Puisi Aku Chairil Anwar
Transcript of Puisi Aku Chairil Anwar
AKUKarya : Chairil Anwar
Kalau sampai waktuku'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Biografi Chairil AnwarChairil Anwar adalah seorang penyair legendaris yang
dikenal juga sebagai “Si Binatang Jalang” (dalam karyanya
berjudul “Aku”). Salah satu bukti keabadian karyanya, pada
Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28
April 1949, masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian
Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra.
Penghargaan itu diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar.
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Chairil
Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes,
mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh
Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya
Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih punya
pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri
pertama Indonesia. Dia dibesarkan dalam keluarga yang
cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan
ayahnya menikah lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA,
Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.
Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School
(HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa
penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah
menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum
lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi
tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.
Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-
tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia
berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak
selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan
bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca
karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M.
Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff
dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi
tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi
tatanan kesusasteraan Indonesia.
Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan
neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup
Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu
kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia.
Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa
pedih:
“Bukan kematian benar yang menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta”
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling
Chairil puja. Dia bahkan terbiasa menyebut nama ayahnya,
Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si
ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya
yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya
pada ibunya.
Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya.
Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat
suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa
kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-
kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam
suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan
hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang
menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh
dikatakan tidak pernah diam.
Masa Dewasa Chairil Anwar
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah
pemuatan tulisannya di “Majalah Nisan” pada tahun 1942, pada
saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-
puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Chairil ketika
menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri
Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki
keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di
atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia
dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.
Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga
diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu
(1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus
(1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi
dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).
Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan
mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk
perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari
penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk:
“Krawang-Bekasi”, yang disadurnya dari sajak “The Young
Dead Soldiers”, karya Archibald MacLeish (1948).
Dia juga menulis sajak “Persetujuan dengan Bung Karno”,
yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus
mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.
Bahkan sajaknya yang berjudul “Aku” dan “Diponegoro”
juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata
Aku binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai
dorongan kata hati rakyat Indonesia untuk bebas merdeka.
Chairil Anwar yang dikenal sebagai “Si Binatang Jalang”
(dalam karyanya berjudul Aku) adalah pelopor Angkatan ’45
yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi
yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat. Dia bersama Asrul
Sani dan Rivai Apin memelopori puisi modern Indonesia. Chairil
Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC dan
dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.
Hari meninggalnya diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
Chairil menekuni pendidikan HIS dan MULO, walau
pendidikan MULO-nya tidak tamat. Puisi-puisinya digemari
hingga saat ini. Salah satu puisinya yang paling terkenal sering
dideklamasikan berjudul Aku ( “Aku mau hidup Seribu Tahun
lagi!”). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra
asing ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi
redaktur ruang budaya Siasat “Gelanggang” dan Gema Suasana.
Dia juga mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” (1946).
Rekannya, Jassin pun punya kenangan tentang Chairil
Anwar. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia
kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak
bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami
bertanding di depan para gadis.”
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama
Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis
yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan
masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis
Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.
Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan
ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah
meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun
menjadi duda.
Akhir Hidup Chairil Anwar
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi
fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang
semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh
tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil Anwar
meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC Dia dikuburkan
di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya
diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari
meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas
dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu (1949); Tiga
Menguak Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin); Aku
Ini Binatang Jalang (1986); Koleksi sajak 1942-1949″, diedit oleh
Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono
(1986); Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya
diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).
Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang
(1948, Andre Gide); Kena Gempur (1951, John Steinbeck).
Sementara karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol adalah: “Sharp gravel,
Indonesian poems”, oleh Donna M. Dickinson (Berkeley,
California, 1960); “Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah,
Chairil Anwar, Walujati” (Madrid: Palma de Mallorca, 1962);
Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin
Salam (New York, New Directions, 1963); “Only Dust: Three
Modern Indonesian Poets”, oleh Ulli Beier (Port Moresby [New
Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969);
The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting
dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of
New York Press, 1970); The Complete Poems of Chairil Anwar,
disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan
bantuan HB Jassin (Singapore: University Education Press, 1974);
Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh
Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978); The Voice of the
Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton
Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International
Studies, 1993)
Sedangkan karya-karya tentang Chairil Anwar antara lain:
1. Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949,
diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan
Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan
Kebudajaan (Djakarta, 1953);
2. Boen S. Oemarjati, “Chairil Anwar: The Poet and his
Language” (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972);
3. Abdul Kadir Bakar, “Sekelumit pembicaraan tentang penyair
Chairil Anwar” (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra,
Universitas Hasanuddin, 1974);
4. S.U.S. Nababan, “A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir
Hamzah and Chairil Anwar” (New York, 1976);
5. Arief Budiman, “Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan” (Jakarta:
Pustaka Jawa, 1976);
6. Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of
Chairil Anwar, Auckland, 1976;
7. H.B. Jassin, “Chairil Anwar, pelopor Angkatan ’45, disertai
kumpulan hasil tulisannya”, (Jakarta: Gunung Agung, 1983);
8. Husain Junus, “Gaya bahasa Chairil Anwar” (Manado:
Universitas Sam Ratulangi, 1984);
9. Rachmat Djoko Pradopo, “Bahasa puisi penyair utama sastra
Indonesia modern” (Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1985);
10. Sjumandjaya, “Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan
karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987);
11. Pamusuk Eneste, “Mengenal Chairil Anwar” (Jakarta: Obor,
1995);
12. Zaenal Hakim, “Edisi kritis puisi Chairil Anwar” (Jakarta:
Dian Rakyat, 1996).
Biografi Tokoh Sastra (Asrul Sani) Seniman Pelopor Angkatan '45
Asrul Sani seniman kawakan yang antara lain dikenal lewat Sajak Tiga Menguak Takdir bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin meninggal dunia hari Minggu 11 Januari 2004 malam sekitar pukul 22.15 di kediamannya di Jln. Attahiriah, Kompleks Warga Indah No. 4E, Pejaten Jakarta. Seniman kelahiran Rao, Sumbar, 10 Juni 1927 ini wafat setelah kesehatannya terus menurun sejak menjalani operasi tulang pinggul sekitar satu setengah tahun sebelumnya.
Dia adalah pelaku terpenting sejarah kebudayaan modern Indonesia. Jika Indonesia lebih mengenal Chairil Anwar sebagai penyair paling legendaris milik bangsa, maka adalah Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin yang mengumpulkan karya puisi bersama-sama berjudul “Tiga Menguak Takdir” yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di tahun 1950. Mereka bertiga bukan hanya menjadi pendiri “Gelanggang Seniman Merdeka”, malahan didaulat menjadi tokoh pelopor sastrawan Angkatan 45.
Dalam antologi “Tiga Menguak Takdir” Asrul Sani tak kurang menyumbangkan delapan puisi, kecuali puisi berjudul “Surat dari Ibu”. Sejak puisi “Anak Laut” yang dimuat di Majalah “Siasat” No. 54, II, 1948 hingga terbitnya antologi “Tiga Menguak Takdir” tadi, Asrul Sani tak kurang menghasilkan 19 puisi dan lima buah cerpen. Kemudian, semenjak antologi terbit hingga ke tahun 1959 ia antara lain kembali menghasilkan tujuh buah karya puisi, dua diantaranya dimuat dalam “Tiga Menguak Takdir”, lalu enam buah cerpen, enam terjemahan puisi, dan tiga terjemahan drama. Puisi-puisi karya Asrul Sani antara lain dimuat di majalah “Siasat”, “Mimbar Indonesia”, dan “Zenith”.
Sastrawan Angkatan 45 bukan hanya dituntut bertanggungjawab untuk menghasilkan karya-karya sastra pada zamannya, namun lebih dari itu, mereka adalah juga nurani bangsa yang menggelorakan semangat kemerdekaan. Adalah tidak realistis sebuah bangsa bisa merdeka hanya bermodalkan bambu runcing. Namun ketika para “nurani bangsa” itu mensintesakan keinginan kuat bebas merdeka menjadi jargon-jargon “merdeka atau mati” dan semacamnya, maka, siapapun pasti akan tunduk kepada suara nurani.
Sesungguhnya bukan hanya bersastra, pada tahun 1945-an itu Asrul Sani yang pernah duduk sebangku dengan sastrawan Pramoedya Ananta Toer sewaktu sekolah di SLTP Taman Siswa Jakarta, bersama kawan-kawan telah menyatukan visi perjuangan revolusi kemerdekaan ke dalam bentuk Lasjkar Rakjat Djakarta. Masih di masa revolusi itu, di Bogor dia memimpin Tentara Pelajar, menerbitkan suratkabar “Suara
Bogor”, redaktur majalah kebudayaan “Gema Suasana”, anggota redaksi “Gelanggang”, ruang kebudayaan majalah “Siasat”, dan menjadi wartawan pada majalah “Zenith”.
Hingga tiba pada bulan Oktober 1950 saat usianya masih 23 tahun, Asrul Sani sudah mengkonsep sekaligus mengumumkan pemikiran kebudayaannya yang sangat monumental berupa “Surat Kepercayaan Gelanggang”, yang isinya adalah sebentuk sikap kritisnya terhadap kebudayaan Indonesia. Isinya, antara lain berbunyi, ‘kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat kecil bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana-mana dunia-dunia baru yang sehat dan dapat dilahirkan’.
Asrul Sani yang kelahiran Rao, Pasaman, Sumatera Barat 10 Juni 1927 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, selain penyair adalah juga penulis cerita pendek, esei, penterjemah berbagai naskah drama kenamaan dunia, penulis skenario drama dan film, serta sekaligus sutradara panggung dan film. Bahkan, sebagai politisi ia juga pernah lama mengecap aroma kursi parlemen sejak tahun 1966 hingga 1971 mewakili Partai Nahdhatul Ulama, dan berlanjut hingga tahun 1982 mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal itu semua terjadi, terutama aktivitas keseniannya, adalah karena keterpanggilan jiwa sebab meski telah menamatkan pendidikan sarjana kedokteran hewan pada Fakultas Kehewanan IPB Bogor (ketika itu masih fakultas bagian dari Universitas Indonesia) dan menjadi dokter hewan, pada sekitar tahun 1955 hingga 1957 Asrul Sani pergi ke Amerika Serikat justru untuk menempuh pendidikan dramaturgi dan sinematografi di University of Southern California.
Seni dan keteknikan adalah dua dunia yang berbenturan dalam diri Asrul. Setamat Sekolah Rakyat di Rao, Asrul Sani menuju Jakarta belajar di Sekolah Teknik, lalu masuk ke Fakultas Kehewanan Universitas Indonesia (di kemudian hari dikenal sebagai Institut Pertanian Bogor). Sempat pindah ke Fakultas Sastra UI namun kemudian balik lagi hingga tamat memperoleh titel dokter hewan. Agaknya kekuatan jiwa seni telah memenangkan pertaruhan isi batin Asrul Sani. Maklum, bukan hanya karena pengalaman masa kecil di desa kelahiran yang sangat membekas dalam sanubarinya, sebelum ke Negeri Paman Sam Amerika Serikat pun pada tahun 1951-1952 ia sudah terlebih dahulu ke Negeri Kincir Angin Belanda dan belajar di Sekolah Seni Drama.
Selain karena pendekatan akademis dan romatisme kehidupan pertanian di desa, totalitas jiwa berkesenian terutama film makin menguat pada dirinya setelah Asrul Sani bertemu Usmar Ismail, tokoh
lain perfilman. Bahkan, keduanya sepakat mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang melahirkan banyak sineas maupun seniman teater kesohor, seperti Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek W. Maliyati, Ismed M Noor, Slamet Rahardjo Djarot, Nano dan Ratna Riantiarno, Deddy Mizwar, dan lain-lain.
Film pertama yang disutradarai Asrul Sani adalah “Titian Serambut Dibelah Tudjuh” pada tahun 1959. Dan, ia mulai mencapai kematangan ketika sebuah film karyanya “Apa yang Kau Cari Palupi” terpilih sebagai film terbaik pada Festival Film Asia pada tahun 1970. Karya besar film lainnya adalah “Monumen”, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”,. “Pagar Kawat Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut Hidup”, dan lain-lain. Tak kurang enam piala citra berhasil dia sabet, disamping beberapa kali masuk nomibasasi. Alam pikir yang ada adalah, sebuah film jika dinominasikan saja sudah pertanda baik maka apabila hingga enam kali memenangkan piala citra maka sineasnya bukan lagi sebatas baik melainkan dia pantas dinobatkan sebagai tokoh perfilman.
Itulah Asrul Sani, yang pada hari Minggu, 11 Januari 2004 tepat pukul 22.15 WIB dengan tenang tepat di pelukan Mutiara Sani (56 tahun) istrinya meninggal dunia pada usia 76 tahun karena usia tua. Dia meninggal setelah digantikan popoknya oleh Mutiara, diberikan obat, dan dibaringkan. Sebagaimana kematian orang percaya, Asrul Sani menjelang menit dan detik kematiannya, usai dibaringkan tiba-tiba dia seperti cegukan, lalu kepalanya terangkat, dan sebelum mengkatupkan mata untuk selamanya terpejam dia masih sempat mencium pipi Mutiara Sani, yang juga aktris film layar lebar dan sinetron.
Asrul Sani meninggalkan tiga putra dan tiga putri serta enam cucu, serta istri pertama Siti Nuraini yang diceraikannya dan istri kedua Mutiara Sani Sarumpaet. Semenjak menjalani operasi tulang pinggul enam bulan lalu, hingga pernah dirawat di RS Tebet, Jakarta Selatan, kesehatan Asrul Sani mulai menurun. Dia adalah putra bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah, Yang Dipertuan Rao Mapattunggal Mapatcancang adalah raja adat di daerahnya.
Selama hidupnya Asrul Sani hanya mendedikasikan dirinya pada seni dan sastra. Sebagai penerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI pada tahun 2000 lalu, dia berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Namun dia berpesan ke istrinya untuk hanya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan dengan alasan, sambil bercanda tentunya ke Mutiara Sani setahun sebelumnya, ‘masak sampai detik terakhir, kita masih mau diatur negara’.
Meski sudah mulai mengalami kemunduran kesehatan dalam jangka waktu lama, Asrul Sani masih saja menyempatkan menulis sebuah pidato kebudayaan, yang, konon akan dia sampaikan saat menerima gelar doktor kehormatan honoris causa dari Universitas Indonesia, Jakarta. Nurani bangsa itu telah pergi. Tapi biarlah nurani-nurani aru lain mekar tumbuh berkembang seturut zamannya.
Seniman Yang DiseganiSetibanya di Jakarta, Asrul memilih besekolah di Taman Siswa.
Di kelas ia duduk sebangku dengan Pramoedya Ananta Toer. Dan di luar sekolah ia bergaul dengan beberapa seniman ternama seperti; Chairil Anwar, Rivai Apin, Cornel Simandjuntak, dan beberapa lagi lainnya. Masa itu revolusi sedang bergejolak. Asrul bahkan sempat ikut Lasykar Rakyat Jakarta, dan masuk tentara. Ia bergabung dengan Pasukan 001 sampai pada puncak revolusi ketika dicetuskannya proklamasi PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia).
Usai Revolusi, tentara Jepang masuk ke tanan air dan menutup semua sekolah kecuali beberapa perguruan tinggi. Asrul Sani memilih melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Dokter Hewan di Bogor (sekarang Institut Pertanian Bogor). Satu-satunya sekolah yang luput dari kebijakan tentara Jepang menutup sarana pendidikan saat itu. Asrul rupanya tak betah berkutat dengan kuda dan jenis hewan lainnya. Ia justru tekun mempelajari berbagai jenis alat musik. Dalam tempo yang singkat, ia berhasil menguasai berbagai instrumen musik seperti biola dan klarinet. Selain itu, ia juga pandai bernyanyi. Asrul memang dikenal sebagai anak yang serba bisa.
Pada akhir pendudukan Jepang, Asrul Sani mulai dikenal sebagai sastrawan. Diawali dengan menulis puisi yang kemudian dipublikasikan pada harian-harian di Jakarta yang terbit di masa itu. Karir Asrur Sani di dunia kesenian semakin menanjak. Bukan hanya puisi yang ditulisnya, cerpen dan esainya kemudian bertebaran di media-media cetak. Ia berhasil membawa namanya menjadi salah satu sastrawan yang disegani. Berikut penggalan salah satu puisi, “Surat Dari Ibu”
Karya Asrul Sani:
Pergi ke laut lepas, anakku sayangPergi ke alam bebas!
Selama hari belum petangdan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau.Jika bayang telah pudar
Dan elang laut pulang ke sarangAngin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiriDan nahkoda sudah tahu pedoman,
Boleh engkau datang padaku!
Di kalangan para seniman yang sering berkumpul di kawasan Senen, Asrul dikenal berwawasan luas, cerdas, juga selalu berbicara tegas dengan bahasa yang elegan dan bersahaja. Pada setiap debat dalam komunitasnya atau di forum-forum, Asrul selalu tampil memukau dan membuat orang yang mendengarnya terkagum-kagum akan kecerdasannya. Bahkan tak jarang orang-orang sekitarnya terpingkal-pingkal mendengar kritiknya yang pedas dan kadang jenaka hingga membuat lawan debatnya tak mampu bersuara
DAFTAR PUSTAKA
http://chairil-anwar.blogspot.com/2003_03_30_archive.html#91913305 diakses pada 12 September 2013 pada 18:49
http://biografi.rumus.web.id/biografi-chairil-anwar/ diakses pada 12 September 2013 pada 19:03
http://id.scribd.com/doc/56576525/Biografi-Tokoh-Sastra-ASRUL-SANI diakses pada 12 September 2013 pada 19:17