Intinya, TVRI harus independen.

Berbagai upaya membentuk kemandirian dan independensi TVRIdilakukan. Salah satunya, melalui Undang-Undang Penyiaran No 32 tahun2002 yang menghendaki TVRI tampil sebagai stasiun televisi publik.Harapannya, TVRI bisa menjadi media komunikasi yang mengutamakankepentingan publik sekaligus menjaga independensi dari negara/pemerintah dan tidak tunduk terhadap tuntutan pasar.

Dilihat secara sekilas, tujuan ini tentu sangat mulia. Satu cita-cita yangideal ketika TVRI bisa menjadi sarana publik untuk saling berinteraksi

Merevitalisasi TVRISebagai Lembaga Penyiaran Publik

Agusly IrawanLulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Page 109: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

108

antarsesama warga dan warga dengan pemerintah. Tapi, cita-cita initernyata sulit untuk diwujudkan. Ada banyak faktor yang terlibat didalamnya. Bagaimana TVRI bisa menjadi sarana berinteraksi antarwargajika TVRI tidak menjadi pilihan utama bagi pemirsa? Dari sisi ini, logikakapitalisme akan bermain. TVRI tidak menjadi pilihan pemirsa karenaTVRI tidak mengikuti selera pasar atau konsumen. Jika TVRI harusmengikuti selera konsumen berarti TVRI akan berbentuk televisikomersial, bukan televisi publik seperti cita-cita awal.

Bagaimana TVRI bisa memenuhi program-program siarannya jikatidak ada sumber dana? Jika memang televisi publik, harusnya publikikut bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup TVRI. Tapi apakahwarga mau membayar (lagi) iuran TVRI? Memang rumit melihat persoalanTVRI. Itu baru dari sisi ekonomis, belum pertarungan kepentingan aktor-aktor yang punya kepentingan di dalam tubuh TVRI.

Penulis berharap, TVRI bisa menjadi televisi publik yang baik: tujuanidealnya, manajemen organisasinya, program siarannya, sehingga TVRIbisa berperan lebih besar dan lebih baik dibandikan stasiun televisi swasta,yang mendekati titik jenuh sehinga lebih sering melahirkan kritik daripadamanfaat. Apalagi bila dibandingkan stasiun televisi publik yang sudahmapan seperti BBC (Inggris) atau NHK (Jepang).

Tinjauan HistorisSejarah TVRI dimulai sejak Ketetapan MPRS no II/MPRS/1960

ditetapkan. Pasal 18 Bab I menyatakan pentingnya membangun stasiuntelevisi untuk kepentingan pendidikan nasional. Pemerintah lalumengeluarkan Surat Keputusan Mentri Penerangan No 20/SK/M/61tanggal 21 Juli 1960 tentang Panitia Persiapan Televisi (P2TV). TVRImelakukan ujicoba siaran pada perayaan kemerdekaan, 17 Agustus 1962.Dengan siaran TVRI, Indonesia menjadi negara keempat yang memilikimedia televisi setelah Jepang, Filipina, Thailand (Heryanto, 2003: 46). TugasP2TV berakhir dengan berhasilnya ujicoba tersebut. TVRI lalu dimasukkanke dalam Biro Radio dan Televisi Organizing Committe Asian Games IV.

TVRI melakukan siaran live acara pembukaan dan penutupan acaraAsian Games IV, 24 Agustus 1962. Tanggal 24 dikenal sebagai tanggalberdirinya TVRI. Setelah Asian Games selesai, TVRI dimasukkan ke dalamYayasan Gelora Bung Karno melalui Keppres No 318/1962. Setahunkemudian, dibentuk Yayasan TVRI melalui Keppres no 215/1963 denganpimpinan umum Presiden dan dibantu staf Presiden urusan TVRI. Secara

Page 110: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

109

Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik

operasional, ditunjuk seorang direktur dan tiga orang direktur mudaurusan programma/perencanaan, urusan teknik dan administrasi, sertaurusan komersil dan perbendaharaan. Perjalanan TVRI sejak 1962-1975dikenal sebagai ‘Era Yayasan TVRI’ (Heryanto, 2003: 47). Pada era ini, TVRImembangun beberapa Stasiun Penyiaran Daerah yaitu Stasiun Yogyakarta,Stasiun Medan, Surabaya, Ujungpandang (Makassar), Manado, Denpasardan Balikpapan (bantuan Pertamina).

Era selanjutnya disebut ‘Era Status Ganda’, karena TVRI memliki duastatus hukum: Yayasan TVRI dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) DepartemenPenerangan, lewat SK Mentri Penerangan No 55 B tahun 1975 yangdiperbaharui lagi dalam SK Menpen No 230A tahun 1984 tentangOrganisasi dan Tata Kerja Depertemen Penerangan dimana DirektoratTelevisi berada dibawah Dirjen RTF.

Status hukum ganda ini tentu menimbulkan masalah. Pertama,kebingungan siapa pemegang otoritas tertinggi terhadap TVRI. Jika TVRIsebagai yayasan maka presiden yang menjadi pemimpin umumnya.Dengan berbentuk UPT maka TVRI berada di bawah wewenang MentriPenerangan. Kedua, status hukum TVRI berbentuk yayasan yangmemegang monopoli penyiaran televisi di Indonesia dan modalnyamerupakan kekayaan negara yang terpisah dirasa tidak tepat. Definisiyayasan lebih bermakna swasta daripada milik negara. Apalagi salah satumodal Yayasan TVRI adalah iuran pemilik stasiun televisi. Status TVRIsebagai UPT terus berlanjut sejak 1975-1997 dan dikuatkan lagi dalamUndang-Undang Nomor 24 tahun 1997 yang berlaku hingga 1999, sebelumDeppen dihilangkan dalam masa reformasi.

Selama era status ganda ini, TVRI membangun Stasiun ProduksiKeliling (SPK) di beberapa propinsi: SPK Jayapura, SPK Ambon, SPKKupang, SPK Malang (Tahun 1982 diintegrasikan dengan TVRI StasiunSurabaya), SPK Semarang, SPK Bandung, SPK Banjarmasin, SPKPontianak, SPK Banda Aceh, SPK Jambi, SPK Padang, SPK Lampung.

Pembangunan SPK ini dimulai sejak 1977 dan berfungsi sebagaiperwakilan TVRI di daerah.

Penetapan TVRI sebagai UPT dibawah Departemen Penerangan tentumemiliki dampak yang luas. Salah satu dampak tersebut yaitu semakinsentralnya TVRI sebagai humasnya pemerintah. Selain menjadi humasnegara atau pemerintah, TVRI juga mempu menjadi sarana penekannegara trerhadap warganya hingga ke dalam bentuk yang lebih jauh yaitu

Page 111: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

110

kebebeasan berdemokrasi termasuk kebebasan pers. Singkatnya, TVRImenjadi media organik negara (Heryanto, 2003: 49).

Era ketiga disebut era Reformasi (1998) dengan dihilangkannyaDepartemen Penerangan (Deppen) dan diganti Badan Informasi danKomunikasi Nasional (BIKN). Namun, TVRI tidak berada di bawah BIKN.Kondisi tersebut ternyata mendorong pimpinan TVRI dari pusat dandaerah untuk berkoordinasi tentang kondisi TVRI. Pertemuan maratonmenghasilkan aspirasi bahwa TVRI haruslah berstatus televisi publik.Rapat antara Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara,Departermen Keuangan, dan Sekretaris Kabinet mengusulkan bentukPerusahaan Jawatan (Perjan) TVRI, yang ditetapkan melalui PP No 36tahun 2000.

Beberapa alasan perubahan status TVRI menjadi Perjan yaitu: Pertama,untuk meningkatkan daya saing di bidang pelayanan jasa penyiarankepada masyarakat pada era globalisasi sehingga perlu untukmengalihkan bentuk satuan kerja instansi pemerintah menjadi badanusaha pelayanan yang secara mandiri dan otonom mengelola manajemeninstansinya. Sehingga dirasa perlu landasan hukum bagi TVRI untukmeningkatkan kualitasnya.

Kedua, adanya jeda waktu selama pembahasan RUU Penyiaran yangbaru untuk mengganti UU Penyiaran nomor 24 tahun 1997. Padahaltuntutan agar TVRI menjadi televisi publik terus menguat. Untukmengatasi hal tersebut maka Perjan diambil sebagai solusi sementara.

Ketiga, dengan bentuk Perjan maka TVRI juga berhak atas APBN yangbisa digunakan untuk membiayai operasional karyawan (Heryanto, 2003:54). Dengan status hukum Perjan, maka TVRI berbentuk Badan UsahaMilik Negara (BUMN). Maksud dan tujuan Perjan adalahmenyelenggarakan kegiatan penyiaran televisi sesuai prinsip-prinsiptelevisi publik yang independen, netral, mandiri, dan program siarannyasenantiasa berorientasi kepada kepentingan masyarakat serta tidaksemata-mata mencari keuntungan (pasal 6 PP No.36/2000).

Ketika TVRI berbentuk Perjan, wilayah cakupan kerja TVRI semakinluas. TVRI terbagi dalam beberapa bagian yaitu: (1) Kantor Pusatberkedudukan di Jakarta (2) Divisi I-Siaran Nasional, berkedudukan diJakarta (3) Divisi II-Siaran Berita Nasional dan Informasi, berkedudukandi Jakarta.(4) Divisi III-Wilayah Sumatera, berkedudukan di Medan terdiridari 4 TVRI daerah berkelas A yaitu Medan, Banda Aceh, Palembang danPadang serta 4 TVRI daerah kelas B yaitu : Pekanbaru, Jambi, Lampung,

Page 112: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

111

Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik

Bengkulu. (5) Divisi IV- Wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta,Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, yang berkedudukan di Bandung.Terdiri dari 3 TVRI daerah Kelas A yaitu Bandung, Yogyakarta, Semarangserta 2 TVRI daerah kelas B yaitu Pontianak dan Palangkaraya. (6) DivisiV- wilayah Jawa Timur, Bali, NTT, Kalimantan Timur, dan KalimantanSelatan, berkedudukan di Surabaya terdiri dari 3 TVRI daerah berkelas Ayaitu Surabaya, Denpasar, dan Samarinda, serta 2 TVRI daerah berkelasB yaitu Banjarmasin dan Kupang. (7) Divisi VI-wilayah Sulawesi, Maluku,Irian Jaya, berkedudukan di Makasar, tediri dari 3 TVRI daerah berkelasA yaitu Makasar, Ambon, Menado serta 1 TVRI daerah berkelas B yaituJayapura. (8) Sektor Transmisi, merupakan sektor untuk memfasilitasidaerah yang tidak memiliki TVRI daerah kelas A atau B,berkedudukan diibukota Propinsi yaitu sektor Transmisi Sulawesi Tengah, SulawesiTenggara, NTB. (9) Divisi VII-Pengembangan Organisasi dan Diklat(Heryanto, 2003: 60-66).

TVRI kembali mengalami perubahan status hukum. Menurut PPNomor 9 tahun 2002 tanggal 17 April 2002, TVRI seharusnya berbentukPersero. Namun karena banyaknya permasalahan yang terjadi khsusnyakonflik di tingkat manajemen maka perubahan TVRI sebagai persero barubisa terlaksana pada 15 April 2003, sesuai surat kuasa Menteri NegaraBUMN. Perubahan TVRI dari Perjan menjadi Persero tentu membawakonsekuensi pula. Sebagai Persero maka TVRI tidak lagi mendapatkanAPBN seperti ketika berbentuk Perjan. Ini persoalan yang belumdipersiapkan TVRI ketika ia harus mandiri, selain terjadinya konflik antaraSerikat Karyawan dengan manajemen di tingkat Direktur Utama.

Tuntutan Sebagai Lembaga Penyiaran PublikKetika TVRI resmi menjadi Persero, keluarlah Undang-Undang

Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 yang mengamanatkan agar TVRI menjadilembga penyiaran Publik. Status TVRI sebagai persero merupakan statustransisi selama tiga tahun sebelum menjadi lembaga penyiaran publik.

Pengertian lembaga penyiaran publik tentu bermacam-macam.Menurut Effendi Ghazali (2002: 24) lembaga penyiaran publik adalahlembaga penyiaran yang mempunyai visi untuk memperbaiki kualitaskehidupan publik, kualitas kehidupan suatu bangsa, dan juga kualitashubungan antarbangsa pada umumnya; serta mempunyai misi untukmenjadi forum diskusi, artikulasi, dan pelayanan kebutuhan publik.Lembaga penyiaran ini memberikan pengakuan secara signifikan terhadap

Page 113: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

112

peran supervisi dan evaluasi oleh publik dalam posisinya sebagaikhalayak dan partisipan yang aktif, karena itu lembaga penyiaran publikbukanlah lembaga penyiaran pemerintah, serta bukan pula lembagapenyiaran yang semata-mata mendasarkan dirinya pada hukum-hukumpasar.

Menurut Effendi Ghazali, pengertian di atas setidaknya memiliki empatkonsekuensi. Pertama, akses publik, yaitu adanya kesempatan seluas-luasnya bagi publik untuk mengakses siaran stasiun televisi atau radiotersebut. Secara praktis, berarti bersedia untuk mendirikan stasiun hinggake pelosok-pelosok terpencil di saat stasiun televisi komersial engganuntuk menjangkau daerah tersebut terutama karena hitung-hitungan nilaiekonomis.

Kedua, penggunaan dana publik, yaitu dana operasional lembagapenyiaran publik utamanya berasal dari dana publik baik yang dikelolanegara misalnya APBN/APBD maupun penghimpunan dana yangdilakukan lembaga penyiaran publik bersama publiknya misalnya melaluisponsor yang tentu saja semuanya disupervisi dan dievaluasi oleh publik.

Ketiga, tuntutan akan akuntabilitas publik. Akuntabilitas publik dalamhal ini ada dua yaitu lembaga penyiaran publik harus mampumempertanggungjawabkan seluruh program acaranya sesuai standarmoral dan nilai publiknya serta akuntabilitas dalam hal operasionallembaga penyiaran tersebut misalnya dalam penggunaan dana, dan lain-lain.

Keempat, adanya keterlibatan publik. Publik diharapakan bisaberpartisipasi dalam lembaga penyiaran publik dan lembaga yangbersangkutan harus siap dan bersedia dengan keterlibatan masyarakat.Keterlibatan masyarakat salah satunya melalui lembaga yang bertugasmen-supervisi lembaga siaran publik tersebut.

Sementara itu, Harmens Tahir (2002: 154,159) menghendaki adanyasistem benevolent, artinya suatu organisasi nirlaba yang dibentuk olehpublik, dimiliki oleh publik, dan dikontrol oleh publik. Harmens jugamenyebutkan salah satu ketentuan siaran televisi publik berdasarkanresolusi Eropa 1996: (1) TV publik mendukung terwujudnya masyarakatinformasi, sebagai agen pemersatu pluralisme berbagai kelompok dalamkelompok dalam masyarakat untuk pembentukan opini publik. (2) TVpublik menyiarakan program siaran yang bermutu untuk segala lapisanmasyarakat. (3) TV publik mampu menciptakan standar kualitas programsebagai tuntutan bagi khalayak. (4) TV publik mampu melayani

Page 114: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

113

Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik

kepentingan kelompok penduduk minoritas. (5) TV publik menyiarkaninformasi yang independen dan obyektif,sehingga menjadi referensi bagipublik dalam mengantisipasi perubahan yang sangat cepat. (6) TV publikberperan penting untuk mendorong pelaksanaan debat publik dalamrangka mewujudkan demokrasi. (7) TV publik menjamin bahwamasyarakat memperoleh akses layanan yang menjadi kegemaran sebagianbesar masyarakat.

Tuntutan TVRI untuk menjadi sebuah lembaga penyiaran publikdipertegas dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 pasal 14 ayat 1:“Lembaga penyiaran publik merupakan lembaga penyiaran yangberbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen,netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untukkepentingan masyarakat. Yang tercakup dalam lembaga penyiaran publikdalam UU ini adalah TVRI dan RRI.” Pasal 15 menyebutkan: “Sumberpendanaan lembaga penyiaran publik adalah iuran penyiaran, APBN atauAPBD, sumbangan masyarakat, siaran iklan, maupun usaha lain yangterkait penyelenggaran penyiaran.”

Sepintas, UU ini memberikan power yang cukup kuat bagi TVRI menjadilembaga penyiaran publik yang ideal. Ideal karena ada keinginanmenjadikan TVRI netral, independen, tidak komersial dan memberikanlayanan untuk kepentingan masyarakat. Sepertinya, TVRI bisa menjadistasiun televisi yang baik. Apalagi tuntutan reformasi menginginkanpemerintah tidak terlalu berperan besar dalam TVRI. Prinsip-prinsip dasaryang berkaitan lembaga penyiaran publik seperti penggunaan dana publikjuga dimungkinkan misalnya melalui APBN/APBD, sumbanganmasyarakat dan sumber dana lain seperti yang disebutkan dalam pasal15 UU No.32 ini. Apakah kenyataannya demikian? Ternyata tidak semudahyang kita bayangkan.

Pertama, TVRI memang sudah tidak lagi “dekat” dengan pemerintah.Negara/pemerintah sudah mengurangi keterlibatannya. Namun, ketikaTVRI akan diserahkan ke tangan publik, publik ternyata tidak siapmerespon perubahan ini. Sebagian besar publik menganggap TVRImembosankan, kuno, identik dengan siaran orang tua. Entah karena sifatstasiun televisi publik yang harus berbeda dengan stasiun televisikomersial sehingga asing bagi publiknya atau memang publik yang sudahterbiasa dan dicekokin siaran-siaran stasiun komersial. Akhirnya, publikdan TVRI seolah-olah tidak nyambung.

Page 115: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

114

Ini berimbas pada operasional misalnya sulitnya untuk mendapatkandana dari iklan atau sponsor. Padahal, meskipun lembaga penyiaranpublik, TVRI bukan berarti tidak boleh untung. TVRI tetap harus untungagar ia bisa mandiri tetapi sekali lagi, iklan atau sponsor harusmendapatkan supervisi dari publik. Jika melihat keadaan TVRI sebagailembaga penyiaran publik yang menghendaki partisipasi publik, tentuini merupakan hal sulit. Bagaimana mungkin publik bisa berpartisipasibila menonton pun tidak. Akhirnya, ketika publik tidak antusias terhadapTVRI, pelan-pelan pemerintah akan kembali campur tangan terhadapTVRI.

Kedua, TVRI masih identik sebagai humas pemerintah. Perubahanimage TVRI dari humas pemerintah menjadi pelayan publik merupakanhal yang sulit. Hal ini bisa dimaklumi mengingat sejak berdiri hingga erareformasi, TVRI dikenal dekat dengan pemerintah. Image tersebut tentutidak mudah diubah dalam wktu sekejap karena harus mengubah budayaorganisasi dan budaya kerja TVRI. Bagi sebagian masyarakat, TVRI masihindentik dengan corong pemerintah. Hal ini bisa datang dari pihakpemerintah maupun pihak TVRI. Pemerintah tentu tetap inginmempertahankan supremasinya terhadap TVRI. Sedangkan dari pihakTVRI, rasanya masih sungkan untuk sedikit ‘memberontak’ padapemerintah terutama karena TVRI masih tergantung dana APBN/APBD.Dalam kadar tertentu, pemerintah memang masih diperbolehkan untukmemanfaatkan TVRI karena sebagai televisi publik, TVRI diharapkan bisamenjadi jembatan/sarana komunikasi pemerintah dengan publik/masyarakat. Namun alur komunikasi ini bukan lagi bersifat satu arah darinegara pada masyarakat melainkan dari dua arah. Sehingga TVRI bisamenjadi ruang publik yang bebas dari intervensi siapa pun baik negaraataupun pasar.

Ketiga, harus diakui pemerintah masih enggan melepaskanpengaruhnya di tubuh TVRI. Bisa dikatakan, pemerintah masih setengahhati mereformasi TVRI. Undang-Undang Nomor 32 tentang Penyiarantidak terlalu eksplisit menentukan apa bentuk stasiun televisi publik yangakan diberikan pada TVRI. Bentuk TVRI yang sangat operasional hanyadiatur dalam aturan sekelas Peraturan Pemerintah (PP) yang sangatmungkin terdapat kompromi-kompromi. Pada tataran politis, pemerintahmasih enggan melepaskan dominasinya terhadap TVRI. Sebisa mungkinTVRI menjadi ‘anak yang baik’ bagi pemerintah. Hal ini tentu wajar bilamelihat sepak terjang stasiun televisi swasta yang lebih sering mengkritik

Page 116: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

115

Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik

negara/pemerintah. Apalagi TVRI masih tergantung pada dana APBN/APBD. Tuntutan akan keseimbangan di aktor publik dan negaramerupakan satu keharusan. Aktor pasar harus mengalah karena sifatpenyiaran publik yang lebih menitik beratkan pelayanan pada publikdaripada memperoleh keuntungan semata.

Salah satu bentuk keinginan pemerintah untuk tetap mendominasiTVRI yaitu Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Lembaga PenyiaranPublik yang menghendaki peleburan RRI dan TVRI menjadi Radio TelevisiRepublik Indonesia. Dengan peleburan ini maka pemerintah memilikikewenangan kembali sebagai pembina lembaga penyiaran publiksekaligus memiliki otoritas dalam intervensi kebijakan lembaga penyiaranpublik misalnya pemilihan direksi, dewan pengawas, termasukbudgetting. Padahal jelas-jelas dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun2002 ini, lembaga penyiaran publik seperti TVRI dan RRI harusindependen dan netral.

Keempat, persoalan dana menjadi persoalan yang sangat besar di tubuhTVRI. TVRI masih kesulitan mencari dana. Hutang TVRI belum bisadiselesaikan. Sumber dana dari APBN/APBD minim. Pemasukan iklanjuga terbatas minimnya jumlah pemirsa TVRI. Pemerintah menyiasatinyadengan iklan-iklan layanan masyarakat. Bahkan sempat ada aturan bahwastasiun televisi swasta harus memberikan sebagian pendapatannya untukTVRI. Namun tetap saja tidak cukup untuk menutupi biaya operasionalyang sangat tinggi.

Selain itu, pengelolaan dana TVRI juga tidak jelas. Ini ada kaitannyadengan akuntabilitas publik yang menjadi tuntutan sebuah lembagapenyiaran publik. Kita jarang atau bahkan tidak pernah mendapatkanlaporan keuangan dari TVRI, apa saja biaya pengeluarannya, berapapendapatannya, dan lain-lain. Harusnya, TVRI siap memberikan laporankeuangannya kepada publik yang mendanainya melalui APBN.

Apa yang bisa ditawarkan untuk membuat TVRI menjadi lebih baik?Secara historis, kita sepakat bahwa TVRI sangat kuat dan mapan dalammenjalankan perannya pada era Orde Baru. Di era reformasi, TVRIdilemahkan perannya agar TVRI tidak menjadi corong pemerintah lagi.Keadaan TVRI semakin mengenaskan ketika ia harus bertarung denganstasiun televisi swasta. TVRI berjalan tertatih-tatih bahkan untuk sekedarsurvive di tingkat pusat dan daerah. Bahkan ada beberapa stasiun daerahyang harus berhenti operasi sementara waktu. Sudah saatnya TVRIkembali bangkit bukan menjadi sebuah stasiun yang melayani pemerintah

Page 117: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

116

tetapi menjadi sebuah stasiun televisi yang melayani kepentingan publik.Ada beberapa tindakan yang bisa diupayakan untuk memperbaiki

TVRI. Pertama, advokasi terhadap TVRI harus terus dilanjutkan. Advokasiterhadap TVRI harus dilaksanakan secara luas mulai dari segi kebijakanhingga persoalan yang sederhana, misalnya program, dana, partisipasipublik, dan lain-lain. Untuk level kebijakan misalnya, masyarakat yangdiwakili oleh praktisi komunikasi, akademisi, dan LSM harus terusmendampingi TVRI agar tidak lagi menjadi alat pemerintah. Advokasidilakukan untuk mendesak pemerintah menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 agar segera menyiapkan PeratuaranPemerintah (PP) atau aturan hukum lainnya agar TVRI sebagai lembagapenyiaran publik bisa berjalan dengan baik sesuai cita-cita Undang-Undang tersebut. Kelompok advokasi juga harus tetap mengkritisi setiapkebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah. Salah satunya tentangrencana PP yang ingin menggabungkan TVRI dan RRI.

Kedua, manajemen TVRI harus terus berbenah dan menyiapkan dirimenjadi lembaga penyiaran publik yang baik dan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 sebagai payung hukum TVRI sebagailembaga penyiaran publik. Pihak manajemen harus mampumenerjemahkan amanat undang-undang tersebut ke dalam visi misihingga unit terkecil, seperti program-program siaran. Ini tidak mudahkarena audiens juga tidak mudah menerima sesuatu yang berbeda dariyang biasa ditonton di televisi swasta. TVRI mungkin bisa meniru beberapaprogram yang baik di televisi swasta. Namun, jangan sampai keseragamansebagai sesuatu yang dikritisi dari stasiun televisi swasta berulang padaTVRI. Apalagi ada keleluasaan bagi stasiun daerah untuk lebihmengedepankan kekayaan lokal sehingga informasi dan isu-isu daerahakan lebih mengemuka dibandingkan isu-isu Jakarta. TVRI dimungkinkanuntuk membuat acara lokal berdasarkan permintaan pemirsa melaluisemacam dewan atau lembaga yang bisa memberikan masukan kepadaTVRI daerah sebagai bentuk partisipasi masyarakat.

Selain kreativitas, pembenahan manajemen menjadi keharusan untukmemenuhi tuntutan akuntabilitas publik. Manajemen profesional dan tatakelola keuangan yang bersih menjadi syarat utama. Mental birokratis perluditanggalkan diganti prinsip-prinsip profesionalisme layaknya swastasehingga tata manajemen bisa berjalan lebih baik. Sehingga, kasus korupsiSumita Tobing atau konflik manajemen dengan serikat pekerja tidakterulang di masa depan.

Page 118: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

117

Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik

Kualitas TVRI sebagai lembaga penyiaran publik bisa dilihat dariprogram-progam siarannya. Namun ada kekhawatiran para pekerja TVRItidak mampu mengembangkan reativitasnya karena minimnya dana.Penulis yakin, kreativitas bukan datang dari kondisi yang mapanmelainkan dari keterbatasan. Bukan berarti pula penulis inginmembenarkan bahwa keadaan TVRI sebaiknya berada pada kondisi yangserba minim. Ini tantangan bagi pekerja TVRI untuk bisa membuatprogram yang baik, bermutu, namun tidak harus seragam dengan stasiuntelevisi lain. Untuk masalah dana, TVRI mendapatkan anggaran dariAPBN dan APBD. Selebihnya, tergantung dari kreativitas TVRI. KetikaTVRI mampu membuat program yang baik dan bermutu, maka TVRI bisamenjadi pilihan pemirsa. Ketika TVRI sudah menjadi pilihan pemirsa, iabisa menjalin kerja sama dengan sponsor untuk menghidupioperasionalnya.

Ketiga, upaya pendanaan untuk TVRI. Ini bisa dimulai dari kerjasamainstansi pemerintah dengan menjadikan TVRI sebagai sarana sosialisasiprogram-program pemerintah melalui iklan layanan masyarakat. TVRIjuga dimungkinkan untuk memaksimalkan peran serta masyarakatmelalui penggalangan dana, misalnya pajak atau bentuk lain, dengancatatan mereka bisa menikmati kembali dalam bentuk tayanganberkualitas serta adanya akuntabilitas atau transparansi pengelolaan dana.

Solusi-solusi tersebut harus berjalan beriringan. Upaya pembenahanTVRI tanpa kerelaan pemerintah untuk ikut membangun TVRI menjadilebih baik, tidak akan maksimal. Sebaliknya jika pemerintah mengucurkandana besar tanpa dibarengi upaya pembenahan manajemen, budayaorganisasi, upgrade kemampuan dan kreativitas awak TVRI maka upayaini akan sia-sia juga. Jika pemerintah sudah berusaha membangun TVRI,manajemen sudah berupaya memperbaiki diri, namun publik tidak pedulidengan TVRI maka tidak besar manfaat TVRI yang sudah berubah menjadilembaga penyiaran publik.

KesimpulanDari latar belakang historis, TVRI memang sangat dekat dengan

pemerintah. Hal ini terlihat dari upaya Bung Karno yang berkeinginankuat agar Indonesia memiliki satu lembaga penyiaran sendiri. Dalamperjalanannya, TVRI selalu dekat dengan pemerintah melalui relasi negarasebagai regulator dan TVRI sebagai pelaksana sekaligus memainkanperannya untuk menjadi salah satu alat negara dalam bidang penyampaian

Page 119: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

118

informasi. Peran ini dimainkan pada pemerintahan Orde Baru. Namunperubahan zaman dan kondisi di Indonesia menghendaki perubahanTVRI. Negara tidak boleh lagi terlalu dekat dan kuat pengaruhnya. TVRIharus menjadi lembaga yang berorientasi pada pelayanan masyarakat.Logika pun harus berubah dari pelayan negara menjadi pelayan publik.

Salah satu bentuk yang bisa mengakomodasi adanya pelayanankepada publik adalah dengan menjadikan TVRI sebagai lembagapenyiaran publik. Hal ini dianggap ideal karena dari perkembangankondisi saat ini, TVRI cocok untuk menjalankan peran ini. Karena DNATVRI berbeda dengan DNA stasiun televisi swasta. TVRI terlihat lebihmapan dari segi infrastuktur dan usia. Namun kenyataannya terbalik.Yang terjadi, usia bertambah tetapi TVRI tidak siap dalam menghadapiperubahan. Ia semakin ditinggalkan publiknya, TVRI juga tidak terlaludekat dengan pemerintah. Akhirnya ia sendirian menghadapi kerasnyapertarungan dengan stasiun televisi swasta.

Kondisi ini menunjukkan perlunya perhatian dan kesediaan berbagaipihak untuk mengembalikan kejayaan TVRI. Berjaya bukan sebagaipelayan negara melainkan pelayan publik. Upaya ini bisa dilakukan mulaidari level kebijakan hingga upaya sederhana melalui terus memantau TVRIdan memberikan masukan-masukan kepada TVRI untuk terus berbenahdiri. Kritik dan masukan terasa aneh disampaikan kepada TVRI bila kitatidak pernah melihat dan menonton TVRI. Maka, mulailah untuk kembalimenilik keadaan TVRI. Karena TVRI adalah media publik kita.

Daftar PustakaGhazali, Effendi. 2002. Penyiaran Alternatif Tapi Mutlak: Sebuah Acuan tentang

Penyiaran Publik dan Komunitas. Jakarta: Jurusan Ilmu Komunikasi. Fisip UI.Heryanto, Gun Gun. 2003. Relasi Kekuasaan pada Kebijakan Perubahan Status

Hukum TVRI: Studi Ekonomi Politik Media. Thesis untuk mencapai gelar MSIdalam Bidang Ilmu Komunikasi. FISIP UI.

Tahir Harmens. TVRI sebagai TV Publik Sumbangan Pemikiran terhadapKeberadaan TVRI, dalam 40 tahun TVRI dari Pembebasan Menuju Pencerahan,Jakarta :FSP-TVRI.

UU Penyiaran No. 32 tahun 2002Website: http://id.wikipedia.org/wiki/Televisi_Republik_Indonesia.

Page 120: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

119

Pemberitaan TVOne yang menayangkan penangkapan tersangkateroris, yang diduga Nurdin M. Top di Temanggung kemudian diklaimoleh TVOne sebagai penangkapan Nurdin M. Top—dan ternyata salah—merupakan salah satu bentuk ketergesa-gesaan stasiun TVOnememberitakan suatu peristiwa dan merugikan masyarakat. Ini ditambahmengenai berita soal makelar kasus palsu, yang semuanya adalah upayauntuk mencari berita-berita sensasional yang sedang hangat danmengundang masyarakat untuk menontonnya.

Selain itu, running text dari TVOne yang menyatakan Gesang, maestrokeroncong telah meninggal dunia padahal kenyataan belum meninggaldunia, meskipun akhirnya meninggal dunia, namun di sini televisi bukanbertindak sebagai peramal dan berarti terjadi pembohongan publik, dimana televisi tidak mengabarkan realitas yang sesungguhnya dan beribu-ribu masyarakat yang meluangkan waktunya untuk dapat melihatberitanya secara langsung mendapatkan informasi yang keliru daripemberitaan melaui tayangan berita TVOne.

Dari gambaran di atas, tampak bahwa terjadi peningkatan penontonpada saat tayangan penangkapan teroris di Temanggung pada bulanAgustus 2009. Di mana penonton 168 persen dari minggu sebelumnya22.000 orang menjadi 59.000. Ini menandakan bahwa berita hangat dandisiarkan langsung merupakan komoditas yang menarik untukdiberitakan dan dijual. Namun yang menjadi masalah adalah beritatersebut ternyata bohong. Yang ditangkap bukanlah Nordin M. Top.Semuanya hanya mengejar rating dengan menampilkan berita yangsensasional.

Contoh pada media lain, juru bicara Trans7 Hadiansyah Lubis,mengatakan, pihaknya masih mematok rating sebagai pertimbangandalam program acara. Pihaknya tidak perlu lagi menunggu 13 episode.Jika tiga episode jika rating tidak bagus, bisa langsung dieksekusi. ujarnya.Dia menambahkan, rating tetap menjadi acuan dan performa tayangan

“Melihat Kembali” TVRI

Benedictus Yanuarto Purnomo dan Yohanes Bagas NurogoMahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Page 121: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

120

juga dipantau setiap hari (www.kpi.go.id). Televisi memprioritaskan ratingyang tinggi. Rating merupakan salah satu indikator tayangan televisiditonton oleh masyarakat. Rating menjadi tolok ukur sejauh mana programtersebut diakses banyak masyarakat dan ini berarti mendatangkan pundi-pundi uang dalam bentuk iklan.

Rating didapat dengan melakukan survei ke berbagai kota sepertiJakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung, Makassar, Yogyakarta,Palembang, Denpasar, Banjarmasin, menggunakan alat yang bernamapanel TAM (Television Audience Measurement) atau GG TAM yangdikeluarin oleh AGB Nielsen. Alat inilah yang jadi pemacu industri mediauntuk menyajikan tayangan semenarik mungkin. Definisi menarik adalahrating tinggi. Meskipun alat ini dikatakan tidak valid oleh banyak orang,namun alat ini yang dirasakan cukup representatif.

Tayangan televisi yang memperoleh rating pemirsa yang tinggicenderung menjadi incaran bagi para pengelola stasiun siaran. Ratingdalam penyiaran program televisi memberi jaminan income ataupemasukan dari iklan yang menyertai program. Pada umumnya tayanganhiburan yang menarik memperoleh rating tinggi sementara tayangan yangbersifat informasi dan pendidikan memperoleh rating rendah.

Data BPS tahun 2006 (Kompas, 31/07/2010) menyebutkan, masyarakatlebih memilih menonton televisi (85,95), dan atau mendengarkan radio(40,35), membaca koran (23,5 persen). Data ini menunjukan bahwa mediatelevisi sekarang sebagai media yang paling banyak diakses masyarakat.Hampir 86 persen masyarakat mengakses media televisi, berarti mediatelevisi memiki efek yang dapat mempengaruhi orang banyak. Dengandaya hipnotisnya, penetrasi yang hampir tanpa batas, dan efektivitasmedia audiovisual ini, menjadikan televisi pada posisi yang sangatstrategis, konsekuensi logikanya adalah munculnya berbagai kepentinganyang saling berdesakan, baik politik, bisnis, pendidikan, hiburan, dan lain-lain.

Fungsi Televisi Yang IdealSebagai media, televisi berfungsi menyambaikan informasi yang benar

kepada masyarakat. Informasi yang benar dapat memiliki fungsi sebagaipendidik bagi masyarakat, bukan berorientasi kepentingan komersial yanghanya diukur dengan rating. Menurut Haryatmoko (2007: 19) informasiyang benar mencerahkan kehidupan. Ia membantu menjernihkanpertimbangan untuk bisa mengambil keputusan yang tepat. Informasi

Page 122: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

121

“Melihat Kembali” TVRI

yang tepat menjadi sarana pendidikan yang efektif. Ia membuka peluangmemperbaiki nasib seseorang atau kelompok. Informasi yang benar dapatmendidik masyarakat. Masyarakat memiliki tambahan pengetahuan danmampu untuk menentukan pilihan yang tepat dan kritis berdasarkaninformasi, bukan pencitraan.

Sebagai industry dan organ kapitalisme, televisi dituntut mencarikeuntungan sebesar-besarnya untuk tetap bertahan hidup danmemenangkan persaingan. Hariatmoko (2007: 1) menambahkan derap-langkah realitas sangat diwarnai oleh struktur pemaknaan ekonomi yangdirasakan menghambat idealisme itu. Dinamisme komersial seakanmenjadi kekuatan dominan penentu makna pesan dan keindahan. Logikapasar mengarahkan pengorganisasian sistem informasi. Banyak pimpinanmedia yang berasal dari dunia perusahaan mau membenarkan logikapasar tersebut. Realitas pasar ini menggambarkan betapa media beradadi bawah tekanan ekonomi persaingan yang keras dan ketat.

Bertahan hidup dengan mencari pemasukan. Pemasukan didapat jikamedia ditonton oleh banyak orang sehingga menarik pengiklan. Pengiklandatang karena mereka berpikir bahwa media ini efektif karena dapatditonton oleh banyak orang. Di sini televisi mulai tergoda untuk berpikirpraktis. Salah satunya, dengan membuat tayangan-tayangan yang ‘disukaimasyarakat’.

Dedy Iskandar Muda (2003: 7) mengatakan, stasiun televisi dapatmemiih program yang menarik dan memiliki nilai jual kepada pemasangiklan, sementara perusahaan produksi acara televisi dapat meraihkeuntungan dari produksinya. Di Indonesia kecenderungan televisi swastasudah mulai mengarah kepada sistem di Amerika. Ini dimulai darigarapan-garapan sinetron, kuis, dan beberapa acara hiburan lainnya. Caraseperti ini memang sangat menguntungkan bagi stasiun televisi tersebutkarena semuanya dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis, yaitu untung dan rugi.

Terjadi disorientasi dari sifat mendasar dari televisi, dari medium untukmencerahkan kehidupan masyarakat menjadi medium yang meraupkeuntungan sebesar-besarnya. Hal ini melupakan esensi dari sifatpencerahan tadi. Sifat memberikan tayangan yang mendidik dilupakandan diganti dengan tayangan-tayangan yang bersifat mendatangkankeuntungan. Ini berarti tidak ada media televisi yang ‘merelakan dirinya’sebagai media pendidikan bagi masyarakat. Seakan mereka lepas tangandari tanggung jawab bersama untuk mencerdaskan bangsa. Ini berarti,

Page 123: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

122

tidak ada media televisi yang menjadi tumpuan untuk memberikanpencerahan masyarakat karena semua telah berubah orientasi: mengejarrating.

Mengembalikan Televisi PublikDalam titik ini, harus ada televisi yang independen dalam pendanaan

sehingga tidak berorientasi pada iklan dan rating. Televisi ini harus idealis,menjadi televisi pendidikan bagi public dan menjadi ‘ruang publik’ yangmemfasilitasi berbagai kelompok masyarakat. Kami berpikir untuk‘melihat kembali’ Televisi Republik Indonesia (TVRI). Melihat kembaliberarti (1) menata kembali manajeman sampai programnya dan (2)menyaksikan kembali TVRI kaerna TVRI menyajikan acara-acara yangmenarik, mengemban misi pendidikan dan patut dibanggakan. ApalagiUndang-Undang Nomor 32 tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor13 tahun 2005 menyatakan bahwa TVRI adalah Lembaga Penyiaran Publikyang bersifat independen, netral, tidak komersial dan berfungsi melayanimasyarakat. Dengan payung undang-undang ini, TVRI dapat digunakansebagai media yang benar-benar melayani masyarakat. Media ini dapatdijadikan sebagai pedoman dan ruang bersama seluruh publik diIndonesia.

Sejarah dan latar belakang TVRI memang memosisikan TVRI padaposisi dan fungsi yang tidak tepat. Plato melimpahkan kekuasaan padaNegara sehingga Negara berhak mengatur segala-galanya, termasuk pers.Sementara Lenin menempatkan pers dalam kerangka besar kepentinganpartai (Lan, 2002; 52). Mungkin percampuran fungsi pers antara Platodan Lenin sangat cocok disamakan dengan fungsi TVRI pada saat eraOrde Lama dan Orde Baru. Di era Presiden Sukarno, TVRI menjadi alatpropaganda nasionalisme dan demokrasi terpimpin. Di era Orde Baru,TVRI tak ubahnya alat politik untuk memuluskan konsensus nasionaltentang pembangunan, persatuan bangsa dan stabilitas politik yang secaratidak langsung menguntungkan kelompok Golongan Karya.

Di era reformasi, kondisinya tetap sama. Berbagai keputusanpemerintah terhadap TVRI dianggap mempunyai tujuan politik sehinggamemunculkan kecurigaan berbagai pihak. Mulai dari perebutan jajarankomisaris antarpartai, dualisme TVRI hingga keputusan presiden yangbertolak belakang dengan fungsi TVRI. Keputusan yang dianggap palingnetral dan tidak dianggap berbau politis adalah status TVRI sebagai televisipublic yang mempunyai tugas dan fungsi: memberikan pelayanan

Page 124: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

123

“Melihat Kembali” TVRI

informasi, pendidikan dan hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial,serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisanmasyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran televisi yang menjangkauseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

TVRI seharusnya dapat dijadikan rujukan mengenai tayangan yangmemiliki idealisme nilai dan melayani masyarakat untuk dapat berpikirkritis, lepas dari semua orientasi mencari rating, keuntungan, dan kepen-tingan politis. Ruang publik penyiaran mencerminkan kemajemukan nilaidalam masyarakat, ramah keluarga, tidak bias gender, tidak diskriminatif,menghibur tetapi juga memberikan nilai tambah dalam masyarakat.

Keberadaan TVRI sebagai televisi publik mengharuskan segenapjajarannya untuk menampilkan tayangan atau program yang bermanfaatuntuk kepentingan publik. Hal ini terkait dengan fungsi lembagapenyiaran yang merupakan media komunikasi massa yang mempunyaiperan penting dalam kehidupan sosial budaya, politik, dan ekonomi yangmemiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam menjalankan fungsinyasebagai media informasi, hiburan, serta kontrol sosial, dan sekaligussebagai perekat bangsa.

Program-program TVRI harus terhindar dari hal-hal yang dapatmenimbulkan keresahan, memancing emosi negatif, sadisme, tidakmendidik, melanggar etika, dan norma agama. Peralihan status TVRImenjadi televisi publik memiliki kewenangan otonom yang lebih mandiri.Diakui, TVRI memang memerlukan waktu yang lama untuk menghapuscitra historisnya sebagai ‘corong pemerintah’. Hal itu terkait masa OrdeBaru dulu. Namun sekarang TVRI sebagai televisi publik, harus tampilbeda, baik dalam format tayangan maupun isi siarannya.

Anggaran APBN untuk belanja TVRI yang hanya sekitar Rp 500 miliarpertahun—jauh di bawah dana televisi swasta yang rata-rata Rp 1,5 triliunper tahun—perlu dikoreksi. Dengan dana sejumlah itu, TVRI belum dapatbersaing dengan televisi-televisi swasta, terutama untuk pengadaan alatyang memungkinkan kualitas gambar yang bagus dan peningkatanstandar gaji bagi para pegawainya sehingga dapat menjaga independensiterhadap sogokan-sogokan.

TVRI harus mewakili semua kalangan, sebagai wadah bersama, karenasifatnya dari rakyat dan untuk rakyat. TVRI bukan hanya menjadi alatpropaganda budaya Jawa seperti era Suharto, namun dapat diakses olehsemua golongan. TVRI harus membantu daerah-daerah yang tertinggalmenjadi berubah dan tidak semata-mata berpatokan pada rating.

Page 125: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

124

Tantangan utamanya bagaimana mengubah isi siaran TVRI sehinggamenarik bagi penonton. Jika kita membandingkan isi siaran TVRI dan NHK(Jepang), dua stasiun televisi tersebut sama, namun yang membedakan adalahcara penyajiannya. Dalam membuat program, televisi publik perlu melibatkanmasyarakat untuk merencanakan isi dan kemasan. Perdebatan untukmengemas acara amat diperlukan agar nilai-nilai kepublikan mengkristalsesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat.

Semakin kritisnya penonton televisi, semakin banyak tuntutan untukmeningkatkan baik kualitas maupun kuantitas siaran TVRI (Wahyudi,1984;13). TVRI harus menampilkan Indonesia secara menarik dalampemberitaannya. Menarik belum tentu hal-hal yang bagus, namunbagaimana program itu dikemas secara lebih menarik dan berbeda. Bilaitu semua berhasil, maka tak mustahil menyandingkan TVRI dengan NHK(Jepang) dan BBC (Inggris).

Daftar PustakaHaryatmoko. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan

Pornografi.Yogyakarta:Kanisius, 2007Intani, Retno ZA. 2009. TVRI Yang Terlupakan. (http://nasional.kompas.com/read/

2009/08/24/02543179/TVRI.yang.Terlupakan), 17 Agustus 2010 pukul 21.12 WIBKompas, Sabtu, 31 Juli 2010Lan, May. Pers, Negara dan Perempuan.Yogyakarta:Kalika, Cetakan Pertama, 2002.Muda. Deddy Iskandar. Jurnalisme Televisi: menjadi Reporter Profesional.Bandung :

PT Remaja Rosdakarya, 2003Pribadi, Benny A dan Bambang Sutjiatmo. 2009. Pemanfaatan Siaran Televisi

Pendidikan. (http://lppm.ut.ac.id/publikasi/ptjj/9_A5-benny-edit.pdf), 17Agustus 2010 pukul 20.58 WIB.

Puspasari, Eka dan Mohammad Adam. 2010. Pemerintah Harus Tambah AnggaranTVRI dan RRI (http://nasional.vivanews.com/news/read/120851-pemerintah_harus_tambah_anggaran_tvri_dan_rri), 17 Agustus 2010 pukul21.41 WIB.

Ulum, Akhmad Samsul. 2006. Televisi untuk Kepentingan Bisnis. (http://www.suaramerdeka.com/harian/0608/22/opi04.htm), 17 Agustus 2010 pukul21.01 WIB.

Wahyudi, J.B. Jurnalistik Televisi: Tentang dan Sekitar Siaran Berita TVRI.Bandung:Penerbit Alumni, 1985.

www. tvri.co.id, diakses pada 17 Agustus 2010.www.agbnielsen.co.id, diakses 17 Agustus 2010.www.kpi.go.id, diakses pada 17 Agustus 2010.

Page 126: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

125

“At the heart of democracy is talk,” demikian Barber (1990: 174).Demokrasi pada hakekatnya adalah perbincangan politik yangdidasarkan pada dan untuk mencapai kesepakatan bersama. Bukansekadar kesepakatan tanpa dasar, tetapi kesepakatan yang berlandaskankepentingan bersama. Bagi para pengagas demokrasi deliberatif yangmelihat partisipasi warga negara sebagai tulang punggung demokrasi,political talk merupakan sebuah keharusan (Barber, 1990; Bohman, 1996),agar tercapai kesepahaman (consensus) terkait model dan cara apa yangterbaik dalam mewujudkan kepentingan bersama (Habermas, 1974).

Dalam demokrasi langsung pada zaman Yunani kuno, proses deliberasidiperankan langsung oleh tiap-tiap warga Athena di polis tanpa perlumewakilkannya pada lembaga tertentu. Proses tersebut sangat berbedadalam demokrasi modern. Pada demokrasi sekarang, proses kesepakatanpolitik bukan hanya diwakilkan, tetapi terjadi secara termediasi. Mediamassa, khususnya televisi adalah yang utama dalam memerankan prosesmediasi tersebut. Televisi bahkan tampil sebagai aktor politik baru dalamdemokrasi liberal dewasa ini.

Masalah kemudian muncul ketika media pada hakekatnya tidakdibentuk atas dan untuk mencapai kesepakatan bersama. Media terlebihtelevisi pada dasarnya didirikan untuk kepentingan privat individu, yaitu:mengejar profit. Televisi dengan sistem dual market-nya (McQuail, 2000),berusaha untuk melipatgandakan kapital pemiliknya. Selain menjualproduk media dalam bentuk materi maupun jasa, televisi bertujuan untukmenjual para penontonnya. Pembelinya adalah agen iklan dan perusahantertentu yang membutuhkan publikasi. Angka-angka hasil surve ratingmenjadi ukuran bagi kesuksesan ‘pasar ganda’ televisi ini.

Di sisi lain, televisi seperti juga radio berbeda secara struktural denganmedia lain. Televisi beroperasi dengan menggunakan frekuensi gelombang

Televisi sebagai Ruang Publik dalamPolitik Demokrasi di Indonesia: Mungkinkah?

Salvatore SimarmataLulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Page 127: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

126

radio yang merupakan sumber daya yang terbatas, sehinggapenggunaannya perlu diatur. Berbeda dengan televisi, surat kabar danmajalah seperti sekarang ini di Indonesia, tidak perlu diatur secara ketatsebab siapa saja yang punya modal bisa mendirikan media tersebut.Artinya, televisi menjadi lebih rawan terhadap represi kekuasaan lewatintervensi kekuasaan baik dalam bentuk undang-undang, pencabutan izin,maupun tindakan kekesaran, khususnya pada rezim otoritarian.

Tetapi, rezim otoritarian di Indonesia sudah lengser. Lalu, apakahmedia televisi telah memberi kontribusi yang substantif bagi konsolidasidemokrasi? Apakah dengan tumbangnya rezim otoritarian, media televisibisa menjadi ruang publik di Indonesia? Dengan sistem demokrasiperwakilan, mungkinkah secara struktural televisi menfasilitasi demokrasideliberatif di era pemilihan langsung sekarang ini?

Menelisik peran televisi dalam konteks dinamika politik Indonesiamerupakan bagian dari upaya konsolidasi demokrasi itu sendiri. Sebab,pertama, demokrasi tidak mungkin hidup tanpa media yang demokratis,otonom, dan plural. Kedua, munculnya gejala industrialisasi politik(Kompas, 15/06/2010). Dewasa ini politik bukan lagi persoalan politiksemata. Politik telah menjadi sebuah korporat yang ditandai denganmunculnya kecenderungan industrialisasi politik. Proses pemilihan politik(nasional dan lokal) telah sepenuhnya melibatkan banyak pihak dankepentingan, seperti konsultan politik, lembaga survei, dan sponsor, dimana citra menjadi yang utama daripada program dan ideologi kandidat.Sejak pemilu langsung tahun 2004, serangan imaji-imaji iklan lebihmendominasi layar kaca ketimbang diskusi hangat tentang rencanastrategi implementasi agenda politik yang feasible. Gejala ini menempat-kan televisi sebagai alat politik sempurna untuk membangun citra, danhubungan simbiosis mutualistik antara keduanya pun terbentuk.

Ketika citra menjadi tumpuan, rasionalitas menjadi tidak penting.Banalitas politik demokrasi tergerus oleh permainan citra-citra yangmembentuk realitas palsu, sebuah simulakra, kata Jean Baudrillard (1992).Sebagai alasan ketiga, sebaliknya pada saat yang sama masyarakatmembutuhkan informasi yang beragam dan relevan dengan kehidupandan kepentingan sehari-hari mereka. Informasi diperlukan olehmasyarakat untuk melakukan penilaian atas jalannya pemerintahansehingga mereka dapat mengambil sikap politik yang pada akhirnyamenguatkan sistem demokrasi yang substantif, bukan sekedar demokrasiprosedural-makanistis. Alasan terakhir, mencuatnya kecenderungan elit

Page 128: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

127

Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

partai sebagai pemilik televisi tertentu, sebuah paralelisme politik yangbisa berbahaya bagi demokrasi.

Sesungguhnya, bukan hanya rakyat biasa, para elit politik juga sangattergantung pada informasi yang disediakan oleh media lewatpemberitaanya. Hanya dengan informasi yang cukup, deliberasi politikbaik oleh para politisi, pengamat, akademisi, dan rakyat biasa dapatterwujud secara berkualitas. Sejalan dengan itu, televisi sebenarnyamenggunakan fasilitas publik, yaitu gelombang frekuensi yang dikelolaoleh negara. Maka bentuk pertanggung-jawaban publik tersebuthendaknya dapat diwujudkan lewat pelayanan televisi dalammenyediakan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat untukmembangun komunitasnya, memperbaiki kehidupannya, serta terdoronguntuk membela nilai-nilai demokrasi demi kemajuan bangsanya.

Media dan DemokrasiPosisi media dalam demokrasi telah lama dikaji dalam konteks

komunikasi politik, khususnya yang berkaitan dengan media effect (a.l.Lasswell, et al., 1980; McNair, 2003, Crigler, 1999). Di sisi lain teori-teoriklasik telah dikembangkan untuk melihat bagaimana media menjadivariabel dependen atas sistem politik, khususnya di negara-negara otoriter(Siebert, et. al., 1963; Hachten, 1989; McQuil, 2000). Dalam negara otoritermisalnya, media ditempatkan sangat lemah dan menjadi bagian dari alatpropaganda negara. Tidak ada tanda-tanda perbincangan politik secaraterbuka di sana.

Dari kedua tinjauan tersebut dapat ditarik benang merah hubunganantara media dan demokrasi merupakan sebuah hubungan timbal-balik.Resiprokalitas hubungan tersebut dikembangkan oleh Mughan danGunther (2000) untuk mengkaji media dalam demokrasi lewat pendekatanmikro dan makro. Setelah melihat kajian yang sudah disebutkansebelumnya, pendekatan ini bukanlah sesuatu yang baru, tetapi integratif.Sebuah pendekatan integratif tentu akan mampu membaca fenomenasecara mendalam dan komprehensif. Di samping itu, diperlukan konsep-konsep kekinian untuk mengambarkan dinamika terbaru atas hubunganmedia dan politik dalam konteks demokrasi liberal dewasa ini.

Pendekatan makro diterapkan dengan mengkaji struktur sistem mediadan bagaimana sistem tersebut memengaruhi politik. Pada umumnya,karakter sistemik yang dibahas adalah pola peraturan pemerintah, polakepemilikan media, pola program acara, struktur audiens, dan tingkat

Page 129: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

128

penonton (viewership). Sementara pendekatan mikro lebih fokus padainvestigasi efek komunikasi politik pada level individual, biasanya padamusim kampanye menjelang pemilu (Mughan dan Gunther, 2000). Tetapidalam level makro, Gunther dan Mughan (2000) juga melihat munculnyafaktor ekonomi yang mempengaruhi posisi media dalam demokrasidalam bentuk liberalisasi ekonomi dan liberalisasi media.

Pendekatan filosofis dalam mengembangkan teori pers oleh Siebert,et al. (1963), teoritisasi dinamis dari Hachten (1989), dan kategorisasimodel dari Hallin dan Mancini (2005) merupakan kajian level makro.Berikut digambarkan pemodelan teoritis tersebut:

Persamaan di antara model di atas adalah: politik merupakan variabelpengaruh bagi keberadaan media. Konsep Hachten (1989) tidak jauhberbeda dengan pemikiran klasik dari Siebert et al. (1963). Kebaruanpada Hachten adalah munculnya model baru yang dipengaruhi olehpemanfaatan media sesuai dinamika masyarakatnya, seperti modelpembangunan. Pada kesempatan kali ini, kita akan menfokuskanpembahasan pada model tipe demokratis. Tujuan dari internalisasi modelini adalah untuk melihat faktor-faktor makro yang masih relevan dalammelihat bagaimana media di Indonesia berperan/tidak berperan bagipengembangan demokrasi sebagaimana mestinya. Dari model-model diatas, pemikiran Hallin dan Mancini (2005) akan dijadikan sebagai dasarteoritis.

No Tokoh Faktor MakroModel Sistem Media

Demokratis Non-Demokratis

Siebert, et al.

(1963)

Hachten

(1989)

Hallin & Mancini

(2005)

Social and political structures

Philosophical rationales

Political system and

historical traditions

Media sirculation

Political parallelism

Professionalism

State intervention

Libertarian

Social responsibility

Western concept

Polarized pluralist

Democratic corporatist

Liberal model

Authoritarian

Soviet communist

Authoritarian

Communist

Developmental

Revolutionary

1

2

3

Tabel 1: Faktor Pengaruh Level Makro pada Media1

(Diolah dari: Sibert et al, 1963; Hallin & Mancini, 2005; dan Hachten, 1989)

Page 130: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

129

Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

Hallin dan Mancini (2005) mengusulkan tiga model media dalamdemokrasi dengan berpijak pada empat indikator empiris, yaitu: (1)Pertumbuhan pasar media dilihat dari tingkat sirkulasi media; (2) PoliticalParallelism dimana antara media dan partai politik memiliki kemiripan.secara ideologis; (3) Profesionalisme wartawan dan kinerja jurnalistiknya;dan (4) Tingkat intervensi negara terhadap media. Berdasarkan empatkriteria tersebut, Hallin dan Mancini menemukan tiga bentuk modelmedia, seperti terlihat pada tabel di atas.

Jika kita korelasikan antara keempat indikator ini dengan sistem mediaideal, maka akan terbentuk empat hipotesis berikut: pertama, semakintinggi tingkat pertumbuhan pasar media, maka makin independenlahmedia tersebut terhadap pengaruh dari luar khususnya negara. Mediayang sukses secara ekonomi akan lebih bebas dari intervensi politik,ketimbang media yang kurang sehat secara bisnis. Media yang independenadalah pilar penting bagi demokrasi. Kedua, keragaman ideologi politikdi masyarakat akan lebih baik jika juga terrepresentasi dalam media.Walaupun indikator ini mengandung paradoks tersendiri yang nanti akandijelaskan. Dalam konteks ini, sejauh keragaman tersebut masih dalambatas nilai-nilai demokrasi dan koridor hukum. Ketiga, semakin tinggiprofesionalisme wartawan maka semakin bagus kinerja media tersebut.Profesionalisme ini biasanya ditandai oleh kode etik, organisasi jurnalis,perlindungan terhadap jurnalis, prinsip jurnalisme seperti objektivitas,dan lain-lain. Dan keempat, makin rendah intervensi negara terhadapmedia, makin bagus bagi peran media dalam demokrasi. Keempatproposisi tersebut menjadi pintu masuk untuk melihat bagaimana peranmedia dalam demokrasi, termasuk di Indonesia.

Politik demokrasi di Indonesia mengalami kemajuan yang sangatmengesankan. Banyak pujian datang dari negara lain dan lembagainternasional atas kesuksesan Indonesia melakukan konsolidasi demokrasi(The Jakarta Post, 28/06/2010). Tetapi banyak ahli menilai bahwa demokrasiyang dinilai sebagai kesuksesan tersebut masih sebatas demokrasiminimalis, sekadar pelaksaan pemilu yang demokratis. Demokrasi secarasubstansial masih jauh dari kenyataan, atau oleh Boni Hargens disebutsebagai demokrasi permukaan (Kompas, 27/01/2009). Demokrasisubstansial terwujud ketika kesejahteraan masyarakat menjadi fokusutama dalam usaha-usaha politik secara nyata, di mana hasilpembangunan dirasakan oleh masyarakat sebagai bentuk kemerdakaanyang hakiki. Terbebas tidak hanya dari aspek fisik, seperti makanan,

Page 131: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

130

pakaian, kesehatan, tetapi juga dari aspek kebebasan untuk berkarya,berkumpul, dan mengembangkan kesejahteraan masyarakatnya.

Realitasnya, politik Indonesia masih jauh dari cita-cita tersebut. Krisisdemokrasi perwakilan sebagaimana disinggung oleh Barber (1990)menguap di tengah disorientasi lembaga-lembaga politik di tanah air.Ketika realitas politik menunjukkan gambar yang buram, media menjadibagian dari struktur yang tidak mencerdaskan tersebut. Apa yang kitasaksikan di televisi akhir-akhir ini lebih banyak berita bersifat elitis. Mulaidari pergantian sekretaris jenderal partai, krisis koalisi, hingga konfliklegislatif-eksekutif. Ketika hari berganti, muncul berita tentang kasuskorupsi para pejabat negara yang makin melukai rasa keadilan. Di tengahkesulitan ekonomi masyarakat, televisi menyajikan tontonan yangmembuat masyarakat semakin merasa dipinggirkan. Krisis demokrasiperwakilan karena ulah para elit ini membuat masyarakat makin apatisterhadap politik. Konsekuensinya, warga negara semakin jauh dariketerlibatan politik. Di satu sisi karena ulah elit politik, di sisi lain mediatidak memberikan informasi yang substantif berkaitan dengankepentingan mereka. Pada akhirnya, rendahnya partisipasi politikberdampak buruk pada kualitas demokrasi.

Dalam tataran inilah televisi semakin mendesak untuk direvitalisasi,demi menegakkan demokrasi. Media televisi mestinya dapat lebihberperan tidak hanya sebatas pengawas (watch dog), tetapi sebagai ruangpublik ideal. Dengan kata lain televisi mestinya tidak hanya sebatas sarana,melainkan juga sebagai ruang untuk deliberasi demokratis. Dalam ruangpublik perlu ditegakkan pluralitas pikiran dan partisipannya, sehinggamedia televisi tidak berubah menjadi alat propaganda elitis yang pervasif.Alih-alih mencerdaskan, televisi bisa terjerumus menjadi aktor hegemonikultural. Paletz dan Etnman (1981: 194) menyatakan bahwa: By grantingthe elites substantial control over the content, emphases, and flow of public opinion,media practices diminish the public’s power. Eliminasi atas publik ini bisadisengaja oleh media, bisa juga tidak disadari.

Di tengah proses deliberasi yang termediasi sekarang ini, kredibilitasmedia menjadi penentu keberhasilan deliberasi publik, sehingga dapatmewujudkan apa yang disebut Gamson (2001): collective action frames.Kerangka tindakan kolektif, menurut Gamson adalah: some sense of collectiveefficacy and deny the immutability of some undesirable situation. They empowerpeople by defining them as potential agents of their own history (Gamson, 2001:59). Peran media ini membutuhkan komunikator professional, orang-

Page 132: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

131

Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

orang yang tidak hanya membantu para ahli untuk saling berkomunikasi,tetapi juga mengumpulkan, menjelaskan, memperdebatkan, danmenyebarluaskan informasi dan ide-ide terbaik tentang kebijakan publiksehingga dapat ditangkap oleh warga masyarakat biasa (Page, 1996: 5).

Warga negara yang well-informed akan membuat rational political choices.Pilihan politik rasional penting bagi demokrasi, bukan hanya karenalandasan pembuatan keputusannya tetapi juga karena dengan demikianmasyarakat terdorong untuk berpartisipasi. Partisipasi politik yang tingginiscaya menciptakan budaya politik yang kuat. Barber (1990)menyebutnya: strong democracy. Sebagai antithesis terhadap thin democracy,Barber menegaskan: Strong democracy is defined by politics in the participatorymode: literally it is self-government by citizens rather than representativegovernment in the name of citizens. Active citizens govern themselves directlyhere, not necessarily at every level and in every instance, but frequently enoughand in particular when basic policies are being decided and when significant poweris deployed. Self-government is carried on through institutions designed tofacilitate ongoing civic participation in agenda-setting, deliberation, legislation,and policy implementation (in the form of ‘common work’” (Barber, 1984: 151).

Televisi menjadi salah satu dari berbagai institusi yang berfungsi untukmenfasilitasi partisipasi warga dalam pembentukan agenda politik,deliberasi, legislasi, dan implementasi kebijakan politik. Pekerjaan iniditempatkan sebagai common work, sebagai dasar terbentuknya apa yangdisebut Gamson sebagai collective action frames. Pusat dari demokrasipartisipatif adalah warga negara (the citizens). Maka demokrasi deliberatifyang menempatkan partisipasi warga negara sebagai pilar utama dalamsistem politik sangat relevan dengan kehadiran teknologi media baru.Demokrasi deliberatif, menurut Bohman (1996) secara teoritis memilikiempat ciri, yaitu: (1) menekankan pentingnya deliberasi untuk mencapaikeputusan politik; (2) menolak reduksi politik dan pengambilan keputusanpada rasionalitas instrumental-strategis; (3) bersifat proseduralis; dan (4)menjungjung universalitas.

Dalam demokrasi deliberatif terdapat kekuatan tindakan komunikatifdalam forum publik. Proses deliberasi dalam forum terbuka tersebutadalah: sebuah proses di mana warga negara berusaha untuk meyakinkanwarga lainnya untuk menerima kebijakan yang diusulkan denganberlandasan penggunaan reason di hadapan publik (public use of reason)lewat proses dialog deliberatif yang take and give (Bohman, 1996: 15).Demokrasi yang dibangun secara diskursif lewat ruang publik tersebut

Page 133: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

132

merupakan “rumah” bagi konstestasi berbagai wacana, di mana padaproses komunikasi tersebut harus dipenuhi tiga syarat, yaitu: mampumerangsang pemikiran reflektif, non-koersif, dan mampu menghubung-kan pengalaman individual/kelompok dengan sebuah prinsip yang lebihumum (Dryzek, 2003: 9-10).

Sejalan dengan itu, Bohman (1996) menyebutkan bahwa prosesdeliberasi dapat berhasil jika dipenuhi tiga syarat, yaitu: (1) tidak adadominasi dalam proses deliberasi di mana ada seseorang atau kelompokyang memaksakan kekuasaannya untuk kepentingan tertentu; (2) adanyakesetaraan di mana setiap warga negara memiliki akses yang samaterhadap proses pengambilan keputusan; dan (3) deliberasi akan bersifatdemokratis ketika dilakukan secara publik.

Media televisi memiliki kualitas yang sangat tepat mengembangkanmodel demokrasi deliberaif ini. Dua bentuk genre berita televisi yangpaling tepat untuk demokrasi delibertif adalah television debate dan currentaffairs, karena dimungkinkannya terjadi dialog. Sifat mediumnya yangmampu menghadirkan pesan audio-visual menjadi kekuatan tersendiriketika ditayangkan secara live untuk sebuah acara dialog. Diskusi“interaktif” yang menghadirkan berbagai kalangan, mulai dari pemerin-tah, warga masyarakat, akademisi, LSM, dan lain-lain, akan menciptakankesepahaman (mutual understanding) yang lebih komprehensif. Secarastruktural, pada Bagan 1 digambarkan proses interaksi tersebut

Ruang publik (public sphere) merupakan sebuah ruang yang bebas daritekanan kekuasaan negara dan ekonomi, di mana warga negaramelakukan pembicaraan politik atau deliberasi guna mewujudkan suatukesepahaman bersama terkait dengan kepentingan umum yang lebih luas.Konsep dasar ruang publik ini umumnya didasarkan pada pemikiranJurgen Habermas. Habermas mengungkapkan beberapa defenisi tentangruang publik tersebut sebagai berikut: “The public sphere is a realm of oursocial life in which something approaching public opinion can be formed(Habermas 1974: 49); private persons making public use of their reason(Habermas 1989: 27); populated by private people gathered together as a publicand articulating the needs of society with the state (hal.176).”

Setidaknya ada empat “elemen” penting dalam ruang publik, yaitu:private persons, use of reason, needs articulation, dan public opinion. Jadi, debatpolitik dalam acara televisi (TV debates) maupun pada program dialogpada program current affairs merupakan upaya untuk merealisasikanelemen-elemen penting tersebut.

Page 134: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

133

Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

3. Media Televisi: Kapital vs PublikPada penjelasan sebelumnya telah diuraikan bahwa faktor makro

politik lebih dominan dalam menentukan ruang gerak media. Faktorstruktural tersebut terdiri dari peraturan pemerintah dan intervensi negaraterhadap media. Pengekangan terhadap media akibat struktur politik iniumumnya terjadi di negara-negara otoriter, di mana kebebasan menjadibarang langka.

Namun ketika kebebasan diraih, apakah media menjadi sejalan denganprinsip-prinsip demokrasi? Sayangnya jawabannya: tidak! Mughan danGunther (2000) menengarai bahwa liberalisasi yang pada awalnyameruntuhkan rezim otoriter, kemudian menumbuhkan liberalisasi media,pada akhirnya media tidak serta-merta menunjukkan prinsip-prinsip

The State/Government/Political Establisement

Citizens

TVdebates

Public organizations Terrorist organizations

CurrentAffair

BusinessPressure

groups Media

Political Parties

Public opinionTrade Unions

Editorials Features

News

Bagan 1. Televisi sebagai Ruang Publik(Dikutip dari: McNair, 2003, hal. 20).

Page 135: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

134

demokrasi. Media dalam era kebebasan (demokrasi) disandera olehkekuatan yang dulu membebaskannya, yaitu kekuatan liberalisasiekonomi. Kapitalisme sebagai dasar liberalisasi mengeser media tidaklebih dari sekadar pelipatgandaan modal.

Dalam prinsip pasar bebas, sebagai mesin penggerak kapitalisme,media tidak lagi berupaya untuk memenuhi apa yang dibutuhkan oleh‘publik’. Upaya-upaya yang dilakukan oleh media mulai darikomodifikasi, spasialisasi, hingga strukturasi, dimaksudkan untukmengejar keuntungan belaka (Mosco, 1996). Media lebih terdorong untukmenyediakan informasi yang paling banyak dicari, lepas dari diperlukanatau tidak oleh masyarakat. Media lebih berorientasi mempertahankaneksistensinya sebagai lembaga ekonomi. Profit menjadi prioritas utamadibandingkan fungsi normatif yang harusnya dipengang oleh media. Padasaat yang sama akses masyarakat terhadap media rendah terlebih untukmenyuarakan aspirasi mereka.

Masyarakat juga kurang bisa memilih informasi yang lebih sesuaidengan kepentingannya, karena patokan utama yang dipegang oleh mediaadalah melayani kebutuhan mayoritas jenis informasi yang diinginkandalam kebijakan free-market information. Jenis informasi yang tersedia(supplied) pada akhirnya adalah informasi yang paling banyak dicari(demanded), lepas dari bermanfaat atau tidak bagi masyarakat. Akibatnya,deliberasi demokratis lewat media lama niscaya terkikis oleh dorongankepentingan ekonomi media. Dalam situasi ini, Jurgen Habermas (1989)pernah membongkar bahwa media yang mestinya berperan sebagai ruangpublik, telah ‘mengidap penyakit’ refeodalisasi ruang publik.2 Ruangpartisipasi politik lewat media akhirnya tertutup rapat. Penjajahan ruangpublik membuat oleh kukuatan luar yang menjadi pengerak nafas ruangpublik tersebut, membuat sesuatu yang publik (masalah politik misalnya)menjadi tunguk pada logika yang ‘privat’. Colonization in this sense thusmeans the almost unconditional surrender of politics … to the logic of the mediasystem (Meyer & Hinchman, 2002: 57).

Sebagian kalangan berpendapat, tidak salah jika media televisi menjadilembaga bisnis, dan beroperasi demi kepentingan bisnis. Apakah ada yangsalah dengan itu? Tentu tidak ada yang salah. Tetapi eksistensi mediapada dasarnya ditopang oleh kepercayaan masyarakat. Kepercayaan iniyang melahirkan hubungan mutualisme yang baik. Kepercayaan tersebutperlu dipelihara lewat kinerja media yang dapat memberi kontribusi bagikebaikan masyarakat. Maka sangat tepat McQuail (2000) menyebut media

Page 136: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

135

Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

sebagai “institusi sosial”, bukan media corporation misalnya. Institusi sosialmengindikasikan adanya dimensi sosiologis atas keberadaan mediatersebut. Tanpa interaksi yang produktif antara media dan masyarakat,maka media tersebut tidak akan eksis. Di samping alasan sosiologis ini,ada alasan legal-politis yang lebih tegas untuk mendorong agar mediatelevisi menjungjung kepentingan publik.

Televisi di mana pun, termasuk di Indonesia menggunakan fasilitaspublik, yaitu gelombang siaran yang terbatas. Sumber daya tersebutdiserahkan kepada negara untuk dikelola demi kesejahteraan masyarakat.Pada butir (b) bagian pertimbangan UU No. 32 Tahun 2002 tentangPenyiaran, dituliskan: bahwa spektrum frekuensi radio merupakansumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harusdijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17Agustus 1945 (penekanan oleh penulis).

Sayangnya, kinerja media televisi di Indonesia terlebih 10 tahunterakhir sangat dikendalikan oleh keseragaman, eksploitasi sisi humaninterest, irrasionalistas, dan tubuh yang seksi. Semuanya demimeningkatkan tingkat viewership. Singkat kata, the economy reigns! Dalamsituasi seperti itu, pemerintah sebenarnya harus turun tangan.

Negara sebagai bentuk kristalisasi kepentingan publik harus menjaminterwujudnya prinsip kepublikan tersebut.3 Bentuk yang paling lazimadalah penegasan fungsi pengawasan, serta menjalankan pengaturanpemakaian gelombang sebagaimana telah diatur Undang-Undang. FungsiKomisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga yang mewakilikepentingan publik perlu mengandung sifat mengikat, bukan hanya fungsipengawasan normatif saja. Kemudian, evaluasi penggunaan gelombangsiaran pasti efektif untuk ‘meluruskan’ kepentingan publik dalam televisi.Pasal 34 ayat 1 butir b, UU No. 32 Tahun 20002 Tentang Penyiaran berbunyidemikian: “Izin penyelenggaraan penyiaran televisi diberikan untukjangka waktu 10 tahun”; ayat 6, berbunyi: “Izin penyelenggaraanpenyiaran dinyatakan berakhir karena habis masa izin dan tidakdiperpanjang kembali”. Apakah mekanisme kontrol ini sudah dijalankan,tampaknya kita masih harus menunggu political guts dari KPI.

Persoalan terbesar muncul ketika di era neoliberal ini, kehadiran negaratidak hanya samar-samar, tetapi menjadi bagian dari kekuatan ekonomiyang menggerogoti eksistensi ruang publik televisi di Indonesia.Kedekatan antara penguasaha media televisi dengan pemerintah, bahkan

Page 137: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

136

menjadi bagian dari incumbent sangat berbahaya terhadap terwujudnyatelevisi sebagai ruang publik. Tanda-tanda buruk lainnya adalah ketikakekuatan politik dan kekuatan ekonomi, menyatu di dalam kepemilikanmedia televisi seperti sekarang ini. Sehingga acap kali televisi tidak lebihdari sekadar alat personal marketing kalau bukan corong propagandapemiliknya.

Politik dan Televisi di IndonesiaSebelumnya saya telah menegaskan ada empat pintu masuk untuk

mengukur televisi sebagai ruang publik dalam demokrasi, yaitu: pertama,semakin tinggi tingkat pertumbuhan pasar media, makin independenlahmedia tersebut terhadap pengaruh dari luar. Kedua, keragaman, atau sayamenyebut: pluralitas ideologi politik di masyarakat akan lebih baik jikajuga terrepresentasi dalam media. Ketiga, semakin tinggi profesionalismewartawan maka semakin bagus kinerja media tersebut. Dan keempat, makinrendah intervensi negara terhadap media, makin bagus bagi peran mediadalam demokrasi.

Indonesia sendiri tidak punya pengalaman yang ‘sehat’ tentang televisidalam demokrasi. Artinya belum ada sebuah periode di mana politik danmedia saling bekerja sama secara sinergis untuk memajukan nilai-nilaidemokrasi itu sendiri, walaupun awalnya televisi merupakan hasil pilihanpolitik dari pemerintah. Televisi pertama Indonesia, TVRI yang didirikanoleh Soekarno tahun 24 Agustus 1962 yang awalnya ditujukan untuk‘mempromosikan’ kemampuan Indonesia di dunia internasional, ‘diubah’menjadi alat politik negara selama kurang lebih 32 tahun. Bukan hanyatidak boleh memberitakan informasi yang berbeda dari penguasa, TVRIjuga menjadi badan tersendiri untuk mengekang informasi yangdiberitakan oleh televisi swasta yang muncul awalnya tahun 1987. Setelahmendominasi ruang keluarga selama 32 tahun lebih, TVRI akhirnya harusbersaing dengan televisi swasta seperti RCTI, SCTV, TPI, ANTV, danIndosiar. State intervention pada masa itu juga tidak sekuat era sebelumnya.Tetapi, sepak terjang televisi swasta ini selain tidak pernah menikmatikebebasan yang sesungguhnya, pada dasarnya punya orientasi yang sama.D’Haenens, et al. (2000) menemukan bahwa:

Generally, it can be said that the commercial stations are beginning to looklike because the fierce competition between them. Although RCTI, forexample, focuses a little more on the Indonesian society’s upper social andeconomic echelons and TPI more on the lower ones, actual differences are

Page 138: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

137

Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

minimal. All commercial stations share the same aim: maximizing profits(hal. 218).

Sejak reformasi media televisi mengalami perubahan yang besar, baikdari segi struktur maupun fungsinya. Perubahan struktur disebabkankarena munculnya stasiun televisi swasta baru sehingga tercipta kompetesidi antara mereka. Perubahan fungsi tersebut juga dipengaruhi olehmenjamurnya produksi budaya yang mengubah pola perilaku masyarakat.Lengsernya Orde Baru, menempatkan media sebagai sumber informasiyang penting dan dipercaya oleh masyarakat. Media televisi tidak hanyabanyak, tetapi mulai muncul perhatian serius pada aspek berita sepertiSCTV dan MetroTV, dan terakhir TVone. Pada era ini state interventionmurni sudah sangat longgar. Walaupun muncul wujud baru dari intervensiini ketika pemilik media memanfaatkan kekuasaan untuk menjaminkebebasan sistem kapitalisme media. Alih-alih negara mengontrol dengansistem sensor yang represif, negara lebih menjadi alat kelas tertentu sebagaiwarranty body atas kepentingan pengelola media.

Dalam bidang politik, perubahan fungsi ini makin signifikan ketikatelevisi tidak lagi sebatas media publikasi. Media televisi tidak lagidipandang sebatas kerja jurnalistik yang akan meliput perhelatan politikpara aktor-aktor politik. Kini, televisi telah menjadi kekuatan politiktersendiri bagi para aktor-aktor dan partai politik. Perubahan fungsi politikmedia televisi ini dimobilisasi oleh semakin canggihnya strategikomunikasi politik aktor dan partai politik dengan melibatkan paraprofessional seperti konsultan politik dan lembaga survei. Pada saat yangsama para aktor politik menyadari rendahnya tingkat kepercayaanmasyarakat terhadap politik dan lembaga-lembaga politik, sehinggatelevisi dijadikan sebagai senjata ampuh untuk menggeser citra tersebut.Apa yang ditakutkan kemudian adalah munculnya television politics, yangnota bene berbeda dengan the real politics.

Media televisi di Indonesia menikmati kebebasan yang sangat besar,sejak dihapuskannya Departemen Penerangan pada era pemerintahanAbdurrahman Wahid. Tekanan negara terhadap media televisi juga makinmenurun termasuk dari pihak militer. Pada saat yang sama bermunculanstasiun-stasiun televisi baru. Dunia jurnalistik juga mulai dibenahi denganmembentuk berbagai lembaga organisasi keprofesian seperti Dewan Pers,Ikatan Jurnalis Televisi (JTV), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), danberbagai organisasi media wacth. Di tengah itu semua, Indonesia memasukiera konsolidasi demokrasi sambil berusaha keluar dari keterpurukan

Page 139: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

138

ekonomi akibat krisis ekonomi. Pantaslah kita berharap bahwa mediatelevisi akan semakin bergerak mendekati bentuk idealnya dalamdemokrasi.

Secara struktural media televisi di Indonesia telah memenuhiindikator-indikator dasar dengan mana dia dapat memperjuangkan apayang menjadi kepentingan publik. Banyaknya stasiun televisi nasionalmestinya menjamin keragaman informasi politik yang disebarluaskan.Dengan alasan itu pula berarti bisnis televisi (media economy) mengalamikemajuan sehingga dia tidak tergantung pada sumbangan pemerintahseperti terjadi pada masa orde baru. Kemudian makin ada kesadarantentang bagaimana para pekerja media televisi mestinya dapatmenegakkan profesionalisme mereka. Selain dibuatnya kode etik jurnalis,lembaga-lembaga independen juga banyak dibentuk sebagai wujudkepedulian pada jurnalisme yang professional. Dengan jurnalismeprofessional, media televisi dapat terhindar dari pemberitaan yangbertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.

Tetapi pendekatan di atas bisa jadi masih politically one sided. Analisistersebut kurang memperhatikan kekuatan ekonomi yang bahkan jauhlebih dominan dalam media televisi. Media televisi sangat tergantungdengan iklan. Hal ini berbeda dengan media cetak seperti surat kabardan majalah, atau film. Media televisi memiliki sumber revenue utamnyadari iklan, sementara surat kabar bisa dari iklan dan juga hasil penjualanoplah. Sehingga media televisi secara politik sangat tergantung padakekuatan iklan. Pada saat yang sama kandidat pejabat publik dan partaipolitik secara lihai telah melihat kelemahan televisi ini. Bersedia tidaknyasebuah stasiun televisi untuk menyiarkan materi iklan politik tertentu tidakditentukan apakah isi iklan tersebut layak atau tidak dikonsumsi olehpublik, apakah iklan tersebut mencerdaskan pemilih atau tidak, tetapilebih ditentukan oleh apakah partai politik sanggup membayar biayatayang iklan tersebut.

Ketika uang yang menjadi penentu kesediaan televisi untukmenayangkan iklan politik partai-partai dan aktor politik, maka hukumklasik pasar berlaku. Kandidat dan partai politik dalam pemilu yang tidakkaya misalnya sulit untuk punya akses terhadap media televisi. Dengandemikian ‘partai-partai besar’ saja yang akan menguasai jagat ruang publiktersebut. Kompetisi politik dalam kontes pesta demokrasi berubah menjadipersaingan bisnis. Masalahnya spirit bisnis, sangat jauh berbeda dengan

Page 140: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

139

Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

spirit demokrasi. Maka pada situasi seperti ini, semua indikator politikmakro yang disebutkan sebelumnya menjadi tidak relevan.

Kecenderungan akomodasi media televisi ini juga berdampak padacorak pemberitaan yang elitis. Pemberitaan yang tidak jauh dari seputarkekuasaan, di mana masyarakat tidak mengalami fenomena sosial politikyang ditampilkan di ruang publik. Makna ‘publik tidak lagi berkorelasidengan res public, tetapi seperti kembali ke abad 16 dan 17, di mana ‘publik’atau ‘kepublikan’ sendiri hanya muncul dalam konteks ‘perwakilan’, ataurepresentation lewat kehadiran ‘lembaga publik’, ‘pejabat publik’(Habermas, 1991: 5). Muncul keseragaman corak dan wacana pemberitaanmedia televisi oleh karena memiliki kerangka kerja yang sama. Karakterburuk ini tidak sehat bagi demokrasi, sebab “publik” mestinya hadirsebagai aktor politik yang memiliki kemampuan untuk secara bersama-sama ‘melampaui perbedaan di antara mereka’, mencapai suatukesepakatan bersama. Kualitas deliberasi ini ditentukan oleh kekayaanakan perbedaan informasi yang dipertukarkan.

Jurgen Habermas (1984) menyatakan untuk mencapai ruang publikideal, deliberasi publik mestinya didasarkan pada kualitas-kualitasberikut: comprehensibility, truth, truthfulness, rightness. Sementara StevenSchneider (1997), dengan mengembangkan konsep teori demokrasiHabermas menemukan empat kriteria ruang publik ideal: kesetaraan(equality), keragaman (diversity), saling berbalasan (reciprocity), dan kualitas(quality). Kelengkapan berarti informasi yang dipertukarkan secaramenyentuh seluruh aspek isu yang dibahas, ada keragaman wacana didalamnya. Setiap informasi yang dipertukarkan oleh pihak-pihak terlibatharus didasarkan pada kebenaran. Kebenaran tersebut diharapkan akanmemberi nilai kebaikan bagi masing-masing pihak. Jadi deliberasi dalamtelevisi itu bukan merupakan alat politik untuk mempertahankan citra,melainkan proses untuk memecahkan suatu persoalan secara bersama-sama dengan bertumpu pada reasoned arguments.

Tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah setiap pihak diperlakukansecara sama, walaupun pada diri mereka terdapat keberagaman. Ukurankualitas keberagaman informasi tersebut tidak dilihat dari sisi perbedaan-nya, tetapi alasan rasional yang mendukungnya. Dengan demikianketidaksetujuan bukan merupakan hal yang janggal dalam prosesdeliberasi di ruang publik, tetapi sebagai proses pemurnian pemikiransecara dialektis ketahap yang paling sempurna. Televisi khususnya lewat

Page 141: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

140

dua format programnya, yaitu: debat langsung dan current affairs ataudialog sangat ideal untuk menerapkan paradigma ruang publik ideal ini.

Sayangnya, yang sering terjadi di Indonesia adalah informasi (beritakhususnya) yang bias kepentingan pemilik media. Di dalam televisi jugalebih dominan eksploitasi sisi-sisi emosional lewat dramatisasi, rekayasa,dan sensasionalisasi. Akibatnya, ‘informasi’ yang disampaikan menjadihilang substansi. Gejala ini seolah menegaskan bahwa praktek komunikatiftelevisi tidak lebih dari sekadar kelatahan, sehingga caramenyampaikannya dipandang menjadi lebih pentingan dari apa yangdisampikannya itu sendiri. Sehingga, wujud persaingan televisi diIndonesia tidak lagi terletak pada televisi mana yang paling berkualitasinformasinya, melainkan cara menyampaikan seperti apa yang palingsensasional dan dramatis.

Apa yang utama dalam wacana media televisi sering kali menjadiwacana dominan dalam masyarakat. Pola konsumsi media televisi diIndonesia tampaknya masih mengikuti doktrin tradisional dari agendasetting theory. Televisi mungkin tidak berhasil mengubah cara pandangmasyarakat, tetapi bombardir informasi dengan sudut pandang tertentuakan menentukan apa yang diperbincangkan di masyarakat. Penting atautidak penting bukan merupakan suatu pertimbangan di sini. Dalam realitaspolitik seperti muncul sebuah kecenderungan bangkitnya elit politiksebagai pemilik televisi: sebuah paralelisme yang menyimpan toksit bagidemokrasi. Meleburnya elit partai sebagai pemilik televisi bisa menjaditelevisi tersebut sebagai alat politik penyeragaman wacana, tentu sesuaidengan kepentingan pemiliknya. Pluralitas ideologi dan nilai-nilai politikdalam masyarakat tidak diakomodir di sini.

Informasi Politik dan Perilaku PemilihPeran televisi yang paling utama dalam demokrasi adalah bagaimana

masyarakat dapat memperoleh informasi yang beragam, substantif, danrelevan dengan kepentingan mereka. Sehingga, masyarakat dapat menilaidan menentukan pilihan politiknya.

Sepuluh tahun terakhir boleh dikatakan perilaku politik di Indonesiasudah mulai bergeser ke arah politik rasional. Keyakinan ini didukungoleh beberapa faktor. Pertama, semakin besarnya kuantitas masyarakatkelas menengah ke atas dengan tingkat pendidikan yang memadai. Kedua,semakin terbukanya sumber-sumber informasi yang beragam berkat

Page 142: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

141

Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

perkembagan teknologi informasi, sehingga mengubah cara pandangmasyarakat tentang dirinya dan dunia luar, termasuk atas politik.

Berikutnya yang ketiga, ditandai oleh tetap eksisnya partai-partainasional, sementara pada saat yang sama banyak partai-partai berbasisagama yang menurun popularitasnya atau bubar. Keempat, seiring denganitu mulai menarik dirinya para tokoh-tokoh agama dari panggung politik.Kelima, mekanisme pemilihan langsung mau tidak mau mendorong setiaporang untuk berusaha mengenali siapa tokoh yang akan dipilihnya.Pencarian informasi merupakan modal awal untuk menentukan pilihanpolitik yang lebih rasional. Keenam, pada saat yang sama terjadi migrasipemilih dari satu partai ke partai lain yang tidak lagi didasarkan padafaktor identitas keagamaan tertentu.

Saiful Mujani dan William Liddle (2010) menegaskan tren yang sama.Kedua ahli politik tersebut menyimpulkan bahwa: “As in 1999 and 2004,however, we found little evidence that voters were influenced by their religious,ethnic, regional, or social-class identities. […]. Indonesian voters have becomeincreasingly rational—setting standards, identifying goals, and choosing leadersbased on those standards and goals. Their preference for secular national partiesreduces the likelihood of ethnic or religious conflict.” (hal. 48)

Dinamika politik nasional sebenarnya memberi sinyal makindibutuhkannya informasi politik yang substantif oleh pemilih. Setelahmasyarakat sebagai pemilih (voters), terlepas dari kungkungan ikatan-ikatan tradisional dalam mengambil keputusan, maka diperlukanlandasan yang lebih kokoh dan rasional untuk mengiring perubahanperilaku politik tersebut. Dalam situasi seperti ini media sangatdiharapkan dapat mengisi posisi itu. Sayang sekali, yang terjadi adalahsebaliknya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa informasi dimedia televisi kita cenderung elitis. Oleh karena itu pula, menjadi sangattop down. Informasi politik yang menggambarkan hiruk-pikuk strukturpolitik tidaklah salah. Tetapi, pendekatan tersebut harus disandingkandengan informasi dari bawah, dari masyarakat. Dengan pola top-down,maka: “Political opinions flow downward. They originate among elites, are pickedup and propagated among attentive, then reach and shape the thinking of themass citizenry. Apoliticals are uninvolved, attracted only bey a major controversyand dramatic event. The prestige and popular media are the prime conveyor belts.”(Paletz dan Etnman, 1981: 186).

Page 143: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

142

Akibat terparah dari informasi politik yang elitis adalah selaincenderung bias kepentingan, juga membuat masyarakat menjadicenderung penerima pasif atas informasi. Bahkan bisa jadi apolitis.Padahal, dalam demokrasi, pilihan politik yang rasional mesti didorongoleh keinginan aktif. Bahkan bentuk partisipasi ini perlu mencapai ranahdeliberasi secara diskursif di ruang publik. Dalam konteks ini, sepertiditegaskan juga oleh Hardiman (2010: 1) ruang publik mendorongpartisipasi seluruh warga negara untuk mengubah praktik sosio-politismereka lewat reformasi hukum dan politik secara komunikatif. Mediatelevisi harus tampil sebagai ruang yang mendorong deliberasi publik.

Salah satu upaya untuk mewujudkannya peran tersebut adalahpertama-tama menyelamatkan ruang publik itu sendiri. Herry-Priyono(2010) mengaskan bahwa ada tiga upaya yang dapat dilakukan untukmenyelamatkan ruang publik, yaitu: lewat rute kebijakan publik, rute re-edukasi selera pasar, dan rute re-edukasi aktor.

Ditegaskan bahwa ‘ruang publik’ selalu mengisyaratkan ‘kebijakanpublik’. Oleh karena itu, kebijakan publik dapat diarahkan untukmenyelamatkan ruang publik walaupun lembaga yang menjalankannyatidak selalu yang namanya pemerintah. JIka kita kaitkan dengan mediatelevisi di tanah air, maka ranah kebijakannya tampaknya berada di tanganpemegang kekuasaan. Kebijakan publik terkait dengan media televisi,mungkin bisa dimulai dari reorganisasi televisi pertama kita, TVRI. Cita-cita menjadikan TVRI sebagai TV publik tampaknya masih sebatas cita-cita, belum pada tingkat praktek. Persoalan di tubuh TVRI boleh jadi lebihdari sekadar ‘kebijakan publik’. Pelaksana ‘kebijakan publik’ dalamkonteks ini bisa juga KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Tetapi KPI jugamungkin membutuhkan ‘kebijakan’ sendiri yang lebih memihak kepadapublic. Atau terkait dengan lembaga tersebut, perlu disusun ulang sebuah‘kebijakan publik’ (lihat: Sudibyo, 2009).

Rute berikutnya adalah reedukasi selera pasar, baik dalam ranahprodusen maupun konsumen. Kasus televisi di Indonesia merupakancontoh yang sangat tepat untuk ini. Selain perubahan mindset danparadigma para produser dan pekerja media lainnya, masyarakat jugaperlu disadarkan dari mimpi-mimpi semu yang mengelabui ketika merekamengkonsumsi media televisi. Literasi media yang mendorong, bermediasecara cerdas merupakan salah satu pilihan praktis.

Serta, re-edukasi aktor sosial yang menjadi pelaku-pelaku utama dalamruang publik. Contoh yang sangat sederhana adalah bagaimana

Page 144: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

143

Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

membudayakan nilai-nilai civility dalam hidup keseharian, mulai daribudaya antri yang tertib hingga bertoleransi secara menghargai. Upayapenyelamatan ini memang sudah melebar. Tidak hanya dari segi strukturtelevisi sebagai ruang publik, tetapi masyarakat atau agency juga ikutmempengaruhi perubahan struktur media televisi. Dari segi struktur,pemberitaan media televisi perlu memegang teguh prinsip impartialitykhususnya atas pendapat dan informasi yang saling bertentangan(competing views). Dua hal penting yang harus ditegakkan untukmencapainya adalah media pluralism dan nonpartisan news coverage of politics(Gunther dan Mughan, 2000: 422).

PenutupTelevisi sebagai ruang publik di Indonesia tampaknya masih

menggambarkan panggang jauh dari api. Realitas televisi kurangmencerminkan kualitas ruang publik sebagaimana diharapkan dalamkonteks berdemokrasi. Kekuatan struktural yang menggerogoti fungsikepublikan televisi tersebut adalah kepentingan kapitalis media, dankepentingan politis pemilik medianya sendiri. Sejalan dengan itu, strukturkekuasaan yang hadir dalam bentuk birokrasi negara (pembuat kebijakan)telah dimanfaatkan oleh media sebagai penjamin kepentingan mediasendiri. Artinya, represi kekuasaan atas ruang publik yang dihadirkantelevisi tidak termanifestasi secara langsung dan eksplisit. Tren ini seolahmenggambarkan merajainya semangat neoliberalisme yang inginmengangkangi negara demi kepentingan pasar. Para elit politik juga lebihmelihat televisi sebagai alat untuk pembentukan citra. Bibit industrialisasipolitik khususnya menjelang pemilu makin menggeser fungsi deliberatiftelevisi sebagai ruang publik. Di tengah semua fenomena itu televisi diIndonesia masih sulit untuk hadir sebagai ruang publik.

Hal paling pokok adalah krisis ruang publik adalah krisis demokrasi.Sebab, mustahil lahir demokrasi yang benar-benar demokrasi secarasubstantif, bukan sekadar prosedur-mekanistis, tanpa hadirnya ruangpublik. Saya sangat sepakat dengan pemikiran Thomas Meyer berikut: Ina democracy a public sphere is and will always remain the sine qua non of politics,for even when high levels of participation are not expected or encouraged, electionsstill have to be held. Legitimacy, the lifeblood of democratic politics, can be acquiredonly through citizen’s consent to what they perceive as the decisions made bypolitical elites. (Meyer & Hinchman, 2002: 52).

Page 145: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

144

Ruang publik adalah elemen konstitutif demokrasi. Televisi secarastruktural merupakan ruang publik yang ideal. Untuk mewujudkan perantersebut diperlukan upaya pemerintah untuk menegakkan terjaminnyahak-hak publik dalam televisi. Di sisi lain, TV publik sudah waktunyaditransformasi secara total untuk memperjuangkan kepentingan publikdi tengah degradasi fungsi televisi komersil untuk demokrasi. Televisimestinya menjadi ruang publik strategis di tengah konsolidasi demokrasidi Indonesia sekarang ini.

Daftar PustakaBarber, Benjamin. 1990. Strong Democracy: Participatory Politics for a New Age.

Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.Baudrillard, Jean. 1992. Jean Baudrillard, Selected Writings (edited by Mark Poster).

Cambridge: Polity Press.Bohman, James. 1996. Public Deliberation: Pluralism, Complexity and Democracy.

Cambridge, MA: MIT Press.Crigler, Ann N (Ed). 1999. The Psychology of Political Communication. Ann Arbor:

The University of Michigan Press.d’Haenens, L., Verelst, C., & Gazali, E. 2000. “In search of Quality Measures for

Indonesian Television News”. Dalam French David & Michael Richards (Eds),Television in Contemporary Asia. New Delhi: Sage Publication, hal. 179-232.

Dryzek, John S. 2003. “Deliberative Democracy in Divided Societies: Alternativesto Agonism and Analgesia.” Research School of Social Science, AustralianNational University. Diakses dari: http://socpol.anu.edu.au/pdf-files/Dryzek_divided.pdf, pada 25 Juni 2010.

Gamson, William. 2001. Promoting Political Engagement. Dalam W. Lance Bennett& Robert M. Entman (Eds), Mediated Politics, Communication in the Future ofDemocracy. United Kigndom: Cambridge University Press, hal. 56-74.

Gunther, Richard & Mughan, Anthony. 2000. The Political Impact of the Media: AReassesment. Dalam Richard Gunther & Anthony Mughan (Eds), Democracyand the Media, A Comparative Perspective. United Kingdom: CambridgeUniversity Press, hal. 402-448.

Habermas, Jurgen. 1989. The Structural Transformation of the Public Sphere, An Inquiryinto a Category of Bourgeois Society. Cambridge: Polity Press.

Habermas, Jurgen. 1974. “The Public Sphere: An Encyclopaedia Article.” NewGerman Critique 3, Autum, hal. 49-55.

Hachten, William A. 1981. The World News Prism: Changing Media, Clashing Ideologies,2nd edition. United State of America: Iowa State University Press.

Hallin and Mancini. 2005. Comparing Media System, Three Models of Media and Politics.Cambridge: Cambridge University Press.

Page 146: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

145

Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

Hardiman, F. B. 2010. Pendahuluan. Dalam F. B. Hardiman (Ed), Ruang Publik.Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 1-20.

Herry-Priyono, B. 2010. Menyelamatkan Ruang Publik. Dalam F. B. Hardiman(Ed), Ruang Publik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 369-398.

Lasswell, Harold, Lerner D., & Speir Hans. 1980. Propaganda and Communication inWorld History. Honolulu: University of Hawaii Press.

McNair, Brian. 2003. An Introduction to Political Communication, Third edition.London & New York: Routledge.

McQuail, Denis. 2000. McQuail’s Mass Communication Theory. London: SagePublication.

Meyer, Thomas & Hinchman, Lew. Media Democracy, How the Media Colonize Politics.Great Britain: Polity Press.

Mosco, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication: Renewal andRethinking. London: Sage Publication.

Mughan, Anthony & Gunther, Richard. 2000. The Media in Democratic andNondemocratic Regimes: A Multilevel Perspective. Dalam Richard Gunther &Anthony Mughan (Eds), Democracy and the Media, A Comparative Perspective.United Kingdom: Cambridge University Press, hal. 1-27.

Mujani, S & Liddle, W. 2010. Personalities, Parties, and Voters. Journal of DemocracyVolume 21, Number 2 April 2010, hal. 35-49.

Page, Benjamin I. 1996. Who Deliberates? Mass Media in Modern Democracy. USA:The University of Chicago Press.

Paletz, David L., & Entman, Robert M. 1981. Media, Power, Politics. New York: TheFree Press.

Schneider, Steve M. 1997. Expanding the Public Sphere through Computer-Mediated Communication: Political Discussion about Abortion in a UsenetNewsgroup. Ph.D dissertation, Massachusetts Institute of Technology. Diaksesdari: http://www.sunyit.edu/!steve/, pada tanggal: 25 Juni 2010.

Siebert, Peterson, & Schramm. 1963. Four Theories of the Press. Urbana and Chicago:University of Illinois Press.

Sudibyo, Agus. 2009. Kebebasan Semu, Penjajahan Baru di Jagat Media. Jakarta:Penerbit Buku Kompas.

Kompas, 15/06/2010.Kompas, 27/01/2009The Jakarta Post, 28/06/2010.

Catatan1 Penyusunan model ini didasarkan pada perspektif makro dengan meletakkan

sistem politik dalam dua tipe secara berlawanan (demokrasi dan non-demokrasi). Model sistem media yang terbentuk akibat faktor makro tersebutdiletakkan sesuai dengan karakter sistem politik demokratis dan non-demokratis.

Page 147: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

146

2 Feodalisasi ruang publik, menurut Habermas (1989) terjadi di awalpembentukannya lewat kooptasi politik dari negara (hirarki kekuasaan) padaabad ke-16. Refeodalisasi ruang publik (abad ke-19) ini disebabkan karenamakin absolutnya kekuatan kapitalisme dalam ruang publik (media massakhususnya), di mana bombardir tayangan iklan dan hiburan massa menyatusebagai alat untuk menundukkan sikap kritis warga negara.

3 Keterlibatan negara dalam hal ini bukan dimaksudkan untuk mengontrol mediatelevisi, tetapi untuk memastikan terpenuhinya hak-hak publik. Bentuknyatentu tidak bersifat represif, tetapi sebagai bagian dari wujud law enforcement.Regulasi di satu sisi memang sering berkonotasi buruk, tetapi di sisi lain diajuga diperlukan sesuai konteks. Deregulasi terhadap media televisi, tidakotomatis menjamin terpenuhinya hak-hak publik. Justru ketika pasar menjadi“penguasa”, kepentingan publik harus dibela lewat penjaminan oleh negara.

Page 148: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

147

Kehidupan manusia merupakan sebuah proses yang terus-menerus‘menjadi’, selalu berevolusi seiring dengan perkembangan jaman.Kehidupan manusia tak lepas dari unsur kebudayaan. Kebudayaan dapatmenjadi pembeda antara generasi manusia yang satu dengan generasiyang lain.

Kebudayaan terbagi dalam tiga bagian besar, yaitu kebudayaan lisan,tulisan, dan audiovisual. Kebudayaan lisan atau tutur adalah kebudayaantertua manusia, dimana komunikasi, pembelajaran, penyebaran nilai-nilaikehidupan dan moral disebarkan dengan cara lisan atau tutur. Biasanyadengan media dongeng, nyanyian (tembang), upacara adat, dan ritualadat. Meski hanya dari mulut ke mulut, namun nilai-nilai moral tetapterjaga teguh dalam kehidupan bermasyarakat. Kelompok manusia dalamkebudayaan ini mempunyai ingatan (memori) yang kuat dan lebih senangbersosialisasi.

Kebudayaan tulisan (literasi) masuk ketika masyarakat mengenal duniamenulis dan membaca. Sehingga peraturan pemerintahan, adat-istiadatdan nilai-nilai kehidupan dan moral, tidak hanya disebarkan dengan caralisan, namun juga tertuang dalam bentuk tulisan dan terdokumentasi.Bahkan tata letak dekorasi rumah juga berubah. Ruang keluarga yangbiasanya cukup dengan sofa dan hiasan foto keluarga, dilengkapi rak-rakbuku dan perpustakan kecil. Kelompok manusia dalam kebudayaan inilebih tertutup dan lebih suka menghabiskan banyak waktu untukmenekuni koleksi buku-bukunya daripada bersosialisasi.

Kebudayaan audiovisual berkembang seiring dengan berkembangnyateknologi. Kebudayaan jenis ini merupakan perpaduan antara teknologiaudio (suara) dan visual (gambar/gerak). Contoh benda hasil budayaaudiovisual adalah internet dan televisi. Kelompok masyarakat dalambudaya ini berciri: aktif, kreatif, modern, dan menyukai hal-hal yangbersifat instan.

Parodi di Balik Layar Kaca

Paulina Damayanti dan Gusti Ayu KristaMahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Page 149: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

148

Televisi sebagai bagian dari kebudayaan audiovisual baru merupakanmedium yang paling kuat pengaruhnya dalam membentuk sikap dankepribadian baru masyarakat secara luas. Hal ini disebabkan oleh satelitdan pesatnya perkembangan jaringan televisi yang menjangkaumasyarakat hingga ke wilayah terpencil (Wibowo, 1997 : 1).

Kultur baru ini pada dasarnya sudah dikenal sejak lama, sebelumkebudayaan tulis atau cetak menggesernya. Sebelum kebudayaan cetakdan tulis berkembang, orang sudah menggunakan bahasa verbal danvisual, misalnya dalam pagelaran wayang kulit, gamelan, ketoprak. Masaini disebut kebudayaan audiovisual lama atau kebudayaan lisan pertama.Karena kemiripan tersebut, maka kebudayaan audiovisual baru jugasering disebut sebagai kebudayaan lisan kedua.

Keunggulan kebudayaan lisan (baik pertama maupun kedua)dibandingkan kebudayaan tulis adalah, kebudayaan lisanmengembangkan memori manusia. Sajian dalam bahasa audiovisual lebihgampang diingat daripada apa yang ditulis atau dibaca (Wibowo, 1997:1). Kebudayaan lisan masih tertanam pada sebagian besar masyarakatIndonesia, yang notabene budaya literasinya masih rendah. Sehingga,ketika budaya audiovisual (kebudayaan lisan kedua) masuk di saatmayoritas masyarakat masih menjadi kelompok masyarakat tutur(kebudayaan lisan pertama), maka perkembangan teknologipun tidakdapat dimanfaatkan secara maksimal.

Misalnya, telpon atau handphone lebih sering digunakan untukmenggosip bagi ibu-ibu rumah tangga, fasilitas internet kebanyakandigunakan untuk chating bagi anak-anak muda, sedangkan televisi yangseharusnya netral, demokratis dan bersifat edukatif, oleh para politisijustru digunakan sebagai ajang debat dan saling mempengaruhi. Banyakorang ingin berbicara dan didengarkan daripada mendengarkan. Dari situ,terlihat begitu kentalnya budaya tutur yang masih tertanam bagimasyarakat Indonesia.

Manfaat TelevisiPada dasarnya, televisi dibuat oleh sebuah lembaga penyiaran.

Penyiaran adalah kegiatan pembuatan dan proses menyiarkan acara siaranradio maupun televisi, serta pengelolaan operasional perangkat lunak dankeras, yang meliputi segi idiil, kelembagaan dan sumber daya manusia,untuk memungkinkan terselenggaranya siaran radio atau televisi(Wahyudi, 1994 : 6).

Page 150: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

149

Parodi di Balik Layar Kaca

Siaran televisi memiliki daya penetrasi sangat kuat terhadap individu/kelompok, akibatnya siaran televisi dapat menimbulkan dampak yangluas bagi masyarakat. Karena memiliki pengaruh yang besar bagikhalayak, maka dalam hal ini terdapat patokan-patokan bagi penyiarantelevisi, agar menimbulkan efek yang positif bagi khalayak. Patokan-patokan tersebut menurut Wahyudi (1994: 5) adalah dihasilkannya siaranyang berkualitas, baik, dan benar.

Siaran yang berkualitas adalah siaran yang kualitas suara atau gambarprima. Siaran yang baik adalah siaran yang isi pesannya, baik audio danvisualnya bersifat normatif, edukatif, persuasif, akumulatif, komunikatif,dan stimulatif, serta sejalan dengan ideologi, norma, etika, estetika dannilai-nilai yang berlaku. Siaran yang benar adalah siaran yang isi pesannyabaik audio dan atau visualnya diproduksi sesuai dengan sifat fisik mediumradio dan atau televisi. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa penyirantelevisi dapat dikatakan bermutu tinggi apabila dapat memenuhi standaratau patokan yang telah disebutkan diatas. Apabila salah satu dari aspektersebut tidak ada, maka penyiaran televisi dapat dikatakan kurangbermutu.

Sedangkan, menurut Wibowo (1997 : 1), unsur esensial dari kebudayaantelevisi berupa penggunaan bahasa verbal dan visual, sekaligus dalamrangka menyampaikan sesuatu seperti pesan, informasi, pengajaran, ilmu,dan hiburan. Televisi ada untuk memberikan manfaat bagi masyarakat.Manfaat yang diberikan hendaknya dirasakan oleh seluruh lapisanmasyarakat, dan bukan hanya dirasakan oleh sekelompok orang saja. Olehkarena itu, harus ada keberimbangan pada setiap acara-acara dalamtelevisi tersebut.

Penyiaran acara televisi harus mencakup ketiga manfaat televisi: saranahiburan, edukasi/pengajaran dan menyampaikan informasi sehinggadapat memberikan manfaat positif bagi masyarakat. Program acara televisiyang bersifat hiburan misalnya sinetron, sitkom, acara komedi dan kuisinteraktif. Sedangkan acara yang bersifat edukasi adalah talkshow,penyuluhan, dan program acara layanan sosial masyarakat. Program acarayang bersifat menyampaikan informasi adalah berita, liputan langsungdan infotaiment. Apabila hanya salah satu aspek saja yang ditekankan,misalnya acara-acara hiburan yang lebih banyak ditayangkan dalamtelevisi, maka hal tersebut dapat dikatakan bahwa televisi memberikanmanfaat yang tidak berimbang.

Page 151: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

150

Acara-acara yang hiburan jauh memberikan keuntungan/profit bagistasiun televisi karena akan mendapatkan banyak sponsor (iklan).Akibatnya, stasiun televisi lebih banyak memberikan program acara yangbersifat hiburan daripada edukasi ataupun informasi. Tentu hal tersebutsangat disayangkan, karena masyarakat tidak dapat mendapatkan haknyauntuk memperoleh siaran yang mendidik atau mendapatkan informasiyang mencukupi.

Televisi Saat IniAcara-acara televisi yang ditampilkan saat ini menggambarkan apa

manfaat yang ingin dicapai. Apakah ada ketimpangan dari segi manfaat,dapat dilihat dari frekuensi tayangan-tayangan yang ditampilkan ditelevisi. Setiap tayangan yang akan disajikan, terlebih dahulu isinyadisaring oleh pihak media tentang apa saja yang akan ditampilkan danbagaimana cara menampilkannya. Tujuannya, apa yang ditayangkandianggap sesuai untuk ditampilkan ke hadapan masyarakat.

Meski pekerja media antara satu dengan yang lainnya berbeda ideologi,namun tujuan utama nya untuk memenuhi kebutuhan masayarakatsehingga semua yang mereka tampilkan akan bermanfaat bagi masyarakatsecara menyeluruh dan berdampak baik bagi kepentingan bersama.Bermanfaat bagi masyarakat berarti tidak hanya bermanfaat bagi segelintirpihak.

Menampilkan informasi secara objektif dan faktual merupakan salahsatu manfaat yang seharusnya diterima oleh masyarakat. Namun jikaditilik lebih mendalam, hal itu tidak cukup. Sudut pandang pemberitaanyang berbeda-beda juga akan memberikan dampak yang berbeda pulabagi para penonton televisi. Karena televisi juga bisa digunakan untukmembangun opini pemirsa. Sudut pandang pemberitaan merupakankebijakan masing-masing televisi dalam menyiarkan sesuatu.

Isi media dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, sepertiideologi para pekerja, pasar, pemilik media, ideologi negera dan lainsebagainya. Namun setiap pekerja tentunya akan mengikuti ideologi yanglebih besar (ideologi perusahaan media). Ideologi perusahaan tentunyadibangun oleh para pendiri atau pemilik saham. Tujuan mendirikan media,selain memenuhi kebutuhan masyarakat/bermanfaat bagi masayarakat,ada tujuan-tujuan lain, salah satunya tujuan bisnis. Hal itu tentu saja sangattidak salah karena pemasukan negara dari perusahaan media jugamerupakan suatu hal yang penting. Namun, perusahaan harus memenuhi

Page 152: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

151

Parodi di Balik Layar Kaca

kebutuhan orang banyak karena mereka telah membuat keputusan untukmembuat media yang akan berhubungan dengan orang banyak. Apa yangmereka persembahkan seharusnya bermanfaat bagi orang banyak, bukanmalah menyesatkan atau mengacaukan.

Mengutamakan kepentingan orang dalam atau kepentingan kelompokbisa mengacaukan manfaat bagi masyarakat. Pemilik media memiliki andilyang sangat besar dalam menentukan isi media. Persoalannya, apakahkebijakan yang diambil memberikan manfaat bagi masyarakat atau justrumemberikan manfaat hanya bagi pihak tertentu? Kita memang tidakpernah bisa tahu, namun melalui pola-pola tertentu kita bisa melihat apatujuan media dalam setiap kebijakannya. Karena itu, kebijakan perusahaanmedia merupakan cerminan bagaimana media televisi memahami manfaatyang ditujukan kepada masyarakat.

Salah satu faktor ketimpangan manfaat bisa jadi berasal darikepemilikan media. Apa jadinya jika stasiun-stasiun televisi dikuasai olehsegelintir orang? Apakan segelintir orang tadi bisa bertindak objektifdengan media-media yang dia miliki atau sebaliknya merekamenggunakan media sebagai alat untuk menguntungkan diri merekaataupun melindungi mereka dari sesuatu?

Jika demikian, televisi tidak lagi akan bermanfaat bagi masyarakat tapihanya bermanfaat bagi pemilik serta kelompok-kelompok yangdimenangkan oleh media tersebut. Jika ini berlangsung terus-menerusmaka makna dari manfaat televisi di masa depan akan semakin bergeser.

Media televisi bisa dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadidan tidak ada lagi fakta yang disebarkan oleh televisi. Maka nilaijurnalisme pun akan hancur karena media tidak lagi dapat dipercayaakibat penyalahgunaannya. Jika demikian untuk apa ada televisi? Sebuahsarana yang digunakan untuk memberikan manfaat bagi kehidupan orangbanyak malah menjadi sesuatu yang diagendakan oleh segelintir orangatupun para penguasa.

Televisi Masa DepanDi masa depan televisi bisa menjadi senjata perang di antara pemilik

media atau penguasa untuk saling menjatuhkan. Masyarakat padaakhirnya tidak lagi terkena imbas manfaat, melainkan akan dibuat bingungoleh media-media tersebut dan tidak tahu lagi mana media yang bisadipercaya.

Page 153: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

152

Konsentrasi kepemilikan media di tangan segelintir orang akanmerusak asas demokratisasi. Hal ini berlaku di Jerman, Inggris, maupunIndonesia, Konsentrasi dan kendali yang berada dalam kekuasaansegelintir orang, terutama investor asing, dapat menggerogoti kedaulatannegara (Vogt, 2001 : 30). Jika ini terjadi, tidak akan ada lagi manfaat untukmasyarakat. Televisi akan menjadi sumber kekacauan karenamengaburkan fakta objektif demi menutupi kepentingan segelintir orang.Fakta bukan lagi sesuatu yang murni karena campur tangan sesuatu. Takheran apabila nanti, media bisa membuat agenda setting untuk suatuperistiwa untuk menutupi sesuatu. Jadi mereka bisa merencanakankejadian apa yang harus terjadi di keesokan harinya sehingga mereka bisamenjadikan hal tersebut sebagai berita.

Melihat ilustrasi fiksi dari film Ian Flaming, Tommorow Never Dies, salahsatu sekuel dari agen rahasia 007, kita bisa melihat betapa besar pengaruhpenguasa media dalam menjalankan media miliknya. Film tersebut dibuatsebagai sindiran bagi Rupert Murdoch, yang merupakan seorangpenguasa media hingga saat ini.

Menguasai saham media baik cetak terutama televisi bisa membuatpara penguasa media seakan-akan menjadi dewa di dunia ini. Media bisamenjadi alat pengendali keadaan. Jadi selama memiliki media televisi,para penguasa dapat mengendalikan peristiwa sehingga peristiwa yangakan terjadi akan selalu menguntungkan mereka.

Melihat kepemilikan media yang dimiliki oleh Rupert Murdoch, kitabisa mengandaikan apa yang akan terjadi di masa depan. Dia adalahpemilik News Corporation yang memiliki jaringan ratusan media cetak,radio dan televisi di seluruh dunia. Yang paling menonjol adalah jaringantelevisi. Ia memiliki mayoritas saham di Fox Channel yang menjadi channelkeempat setelah ABC, NBC dan CBS. Ia memiliki 30 saluran kabel dansatelit di negeri itu. Separuh dari kepemilikan saham National Geographydan sebagian saham GE yang menjadi induk dari televisi saingannya NBC.

Di luar Amerika, Murdoch memiliki dua puluh delapan saluran televisidi Inggris, delapan diantaranya share kepemilikan dengan Paramount danNickelodeon, cartoon channel yang paling kuat di dunia. Murdoch memilikidua televisi di Jerman, 16 televisi lokal di Australia, satu di Canada enamdi India. Murdoch lewat perusahaannya Star TV menguasai enam salurantelevisi yang secara total menguasai 60 persen dari audience share negaraitu. Tak ketinggalan, penguasa media ini juga memiliki saham minoritassebuah stasiun TV Italia, dua di Jepang, delapan di Amerika Latin. Lewat

Page 154: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

153

Parodi di Balik Layar Kaca

Star TV Murdoch mengakuisisi mayoritas saham ANTV dan sedangberancangancang mengambil stasiun televisi kedua di Indonesa, Lativikala itu (Kompasiana, 16/01/2010/01).

Masih banyak kepemilikan media yang dia miliki. Belum lagi radio,media internet, serta media cetaknya. Hal ini sangat memungkinkanbahwa dia masih akan tetap berjaya di kehidupan televisi masamendatang. Semua opini masyarakat bisa saja digiring oleh idealismenya.Hal ni tentunya akan membawa manfaat bagi dirinya seorang. Diamenguasai hampir semua televisi di dunia karena dia selalu menaruhsaham di tiap-tiap televisi dia anggap dapat bermanfaat entah bagi siapa.

Pada akhirnya televisi di masa depan bukanlah lagi milik masyarakattapi benar-benar hanya dimiliki oleh para penguasa dan para pemilikmedianya. Masyarakat hanya akan menjadi penonton persaingan merekadan tidak lagi dapat berperan aktif di dalam televisi di masa depan. Halini bukan hanya sebagai dugaan, apabila kebiasaan memanfaatkan mediademi kepentingan pribadi tidak dihilangkan mulai dari sekarang.

Jika kita menilik kasus-kasus kecil yang sedang terjadi di Indonesia,mungkin kita bisa melihat kasus peristiwa lumpur di daerah Sidoharjoyang menyebabkan banyak kerugian bagi para penduduk di sekitarnya.Lumpur tersebut diselidiki merupakan hasil dari human error oleh salahsatu perusahaan terkemuka di Indonesia, Lapindo. Maka dari itu beritatersebut seringkali memakai kata Lumpur Lapindo untuk menegaskanbahwa peristiwa itu merupakan human error dari perusahaan tersebut.

Di sisi lain, ada pula media yang menyebutkan dalam pemberitaannyadengan memakai nama Lumpur Sidoarjo serta menekankan bahwaperistiwa tersebut merupakan bencana alam. Kita mengetahui, human errordari sebuah perusahaan yang menyebabkan malapetaka, merupakantanggung jawab dari perusahaan tersebut. Namun apabila lumpur ituditekankan sebagai bencana alam, maka yang berkewajiban bertanggungjawab adalah pemerintah.

Dari sini kita bisa menduga mengapa ada sudut pandang pemberitaanyang begitu berbeda antara satu dengan yang lain. Apakah memang halini merupakan pertarungan para penguasa yang ingin salingmenjatuhkan? Apakah yang sebenarnya terjadi ataukah ada sesuatu yangharus ditutupi sehingga pada akhirnya kasus ini sampai sekarang masihsaja menggantung. Bahkan di bulan ramadhan lalu, salah satu mediasempat-sempatnya meliput sang pemilik saham saat berbuka puasabersama dengan korban lumpur yang ada di daerah Sidoarjo tersebut.

Page 155: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

154

Dengan menjadi pemilik media, begitu mudahnya bisa membeli siaranuntuk meliput acara buka bersama yang sebenarnya hal tersebutmerupakan acara pribadi. Kami rasa masyarakat tidak membutuhkanberita di televisi tentang keluarga yang sedang berbuka bersama. Hal itusama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan masyarakat,apalagi sampai memberikan manfaat bagi orang banyak.

Berita semacam itu tentunya merupakan sarana promosi ataumengiklankan diri bahwa “Saya adalah orang yang baik hati.” Tapi sekalilagi perlu ditekankan, media televisi tidak hanya berbicara tentang halpribadi. Jika semakin lama televisi terpuruk di dalam keegoisan parapenguasa, maka prediksi akan bergesernya makna dan manfaat televisiakan terjadi. Selamat tinggal kepentingan masyarakat dan selamat datangpersaingan para penguasa.

Jika melihat keadaan yang demikian, alangkah tragisnya nasib televisidi masa depan. Televisi yang pada awalnya memiliki tujuan suci demikepentingan masyarakat banyak akan menjadi mainan bagi penguasauntuk mencari keuntungan pribadi. Imbasnya tidak hanya dalam mediatelevisi. Ilmu jurnalisme bisa menjadi hal yang tidak lagi bermakna.Jurnalisme akan kehilangan ideologinya karena termakan oleh penguasayang lebih besar.

Segala hal yang dipelajari oleh para jurnalis akan menjadi hal yangsia-sia. Yang perlu dipelajari pada nantinya mungkin adalah bahwa parajurnalis harus bekerja sesuai dengan keinginan para penguasa yangmenaunginya. Tidak ada lagi kebebasan bagi para jurnalis untuk membuatsudut pandang namun semuanya akan ditentukan oleh hal-hal yangberkuasa diatasnya. Apakah hal ini bermanfaat bagi jurnalis? Tentu sajatidak karena hal tersebut akan merebut kemerdekaan para jurnalis.

Kita bisa melihat kasus yang lain. Kasus Gaza pernah menenggelamkankasus kecelakaan sebuah kapal laut di dalam negeri. Masyarakat mendapatinformasi tentang luar negeri tetapi informasi penting yang terjadi di dalamnegeri seolah menguap begitu saja tanpa mendapat perhatian. Apakahyang membuat media memilih kebijaksanaan seperti ini? Apakah masalahdalam negeri menjadi kurang penting jika dibandingkan dengan masalahGaza? Apa bangsa kita memiliki kepentingan di Gaza? Sangat benarapabila media memberikan informasi tentang hal yang sedangberlangsung di sana. Namun bukan berarti masalah dalam negeri yanglebih penting menjadi terlupakan. Pasti di balik pemberitaan ini ada suatukepentingan yang ingin diwujudkan.

Page 156: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

155

Parodi di Balik Layar Kaca

Hanya dengan melempar isu tanpa mendapatkan penyelesaiannyatidak sama dengan memberikan manfaat kepada masyarakat. Sama sepertimelempar kasus Century atau Gayus, namun tidak pernah adapenyelesaiannya. Bahkan ketika kasus itu semakin terpuruk muncul kasuslain yang menenggelamkan kasus negara yang lebih penting, yaitu kasusvideo mesum artis. Kasus video tersebut sampai mengalahkan berita sertaperistiwa lainya sehingga seolah-olah tidak ada yang lebih penting darikasus ini. Dengan hati yang bertanya-tanya kita pasti berpikir apa maksuddari media televisi menampilkan hal ini. Media televisi yang dikenalsebagai alat penyampai pesan yang lebih mengekalkan ingatan serta cepatdigunakan untuk memberitakan hal-hal macam seperti ini.

Sekali lagi tidaklah salah. Namun kemanakah kasus-kasus yangdilempar sebelumnya? Mengapa sepertinya kasus sebelumnya sepertisudah menemukan penyelesaiannya dan ditutup? Apakah kasus videomesum ini digunakan media untuk mengalihkan perhatian masyarakatdari kasus-kasus yang lebih penting sebelumnya? Atau mungkin bisasaja kasus video ini digunakan untuk menutup kasus ngara yang lebihpenting. Namun siapakah yang yang memiliki kebijakan bahwa mediatelevisi sekarang tugasnya adalah memberitakan kasus video mesum?Tentu saja penguasalah yang menetukan. Jika sudah sampai seperti ini,bisa dilihatlah bahwa televisi digunakan sebagai pelindung sertapengalihperhatian akan kasus negara yang lebih penting. Masyarakatsenang menonton hal tersebut. Tapi apakah masyarakat memperolehmanfaatnya? Tentu saja tidak.

Demikianlah gambaran bagaimana media televisi digunakan pada saatini dan imbasnya nanti. Kami merasa tidak akan jauh berbeda denganyang terjadi sekarang: siapa yang paling berkuasa, dia yang paling bisamenentukan apakah yang harus ditampilkan di televisi. Dengan demikian,kepentingan penguasalah yang selalu terpenuhi. Dengan kata lain manfaathanya akan didapat penguasa. Di masa depan, manfaat televisi lambatlaun akan semakin bergeser dari manfaat untuk masyarakat menjadimanfaat untuk para penguasa.

Page 157: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

156

Daftar PustakaVogt, Erich. 2001. Pelayanan Umum Sebagai Salah Satu Bentuk Penyiaran. Jakarta :

Friedrich-Ebert-Stiftung .Wahyudi, JB. 1994. Dasar-Dasar Manajemen Penyiaran. Jakarta : PT Gramedia Pustaka

Utama.Wibowo, Fred. 1997. Dasar-Dasar Produksi Program Televisi. Jakarta : Gramedia

Widiasarana Indonesia.

Page 158: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

157

TV Streaming sebagai Televisi Alternatif

Dwi Kartika Sirait dan Fransisca Yosi WongiMahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Billy adalah warga negara Indonesia yang sedang menimba ilmu dinegeri kangguru, Australia. Informasi mengenai negara kelahirannyamulai berkurang sejak ia tinggal di Australia. Seakan terkekang rutinitasserta kurangnya informasi yang beredar di Australia, ia hampir tidakmengenal lagi apa yang sudah, sedang dan akan terjadi di negaranya,Indonesia. Sejak ada penyediaan TV Streaming yang dikelola langsungoleh televisi nasional yang bersangkutan, Billy merasa sangatdiuntungkan. Pertukaran informasi mengenai perkembangan masyarakatIndonesia di dalam maupun luar negeri berjalan lebih lancar. Ia juga dapatmengetahui kondisi terkini di Indonesia termasuk kota asalnya. Hal inimembuat ia nyaman karena merasa dekat dengan Indonesia.

***

Teknologi adalah elemen penting yang tidak pernah lepas dalamkehidupan sehari-hari dan dalam setiap aktivitas manusia. Mulai daribangun pagi hingga tidur lagi manusia modern hampir selaluberhubungan dan memanfaatkan alat-alat hasil teknologi. Misalnya, kitabangun karena bunyi alarm handphone, mandi dengan shower, minum kopidari mesin pembuat kopi, sarapan roti dari alat pemanggang roti. Selesaisarapan, berangkat beraktivitas menggunakan kendaraan bermotor. dalamaktivitas belajar atau bekerja kita dibantu komputer. Pulang dari aktivitas,kita istirahat sejenak memberikan hiburan pada otak melalui acara yangdisuguhkan televisi sembari melakukan relaksasi di kursi pijat. Setelahitu, kita kembali beraktivitas menggunakan laptop yang terkoneksiinternet. Begitu seterusnya.

Ilustrasi di atas menggambarkan tanpa disadari, individu sangattergantung dengan teknologi. Teknologi pun mengalami perkembanganpesat. Bandingkan misalnya, lampu bohlam saat ditemukan pada 1900dan bohlam era sekarang. Ada beberapa jenis teknologi yang berkembangsecara perlahan maupun secara pesat dalam waktu singkat. Misalnya,

Page 159: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

158

komputer dengan fasilitas Pentium I, disempurnakan pada Pentium II,Pentium III, Pentium IV, Core Duo dan seterusnya.

Perkembangan teknologi tidak dapat dihentikan, seiring perputaranhidup yang tiada henti. Teknologi terus maju dan menghasilkankepraktisan dalam beraktivitas. Tak hanya itu, perkembangan teknologiini pada gilirannya berdampak pada bidang komunikasi. Dampakperkembangan teknologi pada bidang komunikasi sangatlah luas. Sepertiumumnya diketahui, komunikasi merupakan transfer pesan baik secaraverbal maupun nonverbal dari individu atau kelompok yang satu kepadaindividu atau kelompok yang lainnya.

Perkembangan Teknologi dan MediaPerkembangan teknologi bagi komunikasi berupa alat komunikasi

seperti telepon seluler, televisi hingga cybermedia. Dengan kata lain,perkembangan teknologi komunikasi meliputi teknologi untukkomunikasi interpersonal dan komunikasi massa. Komunikasiinterpersonal adalah komunikasi yang dilakukan oleh individu denganindividu. Komunikasi massa adalah komunikasi yang dilakukan oleh satuatau lebih individu dengan sejumlah individu lainnya denganmenggunakan media perantara. Komunikasi massa dibagi menjadi duayaitu media cetak dan media penyiaran.

Perkembangan teknologi media cetak dapat dilihat melalui mesin cetakoleh Guttenberg maupun mesin copy xerografik. Perkembangan teknologimedia penyiaran dapat dilihat dari lahirnya media informasi dan hiburanseperti radio, televisi, dan komputer yang memberikan kemudahan dalambekerja dan menyajikan informasi serta hiburan.

Media penyiaran juga mengalami perkembangan setiap dekadenya.Diawali dengan eksperimen-eksperimen pertama dengan arus listrik(1800), diikuti penemuan induksi elektromagnetik oleh Faraday danlayanan telegraf listrik (1825), kemudian sistem gambar hidup dan kameragambar hidup hingga perubahan gambar menjadi sinyal-sinyal listrik(1875). Tahun 1900, tabung vakum ditemukan dan siaran audio pertamadimulai. Tahun 1925, sistem televisi pertama ditemukan dan disusulpenemuan radio FM. Pada tahun yang sama dimulai pula siaran televisikomersial di Amerika. Kemudian disusul lahirnya sistem TV kabel, filmlayar lebar dan film 3D (1950). Tidak hanya itu saja, layanan pesawattelevisi warna pun mulai ditemukan. Perkembangan media penyiarantidak berhenti disitu saja. Menurut Roger (2003: 303) dalam buku

Page 160: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

159

TV Streaming sebagai Televisi Alternatif

Mediamorfosis, perkembangan media penyiaran di California dansekitarnya terus berjalan hingga tahun 2000. Perkembangan ini ditandaidengan adanya teater-teater rumah, layar datar besar, film-film RV (realitasvirtual) komersial, film-film holografik dan sebagainya.

Meski terkesan lahir secara beruntun dan saling mendukung, padadasarnya, radio dan televisi saling bersaing menarik perhatian masyarakat.Media penyiaran ini saling mendahului dan berusaha memberikanfasilitas-fasilitas yang memanjakan masyarakat dalam pemenuhankebutuhan informasi dan hiburan. Namun demikian, menurut data dariNielsen Media Research, media yang paling banyak dikonsumsi dandigemari oleh hampir semua orang di Indonesia adalah televisi (MajalahCakram dalam Adwika, 2009: 2) karena adanya keunggulan dari segi audiodan visual yang ditawarkan sehingga memudahkan masyarakat dalammenangkap dan menafsirkan pesan.

Kehadiran televisi di Indonesia ditandai dengan siaran perdana TVRIpada tahun 1962 yang mendukung penyelanggaraan Asian Games IV diJakarta. Setelah berdiri dan melakukan siaran perdana, TVRI sempatmengalami masa hidup-mati dalam siaran. Kurangnya persiapan saatpendirian membuat TVRI tidak bisa melakukan siaran secara rutin.Setahun kemudian, Keppres No.215 Tahun 1963 hadir untuk mengaturkeberadaan lembaga penyiaran pertama di tanah air ini (Zulkarnaen dalamMulyana, 1997: 12).

Perkembangan pertelevisian di Indonesia mulai saat RCTI hadir sebagaistasiun televisi swasta pertama (1987-1988). Setahun kemudian SCTVmulai mengudara. Disusul TPI (1991), AN-TV (1993), dan Indosiar (1994).Lahirnya stasiun-stasiun ini didukung oleh Surat Keputusan MenteriPenerangan (SK Menpen) Nomor 111 tahun 1990 (Zulkarnaen dalamMulyana, 1997: 12) yang menjadi pemicu pesatnya perkembanganpertelevisian di Indonesia.

Setelah kemunculan lima stasiun televisi swasta tersebut, lahir SKMenpen No.286/SK/Menpen/1999 yang memberikan ijin pendirian stasiuntelevisi swasta baru (Setyobudi, 2006:12). Metro TV kemudian lahirmemulai siaran pada 1999-2000, diikuti oleh tiga stasiun televisi swastalainnya: Trans TV, TV 7 (Trans7) dan Lativi (TV One). Televisi swastanasional terakhir adalah Global TV (2002). Kemudian diikuti kelahiranstasiun televisi lokal di berbagai kota di Indonesia, seperti Jogja TV, JTV,RBTV, dan lain-lain pada kurun 2000-2005 (Persatuan PerusahaanPeriklanan Indonesia, 2006: 33).

Page 161: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

160

Perkembangan Cybermedia dan TV StreamingPerkembangan pertelevisian di Indonesia ini diikuti pula dengan

perkembangan internet (cyber media). Menurut Fidler, cybermediamerupakan bentuk komunikasi berperantara komputer (2003: 421).Komunikasi ini dapat dilakukan oleh siapapun selama memiliki perangkatkomputer. Perkembangan cybermedia di Indonesia diawali dengan kegiatanradio amatir, yaitu Amateur Radio Club (ARC) ITB (1986) disusul denganperkembangan jaringan paket radio di Indonesia. Kegiatan radio amatirini kemudian melahirkan PaguyubanNet (1992). Perkembangan jaringanpaket radio ini berupa usaha mengaitkan jaringan amatir Bulletin BoardSystem (BBS)—jaringan e-mail store and forward—dengan banyak “server”BBS amatir radio di seluruh dunia; dengan tujuan agar e-mail dapat berjalandengan lancar. Perkembangan internet terus diusahakan hingga tahun1995-an, sambungan leased line 14.4Kbps ke RISTI Telkom sebagai bagiandari IPTEKNET akses internet diberikan secara cuma-cuma (Mujahidin,2008).

Secara mendasar, cybermedia memiliki sifat yang khas yang menjadiciri utamanya sebagai media maya. Seperti disebutkan Fidler (2003: 251)dalam bukunya Mediamorfosis, ciri-cirinya adalah tanpa perantara, duaarah-partisipatori, dan tak berjadwal. Tidak adanya perantaramenunjukkan sistem di dalamnya yang berperan untuk menghubungkanantara penyedia layanan dan penggunanya. Selain itu, ciri komunikasidua arah juga semakin mempertegas bahwa ketiadaan perantara membuatkomunikasi dua arah yang akan terjadi dengan pemanfaatan teknologidan sistem tersebut. Begitu pula dengan ciri tak terjadwal, dimana aksescybermedia dengan perangkat komputer dapat dilakukan kapan saja tanpajadwal tertentu. Dengan demikian, ciri-ciri tersebut menegaskan kembaliperan teknologi di dalam cybermedia.

Pada awal kemunculannya, cybermedia digembar-gemborkanmerupakan wilayah baru yang akan banyak memberikan keuntungan.Peluang-peluang baru dan kesempatan tersedia dalam dunia yangdibentuk oleh sekumpulan sistem hasil pengembangan teknologi. Peluangtersebut ada karena keunggulan-keunggulan yang ditawarkan.Keunggulan tersebut adalah akses secara murah yang mampumenyediakan informasi dalam waktu yang relatif singkat. Tidak hanyaitu saja, cybermedia juga semakin menghilangkan jarak antara satu tempatdengan tempat yang lain, wilayah yang satu dengan yang lain hinggamempersempit jarak antar negara bahkan benua. Cybermedia ini semakin

Page 162: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

161

TV Streaming sebagai Televisi Alternatif

berkembang seiring lahirnya World Wide Web (disingkat www). Websendiri merupakan global dan praktis yang dapat diakses oleh siapa punyang memiliki komputer (Fidler, 2003: 361).

Perkembangan cybermedia di tengah zaman modern ini disambutdengan cepat oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat dengan perkembanganpengguna cybermedia di dunia yang hampir mencapai angka dua milyaruser internet pada 2010, seperti dirilis Internet World Stats yang memuatstatistik pengguna internet di seluruh dunia dalam situsnya http://www.internetworldstats.com/stats3.htm. Di Indonesia, pengguna internetmencapai 45 juta pada pertengahan 2010 seperti diungkapkanKementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dalam acara RakernasAPJII 2010 dan IPv6 Summit yang berlangsung di Padma Resort Bali, 8-9Juni 2010 (www.detikinet.com).

Sambutan yang luar biasa ini kemudian dimanfaatkan oleh mediapenyiaran dengan lahirnya sistem streaming. Streaming merupakanteknologi untuk memainkan file video atau audio secara langsung ataupundengan pre-recorder dari sebuah mesin server (web server). Pemutaran filevideo atau audio ini dapat dilakukan setelah adanya permintaan dari user(www.ittelkom.ac.id, diakses 01/08/2010). Secara sederhana, sistem streamingmerupakan sistem yang memberikan informasi melalui layanan cyber media baiksecara langsung maupun tidak.

Sistem ini pada mulanya digunakan untuk penyiaran audio (radiostreaming). Namun seiring percobaan-percobaan pengembangan, sistemini kemudian mulai diterapkan untuk penyiaran audio-visual (TVstreaming). TV Streamingmerupakan salah satu terobosan dalam penyiarantelevisi. Pemanfaatan teknologi komunikasi dan cybermedia membuat TVStreamingmemiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan TV analog.

Salah satunya, TV Streaming tidak memerlukan perangkat khusus atautambahan. Komputer dan jaringan internet dengan kemampuan aksesyang cukup cepat adalah modal utama untuk bisa menikmati TV streaming.Ditambah lagi, adanya laptop memudahkan akses TV Streamingdimanasaja. Mobilitas yang tinggi dan semakin tersedianya fasilitas hot spot diberbagai tempat memungkinkan seseorang tetap dapat memperolehinformasi dan hiburan dari televisi.

Selain itu, disaat yang bersamaan, user dapat mengakses TV Streamingserta situs-situs lain untuk efisiensi waktu. Adanya TV Streaming ini jugamampu memberikan fasilitas interaktif tanpa perantara di waktu yangsingkat. Ketika user mengakes TV Streaming dan merasa acara tersebut

Page 163: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

162

kurang menarik, maka pada waktu yang bersamaan user dapat langsungmemberikan tanggapan. Tanggapan ini merupakan fasilitas komunikasidua arah yang dimiliki oleh TV Streaming. Tidak hanya itu, sesuai denganpengertiannya, TV Streaming dapat menyimpan dokumentasi acara siaranlangsung yang telah diputar sebelumnya. Dokumentasi acara ini dapatdiputar sewaktu-waktu saat ada permintaan user. Dengan demikian, usertidak perlu lagi takut kehilangan informasi maupun hiburan sebelumnya.

Keunggulan lain yang ditawarkan sistem streaming ini adalah user tidakperlu mengunduh dahulu ketika akan menyaksikan acara yang sedangberlangsung. Efisiensi waktu karena user hanya menunggu sekian detikuntuk menghubungkan koneksi dan selanjutnya tayangan dapat langsungdinikmati. Prinsip TV Streaming sendiri sebenarnya tidak berbeda jauhdengan radio streaming yang sekarang sudah cukup banyak dimanfaatkan.Perbedaan hanya terletak pada kemampuan TV Streaming untuk bisamenyimpan dan memutar ulang tayangan yang sudah berlalu. Tidakhanya itu, dengan TV Streaming juga memungkinkan user untuk menikmatisiaran televisi nasional ketika sedang berada di luar negeri.

Keunggulan-keunggulan yang diberikan TV Streaming itulah yangmenjadi kekuatan TV Streaming sebagai televisi masa depan. Selain dapatdimanfaatkan sebagai alternatif televisi bagi masyarakat, TV Streamingmerupakan peluang bagi perusahaan-perusahaan televisi nasional karenaternyata tidak semua stasiun televisi di Indonesia menyediakan fasilitasTV Streaming di web mereka. Walaupun sekarang sudah mulai dirintis,TV Streaming saat ini masih dalam bentuk siaran-siaran berita saja.

Hal ini sebenarnya sudah menjadi sesuatu yang umum, yaitu penyiaranberita streaming. Seperti juga yang ditulis Dominick, Messere, dan Sherman(2004: 146) dalam buku Broadcasting, Cable, the Internet, and Beyond sebagaiberikut: “News streaming is common on many websites and the standards forencoding Internet video such as MPEG-4 are evolving rapidly.” Pernyataantersebut menegaskan bahwa streaming berita merupakan hal yang sudahlazim di web. Sama pula yang terjadi di Indonesia, beberapa stasiun televisimenyediakan streaming untuk acara beritanya, seperti Metro TV, Liputan6SCTV serta TV One.

Selain sebagai penyiaran berita streaming, TV Streaming di Indonesiamasih sebatas web yang menyuguhkan jadwal acara, program-programunggulan, jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, akseske klub fans atau klip-klip video tertentu saja. Apabila ada penayangan

Page 164: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

163

TV Streaming sebagai Televisi Alternatif

live streaming biasanya difasilitasi oleh web lainnya. Seperti MivoTV,Masronny TV Streaming, dan lain sebagainya.

MivoTV hadir sebagai salah satu penyedia layanan TV Streaming.MivoTV menyediakan layanan siaran dari beberapa televisi swasta, sepertiRCTI, SCTV, Trans TV, Global TV, dan TV One. Dalam layanan MivoTVini juga tersedia layanan komunikasi interaktif (chat). MivoTV selaindimanfaatkan oleh mereka yang sedang menggunakan fasilitas internetdi dalam negeri juga dapat digunakan oleh masyarakat Indonesia yangberada di luar negeri. Hanya saja, masih banyak yang belum mengetahuikeberadaan adanya MivoTV, penyedia fasilitas TV Streaming. Terbuktidalam salah satu kelas kuliah di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, banyakmahasiswa yang tidak mengetahui MivoTV sebagai TV Streaming yangmenyiarkan tayangan dari televisi nasional.

Begitu juga dengan keberadaan Masronny TV Streaming, masih banyakyang belum mengetahui dan memanfaatkannya. Masronny TV Streamingmerupakan penyedia fasilitas TV Streaming yang lebih lengkap dari padaMivoTV. TV Streaming ini menyediakan layanan siaran dari televisi swastadan beberapa televisi lokal hingga televisi luar negeri, yaitu RCTI, SCTV,TV One, Trans TV, Spacetoon, Kompas TV, FAJAR, ANTV, Metro TV,Indosiar, Global TV, Bali TV, CNN, dan sebagainya. Tidak hanya itu saja,TV Streaming ini menyediakan pula layanan komunikasi interaktif (chat).

Kurang diketahuinya keberadaan situs ini tentunya mengurangi pulapemanfaatannya. Ditambah lagi, masih sering terjadinya trouble yangmembuat user tidak dapat menerima layanan siaran televisi-televisitersebut. Dilihat dari fasilitas chat yang tertera pada situs-situs TV Streamingyang sudah ada, banyak masyarakat yang mulai tertarik untuk mencobafasilitas ini. Hal ini tentunya dapat menjadi peluang tersendiri untuktelevisi nasional dalam penyediaan TV Streaming baik secara live maupunon demand.

Memaksimalkan TV Streaming di IndonesiaSejauh ini, televisi nasional yang sudah melakukan pemanfaatan

teknologi streaming secara live hanya Metro TV saja. Peluang bagi televisinasional untuk membuat layanan TV Streaming didukung Fidler (2003:324) yang menyatakan bahwa web memiliki kemampuan untukmenyajikan data yang kompleks, termasuk di dalamnya audio, video sertagrafik. Hal ini menjadi salah satu peluang untuk bisa menyampaikaninformasi dan mendapatkan tanggapan dari masyarakat yang lebih luas

Page 165: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

164

melalui web, karena TV Streaming dapat menjangkau masyarakat hinggalintas negara sejauh dapat mengakses cybermedia.

Tidak hanya televisi swasta nasional yang diharapkan bisamemaksimalkan teknologi streaming dalam perluasan penyiaran, tetapijuga televisi-televisi lokal yang juga sudah tumbuh hampir di setiapprovinsi di Indonesia. Televisi lokal diharapkan pula dapat mengikutiperkembangan teknologi yang ada, salah satunya dengan TV Streamingini. Pemanfaatan TV Streamingbagi televisi lokal dapat juga sebagai mediainformasi bagi masyarakat daerah yang sedang merantau ke luardaerahnya.

Tanggapan dari audience televisi ini tentu saja akan memberikankeuntungan tersendiri bagi produser-produser acara dan tentu saja yangberada di belakang layar setiap tayangan televisi, termasuk anchor(pembawa berita), reporter, pengisi acara, dan kru acara. Masyarakat akansecara langsung menilai dan memberikan komentarnya terhadap acarayang sedang ditontonnya. Respon yang masuk juga akan langsung dapatmenjadi bahan evaluasi bagi mereka yang berada dalam tayangan.

Sistem yang ada mampu menampung setiap saran yang masuk. Suatusaat dimungkinkan pula penggunaan video call dengan memanfaatkansalah satu layanan online, contohnya Skype yang dapat dimanfaatkan untukberinteraksi secara langsung antara audience dan pengisi acara. Hal inidapat kita lihat dalam tayangan Oprah Winfrey Show yang sudahmenerapkan interaksi langsung dalam program acaranya.

Penerapan TV Streaming sebagai televisi alternatif di masa depan diIndonesia berlum berjalan mulus. Namun, adanya target dan optimismepemerintah seperti disampaikan Menkominfo melalui Dirjen Potsel bahwasesuai misi World Summit on the Information Society (WSIS), Indonesiamenargetkan 120 juta masyarakat sudah mengakses internet pada tahun2015 (www.detikinet.com). Hal ini akan menjadi tantangan yang sejalandengan target yang sudah ditetapkan pemerintah. Dengan demikian,Indonesia diharapkan tidak lagi menjadi negara yang jauh tertinggal dalamteknologi dan informasi.

Penyediaan TV Streaming oleh stasiun-stasiun televisi merupakan salahsatu bentuk pengaplikasian teknologi bagi dunia penyiaran. Selain faktorteknis dan audience, ruang iklan yang baru di web juga terbuka lebar dantentu saja akan memberikan keuntungan berlipat bagi perusahaan televisiswasta. Keuntungan lain bagi stasiun televisi juga dapat berupa tanggapanyang berisi kritik dan saran dalam waktu yang relatif singkat, serta

Page 166: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

165

TV Streaming sebagai Televisi Alternatif

kedekatan dan kepemilikan audience terhadap televisi yang akan lebihterbangun hingga masyarakat Indonesia yang berada di luar negeri. Selainitu, menjadi penyedia TV Streaming dalam web masing-masing stasiuntelevisi akan menguatkan tujuan utama keberadaan televisi yaitu selainsebagai pemberi informasi dan hiburan, juga sebagai perantara (media)pemerintah terhadap masyarakatnya.

TV Streaming juga memungkinkan pengembangan acara dan keluasaninformasi yang bisa diperoleh. Misalnya saja, televisi dapat langsungmenerima kabar dari mahasiswa Indonesia yang berada di luar negerimengenai up date berita terakhir di negara tersebut. Selain itu juga, dapatmenjadi peluang acara interaktif yang baru dengan membuat program-program acara yang bisa melibatkan audience langsung dari berbagaibelahan dunia.

Selain memberikan banyak manfaat bagi perusahaan televisi, TVStreaming juga sangat menguntungkan audience. Sebagai masyarakat yangmemperoleh informasi dan hiburan dari televisi sekarang, audiencedituntut untuk aktif dan kritis. Dengan memanfaatkan TV Streaming makakemungkinan audience untuk bisa aktif dan kritis akan sangat terbuka lebar.Fasilitas interaktif yang memang tersedia dalam TV Streaming tentu sajaakan semakin menyemarakkan komunikasi dua arah antara penyiar danaudience. Selain itu juga, akses TV Streaming dan murahnya biaya untukberinteraksi tentu akan semakin menyemarakkan komunikasi yangdilakukan. Jika sebelumnya audience perlu menelepon atau mengirimkanSMS (short message service) untuk menyampaikan opini ke televisi, denganadanya TV Streaming cukup dengan mengetik pesan dan klik “kirim”.

PenutupKemudahan akses tanpa perlu membeli perangkat baru atau tambahan

bagi komputer, juga semakin memungkinkan masyarakat dapatmemaksimalkan TV Streaming ini di masa depan. Penggunaan cybermediayang meningkat dari hari ke hari sebagai sarana berkomunikasi, hiburan,dan bisnis, memungkinkan masyarakat modern lebih banyak mengaksesTV Sstreaming. Dengan demikian, informasi yang didapatkan tidak lagihanya berupa teks digital tetapi siaran audio-visual. Hal ini tentu sajasesuai dengan prinsip yang diungkapkan Fidler (2003: 324) bahwa adapeningkatan kemampuan para pengguna komputer rumah tangga untuksecara ekonomis mengakses isi multimedia melalui jaringan-jaringantelekomunikasi kecepatan tinggi yang murah. Akses yang murah dan lebih

Page 167: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

166

efisien tentu menjadi pilihan alternatif untuk mendapatkan informasidan hiburan di masa depan.

Media informasi di masa depan ini, tidak menutup kemungkinan akanterus berkembang dan dikembangkan oleh perusahaan televisi seiringdengan meningkatnya audience yang memanfaatkannya. Semakin banyakmasyarakat yang menggunakan dan mengakses TV Streaming makamemungkinkan produsen akan memproduksi progam-program acarayang baru dan memenuhi kebutuhan khalayaknya. Kebutuhan akaninformasi tentang daerah atau negara asal serta dapat melihat kondisidengan perantaraan audio-video tentu akan lebih memberikan kepuasantersendiri bagi audience. Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip nilai beritayaitu proximity (kedekatan). Juga sebaliknya, akan memberikan informasiyang memadai pula bagi masyarakat lokal atau negara untuk mengetahuikondisi masyarakat yang sama asalnya.

Program acara yang dikembangkan oleh stasiun-stasiun televisimemberikan kesempatan bagi audience untuk berinteraksi dengan audienceyang lain secara live. Perkembangan teknologi dan kemampuan akses yangmeningkat di masa depan akan semakin memberikan kemudahan untukkomunikasi interkatif dengan audio-video. Dengan demikian, TVStreaming merupakan televisi alternatif yang memanfaatkan teknologitelevisi di masa depan.

Daftar PustakaAndwika, Eskarina, “Pengaruh Posisi Penempatan Iklan Spot di Televisi Terhadap

Tingkat Brand Awareness Khalayak”, Skripsi FISIP UAJY.Dominick, Joseph R, Fritz Messere, dan Barry L.Sherman. 2004. Broadcasting, Cable,

the Internet, and Beyond. New York: McGrawHill.Fidler, Roger. 2003. Mediamorfosis. Yogyakarta: Bentang Budaya.Institut Teknologi Telkom. 2009. Konsep Dasar Video Streaming, http://

www.ittelkom.ac.id/library/index.php?view=article&catid=6:internet&id=645:konsep-dasar-video-streaming&option=com_content&Itemid=15 diakses pada1 Agustus 2010 pukul 02.04 WIB.

Internet World Stats. 2009. Internet Usage in Asia, http://www.internetworldstats.com/stats3.htm), diakses pada 31 Juli 2010 pukul 14.11WIB

Mujahidin, Andi. 2008. Sejarah dan Perkembangan Internet, http://www.andimujahidin.com/2008/01/sejarah-dan-perkembangan-internet/diakses pada 1 Agustus 2010 pukul 14.45 WIB

Mulyana, Deddy dan Idi Subandi Ibrahim. 1997. Bercinta dengan Televisi. Bandung:Remaja Rosdakarya.

Page 168: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

167

TV Streaming sebagai Televisi Alternatif

Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. 2006. Indonesia Media Guide 2005.Jakarta: Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.

Setyobudi, Ciptono.2006. Teknologi Broadcasting TV. Yogyakarta: Graha Ilmu.Suryadhi, Adhi. 2010. Pengguna Internet Indonesia Capai 45 Juta, (http://

www.detikinet.com/read/2010/06/09/121652/1374756/398/pengguna-internet-indonesia-capai-45-juta) diakses 31 Juli 2010 pukul 14.05 WIB.

Page 169: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

168

Perkembangan peradaban berjalan seiring dengan perkembanganteknologi. Tuntutan kemudahan berkomunikasi mendorong munculnyateknologi informasi yang dapat menyebarkan informasi dengan cepat. Parapeneliti dan penemu melakukan terobosan teknologi yang luar biasa dalambidang komunikasi, khususnya komunikasi massa, berupa transmisi tanpakabel yang mampu mengirimkan bukan hanya suara melainkan suaradan gambar (televisi).

Dengan kemudahan dalam penerimaan pesan kepada khalayak luas,pengaruh televisi menjadi begitu besar. Teknologi televisi yang maju turutmenjadi salah satu pengaruh dalam perubahan sosial dalam masyarakat.‘Kotak ajaib’ ini banyak memberi pengaruh dalam kehidupan masyarakat,negatif maupun positif. Televisi dengan kekuatannya membuat duniaseakan tidak berjarak. Televisi menjadi ‘tutor’ yang paling handal dalammenciptakan watak dan karakter manusia. Contohnya, anak kecil yangtidak mengetahui cara bergulat, ia mahir berkelahi dengan temannyasetelah melihat tayangan di sebuah acara televisi.

Televisi merupakan kebudayaan baru di dalam masyarakat yangdinamakan ‘kebudayaan audiovisual’. Produksi budaya televisimerupakan simbol lahirnya budaya baru tersebut. Perkembangannya dimasyarakat menjadikan ‘kebudayaan visual’ membawa pengaruh yangkuat dalam membentuk sikap dan kepribadian baru. Pesatnyaperkembangan jaringan televisi hingga ke wilayah yang terpencil, jugamenjadi penyebab munculnya kultur baru tersebut. Keunggulan televisiyang menjadikannya sebuah kultur baru yang berbeda dari kultur-kultursebelumnya Kemampuan mampu memberi penekanan secara efektifterhadap pesan atau maksud yang dituju dengan meng-close up objeknyaatau memberi pemusatan pandangan.

Berbagai faktor di atas menjadikan ‘kebudayaan visual’ semakin majudan berkembang. Tak mengherankan apabila hingga kini televisi memilikidaya tarik yang luar biasa apabila program yang disajikan dalam televisi

IPTV: Televisi Impian di Masa Depan

Lusi Hasiana dan Yosefine Nandy LestyanaMahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Page 170: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

169

IPTV: Televisi Impian di Masa Depan

tersebut sesuai dengan karakter manusia yang terpengaruh oleh televisitersebut. Maka dari itu, program televisi yang disajikan disesuaikandengan karakteristik penonton.

Televisi menyajikan berbagai macam program tayangan berdasarrealitas, rekaan dan ciptaan yang sama sekali baru. Televisi lebih cenderungsebagai medium domestik dengan audiensnya keluarga. Ketergantunganterhadap televisi di dalam keluarga dapat mempengaruhi hubunganinterpersonal di antara anggota-anggota keluarga. Menonton televisi dapatdijadikan sarana mengakrabkan diri antara ayah, ibu, maupun anak. Makadari itu kadang menonton televisi juga menjadi rutinitas penting yangdijadwalkan dalam sebuah keluarga. Terkadang juga menonton televisidapat dijadikan sebagai pengisi waktu luang.

Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, kebutuhanmengkonsumsi ‘kultur’ baru ini semakin meningkat. Televisi menjadimedia hiburan yang paling dicari oleh masyarakat saat ini. Hampir semuaacara televisi dikemas dan diformat sebagai hiburan, karena hiburanlahyang dimaui penonton dan pengiklan. Selain media hiburan, televisimenjadi alat kontrol sosial. Kenyataannya, televisi sebagai alat kontrolsosial belum sepenuhnya terwujud. Yang terjadi di lapangan, televisi malahmembuat masyarakat memiliki gaya hidup hedonis.

Dalam sebuah konsepsi Fiske (1987), televisi berfungsi sebagai a bearer/provoker of meaning and pleasures, artinya televisi berfungsi sebagai bagiandari dinamika sosial yang memelihara struktur sosial dalam suatu prosesmelalui makna. Televisi yang membudaya di tengah masyarakat kitamembuat masyarakat percaya bahwa realitas televisi adalah suatu realitasyang empirik. Maksudnya, dalam televisi ada sebuah kepercayaan.Kemampuannya menyebarkan pesan ke banyak orang menjadi sumberkekuatan informasi atas apa yang disebarkannya.

Terlepas dari kebaikan dan ‘kultur’ yang diciptakannya di tengahmasyarakat, tidak sedikit dampak negatif dari televisi. Tujuan awaldiciptakannya televisi adalah memberikan manfaat-manfaat positif.Televisi menjadi sumber informasi masyarakat sebagai alat komunikasimassa. Televisi merupakan alat komunikasi yang paling banyakdikonsumsi public. Namun, manfaatnya sebagai alat komunikasi justrumenyimpan masalah karena banyak acara televisi saat ini menampilkangosip dan mengeksploitasi orang miskin, lewat program pengumpulanuang, perbaikan rumah dan sebagainya.

Page 171: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

170

Dampak negatif dari ‘kotak ajaib’ semakin sering dirasakan di tengahmasyarakat. Dampak yang sangat rentan atas pengaruh media massa bagimasyarakat adalah dampak kepada sistem sosial yang dipunyai olehsebuah sistem masyarakat (Baran, 2000). Efek sosial yang muncul bisamemuat unsur-unsur perubahan sosial dan kebudayaan baru yang taklazim di kalangan masyarakat. Televisi seakan menjadi ‘anutan baru’ dikalangan masyarakat. Apa pun ditawarkan oleh televisi diterima begitusaja tanpa disaring terlebih dahulu. Hal tersebut dapat berimbas padainteraksi sosial di masyarakat dengan segala dampak negatifnya.

Perkembangan Teknologi TelevisiPerkembangan kebutuhan dan ketergantungan masyarakat terhadap

televisi, memunculkan banyak keinginan tentang hadirnya teknologitelevisi yang makin cerdas dan canggih. Para ilmuwan mengembangkanteknologi televisi menjadi semakin ringan, tipis, dan moderen. Televisimasa depan bahkan mampu untuk membaca ‘mood’ penontonnya. Remotecontrol akan menjadi usang dan ditinggalkan karena teknologi yangsemakin canggih untuk melahirkan televisi cerdas yang memudahkanmasyarakat untuk menonton televisi. Ashley Highfield, Managing Directorof Microsoft mengatakan, televisi cerdas akan semakin intuitif dan mampumengenali ekspresi wajah pemilik maupun gerak tubuh. Dengandemikian, televisi akan mampu mengukur mood dan memberikan bantuanuntuk mengikuti kemauan anda sesuai keinginan anda (Okezone.com,17/07/ 2010).

Ron Tepper dalam bukunya How to Get into the Intertainment Businessmengatakan, di masa depan sebuah berita akan dapat direkam dandihentikan sesuai kehendak penontonnya. Hal ini akan berakibat bagikehidupan masyarakat yaitu tidak digunakan lagi seorang pembaca danredaktur yang bergaji tinggi. Dikatakan bahwa kita akan memasuki duniabaru yaitu dunia interaktif. Tidak diketahui secara pasti apa yang akanmenjadi dampak dari permainan era interaktif tersebut. Yang dapatdiprediksikan dari dampaknya akan sangat signifikan dan dapatmenciptakan peluang yang benar-benar baru dalam dunia bisnis hiburan.

Konsekuensi perkembangan teknologi informasi dan komunikasiadalah lahirnya konvergensi berbagai jenis media baru. Jenis-jenis mediaini tidak lantas secara sederhana dapat langsung dikelompokkan ke dalambagian dari penyiaran, telekomunikasi ataupun internet. Jenis teknologitersebut semuanya saling terhubung secara sifat dari fungsi dan

Page 172: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

171

IPTV: Televisi Impian di Masa Depan

kegunaannya. Teknologi awal televisi menjadikan penonton pasif. Merekahanya menikmati apa yang disajikan di layar televisi tanpa dapatmengubah atau memberikan tanggapan. Dengan berkembangnya mediabaru, penonton punya kesempatan untuk aktif memberi interaksimengenai apa yang disukainya dan mana yang tidak sesuai pilihannya(relying on choice). Dengan begitu televisi akan mampu memberikankepuasan yang maksimal kepada konsumennya.

Media yang menggunakana teknologi baru yang sedang berkembangdan mulai digandrungi di seluruh dunia saat ini, yaitu IPTV (InternetProtocol Television). IPTV adalah siaran televisi, video, teks atau databerbasis internet dengan kecepatan minimal dua megabyte perdetik yangdapat diakses oleh para pelanggannya. Teknologi ini menggunakanjaringan internet, kabel telepon dan televisi kabel atau satelit. Denganjaringan internet, teknologi ini dapat memberi pesan yang dapatdikonsumsi secara langsung, memiliki kemampuan untuk merekam,bahkan menghentikan gambar saat penayangan pesan sedangberlangsung.

Dengan kemampuan yang ditawarkan teknologi ini makapengendalian atas IPTV sepenuhnya dikuasai oleh konsumen (personal).Bahkan IPTV dapat menayangan pesan tersebut langsung secara mobiletanpa harus berada di suatu tempat yang tetap atau tidak bergerak. Tentusaja bila hendak menikmati secara mobile, dibutuhkan alat-alat lain sepertidecoder yang dapat terhubung dengan internet sehingga tayangan dapatdinikmati dari jarak jauh. Hal-hal tersebut merupakan sebagiankeunggulan yang mampu diberikan oleh IPTV daripada televisi biasa.

Jika ingin mengakses IPTV di rumah, diperlukan sebuah PersonalComputer (PC) serta set top box yang terhubung dengan televisi. Set topbox harus dilengkapi Internet Protocol Multimedia System (IMS) untukmengkombinasikan antara mobile internet dan content broadcast. Penontondapat menggunakan remote untuk mengontrol sistem yang ada dalam settop box misalnya untuk merekam, browsing, chatting, dan sebagainya.

IPTV memiliki delapan jenis layanan yang tersedia. Pertama, LiveTelevision, yakni siaran televisi yang dipancarkan oleh stasiun-stasiuntelevisi biasa. Kedua, Video and Music On Demand, yakni layanan siaranmusik dan video sesuai permintaan penonton. Ketiga, News On Demand,yakni layanan siaran berita sesuai permintaan penonton. Keempat, VoiceOver Internet Protocol (VoIP), yakni teknologi yang memungkinkankomunikasi suara dan fax dengan menggunakan jaringan berbasis Internet

Page 173: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Quo Vadis Televisi?

172

Protocol (IP). Teknologi ini juga dapat mengubah suara atau fax menjadisebuah format data digital yang dapat dikirim melalui jaringan IP. Keelima,Network-based Private Video Recorder (NPVR), yakni fitur untuk merekamsiaran langsung (real time broadcast) dalam jaringan server yang dapatdiakses kapanpun saat dikehendaki. Keenam, Online games, yakni layanananeka games. Ketujuh, Parental guide atau layanan untuk melindungi anakdan remaja dari siaran yang yang tidak diperuntukkan bagi usia mereka.Terakhir, Shopping online, yaitu layanan bagi para penonton untukmemesan dan membeli barang yang diminati saat menyaksikan sebuahtayangan.

Dalam sistem layanan IPTV terdapat empat pihak yang berperan.Pertama, content provider yaitu penyedia program-program televisi dankonten multimedia. Kedua, service provider yang befungsi untuk mengaturdan mengendalikan layanan IPTV. Ketiga, network provider yangmerupakan pihak yang menjalankan fungsi pengiriman dan distribusi.Terakhir, customer yaitu pelanggan yang menikmati layanan IPTV.

Sampai saat ini, perkembangan penggunaan IPTV di banyak negarasemakin meningkat seiring bertambahnya pengguna internet. Tahun 2010pengguna IPTV diperkirakan bertambah sekitar 70 persen yang didorongoleh negara-negra berpopulasi padat seperti Cina, India dan Indonesia.Peluang ini tampaknya dimanfaatkan oleh beberapa lembaga penyiaranberlangganan di Indonesia untuk menjajaki kemungkinan menerapkanlayanan IPTV sambil menunggu regulasi yang akan dikeluarkanpemerintah mengenai teknis penyiaran melalui IPTV.

Sebagian besar IPTV provider di dunia berasal dari providertelekomunikasi dan internet. Hal ini karena layanan IPTV merupakangabungan layanan penyiaran, telekomunikasi dan internet (triple play).Inilah yang dikatakan bahwa teknologi masa depan sulit untukdikelompokkan ke bagian penyiaran, komunikasi, atau informasi karenasemuanya berhubungan fungsinya. Beberapa provider IPTV besar di duniaantara lain: AT&T-U Verse; Verizon Fios TV (Amerika), T-Home (Jerman),MaLigne TV (Prancis), Telefonica Imagenio (Spanyol), Swiss Com-BlueWin TV (Swiss), British Telecom (Inggris), PCCW (Hongkong), Hanaro(Korea), Chunghwa (Taiwan), Sing Tel Mio TV (Singapore).

Televisi masa depan akan menjadi layanan yang sangat dinanti-nantioleh para pengguna karena manfaat yang besar dan sifatnya yang sangatpersonal dan interaktif. Sebagai interaktif televisi berbasis internet, IPTVmemiliki keunggulan dari segi tampilan yakni ketajaman gambar yang

Page 174: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

173

IPTV: Televisi Impian di Masa Depan

sangat tinggi dan memberikan peluang komunikasi dua arah dan multiplestream. Dengan kehadiran IPTV, konsep komunikasi telah bergeser menjadi‘broadcast yourself’ dimana semua pengguna bebas menentukan apa yangingin dikonsumsi sesuai kebutuhannya. Kehadiran televisi masa depanini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak termasuk regulasi yangmenjamin keamanan distribusi dan konsumsi layanan tersebut. Bagaimanapengaturan televisi interaktif ini, akan menjadi pekerjaan rumah regulator.Selamat datang televisi masa depan!

Daftar PustakaFiske, John. 1987. “Television culture”, London: Routledge.Budiman, Kris, “Di depan Kotak Ajaib : Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsi”,

Galang Press, Yogyakarta, 2002.Wahyudi, J.B. 1992, “Teknologi Informasi dan Produksi Citra Bergerak”, Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.Morrisan, M.A. 2008, “Manajemen Media Penyiaran : Strategi Mengelola

Radio&Televisi”, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.Severin, Werner J, James W.Tankard, Jr. 2005, “Teori Komunikasi Sejarah, Metode,

dan Terapan di Dalam Media Massa”, Indonesia : Kencana Prenada Media Group.Parker, Steve. 2000, “Jendela Iptek Seri 1: Listrik”, Jakarta: PT. balai pustaka.Taryadi, Alfons. 1999, “Buku dalam Indonesia Baru”, Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.Tepper, Ron. 2006. “How To Get Into The Entertainment Business”, Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.S. Wijaya, Benny. 2008. “Produk-produk Edan di Masa Depan”, Jakarta: Ufuk

Publishing House.http://www.kpi.go.id, diakses Sabtu, 17 Juli 2010.http://techno.okezone.com, diakses Sabtu, 17 Juli 2010.

Page 175: Quo Vadis Televisi - Prodi Ilmu Komunikasi UAJY

Lewat buku ini kami ingin mempertanyakan ke mana masa

depan televisi dan bagaimana ‘wajah’ televisi di masa depan.

Buku ini menyajikan tulisan-tulisan hasil kajian dan

pembacaan kami, komunitas orang-orang yang belajar Ilmu

Komunikasi tentang kemana arah atau masa depan televisi dan

bagaimana televisi masa depan. Para penyumbang tulisan

sebagian besar adalah dosen, mahasiswa, dan alumni Prodi Komunikasi Universitas Atma

Jaya Yogyakarta. Buku ini merupakan hadiah ulang tahun ke-19 Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Program Studi Ilmu KomunikasiFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Atma Jaya YogyakartaJalan Babarsari No. 6 Yogyakarta

http://fisip.uajy.ac.id