pterigium ODS 3-4 + OS residif

45
ODS PTERIGIUM NASALIS DERAJAT 3-4 + OD PTERIGIUM RESIDIF (CASE REPORT) Preceptor: dr. Aryanti Ibrahim Sp.M Oleh: Bobby Setiawan 101811116 KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN MATA RUMAH SAKIT UMUM ABDUL MOELOEK LAMPUNG

description

Pterigium

Transcript of pterigium ODS 3-4 + OS residif

ODS PTERIGIUM NASALIS DERAJAT 3-4 + OD PTERIGIUM RESIDIF

(CASE REPORT)

Preceptor:dr. Aryanti Ibrahim Sp.M

Oleh:

Bobby Setiawan101811116

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN MATARUMAH SAKIT UMUM ABDUL MOELOEK LAMPUNGFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS LAMPUNG2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Karena atas rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul "ODS PTERIGIUM NASALIS DERAJAT 3-4 + OD PTERIGIUM RESIDIF tepat pada waktunya. Adapun tujuan pembuatan laporan ini adalah sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepanitriaan Klinik Bagian Mata di Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek Lampung.Kamimengucapkan Terima kasih kepada dr. Aryanti Ibrahim, Sp.M. yang telah meluangkan waktunya sebagai pembimbing laporan kasus ini. Kami menyadari banyak sekali kekurangan dalam laporan ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bukan hanya untuk kami, tetapi juga bagi siapa pun yang membacanya.

Bandar Lampung,9 Februari 2015.

Penulis

BAB IPENDAHULUAN

Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular pada konjungtiva bulbi yang bersifat degeneratif dan invasif.Secara klinis pterygium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra.Biasanya pada bagian nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal.

Pterigium banyak terdapat pada orang dewasa, tetapi dijumpai pula pada anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Di Amerika Serikat, pasien pterigium lebih kurang 2%, diatas umur 40 tahun dan meningkat pada kalangan yang sering terpapar sinar ultraviolet tinggi. Laki-laki dua kali lebih banyak terkena dibandingkan perempuan.

BAB IILAPORAN KASUS

1. Identitas pasienNama : Ny. SUmur :45 tahunJenis kelamin : PerempuanAgama: IslamAlamat :BatanghariPekerjaan: Ibu Rumah TanggaTanggal pemeriksaan :21 Januari 2015

2. AnamnesisKeluhan utama :Kedua mata perih dan kabur sejak 3 bulan yang laluRiwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke RSAM dengan keluhan penglihatan kabur, nyeri, perih, terasa mengganjaldan berair sejak 3 bulan yang lalu.Pandangan seperti melihat terowongan disangkal, keluhan sakit kepala disertai rasa sakit pada mata dan mual muntah juga disangkal oleh pasien. Mata merah (-), gatal (-), kotoran mata (-), Dan keluhan ini mengganggu aktivitas sehari-harinya.Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat penyakit serupa (+) pterygium yang sudah pernah dioperasi 10 tahun yang lalu, riwayat diabetes mellitus (-), riwayat hipertensi (-), riwayat trauma pada mata (-)Riwayat Penyakit Keluarga dan Sosial:Pasien mengakui ada keluarga yang mengalami penyakit serupa yaitu ibu dan kakak adiknya sendiri. Hal ini merupakan faktor herediter timbulnya penyakit pada pasien.Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga.Riwayat alergi:Riwayat alergi makanan (-), alergi obat-obatan (-), dan asma (-).

3. Pemeriksaan FisikStatus GeneralisKU : BaikKeadaan sakit : SedangKesadaran/GCS : Compos mentis/E4V5M6Keadaan gizi : CukupSistem Kardiovaskuler: dalam batas normalSistem respirasi: dalam batas normalKulit: dalam batas normalEkstremitas: dalam batas normal

Pemeriksaan Tanda VitalTekanan darah: 120/70 mmHg Nadi: 96 kali/menitFrekuensi Napas: 22 kali/menitSuhu:36,6oC

DEXTRASINISTRA

6/60VISUS6/12

Tidak dilakukanKoreksiTidak dilakukan

Dalam batas normalSupersiliaDalam batas normal

Edema (-), spasme (-)Palpebra superiorEdema (-), spasme (-)

Edema (-), spasme (-)Palpebra inferiorEdema (-), spasme (-)

Dalam batas normalSiliaDalam batas normal

Orthoforia (-), eksoftalmus (-), strabismus (-)Bulbus oculiOrthoforia (-), eksoftalmus (-), strabismus (-)

Baik ke segala arahGerakan bola mataBaik ke segala arah

tampak selaput berbentuk segitiga dari arah nasal mencapai pupilConjungtiva bulbitampak selaput berbentuk segitiga dari arah nasal mencapai pupil

Sekret (-)Conjungtiva fornicesSekret (-)

Hiperemis (-)Sikatrik (-)Conjungtiva palpebraHiperemis (-)Sikatrik (-)

Siliar injeksi (-)ScleraSiliar injeksi (-)

JernihPterigium (+)CorneaJernihPterigium (+)

Kedalaman cukup, beningCamera oculi AnteriorKedalaman cukup, bening

Gambaran Kripta Baik, warna coklatIrisGambaran Kripta Baik, warna coklat

Bulat, regular, sentral, 3 mm, reflek cahaya (+)PupilBulat, regular, sentral, 3 mm, reflek cahaya (+)

JernihLensaJernih

Tidak diperiksaFundus refleksTidak diperiksa

Tidak diperiksaCorpus vitreumTidak diperiksa

Tono dig NTensio oculiTono dig N

Dalam batas normalSistem canalis LacrimalisDalam batas normal

Gambar 1.Pemeriksaan Fisik pada Oculi Dextra

Gambar 2.Pemeriksaan Fisik pada Oculi Sinistra

4. Resume

Pasien wanita 45 tahun datang ke RSAMdengan mata perih dankabur sejak 3 bulan yang lalu, pasien juga mengeluh di matanya seperti ada yang mengganjal. Riwayat penyakit dahulu yang diderita pasien adalah pterygium yang sudah dioperasi 10 tahun yang lalu. Selain itu ibu kakak serta adiknya pernah mengalami hal serupa.Pada pemeriksaan Generalis, Keadaan umum baik, Kesadaran compos mentis, Nadi : 96x/menit, RR : 22x/menit, Suhu : 36,6 C, TD : 120/70 mmHg, Sistem Kardiovaskular dalam batas normal, sistem respirasi dalam batas normal, Kulit dalam batas normal, ekstremitas dalam batas normal.Pada pemeriksaan oftalmologi, VOD : 6/60, VOS 6/12. Pada mata kanan dan kiri ditemukan selaput berbentuk segitiga dari arah nasal mencapai pupil berwarna putih kemerahan, kornea jernih, lensa jernih dan tidak ditemukan adanya injeksi konjungtiva ataupun injeksi siliar.

5.DiagnosisODS pterigium nasal grade 3-4 + OS pterigium residif

6. Terapi Pembedahan (pterygium yang dapat mengganggu refraksi atau bisa dengan alasan kosmetik) : Ekstervasi pterigium ( bare sklera ) Farmakologik1. Gentamicin salep mata 1 x 1 ( tiap malam )2. Cendo Lytrees ED 3 x 1 tetes ODS3. Asam Mefenamat 500mg 3 x 1 tab Non farmakologik1. Menghindari pajanan matahari, menghindari debu2. Menggunakan kacamata atau topi jika keluar

7. Prognosis Quo ad vitam: ad bonamQuo ad functionam: ad bonamQuo ada sanationam: ad bonam

BAB IIIANALISIS KASUS

IDENTIFIKASI MASALAHDaftar masalah yang terjadi pada pasien adalah :1. Nyeri dan perih pada mata ?2. Penglihatan kabur pada mata ?3. Mata seperti ada yang mengganjal ?4. Ditemukan jaringan pada bagian ODS ?5. Apakah diagnosa sudah tepat ?6. Apakah tatalaksana sudah tepat ?

1. Mata perih dan nyeriMata perih dan nyeri hal ini dapat terjadi karena iritasi pada permukaan mata akibat terpapar oleh benda asing dari lingkungan seperti asap, debu, atau angin kencang. Pasien juga mengeluhkan kadang matanya merah, sama halnya dengan terjadinya mata berair, terjadi iritasi karena paparan benda asing dari lingkungan luar.

2. Penglihatan kabur Mata kabur dapat disebabkan oleh kelainan yang timbul mulai dari bagian mata anterior, mata posterior, dan jaras visual neurologik. Jadi, harus dipertimbangkan terjadinya pengeruhan atau gangguan pada media, perdarahan dalam vitreus, gangguan fungsi retina, nervus optikus atau jaras visual intrakranial atau pembentukan fibrovaskular. Pada pasien tidak ada ditemukan lensa yang keruh, TIO yg tinggi, perdarahan. Pada pasien hanya ditemukan adanya pembentukan fibrovaskular. Disini dapat dilihat bahwa pasien ini mengalami pterygium dimana penyakit ini bisa membuat penglihatan kabur apabila pertumbuhan fibrovaskularnya sudah mencapai kornea (zona optik).

3. Mata seperti ada yang mengganjalMata yang mengganjal bisa diakibatkan adanya peradangan di palpebra, adneksa,ataupun segmen anterior. Pada pasien tidak ditemukan adanya edema pada palpebradan adneksa, ataupun peradangan pada konjungtiva.Tidak ditemukan adanya secret yang berlebih.Pada pasien ditemukan adanya penebalan konjungtiva bulbi hingga kornea dimana hal ini dapat mengakibatkan ada rasa ganjalan pada mata saat berkedip.

4. Ditemukan jaringan pada kedua mataPertumbuhan jaringan pada konjungtiva bulbi bisa diakibatkan oleh suatu penyakit akibat pinguekula, pseudopterygium, dan pterygium.Pinguekula dapat disingkirkan karena pinguekula tidak bisa tumbuh hingga kornea, sedangkan pada pasien ditemukan pertumbuhan jaringan hingga kornea.Sedangkan pseudopterygium terjadi akibat adanya tukak kornea.Pterygium merupakan diagnosis yang tepat pada pasien ini karena Tampak penebalan pada konjungtiva bulbi dari arah nasal yang berbentuk segitiga dengan bagian puncakpterygium hampir melewati pinggir pupil.Tampakan klinis ini merupakan gambaran khas dari Pterygium, yang pertumbuhannya biasanya dari arah nasal (paling sering) dan dari arah temporal dengan apex atau puncaknya tumbuh ke arah sentral (ke arah kornea.

5. Apakah diagnosa sudah tepat ?

Alasannya :Diagnosis ditetapkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik

Pada anamnesa didapatkan :Pasien datang dengan keluhan mata kanan dan kiri terasa seperti ada yang mengganjal +3 bulan SMRS, keluhan juga disertai dengan semakin lama penglihatan semakin kabur.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:VOD : 6/60 dan VOS : 6/12 dan tampak selaput berbentuk segitiga dari arah nasal mencapai pupil.

Hal ini sesuai dengan literatur dimana gejala yang ditimbulan dari pterygium.Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterigium lanjut stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.

6. Apakah tatalaksana sudah tepat ?Untuk penatalaksanaan pterygium yang paling tepat adalah tindakan dimeja operasi dengan membuang/ mengangkat bagian pterigum yang menutupi konjungtiva sampai kornea, tindakan operasi dilakukan karena pasien sudah masuk ke grade III-IVKarena bila hanya diberikan medikamentosa hanya mengurangi dari gejala gejala yg diderita oleh pasien.Ada pun indikasi pembedahan :a. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbusb. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupilc. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatismusd. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.

BAB IVTINJAUAN PUSTAKA

A. KONJUNGTIVA

Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan kelopak mata.Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata baik dibagian atas maupun bawah.Refleksi atau lipatan ini disebut dengan forniks superior dan inferior.Forniks superior terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus.Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata superior dan inferior.Pada bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal.Pada bagian lateral, forniks bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.

Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:1. Konjungtiva Palpebra Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi konjungtiva.Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan dalam kelopak mata.Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan orbital.Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper.Punktum bermuara pada sisi medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem lakrimal.Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus.Zona ini bersifat sangat vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka.Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui.2. Konjungtiva BulbiMenutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen sehingga sklera dibawahnya dapat divisualisasikan.Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah.Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan sklera.3. Konjungtiva ForniksMerupkan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.

Gambar 3.Konjugtiva

Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis.Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak.Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan pembuluh lemfe palpebra membentuk pleksus limfatikus.Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus.Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma.Lapisan epitel konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal.Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat.Sel-sel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara merata.Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen.Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan fibrosa.Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum.Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat papilar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus.Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang konjungtiva.Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata.Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma.Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, sisanya di forniks bawah.Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus atas.

B. PTERYGIUM

I. DEFENISIPterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif.Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah. Pterygium berasal dari bahasa yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Menurut Hamurwono pterygium merupakan Konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea.

Gambar 4. Pterygium

II. EPIDEMIOLOGIPterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering.Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah 3-4 mm, pertumbuhan yang progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakan bola mata.Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan normal yaitu gambaran permukaan bola mata yang licin.Teknik bedah yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium adalah dengan menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium ke arah limbus. Walaupun memisahkan pterigium dengan bare sclera ke arah bawah pada limbus lebih disukai, namun tidak perlu memisahkan jaringan tenon secara berlebihan di daerah medial, karena kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma tidak disengaja di daerah jaringan otot. Setelah dieksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan.Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik simple surgical removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat menurunkan tingkat rekurensi hingga 5% adalah conjunctival autograftDimana pterigium yang dibuang digantikan dengan konjungtiva normal yang belum terpapar sinar UV (misalnya konjungtiva yang secara normal berada di belakang kelopak mata atas). Konjungtiva normal ini biasaya akan sembuh normal dan tidak memiliki kecenderungan unuk menyebabkan pterigium rekuren.Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan.Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baiksecara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah.Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.

Indikasi Operasi pterigium1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatismus4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.

Teknik PembedahanTantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea.Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang variabel.Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan.Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya.Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringanparut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.

1. Teknik Bare ScleraMelibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.

2. Teknik Autograft KonjungtivaMemiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40 persenpada beberapa studi prospektif.Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisipterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva danpenerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untukeksisi pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknikini.

3. Cangkok Membran AmnionMencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhanpterigium.Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untukkekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap kebawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untukmembantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya.Lemfibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.

Terapi TambahanTingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia.Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya untukmenghambat fibroblas.Efeknya mirip dengan iradiasi beta.Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidakmerekomendasikan terhadap penggunaannya.

Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian:1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6minggu.2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.3. Sinar Beta.4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama 6minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan steroidselama 1 minggu.

Gambar 9. Prosedur Conjunctiva Autograft; (a).Pterygium,(b).Pterygium removed,(c).Leaving bare area,(d).Graft outlined,(e).Graft sutured into place

X. DIAGNOSIS BANDINGDiagnosis banding pterigium adalah pinguekula dan pseudopterigium.Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada orangtua, terutama yang matanya sering mendapatkan rangsangan sinar matahari, debu, dan angin panas.Yang membedakan pterigium dengan pinguekula adalah bentuk nodul, terdiri atas jaringan hyaline dan jaringan elastic kuning, jarang bertumbuh besar, tetapi sering meradang.Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga sering dilaporkan sebagai dampak sekunder penyakit peradangan pada kornea.Pseudopterigium dapat ditemukan dibagian apapun pada kornea dan biasanya berbentuk oblieq. Sedangkan pterigium ditemukan secara horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9.

Gambar 10. Pinguekula Gambar 11. Pseudopterigium

XI. KOMPLIKASIKomplikasi yang dapat timbul pada pterygium, adalah : Distorsi dan penglihatan berkurang Mata merah Iritasi Scar (jaringan parut) kronis pada konjungtiva dan kornea Pada pasien yang belum exicisi, scar pada otot rectus medial dapat menyebabkan terjadinya diplopia.

Komplikasi post eksisi pterygium, adalah: Infeksi, reaksi bahan jahitan (benang), diplopia, scar cornea, conjungtiva graft longgar dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous hemorrhage atau retinal detachment. Penggunaan mytomicin C post operasi dapat menyebabkan ectasia atau melting pada sclera dan kornea. Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterygium adalah rekuren pterygium post operasi.

XII. PROGNOSISPenglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion.

BAB VPENUTUP

Kesimpulan

Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada konjungtiva dan tumbuh menginfiltrasipermukaan kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap kesentral kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada cantus. Etiologi pterigium masih belum jelas namun terdapat beberapa faktor resiko pterigium antara lain paparan ultraviolet, mikrotrauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Pterigium dibagi atas 4 stadium berdasarkan stadiumnya, mulai dari hanya sebatas limbus hingga melewati pupil. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, seperti pada kasus. Tatalaksana terbagi atas konservatif dan pembedahan. Prognosis pterigium adalah baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.p.2-7,117.2. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2009.3. Voughan & Asbury. Oftalmologi Umum edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.4. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [cited 2011 Maret 08]. Available from : http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi5. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In : External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366. 6. Riordan, Paul dkk. 2010. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum, Jakarta; EGC7. Perdami.2006. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum & Mahasiswa Kedokteran,Perdami8. Iljas, S. 2007. Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia9.

31