punya nu2t

download punya nu2t

of 23

Transcript of punya nu2t

Model Williams Tentang Perilaku Kognitif-AfektifModel kurikulum lainnya yang bermanfaat dalam merencanakan

pembelajaran dalam bidang kreativitas adalah Model for Implementing CognitiveAffective Behavior in the classroom dari Williams. Model ini berlandaskan pemikiran bahwa kreativitas perlu dipupuk secara menyeluruh dalam kurikulum dan bahwa siswa harus mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dalam semua bidang kegiatan mereka. Keterampilan kognitif dan afektif dalam pengemabangan kreativitas digabung dengan bidang materi tradisional yang diajarkan di sekolah. 1). Model Model Williams menampilkan secara tiga dimensional bagaimana kurikulum, strategi mengajar, dan perilaku siswa berinteraksi dalam

meningkatkan pemikiran. Satu pangsa dari setiap dimensi dipilh dan digabung dengan pangsa dari dua dimensi lainnya dalam merancang kegiatan belajar bagi siswa. Dimensi ini ialah kurikulum (konten mata pelajaran), perilaku belajar (strategi belajar), dan perilaku siswa (kognitif dan afektif). Jika menggunakan model ini, guru memilih salah satu aspek dari setiap dimensi untuk merancang kegiatan. Misalnya, dalam pelajaran bahasa Indonesia (dimensi 1) guru ingin melatih keterampilan menulis kreatif (dimensi 2) dan memupuk sikap mengambil resiko (dimensi 3). Ia meminta siswa untuk menulis cerita dengan petunjuk sebagai berikut: kamu adalah satu-satunya penumpang yang masih hidup dalam suatu kecelakaan dengan kapal. Ketika sadar, kau menemukan dirimu di dalam sebuah rakit, terapung di laut, dengan persediaan makanan untuk dua hari. Apa yang kamu lakukan? Siswa dapat menggunakan keterampilan kreatif dari Dimensi 3 untuk memecahkan masalah ini. 2) Modifikasi Konten, Proses, Produk dan Lingkungan Model Williams terutama berkaitan dengan proses belajar. Konten, produk dan lingkungan tidak ditekankan. Daftar dari perilaku siswa dapat dimensi 3 1

meliputi keterampilan yang paling sering digunakan dalam pengembangan berpikir dan sikap kreatif. Untuk modifikasi konten dan produk, Model Williams dapat di gabung misalnya Model Renzulli, Model Clark, atau Model Treffaingger untuk menghasilkan program anak berbakat yang lebih menyeluruh. Modifikasi lingkungan dapat juga dilakukan dengan model ini, karena melandaskan pada kebutuhan siswa, dan dapat diciptakan lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Salah satu dari tujuan dari model ini ialah mengembangkan kemandirian berpikir bagi siswa. Hal ini dapat terlaksana dengan menggunakan strategi guru yang menunjang belajar dan berpikir mandiri, dengan berselang-seling antara kegiatan perorangan dan kegiatan kelompok kecil, seperti pada metode cara belajar siswa aktif. Proses kreatif kecuali memerlukan berselang-seling antara kegiatan perorangan dan kegiatan kelompok, dan dengan menunjang baik perkembangan pribadi maupun perkembangan sosial. 3) Manfaat dari Model Perilaku Kognitif-Afektif Manfaat dari Model Williams ialah terutama dalam bidang proses belajar. Digunakan bersama dengan model lainnya, dapat memberikan sumbangan yang bermakna terhadap peningkatan berpikir dan sikap kreatif melalui kurikulum. Model ini dapat juga digunakan pengembangan program perorangan

(individualized) dalam kemampuan berpikir kreatif, dengan memperhatikan profil kemampuan siswa, kekuatan, dan kelemahannya, untruk kemudian memperbaiki bidang kelemahannya dengan membangun kekuatan. Rencana pengembangan kurikulum yang digariskan oleh Williams dan digunakan di dalam kelas untuk siswa yang kemampuannya beragam, tidak semata-mata bagi yang berbakat. Guru dapat menggunakan model ini tanpa memisahkan siswa berbakat atau mengurangi hak siswa lainnya. Siswa berbakat dapat dilibatkan dalam kegiatan yang lebih majemuk atau yang menggabung penggunaan sejumlah keterampilan yang terdaftar. Kemungkinan kombinasi banyak sekali, dan ini memberikan keragaman pengalaman. Terakhir, model ini dapat digunakan sebagai patokan bagi guru yang menginginkan pendekatan yang seimbang dalam peningkatan berpikir dan sikap 2

kreatif. Dengan membuat profil dari jenis kegiatan yang mereka gunakan dan jenis pertanyaan yang mereka ajukan, guru dapat menentukan sejauh mana siswa dalam kelas di beri kesempatan untuk mengembangkan kemampuan kreatif mereka sepenuhnya. Model Williams pada perilaku Kognitif dan Afektif didalam Kelas Model Williams menampilkan secara tiga dimensional bagaimana kurikulum, strategi mengajar, dan perilaku siswa berinteraksi dalam meningkatkan pemikiran. Kreatifitas perlu diterapkan secara menyeluruh dalam kurikulum dan bahwa siswa harus mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dalam semua bidang kegiatan mereka. Model ini dapat digunakan juga untuk pengembangan program perorangan dalam kemampuan berfikir kreatif, serta dapat menjadi patokan seorang guru yang menginginkan pendekatan yang seimbang dalam peningkatan berfikir dan bersikap kreatif.

3

Struktur Intelektual GuilfordTeori Guilford banyak membicarakan mengenai struktur

intelejensi/kecerdasan seseorang yang banyak mengarah pada kretivitas seseorang. Guilford menerangkan tentang Kecerdasan yang di diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menjawab melalui situasi sekarang untuk semua peristiwa masa lalu dan mengantisipasi masa yang akan datang. Dalam konteks ini maka yang namanya belajar adalah termasuk berpikir, atau berupaya berpikir untuk menjawab segala masalah yang dihadapi. Konsepnya memang kompleks, karena setiap masalah akan berbeda cara penanganannya bagi setiap orang. Untuk itu diperlukan perilaku intelejen, yang tentu sangat berbeda dengan perilaku nonintelejen. Yang pertama (perilaku intelejen) ditandai dengan adanya sikap dan perubahan kreatif, kritis, dinamis, dan bermotif (bermotivasi), sedangkan yang kedua keadaannya sebaliknya. Pengertian kebiasaan juga mengandung arti kebiasaan kreatif, bukan kebiasaan pasif reaktif (mekanis) seperti pada pandangan kaum behavioris. Teori Guilford Hidup berarti menghadapi masalah, dan memecahkan masalah berarti tumbuh berkembang secara intelektual (J.P. Guilford) .P. Guilford mengemukakan bahwa inteligensi dapat dilihat dari tiga kategori dasar atau faces of intellect, yaitu : Operasi Mental (Proses Befikir) 1. Cognition (menyimpan informasi yang lama dan menemukan informasi yang baru). 2. Memory Retention (ingatan yang berkaitan dengan kehidupan seharihari). 3. Memory Recording (ingatan yang segera). 4. Divergent Production (berfikir melebar atau banyak kemungkinan jawaban/ alternatif).

4

5. Convergent Production (berfikir memusat atau hanya satu kemungkinan jawaban/alternatif). 6. Evaluation (mengambil keputusan tentang apakah suatu itu baik, akurat, atau memadai). Content (Isi yang Dipikirkan) a. Visual (bentuk konkret atau gambaran). b. Auditory. c. Word Meaning (semantic). d. Symbolic (informasi dalam bentuk lambang, kata-kata atau angka dan notasi musik). e. Behavioral (interaksi non verbal yang diperoleh melalui penginderaan, ekspresi muka atau suara). Contoh : Sejak umur 3 tahun anakku sudah mampu membaca. 7 bulan kemudian semua kata berbahasa Indonesia dapat dibacanya dengan baik. Layaknya anak di bangku sekolah dasar. Karena jenis tulisan favoritnya adalah dongeng atau cerita anak, ditambahkannya mimik dan intonasi untuk menggambarkan pembedaan tokoh. Lambat laun kerap muncul pertanyaan seputar kata yang belum dipahaminya. Kadang dilemparkannya dengan emosi, misalnya: Kenapa sih, anak itu tidak mau meminjamkan mainannya? Ara aja mau kasih pinjam mainan ke teman-teman. Ilustrasi riil di atas menggambarkan tercapainya parameter konten menurut struktur kemampuan intelektual menurut Guilford (1982); digambarkan sebagai kelompok (tipe) informasi, seperti: berwujud, simbolik, semantik,

menggambarkan perilaku dan merupakan interaksi nonverbal individu. Singkat kata, model Guilford menunjukkan halaman yang sebenarnya tidak baru dalam pendidikan dan konsep keberbakatan. Sebuah rasionalisasi pengamatan

keberbakatan dari berbagai segi, yang dihantarkan lewat metode mendongeng atau bercerita bagi anak. Dari sini kita akan beranjak pada peran vital pendidikan dalam menentukan tidak hanya keberlangsungan masyarakat, namun juga mengukuhkan identitas individu dalam masyarakat. 5

Product (Hasil Berfikir) 1. Unit (item tunggal informasi). 2. Kelas (kelompok item yang memiliki sifat-sifat yang sama). 3. Relasi (keterkaitan antar informasi). 4. Sistem (kompleksitas bagian saling berhubungan). 5. Transformasi (perubahan, modifikasi, atau redefinisi informasi). 6. Implikasi (informasi yang merupakan saran dari informasi item lain). Struktur Intelegensi Inteligensi dan IQ Inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah : 1. Faktor bawaan atau keturunan. Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah saling kenal. 2. Faktor lingkungan. Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang 6

dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting. Orang seringkali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Arti inteligensi sudah dijelaskan di depan, sedangkan IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan. Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental Age) dengan umur kronologik (Chronological Age). Bila kemampuan individu dalam memecahkan persoalan-persoalan yang disajikan dalam tes kecerdasan (umur mental) tersebut sama dengan kemampuan yang seharusnya ada pada individu seumur dia pada saat itu (umur kronologis), maka akan diperoleh skor 1. Skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Tetapi kemudian timbul masalah karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi, bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan. Pengukuran Inteligensi Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911. Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence 7

Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun. Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak. Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut dibuat. Inteligensi dan Bakat Inteligensi adalah kemampuan untuk berpikir secara abstrak, merespon secara benar dan tepat serta menyesuaikan dengan lingkungan. Di dalam struktur inteligensi menurut Guilford juga terkandung komponen ingatan. Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes inteligensi. Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut tes bakat atau aptitude test. Tes bakat yang dirancang untuk mengungkap prestasi belajar pada bidang tertentu dinamakan Scholastic Aptitude Test dan yang dipakai di bidang pekerjaan adalah Vocational Aptitude Test dan Interest Inventory. Contoh dari Scholastic Aptitude Test adalah tes Potensi Akademik (TPA) dan Graduate Record Examination (GRE). Sedangkan contoh dari Vocational 8

Aptitude Test atau Interest Inventory adalah Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder Occupational Interest Survey. Inteligensi dan Kreativitas Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena kreativitas juga merupakan manifestasi dari suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak mendukung hal itu. Skor IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas. Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi. J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen walau

kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa inteligensi merupakan potensi yang diturunkan dan dimiliki oleh setiap orang untuk berfikir secara logis, berfikir abstrak dan kelincahan berfikir. Belakangan ini banyak orang menggugat tentang kecerdasan intelektual (unidimensional), yang konon dianggap sebagai anugerah yang dapat

mengantarkan kesuksesan hidup seseorang. Pertanyaan muncul, bagaimana 9

dengan tokoh-tokoh dunia, seperti Mozart dan Bethoven dengan karya-karya musiknya yang mengagumkan, atau Maradona dan Pele sang legenda sepakbola dunia,. Apakah mereka termasuk juga orang-orang yang genius atau cerdas ? Dalam teori kecerdasan tunggal (uni-dimensional), kemampuan mereka yang demikian hebat ternyata tidak terakomodasikan. Maka muncullah, teori inteligensi yang berusaha mengakomodir kemampuan-kemampuan individu yang tidak hanya berkenaan dengan aspek intelektual saja. Dalam hal ini, Teori Multiple Inteligence, dengan aspek-aspeknya sebagai tampak dalam tabel di bawah ini: INTELIGENSI 1. Logical KEMAMPUAN INTI Kepekaan dan kemampuan untuk mengamati polapola logis dan bilangan serta kemampuan untuk berfikir rasional. 2. Linguistic Kepekaan terhadap suara, ritme, makna kata-kata, dan keragaman fungsi-fungsi bahasa. 3. Musical Kemampuan untuk menghasilkan dan

Mathematical

mengapresiasikan ritme. Nada dan bentuk-bentuk ekspresi musik. 4. Spatial Kemampuan mempersepsi dunia ruang-visual secara akurat dan melakukan tranformasi persepsi tersebut. 5.Bodily Kinesthetic Kemampuan untuk mengontrol gerakan tubuh dan mengenai objek-objek secara terampil. 6. Interpersonal Kemampuan untuk mengamati dan merespons suasana hati, temperamen, dan motivasi orang lain. 7. Intrapersonal Kemampuan untuk memahami perasaan, kekuatan dan kelemahan serta inteligensi sendiri.

10

1. Pengembangan bakat matematika Karakteristik siswa berbakat dalam bidang matematika (Greenes, dalam Munandar, 1999): fleksibilitas dalam mengolah data, kemampuan luar biasa untuk menyusun data, ketangkasan mental, penafsiran yang orisinil, kemampuan luar biasa uantuk mengalihkan gagasan, dan kemampuan luar biasa untuk generalisasi. Greenes menambahkan bahwa siswa berbakat matematika lebih menyukai komunikasi lisan daripada tulisan. Saran bagi guru dalam merencanakan model pembelajaran bagi siswa yang berbakat matematika: mendorong pertimbangan dan pemikiran mandiri, mendorong siswa untuk menggunakan berbagai metode untuk memecahkan masalah yang sama, mendorong siswa untuk melakukan pengecekan, memberikan masalah yang menantang dan luar biasa Kecakapan potensial seseorang hanya dapat dideteksi dengan

mengidentifikasi indikator-indikatornya. Jika kita perhatikan penjelasan tentang aspek-aspek inteligensi dari teori-teori inteligensi di atas, maka pada dasarnya indikator kecerdasan akan mengerucut ke dalam tiga ciri yaitu : kecepatan (waktu yang singkat), ketepatan (hasilnya sesuai dengan yang diharapkan) dan kemudahan (tanpa menghadapi hambatan dan kesulitan yang berarti) dalam bertindak. Dengan indikator-indikator perilaku inteligensi tersebut, para ahli mengembangkan instrumen-instrumen standar untuk mengukur perkiraan kecakapan umum (kecerdasan) dan kecakapan khusus (bakat) seseorang. Alat ukur inteligensi yang paling dikenal dan banyak digunakan di Indonesia ialah Tes Binet Simon walaupun sebetulnya menurut hemat penulis alat ukur tersebut masih terbatas untuk mengukur inteligensi atau bakat persekolahan (scholastic aptitude), belum dapat mengukur aspek aspek inteligensi secara keseluruhan (multiple inteligence). Selain itu, ada juga tes intelegensi yang bersifat lintas budaya yaitu Tes Progressive Metrices (PM) yang dikembangkan oleh Raven. Dari hasil pengukuran inteligensi tersebut dapat diketahui seberapa besar tingkat integensi (biasa disebut IQ = Intelligent Quotient yaitu ukuran kecerdasan dikaitkan dengan usia seseorang. 11

Rumus yang biasa digunakan untuk menghitung IQ seseorang adalah : 100 % x (Mentalege : Chrologolicalage). Di bawah ini disajikan norma ukuran kecerdasan dikaitkan dengan usia seseorang. IQ 140 130-139 120-129 110-119 90-109 80 89 70 79 50 69 25 49 < 25 KATEGORI Jenius (Genius) Sangat Unggul (Very Superior) Unggul (Superior) Diatas rata-rata (High Average) Rata-rata (Average) Dibawah Rata-Rata (Low Average) Bodoh (Dull) Debil (Moron) Imbecil Idiot PERSENTASE 0.25 % 0.75 % 6% 13 % 60 % 13 % 6% 0.75 % 0.20 % 0.05 %

Selain menggunakan instrumen standar, seorang guru pada dasarnya dapat pula mendeteksi dan memperkirakan inteligensi peserta didiknya, melalui pengamatan yang sistematis tentang indikator indikator kecerdasan yang dimiliki para peserta didiknya, yaitu dengan cara memperhatikan kecenderungan kecepatan ketepatan, dan kemudahan peserta didik dalam dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan dan mengerjakan soal-soal pada saat ulangan atau ujian, sehingga pada akhirnya akan diketahui kelompok peserta didik yang tergolong cepat (upper group), rata-rata (midle group) dan lambat (lower group) dalam belajarnya. Untuk mengukur bakat seseorang, dapat menggunakan beberapa instrumen standar, diantaranya : DAT (Differential Aptitude Test), SRA-PMA (Science Research Action Primary Mental Ability), FACT (Flanagan Aptitude Calassification Test).

12

Alat tes ini dapat mengungkap tentang : (1) pemahaman kata; (2) kefasihan mengungkapkan kata; (3) pemahaman bilangan; (4) tilikan ruangan; (5) daya ingat; (6) kecepatan pengamatan; (7) berfikir logis; dan (8) kecakapan gerak. Perlu dicatat bahwa pengukuran tersebut, baik menggunakan instrumen standar atau hanya berdasarkan pengamatan sistematis guru bukanlah bersifat memastikan tingkat kecerdasan atau bakat seseorang namun hanya sekedar memperkirakan (prediksi) saja, untuk kepentingan pengembangan diri. Begitu juga kecerdasan atau bakat seseorang bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan tingkat keberhasilan atau kesuksesan hidup seseorang. Dalam rangka Program Percepatan Belajar (Accelerated Learning), Balitbang Depdiknas telah mengidentifikasi ciri-ciri keberbakatan peserta didik dilihat dari aspek kecerdasan, kreativitas dan komitmen terhadap tugas, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Lancar berbahasa (mampu mengutarakan pikirannya); Memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap ilmu pengetahuan; Memiliki kemampuan yang tinggi dalam berfikir logis dan kritis Mampu belajar/bekerja secara mandiri; Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa); Mempunyai tujuan yang jelas dalam tiap kegiatan atau perbuatannya Cermat atau teliti dalam mengamati; Memiliki kemampuan memikirkan beberapa macam pemecahan masalah; 9. Mempunyai minat luas;

10. Mempunyai daya imajinasi yang tinggi; 11. Belajar dengan dan cepat; 12. Mampu mengemukakan dan mempertahankan pendapat; 13. Mampu berkonsentrasi; 14. Tidak memerlukan dorongan (motivasi) dari luar. Selain kecerdasan intelektual J.F. Guilford juga mengemukakan mengenai faktor kepribadian seseorang. Kepribadian sudah dimulai sekurang-kurangnya pada awal tahun 1930-an, ketika ia menerbitkan sebuah makalah yang 13

menunjukan bahwa item-item yang dimaksudkan untuk mengukur sifat tunggal introversi-ekstroversi sesungguhnya mencakup beberapa faktor kepribadian yang berbeda, salah satu hasil dari penelitian ini adalah inventori keperibadian yang di namakan Guilford zimmerman Temperament Survey yang mengukur 10 sifat yang dirumuskan sebagai faktor-aktivitas umum, rasa terkekang versus ratimia ( kecenderungan untuk takenal susah), sifat subyek berkuasa, sifat suka bergaul, stabilitas emosi, objektivitas, keramah-tamahan, sifat hati-hati, hubunganhubungan pribadi, dan kejantanan tampak, ada sedikit persamaan antara daftar ini dan daftar Cattell. Rupanya sampai taraf tertentu, hal ini disebabkan karena Guilford lebih suka menggunakan faktor-faktor ortogonal, sedangkan Cattell membiarkan faktor-faktornya bersifat oblik satu sama lain. Guilford melihat keperibadian sebagai suatu struktur sifat yang tersusun secara hirarkis, mulai dari tipe-tipe yang luas pada puncaknya. Kemudian sifatsifat primer , kemudian hexes ( yakni, diposisi-diposisi agak khusus sepeti kebiasaan-kebiasaan.) .Guilford juga mengakui adanya sejumlah sub-area utama dalam keperibadian serta sifat-sifat abilitas, teperamen dan dinamik. Jadi, dalam ranah temperamen, dimensi positf-negatif melahirkan faktor percaya dari versus interior dalam bidang tingkah laku umum dan faktor sifat periang versus sifat pemalu dalam bidang emosi.

14

Taksonomi BloomTaksonomi Bloom merujuk pada taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan. Taksonomi ini pertama kali disusun oleh Benjamin S. Bloom pada tahun 1956. Selanjutnya, sebelum kita membahas lebih jauh tentang taksonomi Bloom dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, maka perlu sekali kita mengkaji lebih awal tentang dalam taksonomi Bloom tersebut sekaligus perkembangannya. Dan lebih lanjut mengenai Taksonomi Bloom ini akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Pengertian Taksonomi

Secara etimologi, taksonomi memiliki makna perincian, klasifikasi atau sistem kategori, di mana kategori-kategori disusun atas dasar pertentangan. Sedangkan secara terminologi, taksonomi merupakan suatu tipe sistem klasifikasi yang khusus, yang berdasarkan data penelitian ilmiah mengenai hal-hal yang digolongkan dalam sistematika itu. Taksonomi di sini bukan taksonomi biologis yang memungkinkan klasifikasi ke dalam Phylum, kelas, susunan, family, genus, spesies dan variasi. Akan tetapi, Taksonomi yang didasarkan pada asumsi, bahwa program pendidikan dapat dipandang sebagai suatu usaha mengubah tingkah laku siswa dengan menggunakan beberapa mata pelajaran. Taksonomi ini pada dasarnya adalah taksonomi tujuan pendidikan, yang menggunakan pendekatan psikologik, yakni dimensi psikologik apa yang berubah pada peserta didik setelah memeperoleh pendidikan itu.

15

2.

Taksonomi Bloom dan Perkembangannya

Taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan telah lama dikembangkan, dan tokoh yang begitu terkenal dengan konsep taksonominya adalah Benjamin, S. Bloom. Sehingga taksonomi pendidikan yang cetuskannya diabadikan dengan sebutan nama penemunya yaitu Taksonomi Bloom. Pada awalnya, Benjamin S. Bloom menawarkan konsep taksonomi pendidikannya pada tahun 1948 di Boston. Dan perkembangan selanjutnya, Bloom sendiri hanya mengembangkan cognitive domain pada tahun 1956. Sedangkan affective domain dikembangkan oleh David Krathwohl bersama dengan Bloom dan Bertram B. Masia (1964). Selanjutnya disempurnakan lagi oleh Simpson (1972) dengan melengkapinya dengan psycho-motor domain.

Perumusan Aspek-aspek kemampuan yang menggambarkan output peserta didik yang di hasilkan dari peserta didik yang dihasilkan dari proses pembelajaran dapat digolongkan kedalam tiga klasifikasi berdasarkan taksonomi bloom (Airasian, Peter et All, 2011). Bloom menamakan cara mengklasifikasi itu dengan The taxonomy of eduacation objectives. Menurut bloom, tujuan pendidikan atau pembelajaran dapat diklasifikasikan kedalam tiga domain (Daera, aspek, ranah atau matra), yaitu :

Domain Kognitif ; berkenaan dengan kemampuan dan kecakapankecakapan intelektual berfikir.

Domain Afektif ; berkenaan dengan sikap, kemampuan dan penguasaan segi emosional, yaitu perasaan, sikap dan nilai.

Domain Psikomotor ; berkenaan dengan suatu keterampilan-ketarampilan gerakan-gerakan fisik.

Berikut akan lebih dijelaskan tentang 3 domain diatas sesuai dengan klasifikasinya :

16

A. Domain KognitifBloom dkk. Membagi atas enam tahap yaitu pengetahuan (knowledge), pemahaman (Comprehension understanding), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan Menciptakan/membuat karya (create). Domain ini mempunyai enam tingkatan mulai dari yang terendah atau sederhana sampai dengan yang paling tinggi atau rumit (kompleks). Kemampuan pengetahuan dan pemahaman hanya membutuhkan proses berfikir rendah (lower level of thinking process). Sedangkan penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi membutuhkan proses berpikir tinggi ( higher level of thinking process). 1. Pengetahuan (knowledge) Aspek pengetahuan sering disebut recall (pengingatan kembali) karena pengetahuan menunjukaan kemampuan mengingat kembali materi pembelajaran yang yang sudah dipelajarai sebelumnya. Namun pengetahuan yang diingatnya hanya berupa informasi pengetahuan menyangkut tentang hal-hal khusus, istilah, fakta khusus, cara/alat, konvensi, kecendrungan, klasifikasi, tolak ukur/standar, metodologi, hal yang umum berupa abstraksi, prinsip-prinsip dan generalisasi, serta teori-teori. 2. Pemahaman ( Comprehensif understanding) Pemahaman setingkat lebih tinggi dari pada pengetahan. Pemahaman menunjukkan kemampuan memahami materi pembelajaran. Dari pemahaman ini akan mampu menjelaskan atau membedakan sesuatu. Kemampuan ini menyangkut :

Penerjemah (interpretting), yaitu, verbalisasi atau sebaliknya. Memberikan contoh (exemplifying), yaitu menemukan contoh spesifik. Mengklasifikasikan (classifyng), yaitu membedakan sesuatu dengan kategorinya.

17

Meringkas

(summarizing)

yaitu

memberikan

gambaran

tentang

kesimpulan yang logis. 3. Penerapan Penerapan lebih tinggi dari pada pemahaman. penerapan adalah kemampuan menerapkan materi pembelajaran yang sudah dipelajari kedalam suatu keadaan yang baru. dari penerapan ini akan mampu menerapkan suatu teori dan rumus dan sebagainya.

Mengerjakan (executing), yaitu mengaplikasi suatu prosedur/cara pada soal mudah

Mengimplementasikan (implementing) yaitu mengaplikasi prosedur pada soal yang tidak mudah.

4. Analisis Analisis adalah kemampuan menguraikan sesuatu menjadi bagian-bagian, sehingga antar bagian itu dapat dan mudah untuk dimengerti. Analisis merupakan pemecahan suatu ide-ide kedalam unsur atau bagian-bagian sedemikian rupa sehingga hierarki dan hubungan menjadi ide yang lebih jelas. Analisi meliputi :

Membedakan (differentiating), yaitu membedakan bagian-bagian yang relevan dan yang tidak relevan dengan sesuatu.

Mengorganisasikan (organizing), yaitu menentukan bagaimana unsurunsur layak atau berfungsi dalam suatu struktur.

Menghubungkan (attributing), yaitu menentukan batas-batas, nilai atau tujuan yang mendasari penyajian suatu material.

5. Sintesis Sintesis adalah kemampuan menghimpun bagian-bagian menjadi satu kesatuan. Dari sintesis ini akan mampu menghimpun berbagai informasi atau fakta menjadi sebuah tema dalam sintesis termasuk :

18

Memeriksa (checking), yaitu mendeteksi ketidakkonsistenan atau kesalahan proses atau produk.

Mengkritisi (critiquing) yaitu mendeteksi ketidakkonsistenan produ dan kriteria eksternal.

6. Evaluasi (Evaluation) Dikenali dari kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, metodologi, dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer kualitas harus mampu menilai alternatif solusi yang sesuai untuk dijalankan berdasarkan efektivitas, urgensi, nilai manfaat, nilai ekonomis, dan sebagainya.

B. Ranah AfektifUntuk ranah afektif ini, Bloom bersama dengan Kratwohl

mengklasifikasikan ke dalam beberapa tahapan, yaitu: 1. Penerimaan (Receiving/Attending) Kesediaan untuk menyadari adanya suatu fenomena di lingkungannya. Dalam pengajaran bentuknya berupa mendapatkan perhatian,

mempertahankannya, dan mengarahkannya. 2. Tanggapan (Responding) Memberikan reaksi terhadap fenomena yang ada di lingkungannya. Meliputi persetujuan, kesediaan, dan kepuasan dalam memberikan tanggapan. 3. Penghargaan (Valuing) Berkaitan dengan harga atau nilai yang diterapkan pada suatu objek, fenomena, atau tingkah laku. Penilaian berdasar pada internalisasi dari serangkaian nilai tertentu yang diekspresikan ke dalam tingkah laku.

19

4. Pengorganisasian (Organization) Memadukan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan konflik di antaranya, dan membentuk suatu sistem nilai yang konsisten. 5. Pembentukan Pola Hidup (Characterization by a Value or Value Complex) Memiliki sistem nilai yang mengendalikan tingkah-lakunya sehingga menjadi karakteristik gaya-hidupnya. Berdasarkan pada kelima tingkatan yang dirumuskan oleh Bloom dan Krathwool tersebut di atas, maka Romiszowski dalam bukunya Producing Instruction System (1984), mengelompokkan aspek afektif tersebut menjadi dua tipe prilaku yang berbeda, yaitu: a. Riflek yang terkondisi (refkexive conditional), yaitu reaksi kepada stimuli khusus tertentu yang dilakukan secara spontan tanpa direncanakan lebih dahulu tujuan reaksinya. b. Sukarela (voluntary) adalah aksi dan reaksi yang terencana untuk mengarahkan ke tujuan tertentu dengan cara membiasakan dengan latihan-latihan untuk mengontrol diri.

C. Ranah PsikomotorikRincian dalam domain ini tidak dibuat oleh Bloom, tapi oleh ahli lain tetapi tetap berdasarkan pada domain yang dibuat Bloom. Ranah psikomotorik ini dikembangkan oleh Simpson, dan klasifikasi ranah psikomotorik tersebut adalah: 1. Persepsi (Perception) Penggunaan alat indera untuk menjadi pegangan dalam membantu gerakan. Persepsi ini mencakup kemampuan untuk mengadakan diskriminasi yang tepat antara dua perangsang atau lebih, berdasarkan pembedaan antara cirri-ciri fisik yang khas pada masing-masing rangsangan. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam suatu reaksi yang menunjukkan kesadaran akan hadirnya ransangan (stimulasi) dan perbedaan antara seluruh rangsangan yang ada. 20

2. Kesiapan (Set) Kesiapan fisik, mental, dan emosional untuk melakukan gerakan. Kesiapan mencakup kemampuan untuk menempatkan dirinya dalam keadaan akan memulai suatu gerakan atau rangakaian gerakan. Kemampuan ini dinyatakan dalam bentuk kesiapan jasmani dan rohani. 3. Guided Response (Respon Terpimpin) Tahap awal dalam mempelajari keterampilan yang kompleks, termasuk di dalamnya imitasi dan gerakan coba-coba. 4. Mekanisme (Mechanism) Membiasakan gerakan-gerakan yang telah dipelajari sehingga tampil dengan meyakinkan dan cakap. Ini mencakup kemampuan untuk melakukan suatu rangakaian gerakan dengan lancer karena sudah dilatih secukupnya tanpa memperhatikan contoh yang diberikan. 5. Respon Tampak Yang Kompleks (Complex Overt Response) Gerakan motoris yang terampil yang di dalamnya terdiri dari pola-pola gerakan yang kompleks. Gerakan kompleks mencakup kemampuan untuk melaksanakan suatu ketrampilan, yang terdiri atas beberapa komponen, dengan lancar, tepat dan efisien. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam suatu rangkaian perbuatan yang berurutan dan menggabungkan beberapa

subketrampilan menjadi suatu keseluruhan gerak-gerik yang teratur. 6. Penyesuaian (Adaptation) Keterampilan yang sudah berkembang sehingga dapat disesuaikan dalam berbagai situasi. Adaptasi ini mencakup kemampuan untuk mengadakan perubahan dan menyesuaikan poila gerak-gerik dengan kondisi setempat atau dengan menunjukkan taraf ketrampilan yang telah mencapai kemahiran.

21

7. Penciptaan (Origination) Membuat pola gerakan baru yang disesuaikan dengan situasi atau permasalahan tertentu. Penciptaan atau kreativitas adalah mencakup kemampuan untuk melahirkan aneka pola gerak-gerik yang baru, seluruhnya atas dasar prakarsa dan inisiatif sendiri.

22

Daftar Pustaka

http://cakheppy.wordpress.com/2011/04/02/taksonomi-bloom/ http://www.masbied.com/2010/03/20/teori-belajar-guilford/#more-2466 http://www.ojimori.com/2011/05/30/klasifikasi-pembelajaran-menuruttaksonomi-bloom/

23