Puisi Chairil Anwar

10
PUISI CHAIRIL ANWAR

description

iuio8

Transcript of Puisi Chairil Anwar

Page 1: Puisi Chairil Anwar

PUISI CHAIRIL ANWAR

Page 2: Puisi Chairil Anwar
Page 3: Puisi Chairil Anwar

PUISI TAUFIK ISMAIL

Page 4: Puisi Chairil Anwar
Page 5: Puisi Chairil Anwar

PUISI ZAWAWI IMRON

Page 6: Puisi Chairil Anwar

PUISI WS RENDRA

Page 7: Puisi Chairil Anwar

Gugur

Ia merangkakdi atas bumi yang dicintainya

Tiada kuasa lagi menegakTelah ia lepaskan dengan gemilang

pelor terakhir dari bedilnyaKe dada musuh yang merebut kotanya

Ia merangkakdi atas bumi yang dicintainya

Ia sudah tualuka-luka di badannya

Bagai harimau tuasusah payah maut menjeratnya

Matanya bagai sagamenatap musuh pergi dari kotanya

Sesudah pertempuran yang gemilang itulima pemuda mengangkatnya

di antaranya anaknyaIa menolak

dan tetap merangkakmenuju kota kesayangannya

Ia merangkakdi atas bumi yang dicintainya

Belumlagi selusin tindakmautpun menghadangnya.

Ketika anaknya memegang tangannyaia berkata :

” Yang berasal dari tanahkembali rebah pada tanah.

Dan aku pun berasal dari tanahtanah Ambarawa yang kucinta

Page 8: Puisi Chairil Anwar

Kita bukanlah anak jadahKerna kita punya bumi kecintaan.

Bumi yang menyusui kitadengan mata airnya.

Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.Bumi kita adalah kehormatan.

Bumi kita adalah juwa dari jiwa.Ia adalah bumi nenek moyang.

Ia adalah bumi waris yang sekarang.Ia adalah bumi waris yang akan datang.”

Hari pun berangkat malamBumi berpeluh dan terbakar

Kerna api menyala di kota Ambarawa

Orang tua itu kembali berkata :“Lihatlah, hari telah fajar !Wahai bumi yang indah,

kita akan berpelukan buat selama-lamanya !Nanti sekali waktu

seorang cucukuakan menacapkan bajak

di bumi tempatku berkuburkemudian akan ditanamnya benih

dan tumbuh dengan suburMaka ia pun berkata :

-Alangkah gemburnya tanah di sini!”

Hari pun lengkap malamketika menutup matanya

Page 9: Puisi Chairil Anwar

Kelelawar

Silau oleh sinar lampu lalulintasAku menunduk memandang sepatuku.

Aku gentayangan bagai kelelawar.Tidak gembira, tidak sedih.

Terapung dalam waktu.Ma, aku melihatmu di setiap ujung jalan.

Sungguh tidak menyangkaBegitu penuh kamu mengisi buku alamat batinku.

Sekarang aku kembali berjalan.

Apakah aku akan menelefon teman?Apakah aku akan makan udang gapit di restoran?

Aku sebel terhadap cendikiawan yang menolak menjadi saksi.Masalah sosial dipoles gincu menjadi fizika.

Sikap jiwa dianggap maya dibanding mobil berlapis baja.Hanya kamu yang enak diajak bicara.

Kakiku melangkah melewati sampah-sampah.

Akan menulis sajak-sajak lagi.Rasa berdaya tidak bisa mati begitu saja.

Ke sini, Ma, masuklah ke dalam saku bajuku.Daya hidup menjadi kamu, menjadi harapan.