PT. 12 TOXIC-S

34
Table 1 - Senyawa-senyawa beracun bahan nabati No . Toksin Senyawa kimia Sumber utama Gejala- gejala utama keracunan 1 Penghamba t protease Protein (BM 8.000 - 24.000) Kacang- kacangan ( kedelai, koro, kacang hijau dll.), buncis, ubi jalar Menghambat pertumbuhan dan penggunaan makanan, hipertropi pankreas 2 Hemagluti nin Protein (BM 36.000- 132.000) Kacang- kacangan (biji jarak, kedelai, koro, kacang panjang) Menghambat pertumbuhan dan penggunaan makanan, aglutinasi sel-sel darah merah in vitro 3 Saponin Glikosida Kedelai, bit, kacang tanah, asparagus, bayam Hemolisis sel-sel darah merah in vitro 4 Goitrogen Tioglikosida Kobis dan sejenisnya, rapeseed, lobak, mustard Hipotiroidism e dan pembesaran kelenjar tiroid 5 Sianogen Glukosida sianogenetik Buncis dan kacang- kacangan, linseed, ubi kayu Keracunan HCN 6 Pigmen gossipol Gossipol Biji kapas Kerusakan liver, edema, pendarahan 7 Latirogen minopropion itril dan derivat- derivatnya Chick pea (Jenis buncis) Osteolatirism e (kerusakan tulang) 1

description

1

Transcript of PT. 12 TOXIC-S

Table 1 - Senyawa-senyawa beracun dari bahan-bahan nabati

Table 1 - Senyawa-senyawa beracun bahan nabati

No.ToksinSenyawa kimiaSumber utamaGejala-gejala utama keracunan

1Penghambat proteaseProtein (BM 8.000 - 24.000)Kacang-kacangan

( kedelai, koro, kacang hijau dll.), buncis, ubi jalarMenghambat pertumbuhan dan penggunaan makanan, hipertropi pankreas

2HemaglutininProtein (BM 36.000-132.000)Kacang-kacangan (biji jarak, kedelai, koro, kacang panjang)Menghambat pertumbuhan dan penggunaan makanan, aglutinasi sel-sel darah merah in vitro

3SaponinGlikosidaKedelai, bit, kacang tanah, asparagus, bayamHemolisis sel-sel darah merah in vitro

4GoitrogenTioglikosidaKobis dan sejenisnya, rapeseed, lobak, mustardHipotiroidisme dan pembesaran kelenjar tiroid

5SianogenGlukosida sianogenetikBuncis dan kacang-kacangan, linseed, ubi kayuKeracunan HCN

6Pigmen gossipolGossipolBiji kapasKerusakan liver, edema, pendarahan

7Latirogenminopropionitril dan derivat-derivatnya

N-Oksalil-L--diamino-asam propionatChick pea (Jenis buncis)

Chick peaOsteolatirisme (kerusakan tulang)

Neurolatirisme (kerusakan sistem saraf pusat)

8AlergenProtein ?Secara praktis semua bahanRespons alergi pada orang yang sensitif

9SikasinMetilazoksi-metanolBiji-biji genus CycasKanker liver dan organ lain

10FavismeBelum diketahui (glikosida ?)Fava beansAnemia hemolitik akut

Tabel 2..... Mikotoksin dan fungi yang memproduksi toksin

No.Toksin atau sindromeFungiBahan pangan utamaPengaruh farmakologi utama setelah menelan

1AflatoksinAspergillus flavus, A. parasiticusToksin Aspergillus

Kacang tanah, kopra, biji-bijian

Beracun pada liver: karsinogenik pada liver hewan dan kemungkinan pada liver manusia

2SterigmatosistinA. nidulans,

A. versicolor Biji-bijian serealiaBeracun dan karsinogenik pada liver tikus

3Okratoksin (Ochratoxin)A. ochraceous Serealia, kopi mudaBeracun pada ginjal tikus

4LuteoskirinP. islandicum

Toksin Penicillium PadiBeracun dan kemungkinan karsinogenik pada liver tikus

5

PatulinP. articae; P. claviformi Produk-produk apelEdema; beracun pada ginjal tikus

6ZearalenonGiberella zeaeToksin Fusarium JagungHiperestrogenisme pada babi dan hewan percobaan

7Alimentary toxic aleukia (ATA)F. poae,

F.sporotrichioides Millet dan biji-bijian serealia lainPanleukocytopenia karena kerusakan sumsum tulang; mortalitas mencapai 60%

812,13-Epoxytricothe-canesFusarium spp.

Trichoderma spp., Gliocladium spp., Tricothecium spp. Jagung, serealia lainKolaps kardiovaskuler, meningkatkan waktu penjendalan (clotting), leukopenia

SENYAWA-SENYAWA BERACUN

I. Pendahuluan

II. Senyawa-senyawa alami

1. Bahan-bahan dari tanaman

2. Bahan-bahan dari hewan

III. Bahan tambahan makanan

1. Nitrit dan senyawa-senyawa nitroso

2. Senyawa-senyawa beracun yang timbul selama pengolahan

3. Kontaminan

IV. Toksin yang diproduksi oleh mikrobia

1. Mikotoksin

2. Toksin dar bakteri

V. Penutup

(20 halaman 1,5 spasi Time New Roman 12 font)

I. PENDAHULUAN

Pada umumnya pangan dikonsumsi karena citarasanya dan terutama karena kandungan gizinya, yaitu senyawa-senyawa yang bermanfaat bagi tubuh baik sebagai sumber energi, bahan pembangun jaringan maupun senyawa-senyawa yang berfungsi membantu proses metabolisme sehingga tubuh dalam kondisi sehat. Namun demikian, selain mengandung zat atau senyawa-senyawa yang sangat penting tersebut kadang bahan pangan mengandung senyawa-senyawa yang beracun atau yang berpotensi mengganggu kesehatan sehingga keberadaannya tak dikehendaki. Kelompok senyawa-senyawa non-gizi dan berpotensi membahayakan kesehatan ini penting dipelajari dalam kaitannya dengan keamanan pangan.

Secara kimiawi, senyawa-senyawa ini sangat beragam mulai yang paling sederhana berupa garam anorganik sampai makromolekul yang berat molekulnya tinggi. Senyawa-senyawa ini terdapat secara alami dalam bahan-bahan yang berasal dari tanaman (nabati), dari hewan (hewani), atau diproduksi oleh mikrobia dan juga berupa kontaminan-kontaminan. Senyawa-senyawa tersebut berbeda-beda sifat-sifatnya dan tingkat potensinya dalam membahayakan kesehatan mulai yang menimbulkan keracunan akut (segera) sampai yang sifatnya kronis (jangka lama).

Dalam mempelajari kimia hasil pertanian, hal-hal yang perlu dipelajari berkaitan dengan senyawa-senyawa toksik ini terutama adalah sifat-sifat dasar senyawa tersebut, sumber dan rute masuknya ke bahan pangan, pengaruhnya dalam sistem tubuh (biologis) yang mempunyai konsekuensi terhadap segi keamanan pangan, serta prinsip-prinsip pengendaliannya - yaitu bagaimana mengurangi atau menghilangkan potensi bahayanya.

II.SENYAWA-SENYAWA ALAMI DALAM BAHAN NABATI

Bahan-bahan dari tanaman kadang-kadang mengandung senyawa kimia yang bersifat toksik (beracun) jika dikonsumsi manusia atau hewan. Senyawa-senyawa ini kadarnya berbeda-beda baik tergantung jenis tanaman, varietas, maupun tempat/ lingkungan tumbuhnya. Orang pada jaman dahulu telah belajar dan berusaha untuk menghindari bahan-bahan yang menyebabkan keracunan itu baik dengan tidak mengkonsumsi bahan pangan tersebut atau dengan cara mengolah secukupnya untuk mengurangi atau menghilangkan sifat-sifat toksik sebelum bahan makanan dikonsumsi melalui cara-cara pengolahan tradisional.

Ada banyak macam senyawa-senyawa beracun yang terdapat dalam bahan-bahan nabati, beberapa kelompok senyawa yang akan diuraikan dalam bab ini seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

II.1 Penghambat Protease, Hemaglutinin, dan Saponin

Ketiga kelompok senyawa ini - yaitu penghambat protease (Protease Inhibitor) , hemaglutinin dan saponin sering terdapat bersama-sama dalam kacang-kacangan dan serealia. Kedelai mentah tidak baik bagi kesehatan bila dikonsumsi karena kandungan senyawa tersebut. Tepung kedelai yang dimasak mempunyai nilai gizi lebih tinggi daripada yang tidak dimasak (mentah) hal ini karena penghambat protease tersebut menjadi inaktif kalau diberi perlakuan panas. Demikian juga apabila koro mentah diberikan pada tikus, maka akan dapat menyebabkan tikus tersebut kehilangan berat bahkan mati.

Penghambat protease adalah protein yang mempunyai sifat menghambat enzim proteolitik yaitu dengan mengikat enzim tersebut. Apabila hewan percobaan diberikan penghambat protease bentuk murni, maka akan terjadi hipertropi pankreas. Namun jika senyawa tersebut dipanaskan lebih dahulu maka hipertropi pankreas tidak terjadi yang dikaitkan bahwa penghambat protease menjadi inaktif karena perlakuan panas.

Penghambat protease yang banyak mendapat perhatian adalah penghambat tripsin (trypsin inhibitor) yang terdapat dalam kacang-kacangan termasuk kedelai. Ada banyak macam penghambat tripsin tetapi semua itu kemudian dapat dibagi menjadi dua golongan berdasarkan berat molekulnya, yaitu yang mempunyai berat molekul 20.000 - 25.000 disebut penghambat tripsin Kunitz dan yang mempunyai berat molekul 6.000 - 10.000 digolongkan sebagai penghambat tripsin Bowman-Birk.II.2. Hemaglutinin

Hemaglutinin juga merupakan protein. Senyawa ini berpotensi menyebabkan aglutinasi sel-sel darah merah secara in vitro. Pengaruh ini, yang sangat spesifik untuk tiap protein , disebabkan karena senyawa tersebut mengikat membran plasma eritrosit (sel darah merah), dan hemaglutinin dimasukkan dalam kelompok lectin karena spesifitas pengikatannya tersebut.

Meskipun telah banyak diketahui adanya hemaglutinin ini namun hanya sedikit yang telah diisolasi dalam bentuk murni. Beberapa protein murni kelompok ini bersifat mematikan (lethal) jika dikonsumsikan atau diinjeksikan kepada hewan percobaan, yang paling toksik adalah ricin, yaitu lectin dari biji jarak, yang mempunyai LD50 5g/kg pada tikus. Adapun jenis-jenis lectin yang berasal dari kedelai dan biji koro jauh tidak toksik yaitu sekitar seperseribunya. Toksisitas hemaglutinin-hemaglutinin ini dapat dimusnahkan dengan pemanasan dalam kondisi lembab (bukan pemanasan kering).

II.3. Saponin

Saponin adalah glikosida yang ada dalam berbagai macam tanaman. Ada tiga sifat khas senyawa ini, yaitu rasanya pahit, membentuk buih dalam larutan berair, dan dapat melisis (hemolisis) sel-sel darah merah. Saponin sangat beracun pada ikan dan hewan-hewan air berdarah dingin lainnya, pengaruhnya pada hewan tingkat tinggi bervariasi. Secara kimiawi, saponin ada dua macam kelompok tergantung sifat gugus sapogenin yang mengikat heksosa, pentosa atau asam uronat. Sapogenin adalah steroid (C27) atau triterpenoid (C30).

2. Goitrogen

Goitrogen adalah tioglukosida yang merupakan bahan antitiroid, terdapat dalam tanaman-tanaman famili Cruciferae, khususnya banyak terdapat dalam genus Brassica. Senyawa-senyawa tioglukosida (disebut juga glukosinolat) ini juga yang memberikan rasa pedas (pungent) tanaman-tanaman tersebut. Semua tioglukosida yang ada di alam berada bersama enzim (atau enzim-enzim) yang mampu menghidrolisisnya menghasilkan glukosa dan bisulfat jika jaringan tanaman segar dihancurkan dalam keadaan basah dan tidak dipanaskan. Dalam proses ini terjadi pengaturan (arrangement) intramolekuler pada aglikonnya sehingga menghasilkan isotiosianat, nitril, dan tiosianat seperti ditunjukkan pada Gambar 1.

S-C6H11O5

H2O

S-

H2OR - C

R - C + Glukosa + KHSO4

Tioglukosidase N-

N-O-SO2O-K+

Tioglukosida

R-N=C=S R-C=N R-S-C=N

Isotiosianat

Nitril Tiosianat

+

S

Gb. 1 - Produk hidrolisis tioglukosida

Meskipun peranan zat antitiroid dalam menyebabkan penyakit gondok manusia ini nampaknya tidak begitu besar dan tak banyak mendapat perhatian, namun terdapatnya dalam bahan-bahan yang akan digunakan sebagai pakan hewan mempunyai pengaruh terhadap nilai ekonominya.

3. Sianogen

Sianida dalam jumlah yang kecil terdapat dalam tanaman dan berada terutama dalam bentuk sebagai glukosida sianogenetik, yaitu suatu glukosida yang jika terhidrolisis menghasilkan asam sianida. Ada tiga macam glukosida sianogenetik yang telah diidentifikasi dalam bahan pangan nabati, yaitu amigdalin (glukosida benzaldehid sianohidrin), durin (glukosida p-hydroksibenzaldehid sianohidrin), dan linamarin (glukosida aseton sianohidrin). Amigdalin terdapat dalam biji almond yang pahit dan biji-biji lain; durin terdapat dalam sorgum dan jenis rumput-rumputan lain, sedangkan linamarin terdapat dalam linseed dan ubi kayu. Ubi kayu yang berasa pahit mempunyai kandungan linamarin yang lebih tinggi dari pada yang tidak pahit. Sebanyak 245mg HCN dapat dibebaskan dari 100g ubi kayu, sedangkan rebung (anakan bambu) mempunyai kandungan yang lebih tinggi yaitu dapat mencapai 800mg per 100g bahan. Dosis letal HCN bagi manusia berkisar 0,5 - 3,5mg/ kg berat badan , dan kadang berakibat fatal bagi orang mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung HCN ini.

4. Gossipol

Gossipol dan beberapa zat warna alam (pigmen) lain yang sejenisnya terdapat dalam kelenjar pigmen biji kapas pada konsentrasi 0,4 - 1,7%. Senyawa ini merupakan senyawa yang sangat reaktif dan menyebabkan berbagai gejala toksik pada hewan percobaan maupun piaraan. Senyawa ini juga menyebabkan penurunan nilai gizi tepung biji kapas yang merupakan sumber protein. Saat ini sedang dikembangkan tanaman kapas yang tidak mempunyai kelenjar pigmen demikian dalam rangka pemanfaatan potensi kapas sebagai sumber pangan di samping sebagai sumber bahan baku industri.

5. Toksikan-toksikan lain

Toksikan-toksikan (senyawa-senyawa yang bersifat toksik) lain seperti disebutkan pada Table 1 cenderung terbatas pada populasi tertentu ditinjau dari segi pola asupan maupun sensitivitasnya terhadap senyawa beracun tersebut. Neurolatirisme, suatu penyakit kelemahan syaraf yang diakibatkan kerusakan degeneratif sistem syaraf tulang belakang (spinal cord) , diketahui hanya terjadi di India. Meskipun ini dikaitkan dengan mengkonsumsi varietas tertentu Lathyrus sativus, agensia penyebabnya belum diketahui secara pasti.

Alergen, biasanya merupakan komponen normal dalam bahan pangan dan sifat-sifatnya yang tidak dikehendaki karena akibat reaktivitas yang berubah (alergi) dari individu-individu yang merespons senyawa yang tergolong tak berbahaya ini. Banyaknya jenis-jenis senyawa yang diketahui menyebabkan respons alergi pada individu yang sensistif sangat luas.

Sikasin, yaitu glukosida metilazoksimetanol, merupakan komponen normal sejumlah tanaman yang menyediakan sumber zat pati di daerah Pasifik dan Jepang. Meskipun senyawa ini sangat potensi bersifat karsinogenik pada hewan percobaan , tetapi nampaknya metode-metode pengolahan tradisionalnya telah secara efektif dapat menghilangkan senyawa beracun ini. Oleh karena itu kepentingannya bagi manusia menjadi tidak begitu besar.

Favisme, adalah sindrom klinis pada manusia yang meliputi anemia hemolitik akut dan gejala-gejala yang sejenis akibat menkonsumsi fava bean (Vicia faba) atau menghirup benang sari (pollen) tanaman ini. Individu-individu yang sensitif terhadap senyawa beracun dalam tanaman tersebut dicurigai defisiensi enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase dalam sel-sel darah merahnya, sehingga mengakibatkan kerusakan hemolitik akut tersebut.

Senyawa-senyawa lain dalam bahan hasil tanaman yang bersifat merugikan kesehatan antara lain asam fitat. Asam fitat ini dilaporkan dapat mengurangi penyerapan mineral dalam sistem pencernaan, sehingga digolongkan senyawa antimineral.

Asam fitat (myo-inositol-1,2,3,4,5,6,-hexakis dihydrogen phosphate) ada dalam bahan hasil pertanian pada konsentrasi bervariasi dari 0,1 - 6,0%. Fitat didapatkan sebagai kristal globoid di dalam protein body pada kotiledon dari legum dan biji berminyak atau pada dedak dari biji sereal. Asam fitat dengan struktur muatan negatif tinggi, adalah senyawa sangat reaktif dan khususnya menarik ion bermuatan positif seng dan kalsium. Oleh karena itu dianggap sebagai antigizi sehingga perlu dihilangkan selama proses pengolahan makanan. Asam fitat juga bereaksi dengan kelompok bermuatan dari protein, secara langsung atau tidak langsung melalui gugus bermuatan negatif dari protein dengan media ion logam bermuatan positif seperti kalsium. Interaksi dari asam fitat dengan molekul pati, secara langsung melalui ikatan hidrogen pada gugus fosfat atau secara tidak langsung melalui protein. Pengikatan ini dapat mengurangi kelarutan dan daya cerna dari protein dan komponen pati dari makanan. Walaupun demikian data literatur dalam penelitian bidang ini sering kontradiksi.

Ada senyawa-senyawa toksik yang berasal dari tanaman-tanaman yang digolongkan merupakan bahan pangan khas, misalnya mimosin dalam petai cina (Leucena glauca) dan asam jengkolat (Djengkolic acid) dalam biji jengkol (Phitecolobium lobatum). Mimosin (Gb.2.) dianggap merupakan senyawa toksik karena dapat menyebabkan rontoknya rambut pada hewan dan manusia. Secara kimia mimosin merupakan asam amino, dan senyawa ini bersifat dapat larut dalam air. Adapun asam jengkolat yang terdapat pada biji jengkol dapat menyebabkan gangguan kesehatan karena dapat membentuk kristal jengkolat yang dapat menyumbat saluran air seni. Tingkat ketahanan tiap individu terhadap keracuna asam jengkolat ini berbeda-beda, dan keracunan jengkolat ini jarang menimbulkan kematian. Secara kimiawi asam jengkolat merupakan asam amino yang strukturnya mirip sistein (Gb.3), dan senyawa ini sukar larut dalam air. Kandungannya dalam biji jengkol sekitar 1-2%.

O

OH

N

CH2-CH(NH2)-COOH

Gb.2. Mimosin (Van Veen, 1973)

S-CH2-CH(NH2)-COOH

CH2

S-CH2-CH(NH2)-COOH

Gb.3. Asam jengkolat (Van Veen, 1973)

III. Bahan-bahan hewani

Jenis-jenis hewan, yaitu yang jaringan-jaringannya toksik dan mengakibatkan respon yang merugikan kesehatan jika dimakan, umumnya merupakan hewan-hewan laut. Pengetahuan mengenai hal ini sangat penting karena hewan-hewan laut merupakan sumber protein yang sangat diperlukan, namun saat ini pengetahuan tersebut masih relatif sedikit.

Lebih dari 1000 spesies organisme laut diketahui bersifat toksik atau berbisa, dan banyak di antaranya merupakan organisme yang dapat dimakan atau dapat masuk ke rantai makanan. Jenis racunnya sangat beragam baik kimiawi maupun toksikologinya.

Ada dua tipe keracunan yang disebabkan oleh hewan laut, yaitu keracunan ikan (yang disebabkan makan ikan yang mengandung jaringan yang beracun) - disebut ichthyotoxism, dan keracunan kerang-kerangan (yang disebabkan makan jenis kerang-kerangan yang mengandung toksin yang berasal dari plankton ) - yang disebut paralytic shellfish posioning.

II.2.1. Ichthyotoxism

Sekitar 500 spesies ikan laut diketahui bersifat racun jika dimakan, dan banyak di antaranya merupakan jenis-jenis yang bisa dimakan (edible). Sindrom keracunannnya bervariasi sifatnya dan biasanya dikelompokkan menurut jenis ikan yang menyebabkan keracunan, yaitu: ciguatera, tetraodon, scombroid, clupeoid, cyclostome, atau elasmobranch. Sifat-sifat umum keracunan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut.

Keracunan ciguatera adalah keracunan ikan yang paling umum. Ini dapat terjadi setelah makan jenis-jenis ikan seperti snapper dan sea basses. Bentuk keracunan ini berkaitan dengan rantai makanan ikan. Senyawa toksinnya diperkirakan mula-mula berasal dari alga biru-hijau, yang dimakan ikan herbivora kemudian ikan jenis herbivora itu dimakan oleh ikan karnivora. Toksin ciguatera telah diisolasi dalam bentuk murni dan mempunyai rumus molekul C35H65NO8. Senyawa ini mempunyai LD50 80g/kg berat badan pada tikus, tetapi mekanisme kerja racunnya belum diketahui secara pasti. Kematian individu karena keracunan senyawa toksin ini diperkirakan karena terjadi kolaps kardiovaskuler.

Keracunan clupeoid, kadang terjadi setelah makan ikan herring, anchovy, tarpon, dan ikan-ikan tak berduri khususnya terjadi di wilayah Karibia. Keadaan keracunannya mirip dengan keracunan ciguatera, tetapi sumber dan karakter toksinnya belum diketahui. Kadang keracunan toksin clupeoid ini berakibat fatal.

Keracunan tetrodon (tetrodon posioning, disebut juga puffer fish poisoing) kemungkinan merupakan keracunan ikan yang paling banyak diketahui dan dipelajari dibanding lainnya. Meskipun jenis ikan (puffer fish) ini tidak banyak dikonsumsi tetapi di Jepang sering digunakan sebagai hidangan pada jamuan/ perayaan-perayaan tertentu dan kadang terjadi keracunan yang fatal.

2. Paralytic shellfish poisoning

Sindrom ini disebabkan mengkonsumsi remis atau kerang-kerang yang telah menelan dinoflagelata yang toksik dan secara efektif mengakumulasi senyawa toksik tersebut dalam jaringannya. Kerang tersebut menjadi toksik apabila kondisinya sangat cocok untuk pertumbuhan dinoflagelata sehingga jumlahnya sangat banyak melebih normal. Di sepanjang pantai di Amerika, organisme yang sering mengkontaminasi ini umumnya spesies Gonyaulax, meskipun jenis dan spesies lain juga bersifat toksik.

Agensia toksik dari organisme tersebut telah diisolasi dan dimurnikan dari kultur dinoflagelata dan dari kerang yang bersifat toksik. Senyawa tersebut mempunyai rumus molekul C10H17N7O4.2HCl tetapi strukturnya belum diketahui secara pasti. Senyawa ini stabil terhadap panas dan tidak dapat dimusnahkan dengan pemasakan.

Toksin yang telah dimurnikan mempunyai LD50 sebesar 9g/kg berat badan pada mencit dan diestimasikan dosis letal pada manusia antara 1 dan 4mg. Toksin ini menekan pernapasan dan pusat pengendali kardiovaskular di otak, dan kematian yang terjadi biasanya karena kegagalan pernapasan. Tingkat kefatalan individu yang dipengaruhi adalah sebesar 1-10% pada kebanyakan kasus-kasus yang terjadi.

III. Bahan tambahan makanan

Bahan tambahan makanan (food additives) yang dimaksud di sini adalah bahan-bahan kimia yang sengaja ditambahkan pada pangan dimaksudkan untuk mencapai satu atau lebih tujuan umum berikut ini, yaitu: untuk meningkatkan nilai gizi, menjaga kesegaran, menciptakan sifat sensoris tertentu yang diinginkan, atau untuk membantu pengolahan. Sampai saat ini telah ada lebih dari 3000 macam bahan kimia untuk tujuan tersebut, dan jumlah ini makin meningkat dari waktu ke waktu. Karena jumlah macam yang sangat banyak dan dikonsumsi dalam jangka lama, maka bahan tambahan makanan ini sekarang mendapat sorotan perhatian pada segi-segi keamanannya. Setiap bahan tambahan makanan baru yang diusulkan penggunaannya harus melewati serangkaian uji toksikologi, dan penggunaan bahan tambahan makanan diatur dengan peraturan-peraturan yang mungkin berbeda atau sama untuk negara satu dengan lainnya.

Mengenai aspek keamanan penggunaan bahan tambahan makanan, ada indikasi-indikasi yang menunjukkan adanya masalah toksikologi pada bahan tambahan makanan tertentu yang telah disebutkan dalam pustaka. Dalam kaitan ini, berikut ini hanya akan dibahas beberapa macam bahan tambahan makanan yang menimbulkan masalah toksikologi, yaitu senyawa-senyawa nitrit dan N-nitroso serta karagenan.

1. Nitrit dan senyawa-senyawa N-nitroso

Natrium nitrit merupakan bahan kimia yang telah lama digunakan sebagai pengawet dan penstabil warna makanan khususnya untuk produk-produk daging dan ikan. Akhir-akhir ini ditemukan bahwa penggunaan nitrit dapat memberikan bahaya karena kemampuannya berinteraksi dengan amin atau amid, sehingga terjadi pembentukan turunan-turunan N-nitroso , yaitu senyawa-senyawa yang mendapat perhatian dari segi toksikologi.

Nitrosamin dapat terbentuk dengan reaksi amin sekunder atau tersier dengan N2O3, melalui reaksi berikut:

R2NH + N2O3 R2N(NO + HNO2

R3N + N2O3 R2N(NO + R

Reaksi nitrosasi amin dapat terjadi dalam pangan selama pengolahan atau penyimpanan, dan nitrosamin dapat terkonsumsi dalam bentuk demikian.

Senyawa-senyawa N-nitroso menarik perhatian dari segi toksikologi karena banyak senyawa golongan ini berpotensi karsinogenik pada hewan. Sekitar 80% dari 100 macam, senyawa N-nitroso yang diuji ternyata karsinogenik pada jaringan hewan percobaan.

Namun demikian, pada umumnya sejauh ini kadar nitrosamin pada pangan yang dianalisa masih jauh dari dosis efektif yang diujikan ke hewan.

2. Karagenan

Karagenan (Carrageenan) adalah kelompok hidrokoloid alami yang merupakan polisakarida sulfat linier dengan berat molekul tinggi. Secara komersial bahan ini diekstraksi rumput laut merah dan digunakan oleh industri pangan dan lainnya sebagai bahann penstabil (stabilizer), pengental dan agensia pembentuk jel. Karagenan yang standar untuk pangan (food-grade) umumnya mempunyai berat melekul 100.000 atau lebih, dan yang berat molekulnya kurang dari 10.000 tidak digunakan sebagai bahan tambahan makanan.

Toksikologi karagenan pada hewan dipengaruhi oleh rute pemberiannya. Karagenan merupakan senyawa yang bersifat menyebabkan peradangan jika diinjeksikan secara subkutan maupun intraperitoneal. Namun penelitian pada tikus menunjukkan bahwa senyawa ini tidak bersifat toksik jika diberikan secara oral, kemungkinan karena kurang absorpsinya. Penelitian lainnya menggunakan karagenan alam yang biasa digunakan untuk bahan tambahan makanan menunjukkan bahwa senyawa tersebut tidak bersifat ulcerogenic pada kera dan tikus tetapi memberikan pengaruh kesehatan yang buruk pada marmot. Nampaknya karagenan alami tidak besifat toksik, hanya polimer-polimer hasil pemecahannya yang bersifat toksik.

IV. Produk pertumbuhan mikrobia

a. Mikotoksin

Spora kapang (mold) di alam ada di mana-mana dan ini dapat mudah tumbuh pada bahan pangan maupun pakan terutama jika bahan itu lembab. Bahan pangan atau pakan yang ditumbuhi kapang atau jamur mudah dikenal karena akan segera rusak atau busuk dan menghasilkan bau tak sedap.

Beberapa macam kapang dapat memproduksi toksin selama pertumbuhannya, dan ini sangat berbahaya jika dalam pangan atau pakan mengandung racun tersebut. Senyawa-senyawa bersifat racun yang diproduksi oleh kapang atau jamur umumnya disebut mikotoksin (mycotoxin).

Perlu dicacat bahwa mikotoksin dapat tinggal lama dalam bahan pangan tempat tumbuhnya meskipun kapang tersebut sudah mati, dan karenanya dapat berada pada bahan atau makanan yang kenampakannya tidak berkapang/ berjamur. Lebih lanjut banyak macam mikotoksin, tetapi tidak semua, relatif stabil terhadap panas atau pengolahan. Problem yang lain adalah apabila pakan ternak terkontaminasi mikotoksin. Di samping meracuni hewan itu sendiri, mikotoksin atau produk metabolitnya dapat tinggal sebagai residu dalam dagingnya atau bahkan masuk ke dalam susu atau telur atau mengkontaminasinya dan dapat terkonsumsi oleh manusia.

Menurut sejarah heboh keracunan karena mikotoksin pernah terjadi pada yang kasus disebut Ergotisme, yaitu keracunan karena mengkonsumsi biji-bijian yang terkontaminasi Claviceps purpurea yang terjadi pada Era Pertengahan (Middle Ages). Alimentary toxic aleukia (ATA) adalah kejadian karacunan karena memakan biji-bijian yang berjamur karena lama disimpan di ladang. Kedua macam keracunan tersebut bersifat akut dan berhubungan dengan konsumsi senyawa toksik dalam dosis tinggi pada bahan tersebut.Kasus-kasus keracunan mikotoksin pada manusia yang didokumentasi relatif tidak banyak, dibanding kasus-kasus keracunan pada hewan ternak yang dikaitkan dengan konsumsi pakan yang berjamur.

1. Mikotoksin pada makanan dan bahan pangan

Tabel 2 menunjukkan macam-macam mikotoksin dan sumber jamur yang memproduksinya serta pengaruh farmakologinya. Diperlihatkan pada tabel tersebut bahwa mikotoksin merupakan bahaya kesehatan masyarakat yang sangat beragam jenis dan tingkat kaparahan/bahayanya. Di samping Ergotisme seperti disebutkan lebih dahulu, alimentary toxic aleukia (ATA) merupakan heboh keracunan mikotoksin yang luas terjadi. Sindrom ini , yang senyawa kimianya secara pasti belum berhasil diidentifikasi , terjadi di berbagai wilayah di USSR selama Perang Dunia II. Epidemik sindrom ini melibatkan beribu-ribu orang dikaitkan dengan penggunaan millet dan biji-bijian lainnya yang tak dapat dipanen pada saat semestinya dan lama tinggal di ladang sehingga biji-bijian tersebut berjamur parah yang kemudian masih digunakan pada waktu paceklik, sehingga terjadi keracunan masal tersebut.

2. Aflatoksin

Aflatoksin diproduksi oleh beberapa strain Aspegillus flavus atau A. parasiticus yang sporanya tersebar di mana-mana khsususnya di tanah. Meskipun jamur (fungi) yang memproduksi toksin umumnya hanya memproduksi dua atau tiga aflatoksin pada kondisi tertentu , secara total ada 14 macam toksin yang secara kimia berhubungan atau turunan-turunannya telah diidentifikasi. Salah satunya adalah aflatoksin B1 (Gb.2) yang paling sering ditemukan dalam pangan dan juga paling potensial sebagai senyawa beracun dalam kelompok ini.

O O

O

OCH3

OO

Gb. 2. Struktur kimia Aflatoksin B1

Berkenaan dengan jenis substrat, persyaratan untuk produksi toksin relatif tidak spesifik, dan kapang tersebut dapat memproduksi senyawa pada hampir tiap bahan pangan (bahkan juga yang jenis sintetik) yang mendukung pertumbuhannya. Karena itu, tiap bahan pangan atau makanan harus dianggap atau dipertimbangkan rentan atau pantas dicurigai terhadap kontaminasi aflatoksin apabila bahan itu berjamur. Walaupun demikian, eksperimen telah menunjukkan bahwa frekuensi dan tingkat aflatoksin yang ditemukan sangat bervariasi di antara makanan di tiap daerah.

Dari segi pengaruh toksik dan pengaruh biologis lainnya yang ditimbulkan, aflatoksin merupakan senyawa racun yang sangat menarik perhatian. Dapat meninbulkan baik toksisitas akut maupun sub-akut pada hewan yang diberikan diet yang mengandung toksin atau diberikan toksin yang telah dimurnikan. Gejala keracunannya pada hewan terlihat pada dosis aflatoksin dalam pakan 10-100ppm atau kurang. Meskipun sapi mentoleransi kadar relatif tinggi aflatoksin namun sekresinya dalam susu dalam bentuk aflatoksin lain juga berbahaya.

Aflatoksin B1 merupakan senyawa paling tinggi potensinya bersifat karsinogenik (mampu menginduksi terjadinya kanker). Berbagai hewan perocaan telah digunakan untuk menyelidiki sifat karsinogenetik aflatoksin ini. Pada tikus kanker liver dapat terjadi jika hewan diberikan diet mengandung aflatoksin B1 lebih dari 15 ppb (part per billion, bagian per milyard). Berkaitan dengan efek toksik dan karsinogenik pada hewan, aflatoksin terutama mempengaruhi liver.

b. Toksin dari bakteri

Bakteri-bakteri tertentu yang tumbuh pada bahan pangan dapat memproduksi toksin. Bakteri yang paling terkenal karena toksinnya sangat berbahaya adalah Clostridium botulinum, yang memproduksi toksin penyebab keracunan dengan tingkat kefatalan tinggi. Di samping itu, Staphylococcus aureus yang memproduksi enterotoksin dalam bahan pangan juga sering menyebabkan terjadinya kasus keracuanan makanan. Dalam ilmu toksikologi. keracunan makanan yang ditimbulkan karena adanya toksin yang diproduksi oleh bakteri yang tumbuh dalam bahan makanan dikategorikan sebagai intoksikasi.

1. Botulisme

Botulisme adalah gejala sakit karena menelan makanan yang terkontaminasi toksin yang dihasilkan oleh C. botulinum, suatu jenis bakteri berbentuk basil pembentuk spora dan bersifat tumbuh anaerobik. Toksin yang diproduksi bakteri disebut neurotoksin botulinum, suatu toksin yang bersifat menyerang sistem syaraf.

Toksin yang diproduksi oleh C. botulinum ini adalah protein. Sampai saat ini telah dikenal ada delapan macam toksin yang berbeda menurut sifat antigen-nya, yaitu toksin A, B, C1, C2, D, E, F dan G. Toksin ini terutama bekerja pada sistem syaraf periferal, menghambat pembebsan neurotransmitter acetylcholine. Kematian individu yang keracunan toksin ini terjadi karena gagal pernafasannya.

Meskipun jenis senyawa ini telah diketahui, tetapi berat molekul bagian-bagian yang aktif belum banyak diketahui. Kristal toksin A yang diisolasi dari kultur bakteri mempunyai berat molekul 900.000. Dan akhir-akhir ini dilaporkan bahwa bagian yang aktif sebagai neurotoksin memiliki berat melekul 150.000.

Potensi toksin botulinum telah diketahui dengan baik, yaitu dalam bentuk yang dimurnikan 1g toksin mengandung sekitar 200.000 kali dosis letal untuk tikus (mouse), dan ini diperkirakan bahwa tak lebih dari 1g toksin itu dapat fatal pada manusia. Namun demikian toksin ini bersifat termolabil, yaitu dapat hilang aktivitasnya jika dipanaskan pada suhu 80( C selama 30 menit. Oleh karena itu suatu keuntungan bahwa dengan pemanasan pada pengolahan biasa toksin ini sudah dapat inaktif sehingga tidak berbahaya lagi jika produk makanan dimasak secukupnya sebelum dikonsumsi. Kejadian keracunan makanan karena toksin ini terjadi umumnya karena pemanasan yang tidak memadai, yang umumnya berupa produk-produk makanan kalengan, misalnya daging dan ikan kalengan.

2. Enterotoksin

Staphyllococcus aureus, suatu bakteri yang tersebar di mana-mana dan umum terdapat pada kulit hewan maupun manusia, dapat memproduksi toksin dalam bahan pangan. Tokinnya dikenal dengan nama enterotoksin. Gejala-gejala keracunan makanan karena toksin dari Staphylococcus ini muncul 2 - 3 hari setelah makan, meliputi salivasi (keluarnya air liur), nausea, muntah, kram bagian perut, dan diare. Kebanyakan pasien akan sembuh setelah 24-28 jam, dan kematian sangat jarang terjadi.

Sampai saat ini paling tidak diketahui ada empat macam enterotoksin yang berbeda berdasarkan sifat immunologinya, yaitu enterotoksin tipe A, B, C dan D. Penelitian secara fisikokimia menunjukkan bahwa enterotoksin tipe A, B dan C adalah berupa protein yang mirip komposisi asam-asam aminonya, dengan berat molekul berkisar 30.000-35.000. Cara kerja farmakologi toksin-toksin ini belum diketahui secara pasti, meskipum diketahui bahwa toksin-toksin tersebut sangat potensial pengaruhnya. Dosis emetik (muntah) enteroktoksin B pada kera adalah 0,9mg/kg berat badan, dan diestimasikan bahwa respon manusia terhadap enterotoksin A adalah 1 g. Berdasarkan uji serologinya, yang paling sering didapat adalah enterotoksin A dibanding yang lain, kemudian diikuti berurut-turut tipe D, B dan C. Aktivitas emetik toksin ini dari ekstrak kasar tetap bertahan meskipun telah direbus selama satu jam . Jika dimurnikan toksin ini diketahui cukup sensitif terhadap inaktivasi menggunakan panas. Meskipun demikian, dari segi toksikologinya toksin ini harus dipandang sebagai toksin yang relatif stabil terhadap pemanasan demi keamanannya.

Tiga kondisi yang mendukung terjadinya keracunan makanan karena Staphylococcus ini adalah : adanya bakteri tersebut yang tumbuh pada makanan, makanan harus merupakan bahan makanan yang mendukung diproduksinya toksin (antara lain ayam bakar, salad kentang, salad ayam), dan , makanan harus berada pada suhu yang sesuai dan cukup lama untuk produski toksin oleh bakteri tersebut (4 jam atau lebih pada suhu kamar).

V. Kontaminan

1. Logam-logam berat

Logal-logam berat merupakan senyawa-senyawa yang mendapat sorotan perhatian karena terdistribusi sangat luas sebagai kontaminan lingkungan dan kontaminan pangan. Senyawa-senyawa ini berasal dari atau sebagai akibat polusi industri dan masuk dalam rantai pangan melalui berbagai rute. Dua macam logam berat yang merupakan kontaminan utama pada pangan adalah merkuri (Hg) dan kadmium (Cd).

Implikasi toksikologi merkuri sangat tergantung pada bentuk kimiawinya. Merkuri organik, khususnya metil merkuri, lebih berbahaya daripada merkuri anorganik. Target utama keracunan kedua macam merkuri ini adalah sistem syaraf pusat, tetapi terkena merkuri organik jauh lebih berbahaya karena kerusakannya bersifat irreversible. Kasus keracunan merkuri parah yang terkenal pernah terjadi di semenanjung Minamata, Jepang sehingga keracunan ini sering disebut Minamata Disease , di mana tanda-tanda keracunan klinis keracunan ini kelihatan jika asupan metil merkuri melebihi 4g/kg berat badan. Dengan mempertimbangkan sumber dietari total merkuri, telah ditetapkan bahwa asupan yang dapat ditoleransi mingguan (tolerable weekly intake) adalah sebanyak 300g total merkuri perorang , di mana tidak lebih 200g berupa metil merkuri.

Secara praktis semua metil merkuri dalam diet ada karena kontaminasi ikan; jenis-jenis makanan lain umumnya mengandung kurang dari 100 pbb (bagian per milyard) merkuri total (organik dan anorganik).

Kadmium (Cd) terdistribusi luas di lingkungan dan mudah diserap jika termakan. Sejumlah kecil kadmium yang tertelan disimpan dalam ginjal dalam bentuk kompleks protein-logam . Terkena dalam jumlah yang berlebihan dan dalam waktu cukup lama dapat mengakibatkan kerusakan pembuluh-pembuluh ginjal pada hewan dan manusia. Pengaruh lain jangka lama adalah anemia dan disfungsi liver.

Manusia terkena kadmium umumnya melalui makanan, yang umumnya mengandung logam itu kurang dari 50ppb. Asupan rata-rata manusia berkisar 40-60g perorang perhari, dan telah ditetapkan bahwa jumlah yang masih ditoleransi adalah 400-500g perminggu.

2. PCBs (Polychlorinated Biphenyls)

Polychlorinated Biphenyls (PCBs) menarik perhatian para ahli setelah senyawa itu ditemukan dalam ikan. Dan kemudian ternyata senyawa ini terdapat secara luas sebagai kontaminan lingkungan.

Dalam kaitannya sebagai kontaminan pangan, informasi yang ada sekarang adalah bahwa : senyawa-senyawa ini jarang terdapat dalam buah dan sayuran segar, senyawa-senyawa ini sering terdapat dalam ikan, unggas, susu dan telur, dan, senyawa-senyawa ini dapat masuk ke dalam pangan melalui migrasi dari pengemas makanan. Tingkat yang sering ditemui adalah berkisar 1-40 ppm, dengan rata-rata kurang dari 2 ppm.

Efek toksikologi senyawa-senyawa ini tidak diketahui pasti. Meskipun tidak tergolong toksisitas akut dan kronis tinggi pada hewan , namun senyawa-senyawa ini dapat terakumulasi dalam jaringan adipose, dan keracuna makanan karena senyawa ini terjadi hanya pada asupan tinggi.

VI. Faktor-faktor yang timbul dari proses pengolahan

1. Fumigan

Etilene oksida sering digunakan sebagai fumigan untuk men-sterilisasi pangan terutama bila sterilisasi tidak memungkinkan untuk menggunakan uap panas. Pengggunaan epoksida-epoksida ini dapat menimbulkan efek yang tidak dikehendaki karena dapat memusnahkan zat-zat gizi atau karena dapat bereaksi dengan komponen-komponen pangan membentuk senyawa-senyawa toksik. Etilene oksida dapat bergabung dengan klor anorganik membentuk klorhidrin (chlorhydrin). Etilen klorhidrin telah ditemukan dalam rempah-rempah, baik yang bentuk utuh maupun giling, yang difumigasi secara komersial pada konsentrasi sampai 1.000 ppm. Klorhidrin relatif toksik pada hewan, tetapi efek terkena secara kronis pada konsentrasi rendah belum dievaluasi dan angka batas toleransi masih belum ada.

2. Senyawa toksik dari solven yang digunakan untuk ekstraksi

Sebelum dilarang penggunaannya, trikloroetilen dahulu digunakan untuk ekstraksi minyak dari berbagai biji-bijian sumber minyak, kemudian ditemukan bahwa ampas yang dihasilkan dengan cara ini bersifat toksik jika diberikan ke hewan. Bungkil kedelai hasil ekstraksi dengan cara ini dapat menyebabkan anemia aplastic jika dimakankan ke ternak. Senyawa trikloroetilen sendiri sebetulnya tidak toksik tetapi bila berreaksi dengan komponen dalam pangan akan terjadi senyawa yang toksik. Diketahui bahwa faktor yang toksik tersebut adalah S-(dichlorovinyl)-L-cysteine, yang dihasilka dari reaksi trikloroetilen dengan sistein dalam protein bungkil tersebut.

3. Produk oksidasi lipid

Sejumlah perubahan-perubahan terjadi pada minyak makanan selama pengolahan. Terutama jika minyak/ lemak dipanaskan jangka lama maka akan terjadi proses oksidasi dan polimerisasi. Sebagai contoh, para peneliti telah menemukan bahwa monomer atau dimer asam-asam lemak terakumulasi selama penggorengan secara deep-fat frying jangka lama. Minyak yang telah dipanaskan secara parah demikian ini jika diberikan ke hewan (tikus) dapat menghambat pertumbuhan, efisiensi makanan, dan menyebabkan pembesaran liver. Mekanisme tentang hal ini masih belum diketahui secara pasti.

3. Karsinogen dalam makanan yang diasap

Pengasapan pangan dengan tujuan pengawetan dan pemberian cita-rasa telah dipraktekkan orang sejak lama. Di samping penggunaannya yang sudah lama, baru sedikit pengetahuan tentang segi toksikologinya, dan sekarang telah menarik perhatian para ahli. Sebagai misal, telah diketahui bahwa produk-produk yang terkena langsung asap kayu menjadi terkontaminasi dengan polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH), banyak di antara senyawa-senyawa ini yang bersifat karsinogenik pada hewan.

Diperkirakan (tapi belum terbukti) bahwa insiden yang tinggi kasus kanker usus di Iceland mungkin berkaitan dengan kebiasaan konsumsi daging dan produk-produknya yang diasap dengan intensitas tinggi. Kondensat asap kayu mengandung banyak macam senyawa-senyawa (fenolat, asam-asam, karbonil-karbonil, dan alkohol-alkohol), beberapa di antaranya telah diketahui bersifat toksik.

-------

PAGE 22