Quo vadis pendidikan call for paper

10
QUO VADIS PENDIDIKAN INDONESIA? Oleh: Denny Kodrat, S.Pd.,M.Pd Pengajar di STBA dan STIE Sebelas April Sumedang, SMA Negeri Jatinangor Sumedang, SMA Taruna Bakti Bandung, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pendidikan Universitas Islam Nusantara Bandung Abstrak: Pendidikan setua peradaban manusia, hadir untuk memanusiakan manusia. Dalam proses perjalanan pendidikan Indonesia, nampaknya kepemimpinan (leadership) yang seharusnya dapat mentransfer cita- cita luhur pendidikan tidak hadir dalam kebijakan pendidikan Indonesia. Sebaliknya, pemimpin menjadikan pendidikan sebagai alat untuk melestarikan kekuasaannya dan secara sistematis melupakan tujuan kehidupa manusia yang seharusnya dijawab oleh pendidikan. Ada tiga prasyarat bila pendidikan Indonesia ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat Indonesia, pertama, menghadirkan nilai teologis dalam setiap kebijakan pendidikan Kedua, kebijakan pendidikan yang terlepas dari kepentingan politik transaksional dan ketiga hadirnya pemimpin dengan jiwa kepemimpinan (negarawan) yang kuat. Kata kunci: pendidikan; kepemimpinan; politik pendidikan. “If you want an education, join the revolution” (Ernesto Che Guevara, dalam Walker,1981:120) Pendahuluan Pendidikan (education) tidaklah dibatasi oleh sekadar pergi ke sekolah, duduk di ruang kelas, mendengarkan, menyimak dan melakukan instruksi guru di dalam kelas. Pendidikan tidak dapat dipersempit dengan mengikuti pendidikan formal dari level sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas hingga pendidikan tinggi. Pendidikan tidak bisa diukur oleh berapa banyak ijasah formal yang dimiliki. Pendidikan sejatinya merupakan bagian dari naluri manusia. Dia ada setua peradaban manusia. Oleh karenanya, mengutip bahasa Prof. Achmad Sanusi, bahwa pendidikan sebagai upaya untuk mengajari manusia berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) (Sanusi, 2013), oleh karenanya tidaklah keliru saat Indonesia dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, selain menyelenggaran pendidikan formal, juga mengakui keberadaan pendidikan non-formal dan informal. Ini berarti, pemaknaan mengenai pendidikan tidaklah harus dipersempit dengan hanya mendirikan pusat-pusat pendidikan formal yang barangkali hanya menyentuh 50 persen penduduk Indonesia, tetapi juga bagaimana pemerintah dan masyarakat mengembangkan dan memantapkan pendidikan non-formal dan informal, untuk mencapai tujuan pendidikan yang diamanatkan dalam Undang Undang Dasar 1945, yaitu untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh

Transcript of Quo vadis pendidikan call for paper

Page 1: Quo vadis pendidikan call for paper

QUO VADIS PENDIDIKAN INDONESIA?Oleh: Denny Kodrat, S.Pd.,M.Pd

Pengajar di STBA dan STIE Sebelas April Sumedang, SMA Negeri Jatinangor Sumedang, SMA Taruna Bakti Bandung, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pendidikan Universitas Islam Nusantara Bandung

Abstrak:Pendidikan setua peradaban manusia, hadir untuk memanusiakan manusia. Dalam proses perjalanan pendidikan Indonesia, nampaknya kepemimpinan (leadership) yang seharusnya dapat mentransfer cita-cita luhur pendidikan tidak hadir dalam kebijakan pendidikan Indonesia. Sebaliknya, pemimpin menjadikan pendidikan sebagai alat untuk melestarikan kekuasaannya dan secara sistematis melupakan tujuan kehidupa manusia yang seharusnya dijawab oleh pendidikan. Ada tiga prasyarat bila pendidikan Indonesia ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat Indonesia, pertama, menghadirkan nilai teologis dalam setiap kebijakan pendidikan Kedua, kebijakan pendidikan yang terlepas dari kepentingan politik transaksional dan ketiga hadirnya pemimpin dengan jiwa kepemimpinan (negarawan) yang kuat.

Kata kunci: pendidikan; kepemimpinan; politik pendidikan.

“If you want an education, join the revolution” (Ernesto Che Guevara, dalam Walker,1981:120)

PendahuluanPendidikan (education) tidaklah dibatasi oleh sekadar pergi ke sekolah, duduk di ruang kelas, mendengarkan, menyimak dan melakukan instruksi guru di dalam kelas. Pendidikan tidak dapat dipersempit dengan mengikuti pendidikan formal dari level sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas hingga pendidikan tinggi. Pendidikan tidak bisa diukur oleh berapa banyak ijasah formal yang dimiliki. Pendidikan sejatinya merupakan bagian dari naluri manusia. Dia ada setua peradaban manusia. Oleh karenanya, mengutip bahasa Prof. Achmad Sanusi, bahwa pendidikan sebagai upaya untuk mengajari manusia berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) (Sanusi, 2013), oleh karenanya tidaklah keliru saat Indonesia dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, selain menyelenggaran pendidikan formal, juga mengakui keberadaan pendidikan non-formal dan informal. Ini berarti, pemaknaan mengenai pendidikan tidaklah harus dipersempit dengan hanya mendirikan pusat-pusat pendidikan formal yang barangkali hanya menyentuh 50 persen penduduk Indonesia, tetapi juga bagaimana pemerintah dan masyarakat mengembangkan dan memantapkan pendidikan non-formal dan informal, untuk mencapai tujuan pendidikan yang diamanatkan dalam Undang Undang Dasar 1945, yaitu untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karenanya tidaklah keliru saat Che Guevara mengatakan, “If you want an education, join the revolution” (Jika anda ingin pendidikan, maka bergabunglah dalam revolusi), ungkapan ini dapat dimaknai sebagai pembentukan diri manusia, dimana kondisi revolusi, perang yang penuh dengan ketidakstabilan, akan mampu “memaksa” manusia untuk menghadirkan potensi-potensi dirinya, salah satunya adalah berpikir: memikirkan dunia yang lebih baik pasca revolusi, memikirkan menjadi insan yang berguna pasca revolusi, yang hal tersebut bisa jadi sulit dihadirkan dalam kondisi-kondisi yang nyaman, aman, damai seperti yang tengah dialami Indonesia saat ini.

Driyarkara (1980) menyebutkan bahwa pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia muda ke taraf mendidik. Sementara itu, Crow and Crow (1960) menyebut pendidikan sebagai membentuk perilaku dan kebiasaan peserta didik, sebagaimana tulisannya “modern educational theory and practice not only are aimed at preparation for future living but also are operative in determining the pattern of present, day-by-day attitude and behavior.” Sedangkan Fattah (2008) mengidentifikasi pendidikan menjadi:

a. Pendidikan mengandung tujuan, yaitu kemampuan untuk berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidup.

Page 2: Quo vadis pendidikan call for paper

b. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan melakukan usaha yang terencana dalam memilih isi (materi), strategi dan teknik penilaiannya yang sesuai.

c. Kegiatan pendidikan dilakukan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (formal, non formal dan informal)Upaya yang ditempuh oleh pemerintah guna mencapai tujuan pendidikan nasional sebagaimana

yang menjadi program rencana strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sebelumnya Kementerian Pendidikan Nasional) tahun 2010-2014, yaitu dengan menggulirkan visi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan “Terselenggaranya layanan prima pendidikan nasional untuk membentuk insan Indonesia cerdas komprehensif” (Kemdiknas, 2010). Pertanyaan sederhananya adalah apakah visi tersebut dapat tercapai dengan ukuran-ukuran yang sudah ditetapkan dalam rencana strategis Kementerian Pendidikan dan Budaya ini? Kemudian apakah seiring terus bergesernya pendidikan dari pola status quo (birokratis/top down) menuju pelibatan masyarakat atau yang dikenal dengan Manajemen berbasis Sekolah (School based Management) untuk mewujudkan learning community, pemerintah tidak gagap dengan menghadirkan rencana program yang memadai untuk perwujudan pendidikan yang ideal? Dalam konteks pendidikan formal, apakah sistem pendukung mikro pendidikan, seperti sekolah, kepala sekolah, siswa, guru dan tenaga kependidikan, kurikulum dan evaluasi, dana, sarana dan prasarana memiliki semangat yang sama untuk mewujudkan pendidikan yang ideal? Di saat negara-negara tetangga di Asia Tenggara, sebut saja Singapura atau tetangga kita di belahan timur, seperti Australia, Jepang, Korea, atau belahan Eropa seperti Inggris, Swedia, Finladia, Jerman dan negara-negara di Amerika, seperti AS sendiri, sudah mulai jauh meninggalkan Indonesia, dengan menghadirkan atau beranjak ke pola pendidikan yang melibat ICT (Information Communication Technology) (Mulyasa, 2012). Apakah visi pendidikan itu hanya akan berhenti ditataran idealisme, sedangkan pada tataran praksis gagal diwujudkan dan pendidikan Indonesia tetap tidak beranjak dari posisi yang tidak ideal?

Mengacu pada pertanyaan-pertanyaan di atas inilah, makalah ini akan membahas seputar isu dan kompleksitas yang dihadapi oleh pendidikan Indonesia.

Pendidikan Minus Kepemimpinan (Leadership)Dalam satu kesempatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. M. Nuh mengatakan

bahwa pendidikan adalah satu-satunya senjata untuk memerangi kemiskinan dan keterbelakangan peradaban. Artinya, sistem pendidikan dibuat untuk mengarahkan warga negara menjadi warga negara yang berdaya, produktif. Pendidikan sebagai human investment yang membawa manusia kepada nilai-nilai luhurnya: berperadaban tinggi dan mampu berpikir tinggi.

Kepemimpinan (leadership) menjadi kata kunci dalam manajemen pendidikan makro, messo dan mikro yang melibatkan seluruh faktor pendukung pendidikan baik dari tingkat pembuat kebijakan hingga pelaksana kebijakan di sekolah. Dewey (dalam Sanusi, 2013) membandingkan sekolah dan pendidikan di tabel 1 di bawah ini:

Sekolah PendidikanMengajar BelajarInformasi PengetahuanGenerik Pengetahuan

Kompetensi KualitasLinear Kompleks

Bisa Bekerja KemanusiaanTabel 1. Perbandingan Sekolah dan Pendidikan

Kepemimpinan yang kuat harus hadir dalam dalam setiap tahap kebijakan pendidikan. Tentunya, kepemipinan ini dimaknai bagaimana pemimpin (negarawan) mampu mentranfer visi pendidikan yang sejati ke setiap elemen stakeholders pendidikan, termasuk masyarakat. Cita-cita pendidikan yang seharusnya ditanamkan oleh pemimpin kepada seluruh komponen pendidikan adalah pendidikan yang tidak melupakan tujuan hidup dasar manusia, yang meminjam istilah An-Nabhani, menjawab tiga

Page 3: Quo vadis pendidikan call for paper

pertanyaan mendasar manusia (al-uqdatul qubra): dari mana manusia berasal, mau kemana dan akan bagaimana mengisi kehidupan. Faktor kepemimpinan ini yang tidak ditemukan dalam pendidikan Indonesia. Artinya pendidikan Indonesia tidak diorientasikan untuk menjawab hakikat atau tujuan hidup manusia, malah ironisnya, melupakan inti dasar dari tujuan hidup manusia itu.

Pendidikan sangat dikooptasi oleh filsafat konstruktivisme, positivisme dan liberalisme. Filsafat konstruktivisme dapat terlihat jelas dalam desain kurikulum 2013, bagaimana teori belajar yang dikembangkan menggunakan pendekatan filsafat konstruktivisme. Dalam pandangan filsafat ini siswa diberikan keleluasaan untuk mengkonstruk/membangun pengetahuan sendiri. Ilmu pengetahuan tidak bisa dipindahkan bila tidak ada keaktifan dari siswa (Maksum, 2010). Guru berperan sebagai fasilitator dan tidak boleh hanya semata-mata memberikan ilmu pengetahuan, melainkan harus membangun ilmu pengetahuan tersebut dalam benak siswa. Beberapa asumsi dasar yang dikemukakan dalam pandangan konstruktivisme adalah: (1). siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan;(2). belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa;(3). pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal;(4). pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas; (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber;namun kritik yang diberikan kepada filsafat ini adalah bahwa ia gagal menghadirkan Allah dalam setiap langkah pembelajaran.

Disamping itu, filsafat positivisme (modernisme) begitu telanjang mendominasi proses sistem penilaian terhadap siswa. Pengkuantitatifan prestasi siswa, psikomotor siswa dan juga afektif siswa menjadi arus utama dalam sistem penilaian di negeri ini. Termasuk evaluasi belajar dalam ujian nasional hanya mengukur aspek-aspek kognitif siswa dengan dibatasi beberapa mata pelajaran dari puluhan pelajaran yang diajari sejak sekolah dasar, menengah hingga atas. Pengaruh positivisme yang kentara adalah dengan pembiasaan berpikir ilmiah dengan tahapan-tahapan yang digariskan dalam pendekatan kuantitatif. Inilah salah satu dominasi filsafat positivisme dalam sistem pendidikan nasional (Abidin, 2006).

Filsafat neo-liberalisme diam-diam mewarnai paradigma Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Beberapa pasal menegaskan pentingnya sekolah atau penyelenggara pendidikan untuk memperhatikan kebutuhan masyarakat. Tiga kata akhir ini, “memperhatikan kebutuhan masyarakat” mengisyaratkan bahwa penyesuaian kualitas lulusan dengan permintaan pasar. Di sinilah filsafat neo-liberalisme dapat dibaca bahwa kualitas pendidikan yang baik adalah kualitas yang memenuhi keinginan penggunanya, sehingga output pendidikan, outcome dan effect sangat bergantung pada mekanisme keinginan pasar (Maksum, 2010), daya serap tenaga kerja yang bisa jadi menafikan atau tidak memprioritaskan tujuan sejati dari pendidikan nasional itu sendiri. Di samping itu, upaya membangun jiwa enterpreneurship siswa nampak tidak terakomodasi dalam undang-undang sistem pendidikan nasional, begitupula dalam aturan mengenai perguruan tinggi. Ini berakar dari filsafat neo-liberalisme yang diadopsi oleh pemerintah.

Imbasnya di masyarakat adalah bahwa pendidikan hanyalah sebagai proses transaksional, dimana lembaga pendidikan hanyalah untuk memenuhi permintaan perusahaan-perusahaan dan industrialisasi. Peserta didik hanya menjadi eksploitasi pasar kerja. Karenanya, komersialisasi pendidikan menjadi sesuatu yang secara langsung terjadi di masyarakat. Seandainya jiwa kepemimpinan yang menghadirkan Allah dalam bidang pendidikan itu ada, pendidikan tidak akan dimaknai secara materi, melainkan mulia, yaitu memosisikan manusia ke tingkat yang seharusnya. Sebaliknya, dalam konteks kebijakan politik pendidikan di Indonesia, pendidikan menjadi alat penguasa yang mengelabui masyarakat. Slogan seperti pendidikan gratis, lebih ditujukan untuk meningkatkan elektabilitas penguasa, tanpa diikuti perbaikan kualitas pendidikan. Oleh karenanya, bila kepemimpinan yang dalam dunia pendidikan tidak memberikan visi yang sesuai dengan nilai-nilai Illahi, malah untuk melestarikan kekuasaan dan uang, maka secara sederhana, aparat birokrasi di bawahnya akan menjadi kepanjangan tangan dari kepentingan pemimpin tersebut. Tidak ada lagi pemangku kebijakan pendidikan yang tanpa pamrih untuk melahirkan kebijakan untuk hakikat pendidikan yang sejati—pendidikan untuk menegaskan arti tujuan hidup manusia.

Page 4: Quo vadis pendidikan call for paper

Quo Vadis (Mau Kemana) Pendidikan Indonesia?

Dalam sebuah laporan investigasi yang dilakukan kantor berita mondial Al-Jazeerah, program 101 East yang menyebut pendidikan Indonesia sebagai “one of the worst in the world” (salah satu dari sistem pendidikan yang terburuk di dunia), menyusul hasil survey Pearson atas 40 negara di dunia dimana Indonesia menempati posisi terendah (Srie, 2013).

Tabel 2. Posisi Kualitas Pendidikan Indonesia menurut Survey Pearson

Padahal dengan anggaran pendidikan sebesar 331.8 Trilyun (Antara, 2013), Indonesia seharusnya mampu bersaing dengan negara-negara Asia-Pasifik. Saat ini beberapa langkah yang ditempuh untuk meningkatkan kualitas pendidikan baru sekadar “menghabiskan” anggaran pendidikan, belum menyentuh persoalan mendasar. Sebagai ilustrasi misalnya, banyak sekali lembaga-lembaga baik di bawah Kemendikbud maupun di luar Kemendikbud yang memiliki tugas atau kepedulian terhadap mutu pendidikan. Sebut saja Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi/Sekolah, hingga Puskur, Pusbuk, Puspendik, LPMP, Balitbang dan lain-lain. Namun kebijakan-kebijakan yang diterapkan nampak tidak membumi dan tidak berkelanjutan.

Negara dapat dikatakan gagal dalam menjadikan pendidikan sebagai hak dasar bagi warganya. Kebijakan wajib belajar 9 tahun tetap tidak dinikmati oleh seluruh anak bangsa. Masih banyak sekali anak-anak putus sekolah yang dibiarkan oleh negara. Sebagaimana pula kualitas pendidikan yang tidak merata antardaerah. Bahkan di kota besar pun, kesenjangan kualitas diantara sekolah terlihat jelas. Bahkan ironisnya, saat BAN Sekolah mengeluarkan nilai akreditasi A pada beberapa sekolah, tetap saja kualitas satu sekolah berbeda jauh dengan sekolah yang lain.

Belum lagi kita melihat sekolah-sekolah yang berada di Timur Indonesia, dengan kualitas seadanya dan tetap terbelakang. Padahal pendidikan merupakan upaya untuk membangun peradaban suatu bangsa untuk melawan kemiskinan dan kebodohan. Rasa aman, nyaman dan senang yang seharusnya wajib melakat dalam diri peserta didik saat mereka bersekolah hanyalah mimpi mahal yang tidak pernah terwujud, sebaliknya mereka harus bertarung dengan jembatan yang hampir roboh, mempertaruhkan nyawa dan kiloan meter untuk mencapai gedung sekolah. Belum lagi saat belajar, mereka didera rasa lapar, panas dan sejumlah ketidaknyamanan lainnya. Bagaimana mungkin tujuan ideal pendidikan dapat tercapai bila prasyarat untuk mencapai itu tidak pernah terwujud.

Page 5: Quo vadis pendidikan call for paper

Buruknya kultur belajar mandiri (self-study) para peserta didik dengan indikasi rendahnya membaca menjadi gambaran nyata hasil pendidikan di negeri ini, tertinggal jauh dari Singapura, Malaysia dan Vietnam. Dengan perkataan lain, negara gagal dalam mensinergiskan pendidikan formal, informal dan non-formal. Padahal potensi dasar manusia di negeri ini luar biasa hebat, namun karena manajemen pendidikan yang buruklah, potensi dasar ini tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.

Kebijakan pemerintah atas tenaga pengajar pun dipandang masih serba tanggung. Tunjangan profesi guru (baca: sertifikasi) hanya menjadi kebijakan artifisial kepada publik yang secara faktual jauh panggang dari api. Bisa dibayangkan, uang tunjangan yang besarnya satu gaji ini tidak jelas kapan cairnya dan tidak pernah diterima utuh oleh pendidik. Setiap tahunnya selalu kurang 2, 3 hingga 4 bulan. Otomatis kebijakan yang awalnya ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan guru, sama sekali tidak mengalami civil effect. Termasuk pula program peningkatan kualitas tenaga pendidik dan kependidikannya yang mandeg dan tidak berkelanjutan. Kalaupun ada, lagi-lagi, hanya untuk kepentingan penyerapan anggaran, bukan yang lainnya. Sehingga cita-cita pendidikan nasional sebagai pembentukan karakter (character building) banyak terganggu oleh kebijakan pemerintah yang tidak jelas dan tidak memiliki prioritas. Sebaliknya, angka korupsi semakin menjadi diakibatkan besarnya anggaran pendidikan. Ironis!

Tenaga pengajar pun seringkali bersembunyi dibalik “ketidakberdayaan penghasilan” saat mengajarkan ilmu kepada anak didiknya. Pembelajaran yang menjenuhkan, tidak bernilai dan miskin kreativitas berbanding lurus dengan penghasilan yang didapat. Akibatnya muncul Contoh nyata ini, bila siswa atau bahkan kita diminta menggambar pemandangan, maka gambar yang muncul adalah sepasang gunung dengan matahari di tengahnya. Begitupula, bila diminta membuat kalimat maka kalimat: “Ini Budi, Ini ibu Budi” akan muncul secara spontan. Ini contoh ketidakkreatifan yang nyata.

Secara faktual dan telah terbukti dalam perjalanan sejarah bahwa hanya pendidikanlah yang dapat meningkatkan kualitas hidup sebuah bangsa. Keberadaan para nabi dan rasul dalam setiap jaman pun sejatinya untuk mendidik manusia, agar ia beranjak dari cara berpikir tingkat rendah ke berpikir tingkat tinggi. Potensi sumber daya manusia dan alam Indonesia bila dikombinasikan dengan pendidikan yang sesuai dengan tuntunan Sang Khalik akan melahirkan insan yang paripurna. Tentunya ada prasyarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan insan yang luhur ini, dalam perspektif kepemimpinan. Pertama, tujuan pendidikan Indonesia, yang ditujukan untuk membangun manusia beriman dan bertakwa perlu didukung oleh aturan kebijakan yang sejalan dengan tujuan tersebut, dimana dengan mengganti kiblat filsafat pendidikan yang positivistik materialistik ke idealisme ruhiyyah, yaitu senantiasa menghadirkan Sang Pencipta dalam setiap kebijakan pendidikan. Seluruh komponen masyarakat perlu diingatkan kembali mengenai tujuan kehidupan dan nilai-nilai teologis, sebagaimana yang disarankan Sanusi (2013).

Kedua, para pemangku kebijakan dari tingkat atas hingga bawah membuat kebijakan pendidikan yang bebas dari kepentingan politik, efisien dan demi terwujudnya hakikat pendidikan itu sendiri. Pemangku kebijakan pendidikan harus berjiwa negarawan, artinya selesai dengan urusan kepentingan politik sesaat dan kepentingan uang. Hasil pendidikan tidak menjadi “komoditas politik” yang hanya dihasilkan untuk elektabilitas dan melestarikan kekuasaan.

Ketiga, pemimpin dan kepemimpinan yang kuat (strong leadership) harus hadir dengan visi yang jelas dalam mewujudkan cita-cita ideal pendidikan. Rasulullah Saw memperlihatkan kepada kita bagaimana sebagai negarawan beliau Saw menetapkan kebijakan yang membumi, dengan membebaskan tawanan perang Badar yang mau mengajarkan baca tulis kepada penduduk Madinah. Disamping itu, Beliau Saw pun menanamkan bahwa mencari ilmu (belajar) tidak berbatas waktu dan usia (pendidikan sepanjang hayat). Sehingga hal ini menjadikan masyarakat Islam sebagai masyarakat yang belajar “learning community” yang menghargai ilmu. Demikian pula kebijakan para khalifah setelah beliau yang senantiasa memosisikan “mencari ilmu” sebagai satu perbuatan yang sangat mulia. Selama tiga prasyarat itu tidak terpenuhi, maka kondisi pendidikan kita akan berjalan di tempat dan sulit bersaing dalam kompetisi global. Wallahu’alam bishawwab

Page 6: Quo vadis pendidikan call for paper

DAFTAR PUSTAKAAbidin, Zainal. 2006. Filsafat Manusia: Memahami Manusia melalui Filsafat. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya

Crown, LLD, Crow. I960. An Introduction to Education in Educational Administration. New York: Oxford University Press

Driyarkara. 1980. Tentang Pendidikan. Jakarta: Yayasan Kanisius

Fattah, Nanang. 2008. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya

Kemendiknas. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014. Jakarta: Kemdiknas

Ketika Aljazeera Ikut Mengulas Mengapa. Tersedia di http://srie.org/2013/02/ketika- aljazeera-ikut-mengulas.html. Tersedia pula dari situs aslinyahttp://aljazeera.co,/programmes/101east/2013/02/2013219652571544992.html. diakses 1 Mei 2013

Maksum, Ali. 2010. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Grup

Mulyasa, Enco. 2012. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya

___________. 2013. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya

Sanusi, Achmad. 2013. Kepemimpinan Pendidikan: Strategi Pembaruan, Semangat Pengabdian Manajemen Modern. Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia

Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, sebagaimana diubah dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan atas PP No. 19 Tahun 2005

Presiden: Anggaran Pendidikan 2013 Direncanakan Rp. 331.8 Triliun. Tersedia di http//antaranews.com/328083/presiden-anggaran-pendidikan-20130-direncanakan-rp3318- triliun. Diakses 4 Mei 2013.

Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2004 Tentang Guru dan Dosen

Walker, Jim. 1981. The End of Dialogue: Paulo Freire on Politics and Education. Dalam Robert MacKie (Editor), Literacy and Revolution: the Pedagogy of Paulo Freire. New York: Continuum

Page 7: Quo vadis pendidikan call for paper