Psychotherapeutic Intervention and Suicide Risk Reduction in Bipolar - Disorder a Review of the...

21
INTERVENSI PSIKOTERAPI DAN PENGURANGAN RISIKO BUNUH DIRI PADA GANGGUAN BIPOLAR: SEBUAH TINJAUAN BUKTI Abstrak Latar Belakang: 25 - 50% dari pasien bipolar melakukan percobaan bunuh diri setidaknya sekali dalam seumur hidupnya dan dilakukannya bunuh diri pada populasi ini sekitar 1% per tahun, sekitar 60 kali tingkat populasi umum. Psikoterapi bisa menjadi pilihan adjuvan efektif dalam mencegah bunuh diri pada pasien bipolar. Ia telah mengemukakan bahwa teknik interpersonal, kognitif dan perilaku mungkin efektif dalam mengendalikan perubahan mood, meningkatkan kepatuhan dengan farmakoterapi, dan memelihara semangat dalam menghadapi kesulitan terapi dan respon yang tidak lengkap. Tujuan dari penelitian kami adalah secara sistematis meninjau literatur tentang kemanjuran intervensi psikososial dalam mengurangi risiko untuk percobaan atau dilakukannya bunuh diri. Metode: Kami mencari MEDLINE dengan kombinasi kata kunci 'psikoterapi' atau 'psikoedukasi' atau 'terapi kognitif' atau ‘terapi perilaku', 'perilaku-kognitif' atau 'terapi keluarga' atau 'ritme sosial' atau 'ritme'

description

Fungsi psikoterapi dalam mengurangi risiko bunuh diri pada gangguan bipolar

Transcript of Psychotherapeutic Intervention and Suicide Risk Reduction in Bipolar - Disorder a Review of the...

Page 1: Psychotherapeutic Intervention and Suicide Risk Reduction in Bipolar - Disorder a Review of the Evidence

INTERVENSI PSIKOTERAPI DAN PENGURANGAN

RISIKO BUNUH DIRI PADA GANGGUAN BIPOLAR:

SEBUAH TINJAUAN BUKTI

Abstrak

Latar Belakang: 25 - 50% dari pasien bipolar melakukan percobaan bunuh

diri setidaknya sekali dalam seumur hidupnya dan dilakukannya bunuh diri pada

populasi ini sekitar 1% per tahun, sekitar 60 kali tingkat populasi umum. Psikoterapi

bisa menjadi pilihan adjuvan efektif dalam mencegah bunuh diri pada pasien bipolar.

Ia telah mengemukakan bahwa teknik interpersonal, kognitif dan perilaku mungkin

efektif dalam mengendalikan perubahan mood, meningkatkan kepatuhan dengan

farmakoterapi, dan memelihara semangat dalam menghadapi kesulitan terapi dan

respon yang tidak lengkap. Tujuan dari penelitian kami adalah secara sistematis

meninjau literatur tentang kemanjuran intervensi psikososial dalam mengurangi risiko

untuk percobaan atau dilakukannya bunuh diri.

Metode: Kami mencari MEDLINE dengan kombinasi kata kunci 'psikoterapi'

atau 'psikoedukasi' atau 'terapi kognitif' atau ‘terapi perilaku', 'perilaku-kognitif' atau

'terapi keluarga' atau 'ritme sosial' atau 'ritme' dengan 'bunuh diri' dan 'bipolar',

terbatas pada makalah bahasa Inggris yang diterbitkan antara tahun 1990 dan Januari

2008. Makalah dipilih berdasarkan kriteria bahwa mereka memberikan data yang

pasti tentang peran psikoterapi dalam pencegahan bunuh diri, dan khususnya dalam

gangguan bipolar.

Hasil: Pencarian kami menghasilkan 481 referensi, yang 17 dipilih

berdasarkan kriteria di atas. Makalah-makalah terpilih diklasifikasikan menurut area

pencegahan bunuh diri terhadap 1. Faktor psikososial dan demografis, 2. Profil

psikologis dan 3. Keberhasilan psikoterapi.

Pembahasan: Makalah kami merangkum ciri khusus dan korelasinya terhadap

bunuh diri pada pasien bipolar dan kemungkinan target intervensi psikososial dalam

Page 2: Psychotherapeutic Intervention and Suicide Risk Reduction in Bipolar - Disorder a Review of the Evidence

pencegahan bunuh diri pada pasien bipolar. Meskipun hampir tidak ada studi yang

meneliti efek dari intervensi psikososial pada perilaku bunuh diri, data pasti mengenai

efektivitas intervensi psikososial dalam gangguan bipolar mulai bermunculan, tetapi

masih memilih kelemahan metodologis.

1. Pembahasan

Telah dilaporkan bahwa setidaknya 25% sampai 50% pasien dengan

gangguan bipolar (BD) mencoba bunuh diri setidaknya sekali dalam seumur hidup

mereka (Jamison, 2000;. Valtonen et al, 2006). Pada BD, tingkat dilakukannya bunuh

diri rata-rata sekitar 1% per tahun. Angka ini mengesankan karena lebih tinggi (60

kali lipat) dibandingkan dengan tingkat populasi umum dari 0,015% per tahun, yang

merupakan angka internasional. Unsur lain yang mengesankan adalah tingginya

angka kematian dari tindakan bunuh diri pada pasien BD, disarankan oleh rasio yang

jauh lebih rendah dari upaya: bunuh diri. Pada BD, rasionya adalah sekitar 3:1 dan

pada populasi umum adalah sekitar 30:1 (Baldessarini et al., 2006). Meskipun

diantara gangguan Axis I, gangguan depresi mayor adalah yang paling kuat terkait

dengan jumlah bunuh diri untuk 69% kasus, dengan gangguan bipolar memiliki

asosiasi terkuat kedua (14%), pasien gangguan bipolar membawa risiko terkuat untuk

dilakukannya bunuh diri (Gray dan Otto, 2001). Juga, pada BD, tindakan bunuh diri

biasanya terjadi lebih awal dan dalam hubungannya dengan depresi mayor atau

keadaan campuran (Balazs et al, 2006;. Baldessarini et al, 2006;. Rihmer, 2007).

Saat ini, kita tahu bahwa bunuh diri adalah perilaku yang kompleks dan

multikausal serta membutuhkan pendekatan yang kompleks untuk memahaminya.

Pentingnya keadaan campuran dan agitasi baru-baru ini diakui secara memadai (Aki

SKAL et al, 2005; Balazs et al, 2006; Isometsa et al, 1994a, b; Rihmer, 2007; Rihmer

dan Akiskal, 2006). Mereka tampaknya menjadi prediktor terkuat dan faktor risiko

paling kuat untuk bunuh diri. Faktor risiko bunuh diri pada BD terdiri dari agitasi,

keadaan depresi campuran (termasuk depresi pseudo-unipolar) (Maser et al, 2002.),

Page 3: Psychotherapeutic Intervention and Suicide Risk Reduction in Bipolar - Disorder a Review of the Evidence

jumlah yang lebih tinggi dari episode depresi dan percobaan bunuh diri sebelumnya

(Oquendo et al, 2006; Valtonen et al, 2006), termasuk perjalanan penyakit siklus

cepat, komorbiditas kecemasan terutama serangan panik dan gangguan kecemasan

umum (Frank et al, 2002; Simon et al, 2007), gangguan kepribadian dan

ketergantungan substansi dan alkohol (Comtois dkk, 2004; Oquendo et al, 2007) dan

riwayat keluarga bunuh diri (Cavazzoni et al, 2007; Hawton et al, 2005; Oquendo et

al, 2007). Sayangnya, tampaknya bahwa terulangnya keinginan bunuh diri terhadap

episode depresi menunjukkan konsistensi yang tinggi (Rihmer, 2007; Rihme r et al, 2

002,. Valtone n et al, 2005; William s et al, 2006), sedangkan terdapat fakta bahwa

mayoritas korban bunuh diri mati saat percobaan bunuh diri pertama mereka

(Isometsa et al, 1994a, b; Rihmer et al, 2002). Hal tersebut mengakibatkan

terbatasnya kekuatan nilai riwayat percobaan bunuh diri sebelumnya sebagai variabel

prognostik kuat. Di sisi lain, ada bukti agregasi familial dari bunuh diri yang

mengarah ke faktor genetik; sebuah temuan juga dikonfirmasi oleh studi kembar dan

adopsi (Rihmer, 2007;. Rihmer et al, 2002). Banyak pasien bipolar dengan riwayat

percobaan bunuh diri, dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki riwayat

seperti itu, memiliki riwayat keluarga positif yang lebih besar dari penyalahgunaan

narkoba dan bunuh diri (atau mencoba), lebih sering rawat inap untuk depresi,

perjalanan penyakit peningkatan keparahan mania; disertai dengan komorbiditas Axis

I, II, dan III; dan lebih banyak episode sakit pada follow-up prospektif (Leverich et

al, 2003, 2002.). Korelasi klinis perilaku bunuh diri pada pasien bipolar dirangkum

pada Tabel 1.

Karena bunuh diri adalah perilaku multikausal, selain faktor biologis dan

psikopatologis, dimana telah kuat terbukti meskipun validitas prediktifnya kurang

dari yang diinginkan. Lingkungan sosial dan budaya dan faktor psikososial seperti

usia muda, bercerai atau janda, dan mengalami situasi kehidupan yang buruk

tampaknya berhubungan dengan peningkatan keinginan bunuh diri dan prevalensi

yang lebih tinggi dari percobaan bunuh diri.

Page 4: Psychotherapeutic Intervention and Suicide Risk Reduction in Bipolar - Disorder a Review of the Evidence

Di sisi lain, selama dua dekade terakhir telah terjadi penurunan substansial

dari tingkat bunuh diri di seluruh Eropa, Amerika Serikat dan Kanada. Data

menunjukkan bahwa penurunan paling menonjol terjadi di negara dengan tingkat

bunuh diri tradisional tinggi dan penurunan itu lebih besar di kalangan perempuan.

Tampaknya bahwa pengenalan yang lebih baik dari depresi mayor serta ketersediaan

pengobatan dengan anti-depresan dan penstabil mood bisa menjadi salah satu faktor

utama yang mendasari. Hal ini juga dimungkinkan bahwa percobaan bunuh diri

kontemporer menderita bentuk yang lebih parah dari depresi dibandingkan dengan

percobaan bunuh di masa lalu, dan mungkin menunjukkan bahwa keseluruhan

intervensi yang dilakukan sejauh ini setidaknya sebagian efektif (Henriqueseta et al.,

2004) . Apa yang mengesankan adalah fakta bahwa meskipun kontak medis telah

sering dilakukan sebelum tindakan bunuh diri, hanya sebagian kecil dari korban

bunuh diri derepresif telah menerima farmakoterapi anti-depresan yang sesuai, dan

observasi ini sangat kuat terjadi pada pelayanan kesehatan tingkat primer. Hampir

dapat dipastikan, meskipun data yang relevan tidak ada, bahwa pengobatan

psikososial juga tidak cukup diberikan.

Psikoterapi mungkin efektif sebagai pilihan adjuvan. Banyak penulis

menyarankan bahwa teknik interpersonal, kognitif, dan perilaku dapat menjadi

semakin penting untuk mengontrol pergeseran mood otomatis, untuk membantu

dalam mempertahankan pengobatan aktif yang sesuai dengan farmakoterapi,

menerapkan sistem intervensi dini didasarkan pada pengembangan sistem peringatan

dini terstruktur, dan memelihara semangat dalam menghadapi kesulitan terapi dan

ketidaklengkapan respon. Dengan cara ini, peran pengobatan psikososial bisa menjadi

penting dalam pencegahan bunuh diri.

Tujuan artikel ini adalah meninjau literatur secara sistematis mengenai

kemanjuran intervensi psikososial dalam mengurangi risiko percobaan atau

dilakukannya bunuh diri

Page 5: Psychotherapeutic Intervention and Suicide Risk Reduction in Bipolar - Disorder a Review of the Evidence

2. Bahan dan metode

MEDLINE ditelusuri dengan kombinasi kata kunci 'psikoterapi' atau

'psikoedukasi' atau 'terapi kognitif' atau ' terapi perilaku', 'kognitif-perilaku' atau

'terapi keluarga' atau 'ritme sosial' atau 'ritme' dengan 'bunuh diri' dan 'bipolar'.

Pencarian ini terbatas untuk makalah yang ditulis dalam bahasa Inggris, dan

diterbitkan setelah tahun 1990 (termasuk) dan terakhir dilakukan pada bulan Januari,

2008.

Pencarian menemukan 481 referensi. Setelah inspeksi dari abstrak, hanya 17

yang terpilih dan termasuk dalam ulasan saat ini didasarkan pada kriteria bahwa

mereka memberikan data yang pasti tentang peran psikoterapi dalam pencegahan

bunuh diri, dan khususnya dalam gangguan bipolar.

3. Hasil

Makalah berisi data asli mengenai efektivitas intervensi psikososial dalam

pencegahan bunuh diri masih sangat langka. Beberapa makalah mencoba untuk

mengidentifikasi faktor risiko psikososial, sehingga mereka dimasukkan dalam ulasan

saat ini di bawah konsep yang mengidentifikasi faktor risiko relevan yang akan

menjadi langkah pertama dalam pengembangan dan pengujian intervensi yang tepat.

Kami menekankan hanya mengulas faktor diselidiki mengenai hubungan mereka

dengan bunuh diri dalam gangguan bipolar, bukan bunuh diri pada umumnya.

Jadi makalah terpilih diklasifikasikan menurut area perilaku bunuh diri

mereka terhadap 1. Faktor psikososial dan demografis, 2. Profil psikologis dan 3.

Keberhasilan psikoterapi. Tentu saja, makalah tersebut tidak mencakup semua bidang

1 dan 2, karena strategi pencarian tidak dirancang untuk tujuan ini. Namun, mereka

seacara khusus berusaha untuk menutupi daerah-daerah tersebut dalam hubungannya

dengan bunuh diri.

Kualitas evidence-based medicine makalah ini agak rendah. Tidak ada studi

plasebo-terkontrol acak dan sebagian besar dari mereka menyangkut penelitian

Page 6: Psychotherapeutic Intervention and Suicide Risk Reduction in Bipolar - Disorder a Review of the Evidence

eksplorasi dan studi kasus-kontrol. Kualitas dan sejumlah kecil studi tidak

memungkinkan analisis data yang mendalam.

3.1 Faktor psikosial dan demografi terkait dengan perilaku bunuh diri pada pasien

bipolar

Ada beberapa dokumen yang mengidentifikasi faktor-faktor predisposisi

psikososial untuk percobaan atau dilakukannya bunuh diri pada pasien bipolar.

Buruknya adaptasi psikososial (Allen et al., 2005), atau stres psikososial terbaru

adalah faktor-faktor predisposisi (Leverich et al., 2003, 2002), seperti masalah

pekerjaan atau masalah interpersonal dengan pasangan (Tsai et al, 1999), namun,

mereka cenderung menjadi faktor dependen pada perilaku korban dan bukan

merupakan faktor independen (Isometsa et al., 1995). Ada beberapa data yang

menunjukkan bahwa pasien bipolar bunuh diri bisa juga memiliki riwayat pribadi

yang lebih besar dari stresor traumatis awal dan riwayat pelecehan seksual (Leverich

et al., 2003, 2002). Satu studi menunjukkan bahwa lebih dari 50% sampel BD

memiliki riwayat trauma dibandingkan dengan 10% dari kontrol (Ruckli DGE, 2006).

Juga terpisah dari orang tua secara dini lebih dari tiga kali lipat risiko tindakan bunuh

diri di masa depan pada pria bipolar (Oquend o et al., 2007). Studi lain melaporkan

bahwa stres kehidupan tidak berkontribusi terhadap percobaan bunuh diri di antara

mereka dengan onset BD sangat awal (Pettit dkk., 2006).

Ras merupakan faktor presdisposisi lainnya yaitu dengan bipolar Afrika-

Amerika melaporkan lebih banyak rawat inap (9.8 vs 4.4) dibanding kauskasian, serta

tingkat percobaan bunuh diri yang tinggi (64% vs 49%) (Kupfer et al., 2005). Pada

orang Latin, perilaku bunuh diri memiliki hubungan yang lebih kuat terhadap

keberatan moral untuk bunuh diri dan bertahan hidup dan keterampilan mengatasi

masalah daripada etnisitas. Identifikasi diri sebagai Latino dilaporkan berhubungan

dengan mendukung konsep budaya yang memediasi efek protektif terhadap perilaku

bunuh diri (Oquendo et al., 2005).

Page 7: Psychotherapeutic Intervention and Suicide Risk Reduction in Bipolar - Disorder a Review of the Evidence

Faktor psikososial dan demografi yang berhubungan dengan perilaku bunuh

diri pada pasien bipolar diringkas dalam Tabel 2.

3.2 Profil psikososial terkait dengan perilaku bunuh diri pasien bipolar

Pasien bipolar dilaporkan memiliki keadaan rendah diri, keputusasaan lebih

(Beck et al, 1993; Valtonen et al, 2006), lokus kontrol lebih eksternal dan kesulitan

yang lebih besar mengatur emosi dalam situasi kemarahan yang diprovokasi. Mereka

juga ditemukan memiliki strategi penanganan masalah yang buruk daripada kontrol.

Selanjutnya, keputusasaan ditemukan menjadi prediktor terbaik dari remaja dengan

BD yang melaporkan keinginan bunuh diri (Rucklidge, 2006). Permusuhan dan lebih

sedikit alasan untuk hidup juga meningkatkan risiko tindakan bunuh diri di masa

depan bagi perempuan (Oquen do et al., 2007). Telah dilaporkan bahwa

Penghindaran Masalah berada di angka terendah pada pasien dengan tidak ada

percobaan bunuh diri dan tidak ada riwayat keluarga bunuh diri, lebih tinggi pada

pasien dengan riwayat keluarga bunuh diri atau pasien dengan percobaan bunuh diri,

dan tertinggi secara signifikan pada pasien dengan percobaan bunuh diri dan riwayat

keluarga bunuh diri. Pasien dengan percobaan bunuh diri dan riwayat keluarga bunuh

diri juga memiliki kekhawatiran antisipatif yang lebih, mudah lelah dan asthenia

(Engstrom et al., 2004). Juga dilaporkan bahwa harga diri yang rendah tampaknya

terkait dengan ekspresi bunuh diri selama episode depresif pasien bipolar, sementara

tidak ada pola yang sama dan jelas pada pasien unipolar (Daskalop oulou et al.,

2002).

Buruknya adaptasi psikososial dan faktor kepribadian yang "terbuka" adalah

kontributor kuat untuk keinginan bunuh diri di kalangan yang mencoba bunuh diri

sebelumnya, sedangkan anxietas dan ekstrovert menjadi faktor protektif terhadap

keinginan bunuh diri. Di antara orang yang tidak mencoba bunuh diri, neurotikisme

memiliki pengaruh dominan pada keinginan bunuh diri (Allen et al., 2005)

Page 8: Psychotherapeutic Intervention and Suicide Risk Reduction in Bipolar - Disorder a Review of the Evidence

Ruminasi depresif dan bunuh diri tidak sepenuhnya dijelaskan oleh depresi,

sehingga mekanisme psikologis lainnya atau sifat dasar seseorang mungkin juga

terlibat. Pada pria, proses emosional yang lebih rendah juga mungkin memainkan

peran dalam hubungan ini (Simon et al., 2007).

Dalam hal diagnosis gangguan kepribadian menurut DSM, gangguan ambang

kepribadian tampaknya lebih dari tiga kali lipat risiko tindakan bunuh diri di masa

depan pada pria (Oquendo et al., 2007) sedangkan penulis lain menunjukkan bahwa

risiko yang signifikan terkait dengan kelompok gangguan kepribadian kluster B

(Leverich et al, 2003;. Lev erich et al, 2002)..

Pada intinya profil psikologis seperti yang dijelaskan oleh studi ini sesuai

dengan peringai siklotimia.

Karakteristik profil psikologis yang berkaitan dengan perilaku bunuh diri pada

pasien bipolar dirangkum dalam Tabel 3. Ini sangat sesuai dengan siklotimia

dan siklotimik / iritabel / peringai cemas.

3.3 Efektivitas intervensi psikososial dalam mencegah perilaku bunuh diri pada

pasien bipolar

Hanya ada satu studi khusus yang menargetkan efek psikoterapi adjuvan pada

bunuh diri pasien bipolar. Penelitian yang dilakukan terhadap 175 pasien yang

menerima lithium namun gagal menunjukkan perbedaan pada tingkat bunuh diri

antara psikoterapi spesifik dan manajemen klinis intensif serta melibatkan kunjungan

rutin dengan dokter, menunjukkan bahwa mungkin intervensi psikososial apapun

setidaknya dapat berguna dalam mengarah ke penurunan keseluruhan sebesar 17,5

kali lipat dari tingkat bunuh diri (Rucci et al., 2002). Namun, hasil ini tidak dikontrol

dengan metode plasebo.

Studi acak terbaru lainnya menunjukkan efek langsung dari Mindfulness-

based Cognitive Therapy (MBCT) dibandingkan dengan menungu munculnya gejala

kecemasan dan depresi di antara pasien bipolar dengan riwayat keinginan bunuh diri

Page 9: Psychotherapeutic Intervention and Suicide Risk Reduction in Bipolar - Disorder a Review of the Evidence

tetapi bukan pada keinginan bunuh diri atau tingkat bunuh diri itu sendiri, dan

sampelnya sangat kecil (14 pasien bipolar) (William s et al., 2008).

4. Pembahasan

Karena hampir dua-pertiga dari yang mencoba bunuh diri mengalami depresi

orma, dan juga karena sebagian besar pasien yang mencoba bunuh diri mencari

bantuan profesional medis sebelum mereka bertindak bunuh diri (Isometsa et al,

1994a, b;. Luoma et al, 2002;. Rihmer, 2007;. Rihmer et al, 2002), maka identifikasi

dini perilaku bunuh diri amat diperlukan dan juga intervensi segera dapat

memberikan efek positif terutama karena perngaruh anti-bunuh diri yang jelas telah

dilaporkan dengan terapi lithium jangka panjang pada pasien bipolar (Angst et al,

2005;. Cipriani dkk, 2005;. Ri hmer dan Akiskal, 2006).

Penekanan harus dilakukan pada pemahaman asosiasi bunuh diri dengan

depresi, dan pada deteksi dan pengenalan tanda-tanda kemungkinan niat bunuh diri

pada pasien yang mencari bantuan medis terutama di luar praktek psikiatri. Saat ini

sebagian besar kasus bunuh diri terjadi di luar domain psikiater, meskipun korban

cenderung menderita gangguan mental. Ini merupakan tantangan besar bagi

pengobatan dan masyarakat secara bersama-sama.

Meskipun pemulihan klinis penuh dan kualitas hidup yang baik adalah target

ideal dalam praktek klinis sehari-hari, bunuh diri adalah yang hasil pengobatan paling

penting (dan paling terlihat) pada pasien dengan gangguan psikiatri. Saat episode

depresi mayor, terutama terhadap percobaan bunuh diri sebelumnya dan tidak adanya

pengobatan adalah kondisi medis paling penting yang ada sebagai faktor risiko untuk

dilakukannya dan percobaan bunuh diri (Coryell dan Young, 2005; Rihmer, 2007).

Tingkat kematian karena bunuh diri pada pasien gangguan mood adalah antara 5 dan

15%, dan di antara pasien gangguan mood yang pernah dirawat di rumah sakit,

tingkat kematian karena bunuh dirinya adalah antara 15 dan 20% (Bostwick dan Pan

Kratz, 2000). Studi klinis prospektif dan retrospektif sangat mendukung pengamatan

Page 10: Psychotherapeutic Intervention and Suicide Risk Reduction in Bipolar - Disorder a Review of the Evidence

klinis bahwa jika pasien gangguan mood utama melakukan atau mencoba bunuh diri,

mereka melakukannya secara eksklusif hampir dalam keadaan depresi mayor atau

episode campuran afektif dan sangat jarang selama euthym dan mania euforia (Leon

et al, 1999; Rihmer, 2007; Rouillon et al, 1991; Valtonen et al, 2007), menunjukkan

bahwa perilaku bunuh diri pada pasien dengan gangguan mood merupakan fenomena

tergantung keadaan dan tingkat keparahan saat ini. Oleh karena itu, untuk

mendiagnosa dan mengobati episode mood akut secara efektif sedini mungkin dan

untuk menstabilkan periode eutimia, merupakan hal yang penting untuk pencegahan

bunuh diri. Karena hingga 66% dari korban bunuh diri dan percobaan bunuh diri

menghubungi dokter atau psikiater mereka 4 minggu sebelum tindakan bunuh diri

(Luo ma et al, 2002; Pirkis dan Burgess, 1998), dokter perawatan primer dan psikiater

memainkan peran prioritas dalam pencegahan bunuh diri

Data pasti mengenai efektivitas intervensi psikososial padaBD masih

bermunculan, tetapi masih memiliki kelemahan metodologis dibandingkan dengan

metodologi dan standarisasi produk farmasi serta prosedur agen farmasi yang dijalani

untuk mendapatkan label. Hal ini diakibatkan oleh efek kurangnya minat ekonomi

dari sisi investor besar dan sebagian efek dari sifat metode terapi non-biologis.

Sebuah kendala utama adalah metode yang harus digunakan untuk merancang sebuah

studi plasebo-terkontrol double-blind untuk pengujian metode dan modalitas.

Studi yang meneliti efek intervensi psikososial terhadap perilaku bunuh diri

hampir tidak ada. Tentu saja, hal itu terjadi antara lain karena perilaku bunuh diri sulit

untuk diteliti, dan juga sebagian besar dari makalah merupakan 'pendapat' daripada

'ulasan' dan kadang-kadang mereka salah melaporkan data dengan cara berputar-

putar. Misalnya Zaretsky et al. (2007) menuliskan bahwa "Ada kemungkinan bahwa

intervensi psikoterapi dapat ditujukan untuk gejala spesifik dalam gangguan bipolar,

seperti insomnia dan bunuh diri. CBT telah menunjukkan efek positif pada mengobati

insomnia primer dan pencegahan bunuh diri. Namun, data yang dipublikasikan

tentang masalah ini relatif kurang. Penelitian tambahan diperlukan ... 'Dalam rangka

Page 11: Psychotherapeutic Intervention and Suicide Risk Reduction in Bipolar - Disorder a Review of the Evidence

mendukung argumen ini untuk bunuh diri, penulis tersebut mengutip dua makalah

yang datanya tidak relevan sama sekali (Frank et al., 2000) atau melaporkan bahwa

psikoterapi tidak lebih baik dari follow-up klinis intensif (Rucci et al., 2002).

Terlepas dari keterbatasan ini, tampaknya bahwa beberapa jenis intervensi

psikososial mungkin memiliki efek yang menguntungkan bagi pasien bipolar. Target

yang mungkin dicapai dari suatu intervensi yang disarankan oleh data ini ditunjukkan

pada Tabel 4. Target tambahan lainnya disarankan oleh pendekatan teoritis

ditunjukkan pada Tabel 5. Temuan uji klinis acak menunjukkan bahwa intervensi

psikososial meningkatkan hasil jangka panjang ketika ditambahkan farmakoterapi

(Miklowitz dan Johnson, 2006). Sebuah studi terkini tentang literatur menunjukkan

bahwa terapi grup interpersonal, terapi perilaku kognitif, sesi kelompok untuk

pasangan dari orang dengan gangguan bipolar dan pasien dan psikoedukasi keluarga

adalah intervensi yang efektif dalam meningkatkan kepatuhan dan secara tidak

langsung dapat mempengaruhi tingkat bunuh diri (Sajatovic et al., 2004). Pertanyaan

apakah ada efek tertentu dari metode psikoterapi yang spesifik, dan apakah persoalan

tertentu seperti bunuh diri atau kepatuhan secara khusus dapat ditangani, masih belum

terjawab.

Dalam kerangka ini, ada beberapa data yang menunjukkan bahwa psikoterapi

meningkatkan prognosis jangka menengah dan jangka panjang penyakit bipolar.

Sebuah uji coba terkontrol secara acak baru-baru ini dari terapi kognitif pada 52

pasien bipolar selama 6 bulan melaporkan bahwa pada akhir penelitian, kelompok CT

memiliki skor depresi yang lebih rendah dan lebih sedikit sikap disfungsional (Ballet

al., 2006). Studi terkontrol acak lainnya pada 293 pasien mengenai efektivitas terapi

keluarga terfokus, terapi ritme interpersonal dan sosial, dan terapi kognitif-perilaku

pada depresi bipolar menyarankan bahwa pasien yang menerima psikoterapi intensif

mempunyai tingkat pemulihan akhir tahun secara signifikan lebih tinggi (64,4% vs

51,5% ) dan waktu yang lebih pendek untuk pemulihan dibandingkan pasien dalam

perawatan kolaboratif. Tidak ada perbedaan signifikan secara statistik yang diamati

Page 12: Psychotherapeutic Intervention and Suicide Risk Reduction in Bipolar - Disorder a Review of the Evidence

dalam hasil dari 3 psikoterapi intensif (Miklowitz et al., 2007). Data lebih lanjut

menunjukkan bahwa psikoedukasi tampaknya muncul sebagai lini pertama dari

intervensi psikososial (Rouget dan Aubry, 2007). Akumulasi data telah menunjukkan

bahwa psikoedukasi, psikoedukasi berfokus keluarga, dan terapi kognitif-perilaku

tampaknya menjadi intervensi yang paling efektif sebagai profilaksis terhadap

kekambuhan pada pasien bipolar yang diobati dan dapat membantu pasien serta

anggota keluarga untuk belajar mengidentifikasi peringatan awal berkembangnya

episode sehingga pengobatan lebih awal dapat diberikan dan jgua untuk

mengidentifikasi faktor pemicu (Colom et al, 2003a, b, 2005, 2004; Reinares et al,

2004; Scott et al, 2006).

Sebuah pencarian terhadap literatur tentang pencegahan bunuh diri

mengungkapkan 17 studi terkontrol acak, di mana penulisnya meninjau untuk

menentukan kemanjuran strategi yang bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko

psikososial bunuh diri. Tiga strategi efektif yang muncul yaitu: (1) menerapkan

intervensi untuk memperoleh perawatan darurat pada saat pasien stres, (2) pelatihan

dalam strategi pemecahan masalah, dan (3) menggabungkan intervensi komprehensif

yang mencakup pemecahan masalah dengan latihan intensif dari kognitif, sosial,

kontrol emosi, dan keterampilan mentoleransi stres. Berdasarkan ulasan literatur

mereka, penulis membuat rekomendasi dalam pencegahan bunuh diri untuk pasien

dengan gangguan bipolar. Pasien dengan kecemasan akut mungkin kurang mampu

mentoleransi pengaruh ketidaknyamanan dan memanfaatkan sumber daya lainnya,

seperti dukungan sosial atau strategi kognitif, untuk mengurangi bunuh diri.

Intervensi psikososial untuk mencegah bunuh diri harus befokus sebagian pada

keterampilan pemecahan masalah dan peningkatan tolerabilitas stres (Gray dan Otto,

2001).

Pengobatan psikososial harus disesuaikan dengan fase penyakit ketika

diimplementasikan, karena setiap fase akut, stabilisasi dan pemeliharaan memiliki

target dan teknik yang berbeda cocok. Terapis seharusnya menjaga pasien agar

Page 13: Psychotherapeutic Intervention and Suicide Risk Reduction in Bipolar - Disorder a Review of the Evidence

bertanggung jawab atas hidupnya, melakukan rangkaian analisis, mengeksplorasi

motivasi dan fungsi psikologis yang mendasari. Selain itu, yang harus selalu ada

dalam pikiran klinisi adalah pemahaman dan interpretasi psikologis tidak

mengenyampingkan keparahan keinginan bunuh diri (Tabel 6 dan 7) (Miklowitz,

1996).

Ada banyak penelitian yang masih perlu untuk mengklarifikasi isu-isu yang

relevan tentang bagaimana kita dapat menggunakan intervensi psikososial dalam

pencegahan bunuh diri. Pertanyaan-pertanyaan yang belum terselesaikan termasuk

persoalan lintas-budaya dalam bunuh diri dan gangguan bipolar, serta adaptasi

intervensi terbukti efektif dalam mengurangi perilaku bunuh diri pada populasi non-

bipolar (Mikl owitz dan Taylor, 2006). Standarisasi pemberian intervensi dan

prosedur pengkodean serta target yang harus dicapai merupakan tugas berat lainnya

(Miklowitz, 1996).