Publication_upload080926954234001222419609fa Medicinus Juli September 2008

52

description

medicinus

Transcript of Publication_upload080926954234001222419609fa Medicinus Juli September 2008

  • SPACEIKLAN

  • MEDICINUS

    Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

    dari redaksi daftar isi

    Pada edisi ini kami menampil-kan research article yang salah satunya merupakan hasil peneli-tian yang dilakukan oleh tim dari PT Equilab International, Jakarta yang berjudul Bioequivalence study of 75 mg clopidogrel tablet produced by PT DEXA MEDICA (Vaclo) in comparison with the reference tablet dimana dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa tablet copi-dogrel 75 mg produksi PT Dexa

    Medica dengan nama VACLO bioekivalen dengan produk yang sama yang dibuat oleh pabrik obat pembanding.

    Kami juga menampilkan artikel-artikel lain pada rubrik research, case report dan medical review yang pastinya menarik untuk dibaca.

    Pada rubrik profil kami me-nampilkan DR. Yaya Rukayadi, beliau adalah seorang pakar Microbiologist dan juga Research Professor di Yonsei University, Seoul, Korea Selatan. Sudah ba-nyak pula hasil-hasil penelitian-nya dipublikasikan baik di jurnal internasional maupun nasional.

    Sedangkan pada rubrik events kami menampilkan ha-sil liputan Workshop Inhalation Agents in New Perspective dan acara simposium DOC-LINK.

    Selamat membaca!!!!REDAKSI

    Ketua Pengarah/Pemimpin Redaksi Dr. Raymond R. TjandrawinataRedaktur Pelaksana Dwi Nofiarny, Pharm., Msc.Staf Redaksi dr. Della Manik Worowerdi Cintakaweni, dr. Lydia Fransisca Hermina Tiurmauli Tambunan, Liana W Sutanto, M biomed., dr. Prihatini, dr. Ratna Kumala-sari, Tri Galih Arviyani, SKom.Peer Review Prof.Arini Setiawati, Ph.D, Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D, Prof.Dr.Med.Puruhito,M.D.,F.I.C.S., F.C.T.S, Prof DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFKRedaksi/Tata Usaha Jl. RS Fatmawati Kav 33, Cilandak, Jakarta Selatan Tel. (021) 7509575, Fax. (021) 75816588, Email: [email protected]

    SUMBANGAN TULISANRedaksi menerima partisipasi berupa tulisan, foto dan materi lainnya sesuai dengan misi majalah ini. Redaksi berhak menge-dit atau mengubah tulisan/susunan bahasa tanpa mengubah isi yang dimuat apabila dipandang perlu.

    Dari Redaksi

    Petunjuk Penulisan

    Original Article (Research)

    Bioequivalence Study of 75 mg Clopidogrel

    Tablets Produced by PT DEXA MEDICA in

    Comparison with the Reference Tablet

    Profil Product: VACLO

    Original Article (Research)

    Efek Parasetamol terhadap Kadar SGPT dan

    SGOT Darah Mencit yang Diberikan Alko-

    hol Akut dan Alkohol Kronis

    Non Tuberculous Mycobacteria pada Rheu-

    matoid Arthritis, Osteomyelitis, Osteoporo-

    sis dan Penyakit Muskuloskeletal Lainnya

    Hubungan Persentase Agregasi Trombosit

    dengan Lamanya Konsumsi Aspirin pada

    Penderita Aterosklerosis di Poli Penyakit

    Jantung RSU Dr. Saiful Anwar Malang

    Original Article (Case Report)

    Reseksi Tumor pada Dinding Posterior Fa-

    ring dengan Teknik Pendekatan Transpala-

    tal dan Transhioid-Lateral Faringotomi

    Tonsilitis Akut dengan Komplikasi Multipel

    Medical Review

    Hipertensi Sekunder

    Penyakit-Penyakit yang Meningkat Kasus-

    nya Akibat Perubahan Iklim Global

    Meet the Expert: Yaya Rukayadi, Ph.D

    OGBdexa Tingkatkan Distribusi ke Apotik

    di Indonesia

    Calender Events

    Events

    Literatur Services

    49

    50

    51

    55

    57

    60

    63

    66

    69

    71

    80

    86

    89

    91

    92

    96

    49

    mechanism of antiplatelet

  • MEDICINUS

    Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

    Redaksi menerima tulisan asli/tinjauan pustaka, penelitian atau laporan kasus dengan foto-foto asli dalam bidang Kedokteran dan Farmasi. 1. Tulisan yang dikirimkan kepada Redaksi adalah tulisan yang belum pernah

    dipublikasikan di tempat lain dalam bentuk cetakan. Keaslian dan keakuratan informasi dalam tulisan menjadi tanggungjawab pe-

    nulis2. Tulisan berupa ketikan dan diserahkan dalam bentuk disket, diketik di pro-

    gram MS Word dan print-out dan dikirimkan ke alamat redaksi atau melalui e-mail kami.

    3. Pengetikan dengan point 12 spasi ganda pada kertas ukuran kuarto (A4) dan tidak timbal balik.

    4. Semua tulisan disertai abstrak dan kata kunci (key words). Abstrak hendaknya tidak melebihi 200 kata.

    5. Judul tulisan tidak melebihi 16 kata, bila panjang harap di pecah menjadi anak judul.

    6. Nama penulis harap di sertai alamat kerja yang jelas.7. Harap menghindari penggunaan singkatan-singkatan8. Penulisan rujukan memakai sistem nomor (Vancouver style), lihat contoh pe-

    nulisan daftar pustaka. 9. Bila ada tabel atau gambar harap diberi judul dan keterangan yang cukup.10. Untuk foto, harap jangan ditempel atau di jepit di kertas tetapi dimasukkan ke

    dalam sampul khusus. Beri judul dan keterangan yang lengkap pada tulisan.11. Tulisan yang sudah diedit apabila perlu akan kami konsultasikan kepada peer

    reviewer.12. Tulisan disertai data penulis/curriculum vitae, juga alamat email (jika ada),

    no. telp/fax yang dapat dihubungi dengan cepat.

    CONTOH PENULISAN DAFTAR PUSTAKA

    Daftar pustaka di tulis sesuai aturan Vancouver, diberi nomor sesuai urutan pemu-nculan dalam keseluruhan tulisan, bukan menurut abjad. Bila nama penulis lebih dari 6 orang, tulis nama 6 orang pertama diikuti et al. Jumlah daftar pustaka di-batasi tidak lebih dari 25 buah dan terbitan satu dekade terakhir.

    ARTIKEL DALAM JURNAL

    1. Artikel standar

    Vega KJ,Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996; 124(11):980-3. Lebih dari 6 penulis: Parkin DM, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 years follow-up. Br J Cancer 1996; 73:1006-12

    2. Suatu organisasi sebagai penulis

    The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress Testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996; 164:282-4

    3. Tanpa nama penulis

    Cancer in South Africa (editorial). S Afr Med J 1994; 84:154. Artikel tidak dalam bahasa Inggris

    Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996; 116:41-2

    5. Volum dengan suplemen

    Shen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupa-tional lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82

    6. Edisi dengan suplemen

    Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Womens psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl 2):89-97

    7. Volum dengan bagian

    Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6

    8. Edisi dengan bagian

    Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap lacerations of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990; 107(986 Pt 1):377-8

    9. Edisi tanpa volum

    Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheu-matoid arthritis. Clin Orthop 1995; (320):110-4

    10. Tanpa edisi atau volum

    Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of the cancer patient and

    the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33

    11. Nomor halaman dalam angka romawi

    Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Intro-duction Hematol Oncol Clin North Am 1995; Apr; 9(2):xi-xii

    BUKU DAN MONOGRAF LAIN

    12. Penulis perseorangan

    Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY):Delmar Publishers; 1996

    13. Editor sebagai penulis

    Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New York:Churchill Livingstone; 1996

    14. Organisasi sebagai penulis

    Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid program. Washington:The Institute; 1992

    15. Bab dalam buku

    Catatan: menurut pola Vancouver ini untuk halaman diberi tanda p, bukan tanda baca titik dua seperti pola sebelumnya).

    Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors. Hypertension: Patophysiology, Diagnosis and Management. 2nded. New York:Raven Press; 1995.p.465-78

    16. Prosiding konferensi

    Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neuro-physiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996

    17. Makalah dalam konferensi

    Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and secu-rity in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, editors. MED-INFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam:North-Hollan; 1992.p.1561-5

    18. Laporan ilmiah atau laporan teknis

    Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor: Smith P, Golladay K. Payment for durable medi-cal equipment billed during

    skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept.of Health and Hu-man Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860

    Diterbitkan oleh unit pelaksana: Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services Research: Work

    Force and Education Issues. Washington:National Academy Press; 1995. Con-tract No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and Research

    19. Disertasi

    Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The elderys access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington Univ.; 1995

    20. Artikel dalam koran

    Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 ad-missions annually. The Washington Post 1996 Jun 21; Sept A:3 (col.5)

    21. Materi audio visual

    HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby-Year Book; 1995

    MATERI ELEKTRONIK

    22. Artikel jurnal dalam format elektronik

    Morse SS. Factors in the emergence of infection diseases. Emerg Infect Dis [se-rial online] 1995 jan-Mar [cited 1996 Jun 5];1(1):[24 screens]. Available from: URL:HYPERLINK

    23. Monograf dalam format elektronik

    CDI, Clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995

    24. Arsip komputer

    Hemodynamics III: The ups and downs of hemodynamics [computer pro-gram]. Version 2.2. Orlando [FL]: Computerized Educational Systems

    Petunjuk PenulisanPetunjuk PenulisanPetunjuk PenulisanPetunjuk PenulisanPetunjuk PenulisanPetunjuk PenulisanPetunjuk PenulisanPetunjuk PenulisanPetunjuk Penulisaninstructions for authors

    50

  • Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

    MEDICINUS

    original article

    51

    Danang Agung Yunaidi, Asriningtyas PS, Lucia Rat Handayani, Iwan Dwi Santoso, Purwati, Siti Hawa Deniati, Gunawan Harinanto

    PT Equilab International, Jakarta

    ABSTRAK. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah bioavailabilitas clopidogrel 75 mg yang diproduksi oleh PT Dexa Medica (Vaclo) sebanding dengan bioavailabilitas produk yang sama yang dibuat oleh pabrik obat pembandingnya. Parameter farmakokinetik yang dinilai dalam studi ini ialah luas daerah di bawah kurva kadar-waktu dari waktu 0 sampai 24 jam (AUC

    t), luas daerah di bawah

    kurva kadar-waktu dari waktu 0 sampai tak terhingga (AUCinf

    ), kadar puncak (Cmax

    ), waktu untuk mencapai kadar puncak (tmax

    ), dan waktu paruh eliminasi (t

    1/2). Parameter farmakokinetik tersebut diukur berdasarkan konsentrasi plasma dari metabolit clopidogrel

    (clopidogrel carboxylic acid).Penelitian ini menggunakan desain menyilang, acak, dan tersamar tunggal yang mengikutsertakan 24 sukarelawan laki-laki dan wan-ita dewasa sehat. Sukarelawan dipuasakan semalam dan keesokan harinya diberi 1 tablet obat uji (Vaclo, produksi PT Dexa Medica) atau 1 tablet obat pembanding per oral. Contoh darah diambil pada saat sebelum minum obat (kontrol), dan pada menit ke-15, 30, 45, dan jam ke-1, 1.5, 2, 3, 4, 6, 8, 10, 12, 16, dan 24 setelah minum obat. Satu minggu setelah pemberian obat pertama (periode washout), prosedur yang sama diulang dengan memberikan obat pembandingnya. Kadar clopidogrel carboxylic acid ditentukan se-cara kromatografi gas dengan detektor spektrometri massa.Pada penelitian bioavailabilitas ini, rata-rata (SD) AUC

    t, AUC

    inf, C

    max, dan t

    1/2 dari obat uji masing-masing adalah 5377,44 (3991,08)

    g.h/mL, 6130,75 (4442,18) g.h/mL, 2219,11 (1612,96) g/mL, dan 7,99 (4,46) jam, dengan median (kisaran) tmax

    0,75 (0,251,50) jam. Rata-rata (SD) AUC

    t, AUC

    inf, C

    max, dan t

    1/2 dari obat pembanding masing-masing adalah 5649,33 (3901,19) g.h/mL, 6394,23

    (4152,62) g.h/mL, 2392,51 (1699,43) g/mL, dan 8,01 (5,31) jam dengan median (kisaran) tmax

    0,75 (0,251,50) jam.Rasio nilai rata-rata geometrik obat uji terhadap obat pembanding ialah 93,19% untuk AUC

    t, 94,17% untuk AUC

    inf, dan 92,01% untuk

    Cmax

    . Nilai 90% confidence interval (90% CI) nya adalah 81,73106,26% untuk AUCt, 83,19106,60% untuk AUC

    inf, dan 73,84114,65%

    untuk Cmax

    . Dengan menggunakan uji Wilcoxon berpasangan terhadap data asli, tidak ditemukan perbedaan yang berarti secara sta-tistik antara nilai t

    max dari obat uji dan obat pembanding.

    Tidak dijumpai adanya kejadian tidak diinginkan dan pelanggaran terhadap protokol selama penelitian berlangsung.Berdasarkan hasil yang didapatkan dari penelitian ini, yakni nilai 90% convidence interval (90% CI) dari rasio nilai AUC dan C

    max berada

    di antara rentang yang dapat diterima untuk bioekuivalensi, dapat disimpulkan bahwa tablet clopidogrel 75 mg produksi PT Dexa Medica (Vaclo) bioekivalen dengan produk yang sama yang dibuat oleh pabrik obat pembanding.

    Kata kunci : clopidogrel kromatografi gas spektrometri massa bioekivalen

    ABSTRACT. The present study was conducted to find out whether the bioavailability of 75 mg clopidogrel tablet (Vaclo) produced by PT Dexa Medica was equivalent to the reference product. The pharmacokinetic parameters assessed in this study were area under the plasma concentration time curve from time zero to 24 hours (AUC

    t), area under the plasma concentration-time curve from time zero to

    infinity (AUCinf

    ), the peak plasma concentration of the drug (Cmax

    ), time needed to achieve the peak plasma concentration (tmax

    ), and the elimination half life (t

    1/2). These parameters were determined on plasma concentrations of clopidogrel carboxylic acid metabolite.

    This was a cross-over, randomized, single-blind study which included 24 healthy adult male and female subjects. The participating subjects were required to have an overnight fast and in the next morning were given orally 1 tablet of the test drug (Vaclo, produced by PT Dexa Medica) or 1 tablet of the reference drug. Blood samples were drawn immediately before taking the drug (control), at 15, 30, 45 minutes, 1, 1.5, 2, 3, 4, 6, 8, 10, 12, 16, and 24 hours after drug administration. One week after the first drug administration (washout period), the procedure was repeated using the alternate drug. Plasma concentrations of clopidogrel carboxylic acid were determined by gas chromatography with mass spectrometry detector (GC/MS).In this study, the mean (SD) AUC

    t, AUC

    inf, C

    max, and t

    of clopidogrel carboxylic acid from the test drug were 5377.44 (3991.08) ng.h/

    mL, 6130.75 (4442.18) ng.h/mL, 2219.11 (1612.96) ng/mL, and 7.99 (4.46) h, respectively, with the median (range) tmax

    of 0.75 (0.251.50) h. The mean (SD) AUC

    t, AUC

    inf, C

    max, and t

    of clopidogrel carboxylic acid from the reference drug were 5649.33 (3901.19)

    ng.h/mL, 6394.23 (4152.62) ng.h/mL, 2392.51 (1699.43) ng/mL, and 8.01 (5.31) h, respectively, with the median (range) tmax

    of 0.75 (0.251.50) h.

    rese

    arc

    hMEDICINUS

  • MEDICINUS

    Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

    52

    INTRODUCTION Bioequivalence studies should be conducted for the comparison of two medicinal products containing the same active substance. The stu-dies should provide an objective means of critically assessing the possi-bility of alternative use of them. Two products marketed by different licensees, containing the same active ingredients, must be shown to be therapeutically equivalent to one another in order to be considered in-terchangeable. One of several test methods that can assess equivalence is bioequivalence studies, in which the active drug substance or one or more metabolites is measured in an accessible biological fluid such as plasma, blood or urine. For a drug to be considered bioequivalent to a reference drug, the area under plasma concentration-time curve (AUC) of the drug should be within 80-125% of the AUC of the references drug. Clopidogrel is an inhibitor of platelet aggregation through selective binding to adenylate cyclase-coupled ADP receptors on the platelet surface. Clopidogrel is inactive and needs hepatic metabolism which generates an active metabolite. In human, very low levels of the par-ent compound are detectable in plasma samples. The major circulating compound (85% of the circulating compound in human) is the carboxy-lic acid derivative of clopidogrel that does not have any pharmacologi-cal activity. Nevertheless, as the active metabolite is not detectable in blood, it is used to document the pharmacokinetic profile of clopido-grel. Clopidogrel bisulphate is chemically described as methyl (+)-S-a-(2-chlorophenyl)-6,7-dihydrothieno[3,2-c]pyridine-5(4H)-acetate sul-fate. Its empirical formula is C16H16Cl NO2SH2SO4 with a molecular weight of 419.9. Clopidogrel bisulfate is a white to off-white powder, practically insoluble in water at neutral pH, but freely soluble at pH 1. It also dissolves freely in methanol, sparingly in methylene chloride, and practically insoluble in ethyl ether. The chemical structure is:

    Figure i. Chemical structure of clopidogrel

    Clopidogrel carboxylic acid (SR 26334) is the main identified me-

    tabolite of clopidogrel formed by hydrolysis of the methyl ester of clopidogrel. The chemical structure of this metabolite is:

    Figure ii. Chemical structure of clopidogrel carboxylic acid (SR 26334)

    Clopidogrel is indicated for the reduction of atherosclerotic events (myocardial infarction, stroke, and vascular death) in patients with atherosclerosis documented by recent stroke, recent myocardial infarc-tion, or established peripheral arterial disease. Recommended dose of clopidogrel is 75 mg once daily with or without food. No dosage adjustment is necessary for elderly patients or patients with renal disease. Clopidogrel is an inhibitor of platelet aggregation. Clopidogrel selectively inhibits the binding of adenosine diphosphate (ADP) to its platelet receptor and the subsequent ADP-mediated activation of the glycoprotein GPIIb/IIIa complex, thereby inhibiting platelet aggrega-tion. Biotransformation of clopidogrel is necessary to produce inhibi-tion of platelet aggregation, but an active metabolite responsible for the activity of the drug has not been isolated. Clopidogrel also inhibits platelet aggregation induced by agonist other than ADP by blocking the amplification of platelet activation by released ADP. Clopidogrel does not inhibit phosphodiesterase activity. Clinically important adverse events observed are hemorrhage, gas-trointestinal disturbance (e.g. abdominal pain, dyspepsia, gastritis, di-arrhea and constipation), neutropenia and rash. Clopidogrel prolongs the bleeding time and should be used with caution in patients who may be at risk of increased bleeding from trau-ma, surgery, or other pathological conditions (such as gastrointestinal ulcers). After repeated 75-mg oral doses of clopidogrel (base), plasma con-centrations of the parent compound, which has no platelet inhibiting effect, are very low and are generally below the quantification limit (0.00025 g/ml) beyond 2 hours after dosing. Clopidogrel is extensively metabolized by the liver. The main circulating metabolite is the carboxy-lic acid derivative, and it too has no effect on platelet aggregation. It rep-resents about 85% of the circulating drug-related compounds in plasma. The elimination hal-life (t) of the main circulating metabolite is 8 hours after a single and repeated administration.

    The geometric mean ratios (90% CI) of the test drug/reference drug for clopidogrel carboxylic acid were 93.19% (81.73106.26%) for AUC

    t, 94.17% (83.19106.60%) for AUC

    inf, and 92.01% (73.84114.65%) for C

    max.

    Using Wilcoxon matched-pairs test on the original data, the difference between the test and reference drug products for clopidogrel carboxylic acid t

    max values was found not significantly different (p

  • Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

    MEDICINUS

    53

    Clopidogrel is rapidly absorbed after oral administration of repeat-ed doses of 75 mg clopidogrel (base), with peak plasma levels (Cmax) about 3 g/ml of the main circulating metabolite occurring approxi-mately 1 hour after dosing. The pharmacokinetics of the main circula-ting metabolite are linear (plasma concentrations increase in proportion to dose) in the dose range of 50 to 150 mg of clopidogrel. Absorption is at least 50% based on urinary excretion of clopidogrel-related metabo-lites. Clopidogrel and the main circulating metabolite bind reversibly in vitro to human plasma proteins (98% and 94%, respectively). In vitro and in vivo, clopidogrel undergoes rapid hydrolysis into its carboxylic acid derivative. In plasma and urine, the glucuronide of the carboxylic acid derivative is also observed. Administration of clopidogrel with meals does not significantly modify the bioavailability of clopidogrel as assessed by the pharma-cokinetics of the main circulating metabolite. The objective of this study is to find out whether the bioavailability of PT Dexa Medicas formulation of 75 mg clopidogrel tablet (Vaclo) is equivalent to that of the reference drug (Plavix, Sanofi Synthelabo).

    METHODS The final version of the protocol with the written informed consent statement (16.06.2005) has been submitted to the Ethics Committee of the Medical Faculty, University of Indonesia and the written ethical ap-proval has been obtained on July 11th, 2005. There were two protocol amendments during the study. The first amendment of the final protocol (19.10.2006) conformed to the new format of BA/BE study according to National Food and Drug Control instruction. The second amendment of the final protocol (25.10.2007) conformed to the change of number of subjects. The study was conducted according to the Declaration of Helsinki and its amendments and to the relevant Good Clinical Practice Guide-line and in agreement with the local Ethics Committee. Prior to starting this study, the purpose and the risks involved were fully explained to the subjects by the Investigator or his/her nominee. Subjects were given ample time to decide independently whether they wished to participate in the study. They were asked to sign a form (informed consent form) indicating that they agreed to participate on this basis. Written informed consent was obtained from each volunteer prior to their participation. Twenty-four (24) healthy adult male and female subjects aged be-tween 18-55 years, body weight within normal range (BMI=18-25 kg/m2), blood pressure within normal range (100-130 mmHg for systolic, and 6085 mmHg for diastolic blood pressure), pulse rate between 60-90 bpm, and had signed the informed consent, were recruited to par-ticipate in this study. Pregnant or lactating women, women of child-bearing potential without adequate contraception, subjects with known contraindications or hypersensitivity to clopidogrel, chronic gastroin-testinal problems, clinically significant ECG abnormalities, clinically significant hematology, blood glucose, renal and hepatic function ab-normalities, and positive test result of HBsAg, anti-HCV, and/or anti-HIV were excluded. This was a randomized, single-blind (investigator blind), two-se-quence, cross-over study with one-week washout period. The study compared bioavailability of 75 mg clopidogrel tablets produced by PT Dexa Medica (Vaclo) with reference tablets. At least one week before and during the study period, subjects were not allowed to take any drug, including OTC, food supplement, herbal medicine, and at least two weeks for any prescription drug.Subjects attended to PT Equilab International a night before drug ad-ministration and they were requested to fast from any food and drink except mineral water from 21:00 PM. In the morning (approximately 06:00 AM) of the dosing day (day 1), after an overnight fast, a pre-dose pharmacokinetic blood sample was taken. Then the study drug (one tablet of Vaclo or Plavix) was given at 07.00 AM with 200 mL of wa-ter. Blood samples were drawn 10 mL immediately before taking the

    drug (control), and 5 mL each at 15, 30, 45 minutes and 1, 1.5, 2, 3, 4, 6, 8, 10, 12, 16, and 24 hours after drug administration. Blood samples were collected into EDTA tubes for the measurement of plasma levels of clopidogrel carboxylic acid. The date and the time of taking each sample were recorded in the CRF. Lunch and dinner were served 4 hours and 10 hours after drug administration. On day-2, breakfast was served after blood sampling at time point +24 hours. The amount of food and water intake and physical activity for each individual sub-ject were standardized during the sampling days. Smoking, xanthine containing food or beverages and fruit juices were not allowed for 24 hours before and during the entire sampling days. One week after the first drug administration (washout period), the same procedure was repeated with the alternate drug. Clopidogrel carboxylic acid concentrations in plasma were assayed using a fully validated gas chromatography with mass spectrometry (GC/MS) detection method, with respect to adequate sensitivity, spe-cificity, linearity, recovery, accuracy and precision (both within and be-tween days). Stability of the samples under frozen conditions, at room temperature, and during freeze-thaw cycle was also determined. Two calibration curves was prepared by least square linear regres-sion (Y = aX + b; where X was the concentration of clopidogrel carboxy-lic acid, and Y was the peak area ratio of clopidogrel carboxylic acid to ketoprofen). The concentration of clopidogrel carboxylic acid in plasma sample was determined by entering the peak area ratio of clopidogrel carboxylic acid to ketoprofen into the regression line equation of the standard calibration curve. Plasma concentration-time data such as maximum observed serum concentration (Cmax), time to reach Cmax (tmax), area under the serum concentration vs time curve up to the last quantifiable concentration (AUCt), area under the serum concentration vs time curve extrapolated to infinite time (AUCinf), and terminal phase half-life time (t) were ana-lyzed from the serum concentrations of both drug products. The criteria for bioequivalence are that the 90% Cls of the geometric mean ratios 0.801.25 for the AUC and 0.701.43 for the Cmax. EquivTest version 2.0 (Statistical Solution Ltd., Saugus, MA, USA) was used to perform the statistical analyses of AUCt, AUCinf, and Cmax using analy-sis of variance (ANOVA) after transformation of the data to their loga-rithmic (ln) values. The tmax difference was analyzed non-parametrical-ly on the original data using Wilcoxon matched-pairs test.

    RESULTS The means of clopidogrel carboxylic acid plasma concentrations in 24 subjects after oral administration of T and R are plotted in Fig. III. In this study, the mean (SD) AUCt of clopidogrel carboxylic acid for the test drug (T) and the reference drug (R) were 5377.44 (3991.08) and 5649.33 (3901.19) ng.h/mL, respectively. The mean (SD) AUCinf of clopidogrel carboxylic acid for T and R were 6130.75 (4442.18) and 6394.23 (4152.62) ng.h/mL, respectively. The mean (SD) Cmax of clopi-dogrel carboxylic acid for T and R were 2219.11 (1612.96) and 2392.51 (1699.43) ng/mL, respectively. The mean (SD) of t1/2 for T and R were 7.99 (4.46) and 8.01 (5.31) h, respectively. The median (range) of tmax for T and R were 0.75 (0.251.50) and 0.75 (0.251.50) h, respectively. The individual pharmacokinetic parameters (AUCt, AUCinf, Cmax, tmax, and t of clopidogrel carboxylic acid are tabulated in Table I.The geometric mean ratios (90% confidence intervals) of the AUCt, AUCinf, and Cmax of clopidogrel carboxylic acid were 93.19% (81.73106.26%), 94.17% (83.19106.60%), and 92.01% (73.84114.65%), res-pectively. Using Wilcoxon matched-pairs test on the original data, the difference between the test drug and reference drug for tmax values of clopidogrel carboxylic acid plasma concentration was not significantly different (NS). There was no adverse event encountered during the study.

  • MEDICINUS

    Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

    54

    Table I. Pharmacokinetic parameters of clopidogrel carboxylic acid after oral administration of 75 mg clopidogrel tablet produced by PT Dexa Medica (Test

    Product = Clopidogrel DXM) and the reference product

    Subject IDAUCt(ng.h/mL) Fref (%)

    AUCInf(ng.h/mL) Fref (%)AUCt/AUCInf - ratio (%) Cmax (ng/mL) tmax (h) t (h)

    T R T R T R T R T R T R

    S-1S-2S-3S-4S-5S-6S-7S-8S-9S-10S-11S-12S-15S-16S-17S-18S-19S-20S-21S-22S-23S-24S-25S-26

    10625.129960.907494.264794.9516151.453157.8714365.351901.315352.22906.211138.746112.315362.643181.222773.233151.787635.463844.405407.552705.564769.611838.901313.515113.94

    8521.969641.945144.064541.2017616.754140.8714089.333262.154812.11836.86767.658194.844935.973163.203949.233923.896033.938013.373907.394347.744455.605850.08972.894460.80

    124.68103.31145.69105.5991.6876.26101.9658.28111.22108.29148.3474.59108.64100.5770.2280.32126.5447.97138.3962.23107.0531.43135.01114.64

    12322.3910061.329240.914973.5816972.653333.9717488.071964.746762.151045.621232.336779.355839.623747.803989.813851.718502.194163.236419.563062.245247.192518.601868.455750.62

    10487.529841.396956.614944.5719218.964540.7314551.473391.985370.31905.28855.129442.305434.003867.095205.644757.376279.238443.775006.434474.146377.116834.841098.205177.41

    117.50102.23132.84100.5988.3173.42

    120.1857.92

    125.92115.50144.1171.80

    107.4696.9276.6480.96

    135.4049.31

    128.2368.4482.2836.85

    170.14111.07

    86.2399.0081.1096.4195.1694.7282.1496.7779.1586.6792.4190.1691.8384.8869.5181.8389.8192.3484.2488.3590.9073.0170.3088.93

    81.2697.9773.9591.8491.6691.1996.8296.1789.6192.4489.7786.7990.8381.8075.8682.4896.0994.9078.0597.1769.8785.5988.5986.16

    4692.113218.832604.841059.257024.401911.474456.402330.15889.22487.66581.62

    4258.032610.11941.44833.62

    2127.462990.381204.912132.711867.652159.24554.27476.03

    1846.97

    3554.773030.861037.152204.967518.302744.955396.182204.86875.14692.17

    1484.773446.292313.26900.77698.78839.07

    2588.374594.001527.062591.04976.54

    2595.29339.41

    3266.26

    0.750.250.751.500.750.750.250.500.750.501.000.750.500.750.500.751.000.500.750.501.001.000.750.50

    0.750.750.500.750.750.500.500.751.000.500.750.250.750.750.500.500.500.750.750.751.500.500.750.50

    10.642.1213.443.5910.353.519.381.8110.533.441.773.135.3710.1513.5013.165.474.7813.529.798.5917.598.138.02

    12.795.8512.524.817.347.733.562.448.331.942.202.7710.4612.1419.5413.693.352.4314.721.6713.8015.663.329.24

    MeanSD

    5377.443991.08

    5649.333901.19

    98.8731.01

    6130.754442.18

    6394.234152.62

    99.7532.30

    86.918.11

    87.797.83

    2219.111612.96

    2392.511699.43

    0.71 0.68 7.994.46

    8.015.31

    MinimumMaximum

    Median

    906.2116151.45

    767.6517616.75

    31.43148.34

    1045.6217488.07

    855.1219218.96

    36.85170.14

    69.5199.00

    69.8797.97

    476.037024.40

    339.417518.30

    0.251.500.75

    0.251.500.75

    1.7717.59

    1.6719.54

    CONCLUSION Based on the results shown above, that the geometric mean and 90% confidence interval of the test/reference AUC-and Cmax-ratios were within the acceptance ranges for bioequivalence, it was concluded that the 75 mg clopidogrel tablet produced by PT Dexa Medica (Vaclo) was bioequivalent to the reference product.

    ACKNOWLEDGEMENT We thank the subjects for their participation in this study, and we appreciated PT Dexa Medica for funding the study.

    REFERENCES1. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pedoman uji bioekivalensi. Jakarta:BPOM;

    Figure iii. Mean plasma concentration-time pro-

    files of clopidogrel carboxylic acid in human sub-

    jects (n=24) after oral administration of 75 mg

    clopidogrel tablet produced by PT Dexa Medica

    (test Product=Clopidogrel DXM) and that produced

    by the innovator (Reference Product)

    2004.2. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pedoman cara uji klinik yang baik. Ja-

    karta: BPOM; 2001.3. Lainesse A, Ozalp Y, Wong H, Alpan RS. Bioequivalence study of clopidogrel

    bisulfate film-coated tablets. Arzneimittelforschung. 2004: 54(9a): 600-4.4. McEwen J, Strauch G, Perles P, Pritchard G, Moreland TE, Necciari J, Dickinson

    JP. Clopidogel bioavailability: absence of influence of food or antacids. Semin Thromb Hemost. 1999: 25(2): 47-50.

    5. Lagorce P, Perez Y, Ortiz J, Necciari J, Bressolle F. Assay method for the carbox-ylic acid metabolite of clopidogrel in human plasma by gas chromatography-mass spectrometry. J Chromatogr Biomed Sci Appl. 1998; 720: 107-17.

    6. Plavix Online. Description, chemistry, ingredients, pharmacology, pharma-cokinetics, studies and metabolism of clopidogrel: monograph. Available from: http://www.rxlist.com/cgi/generic/clopidog.htm

  • MEDICINUS

    Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

    VACLOClopidogrel

    Penyebab kematian akibat penyakit kardiovaskular yang paling besar dikarenakan coronary heart diseasse (53%) dan stroke (17%). Kasus stroke iskemia, infark miokard maupun vascular death merupakan kasus yang sering dijumpai. Obat-obat yang sering digunakan pada kasus tersebut, antara lain obat antihipertensi, hiper-lipidemia dan antiplatelet, dan lain-lain.1

    Obat-obat antiplatelet digunakan untuk mencegah terjadinya agregasi platelet. Agre-gasi platelet disebabkan oleh penyakit kar-diovaskular, serebrovaskular dan pembuluh darah.

    Pemberian obat antiplatelet biasanya diberikan dalam pemberian jangka panjang, selain itu juga hendaknya diikuti dgn pola makan yg baik, olahraga teratur dan meng-hindari obesitas.1

    Macam-macam obat-obat antiplatelet yang ada saat ini antara lain:21. Cyclooxygenase inhibitors (aspirin) 2. Adenosine diphosphate (ADP) receptor in-

    hibitors (Clopidogrel, Ticlopidine) 3. Phosphodiesterase inhibitors (Cilostazol) 4. Glycoprotein IIB/IIIA inhibitors (Abciximab,

    Eptifibatide) 5. Adenosine reuptake inhibitors (Dipyrida-

    mole)

    Untuk memberikan solusi pada kasus tersebut pada bulan Juni 2008 PT Dexa Med-ica meluncurkan VACLO yang berisi clopidog-rel tablet salut selaput 75 mg.3

    Vaclo bekerja dengan cara menghambat ikatan ADP yang dihasilkan pada saat terjadi luka (eksternal) maupun pelepasan ADP yang dihasilkan pada saat aktivasi oleh kolagen, thrombin dan thromboxan A2 (internal) secara spesifik dan irreversibel, sehing-ga mengham-bat aktivasi reseptor GP IIb/IIIa sehingga fibrin-ogen dan vWF tidak dapat berikatan kemudian tidak terjadi agregasi platelet.3,4,5

    Indikasi:3-5 Mengurangi kejadian aterosklerotik (infark

    miokard, stroke, dan vascular death) pada pasi-en dengan riwayat aterosklerotik oleh stroke, in-fark miokard, atau penyakit arteri perifer

    Dosis:3-5 Dosis yang direkomendasikan 75 mg sekali sehari dengan atau tanpa makanan.

    Tidak perlu penyesuaian dosis untuk pasien usia lanjut atau pasien dengan penyakit ginjal.

    Berdasarkan penelitian PT Equilab Interna-tional Jakarta, disimpulkan bahwa tablet clopi-dogrel 75 mg (Vaclo produksi PT Dexa Medica bio-ekuivalen dengan produk yang sama yang dibuat oleh pabrik produk referensi (Plavix , Sanofi Synthelabo).6

    Kesimpulan: Clopidogrel termasuk ke dalam obat antiplatelet dengan mekanisme kerja sebagai Adenosine di-phosphate (ADP) receptor inhibitors. Pemakaiannya luas untuk berbagai kasus herosklerotik (infark miok-ard, stroke, dan vascular death) pada pasien deng-an riwayat aterosklerotik oleh stroke, infark mio-kard, atau penyakit arteri perifer

    Vaclo bioekuivalen dengan reference pro-duct.

    Referensi:1. Thom T, et al. Heart diseasse and statis-

    tic. Update: A report from the American Heart Association Statistics Committee and Stroke Statistic Subcommitee 2006. Circulation;113;e85-e151.

    2. Dailey JH, editors. FDA approved for se-lected antiplatelet agents. In: Drug Class Review on Newer Antiplatelets Agents. Cali-fornia evidence-Based Practice Center, Or-egon; 2006.p.7

    3. Vaclo. Package insert. PT Dexa Medica.4. Mc. Evoy GK, Litvak K, Snow EK, Kes-

    ter L, Dewey DR, Bollingeer LA, et al. Clopidogrel bisulfate. In: AHFS Drug Information 2007. Bethesda: American Society of Health System Pharmacists, Inc; 2007.p.1482-85

    5. Jarvis B, Simpson K. Clopidogrel: A review of its use in the prevention of atherothrombosis. Drug 2000;60(2);347-77

    6. Yunaidi DA, et al. Bioequivalence study of 75 mg clopidogrel tablets produced by PT Dexa Medica (Vaclo) in compari-son with the reference tablet (Plavix, Sanofi Synthelabo). Study report 2008 PT Equilab International Jakarta

    profil product

    55

  • MEDICINUS

    Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

  • Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

    MEDICINUS

    original article

    rese

    arc

    h

    I Made Jawi*, Agung Indrayani*, I Wayan Sumardika*, IWP Sutirta Yasa*** Bagian Farmakologi FK Unud

    ** Bagian Patologi Klinik FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar

    ABSTRAK. Penggunaan parasetamol sebagai analgesik amat luas di masyarakat, baik sebagai obat bebas maupun diberikan oleh petugas kesehatan. Penggunaan alkohol sebagai minuman juga meningkat di masyarakat. Interaksi antara parasetamol dengan alkohol terutama di dalam hati merupakan interaksi yang sangat kompleks. Penggunaan alkohol akut dan alkohol kro-nis dapat menginduksi enzim secara berbeda di dalam hati sehingga efek toksik parasetamol juga berbeda. Untuk mengetahui efek parasetamol terhadap hati pada pemberian alkohol akut dan kronis dilakukan penelitian pada mencit jenis Balb/C betina dewasa, dengan rancangan randomized control group post test only design. Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi FK Unud dengan 36 ekor mencit yang dibagi menjadi 6 kelompok masing-masing 6 ekor. Pengamatan dilakukan terhadap kadar SGOT dan SGPT mencit kelompok kontrol, kelompok parasetamol, kelompok alkohol akut, kelompok alkohol kronis, kelompok alkohol akut dengan parasetamol dan kelompok alkohol kronis dengan parasetamol. Data yang didapat diuji den-gan uji nonparametrik Mann-Whitney U, masing-masing dibandingkan dengan kontrol. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan kadar SGOT dan SGPT yang bermakna (p0,05). Pada kelompok yang lain terjadi peningkatan namun tidak bermakna. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian parasetamol meningkatkan kadar SGOT dan SGPT. Pemberian parasetamol secara bersamaan dengan alkohol akut dan kronis menurunkan kadar SGOT dan SGPT pada mencit dibandingkan dengan parasetamol saja. Kata Kunci: paracetamol, alkohol, SGOT, SGPT, mencit

    PENDAHULUANParasetamol merupakan salah satu analgesik yang tergolong se-

    bagai obat bebas. Banyak jenis nama dagang dari obat yang meng-andung parasetamol yang beredar dan telah dikenal oleh masyarakat sehingga penggunaannya sangat luas. Di lain pihak, pada masa global saat ini penggunaan alkohol sebagai minuman juga semakin mening-kat. Masyarakat yang mengonsumsi alkohol bila menderita sakit tentu akan berusaha menghilangkan rasa sakit tersebut dengan berbagai cara, misalnya mengonsumsi obat bebas seperti parasetamol. Pasien yang berobat pada tenaga medis tertentu, kemungkinan adalah se-orang peminum alkohol. Bila pasien tersebut diberikan parasetamol maka akan terjadi interaksi antara parasetamol dengan alkohol.

    Meskipun telah diketahui bahwa kelebihan dosis parasetamol dapat menyebabkan efek hepatotoksik, namun bila diberikan bersama alko-hol akan terjadi potensiasi efek hepatotoksik tersebut. Efek hepatotok-sik parasetamol dapat terjadi pada dosis terapi bila diberikan bersama

    alkohol pada orang tertentu.1 Banyak peneliti telah menyatakan bahwa pada peminum alkohol kronis terjadi peningkatan risiko terhadap efek hepatotoksik dari parasetamol. Efek toksik tersebut bahkan dapat ter-jadi pada dosis terapi.12 Karena terjadi peningkatan efek hepatotoksik pada peminum alkohol kronis maka FDA di Amerika menyatakan bahwa setiap penjualan parasetamol hendaknya diberikan label yang menyatakan: bila minum alkohol 3 kali sehari atau lebih maka perlu hati-hati memakai parasetamol sebagai analgesik.1 Peneliti lain mene-mukan terjadi peningkatan produksi radikal bebas di dalam hepar aki-bat induksi terhadap microsomal cytochrome P-450 oleh etanol.2

    Pada binatang percobaan yang diberikan etanol 0,8 gram/kg BB/hari, terjadi peningkatan radikal bebas yang akan menimbulkan keru-sakan pada sel-sel hepatosit dan menimbulkan inflamasi pada jaringan hepar.3

    Walaupun pada peminum alkohol kronis dapat meningkatkan efek hepatotoksik parasetamol, namun peneliti lain menemukan terjadi pe-nurunan metabolisme oksidatif parasetamol. Peneliti juga menemukan terjadi penurunan metabolisme oksidatif parasetamol bila diberikan secara bersamaan dengan alkohol.

    57

    MEDICINUS

    Artikel telah diseminarkan dalam kongres Nasional Ikatan Far-makologi Indonesia di Medan 14 Februari 2007

  • MEDICINUS

    Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

    58

    Penurunan metabolisme oksidatif parasetamol bila diberikan ber-samaan dengan alkohol terjadi baik pada manusia maupun pada bi-natang percobaan karena terjadi penurunan NADPH bebas dalam cy-tosol.4

    Interaksi antara parasetamol dengan alkohol ternyata merupakan interaksi yang sangat kompleks dan pemberian alkohol akut dan kro-nis bersama parasetamol menimbulkan efek yang berlawanan.5

    Nampaknya efek parasetamol antara peminum alkohol kronis dan peminum alkohol akut masih diperdebatkan. Oleh karena itu, perlu diteliti apakah terjadi perbedaan kadar SGPT dan SGOT dalam darah mencit bila diberikan parasetamol baik secara bersamaan dengan alko-hol akut atau alkohol kronis.

    BAHAN DAN CARA KERJAPenelitian ini adalah eksperimental laboratorik dengan rancang-

    an randomized control group posttest only. Sampel dalam penelitian ini adalah mencit Balb/C betina dengan umur 4-5 bulan yang diperoleh dari kandang hewan percobaan Laboratorium Farmakologi FK Unud. Besar sampel dalam penelitian ini adalah 36 ekor. Sampel dibagi men-jadi 6 kelompok masing-masing 6 ekor mencit.

    Kelompok 1 atau kelompok kontrol tanpa diberi perlakuan. Ke-lompok 2 adalah kelompok perlakuan dengan pemberian parasetamol secara oral dengan dosis 7,5 mg/hari/ekor, satu kali pemberian. Ke-lompok 3 diberi perlakuan alkohol sekali pemberian secara oral dengan dosis 0,8 gram/kg BB (32 mg/ekor). Kelompok 4 diberi alkohol secara oral dengan dosis 0,8 gram/kg BB (32 mg/ekor) setiap hari selama 14 hari. Kelompok 5 diberi perlakuan alkohol sekali pemberian secara oral dengan dosis 0,8 gram/kg BB (32 mg/ekor) diikuti pemberian para-setamol dengan dosis 7,5 mg. Kelompok 6 diberi alkohol secara oral dengan dosis 0,8 gram/kg BB (32 mg/ekor) setiap hari selama 14 hari, dan diberikan parasetamol sekali pemberian pada hari ke-14 dengan dosis 7,5 mg/ekor. Perlakuan ini dilakukan di Lab. Farmakologi FK Unud. Setelah 24 jam perlakuan terakhir, darah diambil secara intrak-ardia dan dikirim ke Laboratorium Patologi Klinik FK Unud untuk di-lakukan pemeriksaan kadar SGOT dan SGPT.

    Variabel dalam penelitian ini meliputi: (a) variabel bebas yaitu parasetamol dan alkohol baik akut maupun kronis, (b) variabel tergan-tung yaitu kadar SGOT dan SGPT darah, (c) variabel kendali yaitu jenis kelamin hewan percobaan, umur dan kandang hewan percobaan.

    Uji statistik yang digunakan adalah uji nonparametrik Mann Whit-ney U.

    HASIL PENELITIAN Hasil pengukuran kadar SGOT dan SGPT darah mencit pada kelom-pok kontrol dan kelompok perlakuan dapat dilihat pada grafik 1-4.

    A. Kontrol, B. Parasetamol, C. Alkohol Akut, D. Alkohol Kronis, E. Alkohol Akut Parasetamol, F. Alkohol Kronis

    Parasetamol

    Grafik 1. Perbandingan SGOT dan SGPT kelompok kontrol dan kelompok per-

    lakuan

    Keterangan:

    Data menunjukkan nilai rata-rata pada setiap kelompok (6 ekor tiap kelompok)

    A. Kelompok kontrol (tanpa diberikan alkohol maupun parasetamol)

    B. Kelompok yang diberikan parasetamol 7,5 mg/ekor secara oral

    C. Kelompok yang diberikan alkohol akut 0,8 gram/kg BB (32 mg/ekor)

    D. Kelompok yang diberikan alkohol kronis 0,8 gram/kg BB (32 mg/ekor),

    setiap hari selama 14 hari

    E. Kelompok yang diberikan alkohol akut 0,8 gram/kg BB (32 mg/ekor) di-

    ikuti pemberian parasetamol 7,5 mg/ekor, sekali pemberian

    F. Kelompok yang diberikan alkohol kronis 0,8 gram/kg BB (32 mg/ekor)

    setiap hari selama 14 hari, diikuti parasetamol 7,5 mg hanya sekali

    Grafik 2. Perbandingan SGOT dan SGPT kelompok kontrol dan kelompok perlakuan

    Pada grafik 1 dan 2 terlihat kadar SGOT dan SGPT kelompok yang diberikan parasetamol sangat meningkat dibandingkan semua kel-ompok. Secara statistik perbedaan tersebut bermakna (p

  • Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

    MEDICINUS

    59

    Grafik 4. Perbandingan SGOT dan SGPT kelompok kontrol dan kelompok per-

    lakuan, alkohol akut dan alkohol kronis

    Pada grafik 4 terlihat kadar SGOT dan SGPT kelompok kontrol sedikit lebih rendah dibandingkan dengan kelompok alkohol akut dan kelompok alkohol kronis. Kadar SGOT dan SGPT pada kelompok alko-hol akut dan kelompok alkohol kronis hampir sama. Secara statistik ketiga kelompok tidak berbeda (p>0,05). Pemberian alkohol akut dan alkohol kronis (14 hari) tidak menimbulkan kenaikan SGOT dan SGPT secara bermakna.

    PEMBAHASAN Pada penelitian ini terjadi peningkatan kadar SGOT dan SGPT da-rah mencit setelah pemberian parasetamol dengan dosis 7,5 mg/ekor. Kadar SGOT dan SGPT tersebut diukur setelah 24 jam pemberian para-setamol. Kenaikan kadar SGOT dan SGPT disebabkan karena terben-tuknya metabolit toksik atau metabolit reaktif dari parasetamol yaitu N-acetyl-p-benzoquinon imine (NABQI) yang terjadi akibat dari aktivasi enzim cytochrome P-450. Ada beberapa jenis enzim yang tergolong da-pat mengoksidasi parasetamol yaitu cytochromes 2E1, 1A2, 3A4 dan 2A6 menjadi metabolit reaktif. Dalam keadaan normal NABQI akan ditoksifikasi oleh glutation (GSH) menjadi acetaminophen-GSH. Pembe-rian parasetamol dosis tinggi (7,5 mg/ekor) menyebabkan penurunan GSH hingga 90%. Akibatnya metabolit reaktif NABQI akan berikatan dengan cystein group protein membentuk acetaminophen-protein adducts baik dengan enzim maupun protein dalam sel dan dalam mitokondria,6 sehingga terjadi gangguan fungsi pada akhirnya terjadi kerusakan sel/lisis/nekrosis.7-9 Gangguan pada mitokondria menyebabkan kekurangan ATP. Gangguan tersebut menyebabkan hilangnya keseimbangan ion dalam sel dan mitokondria sehingga terjadi peningkatan calcium sitosolik pada akhirnya menyebabkan aktivasi protease, endonuclease dan kerusakan DNA. Keracunan parasetamol menyebabkan meningkatnya peroxyni-trite, dan selama pembentukan NABQI terbentuk juga ion superoxide yang menyebabkan oxidative stress karena kekurangan glutation.7 Kera-cunan parasetamol juga meningkatkan nitric oxide setelah 4-6 jam pem-berian, yang akan menimbulkan oxidative stress sehingga terjadi pening-katan SGOT dan SGPT.10 Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian pada tikus yang diberikan acetaminophen intraperitoneal 700 mg/kg. Terjadi peningkatan aktivitas SGOT dan SGPT setelah 24 jam.11 Hasil yang menarik pada penelitian ini adalah pemberian paraseta-mol yang diawali dengan alkohol akut dan kronis ternyata me-nurunkan kadar SGOT dan SGPT dibandingkan dengan pemberian parasetamol saja (p

  • MEDICINUS

    Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

    Misnadiarly ASPuslitbang Pemberantasan Penyakit, Badan Litbang Kesehatan

    ABSTRAK. Atypical mycobacterium (AM) atau mycobacteria other than tuberculosis (MOTT) atau non tuberculous myco-bacteria (NTM) dilaporkan dapat menginfeksi otot, tulang, kulit dan jaringan lunak (penyakit muskuloskeletal). Salah satu dari kegawatan dalam bidang reumatologi, disebabkan oleh infeksi AM. Dilaporkan beberapa spesies dari AM pada penyakit-penyakit: rheumatoid spondylitis, rheumatoid arthritis, osteomyelitis dan osteoporosis yaitu: M. kansasii, M. chelonae, M. fortuitum, M. haemophylum, M. intrecellulare, M. avium complex. Anti-mycobacterial untuk AM seperti: ri-fampicin, ciprofloxacine, clofazimine, clarithromycin telah dilaporkan.Identifikasi dari spesies AM untuk penentuan regimen terapi untuk menambah pelayanan kesehatan amat penting. upaya ini kita harapkan dapat mengurangi dan menghambat angka penyakit muskuloskeletal yang diperkirakan akan berkem-bang pesat di tahun 2020.TUJUAN: Untuk memberi informasi tentang atypical mycobacteria pada penyakit muskuloskeletal (rheumatoid spondy-litis, reumatoid athritis, osteomyelitis, sampai osteoporosis) di luar negeri dan situasi di indonesia.METODOLOGI: Mengumpulkan beberapa informasi tentang infeksi AM di otot, tulang (muskuloskeletal) infeksi kulit, dll dari internet, text book, dan melaporkan hasil riset tentang AM di beberapa penyakit, juga dari infeksi tulang, dan lain-lain dari penelitian kami.HASIL: Dilaporkan 6 spesies AM pada rheumatoid spondylitis, 4 spesies pada rheumatoid arthritis, 2 spesies pada os-teomyelitis dan 5 spesies pada osteoporosis. Dari hasil penelitian kami di beberapa daerah di Indonesia, ditemukan 18 spesies AM dari 36 kasus atypical mycobacterium di paru dan ekstra paru termasuk tulang, dengan teknik isolasi dan identifikasi yang dilakukan di laboratorium TB Puslitbang Pemberantasan Penyakit.KESIMPULAN: Penelitian atypical mycobacteria pada rheumatoid spondylitis, arthritis, osteomyelitis dan juga osteoporo-sis, penting untuk dilakukan, hendaknya meliputi identifikasi spesies dan resistensi terhadap obat guna penentuan terapi regimen yang tepat guna menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.

    Kata kunci: Infeksi, mycobacteria, atypical, reumatoid, osteomyelitis, osteoporosis.

    PENDAHULUANAtypical mycobacteria (AM) atau mycobacteria other than tuberculosis

    (MOTT) disebut pula dengan NTM (non tuberculous mycobacteria), di-laporkan dapat menginfeksi kulit dan jaringan lunak, otot, tulang (pen-yakit muskuloskeletal).1,2 Salah satu kegawatan dalam bidang reuma-tologi disebabkan oleh infeksi AM. Dilaporkan beberapa spesies dari AM pada osteomyelitis, osteoporosis, dan beberapa penyakit musku-loskeletal lain, yaitu: M. kansasii, M. chelonae, M. fortuitum, M. haemophy-lum, M. intracellulare, M. avium complex, dan lain-lain. Antimycobacterial untuk AM seperti: rifampicin, ciprofloxacine, clofatimine, clarythromycine dan lain-lain telah dilaporkan.

    Pengetahuan mengenai berbagai aspek penyakit infeksi tetap masih harus menjadi prioritas termasuk infeksi atypical mycobacteria, terutama di negara maju, yang perlu kiranya diikuti oleh Indonesia. Identifikasi dari spesies AM untuk penentuan regimen terapi untuk menambah pelayanan kesehatan amat penting. Upaya ini kita harapkan dapat mengurangi dan menghambat angka penyakit muskuloskeletal yang diperkirakan akan berkembang pesat di tahun 2020.

    Osteoporosis didefinisikan sebagai suatu kondisi tulang di mana kehilangan masa tulang dan densitas tulang, merupakan kemunduran atau degeneratif atau penuaan tulang yang terjadi pada usia menua.3

    Osteomyelitis adalah suatu penyakit infeksi tulang, biasanya disertai pembentukan pus yang dihasilkan oleh bakteri.

    Akhir- akhir ini Atypical mycobacteria, menjadi populer dan banyak diteliti oleh peneliti dari berbagai negara maju dari berbagai bidang ilmu dan berbagai penyakit antara lain, paru, diabetes mellitus, no-sokomial, infeksi jaringan lunak, dan termasuk bidang reumatologi, untuk membantu mengatasi masalah dan dapat menekan angka prev-alensi penyakit muskuloskeletal antara lain (rheumatoid, osteomyelitis, osteoporosis) yang diperkirakan oleh WHO akan berkembang dengan cepat di tahun 2020, dimana pada waktu ini banyak penduduk berusia di atas 50 tahun akan menderita akibat penyakit ini. Salah satu upaya adalah dengan menggalakkan penelitian penyakit infeksi AM yang sering dilaporkan ditemui, namun di Indonesia belum ada data yang memadai, diperkirakan akan dapat membantu keluar dari masalah tersebut di atas.

    rese

    arc

    h

    original articleMEDICINUS

    60

  • Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

    MEDICINUS

    61

    Tujuan dari tulisan ini, memberi informasi mengenai infeksi AM khususnya pada bidang reumatologi dari luar negeri dan mengenai bagaimana situasinya di Indonesia.

    BAHAN DAN CARAMengumpulkan beberapa informasi tentang Atypical mycobacterium

    pada penyakit muskuloskeletal dan AM pada beberapa penyakit di luar negeri dan hasil penelitian AM yang telah dilakukan di Indonesia dan juga hasil penelitian kami yang diringkas pula dalam bentuk tabel dan grafik. HASIL DAN DISKUSIHasil beberapa literatur yang di review

    Atypical myobacteria (AM) dengan nama alternatif mycobacteria other than tuberculosis (MOTT) adalah basil tahan asam (BTA) selain M. tuber-culosis atau non-tuberculous bacteria, yang hanya dapat dibedakan den-gan M. tuberculosis melalui study kultur dan identifikasi.

    Jauh sebelum kuman M. tuberculosis ditemukan oleh Robert Koch tahun 1985, pada abad pertengahan Earnes Runyon telah mengklasi-fikasikan mikroorganisme AM ini berdasarkan karakteristik kultur di laboratorium yang membaginya atas 4 golongan.

    Tabel 1. Klasifikasi Runyon untuk atypical mycobacteria dan AM sebagai

    penyebab beberapa penyakit

    Group Runyon

    Species Kelompok Penyakit yang Disebabkan AM

    I M. kansasiiM. marinumM. simiae

    Pulmonary disease, lymph nodes diseaseSkin diseasePulmonary

    II M. sropulaceumM. zenoopiM. szulgaiM. gordonaeM. flavesceans

    Lymph node disease, pulmonary diseasePulmonary diseasePulmonary diseaseNonpathogen*Nonpathogen*

    III M. avium complex (termasuk M. intracellare)M. malmoenseM. hemophilumM. terraeM. ulceransM. nonchromogenicum

    Pulmonary disease, disseminated disease, lymph node diseasePulmonary diseaseSkin, soft tissue diseaseNonpathogen*Skin ucersSkin ucers

    IV M. fortuitum complex (ter-masuk M. chelonae)M. termoresistibleM. neoaurium

    Soft-tissue and bone disease, pulmonary disease

    Nonpathogen*Nonpathogen*

    Habitat dari atypical mycobacteria terdistribusi meluas di alam bebas (tanah, debu, air), pada sistem saluran air panas di rumah sakit, dan di dalam mesin pendingin.

    Penyakit-penyakit yang ditemukan di klinik yang biasanya dise-babkan oleh AM yang tumbuh cepat adalah seperti tercantum pada tabel berikut ini.

    Tabel 2. Penyakit yang ditemui di klinik dan infeksi mikrobakteria spe-sies yang tumbuh cepat3

    No Penyakit Patogen

    1 Postraumatic (paska trauma/kecelakaan)Cellulitis (pada orang obesitas)Osteomyelitis

    M. fortuitum, M. chelonae, M. fortuitum

    2 Mammaplasty (kanker payudara) M. fortuitum, M. smegmatis

    3 Sternal wound infection (infeksi luka bedah tulang)

    M. chelonae. Sub sp. absces-sens

    4 Disseminated diseases (HIV/AIDS) M. chelonae. Sub sp. absces-sens

    5 Pulmonary disease (penyakit paru) M. chelonae. Sub sp. absces-sens

    Ditemukan 6 spesies AM pada rheumatoid spondylitis 4 spesies pada rheumatoid arthritis, 2 spesies pada osteomyelitis dan 5 spesies pada oste-oporosis, seperti terlihat pada tabel 3.

    Tabel 3. Pola infeksi spesies atypical mycobacteria pada beberapa kasus penyakit muskuloskeletal

    No Kasus Infeksi a b c d e f g h i j k Total

    1 RhematoidSpondylitis

    + + + ++

    ++

    ++ +

    64

    2 Rhematoid Arthritis + 1

    3 Osteomyelitis non HIV + 1

    4 Osteomyelitis dengan HIV positif

    + 1

    5 Osteoporosis non HIV + + + + + 5

    6 Osteoporosis dengan HIV positif

    + 1

    Total species 2 1 1 2 2 4 1 2 1 2 1 19

    (+) spesies yang ditemukan:a. M. haemophylum b. M. kansasiic. M. scrofulacium d. M. chelonaee. M. fortuitum f. M. marinumg. M. absescens h. M. avium intracelularei. M. paratuberculosis j. M. avium complexk. M. tuberculosis

    Dari hasil review literature dapat disimpulkan bahwa AM pada berbagai penyakit termasuk pada penyakit muskuloskeletal menda-patkan perhatian dikalangan peneliti dan klinisi di luar negeri, di-tangani dengan diagnosis dan terapi yang baik dan memadai yang perlu dilaksanakan juga di Indonesia.

    Penelitian atypical mycobacteria kami di Indonesia Dari beberapa penelitian yang telah kami lakukan di beberapa daerah tentang atypical mycobacteria pada TB paru dan TB ekstra paru termasuk tulang, di Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya dengan melakukan kultur spesimen berupa sputum, biopsi, dan aspirasi kelen-jar getah bening, biopsi sumsum tulang dan lain-lain, telah ditemukan berbagai spesies AM, yang hasilnya diberikan secara ringkas sebagai berikut:

    Tabel 4. Temuan AM menurut daerah geografi

    No Daerah Frekuensi AM (%) Kasus

    1 Jakarta 1,7 TB paru

    2 Padang/Sumbar 8,02 TB paru

    3 Semarang 24 TB paru

    4 Surabaya 11,5 TB paru

    5 Bandung/Jakarta 61,1 TB gagal terapi

    6 Jakarta/Bandung 20,7 TB paru

    7 Jakarta/Bandung 18,8 TB ekstra paru

    8 Bandung 15,4 TB ekstra paru Hasil Penelitian atypical mycobacteria pada TB ekstra paru menurut spesimen yang di kultur sebagai berikut:Biopsi dan aspirasi lymphadenitis TB: M. scrofulaceumPus: M. marinumAsites: M. malmoenseAspirasi tulang femur: M. kansasii

  • MEDICINUS

    Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

    62

    Tabel 5. Spesies-spesies yang ditemukan pada penderita TB Paru di Padang,

    Semarang, Surabaya

    No Spesies Atypical mycobacteria %

    1 M. simiae 9,73

    2 M. fortuitum 6,38

    3 M. kansasii 11,98

    4 M. plhei 2,53

    5 M. gastri 2,3

    6 M. chelonae 3,3

    7 M. scrofulaceum 1,85

    8 M. avium 0,88

    9 M. smegmatis 0,88

    10 M. Flavescens 0,94

    11 M. teraee complex 0,09

    12 M. szulgai 7

    13 M. malmoense 4,5

    14 M. xenopi 0,25

    15 M. marinum 1

    16 M. gordonae 0,5

    17 M. ulcerans -

    18 M. unknown 3,2

    Tabel 6. Hasil identifikasi spesimen aspirasi tulang paha dari penderita TB

    ekstra paru di rumah sakit Hasan Sadikin, Bandung

    Kasus Infeksi Tulang Spesimen Hasil Identifikasi

    1 Aspirasi sumsum tulang M. kansasii

    2 Aspirasi sumsum tulang M. unknown

    3 Aspirasi sumsum tulang Cultur negatif

    Hasil global penelitian kami tentang AM yang diliput dari bebera-pa penelitian AM pada TB paru dan ekstra paru termasuk tulang dari 2.035 sampel spesimen dapat dilihat pada grafik 1, yang dibandingkan dengan hasil temuan spesies AM dari United States.

    Grafik 1. Temuan hasil global penelitian atypical mycobacteria pada TB paru

    termasuk tulang

    1. M. avium complex 6. M. xenopi2. M. kansasii 7. M. simae3. M. fortuitum 8. M. marinum4. M. scrofulaceum 9. M. szuday5. M. chelonae Berdasarkan data-data yang ditampilkan pada makalah ini dapat diperoleh gambaran bahwa atypical mycobacteria cukup banyak men-dapat perhatian dari kalangan peneliti ataupun dokter dan profesi

    kesehatan lainnya yang disebarluaskan melalui internet dalam bentuk laporan kasus, artikel hasil penelitian dan juga melalui majalah mau-pun buku atau textbook. Pada bidang reumatologi, meliputi penyakit rheumatoid spondylitis, rheumatoid arthritis, osteomyelitis dan sampai osteoporosis telah dilapor-kan berbagai spesies AM, yang mana di Indonesia belum ada datanya, sehingga perlu kiranya dilakukan suatu penelitian ataupun semacam pemeriksaan rutin tentang mikroba AM pada berbagai penyakit terse-but di atas (muskuloskeletal). Penelitian di Indonesia, masih terbatas tentang AM pada TB paru dan TB ekstra paru, di mana hanya dijumpai 3 kasus infeksi tulang, yang ternyata adalah infeksi dari AM spesies M. kansasii. Suatu study dari negara luar tentang infeksi M. xenopi pada spine, menunjukkan hasil ditemukannya M. xenopi pada wanita usia 73 tahun. Dilaporkan secara ringkas bahwa ditemukan 4 kasus infeksi M. xenopi, 3 diantaranya pada pasien dengan immunosuppressed dan keempatnya adalah pasien den-gan spine TB osteomyelitis. M. xenopi tumbuh optimal pada suhu 42C seperti telah dikemukan di atas. Jadi untuk mencegah infeksi ataupun membunuhnya sesaat setelah kemungkinan telah terjadi kontak dengan mikroba ini (berhabitat di air, yaitu river estuaries dan costal areas), per-lu segera mencuci bagian yang kena kontak dengan air panas bersuhu 43C, atau mengoles dengan Counterpain yang dapat menimbulkan panas dan meminum air panas. Infeksi M. haemophylum pada osteomyelitis, pada ulcerasi kulit dan penderita AIDS juga telah dilaporkan. Mycobacteria ini tumbuh pada media kultur mengandung haemin pada suhu 30C. Selain itu dilaporkan pula ditemukan bakteri atypical mycobacterium ini pada penderita bird flu/flu burung, terutama Mycobacterium avium. Belum ada treatment standar untuk mikroba ini, namun kombinasi dari antimycobacterial seperti rifampicin, ciprofloxacin, ethambutol dan clofazimine, telah dilaporkan. Pada penelitian kami juga ditemukan bahwa rifampicin memiliki sensitivity yang masih tinggi terhadap mikroba AM.

    UCAPAN TERIMA KASIH Disampaikan terima kasih kepada kepala badan 2 dan kepala puslit 2 selama saya bekerja di Badan Litbangkes, kepada dr. Cyrus HS, dan peneliti dari RS dan Puskesmas yang telah membantu pelaksaaan peneli-tian ini. Kepada WHO yang pernah mendanai salah satu penelitian yaitu Penelitian kultur mikrobakteria pada penderita TB paru dengan kondisi klinis bervariasi dan sensitivity-nya, disampaikan terima kasih.

    KESIMPULAN Penelitian ataupun minimum pemeriksaan rutin atypical mycobac-teria pada kelompok penyakit muskuloskeletal yang meliputi, reuma-toid, osteomyelitis, osteoporosis masih penting untuk dilakukan di Indo-nesia, meliputi isolasi, identifikasi, dan resistensinya.

    DAFTAR PUSTAKA 1. Rosihan Anwar. Mikobakterium yang patogen terhadap manusia. MKI:10862. O Brien, Richard J, The epidemiology of non-tuberculous micobacterial dis-

    eses. Clinics & Chest Medicine 19893. Menyiasati osteoporosis seri buku Populer Nirmala4. Wallance, Jr, Richard J. The clinical presentation, diagnosis and therapy of cu-

    taneous and therapy of due to the rapidly growing mycobacteria M. fortuitum, M. chelonae. CCM:1089

    5. http://www.etf.edu,tr/farma/05.Dys infectant.pdf6. www.medscape.com/viewarticle/459/88-print-21l7. www.aidsmap.com/en/docs/67126B42-794C-43B5-A888-67F78. Otaki Y, Nakanishi T, e al. A rare combination of sites of involvement of my-

    cobacterium into or hydrolysis patients: muliple synovitis, spondylitis, and multiple skin lesion

    9. http://www.marchofdimes. com/professionals/681_1159.asp10. http://www.aidsmap.com/en/docs/0C7E580D-1971-4F32-B185-12623184-

    FB64.asp11. Coneman, Allen, Dowel, et al. Color atlas and texbook of diagnostic mycrobiology 12. Misnadiarly AS, Amin Z, Raharjo E, et al. Discovery and againts mycrobacteri-

    um other than tuberculosis (MOTT) is one effort to decrease infection diseases rate in Indonesia. 6th Jakarta Antimicrobial Update 2005

    13. Misnadiarly. Distribusi geografis spesies mycobacterium atipik di beberapa daerah di pulau Jawa. Majalah Mikrobiologi Klinik Indonesia 1993; 6(2):8-10

    14. Misnadiarly, Cyrus HS. Frekuensi mikobakterium atipik di jakarta. CDK 1993; 84

  • Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

    MEDICINUS

    15

    Juliani Dewi, Tinny Endang HernowatiLaboratorium Patologi Klinik FKUB/RSU Dr. Saiful Anwar, Malang

    ABSTRAK. Latar Belakang: Terapi antiagregasi trombosit untuk mencegah terjadinya aterotrombosis bersifat jangka panjang, terfokus

    pada thromboxane pathway. Jalur ini dihambat oleh aspirin. Dosis yang sering digunakan adalah 80160mg/hari, karena dinilai cukup efek-

    tif, dengan efek samping lebih kecil. Beberapa penelitian membuktikan adanya peningkatan angka kejadian penderita yang tidak memberi

    respon adekuat terhadap aspirin. Cara untuk mengetahui kegagalan terapi aspirin adalah dengan menilai fungsi trombosit, dengan standar

    baku emas saat ini adalah pemeriksaan agregasi trombosit.

    Materi dan Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang. Sampel diambil secara purposive sampling sebanyak 100 orang

    yang mengonsumsi aspirin dengan dosis 80160mg/hari. Penelitian ini menggunakan alat dan agonis kolagen dari Helena. Uji yang digu-

    nakan Oneway Anova, sedangkan korelasi dilakukan dengan teknik korelasi Pearson.

    Hasil: Hanya 40% saja responden yang mengonsumsi aspirin dapat mencapai target agregasi trombosit, sedangkan 60% responden tidak dapat

    mencapai target agregasi trombosit. Penelitian ini membuktikan bahwa terdapat perbedaan persentase agregasi trombosit antara 2 tahun dengan p=0.001, yaitu pada kelompok kurang dari 1 tahun dengan lebih dari 1 tahun, tetapi tidak terda-

    pat perbedaan persentase agregasi trombosit antara dosis aspirin 80, 100, dan 160mg/hari dengan p=0,286. Penelitian ini juga membuktikan

    tidak ada hubungan antara persentase agregasi trombosit dengan lamanya konsumsi aspirin dengan r= 0,138 dan p=0,172.

    Kesimpulan: Pada penelitian ini terapi aspirin tidak efektif lagi setelah dikonsumsi lebih dari 1 tahun, baik dengan dosis 80, 100, maupun

    160 mg/hari.

    Kata Kunci : aspirin, pemeriksaan agregasi trombosit, kegagalan terapi aspirin

    PENDAHULUAN Proses aterosklerosis mendasari sebagian besar kasus penyakit jan-tung koroner (PJK). Manifestasi klinisnya biasanya berupa infark jan-tung, stroke, angina, atau kematian mendadak (sudden death). Kejadian-kejadian ini umumnya terjadi pada usia antara usia 5060 tahun pada laki-laki dan usia antara 6070 tahun pada wanita.1-4 Terjadinya aterosklerosis dimulai dengan terbentuknya plak. Bagi-an luarnya ditutupi oleh fibrous cap, yang apabila terjadi ruptur maka isi plak akan berhubungan langsung dengan darah, sehingga terjadi agregasi trombosis dan terbentuklah trombus.5 Terapi antiagregasi trombosit untuk mencegah terjadinya aterotrom-bosis bersifat jangka panjang. Selama beberapa dekade, terapi antiagregasi trombosit terfokus pada thromboxane pathway, dan jalur ini dihambat oleh aspirin.6 Dosis yang sering digunakan adalah 80160 mg/hari, karena dosis ini dinilai cukup efektif, dan mempunyai efek samping perdarahan yang lebih kecil dibandingkan dosis yang lebih tinggi.7 Beberapa penelitian membuktikan adanya peningkatan angka ke-jadian penderita yang tidak menunjukkan respon adekuat terhadap aspirin.7,8 Cara untuk mengetahui kegagalan terapi aspirin adalah dengan menilai fungsi trombosit. Yang menjadi standar baku emas saat ini adalah pemeriksaan agregasi trombosit.9 Sampai saat ini be-lum ada upaya untuk memonitor efektifitas terapi aspirin atau menilai adanya kegagalan terapi aspirin pada penderita yang mendapat aspirin

    dosis 80160 mg/hari di poli penyakit jantung RSU Dr. Saiful Anwar Malang. Berdasarkan hal ini maka kami melakukan penelitian untuk melihat adanya hubungan antara persentase agregasi trombosit dengan lamanya konsumsi aspirin pada penderita aterosklerosis di poli pen-yakit jantung RSU Dr. Saiful Anwar Malang.

    SAMPEL DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang (cross sectional). Sampel diambil secara purposive sampling. Sampel diambil dari 100 orang yang mendapat terapi aspirin dengan dosis 80-160 mg/hari sebagai te-rapi antiagregasi trombosit. Seratus orang penderita tersebut dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing diwakili oleh 25 sampel, yaitu kelompok pend-erita yang telah menggunakan aspirin kurang dari 1 bulan, antara 1 bulan sampai 1 tahun, 1 tahun sampai 2 tahun, dan lebih dari 2 tahun. Masing-masing kelompok kemudian diperiksa agregasi trombositnya. Kriteria inklusi sampel meliputi orang yang mengonsumsi aspirin dengan dosis 80160 mg/hari, dewasa (17-55 tahun), laki-laki, 2 ming-gu terakhir tidak mengonsumsi antibiotika, beta-blockers, NSAIDs, dan antihistamin. Sedangkan kriteria eksklusi sampel bila wanita, berusia lanjut (>55 tahun), hiperlipidemi, penderita diabetes mellitus, perokok, anemia, terdapat insufisiensi ginjal, sedang minum obat-obatan seperti antibiotika, beta-blockers, NSAIDs, dan antihistamin. Pende-rita yang akan menjalani pemeriksaan ini harus berpuasa sedikitnya selama 8

    original article

    rese

    arc

    h

    63

    MEDICINUS

  • MEDICINUS

    Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

    jam dan diharapkan tidak menjalani olahraga berat dalam waktu 3 hari sebelum pemeriksaan.10,-12 Untuk pengumpulan sampel diperlukan tabung silikon vakum beri-si 3,2% sitras yang sudah terukur, spuit 10 cc, kapas alkohol 70%, pipet dengan tip plastik, seperangkat alat pengukur agregasi trombosit yang meliputi cuvette, stir bar, seperangkat 4 channel platelet aggregation AggRAM Helena, dan CollagenHelena product 5368 100 g/ml sebagai agonis. Dalam penelitian ini, korelasi antara variabel persentase agregasi trombosit dengan variabel lama pemberian aspirin dilakukan dengan teknik korelasi Pearson (product moment). Penentuan nilai signifikansi suatu butir pertanyaan ditentukan dengan tingkat signifikansi 5%. Se-dangkan uji beda persentase agregasi trombosit lama pemberian aspirin kurang dari 1 bulan, antara 1 bulan sampai dengan 1 tahun, antara 1 tahun sampai dengan 2 tahun, dan lebih dari 2 tahun, serta perbedaan persentase agregasi trombosit pada pemberian aspirin dengan dosis 80 mg/hari, 100 mg/hari, dan 160 mg/hari menggunakan Oneway Anova, kemudian dilanjutkan dengan post hoc tests. Darah vena diambil sebanyak 10 ml. Darah (9 bagian) dicampur dengan antikoagulan sodium citrate 3,2% (1 bagian) dan sisanya dima-sukkan ke dalam tabung dengan antikoagulan EDTA untuk keperluan pemeriksaan hitung trombosit. Darah tersebut kemudian dipusing pada 1.000 rpm selama 15 menit pada suhu ruang untuk mendapatkan platelet rich plasma (PRP). PRP dipindahkan dengan pipet plastik dan ditempatkan pada suatu wadah plastik bertutup. Sisa spesimen darah dipusing kembali pada 3.500 rpm selama 15 menit untuk mendapatkan platelet poor plasma (PPP). Setelah itu PPP dipindahkan dengan pipet plastik dan ditempatkan pada wadah plastik bertutup. Konsentrasi platelet dalam PRP diatur menjadi 200300X109/L menggunakan PPP, dibiarkan tegak pada suhu ruang selama 30 menit. Tes harus sudah selesai dalam 3 jam setelah pengambilan darah. Aggre-gation level diatur pada aggregometer pada level 0% dan 100% menggu-nakan PPP dan PRP. Kemudian 0,45 ml PRP dipipet ke dalam cuvette dan stir bar dimasukkan. Setelah itu diinkubasi 37C selama 120 detik. 50 ml kolagen sebagai agonis agregasi ditambahkan langsung ke dalam cu-vette, kemudian dibiarkan terjadi agregasi selama minimal 10 menit. Alat akan melakukan penghitungan secara otomatis. Salah satu dari metode untuk menghitung agregasi trombosit adalah rumus Weiss. Yaitu men-gukur absorbansi (O.D) initial dan absorbansi (O.D) maksimum dengan memberikan hasil dalam persen agregasi.

    O.D Initial O.D Maximum --------------------------------------- X 100 = % Agregasi O.D Initial Persentase agregasi inilah yang diambil sebagai hasil pemeriksaan dan dibandingkan dengan target pencapaian terapi.13

    HASIL PENELITIAN Dari 100 orang responden tersebut, 5% berusia antara 17-30 tahun, 10% berusia 30-40 tahun, dan 85% berusia 40-55 tahun. Lima orang re-sponden mengonsumsi aspirin karena menderita kelainan katup jan-tung, dan 1 orang mengalami penyakit jantung bawaan akibat Mar-fan syndrome, sedangkan sisanya yaitu 94 orang mengonsumsi aspirin karena menderita penyakit jantung koroner, baik berupa iskemia mau-pun old myocard infarct.

    Tabel 1. Distribusi responden menurut dosis aspirin dan lama pemberian aspirin

    DosisLama Pemberian Aspirin

    2 tahun Jumlah

    80 mg/hari 14 19 20 19 72

    100 mg/hari 1 1 1 5 8

    160 mg/hari 10 5 4 1 20

    Jumlah 25 25 25 25 100

    Dilihat dari diagnosis responden, dari 5 responden penderita ke-lainan katup jantung, 2 orang mengonsumsi aspirin 70,1%. Sedangkan dari 94 responden penderita penyakit jantung koroner, 59 responden dengan TAT >70,1%. Sebelas dari 59 responden dengan TAT >70,1% mengon-sumsi aspirin 2 tahun.

    Tabel 2. Data deskriptif persentase agregasi trombosit responden yang dibagi

    menurut lamanya pemberian aspirin dibanding nilai target terapi (70,1%, lihat definisi operasionalnya)

    Lama Pemberian Aspirin

    70,1% (Target Terapi Tercapai)

    >70,1% (Target Terapi Tidak

    Tercapai)

    Jumlah

    2 tahun 8 (32%) 17 (68%) 25

    Jumlah 40 60 100

    Hasil ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan perse-ntase agregasi trombosit antara 2 tahun. Bila dilihat nilai rata-rata (mean) tampak terlihat bahwa kelompok waktu 1 bulan-1 tahun memiliki persentase agregasi trom-bosit paling rendah dibandingkan dengan kelompok waktu yang lain (tabel 3).

    Tabel 3. Hasil uji Oneway Anova perbedaan persentase agregasi trombosit ber-

    dasarkan lamanya pemberian aspirin

    VariabelRata-rata (Mean) Oneway Anova

    2 tahun

    F htung

    Sig.

    Persentase agregasi trombosit 63.7240 62.8160 84.3480 76.5280 5.986 0.001

    Tabel 4. Post hoc tests perbedaan persentase agregasi trombosit berdasarkan

    lamanya pemberian aspirin

    Multiple Comparisons

    Persentase

    Depender Hambatan Agregasi Trombosit

    LSD

    (I) Lama (J) LamaMean

    Difference (I-J)

    Std. Error Sig.

    95% Confidence Interval

    Lower Bound

    Upper Bound

    2 tahun

    .90800-20.62400*-12.80400*

    6.023016.023016.02301

    .880

    .001

    .036

    -11.0476-32.5796-24.7596

    12.8636-8.6684-.8484

    1 bulan-1 tahun 2 tahun

    -.90800-21.53200*-13.71200*

    6.023016.023016.02301

    .880

    .001

    .025

    -12.8636-33.4876-25.6676

    11.0476-9.5764-1.7564

    1-2 tahun 2 tahun

    20.62400*21.53200*

    7.82000

    6.023016.023016.02301

    .001

    .001

    .197

    8.66849.5764

    -4.1356

    32.579633.487619.7756

    >2 tahun

  • Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

    MEDICINUS

    Tampaknya efektifitas aspirin, yang ditunjukkan dengan persentase agregasi trombosit, mulai berkurang jika aspirin dikonsumsi >1 tahun. Hal ini dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara kelompok lama konsumsi aspirin 1 tahun. Demikian juga lama konsumsi aspirin >1 tahun tidak berbeda bermakna bila dibandingkan dengan konsumsi aspirin >2 tahun (tabel 4).

    Tabel 5. Hasil uji Oneway Anova perbedaan persentase agregasi trombosit

    berdasarkan dosis aspirin

    VariabelRata-rata (Mean) Oneway Anova

    80 mg 100 mg 160 mg F hitung Sig.

    Persentase agregasi trombosit

    73.7222 73.1625 64.6050 1.267 0.286

    Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan persentase agre-gasi trombosit yang bermakna antara dosis aspirin 80 mg, 100 mg, dan 160 mg. Meskipun bila dilihat nilai rata-rata (mean) tampak terlihat bahwa dengan dosis 160 mg persentase agregasi trombosit paling ren-dah dibandingkan dengan perlakuan yang lain.

    Tabel 6. Post host tests perbedaan persentase agregasi trombosit berdasarkan

    dosis aspirin

    (I) dosis (J) dosisMean

    Difference (I-J)

    Std. Error Sig.

    95% Confidence Interval

    Lower Bound

    Upper Bound

    80 mg 100 mg160 mg

    .559729.11722

    8.491565.75925

    .948.117

    -16.2937-2.3133

    17.413120.5477

    100 mg 80 mg160 mg

    -.559728.55750

    8.491569.53175

    .948

    .372-17.4131-10.3604

    16.293727.4754

    160 mg 80 mg100 mg

    -9.11722-8.55750

    5.759259.53175

    .117.372

    -20.5477-27.4754

    2.313310.3604

    Tabel 7. Hasil uji korelasi Pearson (product moment)

    VariabelPersentase Agregasi Trombosit

    r p

    Lama pemberian aspirin 0.138 0.172

    Tabel 7 menunjukkan bahwa tidak terjadi hubungan yang signi-fikan antara persentase agregasi trombosit dengan lama pemberian as-pirin, meskipun hubungan antara keduanya positif. Artinya jika lama pemberian aspirin mengalami peningkatan, akan terjadi kecenderung-an peningkatan persentase agregasi trombosit dan demikian pula seba-liknya.

    DISKUSIDalam mencari hubungan antara lama pemberian aspirin dengan persentase agregasi trombosit sebenarnya desain penelitian yang pa-ling tepat adalah studi kohort, tetapi karena keterbatasan waktu, maka penelitian ini menggunakan studi potong lintang (cross sectional). Pada penelitian ini, penurunan efektifitas aspirin terjadi sete-lah konsumsi aspirin >1 tahun. Selain waktu, faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan efektifitas aspirin kemungkinan adalah faktor-faktor intrinsik seperti peningkatan aktivitas COX-2, dan platelet alloantigen 2 (PLA2) polymorphism of platelet glycoprotein IIIa, karena faktor-faktor ekstrinsik yang sekiranya dapat mengganggu ha-sil pemeriksaan sedapat mungkin sudah disingkirkan.14,15 Pada Marfan syndrome terdapat mutasi gen prokolagen tipe I dan III, terjadi abnormalitas biosintesis fibrillin-I sehingga mengakibatkan terjadinya kelainan jaringan ikat. Meskipun belum ada penelitian yang menyebutkan hubungan mutasi ini dengan terjadinya resistensi aspi-

    rin, kemungkinan penyebab inilah yang ada kaitannya dengan tidak beresponnya responden pada penelitian ini dengan aspirin. Beberapa literatur tidak menyebutkan terapi spesifik untuk kelainan ini, oleh karena itu masih diperlukan penelitian lebih jauh efektifitas pemberian terapi aspirin pada penderita Marfan syndrome.16,17 Bila dibandingkan dengan rentang harga normal pemeriksaan agregasi trombosit menggunakan alat Helena di Laboratorium Paviliun RSU Dr. Saiful Anwar (87,6%-93,6%) dan target terapi aspirin 70,1% (20% nilai normal terendah) maka hanya pemberian aspirin 1 tahun). Sebanyak 60% responden mengalami resistensi aspirin. Jumlah ini dapat dibandingkan dengan penelitian dari Hankey dan Eikelboom yang menemukan sedikitnya 75% penderita yang mendapat terapi aspirin yang masih mengalami kejadian kardiovaskular. Pada pende-rita-penderita yang mengalami resistensi aspirin ini perlu dipikirkan untuk mengganti jenis obat antiagregasi trombosit dengan kelompok dipyridamole atau thienopyridine. Selain itu perlu dipikirkan untuk pem-berian secara alternating, meskipun hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut.

    KesimpulanDari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa efektifitas terapi aspirin, yang ditunjukkan dengan persentase agregasi trombosit, me-nurun setelah dikonsumsi lebih dari 1 tahun, baik dosis 80 mg/hari, 100 mg/hari, maupun dosis 160 mg/hari, pada penderita laki-laki dewasa, yang tidak dalam keadaan hiperlipidemia, tidak menderita diabetes mellitus yang tidak terkontrol, tidak merokok, tidak anemia, tidak ter-dapat insufisiensi ginjal, dan tidak sedang minum obat-obatan seperti antibiotika, beta blockers, NSAIDs, dan antihistamin.

    Daftar Pustaka1. Albert CM, Jing Ma, Rifai N, et al. Prospective study of C-reactive protein,

    homocysteine, and plasma lipid levels as predictors of sudden cardiac death. Circulation 2002; 105:2595-606

    2. Rifai N, Ridker PM. High-sensitivity C-reactive protein; A Novel and promising marker of coronary heart disease. Clin chem 2001; 47:403-11

    3. Biasucci LM, Liuzzo G, Grillo RL et al. Elevated levels of C-reactive protein at discharge in patients with unstable angina predict recurrent instability. Circu-lation 1999; 99:855-60

    4. Middleton J. Effect of analytical error on the assessment of cardiac risk by the high-sensitivity C-Reactive protein and lipid screening model. Clin Chem 2002; 48:1955-62

    5. Ross R. Atherosclerosis-an inflamatory disease. The New England Journal of Medicine 1999:115-17

    6. Bhatt DL, Topol EJ. Scientific and Therapeutic Advances in Antiplatelet Thera-py. Nature Reviews 2003 Jan 2;1:15-28.

    7. Rodgers GM. Thrombosis and antithrombotic therapy. In: Lee GR, Foerster J, Lukens J, Paraskevas F, Greer JP, Rodgers GM, editors. Wintrobes Clinical Hematology. 10th ed. Baltimore, Maryland: Williams & Wilkins; 1999.p.1781-818

    8. Chow SL, Cheung RJ. Aspirin resistance: a growing concern. Skyscape 2006 April 1, Available from: e-mail:[email protected]

    9. Brozovi M. Investigation of haemostasis. In: Dacie JV, Lewis SM. Practical Haematology. 7th ed. Singapore: Longman Singapore Publishers Pte Ltd; 1991.p.267-9

    10. Smith JF. Platelet aggregation test. In: Smith JF. Medical Library 1999-2001. Wausau: The Thomson Corporation; 2001

    11. Cutler C. Medical testsplatelet aggregation test. Adam Article Manager 2003

    12. Partners healthcare Systems, Inc. Platelet aggregation. 2004 Nov 9. No CO003900

    13. Olsen R. Interpretation of platelet aggregation. Australia: Helena Laboratories Pty Ltd. Prepared specially for Abadinusa customers in Indonesia

    14. Mason PJ, Freedman JE, Jacobs AK. Aspirin resistance: Current concepts. Rev Cardiovasc Med 2004;5(3):156-63

    15. Efthymios, Deljargyris, Boudoulas H. Aspirin resistance. Helenic J Cardiol 2004; 45:1-5

    16. Pyeritz RE. Inherited disease of connective tissue. In: Goldman L, Ausiello D, editors. Cecil Textbook of Medicine. 22nd ed. Philadelphia, Pennsylvania: Saun-ders; 2004.p.1636-7

    17. Robinson LK. Marfan syndrome. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed. Philadelphia, Pennsylvania: Saunders; 2004.p.2338-40

    65

  • MEDICINUS

    Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

    case

    rep

    ort

    original article

    Sutji Pratiwi Rahardjo, Eryadi DjamzuliBagian Ilmu Kesehatan THT-KL

    Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

    ABSTRAK. Ekstirpasi tumor-tumor faring merupakan tantangan bagi ahli THT, karena sempitnya akses ke daerah tersebut dan banyaknya struktur-struktur penting di sekitarnya. Oleh karena itu pengetahuan anatomi yang baik merupakan syarat mutlak untuk melakukan prosedur di daerah tersebut.Kami melaporkan satu kasus, seorang laki-laki 32 tahun dengan tumor yang besar dan mengisi rongga nasofaring, orofaring dan hipofaring. Hasil biopsi menunjukkan tumor adalah nodul reaktif suatu jaringan limfoid. Tumor berbatas tegas dan masih dilapisi oleh mukosa faring yang utuh. Operasi dilakukan dengan pendekatan transpalatal dan transhioid lateral faringotomi oleh karena sulitnya mengekstirpasi sempurna tumor yang sangat besar. Keluhan pasca operasi adalah disfagia motorik. Diduga komplikasi tersebut diakibatkan oleh trauma n. laryngeus superior. Pasien harus menjalani fisioterapi untuk memulihkan kembali fungsi menelan.

    Kata kunci: Tumor faring, pendekatan transpalatal, transhyoid lateral pharyngotomy.

    PENDAHULUANTumor faring merupakan suatu tantangan bagi ahli THT, karena

    faring adalah bagian integral dari traktus aerodigestif bagian atas. Faring adalah kesatuan antara nasofaring, orofaring dan hipofaring yang hampir tidak nampak batas-batasnya secara anatomik dan fung-sional. Struktur-struktur di atas memiliki fungsi yang multipel, seperti berbicara dan menelan, pertahanan imunologik dan respirasi. Tumor pada stadium lanjut akan menganggu fungsi-fungsi tersebut. Menu-rut asal tumor, biologi dan stadium pada saat ditemukan, sifat-sifat tumor faring bervariasi dari yang jinak, sampai ganas dan membu-tuhkan lebih dari satu jenis penanganan. Pencegahan dan diagnosis dini sangat penting supaya prognosis dan hasil fungsional operasi lebih baik.2,4

    Evaluasi dan penanganan tumor faring memerlukan pengetahuan yang mendalam tentang anatomi dan embriologi yang relevan, keun-tungan dan kelemahan sistem staging tumor, faktor etiologi, histopa-tologi, biologi tumor dan sifat-sifat klinis tumor. Pengetahuan yang baik mengenai beberapa pilihan terapi bedah dan non bedah sangat penting untuk melakukan konsultasi dengan pasien dan merencana-kan terapi.1,2,3

    INSIDENSDi seluruh dunia, kira-kira ditemukan 390,000 kasus baru kanker

    cavum oris dan faring yang didiagnosis setiap tahun. Insidens tumor-tumor ini sangat tinggi di Asia Tengah, Afrika Selatan, dan Eropa. Data dari negara berkembang menunjukkan bahwa insidensnya pun meningkat.5,6

    Di Amerika Serikat, insidens kanker mulut dan faring adalah 11,9/100,000 populasi per tahun dengan rerata 30,000 kasus baru per-

    tahun. Insidens menurut umur dan angka mortalitas akan meningkat sesuai peningkatan umur dan lebih tinggi 3 kali lipat pada pria diban-dingkan dengan wanita.7,8

    GEJALA KLINISGejala dapat dibagi ke dalam tanda-tanda awal dan tanda-tanda

    lanjut. Tanda-tanda awal tumor faring sering diabaikan oleh pen-derita. Gejala-gejala tersebut berupa iritasi tenggorok, rasa terbakar bila memakan makanan yang asam-asam, benjolan pada leher dan odynophagia. Nyeri alih telinga unilateral juga sering ditemukan. He-moptisis atau perdarahan melalui mulut juga dapat terjadi.2,3

    Tanda-tanda lanjut meliputi disfagia, disartria atau Hot Potato Voice, trismus, gejala sumbatan jalan napas, otitis media serosa akibat sekunder dari obstruksi tuba eustasius, dan penurunan berat badan.5

    LAPORAN KASUSSeorang laki-laki, 32 tahun, rujukan dari RS. Kendari Sulawesi

    Tenggara, datang ke RS Wahidin Sudirohusodo dengan: Keluhan utama: disfagia makanan padat dialami sejak 2 bulan yang lalu. Anamnesis:

    Makanan cair masih bisa ditelan sedikit-sedikit. Terdapat benjolan yang mengisi rongga mulut mulai sejak 6 bulan yang lalu.Odynophagia (+).Sesak dialami hanya bila beraktivitas atau posisi tidur telentang dan mendatar. Dalam keadaan istirahat, tidak dirasakan sesak maupun napas yang berbunyi.Disartria (+), trismus (-), batuk-batuk (-).

    MEDICINUS

    66

  • Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

    MEDICINUS

    67

    Hidung tersumbat total (+).

    Pemeriksaan Fisis:Tanda Vital:Tensi = 120/80 mmHg, Nadi = 100x/menitPernapasan = 20x/mnt, pernapasan torakoabdominal, stridor (-), retraksi dinding dada (-).

    Rinoskopi Anterior:Tampak massa tumor di bagian posterior kavum nasi, mengisi penuh.

    Permukaan massa tumor halus tetapi tidak berlobi-lobi, tidak ada ulkus atau perdarahan lokal.

    Faringoskopi: Massa tumor pada dinding posterior orofaring, permukaan halus, warna sama dengan mukosa sekitarnya. Massa melekat pada dinding lateral. Kanan orofaring. Celah masih ada sedikit antara tumor dengan dinding lateral kiri.

    Pemeriksaan PenunjangLaboratorium: dalam batas normal.

    Histopatologi: Kesan: reaktif lymphoid nodule dengan adanya peradangan kronik nonspesi-fik.Foto Thoraks: tidak ada kelainanCT Scan Kepala Potongan Koronal: kesan massa nasofaring dekstra meluas ke orofaring

    Diagnosis Kerja: Kesan jinak tumor pada dinding posterior faring.Tindakan: trakeostomi dilanjutkan dengan ekstirpasi massa tumor dengan pendekatan transpalatal. Jalannya Operasi:

    Pasien baring telentang dalam neuroleptik. Buat trakeostomi pada cincin trakea 3-4, pasang endotracheal tube, fiksasi dengan baik. Selanjutnya operasi dilakukan dengan anestesi

    umum.Pasang mouth gag.Dilakukan infiltrasi mukosa palatum dengan lidocaine 2% secukupnya, tunggu 5 menit.Dengan pisau no. 15, buat insisi vertikal pada mukosa palatum molle tepat di sebelah kanan uvula, sampai kira-kira perbatasan palatum durum dengan palatum molle.Insisi diperdalam lapis demi lapis, berturut-turut mulai dari mu- kosa orofaring, musculus palatopharyngeus, sampai dengan mukosa kavum nasi.Tampak massa tumor pada dinding posterior faring menyatu dengan tepi lateral kanannya, sampai ke hipofaring. Kemudian dibuat insisi vertikal pada permukaan mukosa mulai dari lapisan atas tumor.Lapisan mukosa dilepaskan dengan menggunakan artery clamp, dan raspatorium, dari massa tumor yang berkapsul dengan permukaan yang halus dan tidak berbenjol-benjol. Tumor sukar dilepaskan dari dasarnya (dinding