PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS...
Transcript of PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS...
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
1 | P a g e
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
Sejarah perjalanan pelaksanaan pemerintahan daerah di
Indonesia senantiasa mengalami pasang surut seiring dengan
perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia. Beragam
peraturan perundang-undangan terkait yang mengatur secara
khusus tentang pemerintahan daerah bergulir sejak Negara ini
berdiri.
Dimulai dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1957, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 dan terakhir Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015. Hal ini membuktikan bahwa implementasi terhadap
pemerintahan daerah begitu rumit dan kompleks karena
banyaknya persoalan yang perlu diatur dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dari hal di atas, tampak berbagai persoalan muncul seiring
dengan semangat tuntutan akan pelaksanaan desentralisasi
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
2 | P a g e
secara utuh oleh pemerintah daerah. Pemerintahan daerah
senantiasa bergerak menuju kepada penataan kelembagaan yang
lebih baik lagi mulai dari tingkatan desa sampai dengan level
provinsi.
Kompleksitas pengaturan berkaitan dengan kewenangan
antara pemerintah dan pemerintah daerah menjadi isu hangat
setiap periodeisasi dari pelaksanaan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah.
Hubungan pemerintah dan pemerintah daerah tidak luput juga
menaruh andil terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Pada
level dibawahnya, hubungan antara pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota serta hubungan antara pemerintah
kabupaten/kota dengan desa-desa yang ada dibawahnya menjadi
perbincangan hangat dalam rangka menemukan formulasi yang
tepat guna mengatur persoalan-persoalan di atas.
Topik-topik yang berkaitan dengan pengaturan kewenangan
dan hubungan serta keuangan menjadi topik yang sentral yang
mewarnai setiap perubahan terhadap peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah.
Tarik ulur kepentingan di pusat dan daerah hingga desa
tidak dapat dilepaskan begitu saja dari perjalanan pemerintahan
daerah yang ada saat ini.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
3 | P a g e
Sejarah memberikan fakta bahwa pasca reformasi, Undang-
Undang 22 Tahun 1999 maupun Undang-Undang 32 Tahun 2004
telah memberikan ruang yang begitu besar bagi pemerintah
daerah untuk dapat mengurus urusan rumah tangganya sendiri
melalui asas desentralisasi. Akan tetapi masih terdapat
kekurangan di sana sini dalam praktek dilapangan.
Pemecahan Undang-Undang 32 Tahun 2004 menjadi
beberapa bagian khusus, tentunya akan berdampak kepada
pelaksanaan otonomi daerah yang ada saat ini. Sebagaimana
diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dipecah
menjadi beberapa bagian pengaturan antara lain; pemerintahan
daerah, desa, dan pemilihan kepala daerah. Ini menunjukkan
bahwa Undang-Undang 32 Tahun 2004 yang digunakan ± 10
tahun memuat begitu banyak pengaturan terkait pemerintahan
daerah yang pada akhirnya menyisakan berbagai persoalan.
Semangat lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan Undang-Undang 2 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
4 | P a g e
Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
menjadi Undang-Undang.
Dari ketentuan di atas yang sudah berlaku, secara tidak
langsung mempengaruhi produk hukum di daerah baik peraturan
daerah, peraturan kepala daerah maupun yang lainnya yang
sebelumnya sudah berlaku terlebih dahulu. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penyisiran terhadap produk-produk hukum daerah
khususnya peraturan daerah yang tidak lagi sejalan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan
daerah maupun desa yang berlaku saat ini agar dapat segera
untuk disesuaikan sehingga tidak terjadi tumpang tindih
kewenangan antara pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota.
Dengan melihat matriks pembagian urusan pemerintahan
konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan
daerah kabupaten/kota sebagaimana terdapat dalam lampiran
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah dapat diketahui bahwa terdapat beberapa urusan
pemerintah kabupaten/kota yang telah beralih menjadi urusan
pemerintah provinsi.
Urusan-urusan yang sebelumnya menjadi urusan
pemerintah kabupaten/kota yang diperkuat dengan peraturan
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
5 | P a g e
daerah tentunya secara hukum perlu untuk direvisi mengingat
urusan tersebut kini bukan lagi menjadi urusan pemerintah
kabupaten/kota melainkan menjadi urusan pemerintah provinsi.
Sejalan dengan itu juga, Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 Tentang Desa juga memberikan dampak tersendiri terhadap
pelaksanaan pemerintahan desa yang ada saat ini. Beberapa
ketentuan yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 Tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Desa sudah tidak lagi sejalan dengan peraturan daerah
yang ada saat ini.
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, dapat
diketahui terdapat permasalahan yang muncul pasca
diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah khususnya yang berkaitan dengan
kewenangan yang dimiliki antara Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota. Tentunya hal ini akan turut
mempengaruhi produk hukum daerah yang ada saat ini yang
berkaitan dengan hal-hal dimaksud di atas.
Terkait dengan hal di atas, fokus penelitian ataupun
pengkajian hukum yang akan dilakukan ini berfokus pada
peraturan daerah-peraturan daerah yang ada di Kabupaten Bintan
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
6 | P a g e
periode tahun 2004 sampai dengan 2014. Berikut daftar Peraturan
daerah Kabupaten Bintan periode 2004 sampai dengan Periode
2014.
Tabel 1.1 Peraturan Daerah Kabupaten Bintan
Periode 2004 – 2014
Nomor Regulasi Nama Regulasi
03/2004 Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 30 Tahun 2001 Tentang Rencana Stratejik (Renstra) Kabupaten Kepulauan Riau Tahun
2002 - 2006 04/2004 Pajak Reklame
05/2004 Pajak Restoran 06/2004 Pajak Hotel
08/2004 Penyertaan Modal Daerah Pada Pihak Ketiga 10/2004 Pajak Hiburan 11/2004 Izin Usaha Perfilman
12/2004 Pembentukan Kijang Kota, Kelurahan Sungai Enam, Kelurahan Gunung Lengkuas,
Kelurahan Sungai Lekop Di Kecamatan Bintan Timur Dan Kelurahan Kawal Di Kecamatan
Gunung Kijang 01/2005 Kedudukan Keuangan Ketua, Wakil Ketua Dan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Kepulauan Riau 06/2005 Kedudukan Protokoler Ketua, Wakil Ketua Dan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kepulauan Riau
07/2005 Retribusi Parkir 12/2005 Pembentukan Organisasi Dinas Daerah
Kabupaten Kepulauan Riau
13/2005 Pembentukan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Kepulauan Riau
02/2006 Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor : 1 Tahun 2005 Tentang Kedudukan Keuangan
Ketua, Wakil Ketua Dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bintan
03/2006 Pembentukan Dana Cadangan
04/2006 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2005
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
7 | P a g e
06/2006 Penyelenggaran Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil
07/2006 Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 12 Tahun 2005 Tentang
Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kabupaten Bintan
08/2006 Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 3 Tahun 2006 Pembentukan Dana Cadangan
03/2007 Retribusi Pelayanan Kependudukan Dan Catatan Sipil
07/2007 Badan Permusyawaratan Desa 08/2007 Tata Cara Pencalonan, Pemilihan,
Pengangkatan, Pelantikan Dan Pemberhentian Kepala Desa
09/2007 Pedoman Pembentukan Dan Pengelolaan
Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) 10/2007 Pedoman Penyusunan Organisasi Dan Tata
Kerja Pemerintah Desa 02/2008 Perangkat Desa
03/2008 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2005-2010
04/2008 Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Desa
Dan Kelurahan 05/2008 Urusan Pemerintahan Yang Menjadi
Kewenangan Pemerintahan Kabupaten Bintan 06/2008 Pembentukan Organisasi Sekretariat Daerah
Dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bintan
07/2008 Pembentukan Organisasi Dinas Daerah
Kabupaten Bintan 08/2008 Pembentukan Organisasi Lembaga Teknis
Daerah Kabupaten Bintan 09/2008 Pembentukan Organisasi Satuan Polisi Pamong
Praja Kabupaten Bintan 10/2008 Pembentukan Organisasi Kecamatan Dan
Kelurahan Kabupaten Bintan
11/2008 Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten Bintan Kepada Pemerintahan Desa
12/2008 Pengelolaan Terumbu Karang 13/2008 Keuangan Desa
16/2008 Pengikatan Dana Kegiatan Tahun Jamak Unmtuk Pembangunan Kantor Bupati Bintan Dan Kantor Kantor Dewan Perwakilan Rakyat
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
8 | P a g e
Daerah Kabupaten Bintan 02/2009 Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten
Bintan Nomor 5 Tahun 2002 Tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Dasar Pada Puskesmas
03/2009 Perencanaan Pembangunan Desa 04/2009 Tata Cara Pelaporan Pertanggungjawaban
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa 05/2009 Pedoman Pembentukan, Penghapusan,
Penggabungan Desa Dan Perubahan Status
Desa Mejadi Kelurahan 06/2009 Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten
Bintan Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Kelurahan Toapaya Asri Di
Kecamatan Gunung Kijang, Desa De... 07/2009 Penyertaan Modal Dan Penambahan
Penyertaan Modal Pemerintah Kabupaten
Bintan Kepada Pt. Bank Riau, Dan Pd. Bank Perkreditan Rakyat Bintan Untuk Tah...
08/2009 Pedoman Pembentukan, Penghapusan Dan Penggabungan Kelurahan
09/2009 Pencabutan Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Riau Nomor 4 Tahun 1993 Tentang Pembentukan Perusahaan Daerah Air Minum
Kabupaten Kepulauan Riau Da... 10/2009 Retribusi Pelayanan Laboratorium Pengujian
Mutu Konstruksi 02/2010 Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup Daerah 03/2010 Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten
Bintan Nomor 2 Tahun 2007 Tentang
Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah Perseroan Terbatas (Pt) Bintan Int...
06/2010 Kewajiban Pandai Baca Tulis Al-Qur’an Dan Mendirikan Shalat Bagi Anak Usia Sekolah
Yang Beragama Islam 07/2010 Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah
Kabupaten Kepulauan Riau Nomor 5 Tahun
2005 Tentang Pembentukan Perusahan Daerah Bank Perkreditan Rakyat (Pd....
01/2011 Pajak Daerah 02/2011 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja
Daerah Tahun Anggaran 2011 03/2011 Retribusi Jasa Umum 04/2011 Retribusi Jasa Usaha
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
9 | P a g e
05/2011 Retribusi Perizinan Tertentu 06/2011 Pengawassan Dan Pengendalian Minuman
Beralkohol 07/2011 Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bintan
08/2011 Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Binta Nomor 7 Tahun 2008 Tentang
Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kabupaten Bintan
09/2011 Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten
Bintan Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Organisasi Lembaga Teknis
Daerah Kabupaten Bintan 11/2011 Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten
Bintan Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah
01/2012 Pengelolaan Pertambangan Mineral
02/2012 Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintan Tahun 2011 - 2031
03/2012 Pembentukan Organisasi Dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Kabupaten Bintan 04/2012 Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah
Tahun 2012
05/2012 Penambahan Penyertaan Modal Pemerintah Kabupaten Bintan Kepada PT. Bank Riau Kepri
Untuk Tahun 2011 S/D 2014 06/2012 Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 7
Tahun 2011 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bintan
07/2012 Pembentukan Organisasi Dan Tata Kerja
Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bintan 08/2012 Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran
09/2012 Penyelenggaraan Pendidikan 12/2012 Penyelenggaraan Kebersihan 13/2012 Penataan Dan Penggunaan Tanah Untuk
Keperluan Tempat Pemakaman 01/2013 Bangunan Gedung
02/2013 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Bintan Tahun
2010 - 2015 03/2013 Tentang Pertanggung Jawaban Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
10 | P a g e
Tahun Anggaran 2012 04/2013 Pembentukan Organisasi Sekretariat Daerah
Dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bintan
05/2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 8 Tahun
2008 Tentang Pembentukan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Bintan
06/2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Daerah Kabupaten Bintan Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah
07/2013 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Riau Nomor 5
Tahun 2005 Tentang Pembentukan Perusahan Daerah Bank Perkreditan Rakyat (PD.BPR) Bintan
08/2013 Tentang Penambahan Penyertaan Modal Pemerintah Kabupaten Bintan Kepada
Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bintan Untuk Tahun 2013 S/D 2017
09/2013 Tentang Perubahan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2013
10/2013 Tentang Retribusi Perpanjangan Izin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing 11/2013 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja
Daerah Tahun Anggaran 2014 01/2014 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak
02/2014 Tentang Pembentukan Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radio Bintan Fm
03/2014 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan
Terpadu Satu Pintu 04/2014 Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam
Pembangunan Di Daerah 05/2014 Tentang Pembentukan Badan Usaha Milik
Daerah Kepelabuhan PT. Bintan Karya Bahari 06/2014 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Rumah
Sakit Umum Daerah Kabupaten Bintan
07/2014 Tentang Hibah Dan Bantuan Sosial Dalam Bantuan Pembinaan Keagamaan
09/2014 Tentang Perubahan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2014
10/2014 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2015
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
11 | P a g e
Sejalan dengan hal tersebut, maka dirumuskanlah
permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan kewenangan antara Pemerintah
Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota berdasarkan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah?
2. Peraturan Daerah apa saja yang mengalami perubahan
pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah di Kabupaten
Bintan?
1.2 Dasar Hukum Kegiatan
Dasar Hukum dari kegiatan ini adalah sebagai berikut:
a. Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah.
1.3 Tujuan Kegiatan
Kegiatan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten
Bintan ini bermaksud untuk mengidentifikasi dan menghasilkan
informasi yang komprehensif, padat dan jelas mengenai potensi
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
12 | P a g e
dan permasalahan yang terjadi sebagai dampak dari
diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah di Kabupaten Bintan sebagai bahan
pertimbangan dalam melakukan revisi terhadap Peraturan Daerah
yang telah ada saat ini di Kabupaten Bintan dan sebagai pijakan
dalam penyusunan program legislasi daerah di Kabupaten Bintan.
Tujuan pelaksanaan kegiatan Kajian Evaluasi Peraturan
Daerah Kabupaten Bintan ini adalah:
a. Mengetahui dampak yang terjadi akibat diundangkannya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah terhadap peraturan daerah yang
berlaku saat ini di Kabupaten Bintan.
b. Menginventarisir peraturan daerah-peraturan daerah
yang ada saat ini di Kabupaten Bintan yang sudah tidak
sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah.
1.4 Ruang Lingkup Kegiatan
Ruangan lingkup kegiatan meliputi lingkup wilayah yaitu
Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau dan lingkup materi
atau substansi kegiatan sebagai berikut :
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
13 | P a g e
a. Melakukan kajian literatur dan kebijakan terkait untuk
mendapatkan pemahaman kebijakan pembangunan
jangka menengah dan jangka panjang, visi, misi tujuan
dan sasaran pembangunan Kabupaten Bintan dikaitkan
dengan produk hukum daerah.
b. Mengidentifikasi permasalahan yang timbul atas
diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah terhadap peraturan
daerah yang berlaku saat ini di Kabupaten Bintan.
c. Mengidentifikasi peraturan daerah yang ada saat ini di
Kabupaten Bintan yang tidak lagi sejalan dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah.
d. Mengidentifikasi rancangan peraturan daerah yang dapat
diusulkan pada Proglam Legislasi Daerah Kabupaten
Bintan Tahun 2016.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
14 | P a g e
BAB II
KAJIAN TEORITIS
2.1 Perkembangan Pemerintahan Daerah
2.1.1 Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Yang Berlaku Pada
Masa Orde Lama (1945–1965)
R.P Soeroso dalam tulisannya di waktu negara kesatuan
Republik Indonesia baru saja terbentuk kembali ditahun 1950,
berkata :
“Yang amat penting pula dengan segera diselenggarakan ialah pemerintahan di daerah-
daerah, oleh karena pemerintahan di daerah itu adalah sendi negara kesatuan. Sendi ini harus baik dan sentosa agar supaya negara kesatuan
mempunyai pemerintahan yang stabil. Daerah-daerah yang sebelum negara kesatuan terbentuk, sama
menunjukkan keinginannnya untuk mendapat otonomi yang teratur baik, harus dengan segera
diberi otonomi itu, agar supaya daerah-daerah itu dengan segera dapat merasakan bahwa daerah-daerah itu dalam ketatanegaraan tidak mengalami
kemunduran”1.
Seiring dengan tulisan di atas, maka tulisan Soepomo dalam
majalah yang sama, dimana ditulis antara lain :
“soal yang telah sejak zaman Hindia Belanda, bahkan semenjak zaman pra-kolonialisme Belanda sulit untuk
1 R.P Soeroso, Isi Negara Kesatuan, dalam majalah Mimbar Indonesia,
1950, tahun dan nomor penerbitan tidak diketahui, dalam Solly Lubis,
Perkembangan Garis Politik dan Per-Undang-Undangan Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung, 1983.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
15 | P a g e
mencari pemecahan yang tepat dan benar ialah soal sistem pemerintahan daerah di dalam negara
kesatuan Republik Indonesia”, “Maka negara Unitaris Republik Indonesia tidak akan bersifat sentralistis,
bahkan dasar susunan pemerintahan ialah sistem dekonsentrasi, yang memang tepat buat negara
kepulauan yang begitu besar seperti Indonesia dan yang tepat pula buat sistem masyarakat yang mempunyai beraneka warna suku-suku bangsa yang
masing-masing mempunyai sifat kedaerahan sendiri “2.
Struktur negara kesatuan yang berasas desentralisasi dapat
dipandang sebagai tatanan politik dan sebagai tatanan
administratif. Disebut tatanan politik, karena struktur yang
demikian merupakan wadah pengembangan demokrasi
pemerintahan di daerah yang intinya ialah penyelenggaraan
urusan rumah tangga daerah sesuai dengan aspirasi masyarakat
Indonesia3.
Dengan meminjam istilah dan konsepsi dari Rudolf Kjellen,
pemerintah di daerah dalam negara kesatuan yang ditata menurut
asas desentralisasi dan dekonsentrasi, adalah termasuk
kratopolitik sebagai salah satu subsistem politik4.
2 Soepomo, soal Pemerintah Daerah di dalam UUD Sementara dalam
majalah Mimbar Indonesia, 1950, Tahun ke-IV, No 43 Hal.4, dalam dalam Solly
Lubis, Perkembangan Garis Politik dan Per-Undang-Undangan Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung, 1983.
3 Solly Lubis, Perkembangan Garis Politik….hal. 87. 4 Wahyono SK, wawasan Nusantara Sebuah Konsepsi Geopolitik, dalam
majalah Departemen Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia Dharsmasena,no.100/April 1982, dan Wawasan Nusantara Yayasan Harapan Nusantara,hal 15-25, dalam Solly Lubis Perkembangan Garis Politik….hal. 87.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
16 | P a g e
Sebagaimana diketahui bahwa sebelum lahirnya Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974, banyak sekali Undang-Undang
yang dihasilkan dalam rangka Otonomi Daerah. Dan di dalam
kajian ini hanya memberikan gambaran tentang produk Undang-
Undang yang telah dilahirkan dalam rangka Otonomi Daerah.
Adapun Undang-Undang yang pernah ada yang mengatur tentang
Otonomi Daerah adalah sebagai berikut:
2.1.1.1 Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 1 Tahun
1945
Sebenarnya Undang-Undang ini hanya mengatur tentang
Kedudukan Komite Nasional Daerah, namun dapat dikatakan
pada hakikatnya mengatur tentang Pemerintahan Daerah
(desentralisasi dan Otonomi Daerah)5
Mengenai keterlibatan Komite Nasional Indonesia Daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah bersama dengan
Kepala Daerah ini, dapat dilihat dari kedudukan atau fungsi
Komite Nasional Indonesia Daerah sebagaimana dijelaskan pada
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang dibuat oleh
Kementerian Dalam Negeri :
“…Komite Nasional Indonesia Daerah itu hendaknya
menjadi badan Legislatif, dipimpin Kepala Daerah,
5 Krisna D Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah……..hal 32.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
17 | P a g e
sedangkan sebagian dari Komite Nasional Indonesia Daerah dipimpin pula oleh Kepala Daerah,
hendaknya menjalankan pemerintahan sehari-hari”.
Kedua ketentuan tersebut, secara nyata memperlihatkan
kelemahan prinsipal yang menimbulkan persoalan didalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yaitu menciptakan
dualisme kekuasaan eksekutif. Yang dikemudian hari kekeliruan
ini menjadi salah satu alasan dan pendorong munculnya Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 19486.
2.1.1.2 Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun
1948
Memperhatikan materi dari Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1948, yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1945, tampak adanya upaya untuk mewujudkan makna bunyi
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, hal itu terlihat dari
Penetapan yang ada dalam Undang-Undang tersebut, yaitu :
a. Landasan pelaksanaan desentralisasi yang rasional
sebagai sarana mempercepat kemajuan rakyat didaerah.
b. Diadakannya 3 (tiga) tingkatan daerah otonom, yaitu
Provinsi bagi Daerah Tingkat I, Kabupaten dan Kota Besar
6 Krisna D Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah……..hal 33.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
18 | P a g e
bagi Daerah Tingkat II dan Desa (Kota kecil, nagari, marga
dan sebagainya)bagi daerah Tingkat III.
c. Modernisasi dan mendinamisasi pemerintahan desa
dengan menjadikannya Daerah Tingkat III.
d. Menghilangkan dualisme pemerintahan di daerah.
e. Pembentukan daerah istimewa di daerah-daerah yang
mempunyai hak-hak usul dan di zaman sebelum Republik
Indonesia telah mempunyai pemerintahan sendiri.
Sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini, maka dibentuklah
Provinsi-Provinsi otonomi di Jawa, sedangkan Sumatera dan
Kalimantan atau wilayah Indonesia Timur berlaku Undang-
Undang Pemerintahan Daerah tersendiri7.
2.1.1.3 Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 1 Tahun
1957
Dengan penetapan Undang-Undang ini, menurut Amrah
Muslimin, menyatakan : “kita bertambah mendekati uniformitas,
mengenai peraturan dasar tentang Pemerintahan di daerah,
karena dengan mulai dilaksanakannya Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1957, Undang-Undang yang lama yaitu: Undang-
7 Undang-Undang yang diberlakukan adalah Undang-Undang Nomor 44
Tahun 1950, Undang-Undang ini jiwanya mendekati Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, hanya disesuaikan dengan struktur Negara Bagian.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
19 | P a g e
Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Negara
Indonesia Timur Nomor 44 Tahun 1950, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1956 (tentang Kotapraja Jakarta Raya), S.G.O.,
S.G.O.B. dan lain-lain berhenti berlaku. kecuali beberapa
ketentuan yang masih berjalan dalam masa peralihan”.8
Undang-Undang tentang pokok-pokok pemerintahan
daerah ini bermaksud untuk mengatur sebaik-baiknya soal-
soal yang semata-mata terletak dalam lapangan otonomi dan
medebewind di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia,
sesuai dengan maksud pasal 131 Undang-Undang Dasar
Sementara yang berarti juga akan merubah prinsip cara-cara
pemerintahan bentuk lama9.
2.1.1.4 Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 18
Tahun 1965
Dengan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945
berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka pula perubahan
itu terutama dimaksudkan untuk menghilangkan kelemahan
Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 1 Tahun 1957 dan
8 Amrah Muslimin, Pemerintahan Daerah Menurut Perundangan Terakhir
(Tahun 1957), Karya Budhi Darma, Jakarta, 1957, dikutip oleh Solly Lubis, Perkembangan Garis Politik Dan Per-Undang-Undangan Pemerintahan Daerah,
Alumni, Bandung, 1983. 9 Solly Lubis, Perkembangan Garis Politik Dan PerUndang-Undangan
Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung, 1983.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
20 | P a g e
kebutuhan penyesuaian susunan pemerintahan daerah dengan
susunan menurut Undang-Undang Dasar 194510.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, intinya menetapkan
bahwa dekonsentrasi dan desentralisasi berjalan dengan
menjunjung tinggi desentralisasi teritorial, dan dualisme
pemerintahan didaerah di hapuskan.
Melalui Undang-Undang ini, maka wilayah Indonesia dibagi
atas daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri (daerah otonom) dan tersusun dalam 3
tingkatan yakni :
1. Provinsi dan/atau Kota Raya sebagai Daerah Tingkat I.
2. Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Daerah
Tingkat II.
3. Kecamatan dan/atau Kota Praja sebagai Daerah
Tingkat III
Patut dicatat, bahwa semasa berlakunya Undang-Undang
ini, Pembentukan Daerah Tingkat III tidak pernah terlaksana,
walaupun sempat dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1965 Tentang Desa Praja11.
10 Krisna D Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah……..hal 36. 11 Krisna D Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah…..hal 38.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
21 | P a g e
2.2.1 Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Yang Berlaku
Pada Masa Orde Baru (1966-1998)
2.2.1.1 Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 5 Tahun
1974
Undang-Undang ini disebut "Undang-Undang tentang pokok-
pokok Pemerintahan di Daerah", oleh karena dalam Undang-Undang
ini diatur tentang Pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan
daerah otonom dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang
menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah yang berarti bahwa dalam
Undang-Undang ini diatur pokok-pokok penyelenggaraan urusan
pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, asas dekosentrasi dan
asas tugas pembantuan di daerah.
Undang-Undang ini merupakan koreksi dan penyesuaian
baru dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 sesuai dengan
pergantian Orde Lama ke Orde Baru. Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 lahir sesudah adanya pengarahan politis mengenai
Pemerintah Daerah dalam GBHN. Undang-Undang ini lahir
sebagai pelaksanaan Tap MPR No. IV Tahun 1973 dan juga di
bawah rangka UUD 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
mulai berlaku tanggal 23 Juli 1974 hingga 6 Mei 1999. Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974 dinilai sangat bernuansa sentralistis
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
22 | P a g e
dan kurang memperhatikan kedudukan DPRD sebagai badan
legislatif yang berdiri sendiri12.
Adapun latar belakang situasi dan nuansa pembentukan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah sebagai berikut13 :
1. Sedang giatnya sosialisasi pembangunan ekonomi dan
menomorduakan pembangunan politik. Pemerintah Orde
baru dengan trilogi pembangunan pada waktu itu hendak
menciptakan stabilitas nasional yang mantap.
2. Untuk itu diperlukan pemerintah yang stabil dari Pusat
sampai ke Daerah.
3. Selanjutnya dibuatlah berbagai Undang-Undang yang
sentralistis, mengurangi kegiatan Partai Politik dan
memandulkan peran DPR dan juga peran DPRD. Bahkan
di Daerah kedudukan Kepala Daerah sengaja dibentuk
dengan istilah penguasa tunggal dan menomorduakan
peran DPRD.
4. Memaksakan fusi Partai-partai dari sembilan Partai
menjadi 2 partai di samping dominasi Golkar.
12 B.N Marbun, DPRD & Otonomi Daerah Setelah Amandemen UUD 1945 &
UU Otonomi Daerah 2004, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005. 13 Ibid, hal….55.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
23 | P a g e
5. Pengukuhan dan pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI di segala
bidang dan sektor pemerintahan termasuk di bidang
legislatif dari Pusat sampai ke Daerah.
Berdasarkan penjelasan Undang-Undang tersebut
dapat diketahui bahwa desentralisasi dengan pemberian
otonomi kepada daerah adalah meningkatkan daya guna dan
hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama
dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat
melalui prinsip stabilitas politik dan kesatuan bangsa. Tujuan
itu mengandung arti bahwa pemberian otonomi kepada suatu
daerah perlu didukung oleh faktor-faktor yang bersifat teknis
administratif, yang secara minimal dapat menjamin kemampuan
daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri.
Hal di atas dapat dipahami karena Pasal 18 Undang-
Undang Dasar 1945 yang berkenaan dengan Pemerintah Daerah,
di dalamnya terkandung aspirasi politik yang pada hakikatnya
ingin menempatkan Pemerintah Daerah sebagai bagian penting
dari Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspirasi
politik sebagaimana yang dimaksudkan itu, kemudian
dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahmn 1974, di
mana asas desentralisasi dan pemberian otonomi kepada daerah
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
24 | P a g e
dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi, serta
memberi kemungkinan bagi tugas pembantuan (medebewind
atau co-administration)14
Sebagaimana telah diketahui, berbeda dengan kedua Undang-
Undang Pemerintahan di Daerah yang terdahulu (Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1957 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1965), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak menyebut
secara eksplisit sistem otonomi yang dianutnya. Kedua
Undang-Undang terdahulu dimaksud menyatakan diri
menganut sistem otonomi riil.
Mengenai hal ini, Koesoemahatmadja15 menganggap ada
persamaan antara sistem otonomi yang dianut oleh Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974 dengan yang dianut oleh
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, dan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1965, yang pada dasarnya merupakan sistem
otonomi formil, akan tetapi dinamakan oleh Pemerintah sistem
otonomi riil.
14 Krisna D Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah…..hal 40. 15 Koesoemahatmadja, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah Di
Indonesia, Bina Cipta, Bandung,1979, dikutip oleh Krisna D Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah…..hal 42.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
25 | P a g e
Namun, Sujamto16 meragukan pandangan
Koesoemahatmadja tersebut di atas dengan mengatakan:
"... Sepanjang mengenai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1965 barangkali anggapan tersebut mengandung kebenaran (meskipun tidak seluruhnya)".
Sehubungan dengan prinsip otonomi tersebut di atas,
terdapat beberapa Otonomi Daerah. Hal itu dapat dilihat pasal
sebagai berikut:
a. Pasal 4 ayat (2) yang berbunyi:"pembentukan, nama,
batas, ibukota, hak dan wewenang urusan serta modal
pangkal daerah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
ditetapkan dengan Undang-Undang".
b. Pasal 5, yaitu mengenai kemungkinan penghapusan
sesuatu daerah.
c. Pasal 7 yang berbunyi :"Daerah berhak, berwenang dan
berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangga
sendiri sesuai dengan peraturan per-Undang-Undangan
yang berlaku".
16 Sujamto, Otonomi Daerah Yang Nyata Dan Bertanggungjawab,Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1984, dikutip oleh Krisna D Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah……hal 42.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
26 | P a g e
d. Pasal 8 ayat (10) yang berbunyi :"Penambahan
penyerahan urusan Pemerintah kepada Daerah
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah".
e. Pasal 9 yang berbunyi :"Sesuatu urusan Pemerintah
yang telah diserahkan kepada Daerah dapat ditarik
kembali dengan peraturan per-Undang-Undangan yang
setingkat" (maksudnya ialah setingkat dengan
penyerahannya).
f. Pasal 10 yang mengharuskan dibentuknya Dewan
Perimbangan Otonomi Daerah yang bertugas untuk
"memonitor" perkembangan dan dinamika Otonomi
Daerah sebagai bahan pertimbangan kepada Presiden,
kiranya jelas merupakan perlengkapan yang tidak
diperlukan seandainya Undang-Undang ini menganut
sistem rumah tangga formil, meskipun tidak pula dapat
dikatakan bahwa Undang-Undang ini menganut sistem
rumah tangga materiil.
g. Pasal 39 yang mengatur pembatasan-pembatasan
terhadap ruang lingkup materi yang dapat diatur oleh
Peraturan Daerah, apabila dibandingkan dengan Pasal
50 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 dan Pasal
38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, maka jelas
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
27 | P a g e
bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 lebih
dekat kepada sistem otonomi materiil daripada kedua
Undang-Undang tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
menganut sistem otonomi materiil. Pendapat itu diperkuat oleh
praktek pembentukan Dinas Daerah, melalui Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 363 Tahun 1977 tentang Pedoman
Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah,
yang mana dalam Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa: "Yang
dimaksud dengan Dinas Dati I dan Dinas Dati II. yang dibentuk
berdasarkan terjadinya penyerahan sebagian urusan Pusat
kepada Daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah"
Ketentuan tadi merupakan pelaksanaan yang konsekuen
kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang dalam
Penjelasan Umumnya17, antara lain menyatakan bahwa:
"Dinas Daerah adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah. Urusan-urusan yang diselenggarakan oleh
Dinas-Dinas Daerah adalah urusan-urusan yang telah menjadi urusan rumah tangga daerah.
Pembentukan Dinas Daerah untuk melaksanakan urusan-urusan yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat dan belum diserahkan kepada Daerah dengan
suatu Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah menjadi urusan rumah tangganya, tidak
dibenarkan ".
17 Krisna D Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah…….hal 44.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
28 | P a g e
Dalam perkembangannya, setelah Undang-Undang ini
berjalan selama 18 (delapan belas) tahun, pemerintah mulai
mempertimbangkan pendapat para ahli sebagaimana telah
dikemukakan dimuka, yang pada intinya menegaskan bahvva
Daerah Tingkat II sudah seharusnya merupakan daerah otonom
sepenuhnya. Namun demikian, pelaksanaan Otonomi Daerah
sebagaimana dimaksud tadi, belumlah diterapkan secara
serentak dan menyeluruh. Pemerintah masih memandang perlu
dilakukan uji coba terdahulu, sebelum benar-benar daerah
diberikan otonomi sepenuhnya18.
18 Untuk maksud tersebut, pada tahun 1992 dikeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1992 tentang Titik Berat Penyelenggaraan
Otonomi Daerah Pada Daerah Tingkat II, yang merupakan peraturar,
pelaksana dari Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah tersebut, dilakukan
uji coba titik berat Otonomi Daerah pada Daerah Tingkat II, sebagaimana di-
atur dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 105 Tahun 1994, yang rnenetapkan 26 (dua puluh enam) Daerah Tingkat (I sebagai proyek
percontohan (pilot project) Otonomi Daerah. Untuk mendukung kebijakan
tersebut, dike!uarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1995 yang prinsipnya menyerahkan 19 (sembilan be!as) urusan departemen teknis
(kecuali departemen agama dan penerangan) kepada 26 (dua puluh enam)
Daerah Tingkat II Percontohan.
Proyek percontohan tersebut di atas dilakukan selama 2 (dua) tahun,artinya, pada tahun 1997 harus dilakukan evaluasi terhadap 26 (dua
puluh enam) Daerah Tingkat II Percontohan, untuk Menentukan apakah perlu
di!akukan penambahan urusan pemerintahan pada Daerah Tingkat II Percontohan atau penambahan Daerah Tingkat II baru sebagai proyek
percontohan. Dari hasil evaluasi yang dilakukan, Pemerintah menilai ada
kecenderungan bahvva kehendak baik (good will) Pemerintah Pusat belum diikuti dengan. tindakan nyata. Beberapa peraturan perundang-undangan
dimaksud belum dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga hampir tidak
ada perubahan yang berarti dalam kinerja penye!enggaraan pemerintahan di Daerah Tingkat II Percontohan tersebut.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
29 | P a g e
2.2.2 Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Yang Berlaku Pada
Masa Reformasi (1999-2004)
2.2.2.1 Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun
1999
Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang
disusul dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
adalah merupakan koreksi total atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 dalam upaya memberikan otonomi yang cukup luas
kepada daerah sesuai dengan cita-cita UUD 1945. Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 mulai berlaku 7 Mei 1999 lebih
terkenal dengan nama Undang-Undang Otonomi Daerah 1999,
lahir sebagai pelaksanaan Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/
1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan juga di bawah
rangka UUD 1945. Seperti proses lahirnya beberapa Undang-
Undang Tentang Pemerintahan Daerah sebelumnya, juga Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini terkesan merupakan pergeseran
pendulum (bandul) dari satu ekstrim yang satu ke ekstrim yang
lainnya, sesuai dengan kondisi politik saat itu19.
Berbeda dengan konsep otonomi daerah menurut menurut
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
19 B.N Marbun, DPRD & Otonomi Daerah Setelah Amandemen UUD 1945 &
UU Otonomi Daerah 2004, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
30 | P a g e
Pemerintahan di Daerah, yaitu konsep otonomi daerah yang nyata
dan bertanggung jawab, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah di samping menghendaki otonomi
yang nyata dan bertanggung jawab, juga menghendaki suatu
otonomi yang luas. Di samping itu penyelenggaraan otonomi
daerah harus pula didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi,
peran serta, musyawarah, pemerataan dan keadilan, serta
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Pemberian
otonomi yang luas ini di samping memang telah sesuai dengan
jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945, juga diharapkan akan
dapat mencegah timbulnya keinginan daerah yang menghendaki
dibentuknya Negara Federasi20.
Tujuan Makro dibentuknya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, menurut Bachsan
Mustafa21 seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, yaitu :
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia
2. Memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan Bangsa, dan
20 Rozali Abdulllah, Pelaksanaan Otonomi Luas & Isu Federalisme
Sebagai Suatu Alternatif , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, Hlm. 18
Dalam Ramlan Zas, Tesis, Peralihan Aset Pemerintah Pusat Kepada Pemerintah Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah di Kota Pekanbaru,
Pekanbaru, 2004. 21 Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia,
PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
31 | P a g e
4. Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia.
Tujuan Mikro dibentuknya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, adalah memberikan
keleluasaan kepada Pemerintah Daerah dalam batas-batas
kewenangannya untuk mewujudkan tujuan makro, serta
mengembangkan otonomi dagrah secara luas, nyata dan
bertanggung jawab kepada daerah-daerah Kabupaten, Kota dan
Desa, dalam upaya pemberdayaan seluruh potensi masyarakat,
meliputi pemanfaatan Ruang Daratan, Ruang Lautan dan Ruang
Udara untuk tujuan kesejahteraan rakyat daerah22.
Adapun latar belakang situasi dan nuansa pembentukan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah sebagai berikut23 :
1. Di tengah-tengah maraknya arus reformasi setelah
tumbangnya rezim Suharto, menuntut pelaksanaan
demokrasi dari Pusat sampai Daerah. Untuk itu maka
DPR dan DPRD harus berfungsi sebagai wakil rakyat dan
menjalankan kontrol dan pengawasan terhadap pihak
eksekutif.
2. Merealisasi tuntutan di atas, maka dibentuklah Undang-
Undang yang intinya merombak paradigma pembangunan
22 Ibid, hal.127 23 Ibid,B.N Marbun, DPRD & Otonomi Daerah …….hal.56.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
32 | P a g e
ekonomi ke arah pembangunan yang serasi di semua
bidang termasuk peran legislatif dan yudikatif.
3. Sistem kenegaraan yang selama Orde Baru lebih bertitik
berat pada peran eksekutif (executive heavy) yang
dominan, kini bergeser ke arah pemberdayaan bidang
legislatif secara proporsional sehingga dapat mengontrol
dan mengawasi pihak eksekutif dari Pusat sampai Daerah
4. Mengakhiri dominasi Presiden dan Kepala Daerah dalam
menjalankan roda pemerintahan. Hal itu, terutama di
Daerah, dibuatlah Undang-Undang yang materinya
membatasi kewenangan Kepala Daerah dan
memantapkan kedudukan dan kewenangan DPRD sebagai
badan perwakilan rakyat yang memiliki kekuatan
seimbang dengan Kepala Daerah atau bahkan terkesan
penjungkirbalikan rumusan Pasal 13 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974. Ada kesan peran legislatif lebih
dominan berhadapan dengan peran eksekutif (legislative
heavy).
5. Kepala Daerah bertanggungjawab kepada DPRD.
6. DPRD memilih dan menetapkan Kepala Daerah,
sedangkan Presiden hanya mengesahkan sebagaimana
sarana administratif.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
33 | P a g e
7. DPRD dapat memberhentikan Kepala Daerah melalui
persyaratan per-Undang-Undangan yang ada.
Berbeda pula halnya dengan Bachsan Mustafa24, Ia
memandang ada beberapa hal yang menyebabkan lahirnya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagai berikut :
1. Bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), menurut Undang-Undang Dasar 1945
memberikan keleluasaan kepada daerah untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah.
2. Bahwa dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah dan
dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam
maupun di luar negeri, serta tantangan persaingan global,
dipandang perlu menyelenggarakan Otonomi Daerah
dengan memberikan kewewenangan yang luas, nyata dan
bertanggung jawab ke pada daerah secara proporsional,
yang diwujudkan dengan pengaturan pembagian, dan
pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan
keuangan Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsip-
prinsip demokrasi, peran-serta masyarakat,
pemerataan, clan keadilan, serta potensi dan
24 Ibid, Sistem Hukum Administrasi…….hal.126.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
34 | P a g e
keanekaragaman daerah, yang dilaksanakan dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
3. Bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1965 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-
Undang Nomor 5 Tahuh 1979, tentang Pemerintahan
Desa tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan
Otonomi Daerah dan perlunya mengakui serta
menghormati hak asal-usul daerah yang bersifat
istimewa sehingga kedua undang-undang itu perlu
diganti.
Beberapa perubahan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 lebih banyak bersifat mendasar, sehingga
memperlihatkan paradigma baru tentang pemerintahan daerah.
Perubahan mendasar dimaksud menyangkut :
1. Asas-asas penyelenggaraan pemerintahan (di) daerah;
2. Pembagian wilayah;
3. Pembagian kewenangan antara pusat, daerah provinsi dan
daerah Kabupaten/Kota;
4. Sistem Otonomi Daerah;
5. Susunan pemerintahan daerah;
6. Keuangan daerah;
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
35 | P a g e
7. Mekanisme pencalonan, pemilihan, pengangkatan,
pertanggungjawaban, pemberhentian kepala daerah;
8. Mekanisme pembinaan dan pengawasan;
9. Prosedur penyusunan peraturan daerah dan keputusan
kepala daerah;
10. Keuangan daerah serta penyatuan tentang pemerintahan
desa dan kelurahan dengan pemerintahan daerah.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974, Otonomi
Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk
mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri sesuai dengan
peraturan per-Undang-Undangan yang berlaku (Pasal 1 huruf c
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974). Sistem otonomi yang
dianut oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 ini ialah
otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Semula sistem ini
dianut untuk mengganti sistem otonomi riil dan seluas-luasnya
yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965.
Sebagaimana telah dikemukakakan pada bagian sebelumnya,
menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974, tidak dianutnya istilah seluas-luasnya didasarkan pada
pengalaman selama ini bahwa istilah tersebut ternyata dapat
menimbulkan kecenderungan pemikiran yang membahayakan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. dan tidak serasi
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
36 | P a g e
dengan maksud dan, tujuan pemberian otonomi kepada daerah
sesuai prinsip-prinsip yang digariskan dalam Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN).
Kemudian, dinyatakan bahwa Otonomi Daerah itu lebih
merupakan kewajiban daripada hak, yaitu kewajiban daerah
untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana
untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab25.
Jika pernyataan dibandingkan dengan Penjelasan Umum
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa
penyelenggaraan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi
luas, dalam arti pengakuan kewenangan pemerintahan yang
secara nyata dilaksanakan oleh daerah. Pelaksanaan Otonomi
Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Kabupaten dan
Kota, sedangkan Otonomi Daerah propinsi merupakan otonomi
yang terbatas, yang meliputi kewenangan-kewenangan yang
tidak atau belum dilaksanakan daerah otonom Kabupaten dan
Kota serta kebijaksanaan strategis regional.
Jika diamati, sistem otonomi yang dianut oleh Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut lebih mendekati makna
dan hakikat otonomi sebagaimana pesan, yang termaktub dalam
25 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
37 | P a g e
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Pesan konstitusional dari
Pasal 18 itu adalah bahwa penyelenggaraan pemerintahan (di)
daerah harus dilakukan berdasarkan asas desentralisasi dan
tidak mengatur mengenai pemerintahan wilayah yang
merupakan manifestasi dari asas dekonsentrasi26.
Jika prinsip otonomi yang dianut oleh Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 dikaitkan dengan sistem otonomi (sistem
rumah tangga daerah), maka tampak bahwa Undang-Undang
tersebut menganut sistem rumah tangga material dan sistem
rumah tangga riil/nyata. Sistem rumah tangga material tampak
dari adanya pembagian penanganan urusan pemerintahan
antara Pemerintah Pusat, propinsi dan Kabupaten/Kota.
sebagaimana diatur dalam Pasal 7, Pasal 9 dan Pasal 11
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pernerintah dan Keuangan Propinsi sebagai Daerah
Otonom (selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
2000). Sementara sistem rurnah tangga riil tampak dari adanya
kemungkinan untuk pembentukan, pemekaran, penggabungan
dan penghapusan daerah maupun adanya ketentuan yang
26 Krisna D Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah……..hal 48.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
38 | P a g e
memungkinkan daerah propinsi menjalankan kewenangan yang
tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah Kabupaten/Kota.
2.2.2.2 Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 32
Tahun 2004
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai
dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, pemerintahan
daerah yang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (medebewind),
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan
peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan, dan kekhasaan suatu daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia27.
Efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan
daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-
aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan atau
pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah,
peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan
27 HAW Widjaja, Penyelenggaran Otonomi Di Indonesia Dalam Rangka
Sosialisasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Rajawali Press, Jakarta, 2005.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
39 | P a g e
kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan
pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan Otonomi Daerah
dalam kesatuan sistem penyelenggaraan Pemerintahan Negara28.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah
merupakan koreksi total atas kelemahan yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Bersamaan dengan itu
disusul dengan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004, Tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dilengkapi dengan sistem
pemilihan langsung kepala daerah29.
2.2.2.3 Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23
Tahun 2014
Beberapa ketentuan yang bersifat prinsip yang diatur
didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 antara lain
adalah sebgai berikut:
2.2.2.3.1 Hubungan Pemerintah Pusat dan daerah
Hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah dapat dirunut
dari alinea ketiga dan keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Alinea ketiga memuat
28 Ibid, hlm 37. 29 B.N Marbun, DPRD & Otonomi Daerah Setelah Amandemen UUD 1945 &
UU Otonomi Daerah 2004, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
40 | P a g e
pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sedangkan alinea
keempat memuat pernyataan bahwa setelah menyatakan
kemerdekaan, yang pertama kali dibentuk adalah Pemerintah
Negara Indonesia yaitu Pemerintah Nasional yang bertanggung
jawab mengatur dan mengurus bangsa Indonesia. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa tugas Pemerintah Negara Indonesia adalah
melindungi seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa serta ikut memelihara ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Selanjutnya Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia
adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi
logis sebagai Negara kesatuan adalah dibentuknya pemerintah
Negara Indonesia sebagai pemerintah nasional untuk pertama
kalinya dan kemudian pemerintah nasional tersebutlah yang
kemudian membentuk Daerah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk
mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
41 | P a g e
Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan dan diberikan otonomi yang
seluas-luasnya.
Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan
peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas,
dalam lingkungan strategis globalisasi, Daerah diharapkan
mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan
serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah
dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara
kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau
pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah.
Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada
Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah akan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat. Untuk itu
Pemerintahan Daerah pada negara kesatuan merupakan satu
kesatuan dengan Pemerintahan Nasional.
Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan
oleh Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
42 | P a g e
Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan
kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas Daerah
untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang
pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional
secara keseluruhan.
Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai otonomi berwenang mengatur dan mengurus
Daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya
sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional
dan kepentingan umum. Dalam rangka memberikan ruang yang
lebih luas kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus
kehidupan warganya maka Pemerintah Pusat dalam membentuk
kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya
Daerah ketika membentuk kebijakan Daerah baik dalam bentuk
Perda maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan
kepentingan nasional. Dengan demikian akan tercipta
keseimbangan antara kepentingan nasional yang sinergis dan
tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.
Pada hakikatnya Otonomi Daerah diberikan kepada rakyat
sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang diberi
kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
43 | P a g e
Pemerintahan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada
Daerah dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh kepala daerah
dan DPRD dengan dibantu oleh Perangkat Daerah. Urusan
Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berasal dari kekuasaan
pemerintahan yang ada ditangan Presiden.
Konsekuensi dari negara kesatuan adalah tanggung jawab
akhir pemerintahan ada ditangan Presiden. Agar pelaksanaan
Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berjalan sesuai
dengan kebijakan nasional maka Presiden berkewajiban untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
2.2.2.3.2 Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan di pusat
yang terdiri atas lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif,
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilaksanakan oleh DPRD
dan kepala daerah. DPRD dan kepala daerah berkedudukan
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang diberi
mandat rakyat untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang
diserahkan kepada Daerah. Dengan demikian maka DPRD dan
kepala daerah berkedudukan sebagai mitra sejajar yang
mempunyai fungsi yang berbeda. DPRD mempunyai fungsi
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
44 | P a g e
pembentukan peraturan daerah, anggaran dan pengawasan,
sedangkan kepala daerah melaksanakan fungsi pelaksanaan atas
Perda dan kebijakan Daerah. Dalam mengatur dan mengurus
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tersebut,
DPRD dan kepala daerah dibantu oleh Perangkat Daerah.
Sebagai konsekuensi posisi DPRD sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah maka susunan, kedudukan,
peran, hak, kewajiban, tugas, wewenang, dan fungsi DPRD tidak
diatur dalam beberapa undang-undang namun cukup diatur
dalam Undang-Undang ini secara keseluruhan guna memudahkan
pengaturannya secara terintegrasi.
2.2.2.3.3 Urusan Pemerintahan
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat Urusan
Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan absolut
dan ada urusan pemerintahan konkuren. Urusan pemerintahan
konkuren terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan
Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat,
Daerah provinsi, dan Daerah kabupaten/kota. Urusan
Pemerintahan Wajib dibagi dalam Urusan Pemerintahan Wajib
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
45 | P a g e
yang terkait Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Wajib
yang tidak terkait Pelayanan Dasar. Untuk Urusan Pemerintahan
Wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan Standar Pelayanan
Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional
masyarakat.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah
provinsi dengan Daerah kabupaten/kota walaupun Urusan
Pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak dari skala atau
ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut. Walaupun Daerah
provinsi dan Daerah kabupaten/kota mempunyai Urusan
Pemerintahan masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun
tetap akan terdapat hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah
provinsi dan Daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaannya
dengan mengacu pada NSPK yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.
Di samping urusan pemerintahan absolut dan urusan
pemerintahan konkuren, dalam Undang-Undang ini dikenal
adanya urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan
umum menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala
pemerintahan yang terkait pemeliharaan ideologi Pancasila,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Bhinneka Tunggal Ika, menjamin hubungan yang serasi
berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan sebagai pilar
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
46 | P a g e
kehidupan berbangsa dan bernegara serta memfasilitasi
kehidupan demokratis. Presiden dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan umum di Daerah melimpahkan kepada gubernur
sebagai kepala pemerintahan provinsi dan kepada bupati/wali
kota sebagai kepala pemerintahan kabupaten/kota.
2.2.2.3.4 Keuangan Daerah
Penyerahan sumber keuangan Daerah baik berupa pajak
daerah dan retribusi daerah maupun berupa dana perimbangan
merupakan konsekuensi dari adanya penyerahan Urusan
Pemerintahan kepada Daerah yang diselenggarakan berdasarkan
Asas Otonomi. Untuk menjalankan Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangannya, Daerah harus mempunyai sumber
keuangan agar Daerah tersebut mampu memberikan pelayanan
dan kesejahteraan kepada rakyat di Daerahnya. Pemberian
sumber keuangan kepada Daerah harus seimbang dengan beban
atau Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah.
Keseimbangan sumber keuangan ini merupakan jaminan
terselenggaranya Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada
Daerah. Ketika Daerah mempunyai kemampuan keuangan yang
kurang mencukupi untuk membiayai Urusan Pemerintahan dan
khususnya Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
47 | P a g e
Dasar, Pemerintah Pusat dapat menggunakan instrumen DAK
untuk membantu Daerah sesuai dengan prioritas nasional yang
ingin dicapai.
2.2.2.3.5 Peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di
Daerah
Mengingat kondisi geografis yang sangat luas, maka untuk
efektifitas dan efisiensi pembinaan dan pengawasan atas
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah kabupaten/kota, Presiden sebagai penanggung jawab
akhir pemerintahan secara keseluruhan melimpahkan
kewenangannya kepada gubernur untuk bertindak atas nama
Pemerintah Pusat untuk melakukan pembinaan dan pengawasan
kepada Daerah kabupaten/kota agar melaksanakan otonominya
dalam koridor NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Untuk efektifitas pelaksanaan tugasnya selaku wakil Pemerintah
Pusat, gubernur dibantu oleh perangkat gubernur sebagai Wakil
Pemerintah Pusat. Karena perannya sebagai Wakil Pemerintah
Pusat maka hubungan gubernur dengan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota bersifat hierarkis.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
48 | P a g e
2.2 Asas Pemerintahan Daerah
2.2.1 Asas Desentralisasi
Definisi desentralisasi menurut beberapa pakar berbeda
redaksionalnya, tetapi pada dasarnya mempunyai arti yang sama.
Menurut Joeniarto30, desentralisasi adalah memberikan wewenang
dari pemerintah negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur
dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya
sendiri. Amrah Muslimin31, mengartikan desentralisasi adalah
pelimpahan wewenang pada badan-badan dan golongan-golongan
dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah
tangganya sendiri. Irawan Soejito32, mengartikan desentralisasi
adalah pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pihak lain
untuk dilaksanakan.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Pasal 1
butir b, desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan
dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah
menjadi urusan rumah tangganya. Dalam Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 Pasal I butir e ditegaskan, desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada
30 Joeniarto, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Bina Aksara, Jakarta, 1992,hlm. 52. 31 Amrah Muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 5. 32 Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Rineka Cipta,
Jakarta, 1990, hlm. 29.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
49 | P a g e
daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal I angka 7,
mengartikan desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dilihat dari pelaksanaan fungsi pemerintahan, desentralisasi
atau otonomi itu menunjukkan33: (I) Satuan-satuan desentralisasi
(otonomi) lebih fleksibel dalam memenuhi berbagai perubahan
yang terjadi dengan cepat; (2) Satuan-satuan desentralisasi dapat
melaksanakan tugas" dengan efektif dan lebih efisien; (3) Satuan-
satuan desentralisasi lebih inovatif; (4) Satuan-satuan
desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang lebih
tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.
Meskipun penilaian terhadap desentralisasi memperlihatkan
catatan-catatan keberhasilan, namun pemerintah masih berhati-
hati dalam bergerak ke arah desentralisasi yang lebih luas atau ke
arah pendelegasian pelaksanaan pembangunan. Data-data
memang tidak memungkinkan penilaian yang pasif terhadap
dampak desentralisasi, namun konsisi-kondisi yang memengaruhi
33 David Osborne-Ted Goebler, Reinventing Government, New York: A Plume Book, 1993,
hlm. 252 dst.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
50 | P a g e
pelaksanaan program-program desentralisasi dapat diketahui
dengan pasti. Kondisi-kondisi tersebut adalah: (i) sejumlah para
pejabat pusat dan birokrasi pusat mendukung desentralisasi dan
organisasi-organisasi yang diserahi tanggungjawab; (ii)
sejauhmana perilaku, sikap dan budaya yang dominan
mendukung atau kondusif terhadap desentralisasi pembuatan
keputusan; (iii) sejauhmana kebijaksanaan-kebijaksanaan dan
program-program dirancang dan dilaksanakan secara tepat untuk
meningkatkan desentralisasi pembuatan keputusan dan
manajemen; (iv) sejauhmana sumber-sumber daya keuangan,
manusia dan fisik tersedia bagi organisasi-organisasi yang diserahi
tanggung jawab.
Pengalaman dibanyak negara berkembang menunjukkan
bahwa desentralisasi bukan merupakan langkah yang cepat untuk
mengatasi masalah-masalah pemerintahan, politik, dan ekonomi.
Penerapannya tidak secara otomatis mengatasi kekurangan tenaga
kerja atau personil yang terampil. Desentralisasi tidak menjamin
bahwa jumlah sumber yang besar dapat dihasilkan di tingkat
daerah. Satu bentuk desentralisasi mungkin akan berhasil di
sebuah negara, sedangkan di negara-negara lain desentralisasi
tidak berhasil. Namun demikian, kekurangan-kekurangan yang
dibuktikan oleh pengalaman sejumlah negara berkembang tidak
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
51 | P a g e
berarti bahwa usaha-usaha itu harus dihentikan. Desentralisasi
telah menciptakan hasil-hasil positif. Pertama, akses masyarakat
yang tinggal di daerah pedesaan (yang sebelumnya terbagikan) ke
dalam sumber-sumber pemerintah pusat telah meningkat. Kedua,
desentralisasi telah meningkatkan partisipasi dalam sejumlah
bidang. Dalam hal ini, desentralisasi memberikan tekanan pada
lembaga-lembaga pemerintah pusat. Akhirnya berbagai sumber
nasional pun tersedia untuk pembangunan daerah.
Ketiga, di sejumlah negara peningkatan terjadi dalam
kapasitas administrasi dan teknik pemerintah/organisasi daerah,
meskipun peningkatan ini berjalan lambat. Keempat, organisasi-
organisasi baru telah dibentuk di tingkat regional dan lokal untuk
rencanakan dan melaksanakan pembangunan. Semua badan atau
organisasi ini telah memberikan dampak yang cukup positif.
Kelima., perencanaan di tingkat regional dan lokal semakin
ditekankan sebagai satu unsur penting dari strategi pembangunan
nasional dengan memasukkan perspektif-perspektif dan
kepentingan baru ke dalam proses pembuatan keputusan34.
34
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara…. Op.Cit, hlm. 310.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
52 | P a g e
2.2.2 Asas Dekonsentrasi
Amrah Muslimin35 mengartikan, dekonsentrasi ialah
pelimpahan sebagian dari kewenangan pemerintah pusat pada
alat-alat pemerintah pusat yang ada di daerah. Irawan Soejito
mengartikan, dekonsentrasi adalah pelimpahan kewenangan
penguasa kepada pejabat bawahannya sendiri36. Menurut
Joeniarto, dekonsentrasi adalah pemberian wewenang oleh
pemerintah pusat (atau pemerintahan atasannya) kepada alat-alat
perlengkapan bawahan untuk menyelenggarakan urusan-
urusannya yang terdapat di daerah37.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Pasal I
huruf (f), dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari
pemerintah atau kepala wilayah atau Kepala Instansi Vertikal
tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah. Asas
dekonsentrasi di dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 dipandang bukan sekadar komplemen atau pelengkap
terhadap asas desentralisasi, akan tetapi sama pentingnya dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dari penegasan ini
semakin memperkuat penilaian masyarakat bahwa spirit yang
dibangun oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah
35
Amrah Muslimin, Op, Cit, hlm. 4. 36
Irawan Soejito, Op.Cit, hlm. 34. 37
Joeniarto, Op.Cit, hlm. 10.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
53 | P a g e
sentralistik. Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Pasal I huruf (f) ditegaskan, dekonsentrasi adalah pelimpahan
wewenang dari pemerintah kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah. Pelaksanaan
asas dekonsentrasi dalam kedudukannya sebagai Wilayah
Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah
tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah. Penegasan ini memperlihatkan bahwa spirit yang
dibangun oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah
desentralistik sehingga di daerah kabupaten/kota tidak ada
urusan yang sifatnya dekonsentrasi. Melalui Undang-Undang ini
instansi vertikal di daerah kabupaten/kota dihapuskan. Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal I angka 8 mengartikan,
dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Asas dekonsentrasi dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu: (I)
dari segi wewenang: asas ini memberikan/melimpahkan wewenang
dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat di daerah untuk
menyelenggarakan tugas-tugas pemerintah pusat yang ada di
daerah, termasuk juga pelimpahan wewenang pejabat-pejabat
atasan kepada tingkat di bawahnya; (2) dari segi pembentuk
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
54 | P a g e
pemerintah: berarti membentuk pemerintah lokal administrasi di
daerah, untuk diberi tugas menyelenggarakan urusan
pemerintahan pusat yang ada di daerah; (3) dari segi pembagian
wilayah: asas ini membagi wilayah negara menjadi daerah-daerah
pemerintah lokal administratif atau akan membagi wilayah negara
menjadi wilayah-wilayah administratif38.
2.2.3. Asas Tugas Pembantuan
Di samping pengertian otonomi, menurut Amrah Muslimin,
kita dapati juga istilah yang selalu bergandengan dengannya, yaitu
"medebewind', yang mengandung arti kewenangan pemerintah
daerah menjalankan sendiri aturan-aturan dari pemerintah pusat
atau pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatnya. Kewenangan
ini mengenai tugas melaksanakan sendiri (zelfuitvoering) atas
biaya dan tanggung jawab terakhir dari pemerintah tingkat atasan
yang bersangkutan39.
Menurut Joeniarto, di samping pemerintah lokal yang
berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, kepadanya
dapat pula diberi tugas-tugas pembantuan (tugas medebewind,
sertatantra). Tugas pembantuan ialah tugas ikut melaksanakan
urusan-urusan pemerintah pusat atau pemerintah lokal yang
38
Ni’matul Huda, Hukum Tata....Op.Cit, hlm. 313. 39
Amrah Muslimin, Aspek..., Op.Cit, hlm. 8.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
55 | P a g e
berhak mengatur dan mengurus rumah tangga tingkat atasannya.
Beda tugas pembantuan dengan tugas rumah tangga sendiri, di
sini urusannya bukan menjadi urusan rumah tangga sendiri,
tetapi merupakan urusan pemerintah pusat atau pemerintah
atasannya. Kepada pemerintah lokal yang bersangkutan diminta
untuk ikut membantu penyelenggaraannya saja. Oleh karena itu,
dalam tugas pembantuan tersebut pemerintah lokal yang
bersangkutan, wewenangnya mengatur dan mengurus, terbatas
kepada penyelenggaraan saja40.
Tugas dan kewajiban daerah selain berasal dari tugas yang
timbul karena inisiatif sendiri dari alat perlengkapan daerah,
dapat juga diperintahkan oleh penguasa yang lebih atas, yang
disebut "de opgedragen taak'', atau tugas yang diperintahkan,
yang menurut ketentuan dalam Pasal I huruf d jo Pasal 12 UU
Nomor 5 Tahun 1974 disebut tugas pembantuan atau yang telah
secara populer disebut orang serta-tantra, medebewind atau
selfgovernment, yakni tugas untuk turut serta dalam
melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada
daerah oleh pemerintah atau oleh pemerintah daerah tingkat
atasnya, dengan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan
kepada yang menugaskannya. Tugas pembantuan itu dapat
40
Joeniarto, Op.Cit, hlm. 18.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
56 | P a g e
berupa tindakan mengatur (tugas legislatif) atau dapat pula
berupa tugas eksekutif (beshiken)41.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Pasal I
huruf (d), yang dimaksud tugas pembantuan adalah tugas untuk
turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang
ditugaskan kepada pemerintah desa oleh pemerintah atau
pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. Di
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pasal I butir (g),
dinyatakan bahwa tugas pembantuan adalah penugasan dari
Pemerintah kepada Daerah dan Desa dan dari Daerah ke Desa
untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan
sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan
kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan
mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan. Di
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal I butir 9,
dinyatakan tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah
kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
41
Irawan Soejito, Op.Cit, hlm. 116-117.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
57 | P a g e
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan Kajian
Pada dasarnya dalam pelaksanaan pekerjaan Kajian
Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015 ini,
secara teoritis dapat digunakan beberapa pendekatan dengan
memadukan antara kajian sistem yang lebih makro dan kajian
sistem yang lebih mikro, walaupun tidak secara menyeluruh. Hal
ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kajian yang dilakukan
menjadi lebih lengkap, karena mempertimbangkan keseluruhan
sistem yang mempengaruhi, baik sistem eksternal maupun
internal.
Pendekatan-pendekatan yang dilakukan antara lain :
a. Pendekatan Eksternal
Penyusunan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten
Bintan Tahun 2015 ini akan mempertimbangkan faktor-faktor
mempengaruhi dalam penentuan arah pengembangan, seperti
kebijakan-kebijakan pemerintah daerah, peraturan perundang-
undangan tentang pemerintahan daerah, kondisi dinamika lokal,
regional dan bahkan global, dan lain-lain. Dari pendekatan ini
nantinya akan teridentifikasi gambaran tentang peluang yang
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
58 | P a g e
tercipta dan tantangan yang harus dijawab dalam Evaluasi
Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015 ini.
b. Pendekatan Internal
Penyusunan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten
Bintan Tahun 2015 ini mempertimbangkan peraturan daerah yang
telah ada, peraturan Bupati serta produk hukum daerah lainnya.
Pendekatan ini terkait dengan peraturan daerah yang telah
dimiliki dan permasalahan yang akan dihadapi dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah.
c. Pendekatan Perencanaan dari Bawah (Bottom Up Planning)
Merupakan pendekatan pembangunan dengan paradigma
baru yang bersifat integratif dan akomodatif sesuai kewenangan
dalam skala lokal (kecamatan) maupun skala wilayah Kabupaten
Lingga;
d. Pendekatan Masyarakat (Community Approach)
Merupakan pendekatan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah
Kabupaten Bintan Tahun 2015 yang didasarkan pada upaya
melibatkan masyarakat setempat dalam pelaksanaan kegiatan
Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015 agar
tercipta keselarasan dan keseimbangan manfaat antara pihak
pemerintah dan masyarakat.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
59 | P a g e
Penerapan pendekatan yang digunakan dalam pekerjaan ini
perlu didukung oleh pendekatan pelaksanaan yang runtun, jelas,
efektif, dan efisien. Pendekatan pelaksanaan pekerjaan terdiri dari
2 (dua) bagian, yaitu pendekatan umum dan pendekatan khusus.
1. Pendekatan Umum, terdiri atas :
a. Memahami permasalahan, sebagai bentuk pemahaman
terhadap wilayah/lokasi kajian dan akan menjadi dasar
dalam pelaksanaan survey lapangan dan pengumpulan
data dan informasi yang dibutuhkan;
b. Survey lapangan dan pengumpulan data;
c. Identifikasi, perbandingan, analisis terhadap data dan
informasi yang telah diperoleh selama survey dan
pengumpulan data.
2. Pendekatan Khusus, yaitu :
1. Penyusunan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah
Kabupaten Bintan Tahun 2015 ini untuk menghasilkan
keluaran yang diharapkan;
2. Pembahasan/Diskusi dan Konsultasi, antara
Pemerintah Kabupaten Bintan sebagai pemilik
pekerjaan dengan kepentingan Masyarakat Kabupaten
Bintan sebagai pihak yang menerima manfaat dari
perencanaan pengembangan ekonomi masyarakat.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
60 | P a g e
3.2. Metode Kajian
Metode kajian adalah cara-cara atau langkah-langkah yang
akan ditempuh dalam melakukan penelitian ini. Metodologi
berfungsi untuk menjaga penelitian ini bisa dianggap sebagai
penelitian ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan kebenaran
informasi yang didapat darinya. Untuk itu, diperlukan beberapa
langkah sehingga penelitian ini menjadi penelitian ilmiah.
Mengacu pada uraian sub-sub bab sebelumnya di atas,
maka dirumuskan metodelogi penanganan pelaksanaan pekerjaan
ini, yang meliputi ; metode pengumpulan data, metode pengolahan
data, metode survey lapangan, metode analisis, dan metode
penyusunan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan
Tahun 2015.
1. Tahap koordinasi dan konsultasi untuk menyamakan
persepsi mengenai substansi pekerjaan melalui forum
diskusi.
2. Tahap survey dan kajian data/literatur meliputi survey
pengumpulan data sekunder dan data primer melalui
teknik survey langsung, observasi, wawancara dan
penyebaran kuesioner. Pada tahap ini diharapkan dapat
menghasilkan informasi yang komprehensif, padat dan
jelas mengenai kondisi peraturan daerah yang ada di
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
61 | P a g e
Kabupaten Bintan saat ini. Dalam hal ini termasuk juga
faktor–faktor eksternal yang mempengaruhi peraturan
daerah yang berlaku saat ini di Kabupaten Bintan.
3. Tahap Analisis, yaitu meliputi analisis kualitatif terhadap
laporan hasil survey dan kajian literatur, kajian dan
identifikasi potensi dan permasalahan untuk
merumuskan peraturan daerah Kabupaten Bintan yang
tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya pada
tahap ini diharapkan dapat dihasilkan analisis kekuatan,
kelemahan, tantangan dan peluang kondisi peraturan
daerah Kabupaten Bintan yang ada saat ini.
4. Tahap Rencana, yaitu meliputi kegiatan perumusan hasil
penelitian terhadap Kajian Evaluasi Peraturan Daerah
Kabupaten Bintan Tahun 2015 yang disusun dalam
bentuk tabel.
3.3. Responden
Responden dalam kajian ini adalah orang-orang yang
dianggap mengetahui, memiliki informasi dan merasakan terhadap
implementasi peraturan daerah Kabupaten Bintan saat ini.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
62 | P a g e
Penentuan responden dilakukan secara purposive (disengaja).
Responden dalam kajian sebagai berikut :
Tabel 3.1 Komponen Responden
No Unsur Keterangan
1. Pemerintah Dinas Pertambangan dan Energi (Sekretaris dan Kabid yang terkait)
Dinas Kelautan dan Perikanan (Sekretaris, Kabid dan Kasubag
yang terkait) Badan Pemberdayaan Masyarakat
Desa (Sekretaris dan Kabid yang terkait)
2. Legislatif Badan Legislasi DPRD Kabupaten Bintan
3. Organisasi
Kemasyarakatan
LAM
LSM KNPI
4. Masyarakat Masyarakat yang mengetahui,
memiliki informasi dan merasakan atas implementasi peraturan daerah Kabupaten Bintan saat ini.
Sumber : Data Primer tahun 2015
3.4. Metode Pengumpulan Data
Untuk kegiatan perencanaan Kajian Evaluasi Peraturan
Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015 ini, metode pengumpulan
data yang dilakukan terbagi 2 (dua) kategori data, yaitu :
1. Data primer merupakan data-data yang berhubungan
atau terkait langsung dengan peraturan perundang-
undangan terkait. Pengumpulan data primer dilakukan
melalui tiga pendekatan yaitu;
a. Studi Kepustakaan terhadap peraturan perundang-
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
63 | P a g e
undangan terkait.
b. Wawancara/Interview. Metode wawancara diterapkan
bila peneliti mengasumsikan bahwa data yang di
butuhkan sebagian besar diketahui oleh key infoman.
Metode wawancara di lakukan secara langsung dengan
menggunakan panduan pertanyaan yang sifatnya
terbuka
2. Data Sekunder, merupakan data-data yang sudah tercatat
dan sudah dipublikasikan, baik berupa buku laporan,
tabulasi, peta, kriteria/standar/parameter dan pedoman,
ataupun peraturan perundangan terkait lainnya. Untuk
data-data sekunder ini, diperoleh dengan mendatangi
langsung sumber data (dari instansi terkait) ataupun dari
berbagai hasil kajian literatur (studi kepustakaan) yang
pernah dilakukan sebelumnya. Pengumpulan data
sekunder diperoleh dari sumber yang telah tersusun
dalam bentuk dokumen atau arsip dari pihak-pihak
terkait atau lembaga yang selama ini berkaitan dengan
produk hukum daerah.
3.5. Metode Pengolahan Data
Data-data dan informasi yang didapat dari hasil studi
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
64 | P a g e
kepustakaan maupun survey, baik data primer maupun sekunder,
selanjutnya diolah dengan cara :
a. Tabulasi, yaitu pengelompokkan data/informasi
berdasarkan jenis dan lingkupnya;
b. Pemilahan data-data yang dibutuhkan dan yang kurang
relevan dan atau bahkan tidak ada kaitannya dengan
kebutuhan kajian (studi) yang dilakukan;
c. Pengolahan data dan informasi dalam bentuk; tabel,
diagram, peta-peta, dan narasi.
d. Analisis data, data-data yang telah diolah dianalisis
sebagai dasar penyusunan produk hukum daerah ke
depan.
3.6. Alur Pekerjaan
Berdasarkan uraian pada sub sebelumnya, maka pada
bagian ini disusun suatu bagan alur untuk pelaksanaan pekerjaan
Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015
di Kabupaten Bintan, ditunjukkan gambar 3.1 di bawah ini
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
65 | P a g e
Gambar 3.1 Kerangka alur penyusunan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah
Kabupaten Bintan Tahun 2015
3.7. Tenaga Ahli
Dalam rangka menghasilkan hasil kajian yang tepat sasaran
maka salah satu hal penting adalah ketersediaan tenaga ahli yang
terlibat dalam kegiatan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah
Kabupaten Bintan Tahun 2015 sebagaimana berikut ini :
a. Ketua Tim/Ahli Hukum
S2 Hukum dengan pengalaman profesional minimal 5 tahun
dan memiliki pengalaman dalam penyusunan produk hukum
daerah serta studi-studi yang berkaitan dengan penyusunan
Pengembangan dan Penguatan Kemitraan
Penetapan isu utama
Pemetaan
Status PEL
Analisis data
Penyusunan konsep
Penyusunan
Rencana
program
Tehnik pengumpulan
data
Adopsi Peraturan
Perundang-undangan
Diskusi dan
pembahasan
Evaluasi oleh pemerintah
Identifikasi Stakeholder/kondisi & potensi wilayah
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
66 | P a g e
evaluasi program pemerintah daerah dan studi-studi terkait
lainnya.
b. Ahli Ilmu Pemerintahan
S2 Ilmu Pemerintahan/S2 Ilmu Sosial Politik dengan
pengalaman profesional minimal 4 tahun dan memiliki
pengalaman dalam penyusunan studi-studi yang berkaitan dengan
kajian evaluasi kebijakan pemerintah dan studi-studi terkait
lainnya dan bertanggung jawab untuk mengembangkan konsep
dan memberikan masukan dari sudut pandang disiplin ilmunya
menyangkut permasalahan pemerintahan daerah.
c. Ahli Hukum
S2 Ilmu hukum dengan pengalaman profesional minimal 3
tahun dan memiliki pengalaman dalam bidang pengkajian dan
penelitian hukum dan bertanggung jawab untuk mengembangkan
konsep dan memberikan masukan dari sudut pandang disiplin
ilmunya serta bertanggungjawab terhadap proses wawancara yang
berkaitan dengan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten
Bintan Tahun 2015.
Dalam pelaksanaan kegiatan, tenaga ahli dibantu oleh
tenaga pendukung yang meliputi :
a. Tenaga Surveyor, minimal S1 dan berpengalaman dalam
melakukan kegiatan survey sosial.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
67 | P a g e
b. Sekretaris/Administrasi Proyek, minimal SLTA dan
berpengalaman dalam mengerjakan pekerjaan
administrasi proyek.
3.8. Pelaporan
Sistem pelaporan dalam kegiatan Kajian Evaluasi Peraturan
Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015 adalah sebagai berikut :
a. Laporan Pendahuluan
Berisi metodelogi pelaksanaan kegiatan, rencana kerja,
jadwal pelaksanaan pekerjaan secara keseluruhan, jadwal
penugasan tenaga pelaksana dan rencana kegiatan survey serta
alat bantu survey.
Laporan pendahuluan diserahkan paling lambat 20 (dua
puluh) hari kalender setelah SPMK dan sebanyak 5 eksemplar
b. Laporan Antara
1. Laporan hasil survey dan kajian data yang meliputi :
Hasil kajian literatur dan kebijakan terkait Kajian
Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun
2015.
Hasil identifikasi permasalahan Kajian Evaluasi
Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015.
Data-data lainnya.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
68 | P a g e
2. Hasil analisis peraturan perundang-undangan.
3. Peraturan daerah yang tidak sejalan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku saat ini.
Laporan ini diserahkan paling lambat 65 (enam puluh lima)
hari kalender setelah SPMK, sebanyak 5 eksempar.
c. Laporan Akhir
Laporan ini memuat keseluruhan hasil pekerjaan dari Kajian
Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015.
Laporan ini diserahkan paling lambat 65 (enam puluh lima hari)
hari kalender setelah SPMK sebanyak 5 eksemplar.
3.9. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten
Bintan Tahun 2015 akan dilaksanakan dalam kurun waktu 65
(enam puluh lima) hari kalender, dengan rincian kegiatan sebagai
berikut.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
69 | P a g e
Tabel 3.2. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
No Kegiatan
Bulan
I II III
1 2 3 4 1 2 3 4 1
A Persiapan
1. Pemahaman terhadap TOR
2. Penyiapan/mobilisasi Personil
3. Penyiapan Meteda Pelaksanaan
4. Penyiapan Survei Lapangan
B Pengumpulan Data/Survey
1. Pengumpulan Data Sekunder
2. Pengumpulan Data Primer
3. Pengecekan Data Lapangan
C Analisis
1. Pencermatan Kondisi Eksisting
2. Identifikasi dan Analisis Masalah
E Pelaporan
1. Laporan Pendahuluan
2. Laporan Antara
3. Laporan Akhir
F Diskusi dan Presentasi
1. Diskusi dengan pemberi tugas
2. Presentasi Laporan
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
70 | P a g e
BAB IV
PENGKAJIAN DAN EVALUASI
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN
4.1 Pengaturan Kewenangan antara Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten Kota
berdasar Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23
Tahun 2014
Tiada satupun pemerintah dari suatu negara dengan wilayah
yang luas dapat melaksanakan kebijaksanaan dan program-
programnya secara efektif dan efisien melalui sistem sentralisasi
(Browman dan Hampton, 1983).
Negara nasional terlalu kecil untuk mengatur dan mengurus
masalah-masalah yang sangat kecil (Bell, 1988;2). Bahwa peran
negara sebagai pengatur dan penyelengara akan semakin
berkurang dan akan sangat tergantung dengan mekanisme
koordinasi dan pembagian kekuasaan, baik pada tingkat
internasional maupun pada tingkat lokal (Fukuyama, 2004;95).
Konsekuensi logis dalam hal ini ialah penyerahan sebagian
kekuasaan kepada sub unit-unit sub nasional dan lokal42.
Desentralisasi adalah istilah penting dengan konotasi yang
luas. Setiap penyerahan kewenangan dari Pemerintah Pusat dapat
42 Eko Prasojo, “Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintahan Pusat dan
Pemerintahan Daerah di Indonesia; Antara Sentripetalisme dan Sentrifugalisme.”
Pidato Pengukuhan Guru Besar Adminitrasi Negara Universitas Indonesia.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
71 | P a g e
tercakup dari pengertian tersebut. Konsep desentralisasi selalu
berkaitan dengan kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kekuasaa yang menjadi domain Pemerintah Pusat yang diserahkan
ke daerah.
Dalam konteks Indonesia, desentralisasi selalu dikaitkan
pembentukan daerah otonom atau pemerintahan daerah dan
penyerahan urusan pemerintahan dari pusat kepada pemerintah
daerah sehingga pemerintah daerah mempunyai kewenangan
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tersebut.
Secara teoritik terdapat elemen-elemen dasar yang bersifat
generik dalam institusi pemerintahan daerah. Agar pemerintah
daerah mampu melaksanakan otonominya secara optimal yaitu
sebagai instrumen menciptakan proses demokratisasi dan
instrumen menciptakan kesejahteraan ditingkat lokal, maka kita
harus memahami secara filosofis elemen-elemen dasar yang
membentuk pemerintahan daerah sebagai suatu entitas
pemerintahan. Setidaknya terdapat 7 elemen dasar yang
membangun entitas pemerintahan daerah yaitu43:
1. Urusan Pemerintahan
Elemen dasar pertama dari pemerintahan daerah adalah
“urusan pemerintahan”, yaitu kewenangan daerah untuk
43
Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan
Daerah, Kementerian Dalam Negeri Tahun 2011.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
72 | P a g e
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang
diserahkan ke daerah. Desentralisasi pada hakekatnya
membagi urusan pemerintahan antar tingkatan
pemerintahan; pusat mengerjakan apa dan daerah
mengerjakan apa.
2. Kelembagaan
Elemen dasar yang ke-dua dari pemerintahan daerah
adalah kelembagaan daerah. Kewenangan daerah tidak
mungkin dapat dilaksanakan kalau tidak diakomodasikan
dalam kelembagaan daerah. Untuk konteks Indonesia,
ada dua Kelembagaan penting yang membentuk
pemerintahan daerah yaitu: kelembagaan untuk pejabat
politik yaitu kelembagaan kepala daerah dan DPRD; dan
kelembagaan untuk pejabat karier yang terdiri dari
perangkat daerah (dinas, badan, kantor, sekretariat,
kecamatan, kelurahan, dll)
3. Personil
Elemen dasar ke-tiga yang membentuk pemerintahan
daerah ialah adanya personil yang mengerakkan
kelembagaan daerah untuk menjalankan urusan
pemerintahan yang menjadi domain pemerintahan
daerah. Personil daerah (PNS Daerah) tersebut yang pada
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
73 | P a g e
gilirannya menjalankan kebijakan publik strategis yang
dihasilkan oleh pejabat (DPRD dan Kepala Daerah) untuk
menghasilkan barang dan jasa (goods and services)
sebagai hasil akhir dari pemerintahan daerah.
4. Keuangan Daerah
Elemen dasar ke-empat yang membentuk pemerintahan
daerah ialah keuangan daerah. Keuangan daerah adalah
sebagai konsekuensi dari adanya urusan pemerintahan
yang diserahkan kepada daerah. Hal tersebut sesuai
dengan prinsip “money follows function”. Daerah harus
diberikan sumber-sumber keuangan baik yang bersumber
pada pajak dan retribusi daerah (desentralisasi fiskal)
maupun bersumber dari dana perimbangan (subsidi dan
bagi hasil) yang diberikan ke daerah. Adanya sumber
keuangan yang memadai akan memungkinkan daerah
untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah.
5. Perwakilan Daerah
Elemen dasar yang ke-lima yang membentuk
pemerintahan daerah adalah perwakilan daerah. Secara
filosofis, rakyat yang mempunyai otonomi daerah tersebut.
Namun secara praktis adalah tidak mungkin masyarakat
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
74 | P a g e
untuk memerintah bersama. Untuk itu maka dilakukan
pemilihan wakil-wakil rakyat untuk menjalankan mandat
rakyat dan mendapatkan legitimasi untuk bertindak
untuk dan atas nama rakyat daerah. Dalam sistem
pemerintahan di Indonesia, ada dua jenis institusi yang
mewakili rakyat. Pertama Yaitu DPRD yang dipilih melalui
pemilihan umum, untuk menjalankan fungsi legislasi
daerah. Kedua ialah Kepala Daerah yang dipilih melalui
pemilihan kepala daerah.
6. Pelayanan Publik
Elemen dasar yang ke-enam yang membentuk
pemerintahan daerah adalah “pelayanan publik”. Hasil
akhir dari pemerintahan daerah adalah tersedianya
“goods and services” tersebut dapat dibagi dalam dua
klasifikasi sesuai dengan hasil akhir yang dihasilkan
pemerintahan daerah. Pertama, pemerintahan daerah
menghasilkan public goods yaitu barang-barang untuk
kepentingan masyarakat lokal seperti; jalan, jembatan,
irigasi, gedung sekolah, pasar, terminal, rumah sakit dan
sebagainya. Kedua, pemerintahan daerah menghasilkan
pelayanan yang bersifat pengaturan publik, seperti;
menerbitkan akte kelahiran, kartu tanda penduduk, kartu
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
75 | P a g e
keluarga, izin mendirikan bangunan, dan sebagainya.
Pada dasarnya public regulation dimaksudkan untuk
menciptakan ketentraman dan ketertiban dalam
masyarakat.
7. Pengawasan
Elemen dasar yang ke-tujuh yang membentuk
pemerintahan daerah adalah “Pengawasan”. Argumen dari
pengawasan adalah adanya kecenderungan
penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana adagium Lord
Acton “Power tends to corrupt and absolute power will
corrupt absolutely”. Untuk mencegah hal tersebut maka
elemen pengawasan mempunyai posisi strategis untuk
menghasilkan pemerintahan yang bersih.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, negara Indonesia
adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Sesuai dengan
ketentuan pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, dalam
penyelenggaraan pemerintahan dinyatakan bahwa Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan.
Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahannya telah
memberikan landasan konstitusional mengenai penyelenggaraan
pemerintahan daerah di Indonesia.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
76 | P a g e
Diantara ketentuan tersebut, yaitu; 1) Prinsip pengakuan
dan penghormatan negara terhadap kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2) Prinsip daerah
mengatur dan mengurus rumah sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan; 3) Prinsip
menjalankan otonomi seluas-luasnya; 4) prinsip mengakui dan
menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan
istimewa; 5) Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam
suatu pemilu; 6) Prinsip hubungan pusat dan daerah harus
dilaksanakan secara selaras dan adil; 7) Prinsip hubungan
wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah; 8) prinsip
hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya
alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan Undang-undang; dan 9) Prinsip pengakuan dan
penghormatan negara terhadap satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.
Sejarah panjang penerapan kebijakan desentralisasi di
Indonesia dapat ditilik pada ragam kebijakan yang pernah
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
77 | P a g e
diterapkan, yakni; Desentraliatie Wet 1903, Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948,
Penetapan Presiden Nomor 06 tahun 1959, Undang-Undang
Nomor 18 tahun 1965, Undang-Undang Nomor 05 tahun 1974,
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, Undang-Undang Nomor
32 tahun 2004, dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang diundangkan pada tanggal 2 Oktober
2014 merubah wajah hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah telah ditetapkan untuk mengganti Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Otonomi daerah yang dijalankan selama ini semata-mata
hanya dipahami sebagai perpindahan kewajiban pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah untuk mayarakat. Padahal substansi
penting dari otonomi daerah adalah pelimpahan kewenangan dari
pusat ke daerah secara politik dan ekonomi agar pembangunan
dan pertumbuhan ekonomi berlangsung secara adil dan merata di
daerah. Sehingga konsep otonomi daerah dalam kerangka Negara
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
78 | P a g e
Kesatuan Republik Indonesia ini yang ditekankan lebih tajam
dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan Undang-
Undang Dasar 1945 terdapat dua nilai yang dikembangkan yakni;
nilai unitaris44 dan nilai desentralisasi45, dua nilai dasar konstitusi
tersebut, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia terkait erat
dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Hal ini karena dalam penyelenggaraan
desentralisasi selalu terdapat dua elemen penting, yakni;
pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara
hukum antara pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk
mengatur dan mengurus bagian-bagian tertentu urusan
pemerintahan.
Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tetang Pemerintahan
Daerah, pada pasal 9 mengatur klasifikasi urusan pemerintahan
yang terdiri dari;
1) Urusan Pemerintahan Absolut,
44
Nialai dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia
tidak akan mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat
Negara, artinya kedaulatan melekat pada rakyat, bangsa dan Negera Republik
Indonesia tidak akan terbagi diantara kesatuan-kesatuan pemerintahan regional atau lokal.
45 Nilai dasar desentralisasi diwujudkan dengan pembentukan daerah
otonom dan penyerahan kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan atau diakui sebagai domain rumah tangga
daerah otonom tersebut.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
79 | P a g e
Ialah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan pemerintah pusat
2) Urusan Pemerintahan Konkuren,
Ialah urusan pemerintahan yang dibagi antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dan
pemerintah daerah kabupaten/kota dan
3) Urusan Pemerintahan Umum.
Ialah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Presiden sebagai kepala pemerintahan
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
80 | P a g e
Struktur 4.1 Klasifikasi Urusan Pemerintahan
Urusan Pemerintahan
(1) Absolut
(2) Konkuren
(3) Urusan Pemerintahan Umum
Wajib
Pancasila, UUUD 45, Bhineka Tunggal Ika,Nkri, Kesatuan Bangsa, Ketertiban, dll
Pilihan
1.Pertahanan 2. Keamanan 3. Agama 4. Yustisi 5. Politik Luar Negeri 6. Moneter & Fiskal
PELAYANAN DASAR (urusan wajib yang sebagian substansinya merupakan pelayanan dasar (6) Urusan
Non Pelayanan Dasar (18) Urusan
Standart Playanan Minimum (SPM)
1. Kelautan dan Perikanan
2. Pariwisata 3. Pertanian 4. Kehutanan 5. Energy dan
Sumberdaya mineral
6. Perdagangan 7. Perindustrian;
dan 8. transmigrasi
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
81 | P a g e
Struktur 4.2 Klasifikasi Urusan Pemerintahan Konkruen
Urusan Pemerintahan Konkruen
Wajib Pilihan
Pelayanan Dasar Non Pelayanan Dasar
1. Pendidikan 2. Kesehatan 3. PU & PR 4. Sosial 5. Perumahan rakyat
dan kawasan pemukiman
6. Ketentraman, Ketertiban umum dan perlindungan masyarakat
1. Tenaga kerja 2. PP & PA 3. Pangan 4. Pertanahan 5. Lingkungan hidup 6. Adm. Kependdkan
dan pencatatan sipil;
7. PMD 8. Pengendalaian
penduduk dan KB; 9. Perhubungan 10. Kominfo 11. Koperasi dan UKM; 12. Penanaman modal 13. Kepemudaan dan
olahraga 14. Statistik 15. Persandian 16. Kebudayaan 17. Perpustakaan dan 18. Arsip
1. Kelautan dan perikanan; 2. Pariwisata; 3. Pertanian; 4. kehutanan; 5. Energi dan sumber daya
mineral; 6. Perdagangan; 7. Perindustrian; dan 8. Tansmigrasi.
Potensi, penyerapan tenaga kerja dan pemanfaatan lahan
Urusan berbasis ekosistem
Kehutanan; ESDM; kelautan dan perikanan
Provinsi
Kabupaten/Kota Dapat bagi hasil
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
82 | P a g e
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara
Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah
kabupaten/kota sebagaimana di atur dalam Undang-undang
Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014 pada pasal 13 ayat
(1, 2 dan 3) didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan
eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. Berikut
kriteria-kriteria urusan pemerintahan pusat, daerah provinsi dan
daerah kabupaten/kota.
Kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat adalah:
1. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah
provinsi atau lintas negara;
2. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah
provinsi atau lintas negara;
3. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak
negatifnya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;
4. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya
lebih efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah Pusat;
dan/atau
5. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi
kepentingan nasional.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
83 | P a g e
Kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi adalah:
1. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah
kabupaten/kota;
2. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah
kabupaten/kota;
3. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak
negatifnya lintas Daerah kabupaten/kota; dan/atau
4. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya
lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah Provinsi.
Kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah:
1. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah
kabupaten/kota;
2. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah
kabupaten/kota;
3. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak
negatifnya hanya dalam Daerah kabupaten/kota;
dan/atau;
4. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya
lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah
kabupaten/kota.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
84 | P a g e
4.2 Urusan Pemerintahan Pilihan
Ketentuan mengenai pembagian urusan pemerintahan
daerah dan pemerintah pusat dalam urusan pilihan adalah
sebagai berikut.
1. Penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang
kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya
mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah.
2. Urusan Pemerintahan bidang kehutanan yang berkaitan
dengan pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota
menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota.
3. Urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya
mineral yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan
gas bumi menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
4. Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya
mineral yang berkaitan dengan pemanfaatan langsung
panas bumi dalam daerah kabupaten/kota menjadi
kewenangan daerah kabupaten/kota.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
85 | P a g e
Tabel 4.1 Kriteria Kewenangan
Pemerintah Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota
Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah Kab/Kota
1. lokasinya lintas
Daerah provinsi atau lintas
negara; 2. penggunanya
lintas Daerah provinsi atau lintas negara;
3. manfaat atau dampak
negatifnya lintas Daerah provinsi
atau lintas negara;
4. penggunaan
sumber dayanya lebih efisien
apabila dilakukan oleh Pemerintah
Pusat; dan/atau; 5. peranannya
Strategis bagi
kepentingan nasional
1. lokasinya lintas
Daerah kabupaten/kota;
2. penggunanya lintas Daerah
kabupaten/kota; 3. manfaat atau
dampak
negatifnya lintas Daerah
kabupaten/kota; dan/atau
4. penggunaan sumber dayanya lebih efisien
apabila dilakukan oleh Daerah
Provinsi.
1. lokasinya dalam
Daerah kabupaten/kota;
2. penggunanya dalam Daerah
kabupaten/kota; 3. manfaat atau
dampak
negatifnya hanya dalam Daerah
kabupaten/kota; dan/atau;
4. penggunaan sumber dayanya lebih efisien
apabila dilakukan oleh
Daera kabupaten/kota.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Pemerintahan
Daerah Nomor 23 tahun 2014, setidaknya memuat sisi lain dari
otonomi daerah yakni meletakkan posisi Provinsi sebagai
kepanjangan tangan dari pemerintahan pusat, sebagaimana
diutarakan oleh Robert Endi46 Jaweng, yakni;
46 Robert Endi Jaweng,”Sketsa Otonomi Daerah Tahun 2014”, KPPOD Brief
Edisi Oktober-Desember 2014
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
86 | P a g e
1. Undang-Undang Pemerintahan Daerah lebih
memberikan penekanan pada garis akuntabilitas
Daerah kepada Pusat. Selama ini kita hanya menuntut
perluasan kewenangan dan fiskal dari Pusat ke Daerah
namun lemah dalam akuntabilitas kinerja (yang ada
hanya akuntabilitas prosedural) dari daerah ke Pusat.
Bahkan, dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah
dikenalkan sanksi pemberhentian kepada Kepala
Daerah, meski pada level Peraturan Pemerintah masih
perlu dijabarkan lebih detil kriteria dan mekanismenya
agar menghindari potensi politisasi oleh Pusat kepada
Kepala Daerah.
2. Penarikan sejumlah urusan (pertambangan, kehutanan,
kelautan dan perikanan) yang saat ini di urus
Kabupaten/Kota ke Propinsi. Pada satu sisi ini memang
dilematis lantaran prinsip otonomi untuk mendekatkan
jarak antara birokrasi dengan masyarakat dan
memperpendek rentang kendali pemerintahan jelas
diabaikan. Mengingat praktik buruk di daerah selama ini
dan kebutuhan skala ekonomi, pertimbangan
eksternalitas urusan-urusan Yang berbasis lahan luas,
penarikan kembali urusan tersebut diharapkan bisa
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
87 | P a g e
menjamin efisiensi dan kepastian business-process
(perijinan hingga pengendalian/pengawasan) oleh
pemerintah kepada pelaku usaha.
3. Penguatan Propinsi, khususnya Gubernur sebagai
Wakil Pusat di daerah, dalam menjalankan fungsi
korbinawas (koordinasi, pembinaan, pengawasan) atas
Kab/Kota. Bahkan, kalau sebelumnya peraturan daerah
dibatalkan Presiden, ke depan Gubernur berwenang
membatalkan peraturan daerah Kab/kota dan Mendagri
membatalkan peraturan daerah Propinsi. Pergeseran
otoritas pembatalan peraturan daerah ini diharapkan
segera dilapisi dengan penguatan kapasitas
(kelembagaan/personil) agar proses review peraturan
daerah yang saat ini banyak bermasalah bisa dilakukan
secara efektif.
4. Perubahan mekanisme pemekaran dan pembentukan
daerah otonom baru (DOB) merupakan terobosan penting
dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru.
Pertama, pintu usulan hanya melalui Kemendagri (pintu
usulan DPR dan DPD ditutup). Dijadikannya pemerintah
sebagai titik akses tunggal dalam pintu usulan pemekaran
diharapkan bias menghindari politisasi pemekaran sejak
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
88 | P a g e
di hulu (fase usulan) sebagaimana yang ditengarai selama
ini. Kedua, konsep daerah persiapan di mana daerah baru
tidak langsung berstatus sebagai daerah otonom namun
mesti melewati proses sebagai daerah persiapan selama 3
tahun dengan dasar pembentukannya adalah Peraturan
Pemerintah.
4.3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan Implikasi
perubahannya terhadap Peraturan Daerah Kabupaten
Bintan
Salah satu unsur penting yang selalu mengiringi
implementasi desentralisasi adalah pembentukan peraturan
daerah. Kewenangan pembentukan peraturan daerah merupakan
salah satu wujud adanya kemandirian daerah dalam mengatur
urusan pemerintahan daerah.
Peraturan daerah merupakan instrumen yang strategis
dalam mencapai tujuan desentralisasi. Dalam konteks otonomi
daerah, keberadaan peraturan daerah pada prinsipnya berperan
mendorong desentralisasi secara maksimal.47 Dari sudut pandang
pemberdayaan politik, tujuan desentralisasi dapat dilihat dari dua
sisi yaitu pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
47 Reny Rawasita, et.al. “Menilai Tanggung Jawab Sosial Peraturan
Daerah”. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2009.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
89 | P a g e
Tujuan desentralisasi dari sisi pemerintah daerah adalah
untuk mewujudkan political equality, local accountability dan local
responsiveness. Sementara itu, tujuan desentralisasi dari sisi
pemerintah pusat adalah mewujudkan political education, provide
training in political leadership dan create political stability.48
Desentralisasi juga bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
pemerintah daerah dalam menyediakan public goods and
services dan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
pembangunan ekonomi di daerah.
Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis Peraturan
Perundang-undangan dan merupakan bagian dari sistem hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila. Pada saat ini Peraturan
Daerah mempunyai kedudukan yang sangat strategis karena
diberikan landasan konstitusional yang jelas sebagaimana di atur
dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Peraturan Daerah mempunyai berbagai fungsi yaitu: a)
sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah
dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. b) merupakan
48 Syarif Hidayat, “Desentralisasi untuk Pembangunan Daerah”, Jentera:
Peraturan Daerah edisi 14 Tahun IV, Oktober-Desember 2006.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
90 | P a g e
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi. Dalam fungsi ini, Peraturan Daerah tunduk pada
ketentuan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Dengan
demikian Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. c) sebagai
penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur
aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam pengaturannya tetap
dalam koridor Negara kesatuan Republik Indonesia yang
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. d) sebagai alat pembangunan
dalam meningkatkan kesejahteraan daerah.
Kabupaten Bintan semenjak tahun 2004 – 2014 telah
menghasilkan produk peraturan daerah sebanyak 91 peraturan
daerah, dengan di undangkannya Undang-Undang Nomor 23
tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka dengan
sendirinya peraturan yang berada dibawahnya harus turut
menyesuaikan dengan produk peraturan yang lebih tinggi, pada
bagian ini akan dilakukan telaah terhadap relevansi acuan yuridis
peraturan daerah Kabupaten Bintan.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
91 | P a g e
Tabel 4.2 Inventarisasi Regulasi
Pemerintah Kabupaten Bintan 2004-201449
49
Sumber : JDIH Kabupaten Bintan dan JDIH Provinsi Kepulauan Riau
Nomor Regulasi Nama Regulasi
03/2004 Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 30 Tahun 2001 Tentang Rencana Stratejik
(Renstra) Kabupaten Kepulauan Riau Tahun 2002 - 2006
04/2004 Pajak Reklame
05/2004 Pajak Restoran 06/2004 Pajak Hotel
08/2004 Penyertaan Modal Daerah Pada Pihak Ketiga 10/2004 Pajak Hiburan
11/2004 Izin Usaha Perfilman 12/2004 Pembentukan Kijang Kota, Kelurahan Sungai
Enam, Kelurahan Gunung Lengkuas,
Kelurahan Sungai Lekop Di Kecamatan Bintan Timur Dan Kelurahan Kawal Di Kecamatan
Gunung Kijang 01/2005 Kedudukan Keuangan Ketua, Wakil Ketua Dan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kepulauan Riau
06/2005 Kedudukan Protokoler Ketua, Wakil Ketua Dan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kepulauan Riau
07/2005 Retribusi Parkir 12/2005 Pembentukan Organisasi Dinas Daerah
Kabupaten Kepulauan Riau 13/2005 Pembentukan Organisasi Lembaga Teknis
Daerah Kabupaten Kepulauan Riau
02/2006 Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor : 1 Tahun 2005 Tentang Kedudukan Keuangan
Ketua, Wakil Ketua Dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bintan
03/2006 Pembentukan Dana Cadangan 04/2006 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Pendapatan
Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2005
06/2006 Penyelenggaran Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil
07/2006 Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 12 Tahun 2005 Tentang
Pembentukan Organisasi Dinas Daerah
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
92 | P a g e
Kabupaten Bintan 08/2006 Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten
Bintan Nomor 3 Tahun 2006 Pembentukan Dana Cadangan
03/2007 Retribusi Pelayanan Kependudukan Dan
Catatan Sipil 07/2007 Badan Permusyawaratan Desa
08/2007 Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan Dan Pemberhentian
Kepala Desa 09/2007 Pedoman Pembentukan Dan Pengelolaan
Badan Usaha Milik Desa (Bumdes)
10/2007 Pedoman Penyusunan Organisasi Dan Tata Kerja Pemerintah Desa
02/2008 Perangkat Desa 03/2008 Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah Tahun 2005-2010 04/2008 Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Desa
Dan Kelurahan
05/2008 Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Kabupaten Bintan
06/2008 Pembentukan Organisasi Sekretariat Daerah Dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Bintan 07/2008 Pembentukan Organisasi Dinas Daerah
Kabupaten Bintan
08/2008 Pembentukan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Bintan
09/2008 Pembentukan Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bintan
10/2008 Pembentukan Organisasi Kecamatan Dan Kelurahan Kabupaten Bintan
11/2008 Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten
Bintan Kepada Pemerintahan Desa 12/2008 Pengelolaan Terumbu Karang
13/2008 Keuangan Desa 16/2008 Pengikatan Dana Kegiatan Tahun Jamak
Unmtuk Pembangunan Kantor Bupati Bintan Dan Kantor Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bintan
02/2009 Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 5 Tahun 2002 Tentang Retribusi
Pelayanan Kesehatan Dasar Pada Puskesmas
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
93 | P a g e
03/2009 Perencanaan Pembangunan Desa 04/2009 Tata Cara Pelaporan Pertanggungjawaban
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa 05/2009 Pedoman Pembentukan, Penghapusan,
Penggabungan Desa Dan Perubahan Status
Desa Mejadi Kelurahan 06/2009 Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten
Bintan Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Kelurahan Toapaya Asri Di
Kecamatan Gunung Kijang, Desa De... 07/2009 Penyertaan Modal Dan Penambahan
Penyertaan Modal Pemerintah Kabupaten
Bintan Kepada Pt. Bank Riau, Dan Pd. Bank Perkreditan Rakyat Bintan Untuk Tah...
08/2009 Pedoman Pembentukan, Penghapusan Dan Penggabungan Kelurahan
09/2009 Pencabutan Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Riau Nomor 4 Tahun 1993 Tentang Pembentukan Perusahaan Daerah Air Minum
Kabupaten Kepulauan Riau Da... 10/2009 Retribusi Pelayanan Laboratorium Pengujian
Mutu Konstruksi 02/2010 Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup Daerah 03/2010 Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten
Bintan Nomor 2 Tahun 2007 Tentang
Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah Perseroan Terbatas (Pt) Bintan Int...
06/2010 Kewajiban Pandai Baca Tulis Al-Qur’an Dan Mendirikan Shalat Bagi Anak Usia Sekolah
Yang Beragama Islam 07/2010 Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah
Kabupaten Kepulauan Riau Nomor 5 Tahun
2005 Tentang Pembentukan Perusahan Daerah Bank Perkreditan Rakyat (Pd....
01/2011 Pajak Daerah 02/2011 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja
Daerah Tahun Anggaran 2011 03/2011 Retribusi Jasa Umum 04/2011 Retribusi Jasa Usaha
05/2011 Retribusi Perizinan Tertentu 06/2011 Pengawassan Dan Pengendalian Minuman
Beralkohol
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
94 | P a g e
07/2011 Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bintan 08/2011 Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten
Binta Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kabupaten Bintan
09/2011 Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 8 Tahun 2008 Tentang
Pembentukan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Bintan
11/2011 Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah
01/2012 Pengelolaan Pertambangan Mineral 02/2012 Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Bintan Tahun 2011 - 2031 03/2012 Pembentukan Organisasi Dan Tata Kerja
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bintan
04/2012 Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah
Tahun 2012 05/2012 Penambahan Penyertaan Modal Pemerintah
Kabupaten Bintan Kepada PT. Bank Riau Kepri Untuk Tahun 2011 S/D 2014
06/2012 Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bintan
07/2012 Pembentukan Organisasi Dan Tata Kerja Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bintan
08/2012 Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun
Anggaran 09/2012 Penyelenggaraan Pendidikan 12/2012 Penyelenggaraan Kebersihan
13/2012 Penataan Dan Penggunaan Tanah Untuk Keperluan Tempat Pemakaman
01/2013 Bangunan Gedung 02/2013 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2010 - 2015
03/2013 Tentang Pertanggung Jawaban Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2012
04/2013 Pembentukan Organisasi Sekretariat Daerah
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
95 | P a g e
Dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bintan
05/2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Organisasi
Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Bintan 06/2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Daerah Kabupaten Bintan Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah
07/2013 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Riau Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Pembentukan Perusahan
Daerah Bank Perkreditan Rakyat (PD.BPR) Bintan
08/2013 Tentang Penambahan Penyertaan Modal Pemerintah Kabupaten Bintan Kepada
Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bintan Untuk Tahun 2013 S/D 2017
09/2013 Tentang Perubahan Anggaran Pendapatan Dan
Belanja Daerah Tahun Anggaran 2013 10/2013 Tentang Retribusi Perpanjangan Izin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing 11/2013 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja
Daerah Tahun Anggaran 2014 01/2014 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak 02/2014 Tentang Pembentukan Lembaga Penyiaran
Publik Lokal Radio Bintan Fm 03/2014 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan
Terpadu Satu Pintu 04/2014 Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam
Pembangunan Di Daerah 05/2014 Tentang Pembentukan Badan Usaha Milik
Daerah Kepelabuhan PT. Bintan Karya Bahari
06/2014 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bintan
07/2014 Tentang Hibah Dan Bantuan Sosial Dalam Bantuan Pembinaan Keagamaan
09/2014 Tentang Perubahan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2014
10/2014 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja
Daerah Tahun Anggaran 2015
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
96 | P a g e
4.3.1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 dan Implikasi
Perubahannya terhadap Peraturan Daerah Kabupaten
Bintan Kluster Desa
“….. Kalau desa kita memang mulai bergerak maju atas kekuatannya sendiri, barulah seluruh masyarakat kita akan pula naiktingkatanserta kemajuannya di dalam
segala lapangan,…” Sutan Sjahrir.
Pernyataan tersebut memuat makna, betapa desa
merupakan entitas sosial yang memiliki tempat penting bagi
kemajuan suatu bangsa dan Negara, dalam hal ini ialah Indonesia.
Terdapat 3 simpul pemikiran yang terjadi pada saat pendiri
bangsa menyusun dasar-dasar dan bentuk Negara sepanjang
sidang-sidang BPUPKI, dan sidang-sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan (PPKI). Pertama, Jelaslah bahwa Indonesia yang
hendak didirikan itu tidaklah berpijak pada pengetahuan tentang
jawa saja, melainkan meliputi wilayah yang saat ini di sebut
Nusantara. Dalam salah satu sidang Mr. M. Yamin mengatakan
“…. Negara Indonesia tidaklah dapat didudukkan di atas hasil
penyelidikan bahan-bahan yang didapat di Pulau Jawa saja,
karena keadaan itu boleh saja menyesatkan pemandangan dan
sedikit mungkin melanggar pendirian kita. Sejak dari sekarag
hendaklah meliputi seluruh keadaan-keadaan di segala Pulau
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
97 | P a g e
Indonesia. Kita mendirikan Negara Indonesia atas keinsafan akan
pengetahuan yang luas dan lebar tentang seluruh Indonesia.”
Kedua, pada masa-masa awal berdirinya Indonesia itu, ada
kesepahaman yang amat kuat tentang yang kehendak bahwa
Negara baru yang ingin dibangun itu adalah sebuah Negara
bangsa Indonesia yang baru sama sekali. Dipahami pula bahwa
Negara-bangsa Indonesia yang baru itu tidak dapat dilandaskan
pada kebesaran-kebesaran kerajaan Nusantara yang pernah ada,
karena menurut Mr. M. Yamin, kesemuanya masih bersifat etats
patrimonies - negara berdasarkan keturunan - ataupun etats
puissances – negara atas dasar kekuasaan semata-. Sebagai
alternatifnya, yang menjadi topik penting yang ketiga adalah soal
dipilihnya desa- dan adat- sebagai pondasi pendirian Negara
bangsa Indonesia itu. “…. Kita tidak mabuk dengan hiburan
menyembah kerajaan-kerajaan seribu satu malam atau bertanam
Pohon beringin di atas awan, melainkan melihat kepada peradaban
yang memberi tenaga yang nyata dan kekuatan yang maha
dahsyat untuk menyusun Negara bagian bawah. Dari peradaban
rakyat zaman sekarang, dan dari susunan Negara Hukum Adat
bagian bawahan, dari sanalah kita mengumpulkan dan
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
98 | P a g e
mengumpulkan sari-sari tata Negara yang sebetul-betulnya dapat
menjadi Negara” Ujar Mr. M. Yamin.50
Ada banyak cara pandang terhadap desa, namun setidaknya
terdapat tiga cara pandang mainstream tentang desa, yakni :51
1. Cara pandang yang melihat desa sebagai kampung
halamannya, baik melalui jalur transmigrasi, urbanisasi
atau mobilitas sosial.
2. Cara pandang pemerintahan yang melihat desa sebagai
wilayah administrasi dan organisasi pemerintahan paling
kecil, paling bawah dan paling rendah dalam hierarkhi
pemerintahan di Indonesia.
3. Cara pandang libertarian yang memandang desa sebagai
masyarakat tanpa pemerintahan. Cara pandang ini yang
melahirkan program-program pemberdayaan masuk ke
desa dengan membawa Bantuan Langsung Mandiri yang
diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat,
seraya meminggirkan dan mengabaikan institusi desa.
Sebelum Undang-Undang Desa tersebut ditetapkan, sejak
Indonesia merdeka, telah ditetapkan pula beberapa Undang-
50 Noer Fauzi Rahman, Yesua YDK, dan Nani Saptariani. “ Policy Paper :
Pokok-Pokok Pikiran untuk Rancangan Peraturan Pemerintahan tentang Desa Adat.”. Forum Pengembangan Pembaruan Desa (FPPD), Yogyakarta, 2014, hal
1-3. 51 Sutoro eko, Titik Istiyawatun dkk. “ Desa Membangun Indonesia”.
Forum Pengembangan Pembaruan Desa (FPPD), Yogyakarta, 2014, hal 12.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
99 | P a g e
Undang yang secara ekslusif maupun mandiri mengatur tentang
desa. Undang-undang itu antara lain : Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah, Undang-Undang Nomor 19 tahun 1965 tentang Desa
Praja, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Di Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir (hingga sebelum
15 Januari 2014) adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sepanjang menyangkut Desa mulai
dari Pasal 200 s/d Pasal 216.52
Wajah baru desa menjadi harapan mengiringi Undang-
Undang Desa dengan posisi, peran dan kewenangan desa yang
baru. Karena pada peraturan perundang-undangan sebelumnya,
kewenangan desa hanya bersifat target, dan dengan Undang-
Undang Desa ini kewenangan desa bersifat mandat. Kedudukan
desa menjadi pemerintahan masyarakat, hybrid antara self
governing community dan local self government, bukan sebagai
organisasi pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan
kabupaten/kota (local state government). Desa mempunyai posisi
52 M. Silahudin. Kewenangan Desa dan Regulasi Desa. Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. 2015, hal 8-9.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
100 | P a g e
dan peran yang lebih berdaulat, posisi dan peran yang sangat
besar dan luas dalam mengatur dan mengurus desa. Model
pembangunan yang dulunya bersistem Government driven
development atau community driven development, sekarang
bersistem Village driven development.
Sejak Orde Baru Negara memilih cara modernisasi-integrasi-
korporatisasi ketimbang rekognisi (pengakuan dan penghormatan).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999, maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
sama sekali tidak menguraikan dan menegaskan asas pengakuan
dan penghormatan terhadap desa atau yang disebut dengan nama
lain, kecuali hanya mengakui daerah-daerah khusus dan
istimewa. Banyak pihak mengatakan bahwa desentralisasi hanya
berhenti di kabupaten/kota, dan kemudian desa merupakan
residu kabupaten/kota. Pasal 200 ayat (1) menegaskan:
“Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintahan desa
dan badan permusyawaratan desa”.
Ini secara langsung menempatkan bahwasanya desa hanya
direduksi menjadi pemerintahan semata, dan desa dalam sistem
pemerintahan kabupaten/kota. Bupati/walikota memiliki cek
kosong untuk mengatur dan mengurus desa secara luas.
Pengaturan mengenai penyerahan sebagian urusan
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
101 | P a g e
kabupaten/kota ke desa, secara jelas menerapkan asas
residualitas, selain tidak dibenarkan oleh teori desentralisasi dan
hukum tata Negara.53
Kedudukan desa menjadi pemerintahan masyarakat, hybrid
antara self governing community dan local self government, bukan
sebagai organisasi pemerintahan yang berada dalam sistem
pemerintahan kabupaten/kota (local state government). Desa
mempunyai posisi dan peran yang lebih berdaulat, posisi dan
peran yang sangat besar dan luas dalam mengatur dan mengurus
desa. Model pembangunan yang dulunya bersistem Government
driven development atau community driven development, sekarang
bersistem village driven development. Kedudukan desa pada
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjadi organisasi
pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan
kabupaten/kota. Namun pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 Desa, Desa dinyatakan sebagai sebagai pemerintahan
masyarakat atau masyarakat yang be-pemerintahan, berada
dalam wilayah kabupaten/kota.
Terjadi perubahan pengaturan tentang kewenangan desa
antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014. Pertama, Undang-Undang Nomor
53 Ibid, hal 15-16.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
102 | P a g e
32 Tahun 2004 menegaskan urusan pemerintah yang sudah ada
berdasarkan asal usul desa, sedangkan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 berdasarkan hak asal usul. Pada dasarnya kedua
pengaturan ini mengandung isi yang sama, hanya saja Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 secara tersurat membatasi pada
urusan pemerintahan, kedua, Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 menyatakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya
kepada desa, sedangkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
menegaskan kewenangan lokal berskala desa. Jenis kewenangan
kedua inilah yang membedakan secara tegas dan jelas antara
kedua Undang-Undang tersebut.54
Dengan dua azas utama “rekognisi” dan “subdidiaritas”
Undang-Undang Desa mempunyai semangat revolusioner, berbeda
dengan azas “desentralisasi” dan “residualitas”. Dengan
mendasarkan pada azas desentralisasi dan residualitas desa
hanya menjadi bagian dari daerah, sebab desentralisasi hanya
berhenti di kabupaten/kota. Disamping itu, desa hanya menerima
pelimpahan sebagian kewenangan dari kabupaten/kota. Sehingga
desa hanya menerima sisa-sisa lebihan daerah, baik sisa
54 Sutoro Eko, Buku Pintar ; Kedudukan dan Kewenangan dan Tata Kelola
Desa, Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), 2014, hal 27-28.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
103 | P a g e
kewenangan maupun sisa keuangan dalam bentuk Alokasi Dana
Desa.55
Kombinasi antara azas rekognisi dan subsidiaritas Undang-
Undang Desa menghasilkan definisi desa yang berbeda dengan
definisi-definisi sebelumnya. Desa didefinisikan sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui
dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI.
Dalam pengelompokannya, kewenangan yang dimiliki desa
meliputi: kewenangan dibidang penyelenggaraan pemerintahan
desa, kewenangan dibidang pelaksanaan pembangunan desa,
kewenangan dibidang pembinaan kemasyarakatan desa, dan
kewenangan dibidang pemberdayaan masyarakat desa yang
berdasarkan prakarsa masyarakat, atau yang berdasarkan hak
asal usul dan yang berdasarkan adat istiadat desa. Dalam Pasal
19 dan 103 Undang-Undang Desa disebutkan, Desa dan Desa
Adat mempunyai empat kewenangan, meliputi :
a) kewenangan berdasarkan hak asal usul. Hal ini bebeda
dengan perundang-undangan sebelumnya yang
55 M. Silahudin. Op.cit. hal 11.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
104 | P a g e
menyebutkan bahwa urusan pemerintahan yang sudah
ada berdasarkan hak asal usul desa.
b) kewenangan lokal berskala Desa dimana desa
mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan
mengurus desanya. Berbeda dengan perundang-
undangan sebelumnya yang menyebutkan, urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/
kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa.
c) kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah,
pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah
kabupaten/kota.
d) kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
105 | P a g e
Tabel 4.3 Kewenangan Desa
Menurut UU No. 32/2004 dan UU No. 6/2014
UU No. 32/2004 UU No. 6/2014
Urusan pemerintahan yang
sudah ada berdasarkan hak asal usul desa
Kewenangan berdasarkan hak
asal usul
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya pada desa
Kewenangan local berskala desa
Tugas pembantuan dari pemerintah provinsi, dan/atau
pemerintah kabupaten/kota
Kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah
daerah provinsi, atau pemerintah daerah
kabupaten/kota Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan
perundang-undangan diserahkan kepada desa
Kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah
daerah provinsi, atau pemerintah daerah
kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-
undnagan
Pengaturan Desa pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 pasal (3 dan 4) berasaskan : a) rekognisi, b) subsidiaritas, c)
keberagaman; d) kebersamaan; e) kegotongroyongan; f)
kekeluargaan; g) musyawarah; h) demokrasi; i) kemandirian; j)
partisipasi; k) kesetaraan; l) pemberdayaan; dan m) keberlanjutan.
Dan pengaturan desa tersebut bertujuan :
a. memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa
yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
106 | P a g e
sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas
Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia
demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia;
c. melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya
masyarakat Desa;
d. mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi
masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset
Desa guna kesejahteraan bersama;
e. membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien
dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
f. meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat
Desa guna mempercepat perwujuda kesejahteraan
umum;
g. meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat
Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu
memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari
ketahanan nasional;
h. memajukan perekonomian masyarakat Desa serta
mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
107 | P a g e
i. memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek
pembangunan
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
108 | P a g e
Tabel 4.4 Identifikasi dan Kualifikasi
Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Kluster Desa
No Peraturan Daerah Analisa
Rekomendasi Perspektif desa Lama Vs Desa Baru
1. Perda No 7 Tahun
2007 Badan Permusyawaratan
Desa
Desa Lama Desa Baru
Payung Hukum UU No 32/2004 dan PP No. 72/2005
UU No. 6/2014, PP desa 43/2014. PP
60/2014 dana desa.
Asas Utama Desentralisasi-residualitas
Rekognisi-subsidiaritas
Dilakukan revisi
dan up to date acuan yuridis Dan kelengkapan
yuridis formal
2. Perda No 8 tahun 2007 Tata cara Pencalonan,
Pemilihan, Pengangkatan,
Pelantikan dan Pemberhentian
Kepala Desa
3.
Perda No 9 Tahun 2007 Pedoman Pembentukan dan
Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa
(BUMDES)
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
109 | P a g e
4.
Perda No 10 Tahun
2007 Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata
Kerja Pemerintah Desa
Kedudukan Sebagai organisasi Pemerintahan yang
berada dalam sisitem pemerintahan
kabupaten/kota(Local State Government)
Sebagai pemerintahan
masyarakat, hybrid atara self governing
community dan local self government
Posisi dan
Peran Kab/Kota
Kabupaten/Kota
mempunyaikewenangan yang besar dan luas dalam
mengatur desa
Kabupaten/ kota
mempunyai kewenanngan yang terbatas dan
strategis dalam mengatur dan
mengurus desa; termasuk
mengatur dan
5. Perda No 2 Tahun
2008 Tentang Perangkat Desa
6. Perda No 4 Tahun
2008 Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan
Desa dan Kelurahan
7. Perda No 11 Tahun 2008 Penyerahan
Urusan Pemerintahan Kabupaten Bintan
Kepada Pemerintahan Desa.
8. Perda No 13 Tahun
2008 Keuangan Desa
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
110 | P a g e
9. Perda No 5 Tahun
2009 Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan
mengurus bidang urusan desa yang
tidak perlu ditangani langsung oleh pusat
Delivery
kewenangan dan Program
target Mandat
Politik Tempat Lokasi :
desa Sebagai lokasi proyek dari atas
Arena : desa
sebagai Arena bagi orang desa untuk
menyelenggarakan pemerintahan,
pembangunan, pemberdayaan dan kemasyarakatan
Posisi dalam Pembangunan
Objek Subjek
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
111 | P a g e
Model Pembangunan
Government driven development atau
community driven development
Village driven community
Pendekatan dan Tindakan
Imposisi dan mutilasi sektoral
Fasilitasi, emansipasi dan
konsolidasi
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
112 | P a g e
4.3.2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan efek
perubahannya terhadap Peraturan Daerah Kabupaten
Bintan Kluster kewenangan Pemerintah Kabupaten
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (1),
negara Indonesia secara tegas dinyatakan sebagai negara kesatuan
yang berbentuk Republik. Prinsip pada negara kesatuan ialah
bahwa yang memegang kekuasaan tertinggi atas segenap urusan
negara ialah Pemerintah Pusat tanpa adanya suatu delegasi atau
pelimpahan kekuasaan kepada Pemerintah Daerah (local
goverment) .
Sebagai negara unitaris Negara Kesatuan Republik
Indonesia menganut 2 dua nilai dasar yaitu nilai unitaris dan nilai
desentralisasi teritorial yang pengejawantahannya berupa otonomi
daerah. Sehingga negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
negara kesatuan dengan sistem desentralistik. Konsep Negara
Kesatuan dengan sistem desentralisasi menghendaki adanya
pendelegasian kewenangan kepada pemerintah daerah otonom,
namun kekuasaan asal tetap berada pada pemerintahan pusat.
Konsep Negara Kesatuan dengan sistem desentralistik
diejawantahkan dalam Pasal 18 dan penjelasannya yang kemudian
diamandemen menjadi Pasal 18, 18A dan 18B.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
113 | P a g e
Pasal 18, 18A dan 18B memberikan landasan konstitusional
bagi pelaksanaan desentralisasi yang menekankan pada asas
otonomi dan tugas pembantuan dan menekankan pada
pengakuan kekhususan dan keistimewaan satuan-satuan
pemerintahan. Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 amandemen
melahirkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Berbicara konsep otonomi daerah pasca reformasi terdapat
pemahaman yang menimbulkan penafsiran dalam
penyelenggaraan otonomi daerah yang terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Jo.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo.
Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 pembagian urusan
dirinci menjadi urusan wajib dan urusan pilihan dengan urusan
yang sama baik untuk pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota (Pasal 13 dan Pasal 14). Dan pembagian urusan
baik urusan wajib dan urusan pilihan menjadi urusan bersama
"concurrent" yang di selenggarakan Pemerintah pusat, pemerintah
daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
114 | P a g e
Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan adanya
pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dengan
daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan di dasarkan
pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan
pemeritahan yang sepenuhnya atau tetap menjadi kewenangan
pemerintah. Urusan pemerintah tersebut menyangkut terjaminya
kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan.
Prinsip pembagian kekuasaan/kewenangan atau urusan
pada Negara kesatuan adalah sebagai berikut56:
Pertama, Kekuasaan atau kewenangan pada dasarnya adalah
milik pemerintah pusat, daerah diberi kewenangan atau
hak mengelola dan menyelenggarakan sebagian
kewenangan pemerintah yang di limpahkan atau
diserahkan. Jadi proses penyerahan atau pelimpahan
kewenangan.
Kedua, Pemerintah pusat dan pemerintah daerah tetap
mempunyai garis komando dan hubungan hierarkis.
Hubungan yang di lakukan oleh pemerintah pusat tidak
untuk mengintervensi dan mendikte pemerintah daerah
dalam berbagai hal.
56 Muchlis Hamdi, Supriyanto, R. Endi Jaweng(dkk), Naskah Akademik
RUU tentang Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah, BPHN
Tahun 2011.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
115 | P a g e
Ketiga, Kewenangan atau kekuasaan yang dialihkan atau
diserahkan kepada daerah dalam kondisi tertentu,
dimana daerah tidak mampu menjalankan tugas
dengan baik, maka kewenangan atau urusan yang
dilimpahkan atau diserahkan tersebut dapat ditarik
kembali oleh pemerintah pusat sebagai pemilik
kekuasaan atau kewenangan tersebut.
Daftar Gambar 4.3 Anatomi Urusan Pemerintah Menurut UU. No 32/200457
57
Made Suwandi, Kewenangan Daerah dalam Koridor UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dalam Josef Riwu Kaho, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, POLGOV FISIPOL UGM, 2012, hal
129.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
116 | P a g e
Pengaturan pembagian urusan pemerintahan pada Pasal 14
ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah juncto Pasal 2 ayat (4), 6, 7 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan
daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala
kabupaten/kota meliputi:
1. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat;
4. penyediaan sarana dan prasarana umum;
5. penanganan bidang kesehatan;
6. penyelenggaraan pendidikan;
7. penanggulangan masalah sosial;
8. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
117 | P a g e
9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan
menengah;
10. pengendalian lingkungan hidup;
11. pelayanan pertanahan;
12. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
13. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
14. pelayanan administrasi penanaman modal;
15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38
Tahun 2007 menyebutkan:
1. pendidikan;
2. kesehatan;
3. pekerjaan umum;
4. perumahan;
5. penataan ruang;
6. perencanaan pembangunan;
7. perhubungan;
8. lingkungan hidup;
9. pertanahan;
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
118 | P a g e
10. kependudukan dan catatan sipil;
11. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
12. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
13. sosial;
14. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
15. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
16. penanaman modal;
17. kebudayaan dan pariwisata;
18. kepemudaan dan olah raga;
19. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
20. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi
keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan
persandian;
21. pemberdayaan masyarakat dan desa;
22. statistik;
23. kearsipan;
24. perpustakaan;
25. komunikasi dan informatika;
26. pertanian dan ketahanan pangan;
27. kehutanan;
28. energi dan sumber daya mineral;
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
119 | P a g e
29. kelautan dan perikanan;
30. perdagangan; dan perindustrian
Pasal 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38
Tahun 2007 menyebutkan:
1. Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian
urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) menjadi kewenangannya.
2. Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38
Tahun 2007 menyebutkan:
(1) Urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2) adalah urusan pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan
pelayanan dasar.
(2) Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a) pendidikan;
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
120 | P a g e
b) kesehatan;
c) lingkungan hidup;
d) pekerjaan umum;
e) penataan ruang;
f) perencanaan pembangunan;
g) perumahan;
h) kepemudaan dan olahraga;
i) penanaman modal;
j) koperasi dan usaha kecil dan menengah;
k) kependudukan dan catatan sipil;
l) ketenagakerjaan;
m) ketahanan pangan;
n) pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
o) keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
p) perhubungan;
q) komunikasi dan informatika;
r) pertanahan;
s) kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t) otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi
keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian,
dan persandian;
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
121 | P a g e
u) pemberdayaan masyarakat dan desa;
v) sosial;
w) kebudayaan;
x) statistik;
y) kearsipan; dan
z) perpustakaan
Setidaknya terdapat 4 (empat) hal penting terkait dengan
aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
201458.
4.3.2.1 Klasifikasi dan Urusan Pemerintah.
Menurut Pasal 9 ayat (1), Urusan Pemerintahan terdiri
dari Urusan Pemerintahan Absolut, Urusan Pemerintahan
Konkuren dan Urusan Pemerintahan Umum. Artinya, terdapat tiga
Urusan Pemerintah yang sebelumnya memuat dua, yaitu urusan
wajib dan urusan pilihan. Secara lebih rinci, ketiga urusan
tersebut disajikan berikut :
58 Luky Adrianto dan Akhmad Solihin, Kajian Dampak Kebijakan UU No.23
Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah Terhadap Pengelolaan Kawasan
Konservasi Perairan, 2014. Kerjasama Kementerian Kelautan dan Perikanan,
MPAG, USAID.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
122 | P a g e
1. Urusan Pemerintahan Absolut
Urusan Pemerintahan Absolut adalah Urusan Pemerintahan
yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, yang
meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiskal nasional, dan agama. Dalam menyelenggarakan
Urusan Pemerintahan Absolut, Pemerintah Pusat dapat: (a)
melaksanakan sendiri, (b) melimpahkan wewenang kepada
Instansi Vertikal atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
berdasarkan asas Dekonsentrasi; atau menugaskan sebagian
Urusan Pemerintahan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan
asas Tugas Pembantuan.
2. Urusan Pemerintahan Konkuren
Urusan Pemerintahan Konkuren adalah Urusan
Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dengan
Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Urusan
Pemerintahan Konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi
dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Sementara Urusan
Pemerintahan Konkuren yang menjadi kewenangan Daerah, terdiri
dari Urusan Pemerintahan yang bersifat wajib dan Urusan
Pemerintahan yang bersifat pilihan. Pembagian Urusan
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
123 | P a g e
Pemerintahan Konkuren antara Pemerintah Pusat dengan Daerah
Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota didasarkan pada kriteria
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. Urusan Pemerintahan
Wajib terdiri dari:
a. Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan
Dasar, meliputi: pendidikan; kesehatan; lingkungan
hidup; pekerjaan umum; ketahanan pangan;
administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
pengendalian penduduk dan keluarga berencana; sosial;
tenaga kerja; perumahan rakyat; ketentraman dan
ketertiban umum serta perlindungan masyarakat;
perhubungan; dan perlindungan anak.
b. Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan dan tidak
berkaitan dengan Pelayanan Dasar, meliputi: penataan
ruang; pertanahan; komunikasi dan informatika;
koperasi, usaha kecil, dan menengah; penanaman
modal; kepemudaan dan olah raga; pemberdayaan
masyarakat desa; pemberdayaan perempuan; statistik;
persandian; kebudayaan; perpustakaan; dan kearsipan.
c. Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Urusan
Pemerintahan yang berkaitan dengan pengembangan
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
124 | P a g e
potensi unggulan di Daerah, yang meliputi: kelautan
dan perikanan; pariwisata; pertanian; kehutanan; energi
dan sumber daya mineral; perdagangan; perindustrian;
dan transmigrasi.
3. Urusan Pemerintahan Umum
Urusan Pemerintahan Umum, adalah Urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
4.3.2.2 Pembagian Urusan Pemerintah.
Menurut Pasal 13 ayat (1), pembagian Urusan Pemerintahan
Konkuren antara Pemerintah Pusat dengan Daerah Provinsi dan
Daerah Kabupaten/Kota didasarkan pada kriteria akuntabilitas,
efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
125 | P a g e
Tabel 4.5 Kewenangan Berdasarkan Prinsip59
No Tingkatan
Pemerintahan
Kriteria
1 Pusat Urusan Pemerintahan yang lokasinya
lintas Daerah provinsi atau lintas negara;
Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;
Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah
provinsi atau lintas negara; Urusan Pemerintahan yang
penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan/atau
Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional
2 Provinsi Urusan Pemerintahan yang lokasinya
lintas Daerah kabupaten/kota; Urusan Pemerintahan yang
penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota;
Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah
kabupaten/kota; dan/atau Urusan Pemerintahan yang
penggunaan sumber dayanya lebih
efisien apabila dilakukan oleh Daerah Provinsi
3 Kabupaten/
Kota
Urusan Pemerintahan yang lokasinya
dalam Daerah kabupaten/kota; Urusan Pemerintahan yang
penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota;
Urusan Pemerintahan yang manfaat
atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah kabupaten/kota;
Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih
efisien apabila dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.
59
Undang-undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
126 | P a g e
4.3.2.3 Penyelenggaraan Kewenangan
Berdasarkan kewenangan sesuai Urusan Pemerintahan,
masing-masing tingkatan pemerintah memiliki ketentuan
penyelenggaraan pemerintahan.
4.3.2.4 Pengelolaan Wilayah Laut
Aturan pengelolaan di wilayah laut mengalami perubahan
sangat drastis. Adapun perubahan tersebut, yaitu :
1. Perubahan kewenangan
Menurut Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014, Daerah Provinsi diberikan kewenangan untuk mengelola
sumber daya laut yang ada di wilayahnya. Artinya, pasal ini
menetapkan bahwa hanya provinsi yang berhak mengelola sumber
daya laut. Hal ini berbeda dengan aturan sebelumnya, bahwa
daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk
mengelola sumber daya di wilayah laut (Pasal 18 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004). Daerah dalam pasal ini adalah
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Jadi, Pasal Pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang Pemda mencabut kewenangan Kabupaten/Kota.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
127 | P a g e
2. Bagi hasil pengelolaan sumber daya
Meskipun kewenangan pengelolaan kabupaten/kota dicabut,
namun kabupaten/kota penghasil dan bukan penghasil
mendapatkan bagi hasil dari penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan. Penentuan Daerah Kabupaten/Kota penghasil
untuk penghitungan bagi hasil kelautan adalah hasil kelautan
yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil diukur dari garis
pangkal ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Dalam hal batas wilayah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) kurang dari 4 (empat) mil, batas wilayahnya
dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari
daerah yang berbatasan. Artinya, pemerintah kabupaten/kota
tetap mendapatkan “hak” atas bagi hasil sumber daya sejauh 4
mil laut.
3. Kewenangan pengelolaan
Kewenangan Daerah Provinsi untuk mengelola sumber daya
di wilayah laut sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 ayat (2)
Undang-Undang Pemda, meliputi: (a) eksplorasi, eksploitasi,
konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut diluar minyak dan gas
bumi; (b) pengaturan administratif; (c) pengaturan tata ruang; (d)
penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
128 | P a g e
Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah
Pusat; (e) membantu memelihara keamanan di laut; dan (e)
membantu mempertahankan kedaulatan Negara. Berdasarkan
Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Pemda, adanya penekanan
kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan
kekayaan laut hanya untuk sumber daya di luar minyak dan gas
bumi.
4. Wilayah kewenangan
Menurut Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Pemda,
Kewenangan Daerah Provinsi untuk mengelola sumber daya di
wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis
pangkal ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Apabila wilayah laut antara 2 (dua) Daerah Provinsi kurang dari
24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber
daya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip
garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) Daerah Provinsi tersebut
(Pasal 27 ayat (4). Artinya, terjadi perubahan kewenangan
pengelolaan sumberdaya laut yang hanya untuk Daerah Provinsi.
Selain itu, perubahan pembagian jarak wilayah pengelolaan
sumberdaya laut hanya untuk Daerah Provinsi, sehingga
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
129 | P a g e
pembagian jarak wilayah pengelolaan sumberdaya laut untuk
Kabupaten/Kota dibuang.
5. Provinsi Kepulauan
Menurut Pasal 28 ayat (1), selain melaksanakan
kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut, bagi
Daerah Provinsi yang berciri kepulauan, Pemerintah Pusat
menugaskan pelaksanaan kewenangannya di bidang kelautan.
Penugasan baru dapat dilaksanakan apabila Pemerintah Daerah
Provinsi yang berciri kepulauan tersebut telah memenuhi norma,
standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat. Mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria, Undang-
Undang Pemerintahan Daerah mengamanatkan pengaturan dalam
bentuk Peraturan Pemerintah.
4.3.2.5 Pengelolaan Pertambangan Mineral
Dalam rezim hak kepemilikan (property rights regime), hak
atas sumber daya digolongkan ke dalam empat jenis hak, yaitu60;
60 Yance Arizona, Karakter Peraturan Daerah SUmberdaya Alam : Kajian
Kritis terhadap Struktur Formal Peraturan Daerah dan Konstruksi Hak terkait Pengelolaan Hutan, Penerbit HUMA, 2008, hal 9-15.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
130 | P a g e
1. Open Acces.
Dalam open acces sumber daya alam dipandang tidak
memiliki oleh siapapun. Oleh karena itu masyarakat merdeka
melakukan pemanfaatan dengan caranya sendiri. Sebagian
masyarakat memanfaatkanya secar arif.
2. Private Property
Private Property atau keemilikan pribadi atas sumber daya
alam seperti tanah atau benda yang engakar pada tanah secara
“tetap” dalam literatur hukum perdata termasuk sebagai pemilikan
atas benda tidak bergerak (roerende zaken). Pengemban hak atas
private property ini adalah pribadi alamiah (naturalijke person)
atau pribadi buatan/badan hukum. Menurut Machperson, baik
pribadi alamiah maupun pribadi buatan adalah sama-sama
pribadi sebagai suatu subjek pengemban hak.
Private property sebagai kepemilikan pribadi (individual
atau korporasi) adalah jenis hak yang terkuat karena memiliki
empat sifat yang tidak dimiliki oleh tiga jenis hak lainnya, yaitu:
(a) completeness, dimana hak-hak didefinisikan secara lengkap,
(b) exclusivity, dimana semua manfaat dan biaya yang timbul
menjadi tanggungan secara ekslusif pemegang hak, (c)
transferable, dimana hak dapat dialihkan kepada pihak lain baik
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
131 | P a g e
secara penuh (jual-beli) maupun secara parsial (sewa, gadai), dan
(d) enforcebility, dimana hak-hak tersebut dapat ditegakkan.
Oleh karena empat alasan itu maka private property dianggap
sebagai hak yang paling efisien dan mendekati sempurna.
Dorongan kesempurnaan hak yang memiliki empat sifat tadi
berorientasi pada kepastian dan efisiensi dalam industrialisasi.
3. State Property
Berangkat dari motivasi yang kuat untuk mengatur
pengelolaan sumber daya alam, maka pada masyarakat politik
modern, sumber daya alam ditetapkan sebagai “milik negara” atau
“state property”. Tesis Hardin tentang “tragedy of the commons”
dijadikan sebagai pembenar bagi tindakan negara (pemerintah)
untuk menguasai dan mengatur sumber daya alam dalam arti
yang seluas-luasnya.
Negara menjadi aktor yang paling ekstensif dalam mengatur
dan mengelola sumber daya alam karena sifatnya sebagai badan
publik yang melingkupi seluruh warganegara. Karena hubungan
negara dengan sumber daya alam dan masyarakatnya bersifat
publik, maka tujuan dari hubungan negara dengan sumber daya
alam adalah untuk kemakmuran masyarakat. Namun, konsep
idealistik tentang kedaulatan dan kekuasaan negara sebagai
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
132 | P a g e
badan publik sering kali terdistorsi. Setidaknya terdapat dua
distorsi berkaitan dengan state property: Pertama, konsep negara
sebagai “penguasa” (aspek publik) didistorsi menjadi negara
sebagai “pemilik” (aspek private).
Kedua, “Negara” di representasikan menjadi “Pemerintah,”
sehingga pemerintah lantas bertindak sebagai pemilik, pengelola,
pengurus dan pengawas terhadap tindakan pengelolaan sumber
daya alam. Bahkan kebanyakan hak-hak privat lahir sebagai hak
berian dari negara c.q pemerintah seperti hak guna usaha, hak
guna bangunan, dan hak-hak pengelolaan baik yang diberikan
kepada masyarakat atau berkolaborasi antara pemerintah dengan
masyarakat.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia
yang menafsirkan Konsep Penguasaan Negara atas Sumberdaya
Alam dalam Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003
mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002
tentang Ketenagalistrikan juga membenarkan hubungan hak
kepemilikan yang bersifat privat atau keperdataan antara negara
dengan sumberdaya alam:
Menimbang bahwa jika pengertian kata “dikuasai oleh
negara” hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
133 | P a g e
(privat), maka hal dimaksud tidak akan mencukupi dalam
menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”,…….. Namun demikian, konsepsi
kepemilikan perdata itu sendiri harus diakui sebagai salah satu
konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga
pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas
sumber-sumber kekayaan dimaksud.
4. Communal Property
Pengelolaan sumber daya alam sebagai “milik negara”
maupun milik privat terutama swasta telah meninggalkan jejak
yang sama, yaitu kerusakan lingkungan dan peminggiran
masyarakat lokal Communal property bukanlah konsep baru dalam
hubungan antara manusia dengan sumber daya alam. Di beberapa
tempat, konsep communal property/commons property atau
community-based management dicoba dihidupkan kembali dengan
mengangkat konsep ulayat dari hubungan masyarakat secara
tradisional dengan sumber daya alam yang sudah ada sejak lama.
Bahkan konsep itu merupakan konsep sebelum kemunculan
negara dan hak privat di negara-negara berkembang. Para pakar
seperti Bromley, Ostrom, Lynch dan Talbott menyatakan, bahwa
apa yang dimaksud dengan common property bukanlah open
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
134 | P a g e
access sebagaimana disangkakan oleh para ekonom dengan
menggunakan The Tragedy of The Commons dari Garret Hardin.
Landasan hukum yang berkaitan dengan penguasaan
negara atas sumberdaya alam di Indonesia termaktub dalam pasal
33 ayat (2) dan (3) Undang-undang Dasar 1945, Ayat (2) :
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ayat
(3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Hubungan negara dengan sumber daya alam sebagaimana
tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945
menurut Mahkamah Kontitusi diturunkan ke dalam lima fungsi
yaitu: yaitu pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad),
kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), serta
pengawasan (toezichthoudensdaad).
Lima fungsi negara terhadap sumberdaya alam yang
dilakukan oleh pemerintah (termasuk pemerintah daerah)
sebagaimana ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi dapat
digunakan untuk mengkategorisasi Perda sumberdaya alam.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
135 | P a g e
Pertama, dalam fungsi pengaturan (regelendaad), setiap
peraturan daerah adalah bersifat mengatur, sehingga secara
eksplisit bahwa peraturan daerah lahir dalam kapasitas
pemerintah daerah melakukan fungsi pengaturan. Kedua, Fungsi
pengelolaan (beheersdaad) dilihat dari materi yang diatur dalam
peraturan daerah. Apakah suatu peraturan daerah memberikan
hak atau kewenangan pengelolaan kepada instansi Badan Usaha
Milik Daerah atau Perusahaan Daerah dalam mengelola
sumberdaya alam? Termasuk dalam hal ini adalah apakah negara
melalui pemerintah daerah memberikan kewenangan pengelolaan
kepada masyarakat atau bersama-sama dengan masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya alam.
Ketiga, Fungsi Kebijakan (beleid) dan Keempat, tindakan
pengurusan (berstuursdaad) yang dilihat dari materi peraturan
daerah, apakah suatu peraturan daerah memberikan izin, lisensi
atau konsesi kepada badan hukum atau non-badan hukum dalam
mengakses sumberdaya alam. Fungsi pengurusan dalam bentuk
pemberian izin berkaitan dengan kewenangan pemerintah daerah
untuk menarik pungutan (pajak daerah dan retribusi daerah) dari
pemanfaatan sumberdaya alam
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
136 | P a g e
Kelima, Fungsi pengawasan (toezichthoudensdaad) dalam
peraturan daerah dilihat dari bagaimana pengaturan pengawasan
dan/atau pengendalian dirumuskan di dalam peraturan daerah
agar penguasaan negara atas sumberdaya alam dimanfaatkan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bagi pemerintah pusat,
fungsi pengawasan ini dilakukan dengan melakukan pengujian
(executive review) terhadap peraturan daerah yang dikeluarkan
oleh pemerintah daerah.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
137 | P a g e
Tabel 4.6
Perbandingan UU No.11/1967 dan UU No.4/2009
Materi Pokok UU No.11 Tahun
1967
UU No.4 Tahun 2009
1. Judul Ketentuan2
Pokok
Pertambangan
Pertambangan Mineral
dan Batubara
2. Prinsip Hak
Penguasaan
Negara (HPN)
Penguasaan
bahan galian
diselenggarakan
Negara (psl. 1)
o Penguasaan
minerba oleh
Negara,
diselenggarakan
oleh Pemerintah
dan/atau Pemda
(psl.4)
o Pemerintah dan
DPR menetapkan
kebijakan
pengutamaan
minerba bagi
kepentingan
nasional (psl.5)
3. Penggolongan/
Pengelompokan
Penggolongan
bahan galian:
strategis, vital,
non strategis-non
vital (psl.3)
o Pengelompokan usaha
pertambangan:
mineral dan batubara
o Penggolongan
tambang mineral:
radioaktif, lo- gam,
bukan logam, batuan
(psl.34)
4. Kewenangan
Pengelolaan
o Bahan galian
strategis (gol.A)
dan vital (gol.B)
oleh
Pemerintah
o Bahan galian
o 21 kewenangan
berada di tangan
pusat
o 14 kewenangan
berada di tangan
propinsi
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
138 | P a g e
non strategis-
non vital oleh
Pemda
I/Propinsi
(psl.4)
o 12 kewenangan
berada di tangan
kabupaten/kota (psl.
6-8)
5. Wilayah
Pertambangan
Secara terinci
tidak diatur,
kecuali bahwa
usaha
pertambangan
tidak berlokasi di
tempat suci,
kuburan,
bangunan, dll
(psl.16 ayat 3)
o Wilayah
pertambangan
adalah bagian dari
tata ruang
nasional,
ditetapkan
pemerintah setelah
koordinasi dgn
Pemda dan
konsultasi dgn
DPR (psl.10)
o Wilayah
pertambangan tdd:
wilayah usaha
pertambangan/WU
P, wilayah
pertambangan
rakyat/WPR dan
wilayah
pencadangan
nasional/ WPN
(psl.14-33)
6. Legalitas Usaha Rezim kontrak
(psl.10,15),
berupa:
o Kontrak
karya/KK
o Kuasa
pertambangan
/KP
o Surat ijin
pertambangan
Rezim perijinan (psl. 35),
berupa:
o Ijin usaha
pertambangan/IUP
o Ijin pertambangan
rakyat/IPR
o Ijin usaha
pertambangan
khusus/IUPK
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
139 | P a g e
daerah/SIPD
o Surat ijin
pertambangan
rakyat/SIPR
7. Tahapan Usaha Enam tahapan,
berkonsekuensi
pada adanya 6
jenis kuasa
pertambangan:
penyelidikan
umum,
eksplorasi,
eksploitasi,
pengolahan &
pemurnian,
pengangkutan,
penjualan (psl.14)
Dua tahapan,
berkonsekuensi pada
adanya 2 tingkatan
perijinan:
o Eksplorasi, meliputi:
penyeldikan umum,
eskplorasi, studi
kelayakan.
o Operasi produksi,
meliputi: konstruksi,
penambangan,
pengolahan &
pemurnian,
pengangkutan &
penjualan (psl.36)
8. Klasifikasi
Investor & Jenis
Legalitas Usaha
o Investor
domestik
(PMDN),
berupa: KP,
SIPD, PKP2B
o Investor asing
(PMA), berupa:
KK, PKP2B
o IUP bagi badan usaha
(PMA/PMDN),
koperasi,
perseorangan (psl.38)
o IPR bagi penduduk
lokal, koperasi (psl.67)
o IUPK bagi badan
usaha berbadan
hukum Indonesia,
dengan prioritas bagi
BUMN/D (psl.75)
Pembagian kewenangan antar-pemerintahan. Secara umum,
jika merujuk Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 yang menjadi pedomaan dalam Undang-
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
140 | P a g e
Undang Nomor 4 Tahun 2009, arsitektur umum pembagian
kewenangan pertambangan dalam sistem pemerintahan RI hari ini
dapat ditunjukan seperti gambar berikut ini:
Daftar Bagan 4.4
Pertambangan Dalam Sistem Pemerintahan NKRI (UUD 1945 & UU NO. 32 Tahun 2004)
Mengalir dari pedoman di atas, Undang-Undang Minerba
menggariskan kewenangan eksklusif pusat dalam hal: (a)
penetapan kebijakan nasional, (b) pembuatan peraturan
perundang-undangan, (c) penetapan standard, pedoman dan
kriteria, (d) penetapan sistem perijinan pertambangan minerba
nasional, (e) penetapan wilayah pertambangan setelah
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
141 | P a g e
berkoordinasi dengan Pemda dan berkonsultasi dengan DPR. Di
luar itu, jenis-jenis kewenangan (terutama ihwal perijinan) antar
pusat, propinsi dan kab/kota bersubtansi sama dan hanya
berbeda dalam skala cakupan wilayah: Pemda kab/kota dalam
kab/kota tersebut dan wilayah laut sampai 4 mil, Pemda propinsi
untuk wilayah lintas kab/kota dan wilayah laut sampai 4-12 mil,
serta Pusat untuk wilayah lintas propinsi dan wilayah laut lebih
dari 12 mil dari garis pantai. Pembagian semacam ini juga sesuai
dengan garis Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan.
Wewenang Perizinan Tambang di Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 Pemerintahan Daerah/Perpu Nomor 2 Tahun 2014,
Pasal 14 menyatakan:
Urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber
daya mineral hanya ada pada pemerintah provinsi dari pusat.
Selanjutnya, yang menjadi Kewenangan pemerintah
Pusat adalah sebagai berikut:
1. Menetapkan wilayah tambang (WP) yang terdiri dari
wilayah usaha pertambangan (WUP), wilayah
pencadangan negara (WPN), dan wilayah usaha
pertambangan khusus (WUPK);
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
142 | P a g e
2. Menetapkan WIUP mineral logam dan batubara serta
WIUPK;
3. Menetapkan WIUP mineral non logam lintas provinsi;
4. Menerbitkan IUP mineral logam, mineral nonlogam, dan
batubara yang wilayah tambangnya lintas provinsi,
berbatasan negara lain, serta wilayah laut dari 12 mil;
5. Menerbitkan IUP penanaman modal asing;
6. Penerbitan IUPK;
7. Penerbitan IUPL pengolahan dan permurnian untuk
penanaman modal asing;
8. Penetapan produksi mineral logam dan batubara untuk
tiap provinsi;
9. Penetapan harga patokan mineral logam dan harga
patokan batubara;
10. Pengelolaan inspektur tambang.
Kemudian, yang menjadi Kewenangan pemerintah Provinsi
adalah sebagai berikut:
1. Penerbitan WIUP mineral non logam dan batuan;
2. Penerbitan IUP mineral logam dan batubara;
3. Penerbitan IUP mineral non logam dan batuan;
4. Penerbitan IPR;
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
143 | P a g e
5. Penerbitan IUPK pengolahan dan pemurnian untuk
penanaman modal dalam negeri;
6. Penetapan harga patokan mineral non logam dan
batuan.
7. Penerbitan WIUP mineral non logam dan batuan;
8. Penerbitan IUP mineral logam dan batubara;
9. Penerbitan IUP mineral non logam dan batuan;
10. Penerbitan IPR;
11. Penerbitan IUPK pengolahan dan pemurnian untuk
penanaman modal dalam negeri;
12. Penetapan harga patokan mineral non logam dan
batuan.
Jika diadakan studi komperatif terkait hal pertambangan
maka jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Mineral dan Batubara (Minerba), justru menyebutkan
bahwa Kewenangan bupati/walikota terkait izin pertambangan:
1. Menetapkan wilayah pertambangan rakyat (WPR) setelah
berkonsultasi DPRD;
2. Menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di
wilayahnya;
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
144 | P a g e
3. Memberikan rekomendasi kepada gubernur soal
penerbitan IUP yang berada dalam wilayah lintas
kabupaten dan kepada menteri penerbitan IUP lintas
provinsi;
4. Memberikan izin sementara penjualan mineral atau
batubara bila kegiatan studi kelayakan yang dilakukan
pemegang IUP Eksplorasi mendapatkan minerba;
5. Menerbitkan IUP operasi produksi untuk lokasi
penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian serta
pelabuhan yang berada dalam satu wilayah
kabupaten/kota. Memberikan rekomendasi ke Gubernur
untuk IUP lintas kabupaten dan kepada menteri terkait
IUP lintas provinsi;
6. Menerbitkan Izin Pertambangan Rakyat;
7. Mencabut IUP atau Izin Usaha Pertambangan khusus
(IUPK);
8. Mengawasi usaha pertambangan yang dilakukan oleh
pemegang IUP;
9. Melaporkan pelaksanaan kegiatan pertambangan yang
dilakukan oleh pemegan IUP di wilayah kabupaten/kota
kepada menteri;
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
145 | P a g e
10. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
usaha pertambangan rakyat;
11. Memberikan sanksi administratif kepada pemegang
IUP, IPR, atau IUPK.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
146 | P a g e
Daftar Bagan 4.5 Isu-isu Strategis Mandatory
Undang-Undang Nomor 23 tahun 201461
61
Paparan Direktorat Jendral Mineral dan Batubara Pada Indonesia Minning Outlok 2015, Jakarta 28 Januari 2014
Landasan Fundamanetal
Untuk Pengelolaan SDA
Arah Baru Tata Kelola Pertambangan Minerba
Isu-Isu Strategis Mandatory
Harmonisasi dengan Peraturan Pelaksanaan
UU4/2009
UUD 1945 Pasal 33
UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
a. Penyerahan IUP Bupati/Walikota kepada Gubernur
b. Gubernur memberikan Tugas Pembantuan kepada Buapti/Walikota Untuk Menerbitkan IUP Mineral bukan logam dan Batuan
Kelembagaan Inspektur Tambang dan Pejabat
Pengawas Pertambangan
Pembentukan Balai Pertambangan
a. Pengelolaan Inspektur Tambang secara nasional dengan merevisi Kepmen PANRB dan Revisi SKB Menteri ESDM, Menteri PAN dan Kepala BKN
b. Pengelolaan Pejabat Pengawas Pertambangan
Pembentukan Balai Pertambangan disetiap Provinsi Kecuali Provinsi di Pulau Jawa dan Bali
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
147 | P a g e
Tabel 4.7
Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi
dan Sumber Daya Mineral
NO Sub
Urusan
Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah
Kabupaten/
Kota
1 2 3 4 5 1 Mineral
dan
Batubara
a) Penetapan wilayah pertambangan
sebagai bagian dari rencana tata ruang
wilayah nasional, yang terdiri atas
wilayah usaha pertambagan, wilayah
pertambangan rakat dan wilayah
pencadangan negara serta
wilayah usaha pertambangan khsusus
b) Penetapan wilayah izin usaha
pertambangan mineral logam dan
batubara serta wilayah izin usaha pertambangan
khusus c) Penetapan wilayah
izin usaha pertambangan
mineral bukan logam dan batuan lintas Daerah
Provinsi dan wilayah laut lebih
dari 12 mil
a) Penetapan wilayah izin
usaha pertabangan
mineral bukan ogam dan
batuan dalam 1 (satu) Daerah Provinsi dan
wilayah laut sampai 12 mil
b) Penerbitan izin usaha
pertambangan mineral logam dan batubara
dalam rangka penanaman
modal dalam negri pada
wilayah izin usaha pertambangan
Daerah yang berada dalam
satu daerah Provinsi
termasuk wilayah laut sampai 12 mil
laut c) Penerbitan izin
usaha
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
148 | P a g e
d) Penerbitan izin usaha
pertambangan mineral logam, batu bara, mineral
bukan logam dan batuan pada:
1). Wilayah izin usaha
pertambangan yang berada pada wilayah lintas
daerah provinsi; 2). Wilayah izin
usaha pertambangan
yang berbatasan langsung dengan negara lain; dan
3) wilayah laut lebih dari 12 mil
e) penerbitan izin usaha
pertambangan dalam rangka penanaman modal
asing f) pemberianizin
usaha pertambangan
khusus mineral dan batu bara
g) permeberian
registrasi izin usaha
pertambangan dan penetapan umlah
produksi setiap daerah provinsi untuk komoditas
mineral logam dan batubara
oertambangan mineral bukan
logam dan batuan dalam rangka
penanaman modal dalam
negri pada wilayah izin
usaha pertambangan yang berada
dalam satu daerah provinsi
termasuk wilayah laut
sampai dengan 12 mil laut.
d) Penerbitan izin
pertambangan rakyat untuk
komoditas mineral logam,
batubara, mineral bukan logam, dan
batuan dalam wilayah
pertambangan rakyat.
e) Penerbitan izin usaha pertambangan
operasi produksi khusus untuk
pengolahan dan pemurnian
dalam rangka penanaman modal dalam
negri yang komoditas
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
149 | P a g e
h) penerbitan izin usaha
pertambanngan operasi produksi khusus untuk
pengolahan dan pemurnian yang
komoditas tambangnya yang
berasal dari daerah provinsi lain di luar lokasi fasilitas
pengolahan dan pemurnian, atau
impor serta dalam rangka penanaman
modal asing i) penerbitan izin
usaha jasa
pertambangan dan surat keterangan
terdaftar dalam rangka penanaman
modal dalam negri dan penanaman modal asing yang
kegiatan usahanya di seluruh
wialayah Indonesia j) penetapan harga
patokan mineral logam dan batubara
k) pengelolaan inspektur tambang
dan pejabat pengawas
pertambangan
tambangnya berasal dari satu
daerah Provinsi yang sama
f) Penerbitan izin
usaha jasa pertambangan
dan surat keterangan
terdaftar dalam rangka penanaman
modal dalam negri yang
kegiatan usahanya dalam
satu daerah provinsi.
g) Penetapan harga
patokan mineral bukan logam
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
150 | P a g e
Tabel 4.8 Identifikasi dan Kualifikasi
Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Kluster kewenangan Pemerintah Kabupaten
NO Peraturan Daerah Rekomendasi Keterangan
1 Perda No 5 tahun 2008 tentang
Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintah Kabupaten
Bintan
Dilakukan
Penyempurnaan dan up to date acuan yuridis
Dan kelengkapan yuridis formal
Pembagian urusan pemerintahan
ke dalam 1. Absolut
2. Konkuren yang dibagi ke dalam dua bahagian; a) wajib dan, b) pilihan
3. Urusan Pemerintahan Umum
2 Perda No 10 tahun 2008 tentang
Pembentukan Organisasi Kecamatan dan Kelurahan
Dilakukan
Penyempurnaan dan up to date acuan yuridis
Dan kelengkapan yuridis formal
3 Perda No 8 tahun 2009 tentang Pedoman Pembentukan, dan
Penghapusan dan Penggabungan Kelurahan
Dilakukan Penyempurnaan dan up to
date acuan yuridis Dan kelengkapan yuridis
formal
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
151 | P a g e
4 Perda No 2 tahun 2010 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Daerah
Dilakukan Penyempurnaan dan up to
date acuan yuridis Dan kelengkapan yuridis
formal
5 Perda No 1 tahun 2012 tentang
Pengelolaan Pertambangan Mineral
Dilakukan
Penyempurnaan dan up to date acuan yuridis
Dan kelengkapan yuridis formal
Pemberiuan IUP tidak lagi berada
dalam urusan pemerintahan kabupaten/kota namun menjadi
urusan pemerintahan provinsi. Namun dalam UU minerba 2009
masih meletakkan pemerintah kabupaten/kota sebagai pemberi IUP.
6 Perda No 2 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Bintan
Dilakukan Penyempurnaan dan up to
date acuan yuridis Dan kelengkapan yuridis
formal
Perubahan tentang batas wilayah laut yang kini tidak lagi menjadi
urusan pemerintahan Kabupaten/kota namun menjadi
urusan pemerintah pemerintahan Provinsi
7 Perda No 9 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
Dilakukan Penyempurnaan dan up to date acuan yuridis
Dan kelengkapan yuridis formal
Manajemen Pendidikan a) Pengelolaan Pendidikan Dasar b) Pengelolaan Pendidikan anak
Usia dini dan Pendidikan Nssional
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
152 | P a g e
Kurikulum
Penetapan kurikulum muatan local pendidikan dasar, pendidikan anak usia dini, dan
pendidikan non formal
Perizinan Pendidikan a) Penerbitan izin pendidikan
dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat
b) Penerbitan izin pendidikan
anak usia dini dan pendidikan non-formal yang
diselenggarakan oleh masyarakat.
Pembinaan bahasa dan sastra yang penuturnya dalam daerah
Kabupaten/Kota
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
153 | P a g e
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik ke
desentralistik atau otonomi daerah yang pada hakekatnya
bertujuan untuk peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan
pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat
dan daerah.
Penerapan otonomi daerah merupakan bagian dalam amanat
reformasi, dan hal itu kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor
22 tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dan
kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014
tentang pemerintah daerah (walaupun terdapat Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2014, namun Undang-
Undang Nomor 23 tahun 2014 tetap berlaku, perubahan yang terjadi
pada Perppu, hanya mencabut dua pasal yakni; terkait dengan
kewenangan DPRD memilih kepala Daerah).
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah
daerah lebih merupakan dekonstruksi daripada upaya me-
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
154 | P a g e
rekonstruksi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, dengan
mereduksi kewenangan bupati/walikota untuk membangun daerah.
Instrument desentralisasi turut mengubah pola pengelolaan
sumber daya yang sebelumnya berada dalam level kewenangan
kabupaten/kota kemudian di alihkan pada level provinsi,
diantaranya; Pengalihan urusan pendidikan menengah
(SMA/SMK), perijinan tambang galian C, dan batas wilayah laut
dan hutan yang kini kabupaten/kota tidak punya kewenangan
karena dialihkan ke Provinsi.
Maka dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23
tahun 2014, praktis terdapat efek perubahan dan patut dilakukan
penyesuaian acuan normatif yuridisnya peraturan-peraturan
daerah yang ada di Kabupaten Bintan, khususnya yang berkaitan
dengan kewenangan yang semula menjadi domain pemerintah
kabupaten/kota kini telah beralih ke pemerintahan provinsi, pun
demikian dengan beleid desa terdapat peraturan baru yakni
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
155 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Amrah Muslimin, Pemerintahan Daerah Menurut Perundangan
Terakhir (Tahun 1957), Karya Budhi Darma, Jakarta, 1957.
________, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986.
Adrianto, Luky dan Akhmad Solihin, Kajian Dampak Kebijakan UU
No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah Terhadap
Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, 2014.
Kerjasama Kementerian Kelautan dan Perikanan, MPAG,
USAID.
Arizona, Yance, Karakter Peraturan Daerah Sumberdaya Alam :
Kajian Kritis terhadap Struktur Formal Peraturan Daerah
dan Konstruksi Hak terkait Pengelolaan Hutan, Penerbit
HUMA, 2008.
B.N Marbun, DPRD & Otonomi Daerah Setelah Amandemen UUD
1945 & UU Otonomi Daerah 2004, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2005.
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia,
PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
David Osborne-Ted Goebler, Reinventing Government, New York: A
Plume Book, 1993.
Endi Jaweng, Robert, Sketsa Otonomi Daerah Tahun 2014, KPPOD
Brief Edisi Oktober-Desember 2014
Eko, Sutoro, Titik Istiyawatun dkk, Desa Membangun Indonesia,
Forum Pengembangan Pembaruan Desa (FPPD),
Yogyakarta, 2014,
Eko, Sutoro, Buku Pintar ; Kedudukan dan Kewenangan dan Tata
Kelola Desa, Forum Pengembangan Pembaharuan Desa
(FPPD), 2014
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
156 | P a g e
Fauzi Rahman, Noer, Yesua YDK, dan Nani Saptariani, Policy
Paper : Pokok-Pokok Pikiran untuk Rancangan Peraturan
Pemerintahan tentang Desa Adat,. Forum Pengembangan
Pembaruan Desa (FPPD), Yogyakarta, 2014.
HAW Widjaja, Penyelenggaran Otonomi Di Indonesia Dalam Rangka
Sosialisasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, Rajawali Press, Jakarta, 2005.
Hidayat, Syarif, Desentralisasi untuk Pembangunan Daerah,
Jentera: Peraturan Daerah edisi 14 Tahun IV, Oktober-
Desember 2006
Hamdi, Muchlis, Supriyanto, R. Endi Jaweng (dkk), Naskah
Akademik RUU tentang Hubungan Kewenangan Pemerintah
Pusat dan Daerah, BPHN 2011.
Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.
Joeniarto, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Bina Aksara,
Jakarta, 1992.
Koesoemahatmadja, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan
Daerah Di Indonesia, Bina Cipta, Bandung,1979.
Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang tentang
Pemerintahan Daerah, Kementerian Dalam Negri 2011
Prasojo, Eko, Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintahan Pusat dan
Pemerintahan Daerah di Indonesia; Antara Sentripetalisme
dan Sentrifugalisme, Pidato Pengukuhan Guru Besar
Adminitrasi Negara Universitas Indonesia.
Rawasita, Reny, et.al., Menilai Tanggung Jawab Sosial Peraturan
Daerah, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia (PSHK), 2009.
R.P Soeroso, Isi Negara Kesatuan, dalam majalah Mimbar
Indonesia, 1950, tahun dan nomor penerbitan tidak
diketahui.
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
157 | P a g e
Silahudin, M., Kewenangan Desa dan Regulasi Desa, Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
2015.
Solly Lubis, Perkembangan Garis Politik dan Per-Undang-Undangan
Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung, 1983.
Soepomo, soal Pemerintah Daerah di dalam UUD Sementara dalam
majalah Mimbar Indonesia, 1950, Tahun ke-IV, No 43.
Suwandi, Made, Kewenangan Daerah dalam Koridor UU No. 32
tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dalam Josef Riwu
Kaho, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di
Indonesia, POLGOV FISIPOL UGM, 2012.
Sujamto, Otonomi Daerah Yang Nyata Dan Bertanggungjawab,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.
Paparan Direktorat Jendral Mineral dan Batubara Pada Indonesia
Minning Outlok 2015, Jakarta 28 Januari 2014.
Rozali Abdulllah, Pelaksanaan Otonomi Luas & Isu Federalisme
Sebagai Suatu Alternatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2000.
Wahyono SK, Wawasan Nusantara Sebuah Konsepsi Geopolitik,
dalam majalah Departemen Pertahanan dan Keamanan
Republik Indonesia Dharsmasena, no.100/April 1982
158158
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI