Putaran Duniaku

download Putaran Duniaku

of 15

Transcript of Putaran Duniaku

  • 8/6/2019 Putaran Duniaku

    1/15

    Dina Puspita Sari, 9th May 2011 1

    Putaran Duniaku

    Aku lagi-lagi membeku di depan pintu gymnasium, menjatuhkan nyaris semua mapkertas yang bertumpuk, membiarkannya berserakan di lantai. Tasku yang lebih berat dari

    beban yang biasa dipakai para atlet angkat beban mulai meluncur perlahan dari

    pundakku, nyaris terbanting keras ke lantai. Mulutku menganga dan kacamataku ikut

    meluncur bebas, kalau saja tidak kutahan. Aku langsung sadar dan mengumpulkan

    nyawa, lalu mulai membereskan map-map yang bertebaran di lantai, dan bergegas pulang.

    Penyakit baruku lebih sering kambuh dari biasanya.

    Bunyi alunan selo dengan lagu klasik kembali bergaung di lorong sekolah, membuat

    badanku sedikit tertarik untuk kembali ke arah gymnasium, mengulang penyakitku yang

    baru-baru ini timbul. Ya, berdiri dengan pose terkagum dan sedikit melamun, membuat

    siapapun yang melihatnya dapat berpikiran bahwa aku mati berdiri. Satu-satunya alasan

    mengapa itu bisa terjadi karena dia bermain selo. Ya, dia.

    Dia adalah kakak kelasku di sekolah ini, sekolah yang fokus tentang musik. Aku

    sendiri baru bersekolah di sini selama satu semester, sementara dia sudah berada di sini

    nyaris dari sekolah dasar hingga menengah atas. Sekarang adalah tahun keduanya di

    SMA, dan aku baru menemuinya nyaris tiga bulan yang lalu.

    Kata mereka, para perempuan di kelas yang tidak pernah tertinggal berita, dia

    termasuk golongan anak populer di sekolah ini. Bukan yang terpopuler, tapi cukup

    banyak siswi yang mengalami penyakit yang mirip denganku, meski mereka lebih ke arah

    membuat keributan dibanding terdiam dan mati berdiri. Meski keduanya adalah

    gejala kagum berlebihan.

    Dia, kata mereka, sangat jarang terdengar berbicara di luar kegiatannya atau kelasnya.

    Di kelas, dia termasuk siswa yang rajin dan tekun meski terkadang pemalas. Sangat cuek

    dan tidak peduli dengan sesuatu yang biasa diributkan remaja seumurannya. Dia disegani

    teman-temannya, dikagumi sahabat laki-lakinya, dipuja teman perempuannya. Di klub

    musik, dia tidak berbeda jauh dengan di kelas. Tetap tenang meski terkadang jahil,

    berkarisma, cuek, dan sedikit dingin, namun total dengan minatnya. Dia memang bukan

    tipe yang selalu hadir di setiap kesempatan, tapi dia adalah orang yang tidak pernah

    membuang waktunya selain untuk yang dia sukai. Dalam kasus ini, dia tidak pernah

  • 8/6/2019 Putaran Duniaku

    2/15

    Dina Puspita Sari, 9th May 2011 2

    berhenti bermain selonya. Selain di klub dan kelas, dia benar-benar menjadi seseorang

    yang diam, cuek, dan dingin. Meski populer, tidak banyak yang berani mendekatinya dan

    tidak banyak yang didekatinya. Setidaknya itu yang kutangkap dari rumor sekitar.

    Aku mengenalnya tidak lama setelah pindah ke sini. Alasan mengapa aku pindah

    pun masih tidak jelas, antara pilihan orangtua atau keterpaksaan diri sendiri karena

    alasan tidak ada lagi sekolah yang lebih dekat dari rumah selain sekolah ini. Orangtuaku

    bahkan memaksaku untuk belajar alat musik sedari kecil, sehingga mereka memiliki

    alasan untuk memasukkanku ke sekolah ini. Bukannya tidak tertarik dengan musik, tapi

    aku masih merasa bahwa ada banyak hal yang jauh lebih mengasyikkan dari membaca

    partitur setiap hari. Permainan musikku sendiri tidak bisa dikatakan jenius dan indah,

    biasa-biasa saja.

    Setelah masuk ke dalam sekolah ini, salah satu guru baruku menyarankan untuk

    masuk ke klub musik yang sesuai dengan genre yang kusuka. Aku pun memilih klub

    musik klasik dengan spesifikasi alat musik tiup, memainkan oboe. Hanya ada tiga pemain

    oboe di sekolah ini, dan aku bergabung menjadi yang keempat. Di suatu kesempatan, aku

    bersama seorang kakak kelas yang sama-sama bermain oboe harus mengantarkan kertas-

    kertas partitur milik klub musik klasik biola, dan saat itulah aku melihat sosoknya. Sosok

    dia, seorang siswa berbadan tinggi dan pandangan yang teduh, sedang menggesek selonya

    dengan penuh rasa cinta. Sesaat aku merasa ada lagu latar surga yang biasa dimainkan di

    film-film asing dan lagu latar tersebut berdengung di telingaku. Kakak kelas yang saat itu

    bersamaku langsung menyadarkanku, dan mulai saat itulah penyakitku muncul, yaitu

    mati berdiri dan terpesona. Ya, semua itu hanya karena permainan Marion, seorang siswa

    dan kakak kelasku.

    Dari melihatnya pertama kali, aku langsung menanyakan tentang dia kepada

    beberapa kakak kelas anggota orkestra yang kebetulan sering bermain bersamanya.

    Setelah mengumpulkan informasi, aku akhirnya mengetahui bahwa permainan selonya

    berhasil mengetuk hati jutaan manusia sehingga ia diizinkan untuk tampil dan menggelar

    banyak konser tunggal di berbagai daerah hingga internasional. Sayangnya, tahun ini

    institusi yang banyak membiayai konser-konser mininya sedang dalam krisis keuangan.

    Lagipula, dia berusaha mengurangi kadar konsernya agar bisa konsentrasi pada sekolah.

    Sekolah yang secepatnya akan dia tinggalkan untuk beasiswa yang sudah ada di tanganya

    sejak dua tahun yang lalu. Mungkin lebih cepat dari usahaku untuk melupakan sosoknya

  • 8/6/2019 Putaran Duniaku

    3/15

    Dina Puspita Sari, 9th May 2011 3

    dan akhirnya membuatku jauh lebih kecewa daripada melupakannya dahulu sebelum ia

    pergi. Kedua pilihan itu sama-sama membuatku sakit.

    ***

    Tolong, Gaundhi! Seorang kakak kelas yang sama-sama memegang oboe duduk di

    depanku saat istirahat. Aku menyerngitkan dahi.

    Tapi, bukankah kau sendiri yang bilang bahwa kegiatan ini tidak akan mengganggu

    persiapanmu? tanyaku sedikit ketus sambil terus menghabiskan beberapa potong

    kentang di piringku. Kantin begitu ramai, sehingga tidak ada satu pun yang sadar bahwa

    ada seorang adik kelas dan kakak kelas sedang berbicara begitu dekat. Terlebih, sang

    kakak kelas adalah seorang yang lebih dari jenius dan terkenal dengan keramahannya.

    Aku tertawa membayangkan bila ada orang yang berpikiran aneh saat melihat kami

    berdua, karena nyaris tidak mungkin ada siswa yang akan mengira seperti itu, di saat sang

    adik kelas adalah aku, seseorang yang jauh dari terkenal.

    Aku sama sekali tidak tahu bahwa keberangkatanku dimajukan menjadi beberapa

    bulan lagi! Dari kalian bertiga, hanya kau yang masih hijau, masih bisa dicekoki materi

    orkestra. Ayolah, Gaundhi, rayu Queri, sang kakak kelas legendaris yang baru saja

    kudeskripsikan. Aku menatapnya dengan pandangan ragu. Ini bukan saatnya main-main,

    dan kalaupun iya, aku benci main-main.

    Apa balasannya? tanyaku sedikit memaksa. Bukan apa-apa, tapi menyuruhku untuk

    menggantikan posisinya di orkestra sekolah itu adalah perbuatan yang jauh lebih ceroboh

    daripada menyuruhku memasak. Aku suka penampilan orkestra yang membuat

    merinding, tapi aku benci menjadi bagian di dalamnya. Bekerja di dalam kelompok yang

    terlalu ramai terkadang hanya menambah tingkat kestresanku saja.

    Aku akan secara khusus mengenalkanmu pada salah satu guruku di sana, dan beliau

    pasti mempertimbangkanmu untuk menjadi muridnya, jawabnya penuh dengan

    keyakinan. Aku tersentak. Menjadi anggota orkestra bukanlah hal mudah, namun dalam

    kasus ini, Queri dengan santainya menyuruhku menggantikannya, di saat berpuluh anak

    lainnya harus jatuh bangun untuk menjadi anggota orkestra.

    Bagaimana mungkin beliau akan mempertimbangkanku? tanyaku lagi. Queri nyaris

    tertawa.

  • 8/6/2019 Putaran Duniaku

    4/15

    Dina Puspita Sari, 9th May 2011 4

    Siapapun akan menarikmu kalau kau mengajukan diri, Gaundhi. Percaya diri lah

    sedikit! ujarnya menyemangati. Aku kembali menyerngit.

    Kau setuju? Oke, temui aku sepulang sekolah di ruang orkestra. Sampai nanti!

    Queri pun berlari meninggalkanku tanpa mendengar balasan yang akan kuberikan. Masa

    bodoh, dia pun tidak akan mendengarkan penolakanku. Seluruh sekolah lebih

    mendukung ide gilanya dibandingkan mendukungku yang benar-benar tidak mampu.

    Karena takut, akhirnya aku datang ke ruang orkestra, menghadapi Queri yang

    sumringah melihat kedatanganku serta beberapa anggota orkestra yang mungkin kukenal.

    Tamara, Agnes, Joe, Terry, dan lain-lain. Mereka duduk di sana dan melihat

    kedatanganku dengan cuek. Sial.

    Akhirnya kau datang! Mari kuperkenalkan. Semuanya, ini Gaundhi, murid kelas

    satu yang akan menggantikanku mulai saat ini sebagai pemain oboe. Gaundhi, kau pasti

    nyaris mengenal semuanya, bukan? tanya Queri ramah. Aku hanya mengangguk kaku

    dan membungkuk untuk memberi salam.

    Tiba-tiba, rambutku diacak hingga aku nyaris tersungkur, dan seseorang menjitakku

    dengan keras. Aku langsung berdiri dan nyaris berteriak, sebelum sadar bahwa semua

    anggota orkestra yang menyambut kedatanganku sedang menjahiliku. Kepalaku terasa

    sakit dan rasa kesalku memuncak. Aku pun mengejar mereka yang membawa oboe-ku,

    tentunya dibawa oleh Queri. Sesaat sebelum aku berteriak, Queri melakukan hal yang

    tidak pernah kusangka, lalu tersenyum jahil padaku.

    Ah, kau Gaundhi? Selamat bergabung di orkestra kami. Suara berwibawa yang

    selama ini terngiang di kepalaku. Seketika itu aku berdiri lesu dan hanya membeku

    menatapnya. Ya, dia. Dia yang terus-menerus berputar di kepalaku.

    Terimakasih. Hanya itu. Aku nyaris membenturkan kepalaku karena sebelum

    ucapan terimakasih tersebut, aku nyaris mengatakan bahwa aku mengagumi dan

    memimpikannya setiap saat. Kalau saja akal sehatku tidak berjalan wajar.

    Perkenalkan, aku Marion, pemain selo.

    Suara itu. Suara yang selama ini selalu terngiang di kepalaku, suara yang dia pakai

    untuk berbicara dengan teman-temannya, suara yang hanya bisa kurekam tanpa pernah

    bisa kuarahkan pada diriku sendiri. Suara yang kini berbicara padaku.

    Dunia ini nyaris runtuh setelah suara itu menyapaku.

    Hei.

  • 8/6/2019 Putaran Duniaku

    5/15

    Dina Puspita Sari, 9th May 2011 5

    Hei? Jawaban macam apa itu? Aku nyaris menyekik leherku dan menelan kembali

    kata-kata abnormal bagi seseorang yang baru bertemu. Aku menyukaimu. Aku selalu

    melihatmu. Aku ingin kau menyukaiku. Aku mengagumimu hingga aku nyaris

    menyeburkan diri ke kolam karena rasa kagumku yang meluap.

    Tenggelamkan aku saat ini juga.

    ***

    Sudah nyaris tiga bulan sejak aku bergabung dengan klub orkestra dan tidak ada hari

    yang lebih mengerikan dari hari-hari selama tiga bulan ini. Klub orkestra sekolahku akan

    mengadakan penampilan tahunan mereka dalam waktu tiga bulan lagi, dan Queri

    memaksaku untuk melahap semua materi yang akan ditampilkan sebanyak lima lagu.

    Mungkin tidak terlalu banyak, tapi cara dia memaksaku untuk menerimanya dan

    bermain sempurna itulah yang sedikit keterlaluan.

    Semua pemain oboe di sekolah ini adalah anak-anak populer, kecuali aku. Ya, kalau

    kami berempat sedang berjalan bersama menuju ruang latihan, sosokku seakan

    menghilang terbakar aura yang mereka pancarkan. Queri yang terkenal dengan

    keramahan dan sosoknya yang keren juga jenius, Rodetha yang anggun bak model dan

    keibuan, serta Jamie yang cuek dan berantakan, namun terlihat memesona di mata para

    siswi. Setiap kali ada yang menanyakan ada berapa jumlah pemain oboe dan dijawab

    empat orang, sang penanya selalu melontarkan pertanyaan yang sama: Siapa personil

    yang keempat? di depanku yang sejak ia menyapa kami sudah berdiri di sana. Awalnya,

    ketiga kakak kelasku panik setiap kali ada yang bertanya seperti itu, takut aku merasa sakit

    hati. Tapi, semakin hari pertanyaan itu sudah semakin sering terdengar, membuatku

    merasa sangat biasa dan tidak sedih atau kecewa, sehingga mereka bertiga pun bisa

    membalas pertanyaan itu dengan candaan.

    Rasa muak yang memuncak karena harus mendengar lagu yang akan dimainkan

    untuk konser tiga bulan depan berulang kali di music player membuatku tidak pernah

    memutar lagu-lagu itu lagi di luar sekolah. Di luar sekolah, aku bebas mendengarkan lagu-

    lagu zaman dahulu semacam Air Supply, Chaka Khan, George Benson, Peter Cetera, dan

    penyanyi-penyanyi lama lainnya. Sekarang, hanya lagu-lagu gubahan Palchabel atau

    Mozart yang harus kuputar setiap hari. Entah siapa yang salah, aku sebagai junior atau

    Queri sebagai senior.

  • 8/6/2019 Putaran Duniaku

    6/15

    Dina Puspita Sari, 9th May 2011 6

    Hei. Seseorang menepuk pundakku cukup keras. Aduh. Aku langsung menoleh ke

    belakang dan mendapati Queri membawa tas oboe-nya. Aku langsung melepaskan headset

    dan mengambil tas oboe-ku, mempersilahkannya duduk.

    Hari ini kami berencana untuk bermain di taman kota, untuk melatih rasa

    keberanianku. Ini pun merupakan pemaksaan dari Queri yang didukung oleh Rodetha

    dan Jamie. Sebagai adik kelas yang tidak bereputasi apapun, aku merasa tertekan untuk

    menolak.

    Kami bermain nyaris selama dua jam. Untung saja ada banyak pohon di taman ini.

    Setelah bermain selama dua jam, kami beristirahat sebentar dan aku mengeluarkan bekal

    yang dibuat oleh ibuku untuk makan siang. Beliau sedang bersemangat dengan acara

    masak-memasak di rumah, sehingga siapa pun yang berencana keluar rumah wajib

    membawa bekal buatan beliau. Lumayan juga untuk penghematan.

    Mari makan, ujar Queri membuka acara makan siang kami. Aku membiarkannya

    mengambil makanan sebanyaknya. Menu ini dimasak oleh ibuku nyaris selama seminggu

    ini dan aku muak dengan lauk yang sama selama seminggu. Biarlah Queri menikmatinya.

    Selagi makan, aku pergi ke mesin minuman otomatis dan membeli minuman

    untukku dan Queri. Tidak baik bagi tenggorokan untuk terlalu banyak meminum

    minuman dingin. Tapi apa daya, hari ini terlalu panas. Keluar dari daerah bayang

    pepohonan untuk membeli minum sebentar saja sudah mulai mengeluarkan keringat.

    Aku langsung berlari kembali, mendapati Queri masih menikmati makan siang yang

    sepertinya langsung berkurang setengah.

    Kau makan? tanyanya. Aku mengangguk seraya membuka botol minuman dan

    meneguknya.

    Sisakan saja sedikit. Aku akhirnya mengambil sedikit nasi dan dua potong lauk,

    memberikan sisa makanan pada Queri, dan melanjutkan ke makanan penutup, kue sisa

    dari acara ulangtahun adikku kemarin. Di saat acara makan yang cukup tenang itu, Queri

    membuka topik pembicaraan yang membuat semuanya kacau.

    Hei, kau suka Marion, bukan? tanyanya santai. Aku nyaris melemparnya dengan

    oboe. Wajahku memerah.

    Tidak kok! ujarku menyela sambil meneguk minum. Aku yakin Queri bisa melihat

    rona merah di telingaku. Dia terkekeh.

    Selagi aku minum, sosok yang tidak asing itu muncul dari kejauhan bersama seorang

    lagi yang tidak kukenal. Mereka berdua memakai topi, di punggung mereka ada sosok

  • 8/6/2019 Putaran Duniaku

    7/15

    Dina Puspita Sari, 9th May 2011 7

    berwarna hitam, dan mereka berjalan santai ke arahku dan Queri. Marion bersama

    seseorang. Orang lain.

    Sesaat aku linglung, syok melihatnya bersama seseorang. Di hari libur seperti ini,

    dengan siapa dia menghabiskannya? Pacarnya? Aku tidak bisa lagi menyembunyikan rasa

    khawatirku. Queri terkekeh lagi.

    Tenang saja, itu juniornya. Seorang laki-laki. Beberapa bulan lagi dia akan pindah,

    bukan? Kasusnya sama denganku, mencari junior untuk menggantikannya di orkestra,

    kata Queri menimpali perasaan khawatirku sambil berselonjor santai. Aku menatapnya

    dengan tatapan kurang percaya, tapi ada rasa lega. Syukurlah.

    Tapi, rasanya ada yang aneh.

    Ya, aku memintanya untuk berlatih bersama di sini dan dia setuju. Kau senang?

    tanya Queri dengan nada penasaran. Aku langsung memelototinya. Apalagi yang kurang

    dari kenekatannya itu? Dia tahu aku tidak bisa konsentrasi kalau ada seseorang yang

    kusukai. Aku langsung memukulnya dan nyaris mencekiknya, kalau saja Marion dan

    juniornyakalau tidak salah bernama Arysudah tiba di dekat kami.

    Wah, senangnya, Queri mesra sekali dengan juniornya! ujar Marion dengan wajah

    tersenyum. Aku langsung mendorong Queri dan memberi salam padanya. Telinga dan

    pipiku terbakar rona merah maluku.

    Setelah berbincang sebentar, kami memulai latihan bersama. Mulanya aku tidak

    terlalu bisa konsentrasi. Mataku selalu berusaha melihat sosoknya yang sedang mengajar

    Ary. Betapa aku merasa iri pada Ary yang bisa menanyakan apapun mengenai

    permasalahan permainannya pada dia. Dia yang kukejar-kejar sosoknya.

    Tapi, semakin sore, aku bahkan tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Queri,

    instruksi yang ia berikan. Telinga, mata, pikiran, dan hatiku melihat ke arahnya.

    Konsentrasi! ujar Queri sambil memukul kepalaku dengan kertas partitur. Sesaat

    aku merasa sadar dan mulai bermain lagi. Di akhir latihan, Queri memintaku untuk

    bermain beberapa lagu yang akan ditampilkan dan lagu kesukaanku.

    Dia menontonku. Dia hanya melihatku. Aku bisa merasakan panas yang tiba-tiba

    naik ke kepalaku, membakar pipi dan telingaku oleh rasa malu. Tanganku bergetar,

    begitu juga oboe-ku. Sial.

    Tenang. Dia hanya ingin melihatku bermain. Dia ingin mendengarku bermain.

    Tenang.

  • 8/6/2019 Putaran Duniaku

    8/15

    Dina Puspita Sari, 9th May 2011 8

    Saat itu juga aku merasa tidak berada di taman lagi. Kepalaku dingin dan akhirnya

    aku bisa bermain. Kecuali beberapa saat mendekati akhir lagu, aku membuka mata dan

    melihatnya menatapku dengan senyumannya yang menawan. Tiupan terakhir sangat

    kacau dan oboe-ku nyaris jatuh.

    Setelah bermain, kami juga menonton Ary bermain, dan pada akhirnya Marion. Dia

    bermain selo di taman, di depanku, pada sore hari yang sangat tenang. Seandainya hanya

    ada kami berdua dan dia hanya bermain untukku. Bukan untuk Queri, Ary, atau orang-

    orang yang membeli tiket pertunjukannya. Hanya untukku.

    Dari semua sosok yang ia tampilkan, sosoknya yang bermain selo lah yang selalu

    membuatku terkena sindrom mati berdiridalam kasus ini, duduk. Betapa ekspresinya

    yang lembut itu berhasil membuatku ingin menariknya dan pergi sejauh mungkin.

    Berteriak padanya betapa aku menyukainya. Di dalam otakku bahkan terlintas angan-

    angan bahwa setelah bermain selo, dia akan berdiri dan memegang tanganku,

    menyatakan cinta terpendamnya padaku. Aku tersipu sambil terus melihat ke sosoknya

    yang sedang menggesek selo dengan lembut, tanpa merasakan adanya pandangan

    menusuk yang tertuju padaku.

    ***

    Empat bulan berlalu dan tinggal dua bulan lagi dari penampilan perdanaku. Aku

    semakin gila. Ya Tuhan, inikah yang dinamakan cinta tanpa pandang bulu? Aku bahkan

    baru menjejaki masa SMA dan hal semacam ini sudah menyerangku. Ya, aku sudah gila.

    Aku bisa melihatnya tanpa berkedip selama dia masih berada di pandanganku. Aku

    tahu jenis parfum yang ia gunakan, merek selo yang ia sukai, makanan favoritnya, alamat

    rumahnya, saudara yang ia miliki, guru favoritnya, hingga makanan yang ia benci.

    Anehnya, dari semua kegilaan yang kulakukan, hanya Queri yang tahu dan

    menertawakanku. Apa reaksiku kurang jelas di mata mereka, terlebih di mata orang-orang

    ini?

    Suatu hari, aku sedang berjalan ke arah kelas Queri, di saat salah satu temanku,

    Anna, yang populerbukan populer biasa, melainkan populer tingkat tinggi, pintar,

    cantik, terkenal, dan punya lebih banyak teman dari segala kelasmendatangiku bersama

    sahabatnya. Bila dibandingkan denganku, tidak akan ada yang memilihku dibanding dia.

    Dia membuka mulut.

  • 8/6/2019 Putaran Duniaku

    9/15

    Dina Puspita Sari, 9th May 2011 9

    Gaundhi, kau anak klub orkestra, bukan? tanyanya dengan tatapan meyakinkan.

    Aku mengangguk, sedikit bingung.

    Kau kenal dengannya, bukan? Sepertinya kalian cukup dekat, tanyanya lagi dengan

    tatapan penuh harap. Aku menaikkan alis. Queri?

    Maksudmu Queri? Ya, lumayan lah. Dia harus melatihku untuk menggantikan

    posisinya, jadi

    Bukan dia yang kumaksud, potongnya langsung seraya terkekeh. Sesaat aku

    terdiam dan saat sadar, duniaku seakan runtuh. Jangan dia, kumohon.

    Yang kumaksud itu Marion, balasnya sambil tersenyum, seakan memukulku lebih

    keras dari pertanyaan pertamanya. Ya Tuhan, kumohon, jangan Anna! Aku menelan

    ludah.

    Ah, iya. Kenapa? Kau suka padanya? Tolong jawab tidak. Anna, tolong jawab tidak!

    Ya, begitulah, he he, ujarnya tersenyum. Sahabatnya langsung menyenggolnya,

    menggodanya yang bersikap seperti malu-malu atau entah apapun itu. Aku tidak bisa

    fokus. Napasku terengah. Jangan dia, kumohon.

    Ah, begitu. Sejak kapan? Tolong katakan baru -baru ini. Biar aku memiliki alasan

    untuk merasa bangga akan perasaanku.

    Sudah sejak satu tahun yang lalu, jawabnya santai. Dia merasa santai, tapi aku

    tidak. Aku merasa seakan ada palu besar yang memukulku dengan kuat. Sakit. Dia lebih

    lama menyadari sosoknya daripada aku.

    Hmm. Aku harus ke kelas Queri dulu. Sampai jumpa, ujarku memutus percakapan

    dan pamit pergi. Dia pun tersenyum, seakan mengirim telepati kepadaku untuk

    menyampaikan salam pada Marion. Saat sosoknya sudah menghilang, aku langsung

    berlari ke samping tangga, di mana ada sedikit cekungan yang cukup untuk satu orang.

    Aku menghadap ke dinding, berusaha mengatur napas, sambil menepuk dadaku. Sakit.

    Aku lebih memilih untuk dicekik daripada mendengarkan perkataan Anna tadi.

    Menyakitkan.

    Rasanya sakit. Menyakitkan sekali. Aku merasa tembok ini runtuh, menimpaku

    sehingga aku tidak mampu berdiri, bahkan mendongak pun tidak. Rasanya berat dan

    dadaku sesak. Sakit.

    Kenapa, Gaundhi? Suara yang cukup familiar menyapaku. Queri. Aku langsung

    menatapnya dan menggeleng, berusaha tersenyum. Meski bibirku bergetar tegang dan

    takut.

  • 8/6/2019 Putaran Duniaku

    10/15

    Dina Puspita Sari, 9th May 2011 10

    Mengapa kau menangis? tanyanya sambil menyeka airmataku. Menangis? Aku tidak

    merasa sedang menangis. Saat suaraku nyaris keluar untuk membela diri, yang keluar

    hanya isakan. Sakit.

    Rasanya sakit, jawabku pelan, dan tiba-tiba airmataku mengalir. Aku bukan

    penggemar sinetron atau acara-acara yang mengundang rasa jijik karena adegan yang

    terlalu dibuat-buat. Aku juga bukan penggemar sinetron yang tidak pernah ada matinya

    atau tokoh utama yang selalu menang. Tapi kenapa aku merasa seperti ini? Aku pernah

    jatuh cinta, tapi tidak seperti ini. Bukan jatuh cinta yang terus-menerus hanya

    membuatku terengah dan sesak. Ada apa denganku?

    ***

    Dari semua orang, hanya Queri yang tahu bahwa aku menyukai dia. Dia yang

    ternyata lebih dulu dikagumi Anna dibandingkan aku. Rasa sakit yang dulu kurasakan

    saat mendengar pengakuan Anna meluas. Semua orang nyaris tahu tentang fakta bahwa

    Anna menyukai Marion. Semua orang pun bertubi-tubi menitipkan salam Anna untuk

    Marion. Semua orang mengenal Anna dan mereka menitipkan salamnya padaku. Aku

    Di klub orkestra, aku selalu berusaha menghindarinya. Dadaku sesak setiap kali

    melihatnya dan Queri tidak boleh mengetahui hal itu. Lalu tiba-tiba, musibah datang

    bertubi padaku. Klub orkestra mengadakan acara menginap di luar kota sebagai upaya

    mempererat hubungan anggotanya sebelum konser, dan Marion ikut. Beberapa hari

    sebelum acara yang ditunggu, aku hanya bisa mendengar keluh kecewa Anna yang

    digemakan oleh seluruh siswa angkatanku yang tahu akan rahasia umumnya. Semua

    orang sibuk mengatakan betapa Anna kurang beruntung karena batal masuk klub

    orkestra. Betapa ruginya dia tidak bisa melewatkan beberapa hari bersama Marion. Semua

    perkataan itu digemakan di depanku yang hanya bisa tersenyum seakan ikut merasa

    betapa ruginya Anna. Senyumku yang tidak pernah berhenti bergetar dan airmata yang

    selalu kutahan. Cepat selesaikan perasaan ini. Aku tidak kuat lagi.

    Selama perjalanan, Queri selalu berusaha menemaniku yang waktu itu sempat

    goncang. Entah apa pandangan orang tentang betapa bodohnya aku untuk merasa

    goncang karena masalah sepele seperti itu bila mereka tahu tentang hal yang sebenarnya,

    dan aku tidak akan membiarkan hal itu bocor. Queri akhirnya secara sukarela menjadi

    pendukungku, satu di antara ratusan pendukung Anna. Di saat yang bersamaan, aku

    mulai mendengar rumor tidak benar mengenai hubunganku dan Queri, kembali

  • 8/6/2019 Putaran Duniaku

    11/15

    Dina Puspita Sari, 9th May 2011 11

    menghilangkan dukungan yang mungkin kudapat dengan tatapan tajam dari para siswi

    yang iri dan kesal. Kalau mereka berada di posisiku, mungkin perasaan senang pun tidak

    akan terlintas. Semua yang muncul hanya sedih dan kecewa.

    Sialnya, dia pun merasa ada yang aneh padaku. Aku sudah mati-matian

    menghindarinya. Bukannya semakin jauh, dia lebih sering menyapaku dari biasanya,

    mengajakku mengobrol berdua, padahal biasanya kami bertiga bersama Queri, pergi

    latihan bersama, seberapa pun besarnya usahaku menjauhinya. Mungkinkah di tengah

    musibah ini, dia mulai menyadari kehadiranku? Betapa pun itu mungkin, aku tidak akan

    pernah diterima oleh mereka yang mendukung Anna. Kecaman akan muncul dari segala

    penjuru. Memikirkan itu saja sudah membuatku sakit.

    Melihat upayanya yang terlihat seakan mendekatiku, aku akhirnya berusaha seperti

    dulu lagi, berani dan mampu untuk berbicara padanya. Biarlah di sini.

    Queri pun melihat sedikit perubahan baikku yang sementara ini. Meskipun mungkin

    tidak ada satu pun yang sadar, di setiap senyumku dan perkataanku, semuanya masih

    bergetar takut, badanku juga.

    Meski aku sudah menetapkan diri untuk bersikap lebih biasa, aku semakin berusaha

    menghindar. Setiap selesai berbicara, aku akan pergi lebih jauh, setiap melihat sosoknya,

    aku akan melangkah lebih jauh, dan setiap mendengar suaranya, aku akan menoleh ke

    arah yang berlawanan, menutup telinga.

    Aku sendiri masih bingung kenapa bisa ada rasa sakit yang begitu menusuk hanya

    dengan menyukainya. Padahal, itu wajar bila ada yang menyukainya selain aku. Wajar

    kalau aku merasa cemburu. Wajar kalau aku berharap bahwa aku ingin bersama

    dengannya dewasa nanti. Ini masa sekolahku. Wajar untuk berangan.

    Tapi kenapa rasa kecewa dan cemburu itu sesakit ini? Apa karena aku tahu bahwa

    ekspektasi lingkungan akan lebih condong ke Anna dibandingkan aku? Apa karena aku

    tidak lebih baik dari Anna? Apa karena Marion jauh lebih cocok dengan Anna? Apa

    karena Marion tidak cocok denganku? Apa karena Marion tidak menyukaiku? Ataukah

    karena aku tahu bahwa Marion adalah sosok yang sulit untuk kuraih, sosok yang terlalu

    jauh? Semuanya mungkin.

    Meski aku berusaha untuk terlihat biasa, rasa sakit ini merongrongku lebih parah

    dari sebelumnya. Terlebih pada mala mini, saat kami mengadakan acara musik di taman

    rumah. Aku terus menatap sosoknya yang asyik bersosialisasi bersama Queri dan teman-

    temannya, sementara aku duduk di kursi yang berada tidak jauh dari sana, menatap

  • 8/6/2019 Putaran Duniaku

    12/15

    Dina Puspita Sari, 9th May 2011 12

    dengan penuh perasaan posesif yang tidak masuk akal. Setelah itu, dia pun duduk tidak

    jauh dariku, mulai bermain selo. Kepalaku berdenyut, sakit sekali. Aku meneriaki diriku

    sendiri untuk tidak melakukan hal bodoh.

    Jangan panggil dia.

    Hei, Marion. Dia menoleh ke arahku.

    Jangan tatap aku.

    Ajari aku bermain selo.

    Jangan berbicara padanya.

    Jangan jawab aku.

    Jangan tatap aku.

    Berhenti melihatku.

    Tentu.

    Jangan tersenyum padaku.

    ***

    Tinggal beberapa jam lagi sebelum penampilan perdanaku. Aku melirik ke luar tirai

    panggung, melihat beratus-ratus orang duduk di gedung megah milik sekolahku ini. Rasa

    tegang langsung memuncak ke kepalaku, menyebabkan reaksi pusing yang tiba-tiba. Aku

    takut tidak siap.

    Seseorang menepuk pundakku. Aku langsung menghela napas panjang, berusaha

    mengatur diri.

    Banyak sekali penontonnya, Queri Kalimatku terpotong oleh sosoknya yang

    memakai setelan tuksedo yang mewah. Dadaku langsung sesak dan pikiranku kacau. Aku

    nyaris pingsan.

    Marion bersama Queri yang berdiri di belakangnya mengagetkanku. Mereka berdua

    tidak akan tampil hari ini, karena beberapa hari lagi mereka akan meninggalkan sekolah

    untuk memenuhi beasiswa yang mereka dapatkan. Aku ingin mendapatkan beasiswa.

    Selamat berjuang, ujarnya lembut dan tersenyum. Aku membalasnya dengan

    senyuman tegang yang bergetar seperti biasanya. Aku tidak akan bisa tersenyum normal

    di depannya. Dia pun meninggalkanku dan Queri. Queri menghela napas.

    Aku tidak tahu masalah apa yang sedang kau lalui, tapi kalau kau mau, aku bisa

    menanyakan. Aku langsung menutup mulutnya dan tersenyum.

  • 8/6/2019 Putaran Duniaku

    13/15

    Dina Puspita Sari, 9th May 2011 13

    Tidak, aku tidak menunggu jawaban. Aku kalah sebelum berperang. Aku kalah

    dengan medan perangku sendiri, jawabku pelan sambil tersenyum pilu. Begitu lah

    adanya. Queri menunduk dan menampakkan ekspresi sedih yang jarang ia gunakan itu.

    Aku tersenyum.

    Aku akan berusaha yang terbaik untuk membanggakanmu, Guru, ucapku

    tersenyum. Ia menatapku dengan tatapan yang masih sama.

    Lalu mengapa airmatamu mengalir? tanyanya sambil menyeka airmataku. Aku

    terkaget.

    Mengalir? Tidak, ini bukan airmata. Aku tidak menangis, aku hanya Kata -kataku

    terputus dan diganti oleh isakan pelan yang diredam oleh pelukan Queri. Mengapa aku

    harus mengalami perasaan seperti ini? Dia bukan seseorang yang patut kutangisi, tapi

    sosoknya sendiri sudah cukup membuatku menangis, disertai kemungkinan-

    kemungkinan pasti yang membuatku tidak mungkin bersamanya. Ini hanya kisah cinta

    siswa pada masa sekolah biasa, tapi kenapa efeknya harus seperti ini? Kenapa aku harus

    merasakan sesak dan sakit yang seperti ini?

    Setelah itu, aku sibuk membenarkan dandananku dan memulai penampilan

    perdanaku. Meski tak terlihat, aku kembali meneteskan airmata bahagia saat lagu terakhir

    selesai. Perasaan bahagia yang meluap karena inilah penampilan perdanaku. Selesai

    memberi salam, kami kembali diiringi dengan tepuk tangan yang bergemuruh. Di ujung

    sana, aku melihat sosok Marion dan Queri yang tersenyum bangga. Sosok dia yang

    tersenyum bahagia. Aku tersenyum, akhirnya tersenyum lepas dan tenang, lalu

    menunduk, mulai meneteskan airmataku lagi.

    ***

    Gedung orkestra kosong, bahkan tidak ada pekerja yang ada di dalamnya. Semua

    sedang merayakan kebahagiaan mereka di restoran terdekat, dan aku kabur dari acara itu.

    Menyelamatkan diri dari kerumunan orang-orang yang lega dan akan melepas kepergian

    dia dan Queri.

    Aku masih menggunakan pakaian dan sepatu konser, lalu mulai melepaskan

    sepatuku di ujung panggung, dan berdiri di tengah bersama oboe-ku. Aku memandang

    luas kursi-kursi yang tidak ditempati, lalu menarik napas panjang. Semua perasaan

    bercampur jadi satu, rasa kagumku pada Marion, ketegangan saat pertama kali tampil,

  • 8/6/2019 Putaran Duniaku

    14/15

    Dina Puspita Sari, 9th May 2011 14

    kesedihan saat Marion dan Queri akan pergi, semua bergabung menjadi perasaan yang

    memuncak. Aku menarik napas dan mulai meniup oboe, memainkan lagu Gabriels Oboe.

    Alunan musiknya menggema ke seluruh penjuru gedung, seakan-akan memastikan

    bahwa tidak ada siapapun di tempat itu. Nadanya yang pelan dan lembut, kembali

    mengingatkanku dengan sosoknya yang bermain selo. Semua perasaan yang berat dan

    menekan itu berkumpul jadi satu, terekspresikan dalam lagu ini. Tak terasa, airmataku

    ikut mengalir seperti alunan lagu ini.

    Selesai bermain oboe, aku menatap ke bawah. Melihat kakiku yang tidak beralaskan

    apapun dan berkaca-kaca karena airmata yang perlahan menetes ke lantai. Aku menarik

    dan menghembuskan napas perlahan.

    Suara langkah kaki besar bergerak semakin dekat ke arahku, dan aku menoleh. Sosok

    itu. Dia berjalan mendekatiku, lagi-lagi tersenyum, seperti biasa. Lalu, di saat kami sudah

    bertatap, dia mengeluskan tangannya ke pipiku, mengulangi hal yang selalu ia lakukan

    padaku.

    Gaundhi. Suara Queri bergema pelan di telingaku. Aku hanya tersenyum tenang.

    Aku tahu besarnya rasa cintamu pada Marion. Betapa kerasnya kau bertahan meski

    semua orang tidak akan mendukungmu bila mereka tahu yang sebenarnya. Betapa

    kuatnya kau menahan diri untuk tidak mundur di saat ada sosoknya. Betapa kau

    menahan rasa penasaran akan perasaannya juga. Aku menghargai keputusanmu dan aku

    tidak akan menanyakan hal tersebut padanya, katanya pelan. Aku melihatnya lagi, lebih

    jelas sekarang.

    Aku tidak memintamu. Tapi aku menginginkanmu. Aku menawarkan padamu

    untuk menunggu di sini, sampai aku datang, sampai aku pulang. Aku menawarkanmu

    untuk berharap padaku. Aku menghargaimu dan perasaanmu untuk Marion, tapi aku

    menawarimu. Tunggu aku pulang, katanya lagi sambil melihatku, menerawang ke dalam

    pikiranku.

    Aku tersenyum sambil membiarkan airmataku jatuh perlahan. Biarlah aku berdiri di

    sini, diam.

    Mungkin dia, sosok yang kukagumi itu, tidak akan pernah tahu bahwa aku pernah

    menyukainya hingga aku nyaris menyakiti diriku sendiri. Dia tidak tahu betapa aku

    mengidolakannya dan tetap memujanya di tengah tekanan orang-orang yang mendukung

    Anna. Dia tidak tahu betapa senyumku selalu mengembang setiap melihatnya, meski di

    saat yang bersamaan, senyuman itu selalu bergetar karena tegang.

  • 8/6/2019 Putaran Duniaku

    15/15

    Dina Puspita Sari, 9th May 2011 15

    Tapi, aku akan memberitahukannya. Betapa aku pernah menyukainya,

    mengidolakannya, mengaguminya, dan menginginkannya. Aku akan memberitahunya,

    entah lima, sepuluh, atau lima belas tahun lagi. Aku pasti akan memberitahunya, tapi

    tidak sekarang. Sekarang, aku ingin melepas genggaman perasaan ini, aku ingin mulai

    meloncat ringan dan bebas. Aku ingin bisa menunggu Queri atau menunggu dia. Aku tak

    ingin terikat namun aku ingin bisa menunggu. Aku ingin menunggu dengan bebas.

    Entah sampai kapan. Tapi aku ingin bebas.

    Aku kembali tersenyum dan lagi-lagi menangis. Aku mungkin bisa memilikinya, tapi

    tidak sekarang. Aku mungkin bisa bersamanya, tapi tidak sekarang. Aku mungkin

    pasangannya, mungkin juga tidak. Aku mungkin berpasangan dengan Queri, mungkin

    juga tidak. Hanya saja, aku ingin bebas. Ikatan-ikatan itu mulai terlepas satu-persatu. Aku

    mulai menerawang perasaan-perasaan dan pikiran yang mengikatku dan menahanku.

    Kilasan-kilasan wajahnya mulai menghilang. Aku masih tersenyum, menyentuh tangan

    Queri, dan membuka mata yang berkaca-kaca.

    Selamat tinggal.

    Bandung, 5 Mei 2011,

    Dina Puspita Sari