Putusan Hakim

15
Melawan Hukum, Korupsi, dan Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 Posted on September 14, 2014 1 Vote Pada tanggal 24 Juli 2006 yang lalu MK melalui putusannya nomor 003/PUU-IV/2006 telah memutuskan untuk menyatakan sebuah kalimat dalam Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor (31/99) bertentangan dengan konstitusi. Kalimat tersebut berbunyi: “Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.” Adapun pertimbangan pokok mengapa menurut MK kalimat penjelas dari apa yang dimaksud dari “secara melawan hukum” dari Pasal 2 Ayat (1) bertentangan dengan konstitusi khususnya Pasal 28D Ayat (1) adalah sebagai berikut: Penjelasan dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya bukan hanya menjelaskan Pasal 2 ayat (1) tentang unsur melawan hukum, melainkan telah melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak tertulis dalam undang-undang secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana. Penjelasan yang demikian telah menyebabkan kriteria perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang

description

putusan hakim

Transcript of Putusan Hakim

Melawan Hukum, Korupsi, dan Putusan MK No.003/PUU-IV/2006Posted on September 14, 2014 1 Vote

Pada tanggal 24 Juli 2006 yang lalu MK melalui putusannya nomor 003/PUU-IV/2006 telah memutuskan untuk menyatakan sebuah kalimat dalam Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor (31/99) bertentangan dengan konstitusi. Kalimat tersebut berbunyi:Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.Adapun pertimbangan pokok mengapa menurut MK kalimat penjelas dari apa yang dimaksud dari secara melawan hukum dari Pasal 2 Ayat (1) bertentangan dengan konstitusi khususnya Pasal 28D Ayat (1) adalah sebagai berikut:Penjelasan dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya bukan hanya menjelaskan Pasal 2 ayat (1) tentang unsur melawan hukum, melainkan telah melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak tertulis dalam undang-undang secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana. Penjelasan yang demikian telah menyebabkan kriteria perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang dikembangkan sebagai jurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima menjadi satu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid). Oleh karena itu, apa yang patut dan yang memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat, yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa yang di satu daerah merupakan perbuatan yang melawan hukum, di daerah lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum;Putusan MK tersebut memang telah dijatuhkan hampir 10 tahun yang lalu, namun isu seputar unsur melawan hukum ini tetap saja selalu menjadi isu yang menarik. Terlebih paska putusan MK tersebut Mahkamah Agung pun kerap mengabaikan putusan tersebut, walaupun kadang juga tetap mempedomaninya, tergantung siapa hakim agungnya[1].Tak lama setelah MK menyatakan penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, atau singkatnya MK membatasi bahwa yang dimaksud dengan melawan hukum adalah melawan hukum dalam pengertian formil saya pribadi telah memprediksi (atau mendorong?) bahwa putusan MK ini bisa disiasati sehingga pengertian melawan hukum tetap ditafsirkan sebagai melawan hukum dalam pengertian baik formil maupun materil. Sayangnya saya lupa tulisan tersebut ada dimana dan apakah tulisan tersebut akhirnya dimuat dalam jurnal yang juga saya lupa apa nama jurnalnya. Inti tulisan saya saat itu kira-kira serupa dengan pertimbangan MA dalam putusan No 2214 K/Pid/2006, yaitu tetap menafsirkan melawan hukum secara materil dengan cara memutar melalui doktrin dan yurisprudensi. Maksudnya, pengadilan tetap saja bisa menafsirkan melawan hukum secara materil dengan menggunakan doktrin dan yurisprudensi.Tapi kali ini bukan itu yang saya mau bahas, bukan soal apa itu melawan hukum an sich atau soal adanya dualisme pandangan di MA terkait putusan MK tersebut. Kali ini saya ingin lebih mengulas tentang kesalahan MK dalam putusan tersebut (tsaaah, mantan calon sarjana hukum bilang MK salah euy). Dimana letak kesalahannya?Begini, tiap kali membahas mengenai melawan hukum kita selalu mengaitkan dengan adanya dua penggunaan istilah yang berbeda dalam KUHPidana dan KUHPerdata (BW Burgerlijk Wetboek), yaitu antara wederrechtelijkheid dan onrechtmatigedaad. Betul bahwa di kedua UU produk Belanda tersebut digunakan 2 istilah yang berbeda dalam bahasa aslinya. Rumusan melawan hukum dalam KUHP dalam bahasa aslinya memang selalu dirumuskan dalam bentuk wederrechtelijkheid bukan onrechtmatigedaad, misalnya Pasal 138 (1) KUHP Belanda (WvS Wetboek van Strafrecht) yang sama dengan Pasal 167 (1) KUHP Indonesia.Pasal 138 (1) WvSHij die in de woning of het besloten lokaal of erf, bij een ander in gebruik, wederrechtelijk binnendringt of, wederrechtelijk aldaar vertoevende, zich niet op de vordering van of vanwege de rechthebbende aanstonds verwijdert, wordt gestraft met gevangenisstraf dstPasal 167 (1) KUHPBarang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjaradstBandingkan dengan rumusan melawan hukum dalam BW di bawah ini:1401 BW Belanda (lama)[2]Elke onregtmatige daad, waardoor aan een ander schade wordt toegebragt, stelt dengenen door wiens schuld die schade veroorzaakt is in de verpligting om dezelve te vergoeden1365 BW IndonesiaTiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebutNamun, menarik penafsiran melawan hukum yang ada dalam UU Tipikor ke dua perbedaan rumusan kata dikedua UU buatan Belanda tersebut menurut saya setidaknya memiliki 2 permasalahan. Pertama, UU Tipikor tidak lah dibuat oleh Pemerintah Belanda namun oleh kita sendiri, sehingga menafsirkan kata-kata melawan hukum yang ada dalam UU Tipikor dengan terlebih dahulu mencari asal katanya di Belanda, khususnya di WvS tentu tidak tepat. UU ini bukan lah terjemahan dari UU belanda seperti halnya KUHP, dan juga bukanlah UU yang terinspirasi dari UU yang ada di Belanda, seperti halnya UU Tindak Pidana Ekonomi[3] yang terinspirasi dari WED (Wet op de Economische Delicten) di Belanda.Jika UU Tipikor kita adopt atau terjemahkan dari UU Belanda, tentu ketika kita hendak menafsirkan suatu kata/frase yang belum terlalu jelas kita tentu harus melihat lagi bagaimana kata/frase tersebut dalam bahasa aslinya, yaitu Belanda. Kemudian baru kita cari tahu bagaimana kata/frase tersebut di negeri asalnya tersebut dimaknai. Misalnya kita ingin mengetahui apa arti kata kekerasan yang ada dalam beberapa ketentuan di KUHP, Pasal 170 Ayat (1) misalnya, dan apa bedanya dengan menganiaya (Psl 351 dst), apakah keduanya sebenarnya sama atau tidak, tentu kita perlu melihat lagi bagaimana rumusan kedua ketentuan tersebut dalam bahasa aslinya.Tapi ini UU Tipikor bukan lah berasal dari Belanda atau ditulis dalam bahasa Belanda. UU ini murni dibuat oleh bangsa kita sendiri, kaum inlander, dan ditulis dalam bahasa inlander pula. UU Tipikor pertama kali diatur tahun 1960, yaitu dalam Perpu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Perpu tersebut kemudian dicabut dan digantikan oleh UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU 3/71 ini kemudian dicabut dan digantikan dengan UU 31 Tahun 1999 yang kemudian direvisi melalui UU No. 20 Tahun 2001.Delik yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) 31/99 sendiri, delik yang memuat unsur melawan hukum yang menjadi perdebatan ini bisa ditelusuri dari kedua UU sebelumnya tersebut. Pasal ini merupakan kelanjutan dari Pasal 1 huruf a UU 3/71 dengan hampir tanpa perubahan rumusan yang berarti. Dan Pasal 1 huruf a UU 3/71 ini pun merupakan perbaikan dari Pasal 1 huruf a Perpu 24/60. Bandingkan 3 rumusan dari 3 UU tersebut di bawah ini:Pasal 2 Ayat (1) UU 31/99Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidanadstPasal 1 huruf a UU 3/71barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negaraPasal 1 huruf a UU Prp 24/60tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian Negara atau Daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau Daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau masyarakatKarena Pasal 2 Ayat (1) UU 31/99 ini kita buat sendiri, maka tidak lah relevan untuk menariknya ke perumusan melawan hukum di Belanda, khususnya di KUHP, terlebih kemudian memperbandingkannya dengan rumusan melawan hukum di BW. Untuk hal yang kedua ini bagaimana MK mendikotomikannya juga memiliki permasalahan tersendiri yang akan saya bahas dalam bagian berikutnya.Karena melawan hukum yang ada dalam Pasal 2 Ayat (1) UU 31/99 bukan lah kita terjemahkan dari wederrechtelijkheid tentu kita bisa memaknainya sendiri berbeda dari makna yang terkandung dalam wederrechtelijkheid di Belanda. Dan itu sebenarnya yang dilakukan pembuat UU 31/99 dalam Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU tersebut, yang menurut MK merupakan norma baru. Pembuat UU 31/99 menyadari bahwa melawan hukum yang ada dalam Pasal 2 Ayat (1) dapat ditafsirkan secara sempit yaitu sebatas melawan undang-undang atau peraturan perundang-undangan, untuk itu mengingat tujuan dari pembuat UU tersebut lebih dari sekedar melawan undang-undang atau peraturan perundang-undangan maka perlu ditegaskan dalam penjelasannya bahwa yang dimaksud dengan melawan hukum meliputi tidak hanya hukum dalam artian formil namun juga materil. Di sini maka dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya penjelasan pasal 2 (1) memang lah hanya sekedar penjelasan, bukan norma baru.Tapi beberapa pembuat UU 31/99 sendiri dalam keterangannya di MK menyatakan melawan hukum harus ditafsirkan secara formil? Mungkin saja. Tapi ini tidak ada hubungannya dengan perdebatan soal wederrechtelijkheid dan onrechtmatigedaad. Selain itu yang perlu diingat Pasal 2 (1) ini pada dasarnya hanyalah kelanjutan dari Pasal 1 huruf a UU 3/71, dan dalam UU 3/71 sendiri yang dimaksud melawan hukum memang telah dinyatakan meliputi formil dan materil. Penjelasan ini memang tidak ada dalam penjalasan pasalnya sebagaimana penjelasan pasal 2 UU 31/99, namun dapat ditemukan dalam Penjelasan Umumnya khususnya pada bagian akhir paragraf 2.Dengan mengemukakan sarana melawan hukum, yang mengandung pengertian formil maupun materil, maka dimaksudkan agar supaya lebih mudah memperoleh pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum, yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, dari pada memenuhi ketentuan untuk membuktikan lebih dahulu adanya kejahatan/pelanggaran seperti disyaratkan oleh Undang-undang No. 24 Prp. tahun 1960.Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya UU 31/99 hanyalah memasukan penjelasan unsur melawan hukum yang sebelumnya ada dalam penjelasan umum ke dalam penjelasan pasal. Jadi, Pembuat UU 31/99 bukanlah perumus asli/orisinal dari delik ini. Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, apa salahnya jika pembuat UU memang memaksudkan yang dimaksud dengan hukum dalam unsur melawan hukum dimaksudkan tidak hanya UU atau peraturan perundang-undangan atau hukum tertulis, namun lebih dari itu, yaitu perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat?Sebelum masuk ke pertanyaan tadi, saya ingin membahas dulu permasalahan kedua, tentang pendikotomian wederrechtelijkheid dan onrechtmatige daad itu sendiri. Di sini MK menafsirkan bahwa onrechtmatige daad sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1365 BW (1401 BW Belanda) memang berarti adalah melawan hukum dalam artian formil dan materil. Dan implisit MK ingin menyatakan bahwa karena terdapat perbedaan penggunaan istilah dalam pidana dan perdata atas melawan hukum tersebut maka ketika melawan hukum dalam pidana diartikan termasuk juga melawan hukum formil dan materil maka berarti terjadi pergeseran istilah di pidana, dari wederrechtelijkheid menjadi onrechtmatige daad, dan ini menurut MK tidak tepat.Di sini letak kekeliruan MK menurut saya. Onrechtmatige daad sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1365 BW (1401 BW Belanda) sendiri awalnya ditafsirkan sebatas melawan undang-undang hingga tahun 1919, yaitu sejak Hogeraad memutus perkara Lindenboum/Cohen. Disini terlihat bahwa sebelum putusan Lindenboum/Cohen tersebut jika wederrechtelijkheid diartikan sebatas melawan hukum formil, ternyata Onrechtmatige daad pun sama. Artinya tidak ada maksud pembuat BW dan WvS membedakan dua istilah tersebut. Onrechtmatige daad yang awalnya ditafsirkan sebatas melawan hukum formil ternyata bisa dimaknai lebih luas ketika memang perkembangan hukum menghendakinya. Lalu apa masalahnya jika pun makna wederrechtelijkheid kemudian berkembang?Kemudian kita masuk isu selanjutnya, apa masalahnya jika melawan hukum dalam pidana ditafsirkan baik secara formil maupun materil? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut mari kita lihat beberapa pasal dalam KUHP yang memuat kata-kata melawan hukum itu sendiri, yang dalam rumusan bahasa belandanya dituliskan dengan wederrechtelijkheid:Pasal 167 (1) KUHPBarang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjaradst198 KUHPBarang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menenggelamkan atau mendamparkan, menghancurkan, membikin tidak dapat dipakai atau merusak kapal, diancamdst253 ayat (2) KUHPbarang siapa dengan maksud yang sama, membikin meterai tersebut dengan menggunakan cap yang asli secara melawan hukumdst406 (1) KUHPBarang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengandst4 Pasal di atas hanyalah sebagian kecil dari contoh pasal-pasal yang ada dalam KUHP yang memuat melawan hukum sebagai unsurnya. Total ada 64 delik yang memuat unsur melawan hukum dalam KUHP.Mari kita cek satu per satu. Pasal 167 (1). Memaksa masuk ke dalam rumahyang dipakai orang lain, dengan melawan hukum. Perlu kah kita cari undang-undang apa yang dilanggar pelaku agar bisa dianggap memenuhi unsur melawan hukum di pasal ini? Apakah ketentuan ini bisa menyasar pemilik rumah? Apakah jika pemilik rumah memaksa masuk dalam rumahnya dapat dianggap melawan hukum? Bagaimana jika pelaku tersebut diberi izin untuk masuk oleh si pemilik?Pasal 198, dengan sengaja dan melawan hukum menenggelamkan atau mendamparkan, atau menghancurkankapaldst. Sekali lagi, perlu kah dicari dulu apa undang-undangnya yang mengatur hal ini? Bagaimana jika yang menghancurkan kapal tersebut adalah si pemilik kapal, atau orang yang diizinkan oleh si pemilik kapal?Saya akan lompat langsung ke kesimpulan, tanpa perlu mengilustrasikan 2 contoh lagi. Salah kah saya jika melawan hukum di contoh-contoh tersebut secara ringkas kita katakan saja sebagai melawan hak atau tanpa hak?Saya akan berhenti di sini dulu mengenai pengertian melawan hukum yang dirumuskan dengan wederrechtelijkheid sebagaimana yang ada dalam delik-delik di KUHP. Sekarang saya akan kembali lagi ke Putusan MK.Jika dibaca secara seksama pertimbangan MK secara keseluruhan, berikut dissenting opinion dari Prof. Laica Marzuki, terdapat kekhawatiran bahwa pasal 2 Ayat (1) ini terlalu luas cakupannya, bahkan dapat mengkriminalisasi perbuatan yang pada dasarnya bukan perbuatan pidana. Kekhawatiran ini menjadi kemudian semakin besar jika hukum dalam melawan hukum ditafsirkan mencakup juga hukum secara materil tidak hanya undang-undang atau hukum tertulis.Kekhawatiran ini memang sekilas masuk akal. Namun kekhawatiran ini lebih disebabkan karena kekeliruan dalam memahami unsur pokok (komponen) atau bestanddelen dari Pasal 2 Ayat (1) itu sendiri. Umumnya memang dipahami bahwa unsur pokok dari pasal ini ada pada unsur melawan hukum dan merugikan keuangan negara. Lihat saja pendapat Prof. Laica Marzuki dalam dissentingnya di hal 82-83,Walaupun kata melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK tidak menjadi fokus argumentasi dalam permohonan Pemohon namun karena hal melawan hukum (wederrechtelijk) merupakan bestaan deel delict bersama-sama dengan unsur delik dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara maka hal pengujian terhadap kata melawan hukum merupakan keniscayaan hukum. Pemahaman bahwa kedua unsur tersebut merupakan unsur pokok dari delik ini juga terlihat di banyak perkara serta fokus diskursus atas pasal ini yang berkembang di kalangan pengamat hukum dan akademisi. Hal ini bisa terlihat dari diskursus selalu berfokus pada 2 isu ini, yaitu apa itu melawan hukum dan apa itu kerugian keuangan negara.Jika unsur Melawan Hukum dan Kerugian Keuangan Negara dipandang sebagai unsur pokok atau unsur yang mengkonstruksi sifat jahat dari delik ini, tentu wajarlah jika banyak pihak khususnya para pejabat BUMN, pejabat birokrasi dll menjadi khawatir. Bagaimana tidak, dengan pemahaman yang demikian tentunya suatu keputusan bisnis di BUMN yang mana dalam tiap keputusan terdapat resiko tentu jadinya jika keputusan tersebut ternyata berujung pada kerugian, seakan otomatis dapat dianggap sebagai perbuatan korupsi. Kekhawatiran tersebut menjadi semakin beralasan karena umumnya jika dalam suatu audit BPK dinyatakan terdapat kerugian keuangan negara, maka berarti telah terjadi korupsi. Atau jika terjadi wanprestasi yang dilakukan pihak kontraktor dalam proyek pemerintah yang tentunya mengakibatkan kerugian bagi negara, dengan kesalahan memahami unsur pokok Pasal 2 dan 3 ini maka perbuatan yang jelas seharusnya masuk ranah perdata menjadi masuk dalam ranah pidana, khususnya korupsi.Adalah suatu kekeliruan memahami 2 unsur tersebut sebagai unsur pokok, atau bestanddelen atau unsur-unsur yang mengkonstruksi sifat jahat dari delik yang diatur. Mengapa? Seperti telah saya jelaskan sebelumnya, pasal 2 (dan 3) UU 31/99 ini pada dasarnya berawal dari Pasal 1 huruf a dan b Perpu 24 Tahun 1960, dan kemudian diperbaiki dalam Pasal 1 huruf a dan b UU 3/71. Dengan demikian untuk memahami pasal 2 (dan 3) tidak bisa tidak kita harus melihat juga kedua UU tersebut.Langsung saja saya masuk ke Perpu 24/60. Dalam Penjelasan unsur-unsurnya terdapat suatu penjelasan yang menarik, yaitu penjelasan atas unsur memperkaya diri sendiri (atau orang lain). Simak lah kutipan penjelasan tersebut:Baik pasal 1a maupun pasal 1b mencantumkan sebagai unsur memperkaya diri sendiri.Unsur ini sangat penting. Terhadap orang-orang semacam inilah tindakan-tindakan ditujukan. Karena adanya orang-orang semacam inilah Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan.Kemudian mari kita lihat bagaimana Penjelasan pasal yang mengatur delik serupa di UU 3/71, baik di Penjelasan Umum maupun Penjelasan Pasal 1 huruf a.Penjelasan Umum Dengan mengemukakan sarana melawan hukum, yang mengandung pengertian formil maupun materil, maka dimaksudkan agar supaya lebih mudah memperoleh pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum, yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, dari pada memenuhi ketentuan untuk membuktikan lebih dahulu adanya kejahatan/pelanggaran seperti disyaratkan oleh Undang-undang No. 24 Prp. tahun 1960.Penjelasan Pasal 1 sub a.Ayat ini tidak menjadikan perbuatan melawan hukum sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan melawan hukum ini adalah sarana untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan.Dari kedua UU di atas terdapat satu kesamaan, yaitu menyoroti unsur memperkaya diri sendiri (atau orang lain dst) sebagai hal yang paling penting. Terhadap orang-orang semacam ini (yang memperkaya diri sendiri atau orang lainred) tindakan-tindakan dilakukan, agar supaya mudah memperoleh pembuktian perbuatan yang dapat dihukum, yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain...Kedua UU yang merupakan sejarah lahirnya Pasal 2 dan 3 itu tidak terlalu mempersoalkan soal kerugian keuangan negara sebagai unsur pokok, namun memperkaya diri sendiri atau orang lain. Lebih tepatnya lagi, unsur memperkaya dan unsur melawan hukum yang merupakan inti deliknya. Dan Penjelasan pasal 1 sub a UU 3/71 pun sudah memberikan penjelasan bagaimana mengartikan kedua unsur tersebut, bahwa baru dapat dipidana suatu perbuatan melawan hukum jika ia adalah semata sarana untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Jadi kedua unsur ini, melawan hukum dan memperkaya diri sendiri atau orang lain tidak lah dapat dibaca sepotong-sepotong, namun harus sebagai suatu kesatuan, dimana unsur perbuatan terdapat tercermin dalam unsur secara melawan hukum, dan unsur tujuan/motif tercermin dalam unsur memperkaya diri sendiri.Sifat tercela dari delik ini tentu lebih terlihat dengan memandang unsur pokok terdapat dalam kedua unsur ini dibandingkan jika unsur pokok nya adalah secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara. Suatu perbuatan dengan tujuan baik untuk menguntungkan atau memperkaya diri sendiri, orang lain secara melawan hukum tentunya sudah merupakan suatu perbuatan yang tercela, atau setidaknya culas dalam bahasa awamnya.Di titik ini menjadi penting kah hukum dalam unsur melawan hukum diartikan sebatas hukum formil, atau undang-undang, atau peraturan tertulis? Tentu tidak. Hukum di sini sebagaimana contoh-contoh dalam pasal 167 (1) KUHP, 198 KUHP dll dapat dibaca juga sebagai hak; melawan hukum menjadi melawan hak atau tanpa hak. Bukan kah perbuatan yang tanpa hak dengan tujuan memperkaya diri sendiri tetap lah merupakan suatu perbuatan yang tercela?Dengan memahami letak bestanddelen sesungguhnya dari delik ini, yaitu memperkaya secara melawan hukum atau hak maka kita dapat menemukan kategori besar dari delik ini, yaitu Fraud, atau yang dalam bahasa belandanya dikenal dengan Bedrog, atau Perbuatan Curang. Jika dikaitkan dengan unsur kerugian keuangan negara maka delik ini dapat dibaca sebagai suatu perbuatan curang yang dapat merugikan keuangan negara, atau fraud di sektor keuangan negara. Kerugian keuangan negara dengan demikian bukanlah unsur pokok atau bestanddel namun hanyalah element. Tanpa adanya unsur kerugian keuangan negara perbuatan yang dilakukan dengan tujuan memperkaya diri sendiri secara melawan hukum atau tanpa hak tetap lah merupakan suatu perbuatan yang tercela.Dan dengan demikian pula maka untuk membuktikan apakah suatu perbuatan merupakan korupsi atau bukan, yang pertama kali harus dilakukan seharusnya adalah apakah pelaku mendapat suatu keuntungan dari perbuatan yang dilakukannya dimana pelaku pada dasarnya tidak berhak untuk mendapatkan kekayaan atau keuntungan tersebut, atau jika indikasi awal perbuatan korupsinya adalah suatu perbuatan melawan hukum, maka yang perlu ditelusuri kemudian adalah apakah pelaku mendapatkan keuntungan, dan keuntungan itu merupakan tujuan dari perbuatan tersebut. Atau, jika pelaku ternyata tidak mendapatkan keuntungan sebagai akibat dari perbuatannya namun keuntungannya dinikmati pihak lain, yang perlu dibuktikan adalah apakah diuntungkannya pihak ketiga tersebut merupakan tujuan dari perbuatan pelaku atau hanyalah ekses semata.Seseorang yang tiba-tiba mendapatkan uang dalam rekeningnya karena kekhilafan seorang kasir mentransfer sejumlah uang dari rekening instansi pemerintah tentu tidak lah dapat dikatakan baik orang tersebut maupun sang kasir telah melakukan korupsi. Karena kesalahan tersebut tidak lah disengaja; bukan lah tujuan dari sang kasir untuk menguntungkan orang tersebut. Namun perbuatan seorang pegawai merencanakan suatu studi banding ke luar negeri agar ia bisa ke luar negeri dan mendapatkan uang saku dari kegiatan tersebut walaupun studi tersebut tidak bermanfaat bagi tugas-tugasnya tentu adalah suatu perbuatan yang tercela dan koruptif.Setelah jelas bahwa perbuatan yang dilakukan adalah untuk memperkaya dirinya atau orang lain yang dilakukan secara melawan hukum atau tanpa hak, baru lah langkah berikutnya yang perlu dijawab adalah, apakah hal tersebut dapat merugikan keuangan negara atau tidak. Di titik ini maka belum tentu kerugian keuangan negara harus dibuktikan secara riil, bahkan harus dilakukan audit keuangan oleh BPK segala. Sebagai contoh, perlukah dilakukan audit BPK/BPKP atas tindakan mark-up yang secara kasat mata saja telah dapat terlihat? Misalnya membeli sejumlah mobil dinas merek x dengan harga satuannya 500 jt rupiah padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa harga mobil tersebut dipasaran hanyalah 200 jt. Perlu audit BPK lagi untuk ini?[4] Terlebih jika diketahui tak lama setelah pembayaran tersebut dilakukan terdapat peningkatan kekayaan si pegawai tersebut dalam rekeningnya secara tidak wajar.Sesungguhnya dengan memahami unsur pokok delik dalam pasal 2 dan 3 ini sebagaimana di atas, yaitu terletak pada unsur memperkaya secara melawan hukum atau fraud/bedrog/perbuatan curang, delik ini dapat menjangkau perbuatan-perbuatan koruptif secara cukup luas namun tanpa menimbulkan kekhawatiran kriminalisasi atas perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya bukan lah suatu kejahatan. Karena unsur mens rea (niat jahat, pikiran jahat, atau criminal intent) dari delik ini menjadi terlihat, yang mana tanpa mens rea ini tidak lah dapat dipidana suatu perbuatan (geen straaf zonder schuld). Berbeda jika ditafsirkan unsur pokok delik ini ada pada secara melawan hukum dan kerugian keuangan negara.Sekian dan terima sayang. Kalau dirasa akhir tulisan ini sedikit gantung, silahkan anda lanjutkan sendiri. Anggap saja tulisan ini tuisan open source. Yang jelas, saya ngantuk. Mau bobok. Ciaobella.Catatan Kaki (entah kaki siapa)[1] Di MA hingga kini terdapat 2 pandangan yang saling bertolak belakang mengenai putusan MK tersebut. Terdapat sejumlah Hakim Agung yang tetap memandang bahwa pengertian melawan hukum tidak hanya sebatas formil namun materil bahkan memandang bahwa putusan MK tersebut tidak perlu dipedomani . Pandangan ini dapat dilihat antara lain di putusan MA no. 2214 K/Pid/2006, no. 2608 K/Pid/2006, no. 103 K/Pid.Sus/2013. Di sisi lain terdapat juga sebagian Hakim Agung yang memandang bahwa putusan MK tersebut harus dipedomani sehingga pengertian melawan hukum harus ditafsirkan sebatas melawan hukum formil semata. Pandangan ini dapat dilihat antara lain di putusan MA no. 334 K/Pid.Sus/2009 dan 97 PK/Pid.Sus/2012.[2] Sejak tahun 1992 Belanda telah menggunakan BW baru. Pasal 1401 tersebut merupakan pasal BW yang lama.[3] UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. UU ini bisa dikatakan merupakan saduran dari WED yang disahkan di Belanda pada tahun 1950.[4] Menarik membaca pertimbangan MA dalam putusannya No. 69 K/Pid.Sus/2013 (Ir. Gatot Suharto). Dalam putusan tersebut MA menyatakan bahwa karena tidak ada audit BPK/BPKP maka JPU tidak dapat membuktikan adanya kerugian keuangan negara. Pertimbangan ini mengesankan bahwa audit BPK/BPKP adalah mutlak diperlukan. Putusan ini bertentangan dengan pertimbangan MA lainnya dalam putusan No. 103 K/Pid.Sus/2013 (Ir. Ananto Sukmono). Dalam perkara yang pokok perkaranya sebenarnya sama dengan perkara Ir. Gatot Suharto MA menyatakan bahwa pertimbangan judex facti yang menyatakan tidak adanya audit BPK/BPKP yang membuktikan adanya kerugian keuangan negara tidak dapat dibenarkan.