Qaidah Ushuliyyah
-
Upload
muhammad-ikram -
Category
Documents
-
view
240 -
download
13
description
Transcript of Qaidah Ushuliyyah
QAIDAH-QAIDAH USHULIYYAH
A. QAIDAH USHULIYYAH
1. Pengertia Qaidah Ushuliyyah
Dalil syara’ itu ada yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan
mujmal) dan ada yang hanya ditunjukkan bagi suatu hukum tertentu dari segala cabang
hukum yang tertentu pula. Dalil yang bersifat menyeluruh itulah yang disebut dengan Qaidah
ushuliyyah. Dengan demikian yang dimaksud dengan Qaidah ushuliyyah adalah sejumlah
peraturan untuk menggali hukum1. Qaidah ushuliyyah itu umumnya berkaitan dengan
ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan.
Menurut M. Hasbi ash-Shiddiqi, yang dikutip oleh Drs. H. Muchlis Usman, M.A.,
kaidah-kaidah ushuliyah disebut juga kaidah-kaidah istinbathiyah, yaitu kaidah-kaidah yang
berkaitan dengan metode uslub-uslub maupun tarkibnya. Kaidah istinbathiyah banyak
berkaitan dengan amr, nahy, ‘amm, khas, mutlaq, musytarak, muqayyad, mujmal, mufassal.2
2. Urgensi Qaidah Ushuliyyah
Seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa qaidah ushuliyyah itu berkaitan dengan
bahasa, maka sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa. Oleh karena itu, qaidah
ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk mengenali ketentuan hukum yang terdapat dalam
bahasa (wahyu). Dengan menguasai qaidah ushuliyyah akan memudahkan faqih dalam
mengetahui hukum allah disetiap hukum yang dia hadapinya3.
Dalam hal ini, qaidah fiqhiyah juga berfungsi sama dengan qaidah ushuliyyah. Oleh karena
itu, terkadang ada yang disebut dengan qaidah ushuliyyah dan qaidah fiqhiyah.
B. LAFAZH DAN DALALAHNYA
1. Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Petunjuk (dilalah), kurang jelas (khafa). Lafazh yang mempunyai makna tertentu, dan
tidak mempunyai kemungkinan makna lain disebut mubayyan atau nash. Bila mempunyai
dua makna atau lebih tanpa dapat diketahui makna yang lebih kuat disebut mujmal. Bila 1 Rachmat Syafe’i, ilmu ushul fiqih. ( CV. Pustaka Setia.)hal.1472 Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-4, 2002), hlm. 15.3 Rachmat Syafe’i Op.cit, hal.147
1
diketahui makna yang lebih tegas dari makna yang ada disebut zhahir. Mujmal adalah suatu
lafazh yang cocok untuk berbagai makna, tetapi tidak ditentukan makna yang dikehendaki,
baik melalui bahasa maupun kebiasaan pelakunya.
Ulama ushul fiqh membagi nash yang jelas dalalahnya kepada empat macam, yaitu4:
1. Zhahir
2. Nash
3. Mufassar
4. Muhkam
Sedangkan ditinjau dari kejelasannya dalalahnya ia adalah dengan urutan sebagai
berikut :
1. Muhkam adalah yang paling jelas dalalahnya
2. Berikutnya Mufassar
3. Selanjutnya Nash
4. Kemudian Zahir
A. Zhahir
Al-Bazdawi memberikan defenisi zhahir sebagai berikut:
Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui
bentuk lafaz itu sendiri. ( Bazdawi, 1370 H, I : 46)
Ada juga defenisi yang dikemukakan oleh Al-Sarakhsi yaitu:
Artinya:
‘’Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus
dipikirkan lebih dahulu.” (As-Sarakhsi, 1372, I : 164)
Dari defenisi diatas tampak jelas bahwa untuk dapat memahami pengertian zhahir itu
tidak bergantung kepada petunjuk yang lain, tetapi bisa diambil langsung dari lafazh itu
sendiri.
4 Abdul wahab khallaf, ilmu ushul fiqh, (dina utama semarang) hal. 244
2
Atas defenisi tersebut, Muhammad Adib Salih menyimpulkan bahwa Zhahir itu
adalah:
Artinya:‘’Suatu lafaz yang menunjukkan suatu makna dengan rumusan lafazh itu sendiri
tanpa menunggu qarinah yang ada di luar lafazh itu sendiri, namun mempunyai
kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan dinashkan.’’5
(Muhammad Abid Salih, 1984, I : 143)
B. Nash
Nash menurut bahasa yaitu,raf’u asy-syai’ atau munculnya segala sesuatu yang
tampak. Sedangkan menurut istilah antara lain:
a) Ad-dabusi:
Artinya:
‘’suatu lafazh yang maknanya lebih jelas daripada zhahir bila ia dibandingkan dengan
lafazh zhahir.’’
Dari pengertian diatas nash adalah suatu hukum yang menunjukkan hukum yang
jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia memiliki kemungkinan lebih lemah
daripada yang terdapat dari lafazh zhahir.
Hukum lafazh nash sama dengan hukum lafazh zhahir, yaitu wajib diamalkan
petunjuknya atau dilalahnya sepanjang tidak ada dalil yang menakwilkan, mentakhsis atau
menasakhnya. Perbedaan antara zhahir dan nash adlah kemungkinan takwil, takhsis dan nash
pada lafazh nash.
C. Mufassar
mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas
dan juga jelas, sehingga petunjuk itu tidak mungkin ditakil dan juga ditakhsis.
D. Muhkam
Muhkam adalah makna yang menunjukkan dilalah yang tegas dan juga jelas, dan
tidak mempunyai di takwil, takhsis dan di naskh meskipun pada masa nabi, lebih-lebih pada
5 Rachmat Syafe’i,Op,cit, hal.143
3
masa setelah nabi. Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkam, yang berarti atqana,
yaitu pasti dan tegas.
C. TAKWIL
1. Pengertian Takwil (Muawwal)
2. Menurut Etimologi
Secara etimologi,takwil dirujuk dari kata يؤّو�ل - أّو�ل yang berarti At-Tafsir, Al-
Marja’, Al-Mashr. Demikian pendapat Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-Matsani yang
keterangannya dikemukakan oleh Abu ja’far Al-Thabary (Adib Shalih,1984:356).
Pengertian ini diambil dari hadist :
من صام الّد�هر فاال صام ّوال ال
Artinya : “Barang siapa yang puasa sepanjang masa,maka berarti ia tidak puasa dan tidak ada
balasannya.”
Di samping itu ,takwil berarti Al-Jaza,seperti firman Allah SWT.
Artinya : “yang demikian itu,lebih utama dan lebih baik akibatnya” (Q.S. An-Nisa : 59)
Dengan demikian, dari sudut bahas, takwil mengandung At-Tafsir (penjelas atau
uraian) atau Al-marja’, Al-mashir (kembali atau tempat kembali) atau Al-jaza’ (balasan yang
kembali kepadanya).
3. Menurut Terminologi
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefenisikan takwil secara terminologi, jika
diteliti secara seksama pengertian takwil secara bahasa lebih umum daripada pengertian khas,
amm, atau ,mutlaq.
4. Objek Takwil
Adapun objek kajian takwi kebanyakan adalah furu’ sebagai mana pendapat oleh
imam Asy-Syaukani. Selain itu juga hal-hal yang jelas dan nash juga merupakan kajian
takwil.
5. Dalil-dalil penunjang Takwil
Dalil yang dipakai untuk menguatkan takwil juga disyaratkan harus sesuai dengan
ketentuan syara’,di antaranaya,dalil yang memberikan batasan yang terlalu luas terhadap
maksud syara’,atau yang memperluas arti haqiqi yang dikandung dalam maksud syara’.
4
Secara ringkas,dalil-dalil yang dipakai dalam takwil adalah sebagai berikut:6
a. Nash yang diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunah
b. Ijma’.
c. Kaidah-kaidah umum syariat yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunah
d. Kaidah-kaidah fiqih yang menetapkan bahwa pembentuk syriat memperhatikan hal-
hal yang bersifat juz’I tanpa batas,yang diterima dan diamalkan oleh para imam dan
menjadi dasar adanya perbedaan dalam berijtihad dengan ra’yu
e. Hakikat kemaslahatan umum
f. Adat yang diucapkan dan diamalkan
g. Hikamah syariat atau tujuan syariat itu sendiri,yang terkadang berupa maksud yang
berhubungan dengan kemasyarakatan,perekonomian,politik,dan akhlak.
h. Qiyas
i. Akal yang merupakan sumber perbincangan segala sesuatu,yang menurut kaum
ushuliyyah lebih dikenal dengan takwil qarib.
j. Kecenderungan memperluas pematokan hukum untuk berbagai tujuan dan merupakan
dasar umum dalam pembinaan syariat yang bersifat ijtihady,atau ijtihad dengan ra’yu.
6. SYARAT-SYARAT TAKWIL
di bawah ini akan diterangkan persyaratan takwil tersebut:
1. Lafadzh yang ditakwil, harus betul-betul memenuhi kriteria dan masuk dalam
kajiannya.
2. Takwil itu harus berdasarkan dalil sahih yang bisa menguatkan takwil
3. Takwil berdasarkan dalil adalah maslahat
4. Mentaksis keadaan umum dengan kemaslahatan
5. Lafazh mencakup arti yang dihasilkan melalui takwil menurut bahasa.
6. Takwil tidak boleh bertentangan dengan nash yang qath’, karena nash tersebut
bagian dari aturan syara’yang umum.
7. Arti dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zhahir, yang dikuatkan
denngan dalil.
D. KHASH (KHUSUS)
a) Pengertian Khas
6 Ahmad Saebani, Beni. Ilmu Ushul Fiqh.Bandung: Pustaka setia.2012 hal. 152
5
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefenisikan khas, namun pada hakikatnya
memiliki pengertian yang sama juga. Kaidah-kaidah yang bersangkutan dengan khas antara
lain:
Artinya: ‘’sifat itu bagian dari pengkhususan’’7
Menurut Al-Bazdawi, defenisi khas adalah:
Artinya:’’ setiap lafazh yang dipasangkan pada suatu arti yang menyendiri, dan
terhindar dari makna lain yang (musytarak).”
Dengan definisi diatas, ia mengeluarkan lafazh mutlaq dan musytarak dari bagian
lafazh khas, dan bukan pula bagian dari lafazh ‘amm. Pendapat ini dipegang pula oleh
sebagian ulama Syafi’iyah.8
b) Hukum Lafzh Khash
Lafazh yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan suatu makna tertentu dengan
pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Dengan demikian, apabila ada
suatu kemungkinan arti yang tidak berdasar pada dalil, maka ke-qath’ian dilalahnya tidak
terpengaruhi.
Oleh karena itu, apabila lafazh khash dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa
batasan apapun, maja lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq, dan bila
lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka itu akan memberikan faedah berupa
hukum wajib bagi yang diperintahkan, selama tidak ada dalil yang memalingkan pada makna
yang lain.
c) Macam-macam Lafazh Khash
Lafazh khash itu banyak bentuknya, sesuai dengan keadaaan dan sifat yang dipakai
pada lafazh itu sendiri. Kadang-kadang berbentuk mutlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat
atau qayyid apapun, kadang berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid, kadang-kadang
berbentuk amr (perintah) dan kadang-kadang berbentuk nahy (larangan).9
Dengan demikian, macam-macam lafazh khash mencakup: mutlaq, muqayyad, amr,
nahyi.
a) Mutlaq
Apabila lafazh khash memberikan faedah ketetapan hukum secara mutlaq, selama
tidak ada dalil yang membatasinya.
7 Saefuddin, Asis, Ilmu fiqih/ushul fiqh. Bandung: Pustaka Karya. 2012. Hal 2058 Rachmat Syafe’i, Op.cit, hal. 1879 Ibid. hal.192
6
b) Amr
Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah
berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang
memalingkannya pada makna yang lain.
c) Nahy
Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan, ia memberikan faedah berupa
hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang
memalingkannya dari hal itu.
E. ‘AMM
1. Pengertian Lafzh ‘Amm
Penelitian terhadap kata-kata dan susunan kalimat dalam bahasa Arab menunjukkan
bahwasanya lafazh-lafazh yang berdasarkan penetapan kebahasaanya menunjukkan terhadap
keumuman dan penghabisan seluruh satuan-satuannya.10
Pembahasan ‘amm dalam ilmu ushul fiqih mempunyai kedudukan tersendiri, karena
lafazh ’amm mempunyai tingkat yang luas serta menjadi perdebatan pendapat ulama dalam
menetapkan hukum. Di lain pihak, sumber hukum islam pun, Al-Quran dan Sunah, dalam
bayak hal memakai lafazh umum yang bersifat universal.
Lafazh ‘amm adalah suatu lafazh yang menunjukkan suatu makna yang mencakup
seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Para ulama ushul fiqh memberikan
defenisi tentang ‘amm adalah sebagai berikut:
a. Menurut ulama Hanafiyah:
Artinya:
‘’ setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna.’’
( Al- Bazdawi : 1:133)
b. Menurut ulama Syafi’iyah, diantaranya Al-Ghazali:
Artinya:
‘’Suatu lafazh yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih.’’
c. Menurut Al- Bazdawi:
Artinya:
10 Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul Fiqh, terjemahan Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib: Ilmu Ushul Fiqh,
(Semarang: Dina Utama, Cet. Ke-1, 1994), hlm. 279-282.
7
‘’lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu kata.’’
2. Dilalah lafazh ‘Amm
Menurut Hanafiyah dilalah ‘amm itu adalah qath’i, yang dinamakan qath’i adalah:
Artinya: ‘’tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil.’’
Sedangkan menurut ulama, (Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah), dilalahnya
‘amm adalah zhanni. Mereka beralasan, bahwa dilalah ‘amm itu termasuk bagian dilalah
zahir, yang mempunyai kemungkinan di-taksis. Dan kemungkinan ini banyak terdapat pada
lafazh ‘amm.11
F. AMR (PERINTAH)
1. Pengertian Amr
Menurut jumhur ulama ushul, defenisi amr adalah lafazh yang menunjukan tuntutan
dari atasan kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan.
Defenisi di atas tidak hanya ditunjukan pada lafazh yang memakai sighat amr, tetapi
ditujukan pula pada kalimat yang mengandung peritah yang wajib untuk dilaksanakan12,
karena kalimat peritah tersebut terkadang menggunakan kalimat majazi (samar).
Namun, yang paling penting dalam amr adalah bahwa kalimat tersebut mengandung
unsur tuntutan untuk mengerjakan sesuatu .
2. Bentuk-Bentuk Amr dan Hakikatnya
Menurut ulama ushul telah menyepakati bahwa bentuk amr ini digunakan untuk
berbagi macam arti. Al-Amidi menyebutkan sebanyak 15 macam makna. (Al-Amidi,
1968,II:9). Sedangkan Al-Mahalli dalam syara jamu’ Al-Jawami’ menyebutkan sebanyak 26
makna. Demikian pula mereka sepakat bahwa bentuk amr digunakan untuk thalab (tuntutan).
Namun, mereka berbeda pendapat mengenai thalab ini.
Menurut jumhur ulama, amr itu secara hakikat menunjukan wajib dan tidak bisa
berpaling pada arti lain, kecuali bila ada qarinah. Pendapat ini di pegang oleh Al-Amidi,
Asy-Syafi’i, para fuqaha, kaum mutakallimin, seperti Al-Husen Al-Basari, dan Al-Juba’i (Al-
Amidi, 1968 : 92).
Golongan kedua yaitu Madzhab Abu Hasyim dan sekelompok ulama mutakallimin dari
kalangan Mu’tazilah menyatakan bahwa hakikat amr itu adalah nadb.
Golongan ketika berpendapat bahwa amr itu musytarak antara wajib dan nadb,
pendapat ini dipengaruhi oleh Mansur Al-Maturidi.
11 Rachmat Syafe’i, Op.cit., hlm.. 19412 Ahmad Abd. Madjid, Ushul Fiqih, (Pasuruan: PT. Garoeda Buana Indah, Cet. ke-4, 1994), hlm. 180-182.
8
Pendapat keempat, Qadi Abu Bakar, Al-Ghazali, dan lain-lain. Menyatakan bahwa amr
itu maknanya bergantung pada dalil yang menunjukan maksudnya.
G. NAHYI (LARANGAN)
1. Pengertian Nahyi
Menurut ulama ushul, defenisi nahyi adalah kebalikan dari amr yakni lafazh yang
menunjukan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu (tuntutan yang mesti dikerjakan) dari
atasan kepada bawahan.
Namun, para uama ushul sepakat bahwa nahyi itu seperti juga amr dapat digunakan
dalam berbagai arti.
2. Makna Shighat Nahyi
Para ulama bersepakat bahwa hakikat dalalah nahyi adalah menuntut meninggalkan
sesuatu, tidak beralih makna, kecuali bila ada suatu qarina (Abd. Aziz Al-Bukhari : 256)
3. Nahyi menuntut untuk Meninggalkan secara Langsung
Sesungguhnya nahyi itu menuntut untuk meninggalkan apa yang di larang
sebagaimana disebutka dalam fiman Allah SWT. Surat Al-An’am ayat 151 :
Artinya:
‘’Dan jangan lah kamu semua membunuh seorang jiwa yang diharamkan allah, keculi
dengan hak”
( QS. Al- An’am : 151 )
Dengan kata lain, janganlah kamu semuanya menyebabkan seseorang terbunuh. Kata
‘’terbunuh’’ adalah bentuk nakirah dalam keadaan nahyi. Denagan demikian, jelas bahwa
larangan itu membutuhkan pelaksanaan secara langsung dan terus-menerus,karena
pelaksanaan secara terus-menerus dan langsung termasuk dilalah nahyi.13
4. Ihwal nahyi
Para ulama ushul dalam menjelaskan ihwal nahyi menempuh berbagai jalan. Namun,
pada garis besarnya, hal ihwal nahyi dapat dikelompokkan kedalam empat macam:
a. Nahyi itu berada secara mutlaq, yakni tanpa ada qarinah sesuatu yang menunjukkan
yang dilarang.
b. Nahyi itu kembali kepada dzatiyah perbuatan, seperti larangan pokoknya, seperti jual
beli nashat ( jual beli yang penentuan barangnya dengan jalan melempar batu krikil,
pada masa sekarang bisa berbentuk koin.)
13 Rachmat Syafe’i, Op.cit., hlm.. 208
9
c. Nahyi yang melekat sesuatu yang dilarang, bukan pada pokoknya, seperti jual beli
riba dan larangan puasa pada hari raya.
d. Nahyi kembali pada sifat yang berkaitan dengan suatu perbuatan, tetapi perbuatan itu
dapat terpisah dari perbuatan yang lainnya, seperti larangan shalat di tempat
rampasan, dan larangan jual beli di waktu shalat jum’at.
H. MUTLAQ DAN MUQAYYAD
1. Pengertian Mutlaq dan Muqayyad
Para ulama memberikan defenisi mutlaq dalam berbagai macam, namun semuanya
bertemu pada suatu penegrtian yaitu suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa
pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya. Sedangkan muqayyad, para ulama
memberikan defenisi yaitu suatu lafazh yang menunjukkan hakikat suatu yang dibatasi
dengan suatu pembatas yang mempersempit keluasan artinya.
2. Bentu-bentuk Mutlaq dan Muqayyad
Kaidah lafazh mutlaq dan muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:14
a. Suatu lafazh yang dipakai dengan mutlaq pada suatu nash, sedangkan pada nash lain
digunakan dengan muqayyad, keadaan ithlaqnya dan taqyidnya bergantung pada
sebab hukum.
b. Lafazh mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
c. Lafazh mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam
hukumnya maupun sebab hukumnya.
d. Mutlaq dan Muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya sama.
e. Mutlaq dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.
3. Hukum Lafazh Mutlaq dan Muqayyad
Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafazh muthlaq itu wajib
diamalkan ke-muthlaq-annya, selama tidak ada dalil yang membatasi ke-mutlaq-annya.
Begitu juga hukum lafazh muqayyad itu berlaku kepada ke-muqayyad-annya. Yang menjadi
persoalannya di sini adalah muthlaq dan muqayyad ada yang disepakati dan diperselisihkan.
Yang disepakati:
a. Hukum dan sebabnya sama.
b. Hukum dan sebabnya berbeda.
c. Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama.
Yang diperselisihkan:
14 Ibid. H. 212
10
a. Ke-muthlaq-an dan ke-muqayyad-an terdapat pada sebab hukum.
b. Muthlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya, namun sebabnya
berbeda.
I. MANTUQ DAN MAHFUN
1. Pengertian Mantuq dan Mahfun
Suatu lafadz bila ditinjau dari cara menunjukkan suatu makna, menurut Hanafiyah
terbagi dalam empat bagian, yaitu ibarat nash, isayarat nash, dilalah nash dan iqtida, nash.
Sedangkan menurut Syafi’iyah terbagi dalam mantuq dan mafhum.
Dilalah mantuq ialah petunjuk lafadz pada hukum yang disebut oleh lafadz itu sendiri.
Dilalah mantuq seperti ini mencakup tiga dilalah yang dipakai dalam istilah Hanafiyah, yaitu
ibarat, isyarat dan iqtida nash.
Dilalah mafhum ialah petunjuk lafad pada suatu hukum yang tidak disebutkan oleh
lafadz itu sendiri, melainkan datang dari pemahaman. Dilalah mafhum tersebut dalam istilah
Hanafiyah disebut dilalah nash.
Dari definisi mantuq dan mafhum diatas dapat disimpulkan bahwa mantuq dan
mafhum ini termasuk mafhul, bukan dilalah. Selanjutnya mafhum terbagi menjadi mafhum
muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
2. Dilalah Mafhum
Dilalah mafhum ini terbagi menjadi dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan
mafhum mukhalafah.
Mafhum muwafaqah dalam istilah ulama Hanafiyah disebut juga dilalah nash, yaitu
suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu
berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah
yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Hal ini dapat diketahui dengan
pengertian bahasa, tanpa memerlukan pembahasan yang mendalam atau ijtihad. Disebut
mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis.
Mafhum muwafaqah disebut pula dengan nama fahwa al-kitab dan lahn al-khitab,
sebagaimana dikemukakan oleh ulama Zaidiyyah. Ibnu As-Subki membedakan pengertian
antara keduanya, yang pertama dimaksudkan untuk masalah tak tertulis, yang hukumnya
lebih utama dan lebih sesuai daripada hukum bagi masalah tertulis, sedangkan yang terakhir
dimaksudkan untuk masalah yang sama tingkat hukumnya dengan masalah lain yang tidak
tertulis. Perbedaan ini disepakati oleh Asy-Syukani.
11
Mafhum al-mukhalafah adalah petunjuk lafadz yang menunjukkan bahwa hukum
yang lahir dari lafadz itu berlaku bagi masalah yang tidak disebutkan dalam lafadz itu, yang
hukumnya bertentangan dengan hukum yang lahirdari mantuq-nya, karena tidak adanya
batasan (kayd) yang berpengaruh dalam hukum. (lihat Ibnu Al Hajib jild II hal.172, Al-Amidi
jilid II: 99, Al-Mahalli, I :245 dan Zakiyuddin Sya’an: 43).
Daftar Pustaka
12
Syafe’i,Rachmat. Ilmu Usul Fiqi . (Bandung: Pustaka setia.2010)
Usman Muchlis, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (PT. Raja Grafindo
Persada, 2002)
Wahab khallaf Abdu, ilmu ushul fiqh, (Dina Utama Semarang)
Saefuddin,Asis. Ilmu Fiqh/Ushul Fiqh. (Bandung: Pustaka karya.2012)
Abd. Madjid Ahmad, Ushul Fiqih, (Pasuruan: PT. Garoeda Buana Indah,1994)
Wahhab Khallaf Abdu, Ilm Ushul Fiqh, terjemahan Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib:
Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994)
Ahmad Saebani, Beni. Ilmu Ushul Fiqh. (Bandung: Pustaka Setia.2012)
13