Puisi Aku Chairil Anwar

16
AKU Karya : Chairil Anwar Kalau sampai waktuku 'Ku mau tak seorang kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi

Transcript of Puisi Aku Chairil Anwar

Page 1: Puisi Aku Chairil Anwar

AKUKarya : Chairil Anwar

Kalau sampai waktuku'Ku mau tak seorang kan merayu 

Tidak juga kau 

Tak perlu sedu sedan itu 

Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang 

Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang 

Luka dan bisa kubawa berlari Berlari 

Hingga hilang pedih peri 

Dan aku akan lebih tidak perduli 

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Page 2: Puisi Aku Chairil Anwar

Biografi Chairil AnwarChairil Anwar adalah seorang penyair legendaris yang

dikenal juga sebagai “Si Binatang Jalang” (dalam karyanya

berjudul “Aku”). Salah satu bukti keabadian karyanya, pada

Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28

April 1949, masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian

Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra.

Penghargaan itu diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar.

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Chairil

Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes,

mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh

Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya

Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih punya

pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri

pertama Indonesia. Dia dibesarkan dalam keluarga yang

cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan

ayahnya menikah lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA,

Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.

Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School

(HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa

penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di

Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah

menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum

lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi

tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.

Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-

tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia

berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak

selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan

Page 3: Puisi Aku Chairil Anwar

bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca

karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M.

Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff

dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi

tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi

tatanan kesusasteraan Indonesia.

Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan

neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup

Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu

kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia.

Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa

pedih:

“Bukan kematian benar yang menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

Dan duka maha tuan bertahta”

Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling

Chairil puja. Dia bahkan terbiasa menyebut nama ayahnya,

Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si

ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya

yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya

pada ibunya.

Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya.

Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat

suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa

kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-

kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam

suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan

Page 4: Puisi Aku Chairil Anwar

hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang

menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh

dikatakan tidak pernah diam.

Masa Dewasa Chairil Anwar

Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah

pemuatan tulisannya di “Majalah Nisan” pada tahun 1942, pada

saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-

puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Chairil ketika

menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri

Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki

keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di

atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia

dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.

Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga

diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu

(1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus

(1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi

dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).

Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan

mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk

perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari

penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk:

“Krawang-Bekasi”, yang disadurnya dari sajak “The Young

Dead Soldiers”, karya Archibald MacLeish (1948).

Dia juga menulis sajak “Persetujuan dengan Bung Karno”,

yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus

mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.

Bahkan sajaknya yang berjudul “Aku” dan “Diponegoro”

juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata

Page 5: Puisi Aku Chairil Anwar

Aku binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai

dorongan kata hati rakyat Indonesia untuk bebas merdeka.

Chairil Anwar yang dikenal sebagai “Si Binatang Jalang”

(dalam karyanya berjudul Aku) adalah pelopor Angkatan ’45

yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi

yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat. Dia bersama Asrul

Sani dan Rivai Apin memelopori puisi modern Indonesia. Chairil

Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC dan

dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.

Hari meninggalnya diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

Chairil menekuni pendidikan HIS dan MULO, walau

pendidikan MULO-nya tidak tamat. Puisi-puisinya digemari

hingga saat ini. Salah satu puisinya yang paling terkenal sering

dideklamasikan berjudul Aku ( “Aku mau hidup Seribu Tahun

lagi!”). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra

asing ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi

redaktur ruang budaya Siasat “Gelanggang” dan Gema Suasana.

Dia juga mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” (1946).

Rekannya, Jassin pun punya kenangan tentang Chairil

Anwar. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia

kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak

bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami

bertanding di depan para gadis.”

Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama

Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis

yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan

masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis

Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.

Page 6: Puisi Aku Chairil Anwar

Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan

ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah

meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun

menjadi duda.

Akhir Hidup Chairil Anwar

Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi

fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang

semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh

tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil Anwar

meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC Dia dikuburkan

di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya

diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari

meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

 Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas

dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu (1949); Tiga

Menguak Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin); Aku

Ini Binatang Jalang (1986); Koleksi sajak 1942-1949″, diedit oleh

Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono

(1986); Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya

diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).

Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang

(1948, Andre Gide); Kena Gempur (1951, John Steinbeck).

Sementara karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam

bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol adalah: “Sharp gravel,

Indonesian poems”, oleh Donna M. Dickinson (Berkeley,

California, 1960); “Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah,

Chairil Anwar, Walujati” (Madrid: Palma de Mallorca, 1962);

Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin

Page 7: Puisi Aku Chairil Anwar

Salam (New York, New Directions, 1963); “Only Dust: Three

Modern Indonesian Poets”, oleh Ulli Beier (Port Moresby [New

Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969);

The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting

dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of

New York Press, 1970); The Complete Poems of Chairil Anwar,

disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan

bantuan HB Jassin (Singapore: University Education Press, 1974);

Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh

Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978); The Voice of the

Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton

Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International

Studies, 1993)

Sedangkan karya-karya tentang Chairil Anwar antara lain:

1. Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949,

diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan

Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan

Kebudajaan (Djakarta, 1953);

2. Boen S. Oemarjati, “Chairil Anwar: The Poet and his

Language” (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972);

3. Abdul Kadir Bakar, “Sekelumit pembicaraan tentang penyair

Chairil Anwar” (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan

Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra,

Universitas Hasanuddin, 1974);

4. S.U.S. Nababan, “A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir

Hamzah and Chairil Anwar” (New York, 1976);

5. Arief Budiman, “Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan” (Jakarta:

Pustaka Jawa, 1976);

Page 8: Puisi Aku Chairil Anwar

6. Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of

Chairil Anwar, Auckland, 1976;

7. H.B. Jassin, “Chairil Anwar, pelopor Angkatan ’45, disertai

kumpulan hasil tulisannya”, (Jakarta: Gunung Agung, 1983);

8. Husain Junus, “Gaya bahasa Chairil Anwar” (Manado:

Universitas Sam Ratulangi, 1984);

9. Rachmat Djoko Pradopo, “Bahasa puisi penyair utama sastra

Indonesia modern” (Jakarta: Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1985);

10. Sjumandjaya, “Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan

karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987);

11. Pamusuk Eneste, “Mengenal Chairil Anwar” (Jakarta: Obor,

1995);

12. Zaenal Hakim, “Edisi kritis puisi Chairil Anwar” (Jakarta:

Dian Rakyat, 1996).

Page 9: Puisi Aku Chairil Anwar

Biografi Tokoh Sastra (Asrul Sani) Seniman Pelopor Angkatan '45

Asrul Sani seniman kawakan yang antara lain dikenal lewat Sajak Tiga Menguak Takdir bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin meninggal dunia hari Minggu 11 Januari 2004 malam sekitar pukul 22.15 di kediamannya di Jln. Attahiriah, Kompleks Warga Indah No. 4E, Pejaten Jakarta. Seniman kelahiran Rao, Sumbar, 10 Juni 1927 ini wafat setelah kesehatannya terus menurun sejak menjalani operasi tulang pinggul sekitar satu setengah tahun sebelumnya.

Dia adalah pelaku terpenting sejarah kebudayaan modern Indonesia. Jika Indonesia lebih mengenal Chairil Anwar sebagai penyair paling legendaris milik bangsa, maka adalah Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin yang mengumpulkan karya puisi bersama-sama berjudul “Tiga Menguak Takdir” yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di tahun 1950. Mereka bertiga bukan hanya menjadi pendiri “Gelanggang Seniman Merdeka”, malahan didaulat menjadi tokoh pelopor sastrawan Angkatan 45.

Dalam antologi “Tiga Menguak Takdir” Asrul Sani tak kurang menyumbangkan delapan puisi, kecuali puisi berjudul “Surat dari Ibu”. Sejak puisi “Anak Laut” yang dimuat di Majalah “Siasat” No. 54, II, 1948 hingga terbitnya antologi “Tiga Menguak Takdir” tadi, Asrul Sani tak kurang menghasilkan 19 puisi dan lima buah cerpen. Kemudian, semenjak antologi terbit hingga ke tahun 1959 ia antara lain kembali menghasilkan tujuh buah karya puisi, dua diantaranya dimuat dalam “Tiga Menguak Takdir”, lalu enam buah cerpen, enam terjemahan puisi, dan tiga terjemahan drama. Puisi-puisi karya Asrul Sani antara lain dimuat di majalah “Siasat”, “Mimbar Indonesia”, dan “Zenith”.

Sastrawan Angkatan 45 bukan hanya dituntut bertanggungjawab untuk menghasilkan karya-karya sastra pada zamannya, namun lebih dari itu, mereka adalah juga nurani bangsa yang menggelorakan semangat kemerdekaan. Adalah tidak realistis sebuah bangsa bisa merdeka hanya bermodalkan bambu runcing. Namun ketika para “nurani bangsa” itu mensintesakan keinginan kuat bebas merdeka menjadi jargon-jargon “merdeka atau mati” dan semacamnya, maka, siapapun pasti akan tunduk kepada suara nurani.

Sesungguhnya bukan hanya bersastra, pada tahun 1945-an itu Asrul Sani yang pernah duduk sebangku dengan sastrawan Pramoedya Ananta Toer sewaktu sekolah di SLTP Taman Siswa Jakarta, bersama kawan-kawan telah menyatukan visi perjuangan revolusi kemerdekaan ke dalam bentuk Lasjkar Rakjat Djakarta. Masih di masa revolusi itu, di Bogor dia memimpin Tentara Pelajar, menerbitkan suratkabar “Suara

Page 10: Puisi Aku Chairil Anwar

Bogor”, redaktur majalah kebudayaan “Gema Suasana”, anggota redaksi “Gelanggang”, ruang kebudayaan majalah “Siasat”, dan menjadi wartawan pada majalah “Zenith”.

Hingga tiba pada bulan Oktober 1950 saat usianya masih 23 tahun, Asrul Sani sudah mengkonsep sekaligus mengumumkan pemikiran kebudayaannya yang sangat monumental berupa “Surat Kepercayaan Gelanggang”, yang isinya adalah sebentuk sikap kritisnya terhadap kebudayaan Indonesia. Isinya, antara lain berbunyi, ‘kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat kecil bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana-mana dunia-dunia baru yang sehat dan dapat dilahirkan’.

Asrul Sani yang kelahiran Rao, Pasaman, Sumatera Barat 10 Juni 1927 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, selain penyair adalah juga penulis cerita pendek, esei, penterjemah berbagai naskah drama kenamaan dunia, penulis skenario drama dan film, serta sekaligus sutradara panggung dan film. Bahkan, sebagai politisi ia juga pernah lama mengecap aroma kursi parlemen sejak tahun 1966 hingga 1971 mewakili Partai Nahdhatul Ulama, dan berlanjut hingga tahun 1982 mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal itu semua terjadi, terutama aktivitas keseniannya, adalah karena keterpanggilan jiwa sebab meski telah menamatkan pendidikan sarjana kedokteran hewan pada Fakultas Kehewanan IPB Bogor (ketika itu masih fakultas bagian dari Universitas Indonesia) dan menjadi dokter hewan, pada sekitar tahun 1955 hingga 1957 Asrul Sani pergi ke Amerika Serikat justru untuk menempuh pendidikan dramaturgi dan sinematografi di University of Southern California.

Seni dan keteknikan adalah dua dunia yang berbenturan dalam diri Asrul. Setamat Sekolah Rakyat di Rao, Asrul Sani menuju Jakarta belajar di Sekolah Teknik, lalu masuk ke Fakultas Kehewanan Universitas Indonesia (di kemudian hari dikenal sebagai Institut Pertanian Bogor). Sempat pindah ke Fakultas Sastra UI namun kemudian balik lagi hingga tamat memperoleh titel dokter hewan. Agaknya kekuatan jiwa seni telah memenangkan pertaruhan isi batin Asrul Sani. Maklum, bukan hanya karena pengalaman masa kecil di desa kelahiran yang sangat membekas dalam sanubarinya, sebelum ke Negeri Paman Sam Amerika Serikat pun pada tahun 1951-1952 ia sudah terlebih dahulu ke Negeri Kincir Angin Belanda dan belajar di Sekolah Seni Drama.

Selain karena pendekatan akademis dan romatisme kehidupan pertanian di desa, totalitas jiwa berkesenian terutama film makin menguat pada dirinya setelah Asrul Sani bertemu Usmar Ismail, tokoh

Page 11: Puisi Aku Chairil Anwar

lain perfilman. Bahkan, keduanya sepakat mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang melahirkan banyak sineas maupun seniman teater kesohor, seperti Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek W. Maliyati, Ismed M Noor, Slamet Rahardjo Djarot, Nano dan Ratna Riantiarno, Deddy Mizwar, dan lain-lain.

Film pertama yang disutradarai Asrul Sani adalah “Titian Serambut Dibelah Tudjuh” pada tahun 1959. Dan, ia mulai mencapai kematangan ketika sebuah film karyanya “Apa yang Kau Cari Palupi” terpilih sebagai film terbaik pada Festival Film Asia pada tahun 1970. Karya besar film lainnya adalah “Monumen”, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”,. “Pagar Kawat Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut Hidup”, dan lain-lain. Tak kurang enam piala citra berhasil dia sabet, disamping beberapa kali masuk nomibasasi. Alam pikir yang ada adalah, sebuah film jika dinominasikan saja sudah pertanda baik maka apabila hingga enam kali memenangkan piala citra maka sineasnya bukan lagi sebatas baik melainkan dia pantas dinobatkan sebagai tokoh perfilman.

Itulah Asrul Sani, yang pada hari Minggu, 11 Januari 2004 tepat pukul 22.15 WIB dengan tenang tepat di pelukan Mutiara Sani (56 tahun) istrinya meninggal dunia pada usia 76 tahun karena usia tua. Dia meninggal setelah digantikan popoknya oleh Mutiara, diberikan obat, dan dibaringkan. Sebagaimana kematian orang percaya, Asrul Sani menjelang menit dan detik kematiannya, usai dibaringkan tiba-tiba dia seperti cegukan, lalu kepalanya terangkat, dan sebelum mengkatupkan mata untuk selamanya terpejam dia masih sempat mencium pipi Mutiara Sani, yang juga aktris film layar lebar dan sinetron.

Asrul Sani meninggalkan tiga putra dan tiga putri serta enam cucu, serta istri pertama Siti Nuraini yang diceraikannya dan istri kedua Mutiara Sani Sarumpaet. Semenjak menjalani operasi tulang pinggul enam bulan lalu, hingga pernah dirawat di RS Tebet, Jakarta Selatan, kesehatan Asrul Sani mulai menurun. Dia adalah putra bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah, Yang Dipertuan Rao Mapattunggal Mapatcancang adalah raja adat di daerahnya.

Selama hidupnya Asrul Sani hanya mendedikasikan dirinya pada seni dan sastra. Sebagai penerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI pada tahun 2000 lalu, dia berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Namun dia berpesan ke istrinya untuk hanya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan dengan alasan, sambil bercanda tentunya ke Mutiara Sani setahun sebelumnya, ‘masak sampai detik terakhir, kita masih mau diatur negara’.

Page 12: Puisi Aku Chairil Anwar

Meski sudah mulai mengalami kemunduran kesehatan dalam jangka waktu lama, Asrul Sani masih saja menyempatkan menulis sebuah pidato kebudayaan, yang, konon akan dia sampaikan saat menerima gelar doktor kehormatan honoris causa dari Universitas Indonesia, Jakarta. Nurani bangsa itu telah pergi. Tapi biarlah nurani-nurani aru lain mekar tumbuh berkembang seturut zamannya.

Seniman Yang DiseganiSetibanya di Jakarta, Asrul memilih besekolah di Taman Siswa.

Di kelas ia duduk sebangku dengan Pramoedya Ananta Toer. Dan di luar sekolah ia bergaul dengan beberapa seniman ternama seperti; Chairil Anwar, Rivai Apin, Cornel Simandjuntak, dan beberapa lagi lainnya. Masa itu revolusi sedang bergejolak. Asrul bahkan sempat ikut Lasykar Rakyat Jakarta, dan masuk tentara. Ia bergabung dengan Pasukan 001 sampai pada puncak revolusi ketika dicetuskannya proklamasi PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia).

Usai Revolusi, tentara Jepang masuk ke tanan air dan menutup semua sekolah kecuali beberapa perguruan tinggi. Asrul Sani memilih melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Dokter Hewan di Bogor (sekarang Institut Pertanian Bogor). Satu-satunya sekolah yang luput dari kebijakan tentara Jepang menutup sarana pendidikan saat itu. Asrul rupanya tak betah berkutat dengan kuda dan jenis hewan lainnya. Ia justru tekun mempelajari berbagai jenis alat musik. Dalam tempo yang singkat, ia berhasil menguasai berbagai instrumen musik seperti biola dan klarinet. Selain itu, ia juga pandai bernyanyi. Asrul memang dikenal sebagai anak yang serba bisa.

Pada akhir pendudukan Jepang, Asrul Sani mulai dikenal sebagai sastrawan. Diawali dengan menulis puisi yang kemudian dipublikasikan pada harian-harian di Jakarta yang terbit di masa itu. Karir Asrur Sani di dunia kesenian semakin menanjak. Bukan hanya puisi yang ditulisnya, cerpen dan esainya kemudian bertebaran di media-media cetak. Ia berhasil membawa namanya menjadi salah satu sastrawan yang disegani. Berikut penggalan salah satu puisi, “Surat Dari Ibu”

Karya Asrul Sani:

Pergi ke laut lepas, anakku sayangPergi ke alam bebas!

Page 13: Puisi Aku Chairil Anwar

Selama hari belum petangdan warna senja belum kemerah-merahan

menutup pintu waktu lampau.Jika bayang telah pudar

Dan elang laut pulang ke sarangAngin bertiup ke benua

Tiang-tiang akan kering sendiriDan nahkoda sudah tahu pedoman,

Boleh engkau datang padaku!

Di kalangan para seniman yang sering berkumpul di kawasan Senen, Asrul dikenal berwawasan luas, cerdas, juga selalu berbicara tegas dengan bahasa yang elegan dan bersahaja. Pada setiap debat dalam komunitasnya atau di forum-forum, Asrul selalu tampil memukau dan membuat orang yang mendengarnya terkagum-kagum akan kecerdasannya. Bahkan tak jarang orang-orang sekitarnya terpingkal-pingkal mendengar kritiknya yang pedas dan kadang jenaka hingga membuat lawan debatnya tak mampu bersuara

DAFTAR PUSTAKA

http://chairil-anwar.blogspot.com/2003_03_30_archive.html#91913305 diakses pada 12 September 2013 pada 18:49

http://biografi.rumus.web.id/biografi-chairil-anwar/ diakses pada 12 September 2013 pada 19:03

http://id.scribd.com/doc/56576525/Biografi-Tokoh-Sastra-ASRUL-SANI diakses pada 12 September 2013 pada 19:17