Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

124
Dahulu bernama Putu Setia - Jurnalis TEMPO Media Grup. Sejak menjadi pendeta Hindu, 21 Agustus 2009, tinggal di Pasraman Dharmasastra Manikgeni, Desa Pujungan, Kabupaten Tabanan, Bali. Senin,11 Agustus 2014 @ 09:35 Desa Adat Jangan Diganggu DESA adat atau yang sudah populer dengan sebutan Desa Pekraman jangan diganggu dengan urusan- urusan kenegaraan. Tak ada sangkut pautnya desa adat dengan tata kelola pemerintahan karena sejatinya desa adat dibentuk untuk urusan adat istiadat. Di dalam adat istiadat itu ada wilayah agama yang sakral. Desa adat mempunyai syarat yang prinsip, yakni sebuah kawasan yang diikat oleh adanya Pura Tri Kahyangan, yaitu Pura Desa atau Baleagung, Pura Puseh dan Pura Dalem. Adalah Mpu Kuturan yang punya konsep ini. Dulu desa adat itu otonom dan tersirat dari adanya awig-awig yang tak sama antara satu desa adat dengan desa adat yang lain. Awig-awig ini didasarkan pada dresta (kebiasaan yang diwarisi temurun). Belakangan ini pada saat ada upaya “penyeragaman” yang disertai dengan dalih “pembinaan” maka di atas pimpinan desa adat (bendesa) dibuat Majelis Alit di tingkat kecamatan. Lalu di tingkat kabupaten ada Majelis Madya dan di tingkat provinsi ada Majelis Utama. Cukuplah sampai di sini adanya “pembinaan” itu, jangan diganggu lagi dengan urusan lain. Apa yang saya maksudkan dengan gangguan? Ada upaya agar desa adat didaftarkan untuk mendapatkan “status desa” menjelang diberlakukannya Undang Undang Tentang Pemerintahann Desa. Apalagi dalam UU Desa ini ada kucuran dana setiap tahun sebesar Rp1 milyar sampai Rp 1,4 milyar, seolah-olah desa adat ditarik untuk berebut uang itu. Mohon hal ini dikaji lebih jauh. Dalam tata kelola pemerintahan, sudah ada “desa” dan di Bali agar membedakan dengan desa adat maka disebut “desa dinas”, padahal dalam administrasi tak ada kata “dinas” itu. Desa ini dipimpin Kepala Desa. Himpunan desa dikordinasikan oleh Camat, dan di atas camat ada Bupati, lalu Gubernur dan seterusnya presiden. Struktur administrasi ini saja sudah berbeda dengan desa adat. Belum lagi batas wilayahnya. Desa dinas pasti berada di satu kecamatan dan tentunya di satu kabupaten. Tetapi desa adat karena wilayahnya berdasarkan “wewengkon” Tri Kahyangan, bisa jadi ada wilayahnya berbeda kecamatan. Istilah yang dipakai “saling seluk”. Artinya wilayah teritorial desa adat dengan desa dinas tidak sama, karena persyaratannya yang berbeda. Anggotanya (warga) juga berbeda. Di desa adat penduduk pendatang yang bukan beragama Hindu – karena adanya kewajiban mengempon Tri Kahyangan – tidak dimasukkan warga desa adat. Bahkan pendatang yang beragama Hindu tidak harus menjadi warga desa adat. Tetapi warga yang tinggal di kawasan desa dinas, apapun agamanya, haruslah terdaftar sebagai penduduk. Anak saya bertahun-tahun tinggal di Pedungan, Denpasar, tak terdaftar sebagai warga desa adat, karena dia tak “memuja” di Pura Puseh Pedungan. Dia tetap warga desa adat Pujungan, Tabanan, karena di sana Tri Kahyangan yang dipuja. Tetapi administrasi kependudukan semuanya dari Pedungan, bukan dari Pujungan. Kalau ada kerja bhakti membersihkan got dia datang, tetapi

description

Kumpulan artikel Putu Setia (Mpu Jaya Prema)

Transcript of Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Page 1: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Dahulu bernama Putu Setia - Jurnalis TEMPO Media Grup. Sejak menjadi pendeta Hindu, 21 Agustus 2009, tinggal di Pasraman Dharmasastra Manikgeni, Desa Pujungan, Kabupaten Tabanan, Bali.

Senin,11 Agustus 2014 @ 09:35

Desa Adat Jangan DigangguDESA adat atau yang sudah populer dengan sebutan Desa Pekraman jangan diganggu dengan urusan-urusan kenegaraan. Tak ada sangkut pautnya desa adat dengan tata kelola pemerintahan karena sejatinya desa adat dibentuk untuk urusan adat istiadat. Di dalam adat istiadat itu ada wilayah agama yang sakral. Desa adat mempunyai syarat yang prinsip, yakni sebuah kawasan yang diikat oleh adanya Pura Tri Kahyangan, yaitu Pura Desa atau Baleagung, Pura Puseh dan Pura Dalem. Adalah Mpu Kuturan yang punya konsep ini.

Dulu desa adat itu otonom dan tersirat dari adanya awig-awig yang tak sama antara satu desa adat dengan desa adat yang lain. Awig-awig ini didasarkan pada dresta (kebiasaan yang diwarisi temurun). Belakangan ini pada saat ada upaya “penyeragaman” yang disertai dengan dalih “pembinaan” maka di atas pimpinan desa adat (bendesa) dibuat Majelis Alit di tingkat kecamatan. Lalu di tingkat kabupaten ada Majelis Madya dan di tingkat provinsi ada Majelis Utama. Cukuplah sampai di sini adanya “pembinaan” itu, jangan diganggu lagi dengan urusan lain.

Apa yang saya maksudkan dengan gangguan? Ada upaya agar desa adat didaftarkan untuk mendapatkan “status desa” menjelang diberlakukannya Undang Undang Tentang Pemerintahann Desa. Apalagi dalam UU Desa ini ada kucuran dana setiap tahun sebesar Rp1 milyar sampai Rp 1,4 milyar, seolah-olah desa adat ditarik untuk berebut uang itu. Mohon hal ini dikaji lebih jauh.

Dalam tata kelola pemerintahan, sudah ada “desa” dan di Bali agar membedakan dengan desa adat maka disebut “desa dinas”, padahal dalam administrasi tak ada kata “dinas” itu. Desa ini dipimpin Kepala Desa. Himpunan desa dikordinasikan oleh Camat, dan di atas camat ada Bupati, lalu Gubernur dan seterusnya presiden.

Struktur administrasi ini saja sudah berbeda dengan desa adat. Belum lagi batas wilayahnya. Desa dinas pasti berada di satu kecamatan dan tentunya di satu kabupaten. Tetapi desa adat karena wilayahnya berdasarkan “wewengkon” Tri Kahyangan, bisa jadi ada wilayahnya berbeda kecamatan. Istilah yang dipakai “saling seluk”. Artinya wilayah teritorial desa adat dengan desa dinas tidak sama, karena persyaratannya yang berbeda.

Anggotanya (warga) juga berbeda. Di desa adat penduduk pendatang yang bukan beragama Hindu – karena adanya kewajiban mengempon Tri Kahyangan – tidak dimasukkan warga desa adat. Bahkan pendatang yang beragama Hindu tidak harus menjadi warga desa adat. Tetapi warga yang tinggal di kawasan desa dinas, apapun agamanya, haruslah terdaftar sebagai penduduk.

Anak saya bertahun-tahun tinggal di Pedungan, Denpasar, tak terdaftar sebagai warga desa adat, karena dia tak “memuja” di Pura Puseh Pedungan. Dia tetap warga desa adat Pujungan, Tabanan, karena di sana Tri Kahyangan yang dipuja. Tetapi administrasi kependudukan semuanya dari Pedungan, bukan dari Pujungan. Kalau ada kerja bhakti membersihkan got dia datang, tetapi kerja bhakti di pura Pedungan tentu tak datang.

Ada yang menganalogikan begini: desa adat itu berurusan dengan niskala, desa dinas berurusan dengan skala. Meski tidak tepat benar tetapi masuk akal, karena kenyataan yang terlihat desa adat berurusan erat dengan masalah keagamaan (niskala), sedangkan desa dinas berurusan dengan administrasi kependudukan dan pembangunan wilayah desa (skala).

Desa adat seperti halnya desa sejenis di luar Bali dengan berbagai sebutan, eksistensinya tak akan hilang dengan lahirnya UU Desa. Karena keberadaan desa adat diatur dalam konstitusi (UUD 1945 termasuk dengan amandemennya), sementara desa dinas mulai ditata dengan undang-undang yang dibawah konstitusi. Saya tak paham dari siapa awalnya muncul agar ada pilihan untuk didaftar, apakah desa dinas atau desa adat, untuk menyambut “kucuran dana” APBN sesuai UU Desa itu. Di luar Bali tak ada kewajiban untuk mendaftar karena otomatis yang dimaksudkan dengan desa dalam UU Desa ini adalah desa yang sudah berjalan sesuai tata kelola pemerintahan ini, yakni desa dinas.

Page 2: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Coba bayangkan kemudian jika desa adat didaftar sesuai UU Desa dan katakan saja misalnya diterima oleh pusat (Kemendagri). Bendesa Adat yang selama ini mengurusi masalah ritual di Tri Kahyangan berserta awig-awig yang menyangkut kehidupan sosial religius, tiba-tiba harus tahu seluk-beluk anggaran. Lalu siapa atasannya untuk melaporkan anggaran itu? Camat atau Majelis Alit? Dan di atasnya lagi Majelis Madya atau Bupati? Akan kacau dan tumpang tindih. Saya membayangkan ruwet, selama ini Bendesa Adat tempat umat bertanya apakah kala gotongan atau semut sedulur (sehingga bisa menguburkan jenazah) tiba-tiba harus paham beda mata anggaran untuk perbaikan got dan mata anggaran memperbaiki kakus umum.

Dari sisi filosofi juga berbenturan. UU Desa punya filosofi mensejahtrakan masyarakat. Kucuran dana sebesar itu (dengan mempertimbangan besar kecil penduduk setempat) untuk “kesejahtraan lahir” bukan “kesejahtraan bathin”. Dana semilyar itu untuk menggerakkan ekonomi masyarakat. Jika ekonomi bergerak, masyarakat makmur, otomatis masyarakat bisa mensejahtrakan bathinnya. Bukan dibalik. Jadi, dana itu bukan untuk membangun Pura Puseh dengan batu hitam dari Gunung Agung. Kalau begitu, masyarakat tak tergerak lagi “medana punia” karena toh ada uang dari Jakarta setiap tahun satu milyar. Ini persepsi salah.

Tentu saja boleh dana dari UU Desa untuk kepentingan agama, tetapi itu bukan prioritas utama. Nah, dalam hal wilayah desa dinas dan desa adat berbeda jauh, nanti pasti ada cara untuk mengatur dana itu supaya adil dengan prinsip pengelolaan mata anggaran yang transparan. Kalau seperti di desa saya, desa dinas dan desa adat wilayahnya sama, permasalahan bisa tak besar. Tapi jelas beda sasaran yang dituju. Jangan sampai ada kesan, setelah UU Desa berlaku dan kucuran uang datang, warga tak mau lagi bayar urunan untuk piodalan. Yadnya pun tergantung dana dari Jakarta. Akhirnya yang besar piodalannya, ekonomi masyarakat tetap tak bergerak, warga miskin tetap ada. Mari jangan diganggu desa adat dengan iming-iming kucuran dana melimpah, cukup dana dari pemda saja.

Senin,04 Agustus 2014 @ 09:31

Bali dan DubaiMENARIK perbandingan yang diucapkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Rizal Djalil seperti yang diberitakan koran ini terbitan Sabtu (2/8) lalu mengenai dampak dari penduduk pendatang yang semakin banyak ke Bali. Djalil mengkhawatirkan Bali akan seperti Dubai. Yang dimaksudkan tentu saja penduduk Bali akan mengalami pergeseran fungsi di tataran sosial ekonomi yang pada akhirnya bisa mengubah budaya Bali yang luhur itu. Contoh Dubai amat jauh, padahal ada contoh yang lebih dekat, misalnya, warga Betawi di Jakarta yang terpinggirkan.

Bagaimana gambaran yang ada di Dubai? Dubai ini adalah salah satu emirat terkaya yang kini bergabung ke dalam Uni Emirat Arab (UEA). Dubai yang pada awalnya adalah penghasil permata terkenal di dunia kini tumbuh menjadi emirat terkaya di UEA. Permata tak lagi membuat kawasan padang pasir ini terkenal, tetapi perdagangan dan usaha real estate yang membuat emirat itu kaya. Pendapatan dari permata sudah jauh turun, sementara pendapatan dari minyak dan gas bumi bumi hanya menyumbang 6 %. Tetapi real estate dan konstruksi melonjak jadi 22,6 %. Ini data pada tahun 2006.

Perdagangan dan usaha real estate ini yang membuat banyak pekerja imigran datang ke Dubai dan akhirnya menjadi warga dengan status “penduduk pendatang”. Penduduk asli Dubai hanya 17 %, lalu India 42,3 %, Pakistan 13,3 %, Bangladesh 7,5 %, Arab di luar UEA 9,1 % dan selebihnya datang dari dunia Barat.

Orang India yang menetap dan membangun Dubai mayoritas pemeluk Islam, seperti halnya orang Pakistan dan Bangladesh. Namun dalam masalah agama emirat Dubai tak begitu mengekang warga yang non-Islam. Di Dubai, pemeluk Hindu, Kristen, Buddha dan Sikh bebas memiliki tempat ibadah sendiri dan mereka dapat beribadah secara bebas. Yang tak punya tempat ibadah bebas pula menggunakan rumah pribadi sebagai tempat ibadah. Cuma, menyebarkan literatur keagamaan untuk kelompok non-Muslim dilarang. Kalau melanggar bisa dianggap kriminal dengan sanksi ditahan atau yang paling keras dideportasi. Sejauh ini tak ada gejolak akibat kebijakan ini dan Dubai tetap mempertahankan budayanya yang berdasarkan monarki keemiratan.

Bagaimana dengan Bali? Penduduk pendatang menyerbu Bali karena angka pertumbuhan di Bali rata-rata di atas nasional. Ketua BPK Rizal Djalil menyebut angka pertumbuhan di Bali 6,7 % sementara pertumbuhan rata-rata nasional cuma 5 %. Ini membuat pendatang dari Jawa dan NTB berduyun-duyun ke Bali mengadu rejeki. Ini hukum ekonomi, ketika di daerah tetangga ekonomi sulit tumbuh dan kesempatan kerja berkurang maka penduduknya pasti memilih daerah yang tumbuh baik. Dan Bali menjadi tumpuannya.

Sebagai negara kesatuan, Bali tentu tak bisa melarang penduduk pendatang menyerbu ke sini, seperti halnya penduduk Bali tak bisa dilarang pergi ke luar daerah untuk mencari nafkah. Membatasi penduduk pendatang adalah sia-sia karena tak punya landasan hukum. Paling banter melarang masuk penduduk yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tetapi, apa sulitnya mendapatkan KTP? Lagi pula, razia KTP dikenal “hangat-hangat tahi ayam”, lebih banyak kendor dari ketatnya.

DKI Jakarta pernah membatasi pendatang dengan mengatur bahwa setiap orang yang datang ke Jakarta harus ada yang menjamin bahwa mereka punya pekerjaan. Artinya, warga yang datang ke Jakarta dalam status menganggur dan baru mencari

Page 3: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

pekerjaan, meski pun punya kTP, dilarang masuk. Tetapi itu tak bertahan lama karena landasan hukumnya tak ada. Bagaimana kalau mereka berdalih piknik, siapa yang membatasi keperluan orang untuk bertamasya? Nah, di Bali mustahil pula hal seperti itu dilakukan. Justru Bali mengundang banyak pelancong.

Artinya memang sulit membendung penduduk pendatang ke Bali. Lalu bagaimana cara agar budaya Bali yang adiluhung di masa lalu itu bisa dibendung dari kemerosotan yang terus terjadi? Maka betul sekali, Dubai bisa dijadikan contoh, tapi bukan contoh buruk. Emirat Dubai yang kini tergabung dalam UEA, yang dirintis oleh keluarga Al Maktoum sejak 1833, berhasil melanggengkan budaya lokalnya padahal penduduknya hanya 17 %, karena menerapkan aturan bagi pendatang “di mana tanah dipijak di sana langit dijunjung”. Artinya, pendatang menyesuaikan diri dan menghormati budaya lokal. Pendatang tidak mengembangkan budaya yang mereka bawa.

Apa yang terjadi di Bali? Sudah jauh keblablasan. Para pendatang sudah membangun pemukiman dengan cara berdesak-desakan, tak jelas lagi mana ulu dan mana teben. Konsep Tri Hita Karana di Bali sama sekali tak digubris. Meski tahu rumah tetangganya ada pura keluarga, pendatang bisa membangun rumah dengan jemuran yang bersebelahan dengan pura. Bahkan lebih tinggi. Mereka tak peduli karena merasa membangun di tanah sendiri, sementara orang Bali juga takut menegur supaya tak ada keributan.

Pernah dirawat di RS Dharma Usadha Denpasar? Pada dini hari suara adzan subuh begitu kerasnya, sangat mengganggu pasien. Tak ada toleransi bahwa masjid itu dekat dengan rumah sakit. Di Yogyakarta saja hal ini diperhatikan karena adzan tak harus keras dan tak ada aturan dalam ajaran Islam harus menggunakan pengeras suara. Kalau tak dekat rumah sakit, tentu tak masalah.

Banyak contoh lainnya. Berjualan dan mengemis di lampu merah bukan budaya Bali, tetapi itu sekarang merebak di kota-kota di Bali. Berjualan di kaki lima pun bukan budaya Bali, karena orang Bali menghormati pemilik rumah atau bangunan orang lain. Sekarang justru orang Bali menyewakan halaman depan rumahnya untuk pedagang kaki lima. Artinya, “kesalahan orang Bali” juga sangat besar dalam mengundang pendatang masuk. Lihat saja pada saat lebaran yang lalu, orang Bali sulit membeli sate dan pecel lele karena pedagang kaki lima pada mudik. Yang terjadi adalah ketergantungan kepada pendapatang, termasuk pada saat panen padi.

Nah, ini sebaiknya jadi renungan, bagaimana agar budaya Bali tidak luntur. Caranya adalah mengatur para pendatang untuk menghormati budaya Bali dengan menerapkan “di mana tanah dipijak di sana langit dijunjung” dan orang Bali jangan selalu tergantung kepada pendatang.

Senin,21 Juli 2014 @ 13:36

Bali yang MenduaPandita Mpu Jaya PremaKalau kita mau kritis menyikapi situasi sosial budaya yang ada di Bali, maka kita menemukan sikap yang sering mendua, baik itu di kalangan pejabat maupun tokoh masyarakat. Sikap mendua ini bukan saja pada akhirnya kita tak pernah bisa memutuskan sesuatu secara tuntas, namun bisa pula menjadi suatu perdebatan yang tanpa ujung. Tak ada habis-habisnya dibicarakan karena memang tak ada penyelesaian.

Mari kita ambil beberapa contoh. Dari soal paling baru, yakni pengenaan peci dan kerudung pada petugas jalan tol yang ada di Bali. Tentu saja busana itu sangat tidak cocok untuk budaya Bali mengingat jalan tol perairan itu ada di Bali. Tetapi apakah kita ngotot membawa masalah itu ke masalah agama, yang ujung-ujungnya SARA? Bukankah para pejabat kita suka juga mengenakan peci? Bahkan Bupati Tabanan Putu Eka Wiryastuti dengan penampilan yang keren memakai peci ketika memutasi ratusan pejabat di lingkungan Pemda Tabanan. Foto ini terpampang di halaman 4 koran Pos Bali terbitan Rabu 16/7 lalu. Di halaman 2 koran terbitan yang sama, ada Kepala Humas Setda Pemda Bali Dewa Mahendra, juga memakai peci hitam. Peci diperkenalkan oleh Bung Karno sebagai simbol nasionalisme, bukan simbol agama.

Lalu, petugas tol wanita yang katanya memakai kerudung. Pemberitaan rancu karena ada yang menyebutnya jilbab, busana khas kaum wanita Muslim (Muslimat). Saya tak tahu yang benar, dalam foto di koran pun tak jelas. Kerudung itu beda dengan jilbab. Kerudung adalah budaya khas sejak zaman Majapahit, bahkan di desa saya, mungkin karena dingin banyak ibu-ibu yang mengenakan kerudung saat bersembahyang malam hari. Kalau sehari-hari kerudung itu memakai handuk dan disebut tengkuluk. Kalau saat mebhakti (panca sembah) baru diturunkan kain itu dari kepala. Kerudung ini sangat populer juga di masyarakat Jawa, tak peduli apa agamanya. Pemakai kerudung rambutnya masih ada yang kelihatan.

Kerudung bukan simbol Islam. Yang simbol Islam itu disebut jilbab. Jilbab itu menutup seluruh aurat dan dalam Islam rambut dikatagorikan sebagai aurat. Jadi, tak selembar rambut pun boleh nampak. Namun tak semua Muslimat sependapat dengan ini, sehingga kita saksikan tak semuanya memakai jilbab.  Itu tak usah kita polemiknya, ini urusan agama tetangga. Tetapi kalau yang dipakai pegawai tol cuma kerudung dan bukan jilbab, kenapa harus diprotes dengan membawa nama-nama agama? Kalau berjilbab baru kita protes karena pegawai itu agamanya Hindu. Jadi, kalau pun mau protes, ya, protes dari sisi

Page 4: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

budaya, meski pun kita mendua, juga sering memakainya.

Contoh mendua yang kedua, masalah yang sering saya katakan. Bali memberikan konstribusi ke pusat devisa yang besar sekali, 41 trilyun. Sementara dana perimbangan dari pusat hanya 950 milyar. Hal ini kembali disinggung oleh Wagub Bali Ketut Sudikerta ketika membuka Pementasan dan Peragaan Seni Budaya Bali di Taman Budaya 13/7 lalu. Sangat tak adil. Namun, pemerintah pusat tahu, karena devisa asalnya dari pariwisata maka dikucurkanlah dana pariwisata melalu proyek kepariwisataan jangka panjang yakni lewat  11 KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional). Ternyata dana itu mau ditolak.

Kalau curiga pusat akan mendatangkan investor dan membangun fasilitas kepariwisataan yang merusak kawasan wisata religius itu, kenapa tidak memperkuat Perda Lingkungan, memperketat izin dan sebagainya. Kalau ragu pejabat di Bali (entah itu Gubernur atau Bupati) bisa disetir investor, pengawasan di DPRD difungsikan maksimal. Kalau pun masih ragu DPRD dan Pemda kongkali kong, bisa diawasi oleh LSM, lembaga adat, lembaga agama. Jadi, pengawasan yang diperketat dan bhisama kesucian pura yang ditegakkan, bukan uangnya yang ditolak. Daerah lain berlomba-lomba menanti uang itu.

Contoh ketiga, soal listrik yang mandiri untuk Bali. Semua orang tahu bahwa Bali sangat tergantung pasokan listrik dari Jawa. Bali belum punya pembangkit listrik yang bisa memenuhi seluruh kebutuhan Bali. Semua orang juga tahu dengan ketergantungan dari Jawa banyak masalah yang muncul. Ada kabel laut yang rentan dengan kerusakan dan kalau itu terjadi perlu butuh waktu lama untuk memperbaiki. Nah, ketika listrik di Bali padam total, semua orang ribut, menyalahkan PLN yang tak memberi tahu sebelumnya. Bagaimana memberitahu kalau jaringan yang rusak itu secara tiba-tiba di Pulau Jawa?

Bali perlu listrik secara mandiri. Awalnya dilirik panas bumi di Bedugul. Sudah diuji coba dan sudah menghasilkan listrik yang cukup memadai kalau proyek itu diteruskan. Tetapi para sulinggih keberatan karena itu kawasan suci. Penggiat lingkungan juga menolak karena itu hutan lindung. Akhirnya Pemda pun sepakat menolak bersama DPRD. Bahkan pekan lalu ditegaskan lagi oleh Kepala Humas Pemda Bali agar lebih jelas. Maka mubazirlah proyek yang dulu diberi izin itu.

Gagal di Bedugul, PLN berusaha menambah mesin di pembangkit Sanggaran lewat anak perusahaannya Indonesia Energi. Kabarnya mesin sudah siap datang, masyarakat Sanggaran melakukan protes keras. Baliho penolakannya berbulan-bulan dipajang di perempatan Benoa. Ya, tentu riskan kalau proyek trilyunan itu diteruskan dengan mendapat penentangan dari masyarakat.

Sejumlah pengusaha merancang pembangkit listrik di kawasan Bali Timur, sekitar perairan Klungkung-Karangasem dengan memakai bahan batubara. Dipilih perairan ini karena akan membangun pelabuhan yang bisa bersandar kapal-kapal besar pengangkut batubara. Tetapi proyek ini juga ditentang dengan alasan akan mencemari lingkungan. Kalau lingkungan cemar maka kepariwisataan di daerah itu terganggu. Batal lagi.

Pembangkit listrik di Pemaron juga harus diperbesar kalau Bali ingin menambah daya. Tetapi Pemaron itu sangat dekat dengan kota Singaraja dan akan menggusur  wilayah pemukiman padat. Tak memungkinkan. Lalu ke mana lagi? Terpaksa yang dilirik hanya Celukan Bawang dan Gilimanuk, ini pun dengan berbagai kendala yang rumit karena faktor lingkungan.

Artinya, kita ingin listrik cukup di Bali, tapi jangan merusak lingkungan. Lantas mau dibangun di mana dong, sementara kalau di Jawa mereka juga tak mau lingkungannya dirusak hanya untuk memasok listrik di Bali. Selain ada kendala jarak karena dibatasi laut. Mau membangun jembatan laut Gilimanuk-Ketapang? Wow, orang Bali pasti paling cepat teriak-teriak. Coba kita hilangkan sikap mendua. Kalau kita butuh sesuatu harus ada yang jadi korban dan mari cari korban terkecil. Protes boleh, tapi apa solusinya?

Senin,14 Juli 2014 @ 11:30

Memfungsikan Taman BudayaPandita Mpu Jaya PremaPesta Kesenian Bali (PKB) sudah berakhir. Akankah Taman Budaya atau yang biasa disebut Art Centre di Jalan Nusa Indah Denpasar, kembali sepi? Akankah gedung-gedung yang megah itu kembali kusam dan berdebu karena tak ada kegiatan apa-apa?

Untuk sementara jawabannya adalah: “Tidak”. Sebelum PKB secara resmi ditutup, hari Minggu kemarin dilangsungkan pembukaan Peragaan dan Pementasan Seni Budaya Bali tahun 2014 yang juga berlangsung sebulan, sampai 13 Agustus yang akan datang. Kegiatan seni yang diprakarsai Institut Seni Indonesia (ISI) ini dibuka oleh Wakil Gubernur Bali Ketut Sudikerta. Wagub Sudikerta di sela-sela membacakan sambutan tertulis Gubernur juga menyinggung bagaimana cara memfungsikan Taman Budaya agar bangunannya tidak kusam. Sudikerta menyebutkan Taman Budaya bisa untuk berbagai kegiatan seperti seminar, judisium atau tempat wisuda berbagai perguruan tinggi, pameran kerajinan dan seni.

Rektor ISI Denpasar Dr I Gede Arya Sugiarthatelah menjawab tantangan ini dengan menggelar kegiatan budaya yang sejalan dengan program Bali Mandara di bidang kebudayaan. Bagaimana bentuk peragaan dan pementasan itu tentu harus kita lihat selama sebulan ke depan. Namun dari sambutan Rektor ISI tersirat bahwa pementasan selama sebulan pasca PKB ini akan

Page 5: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

diisi oleh sanggar-sanggar seni atau kelompok seni pedesaan tanpa lagi menyandang predikat mewakili sebuah kabupaten. Jadi sanggar-sanggar itu mandiri.

Lalu bagaimana dengan PKB sendiri? PKB yang sudah memasuki tahun ke 36 ini tentu dinyatakan berakhir dan akan kembali lagi digelar tahun depan. Dengan segala kerutinannya, sejak dari acara pembukaan, program-program acara, kisruh soal harga stand pameran dan tentu saja yang sangat sulit diatasi adalah masalah parkir. Gubernur Bali Made Mangku Pastika sudah secara pasti mengatakan bahwa kegiatan sebesar PKB sudah tak mampu lagi didukung oleh kawasan Taman Budaya Denpasar yang makin sumpek dan tak punya lahan parkir itu. Mangku Pastika mengajak kita untuk berpikir, di mana mencari lahan yang tepat untuk PKB.

Sesungguhnya sejak lama ada usul bagaimana kalau PKB tidak selalu dipusatkan di Taman Budaya Denpasar. Kenapa PKB tidak digilir saja ke sembilan kabupaten/kota sehingga seluruh masyarakat Bali secara bergilir menikmati PKB dengan segala permasalahannya? Itu dengan catatan wujud PKB seperti saat ini, ada pentas seni, ada pameran kerajinan, dan ada stand makanan. Tetapi ada usulan yang lebih serius dan “terasa berat” yakni, kenapa tidak dipisahkan saja kegiatan seni tradisi, seni pelestarian, seni kontemporer termasuk memisahkannya dengan pameran seni dan kerajinan? Kalau dijabarkan usulan itu adalah ada yang bernama Pekan Budaya sebagai sebuah ajang pementasan seni bermutu dengan Pesta Seni sebagai arena pementasan seni pop, sementara kegiatan pameran kerajinan itu dibuat tersendiri. Atau pameran kerajinan dengan seni pop bisa saja digabung.

Jika ada wacana PKB mau digilir ke kabupaten-kabupaten tentulah wajah PKB itu seperti sekarang ini, ada berbagai pementasan seni dari yang pop sampai yang tradisi termasuk seni yang berstatus “dalam pembinaan”. Sementara itu Pekan Budaya hanya menampilkan puncak-puncak kreatifitas seniman selama waktu tertentuk, misalnya, setahun terakhir. Puncak-puncak kreatifitas seni itu tak terbatas, bisa seni tari, seni drama, kontemporer. Dan Taman Budaya inilah tempat yang pas untuk Pekan Budaya itu.

Kalau PKB digilir dan keluar dari “kandang Taman Budaya” selain akan ada napas baru – belum tentu juga lebih bagus – akan ada kesibukan yang terbagi. Keterlibatan orang bisa pula digilir sehingga menghilangkan kesan rutin. Jadi coba pindahkan PKB ke Taman Ayun Mengwi, atau ke kota Tabanan, atau ke Negara, Singaraja dan sebagainya. PKB jadi tidak hanya milik warga Denpasar, tetapi jadikan PKB milik warga Bali.

Pemindahan PKB ini juga bisa mengukur sejauh mana masyarakat punya apresiasi seni. Ketika PKB diselenggarakan di Singaraja, misalnya, pada saat itu akan diukur, benarkah penduduk Denpasar dan sekitarnya punya apresiasi seni yang tinggi? Kalau punya, mereka akan berbondong-bondong ke Singaraja. Kalau tidak, selama ini masyarakat Denpasar dan sekitarnya hanya datang ke PKB karena iseng atau sekedar jalan-jalan melihat "orang ramai" sambil membeli makanan.Bukan melihat kesenian.

Kalau PKB suatu waktu digelar di Singaraja, misalnya, semangat berkesenian di Bali Utara akan semakin terangsang. Ada rasa lebih memiliki PKB bagi seniman daerah. Akanmuncul kelompok-kelompokseni yang mencoba bentuk-bentuk kesenian moderen dengan akar tradisi, suatu hal yang banyakdilakukan seniman Bali Utara. Begitu pula kalau PKB digelar di Bali Barat, pasti seniman-seniman Jembrana akan bergairah.

Nah, sementara PKB digilir atau dicarikan tempat yang lebih luas dan memadai, maka Taman Budaya Denpasar dijadikan pusat pengembangan budaya yang bermutu dengan menyelenggarakan semacam Pekan Budaya, baik yang bertarap nasional maupun yang bertarap internasional. Taman Budaya akan menjadi rumah budaya para seniman kreatif dan jadi pusat dialog kebudayaan yang bergengsi.

Keberadaan Taman Budaya yang bersebelahan dengan kampus ISI Denpasar semakin memungkinkan Taman Budaya menjadi rumah budaya yang terpandang. Tinggal bagaimana menyusun jadwal seni apa yang ditampilkan dan tentu dialog budaya dengan berbagai seniman dari segala penjuru ditingkatkan. ISI Denpasar bisa berperan besar karena mereka punya mitra di berbagai kampus seni.

Apakah Peragaan dan Pementasan Seni Budaya Bali tahun 2014 yang dibuka kemarin menjadi cikal bakal dari menjadikan Taman Budaya sebagai rumah budaya? Digilir atau tidaknya PKB, begitu pula apakah PKB dipindahkan ke tempat lain atau tidak, kegiatan yang diprakarsai ISI Denpasar ini adalah langkah awal yang patut diapresiasi. Minimal Taman Budaya jadi berfungsi setiap waktu.

Senin,07 Juli 2014 @ 02:50

Mari Membicarakan ArjaSAAT ini memasuki masa tenang karena dua hari lagi pemilihan presiden sudah dilakukan. Segala bentuk kampanye dilarang dan kalau ada yang melanggar akan kena tindak pidana. Teorinya seperti itu, entah kalau memang tegas dilaksanakan.

Page 6: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Di masa tenang ini ada baiknya berjalan-jalan ke Pesta Kesenian Bali. Kita bisa dihibur oleh tari joged dengan pengibingnya yang banyak lucu. Atau menonton pergelaran topeng yang serius. Atau menonton gong kebyar yang tetap ramai penonton meskipun statusnya tidak lagi dilombakan, cukup diparadekan saja.

Bagaimana kalau kita menonton arja? Masih ada arja dari “sekehe sebunan” (dari satu desa tertentu) yang pentas di wantilan dengan penonton yang sepi. Memang, kesenian ini menuntut pemainnya serba bisa. Bisa menari dan bisa menembang. Karena itu sangatlah sulit. Lagi pula drama tari yang dikenal sebagai “opera dari Bali” ini sudah kehilangan penggemar di kalangan anak-anak muda. Satu-satunya arja yang masih punya penggemar banyak adalah arja Keluarga Kesenian Bali (KKB) RRI Denpasar. Namun, arja yang didukung pemain  profesional ini sudah pentas di PKB. Tak ada pementasan yang kedua.

Yang unik dari arja KKB RRI Denpasar adalah pemainnya sudah pada tua. Pemain pun mengakui hal itu di pentas dengan menyebut “sudah pada punya cucu”. Kalau pengkaderan macet, bisa jadi teater arja akan surut dan mungkin mengikuti kematian drama tari gambuh yang dikenal sebagai “ibunya drama tari Bali”. Dalam sejarah tari arja hanya KKB RRI Denpasar yang bisa melestarikan kesenian itu. Sebelum tahun 1970-an dikenal dengan nama Arja Bon Bali karena pemainnya dari berbagai daerah. Penamaan ini untuk membedakan dengan arja ‘sekehe sebunan” yang dimiliki oleh desa tertentu.

Arja Bon Bali kemudian berubah nama menjadi Arja Candra Metu RRI Denpasar. Selain memenuhi pentas di berbagai desa, secara rutin mereka menggelar pertunjukan di panggung yang dibuat di kompleks stasiun RRI Denpasar di Jl. Melati. Bahkan gedungnya itu diberi nama Chandra Metu. Demikian populernya, nama-nama seperti Ribu, Sadru, Monjong, Ida Bagus Buduk, Jero Suli menjadi buah bibir di masyarakat.

Generasi itu diganti dengan generasi yang sekarang ini dengan memakai “nama dinas” yakni Keluarga Kesenian Bali. Karena di daerah lain namanya juga begitu, misalnya, Keluarga Kesenian Jawa RRI Yogya. Kenapa kelompok ini bisa eksis? Karena arja RRI secara rutin disiarkan lewat radio pada hari minggu pukul 10.00 sampai 12.00 Wita. Sudah puluhan tahun siaran ini tetap ada dan masih tetap ajeg sampai saat ini.

Jika saat ini pemainnya sudah tua, penyebabnya adalah soal “pengkaderan karyawan” di lembaga publik RRI itu. Lembaga penyiaran ini mengalami pasang surut dan menjadi karyawan bukannya sesuatu yang mudah. Dilema ini membuat kesenian di RRI mana pun mengalami masalah. Pemain arja yang tergabung dalam KKB RRI itu adalah karyawan RRI. Sehari-hari mereka juga mengisi siaran yang bukan arja, misalnya, acara dagang gantal, kembang rampai, tembang penasar dan berbagai bentuk seni lain.

Senimankaryawan yang ada di RRI Denpasar – begitu pula di RRI Yogya, Semarang, Bandung -- terus berkurang. Tidak ada kaderisasi karena tak ada pengangkatan pegawai baru, sementara pegawai yang pensiun tak bisa ditunda. Ini bukan kisah sedih RRI Denpasar saja, di seluruh RRI juga bernasib sama setelah induk lembaga penyiaran yang dulu berada di Departemen Penerangan dibubarkan pemerintah. RRI Yogyakarta, RRI Surakarta dan RRI Semarang yang sangat dikenal masyarakat Jawa karena siaran seni tradisionalnya, mengalami nasib sama dengan RRI Denpasar. Cuma di Jawa kelompok seniman yang mengisi acara di RRI itu dibantu oleh pemerintah daerah. Ini mengingat pesan yang disampaikan lewat radio tak cuma menghibur, tetapi banyak pesan-pesan moralnya. Kalau kita perhatikan siaran arja RRI Denpasar setiap hari minggu dan acaratembang penasar setiap Sabtu, pesan moralnya sangat bermutu. Apakah pemerintah daerah Bali sudah membantu mereka? Entahlah.

Kembali ke teater arja. Pertanyaan besarnya adalah jika pengkaderan di RRI Denpasar macet, bagaimana nasib kesenian ini? Terbukti arja “sekehe sebunan” maupun kelompok sanggar tak berhasil mengangkat arja, padahal sudah dibina dan diberi panggung di PKB.

Sementara itu pembaruan yang dilakukan oleh seniman profesional belum berhasil mengangkat teater arja. Prof. Dr. I Wayan Dibia lewat sanggarnya Geria Olah Kreativitas Seni (GEOKS) Singapadu, berkali-kali melakukannya. Pada karya pertamanya, Ketemu Ring Tampaksiring, seniman akademis ini memperkenalkan dua pembaruan. Pertama, soal cerita. Jika selama ini arja mengambil lakon Panji dan cerita rakyat Bali, kali ini memakai karya sastra moderen, cerita pendek karangan Made Sanggra. Kedua, pelaku utama yakni pemeran wartawan Belanda tidak memposisikan dirinya sebagai Mantri Manis, tetapi memakai kostum moderen dan dialog tanpa tembang. Memang terasa janggal Punta dan Wijil “mengiringi” penari berjas dan berdasi itu. Kejanggalan ini akhirnya menjadi pemanis pentas karena pemeran wartawan itu adalah Made Sidia yang memang seorang penari dan dalang. Jadi, meski pakaiannya moderen, ia tahu “angsel” gamelan dan tahu bagaimana merespon tembang pemain lain.

Karya kedua Wayan Dibia adalah  Prabu Adhipusengara. Ini adaptasi dari lakon teater klasik Eropa yang sangat legendaris, Odipus Sang Raja. Pentas ini berhasil baik, cuma saja banyak penonton tak paham alur ceritanya, kalau tidak mengikuti pementasan sampai akhir, apalagi kalau penontonnya “tak mau berpikir”. Masalahnya, Wayan Dibia mengubah judul lakonnya, kalau saja dia tetap memakai judul Odipus Sang Raja, barangkali penontonnya lebih siap.

Karyaketiga Wayan Dibia memakai bentuk arja doyong, sebuah pentas arja yang busananya tidak seperti arja klasik. Lakonnya tetap karya sastra moderen, yaitu Sukreni Gadis Bali karya sastrawan Panji Tisna. Yang tetap dipertahankan Wayan Dibia adalah cara keluarnya penari (pepeson), agem tari dan tentu saja tembang. Ketika dipentaskan ternyata respon penonton juga kurang.

Kalau pembaruan Wayan Dibia dianggap belum berhasil sementara “arja klasik” yang ada di RRI Denpasar tinggal “menunggu pensiun” akankah arja seperti gambuh atau wayang wong hilang begitu saja?

Page 7: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

 

Senin,30 Juni 2014 @ 07:24

Sanksi Adat Untuk PendatangPandita Mpu Jaya PremaKASUS pembunuhan yang dilakukan secara mutilasi (mayat korban dipotong-potong oleh pelaku) yang menggemparkan masyarakat Klungkung menyisakan persoalan baru yang sesungguhnya sudah lama menjadi masalah. Yakni, bagaimana memberikan sanksi adat kepada pelaku yang kebetulan tidak beragama Hindu dan juga tidak terdaftar sebagai warga adat di sebuah pemukiman di Bali. Para pendatang itu selama ini tak “menikmati” sanksi atau hukum adat karena memang tak terdaftar sebagai warga adat. Kalau pun mereka tercatat secara administrasi kependudukan, statusnya penduduk desa dinas.

Setelah kejadian mutilasi di Klungkung orang seperti baru disadarkan bahwa persoalan itu sungguh mengerikan. Ketakutan ini akan menjadi trauma berkepanjangan jika tidak dilakukan langkah-langkah untuk membersihkan pawongan yang sudah mulai dicemarkan oleh darah dan bangkai manusia. Apakah itu pembersihan secara sekala(kasat mata) maupun secara niskala (kerohanian). Yang terakhir ini menjadi masalah karena pelaku maupun korban adalah pendatang dan bukan beragama Hindu.

Untunglah, mereka tinggal di sebuah kos-kosan, bukan rumah pribadi. Jadi persoalan bisa dibuat lebih sederhana dengan memberi beban kepada pemilik rumah kos untuk melaksanakan ritual pembersihan. Bahkan karena potongan mayat korban berpencar, Pemda Klungkung turun tangan dengan melaksanakan pecaruan manca sata (dengan lima ayam warna-warni) di tempat-tempat di mana potongan mayat ditermukan. Sedangkan pecaruan yang besar dengan tingkatan labuh gentuh akan dipusatkan di perempatan agung (catus pata) Klungkung.

Bagaimana kalau misalnya pembunuhan itu terjadi di rumah pribadi yang penghuninya bukan beragama Hindu, sementara wilayah di mana rumah itu dibangun berada dalam suatu kawasan desa adat yang bercirikan Tri Kahyangan? Lalu bagaimana kalau penghuni rumah dan keluarga besar mereka tak mau melakukan upacara pecaruankarena itu tidak dikenal dalam ajaran agamanya? Ini persoalan yang belum pernah dibicarakan secara terbuka. Kita belum pernah membahas bagaimana status pemukiman umat non-Hindu jika itu berada di kawasan desa adat. Bahkan yang lebih kecil dari itu, bagaimana status keluarga-keluarga non-Hindu yang tinggal di wilayah desa adat?

Warga adat terikat dengan awig-awig (peraturan adat). Awig-awig di setiap desa adat bisa berbeda dengan desa adat yang lain, meski pun penyeragaman terus-menerus diupayakan. Kalau ada warga adat yang menyimpang dari awig-awig bisa dikenakan denda. Malah kalau penyimpangan itu dianggap besar dan desa adat itu kaku melaksanakan awig-awig bisa kena hukum yang sangat berat, yaknikesepekang(dikucilkan).

Tapi bagaimana dengan pendatang yang tinggal di desa adat itu? Orang Bali sangat toleran, mereka hampir tak tersentuh awig-awig. Jenis pekerjaan yang disebut ayah-ayahan di desa adat tak selalu berkaitan dengan ritual, ada yang tidak. Misalnya membersihkan lingkungan. Tapi apa pernah pendatang itu kena denda karena tak ikutngayah membersihkan got? Sementara warga adat diabsen (istilah di desa: cacak), siapa yang tak “turun kerja” didenda. Pernahkah ada pedagang pecel lele atau penjual sate yang kena denda apalagi sampai kesepekang? Orang Bali itu baik sekali kepada pendatang.

Di sebuah desa adat yang jauh dari kota (sayatak ingin menyebut nama desanya)ada tiga keluarga pedagang baksoasal Jawa. Mereka sudah sepakat ikut kegiatan di desa, apapun bentuknya, kecuali urusan bersembahyang ke pura. Suatu kali pendatang dari Jawa itu tak ikut kerja bhakti di jalan karena berdagang di kampung tetangga yang sedang ada upacaraadat.Kerja bhakti itu tak ada urusan dengan upacara agama, ini semata-mata untuk keindahan desa. Sementara pendatang asal Jawa itutak bisa kerja bhakti (ngayah)karena mencari penghasilan. Prajuru (pemimpin) adat memaklumi hal itu dan mereka tak kena denda.

Lalu, di suatu hari, seorang warga adat yang “Bali dan Hindu” tidak ikut ngayahmemperbaiki selokan, alasannya mendadak diminta lembur oleh perusahaannya karena order meningkat.Artinya juga karena pekerjaan mencari penghasilan.Tapi prajuru adat langsung mengenakan denda.Apakah itu adil? Pro kontra terjadi. Akhirnya konsep ngayahpun dikembalikan ke asalnya, yakni kerja bhakti berdasarkan keihklasan tanpa dikenakan denda. Akibatnya, setiap ada kerja bhakti membersihkan lingkungan banyak yang absen. Semua beralasan mencari penghasilan.

Ada banyak hal yang tak masuk akal dalam urusan adatkalau dilaksanakan dengan kaku. Ada sebuah desa di Bali yang melarang warganya membawa jenasah di jalan umum yang berada di depan Pura Puseh. Dulu jalan itu adalah Jaba Pura dan dianggap suci. Sekarang, ketika Jaba Pura itu sudah menjadi jalan raya, kesuciannya mau dijaga. Dalamawig-awig adat disebutkan larangan membawa jenasah di jalan raya depan pura itu. Akibatnya, warga desa tak boleh membawa jenazah lewat sana, sementara warga desa lain bebas menggunakan jalan raya itu. Uniknya lagi ada pendatang yang tinggal di sana bisa lebih bebas lagi.

Ada cerita yang lucu, ini terjadi di sebuah desa di Kabupaten Tabanan. Pada saat panen padi, seperti umumnya yang terjadi, pemanen adalah pendatang dengan menggunakan tenda-tenda kecil seperti orang berkemah. Maklum orang Bali sudah tak mau ambil pekerjaan ini. Di suatu malam pemilik sawah memergoki pasangan pendatang itu melakukan hubungan suami istri di tenda yang kecil. Pemilik sawah marah karena pasangan itu bukan suami istri, lagi pula tenda itu sedang berdiri di hulu sawah yang ada sanggah. Pemilik sawah merasa kesucian sudah cemar di sawah itu. Akhirnya dilakukan

Page 8: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

upacara pecaruan dan itu dibiayai sendiri karena tak mungkin membebankan kepada buruh pendatang. Jadi, yangmecaru pemilik sawah, yang “nikmat” adalah buruh-buruh pendatang itu.

Perlu disusun semacam pedoman apa kewajiban pendatang yang tinggal dan mencari pekerjaan di wilayah desa adat. Dan itu disosialisasikan kepada pendatang agar mereka maklum apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. (*)

Senin,23 Juni 2014 @ 09:49

Bali Bangkit dan HebatPandita Mpu Jaya PremaPEMILU presiden tinggal belasan hari lagi. Siapa pun yang terpilih, apakah Prabowo dengan slogan “Indonesia Bangkit” atau Joko Widodo dengan slogan “Indonesia Hebat”, Bali harus mengambil kedua-duanya. Bali harus bangkit dan hebat. Saat ini warga Bali sudah banyak kalah di berbagai bidang dan harus bangkit untuk mengejar ketertinggalannya. Bahkan bangkit dari keterpurukan, meski pun belum parah benar.

Pertanian Bali harus tetap dijaga kelangsungannya, betapa pun daerah ini disebut sebagai ikon pariwisata di Indonesia. Kabupaten Tabanan sebagai lumbung beras harus mampu bertahan setidaknya tak sampai kekurangan beras sehingga didatangkan dari kabupaten lain atau bahkan dari luar Bali. Begitu pula hasil pertanian di luar beras, kopi, jeruk, salak dan buah-buah lain harus mampu berswasembada.

Apa itu mungkin atau pertanyaan yang lebih tajam, apa Bali bisa memenuhi kebutuhannya dalam bidang pertanian? Selama ini tidak, ketergantungan kita pada daerah lain sangat besar. Lihatlah di Pasar Batu Kandik perbatasan Denpasar-Badung. Setiap hari puluhan truck pengangkut pisang datang dari Jawa. Bukan cuma pisang, hampir semua kebutuhan ritual keagamaan orang Bali sudah didatangkan dari Jawa.Janurdan bungasemuanya didatangkan dari luar Jawadan buah-buahan malah eks impor yang memenuhipasar swalayan. Juga ayam dan itik. Jadi, bukan saja hasil pertanian di Bali yang tak bisa memenuhi kebutuhan orang Bali, juga hasil ternaknya belum memenuhi kebutuhan masyarakat.

Dalam program Bali Mandara telah dipopulerkan kembali berbagai usaha untuk kembali menggarap sektor pertanian, misalnya, dalam program Simantri. Tetapi hasilnya belum nampak secara signifikan. Bahkan lahan pertanian di Bali terus menerus berkurang karena kebutuhan akan rumah karena penduduk bertambah dan sarana yang menunjang pariwisata. Harus ada upaya untuk mempertahankan lahan pertanian agar tidak susut, dan harus ada gerakan yang besar untuk kebangkitan sektor pertanian di Bali.

Selain masalah pertanian, “revolusi mental” juga harus dilakukan kalau kita ingin bangkit dan menuju daerah yang hebat. Orang-orangBali terlanjurdisanjung sebagai orang yang berbudaya tinggidan sangat taat menjalankan ritual yang diwariskan leluhurnya. Sanjungan ini memabukkan, maka kalau terjadi bencana di Bali – termasuk misalnya saat bom meledak di Kuta -- penyelesaiannya selalu ritual: mecaru, melabu gentuh, mulang pekelem, dan berbagai ritual lainnya. Ingat ketika bom Bali pertama meledak di Kuta diadakan upacara  Karipubaya.  Pada saat air danau surut diadakan ritual Wanakertih.Semuanya memakan biaya yang besar, dan tentu saja sarananya kebanyakan datang dari Jawa pula, karena pertanian Bali tak mampu mendukung sarana untuk banten itu. Ritual itu sah saja, namun kalau bisa tentu dibuat lebih sederhana. Yang sering dilupakan adalah kenapa tidak mengadakan penghijauan untuk menahan air hujan sehingga danau tak cepat surut.

Orang Bali disanjung sebagai seniman.Dan seniman harus menjaga penampilannya sehari-hari. Sementara itu datang orang luar Bali mencari peluang, masuk ke sektor riil dan sektor informal. Mereka berdagang di trotoar, mendirikan tenda di terminal, membawa rombong keliling desa. Yang dijual bakso, jagung rebus, pecel lele, bahkan pisang goreng yang seharusnya bisa dikerjakan orang Bali.  Namun karena orang Bali dipuji sebagai seniman yang harus menjaga penampilannya, maka sektor informal itu seolah-olah tabu dilakukan.

Ini termasuk penyakit mental yang harus dilawan dengan gerakan besar semacam “revolusi mental” seperti proram capres Joko Widodo. Orang Bali tak mau merambah sektor informal itukarena malu dan gengsi. Akibatnya terjadilah fenomena yang kini mulai dirasakan, orang luar Bali berjualan bakso untuk membeli tanah Bali, dan orang Bali menjual tanah untuk membeli bakso. Lihatlah pemukiman baru yang dikembangkan perusahaan proverti di pedesaan, rumah-rumah yang kecil dengan tanah satu are banyak diminati kaum pendatang.

Lalu fakta lain yang perlu dipelajari. Orang luar Bali jarangyang berbelanja ke warung orang Bali, mula-mula atas nama agama, namun sesungguhnya yang terjadi adalah solidaritas sosial yang sengaja mereka bangun. Untuk menandakan mana warung Bali dan mana warung luar Bali mereka membikin tulisan: Soto Lamongan, Siomay Bandung, Pencel Madiun, yang terbanyak Warung Muslim dan Warung Jawa. Adapun orang Bali sendiri, tetap berbelanja di mana saja, tanpa ada fanatisme agama dan kesukuan. Akibatnya, pedagang kaki lima pendatang cepat kaya dan membeli tanah-tanah kapling, mengundang saudaranya ke Bali, sementara warung-warung Bali sepi tak berkembang.

Pakaian orang Bali dalam melaksanakan ritual juga diatur bisnis luar. Dengan dalih orang Bali pencinta seni, maka kain poleng yang dulu hanya hitam putih, sekarang sudah banyak versinya, “poleng” dengan variasi warna lain. Ini semuanya produksi

Page 9: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

pabrik tekstil di Bandung, plus brokat tembus pandang produksi Jakarta dan Semarang. Kain tenun endek Gianyar, songket Klungkung, dan sebagainya sudah bangkrut. Jarangdijumpai orang Bali memakai baju endek ke pura seperti dulu.

Kita tidak tahu siapa presiden yang akan terpilih pada pemilu presiden bulan depan. Kita hanya bisa menduga saja dan itu pun terbius oleh kampanye kedua pasangan yang selalu menyatakan diri lebih unggul dari lawan. Tetapi siapa pun yang terpilih para tokoh-tokoh Bali, pejabat pemerintah, pemimpin partai dan politikus, harus menyadari bahwa Bali perlu bangkit untuk mempertahankan budaya, namun dilandasi oleh kemandirian. Kalau kemandirian itu bisa kita rebut kembali, maka Bali akan menjadi hebat. Jadi, mari bangkit bersama-sama untuk menuju kehebatan itu. (*)

Senin,16 Juni 2014 @ 09:45

PKB dan Ritual HinduPandita Mpu Jaya PremaPesta Kesenian Bali (PKB)sudah digelar dantahun ini mengambil tema Kertha Masa. Ini istilah khas petani dalam hal kesepakatan bercocok tanam, tapi sekarang diartikan sesuai dengan kata-katanya. Jadilah masa kesejahtraan. Apalah arti tema, karena PKB sudah punya tradisi mengambil tema yang bahasanya “sulit”, padahal tak selalu pentas kesenian menyesuaikan dengan tema itu. Dulu ada tema Sang Kala, Yadnya Cakra dan sebagainya, tetapi penjabarannya di pentas seni tak nampak.

Tahun ini PKB memasuki usia ke 36, usia yang sudah matang dan seharusnya banyak belajar dari pengalaman yang sudah-sudah. Tetapi kesan rutinitas tetap saja ada. Lihatlah pawai pembukaan PKB pada Jumat lalu, sangat sederhana, tak ada kejutan, bahkan terkesan lesu. Apakah ini bertepatan dengan kampanye pemilihan presiden sehingga konsentrasi terbagi, atau karena memang sudah kehilangan ide-ide besar karena sudah dianggap rutin. Kalau pun ada yang segar justru penampilan tim dari Kodam Udayana yang mengawali pawai. Kalau tak keliru, ini untuk pertama kalinya prajurit Kodam Udayana memeriahkan pawai pembukaan PKB. Bahkan tema yang diusungnya adalah kebhinekaan. Sesuatu yang patut diapresiasi pada saat kebhinekaan mulai luntur akibat berbagai gempuran.

Selebihnya tak ada hal yang baru. Kontingen kabupaten masih mengusung sarana persembahan ke pura seperti “nyuwun pajegan”. Kabupaten Tabanan masih menampilkan seni okokan. Bahkan Kodya Denpasar menggelar tradisi ritual ngurek. Sesuatu yang seharusnya sakral tetapi dijajakan di jalan-jalan.

Mandegnya kreatifitas dalam PKB sudah nampak sejak PKB Kabupaten dan Kota digelar beberapa waktu yang lalu. Tak ada greget apa-apa, tak ada daya tarik yang bisa membuat orang berbondong-bondong menyaksikan pentas seni di PKB Kabupaten. Bahkan beritanya pun nyaris sepi karena media massa tak mendapat kabar yang layak untuk diberitakan.

Sudah memasuki tahun ke 36, PKB masih juga menggelar seni yang sesungguhnya lebih banyak berkaitan dengan agama, bahkan ritual itu sendiri. Apa yang dulu pernah dipisah dengan jelas antara seni sakral dan seni profan seperti tak ada garis sekarang ini. Memang, ritual Hindu di Bali berkaitan erat dengan kesenian, tetapi seni ritual tak sepatutnya dijajakan dengan cara-cara murahan.

Hampir rutin di PKB ada lomba yang berkaitan dengan ritual agama Hindu. Misalnyaada lomba berbusana ke pura. Untuk apa dikaitkan dengan kesenian?  Seolah-olahmengajakorang datang ke pura untuk memamerkan mode pakaian, sehingga mode ini perlu diperlombakan. Ini salah kaprah yang akan berdampak besar bagi perkembangan agama Hindu di kemudian hari. Akan ada anggapan seperti yang sudah terjadibelakangan inidi Bali bahwake pura harus memakai pakaian adatseperti yang ada dalam perlombaan itu.Padahal orang ke pura bertujuan sembahyang, dan pakaian apapun yang dikenakan asal bersih dengan hati yang tulus, bisa dibenarkan secara agama. Tidak harus memakai kain brokatdengan model tertentu, apalagi brokat tembus pandang yang justru menyalahi norma agama. Tak harus memakai pakaian model safaribagi lelaki.

Kesalah-kaprahan ini akhirnya berdampak buruk, yakni orang Hindu etnis Bali tidak akan merasa sreg bersembahyang ke pura kalau tidak sedang berpakaian adat. Ini yang menyebabkan orang Bali kelihatan malas bersembahyang. Lihat saja di kantor-kantor atau sekolah, berapa banyak pegawai atau guru-guru yang datang ke pura di lingkungan kantor dan sekolah itu pada siang hari untuk melaksanakan Puja Trisandhya? Karena mereka mengira bersembahyang itu harus berpakaian adat. Pura di perkantoran akhirnya tak berfungsi setiap hari, hanya ada persembahyangan kalau piodalan. Beda betul dengan keberadaan mushola di perkantoranyang tiap hari difungsikan.

Dengan asumsi itu, PKB bisamengajarkan sisi-sisi negatif  bagi perkembangan agama Hindu. Apalagi pada saat pembukaannya, selalu ada tontonan orang membawa pajegan ke pura, atau tari-tarian sakral yang hanya ada di pura tertentu. Kita secara tidak sadar telah melecehkan ritual agama dengan menjatuhkan martabatnya sebagai barang tontonan. Orang luar boleh menonton umat Hindu di Bali pada saat melaksanakan ritual, tetapi akan menyedihkan sekali jika orang Bali sengaja mempertontonkan ritual agamanya itu pada saat yang bukan sesungguhnya ritual.

PKB seharusnya memberikan inspirasi bagi perjalanan budaya agama Hindu di Bali. Kesenian yang muncul dalam PKB semestinya memberi arti yang lebih dalam terhadap ajaran Hindu itu sendiri. Contohnya adalah terciptanya tari bernuansa

Page 10: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

religius tetapi tidak sakral seperti Siwa Nitiprajadi masa lalu. Atau digarapnya fragmen yang penuh dengan nuansa Hindu seperti Sutasoma, petikan Mahabharata, dan sebagainya. Jadi bukan mementaskan baris gede yang sudah sakral, atau mempertontonkan rangda apalagi disertai orang ngurek  di hadapan pejabat-pejabat yang hadir.

PKB baru berjalan tiga hari, kita tak tahu kesenian apa yang menjadi bintangnya, dan pola apa yang diambil pemerintah untuk memajukan kesenian. Sepertinya, karena rutinitas menjadi penyakit kronis, acara kesenian tak beranjak dari tahun-tahun lalu. Ada parade gong kebyar anak-anak, gong kebyar dewasa dan gong kebyar wanita. Ada seni pop seperti joged bumbung dan lagu-lagu Bali. Drama gong yang dulu sempat populer sudah kehilangan penggemar karena seniman drama gong tak bisa mengemas dramanya untuk tontonan masa kini.

Apakah akan dipentaskan lagi seni dengan dalih pelestarian? Entahlah. Dulu program ini seperti wajib karena PKB menyandang predikat melestarikan kesenian Bali. Gambuh punah, lalu menjelang PKB beberapa sekehe gambuh dibina untuk tampil di PKB. Begitu pula wayang wong dan arja. Bahkan dibina pula arja remaja. Hasilnya? Mereka memang pentas di PKB, tetapi setelah itu tak ada lagi beritanya, apakah grup yang dibina itu tetap eksis atau sudah mati suri.

Apa yang menjadi masalah? PKB ini hanya pesta setahun sekali dan selalu dipusatkan di Taman Budaya Denpasar. Usai PKB tak ada lagi pesta seni di tempat lain, bahkan di arena PKB itu sendiri. Pentas seni seharusnya berkesinambungan dan tentu lebih baik menyebar di berbagai daerah. Puncak pencapaian itu baru ditampilkan di dalam PKB. Semoga ada yang memikirkan hal ini lebih serius. (*)

Minggu,01 Juni 2014 @ 22:07

Pilih Presiden yang Menjaga KemajemukanPandita Mpu Jaya PremaPasangan capres dan cawapres sudah resmi diumumkan dan sudah pula mendapat nomor urut. Sebentar lagi mulai kampanye yang riuh. Jadwal kampanye belum dimulai saja sudah ada hingar bingar kampanye terselubung. Masing-masing kubu mengaku mendapat banyak dukungan dan setiap hari ada deklarasi. Ini berkat perang media massa, terutama televisi, yang dimiliki masing-masing kandidat.

Pasangan Prabowo dan Hatta Rajasa yang dimotori Partai Gerindra didukung partai-partai berbasis Islam. Bukan saja asasnya jelas-jelas Islam, lambang partai pun langsung menggunakan simbol Islam seperti Ka’bah. Sedang pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang dimotori PDI Perjuangan didukung partai nasionalis. Memang di sana ada juga Partai Kebangkitan Bangsa, namun partai yang didirikan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini menghormati kemajemukan. Basis partai PKB ini memang Nahdatul Ulama, ormas terbesar umat Islam, tetapi keterbukaannya sudah dibuktikan orang. Di era Gus Dur minoritas mendapat pengayoman yang lebih baik. Imlek, misalnya, boleh dirayakan dengan terang benderang dan Konghucu sebagai agama mendapat pembinaan secara resmi.

Kemajemukan ini penting untuk dikemukakan karena posisi kita sebagai orang Bali dan pemeluk Hindu termasuk minoritas di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita tak punya partai berasaskan Hindu dan kita hanya mengandalkan partai nasionalis. Karena itu cara kita memilih pemimpin, dalam hal ini presiden dan wakil presiden, seharusnya tak bisa lepas dari konsep bagaimana mempertahankan kemajemukan itu.

Ketika negara ini didirikan, para “Bapak Bangsa” sudah menyadari bahwa negara ini terdiri dari ribuan pulau dengan berbagai ragam etnis. Bahkan etnis yang besar seperti Jawa, Sunda, Bali, Batak, Minang dan sebagainya memiliki bahasa daerah yang terawat dengan baik. Keragaman ini diperhitungkan dengan cermat dan negara pun didirikan dengan mencari persamaan dari perbedaan. Maka lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan sesanti Bhineka Tunggal Ika.

Sekarang, kita kewalahanmerawat keragaman itu. Karena ada upaya dari kelompok mayoritas dengan berkedok ajaran agama memaksakan kehendak dan merusak kemajemukan itu dengan menciptakan aturan-aturan yang dipakai kelompoknya untuk kepentingan umum. Gejala ini muncul belakangan dengan mendompleng kendaraan reformasi.

Jika kita mengingat bagaimana para “Bapak Bangsa” berkutat berhari-hari untuk merumuskan dasar negara dan kemudian membuat perangkat hukum utama seperti Undang-Undang Dasar, kita sungguh khawatir terhadap perjalanan bangsa ini. Sekarang bukan persamaan yang dicari untuk dijadikan perekat persatuan, tetapi perbedaan itu yang ditonjolkan. Perangkat hukum kita sudah mulai memihak ke perbedaan. Kalau ini terus berlangsung bukan tak mungkin pada saatnya nanti kebanggaan kelompok akan mencuat di atas kebanggaan berbangsa. Kita tidak lagi bangga sebagai bangsa yang besar, sebagai bangsa multikultural, karena muncul chaovinisme sempit.

Kita ambil contoh kecil, misalnya, ada wacana mengubah sistem tata negara kita dengan bentuk syariah sesuai dengan ajaran Islam. Meski pun banyak ditentang termasuk oleh tokoh-tokoh Islam, tetapi kenyataannya sudah banyak ada peraturan daerah yang berdasarkan syariah. Bahkan sistem perbankan dengan embel-embel syariah sudah resmi berjalan, termasuk juga beroperasi di Bali.

Page 11: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Juga adaUndang-Undang tentang Zakat. Setiap zakat yang dilakukan oleh umat Islam mendapat konpensasi dalam perhitungan pajak tahunan. Bagaimana dengan umat lain, misalnya, umat Hindu yang memberikan dana punia untuk kegiatan sosial, kenapa tidak mendapat konpensasi dalam perhitungan pajak tahunan?Nah, di sini kemajemukan itu sudah mulai tergerus, sadar atau tidak kita sadari.

Di Tangerang pernah adaperaturan daerahyang melarang orang berjualan di hari Jumat, dengan alasan pada saat itu umat Muslim melaksanakan sholat berjamaah. Bagaimana dengan pedagang yang bukan Muslim? Tentu saja mereka dirugikan, termasuk masyarakat umum yang ingin berbelanja. Tapi konon peraturan daerah ini sudah mulai dikoreksi karena Tangerang bukan daerah khusus seperti Aceh, dan penduduknya pun beragam.

Sebagian orang ingin memaksakan budaya tertentu masuk dalam perangkat ketata-negaraan setelah berhasil  menggolkan UU tentang Zakat. Kalau saja budaya tertentu itu masih budaya lokal yang bernafaskan budaya Nusantara, masih lumayan. Tetapi kali ini adalah budaya asing yakni budaya Timur Tengah. Wanita harus berpakaian tertutup dan sama sekali tak boleh memperlihatkan bagian tubuh tertentu yang sensual. Budayawan kondang Goenawan Mohamad menyebutkan budaya ini datang dari Arab Saudi yang dikuasai kaum Wahhabi yang keras. Padahal di sana seringkali terjadi perkosaan dan ini membuktikan bahwa urusan birahi tak memandang cara berpakaian, tetapi berdasarkan pikiran yang mudah membayangkan sensualitas.

Banyak sekali contoh lain bagaimana kemajemukan di negeri ini sudah mulai pudar pelan-pelan. Belum lagi kelompok-kelompok minoritas yang sering mendapat perlakuan kasar. Penyerangan oleh orang-orang berjubah pekan lalu di Sleman, Yogyakarta, kepada kelompok Nasrani yang sedang menyelenggarakan doa, adalah contoh terkini bagaimana kemajemukan itu mau dihilangkan. Ini betul-betul tindakan kriminal yang dilakukan atas nama perbedaan keyakinan.

Nah, bagaimana kita memilih presiden dan calon presiden nanti? Sebagai masyarakat yang secara nasional adalah minoritas mau tak mau kita harus memilih presiden yang betul-betul mau menjaga keutuhan bangsa sebagai bangsa yang majemuk. Presiden yang mau mengayomi kelompok-kelompok minoritas. Presiden yang didukung oleh partai-partai nasionalis, bukan presiden yang didukung partai berbasis Islam yang keras. Jadilah pemilih cerdas dan jangan mau diprovokasi untuk memilih presiden yang rekam jejaknya buruk. Masih ada waktu untuk berpikir jernih.

Jumat,30 Mei 2014 @ 22:48

Transmigrasi dan GengsiMasalah pengiriman transmigran dari Bali sempat menjadi pembicaraan yang ramai di media sosial ketika ada berita ratusan calon transmigran asal Buleleng menunggu giliran berangkat. Di Kabupaten Tabanan program transmigrasi juga termasuk mulus. Kampanye transmigrasi masih ada berupa baliho yang dikeluarkan dinas transmigrasi. Sesungguhnya ini adalah program pemerintah yang sudah berusia lama dengan tujuan memberikan kehidupan yang lebih layak. Karena di daerah transmigrasi selain ada jaminan hidup sebelum tanah yang digarap berproduksi, jatah lahan pertanian maupun perumahan yang sederhana disediakan pemerintah.

Namun, jika sekarang orang berbicara soal transmigrasi di Bali, maka nadanya sangat minor. Komentar negatif muncul. Untuk apa memindahkan kemiskinan ke luar Bali? Hanya orang-orang malas yang ingin transmigrasi. Kalau mau bekerja, di Bali tak kurang pekerjaan, bisa lebih berhasil dibandingkan transmigran. Untuk apa mengirim transmigran ke luar Bali sementara penduduk pendatang ramai-ramai ke Bali? Masih banyak komentar yang rada sinis.

Tentu ada benar dan ada pula salah pahamnya. Lahan di Bali terbatas untuk pertanian, sementara tidak semua penduduk Bali bisa mengais rejeki dari sektor pariwisata dengan segala imbasnya. Kenyataan tidak semua transmigran itu tetap miskin. Setelah mereka berhasil mengolah tanah pertanian dan mereka bisa mengembangkan usahanya di luar Bali, banyak transmigran yang sudah sukses. Orang Bali eks transmigran yang ada di Lampung, Kalimantan, Sulawesi banyak yang kaya. Mereka bisa pulang ke Bali setiap ada piodalan dengan menumpang pesawat.

Masyarakat Bali di masa lalu adalah masyarakat agraris. Lahan pertanian masih luas.Mereka hidup dari hasil pertanian. Bidang lain seperti kesenian adalah pekerjaan sampingan sebagai kesenangan belaka. Karena itu ketika bencana alam datang, misalnya, Gunung Agung meletus, masyarakat agraris ini pergi bertransmigrasi. Merekamencari tanah pertanian baru dan mereka dikirim ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Pekerjannya tentu tetap sebagaipetani.

Ketika industri pariwisata masuk, orang Bali yang mulai berebut tanah pertanian yang makin kurang sementara penduduk bertambah, mulai melirik pekerjaan sebagai “pelayan” dan mereka bekerja di hotel-hotel. Di beberapa daerah, pekerjaan seni terutama mengukir dan melukis mulai dikerjakan sebagai pekerjaan utama. Merekatetap melayani sektor pariwisata yang sesungguhnya dikendalikan oleh orang luar Bali. Nah, dua pekerjaan besar itulah yang kini masih membekas pada benak orang Bali: bertani dan bekerja di sektor pariwisata.

Kini lahan pertanian di Bali sudah menyempit karena sektor pariwisata membutuhkan berbagai fasilitas yang mendukung

Page 12: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

industri pariwisata itu. Penduduk pun bertambah. Nah, kalau orang Bali yang sedari dulu bertani tak mampu bersaing di sektor pariwisata, maka sesungguhnya mereka hanya menjadi “pengangguran terselubung”. Atau minimal bekerja serabutan. Sulit menciptakan lapangan pekerjaan baru kalau tak punya kemampuan, apalagi wawasan yang kurang memadai.

Kenapa pendatang banyak masuk ke Bali dan mereka seperti kelihatan sukses meskipun berdiam di rumah yang sederhana bahkan mendekati kumuh? Karena mereka menggarap sektor informal yang tidak disukai orang Bali. Sektor informal itu dianggap pekerjaan yangjauh dari gengsi. Misalnya mendorong gerobak berjualan bakso, pisang goreng, es kelapa muda, pecel lele, bebek bakar dan sebagainya. Bahkan ada yang berjualan canang sari, sampai membuatnya sendiri. Orang Bali masih berpikir agraris padahal bukan lagi di era agraris. Berpikir agraris artinya pekerjaan yang diambil adalah pekerjaan yang menetap, karena sawah pertanian tak pernah berpindah tempat. Karena itu orang Bali yangtidak bekerja dengan pola menetap, menyebut dirinya pengangguran. Mereka bekerja di hotel meskipun menjadi tukang cuci piring. Tetapi jika mencuci piring sambil berjualan di emper toko, apalagi gerobak dorong, mereka gengsi.

Sektor informal ini yang diambil pendatang terutama yang dari Jawa maupun Lombok. Sektor informal adalah “pekerjaan jalanan”, orang Bali enggan melakukan itu karena sama dengan pengangguran. Mencuci piring di hotel dan restoran beda sekali dengan mencuci piring di pinggir jalan, yang terlihat oleh umum. Meski sama-sama mencuci piring, gengsi yang membedakannya.

Gengsi masal ini membuat seluruh sektor informal di Bali sudah dikuasai pendatang. Warung-warung pinggir jalan, baik yang pakai gerobak dorong maupun semi permanen, hampir semuanya dikuasai pendatang. Ini tidak hanya di kota Denpasar, tetapi sudah di seluruh Bali. Saya sudah berkeliling ke seluruh terminal besar di kota kabupaten dan kecamatan di Bali pada malam hari, saat terminal itu berubah menjadi “pasar malam”. Sebagian besar pedagang adalah para pendatang. Bahkan kalau ada piodalan di Pura Sakenan, Pura Dasar Gelgel, sampai Pura Besakih, kebanyakan pedagang di sana kaum pendatang. Orang Bali justru menghidupkan pedagang pendatang itu dengan berbelanja di sana.  Padahal tradisi agraris di masa lalu, jika bersembahyang ke pura, membawa sesajen yang ada makanannya, selesai sembahyang surudan (prasadam) itu yang dimakan. Sekarang ini, salah satu “keasyikan” orang Bali ke pura adalah membeli sate sapi di Warung Jawa atau sate kambing di Warung Madura.Coba lihat ketika piodalan Betara Turun Kabeh di Besakih baru-baru ini, kebanyakan yang menyewa kios itu pendatang.

Kita tentu sulit membendung pendatang kalau tidak ada pelanggaran. Kita juga tak bisa menutup Bali dari pendatang. Kenapa? Karena orang Bali yang datang ke Jawa atau ke daerah lain mencari penghasilan yang lebih baik juga banyak. Bahkan kalau didata, etnis (keturunan) Bali  yang ada di luar Bali jauh lebih banyak dengan orang Bali yang masih ada di Bali. Negara kita adalah negara kesatuan, tak bisa membatasi lalu lintas antarpulau di satu negara. Cuma tentu saja ada cara membatasi pendatang, yakni dengan memberlakukan peraturan ada jaminan pekerjaan. Juga orang Bali jangan menjual tanahnya kepada pendatang, kalau mereka tak punya rumah lama-lama tentu tak betah.

Sementara itu untuk mengatasi kemiskinan di pedesaan yang pola pekerjaannya masih agraris, ikut program transmigrasi tak ada salahnya. Cuma, jangan menjual lahan warisan yang ada di Bali, sehingga suatu saat masih bisa ditengok sebagai tanah leluhur.

Kamis,22 Mei 2014 @ 22:41

Cukup Dua PartaiPandita Mpu Jaya PremaAkhirnya sudah resmi ada dua pasang calon presiden dan wakil presiden yang bertarung pada 9 Juli nanti. Artinya ini pemilihan presiden (pilpres) yang irit. Ini penting disebutkan karena pilpres akan berlangsung satu putaran. Partai yang ada mampu berkoalisasi dengan dasyat.

Poros PDIP yang mengusung Joko Widodo dan Jusuf Kalla berkoalisi dengan Partai Nasdem, PKB dan Hanura. Poros Gerindra dengan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa berkoalisi dengan PAN, PKS, PPP, PBB dan Golkar. Adapun Demokrat  memilih netral. Sampai batas akhir tak punya teman koalisi dan sibuk mengurusi konvensi yang sudah jelas tak ada manfaatnya. Satu partai kecil lagi, PKPI, tak ada kabar beritanya.

Proses koalisi menarik. PPP sempat pecah, namun belakangan mantap ke poros Gerindra. PPP dan PKS sempat mengancam jika Hatta Rajasa, Ketua Umum PAN, menjadi capres Prabowo. Tapi akhirnya bisa menerima. Golkar, pemenang kedua, paling seru, ngebet betul ke poros PDIP. Tapi karena permintaannya banyak sementara Jokowi mengisyaratkan koalisi tanpa syarat, Aburizal Bakrie lari ke Gerindra. Prabowo menjanjikan Aburizal jabatan menteri utama yang mengkordinir sejumlah menteri di bidang ekonomi. Golkar pun bergabung.

Apa artinya? Koalisi itu memang untuk membagi kekuasaan. Koalisi di poros Jokowi pun tak akan seratus persen tanpa syarat, itu hanya kata-kata indah. Kata indah lainnya adalah koalisi terbentuk karena kesamaan plat form partai. Bagaimana menjelaskan hal ini kalau bertahun-tahun partai itu bersaing?

Page 13: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Pelajaran dari hiruk-pikuk koalisi ini, jumlah partai terlalu banyak,  ada 12. Dua saja sudah cukup. Atau kalau ditambah satu lagi. Caranya resmikan koalisi saat ini sebagai partai baru. Dari poros Jokowi partai itu menjadi Partai Demokrasi Kebangsaan Nasional, misalnya. Poros Prabowo menjadi Partai Persatuan Amanat Indonesia Sejahtra. Kalau mau tiga, gabungan Demokrat dengan PKPI dan partai yang kecewa dengan poros Jokowi dan Prabowo. Setelah pilpres pasti banyak partai kecewa.

Dengan dua atau tiga partai kita lebih siap menyongsong Pemilu 2019 yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai pemilu serentak. Artinya tak ada lagi pemilu legislatif dan pemilu presiden. Yang ada satu pemilu untuk memilih DPR, DPRD, DPD dan Presiden. Pasangan capres dan cawapres pun diusung oleh “partai atau gabungan partai peserta pemilu” sesuai bunyi konstitusi. Dengan dua atau tiga partai maka jumlah pasangan capres dan cawapres ada dua atau tiga pula. Bayangkan kalau partai itu tetap 12, berarti ada kemungkinan pasangan capres dan cawapres juga 12, karena memang dibolehkan konstitusi. Tak ada urusan lagi dengan jumlah kursi atau perolehan suara karena kursi atau suara itu justru dicari saat bersamaan.

Memang koalisi boleh karena konstitusi menyebutkan pasangan capres dan cawapres bisa diusung “gabungan partai”. Tapi kalau partai masih banyak, bagaimana caranya koalisi sementara untuk memilih DPR dan DPRD masing-masing partai bersaing. Tentu rumit, partai berjuang untuk meraih kursi sementara ada pasangan capres cawapres yang diusung dengan cara bergabung.

Pelajaran dari pilpres 2014 ini bisa dijadikan tonggak penyederhanaan partai. Toh koalisi saat ini juga banyak mengecewakan rakyat karena suara mereka seenaknya digabung. Orang mencoblos partai A karena tak suka partai B, tiba-tiba A dan B koalisi, suara rakyat dipermainkan. Mari ciutkan partai hanya dua atau paling banyak tiga, ini bisa mengurangi hiruk pikuk politik.

(Diambil dari Koran Tempo Kamis 22 Mei 2014)

Selasa,06 Mei 2014 @ 08:20

Cawapres Rasa CapresPandita Mpu Jaya PremaJoko Widodo sibuk blusukan, bahkan ke wilayah yang bukan menjadi tanggung jawabnya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Jokowi, begitu nama popnya, sedang mencari pendamping dalam statusnya sebagai calon presiden. Kenapa repot? Sebab, ia belum punya pengalaman cukup untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Pendapat umum yang diucapkan banyak orang: pendamping Jokowi haruslah tokoh yang berpengalaman untuk menambal kekurangannya.

Untungnya, PDI Perjuangan yang mengusung Jokowi telah selesai dalam urusan koalisi. Partai ini sudah berhasil menggaet Partasi NasDem tanpa syarat apa pun. Dengan koalisi dua partai, mereka sudah bisa mengusung pasangan capres dan cawapres. Partai lain semuanya belum aman dan perlu koalisi, perlu saling tawar-menawar posisi, karena tak ada yang seperti Nasdem, mau koalisi tanpa syarat.

Dalam bahasa sederhana, sebenarnya Jokowi sedang mencari pendamping yang harus lebih berpengalaman daripada dirinya. Sejatinya, yang dicari "cawapres dengan rasa capres". Dan pencariannya ini, astaga, membuat partai lain bak menari dalam irama gendang Jokowi.

Jokowi mengincar Jusuf Kalla karena disodori asumsi, hanya Kalla tokoh yang berpengalaman sebagai wapres. (Dalam catatan saya, yang berpengalaman sebagai wapres dan masih sehat lainnya adalah Hamzah Haz, Try Soetrisno, B.J. Habibie, dan, oya, Megawati). Media mengumbar, kepiawaian JK, baik mengenai politik internasional maupun ekonomi makro, akan membantu Jokowi yang lemah dalam bidang itu. Apalagi Kalla bisa menggaet suara Indonesia timur.

Tapi pasti Jokowi mikir, Kalla terlalu senior, masak sih wakil? Lagi pula usianya lanjut dan konon Kalla sangat dominan dalam mengambil langkah. Untuk itu, atas desakan opini yang lain, bahwa yang dihadapi negeri ini sesungguhnya lemahnya hukum, Jokowi mendekati Mahfud MD. Nah, tokoh satu ini "milik" Partai Kebangkitan Bangsa. Jika Mahfud diambil, PKB tentu diajak, bagaimana kalau PKB dalam berkoalisi menentukan "syarat dan ketentuan berlaku"? Lagi pula Mahfud berasal dari Madura, Jawa Timur, yang masih dekat dengan Solo.

Horee… ada tokoh alternatif! Abraham Samad, Ketua KPK. Dilirik yuk, mungkin begitu pikiran Jokowi. Samad anak muda, berani, paham hukum, dan berasal dari Indonesia timur seperti Kalla. Tapi ketika Jokowi sowan ke Tebu Ireng untuk bertemu Salahuddin Wahid, Si Gus memberi bisikan: "paham hukum dengan pengalaman sepuluh tahun". Si Samad baru beberapa tahun namanya berada dalam radar "tokoh nasional".

Jokowi mengaku sudah mengantongi nama cawapres, tapi pasti nama itu lebih dari satu. Ia sedang mengkalkulasi, kalau ambil ini, pengikut yang itu pasti kecewa. Ya, harus diiming-imingi harapan, misalnya, jadi juru bicara. Kalau ambil yang itu, pengikut yang ini kesal, ya, minimal diberi menteri atau kalau ngotot lebih, menko kesra.

Page 14: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Utak-atik nama boleh diperpanjang, tapi larinya sudah pasti soal bagi-bagi kursi, betapa pun akal Jokowi menutupinya. Sebab, pangkal masalahnya, yang dicari "cawapres rasa capres". Kalau saja Jokowi "sudah merasa capres" dan percaya diri memimpin negeri ini, soalnya jadi lain.

Yang mengherankan, partai tengah-di luar tiga besar-pada ikut "menari", bukan memukul gendang dengan menciptakan tari sendiri. Kenapa tidak menghimpun diri dan lupakan "tarian Jokowi"? Juga lupakan dua partai besar lainnya, termasuk capres yang sudah dikoarkan. Lalu usung, misalnya, JK-Mahfud atau Mahfud-Hatta Rajasa atau Hatta dengan pemenang konvensi Demokrat. Hal ini lebih memberi gairah masyarakat untuk ikut mencoblos, karena Jokowi punya lawan tanding. *

(Diambil dari Koran Tempo Selasa 6 Mei 2014)

Senin,05 Mei 2014 @ 08:18

Ormas KeagamaanPandita Mpu Jaya PremaSEORANG teman yang juga seorang aktifis di Jakarta bertanya pada saya, apakah ormas-ormas yang muncul di Bali belakangan ini termasuk ormas keagamaan atau ormas biasa saja yang bergerak di bidang sosial budaya. Dia menyebut beberapa nama, antara lain, Laskar Bali, Pemuda Bali Bersatu, Baladika yang posternya banyak bertebaran di jalan-jalan. Dia bertanya begitu karena dalam poster ada pajangan pengurusnya yang semuanya memakai kain adat Bali dan bagi orang luar Bali pakaian adat itu diartikan sebagai lekat dengan Hindu.

Saya menjawab bahwa ormas itu bukan ormas keagamaan. Tapi akhirnya kami sepakat pula bahwa sesungguhnya sulit untuk memilah apakah sebuah ormas yang membawa-bawa label agama bisa disebutkan sebagai ormas keagamaan. Laskar Bali dan sejenisnya itu bisa disamakan levelnya dengan ormas semacam Forum Betawi Rembug di Jakarta. Apakah itu ormas keagamaan? Tentu tidak. Tetapi apakah Forum Pembela Islam (FPI) adalah ormas keagamaan untuk umat Muslim? Apakah pagayuban yang memakai nama Hindu adalah ormas keagamaan untuk umat Hindu?

Susah mengelompokkan demikian. Karena kaitannya sering tidak nyambung dengan majelis keagamaan. Apakah majelis agama yang dimiliki oleh semua agama yang ada di Indonesia, bisa mengayomi dan membina ormas keagamaan itu? Mengayomi dalam maksud memberikan bimbingan, tuntunan, dan juga perlindungan karena organisasi kemasyarakatan itu jelas-jelas mencantumkan identitas agamanya. Membina tentu dalam arti yang luas, mereka bisa menegur ormas keagamaan yang aksinya merugikan pemeluk agama lain, karena ini juga berarti menodai agamanya sendiri. Dalam keadaan terpaksa karena tak “mampu dibina”, majelis agama ini memberikan rekomendasi kepada pemerintah supaya ormas itu dibubarkan, jika sudah sangat meresahkan.

Tentu tak bisa seperti itu. Majelis agama bukanlah berada dalam satu struktur dengan ormas keagamaan. Ormas keagamaan tidak menjadi “bawahan” majelis agama. Ormas keagamaan bahkan sebutan yang salah kaprah, karena sejatinya itu hanyalah organisasi kemasyarakatan biasa yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3298). Hanya karena labelnya mencantumkan nama agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan lainnya) mereka lantas disebut ormas keagamaan. Jadi, Front Pembela Islam sama kedudukannya dengan Forum Betawi Rembug atau Laskar Bali – dengan catatan kalau ormas itu terdaftar di Kemendagri, karena ada ribuan ormas yang tak terdaftar.

FPI sering melakukan aksi-aksi yang dianggap meresahkan masyarakat. Bagaimana mungkin Majelis Ulama Islam (MUI) menegurnya, bukankah tak ada hubungan organisatoris? Demikian pula di Hindu, jika ada paguyuban yang memakai label Hindu berbuat yang meresahkan masyarakat, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) tentu tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi yang tak berlabel agama seperti misalnya bentrok antarormas di Bali, PHDI tak bisa berbuat apa-apa. Karena sejatinya semua ormas itu bukanlah dalam payung majelis agama yang sah.

Jika demikian halnya, sesungguhnya peran, tugas dan kewajiban majelis-majelis  agama dalam “menentramkan” umatnya dari kemungkinan gesekan dengan ormas yang selama ini dianggap “dekat” dengan agama, sama sekali tidak ada secara organisasi. Yang bisa dilakukan hanyalah memberi imbauan untuk tenang dan menjaga kerukunan bersama. Majelis agama tak bisa bertindak sebagai “polisi agama” untuk hal seperti itu.

Tentu kita berharap, ormas-ormas yang membawa label agama betul-betul menerapkan ajaran agama yang luhur dalam setiap langkahnya. Jika perlu dipikirkan adanya peraturan atau perundangan yang mengatur ormas keagamaan dan sekaligus di sana diatur pula apa itu majelis agama dan apa itu Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Majelis dan forum ini belum dipayungi oleh undang-undang. FKUB misalnya lahir dari Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006 dalam kaitan pembangunan tempat ibadah. Kenyataannya banyak FKUB yang tak berfungsi, sehingga berbagai kasus pun bermunculan, seperti kasus Gereja Yasmin di Bogor. Ada wilayah yang sulit mendirikan tempat ibadah untuk kaum minoritas, misalnya, sulit membangun pura di Sumatra Barat dan lainnya. Namun sebaliknya ada wilayah yang gampang membuat tempat ibadah, seperti pembangunan masjid-masjid di pedesaan Bali.

Page 15: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Akan halnya organisasi kemasyarakatan disesuaikan dengan gerak langkahnya. Yang betul-betul bersentuhan dengan agama dan jelas dari namanya sudah memakai nama agama tertentu, diresmikan saja sebagai ormas keagamaan. Kemudian diatur bagaimana hubungannya dengan majelis agama. Bagi yang tidak berlabel agama, sebut saja ormas sosial budaya, karena kalau disebut ormas sosial politik tentu tak mungkin karena itu wilayahnya sudah ada di partai politik.

Dengan demikian akan menjadi jelas, apakah ormas yang tumbuh di Bali belakangan ini seperti Laskar Bali, Pemuda Bali Bersatu, Baladika dan lain-lainnya itu bergerak di bidang sosial budaya atau keagamaan. Orang luar memang sulit menerka karena baliho yang dipajang berkesan nuansa Hindu, apalagi slogannya tentang kedamaian yang juga slogan umat Hindu.

Namun, kalau kita pikirkan lebih dalam, sebenarnya untuk apa sih ormas-ormas itu? Dan untuk apa pula memajang baliho yang banyak di jalanan? Lebih baik membuat paguyuban suka duka atau pesemetonan yang banyak bekerja ke masyarakat, tetapi tidak banyak pamer. 

Senin,28 April 2014 @ 10:09

Tunggu Limpahan KSPN BesakihPandita Mpu Jaya PremaPEMERINTAH pusat lewat Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sudah mulai menggelontorkan dana Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Jumlahnya bervariasi disesuaikan dengan kebutuhan di lokasi KSPN. Yang jelas tidak seluruh dana yang dibutuhkan dipenuhi pemerintah karena tetap dirangsang dana swadaya masyarakat. Untuk Bali, dana KSPN yang sudah digelontorkan sebesar Rp 5 milyar dengan sasaran membenahi Pantai Mertasari.

Pantai Mertasari berada di KSPN No. 41 dengan nama “KSPN Kuta-Sanur-Nusa Dua dan sekitarnya”. Untuk Mertasari dana dikelola bersama oleh Dinas Pariwisata Pemkot Denpasar, karena pentaan itu disinergikan dengan rencana yang sudah disusun Pemkot Denpasar. Sedangkan penataan di pulau Serangan, menurut rencana, akan dikelola bersama oleh Dinas Pariwisata Provinsi Bali, karena asset di sana sebagian besar milik Pemda Provinsi.

Sesungguhnya KSPN di Bali masih bermasalah karena ada penolakan dari sebagian masyarakat. Mungkin ini membuat pemerintah pusat hati-hati mengucurkan dana. Dana hanya diberikan kepada kawasan yang sudah ada rencana master plan sebelumnya, seperti penataan Pantai Mertasari itu yang sudah dirancang Pemkot Denpasar dengan anggaran Rp 50 Milyar. Artinya, pembangunan di kawasan KSPN sepenuhnya dirancang oleh daerah yang bersangkutan, bukan intervensi dari pusat sebagaimana yang dicurigai. Tentu saja asal sesuai dengan denah dan program yang sudah rinci dalam KSPN itu.

Karena ada penolakan oleh sebagian masyarakat terhadap KSPN Besakih (resminya KSPN No 84 “Besakih–Gunung Agung dan sekitarnya”) yang dicurigai mengganggu kawasan suci padahal jelas yang ditata alam sekitarnya termasuk jalan, maka Pemda Bali ingin meninjau seluruh KSPN yang ada. Gubernur Bali sudah membentuk tim pengkaji ke 11 KSPN yang ada di Bali. Tim beranggotakan 22 orang dari berbagai unsur dan elemen ini sayangnya belum berhasil mendapatkan kesimpulan final, apakah seluruh KSPN itu ditolak atau hanya KSPN Besakih saja yang ditolak. Kalau hanya KSPN Besakih yang ditolak, lainnya diterima, apa alasannya padahal di seluruh KSPN ada tempat suci. Tim Pengkaji 11 KSPN yang diketuai Prof. Made Bakta ini seharusnya segera menyelesaikan tugasnya, supaya ada kepastian.

Kepastian ini ditunggu, baik oleh masyarakat Bali (yang menolak maupun yang menerima), oleh pemerintah pusat, juga oleh Pemda Provinsi lainnya yang akan menerima limpahan. Dalam sebuah diskusi di Candi Sukuh (bersamaan dengan program budaya) beberapa bulan lalu, sudah ada semacam penantian yang “menggembirakan” masyarakat sekitar Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar itu, jika KSPN Besakih ditolak. Bahkan jika semua KSPN di Bali ditolak. Dengan demikian akan terjadi revisi pada Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2020. Jika revisi itu terjadi, maka Pemda Jawa Tengah akan mengusulkan KSPN baru limpahan dari Bali. Saya yang hadir dalam diskusi di Candi Sukuh itu setuju sepanjang yang dimajukan sebagai limpahan dari Bali adalah kawasan Gunung Lawu. Karena nuansa Hindu lebih kental dibanding misalnya untuk kawasan wisata yang bernuansa Islam seperti masjid-masjid kuno di Demak, Kudus dan sekitarnya.

 

Seperti diketahui, dalam PP No. 50/2011, program pembangunan kepariwisataan jangka menengah (10 tahunan) dibagi antara KSPN dan KPPN (Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional). KPPN statusnya di bawah KSPN, termasuk besar dan prioritas anggarannya. Di Bali karena dianggap destinasi pariwisata yang sudah menghasilkan banyak uang, seluruhnya (11 kawasan) langsung masuk KSPN, tak ada KPPN. Ini dianggap wajar karena uang yang diperoleh negara wajib diberikan lebih banyak kepada daerah penghasil devisa.

 

Di Jawa Tengah tak semua langsung masuk KSPN. Masjid Demak dan Kudus yang diusulkan tak masuk.  “Candi Cetho – Sukuh dan sekitarnya” masuk katagori KPPN No. 84 disusul “Tawangmangu – Sarangan dan sekitarnya” masuk KPPN No. 85. Nah, jika revisi terjadi, limpahan KSPN Besakih akan diperjuangkan untuk menaikkan status KPPN Candi Cetho-Sukuh dan

Page 16: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

sekitarnya. Saya sangat setuju jika itu terjadi dengan alasan “sama-sama memperhatikan umat Hindu”. Bahkan saya mau ikut berjuang. Tentu dalam artian kalau KSPN Besakih ditolak. Kalau tak ditolak, ya, untuk apa dialihkan? Saya kan tinggal di Bali lebih sering ke Besakih.

Candi Cetho peninggalan akhir Kerajaan Majapahit di abad 15, sudah menjadi kawasan wisata religius. Meski pun candi berstatus cagar budaya yang dikelola pemerintah, umat Hindu yang bersembahyang bebas masuk ke dalamnya. Tak ada larangan bersembahyang di sana, bahkan kalau umat Hindu yang datang tak disertai pemangku, ada pemangku khusus di sana. Tentu umat Hindu etnis Jawa.

Saya rutin paling tidak dua kali setahun ke sana. Saat Purnama Ketiga karena odalan di Pura Kepasekan dan Anggarkasih Medangsia, odalan di Cetho. Pada Anggarkasih Medangsia 17 Juli 2007 Pura Cetho “diruwat” dengan upacara yang disebut Panca Walikrama, entah kenapa namanya begitu. Di hutan lindung atas candi berdiri Patung Saraswati dengan tempat pemujaan yang lapang, di sebelahnya ini sumber “air suci” yang sangat dingin. Nah, kawasan antara candi dan Patung Saraswati yang kini berkembang menjadi “pusat belanja oleh-oleh” akan ditata. Pemerintah Kab. Karanganyar dan Pemda Prov. Jateng tentu berharap besar dana itu juga dipasok dari KSPN. Jadi saya setuju, karena yang akan merasakan nikmatnya berkunjung nanti adalah umat Hindu, selain memberdayakan ekonomi umat setempat yang juga pemeluk Hindu etnis Jawa.

Pada diskusi di Candi Sukuh, saya minta agar Pura Kepasekan di Kecamatan Karangpandan dimasukkan kawasan “Candi Cetho – Sukuh dan sekitarnya”. Alasannya, kawasan sekitar Candi Sukuh tak perlu ditangani lagi karena sudah asri ditata Pemda Kabupaten Karanganyar. Pura Kepasekan perlu jalan masuk lebih lebar dan belum ada sarana parkir. Meski pura ini lebih dekat dengan Tawangmangu, KPPN Tawangmangu itu melebar ke Sarangan di wilayah Magetan.

Jadi, nasib KSPN Besakih, apakah ditolak atau tidak, juga tak sabar saya tunggu. Diterima syukur karena saya lihat kawasan sekitarnya masih perlu dibenahi apalagi saat upacara Bethara Turun Kabeh ini. Diberi uang kok tidak diterima, kesannya sombong amat. Tapi kalau KSPN Besakih ditolak, ya, apa boleh buat, siapa tahu Candi Cetho dapat limpahannya. Demi umat Hindu juga. (*)

Senin,14 April 2014 @ 08:01

Jiwa Guncang Pasca PemiluPandita Mpu Jaya PremaPEMILU legislatif sudah selesai. Kini Kementrian Kesehatan yang sibuk. Bukan ikut mengurusi pemilihan ulang karena surat suara yang tertukar, tetapi mempersiapkan perawatan bagi mereka yang kena gangguan jiwa. Semua rumah sakit jiwa di Nusantara  berstatus siaga satu begitu pencoblosan selesai.

Kesibukan serupa belum pernah terjadi di masa lalu. Biasanya kementrian ini hanya mengantisipasi kalau terjadi korban di jalanan saat kampanye terbuka. Atau kerusuhan saat pencoblosan. Sekarang, kampanye sudah aman karena rakyat sudah malas menghadiri kampanye. Pencoblosan pun damai karena rakyat sudah sadar beda pilihan bukan berarti musuh.

Korban pemilu sekarang bukan lagi rakyat, tetapi para calon legislator (caleg). Jenis penyakitnya bukan luka, tetapi jiwanya terguncang. Makanya Kementrian Kesehatan tak menyiapkan Puskesmas atau rumah sakit umum, melainkan rumah sakit jiwa. Dalam bahasa rakyat, korban yang masuk ke rumah sakit ini adalah mereka yang tidak waras.

Karena korbannya orang berpendidikan – hampir semua caleg memamerkan gelar akademiknya meski pun tak jelas kuliah di mana – kamar-kamar yang disiapkan di rumah sakit  jiwa tergolong baik. Semuanya kelas satu. Tapi, belum terdengar ada yang masuk rumah sakit karena suara di daerah pemilihan (dapil) sedang dihitung. Di Cirebon seorang caleg Partai Demokrat hanya dibawa ke rumah seorang ustad yang biasa menangani orang stress.

Inilah pemilu yang menghasilkan orang tak waras. Yang tidak terpilih masuk rumah sakit jiwa atau jadi beban sosial di masyarakat karena ulahnya pasti menyebalkan. Yang terpilih kelihatan seperti waras tetapi jiwanya terganggu. Karena yang dipikirkannya adalah bagaimana bisa duduk aman sebagai wakil rakyat  selama lima tahun sembari mendapatkan proyek-proyek berduit di luar gaji. Ia harus membayar utang untuk biaya kampanye dan memenuhi janji-janji kepada rakyat.

Jika kita rajin mengamati para calon legislator, entah itu melihat bagaimana mereka tampil di  baliho, maupun memberi janji-janji saat kampanye, sebenarnya sudah banyak yang “terganggu jiwanya”. Mereka tak bisa membedakan antara harapan yang bisa diperjuangkan, dan khayalan yang hanya mimpi. Umumnya mereka membeo, begitu kata “perubahan” laku, semuanya bicara perubahan. Ada ungkapan berjuang untuk rakyat, semua ngomong  begitu. Ini mencerminkan bahwa mereka sebenarnya tak menguasai apa-apa, hanya mengumbar slogan yang mereka sendiri tak memahami arti sebenarnya. Ada yang bergaya bak pahlawan yang ditunggu-tunggu, tapi dia lupa jejak langkahnya sudah terekam buruk di masyarakat. Orang tak bisa berubah drastis dalam sekejap – atau karena ada Pemilu. Hanya penari topeng yang bisa berubah total wataknya begitu topengnya diganti.

Ada caleg di kampung saya yang menjanjikan mengaspal jalan sepanjang 1 km. Dia mengumbar janji: “Kalau jalan ini belum

Page 17: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

diaspal sebelum pencoblosan, usir saya pakai anjing.” Dua hari sebelum pemilu datang satu truck berisi kapur untuk menambal jalan yang berlubang. Setelah pencoblosan ternyata rakyat sadar, proyek pengaspalan ini biaya dari kabupaten yang sudah dijanjikan bupati jauh sebelumnya. Sampai sekarang pun tak ada tanda-tanda dikerjakan.

Gangguan jiwa ini bisa pula disebabkan oleh berubah-ubahnya sistem pemilu. Dulu nomor jadi berdasarkan nomor urut, sehingga pemilih cukup mencoblos gambar partai. Karena partai tidak memiliki cara rekrutmen kader yang benar maka yang terjadi pengurus partai mengambil cara “membela yang bayar”. Nomor urut tidak didasarkan pada kemampuan kader, tetapi pada yang “bayar”. Ketika mendadak sistem berubah dan nomor urut tidak menentukan kemenangan seorang calon, para pemegang nomor besar mendapat angin untuk menantang. “Rasakan sekarang, siapa yang didukung rakyat,” mungkin begitu sumpahnya. Calon yang bernomor urut kecil, yang jiwanya sudah goncang karena harus bayar dan  melakukan “penjilatan”, tiba-tiba harus berjuang keras pula. Semuanya kemudian mencari akal bagaimana cara agar bisa mendapatkan suara melebihi yang lain, termasuk cara yang tak masuk akal (bagi orang normal) seperti menjual harta warisan untuk membeli suara. Bagaimana tidak stress kalau hasilnya gagal?

Biaya ikut nyaleg jadi tinggi karena harus bertempur sesama teman di partai. Caleg harus menjelaskan kepada masyarakat bagaimana mencoblos nomor yang berada di bawah. Kartu peragaan juga harus dibuat selain sosialisasi terbuka, yang semuanya makan ongkos. Hasilnya belum tentu benar. Di desa saya, ibu-ibu yang tua bingung menghitung nomor urut untuk mencari nama caleg itu. Banyak yang akhirnya ngawur. Yang lucu ada yang memilih dua nama di satu surat suara, tetapi partainya beda. Alasannya, kedua caleg itu memberi sembako. Lagi pula dia mendengar boleh mencoblos dua nama yang beda. Tentu boleh asal surat suaranya juga beda, misalnya yang satu untuk DPRD Kabupaten yang satu untuk DPRD Provinsi. Coblos dua nama dengan partai beda di satu surat suara tentu jadi tak sah.

Sistem dan aturan pemilu perlu dikaji kembali agar mendapatkan wakil rakyat yang jiwanya tidak terganggu. Partai peserta pemilu mesti dikurangi, entah bagaimana caranya. Caleg jadi kembalikan ke nomor urut supaya memudahkan rakyat memilih, terutama pemilih tua. Cukup mencoblos gambar partai. Tentu saja seleksi caleg harus ketat, misalnya, nomor urut calon ditentukan berdasarkan “uji kelayakan” dan betul-betul yang paling pantas menjadi wakil rakyat.

Ini artinya, kita kembali ke masa lalu. Tetapi yang “kembali” hanya sistem, pelaksanaan pemilu tentu lebih demokratis, cerdas, berkualitas, termasuk slogan lama yang harus dipertahankan: jujur, adil dan rahasia. Biaya pemilu bisa lebih hemat dan caleg tak perlu sampai menjual sawah dan kebun warisan untuk membiayai kampanye. (*)

Senin,07 April 2014 @ 07:56

Menunaikan Dharma NegaraPandita Mpu Jaya PremaDua hari lagi pemilihan umum yang memilih anggota legislatif dilakukan serentak di seluruh negeri. Mereka yang mempunyai hak pilih akan berbondong-bondong menuju tempat pemungutan suara (TPS). Mereka bisa memilih dengan bebas, partai mana yang dirasakan cocok untuk dicoblos atau caleg mana yang dirasa bisa memperjuangkan nasib rakyat. Tak ada tekanan atau paksaan dan tak ada kode-kode di kertas suara, seperti pemilu di era Orde Baru. Mari memilih dengan cerdas.

Bagi umat Hindu, hak dan kewajiban memilih pemimpin ini termasuk menunaikan tugas menjalankan dharma agama. Seperti kita ketahui, ada dua kewajiban (dharma) yang ditetapkan pada saat berdirinya Parisada Hindu Dharma Indonesia, yakni dharma agamadan dharma negara. Ketetapan itu diputuskan saat 11 sulinggih dan 22 welaka yang diyakini sebagai figur-figur terkemuka umat Hindu melangsungkan pertemuan tanggal 17-23 November 1961 di Campuan, Ubud. Pertemuan penting yang menghasilkan Piagam Campuan ini hasilnya sangat monumental. Di situ diputuskan sebutan agama Hindu Bali diganti dengan Hindu tanpa ada embel-embel Bali. Karena tak ada agama Hindu Bali, tak ada kitab suci agama Hindu Bali, tak ada Rsi yang menerima wahyu agama Hindu Bali. Yang ada adalah agama Hindu. Keputusan penting lain adalah melahirkan istilah dharma agama dan dharma negara.

Dharma negarainilah yang menjadi pedoman umat Hindu dalam meniti masalah-masalah berbangsa dan bernegara. Wawasan kenegaraan dalam dharma negara ini meliputi penegasan bahwa umat Hindu sadar menempatkan posisi dirinya sebagai bagian keluarga besar bangsa Indonesia, bangsa yang berdiri atas persamaan nasib dan pengalaman sejarah, lalu bersatu dan membina kehidupan kenegaraan di atas satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa nasional. Sebagai konsekuensi dari "ikrar"dharma negara itu, umat Hindu menerima tanggung jawab untuk tidak sekedar memperhatikan kepentingan pribadi dan kelompok sendiri, melainkan bertanggung jawab secara bersama-sama mewujudkan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang lebih baik.

Butir satu dharma negara berbunyi: tidak dapat menyetujui penjajahan atas wilayah dan bangsa lain. Butir dua: menyesalkan penggunaan pengetahuan untuk pemusnahan peradaban dan mahkluk Tuhan. Kedua butir ini menyiratkan penegasan dan tanggung jawab umat Hindu guna turut serta menciptakan perdamaian dunia dan kehidupan kemanusiaan yang luhur di atas bumi ini.

Kita harus bersyukur, bahwa umat Hindu di Indonesia sampai sekarang tetap memegang teguh komitmen dharma negara sebagaimana yang dirumuskan itu. Setidak-tidaknya, belum pernah muncul masalah besar antara umat Hindu dengan

Page 18: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

pemerintah, apalagi misalnya pemberontakan umat Hindu terhadap negara. Bagi umat Hindu menjaga keutuhan bangsa dan negara adalah juga kewajiban menjalankan agama. Dalam kitab Rg Weda VIII 25.16 disebutkan: Tasya vratani anu vas caramasi, yang artinya hendaknya selalu dan semua taat dan patuh kepada peraturan negara.

Sekarang dalam masa eforia kebebasan justru ada pertanda wawasan kebangsaan dan wawasan bernegara mengalami pergeseran. Definisi kebangsaan di masa lalu disatukan oleh persamaan nasib sebagai daerah-daerah yang terjajah, kita disatukan oleh penderitaan yang sama di bawah kolonial Belanda, dan wawasan kebangsaan kita dilahirkan pula oleh perjuangan yang sama, yakni mengusir penjajah. Namun setelah bangsa dan negara ini berada dalam kemajuan demokrasi yang dikatakan mengarah lebih baik, terjadi kerenggangan. Mulai dirasakan ketidak-adilan yang makin lama makin membesar antar daerah, antar etnis, antar suku, juga antar agama. Mulai muncul kelompok-kelompok sempit dan kasus-kasus yang melibatkan antar etnis. Ada bentrokan antar suku di Lampung maupun di Flores yang melibatkan etnis Bali. Ada korban harta dan nyawa dari kerusuhan itu. Ada bentrok masalah agama, syukurlah hal ini tak terjadi dalam penganut agama Hindu.

Yang menyedihkan adalah ketika kebebasan itu muncul di era reformasi ini, akumulasi dari kekecewaan karena perlakuan tidak adil pemerintah di masa lalu, mencuat ke permukaan menjadi semacam pemberontakan dan melahirkan wawasan kewilayahan atau wawasan kedaerahan yang lebih sempit jika kita bandingkan dengan wawasan kebangsaan pada saat mendirikan negara ini. Berbagai gejolak di daerah dan ancaman disintegrasi bangsa menghantui negeri ini. Aceh dan Papua pernah mendeklarasikan sebagai wilayah yang merdeka lepas dari republik ini. Syukur hal itu bisa diselesaikan, entah penyelesaian yang langgeng atau tidak, waktu akan menjawab. Dan kita di Bali tak pernah punya pemikiran untuk “Bali Merdeka” misalnya.

Nah, apa yang mestinya diantisipasi oleh umat Hindu? Umat Hindu harus tetap bersatu dan berjuang bersama-sama umat lain yang tetap mempertahankan wawasan kebangsaan. Umat Hindu harus ikut menjaga perahu bangsa agar tidak bocor. Kenapa harus begitu? Karena umat Hindu berpencar di seluruh republik ini. Umat Hindu di Bali hanya sepertiga -- atau mungkin kurang -- dari jumlah keseluruhan umat Hindu yang ada di Indonesia. Umat Hindu tak bisa lagi hanya mengklaim Bali sebagai "wilayah agamanya". Jika Aceh, misalnya, melepaskan diri dari republik ini, mungkin pengaruh buruknya terhadap umat Hindu kecil, karena sedikit umat Hindu di sana. Tapi bagaimana kalau Papua merdeka, atau daerah lainnya lagi, ini akan membawa dampak besar buat umat Hindu etnis Bali yang sudah puluhan tahun menjadi transmigran di sana. Mereka bisa terusir sebagaimana halnya petani Bali yang sudah sukses di Timor Timur, tiba-tiba terlantar karena Timor Timur pisah dengan Indonesia.

Karena itu dalam menunaikan dharma negara pada saat pemilu ini, marilah kita mencoblos partai nasionalis yang tetap memperjuangkan bangsa dalam bingkai bhineka tunggal ika. Kita tak punya partai berasaskan agama Hindu, dan mungkin tak perlu agama disekat-sekat dalam politik. Mari kita coblos caleg yang punya wawasan kebangsaan untuk berjuang menegakkan Indonesia sebagai Negara kepulauan yang majemuk. Selamat memilih. (*) 

Senin,24 Maret 2014 @ 07:46

Siap Kalah Siap Menang

Pandita Mpu Jaya PremaSlogan yang dipakai judul ini terasa klise. Setiap ada pemilihan, apakah itu pemilihan kepala desa, pemilihan bupati atau gubernur, termasuk pemilihan umum, selalu diawali dengan pernyataan bersama dari para pesaing: siap menang dan siap kalah. Bahkan pernyataan itu dijadikan semacam “kontrak politik” untuk menciptakan suasana yang damai. Namun dalam praktek, setelah pemilihan selesai, pasti ada protes, ada tuntutan sebagai pertanda bahwa sesungguhnya ada yang tak siap kalah. Tuntutan itu biasanya dibungkus dengan dalih ada kecurangan, entah kecurangan pesaing maupun kecurangan panitia.Banyak contoh soal ini. Pemilihan kepala desa dan lurah di Denpasar bermasalah. Bahkan dalam skala yang lebih luas seperti pemilihan Gubernur Bali, juga menyimpan masalah. Ada yang tak siap kalah. Apakah pada pemilu legislatif nanti akan ada orang-orang atau partai yang tak siap kalah? Akan sangat disayangkan kalau itu masih ada.Padahal jika kita menelusui budaya Bali tradisional, tidak dikenal kekalahan yang permanen. Kekalahan sama artinya dengan “belum menang” sedangkan kemenangan sama dengan “sudah menang”. Ini artinya masih ada kesempatan menang di kemudian hari bagi mereka yang belum menang dan yang sudah menang sebelumnya sudah sering kalah.Berbagai jenis permainan tradisional Bali telah memberikan contoh betapa pelaku permainan itu sejak awal sudah “siap menang dan siap kalah”. Dalam adu gangsing atau lomba layang-layang, misalnya, kekalahan itu bukanlah berarti kehancuran gangsing dan layang-layang itu. Semuanya tetap dipelihara dengan baik, karena kekalahan itu hanya faktor nasib.Teater tradisional Bali, dari gambuh, arja sampai drama gong, jarang sekali menampilkan lakon tentang kekalahan yang absolut. Selalu ada kesempatan, yang kalah itu akhirya bisa menang, sedang yang menang akhirnya bisa kalah. Cerita berakhir sesuai dengan prinsip budaya Bali, yang menang adalah yang membela kebenaran, meski sebelumnya terpuruk dalam penderitaan.Dalam Mahabharata yang juga menjadi Kitab Itihasa bagi umat Hindu, diberi contoh perjudian yang licik antara Kurawa dengan Pandawa. Meski tahu dicurangi, toh Pandawa menjalani kekalahan dengan kesatria, menyamar belasan tahun dan tidak boleh ketahuan memasuki istana. Pesan moral yang ditangkap dari sini adalah sportifitas menerima kekalahan. Pandawa tidak melakukan protes atau tuntutan, tidak merusak aset-aset kerajaan, karena mereka yakin suatu saat bisa menang kembali. Pesan moral ini yang perlu diteladani jika membaca Mahabharata di bagian permainan judi ini. Bukan pesan bahwa berjudi itu sudah ada sejak dulu, jadi tak apa-apa dilakukan.Sekarang apakah orang Bali siap menerima kekalahan? Jika itu menyangkut sosial kemasyarakatan yang dikaitkan dengan adat dan agama, sebenarnya orang Bali sudah siap menang dan siap kalah. Pemilihan Bendesa Adat jarang menimbulkan ribut-ribut. Tetapi jika urusannya politik, orang Bali belum siap untuk kalah. Penyebabnya adalah orang Bali yang sedang bermain di kancah politik tidak memiliki kultur berpolitik yang sehat. Dulu, beda politik adalah musuh bebuyutan, harta dan nyawa jadi taruhan. Korban dalam tragedi G 30 S di Bali mencatat hal itu. Sekarang faktor globalisasi juga menjadi sebab

Page 19: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

karena ada contoh yang jelas ditonton lewat media televisi.Misalnya, dalam masalah penegakan hukum. Semua orang mudah berkata, biarkan hukum yang bicara. Tetapi ketika ada warga atau tetangga yang ditahan polisi karena melanggar hukum, ada upaya mencari jalan nonhukum dengan mengadakan aksi demo menuntut supaya orang yang ditahan polisi itu dibebaskan. Tentu karena contoh seperti itu banyak terjadi di berbagai tempat. Jadi, mulai ada pengaruh luar dalam masalah sosial kemasyarakatan orang Bali.Pemilihan legislatif sebentar lagi akan berlangsung. Setelah itu disusul pemilihan presiden. Apa yang akan terjadi di Bali? Bisa jadi ada caleg yang tak terima dengan kekalahan itu dan mereka justru ingin ada keributan. Maklum uang yang dikeluarkan banyak sekali. Untungnya, situasi kini mulai berubah di pedesaan. Jika calegnya tidak siap kalah, masyarakat justru lebih siap untuk tenang dan damai dalam menyikapi suatu kekalahan atau pun suatu kemenangan. Artinya, masyarakat Bali sudah mulai paham, urusan politik biarkan yang bertarung secara langsung itu yang merasakan kalah dan menang. Masyarakat semuanya menang.Apakah ini pertanda warga Bali sudah sadar berpolitik? Nampaknya demikian. Dalam politik tidak ada musuh atau kawan abadi. Berbeda politik hanya berbeda pilihan, kalau pilihan itu salah, ya, diulang lagi pada pemilu mendatang. Yang menang tak harus mengejek atau bisa seenaknya kepada yang kalah. Yang kalah pun tak harus merasa menjadi korban. Tragedi di masa lalu, sebut misalnya pada G 30 S tahun 1965 dan setelah itu, di mana pengikut partai yang kalah betul-betul menderita tak boleh lagi terjadi. Cukuplah sudah trauma dari tragedi ini di mana berakibat masyarakat takut menjadi anggota partai.Era reformasi mulai mengikis ketakutan pada partai-partai. Masyarakat mulai terbiasa dengan perbedaan partai. Di desa-desa berkibar bendera partai yang beragam, suatu hal yang tak biasa kita lihat di era orde baru. Kalau begitu halnya, orang-orang di desa sebenarnya tak takut kalah dan menang, bahkan mungkin tak peduli siapa yang menang dan kalah. Maka sudah selayaknya para caleg betul-betul dewasa untuk bersikap jika pada pemilu nanti ternyata kalah. Jangan memprovokasi masyarakat untuk melakukan protes. (*)

Senin,17 Maret 2014 @ 23:04

Kampanye yang CerdasPandita Mpu Jaya PremaKampanye pemilu sudah dimulai. Di Bali kampanye pemilu dipotong “libur nyepi” dan rapat umum dengan pengerahan massa mungkin tidak seramai pemilu-pemilu yang lalu. Rakyat bukan saja sudah bosan dengan hal itu, melainkan juga tak ada pengaruhnya untuk pencoblosan. Pengerahan massa juga membutuhkan dana. Sudah dananya besar masyarakat direpotkan dengan jalanan yang macet dan justru jadi antipati pada partai yang memacetkan jalan itu. Bukan hal positif yang didapat, malah hal yang negatif.

Lagi pula dalam kampanye pengerahan massa mudah didomplengi oleh orang-orang yang sebenarnya hanya ingin hura-hura, atau malah ugal-ugalan di jalanan. Di tempat rapat umum jarang ada yang mendengarkan pidato juru kampanye. Para juru kampanye pun hanya bicara hal-hal yang kosong, janji-janji yang sering tak masuk akal.

Kampanye yang efektif adalah pertemuan terbatas. Dalam bahasa Bali sering disebutsimakrama. Secara umum sering dikatakan kampanye door to door, dari pintu ke pintu. Efektif dari segi waktu, sasaran yang dicapai, dan cenderung tak memunculkan konflik. Tapi repotnya, seringkali yang muncul adalah janji-janji untuk membantu proyek sosial dari para caleg. Bahkan jika proyek yang dijanjikan itu tak mempan, mulai muncul “pemberian uang”. Ini artinya sudah membeli suara.

Apa pun bentuk kampanyenya, sudah saatnya para caleg memaparkan program-program yang cerdas dan jelas juntrungannya. Kalau kita baca kampanye tertulis para caleg di baliho, semuanya tidak jelas apa yang dimaksudkan. Semuanya hanya minta doa restu dan dukungan. Lalu dengan enaknya menulis: “memperjuangkan rakyat Bali” atau “menuntut hak-hak rakyat Bali” atau bahasa yang lebih klise seperti “bersama rakyat membangun Bali” atau “berjuang untuk ketahanan pangan.” Bagaimana cara membangun itu, apa caleg itu punya konsep, harus dijelaskan. Apa hak rakyat Bali yang harus diperjuangkan, apalagi sampai dituntut? Apakah para caleg itu sudah menyiapkan daftar yang akan diperjuangkan dan bagaimana cara memperjuangkannya?

Sebut misalnya soal subak. Ini bukan saja menyangkut kesejahtraan petani tetapi juga masalah ketahanan pangan. Tanpa ada petani bagaimana kita bisa mewujudkan Indonesia yang pangannya tak tergantung impor. Nah, apakah para caleg itu sudah punya sikap?

Subak semakin merana dan bagaimana menghidupkan kembali subak itu. Jika langkah yang ditempuh hanya dengan memberi bantuan uang kepada subak, itu bukan penyelamatan terhadap keberlangsungan subak, tetapi memanjakan pengurus subak dan rawan penyalahgunaan. Uang bantuan mengucur, pengurus subak kaya, petani tetap saja merana. Bahkan ada janji caleg yang memperjuangkan bantuan lebih besar kepada subak sambil menganjurkan agar subak dipecah-pecah. Kalau subak makin banyak, tentu bantuan yang diterima makin banyak. Padahal ini akal-akalan saja, karena subak yang banyak itu tidak berarti lahan pertanian bertambah, itu hanya memecah saja. Kita semua tahu, lahan pertanian di Bali terus-menerus berkurang karena alih lahan.

Persoalan subak yang pertama-tama adalah lahan pertanian. Bagaimana membicarakan subak kalau tidak ada sawah? Bukankah sawah sudah menyempit di Bali seirama dengan berpindahnya kepemilikan tanah Bali kepada orang-orang non-Bali? Selain sawah menyempit, sawah juga terjepit. Yang menjepitnya adalah bangunan-bangunan yang dibiarkan oleh pemerintah, bahkan pemerintah sendiri yang ikut membangun. Adalah pemandangan yang biasa kita lihat ada sawah yang

Page 20: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

terkurung oleh bangunan, entah itu perumahan, ruko, pabrik dan sebagainya.

Lalu, ada masalah pajak. Pemerintah menerapkan sistem pajak berdasarkan di mana tanah kena pajak itu berada, dan bukan dengan sistem apa yang dihasilkan oleh tanah itu. Misalnya, subak-subak yang kini dibelah oleh jalan besar. Dengan adanya jalan itu maka harga tanah melonjak. Bangunan komersial dan perumahan berdiri yang ikut mendongkrak harga tanah. Pemerintah kemudian melakukan koreksi terhadap NJOP (nilai jual obyek pajak) dengan menaikkan tarif di sana. Tarif yang dinaikkan tidak sekedar tarif  bangunan saja, tetapi juga tarif tanah. Akibatnya, tanah yang masih berupa sawah pun kena pajak yang tinggi, padahal produksi dari tanah sawah itu tetap saja tak berubah yakni padi.

Nah, apakah para caleg yang berkoar-koar menyelamatkan subak itu paham bagaimana mencari solusi dalam kasus ini? Apakah hak-hak petani Bali ini bisa dituntut dan kemana mengajukan tuntutan? Jangan cuma bisa menulis slogan di baliho tapi tak mempelajari di mana masalahnya dan bagaimana memecahkannya.

Petani yang menjerit karena kenaikan pajak ini pada akhirnya akan membiarkan sawahnya terlantar. Lama-lama tanah dijual. Lalu, apa yang dilakukan para caleg setelah terpilih menjadi wakil rakyat, apa masih berteriak untuk menghidupkan subak hanya dengan memberikan sumbangan uang?

Oke, mari kita cari contoh lain soal hak-hak orang Bali yang harus dituntut ke pusat. Bandara Ngurah Rai betul-betul semua keuntungannya dibawa “lari” ke pusat. Memang Pemda Bali tak punya saham di sana, semuanya dikuasai Angkasa Pura II. Bukankah Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng juga begitu? Pemda Tangerang tak punya saham. Tetapi mereka bisa menuntut hak atas lahan parkir, sehingga ada pemasukan untuk Kabupaten Tangerang. Di Bandara Ngurah Rai urusan parkir pun diembat pusat, bahkan sampai muncul kasus korupsi karena jadi rebutan.

Yang aneh dan ini sering menjadi gerutuan, di Bandara Ngurah Rai pengantar penumpang juga kena biaya parkir, meskipun tak perlu parkir karena hanya numpang lewat. Di bandara lain termasuk Bandara Soekarno-Hatta pengantar tak perlu bayar parkir, karena areal parkirnya ada pintu tersendiri. Di Bandara Ngurah Rai seluruh komplek itu “dikurung” sehingga siapa pun yang masuk harus membayar. “Orang Bali rakus,” begitu gerutuan orang. Padahal, Bali hanya dapat getah, “kerakusan” diambil orang lain. Nah, apakah hak-hak itu termasuk yang akan dituntut oleh para caleg? Jangan-jangan mereka pun tak memikirkannya.

Kalau calegnya tak cerdas bagaimana menjadikan pemilu yang mendidik masyarakat untuk cerdas? (*)

Senin,03 Maret 2014 @ 22:48

Setelah “Pamelepeh Jagat†�Pandita Mpu Jaya PremaUpacara “pamelepeh jagat” sudah dilaksanakan pada Sabtu (1 Maret) lalu bertepatan pada Tilem Sasih Kewulu di Pura Kentel Gumi Klungkung. Sejumlah pejabat hadir termasuk Gubernur Bali. Di beberapa desa juga ada yang melakukan “pecaruan” yang intinya sama, tentu dalam skala yang kecil.

Kenapa ritual “pamelepeh jagat” itu diadakan? Bendesa Agung Majelis Desa Pekraman Bali,  Jro Gede Suwena Putus Upadesa dalam dharma gita yang disiarkan BMC TV pada Jumat sore (28/2) menyebutkan, ritual ini untuk mengharmoniskan jagat dan mohon kerahayuan karena Bali terkena bencana. Jro Gede Suwena memerinci bencana itu tak cuma yang disebabkan oleh alam seperti tanah longsor, angin kencang, banjir dan sebagainya. Tetapi juga hal-hal yang tergolong aneh. Beliau menyebut misalnya ada “rangda ngereh” di Karangasem yang ditusuk orang kerahuan, ternyata penari rangda meninggal dunia. Ada anak yang membunuh orang tuanya di Mengwi, padahal orang tuanya pendeta. Ada orang yang meninggal dunia pada saat “manjang wadah” di Tabanan, padahal orang itu mengantarkan jenazah kakaknya ke kuburan. Semua kejadian ini dirasakan aneh.

Apa yang disebut Jro Gede Suwena itu benar adanya, ada sesuatu yang gaib yang tak bisa dijelaskan dengan logika, kenapa peristiwa itu terjadi. Seperti ada energi buruk yang tersebar di alam semesta ini yang mempengaruhi perilaku orang. Karena itulah energi buruk harus segera dihilangkan dengan ritual “pamelepeh jagat”.

Sesungguhnya banyak lagi contoh-contoh energi buruk yang seperti gentayangan di alam semesta ini yang mempengaruhi perilaku orang. Sebut saja misalnya yang paling ramai dibicarakan adalah polemik dirobohkannya patung Wisnu Murti di Kediri Tabanan dan akan diganti patung Bung Karno. Ini jelas energi buruk yang menguasai pejabat-pejabat di Tabanan. Bayangkanlah kenapa patung Wisnu Murti di catus pata itu dirobohkan, bukankah catus pata adalah sesuatu yang sakral? Kalau mau memajang patung Bung Karno kenapa tidak di tempat lain? Jika Pemda Tabanan ingin agar patung Bung Karno itu terletak di jalan besar utama, kenapa tidak dipasang di patung Adipura di pertigaan Pesiapan? Untuk apa patung Adipura, sebuah monumen kebanggaan yang tak selalu diperoleh. Kalau di sini patung Bung Karno dipasang tak akan ada masalah dari sisi ritual, karena pertigaan itu bukan catus pata. Paling masalahnya adalah dari sisi “penghinaan pada Bung Karno” kok patungnya ditaruh di jalanan. Nah, dengan membongkar patung Wisnu Murti berarti ada dua penghinaan, menghina agama

Page 21: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Hindu dan menghina Bung Karno.

Tidak semua perempatan itu disebut catus pata. Yang disebut catus pata adalah perempatan di mana semua arah di sekelilingnya masuk dalam satu desa adat. Perempatan Renon atau perempatan Ubung di Denpasar bukan catus pata, karena itu boleh saja dibangun patung pahlawan. Catus pata desa adat Denpasar adalah perempatan Puputan Badung dan di situ ada patung Catur Muka. Nah apakah Bupati Tabanan dan Nyoman Nuarta yang membuat patung Bung Karno tak tahu soal ini? Nyoman Nuarta yang tinggal di Bandung mungkin sudah lama tercerabut dengan ke-Bali-annya. Coba kita tanya, menghadap ke mana patung Bung Karno itu dalam rencananya nanti? Kalau menghadap ke barat, di jalur pemisah di barat ada Padmasari tempat orang sembahyang, jadi kesannya Bung Karno itulah yang dipuja. Kalau menghadap ke timur, bebarti Bung Karno membelakangi (pantatnya) menghadap Padmasari. Jika menghadap ke selatan atau utara, tentu tak sesuai dari sisi tujuan memajang patung itu karena jalan utama timur-barat. Jadi betul-betul patung Bung Karno tak layak di sana dan kembalilan saja Wisnu Murti, bisa saja dengan versi baru karena wujud Wisnu Murti itu bermacam-macam.

Energi buruk yang lebih baru lagi adalah aksi demo dengan spanduk cap jempol darah dengan tulisan “penggal kepala Mangku P”. Ini betul-betul keblablasan. Selain kata-kata yang kasar yang tak patut diucapkan (diperlihatkan) di depan umum, cap jempol darah itu bukanlah “tradisi Hindu” dan juga bukan “tradisi Bali”. Itu aksi politik yang dilakukan di perkotaan Jawa, di luar Jawa juga jarang. Dalam tradisi Hindu di Bali, mengucurkan darah manusia itu adalah cuntaka (sebel atau leteh) sehingga apa pun perbuatan yang dilakukan saat cuntaka berarti tak suci. Itu sebabnya perempuan yang datang bulan dilarang masuk tempat suci, karena ada darah keluar dari tubuhnya. Di beberapa pura, kalau ada orang luka pada saat ngayah, orang itu harus nunas tirta ke pemangku, supaya tidak cuntaka. Bahkan dalam sastra Hindu, bukan hanya darah yang menyebabkancuntaka, juga air susu ibu. Itu sebabnya orang yang menyusui bayi tak disarankan masuk ke jeroan pura. Susu ibu dianggap ada unsur darahnya.

Nah, pertanyaannya, apakah setelah ritual “pamelepeh jagat” semua energi buruk itu akan hilang? Manusia hanya bisa berharap dan memohon, namun kekuasaan alam semesta dan kekuasan Tuhan yang akan menentukan, apa yang terjadi. Setiap selesai ritual tentu yang diharapkan kerahayuan dan itu bisa diperoleh juga dengan mengembalikan pikiran yang jernih. Kita lantas bisa mengurai kenapa peristiwa buruk bisa terjadi. Kenapa penari rangda bisa meninggal dunia ketika ditusuk keris, apakah runtutan acaranya salah. Konon keris itu sebelum dipakai menusuk rangda ditancapkan di tanah, jelas ini tak boleh.

Kenapa anak membunuh orangtuanya yang pendeta. Konon sang anak ada dalam pengaruh narkoba. Lalu kenapa anak itu dibebaskan berkeliaran dan kenapa tidak diterapi? Kenapa ada orang manjang wadah bisa jatuh, bukankah sebelumnya sudah diperingatkan karena kondisinya memang tak sehat? Kenapa orang Bali mau cap jempol darah, tidakkah itu dihasut oleh budaya luar? Jadi semuanya bisa dianalisa dengan pikiran jernih. Termasuk polemik patung Bung Karno itu, kalau memang membuat pro kontra berkepanjangan dan memecah belah masyarakat, kenapa tidak dikembalikan saja ke asalnya?

“Pamelepeh jagat” bukan saja upaya mengharmoniskan alam, tetapi mari kita jadikan upaya menjernihkan pikiran, sehingga “jagat kecil” dalam diri kita ikut bersih. (*)

Kamis,27 Februari 2014 @ 22:38

NegarawanPandita Mpu Jaya PremaAda 12 calon hakim konstitusi yang sudah mendaftarkan diri di Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka akan bersaing untuk mengisi dua kursi yang ditinggal Akil Mochtar dan Harjono. Akil kini sedang diadili dalam perkara suap, sedangkan Harjono akan segera pensiun.

Dari 12 calon hakim itu, sembilan orang adalah dosen yang mengajar di fakultas hukum, seorang pensiunan di Kementerian Hukum, seorang notaris, dan seorang lagi anggota DPR dari fraksi PPP, Dimyati Natakusumah. Gembar-gembor sebelumnya menyebutkan, ada empat anggota DPR yang akan "melamar pekerjaan" sebagai hakim MK, tiga yang tidak jadi itu adalah Benny Kabur Harman dari Fraksi Demokrat, Ahmad Yani dari Fraksi PPP, dan Taslim Chaniago dari Fraksi PAN.

Hakim konstitusi adalah negarawan, UUD 1945 menyebutkan demikian. Apakah mereka negarawan? Menarik ketika Dimyati, dalam sebuah tayangan di televisi, menyebutkan dirinya seorang negarawan. Alasannya, pernah menjadi pejabat negara, yakni bupati dua periode di Kabupaten Pandeglang dan menjadi wakil rakyat. Bagi dia, itulah negarawan, seperti halnya sastrawan adalah pengarang sastra dan dermawan adalah orang yang suka bederma.

Kalau negarawan seperti itu, camat dan lurah pun bisa disebut negarawan. Dimyati sepertinya tak bisa membedakan antara negarawan dan orang yang bekerja untuk negara. Yang terakhir ini umum disebut pegawai negeri. Padahal negarawan bisa juga tokoh yang tak pernah menjadi pegawai negeri.

Mari buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Negarawan adalah ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau

Page 22: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan.

Ada beberapa unsur di sini: ahli, taat asas, bijaksana, dan berwibawa. Beda dengan sastrawan, yang dalam kamus disebut: (1) ahli sastra dan (2) pengarang prosa dan puisi. Tak disebutkan apakah mereka harus taat asas dalam menulis puisi, apalagi dikaitkan dengan wibawa. Wartawan dalam KBBI disebut: orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita, juru warta. Apakah sudah ahli dalam jurnalistik dan punya kewibawaan? Tak dipersoalkan. Dermawan dalam KBBI disebut: pemurah hati, orang yang suka bederma. Bahkan dramawan hanya dengan dua kata: pemain drama.

Jadi, "wan" dalam negarawan tak bisa disamakan dengan "wan" dalam sastrawan, wartawan, dermawan, dramawan, maupun "wan-wan" yang lain. Rujukan para ahli bahasa yang dirangkum dalam kamus ini menjadi "bahasa kebatinan" para perumus konstitusi ketika mengamendemen (ketiga) UUD 1945 dan melahirkan Pasal 24C ayat 5 yang menyebutkan persyaratan negarawan buat hakim konstitusi itu. Negarawan hanya salah satu syarat, lainnya integritas tinggi dan tidak tercela.

Nah, apakah Dimyati Natakusumah seorang negarawan, seorang ahli dan bijaksana, serta berintegritas tinggi dan tidak tercela, sebagaimana disyaratkan konstitusi dan sebagaimana bunyi KBBI, tentu terpulang pada tim seleksi yang semuanya adalah koleganya sendiri di Senayan. Ke-11 calon lainnya baik juga mematut-matutkan diri, apa benar seorang negarawan. Masyarakat wajib mengawal seleksi ini agar MK bisa selamat untuk sementara, sebelum ada penyelamatan yang menyeluruh. *

(Diambil dari Koran Tempo Kamis 27 Februari 2014)

Minggu,23 Februari 2014 @ 10:52

Patung Bung Karno dan Dewata Nawa SangaPandita Mpu Jaya PremaHari Sabtu (22/2) yang lalu, ada dua peristiwa penting yang patut diapresiasi. Keduanya soal patung atau setidaknya berkaitan dengan patung yang sakral sekaligus monumental. Yang pertama, pagi hari, di tempat Gubernur Bali melaksanakan simakrama dengan masyarakat. Di sana maestro pelukis Nyoman Gunarsa mengusulkan agar Bali “dikunci” dengan patung Dewata Nawa Sanga untuk menjaga kesuciannya. Yang kedua, sore hari, di lokasi bekas patung Wisnu Murti di catuspata (perempatan) Kediri, Tabanan. Masyarakat sembahyang meminta kerahayuan akibat dirobohkannya patung Wisnu Murti.

Apa yang dilakukan masyarakat Kediri ini menarik sekali. Warga yang diwakili berbagai banjar adat itu berkumpul dulu di Pura Puseh. Selesai sembahyang di sana, mereka berjalan kaki menuju lokasi bekas patung Wisnu Murti yang kini sudah berdiri bantaran minimalis yang akan dipajang patung Bung Karno. Mereka tidak membawa poster, mereka pun tidak meneriakkan pernyataan setuju atau tidak setuju dengan pendirian patung Bung Karno. Mereka tidak larut dalam pro dan kontra. Mereka sama sekali “tidak berpolitik”. Warga desa ini hanya melakukan persembahyangan.

Lalu, apa yang didoakan? Mereka berdoa supaya kerahayuan yang datang, termasuk rahayu bagi mereka yang merobohkan patung itu. Warga adat ini menyerahkan urusannya pada dunia niskala. Ini adalah sikap netral kalau dilihat secara sederhana. Namun maknanya luar biasa dalam. Masyarakat pasti merasakan atau menduga akan ada dampak negatif dari perobohan patung Wisnu Murti itu, karena itulah mereka berdoa.

Sudah berbulan-bulan terjadi pro dan kontra di sana, bahkan bantaran (dasar) patung Bung Karno itu kini dipenuhi spanduk yang mendukung patung Bung Karno. Ada aksi dari LSM di Tabanan yang mendukung dan memasang spanduk itu, dan orang tahu siapa di baliknya. PHDI Bali sudah menyayangkan pendirian patung Bung Karno yang membongkar patung Wisnu Murti. PHDI Tabanan dan pemuka agama, “koh ngomong” dan tidak bersikap. Seharusnya Pemda Tabanan tahu apa makna dari sikap ini.

Persembahyangan Sabtu yang lalu semakin jelas apa yang “tidak tersirat” ketika tokoh yang memimpin persembahyangan itu menyebutkan: “semoga pengambil kebijakan di Tabanan berpikir jernih”. Apakah imbauan “berpikir jenih” ini akan dilaksanakan?

Saya sependapat dengan masyarakat Kediri. Sepakat bahwa hal ini tak usah dijadikan ribut-ribut dengan aksi demo yang hanya membuat macet dan menakutkan masyarakat sekitar. Serahkan secara niskala, baik buruk akan diterima secara niskala. Saya yakin karena patung Bung Karno ini sarat “muatan politis” maka jika jadi dipasang umurnya tak akan lama. Setelah bupati berganti, patung Bung Karno itu pasti dipindahkan ke tempat yang lebih sesuai, misalnya, di Taman Kota atau di halaman Gedung Mario. Ini tempat yang baik untuk memuliakan pahlawan bangsa, sementara di catuspata tempat baik untuk memuja kebesaran Tuhan dengan berbagai manifestasinya. Masyarakat yang berpikir jernih pasti akan mendapatkan kesucian dan mereka yang berpikir “kurang jernih” akan menerima pahala juga. Yang penting masyarakat Kediri dalam keadaan rahayu sebagaimana permohonan dalam persembahyangan itu.

Berita kedua, usul Nyoman Gunarsa untuk “mengunci” Bali dengan Dewata Nawa Sanga juga saya apresiasi. Saya sepakat

Page 23: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

seratus persen. Apalagi ide menempatkan empat patung dewa di empat penjuru angin (timur, selatan, barat dan laut) semuanya berada di pinggir pantai yang dijadikan pintu gerbang masuk ke Bali. Kecuali Pelabuhan Buleleng yang kini tak aktif lagi sebagai pintu gerbang, Pelabuhan Padangbai, Benoa dan Gilimanuk adalah pintu gerbang utama. Kesan yang ada selama ini, tak ada simbol apa pun untuk “menyambut tamu” yang datang.

Identitas Bali tak muncul di pintu gerbangnya, termasuk di Bandara Ngurah Rai. Kalau saya pulang dari Jawa, di manakah “ngaturang rarapan” sesampai di Gilimanuk? Paling di Rambut Siwi, itu pun “penyawangan” pinggir jalan. Atau kalau lewat utara di Pura Teluk Terima. Terlalu jauh. Begitu pula kalau pergi ke Jawa, untuk “mepamit” meninggalkan Bali juga di Rambut Siwi atau Teluk Terima. Penyeberangan masih jauh.

Seperti yang diusulkan  Nyoman Gunarsa, empat dewa ini prioritas utama, sebelum komplit menjadi sembilan atau sanga. Tentu di masa depan ke sembilan dewa itu harus komplit sehingga benar-benar Bali “dikunci” oleh Dewata Nawa Sanga.

Tanggapan Gubernur Mangku Pastika yang setuju ide ini namun harus dikaji lebih jauh dengan mengadakan seminar atau work shop juga penting. Pendapat tokoh agama dan para pendeta Hindu harus diminta. Karena kaitannya adalah selama ini Dewata Nawa Sanga itu sudah dipuja di berbagai pura besar, meski pun secara “duniawi” letaknya tak persis. Seperti diketahui, letak Dewata Nawa Sanga itu adalah Iswara (timur) di Pura Lempuyang, Maheswara (tenggara) di Pura Goa Lawah, Brahma (selatan) di Pura Andakasa, Rudra (barat daya) di Pura Uluwatu, Mahadewa (barat) di Pura Luhur Batukaru, Sangkara (barat laut) di Pura Puncak Mangu, Wisnu (utara) di Pura Ulundanu Batur, Sambu (timur laut) di Pura Besakih dan Siwa (tengah) di Pura Pusering Jagat.

Nah, karena pemujaan itu sudah ada di pura yang sudah ditetapkan, maka patung Dewata Nawa Sanga menurut saya lebih sebagai monumen yang pujawalinya terbatas, mirip patung sakral yang ada di catuspata. Artinya, tak perlu ada ngenteg linggih, piodalan besar dan sebagainya. Jadi yang ada hanya patung dewa itu, tak ada pelinggih apapun lagi, seperti umumnya sebuah kahyangan. Monumen itu akan berfungsi sebagai “pelajaran agama” sehingga ornamen masing-masing dewa dilengkapi. Misalnya, senjata para dewa, kendaraan para dewa, warna para dewa, dan sebagainya.

Kajian lebih dalam perlu dimatangkan kalau memang ada niat serius membangun monumen Dewata Nawa Sanga, termasuk di mana monumen itu dibangun. Bali memang perlu “dikunci” atau istilah lain dibentengi. Dharma Adyaksa PHDI Pusat, Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa, bahkan sudah melangkah jauh membentengi Indonesia dengan Dewata Nawa Sanga, menunjuk pura besar yang ada sebagai “stana” tempat pemujan itu. Semoga pikiran yang baik dan jernih datang dari banyak orang untuk kerahayuan bersama. (*)

Senin,17 Februari 2014 @ 01:02

Cuntaka Karena KematianPandita Mpu Jaya PremaMelalui media sosial ada umat Hindu di Sulawesi Barat yang bertanya, bagaimana sesungguhnya masalah cuntaka jika ada kematian. Siapa saja yang cuntaka, apakah batasannya keluarga  ataukah suatu wilayah. Yang jadi soal adalah komunitas umat Hindu di rantauan itu datang dari berbagai desa di Bali yang semuanya punya pengalaman yang berbeda-beda sesuai tradisi yang dibawanya dari Bali. Jadi ada banyak versi.

Memang, masalah cuntaka (disebut juga sebel dan leteh) bagi umat Hindu di Bali masih belum ada keseragaman. Terutama cuntaka dalam hal kematian. Bisa terjadi di desa adat yang berbeda, versi cuntaka juga berbeda. Di luar Bali, semestinya perbedaan bisa diatasi karena masyarakatnya majemuk dan tidak berasal dari satu desa di Bali, sehingga jangan memakai tradisi dari daerah asal tertentu. Yang dijadikan pegangan adalah Seminar Kesatuan Tafsir Aspek-Aspek Agama Hindu yang pernah dihasilkan pemuka agama di Bali.

Seminar Kesatuan Tafsir mengenai cuntaka merujuk pada Lontar Catur Cuntaka. Di sana disebutkan, cuntaka kematian hanya berlaku untuk keluarga yang kematian dan paling jauh pada tingkat mindon. Tidak ada suatu wilayah di luar pekarangan rumah duka yang menjadi “kotor” hanya karena ada kematian. Jadi, yang cuntaka (arti rohaninya adalah kotor sehingga tak boleh melakukan sesuatu) hanyalah rumah duka, tempat di mana jenazah disemayamkan dan keluarga yang meninggal sampai pada garis mindon.

Namun, tradisi di Bali begitu kuat, hasil Seminar Kesatuan Tafsir bisa tidak mempan. Jika di suatu desa masyarakatnya tak mau mengubah tradisi, maka kebiasaan masa lalu yang tak jelas rujukannya itu tetap saja dipakai. Tetapi jauh lebih banyak desa-desa adat yang sudah menyesuaikan dengan perkembangan baru yang merujuk kepada sastra agama termasuk hasil seminar itu.

Di desa saya di masa lalu, tradisi cuntaka juga begitu ketat. Setiap ada orang meninggal dunia, membatalkan piodalan di pura yang ada di desa, apakah itu pura panti, paibon, atau tri kahyangan. Dulu, penduduk yang sedikit, tidak ada masalah. Paling hanya sesekali saja piodalan batal karena cuntaka. Tetapi, dengan jumlah penduduk yang besar, melebihi seribu kepala keluarga, akan membuat masalah. Bayangkanlah kalau persiapan piodalan sudah dilakukan jauh-jauh hari, banten sudah

Page 24: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

dibuat lengkap, teruna-teruni siap untuk ngayah, ada orang meninggal dunia, lalu piodalan batal. Bukankah ini kerugian yang sangat besar?

Mengubah tradisi memang tidak mudah, perlu memberi pemahaman kepada orang-orang tua “penjaga tradisi”. Jika berhasil, dalam beberapa hal perlu ada masa transisi. Misalnya, kalau ada kematian sementara akan ada piodalan, dicarikan akal agar desa dianggap tidak cuntaka. Apa akal itu? Jenazah dikuburkan malam hari setelah matahari terbenam, pada kesempatan pertama. Tidak boleh jenazah diinapkan di rumah, tidak boleh memukul kentongan, tidak boleh ada upacara apapun di rumah duka, semua upacara dilakukan di kuburan. Dengan akal-akalan seperti ini desa tetap dianggap “bersih” (bebas dari cuntaka) karena penguburan itu disebut “memaling” (mencuri atau di luar aturan). Piodalan tetap berlangsung, hanya keluarga yang kematian saja tak boleh ke pura.

Namun, sekarang hal seperti itu pun sudah dihilangkan juga. Tak ada penguburan malam hari karena hal ini sangat merugikan keluarga yang berduka. Bagaimana kalau keluarga itu belum kumpul, masih ada yang ditunggu karena tinggal di rantauan, bukankah kesempatan untuk menyaksikan penguburan itu tidak mungkin? Akhirnya ditetapkan, penguburan seperti biasa. Piodalan pun tetap berlangsung, yang kena cuntaka dan tidak boleh ke pura hanya keluarga yang kematian. Artinya, hasil seminar kesatuan tafsir sudah dipakai.

Bahwa ada desa adat yang masih memberlakukan cuntaka dengan ketat seperti di masa lalu, itu karena sosialisasi Seminar Kesatuan Tafsir tidak dilakukan dengan baik. Jika pun ada sosialisasi, penjelasannya tidak banyak dilakukan, sehingga tak mampu mengubah pikiran para “penjaga tradisi” yang umumnya orang-orang tua. Ada sebuah desa adat di Bali yang jarang sekali melakukan piodalan, hanya karena terkena cuntaka. Jenis cuntakayang bisa membatalkan piodalan itu banyak sekali, bukan sekedar kematian, tetapi juga kelahiran. Bahkan ada yang menyebutkan, piodalan juga batal hanya karena ada anjing beranak. Bisa bertahun-tahun tak ada piodalan di pura desa itu. Cobalah lantas dibayangkan, bagaimana umat Hindu menjalankan ritual agamanya kalau dikekang dengan tradisi cuntaka seperti ini? Untuk apa pula membangun pura kalau tidak digunakan sebagai tempat bersembahyang?

Mengubah tradisi sangat pelik, karena sejumlah orang tua menganggap tradisi itu sebuah “agama”. Dengan menyebutkan “nak mula keto” (sudah begitu dari dulu) mereka agak sulit diyakinkan bahwa agama yang benar mempunyai ajaran yang baku. Kalau tradisi itu melanggar ajaran agama, ya, harus diperbaiki. Masalahnya bagaimana menunjukkan dan kemudian meyakinkan umat di lapisan bawah bahwa ada ajaran Hindu yang harus dijadikan pedoman di luar tradisi.

Saat ini masih ada mayat yang lama tak bisa dikuburkan karena ada upacara piodalan di desa. Apalagi kalau piodalan itu besar pula, misalnya, ngenteg linggih dan sebagainya. Kalau jenazah itu dikuburkan artinya cuntaka, karena masih memberlakukan sistemcuntaka berdasarkan wilayah, yaitu wilayah desa adat. Bukan dibatasi oleh wilayah rumah duka. Jadi orang yang meninggal itu tetap tak bisa dikuburkan dan dibiarkan di rumah dengan status “masih tidur”. Tidak ada upacara kematian apapun. Bagi orang yang hidup sederhana, apalagi masih serba kekurangan, jelas ini sangat berat karena harus merawat jenazah di rumah. Belum lagi faktor kesehatan jika penanganan jenazah kurang baik. Bagi orang kaya tak masalah, bahkan kalau meninggalnya di rumah sakit, sekalian menyewa tempat jenazah di rumah sakit.

Mari kita berpikir yang lebih jernih soal cuntaka kematian ini. Kalau pemuka agama Hindu sudah membuat tafsir yang menyebutkan cuntaka itu hanya terbatas pada rumah duka dan keluarga sampai garis mindon, kenapa hal itu tidak kita pakai rujukan. (*)

Minggu,16 Februari 2014 @ 00:59

Balada Pemasang BalihoPandita Mpu Jaya PremaMobil pikap itu datang lagi. Sopirnya bergegas menurunkan setumpuk bahan baliho sebagai alat peraga calon legislator. Pan Darma, yang sedang membelah bambu, menyambut dengan sigap. "Ini ada lagi empat baliho caleg, masing-masing dua puluh, terserah mau dipasang di mana," kata sang sopir.

Tak perlu lagi dialog lain. Sopir itu adalah karyawan perusahaan digital printing yang tumbuh menjamur. Mesin cetaknya bahkan ada di kota/kecamatan. Biaya cetak pun murah, hanya Rp 15 ribu per meter persegi. Spanduk dari kain yang disablon dianggap lebih mahal dan sudah kedaluwarsa. Pan Darma adalah tukang pasang baliho paling top di kampung itu. Dia punya kebun bambu.

Ratusan baliho yang telah dipasang Pan Darma memenuhi pinggir-pinggir jalan. Puluhan pula baliho yang tumbang oleh angin, tapi dia tak peduli. Kontrak kerjanya hanya membuat bentangan baliho dan memasangnya. Urusan lain-roboh oleh angin atau dirobohkan orang-ia tak peduli. Pan Darma hanya menjual jasa plus menjual bambunya.

Dia juga sering tak peduli akan wajah caleg pada baliho itu, bahkan tak memedulikan pemilu itu sendiri. Toh, Pan Darma kerap heran lantaran wajah dan slogan atau apa pun namanya yang tertulis pada baliho itu hampir seragam. "Mohon doa restu dan dukungannya", lalu ada wajah manis dengan tangan seperti mengemis. Kalau pun ada kalimat lain, semuanya gombal.

Page 25: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

"Berjuang meningkatkan kehidupan petani dan wong cilik." Puih, Pan Darma sering meludah ketika memasang bentangan bambu pada baliho itu.

Kali ini, tatkala dia membuka sebuah outdoor banner untuk mengetahui besar bentangannya, dia kaget. Wajah perempuan itu dikenalnya betul. "Ini teman SMA-ku, gobloknya selangit," ia mengumpat dalam hati. Tapi memang cewek caleg itu terkenal sebagai pemain drama gong, dan ketika drama tak laku lagi, dia menjadi penari "joged binal", yang hanya bisa mengangguk-angguk. "Betul dia populer, tapi bisa apa? Saya lebih pantas jadi wakil rakyat, tapi saya tak punya uang dan tentu saja karena saya orang waras."

Pan Darma sering menonton televisi yang mengumbar caleg artis. Yang ia ingat adalah Angel Lelga dan Camel Petir, keduanya penyanyi. Pan Darma pun bertanya, kalau mereka betul menjadi wakil rakyat bersama penari joged goblok ini, seperti apa wajah Tanah Air? Dia tak bisa membayangkan, bagaimana wakil rakyat seperti itu akan memilih hakim agung, gubernur bank sentral, duta besar, Ketua KPK, dan seterusnya?

Seperti ada yang menyuruh, Pan Darma membuka bahan baliho dari ikatan yang lain. "Ya ampun, dia jadi caleg?" Cetakan digital itu sempat dibantingnya. Dia tahu lelaki itu. Penjudi sabung ayam dan makelar togel. Memang lelaki itu dekat dengan pejabat. Entah ia berkuliah di mana, tiba-tiba pada balihonya ada gelar S.Sos.

Tiba-tiba ada rasa menyesal pada diri Pan Darma, kenapa dia mau menjadi tukang pasang baliho kalau yang dipajang itu orang-orang tak layak semua? Ia seperti mengkampanyekan orang-orang buruk. Pasti masih ada caleg yang baik, tapi mereka enggan memasang baliho, atau bisa jadi tak punya biaya. Bagaimana masyarakat memilih caleg yang baik kalau mereka tidak dikenal. Balihonya tak ada, televisi dan koran tak memajang wajah mereka yang tak kuat beriklan. Tapi Pan Darma tak mau pula disalahkan. "Kalau saya salah, pemilik televisi lebih salah lagi. Kenapa caleg seperti itu dipamer-pamerkan?" Dia cuma membatin.

(Diambil dari Koran Tempo Selasa 11 Februari 2014)

Senin,10 Februari 2014 @ 07:11

Wartawan adalah Pendeta Minus RitualPandita Mpu Jaya Prema(Tulisan Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda berikut ini untuk menyambut Hari Pers Nasional, 9 Februari 2014 dan dibukukan dalam kumpulan tulisan oleh PWI Bali). 

Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), sebelum adanya berbagai organisasi wartawan di luar PWI, dalam Pasal 1 berbunyi: “Wartawan Indonesia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, taat kepada Undang-Undang Dasar Negara RI, kesatria, menjunjung harkat, martabat manusia dan lingkungannya, mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara, serta terpercaya dalam mengembang profesinya.”

Ketika era reformasi dan tumbuh berbagai organisasi wartawan yang memang diperbolehkan oleh undang-undang, dirumuskan kembali KEJ yang berlaku untuk seluruh wartawan, baik anggota PWI maupun bukan. Sebanyak 29 organisasi wartawan berkumpul di Jakarta pada 14 Maret 2006 dan berhasil merumuskan KEJ untuk wartawan Indonesia. Secara eksplisit tak ada dikaitkan dengan “iman dan taqwa” kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun jiwanya tetap sama. Bahkan dalam pengantar ada disebutkan: “Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.”

Jadi, wartawan Indonesia sangat menghormati norma-norma agama. Bahkan, kalau saya telusuri KEJ baik versi PWI maupun versi gabungan organisasi wartawan, lalu dikaitkan dengan “etika seorang pendeta” atau lazim disebut “sesana kawikon “ hampir tak ada bedanya. Semuanya mengabdi untuk kepentingan bangsa dan umat, punya tanggungjawab sosial, dan untuk mencerdaskan. Coba saya urai lebih jauh.

Kriteria kompetensi seorang pendeta adalah empat hal utama, yakni (1) Sang Satya Wedi, (2) Sang Apta, (3) Sang Pathirtan, dan (4) Sang Panadahan Upadesa. Keempat kompetensi ini dipertegas pula dalam kitab Sarasamuccaya Sloka 40.

Sang Satya Wedi adalah seorang pendeta senantiasa mewartakan ajaran tentang kebenaran dengan cara yang baik dan bertanggungjawab. Satya artinya kebenaran, Wedi artinya mengatakan. Bukankah wartawan sama seperti itu, tak boleh memberitakan sesuatu yang bohong? KEJ PWI Pasal 3 menyebutkan “Wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan, memutar balik fakta, bersifat fitnah, cabul serta sensional.” Sementara KEJ organisasi wartawan dalam Pasal 1 sudah menyebutkan:  “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.”

Sang Apta artinya orang yang dapat dipercaya. Untuk memiliki kepercayaan itu seorang pendeta harus punya moralitas dan

Page 26: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

kepribadian yang luhur. Wartawan pun begitu. Pasal 2 KEJ menyebutkan “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.” Kerja professional itu membutuhkan dan menjaga kepercayaan. Sekali wartawan dan media di mana wartawan itu bekerja menyia-nyiakan kepercayaan ini, misalnya, menulis berita bohong, maka pembaca akan meninggalkannya. Sulit untuk menumbuhkan kembali kepercayaan yang hilang. Karena itu dalam berbagai kode etik, kerja professional dan membuat berita yang jujur serta berimbang sangat penting. Sama dengan pendeta, sekali berbohong atau perilakunya (sesana) menyimpang maka kepercayaan umat akan luntur.

Sang Pathirtan artinya seorang pendeta berfungsi untuk tempat umat memohon kesucian. Kesucian yang dimaksudkan bukan sekedar membuat thirta suci, tetapi yang lebih utama adalah menuntun umat untuk menempuh hidup suci yang tak tercela. Intinya adalah mendidik umat dan mencerdaskan. Ini sejalan dengan tugas wartawan yang juga berfungsi mencerdaskan masyarakat. Dalam bahasa jurnalistik sering disebutkan, pers (termasuk wartawan sebagai penggeraknya) selalu harus selangkah di depan. Artinya, wartawan itu harus lebih dulu tahu apa yang diinginkan masyarakat. Namanya saja menjual informasi, tentulah tak ada wartawan yang ketinggalam informasi dibandingkan masyarakat yang membaca produknya. Wartawan dituntut cerdas dan terus-menerus mengasah kecerdasannya agar bisa ‘menuntun” masyarakat yang membaca medianya. Kalau ada media yang tak memberikan ilmu atau informasi baru, sudah pasti akan ditinggalkan pembaca.

Yang terakhir Sang Penadahan Upadesa. Yang dimaksud adalah pendeta itu memiliki swadharma memberikan pendidikan moral atau kesusilaan agar masyarakat hidup harmonis dengan moral yang luhur. Semua KEJ wartawan menempatkan masalah moralitas sebagai hal yang penting untuk dijaga. Diatur dengan ketat bagaimana memberitakan kasus-kasus asusila dan korban pemerkosaan. Pasal 4 KEJ jelas menyebut: “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.” Pasal 3 KEJ PWI yang sudah dikutip di atas, tak membenarkan ada berita bersifat fitnah, cabul serta sensional.

Seperti halnya pendeta, wartawan juga tak boleh mengadu-domba masyarakat dengan pemberitaannya. Pendeta bisa lahir dari berbagai klan (di Bali disebut soroh), tetapi setelah menjadi pendeta maka dia tak boleh membeda-bedakan umat berdasar klan. Pendeta milik seluruh umat. Wartawan pun begitu. Ada yang bekerja di berbagai media, tetapi tak boleh mementingkan medianya sendiri dalam hal memberitakan suatu kebenaran. Semuanya harus berdasarkan fakta.

Maka tak berlebihan kalau saya menyebutkan, wartawan yang taat mematuhi kode etik jurnalistik dan bekerja secara professional sebenarnya adalah pendeta minus ritual. Artinya, fungsi dan tugasnya dalam masyarakat sejalan, hanya saja wartawan tak bisa menyelesaikan urusan ritual keagamaan. Semoga renungan ini ada manfaatnya.

*) Penulis adalah pendeta Hindu. Nama walaka Putu Setia, pernah Pengurus PWI Jakarta, kini Redaktur Senior Tempo Media Grup, Wartawan Utama Dewan Pers No. 086-WU/DP/V/2011.

Senin,10 Februari 2014 @ 01:42

Wayang Sakral yang MeranaPandita Mpu Jaya PremaPekan ini, di mulai hari Minggu kemarin, masyarakat Hindu di Bali mengenalnya denganWuku Wayang. Orang yang lahir pada wuku ini pada umumnya melakukan upacarapengelukatan atau istilah lebih umum ruwatan. Sarana yang digunakan adalah wayang kulit, apakah itu dengan pementasan atau pun dengan memohon (nunas) tirtha kepada dalang. Tetapi untuk yang lahir persis hari Sabtu Kliwon atau Tumpek Wayang, sekali dalam hidupnya harus diruwat dengan pementasan wayang sapuh leger.

Nanti kita akan membahas wayang sapuh leger itu. Sekarang kita membahas soal wayang kulit sakral yang sangat memprihatinkan di Bali. Boleh disebutkan bahwa wayang sakral di Bali sedang merana.

Kesenian wayang di Nusantara awalnya adalah seni sakral. Masyarakat Indonesia di masa lalu, mementaskan wayang bukan untuk hiburan, tetapi untuk pelengkap upacara keagamaan. Apalagi jelas-jelas disebutkan dalam kalender Bali dan Jawa, ada wuku yang bernama wayang. Ini adalah rentetan hari selama seminggu untuk menyelenggarakan upacara dengan inti memohon tirtha suci dari perantaraan wayang kulit, dipentaskan atau tidak.

Kesakralan seni wayang pun masih membekas di luar Bali. Pada masyarakat Sunda, baik di Jawa Barat maupun di Banten, pertunjukan wayang golek masih dipakai pada upacara “panen laut”. Wayang golek dipentaskan semalam suntuk dan di pagi hari sesaji yang ada di pentas, dibawa para nelayan ke tengah laut. Kalau di Bali mirip melasti dan mulang pekelem.

Masyarakat Jawa, apa pun agamanya, seringkali mementaskan wayang kulit untuk ruwatan bumi maupun ruwatan orang. Pementasan wayang pun bisa semalam suntuk. Belakangan ruwat-meruwat ini bertambah menjadi “ruwatan politik”. Misalnya, dipentaskan wayang kulit pada hari ulang tahun partai politik. Sebelum acara dimulai, seorang tokoh partai yang menyelenggarakan hajatan itu memberikan sebuah wayang kepada Ki Dalang sebagai pertanda pertunjukan bisa dilanjutkan.

Dengan doa apa Ki Dalang di Jawa meruwat? Tentu dengan doa-doa yang disesuaikan dengan Ki Dalang dan orang yang diruwat. Umumnya memakai doa-doa dalam Islam, meski pun banyak orang di Bali yang meyakini bahwa wayang kulit itu

Page 27: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

adalah budaya Hindu. Yang jelas, selain doa sesuai agama Ki Dalang, juga diselipkan banyak pencerahan rohani, kenapa seseorang harus diruwat.

Di Bali kesakralan wayang kulit tak cuma berhubungan dengan ruwatan orang, juga pada upacara lain seperti Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, maupun Dewa Yadnya. Lakon-lakon yang dipentaskan pada Manusa Yadnya dan Dewa Yadnya, misalnya, pencarian air suci. Apakah itu mengambil cerita Dewa Ruci saat Bima mencari air suci di laut, atau versi lain yang banyak ada, terserah sang dalang. Lakon dalam Pitra Yadnya seringkali dalam urusan “pergi ke sorga”, apakah lakon Bimaswarga (Bima ke sorga) atau lainnya. Dulu yang terkenal malah lakon “Cupak ke Sorga”. Nah, semua tirtha yang dicari dalam lakon itu kemudian oleh sang dalang dijadikan tirtha yang akan dipersembahkan kepada orang yang diruwat atau untuk pelengkap tirtha lainnya.

Selain itu juga ada yang disebut wayang lemah. Lemah di sini dalam bahasa Bali artinya siang hari. Panggung tidak memakai kelir, hanya berisi tiga baris benang. Jadi panggung terbuka lebar. Pementasan ini pun bisa untuk upacara apa saja, perkawinan, ngaben, maupun di pura.

Dahulu, pementasan wayang sakral ini dilakukan sang dalang sambil mengupas makna dan filosofi dari kesakralan pertunjukan itu. Jika menyangkut Manusa Yadnya, yang banyak dikupas adalah masalah budi pekerti. Jika pertunjukan untuk Pitra Yadnya, sang dalang mengupas inti dari yadnya itu. Kupasan bisa melebar, tak hanya melulu penjelasan tentang ritual tetapi juga pencerahan agama. Ki Dalang berfungsi sebagai guru, tokoh agama, pendharma wacana, dan penonton memposisikan diri sebagai murid dan orang yang haus pelajaran agama.

Itu dulu. Sekarang, situasi sudah sangat berbeda. Hiburan begitu banyak berseliweran, ada televisi dan video yang canggih-canggih. Pedesaan juga gemerlap, listrik ada di mana-mana. Pertunjukan wayang kulit pun hingar-bingar dengan pengeras suara. Tapi, yang menonton pentas wayang tak ada. Wayang lemah tak ada yang menonton, orang sibuk dengan upacara, sementara yang tak ikut menjalankan upacara, juga mondar-mandir. Jadi yang asyik cuma dalang, pembantu dalang dan penabuh gender.

Pertunjukan wayang kulit Bali, yang mengiringi upacara yadnya, tidak lagi ditonton orang. Pergelaran wayang kulit yang masih ditonton adalah pergelaran nonsakral, yang dipenuhi banyolan-banyolan. Itu pun saat ini bisa dihitung dengan jari dengan yang paling top Dalang Cenk Blonk (Wayan Nardayana) dari Belayu. Pementasan tak lagi semalam suntuk, cukup dua setengah jam. Dan cerita sama sekali tak ada kaitannya dengan yadnya, bahkan tak ada penekanannya dengan ephos Mahabharata atau pun Ramayana. Yang utama kritik sosial yang dibungkus banyolan.

Kenapa wayang kulit di Jawa tetap ditonton sampai pagi? Karena antara ritual (ruwatan) dan hiburan dijadikan satu. Mereka yang diruwat, meski hanya mendengarkan petuah-petuah tentang kebajikan sambil mengantuk duduk di kursinya, tak ingin meninggalkan pertunjukan itu. Apalagi pada saat jam-jam mengantuk tiba, dalang memunculkan goro-goro yaitu adegan lelucon dan juga penuh sindiran yang dimainkan para punakawan. Di Bali, pertunjukan wayang antara banyolan dan serius tak ada batas, kapan pun bisa.

Nah, kenapa kita tidak kembali menghormati wayang sakral? Kalau pun kita tak tertarik dengan jalan cerita atau cara dalang menyampaikannya (ini berarti dalangnya kurang diminati), minimal kita berikan mereka tempat terhormat. Jangan mondar-mandir di depan panggung wayang lemah. Cara menghormati yang lain adalah jangan mekidung ataupesantian pada saat pementasan wayang lemah. Kalau ada seni sakral lainnya yang dipentaskan juga, lakukan giliran. Jadi, antara wayang lemah dan topeng Sidakarya, misalnya, bergantian pentasnya. Jangan sampai di sini wayang lemah, di situ topeng Sidakarya, di sana lagi kelompok pesantian asyik menembang. Hiruk pikuk tak karuan. Lagi pula, kalau wayang sakral itu memang tak ditonton, tak diperhatikan, hanya sebagai pelengkap, untuk apa mementaskan wayang sakral? Bawa saja banten ke rumah sang dalang dan nunas tirtha di sana. Biaya pun hemat. Kalau kita sendiri tak menghargai seni sakral kita, siapa lagi yang menghargainya. (*)

Sabtu,08 Februari 2014 @ 01:38

Pergantian Hari Menurut WarigaPandita Mpu Jaya PremaTernyata banyak sekali umat Hindu di Bali yang belum paham benar, kapankah hari berganti menurut perhitungan wariga. Jika hal ini belum dipahami benar dan terjadi kesalah-pahaman, maka kaitannya adalah wetonan seorang anak. Seperti umum diketahui, anak-anak Bali yang beragama Hindu sejak lahir sampai dewasa, masalah ritual pribadinya selalu dikaitkan dengan wariga. Hari ulang tahun boleh saja dirayakan, namun wetonan adalah wajib untuk diperingati dengan ritual keagamaan.

Yang dimaksudkan dengan wariga itu adalah wewaran, dari eka wara sampai dasa wara. Lalu wewaran ini dikaitkan dengan wuku yang berjumlah tiga puluh itu. Tidak ada kaitan dengan sasih, karena sasih mengikuti kalender Saka, tahun berdasarkan peredaran bulan.

Hari berganti menurut wariga yang digunakan di Bali adalah pagi hari sebelum matahari terbit. Umumnya secara gampang

Page 28: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

disebutkan pukul 06.00 pagi waktu setempat, namun kalau ingin lebih cermat sebaiknya mengikuti terbitnya matahari. Seperti halnya Puja Trisandhya yang untuk gampangnya ditetapkan setiap pukul 06.00 pagi, pukul 12.00 siang dan pukul 18.00 sore, sesungguhnya itu sering tidak tepat. Misalnya, aat ini di mana kedudukan matahari berada di selatan katulistiwa, pukul 18.00 sore matahari masih nampak di barat, jadi sesungguhnya belum sandyakala. Tetapi karena dianggap rumit untuk menyesuaikan dengan tenggelamnya matahari, Puja Trisandya pun tetap berkumandang di televisi pada pukul 18.00. Itu bedanya dengan azan magrib bagi umat Islam yang selalu menyesuaikan dengan kedudukan matahari.

Nah, hari berganti menurut wariga adalah pagi hari setelah matahari terbit. Dan itu terus berlangsung sampai esok harinya ketika matahari terbit kembali. Jadi malam hari itu adalah milik hari sebelumnya. Dengan demikian, kalau ada anak yang lahir lewat tengah malam, misalnya pukul 03.00 sampai mendekati pukul 06.00 dini hari, anak itu weton-nya mengikuti hari kemarin. Bukan mengikuti hari yang akan datang sebagaimana perhitungan tahun Masehi. Ini yang sering tidak diketahui.

Akibat kesalah-pahaman dalam menentukan pergantian hari menurut wariga ini, banyak yang salah weton (salah hari otonan). Ini mempengaruhi “watak sang anak” karena setiap hari ada peruntungannya dan ada pantangannya. Apalagi kalau terjadi beda wuku, misalnya, anak yang lahir hari Minggu dini hari menurut kalender Masehi, seharusnya adalah milik hari Sabtu menurut wariga. Antara Sabtu dan Minggu sudah beda wuku. Perwatakan wuku sangat beda, pengaruhnya pun besar.

Saya berikan contoh yang akan berakibat luas. Misalnya, hari ini, Sabtu 8 Februari 2014,wuku Ugu. Jika ada bayi yang lahir lewat tengah malam nanti, misalnya, pukul 03.00 atau pukul 05.00, maka weton-nya tetap Sabtu (Saniscara) Pon Wuku Ugu. Bukan mengikuti hari Minggu (Redite) Wage Wuku Wayang. Kalau salah menentukan pergantian hari karena terpengaruh tahun Masehi, dan anak itu ditetapkan weton Minggu Wage Wuku Wayang, maka anak itu harus dibuatkan upacara “pengelukatan wayang” dengan runtutan penubahan Wayang Sapu Leger. Padahal seharusnya itu tak terjadi.

Bagaimana kalau terlanjur salah weton? Ini sering terjadi dan umumnya kalau keluarganya menyadari kesalahan itu, pada saat weton-nya diadakan “perubahan weton”. Dan ini banyak dilakukan, upacaranya juga tidak jelimet, hanya menambah beberapa sesajen.

Masalah hari ulang tahun, tentu mengikuti tahun Masehi, karena ulang tahun tidak berdasarkan wariga (tak memakai hari dan wuku), tetapi memakai tanggal. Kalau anak itu lahir seperti contoh di atas, ulang tahunnya tetap saja 9 Februari, karena pergantian Tahun Masehi adalah pukul 00.00 tengah malam.

Pergantian hari itu berbeda-beda menurut kalender. Pergantian hari  Tahun Masehi pada saat tengah malam, pukul 00.00. Sedang Tahun Hijrah yang digunakan umat Islam (dan sekarang diikuiti pula oleh Tahun Jawa), pergantian harinya dimulai magrib pada hari tersebut. Jadi, malam hari ini setelah magrib adalah milik hari esoknya. Karena itu umat Islam, misalnya, menyebut “malam Jumat” itu adalah hari Kamis malam yang biasa dikenal di Bali.

Semoga tidak ada lagi yang salah menentukan weton anaknya jika lahir menjelang dini hari. (*)

Senin,03 Februari 2014 @ 01:35

Bencana Sekitar KitaPandita Mpu Jaya PremaIBU pertiwi sedang dilanda bencana. Gunung Sinabung di Sumatra Utara tak berhenti-hentinya meletus dan bahkan kembali memakan korban. Banjir hampir merata di sepanjang pulau Jawa, dari kota besar seperti Jakarta sampai ke pelosok-pelosok desa, dari ujung barat ke ujung timur. Lalu lintas tersendat, dan itu dampaknya bisa dilihat di Bali, jalan utama Gilimanuk – Denpasar yang biasanya dipenuhi truck besar dari Jawa, jadi sepi. Jalan pun lancar, tak ada truck yang mogok atau terguling.

Tapi itu bukan berkah buat Bali. Bagaimana pun bencana juga mengintip Bali. Ada banyak tanah longsor di Kabupaten Buleleng, juga memakan korban. Begitu pula di Kabupaten Tabanan, terutama di daerah pegunungan. Sejumlah pohon roboh ditumbangkan angin kencang. Bahkan ada bangunan suci di pura yang rusak karena tertimpa pohon. Sedangkan di pesisir pantai, sampah berserakan dibawa arus laut. Bencana ada di mana-mana, di sekitar kita.

Dalam pergerakan sasih di Bali para tetua memang menyebut kan, memasuki Sasih Kewulu ini akan terjadi banyak masalah. Angin begitu kencang dan hujan pun pada puncaknya. Semua harus waspada dan berhati-hati. Gubernur Bali Made Mangku Pastika juga sudah meminta saran dalam sebuah konsultasi dengan para sulinggih di Bali, bagaimana supaya kita bersama-sama mendoakan Bali selamat dari musibah ini. Ada yang menyarankan untuk membuat semacam ritual yang akan mengharmoniskan alam. Tentu saja sebuah usulan yang bagus, meski pun mengharmoniskan alam juga bisa dilakukan dengan pekerjaan nyata.

Mengharmoniskan alam dengan ritual, apakah itu dalam bentuk caru yang paling kecil sampai tawur yang amat besar, boleh saja dilakukan. Namun bagaimana kalau kita rajin memeriksa apakah alam kita ini masih sehat atau sudah sakit. Kita harus rajin pula memeriksa apakah pohon besar di dalam pura atau sekitar pura, sudah tua dan lapuk atau masih segar. Betul bahwa semua yang ada dan tumbuh di dalam pura dikatagorikan sakral, apalagi pohon beringin yang sudah berusia ratusan tahun.

Page 29: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Tetapi kita pun juga harus tahu bahwa pohon punya roh. Sesuatu yang punya roh memiliki siklus hidup, tumbuh dan mati yang dalam bahasa agama disebut utpeti, stiti. pralina. Kalau pohon sudah pada siklus mau mati atau mendekati masa pralina, sebaiknya dipangkas saja. Jika perlu ditebang. Kalau tidak resikonya tumbang pada saat kita lengah dan menimpa bangunan pelinggih. Biaya memperbaiki pelinggih dan upacara ritualnya jauh lebih besar dari menumbangkan pohon yang sudah mendekati pralina itu.

Umat Hindu punya ajaran yang sangat bagus dalam memelihara alam ini. Salah satunya adalah ajaran Tri Hita Karana, harmonis dalam tiga komponen. Harmonis dengan Tuhan, harmonis dengan sesama makluk hidup, dan harmonis dengan alam. Karena itu mari kita tetap menjaga kesehatan alam dan tidak merusak ekosistem alam.

Pohon punya roh, kalau dia ditebang di hutan maka kekuatan akarnya menahan air tak ada lagi. Tanah jadi labil, maka longsor yang terjadi. Karena itu mari bersama-sama mengawasi hutan lindung, karena dalam hutan lindung yang lebat, air hujan ditahan oleh akar-akar pohon di dalam tanah. Tanah tahu kapan air yang disimpannya itu akan dikeluarkan dalam bentuk mata air.

Air dari mata air akan memberi kehidupan besar pada umat manusia. Air itu bisa saja disimpan lebih dulu di danau untuk kemudian dialirkan lewat sungai, menjadi harapan petani untuk bercocok tanam dan segala keperluan hidup manusia lainnya. Air yang tak dimanfaatkan manusia, terus mengalir lewat sungai menuju laut dan di sana mereka berkumpul dengan seluruh air dari  segala penjuru. Alam sudah mengatur semua ini dengan cermat.

Tetapi manusia yang tidak bersahabat dengan alam, yang mengingkari ajaran Tri Hita Karana, merusak aturan yang sudah dirancang Sang Semesta ini. Sungai banyak yang dirusak sempadannya. Tebing-tebing sungai sudah dijadikan rumah mewah atau villa yang disewakan. Sungai jadi tercemar oleh limbah buangan air kotor, dan juga jadi tempat pembuangan sampah. Pinggiran sungai yang seharusnya dijaga oleh pohon sehingga tanah masih menyimpan air, kini tidak lagi. Karena pinggiran sungai sudah kena beton untuk berbagai bangunan. Jika air besar maka tak ada lagi tanah yang menyerap, semuanya bablas.

Celakanya, di daerah pemukiman, resapan air juga berkurang karena begitu banyaknya tanah yang disumbat oleh bangunan. Jadinya, air tak menemukan jalan ke “rumahnya” di laut. Air itu tersesat karena jalannya sudah dihambat manusia. Bagaimana tidak banjir di sejumlah pemukiman dan di kota-kota?

Kembali ke ajaran Tri Hita Karana adalah sesuatu yang mutlak. Bersahabat dan harmonis dengan alam adalah memelihara alam itu sendiri sehingga semua makhluk diuntungkan. Manusia memang harus harmonis dengan sesama manusia, tetapi itu baru satu point dari Tri Hita Karana. Harmonis dengan alam dan sekaligus harmonis dengan pencipta alam yakni Tuhan itu sendiri, adalah kesempurnaan mempraktekkan ajaran Tri Hita Karana.

Sekarang banyak hotel, restoran dan sarana pariwisata diberi hadiah sebagai pengemban ajaran Tri Hita Karana. Tetapi sejauh mana mereka benar-benar menjaga keharmonisan dengan alam? Barangkali cuma di lingkungannya saja, tetapi iklan-iklan promosinya di alam terbuka, merusak alam. Begitu pula para caleg partai yang akan bertarung di Pemilu 2014 ini. Banyak yang berkoar-koar mensejahtrakan rakyat, menjaga alam Bali, melestarikan Bali dengan bahasa yang muluk-muluk. Tapi lihat baliho dan spanduk yang mereka pasang, sebagian besar melanggar dan merusak alam. Ini bisa menjadi bencana kalau baliho yang besar itu roboh dan menimpa orang di jalan. Kejadian itu sudah pernah ada.

Sejatinya, bencana di sekitar kita ini juga karena kita sendiri yang membuatnya. Jutaan atau milyaran uang habis untuk upacara tawur mengharmoniskan alam, jika kita sendiri sebagai manusia pelaku tak harmonis dan malah merusak alam, maka ritual itu akan mubazir. Mari kita selalu berdoa supaya terhindar dari bencana, tetapi mari kita juga menoleh apa yang sudah kita laksanakan untuk mencegah bencana ini. (*)

Senin,27 Januari 2014 @ 01:27

Awig-Awig yang BersinergiPandita Mpu Jaya PremaMenarik sekali untuk dibahas dan sekaligus dicarikan jalan keluarnya dengan adanya “gesekan” antara dinamika masyarakat Bali saat ini yang dikaitkan dengan problema adat. Terjadinya “gesekan” itu dikemukakan secara tersirat oleh praktisi pariwisata Bagus Sudibya dalam koran ini, terbitan Selasa pekan lalu (21/1) dengan judul: “Awig-Awig Harus Bersinergi dengan Dinamika Budaya Masyarakat.”

Saya garis bawahi kata-kata “awig-awig harus bersinergi”. Seharusnya memang masyarakat Bali modern ini punya awig-awig yang bersinergi dengan kemajuan zaman. Awig-awig saat ini kebanyakan warisan masa lalu di mana masyarakat Bali hidup di era agraris. Pada masa itu kebersamaan, termasuk semangat gotong royong, sangat tinggi di pedesaan karena warganya punya pekerjaan yang sama yaitu petani. Masyarakat petani ini secara bersama bisa menentukan lewat lembaga adat, kapan harus piodalan, kapan harus gotong royong, bagaimana harus melakukan simakrama dan me-nyabra braya.

Sekarang, meski pertanian masih ada, masyarakat punya pekerjaan yang majemuk. Banyak yang mencari penghidupan di luar

Page 30: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

desanya, terutama setelah terjadi ledakan ekonomi yang begitu dasyat dari perkembangan pariwisata. Waktu luang yang sama tidak lagi berdasarkan musim tanam atau musim petik buah kopi, misalnya. Bagaimana bisa melakukan kerja adat (sering disebut nyayah) yang harus diikuiti oleh seluruh warga, kalau ada yang bekerja di luar desa menjadi pegawai atau pekerja di sektor pariwisata? Bahkan di lingkungan warga yang tetap tinggal di desa, hal itu juga sulit dilakukan. Karena meski pun tinggal di desa, jenis pekerjaannya tidak sama. Ada yang berdagang keliling, ada yang jadi ojek motor, ada yang berburuh bangunan, dan sebagainya.

Intinya adalah lebih sulit melakukan pekerjaan bersama (ngayah). Nah, kalau dalam awig-awig absennya ngayah adat itu disertai denda, tentu memberatkan warga yang tidak tinggal di desa. Kalau harus pulang, seperti yang dikatakan Bagus Sudibya, akan membuat warga itu meninggalkan pekerjaannya di kantor atau di sektor pariwisata. Apalagi kalau awig-awig itu begitu ketat, misalnya, absen sekian kali ngayah, tak cukup bayar denda tapi juga kena “hukum kesepekang”.

Bagaimana mensinergikan awig-awig dengan dinamika masyarakat saat ini? Tentu ada banyak sekali hal yang bisa disinergikan. Saya hanya menyebut contoh-contoh kecil saja. Di desa saya saat ini, ngayah adat itu bisa dikurangi dengan cara membagi pekerjaan ke rumah masing-masing. Misalnya ada piodalan. Tentu sudah ada patokan bantennya. Nah, itu dibagi, siapa yang membuat banten ini, siapa yang membuat banten itu, lalu dikumpulkan pada waktunya. Orang yang dapat bagian, bisa mengerjakannya di rumah, entah dikerjakannya malam hari, atau bahkan membeli. Ornamen banten saat ini, dari daksina sampai alat caru, banyak yang menjual. Dengan demikian, ibu-ibu yang di masa lalu berhari-hari ngayah adat membuat banten, sekarang paling hanya ngayah saat “metanding” saja.

Demikian pula yang laki-laki. Pekerjaan dibagi, siapa membuat kelakat, siapa membuatsanggah cucuk, tusukan sate, dan sebagainya. Pada hari tertentu tinggal dikumpulkan. Yang bekerja di luar desa kalau dapat bagian itu, bisa membelinya di Desa Kapal, misalnya. Jadi, tidak harus meninggalkan pekerjaan di hotel untuk pulang hanya untuk membuat tusukan sate.

Demikian pula di luar ngayah, misalnya, pesuka-dukaan. Dalam praktek di masa lalu (ada desa adat yang memasukkannya dalam awig-awig, ada yang tidak), setiap ada orang yang meninggal dunia, warga adat wajib datang. Pagi membuat sarana untuk menguburkan jenazah (kalau tidak langsung ada upacara pitra yadnya), siang mengantar ke kuburan. Itu masih mending kalau ada hari baik menguburkan jenazah, jadi cukup izin satu hari. Kalau ada kala gotongan, semut sedulur dan sebagainya, di mana jenazah tak bisa hari itu dikubur, warga yang di luar desa bisa izin lebih dari sehari.

Apa solusinya? Kewajiban itu tak dibatasi waktu. Alat penguburan dibuat keluarga inti yang meninggal. Di wilayah perkotaan, ada diatur pembuatan sarana itu dilakukan mulai pukul 06.00 pagi, sehingga selesai pukul 08.00. Jadi warga masih bisa ke kantor. Mengantar ke kuburan cukup seadanya. Warga yang sulit dapat izin atau bolos, tak usah ikut ke kuburan. Nah, wujud pesuka-dukaan tetap berjalan dengan cara warga yang kerja kantoran datang sore hari atau di malam hari untuk melayat. Bahkan suasana ini bisa lebih khusyuk karena tak perlu tergesa-gesa dan “bawaan” pun bisa lebih berharga.

Tentu banyak contoh lain. Sinergi itu harus diputuskan bersama dengan saling menghormati profesi orang lain. Dalam mengupayakan sinergi itu, kebersamaan tetap harus dijaga. Intinya adalah jangan sampai warga kena “hukum kesepekang”, karena sistem ngayah adat sekarang ini terbuka untuk direvisi dan masalah pesuka-dukaan akan menemukan format baru yang sesuai dengan zaman.

Satu hal yang perlu diingatkan lagi adalah awig-awig itu bukanlah sesuatu yang sakral. Ada anggapan di banyak orang, karena awig-awig itu disahkan dengan ritual pasupati dan dihadiri pejabat pemerintah dan majelis adat, lantas disebutkan sakral dan berlaku ketat seterusnya, tak bisa lagi dirombak. Tidak begitu. Awig-awig itu buatan manusia, seperti pula Undang Undang Dasar 1945. Bukankah UUD 45 sudah empat kali diperbaiki atau diamandemen?

Sebagaimana halnya undang-undang, peraturan daerah dan sebagainya, awig-awig pun dibuat untuk ketentraman dan kenyamanan bersama. Maka tak ada awig-awig yang membelenggu warganya dan membuat perpecahan di desa adat. Bagaimana kita bisa menghukum warga adat, padahal pendatang yang datang dari luar Bali, tak dikenakan awig-awig padahal mereka juga tinggal di wilayah desa adat. Marilah kita selalu sinergikan awig-awig dengan perkembangan zaman, karena kita tak tahu lagi apa yang akan terjadi di masa mendatang. (*) 

Senin,13 Januari 2014 @ 02:57

Antisipasi Caleg GilaPandita Mpu Jaya Prema(Pengantar: Kadangkala, pada saat menulis Cari Angin untuk Koran Tempo, saya selalu mengawali dengan "asal tulis". Jadinya panjang. Tulisan panjang itulah saya edit untuk disesuaikan dengan kolom Cari Angin. Proses editing bisa berubah di sana sini. Dan ini tulisan yang awal, yang panjang itu. Bandingkan dengan yang dimuat untuk Cari Angin, di postingan sebelumnya).

Pemilu semakin dekat. Banyak orang yang sibuk. Komisi Pemilihan Umum sibuk. Partai politik lebih sibuk lagi. Para caleg luar biasa sibuknya. Dia harus kampanye, membuat baliho, mengunjungi desa-desa membuat pertemuan dan menebar janji-janji. Dan satu lagi instansi yang ikut sibuk adalah pengelola Rumah Sakit Jiwa. Di berbagai kota di Jawa dan Sumatra, rumah sakit jiwa mulai berbenah untuk menambah pasien mengantisipasi lonjakan setelah pemilu. Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur,

Page 31: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Surabaya, misalnya menyiapkan 300 tempat tidur dan 10 kamar paviliun untuk menampung pasien gila setelah pemilu.

Siapa yang bakal gila? Ya, tak lain adalah para calon legislatif yang gagal memperoleh suara. Berdasarkan pengalaman pemilu 2004 dan 2009, caleg yang gila itu terus bertambah jumlahnya. Mereka tiba-tiba shock setelah gagal menjadi anggota dewan, apalagi setelah mengeluarkan uang yang begitu banyak. Para caleg tersebut telanjur berutang banyak dan berharap bisa ditebus ketika sudah menjadi anggota dewan. Atau, sudah kadung menjual semua harta bendanya. ''Kami sudah mengantisipasi. Pengalaman yang sudah-sudah menunjukkan hal itu,'' kata Direktur Utama RSJ Menur Surabaya dr Adi Wirachjanto.

Apakah RSJ Bangli sudah menyiapkan hal serupa mengantisipasi caleg gila? Saya kira perlu antisipasi hal ini. Jika tidak dan lonjakan caleg gila banyak sementara daya tampung tak cukup, berbahaya sekali orang gila ini gentayangan di masyarakat. Caleg-caleg di Bali seperti bertaruh untuk menjadi anggota dewan. Mereka mengharap uang itu akan kembali setelah menjadi anggota dewan. Tentu bukan mengandalkan gaji belaka. Bisa dari bermain-main dana proyek, termasuk mempermainkan bansos (bantuan sosial) yang seharusnya diterima utuh oleh masyarakat, tapi dia potong dengan alasan telah memperjuangkannya.

Seorang ayah yang anak perempuannya menjadi caleg untuk DPRD Kabupaten mendatangi saya. Dia konsultasi, apakah anaknya harus bertarung menjadi caleg atau pasrah saja. Lo, kalau sudah menjadi caleg, kenapa harus pasrah? Sang ayah menceritakan, anaknya itu perempuan yang sangat polos, pergaulannya biasa-biasa saja, tak pernah menjadi pengurus organisasi apapun, dan pengalamannya hanya pernah menjadi pegawai koperasi. Karena dia tamatan SMA dan memenuhi syarat menjadi caleg, dia dipinang oleh partai untuk memenuhi persyaratan 30 persen wakil perempuan. Dia bersedia dan mendapat nomor urut 5 untuk daerah pemilihan (dapil) yang mencakup dua kecamatan.

Tadinya anak itu diam saja karena memang tak berminat menjadi anggota DPRD, apalagi merasa tak mampu. Macam apa pekerjaan itu sama sekali tak terbayangkan oleh dia. Namun, beberapa teman anak itu tiba-tiba “memanas-manasi” dan siap menjadi tim sukses. Ada yang siap membuatkan baliho sampai memasangnya. Ada yang janji mencarikan calon pemilih. Anak itu tiba-tiba kepingin serius bertarung. Dia minta uang kepada orangtuanya dengan memaksa. Sang ayah mengaku sudah mencari uang dengan berbagai cara, termasuk menjual sebagian kebun kopi. Terkumpul uang Rp 400 juta. “Apakah modal sebanyak itu cukup?” Tanya ayah caleg dadakan itu.

Saya katakan terus terang, uang itu tak cukup, dan akan habis percuma. Persoalannya bukan cuma uang, tetapi anak itu belum bergaul dengan masyarakat, bagaimana mau menjadi anggota Dewan? Jangankan bersaing dengan caleg partai lain, dengan caleg di partainya sendiri saja tak akan bisa. Pemilu sistem sekarang ini adalah bertarung dengan sesama caleg di partai, kemudian baru bertarung dengan caleg di partai lain. Ayah anak itu kaget mendengar saran saya. “Kalau uang Rp 400 juta itu habis percuma dan anak saya tak bisa jadi anggota dewan, bukan saja dia yang gila. Saya ikut gila. Uang itu besar sekali buat keluarga saya,” kata sang ayah.

Saya pun setuju uang itu besar. Lebih baik untuk modal berdagang, mumpung sudah terlanjur jual kebun kopi. Tak usah mimpi jadi anggota dewan. Orang-orang yang menyebut mau menjadi tim sukses itu hanya cari untung. Sekarang banyak tim sukses yang untung, apalagi mereka hanya mau bekerja jika dibayar lebih dulu. Di kampung saya, banyak orang yang menjual jasa dari memasang baliho. Selain ada upah memasang, mereka juga menjual bambu. Tak heran, mereka selalu “ngompori” caleg untuk pasang baliho. Tapi tak berarti mereka simpatisan partai, kalau balihonya jatuh, ya, dibiarkan saja. Tim sukses dan tukang pasang baliho ini tak peduli apakah caleg itu gagal atau sukses.

Di Bali ada sesonggan (pepatah) yang berbunyi: “buke ngae baju, sikutang di deweke”, artinya, jika membuat baju ukur di tubuh sendiri. Maksudnya, ukur diri sendiri sebelum memilih pekerjaan tertentu. Atau sering kali juga disebut, cobalah bercermin apakah pantas memegang jabatan yang diimpikan itu. Para caleg ini harus bercermin atau mengukur dirinya, apa memang pantas menjadi anggota dewan? Termasuk pula calon anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah), apa memang pantas memegang jabatan itu?

Di internet para caleg dan calon DPD banyak yang sudah kampanye. Mereka menebar visi dan misi dan kata-kata yang diumbar adalah: “mensejahtrakan rakyat Bali, mengajegkan Bali, memperjuangkan umat Hindu” dan seterusnya. Kalimat-kalimat yang jelas jiplakan atau mungkin dibuat oleh orang lain. Saya sendiri heran, apakah para caleg itu sadar apa yang ditulisnya? Atau jangan-jangan mereka sendiri juga tak paham.

Menjadi anggota dewan itu berat, kalau bekerja dengan serius. Mereka harus paham ilmu tata negara, suka membaca, suka berdebat, mengetahui seluk-beluk permasalahan bangsa, dan seterusnya. Ngomong di rapat banjar saja belepotan, bagaimana menjadi anggota dewan? Struktur bahasa dan runtutan omongan harus jelas. Tak bisa mengandalkan uang, dan bahkan juga keterkenalan. Seorang artis atau pelawak menjadi anggota DPD, bisa berbuat apa di Jakarta, berhadapan dengan politisi yang terlatih? Akhirnya hanya diam dan masyarakat rugi memilihnya.

Caleg dan calon anggota DPD sekarang ini kebanyakan tipe orang yang “tak bisa mengukur diri”. Maka jalan pintaslah yang ditempuh, yakni menebar duit untuk menjaring suara. Harapannya, setelah terpilih ia bisa memainkan segala proyek agar modalnya kembali, padahal dia tak tahu pengawasan sekarang ketat. Bermain dana bansos bisa-bisa masuk penjara. Itu bagi yang terpilih. Kalau yang tak terpilih, ya, bisa stress dan akhirnya menjadi penghuni Rumah Sakit Jiwa. Masyarakat juga harus sadar, janganlah memilih sembarangan, yang tak bisa berbuat apa-apa untuk rakyat Bali, yang hanya memperbanyak orang gila. (*) 

Page 32: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Senin,06 Januari 2014 @ 02:49

Bhineka Tunggal IkaPandita Mpu Jaya PremaKITA sudah memasuki tahun politik 2014. Pemilihan umum yang memilih anggota legislatif segera digelar, dan jadwalnya 9 April nanti. Lalu disusul pemilihan umum untuk memilih Presiden di bulan Juli. Itu kalau sesuai dengan jadwal karena saat ini undang-undang mengenai pemilu diuji oleh Mahkamah Konstitusi atas gugatan Yusril Ihza Mahendra. Kalau gugatan itu dipenuhi MK, bisa jadi pemilu diadakan serempak dan bisa jadi mundur dari tanggal 9 April.

Apa pun yang terjadi, itu hanya soal jadwal. Pemilu sekarang ini menjadi penting karena nasib bangsa akan dipertaruhkan, akan dibawa ke mana negeri ini. Dan siapa orang-orang yang akan duduk di parlemen maupun siapa yang akan mengendalikan negeri ini menjadi presiden. Apakah mereka masih punya semangat nasionalisme atau hanya mementingkan kelompok sendiri? Apakah mereka toleran terhadap perbedaan ataukah diterpa angin intoleransi, sebagaimana benih-benihnya telah bertebaran saat ini?

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan berkeping-keping jika keberagaman dan perbedaan tidak diakomodasi dengan baik. Kita sudah sejak lama mengenal sesanti Bhineka Tunggal Ika. Sesanti itu tertulis di antara dua kaki Burung Garuda yang menjadi lambang negara. Ini sudah menjadi simbol negara. Jika ada burung garuda tanpa ada tulisan itu, tak ada gunanya dipajang di kantor-kantor resmi.

Kenapa Bhineka Tunggal Ika itu dijadikan sesanti oleh para pendiri bangsa ini? Bagaimana kisahnya? Banyak generasi muda yang tidak tahu. Seorang calon legislatif pernah saya tanya, apa dia tahu kenapa slogan atau sesanti bangsa ini Bhineka Tunggal Ika. Dia tak bisa menjawab. Agak memalukan memang, padahal sebagai orang Bali semestinya dia tahu. Minimal pernah mendengar. Karena sesanti ini ada pada Kekawin Sutasoma.

Kekawin Sutasoma menceritakan petualangan spiritual Sutasoma sebelum dan sesudah menjadi Raja Hastina. Bagian yang paling menarik memang saat munculnya sesanti Bhineka Tunggal Ika itu. Prabu Sutasoma siap untuk dijadikan korban santapan Bethara Kala sebagai pengganti dari 100 raja yang sudah ditangkap oleh raja raksasa Porusada. Raja Porusada ini memang membayar kaul mengorbankan 100 raja kepada Bethara Kala jika kakinya sembuh dari penyakit yang aneh.

Prabu Sutasoma ikhlas mengorbankan dirinya, tapi dia meminta satu hal. Yakni, “nanging ana pamintaku, uripana sahananing ratu kabeh.” Artinya: “tapi ada permohonanku, hidupkanlah para raja itu semuanya”. Sutasoma mau dijadikan korban santapan raksasa Porusada, asal 100 raja yang sudah terlebih dahulu dibunuh, dihidupkan kembali.

Pengorbanan diri Sutasoma ini menyentuh hati Bethara Siwa yang menitis pada Porusada. Siwa kemudian meninggalkan tubuh Porusada dan kembali ke kahyangan. Sutasoma pun gagal menjadi santapan Porusada, sementara 100 raja yang sudah dibunuh hidup kembali dan dilepaskan untuk pulang ke kerajaannya. Ke seratus raja ini mengembangkan gaya kepemimpinan yang berbeda, memimpin masyarakat yang juga berbeda-beda, bahkan masing-masing raja menganut keyakinan (aliran atau sekte) yang berbeda. Namun tujuannya adalah satu, untuk kebenaran. Mpu Tantular, pengarang kisah Sutasoma ini  menulis kata-kata bertuah: Mangka Jinatwa lawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa.

Berbeda-beda tetapi tunggal tujuan, menegakkan dharma, menegakkan kebenaran, mensejahtrakan rakyat. Kata-kata ini mengusik hati Muhammad Yamin, dalam sidang persiapan kemerdekaan Indonesia. Ia lalu mengusulkan kepada Bung Karno agar kata ini dijadikan lambang persatuan Indonesia. Soekarno terhenyak dan dia setuju. Agar orang-orang tahu bagaimana “saktinya” kata Bhineka Tunggal Ika itu, Soekarno lalu meminta Dalang Granyam dari Sukawati untuk mementaskan “wayang Sutasoma” agar para tokoh bangsa lebih jelas menangkap makna dari sesanti ini. Dan sejarah pun mengukir, sesanti itu akhirnya menjadi simbol kenegaraan.

Karya sastra Sutasoma akhirnya begitu populer di tanah air, termasuk di Bali. Ahli sastra Bali, I Gusti Bagus Sugriwa, berjasa mempopulerkan Sutasoma dengan membuat Kekawin Sutasoma. Kepopuleran Sutasoma kemudian menyebar melewati batas sastra. Ia muncul dalam lakon wayang kulit, sendratari, lukisan di atas kanvas, lukisan yang menghias Bale Kambang di Klungkung, dan pergelaran tari.

Namun Mpu Tantular tidak begitu populer di Bali, padahal beliau bisa dikatakan sebagai leluhur orang Bali. Ayahnya adalah Mpu Bahula, putra Mpu Baradah. Ibu Mpu Tantular adalah Ratna Manggali putri tunggal Mpu Kuturan.  Mpu Tantular menu-runkan Danghyang Siddhimantra, Danghyang Panawasikan, Danghyang Kepakisan, dan Danghyang Smaranatha. Danghyang Smaranatha menurunkan Danghyang Nirarta dan Danghyang Angsoka.

Kenapa Mpu Tantular tidak sepopuler kakeknya di Bali? Atau kalah populer dengan cucu-cucunya di Bali? Karena dia tak pernah menetap lama di Bali dan tidak mewariskan tempat peninggalan suci atau pura. Pernah ada ide untuk mendirikan perguruan tinggi swasta di Bali dengan nama Mpu Tantular, tetapi tidak jadi. Yang berdiri justru di Jakarta, ada Universitas Mpu Tantular. Museum Mpu Tantular dibangun di Kota Surabaya, berdiri di atas gedung di Jalan Taman Mayangkara 6, Surabaya. Meski museum itu merana dan sepi pengunjung, tetapi di situ tersimpan peninggalan Mpu Tantular dalam bentuk karya sastra.

Orang Bali lebih tahu tentang “karya” dibandingkan “sang pencipta”. Mpu Tantular boleh jadi kurang dikenal di Bali, tetapi kisah Sutasoma begitu populernya. Tari oleg Tamulilingan begitu populer, tetapi Ketut Mario yang menciptakannya tidak dikenal

Page 33: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

orang. Lukisan wayang Kamasan juga populer, tetapi siapa yang melukisnya tidak dikenal. Pernahkah orang Bali merenung sejenak, siapa yang menciptakan dramatari arja, gambuh, topeng dan sebagainya?

Terlepas dari semua itu, slogan Bhineka Tunggal Ika haruslah terus dihidupkan oleh wakil-wakil Bali, apakah dia akan duduk di DPR, DPD atau tokoh-tokoh publik lainnya. Pertanda bangsa ini mulai rapuh kebhinekaannya terlihat dari banyaknya intoleransi. Misalnya, dilarang mengucapkan selamat hari raya untuk agama yang bukan dipeluk, dilarang merayakan tahun baru Masehi padahal penanggalan resmi yang dipakai adalah tahun Masehi, pemaksaan idiom agama tertentu di wilayah mayoritas beragama lain seperti Hotel Syariah di Kuta, misalnya. Banyak contoh lain.

Namun, semangat mengumandangkan terus sesanti Bhineka Tunggal Ika harus pula tahu sejarah lahirnya sesanti itu, seperti yang teruari di atas. Agar tak dicap, bisa mengatakan tapi tak tahu kisahnya. (*)

Senin,30 Desember 2013 @ 03:20

Pohon Obat yang LangkaPandita Mpu Jaya PremaSAMPAI di ujung tahun 2013 ini, masyarakat Bali masih sibuk dengan masalah lingkungan. Tetapi yang banyak dipersoalkan soal lingkungan hidup di pantai. Soal menanam dan memelihara hutan bakau di pantai, terutama di Bali Selatan. Belum lagi soal reklamasi Teluk Benoa yang tak habis-habisnya menjadi pro dan kontra. Orang lupa bahwa kekayaan Bali tak cuma pantainya yang indah, tetapi juga alam di pedesaan termasuk hutannya. Siapa yang peduli pada hutan Bali ini? Dan juga yang penting, siapa yang peduli pada hutan yang dihasilkan tanah Bali?

     Padahal tanah Bali ini harus dipelihara dari pantai sampai ke gunung. Justru di gunung perhatian harus lebih serius, karena ritual agama Hindu yang ada di Bali lebih berkaitan dengan gunung termasuk hasil hutannya. Kalau kita membaca purana-purana mengenai tanah Bali, maka kita mendapatkan gambaran tentang tanah yang begitu asri yang sangat dijaga para leluhur. Pantai, sungai, tebing dan hutan, semua mempesona. Di situlah para leluhur Bali mendirikan tempat suci.

Begitu kaya alam Bali. Di hutan-hutan di pegunungan, berbagai tanaman ada. Kekayaan alam inilah yang dipersembahkan dalam ritual keagamaan di pura. Konsep leluhur orang Bali di masa lalu adalah, tempat suci di Bali harus didukung oleh alam indah dan sarana persembahyangan yang datang dari alam Bali sendiri. Kalau mau dikaitkan dengan Weda, persembahkanlah hasil kekayaan alam sekitar dalam setiap pemujaan.

Sayangnya, kini manusia Bali sudah berubah, melupakan warisan leluhurnya dan sudah menyimpang jauh dari purana yang ada. Janur (busung) sudah datang dari Banyuwangi dan Situbondo, demikian pula bunga, ayam, itik dan telur. Buah bertruck-truck datang dari luar Bali termasuk dari luar negeri seperti Amerika, Cina, Thailand dan sebagainya. Sotong, juwet, belimbing, jeruk Bali, sudah kalah gengsi dengan buah peer dari Cina, apel dari Amerika dan sebagainya.

Padahal, tanaman khas Bali yang dipelihara para leluhur orang Bali di masa lalu, bukan saja untuk persembahan di pura, juga untuk sarana mengobati orang sakit. Antara tanaman yang tumbuh di tanah Bali dan penyakit yang diderita orang Bali, klop. Keahlian orang Bali dalam meracik hasil-hasil alam ini memunculkan apa yang disebut dengan Usada Bali, sebuah ilmu pengobatan penyakit dari bahan alam. Memang, ilmu semacam ini bukan hanya ada di Bali, di berbagai belahan bumi juga ada. Tapi yang pasti, ilmu ini (Usada Bali) kini terbilang merosot pengikutnya dibandingkan yang dipraktekkan di India maupun Cina. Bahkan dunia kedokteran moderen sudah mengakui keunggulan ini sehingga banyak obat-obatan dan suplemen kesehatan yang memakai racikan dari alam. Herbal, begitulah istilah populernya.

Seberapa besarkah kekayaan alam Bali yang menyimpan berbagai tanaman yang bisa dijadikan bahan obat? Syahdan, di masa lalu, Mpu Kuturan melakukan semadhi di kuburan. Beliau melakukan semadhi karena hampir putus asa setelah tidak berhasil mengobati orang sakit. Sebelumnya, selain mengajarkan agama dan menata kehidupan sosial orang Bali, Mpu Kuturan selalu berhasil menyembuhkan orang sakit. Kali ini tidak, untuk itulah ia melakukan semadhi agar mendapatkan ”pewisik”.

Karena laku semadhinya yang kuat, ”pewisik” (bisikan gaib) diperoleh. Pohon kepuh yang ada di kuburan tiba-tiba bisa bicara dan bertanya pada Mpu Kuturan: ”Ilmu apa yang ingin Mpu dapatkan?” Setelah Mpu Kuturan menjelaskan maksudnya, pohon kepuh berkata: ”Saya, pohon kepuh, memang tidak bisa dipakai menyembuhkan orang sakit, itu sebabnya saya lebih banyak menghuni kuburan. Tetapi, pohon-pohon yang lain, bisa dijadikan obat. Nanti pohon itu akan datang menjelaskan kegunaannya.”

Demikianlah, akhirnya satu persatu pohon datang di depan Mpu Kuturan sambil menjelaskan kegunaannya. Begitu banyak pohon yang mengandung obat, jumlahnya ada 202 buah. Kisah ini dikutip dari lontar Taru Premana yang menggunakan bahasa Jawa Kuno (Kawi). Meski pun uraian dalam lontar sering tidak logis untuk zaman moderen ini, namun intisari dari apa yang ditulis lontar ini sangat tepat. Dalam terapi pengobatan Usada Bali, khasiat tanaman yang mengandung obat ini diakui kebenarannya. Bahkan dalam brosur-brosur suplemen herbal yang banyak datang dari luar negeri, khasiat tanaman ini jelas-

Page 34: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

jelas disebutkan.

Masalahnya, apakah tanah Bali saat ini masih menyimpan 202 ”pohon obat” itu? Kalau saja separohnya ada, mungkin masih lumayan. Lagi pula yang perlu dipertanyakan, kalau pun ”pohon obat” itu masih ada, masih sempatkah orang Bali membuat racikan dari bahan pohon itu? Pertanyaan ini masih bisa diteruskan, misalnya, kalau pun racikan itu masih ada yang membuat, apakah orang Bali sekarang masih sreg berobat secara tradisional, sementara Puskesmas sudah ada di desa-desa? Ini masalah besar, karena perilaku orang Bali saat ini sudah ”moderen keblablasan”. Pada saat negara-negara maju kembali ke alam dan kembali menggunakan obat-obatan dari alam (herbal) karena effek samping yang jarang, orang Bali melupakan Usada Bali yang dulu sangat populer itu.

Di masa Orde Baru, ada gerakan ”menanam tanaman obat” di pekarangan rumah yang dilakukan oleh PKK. Istilah yang dipakai saat itu adalah membuat ”apotek hidup”. Yang ditanam, misalnya, jahe, kunyit, sirih, kumis kucing, kemanggi dan sebagainya. Namun gerakan ini hilang. Mungkin orang Bali sudah berpikir ”maju”, untuk apa lagi membuat ”apotek hidup” toh obat-obatan sudah banyak gratis di Puskesmas.

Ironisnya adalah ”pohon obat” khas Bali itu kini juga sulit didapat. Jeruk Bali sudah menghilang dari Bali, namun dipelihara dengan baik di Sukabumi, Jawa Barat. Daun jeruk Bali ini bisa diracik dengan menambah cuka untuk mengobati penyakit reumatik. Pohon juwet, sudah langka di Bali. Padahal babakan (kulit) pohon ini bisa ditumbuk halus untuk mengobati penyakit kelamin. Pohon jambu Bali (sotong), memang masih banyak ada dan orang Bali pun tahu kalau buah sotong ini bisa dijadikan obat diare. Tetapi berapa banyak yang tahu kalau daun sotong muda ini jika ditambah dengan ketumbar dan digiling halus, bisa dipakai obat jerawat?

Sekarang memang ada gerakan kembali memelihara tanaman obat (usada), tapi lebih banyak dilakukan oleh kalangan industri. Sudah mulai muncul obat-obatan khas alam Bali, baik berupa boreh  maupun berbentuk cairan. Tapi keterlibatan masyarakat belum nampak, apalagi keterlibatan aktivis lingkungan hidup. Mereka masih asyik dengan proyek-proyek yang berkaitan dengan dunia wisata sehingga alam Bali yang mereka klaim untuk dipelihara hanyalah yang berkaitan dengan investor. Mereka lupa kalau hutan dan pohon yang berkhasiat untuk obat sudah mulai langka di Bali. (*)

Kamis,26 Desember 2013 @ 03:14

Kebersamaan NatalPandita Mpu Jaya PremaRitual Natal sudah berlalu. Yang tersisa adalah rangkaian perayaannya yang lebih bersifat silaturahmi. Tentu tak ada kata terlambat untuk mengucapkan "Selamat Hari Raya Natal" kepada umat Nasrani, semoga bumi ini semakin damai dan persaudaraan tetap abadi.

Mengucapkan selamat Natal bagi saya tak ada masalah. Saya menyampaikan selamat kepada orang lain, bukan kepada diri sendiri. Artinya, yang khusyuk dengan ritual Natal itu orang lain. Saya hanya berdoa agar mereka selamat dalam menunaikan ibadah itu, tanpa ikut ritualnya. Bukankah sangat wajar dalam pergaulan modern? Saya sebut pergaulan modern karena, saya amati di desa-desa, ucapan formal begini tak penting amat. Yang suka formal itu gubernur, bupati, ketua DPRD, dan seterusnya, dengan memasang iklan di media massa. Sekarang, pada saat menjelang pemilu, para calon legislator pun mengobral ucapan selamat itu di spanduk-spanduk sambil memajang tampang mereka.

Di pedesaan, jika penduduknya beragam keyakinan, ada silaturahmi yang sangat menonjolkan kearifan lokal. Di Bali, misalnya, di desa yang penduduknya beragam agama, perayaan hari keagamaan apa pun seperti dimiliki oleh seluruh warga. Sehari menjelang Natal, umat Kristiani mengantar makanan kepada pemeluk Hindu. Tradisi ini disebut "ngejot", arti sesungguhnya adalah "membawa oleh-oleh makanan ke tetangga". Pada hari menjelang Galungan, umat Hindu yang "ngejot" ke pemeluk Kristen atau Katolik. Tradisi "ngejot" antara umat Nasrani dan Hindu lebih semarak lantaran tak mengharamkan daging babi, dan jenis masakan pun hampir sama. Tak berarti di kalangan umat muslim Bali diharamkan "ngejot" atau menerimanya. Warga muslim di Kepaon (Denpasar), Pegayaman (Buleleng), dan Melaya (Bali Barat), yang komunitasnya berbudaya Bali, melestarikan juga tradisi "ngejot" ini dengan makanan yang disesuaikan ajaran agamanya.

Yang ingin saya katakan adalah budaya itu tetap bisa lestari sesuai dengan warisan leluhur meski agama atau keyakinan berbeda-beda. Umat Kristiani di Bali pergi ke gereja yang berukir ornamen Bali, datang dengan berkain adat Bali lengkap dengan destarnya. Tentu saja, karena mereka orang Bali. Dan pakaian adat plus destar itu bukanlah "pakaian agama tertentu", itu budaya lokal. Tak ada "pakaian Hindu". Umat Hindu Jawa tak memakai destar jika sembahyang, apalagi umat Hindu Kaharingan atau etnis India.

Sebaliknya, dengan menghormati budaya lokal, banyak pejabat yang datang ke Bali mengenakan pakaian adat Bali, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang gambarnya banyak terpajang di baliho sekarang ini. Tak ada yang menyebut Presiden Yudhoyono mengenakan "pakaian Hindu" dan saya yakin keimanan Presiden tak sedikit pun ternoda oleh kekhasan budaya lokal ini.

Page 35: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Budaya Nusantara begitu beragam, indah nan mempesona. Budaya yang datang dari luar memang tak bisa dibendung dalam era global ini. Budaya Timur Tengah atau budaya India, misalnya, boleh saja diimpor dan beradaptasi dengan budaya lokal. Tapi, memaksakan budaya itu untuk dipakai dengan dalih bahwa dari negeri itulah asal muasal agama dan turunnya kitab suci agaknya berlebihan. Ajaran agama harga mati untuk pengikutnya, tapi budaya lokal yang tak bertentangan dengan ajaran agama tentu berhak dilestarikan.

Dengan tetap melanggengkan budaya lokal sembari memberikan kebebasan umat dalam memeluk keyakinan, hari-hari raya keagamaan seperti milik bersama. Dan itulah yang terasa pada setiap Natal di Tanah Air ini, khususnya di Bali, ada kebersamaan pada hari yang kudus itu, sebagaimana kebersamaan pada Idul Fitri dan hari raya Hindu

(Diambil dari Koran Tempo Kamis 26 Desember 2013)

Senin,23 Desember 2013 @ 03:12

Asap Rokok di PuraPandita Mpu Jaya PremaBARU-BARU ini di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar sejumlah orang ditangkap karena merokok di lingkungan rumah sakit. Mereka tak sekedar diberi peringatan, tetapi sudah mulai didenda. Orang yang kena denda itu kaget, karena mereka tidak tahu ada peraturan yang sudah memberikan denda bagi siapa saja yang merokok di tempat umum.

Larangan merokok di rumah sakit sudah sejak lama. Bahkan ada atau tidak ada larangan merokok, rumah sakit seharusnya seteril dari asap rokok. Tetapi sudah umum para penunggu pasien mengepulkan asap rokok di lorong-lorong zal. Apalagi kalau sudah berada di taman sekitar zal-zal, hampir semua lelaki merokok. Hanya di ruang VIP saja larangan merokok itu diperhatikan pengunjung dan keluarga pasien.

Larangan merokok di tempat umum sudah dijadikan Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi Bali sejak 2011. Peraturan Daerah ini melarang orang merokok di tempat umum seperti rumah sakit, sekolah, perkantoran, terminal, termasuk di tempat ibadah. Meski Peraturan Daerah ini disahkan DPRD Bali tahun 2011 namun baru diberlakukan dendanya pada bulan Juni 2012. Alasannya adalah sosialisasi karena ada unsur pidananya. Tapi apa yang terjadi di lapangan? Perda ini seperti macam ompong. Baru awal bulan ini terdengar ada sanksi buat pelanggar larangan merokok di RSUP Sanglah. Di tempat lain tak pernah terdengar. Di tempat umum seperti terminal, apalagi pura, pelanggaran seperti hal yang biasa.  Tak ada pengawasan untuk menegakkan peraturan ini.

Apalagi di pura-pura yang letaknya di pegunungan, di mana udara dingin membuat orang banyak merokok, Perda itu sudah sama sekali tak berlaku. Beberapa orang bahkan menyebutkan, lebih baik tidak datang bersembahyang ke pura kalau dilarang merokok. Apakah ini karena masih “belum terbiasa” atau karena umat kurang terlatih mengekang dirinya? Bisa kedua-duanya.

Di daerah lain Perda larangan merokok sudah lama ada dan pengawasan ketat. Apalagi di Jakarta, semua tempat ibadah termasuk pura tak boleh ada orang merokok. Bahkan sebelum ada Perda larangan merokok ini, di Pura Aditya Jaya Rawamangun tidak ada yang merokok di Jaba Tengah, apalagi di jeroan. Padahal tidak ada tulisan “Dilarang Merokok” namun umat tertib untuk tidak merokok. Mereka tahu dari berbagai dharmawacana, asap yang ada di dalam pura hanyalah asap dupa dan asap pengasepan di hadapan Pinandita atau Sulinggih. Jangan lagi ada asap lain, apalagi asap rokok. Nah, setelah adanya Perda, maka larangan merokok ini secara otomatis berlaku di seluruh kawasan pura termasuk di Jaba Pura sebagai areal milik umum.

Di Bali, jangankan umat sebagai pemedek, para pemangku pun saat menunggu atau selesai nganteb banten, biasanya merokok. Ini dilakukan di mana saja di wilayah pura itu, termasuk di piasan (balai pewedan). Apalagi pura yang terletak di pegunungan, dengan alasan dingin, sebagian besar umat Hindu merokok di dalam pura.

Dalam kitab Weda memang tidak ada larangan merokok. Bahkan kata rokok itu sendiri juga tak pernah ditemukan.  Namun ada dijumpai kata-kata yang menyebutkan bahwa asap mengepul dari tempat-tempat persembahyangan, dan asap itu datangnya dari api yadnya (dipa dan dupa), tidak dari yang lainnya. Artinya, tidak diperbolehkan ada asap lain yang menyertai asap dari api pemujaan. Di India semua tempat ibadah Hindu tidak memperbolehkan orang merokok. Begitu pula di ashram-ashram. Ashram Gandhi yang didirikan almarhum Ibu Gedong Bagoes Oka di Candi Dasa, Karangasem, termasuk yang ketat menjalankan tradisi dilarang merokok, sejak memasuki ashram itu di pekarangan. “Kalau kalian terbiasa merokok, cobalah tahan beberapa jam saja keinginan merokok itu selama di ashram ini,” begitu Ibu Gedong biasanya menegor tamunya yang kecanduan rokok. Di pasraman saya tak bisa ketat seperti itu, orang masih merokok di halaman. Kecuali di merajan dan di aula di mana saya menerima tamu sehari-hari. Tapi kalau ada acara seperti diskusi atau penataran di aula, orang pun merokok, sudah capek melarang. Saya yang mengalah. Sulinggih memang seharusnya pantang merokok, namun dijumpai satu dua – memang tidak banyak – sulinggih yang ternyata merokok, tetapi bukan saat melaksanakan yadnya.

Tidak merokok termasuk pengendalian diri. Kalau demikian halnya, apakah tidak mungkin dipikirkan oleh pemuka agama Hindu, bagaimana supaya umat tidak merokok selama berada di pura. Ini selain untuk menegakkan Perda yang sudah dibuat,

Page 36: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

juga untuk menjaga kesucian pura itu sendiri dari asap yang bukan dari sarana yadnya.

Umat haruslah diberi penyadaran bahwa asap yang bukan dari dipa dan dupa di dalam pura, fungsinya hanya mengotori kesucian pura. Namun, kalau memang tak bisa dilarang secara drastis sebagaimana bunyi Perda, saya usulkan secara bertahap dan juga kawasan yang betul-betul steril dari asap rokok. Misalnya hanya di jeroan (mandala utama) saja yang tak boleh merokok. Toh waktunya tidak lama di jeroan. Di Jaba Tengah (mandala madya) dibolehkan. Kalau tidak tahan ingin merokok, termasuk Jro Mangku, keluar dulu ke jaba, merokoklah di sana. Setelah selesai merokok masuk lagi ke jeroan.

Kalau jeroan itu luas dan larangan merokok tak bisa dilakukan dengan ketat, orang yang duduk di piasan atau balai pewedan sama sekali tidak boleh merokok. Ini sudah harga mati. Kalau umat dan apalagi pemangku masih merokok selama duduk di piasan, itu pertanda mereka tidak bisa mengendalikan indriya-nya. Kalau mengendalikan indriya saja tak bisa, bagaimana mengendalikan pikiran dan hal-hal lain sebagaimana yang diatur dalam sesana kepemangkuan? Nah, nanti kalau sudah terbiasa tidak merokok di jeroan, barulah ditingkatkan tidak boleh merokok di Jaba Tengah. Itu pun dengan catatan, jika saat muspa (biasanya dengan panca sembah) ada pemedek yang muspa dari Jaba Tengah, rokok harus dimatikan. Ingat, sebagaimana dicantumkan dalam Weda, dalam pemujaan jangan sampai ada asap lain selain dipa dan dupa.

Sudah saatnya kita memperbaiki sikap memuja dan apa-apa yang tidak boleh dilakukan. Termasuk untuk tidak merokok di kawasan tempat suci. Seharusnya umat mulai menyadari pengendalian diri ini, apalagi pemerintah ikut campur mengatur masalah kesucian asap di pura ini dengan melahirkan Perda larangan merokok. Mari kita patuhi dan pemerintah seharusnya mulai ketat menjalankan Perda ini. Untuk apa Perda dilahirkan kalau tidak dilaksanakan. (*)

Senin,16 Desember 2013 @ 03:05

Kiprah Wanita BaliPandita Mpu Jaya PremaBALIHO caleg sudah bertebaran di jalan-jalan, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Banyak caleg wanita yang menghiasi jalanan itu. Mereka memamerkan senyumnya yang manis, hampir pasti foto-foto itu dibuat setelah pulang dari salon kecantikan. Mereka minta doa restu untuk berkiprah di dunia politik sambil mencakupkan tangan minta dikasihani. Semoga saja mereka benar-benar berjuang untuk Bali dan mengangkat martabat wanita Bali. Bukan sekadar jadi obyek partai untuk memenuhi syarat 30 persen wanita dalam daftar calon legislatif.

     Wanita Bali sejak dulu kala dikenal gigih, ulet, pekerja keras, dan menghormati martabat keluarga. Itu sisi positifnya. Namun, dari sisi lain, wanita Bali terkenal pula pasrah menerima keadaan buruk, tidak mendapatkan penghargaan yang wajar, bahkan warisan pun tidak ia terima. Lebih sedih lagi, masih ada anggapan lahir sebagai wanita adalah lahir sebagai manusia kelas dua. Kelas satu adalah para lelaki. Kalau dana pendidikan keluarga tidak cukup, anak wanita tidak disekolahkan, atau terpaksa berhenti bersekolah. Untuk apa bersekolah, toh setelah besar diambil orang lain, begitu sering diucapkan orang desa di masa lalu.

      Keuletan wanita Bali sudah digambarkan oleh para pelukis asing sebelum masa kemerdekaan. Dan citra ini tak bisa lepas sampai sekarang, lantaran buku-buku tentang Bali di luar negeri kebanyakan masih mengacu ke buku yang ditulis para pelukis itu. Atau ditulis oleh penulis asing dengan ilustrasi dari pelukis yang juga orang asing.

Kita melihat, misalnya, bagaimana wanita Bali mengusung kayu bakar yang berat, atau menjunjung periuk tanah berisi air, sementara lelaki Bali asyik dengan ayam aduannya. Gambaran lain, wanita Bali berkutat dengan begitu banyak sesajen yang rumit, sementara lelaki Bali duduk bengong bersandar di tembok meniup seruling. Ini gambaran dalam lukisandi masa lalu. Adapun dalam cerita, dengan gamblang disebutkan bagaimana wanita Bali sangat rajin melaksanakan ritual keagamaan ke pura, sementara lelaki Bali tetap dengan ayam aduannya. Ketika istrinya pulang dari sembahyang, lelaki Bali itu dengan sikap tanpa bersalah meminta air suci (tirtha) yang dibawa istrinya untuk diminum.Si lelaki jarang bersembahyang.

Tentu saja ini gambaran lama. Tetapi, citra buruk ini sama sekali tak pernah dianggap noda oleh orang Bali. Citra buruk buat lelaki Bali yang dicap sebagai pemalas dan tak punya etos kerja tinggi. Citra buruk bagi wanita Bali yang tak bisa memberontak dari kungkungan tradisi yang membelenggu.

Memang harus diakui bahwa dalam sejarah Nusantara para wanita sering dipinggirkan. Namun, sejarah Nusantara juga mencatat bagaimana wanita-wanita itu memberontak, baik memberontak karena lingkungan adat dan tradisi seperti yang dilakukan Raden Ajeng Kartini di Jepara, memberontak kepada penjajah seperti dilakukan Cut Nyak Dien di Aceh, memberontak mengatasi kebodohan seperti dilakukan Dewi Sartika di Jawa Barat. Lalu, apa yang dilakukan wanita Bali sebelum dan setelah kemerdekaan? Tak begitu banyak tercatat dalam sejarahnasional, paling sejarah lokal bagaimana Tabanan punya pejuang wanita yang kini sudah dibuatkan patungnya.

Tokoh-tokoh pergerakan wanita berkumpul di Yogyakarta dan hari bersejarah itu diperingati sebagai Hari Ibu, namun peristiwa ini tak memunculkan tokoh wanita asal Bali. Ini menandakan bahwa wanita Bali belum bisa memainkan perannya dalam urusan  sosial politik. Beragam alasan yang bisa dicatat. Misalnya, pengaruh situasi daerah di mana wanita dikekang untuk

Page 37: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

menonjolkan diri. Juga faktor pendidikan, wanita Bali tidak mendapatkan prioritas pendidikan tinggi. Penyebab paling parah adalah adat dan tradisi Bali tak memberi kesempatan wanita untuk menjadi pemimpin. Dalam adat Bali, wanita tak bisa ikut rapat adat, tak bisa menjadi kepala keluarga, artinya adat Bali tak akan bisa melahirkan pemimpin wanita. Wanita Bali bisa berstatus purusa (menerima waris dan meneruskan kawitan keluarga) dengan catatan dia kawin nyentana, tetapi dalam adat status purusa itu tidak berlaku, yang mewakili dalam rapat-rapat adat tetap lelaki yangnyentana itu.

Dalam hal spiritual juga begitu. Meski wanita Bali pintar membuat sesajen, namun untuk menjadi pemangku (dengan upacara ekajati) dan sulinggih atau pendeta (dengan upacara dwijati) tertutup jalannya. Wanita Bali hanya bisa menjadi pemangku atau sulinggih jika mengikuti suaminya, statusnya sebagai pendamping. Ia baru boleh meneruskan peran itu jika suaminya sudah meninggal. Atau ada syarat lain, yakni wanita Bali bisa menjadi sulinggih jika tidak kawin-kawin, ini pun hanya terjadi di beberapa soroh.

Apakah ini ajaran Hindu? Tidak, ini adalah tradisi. Ajaran Hindu memuat begitu banyak sloka tentang kepemimpinan seorang wanita, bahkan keagungan wanita disebut-sebut bisa menyelamatkan bumi. Di mana wanita tidak dihormati, di sanalah ketentraman tidak ada, demikian sloka yang banyak disebut para tokoh agama.

Memang muncul satu dua tokoh wanita Bali di forum nasional. Misalnya, pernah ada politisi Ida Ayu Utami Pidada. Apakah ini hasil pemberontakan dalam tradisi Bali? Tidak persis, karena Utami Pidada menjadi politisi yang cukup disegani pada eranya,ternyata mewakili Jawa Barat, bukanmewakili Bali. Karena itu perjuangan Utami Pidada untuk wanita Bali hampir tak ada.

Ibu Gedong Bagoes Oka (sudah tiada) bisa disebutkan hasil pemberontakan pada tradisi dengan mendirikan Ashram Canthi Gandhi, sekarang ashram di Candi Dasa itu berubah nama menjadi Ashram Gedong Gandhi. Namun karena jalur Ibu Gedong dalam bidang spiritual yang berbau “intelektual”, pengaruhnya juga tidak banyak mengangkat harkat wanita Bali. Pernah ada gerakan yang dipelopori almarhum I Gusti Ngurah Bagus untuk mengangkat kehidupan wanita Bali, tapi dukungan wanita Bali justru kurang kuat, sehingga gerakan itu mati sebelum beraksi.

Jadi sudah sejak lama wanita Bali tidak sadar dirinya tertinggal, tidak tahu kalau hak-hak mereka sebagai wanita Hindu banyak yang dikebiri oleh adat. Apalagi kiprahnya dalam sosial politik. Belakangan memang sudah muncul LSM yang memperjuangkan wanita Bali. Organisasi Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) Bali juga sudah aktif, meskipun tidak seaktif WHDI di luar Bali. Syukurpula, di kalangan keluarga sudah banyak yang berpikir maju, anak-anak wanita diperlakukan sama dengan anak lelaki, terutama di sektor pendidikan. Bahkan, karena ketentuan adat yang tidak memberikan hak waris kepada kaum wanita, banyak keluarga maju yang memberikan harta kepada anak perempuannya sebelum kawin, sehingga harta itu menjadi miliknya.

Tapi, di pedesaan terutama di kalangan keluarga tak mampu, wanita Bali tetap “anak kelas dua”, kasihan juga melihat kenyataan ini.Nah, ini yang harus diperjuangkan para caleg wanita itu, bagaimana membuat wanita Bali bangkit dan sejajar dengan para lelaki. Jangan cuma menebar senyum di baliho. (*)

Kamis,12 Desember 2013 @ 23:11

Peradilan HinduPandita Mpu Jaya PremaWACANA penting yang digulirkan saat ini di Bali adalah Otonomi Khusus. Draff Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus itu konon sudah selesai, namun belum ada media yang memuatnya secara utuh, apa isi dari draff itu. Apakah Otonomi Khusus ini akan terus digulirkan sampai ada hasilnya, minimal berhasil dibahas di pusat, entahlah.

Sebelum wacana Otonomi Khusus, pernah pula digulirkan wacana Peradilan Hindu. Ini pun sudah bertahun-tahun yang lalu, tak jelas pula sampai di mana wacana itu. Mandeg atau diteruskan. Atau adakah Peradilan Hindu itu ada di dalam Otonomi Khusus, tak jelas juga bagi publik. Mungkin tim yang menanganinya berbeda.

 Saya ingin membahas satu persatu dulu, mulai dari yang lebih dulu diwacanakan, yakni Peradilan Hindu. Sesungguhnya apa yang mendasari niat sebagian tokoh-tokoh Hindu untuk membuat Peradilan Hindu? Apakah karena maraknya pencurian benda-benda sakral termasuk pratima di sejumlah pura? Apakah karena ada kekhawatiran tentang tindak pidana ini tidak akan mendapatkan hukuman yang setimpal di pengadilan umum, mengingat hakim menjatuhkan vonis hanya atas nilai benda sakral tersebut?

Ataukah wacana tentang perlunya Peradilan Hindu karena kenyataan umat Hindu mengalami kesulitan dalam mengurus masalah akte perkawinan, perceraian, bagi waris dan sebagainya? Jadi masalahnya adalah urusan “keluarga”. Atau hanya karena umat lain, yakni Islam, punya Pengadilan Agama (Islam), lalu umat Hindu ikut-ikutan memikirkan hal serupa. Atau mungkin karena memang undang-undang dan sistem ketatanegaraan yang ada di Indonesia memungkinkan adanya peradilan agama, lalu kita ngotot punya Peradilan Agama Hindu?

Page 38: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Mari kita coba mengulasnya dengan berpikir jernih dan berpijak pada bumi yang ada dalam situasi sekarang ini. Jangan kita bermimpi di tahun 3.000 ketika semua umat Hindu paham susastra Hindu. Dengan berpola pikir situasi saat ini, kita kaji apa mungkin membuat Peradilan Hindu itu.

Kalau kasusnya adalah masalah keluarga (perkawinan, perceraian, bagi waris, mengasuh anak dan di sekitar itu), kenapa harus membuat Pengadilan Agama Hindu yang utuh dari pidana sampai perdata. Umat Islam saja hanya punya Pengadilan Agama (Islam) untuk urusan keluarga, bukan dalam urusan pidana maupun perdata. Urusan di luar keluarga  dipakai hukum positif negara. Memang, hukum Islam (syariah) dipakai di Nanggro Aceh Darussalam, dan kita tahu betapa rumitnya masalah itu. Harus ada polisi syariah, ada hakim syariah dan semacam KUHP Syariah.

Sekarang kalau kita membuat Pengadilan Agama terbatas seperti umat Islam, apakah tradisi dalam masyarakat Hindu itu sudah seragam? Apakah ada “perkawinan Hindu”, jangan-jangan yang ada “perkawinan adat Bali” dan “perkawinan adat Jawa” dan “perkawinan adat Kaharingan”.

Soal membagi waris saja sudah beda. Umat Hindu dari suku Bali tidak memberikan warisan kepada anak perempuan dengan alasan anak perempuan tidak meneruskan kawitan. Padahal umat Hindu di luar Bali tidak membedakan anak lelaki dan anak perempuan. Bahkan banyak umat Hindu asli Bali – termasuk saya – yang tetap memberikan warisan kepada anak perempuan. Cuma untuk menghindari masalah adat, anak perempuan itu diberi waris sebelum dia menikah atau pada saat menikah, dan umumnya tidak berupa tanah. Kalau pun berupa tanah, itu bukan “tanah warisan leluhur”.

Jadi, bagaimana kita membuat Pengadilan Agama Hindu kalau antara tradisi Hindu suku Bali beda dengan tradisi Hindu suku Jawa, suku Kaharingan, dan sebagainya?

Sudah gugur secara teori untuk membuat Pengadilan Agama Hindu walau pun cuma terbatas pada urusan keluarga. Ini disebabkan, dalam susastra Hindu tidak ada aturan rinci soal itu, bagaimana membagi waris, bagaimana mengasuh anak, dan sebagainya. Kalau pun ini dipaksakan, akan lahir Pengadilan Agama Hindu versi Bali yang tak lain adalah Pengadilan Adat. Atau Pengadilan Hindu khusus untuk Hindu di Bali. Kalau ini terjadi, jangan-jangan nanti masuk urusan manak salah, asu pundung, nyerod, dan sebagainya yang justru bertentangan dengan HAM (hak asasi manusia) dan sudah dihapus.

Sekarang mari kita coba ke hal yang lebih besar, yakni urusan pidana. Punyakah kita hukum Hindu? Ada yang menyebutkan punya, karena sudah ada berbagai kitab tentang itu, seperti misalnya Manawa Dharmasastra. Kerajaan Majapahit juga telah mewariskan berbagai kitab tentang hukum Hindu, yang dipergunakan saat itu.

 Katakanlah hal itu cukup, lalu bagaimana kita menyusun Kitab Undang Undang Hukum Pidana Hindu (KUHP Hindu) dan bagaimana pula melengkapinya dengan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Hindu (KUHAP Hindu) yang sesuai dengan zaman ini? Kalau itu bertabrakan dengan hukum nasional, dengan tuntutan zaman, apalagi dengan HAM, maka akan terjadi kerumitan yang luar biasa. Kalau pun semua kesulitan itu bisa diatasi, orang bisa bebas menentukan apakah akan menggunakan Hukum Hindu dengan Pengadilan Hindu atau menggunakan hukum negara dengan Pengadilan Negeri. Bisa kosong Pengadilan Agama Hindu.

Kita belum berbicara soal siapa yang akan menyusun KUHP Hindu dan KUHAP Hindu itu, dan yang lebih penting lagi siapa yang akan membiayai. Ini memerlukan perhatian yang serius kalau memang kita mau serius ke sana. Berbagai diskusi dan seminar harus dilewati. Saya sangat pesimistis hal ini akan berhasil. Jangankan bicara masalah hukum yang akan memberi sanksi kepada umat, membicarakan hal-hal yang membantu umat dari kehidupan sehari-hari saja sulit.

Jadi, membentuk Peradilan Hindu, masih jauh dari harapan. Untuk apa membuang-buang energi, lebih baik energi disalurkan untuk pendidikan generasi penerus mengingat SDM Hindu paling buruk di antara SDM umat lain. Lebih baik energi disalurkan untuk pencerahan kepada umat, agat umat tahu bagaimana mempraktekkan agama sesuai susastra Hindu.

Akan halnya berkaitan dengan hukum, kita didik hakim-hakim Pengadilan Negeri dengan nilai-nilai Hindu. Kita siapkan saksi ahli Hindu untuk kasus-kasus yang menyerempet agama. Misalnya dalam hal pencurian pratima, sesuatu yang marak yang menyebabkan ada ide tentang pendirian Peradilan Hindu. Kita yakinkan hakim, nilai sebuah pratima bukan dari harga bahannya semata-mata, tetapi ritualnya yang jauh lebih mahal. Jika ini sudah menjadi kesepakatan, maka hakim di dalam menjatuhkan vonis untuk pencuri pratima akan mempertimbangkan nilai itu, yakni nilai yang kasat mata dari bahannya dan nilai yang tak terlihat dari biaya upacaranya. Cara-cara ini lebih logis mengingat kalau kita bicara soal Hindu, maka itu artinya agama yang dipeluk umat manusia dari berbagai etnis, bukan hanya penduduk Bali.

Ini bedanya dengan Otonomi Khusus. Kalau soal otonomi, ini menyangkut penduduk suatu daerah, dalam hal ini Bali. Tapi saya belum tahu, apa saja yang diatur dalam Otsus Bali ini karena penduduk Bali tidak semuanya Hindu, ada Muslim, Kristen, Katolik, Buddha maupun Konghucu. Nanti saja kita bahas. (*) 

Minggu,01 Desember 2013 @ 23:24

Membangun Jalan Layang

Page 39: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Pandita Mpu Jaya PremaMembangun jalan layang di Bali itu sudah tidak mungkin, karena mengganggu ritual orang melasti ke laut. Pratima yang merupakan simbol Tuhan di dalam ritual melasti tak boleh berjalan di bawah jalan yang dilalui mobil. Karena tidak suci lagi, siapa yang menjamin kalau mobil yang lewat di atasnya tidak membawa orang yang sedang cuntaka, entah itu cuntaka kematian atau wanita datang bulan.

Begitulah cerita yang saya dengar ketika jalan bypass Prof. Mantra tengah dibangun. Di setiap persimpangan jalan ini pada awalnya dirancang ada jalan layang, sehingga jalan bypass itu betul-betul bebas hambatan di perempatan jalan, jadi mirip jalan tol. Tetapi jalan layang itu batal dan tak mungkin dilaksanakan karena pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat Bali tidak setuju, dengan alasan kesucian ritual melasti menjadi tercemar.

Saya pun mendengar cerita – entah benar atau tidak – persimpangan di patung Dewa Ruci yang terkenal dengan nama Simpang Siur, tadinya juga dirancang flyover (jalan layang). Juga di pertigaan Tuban (menuju bandara dari Kuta) tadinya dirancang jalan layang. Tapi tak mungkin karena alasan yang sama.

Umat Hindu di Bali sangat percaya hal itu dan sudah menjadi tradisi bahwa mengarak pratima yang merupakan benda sangat sakral tak boleh “mesulub” (berjalan di bawah bangunan). Harus berjalan paling atas. Bahkan, ini lagi-lagi cerita entah benar atau tidak, atau hanya guyonan saja, ada pendeta Hindu yang diundang ke Yogya tak mau menginap di Hotel Ambarukmo. Karena kamar sudah disediakan dan hari sudah malam, pengundang tak mungkin mencarikan hotel lain. Pendeta pun “mengalah”, beliau tidur di mobil. Supirnya yang masuk ke hotel dan tidur di kamar mewah hotel bertingkat itu. Tentu saja ini cerita sudah lama karena sekarang ini pendeta Hindu semuanya mau menginap di hotel. Rapat-rapat pendeta (Sabha Pandita) acapkali berlangsung di hotel.

Tradisi melasti di kampung saya di masa lalu tak boleh naik kendaraan bermotor. Ada orang yang kerauhan (susup Ida Bethara) yang melarang naik motor, siapa melanggar akan celaka. Jadi dari Pujungan ke Pantai Soka sepanjang 29 km berjalan kaki, ditempuh selama dua hari pulang pergi. Tahun 1990-an mulai berubah, boleh naik mobil dan motor. Rupanya Ida Bethara sudah maklum, daripada susah-susah berjalan dua hari lebih enak naik mobil. Cuma saja, setiap ketemu “abangan” (saluran air yang melintang di jalan), mobil berhenti. Pratima diturunkan dulu dan dibawa naik ke tebing agar tidak “mesulub” di saluran air. Pemedek juga begitu. Ini agar kesuciannya tetap terjaga. Ada dua “abangan” yaitu di Desa Belimbing dan Desa Ampadan, jadi memang repot sekali.

Sejak lima tahun lalu terjadi perubahan. Terjadi diskusi. Kalau sulinggih (pandita) muput yadnya dibuatkan “pemiosan” (bale tempat memuja). “Pemiosan” itu pasti beratap supaya sulinggih tidak kepanasan atau kehujanan. Di pura pun kalau ada pemiosan atau balai pewedan yang permanen, pasti beratap. Nah, bukankah sulinggih juga “mesulub”, kok tetap suci? Ternyata penyebab tetap suci “pemiosan” itu adalah ada kain putih di bawah atap, persis di atas sang sulinggih. Kain putih itu merupakan perlambang langit atau bisa juga diartikan perlambang tembus ke langit, sehingga apa pun yang ada di atas itu tidak mengganggu kesuciannya. Kalau begitu, kenapa “abangan” (saluran air) di Belimbing dan Ampadan tidak diisi kain putih saja di bawahnya, sehingga pratima saat melasti tetap bisa berjalan di bawahnya? Nah, itu yang dilakukan sampai sekarang. Ternyata ini sudah diikuti oleh seluruh desa-desa di Kecamatan Pupuan yang melasti ke Pantai Soka. Pratima dan pemedek tak turun di “abangan”, kerepotan pun berkurang sementara kesuciannya tidak luntur. (Namun luntur atau tidaknya itu masalah perasaan saja, tapi bukankah yadnya itu masalah rasa?)

Siapa yang sudah pernah melintas dari Tabanan ke Bajera sekarang ini? Ada tiga proyek raksasa yaitu membangun jalan layang yang menghindari kelokan tajam. Jalan layang dari Penyalin tembus ke Samsam, jalan layang dari Meliling melintas di ketinggian sungai tembus ke Bantas, satu lagi di kelokan tajam Bantas tembus ke Megati. Jalan Penyalin-Samsam ada kuburan di samping bawahnya. Jalan Meliling-Bantas ada sungai yang dikeramatkan dan tempat mengambil air suci di bawahnya. Di jalan Bantas-Megati ada pura juga di bawahnya. Apakah Ida Bethara tidak cemar dan takut tidak suci lagi? Diskusi sebelum jalan-jalan layang itu dibangun melibatkan sulinggih yang kesimpulannya tak ada kesucian yang berkurang karena semuanya ada cara untuk menjaga kesucian itu. Justru kalau ada ritual atau iringan-iringan ritual melewati jalan itu, Ida Bethara akan senang karena tidak macet. Sekarang ini, satu saja truck dari Jawa yang besar itu mogok, macetnya bisa berjam-jam. Kalau ketiga jalan layang itu selesai, kemacetan yang parah bisa lebih teratasi.

Sebuah cerita ringan ketika saya “muput” di Desa Ungasan. Ketika saya dijemput di Griya Pedungan, jalan sekitar Benoa macet. Supir menanyakan apakah saya boleh diajak melintas di underpass (jalan bawah tanah) di Simpang Siur. Saya memancing dengan pertanyaan, kenapa tak boleh? “Kan Ida Mpu membawa siwakrama sakral, nanti kesuciannya berkurang,” kata supir. Saya bilang lewat saja. Pandita itu kalau “munggah” yang pertama dilakukannya adalah membersihkan (menyucikan) semua peralatan yadnya, lalu membersihkan diri, baru memuja.

Sekarang ini lagi banyak ada wacana pembangunan infrastruktur di Bali. Ada rencana membangun berbagai jalan, baik itu jalan arteri sampai jalan tol. Ada rencana membangun jalan tol dari Kuta menuju Pekutatan lewat laut, ada pula rencana jalan tol itu dari Soka berbelok ke Seririt di atas kebun dan sawah. Belum lagi ada wacana membangun rel kereta api keliling Bali. Saya tak tahu apakah wacana itu tetap wacana atau ada realisasinya. Tapi yang pasti, cepat atau lambat, pembangunan jalan itu pasti akan ada, jika tidak Bali akan krodit luar biasa dan macet total karena pertumbuhan mobil dan motor yang demikian cepat tak diimbangi pembangunan jalan.

Jika demikian halnya dan untuk antisipasi dari sekarang, kenapa kita takut membangun jalan layang di Bali, yang dikaitkan dengan kesucian? Saya kira tak masalah karena semua kesucian itu bisa kita jaga sesuai sastra yang ada, karena prinsip dalam yadnya adalah tidak menjadi beban oleh berbagai hal. Yadnya tak boleh jadi beban karena kurangnya dana, karena bisa memakai yadnya yang sederhana. Yadnya tak boleh jadi beban karena kondisi lingkungan, karena bisa diharmoniskan dengan berbagai sarana ritual. Tentu saja tinjauan saya ini adalah dari sisi kesucian semata, bukan dari sisi keindahan, tata ruang,

Page 40: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

maupun hal teknis lainnya. (*)

Senin,25 November 2013 @ 06:50

Mengelola Pura JagatnathaPandita Mpu Jaya PremaRabu pekan (20 November 2013) lalu saya diundang untuk memberikan ceramah pada “Seminar Orang Muda Lintas Agama”. Seminar dan pentas seni religius ini diselenggarakan oleh Gereja Katolik Bunda Maria Segala Bangsa bekerjasama dengan Masjid Agung Ibnu Batutah yang berdampingan di Komplek Puja Mandala di Nusa Dua. Seminarnya diselenggarakan di aula Gereja Katolik sedang pentas seni diselenggarakan di aula masjid. Perwakilan umat Hindu ada yang menjadi peserta, di antaranya murid-murid SMA Dwijendra Denpasar dan dari Ashram Gandhi. Bahkan pada pembukaan seminar diisi lagu Ajeg Bali dan tari Margapati oleh anak-anak Hindu.

Saya baru pertamakali ke Puja Mandala ketika semua rumah ibadah itu selesai dibangun. Saya sempat memeriksa apa saja isi dari deretan tempat suci itu. Sungguh mengagumkan. Tempat parkirnya luas dan menyatu tanpa sekat. Paling barat adalah masjid yang diberi nama Ibnu Batutah. Lantai paling atas adalah “tempat suci” tempat umat Muslim sholat. Lantai di bawahnya aula besar, juga bisa dipakai untuk umat sholat jika lantai atas penuh. Di bawahnya lagi tempat anak-anak muslim belajar agama, lengkap dengan perpustakaan. Di sinilah digelar pentas seni ketika acara itu pekan lalu. Di bawahnya ada lagi bangunan untuk penginapan dan gudang.

Bangunan kedua dari barat adalah Geraja Katolik yang diberi nama Bunda Maria Segala Bangsa. Lantai paling atas adalah “tempat suci” untuk kebaktian. Lantai kedua di bawahnya sebagian untuk aula (tempat seminar), ruangan uskup yang mewah lengkap dengan ruang tamunya. Di bawahnya lagi untuk penginapan dan paling bawah adalah dapur serta gudang. Lokasi semua tempat ibadah ini ada dalam kemiringan, sehingga semua bangunan itu “bertingkat ke bawah”. Dari tempat parkir seperti bangunan  satu lantai.

Di timur gereja Katolik ada vihara Buddha yang juga tak kalah indahnya dengan patung gajah mengapit gapura. Tempat suci ini pun bertingkat ke bawah, kiri kanan ada kamar-kamar untuk para bikhu. Lantai bawah juga untuk ruang pertemuan dan ruang belajar, tapi saya tak bisa memeriksa karena petugas sedang tidak ada.

Di timur vihara adalah Gereja Kristen Protestan yang diberi nama Bukit Doa. Bangunan ini bahkan bertingkat enam (ke bawah) dengan ruang kebaktian paling atas sangat megah. Ada balai bengong dan menara yang indah. Sayang tempat itu terkunci sehingga saya tak bisa masuk ke dalamnya, tetapi dari informasi yang saya terima, lima lantai di bawahnya adalah untuk ruang pendidikan dan juga kebaktian dalam berbagai bahasa.

Di ujung paling timur itulah pura Hindu yang diberi nama Pura Jagatnatha Nusa Dua. Kalau dilihat dari tempat parkir, bangunan itu biasa saja sebagaimana Pura Jagatnatha yang ada. Pelinggih besar yang ada hanyalah Padmasana, lalu ada balai-balai di kiri dan kanan mandala seperti wantilan. Halaman pura ditumbuhi rumput. Karena pura lagi digembok pagarnya saya tak bisa masuk dan tak ada orang yang bisa memberikan informasi, apakah bangunan pura itu juga bertingkat ke bawah. Tapi dugaan saya – juga dugaan orang yang memberi informasi – nampaknya tidak. Jika benar begitu, lembah yang menurun itu mungkin ditimbun sebelumnya. Sungguh kasihan, kemiringan itu tak dimanfaatkan untuk ruangan sebagaimana empat rumah ibadah tetangganya. Jadi pura hanya “satu lantai” dan sepenuhnya tempat suci. Di mana umat Hindu belajar agama, di mana ruang diskusi, di mana kamar-kamar sulinggih atau pemangku, dan yang penting di mana kamar mandi dan WC? Nampaknya tidak ada. Di tempat parkir depan pura juga tak ada bangunan itu. Pura Jagatnatha ini seperti dibangun tanpa konsep pura umum.

Yang memprihatinkan, menurut masyarakat di sana, Pura Jagatnatha ini sering “kesepian”, tidak seperti tempat ibadah untuk umat Buddha, Kristen, Katolik dan Islam di sebelahnya. Yang biasa sembahyang ke sana hanyalah karyawan BTDC (Bali Tourism Development Corporation) yang mengelola kawasan Nusa Nusa dan umat Hindu yang kost di sekitar itu. Memang, kompleks Puja Mandala ini dibangun oleh BTDC dan tanahnya pun milik BTDC. Semuanya hak pakai dalam waktu tak terbatas.

Kenapa Pura Jagatnatha Nusa Dua sering sepi? Ini bisa dimaklumi. Masyarakat Hindu di Bali tak terbiasa dengan Pura Jagatnatha. Pura Jagatnatha hanya tempat memuja Tuhan, bukan memuja leluhur dan bukan pula memuja secara khusus Istadewata (seperti misalnya Pura Trikahyangan tempat memuja Brahma, Wisnu dan Siwa). Sehingga Pura Jagatnatha tak punya pengempon yang emosional secara sosial kemasyarakatan. Masyarakat Desa Adat Bualu tentu tak mau menjadi pengempon karena ini akan menjadi beban. Beban memelihara dan beban yadnya kalau ada piodalan dan hari raya keagamaan.

Pura Jagatnatha berkembang di luar Bali karena masyarakatnya tidak tersekat oleh keturunan atau klan, dan tidak pula mengelompok di sekitar pura sehingga merupakan suatu pemukiman yang khusus. Di Bali kota yang memiliki Pura Jagatnatha adalah Denpasar, Negara, Singaraja, Amlapura. Saya belum mendengar di kota lain. Dan saya pun tak tahu bagaimana mereka mengelola pura itu, siapa pengempon intinya, apakah ada pemangku yang khusus dan siapa yang mengangkatnya. Pura seperti ini memang penting untuk masyarakat urban, terbukti Pura Jagatnatha Denpasar selalu ramai saat Purnama atau hari raya lainnya. Yang meramaikan adalah pelajar atau penduduk yang memang tak bisa pulang ke desanya untuk

Page 41: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

bersembahyang.

Pura Jagatnatha harus dikelola secara khusus dan ada semacam Badan Pengelola atau Badan Otorita. Pura ini harus menjadi “laboratorium Hindu” tempat orang belajar agama, seminar dan sebagainya. Di Pura Jagatnatha Denpasar seingat saya ada malam sastra pada hari-hari tertentu. Pura Jagatnatha Nusa Dua harus dikembangkan dengan cara itu. Kalau cuma untuk bersembahyang, masyarakat sekitarnya sudah banyak punya pura. Pura itu harus dijadikan sarana meningkatkan SDM Hindu seperti masjid, gereja dan vihara di sebelahnya.

Satu contoh Pura Jagatnatha yang dikelola dengan bagus adalah Pura Aditya Jaya Rawamangun Jakarta. Setelah dibentuk Badan Otorita pura yang dulu sepi itu langsung ramai. Badan Otorita menata pura, di jaba tengah dibangun wantilan yang bisa untuk pentas kesenian, malam sastra dan diskusi keagamaan. Di jaba luar dibangun ruang-ruang sekolah (dari usia SD sampai mahasiswa), ada aula untuk diskusi sosial, ada kamar untuk pendeta (sulinggih) dan ada warung-warung tertata rapi. Tentu ada KM/WC yang bagus bahkan ada tempat untuk “cuci muka dan tangan” sebelum sembahyang. Ketika saya memimpin Forum Cendekiawan Hindu, pura ini dijadikan sekretariatnya dan sekaligus tempat pertemuan. Begitu juga pemuda Hindu, wanita Hindu dan Suka Duka Banjar, semua terpusat di sini.

Pura Jagatnatha Nusa Dua bisa dikelola seperti itu. Kumpulkan karyawan yang bekerja di lingkungan Nusa Dua dan bentuk Badan Otorita. Jadikan pura ini “laboratorium Hindu”, tempat belajar dan seminar keagamaan. Tentu dengan melengkapi sarana penunjang seperti KM/WC yang bisa mengambil sedikit lahan parkir. Wantilan digunakan untuk serba guna. Ya, sarana yang terbatas, apa boleh buat, dibandingkan “kesepian” padahal Pura ini jadi “tuan rumah” di Komplek Puja Mandala yang ada di Bali dengan penduduk mayoritas Hindu. (*)

Senin,18 November 2013 @ 02:29

Tempat Suci Sebagai Obyek WisataPandita Mpu Jaya PremaBanyak sekali tempat suci berbagai agama yang menjadi obyek wisata. Beragam hal yang menarik bisa dilihat wisatawan. Ada mengenai artsitekturnya, sejarahnya, lokasi tempatnya berdiri yang begitu indah, atau gabungan dari unsur-unsur  itu.

Orangyang ke Roma (Italia) pasti berniatmengunjungi Kota Suci Vatikan.Kota Vatikan adalah salah satu obyek wisata menarik di dunia. Wisatawan mengagumi arsitekturnya, koleksi yang bersejarah, tentu pula suasana religius untuk wisatawan yang beragama Katolik. Karena ini adalah tempat suci, tak semua ruangan bisa dimasuki wisatawan. Kapel Sistina, misalnya, di mana para kardinal berkumpul pada saat pemilihan Paus yang baru, tak bisa dimasuki wisatawan. Pada hari-hari tertentu keagaman Katolik beberapa bangunan juga steril dari pengunjung.

Di India, tempat suci umat Hindu pun menjadi obyek wisata yang menarik, tak hanya dikunjungi oleh pemeluk Hindu. Bahkan ada masjid atau tempat suci umat Islam yang menjadi obyek wisata yang penuh sesak pengunjung. Yakni Taj Mahal yang terletak di Agra. Arsitekturnya sangat dikagumi orang.

Di dalam negeri begitu banyak tempat suci di luar tempat suci umat Hindu yang jadi obyek wisata. Bukan saja pura yang dikunjungi wisatawan, juga masjid, gereja dan wihara. Masjid Istiqlal di Jakarta tiap hari (kecuali Jumat) dikunjungi pelancong yang tak semuanya beragama Islam. Ini masjid terbesar di Asia Tenggara yang dibangun oleh Presiden Soekarno pada 21 Agustus 1951. Arsitektur masjid bertingkat lima ini justru dibuat oleh penganut Kristen Protestan yaitu Frederich Silaban.

Masyarakat non-Muslim yang berkunjung ke masjid ini sebelumnya mendapat pembekalan informasi mengenai Islam dan Masjid Istiqlal, seperti halnya wisatawan yang berkunjung ke Pura Besakih mendapat informasi dari pemandu wisata. Tentu ada aturan yang harus dipatuhi, misalnya, melepas alas kaki, tidak merokok dan berlaku sopan. Saya beberapa kali berkeliling ke sini terutama melihat perpustakaannya. Kebetulan di masjid ini juga berkantor berbagai ormas Islam.

Masjid Kudus yang lebih dikenal dengan nama Masjid Menara Kudus, juga menjadi daya tarik wisatawan. Masjid yang dibangun tahun 1530oleh Sunan Kudus (nama asli Ja’far Sodiq)ini memanfaatkan peninggalan kuil Hindu yang dijadikan menara masjid, sampai kini. Bahkan karena memakai peninggalan budaya Hindu, Sunan Kudus meminta masyarakatnya untuk tidak menyembelih sapi, menghormati agama Hindu yang memuliakan sapi. Sampai sekarang tak ada penyembelihan sapi di Kudus, di sana yang terkenal daging kerbau. Kalau pun ada dijual sate sapi, daging sapi itu didatangkan dari Pati. Masjid Menara Kudus dijadikan lambang perpaduan harmonis budaya Hindu dan Islam dengan arsitekturnya yang tinggi. Saya berkali-kali ke masjid ini.

Masjid Agung Demak pun menarik bagi wisatawan. Ini masjid peninggalan Wali Songo yang dibangun tahun 1479. Masjid ini mengungkap banyak sekali sejarah Islam di Tanah Jawa selain arsitekturnya yang sangat dikagumi dengan begitu banyak tiang penyangga. Kisah unik adalah pembangun soko guru (tiang utama) masjid. Sunang Bonang membuat tiang di bagian barat lau, Sunan Kalijaga di timur laut, Sunan Ampel di tenggara, Sunan Gunung Jati di barat daya. Satu dari tiang utama ini tidak memakai kayu yang utuh, tetapi potongan-potongan kayu yang direkatkan begitu saja.

Page 42: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Masjid Menara Kudus dan Masjid Agung Demak sudah masuk ke dalam destinasi pariwisata nasional. Dalam rencana induk kepariwisataan nasional 2011-2026 masjid-masjid ini masuk dalam KPPN (Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional) dan belum berhasil masuk ke dalam KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional). Tinggal menunggu giliran saja.

Gereja Katedral Jakarta yang berdiri kokoh di sebelah utara Lapangan Banteng Jakarta setiap hari dikunjungi banyak wisatawan. Bahkan gereja umat Katolik yang bangunannya bergayaarsitektur neo-Gotik ini dijadikancagar budaya nasional.  Ini membuat gereja itu terpelihara dengan baik dan koleksinya terus bertambah. Kita di Bali jangankan menjadikan Pura Besakih sebagai cagar budaya, untuk dijadikan warisan budaya dunia saja menolak, bahkan kini masuk KSPN juga ditolak. Takut kesuciannya luntur, padahal terbukti gereja dan masjid terkenal tak pernah takut kesuciannya luntur hanya karena wisatawan.Tentu ada bagian-bagian yang suci dan bagian-bagian yang bebas untuk dinikmati. Gereja Katedral Jakarta yang dibangunpada 1891 ini dilengkapi museum yang padat dikunjungi wisatawan.  Salah satu yang menarik, misalnya, bagian yang menyimpan busana rohaniawan Katolik, mulai dari jubah, topi, kasula berbagai warna. Kasula adalah lapisan terluar busana yang dikenakan rohaniwan Katolik. Warna kasula yang dikenakan seorang pastor memiliki makna tertentu. Kasula berwarna putih biasanya dipakai untuk ibadah sehari-hari, sedangkan ungu dan merah digunakan untuk acara duka seperti misa tutup peti dan paskah.

Hal serupa juga saya lihat ketika mengunjungi vihara yang disebut-sebut sebagai terbesar di Asia, yaitu Maha Vihara Duta Maitreya di kota Batam. Banyak sekali ornamen yang digunakan oleh para bhiku dalam ritual maupun pernik-pernik ritual itu sendiri. Pengunjung bahkan bisa membeli replikanya untuk kenang-kenangan.

Belajar dari sejumlah tempat suci non-Hindu yang jadi obyek wisata dan mau dikembangkan menjadi kawasan strategis pariwisata, saya lalu membayangkan Pura Besakih menjadi tempat suci yang juga kawasan strategis pariwisata. Boleh saja Pura Besakih tak perlu dijadikan cagar budaya seperti Kaderal Jakarta, karena kita takut. Atau tetap menolak dijadikan warisan budaya dunia seperti Taj Mahal dan sebagainya, karena kebetulan pendaftarannya sudah selesai. Namun, sekiranya Besakih mau dimasukkan dalam KSPN “Besakih – Gunung Agung dan Sekitarnya” dan kemudian terbentuk Badan Otorita Besakih, maka pura ini akan bersinar kesuciannya dan menjadi obyek wisata yang menarik.

KSPN Besakih itu yang  dibangun pusat, hanya jalan lokal ke hutan lindung untuk melindungi flora dan fauna. Namun karena target wisata adalah tempat ibadah atau peninggalam masa lalu, dana dari pusat bisa dikelola Badan Otorita untuk membangun hal-hal di luar areal suci. Seperti halnya Katedral yang areal kebaktiannya tak bisa dimasuki turis, Pura Besakih tak bisa dimasuki turis pada bagian manda utama (jeroan). Semua jeroan tak boleh dimasuki apalagi yang mahasuci Penataran Padma Tiga. Apapun alasannya, jika tidak bersembahyang, tak boleh masuk ke sana. Nah di luar itu lorong-lorong dibangun yang bagus. Wantilan Besakih di jaba bisa dijadikan museum (atau membangun yang baru), pamerkan berbagai sarana ritual, dokumentasi yadnya dan – meniru Katedral – pamerkan busana sembahyang. Kalau walaka (orang biasa) bagaimana busananya, kalau pemangku bagaimana, kalau sulinggih bagaimana pernik-pernik dan artinya itu. Sekarang ini banyak yang tak tahu apa arti warna ketu (bawa) sulinggih, apa arti genitri dan sebagainya.

Kesucian Besakih tak akan ternoda kalau kita meniru Katedral. Juga meniru masjid-masjid, di mana saat  sholat Jumat tak boleh ada kunjungan turis. Nanti di Besakih diperlakukan pula, saat ada Panca Wali Krama dan sejenisnya Pura Besakih ditutup untuk wisatawan. Besakih jadi semakin suci (dibandingkan sekarang) dan semakin tertata rapi jika Badan Otorita mau menata lingkungannya. Dana KSPN bisa ditarik untuk ini. Tapi kalau KSPN sudah ditolak, ya sudahlah, kita akan tetap melihat Besakih yang semerawut seperti sekarang, pedagang merangsek sampai lorong-lorong dan turis seenaknya masuk Penataran asal memakai kain. Kita kekurangan dana mengelola tempat suci ini jika hanya mengandalkan Pemda. Mengurusi sampah upacara saja sulit. (*)

Selasa,12 November 2013 @ 03:42

KSPN di Tahun Politik (Bagian II-Habis)Pandita Mpu Jaya PremaSetelah kita membahas 3 KSPN, mari dilanjutkan ke KSPN No. 55 “Bali Utara/Singaraja dan sekitarnya”. Ini pesisir Bali Utara dengan ujung barat di Uma Anyar dan ujung timur Pelabuhan Buleleng. Sangsit saja tak kena. Sasaran yang dikembangkan adalah obyek wisata air panas Banjar, kawasan Lovina, Pelabuhan Buleleng. Yang dibangun selain jalan-jalan lokal adalah jalan arteri dan pelabuhan Buleleng. Di sini pun ada puluhan pura, tapi bukan Kahyangan Jagat.

Lanjut KSPN No. 72 “Karangasem– Amuk dan sekitarnya”.  Kawasan ini membentang dari kota  Semara Pura (Klungkung) di barat sampai Ulakan di timur. Pura besar yang ada: Batu Klotok, Dasar Bhuwana Gelgel, Goa Lawah, Silayukti. Yang dikembangkan adalah pelabuhan laut (Padangbai dan mungkin pula Gunaksa) dan jalan arteri. Sarana olahraga dan lainnya tak ada.

Menyusul KSPN No. 78 “Menjangan–Pemuteran dan sekitarnya”.  Kawasannya dari Pulau Menjangan sampai Celukan Bawang. Ada pura besar di sini yakni Pura Pulaki dan tentu Pura Majapahit Menjangan. Namun karena kawasan wisata ini targetnya bukan tempat suci, pura yang agak di tengah seperti Pura Pemuteran, Pura Kawat, Pura Melanting tak masuk kawasan. Yang dikembangkan adalah wisata bahari dan menata pelabuhan laut. Jalan arteri juga diprioritaskan.

Page 43: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

KSPN No. 79 “Taman Nasional Bali Barat dan sekitarnya”. Di sini ada Pura Segara Rupet, Makam Jayaprana (yang sekarang disatukan dengan Pura Payogan Bethara Sakti Wawu Rawuh). Kawasan yang dibenahi air panas Banyuwedang, pelestarian hutan lindung sebagai kawasan konservasi, museum purba di Gilimanuk.  Yang dikembangkan pelabuhan dan jalan arteri.

KSPN No. 80 “Tulamben–Amed dan sekitarnya”. Kawasan ini kecil, membentang di pesisir Tulamben sampai Amed dengan sasaran wisata bahari. Tak ada pura besar, pembangunan sarana jalan pun tak ditambah, kecuali sarana wisata bahari itu sendiri.

KSPN No. 81 “Bedugul dan sekitarnya”. Kawasan ini mengelilingi tiga danau: Beratan, Tamblingan, dan Buyan. Ada Pura Ulun Danu (Pura Luhur Bedugul). Yang menarik di sini selain akan dikembangkan wisata danau juga direncanakan kereta api wisata yang relnya mengelilingi tiga danau itu. Menakjubkan kalau itu terwujud karena menyerupai wisata danau di Jepang. Jadi detail KSPN itu jelas-jelas disebutkan dalam lampiran III.

KSPN No. 82 “Nusa Penida dan sekitarnya”. Seluruh pulau Nusa Penida termasuk Lemongan dan Ceningan masuk kawasan ini. Ada pura besar di sini seperti Pura Dalem Peed, Pura Batu Medau, Pura Goa Karang Sari. Selain dikembangkan wisata bahari, nah, di sinilah jelas-jelas disebut akan dikembangkan “kawasan olahraga”. Saya tak mengikuti penelitiannya di masa lalu, tapi saya menduga olahraga yang dimaksudkan sebatas olahraga air, seperti menyelam, berselancar dan sebagainya. Andaikata di Nusa Penida akan dikembangkan olahraga balap (sirkuit, misalnya), dari sudut KSPN memungkinkan, tetapi izin tetap dari daerah mempertimbangkan perda yang ada. Karena dalam KSPN pembangunan yang diutamakan jalan lokal dan pelabuhan laut.

KSPN No. 83 “Ubud dan sekitarnya”.  Kawasan ini termasuk luas bahkan mencakup tiga kabupaten. Dari Pasar Sukawati, kota Gianyar, Istana Tampaksiring, Goa Gajah, lalu masuk ke Bangli. Ke barat meliputi Taman Ayun, Sangeh (Kabupaten Badung). Banyak sekali pura besar di sini: Samuan Tiga, Penataran Sasih, Pucak Sari, Taman Ayun. Ini KSPN yang paling komplit disasar daya tariknya. Selain alam, tempat ibadah,  seni kerajinan, adat tradisi, fauna flora, ada disebut festival budaya, taman bertema, wisata belanja. Inilah satu-satunya KSPN di Bali yang mencantumkan perencanaan “wisata belanja”. Nah, apakah penjabarannya dibangun puluhan restoran atau mal? Yang saya tangkap dari niat positif ini (saya selalu berpikir positif) akan dikembangkan pasar-pasar seni yang merakyat seperti Pasar Seni Sukawati dan Pasar Seni Guwang. Bukan pasar moderen seperti “Pusat Oleh-Oleh” atau mal, restoran maupun kafe, karena semuanya ini sudah diambil alih oleh swasta.

Demikian gambaran selintas sebelas KSPN yang ada di Bali. Satu-satunya yang jelas ada “kawasan olahraga” hanya KSPN Nusa Penida dan satu-satunya yang menyebut “wisata belanja” hanya KSPN Ubud. Dari mana timbul kekhawatiran akan dibangun lapangan golf, hotel, kafe, apalagi di KSPN Besakih yang sempit dan berhutan lindung itu? Kalau pun sarana itu dibangun di luar KSPN, mari kita awasi izin dari Pemda. Kalau melanggar Perda RTRW dan Bhisama Kesucian Pura, kita protes sampai batal. Yang jelas detail KSPN tak bersinggungan dengan itu.

Sekarang dengan alasan Pura Besakih dikhawatirkan tak suci lalu KSPN Besakih ditolak, maka benar pula ide Gubernur Mangku Pastika, sebaiknya semua KSPN ditolak. Siapa yang menjamin Mangku Pastika tak diobok-obok dengan kesucian Pura Samuan Tiga, Pura Uluwatu, Pura Peed dan seterusnya? Bukankah itu sama-sama dalam kawasan KSPN?

Dan jika Bali menolak KSPN, pemerintah pusat pasti tidak keberatan. Tak perlu sampai class action, pemerintah pusat akan mengalihkan dana milyaran itu untuk memasukkan KSPN lainnya. Seperti diketahui, ketika penentuan KSPN ini, Pemda Jawa Tengah protes keras kenapa Bali yang kecil itu mendapat 11 KSPN. Beberapa KSPN yang diusulkan Jawa Tengah gagal seperti “Demak-Kudus dan sekitarnya” (ada masjid Demak dan Masjid Kudus yang antik), “Tawangmangu-Candi Cheto dan sekitarnya”. Apalagi “Kraton Solo dan sekitarnya” dicoret pula, padahal Kraton Yogya masuk dengan KSPN No. 52 “Yogyakarta Kota dan sekitarnya” dan di Jakarta ada KSPN No. 14 “Kota Tua – Sunda Kelapa dan sekitarnya.”

Ke 88 KSPN yang jadi Rencana Induk Kepariwisataan Nasional 2010-2025 ini menjadi rebutan ketika disusun prioritasnya, karena semua provinsi berlomba-lomba ingin dapat jatah “kue pariwisata” itu. Sebelum berstatus KSPN ada disebut KPPN (Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional) dan jumlahnya mencapai 222 buah. (Lihat lampiran II PP No. 50). KPPN Bali semua masuk ke KSPN, sementara daerah lain termasuk Jawa Tengah masih banyak dalam status KPPN. Tunggu giliran 2025-2040, ini kalau kebijakan pemerintah tetap setelah ganti presiden. Beralasan kalau Bali mendapat 11 KSPN karena sumbangan Bali ke pemerintah pusat dari hasil pariwisata terbesar dibanding provinsi lain. Nah, kenapa uang itu ditolak? Bukankah selama ini kita mengeluh, Bali menyumbang banyak uang dari pariwisata kenapa tak dikucurkan ke daerah? Pas dikucurkan untuk pengembangan pariwisata justru ditolak. Aneh bin ajaib hanya dengan alasan kesucian pura yang sejatinya tak pernah disinggung dalam KSPN.

Tapi, saya netral dan cenderung setuju KSPN ditolak, jika berpikir tentang diri sendiri. Pertama, saya tinggal di desa petani kopi yang tak bersinggungan langsung dengan turis. Kedua,  setelah menjadi sulinggih tentu menuntut kesucian pura, jangan sampai saya disebut “ikut menjual pura untuk turis”. Ketiga, saya tak ingin Gubernur Bali (siapa pun yang menjadi gubernur karena KSPN ini periode 15 tahunan sementara setiap 5 tahun ada Pilkada) diobok-obok dengan dalih kesucian pura. Apalagi didomplengi masalah politik. Cuma, perlu dipikirkan masa depan Bali, apakah kita memang tak mau mengembangkan lagi pariwisata dan justru menolak dana yang seharusnya memang milik kita? Adakah kita sudah kaya atau sebaliknya: belog ajum? Saya sudah uzur, tak suka ribut-ribut lagi, kaum mudalah yang memikirkan serta waktu yang menjawab: siapa yang membangun Bali dan siapa yang menjegal dana pembangunan untuk Bali

. (Penulis saat walaka bernama Putu Setia, pernah menjabat Ketua Himpunan Penulis Pariwisata dengan berbagai penghargaan).Senin,11 November 2013 @ 02:52

Page 44: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

KSPN di Tahun Politik (Bagian I)Polemik tentang Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) berujung pada niat Gubernur Bali Made Mangku Pastika untuk membatalkan seluruh KSPN yang ada di Bali. Bahkan diteruskan dengan wacana untuk menutup tempat suci pura sebagai obyek wisata, agar kesuciannya tidak ternoda. Sementara Ketua Komisi I DPRD  Made Arjaya mengemukakan perlunya pembentukan suatu tim untuk membahas dan menyikapi KSPN, supaya tidak ditunggangi masalah politik.

Apakah KSPN sarat dengan muatan politik? Saya tak berani bilang ya atau tidak. Tapi fakta yang ada di lapangan, di kota Denpasar ada spanduk dari PDI Perjuangan yang isinya “menolak Pura Besakih dijadikan KSPN” meski pun dengan embel-embel menghormati keputusan Sabha Pandita PHDI. Lalu pernah ada pernyataan dari seorang anggota DPD wakil Bali yang akan berjuang ke pusat untuk membatalkan KSPN Besakih. Kemudian pertemuan-pertemuan yang diadakan selama ini kebanyakan yang berbicara adalah aktifis, meski pun mengatas-namakan akademisi, agamawan, atau tokoh masyarakat.

Bermuatan atau ditunggangi politik, itu sah-sah saja. Saat ini adalah tahun politik, kurang dari enam bulan lagi Pemilu legislatif. Partai politik dan para calegnya, termasuk calon DPD perlu panggung. Salah satu panggung yang paling populer saat ini adalah menyerang apapun kebijakan pemerintah. Media massa juga rajin memberitakan setiap apa pun yang berlawanan dengan pemerintah. Kalau tidak begitu, kenapa KSPN yang diputuskan tiga tahun lalu baru sekarang diributkan? Bukankah tiga tahun lalu itu Gubernur Bali dan Wakilnya masih didukung PDI Perjuangan? Jangan-jangan karena wakil gubernur jarang masuk kerja, lalu gubernur menyerahkan urusan ini kepada dinas terkait, maka KSPN luput dari perhatian. Tetapi memang, KSPN itu adalah “rencana induk kepariwisataan nasional”, suatu kebijakan pusat untuk jangka waktu 15 tahun, dari 2010 sampai 2025.

Lagi pula KSPN itu kebijakan nasional yang sama sekali tak mengganggu urusan di daerah, karena ini arahan strategis. Pelaksanaan pembangunannya diserahkan daerah dengan berbagai aturan, sementara dananya disediakan pusat (APBN). Apakah yang menolak KSPN sudah membaca PP No. 50 tahun 2011 dengan lampiran II dan lampiran III yang tak terpisahkan dari PP? Jangan-jangan yang dibaca hanya PP tanpa melihat lampirannya atau ada yang disembunyikannya. Karena ada “tokoh” yang menyebutkan, jika KSPN Besakih tetap dilaksanakan bisa jadi dibangun lapangan golf dan hotel atau malah kafe. Bahkan ada profesor yang menyebutkan “Besakih dan sekitarnya” itu harus jelas di mana wilayah “sekitarnya”. Ini pasti karena tak dibaca lampirannya yang rinci. PP itu pedoman umum untuk seluruh KSPN yang berjumlah 88 buah, jadi memang ada beberapa fasilitas yang dibangun, tetapi rincian per KSPN ada dalam lampiran III.

Agar masyarakat Bali tahu, mari kita kupas satu persatu 11 KSPN yang ada di Bali. Kita mulai dari KSPN yang jadi masalah, KSPN No 84 “Besakih–Gunung Agung dan sekitarnya”. Wilayah KSPN ini tak seberapa luas, sekitar pertigaan jalan ke Besakih - Pura Dalem Puri dan langsung ke atas gunung. Jangankan kota kecamatan Rendang, Desa Menanga dan Sebudi saja tak seluruhnya kena. Hanya sebagian kecil. Daya tarik yang mau disasar disebutkan: bentang alam, flora-fauna, dan situs sejarah/tempat ibadat. Hanya tiga itu, tak ada sarana olahraga, hotel, restoran dan sebagainya. Adapun target yang dibenahi cuma dua: jalan kolektor dan jalan lokal.

Dari sini bisa dibaca, dalam rencana pembangunan pariwisata nasional itu, yang ditata adalah flora dan fauna dalam arti luas menyelamatkan alam atau hutan lindung di atas Pura Besakih dengan membangun jalan-jalan lokal. Pura Besakih tak diutak-atik tapi jadi target untuk dilihat wisatawan. Bahwa sebatas mana boleh dilihat, itu urusan pengempon pura atau diatur pemda tentu dengan mempertimbangkan kesucian pura. Bagaimana bisa ada kekhawatiran dibangun hotel atau lapangan golf? Di mana lahannya kalau hutan di atas Pura Besakih terjal dan hutan lindung? Nah, kalau KSPN ini ditolak dengan alasan kesucian Pura Besakih terganggu, maka semua KSPN di Bali harus ditolak. Gubernur Mangku Pastika benar dalam hal ini, batalkan saja semuanya. Dibandingkan akan diobok-obok lagi, kenapa cuma Pura Besakih yang dibebaskan dari KSPN, kenapa pura lain tidak? Repot kan?

Mari kita lihat KSPN yang lain mulai dari urutan angka terkecil. Dari 88 KSPN di Indonesia, nomor 1 adalah “Kintamani–Danau Batur dan sekitarnya”. Saya tak tahu kenapa ini nomor satu, bisa saja kita menduga karena Jero Wacik yang saat itu Menteri Pariwisata dan Kebudayaan ingat kampung halamannya. Sekali lagi itu dugaan yang “dipas-paskan”, tapi apalah arti nomor urut. Berapa luas KSPN ini? Membentang dan mengitari Danau Batur. Pura besar yang ada di dalam KSPN ini  adalah Pura Penulisan, Puru Ulun Danu Batur, Pura Ulun Danu Songan, Pura Jati, lalu puluhan pura kecil. Wilayahnya dari Penelokan-Bukit Penulisan-Desa Trunyan-Desa Songan. Lalu apa target disasar? Ada 3 yakni: bentang alam, adat tradisi, situs sejarah/tempat ibadah. Di sini fauna-flora justru tak masuk target, mungkin hutannya tak banyak. Tetapi ada target “adat tradisi” dan itu pasti ingin mempertahankan kelestarian budaya di Trunyan dan sekitarnya. Lalu apa yang dibangun? Sama dengan di Besakih, yaitu jalan kolektor dan jalan lokal namun ditambah jalan arteri – kemungkinan memperlebar jalan Kedisan-Trunyan yang sempit dan sangat terjal. Tak ada dibangun hotel atau sarana olahraga.

Lanjut KSPN No. 41 “Kuta–Sanur–Nusa Dua dan sekitarnya”. Ini KSPN terbesar di Indonesia. Seluruh Kodya Denpasar masuk sampai Badung Selatan. Pesisir utaranya dari  Pantai Batubeling. Tentu banyak pura di sini, terbesar adalah Pura Uluwatu dan Pura Sakenan.  Daya tarik sama dengan yang lainnya ditambah wisata bahari. Sarana yang dibangun sama dengan yang lain, ditambah pengembangan pelabuhan laut dan udara karena di sini ada Benoa dan Bandara Ngurah Rai. Apakah dibangun hotel, lapangan golf, sirkuit F1, itu tak ada tercantum dalam KSPN. Artinya, kalau sarana itu dibangun urusan lokal, tergantung izin pemerintah daerah. Bahkan dalam Pasal 14 ayat (2) PP 50 itu disebutkan: “Pembangunan Daya Tarik Wisata dilaksanakan berdasarkan prinsip menjunjung tinggi nilai agama dan budaya, serta keseimbangan antara upaya pengembangan manajemen atraksi untuk menciptakan Daya Tarik Wisata yang berkualitas, berdaya saing, serta mengembangkan upaya konservasi untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumber dayanya.

Jadi, KSPN ini jiwanya sangat memperhatikan kelestarian alam dan menjunjung tinggi nilai agama.

(Bersambung)Senin,04 November 2013 @ 07:48

Page 45: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Masihkah Pariwisata BudayaPandita Mpu Jaya PremaSudah lama Bali dijadikan daerah tujuan wisata (DTW). Bahkan dalam catatan sejarah pariwisata Indonesia, Bali termasuk DTW yang paling utama, jadi ikon dari kepariwisataan di Indonesia. Sejak dimasukkan sebagai DTW, konsep Bali dalam industri tanpa asap ini adalah: pariwisata budaya. Yang dijual kepada wisatawan adalah produk budaya. Dan orang pun tahu, produk budaya itu lahir dari agama yang dianut mayoritas orang Bali. Masihkah itu kita pegang sampai saat ini?

Bagi pelancong manca negara, Bali adalah daerah tujuan wisata yang mempesona. Pada tahun 1998 majalah pariwisata terkenal, Conde Nast Traveler, memberi predikat The Best Island untuk Bali, menyisihkan "pulau pariwisata" lainnya seperti Cheju, Hawaii, Kreta, Tonga, Maladewa, Phuket dan sebagainya.

Di tahun 2000 terjadi penurunan peringkat. Majalah itu kembali membuat penilaian serupa. Hasilnya Bali bukan lagi The Best Island. Bali hanya menduduki peringkat ke empat setelah Maui, Kausi dan Fraser. Namun, hal ini adalah imbas kerusuhan di Jakarta dan berbagai daerah yang ternyata ada pengaruhnya buat Bali.

Setelah pelaku pariwisata di Bali sekuat tenaga bekerjasama untuk memberikan citra ke luar bahwa Bali tetap daerah yang aman-aman saja, keadaan lebih baik. Misi-misi budaya Bali tetap dikirim ke luar negeri untuk mengkampanyekan Bali yang aman. Tentu saja, misi budaya itu dibarengi dengan kampanye pariwisata khas jargon Bali: pariwisata budaya.

Karena yang dijual budaya, pada awalnya tidak seluruh pulau Bali dijadikan daerah penginapan wisatawan. Bali Selatan, yang dulu dikenal sebagai daerah gersang berbukit tandus, bagai disulap untuk dijadikan "kandang turis". Turis-turis tidak dianggap perlu dibangunkan fasilitas penginapan atau restoran di daerah lain. Ini untuk menjaga tata ruang Bali agar keindahan alam Bali tidak terganggu. Keindahan alam dan budaya ini adalah daya tarik Bali yang sudah disepakati sejak lama dan sudah diatur dalam peraturan daerah mengenai Pariwisata Budaya. Apalagi, Bali pulau yang sempit, ke ujung mana pun pergi, toh bisa pulang lagi menginap di pemukiman yang sudah dibangun di Bali Selatan itu. Kalau sarana wisata seperti hotel, restoran dan sebagainya dibangun pula di daerah lain, maka lahan Bali berkurang dan berkurang pulalah sarana aktifitas rakyat Bali dalam melakukan aksi budayanya.

Kalau begitu, bagaimana “kue” (hasil pariwisata) ini dikelola sehingga dirasakan oleh seluruh rakyat Bali? Maka dibuatlah aturan dan kesepakatan menata ruang Bali itu. PHR (Pajak Hotel dan Restoran) yang dipungut Kabupaten Badung separohnya dibagikan kepada tujuh kabupaten (waktu itu Kota Denpasar masih menjadi wilayah Badung) secara merata. PHR ini sebelumnya disebut Pajak Pembangunan I. Dengan uang itu kabupaten yang lain menata daerah tujuan wisatanya tanpa harus mendirikan hotel dan restoran. Saat itu lantas dikenal ada istilah “daerah tujuan wisata” dan “daerah pemukiman wisata” untuk Bali.

Namun, belakangan muncul ketidak-adilan karena Kabupaten Badung makin tak transparan dan mulai muncul ketidak-puasan di kabupaten yang lain. Ada kesan kabupaten lain seperti mengemis minta bagian PHR. Kabupaten di luar Badung bergolak pelan-pelan. Dipelopori oleh Kabupaten Tabanan dengan kawasan Tanah Lot yang berdiri Nirwana Bali Resort – waktu itu milik Aburizal Bakrie -- lalu Kabupaten Gianyar dengan kawasan Ubud, dan diikuti kabupaten lain dalam skala kecil-kecilan. Kabupaten Badung justru “melawan” dan mereka kemudian hanya mau membagi 30 persen hasil PHR yang dipungutnya untuk disumbangkan ke kabupaten yang lain.

Otonomi daerah yang berbasis di kabupaten kemudian memporak-porandakan kesepakatan pembagian “kue pariwisata” ini. Otonomi daerah membuat setiap kabupaten harus bersaing menghimpun sendiri PAD (penghasilan asli daerah). Seluruh kabupaten di Bali berlomba-lomba membangun fasilitas untuk wisatawan, mulai dari hotel sampai restoran. Ini membuat carut-marut wajah Bali. Di kawasan Kintamani restoran tumpang tindih sampai menyapu keindahan alam. Hal serupa terjadi di kawasan Bedugul, juga di Ubud. Tata ruang Bali mengenai kawasan wisata sudah tidak ada giginya lagi.

Bukan saja hotel dan restoran dibangun, objek wisata pun tak cuma terpaku pada budaya. Ada lapangan golf, taman safari, kebun binatang dan sebagainya, yang tak dikenal dalam khasanah seni budaya Bali. Bahkan pernah ada ide membangun sirkuit F 1 di Jembrana. Tata ruang Bali bisa kacau balau jika hal seperti ini tak bisa dikendalikan, karena semuanya akan mengambil lahan Bali yang sempit. Syukurlah kemudian ada Perda Tata Ruang dan bahkan jauh sebelumnya Parisada Hindu Dharma Pusat mengeluarkan keputusan tentang Kawasan Suci Pura. Tempat persembahyangan umat Hindu dilindungi wilayah kesuciannya, meski pada saat keputusan itu lahir, beberapa pura sudah tak memiliki wilayah suci sebagaimana yang diatur.

Pura dalam konsep pariwisata budaya ini juga tak diatur secara jelas, apakah pura sebagai tempat wisata atau bukan. Kesucian pura diatur oleh pengemong setempat (meski juga lewat campur tangan Pemda) bahwa wisatawan tidak dibolehkan masuk kejeroan (mandala utama), jika tidak bersembahyang. Jadi status pura itu abu-abu dan itu sebabnya turis tak bisa dipungut karcis masuk ke pura. Tapi akibatnya, lihat di Pura Besakih. Turis sering mengganggu di lorong-lorong dan pelataran pura, bahkan ada kalanya nyelonong masuk ke jeroan, tergantung yang mengajak.

Sementara itu pemerintah pusat membuat istilah Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KPSN). Ini adalah strategi pembangunan di kawasan wisata, yang sejatinya tak ada berkaitan dengan kesucian pura, bahkan apa yang dibangun di kawasan ini tetap mengacu kepada “ketentuan lokal” termasuk Bhisama Kesucian Pura PHDI, Perta RTRW dan berbagai jenis aturan di daerah. KPSN ini sekarang dipermasalahkan karena hampir semua KPSN di Bali ada pura di dalamnya. Bisa dimaklumi karena Bali “pulau seribu pura”.

Padahal masalah mendasar yang perlu dirumuskan ulang adalah apakah Bali tetap menjual pariwisata budaya? Atau malah pertanyaan: apakah Bali akan tetap dipertahankan sebagai daerah tujuan wisata? Atau tujuan wisata terbatas? Atau kembali

Page 46: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

bertumpu pada pertanian, meski sawah dan kebun sudah enyempit? Semuanya punya konsekwensi dan ada “korban”. Tinggal mengkaji “korban” mana paling minim.

Namun di atas segalanya, otonomi khusus untuk Bali sehingga masalah budaya dan pariwisata bisa diatur di “satu tempat”, lebih penting diperjuangkan ke pusat dibandingkan KPSN yang tak ada kaitannya dengan kesucian pura. (*)

Senin,28 Oktober 2013 @ 04:40

Rintangan Menuju PuraPandita Mpu Jaya PremaUmat Hindu di Bali seperti tak henti-hentinya mengunjungi pura di bulan Oktober ini. Sambung menyambung. Selain ada Purnama Kapat yang merupakan “tegak odalan” di beberapa pura besar, antara Galungan dan Kuningan merupakan hari piodalan di berbagai pura. Pura di Bukit Lempuyang seperti Lempuyang Luhur dan Lempuyang Madya ada piodalan seperti bersambung. Begitu pula di Putra Ulun Danu baik yang lama di Songan maupun yang baru di pinggir jalan besar Kintamani. Pura Pulaki, Pura Batukaru pun odalan pula. Hari ini, Pemacekan Agung giliran Pura Dasar Bhuawana di Gelgel dan nanti pada Kuningan di Pura Dalem Sakenan Serangan.

Katanya bersembahyang memuja Tuhan bisa di mana saja. Cukup menggelar tikar dan mengucapkan mantram Tri Sandhya. Lalu apa daya tariknya mengunjungi pura di berbagai tempat dan siapa pula yang dipuja di sana? Kenapa Pura Luhur Batukaru penuh sesak pada saat Manis Galungan yang lalu? Begitu pula saat odalan di Pura Lempuyang Luhur dan Madya, umat parkir jauh sekali dan berjalan naik ke bukit. Dan apa pula penyebabnya umat berbondong-bondong datang ke Kintamani, bukan untuk melihat Danau Batur, tetapi bersembahyang ke Pura Ulun Danu? Hari ini pasti umat berjubel memenuhi Pura Dasar Bhuwana di Gelgel.

Jelas ada daya tariknya, baik secara religi maupun secara duniawi. Yang pertama-tama dalam pikiran masyarakat adalah pura itu “tempat tinggal” Sesuhunan (sebutan untuk para Dewa di pedesaan Bali), stana Ida Bethara, Dewa, Hyang Widhi. Namun, kalau umat ditanya lebih jauh, apakah mereka mengetahui dan bisa memerinci apa beda Dewa, Bethara, dan Hyang Widhi itu? Tak banyak yang tahu, yang penting ke pura untuk bersembahyang, tak menghiraukan lagi karena sudah berjubel, apakah persembahyangan itu di depan meru, balai gedong, atau padmasana.

Yang dipuja pada berbagai pura yang bertebaran, baik di puncak gunung maupun di tepi danau dan laut adalah pemujaan kepada leluhur kita. Leluhur yang sudah menjadi Bethara. Dalam konsep Hindu, leluhur kita – dan siapa pun yang sudah meninggal dunia – rohnya menyatu dengan Hyang Widhi. Jadi bukan seperti konsep agama tetangga, di mana rohnya ada di sisi Tuhan. Dengan begitu tidak salah, memuja leluhur atau memuja Bethara itu pada akhirnya sampai juga pada memuja Tuhan. Itu sebabnya pura, betapapun jauh dan penuh rintangan, selalu dikunjungi umat.

Jika begitu halnya, untuk apa leluhur kita membangun pura di tempat yang “terpencil”, di puncak gunung, di tebing pantai yang curam, bahkan di tengah laut seperti Tanah Lot dan Sakenan. Pasti ada maksud tertentu.

Leluhur kita mendirikan pura atau meninggalkan warisan tempat suci yang kemudian oleh pengikutnya dibangun pura, di tempat-tempat di mana orang harus melakukan “perjalanan penuh rintangan” sebelum sampai ke pura itu. Pura Ulun Danu Batur (yang “asli” di Desa Songan), sebagaimana namanya, berada di pinggir danau, yang dahulu kala harus dicapai dengan berjalan kaki di terjal-terjal. Atau naik jukung dari Kedisan. Pura Lempuyang (baik di Luhur maupun di Madya) dibangun di puncak gunung, di mana orang harus datang ke sana melewati jalan yang kiri kanannya tebing curam lalu mendaki terjal. Pura Sakenan berada di tengah pulau, dan umat yang datang harus naik perahu atau berjalan kaki dengan memperhitungkan naik turunnya air laut. Begitu pula Pura Tanah Lot berada di karang yang dipisahkan dengan air laut yang kadangkala bisa pasang. Apa yang dimaui para leluhur kita di masa lalu itu? Kenapa tidak membangun pura di tempat pemukiman biasa saja, seperti Mpu Kuturan menganjurkan membuat Pura Trikahyangan?

Jawabnya adalah para leluhur itu ingin umat yang datang menyadari adanya “rintangan” dalam perjalanan. Dengan adanya “rintangan” itu, umat sudah terkonsentrasi untuk mendekatkan dirinya kepada Hyang Widhi atau leluhur kita yang sudah menyatu dengan Hyang Widhi, yang akan kita sembah di sana. “Rintangan” itu tak lain adalah cara tak langsung untuk melakukan japa dan juga samadhi, sehingga begitu sampai di pura, pikiran otomatis sudah terfokus dan persembahyangan langsung bisa dimulai.

Sayang sekali, sekarang “rintangan” itu sudah dihilangkan oleh manusia-manusia moderen. Pulau Serangan di mana Pura Sakenan berada, sudah menyatu dengan Bali. Orang datang naik mobil dan motor, menderu-deru sampai depan pura. Lalu umat bertengkar dengan tukang parkir, atau mengumpat karena mobilnya keserempet, atau ngedumel karena parkirnya susah. Anak-anak menangis minta mainan dan ibunya membentak terus karena tak punya uang. Suasana ngedumel dan tangisan dibawa langsung masuk pura, bagaimana bersembahyang dengan hening dan khusuk?

Pikiran apakah yang dibawa umat ketika berada di jeroan pura, dan langsung dituntun bersembahyang oleh pemangku? Tak lain adalah pikiran yang masih penuh marah, pikiran yang masih ngedumel, setidak-tidaknya jauh dari rasa hening. Padahal

Page 47: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

dulu, ketika kita pergi ke Pura Sakenan dan masih naik jukung, semuanya seperti terpaku hening dan berdoa agar selamat sampai di tujuan. Begitu ada ombak, meski kecil, orang berdoa. Suasana khusuk doa dibawa ke jeroan pura. Kita melakukan “japa” dan “samadhi” ketika dalam perjalanan naik jukung, sampai suasana itu kita bawa masuk ke pura. Luar biasa konsepnya. “Rintangan” ini juga ada di Tanah Lot, kita selalu berdoa supaya air tidak pasang. Di Pura Lempuyang setiap undakan yang kita naiki penuh dengan doa.

Pura besar yang tidak berada di tempat terpencil, godaan yang ada saat ini adalah banyaknya pedagang kaki lima dan juga pedagang yang tak ada hubungannya dengan persembahyangan, seperti jual VCD atau mainan anak-anak. Kalau dibiarkan pedagang merangsek ke jaba pura, maka konsentrasi umat pun bisa terpecah dan tidak focus pada persembahyangan. Mari kita kurangi godaan ini sehingga kita bisa bersembahyang memuja leluhur dan Tuhan dengan cara khusuk. (*)

Senin,21 Oktober 2013 @ 00:31

Galungan dan Kemerosotan MoralPandita Mpu Jaya PremaSelamat menyongsong (nyanggra) Hari Raya Galungan kepada seluruh umat Hindu di mana saja berada, baik yang merayakannya maupun yang tidak. Semoga dharma, kebenaran yang sejati, bisa singgah di hati kita semua. Semoga adharma, kegelapan pikiran akibat nafsu serakah, surut ke titik yang paling rendah.

Sulit memenangkan dharma, karena itu sulit pulalah bisa merayakan Galungan dengan benar. Baik bagi mereka yang paham betul apa arti dan makna Galungan, maupun bagi mereka yang tidak paham akan arti dan makna Galungan. Antara yang paham dan tidak, merayakan Galungan juga berbeda, namun kesulitannya tetap sama karena pengaruh lingkungan.

Mereka yang tak paham dengan makna Galungan, merayakan hari itu dengan kebiasaan yang sering kita lihat di masyarakat Bali belakangan ini. Sebelum Galungan mereka sibuk menyiapkan berbagai hal. Perlengkapan upacara, misalnya, mulai dari membuat penjor Galungan sampai mendapatkan buah-buah untuk sesajen, semuanya bisa dibeli secara bebas. Buah pun tersedia di berbagai supermarket dan “toko-toko modern” yang sudah bertebaran di beberapa desa. Padahal Galungan mesti dirayakan dengan mempersembahkan hasil bumi dari alam di lingkungan sendiri, sebagai rasa terimakasih kepada ibu pertiwi yang telah memberi karunia kehidupan kepada manusia. Bukankah 25 hari sebelum Galungan ada yang disebut Tumpek Pengarah atau Tumpek Uduh, di mana orang-orang mendatangi pohon yang akan menghasilkan buah untuk persembahan Galungan?

Begitu pula perlengkapan “pesta hari raya”. Babi dan berbagai hewan disembelih untuk memaknai Hari Penampahan, padahal sejatinya yang justru “disembelih” adalah sifat-sifat binatang yang ada di dalam diri kita. Pesta pun berlanjut dengan arak dan tuak, dan di banjar-banjar biasanya ada “bar Galungan”, tentu dengan minuman beralkohol sejenis bir. Lalu berjudi, main ceki atau domino. Bagaimana bisa memenangkan dharma kalau situasinya sudah seperti ini?

Bagi yang paham arti dan makna Galungan, tentu sudah terbebas dari kebiasaan seperti itu. Mereka berusaha mengekang diri untuk bertekad mengalahkan adharma demi kemenangan dharma. Sejak enam hari sebelum Galungan, mereka sudah membersihkan lingkungannya sendiri termasuk alat-alat yang dipakai untuk upacara Galungan. Itu disebut Sugihan Jawa. Esoknya, pada Sugihan Bali mereka membersihkan diri sendiri – tentu selain phisik adalah pembersihan rohani. Setelah itu mereka berusaha melakukan pengekangan diri entah melalui meditasi atau upawasa (puasa) untuk menghindari “cengkeraman” Sang Bhuta (Kala) Tiga yang terdiri dari Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat. Ini sudah diuraikan pada Mimbar Hindu Sabtu (19/10) yang lalu.

Persoalannya, apa semudah itu melakoninya dalam situasi yang begitu banyak godaan ini? Di tengah-tengah lingkungan kita telah terjadi perubahan yang menggambarkan betapa semakin merosotnya moralitas masyarakat. Berbagai perseteruan terjadi, bukan saja antar pribadi, tetapi juga antar ormas. Lihatlah baliho ormas yang memenuhi pinggir jalan di Bali, semuanya menyebutkan akan menjaga Bali dan meng-ajeg-kan Bali. Tapi yang terjadi adalah perseteruan antar ormas, meski masih bisa didalihkan dengan menyebut itu cuma oknum-oknum saja.

Lihat pula betapa serakahnya orang-orang yang tak malu mau menjadi “pemimpin”, entah itu dengan sebutan calon wakil rakyat atau calon Dewan Perwakilan Daerah. Balihonya sudah menyebar di Bali,, memohon dukungan sambil mencakupkan tangan menyampaikan selamat Hari Galungan. Mereka sudah duduk di jabatan itu lima tahun ini, apa yang mereka kerjakan untuk Bali? Tak pernah ada suaranya, kok masih mau minta dukungan? Jelas, orang-orang seperti ini nantinya hanya mengandalkan kekuatan uang agar terpilih. Marilah kita tidak tergoda oleh uang itu, karena jelas uang dan polah mereka tak sesuai dengan dharma.

Pola hidup konsumtif dan bergesernya nilai-nilai kegotong-royongan membuat orang asyik dengan  kesendiriannya dan cuek dengan sesama. Lihatlah situasi lalu lintas di Bali saat ini, pengendara sepeda motor seenaknya di jalanan, tak lagi di jalur kiri sebagai mana aturan berlalu-lintas. Sepeda motor sudah berada di tengah-tengah jalan bahkan menyalip mobil dari kanan, padahal itu jalur kendaraan roda empat atau lebih. Ini cermin ego keblablasan karena mereka merasa berhak karena sudah

Page 48: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

membayar pajak, tetapi mereka lupa akan kewajiban menegakkan aturan berlalu-lintas.

Moralitas di era ini sudah sedemikian merosot. Beberapa orang mengkaitkan dengan zaman yang disebut Kali Yuga, zaman penuh kegelapan. Kalau kita telusuri perjalanan zaman, Kali Yuga itu sudah dalam rentang waktu yang sangat panjang, ada yang menyebut dimulai pada saat penobatan Raja Parikesit, cucu Raden Arjuna. Kalau sepanjang itu zaman kegelapan, kenapa di masa lalu pada saat Kerajaan Singosari, Majapahit, Kerajaan Gelgel dan seterusnya, moralitas masyarakat masih tinggi dan kejujuran masih dipelihara dengan baik? Bukankah sama-sama di zaman Kali Yuga?

Kegelapan selalu menyelimuti manusia. Beruntung agama Hindu memiliki hari yang punya siklus tertentu untuk berperang melawan kegelapan, berperang melawan adharma, yang di masing-masing wilayah diberi nama berbeda. Di India dirayakan dua kali setahun. Di bulan April (Waisaka) dirayakan dengan sebutan Wijaya Dasami. Lalu di bulan Oktober (Kartika) dirayakan dengan nama Nawa Ratri. Umat Hindu etnis Bali menamainya Hari Galungan – warisan yang sejatinya sudah dibawa dari Jawa, yang siklusnya juga dua kali setahun, namun dalam “tahun wariga”, yakni enam bulan wariga atau 210 hari.

Kalau saja umat Hindu konsisten dalam setiap siklus itu mengalahkan adharma untuk kemenangan dharma, maka seharusnya moralitas itu tetap terjaga. Kalau saja semakin banyak umat merayakan Galungan dengan benar sesuai tatwanya, kita tak khawatir akan kemerosotan moral. Mari kita mulai dari pribadi, lingkungan keluarga dan menular ke tetangga sampai desa dan seterusnya. Jagalah moral dengan merayakan Galungan. (*)

Senin,14 Oktober 2013 @ 00:25

Beryadnya Sesuai KondisiPandita Mpu Jaya PremaHari-hari ini umat Hindu di Bali menyongsong Galungan dan Kuningan. Sekarang memasuki Wuku Sungsang, hari Kamis nanti sudah Sugian Jawa, dilanjutkaan Sugian Bali pada esok harinya. Para ibu sudah sibuk menyiapkan berbagai ornamen menyambut hari raya itu. Tentu saja tidak sesibuk di masa lalu.

Di masa lalu kesibukan itu tergolong luar biasa. Rangkaian sesajen  sudah dibuat jauh sebelumnya. Kue-kue khas dibuat jauh hari, jaje sirat, kaliadrem, dodol, satuh, tape dan banyak lagi. Dan ketika hari raya itu datang, rangkaian sesajen sudah kusam bentuknya, kue khas itu sudah pada jamuran, tak layak lagi dimakan. Terkadang berbau amis. Semut pun banyak mengerubung. Tak pernah ada yang iseng bertanya saat itu, “Apakah tidak kasihan dengan Tuhan diberi sesajen yang sudah bau?”

Sekarang malah sebaliknya, bukan Tuhan yang perlu dipertanyakan. Justru pemangku atau sulinggih yang perlu ditanya; “Apa mantap nganteb atau muput upacara yang sesajennya sudah bau, bunganya layu, bahkan banyak dikerubungi semut?” Nah, mulai ada kesadaran tentang sarana upacara yang layak untuk dipersembahkan.

Globalisasi ikut mengubah cara-cara menyambut hari raya. Sarana berupa jajan mulai dibuat dekat-dekat hari raya karena ada teknologi, baik cara membuatnya dengan alat-alat yang lebih modern, maupun cara menyimpannya, misalnya, ada kulkas. Janur mudah didapat di pasar, bahkan mulai ada janur yang tahan lama yang didatangkan dari Sulawesi. Lalu ada yang lebih praktis bagi mereka yang sibuk dengan pekerjaan, membeli ornamen sarana ritual yang banyak dijual sekarang ini. Lihatlah di sepanjang jalan antara Lukluk-Kapal atau di berbagai pasar desa, berbagai ornamen sudah ada yang menjual.

Yang tak kalah pentingnya adalah cara-cara umat melakukan yadnya itu sudah mulai praktis, yakni disesuaikan dengan situasi dan kondisi, termasuk ketersediaan dana. Disebut praktis karena untuk apa membuat jajan yang banyak ragamnya dan banyak jumlahnya, kalau tidak ada yang makan lungsuran atau prasadamnya. Untuk apa membuat banten yang besar kalau yang kecil saja sudah sesuai dengan sastra agama. Contoh kecil, dulu di kampung saya setiap orang membuat rangkaian “banten pejati” selalu ada “ketipat gong” lengkap dengan rokok dan koreknya. Sekarang yang ada “ketipat gong” hanya untuk tempat khusus.

Kesadaran umat itu tentu karena pendidikan yang sudah lebih maju. Juga berkat intensifnya penataran maupun dharma wacana yang diberikan para tokoh-tokoh agama. Umat Hindu di pedesaan sebenarnya sangat menurut kalau diberi penjelasan yang baik. Dulu mereka sering terjebak oleh rasa takut dan salah dalam melakukan tirual. Takut tidak komplit bantennya, takut kurang ini atau kurang itu. Kalau salah, nanti Tuhan memberikan kutukan. Ida Bethara juga memberikan kutukan atau setidak-tidaknya memberikan “sakit” sebagai sinyal dari adanya kesalahan itu. Padahal mereka sendiri sejatinya juga tidak tahu, kurang itu dari mana ukurannya. Mereka mengukurnya dari tradisi yang sudah turun-temurun, salah atau benar, kurang atau tidak, mereka sebenarnya tak tahu.

Istilah di pedesaan seperti “kepongor” atau “kepanesan” adalah suatu kepercayaan bahwa para leluhur dan bahkan dalam tingkat tertinggi yakni Hyang Widhi dianggap sebagai “penjatuh kutukan”. Tuhan dan Bethara lebih sebagai penghukum, bukan sebagai Yang Maha Kasih, Yang Maha Pengampun.

Karena itu, supaya tidak salah, maka upacara ritual pun harus lengkap. Lengkap versi siapa? Lengkap menurut tradisi yang sudah turun-menurun, tanpa peduli lagi apakah tradisi itu benar atau salah. Karena itulah orang beryadnya dengan besar-

Page 49: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

besaran, berbagai kue dibuat yang pada akhirnya lungsuran-nya tidak dimakan dan diberikan babi. Artinya babi yang menerima prasadam yang utama itu.

Beryadnya yang tidak mahal dan sederhana, bagaimana ukurannya? Bagaimana cara mengurangi banten? Apakah daksina buah kelapanya boleh dipotong-potong dan telurnya separo saja? Tentu bukan itu maksudnya. Kelapa dan telur dalam daksina itu adalah lambang, kalau dipotong-potong berarti sudah menyimpang dari lambangnya. Baju jas kalau lengannya dipotong tentu tak lagi bernama jas. Yang dilakukan adalah kalau memang tak mampu membuat yadnya dengan banten besar seperti rangkaian bebangkit, misalnya, buatlah yang kecil, cukup ayaban tumpeng. Analognya, kalau tak mampu membeli jas, pakai saja baju batik, toh tetap rapi.

Beryadnya itu ukurannya “perasaan hati” tetapi juga disesuaikan dengan kondisi, karena perasaan bisa dikendalikan. Pernah saya melakukan Manusa Yadnya di desa dan saya ditanya kenapa melakukan yadnya yang besar, memakai topeng sidakarya, mendatangkan sekehe shanti, menjamu pemuka adat dan pemangku. Bukankah saya mengajurkan yadnya yang sederhana? Jawaban saya: “Bukankah saya memiliki perangkat gong, punya grup topeng, punya sekehe shanti, kalau itu tidak dipertontonkan untuk apa saya membina kesenian itu? Lalu kapan kesenian itu tampil kalau tidak ada yadnya?”

Begitu juga istilah menjamu warga dan pemuka adat. Kapan saya bisa bersosialisasi dengan pemuka adat kalau tidak dalam yadnya? Artinya kondisi sosial itu penting. Tapi kalau tidak punya sarana dan masih banyak kebutuhan dalam hidup, untuk apa beryadnya besar-besaran dengan cara berhutang menggadaikan kebun? Janganlah agama Hindu dijadikan alasan untuk beban dalam hidup.

Mari kita menyongsong hari raya Galungan dan Kuningan dengan yadnya yang sesuai dengan kondisi kita masing-masing, tak perlu mahal dan besar-besaran kalau masih ada kebutuhan lain yang lebih penting, misalnya, menyekolahkan anak. (*)

Senin,07 Oktober 2013 @ 00:18

Ilmu, Amal dan ImanPandita Mpu Jaya PremaIstilah ilmu amal dan iman ini populer di pertengahan dasawarsa 1900-an, namun kini mulai menguap dilindas berbagai istilah yang lebih mutakhir. Adalah BJ Habibie, yang saat itu Menteri Riset dan Teknologi sekaligus Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) mempopulerkan istilah ini. Tema ini  dijadikan dasar kerjasama antarorganisasi cendekiawan berbagai agama.

Di kalangan cendekiawan Hindu istilah itu kemudian dicarikan pembanding karena kata-kata “amal” dan “iman” dirasakan kurang pas. Muncul kemudian beberapa istilah, misalnya, dipakai kata “bhakti” untuk “amal”, lalu kata “srada” untuk iman. Namun apa pun istilahnya, kata-kata itu tetap saja punya maksud yang sama, bahwa setiap manusia yang beradab haruslah menguasai ilmu pengetahuan, lalu mengamalkan ilmu itu ke tengah-tengah masyarakat dengan catatan bahwa pengalaman ilmu itu harusnya disertai dengan iman atau keyakinan pada ajaran agama. Itu saja intinya.

Apapun istilah yang dipakai, apakah “ilmu amal dan iman” atau “ilmu bhakti dan srada”, hal ini penting terus didengungkan untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan. Dan tetap relevan sepanjang masa, baik untuk menjadi pedoman para pemimpin ataukah jadi acuan setiap orang.

Penguasaan ilmu sangat penting. Umat Hindu sangat memuliakan ilmu pengetahuan dengan dipujanya Saraswati, Dewi Ilmu Pengetahuan. Namun, setelah ilmu dikuasai, amalkan ilmu itu. Janganlah ilmu itu dipendam sendiri. Dalam kitab-kitab Weda, di banyak sloka disebutkan, sebarkan apa yang kau tahu meskipun itu hanya sekelumit pengetahuan, bahkan hanya sepenggal sloka. Amalkan apa yang kau pelajari, meskipun pelajaran itu belum sempurna. Jangan takut gagal.

Ada anggapan salah, bahwa seseorang setelah berilmu hendaknya semakin merendah sesuai dengan kata pepatah “seperti padi, semakin berisi semakin merunduk”. Merendah dan merunduk bukan berarti tidak mengamalkan ilmu itu, tetapi maksudnya janganlah menjadi sombong. Orang tetap terlihat saleh walau mengamalkan ilmunya sepanjang dia tidak memonopoli ilmu itu sebagai kebenaran pribadinya. Ada sloka Weda yang menyebutkan begini: “Menjadi orang saleh dan mengurung diri di dalam kamar, tidaklah istimewa di hadapan Tuhan, karena Tuhan berbangga melihat insan ciptaanNYA mengalami berbagai luka dan jatuh bangun di dalam kelemahannya sebagai seorang  manusia biasa, namun tetap mantap di dalam melayani sesama.”

Jadi, kita tidak perlu takut mengamalkan ilmu itu. Ilmu tanpa diamalkan sama saja dengan bohong. Justru dengan ilmu yang didapat dan kita jadi tahu yang mana benar dan yang mana salah, dalam praktek sehari-hari hal itu harus diamalkan. Setiap malam melakukan pesantian, mencari ilmu dari Purana dan Itihasa, membaca kekawin atau geguritan yang penuh pesan kebajikan, hendaknya di siang hari ilmu itu diamalkan. Kita diajarkan lewat ephos Mahabharata bagaimana Pandawa dihukum dan menderita karena main judi. Nah, amalkan itu dengan menjauhi judi, jangan lagi main ceki atau ke tempat sabungan ayam. Malamnya ikut pesantian mendengarkan berbagai nasehat, siangnya masih mabuk-mabukan minuman keras, jelas nyaplir.

Page 50: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Bertahun-tahun mempelajari pencangkokan tanaman di laboratorium, misalnya, sekarang amalkan di lapangan untuk kesejahtraan petani. Berbulan-bulan belajar agama dan menghafal mantra, sesekali praktekkan ketika ada piodalan di pura. Kepandaian yang hanya di simpan untuk diri sendiri tak ada manfaatnya.

Namun, dalam pengamalan ilmu itu jangan lupa pada iman, pada srada, pada ajaran luhur agama. Srada itu adalah dasar-dasar ajaran agama, jadi jangan sampai mengamalkan ilmu ini menyimpang dari ajaran agama. Kita tahu ilmu merakit bom, tetapi dalam pengamalannya melanggar ajaran agama, bom diledakkan untuk membuat kerusuhan, bukan di medan perang. Kita tahu dari ilmu geologi bahwa di Bedugul tersimpan sumber panas bumi. Kita mau amalkan, kita bor bukit Bedugul itu. Ini salah besar jika di kawasan itu ada tempat-tempat suci. Kita tahu ilmu ekonomi, minuman keras disukai turis yang berkunjung ke Bali dan kita menguasai ilmu membuat minuman keras itu. Lalu kita amalkan, kita buat pabrik minuman keras di pedesaan yang pemasarannya hanya sebagian kecil kepada orang asing. Ini salah besar karena agama Hindu melarang minuman keras, apalagi pabriknya di tengah-tengah pemukiman masyarakat.

Contoh-contoh ini bisa diperpanjang bagaimana ilmu, amal, dan iman harus selaras. Penyelarasan ini yang kurang sekarang atau setidaknya sudah luntur. Coba bayangkan seorang pengajar di sekolah tinggi agama bisa melakukan korupsi, padahal setiap hari kitab agama dijadikan acuan. Ada pemangku yang masih suka metajen, bahkan ada yang ikut terlibat dalam pencurian pratima. Anggota DPRD di Bali masih banyak yang suka main ceki dengan taruhan besar, padahal ilmu yang mereka dapatkan seharusnya sudah cukup untuk dijadikan panutan masyarakat. Hakim yang seharusnya mengadili ternyata tidak adil karena terpengaruh suap.

Kenyataan yang kita lihat sekarang ini justru mereka yang berilmu (dalam hal ini berpendidikan tinggi) yang paling banyak melakukan korupsi. Jadi untuk apa ilmu itu kalau digunakan untuk menyengsarakan rakyat? Marilah umat Hindu menjadi pelopor dari pengamalan ilmu yang berdasarkan iman atau srada. Kita sudah mewarisi keyakinan yang luhur, di mana kita memuja Dewi Saraswati sebagai dewinya ilmu pengetahuan dan kita pun memuja Ganesha sebagai Dewa Kebijaksanaan. Gunakan ilmu secara bijaksana untuk kepentingan umat. (*)

Senin,30 September 2013 @ 00:04

Mari Tanam PohonPandita Mpu Jaya PremaAda yang menarik dari simakrama yang dilakukan Gubernur Bali Made Mangku Pastika pada Sabtu (28/9) yang lalu di Wantilan DPRD Bali. Yakni ketika Mangku Pastika menjelaskan bahwa sektor pertanian dan peternakan sangat menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan Bali yang saat ini tak bisa dipenuhi oleh Bali sendiri. Mangku Pastika menyebutkan contoh sederhana bagaimana sebuah restoran di Renon setiap hari mendatangkan ribuan ikan mujahir dari Jawa. Bahkan disebutkan ayam betutu Men Tempeh yang pusatnya di Gilimanuk dan kini sudah punya cabang di berbagai tempat setiap hari mendatangkan ribuan ayam kampung dari Jawa Timur. Kenapa Bali tak menggarap sektor ini?

Sebenarnya kalau contoh itu diteruskan sangatlah panjang. Janur pun setiap hari didatangkan dari Situbondo. Bahkan hampir semua sarana persembahyangan di Bali bahan bakunya datang dari Jawa. Lihatlah di Pasar Badung bagaimana bunga dari Jawa mengalir ke Bali, dan lihat pula di Pasar Kandik bagaimana puluhan truck dari Jawa datang membawa pisang. Bali sangat tergantung pasokan bahan-bahan upacara dari Jawa.

Kenyataan ini semakin menarik dibahas karena Sabtu itu, tatkala Gubernur Bali melakukan simakrama, bertepatan dengan rahinan Tumpek Uduh atau disebut juga Tumpek Pengatag. Tumpek ini bisa disebutkan sebagai awal dari rangkaian panjang Hari Raya Galungan Kuningan, hari kemenangan dharma yang diperingati dengan meriah oleh umat Hindu etnis Bali. Di hari Tumpek Uduh itu orang-orang Bali menghaturkan sesajen ke kebun-kebun, tempat di mana pohon-pohon yang sedang berbuah. Upacara ritual ini masih tetap berlangsung terutama di pedesaan pegunungan. Pohon pisang, pohon mangga, jeruk, durian, sotong, dan semua pohon berbuah diberikan sesajen atau setidaknya sesajen dihaturkan di sebuah tempat di mana berjenis-jenis pohon itu berada. Dalam tradisi para tetua di masa lalu, pohon-pohon itu malah dipeluk sambil diajak berdialog seolah-olah pohon itu bisa mendengar: “Kaki-kaki enggalang nasak buahne, Galungan buin selae lemeng”. (Ini bahasa Bali madya yang artinya: Kaki-kaki cepat matang buahnya, Galungan lagi 25 hari.)

Artinya, orang Bali di masa dulu sudah menyiapkan rangkaian Galungan dengan berharap bahwa buah yang akan dipersembahkan itu adalah buah dari kebunnya sendiri, buah yang sudah “diperciki tirta suci” saat Tumpek Uduh. Sampai sekarang ritual ini berlangsung, meski pun pohon yang berbuah itu sudah mulai jarang ada, atau masih ada satu dua.

Nah, ironisnya apa yang terjadi pada saat Galungan, bahkan pada saat orang-orang Bali menghaturkan sesajen tatkala ada hari raya keagamaan? Buah dibeli di pasar swalayan. Ada buah peer dari Cina, apel dari Amerika atau New Zeland, jeruk dari Bangkok. Kalau pun bukan buah impor semuanya buah dari luar Bali, jeruk Pontianak, apel Malang, pisang dari Jember dan sebagainya. Dengan alasan lebih mudah dengan cara membeli dan bentuknya lebih indah, maka buah lokal menjadi dikesampingkan. Kalau begitu halnya, untuk apa ada Tumpek Uduh atau Tumpek Pengatag, untuk apa lagi pohon-pohon buah di Bali diberikan sesajen? Bukankah berarti sesajen itu lebih tepat kalau “dihaturkan” di pasar swalayan?

Mari kita introspeksi atau istilah Bali mulat sarira. Ada yang salah dalam menerapkan ajaran agama yang prakteknya sudah

Page 51: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

diwariskan para leluhur kita di masa lalu. Leluhur kita sejak menanam pohon, tumbuh besar, berbuah, semuanya dalam rangkaian ritual. Sejak menanam itu yadnya sudah mulai dipersembahkan. Di dalam berbagai ajaran Hindu ada disebutkan, persembahkanlah hasil tanaman dari bumi di mana tanah itu dipijak, di mana keringat membasahi ibu pertiwi. Sekarang kita sudah menyia-nyiakan buah dari “ibu pertiwi Bali” hanya karena disebut kurang indah dilihat. Kita tak lagi menghaturkan nenas, sotong, juwet tetapi buah-buah dari pasar swalayan, bahkan yang masih terbungkus plastik pula – jangan-jangan masih ada label harganya. Lalu kalau ditambah dengan janur dari Sitobondo atau janur Sulawesi dan bunga dari Banyuwangi, ayam atau itiknya dari Probolinggo maka lengkaplah sudah yang dipersembahkan itu datang dari “bumi yang bukan kita pijak”. Apalagi pada hari Galungan, babi yang disembelih pun sudah “babi putih” hasil peternakan di Jawa, padahal ada hari Tumpek Kandang di mana hewan di Bali pun diberikan sesajen.

Sebaiknya kita menyadari kesalahan ini dengan berangsur-angsur memenuhi kebutuhan dari dalam Bali sendiri terutama dalam kaitan dengan yadnya. Pikiranpun jadi hening dan tidak was-was karena yakin buah dan bunga yang kita pakai persembahan itu tumbuh di tempat suci, bukan di tempat yang kotor. Maka ajakan Gubernur Mangku Pastika untuk kembali menanam pohon buah, kembali beternak ikan dan hewan lain, adalah ajakan yang layak diikuti. Setiap halaman yang kosong sebaiknya ditanami pohon, kalau tak memungkinkan pohon berbuah, tanamilah dengan bunga. Kita sudah kehilangan ritual “ngelinggihang Hyang Nini” karena padi di sawah sudah menjadi gabah dan tak bisa diangkut ke lumbung, lagi pula lumbung itu sudah tidak ada. Apakah suatu saat kita akan kehilangan ritual Tumpek Uduh karena tidak ada lagi pohon berbuah yang dijadikan persembahan yadnya?

Seyogyanya para pemerhati dan pegiat lingkungan ikut mengambil peran dalam hal ini, karena persoalannya bukan saja dalam kaitan yadnya, tetapi nilai ekonomisnya pun tinggi karena kebutuhan itu ada. Dibandingkan aksi demo terus-menerus, sesekali mari ajak warga untuk menanam pohon, entah itu pohon yang menyangga lingkungan dalam pengertian melestarikan alam, maupun pohon berbuah dan berbunga yang dibutuhkan untuk ritual yadnya.  (*)

Minggu,22 September 2013 @ 20:20

Membangun BulelengHanya sehari setelah dilantik sebagai gubernur untuk masa jabatan yang kedua, I Made Mangku Pastika langsung melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Buleleng. Sejumlah daerah dikunjungi Gubernur Bali itu, termasuk menginap di sebuah rumah yang baru saja kecipratan program bedah rumah. Ini menyiratkan komitmen gubernur asal Buleleng untuk membangun Bali Utara itu tak usah diragukan lagi.

Kawasan Bali Utara memang sudah lama seperti daerah yang terlupakan selama ini. Padahal dulu pusat pemerintahan Bali ada di Singaraja. Bahkan bukan hanya menjadi pusat Bali, juga pusat pemerintahan Sunda Kecil. Ketika ibukota dipindahkan ke Denpasar berangsur-angsur pula semua kantor-kantor pemerintahan diboyong ke Denpasar. Singaraja praktis menjadi  kota mati. Sempat sejenak mulai ada “napas kehidupan baru” ketika pemerintah membentuk Kowilhan (Komando Pertahanan Wilayah) di mana wilayah Nusa Tenggara dijadikan Kowilhan V. Singaraja dipilih sebagai markas Kowilhan itu. Namun ini juga tak lama, Kowilhan bubar maka kembali Singaraja menjadi sepi.

Sekarang Buleleng mendapat momentum baru yang harus segera disambut dengan baik dan jangan sampai terlewatkan. Yakni, ada rencana pembangunan bandara internasional karena Bandara Ngurah Rai sudah tak mungkin lagi dikembangkan untuk masa-masa mendatang. Bandara Ngurah Rai dikelilingi laut di kedua ujung landasan, ke mana pun diperluas tetap akan mengurug laut. Bandara di Buleleng sudah disurvey keberadaannya dengan ada dua pilihan, di wilayah barat di Kecamatan Gerokgak dan wilayah timur di Kecamatan Kubu Tambahan. Berlarut-larutnya pro kontra terhadap pilihan ini bisa menyebabkan proyek yang akan mengangkat martabat Buleleng itu menjadi sekadar wacana, tak bisa diwujudkan dalam waktu dekat. Malah kalau pilihan itu tak segera diputuskan dan pemerintah pusat merasa dipermainkan, bandara baru bisa diambil alih Kabupaten Tabanan atau Kabupaten Negara. Maka bandara sebagai ikon baru yang akan menularkan pembangunan yang lebih mensejahtrakan rakyat akan hilang selamanya dari Bali Utara,

Kabupaten Buleleng harus bangkit karena kawasan ini sebenarnya wilayah yang sangat unik. Membujur dari ujung barat ke timur di bagian utara Pulau Bali, wilayahnya betul-betulnyegara gunung. Laut dan gunung seperti bertetangga, sehingga tidak ada hamparan lahan pertanian yang luas.

Secara budaya, Buleleng pun unik. Hanya di Buleleng kata kaja dalam bahasa Bali tidak sama dengan utara dalam bahasa Indonesia. Kata kelod juga tidak berarti selatan. Kajadan kelod harus melihat posisi gunung dan laut, dan kebetulan saja laut dan gunungnya itu membujur di satu arah. Di wilayah lainnya di Bali, kata petunjuk kaja dan kelod tak pernah berubah, meskipun laut ada di barat (misalnya di Kabupaten Jembrana dan Tabanan) atau berada di sisi timurnya (seperti di Karangasem).

Dalam banyolan bebondresan, keunikan Buleleng dimunculkan dengan kekontrasannya. Misalnya disebutkan Buleleng yang kaya raya dengan air karena sejumlah desa memakai nama-nama air seperti Yeh Sanih, Banyu Wedang, Banyu Biru, Banyu Poh, Banyu Ning dan sebagainya, namun tak pernah punya abian (kebun) seperti di Bali Selatan: Abian Kapas, Abian Tuwung,

Page 52: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Abian Base dan banyak lagi.

Bebondresan lainnya yang sering dimunculkan adalah “kesaktian Buleleng”. Tak percuma wilayah itu didirikan dan dipimpin oleh Ki Panji Sakti. Semua jalur menuju Buleleng harus dilewati dengan hati-hati. Kalau memakai jalur timur, kita bisa kena culik (ada Desa Culik di Karangsem), lewat barat kita bisa dicekik (ada Desa Cekik di Jembrana), lewat tengah langsung digigit (Desa Gitgit) atau bisa nyeririt (Desa Seririt).

Itu banyolan dan memang dicari-cari. Tetapi yang jelas, kreatifitas nyama Buleleng sebenarnya hebat-hebat. Ketika drama gong lahir dan mewabah di Bali Selatan, Buleleng tampil dengan drama gong yang mengandalkan kecanggihan panggung. Semua sekaa(grup) drama gong punya perlengkapan pentas berupa layar-layar lebar untuk dekorasi panggung. Adegan kerajaan ada latar belakang gambar istana, adegan di hutan ada gambar pemandangan hutan, bahkan adegan di taman, misalnya, dibuat demikian kreatif seperti membuat kolam-kolam dengan air mancurnya. Kalau dipikirkan saat ini, betapa mengagumkan kreatifitas itu, karena di tahun 1970-an peralatan listrik dan teknologi tak semaju sekarang, tetapi mereka bisa membuat gerak-gerak tipuan seperti bidadari yang seolah-olah terbang ke angkasa, atau adegan orang naik perahu.

Di bidang seni tabuh dan tari, nyama Buleleng juga kreatif. Di wilayah ini pernah lahir Tari Badminton selain Tari Nelayan yang populer itu. Jadi, temanya keseharian. Yang membuat orang heran, di bidang tabuh pernah muncul Tabuh Memetik Daun Teh, padahal di mana ada kebun teh di Bali.

Demikian pula di bidang arsitektur, terutama ukiran-ukirannya. Gaya Buleleng menyiratkan ukiran kerakyatan, tidak jelimet dan sedikit kasar tetapi ada nuansa kejantanan dan kekokohan. Sulit untuk menjelaskan dengan kata-kata, tetapi lihatlah angkul-angkul pada rumah-rumah kuno atau candi bentar pada sejumlah pura yang tua.

Kreatifitas warga Buleleng ini pasti akan semakin tumbuh jika pembangunan bergerak lebih lincah di daerah ini. Buleleng akan menemukan jati dirinya sendiri dan bisa mengembangkan kekhasan daerahnya yang beda dengan kabupaten lain di Bali. Caranya tentu dengan membangun Kabupaten Buleleng agar tidak menjadi “kabupaten tertinggal” di Bali. Dan itu antara lain dengan segera menangkap momentum adanya rencana pemerintah pusat membangun bandara di kawasan ini, entah di barat atau di timur. (*) 

Senin,16 September 2013 @ 20:02

Merawat dan Mengamankan MuseumPandita Mpu Jaya PremaBerita yang mengagetkan di luar urusan politik dan kriminal adalah hilangnya empat artefak yang menjadi koleksi Museum Nasional di Jakarta. Mengagetkan karena museum ini dijaga dengan pengamanan yang ketat, namun malingnya dengan mudah dan leluasa mencongkel lemari untuk mengambil koleksi yang sangat berharga itu. Benda yang dicuri itu adalah peninggalan Kerajaan Majapahit dan Mataram Kuno di abad 10.

Pencurinya pasti orang yang tahu nilai sejarah dari benda purbakala itu. Bisa jadi bagian dari sindikat, ada tukang tadahnya, lalu ada orang-orang kaya yang ingin memiliki koleksi itu. Seperti halnya pencurian pratima pura yang sering terjadi di Bali, bukan nilai barangnya itu yang utama, tetapi nilai sejarah dan nilai religius dari benda suci itu yang utama.

Apa pelajaran yang bisa dipetik dari kasus ini? Kita terlalu meremehkan benda-benda budaya. Memang, museum adalah tempat yang baik untuk menyimpan benda budaya itu, karena museum bisa dikunjungi setiap saat untuk mempelajari sejarah peradaban. Namun, setelah benda budaya itu disimpan di museum, bagaimana kita bisa merawat benda itu dan yang lebih penting lagi bagaimana mengamankan benda-benda itu. Ini yang nampaknya kurang dipedulikan baik oleh pemerintah yang mengelola museum milik negara, maupun pengelola museum swasta. Harus ada dana yang mencukupi uttuk perawatan dan pengamanan itu.

Museum memang penting, karena dari sana kita bisa belajar perjalanan sejarah bangsa, maupun sejarah budaya. Berbagai jenis museum sudah dibuat dan mungkin akan dibuat lebih banyak lagi. Di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta setiap kementrian (dulu departemen) berlomba-lomba membuat museum. Ada Museum Perangko, Museum Listrik, Museum Iptek, Museum Pers dan masih banyak lagi. Instansi-instansi pun membuat museum. Ada Museum Kereta Api di Ambarawa, akan dibangun Museum Tebu di Klaten.

Di Bali museum juga bertebaran dan semuanya bisa dipertanyakan apakah perawatan dan pengamanannya sudah optimal.  Bagaimana dengan Museum Gedong Kirtya di Singaraja, tempat menyimpan lontar-lontar kuno itu? Apakah sudah dirawat atau jangan-jangan lontarnya sudah keropos dimakan rayap? Apakah ada dana untuk merawat itu? Lalu siapa saja yang memanfaatkan museum itu, apakah pengamanannya cukup? Jangan-jangan banyak lontar yang raib tak tahu siapa yang mencuri.

Page 53: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Museum Subak di Kediri, Tabanan, apa kabarnya? Masihkah tersimpan alat-alat pertanian tradisional di sana, seperti tengala, lampit, ani-ani dan sejenisnya? Apakah itu dirawat? Siapa saja yang mengunjungi dan apakah ada petugas yang menjaga sekaligus menjelaskan apa saja fungsi benda yang dipamerkan?

IdeMuseum Subak ini menarik. Di sana banyak terlihat barang-barang yang tidak dipakai lagi, karena mengolah tanah sekarang ini sudah jauh lebih moderen. Juga banyak ditemukan alat-alat pertanian ketika sawah masih murni dari semprotan pupuk kimia. Ada pula yang sifatnya ritual, katakanlah misalnya ngelinggihan Hyang Nini, membawa padi ke lumbung. Sisa-sisa ritual itu hanya ada di museum karena saat ini padi tidak ada masuk lumbung. Padi rontok di tengah sawah masuk karung, diangkut mobil ke tempat penyosohan. Di mana tempatnya Hyang Nini sekarang ini, kalau bukan di museum?

Artinya, Museum Subak itu dibangun memang sudah mengantisipasi kemajuan zaman bahwa suatu saat subak dengan segala pernik-pernik perlengkapannya akan hilang. Sedih juga kita mendengarnya, sebuah organisasi tradisional Bali yang begitu dikagumi dunia dan menghasilkan berbagai buku, tiba-tiba rontok oleh perubahan. Tentu kita akan makin sedih jika cerita kehebatan subak itu tak bisa lagi kita kenang lagi, dan karena itu museum khusus dibuat. Nah persoalannya kalau merawat museum ini tak bisa, maka habislah kisah-kisah bagaimana leluhur kita di masa lalu mengolah tanah pertaniannya.

Museum Bali di Denpasar yang dikelola pemerintah saja sudah mulai ditinggalkan pengunjung. Kita seperti tak biasa mengunjungi museum, karena kita malas mempelajari sejarah peradaban bangsa. Kalau museum milik pemerintah saja seperti itu, bagaimana dengan museum “semi pemerintah”, sebut misalnya Museum Puri Lukisan di Ubud, Museum Ni Polok di Sanur. Masih mending museum swasta yang dibuat sendiri oleh para seniman, museumnya terawat baik. Karena si seniman ini punya ketergantungan bisnis dengan tema museum itu. Sebut misalnya Museum Neka di Ubud, Museum Rudana di Peliatan, Museum Klasik Gunarsa di Klungkung.

Pernah ada ide untuk membuat Museum Canang di Bali. Apaide di balik pendirian museum ini? Ada yang mengatakan, canang – dan segala jenis banten lainnya–suatu ketika akan lenyap. Umat Hindu yang semakinmoderen, mulai meninggalkan canang. Mereka tidak lagi membutuhkan simbol-simbol itu, karena mereka sudah bisa mengucapkan mantram langsung dari kitab Weda. Untuk apa lagi simbol?Lagi pula, canang sekarang ini sudah “bukan canang lagi” karena ornamen di dalamnya tidak lagi lengkap. Karenacanang bisa dibeli sembarangan di pasar, dan pembelinya tidak lagi menghiraukan apakah semuanya lengkap, tinggal diisi dupa langsung dipakai sembahyang. Dan pembeli pun tak usah mikir, apakah janurnya hasil curian, pokoknya langsung ditaruh di sanggah. Apakah itu canang yang benar atau tidak, pokoknya begitu dibeli dari pasar langsung dihaturkan.

Untuk itu perlu Museum Canang agar generasi muda Hindu bisa belajar membuat canang yang benar. Karena mereka tak bisa belajar dari orangtuanya yang sibuk, tak bisa belajar dari buku dan VCD, ya, datanglah ke museum. Di museum sanganak itu akan berkata: “O, ini toh namanya sesayut, ini  namanya canang sari. Kalau tak ada porosan itu bukan canang sari, namanya.”

Seperti itulah idealnya sebuah museum, pengunjung datang untuk belajar. Tapi siapa yang sekarang ini suka mendatangi museum? Dan apakah koleksi museum itu masih utuh, sehingga bisa jadi “bahan belajar” yang lengkap? Pemerintah harus semakin peduli pada lembaga yang bernama museum ini. Di tengah-tengah komersialisasi yang melanda negeri ini, belajar tentang peradaban sangat penting untuk memperkaya jiwa dan batin kita. Mari kita rawat museum yang ada dan mengamankan koleksi di dalamnya. 

Minggu,08 September 2013 @ 07:40

Menjaga Kedamaian BaliPandita Mpu Jaya PremaSenin,05 Agustus 2013 @ 00:20

Merdeka Secara BudayaPandita Mpu Jaya Prema

Sebentar lagi kitamemperingati hari kemerdekaan 17 Agustus.Penjual bendera merah putih biasanya sudah ada di mana-mana, mungkin karena penjualnya lagi mudik ke Jawa menyambut lebaran, merah putih belum berkibar di jalanan. Maklumlah, peluang seperti itu banyak dilakukan oleh para pendatang. Masyarakat Bali jarang yang mau mengambil peran sebagai pedagang asongan, bahkan untuk berdagang di kaki lima saja tak mau.

Apakah masyarakat Bali belum merdeka secara sosial budaya? Kenapa banyak kehidupan sosial budaya yang harus ditopang oleh para pendatang? Pertanyaannya bisa juga dibalikbegini: Kenapa harus merdeka, bukankah Bali tak pernah merasa dijajahsecara budaya? Sebuah wilayah budaya yang merasa tak pernah dijajah, tentu saja tak pernah merasakan apa artinya

Page 54: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

merdeka.

Masalah ini memang sangat absurd, susah untuk dijelaskan.Sulit menjelaskan bagaimana budaya yang terjajah dan bagaimana budaya yang merdeka. Orang Bali merasa bebas merdeka mempergunakan bahasa, mau pakai bahasa Indonesia atau bahasa Bali, terserah saja. Bahkan sudah banyak yang memakai bahasa Jawa sebagai ekspresi kebebasan dan sekaligus menunjukkan pernah merantau ke Jawa. Atau untuk gengsi-gengsian punya pacar orang Jawa, yang kini banyak sekali jumlahnya di Bali.Contohnya orang sudah umum memakai kata “mbak” untuk menyebut kakak perempuan, bukan lagi memakai kata “mbok”, karena “mbok” di Jawa artinya ibu. Orang Bali sudah memakai kata “kates” untuk pepaya, bukan lagi kata “gedang” karena “gedang” berarti pisang di Jawa. Nah, untuk kasus ini ada yang menyebutkan Bali sudah dijajah secara budaya lewat bahasa.

Bahasa Bali menjadi terpinggirkan, tak diminati oleh anak-anak muda sebagai bahasa pergaulan.Penyiar radio swasta sudah berkoar-koar dengan “bahasa gaul”, paduan bahasa Indonesia slank dan Jawa. Kini mulai banyak ada kursus privat pelajaran bahasa Bali. Peserta kursus bukan turis asing, tetapi orang yang lahir di Bali sendiri, yang tak mengenal huruf Bali dan bahasa Bali secara benar, karena ibunya yang juga orang Bali tak bisa mengajarinya. Malah ibu dan bapaknya berbahasa Indonesia.

Sastrawan Bali mendiang Made Sanggra pernah berkata, sudah lama sekali, bahwa bahasa Bali "sedang terjajah dan berusaha untuk merdeka". Kenapa beliau menyebut berusaha merdeka? Karena mulai ada radio-radio swasta yang siaran dalam bahasa Bali. Bahkan ada radio yang saat itu sepenuhnya siaran bahasa Bali. Sekarang dengan alasan iklan dan sponsor, radio itu kembali berbahasa campuran, bahasa Bali hanya untuk pengantar lagu pop Bali. Kalau Made Sanggra masih hidup, pasti beliau kecewa, karena “bahasa Bali belum juga merdeka” dari “penjajah”bahasa lain.

Kalau kita teliti memperhatikan perkembangan sosial budaya keagamaan di Bali saat ini, penjajahan tak cuma dalam berbahasa. Ritual keagamaan punsudah dijajah oleh budaya luar.Kebanyakansarana ritual Hindu di Bali tidak lagi bisa diproduksi oleh alam Bali. Janur, kelapa, telur hampir semua didatangkan dari luar Bali. Bahkan bunga dan buah-buahan yang dipakai ritual juga datang dari luar. Orang maturan sudah memakai apel dan buah pear impor yang dibeli di pasar swalayan. Kemana buah sotong, buah jambu, buah wani yang dulu banyak tumbuh di Bali? Padahal hakekat maturan adalah mempersembahkan hasil alam sendiri.

Pantai di Bali sudah jarang dihiasi nyiur melambai, sebagai mana lirik lagu wajib di masa lalu. Pantai sudah dihiasi beton hotel, villa atau restoran. Pohon enau (jaka menurut orang Bali) juga jarang, karena itu orang Bali bangga dengan adanya “busung dari Sulawesi” yang kini berton-ton memasuki wilayah Bali lewat pelabuhan Benoa.

Kini ada perkembangan baru. Dupa yang banyak beredar di Bali adalah dupa yang mengandung zat kimia. Menurut seorang dokter di RSUP Sanglah sudah banyak pemangku dan sulinggih yang menderita kelainan di paru-paru karena menghirup asap dupa berzat kimia itu. Maka diproduksilah dupa herbal, bahannya antara lain, bunga kamboja. Di mana bunga itu datangnya? Dari Kabupaten Probolinggo dan Situbondo. Padahal di Bali banyak pohon kamboja, cuma pohon itu seperti tak dipelihara dibiarkan tinggi sehingga bunganya sulit dipetik.

Di Pasar Sanglah dan Pasar Badung sudah banyak dijual sarana upacara yang kecil-kecil seperti canang sari, daksina, pejati. Di antara mereka ada yang bukan orang Bali dan bukan Hindu. Memang mereka mengaku hanya menjualnya saja, yang membuatkan orang Bali. Tapi kenyataannya pedagang yang nonBali itu sambil menunggung pembeli sudah bisa merangkai canang sari sambil membuat ketupat untuk pejati.

Yang memprihatinkan, orang Bali terus menjual tanahnya, baik di gunung mau pun di pantai. Sawah-sawah antara Kuta dan Soka sudah habis dikapling-kapling begitu ada wacana membangun jalan tol.Sementara itu di jalan baypass Kediri Tabanan ada baliho Bupati Tabanan yang mengajak masyarakat Bali bertransmigrasi. Apakah kita benar-benar sudah kalah oleh penjajah dan tak sanggup merdeka? Lihatlah patung Wisnu Murti di perempatan Kediri, Tabanan. Patung itu sekarang sudah hancur dan akan diganti patung lain. Saya tak tahu patung apa yang akan dibangun, mungkin patung yang bernuansa moderen yang jauh dari budaya keagamaan orang Bali.

Saya kira sudah saatnya dirumuskan kembali sebuah kebijakan yang mendasar untuk membentengi budaya Bali dari "penjajahan budaya" yang datang dari luar. Kita punya slogan yang mentereng soal ini, misalnya, pariwisata budaya. Tapi, makhluk apa itu? Tak pernah lagi kita evaluasi, apa benar pariwisata yang ada sekarang ini menguntungkan budaya Bali? Mari kita duduk bersama untuk merumuskan kembali strategi kebudayaan diBali, jangan hanya bisa menyalahkan saja, berikan solusi.Budaya berubah itu sudah jamak, tetapi biarlah perubahan itu dilakukan oleh pendukung budayanya. (*)Senin,05 Agustus 2013 @ 00:20

Merdeka Secara BudayaPandita Mpu Jaya Prema

Sebentar lagi kitamemperingati hari kemerdekaan 17 Agustus.Penjual bendera merah putih biasanya sudah ada di mana-mana, mungkin karena penjualnya lagi mudik ke Jawa menyambut lebaran, merah putih belum berkibar di jalanan. Maklumlah, peluang seperti itu banyak dilakukan oleh para pendatang. Masyarakat Bali jarang yang mau mengambil peran sebagai pedagang asongan, bahkan untuk berdagang di kaki lima saja tak mau.

Page 55: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Apakah masyarakat Bali belum merdeka secara sosial budaya? Kenapa banyak kehidupan sosial budaya yang harus ditopang oleh para pendatang? Pertanyaannya bisa juga dibalikbegini: Kenapa harus merdeka, bukankah Bali tak pernah merasa dijajahsecara budaya? Sebuah wilayah budaya yang merasa tak pernah dijajah, tentu saja tak pernah merasakan apa artinya merdeka.

Masalah ini memang sangat absurd, susah untuk dijelaskan.Sulit menjelaskan bagaimana budaya yang terjajah dan bagaimana budaya yang merdeka. Orang Bali merasa bebas merdeka mempergunakan bahasa, mau pakai bahasa Indonesia atau bahasa Bali, terserah saja. Bahkan sudah banyak yang memakai bahasa Jawa sebagai ekspresi kebebasan dan sekaligus menunjukkan pernah merantau ke Jawa. Atau untuk gengsi-gengsian punya pacar orang Jawa, yang kini banyak sekali jumlahnya di Bali.Contohnya orang sudah umum memakai kata “mbak” untuk menyebut kakak perempuan, bukan lagi memakai kata “mbok”, karena “mbok” di Jawa artinya ibu. Orang Bali sudah memakai kata “kates” untuk pepaya, bukan lagi kata “gedang” karena “gedang” berarti pisang di Jawa. Nah, untuk kasus ini ada yang menyebutkan Bali sudah dijajah secara budaya lewat bahasa.

Bahasa Bali menjadi terpinggirkan, tak diminati oleh anak-anak muda sebagai bahasa pergaulan.Penyiar radio swasta sudah berkoar-koar dengan “bahasa gaul”, paduan bahasa Indonesia slank dan Jawa. Kini mulai banyak ada kursus privat pelajaran bahasa Bali. Peserta kursus bukan turis asing, tetapi orang yang lahir di Bali sendiri, yang tak mengenal huruf Bali dan bahasa Bali secara benar, karena ibunya yang juga orang Bali tak bisa mengajarinya. Malah ibu dan bapaknya berbahasa Indonesia.

Sastrawan Bali mendiang Made Sanggra pernah berkata, sudah lama sekali, bahwa bahasa Bali "sedang terjajah dan berusaha untuk merdeka". Kenapa beliau menyebut berusaha merdeka? Karena mulai ada radio-radio swasta yang siaran dalam bahasa Bali. Bahkan ada radio yang saat itu sepenuhnya siaran bahasa Bali. Sekarang dengan alasan iklan dan sponsor, radio itu kembali berbahasa campuran, bahasa Bali hanya untuk pengantar lagu pop Bali. Kalau Made Sanggra masih hidup, pasti beliau kecewa, karena “bahasa Bali belum juga merdeka” dari “penjajah”bahasa lain.

Kalau kita teliti memperhatikan perkembangan sosial budaya keagamaan di Bali saat ini, penjajahan tak cuma dalam berbahasa. Ritual keagamaan punsudah dijajah oleh budaya luar.Kebanyakansarana ritual Hindu di Bali tidak lagi bisa diproduksi oleh alam Bali. Janur, kelapa, telur hampir semua didatangkan dari luar Bali. Bahkan bunga dan buah-buahan yang dipakai ritual juga datang dari luar. Orang maturan sudah memakai apel dan buah pear impor yang dibeli di pasar swalayan. Kemana buah sotong, buah jambu, buah wani yang dulu banyak tumbuh di Bali? Padahal hakekat maturan adalah mempersembahkan hasil alam sendiri.

Pantai di Bali sudah jarang dihiasi nyiur melambai, sebagai mana lirik lagu wajib di masa lalu. Pantai sudah dihiasi beton hotel, villa atau restoran. Pohon enau (jaka menurut orang Bali) juga jarang, karena itu orang Bali bangga dengan adanya “busung dari Sulawesi” yang kini berton-ton memasuki wilayah Bali lewat pelabuhan Benoa.

Kini ada perkembangan baru. Dupa yang banyak beredar di Bali adalah dupa yang mengandung zat kimia. Menurut seorang dokter di RSUP Sanglah sudah banyak pemangku dan sulinggih yang menderita kelainan di paru-paru karena menghirup asap dupa berzat kimia itu. Maka diproduksilah dupa herbal, bahannya antara lain, bunga kamboja. Di mana bunga itu datangnya? Dari Kabupaten Probolinggo dan Situbondo. Padahal di Bali banyak pohon kamboja, cuma pohon itu seperti tak dipelihara dibiarkan tinggi sehingga bunganya sulit dipetik.

Di Pasar Sanglah dan Pasar Badung sudah banyak dijual sarana upacara yang kecil-kecil seperti canang sari, daksina, pejati. Di antara mereka ada yang bukan orang Bali dan bukan Hindu. Memang mereka mengaku hanya menjualnya saja, yang membuatkan orang Bali. Tapi kenyataannya pedagang yang nonBali itu sambil menunggung pembeli sudah bisa merangkai canang sari sambil membuat ketupat untuk pejati.

Yang memprihatinkan, orang Bali terus menjual tanahnya, baik di gunung mau pun di pantai. Sawah-sawah antara Kuta dan Soka sudah habis dikapling-kapling begitu ada wacana membangun jalan tol.Sementara itu di jalan baypass Kediri Tabanan ada baliho Bupati Tabanan yang mengajak masyarakat Bali bertransmigrasi. Apakah kita benar-benar sudah kalah oleh penjajah dan tak sanggup merdeka? Lihatlah patung Wisnu Murti di perempatan Kediri, Tabanan. Patung itu sekarang sudah hancur dan akan diganti patung lain. Saya tak tahu patung apa yang akan dibangun, mungkin patung yang bernuansa moderen yang jauh dari budaya keagamaan orang Bali.

Saya kira sudah saatnya dirumuskan kembali sebuah kebijakan yang mendasar untuk membentengi budaya Bali dari "penjajahan budaya" yang datang dari luar. Kita punya slogan yang mentereng soal ini, misalnya, pariwisata budaya. Tapi, makhluk apa itu? Tak pernah lagi kita evaluasi, apa benar pariwisata yang ada sekarang ini menguntungkan budaya Bali? Mari kita duduk bersama untuk merumuskan kembali strategi kebudayaan diBali, jangan hanya bisa menyalahkan saja, berikan solusi.Budaya berubah itu sudah jamak, tetapi biarlah perubahan itu dilakukan oleh pendukung budayanya. (*)Senin,29 Juli 2013 @ 00:15

Menolong Sesama ManusiaPandita Mpu Jaya Prema

Saat ini saya tak bisa meninggalkan desa saya, karena di griya atau pasraman tempat saya tinggal ada upacara Pitra Yadnya yang diikuti satu keluarga besar. Ritual yang masih memegang pola tradisi lama ini menyita waktu lebih dari dua minggu,

Page 56: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

karena Pitra Yadnya dilanjutkan dengan Manusa Yadnya. Waktu yang lama tidak membuat mereka gelisah, justru mereka gembira melakoninya. Mereka adalah petani, kebersamaannya tidak dihalangi oleh pekerjaan sehari-hari. Suatu hal yang sulit dilakukan oleh masyarakat perkotaan yang warganya beraneka profesi.

Tolong-menolong mereka masih kuat. Karena tak semua menggarap kebun milik sendiri, ada yang hanya berburuh, ada yang bagi hasil dan sebagainya, maka untuk ritual ini iuran tidak sama. Besar iuran semampunya. Uang dikumpulkan lebih dulu, setelah diketahui jumlahnya, mereka berkonsultasi dengan sulinggih, tingkat upacara apa yang bisa dilakukan dengan uang yang ada. Tingkat upacara ini hanya berkaitan dengan banten, bukan mengubah tradisi mereka yang “mengulur-ulur waktu”. Bagi warga desa saya, ngaben yang hanya lima tahun sekali, haruslah berkesan, tak bisa cuma dua atau tiga hari selesai.

Sesajen yang mereka bikin pun sederhana. Buah yang dipakai umumnya lokal, jeruk dari ladang sendiri, begitu pula pisang. Saya katakan, untuk apa sesajen yang penuh buah impor kalau kita tak mampu membelinya? Apalagi pengeluaran untuk janur besar biayanya, karena kelapa sulit tumbuh di kampung saya. Lewat ritual ini justru kebersamaan yang dipupuk dan tolong-menolong sesama warga semakin nampak.

Kita sering lupa menolong orang, menolong sesama manusia, karena lebih senang jor-joran dalam melaksanakan ritual. Membeli banten untuk “ngenteg linggih” bisa sampai Rp 350 juta, tetapi menyekolahkan anak tak mampu. Atau contoh lebih kecil dan sederhana seperti ini. Misalkan Anda melaksanakan persembahyangan ke tempat yang jauh, membawa sesajen yang banyak berisi buah dan jajan, lalu di perjalanan ada seorang peminta-minta yang kelaparan, apakah Anda akan memberikan buah dan kue di sesajen itu? Umumnya tidak.

Dalam kisah kehidupan para sanyasin di India, banyak ditemukan teladan bagaimana menolong sesama manusia. Ada kisah sanyasin bernama Rahji. Suatu ketika keluarga ini mau menghaturkan sesajen di pura (mandir) di atas bukit. Di perjalanan ia menemukan gelandangan yang hampir sekarat karena haus dan lapar. Istri Rahji berkata: “Kita teruskan saja perjalanan ke bukit. Sepulang dari bersembahyang, baru kita berikan makanan dari sesajen ini.”

Rahji mula-mula sepakat, bukankah dalam ajaran Hindu kita wajib mempersembahkan semua makanan kepada Hyang Widhi, dan kita hanya menerima prasadam (bahasa Bali:surudan) saja? Dalam tradisi di Bali ada istilah ngejot atau mesaiban sebelum kita makan, dan bagi umat Hindu yang lebih moderen (karena tahu ada mantramnya) berdoa sebelum makan, sehingga yang kita makan semuanya adalah prasadam.

Tapi, Rahji berubah pendapat. Ia mengambil makanan dalam sesajen itu dan memberikan kepada gelandangan. Alasannya: “Kalau kita menunggu perjalanan ke atas bukit baru memberikan makanan dalam bentuk prasadam, jangan-jangan gelandangan ini keburu meninggal dunia. Kita harus selamatkan mereka.”

Dan keluarga Rahji memberikan makanan itu kepada gelandangan yang sekarat. Gelandangan menjadi segar dan Rahji pun meneruskan ke bukit melakukan persembahyangan, tanpa membawa sesajen. Rahji puas karena bersembahyang diikuti perasaan lega telah menolong sesama ciptaan Tuhan. Untuk apa sembahyang atau beryadnya, jika setelah itu kita jadi marah-marah atau sedih karena ada barang yang digadikan, misalnya? Apalagi Rahji percaya wejangan dalam Bhagawad Gita, dalam keadaan yang sangat sederhana, Tuhan bisa dipuja dengan hanya sekuntum bunga dan setangkai daun.

Saya kira semua ajaran agama menempatkan hubungan horisontal sesama manusia sebagai hal yang utama, melebihi hubungan vertikal antara manusia dengan Hyang Widhi. Kisah-kisah sufi dalam ajaran Islam, yang banyak memberi contoh tentang kebajikan antar manusia, bahkan menjadi buku yang sangat digemari. Dalam sastra Hindu, kisah-kisah itu tercecer di sana-sini.

Umat Hindu mengenal konsep Tri Hita Karana. Dimulai dari hubungan harmonis kita sesama manusia, kemudian hubungan harmonis manusia dengan alam, barulah hubungan harmonis rohani manusia dengan Hyang Widhi. Artinya, keharmonisan sesama manusia dengan tolong menolong itu hal yang paling utama. Kenapa? Karena kita menjaga keharmonisan sesama makhluk ciptaan Tuhan.

Dalam hal ritual Manusa Yadnya, kenapa rujukan kita hanya mengedong-gedongan, tiga bulanan, otonan, potong gigi dan seterusnya? Kenapa tidak dikembalikan sebagai yadnya untuk kemanusiaan? Mungkin dalam perjalanan ke depan hal ini lebih mendapatkan perhatian.

Renungan untuk sekedar sesuluh ini saya tulis dalam suasana ritual di kampung yang penuh dengan kesederhanaan. Juga pada saat umat Muslim menyongsong hari raya Idul Fitri, hari-hari di mana umat Muslim diingatkan untuk peduli kepada sesama manusia. Mari kita terus pupuk semangat untuk tolong menolong sesama manusia, karena kita yakin tak bisa hidup sendiri di dunia ini. Dan kelak ketika kita meninggalkan dunia ini pun kita tak membawa harta apa-apa, hanya kebajikan dan amal yang dikenang dan selanjutnya karma akan menentukan perjalanan kita. Untuk sahabat-sahabat Muslim saya ucapkan selamat hari lebaran, maaf lahir batin.Minggu,11 Agustus 2013 @ 23:30

Reklamasi dan Alih LahanPandita Mpu Jaya Prema

Masalah alih lahan di Bali menjadi perbincangan yang ramai belakangan ini. Lahan yang dimaksudkan tentu saja lahan

Page 57: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

produktif seperti sawah yang subur maupun hutan yang menyangga kelestarian alam. Ada pun ramainya perbincangan karena dipicu oleh adanya rencana reklamasi di Tanjung Benoa. Pro dan kontra reklamasi ini sudah melebar ke mana-mana dan sarat kepentingan politik, baik menjelang Pemilu 2014 mau pun pasca Pilkada Bali yang lalu.

Masalah reklamasi Tanjung Benoa itu sesungguhnya masalah sederhana kalau saja kita mau melihat permasalahannya dengan jujur tanpa ada kepentingan politik tertentu atau untuk menjatuhkan pejabat tertentu. Reklamasi sebagai upaya menambah lahan baru, baik untuk kepentingan umum maupun kepentingan bisnis, bukanlah sesuatu yang buruk. Di banyak negara hal itu dilakukan, di negeri ini pun banyak pula dilakukan. Kawasan Ancol yang kini sebagian berdiri Taman Impian Jaya Ancol adalah lahan bekas reklamasi. Perluasan bandara Ngurah Rai pun sesungguhnya reklamasi yang terbatas, yang tidak menimbulkan masalah, mungkin karena terlalu kecil.

Namun banyak juga reklamasi yang bermasalah, karena struktur pantai dan arus di pantai itu yang tak memungkinkan adanya reklamasi. Misalnya, karena reklamasi terjadi arus stagnan di perairan yang menyebabkan aliran air dari daratan tak segera bisa dibuang ke laut, akibatnya daratan banjir.

Kita tak tahu apa yang terjadi di Tanjung Benoa, karena itu diadakan kajian oleh LPPM Unud. Karena kajian ini memerlukan biaya yang besar, tentu harus ada hitam di atas putih, ada surat keputusan untuk melaksanakan kajian. Sementara kajian belum selesai, ternyata kita ributnya setengah mati. Padahal kalau kita sedikit tenang, tunggulah hasil kajian Unud. Kalau memang tak ada pengaruhnya yang buruk untuk kawasan sekitar, mari dilanjutkan. Atau kalau pengaruhnya lebih kecil dan bisa diatasi sementara manfaatnya lebih besar, tetap dilanjutkan dengan membendung pengaruh buruk yang lebih kecil itu. Tetapi kalau hasil kajian ternyata kawasan itu tak memungkinkan direklamasi, ya, tidak usah dilanjutkan. Buang semua rencana pembangunan yang diimpikan, baik menyangkut keperluan umum maupun bisnis. Surat keputusan mengkaji bisa dicabut atau dihentikan sama sekali. Bahwa ada yang rugi karena pengkajian memerlukan ongkos besar, itu adalah resiko yang biasa. Mencari sumur minyak di lautan ongkosnya juga jauh lebih besar dan tidak semua berhasil. Kerugian pun milyaran padahal prakajian sudah diduga ada sumber minyak. Ini hanya menyebut contoh bahwa kajian ilmiah termasuk resiko yang harus ditanggung. Tak sepatutnya menghujat tim pengkaji sebelum hasil kajian itu menyimpulkan suatu keputusan yang final.

Kita sering meributkan suatu masalah tanpa melihat perimbangan masalah yang dihadapi. Ide Pemda Bali dan wakil-wakil rakyat di Bali yang mengijinkan adanya kajian reklamasi itu sebenarnya terobosan untuk memperkecil alih lahan di Bali. Dalam benak mereka tentu kalau reklamasi itu tidak menimbulkan dampak buruk, maka alih lahan untuk kepentingan kawasan baru bisa diatasi, meski tetap sebagian kecil saja. Tetapi kalau reklamasi menimbulkan dampak buruk, ya, tidak jadi. Dan alih lahan di Bali mungkin menjadi tantangan berat, karena bagaimana pun Bali membutuhkan “kawasan lebih” untuk menyongsong penduduk yang makin berjubel.

Ada orang yang sok idealis dengan menyebutkan lahan di Bali harus tetap dipertahankan. Hutan dan sawah subur harus tetap seperti dulu, malah jika perlu ditambah. Namun, mereka juga tiap hari mengeluh soal kemacetan di Bali. Jalan di Bali sangat terbatas, Denpasar-Gilimanuk hanya ada satu jalur jalan, di sana berjubel mobil pribadi, truck besar dari Jawa, sepeda motor yang tiap bulan bertambah ribuan. Lalu mereka menghujat, kenapa pemerintah tidak punya pikiran untuk membangun jalan baru? Nah, ketika ada rencana membangun jalan bypass (kemudian diwacanakan menjadi jalan tol) Denpasar – Soka – Seririt – Gilimanuk, mereka pun berteriak: jangan jual tanah Bali kepada investor, pertahankan sawah Bali. Yang mana yang benar?

Penduduk Bali pasti bertambah, penduduk pendatang pun bertambah. Jelas ini perlu lahan baru untuk perumahan, belum lagi untuk tempat usaha mereka. Lihat saja pertumbuhan perumahan di kawasan Bali, luar biasa. Berhektar-hektar sawah sudah jadi perumahan dan poster jual tanah kapling terserak di sudut-sudut jalan. Rumah yang dibangun pun banyak untuk kalangan “yang hidup sederhana”, cukup dua kamar dengan lahan hanya setengah are. Pembelinya penjual bakso, penjual pecel lele. Berapa lahan subur yang dialih-fungsikan?

Harus ada terobosan untuk mengatasi alih lahan ini, yang tidak sekedar mengimbau penduduk agar tak menjual tanah, slogan yang lebih besar “jangan jual murah Bali”. Penduduk perlu rumah, Bali perlu jalan lebih luas dan lebih banyak agar bisa bergerak. Ada yang meramalkan lalu lintas di Bali akan krodit luar biasa empat tahun mendatang kalau tak ada terobosan baru. Kawasan bisnis pun perlu lahan, ini hukum ekonomi, manusia bertambah kepentingan bertambah.

Nah, perlu terobosan itu. Misalnya, kenapa tak diperkenalkan rumah susun yang terbatas, artinya kalau ada Perda yang membatasi ketinggian bangunan 15 meter, ya, rumah susun empat tingkat. Perlu underpass dan jalan layang diperbanyak (yang dulu dianggap tabu), selain membenahi angkutan umum dan membatasi mobil pribadi. Saya kira ide reklamasi itu termasuk terobosan – tentu kalau memungkinkan setelah dikaji. Pembangunan membutuhkan pengorbanan dan mari mencari terobosan dengan korban paling kecil. Contohnya, pembangunan jalan tol Benoa-Bandara-Nusa Dua. Orang-orang mengeluh tentang kemacetan menuju bandara dan Nusa Dua, tapi ketika dibuatkan jalan tol yang mengambil lahan tergolong kecil, mereka memprotes. Terus, maunya apa? Mari membangun Bali dengan santun dan saling mengingatkan, bukan saling menyalahkan. (*)Senin,22 Juli 2013 @ 00:08

Ajarkan Bahasa BaliPandita Mpu Jaya Prema

Tahun ajaran baru sudah dimulai. Tahun ajaran dengan diberlakukannya kurikulum baru yang disebut Kurikulum 2013. Pro dan kontra kurikulum baru ini sudah selesai dan hasilnya tentu saja semua pakar pendidikan percaya dengan keberhasilan kurikulum baru ini. Apa yang dikhawatirkan sebelumnya bahwa kurikulum ini kurang mengadopsi muatan lokal dalam dunia

Page 58: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

pendidikan, tidak sepenuhnya benar. Misalnya bahasa daerah, tetap mendapatkan porsi yang penting. Tentu kemudian tergantung bagaimana pengelola sekolah menerapkan muatan lokal itu. Dan di Bali, sampai saat ini bahasa Bali dianggap tetap mendapat kedudukan yang terhormat. Bukan saja di sekolah-sekolah, Pemda Provinsi Bali bahkan sampai punya ide membuat peraturan daerah tentang bahasa Bali ini.

Dua cucu saya mulai menempuh pendidikan Sekolah Dasar di Denpasar. Yang satu pindah dari kota lain dan duduk di bangku kelas 2 SD, adiknya mulai di kelas 1. Keduanya memakai bahasa Indonesia sebagai “bahasa ibu” dan kini mereka siap-siap untuk menerima bahasa asing lain selain bahasa Inggris. Yakni bahasa Bali. Disebut bahasa asing karena memang ia tak pernah menggunakan bahasa Bali dalam kesehariannya. Saya percaya mereka segera bisa karena lingkungan pergaulannya dan teman-teman di sekolahnya sudah banyak yang memakai bahasa Bali, meski pun pengantar pelajaran di sekolah tetap bahasa Indonesia. Saya membelikan kamus Bahasa Bali – Indonesia. Bekal kamus ini penting untuk mendidik seorang anak agar tak selalu bertanya sesuatu pada orang lain, padahal sesuatu itu bisa dicarinya sendiri. Seorang anak harus dilatih sejak dini untuk mencari informasi dari buku atau internet – kedua cucu saya sudah mahir membuka Google, misalnya. Bertanya tentu boleh tetapi tidak setiap hal harus ditanyakan.

Seberapa penting melestarikan bahasa daerah? Bagi saya melestarikan bahasa Bali adalah hal yang utama. Saya ingin membantah teori para ahli bahasa yang menyebutkan bahwa bahasa daerah akan punah dengan sendirinya dilanda arus globalisasi. Dan ada yang meramalkan bahwa bahasa Bali sebagai bahasanya orang (etnis) Bali akan mati pada tahun 2041. Teori ini menggunakan alih generasi dengan perkiraan generasi baru seperti cucu saya sudah tak akan mengenal bahasa Bali lagi karena ayah dan ibunya sendiri berbahasa Indonesia sehari-hari.

Teori ini tentu saja akhirnya menjadi semacam ramalan: bisa ya, bisa pula tidak. Tapi jangan diremehkan, karena dengan meremehkan kita jadi tak berbuat. Kenyataan menunjukkan sudah lebih dari 350 bahasa etnis di dunia mati. Puluhan bahasa daerah di Nusantara ini juga sudah mati. Tak usah jauh-jauh, bahasa Using yang dipakai masyarakat Blambangan (Banyuwangi) sudah mulai mati suri. Padahal Banyuwangi dan Bali hanya dibatasi selat pendet.

Jika pun tidak mati, akankah nasib bahasa Bali sama buruknya dengan nasib bahasa Sanskrit (Sansekerta)? Bahasa Sansekerta memang tidak mati, tetapi tidak lagi menjadi bahasa pergaulan. Bahasa Sansekerta tinggal menjadi bahasa agama (khususnya Hindu), karena kitab suci Weda memakai bahasa itu. Di India ada 35 bahasa etnis yang tergolong besar yang menjadi bahasa pergaulan, Sansekerta tidak masuk di dalamnya.

Atau bahasa Bali akan mirip dengan nasib bahasa Jawa Kuno, di Bali seringkali disebut bahasa Kawi? Bahasa Kawi sudah mati sebagai bahasa pergaulan, tetapi masih hidup mengap-mengap sebagai bahasa seni (para dalang wayang kulit selalu mempelajari bahasa ini) dan bahasa ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa Hindu. Banyak terjemahan Weda dan tafsir-tafsir Weda yang menggunakan bahasa Jawa Kuno baik dalam bentuk prosa maupun puisi, dibuat oleh pujangga-pujangga Hindu di zaman Kerajaan Kediri dan Majapahit. Warisan kitab ini pun banyak ada di Bali, misalnya, Kekawin Ramayana.

Kenapa bahasa Jawa Kuno mati sebagai bahasa pergaulan? Karena agama Hindu mendapat serangan gencar dari agama Islam yang masuk lewat pesisir Jawa. Islam datang di Jawa bukan saja mengislamkan orang Hindu tetapi lambat laun membelokkan budaya-budaya Hindu, termasuk bahasanya. Bahasa Jawa Kuno mengalami perubahan yang disebut dengan bahasa Jawa Pertengahan, kemudian Jawa Pesisir, lalu Jawa Baru dan akhirnya menjadi bahasa Jawa yang kini dipakai bahasa pergaulan sehari-hari.

Kalau bahasa Bali bernasib sama dengan bahasa Sansekerta dan bahasa Kawi, apa argumentasinya? Bahasa Bali bukan bahasa Weda. Dulu memang ada anggapan, semasih agama Hindu dipeluk penduduk Bali, bahasa Bali pasti tetap hidup. Belakangan anggapan itu berkurang, karena sudah banyak sekali ritual yang memakai bahasa Bali diganti ke mantram dalam Sansekerta. Para pemangku apalagi pendeta di Bali saat ini sudah lancar melafalkan mantram yang langsung berbahasa Sansekerta. Pemujaan sudah mulai bergeser dalam penggunaan bahasa.

Alasan lain sangat sedikit ada tafsir-tafsir Weda yang menggunakan bahasa Bali. Jangankan tafsir, terjemahan Weda ke dalam bahasa Bali juga jarang. Saya hanya menemukan satu kitab terjemahan Bhagawadgita memakai bahasa Bali, kitab-kitab suci lainnya jarang diterjemahkan ke bahasa Bali. Nah, kalau suatu saat bahasa Bali tidak lagi menjadi bahasa pergaulan, bagaimana ia bisa menjadi bahasa ilmu kalau jejaknya tidak ada?

Mari lestarikan bahasa Bali dan mari ajarkan anak-anak berbahasa Bali. Minimal kita akan memperpanjang hidup bahasa Bali di tengah-tengah bahasa dunia lainnya. Penggunaan bahasa Bali dalam forum-forum resmi yang bermuatan budaya, apalagi itu berlangsung di Bali, bisa lebih dipersering. Peraturan daerah untuk menyelamatkan bahasa Bali layak untuk diteruskan meski dengan kehati-hatian agar tidak menjadi bumerang. (*)Senin,15 Juli 2013 @ 08:28

Jadikan Banjar Sebagai PasramanPandita Mpu Jaya Prema

Istilah pasraman kini mulai populer, bukan saja di Bali tapi sudah dalam skala nasional. Selama ini di Bali pasraman itu lebih banyak bersifat pendidikan nonformal. Kata pasraman yang diambil dari kata ashram, mula-mula dikaitkan dengan pendidikan di lingkungn griya – rumah para pendeta Hindu – yang sistem pendidikannya jauh dari formal. Murid atau lebih tepatnya sisya yang datang pun beragam dalam usia, dari anak-anak sampai orang tua. Dan yang memberikan pelajaran atau lebih tepatnya

Page 59: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

wejangan mengenai kerohanian adalah pendeta itu sendiri. Sistem aguron-guron menurut tradisi leluhur di masa lalu.

Kemudian istilah pasraman melebar keluar dari lingkungan griya ke lingkungan Desa Pekraman. Karena pemerintah Prov Bali memberikan dana setiap tahun untuk Desa Pakraman yang dituangkan dalam bantuan kepada Majelis Alit Desa Pakraman sebesar Rp 50 juta. Dana ini diharapkan ada yang dipakai untuk mendirikan pasraman. Maka lahirlah pasraman desa, yang sesungguhnya model pendidikannya juga tak jelas dan tak seragam di setiap desa. Pada awal-awalnya setiap minggu terlihat anak-anak sekolah, datang ke pasraman desa, mereka diberikan pendidikan agama ala kadarnya oleh tokoh setempat atau oleh guru agama Hindu yang ada di desa itu. Pemda Prov. Bali merencanakan menaikkan bantuan ini menjadi Rp 100 juta per tahun dengan catatan Rp 20 juta khusus untuk pasraman desa. Lalu pola pendidikan semacam apa yang dilaksanakan di sana? Belum jelas benar wujudnya.

Sementara itu di tingkat nasional pendidikan dalam wadah pasraman diberikan tempat dalam undang-undang. Lewat UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasraman disejajarkan dengan pendidikan madrasah yang ada di pesantren-pesantren. Bahkan dalam bahasa keseharian disebutkan bahwa pasraman itu adalah “pesantren umat Hindu” atau oleh beberapa umat Hindu di balik bahwa pesantren itu adalah “pasraman umat Islam”. Inilah pasraman yang formal, namun syarat-syarat pendirian itu juga begitu formal: dinaungi organisasi yang berbadan hukum, punya gedung sendiri, kurikulum jelas, tenaga pengajar yang cukup, dan berbagai syarat yang hampir sama dengan sekolah swasta lainnya. Bahkan pasraman dalam kaitan dengan undang-undang ini tak lain dari sekolah swasta yang bernapaskan Hindu.

Apakah di Bali kita siap dengan pasraman formal seperti itu? Bukankah sekolah swasta yang dimiliki oleh lembaga yang bernapaskan Hindu di Bali kalah segalanya dibandingkan sekolah swasta yang bernapaskan agama non-Hindu? Gubernur Bali Mangku Pastika pernah mengeluhkan hal itu, kenapa anak-anak Hindu lebih banyak bersekolah di sekolah milik yayasan Kristen dan Katolik. Jawabnya adalah prasarana di sana lebih lengkap yang menunjang mutu pendidikan jadi lebih baik.

Melihat hal ini, sesungguhnya biarkan saja di Bali muncul pasraman desa adat atau pasraman di griya Sulinggih, sementara jika ada yang mau membangun pasraman formal yang sesuai dengan UU Sistem Pendidikan Nasional silakan saja. Apalagi di Bali sudah terbentuk Dewan Pasraman yang nampaknya lebih banyak menaungi pasraman nonformal itu.

Kalau kita membaca kitab-kitab agama dan meneruskan apa yang dirintis oleh para leluhur di masa lalu, sistem banjar adat di Bali dengan adanya balai banjar adalah pasraman sebagai tempat menggembleng manusia Hindu untuk menjadi manusia yang andal dalam berbagai bidang kehidupan.

Kitab Brahma Purana pada sloka 228, 45 menyebutkan tujuan hidup adalah Dharma artha kama mokshanam sarira sadhanam. Lalu kitab Agastia Parwa menyebutkan tahapan dalam perjalanan hidup yang disebut Catur Asrama yaitu Brahmacari Asrama, Grhastha Asrama, Wana Prastha Asrama dan Sanyasin Asrama.

Di India asrama ini biasa disebut ashramdan di Bali sekarang dipopulerkan menjadipasraman. Memang, kata asrama untuk Indonesia yang terbayang adalah asrama militer atau asrama mahasiswa, ada sejumlah ruang tidur, ruang belajar, ruang makan, ruang sekretariat, aula dan perlengkapan lainya. Padahal bukan itu yang dimaksudkan. Mpu Kuturan, leluhur orang Bali, memperkenalkan konsep Desa Pekraman yang memiliki Kahyangan Tiga  sebagai sarana untuk mempersatukan umat. Itulah penjabaran asrama yang termuat dalam kitab-kitab Hindu. Di wilayah Desa Pekraman inilah umat menempuh pendidikan yang bertujuan mewujudkan Dharma, Artha, Kama dan Moksha secara bertahap sesuai dengan tahapan Catur Asrama.

Memang, dalam perjalanan zaman, ada yang hilang dari konsep lama ini, yakni unsur pendidikannya. Urusan pendidikan sudah diserahkan sepenuhnya ke pemerintah atau dalam istilah kerennya pendidikan formal. Banjar tidak lagi menjadi tempat pendidikan. Memang di beberapa banjar ada pesantian, tetapi itu lebih banyak diikuti oleh orang-orang tua. Dan itu pun sesugguhnya bukan pendidikan dalam arti untuk diamalkan, tetapi sekedar urusan kesenian. Jika penekanannya seni, orang hanya mahir menembang atau mewirama, tetapi tidak mengamalkan apa filosofi dari sastra yang dibaca itu. Contohnya, orang bisa mahir menembangkan berbagai kekawin dan geguritan, hafal Geguritan Sucita Subudi atau Kekawin Ramayana, tetapi kesehariannya masih suka metajen, meceki, mabuk-mabukan dan sebagainya.

Sejalan dengan ide Pemda Prov Bali yang menggagas Pasraman Desa Pekraman dengan memberikan bantuan setiap tahun, maka sebaiknya konsep “banjar sebagai pasraman” layak dihidupkan lagi. Pendidikan agama dan budaya benar-benar dilakukan di sini. Biarlah belajar matematika atau bahasa Indonesia di sekolah negeri, tetapi belajar agama Hindu, belajar bahasa Bali, belajar menembang dan sebagainya diintensifkan di balai banjar yang dijadikan pasraman desa. Hidupkan kembali banjar sebagai pasraman karena membuat pasraman yang formal sangat sulit. Tentu pasraman formal yang sulit itu boleh saja dirintis. (*) 

Pemerintah pusat akhirnya mengambil keputusan agar penyelenggaraan Miss World dilangsungkan sepenuhnya di Bali. Tadinya, kontes kecantikan tingkat dunia yang diikuti lebih dari seratus negara ini acara puncaknya dilangsungkan di Sentul, sebuah “kota metropolitan baru” yang masuk Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Tapi karena banyaknya penolakan dari ormas Islam, termasuk Majelis Ulama Indonesia – padahal ini bukan acara keagamaan – akhirnya Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar, yang dulunya bintang film yang sangat menyenangi acara-acara glamour semacam ini, menolak diselenggarakan di wilayah Jawa Barat.

Kita di Bali sejak awal menyambut baik acara Miss World karena ini akan makin memperkenalkan Bali ke penjuru dunia. Indonesia sudah tiga tahun meloby panitia Miss World agar acara itu diselenggarakan di negeri ini, dan ketika berhasil ternyata banyak pihak yang menolaknya. Saya berharap kita tak meruncingkan konflik pro dan kontra, apalagi kalau dikaitkan dengan budaya. Budaya di dunia itu beragam dan di negeri ini juga beragam. Apalagi kalau menyoroti dari satu sisi, misalnya,

Page 60: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

pornografi. Pentas dangdut di kota-kota Jawa jauh lebih porno dari ajang Miss World ini. Apalagi kita bisa mengendalikan peserta Miss World agar mematuhi budaya Bali.

Sesungguhnya, sebagian besar orang Bali “tak begitu peduli” dengan acara ini. Peserta sudah beberapa hari lalu tiba di Bali, mereka berkumpul di hotel mewah kawasan Tanah Lot sebelum akhirnya mengikuti acara resmi di hotel mewah kawasan Nusa Dua. Orang Bali hanya sedikit saja yang menaruh perhatian, umumnya mereka yang bergerak di bidang pariwisata. Selebihnya tetap seperti biasa, yang petani bekerja di sawah dan dikebun, apalagi sekarang panen raya kopi. Para pengerajin sibuk berkarya. Bahkan ritual terus berlangsung. Saya hampir setiap hari sibuk melayani ritual, apalagi bulan ini hari baik untuk upacara perkawinan.

Namun, ketika penolakan ajang Miss World ini menyinggung masalah Bali dengan budaya dan agamanya, orang-orang Bali pun seperti bangun dari tidurnya. Saya terpaksa ikut peduli. Tetapi bukan peduli pada acara kontes itu, namun peduli untuk menjelaskan bagaimana orang Bali mempertahankan adat dan budayanya. Adat kita di Bali adalah menerima tamu yang datang dengan baik-baik secara baik-baik pula. Tamu adalah raja. Kalau ada yang mau mencederai tamu, kita wajib untuk membela keselamatannya. Apalagi kalau ada yang mau merusak kedamaian Bali hanya karena kedatangan tamu itu, kita wajib menjaga Bali dari orang-orang yang ingin merusak.

Orang Bali mewarisi ephos Mahabharata dan Ramayana sebagai kitab Ithiasa dalam konteks Weda. Begitu banyak contoh yang diberikan bagaimana kita wajib mempertahankan wilayah (negara atau kerajaan). Bahkan dalam Ramayana ada tokoh Kumbakarna, adik kandung Rahwana yang sakti mandraguna. Kumbakarna tahu kalau kakaknya itu seorang durjana, haus kekuasaan, melecehkan para wanita, memerintah dengan kekerasan. Tetapi, tatkala Negeri Alengka didatangi tentara Rama dengan pasukan kera yang ingin menghancurkannya, Kumbakarna pun “bangun dari tidurnya”. Dia ambil senjata, menuju ke medan perang dan berkata: “Saya tidak membela Rahwana, saya tidak membela Raja Alengka. Saya berperang membela tanah air saya, membela ibu pertiwi saya, di mana saya lahir, hidup dan dibesarkan.”

Saat ini banyak orang Bali yang tiba-tiba “bangun dari tidurnya” meniru Kumbakarna, untuk mempertahankan kedamaian Bali ketika diusik oleh pernyataan keras gara-gara ada ajang Miss World. Aliansi Muda Hindu menggelar aksi demo mengecam ormas-ormas Islam yang menolak Miss World itu. Ormas-ormas Bali pun ribut di media sosial dan siap berangkat ke Gilimanuk untuk mencegah “para perusuh” yang datang.

Apa sebenarnya yang terjadi? Kita bukannya membela panitia Miss World. Perhelatan ini soal kecil, bahkan bagi saya dan mungkin banyak pemuka Bali, Miss World ini bukan panggung bermutu. Pesta Kesenian Bali yang juga mengundang tim dari luar negeri jauh lebih bermutu. Jangan-jangan pula Miss World ini hanya persaingan stasiun televisi, satu kelompok adalah sponsornya yang pasti akan mereguk keuntungan, satu kelompok tak kebagian apa-apa. Jadi Miss World ini bukanlah pergelaran yang bergengsi amat. Tetapi apa yang kita bela? Yang kita bela adalah kedamaian Bali pada saat tamu-tamu peserta Miss World itu berada. Diinspirasi ucapan Kumbakarna, “yang kita bela adalah kedamaian tanah Bali dan tamu yang datang, bukan acara Miss Worldnya.”

Kalau begitu kenapa ajang Miss World tidak ditolak saja? Ini pertanyaan bodoh. Budaya tak bisa diseragamkan. Persepsi orang tentang keindahan pun tak bisa diseragamkan, apalagi keindahan tubuh. Ada orang yang senang melihat wanita berkerudung, ada yang suka melihat wanita rambutnya digelung. Selera di masyarakat Bali pun beda, padahal ini pulau kecil. Karena itu ada wanita Bali dengan kerudungnya yang khas, ada banyak wanita Bali yang menggelung rambutnya yang disebut “mepusungan”. Bahkan ada berbagai jenis “pusungan” itu. Jadi, kenapa harus dipaksakan semua wanita harus berkerudung?

Apalagi perhelatan Miss World ini sama sekali tak bertentangan dengan agama Hindu, agama mayoritas orang Bali. Mereka mengunjungi pura – tentu sebatas area yang bisa dikunjungi – dengan pakaian adat Bali, bukan memakai bikini. Mereka orang-orang yang sopan dan mau beradaptasi dengan Bali. Adapun orang Bali sendiri, yang tidak suka ya tak menonton perhelatan Miss World. Seperti saya sama sekali tak tertarik meski misalnya diundang bahkan dijemput. Kalau suka silakan datang. Jangan sekali-kali membatasi  kesukaan orang sepanjang kesukaan itu tidak mengganggu ketentraman umum dan melanggar aturan hukum.

Mari jaga kedamaian Bali. Pihak keamanan sudah cukup antisipasi, pasukan Raider dan Kopassus sudah siap membantu polisi Bali – meski ini terasa berlebihan. Ormas-ormas Bali dan anak-anak muda Hindu, janganlah mau dikompori, serahkan kepada aparat.  Namun, kalau itu tak cukup, mari kita bela Bali dengan cara-cara yang sesuai dengan ajaran agama. Agama tak mengajarkan kekerasan. Janganlah kita berseru tentang kemaha-besaran Tuhan tetapi tangan membawa pentung dan kelewang. Mari kita berseru dengan damai dan kasih. (*)

Senin,02 September 2013 @ 03:00

Perbanyak Panggung Pentas SeniPandita Mpu Jaya PremaPembangunan kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK) di bukit Jimbaran, mulai dilanjutkan sesuai rencana. Proyek impian Joop Ave ketika menjadi Dirjen Pariwisata (yang kemudian sempat menjadi Menteri Pariwisata) sekitar 25 tahun lalu itu fokusnya adalah patung Garuda Wisnu Kencana yang dibuat Nyoman Nuarta. Patung setinggi 126 meter ini nantinya

Page 61: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

mengalahkan Patung Liberty yang jadi kebanggaan Amerika Serikat yang tingginya hanya 93 meter.

Namun tentu bukan hanya patung. Kawasan itu akan jadi pusat kebudayaan yang menggelar pentas seni bernapaskan budaya Bali. Di sana ada panggung raksasa Lotus Pond tempat menggelar seni, baik kontemporer adaptasi seni Bali maupun seni tradisi Bali itu sendiri. Ketika acara “pembangunan kembali” GWK pada Jumat 23 Agustus lalu, di panggung raksasa itu dipentaskan cak kontemporer garapan Ketut Rina, penari yang “ditemukan” Sardono W Kusumo di Banjar Teges Kanginan, puluhan tahun lalu.

Disutradarai oleh Putu Fajar Arcana, wartawan kebudayaan harian Kompas, pentas malam itu bertajuk Repertoar Garuda Wisnu, yang isinya pertunjukan kecak kolosal yang menghadirkan ratusan penari di bawah asuhan Ketut Rina. Juga lantunan tembang yang menampilkan Dewa Budjana, Trie Utami, Maya Hasan, dan Ocha, yang menembangkan lagu-lagu suasana mistis khas Bali seperti Eda Ngaden Awak Bisa (gubahan Maya Hasan), Mantramku (gubahan Trie Utami dan Dewa Budjana yang sejatinya adalah Mantram Gayatri), lalu ada lagu Karma yang liriknya ditulis Putu Wijaya dilantunkan Trie Utami.

Apa yang bisa dicatat dari sini? Bali sesungguhnya perlu panggung seni lebih banyak. Taman Budaya (Art Centre) terlalu kecil untuk pentas seni kolosal. Gubernur Bali Made Mangku Pastika memimpikan panggung yang lebih banyak itu, namun terbentur pada lahan Bali yang sempit dan kini kian padat dengan bertambahnya penduduk.

Pariwisata budaya yang jadi ikon Bali membutuhkan panggung seni untuk pentas kolosal itu. Tetapi betul bahwa pentas-pentas di desa tetap harus dilestarikan karena pariwisata budaya bertumpu pada adat, agama (Hindu) dan kegiatan sosial masyarakat Bali. Masalahnya adalah kalau cuma itu yang ada, kegiatan wisata akan mandeg pada suatu ketika karena yang terjadi adalah pengulangan yang terus-menerus yang pada akhirnya menjadi monoton. Seniman pun akan sampai pada puncak kejenuhannya. Lagi pula, bukankah sebuah kesenian sebagaimana budaya pada umumnya selalu dinamis dan bergerak sesuai dengan irama zaman?

Kita sudah saksikan bagaimana tingkat kejenuhan seniman Bali. Bukan cuma seniman, masyarakat Bali pun jenuh dengan kesenian tradisi yang ada karena miskinnya sentuhan baru. Apalagi belakangan ini sudah sampai pada tingkat di mana kesenian itu sudah tidak lagi memberikan pencerahan pada sisi batin manusia. Kesenian tidak lagi bisa dijadikan cermin untuk perjalanan hidup, kesenian sudah kehilangan roh untuk dijadikan pegangan moral. Seniman di atas pentas tidak lagi membawakan pesan-pesan moral dan tontonan pun sudah tidak lagi menjadi tuntunan. Terjadi kedangkalan dalam setiap pementasan, antara lain, faktor kejenuhan itu sendiri.

Leluhur Bali di masa lalu membagi kesenian dari tingkat yang paling sakral sampai ke tingkat profan, dari wali sampai bali-balian. Tingkat-tingkat ini untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat di mana posisi mereka berada. Misalnya, kalau ada piodalan di pura. Di sisi paling luar pura (jaba) dipentaskan topeng. Kesenian topeng di masa lalu adalah pembabaran soal babad, tentang sejarah asal-usul orang Bali. Dengan dipentaskannya topeng itu, manusia Bali tahu di mana dirinya berada, keturunan siapa dia, ke pedharman mana wajib bersembahyang, pura mana saja yang harus didatangi.

Setelah tahu asal-usulnya, di jaba tengah dipentaskan wayang kulit. Wayang kulit Bali adalah pembabaran ajaran Weda, karena ephos Mahabharata maupun Ramayana adalah Ithiasa. Manusia Bali diberikan contoh-contoh lewat pementasan itu: "O, kalau berjudi akhirnya menemukan sengsara ya… O, kalau menghina wanita menjadi kualat ya… "  Banyak sekali tuntunan hidup menyaksikan tontonan itu.

Setelah tahu asal-usul yang dilanjutkan dengan pembekalan rohani berupa petuah-petuah kebajikan, barulah ke jeroan melakukan persembahyangan. Di sini penuh dengan simbol-simbol kesakralan, misalnya, ada rejang, ada baris dan sebagainya. Semua peralatan dalam pentas itu melambangkan simbul-simbul kekuatan Hyang Widi, Tuhan Yang Maha Esa. Apakah itu keris, tombak, penjor, padi dan berbagai jenis banten. Seni sangat terkait dengan agama dalam tradisi masyarakat Bali.

Nah, sekarang kalau kesenian seperti itu tak mendapatkan sentuhan baru, apakah ada gairah seniman Bali untuk melakukannya? Pertanyaan selanjutnya, apakah penonton juga bergairah untuk menyaksikannya? Maka jawabannya adalah kesenian itu pun mulai mengarah ke pada hiburan belaka, isinya cuma banyolan, tak lagi ada pencerahan batin. Topeng isinya bebondresan saja, wayang isinya hanya banyolan punakawan. Arja dan prembon juga hanya berisi banyolan, padahal cerita yang dipentaskan adalah calonarang agar ada kesempatan memainkan rangda yang banyak dijadikan “pratima” di Pura Dalem.

Lihatlah pentas topeng sekarang. Penasar tak perlu menerjemahkan tudingan telunjuk penari Dalem, ia lebih baik konsentrasi membuat bebondresan. Dalang berlomba-lomba mencari teknik untuk membuat lucu-lucuan. Tokohnya bukan lagi Yudistira, Arjuna, Dursasana, tetapi Sangut, Delem, Ceng dan Blong dalam "episode perselingkuhan". Pementasan arja yang ditunggu-tunggu Desak Rai, Galuh Liku, Penasar dan Mantri Buduh.

Harus ada seniman yang tidak larut dalam masalah kedangkalan ini. Dan seniman itu banyak, baik yang dilahirkan oleh sekolah dan perguruan tinggi seni, maupun dilahirkan oleh “alam”. Ketut Rina salah satu contoh, yang bisa mengangkat cak dari kedangkalan monoton. Banyak lagi seniman yang lain. Masalahnya adalah di mana panggung untuk mereka ini?

Karena itu GWK yang akan dilanjutkan pembangunannya menjadi penting artinya. Begitu pula ide Gubernur Mangku Pastika yang akan membangun panggung-panggung budaya baru untuk memberi kesempatan pada seniman-seniman kreatif Bali, tak harus dicurigai. Jangan hanya bisa mencela dan jangan pula terlalu curiga, lebih baik bekerjasama untuk kelangsungan pariwisata budaya yang jadi ikon Bali ini. Kalau sarana itu tak disiapkan terus-menerus, Bali akan mandeg suatu ketika, apalagi

Page 62: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

membangun jalan-jalan baru pun juga ditolak. Lahan semakin sempit dan penduduk bertambah terus, apa pendatang harus diusir dan turis dibatasi?

enin,26 Agustus 2013 @ 04:33

Patung Bung Karno di KediriPandita Mpu Jaya PremaDirobohkannya patung Wisnu Murti yang terletak di perempatan Kediri, Kabupaten Tabanan, mengundang pro dan kontra. Nampaknya Pemda Tabanan sama sekali tak pernah mensosialisasikan rencana itu, bahkan tak ada pembicaraan dengan DPRD setempat. Tiba-tiba patung itu sudah tak ada dan kini sudah berdiri pondasi yang akan dipasang patung Bung Karno. Konon, patung Bung Karno itu sumbangan dari pematung Nyoman Nuarta yang sudah lama bermukim di Bandung.

Mari kita pilah kasusnya. Bukan untuk menambah pro kontra. Betapa pun ibarat pepatah, ini sudah “nasi menjadi bubur”. Masalah pertama keberadaan patung Wisnu Murti itu, sebagai apa dan untuk apa? Masalah kedua,  patung penggantinya, patung Bung Karno, untuk apa dan kenapa di sana dipasang? Yang ketiga kenapa yang diurusi adalah patung, bukan pekerjaan lainnya yang langsung berhubungan dengan kesejahtraan rakyat Tabanan?

Mari kita bahas yang pertama. Ada yang menyebutkan patung ini kelihatan angker, menyerupai patung raksasa. Itu benar jika tak paham apa itu Wisnu Murti. Dewa Wisnu adalah dewa pemelihara, Beliau memelihara ciptaanNya dengan tekun. Dalam hal manusia berbuat banyak kesalahan maka nasehat-nasehat Beliau sebagai dewa bisa keras dan puncaknya adalah “kemarahan untuk kedamaian” dan itulah yang disebut “memurti”. Dalam cerita pewayangan beberapa kali Wisnu “memurti”, tak lain dimaksudkan adalah untuk mengembalikan alam ciptaan Tuhan maupun nafsu-nafsu buruk manusia. Jiwa dari patung Wisnu Murti itu adalah semoga masyarakat Tabanan bisa terus memelihara alamnya dan jangan sampai Wisnu jadi “memurti”.

Tapi, apakah patung itu otomatis jadi sakral? Ketika pekan lalu ada aksi demo dari sejumlah komponen Hindu ke kantor Bupati Tabanan, Wayan Tontra selalu Ketua Majelis Madya Kab. Tabanan menjawab, bahwa patung itu tidak sakral. Alasannya tidak dipelaspas dan tak ada yang menaruh sesajen di sana. Tentu itu benar. Tak semua patung dewa-dewi di tengah jalan sakral. Patung Catur Muka di tengah kota Denpasar juga tak sakral, berkali-kali direnovasi Pemkot Denpasar. Beda dengan patung yang ada di catus pata (perempatan desa) yang ditambah dengan Padmasana, itu sakral karena memang dipelaspas dan setiap saat ada orang yang “ngaturang banten”.

Masalahnya, sakral atau tidak sakral, patung Wisnu Murti itu tidak salah berdiri di perempatan Kediri yang ramai untuk mengingatkan manusia (yang paham tatwa Hindu) akan “kemurtian” Dewa Wisnu. Apalagi yang sakral itu adalah perempatannya sebagai “catus pata”, di mana setiap ada pitra yadnya (ngaben) wadah berputar tiga kali di sana. Meski pun patungnya tidak sakral, berputarnya wadahdi sana masih selaras dengan budaya Bali.

Nah, patung sudah roboh dan akan diganti patung Bung Karno. Persoalannya, apakah tepat patung Bung Karno ada di perempatan yang ramai dan pusat bisnis itu? Kita ingat ada polemik yang panjang soal patung Jenderal Sudirman di tengah kota Jakarta sebagai pertanda bahwa itu Jalan Sudirman. Banyak yang tak setuju, termasuk pihak militer, karena Jenderal Sudirman hidup sederhana sehingga patungnya tak layak di daerah bisnis. Dalam film “Nagabonar Jadi Dua” patung ini dijadikan bahan olok-olok. Jadi kasihan Jenderal Sudirman. Akibatnya patung itu dibiarkan apa adanya dan kadang tertutup oleh pohon yang rindang.

Patung Bung Karno sangat tak tepat berada di perempatan Kediri. Pahlawan proklamator ini bagaikan kita hina jika ditempatkan di sana. Orang yang terjebak macet di perempatan itu bukannya mendapat  inspirasikebajikan dari Bung Karno, malah patung jadi pelampiasan marah. Apalagi kemudian jika ada orang ngaben, wadah berputar mengelilingi patung Bung Karno. Apakah ini cocok dengan budaya Bali? Patung Bung Karno harus dibangun di tempat yang teduh, di mana banyak anak-anak muda belajar dan merenungkan tentang bangsa. Mungkin bagus ditaruh di Taman Kota, seberang Gedung Mario. Atau justru di depan kantor Bupati Tabanan.

Lagi pula, bagaimana wujud patung Bung Karno itu? Tak banyak yang tahu. Di mana-mana jika pemerintah membuat patung yang akan ditaruh di tempat terbuka, pasti didahului oleh sayembara. Peserta sayembara yang tentunya pematung profesional akan mempelajari lingkungan di mana patung itu akan dibuat, menghadap ke arah mana, di mana fokusnya dan seterusnya. Tim juri yang tentu orang-orang profesional akan menyeleksi. Baru patung dibuat.

Ini ujug-ujug ada orang menyumbang patung Bung Karno dan Pemda Tabanan mau menerima. Saya tak menuduh dan sama sekali tak curiga, tetapi mempertanyakan apakah Nyoman Nuarta mempelajari situasi perempatan Kediri sebelum membuat patung Bung Karno? Dalam posisi apa Bung Karno dipatungkan, lalu menghadap ke mana nantinya? Jangan-jangan Nyoman Nuarta punya order patung Bung Karno dari pihak lain, lalu order itu tak diambil karena berbagai sebab, akhirnya disumbangkan ke Tabanan. Supaya tak ada pertanyaan macam-macam sebaiknya hal ini diperjelas, supaya masyarakat tahu seluk beluk dan “sejarah” pendirian patung itu. Hindari pembocengan politik, apalagi menjelang Pemilu 2014 dan pemilihan Bupati Tabanan 2015. Kalau politik memboncengi, ganti bupati ganti pula patungnya. Repot hanya mengurusi patung.

Tibalah masalah ketiga, kok yang diurusi patung? Lagi pula patung yang sudah ada dan tak ada masalah, sudah tepat

Page 63: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

keberadaannya, kok dirobohkan diganti patung lain? Bukankah jalan-jalan pedesaan di Tabanan rusak parah? Rakyat membutuhkan jalan, bukan patung yang menghias kota. Belum lagi program-program lainnya yang menyangkut rakyat kecil, mestinya ini yang jadi prioritas. DPRD Tabanan harusnya banyak memberikan masukan. Kalau memang ada dana lebih baik merancang Pura Jagatnatha di kota Tabanan supaya generasi muda Hindu punya tempat berkumpul di pura kahyangan jagat. Negara, Singaraja dan Amlapura sebagai kabupaten yang “lebih miskin” saja punya Pura Jagatnatha, kok Tabanan tak punya.

Kembali ke soal patung di perempatan Kediri, karena sudah begini keadaannya, mari kita cari solusi. Jangan saling menghujat untuk hal-hal yang sudah terlanjur, Bupati bisa saja keliru karena dia manusia biasa. Cari solusi damai. Menurut saya, patung Bung Karno tak usah dipasang di sana, memalukan masyarakat Tabanan yang tak bisa menempatkan kepahlawanan Bung Karno yang kita agungkan itu. Carikan tempat lain. Sebagai pengganti patung Wisnu Murti itu, karena pondasinya sudah dibuat dengan gaya minimalis, taruhlah patung minimalis. Kalau mau patung dewa – tak perlu disakralkan – pasang patung Ganesha. Atau bukan dewa, buat patung budaya semacam fragmen. Di Mengwi dekat terminal baru, Pemda Badung membuat patung Rama Sinta yang gambarnya sudah diteliti para pakar. Bagus sekali. Tabanan jangan sembarangan membuat patung yang setiap hari bakal ditatap orang. (*)

Senin,08 Juli 2013 @ 22:17

PKB yang TanggungPandita Mpu Jaya PremaPesta Kesenian Bali (PKB) rutin dilaksanakan setiap tahun, dan PKB yang sekarang sudah memasuki usia yang ke 35. Jika ini diibaratkan manusia, sudah mulai memasuki usia dewasa. Setidaknya sudah meninggalkan masa remaja dan mulai dengan kehidupan mapan. Tidak lagi mencari-cari arah, tetapi sudah menemukan arah kehidupan yang pasti, tinggal menyempurnakan untuk selalu lebih baik setiap tahun.

Tapi, apa yang terjadi dalam perjalanan PKB? Rutinitas begitu menonjol sehingga ada kesan, PKB tak ada bedanya dari tahun ke tahun. Setiap tahun memang ada tema yang dimunculkan dan selalu berganti. Biasanya tema itu pun memakai bahasa yang serem, pakai bahasa yang disulit-sulitkan, kalau bisa memakai bahasa Kawi yang belum ada dalam kamus. Supaya kelihatan gagah dan mentereng. Sebut misalnya tema  Yadnya Cakra, entah apa yang dimaksudkan. Baru sekarang temanya sederhana, taksu. Namun tetap saja sulit dijabarkan apa yang diharapkan dari tema taksu itu. Dan yang tak terjawab, dengan tema taksu itu, apa yang diharapkan?

Sejatinya, apa yang jadi tujuan PKB?  Ide awal dari PKB adalah melestarikan kesenian Bali yang adiluhung dan mengembangkan kreatifitas seni yang sesuai dengan peradaban zaman. Dua hal itu dilakukan langsung oleh masyarakat secara berkesinambungan, sedangkan arena PKB menjadi puncak dari kegiatan itu. Sehingga ada istilah, selama PKB yang dilaksanakan sebulan penuh, adalah puncak dari pementasan kesenian Bali. PKB menjadi kegiatan budaya yang sangat penting.

Apakah itu terlaksana? Program pelestarian seni sepertinya mandeg kalau tak bisa disebut lebih ektrim sebagai sebuah kegagalan. Seni klasik yang mau dilestarikan justru semakin terpuruk. Wayang wong coba dilestarikan, beberapa sekehe (grup) wayang wong diberi “uang pembinaan” yang kemudian drama tari itu ditampilkan dalam PKB. Hasilnya berhenti pada “seni proyek” saja. Setelah PKB tak ada grup wayang wong yang bertahan, termasuk grup wayang wong yang dapat “uang pembinaan” itu.

Demikian pula kesenian yang lain, gambuh, topeng, arja, janger dan sebagainya. Upaya pelestarian hanya dilangsungkan menjelang PKB saja. Grup arja yang dimainkan para remaja muncul di PKB, tetapi kemunculan itu lebih terkesan pada hanya untuk sekali pentas saja. Setelah itu tak ketahuan lagi kiprahnya, karena memang tak ada kesempatan lagi untuk naik panggung. Berbeda dengan arja sepuh yang pemainnya tergabung dalam kelompok kesenian Bali RRI Denpasar yang tetap eksis, meski pemainnya sudah tergolong “kakek-nenek”. Pentas arja RRI ini Jumat pekan lalu, tetap menarik penonton dan sangat digemari. Kenapa? Karena grup ini tetap menjaga kesinambungannya dengan mengisi siaran setiap hari Minggu lewat Programa 4 RRI Denpasar. Berpuluh-puluh tahun tak pernah terputus siaran itu. (Saya berkali-kali mengusulkan agar grup arja ini diberi subsidi oleh Pemda Bali dan harusnya dapat penghargaan.)

Jika demikian halnya, maka ide pelestarian seni dengan hanya memanfaatkan panggung PKB belum berhasil dengan baik. Kuncinya karena setelah PKB selesai tak ada lagi pesta budaya yang memberi kesempatan kesenian itu untuk tampil.

Bagaimana dengan kreatifitas seni, apakah PKB bisa menularkan kreatifitas itu untuk katakanlah semacam penciptaan baru? Harus diakui dalam bidang ini ada yang menonjol yaitu seni karawitan yang umum dikenal masyarakat sebagai seni tabuh. Pergelaran gong kebyar masih menjadi primadona selama PKB, baik itu gong kebyar dewasa, gong kebyar anak-anak, maupun belakangan yang mulai meriah adalah gong kebyar wanita. Ada satu faktor yang jadi penyebab kenapa kreatifitas dalam karawitan ini menonjol. Yakni adanya kompetisi yang menggugah emosi masyarakat karena gong kebyar itu mewakili sebuah kabupaten dan kemudian diperlombakan. Ada pemenang, ada peringkat, betapa pun keputusan juri begitu kontroversial karena masalah seni menyangkut rasa dan selera. Namun, setidaknya itu merangsang gong kebyar yang mewakili kabupaten untuk tampil lebih baik di PKB.

Page 64: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Disayangkan bahwa belakangan ini gong kebyar tidak lagi diperlombakan tetapi diparadekan. Beda lomba dengan parade jelas, dalam parade tidak ada penilaian yang kemudian disandingkan satu sama lain. Ini membuat “emosi kabupaten” menurun dan berakibat pada penampilan yang “asal manggung” saja. Seharusnya gong kebyar tetap diperlombakan, tentu dengan terlebih dahulu membuat kriteria penjurian yang baku. Sulit memang, tetapi harus tetap diupayakan.

Dengan kelebihan dan kekurangan seperti itu, maka layak sekarang dipikirkan lebih serius, mau dibawa ke mana PKB ini. Apakah PKB akan tetap dijadikan pentas “puncak-puncak kesenian Bali” dalam pengertian sebagai pekan kebudayaan? Atau PKB dijadikan pesta seni rakyat, tempat masyarakat untuk menghibur diri, menikmati kesenian apa adanya lalu berpindah-pindah tempat, kemudian makan-makan. Keduanya sesuatu yang sah dan perlu. Sebagai pesta budaya yang menampilkan puncak prestasi, perlu diadakan, meski tak harus sebulan penuh. Sebagai pesta rakyat juga perlu untuk sarana hiburan masyarakat menghindari adanya stress masal. Keduanya perlu tetapi tak bisa disatukan.

Sekarang ini PKB serba tanggung. Sebagai pekan budaya tak ada suguhan seni yang menonjol sebagai puncak prestasi. Jika pun ada, penonton yang serius menikmati suguhan budaya itu pun sulit datang ke PKB. Parkir sangat terbatas, harus bertengkar dulu dengan tukang parkir, ke tempat pementasan harus melewati pedagang yang menjual aneka macam barang.

Nah, PKB sekarang lebih sebagai pasar seni ketimbang pesta budaya. Kalau pesta atau pekan budaya, ada sesuatu yang fokus untuk dihormati dan disaksikan. Padahal dalam PKB sekarang kita bisa membeli es krim dan martabak, lalu duduk-duduk menyaksikan joged sambil mulut ciplak-ciplak melahap makanan. Ini bukan pecan budaya. (*)Senin,01 Juli 2013 @ 19:11

Hidupkan Taksu BaliPandita Mpu Jaya PremaPesta Kesenian Bali (PKB) ke 35 yang kini sedang berlangsung di Taman Budaya Denpasar mengusung tema yang sangat umum tetapi sulit untuk dirumuskan: taksu. Mungkin karena sulit dirumuskan itu, budayawan seperti Prof. Made Bandem merasa pementasan kesenian selama PKB ini, belum menyentuh tema taksu secara mendasar. Ia justru meminta panitia atau dewan kurator PKB membuat tafsiran yang jelas, apa taksu itu.

Memangnya ada yang bisa merumuskan apa taksu itu? Kalau ada pertanyaan, apakah seseorang masih punya taksu, bagaimana menjawabnya? Atau pertanyaan yang lebih besar, masihkah pulau Bali ini punya taksu? Jawaban bisa panjang lebar dan tergantung sudut pandang seseorang yang menjawabnya. Artinya, taksu itu tak cuma melekat pada seseorang yang kesehariannya sebagai penari, tetapi juga pada berbagai profesi lainnya.

Ada yang menyebutkan seniman Bali sudah pada kehilangan taksu.  Dia memberikan beberapa contoh. Tari joged yang kini banyak digemari selama PKB  goyangannya sudah agak porno. Penari hanya menari sekedarnya saja, lalu mencari seorang pengibing dan terjadilah tari yang asal-asalan, yang penting penonton tertawa. Tari arja isinya lelucon melulu, wayang kulit tak ada paparan sastranya, semua tokohnya membanyol. Di luar urusan seni, taksu pun juga luntur. Orang melasti ke pantai jalannya sama saja dengan orang piknik, sembahyang ke pura mampir dulu di warung makanan atau bermain bola adil, yang ditunggu hanya saat muspa dan itupun grasa-grusu ingin cepat selesai. Contoh-contoh itu bisa diperpanjang.

Tapi, ada pula yang mengaku biasa-biasa saja keadaan Bali dan warganya selama ini. Tak ada sesuatu yang berubah sampai disebut Bali kehilangan taksu. Wisatawan semakin banyak datang ke Bali, itu artinya taksu Bali masih ada. Kalau joged goyangannya makin cabul, itu karena di luaran banyak tontonan yang lebih porno. Kalau arja tidak membanyol, siapa yang mau menonton drama tari yang menembang ini, sementara generasi mudanya tak lagi suka tembang Bali klasik? Apalagi pentas wayang kulit, cerita Mahabharata dari dulu sampai sekarang ya itu-itu saja, karena itu hanya leluconnya yang digemari. Yang penting apa yang dulu ada, sekarang pun masih ada, itu bukti bahwa Bali masih punya taksu. Soal ada perubahan itu karena menyesuaikan dengan zaman.

Apakah taksu itu sebenarnya? Kalau taksu tak bisa dirumuskan lebih rinci, bagaimana mengatakan taksu itu masih ada di Bali, dan bagaimana menjaga sesuatu yang tak bisa dirumuskan? Memang sulit sekali menjelaskan soal taksu. Penari-penari Bali generasi sekarang pun tak pernah mengenal betapa pentingnya taksu dan mereka tak peduli adakah dirinya punya taksu atau tidak.

Ada yang menyebutkan taksu itu semacam kekuatan gaib yang membuat seorang penari menjadi begitu berwibawa di dalam pentas. Prilaku di luar pentas dan di dalam pentas berbeda sekali. Mendiang Ribu, maestro arja di masa lalu, kesehariannya adalah seorang gadis yang kalem. Begitu dia naik pentas, yang nampak bukan lagi Ribu, tetapi Mantri Buduh. Wayan Lodra, kesehariannya pendiam, di kantor sebagai penyuluh agama dan belakangan jadi dosen, dia biasa-biasa saja. Tetapi begitu menjadi Raja Muda dalam pentas drama gong, ia sudah berubah total. Orang Bali menyebutnya “punya taksu”. Jika demikian halnya, bukankah aktor dan aktris film juga banyak yang “punya taksu” dan bukankah taksu adalah penggalian diri untuk total di dalam akting? Benar sekali. Rieke Dyah Pitaloka kesehariannya adalah orang yang cerdas, politisi PDI Perjuangan, tetapi di sinteron ia memerankan orang yang bloon. Artinya, mereka itu “punya taksu”.

Yang terjadi di Bali saat ini adalah semakin sedikitnya orang yang secara total meleburkan diri dalam sebuah proses aktifitas, apakah itu aktifitas kesenian atau kebudayaan dalam arti luas. Penari joged hanya bisa goyang-goyang saja dan pengibingnya hanya bisa mencolak-colek membuat orang tertawa. Penari topeng hanya bisa bergerak sesuai pakem, tidak sepenuhnya menyatu dengan topeng yang dibawakan. Orang Bali bilang, semuanya sudah “campah”, tidak lagi “medengen”. Dan itulah ciri

Page 65: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

dari kehilangan taksu.

Bisa jadi tontonan itu sendiri sudah campah seutuhnya, sehingga penari pun sulit mendapatkan taksu dari kesenian itu. Bagaimana seorang Galuh dalam arja bisa mendapatkan taksu, kalau Inya dan Kartala selalu membuat banyolan di sampingnya. Bagaimana pengiring pratima pada saat melasti ke laut bisa berjalan dengan taksu, jika juru kidung sering bergurau dan gamelan sudah tak karuan bunyinya? Jika seseorang tidak sreg lagi naik ke atas pentas, dicari dengan cara apapun Sang Taksu tak akan muncul. Totalitas untuk menyatu dengan peran di panggung itu, tak akan ditemukan, padahal totalitas itulah syarat munculnya taksu.

Jadi, kalau benar kesenian dan kehidupan sehari-hari di Bali sudah mulai merosot dan terasa ada yang kurang dibandingkan masa lalu, itu berarti orang Bali sudah tidak total lagi memerankan jati dirinya sebagai orang Bali yang di masa lalu berbudaya tinggi. Mari kita total lagi bekerja sesuai profesi masing-masing, seniman terus berkarya, penari terus mengasah olah geraknya, dan mereka yang bekerja di luar seni, juga terus meningkatkan sumber daya diri dan lingkungan sekitarnya. Intinya bekerja sesuai profesi dan tugas masing-masing, tidak ada orang yang bisa mengerjakan banyak hal dalam suatu kesempatan. Mari kita hidupkan taksu Bali untuk seterusnya, bukan hanya lewat Pesta Kesenian Bali, tetapi lewat berbagai gerak di berbagai bidang. 

Senin,17 Juni 2013 @ 06:57

World Hindu ParisadPandita Mpu Jaya PremaSuatu kehormatan besar organisasi Hindu yang bertaraf dunia lahir di Bali dengan nama World Hindu Parisad (WHP). Bahkan markas dari organisasi ini disebut-sebut pula di Bali, yangakan makin melambungkan nama Balidi dunia internasional. Dengan hanya menyebut Hindu maka Bali otomatis akan dikenang. Seperti itulah yang terjadi dengan Nepal, ketika World Hindu Federation (WHF) bermarkas di sana. Kini Nepal bukan lagi Negara Hindu dan keberadaan WHF itu tidak jelas, apakah masih ada atau sudah mati bersama matinya “Negara Hindu” di Nepal.

Bali hanya sebuah provinsi dari Indonesia yang begitu luas. Hindu di Indonesia pun menjadi minoritas di antara agama-agama yang ada di Indonesia. Namun Bali sebagai sebuah provinsi masyarakatnya masih menjadi mayoritas Hindu. Ritual Hindu masih tetap terasa sebagai jantung dari Pulau Bali. Tetapi apakah masyarakat pedesaan Bali yang begitu konsisten menyelenggarakan ritual Hindu bersemangat dengan organisasi keagamaan? Adakah kaitannya “agama” dengan “organisasi keagamaan” bagi masyarakat pedesaan? Tidakkah “agama” berjalan sendiri dengan landasan adat budaya dan kearifan lokal tanpa bersentuhan dengan “organisasi keagamaan”?

Secara jujur harus kita akui, Parisada tidak begitu populer di pedesaan. Parisada Pusat, Parisada Provinsi, Parisada Kabupaten perannya begitu kecil di masyarakat desa adat. Yang dominan adalah lembaga adat yang punya organisasi rapi dari desa adat (bahkan sejak di banjar adat) sampai ke provinsi. Di desa ada Bendesa Adat, di tingkat kecamatan ada Majelis Alit, di tingkat kabupaten ada Majelis Madya, dan di tingkat provinsi ada Majelis Agung. Coba perhatikan, kalau ada siaran untuk ritual yang bersifat massal, siapa yang menyiarkan? Majelis-majelis adat, bukan majelis agama yang bernama Parisada.

Dari hal yang kecil sampai hal yang besar hampir tak pernah melibatkan parisada. Kalau di desa ada orang meninggal dunia,  siapa yang memberi izin untuk penguburannya? Bukan parisada, tetapi bendesa adat. Penggunaan kuburan pun harus sepengetahuan bendesa adat, sehingga jika ada orang yang mendapat sanksi dari adat (kesepekang) bisa dipersulit mendapatkan kuburan. Kuburan di Bali adalah milik adat, bukan milik agama Hindu. Di luar Bali memang lahan kuburan dikapling berdasarkan agama.

Artinya, kita di Bali masih menggunakan pola adat dan budaya Bali untuk hal-hal yang juga bersifat ritual. Beda dengan di luar Bali – apalagi di luar negeri – begitu masalahnya menyangkut keyakinan yang didasarkan pada agama, maka pola agamalah yang dipakai. Maka keberadaan organisasi agama Hindu di luar Bali menjadi sangat penting, sementara di Bali sangat tidak penting. Bahkan menjadi rancu. Sudah keberadaannya tidak penting, malah ada dualisme di beberapa daerah. Sebut saja di Kabupaten Badung, ada parisada yang diakui secara organisasi oleh parisada provinsi dan seterusnya parisada pusat, tetapi tidak diakui oleh desa adat. Lalu desa adat membentuk parisada lain dan disahkan oleh bupati.

Kini keberadaan parisada juga mulai “membingungkan”. Yang bernama parisada itu sesungguhnya adalah kumpulan para cerdik-pandai di bidang kehinduan, jadi setingkat wiku, sanjayin, pendeta atau apalah sebutannya. Dalam kelahiran Parisada Hindu Indonesia yang dikenal dengan Piagam Campuan, hal itu yang diutamakan. Dengan begitu kedudukan tertinggi di organisasi ini adalah para pendeta sehingga Ketua Umum Parisada otomatis menjadi ketua sabha pandita. Yang melaksanakan program-program itu hanyalah pengurus harian, lalu didampingi lagi oleh para pemikir yang bukan pendeta yang wadahnya diberi nama sabha walaka.

Yang terjadi saat ini, jabatan tertinggi pengurus harian rupanya kurang gengsi dengan sebutan Ketua Harian, lalu diganti menjadi Ketua Umum. Sementara Ketua Umum versi lama disebut Ketua Dharma Adhyaksa. Sampai pada kepengurusan Dr. Made Erata, hal itu tak membawa masalah, karena semua keputusan tertinggi masih dipegang Dharma Adhyaksa. Namun, sejak kepengurusan Mayjen Suwisma (hasil Mahasabha 2011 di Sanur) terjadi perubahan. Parisada didaftarkan sebagai ormas perkumpulan, yang otomatis jabatan tertinggi yang didaftar sesuai ketentuan pemerintah adalah Ketua Umum. Maka,

Page 66: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

kini semua keputusan tertinggi parisada dikeluarkan oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum, begitulah menurut undang-undang. Nah, akan menjadi ruwet dan menyimpang dari apa sejatinya yang disebut Parisada itu. Kisruh pengelolaan UNHI adalah hasil dari “penyimpangan” ini,karena Ketua Umum Parisada yang terdaftar membentuk yayasan baru yang memang dibolehkan undang-undang, padahal yayasan itu sudah ada sebelumnya di bawah kendali Dharma Adhyaksa.

Parisada harus dikembalikan ke rel awal, kumpulan para pandita. Kalau memang mau didaftarkan sebagai ormas, maka kembalikan dulu jabatan Ketua Umum itu ke tangan pandita, sehingga Ketua Umum merupakan jabatan yang paling puncak, persis seperti dulu.

Nah, di tengah-tengah keberadaan parisada yang “tidak berbunyi” di pedesaan Bali dan pada saat persaingan untuk memimpin parisada berlangsung di tingkat organisasi, World Hindu Parisad lahir di Bali dan mau bermarkas di Bali. Apa kita mampu menjadikan Bali sebagai kiblat Hindu dunia dengan permasalahan interen seperti ini?

(Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda bisa diikuti juga di Twitter @mpujayaprema. Tulisan ini dipublikasikan di Pos Bali 17 Juni 2013)

Rabu,24 Oktober 2012 @ 08:20

Dongeng BalliPandita Mpu Jaya PremaMasyarakat Bali kaya dengan dongeng lokal. Kebiasaan mendongeng pun di masa lalu menjadi tradisi yang diwariskan turun-menurun. Anak-anak Bali tidak bisa tidur kalau belum diberikan dongeng oleh ayah atau ibunya. Setiap malam ada saja yang didongengkan. Kalau kehabisan dongeng lokal, cuplikan kisah Itihasa seperti Ramayana dan Mahabharata bisa disampaikan. Begitu pula fabel (cerita dari dunia binatang) yang diambil dari Tantri, banyak yang dihafal para orang tua untuk diwariskan kepada anak-anaknya.

Kenapa tradisi ini hilang? Penyebab pertama adalah kemajuan teknologi dengan masuknya radio, disusul televisi, dan kini VCD (DVD) yang merambah ke desa-desa. Anak-anak sudah mendapatkan dongeng baru dari media elektronik itu. Dongeng moderen dengan teknologi yang tinggi, entah itu film kartun dari Jepang, film produksi Hollywood dan Bollywod, maupun produksi dalam negeri. Sementara ibu anak-anak asyik dengan telenovela dari Amerika Latin (yang di sana sudah dicampakkan), dan bapak anak-anak memelototi film kungfu Mandarin.

Penyebab kedua, teknik mendongeng itu sendiri sudah ketinggalan zaman. Gaya hidup berubah pesat di pedesaan Bali tatkala listrik masuk desa, apalagi setelah media elektronik merambah ke desa. Dongeng tak bisa lagi dipakai menidurkan anak-anak kecil, walaupun dengan menyelipkan cerita yang berimajinasi menakutkan. Kamar tidur sudah terang menderang dengan penerangan listrik, bagaimana anak-anak bisa ketakutan dengan raksasa, apalagi imajinai tentang raksasa, hantu, leak dan sebagainya, tak terbayangkan lagi oleh generasi baru ini?

Penyebab ketiga, dongeng Bali terbiasa disampaikan dengan monoton dan tanpa disertai tafsir apapun. Banyak orangtua di Bali yang malas (atau malah tidak tahui) apa makna di balik simbol-simbol dongeng lokal itu. Satua (dongeng) Siap Selem, Angsa lan Empas, Cangak Maketu atau Pedanda Baka, disampaikan hanya kulit luarnya saja tanpa disertai kupasan tentang simbol itu. Bahkan masyarakat Bali di pedesaan jarang yang tahu kalauKakawin Lubdaka yang dijadikan acuan dalam pelaksanaan brata Siwaratri semuanya adalah simbol. Karena Lubdaka disampaikan kulit luarnya saja, banyak orang Bali pemeluk Hindu yang mengira dengan hanya bergadang semalam suntuk seperti Lubdaka, Dewa Ciwa sudah melebur dosa-dosa yang ada. Demikian mudahnya menghapus dosa. Mereka tak tahu kalau berburu itu adalah simbol, naik ke pohon bila adalah simbol, daun bila pun simbol, menjatuhkan daun bila sebanyak 108 kali juga simbol, kolam dan lingga Siwa pun juga simbol.

Nah, penyebab hilangnya dongeng Bali dan menyurutnya tradisi mendongeng itu, harus dicarikan jalan keluar, bagaimana mensiasatinya. Pertanyaan awalnya tentu adalah untuk apa menghidupkan tradisi mendongeng pada anak-anak dan untuk apa mengembangkan kembali dongeng lokal? Jawaban dari pertanyaan ini jelas menyangkut pembinaan akhlak anak-anak, artinya dongeng masih dirasakan keampuhannya untuk menanamkan pendidikan budi pekerti. Kalau kita sepakat dengan ini, maka teknik mendongeng dan materi dongeng harus disesuaikan dengan kekinian dan kebiasaan sehari-hari anak itu.

Jika mendongeng itu di lingkungan rumah, seorang ibu harus menyediakan waktu untuk membacakan dongeng dari buku. Tidak harus di tempat tidur anak-anak, bisa di ruang tamu. Dongeng dibacakan sambil menjelaskan apa simbol dan makna tersembunyi di balik dongeng itu. Sudah banyak buku dongeng yang terbit, baik dongeng lokal Bali, dongeng Nusantara, maupun dongeng internasional. Sebaiknya diganti-ganti jenis dongengnya.

Tapi, itu terlalu ideal, mungkin hanya terjadi di perkotaan saja atau pada keluarga yang punya perpustakaan dan minat bacanya tinggi. Dengan minat baca yang rendah pada orang Bali pedesaan, apa mungkin seorang ibu membacakan dongeng untuk anaknya? Belum lagi wanita Bali disibukkan membuat sesesajen setiap hari, seolah-olah semua permasalahan bisa diselesaikan dengan ritual. Orang Bali lebih mementingkan membeli daksina dibandingkan membeli buku, meski harganya

Page 67: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

sama-sama Rp 5.000.

Karena itu tempat mendongeng harus diperbanyak di luar lingkungan rumah. Bisa di balai banjar, sanggar belajar, pesraman, meski pun mungkin akan jalan di beberapa tempat saja. Di Bali sulit mengajak masyarakat desa berpartisipasi dalam urusan yang bukan yadnya – menurut pengertian mereka. Yang paling mungkin adalah di sekolah, dan apa boleh buat, ini berarti harus membagi waktu dengan belajar yang lainnya.

Menurut Made Taro, pensiunan guru yang sudah banyak melahirkan dongeng anak-anak, minat anak-anak mendengarkan dongeng di sekolah sudah mulai bagus. Dongeng itu sendiri pun sudah berkembang karena adanya berbagai lomba mengarang. Jika ini benar, tentu saja amat menggembirakan. Tetapi, apakah kelangsungannya berusia panjang dan tidak sekedar hidup di saat ada lomba saja? Ini yang dikhawatirkan.

Yang diperlukan adalah pembinaan. Ada orang yang menaruh perhatian besar dalam hal dongeng-mendongeng. Jumlah orang seperti Made Taro harus diperbanyak. Kalau kita sepakat pendidikan budi pekerti amat penting, dan jalan ke arah itu bisa dilakukan lewat sarana dongeng, harus ada lembaga yang mengurusi masalah ini sehingga kegiatannya bisa berlangsung ajeg.

Senin,01 Oktober 2012 @ 08:10

Dongeng Itu IndahPandita Mpu Jaya PremaSiapakah yang masih suka dongeng? Datanglah ke Bali. Pulau ini adalah gudangnya dongeng. Dari ujung barat ke ujung timur bertebaran dongeng-dongeng, yang mungkin belum diketahui masyarakat luas. Dongeng dari kawasan Jembrana, misalnya, belum tentu diketahui oleh masyarakat Karangasem.

Di desa saya ada dongeng dengan tokoh Nang Dudu. Ceritanya sederhana, lelaki yang suka usil dan mengganggu temuku (pembagi air) di sawah-sawah. Kalau sawah mestinya dialiri air, ia menutup temuku. Kalau sawah dikeringkan sejenak, ia mengalirkan air. Meski usilnya kelewatan tak ada yang berani menegor Nang Dudu karena ia lelaki misterius. Sampai saatnya di sebuah senja, Nang Dudu meninggal dunia, juga secara misterius, dan masyarakat menabuh gamelan bersuka ria.

Dongeng yang tak jelas juntrungannya ini uniknya didokumentasikan dalam sebuah tabuh gamelan dan menjadi salah satu tabuh sakral di desa saya. Kalau ada piodalan, tabuh Nang Dudu ini pasti diperdengarkan.

Siapa pun yang suka dongeng, datang saja ke Bali dan telusuri pedesaan, tanya kepada orang-orang tua. Selebihnya datangi perpustakaan, karena banyak dongeng tradisional Bali yang sudah dibukukan. Bersiap-siaplah membaca dongeng dengan segala jenis “format” karena ada yang berbentuk prosa, ada yang berbentuk puisi tradisional, yaitu geguritan.

Memang, banyak dongeng yang sudah menjadi “pengetahuan wajib” masyarakat Bali. Penyebabnya karena dongeng itu dikaitkan dengan mistik, dilekatkan dengan sejarah, atau bahkan bersinggungan dengan agama dan tempat-tempat suci.

Dongeng itu memang indah. Tapi dulu, ketika anak-anak sulit tidur dan ibu atau ayahnya menceritakan dongeng di tengah remang-remangnya lampu templok minyak tanah. Dongeng itu pun tetap indah bagi penggemar sastra untuk melihat kekayaan sastra lokal.

Sekarang, berapa banyakkah anak muda Bali yang tahu dongeng dari tanah kelahirannya sendiri? Tidak banyak. Ini karena tradisi mendongeng secara lisan sudah tak ada lagi. Lalu minat baca rendah padahal dongeng sudah dibukukan.

Tetapi, anak-anak muda Bali tetap suka dongeng, yakni dongeng dari manca negara atau dari daerah lain yang bisa disaksikan di layar televisi. Doraemon, Cinderela, Angling Dharma, Si Manis Jembatan Ancol adalah dongeng-dongeng jenis baru yang gentayangan di layar kaca.

Yang perlu dipertanyakan adalah apakah dongeng milenium ketiga yang disebarkan dengan teknologi canggih ini tidak merusak anak-anak Bali? Jawabnya bisa ya bisa tidak, tergantung sejauh mana ada filter dan pengawasan dari orang tua. Jika tanpa pengawasan, dan semua dongeng moderen itu dilalap, anak-anak Bali akan kehilangan akar budaya Bali. Dongeng Bali itu lain, keindahannya adalah pada pesan-pesan moral yang menjadi inti cerita, pesan moral  tentang kebajikan.

Upaya mengembalikan tradisi mendongeng sudah dilakukan di berbagai kota, tetapi hasilnya tak nampak. Lomba mendongeng diadakan, namun hanya berhenti sebatas lomba. Waktu berkumpul anak-anak dan orangtuanya saat ini sudah semakin sempit. Semua punya kesibukan tersendiri dan mencari hiburan masing-masing dengan cara yang mudah karena teknologi sudah menyediakannya. Anak-anak pun sudah punya kamar sendiri. Kalau dia sudah capek belajar atau nonton video atau main games, ia langsung masuk kamar dan tidur. Tak lagi dibutuhkan cerita Siap Selem atau Pedanda Baka agar sang anak

Page 68: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

segera terlelap tidur.

Jika kita prihatin dengan mutu dongeng dari luar yang akan meracuni akar budaya anak-anak Bali, maka ini harus dilawan. Caranya tentu saja tidak kembali ke masa lalu, semua listrik dimatikan dan lampu penerangan kembali memakai minyak tanah, televisi disingkirkan dan anak-anak kembali dikeloni tidur. Itu perlawanan yang tak masuk akal. Yang masuk akal adalah mengangkat dongeng-dongeng Bali ke media moderen seperti televisi atau rekaman video. Dongeng tidak lagi dituturkan tetapi ditonton.

Transformasi budaya mendongeng sudah harus dilakukan. Dulu dongeng dituturkan, kemudian dongeng dibaca, dan kini dongeng ditonton. Bagaimana agar dongeng-dongeng made in Bali  bisa ditonton? Ya, harus digarap dengan format tontonan. Bisa dalam bentuk drama, semi drama, sinetron atau monolog dengan alat peraga. Semuanya punya kekuatan dan kelemahan tersendiri. Jika dalam format drama, dibutuhkan orang-orang teater. Jika semi drama, selain orang teater perlu orang yang jadi nara sumber, semacam komentator. Jika dijadikan sinetron dibutuhkan tim yang lebih profesional lagi. Adapun cara monolog, ini memang betul-betul harus orang yang sangat menguasai akting dan vokal. Di Bali banyak ada dalang dan pemain topeng bondres, barangkali bisa dicoba untuk monolog seperti yang dilakukan Butet Kartarejasa.

Yang jelas semuanya butuh dana besar. Juga perencanaan yang matang dari sejak menginventarisasi jenis dongeng yang akan ditampilkan. Kalau takut menganggarkan dana untuk menyelamatkan generasi penerus, ya, jangan heran kalau manusia Bali suatu kelak akan kehilangan karakter dan jati dirinya sebagai orang Bali. Tanda-tanda kemerosotan itu sebenarnya sudah nampak, tapi yang peduli tidak banyak. Menyedihkan.

 Selasa,26 Juni 2012 @ 05:20

Situs tak TerurusPandita Mpu Jaya PremaBali menyimpan banyak situs arkeologi yang sesungguhnya tidak terurus secara benar. Perhatian pemerintah terhadap bidang kebudayaan sangat minim dan ini membuat lembaga seperti Balai Pelestarian Peninggalan Sejarah dan Purbakala tidak mendapatkan dana yang cukup untuk mengurus situs-situs itu. Ketidak-tersediaan dana ini bukan hanya masalah Bali tetapi masalah nasional.

Hal lain yang dihadapi Bali adalah situs arkeologi itu dijadikan tempat suci meskipun itu adalah peninggalan yang dulunya tidak ada urusan dengan agama. Ini seringkali membuat gamang pemerintah pusat dalam menata situs itu. Mau diperlakukan sebagai warisan arkeologi semata-mata tanpa mempertimbangkan agama, bisa menyinggung perasaan orang Bali.

Kabupaten Gianyar memiliki situs arkeologi paling banyak dan semuanya dijadikan obyek wisata. Tapi, kenikmatan apa yang dilihat para wisatawan? Hampir tak ada kecuali melihat bangunan masa lalu yang tidak disertai brosur memadai.

Contohnya, ada dua nama Gunung Kawi di Kabupaten Gianyar, dan keduanya dimasukkan dalam situs arkeologi yang sekaligus obyek wisata. Tetapi kalau kita mencari informasi di web-web (internet) mengenai Gunung Kawi, yang paling banyak ditayangkan adalah obyek wisata Gunung Kawi di kawasan Malang, Jawa Timur. Kebetulan pula Gunung Kawi di Malang ini dijadikan wisata spiritual dan pengunjungnya terus-menerus berdatangan. Kedua situs Gunung Kawi di Gianyar bahkan masih kalah populer dibandingkan Gunung Kawi di Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang hanya berupa pesarean (makam) tokoh-tokoh setempat.

Padahal Gunung Kawi Tampaksiring dan Gunung Kawi Sebatu mempunyai keunikan yang semestinya bisa ditata lebih bagus, baik tentang lokasi alam sekitarnya, maupun dari sisi sejarahnya. Kita menuju Gunung Kawi Tampaksiring setelah melewati gapura kecil dan melalui 315 anak tangga di pinggir sungai Pakerisan. Jumlah anak tangga ini saja bisa membuat orang tertarik, yakni tertarik untuk mengetahui kenapa jumlahnya sebanyak itu dan tertarik untuk menghitungnya apa benar jumlahnya sebanyak itu. Celakanya, tak ada penjelasan kenapa jumlah anak tangga itu 315, bahkan nama Gunung Kawi itu sendiri tidak diketahui dengan pasti asal mulanya. Orang hanya bisa memperkirakan, kata “gunung” merujuk pada daerah perbukitan, dan “kawi” kemungkinan dari arti pahatan. Jadi pahatan yang digoreskan di perbukitan padas.

Sedang brosur singkat yang diterbitkan Pemkab Gianyar hanya menyebutkan komplek Gunung Kawi adalah pemakaman Raja Udayana dan putra-putranya pada abad ke 11. Udayana adalah anak dari Ratu Campa yang diangkat anak oleh Warmadewa. Udayana menikah dengan Putri Gunapriya Dharma Patni. Dari perkawinannya ini menurunkan Erlangga dan Anak Wungsu.

Gunung Kawi Sebatu lebih unik dan sekaligus lebih “gelap” lagi kisahnya karena dikaitkan dengan pemerintahan Raja Mayadenawa. Mayadenawa sendiri menjadi catatan kontroversial orang Bali masa lalu, karena di satu pihak ada yang menonjolkan kebengisannya dan di lain pihak menonjolkan kepintarannya. Kisah yang terbentuk pada anak-anak Bali kebanyakan tentang kebengisan Mayadenawa, sampai disebutkan dialah Tuhan yang harus disembah. Karena kebengisan itu orang kemudian berasumsi Mayadenawa adalah laki-laki, karena orang laki saja yang kuat menghadapi pertempuran hebat dengan para Dewa.

Namun, para ahli sejarah dan purbakala belakangan mengesampingkan legenda yang “terlalu dramatis” ini, karena siapakah Dewa Indra, Dewa Wisnu dan dewa-dewa lainnya pada saat itu? Memangnya berwujud manusia? Mayadenawa ternyata hanya julukan masyarakat kepada seorang ratu yang memerintah sebagian tanah Bali saat itu, yakni Ratu Ugrasena yang

Page 69: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

memerintah Kerajaan Kalingga (daerah Batur saat ini) pada akhir abad ke 9. Pertempuran sengit antara Mayadenawa dan Dewa Indra hanya sekedar julukan yang dikarang-karang di kemudian hari, karena yang sejatinya bertempur adalah rakyat Kerajaan Kalingga yang diperintah Ratu Ugrasena dan rakyat Kerajaan Singhadwala (sekitar Besakih saat ini) yang diperintah Raja Candrabaya. Karena Ratu Ugrasena kalah maka biasalah orang yang kalah selalu diberi predikat yang jelek, entah itu bengis, tak percaya Tuhan dan sebagainya sampai gelar Maya Denawa (raksasa yang sakti bisa menghilang).

Terlepas dari legenda masa lalu yang dibuat dengan penuh kiasan, juga sejarah yang ditulis belakangan yang belum tentu juga seratus persen benar, di komplek Gunung Kawi Sebatu dibangun pura. Secara tradisional pura dirawat oleh penduduk setempat, tetapi dari segi situs arkeologi tidak tertata denga baik. Banyak bangunan yang tidak mendukung situs itu hadir di sana, seperti pula terlihat di Gunung Kawi Tampaksiring. Dulu, Candi Prambanan dan Candi Borobudur juga tidak tertata dengan baik, rumah kumuh berada di kaki candi. Pemerintah membentuk badan swasta (persero) untuk membenahi situs itu, ternyata hasilnya sekarang sangat mengagumkan. Apakah situs arkeologi di Bali bisa ditata dengan pola Borobudur-Prambanan? Nampaknya sulit karena situs arkeologi di Bali bukan sekedar benda purbakala tetapi dijadikan tempat suci.

* Putu Setia

16 September 2005 

Selasa,26 Juni 2012 @ 05:16

Kehilangan JejakPandita Mpu Jaya Prema(Catatan: Hari ini 25 Juni 2012, orang mempersoalkan kenapa tak ada buku tentang Pekan Kesenian Bali yang setiap tahun berlangsung di Denpasar. Saya sudah mempersoalkan masalah itu 7 yahun yang lalu, tepatnya 3 Juni 2005 di harian Bali Post. Berikut naskah lawas itu).

PERNAHKAH penyelenggara Pesta Kesenian Bali (PKB) menerbitkan buku? Tentu saja pernah, meskipun itu sejenis brosur. Namun, ada satu “brosur” yang tercetak luks dengan foto-foto yang indah dari fotografer kondang. Artikelnya dwi bahasa, Indonesia dan Inggris. Ini barangkali satu-satunya buku tentang PKB yang dikerjakan cukup serius, karena artikelnya pun banyak mengungkapkan filosofi kesenian yang ada di Bali.

Buku itu berjudul Bali Art Festival – Pesta Kesenian Bali. Buku yang saya miliki itu terbit tahun 1997 dan disebut di sana “Cetakan Kedua”. Jadi, ada cetakan pertama, entah kapan tahunnya, saya tak tahu dan tidak punya bukunya. Artikel pembuka dalam buku cetakan kedua ini menarik karena dipaparkan di sana bagaimana orang Bali menyikapi dunia kesenian. Orang Bali dalam berkesenian bukankah menuntut upah, sama sekali tidak mengharapkan uang, apalagi pujian. Orang-orang Bali berkesenian untuk melakukan persembahan. Kepada siapa? Kepada Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa.

 Sayangnya, buku itu tetap bergaya “brosur”, bukan buku tentang dokumentasi dan evaluasi PKB. Juga bukan buku yang merangkum perjalanan PKB dari tahun ke tahun. Apalagi buku yang memuat puncak-puncak seni selama berlangsungnya PKB. Memang, di sana ada ulasan singkat tentang Adi Merdangga yang disebut-sebut sebagai drum band tradisional Bali. Tapi itu tidak mewakili puncak kesenian di dalam PKB. Bahkan, kalau saya tak salah ingat, Adi Merdangga ini diperkenalkan secara nasional pada saat berlangsungnya Pekan Olahraga Nasional di Jakarta.

Lalu, apa puncak kesenian yang ada selama berlangsungnya PKB? Jika jenis kesenian itu dirinci kembali, seni pertunjukan apa yang menjaci bintangnya, seni tabuh berjudul apa yang paling dikenang, atau adakah lomba yang berkesan karena mutunya yang tinggi? Saya tidak tahu, bahkan semua dari kita yang setiap tahun disuguhi pesta seni ini, tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.

Awal-awal keberadaan PKB seni pertunjukan yang paling populer adalah sendratari yang digarap ISI (dulu STSI). Kehebatan sendratari ini tak bisa ditiru oleh tim dari kabupaten manapun karena bentuknya yang kolosal. Lembaga pendidikan seni ini tentu saja bisa memainkan secara kolosal karena seluruh mahasiswa dilibatkan. Lagi pula ini tergolong “kesenian proyek” dan ada biaya khusus dari Pemda Bali. Namun, lama-lama sendratari kehilangan rohnya ketika kekolosalan itu berkurang dan pada saat dosen STSI pun kelelahan karena setiap tahun “menerima proyek”. Belum lagi lantaran “uang proyeknya” semakin kecil.

Lalu, apa yang pernah menjadi primadona selama PKB? Arja Muani dari Sanggar Printing Mas dengan lakon Siti Markomah itu, apakah bisa disebut lahir dari PKB? Adakah Dalang Cenk Blonk mencuat karena ia tampil di PKB tahun 2001 dengan kawalan sirene sepanjang jalan Tabanan – Denpasar? Kita tidak bisa memperbandingkan, apalagi berdasarkan ingatan semata-mata. Saya pun yang tergolong rajin membuat catatan ringan tentang PKB, kadang “kehilangan ingatan” jika menguraikan hal-hal yang rinci.

Jadi, kelemahan fatal yang selama ini kita lakukan adalah tidak membuat dokumentasi tentang jalannya PKB setiap tahun. Padahal dokumentasi itu sangat perlu untuk mencatat sejarah kesenian Bali yang tercermin dalam kegiatan PKB. Juga

Page 70: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

dokumentasi itu penting untuk evaluasi, di mana lemahnya PKB, di mana kuatnya, dan apa yang harus dilakukan untuk PKB mendatang. Dari dokumentasi itu kita bisa mengadakan semacam analisa SWOT jika kita berbicara dari sudut manajemen seni. Tentu saja dokumentasi yang saya maksudkan adalah berupa buku dengan uraian yang rinci menganalisa setiap seni yang dipertunjukkan lengkap dengan fotonya. Bukan brosur-brosur yang mudah dicampakkan.

Sekarang saja terjadi perbedaan pendapat tentang sejarah PKB, siapa sebenarnya pencetus PKB itu, apakah Prof. Dr. Mantra yang saat itu Gubernur Bali atau orang lain, misalnya, Prof. Dr. Bagus yang saat itu banyak membuat gebrakan seni di Sanur. Kedua tokoh ini sudah meninggal tak bisa kita minta pendapatnya secara jujur. Lalu, apakah PKB itu Pesta Kesenian ataukah Pesta Kebudayaan, ketika pertama kali dicetuskan oleh pemrakarsanya? Saya menduga ide awalnya adalah kebudayaan, bahkan saya nyaris menduga kata “P” di depan itu bukan Pesta tetapi Pekan. Jangan-jangan PKB itu adalah Pekan Kebudayaan Bali.

Bisa jadi dugaan saya salah besar. Kalau saja Pak Mantra masih ada, saya mau mewawancarainya secara khusus, bagaimana sebenarnya konsep awal beliau tentang PKB. Karena dugaan saya ada dasarnya. Pada PKB pertama tahun 1979 itu ada lomba penulisan pariwisata untuk menggali ide tentang pemerataan pariwisata budaya di Bali. Saya yang sudah berada di Yogyakarta mengikuti lomba itu dan saya pemenang pertamanya. Pak Mantra sendiri yang langsung memberikan piala kemenangan itu sambil berujar: “Ikuti terus perjalanan budaya Bali, meski berada di luar.” Beliau tak mengucapkan “kesenian” tetapi “kebudayaan”. Jadi, PKB pada awal-awalnya sangat luas bidang yang dibidik, tidak hanya berurusan dengan seni pertunjukan dan lomba ketrampilan seni, tetapi juga merangsang pemikiran kreatif  di bidang kebudayaan.

Kita kehilangan jejak karena jejak kita tak berbekas lantaran tak ada yang mau menuliskan jejak langkah itu dengan serius.

* Putu Setia

3 Juni 2005

Selasa,26 Juni 2012 @ 05:15

Sang Kala MandegPandita Mpu Jaya Prema(Catatan: tulisan ini dipublikasikan 27 Juni 2005 saat PKB tengah dilangsungkan. Tenyata sampai kini, saat PKB tahun 2012, masalahnya sama saja.)

Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun ini akan mengambil tema Sang Kala. Kala adalah waktu dan waktu selalu berubah karena bumi terus berputar. Ketika Sang Kala menjadi tema sentral PKB, adakah perubahan itu bergerak ke sisi positif?

Ini yang diragukan banyak orang. Karena sudah terbukti dalam beberapa tahun belakangan ini PKB seperti jalan di tempat. PKB mandeg,  karena isinya begitu saja dari tahun ke tahun. Malah lebih buruk lagi, sang waktu berjalan ke sisi negatif.

Mandegnya kreatifitas dalam PKB sudah nampak sejak PKB Kabupaten dan Kota digelar beberapa waktu yang lalu. Tak ada greget apa-apa, tak ada daya tarik yang bisa membuat orang berbondong-bondong menyaksikan pentas seni di PKB Kabupaten. Penonton pentas seni itu bahkan kalah dibandingkan pengunjung dharma suaka seorang calon Bupati yang lagi mengobral janji. Pada lomba berpakaian adat ke pura, misalnya, penontonnya adalah ibu, bapak, atau kakak dari seorang anak yang mengikuti lomba.

Saya sungguh tak paham, kenapa dalam ajang PKB ada lomba berbusana ke pura? Seolah-olah orang datang ke pura untuk memamerkan mode pakaian, sehingga mode ini perlu diperlombakan. Ini salah kaprah yang akan berdampak besar bagi perkembangan agama Hindu di kemudian hari. Akan ada anggapan seperti yang sudah terjadi di Bali saat ini, ke pura harus memakai pakaian adat, lebih konyol lagi pakaian adat khas Bali. Padahal orang ke pura bertujuan sembahyang, dan pakaian apapun yang dikenakan asal bersih dengan hati yang tulus, bisa dibenarkan secara agama. Tidak harus memakai kain brokat, apalagi brokat tembus pandang yang justru menyalahi norma agama. Tak harus memakai pakaian model safari.

Kesalah-kaprahan ini akhirnya berdampak buruk, yakni orang Hindu etnis Bali tidak akan merasa sreg bersembahyang ke pura kalau tidak sedang berpakaian adat. Ini yang menyebabkan orang Bali kelihatan malas bersembahyang. Lihat saja di kantor-kantor atau sekolah, berapa banyak pegawai atau guru-guru yang datang ke pura di lingkungan kantor dan sekolah itu pada siang hari untuk melaksanakan Puja Trisandhya? Pura di perkantoran akhirnya tak berfungsi setiap hari, beda betul dengan keberadaan mushola di perkantoran.

Dengan asumsi itu, ternyata PKB telah mengajarkan sisi-sisi negatif  bagi perkembangan agama Hindu. Apalagi pada saat pembukaannya, biasanya selalu ada tontonan orang membawa pajegan ke pura, atau tari-tarian sakral yang hanya ada di pura tertentu. Kita secara tidak sadar telah melecehkan ritual agama dengan menjatuhkan martabatnya sebagai barang tontonan. Orang luar boleh menonton umat Hindu di Bali pada saat melaksanakan ritual, tetapi akan menyedihkan sekali jika orang Bali

Page 71: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

sengaja mempertontonkan ritual agamanya itu pada saat yang bukan sesungguhnya ritual.

PKB seharusnya memberikan inspirasi bagi perjalanan budaya agama Hindu di Bali. Kesenian yang muncul dalam PKB semestinya memberi arti yang lebih dalam terhadap ajaran Hindu itu sendiri. Contohnya adalah terciptanya tari bernuansa religius tetapi tidak sakral seperti Siwa Nitipraja. Atau digarapnya fragmen yang penuh dengan nuansa Hindu seperti Sutasoma, petikan Mahabharata, dan sebagainya. Jadi bukan mementaskan baris gede yang sudah sakral, atau mempertontonkan rangda apalagi disertai orang ngurek(menusuk diri dengan keris) di hadapan pejabat-pejabat yang hadir.

Para perancang, pengarah, dan seniman pelaksana PKB harus berbuat sesuatu untuk membendung masuknya budaya pop yang dibawa oleh kemajuan teknologi televisi, VCD dan sejenisnya. Saat ini kita melihat betapa kesenian Bali mulai tergerus oleh budaya pop itu. Arja dan topeng bertutur sudah tidak digemari lagi. Drama gong juga sudah kehilangan bentuknya seperti dulu. Semuanya jatuh dalam budaya pop yang menghibur dengan mengandalkan lelucon sebagai kekuatan. Semua pemain drama gong harus lucu, kalau tidak dianggap gagal. Bahkan pada pementasan wayang kulit pun tokoh kesatria berwibawa seperti Arjuna, Yudistira, Anoman, sudah mulai membawakan lelucon.

Kalau PKB menjadi penyalur dari budaya pop itu, kenapa harus dipertahankan nama PKB? Kenapa tidak diganti saja dengan PDSB, Pameran Dagang dan Seni Bali? Atau Bali Expo, supaya lebih berbau asing. Ini yang ditempuh kota-kota besar seperti Jakarta dengan menyelenggarakan Jakarta Expo, Pasar Gambir dan sebagainya, karena kegiatan seni bermutu seperti Jak-Art tidak bisa lagi diselenggarakan setiap tahun karena memang situasi tidak menunjang.

Dengan dipaksakannya PKB setiap tahun tanpa ditunjang kreasi baru, lama kelamaan nama PKB yang begitu harum di masa lalu akan jadi cemar. Lebih-lebih kalau kita melihat unsur di luar seni, seperti penataan pedagang. Aneh bin ajaib, pada saat kita bicara ajeg Bali, di arena PKB tidak ada lagi daluman dan loloh don sembung. Minuman Bali itu sudah diganti dawet dari Banjarnegara. Laklak sudah diganti kue serabi. Pisang rai sudah lenyap diganti mertabak. Serombotan sudah mirip gado-gado. Lalu coba iseng didata, lebih banyak mana orang Bali yang berdagang dibandingkan orang luar Bali? Inilah Sang Kala dalam perjalanan menuju sisi negatif. Artinya, PKB harus diselamatkan, jika perlu tidak usah setiap tahun. Yang setiap tahun cukup Pameran Dagang dan Seni saja.

* Putu Setia

27 Juni 2005

Senin,25 Juni 2012 @ 06:19

Menggilir Pesta Kesenian BaliPandita Mpu Jaya Prema(Catatan:  Tulisan ini sudah dibuat 6 tahun yang lalu, tepatnya dimuat Bali Post tanggal 1 Juli 2006. Saat itu betapa tak bermutunya Pesta Kesenian Bali karena acaranya monoton setiap tahun, sehingga ada wacana untuk menggilir PKB ke kabupaten yang lain. Ternyata wacana itu tetap tak berwujud dan PKB yang saat ini  berlangsung 9 Juni- 10 Juli 2012 masih tetap jalan di tempat.)

Kesibukan rutin tahunan di Taman Budaya Denpasar sudah dimulai sejak pekan lalu. Inilah Pesta Kesenian Bali (PKB). Meski setiap tahun temanya berubah, dan memakai tema yang serem-serem sehingga sulit dicerna orang awam, toh yang terjadi sama saja dengan tahun-tahun lalu, dan sangat akrab dengan orang awam. Parkir motor atau mobil yang jauh, melewati pedagang baju, sepatu, martabak, serobotan, lalu masuk ke arena Taman Budaya. Disambut dengan jejeran kios-kios yang tak ada bedanya dengan pasar seni yang ada di Kuta atau Sukawati, pengunjung pun memilih kesenian apa yang mau dilihat. Karena tiada brosur, pengunjung hanya mengira-ngira, apa yang akan ditonton. Maka pergelaran Topeng Panca hanya dihadiri segelintir orang, mendengarkan gong gede tanpa tahu apa makna tabuhnya, menonton gambuh yang ada orang kerauhan, dan seterusnya.

Sampai kapan rutinitas ini akan berlangsung? Itu akan terjadi sampai pemrakarsa PKB mau ”rendah hati” memindahkan PKB ke kabupaten-kabupaten. Jangan cuma di Taman Budaya Denpasar yang konon beberapa bagian vital sudah ”dikuasai” oleh kelompok yang tak ada urusan dengan kesenian, seperti pengelolaan parkir, penempatan pedagang kaki lima, penyewaan kios dan sebagainya.

Nah, suara-suara seperti itu, yang santer terdengar sejak beberapa tahun lalu, kali ini akan mendapat respon. Konon pemindahan PKB ke kabupaten itu dilakukan secara bertahap, semacam penjajagan lebih dulu atau kalau dalam istilah olahraga sering disebut uji coba. Caranya, kesenian yang peminatnya banyak, seperti gong kebyar akan dikirim ke kabupaten untuk berpentas di sana. Kesenian yang bernapaskan ritual akan dipentaskan di pura-pura yang ada persembahyangannya. Bagaimana teknis pelaksanaan ini, sedang dikaji.

Pementasan kesenian yang tidak sakral seperti gong kebyar, barangkali tidak masalah. Panitia setempat praktis hanya menyediakan panggung yang memadai. Tetapi bagaimana mementaskan kesenian sakral berkeliling? Sakral dan tidaknya

Page 72: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

sebuah seni tergantung desa, kala, dan patra. Artinya, kondisi setempat sangat mempengaruhi. Rejang sakral dari Karangasem rasanya tak akan diterima kalau dipentaskan di pura yang ada di Tabanan, karena di sana ada rejang jenis lain yang juga sakral. Baris gede bisa dinyatakan sakral di sebuah tempat, tetapi hanya hiburan semata di tempat yang lain.

Pemerataan pementasan kesenian ke kabupaten-kabupaten ini boleh dikatakan positif jika betul-betul dalam kerangka besar ingin memindahkan PKB secara utuh ke kabupaten di masa mendatang. Adapun pelaksanaan PKB di kabupaten, sebenarnya tidak sulit asal ada kemauan baik untuk itu. Apalagi kalau tempat PKB itu ditentukan seperti menentukan tempat berlangsungnya Piala Dunia (sepakbola). Dua kegiatan di depan sudah ditentukan tempatnya. Katakanlah PKB akan digilir mulai tahun 2008, maka sejak saat ini sudah diputuskan kabupaten mana yang menggelar PKB tahun 2008, tahun 2009 dan tahun 2010. Dua tahun adalah persiapan yang cukup untuk menyelenggarakan pesta kesenian rakyat itu. Sekali lagi yang dibutuhkan adalah kemauan bersama, apakah memang betul niat menggilir PKB itu ada.

Sebetulnya, kegiatan PKB tidak juga harus di satu tempat. Seperti halnya Piala Dunia (mumpung lagi demam bola sehingga bisa jadi contoh), pementasan kesenian dalam rangka PKB bisa disebar. Misalnya saja, jika Kabupaten Tabanan menjadi tuanrumah PKB, maka lomba gong kebyar bisa diadakan di Kerambitan, parade wayang cilik di Marga, pentas teater tradisional (topeng, gambuh, wayang wong) di Pupuan, dan sebagainya. Jerman kini menjadi tuan rumah Piala Dunia dan pertandingan disebar ke berbagai kota. Dampaknya adalah demam bola melanda ke seluruh negeri, semua rakyatnya dapat kecipratan rejeki. Hal seperti itu akan terjadi kalau pementasan kesenian PKB juga disebar.

Pergelaran kesenian Bali yang memusat telah memisahkan kesenian Bali dengan konteks sosialnya. Di masa lalu, muatan nilai sosial itu sangat besar pada pertunjukan kesenian Bali di jantung komunitasnya, yakni di banjar-banjar atau pura desa. Pertunjukan kesenian ini menjadi sangat fungsional. Ia menjadi tempat sosialisasi warga desa. Arena  pertunjukan menjadi pusat keramaian, tempat masyarakat saling mengenal, tempat muda-mudi mencari jodoh. Jika kesenian itu datang dari luar maka arena ini juga dijadikan bahan pembelajaran warga setempat. Ini yang juga mendorong lestarinya kesenian tradisi yang tumbuh di pedesaan.

Jika konsep ini diterapkan kembali dengan kemasan moderen, maka salah satu missi PKB yakni melestarikan kesenian tradisi Bali akan lebih nyata. Sekarang, dengan pemusatan di ibukota provinsi, bahkan hanya di lingkungan Taman Budaya Denpasar, kesenian Bali tak lebih sebagai ”kesenian salon”. Pertunjukan jauh dari komunitasnya, pertunjukan hanya menjadi ”agenda proyek” atau istilah yang kini sering digunakan ”proyek pembinaan”. Setelah PKB tak ada lagi proyek, tak ada lagi pembinaan, tak ada lagi ”honor pembina” juga tak ada ”surat perintah jalan” yang bisa ditukar jadi uang.

Saya merindukan PKB di tengah-tengah desa, minimal di kota kabupaten. Adapun Denpasar sebagai kota budaya, bisa saja secara berkala menyelenggarakan Pekan Budaya yang menampilkan kesenian kontemporer, baik yang napasnya tradisi, ritual, atau moderen, termasuk mementaskan ”kesenian tamu” dari luar daerah sebagai ajang tukar budaya.

Putu Setia

1 Juli 2006

Kamis,03 Mei 2012 @ 10:10

Kereta MertaPandita Mpu Jaya Prema(Sebuah artikel di rubrik Bahasa, Majalah Tempo edisi 30 April - 6 Mei 2012)

Putu Setia*)

MantanPanglima Kopkamtib Laksamana Sudomo wafat di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, belum lama ini. Jenazahnya diangkut dengan ambulans ke rumah duka, masih di kompleks Pondok Indah. Di badan mobil pengangkut jenazah itu tertulis: Kereta Merta.

Dari mana asal nama itu? Kereta merta, sebuah istilah yang mengingatkan kita pada kejayaan masa lalu, ketika budaya kita belum banyak dimasuki unsur Barat. Kini mobil pembawa jenazah umum disebut ambulans, dan ini sudah lazim sampai ke pelosok desa. Bahkan ketika ada kendaraan bertulisan Mobil Jenazah, orang pun berteriak: ambulans datang.

Kereta bukan istilah asing. Meski Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut arti kereta sebagai kendaraan beroda yang biasanya ditarik oleh kuda, kata bentukan dari kereta ini sudah diperinci banyak. Ada kereta api, kereta dorong, kereta angin, kereta gandeng, kereta kuda, kereta sorong, termasuk juga ada kereta jenazah. Tapi KBBI tak mencantumkan “kereta merta”.

Di Bali, kata “merta”, yang sejak dulu dikenal masyarakat, ternyata jadi perkara. Di masa lalu kata “merta” diartikan “air

Page 73: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

kehidupan” atau “anugerah yang abadi”, sesuatu yang mulia. Karena itu banyak desa, tempat suci, bahkan hotel, memakai kata “merta”. Di desa saya, ada sebuah banjar (bagian dari desa) yang sampai sekarang bernama Banjar Merta Sari.

Belakangan, sekitar 10 tahunan, pemuka agama Hindu di Bali sibuk menjelaskan bahwa kata “merta” itu salah artinya. Apa yang selama ini diartikan sebagai “air kehidupan”, “anugerah yang abadi”, dan seterusnya itu adalah arti dari kata “amerta”, bukan “merta”. Rujukannya ada di kata Sanskerta: “amrta” dengan huruf “r” bertitik bawah. Bacaan aslinya “amrita”. Kata “amrta” ini banyak terdapat dalam kitab Weda, yang jadi sumber puja para pendeta Hindu. Pendeta di Bali umumnya membunyikan “amreta”, tapi masyarakat melafalkan dengan sederhana menjadi “amerta”.

Kata “amerta” pun sudah resmi di Indonesia. KBBI (edisi ketiga) sudah memungutnya dengan memberi arti: (1) tidak dapat mati, (2) abadi, (3) tidak terlupakan. Kamus Bahasa Bali-Indonesia susunan Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali menyebut “amerta” dengan arti: “air yang menyebabkan hidup kekal”. Pengartian ini seperti merujuk ke eposMahabharata episode Dewa Ruci, ketika Bima diutus ke dasar samudra mencari “air suci” untuk mengekalkan kehidupan leluhurnya. Mahabharata menulis: “amrta sanjivani”.

Lalu, bagaimana nasib kata “merta”? Karena kata ini sudah umum di Bali meski dengan arti yang pernah salah, banyak pemuka agama berpendapat, kata itu dipungut saja, dan diberi arti yang bertentangan dengan “amerta”. Kalau “amerta” diartikan “air yang menyebabkan hidup kekal”, arti “merta” dibalik menjadi “air yang digunakan untuk kematian”. Kalau dalam bahasa Indonesia--merujuk KBBI--“amerta” sudah diartikan “tidak dapat mati”, arti “merta” menjadi “dapat mati”. Atau cukup sederhana: “mati”.

Adaalasannya. Banyak sekali kata dalam bahasa Bali yang diserap dari bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno (Kawi) yang membuat sebuah kata berubah arti sebaliknya setelah diawali huruf “a”. Misalnya, “dharma” (kebajikan, kebenaran) dengan “adharma” (kebatilan, kebohongan). “Asusila” dengan “susila”. Bahkan termasuk penamaan binatang seperti anjing yang disebut “asu”. Kata “su” berarti terhormat, mulia, luhur (pendeta Hindu dalam bahasa Bali disebut “sulinggih” dari kata “su” dan “linggih” yang artinya kedudukan dalam strata sosial kemasyarakatan terhormat). Jadi, “asu” artinya: tidak terhormat, tidak mulia. Dan itu cocok untuk anjing yang sering kencing di pura orang Bali.

Saya sependapat, pungut saja kata “merta” itu dengan memberi arti “mati” atau disesuaikan dengan kebalikan dari “amerta”. Justru dengan memungutnya secara resmi, kita bisa meluruskan artinya dengan dasar yang jelas.

Jika kamus Sanskerta-Indonesia (dari tiga penyusun yang saya miliki) dan Kamus Jawa Kuno-Indonesia susunan L. Mardiwarsito, tak memuat kata “merta”, itu tak jadi masalah, toh kedua bahasa itu sudah tidak berkembang lagi.

Namun para penyusun KBBI maupun penyusun Kamus Bali-Indonesia, menurut saya, tak perlu takut untuk di kemudian hari memuat kata “merta” dalam arti “mati” (sekarang KBBImemuat kata “merta” dengan merujuk ke kata “serta”, jadi “serta-merta”). Bukankah bahasa Indonesia dan Bali tetap hidup berkembang? Aneh, sebuah kata sudah banyak digunakan tetapi tak dijumpai di kamus apa pun. Hormat saya untuk Pak Domo, tatkala “merta” pun masih berjasa, semoga diberi kemuliaan di sisi-Nya. Amin.

*)Pendeta Hindu, @mpujayaprema

Rabu,21 Maret 2012 @ 08:41

Rumah Sang PendetaPandita Mpu Jaya Prema(Sebuah kolom di Majalah TEMPO terbitan 19 Maret 2012)

Beberapa hari sebelum saya dibaptis sebagai pendeta, tahun 2010, ada ritual yang jelimet di rumah tinggal saya. Rumah saya dinaikkan “statusnya” menjadi Griya. Ini sebutan tempat tinggal yang dianggap suci, karena penghuninya tak lagi tergoda urusan duniawi. Begitulah formalnya.

Saya sempat bergurau: “Di Jakarta saya pernah tiga tahun tinggal di Griya.” Banyak orang tertawa dan ada yang menuduh saya “tak tahu aturan”. Tapi saya ngotot: “Ya, betul, saya tinggal di Griya Wartawan Cipinang Muara.”  Orang menjadi maklum setelah saya jelaskan itu komplek perumahan wartawan.

Griya atau kadang ditulis Geriya, memang untuk tempat tinggal para Brahmana, pendeta di kalangan umat Hindu. Banyak aturan yang dikenakan, baik untuk penghuninya mau pun untuk tetamunya.

Dari mana istilah itu berasal? Orang langsung menyebut dari  bahasa Sanskerta. Maklumlah, pendeta Hindu akrab dengan bahasa Sanskerta karena semua mantra pemujaan memakai bahasa itu. Sanskerta adalah bahasa Weda (Veda).

Page 74: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Dalam bahasa Sanskerta – kalau memang itu asal-usulnya – kata itu ditulis “grhya” dengan huruf “r” berisi titik di bawahnya. Bagi orang yang memahami Sanskerta, huruf “r” dengan titik di bawahnya dibaca “ri” sehingga “grhya” harus dibaca “grihya”. Namun, orang Melayu yang tak mempelajari bahasa yang tak dipakai sebagai bahasa pergaulan itu, lebih condong membaca dengan “grahya”,bahkan “graha”.

Ada kamus Sanskerta-Indonesia karangan Dr. Purwadi dan Eko Priyo Purnomo (keduanya pengajar di UGM Yogya) yang menyebut ada kata “griya” dalam bahasa Sanskerta yang berarti: rumah, wisma. Namun, kamus ini dalam kata pengantarnya sudah merancukan bahasa Sanskerta dengan bahasa Kawi (Jawa Kuno), seolah-olah kedua bahasa itu sama.

Dalam kamus Jawa Kuno-Indonesia susunan L. Mardiwarsito ditemukan kata “grha” (juga dengan huruf “r” memakai titik di bawahnya) dan diberi arti rumah. “Grha” (Jawa Kuno versi Mardiwarsito) ini lebih mirip dengan “Grhya” (Sanskerta). Tapi “Grhya” tidak berarti rumah, melainkan: suatu desa atau perkampungan dekat kota. (Antara lain di Kamus Sanskerta-Indonesia karya I Made Surada, lulusan S-2 Sanskerta Universitas Allahabad, India)

Yang ingin saya katakan adalah kata-kata yang muncul belakangan, apakah itu ada di bahasa daerah (lokal) atau bahasa nasional, banyak menyerap kata-kata yang ada didalambahasa sebelumnya. Bisa jadi “Griya” yang dipakai dalam bahasa Indonesia saat ini adalah serapan dari “Grha” (Jawa Kuno) dan “Grhya” (Sanskerta). Boleh jadi pula, kata “Graha” yang banyak digunakan saat ini untuk arti yang sama, yakni rumah atau wisma, adalah serapan yang “salah paham soal bunyi”.

Dalam hal umat Hindu tetap memakai Griya untuk rumah pendeta (padahal jika mengacu ke Sanskerta artinya tak pas) barangkali mewarisi kesalah-pahaman ketika kata itu diserap ke Jawa Kuno. Harap dipahami, bahasa Kawi pun menjadi bahasa ritual umat Hindu – selain bahasa untuk seni sakral.

Tapi bisa pula pemakaian kata Griya itu dengan kesadaran memasukkan kiasan – sebagaimana kekhasan orang Bali yang tercermin dalam bahasa daerahnya – karena para Brahmana di masa lalu memang harus dekat dengan kota karena mereka menjadi Bhagawanta (penasehat) kerajaan.

Kalau begitu halnya, saya berpikir sederhana, biarkan saja kata serapan itu dipakai apa adanya sesuai kenyataan saat ini. Jadi biarkan Griya tetap dipakai sesuai dengan bunyi versi Sanskerta, sementaraGraha juga tetap dipakai dengan arti yang sama: rumah atau wisma. Masalahnya adalah kata “Graha” nyata-nyata ada dalam bahasa Jawa Kuno yang berarti buaya, sehingga Bina Graha adalah tempat untuk membina para buaya.

Namun, berapa banyak pemakai bahasa Jawa Kuno saat ini? Kata Graha sudah dianggap “bukan buaya”. Selain ada Bina Graha ada Graha Pena (gedung Jawa Pos), Lila Graha (wisma Pemda Bali di Bedugul), dan banyak lagi. Begitu pula kata Griya sudah mulai “tak suci lagi”, istilah ini dipakai oleh banyak pengembang. Bahkan di Bali sendiri ada hotel dan perumahan memakai nama Griya, padahal di sana tak ada pendeta yang tinggal.

Menyederhanakan serapan kata Sanskerta yang rumit itu sebenarnya sudah dilakukan sejak dulu tanpa ada masalah. Para pengamat mencatat, sudah sekitar 800 kata Sanskerta diserap ke bahasa Melayu dengan pengucapan versi Melayu. Kita kadang lupa kalau payudara itu berasal dari kata “payodhara” (Sanskerta). Mungkin kita agak rikuh memakai kata yang lahir dari kiasan: buah dada.

Putu Setia,  nama baptis Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

Kamis,08 Maret 2012 @ 04:17

Saatnya Dipikirkan Undang-undang Ormas KeagamaanPandita Mpu Jaya PremaMungkinkah majelis-majelis agama bisa meredam aksi kekerasan yang dilakukan oleh ormas keagamaan? Mungkinkah majelis agama yang dimiliki oleh hampir semua agama yang ada di Indonesia, bisa mengayomi dan membina ormas keagamaan itu? Mengayomi dalam maksud memberikan bimbingan, tuntunan, dan juga perlindungan karena organisasi kemasyarakatan itu jelas-jelas mencantumkan identitas agamanya. Membina tentu dalam arti yang luas, mereka bisa menegur ormas keagamaan yang aksinya merugikan pemeluk agama lain, karena ini juga berarti menodai agamanya sendiri. Dalam keadaan terpaksa karena tak “mampu dibina”, majelis agama ini memberikan rekomendasi kepada pemerintah supaya ormas itu dibubarkan, jika sudah sangat meresahkan.

Mungkinkah hal itu? Pertanyaan ini sering mengganggu tidur saya, meski pun jawabannya sudah saya tahu: tak mungkin. Ini disebabkan majelis agama bukanlah berada dalam satu struktur dengan ormas keagamaan. Ormas keagamaan tidak menjadi “bawahan” majelis agama. Ormas keagamaan bahkan sebutan yang salah kaprah, karena sejatinya dia itu hanyalah organisasi kemasyarakatan biasa yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3298). Hanya karena labelnya mencantumkan nama agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan lainnya) mereka lantas disebut ormas keagamaan. Jadi, Front Pembela Islam (FPI) sama kedudukannya dengan Forum Betawi Rembug dan berbagai ormas lainnya – dengan catatan kalau ormas itu terdaftar di Kemendagri, karena ada ribuan ormas yang tak terdaftar.

FPI sering melakukan aksi-aksi yang meresahkan masyarakat. Bagaimana mungkin Majelis Ulama Islam (MUI) akan

Page 75: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

melakukan “pembinaan”, apalagi sampai merekomendasikan supaya FBI dibekukan, bukankah tak ada hubungan organisatoris? Kalau MUI saja tak bisa berbuat apa-apa, apalagi ormas Islam yang lainnya, bahkan juga pemuka-pemuka Islam yang gerah dengan ulah FPI itu. Artinya, meski sama-sama memakai label satu agama, tak ada saling mengingatkan, karena semuanya otonom dan semuanya berpegang kepada konstitusi bahwa hal berserikat itu dijamin undang-undang.

Di luar Islam, hal itu juga terjadi. Tapi karena jumlah umatnya tak sebesar Islam, gesekan itu tak sampai muncul di permukaan. Di Hindu, misalnya. Majelis agamanya bernama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Organisasi masa yang menghimpun anggotanya dengan kesamaan agama Hindu, tak ada urusan dengan PHDI. Mereka bergerak dan membiayai dirinya sendiri. Cuma dalam satu dasa warsa terakhir ini, PHDI mulai mendekati ormas-ormas ini, ibarat seorang Bapak yang menasehati anaknya, diterima syukur, ditolak apa boleh buat. Nasehatnya: jika tetap menggunakan nama Hindu, tolong ajaran agama Hindu menjadi roh dari pergerakan itu, Hindu yang toleran dan Hindu yang damai. Nampaknya mereka bisa menerima, namun dalam hal tertentu terutama berkaitan dengan bhisama (fatwa) yang dikeluarkan PHDI – dalam Hindu hanya pendeta PHDI yang bisa mengeluakan fatwa—mereka sering mengabaikan.

Dan kami di PHDI – saya salah satu dari 33 pendeta yang kini duduk di PHDI – sangat menyadari bahwa hak setiap orang untuk menafsirkan ajaran agama, dan PHDI tak mau memonopoli tafsir Weda sebagai satu-satunya tafsir yang harus diikuti. Karena itu beberapa fatwa tak mulus di masyarakat Hindu, misalnya bhisama soal sabungan ayam (yang bertentangan dengan Hindu karena ada judinya), bhisama soal Catur Warna (yang meluruskan soal kasta), bhisama dana punia (yang mewajibkan umat membayar sekian persen penghasilan bersih untuk agama). Sabungan ayam tetap marak, pendeta Hindu (terutama di Bali) seperti masih tersekat oleh kelompok-kelompok. Tentu saja puluhanbhisama lain dilaksanakan dengan baik, karena bagaimana pun kami dianggap orang yang punya “pengetahuan lebih” dalam menelaah kitab suci.

Saya kira di Islam juga demikian, tak semua fatwa MUI diikuti oleh umatnya. Kalau begitu halnya, lalu apa sesungguhnya peran, tugas dan kewajiban majelis-majelis  agama dalam “menentramkan” umatnya, belum lagi kita bicara “mensejahtrakan” umatnya. Semuanya seperti mengambang, majelis agama seperti ada di menara gading. Kadang dianggap panutan, kadang berwibawa, tapi tak jarang juga dicuekin. Menegur saja tak berani apalagi menjadi “polisi agama” untuk hal tertentu.

Dalam kasus FPI, orang melihat aksi mereka sudah tak bisa ditolerir, sehingga ormas ini perlu dibubarkan. Bagaimana mungkin pemerintah berani – dan bisa – karena itu bertabrakan dengan UU No. 8 Th 1985. Dalam undang-undang ini disebutkan, ormas bisa dibekukan setelah tiga kali mendapat teguran tertulis berdasarkan wilayah: kabupaten/kota, provinsi, nasional. Contoh, FPI bisa dibekukan di Cianjur, jika sudah tiga kali melakukan aksi anarkitis di sana. Kalau sekali di Cianjur, sekali di Bogor, sekali di Padeglang, itu tak bisa digabung.

Bahwa FPI sering melakukan aksi anarkitis, mungkin benar, tetapi itu berada di wilayah yang berbeda-beda. Mendagri menyebutkan, di tingkat nasional FPI baru dua kali mendapat teguan, pertama waktu menyerang aksi Kelompok Kebangsaan di Monas, kedua ketika merusak kantor kementrian dalam negeri, bulan lalu. Perlu satu teguran tertulis lagi, tetapi kalau aksinya dilakukan di wilayah provinsi atau wilayah kabupaten/kota, tak bisa diakumulasi. Yang lebih jelimet lagi, setelah tiga teguran tertulis dilakukan, pembekuan atau pembubarannya menunggu fatwa Mahkamah Agung. Betapa panjangnya jalan “menuju Indonesia tanpa FPI” itu.

Tentu kita berharap, semoga FPI melakukan instrospeksi terhadap ulahnya selama ini, setelah kasus di Palangkaraya itu. Namun yang lebih penting, jika aksi dan penolakan terhadap FPI dijadikan pembuka wacana, perlu dipikirkan ada undang-undang tersendiri yang mengatur ormas keagamaan dan sekaligus di sana diatur pula apa itu majelis agama dan apa itu Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Seperti diketahui FKUB ini lahir dari Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006 dalam kaitan pembangunan tempat ibadat. Kenyataannya banyak FKUB yang tak berfungsi, sehingga berbagai kasus pun bermunculan, seperti kasus Gereja Yasmin itu.

(Kolom Putu Setia di Koran Tempo, 17 Februari 2012)

Jumat,20 Januari 2012 @ 01:54

Padma Bhuwana Nusantara Hasil Kompromi

Page 76: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

(Tulisan di bawah ini adalah petikan berita – dari serangkaian laporan utama – yang membahas soal Padma Bhuwana Nusantara di Majalah Hindu Raditya edisi Februari 2012. Kebetulan saya diwawancarai, semoga memberikan informasi awala. Laporan lengkap tema ini silakan buka web Majalah Raditya).

Penetapan Padma Bhuwana Nusantara yang disahkan dalam Mahasabha X PHDI bulan Oktober lalu di Hotel Bali Beach Sanur, ternyata tidak melalui sidang Sabha Pandita. Padahal dalam bunyi ketetapan itu, seolah-olah Sabha Pandita yang menetapkan Padma Bhuwana Nusantara. Penetapan ini agaknya dilakukan pada sidang pleno Mahasabha berdasarkan acuan yang diberikan Panitia (SC) Mahasabha.

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda yang aktif sebagai peserta dalam Mahasabha itu mengatakan, satu-satunya sidang Sabha Pandita adalah ketika memilih Dharma Adyaksa dan menetapkan Sabha Pandita yang baru. “Selain itu tak ada sidang apapun yang dilakukan Sabha Pandita. Satu-satunya sidang hanya menetapkan Sabha Pandita yang baru dan menunjuk Ketua Dharma Adhyaksa serta wakilnya. Sidang itupun hanya berlangsung sekitar satu jam,” kata Pandita Mpu yang sewaktu walaka dikenal vokal dengan nama Putu Setia ini.

Menurut Mpu Jaya Prema -- demikian nama yang dipopulerkan di dunia internet -- Panitia (SC) Mahasabha sudah menyiapkan materi yang tebal, di situ ada rancangan Padma Bhuwana Nusantara. “Barangkali rancangan itu dibahas oleh Komisi B atau C, lalu disahkan di pleno. Saya tak mengikuti karena sebagian besar sulinggih ikut di Komisi A,” kata Mpu Jaya Prema. “Jadi saya memang tak tahu menahu soal itu.”

Apakah Mpu Jaya Prema setuju adanya Padma Bhuwana Nusantara? Pandita mantan wartawan Tempo ini tak mau menanggapi pertanyaan ini. “Sudahlah, saya sekarang jadi wiku, berpolemik ngotot-ngototan seperti waktu walaka harus saya hindari. Sasana kawikon membuat saya harus tunduk kepada wiku senior, apalagi beliau berstatus nabe,” katanya. Namun, Mpu Jaya Prema ada menyebutkan sedikit uneg-unegnya, Padma Bhuwana Nusantara ini lahir dengan kompromi, mungkin saja meninggalkan bekas luka, atau setelah terbentuk tak berfungsi apa-apa. Tapi, lagi-lagi beliau tak mau menjelaskan apa masalahnya.

Sementara itu, sumber Raditya dari kalangan sulinggih menyebutkan, ide Padma Bhuwana Nusantara ini sudah ada sejak 2 tahun lalu pada saat Paruman Parisada 2009. Idenya datang langsung dari Ida Pandita Sebali Tianyar Arimbawa, Ketua Dharma Adyaksa PHDI. Namun, setiap ada Paruman Agung selalu konsep ini kandas karena mendapatkan perlawanan. Perlawanan dari sulinggih tentang apa perlunya Padma Bhuwana Nusantara itu? Sedang perlawanan dari walaka (pengurus PHDI Provinsi) adalah tawar-menawar Pura yang akan dijadikan Padma Bhuwana Nusantara.

Semula Jawa Tengah ngotot mengusulkan Candi Prambanan sebagai pusat Padma Bhuwana Nusantara. Dari sisi politis dan lokasi menguntungkan Hindu. Prambanan dikenal dunia dan sudah boleh dipakai bersembahyang. Namun Pedanda Sebali mengusulkan Pura Kutai dengan alasan, Kutai menjadi titik awal Hindu di Nusantara. Akhirnya kompromi dilakukan, keduanya dibuang, maka gantinya adalah Pura di Palangkaraya.

Begitu pula untuk pura di barat laut, tadinya disebut Pura di Batam yang sangat megah. Namun, Pengurus PHDI Pekan Baru protes karena Batam termasuk bagian dari Kepulauan Riau, semestinya pura di ibukota provinsi yang mewakili. Karena sama-sama ngotot dicari kompromi, keduanya dibuang, diganti Kuil di Medan -- kuil ini tadinya mewakili barat. Karena kuil di Medan

Page 77: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

pindah mewakili barat laut, maka Pura di Palembang dijadikan wakil barat.

Akan halnya Bali, tadinya diusulkan Tanah Lot yang dipakai, mengingat Pura Uluwatu sudah menjadi Padma Bhuwana Bali. Pura Tanah Lot juga menjadi pura atau kuil Hindu terindah di dunia (lihat Berita Hindu Nusantara). Tapi, ada yang ngotot memasukkan Pura Uluwatu. Pengurus PHDI Bali yang pada dasarnya tak setuju Padma Bhuwana Nusantara ini  cuek saja, mau pakai pura yang mana saja terserah. Akhirnya Uluwatu yang ditetapkan. Aneh jadinya, di Padma Bhuwana Bali Pura Uluwatu mewakili barat daya (Dewa Rudra), di Padma Bhuwana Nusantara mewakili selatan (Dewa Brahma).

Ya begitulah “mimpi” membuat Padma Bhuwana Nusantara. Seandainya Padma Bhuwana Nusantara dibahas dalam sidang Sabha Pandita, sudah dipastikan tak akan disahkan, alias menggantung. Barangkali ini menjadi salah satu keunikan -- dan keanehan -- Mahasabha X PHDI yang hasil-hasilnya penuh kontroversial itu.

(Tim Raditya)

Rabu,11 Januari 2012 @ 11:41

Kenapa Ada Umat KesepekangPandita Mpu Jaya PremaLima keluarga di Sulang, Kabupaten Klungkung, kini mengalami “kesepekang”.  Mereka diusir dari desanya, halaman rumahnya ditanami pisang oleh warga, dan akses menuju rumah itu ditutup. Kelima keluarga itu kini mengungsi ke kota Semarapura, lalu Pemkab Klungkung memberi fasilitas penampungan di losmen milik Pemda. Tapi tak bisa berlama-lama, karena Selasa sore (10 Januari 2012) mereka “diusir” oleh Pemda Klungkung kalau tak mau membayar sewa kamar sebesar Rp 40 ribu sehari. Kelima keluarga itu menempati enam kamar losmen.

Berita yang dimuat Koran Radar Bali ini (terbitan Rabu 11 Januari 2012) menyebutkan, kelima keluarga itu tak sanggup membayar sewa losmen. Jangankan membayar sewa losmen itu, hidup sehari-hari mereka pun tergantung belas kasih orang lain. Kini mereka diberi alterlatif, mencari lahan sendiri untuk mendirikan tenda yang disediakan Pemda Klungkung atau bertransmigrasi ke Kalimantan. Mereka kebingungan, transmigrasi jelas ditolaknya, mendirikan tenda, di mana lahannya? Pemda Klungkung tak memberinya lahan.

Saya tak ingin menyoroti kasus apa yang menyebabkan kelima keluarga itu kena “hukum kesepekang”. Yang jelas ini sudah melanggar hak asasi manusia, di mana setiap orang bisa bermukim di bumi ini secara sah sepanjang rumahnya itu adalah miliknya. Soal hubungan dengan adat, itu persoalan administrasi, bukan soal usir-mengusir. Pemerintah pun wajib mengayomi warganya, bukan saja memberi rasa aman, bahkan memberi perlindungan dan penghidupan yang layak.

Gubernur Bali Made Mangku Pastika prihatin terhadap kasus ini, sama dengan keprihatinan saya. Ingin rasanya saya memberi santunan kepada keluarga malang itu untuk membayar sewa losmen, tetapi ini tak akan menyelesaikan masalah. Masyarakat Bali memang cuek sekali terhadap penderitaan yang disebabkan perselisihan adat ini. Kalau di luar Bali, pasti sudah ada gerakan pengumpulan recehan untuk disumbangkan kepada keluarga itu biar bisa tinggal, entah di losmen atau pun di bawah tenda. Bahkan para aktivis kemanusiaan akan ikut berteduh di bawah tenda. Saya ingin melakukan ini – tapi “sasana kesulinggihan” membatasi gerak saya karena kini saya menyandang predikat pendeta (Ida Pandita Mpu). Ya, saya hanya berdoa untuk keselamatan mereka.

Apa itu “hukum kesepekang”?

Banyak ada istilah hukum dalam kaitan dengan hukuman atau penahanan, dan kadang terasa aneh. Ada istilah tahanan kota, tahanan rumah, tahanan badan. Tahanan rumah semestinya yang ditahan tidak boleh keluar rumah. Tapi kalau orang kaya yang rumahnya banyak, mereka bisa keluar dari satu rumah untuk menuju rumah lainnya. Pak Harto pernah berstatus tahanan kota, tapi bisa pergi menengok anaknya, Tommy Suharto, yang tengah berada di penjara Nusa Kambangan. Aneh, kota bagi Pak Harto begitu luas, maklumlah bekas penguasa besar.

Di Bali, ada istilah hukum adat yang sesungguhnya baru berupa “penahanan” karena tak ada vonis dari hakim manapun. Yakni “hukum kesepekang”, meskipun tak semua desa adat punya kebiasaan itu. Ini pun terasa aneh. Batasannya tidak menyangkut badan (ditahan atau disel), dan tidak juga menyangkut rumah (ia bisa keluar rumah sewaktu-waktu), apalagi menyangkut kota. Ia bisa ke mana saja. Batas dari “hukum kesepekang” itu adalah mereka dikeluarkan dari desa adat, atau bagi desa adat yang lebih lunak, dinonaktifkan dari desa adat sampai “sang terhukum” membayar kewajiban denda adat. Ada di sebuah desa yang memperlakukan hukum adat kesepekang secara keras, warga desa adat itu dilarang berbicara kepada orang yang sedang kesepekang. Pokoknya sang terhukum ibarat orang “sakit gede”. Warga adat tak boleh bicara dengannya, tak boleh menolong orang itu, dan orang yang sedang menjalani hukuman kesepekang tidak mendapatkan pelayanan apapun dari adat. Nah, yang terjadi di Sulang lebih “dramatis”, kelima keluarga itu tidak diusir dari rumahnya, tetapi akses menuju rumahnya itu ditutup dan halaman rumahnya ditanami pohon pisang. Bagaimana mereka bisa hidup di dalam rumah yang sudah diblokir begitu, yang tak

Page 78: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

bisa lagi berhubungan dengan “dunia luar”?

Kalau orang luar Bali mendengar berita ini, akan langsung berkomentar: “kejam betul orang Bali”. Bahkan komentar serupa sering muncul di kalangan orang Bali yang sedang merantau. Komentar Gubernur Made Mangku Pastika memang tak sejauh itu menyebut orang Bali kejam, tapi keprihatinan Mangku Pastika menyiratkan beliau sangat bersedih, masih ada kasus begini di Bali.

Tapi, apakah orang Bali memang kejam? Nanti dulu. Orang Bali tidak kejam kok, bahkan punya tenggang rasa yang dalam. Buktinya, mereka toleran benar kepada tamu dan pendatang. Apalagi kalau pendatang itu bukan orang Hindu, wah, halus sekali orang Bali. Mana ada pedagang sate dari Madura yang tinggal di desa adat tertentu mengalami kasus kesepekang? Mana ada pedagang pecel lele dari Jawa Timur yang berjualan di desa adat tertentu kena kesepekang? Orang Bali itu baik sekali kepada orang “non-Bali”, dan lihat saja jumlah pendatang, semakin banyak ada di Bali.

Dulu di desa adat saya ada tiga keluarga pedagang sate ayam asal Madura. Mereka ikut kegiatan desa, apapun bentuknya, kecuali urusan bersembahyang ke pura. Maklum, karena agamanya beda, masyarakat bisa memahami. Tetapi mereka sah sebagai penduduk desa adat. Suatu kali orang Madura itu tak ikut kerja bhakti di jalan karena berdagang di kampung tetangga yang sedang ada upacara. Artinya, orang Madura itu tak bisa kerja bhakti (ngayah)karena mecari peluang untuk mendapatkan rejeki, mumpung ada keramaian. Masyarakat maklum saja, tak ada masalah, karena profesi mereka adalah pedagang sate.

Lalu, di suatu hari, seorang warga adat penduduk asli yang “Bali dan Hindu” tidak ikut ngayahmemperbaiki selokan, alasannya mendadak diminta lembur oleh perusahaannya karena order meningkat. Warga desa banyak yang marah-marah dan ada yang usul agar orang itu kena kesepekang. Lo, bukankah orang Bali itu profesinya memang pekerja kantoran? Untung kepala adat punya wawasan dengan menyebutkan setiap orang punya masalah dengan pekerjaannya dan apa yang disebut ngayah dalam konsep desa adat tak sama dengan “kerja paksa”. Ngayah itu harus dilihat pula dari unsur tulus dan ikhlas. Menyama-brayadalam lingkup desa adat adalah memahami masalah-masalah yang dihadapi warga desa dan kemudian menerapkan konsep saling asah, saling asih dan saling asuh. Jadi tak ada hukuman apa pun.

Namun, kalau ditengok desa lain, diskriminasi seperti ini pasti terjadi. Pendatang dapat toleransi kalau tak ikut ngayah, apakah itu memperbaiki selokan atau menjenguk dan mengantar orang mati ke kuburan. Padahal ini bukan urusan agama. Tetapi orang Bali penduduk asli, disalahkan kalau tak ikut memperbaiki selokan atau absen mengantar orang mati ke kuburan. Aneh kan?

Di desa saya kebetulan tidak ada istilah kesepekang (secara formal), apapun kasusnya. Istilah saja tak pernah dicantumkan dalam awig-awig, apalagi pelaksanaannya. Alasannya, aneh bin ajaib sesama warga desa yang turun-temurun tinggal di desa saling menghukum, sementara dengan pendatang kita begitu tolerannya. Saya tak mengatakan harus mengurangi toleransi dengan pendatang, tetapi saya ingin mengatakan janganlah sesama orang Bali, apalagi satu desa dan satu agama, saling bertengkar dan mau diadu.

Banyak orang bertanya, kalau pun sekarang ini masih ada desa yang menerapkan kesepekang, kok hal itu masih dianggap berat? Bukankah yang ada hanya sanksi adat, dan itu pun sanksi adat di mana “sang terhukum” terdaftar sebagai warga adat. Solusinya kan gampang? Keluar saja dari desa adat itu dan mendaftarkan diri di desa adat yang lain. Atau tak usah ikut-ikut desa adat. Itu kalau kesepekang versi lalu, bukan versi lima keluarga di Sulang ini, yang memang secara phisik mereka dibatasi bergerak.

Namun, seandainya lima keluarga di Sulang itu orang kaya dan cukup mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, ini pun bukan soal gampang, ternyata. Karena di Bali, adat itu lebih mencengkeram dibandingkan agama. Adat punya sarana yang mengatur hidup mati orang Bali yang beragama Hindu. Soal hidup kaitannya dengan persembahyangan, pura Tri Kahyangan terkait dengan adat, jadi dipecat dari adat tak bisa bersembahyang di pura Tri Kahyangan. Soal mati menyangkut kuburan, yang punya kuburan itu adalah desa adat. Tak ikut jadi warga adat tak boleh dikuburkan di sana. Apa mau kita hidup dan mati gentayangan?

Apa tak ada jalan keluar? Pasti ada, dan sudah menjadi kenyataan. Pada saat lembaga adat tetap kaku, lembaga agamalah yang harus mendobraknya. Dirikan Pura Jagatnatha, minimal di setiap kota kabupaten, sehingga orang hidup bisa sembahyang tanpa sekat adat. Tak boleh sembahyang di desa, pergi ke pura Jagatnatha. Buatlah kuburan Hindu apakah dalam bentuk krematorium atau tanah biasa, agar orang mati segera bisa diupacarai. Umat Hindu di luar Bali (termasuk yang etnis Bali) sudah menggunakan sarana ini, karena itu mereka tak kenal kesepekang.

Bukti bahwa jalan keluar ini bisa sedikit memecahkan masalah, misalnya, dengan “larisnya” krematorium yang dibangun Pengurus Pusat Mahagotra Pasek Sanak Sapta Resi. Krematorium Santa Yana di Peguyangan Kangin ini sering dipakai oleh orang yang “bermasalah dengan adat” di desanya. Warga Pasek termasuk jarang memakainya, kebanyakan warga lain, bahkan datang dari jauh. Kalau saja krematorium Hindu ini dibangun di setiap kota kabupaten, barangkali  tak ada lagi kasus “rebutan kuburan”, seperti yang banyak terjadi di wilayah Gianyar dan sekitarnya. Ya, solusinya mudah, tapi kita terlalu ruwet mencari jalan pemecahan.

Kembalikan Bali kepada rohnya yang lama, guyub dan tentram, baik kepada sesama maupun kepada tamyu (tamu atau pendatang). Om Awignam Astu ya Namah Swaha. 

Page 79: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Selasa,10 Januari 2012 @ 13:31

Menyoroti Perda RTRW Bali tentang Kawasan Suci(Masalah ini ternyata masih hangat sampai kini, penyelesaiannya sepertinya berlarut-larut, apakah Perda itu akan dilaksanakan atau direvisi dulu sebelum dilaksanakan).

Perda RTRW Bali 2009 memiliki 19 bab serta 153 pasal. Perda ini mengatur banyak hal, dari hal-hal yang berada di bawah tanah (sumber mata air dan tambang, misalnya) sampai di atas tanah bahkan di awang-awang (soal tower dan penerbangan pesawat). Namanya saja mengatur soal ruang, tak ada ruang yang tak diatur sampai alam bawah tanah yang sejatinya tak ada ruangnya juga diatur.

Begitu luas cakupan perda ini, dari hutan lindung sampai terminal bus, dari laut sampai gunung, begitu rinci, termasuk mengatur masalah kendaraan bermotor dalam kaitan dengan kepadatan lalu lintas.

Tapi,  yang jadi polemik hanyalah sebagian kecil saja, yaitu menyangkut kawasan suci pura. Dengan energi yang demikian besar memperbincangkan hal ini, seolah-olah isi perda hanya mengatur masalah kawasan suci pura. Apalagi Bhisama PHDI Pusat dijadikan landasan.

Kenapa ini jadi polemik? Karena kita terjebak pada kata-kata suci. Mendengar kata suci kita seperti emosional, karena kata itu begitu bertuah dan harus kita bela mati-matian. Siapa yang mempermasalahkan kata suci ini seolah-olah menjadi tidak suci. Dan lawan suci adalah kotor.

Apa sebenarnya kesucian itu? Kalau dalam ajaran Hindu semua alam ciptaan Tuhan ini adalah suci. Dari laut sampai ke puncak gunung suci. Tanah sebagai ibu pertiwi adalah suci. Bahkan dalam perda pun sudah dijelaskan secara gamblang mengenai kesucian itu. Dari laut, pantai, campuhan, danau, mata air, gunung semuanya suci

Dalam Perda, kesucian dipilah-pilah menurut tempat dan fungsinya. Ada kawasan suci di gunung (pasal 44 ayat 2 huruf.a.), mencakup kawasan dengan kemiringan sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) derajat dari lereng kaki gunung menuju ke puncak gunung.  Kawasan suci danau (pasal 44.2 b), Batur, Beratan, Buyan, Tamblingan.  Kawasan suci campuhan, di mana ada campuhan diseluruh Bali. (ps 44.c). Kawasan suci pantai (ps 44.2 d). Kawasan suci laut (ps 44. 2 e). Kawasan suci mata air (ps 44.2 f)

Selain kawasan suci ada lagi kawasan tempat suci, dan ini mengacu ke Bhisama PHDI Pusat. Ini dituangkan dalam Pasal 50 (2) yang melengkapi pasal 44.1 b sebelumnya.  Rinciannya,  kawasan tempat suci di sekitar Pura Sad Kahyangan dengan radius sekurang kurangnya apeneleng agung setara 5.000 (lima ribu) meter dari sisi luar tembok penyengker pura. Kawasan tempat suci di sekitar Pura Dang Kahyangan dengan radius sekurangkurangnya apeneleng alit setara dengan 2.000 (dua ribu) meter dari sisi luar tembok penyengker pura. Kawasan tempat suci di sekitar Pura Kahyangan Tiga dan pura lainnya, dengan radius sekurang-kurangnya Apenimpug atau Apenyengker.

Penetapan status Pura-pura Sad Kahyangan dan Dang Kahyangan dilakukan oleh Gubernur setelah mendapat rekomendasi dari PHDI Bali dan MUDP. Pura Sad Kahyangan ada 10 buah, Pura Dang Kahyangan 252 buah dan ribuan pura Tri Kahyangan. Sebaran lokasi radius kesucian kawasan Pura Sad Kahyangan didasarkan pada konsepsi Rwa Bhineda, Tri Guna, Catur Lokapala, Sad Winayaka/Padma Bhuana, mencakup:

1. Pura Lempuyang Luhur (Puncak Gunung Lempuyang di Kabupaten Karangasem).

2. Pura Andakasa (Puncak Gunung Andakasa di Kabupaten Karangasem).

3. Pura Batukaru (lereng gunung Batukaru di Kabupaten Tabanan).

4. Pura Batur (tepi kawah Gunung Batur di Kabupaten Bangli).

5. Pura Goa Lawah (di Kabupaten Klungkung).

6. Pura Luhur Uluwatu (Bukit Pecatu di Kabupaten Badung).

7. Pura Pucak Mangu (di Kabupaten Badung).

8. Pura Agung Besakih (lereng Gunung Agung di Kabupaten Karangasem).

Page 80: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

9. Pura Pusering Jagat (Pejeng di Kabupaten Gianyar).

10. Pura Kentel Gumi (di Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung)

Dalam penjelasan Perda ini, yang dimaksud kawasan tempat suci adalah kawasan di sekitar tempat suci/bangunan suci yang ada di Bali yang disebut Pura atau Kahyangan yang berwujud bangunan yang disakralkan sebagai tempat memuja Ida Sang

Page 81: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Hyang Widhi Wasa, terdiri dari Kahyangan Tiga, Dhang Kahyangan, Kahyangan Jagat, Sad Kahyangan dan pura lainnya.

Bhisama Parisadha Hindu Dharma Indonesia mengenai Kesucian Pura Nomor 11/Kep/I/PHDI/1994 tertanggal 25 Januari 1994, menyatakan bahwa tempat-tempat suci tersebut memiliki radius kesucian yang disebut daerah Kekeran, dengan ukuran Apeneleng, Apenimpug, dan Apenyengker.

Bhisama ini mengatur pemanfaatan ruang di sekitar pura yang berbunyi sebagai berikut. Di daerah radius kesucian pura (daerah Kekeran) hanya boleh ada bangunan yang terkait dengan kehidupan keagamaan Hindu, misalnya didirikan Darmasala, Pasraman dan lain-lain, bagi kemudahan umat Hindu melakukan kegiatan keagamaan (misalnya Tirtayatra, Dharmawacana, Dharmagitha, Dharmasadana dan lain-lain). Artinya,  dalam radius kesucian pura hanya diperbolehkan untuk: pembangunan fasilitas keagamaan, dan ruang terbuka yang dapat berupa ruang terbuka hijau maupun budidaya pertanian.

Kalau mengacu kepada ketentuan ini, dari kawasan tempat suci yang bernama Sad Kahyangan dan Dhang Kahyangan, tercatat 35 % dari luas Pulau Bali yang hanya 563.666 Ha. Ditambah lagi Tri Kahyangan, prosentase itu akan bertambah besar. Nah, bagaimana kalau kemudian dihitung kawasan suci gunung, danau, campuhan, mata air dan sebagainya. Maka, seluruh tanah Bali ini tak ada tersisa, dan semuanya suci. Ini sebenarnya pas betul dengan konsep ajaran Hindu bahwa semua tanah itu (ibu pertiwi) adalah suci.

Muncul pertanyaan, apakah kesucian itu berkaitan dengan suci dalam pengertian ritual keagamaan? Suci yang menjadi lawan dari kotor, dan kotor dalam pengertian yang lebih khusus lagi: leteh, cuntaka, dan seterusnya. Yang kemudian kekotoran ini harus dibuatkan pembersihan. Tidak ada kaitannya sama sekali. Karena pura itu sendiri sudah punya aturan, yang mana suci, yang mana setengah suci, yang mana kotor.

Pura punya mandala, ada utama mandala atau disebut jeroan, ada madya mandala, ada nistha mandala. Itu kalau pura dalam bentuk Trimandala, kalau Dwi Mandala hanya ada Utama Mandala dan Nistha Mandala. Kesucian yang tertinggi itu ada di Utama Mandala, di Madya Mandala vibrasi kesuciannya sudah memudar. Itu sebabnya kalau ada piodalan, umumnya orang mebhakti dan nunas tirtha di Utama Mandala. Kalau tirtha sampai dibawa ke madya Mandala karena melewati kori (apakah itu kori agung atau kori gelung) vibrasinya sudah memudar. Kalau terpaksa, pemangku yang membawa pura itu harus mngucapkan mantram pengurip tirtha lagi. Namun umumnya, tirtha tak sampai di bawa ke madya mandala. Kita bisa saksikan di pura seperti Uluwatu, Sakenan, Gelgel, dan banyak lagi, pemedek yang mebhakti dan nunas wasuh pada Ida Bethara semuanya di jeroan. Jika saja vibrasi kesucian itu sama antara utama mandala dan madya mandala, apalagi sama dengan nista mandala, untuk apa orang berdesak-desakan dan ngantre sampai pingsan mebhakti di Sakenan atau Gelgel. Atau di Uluwatu sampai diberlakukan sistem karcis. Kan tinggal membawa saja tirtha itu ke luar jeroan.

Inilah kesucian dalam hubungan ritual. Adapun kawasan tempat suci yang dimaksudkan bhisama yang diadopsi oleh Perda ini, menurut saya, adalah wilayah kekeran pura yang ideal. Apa itu kekeran pura? Kekeran, keker, itu artinya kita sudah bisa melihat pura itu dari tempat kita berada. Seorang pemedek yang datang ke sebuah pura, diharapkan sudah membawa pikiran yang suci ketika sudah melihat wujud phisik pura itu. Dengan pikiran yang sudah distel ke arah kesucian maka sampai di pura apalagi di jeroan tinggal menyempurnakan kesucian itu. Inilah konsep leluhur kita di masa lalu dalam memilih lokasi pura yang diperuntukan umat secara umum (Kahyangan Jagat), sengaja diadakan area kekeran dan luasnya menyesuaikan dengan pura itu sendiri. Tidak bisa hal ini diseragamkan. Adapun pura Tri Kahyangan karena letaknya di dalam pemukiman desa (Tri Kahyangan adalah syarat  dari pembentukan desa adat, jadi memang di pemukiman atau diwilayah desa adat itu sendiri) tidak diperlukan wilayah kekeran. Cukup apenyengker (batas tembok pura).

Oleh pengempon pura atau penduduk terdekat di tempat pura itu, kekeran bisa diwujudkan dengan menanam pepohonan, jika wilayah kekeran itu sangat luas. Maka muncul kemudian istilah alas kekeran. Di banyak tempat wilayah kekeran ini dimasukkan dalam awig-awig untuk dijaga kelestariannya. Saya memakai kata lestari dan bukan suci, karena memang dalam konsep mebhakti ke pura, ini belum tempat suci. Bagaimana disebut suci, nistha mandala pura saja belum ada, masih jauh kesucian itu.

 

Kejanggalan Bhisama PHDI

Saya mau cerita latar belakang bhisama ini, sepanjang yang saya ikuti. Mahasabha PHDI VI yang diadakan di TMII Jakarta diwarnai oleh kasus yang mencuat di Bali akibat akan dibangunnya Bali Nirwana Resort di kawasan Tanah Lot. Penentangan proyek itu terjadi di Bali. Lalu dalam Mahasabha ini keluar Keputusan Maha Sabha PHDI No. I/TAP/M. SABHA/1991 Tentang Tata Keagamaan.

Bagian II ketetapan ini bertajuk Tempat Suci Ibadah. Dalam huruf 2.a berbunyi: PHDI Pusat hendaknya mengeluarkan peraturan atau ketentuan tentang Tata Keagamaan terutama mengenai sila sesana atau aturan-aturan di dalam menjaga kesucian tempat sembahyang.

Huruf 2.b berbunyi: Asta Kosala, Asta Kosali, Asta Dewa, Asta Gumi serta ketentuan yang ada pada satu daerah dijadikan dasar untuk membuat bangunan tempat pemujaan dengan segala perlengkapannya.

Page 82: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Keputusan inilah, antara lain, mendasari dirancangnya Bhisama Kesucian Pura. Sejak itu lalu diadakan diskusi-diskusi. Pura harus dibuat kawasan suci yang mengacu kepada Asta Kosala Kosali, Asta Dewa dan Aasta Gumi seperti huruf 2.b di atas.

Ide bhisama itu pun mengacu kepala wilayah kekeran. Bagaimana mengukur wilayah kekeran itu? Dalam diskusi awal yang diadakan para Sulinggih yang tergabung dalam Paruman Sulinggih (kini nama itu sudah menjadi Sabha Pandita), ditemukan 3 istilah, yakni: apeneleng, apenimpug dan apenyengker.

Apeneleng adalah wilayah yang bisa diteleng (dilihat) dari pura, artinya dalam batas mana kita bisa memandang dari pura sehingga yang dipandang bisa kita ketahui wujudnya. Ini untuk pura Kahyangan Jagat (kelompok ini dibagi dua: Sad Kahyangan dan Dhang Kahyangan). Apenimpug adalah wilayah yang bisa diukur sejauh seseorang bisa melemparkan sesuatu dari pura. Ini agak sulit batasannya, karena tergantung sesuatu itu dan siapa yang melempar. Tapi umumnya tak jauh amat, karena sesuatu itu dipastikan alat-alat upacara. Ini untuk pura yang umumnya ada di lereng gunung, yang tak ada penyengkernya. Umumnya pura berbentuk bebaturan, di lereng Gunung Batukaru banyak ada; Pura Turus Gunung, Pura Gunung Tengah, Pura Geria, Pura Kamoksan, dllnya. Terakhir: apenyengker, ini paling jelas ukurannya karena sudah dinyatakan dengan membangun tembok pura. Pura Tri Kahyangan semuanya ber-penyengker.

Pada saat bhisama digodok saya mengikuti selintas dalam status saya sebagai wartawan dan orang yang peduli sama perkembangan Hindu. Tapi menjelang bhisama lahir di UNHI (Januari 1994), saya kembali lagi ke Jakarta karena disibukkan sebagai Ketua Forum Cendekiawan Hindu Indonesia yang akan mengadakan proyek besar kerja sama dengan ICMI, PIKI, KCBI dan ISKI. Apalagi kemudian ada musibah, dibredelnya Majalah Tempo tempat saya bekerja, saya harus menyelamatkan banyak teman-teman karyawan. Jadi perhatian saya lepas sama sekali dari kelahiran bhisama itu.

Setelah beberapa tahun kemudian baru saya sadar, kenapa bhisama yang kemudian disebut Bhisama Kesucian Pura (bukan bhisama wilayah kekeran – salah satu ide sebelumnya) istilah apeneleng, apenimpug dan apenyengker itu diberi penjelasan dalam kurung dengan ukuran eksakta. Bahkan apeneleng dibagi dua: apeneleng agung dan apeneleng alit. Apa yang membedakan kedua jenis apeneleng itu, apakah apeneleng agung memakai keker (teropong) dan sebagainya. Kita tahu dalam bhisama apeneleng agung diberi dalam kurung 5 km untuk jarak Sad Kahyangan, apeneleng alit jarak 2 km untuk Dhang Kahyangan, apenimpug jarak 25 meter.

 Ini agak janggal, karena itu perlu dipertanyakan agar umat paham dan jelas. Keputusan PHDI sebelumnya jelas menyebutkan dasar kesucian itu didasarkan pada Asta Kosala Kosali, Asa Gumi dan sebagainya. Asta Kosala Kosali tak mengenal ukuran eksak, centimeter, meter, kilometer. Atapak tangan ngandang, atapak pada…. Ajari, alangkat, asiku, adepa, dan seterusnya. Ini untuk membuat bangunan dan pemelahan bangunan. Untuk kawasan memakai Asta Gumi, pun dalam Asta Bumi tak ada ukuran kilometer dan sebagainya. Untuk ukuran kawasan ada apeneleng. Ini warisan leluhur kita yang patut dilestarikan karena memiliki konsep, setiap apapun yang dibangun haruslah menyesuaikan dengan siapa yang akan menggunakan bangunan itu.

Lalu dari mana datangnya apeneleng itu menjadi 5 km? Apeneleng disamakan dengan jarak tertentu, menurut saya salah besar. Dari arti kata saja sudah tak tepat. Apeneleng itu artinya batas jarak pandang kita pada suatu obyek dari pura. Kalau kita sudah dibatasi oleh pandangan dan sesuatu itu sudah di luar batas pandang (tak bisa diteleng), maka itu sudah di luar apeneleng. Contoh yang pernah saya dapatkan; Pura Pulaki, dibangun di pilah-pilah tebing. Jika kita berada di pura, batas pandang kita dibatasi oleh tebing sekelilingnya. Wilayah di balik tebing itu, tak bisa diteleng. Jadi, Dodik Gerokgak yang jaraknya kurang dari 200 meter dari Pura Pulaki di luar kawasan kekeran atau dalam istilah bhisama di luar wilayah apeneleng. Kalau sekarang menurut bhisama, Dodik itu harus “ditertibkan” karena Pulaki termasuk Dang Kahyangan yang wilayah kesuciannya harus 2 km.

Contoh lain, Pura Goa Gajah. Dari komplek pura, kita tak bisa meneleng tempat parkir di atas dengan segala kesibukannya. Jadi tak ada pengaruhnya, kecuali masalah keamanan/ketahanan pura, tempat parkir dipindah menjauh. Tapi tidak sejauh 2 km. Nah, ini kan sudah beda sekali antara apeneleng tanpa unsur jarak dan apeneleng memakai unsur jarak.

Konsep menambah aturan jarak untuk apaneleng ini patut dipertanyakan kepada para penyusun bhisama. Mumpung ada Pansus RTRW, supaya ada tugasnya, cobalah ini ditanya. Mungkin benar aturan jarak itu sudah dengan pertimbangan matang, sudah berdasar sastra, sudah didiskusikan panjang lebar, tapi apa dasarnya, jelaskan dengan tuntas. Yang saya khawatirkan, tapi saya tak boleh menuduh, jarak 5 km dan 2 km ini ditambahkan belakangan di luar Paruman Sulinggih, apalagi bhisama itu ditandatangi oleh Pengurus PHDI Pusat, bukan oleh Paruman Sulinggih.

Ini mungkin terjadi –sekali lagi mungkin, tapi belum tentu, karena itu perlu diselidiki—karena PHDI saat itu masih didominasi oleh para walaka. Paruman Sulinggih bisa disetir oleh pengurus harian, meskipun pengurus hariannya dipimpin oleh pandita. AD-ART PHDI yang berlaku saat itu, Pasal 12 menyebutkan: Paruman Sulinggih diangkat oleh pengurus pusat dan pasal 15 menyebutkan: Hasil musyawarah Pesamuan Sulinggih disampaikan kepada Pengurus Pusat untuk selanjutnya diumumkan dalam bentuk keputusan Parisada Pusat. Jumlah Paruman Sulinggih hanya 11 orang.

Karena itu bhisama yang digodok Pesamuan Sulinggih harus disampaikan ke pengurus pusat dan kita lihat Bhisama Kesucian Pura ini bukan bhisama Pesamuan Sulinggih tetapi Bhisama PHDI Pusat. Yang menandatangani Ketua Umum dan Sekjen yang walaka. Apakah dalam perjalanan bhisama ini dari sulinggih ke pengurus pusat ada koreksi dan penambahan jarak 5 km danb 2 km itu, saya tak tahu, tapi bisa kita lacak.

 Pada  Mahasabha PHDI setelah itu, yakni 1996 yang diadakan di Solo, ketika itu saya sudah jadi peserta aktif, struktur PHDI

Page 83: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

mengalami perubahan sedikit. Mulai diperkenalkan Sabha Pandita pengganti Paruman Sulinggih dan Sabha Pandita berjumlah 33 orang dipilih dan diangkat oleh Mahasabha. Jadi kedudukannya tinggi sekali, tapi selama kepengurusan ini – yang memang ada masalah saat pembentukannya – tak ada melahirkan bhisama.

Sampailah pada Mahasabha PHDI 2001 di Hotel Radisson Bali yang dikenal dengan reformasi PHDI. Di sana dikukuhkan bahwa organ tertinggi di PHDI itu adalah  Sabha Pandita yang dipimpin oleh Dharma Adyaksa. Pengurus PHDI hanya mengurusi masalah administrasi. Kepengurusan ini paling banyak menghasilkan bhisama. Pada tahun 2002 di Pesamuan Agung Mataram lahir bhisama dana punia, bhisama catur warna dan bhisama sadhaka. Pada 2005 lahir bhisama soal pediksan. Semua bhisama itu ditandatangani Dharma Adhyaksa dan wakilnya, karena memang sejak awal digodok Sabha Pandita. Sabha Walaka hanya memberikan masukan.

Mahasabha PHDI 2006 di Jakarta tak ada perubahan. Kepengurusan ini akan segera berakhir tahun ini dan Mahasabha 2011 akan digelar  lagi di Bali.

Nah, Bhisama Kesucian Pura tahun 1994 itu tentu terbuka kemungkinan (meskipun ini baru dugaan yang harus ditelusuri), hasil Pesamuhan Sulinggih mendapat koreksi atau apalah namanya oleh Pengurus Harian.

Kalau misalnya Pansus RTRW menemukan kejanggalan dalam bhisama kesucian pura, seperti yang saya rasakan, ini kesempatan berharga untuk dibawa ke Mahasabha PHDI di Bali, beberapa bulan lagi.

Kejanggalan Perda terkait Bhisama

Sekarang saya cerita kejanggalan Perda RTRW ini terkait bhisama kesucian pura yang dijadikan acuan. Terutama dalam menentukan apa itu Sad Kahyangan.

Pasal 50 ayat 3 berbunyi: Penetapan status Pura-pura Sad Kahyangan dan Dang Kahyangan dilakukan oleh Gubernur setelah mendapat rekomendasi dari PHDI Bali dan MUDP.

Pasal 83

(1) Kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan sosial budaya Bali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf c, mencakup:

a. kawasan radius kesucian Pura Sad Kahyangan berdasarkan konsepsi Rwa Bhineda,Tri Guna, Catur Lokapala, Sad Winayaka/Padma Bhuana, mencakup: Pura Lempuyang Luhur (Puncak Gunung Lempuyang di Kabupaten Karangasem), Pura Andakasa (Puncak Gunung Andakasa di Kabupaten Karangasem), Pura Batukaru (lereng gunung Batukaru di Kabupaten Tabanan), Pura Batur (tepi kawah Gunung Batur di Kabupaten Bangli), Pura Goa Lawah (di Kabupaten Klungkung), Pura Luhur Uluwatu (Bukit Pecatu di Kabupaten Badung), Pura Pucak Mangu (di Kabupaten Badung), Pura Agung Besakih (lereng Gunung Agung di Kabupaten Karangasem), Pura Pusering Jagat (Pejeng di Kabupaten Gianyar), Pura Kentel Gumi (di Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung); dan

b. kawasan warisan budaya, terdiri dari: kawasan Warisan Budaya Jatiluwih, Kawasan Warisan Budaya Taman Ayun, dan Kawasan DAS Tukad Pekerisan.

Kejanggalannya:

Bhisama PHDI Pusat 1994 itu tak ada mengatur Sad Kahyangan berdasarkan konsepRwa Bhineda, Tri Guna, Catur Lokapala, Sad Winayaka/Padma Bhuana, Dari mana Perda ini dapat masukan konsep itu? Kalau melihat pasal 50 ayat 3 di atas, logikanya masukan konsep itu dari PHDI Bali dan MUDP. Pertanyaannya, kapan rekomendasi itu diberikan dan  apa dasar rekomendasi PHDI Bali dan/atau keputusan MUDP Bali? Ini perlu dijelaskan agar masyarakat  terang benderang.

Padahal penggolongan Sad Kahyangan sudah ditetapkan dalam Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek2 Agama Hindu. Seminar ini dihadiri para sulinggih dan pemuka agama Hindu, saya siang malam meliputnya sebagai wartawan. Dalam keputusan seminar ini jelas disebutkan landasan dasar Kahyangan Jagat yang digolongkan Sad Kahyangan adalah:

1.      Landasan filosofis: Konsep Sad Winayaka menurut lontar Dewa Purana Bangsul.

2.      Landasan Historis: sudah ada sebelum kedatangan Gajah Mada ke Bali tahun 1343 Masehi.

Berdasarkan landasan ini Sad Kahyangan itu adalah Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Uluwatu, Pura Batukaru, Pura Pusering Jagat. Betul-betul enam, tak ada Sad berarti sepuluh.

Jadi, Pura Andakasa, Pura Puncak Mangu, Pura Batur, dan Pura Kentel Gumi, tidak tergolong Sad Kahyangan menurut hasil Seminar Kesatuan Tafir itu. Kalau mengikuti konsep Padma Bhuwana maupun Catur Lokapala (tapi ini bukan keputusan

Page 84: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

seminar) barulah Andakasa dan Puncak Mangu masuk. Sedangkan Pura Batur masuk dalam konsep Rwa Bhineda sebagai Pradhana dari Besakih yang berstatus Purusha.

Karena Perda ini produk hukum, jangan rancu antara Kahyangan Jagat dengan Sad Kahyangan seperti masyarakat umumnya. Kahyangan Jagat menganut konsep Rwa Bhineda, Catur Lokapala dan Sad Winayaka, sedang Sad Kahyangan hanya memakai konsep Sad Winayaka ditambah landasan historis tadi.

Ini biar jelas, karena masyarakat kian kritis, nanti anak-anak bertanya: lo katanya sad itu artinya enam, dalam perda ini kok sad kahyangan menjadi sepuluh kahyangan, kenapa tak disebut Dasa Kahyangan. Lagi pula kita menghormati Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir. Kecuali memang diubah oleh keputusan lembaga yang sama kuatnya.

 

***

Akhirnya, sekarang kita berasumsi bahwa jarak-jarak itu sudah benar dan Sad Kahyangan itu pun benar ada 10 kahyangan, lalu bhisama harus ditegakkan. Menurut saya kita pun tak perlu ribut, demo sana demo sini, kita perlu duduk bersama antara yang pro dan kontra Perda ini.

Pasal  penutup Perda ini (Pasal 153) berbunyi; Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Kemudian pada akhir Perda tercantum: Diundangkan di Denpasar pada tanggal 28 Desember 2009. SEKRETARIS DAERAH PROVINSI BALI, I NYOMAN YASA.

Kalau pasal ini kita pakai, maka persoalan sebenarnya tak begitu ruwet. Pelabuhan Padangbai tak harus dipindahkan, Penelokan tak harus digusur, warga di Pejeng dan Banjarangkan tak harus resah. Saya tak tahu bagaimana dengan Pecatu, berapa banyak bangunan yang didirikan setelah tahun 2009 itu.

Namun, Perda ini juga menyimpan pasal yang sedikit bertentangan, yakni pada BAB XVIII. KETENTUAN PERALIHAN Pasal 150. Isinya:

(1) Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang harus segera disesuaikan dengan rencana tata ruang melalui kegiatan penyesuaian pemanfaatan ruang berdasarkan Peraturan Daerah ini.

(2) Untuk pemanfaatan ruang yang izinnya diterbitkan sebelum penetapan rencana tata ruang dan dapat dibuktikan bahwa izin tersebut diperoleh sesuai dengan prosedur yang benar, kepada pemegang izin diberikan penggantian yang layak.

Kalau pasal 150 (1) ini yang diikuti, ada kata “harus” di sana, maka semua bangunan (pemanfaatan ruang) yang tak sesuai Perda harus disesuaikan. Kata “harus” menegaskan bahwa ada penataan, sementara kata “penyesuaian” masih bisa dirembugkan. Kalau di wilayah kesucian pura itu berdiri hotel, villa atau penginapan, kan pemiliknya tinggal menyesuaikan dengan memberi pengumuman; “Para tamu dilarang melakukan perbuatan yang menodai ajaran agama Hindu seperti : ini…ini…ini.” Kalau kita sering melancong ke daerah lain, banyak hotel yang mencantumkan peringatan ini. Tak perlu rebut-ribut buang energi, apalagi mempermasalahnya nama hotel, villa, darmasala dan sebagainya. Tak semua hotel dipakai untuk mesum, dan tak semua rumah-rumah penduduk di sekitar pura bebas dari perselingkuhan.

Atau kalau bangunan itu tak bisa “disesuaikan”, ya, serahkan ke pemerintah dan minta ganti rugi yang layak, sebagai mana diatur padal 150 (2). Bahkan sebelumnya di BAB XII HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT pada Pasal 138 c. disebutkan, masyarakat berhak memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;

Catat itu, pergantian yang layak. Rakyat jangan dikorbankan, kalau pemerintah tak punya uang ganti rugi yang layak, ya sudahlah, Perda tak bisa dijalankan. Penataan Candi Borobudur-Parmbanan bisa dijadikan teladan di sini.

Jadi, kenapa kita ribut-ribut membuang energi? Bagi saya, yang diributkan saat ini persoalan yang kecil jika kita melihat cakupan Perda yang begitu luas. Saya terbatas menyoroti dari sosial budaya – sesuai permintaan panitia.  Dasar pembuatan Perda ini sudah menyebutkan begini:

Dalam konteks nasional, Bali merupakan sebuah pulau kecil yang tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah, namun memiliki keunggulan komparatif dari segi keunikan budaya dan keindahan alam, yang merupakan modal dasar bagi Bali dalam menyelenggarakan pembangunan wilayahnya. Keunikan budaya dan alam tersebut telah menempatkan Bali sebagai salah satu destinasi wisata terkemuka di Indonesia dan Dunia dan dinyatakan sebagai pulau terindah di dunia.

Menjaga keindahan Bali ini tak harus mengobok-obok bangunan wisata, bahkan bangunan wisata itu kalau ditata dengan baik, memperkuat keindahan. Tapi bagaimana dengan keunikan? Kenapa ini tidak menjadi prioritas dan malah terkesan dinomor sekiankan. Banyaknya pendatang ke Bali menimbulkan masalah dalam keunikan, rumah-rumah bedeng bertebaran, budaya

Page 85: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

yang tak dikenal dalam keunikan Bali mulai datang. Pengemis di jalanan, pengamen dan pedagang acung di perempatan jalan, itu keunikan Jakarta yang tak cocok dengan keunikan Bali. Cobalah iseng lihat tulisan di warung pinggir jalan, ada ratusan warung yang sudah bertuliskan Warung Muslim. Di daerah lain dari Sabang sampai Merauke tak ada warung berlabel agama. Hanya di Bali ada Warung Muslim, sementara orang tahu, keunikan Bali adalah kuatnya agama Hindu dan simbul-simbul Hindu.

Saya pernah berdiskusi soal ini dengan tokoh Muslim, mereka pun risih, karena warung saja harus mencantumkan label agama. Harusnya cukup dengan tulisan “halal” atau kalau mau lebih jelas “tidak menjual makanan dari unsur babi”. Di Jakarta, pernah ada restoran bernama Bar Buddha, protes  marak dan bar itu ditutup. Tapi di Bali, keunikan Bali digerogoti, dan orang Bali pada diam.

Pedagang kaki lima di Bali sudah memenuhi banyak tempat dan merusak keunikan Bali. Kenapa tak mencontoh Solo, ada penertiban sehingga keunikan Solo tetap bertahan.

Sepeda motor di Bali lebih banyak dari sepeda motor di Jawa Tengah yang terdiri dari 35 kabupaten. Keunikan dokar Bali sudah tergusur, padahal di Yogya sendiri keunikan andong itu dilestarikan. Perda ini mengatur soal lalu lintas, dari urusan terminal, transportasi antar kota dan sebagainya. Kenapa ini belum dilaksanakan dan tak ada yang mempermasalahkan. Jika transportasi umum diabaikan – dan itu pemerintah melanggar Perda – Bali suatu saat akan macet total oleh sepeda motor. Lihat saja tiap hari, ribuan sepeda motor masuk Bali. Tapi jangan salahkan penduduk. Kalau tak punya sepeda motor, mau pakai apa.

Banyak sekali yang semestinya sudah dikerjakan untuk memberlakukan Perda ini,  kenapa urusan tanah rakyat di Pecatu yang selalu diobok-obok terus, seolah-olah pengempon pura Uluwatu sudah mulai mengotori kahyangannya sendiri, sementara kita yang mungkin setahun sekali ke sana teriak-teriak menyebut tak suci.

Mari kita berkepala dingin dan merajegkan Bali dengan tidak saling congkrah. Perda ini sudah sangat ideal, bahkan terlalu ideal sampai-sampai ada yang sangat mustahil untuk dilaksanakan, bukan hanya menyangkut kesucian pura versi bhisama, tetapi juga soal sosial budaya, soal lingkungan dan soal manusia Bali secara luas.

Sebagai penutup, ada baiknya kita statusquo sesaat, sambil memberi kesempatan Pansus bekerja siapa tahu ada yang memang diperbaiki, dan juga menunggu Mahasabha PHDI dalam beberapa bulan ini, siapa tahu masalah bhisama ini bisa dibahas lagi.

Sekian dan terimakasih.

Saran-saran

1. Beri kesempatan Pansus RTRW Bali bekerja dan beri tugas untuk menanyakan ke PHDI Pusat kenapa ada ukuran eksak di dalam bhisama, apa dasar hukumnya. Apakah ukuran itu sama untuk semua pura sejenis, tidakkah ada pertimbangan tentang pelemahan pura.

2. Ditanyakan pula, sebenarnya Sad Kahyangan itu enam pura sesuai Hasil Keputusan Seminar Tafsir atau 10 pura seperti dalam Perda. Kalau 10 pura, apa dasar hukumnya.

3. Pertanyaan 1 dan 2, bisa pula dibawa ke Mahasabha PHDI P yang akan digelar tahun ini di Bali, supaya dibahas oleh Sabha Pandita, mengingat bhisama tahun 1994 ini ditandatangani pengurus Parisada.

4. Jangan terburu-buru merevisi Perda, mengingat cakupannya begitu luas, lebih baik yang bermasalah seperti soal kawasan suci ini di-statusquo dulu, sampai ada kejelasan soal 1 dan 2. Selain itu, kalau kita taat hukum, revisi perda baru dibenarkan setelah 5 tahun berjalan. Tunggu saja saat itu.

5. Laksanakan Perda untuk hal-hal lainnya yang tidak bermasalah. Ide kawasan suci dalam Perda tentu sangat baik untuk Bali ke depan, cuma yang perlu dipertanyakan apakah jaraknya itu sudah patut dan seragam untuk semua pura, karena menyimpang dari konsep wilayah kekeran.

Selasa,10 Januari 2012 @ 13:29

Yoga itu Haram?Pandita Mpu Jaya Prema(Tulisan ini ada editorial Majalah Hindu Raditya edisi Januari 2009. Pada Januari 2012 ini – tiga tahun setelah tulisan ini dimuat – masalah Yoga kembali diungkit-ungkit sebagai sesuatu yang tak layak untuk dilakukan, apalagi oleh para wanita. Cuma itu di luar negeri, sementara di Indonesia nampaknya urusan Yoga sudah tak dipermasalahkan, banyak kalangan selebritis yang aktif ber-yoga, karena memang manfaatnya untuk kesehatan terbukti).

Sejumlah ulama Islam di Mesir melahirkan fatwa tentang pelarangan yoga bagi kaum Muslim. Hal ini diikuti oleh Malaysia yang mengharamkan bagi umat Muslim untuk ikut yoga. Di Indonesia, meski pun tak begitu muncul di permukaan, ada desakah agar Majelis Ulama Islam (MUI) melakukan pengkajian terhadap yoga dan kalau memang bertentangan dengan ajaran Islam

Page 86: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

supaya MUI mengambil sikap yang tegas.

Kami, penganut Hindu, tentu menghormati sikap mereka. Tugas majelis ulama memang harus melindungi umatnya dari hal-hal yang tidak dibenarkan dalam ajaran agama. Majelis ulama harus menjadi benteng dari kemurnian ajaran agama dari berbagai virus lain yang bisa memperlemah ajaran itu sendiri. Agama sudah mempunyai patokan dan ukuran yang khas dan memang harus diikuti oleh penganutnya. Patokan dan ukuran itu dasarnya adalah kitab suci yang dipakai masing-masing agama.

Artinya, apakah saudara kita umat Islam mengharamkan yoga atau tidak, itu bukan urusan umat Hindu. Itu urusan umat Islam sendiri. Umat Hindu tak perlu ikut campur, apalagi dibuat resah. Juga jangan sekali-sekali punya perasaan kecewa apalagi lalu muncul sikap marah atau protes, kenapa yoga diharamkan. Masing-masing agama punya koridor sendiri, punya “rumah” sendiri. Sepanjang hal itu tidak mengganggu urusan umat lain, tak ada alasan apa pun untuk menggugatnya. Sekali lagi haram atau halal yoga bagi umat Islam itu adalah urusan saudara kita umat Muslim yang kita cintai.

Yoga memang dekat sekali dengan Agama Hindu karena yoga lahir di kalangan komunitas Hindu. Dan yoga diperkenalkan lalu diajarkan secara turun temurun oleh para Rsi dan para murid-muridnya kemudian menyebarkan yoga ke seluruh dunia.

Namun yoga sejatinya jauh dari ritual agama. Yoga murni olahraga, baik yang mengatur masalah phisik dengan berbagai gerakan maupun mengatur pernafasan dengan berbagai teknik. Antara gerakan  phisik dan pernafasan ini melahirkan satu keseimbangan yang menyehatkan tubuh.

Bahwa yoga diawali dengan doa, itu benar sekali. Namun doa dalam hal ini bukanlah ritual agama, tetapi lebih pada “penganjali” (istilah Hindu) atau “salam” (istilah Islam yang sudah umum) atau sesungguhnya “permohonan agar semuanya berlangsung selamat”. Semua agama mengajarkan untuk melafalkan “panganjali” atau ”salam” sebelum melakukan kegiatan apa pun. Umat Hindu biasa mengucapkan Om Awignam Astu sebelum melakukan sesuatu kegiatan. Kalau kegiatan itu di depan banyak orang, misalnya, menyampaikan pidato, tentu didahului oleh Om Swastyatu. Jadi, Om Swastyastu adalah “penganjali” untuk ditujukan kepada sesama manusia agar diberkati oleh Tuhan, Om Awignam Astu adalah “penganjali” kepada Tuhan agar apa yang akan dikerjakan diberi keselamatan atau anugerah.

Dalam contoh yang sangat nyata sekali kita misalnya mendengar umat Islam mengucapkan “Bismilah….” dan seterusnya, sebelum melakukan sesuatu kegiatan. Jika kegiatan itu misalnya membacakan pidato di depan umum (supaya contohnya sama dengan di atas) maka didahului dengan “Assalamalaikum….” dan seterusnya. Padahal pidato-pidato itu tidak disampaikan dalam kegiatan ritual agama, tetapi rapat kerja partai, atau arisan, misalnya.

Dalam praktek yoga umumnya memang didahului oleh doa atau mengucapkan mantram. Karena yoga diperkenalkan pertama-tama pada komunitas Hindu, sudah tentu doanya itu dalam doa Hindu. Dan tujuan doa itu juga meminta “perlindungan” dari Tuhan Hyang Widhi agar diberi keselamatan, lalu “penghormatan” kepada para Rsi penemu yoga, sebagai guru yang telah menularkan ilmu ini secara turun-temurun (parampara).

Nah, kalau dalam perkembangan zaman global ini yoga tidak hanya diikuti oleh orang Hindu tetapi juga diikuti oleh pemeluk agama lain, bukankah doa itu bisa disampaikan dalam tradisi masing-masing agama? Toh tidak ada kewajiban mengucapkan doa itu secara keras, cukup berbisik kecil atau bahkan cukup di dalam hati saja. Jadi, sesungguhnya dalam mengawali yoga sebagai suatu teknik olahraga tubuh dan pernafasan, doa pembuka itu bisa disampaikan dengan doa agama masing-masing pengikutnya.

Saya pernah ikut dan mendalami teknik Meditasi Usadha yang diperkenalkan dan dipopulerkan oleh Merta Ada. Beliau penganut Buddha yang taat. Ketika mengawali meditasi itu selalu ada ruang untuk menyampaikan doa, dan selalu instruksinya adalah: “Berdoa sesuai keyakinan masing-masing”. Bukan berdoa dalam agama Buddha. Hanya pada akhir meditasi, instruktur memberikan “doa” yang sangat umum dan universal, juga dalam bahasa Indonesia, bunyinya: “Semoga semua makhluk berbahagia”, dan itu diucapkan tiga kali. Tak ada yang keberatan dengan “doa penutup“ yang universal ini. Namun, karena saya tak paham benar apa kriteria makhluk itu (apakah bakteri, kuman-kuman dan semua makluk jahat harus didoakan supaya bahagia juga), maka saya seringkali menutup acara meditasi itu dengan doa Hindu, sesuai agama yang saya anut. Jadi saya mengucapkan “Om Shanti, Shanti, Shanti, Om” sebagai pengganti “Semua makhluk berbahagia.”

Dalam kegiatan Meditasi Angka, suatu meditasi yang diperkenalkan oleh Made Darmayasa di Indonesia, doa pembuka itu juga selalu ada. Jika meditasi itu hanya diikuti oleh penganut Hindu, apalagi dilaksanakan di senter Meditasi Angka di Padanggalak, Bali, doa itu panjang. Ada pemujaan untuk banyak dewa. Namun, jika Meditasi Angka dilakukan di hotel berbintang di Jakarta dan pesertanya dari berbagai agama, doa itu sangat universal dan kalau pun disertai doa khusus yang sesuai dengan agama peserta meditasi, itu dilakukan di dalam hati.

Kembali ke yoga, diharamkan atau dihalalkan untuk kalangan Muslim, adalah sepenuhnya urusan mereka. Tentu umat Hindu tak mengharapkan Parisada (majelis agama Hindu) suatu saat melarang umat Hindu melakukan senam jantung sehat atau bermain karate, kungfu bahkan sepakbola, hanya karena olahraga itu diciptakan oleh orang yang bukan penganut Hindu. Olahraga, menurut saya, sepertinya jauh dari wilayah agama.

Selasa,10 Januari 2012 @ 13:25

Page 87: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Dastarasta: Tergantung Sang PembisikPandita Mpu Jaya Prema(Tulisan ini dimuat Koran Tempo 16 April 2001 sebagai tanggapan atas tulisan Jakob Sumarjo. Dimuat kembali dalam blog ini karena banyak kaitannya dengan Ithiasa)

Menarik sekali tulisan Jakob Sumarjo di harian ini (14 April 2001) dengan judul Dastarasta: Raja yang Buta. Saya ingin memberi tambahan sekitar Dastarasta menjelang pertempuran dasyat Bharata Yudha berlangsung.

Pendekatan saya tentu saja berbeda. Jakob Sumarjo, dan mungkin jutaan penggemar wayang Jawa, akan selalu menganggap Mahabharata adalah "semata-mata cerita wayang". Dalam konteks ini, "cerita wayang" itu adalah karya sastra, sebuah khayalan dari seorang pujangga masa silam. Namun, sebagai penganut Veda Vedanta (umumnya disebut beragama Hindu), bagi saya Mahabharata adalah Ithiasa -- sejarah agama. Bahkan bagi pemeluk Hindu, di manapun dia berada, salah satu kitab sucinya, yakni Bhagavad Gita, diturunkan dalam rentang waktu Mahabharata itu sendiri, yakni pada saat menjelang perang saudara terjadi di Kerajaan Bharata. Bhagavad Gita (nyanyian suci) disebut sebagai Pancamo Veda, artinya Kitab Veda kelima, setelah Catur Veda (Rg Veda, Sama Veda, Yajur Veda,  dan Atharva Veda) Kedudukan Bhagavad Gita sebagai kitab suci karena ia diwahyukan oleh Krishna yang saat itu sudah menyandang predikat Awatara Wisnu, lewat pembuktian yang menggegerkan. Dalam Hindu, awatara berarti Tuhan yang menjelma dalam tubuh manusia. (Catur Veda tidak diturunkan melalui awatara, tetapi wahyu Tuhan itu langsung diterima Maharesi)

Karena pendekatan saya pada Ithiasa dan dalam jalur kitab suci Hindu, maka saya tidak memberikan pandangan dalam pemahaman wayang Jawa. Saya ingin menyoroti Dastarasta (ejaan dalam huruf latin yang digunakan dalam kitab-kitab Hindu: Dhrtarastra) semata-mata dalam konteks Mahabharata sebagai Ithiasa. (Sekedar catatan: komik Mahabharata karya RA Kosasih dan film Mahabharata versi India yang pernah ditayangkan TPI berpedoman pada Mahabharata versi Ithiasa).

Sloka(ayat) pertama dalam Bhagavad Gita adalah pertanyaan Dastarasta kepada Sanjaya. Terjemahannya: "Dhrtarastra berkata: Di medan bhakti, di padang Kuruksetra, siap bertempur putra-putraku dan putra-putra Pandu, apakah yang akan mereka lakukan, wahai Sanjaya, ceritakanlah kepadaku."

Dastarasta yang buta ini sudah tepat mencari seorang pembisik. Sang pembisik itu, Sanjaya, adalah putra Widura, yang tidak terlibat dalam perang saudara. Dastarasta bersaudara Pandu dan Widura. Ketika perang saudara terjadi, Pandu sudah meninggal, dan yang bertempur memperebutkan kekuasaan adalah putra-putra Dastarasta (dalam wayang disebut Kaurawa) melawan putra-putra Pandu, Pandawa. Putra Widura netral, meski sebelum perang mereka dalam hati lebih memihak Pandawa. Sanjaya, salah satu putra Widura, betul-betul netral dalam perang ini, karena itu ia melaporkan apa adanya kepada pamannya, Dastarasta.

Pada sloka kedua sampai sloka sembilan, Sanjaya langsung melaporkan situasi pasukan yang sudah berhadap-hadapan. Dia lukiskan bagaimana "pasukan berani mati" dari pihak Kaurawa sudah siap bertempur, sementara "pasukan pembela kebenaran" dari Pandawa juga sedang berbenah diri. Kedua pasukan sama-sama menyatakan keyakinan akan menang, karena itulah Kuruksetra disebut sebagai "medan bhakti" (dharma ksetre) bukan "medan perang". Kematian di sini adalah sorga, kalau saya tak salah, mungkin "medan bhakti" itu sejenis jihad dalam Islam, sehingga yang meninggal disebut mati syahid.

Sanjaya, Sang Pembisik, menceritakan bagaimana kehebatan pasukan Pandawa (sloka 2), lalu Sanjaya menceritakan bagaimana Duryodana mendatangi Guru Drona (sloka 3 - 9) untuk mengantisipasi pertahanan pasukan Pandawa. Sanjaya tahu, dari wajah-wajah para prajurit kedua pihak ada "orang-orang yang gelisah" yang mempertanyakan untuk apa perang saudara ini. Tapi, Sanjaya tak melaporkan hal itu karena takut membuat opini dan mengambil alih tugas penasehat. Tugasnya hanya melaporkan fakta saja. Sebaliknya, Dastarasta tidak mengetahui bagaimana wajah-wajah para prajurit yang akan bertempur, karena ia buta. Ia tak bisa menangkap getar hati kedua pasukan yang dipimpin oleh putra-putra dan keponakannya sendiri, apalagi menangkap getar hati seluruh penduduk Astina. Dastarasta tak tahu bagaimana gelisahnya Arjuna yang harus melawan guru dan misannya. Dastarasta pun tak tahu bagaimana kebimbangan Bisma di pihak lain, karena Sang Pembisik tak menguraikan hal itu. Menjelang perang itu Dastarasta tidak didampingi penasehat, karena semua penasehatnya juga terlibat konflik para elit. Melihat langsung apa yang terjadi berbeda dengan hanya mendengar apa yang diceritakan. Seandainya Dastarasta tidak buta, barangkali ia akan mencegah perang itu, dan konflik kekuasaan bisa didamaikan lewat dialog. Tetapi karena ia buta, dan Sanjaya hanya seorang pembisik, bukan seorang penasehat, maka Dastarasta membiarkan perang itu terjadi, mungkin persoalan dianggapnya sepele.

Bharata Yudha akhirnya berlangsung dengan korban yang luar biasa, juga untuk seluruh penduduk negeri Astina. Namun, di situ pulalah awatara turun dan menjelma pada diri Krishna. Bagi umat Hindu, "wahyu awatara" ini dijadikan pelengkap Catur Veda. Kemudian, Mahabharata sebagai Ithiasa, dijadikan pegangan. Salah satu pegangannya, setiap pemimpin Hindu (raja, pendeta, pemangku, dan sebagainya), kesehatan adalah syarat mutlak, karena ia tak bisa mengambil keputusan hanya karena bantuan seorang pembisik. Keputusan harus diambil dengan menggunakan seluruh indra: melihat, mendengar, berdialog, merasakan dan mengolahnya dengan akal budi.

Kamis,05 Januari 2012 @ 08:50

Page 88: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

Refleksi Politik Akhir Tahun 2008Pandita Mpu Jaya PremaOleh Putu Setia

Wartawan Senior Tempo

 

Pemilihan Umum legislatif di Indonesia baru dilaksanakan pada bulan April 2009. Pemilihan Umum presiden masih lebih lama lagi, yakni sekitar bulan September tahun depan. Namun sejatinya pertarungan untuk merebut kekuasaan itu sudah dimulai pada 2008, bahkan puncak perjuangan itu ada di tahun ini.

 

Orang semua maklum, alat perjuangan untuk kekuasaan adalah lewat partai. Tak ada kekuasaan yang dilalui dengan  jalan selain partai, misalnya, lewat lembaga swadaya masyarakat, lewat paguyuban atau organisasi massa, apalagi lewat “aksi jalanan”. Demokrasi memakai pilar partai, tanpa ada partai tak bisa ikut “berpartisipasi” merebut kekuasaan.

 

Karena itu pertarungan yang pertama-tama dilakukan adalah bagaimana membesarkan partai bagi partai yang sudah ada dan bagaimana membuat partai baru bagi tokoh yang tak punya partai. Semua ini terjadi pada 2008 yang berpuncak pada diresmikannya begitu banyak partai. Para tokoh berebut mendirikan partai untuk “kendaraan” politiknya, dan semuanya yakin partai itu akan mendapat kepercayaan dari rakyat.

 

Jenderal Wiranto, misalnya, yang pada Pemilu tahun 2004 lalu turun gelanggang lewat Partai Golkar, kali ini membentuk Partai Hanura (Hati Nurani Rakyat). Prabowo Subianto yang bertekad maju berebut jabatan presiden, mendirikan Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya). Tokoh-tokoh yang dulu boleh disebut non-partai kini pun harus melirik partai yang ada agar punya “kendaraan” yang akan dipakainya untuk pertarungan tahun 2009. Misalnya, mantan Gubernur Jakarta Sutiyoso yang aktif mendekati partai-partai karena memang tak punya partai sendiri.

 

Jika dilihat para tokoh yang berambisi mengikuti pertarungan pemilihan presiden tahun depan, nama-nama yang beredar tetap “itu-itu” saja, karena memang tidak memungkinkan muncul nama baru karena sistem kepartaian yang ketat seperti ini. Tentu dengan berbagai variasi, ada partai yang sudah mematok calon tunggal seperti PDI Perjuangan dan Partai Demokrat, lalu kebanyakan yang lain sedang menginventarisasi nama-nama. PDI Perjuangan sudah sangat yakin mencalonkan Megawati. Partai Demokrat, meski tak ada pengumuman remi, sudah pasti pula mengusung Susilo Bambang Yudhoyono. Partai Hanura, siapa lagi kalau bukan ketua umumnya, Wiranto. Begitu pula Partai Gerindra sudah resmi mencalonkan Prabowo. Golkar, PKS, PAN, dan sejumlah partai lainnya masih melihat situasi, namun sudah membuat daftar panjang dari kalangan dalam untuk coba dimunculkan.

 

Yang menarik ada partai yang sudah menokohkan seseorang, meski pun sang tokoh belum resmi pula “menerima tawaran” itu. Misalnya, Partai Republik Nusantara (Republikan) yang memunculkan nama Sri Sultan Hamengkubuwono X. Raja Yogya ini uniknya sudah siap menyatakan bersedia bertarung dalam ajang Pemilu Presiden, namun tak jelas benar, partai apa yang akan dipakai “kendaraan”. Sultan dikenal pula sebagai penasehat Partai Golkar.

 

Begitu pula Din Sjamsudin, Ketua Umum Muhamaddyah, sudah dinyatakan secara resmi sebagai calon presiden dari Partai Matahari Bangsa, sebuah partai sempalan dari Partai Amanat Nasional. Din belum secara resmi bereaksi karena tentu saja ia harus menjaga “ketokohannya”, siapa tahu ada partai yang lebih besar meminangnya, baik untuk presiden maupun untuk sekedar jadi wakil presiden. Apalagi, PDI Perjuangan pernah mencantumkan nama Din dari sekian tokoh yang layak disandingkan dengan Megawati.

 

Begitulah hiruk-pikuk di sekitar kemunculan tokoh-tokoh yang menyatakan keinginannya bertarung dalam Pemilu Presiden, baik secara terang-terangan maupun secara “malu-malu kucing”. Sementara itu, para tokoh atau menyebut dirinya tokoh non-partai sibuk pula repot dengan target – tanpa malu-malu – untuk maju ke Pemilu Presiden. Yang menonjol dari kalangan ini adalah Rizal Ramli, Ketua Gerakan Indonesia Bangkit. Lalu ada Rizal Malarangeng. Yang sekedar ikut meramaikan ada pula

Page 89: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

seperti Ratna Sarumpaet. Pertanyaannya, “kendaraan” apa yang mereka pakai untuk itu? Apakah ada partai yang mau mendekati mereka?

 

Dipersulit UU Pilpres

 

Munculnya banyak tokoh yang telah menyatakan siap bertarung di Pemilu Presiden dalam prakteknya nanti akan diganjal oleh adanya Undang-Undang tentang Pemilihan Presiden (UU Pilpres). Inilah undang-undang hasil kerja keras partai-partai besar di DPR yang berhasil menyodok para tokoh yang “kendaraannya” tak jelas itu. Juga menyulitkan tokoh-tokoh yang partainya diperkirakan tidak akan besar.

 

Dalam UU Pilpres itu disebutkan, calon presiden hanya bisa diusung oleh partai atau kumpulan partai dengan besaran suara 25 persen hasil Pemilu legislatif dan perolehan kursi parlemen 20 persen. Dengan ketentuan seperti ini maka calon presiden nanti tak mungkin bisa lebih dari tiga orang. Sudah jelas terbayang di depan mata, siapa saja mereka. Yang pertama adalah Megawati, disokong PDI Perjuangan. Partai ini bisa menggandeng partai kelas menengah atau hanya partai kecil untuk menggenapkan syarat. Lalu Susilo Bambang Yudhoyono akan muncul dengan Partai Demokrat yang berkoalisi dengan partai apapun, termasuk dengan Partai Golkar. Jika koalisi Demokrat dan Golkar ini terwujud, akan menyulitkan partai lainnya untuk memunculkan calon. Partai menengah seperti PKS, PAN, PKB, dan mungkin Hanura dan Gerindra -- kalau bisa “melejit” -- akan sulit untuk dipertemukan dalam koalisi. Lagi pula kalau koalisi itu terjadi, siapa yang nomor satu, siapa nomor dua? Terlalu banyak tokoh dan mungkin akan sulit siapa yang mengalah.

 

Jadi, sebenarnya  perjuangan politik di tahun 2009 itu sudah selesai di tahun 2008 dengan disahkannya UU tentang Pilpres yang “membatasi” calon presiden. Tak akan ada muka baru yang muncul. Meski pun ada upaya untuk mengadakan uji material ke Mahkamah Konstitusi, sulit diharapkan ada putusan yang menguntungkan partai kecil atau tokoh yang tidak didukung partai besar. Apalagi upaya untuk menggoalkan calon presiden independen, seperti adanya calon independen di pemilihan daerah, nampaknya sesuatu yang mustahil untuk perebutan orang nomor satu di republik ini.

 

Yang ditunggu adalah keajaiban pada Pemilu Legislatif di bulan April nanti. Misalnya, tumbangnya partai besar dan melejit bagai meteor keberadaan partai kecil atau partai yang baru berdiri. Apa itu memungkinkan? Entahlah, terlalu sulit untuk meramal pada saat rakyat lagi muak dengan partai yang begitu banyak dan juga sebal dengan tingkah polah anggota parlemen yang banyak punya skandal.

 

Inilah uniknya dunia politik di Indonesia menutup tahun 2008, para tokoh berebut kursi dengan semangat menggebu, rakyat justru sedang mulai cuek dan apatis.***

Kamis,05 Januari 2012 @ 08:50

Kitab Suci dan ItihasaPandita Mpu Jaya PremaOleh Ida Bhawati Putu Setia

 

Belakangan ini ada perbincangan yang mempersoalkan apakah Itihasa itu kitab suci Hindu ataukah tidak. Ada banyak kitab Itihasa, namun dua yang terkenal adalah Ramayana dan Mahabharata.

Kedua kisah ini sudah ada ribuan tahun yang lalu. Kita tak tahu sarana apa yang dipakai untuk mempublikasikan kedua kisah ini oleh Rsi Vyasa. Dalam perjalanan ribuan tahun itu wajar muncul berbagai versi terjemahan, dan tak ada hak seseorang untuk mengklaim versi yang satu lebih otentik dari versi yang lain. Lihat saja contohnya kitab Bhagawadgita yang merupakan bagian dari Mahabharata. Ada satu sampradaya yang menyebutkan, tafsir dari Mahaguru merekalah yang asli, sehingga

Page 90: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

disebut “Bagawadgita Menurut Aslinya”. Lalu, apa tafsir yang lainnya disebut “Bhagawadgita Menurut tidak Aslinya” atau “Kurang Asli”?

Perbincangan apakah Itihasa itu kitab suci Hindu atau bukan, tergantung dari sudut mana kita berbicara. Apakah memperbincangkan secara “akademis dan intelektual” ataukah sekedar memakai “rasa”. Kalau menyebut suci dalam pengertian “rasa”, semua lontar di Bali itu disucikan, tetapi apakah lontar tergolong kitab suci?

Kitab suci dalam ulasan ini adalah kitab suci sebagai pegangan sebuah agama. Jadi, kalau kita berbicara di depan umum, apakah kitab suci agama Hindu itu? Jawabnya adalah Weda. Apakah Itihasa bukan kitab suci? Bukan! Apakah lontar bukan kitab suci? Bukan!

Kitab suci Hindu, sebagaimana kitab suci agama lainnya, adalah wahyu Tuhan. Dalam Hindu ini disebut Sruti. Weda adalah Sruti yang wahyunya diterima oleh tujuh resi agung. Weda terdiri dari empat (catur) yaitu Reg Weda, Yajur Weda, Sama Weda dan Atharwa Weda. Kemudian menyusul kitab Brahmana, Aranyaka dan Upanisad yang dikelompokkan ke dalam Weda sehingga disebut Catur Weda Samhita. Selanjutnya ada kitab-kitab Sutra, Dharmasastra, Itihasa, Purana dan kitab-kitab Darsana digolongkan sebagai Susastra Hindu. Ada buku baru dari Prof. Made Titib yang mengulas masalah ini secara menarik, judulnya “Itihasa Ramayana dan Mahabharata (Viracarita).”

Weda dan Susastra Hindu itu dikelompokkan dengan menarik oleh Vatsyayasa dalam bukunya Nyayasutrabhasya. Garis besarnya begini: Weda adalah pedoman umum dan acuan dalam ritual (yadnya). Itihasa dan Purana menguraikan “sejarah dunia” dan tentang umat manusia. Weda adalah sumber utama dari wahyu Tuhan, sumber segala dharma dan hukum Hindu.

Itihasa dan Purana menguraikan ajaran dalam Weda dengan kisah-kisah menarik sehingga mudah untuk diterima umat. Karena begitu sulitnya mempelajari Weda, apalagi di masa lalu sarana untuk itu terbatas, maka para Rsi membuat kisah-kisah Itihasa, tujuannya tiada lain untuk menyebarkan isi Weda itu sendiri. Di zaman emas Kerajaan Majapahit di mana Hindu berkembang bagus, dalam kitab Sarasamuccaya dimuat sloka yang terjemahannya begini: “Veda itu hendaknya dipelajari dengan sempurna melalui jalan Itihasa dan Purana sebab Weda akan takut pada orang-orang yang sedikit pengetahuannya.” Maksudnya adalah mulailah mengenal Itihasa dan Purana lebih dahulu, kemudian setelah pengetahuan menjadi bertambah, baru ke Weda. Sampai saat ini pun, meski kitab Weda sudah diterjemahkan dan dijual di toko buku, masih sulit mempelajarinya jika tidak didampingi seorang guru atau nabe.

Itihasa dan Purana memang ajaran suci, tetapi bukan kitab suci. Pertama, karena itu bukan wahyu Tuhan. Kedua, karena bentuk Itihasa adalah kisah, tentu ada kisah buruk dan kisah baik, yang buruk jangan dicontoh, yang baik dijadikan contoh. Ibarat seorang guru yang mengajar budi pekerti untuk anak usia Sekolah Dasar, pembelajaran lewat dongeng sangat dianjurkan. Weda sebagai wahyu Tuhan tentu tak memberi contoh yang buruk. Kitab suci semuanya mengajarkan dharma.

 

Bahaya Menyebut Itihasa Kitab Suci

Apa bahayanya menyebut Itihasa sebagai kitab suci? Ini akan memberi peluang kembali kepada pihak-pihak yang tidak suka dengan Hindu dengan menyebutkan Hindu sebagai agama bumi, agama buatan manusia. Perjalanan panjang Hindu di Nusantara penuh dengan “kerikil ejekan” seperti ini, karena kita tidak paham benar tentang penggolongan kitab suci itu, kita merancukan antara Kitab Suci Hindu dengan Susastra Hindu.

Kalau sekarang ini, misalnya, kita menyebutkan Mahabharata sebagai kitab suci Hindu, orang akan berkata kepada kita: “Lha, jadi Hindu itu agama buatan manusia dong, kan Mahabharata ditulis Maharsi Vyasa”. Maharsi Vyasa memang dikenal juga sebagai penghimpun sloka-sloka Weda, namun wahyu Tuhan itu sendiri bukan beliau yang menerimanya.

Apalagi kalau disebutkan tokoh-tokoh Mahabharata itu setingkat Dewa, ini salah sekali. Orang akan mengejek kita, pantas saja orang Hindu suka berjudi, wong Yudistira dan adik-adiknya penjudi semua. Mana ada kitab suci Weda mengajarkan orang berjudi? Judi dan hal-hal buruk itu dipaparkan dalam kisah untuk memudahkan umat mencerna, karena akan disusul dengan “karma phala”, apa akibat berjudi itu. Misalnya, terhina, terbuang ke hutan, memelihara dendam dan sebagainya. Dalam bahasa yang sederhana bisa disebutkan begini: “Hai, umat Hindu, jangan suka berjudi, lihatlah contohnya Pandawa yang kalah berjudi, bagaimana nasibnya….”

Kalau tokoh-tokoh Mahabharata bukan setingkat Dewa, lalu bagaimana dengan Krishna yang merupakan Awatara Wisnu? Krishna dalam Mahabharata adalah “pihak luar”. Beliau Sang Pencipta, Sutradara Agung Jagatraya. Mahabharata itu tokoh utamanya adalah keluarga Bharata, keluarga Kuru, yang satu darah, yang Pandawa dan Kurawa. Krishna dipuja sebagai Awatara, dan dalam kisah ini pun semua tokoh Mahabharata yang memuja Krishna, selalu akhirnya dalam jalan dharma.

Kita penting berbicara “yang benar” untuk menunjukkan kebesaran Hindu, bahwa Hindu adalah agama wahyu, bukan agama bumi, apalagi agama ciptaan manusia. Dalam zaman modern di mana Weda bisa didapat dengan mudah (bukunya sudah tercetak dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan Sansekertanya bisa diunduh di internet), maka hati-hati melontarkan pernyataan di era global yang penuh persaingan ini. Kalau bicara di balai banjar tentu lain, pemangku dan sulinggih pun disebut orang suci, padahal bahasa yang benar adalah “orang yang disucikan oleh umatnya”. Jangan sampai maksud kita

Page 91: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

membela Hindu, malah memberi peluang orang untuk menjatuhkan Hindu.

(Penulis Wakil Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat)

Kamis,05 Januari 2012 @ 08:50

Calon Arang di Bali, Kehilangan Daya MagisnyaPandita Mpu Jaya PremaPutu Setia

 

Pentas wayang kulit itu di kuburan di pinggiran Kota Denpasar. Ini tidak lazim. Memang, wayang kulit ini mengambil lakon Calon Arang, sebuah kisah di zaman Kerajaan Kediri abad ke 11. Pentas di kuburan dimaksudkan untuk lebih mendekatkan kepada lakon aslinya, juga sebagai pertanda bahwa lakon ini tak bisa dipentaskan sembarangan. Penonton cukup banyak untuk ukuran penggemar wayang kulit Bali yang sedang jauh merosot.

Menjelang tengah malam, saat tokoh Calon Arang muncul, penonton bertambah banyak. Suara dalang sudah mulai meninggi dan menantang siapa saja yang bisa nge-leyak(menjadi leyak) untuk adu kesaktian. Dalam kelir terlihat adegan Calon Arang menantang Mpu Baradah. Inilah puncak cerita. Calon Arang, yang di Bali diyakini sebagai ibu dari segala jenisleyak, mengundang murid-muridnya untuk menyerang Mpu Baradah. Meski adegan dalam kelir itu hanya terlihat Mpu Baradah yang mirip kesatria Pandawa, menantang Calon Arang yang mirip raksasa perempuan, tetapi penonton maklum, ini saatnya Ki Dalang beradu sakti melawan leyak yang datang ke pementasan itu. Siapa yang kalah akan celaka, apakah itu Ki Dalang atau leyak.

Tetapi, sudah setengah jam adegan mengundang leyak itu berlangsung, tak ada tanda-tanda “adu kesaktian” antara dalang dengan leyak. Penonton pun tidak ketakutan, malah saling celoteh untuk menunjukkan ketidak-puasannya. Satu persatu penonton hilang dan pentas itu ditinggalkan. Tak ada leyak, tak ada pertarungan, tak ada pemenang dan pecundang, sampai pertunjukan bubar.

Ini adalah salah satu pemanggungan “wayang leyak” untuk menyebut kata lain dari “wayang Calon Arang”. Dan pertunjukan ini adalah rangkaian dari Festival Wayang Calon Arang se Provinsi Bali, yang digelar tahun2002. Setelah itu tak ada lagi terdengar pementasan wayang kulit Calon Arang di seantero Bali.

Situasi ini sungguh beda dengan, katakanlah, 30 tahun yang silam. Ketika itu, jika ada pementasan wayang kulit Calonarang, penonton berjubel, dan pertunjukan berakhir menjelang dini hari. Penonton takut pulang sebelum hari benar-benar pagi karena akan menjumpai leyak-leyak yang kalah. Kalau direkonstruksi, suasananya kira-kira seperti ini:

Pementasan tidak perlu di kuburan, cukup di perempatan desa, yang dalam kepercayaan Hindu di Bali adalah juga “tenmpat keramat”. Dalang menggelar lakon Calon Arang yang tentu saja sesuai dengan teks cerita yang ada di Bali. Dimulai dari Kerajaan Kediri dengan Raja Erlangga yang gelisah karena banyak rakyatnya mati secara mendadak akibat perbuatan jahat Calon Arang dan murid-muridnya. Cerita runtut sampai ditemukannya Mpu Baradah yang punya akal untuk menaklukkan janda dari Dirah ini. Mpu Baradah meminta salah satu muridnya (beberapa dalang seringkali menyebut anaknya), Mpu Bahula, untuk mengawini putri Calon Arang, yakni Ratna Manggali. Ketika tinggal serumah itulah, Mpu Bahula atas bantuan Ratna Manggali, mencuri kitab yang dipakai Calon Arang untuk menebar maut, dan kitab itu diperlihatkan ke Mpu Baradah. Setelah dipelajari, Mpu Baradah pun tahu bagaimana menangkal ilmu jahat Calon Arang, karena dalam kitab itu sendiri sudah ada jawabannya. Nah, setelah itu, baru Mpu Baradah menantang Calon Arang.

Ini yang ditunggu penonton. Mpu Baradah menantang Calon Arang untuk mengerahkan seluruh muridnya. Jika dalang itu memang sakti dan punya nyali – dan biasanya memang mempelajari ilmu peng-leyak-an yang ada dalam lontar kuno – tanda-tanda bahwa ia menang adalah pementasan berlangsung terus. Lalu, muncul di kelir wayang-wayang yang menggambarkan wanita dengan pakaian dan wujud aneh. Itu adalah visualisasi darileyak yang datang. Ki dalang lalu secara lantang menyebutkan siapa nama wayang leyakitu. Bukan lagi bernama Larung, Lende, Weksira, Guyang dan sebagainya, seperti dalam naskah asli Calon Arang, tetapi nama-nama penduduk sebenarnya yang ada di kawasan pementasan itu. Sebelum menyebutkan nama, Sang Dalang mengucapkan kata-kata, tentu dalam bahasa Bali, yang kurang lebih terjemahannya; “Saya minta maaf kalau nama-nama wayang leyak berikut ini punya kemiripan dengan nama-nama penduduk di sekitar, ini hanya kebetulan saja.” Penonton tahu kalau itu cuma basa-basi, dan di situlah penonton bisa tercengang jika nama yang disebut sang dalang adalah tetangganya atau orang yang dikenalnya. Apalagi jika wanita itu populer.

Pertarungan sengit antara Mpu Baradah dengan Calon Arang, visualisasinya ada di kelir, namun beberapa penonton konon ada yang melihat api menyambar kelir, atau api melesat di langit. Pada saat seperti ini tak ada penonton yang berani pulang dari tempat pertunjukan, karena bisa saja menemukan leyak di jalanan, atau wanita yang meraung-raung di bawah pohon – ini simbul leyak yang kalah oleh kesaktian Ki Dalang.

Jika Ki Dalang yang kalah, ia bisa langsung muntah-muntah dan tidak meneruskan pementasan. Tanda lainnya adalah lampu

Page 92: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

blencong memudar dan kemudian mati dengan sendirinya, meski pembantu dalang telah mengguyurnya dengan minyak. Esok hari orang akan mencari tahu, apakah dalang itu sakit atau tidak.

 

***

 

Balitelah berubah. Suasana dengan setting tahun 1970-an itu – semakin ke bawah semakin menyeramkan – sudah tak ada lagi sekarang ini. Wayang Calon Arang sudah mulai jarang. Apa menariknya lagi kisah Calon Arang kalau tidak ada hal-hal yang menyeramkan? Sebaliknya, bagaimana menghadirkan suasana seram, kalau pedesaan Bali sudah terang-benderang oleh listrik, tempat angker seperti kuburan sudah menyerupai taman, dan – ini yang utama – pendidikan umum dan pendidikan agama sudah meningkat sehingga seseorang  tak merasa berguna lagi mempelajari “ilmuleyak”, apakah itu warisan ilmu dari Calon Arang atau ilmu asli orang Bali masa lalu.

Dalam cerita Calon Arang, baik yang berbentuk prosa maupun puisi (di Bali disebutgeguritan) yang semuanya masih menggunakan bahasa Kawi (Jawa Kuno), sama sekali tak dijelaskan apa kitab yang dibaca Calon Arang ke kuburan untuk memuja Dewi Durga sebelum melaksanakan niat jahatnya. Dalam versi prosa ada kalimat samar-samar yang berbunyi: Calon Arang, yan mangayunaken sore, gumangsal ikang lipyakara. Uwus pwa ya nggangsal ikang patra, saksana wiyang ta ya pareng sema  (Calon Arang, jika menjelang malam hari, mengambil lipyakara-nya. Setelah pustaka itu diambil, ia segera pergi menuju ke kuburan). Apakah lipyakara ini nama kitab?

Namun di Bali, ilmu untuk mempelajari leyak ada dalam bentuk lontar (sastra dalam huruf Bali yang ditulis di daun rontal). Setidaknya ada empat lontar yang mengajarkan ilmu leyakyaitu lontar cambrabag, lontar sampaian emas, lontar tang ting mas, dan lontar jung biru. Tidak jelas dari mana asal-usul ilmu ini dan juga tak disebutkan siapa penyusun lontar ini. Kemiripan dengan kisah Calon Arang adalah, ilmu dalam lontar ini bisa berfungsi ganda, diambil unsur negatifnya bisa untuk mencelakakan orang, diambil unsur positifnya bisa untuk menyembuhkan orang – dalam kaitan ini disebut ruwat. Dalam kisah Calon Arang, Mpu Baradah meruwat Calon Arang dan orang-orang sakit dengan menggunakan mantram yang ada dalam kitab milik Calon Arang itu.

Selain mempelajari lontar tadi untuk bisa menjadi leyak, ada dua lagi caranya. Pertama adalah belajar langsung ke balian (sejenis dukun) yang memang tergolong leyak senior. Yang kedua belajar secara tidak langsung (atau malah tanpa disadari) dari ibu kandung yang bisa menjadi leyak. Konon, ketika sang ibu ini meninggal, kalau anak wanitanya sembrono dalam melakukan ritual pemandian mayat ibunya, ilmu leyak sang ibu langsung masuk ke tubuh wanita tadi. Nah, sekarang tergantung sang anak, apakah sebagai leyak yunior ia akan meneruskan profesi ibunya atau langsung minta di-ruwatpendeta Hindu.

Masalahnya sudah jelas, siapakah wanita Bali (leyak itu sebagian besar ilmu untuk wanita) di era saat ini yang mau-maunya belajar ilmu leyak? Yang membaca lontar ilmuleyak itu pun mungkin hanya para pendeta Hindu saja, dan itu untuk kepentingan pengobatan atau ruwat karena seorang pendeta menjalankan “ilmu putih” dan bukan untuk mencelakan orang atau “ilmu hitam”.

Dalam kondisi seperti inilah, sekarang lakon Calon Arang menjadi “tidak laku” di Bali sebagai seni pertunjukan. Ini bisa menjelaskan kenapa wayang kulit Calon Arang berkurang adanya. Festival Wayang Kulit Calon Arang yang diselenggarakan pemerintah, tadinya bermaksud mewariskan kisah Calon Arang untuk memperkaya lakon wayang kulit Bali, supaya tidak terpaku pada kisah Mahabharata dan Ramayana saja. Sayangnya, penonton berharap ada sesuatu yang terjadi, yakni “perang leyak” sebagaimana di masa silam. Ternyata pertunjukan didominasi nasehat Mpu Baradah kepada Calon Arang, dan kemudian nasehat Mpu Baradah kepada Raja Erlangga, yang lebih banyak menampilkan filsafat Hindu.

Bagaimana lakon Calon Arang di luar wayang kulit? Di Desa Kerambitan, Kabupaten Tabanan, muncul teater tradisional yang disebut Tektekan Calon Arang. Kata tektekanmengacu kepada seni tabuh dari bambu yang bunyinya dominan: tek..tek..tek… Masih di Kabupaten Tabanan, di Desa Penebel, ada Okokan Calon Arang. Okokan itu adalah lonceng kayu yang dikalungkan pada sapi, dan itu dijadikan musik pengiring. Namun kedua jenis Calon Arang ini tidak menuturkan kisah Calon Arang secara utuh. Yang digelar hanyalah sebuah desa yang kena musibah penyakit yang disebabkan oleh perbuatan jahat “orang sakti” dengan menebar ilmu leyak, lalu penduduk memberanikan diri memerangi “orang sakti” itu. Untuk visualisasi “orang sakti” digunakan rangda (nama ini berarti janda dalam bahasa Kawi sehingga orang selalu menghubungkan dengan Calon Arang). Pertarungan tak ada kalah dan menang karena mengacu kepada konsep Hindu yaitu rwa-bhineda, baik dan buruk selalu ada dalam setiap zaman. Ada kalanya, pementasan ini ditutup dengan menampilkan barong sebagai simbul dari “kaum yang baik”. Tokoh Calon Arang sama sekali tak disebut-sebut, termasuk Mpu Baradah, Mpu Bahula, maupun Ratna Manggali.

Sardono W. Kusumo, terinspirasi dari Tektekan Calon Arang, juga pernah menggarap tari dengan tajuk Dongeng Dari Dirah. Yang dimunculkan episode Calon Arang yang menghidupkan mayat, namun dibunuh kembali untuk mendapatkan darah dan ususnya. Tentu saja ini kreasi baru yang sulit untuk menerangkan bahwa lakon itu adalah kisah Calon Arang yang utuh, apalagi Sardono tak menyebut tokohnya itu Calonarang.

Kata Calon Arang di Bali lebih dipakai sebagai simbol dari tari yang menampilkan rangda dan barong, meski pun itu sama sekali tidak menceritakan hikayat Calon Arang di zaman Kerajaan Kediri. Kalau ada pementasan seni lalu muncul rangda,

Page 93: Putu Setia - Kumpulan Artikel Sosial Budaya

orang biasanya menyebut pementasan itu sudah nyalonarang. Runtutan setelah itu adalah beberapa penari trance dan menusuk dirinya dengan keris.

Kata calonarang (nyalonarang) populer di Bali, tetapi bukan kisah Calon Arang itu sendiri. Terbukti, teks Calon Arang, baik yang berbentuk prosa maupun puisi (geruritan) tak ada yang diterjemahkan dalam bahasa Bali sehingga hampir tak ada penggemar senibebasan (semacam grup kidung yang bertebaran di Bali) yang mengambil hikayat ini untuk ditembangkan. Boleh jadi pula, dalam perjalanannya, orang Bali masa kini sangat alergi mendengar kata leyak, apalagi kalau disebut punya leluhur yang bisa ngeleyak.