Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal...

96
1 PUSAT NO. 08/2014 pendapa S astra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya sama sekali di zaman ini. Apapun yang dilontarkan sastrawan seringkali hanya menjadi cemooh bagi masyarakatnya. Seolah-olah sastra tidak berpe- ran apa pun apabila dihubungkan dengan identitas, nasiona- lisme, dan kebangsaaan; apalagi jika dihubungkan dengan ke- multikulturan di tengah bangsa kita. Ahmadun Yosi Herfanda dalam “Cubitan”, sastra dapat berperan penting untuk dapat ikut mereaktualisasikan, memasyarakatkan, dan membudaya- kan nilai-nilai Pancasila karena sastra sudah lama diakui me- miliki potensi besar untuk membawa masyarakat ke arah pe- rubahan sosial dan budaya. Sastra bahkan sudah lama diakui sebagai sumber spirit kebangkitan suatu bangsa, spirit cinta pada tanah air, dan sumber semangat patriotik untuk me- lawan segala bentuk penjajahan. Dalam konteks itu, tidak salah apabila ada harapan besar terhadap peran sastra dalam menata bangsa Indonesia yang beraneka ragam suku, bahasa, dan tradisinya. Harapan besar terhadap peran sastra tersebut, seperti yang disampaikan oleh Ayu Sutarto, adalah sebagai sebuah keniscayaan. Menurutnya, sastra berkemungkinan besar dapat menata sebuah bangsa. Oleh karena itu, susastra yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya dimungkinkan menjadi entitas yang sentral un- tuk menggambarkan, memahami, dan menata bangsa beserta mimpi-mimpinya. Dengan kata lain, upaya menata bangsa me- lalui karya sastra bukan cuma isapan jempol. Multikulturalisme mengemuka ketika Indonesia “terle- pas” dan “terbebas” dari pemerintahan otoriter orde baru. Saat itu terjadi eforia demokrasi yang kemudian memuncul- kan berbagai keberagaman yang pada akhirnya memunculkan pula kegamangan pada konsep identitas nasional. Hal itu ter- jadi karena setiap etnis yang ada di Indonesia mencoba untuk menonjolkan “kelokalan” masing-masing—yang kemudian memunculkan ide untuk kembali menengok mitos-mitos yang dapat membangun kembali keindonesiaan. Setidaknya, ada kesadaran membangkitkan kesadaran kolektif bangsa Indonesia tentang pentingnya pembangunan kawasan laut untuk mengembalikan identitas keindonesiaan yang mulai terancam dan tergerus oleh arus global. Hal itu juga yang akan mengedepankan fungsi sastra sebagai pembangun identitas kebangsaan di Indonesia yang beraneka suku, bera- neka bahasa, dan beraneka tradisi. MAJALAH SASTRA PUSAT Majalah Sastra Diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Jalan Daksinapati Barat IV Rawamangun, Jakarta 13220 Pos-el: [email protected] Telp. (021) 4706288, 4896558 Faksimile (021) 4750407 ISSN 2086-3934 Pemimpin Umum Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Manager Eksekutif Sekretaris Badan Pemimpin Redaksi Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Wakil Pemimpin Redaksi Mu’jizah Konsultan Agus R. Sarjono Abdul Hadi WM Redaktur Pelaksana Erlis Nur Mujiningsih Dewan Redaksi Budi Darma Hamsad Rangkuti Putu Wijaya Manneke Budiman Bambang Widiatmokoi Staf Redaksi Abdul Rozak Zaidan Ganjar Harimansyah Saksono Prijanto Puji Santosa Penata Artistik Efgeni Nova Andryasah Redaktur Bahasa Siti Zahra Yundiafi Sekretariat Nur Ahid Prasetyawan Dina Amalia Susakto Ferdinandus Moses Keuangan Bagja Mulya Siti Sulastri Distribusi M. Nasir Lince Siagian PUSAT

Transcript of Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal...

Page 1: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

1PUSAT NO. 08/2014

pendapa

Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas

omong kosong yang tidak artinya sama sekali di zaman ini. Apapun yang dilontarkan sastrawan seringkali hanya menjadi cemooh bagi masyarakatnya. Seolah-olah sastra tidak berpe-ran apa pun apabila dihubungkan dengan identitas, nasiona-lisme, dan kebangsaaan; apalagi jika dihubungkan dengan ke-multikulturan di tengah bangsa kita. Ahmadun Yosi Herfanda dalam “Cubitan”, sastra dapat berperan penting untuk dapat ikut mereaktualisasikan, memasyarakatkan, dan membudaya-kan nilai-nilai Pancasila karena sastra sudah lama diakui me-miliki potensi besar untuk membawa masyarakat ke arah pe-rubahan sosial dan budaya. Sastra bahkan sudah lama diakui sebagai sumber spirit kebangkitan suatu bangsa, spirit cinta pada tanah air, dan sumber semangat patriotik untuk me-lawan segala bentuk penjajahan.

Dalam konteks itu, tidak salah apabila ada harapan besar terhadap peran sastra dalam menata bangsa Indonesia yang beraneka ragam suku, bahasa, dan tradisinya. Harapan besar terhadap peran sastra tersebut, seperti yang disampaikan oleh Ayu Sutarto, adalah sebagai sebuah keniscayaan. Menurutnya, sastra berkemungkinan besar dapat menata sebuah bangsa. Oleh karena itu, susastra yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya dimungkinkan menjadi entitas yang sentral un-tuk menggambarkan, memahami, dan menata bangsa beserta mimpi-mimpinya. Dengan kata lain, upaya menata bangsa me-lalui karya sastra bukan cuma isapan jempol.

Multikulturalisme mengemuka ketika Indonesia “terle-pas” dan “terbebas” dari pemerintahan otoriter orde baru. Saat itu terjadi eforia demokrasi yang kemudian memuncul-kan berbagai keberagaman yang pada akhirnya memunculkan pula kegamangan pada konsep identitas nasional. Hal itu ter-jadi karena setiap etnis yang ada di Indonesia mencoba untuk menonjolkan “kelokalan” masing-masing—yang kemudian memunculkan ide untuk kembali menengok mitos-mitos yang dapat membangun kembali keindonesiaan.

Setidaknya, ada kesadaran membangkitkan kesadaran kolektif bangsa Indonesia tentang pentingnya pembangunan kawasan laut untuk mengembalikan identitas keindonesiaan yang mulai terancam dan tergerus oleh arus global. Hal itu juga yang akan mengedepankan fungsi sastra sebagai pembangun identitas kebangsaan di Indonesia yang beraneka suku, bera-neka bahasa, dan beraneka tradisi.

M A J A L A H S A S T R A

PUSAT Majalah Sastra

Diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Jalan Daksinapati Barat IVRawamangun, Jakarta 13220

Pos-el: [email protected]. (021) 4706288, 4896558

Faksimile (021) 4750407ISSN 2086-3934

Pemimpin UmumKepala Badan Pengembangan

dan Pembinaan Bahasa

Manager Eksekutif Sekretaris Badan

Pemimpin RedaksiKepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan

Wakil Pemimpin RedaksiMu’jizah

KonsultanAgus R. SarjonoAbdul Hadi WM

Redaktur PelaksanaErlis Nur Mujiningsih

Dewan RedaksiBudi Darma

Hamsad RangkutiPutu Wijaya

Manneke BudimanBambang Widiatmokoi

Staf RedaksiAbdul Rozak Zaidan Ganjar Harimansyah

Saksono PrijantoPuji Santosa

Penata ArtistikEfgeni

Nova Andryasah

Redaktur BahasaSiti Zahra Yundiafi

SekretariatNur Ahid Prasetyawan

Dina Amalia SusaktoFerdinandus Moses

KeuanganBagja MulyaSiti Sulastri

DistribusiM. Nasir

Lince Siagian

PUSAT

Page 2: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

2 PUSAT NO. 08/2014

D A F T A R I S I

MATA AIR Abdul Malik Bertahta di Mahkota Bahasa

TAMAN Cerpen Mohammad Diponogoro Potret Seorang Prajurit

Puisi-Puisi Husen Arifi n Kuburan di Kota Tua Lintasan di Kepalaku Roda

Puisi-Puisi Fitri Yani Pangeran Riya Sebuah Pengakuan Jeplin dan Gadis Pantai

Puisi-Puisi Syafrizal Sahrun Ikan-ikan di Piyamaku Di Pinggiran Sungai Doa Ikan di Kuali

DRAMA Ipit Saefi dier Dimyati Monolog Nyanyian Seorang Pecundang

PUMPUNAN Ayu Sutarto Menata Bangsa melalui Susastra

TELAAH M Yoesoef Konteks Sosial, Politik, dan Budaya dalam Sastra Drama Tahun 1970-an

MOZAIK Yoseph Yapi Taum Berbagai Mitos tentang Laut: Mengungkap Konsep Bahari Bangsa Indonesia

SECANGKIR TEH Trias Yusuf Goenawan Mohamad

88 89

4

15

20

22

25

27

72

6

Jika kita ingin mengkaji dan mengungkap- kan bagaimana ‘laut’ diimaginasikan dalam kesadaran kolek f bangsa kita, pertama-tama kaitkan dengan konsep tanah air. Bangsa Indonesia menyebut tanah air sebagai “ibu per wi.” Dalam imaginasi bangsa Indonesia, laut pun merupakan ‘ibu’ dengan segala kelembutan, kasih sayang, dan pemberi kehidupan

Produk vitas dan krea vitas Goenawan Mohamad dak hanya pada tulisan esai yang melihat persoalan dunia itu bercarut-marut dalam simbiosis poli s dan kerakusan. Semua harus dipandang dari satu sisi, yaitu Islam, yang mutlak.Apakah dari kemutlakan itu tumbuh karya-karya perenungan. Ternyata hal itu muncul juga dalam berbagai kumpulan puisinya.

Dekade ‘70-an merupakan masa pengkonsentrasian potensi-potensi sosial, poli k, ekonomi, dan budaya ke dalam satu tatanan baru, yang mengoreksi sistem yang diterapkan pemerintahan di bawah Soekarno. Berbekal landasan ideologis, Pancasila1 dan UUD ’45, yaitu menyejahterakan bangsa yang adil dan makmur, pemerintah Orde Baru melakukan pembangunan kehidupan bernegara dengan modal potensi-potensi tersebut di atas. Pemerintah Orde Baru dengan dukungan penuh dari militer memprioritaskan pembangunan di bidang ekonomi dan poli k. Peranan militer diperlukan dalam mengelola dan memecahkan konfl ik-konfl ik sosial-poli k yang berkem-bang pada masa itu.

Page 3: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

3PUSAT NO. 08/2014

CUBITAN Ahmadun Yosi Herfanda Sastra di Tengah Dialektika Multikultural

LINGKAR SASTRA Kritik Politik Sosial dalam Lakon “Demonstram” (teater Koma 33 tahun)

PUSTAKA Dini Alfi yanti Bulan Kebabian: Prospek Karya Sastra Berkualitas dari Kampus

Desi Wahyuni Keberagaman Apresiasi dalam Pelangi Sastra

Novel Si Parasit Lajang Ayu Utami

MOZAIK Yoseph Yapi Taum Berbagai Mitos Tentang Laut: Mengungkap Konsep Bahari Bangsa Indonesia

GLOSARIUM Suyono Suyatno Sajak Parodi

Embun Novi Dyah Haryanti Novel dan Ekranisasi

69

88

96

33

62

78

8082

Ada banyak cara untuk mengmengapresiasi karya sastra, selain membaca bukunya kita juga bisa menonton filmnya. Hal itulah yang membuat sutradara menjadikan karya sastra sebagai salah satu sumber inspirasi dalam membuat film. Alihwahana merupakan perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian yang lain (Damono, 2005). Salah satu yang paling sering dialihwahakan ialah novel ke film, pun sebaliknya.

BRUNEI DARUSSALAMDoa Seorang Istri

Cerita Pendek Mas Osman

Utusan terapungPuisi Seribadi Brunei

SuaraPuisi Maimon Rahman

36 - 43

MALAYSIABunyi

Cerpen Saiff ulizan Yahya

Dalam Persekitaran Kata-KataPuisi Baha Zain

Selamat Berpisah Wahai DalangkuPuisi Rosli K

Di Balik Kebijaksanaan Tun Sri LanangNoriah Taslim

44 - 54

INDONESIABromocorah

Cerpen Mochtar Lubis

Monumen Kema anPuisi Evi Idawati

Ke ka Engkau Bersembahyang Puisi Emha Ainun Nadjib

55 - 61

Page 4: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

4 PUSAT NO. 08/2014

MATA AIR

Kalau hati diibaratkan keraja-an, maka budi menjadi tah-tanya dan bahasa menjadi

mahkotanya. Hati yang terpelihara akan memancarkan budi yang pa-tut dikenang untuk selanjutnya me-lahirkan bahasa yang menawan. Se-batian hati, budi, dan bahasa yang terbela membuat jasad —siapa pun yang empunya— rela tertawan tan-pa perlawanan. Itulah keperkasaan orang perseorangan, yang semes-tinya dipupuk dan dibina di dalam diri supaya dapat tampil sebagai sosok seorang bangsawan. Itulah kekuatan magis sebuah bangsa, yang seyogianya diolah sedemikian rupa untuk menjadi perekat per-satuan dan kesatuan. Itulah yang sesungguhnya bagi kita menjadi “pakaian” yang paling padu, pa-tut, dan padan —yang kalau ada kenyakinan yang kuat untuk mem-belanya— dapat menjadi pakaian yang pokta (terelok dan terindah) sehingga menjadi bangsa yang te-rala (paling mulia).

Raja Ali Haji (RAH) dalam Gu-rindam Dua Belas (GDB), Pasal yang Kelima menghadiahi kita dengan kepoktaan dan keteralaan budi ba-hasa. Pasal yang masih bertutur ten-tang akhlak dan disepadusepadan-kan dengan muamalah ini pada bait 1 langsung menyirami sukma, “Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihatlah kepada budi dan bahasa.”

Bangsa yang dimaksudkan RAH di sini taklah semata-mata sebatian orang-orang seasal keturunan, sea-dat-sebudaya, dan sepengalaman sejarah. Jelaslah bangsa itu juga mencakupi konsep keturunan atau kedudukan yang mulia. Perihal budi pula jelaslah tiada lain dari unsur batiniah yang berupa sebatian akal dan nurani untuk menjelmakan pi-kiran, perasaan, sikap, sifat, dan perilaku yang baik. Dari situlah te-serlahnya bahasa yang memesona, yang tak hanya bernas kandungan isinya, elok cara penuturannya, tetapi juga indah budi bicaranya. Dalam bahasa yang populer, RAH

hendak mengatakan bahwa bang-sa yang besar adalah bangsa yang memelihara budi bahasanya. Lebih dari itu, suatu bangsa akan mam-pu menjadi besar dan mulia jika bangsa itu menjadikan budi bahasa warisan terala (luhur)-nya sebagai kekuatan jati diri bangsanya. Nah, jika hendak dibilangkan nama, pe-liharalah budi bahasa.

Apakah kunci kebahagiaan? GDB Pasal V, bait 2 memberikan pedoman, “Jika hendak mengenal orang yang berbahagia, sangat me-meliharakan yang sia-sia.” Untuk memahami bait ini, tentulah kita tak boleh bersandar pada ungka-pan yang harfiahnya. Pasal apa?

Jika kandungan harfiahnya yang diikuti, tentulah seolah-olah orang akan berbahagia jika dia me-lakukan kerja (memelihara) yang sia-sia yaitu sesuatu yang tak ber-guna, tak bermanfaat. Jelaslah yang dimaksudkan oleh bait ini justeru sebaliknya, orang akan berbahagia jika dia memelihara dirinya dari

Bertahta di Mahkota Bahasa

ABDUL MALIK

Page 5: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

5PUSAT NO. 08/2014

berbuat yang sia-sia atau melaku-kan pekerjaan yang tak bermanfaat. Dengan perkataan lain, jika kita in-gin berbahagia, janganlah lakukan pekerjaan yang tak berfaedah.

Perilaku yang ditunjukkan membuat orang lain dapat menilai derajat seseorang. Itu berarti, bu-kan pangkat, jabatan, harta, atau hal-hal yang berkaitan dengan un-sur material yang lain yang menen-tukan derajat manusia. GDB Pasal V, bait 3 menegaskan, “Jika hendak mengenal orang mulia, lihatlah ke-pada kelakuan dia.”

Kelakuanlah yang menentu-kan kemuliaan seseorang, suatu puak, suatu kaum, suatu kelompok, bahkan suatu bangsa. Perbuatan, perangai, atau tingkah laku itulah yang menjadi indikator mulia atau hinanya manusia. Hidup berpunya, tetapi perangai bakhil, misalnya, tak mencerminkan kemuliaan. Pangkat tinggi dan jabatan bagus, tetapi tak mau membedakan yang halal dan yang haram, umpamanya, bukan contoh yang representatif bagi orang mulia. Paras elok dan potongan ada, tetapi perilaku ka-sar membuat gusar, contohnya, tak perlu dijadikan pujaan atau idaman karena tak mencerminkan kelas ke-muliaan. Orang yang berkelakuan baiklah yang memperoleh anu-gerah manusia mulia. Kebiasaan memelihara kelakuan yang baik menjadi tanda bagi kemuliaan diri manusia.

Gelar akademikkah yang men-jadi penentu bahwa pemiliknya orang berilmu? Ternyata, bukan. Pasal? Gelar akademik boleh dida-patkan dengan pelbagai cara, sama ada sah ataupun haram. Secara sah, berarti pemiliknya memang tamat dari menuntut ilmu sehingga dia

berhak atas gelar itu. Sebaliknya secara haram, sekolah tidak, belajar apalagi, tiba-tiba sederetan gelar akademik berjejer di depan dan di belakang namanya. Salangkan orang yang memang belajar belum tentu berilmu, yang tak belajar apa-tah lagi?

Pedoman untuk itu diberi-kan oleh GDB Pasal V, bait 4, “Jika hendak mengenal orang beril-mu, bertanya dan belajar tiadalah jemu.” Rupanya, tanda orang beril-mu itu ialah sepanjang hidupnya dia terus dan terus bertanya ten-tang fenomena kehidupan ini. Se-lebihnya, dia pun terus tanpa hen-ti belajar sepanjang hayat. Orang yang berilmu, begitu kira-kira yang ditegaskan RAH, adalah orang yang mencintai ilmu pengetahuan, baik ilmu dunia maupun ilmu agama. Dia mendasarkan pikiran, perka-taan, dan perbuatannya dari ilmu yang dimilikinya.

“Jika hendak mengenal orang yang berakal, di dalam dunia men-gambil bekal.” Inilah GDB Pasal V, bait 5. Melalui bait ini jelaslah RAH hendak perpesan bahwa dunia bu-kanlah tempat terakhir bagi makh-luk Allah. Manusia dan segala mak-hluk ciptaan Tuhan sedang berjalan atau berlayar menuju alam yang menjadi tujuan sesungguhnya, se-dangkan dunia hanyalah tempat persinggahan sementara sahaja.

Dalam perjalanan menuju alam yang kekal itu manusia seyogianya memiliki bekal. Bekal itu harus di-kumpulkan sebanyak-banyaknya di dunia ini untuk kehidupan yang abadi kelak. Itulah gunanya dunia ini, terutama bagi manusia: sebagai tempat mengambil bekal. Untuk itu, diperlukan kecerdasan dengan men-ggunakan akal. Tentulah tak sebarang

kecerdasan dapat digunakan, teta-pi kecerdasan religius (ketuhanan) yang mampu memancarkan cahaya keyakinan yang bertimbal keima-nan bahwa memang ada kehidupan setelah alam dunia. Manusia yang berusaha mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya itulah yang nyata-nyata memanfaatkan dengan baik akal yang dianugerahkan ke-padanya. Bekal yang dimaksudkan tentulah amal salih sesuai dengan tuntunan agama. Menggunakan akal secara benar dan baik taklah memadai hanya dengan melaksa-nakan kebajikan, tetapi juga harus menunaikan kewajiban dengan pe-nuh ketaatan hanya mengharapkan rida Allah.

Di manakah kita mengetahui bahwa seseorang berperilaku baik? Atau, bagaimanakah caranya kita mengetahui seseorang berkelakuan baik? GDB Pasal V, bait 6 (terakhir) menunjukkan caranya, “Jika hen-dak mengenal orang baik perangai, lihatlah ketika bercampur dengan orang ramai.”

Di situlah rupanya tempatnya. Baik-buruk perilaku, tabiat, atau perangai manusia dapat diketahui ketika dia bergaul di dalam masya-rakat (bercampur dengan orang ramai). Orang yang baik perangai senantiasa bersikap santun, meng-hindari perbuatan tercela, dan se-lalu berusaha menjadi orang yang bermanfaat di lingkungan masya-rakat tempat dia berada. Alangkah ruginya diri jika hidup tak berbudi sehingga banyak orang yang mem-benci. Jadi, jika hendak dibilangkan nama, baikkanlah perangai sehing-ga disukai oleh orang ramai.[]

Page 6: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

6 PUSAT NO. 08/2014

TELAAH

Pesona kekuasaan, baik di ranah keluarga (domestik) maupun di ranah umum

(publik) senantiasa memicu per-golakan di antara anggota keluarga dan masyarakat luas. Dalam pada itu, para birokrat yang mengem-ban tugas pemerintah dapat dika-takan sebagai ujung tombak untuk me-nyejahterakan masyarakat me-lalui program-program pemerin-tah. Namun demikian, dinamika di lapangan, selain hal positif juga menimbulkan efek negatif, yang berkaitan dengan perilaku birokrat dalam hal implementasi program-program itu. Hal itu terekam dalam ingatan kolektif masyarakat dan pada gilirannya menjadi batu besar yang menghalangi pandangan. W.S. Rendra dan N. Riantiarno melaluii karyanya merekam ingatan kolek-tif itu menjadi sebuah drama yang menyindir dan menyakitkan. Di ba-lik karyanya itu, mereka memberi ingatan kepada kita betapa ekses

Konteks Sosial, Politik, dan Budaya dalam Sastra Drama Tahun 1970-an:

Studi Kasus pada “Kisah Perjuangan Suku Naga” Karya W.S Rendra

dan Maaf, Maaf, Maaf Karya N. Riantiarno,

dari proses pembangunan sepan-jang tahun 1970-an menuai opini yang perlu dicermati di masa seka-rang ini.

Pendahuluan

Dekade ‘70-an merupakan masa pengkonsentrasian poten-si-potensi sosial, politik, ekonomi, dan budaya ke dalam satu tatanan baru, yang mengoreksi sistem yang diterapkan pemerintahan di bawah Soekarno (Orde Lama). Berbekal landasan ideologis, Pancasila1 dan UUD ’45, yaitu menyejahterakan bangsa yang adil dan makmur, pe-merintah Orde Baru melakukan pembangunan kehidupan berne-gara dengan modal potensi-potensi tersebut di atas. Pemerintah Orde Baru dengan dukungan penuh dari militer memprioritaskan pemban-gunan di bidang ekonomi dan po-litik. Peranan militer diperlukan dalam mengelola dan memecahkan

konflik-konflik sosial-politik yang berkem-bang pada masa itu.2

Dalam proses pembangunan itulah sejumlah perubahan mulai dirasakan dan dialami masyarakat. Pembangunan ekonomi yang ber-konsenterasi pada penyelesaian utang luar negeri, penanaman mo-dal asing yang melahirkan industri-industri manufaktur, dan memper-baiki perekonomian rakyat. Dalam bidang politik, pembatasan jumlah partai politik dilakukan, termasuk di dalamnya penataan organisasi kemasyarakatan yang berafiliasi ke-pada ideologi partai. Satu-satunya ideologi partai politik dan organisa-si kemasyrakatan yang diakui ada-lah Pancasila. Pembangunan bidang ekonomi dan politik ini berdam-pak kepada bidang-bidang utama lainnya, seperti sosial dan budaya. Perubahan besar itu di sisi lain me-nimbulkan persoalan-persoalan ho-rizontal yang erat kaitannya dengan konteks-konteks tertentu. Persoa-

M. Yoesoef

Page 7: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

7PUSAT NO. 08/2014

lan sosial-politik-ekonomi-budaya yang mengemuka pada dekade 1970-an antara lain Peristiwa Ma-lari 1974, yang merupakan sebuah ekskalasi politik-ekonomi yang di-gulirkan ke hadapan masyarakat oleh elite politik yang berkepen-tingan; pada tahun yang sama ma-rak pula demonstrasi menentang pembangunan Taman Mini Indone-sia Indah, sebagai sebuah koreksi terhadap proyek mercusuar dalam bidang budaya di tengah kesulitan ekonomi pada masa itu. Lemah-nya partisipasi politik masyarakat secara formal menyebabkan lahir-nya unjuk rasa di jalanan. Reaksi masyarakat terhadap pemerintah tidak saja dilakukan melalui akti-vitas jalanan seperti itu, tetapi juga melalui forum-forum ilmiah seperti seminar dan diskusi; secara budaya antara lain melalui karya sastra dan pidato kebudayaan.

Dalam kancah seperti itulah fungsi sosial sastrawan, sebagai an-ggota masyarakat dan kelas sosial tertentu, mampu menangkap feno-mena di sekelilingnya untuk diung-kapkan di dalam karya sastranya. Situasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada tahun 1970-an dire-kam oleh para sastrawan untuk mengingatkan masyarakat, menan-ggapi dan mengkritisi kebijakan, ataupun menyatakan sikap atas tin-dakan dan hasil-hasil tindakan yang kurang tepat ditinjau dari sisi etika, moral dan kemanusiaan. Media seni yang dipandang tepat sasaran untuk menyatakan semua hal itu adalah dalam bidang penulisan sas-tra drama dan pertunjukan drama, sehingga gagasan dan tanggapan para sastrawan itu dapat disampai-kan secara visual dan langsung ke-pada masyarakat.

Dalam konteks kesenian, tahun 1970-an merupakan era pembaru-an dalam penciptaan karya secara intrinsik yang menumbuhkan es-tetika baru dalam berkesenian. Di samping pembaruan secara intrin-sik tersebut, pokok-pokok persoa-lan yang digarap bersumber kepa-da masalah-masalah kontekstual zaman yang meliputi persoalan so-sial, politik, ekonomi, dan budaya. Wujud dari masalah-masalah ter-sebut yang diejawantahkan mela-lui media karya seni, sastra drama khususnya, dibahas dalam artikel ini, yaitu karya sastra drama yang ditulis pada tahun 1970-an oleh Rendra (“Kisah Perjuangan Suku Naga” dan “Sekda”) dan Nano Rian-tiarno (Maaf, Maaf, Maaf). Pemili-han ketiga sastra drama di antara sejumlah sastra drama yang ditulis pada tahun itu dilandasi oleh pe-mikiran bahwa ketiganya mengan-dung persoalan-persoalan sosial, politik, dan budaya yang berkem-bang pada tahun 1970-an itu. N. Riantiarno membicarakan konteks kejiwaan yang bersumber budaya dan hierarki kekuasaan; W. S. Rend-ra mengangkat permasalahan biro-krasi dan perilaku birokrat dalam menjalankan program-program pe-merintah atas nama pembangunan. Ketiga karya sastra drama itu men-ggambarkan simpul-simpul penting yang merefleksikan sedikit dari se-kian banyak ekses dari proses pem-bangunan di masa awal Orde Baru. Sejumlah drama yang ditulis pada tahun 1970-an setidaknya menan-dai adanya keterkaitan dengan pe-rubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat—sebagai ranah dan objek konkret—dari kebijakan-ke-bijakan pemerintahan yang ber-kuasa pada masa itu. Sastrawan

berusaha menangkap saripati dari perubahan itu untuk disampaikan kepada masyarakat itu sendiri.

W.S. Rendra:

Kolusi dan Korupsi

Drama “Kisah Perjuangan Suku Naga” ditulis Rendra pada tahun 1975. Drama ini berisi kritikan dan sindiran yang tajam mengenai korupsi, bantuan modal asing, dan eksplorasi lingkungan. Kritik dan sindiran itu terlihat melalui gamba-ran sebuah kerajaan, Astinam, yang diperintah oleh Sri Ratu. Kendati bentuknya kera-jaan, pemerinta-han Sri Ratu menggunakan sistem demokrasi sehingga pemerintahan Astinam adalah monarki demokra-tis. Dalam memerintah ia mengang-kat seorang Perdana Menteri yang memiliki kabinetnya sendiri. Selain itu, kerajaan ini juga memiliki par-lemen dan Undang-Undang Dasar.

Astinam adalah kerajaan yang makmur, aman sentosa, dan ta-nah-nya subur. Untuk membangun kerajaan itu menjadi negara yang modern, Sri Ratu mengundang para investor asing untuk menanam modalnya di Astinam. Kesempa-tan itu disambut dengan gembira oleh para pemodal asing dan dalam waktu singkat modal dan teknologi modern mengalir ke Astinam. Peng-eksplorasian alam secara besar-be-saran pun dilakukan. Dan salah satu kekayaan alam Astinam yang belum tergarap adalah tembaga yang ada di sebuah perkampungan tradisio-nal bernama Suku Naga.

Kehidupan di perkampungan Suku Naga yang semula tenteram tiba-tiba diusik oleh rencana pem-bukaan tambang tembaga dan men-jadikan daerah itu sebagai kota per-

Page 8: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

8 PUSAT NO. 08/2014

tambangan yang modern. Proyek yang didanai pemodal asing yang kemudian dikenal sebagai bantuan luar negeri, ditentang oleh para pe-muka Suku Naga karena proyek itu dapat merusak lingkungan dan da-pat menyebabkan lenyapnya pera-daban tradisi yang mereka pelihara secara turun temurun. Namun, pe-nolakan ini dianggap sebagai tinda-kan menghambat pembangunan.

W. S. Rendra mengemas drama ini dengan mempertunjukkan ber-bagai persoalan sosial, politik, eko-nomi, dan budaya, yang berfokus pada kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat pemerin-tah, kebebasan pers, fungsi dan peranan lembaga legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat). Hal lain yang juga disinggung adalah masalah dampak pembangunan pada ling-kungan hidup dan masalah tradisi dan modernisasi. Persoalan-per-soalan itu bermuara kepada satu hal, yaitu bagaimana kekuasaan dan keputusan-keputusan atas da-sar kekuasaan semata berdampak pada terciptanya keresahan, keti-dak-puasan, dan ketidakstabilan di kalangan masyarakat Suku Naga.

Birokrasi:

Kebijakan dan Penyelewengan

Dalam proses pembangunan, pemerintah melalui aparat biro-krasinya melakukan berbagai ke-pu-tusan umum berupa kebijakan-kebijakan pemerintah yang harus dijalankan baik oleh aparatur ne-gara maupun masyarakat. Dalam praktiknya, pengambilan kepu-tusan dan pelaksanaan di lapangan terjadi rumpang yang jaraknya bisa berjauhan. Rumpang itu berpotensi pada timbulnya interpretasi yang

beragam sehingga dipahami sesu-ai dengan konteks dan kebutuhan di lapangan. Pada kutipan berikut, Rendra melalui tokoh Dalang men-gomentari logika penguasa dalam hal kebijakan mengenai pengama-nan pembangunan. Tokoh Dalang itu berkata “Tanpa bisa dikontrol! Lepas bebas sesukanya! Inilah anar-ki. Peraturan hanya dipakai untuk mengontrol rakyat! Tetapi tak bisa dipakai untuk mengontrol pengu-asa. Ini namanya liar!” Cakapan itu mengemukakan mengenai ‘anarki kekuasaan’ yang dilihat melalui tin-dakan apartur negara di lapangan. Secara lengkap, suasana muncul-nya cakapan tersebut dapat dibaca pada kutipan berikut.

Sri Ratu : Sayang tidak semua orang berpikir seperti kita.Dalang : Berbeda pendapat kan wajar namanya!Perdana Menteri : Banyak pikiran yang menentang kemajuan.Sri Ratu : Dan mengganggu jalannya pembangunan.Kol.Srenggi : Pendeknya mereka bikin keki!Sri Ratu: Dalam keadaan bloodrekku kumat begini komentar-komentar mereka bikin repot saja.Perdana Menteri : Bagaimana tidak akan merepotkan! Bayangkan saja seandainya seseorang sibuk menyapu halaman sedang sementera itu orang lain seenaknya saja melemparinya dengan komentar-komentar. Ini namanya kan mengganggu orang bekerja.Dalang : Logika macam apa ini? Bikin perbandingan kok curang. Emangnya ngurus pemerintah sama dengan bekerja menyapu halaman? Kalau begitu jangan jadi menteri, jadilah tukang sapu

saja.Perdana Menteri : Sri Ratu, jalan pembangunan harus kita amankan.Kol.Srenggi : Sebagai Menteri Keamanan saya akan segera mengumumkan pernyataan bahwa mengkritik pembangunan adalah sabotase. Oleh karena itu subversif.Perdana Menteri : Dengan begitu tidak ada lagi oposisi.Kol.Srenggi : Oposisi adalah musuh!Sri Ratu : Bagus! Lalu kita bisa bebas membangun dengan lancar.Dalang : Tanpa bisa dikontrol! Lepas bebas sesukanya! Inilah anarki. Peraturan hanya dipakai untuk mengontrol rakyat! Tetapi tak bisa dipakai untuk mengontrol penguasa. Ini namanya liar!

Bentuk lain dari ‘anarki keku-asaan’ adalah dalam wujudnya ko-lusi yang bergandengan dengan tin-dakan korupsi. Kedua tindakan itu berpeluang dilakukan oleh aparatur negara sebagaimana digambarkan Rendra melalui adegan berikut yang menyangkut pembangunan Rumah Sakit Modern “Wijaya Kusuma”3 yang membicarakan “transaksi” an-tara pengusaha dan penguasa.

Perdana Menteri : Beres, Sri Ratu. Kebetulan juga banyak perusahaan asing yang ingin menanamkan uangnya di sini untuk mendirikan pabrik obat-obatan.Sri Ratu : Permohonan mereka harus diberi perhatian yang utama. Asal, juga cukup pengertian.Perdana Menteri : Wah, pengertian mereka cukup besar. Mereka akan 10% dari modal

TELAAH

Page 9: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

9PUSAT NO. 08/2014

untuk hal-hal yang tidak terduga, yang pemakaiannya terserah seluruhnya kepada Sri Ratu, dan langsung dimasukkan ke dalam rekening bank Sri Ratu di Hong Kong.Sri Ratu : Itu bagus.[...........................................]Mr. Joe : Bereslah! Sebagai teman negara kami bisa diandalkan, asal kami tidak dirugikan lebih dulu, kami pasti akan menjadi sahabat yang sangat membantu.Tetapi bila kami dirugikan, dengan sendirinya kami akan menarik kembali segala bantuan kami! “Kerja sama”! Itulah saja kuncinya. Di dalam kerja sama yang penting adalah tahu sama tahu. Perdana Menteri : Cocok! Sungguh sreg bagi saya --Sri Ratu, saya pribadi berani menjamin bahwa Mr. Joe benar-benar penuh pengertian.Sri Ratu : Itulah kenyataan yang menggembirakan....

Praktik menyogok penguasa yang dilakukan para pemodal (di-repsentasikan melalui tokoh Mr. Joe) diperlukan untuk memper-lancar izin dan pelaksanaan proyek di samping untuk menyingkat ja-lur birokrasi dengan menyediakan upeti.4

Kasus-kasus kolusi antara peja-bat yang berwenang dengan pen-gu-saha juga muncul dalam drama “Sekda” (1977)5. Keterlibatan para pengusaha dengan para pemegang kekuasaan dalam drama ini menun-jukkan bagaimana pembangunan ekonomi Indonesia direncanakan dan dilaksanakan. Pembangunan ekonomi ini pada dasarnya tidak seimbang, karena di satu pihak pe-merintah membuka kesempatan seluas-luasnya kepada pemodal

asing, tetapi di pihak lain pemerin-tah menyudutkan pengusaha pri-bumi. Muhaimim membicarakan bagaimana perilaku kedekatan dua pihak ini.

[...] bahwa pengusaha pribumi yang mandiri tidak dapat me-ngembangkan diri, karena para pejabat dan birokrat peme-rintah membuat berbgai rencana dan ke-bijaksanaan yang tidak secara eks-plisit ditujukan untuk mendorong wiraswasta asli yang potensial untuk bisa mela-kukan akumula-si modal [...] Per-kembangan itu dipercepat oleh watak birokrasi yang patrimonial dan oleh nilai-nilai tertentu dari budaya Indone-sia di bawah peme-rintahan Orde Baru, juga oleh mengalirnya modal dan bantuan luar negeri yang sir-kulasinya ba-nyak ditentukan oleh para pejabat negara.6

Pemerintah sebagai pihak pe-nentu kebijaksanaan pembangu-nan bebas melakukan berbagai langkah yang bisa mengamankan dan mensukseskan pembangunan itu. Dalam hal ini rakyat (dan wakil

rakyat) adalah pihak yang diabai-kan. Kendati rakyat diajak dalam proses perencanaan, maka jalur yang dipilih adalah jalur resmi, yai-tu melalui dengar pendapat dengan wakil rakyat di DPR. Hasilnya pun bisa dipastikan peme-rintah men-dapat persetujuan sehingga proyek pembangunan itu mendapat legiti-masi yang kuat dari rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR. Langkah demikian merupakan langkah yang konstitusional, namun pada kenya-taannya langkah yang diambil itu tidak ubahnya dengan “sandiwara” belaka.

Topik utama yang dipilih Rend-ra dalam drama ini adalah perilaku korup seorang pejabat pemerintah daerah.7 Seorang oknum pejabat negara sebagai pemegang kekua-saan mendapat fasilitas sesuai de-ngan posisi jabatannya, termasuk di dalamnya berbagai kemudahan untuk memperlancar pekerjaan-nya. Dalam praktiknya, fasilitas-fa-silitas itu tidak sepenuhnya dipakai untuk melayani masyarakat, tetapi

TELAAH

Page 10: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

10 PUSAT NO. 08/2014

cenderung digunakan untuk kepen-tingan pribadi (dan keluarganya).

Maraknya tindak penyelewen-gan pada masa itu disebabkan ku-rang efektifnya penyelenggaraan kontrol, baik dari lembaga yang berwenang untuk tugas kontrol itu sendiri maupun dari masyara-kat (termasuk di dalamnya adalah kalangan pers). Tindak korupsi ak-hirnya menjadi satu perilaku yang membudaya di masyarakat sehing-ga dapat dikatakan sebagai bagian dari mentalitas manusia. Potret yang disuguhkan drama “Sekda” ini adalah kondisi-kondisi lingkungan sosial yang dipandang berpotensi mempengaruhi mental seseorang untuk bertindak korupsi. Kondi-si-kondisi itu antara lain kehidu-pan pejabat pemerintah daerah. Peluang ini dimungkinkan karena pengawasan pusat terhadap dae-rah umumnya tidak ketat, terutama dalam sistem desentralisasi yang memungkinkan pemerintah daerah mengelola sumber-sumber ekono-mi secara mandiri.8 Di samping itu, secara budaya kuatnya sikap feoda-lisme di daerah turut menyuburkan perilaku berkuasa para pejabat ter-sebut. Asumsi-asumsi tersebut di-potret menjadi latar dalam drama ini.

Melalui tokoh Sekda, Rendra mempertunjukan penyelewengan oknum aparat pemerintah yang di-konstruksi oleh budaya dan sistem birokrasi yang tidak memiliki kon-trol, baik dari lembaga pemerintah yang bertugas untuk pengawasan maupun dari masyarakat sendiri. Praktik itu, semakin kokoh dengan tumbuhnya hubungan yang ter-cipta berdasarkan interaksi antara patron-klien yang saling meng-un-tungkan. Di lingkungan birokrasi,

interaksi patron-klien ini dikukuh-kan oleh posisi jabatan dan juga bu-daya patrimonialisme9 yang mem-bangun tradisi birokrasi.

Penyelewenangan kekuasaan dan wewenang di lingkungan biro-krasi yang kemudian juga menye-bar ke lingkungan non-pemerinta-han menjadi penyakit birokrasi dan sosial yang menggejala menjadi se-buah budaya korup sejak awal Orde Baru. Semua itu membuka peluang secara lebar korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ketiga hal inilah yang menjadi salah satu tuntut pada masa reformasi tahun 1998 pada masa akhir kejatuhan Orde Baru.

Masalah lingkungan

vs industrialisasi

Masyarakat modern adalah masyarakat yang bertumpu pada industrialisasi. Untuk memba-ngun industri diperlukan kesiapan prasarana-prasarananya seperti sumber daya manusia, lahan, dan pasar yang kondusif. Dalam prak-tiknya, pembangunan masyarakat yang modern ini harus berhadapan dengan sifat masyarakat Indonesia yang agraris. Pengalihan fungsi la-han garapan menjadi lahan indust-ri (pabrik-pabrik) meng-akibatkan semakin sempitnya lahan perta-nian. Dari segi strata sosial pun kemudian muncul kelas baru, yai-tu kaum buruh. Arti dari semua ini adalah terputusnya ikatan budaya agraris dan digantikan dengan ika-tan budaya kapitalis yang modern. Sementara kesiapan masyarakat untuk menerima nilai-nilai budaya modern belum kukuh. Akibat dari itu adalah sering terjadinya perse-teruan antara buruh dan majikan. Di satu pihak, buruh menuntut upah

yang memadai sementara para ma-jikan (pemilik modal) mempekerja-kan mereka dengan upah minimum. Pilihan bagi rakyat menjadi tidak banyak. Mereka menerima upah itu atau tidak bekerja sama seka-li. Pesona masyarakat modern ini berakibat pula pada berkurangnya minat rakyat menggarap lahan-la-han pertanian, mereka terprogram oleh kemudahan mendapat uang di pabrik-pabrik.

Gencarnya pendirian industri ini bahkan tidak jarang harus men-ggusur pemukiman rakyat (terma-suk budaya dan tradisinya). Pada drama ini digambarkan bagai-mana perkampungan Suku Naga hendak digusur dan lahannya akan dijadi-kan tambang tembaga serta sebuah kota modern.

Insinyur : Ini proyek perintah Sri Ratu.Abisavam : Ah, begitu! Lantas orang-orang desa ini bagaimana?Insinyur : Mereka akan dipindah-kan ke suatu tempat.[.....................................]Abisavam : Ya. Apa pendapatmu tentang desa dan lembah kami?Insinyur : Luar biasa. Resep.Abisavam : Resep! Itu tepat. Le-luhur kami, leluhur para Suku Naga,

telah memilih tempat ini den-gan teliti. Berabad-abad sudah kami tinggal di sini. Lihat itu! Itu-lah pekuburan para leluhur kami. Ya, yang di lereng bukit itu. Dan di sana, dataran batu di bawah pohon itu adalah tempat upacara kami untuk mengenang daya kesuburan. Menurut kami: dewi kesuburan! Penting sekali bagi kami. Dan tela-ga itu, bagi kami keramat, karena di situlah kami pergi mandi mensuci-

TELAAH

Page 11: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

11PUSAT NO. 08/2014

kan diri. Sebelum kami berpuasa 40 hari dari setahun. Kamu lihat, banyak teratai yang kami anggap sebagai lambang kesucian. Kamu lihat, semua ini bukan sekadar “suatu tempat”. Melainkan suatu bagian dari keutuhan kami. Ini ada-lah satu kebudayaan. Ini tidak bisa diratakan begitu saja menjadi se-buah kota. Mengerti kamu.

[..................................]Abisavam : Kewajiban sayalah untuk melindungi keutuhan kebu-dayaan kita –Aku suka perkem-bangan-perkembangan baru. Tetapi perkembangan baru toh tidak harus berarti penumpa-san bagi yang lain. Sebab itu nan-ti namanya penindasan, bukan pergaulan.

Penolakan tidak saja muncul dari warga Suku Naga, tetapi juga dari seorang wartawan yang ber-simpati pada nasib masyarakat Suku Naga seperti tampak pada ku-tipan berikut.

Carlos: Perusahaan The Big Boss in telah melakukan joint venture dengan sebuah perusahaan nega-ra Astinam, untuk mengerjakan penggalian dan pengolahan tam-bang tembaga di bukit Saloka, di dekat mana terdapat sebuah desa yang ditinggali oleh Suku Naga. Pemerintah Astinam akan men-gosongkan dan akan mengubah desa tersebut menjadi kota per-tambangan, lengkap dengan pe-rumahan-perumahan untuk para pekerja tambang, tempat-tempat hiburan untuk mereka, mesjid, gereja, garasi, bengkel, pabrik pengolahan, gedung-gedung, dan lain sebagainya. Hal ini berarti lenyapnya tempat-tempat ibadah para Suku Naga.Tempat-tempat keramat mereka akan dinodai. Rumah-rumah adat mereka akan

disingkirkan. Ini berarti, bahwa demi keuntungan yang akhirnya akan dipakai secara tidak mera-ta, satu kebudayaan dan agama golongan minoritas akan didesak dan dilenyapkan. Tembaga yang pengolahannya di pabrik memer-lukan banyak acid, akan menye-babkan polusi yang akhirnya bisa mengubah desa Suku Naga men-jadi padang pasir. Contoh yang nyata dari kelengahan semacam ini sudah ada: lihatlah Copper Bassin di Tennesse, Amerika Serikat. Sekarang padang pasir, dahulu hutan yang lebat. Inilah akibat polusi acid yang ditimbul-kan oleh pabrik tembaga mereka, sebab mereka telah membuang kotoran pabrik itu seenaknya. Kerusakan alam selalu dimulai dengan kerusakan rumputan dan semak belukar, lalu lenyapnya serangga, ikan-ikan di sungai dan binatang-binatang kecil lainnya. Yang sebenarnya merupakan pe-rantara dalam proses peremajaan alam. Akhirnya dari kerusakan kecil-kecil itu akan sampai pada kerusakan hutan. Tanpa zat hijau daun yang dimiliki hutan-hutan, pemurnian udara akan berku-rang. Bumi, air, dan udara akan kotor, sehingga akhirnya manusia menderita juga. Tindakan menge-jar keuntungan dengan mengor-bankan alam dan peradaban ini pada hakikatnya bukan pemban-gunan, melainkan perusakan. Hal ini tidak boleh dibiarkan. Perada-ban Suku Naga lebih matang dan dewasa daripada peradaban yang akan dipaksakan kepada mereka.

Cakapan di atas merupakan sebuah advokasi dari masyarakat pers yang pada masa kini banyak pula dilakukan oleh lembaga swa-daya masyarakat sesuai dengan bi-dang yang menjadi perhatiannya.

Pembangunan yang semata-

mata berorientasi pada penciptaan masyarakat industri cenderung menimbulkan gejolak sosial. Era industri yang sangat tergantung pada teknologi menyebabkan ada-nya rumpang antara kemajuan tek-nologi dan kondisi sosial-bu-daya masyarakat yang belum siap mene-rima era teknologi tinggi, sehingga menciptakan kegamangan budaya. Pembangunan yang ber-orientasi kepada masyarakat Indonesia ada-lah modernisasi pertanian, bukan pembangunan industri pabrikan.10 Pada kenyata-annya industrialisasi di Indonesia berjalan terus seiring dengan itu bermunculan berbagai masalah sosial yang menyertainya, antara lain pengangguran, kemiski-nan struktural,11 kriminalitas, dan urbanisasi; masalah lingkungan yang muncul adalah rusaknya ling-kungan yang disebabkan eksplo-ra-si lahan dan hutan secara besar-be-saran dan terbengkalainya program penghijauan hutan yang menjadi tanggung jawab peru-sahaan yang mengantongi HPH di Kalimantan dan Papua. N. Riantiarno:

Kekuasaan dan Suksesi

Nano Riantiarno menulis Maaf, Maaf, Maaf pada tahun 1977 dan dipentaskan untuk pertama kalinya pada tahun 1978. Drama ini men-gisahkan sebuah keluarga kelas menengah yang pada suatu hari di-kejutkan oleh ulah Ario (kepala ke-luarga) yang merasa dirinya Kaisar Dasamuka dan rumah kediaman mereka disebutnya sebagai istana. Sejak itu ketenteraman dan kehar-monisan keluarga itu terusik. Seti-ap anggota keluarga dinamai sesuai dengan nama-nama tokoh dalam epos Ramayana. Isterinya dipanggil Dewi Sinta, adiknya disebut Sar-

TELAAH

Page 12: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

12 PUSAT NO. 08/2014

pakenaka, pembantunya dipanggil Patih Prahasta, dan putra-putrinya diberi nama Gunawan Wibisana dan Trijata. Kutipan berikut menje-laskan kondisi yang dialami keluar-ga itu.

Nenek: Pada suatu malam, ayahmu membangunkan semua orang. Katanya, ada Cahaya yang menitis. Lalu, dia minta Uti memainkan peran “Sinar”. Coba bayangkan, Uti disuruh menyanyi dan menari. Setua ini. Tentu saja Uti menolak. Tapi dia menangis dan memohon-mohon. Jadi tidak tega. Den Ario memanggil kami dengan nama-nama wayang. Ibu-mu dipangil Dewi Sinta, Uti direk-rut jadi tukang sihir dan Bandem jadi Patih Prahasta. Ayahmu men-gatur tata cara sendiri. Rumah jadi istana Alang-alang Langka, mungkin maksudnya Alengkadi-reja, kerajaannya Rahwana. Den Ario dan Bandem mengatur ade-gan perang-perangan. Merenca-nakan dan melaksanakan lakon yang pada awalnya menggelikan, tapi lama-lama jadi biasa. Akhir-

nya kami merasa menjadi tokoh yang dia ciptakan itu. Gembong: Lalu semua penghuni rumah ini tidak akan menginjak bumi lagi, karena punya peran baru. Menikmati mimpi.Nenek: Ya, boleh dibilang begitu. Sebab semua berusaha bermain dengan meyakinkan. Untuk mem-buat hati ayahmu senang.Gembong: Semua membantu Ayah, agar gilanya menjadi sem-purna.

Tokoh Ario dalam keluarga me-nempati posisi kepala keluarga, su-ami, dan orang yang memiliki kewe-nangan utama di rumah. Dalam dra-ma ini Nano Riantiarno meminjam wacana Dasamuka (Rah-wana) se-bagai bingkai ceritanya. Tokoh yang memiliki sepuluh kepala ini dike-nal sebagai wujud angkara murka dan representasi pemimpin yang senantiasa meng-halalkan segala cara untuk meme-nuhi keinginan dan mencapai cita-citanya. Di tan-gan Riantiarno, tokoh Ario adalah

seorang yang mengalami persoalan kepribadian, sehingga ia seantiasa berada dalam dunia fantasi yang dibangun dari simpul-simpul masa lalunya.

Di balik penokohan Ario, pokok persoalan drama ini bermuara ke-pada tanggapan terhadap berbagai persoalan penyelenggaraan pe-merintahan, antara lain mengenai kepemim-pinan, sensor pemerin-tah12 yang berpotensi mengancam kebebasan berekspresi baik seni13 maupun menyampaikan pendapat. Dalam pada itu, kehidupan politik Indo-nesia yang diwakili tiga partai politik, kendati “partai” yang ber-kuasa enggan disebut partai, san-gat berkepentingan terhadap figur pimpinan nasional yang kuat dan teruji keandalannya. Dalam hal itu, kepemimpinan nasional adalah per-soalan yang perlu dilanggengkan, baik secara politik maupun budaya. Pelanggengan itu harus melalui sis-tem demokrasi yang disebut pemi-lu. Di sinilah Nano Riantiarno ten-gah mengomentari budaya pemilu ala Indonesia yang merebak selama masa Orde Baru. Suksesi kepemim-pinan nasional telah melahirkan aksi-aksi dukung- mendukung (ke-bulatan tekad) secara verbal, sele-bihnya dalam proses pemilihan dan penetapan oleh MPR sekadar sere-moni politik yang berulang setiap lima tahun. Pada salah satu bagian drama ini diungkapkan tentang pelanggengan kekuasaan tersebut, seperti pada cakapan berikut.

Kaisar : Ratu, hamba ini Raja diraja. Hamba masih ingin berku-asa, tapi rakyat sudah ogah. Me-reka maunya pemilu terus.Demokrasi terus. Hamba ingin mereka kembali percaya kepada hamba, tanpa melalui pemilu.

TELAAH

tahun

Page 13: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

13PUSAT NO. 08/2014

Tolong Ratu Cahaya, beri tahu caranya agar keinginan hamba terwujud.Sinar : Wah, gampang!Kaisar : Bagaimana? Situasinya sudah seperti telur penyu di ujung tanduk banteng bergincu. Sedikit goncangan kecil saja, telor jatuh hancur berkeping-keping. Masa Ratu tega bilang gampang. Sinar : Memang gampang. Mahko-ta! (Seketika menggenggam mah-kota emas) Kamu penguasa tapi tidak tahu caranya memerintah, tidak tahu caranya memanfaat-kan kekuasaan. Memerintah tidak boleh memakai perasaan, sebab raja bukan seniman. Raja harus cerdik, punya segudang ilmu tak-tik dan akal licik. Itu kalau kamu ingin kekuasaanmu langgeng.

Pada cakapan di atas, tampak bagaimana Kaisar Dasamuka se-nan-tiasa merasa terancam keku-asa-annya oleh kekuatan partai lain (“tanduk banteng bergincu”), dan pemilu menjadi sebuah titik yang krusial dalam hal kekuasaannya. Pemikiran Dasamuka itu dapat di-asumsikan sebagai sebuah pemiki-ran yang senantiasa ada pada elite penguasa Orde Baru.

Keluarga Ario adalah miniatur kekuasaan mutlak yang menelur-kan anarki kekuasaan dan semua anggota keluarganya kondisi itu dilanggengkan menjadi sebuah bu-daya yang berulang-ulang semata-mata untuk “menyenangkan” Ario sebagai kepala keluarga, pengu-asa mutlak sebuah kerajaan seba-gima-na Rahwana yang menjadi raja di-raja di Alengka. Mata artistik Nano Riantiarno menjelajahi kon-stelasi budaya kekuasaan di Indo-nesia pada tahun 1970-an dan hal itu me-nemukan padanannya dalam diri Rahwana, simbol segala angkara

murka dan kesewenangan.

Kesimpulan

Penulisan sastra drama pada tahun 1970-an tidak terlepas dari peran penulisnya sebagai bagian dari lingkungan masyarakat tempat ia berada. Konstelasi sosial, politik, dan budaya pada tahun 1970-an menjadi sumber penciptaan se-jumlah karya sastra drama, seba-gaimana diperlihatkan oleh para penulis drama yang dibahas dalam makalah ini, yaitu Rendra dan Nano Riantiarno.

Rendra melalui dua dramanya, “Perjuangan Suku Naga” dan “Sek-da” menggarap kritik dan tangga-pan terhadap sejumlah kebijakan pemerintah Orde Baru dalam hal birokrasi, korupsi, kolusi, dan prak-tik-praktik kekuasaan yang tidak menguntungkan bagi masyarakat, baik secara sosial, politik, maupun budaya. Pada karya N. Riantiarno, Maaf, Maaf, Maaf, dibicarakan ten-tang fantasi tokoh Ario yang terbe-lenggu oleh latar belakang sejarah keluarganya. Ia mengalami ganggu-an kejiwaan dan berfantasi seolah-olah ia adalah Kaisar Dasamuka. Dengan meminjam kerangka cerita epos Ramayana, N. Riantiarno me-man-faatkan stereotipe tokoh Da-samuka (Rahwana) untuk melon-tarkan jargon-jargon politik yang merepre-sentasikan pemerintahan Orde Baru yang berfokus pada persoalan melanggengkan keku-asaan dan peranan lembaga sensor yang dinilai berpotensi membatasi ekspresi seni dan kebebasan ber-pendapat.

Ketiga karya tersebut menun-jukkan bahwa peran sosial seniman dalam rangka mengangkat hal-hal

yang dianggap tabu diungkapkan ke ruang publik berhasil diwuju-dakan sebagai realitas fiksi (dan kemudian realitas pentas). Melalui wahana itu, masyarakat setidaknya mempunyai kesempatan untuk me-lepaskan kesumpekan-kesumpekan pikiran akibat sistem tata pemerin-tahan yang dibangun dan diyakini pemerintah Orde Baru, khususnya selama dekade 1970-an.

Daftar Pustaka

Alfian, Mely G. Tan, dan Selo Su-mardjan (ed.). 1980. Kemis-ki-nan Struktural: Suatu Bunga Rampai. Jakarta: Pulsar.

Ali, Fahry. 1986. Refleksi Paham “Kekuasaan Jawa” dalam Indo-nesia Modern. Jakarta: Penerbit Gramedia.

Anderson, Benedict R.O.G. 1991.” Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudyaan Jawa,” dalam Miriam Budiardjo (ed.). Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Ja-

karta: Penerbit Sinar Harapan.Crouch, Harold. 1980, “Kaum Mili-

ter: Masalah Pergantian Gene-rasi”, dalam Prisma, Edisi Feb-ruari 1980.

Damono, Sapardi Djoko.1974, “Se-habis Membaca Enam Nas-kah Pemenang Sayembara Penuli-san Lakon DKJ III,” dalam Pesta Seni 1974. Jakarta: Dewan Kese-nian Jakarta.

Dananjaya, James. 1991. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti Pers.

Lubis, Mochtar dan James Scott (ed.). 1993. Korupsi Politik. Ja-karta: Yayasan Obor Indonesia.

TELAAH

Page 14: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

14 PUSAT NO. 08/2014

Muhaimin, Yahya A. 1991.Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950--1980. Jakarta: LP3ES.

Pusat Bahasa. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pu-sat Bahasa.

Rendra.1975, “Kisah Perjuangan Suku Naga”. Jakarta: Bank Nas-kah DKJ.

Rendra. 1977, “Sekda”. Jakarta: Bank Naskah DKJ.

Suseno, Frans Magnis. 1988. Kuasa dan Moral. Jakarta: Penerbit Gramedia.

Sutherland, Heather. 1983. Terben-tuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Penerbit Sinar Hara-pan.

Catatan1 Pancasila dipandang dan dihayati

sebagai abstraksi dari proses em-piris pergolakan politik, social-ekonomi, dan budaya. Oleh ka-rena itu hari kelahiran Pancasila (1 Juni) dimaknai sebagai perin-gatan atas warisan leluhur yang tidak boleh diubah. Pancasila juga dijadikan ideologi yang mampu menengahi pertentangan ideo-logis, etnis, dan agama sehingga berfungsi sebagai “pemersatu” bangsa yang majemuk (Ali, 1986: 198)

2 Harold Crouch, “Kaum Militer: Masalah Pergantian Generasi”, da-lam Prisma, Februari 1980.

3 “Rumah Sakit Wijaya Kusuma” dalam drama ini mengacu pada rencana pembangunan Rumah Sakit Ibu dan Anak “Harapan Kita”. Di balik rencana pembangu-nan itu, tersebar gosip mengenai

kutipan komisi 10% untuk setiap proyek yang dibangun oleh para investor.

4 Banyak istilah yang bisa dipakai untuk menyebut pemberian upeti, seperti “Semua bisa diatur”, “Yang penting tahu sama tahu”, “Uang rokok”, “Terserah kebijaksanaan Anda”, dan lain sebagainya.

5 “Sekda” dipentaskan pada tahun di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada tanggal 27—29 Juli 1977. Drama ini kemudian digelar kem-bali di Yogyakarta pada bulan November 1977. Pementasan di Yogyakarta ini menandai diizin-kannya kembali ia berpentas di wilayah Jawa Tengah dan Yogya-karta setelah dilarang ketika me-mentaskan “Mastodon dan Bu-rung Kondor” (1973).

6 Muhaimin (hlm.6).7 Theodore M. Smith dalam artikel-

nya “Korupsi, Tradisi, dan Peruba-han di Indonesia,” dalam Mochtar Lubis dan James Scott (ed.) Korup-si Politik (Jakarta, 1993: 49) men-gatakan bahwa istilah ‘korupsi’ mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya mencakup korupsi moneter yang konvensio-nal, akan tetapi juga korupsi poli-tik dan administratif. Seorang ad-ministrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (apakah itu domestik atau asing), memakai sumber pe-merintah--kedudukan, martabat, status dan atau wewenangnya yang resmi—untuk keuntungan pribadi. Demikian pula, pejabat yang mengangkat keluarga dan teman untuk jabatan di pemerin-tahan yang menguntungkan, tan-pa mengindahkan kemampuan mereka, termasuk pada pemak-aian sumber pemerintah untuk

keuntungan pribadi.8 Kehidupan pejabat daerah seper-

ti itu pada dasarnya bersumber pada kehidupan pangreh praja pada masa kolonial. Para pejabat itu dipandang sebagai priyayi yang mempunyai kekuasaan un-tuk mengatur wilayahnya sendi-ri. Uraian mengenai hal ini lihat Heather Sutherland Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. (Jakarta, 1983).

9 Muhaimin, op.cit.,hlm. 1010 Pembangunan indutri pesawat

terbang (IPTN) dipandang proyek mercusuar yang belum diperlu-kan oleh rakyat Indonesia. Biaya untuk proyek itu dapat dipakai untuk membangun modernisasi pertanian yang lebih dekat den-gan tradisi dan budaya agraris masyarakat.

11 Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat kare-na struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka (lihat Selo Sumardjan, 1980, hlm. 5).

12 Dalam drama itu disebut sebagai “Lembaga Marah Dasamuka”, yang bertugas menyensor kemarahan agar tidak menggangu stabilitas keamanan dan kekuasaan Kaisar.

13 Pelarangan terhadap media massa (koran dan majalah) dan pertun-jukan (pembacaan puisi, pertun-jukan teater) dalam masa Orde Baru merupakan satu sisi dari wajah Orde Baru yang represif.

M. YoesoefDepartemen Susastra Fakultas Ilmu

Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Page 15: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

15PUSAT NO. 08/2014

MPotret Seorang Prajurit

“Mohammad, inilah rumahku,” Toshihiko berkata ketika kami sampai di depan sebuah rumah kayu yang sederhana. Lalu ia berteriak, “Ibu! Ibu! Inilah tamu yang kita tunggu. Lihatlah seorang Indonesia yang tersesat di sebuah kebun anggur Katsunuma. Bukankah ini suatu kehormatan bagi kita?”

Seorang perempuan bertubuh kecil, umurnya kira-kira hampir lima puluh tahun, muncul di ambang pintu. Dengan tersenyum segar Nyonya Hosaka menyambut kedatanganku: Irashshaimase. Silahkan masuk. Bagai-mana kesehatan Saudara, Mohammad-san?”

“Atas restu Nyonya saya sehat –bugar. Bagaimana keadaan Nyonya?” “Luar biasa, luar biasa! Sejak kami tahu Saudara mau menginap di ru-

mah kami, saya selalu gembira. Bahkan sakit pinggang saya tiba-tiba men-jadi hilang sama sekali. Ajaib bukan? Juga kaki Toshihiko yang bengkak sekaligus menjadi kempes. Dan Miyoko—eh, di mana adikmu, Toshihiko? Seharusnya ia sudah di rumah sekarang –Miyoko, matanya yang sebelah sangat merah. Tapi sejak seminggu yang lalu, sejak berita kedatangan Saudara itu, berangsur menjadi baik dan sekarang sudah sembuh. Ajaib, ajaib! Mohammad-san tahu, saya punya kepercayaan jika ada tanda-tanda seperti itu pastilah kedatangan Saudara membawa kebahagian pada kelu-arga kami…”

“Mohammad-san,” Toshihiko menerangkan, “Ibu sangat senang telah berhasil meminta Saudara menginap di sini. Ibulah yang mendesak Uchii-ke-san, Ketua Seinendan di Yamanashi-ken, agar kami diberi kehormatan menerima tamu dari Indonesia.”

CERPEN

Cerpen Mohammad Diponogoro

Page 16: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

16 PUSAT NO. 08/2014

“So desuka? Sungguh aku terha-ru, Toshihiko-san…”

“Ya, saya pergi sendiri ke kantor Uchiike-san, tapi ia tak ada,” Nyonya Hosaka dengan nada kebanggaan memotong perkataanku. “Lalu saya datang ke rumahnya. Istrinya bilang ia sedang ke Ishiwa-machi karena suatu urusan. Kemudian esok harinya saya berhasil bertemu dengan Uchiike-san di kantornya. Saya mendesak kepadanya, keluar-ga Koichi Hosaka, harus menerima tamu dari Indonesia. Saya minta dia hari ini juga menilpon ke kantor Seinendan di Tokyo. Saya katakan padanya, saya mau bayar semua ongkos tilpon, karcis kereta api dan karcis bis. Uchiike-san tidak bisa menolak permintaan seorang pe-rempuan tua yang cerewet seper-ti saya ini. Hari itu ia menilpon ke Tokyo, dan sekarang, seminggu se-sudah itu, Saudara datang..”

Itulah hari pertama aku men-gunjungi Katsunuma, suatu dae-rah pegunungan di Yamanashi-ken yang menghasilkan anggur. Aku tidak tahu, apakah benar yang di-katakan Nyonya Hosaka itu, namun ketika aku di Tokyo aku ditunjuk untuk pergi ke Katsunuma, Yama-nashi-ken, semata-mata karena aku menaruh minat pada soal-soal koperasi pertanian. Karena keda-tanganku ke negeri Jepang itu atas undangan dari Nihon Seinendan Cuoncil, maka segala urusanku diatur oleh organisasi itu. Dikata-kan padaku, bahwa keluarga janda Koichi Hosaka akan menerimaku sebagai tamu di rumahnya. Toshihi-ko Hosaka, anak laki-laki keluarga itu, adalah anggota Seinendan dan juga memegang pimpinan koperasi penghasil anggur di Katsunuma.

Untuk berterus terang, keda-

tanganku di Jepang itu masih mem-bawa kesan yang pahit dari Perang Dunia yang baru lalu. Maka sambu-tan Nyonya Hosaka yang ramah itu terasa bagaikan pengormatan yang berlebih-lebihan. Kekerasan hati janda itu untuk menerima seorang Indonesia di rumahnya menye-nangkan hatiku, namun begitu ma-sih saja ada prasangka-prasangka yang menggangu perasaanku.

Pada waktu makan malam be-rempat kami duduk menghadapi meja. Nyonya Hosaka, Toshihiko, Miyako dan Aku. Hawa sudah te-ramat dingin pada bulan Oktober, dan kami menggunakan meja rend-ah dengan pendiangan listrik di bawahnya. Tutup meja itu sangat lebar sehingga menutupi kaki kami yang bersila di bawahnya. Berlama-lama kami duduk makan sambil bicara dan kadang-kadang diselin-

gi dengan nyanyi. Dari percakapan waktu itu aku ketahui, minat kelu-arga Hosaka terhadap Indonesia sungguh-sungguh dan jujur. Aku menjadi merasa malu karena pra-sangkaku yang tidak adil terhadap sikap mereka kepadaku.

Selesai makan malam tiba-tiba Nyonya Hosaka berkata, “Moham-mad-san, Saudara tahu apa yang saya rasakan sekarang?”

Tentu saja aku tidak tahu apa yang dimaksudkan dengan pertanyaan yang tiba-tiba itu. Dan aku mau mengatakan bahwa aku tidak tahu, tapi dengan cepat ia melanjutkan perkataanya. “Sejak suami saya meninggal saya sudah berusaha keras untuk membangun kembali perkebunan kami. Dengan susah payah dan banyak pende-ritaan. Dan sekarang perkebunan kami sudah pulih seperti sebelum perang. Apalagi Toshihiko dan Miyoko sudah besar dan banyak membantu. Saya sudah merasa bahagia sekali. Karena saya sud-ah bisa meninggalkan sesuatu un-tuk anak-anak saya—seperti yang diinginkan oleh mendiang Koichi Hosaka, suami saya. Dan mala mini kebahagian itu terasa sebagai se-mangat hidup yang baru, karena kita sekarang makan bersama, kita berempat—seperti ketika suami saya masih hidup. Saya merasa se-perti suami saya hadir di sini. Dan keluarga ini utuh kembali….”

“Oh, maafkan. Nyonya Hosaka—kalau saya mengingatkan Nyonya pada suami Nyonya yang sudah ti-dak ada,” aku berkata dengan cang-gung dan terasa agak terhimpit ka-rena merasa apa yang dikatakannya itu langsung menyangkut diriku.

“Bukan saya merasa sedih,

cerpen

Aku melihat Nyonya Hosaka menahan

perasaan, tapi berusaha untuk tidak menunjukan apa yang terjadi dalam

batinya. Dengan tenang dan sungguh-

sungguh ia berkata pada anaknya, “Memang

aku tidak pernah cerita kepadamu, Toshihiko—

tentang perasaanku ini. Juga tidak padamu, Miyako. Selama lima belas tahun terakhir ini perasaan itu tidak

pernah timbul.

Page 17: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

17PUSAT NO. 08/2014

Mohammad-san. Perasaan begini memang kadang timbul—Koichi seperti hadir di sini. Saya seperti mendengar ia sedang berkata-ka-ta, sedang melakukan pekerjaan sehari-hari seperti sediakala. Se-dang menyiapkan pemanasan un-tuk mandi—yang seharusnya saya yang melakukan itu untuk Koichi. Ya, bahkan saya kadang merasa seperti ia tertidur di samping saya pada malam hari. Dan sekarang ia seperti ikut makan dan bergembira bersama kita…”

“Alah, ibu jangan merusakkan suasana pertemuan ini,” Aku den-gar Toshihiko berkata. “Ayah sudah lama meninggal. Tidak mungkin ia kembali lagi ke mari.”

“Diamlah kau, Toshihiko! Kau tau apa yang kumaksudkan,” Nyo-nya Hosaka mendesis hampir ber-bisik, tapi nada tidak senang jelas kedengaran dalam perkataanya. Lalu ia berkata pada anak gadisnya. “Hari apa sekarang Miyako? Hari

Rabu, bukan?”“He-eh. Hari Rabu barangkali,”

Miyako menyahut.“Ya, tentu hari Rabu. Perasaan

begini selalu timbul pada hari Rabu. Perasaan bahwa Ayahmu kembali hadir di tengah-tengah kita.”

Aku jadi tertegun mendengar keterangan Nyonya Hosaka itu. Se-kalipun kukira ia tidak mempunyai maksud demikian, namun keteran-gan itu membuat perasaan tidak enak kepadaku. Aku seorang asing yang datang ke mari karena diun-dang sebagai tamu, diminta mengi-nap di rumahnya, dan sekarang di-beritahukan kepadaku bahwa ruh orang yang sudah meninggal hadir kembali di rumah itu. Tapi aku ke-mudian mencoba mengarih-arih hatiku sendiri dengan membayang-kan, bahwa Nyonya Hosaka seorang janda yang ditinggal suaminya den-gan sangat menyedihkan. Kematian suaminya itu sangat berkesan da-lam hatinya. Mungkin ia tidak mau

mengakui bahwa Koichi Hosaka itu benar-benar sudah meninggal. Dan pada saat-saat yang mengharukan timbul perasaan bahwa suaminya itu hadir kembali. Dan mungkin ia hanya mengkhayalkan saja, karena ia memiliki kebanggaan sebagai seorang janda dengan dua orang anak yang masih kecil, telah berha-sil menyelamatkan keluarganya dan kebun anggurnya dari malapetaka akibat perang. Dan ia ingin menun-jukan kebanggaan hatinya itu pada suaminya itu yang sudah tidak ada. Tapi mungkin pulakah bahwa be-nar-benar ruh Koichi Hosaka itu se-karang hadir di rumahnya?

“Apakah wajah saya mirip den-gan Koichi-san?” Aku mendengar perkataanku ke luar dari mulutku.

Toshihiko meletuskan ketawa-nya dan tergoncang-goncang tu-buhnya. “Mohammad-san! Jangan percaya cerita ibu. Nanti ibu juga akan bercerita, bahwa ia merasa an-jingnya yang sudah mati sekarang

cerpen

Page 18: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

18 PUSAT NO. 08/2014

hadir di sini lagi. Dan lagi—Sauda-ra sama sekali tidak mirip dengan ayah!”

Aku melihat Nyonya Hosaka me-nahan perasaan, tapi berusaha un-tuk tidak menunjukan apa yang ter-jadi dalam batinya. Dengan tenang dan sungguh-sungguh ia berkata pada anaknya, “Memang aku tidak pernah cerita kepadamu, Toshihi-ko—tentang perasaanku ini. Juga tidak padamu, Miyako. Selama lima belas tahun terakhir ini perasaan itu tidak pernah timbul. Dulu kalian masih kecil. Kukira tidak bijaksana bila kukatakan padamu. Barulah mala mini perasaan itu datang lagi. Ya, waktu Mohammad-san mulai menyanyikan lagu itu—Takedabus-hi….Mohammad-san jangan merasa tersinggung. Sebaliknya, suasana begini menentramkan hati saya. Keluarga ini seperti utuh kembali. Saya mendapat semangat hidup…”

“Ah, malam sudah larut, Ibu,” Toshihiko tiba-tiba berseru. “Seba-iknya kita tidur.”

Malam itu bersama Toshihiko aku menempati kamar depan. Tos-hihiko memberiku kasur lipat dan bantal yang keras dan sehelai seli-mut tebal. Sebelum tidur aku men-gambil air wudhu lalu sembahyang. Waktu selesai sembahyang aku terheran melihat Toshihiko sedang duduk di ranjangnya dan menun-dukkan kepala, menghadapi sebuah potret yang tergantung di tiang kayu. Rupanya ia sedang melaku-kan sembahnyang dengan caranya sendiri.

“Itukah potret ayahmu, Toshi-hiko-san?” aku bertanya sehabis ia bersemedi.

“Ya—waktu ia menjadi militer.”Aku mendekati potret itu, dan

tiba-tiba darahku tersirap! Aku ter-kejut karena aku mengenal wajah prajurit Jepang itu. Roman muka itu tidak pernah lepas dari ingatan-ku sejak kira-kira dua puluh tahun yang lampau. Ketika terjadi per-tempuran melawan pasukan Jepang di selatan kota Semarang. Aku tidak pernah tahu namanya, tapi wajah itu aku kenal sekali. Dialah prajurit Jepang yang kubunuh dengan tan-ganku sendiri!

Ketika itu aku bersama seorang anak buahku sedang mengintai sebuah pos pasukan Jepang yang terpencil. Kami bersembunyi di-sebuah kuburan cina. Aku sedang mencoba menghafal di luar kepala apa yang kulihat, menaksir jenis dan sejumlah senapan mesin yang ada dan memikirkan kemungkinan untuk menyerang pos itu dengan mendadak.

“Lihatlah, Pak!” tiba-tiba anak buahku berbisik. Ia menunjukan arah semak-semak di depan kami. Aku melihat seorang prajurit Je-pang sedang berjalan kea rah kami, sebuah senapan dengan bayonet di tanganya. Seketika darahku men-galir deras. Orang Jepang itu sudah begitu dekat! Aku tahu bahwa tu-gasku mengintai dan kembali den-gan selamat untuk memberi lapo-ran. Aku tidak boleh terlibat dalam kontak senjata. Ini disiplin seorang pengintai. Tapi sekarang sudah ti-dak mungkin menepati disiplin itu. Sebentar lagi orang Jepang itu akan melihat kami.

“Siapkan belatimu,” Aku berbi-sik. “Ia harus dibunuh!”

“Saya takut, Pak!”Aku marah bukan main. Seki-

ranya tidak dalam keadaan begitu, anak buahku pasti kutampar ke-

palanya. Tetapi sekarang aku tidak bisa berbuat begitu. Maka akupun melompat dan menerkam orang Jepang itu. Kusekap lehernya dari belakang dan kutusukkan belati-ku pada perutnya kuat-kuat. Tapi orang Jepang itu membungkuk dan melemparkan aku ke tanah. Aku terjerembab! Dan dalam ke-peningan di kepalaku aku melihat ia mengarahkan bayonetnya ke dadaku. Ketika itulah anak buahku muncul dan menyerangnya. Mereka jatuh bergumul. Melihat aku bang-kit, lalu menusuk punggung orang Jepang itu bertubi-tubi. Rupanya tusukan belatiku membuatnya ti-dak berdaya. Aku melihat wajah orang Jepang itu sekali lagi—wajah itu tercetak dalam kepalaku untuk selama-lamanya. Bergegas-gegas kami tinggalkan mayat itu. Kami se-lamat di markas dan laporan kami sangat dipuji oleh Komandan. Tapi suatu perasaan aneh mengganggu hatiku.

Dan sekarang potret prajurit Jepang itu tergantung di depanku. Dan malam ini aku sedang mengi-nap di rumahnya, sedang beramah tamah dengan keluarga yang ditin-ggalkannya.

“Toshihiko-san, apakah benar kata ibumu itu? Bahwa ruh ayahmu itu hadir kembali di rumah ini?”

Toshihiko yang duduk di ran-jang itu memandang padaku den-gan pertanyaan yang melingkar-lingkar dalam bola matanya. Lalu ia tersenyum dan berkata,” Aku tak tahu Mohammad-san.”

“Tapi percayakah Kau, Toshihi-ko-san?”

“Tidak.”“Tapi kau tadi sembahyang!”Sejenak ia diam lalu tersenyum

cerpen

Page 19: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

19PUSAT NO. 08/2014

lagi. “Mohammad-san, aku sedang menghormati seorang tamu. Biasa-nya aku tidak pernah sembayang.”

“A….”Aku tertegun, lalu kataku, “Terima kasih”, Toshihiko-san.”

Waktu lampu dipadamkan, aku menjadi gelisah. Aku tidak bisa ti-dur. Malam terasa hening dan suara-suara malam terdengar lebih nya-ring. Suara-suara itu menambah runcingnya kengerian yang sedang menggagu pikiranku. Dengkur Tos-hihiko seperti langkah-langkah tera-tur daris suatu mahluk gaib yang ma-kin mendekati tempatku. Dan potret Koichi Hosaka, prajurit Jepang yang kubunuh terasa menusukkan pan-dangannya ke ubun-ubun kepalaku. Aku merasa ruh Koichi Hosaka se-dang menunggui didekatku. Mung-kin ia sedang menanti saat untuk membalas dendam —membunuh aku di rumahnya sendiri!

Itulah malam yang paling ngeri dalam hidupku. Sampai pagi aku ti-dak bisa tidur.

Pagi itu pertama-tama yang ku-putuskan ialah segera meninggal-kan rumah itu kembali ke Tokyo.

Mohammad Diponegoro lahir di Yogyakarta, 28 Juni 1928 – meninggal 9 Mei 1982 pada umur 53 tahun. Me-nempuh pendidikannya di HIS Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 1942; SMP Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1954; dan SMA “B” Negeri Yogyakarta tahun 1950. Setelah itu, ia melanjutkan ke Fakultas Teknik Univer-sitas Indonesia di Bandung, tetapi hanya setahun. Pada masa revolusi kemerdekaan, ia turut ak f dalam bidang kemiliteran. Sekitar April sampai Juni 1945 mengiku la han kemiliteran di Cibarusa, Jawa Barat. Selain itu, pernah menjadi opsir TRI (Tentara Rakyat Indonesia) dengan pangkat letnan dua, menjabat dalam Staf Resimen Ontowiryo (TNI Masyarakat), dan memegang pimpinan Komandan Seksi sampai tahun 1947. Mohammad Diponegoro sudah ak f menulis sejak tahun lima puluhan. Ia banyak menulis dan menyadur cerita pendek, drama, sajak, esai, dan terkenal karena usahanya mempui sasikan terjemahan al-Qur’an. Sumbangan-nya terhadap dunia kesusastraan Indonesia, terutama adalah cerpen-cerpen yang dihasilkannya. Selama hidu-pnya, dak kurang dari lima ratus buah cerita pendek telah ditulisnya, baik asli, terjemahan, maupun saduran. Cerpen-cerpen yang dihasilkannya itu dak hanya disebarkan melalui majalah dan harian, tetapi juga disiarkan melalui radio.

Aku tidak mau tinggal semalam lagi di rumah itu. Tapi bagaimana aku mengatakannya kepada Nyonya Ho-saka? Pada Toshihiko? Pada Miya-ko? Karena itu kusampikan niatku itu pada Uchiike, Ketua Seinen-dan itu. Ia terheran dan tidak bisa menyetujuinya, karena hal itu akan menyinggung keluarga Hosaka.

“Tapi Uchiike-san, bagaimana mungkin aku bisa tidur dengan ke-takutan akan dibunuh?”

“Dibunuh? Siapa yang mau membunuh?”

“Koichi Hosaka! Semalam sun-tuk Koichi menunggu aku untuk membunuhku….”

“Tapi Mohammad-san, Koichi sudah lama meninggal.”

“Ya, aku tahu karena akulah yang dulu membunuh Koichi. Dulu aku seorang perwira Indonesia. Da-lam suatu perkelahian dengan Koic-hi aku telah menusuk perutnya dan punggungnya—di selatan kota Se-marang. Bayangkan, aku pembunuh Koichi Hosaka, dan sekarang aku….”

“Mohammad-san! Aku tidak mengerti maksudmu,” Uchiike me-

motong perkataanku. Ia meman-dangku dengan cara yang sangat ganjil. Ada sesuatu dalam matanya yang kusangka suatu kengerian, atau suatu dakwaan yang tertuju padaku. Lalu ia meletakkan tan-gannya pada sebelah bahuku, dan berkata:

“Memang perang sangat jahat. Dengan kebanggaan orang berang-kat perang sebagai pahlawan. Mem-bela sesuatu yang dianggapnya suci dan luhur. Tetapi sesudah perang selesai ia merasa berdosa karena terlibat dalam pembunuhan manu-sia. Seperti Saudara, seperti saya, seperti seluruh orang Jepang!”

Aku merasakan pegangan tan-gannya lebih keras pada bahuku, lalu kudengar nada gembira da-lam perkataanya yang kemudian, “Meskipun begitu, Mohammad-san, Saudara tidak perlu gelisah tentang Koichi Hosaka, karena aku menge-nal sekali lelaki itu. Selama perang ia tidak pernah menginjakkan kaki di Indonesia. Dan ia meninggal di rumah sakit Ishiwa-Machi karena disentri. []

cerpen

Page 20: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

20 PUSAT NO. 08/2014

Puisi-Puisi

Husen Arifi n

Lintasan di Kepalaku

keasinganku menjadi suraukosong tanpa jamaah shaf-shaf yang lengang dan tak ada doa terucap dari kiai muda

keasinganku sungguh-sungguhnestapa dengan sajadah lusuh

kini rakaatku meladang di televisi, menjadi manusia iklan yang bersujud pada dusta

semacam keabadian yang suatu hari entahlahakan musnah dan punah

keasinganku ya keasingankudi ramainya kenangan melintasi kepalaku

2013

Kuburandi Kota Tuasebaiknya aku melayatdi kota tuamu aku sudah tampak kuatbisa mencintaimu

aku sudah setua iniberusia tanpa waktusenantiasa kumenantisenyummu sejak dulu

apakah aku berharapdunia musti diubah sajakau harus dekapapa yang pernah kau cinta

kakiku sudah menapakdi kota tuamukulihat jendelanya berdebuseperti kemusnahan

ah, tidakkah kauberjanji menjadi pohon kamboja yang abadidan merupai kecantikan untuk kehadiranku malam ini

2013

TAMAN

Page 21: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

21PUSAT NO. 08/2014

R O D A

kisah-kisah dinaiki dan menaiki yang sesungguhnyamenempuh jalan lalu tertempuh

kesalahan, pada mulanya kau berkisah pada waktu istirahsekeping kenangan tiba-tibamerayap dalam perjalanan

tiada yang tandus pabila ladang ditanami doa kudusketika kau menghampar kardusmenarik-narik mimpi yang bersiklus

kisah-kisah tumpahke bulumatamu membiruke bolamataku dan menujumu

kau diajaknya tabahtanpa amarahseperti senja memerahseperti purnama mengekal dalam sajadahserasa mengabadi, serasanyamenjadi puisi

2013

Husen Arifi n lahir di Pro-bolinggo 28 Januari 1989. Alumni UIN Maliki Malang dan pernah ak f di Komuni-tas Sastra Tinta Langit Ma-lang. Karya-karyanya dimuat media lokal dan nasional, an-tara lain: Majalah Sastra Ho-rison, Majalah Islami Sabili,

Majalah Story, Majalah Narodnik, Majalah Bu-daya Sagang Riau, Majalah Ekspresi, Buleti n Je-jak Bekasi, JurnalPohon, Jurnal LoroNG, Kedaula-tan Rakyat, Lampung Post, Koran Merapi, Harian Analisa, Bali Post, Malang Pos, Riau Pos, Kendari Pos, Batak Pos, Radar Madura, Radar Bromo, Ra-dar Bekasi, Lombok Post, Harian Fajar Makassar, Radar Surabaya, Padang Ekspres, Haluan Kepri, Suara Pembaruan, Sumut Pos, Koran Pendidikan, Harian Surya, Duta Masyarakat, rumahdunia.com, kompas.com, kabarindonesia.com, situse-ni.com, gagasmedia.net, RadarSeni.com, Suara Akademika. juga dalam kumpulan puisi dan cer-pen bersama: 100 Puisi Terbaik Indonesia-Tiong-hoa (INTI) DKI (2007), Antologi Puisi Fes val Bulan Purnama Trowulan (2010), Menolak Lupa (2010), Akar Jejak (2010), Antologi Puisi Kasih-Ta-nah Air Udara (2010), Karena Aku Tak Lahir Dari Batu (2011), Akulah Musi (2011), Tuah Tara No Ate (2011), Penyair Memburu Matahari (2011), Pukau Kampung Semaka (2011), Barisan Hujan (2011), Lelaki yang Dibeli (2011), dan Narasi Tem-buni (2012). Pernah meraih penghargaan dalam Lomba Cerpen Tingkat Nasional IPB (2011), Lom-ba Cerpen Islami Se-Jawa Timur di ITS (2011).

taman

Page 22: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

22 PUSAT NO. 08/2014

Puisi-Puisi

Fitri Yani

taman

Jeplin dan Gadis Pantai

gadis pantai itu seperti seekor camaryang kau temukan terluka di bawah pohon kelapakarena iba dan sedikit terpesonakau sentuh luka itu lalu lukaberpindah ke dadamu

dengan kerling mata yang tenang seperti ombak bergulung memanjangia berlari menjauhimumenyiapkan dayung dan perahu

kau terbakar melihatnya menari kau ingin menghampiri dan rela menerima lebih banyak lukatapi satu keinginan, katamu, mustahil tanpa pamrihhingga kau kian terbakar dan takluk di bawah pohon kelapa

kau merintih inginkan ia hisap kembali luka yang semula adalah miliknyakau tahan perih tak terperimemandang laut di batas jerimemandang perahu yang perlahan pergi

seakan butiran garam bermunculan dari kepalamumerajam seluruh tubuh, merajam lukamutapi kemana ia menuju, tak pernah engkau tahu

barangkali ia tak pandai merajut kelumbai untuk hiasan pintu yang mestinya kau masukimaka tak seharusnya kau mencoba berlarimendayung sampan mengejar perahu yang telah pergi

begitulah asmara, Jeplin, kata seorang guru, memang irasionalmembuat suaramu tiba-tiba puitis dan kata-katamu mendadak prosais

gadis pantai itu menjadikan asmara hanyalah tempat singgah dantempat menitipkan lukaia akan tetap begitu, akan selamanya begitu

“mengapa bilik jantung mesti terbelahmengapa arus asmara berlainan arah”Jeplin bertanya pada sebatang pohon kelapa

Oktober 2013

Page 23: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

23PUSAT NO. 08/2014

Sebuah Pengakuan

benar, bahwa aku yang lebih dulu menggodamu di bawah pohon itu. sebab kau musafir kelaparan yang hampir mati berperang melawan cuaca. dadamu berlubang, aku bisa melihat lorong gelap sepanjang perjalananmu. aku tak tahu, mengapa persimpangan ini diciptakan sehingga kita berjumpa dan semuanya bermula, mengapa aku merayumu berhenti dan berteduh di bawah pohon rindang. mengapa kau tergoda sehingga tumbuhlah kata-kata yang menjalar di mata, telinga dan bibirmu. kau sendiri tahu, seberapa jauh jalan yang telah kau tempuh dan kau memerlukan sesosok tubuh, untuk sekedar mengusap bulir peluh di keningmu, bahkan lebih dari itu. aku tertegun heran karena setelah itu kau selalu kembali mencari-cari tubuh yang pernah memelukmu begitu erat dan matamu menjadi kian sekarat.

2012

taman

Page 24: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

24 PUSAT NO. 08/2014

taman

Fitri Yani, lahir 28 Februari 1986. Puisi-puisinya tersiar di berbagai media cetak dan antologi. Diundang pada Pertemuan Penyair Nusantara V dan VI, Ubud Writers and Readers Fes val (2011), Temu Sastrawan Indonesia IV (2011), dan Fes val Puisi dan Lagu Rakyat Antar Bangsa Pangkor, Malaysia (2012). Buku kumpulan puisinya “Dermaga Tak Bernama” (2010) dan “Suluh, kumpulan puisi berbahasa Lampung” (2013). Ia nggal di Bandarlampung.

Pangeran Riyaaku kehilangan peta seorang diri di tengah samuderabintang mana yang akan kutatap semalaman, Puan

langit itu tersibak, malam benderangwajahmu tergambar seperti purnamamenggetarkan mata ribuan nakhoda yang berlayar di laut Sumatera Selatanmembawa rupa-rupa sesembahan dan tujuh puluh helai kain bergambar kijang kencana

seakan pertemuan akan tunai saat terlontar ribuan pujadari bibir para prajurit dan hulubalang seakan sunyi akan mati bila tiba saatnya kujemput engkau di kemudian hari

Puan, kini aku sasar dalam kerumun penduduk kampungpintu rumah siapa harus kuketuk, madu dari cawan mana mesti kureguk.

Oktober 2013

Page 25: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

25PUSAT NO. 08/2014

Di Pinggan SungaiDi pingganIkan-ikanku berkejaranMencari jalanSiapa duluan pulang

Di sungaiPinggan-pinggan berhanyutanEntah rumah siapa dilahap badai

Percut, 8 Juli 2013

Puisi-Puisi

Syafrizal Sahrun

Ikan-ikan di Piamaku

Sunyi jalanSunyi ikan-ikanTak melompatDari tempatKe lain tempat

Di tempat lainIkan-ikan masih melompatDari kualiKe piamaku yang digantung ibuDi balik rindu

Percut, 8 Juli 2013

taman

Page 26: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

26 PUSAT NO. 08/2014

Syafrizal Sahrun. Lahir tanggal 4 November 1986 di desa Percut/Indonesia. Berdomisili di desa kelahiran. Memperoleh gelar sarjana dari UISU dan sekarang tengah mengiku PPs di UMN. Beberapa karya sajak dan esai sastra di muat pada Harian Analisa, Waspada, Medan Bisnis, Mimbar Umum, Batak Pos, Sumut Pos, Haluan Kepri, Haluan Padang, Minggu Pagi, Riau Pos, Merapi, Lampung pos, Majalah Horison, Majalah Sagang, Majalah Ekspresi dan Majalah Frasa. Puisinya juga dimuat pada Antologi puisi Suara peri dan mimpi, Antologi puisi INDONESIA DALAM TITIK 13, Antologi puisi Cahaya, Antologi Puisi Tarian Angin dan Antologi puisi Menguak Tabir. Bekerja sebagai dosen di Jurusan Bahasa dan sastra Indonesia FKIP UISU. Bergiat di komunitas Home Poetry, KAKTUS UISU dan Komunitas Insan Sastra Indonesia (KOMISI). No

Doa Ikan di Kuali

Aku sudah disiangiJika kau nyalakan apiSedang buat maraknyaBiar nikmat di lidahBiar

Jika kau nyalakan apiAku sudah disiangiJangan diperbiarNanti busukku keluar

Tolong nyalakan apiTolong aku siangiBiar darahku jadi suci

Percut, 8 Juli 2013

Page 27: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

27PUSAT NO. 08/2014

(DI PANGGUNG HANYA ADA LEVEL KECIL DI

TENGAH PANGGUNG. LAMPU TEMARAM. SAAT

DIA DATANG DENGAN TERGOPOH-GOPOH, LAMPU SEDIKIT DEMI

SEDIKIT MENYALA DENGAN TERANG)

Selamat malam, saudara-saudara. Maaf…Oh…maaf saya terlambat. Di jalan macet. Sekarang jam…astaga saya betul-betul terlambat! Seha-rusnya satu jam yang lalu saya me-mulai sandiwara ini. Maaf, sekali lagi maaf. Dasar sial! Padahal jarak antara rumah saya dengan gedung pertunjukan ini tidak terlalu jauh. Biasanya saya dapat menempuhnya paling lama hanya setengah jam dengan kecepatan 50 km per jam. Kondisi lalu lintas di jalan-jalan kota ini tidak bersahabat. Macet. Ya, saya terjebak macet, dan untuk itu saya telah menghabiskan waktu

DRAMA

Monolog

Nyanyian Seorang Pecundang

hampir dua jam! Bayangkan, saya harus membuang waktu dengan hal yang sia-sia! Puah! Betapa jeng-kelnya! Bagaimana sih kerja orang-orang yang ada di balai kota, kok ti-dak pernah bisa mengatasi persoa-lan-persoalan seperti itu, padahal kan itu persoalan-persoalan yang selalu terulang, setiap saat. Saya sa-rankan pada saudara-saudara, jan-gan pilih lagi walkot itu lagi… jelas dia tak becus mengurus kota…

Eh, maaf… kok jadi ngomong seper-ti itu… jangan-jangan nanti saya di-tuduh melakukan kampanye hitam. Ya sudahlah… ya ini mungkin salah saya juga. Seharusnya kan saya bisa merencanakan lebih siang menuju tempat pertunjukan ini, sehingga tidak terjebak kemacetan seperti tadi. Apalagi sekarang malam min-ggu. Seolah-olah seluruh penduduk kota ini tumplak ke jalan-jalan un-tuk menikmati liburan. Ah, tapi jan-gan salahkan saya. Tanya saja pada orang-orang produksi, mengapa

sopir yang bernama Damin itu di-suruh menjemput saya pada ba’da Magrib?

(SETELAH MELIHAT KE KIRI DAN KANAN, DIA MENDEKAT KE BIBIR PANGGUNG SEOLAH-OLAH AKAN MEMBISIKKAN SESUATU KEPADA PARA PENONTON)

Sodara-sodara, saya ingin membi-sikkan sesuatu pada Anda, tetapi tolong jangan bocorkan rahasia ini. Bukan apa-apa…saya tidak enak. Bagaimana pun mereka itu teman-teman saya. Hmm…begini ya…

(KEMBALI MENENGOK KE KIRI DAN KANAN, MEMASTIKAN BAHWA ORANG-ORANG DI BE-LAKANG PANGGUNG TIDAK ADA YANG MELIHATNYA)

Sebetulnya saya sudah jengkel den-gan orang-orang produksi. Apa-lagi sutradara. Umumnya mereka

Ipit Saefidier Dimyati

Page 28: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

28 PUSAT NO. 08/2014

dramabekerja kurang profesional. Tidak memiliki militansi untuk bekerja keras. Semuanya terlalu berleha-leha. Otak dan hatinya telah men-jadi mesin produksi yang setiap saat menghasilkan barang-barang eksemplar yang serupa! Mereka terlalu tergantung pada kehadiran saya. “Sudahlah!” Demikian kira-ki-ra orang-orang itu berkata. “Kita ti-dak perlu banyak berpikir lagi. Kita memiliki aktor hebat. Para penon-ton tidak ingin neko-neko melihat sekujur tubuhnya di atas panggung. Mau apa lagi? Malah kalau kita ter-lalu macam-macam mengotak-atik kehadirannya sebagai pemain, jan-gan-jangan para penonton itu bu-bar. Bila sudah demikian, celakalah hidup kita semua!”

Mereka tidak salah mengatakan saya sebagai aktor yang hebat. Se-tiap selesai tampil, pers dan para kritikus selalu menyanjung karya keaktoran saya. Saya tidak heran dengan semua itu, karena memang saya telah bekerja keras. Semenjak saya memutuskan untuk menjadi aktor, hampir tiap hari saya melatih tubuh saya. Juga olah sukma. Olah vokal. Konsentrasi. Apalagi ya? Eh, observasi… ? Ya…ya…betul obser-vasi. Main anggar. Kadang-kadang latihan tari juga. Buku menjadi ak-tor Suyatna Anirun saya lalap. Buku Rendra… Stanislavski… Boles-lavsky… siapa lagi ya? Itu tuh yang teater miskin…apa Kroto… (MENGINGAT DENGAN KERAS, TAPI TIDAK BERHASIL)

Grotok…ah maaf, saya suka lupa menghapalkan nama… Augusto Boal…pokoknya demi menjadi ak-

tor yang berkualitas, saya rakus membaca buku-buku akting. Hasil-nya tidak sia-sia. Bahkan saya per-nah dianggap berhasil menerapkan teori alienasi Brecht dalam berak-ting… Setelah sepuluh tahun ber-juang, kini orang-orang di tanah air ini telah mengenal saya. Kalau bo-leh sombong, saya sekarang lebih populer daripada presiden!

(PERASAAN BANGGA MENJALARI SEKUJUR TUBUHNYA).

Saudara-saudara tahu? Sebelum-nya saya bukanlah apa-apa. Meski-pun saya sering bermain teater dan bergabung dengan rombongan san-diwara yang terkenal, tetapi saya tidak pernah mendapatkan peran yang penting. Dulu saya sempat bermain dalam pertunjukan “Orang Kasar” karya Anton Chekov yang di-

sutradarai oleh sutradara terkenal kita yang telah almarhum, Benjol. Saudara-saudara tahu? Hampir satu setengah jam saya berdiri kaku di atas panggung dengan tanpa bicara satu patah kata pun. Pada saat itu saya menjadi foto almarhum suami dari janda yang munafik itu. Benjol bilang: “Signifikan atau tidaknya eksistensimu di atas pentas tidak ditentukan oleh kuantitas dialog yang kamu lontarkan, tetapi oleh kualitas penghayatanmu terhadap peran yang kau mainkan!” Demi teater, ya betul, demi teater, sum-pah sodara-sodara, saya pun per-nah menjadi tokoh si Tumang da-lam Sangkuriang karya Utuy Tatang Sontani. Saya menerima tawaran jadi si Tumang karena saya teringat ucapan guru saya, Sakosim: “Kamu tahu Jimmy, aktor yang sekarang bermukim di Paris itu? Dia pernah berperan sebagai Tumang dengan

Page 29: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

29PUSAT NO. 08/2014

sangat mengesankan. Meskipun peran itu seperti kurang bermakna, tetapi bila dimainkan dengan peng-hayatan yang penuh, akan membe-rikan kesan mendalam kepada para penontonnya!” Penghayatan saya terhadap tokoh itu mungkin ter-lalu dalam. Pada saat itu saya me-rasa seolah-olah telah kehilangan diri saya, saya telah menjadi tokoh si Tumang, sehingga dengan tanpa sadar saya menubruk para Guriang yang sedang membawa obor. Ha-silnya? Panggung nyaris terbakar. Para pemain panik. Tetapi api dapat segera dikendalikan. Untung para penonton tidak mengetahui insi-den ini. Mereka menyangka adegan kebakaran itu sebagai bagian dari pertunjukan yang telah direncana-kan. Selesai pertunjukan, sutradara memaki saya. Dikatanya saya seba-gai aktor yang tidak sadar ruang!

Insiden itu jadi pemicu saya. Saya jadi semakin rajin. Tahun-tahun berlalu, saya terus aktif berlatih dan bermain teater.

(LESU)

Tetapi tetap saja saya hanya me-mainkan peran-peran yang kecil. Saya sempat berpikir, apa mungkin saya tidak berbakat menjadi aktor? Hingga suatu hari, saya ditawari main film…bayangkan, main film, sebagai tokoh utama lagi! Awalnya saya ragu. Betapa tidak? Telah lama saya tercekoki pandangan bahwa film itu seni industri, dan karena itu rendah. Sampah. Selama ini banyak orang bermain film bukan karena kemampuan aktingnya, tetapi ka-rena kecantikan atau ketampanan wajahnya. Sebagai seniman yang memiliki idealisme, saya katakan

dengan tegas pada produser yang menawari saya main film itu: Ti-dak! Tampaknya orang itu tidak pu-tus asa, merayu terus menerus agar saya menerima tawarannya. Akhir-nya jebol juga benteng pertahanan saya, atau lebih tepatnya, benteng keimanan saya…saya menerima tawaran itu. Hasilnya? Sodara-so-dara ingat film saya yang pertama, “Lelaki Berkalung Emas”? Meledak di pasaran! Film itu bisa bertahan di bioskop-bioskop selama tiga bu-lan. Ya, sejak itulah saya jadi terke-nal, banyak bermain film, dan sejak itu pula nasib saya berubah seratus delapan puluh derajat.

Saudara-saudara, sejak itu saya merasa aneh, aneh dengan sikap orang-orang terhadap saya, teru-tama sikap kawan-kawan saya di teater. Sudah tentu saya sekarang tidak terlalu bebas untuk bisa pergi

drama

Page 30: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

30 PUSAT NO. 08/2014

dramake mana-mana di negeri ini, karena kemana pun saya pergi saya selalu dikerumuni oleh para penggemar yang ingin difoto barenglah, min-ta tandatanganlah, bahkan minta diciumlah! Semua itu saya maklu-mi. Yang agak heran adalah sikap teman-teman teater saya, umumnya mereka sekarang terlihat segan dan hormat pada saya. Tidak hanya itu, sejak saya jadi terkenal, sutradara-sutradara yang dulu meremehkan saya, kini berbondong-bondong menawari saya main teater seba-gai tokoh utama alias protagonis! Suatu tawaran yang belum pernah saya dapatkan ketika saya masih terlibat secara penuh di dunia tea-ter. Tidak mentang-mentang saya sudah terkenal, atau karena pera-saan sakit selalu diremehkan, lalu saya menolak tawaran itu. Tidak. Saya menerimanya. Sodara-soda-ra tahu? Betul saya sudah terkenal dan terlibat dalam dunia film, teta-pi kulit luar saya hingga ke tulang sums-sum adalah teater. Saya tidak bisa lepas dari dunia teater. Cinta saya ada di teater.

(BERTERIAK DENGAN SEMANGAT SAMBIL MENGANGKAT TANGAN KANANNYA)

Hidup teater! Viva teater!Sungguh saya tidak menyangka pengalaman pertama saya jadi to-koh utama dalam pertunjukan tea-ter juga mendapat sambutan han-gat. Gedung pertunjukan selama satu minggu berturut-turut penuh oleh penonton. Media-media mas-sa memuji penampilan saya yang konon penuh penghayatan dan san-gat menyentuh itu. Produser dan sutradara yang selalu menangani

saya di film melihat hal ini sebagai nilai tambah yang bisa dijual pada publik. Katanya: “Kamu harus terus bermain teater, babe, paling tidak setahun sekali atau dua kali. Ini akan memberikan suatu pencitraan yang baik untuk akting kamu di film. Nanti masyarakat akan percaya bahwa penampilanmu di dunia film tidak hanya bermodalkan tampang, tetapi juga karena seni aktingmu yang memukau!” Oleh karena itu, kenapa saya sekarang masih ada di hadapan sodara-sodara untuk bermain teater, terus terang saja, bukan karena semata-mata cinta saya pada teater saja, tetapi karena tuntutan dagang juga. (MELIHAT JAM. KAGET)

Astaga…pukul…ah, gila! Jam saya mati. Pukul berapa sekarang ya? Maaf sodara-sodara. (TERGESA-GESA)

Saya harus memulai sandiwara ini. Ah, inilah suatu kebiasaan jelek yang dimiliki oleh saya, jika sud-ah bercerita tentang hidup saya, seringkali saya lupa waktu. Tetapi saya yakin bahwa pada malam ini pasti banyak pula wartawan info-tainment, ya wartawan gosip gitu, yang bisa memetik keuntungan dari keberterusterangan saya yang paling lugas dan bersahaja ini. Baik-lah…kita mulai saja.

(DIAM SEJENAK. BINGUNG).

Oh ya, hampir lupa…malam ini saya ingin membuat kejutan.

(BERJALAN KE ARAH DEPAN, BI-BIR PANGGUNG)

Beruntunglah sodara-sodara yang hadir pada malam ini, karena akan melihat sesuatu yang berbeda dari penampilan-penampilan saya se-belumnya. Bila sebelumnya sau-dara-saudara suka melihat saya di atas panggung sebagai manusia yang compang-camping, rudin, nelangsa, tidak memiliki harapan, dan selalu mengumpat pada Tuhan, maka pada malam ini saya ingin membalikkan semua itu. Pada ma-lam ini saya akan berperan sebagai manusia sukses, kaya, terhormat, dermawan, dan taat beragama. Jangan cemas. Sodara-sodara pasti terhibur, seperti halnya sodara-so-dara terhibur dengan penampilan kesengsaraan saya selama ini. Me-mang ide ini mendadak datangnya. Tapi jangan takut. Saya ini aktor yang selalu berlatih, kalau memin-jam istilah Kang Yatna, tubuh saya telah menjadi tanah lempung, bisa dijadikan apa saja, sekehendak hati saya. Jadi, meskipun pergantian peran ini terjadi secara mendadak, tanpa ada proses latihan peran ter-lebih dulu, tetapi saya jamin bahwa malam ini saudara-saudara akan bisa menikmati karya seni akting yang sungguh luar biasa!

Saudara-saudara tahu? Pada saat saya terjebak dalam kemacetan tadi, dalam mobil yang nyaris tidak bergerak itu saya berpikir bahwa hi-dup saya tak ubahnya seperti jalan lalu lintas yang macet itu. Ya, hidup saya memang macet! Orang-orang mungkin berpikir saya itu bahagia, terkenal, banyak uang. Terus terang saja: Tidak! Dari dulu hingga seka-rang saya merasa bahwa saya orang yang bodoh, sengsara, dan tidak berguna. Saya telah menghabiskan waktu hidup saya dalam dunia ak-

Page 31: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

31PUSAT NO. 08/2014

ting. Saya telah berjuang demi seni akting. Tetapi apa hasilnya? Secara sepintas mungkin orang melihat bahwa saya telah berhasil. Lihatlah lebih dalam. Sodara-sodara tahu? Bila diperhatikan secara seksama, peran-peran yang saya mainkan baik di teater maupun film, semu-anya sama, Saya selalu menjadi orang yang sengsara, rudin, dan mencemaskan banyak orang. Tentu saja saya bosan memainkan tokoh-tokoh yang flat seperti itu. Saya ingin memainkan tokoh yang lain, tokoh yang kaya, ramah, atau suka menabung. Berulang kali saya men-gatakan keinginan saya ini pada produser. “Sudahlah, babe”. Kata produser saya. “Kau memang lebih cocok dengan peran-peran seperti itu. Jangan terlalu banyak macam-macam. Manusia dilahirkan dengan peran dan bakatnya masing-masing. Lagi pula, ingatlah. Dunia kita penuh modal. Kita harus selalu memperhi-tungkan setiap rupiah yang keluar!”Saya tidak percaya dengan pandan-gan fatalistik seperti itu! Atau lebih tepatnya, pandangan deterministik yang aneh. (PASRAH)

Tapi saya tidak bisa apa-apa. Saya terima saja cap yang diberikan produser itu. Juga di teater. Karena dia merasa berkepentingan den-gan posisi saya sebagai pemain da-lam film-film yang dibiayainya, dia menyuntikkan dana, menginter-vensi, serta menentukan peran se-perti apa yang harus saya mainkan dalam pertunjukan teater. Sutrada-ra, para kru panggung, serta pendu-kung-pendukung pertunjukan lain-nya, tidak bisa menyangkal. Mereka

menerima kondisi ini seolah-olah sebagai kebenaran yang tidak da-pat ditolak lagi. Saya tahu, semua itu terbentuk karena kekuasaan uang. Seperti sudah saya katakan, sekarang mereka seperti mesin produksi, mencetak hal yang sama dari saat ke saat. Mereka tak layak disebut seniman. Masa seniman tak memiliki kreativitas?

(SEMANGAT. PENUH PERCAYA DIRI)

Sekarang saya sadar bahwa saya harus bisa keluar dari kondisi ini. Saya harus berontak dari kondisi yang macet ini. Ah, kemacetatan lalu lintas telah memberikan ber-kah pada saya. Jadi sebetulnya saya salah mengatakan bahwa saya telah menghabiskan waktu dengan sia-sia di kemacetan jalan yang bising itu! Justru karena kemacetan itu-lah saya jadi dapat inspirasi untuk keluar dari kondisi stagnan yang terus menerus melingkupi hidup saya. Saya tidak takut kehilangan segala hal yang telah saya raih. Saya mencintai kebebasan. Ya, seharus-nya aktor mencintai kebebasan. Tanpa kebebasan, aktor tidak bisa menjadi apa-apa. Keterbelengguan sangat bertentangan dengan haki-kat aktor yang harus bisa menjadi apa saja! Sekarang saya tidak takut produser, sutradara, atau siapa pun. Saya yakin bahwa saya ada di pihak yang benar. Persetan dengan mere-ka semua. Saya harus bisa menen-tukan hidup saya sendiri. Saya tidak ingin jadi mesin!

Maaf, saudara-saudara. Saya terlalu bersemangat. Maklumlah, terlam-pau lama saya digencet oleh keti-

dakberdayaan. Padahal sebetulnya saya bisa melepaskan diri dari ke-tidakberdayaan itu. Saya mohon, dukunglah saya. Tanpa dukungan dari saudara-saudara, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Sekali lagi, saya sekarang akan memainkan tokoh yang berbeda dari sebelum-nya. Sodara-sodara pasti tidak akan menyesal dengan mendukung saya, karena saya akan tampil semaksi-mal mungkin untuk memainkan tokoh yang baru ini. Jadi, tolonglah jangan beranjak dari tempat duduk sodara-sodara. Bila nanti ada sedi-kit cacat di sana-sini, harap dima-klum saja, karena baru malam ini-lah tokoh ini saya mainkan, secara spontan, tanpa latihan pula. Tentu saja belum sempurna betul. Mes-kipun begitu, sodara-sodara nan-ti akan melihat benih-benih yang menampakkan bakat keaktoran saya yang kaya. Sodara-sodara pasti sadar, bahwa saya bukan hanya bisa memainkan tokoh yang rudin saja, tetapi juga bisa bermetamorfosa menjadi tokoh yang kaya, bahagia, dan disenangi banyak orang.

(BERBICARA SAMBIL MEMPERA-GAKAN APA YANG DIKATAKAN-NYA)

Baiklah, pada awal pertunjukan yang segera akan saya mulai ini, pada saat lampu mulai menyala to-koh yang akan saya mainkan nanti akan berdiri di atas undakan itu. Jika ada musik, dalam bayangan saya ada ilustrasi komposisi klasik Simfoni No 3 Eroica karya Beetho-ven. Kemudian saya berjalan den-gan penuh wibawa menuju bibir panggung dan kemudian berkata dengan suara yang lantang dan te-

drama

Page 32: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

32 PUSAT NO. 08/2014

gas: “Inilah saatnya menjadi manu-sia yang tidak mengorbankan orang lain, demi kepentingan diri sendi-ri”. Sodara-sodara tentu bertanya: “Mengapa ucapan seperti yang pertama kali meluncur dari mu-lut laki-laki yang gagah itu?” Pada adegan-adegan selanjutnya pasti pertanyaan itu akan terjawab. Oleh karena itu, sekali lagi saya memo-hon pada sodara-sodara, jangan be-ranjak dari tempat duduk masing-masing. Tolong matikan Hp-nya, konsentrasilah ke atas panggung. Anak-anak jangan berisik, ya. Ini bukan sandiwara rakyat. Penonton yang ingin memotret, tolong mati-kan lampu kilatnya, bukan apa-apa, nanti penghayatan saya terhadap karakter yang saya mainkan ter-ganggu. Jadilah penonton yang baik. Berlakulah seperti nonton pertun-jukan musik klasik.

Baiklah, saya mulai saja… (KETIKA AKAN MEMULAI ITU, DIA INGAT SESUATU. KIKUK)

Oh, seharusnya saya berdiri di sana. Tetapi…tidak. Kampungan. Terlalu didramatisir. Sesuatu yang berlebi-han senantiasa tidak enak. Saya ha-rus mengubah awal sandiwara ini. Bagaimana ya? Ah, mengapa saya jadi begitu gugup.

(DIAM SEJENAK)

Saudara-saudara tahu? Pada waktu pertama kali saya menerima tawa-ran film dari produser itu, saya juga gugup, persis sama dengan kegu-gupan yang sekarang saya rasakan.

Betapa tidak? Tawaran main film itu bukan tawaran yang gratisan. Ya, betul, tidak ada yang gratis di dunia ini. Demikian pula dengan saya. Saya terpaksa melakukannya. Pasrah. Saudara-saudara tahu? Saya harus menjadi pacarnya. Ti-dak saudara-saudara. Saya hetero. Kalau orang awam bilang, normal. Tetapi, begitulah. Saya tidak bisa menolaknya. Saya ingin mengubah nasib. Kesempatan itu ada, mes-kipun harus dengan jalan yang sungguh menyakitkan. Saya harus menempuhnya. Saya yakin, sodara-sodara dapat membayangkan cerita selanjutnya. Mau apa lagi? Sebetul-nya saya sedih. Bila teringat semua itu, saya selalu ingin menangis.

(MENANGIS DAN MERASA SENG-SARA)

Huk…huk…huk. Saya pikir saya bisa lepas dari kesengsaran yang meling-kupi saya. Ternyata tidak. Saya tetap sengsara. Saya tidak bisa lepas dari kesengsaraan yang melilit hingga ke tulang belakang ini. Betulkan ini takdir? Tidak, tidak. Malam ini saya yakin bisa lepas dari semua itu. Ini kesempatan emas. Tidak boleh saya sia-siakan. Baiklah, saya tidak bo-leh larut dalam kesedihan. Bangkit! Bangkitlah wahai anak Adam!

(LAMPU TIBA-TIBA PADAM)

Lho…kenapa blackout? Saya baru akan memulai sandiwara ini. Apa aliran listrik putus? (BERTERIAK KE ARAH PENATA LAMPU) Kang Yayat, tolong nyalakan lagi lampu

panggungnya dong. Ya, begitu. Eh, tapi jangan semua, lampu panggung saja. Lampu auditoriumnya dimati-kan. Sandiwara belum selesai, baru akan dimulai. (DUA ORANG KRU MASUK PANG-GUNG)

Eh, mengapa kalian masuk ke pan-ggung. Bukankah semestinya di be-lakang? Apa yang terjadi? Saya baru akan memulai…

(ORANG-ORANG ITU TIDAK PER-DULI, MEREKA MENGIKAT DIA)

Apa-apaan nih? Hey… kenapa saya diikat? Saudara-saudara, tolong saya! Lepaskan! Lepaskan! Oh, saya gagal lagi. Saya betul-betul tidak bisa beranjak dari nasib ini!

(TERDENGAR SUARA MC: Beri te-pukan yang hangat untuk aktor kita yang hebat! Para penonton yang terhormat, demikianlah sajian sandiwara yang kami kira paling menyentuh kalbu semua selama riwayat aktor kita pembawakan pe-ran itu di atas panggung. Kami ber-harap semoga kesengsaraan yang disajikannya bisa menjadi cermin untuk kita semua agar lebih berha-ti-hati dalam menempuh kehidupan ini. Ingatlah moto restoran Padang: “Jika anda puas, tolong sampaikan pada kawan-kawan anda, tetapi jika anda kecewa sampaikanlah pada kami”. Selamat malam. Sampai jum-pa lagi pada pertunjukan selanjut-nya. Terimakasih).

Page 33: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

33PUSAT NO. 08/2014

Teater Koma melangkah me-masuki usianya yang ke-37 mempersembahkan lakon

terbaru berjudul “Demonstran”. Se-buah lakon tentang dongeng poli-tik yang mencerminkan kehidupan masyarakat Indonesia masa kini. Pertunjukan ”Demonstran” dipen-taskan selama 15 hari sejak tanggal 1--15 Maret 2014 di Graha Bhak-ti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Pertujukan dimulai setiap pukul 19.30 (Sela-sa-Sabtu), dan pukul 13.30 setiap hari Minggu. Harga tiket berkisar antara Rp75.000---Rp300.000 ribu rupiah.

Lakon ”Demonstran”, disutra-darai oleh Nano Riantiarno dibantu oleh Ohan Adiputra sebagai co-su-tradara, penata musik oleh Idrus Madani, Fero A. Stefanus sebagai penata aransemen musik, Ratna Ully sebagai penata gerak, Taufan S, CHN sebagai skenografi dan penata cahaya, serta tata rias dan busana digarap oleh Sena Sukarya bersama Rima Ananda.

”Demonstran” didukung oleh para pemain seperti Ratna Rian-tiarno, Sari Madjid Prianggoro, Budi Ros, Cornelia Agatha, Subarkah Hadisarjana, Rita Matu Mona, Em-manuel Handoyo, Alex Fatahillah, Daisy Lantang, Anneke Sihombing, Adri Prasetyo, dan Andhini Puteri serta para pendukung lainnya.

Pertunjukan teater berlangsung selama 180 menit yang dikemas dengan nuansa dongeng yang di-selipkan oleh unsur-unsur humor. Penonton diajak untuk melihat gambaran kehidupan politik dalam lakon ”Demonstran” yang mirip dengan yang terjadi di tanah air.

”Demonstran” berkisah tentang tokoh Topan, seorang mantan ak-tivis yang berhasil menggulingkan penguasa dua dekade silam. Per-juangannya selalu diingat dan na-manya selalu dipuja. Sekarang dia seorang pedagang yang sangat suk-ses. Meskipun penguasa dua deka-de saat itu berhasil ditumbangkan, namun keadaan tidaklah membaik. Korupsi masih merajalela dan wa-

kil rakyat mengusung kepentingan partai masing-masing. Padahal para pejabat itu adalah orang-orang yang dahulu juga menjadi demonstran dan berjuang bersama Topan. Kini Topan didesak lagi untuk turun ke jalan demi berunjuk rasa menun-tut penyelesaian masalah negara ini. Pada awalnya Topan mengelak dan berkilah dari desakan itu. Dia beralasan banyak cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan masalah, unjuk rasa bukanlah satu-satunya solusi. Lagipula, masalah di masa silam dengan masa kini berbeda. Dia mempertanyakan tu-juan demonstrasi yang dilakukan mahasiswa saat ini. Terlalu banyak masalah yang ingin diselesaikan, sementara dulu tujuannya hanya satu: menggulingkan penguasa.

Di sisi lain, Topan kenal dengan seorang Pejabat T yang dekat sekali dengan istrinya, Bunga. Pejabat T ini berniat menjadi presiden. Peja-bat T pun memanfaatkan ketena-ran Topan sebagai strategi politik. Topan diabadikan dalam bentuk

LINGKAR SASTRA

Kritik Politik Sosial dalam Lakon “Demonstran”

(Teater Koma 37 Tahun)

Page 34: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

34 PUSAT NO. 08/2014

patung megah, sama seperti patung lainnya yang diletakkan di jalan-ja-lan strategis Jakarta. Niken, Wilutan dan Jiran mendadak kehilangan ku-asa atas barisan demonstran yang berada di bawah komando mereka. Tiba-tiba datang seorang pemim-pin baru, Bujok yang merupakan kaki tangan pejabat T. Topan meno-lak hal itu. Dia juga melihat hubun-gan Bunga dengan Pejabat T ada sesuatu yang salah. Akhirnya To-pan turun ke jalan karena dia tidak ingin demonstrasi yang dipimpin Bujok melenceng dari tujuan mulia membela kepentingan rakyat. Ter-nyata hal ini memang dimanfaatkan Pejabat T dan Bojok. Agar Pejabat T bisa dipilih rakyat menjadi presi-den, maka Topan harus dijadikan tumbal bagi demonstran.

Nano Riantiarno sang sutrada-ra menuliskan bahwa naskah ”De-monstran” ditulisnya sejak tahunn 1989 dan baru siap dipentaskan

tahun ini. Dia mengatakan tidak ada unsur kesengajaan dalam pe-milihan waktu pementasan yang bertepatan di tahun politik. Semua adalah kebetulan karena lakon ini memang baru siap dipentaskan saat ini. Nano menceritakan jika naskah ini memiliki keterikatan dengan lakon “IBU, Mother Coura-ge and Her Children” yang sudah dipentaskannya November lalu. Keduanya sama-sama menyirat-kan kritik sosial dan menyindir apa yang terjadi terhadap bangsa ini. Pagelaran Teater Koma kali ini ditujukan untuk mengkritik para pejabat yang dahulunya menjadi demonstran maupun pemerinta-han Indonesia yang tidak konsis-ten dengan perjuangannya saat itu. ”Sekarang sulit sekali menentukan mana yang harus dibela dan yang disalahkan. Unjuk rasa sering dija-dikan alat untuk mencapai tujuan. Situasi ini yang menjadi latar bela-

kang pementasan kami,” kata Nano.Nano Riantiarno berkenyaki-

nan bahwa teater bisa menjadi sa-lah satu jembatan menuju suatu keseimbangan batin dan jalan bagi terciptanya kebahagian yang ma-nusiawi. Jujur, bercermin lewat tea-ter, diyakini pula sebagai salah satu cara untuk menemukan kembali akal sehat dan hati nurani. Sikap saling menghargai perbedaan dan menghargai sesama.

Sampai tahun 2014 Teater Koma telah memproduksi 132 pementasan, baik di televisi mau-pun dipanggung. Mereka memiliki banyak penonton yang setia. Per-tunjukannya sering digelar lebih dari dua minggu. Kini Teater Koma memasuki umurnya yang ke-37 ta-hun tetap menjadi kelompok kese-nian yang konsisten dan produktif. (Ning)

Page 35: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

35PUSAT NO. 08/2014

MAJELIS SASTRA ASIA TENGGARA

LEMBARAN

MASTERABRUNEI DARUSSALAM

Doa Seorang IstriCerita Pendek Mas Osman

Utusan terapungPuisi Seribadi Brunei

SuaraPuisi Maimon Rahman

MALAYSIABunyi

Cerpen Saiff ulizan Yahya

Dalam Persekitaran Kata-KataPuisi Baha Zain

Selamat Berpisah Wahai DalangkuPuisi Rosli K

Di balik Kebijaksanaan Tun Sri LanangPuisi Noriah Taslim

INDONESIABromocorah

Cerpen Mochtar Lubis

Monumen Kema anPuisi Evi Idawati

Ke ka Engkau Bersembahyang Puisi Emha Ainun Nadjib

Page 36: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

36 PUSAT NO. 08/2014

MASTERA

Allah Maha Pencipta langit dan bumi, dan bila

Dia berkehendakkan (untuk mencipta) sesuatu,

maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan

kepadanya: Jadilah! Lalu jadilah ia].

– Ayat 117, Surah Al-Baqarah.

I

MARLIA DUDUK di beranda rumahnya. Bentuk moden yang di-sesuaikan dengan alam ketimuran. Hatinya senang, lapang dengan su-asana rumahnya. Hasil daripada ilham bersama suaminya. Duduk-duduk seorang diri memang mem-bosankan akalnya. Marlia memang suka berbual-bual. Jadi kalau tidak ada teman untuk berbicara kusut-lah fikirannya. Sudah dicubanya dengan membaca buku atau maja-lah bagi menghilangkan tabiatnya,

tetapi tidak berhasil. Kesukaan-nya tetap berbual-bual. Jadi, kalau ada suaminya tentulah rancak ce-ritanya. Lebih-lebih lagi di bulan puasa begini, duduk-duduk pada petang hari sementara menunggu sungkai amatlah membosankan. Sementelah lagi persiapan untuk persungkaian sudah siap diuruskan sejak jam lima petang tadi.

Hendak ditunggu ibu men-tuanya dan anaknya, Fikri. Mere-ka masih belum pulang dari ban-dar lagi. Membeli-belah untuk menyambut hari raya. Marlia tidak kuasa menemani anaknya kerana sibuk dengan kerja-kerja dapurnya. Ibu mentuanya sahajalah yang me-nemani Fikri. Masalah kenderaan tidak menjadi soal kerana mereka mempunyai pemandu yang digaji khas oleh suaminya.

Hendak ditunggu suaminya pun masih belum pulang dari pe-jabat. Dalam bulan puasa begini suaminya memang selalu lambat balik ke rumah. Hampir hendak

bersungkai baharulah suaminya sampai. Suaminya sibuk dengan urusan perniagaan yang memerlu-kan perhatian yang teliti. Suaminya tahu kalau kurang penelitian tentu-lah akan mengakibatkan beberapa hal yang kurang baik. Sebagai ahli perniagaan mestilah selalu berhati-hati.

Suaminya adalah seorang yang penyabar. Lebih-lebih lagi hidup dalam dunia penuh pancaroba ini, kesabaran adalah sangat ditekan-kan oleh suaminya.

“Abang sentiasa berharap Lia selalu bersabar, kerana kesabaran itulah yang membantu hidup kita. Lia pun tahu, sifat sabar itu separuh daripada iman.”

Kata-kata itulah yang menjadi pegangan hidup Marlia. Kata-kata itulah juga yang menambah kuat kasih sayang terhadap suaminya. Kata-kata itu juga memberi perang-sang kepada hidupnya yang per-nah dilanda kesedihan. Ayah dan ibunya telah meninggal akibat satu

Doa Seorang IsteriCerita Pendek MAS OSMAN

(Brunei Darussalam)

Page 37: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

37Lembaran Mastera

MASTERAkemalangan jalan raya. Bagai hen-dak hancur dadanya apabila men-dengar berita tersebut. Lebih-lebih lagi waktu itu ia mengandung anak pertamanya, Fikri. Tujuh bulan pe-rutnya ketika itu. Nasib baiklah su-aminya ada, kalau tidak entah apa-kah yang terjadi pada dirinya.

Setelah lahir Fikri, fikirannya kacau sedikit demi sedikit beransur hilang. Tangisan dan ketawa Fikri amat menyenangkan hatinya. Ka-sihnya semakin mendalam kepada suaminya. Lebih-lebih lagi suaminya sangat mengambil berat tentang di-rinya. Kasihnya tetap hangat. Diam-diam Marlia mengucapkan syukur kepada Tuhan kerana memper-temukannya dengan Borhan, su-aminya. Meskipun suaminya jarang berada di rumah, sibuk dengan uru-san perniagaan, tetapi Marlia tetap bersabar. Suaminya mencari rezeki yang halal. Untuk dirinya, Fikri dan

ibu mentuanya. Ayah Borhan juga telah lama menemui Tuhan, sejak Borhan masih kecil lagi.

Berkat usaha gigih suaminya berniaga dicampur dengan sifat sa-bar, hasilnya mulai membuahkan keuntungan. Rumah besar yang di-diaminya sekarang adalah antara hasil titik peluh suaminya itu.

Mereka bukanlah berasal dari golongan kaya-raya. Yang punya harta berlambak-lambak, tetapi ke-sabaran dan kegigihan yang mem-bawa mereka ke ambang kemewa-han. Bersyukur kepada Tuhan atau nikmat-Nya adalah falsafah hidup mereka. Allah Maha Berkuasa.

Kerana tiada teman berbual-bual, Marlia terus melayani alam khayalnya. Suasana petang yang indah diperhatikannya. Bunyi si-ulan burung yang hinggap di po-hon-pohon rendah di halaman rumahnya yang kedengaran agak

mempersonakan itu pun tidak te-rasa olehnya. Majalah Jelita yang sengaja dibawanya masih lagi di tangannya. Khayalannya terus-te-rusan menjalar. Sehinggakan ibu mentuanya dan Fikri yang sudah sampai pun tidak disedarinya. Ala-hai: Asyik Betul Marlia.

“Ibu buat apa di sini?”Suara manja keanak-anakan

menusuk ke gegendang telinga Mar-lia. Tidak terus menjawab soalan tadi. Hanya menolehkan mukanya ke arah Fikri. Itulah satu-satunya anak yang dapat dikandung dan dilahirkannya. Setelah Fikri, Tuhan masih belum lagi mengurniai se-barang anak. Marlia dan suaminya tetap bersabar dan tetap bersyukur walaupun Fikri sahajalah anak me-reka. Tuhan Maha Mengetahui.

“Ibu tidak buat apa-apa, Cuma menunggu Ri saja. Apa yang Ri beli di kedai tadi?”

Page 38: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

38 PUSAT NO. 08/2014

MASTERA“Baju dan seluar, bu. Ayah

mana? Belum balik?”“Mengapa Ri tidak terus beli ka-

sut?”“Ayah janji nak belikan, jadi Ri

tidak beli.”“Oh begitu … tapi kan ayah Ri

sibuk, baiklah biar ibu saja yang be-likan, okey sayang.”

“ Yalah bu … tapi, bila?”“ Besok sajalah.”Marlia sangat sayangkan an-

aknya. Selain suaminya, Fikrilah yang menjadi penghibur gelodak rasanya. Waktu suaminya berker-ja, Fikrilah segala-galanya. Doanya setiap lepas sembahyang, biarlah Fikri dan suaminya sentiasa dalam sihat dan selamat. Damailah kelu-arganya hingga ke anak cucu. Itulah harapannya kepada Tuhan. Doanya yang tulus, sebersih embun pagi.

II

Dalam kelembutan senja yang menjalar ke gerbang maghrib, Mar-lia merasakan kebimbangan. Terasa jantungnya berdebar-debar. Men-gapa sampai begini perasaanku? Apakah ada sesuatu yang kurang baik akan berlaku. Ya Tuhan lin-dungilah kami sekeluarga. Doanya. Suami masih belum balik lagi. Men-gapa begitu lambat abang pulang hari itu, fikirnya.

Waktu bersungkai sudah ber-mula tetapi bayang suaminya masih belum nampak. Terasa sepi magrib kali ini. Selalunya mereka bersem-bahyang berjemaah. Borhan menja-di imam. Marlia dan ibu Borhan dan fikri menjadi makmum. Waktu ber-sungkai mereka hanya makan buah kurma dan minum segelas air. Fik-ri yang sekecil itu sudah sanggup merasakan kenikmatan berpuasa.

Marlia Bangga. Ibu mentuanya juga turut bangga. Baru berumur lapan tahun sudah bersedia menghadapi puasa.

Tetapi kali ini amat berbeza sekali. Borhan masih belum balik. Marlia risau. Ibu Borhan risau. Fikri juga tertanya-tanya mengapa ayah belum pulang. Suatu hal yang be-lum pernah terjadi.

Kalau lambat balik pun tentu Borhan menelefon ke rumah. Teta-pi kali ini tidak. Mereka risau. Da-lam hati ini mereka berdoa semoga Borhan selamat.

Sembahyang magrib kali ini, Marlia yang menjadi imam. Marlia kurang yakin apakah sembahyang-nya betul. Tetapi ia tetap berserah kepada Tuhan. Tuhanlah yang tahu segala-galanya. Dalam doa selepas sembahyang, Marlia mengharap-kan suaminya pulang dengan sela-mat. Dia tidak tahu apa yang terjadi kepada suaminya. Ibu mentuanya juga tidak tahu. Tuhan tahu.

Dalam khusyuk berdoa, keden-garan bunyi kereta memasuki hala-man rumah. Marlia memendekkan doanya. Mereka berburu-buru ke ruang depan. Tentulah Borhan baru sampai, fikir mereka. Tetapi yang datang adalah manusia yang tidak diundang. Dua orang anggota polis, berdiri di depan pintu.

Marlia terkejut. Ibu mentuanya juga terkejut. Fikri hairan. Apa tu-juan polis ini datang? Apakah ter-jadi kepada suamiku? Ya tuhan, lindungilah suami hamba. Hanya Engkaulah Yang Maha Tahu, doa Marlia.

“Ini rumah Encik Borhan bin Fakruddin?”

“Ya, saya isterinya. Ada apa, tuan?” Marlia bertanya dengan pe-

Page 39: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

39Lembaran Mastera

MASTERArasaan yang bimbang.

“Saya berharap dayang berte-nang. Kehendak Tuhan tiada siapa yang dapat menghalang.” Salah seo-rang anggota polis itu memulakan percakapan.

“Apa yang sudah terjadi, tuan? Suami saya?”

“Ini sudah suratan takdir. Suami dayang dapat kecelakaan di batu dua, Jalan Tutong, kira-kira jam enam petang tadi,” ujar anggota polis yang seorang lagi.

“Apa! Ya Allah! Di mana suami saya sekarang?” Fikri yang meme-gang tangan ibunya ikut menangis.

“Ayah, ibu? Kenapa ayah?”Marlia lalu terduduk sambil

merangkum tubuh anaknya. Kedua-duanya menangis.

“Bertenanglah dayang. Suami dayang sekarang berada di rumah sakit.”

Malia kembali berdiri.“Bagaimana keadaannya?”“Sekarang diberikan rawatan

kecemasan. Eloklah dayang, makcik dan anak dayang kerumah sakit se-karang.”

“Terima kasih.”

III

Marlia memandu keretanya berhati-hati. Cahaya dari lampu depan kereta tidaklah begitu jauh pancarannya. Kadang-kadang kalau tersalah pandang macam-macam hal boleh terjadi. Itulah yang men-gajar Marlia supaya selalu berjaga-jaga apabila memandu kereta pada waktu malam.

Marlia cuba menenangkan fiki-rannya dengan membaca ayat-ayat suci yang dapat dihafalkan. Dari

cermin depan dilihatnya mentuanya juga dalam kegelisahan, sedang du-duk diam di belakang. Mulut ku-mat-kamit, barangkali membaca ayat-ayat suci juga, fikir Marlia. Fik-ri yang duduk disebelahnya diam sahaja. Entah apakah yang ada da-lam otaknya sekarang, barangkali juga berdoa agar ayahnya selamat, fikir Marlia lagi. Tuhan selamatkan suami hamba.

Kira-kira sepuluh minit perja-lanan Marlia terpaksa memperla-hankan kelajuan keretanya kerana kereta-kereta yang di hadapan pun bergerak perlahan-lahan. Barang-kali kawasan dekat sini terjadi ke-malangan itu, fikir Marlia.

“Ibu, itulah kereta ayah?”Enam biji mata tertumpu ke

arah kereta tersebut, tersadai di tepi jalanraya. Keadaannya agak te-ruk juga. Cermin di sebelah depan pecah. Badannya kelihatan kemik di sebelah tepi kanan. Muka Marlia berubah. Pucat. Ya Allah, selamat-kanlah suami hamba.

Marlia cuba menyabarkan di-rinya. Tuhan sahaja yang lebih arif perasaannya di saat itu. Melihat kea-daan kereta suaminya itu, hatinya bagai disayat-sayat dengan benda yang sangat tajam. Air matanya sudah terasa panas mengalir dari kelopak matanya. Hatinya tetap di-gagahkannya. Dalam suasana begitu Marlia teringat kata-kata suaminya.

“Dalam keadaan macam mana pun, kesabaran mestilah ada di dalam diri kita, kesabaran itulah yang akan membuat kita sentiasa berada dalam suasana yang dilindungi Allah.”

Marlia menyedari dalam keada-an sekarang, menangis adalah suatu gerak laku yang sia-sia, suatu ke-bodohan. Kesabaran adalah penting.

Sesampai sahaja di rumah sakit mereka terus pergi ke bilik rawatan kecemasan. Rumah sakit pada wak-tu malam tidaklah sesibuk wak-tu siang. Pekerjanya pun terhad. Mereka tidak terus masuk ke bilik tersebut kerana ada tanda di depan pintu yang melarang memasukinya kecuali petugas. Mereka hanya du-duk di kerusi yang telah disediakan. Hendak ditanyakan, tiada siapa pun yang berada di situ. Mana orang-orang di sini, hendak bertanya pun susah, kata hati Marlia.

Mahu tidak mahu Marlia mem-beranikan dirinya mengetuk pintu. Tidak berjawab. Tidak ada orang di dalamkah? Kata hatinya lagi. Marlia memusing tombol pintu perlahan-lahan.

“Dayang hendak ke mana?” Tiba-tiba kedengaran suara me-mecahkan kesunyian dari belakang Marlia. Marlia gugup. Pintu ditutup semula.

“Saya hendak bertanya sesu-atu.”

Ibu mentuanya dan Fikri diam sahaja. Memerhatikan dengan wa-jah yang gelisah.

“Ya, kalau dapat saya bantu.”“Di mana lelaki yang mendapat

kemalangan petang tadi?”“Maksud dayang, Encik Bor-

han?”“Ya … ya … Dia suami saya, itu

ibunya dan anak kami. Boleh kami melihatnya?”

“Boleh. Di sekarang berada dalam wad lapan. Mari saya tunjukkan.”

Mereka meninggalkan tempat itu. Berjalan beriringan. Fikiran Marlia menjalar. Bagaimana kea-daan suaminya. terukkah atau ba-gaimana. Marlia amat takut untuk

Page 40: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

40 PUSAT NO. 08/2014

MASTERAbertanya lebih lanjut kepada ju-rurawat di sebelahya. Bukan takut apa, Cuma kalau berita yang disam-paikannya nanti kurang menye-nangkan, alangkah sedih hatinya. Ya Tuhan, Engkaulah Yang Maha Tahu segal-galanya.

“Dayang di sinilah tempatnya. Dayang masuklah ke bilik nombor lima. Cuma janganlah buat bising, ba-rangkali suami dayang sedang tidur sekarang. Dia perlu banyak rehat.”

“Terima kasih”Marlia berjalan perlahan-lahan

ke bilik yang disebutkan oleh ju-rurawat tadi. Ibu mentuanya dan Fikri mengikut dari belakang. Me-reka gelisah. Bagaimana keadaan Borhan sebenarnya. Marlia gugup.

Gerak jantungnya begitu pantas denyutannya. Gedebuk-gedebak. Gedebuk-gedebak.

Sampai di depan pintu Marlia tidak terus membuka. Hatinya ber-debar-debar. Ditolehnya kea rah ibu mentuanya, di wajahnya ada tanda-tanda kekusutan. Fikri, di wajahnya juga kelihatan gerak-ge-ri seorang budak yang ingin tahu. Marlia memegang tombol pintu. Memusingnya perlahan-lahan. Me-reka masuk.

Wajah marlia berubah. Wajah ibu mentuanya juga turut berubah. Wajah Fikri juga berubah. Kekusu-tan dan kesugulan yang bersarang di hati mereka secara serentak hi-lang serta-merta. Bunga kegembi-

raan mula bercambah di lubuk pe-rasaan mereka.

Marlia bersyukur kepada Tuhan. Doanya makbul. Tuhan, engkaulah Maha Berkuasa. Tanpa disedarinya air matanya menitis sedikit demi sedikit ke wajah tenang suaminya. Titis. Titis. Air mata gembira.

Borhan hanya mengalami sedi-kit kecederaan.

Alhamdulillah, tercetus kesyu-kuran dari mulut nipis Marlia.

Sumber: Bumi Warisan, 1992

MAS OSMAN adalah nama pena Allahyarham Haji Osman bin Begawan Pehin Siraja Kha b Dato Seri Se a Haji Mohamad Tamin. Lahir pada 1952 di Miri, Sarawak dan kembali ke rahmatullah pada 9 Februari 2013. Selain Mas Osman juga pernah men-ggunakan nama pena Mas Afsna, Mandrawa , Putera Puni, dan Osman Peukmot. Pernah bertugas di Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei sebagai Pegawai Bahasa dan mengetuai Bahagian Penyelidikan dan Dokumentasi. Menceburi bidang penulisan dalam genre seper puisi (sajak, pantun dan syair), cerpen, esei dan skrip drama radio dan pentas. Di Bibir-Bibir Mulut merupakan buku kumpulan drama penulisan beliau. Karya beliau juga termuat dalam antologi ber

sama seper Puisi Moden Brunei Darussalam (versi terjemahannya, Modern Poetry of Brunei Darussa-lam), Traditi onal Literature of ASEAN (ASEAN-COCI Brunei Darussalam), Takbir Para Penyair (versi terje-mahannya, The Poets Chant), O.D., Larian Hidup, Pelari 3, Nafas Utara Borneo, Bumi Warisan, Sekitar Kri-ti kan Sastera Melayu Brunei, Kulimpapat, Kosovo: Bilakah Langitmu Kembali Biru, Biografi Penulis Brunei (penyusun), Setulus Kasih Rakyat Menjunjung, Minda Remaja, Bahasa Jiwa Bangsa Jilid 3, Tenggara 36 dan Bakti Kemanusian.Pernah membantang kertas kerta di Pertemuan Sasterawan Nusantara (Padang, Sumatera), Pertemuan Penulis Komenwel (Kuala Lumpur), dan beberapa pertemuan penulis dalam negeri. Juga pernah diun-dang menjadi ahli penal Forum “Kesusasteraan dalam Kehidupan” di Pertemuan Minggu Penulis Singa-pura (1991) dan Forum Penulis Muda ASEAN di Perak, Malaysia (1997).

Page 41: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

41Lembaran Mastera

MASTERA

Seribadi Brunei (Brunei Darussalam)

Utusan Terapung

Gerangan apakah yang diutusi?Padatnya nota-nota tiada berkoma…bait-baitnya tiada bernoktahutusan panjang berjela-jela

tiada ada maknalaksana air sungai mengalirtanpa penghujungnyaterapung sampah tiada sudahnyamelimpah-limpah…terumbang-ambing ketepian danau

di bibir tebingnya ditumbuhi lumutmelekat membalut…di daratan bait-baitnya.

Geranan siapakah yang mengutus?Tanpa nama… tiada alamatnyasongsang terbalik suara hatinyapada utusan terapung juadi dasari air hitam keruh warnanya.

Itu mainan anak-anak hingusanbelum tahu baca:A… B…, Ba… Ta…bermandi-mandian di tepian damai

Pada siapakan gerangan nak diutus?Pada anak hingusan…atau remaja gila-gilaan…atau jejaka patriotisme…

yang tiada kenal siapa bapanya

yang tiada tentu hala tujuannyayang hanya bersandar di kerusi goyang….

Menghulur kedua-dua belah tangannyatanda menerima utusan yang mencakar

suaranya bisu telinganya tulimasih jelas terapung-apungdi dasar danau yang hampir keringserpihan berkecai terburaisemua utusan terapung berselerakanhanyut ditiup badai.

Pelita Brunei 14 Jun 2006

Sumber: Kumpulan Puisi Kembara Di Titian Zaman, 2012

SERIBADI BRUNEI adalah nama pena Awang Mohammad Said bin Bakar. Pernah berkerja di Jabatan Perkhidmatan Pos dan kemudian berpindah ke Jabatan Radio dan Televisyen Brunei. Sering menulis sajak, syair, skrip drama radio, dan esei. Pernah menjadi ahli kumpulan pancaragam ORKESTRA PERDANA di bawah pimpinan Allahyarham Inspektor Haji Idris Mohammad dan berlakun dalam drama radio sebagai pelakun tambahan. Kembara di Titi an Zaman terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka merupakan buku sulung persendirian beliau.

Page 42: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

42 PUSAT NO. 08/2014

MASTERA

Maimon Rahman (Brunei Darussalam)

Suara Itu Adalah Kekuatan, Mewujudkan Kesedaran, dan Terucaplah Doa

Suara IIIAda waktu pemisah setia jejak-jejak perjalanannya tiada pesanbukan janjinya begitudarah mengalir ke dada ombakombak berceritasuatu musibah di sisinyaterselit doa-doa salam kerongkong yang sendukerana esok dipulang dengan tubuh kakuitulah kudratnyaratap seorang isteri.

Suara IVSekeping hati dalam tangis dan air matabagai duri-duri yang mencucuk jariombak rasa yang menyatakan kegelapannyajangan jadikan turunan yang meminta-minta- anak-anak tidak mahu kebuluran- anak-anak tidak mahu kepapan- anak tidak mahu ketinggalanberikrar seorang ibu.

Suara ISuara laut dalam udara dingin yang asyikalun ombak rawan sekeping hatiyang menanti-nanti di hujung pantaijejari halus memanggil-manggil nelayan pulang- melihat anak-anak kebuluran tidur dengan perut kosong- melihat periuk nasi yang kontangtiada rezeki hari inidalam doa-doa yang panjangair mata bagai hujan di cucuran atapratapan pedih disudut hati itubuat seorang isteri yang tahu.

Suara IIPasir-pasir di pantai itubagai debu masuk ke matadi dada bagai ombak yang kakuair mata tidak lagi malu-malutertumpah juga di bibirnya mata telinga melihat kesuatu arahke laut seperti melambai-lambai hatinyahatinya menangisperahu pukat menjadi musuhnyajangan jadikan pusaka turunansumpah seorang isteri.

Page 43: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

43Lembaran Mastera

MASTERA

Suara VSi ibu menyambung bakti(pada turunan yang belum mengerti erti kehidupan hari iniyang berlari-lari dan menyanyi)ada tangan yang mengukur sekadar wujud kesedaranada ucapan yang belum terucap- esok mahu melihat anak-anak berjalan ke sekolah- mahu melihat anak-anak ketawa bersama- mahu mendengar suara anak-anak yang berjayaazam seorang ibu.

Suara VI

Bila melihat air mata anak-anak yang piatubila melihat anak-anak berdiri di depan pintubila melihat anak-anak merenung jaug- ia membenci pada laut- ia membenci pada ombak- ia membenci pada rebut- ia membenci pada gelombang(di sini ada maut dan air matasuatu cerita dalam kehidupannya).

Brunei Darussalam, Julai 1992

kumpulan puisi SEPANJANG PERJALANAN ITU, 2012

MAIMON RAHMAN nama sebenarnya ialah Hajah Maimon bin Abdul Rahman. Dilahirkan di Ban ng, Selangor, Malaysia pada 5 Oktober 1940. Berpendidikan Me-layu dan agama. Mula menjejakkan kaki ke alam persekolahan dalam tahun 1946 di Sekolah Umum Permatang Pasir, Selangor. Dalam tahun 1952 berpindah ke Se-kolah Khas Ban ng, Selangor. Antara tahun 1955 hingga 1958 belajar di Sekolah Agama Khas Permatang Pasir, Selangor. Pernah bertugas sebagai Guru Agama di Sekolah Convent, Jalan Peel, Kuala Lumpur dalam tahun 1958 hingga 1969. Pada 1970 hingga 1979, telah bertugas di Sekolah Saint Margaret, Seria sebagai Guru Bahasa Melayu.

Berumahtangga dengan Allahyarham Pengiran Haji Sabtu bin Pengiran Haji Mohd. Salleh atau dikenali dengan nama pena A.S. Isma pada tahun 1969 dan seterusnya mengiku suami bermastau n di Brunei. Mula menceburi dunia penulisan dalam tahun 1963. Bidang karya adalah sajak dan cerpen. Karya-karya beliau pernah tersiar dalam beberapa majalah dan surat khabar dalam dan luar negeri seper Masti ka, Dewan Bahasa, Dewan Masyarakat, Dewan Sastera, Wanita, Keluarga, Bahana, Mekar, Utusan Zaman, Berita Minggu (edisi singapura dan Malaysia), Mingguan Malaysia dan Sabah ti mes, Sarina, Karya, Ra-dio Malaysia, dan Radio Brunei.Cerpen beliau yang berjudul “Bedah Bertudung Dakwah” dan “Hajah ti mah Dapat Menantu” pernah memenangi hadiah kedua (1981) dan ke ga (1982) dalam peraduan Menulis Cerpen Sambutan Israk dan Mikraj anjuran Jabatan Hal Ehwal Ugama, Brunei. Karya beliau juga telah diterbitkan dalam Bahana Rasa (antologi puisi kanak-kanak),Tali kikik Tali Teraju (antologi cerpen), Awan Puti h Berarak damai (antologi cerpen), Basikal Idaman (antologi cerpen kanak-kanak), Menanti Gugusan Rasa (antologi cerpen), Hari Ini dan Esok (antologi sajak), Azam dan Doa (antologi puisi kanak-kanak) dan Nafas Utara Borneo (an-tologi puisi) terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka, Brunei. Beberapa sajak beliau juga termuat dalam an-tologi sajak bersama Gema Membelah Gema 3 dan Gema Membelah Gema 6 yang man kedua-duanya terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur.

Page 44: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

44 PUSAT NO. 08/2014

MASTERA

Kami telah menghuni rumah ini berpuluh-puluh

tahun dahulu. Sebelum hari semalam, kami

tidak pernah mendengar bunyi ini; “tik”. Suatu

bunyi yang sungguh aneh menusuk masuk ke sepasang cuping telinga

kami. Kami tidak tahu adakah bunyi ini sesuatu

yang menyenangkan atau tidak bagi kami yang

terdiri daripada datuk, nenek, ayah, emak,

abang, kakak, aku dan adik.

Sebagai manusia yang fitrah-nya mempunyai sifat ingin tahu, kami telah bersepakat

untuk mengesan datangnya bunyi tersebut. Maka, siang itu kami si-buk menyiasat dan meninjau setiap bucu dan sudut di rumah ini untuk mengetahui punca bunyi itu. Sehin-gga senja mencair di belakang hala-man rumah, kami masih tidak lagi bertemu atau mengetahui benda yang mengeluarkan bunyi tersebut.

Malam itu, tepat pukul 12.00 malam, sekali lagi kami mendengar bunyi tersebut. Bagi kami, bunyi kali ini lebih jelas sedikit daripa-da semalam. Serentak itu, kami yang baru sahaja masuk ke kamar masing-masing telah berkumpul di ruang tamu rumah. Ayah telah mengambil keputusan supaya kami membuka semua lampu di dalam rumah. Jangan ada satu pun yang terkecuali. Setelah semua lampu dibuka, kami diarahkan kembali berkumpul di ruang tamu dan men-dengar arah datangnya bunyi itu.

Setengah jam telah berlalu da-lam suasana yang sunyi. Bunyi yang

kami nanti-nanti tidak kedengaran lagi. Kami yang telah diarahkan ti-dak berkata-kata, hanya menggu-nakan mimik muka dan gerak tu-buh untuk menandakan tidak ada apa-apa yang berlaku.

“Aku sudah mengantuk,” kata datuk.

“Mari kita masuk tidur,” sambut nenek.

Serentak habis sahaja ayat ne-nek itu kami telah mendengar bunyi yang kami tunggu-tunggu itu. Mata kami seperti melihat sesuatu yang sungguh ganjil, walaupun kami ti-dak melihat benda yang mengelu-arkan bunyi tersebut. Kami terus memandang sesama sendiri dan ak-hirnya tepat pandangan kami meni-kam kepada kolam mata ayah. Kami menunggu arahannya. Ayah seperti orang yang terkejut daripada tidur terus menyuruh kami mengesan arah datangnya bunyi itu.

“Tapi, di mana datang bunyi itu?” Adik menyedarkan kami.

“Betul. Di mana datangnya bunyi itu?” Kami bertanya serentak,

BunyiCerpen SAIFFULIZAN YAHYA

(Malaysia)

Page 45: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

45Lembaran Mastera

MASTERAlebih kepada diri sendiri. Sekali lagi kami memandang pada wajah ayah, lebih tepatnya ke kolam mata ayah yang dilindungi kaca jernih. Ayah yang tahu erti pandangan kami, telah menyuruh kami mendengar dahulu arah datangnya bunyi itu. Kami sekali lagi, dengan penuh per-hatian mendengar arah datangnya bunyi tersebut.

Bunyi itu kedengaran ke selu-ruh ruang di dalam rumah kami. Hal ini menyebabkan kami meman-dang sesama sendiri kembali. Sesi pandang-memandang ini menye-babkan kami mulai resah, gelisah dan berasa tidak selesa. Satu rasa yang tidak pernah kami rasai sela-ma ini sehingga bunyi itu hadir da-lam rumah kami.

“Kita ke timur rumah,” kata datuk.

“Kita ke barat rumah,” kata nenek.

“Kita ke selatan rumah,” kata abang.

“Kita ke utara rumah,” kata kakak.

Sekali lagi kami berada dalam dilema. Datuk mahu kami semua ke timur rumah. Datuk pasti bunyi itu datang dari sana. Tetapi, kemudian nenek menyangkal dengan berkata bunyi itu datang dari barat rumah sambil menyindir datuk tersilap dengar kerana datuk mengala-mi gangguan pendengaran. Tidak mungkin datuk boleh mendengar dengan tepat bunyi itu datang dari timur rumah? Tetapi, abang yang memang selalu bersemangat terus menyatakan bunyi itu datang dari selatan rumah. Abang pasti kerana pendengarannya masih muda. Te-tapi, kata-kata abang itu dinafikan pula oleh kakak yang mengatakan

bunyi itu datang dari utara rumah. Kakak mendengar suara itu bu-kan sahaja dengan telinga tetapi, kakak dapat merasainya dengan rasa. “Rasa seorang perempuan se-lalunya benar,” kata kakak lagi den-gan tegas.

Maka, terjadilah antara kami saling pengaruh-mempengaruhi agar setiap kata-kata kami didengar oleh kami yang tidak menentukan mana-mana arah. Ayah yang tidak menyangka keadaan ini akan terja-di kerana selama ini rumah kami ti-dak berlaku perkara sebegini, tidak pun berkata apa-apa. Kami yang berkecuali hanya mendengar setiap ahli keluarga yang lain berkata-kata sehingga kadang-kadang ada anta-ra kami yang terlupa tentang bunyi tersebut buat seketika, kerana dite-lan oleh suara kami sendiri. Bunyi itu berlalu pada malam itu sambil kami terus mendengarnya berhenti sendiri menjelang fajar sidik.

Esok, kami sekali lagi berkumpul di ruang tamu rumah. Ayah mahu kami kembali bersatu agar masalah bunyi aneh yang kami hadapi seka-rang dapat dihadapi bersama-sama. Kali ini kami lihat ayah sedikit te-gas. Barangkali peristiwa semalam menyedarkan ayah bahawa dia se-bagai ketua keluarga sekali gus ke-tua rumah ini harus berbuat sesuatu agar kami lebih menghormatinya.

Semua kami telah berkumpul. Perkara tentang semalam telah kami lupakan. Namun, keletihan kerana tidak cukup tidur tetap terlihat pada wajah kami. Ada antara kami yang beberapa kali menguap dan ada an-tara kami yang sesekali terlelap atau sengaja memejamkan mata.

Kami tahu ayah memerhati fiil kami itu, tetapi ayah hanya mem-biarkan sahaja. Ayah seperti mem-berikan kami masa untuk kami bersedia sebelum ayah berkata se-suatu tentang perkara yang harus

Page 46: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

46 PUSAT NO. 08/2014

MASTERA

kami lakukan untuk menyelesaikan masalah tentang bunyi itu, yang kini terasa mula mengganggu pros-es kehidupan kami sekeluarga.

Kami memang mula merasa bahawa kehadiran bunyi tersebut mulai menyebabkan proses perja-lanan hari kami mula berubah. Jika hari-hari yang berlalu, waktu begi-ni, kami semua akan keluar untuk bekerja. Bagi kami kerja itu dapat membunuh kemalasan. Satu ung-kapan yang kami wariskan sewaktu kami mula-mula menghuni rumah ini. Tetapi, sekarang kami terpaksa membatalkan segala urusan kerja kami disebabkan bunyi tersebut.

“Kita harus menghadapi masalah bunyi aneh itu bersama-sama,” kata ayah sewaktu meminta kami ber-kumpul pagi ini. Ayah mengula-ngi kembali ayat tersebut dengan peru-bahan kata “harus” kepada “mesti”. Walaupun, dua kata tersebut ada nu-ansa, namun bagi kami dua kata ter-sebut tiada bezanya tetapi yang me-

narik pada kami ialah kata “masalah” yang digunakan oleh ayah sekarang.

Ini bermakna, bunyi itu telah menimbulkan satu beban atau ke-susahan kepada kami yang meng-huni rumah ini. Maka itu, kami ha-rus mengatasinya bersama-sama. Begitulah kami yang selalu mentaf-sir segala ungkapan yang diucapkan oleh ayah. Bagi kami setiap kata-ka-ta ayah bererti dan kami harus ber-tindak melalui kata-kata ayah itu. Sejak bila kami menurutinya, kami tidak pasti, tetapi begitulah kami.

Setelah ayah berasakan kami telah bersedia, kami telah diajukan dengan satu pernyataan daripada ayah tentang benda yang mengelu-arkan bunyi tersebut.

Setelah ayah berasakan kami telah bersedia, kami telah diajukan dengan satu pernyataan daripada ayah tentang benda yang mengelu-arkan bunyi tersebut.

Kali ini ayah mahu kami mencari apakah benda yang menjadi punca

bunyi itu? Mungkin daripada punca benda itu, kami dapat mengesan bunyi tersebut. “Tapi, mengapa bunyi itu tidak berbunyi pada waktu siang, tapi hanya berbunyi pada wak-tu malam?” Persoalan ini berbenih dalam setiap hati kami, tetapi tidak kami suarakan kepada sesiapa pun. Memang ada perkara yang kadang-kadang tidak dapat kami suarakan kepada sesiapa pun. Memang ada perkara yang kadang-kadang tidak dapat kami nyatakan secara terus terang kerana kami bimbang per-kara yang kami nyatakan itu akan menjadi seperti wabak, yang akan mengganggu keharmonian dan ke-murnian rumah kami nan sebuah ini. Begitulah selalunya kami.

Keheningan telah menyelimuti kami seketika untuk berfikir ten-tang punca bunyi itu sebelum ka-kak memulai dengan tekaannya. Barangkali bunyi itu berpunca da-ripada titisan air pili yang tidak di-tutup betul-betul.

Page 47: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

47Lembaran Mastera

MASTERA“Betul,” sambut ayah. “Oleh itu,

malam ini kita semua harus memas-tikan semua pili air ditutup ketat-ketat setelah digunakan,” sambung ayah. Setelah ayah berkata begitu, kami lihat kakak tersenyum sipu bagai sekuntum bulan penuh yang tidak di lindung awan.

Malam itu kami pun memas-tikan setiap kepala pili ditutup ke-tat-ketat sebelum kami masuk ke kamar masing-masing. Setelah se-bahagian lampu di rumah ini dima-tikan, sebelum kami terlelap, kami ingin pasti tidak ada lagi bunyi itu.

Namun begitu, tanggapan kami tersasar apabila sebelum kami me-narik gebar masing-masing, bunyi yang menjadi masalah kami seka-rang sekali lagi berbunyi. Kali ini le-bih nyaring. Adakah ia sengaja ingin mengusik kami atau mempermain-kan kami, penghuni rumah ini?

Sekali lagi, malam ini kami berkumpul di ruang yang sama di rumah ini. Kami lihat wajah kakak dalam kesuraman cahaya lampu te-lah bertukar bagai di lindung awan. Ayah pula meminta kami yang lain agar meneka benda yang mengelu-arkan bunyi tersebut.

“Barangkali bunyi itu berpunca daripada ekor cicak. Bukankah cicak selalu menggerak-gerakkan ekor-nya.” Kali ini Abang pula yang me-neka. Kami serentak mengangguk-angguk. Barangkali. Lantas ayah telah menyuruh kami mencari dan memerhati cicak-cicak yang ada di rumah kami ini.

Malam ini, sekali lagi kami se-mua melupakan nikmat tidur apa-bila setiap orang daripada kami menjadi pemerhati cicak-cicak yang sebenarnya tidaklah banyak sangat menghuni di rumah kami. Ada an-

tara kami yang berasa pelik apabila berlama-lama melihat cicak. Me-mang ada cicak yang menggerakkan ekornya mungkin ingin mengawan atau geram kepada lawannya, te-tapi tidaklah mengeluarkan bunyi seperti yang kami dengar.

Maka, sekali lagi kami sepakat memutuskan bahawa bunyi yang kami cari itu tidak berpunca da-ripada ekor cicak. Sekali lagi kami menunggu dan antara kami mene-ka lagi.

“Barangkali bunyi itu berasal daripada sebuah jam lama yang tersembunyi di rumah ini.” Datuk kembali mengingatkan kami ke-pada sebuah jam besar yang rosak dan telah kami simpan ia di sebuah kamar, tempat menyimpan barang-barang yang tidak dipakai.

Kami serentak setuju dan be-rasa riang dengan tekaan datuk itu. Barangkali benar kata datuk, jam itulah punca bunyi aneh tersebut. Sewaktu jam itu hidup, bunyinya juga mirip seperti bunyi yang men-gganggu kami sekarang ini.

“Barangkali,” kata datuk lagi, “Jam itu telah hidup kembali.” Oleh sebab itu, bunyi aneh ini akan ber-bunyi setiap kali jam menunjuk ke angka 12.00 tengah malam. Lantas kami telah menuju ke kamar terse-but. Kunci telah tersedia di tangan ayah. Saat ayah menghalakan anak kunci ke lubang kunci pintu kamar itu, kami berasakan satu debaran yang lain. Satu rasa debaran yang sesekali kami rasai, pada waktu-waktu tertentu.

Pintu kamar telah dibuka dan tepat di hadapan kami terlihat se-buah jam lama yang besar, tepat se-perti memandang kami. Ayah telah menyuruh aku menghampiri jam

tersebut dan mendengar bunyinya untuk memastikan ia hidup atau tidak. Aku telah berdiri betul-betul di sebelah jam lama itu dan aku me-nelinga sesuatu dari sumber bunyi jam tersebut. Tidak ada bunyi. Aku memberikan satu isyarat kepada ahli keluargaku yang setia berdiri di hadapan pintu kamar menanti jawapan.

Kami berkumpul kembali di ruang yang biasa kami berkumpul. Kami menunggu giliran siapakah pula antara kami yang akan mene-ka bunyi tersebut. Bunyi itu terus bergema di dalam rumah kami.

“Barangkali ia berpunca dari-pada sebutir bom yang telah lama tertanam di dalam perut bumi di bawah tapak rumah ini,” suaraku memecah jendela kebisuan kami. Kemudian, terdengar berderai ke-tawa kami.

“Barangkali,” kata datuk itu menghentikan derai tawa kami, se-kali gus aku berasa satu perasaan lega kerana disokong. “Barangkali betul kata dia, di bawah tapak ru-mah ini tertanam sebutir bom dan sekarang ia mula berbunyi dan hanya menunggu saat untuk mele-dak.” Sehabis kata-kata datuk itu, nafas kami seakan-akan terhenti.

“Hal ini bermakna kita tidak ada harapan lagi untuk menghuni rumah ini selama-lamanya?” Ayah seperti badut menyoal kepada da-tuk. Kami tahu kenapa soalan itu hanya kepada datuk. Sebenarnya datuk juga lebih tahu tentang ru-mah ini kerana sebelum ayah, da-tuk pernah memegang peranan se-bagai ketua rumah sekali gus ketua keluarga ini. Namun begitu, setelah datuk sedikit uzur, terutama apabi-la terganggu, datuk telah meminta

Page 48: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

48 PUSAT NO. 08/2014

MASTERAayah mengambil peranannya.

“Tidak, jika kita cepat ber-tindak, kemungkinan kita dapat mematikan bom tersebut.” Datuk memberikan harapan kepada kami semua sambil tersenyum, seperti biasa apabila ada antara kami yang bertanya kepadanya.

“Tapi, kita harus menyiasat dulu benar atau tidak di tapak rumah ini tertanam bom, jika ia hanya seper-ti tekaan yang lain juga, yang salah, kita akan membuat satu kerja yang sia-sia.”

Kami tahu abang tentu sahaja mempunyai alasan untuk menidak-kan cadangan itu. Kmai tahu datuk dan abang seperti tidak sebulu da-lam keluarga kami di rumah ini.

Walaupun begitu, ini hanya tan-ggapan kami sahaja kerana abang selalu mengatakan bahawa dia ti-dak ada apa-apa masalah dengan datuk. Hanya abang ingin menjadi ahli keluarga yang bertanggung-jawab dalam keluarga. Bukankah abang yang akan mewarisi rumah ini selepas ayah? Begitulah abang yang selalunya akan melontarkan kembali persoalan setiap kali dia memberikan kenyataan.

Kami menunggu pula reaksi da-ripada datuk dan memang selalunya datuk akan menjawabnya dan kali ini datuk mengatakan bahawa itu Cuma cadangannya yang disambut daripada tekaan aku, “Barangkali betul di tapak rumah kita ada bom. Barangkali juga tidak ada langsung tapi untuk membuktikannya kita mesti mengoreknya.” Itulah datuk dan kami telah menegnali sikapnya. Tetapi kami tetap menghormati dan menyayanginya.

Ayah seperti tahu dia sebagai ketua keluarga terus memutuskan bahawa kami tidak perlu mengo-rek tapak rumah ini kerana proses mengoreknya dan mencari bom ter-sebut akan mengambil masa yang lama. Jika kami melakukannya juga, ia akan memperlihatkan kebodo-han kami menyelesaikan masalah tentang bunyi aneh tersebut kepa-da jiran-jiran kami yang lain. Ayah mahu menjaga nama baik keluarga kami sekali gus juga dirinya sebagai ketua rumah ini.

Malam pun terus larut dalam ge-las dinihari dan kami pun terus me-nunggu lagi jika ada tekaan daripada ahli keluarga kami yang lain tentang

bunyi yang masih lagi kedengaran. Otak kami seperti dipukau oleh bunyi tersebut sehingga mata kami tidak berasa mengantuk.

“Apakah ia jika bukan daripada titis air?”

“Apakah ia jika bukan daripada ekor cicak?”

“Apakah ia jika bukan daripada sebuah jam lama?”

“Apakah ia jika bukan daripada sebutir bom?”

Kami terus berfikir bersama-sama. Hanya tiba-tiba adik menje-rit sambil menunjuk sesuatu yang sedang menghidu-hidu di hadapan kami sambil mengeluarkan bunyi; “tik”. Kami pun bersama-sama menyebut;

“Cencorot?”Ya, cencorot; sejenis tikus. Ke-

hadiran sesuatu yang asing dalam lingkungan kita membuatkan kita tidak tenteram. Sekecil mana pun ia, pencerobohan tidak boleh dibi-arkan lama berada dalam lingkun-gan kita. Kita harus bersatu meng-halang pencerobohan!

SAIFULLIZAN YAHYA, Saif dhi Yazan merupakan satu nama pena kepada salah seorang penulis puisi di Malaysia namun amat jarang ditemui di hujung-hujung karyanya. Pemilik nama pena ini lebih selesa menggunakan nama yang dianugerahkan sejak kelahirannya iaitu Saifullizan Yahaya dalam kebanyakan hasil nukilannya. Saifullizan Yahaya telah dilahirkan di Kampar, Perak pada 27 Oktober 1975. Pendidikan awal di Sekolah Kebangsaan Seri Bidor, Perak dan Sekolah Kebangsaan Bidor, Perak. Seterusnya di Sekolah Menengah Abdul Ghani, Bidor dan Sekolah Menengah Buyung Adil, Tapah, Perak. Dan dilanjutkan dengan pelajaran peringkat diploma di Akademi Seni Melaka (ASM) atau dikenali juga sebagai Ins tut Teknologi Seni Malaysia, Melaka (ITSM). Pada tahun 1998, beliau telah

melanjutkan pelajaran peringkat Ijazah Sarjana Muda di Universi Putra Malaysia (UPM) dalam jurusan Bahasa dan Linguis k Melayu. Beliau juga sering diundang menjadi pembimbing penulisan krea f di Majlis Kebajikan Kanak-kanak Malaysia (MKKM) di seluruh negara sejak tahun 2001 sehingga hari ini. Memperoleh Hadiah Sastera Kumpulan Utusan, 2001 menerusi puisi “Sejarah.” Selain itu, Hadiah Sastera Tunas Cipta, Dewan Bahasa dan Pustaka 2002/2004 dengan mempertaruh-kan puisi “Belajar Menulis Puisi.” Tahun 2006 pula, memenangi Hadiah Sastera Sempena Jubli Emas Dewan Bahasa dan Pustaka melalui puisi “Mahkota: Jawapan Kepada Sang Sapurba yang Bertanya,”

Page 49: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

49Lembaran Mastera

MASTERA

Baha Zain (Malaysia)

Baharuddin bin Zainal, atau nama penanya Baha Zain dilahirkan di Batu 15, Hutan Melintang, Perak pada 22 Mei 1939. Beliau mendapat pen-didikan awalnya di Sabak Bernam, Selangor, Sekolah Anderson, Ipoh dan seterusnya beliau memasuki Universi Malaya pada tahun 1960 dan lulus Sarjana Muda Sastera pada tahun 1963.

Bertugas di Bahagian Penyelidikan, Dewan Bahasa dan Pus-taka sebagai Penolong Pegawai Penyelidik mulai 1963. Ber-tugas sebagai Ketua Cawangan Kajian di Bahagian Pengem-bangan Sastera Dewan Bahasa dan Pustaka. Menjadi Ketua Pengarang pada majalah Dewan Sastera dan Dewan Budaya, anggota sidang pengarang jurnal Tenggara, dan pernah men-jadi Ketua Pengarang Dewan Bahasa.Pada tahun 1985, menerbitkan majalah berita mingguan Era di Subang Jaya, Selangor. Mulai tahun 1994.Menerima Anugerah S.E.A. Write daripada Kerajaan Thai-land pada tahun 1980. Memenangi Hadiah Sastera Perdana Malaysia Kategori Ece-ran. Puisinya yang berjudul “Pernahkah Engkau Mentafsir Kedamaian” memenangi Hadiah Sastera Perdana Malaysia 2002/2003 manakala puisi “Apabila Menulis Puisi” memenan-gi Hadiah Sastera Perdana Malaysia 2008/2009. Pada tahun 2012, dua buah puisi Baha Zain memenangi Hadiah Sastera Perdana Malaysia 2010/2011, iaitu “Permainan Mimpi” dan Dalam Persekitaran Kata-kata”Menerima Anugerah Penyair Gapena (1988), Anugerah To-koh Pejuang Bahasa daripada Persatuan Linguis k Malaysia (2004), Anugerah Budayawan Gapena (2008), dan Ijazah Ke-hormat Doktor Persuratan daripada USM (2010), dan Anuge-rah Tokoh Persatuan Penulis Nasional Malaysia (2011).Dikurniakan Darjah Kesateria Mangku Negara (KMN) daripa-da Yang di-Pertuan Agong (1982), Darjah Cura Simanja Kani (PCM) daripada DYMM Sultan Perak (1986), Darjah Paduka Mahkota Perak (DPMP) daripada DYMM Sultan Perak (1998) dan yang terkini Anugerah Sastera Negara Ke-12 yang mem-bawa gelaran Sasterawan Negara.

Dalam Persekitaran Kata-kata“Dia mencipta manusia.

Mengajarnya pandai berbicara.”

(Al-Quran, 55:3-4)

Engkau beri kami kata-kata,dan akal untuk mengucapkannya.Kami pindahkan makna,dari tempat ke tempat,dari zaman ke zaman.

Engkau jadikan kami bangsaberkulit sawo matang.Belayar di samudera jauhmenjelajah pulau-pulau, dan berlabuhdi pantai-pantai semenanjung.

Kata-kata yang berselerakan:langit, bumi, laut, gunung,awan, hujan dan pohon,adalah persekitaran.Seperti kami memetik buah-buahan,kami sunting istilah iman,daripada kitab-kitab silammentakrif tanda alam,dan menjernihkan tafsiran.

Kata-kata mengembangkan pengalaman,terbentang di semesta alam,memaknakan kewujudan.

Dewan Sastera Februari 2010

Page 50: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

50 PUSAT NO. 08/2014

MASTERA

Rosli K. Matari (Malaysia)

Selamat Berpisah, Wahai Dalangku

Jika kurenung kembali Lentera tua ini, meski tidak bercahaya lagi Aku akan selalu terkenang padamu,Wahai dalangku.

Entah berapa lamaSebahagian hayatmu disuluh cahayaUntuk kau jelmakan bari hikayat,Menjujuk segala peri watak ke muka kelir.

Kaupacak Beringin, Ceruk dan alur cetera yang terpendamAkan kembali menyusur jalan riwayat,Berliku, bersimpang, tetapi hujungnya lurus.

Kelir itu tabir teladan,Mewayangkan gajak kisah dan qisasMengibaratkan qidam dan qadar,Hilang ghoyat, namun qadim itu kekal.

Di hadapan kelir itulah, sekian lamaEngkau menggalur taakul dan teladanBerterap tamsil, meresap ke dalam fikirAntara kias suluh dan bayang-bayang.

Tiada bayang, jikalau tiada cahayaAda cahaya, ada pelitaDan wujud makrifat pelitaKerana bersebalikkan Pencipta.

Dan engkau sendiri, wahai dalangkuAdalah deretan aksara takdir ituYang tersurat untuk memenuhi Lembar hidup, tebal atau nipis.

Akhirnya jajar baris usiamuSampai juga ke hujung nyawa,Nafas bertemu noktahBagai lesapnya bayang-bayang.

Seperti bayang itu,Engkau pun tidak kekal di siniKerana dunia ini sirna,Tiada sesempurna alam hakiki.

Kau tinggalkan segala juzuk bariTabuh tidak terdengar lagi,Tetapi segala teladan tersimpan itu Tetap jernih bagai embun dan cermin.

Selamat berpisah, Wahai dalangkuTinggalkanlah aku di siniMenunggu memaknakan bayang-bayang.

2 Oktober 2009

Rosli K. Matari, antara penyair terpen ng dari angkatan 80-an di Malaysia. Dilahirkan pada 5 April 1961 di Kubang Kerian, Kota Bharu, Kelantan. Memenangi Ha-diah Sastera Malaysia pada tahun 1988/1989, hadiah utama dalam Hadiah Sastera Utusan Melayu-Public Bank 1990, 1991, 1992,

1993, serta hadiah penghargaan 1995, Hadiah Saste-ra Perdana Malaysia 1996/1997, hadiah penghargaan dalam Hadiah Sastera Kumpulan Utusan – ExxonMo-bil 2011, Hadiah Sastera Perdana Malaysia 2010/2011 dan Penghargaan Karyawan Kelantan 2013. Nun Bulan (2011) adalah satu-satunya kumpulan puisi persendi-rian beliau yang diterbitkan sehingga kini.

Page 51: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

51Lembaran Mastera

MASTERA

Dalam banyak hal, penga-rang nampak annal lebih canggih daripada seorang

penglipurlara/pencerita lisan yang membawa cerita yang mudah-mudah untuk halwa telinga pendu-duk desa.

Namun begitu, di sebalik kebi-jaksanaannya ada faktor lain yang memungkinkan lahirnya karya besar seperti Sejarah Melayu. Fak-tor tersebut jarang-jarang diberi pertimbangan tetapi amat pen-ting untuk menjelaskan fenomena pengkaryaan annal ialah tulisan – teknologi yang bertanggungjawab membawa pelbagai perubahan di seluruh dunia. Di sini, kita hanya berminat untuk melihat implikasi tulisan ke atas proses pengkaryaan seorang pengarang seperti Tun Seri Lanag, pujangga istana Melaka/Jo-hor yang dititahkan mengarang Se-jarah Melayu (Sulalat al-Salatin).

Pertama, tulisan membebaskan pengarang daripada beban hafalan

dan tuntutan penciptaan dan per-sembahan yang spontan dan seren-tak. Kebebasan tersebut memung-kinkan pengarang memanfaatkan kreativitinya dan melepaskan ima-ginasinya dengan lebih selesa. Ke-mungkinan inilah yang memberi-kan pewarnaan dan struktur yang berbeza pada hasil karyanya diban-dingakn dengan sastera lisan. Kita seterusnya akan melihat implikasi perubahan cara penyampaian ini terhadap pengarang, kreativitinya dan hasil sasteranya.

Tradisi tulisan pertamanya me-nawar dan membuka pemikiran pada model alternatif – pengalaman dan pengetahuan baharu, pandang alam dan budaya luar yang berbeza yang datang bersama-sama buku, amnuskrip dan lain-lain (dalam ma-syarakat Melayu tradisional bahan ini datang dari Timur Tengah, tem-pat asalnya tradisi tulisan jawi itu).

Seorang penulis istana hidup da-lam situasi yang tersebut di atas. Is-

tana merupakan pusat perkemban-gan literasi dan penulisan – saduran atau asli; dan tempat tersimpannya buku dan bahan bacaan yang lain, yang semuanya menyediakan ke-padanya model alternatif yang ber-beza dan memperluas medan sum-bernya. Dengan sumber yang lebih rencam – Arab/Parsi, India, Jawa, yang terakam dalam bentuk yang kekal, membolehkan pengarang me-neliti, memilih mengubahsuaikan dan mencantumkan kesemuanya dan mencapai satu kesatuan makna, sehinggakan teks yang lahir daripa-danya merupakan sebuah karya ber-tulis, melarikannya daripada acuan stereotaip hasil lisan.

Demikian kita lihat, dengan menyediakan kemungkinan alter-natif dari sudut media dan sumber, tulisan membenarkan pengarang meneroka dan bereksperimen den-gan sumber yang baharu, mengga-lakkan munculnya individualiti, hatta pembaharuan dan akhirnya

Di Sebalik Kebijaksanaan Tun Seri Lanang

Cerpen NORIAH TASLIM

(Malaysia)

Page 52: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

52 PUSAT NO. 08/2014

MASTERAketulenan yang sebenarnya. Teks Sejarah Melayu merupakan contoh yang baik yang memperlihatkan proses pengarangnya membuat pengetahuan “baharu” dan men-ggandingkannya dengan sumber-nya yang lama atau tradisional. Da-lamnya yang lama dan yang baharu, yang tradisional dan yang bukan tradisional, saling bertalian dan bertimbal balik.

Dengan berkembangnya akti-viti penulisan di istana, terdapat lebih banyak catatan harian ten-tang aktiviti dan peristiwa seharian termasuk tentang jurai keturunan keluarga bangsawan. Setiap tahun lebih banyak bahan ditambah un-tuk memasukkan peristiwa semasa dan tradisi ini secara berterusan, ta-hun demi tahun. Apabila keperluan muncul untuk mengembangkannya menjadi satu annal atau kronikal, ba-han inilah yang menjadi sumber uta-ma seorang pengarang istana. Sum-ber ini juga yang menjadikan karya bertulis ini bersifat lebih faktual atau berujukan daripada hasillisan.

Pemerian sebuah episod yang dipetik daripada Sejarah Melayu ini mungkin dapat mencontohi pan-dangan di atas:

Kata sahibul hikayat, maka ter-sebutlah perkataan Alfonso de ‘Albuquerque. Setelah ia turun daripada wazirnya maka Alfonso de Albuquerque naik menghadap Raja Portugal minta wardi. Maka diberi Raja Portugal empat buah kapal kerakah yang besar, lima buah ghali panjang, enam belas buah fusta; menjadi empat puluh tiga buah semuanya.

Maka pergilah ia ke Melaka.

Agak ketara bahawa petikan di atas ini lebih bersifat faktual atau

berujukan, khusus dan realistik. Watak dan latar bersifat berujukan, jenis dan jumlah kapal diberi seca-ra khusus dan rinci. Tentunya ma-klumat ini tidak diperoleh melalui “khabar-khabar” atau “imaginasi” pengarang, tetapi daripada sumber atau catatan yang sah.

Tambahan lagi, usaha untuk meninjau dan meneroka realisti semasa yang melibatkan penulis istana itu sendiri, mengurangkan kecenderungan untuk mencipta fantasi, atau gambaran yang ber-lebih-lebihan yang dapat meme-songkan karya daripada kenyataan. Fenomena ini turut membantu menjelmakan gambaran yang lebih faktual dan rasional.

Agaknya, salah satu sifat sastera sejarah yang paling menonjol yang membezakannya daripada teman lisannya ialah kompleksiti bentuk dan strukturnya. Biar kita mulai dengan melihat bentuk sastera seja-rah. Sering kali yang menggusarkan pembaca teks ini ialah kerencaman bahannya yang menjangkau daripa-da mitos kepada lagenda, daripada cerita rakyat kepada memorat dan anekdot, dan akhirnya merangkumi bahan sejarah yang semuanya dis-edut daripada sumber yang pelba-gai pula.

Sememangnya seorang penga-rang istana itu mempunyai sebegi-tu banyak bahan yang dapat dice-doknya daripada pelbagai sumber. Tetapi, tanpa tulisan adalah agak mustahil baginya merancang dan mengawal bahan tersebut dan menyusunnya ke dalam satu ben-tuk pseudo sejarah. Penyusunan bahan tersebut merupakan satu tugas yang dicapai melalui tulisan. Tulisan ialah mekanisme yang me-lambatkan proses kreatif. (a time

obviating mechanism); keadaan ini meluangkan masa untuk penga-rang mengawal dan menyusun na-ratifnya dengan lebih baik daripada teman lisannya.

Tulisan jugalah yang memung-kinkan pengarang meneroka, me-renung tema yang lebih rumit dan kemudiannya menghidupkannya dalam sebuah plot yang juga rumit. Sifat struktur yang kompleks ini muncul akibat adanya jarak yang diluangkan oleh tulisan, antara pe-mikiran dengan pelahirannya. Da-lam situasi ini tulisan memberikan ruang masa untuk pengarang ber-henti, memadukan pemikirannya dan meneroka berbagai-bagai ke-mungkinan untuk menstrukturkan karyanya dan menyusun konflik dan resolusinya dalam satu urutan yang wajar.

Plot Sejarah Melayu contohnya, memperlihatkan kompleksiti seper-ti yang dimaksudkan. Plot tersebut dibina oleh satu urutan konflik dan resolusi yang bertonggak objektif yang tersirat dalam waadat yang termaktub pada awal teks , yakni kesejahteraan dan keseimbangan kewujudan melalui kompromi an-tara raja dengan rakyat. Objektif ini berteraskan konsep kedaulatan dan kerahiman raja yang menan-gguk kesetiaan rakyat yang tidak berbelah bahagi.

Pengabaian daripada salah satu pihak membabitkan pihak yang lain dan memincangkan perhubun-gan kedua-duanya, hatta menem-pa bencana. Plot Sejarah Melayu dengan demikian menyediakan berbagai-bagai kemungkinan ber-dasarkan sama ada tindakan diam-bil untuk mencapai objek ataupun tidak, yang secara urutan logiknya berakhir dengan resolusi yang po-

Page 53: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

53Lembaran Mastera

MASTERAsitif atau negatif, kesejahteraan atau kemerosotan.

Dalam penciptaan skematik yang menjadi teras sastera lisan, biasanya hanya ada satu plot skema dengan rentetan aksi yang berkem-bang atas satu landasan plot dan menuju ke arah satu resolusi yang sudah diduga. Dalam skema ini, konflik dan resolusi dimunculkan secara mudah, melalui dua tiga wa-tak yang berbeza yang mendukung nilai moral yang bertentangan, baik dan jahat. Organisasi plot begini hanya berpotensi untuk melahir-kan konflik yang bersifat fizikal yang secara urutannya memerlu-kan penyelesaian yang juga bersifat fizikal.Bentuk konflik yang begini biasanya melahirkan single-stran-ded plot, yang berteraskan konsep poetic justice iaitu watak jahat di-hukum dan watak baik diberi gan-jaran.

Sejarah Melayu sesungguhnya merumuskan plotnya berdasarkan konflik moral ini, tetapi konsep baik dan jahat mempunyai kepentingan yang lebih luas daripada yang ter-dapat dalam sastera penglipur lara. Dalam Sejarah Melayu, konsep ini melibatkan etika budaya sosial dan politik yang kompleks, yang terang-kum dalam waadat, yang menjadi faktor utama kelangsungan hidup Melaka, Dalam konteks ini, konsep “jahat -baik” adalah lebih kompleks daripada konotasi “hitam – putih” dalam karya penglipur lara.

Akibatnya, konflik bukan seka-dar pertentangan dua unsur yang berbeza, malah merupakan percan-ggahan antara keluhuran dengan keingkaran terhadap objektif waa-dat yang melibatkan dua kelas masyarakat yang berkomplemen dan bercanggah sekali gus. Resolu-

si naratif dengan demikian tidak hanya merupakan kemenangan yang mudah bagi satu kuasa untuk menguasai lawannya, tetapi meli-batkan satu jaringan kemungkinan yang bergantung pula kepada sikap negatif atau positif terhadap etika perjanjian. Plot masih berhujung dengan konsep poetic justice, kera-na hanya melaluinya moral dapat disalurkan. Namun begitu, resolusi dalam penglipur lara sering kali di-langsungkan melalui proses magis, manakala dalam naratif resolusi ditentukan oleh yang Maha Kuasa dan peristiwa dibentuk oleh manu-sia bukan oleh tenaga sakti.

Tidak seperti pencipta lisan, pengarang istana tidak perlu ber-karya di hadapan khalayak. Keisti-mewaan ini ditokok dengan proses penulisan itu sendiri yang lebih lambat daripada penyebutan lisan, memunculkan kesedaran yang le-bih mendalam kepada seorang pen-garang akan peranannya dan moti-vasinya, yang akhirnya mempen-garuhi orientasi dan isi karyanya. Maka dengan itu, pembinaan plot-nya bukan sahaja lebih rumit dan melibatkan perancangan dan pemi-kiran yang dalam, tetapi temanya juga bersifat demikian.

Tema Sejarah Melayu contoh-nya, berpaut pada masalah kema-nusiaan yang lebih realistik dan mendesak yang mencerminkan perhubungan manusia dengan manusia, rakyat dengan raja, nega-ra dengan negara yang rumit dan mencabar. Hal ini bukan sekadar menggambarkan satu aspirasi ma-syarakat yang cetek, bertonggak unsur moral yang jelas dan mud-ah, malah melihat dasar ketahanan dan kelemahan, kebangunan dan kejatuhan satu bangsa dan nega-

ra kota yang agung, gemilang dan semarak, untuk petunjuk masa ha-dapan, seperti yang tercatat pada mukadimahnya: “Supaya diketahui anak cucu kita kemudian dan bero-leh faedah darinya”. Jelas yang ter-pancar bukanlah yang stereotaip atau tipikal, tetapi yang signifikan dan khusus.

Tradisi tulisan juga membantu proses penggambaran watak yang lebih pelbagai, lebih bersifat indi-vidu dan realistik. Dalam sejarah Melayu, kecuali pada bahagian awal yang memerikan jurai keturunan dan menegaskan kepada pembi-naan imej (kebesaran, kesucian dan lain-lain) keturunan raja Melaka, tidak ada watak yang menyerupai watak lain. Watak tidak diacukan mengikut tipa tradisional atau di-manipulasikan untuk memenu-hi peranan yang skematik. Setiap satunya mempunyai ciri tertentu yang membezakannya daripada yang lain.

Sungguhpun pada masa-masa tertentu, watak bukannya terdiri daripada individu yang sebenar (watak bukan sejarah), tetapi pe-meriannya dilakukan sebegitu rupa sehingga watak tersebut dijelma-kan sebagai manusia yang sebenar, yang mempunyai sifat kekuatan dan kelemahan. Kebanyakan aksi watak relevan secara sosial dan politik, dan wajar mengikut pen-galaman dunia nyata. Pemerian yang khusus dan mimetik begini tidak mungkin berlangsung dalam situasi lisan yang bergantung ada watak tipa. Pemerian skematik se-demikian tidak dapat melahirkan individu. Sebagai contoh, satu peti-kan ringkas yang berikut memeri-kan satu watak dalam Sejarah Me-layu (Shellabear:155):

Page 54: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

54 PUSAT NO. 08/2014

MASTERAAdapun Bendahara Seri Maharaja, banyak anaknya yang tua seka-li laki-laki, Tun Hasan namanya; terlalu baik parasnya dan perwi-ra lakunya; ialah jadi temenggong akan ganti ayahnya. Akan adat te-menggong, mengatur orang makan di balairung. Adapun Tun Hasan Temenggong, apabila akan men-gatur orang makan, maka ia me-makai sederhana pakaian, berkain mancung, bersebai, berdesta ber-halamana, bertajuk, berkancing. Maka ia berjalan dinaga-naga mengatur orang makan, menun-juk-nunjuk dengan kipas, lakunya seperti pendekar menari. Dan Tun Hasan Temenggonglah yang perta-ma melabuhkan baju Melayu dan membesarkan pangkal tangan dan memanjangkan tangan baju. Akan dahulu baju Melayu kecil juga.

Petikan di atas mungkin dapat menjelaskan dengan sendirinya yang dimaksudkan dengan gamba-ran watak yang terprinci, khusus dan realistik.

Dalam Sejarah Melayu, watak juga diperlihatkan sebagai indivi-du yang mempunyai nilai peribadi yang tersendiri dan bertindak men-gikut set nilai tersebut. Watak ter-sebut juga merupakan watak yang diberi pilihan moral dam meletak-kan kepentingan kepada diri dalam melakukan pilihan tersebut. Tanpa adanya satu skala nilai peribadi ini, tanpa adanya satu peribadi yang menilai diri dari dalam ini, tidak mungkin munculnya individu, teta-pi tipa. Petikan ini diambil sebagai contoh:

Maka Tun Biajid pun tahu akan Sultan Mahmud bermain dengan isterinya. Jikalau hendak dibu-nuhnya pada masa itupun dapat, kerana adanya beberapa orang yang mengiringkan baginda; ke-rana daripada ia hamba Melayu

tiada ia mau mengubahkan seti-anya juga, sekadar ditimang-ti-mangnya lembingnya... Maka oelh Biajid akan isterinya diberinya ta-lak. Syahadan ia pun tiadalah mau mengadap dan bekerja lagi.(Sejarah Melayu, Shellabear: 143)

Dalam petikan di atas, Tun Bi-ajid diperlihatkan memberikan reaksi yang paling wajar bagi seo-rang manusia yang terjebak dalam situasi yang sedemikian. Dia diberi pilihan untuk bertindak, tetapi me-milih untuk setia, dalam pada itu dia enggan berkhidmat kepada raja lagi. Keputusannya adalah radikal berda-sarkan nilai peribadinya yang ber-tentangan dengan nilai tradisinya.

Satu lagi contoh untuk mengu-kuhkan kewujudan nilai peribadi yang tersendiri ini dapat dilihat dalam episod berikut (Sejarah Me-layu, Shellabear: 189):

Maka kata Raja di Baroh’ “ Akan anakanda ini terlalui sekali baik parasnya, pada hati beta tiada pa-tut ia bersuami orang keluaran...janganlah anakanda diberi bersu-ami dahulu, kerana sekarang raja perempuan Pahang telah mangkat, yang istiadat raja Melayu, apabila tiada raja perempuan, anakanda Bendahara Seri Maharaja akan jadi raja perempuan.” Maka sahut Bendahara Seri Maharaja, “Tuan-ku, patik orang jahat, patut sama jahat”. Baiklah, yang mana kesu-kaan Bendahara kerjakanlah....” Setelah itu, maka Bendahara Seri Maharaja pun memulai pekerjaan akan mengahwinkan anaknya.

Sekali lagi kita terlihat seorang manusia dihadapkan kepada pili-han, manusia yang terjebak dalam percanggahan nilai peribadi dan nilai tradisi (adat). Tindakan Bend-ahara dilihat sebagai “tidak patut” kerana tindakan itu bercanggah

dengan set nilai yang umum. Walau bagaimanapun, Bendahara diberi pilihan untuk memilih “yang mana kesukaan Bendahara”. Dalam mem-buat pemilihan, kepentingan peri-badi diberi keutamaan. Bendahara memilih untuk bertindak mengikut set nilainya yang tersendiri.

Demikian diperlihatkan secara bercontoh implikasi media penyam-paian terhadap pengarang dan hasil karyanya. Yang dapat digambarkan ialah aspek yang asas,tanpa dapat menelusuri hal yang lebih mewakili.

Tulisan juga sebenarnya mem-punyai implikasi yang lebih luas kepada pemikiran pengarang yang amat mempengaruhi kreativitinya, yang mungkin tidak dapat diper-turunkan di sini. Malah, diakui juga sifat tertentu sastera sejarah juga adalah disebabkan oleh faktor lain. Contohnya, kedekatan pengarang dengan objek penceritaannya dan pengetahuannya yang langsung ten-tang pengalaman istana, juga ber-peranan memunculkan pemerian yang lebih bersifat realistik, khusus dan faktual, berbanding dengan seorang penutur lisan yang mence-ritakan alam yang sama, tetapi dari jarak yang amat jauh. Namun be-gitu, sebenarnya tanpa tulisan, se-mua pengalaman ini mungkin men-jadi sia-sia. Pengarang tidak ada cara untuk merakamkan segalanya dalam ingatannya dan kemudian-nya menceritakan kembali dengan secara amat terperinci. Malah, seo-rang penutur lisan, sekiranya diberi pendedahan yang serupa, mungkin masih terpaksa menggunakan ske-manya untuk merakamkan segala peristiwa tersebut.

Page 55: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

55Lembaran Mastera

MASTERA

Dia bangun pagi-pagi benar keluar diam-diam dari ka-mar tidur, meninggalkan

istrinya yang masih tidur tanpa membangunkannya. Dia telah ter-latih untuk bergerak diam-diam tanpa bunyi. Ini adalah sebuah ke-mahiran yang harus dimilikinya dalam pekerjaannya Dia membuka pintu kamar perlahan-lahan, juga tanpa bunyi, mengambil celana dan baju hitamnya, serta ikat pinggang besarnya, yang teronggok di atas bangku dekat pintu, mengenakan sandal kulitnya, dan menutup pintu kembali. Ketika melangkah ke bela-kang, dia memandang ke balai-balai di kamar tengah, dan melihat anak lelakinya berumur delapan tahun masih tidur, berselimut sampai ke kepala di dalam sarung.

Dia membuka pintu belakang, dan mencuci mukanya dengan air dalam tempayan besar di depan dapur. Cepat dia berpakaian, dan kemudiml melangkah cepat ke luar desa Hari masih amat pagi, waktu subuh pun belum tiba Desa masih tidur. Tak seekor anjing menyalak

ketika dia lewat Mereka semua kenal padanya Dia melangkah ce-pat menyeberang sungai kecil di pinggir jalan, memanjat pematang sawah di pinggir sungai, dan meniti dengan cekatan di atas pematang sawah yang sempit, Sawah berla-pis-lapis meninggi di punggung bu-kit, Kabut pagi masih rendah di pu-neak-puneak bukit, dan angin pagi bertiup dengan lembut Dia menghi-rup udara dalam-dalam, menahan napasnya beberapa lama dan ke-mudian menghembuskan udara ke luar dari paru-parunya, hingga pa-ru-parunya terasa kosong. Sambil melakukan demikian dia terus juga melangkah dengan kuat dan teratur menyesuaikan langkahnya dengan keluar masuknya napas. Dia mera-sa darahnya mengalir panas, jan-tungnya memukul kuat, dan otot-ototnya mulai kendur dan panas; kekakuan badan setelah tidur satu malam mulai hilang dari badannya. Ketika dia tiba di sebuah tegalan yang rata dengan purieak bukit dia berhenti di tengah dan melihat ber-keliling.

Subuh telah tiba. Udara mulai agak terang, Setelah dia yakin tak ada orang lain di tempat itu, dia berdiri mengambil sikap silatnya, menghadap ke arah tempat mata-hari terbit, dan perlahan-lahan di-gerakkannya tangannya, kakinya, badannya, dalam gerakan silat yang tenang tetapi lancar, dan perlahan-lahan kecepatan gerakan tangan dan kakinya serta badannya diting-gikannya, hingga pada satu saat da-lam remang dini hari itu, yang ter-lihat hanya gerakan-gerakan sosok hitam yang amat cepat. Orang yang tiba-tiba datang dan melihat bayan-gan hitam yang bergerak berputar, melompat ke atas, merendahkan badan hingga ke tanah itu tentu amat terkejut, dan tidak akan men-genal bahwa sosok hitam yang ber-gerak-gerak amat eepat itu seorang manusia.

Setelah merasa keringatnya mulai mengalir, dia memperlambat gerakannya, dan kemudian dia ber-henti, menghadap matahari yang mulai kelihatan di balik bukit-bukit yang jauh yang ditumbuhi hutan

BromocorahCerpen MOCHTAR LUBIS

(Indonesia)

Page 56: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

56 PUSAT NO. 08/2014

MASTERAjati. Dia mengucapkan doa, mohon perlindungan, keselamatan dan ke-kuatan dari yang Mahakuasa. Sete-lah itu dia berdiri santai. Dalam hati dia merasa senang, betapa setelah berlatih demikian itu napasnya te-tap seperti biasa. Dia sarna sekali tidak merasa terengah-engah. Kini seluruh badannya, seluruh otot-ototnya telah bangun, dan siap. Demikian pula seluruh pancaind-ranya. Matanya, telinganya, selu-ruh permukaan kulitnya, semuanya bangun dan waspada.

Keyakinan pada kekuatan di-rinya, pada kemahiran ilmu silat-nya memenuhi dirinya. Kemudian dengan tiba-tiba dia berpaling dan melangkah cepat mendaki ke puncak bukit, Dia mendaki sebuah bukit lagi, masuk ke dalam hutan jati, dan hampir sejam kemudian dia tiba di tengah hutan jati, dan mulai melangkah hati-hati menjaga agar kakinya tangan menginiak ran-ting mati dan kering, atau daun jati kering yang bertebaran di tanah. Di sinilah tempat mereka bertemu sebagai yang dijanjikan. Dengan ta-jam matanya memandang berkeli-ling, Tidak ada sesuatu yang ganjil terlihat olehnya.

Di tempat terbuka yang keeil di tengah hutan jati udara agak lebih terang sedikit daripada di antara pohon-pohon jati. Dia berlindung di balik sebuah pohon jati, membung-kukkan badannya ke tanah, dan tan-gannya meraih sebuah ranting kayu yang kering, Dengan pergelangan tangannya dilontarkannya ranting mengenai sebuah pohon. Bunyi ranting berdetak mengenai pohon terasa keras dalam sepi hutan jati. Bunyi itu segera disusul oleh bunyi lain dari atas pohon. Seekor burung merak terkejut dari tidurnya, dan

melompat terbang ke udara, pindah jauh ke pohon yang lain.

Pada saat yang sama sudut mata kirinya melihat sebuah bayangan bergerak, menghilang di balik se-buah pohon, kira-kira tiga meter ke sebelah kirinya. Dia tersenyum. Dia merasa senang lawannya merasa perlu berhati-hati menghadapinya. Perlahan-lahan dia menjatuhkan badannya ke tanah, menyatukan diri dengan bayang-bayang gelap yang dilontarkan pohon- pohon jati di tanah, dan mendekati pohon yang di belakangnya bersembunyi sosok tubuh yang dilihatnya tadi.

Dia masih tinggal satu setengah meter lagi dari pohon, ketika tiba-tiba sebuah gerak cepat berwarna hitam muncul dari balik pohon, cepat dan keras menuju dirinya, diiringi sebuah teriakan yang tidak terlalu keras, tetapi bunyi yang ta-jam dan mengejutkan. Bagi orang yang tidak berpengalaman dengan perkelahian silat, bunyi itu eukup untuk membekukan dirinya bebe-rapa saat, sebelum dia dapat ber-gerak kembali. Dan dalam perkela-hian silat, beku bergerak beberapa saat sudah dapat menjadi penyebab kekalahan, bahkan kematian.

Tetapi dia seorang juru silat yang berpengalaman. Umurnya te-lah tiga puluh lima tahun dan dia bejalar silat sejak berumur sepu-luh tahun. Gurunya yang pertama adalah ayahnya sendiri, seorang bromocorah yang ditakuti. Dan kemudian dia telah berkeliling ke seluruh Pulau Jawa menuntut ilmu silat dengan guru-guru silat di ber-bagai daerah. Ayahnya meninggal dalam perkelahian satu lawan lima. Tiga lawannya tewas dan yang dua lagi luka-luka parah. Waktu itu umur ayahnya telah enam puluh

dua tahun, Sungguh satu keban-ggaan bagi keluarga dan desa me-reka. ltu lima tahun yang lalu. Dan kini dia menggantikan ayahnya, jadi orang yang disegani dan di-takuti bukan saja di kampungnya, tetapi di beberapa kampung di dae-rahnya. Ayahnya selalu mengajar-nya agar diamelindungi kampung mereka. Jangan mengambil sesuatu dari rakyat kampung sendiri dan kampung-kampung yang berde-katan, karena kampung mereka dan kampung-kampung berdeka-tan adalah tempat mereka hidup, dan tempat mereka berlindung. Ambillah dari kampung-kampung yang lebih jauh.

Dia seorang juru silat yang ber-pengalaman. Begitu dia melihat gerak hitam muneul dari balik po-hon menujunya, dengan eepat dia menggeliat badannya, mengelak-kan serangan, dan angin kaki yang hendak menghantam kepalanya te-rasa lewat di depan keningnya.

Dengan cepat dia melakukan serangan kembali, mengayunkan kakinya, mengait kaki lawannya yang baru tiba di tanah, hendak menjatuhkan lawannya. Tetapi lawannya eepat mengangkat ka-kinya, menghindarkan serangan yang berbahaya itu, dan lawannya mundur selangkah ke arah tempat terbuka, dan dia melompat ber-diri, dan menendangkan kakinya ke arah dada lawannya, yang me-nangkisnya dengan tangannya, dan mundur selangkah lagi, dan dia meneruskan serangannya dengan pukulan tangan kiri dan kanannya bertubi-tubi, menekan dan men-desak lawannya sampai ke tengah tempat terbuka, dan tiba-tiba dia berhenti menyerang, dan berucap.

“Aku senang kau datang Dik

Page 57: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

57Lembaran Mastera

MASTERAKau berani. Apakah kau hendak te-ruskan tantanganmu ini?”

“Langkah sudah dilangkahkan Mas, aku tak akan mundur.”

“Baiklah, tetapi aku hendak bicara dahulu sedikit”

“Silakah Mas.”“Dik, kau orang baru masuk ke

daerah kami. Jika hendak meneari nafkah janganlah ke desa kami, dan desa-desa lain di sini. Masih banyak daerah lain tempat meneari naf-kah. Pergilah baik-baik, Kita semua sama-sama meneari hidup dengan cara kita. Tetapi aku harus membe-la daerah ini, jika orang lain menco-ba masuk Aku undang kau kemari untuk menyampaikan ini.”

Lawannya, yang kelihatan lebih muda dari dia berkata, “Saya men-gerti Mas, tapi aku tidak bisa mun-dur.”

“Sayang, Adik masih muda, Ka-lau aku ajak bu ikut dengan aku?”

“Tidak Mas, aku tak hendak di-perintah siapa pun juga.”

“Sayang,” katanya lagi, “kare-na orang seperti, kita seharusnya tidak saling bermusuhan dan ber-bunuhan. Kita punya nasib yang sarna. Kita bukankah orang- orang terbuang, sejak tanah-tanah nenek moyang kita dirampas dari tangan mereka, dan kita harus turun- te-murun hidup dari keberanian dan keahlian kita berkelahi? Hanya itu modal kita. Kau sudah beristri Dik?” tanyanya.

“Belum.”“Oh, karena itu engkau tidak

mau berpikir lebih panjang sedikit Masihkah kau hendak meneruskan ini?”

Tiba-tiba lawannya melompat menyerang, dia mengelak cepat,

dan lawannya berkata, “Cukup Mas, kata-kata tidak menyelesaikan per-kara antara kita.”

Dan mereka berhantam lagi be-berapa jurus. Ternyata lawannya cukup tangguh, kuat dan cepat. Be-berapa kali dia terdesak, akan teta-pi pengalamannya melepaskannya dari desakan.

Sesekali dia melakukan penye-rangan, bertubi- tubi, tendangan, pukulan tangan kanan dan kiri, tendangan waktu membalikkan badan, semuanya dilakukan untuk mengukur keampuhan lawannya. Dia senang melihat napasnya tidak terengah-engah. Dia senang merasa peluh mengalir membasahi badan-nya. Setelah lima belas menit ke-dua pihak saling mencoba mencari tempat masuk melalui pertahanan masing- masing, dia merasa kondisi badannya, kesigapannya, kecepa-tannya, dan kemampuannya telah berkembang mencapai puncaknya.

Tiba-tiba dia menghentikan se-rangannya, dan berhenti, berdiri te-nang, bersikap siap sedia, matanya betaut ke mata lawannya.

Lawannya merasakan sesuatu berubah. Perkelahian mereka sea-kan telah mencapai taraf baru, yang menentukan. Lawannya jadi berhati-hati, bergerak perlahan, siap membela diri atau menyerang, melangkah perlahan mengelilin-ginya, dan dia ikut memutar badan-nya mengikuti gerak dan langkah lawannya.

Dia merasa tenang dan tentram dalam dirinya, nafasnya mengalir dengan teratur, dan tiap dia me-narik napas, dia merasa kekuatan dalam dirinya bertambah besar, dan dia memerintahkan dengan kemauannya agar kekuatan yang

berkumpul dalam dirinya mengalir ke kedua kakinya, sampai ke ujung kaki, ke kedua tangannya sampai ke ujung jari-jarinya, dan ke seluruh relung tubuhnya. Dia merasa kuat, tuat, kuat, dan tiba-tiba seluruh ke-kuatan diledakkannya, dia melom-pat menyerang, kakinya, kiri dan kanan, tangannya, kiri dan kanan, kepalan tinjunya semua bergerak dengan cepat. Semuanya terasa mudah dan ringan olehnya, dia tak merasa gerakan yang demiki-an cepat dan keras meletihkannya. Gerakan-gerakan itu seakan terjadi sendiri, mudah, ringan dan lancar baginya. Lawannya tak kurang tan-gguhnya. Serangan tendangan dan pukulan-pukulan pertama yang datang dengan cepat dielakkannya dengan baik, serangan datang ber-tambah cepat, terus juga ditahan dan dielakkannya serangan yang datang bertambah cepat, bertam-bah cepat, dan bertambah cepat, satu pukulan masuk, yang lain die-lakkannya, pukulan masuk lagi, ma-suk lagi, masuk lawannya terhoyong sedikit, segera memperbaiki sikap dan pertahanannya, tetapi pertaha-nan lawan, telah dapat digoyahkan-nya, dan dia terus menyerang, lebih cepat, lebih cepat, dan sebuah ten-dangan masuk lawannya terdorong ke belakang, berdiri goyah, dan se-buah lagi tendangan dilepaskannya, dan lawannya jatuh ke tanah dan dia melompat mendekati kepala lawannya, sebelah kakinya terang-kat akibat melepaskan tendangan ke kepala lawannya, tetapi sesuatu menahannya, dan dia menurunkan kakinya ke tanah.

Lawannya mencoba mengang-kat badannya, tetapi jatuh kembali. Kemudian dia membuka matanya dan memandang pada lawannya

Page 58: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

58 PUSAT NO. 08/2014

MASTERA

yang telah mengalahkannya.“Mengapa Mas tidak sudahi?”

pintanya.“Kau masih muda Dik, pergilah.”

Dia membalikkan badannya, dan melangkah ke dalam hutan jati, me-nuruni bukit, dan melintasi sawah, jauh dari orang-orang kampung yang sudah mulai bekerja.

Dia tahu, akibat apa yang telah dilakukannya. Kemungkinan be-sar lawannya akan mendendam-nya seumur hidup dan akan selalu mencoba membalas dendamnya itu, mencoba membunuhnya Yang paling baik yang seharusnya di-lakukannya adalah membunuh lawannya Bukannya dia tak pemah membunuh orang. Sejak ayahnya meninggal dia telah membunuh tiga orang. Ayahnya sendiri dika-barkan sedikitnya telah membunuh dua belas orang selama hidupnya.

Tetapi tadi ketika dia hendak

melepaskan tendangan mautnya ke kepala lawannya, tiba-tiba saja di matanya terbayang anaknya yang masih tidur berselimut kain sarung sampai ke kepala Sejak anaknya jadi besar, dan telah mulai bersekolah, dia merasa tak ingin anaknya men-ggantikannya, dan mengikuti cara hidupnya. Hidup yang bertumpu pada kejagoan berkelahi, kejagoan membunuh, merampok, mencuri, hidup dengan perbuatan yang satu hariharus dibayar dengan nyawa atau hukuman penjara. Benang me-rah kehidupan mereka turun-temu-run harus diputuskan dengan di-riku, katanya pada dirinya sendiri. Dia gemetar takut membayangkan seandainya anaknya yang dewa-sa, seorang muda, yang tergeletak dalam tempat terbuka di hutan jati, menunggu tendangan maut ke kepalanya, seperti yang terjadi tadi dengan lawannya. Dia terin-gat pada istrinya, ibu anaknya Dan

pada waktu yang bersamaan dia merasa pula tak berdaya mengu-bah hidupnya. Dia ingat, ketika dia mengembara menuntut ilmu silat, di berbagai tempat bertemu dengan bermacam orang, dan dalam berba-gai percakapan ada yang menggata-kan, bahwa nasib orang kecil, orang yang tak memiliki tanah, tani yang menggarap tanah milik orang lain, mereka yang menganggur di desa-desa, nasib mereka hanya dapat diperbaiki jika susunan masyara-kat diubah, dan tanah dibagi-bagi pula pada mereka yang tidak punya tanah. Banyak tanah rakyat dahu-lu, kata mereka, dirampas oleh orang Belanda, dijadikan tanah-ta-nah perkebunan besar. Akibatnya rakyat banyak yang tidak memiliki tanah lagi.

Mendengar kata-kata demikian, hatinya merasa penuh harap, akan tetapi harapannya tidak kunjung berubah, dan kini dia merasa hara-

Page 59: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

59Lembaran Mastera

MASTERApan itu hanya akan tinggal harapan saja.

Tiba di jalan ke kampungnya, dia berpapasan dengan orang kam-pung, yang menyapanya, dan dia membalas menyapa mereka kemba-li. Tetapi selalu dia merasa, bahwa meskipun dia warga kampung me-reka, namun, dia berada di luar ma-syarakat kampung. Dia juga merasa bimbang apakah dia akan mengajar anaknya ilmu silat, Anaknya telah berumur delapan tabun, dan sebe-narnya telah dapat mulai belajar ilmu silat, Tetapi jika dia mengajar anaknya ilmu silat, pastilah anak-nya akan mengikuti jejaknya, seper-ti dia mengikuti jejak ayahnya, dan seperti ayahnya mengikuti jejak ne-neknya, dan neneknya mengikuti jejak ayahnya, dan demikian sete-rusnya. Sebaliknya seandainya dia tidak menurunkan ilmu silatnya pada anaknya, akan jadi apa nanti anaknya? Mereka tidak punya ta-nah, kecuali sepotong kecil tanah tempat rumah mereka berdiri. Anaknya akan jadi penganggur di desa? Anaknya akan jadi tani penggarap tanah milik orang lain, hidup penuh kemelaratan tanpa harapan sepanjang umurnya?

Mochtar Lubis lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922 – meninggal di Jakarta, 2 Juli 2004 pada umur 82 tahun) adalah seorang jurnalis dan pengarang ternama asal Indonesia. Sejak zaman pendudukan Jepang ia telah dalam lapangan penerangan. Ia turut mendirikan Kantor Berita Antara, kemudian mendirikan dan memimpin harian Indonesia Raya yang telah dilarang terbit. Ia mendiri-kan majalah sastra Horizon bersama-sama kawan-kawannya. Pada waktu pemerintahan rezim Soe-karno, ia dijebloskan ke dalam penjara hampir sembilan tahun lamanya dan baru dibebaskan pada tahun 1966. Pemikirannya selama di penjara, ia tuangkan dalam buku Catatan Subversif (1980). Novelnya, Jalan Tak Ada Ujung (1952 diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh A.H. John menjadi A Road With No End, London, 1968), mendapat Hadiah Sastra BMKN 1952; cerpennya Musim Gugur meng-

gondol hadiah majalah Kisah tahun 1953; kumpulan cerpennya Perempuan (1956) mendapatkan Hadiah Sastra Nasional BMKN 1955-1956; novelnya, Harimau-Harimau (1975), meraih hadiah Yayasan Buku Utama Departeman P & K; dan no-velnya Maut dan Cinta (1977) meraih Hadiah Sastra Yayasan Jaya Raya tahun 1979. Selain itu, Mochtar juga menerima Anugerah Sastra Chairil Anwar (1992).

Ketika dia tiba di rumahnya, anaknya telah pergi sekolah, dan istrinya telah menyediakan sara-pan pagi untuknya. Istrinya tidak bertanya ke mana dia pagi- pagi buta telah meninggalkan rumah, Istrinya tidak pernah bertanya ke mana dia pergi, dan apa yang di-lakukannya. Istrinya tak pernah menanyakan dari mana dia men-dapat uang, yang sewaktu-waktu diberikannya pada istrinya. Se-sekali banyak, sering sedikit, dan terkadang cukup lama dia tidak memberi uang. Istrinya telah biasa untuk menjaga agar belanja da-pur mereka diulur selama mung-kin. Dia sendiri tiap kesempatan ada bekerja, membantu panen di sawah, menumbuk beras, ah, tak banyak kerja tersedia dalam desa.

Sorenya, ketika mereka ma-kan, dia berkata pada istrinya, “Aku sudah pikir-pikir, hidup kita begini tidak bisa terus, Kita tidak punya apa-apa,”

Istrinya diam, tidak berkata apa-apa.

Sebulan kemudian dia pergi ke kantor lurah, dan mencatatkan dirinya, istri dan anaknya untuk calon transmigran ke luar Jawa.

Setelah tiga bulan dia tidak juga mendapat berita, dan lurah tidak dapat memberikan penje-lasan padanya, sedang beberapa. kepala keluarga di kampungnya dan beberapa kampung berdeka-tan telah berangkat, dia mencari sendiri keterangan. Seorang pe-gawai kantor kecamatan yang di-kenalnya akhirnya menunjukkan padanya bahwa dia ditolak seba-gai transmigran dengan alasan, karena dia dikenal sebagai seo-rang ... bromocorah!

Dia tidak terkejut Dia telah menduga demikian. Sebagai te-lah dibayangkannya sendiri, bagi orang seperti dia, tidak ada jalan keluar. Hanya kalau masyarakat-nya bisa berubah, baru hidupnya bisa berubah.

Dia kembali ke rumahnya, Setelah anaknya pulang sekolah, petang hari diajaknya anaknya ke tegalan sepi dekat puncak bukit jauh di luar desa.

“Ayo, tole!”

Dan dia mulai mengajar anak-nya ilmu silatnya!

Page 60: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

60 PUSAT NO. 08/2014

MASTERA

Monumen Kematian Siapa terkubur, siapa menguburDiundakan pintu aku menadahkan kepalakuMemandang gelap langit malamDan renteng doa tak henti menyapaDari bibir waktu“Kau dengar suara pilu dari detak anginyang menyentuhmu?”Tanyaku pada pada basah bumiDengan serpihan hatiAku berdiri diatas tangis dan teriakanJerit dan ratapan membayangUntuk apa dibangun monument kematian iniJika bukan untuk mengingatkan kebesaran tunggalPemilik segala kehidupanTapi kerendahan hati menjadi langkaSenyum terasa mahal dan menyiksaBagi nyawa yang masih meraba dan mendugaLenyaplah malam saat kata-kata menjadi biangDan monument kematianHanya batu yang menandaSiapa terkubur, siapa mengubur

* Ulee Lheu, November 2007.

Evi Idawa lahir di Demak, 9 Desember 1973, sempat kuliah di Jurusan Teater Ins tute Seni Indonesia Yogyakarta, Jurusan Pendidikan dan Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan. Ia kenal sebagai aktris sinetron dan teater. Balada Dangdut, Dongeng Dangdut, Ketulusan Karti ka, Wanita Kedua, dan beberapa FTV adalah sinetron yang pernah melibatkan dirinya. Dia juga sering berperan dalam teater. Dia juga penulis cerpen dan puisi. Salah satu cerpennya pernah menjadi pemenang pertama peksiminas. Cerpennya termuat dalam antologi bersama:Kopiyah dan Kunfayakun (2003), Cerita Penganti n (2004), Bacalah Cinta (2005), Dokumen Jibril (2005), dan lain-lain. Puisi termuat dalam antologi bersama: Lirik-lirik Kemenangan (1993), Antologi Penyair Jateng (1993), Keti ka Layar Turun (1994), Embun Tajali (2000), Filantropi (2001), dan lain-lain.

Puisi Evi Idawati (Indonesia)

Page 61: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

61Lembaran Mastera

MASTERA

Puisi Emha Ainun Nadjib (Indonesia)

Ketika Engkau Bersembahyang

Ketika engkau bersembahyang

Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan

Partikel udara dan ruang hampa bergetar

Bersama-sama mengucapkan allahu akbar

Bacaan al-fatihah dan surah

Membuat kegelapan terbuka matanya

Setiap doa dan pernyataan pasrah

Membentangkan jembatan cahaya

Tegak tubuh alif-mu mengakar ke pusat bumi

Ruku’lam badanmu memandangi asal-usul diri

Kemudian mim sujudmu menangis

Di dalam cinta Allah hati gerimis

Sujud adalah satu-satunya hakikat hidup

Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup

Ilmu dan peradaban takkan sampai

Kepada asal usul setiap jiwa kembali

Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri

Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali

Badan diperas jiwa dipompa tak terkira-kira

Kalau diri pecah terbelah, sujud menguntungkannya

Sembahyang di atas sajadah cahaya

Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia

Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya

Yang tak bisa dikisahkan kepada siapa pun saja

Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajahPancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisikaHatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karangDadamu mencakrawala, seluas ‘arasy Sembilan puluh Sembilan

1987

Emha Ainun Nadjib akrab dipanggil Cak Nun adalah seorang seniman, budayawan, intelektual muslim, dan juga penulis asal Jombang, Jawa mur. Lahir di Djombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Tahun 1970-1975 nggal di Jogyakarta dan belajar sastra kepada Umbu Landu Paranggi. Pernah mengiku lokakarya teater di Filipina (1980), Interna onal Wri ng Program di Univer-sitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Fes val Penyair Internasional di Ro erdam, Belanda (1984) dan Fes val Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).Dalam kesehariannya, Emha sering melakukan ak vitas yang merangkum dan memadukan di-namika kesenian, agama, pendidikan poli k, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensiali-tas rakyat. Di samping ak vitas ru n bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang mBulan, ia juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara.

Bersama Grup Musik Kiai Kanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara ru n (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, ak f mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pema-haman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengu-payaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Page 62: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

62 PUSAT NO. 08/2014

TTiap bangsa yang terbentuk dari berbagai etnis, seperti bangsa Indonesia, pada awalnya memiliki karakter yang bhineka, heterogen, atau multikul-tur. Para arsitek bangsa – untuk mencapai persatuan dan kesatuan menuju terbentuknya satu negara kesatuan yang merdeka dan berdaulat penuh — kemudian mencari kesamaan semangat, kesamaan identitas, dan kesa-maan simbolik.

Kelompok yang sangat cerdas merumuskan tali pemersatu itu adalah para tokoh pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda.1 Bangsa yang ter-diri atas banyak etnis dengan beragam adat dan budaya, pengguna bahasa yang berbeda-beda, serta tersebar ke dalam banyak pulau, disatukan da-lam sumpah yang sangat sakti: bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, Indonesia.2

Menjelang proklamasi kemerdekaan, para arsitek dan pendiri bangsa juga berhasil merumuskan dasar Negara, Pancasila, yang sekaligus me-rupakan ideologi atau pandangan hidup (way of life) dan landasan gerak bangsa Indonesia. Di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai yang tetap re-levan untuk menjadi sumber nilai, pandangan hidup, dan landasan gerak bangsa saat ini, yakni transendensi (Ketuhanan Yang Maha Esa), humanisa-si (Kemanusiaan yang adil dan beradab), toleransi (Persatuan Indonesia), liberasi (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam per-musyawaratan perwakilan), serta keadilan dan kesejahteraan (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).

CUBITAN

Sastra di Tengah Dialektika Multikultur

AHMADUN YOSI HERFANDA

Page 63: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

63PUSAT NO. 08/2014

Sayangnya, pemasyarakatan dan pembudayaan Pancasila gagal, menghadapi banyak resistensi, ka-rena upaya pembudayaannya mela-lui P4 (pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila) ditunggangi oleh kepentingan kekuasaan den-gan ’tafsir tunggal’ yang rumit dan doktriner. Akhirnya, Pancasila ma-kin tidak populer, dan cenderung dilupakan masyarakat. Apalagi se-telah BP7 (Badan Pelaksana Pema-syarakatan P4) dibubarkan, tradisi penataran P4 ditiadakan, dan era orde baru berlalu setelah terjadi re-formasi politik.

Dengan ditinggalkan atau di-lupakannya Pancasila sebenarnya bangsa kita mengalami kekosongan nilai dan pandangan hidup yang mempersatukan bangsa. Wajar, kalau gejala disintegrasi muncul di mana-mana, dan konflik politik gampang pecah serta banyak diwar-nai kekerasan hanya gara-gara ka-lah Pilkada. Tanggapan atau reaksi masyarakat terhadap kondisi atau nilai-nilai baru pun centang-pere-nang dan potensial menimbulkan konflik, karena tidak didasari oleh nilai dan pandangan hidup yang sama, tapi lebih berdasar pada ni-lai dan keyakinan yang bersifat eksklusif dan saling berbeda satu sama lain. Konflik dan kekerasan di seputar proses pengesahan UU Pornografi dapat diduga akibat pe-mahaman yang parsial, berdasar nilai-nilai yang eksklusif, dan saling berbeda tersebut. Begitu juga mar-aknya terorisme di tanah air, siapa-pun dalang di baliknya, berakar pada eksklusifitas pemahaman ni-lai-nilai agama dan lemahnya ken-dali nilai-nilai yang mempersatu-kan, yakni Pancasila.

Karena itu, nilai-nilai Pancasila,

yang sesungguhnya merupakan in-tisari dari nilai-nilai agama dan ni-lai-nilai luhur budaya bangsa, perlu kembali direaktualisasikan, dima-syarakatkan, dan dibudayakan. De-ngan nilai-nilai Pancasila-lah se-mes-tinya karakter budaya bangsa Indonesia terbentuk – bukan den-gan nilai-nilai kapitalisme, libera-lisme ataupun neo-liberalisme, dan apalagi marxisme atau komunisme yang atheis.

Pembentukan karakter

Tiap bangsa memiliki karak-ter yang pada dasarnya berbeda antara bangsa yang satu dengan bangsa lainnya, karena perbeda-an nilai-nilai dan lingkungan yang menumbuhkannya. Karakter antar bangsa akan menjadi relatif sama jika ada nilai-nilai dominan yang berpengaruh secara global. Ketika budaya dan agama Hindu memiliki kekuatan pengaruh di berbagai be-

lahan dunia, maka banyak etnis dan bangsa yang berada dalam penga-ruhnya memiliki nilai-nilai yang relatif sama. Ketika budaya dan aga-ma Islam memiliki pengaruh besar di berbagai belahan dunia, maka banyak etnis, dan bangsa, di dunia yang memiliki nilai-nilai yang rela-tif sama. Begitu juga ketika dunia memasuki abad kolonialisme, dan sekarang pada era global, maka ni-lai-nilai dominan yang menumpang globalisasi akan memiliki pengaruh besar pada negara-negara di dunia.

Masyarakat, etnis, dan bangsa, tentu tidak takluk begitu saja keti-ka menghadapi nilai-nilai baru yang datang dari luar. Selalu ada proses dialektika yang rumit dan kompleks, tawar-menawar nilai, sampai pada tahap penerimaan penuh (akomo-dasi), pengawinan (inkulturasi), sampai penolakan (resistensi). Hal ini terjadi, karena masyarakat, etnis atau bangsa tertentu, telah memiliki nilai-nilai yang diyakini kebenaran-

cubitan

Page 64: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

64 PUSAT NO. 08/2014

nya. Masyarakat yang bodoh dan konsumtif akan cenderung meneri-ma begitu saja nilai-nilai baru yang datang dari luar beserta ekspresi budayanya. Masyarakat yang cerdas dan kritis akan menimbang mana yang lebih baik: menerima, meno-lak, atau mengawinkannya dengan nilai-nilai lama. Sedangkan masya-rakat yang tertutup akan cende-rung menolak dan memilih hidup terasing dari kemajuan, seperti suku Badui di pedalaman Banten, suku Sasak di Sumbawa, dan suku Bajau di Selat Malaka.

Karakter masyarakat atau bang-sa terbentuk karena pengaruh ni-lai-nilai yang dominan dan beredar dalam masyarakat. Nilai-nilai itu terbentuk karena adanya kesepaka-tan parameter yang lahir dari usaha manusia untuk terus memuliakan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan yang paling sempur-

na dan paling layak menjadi ”wakil Tuhan” (khalifaullah) di bumi.

Paralel dengan itu pula pendi-dikan Nasional terus diupayakan, dengan tujuan untuk membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, unggul, sehat, berilmu, cakap, kreatif, man-diri, berdaya saing tinggi, dan men-jadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Kebudayaan, termasuk tradisi kesastraan, sebenarnya adalah ba-gian dari daya upaya manusia un-tuk meningkatkan harkat dan mar-tabat manusia itu. Karena, secara sederhana, kebudayaan dapat dide-finisikan sebagai segala daya upaya manusia untuk makin memanu-siakan dirinya, atau meningkatkan kualitas kemanusiaannya -- bukan sebaliknya, meningkatkan sifat ke-binatangannya.

Menurut Andreas Eppink, ke-budayaan mengandung keselu-ruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan, keseluruhan struktur-struktur sosial dan religi, tradisi dan etos kerja, serta segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu ma-syarakat.3

Secara lebih rinci, Koentjara-ningrat membedakan wujud ke-budayaan dalam tiga macam. Per-tama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks gagasan, nilai, nor-ma, peraturan, dan etika. Kedua, wujud kebudayaan sebagai sikap, aktivitas serta perilaku berpola, dari manusia dalam masyarakat. Dan, ketiga, wujud kebudayaan se-bagai benda-benda hasil karya ma-nusia.4 Ketiganya terdapat dalam unsur kebudayaan yang universal, yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, serta sistem religi dan kesenian, termasuk kesastraan.

Karena kehidupam masyarakat bersifat dinamis sesuai dengan pe-rubahan zaman, maka sesunguhnya kebudayaan tidak hanya menye-diakan nilai-nilai ataupun sistem nilai lama yang menjadi landasan gerak masyarakat, tapi juga terus memproduk nilai-nilai baru sesuai dengan keadaan zaman yang juga terus berubah atau bergerak maju. Nilai-nilai baru tersebut dapat me-rupakan penyempurnaan nilai-nilai lama, penambahan nilai baru tanpa menggeser nilai lama, dan bisa pula bersifat menggantikan nilai lama yang dianggap sudah usang.

Dengan sendirinya, nilai-nilai lama yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan zaman akan ter-buang bersama tradisi budaya yang

cubitan

Page 65: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

65PUSAT NO. 08/2014

membungkusnya. Tradisi pingitan dan kawin paksa yang membung-kus nilai ’kepatuhan buta’ seperti yang tergambar dalam novel Siti Nurbaya, misalnya, sudah ditin-ggalkan, karena para gadis sudah berada dalam era kemerdekaan da-lam menentukan pilihan. Etos yang mendasari budaya kerja, misalnya, bukan lagi alon-alon waton kelakon, tapi cepat, cermat, dan selamat. Pa-rameter untuk menilai karyawan yang baik, misalnya, bukan lagi ke-patuhan, tapi profesionalitas.

Jadi, di dalam masyarakat ada yang tetap dan ada yang berubah. Ada unsur kebudayaan yang relatif tetap misalnya sistem nilai dan ada yang berubah dan berkembang ce-pat seperti kesenian dan teknologi. Ada parameter atau nilai yang ber-sifat tetap, dan ada yang berubah sesuai perkembangan zaman. Ada sumber nilai yang bersifat abadi misalnya agama, ada yang tetap se-perti ideologi negara, dan ada pula yang berubah dalam era tertentu misalnya undang-undang. Ada ni-lai-nilai lama yang dipertahankan atau direaktualisasikan dan disem-purnakan, ada pula nilai-nilai atau parameter baru yang ditambahkan dalam kehidupan masyarakat kare-na dibutuhkan dan belum terdapat pada nilai-nilai lama.

Karena itu, sebagai upaya untuk menyempurnakan kemanusiaan manusia, kebudayaan —termasuk kesastraan— tidak hanya bersikap mempertahankan nilai-nilai lama yang masih diperlukan dan rele-van dengan keadaan zaman, tapi juga memproduk dan menyepakati nilai-nilai atau sumber nilai baru yang diperlukan masyarakat guna meraih kesempurnaan atau kebai-kan bersama. Misalnya adalah kode

etik dan undang-undang (baru), serta penemuan struktur estetika baru dalam karya sastra. Dan, da-lam upaya meraih kesempurnaan itu, baik dalam mempertahankan nilai-nilai lama maupun menanam-kan nilai-nilai baru, diperlukan apa yang disebut reaktualisasi (untuk nilai-nilai lama) dan pemasyaraka-tan (untuk nilai-nilai baru), serta pembudayaan (untuk keduanya).

Lebih dari keterlibatan sastra dalam proses pembudayaan ma-syarakat itu, secara lebih spesifik, kesastraan hendaknya juga dapat memiliki peran yang lebih besar da-lam memasyarakatkan dan membu-dayakan nilai-nilai Pancasila yang sangat potensial untuk meningkat-kan karakter positif dan kualitas kemanusiaan masyarakat, serta mengokohkan persatuan bangsa. Sebab, di dalam Pancasila secara lengkap terkandung intisari nilai-nilai yang sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, untuk bersatu, maju, adil dan sejahtera bersama, yakni transendensi, humanisasi, to-leransi, liberasi, serta keadilan dan kesejahteraan.

Peran sastra

Sastra dianggap penting untuk dapat ikut mereaktualisasikan, me-masyarakatkan dan membudaya-kan nilai-nilai Pancasila, karena sastra sudah lama diakui memiliki potensi besar untuk membawa ma-syarakat ke arah perubahan sosial dan budaya. Sastra bahkan sudah lama diakui dapat menjadi sum-ber spirit kebangkitan suatu bang-sa, spirit cinta pada tanah air, dan sumber semangat patriotik untuk melawan segala bentuk penjajahan. Ini adalah ‘keyakinan estetik’ yang bersifat pragmatik tentang sastra,

bahwa karya sastra dapat menjadi sumber inspirasi dan pendorong kekuatan moral bagi proses peru-bahan sosial-budaya dari keadaan yang terpuruk dan ‘terjajah’ ke kea-daan yang mandiri dan merdeka, dari keadaan yang tidak ber-Panca-sila ke keadaan yang Pancasilais.

Kalangan pragmatik -- yang cenderung memandang karya sas-tra dari sisi manfaat non-literer-nya – berkeyanikan bahwa karya sastra yang bagus memang tidak hanya memancarkan pesona este-tik (keindahan) tapi juga mampu memberikan pencerahan batin dan intelektual kepada pembacanya. Dalam bahasa pers, ia mampu mem-bangun semacam opini publik. Jika bangunan opini publik itu menguat dan meluas, maka dari situlah pro-ses perubahan sosial-budaya dapat digerakkan.

Jika paradigma tersebut diru-jukkan kepada pemikiran Abrams (1981) tentang orientasi pencip-taan sastra, maka tujuan keber-manfaatan sastra itu sesuai dengan orientasi kedua. Berdasarkan tujuan penciptaannya, Abrams mengelom-pokkan karya sastra ke dalam em-pat orientasi. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggam-baran alam. Kedua, karya sastra se-bagai media untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran pe-rasaan, pikiran, ataupun pengala-man sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekelilingnya, pembaca maupun pengarangnya.

Sebenarnya, apapun orientasi penciptaan karya sastra, karena me-rupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, maka ia

cubitan

Page 66: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

66 PUSAT NO. 08/2014

akan memiliki kemampuan tersem-bunyi (subversif) untuk mempen-garuhi perasaan dan pikiran pem-bacanya. Banyak orang meyakini bahwa karya-karya besar, seperti Max Havelar (Multatuli), Uncle Tom Cabin (Beecher Stower), dan sa-jak-sajak Rabindranat Tagore telah menginspirasi perubahan sosial di lingkungan masyarakat pembacanya masing-masing. Max Havelar men-ginspirasi gerakan politik etis di Hindia Belanda, sajak-sajak Tagore mendorong gerakan pembebasan bangsa India dari penjajahan Ingg-ris, dan Uncle Tom Cabin mengins-pirasi gerakan anti-perbudakan di Amerika Serikat.

Dapat disebut juga sajak-sajak cinta tanah air Mohammad Yamin dan Ki Hajar Dewantara yang ikut memupuk rasa kebangsaan anak-anak muda generasi 1920-an dan 1930-an dan menjadi salah satu sumber inrspirasi lahirnya Sumpah Pemuda. Sementara, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar, seperti Di-ponegoro, Kerawang-Bekasi, Kepada Bung Karno, ikut menyemangati ge-nerasi 1940-an untuk merebut ke-merdekaan dari penjajah Belanda.

Di dalam khasanah sastra Is-lam, sajak-sajak Mohammad Iqbal juga disebut-sebut ikut mendorong proses rekonstruksi pemikiran Is-lam. Sedangkan sajak-sajak Jalalud-din Rumi, Ibnu Arabi, dan Hamzah Fansuri, ikut mendorong proses rekonseptualisasi tasawuf. Bahkan, menjadi sumber rujukan penting para peneliti tasawuf, mengingat fungsi puisi sebagai sarana penga-jaran dan ekspresi penghayatan su-fistik para tokohnya.

Ada semacam keyakinan bahwa karya sastra merupakan sumber ni-lai yang memiliki kekuatan pence-

rahan sekaligus sumber inspirasi bagi proses perubahan sosial-bu-daya. Tokoh-tokoh seperti Kuntowi-joyo, Abdul Hadi WM, dan Emha Ainun Najib, meyakini karya sastra tidak sekadar mampu merefleksi-kan realitas masyarakatnya, tapi juga dapat menjadi salah satu agen perubahan. Karya sastra, sebagai refleksi dari masyarakatnya, tidak sekadar menjadi cermin zamannya, tapi juga dapat ikut mendorong, se-tidaknya menjadi sumber inspirasi bagi munculnya suatu proses peru-

bahan masyarakat ke arah yang le-bih baik. Karena itu pula, di tengah kondisi masyarakat yang multikul-tur, karya sastra tidak memperta-jam perbedaan untuk menyulut perpecahan, tapi justru mendorong rasa saling pemahaman dan saling menghormati guna menguatkan tali persatuan, sesuai dengan filo-sofi bhineka tunggal ika – berbeda-beda tapi satu.

Sebagai agen perubahan, peran sastra juga sering berevolusi sesu-ai dengan kondisi masyarakat. Apa yang sedang dibutuhkan masya-rakat, sastra sering memberikan jawabannya. Namun, dalam hal ini yang terpenting adalah bagaimana ‘komitmen estetik’ dan orientasi penciptaan sastrawan atau krea-tornya. Jika orientasi penciptaan-nya adalah ‘seni untuk seni’ (lart pour lart), maka akan sulit diharap-kan peran maksimal sastra, karena yang terpenting adalah kepuasan sang pengarang sendiri. Untuk menegaskan peran sastra sebagai agen perubahan, maka diperlukan orientasi penciptaan yang bersifat pragmatik, yakni orientasi pada ke-bermanfaatan sastra sebagai media pencerahan dan pencerdasan ma-syarakat.

Dalam hal ini, masih relavan untuk menyimak prinsip bersast-ra Sutan Takdir Alisyahbana, sang tokoh renaisans Indonesia. Dalam bersastra (menulis novel) STA me-miliki prinsip, bahwa seni (sastra) bukan sekadar untuk seni, tapi un-tuk kebermanfaatan intelektual dan pencerdasan masyarakat. Karena itu, sastra (novel), menurut STA ti-daklah bisa bermewah-mewah den-gan keindahan untuk mencapai ke-puasan seseorang dalam mencipta, tetapi harus dilibatkan secara aktif

Sastra dianggap penting untuk dapat ikut

mereaktualisasikan, memasyarakatkan dan membudayakan nilai-nilai Pancasila, karena

sastra sudah lama diakui memiliki potensi besar untuk membawa

masyarakat ke arah perubahan sosial dan budaya. Sastra bahkan

sudah lama diakui dapat menjadi sumber

spirit kebangkitan suatu bangsa, spirit cinta pada

tanah air, ...

cubitan

Page 67: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

67PUSAT NO. 08/2014

dalam seluruh pembangunan bang-sa. Sastra, harus membuat orang (pembaca) lebih optimis dan meng-hadapi hidup dengan semangat juang yang tinggi untuk mengatasi berbagai masalah dan situasi kritis. Dan, ini dibuktikannya melalui no-vel Layar Terkambang serta Kalah dan Menang. Komitmen yang ku-rang lebih sama juga dipraktekkan oleh Rendra, Kuntowijoyo, Taufiq Ismail, Abdul Hadi WM, dan Emha Ainun Nadjib – sekadar menyebut beberapa nama.

Persoalan kebangsaan

Persoalan kebudayaan – tem-pat kesastraan tumbuh -- adalah juga persoalan kebangsaan, karena kebudayaan, sebagai sebuah sis-tem nilai, memerlukan wadah ke-bangsaan yang utuh dan bersatu, lengkap dengan tanah air dan ne-garanya, untuk dikembangkan bagi pemberdayaan masyarakat. Pada masa Mohammad Yamin, masalah kebangsaan yang dihadapi adalah bagaimana menyadarkan dan ke-mudian membangkitkan rasa ke-bangsaan masyarakat. Maka yang lahir adalah sajak-sajak cinta tanah air yang romantik, karena ketika itu memiliki tanah air yang merdeka masih sebatas ‘impian’. Sajak men-jadi salah satu media bagi kalangan pergerakan nasional untuk mem-bangkitkan kesadaran akan pen-tingnya memiliki satu tanah air dan satu bangsa yang merdeka.

Di tataran filsafat dan kebu-dayaan, Sutan Takdir Ali Syahbana dan Ki Hajar Dewantara kemudian mengentalkan rasa kebangsaan itu melalui proses kristalisasi konsep budaya bangsa. Tidak hanya mela-lui sajak-sajak dan novel-novelnya Takdir mencoba meletakkan dasar-

dasar kebudayaan bangsa, tapi juga melalui sebuah polemik yang san-gat terkenal – Polemik Kebudayaan – yang hingga kini masih menjadi rujukan bagi banyak pemikir bu-daya dalam meninjau ulang dan mencari arah terbaik kebudayaan bangsa ke depan.

Pada medio awal dasawarsa 1940-an, Chairil Anwar menangkap semangat kemerdekaan yang meng-kristal sejak masa kebangkitan pergerakan nasional itu ke dalam sajak-sajak heroik dan penuh etos pemberontakan. Dengan seman-gat ‘binatang jalang’ ia melahirkan sajak-sajak yang tidak hanya mem-bawa pemberontakan estetik, tapi juga memompa semangat pember-ontakan terhadap penjajah Belanda untuk mencapai kemerdekaan. Ini sangat terasa, misalnya, pada sajak-sajak Diponegoro, Kerawang-Be-kasi, dan Persetujuan dengan Bung Karno. Evolusi kebangsaan dalam karya-karya Chairil Anwar adalah evolusi yang sudah sampai pada ta-hap pembebasan. Kesadaran akan rasa kebangsaan telah mengkristal begitu keras, hingga tinggal me-nunggu saatnya untuk diledakkan. Bentuk ledakannya adalah prokla-masi kemerdekaan, yang dibacakan oleh Sukarno-Hatta pada 17 Agus-tus 1945, dan yang siap dibela oleh rakyat yang telah mengalami pence-rahan, sampai titik darah terakhir.

Pasca-kemerdekaan sastra se-perti kehilangan momentum un-tuk berbicara tentang patriotisme, nasionalisme dan pemupukan rasa kebangsaan. Dari sinilah kemudian Taufiq Ismail menerjemahkan pe-rannya pada pembangunan bang-sa melalui sajak-sajak kesaksian sejarah di seputar pergeseran ke-kuasaan Orde Lama ke Orde Baru.

Peran ini pula yang secara lebih kri-tis dan tajam diambil oleh Rendra dengan sajak-sajak kritik sosialnya dalam Potret Pembangunan Dalam Sajak. Namun, jika rasa nasionalis-me dapat diterjemahkan sebagai rasa cinta dan kepedulian pada na-sib bangsa, maka karya-karya Tau-fiq dan Rendra dalam dimasukkan ke dalamnya.

Pada sastrawan generasi 1970-an (baca: yang produktif menulis pada tahun 1970-an), semangat ke-bangsaan – sekaligus semangat un-tuk membangun kebudayaan bang-sa --berevolusi menjadi ‘semangat untuk kembali ke nilai-nilai budaya Timur’. Pengaruh nilai-nilai budaya Barat, yang dalam sastra tampak pada aspek tematik maupun es-tetik, menyadarkan mereka akan pentingnya menggali kekayaan ni-lai-nilai budaya Timur. Bukan hanya sebagai penyeimbang, tapi juga se-bagai perlawanan budaya (counter culture). Sebab, dominasi nilai-nilai (Barat) sama saja dengan ‘penjaja-han budaya’ – wajah imperialisme baru yang boleh jadi lebih berba-haya dan sulit dilawan daripada penjajahan konvensional berupa pendudukan suatu wilayah.

Semangat untuk menggali nilai-nilai budaya Timur sangat kuat pada era 1970-an, dengan tokoh-tokoh seperti Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Danarto, Kuntowi-joyo, Linus Suryadi AG, Darmanto Jatman, Umar Kayam, Ibrahim Sat-tah, dan Wisran Hadi. Sutardji dan Ibrahim menggali dan mereaktua-lisasikan estetika mantra – salah satu induk puitika Melayu. Abdul Hadi meraktualisasi estetika sufis-tik. Danarto menggali nilai-nilai Is-lam kejawen. Darmanto, Linus dan Kayam menggali tradisi Jawa. Wis-

cubitan

Page 68: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

68 PUSAT NO. 08/2014

ran menggali akar budaya Melayu. Sedangkan Kuntowijoyo mengem-bangkan sastra profetik bernuansa Jawa. Semangat kebangsaan be-revolusi menjadi semangat untuk mempertahankan nilai-nilai Timur dari dominasi nilai-nilai Barat. Sas-tra mencoba menegaskan kembali perannya sebagai agen perubahan budaya.

Sastra kontemporer

Kesastraan Indonesia kontem-porer sempat marak dengan apa yang disebut fiksi seksual. Pada mainstream lain menguat pula fe-nomena fiksi Islami, dan di antara keduanya masih terus ditulis karya-karya sastra humanisme universal dan karya-karya sastra bernuansa lokal. Namun akibat ‘pembesa-ran media’ fenomena fiksi seksual menjadi terkesan sangat dominan. Tokoh-tokoh ‘sastra wangi’, yang membawa semangat pembebasan bagi kaum perempuan, seperti Ayu Utami, dan Jenar Maesa Ayu men-jadi sangat popular karena kebera-niannya membongkar batasan-ba-tasan tentang ketabuan.

Pada perkembangan terak-hir juga banyak lahir karya sastra yang mengangkat khasanah sejarah bangsa, seperti trilogi Gajah Mada karya Langit Kresna Hariyadi dan Dyah Pitaloka karya Hermawan Ak-san – untuk menyebut dua saja. Me-lalui novel, mereka mencoba me-nafsir ulang suatu episod sejarah bangsa dengan prestasi sekaligus sisi-sisi kelamnya yang penuh da-rah dan siasat kekuasaan. Sementa-ra, Akmal Nasyeri Basral mengang-kat sisi-sisi keteladanan KH Ahmad Dahlan dalam novel Sang Pencerah, seakan sengaja mengisi kekoson-gan tokoh teladan bangsa saat ini.

Sayangnya, Akmal lantas menyu-sulkan novel Meraih Bintang, yang mengangkat biografi seorang tokoh politik yang bakal maju sebagai ca-lon presiden, yakni Aburizal Bak-rie. Pada titik ini, tak terhindarkan munculnya kesan bahwa Akmal “melacurkan diri”.

Tidak dapat dilupakan pula novel-novel bestseller, seperti Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman el-Shirazy dan tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, yang disebut-sebut sebagai novel yang sangat inspiratif. Karya-karya yang oleh sementara pengamat dianggap kurang memiliki kualitas sastra itu justru yang paling banyak mem-pengaruhi pikiran dan perasaan masyarakat, karena tersebar sangat luas dan dibaca oleh semua usia, sejak anak-anak hingga ibu-ibu ru-mah tangga. Bahkan, film dan per-tunjukannya sempat ditonton oleh kepala negara.

Karya-karya tersebut di atas, juga karya-karya sastra lain yang jumlahnya jauh lebih banyak, den-gan tawaran kompleksitas nilai-ni-lainya dan kompleksitas multikul-turnya, secara bersama-sama ikut membentuk karakter masyarakat pembacanya masing-masing. Pen-garuhnya yang membekas di hati dan pikiran pembaca akan menam-bahkan satu kekayaan nilai pada dirinya, memperkaya kearifan hi-dupnya. Dan, nilai-nilai itulah yang akan ikut berinteraksi, saling ber-dialog dengan nilai-nilai lain yang ada di masyarakat, menuju suatu parameter nilai, yang semoga saja dapat membentuk suatu karakter bangsa yang ideal.

Dari sisi kebutuhan untuk membentuk karakter bangsa yang ideal, yang Pancasilais, seperti di-

urai pada tujuan pendidikan nasio-nal, idealnya memang ada semacam “gerakan sastra penyadaran” yang secara kolektif dan konsisten menghadirkan karya-karya sastra yang diplot ke arah itu. Tapi, ini ten-tu tidak akan mudah dan pasti akan menimbulkan kontroversi, karena pasti akan banyak yang merasa di-dekte kebebasan kreatifnya. Maka, kita serahkan saja pilihan orien-tasi penciptaan, ideologi estetik, orientasi nilai, pada masing-masing sastrawan. Masyarakat pembaca yang makin kritis dan cerdas, akan memilih, penting tidak karya itu di-baca sebagai sumber inspirasi bagi penyempurnaan harkat dan marta-bat kemanusiaannya.

Catatan1 Rumusan Sumpah Pemuda ditulis

oleh Moehammad Yamin dan di-bacakan oleh Soegondo pada Kong-res Pemuda II, 28 Oktober 2008, di Jakarta.

2 Teks asli Sumpah Pemuda: PER-TAMA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia. KEDOEA. Kami Poetera dan Poete-ri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia. KETI-GA. Kami Poetera dan Poeteri Indo-nesia, Mendjoendjoeng Bahasa Per-satoean, Bahasa Indonesia.

Rumusan Sumpah Pemuda ditulis oleh Moehammad Yamin dan di-bacakan oleh Soegondo pada Kong-res Pemuda II, 28 Oktober 2008, di Jakarta.

3 Dikutip di situs web www.wikipedia.org/wiki/Budaya.

4 Koentjaraningrat, Prof., Dr., Strate-gi Kebudayaan, Gramedia, Jakarta, 1987, hlm 15.

cubitan

Page 69: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

69PUSAT NO. 08/2014

Meskipun tidak baru, kehadiran fi lm-fi lm hasil

alihwana dari novel, mampu memasyarakatkan

karya sastra yang selama ini dianggap “mewah dan

ekslusif”

Ada banyak cara untuk meng- mengapresiasi karya sastra, selain membaca bukunya

kita juga bisa menonton filmnya. Hal itulah yang membuat sutrada-ra menjadikan karya sastra sebagai salah satu sumber inspirasi dalam membuat film. Alihwahana meru-pakan perubahan dari satu jenis ke-senian ke jenis kesenian yang lain (Damono, 2005). Salah satu yang

paling sering dialihwahakan ialah novel ke film, pun sebaliknya.1 Den-gan mengalihwahanakan novel ke film sutradara telah memiliki pasar, yaitu pembaca setia novel tersebut. Tak mengherankan jika novel-novel best seller seperti Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi, Negeri 5 Menara ataupun 5 cm menjadi karya yang paling laku difilmkan.

Selain memilih novel best seller untuk difilmkan, sutradara juga ke-rap memilih novel yang dianggap serius dan memiliki nilai sastra tinggi. Salah satu contoh sastrawan yang karyanya difilmkan ialah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Ham-ka). Setidaknya ada dua karya Ham-ka yang telah difilmkan, Di Bawah Lindungan Ka’bah (2011) dan Ten-ggelamnya Kapal Van Der Wijck (2013). Selain Hamka, karya Armijn Pane, YB Mangunwijaya, Achdiat K. Miharja, Remy Silado, dan Ahmad Tohari2 juga pernah difilmkan, bah-kan karya Seno Gumira Ajidarma “Dilarang Menyanyi di Kamar Man-di” dibuat versi film televisinya3.

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (TKVDW) merupakan film

yang disutradarai oleh Sunil Soraya dan dirilis pada 19 Desember 2013. Siapa sangka, novel yang (dulu) menjadi bacaan wajib di sekolah itu difilmkan dengan durasi yang cu-kup panjang 165 menit. Meskipun panjang, nampaknya film ini tidak membuat penontonnya bosan. Ter-bukti sepekan setelah dirilis pada 19 Desember, film ini sudah dinik-mati oleh 570 ribu penonton.4

Sepertinya, euforia karya Ham-ka ini sampai ke sekolah. Sore itu te-pat satu bulan setelah film TKVDW rilis, di salah satu bioskop di daerah Bintaro, saya bertemu dengan para pelajar SMP yang ditugaskan untuk menonton dan membuat review film tersebut. Iseng saya bertanya tentang tugas yang diberikan guru Bahasa Indonesia mereka di ke-las 8, termaksud pertanyaan lain seperti, Apa mereka tahu film ini merupakan alihwahana dari roman Hamka? Apakah mereka ditugas-kan untuk membaca novelnya atau hanya menonton filmnya?

Dari sepuluh siswa SMP terse-but, seluruhnya tahu bahwa TKV-DW merupakan Karya Hamka, bah-

EMBUN

Novel dan EkranisasiNOVI DIAH HARYANTI

Page 70: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

70 PUSAT NO. 08/2014

kan beberapa siswa dapat menye-butkan karya Hamka lainnya yang juga di filmkan (Di Bawah Lindun-gan Ka’bah). Sayangnya, tak satu pun siswa yang pernah membaca atau melihat novel TKVDW. Dengan kata lain, guru hanya menugaskan siswa menonton, tanpa mewajibkan siswa untuk membaca novelnya.

Sebenarnya, bukan rahasia lagi jika banyak guru mata pelajaran ba-hasa dan sastra Indonesia di seko-lah kerap meminta siswa membaca sinopsis novel daripada membaca novel secara tuntas. Jadi tak meng-herankan jika siswa mampu men-jawab siapa saja tokoh dalam Salah Asuhan, Siti Nurbaya, atau Belenggu tapi tidak memahami konflik yang terjadi dalam cerita, sehingga yang tertangkap dari kisah zaman Balai Pustaka ialah kasih tak sampai dan kawin paksa.

Dengan adanya alihwahana, film seolah menjadi alternative (pengganti) sehingga siswa tidak harus membaca karya sastra me-lainkan cukup menontonya. Pikiran ini jelas keliru karena film berbeda dengan novel, dengan menonton film bukan berarti kita sudah mem-baca novelnya.

Ketika menonton novel yang di-filmkan, pembaca kerap menemu-kan apa yang dibacakan tidak sama dengan apa yang dilihatnya. Harapan itulah yang membuat para penikmat novel kecewa karena menemukan ternyata terdapat perbedaan antara novel dan film yang ditontonnya. Ke-kecewaan itu biasanya menyangkut pemain yang tidak sesuai dengan harapan pembaca, alur yang berbe-da, bagian cerita yang dihilangkan, sampai akhir yang berbeda.

Damono (2005) mengungkap-kan “perbedaan yang sangat menda-

sar antara karya sastra dan film ialah pengembangan imajinasi pembaca dan penonton”. Saat membaca karya sastra kita bebas mengimajikan apa yang ada dalam teks, tentu saja hal ini berbeda jika kita menonton film yang gambarnya sudah tampak di depan mata. Contoh paling mudah saat kita membayangkan tokoh da-lam cerita Ronggeng Dukuh Paruk, Srintil misalnya. Sebelum difilmkan, setiap pembaca bisa saja memiliki imajinasi yang berbeda tetang sosok ronggeng yang terkenal akan kecan-tikannya di Dukuh Paruk, terlebih sampul buku tidak menggambarkan sosok konkret perempuan cantik. Akan tetapi, saat Ronggeng Duku Paruk difilmnya dan berubah judul-nya menjadi Sang Penari, imajinasi bebas mengenai sosok Srintil yang cantik pun hilang tergantikan den-gan sosok Srintil dalam film yang diperankan oleh Prisia Nasution. Terlebih lagi setelah film Sang Pena-ri, novel RDP dicetak ulang dengan cover buku yang menampilkan wa-jah Prisia Nasution (Srintil) dan Oka Antara (Rasus). Wajah aktor dan aktris tersebut seakan menggiring imaji pembaca bagaimana sosok Srintil dan Rasus.

Cerita dalam film pun bisa ber-beda dengan novelnya. Sutradara bisa “setia” dengan jalan cerita yang dibuat oleh penulis, namun bisa juga tidak. Misalnya, dalam TKVDW, kisah Hayati dan Zainudin berakhir menyedihkan. Setelah meninggal-nya Hayati di tragedi Van der Wijck, Zainudin terus meratapi kepergian kekasihnya itu hingga ia meninggal dan dimakamkan berdampingan dengan Hayati.

Kematian tokoh yang menjadi ciri khas penulis Balai Pustaka ini, tidak tampak dalam film. Di film

TKVDW sutradara terlihat ingin memberikan pesan moral baru ke-pada penonton. Dalam novel pesan Hamka terlihat jelas lewat satu ka-rangan yang dibuat Zainudin se-belum kepergiannya, “…dan akan tercapai juga kemuliaan bangsaku, persatuan tanah airku. Hilang pe-rasaan, perbedaan dan kebencian dan tercapai keadilan dan baha-gia.” Dalam film, kematian bukan lagi menjadi pilihan sutradara un-tuk menyadarkan penontonnya. Kepergian Hayati justru membuat Zainudin membangun hidupnya yang baru. Nama Hayati diabadikan menjadi pati asuhan, kecintaan Zai-nudin terhadap Hayati juga terlihat dari setianya ia menziarahi makam Hayati dan mengiriminya doa. Den-gan kata lain, sifat positif bangkit setelah jatuhlah yang ingin ditekan-kan oleh sutradara film. Perbedaan antara film dan novel itulah yang membuat guru sebaiknya tidak hanya meminta siswa menonton film, tapi juga membaca novelnya.

Menikmati Novel dan Film.

Novel dan film merupakan dua karya yang berbeda media dan cara menikmatinya. Membaca novel bisa dilakukan di mana pun dan kapan pun, tidak terikat ruang dan wak-tu. Hanya saja memang dibutuh-kan waktu yang relatif lama, untuk menamatkan sebuah novel tebal. Hal ini berbeda dengan kegiatan menonton film yang meskipun membutuhkan tempat dan waktu khusus, tapi selesai dalam waktu yang singkat (90 menit s.d. 120me-nit). Maka tidak mengherankan jika orang lebih suka menonton karena waktu yang singkat, lebih mudah, dan tidak menghabiskan banyak energi untuk berpikir. Dengan

embun

Page 71: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

71PUSAT NO. 08/2014

adanya alihwahana, sebuah karya dapat diapresiasi lebih luas, tidak hanya oleh pembaca tapi juga pe-nonton.

Pembelajaran sastra di sekolah selama ini dianggap membosankan karena guru hanya menjelaskan konsep-konsep dan istilah yang berkaitan dengan sastra. Konsep dan istilah tersebut kemudian di-hapal untuk dapat menjawab soal-soal ujian yang jawaban pilihan ganda. Hafalan tersebut ditambah dengan sederet nama sastrawan dan karyanya tanpa pernah mem-bahas salah satu karya tersebut. Indikator keberhasilan pembelaja-ran tersebut apabila siswa menda-pat nilai sesuai standar kelulusan. Gambaran pembelajaran sastra di atas kaku, tidak menarik 5

Untuk mencapai fungsi karya sastra yang menyenangkan dan bermanfaat, pembelajaran sastra di sekolah harus bertumpu pada kegiatan apresiasi. Kegiatan men-gapresiasi karya sastra diantaranya mengenali, memahamai, menikma-ti, dan menerapkannya dalam kehi-dupan.

Proses pertama, mengenali bisa dilakukan dengan mencari tahu siapa pengarang karya yang sedang kita baca serta karekteristiknya saat menulis serta. Proses menge-nali film pun sama. Hanya saja saat memilih bacaan, pembaca fokus pada “siapa penulisnya”, sedang-kan saat menonton film penonton tidak hanya fokus pada “siapa sut-radaranya” tapi juga “siapa pemai-nnya”. Sebagai awalan, guru bisa meminta siswa mencari diinternet siapa pengarang dan sutradara dari

novel dan film yang akan dibahas di kelas.

Kegiatan apreasi berikutnya memahami karya sastra. Cara paling efektif memahami karya sastra ia-lah membaca tuntas novelnya. Agar siswa mau membaca, guru harus mampu meyakinkan siswa bahwa novel yang dibacanya menarik dan perlu dibaca. Misalnya, ketika guru menugaskan siswa membaca TKV-DW, guru harus memiliki wawa-san siapa Hamka, mengapa perlu membaca TKVDW, sampai penting-nya karya tersebut dalam fase per-juangan bangsa. Untuk memahami struktur intrinsik pembangun ce-rita guru dan siswa bisa mengajak siswa berdiskusi untuk membed-ah satu per satu unsur instrinsik tersebut. Selesai membedah novel, guru bisa menugaskan siswa un-tuk menonton film TKVDW. Sekali lagi guru harus menekankan pada siswa bahwa kegiatan menonton film tidak bisa menggantikan ke-giatan membaca novel. Setelah me-nonton diskusikan kembali dalam kelas mengenai film yang telah di-tonton. Guru bisa memancing siswa dengan pertanyaan mana yang le-bih menarik novel dengan filmnya? Apa perbedaan dan persamaan an-tara keduanya? Bagaimana hubun-gan antara novel dan film dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini.

Fase berikutnya ialah menikma-ti karya sastra berarti pembaca me-rasakan pengalaman yang menye-nangkan setelah menamatkan karya sastra. Pengalaman tersebut diharapkan mampu memperkaya batin siswa. Tujuan akhir dari apre-siasi sastra di sekolah ialah mene-

rapkannya dalam kehidupan serta meneruskan nilai-nilai kebaikan yang didapat setelah membaca dan menonton karya, sehingga fungsi karya sastra yang menyengkan dan bermanfaat “dulce et utille” dapat tercapai.

Catatan1 Selain alihwahana dikenal pula is-

tilah ekranisasi yang merupakan proses pelayarputihan (perubahan) dari novel ke film (Enester, 1991). Baik ekranisasi ataupun alihwaha keduanya bisa digunakan, hanya saja pengertian ekranisasi hanya fokus pada perubahan novel ke film, sedangkan alihwahana lebih luas karena mengacu kepada berbagai perubahan bentuk karya seni.

2 Belenggu karya Armijn Pane difilm-kan dengan judul Antara Bumi dan Langit oleh Huyung (1951), Atheis karya Achdiat K. Mihardja difilm-kan oleh Sjuman Djaya (1975) den-gan judul yang sama, Roro Mendut karya YB Mangunwijaya, difilmkan dengan judul yang sama oleh Ami Prijono (1982), Ca Bau Kan karya Remy Silado, difilmkan oleh Nia Di-nata (2002), Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, difilmkan den-gan judul Sang Penari (2011).

3 Pada 6 November 2013 RCTI me-nayangkan TVM berjudul “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” yang merupakan hasil alihwana dari cer-pen Seno Gumira Ajidarma

4 Sebulan setelah dirilis, film ini masih diminati oleh penikmat film terbuk-ti dengan masih diputar nya film di berbagai bioskop di Indonesia.

5 Ahmad Bahtiar, Membangun Karak-ter Siswa Dengan Apresiasi Sastra Di Sekolah makalah disampaikan pada seminar nasional “Pembelajaran Sastra di Sekolah” yang diselengga-rakan oleh Jurusan Pendidikan Ba-hasa dan Sastra Indonesia, UIN Sya-rif Hidayatullah Jakarta, 2011.

embun

Page 72: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

72 PUSAT NO. 08/2014

MPengantar

Menata bangsa bukan hanya bisa dilakukan melalui orang yang me-miliki kemampuan memimpin seperti para negarawan, politisi, penegak hukum, atau aparat pemerintah, melainkan juga bisa dilakukan melalui bukan orang (sistem, ideologi) seperti dasar negara, hukum, perundang-undangan, kearifan lokal, dan berbagai bentuk produk pemikiran serta karya budaya, termasuk susastra. Apakah penataan bangsa melalui susas-tra bukan sesuatu yang mengada-ada, tidak mungkin, atau dicari-cari? Pertanyaaan cerdas ini bisa kita cari jawabnya. Susastra, sebagai salah satu produk kebudayaan, peradaban, dan keberadaban tentunya bukan sesuatu yang hadir sendirian. Susastra hadir bersama zaman dan manusia yang berusaha memaknai perjalanan zaman terkait.

Semangat untuk menampilkan susastra sebagai salah satu sarana un-tuk menata orang, komunitas, atau bangsa senyatanya sudah dilakukan se-jak berabad-abad yang lalu, sebelum manusia menciptakan, dan mengenal aksara. Mereka memanfaatkan tradisi lisan yang mengusung pesan-pesan mulia sebagai rujukan untuk menata kehidupan bermasyarakat. Sete-lah manusia mengenal tradisi tulis, pikiran dan fatwa pujangga yang de-kat dengan pusat kekuasaan dan masyarakat seringkali menjadi rujukan yang terkait dengan bagaimana sebuah kekuasaan, pemerintahan atau masyarakat dikelola agar tumbuh dan berkembang menjadi entitas atau

PUMPUNAN

Menata Bangsa Melalui Susastra

AYU SUTARTO

Page 73: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

73PUSAT NO. 08/2014

kekuatan yang menata, tertata, dan bermanfaat.

Dalam era kebebasan ber-ekspresi ini sebagian penyair Indo-nesia beramai-ramai memanfaat-kan puisi sebagai sarana untuk menata bangsa. Kegiatan yang pa-ling baru adalah menerbitkan buku kumpulan puisi yang berjudul Puisi Menolak Korupsi. Antologi puisi ini mengatasnamakan penyair Indone-sia, diterbitkan oleh Forum Sastra Surakarta. Adalah hak setiap insan, juga setiap penyair, untuk memilih bentuk ekspresinya sendiri. Seti-ap penyair, apapun bentuk bahasa yang dipilih, sah hadir di tengah era pascamodern ini (Denny JA, 2012).

Korupsi bukan hanya menjadi musuh Indonesia, tetapi juga mu-suh dunia. Akibat maraknya tindak pidana korupsi di seluruh belahan bumi, pada tanggal 31 Oktober 2003, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (SU-PBB) menye-tujui Konvensi Anti Korupsi (United Nations Convention Againsts Cor-ruption). Pada saat yang sama, Si-dang Umum juga menetapkan tan-ggal 9 Desember sebagai Hari Anti Korupsi Sedunia (International Anti Corruption Day) guna menumbuh-kan dan memacu kesadaran untuk mencegah dan melawan korupsi (Poernomo, 2013:157).

Makalah ini menguak kenyataan bahwa susastra Indonesia, baik li-san maupun tulis, telah mencoba memberi sumbangan yang berarti bagi penataan masyarakat, negeri, dan bangsa. Kata “menata” dalam konteks ini bukan hanya mengan-dung makna mengatur, memper-baiki, berpartisipasi, mendukung, menerima, atau mengakui, tetapi juga mengandung makna menggu-gat, mengoreksi, memberi kritik,

masukan, gagasan, dan berbagai bentuk pikiran yang konstruktif yang dilakukan melalui cara atau laku tertentu. Antologi puisi yang bertajuk Puisi Menolak Korupsi akan dijadikan contoh betapa para penyair Indonesia telah memilih jalan untuk menata bangsa melalui puisi. Meski belum menjadi sebuah gerakan besar, gejala ini patut men-jadi catatan.

Bangsa, Puisi, dan Partisipasi

Apakah suatu negeri, dan apa bedanya dengan suatu bangsa? Apa-kah suatu bangsa harus berada da-lam suatu negeri? Inilah pertanyaan yang belum usai, dan jawabannya juga belum usai. Amerika adalah bangsa dari banyak bangsa (the nation of nations) dan Indonesia adalah bangsa yang bhinneka tun-ggal ika. Melihat gejala politiko-kul-tural yang dialami Amerika Serikat dan Indonesia, maka yang disebut bangsa adalah sebuah entitas mis-tis yang tersusun dari banyak ke-lompok etnik, yang dalam konteks Indonesia, kelompok-kelompok et-nik tersebut disebut suku bangsa. Suku-suku bangsa ini menyatu da-lam apa yang disebut civic nation. Dari kacamata politiko-kultural konsep-konsep seperti “bangsa” (nation), “negara” (state), “negeri” (country), “masyarakat” (society) dan “rakyat” (people) seringkali disamaartikan. Tetapi, yang paling mengundang perdebatan, menurut Geertz, adalah pasangan konsep “negeri” dan “bangsa”. Jika kedua entitas ini disamaartikan, konsep “negeri” akan dimangsa oleh kon-sep bangsa, karena sebuah negeri seolah-olah hanya dihuni oleh satu bangsa saja. “Bangsa” sering diarti-kan sebagai kumpulan orang yang

memiliki bahasa, darah, sejarah, dan tanah yang sama, dan “nege-ri” sebagai wilayah dari kumpulan orang itu. Dalam arti ini, negeri me-rupakan arena politis, tempat inte-raksi sosial ditata, peluang-peluang hidup dan sumber-sumber produk-tif dibagi-bagikan, sedangkan bang-sa adalah kekuatan politis yang be-rada dalam wilayah itu (Hardiman dalam Kymlicka, 2002:vii).

Setiap bangsa memiliki ke-budayaan yang seringkali diberi label kebudayaan bangsa atau ke-budayaan nasional. Kebudayaan ti-dak bisa ditafsirkan sepihak untuk semata-mata memberikan tekanan kepada kesenian, kesusastraan, bahasa, atau apa saja yang mengu-sung estetika. Kesenian dan karya sastra sebagai produk kebudayaan oleh para pendukungnya dicitakan sebagai sarana pembersihan nura-ni suatu masyarakat (katarsis sosial dan politik) dan dengan demikian menjadi wahana perubahan adalah bagian dari kebudayaan. Demikian juga bahasa, sebagai alat berpikir adalah bagian dari kebudayaan yang dimiliki Indonesia (Wahid, 2001:2). Oleh karena itu, susast-ra yang menggunakan bahasa se-bagai mediumnya dimungkinkan menjadi entitas yang sentral untuk menggambarkan, memahami, dan menata bangsa beserta mimpi-mimpinya. Dengan kata lain, upaya menata bangsa melalui karya sastra bukan cuma isapan jempol.

Denny JA (2012), seorang pecin-ta puisi dan penulis puisi, men-gidamkan sebuah medium yang menyentuh hati, yang bisa mem-buat pembacanya mendapatkan pemahaman tentang sebuah isu so-sial, walau sangat sedikit. Beberapa kriteria yang ditawarkan adalah

pumpunan

Page 74: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

74 PUSAT NO. 08/2014

(1) medium itu harus menyentuh hati dengan cara mengeksplor sisi batin, dan mengekspresikan inte-rior psikologi manusia kongkret; (2) medium itu harus memotret manusia dalam suatu event sosial, sebuah realitas kongkret juga yang terjadi dalam sejarah. Tak terhin-dari sebuah riset dibutuhkan untuk memahami realitas sosial itu. Tak terhindari juga catatan kaki men-jadi sentral dalam medium itu; (3) medium itu harus ditulis dalam bahasa yang mudah dimengerti publik luas, tapi tersusun indah; (4) medium itu harus menggambar suatu dinamika sosial atau dinami-ka karakter pelaku. Tak terhindari medium itu menjadi panjang dan berbabak. Medium yang dimaksud adalah puisi.

Semangat untuk menjadikan puisi sebagai bagian aktif dalam permasalahan krusial masyarakat dan mengolah tema-tema zaman telah mencuat sejak lama. Seman-gat untuk menghadirkan puisi bu-kan hanya sebagai perpanjangan dari pandangan umum atau stigma umum yang hidup di masyarakat, melainkan menguji semuanya da-lam kehidupan partikular mereka yang terlibat, tampaknya bukan barang aneh lagi. Semangat untuk mengenali dengan sebaik-baiknya objek atau tema yang hendak ditu-lis sebagai puisi, baik melalui riset maupun pengamatan intensif sud-ah sering ditawarkan. Semangat untuk terlibat dengan fakta keras dalam fenomena sosial yang dide-rita masyarakat Indonesia yang ter-pinggirkan oleh berbagai kedegilan juga sudah sering diteriakkan. Pui-si, pada awal dan akhirnya, adalah komunikasi (Sarjono, 2012).

Korupsi adalah lepra sosial

yang ganas, cepat menular, dan ke-jahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang bisa merobohkan sen-di kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak ada bangsa atau negara yang dapat berjaya, apabila korupsi dibiarkan merajalela. Ko-rupsi, seperti kita tahu, adalah kan-ker ganas yang dekat dengan oto-ritas atau kekuasaan. Di mana ada kekuasaan, di situ virus korupsi di-tengarai dapat bertumbuh, seperti yang dinyatakan Lord Acton, Power tends to corrupt “kekuasaan selalu cenderung korup, culas.” Tidak ada kekuasaan yang terbebas dari vi-rus ini (Mas’udi dalam Poernomo, 2013:v).

Berita tentang korupsi di Indo-nesia seperti kisah 1001 malam, tak kunjung berakhir. Turunnya peringkat IPK tahun 2012 ini me-nunjukkan bahwa lima penyakit korupsi di Indonesia (korupsi po-litik, penegakan hukum, perizinan, pengadaan barang, dan pelayanan publik) senyatanya belum diatasi dengan baik. Komisi Pemberanta-san Korupsi sebenarnya memiliki telah prestasi yang bagus. Sejak 2004 hingga saat ini, KPK telah menangani tindak pidana korupsi sebanyak 332 kasus. Pelaku korusi sangat beragam, dari pengusaha, penegak hukum, anggota legislaif, duta besar, kepala lembaga atau ke-menterian, hingga gubernur, bupa-ti, dan wali kota. Besarnya partisi-pasi masyarakat dalam memberan-tas korupsi terlihat dari banyaknya pengaduan masyarakat yang diteri-ma KPK , yakni sebanyak 55.964 la-poran (Santosa dalam Zulkifli dkk, 2013:106).

Buku kumpulan puisi yang ber-judul Puisi Menolak Korupsi senya-tanya menjawab tawaran dan ha-

rapan seperti yang telah dilontar-kan Agus R Sarjono dan Denny JA. Dalam antologi ini kemarahan dan kritik pedas terhadap profesi guru yang sekarang tidak bisa digugu “diikuti/dipatuhi” dan ditiru “dija-dikan contoh” tercermin dalam pui-si Acep Syahril, yang berjudul “guru yang tertidur di buku sejarah”. Si-mak larik-larik berikut ini.

guru-guru belia itu hidup dan tertidur di buku-buku sejarahbangsa lain yang kadang bermimpi dan mabuk lalu keluar dariruh sejarahnya sendiri berjingkrakan di antara erangan musikyang mengeluarkan bau bangkai gibson tapi aneh guru-gurubeliau itu bangga menghisapnya padahal di paru-paru merekatidak hanya ada saman kunaun tortor atau krinok yang sejak lamamenidurkan puncak-puncak merapi sabang dan bukit siguntang namunlucunya guru-guru belia itu kian hari semakin bertambah angkuhdan bangga menciumi pantat babi sambil menari-nari denganmengibarkan keyakinannya dan berucap banggakami juga sama pandainya dengan mereka meski hanya denganmenjiplak meniru dan mencuri kehebatan merekakoplok

Larik-larik yang pahit. Padahal pepatah mengatakan “guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Jika guru rusak, murid-muridnya ber-tambah rusak. Guru seringkali di-posisikan sebagai sosok yang akan mewarnai masa depan.

Kritikan pedas dalam Puisi Me-nolak Korupsi juga ditujukan kepa-

pumpunan

Page 75: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

75PUSAT NO. 08/2014

da sosok-sosok yang menggunakan agama sebagai instrumen untuk memperkaya diri ditulis oleh Ah-madun Yosi Hefranda dalam pu-isinya yang berjudul “Musang Ber-bulu Agama.” Begitu banyak sosok yang fasih mengucapkan ayat suci, tetapi moralnya sangat berlawanan dengan pesan-pesan yang diusung ayat-ayat tersebut. Perhatikan la-rik-larik ini.

Jika musang berbulu dombaBerbahaya bagi anak ayamYang tak tahu kapan akan diterkamJika musang berbulu agamaBerbahaya bagi semua anak bangsaYang tak sadar tiap hari dimangsaKarena si musang berpeciDan fasih mengucap ayat suci

Bangsa akan rusak dan te-rancam oleh sosok musang yang berbulu agama. Kemunafikan se-jatinya bukan hanya akan meng-hancurkan diri sendiri, tetapi juga akan menghancurkan orang lain.

Selanjutnya, dalam puisinya yang berjudul “Pengakuan Seo-rang Wakil Rakyat” Aloysius Slamet Widodo menyindir getir para wa-kil rakyat yang perilakunya tidak mewakili rakyat. Di lembaga terhor-mat ini tindakan dan pikiran wakil rakyat dikatakan bukan berorienta-si kepada kepentingan rakyat, teta-pi kepada uang untuk kepentingan dirinya dan partainya. Pesan dalam puisi ini senyatanya merupakan ra-hasia umum. Simak larik-larik yang direnda Aloysius Slamet Widodo berikut ini.

Kesalahanku menjadi wakil rakyatkarna pengin kerjaan dan kekayaan

pengin dikenal rakyat dan dipilih lagipadahal ongkos jadi wakil rakyat itu milyarantuk membayar uang muka ke partai sebagai calegtuk membuat pamflet, baliho dan pentas dangduttuk serangan fajar membayar para pemilihmembayar petugas pengawas di setiap tempat pemilihan hampir 5 milyar kukeluarkandan 70 persen pinjamantak ada kata lain untuk melunasi, ... ya korupsi!

Kritikan kepada wakil rakyat memang sangat gencar. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang senyatanya harus melindungi dan membela kepentingan rakyat se-ringkali melakukan perbuatan yang melukai perasaan rakyat. Tahun 2011 lalu, misalnya rakyat dibuat marah oleh sikap keras kepala DPR untuk membangun gedung baru, meskipun mendapatkan penolakan luas oleh masyarakat. Sebelumnya, publik juga sempat heboh ketika KPK menahan 26 anggota dan man-tan anggota DPR dalam dugaan ko-rupsi cek pelawat. Cek pelawat ter-sebut diberikan kepada sejumlah anggota DPR sebagai imbalan un-tuk mendukung figur tertentu da-lam seleksi Deputi Gubernur Bank Indonesia. Banyak politisi senior yang ditahan oleh KPK gara-gara kasus ini (Widoyoko, 2013:4).

Sebuah negeri akan menjadi bangkrut apabila birokratnya ada-lah politisi yang tak punya hati, dan politisinya adalah birokrat yang tak paham komitmen dan dedikasi. Jika jabatan hanya menjadi kendaraan untuk untuk memupuk kekayaan,

kedengkian dan kemarahan yang menghancurkan akan menjadi pi-lihan. Mari kita tengok larik-larik Beni Setia dalam puisinya yang ber-judul “Genetika Korupsi, 3.”

kata-kata birokrat kata-kata politisisatu maknanya: sudahkah korupsi?

dan kita? melulu cangkrukan. ngoplosnganggur dengan dengki dan amarah

Korupsi adalah perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh priba-di-pribadi yang mengaku beragama dan sering menyebut nama Tuhan karena agama senantiasa member-ikan pencerahan, dan tidak pernah mengajarkan kejahatan. Hanya se-tan dan siluman saja yang meraya-kan kejahatan. Dalam kaca mata Irma Yuliana, jika warga suatu ne-geri merayakan kejahatan, maka negeri yang menaunginya akan berubah menjadi sebuah negeri si-luman. Perhatikan juga larik-larik dalam puisi Irma Yuliana yang ber-judul “Negeri Siluman” berikut ini.

negeriku, negeri silumanhidup di sini mengerikanmeski semuanya mengaku berimanmengaku bertuhan!

negeriku, negeri silumansemua siluman, menjelma hewansiluman buaya, merajasiluman ular, mengakarsiluman babi, menjadi-jadi

Lagi-lagi, dalam antologi puisi

yang berjudul Puisi Menolak Korup-si ini, mereka yang mengaku bera-

pumpunan

Page 76: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

76 PUSAT NO. 08/2014

gama, tapi bermental bobrok, di-tohok keras melalui puisi. Perilaku yang sama sekali tidak mencermin-kan nilai-nilai keagamaan sekarang ini dinilai tampak makin subur dan senantiasa menjadi sorotan publik. Agama seakan-akan hanya menjadi topeng untuk menutupi wajah yang bopeng. Simak puisi Radhar Panca Dahana yang berjudul “Kamar 608, Hotel M.”

ahh... denting anggur memecah merdumelon kristina. tubuh mengilap tanpa kaintanpa sungkan berenang di ranjang:“pagi ini, kita tentukan kepala keuanganmalam nanti kita ketuk palu presiden,mitnait, haus musik dan janda sinetron.”

dan besok pagi, upacara agama“hahaha.....”

Kutipan larik-larik dari puisi yang terkumpul dan antologi pu-isi Puisi Menolak Korupsi di atas menunjukkan bahwa sejatinya susastra tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Memisahkan susas-tra dari masyarakat tak ubahnya memisahkan umpan dari kailnya; sesuatu yang sia-sia untuk mempe-roleh manfaatnya.

Di dalam teori sosiologi susas-tra hubungan antara susastra den-gan masyarakat dipahami tidak secara langsung, melainkan melalui berbagai mediasi. Bahkan sering-kali ditegaskan bahwa hubungan keduanya timbal balik. Pengaku-an atas kompleksitas hubungan tersebut tidak dengan sendirinya meniadakan susastra sebagai vari-abel tergantung, yakni gejala kedua yang eksistensinya ditentukan oleh masyarakat. Susastra tetap diperla-kukan sebagai lembaga sosial yang tidak mempunyai otonomi dan mempunyai kemungkinan untuk

mengandung sifat formatif terha-dap masyarakat (Faruk, 2010:130). Oleh karena itu, memisahkan susas-tra dari masyarakat agaknya akan merupakan upaya yang sia-sia.

Simpulan

Apabila kegiatan menulis puisi untuk menata bangsa ini berlan-jut, maka gerakan seperti ini akan menjadi gerakan lembut yang diha-rapkan dapat menjadi virus mental untuk memperbaiki kondisi dan situasi, terutama fenomena poli-to-kultural yang membelit bangsa. Penciptaan puisi yang dilakukan melalui riset, pengamatan, pen-galaman, dan juga menggunakan sumber primer dan sekunder yang terkait dengan gejala zaman akan memperoleh perhatian dari para pengelola dan pengambil kepu-tusan karena pesan yang diusung dalam puisi seperti itu senyatanya terkait dengan tugas dan kewaji-

pumpunan

Page 77: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

77PUSAT NO. 08/2014

bannya. Meskipun mengusung pe-san keras dan tajam, dan mungkin akan dibenci oleh mereka yang merasa menjadi sasaran, susastra tidak akan pernah membenci dan melukai.

Saya sejatinya tidak tahu ada beberapa ribu orang Indonesia dari sekitar 240 juta jiwa yang membaca puisi. Pasti angka itu tidak signifi-kan. Tetapi, yang jelas, sekarang ini banyak anak-anak muda Indonesia yang gemar menulis puisi, dan itu bisa dimanfaatkann untuk mena-ta negeri dengan sebagai gerakan lembut. Pertanyannya, adakah pen-gelola negeri atau decision makers “pengambil keputusan” yang mem-baca puisi? Dalam peradaban pasar ini puisi memang hampir ditinggal-kan publik karena ia sama sekali tidak memberi manfaat ekonomis. Tetapi saya masih berharap bahwa puisi yang bisa membaca tanda-tanda zaman dengan bagus dan menyentuh pasti tidak akan diabai-kan oleh masyarakatnya, termasuk oleh pengelola negeri dan pembuat keputusan. Buku kumpulan puisi yang berjudul Puisi Menolak Korup-si senyatanya merupakan langkah yang menjanjikan bagi gerakan menata bangsa melalui susastra. Sebuah perlawanan lunak terhadap moral yang selingkuh.

Pustaka

Dahana, Radhar Panca. 2009. “Ka-mar 608, Hotel M” dalam Leak. Puisi Menolak Korupsi. (hlm. 300). Surakarta: Forum Sastra Surakarta.

Damono, Sapardi Djoko dkk. 2005. Membaca Romantisisme Indone-sia. Jakarta: Pusat Bahasa De-partemen Pendidikan Nasional.

Denny JA. 2012. “Puisi Esai, Apa dan Mengapa” dalam Jurnal Sa-jak. Nomor 3 Tahun II.

Herfanda, Ahmadun Yosi. 2009. “Musang Berbulu Agama” da-lam Leak. Puisi Menolak Korupsi. (hlm. 31). Surakarta: Forum Sas-tra Surakarta.

Kymlicka, Will. 2003. Kewargaan Multikultural. Jakarta: LP3ES.

Leak, Sosiawan dkk. (ed.). 2013. Pu-isi Menolak Korupsi. Surakarta: Forum Sastra Surakarta.

Mas’udi, Masdar Farid. 2013. “Ko-rupsi Kejahatan Luar Biasa” Pen-gantar dalam Poernomo. 2013. Berani Korupsi itu Memalukan. Depok: Imania.

Machali, Lennon. 2012. “Dinding Pengadilan Goyah” dalam Leak. Puisi Menolak

Korupsi. (hlm. 262). Surakarta: Fo-rum Sastra Surakarta.

Poernomo, Soen’an Hadi. 2013. Be-rani Korupsi itu Memalukan. De-pok: Imania.

Quayum, Mohammad A dan Nor fa-ridah Abdul Manaf (ed.). 2009. Writing a Nation Essays on Ma-laysian Literature. Malaysia: In-ternational Islamic University Malaysia.

Santosa, Mas Achmad. 2013. “Se-puluh Tahun KPK” artikel dalam Zulkifli, dkk (ed.). 2013. KPK Tak Lekang. Jakarta: PT. Gramedia.

Sarjono, Agus R. 2012. “Puisi Esai Sebuah Kemungkinan Sebuah

Tantangan” dalam Jurnal Sajak. Nomor 3 Tahun II.

Setia, Beni. tt. “Genetika Korupsi, 3.” dalam Leak. Puisi Menolak Korupsi. (hlm. 120). Surakarta: Forum Sastra Surakarta.

Sutarto, Ayu. 2004. Menguak Pergu-mulan antara Seni, Politik,Islam, dan Indonesia. Jember: Kompyawisda Jatim bekerjasa-ma dengan Pemprov Jatim.

Syahril, Acep. 2012. “guru yang tertidur di buku sejarah” dalam Leak. Puisi Menolak Korupsi. (hlm. 11). Surakarta: Forum Sas-tra Surakarta.

Tim Penyusun. 2003. Jagat Bahasa Nasional, Pandangan Tokoh ten-tang Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pen-didikan Nasional.

Wahid, Abdurrahman. 2001. Pergu-latan Negara, Agama, dan Kebu-dayaan. Jakarta: Desantara.

Widarmanto, Tjahjono. 2011. Na-sionalisme Sastra. Sidoarjo: Sa-tukata.

Zulkifli, Arif dkk. (editor). 2013. KPK tak Lekang. Jakarta: PT. Gra-media.

Widodo, Aloysius Slamet. 2012. “Pengakuan Seorang Wakil Rakyat”. dalam Leak. Puisi Meno-lak Korupsi. (hlm. 49). Surakar-ta: Forum Sastra Surakarta.

Widoyoko, J. Danang. 2013. Oligar-ki dan Korupsi Politik Indonesia. Malang: Setara Press.

Yuliana, Irma. tt. “Negeri Siluman” dalam Leak. Puisi Menolak Ko-rupsi. (hlm. 214). Surakarta: Fo-rum Sastra Surakarta.

Page 78: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

78 PUSAT NO. 08/2014

Antologi cerpen Bulan Ke-babian berisi tiga cerpen pemenang dan tujuh belas

cerpen nominasi Sayembara Me-nulis Cerpen Tingkat Mahasiswa Se-Indonesia 2011 yang diselen-ggarakan UKM Belistra (Bengkel Menulis dan Sastra) Untirta serta lima cerpen pilihan Belistra Award. Antologi yang menyajikan 25 ceri-ta pendek ini cukup menjanjikan. Dengan beragam tema, para penulis muda dari kalangan mahasiswa ini menyajikan unsur kejutan, humor, dan misteri serta menyelipkan la-tar sejarah dan peristiwa-peristiwa aktual dalam cerpen-cerpennya.

Judul antologi ini diambil dari

judul cerpen pemenang, “Bulan Kebabian” karya Eko Triono. Ke-unggulan cerpen pemenang ini terletak pada kemampuan Eko mengolah cerita yang berlatarkan keadaan sosial masyarakat dengan memasukkan unsur-unsur sosial dan politik yang terjadi di masya-rakat. Sindiran-sindiran halus ten-tang kondisi sosial politik masuk ke dalam cerita dan menjadi salah satu unsur pembangun cerita. Gaya penceritaan Eko memperlihatkan adanya pengaruh karya-karya sast-ra yang mungkin menjadi acuannya dalam menulis.

Karya-karya lainnya tidak dapat dipandang remeh. Salah satunya

adalah “Saksi” karya Zakiya Sab-dosih yang sangat menarik. Zakiya dengan piawai mengajak pembaca mengikuti deskripsinya yang seder-hana di awal cerita. Pelan tapi pasti, ia berhasil mengiring pembaca pada persoalan. Unsur kejutan di akhir cerita berhasil membuat penonton mengerutkan kening. Penceritaan yang ditulis dengan sudut pandang seorang anak kecil dan penggunaan ungkapan-ungkapan Belanda yang memperkuat latar tempat yang di-pilih menjadi kelebihan lain cerpen ini.

Cerpen “Surat untuk Izrail” juga menarik untuk dibaca. Cerpen ini mampu memberikan sentu-han komedi “gelap” yang membuat pembaca tersenyum dan bahkan mungkin tertawa. Pembaca dapat menikmati keseluruhan cerita yang terjalin dari kelucuan-kelucuan. Ak-hir cerita yang mengandung unsur kejutan dan menggantung menjadi kekuatan lain cerpen ini. Jenis akhir cerita yang menggantung biasanya mampu memberi kesan lebih dalam bagi para pembaca karena mampu mengusik rasa penasaran pembaca.

PUSTAKA

Judul : Antologi Cerpen Bulan KebabianPenyunting : Niduparas ErlangTebal : 225 halamanPenerbit : BelistraTahun Terbit : 2011

DINA ALFIYANTI

Bulan Kebabian: Prospek Karya Sastra Berkualitas dari Kampus

Page 79: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

79PUSAT NO. 08/2014

Keberanian beberapa penulis muda ini pun layak untuk diapresi-asi. Mereka berani menulis dengan latar di luar Indonesia dan menggu-nakan kata-kata dari bahasa daerah atau asing. Cerpen “Malaikat Rumah Rahwa” yang menggunakan latar In-dia dan memasukkan unsur-unsur India dalam penceritaan memberi-kan keunikan tersendiri walaupun sebenarnya tema cerita dapat di-gunakan di latar Indonesia. Serupa dengan “Malaikat Rumah Rahwa”, “Kembang Turi” dan “Tenggok” yang berlatar Jawa menawarkan unsur-unsur kejawaan yang khas.

Beberapa penulis juga menun-jukkan keberanian untuk menulis menggunakan latar sejarah, seperti cerpen “Gambalu” yang mengguna-kan latar sejarah masa perlawanan rakyat melawan penjajah Belanda tahun 1765 di Rengat dan Kampung Tambak yang kini termasuk dalam wilayah Riau. Dari awal pembaca digiring untuk memahami situasi saat itu melalui gambaran tentang pertempuran-pertempuran yang terjadi dan pengalaman yang harus dijalani para tahanan. Namun, ak-hir cerita mungkin mengecewakan beberapa pembaca karena puncak konflik ternyata sedikit menyentuh latar kesejarahan yang telah di-bangun dari awal. Jika saja Ahmad memberikan akhir cerita yang ber-sifat epik, mungkin cerpen ini da-pat menjadi salah satu cerpen yang diunggulkan.

Keseluruhan cerpen juga tak lepas dari unsur-unsur humanisme yang menjadi bahan utama pem-bangun dan penguat cerita. Perma-salahan-permasalahan cinta, hu-bungan kekeluargaan, kepercayaan terhadap takhayul yang beredar di masyarakat, dan hubungan ant-

armanusia dengan segala konflik sosial yang sering terjadi di ma-syarakat menjadi tema-tema yang membuat mereka menarik untuk dituangkan dalam cerpen.

Keberanian para penulis muda ini dalam memilih tema dan ke-mampuan mereka menjalin un-sur-unsur cerita menjadikan buku ini layak dibaca. Kejutan di akhir cerita serta unsur-unsur realitas masyarakat yang ada dalam cerita menjadi kekuatan tersendiri dalam sebuah penulisan cerpen. Kemam-puan mereka dapat dikembangkan lebih jauh hingga dapat menghasil-kan karya-karya sastra yang dapat dinikmati masyarakat dan memili-ki ciri khas penulisan di kemudian hari.

Banyak kegiatan sastra dan kompetisi-kompetisi penulisan cer-pen dilakukan. Sayembara penuli-san cerpen yang diadakan UKM Be-listra Untirta ini dapat menjadi sa-

rana untuk memperkenalkan sastra ke dunia mahasiswa dan sekaligus membuktikan makin terangkatnya sastra di lingkungan kampus. Kom-petisi-kompetisi penulisan cerpen atau karya-karya sastra lainnya per-lu digalakkan untuk menemukan bakat-bakat penulis yang mampu menghasilkan karya-karya sastra bermutu yang dapat dinikmati ma-syarakat luas. Di lain pihak, kompe-tisi-kompetisi ini juga dapat menja-di sarana memasyarakatkan sastra dan menggalakkan budaya menulis dan membaca di masyarakat.

Bulan Kebabian adalah buk-ti bahwa produk sastra berkuali-tas masih bersumber dari centre of excellence, lingkungan kampus. Sembari berharap bahwa karya ini adalah tonggak kreativitas yang berkelanjutan dan bukan–mengu-tip Chairil Anwar-sekali berarti sud-ah itu mati.

pustaka

Page 80: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

80 PUSAT NO. 08/2014

Persoalan apresiasi dan kri-tik sastra di Indonesia, se-lalu menjadi perbincangan

dan perdebatan yang sepertinya tak pernah selesai. Membanjirnya karya sastra, baik yang terbit di me-dia cetak setiap Sabtu atau Minggu, atau yang terbit dalam bentuk buku, tak dibarengi dengan lahirnya para penulis apresiasi atau kritik. Pad-ahal, apresiasi maupun kritik, bisa menjadi alat ukur kualitas karya yang dihasilkan para sastrawan, meskipun sifatnya sangat relatif.

Prosais A.S. Laksana mengata-kan, “Dengan kritikus yang sungkan bersuara karena berbagai sebab dan dengan nyaris tidak adanya media atau jurnal untuk kritik sastra yang sungguh-sungguh, du-

nia penulisan kita akhirnya hanya melahirkan raja-raja dan ratu-ratu kecil dengan para pemuja masing-masing, melahirkan pesohor media sosial yang lama-lama hanya memi-liki kesanggupan menerima suara tunggal, ialah pujian: “Amazing”, atau “Dahsyaaaaat, Masbro!”, atau “Sebuah romansa nan indah”. Saya tidak begitu yakin sastra Indonesia bisa maju di tangan para raja dan ratu semacam itu.” (http://www.facebook/aslaksana?fref=ts, 2 De-sember 2013).

Di tengah minimnya karya apresiasi dan kritik tersebut, tetap ada orang-orang yang serius berku-tat di bidang ini meski jumlahnya tidak banyak. Buku Pelangi Sastra: Ulasan dan Model-model Apresiasi

(Palagan Press, Pekanbaru, Janua-ri 2013), adalah salah satu bukti bahwa apresiasi dan kritik sast-ra belum benar-benar mati. Buku yang ditulis Drs. Agus Sri Danarda-na M. Hum. paling tidak menjadi sa-lah satu jawaban banyaknya premis yang mengatakan bahwa “kritikus telah mati”.

Dalam pengantarnya, Danar-dana menjelaskan, upaya yang di-lakukannya untuk menerbitkan kumpulan esai sastranya itu adalah melihat kenyataan dunia kritik sas-tra (dalam hal ini apresiasi masih masuk dalam wilayah kritik sastra) kita yang masih gersang. Artinya, dibandingkan dengan wilayah stu-di sastra lainnya seperti teori sas-tra dan sejarah sastra yang sudah banyak ditulis oleh banyak orang, kritik sastra cenderung menja-di wilayah yang sedikit disentuh, baik oleh para akademisi maupun penggiat kritik sastra. Hal ini tidak sebanding dengan membanjirnya karya sastra yang lahir, yang ter-nyata tak dibarengi dengan lahir-nya banyak kritikus.

Kalangan akademisi yang diha-rapkan menjadi bagian penting da-

Judul : Pelangi Sastra: Ulasan dan Model-model ApresisiPenerbit : Palagan Press PekanbaruTahun Terbit : Januari 2013Tebal : 272 + viiiGenre : Kritik Sastra

DESSY WAHYUNI

Keberagaman Apresiasidalam Pelangi Sastra

pustaka

Page 81: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

81PUSAT NO. 08/2014

lam dunia apresiasi dan kritik sas-tra, belum memperlihatkan dirinya secara signifikan. Mereka menjadi-kan kajian terhadap karya sastra hanya sebagai bagian dari tugas-tu-gas rutin, belum menjadikannya se-bagai “tugas utama” yang menegas-kan bahwa masyarakat memerlu-kan apresiasi dan kritik sastra yang baik, dan itu sebenarnya menjadi tugas masyarakat sastra, terutama yang berkutat di bidang apresiasi dan kritik. Kalangan perguruan tinggi atau akademisi merupakan salah satu yang utama dan paling diharapkan dalam hal ini.

Sebagai upaya apresiasi terha-dap karya sastra, Danardana men-jelaskan, ada upaya “perebutan” makna karya sastra yang memang tak akan bisa mencapai taraf ob-jektif, tetapi berupaya untuk me-lakukan tafsir-tafsir yang memang akan berbeda antara tafsir seo-rang kritikus dengan kritikus lain-nya terhadap satu karya. Artinya, bahwa upayanya untuk melakukan tafsir banyak karya yang ditulisnya dalam buku ini hanyalah salah satu alternatif tafsir dan pemahaman, yang siapapun boleh menerima dan menolaknya, serta boleh memi-liki tafsir lainnya yang bukan tidak mungkin akan melahirkan karya kritik lainnya.

Terdapat 32 esai sastra yang terangkum dalam buku setebal 272 halaman ini. Selain membahas tentang esai-esai umum yang ber-hubungan tentang apresiasi sastra seperti tentang kondisi pengajaran sastra di sekolah terkini, mengapa

apresiasi dan kritik sastra perkem-bangannya lamban di Indonesia, hingga bermacam-ragam sastra dari sastra bandingan hingga pen-tingnya sastra dalam kehidupan kita, Danardana banyak menulis apresiasi karya dengan berbagai pendekatan. Hampir semua genre sastra dibahasnya. Baik itu karya novel, cerita pendek, sajak, maupun naskah dan pementasan teater.

Buku ini juga menggambarkan bahwa selain karya sastra Indo-nesia secara luas, terlihat Danar-dana juga mencoba mendalami karya-karya sastra lokal, terutama Riau. Beberapa tulisan yang khu-sus membahas karya sastra Riau di antaranya “Belajar ‘Membaca’ Frag-men Waktu” (hal. 67), “Keris Ta-meng Sari” (hal. 107), “Mewacana-kan Sajak ‘Karena Kalian Gunung, Kami pun Menjelma Jadi Angin’ Karya Fakhrunnas MA Jabbar” (hal. 155), “Peluru Olyrinson” (hal. 177), “Perahu Rapuh Idrus Tintin” (hal. 183), “Tafsir Jebat dan Mitos Glo-balisasi” (hal. 225), dan “Amuk Tun Teja dalam Bayang-bayang Globali-sasi” (hal. 241).

Dalam “Perahu Rapuh Idrus Tin-tin”, Danardana mencoba memban-dingkan sajak Idrus Tintin berjudul “Perahu” dan sajak Hamzah Fansu-ri “Syair Perahu”. Dia menyimpul-kan ada keterpengaruhan “Perahu” oleh “Syair Perahu”, tetapi Danarda-na melihatnya sebagai sesuatu yang jamak. Dua sajak tersebut memiliki kekuatan masing-masing.

Di bagian lain, dalam “Peluru Olyrinson”, Danardana membahas

cerpen-cerpen anak muda Riau itu yang terangkum dalam kumpulan Sebutir Peluru dalam Buku ([SPdB] 2011). Danardana menulis: Keuni-kan lain (yang sekaligus menjadi ke-kuatan) SPdB adalah cara penyajian cerita. Tema-tema hidup keseharian orang kecil yang tragis-realis di hampir keseluruhan cerpen dalam SPdB dikemas dalam ironi-ironi pe-nuh kejutan. Membaca SPdB, den-gan demikian, ibarat berselancar di laut bebas. (hal. 181).

Dalam tulisan “Mewacanakan Sajak ‘Karena Kalian Gunung, Kami pun Menjelma Jadi Angin’ Karya Fakhrunnas MA Jabbar”, Danarda-na melihat kepedihan yang dira-sakan Fakhrunnas dalam bait-bait syairnya. Danardana menulis: Fak-hrunnas, sebagai pengarang dan putra Melayu (Riau) yang memiliki kepedulian tinggi atas keberadaan dan nasib puak Melayu, dapat di-pastikan tidak terbebas dari semua peristiwa dan perubahan kondisi so-sial budaya yang terus terjadi dalam masyarakat itu (hal. 165).

Dalam buku ini, Danardana selain melihat ada sisi lemah dari sebuah karya, Danardana dalam buku ini juga menjelaskan sisi ke-lebihannya. Dengan analisis yang dilakukannya ini Danardana me-nemukan banyak hal dari karya itu, termasuk tafsir yang berbeda dan membuat sang pengarang yang ka-rangannya dibahas kemungkinan besar tak pernah membayangkan kalau karyanya menghasilkan tafsir yang berbeda tersebut***

pustaka

Page 82: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

82 PUSAT NO. 08/2014

Ketika saya membaca novel Si Parasit Lajang (SPL) se-pintas SPL seperti novel

Indonesia yang lain. Ternyata sete-lah membaca dari halaman perta-ma sampai halaman terakhir den-gan cermat, SPL rada unik. Selain memuat “Pengantar” dan “Prolog”, serta “Epilog”, SPL terdiri atas tiga bagian, yaitu “Kedai”, “Rumah”, dan “Perjalanan” serta dilengkapi “Sum-ber Tulisan” dan sekaligus “Terima-kasih” dari pengarang. Lebih unik lagi tokoh dalam SPL adalah tokoh saya (perempuan muda urban) dan beberapa nama tokoh yang dapat di-jumpai di dunia nyata (Sahal, Franz Magnis Suseno, Alex Lanur, Norvan Pecandupagi, Bill Clinton, Ayatollah Khomaini, Che Guevara, Sukarno,

Soeharto, Osama). Memang, se-bagian dari nama-nama tersebut sekadar hanya terucap dari mulut tokoh dan tidak hadir dalam cerita. Sempat sejenak saya berpikir, apa-kah SPL merupakan “autobiografi”, “catatan buku harian”, atau sebuah “novel baru”. Rangkaian cerita SPL tidak sekuensis, tetapi meloncat satu sama lain. Di dalam ketiga ba-gian cerita, yaitu “Kedai”, “Perjala-nan”, dan “Rumah” subbagian cerita bagai potret-potret yang satu sama lain tidak berhubungan dan tidak membangun sebagai cerita utuh. Memang, ditilik dari sisi sudut pandang tokoh saya, cerita-cerita kecil itu merupakan pengalaman pribadi, sekaligus sikap tokoh saya, reaksi tokoh saya, serta pandangan

tokoh saya terhadap peristiwa yang dialaminya dengan teman di kedai, sahabat di perjalanan, serta ibu dan anggota keluarga lain, termasuk pembantu rumah tangga di rumah. Sekilas saya teringat pada novel-no-vel karya Iwan Simatupang (Ziarah, Kering) dan novel atau cerpen karya Budi Darma (Olenka). Sang Tokoh bebas berpikir dan dengan “egois” bebas menanggapi apa yang dilakukan tokoh lain. Sejenak kita tengok Ayu Utami pengarang novel SPL. Karya pertama perempuan no-velis itu adalah Saman. Sementara itu Ayu Utami pun semakin pro-duktif karena berturut-turut telah melahirkan novel Larung (Dwilogi dengan Saman), Seri Bilangan Fu (Manjali dan Cakrabirawa serta La-lita), dan trilogi (Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, Pengakuan Eks Si Parasit Lajang).

Cerita merupakan esensi dari sebuah cerita rekaan. Berdasarkan pemahaman itu, SPL dapat digo-longkan sebagai genre cerita re-kaan. Dari kutipan pertama yang saya cuplik, tersurat dan tersirat bahwa antara narator dan penga-rang diperankan oleh orang yang

Judul : Si Parasit LajangPengarang : Ayu Utami Penerbit : PT Gramedia, 2013Tebal : xviii + 201 halaman

............................

Novel Si Parasit LajangAyu Utami

pustaka

Page 83: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

83PUSAT NO. 08/2014

sama. Namun, dalam hukum “pem-bacaan” suatu teks sastra, pembaca harus mampu memilah antara du-nia fiksi dan dunia nyata. Upaya pengarang untuk memfiksikan dirinya sebagai tokoh utama se-kaligus sebagai narator, meskipun kurang lazim, masih dapat dibenar-kan dalam sebuah cerita rekaan. Penikmat sastra Indonesia tentu mengetahui bahwa novel Saman di-tulis oleh Ayu Utami.

Ketika itu saya telah menulis no-vel pertama saya, Saman. Novel itu laku keras dengan heboh, selain mendapat hadiah sastra. Novel itu laku keras dengan heboh, selain mendapat hadiah sastra. Novel itu malah telah beredar sebelum di-terbitkan, dianggap memperluas batas cakrawala sastra Indonesia. Pokoknya suatu debut yang suk-seslah (2013:7).

Kutipan di atas menyuratkan dan menyiratkan bawa tokoh saya identik dengan pengarang novel itu, yakni Ayu Utami.

Setelah peristiwa demi peris-tiwa dalam SPL diikuti, sebagai pembaca saya tergoda untuk men-gatakan bahwa SPL merupakan no-vel yang data empiriknya berasal dari buku harian dan sekaligus me-rupakan hasil pengamatan, reaksi, atau sikap narator (tokoh saya) ter-hadap berbagai aspek kehidupan. Bahkan, sempat terbesit dalam be-nak saya bahwa novel SPL merupa-kan sebuah autobiografi.

Isu yang diungkapkan dalam Si Parasit Lajang (SPL) berkisar ten-tang kehidupan makhluk santai. Mereka punya cita-cita dan kreati-vitas mereka cukup tinggi. Beker-ja, menulis, berdiskusi, pokoknya setiap hari sibuk. Namun, di sisi

lain, mereka cenderung santai dan masa bodoh untuk urusan rumah. Karena mereka banyak mengetahui sesuatu, baik dari proses belajar secara formal (di kelas) maupun informal (dalam pergaulan kese-harian dengan komunitas mereka), sosok seperti tokoh saya telah men-gabaikan sifat gotong royong yang sudah teruji dan dianut oleh nenek-moyang mereka.

Saya pernah kenal feminis Jepang. Katanya, berdasarkan riset te-mannya, kebanyakan perempuan Jepang yang karirnya maju tidak menikah. Dan wanita demikian umumnya tetap numpang di ru-mah orangtua mereka, rumah yang tak perlu mereka openi sebab ada ibu yang mengerjakan itu, dan ayah yang tak rela membiarkan gadisnya sendirian. Ia menyebut mahkluk begini, barangkali juga dirinya sendiri, single parasite. Te-pat! Itulah saya, si Parasit Lajang. Numpang di rumah orangtua, tak bayar listrik, pagi bermain, siang bekerja, malam menulis, tanpa

mikir memberi makan anjing dan mencuci mobil. Siapa saya bagi Ibu kecuali benalu? (2013:27).

Cara mereka mengemukakan pandangan, mengambil sikap, dan memutuskan sesuatu tentang kehi-dupan dilakukan dengan lugas, te-tapi terkesan ekstrem. Logika men-jadi landasan utama bagi mereka itu. Adat istiadat sepertinya mereka anggap sebagai penghambat atau paling tidak akan mengekang kebe-basan pribadi seseorang. Bahkan, agama dalam pandangan mereka hanya merupakan simbol-simbol dogmatis yang harus dihargai, teta-pi tidak harus dijalankan dalam ke-seharian (2013:139). Sebagai ilust-rasi dapat diperhatikan sikap tokoh saya tentang perkawinan.

Ibu saya adalah makhluk terind-ah. Ia begitu beda dari saya. Ia tak pernah berganti pacar. Saya ganti pacar lima kali (di luar yang lima tak terhitung pacar). Ia percaya bahwa menikah adalah jalan hi-

pustaka

Page 84: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

84 PUSAT NO. 08/2014

dup terbaik manusia, kecuali jika orang menjadi suster atau bi-arawan. Saya percaya bahwa ber-keluarga itu bagus buat orang lain (2013:78).

Jadi, apa sebenarnya “berke-luarga” itu? Kenapa orang-orang begitu kepingin melakukannya, pa-dahal setelahnya mereka berubah menjadi budak “tanggungjawab”? (2013:184). Tokoh saya tidak men-gangap jelek perkawinan, tetapi secara pribadi tokoh saya tidak mengharuskan perkawinan den-gan berbagai argumentasi. Men-gapa harus menikah kalau setelah mempunyai anak tidak mampu menghantarkan anaknya ke pintu kebahagiaan (2013:36). Mengapa seorang perempuan harus mem-punyai suami kalau perempuan itu harus bergantung kepada si suami dalam segala hal.

Hm, Aneh. Begini. Semua orang religius setuju bahwa perkawinan itu sakral. Nah! Tidak semua orang harus menjadi imam atau pendeta, kan. Tugas itu sakral. Jadi, kenapa pula semua orang harus jadi ayah atau ibu, suami atau istri? Kalau kita melihat perkawinan sungguh sebagai lembaga yang sakral, justru seharusnya kita tidak membiarkan sembarang orang memasukinya. Apalagi mengharuskan orang-orang yang tidak pantas menja-lankannya ... Jadi, kita memang tidak bisa melarang orang untuk menikah. Tapi kita juga harus tahu bahwa ada orang-orang yang tidak cocok untuk menikah. Nah. Karena kita tidak boleh melarang maka untuk membatasi pernikahan dari orang yang tidak kapabel, seba-iknya kita juga tidak mewajibkan semua orang menikah. Dengan demikian, biarlah, orang belajar menyadari sendiri apakah dia san-

ggup atau tidak mengemban tugas mulia itu (2013:37--38).

Pembagian peristiwa dalam SPL terdiri atas (1) kedai, (2) ru-mah, dan (3) perjalanan. Ketiga tempat itu merupakan ruang uta-ma dalam kehidupan tokoh saya. Pengulangan tersebut menyirat-kan bahwa isu perkawinan sangat penting didiskusikan bagi tokoh saya dan hal itu sebenarnya sudah tersurat dalam judul novel, yakni Si Parasit Lajang.

Maksud saya begini. Berkeluarga itu kan tidak boleh main-main. Sekali kamu menikah, sebaiknya kamu tidak cerai. Sekali kamu punya anak, kamu tidak bisa me-masukkannya lagi ke dalam perut dan mengurainya kembali kepada sperma dan sel telur. Berkeluar-ga adalah kontrak seumur hidup. Artinya, yang mampu silakan melakukannya. Saya sih merasa tidak mampu. Jika suatu tugas dipaksakan kepada yang tidak ca-kap, hasilnya adalah kekacauan. Perceraian, perselingkuhan, sa-ling sambit dalam keluarga, dan anak-anak yang broken home. Saya kira semua itu terjadi karena perkawinan diwajibkan sehingga lembaga yang seharusnya sakral itu justru jatuh ke tangan orang-orang yang tak bertanggungjawab (2013:36)

Argumentasi yang diungkapkan tokoh saya, sangat masuk akal. Pot-ret kehidupan keluarga (khususnya keluarga muda) masa kini memang cenderung memudahkan persoalan yang muncul dalam keluarga mere-ka. Sedikit perselisihan atau keti-dakakuran antara suami dan istri, banyak yang memilih jalan pintas, yaitu perceraian. Akibatnya, jelas

anak menjadi korban keegoisan orangtua. Apalagi berkaitan dengan superioritas pria terhadap perem-puan yang terungkap dalam sistem poligami. Tokoh saya bersikap je-las, anti poligami meskipun tokoh saya melihat rasionalisasi di balik perkawinan-ganda itu. (2013, xiv—xv). Tokoh saya lebih menikmati hubungan pertemanan yang ikhlas dengan lawan jenis, apalagi kalau pria tersebut lucu, berwawasan, dan menjalin pertemanan tanpa pamrih. Apalagi kalau teman atau sahabat itu mempunyai hobi yang sama (2013:12). Keterbukaan sikap tokoh saya itu terkadang mencuat-kan situasi yang kurang lazim diti-lik dari aspek moral (yang berlaku di sebagian masyarakat. Tokoh saya bebas menginap di hotel dengan te-man atau sahabat prianya, bahkan tidur sekamar. Tokoh saya berkeya-kinan bahwa selama lelaki mengan-ggap keinginan pria tersebut secara baik-baik.

Saya tidak canggung untuk ti-dur sekamar dengan lelaki yang saya kenal. Saya percaya mereka, lelaki, adalah manusia. Sejauh mereka melihat perempuan se-bagai manusia juga, mereka tidak akan memperkosa. Mereka bo-leh memberi tanda atau bahkan mengungkapkan bahwa mereka ingin bercinta, tetapi sejauh me-reka tidak memaksa, mereka se-lalu bisa ditolak dengan baik-baik (2013:103).

Pembagian peristiwa dalam SPL terdiri atas (1) kedai, (2) rumah, dan (3) perjalanan. Ketiga ruang itu sangat istimewa bagi tokoh saya sebagai tempat untuk menimba pengalaman hidup, sekaligus pem-belajaran hidup dan selanjutnya

pustaka

Page 85: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

85PUSAT NO. 08/2014

ikut membentuk kepribadian tokoh saya dalam menyikapi setiap per-soalan hidup.

Di kedai ini kami mencoba meng-hargai manusia lepas dari se-kat-sekat identitas. Di kedai ini kejantanan diusahakan tidak dianggap sifat yang lebih unggul dibanding sifat-sifat lain. Di kedai ini orang mencoba tidak hirar-kis. Ya. Mencoba tidak hirarkis. Itu penting, saudara-saudara ... (2013:11).

...Saya sudah jelas. Saya memutus-kan untuk tidak menikah. Kena-panya telah dijelaskan dalam “10 + 1 Alasan untuk Tak Kawin”. Si Gofur rupanya mirip saya juga. Dia agak jengkel dengan adat-istiadat yang mengharuskan manusia me-nikah dan tak memberi alterna-tif lain yang sama terhormatnya. Seperti saya, Gofur punya tenaga khusus untuk membikin keki ke-luarga. Kami mau bilang bahwa manusia tidak harus menikah un-tuk bisa jadi normal dan baik-baik saja. Sedang si Ming Dao? Ming Dao tampaknya juga tidak terta-rik pada pernikahan. Setidaknya, ia tidak merencanakan hidup ber-keluarga dalam waktu dekat ini (2013:136).

Komunikasi antara tokoh saya dan tokoh yang lain justru sangat kental terjalin ketika mereka nong-krong di kedai atau ketika mere-ka seperjalanan menuju ke suatu tempat. Pematangan identitas diri semakin mengeristal di kedua lingkungan itu. Titik pertemuan tentang suatu isu, misal, mengenai

perkawinan mengerucut di tempat itu. Secara tegas mereka menolak perkawinan dengan argumenta-si masing-masing. Bagi seseorang yang menganut pemikiran konser-vatif, baik dari aspek agama, sosial-kemasyarakatan maupun hukum, sikap tokoh saya, Gofur, dan Ming Dao bisa dianggap terlalu moderat dan tidak lazim.

Kalimat awal pada kutipan be-rikut (“Rumah”) menyiratkan suatu pengakuan dari tokoh saya terha-dap harmoni yang selama ini ber-hasil dibangun oleh ibu tokoh saya. Selanjutnya, pada kalimat kedua dan kalimat ketiga, jelas tampak ba-gaimana tokoh saya “menghargai” perbedaan, dan sekaligus ingin ber-beda dari orang lain. Sebuah contoh baik yang secara konsekuen dila-kukan oleh ibunya dengan mem-bangun keluarga harmonis, belum mampu mengubah sikap dan pan-dangan hidup tokoh saya terhadap perkawinan.

Ibu saya adalah mahkluk terind-ah. Ia begitu beda dari saya. Ia tidak pernah berganti pacar. Saya ganti pacar lima kali (di luar yang lima tak terhitung pacar). Ia percaya bahwa menikah adalah jalan hidup terbaik manusia, kecuali jika orang menjadi suster atau biarawan. Saya percaya bahwa berkeluarga itu ba-gus buat orang lain (2013:78).

Frasa menjadi suster atau bi-arawan digunakan sebagai per-kecualian sekaligus keistimewaan bagi seseorang yang berprofesi se-perti itu untuk diperbolehkan tidak kawin. Dengan demikian, tersirat bahwa orang kebanyakan, bukan

suster atau biarawan, dianggap ma-sih akan berbuat dosa dan menodai makna perkawinan. Pro dan kotra terhadap perkawinan ternyata sud-ah mengglobal di seluruh belahan dunia. Jika muncul suatu keyakinan bahwa agama mampu membimbing setiap manusia untuk menghargai manusia yang lain, keyakinan itu masih perlu diuji lebih lanjut.

Suatu hari di Jepang saya ber-selisih pendapat dengan seorang kawan. Dia: ibu satu putri, istri yang mandiri, editor sebuah koran yang sukses, seorang Budhis yang saleh. Saya: tanpa anak, tanpa su-ami, editor sebuah jurnal yang tak laku, dan orang katolik yang tidak beres. Kami berdebat tentang bu-daya kapitalis yang menyebabkan wanita menjadi objek seks. Kawan saya percaya bahwa agama me-rupakan alternatif terbaik untuk menghapus objektivikasi terhadap perempuan. Saya, sudah bisa dite-bak, tidak percaya (2013:160).

Kutipan di atas semakin mem-perjelas kita bahwa seberapa jauh tokoh saya berpegang teguh pada sikapnya untuk menuntut perem-puan memiliki kesetaraan terha-dap laki-laki secara hukum dalam berbagai hal, khususnya tentang perkawinan. Novel SPL layak di-baca, baik sebagai bukti kebebasan dalam proses kreatif dari seorang pengarang (perempuan) Indonesia maupun sebagai upaya pengayaan literer bagi pembaca sastra, penga-mat sastra, serta peneliti sastra di Indonesia. []

Page 86: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

86 PUSAT NO. 08/2014

SECANGKIR TEH

Terlahir dengan nama Goe-nawan Soesatyo Mohamad di Batang, Jawa Tengah, pada

tanggal 29 Juli 1941. Dalam perja-lanan hidupnya sebagai intelektual berhaluan keras, terbuka, dengan berbagai profesi telah dijalaninya. Profesi itu tidak jauh dari diskusi dan menulis sejak mudanya.

Sejak kelas 6 Sekolah Rakyat, mas Goen, akrab dipanggil, telah menyenangi siaran puisi RRI. Pada usia 17 tahun, mulai menulis di me-dia, dengan salah satunya menerje-mahkan puisi penyair wanita Ame-rika, Emily Dickinson. Mas Goen mulai awal belajar formal d Fakul-tas Psikologi, Universitas Indone-sia. Kemudian belajar Ilmu Politik di Belgia, dan menerima Fellowship di Harvard University, membentuk keluarga dengan Widarti, dikaruni-ai 2 orang putra.

Kreativitas Mas Goen tidak tanggung-tanggung. Tahun 1971, mendirikan majalah Tempo, sekali-gus dia menjadi Pemimpin redaksi, dan menulis kolom. Kolomnya ten-tang agenda politik, ekonomi, seni, dan kadang mengulas buku sastra. Bahkan, majalah ini yang menye-

Goenawan Mohamad

Page 87: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

87PUSAT NO. 08/2014

barkan paham Jurnalisme sastra. Kumpulan karya kolomnya di ma-jalah Tempo ini dibukukan sendiri, dalam beberapa jilid, berjudul Ca-tatan Pinggir,terbit sampai bebe-raapa jilid.

Produktivitas dan kreativitas mas Goen, tidak hanya pada tulisan esai yang melihat persoalan dunia itu bercarut-marut dalam simbiosis politis dan kerakusan. Semua harus dipandang dari satu sisi, yaitu Is-lam, yang mutlak.

Apakah dari kemutlakan itu tumbuh karya-karya perenungan. Ternyata juga muncul berbagai kumpulan puisi. Kumpulan pu-isinya, Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradhana (1992), Mis-alkan kita di Sarajevo (1998). Sete-lah itu muncul terbitan sajak leng-kap 1961-2001 (2001), kemudian seleksi puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, oleh Laksmi Pamuntjak berjudul Selected Poems GM (2004).

Mas Goen sebagai penyair me-renungi dunia berbagai hal. Namun satu hal yang tidak dilupakannya, etnisitasnya sebagai orang Jawa. Wayang dan Tembang adalah kebia-saan ningrat Jawa, untuk mencapai ketentraman jiwa yang abadi.

Sikap mandita sebenarnya pi-lihan, namun banyak urusan du-nianya, adalah urusan politik, dan sikap hidup. Ini tercermin dalam kumpulan esai kecilnya, ada 16 esai, terkumpul pada buku Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai (2007). Buku ini kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Laksmi Pamuntjak dengan judul, On God and Other Unfinished Things.

Karya esainya, yang cerdik, ta-jam, menggelitik, namun juga me-

lawan, membuatnya harus mundur dari pemimpin redaksi majalah Tempo, (1999), namun sebagai ke-rajaan bisnis media, Tempo tetap saja mengembangkan sayap, bu-kan sekedar majalah, tetapi muncul koran harian Tempo. Koran ini mengurai banyak hal dalam pros-es perjalanannya. Satu yang tidak lepas dari kekhasan Tempo adalah esainya yang tajam. Produk inilah yang membuat Tempo majalah dan Tempo koran menjadi berbeda.

Kreativitas mas Goen tidak di-ragukan lagi. Ketika medianya di-berangus, dikalahkan oleh Hukum, mas Goen berkreasi dengan men-didik generasi berikutnya dengan membentuk jiwa dan sikap berani. Sikap berani ini juga menjadi bera-ni bersikap. Sikap awalnya mem-bentuk Aliasi Jurnalisme Indepen-den (AJI) dan mendidik generasi berikutnya dengan adanya Institut Studi Arus Informasi (ISAI) adalah tindakan yang berani menjelang tu-runnya presiden Soeharto.

Bahkan di antara pergulatan politikitu, mas Goen terus bergerak dalam dunia kesenian. Lompatan-nya membuat membuat kelompok seni bersama Tony Prabawa dan Jarrad Powel memuat libretto unuk opera Kali, yang dimainkan tahun 1996, kemudian direvisi bebrapa kali. Diepntaskan di wilayah Ame-rika, yaiu di Seattle (2000), New York (2006). Opera berdasar puisi Goenawan, dipentaskan di Tokyo (2006), juga mnjadi ofisial grup un-tuk gamelan Sekar Jaya di Berkeley.

Bersama Sudjiwo Tedjo, menu-lis teks wayang bahasa Indonesia Wisanggeni (1995), dan dengan da-lang Slamet Gudono, menulia dan mementaskan, Alap-alapan Surti-kanthi (2002).

Mas Goen tetap berkarya, labo-ratorium intektualnya terus berja-lan bak lokomotif. Tempat kreatif-nya di “Komunitas Utan Kayu” terus melawan pemberangusan ekspresi. (Trias Yusuf)

Page 88: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

88 PUSAT NO. 08/2014

“Bahwa tradisi kuno kita ialah, agar kita menguasai

lautan, bahwa negara kita hanya bisa menjadi

besar dan kuat jikalau ada persatuan perhubungan

penguasaan yang mutlak atas lautan.”

(Bung Karno, 6 Januari 1961)

Abstrak

Indonesia sudah lama dikenal sebagai bangsa maritim atau bangsa bahari. Akan tetapi,

konsep-konsep bahari yang terkan-dung dalam berbagai tradisi lisan-nya hampir tidak pernah diteliti. Hal ini membangkitkan pertanyaan tentang keseriusan bangsa ini da-lam mengembangkan visi sebagai sebuah bangsa maritim, sebuah

bangsa yang hidup dengan men-gandalkan laut, juga dalam hal es-tetikanya.

Makalah ini bermaksud menya-jikan berbagai mitos dan pandan-gan dari berbagai kawasan Nusan-tara tentang laut untuk mencoba merekonstruksi konsep bahari bangsa Indonesia. Bagi sebagian be-sar masyarakat Nusantara, laut bu-kanlah alam bagi manusia. Banyak-nya kisah mistis tentang hantu laut dan berbagai misteri laut membuat masyarakat Nusantara tidak dapat beradaptasi dengan laut.

Dalam tulisannya berjudul “Laut: Sebuah Pola Pikir,” Ignas Kleden (2004) menegaskan bahwa laut, se-perti juga darat, merupakan sebuah pandangan dunia, sebuah weltansc-hauung. Sebagai sebuah pandangan hidup, laut sebagai tanda terwujud dalam berbagai penanda dan petan-da, antara lain mitos, legenda, dan

tradisi lisan tentang laut. Masyara-kat Nusantara khususnya dan dunia pada umumnya memiliki berbagai kekayaan tradisi lisan yang men-gungkap tentang laut.

1. Pendahuluan

Kondisi geo-politik kepulauan-kepulauan Nusantara menunjuk-kan bahwa bangsa ini merupakan bangsa bahari. Menurut data tahun 2004, Indonesia memiliki sekitar 17.500 pulau, sekitar 6.000 di an-taranya belum berpenghuni tetap (Taum, 2006). Menyadari bahwa sepertiga wilayah geografis Indo-nesia adalah lautan, tidak dapat dibantah bahwa Indonesia adalah sebuah negara maritim. Semangat maritim memang sudah menggelo-ra di bumi pertiwi ini sejak zaman kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Pada zaman penjajahan, orientasi maritim dibelokkan menjadi orien-

mozaik

YOSEPH YAPI TAUM2

Berbagai Mitos tentang Laut: Mengungkap Konsep Bahari

Bangsa Indonesia1

Page 89: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

89PUSAT NO. 08/2014

tasi agraris. Memasuki zaman ke-merdekaan, berbagai upaya pun telah dilakukan oleh para pend-ahulu bangsa ini untuk kembali menggelorakan semangat maritim bangsa Indonesia, terutama pada masa pemerintahan Orde Lama. Pada tanggal 13 Desember 1957, diumumkan sebuah deklarasi yang dinamakan Deklarasi Juanda yang menyatakan kepada dunia bahwa Indonesia menganut prinsip-prin-sip negara kepulauan (Archipela-gic State) sebagai sebuah wawa-san nusantara.3 Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya, luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² men-jadi 5.193.250 km².

Dalam kebudayaan populer, kita mengenal sebuah lagu anak-anak yang mengingatkan bangsa kita se-bagai sebuah bangsa bahari.4 Banyak pertanyaan yang dapat diajukan. Benarkah bangsa kita adalah bangsa pelaut? Dari mana kita memastikan bahwa bangsa kita bangsa pelaut? Bagaimana cerita-cerita tentang ‘keberanian’ nenek moyang kita me-nantang gelora dan gelombang laut? Jika bangsa kita bukan bangsa pe-laut, bagaimana ribuan pulau-pulau di nusantara ini dapat disatukan? Akan tetapi, jika bangsa kita bangsa bahari, mengapa ‘darat’ lebih kuat daripada ‘laut’? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebuah kajian folklor yang lebih lengkap dan mendalam perlu dila-kukan. Tulisan ini dimaksudkan se-bagai sebuah pancingan awal untuk memulai proyek raksasa tersebut, membangun semangat kebaharian sebagai salah satu identitas keindo-nesiaan.

Berbagai Mitologi tentang Laut

Dalam berbagai mitologi Barat, laut lebih sering digambarkan se-bagai sebuah medan yang berba-haya, mengerikan, dan tidak selalu aman. Kisah-kisah para petualang tentang serangan makhluk-mak-hluk mistis dengan kekuatan gaib banyak kita dengar. Sebut saja misalnya mitos Flying Dutchman (Belanda), 5 mitos Odysseus dan Se-rena (Yunani),6 legenda kapal Mary Celeste (Amerika Serikat),7 misteri yang tak pernah terpecahkan ten-tang Segi Tiga Bermuda (Samudra Atlantik),8 serta Sosok Leviathan sebagai monster laut yang digam-barkan dalam Perjanjian Lama dan dalam kebudayaan populer Barat menunjukkan bahwa laut dihuni makhluk-makhluk misterius yang mengerikan dan tentu saja mena-kutkan. Dalam kebudayaan Barat, hampir tidak ada mitos tentang laut sebagai sebuah tempat yang penuh dengan pengharapan dan member-ikan kepastian hidup.

Jika laut, sebagaimana juga da-rat, merupakan sebuah pandangan dunia, weltanscahauung, seperti dikemukakan Ignas Kleden (2004), apa yang dapat kita simpulkan dari berbagai mitos dan cerita Barat tentang laut? Bangsa Barat pada prinsipnya bukanlah bangsa baha-ri yang mencintai dan hidup aman dengan laut.9 Pertanyaannya, men-gapa bangsa Barat terbukti mam-pu mengeksplorasi benua-benua baru dan pulau-pulau yang jauh melalui lautan yang berbahaya itu? Menurut hemat saya, keberhasilan mengarungi samudra dan lautan bergelombang bangsa Barat lebih disebabkan karena kekuatan obsesi dan rasionalitasnya daripada spirit kebahariannya. Mereka terobse-

si mencari dan menemukan pusat perdagangan rempah-rempah dan emas dunia dengan kepandaian ra-sionalitasnya ketimbang dorongan spiritualnya.

Fenomena yang berbeda terli-hat pada bangsa Indonesia. Bangsa ini (pernah) dikenal sebagai bang-sa bahari. Berbagai cerita dan mitos tentang laut dan kehidupan di lau-tan serta dinamikanya menggam-barkan laut memiliki daya tarik ter-sendiri. Kebesaran dan kedigdayaan bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari digambarkan dengan sangat baik melalui novel Arus Balik karya novelis besar Pramoedya Ananta Toer (2002). Majapahit dalam se-gala kemegahannya sebagai sebuah kerajaan maritim paling kuat di Nusantara, pernah memiliki arma-da-armada laut yang perkasa dan mempersatukan Nusantara ini se-bagai sebuah kekuatan bahari yang jaya. Bagi Pramoedya kekuatan citra bahasa Indonesia, berikut se-genap wawasan falsafah dan este-tiknya tertempa dan berkembang berkat wawasan kelaut annya yang berwatak luas menembus kedang-kalan dan kekerdilan. Sebagaimana juga kejayaan persatuan dan kesa-tuan Indonesia dilahirkan oleh ge-lora kebaharian – sebalik nya kawa-san-kawasan pedalaman agraris me ngungkung wawasan berpikir, cenderung membentuk watak ker-dil dan kemunafikan akibat tiada-nya sentuhan gemuruh gelombang lautan.

Akan tetapi, seperti dikemuka-kan Pramoedya Ananta Toer dalam Arus Balik, kedigdayaan armada-ar-mada laut yang pernah mempesona Nusantara, yang mengalirkan arus dari Selatan ke Utara itu sudah lama berbalik. “Arus berbalik, bukan lagi

mozaik

Page 90: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

90 PUSAT NO. 08/2014

dari Selatan ke Utara tetapi sebalik-nya dari Utara ke Selatan. Utara ku-asai Selatan, menguasai urat nadi kehidupan Nusantara. Perpecahan dan kekalahan demi kekalahan seakan menjadi bagian dari Jawa yang beruntun tiada hentinya sam-pai saat ini.” Sampai sekarang pun, Indonesia tak habis-habis nya dirun-dung masalah integrasi dan tersen-dat perkem bang annya, di sebabkan sebagai kekuatan bahari Indonesia sejak merdeka justru selalu dia-tur oleh kekuasaan ang katan darat dengan watak khasnya yang bukan saja tak kenal, malah meminggir-kan wawasan kebaharian.

Di tengah keterpurukan dan kemunduran bangsa Indonesia se-bagai bangsa ‘pedalaman’ ini, patut dikaji, diungkap, dan direvitalisasi-kan kembali jiwa dan spirit keba-harian bangsa Indonesia. Makalah ini dimaksudkan untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut. Tu-

juannya adalah membangkitkan ke-sadaran kolektif bangsa Indonesia tentang pentingnya pembangunan kawasan laut.

Konsep Laut Sebagai Ibu

Jika kita ingin mengkaji dan mengungkapkan bagaimana ‘laut’ diimaginasikan dalam kesadaran kolektif bangsa kita, pertama-tama kaitkan dengan konsep tanah air. Bangsa Indonesia menyebut tanah air sebagai “ibu pertiwi.” Dalam imaginasi bangsa Indonesia, laut pun merupakan ‘ibu’ dengan sega-la kelembutan, kasih sayang, dan pemberi kehidupan (lihat Sunin-dyo, 1998). Hal ini berbeda, misal-nya dalam sebagian besar bangsa Barat yang memandang tanah air-nya sebagai ‘ayah’ (fatherland) ta-nah kaum laki-laki.

Dalam pandangan berbagai et-nis di Indonesia, laut pada umum-nya dipandang sebagai ‘ibu’. Ber-

beda dengan mitologi Hindu yang memandang laut sebagai laki-laki (Dewa Waruna), di Indonesia (se-perti di Mesir) bahureksa laut men-dapat bentuk sosok perempuan. Seperti halnya bumi, tanah dan air, laut merupakan unsur pengandung - pelahir - dan penyusui kehidupan (lihat Setiawan, 1981). Masyarakat Pulau Buru selain mengenal Ina Kabuki, ratu yang bertahta di da-sar Teluk Kayeli, juga mempunyai tokoh Boki Ronja(ng), ‘pamali’ atau bahureksa sungai Wai Apu. Bentuk feminin ini barangkali juga karena, di hadapan langit, laut terletak di bawah. Dari dunia pedalangan se-ring kita dengar kata-kata, diucap-kan terhadap tokoh yang akan dike-nai senjata pamungkas: “tumengaa Bapa Angkasa, tumungkula Babu Pertiwi” (tengadahlah pada Bapa Langit, dan tunduklah pada Ibu Bumi”). Gagasan pemikiran demi-kian, bahwa “bapa” (laki laki) ada-

mozaik

Page 91: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

91PUSAT NO. 08/2014

lah langit, dan “ibu” (perempuan) adalah bumi, sesuai dengan konsep susunan bangunan lingga dan yoni.

Masyarakat nelayan Lamale-ra menyebut laut sebagai Ina Fae Belé (Lamaholot: Ina Fae (dari kata: Kefae atau Kfae. Lamaholot: Kewae/Kwae: Istri) Belé artinya: Ibunda yang maharahim. Masyara-kat Lamalera selama berabad-abad hidup dari hasil laut, terutama berburu ikan paus. Laut memiliki peran amat sentral dalam kehidu-pan orang Lamalera. Laut dengan demikian memiliki beberapa julu-kan atau sapaan. Dalam Sastra laut Lamalera, selain Ina Fae Belé, Laut juga disebut sebagai Sedo Basa Hari Lolo, ibunda yang maharahim, ma-hapengasih, bunda yang senantiasa mengandung, melahirkan, membe-sarkan memelihara anak-anaknya dengan menyediakan semua yang anak-anaknya membutuhkan. Da-lam nyanyian-nyanyian memanggil angin dan ungkapan-ungkapan adat ketika menangkap ikan paus, pari, hiu, dll, laut disebut dengan berba-gai nama, Ina Lefa (Bunda Lautan), Ina Soro Budi (Ibu yang memberi hatinya kepada anak-anaknya) (li-hat Nestorman, 2013).

Sebuah persoalan yang masih membutuhkan interpretasi adalah: apa makna simbol laut sebagai wa-nita? Ada dua kemungkinan. Per-tama, dalam konsep masyarakat di luar Pulau Jawa, perempuan dipa-hami sebagai pemberi dan pelin-dung kehidupan. Wanita lebih dim-aknai sebagai manusia yang lembut dan penuh kasih. Itulah sebabnya banyak sekali suku-suku bangsa di luar Jawa yang menjadi pelaut ulung (dengan kapal Phinisi) dan bahkan ada suku laut yang dikenal sebagai gypsi laut seperti suku Ba-

jao di Sulawesi Selatan. Laut juga dipahami sebagai ibu yang member kehidupan, seperti terlihat jelas da-lam legenda Bau Nyale masyarakat suku Sasak.

Kedua, dalam konseps Jawa, perempuan dipahami sebagai çakti yang dilukiskan sebagai maha he-bat dan selalu dilukiskan sebagai sesuatu yang “mengerikan”. Perha-tikan misalnya Sarpakenaka, Durga, dan Calon Arang (Setiawan, 1981). Jika perempuan dipahami dalam konsep ini, laut memiliki makna yang menakutkan. Orang menjadi takut untuk melaut. Akan tetapi, penting diperhatikan bahwa kon-sep Penguasa Laut Selatan muncul pada masa Mataram Senapati, di mana konsep gender sangat kuat, dengan perempuan dipandang se-bagai kekuatan pengayom. Konsep ini berbalik linea recta di zaman rezim militer Orde Baru Suhar-to, ketika (tubuh) perempuan dia pakai sebagai wahana dan sarana

untuk menghancurkan gerakan kiri khususnya dan gerakan rakyat umumnya.

Legenda Dewi Laut Nusantara

Dalam berbagai kebudayaan Nusantara, terdapat banyak cerita, legenda, dan mitos tentang adanya dewi laut. Dalam uraian ini hanya akan dikemukakan empat legen-da dewi laut dari wilayah Lombok, Aceh, Sumatra Utara, dan Jawa.

Dalam kehidupan darat, manu-sia menyadari peran penting Dewi Sri sebagai Dewi Padi atau dewi pemberi kehidupan. Kisah tentang Dewi Sri yang memberikan dirinya sebagai ‘padi’ bagi umat manusia dapat ditemukan dalam berbagai mitos dan legenda di tanah air. Se-balimnya, dalam kehidupan bahari, terdapat pula tokoh ‘penguasa laut’ yang memberikan memberikan dirinya sebagai makanan kepada umat manusia.

mozaik

Page 92: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

92 PUSAT NO. 08/2014

Masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok sampai saat ini menyim-pan sebuah legenda yang bernilai sakral tinggi tentang Putri Manda-lika, putri laut yang mengorban-kan dirinya dan menjadi santapan penduduk setempat. Dalam festival Bau Nyale (bau = menangkap; nyale = sejenis cacing laut yang menjadi bahan konsumsi masyarakat) yang berlangsung antara Februari dan Maret, masyarakat secara menga-gumkan dengan mudah mempero-leh nyale, sejenis cacing laut bera-neka warna yang tiba-tiba muncul ke permukaan air laut dalam jum-lah yang sangat banyak. 10

Putri Mandalika adalah seorang putri yang sangat arif dan bijak-sana. Ia adalah putri Raja Tonjang Beru dengan permaisurinya, Dewi Seranting yang memerintah di ne-geri Lombok. Wajahnya yang elok, tubuhnya yang ramping dan peran-gainya yang baik, membuat para pangeran dari berbagai negeri ber-keinginan untuk memperistrinya. Setiap pangeran yang datang mela-marnya, tidak ada yang ditolaknya. Namun, pangeran yang satu dan pangeran yang lainnya tidak mene-rima jika sang Putri yang cantik je-lita itu diperistri oleh banyak pan-geran. Hal inilah yang berpotensi menimbulkan perang. Hal ini pula-lah yang ingin dihindari oleh Putri Mandalika, seorang wanita yang mencintai kedamaian. Untuk men-ghindari perang dan pertumpahan darah, Putri Mandalika mencebur-kan dirinya ke laut dan muncul da-lam wujud nyale. Penduduk setem-pat percaya bahwa nyale itu adalah perwujudan Putri Mandalika yang telah mengorbankan dirinya bagi semua penduduk di sana, agar tidak terjadi perang dan pertumpahan

darah antara para pangeran hanya karena memperebutkan dirinya.

Persamaan struktur yang sangat mirip antara Legenda Dewi Sri (da-rat) dengan Legenda Putri Mandali-ka (laut) dapat membawa kita pada kesimpulan tentang kemiripan motif cerita.

Lenyapnya Dewi Sri dari kahyan-gan membuat Batara Guru, Anta, dan segenap dewata pun ber-duka. Akan tetapi sesuatu yang ajaib terjadi, karena kesucian dan kebaikan budi sang dewi, maka dari dalam kuburannya muncul beraneka tumbuhan yang sangat berguna bagi umat manusia.Dari kepalanya muncul pohon kelapa. Dari hidung, bibir, dan telinganya muncul berbagai tanaman rem-pah-rempah wangi dan sayur-mayur. Dari rambutnya tumbuh rerumputan dan berbagai bunga yang cantik dan harum. Dari payu-daranya tumbuh buah buahan yang ranum dan manis. Dari len-gan dan tangannya tumbuh pohon jati, cendana, dan berbagai pohon kayu yang bermanfaat; dari alat kelaminnya muncul pohon arena tau enau bersadap nira manis. Dari pahanya tumbuh berbagai je-nis tanaman bambu. Dari kakinya mucul berbagai tanaman umbi-umbian dan ketela; akhirnya dari pusaranya muncullah tanaman padi, bahan pangan yang paling berguna bagi manusia. Padi ber-beras putih muncul dari mata ka-nannya, sedangkan padi berberas merah dari mata kirinya. Singkat-nya, semua tanaman berguna bagi manusia berasal dari tubuh Dewi Sri Pohaci (Legenda Dewi Sri, dio-lah dari berbagai sumber).

Kemiripan struktur dan motif Legeda Dewi Sri dan Legenda Putri Mandalika terlihat dalam Tabel 1.

Kesamaan struktur kedua le-

genda ini memperkuat asumsi kita tentang kesatuan ‘tanah-air’ seba-gai ‘ibu pertiwi’ dalam imajinasi bu-daya masyarakat Nusantara. Berba-gai legenda tentang laut berikut ini juga secara eksplisit menyebut laut dan makhluk-makluk laut sebagai ‘ibu’.

Masyarakat Sumatra Utara dan Aceh bersama-sama mengenal se-buah legenda bahureksa laut yang perkasa, Legenda Putri Hijau (Dewi, 2013; Wikipedia, 2013). Putri yang dikenal sangat cantik rupawan ini menjadi penghuni menghuni se-buah negeri di dasar laut di sekitar Pulau Berhala. Ia mencari incaran dan ingin dilamar Raja Aceh tetapi ditolak. Merasa dihina, Raja Aceh menyerang benteng pertahanan Putri Hijau tetapi berkat kesaktian dua saudara kembarnya: Meriam Buntung dan Ular Simangombus, Putri Hijau dapat dilarikan mela-lui sebuah terusan (Jalan Puteri Hijau), memasuki sungai Deli, dan langsung menuju ke Selat Malaka. Hingga sekarang kedua kakak bera-dik ini dipercaya menghuni sebuah negeri dasar laut di sekitar Pulau Berhala.

Legenda penguasa laut yang pa-ling terkenal di tanah air adalah legen-da Ratu Laut Selatan yang terutama di-percaya masyarakat Jawa dan Sunda. Ada dua tokoh penting dalam legenda ini, yaitu Kanjeng Ratu Kidul (yang berasal dari Jawa) dan pembantu seti-anya yang bernama Nyai Roro Kidul (yang dipercaya berasal dari Sunda).

Tentang asal usul Kanjeng Ratu Kidul, ada banyak versi yang saling berbeda satu dengan yang lain (Re-sink, 1997; Wessing, 1997). Ada cukup banyak versi yang mengatakan bahwa Kanjeng Ratu Kidul adalah putrid dari Brawijaya, sebuah kerajaan di Jawa

mozaik

Page 93: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

93PUSAT NO. 08/2014

Timur, seperti dalam catatan Resink (1997) dan Setiawan (1981).

Sang Rara lahir dari dinasti Buda Kalacakra (Tantrayana), Mahara-ni (Kaisarina) Suhita dengan su-ami sang Aji Ratna Pangkaja, raja Tanah Malayu. Lara Kidul diam-bil menantu Brawijaya (Hyang Purwawisesa, Bre Wengker: 1456-66), dijodohkan dengan Raden Bondan Kejawan alias Kidang Te-langkas, putra hasil perkawinan-nya dengan Wandan Bodricemara (Resink, 1997, Setiawan, 1981).

Benarkah Kanjeng Ratu Kidul adalah anak manusia, sekalipun dia keturunan raja Brawijaya? Penjela-san Setiawan berikut ini benar-be-nar bersifat legendaris.

Tapi dongeng mengisahkan, bahwa Rara Kidul Dewi Nawan-gwulan tersebut bukan putri Ma-harani Suhita – Aji Ratna Pangka-ja. Ia salah satu dari tujuh bidada-ri yang tidak bisa mengangkasa kembali, gara-gara busananya dicuri dan disembunyikan di lum-bung padi oleh Bondan Kejawan, ketika mereka sedang asyik man-di di sebuah sendang.

Dalam kepercayaan masyara-kat Jawa dan Sunda, sosok Ratu Ki-dul merupakan sosok agung yang dimuliakan dan dihormati. Orang Jawa mengenal sebuah istilah “telu-

teluning atunggal” yaitu tiga sosok yang menjadi satu kekuatan. Yaitu, Eyang Resi Projopati, Panembahan Senopati, dan Ratu Kidul. Panem-bahan merupakan pendiri kerajaan Mataram Islam, yang dipertemukan oleh Ratu Kidul ketika bertiwikra-ma sesuai arahan Sunan Kalijaga guna memenuhi wangsit yang di-terimanya membangun sebuah keraton yang sebelumnya sebuah hutan dengan nama “alas mentaok” (kini Kotagede di DIY). Pada pros-es bertapa, diceritakan semua alam menjadi kacau, ombak besar, hujan badai, gempa, dan gunung meletus. Ratu Kidul setuju membantu dan melindungi Kerajaan Mataram, dan bahkan dipercaya menjadi “istri spiritual” bagi Raja-raja trah Ma-taram Islam. Perkawinan spiritual antara raja-raja Mataran dengan Ratu Kidul menunjukkan bahwa kerajaan (baca: Indonesia) hanya akan menjadi bangsa yang kuat jika ‘menyatu’ dengan laut.

Berbagai legenda tentang Dewi Laut dari berbagai kawasan Nusan-tara yang diungkapkan di atas, yang mencakup wilayah Lombok, Sumatra Utara, Aceh, dan Pulau Jawa, menem-patkan laut sebagai sebuah wilayah aman dan memberi harapan hidup dan dijaga “dewi laut” yang perkasa.

Berbagai legenda itu telah menanam-kan keyakinan yang kuat dalam inga-tan kolektif bangsa Indonesia tentang persatuan antara darat dan laut.

Kesimpulan Apakah bangsa Indonesia adalah

bangsa bahari? Jika kita cermati ber-bagai mitos dan cerita rakyat tentang laut, kita dapat menyimpulkan secara tegas bahwa bangsa Indonesia me-mang bangsa bahari. Berbagai cerita rakyat di kawasan Indonesia timur bahkan menunjukkan bahwa laut ada-lah pemberi kehidupan yang paling utama (suku Bajao, suku Lamalera, dan suku Sasak). Semasa jayanya Kerajaan Majapahit, Nusantara me-rupakan sebuah kesatuan maritim dan kerajaan laut terbesar di anta-ra bangsa-bangsa beradab di muka bumi. Harapan akan adanya kesi-nambungan dan kontinuitas ke-rajaan laut terbesar dari Kerajaan Majapahit ke Kerajaan Mataram tampak dari legenda putri Kanjeng Ratu Kidul yang merupakan putri Raja Brawijaya, raja terakhir ke-rajaan Majapahit. Konsep tentang “perkawinan spiritual” Kanjeng Ratu Kidul dengan raja-raja Mata-ram menunjukkan poros imajiner kesatuan antara darat dan laut.

Persoalannya adalah: sejak

No Keterangan Dewi Sri Putri Mandalika

1. Akar masalah: cinta Bhatara Guru jatuh cinta pada Dewi Nyi Pohaci Sanghyang Sri

Banyak pangeran jatuh cinta pada Putri Mandalika

2. Alasan dikorbankan Menghindari aib dan skandal yang akan merusak keselarasan di kahyangan.

Menghindari jatuhnya korban dari peperangan antar pangeran yang memperebutkan Putri Mandalika

3. Cara pembuangan Para dewa khayangan membunuh dan membuang Dewi Sri ke dunia.

Putri Mandalika sendiri memutuskan menjadi nyale untuk dinikma semua penduduk.

4. Cara persembahan Dari tubuh Dewi Sri, tumbuh berbagai jenis tanaman.

Dari tubuh Putri Mandalika, muncul nyale secara periodik sebagai makanan bagi penduduk.

Tabel 1 Perbandingan Struktur Legenda Dewi Sri dan Putri Mandalika

mozaik

Page 94: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

94 PUSAT NO. 08/2014

kapan kedigdayaan Indonesia se-bagai bangsa bahari mulai surut? Perhatian pemerintah terhadap pembangunan kelautan sangat minim. Anggaran Pembangunan Nasional (APBN) tahun 2012, mis-alnya, secara menunjukkan hal itu (Dhany, 2012). Kementerian Agama mendapatkan alokasi Rp 37 triliun, Kementerian Pertanian hanya men-dapat Rp 18 triliun, dan lebih ironis lagi Kementerian Kelautan hanya menerima Rp 5 triliun. Hal ini tentu memiliki dampak buruk pada pen-gembangan infrastruktur dan bu-daya kelautan.

Referensi budaya yang paling tepat untuk dirujuk adalah novel Arus Balik karya sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer (2002). Menurut Pram, pada zaman keema-san Majapahit, arus bergerak dari selatan ke utara, segala-galanya: kapal-kapalnya, manusianya, amal perbuatannya dan cita-citanya, se-mua bergerak dari Nusantara di selatan ke ‘Atas Angin’ di utara. Tapi zaman berubah, arus telah berbalik -- bukan lagi dari selatan ke utara te-tapi sebaliknya dari utara ke selatan. Utara menguasai selatan, menguasai urat nadi kehidupan Nusantara. Aki-batnya: perpecahan dan kekalahan yang beruntun tiada hentinya sea-kan menjadi bagian dari Jawa.

Arus Balik merupakan novel per-tama dalam khazanah sastra Indo-nesia mo dern yang mengisahkan Nusantara dalam segala kemegahan-nya sebagai kesatuan maritim, seba-gai kekuatan bahari yang jaya. Bagi Pramoedya, kekuatan citra bahasa Indonesia beserta segenap wawa-san falsafah dan estetikanya tertem-pa dan berkembang berkat wawa-san kelaut annya yang berwatak luas menembus kedangkalan dan keker-

dilan. Sebagaimana juga kejayaan persatuan dan kesatuan Indonesia dilahirkan oleh gelora kebaharian. Sebalik nya kawasan-kawasan peda-laman agraris me ngungkung wawa-san berpikir, cenderung memben-tuk watak kerdil dan kemunafikan akibat tiada nya sentuhan gemuruh gelombang lautan.

Indonesia, di mata Pramoedya Ananta Toer, tak akan habis-habis-nya dirundung masalah integrasi dan tersendat perkem bang annya, karena kekuatan bahari Indonesia sejak merdeka justru selalu dia-tur oleh kekuasaan ang katan darat dengan watak khasnya yang bukan saja tak kenal, bahkan meminggir-kan wawasan kebaharian. Upaya membangkitkan kembali wawasan kebaharian perlu dilakukan seba-gai sebuah “Gerakan Nasional” yang melibatkan dua unsur penting, yai-tu (1) kaum akademisi yang akan menggali dan mengkaji semangat kebaharian dalam berbagai tra-disi lisan, dan (2) pelaku budaya populer seperti film-maker yang akan memasyarakatkan semangat itu melalui sebuah rekayasa sosial (social engineering) dalam bentuk film, sinetron, iklan, video games, dan sebagainya. Tanpa gerakan ter-padu yang semacam itu, kita hanya akan menggemakan semangat ke-baharian melalui museum maritim Indonesia.

Daftar Pustaka

Anonim, “Putri Hijau,” 2013. Diun-duh 20/3/2013 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Putri_Hi-jau

Anonim, 2013. Dongeng Putri Man-dalika. Diunduh 28 Maret 2013 dari www.budayasasak.blogs-

pot.com.Anonim, 2013. Deklarasi Juanda.

Diunduh tanggal 13 April 2013 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Deklarasi_Djuanda

Dewi, Lauret, 2013. Meriam Bun-tung: Legenda Putri Hijau Me-dan Legenda yang Sepertinya Benaran. Diunduh tanggal 1 Mei 2013 dari http://laurentiadewi.com/11268

Dhany, Rista Rma, 2012. “Bukan Lagi Agraris, Kini RI Jadi Negara Agama” dalam detikfinance. Ju-mat, 27/07/2012.

Hemingway, Ernest, 1952. The Old-man and The Sea. New York: Charles Scribner’s Sons.

Kleden, Ignas, 2004. “Laut: Se-buah Pola Pikir,” Makalah Ku-liah Umum di Institut Teknologi Bandung, tanggal 5 September 2004

Nestorman, Ivan. 2013. Yesus dan Tiga Paus Lamalera. (Pengantar Antologi Puisi). Yogyakarta: La-malera.

Resink , G. J., 1997. “Kanjeng Ratu Kidul: The Second Divine Spou-se of the Sultans of

Ngayogyakarta” Source: Asian Folklore Studies, Vol. 56, No. 2, (1997), pp. 313-316

Published by: Asian Folklore Stu-dies, Nanzan University

Setiawan, Hersri, 1981. “Mitos Nyai Lara Kidul: Konsep Bahari De-fensif Kerajaan Mataram dalam Konsep Gender.” Kompas, 15 Mei 1981.

Sunindyo, Saraswati, 1998. “When the Earth is Female and the Nation is Mother: Gender, the Armed Forces and Nationalism in Indonesia” dalam Feminist

mozaik

Page 95: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

95PUSAT NO. 08/2014

Review No. 58, International Voices (Spring, 1998). Palgrave Macmillan Journals.

Taum, Yoseph Yapi, 2006. “Masa-lah-masalah Sosial dalam Ma-syarakat Multietnik” Makalah dibawakan dalam Focus Group Discussion (FGD) “Identifikasi Isu-isu Strategis yang

Berkaitan dengan Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa”, dilaksanakan oleh Balai

Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 10 Oktober 2006.

Toer, Pramoedya Ananta, 2002. Arus Balik. Jakarta: Hasta Mitra.

Wessing, Robert, 1997. “A Pricess from Sunda: Some Aspects of Nyai Roro Kidul” dalam Asian

Folklore Studies, Volume 56, 1997: 317–353.

Catatan1 Versi pertama tulisan ini adalah ma-

kalah yang dibawakan dalam Kong-res Internasional Folklore Asia III di Hotel Inna Garuda, Yogyakarta, 7-9 Juni 2013. Tulisan ini merupakan revisi dari makalah tersebut.

2 Dr. Yoseph Yapi Taum. M.Hum, do-sen Fakultas Sastra Universitas Sa-nata Dharma, Yogyakarta. Penulis buku Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode, dan Pendekatan Di-sertai Contoh Penerapannya. Yogya-karta: Lamalera (2011).

3 Sebelum lahirnya Deklarasi Djuan-da, wilayah negara Republik Indo-nesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Terito-riale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda itu, pulau-pulau di wilayah

Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya, dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Kare-na itu, kapal asing bisa dengan be-bas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.

4 Lagu itu berjudul “Nenek Moyang-ku Seorang Pelaut”. Selengkapnya, syairnya sebagai berikut. “nenek moyangku orang pelaut//gemar mengarung luas samudra//me-nerjang ombak tiada takut//me-nempuh badai sudah biasa//angin bertiup layar terkembang//ombak berdebur di tepi pantai//pemuda berani bangkit sekarang ke laut kita beramai-ramai.”

5 Flying Dutchman adalah mitos dari Belanda, menceritakan tentang se-buah kapal yang kaptennya ingin mendapatkan jalan pintas aman mengelilingi Tanjung Harapan. Se-bagai syaratnya, dia harus menjual jiwanya kepada iblis. Akan tetapi, sang kapten melakukan kesalahan. Ia lupa meminta hanya satu kali perjalanan. Akibatnya, ia dipaksa berlayar bolak-balik selamanya. Banyak yang menceritakan bahwa pelaut yang melihat kapal Flying Dutchman, maka ia atau kapalnya akan mendapat musibah.

6 Dalam legenda Yunani, Serena adalah setan laut yang berwujud setengah wanita setengah burung yang nyanyiannya memikat para pelaut sampai lupa diri dan mati di karang-karang. Odysseus berhasil bertahan. Ia menyuruh para pelaut-nya menutup telinga dengan lilin (malam) dan mengikat Odysseus ke tiang layar.

7 Mary Celeste adalah kapal barang Amerika yang meninggalkan New York pada November 1872 menuju Genoa, Italia. Bulan berikutnya, ka-pal ini ditemukan terombang-am-bing dengan layar terpasang untuk menghadapi badai. Namun, kapten dan awaknya tidak ditemukan. Se-

pertinya mereka pergi terburu-bu-ru. Tidak seorang pun tahu apa se-babnya.

8 Segi Tiga Bermuda merupakan salah satu misteri belahan dunia Barat yang mendunia dan bera-bad-abad telah menyimpan kisah yang tak terpecahkan. Misteri demi misteri inipun bahkan telah dicatat oleh pengelana samudera Christop-her Columbus. Kisah misterius ini terletak di wilayah lautan di Samu-dra Atlantik. Di dalam garis imaji-ner kawasan ini menghubungkan tiga wilayah yaitu wilayah antara Bermuda teritorial Britania Raya sebagai titik di sebelah utara, Puer-to Riko, teritorial Amerika Serikat sebagai titik di sebelah selatan dan Miami, negara bagian Florida, Ame-rika Serikat sebagai titik di sebelah barat. Banyak cerita misterius yang muncul dari tempat tersebut, misal-nya cerita tentang hilangnya kapal laut beserta seluruh awaknya kala berlayar di daerah yang disebut se-bagai daerah Segitiga Bermuda.

9 Ernest Hemingway dalam The Old-man and The Sea (1952) menggam-barkan laut sebagai sebuah medan pertempuran antara hidup dan mati. Makhluk-makhluk laut (hiu-hiu raksasa) seringkali lebih perka-sa dibandingkan dengan manusia yang hanya direpresentasikan oleh lelaki tua. Santiago yang sia-sia me-laut selama 84 hari dan akhirnya menangkap seekor ikan besar teta-pi habis dimakan hiu-hiu buas.

10 Tradisi menangkap Nyale ini pun terdapat di beberapa wilayah di NTT. Pada waktu kecil, di Pulau Lembata, NTT, saya sering ikut me-nangkap Nyale ini. Sekalipun tidak ada legenda khusus tentang asal-usul Nyale ini, di Lembata tradisi menangkap nyale disebut “Nyale Gere” (munculnya nyale).

Page 96: Pusat edisi 8.pdfPUSAT NO. 08/2014 1 pendapa Sastra sebagaimana sering didengar mengacu ke hal-hal yang oleh sebagian masyarakat dianggap hanya sebatas omong kosong yang tidak artinya

96 PUSAT NO. 08/2014

GLOSARIUM

SUYONO SUYATNO

Sajak Parodi

Sajak parodi adalah sajak yang menggunakan sebagian teks sajak yang ada sebelumnya

dengan maksud memperolok-olok si penulis sajak sebelumnya itu. Bisa juga suatu sajak parodi bermaksud memperolok-olok situasi; dalam hal ini yang diperolok-olok bukanlah si penyair penulis sajak sebelumnya itu. Dalam hal tertentu, suatu sajak parodi mungkin pula mengambil sebagian teks lain yang telah ada sebelumnya, yang bukan merupa-kan teks puisi, sebagaimana Hamid Jabbar memarodikan teks prokla-masi dalam sajaknya “Proklamasi, 2”: ‘Kami bangsa Indonesia//den-gan ini menyatakan//kemerdekaan Indonesia//untuk kedua kalinya!//Hal-hal yang mengenai//hak asasi manusia,//utang-piutang,//dan lain-lain//yang tak habis-habisnya/IN-SYAALLAH/akan habis//diselengga-rakan//dengan cara saksama//dan dalam tempo//yang sesingkat-sing-katnya!//Jakarta, 25 Maret 1992//Atas nama bangsa Indonesia//Boleh Siapa Saja’.

Sajak Hamid Jabbar “Proklamasi, 2” memarodikan teks proklamasi. Sa-jak itu melontarkan ironi dan satire terhadap keadaan republik ini yang terbenam dalam persoalan utang dan hak asasi manusia yang tak ha-bis-habisnya menjelang akhir rezim Orde Baru, sehingga dalam sajak Ha-mid Jabbar ini lahir olok-olok ‘Boleh

Siapa Saja’ sebagai proklamator.Sajak “Tanah Airmata” Sutardji

Calzoum Bachri juga memarodikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Lirik lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, Indonesia tanah airku tanah tumpah darahku//di sanalah aku berdiri//jadi pandu ibuku, dalam sajak Sutardji itu diparodikan men-jadi tanah airmata tanah tumpah dukaku//mata air airmata kami//air mata tanah air kami//di sinilah kami berdiri//menyanyikan airma-ta kami. Dapat dikatakan, sebagai penyair Sutardji memarodikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” untuk menggugat situasi tanah air yang penuh ketimpangan sehingga tanah air bukan lagi tanah yang memban-ggakan dan menjanjikan--sebagai-mana tercermin dalam lagu “Indone-sia Raya”--melainkan telah berubah menjadi tanah yang penuh tragedi, penuh dengan penderitaan dan air mata rakyat.

Sajak parodi lain adalah yang ditulis Yudhistira Ardi Noegraha, yang memperolok-olok Rendra dan Goenawan Mohamad. Sajak parodi Yudhistira (yang ditulis tahun 1975) tidak terlepas dari situasi perpui-sian saat itu. Setahun sebelumnya, tahun 1974, di Bandung sekelompok penyair muda menggelar acara Pen-gadilan Puisi, yang bermaksud men-ggugat para penyair mapan (Rendra dan Goenawan Mohamad dianggap

sebagai penyair mapan). Dan, di Ban-dung pula pada awal tahun 1970-an lahir puisi mbeling yang dibidani Remy Silado lewat majalah Aktuil. Sajak Goenawan Mohamad “Di Be-randa Ini Gerimis Telah Jadi Logam” oleh Yudhistira diparodikan menjadi “Di Beranda Ini, Mohamad Pariksit, Telah Jadi Logam”; nama Goenawan Mohamad pun diparodikan dengan mengubah namanya menjadi Moha-mad Pariksit (Pariksit adalah tokoh mitologi Jawa yang muncul dalam sa-jak Goenawan Mohamad tersebut). Bahkan, melalui sajak parodinya Yudhistira memperolok-olokkan permainan imaji dalam sajak Goe-nawan Mohamad: “Ya, nanya saja. Boleh kan? Soalnya saya dengar kota jadi putih, senja jadi kecil,//gerimis jadi logam. Apa betul? Rusak dong genting-genting rumah di kota!”

Sementara itu, dengan “Sajak Se-patu Usang si Billy Peronda” Yudhis-tira memparodikan kumpulan sajak Rendra yang telah ada sebelumnya, Sajak-Sajak Sepatu Tua sekaligus memperolok-olok Rendra sehingga nama panggilan Rendra--Billy--di-pleset-kan menjadi ‘si Billy Peronda’. Ungkapan ‘si Billy Peronda” tam-paknya juga terkait dengan posisi Rendra sebagai “tukang protes” pada masa itu yang kerap berurusan den-gan pihak berwajib: “….//”Karena tak boleh memprotes, maka protes ini kutujukan pada pohon-pohon yang tumbang//di Sukabumi, pada langit yang semakin mendung, kepada tem-bok-tembok dan cacing-cacing!”//teriaknya lagi.//….//”Malaikat pen-jaga firdaus, kutusuk selangkangan-mu dengan pentungan karet ini!”//teriaknya.//….//”Kelaparan adalah burung gagak yang mati diinjak se-patuku yang kini jadi makananku!”//(Si Billy tak bisa berteriak lagi. Ia mabuk sepatu dan klenger seumur hidupnya).”[]