PUISI

39
PUISI-PUISI RITUALMASYARAKAT TIMOR TIMUR: SEBUAH STUDI AWAL TENTANGKONVENSI PUITIK DAN NILAI-NILAI HISTORIS Oleh Yoseph Yapi Taum PENELITIAN MANDIRIDILAKSANAKAN ATAS KERJASAMA DENGANMUSEUM NEGERI DILIPROPINSI TIMOR TIMUR 1996 2 KATA PENGANTAR Selama ini agaknya minat untuk mempelajari sastra dan kebudayaan Timor Timur belum terlalu berkembang luas, sekalipun pengakuan mengenai pentingnya penelitian di bidang ini sudah banyak diungkapkan. Perhatian terhadap aspek iniseharusnya diberikan sejak awal pembangunan Timor Timur, karena hal itu akanmemberikan kepada kita sensivitas agar dengan cita rasa yang halus dapat menyelamikekayaan pribumi Timor Timur. Hal ini juga penting agar akselerasi pembangunan yanggencar dilaksanakan di tengah-tengah masyarakat Timor Timur, tidak terkesanmemaksakan unsur asing dan menghilangkan pamor kebudayaan yang asli.Laporan penelitian berjudul “Puisi -puisi Ritual Masyarakat Timor Timur:Sebuah Studi Awal tentang Konvensi Puitik dan Nilai- nilai Historis†ini lebihmerupakan sebuah sugesti awal untuk lebih mendalami dan menyelami kekayaankhazanah kebudayaan daerah Timor Timur. Laporan ini belum dapat dikatakan sebagaisebuah hasil penelitian yang lengkap dan sistematis. Kami baru melaksanakan upaya awalyang masih dangkal, yang mencoba menjangkau tiga hal sekaligus, yakni: melakukandokumentasi, membuat kajian terhadap konvensi-konvensi puitis, dan mengungkap aspek-aspek historis dari berbagai teks itu. Yang terakhir ini merupakan „titipan‟ dari Museum Negeri Dili, pihak sponsor dalam penelitian ini. Menjangkau tiga masalah sekaligus tentusaja bukan hal yang mudah., apalagi pokok-pokok permasalahannya begitu luas. Olehkarena itulah, studi ini perlu diterima sebagai sebuah penelitian preliminer.Dalam penelitian ini dikemukakan sembilan teks puisi ritual masyarakat Timor Timur sebagai berikut. Teks A, B, C, dan D adalah teks-teks Hamulak dari masyarakat 3 Tetun. Teks E dan F adalah puisi lisan Gase yang berasal dari lingkungan masyarakatKemak. Teks G dan H merupakan puisi ritual Nololo dari masyarakat Fataluku. Terakhir teks I merupakan sebuah puisi lisan The‟a dari lingkungan masyarakat Bunak. Sebagai sebuah studi awal, uraian dalam laporan ini dilakukan secara sederhanasaja, suatu cara yang kiranya tak akan diperkenankan, andaikata ada kemungkinan untuk membicarakannya secara lebih mendalam. Mudah-mudahan kemungkinan itu datangsuatu ketika kelak. Dili, Medio Mei 1996Yoseph Yapi Taum 4 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR

Transcript of PUISI

  • PUISI-PUISI RITUALMASYARAKAT TIMOR TIMUR:

    SEBUAH STUDI AWAL TENTANGKONVENSI PUITIK DAN NILAI-NILAI HISTORIS

    Oleh

    Yoseph Yapi Taum

    PENELITIAN MANDIRIDILAKSANAKAN ATAS KERJASAMA DENGANMUSEUM NEGERI

    DILIPROPINSI TIMOR TIMUR 1996

    2

    KATA PENGANTAR

    Selama ini agaknya minat untuk mempelajari sastra dan kebudayaan

    Timor Timur belum terlalu berkembang luas, sekalipun pengakuan mengenai

    pentingnya penelitian di bidang ini sudah banyak diungkapkan. Perhatian

    terhadap aspek iniseharusnya diberikan sejak awal pembangunan Timor

    Timur, karena hal itu akanmemberikan kepada kita sensivitas agar dengan

    cita rasa yang halus dapat menyelamikekayaan pribumi Timor Timur. Hal

    ini juga penting agar akselerasi pembangunan yanggencar dilaksanakan di

    tengah-tengah masyarakat Timor Timur, tidak terkesanmemaksakan unsur

    asing dan menghilangkan pamor kebudayaan yang asli.Laporan penelitian

    berjudul

    Puisi

    -puisi Ritual Masyarakat Timor Timur:Sebuah Studi Awal tentang Konvensi

    Puitik dan Nilai-

    nilai Historis

    ini lebihmerupakan sebuah sugesti awal untuk lebih mendalami dan

    menyelami kekayaankhazanah kebudayaan daerah Timor Timur. Laporan ini

    belum dapat dikatakan sebagaisebuah hasil penelitian yang lengkap dan

    sistematis. Kami baru melaksanakan upaya awalyang masih dangkal, yang

    mencoba menjangkau tiga hal sekaligus, yakni: melakukandokumentasi,

    membuat kajian terhadap konvensi-konvensi puitis, dan mengungkap

    aspek-aspek historis dari berbagai teks itu. Yang terakhir ini

    merupakan titipan dari Museum

    Negeri Dili, pihak sponsor dalam penelitian ini. Menjangkau tiga

    masalah sekaligus tentusaja bukan hal yang mudah., apalagi pokok-pokok

    permasalahannya begitu luas. Olehkarena itulah, studi ini perlu diterima

    sebagai sebuah penelitian preliminer.Dalam penelitian ini dikemukakan

    sembilan teks puisi ritual masyarakat Timor Timur sebagai berikut. Teks

    A, B, C, dan D adalah teks-teks Hamulak dari masyarakat

    3

    Tetun. Teks E dan F adalah puisi lisan Gase yang berasal dari lingkungan

    masyarakatKemak. Teks G dan H merupakan puisi ritual Nololo dari

    masyarakat Fataluku. Terakhir

    teks I merupakan sebuah puisi lisan Thea dari lingkungan masyarakat

    Bunak.

    Sebagai sebuah studi awal, uraian dalam laporan ini dilakukan secara

    sederhanasaja, suatu cara yang kiranya tak akan diperkenankan, andaikata

    ada kemungkinan untuk membicarakannya secara lebih mendalam.

    Mudah-mudahan kemungkinan itu datangsuatu ketika kelak.

    Dili, Medio Mei 1996Yoseph Yapi Taum

    4

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR

  • .........................................................................

    ..........................iiDAFTAR

    ISI

    .........................................................................

    ......................................

    iiiBAB I PENDAHULUAN

    .........................................................................

    ....................

    11.1 Latar Belakang Masalah

    .........................................................................

    .........

    11.2 Masalah dan Metode

    .........................................................................

    ..............

    31.3 Pendekatan Mitos dan Sejarah

    .........................................................................

    41.4

    Lokasi Penelitian

    .........................................................................

    ...................

    5BAB II PUISI RITUAL DALAM SASTRA DAN BUDAYA TIMOR TIMUR ...........

    72.1 Sastra dan Budaya Masyarakat Tetun

    .............................................................. 72.1.1

    Wilayah Penyebarannya

    .........................................................................

    ......

    72.1.2 Mitos, Ritus dan Strata Sosial

    .......................................................................

    92.1.3 Nilai-nilai Religius

    .........................................................................

    .............

    102.1.4 Daur Kehidupan

    .........................................................................

    ................

    142.2 Sastra dan Budaya Masyarakat Kemak

    .......................................................... 172.2.1

    Wilayah Persebarannya

    .........................................................................

    .....

    172.2.2 Adat Istiadat

    .........................................................................

    ......................

    182.2.3 Aspek Religi

    .........................................................................

    .....................

    182.3 Sastra dan Budaya Masyarakat Fataluku

    ....................................................... 192.3.1 Sistem

    dan Struktur Kehidupan Sosial

    ........................................................ 192.3.2

    Beberapa Aspek Seni Budaya

    .....................................................................

    222.3.3 Seni Sastra

    .........................................................................

    .........................

  • 252.3.4 Nyanyian Rakyat

    .........................................................................

    ...............

    292.3.5 Rangkuman

    .........................................................................

    .......................

    302.4 Sastra dan Budaya Masyarakat Bunaq

    ........................................................ 312.4.1 Wilayah

    Penyebaran

    .........................................................................

    .........

    312.4.2 Adat-istiadat

    .........................................................................

    ......................

    322.4.3 Religi Lokal

    .........................................................................

    ......................

    33BAB III KONVENSI PUITIK PUISI RITUAL TIMOR TIMUR

    .............................. 353.1 Dasar Komposisi

    .........................................................................

    ..................

    353.2 Pasangan Paralel

    .........................................................................

    ..................

    37BAB IV NILAI-NILAI HISTORIS DALAM TEKS-TEKSPUISI RITUAL TIMOR TIMUR

    .........................................................................

    ......

    404.1 Nilai-nilai Historis dalam Hamulak

    ............................................................... 404.1.1

    Asal-usul Orang Tetun

    .........................................................................

    ......

    404.1.2 Malaka dan Kerajaan Wesei Wehali

    ........................................................... 424.2

    Nilai-nilai Historis dalam Gase

    .....................................................................

    454.2.1 Penduduk Asli Kemak

    .........................................................................

    .......

    454.2.2 Penduduk Pendatang Kemak

    ......................................................................

    464.3 Nilai-

    nilai Historis dalam Thea

    .................................................................... 48

    5

    4.4 Nilai-nilai Historis dalam Nololo

    .................................................................. 50BAB

    V PENUTUP

    .........................................................................

    ............................

    525.1 Simpulan

    .........................................................................

    ............................

  • 525.2 Saran

    .........................................................................

    ..................................

    55DAFTAR ACUAN

    .........................................................................

    ............................

    57

    DAFTAR LAMPIRAN

    1. TEKS A: HAMULAK Peresmian Rumah Adat Uma Lulik Manewalu (Tetun)

    ....... 582. TEKS B: HAMULAK Kematian Raja Uma Metan (Fohoren) (Tetun)

    ..................... 723. TEKS C: HAMULAK Menjemput Liurai Suai (Tetun)

    ........................................... 774. TEKS D: HAMULAK

    Mengisahkan Asal-usul Leluhur Uma Metan (Tetun)........... 825. TEKS E:

    GASE Kisah Kedatangan Nenek Moyang Atudara (Kemak) 906. TEKS F: GASE

    Kisah Penduduk Asli Atudara (Kemak)

    ......................................... 997. TEKS G: NOLOLO Permohonan

    Agar Diberi Keturunan (Fataluku) .................... 1038. TEKS H:

    NOLOLO Permohonan Agar Menang Medan Perang (Fataluku) .......... 107

    9. TEKS I: THEA Kisah Asal

    -usul Masyarakat Tapo (Bunak).................................. 116

    6

    BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Masalah

    Dalam bukunya,

    Oral Tradition: A Study in Historical Methodology

    (1965)

    ,

    JanVansina menulis sebagai berikut.

    There can be no doubt that oral tradition bring the past

    back to life, for they are venerable words that provide the key to the

    storehouse of wisdomof the ancestors who worked, loved, and suffered in

    times gone by. There can be no doubt

    that oral tradition are a source of knowledge about the past.

    ...Tak dapat disangkal

    bahwa tradisi lisan menghidupkan kembali masa lampau, karena tradisi

    lisan ibarat kata-kata mutiara yang dapat menjadi kunci memahami

    filosofi kerja, cinta, dan penderitaan para leluhur di masa lampau. Tak

    dapat disangkal bahwa tradisi lisan merupakan sebuah

    sumber pengetahuan akan masa lampau. Pernyataan Vansina tersebut dapat menjadi pemicu bagi masyarakat

    pencitatradisi lisan untuk mendalami berbagai aspek tradisi lisan yang

    sampai sekarang masih banyak terdapat dalam masyarakat tradisional di

    Indonesia. Secara khusus, masyarakat dikawasan timur Indonesia masih

    sangat didominasi oleh tradisi lisan, karena kebanyakanmasyarakat di

    kawasan ini tidak mengenal tradisi tulisan asli daerah. Oleh karena

    itu, penelitian terhadap tradisi-tradisi lisan yang untuk sebagian besar

    masih hidup di kalanganmasyarakat tersebut penting untuk dilakukan, jika

    kita ingin mengungkap dan mengetahuisistem-sistem konvensi, nilai, norma

    sosial dan kesadaran historisitas serta

    world-view,

    weltanschauung

    atau pandangan dunia mereka. Tradisi lisan bagi mereka dapat

  • dikatakanmerupakan satu-satunya wadah komunikasi yang terpenting untuk

    menyimpan dan

    7

    mewariskan kekayaan budaya, termasuk sastra dan kisah-kisah sejarah masa

    lampaumereka.Karya tulis ini merupakan sebuah laporan penelitian

    mengenai tradisi lisan darisebagian masyarakat Timor Timur. Penelitian

    ini secara khusus mengkaji salah satu genresastra lisan yang sangat luas

    persebarannya di Timor Timur, yakni:

    genre puisi ritual

    .

    Mengingat luasnya wilayah kajian puisi ruatual tersebut, penelitian

    ini

    membatasi diri

    pada puisi ritual Tetun yang disebut Hamulak, puisi ritual Kemak yang

    disebut Gase, puisi

    ritual Bunak yang disebut Thea dan puisi ritual Fataluku yang disebut

    Nololo. Puisi

    - puisi ritual itu adalah sebuah sarana bahasa ritual yang bersifat

    liris dan metaforis yangdigunakan dalam berbagai pertemuan ritual

    formal.Pemilihan genre puisi ritual lisan sebagai pokok pembicaraan

    didasarkan pada pandangan bahwa bahasa ritual dalam kesadaran masyarakat

    Timtim merupakan sebuah bahasa keramat yang digunakan untuk menyebut dan

    mempertahankan tata aturan dantradisi leluhur mereka. Pengungkapan

    dengan bahasa ritual, --tidak semua orang mampudan mahir

    menggunakannya-- biasanya digunakan pada moment-moment sakral,

    sehingga penyimpangannya sedapat mungkin dihindari.Mengingat kedudukan

    penting tradisi puisi ritual Hamulak dalam kehidupantradisional

    masyarakat Timor Timur ---doa ritual yang selalu disampaikan pada

    berbagai pertemuan ritual formal dan kesempatan-kesempatan istimewa---,

    dapat dikatakan bahwa tradisi Hamulak mempunyai kaitan dan hubungan

    timbal-balik yang erat dengan berbagai konvensi dan sistem nilai dalam

    masyarakat tersebut. Ini berarti TradisiHamulak bukanlah sebuah genre

    (sastra) yang berdiri sendiri, melainkan tumpang-tindihdengan ritus,

    sejarah, sistem arsitektur tradisional, ekologi, praktek kekerabatan,

    legenda,

    8

    mitos, ataupun keyakinan religius, dll. yang merupakan sebuah bidang

    penelitian yangsangat luas.Tidak mungkin perjalanan tradisi yang rumit

    dan berbelit-belit itu dirangkumdalam sebuah laporan penelitian saja.

    Yang akan disajikan di sini hanyalah suatutinjauan dari perspektif

    (ilmu) sastra (lisan), dan kajian khusus menyangkut aspek-aspek historis

    dan genealogis. Kajian sastra lisan itupun terbatas pada masalah

    konvensistruktural sastra lisan Hamulak, yang mungkin dapat merangsang

    penelitian lebihlanjut, yang lebih luas dan terperinci.

    1.2 Masalah dan Metode

    Secara formal, masalah penelitian ini adalah menyelidiki bagaimana orang

    Timor Timur dewasa ini memberi makna kepada kehidupan dan pengalaman

    aktualnya melaluitradisi puisi ritualnya. Dengan cara ini, diusahakan

    untuk dapat diungkapkan unsur-unsur genealogis dan historis mereka. Kami

    berharap agar setelah memahami sistem maknamereka, kami mampu

    menafsirkan kehidupan sosial Timor Timur seperti tertuang

    dalamkompleksitas simbol-simbol (religi dan sistem-sistem kepercayaan

  • lainnya). Kami juga berupaya agar mampu menafsirkan bagaimana

    proses-proses pembangunan berlangsungdan bagaimana pengaruhnya atas

    masyarakat Timor Timur.Mengingat sifat masalah tersebut, kami akan

    menggunakan dua model pendekatan, yakni kajian teks (studi sastra) dan

    konteks (latar belakang mitos danlegenda) dengan metode

    interpretasi-introspektif. Jadi fokus studi ini adalah sedapatmungkin

    mendasari interpretasinya pada teks dan konteks. Pada tahap pertama,

    kajian perlu dilakukan terhadap konvensi poetika dan estetika teks

    karena susunan ini

    9

    menentukan segala sistem semiotik yang membentuk model dunia bagi

    pemakainya(Teeuw, 1985: 99). Kajian konteks menggunakan pendekatan

    mitologis, yakni pendekatan yang berusaha untuk mencapai akses ke dalam

    dunia konseptual darimasyarakat pendukung teks tersebut. Pada tahap ini

    dikaji nilai-nilai, konsepsi-konsepsi,dan paham-paham yang membimbing

    mereka dan yang memberi makna pada pengalaman dan lingkungan mereka.

    1.3 Pendekatan Mitos dan Sejarah

    Dalam berbagai kebudayaan Nusantara diskusi tentang wacana sastra dan

    sejarahacapkali memunculkan tafsir dan penerimaan yang berbeda-beda.

    Memasuki wacanasejarah, lisan maupun tulisan, orang tidak saja

    berhadapan dengan fakta tetapi jugakehendak. Jangkauan kebenaran dari

    fakta dan kehendak itu begitu luas dan tumpang

    tindih, nyaris mirip kuburan yang diamati Danarto (Taum, 1995: 18).

    Orang

    -orang

    Jawa yang kaya dan punya kuasa, kata Danarto, mendirikan makam

    Raden

    Wijaya di

    Mojokerto agar mereka bisa punya acara berziarah. Padahal menurut ahli

    sejarah makam

    yang sesungguhnya berada di Blitar. Saling berjalinnya tradisi sastra dan tradisi sejarah memunculkan kesan

    kebenaran bersifat fragmentaris, tidak lengkap, serba mungkin, dan

    tak

    bersambungan.

    Karena itu wacana sejarah, apalagi sejarah lisan, sesungguhnya suatu

    jenis cerita yang

    secara hakiki bersifat sastra. Peristiwa at au fakta barulah dapat dipahami dan menjadi jelas hubungannya dalam

    rangkuman pemahaman yang dibentuk oleh cerita. Karena itudiperlukan

    imaginasi untuk membentuk pemahaman yang menyeluruh.

    10

    Mengungkapkan suatu kebenaran dari teks

    -teks sastra lisan akan menghadapikendala yang sangat berarti mengingat

    kekhasan

    timelessness

    dalam sastra lisan.Kejadian-kejadian seringkali tidak terikat pada

    periode waktu tertentu, dan bukanlah bagian dari rangkaian

    open

    -

    ended

  • . Historisitas dari kejadian-kejadian itu seringkalitidak relevan dengan

    kenyataan tertentu karena kepentingan-kepentingannya seringkali bersifat

    abadi (De Jong, 1980: 116). Oleh karena itu sastra lisan, khususnya

    kisah-kisahgenealogis harus dilihat sekaligus

    historis

    (karena apa yang diceritakan itu dapatdisituasikan dalam kurun waktu

    tertentu --sekalipun waktu itu tidak nyata dan tidak

    dapatdispesifikasikan) tetapi sekaligus

    a-historis

    (karena pola khusus yang dideskripsikan itu

    bersifat abadi). Pendekatan mitologis ini dipandang paling tepat untuk mengkaji fakta

    -

    fakta historis yang termuat dalam teks

    -teks puisi ritual masyarakat Timor Timur.

    1.4 Lokasi Penelitian

    Dalam tahap awal, lokasi yang dipilih untuk penelitian ini hanya

    difokuskan padawilayah kebudayaan Tetun Terik yang memiliki tradisi

    hamulak. Kajian khusus mengenaimasyarakat Tetun masih ditemukan dalam

    laporan penelitian ini. Akan tetapi, sesuaidengan misi dan tugas yang

    diemban tim ini, maka lokasi penelitian ini kemudian lebihmeluas dan

    mencakup wilayah-wilayah lainnya di dalam provinsi Timor Timur yang

    memiliki tradisi puisi ritual yang sama dengan hamulak.

    Lokasi-lokasi itu adalah wilayah kebudayaan Kemak dengan tradisi

    puisiritualnya yang disebut

    Gase

    ; wilayah kebudayaan Bunaq dengan tradisi puisi ritualnyayang disebut

    Thea;

    dan wilayah kebudayaan Fataluku (Kabupaten Los Pallos) dengantradisi

    puisi ritualnya yang disebut

    Nololo

    .

    11

    Di wilayah-wilayah penelitian tersebut, direkam puisi-puisi ritual yang

    dapatdijadikan titik tolak pembahasan mengenai aspek-aspek historis dan

    genealogismasyarakat tersebut. Teks-teks untuk kepentingan penelitian

    ini direkam dari tua adatyang secara tradisional memiliki kewenangan

    menjadi penutur. Dalam kebudayaan Tetun, penutur

    Hamulak

    disebut Makdean atau Makoan (Shaman), dala

    m kebudayaan Kemak penutur

    Gase

    disebut Lia Nai (Tukang Cerita), dalam kebudayaan Bunaq penutur

    thea disebut:

    Okul Gomo//Lale Gomo (pemangku adat)

    ; dan dalam kebudayaan Fataluku penutur

    Nololo

    disebut Nawarana (Orang Pintar).Patut dikemukakan di sini, bahwa

    beberapa teks yang direkam dan dilampirkandalam penelitian ini kurang

    relevan dengan tujuan penelitian, yakni meneliti

  • aspek-aspek kesejarahannya. Hal ini disebabkan informasi awal yang belum

    terlalu jelas mengenaitujuan yang diharapkan dari penelitian ini.

    Teks-teks, terutama teks Nololo dari wilayahkebudayaan Fataluku

    (Kabupaten Los Pallos), disertakan dalam laporan penelitian inilebih

    dengan pertimbangan bahwa teks-teks itu cukup representatif mengungkap

    konvensisastra puisi ritual masyarakat Fataluku.

    12

    BAB IIPUISI RITUAL DALAM KONTEKSSASTRA DAN BUDAYA TIMOR TIMUR

    Kajian dalam bab ini mengungkapkan konteks puisi ritual dalam sastra

    dan budaya Timor Timur. Sesuai dengan cakupan masalah penelitian ini,

    pembahasan akanmencakup konteks sastra dan budaya masyarakat Tetun,

    Kemak, Bunaq dan Fataluku.

    2.1 Sastra dan Budaya Masyarakat Tetun

    2.1.1 Wilayah Penyebarannya

    Masyarakat Tetun adalah sekelompok suku bangsa di Pulau Timor

    yangdikenal dengan sebutan 'orang Tetun' (Ema Tetun), yang berbahasa

    Tetun (Lia Tetun),yang berbicara Tetun (Dale Tetun), dan yang mendiami

    tanah atau wilayah Tetun (RaiTetun) (Parera, 1994: 47). Suku bangsa

    Tetun mendiami kawasan yang cukup luas.Sebagiannya menetap di propinsi

    NTT (kabupaten Belu) dan sebagiannya lagi menetapsecara sporadis di 7

    kabupaten di propinsi Timor Timur (yakni kabupaten Dili,Manatuto,

    Viqueque, Ainaro, Ermera, Bobonaro, dan Kovalima).Di Timor Timur,

    penutur bahasa Tetun mencakup lebih dari separuh jumlah penduduknya.

    Beberapa informasi menyebutkan bahwa lebih dari 60% masyarakatTimtim

    menggunakan bahasa Tetun. Pada masa pemerintahan bangsa Portugal,

    bahasaTetun telah dipergunakan sebagai bahasa pengantar (lingua

    franca).Masyarakat Tetun sangat kaya akan tradisi lisan, baik prosa

    maupun puisi.Ragam prosa yang secara umum dikenal sebagai Lia Nain

    mencakup dongeng,legenda, fabel, cerita genealogis (Ai-Knanoik) dan

    cerita kepahlawanan (Ai-Babelen).

    13

    Ragam puisi meliputi perumpamaan (dadolin), teka-teki (Ai-Sasik), pantun

    berbalas- balasan (Ai-Knananuk), dan puisi doa (hamulak).Tukang cerita

    atau penyair lisan Tetun disebut

    Makdean

    atau

    Makoan .Mereka adalah tua-tua adat Tetun yang secara tradisional bertugas

    menjagakeberlangsungan tradisi lisan dan berbagai sistem nilai lainnya.

    Mereka umumnya berperanan sebagai 'imam ritual' yang berfungsi menjalin

    hubungan antara anggotasuku dengan pendiri suku maupun sang pencipta.

    Pada jaman dulu,

    Makdean atau Makoan

    adalah sebuah jabatan dalam fungsi ritual, yang hanya boleh diduduki

    ataudiperankan oleh tua-tua adat dari kelompok suku

    Uma Lia Na'in

    . Inilah sebabnya segala bentuk tuturan sastra lisan Tetun disebut juga

    dengan istilah

    Lia Na'in

    .. Akan tetapi,kini konvensi tersebut telah mengalami pergeseran.

    Hamulak dapat diucapkan oleh tua-tua adat dari uma manapun asalkan

  • memenuhi syarat-syarat yang sudah 'ditentukan'.Pada dasarnya hamulak

    adalah semacam narasi doa yang diungkapkan denganmenggunakan konvensi

    bahasa ritual yang berciri liris, puitis, dan metaforis. Dalam berbagai

    kepentingan ritual formal, penuturannya dilaksanakan dengan lagu

    (dilagukan).Orang Tetun seringkali menganggap bahasa ritual itu sebagai

    suatu 'bahasa leluhur'yang harus menggunakan kosa kata yang unik dan

    aturan tersendiri yang khas padahamulak.Hamulak biasanya diucapkan pada

    saat dimulai atau berakhirnya penyelenggaraan upacara-upacara ritus

    tradisional, seperti pembangunan rumah adat(uma lulik), upacara

    pernikahan, kematian, pembukaan lahan baru, panen, dll. Selaindalam

    upacara-upacara ritus tradisional, akhir-akhir ini Hamulak juga

    disampaikan

    14

    dalam upacara-upacara 'modern' seperti penerimaan tamu penting,

    pemberkatan gereja, pentahbisan imam baru, dan berbagai acara penting

    lainnya.

    2.1.2 Mitos, Ritus dan Strata Sosial

    Teks Hamulak yang dijadikan bahan informasi dalam sub-uraian ini

    adalahHamulak pada ritus peresmian (inagurasi) 'rumah adat'

    Uma Lulik Manewalu

    darikelompok Uma Ferik Katuas di Desa Fohoren Kecamatan Fohoren

    Kabupaten Kovalima.Kelompok Uma Ferik Katuas adalah sebuah organisasi

    sosial di dalam struktur masyarakat desa Fohoren yang merupakan salah

    satu dari empat 'suku' Uma Metan(istilah setempat untuk menyebut suku

    adalah uma). Dalam lingkungan 'suku' UmaMetan, terdapat empat kelompok

    organisasi sosial (pola empat), yakni: Uma Metan,Uma Ferik Katuas, Uma

    Kanek, dan Uma Lia Na'in. Masing-masing uma mempunyaikedudukan dan

    fungsi sosial dan ritual tertentu. Wilayah tempat tinggal

    masing-masing'uma disebut 'Nua Dato', termasuk rumah adatnya sendiri.

    Rumah adat Uma Metan disebutUma Metan Ri Mean, rumah adat Uma Ferik

    Katuas disebut Uma Lulik Manewalu,rumah adat Uma Kanek disebut Uma Lulik

    Kanek, dan rumah adat Uma Lia Na'indisebut Uma Lulik Lia Na'in.Dari

    kisah mitologis

    Manumatadador

    , diperoleh keterangan bahwa keempat'uma' tersebut memiliki hubungan

    yang erat dengan leluhur mitologis yang sama yakniSawak (tokoh

    perempuan) dan Koli (tokoh laki-laki), dua tokoh kakak-beradik

    yangdipandang sebagai cikal-bakal penduduk Fohoren. Kelompok Uma Metan

    merupakanketurunan langsung dari Koli, dan dengan demikian menduduki

    fungsi sebagai kepala panitia empat. Uma Ferik Katuas adalah tokoh

    mitologis pemelihara Sawak dan Koli.

    15

    Kelompok Uma Kanek adalah keturunan Suri Ikun, seorang panglima perang

    yangkawin dengan Sawak. Sedangkan kelompok Uma Lia Na'in adalah

    Manumatadador,saksi yang berhasil mempertemukan Sawak dan Koli dengan

    kedua orang tua mereka.Hal tersebut di atas menjelaskan pula, mengapa

    masyarakat Tetun cenderung berupaya membina dan membangun kohesi yang

    erat antara anggota masyarakatnya.Dalam teks Hamulak Uma Manewalu, akan

    tampak adanya aspirasi dan apresiasi merekaterhadap harmoni sosiologis

    maupun kosmologis. Hamulak, ritus dan legitimasi stratasosial berkaitan

    erat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Tetun. Semuanya itumerupakan

    simbol-simbol yang kemudian berkembang secara penuh dalam religi

  • dansistem-sistem kepercayaan lainnya. Hal-hal itu berfungsi untuk

    menerangkan kehidupansebagaimana adanya, dan sering kali melegitimasi

    tatanan sosial.

    2.1.3 Nilai-Nilai Religius

    Puisi lisan yang sampai sekarang masih tetap hidup, diciptakan dan

    dihayati dandiapresiasi masyarakat Timor Timur menyampan sistem nilai

    religius masyarakat ini.Patut disadari bahwa pemahaman terhadap

    nilai-nilai religius itu dapat dijadikan titik tolak terbaik untuk

    memahami segi-segi kebudayaan yang lebih luas, seperti

    diungkapkanZoetmulder (1965: 327).

    Religion is the key of history. We cannot understand the inner form of

    a society

    unless we understood religion. We cannot understand its cultural

    achievement

    unless we understand the religious beliefs that lie behind them. In all

    ages the first creative works of a due to a religious inspiration and

    dedicated to areligious end.

    16

    Tradisi Hamulak sampai saat ini masih tetap diciptakan, diapresiasi, dan

    dihayatisebagai satu-satunya bentuk sastra oleh masyarakat pendukungnya.

    Masihdipertahankannya tradisi ini menunjukkan bahwa Hamulak masih

    memiliki fungsi bagimasyarakat pendukungnya sebagai sarana

    mempertahankan nilai-nilai luhur yangdihormati masyarakat.Dalam

    narasi-narasi teks puisi lisan yang direkam (lihat misalnya: Hamulak

    UmaLulik Manewalu), tampak bahwa masyarakat Tetun menempatkan aspek

    mikrokosmos(manusia) dengan makrokosmos (semesta) dalam suatu pola

    hubungan yang terkesan bersifat antonim. Makrokosmoslah yang harus

    dihormati dan dipentingkan. Sebaliknyamikrokosmos harus dinomor-duakan

    bahkan dihilangkan. Yang menggerakkan cerita bukanlah mikrokosmos

    melainkan makrokosmos, bukan kehendak manusia untuk memiliki simbol

    ritual rumah adat melainkan jaminan bagi keberlangsungan tradisi(adat),

    yang diwariskan sejak penciptaan dan dari para pendiri suku. Adat itulah

    yangmenjamin dan melindungi semua aspek kehidupan anggota

    suku.Pembangunan rumah adat bagi masyarakat Tetun merupakan

    sebuahtindakan penciptaan kembali menurut model kosmogoni, untuk

    membangun kosmos.Rumah adat harus dibangun di Nua Dato yang merupakan

    pusat kehidupan//awal dunia

    (No husar dato//No binan dato).

    Untuk itu, berbagai kekuatan yang impersonal maupunkehidupan publik suku

    harus digerakkan untuk mendukung peragaan kosmogonitersebut. Hal ini

    menjelaskan mengapa komunitas suku dalam desa-desa masyarakatTetun

    selalu memiliki konotasi religius. Di sini terlihat jelas, bahwa

    kebudayaanmaterial, relasi sosial, relasi ekonomi dan ekspresi seni

    jalin-menjalin secara eratmembentuk sebuah harmoni dengan kepercayaan

    (adat/agama) asli mereka.

    17

    Dalam penyelenggaraan kehidupan semesta alam, setiap orang (atau

    setiapmakhluk) harus memberi sumbangan untuk menjaga agar tatanan

    (kosmos) selaluseimbang. Tatanan kosmos hanya bisa terjadi apabila:

    penghormatan dan pemujaankepada leluhur tetap dipelihara. Selain itu

    dituntut adanya kesatuan pandangan, terutamadalam mengambil suatu

    keputusan penting menyangkut kepentingan umum suku.Karena itulah, tampak

  • bahwa masyarakat Tetun memiliki aspirasi dan apresiasiyang sangat kuat

    terhadap nilai kesepakatan dan kesatuan pandangan (musyawarah

    danmufakat) dalam melakukan berbagai aktivitas yang dipandang penting

    dalam hidup ini. Nilai ini berulang-ulang dapat kita temukan dalam teks

    Hamulak Uma Lulik Manewalu, seperti dikutip kembali di bawah ini.

    (016) Tetuk bele mai// : Berkumpul semua di sini// Nesan bele mai :

    Bersatu semua di sini(017) Tau motu ibun// : Satukan suara// Tau motu

    lian : Satukan pendapat (018) Ibun ida tian// : Suara sudah satu// Lian

    ida tian : Pendapat sudah teguh

    Terlihat dalam kutipan di atas, bahwa nilai musyawarah dan mufakat,

    yangsangat diperlukan bagi penataan organisasi sosial, memiliki akar

    yang kuat dalamkebudayaan masyarakat Tetun. Keputusan-keputusan penting

    diharapkan diambil bersama dan tidak ditetapkan secara sepihak o

    leh pihak penguasa.

    2.1.4 Daur Kehidupan

    Kehidupan manusia biologis sebagai makhluk bio-organik, ditandai

    denganmasa-masa sebagai berikut.1. Masa pembentukan organik dalam rahim

    (zigot-embrio-janin),2. Masa pertumbuhan dan perkembangan fisik- mental

    (bayi-anak-anak-remaja),

    18

    3. Masa produktif (pemuda/i-dewasa),4. Masa balik

    (mapan-tua-mati).Ditinjau dari aspek kehidupan kemakhlukannya, manusia

    tidak lebih berartidaripada binatang dan tumbuhan. Sebagai makhluk

    mamalia, derajat manusia bolehdikatakan setara dengan primata-primata

    lain seperti gorila, dan simpanse. Manusiasama sekali tidak lebih mulia

    dari mahkluk biologis lainnya.Akan tetapi, di mana dan dari manakah

    letak kelebihan atau kemuliaan manusiadalam kemanusiaannya? Keinsanan

    manusia diyakini oleh umat manusia bumi, bahwamanusia di samping

    memiliki badan organik biologis, juga memiliki perasaan dan pikiran di

    samping insting, memiliki jiwa dan roh di samping perasaan dan pikiran.

    Pendapat banyak orang bahkan ahli pikir menyatakan,K

    emuliaan manusia dalamkeinsanan manusiawinya merupakan pengaruh sentuhan

    dari keterpaduan hakekatdalam suatu gerak dinamis yang terbuka antara

    perasaan dan pikiran dalam jiwa yang

    hidup kreatif dalam kebijakan roh. Hakekat manusia adalah jiwa yang

    berse

    mayamdalam badan biologis dan badan roh yang memiliki perasaan dan

    pikiran.Keunggulan perasaan dan pikiran pada manusia merupakan sarana

    istimewayang bersifat dinamis bagi species ini dalam insting

    interaktifnya yang terbuka terhadapdimensi-dimensi lingkungan yang

    saling bersentuhan dengan manusia. manusia jiwadalam badan biologis

    bersifat fanawi sedangkan manusia jiwa dalam badan roh bersifatabadi.

    Keyakinan akan dimensi roh dan jiwa manusia yang berperasaan dan

    berpikiraninilah letak dasar bagi kemuliaan manusia. Saling keterkaitan

    antara hakekat kefanaan

    19

    dan kebakaan manusia yang terpola dalam dimensi-dimensi waktu dan ruang,

    sayanamai sebagai daur/siklus kehidupan manusia.Dalam suatu diskusi

    (dale hakdiuk lia)

    kami dengan Bapak Hilario Ferreira

    Taek Taran (seorang makoan Fohoren; makoan = semacam filosof dan

    ahli

  • sejarahlisan) dengan topik ibu dan rumah, diungkapkan sebuah

    analogi

    menarik sebagai berikut. Ibu adalah rumah, dan rumah adalah ibu. Ibu

    dan rumah bukan hanya berartibentuk visual-biologis-

    fisikal semata

    -mata. Ibu dan rumah merupakan kondisisubjektif yang menjadi asal,

    tempat berlabuh, dan tujuan asal. Hal-hal ini merupakansuatu kondisi dan

    subjek transendental yang berada di luar jangkauan analisis-kritismanusia

    (

    Dale l

    a too

    -

    Temi La Kona

    = membicarakan tidak tuntas - mendefinisikan

    tidak sesuai) Dia merupakan Ibu dan Rumah, asal dan tujuan. Hakekatnya

    adalah

    misteri, apakah dia kebenaran dan kebaikan ataukah kejahatan dan

    kegelapan. Tempat berlabuh dibagi menjadi dua yaitu tempat di dunia nyata

    (

    Rai Loren

    ) dan tempat didunia maya (

    Rai Helik

    ).Dunia nyata adalah kondisi visual biologis-fisikal, kita namai alam

    nyatatempat tinggal kita sekarang. Dunia maya masih dapat dibagi menjadi

    alamnya Jin (Rai

    Nain) d

    an alamnya arwah (Matebian). Alam nyata dan alam maya berada

    dalamdimensi waktu yang sama, hanya berbeda pada dimensi ruang. Walaupun

    secarasosiologis diakui bahwa alam arwah satu tingkat lebih maya dari

    pada alam jin. Didalam filsafat - manusia fohoren konsep tentang

    penderitaan kebakaan seperti Nerakatidak dikenal. Alam Baka identik

    dengan kuasa dan kebahagiaan abadi, dia adalahalamnya arwah (Kukun) yang

    termasuk dalam alam baka.

    20

    Daur kehidupan manusia selalu berputar sirkuler sekitar ketiga alam tadi

    (alamnyata, alam maya dan alam roh). Kenampakan tubuh biologis - fisikal

    manusia dansemua benda/mahkluk merupakan ekspresi dari daya kreasi kuasa

    alam roh, terbentuk melalui proses-proses fisik biologis - organik

    habitatual. Yaitu manusia terbentuk melalui proses-proses nir dan

    fisik-biologis sampai menjadi manusia janin di dalamrahim ibu,

    dilahirkan dan disusui serta diasuh dan dididik dan dibesarkan di

    dalamrumah, kemudian menjadi dewasa dan melakukan aktivitas hidup sampai

    tua menantiajal tiba, di atas dan dari tanah (Rai)). Manusia ini hidup

    di Alam Nyata yang fana.Ketika manusia dinyatakan mati, sesungguhnya ia

    bukan mati melainkan sedang berpindah ke alam maya, memasuki satu tahap

    hidup berikutnya dalam lintas daur kehidupan manusia.Dalam tradisi

    kepercayaan masyarakat Timor pada (umumnya?) danmasyarakat Fohoren pada

    khususnya, jika seseorang mati lalu dikuburkan, setelahmalam yang

    ketiga, pada malam itu anak-anak yang bermalam di rumah duka akanmerasa

    ketakutan atau akan saling menaku

    ti sebelum ayam kembali ke kandang

  • (sebelum sore tiba). Karena menurut kebiasaan dan keyakinan dalam

    masyarakat padamalam yang ketiga itu arwah orang mati akan

    bangkit/keluar dari kubur untuk

    berpamitan. Dalam istilah Tetun disebut mate koko fatik = ar wah orang mati meraba

    tempat. Maka sebelum sore tiba, ibu

    -ibu di rumah duka sudah menyiapkan abu tungku,disediakan di atas suatu

    bidang datar sebagai tempat injak si arwah. Demikian makanan,disediakan

    juga pada tempat yang selayaknya, pakaian bekas si orang mati dibundel

    dandibawa tidur oleh salah seorang kerabat terdekatnya yang merasa tidak

    takut pada arwah(hantu).

    21

    Pada pagi harinya abu tungku dan makanan diperiksa. Fungsi abu tungku

    untuk mendeteksi tipe-tipe bekas telapak injakan, dan makanan untuk

    mendeteksi tipe-tipegigitan. Jika ditemukan bekas injakkan pada abu

    tungku misalnya, telapak burung atauayam dan tipe gigitannya pada

    makanan (nasi/daging) misalnya jenis patukkan, makaakan disimpulkan

    bahwa arwah si orang mati telah terjelma (terinkarnasi) menjadi burung

    /ayam dalam perjalanan menuju alam maya (alam arwah). Dia akan terus

    hidupdi alam maya dengan rupa baru ini, sampai dia dibebaskan dari Alam

    Maya melalui proses penghantaran untuk memasuki alam roh.Perpindahan

    manusia dalam daur kehidupan dari ketiga alam tersebut di atas,dilewati

    melalui suatu fase transisi tertentu. Fase transisi antara alam roh dan

    alam nyataadalah alam rahim ibu. Fase transisi antara alam nyata dan

    alam roh adalah alamkubur; dan alam transisi antara alam maya dan alam

    roh baiklah kita namai sebagai

    alam kurban.

    Ketiga alam transisi itu jikapun manusia di, dan, dari Alam Nyata

    tidak menciptakannya (medium), akan tetapi untuk kesiap-pakaiannya

    selalu dipersiapkanoleh manusia Alam Nyata. Baik dipersiapkan secara

    fisik maupun secara ritual-seremonialnya, menurut cara, pengalaman,

    pengetahuan dan tradisi kepercayaan darisetiap masyarakat budaya.Dalam

    tradisi religius masyarakat Fohoren, tahap C dari siklus

    kehidupanmanusia di atas disebut

    mutun mate = kurban mati.

    Mutun Mate adalah sebuah

    acara ritual keagamaan yang ditandai dengan pelaksanaan ibadat

    dalam

    hal melakukan

    doa-

    doa ritual (Hamulak) dan tindakan membunuh hewan kurban (tunu yakni

    kurban

    bakar) dengan maksud sebagai silih terhadap dosa-dosa manusia arwah

    selama di Alam

    22

    Nyata, juga dijadikan momen yang dikhususkan bagi doa-doa pembebasan

    para arwahdi Alam Maya.Dosa-dosa manusia selama di alam nyata merupakan

    belenggu manusia arwah diAlam Maya, merintangi manusia arwah memasuki

    Alam Roh. Hakekat peristiwa daritradisi

    mutun mate

    adalah kurban pembebasan arwah dari alam maya.

    2.2 Konteks Sastra dan Budaya Masyarakat Kemak

  • 2.2.1 Wilayah Persebaran

    Wilayah kebudayaan Kemak mencakup bagian barat propinsi Timor Timur

    dansebagian kecil lainnya menempati wilayah kabupaten Beli di Propinsi

    NTT. Di Timor Timur, orang Kemak berada di dua Kabupaten, yakni

    Kabupaten Bobonaro danKabupaten Ermera. Di Kabupaten Bobonaro mereka

    menempati 5 kecamatan, yakni:kecamatan Kailaku, Bobonaro, Maliana,

    Atabae, dan Balibo. Di Kabupaten Ermeramereka menempati wilayah

    Kecamatan Atsabe dan Hatulia. Sementara itu, orang Kemak di Kabupaten

    Beli (NTT) menempati tiga kecamatan, yakni: Kopeta Atambua,

    TasifetoTimur, dan Tasifeto Barat.Studi dan observasi lebih lanjut yang

    lebih meluas diharapkan dapat menemukantitik terang tentang asal-usul

    suku Kemak ini, yang oleh Dr. Ormeling dianggap sebagai

    sisa dari penduduk Timor yang lebih tua

    (Parera, 1994: 57). Kita sukar sekalimemperoleh catatan ataupun

    bahan-bahan tertulis mengenai suku bangsa ini. Yangmungkin bisa memberi

    harapan adalah cerita-cerita lisannya.Orang-orang Kemak merupakan

    penduduk asli Timor Timur yang menghuni duakabupaten yakni: Ermera (di

    kecamatan Hatulia, Letefoho, dan Atsabe) dan Bobonaro(Kecamatan Atabae

    dan Kailako). Pada tahun 1912-

    1916 terjadi gelombang perpindahan

    23

    (pengungsian) penduduk Kemak ke wilayah Timor Belanda (NTT). Mereka

    membawaistri, anak, binatang piaraan dan harta pusaka. Di tempat yang

    baru mereka tetapmempetahankan lembaga adat, bahasa dan kebudayaan

    mereka.

    2.2.2 Adat Istiadat

    Secara umum tradisi dan kegiatan adat masyarakat Kemak dibagi atas dua

    golongan besar, yakni: buti (adat putih) dan metama (adat

    hitam).

    Adat putih meliputi

    berbagai kegiatan adat seperti: membangun rumah adat (uma luli),

    upacara belis (eliri),

    menggarap ladang (asi), dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk adat

    hitam adalahsegala macam ritus dalam rangkaian upacara kematian

    (loe

    metama).

    Pada berbagai kegiatan ritus tersebut, tradisi Gase itu seringkali

    ditampilkan danmenduduki posisi yang penting. Ketika itulah tua-

    tua adat (Lia Nai) menuturkan berbagai hal sesuai dengan keperluan ritual tersebut, dengan menggunakan Gase,

    yang benar-benar berciri puitis dan metaforis. Kadang-kadang

    dilantunkan pula nyanyian tradisional yang

    disebut tei, yang bertujuan menghibur sekaligus merunut asal

    -

    usul sebuah uma.

    Seperti halnya masyarakat Tetun, masyarakat Kemak juga hidup dan

    tersebar dalam kelompok-

    kelompok sosial yang disebut uma (s

    uku). Uma memegang peranan penting dalam interaksi sosial masyarakat,

    terutama dalam hal menjalin ikatan

    kekerabatan umamane

    -

    manefoun.

  • 2.2.3 Aspek Religi

    Meskipun sekitar 92% orang Kemak sudah menganut agama universal

    RomaKatolik, sebagian masyarakatnya masih mempraktekkan kepercayaan

    lokal Animisme dan

    24

    Dinamisme. Kepercayaan animisme adalah kepercayaan bahwa benda-benda alam

    semesta seperti batu, gunung, pohon, sungai matahari, bumi dan bulan

    memiliki anima

    (roh). Di berbagai tempat masih kita temukan pemberian sesaji untuk

    menolak roh jahat.Kepercayaan dinamisme yaitu kepercayaan akan adanya

    makhluk-makhluk halus yangdapat memberi pengaruh, baik maupun buruk,

    terhadap kehidupan manusia. Sebagaimana berbagai wilayah lainnya di

    kawasan timur Indonesia, orang Kemak percaya pada sebuahwujud tertinggi,

    yakni: dewa matahari.

    2.3 Sastra dan Budaya Masyarakat Fataluku

    Sastra lisan merupakan gambaran tentang masyarakat yang diproyeksikan

    dalam bingkai tempat dan ruang tertentu. Oleh karena itu, sekalipun

    tugas utama kritik sastraadalah analisis tekstual, namun perlu dipahami

    bahwa tekstur dan konteks sastra lisanlebih kompleks dan beragam dari

    pada teks itu sendiri (Dundes dalam Taum, 1995: 36).Perubahan konteks

    dapat berakibat pada perubahan tekstur sebuah teks.

    Masalah-masalahsastra lisan tidak pernah dapat dilepaskan dari keadaan

    sejarah dan kebudayaan kelompok masyarakat pendukungnya, sehingga

    tinjauan umum mengenai konteks sosial danlingkungan kebudayaan tempat

    munculnya sastra lisan itu tidak dapat diabaikan.Uraian tentang Sastra

    dan Budaya Masyarakat Fataluku ini akan mengetengahkandua aspek utama,

    yakni: 1) sistem dan struktur kehidupan sosial (mencakup aspek

    sosial politik dan aspek religi), 2) beberapa aspek seni budaya

    tradisional (meliputi seni musik,seni sastra dan nyanyian tradisional),

    dan akan diakhiri dengan sebuah rangkuman.

    25

    2.3.1 Sistem dan Struktur Kehidupan Sosial2.3.1.1 Aspek Sosial Politik

    Kabupaten Lautem merupakan wilayah paling timur Propinsi Timor Timur

    yangdihuni oleh 53.523 penduduk dengan luas wilayah 1.702,33 km

    2

    . Kabupaten ini memiliki34 desa yang terbagi ke dalam lima kecamatan,

    yakni: Kecamatan Iliomar, KecamatanLospalos, Kecamatan Luro, Kecamatan

    Moro, dan Kecamatan Tutuala.Masyarakat Fataluku merupakan kelompok etnik

    yang paling besar dan palingdominan dalam wilayah Kabupaten Lautem.

    Sebenarnya wilayah Kabupaten Lautemdihuni oleh paling kurang tiga suku

    bangsa, yang memiliki latar belakang bahasa dan budaya yang

    berbeda-beda, yakni: suku bangsa Fataluku (19 desa), suku bangsaMakasae

    (6 desa) dan suku bangsa Makaleru (6 desa). Selain itu terdapat 3 desa

    yangmasyarakatnya merupakan masyarakat dwibahasa (Fataluku sekaligus

    Makasae) yakniDaudere, Ieilai, dan Eukisi di kecamatan Moro Lautem.

    Bahkan ada juga sekelompok suku kecil yang beranggotakan kurang lebih 40

    penduduk yang menggunakan bahasaLova'a atau Maku'a di desa Porlamanu.

    (Pemantauan oleh tim peneliti linguistik dariUniversitas Timor Timur

    tahun 1997 menemukan b

    ahwa penutur bahasa Lovaa/Makua

    tidak sampai 10 orang. Diperkirakan bahwa bahasa ini dalam beberapa

    tahun mendatangakan sungguh-sungguh punah).

  • Secara tradisional, masyarakat Fataluku telah mengenal sistem

    kerajaan

    asli,

    yang dikenal dengan istilah

    Cauhafa

    . Para raja dan bangsawan Cauhafa ini pada

    umumnya tinggal di wilayah-wilayah pedalaman. Pada zaman pemerintahan

    Portugis,

    istilah Cauhafa diganti dengan istilah umum Liurai. Sebagai

    penguasa, Portugis

    menganggap dirinya memiliki wewenang un

    tuk menunjuk dan mengangkat Liurai.

    26

    Kadang-kadang para Cauhafa diangkat menjadi Liurai, tetapi kadang-kadang

    pula orang-

    orang tertentu yang dipandang dekat dengan Portugis diangkat begitu

    saja.

    Masyarakat Lautem pada umumnya hidup dalam komunitas-komunitas suku

    ataumarga. Setiap desa mengenal pembagian marga ini. Marga-marga itu

    adalah: Cailor Pairara (biasanya golongan bangsawan), Resi Katiratu,

    Naja Asale, Latu Loko, Nari Leru,Walira, Puamali Maupunu, dan Home.Dalam

    kehidupan sosialnya, masyarakat Lautem juga mengenal tiga strata

    sosialyang menyerupai kasta, yakni: 1) Ratu (yakni kelompok raja dan

    bangsawan ataukelompok atas), 2) Paca (yakni golongan masyarakat biasa

    pada umumnya), dan 3) Akanu(yakni golongan budak belian, antara lain

    mereka yang tidak mampu membayar utang,kalah perang, dll).Beberapa

    informasi lisan menyebutkan bahwa penggolongan ini sesungguhnya

    dibuat oleh kaum penjajah Portugis, karena sebutan ratu (adik) dan

    paca (kakak)

    sebenarnya tidak merupakan klasifikasi dikotomis golongan kebangsawanan

    dan bukan bangsawan melainkan klasifikasi kekeluargaan. Masyarakat ini

    sebenarnya terbentuk dalam sistem kekeluargaan yang cukup kental. Dalam

    kenyataannya sekarang, pembagian itu telah banyak berpengaruh di dalam

    hal legitimasi kekuasaan dankewibawaan sosial masyarakat di Kabupaten

    Lautem.

    2.3.1.2 Aspek Religi

    Sebelum bangsa Portugis berkuasa dan menyebarkan agama Katolik di

    Timor Timur, masyarakat di wilayah ini telah mengenal religi atau

    kepercayaan asli yangterpusat pada pemujaan leluhur. Setiap marga

    mempunyai

    ete uruhaa

    yakni semacam

    27

    kayu yang dipercaya sebagai tempat sakral bagi marga tersebut. Ada

    kepercayaan bahwa

    kayu itu ditanam oleh leluhur pada zaman dahulu kala dan dianggap sudah

    berisi.

    Apabila ada anggota suku yang terkena musibah atau terancam bahaya,

    mereka datang ke

    ete uruhaa

    untuk berdoa dan mempersembahkan sesaji agar mereka terbebas darimusibah

    dan bahaya yang mengancam.Pemujaan leluhur tampak juga dalam praktek

  • berziarah atau mengunjungi

    lutur tei

    atau kuburan nenek-moyang yang dianggap sakti. Selain itu, roh orang mati

    (huma ara)

    juga masih dianggap sakral dan diperlakukan sebagaimana manusia

    hidup

    (diberi

    makan dan minum).Selain pemujaan leluhur, masyarakat Lautem memiliki

    kepercayaan dan penghormatan yang khas terhadap objek-objek tertentu

    seperti: buaya (la wei - hoporu),halilintar (cila fai), ular, dan

    sejenis burung hantu (aca ahi). Munculnya binatang-binatang

    berbau totemisme yang diyakini dimiliki dan dipelihara or

    ang tertentu ini menandakan

    adanya bahaya atau adanya penyimpangan adat tertentu yang perlu

    segera

    diluruskan.

    Sekalipun demikian, masyarakat Lautem pada umumnya dan Fataluku

    khususnya

    memiliki sebuah kepercayaan yang kuat pula pada sebuah Wujud

    Tertinggi

    yangdianggap sebagai

    Ocawa Maarau

    atau pemilik segala sesuatu. Wujud Tertinggi itu

    dikenal sebagai

    Uru Wacu

    (uru = bulan, wacu = matahari). Kepercayaan terhadap

    UruWacu

    (dewa matahari

    -bulan) ini sangat lazim dijumpai di berbagai wilayah di kawasantimur

    Indonesia.

    Uru Wacu

    adalah tempat penyerahan diri total yang paling akhir. (

    Urutana nae//Wacu tana nae

    = Sampai akhirnya di tangan Tuhan).

    2.3.2 Beberapa Aspek Seni Budaya

    28

    2.3.2.1 Seni Tari dan Musik

    Perbedaan bahasa kadang-kadang sudah menunjukkan adanya perbedaan seni

    dan budaya antara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lain.

    Tetapi dalam senitari dan musik masyarakat Fataluku, kiranya perbedaan

    itu tidak begitu menyolok. Halini bisa dilihat dari bentuk

    instrumen-instrumen musik yang mereka pakai sebagaiiringan tari-tarian.

    Alat musik yang umum dimiliki oleh setiap suku bangsa di KabupatenLautem

    (bahkan di Timor Timur pada umumnya) adalah gendang yang dibuat dari

    kayudan kulit kambing dan gong kecil. Alat musik ini merupakan instrumen

    tarian yangumum digunakan di Timtim.Apabila diingat bahwa tari adalah

    ekspresi jiwa manusia yang diwujudkan dalam bentuk gerak-gerak ritmis

    yang indah, dan tari merupakan bahasa gerak untuk mengungkapkan perasaan

    dan kemauan manusia, maka bukan mustahil kalau di Timor Timur umumnya

    bentuk tari dari suku yang satu dengan yang lain kadang-kadangmirip atau

    bahkan sama. Tarian untuk tujuan yang satu kadang-kadang sama puladengan

  • tari untuk tujuan yang lain. Sebagai contoh adalah

    tebe-tebe

    , tarian rakyat yangsangat populer di seluruh Timtim, yang disebut

    dengan berbagai nama sesuai bahasadaerah masing-masing.Apabila

    dibandingkan dengan tari-tarian yang berkembang di daerah-daerah laindi

    Indonesia, beberapa tarian orang Lautem merupakan tari-tarian upacara

    yangdianggap keramat dan tidak boleh dipertunjukkan di sembarang tempat

    dan waktu. Akantetapi, perkembangan terakhir menunjukkan bahwa tarian

    itu kini digarap sedemikianrupa menjadi seni pertunjukkan (

    performing arts

    ). Tetapi sebenarnya tari-tarianLautem betul-betul merupakan ekspresi

    jiwa yang didominasi oleh kehendak untuk

    29

    tujuan-tujuan tertentu dan bukan semata-mata untuk ditonton. Dengan

    demikian, dalammenggarap tari mereka lebih mementingkan tujuan dari pada

    bentuk.Memang, dengan terbukanya wilayah Timor Timur dalam pergaulan

    yang lebihluas, sekarang di sana-sini timbul tari-tarian yang bersifat

    sekuler yang lebih merupakangarapan yang khusus untuk ditonton atau juga

    sebagai sarana ungkapan bergembira atau pergaulan. Sebagai contoh yang

    jelas misalnya tari Holorindah dan tari Surik yang sangatdigemari oleh

    muda-mudi Timtim pada umumnya. Selain itu, ada juga tari

    "warisan"Portugal yang masih sangat populer di berbagai kalangan

    masyarakat Lautem, yaknidansa gaya Eropa berpasangan antara pria dan

    wanita.Tari-tarian tradisional yang dimiliki oleh setiap suku bangsa

    yang hidup dikampung-kampung pedalaman Kabupaten Lautem yang berpenduduk

    sekitar 53.523orang itu.

    2.3.2.2 Tari Sikiro

    Secara umum dapat dikatakan bahwa Tari Sikiro merupakan tarian

    rakyat(folkdance) masyarakat Timor Timur, yang disebut dengan istilah

    umum Tari Tebe-tebe,seperti telah disebutkan di atas. Tarian ini

    dilakukan dalam berbagai kesempatan, sukacita maupun dukacita, seperti:

    penjemputan tamu, upacara kematian, peresmian rumahadat, panen,

    dll.Urut-urutan tempat berdirinya penari harus disesuaikan dengan

    kedudukanatau strata sosial penari tersebut. Gerakan-gerakan kaki dan

    tangan dalam tarian inimengikuti aturan tertentu.

    30

    2.3.2.3 Tari Leule

    Tarian ini merupakan tarian pembangkit semangat. Karena itu tarian ini

    hanyadiguanakan dalam kesempatan yang lebih terbatas dibandingkan dengan

    tari "sikiro".Misalnya, dalam acara "injak padi", menggotong kayu dari

    hutan untuk membangunrumah, dan ditarikan pula dalam upacara kematian

    orang-orang yang berasal darimarga Cailoro.

    2.3.3 Seni Sastra

    2.3.3.1 Prosa Rakyat

    Masyarakat Lautem sangat kaya akan berbagai jenis prosa rakyat

    yangdituturkan secara lisan dan diwariskan secara turun temurun dari

    generasi ke generasi.Khazanah prosa rakyat itu sebagian besar masih

    dijaga kelestariannya oleh para tua adatdan generasi-generasi tua. Akan

    tetapi, berbagai kemajuan sebagai akibat akselerasi pembangunan Timtim

    yang begitu pesat pasti akan berpengaruh terhadap kelangsunganhidup

    tradisi lisan yang belum pernah didokumentasikan tersebut.Prosa rakyat

    masyrakat Lautem terdiri dari cerita-cerita mitos, legenda dandongeng.

  • Di antara ketiga jenis itu, tradisi legenda, khususnya legenda

    aetiologis adalahyang paling dominan. Misalnya: Legenda Gunung Paicau,

    Legenda Danau Iralalaru,Legenda Los Pallos, Legenda Pehe Fitu, dsbnya.

    2.3.3.2 Puisi Rakyat a) Mamunu

    31

    Tradisi Mamunu ini juga merupakan salah satu khazanah sastra lisan

    yangsungguh-sungguh menarik karena di dalamnya melibatkan sejenis

    mantra

    yang teks-teksnya mempunyai nilai kesenian dan estetika yang

    menarik.Berikut ini disajikan sebuah contoh teks Mamunu, yang

    dipergunakan untuk mengatur letak bayi yang sungsang dalam kandungan.

    Teks ini dituturkan oleh: Ny.Emilia da Conceicau (Paia Carunu).

    Moco Kalucanan

    (Mengatur posisi bayi dalam kandungan)Uru moco tupur mocoe : Anak

    perempuan bulan, AnakkuWacu moco tupur mocoe : Anak perempuan matahari,

    AnakkuUru moco nami mocoe : Anak laki-laki bulan, AnakkuWacu moco nami

    mocoe : Anak laki-laki matahari, Anakku(Sambil meludah)Uru moco tupur at

    masu mire : Anak perempuan bulan, supaya duduk lurusWacu moco tupur at

    masu mire : Anak perempuan matahari, supaya duduk llurusUru moco nami at

    masu mire : Anak laki-laki bulan, supaya duduk lurusWacu moco nami at

    masu mire : Anak laki-laki matahari, supaya duduk lurus(Sebut nama si

    sakit)Ulu tarun masu mire : Duduklah lurus di tali pusar Ulu keten masu

    mire : Duduklah lurus di batang pusar Tat rau raun mire : Supaya duduk

    baik-baik Tat mai mais mire : Supaya duduk lurus-lurusSusu pehe pehe aca

    miren una : Duduk di bawah pancuran susu untuk diminum Hin nami pehe

    pehe acak miren una: Duduk di bawah pancuran susunya untuk diminumTat

    hin susu timin palen una : Supaya pegang erat susunya untuk diminumTat

    hin nami timin palen una : Supaya pegang erat susunya untuk

    diminum(Meludah di telapak tangan kemudian mengatur posisi bayi dalam

    kandungan)

    Mamunu sebenarnya merupakan sebuah upacara tradisional yang bersifat

    ritualdi kalangan masyarakat Lautem yang bertujuan menyembuhkan

    penyakit, mengusir makhluk halus, dan mendatangkan atau menimbulkan

    kekuatan-kekuatan magis untuk

    32

    kepentingan-kepentingan tertentu sesuai dengan jenis kepentingannya.

    Memulihkan penyakit dengan Mamunu ini tidak semata-mata bersifat magis

    tetapi kadang-kadangsesuai dengan konsep pengobatan modern yang

    menggunakan ramuan-ramuan tradisional.

    Ritus dan mantra mamunu biasanya dipergunakan untuk kepentingan

    -kepentingan berikut ini.1.

    Menyembuhkan berbagai macam penyakit,

    baik penyakit alamiah (seperti sakit kepala, sakit perut, patah tulang, kurang nafsu makan, telak

    bayisungsang dalam kandungan, dan lain-

    lain) maupun penyakit buatan (seperti

    guna-guna).2.

    Lonia

    (meramal), untuk mengetahui keadaan orang yang sedang sakit atau

  • berada di tempat yang jauh. Melalui Lonia, dapat diketahui secara

    pasti

    keselamatan dan keberadaan orang tersebut.3.

    Aya pari

    -

    pari

    (manangkal hujan), untuk menghalangi turunnya hujan padatempat dan waktu

    tertentu, khususnya apabila orang mempunyai hajatan, akanada

    pertandingan, dll.4.

    Aya foole

    (mendatangkan hujan), untuk memohon turunnya hujan, terutama jika

    terjadi musim kering berkepanjangan.5.

    Nafu

    (menangkal peluru), berfungsi untuk menghindarkan tembakan peluru pada

    saat terjadi peperangan.6.

    Nuarai

    (mendatangkan rezeki), fungsinya adalah mendatangkan rezeki

    dankeuntungan material, misalnya pada waktu berjudi atau pertandingan.7.

    Lupurana

    (larangan), dibuat sebagai suatu tanda atau larangan agar siapapun

    terutama orang lain yang tidak berkepentingan tidak mencuritanaman

    ataupun hewan si pemiliknya. Bila orang lain melanggarnya, merekaakan

    terkena kutukan dan penyakit.8.

    Musalana

    (penangkal Lupurana), adalah Mamunu yang dipergunakan untuk menangkal

    kekuatan magis Lupurana, supaya hasil tanaman yang telah di-lupurana

    bisa dimanfaatkan.

    33

    9.

    Hupia/Inautucenenu

    (penghalang mata), yaitu mamunu yang dipergunakanapabila kita ingin

    menghalangi pandangan mata orang lain terhadap diri kitaataupun terhadap

    benda-benda tertentu yang ingin dilindungi. Dengan mamunuini, orang atau

    benda tertentu tidak dapat dilihat oleh orang lain.10.

    Acakpainu

    (guna-guna), yaitu jenis mamunu yang akan mendatangkankekuatan magis

    hitam (black magic) yang mengakibatkan orang lainmenderita, mendapat

    penyakit, ataupun gangguan-gangguan lain.11.

    Tolohu/Icaliarana

    (semacam mamunu hipnotis), yaitu mamunu yangdigunakan apabila kita ingin

    mempengaruhi pikiran, sikap ataupun tindakanseseorang agar dia mematuhi

    kemauan kita.Mengingat cukup pentingnya tradisi Mamunu dalam kehidupan

    sosial-budayamasyarakat Fataluku, perlu kiranya dilakukan sebuah studi

    mendalam tentang hal ini

  • untuk menyelamatkannya dari kepunahan akibat arus besar

    modernisasi.

    b) Tei

    Berbeda dengan Mamunu yang lebih bernuansa mitologis. Tei

    merupakansebuah bentuk kepercayaan (religi) lokal masyarakat Lautem

    berupa ritus persembahan hewan korban kepada roh-roh leluhur.

    Persembahan hewan korban iniselalu disertai dengan doa-doa ritual dan

    mantra yang berciri dan bernilai sastra tinggi.Tei dilaksanakan untuk

    berbagai kepentingan, antara lain: untuk memohonkekuatan dan

    perlindungan di medan peperangan, memohon penyembuhan dari penyakit, dan

    mengharapkan perlindungan bagi orang yang mengadakan perjalanan.Tradisi

    ini erat kaitannya dengan "Religi Lokal" masyarakat Timtim

    yang berkaitan dengan penyembahan leluhur. Ada kepercayaan bahwa roh-roh

    leluhur tetap berhubungan dengan anggota keluarga yang masih hidup.

    Roh-roh itu masih

    34

    berpengaruh secara langsung dan kuat atas kehidupan; dapat menghukum

    atau sebaliknyamemberikan 'imbalan' jika tatanan adat dilanggar atau

    dijaga.

    c) Nololo

    Nololo merupakan sebuah tradisi sastra lisan masyarakat Lautem yang

    bersifat puitis dan metaforis. Nololo bisanya dituturkan pada berbagai

    kesempatan ritual atauseremonial formal, khususnya dalam membicarakan

    urusan-urusan yang dianggap penting. Urusan-urusan itu misalnya:

    persiapan perang, pembukaan kebun baru, permohonan hujan, memandu arwah

    untuk mencapai tempat yang 'aman' di alam baka, panen, upacara

    perkawinan, kematian, dan sebagainya. Dalam berbagai kesempatanritual

    formal itu, tua-tua adat yang dianggap memegang 'otoritas' (Nawarana)

    dimintauntuk menuturkan Nololo.Secara etimologis, istilah Nololo

    diturunkan dari dua kata yakni: No (berartimasa lampau) dan Lolo

    (berarti menelusuri). Jadi Nololo berarti menelusuri masalampau. Nololo

    menunjukkan secara jelas betapa masyarakat Lautem memiliki penghargaan

    yang tinggi terhadap leluhur di masa lampau. Penuturan Nololo

    memilikiaturan dan konvensi tertentu yang harus diikuti secara ketat.

    Ada kepercayaan bahwa penuturan yang tidak sesuai dengan tradisi akan

    membawa malapetaka, baik bagi penutur maupun bagi pendengarnya.

    35

    2.3.4 Nyanyian Rakyat

    2.3.4.1 Waihoho

    Nyanyian rakyat yang paling terkenal dan paling populer dalam

    masyarakatLautem adalah "Waihoho". Salah satu kekhasan nyanyian ini

    adalah, bahwa nyanyian iniselalu diiringi dengan seruling bambu

    khususnya dalam pertemuan-pertemuan formaldan ritual. Waihoho dapat

    dinyanyikan oleh satu orang, dua orang, ataupundinyanyikan secara

    berkelompok tergantung pada situasi pertemuan tersebut.Waihoho dapat

    dinyanyikan dalam berbagai suasana, sedih maupun gembira.Dengan kata

    lain, nyanyian ini dapat dijadikan medium ungkapan rasa sedih,

    misalnyakarena kematian keluarga dekat, tetapi sebaliknya dapat menjadi

    sara luapankegembiraan karena panen, dll.

    2.3.4.2 Sau

    Sau merupakan nyanyian khusus untuk mengiringi upacara kematian orang

  • darimarga tertentu (bisanya marga Cairoro) yang mati dalam usia sangat

    tua (kecula anelaitaane). Dalam upacara penguburan, nyanyian ini

    didendangkan dengan disertaitindakan menggoyang-goyangkan peti mati

    sebagai simbol terjadi perebutan antara roh jahat dan roh baik.Sau pada

    dasarnya adalah sebuah ratapan naratif yang mengisahkan

    asal-usulketurunan orang yang meninggal dunia dari awal sampai saat

    kematiannya. Dalam tradisimenyanyikan sau, selalu diselingi dengan teka-

    teki

    (nawa nawarana).

    Nawa nawaranadapat pula dinyanyikan atau dituturkan. Selingan ini

    memiliki beberapa fungsi, antara

    36

    lain: untuk mengasah otak, untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan,

    menghidupkansuasana, atau pun sekedar untuk menghilangkan rasa kantuk

    dalam menjaga mayat.

    2.3.5 Rangkuman

    Sampai sekarang masyarakat Lautem pada umumnya masih memiliki

    keterikatanerat dengan sistem budaya asli yang menjadi acuan normatif

    yang menentukan caramereka berpikir, bertindak dan bertingkahlaku.

    Sebagaimana komunitas-komunitasmasyarakat lainnya di berbagai wilayah

    nusantara ini, masyarakat Lautem secara turun-temurun juga mewariskan

    berbagai sistem nilai budaya yang tetap terjaga dengan baik, baik yang

    menyangkut alam semesta, sesama manusia, maupun kekuatan-kekuatan

    ilahi.Salah satu sarana untuk menjaga berbagai adat-istiadat, konvensi

    dan sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat Lautem adalah seni

    sastra. Mengingat fungsinya yang demikianitu, karya sastra ini pun

    memiliki sistem-sistem konvensi poetika yang mendukung

    fungsiestetiknya.Uraian di atas menunjukkan bahwa komunitas Fataluku

    yang kini mayoritas penduduknya beragama Katolik Roma kadang-kadang

    masih mempertahankan

    kepercayaan aslinya yang dihargai sebagai salah satu adat

    -budaya mereka. Seni sastralisan Fataluku: prosa maupun puisinya, sampai

    kini masih tetap diciptakan dan diapresiasisebagai satu-satunya bentuk

    sastra dalam lingkungan masyarakat setempat.

    37

    2.4 Sastra dan Budaya Masyarakat Bunaq

    2.4.1 Wilayah Penyebaran

    Dalam buku A.D.M. Parera berjudu

    l Sejarah Raja

    -

    raja Timor, disebutkanmengenai masih adanya perdebatan mengenai

    orang

    Buna (sic!) ini. Dicatat, bahwa

    menurut Grijzen (1904), masyarakat Bunaq termasuk salah satu suku dari

    suku bangsayang paling tua dan lebih dulu menghuni pulau Timor. W. Keers

    (1948) berpendapat bahwa orang Bunaq tidak termasuk kelompok Melayu,

    karena banyak dari antara merekayang memiliki tempurung kelapa berbentuk

    dolichocepalik

    dan bentuk badan yang lebih besar. Sementara itu, Capell (1944)

    berpendapat bahwa bahasa Bunaq memperlihatkan banyak ciri bahasa Irian.

    Konon, bahasa Bunaq ini termasuk dalam kelompok bahasa- bahasa

  • Non-Austronesia.Seperti halnya Orang Kemak, Orang Bunaq juga menghuni

    wilayah propinsi NTT dan Timor Timur. Di NTT, orang Bunak terumata

    menghuni wilayah Lamaknen.Selain itu, mereka juga tinggal di antara

    orang Tetun yakni: di Aitoun, Litamali,Kamanasa, Suai-Kaletek, dan

    Sukabinahawa. Di wilayah propinsi Timor Timur, merekamenghuni daerah

    kabupaten Bobonaro dan Kovalima. Di Kabupaten Bobonaro merekamenempati

    tiga wilayah adat (di kecamatan Lebos) yakni: 1) Pipgalag-Il Lilis

    (dikuasaioleh Monecu Gomo), 2) Lepgen-Loobau (Nawamau Gomo), dan 3)

    Huluatian-Maubobo(Opa Gomo). Di ketiga tempat itu pernah dibangun istana

    (Saran-Moth) bagi ketiga rajatradisional tersebut yang menguasai,

    khususnya di wilayah Tapo.

    38

    2.4.2 Adat-istiadat

    Orang Bunaq di Timor Timur memiliki saran

    -

    moth, yakni semacam pusat

    upacara ritual, semacam alun-alun istana yang menjadi tempat bagi

    dilaksanakannya berbagai upacara adat. Tempat ini juga dijadikan tempat

    pelantikan pemimpin baru jika pemimpinan lama meninggal dunia.

    Orang Bunaq di Timor Timur juga diikat oleh pertalian suku yang disebut

    Deuatau Hima. Masing

    -masing Hima itu dikepalai oleh seorang kepala suku yang disebut

    Hima Gomo. Di wilayah Tapo, terdapat 18 hima yang disebut

    Sogo Uen Gal Alu yang dikepalai lagi oleh seorang Hima Gomo yang bergelar Hima

    Gonio.

    Biasanya

    Hima Gonio ini berasal dari Hima Nawamau. Tugasnya mengatur pelaksanaan

    berbagaikegiatan ritual formal yang akan diikuti semua

    hima

    .Perlu ditambahkan bahwa pembagian kekuasaan di antara ketiga pemimpin

    adatyang disebutkan di atas bukanlah mengacu pada pembagian wilayah

    teritorial melainkan pembagian fungsi. Ketiga pemimpin itu sama-sama

    memimpin wilayah Bunaq Tapo tetapimereka memiliki fungsi adat yang

    berbeda-beda, hampir seperti yang kita kenal dalamajaran Trias Politica

    Montesqueau tentang kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif.

    2.4.3 Religi Lokal

    Sebagaimana berbagai daerah lainnya di Timor Timur, masyarakat Bunaq

    pun pada umumnya sudah menganut agama universal Roma Katolik. Meskipun

    demikian, praktek-praktek kepercayaan lokal masih dapat kita

    temukan.Sebuah praktek adat atau religi lokal yang sampai sekarang masih

    dilakukan dikalangan masyarakat Bunaq adalah tradisi

    Aihun Ancia

    , yakni tradisi

    39

    mempersembahkan hasil pertanian kepada leluhur. Tradisi ini dilaksanakan

    setelah musim panen, berupa upacara pembakaran hewan korban. Hewan

    korban yang dimaksud adalah binatang liar hasil perburuan bersama berupa

    babi hutan, rusa, kera, burung puyuh danlain sebagainya. Untuk

    melaksanakan perburuan massal, maka hutan dan padang savanadibakar

    (Ancia harfiah : pembakaran rumput) agar binatang liar tersebut keluar

    dari persembunyiannya. Pembakaran hutan itu memiliki sebuah makna

  • semiotik yang penting, bahwa mereka ingin membasmi hama. Babi hutan,

    ular, kera, dan belalang memang seringmereka hadapi sebagai musuh yang

    merusak hasil kebun mereka. Pembakaran dan perburuan massal itu

    dilaksnakan selama tiga hari.Pelaksanaan ritus ini selalu diawali,

    diiringi, dan diakhiri dengan melantunkan

    Thea (puisi ritual orang Bunaq) yang sungguh

    -sungguh berciri liris, puitis, danmetaforis. Puncak pelaksanaan Aihun

    Ancia adalah ritus mempersembahkan beras di

    thaka

    oleh beberapa wanita yang mewakili ke-18 rumah adat (Hima) tersebut.Ada

    kepercayaan bahwa jika tradisi Aihun Ancia ini tidak dilaksanakan

    makaleluhur mereka akan marah dan mereka tidak akan mendapatkan hasil

    kebun yang banyak dalam masa panen berikutnya. Oleh karena itu, tradisi

    ini masih terus berlangsung,sekalipun kebiasaan ini akan merusak hutan

    dan lingkungan alam sekitar mereka.

    40

    BAB IIIKONVENSI PUITIK PUISI RITUAL TIMOR TIMUR

    Dalam bab ini, secara khusus akan diungkapkan beberapa konvensi puitik

    puisiritual masyarakat Timor Timur. Dalam penelitian ini, tidak semua

    jenis puisi ritualtersebut dikaji satu per satu. Oleh karena

    keterbatasan waktu dan kesibukan lain yangtidak dapat dihindarkan,

    penelitian ini hanya mengungkap konvensi puisi ritual Hamulak dari

    masyarakat Tetun. Seperti telah diungkapkan di muka, kebudayaan Tetun

    adalahkebudayaan yang paling dominan dalam masyarakat Timor Timur.Kajian

    terhadap konvensi puisi ritual Hamulak ini diharapkan menjadi titik

    tolak bagi pemahaman konvensi puitik

    Nololo

    (Fataluku),

    Thea

    (Bunaq), dan

    Gase

    (Kemak)karena secara substansial, ada kemiripan formal. Lagi pula

    penelitian ini lebih terfokus pada upaya mengungkapkan sebanyak mungkin

    informasi historis dan genealogismengenai masyarakat-masyarakat tersebut.

    3.1 Dasar Komposisi

    Teks Hamulak yang berhasil direkam untuk kepentingan penelitian ini ada

    4,yakni: Teks A, B, C dan D. Ditinjau dari sudut struktur puisi, tampak

    bahwa puisi lisanHamulak mengenal keformulaikan bahasa sebagai dasar

    komposisinya. Cirikeformulaikan bahasa itu adalah penyepasangan kata,

    frase, dan larik secara ketat danteratur. Pola penyepasangan kata itu

    antara lain berfungsi membina keseimbangan iramadan bermaksud menekankan

    kesatuan, keutuhan, dan keterpaduan pengertian yangterkandung di

    dalamnya. Pola penyepasangan itu merupakan kaidah estetik dan

    41

    konvensi puisi lisan Hamulak. Dalam upaya untuk mematuhi sistem konvensi

    tersebut,terlihat bahwa penyair lisan memanfaatkan berbagai formula dan

    ungkapan formulaik.Teknik ini mengharuskan penyair memilih kata-kata

    tertentu yang tersedia, ataumenciptakan kata-kata baru berdasarkan pola

    yang sudah ada.Dari 257 bait Hamulak Uma Lulik Manewalu, terlihat bahwa

    setiap larik umumnya (atau paling dominan) terdiri dari 3 kata dan

    setiap bait terdiri dari 6 kata. Jadisetiap bait yang ideal terdiri dari

    6 kata berpasangan. Perhatikan kutipan di bawah ini.

  • (016) Tetuk bele mai// : Berkumpul semua di sini// Nesan bele mai :

    Bersatu semua di sini(038) Tuir dalan tuan// : Mengikuti jalan

    purba// Tuir inuk tuan : Menapaki jalan tua(046) Ami mesa koson// : Kami

    masih muda// Ami mesa nurak : Kami masih belia

    Ada pula cukup banyak larik yang hanya terdiri dari dua kata, seperti

    kutipan berikut ini.

    (089) Rai nalua// : Lahan siap// rai nake :Tanah terbuka(082) Reta

    nabele// : Sudah disentuh// Sa'u nabele : Sudah dioles(106) Ema

    Makerek// : Para arsitek// Ema Badean : Para pelukis

    Kutipan-kutipan di atas menunjukkan bahwa sistem puisi lisan

    Hamulak bukanlah puisi bersajak atau ber-rima, bukan pula puisi metrum

    (khususnya jika metrumdiartikan sebagai metrum kuantitatif). Sekalipun

    dalam Hamulak terdapat banyak sekalikata atau frase ber-rima, rima

    bukanlah dasar bagi komposisi Hamulak. PembacaanHamulak memang

    menunjukkan ciri-ciri irama bunyi yang teratur, jadi ada semacam pola

    metrum namun metrum Hamulak adalah metrum kata, seperti terdapat dalam

    genre

    42

    pantun. Pola metrum Hamulak ini mirip dengan Koda Knalan atau Koda

    Klaken diFlores Timur (Taum, 1994).

    3.2 Pasangan Kata Paralel

    Dalam puisi lisan Hamulak, batas jumlah kata dan pilihan kata

    merupakandasar irama yang diikuti oleh tekanan yang teratur. Batas

    jumlah kata dengan irama dantekanan yang teratur itu berfungsi menandai

    berhentinya setiap larik puisi. Dengandemikian, ditinjau dari sudut

    sistem komposisinya, pola tersebut menjadi salah satu sarana penyusunan

    pola bait. Di samping itu, sebuah bait selalu mengandung dua pasangan

    larik paralel, yang wajib diikuti secara teratur. Bait itu harus

    menunjukkan kesejajaran, baik dalam pola gramatikal maupun pola

    semantiknya. Pasangan larik paralel itu memuat pasangan-pasangan kata

    (kata benda, kata kerja, dan kata sifat) yang membentuk sebuahstruktur

    diad yang teratur dan diikuti secara ketat.

    Bein Maromak : Leluhur Tuhan(025) Lo'an Ina Bau// : Lo'an Ina Bau

    (Ibu)// Lo'an Ama Bau : Lo'an Ama Bau (Bapak)(026) Rakat laterus// :

    (Allah) yang dahsyat// Buis laterus : (Tuhan) yang liar (027) Kohi

    lakona// : Yang tak terjangkau// Kaer la to'o : Yang tak tergapai

    Wujud Tertinggi (Supreme Deity) atau Tuhan (menurut

    agama-agamamonotheis) dipandang memiliki kualitas transendens yang jauh

    dari atas bumi. Dalam penyelenggaraan alam semesta, leluhur disituasikan

    lebih dekat dengan manusia. Tuhanhanya dapat dipanggil melalui cara

    tertentu dan oleh orang tertentu (Lia Na'in).Dialah sebuah kekuatan

    impersonal yang dahsyat (tremendum) tetapi sekaligus yang penolong

    (fascinosum).

    43

    Sapaan

    Ibu dan Bapak yang ditemukan dalam kutipan

    di atas tidak bersifatgenealogis melainkan simbolis antropomorfis. Suatu

    simbol sifat kebapakan sekaligussifat keibuan yang menandakan

    kesempurnaan dan semua keutamaan. Pandangansemacam ini seringka li dapat

    ditemukan di berbagai Kawasan Timur Indonesia dan beberapa kawasan di

    Sulawesi. Penjelasan teologis dan sosiologis yang mendalammengenai hal

    ini lihat Fernandez (1994) dan Muskens (1979).Sebagai bahan

  • perbandingan, berikut ini secara sepentas diungkapkan struktur puisi

    ritual Gaze masyarakat Kemak. Ada dua buah teks Gase yang diterbitkan

    dalam penelitian ini, yakni Teks E dan F. Secara sepintas tampak bahwa

    komposisi dasar Gasetersebut tidak ada bedanya dengan Hamulak (Teks A,

    B, C, dan D). Ditinjau dari sudutstruktur puisi, Gase juga mengenal

    keformulaikan bahasa sebagai dasar komposisinya.Ciri keformulaikan

    bahasa itu adalah penyepasangan kata, frase, dan larik secara ketatdan

    teratur. Pola penyepasangan kata itu antara lain berfungsi membina

    keseimbanganirama dan bermaksud menekankan kesatuan, keutuhan, dan

    keterpaduan pengertianyang terkandung di dalamnya. Sebagaimana dalam

    Humaulak, pola penyepasangan itumerupakan kaidah estetik dan konvensi

    puisi lisan Gase. Dalam upaya untuk mematuhi sistem konvensi tersebut,

    terlihat bahwa penyair lisan memanfaatkan berbagai formula dan ungkapan

    formulaik. Teknik ini mengharuskan penyair memilihkata-kata tertentu

    yang tersedia, atau menciptakan kata-kata baru berdasarkan pola

    yangsudah ada.Dari 29 bait Gase tentang Kisah Penduduk Asli Atudara

    (Teks F), terlihat bahwa setiap larik umumnya (atau paling dominan)

    terdiri dari 3 kata dan setiap bait

    44

    terdiri dari 6 kata. Jadi setiap bait yang ideal terdiri dari 6 kata

    berpasangan yang dibagidalam dua larik. Perhatikan kutipan di bawah ini.

    (02) Tai tada tomai// : Tak sempat mengenal//

    Tai eto rio

    : Tak sempat melihat (03) Toro tau ugo// : Muncul seperti

    riang-riang// Sae tau daru : Naik laksana anai-anai(26)

    Toka lali teo//

    : Angkat kembali tongkat//

    Sali lali teo

    : Pegang kembali tongkat

    Selain larik ideal tersebut, ada juga larik-larik Gase yang hanya

    terdiri dari duakata seperti dikutip berikut ini.

    (15) Dasa-a mai// : Datanglah kemari Bae-a mai : Bergeserlah ke sini(16)

    Atudoi abe : Atudoi abe Atuta naba : Atuta naba (nama tempat)

    Gambaran di atas menujukkan bahwa puisi ritual Hamulak dan Gase

    merupakan puisi lisan yang benar-benar mempesona. Dari sudut studi

    sastra, sebenarnya masih banyak aspek menarik lainnya yang perlu

    diungkapkan, misalnya: aspek stilistika,individuasi, rima, point of

    view, teknik naratif dan penciptaan, dan lain-lain.Aspek-aspek studi

    sastra semacam ini tentu saja membutuhkan penelitiantersendiri yang

    lebih luas dan mendalam, yang tidak dilakukan oleh penelitian ini.

    Hal penting yang ingin disampaikan di sini adalah, bahwa masih banyak

    unsur puitis danestetik yang perlu diungkapkan melalui studi sastra

    untuk mengenal

    keindahan dankelembutan rasa

    orang Timor Timur.

    45

    BAB IVNILAI-NILAI HISTORIS DALAM TEKS-TEKSPUISI RITUAL TIMOR TIMUR

    Bab ini secara khusus akan mengemukakan hasil analisis mengenai

    nilai-nilaihistoris dan genealogis yang dikandung teks-teks puisi ritual

    yang berhasil diperoleh dilapangan.

    4.1 Nilai-nilai Historis dalam Hamulak

    4.1.1 Asal-usul Orang Tetun

  • Teks yang secara khusus mengungkap asal

    -usul orang Tetun (khususnya sukuUma Metan di Fohoren, Kabupaten

    Kovalima) adalah Teks D. Teks ini mencoba

    mengungkapkan dari awal mula, ketika dunia masih belum terbentuk, dunia masih

    misterius,

    Nuu manu matan//nuu buak laut

    (bagai mata ayam//bagai potongan pinang). Kisah dimulai dari

    gunung keramat Foho Mesak//Leo Bele (foho mesak: gunungtunggal) dan

    (Leo Bele : menaungi dunia). Masyarakat Fohorem berkeyakinan bahwa

    leluhur mereka dahulu kala muncul dan berdiam pertama kali di puncak

    gunung FohoMesak//Leo Bele. Sampai sekarang kuburan orang Fohorem dan

    Tilomaar berkibat ke arahgunung keramat Foho Mesak tersebut, termasuk

    penempatan mayat orang yang barumeninggal.

    Mereka muncul di gunung keramat itu, ketika laut masih besar//air

    masih

    besar

    (tasi sei bot//meti sei bot).

    Ada kemungkinan ungkapan ini memperoleh interteks dariKitab Suci

    Perjanjian Lama, mengenai peristiwa air bah Nabi Nuh. Berbagai teks puisi

    46

    ritual mengungkapkan bahwa leluhur mereka tiba dengan sebuah kapal (Fatu

    Besi//LeoRai) di puncak gunung Foho Mesak. Terlepas dari benar-tidaknya

    cerita tersebut,masyarakat Tetun desa Fohorem menyadari sepenuhnya

    bahwasanya leluhur mereka

    datang dari seberang lautan.

    Di puncak gunung keramat

    Foho Mesak//Leo Bele

    itulah

    Aman maromak//Bein

    Maromak (Bapak Allah//Tuhan Al lah)

    menciptakan mula-mula manusia, kemudianrumah, dan kebun. Rumah pertama

    dibangun di

    Etu Buku//We Ribas

    yang dianggapmerupakan rumah adat pertama. Meskipun demikian, kesusahan

    hidup manusia belum

    terobati, sampai muncul manusia satu ibu//manusia satu

    bapak (

    Ema inan ida//Ema amanida

    ), yakni:

    Suri Liurai

    dan

    Taek Liurai

    . Kedua tokoh ini adalah manusia kembar yangdipercaya merupakan orang

    pertama yang menghuni gunung Foho Mesak. Dikatakan bahwa, mereka

    merupakan manusia misterius karena bisa menghilang. Kedua tokoh

    inidiyakini sebagai manusia pertama orang Tetun di Fohoren.Hadirnya Suri

    Liurai dan Taek Liurai di Foho Mesak belum memberi rasa aman bagi

  • manusia, karena mereka diserang dewa laut:

    Tasi Na`in//Meti Na`in

    yang bernama

    Baruturatak

    yang berwujud seperti seekor babi raksasa. Baruturatak ini memiliki

    sebuah jimat berupa rantai yang bisa menyala di malam hari. Setelah dewa

    laut itu dikalahkanoleh Suri Liurai dan Taek Liurai, mereka bisa

    menguasai Foho Mesak. Suri Liurai yangmengambil jimat tersebut akhirnya

    menjadi manusia sakti: bisa membuat laut menjadikering.Kisah tentang

    dewa laut ini mengandung konsep kehidupan yang penting: bahwakebahagian,

    kekuatan dan kekuasaan hanya dapat diperoleh melalui perjuangan.

    Jikatidak berjuang, manusia tetap hidup dalam kemelaratan dan kesusahan.

    Perhatikan bahwa

    47

    setelah dewa laut itu dibunuh, dikisahkan bahwa dunia menjadi semakin

    luas dan nyamanuntuk dihuni.

    Akan tetapi pertempuran kini bergeser menjadi perang saudara

    memperebutkan

    sumber mata air tunggal yang ada di dasar kapal yang karam, ketika laut

    dan air bahsudah kering. Setelah perang saudara yang berlangsung tujuh

    hari tujuh malam itu berakhir, maka penataan dunia ini dimulai.

    Rombongan pertama yang tiba di WeseiWehali adalah: Suri Liurai, Taek

    Liurai, Leki Metan, Mauk Metan, Buik Akitou, danMauk Nowa. Keturunan

    mereka sampai sekarang memiliki jabatan sosial-ritual yang penting,

    yakni: Lia Nain (keturunan Mauk Nowa dan Buik Akitou), Ferik

    Katuas(keturunan Leki Metan dan Mauk Metan), Liurai Uma Metan dan Uma

    Kanek (keturunanSuri Liurai dan Taek Liurai).Rombongan pertama itu tiba

    pertama kali di Wesei lama//Wehali purba (Weseituan//Wehali tuan).

    Tempat ini dianggap tempat yang sangat sakral, yang kini terletak

    di puncak gunung Foho Mesak. Tempat ini sangat Tabu. Wesei adalah sumber

    mata air yang biasanya diambil pada saat inagurasi rumah adat Suku Uma

    Metan. Pengambilanair ini melalui sebuah upacara ritual tertentu.

    4.1.2 Malaka dan Kerajaan Wesei Wehali

    Dalam teks A dan D, disebutkan tentang

    Sadan Malakan//Molin Malakan

    (Alun-alun Malaka//Tanah Lapang Malaka). Nama tempat ritual ini dianggap

    sebagaisuatu perkampungan leluhur purba yang kini sangat dikeramatkan.

    Di desa Fohoren,masyarakat setempat dengan penuh antusias dapat

    menunjukkan tempat itu, yangmenurut mereka merupakan pusat kerajaan

    Wesei-Wehali yang asli, sebuah kerajaan

    48

    yang sangat terkenal dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Timor. Sadan

    Malakan//MolinMalakan adalah nama tempat dilaksanakannya upacara

    tradisional masyarakat Fohoren.Tempat ini dianggap sebagai tempat

    tinggal pertama leluhur mereka. Sampai sekarang,

    jika orang membuat rumah adat baru, maka Sadan (=tempat menari)

    yang

    merupakan

    bagian penting dari rumah adat yang biasanya terletak di depan rumah

    adat itu harusdiambil dari Sadan Malakan//Molin Malakan yang pertama di

    Foho Mesak.

  • Hal yang menarik di sini adalah penyebutan Malakan atau Malaka.

    Dalam

    berbagai teks lisan di kawasan Timur Indonesia, istilah yang ada

    kaitannya denganMalaka ini cukup sering ditemukan. Dalam studi Van

    Wouden (1985: 44) disebutkan

    bahwa di berbagai wilayah di Pulau Timor, orang menyebut istilah Sina

    MutinMalakkan (Cina Putih Malaka). Dikisahkan bahwa beberapa ratus

    tahun yang lalu, empat

    suku (hutun rai hat) meninggalkan negerinya

    Sina Mutin Malakkan.

    Di Larantuka-Bauboin (Flores Timur) sebagian dari mereka tinggal. Mereka

    inilah yang menurunkan

    raja dan penduduk pantai di Larantuka. Di Flores Timur, orang mengenal

    istilah SinaJawa (Cina Jawa), yakni kelomp

    ok pendatang yang berasal dari berbagai wilayah di Nusantara bagian

    barat. Menurut Vatter (1984: 71), Sina Jawa tidak identik dengan

    tanahJawa melainkan tempat-tempat dari kepulauan Nusantara bagian barat.

    Dalam peta lamayang dibuat oleh orang Eropa, Java Menor meliputi Jawa,

    Sumatra, Malaka, danSumbawa. Dalam berbagai pertemuan ritual formal di

    Flores Timur, istilah Sina Jawaseringkali diidentifikasi sebagai Malaka

    (Taum, 1995: 39).Identifikasi Malaka (Jazirah Malaka) sebagai tempat

    asal masyarakat-masyarakatdi kawasan Timur Indonesia (termasuk suku

    Tetun dan Lamaholot) kiranya memilikikaitan dengan fakta sejarah. Patut

    diperhatikan bahwa pada abad ke-14 telah terjadi

    49

    hubungan yang intensif antara Timor dan Malaka. Pada tahun 1641 telah

    terjadi migrasi besar-besaran penduduk Melayu yang beragama Kristen ke

    Flores Timur. Bukti laindikemukakan Parera (1994: 142-147) melalui

    cerita-cerita rakyat serta adanya persamaanadat-istiadat.

    Dari uraian di atas dapat dicatat suatu fakta sejarah bahwa nene

    k-moyang orang

    Tetun di Fohoren adalah dari Malaka. Sadan Malakan/Molin Malakan adalah tempatkeramat yang dibuat sebagai tiruan terhadap tempat

    aslinya di Malaka. Sampai sekarang

    mereka masih menyadari bahwa mereka adalah pendatang yang turun dari

    kapal di atasgunung Foho Mesak Leo Bele. Di sini pun terdapat semacam

    interteks

    dari kisah Air Bahdalam zaman Nabi Nuh, sebagaimana ditemukan dalam

    teks-teks Kitab Suci PerjanjianLama. Leluhur orang Tetun (di Fohoren)

    dipercaya turun begitu saja dari sebuah kapal besar di puncak gunung

    itu, yakni ketika air bah itu telah surut.Uraian di atas telah

    menyebutkan tentang Kerajaan Wesei Wehali, sebuahkerajaan yang sangat

    terkenal dalam sejarah raja-raja Timor (lihat Parera, 1994: 157 -207).

    Dalam berbagai teks Hamulak dari desa Fohoren Kabupaten Kovalima

    (Timtim)selalu disebutkan bahwa pusat kerajaan Wesei Wehali adalah di

    gunung Foho Mesak (wilayah Fohoren). Di berbagai daerah Tetun di

    Viqueque, Manatuto, dan Dili istilahWesei Wehali juga sangat

    populer.Dapat ditegaskan bahwa mitos tentang Wesei Wehali sangat

    terkenal di daratanTimor bagian timur, bahkan sampai ke Kisar. Seorang

    Liurai (Raja) Viqueque

    memberikan pengakuan spontan pada tahun 1967 sebagai berikut. Semua

    raja di Timor

    Portugis, sampai ke Tutuala, memang berasal dari Wewiku-Wehali sehingga

  • semua raja di

    Timor Portugis harus bisa berbahasa Timor (Parera, 1994: 203). Teks

    -teks Hamulak

    50

    (Tetun) pada umumnya menghubungkan raja dan kerajaan Wesei Wehali dengan

    kekuatangaib.

    4.2 Nilai-nilai Historis dalam

    Gase

    Studi ini berhasil memperoleh dua teks Gase (yaitu hamulak untuk

    masyarakat Kemak) yang mengisahkan cerita asal-usul masyarakat Kemak.

    Kedua teks itu

    adalah Teks E Gase Kisah Kedatangan Nenek Moyang Atudara dan Teks F

    Kis

    ah

    Penduduk Asli. Tidak seperti masyarakat Fohoren yang secara signifikan menganggap

    leluhur mereka datang dari seberang lautan, orang Kemak memiliki

    pandangan yang khas: bahwa

    ada leluhur mereka yang asli Timor Timur, ibarat tokek dan

    tikus pribum

    i. Merekasudah ada begitu saja sejak dahulu kala. Mereka tidak datang

    dari seberang lautan. Disamping itu, ada juga leluhur mereka yang datang

    dari seberang lautan.

    4.2.1 Penduduk Asli Kemak

    Teks F secara eksplisit mengungkapkan dalam bait 2 dan 3, bahwa

    nenek-moyangmereka sungguh-

    sungguh tidak diketahui lagi asalnya. Mereka muncul begitu saja bagai

    riang-riang//seperti anai-

    anai sejak batu dan kayu ada di muka bumi ini. Leluhur tersebut

    mulai membuat tempat tinggalnya dengan

    Unu lige tasi//ta lige bia

    (Coba menikamlaut//coba memotong air);

    Koko sae la//taho odi gadere

    (Tusuk ke atas//supaya awanterbuka),

    Unu du la//tasi odi dea

    (Tusuk ke bawah//supaya laut surut).

    Leluhur asli yang dipandang merupakan manusia pertama orang Kemak adalah

    Nai

    Atumau//Nai Malimau (Teks F, bait 25). Dikisahkan pula bahwa leluhur

    pertama ini

    51

    mengawasi secara ketat penduduk pendatang. Mereka diawasi sejak matahari terbitsampai terbenamnya.

    Bait ini memuat sebuah informasi penting, bahwa asal-usul nenek

    moyangAtudara tidak diketahui siapapun. Pada bait (3), (4) dan (8)

    digambarkan bahwa leluhur

    mereka muncul begitu saja ibarat riang

    -riang//anai-

    anai. Meskipun demikian, mereka

  • percaya bahwa leluhur mereka telah hidup di tempat itu sejak dahulu

    kala, bahkan sejak

    bumi ini dijadikan. Patut dicatat bahwa mereka mengasosiasikan leluhur

    pribumi merekaseperti tokek dan tikus, yang menggambarkan bahwa

    mereka adalah penduduk asli.

    4.2.2 Penduduk Pendatang Kemak

    Dalam Teks E, disebutkan bahwa leluhur pendata

    ng Kemak datang dalam gelap

    -

    gulita//dalam malam membelam, yang berarti datang dari suatu tempat yang tidak

    diketahui secara pasti. Selanjutnya teks ini menyebutkan berbagai nama

    tempat di Timor Timur sebagai tempat persebaran nenek-moyang mereka.

    Tempat-tempat itu antara lain:Luka, Viqueque, Manufahi, Hera, Bidau,

    Dili, Lifau, Railako, Gleno. dll.Studi dan observasi lebih lanjut yang

    lebih meluas diharapkan dapat menemukantitik terang tentang asal-usul

    suku Kemak ini, yang oleh Dr. Ormeling dianggap sebagai

    sisa dari penduduk T