Psikologi Perempuan Melepas Jilbab

12
cari Home KEBINEKAAN Penyeragaman yang Menyusup Jumat, 27 Agustus 2010 | 03:33 WIB Upaya meminggirkan mereka yang berbeda belakangan ini menjadi kegundahan banyak anggota masyarakat karena Indonesia adalah ”berbeda-beda tetapi tetap satu”. Namun, menurut penelitian tim dari Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan Rahima, gerak penyeragaman tersebut sudah terjadi setidaknya sejak tahun 2007-2008. Jalur yang digunakan salah satunya melalui pendidikan di sekolah. Farha Ciciek, pemimpin penelitian beranggotakan lima peneliti tersebut, menemukan, kelompok- kelompok konservatif dan radikal keagamaan bersifat nasional ataupun transnasional menggunakan sekolah, terutama kegiatan ekstrakurikuler kerohanian, sebagai tempat menyosialisasi nilai dan praktik menolak keberagaman, mengembangkan kepatuhan tanpa nalar kritis, mengajarkan kebenaran tunggal, cenderung mengembangkan sentimen keumatan dan kurang pada rasa kebangsaan dan kemanusiaan, menolak yang berbeda, dan mendiskriminasi perempuan. Penelitian dilakukan di 30 SLTA, terutama SMAN, SMKN, termasuk madrasah aliyah negeri. Dalam pemaparan penelitian pada acara penganugerahan Saparinah Sadli Award, Selasa (24/8) di Jakarta, Ciciek mengatakan, praktik tersebut juga ditemui di SMAN terkemuka di kota-kota penelitian. Penelitian dilakukan di Jakarta, Pandeglang, Cianjur, Cilacap, Yogyakarta, Jember, dan Padang. Penelitian dilakukan awalnya untuk mengetahui praktik diskriminasi jender di sekolah. ”Tetapi, sejumlah guru, terutama guru agama, orangtua murid SLTA, anggota ormas agama, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat mengeluhkan perilaku ’aneh’ yang menggelisahkan di rumah dan di sekolah,” tutur Ciciek. Di antaranya, siswi-siswi sebuah sekolah teladan di Yogyakarta dilarang tampil dalam acara kesenian sekolah dengan alasan suara adalah aurat. Ada pula ibu yang merasa tak mengenali anaknya lagi karena si anak tak mau berhubungan dengan ibunya karena si anak menganggap iman ibunya tak sebaik si anak. ”Ada juga ’anak yang hilang’ yang diakui juga oleh Kementerian Agama,” kata Ciciek. Diskriminasi Aksi-aksi tersebut, demikian Ciciek, melahirkan diskriminasi jender dengan legitimasi agama. Diskriminasi itu dilembagakan melalui organisasi resmi sekolah, yaitu kegiatan ekstra kurikuler keagamaan, tecermin dari struktur dan kultur organisasi serta materi ajar yang disampaikan dalam bentuk buku, majalah, selebaran, hingga VCD film. Siswi, misalnya, tidak boleh mengetuai organisasi ekstrakurikuler, perempuan hanya boleh memimpin perempuan, suara perempuan di ruang publik dianggap aurat, pemisahan ketat ruangan antara siswi dan siswa, pembedaan peran dengan penekanan peran domestik/rumah tanggal untuk siswi. ”Pembedaan ruang dengan memakai tabir itu dilakukan di sekolah umum teladan,” kata Ciciek. Menghadapi kemunduran dalam penghargaan atas kesetaraan jender tersebut, ajakan Rahima kepada organisasi kemasyarakatan ikut serta menyosialisasikan keberagaman, kesetaraan dan keadilan mendapat tanggapan baik. Begitu juga respons Kementerian Agama serta Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta. Yang responsnya belum menggembirakan adalah Kementerian Pendidikan Nasional. ”Mereka beralasan, pendidikan urusan daerah setelah otonomi daerah,” kata Ciciek. Luruskan Sejarah Kelahiran Soekarno Detik-detik Meletusnya Gunung... Ibra: Guardiola Minikamku Balotelli Kecelakaan Ayo Taufik! Tinggal Selangkah Lagi Gunung Sinabung Meletus » Selengkapnya TANAH AIR Merajut nusantara melalui liputan khusus berita dan video KOMPAS ePaper Koran digital dengan pembaca terbanyak di Indonesia KOMPASKita Rubrik untuk membuka ruang KOMPAS.com Cetak ePaper Bola Entertainment Games Tekno Otomotif Female Health Properti Forum Kompasiana Images Mobile KompasKarier PasangIklan GramediaShop Terpopuler Terkomentari Terekomendasi Kabar Palmerah Home Nasional Regional Internasional Megapolitan Bisnis & Keuangan Olahraga Sains Travel Oase Edukasi English Archive Video More !"""""# $ % &%

description

Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan [Melepas] Jilbab(Psychology of Fashion: The Phenomenon of Women [Removing Their] Jilbab).Author:JunemanPreface:Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, M.A., A.P.U.Dra. Tiwin Herman, M.Psi.Epilogue:Afrizal Malnadr. G. Pandu Setiawan, Sp. K.J.Format: BookEdition: I (First Edition), July 2010Description:Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2010xxxiv + 398 p.14,5 x 21 cmISBN 13: 978-979-25-5325-3ISBN 10: 979-25-5325-8Notes: Includes bibliographical references (p. 371-386) and indexSubjects: Religion Psychology, Social-Humanities, Pluralism, JilbabLaunched in Jakarta, August 2010, attended by:1. Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono, S.S., M.A., a member of Presidential Advisory Council, Republic of Indonesia (Dewan Pertimbangan Presiden RI / Wantimpres Bidang Pendidikan dan Kebudayaan)2. Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, M.A., A.P.U., a member of Indonesian Academy of Sciences (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia / AIPI Komisi Ilmu Kebudayaan)More info: http://knol.google.com/k/juneman/psychology-of-fashion-fenomena/2qc7aganedjje/1

Transcript of Psikologi Perempuan Melepas Jilbab

Page 1: Psikologi Perempuan Melepas Jilbab

cari

Home

KEBINEKAAN

Penyeragaman yang MenyusupJumat, 27 Agustus 2010 | 03:33 WIB

Upaya meminggirkan mereka yang berbeda belakangan ini menjadi kegundahan banyak anggotamasyarakat karena Indonesia adalah ”berbeda-beda tetapi tetap satu”.

Namun, menurut penelitian tim dari Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-hak PerempuanRahima, gerak penyeragaman tersebut sudah terjadi setidaknya sejak tahun 2007-2008. Jalur yangdigunakan salah satunya melalui pendidikan di sekolah.

Farha Ciciek, pemimpin penelitian beranggotakan lima peneliti tersebut, menemukan, kelompok-kelompok konservatif dan radikal keagamaan bersifat nasional ataupun transnasional menggunakansekolah, terutama kegiatan ekstrakurikuler kerohanian, sebagai tempat menyosialisasi nilai danpraktik menolak keberagaman, mengembangkan kepatuhan tanpa nalar kritis, mengajarkankebenaran tunggal, cenderung mengembangkan sentimen keumatan dan kurang pada rasakebangsaan dan kemanusiaan, menolak yang berbeda, dan mendiskriminasi perempuan.

Penelitian dilakukan di 30 SLTA, terutama SMAN, SMKN, termasuk madrasah aliyah negeri. Dalampemaparan penelitian pada acara penganugerahan Saparinah Sadli Award, Selasa (24/8) diJakarta, Ciciek mengatakan, praktik tersebut juga ditemui di SMAN terkemuka di kota-kotapenelitian. Penelitian dilakukan di Jakarta, Pandeglang, Cianjur, Cilacap, Yogyakarta, Jember, danPadang.

Penelitian dilakukan awalnya untuk mengetahui praktik diskriminasi jender di sekolah. ”Tetapi,sejumlah guru, terutama guru agama, orangtua murid SLTA, anggota ormas agama, dan aktivislembaga swadaya masyarakat mengeluhkan perilaku ’aneh’ yang menggelisahkan di rumah dan disekolah,” tutur Ciciek.

Di antaranya, siswi-siswi sebuah sekolah teladan di Yogyakarta dilarang tampil dalam acarakesenian sekolah dengan alasan suara adalah aurat. Ada pula ibu yang merasa tak mengenalianaknya lagi karena si anak tak mau berhubungan dengan ibunya karena si anak menganggap imanibunya tak sebaik si anak. ”Ada juga ’anak yang hilang’ yang diakui juga oleh Kementerian Agama,”kata Ciciek.

Diskriminasi

Aksi-aksi tersebut, demikian Ciciek, melahirkan diskriminasi jender dengan legitimasi agama.Diskriminasi itu dilembagakan melalui organisasi resmi sekolah, yaitu kegiatan ekstra kurikulerkeagamaan, tecermin dari struktur dan kultur organisasi serta materi ajar yang disampaikan dalambentuk buku, majalah, selebaran, hingga VCD film.

Siswi, misalnya, tidak boleh mengetuai organisasi ekstrakurikuler, perempuan hanya bolehmemimpin perempuan, suara perempuan di ruang publik dianggap aurat, pemisahan ketat ruanganantara siswi dan siswa, pembedaan peran dengan penekanan peran domestik/rumah tanggal untuksiswi. ”Pembedaan ruang dengan memakai tabir itu dilakukan di sekolah umum teladan,” kata Ciciek.

Menghadapi kemunduran dalam penghargaan atas kesetaraan jender tersebut, ajakan Rahimakepada organisasi kemasyarakatan ikut serta menyosialisasikan keberagaman, kesetaraan dankeadilan mendapat tanggapan baik. Begitu juga respons Kementerian Agama serta PemerintahProvinsi DI Yogyakarta. Yang responsnya belum menggembirakan adalah Kementerian PendidikanNasional. ”Mereka beralasan, pendidikan urusan daerah setelah otonomi daerah,” kata Ciciek.

Luruskan Sejarah Kelahiran SoekarnoDetik-detik Meletusnya Gunung...Ibra: Guardiola MinikamkuBalotelli KecelakaanAyo Taufik! Tinggal Selangkah LagiGunung Sinabung Meletus

» Selengkapnya

TANAH AIR

Merajut nusantara melaluiliputan khusus berita danvideo

KOMPAS ePaper

Koran digital denganpembaca terbanyak diIndonesia

KOMPASKita

Rubrik untuk membuka ruang

KOMPAS.com Cetak ePaper Bola Entertainment Games Tekno Otomotif Female Health Properti Forum Kompasiana Images Mobile KompasKarier PasangIklan GramediaShop

Terpopuler

Terkomentari

Terekomendasi

Kabar Palmerah

Home Nasional Regional Internasional Megapolitan Bisnis & Keuangan Olahraga Sains Travel Oase Edukasi English Archive Video More

Penyeragaman yang Menyusup - KOMPAS.com h�p://cetak.kompas.com/read/2010/08/27/03333315/penyeragaman...

1 of 2 8/29/2010 2:49 PM

Page 2: Psikologi Perempuan Melepas Jilbab

Ke depan, menurut Ciciek, jejaring masyarakat sipil harus dikuatkan dan introspeksi padapendekatan selama ini. Dia menyebut, masukan dari mereka yang pernah berada di dalam jaringankonservatif, ide pembebasan perempuan sangat memukau, tetapi secara praktis ”kurang berhati”.

”Meskipun ide yang ditanaman keras, teman itu menyebutkan, pendekatannya sangat lembut,merangkul, memanusiakan; pendekatan kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan pribadi. Diadianggap anggota keluarga, dibantu mengatasi segala kesulitan, mulai dari uang sekolah/kuliah,sampai dicarikan jodoh,” tutur Ciciek.

Intinya, demikian Ciciek, ide konservatif yang mendiskriminasi itu menyusup tanpa kita sadarikarena melalui jalur pendidikan. Kegiatan ekstrakurikuler itu mendapat dana untuk kegiatan merekadari sponsor perusahaan swasta/bisnis, orangtua, hingga sekolah/negara.

Awalnya sekolah merasa terbantu sebab menganggap kegiatan tersebut sebagai penangkal darinarkoba dan tawuran. Apabila tadinya hanya ditularkan melalui kegiatan ekstrakurikuler keagamaan,perlahan diadopsi kegiatan inti sekolah, antara lain melalui aturan seragam sekolah, bahkan di SMAdan SMK, kemudian ke rumah dan ruang publik lain.

Keragaman

Berbagai upaya penyeragaman terebut tidak terbatas pada satu kelompok dominan, tetapi juga didalam kelompok minoritas, termasuk yang berbasis agama.

Meski demikian, dinamika masyarakat saat ini yang masih memberi ruang keragaman pemikiranbukanlah hal yang terberi, tetapi harus dipelihara dan dijaga. Seperti saat peluncuran bukuPsychology of Fashion, Fenomena Perempuan (Melepas) Jilba (LkiS, 2010) pada Selasa (24/8).Buku hasil penelitian kualitatif pada empat perempuan di empat kota di Jawa untuk program S-1Psikologi ditulis Juneman. Dia mengajak memahami dan menghargai keragaman di masyarakat. Ditengah tingginya semangat di masyarakat agar perempuan mengenakan jilbab, demikian Juneman,pilihan narasumber penelitian melepas jilbab tidak dapat diartikan berkurang keimanannya.

Musdah Mulia, pembahas buku, mengingatkan, dalam fikih perbedaan pemikiran adalahkeniscayaan. Dia mencontohkan perempuan sufi Rabiah Addawiyah yang memberikan hidupnyabagi Tuhan, tanpa pamrih pada surga-neraka. Itu memotivasi berlomba pada kebaikan dan tidakmengklaim kebenaran tunggal. (NMP/MH)

Font: A A A

Ada 0 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

Kirim Komentar Anda

Nama

Email

Komentar

Redaksi menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhakuntuk tidak menampilkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA.

interaktif pembaca,tokoh,dan pengelola media.

More: Index Berita Info Kita Surat Pembaca Berita Duka Seremonia DKK Matahati Tanah Air Kompas Kita Kompas AR Kompas DakodeKompas Widget Kompas Apps Kabar Palmerah RSS Feed

About Kompas.com | Advertise with us | Info iklan | Privacy policy | Terms of use | Karir | Contact Us | Kompas Accelerator For IE 8© 2008 - 2010 KOMPAS.com — All rights reserved

Penyeragaman yang Menyusup - KOMPAS.com h�p://cetak.kompas.com/read/2010/08/27/03333315/penyeragaman...

2 of 2 8/29/2010 2:49 PM

Page 3: Psikologi Perempuan Melepas Jilbab

Jilbab di Tengah ModernitasRabu, 12 Jan 2011 09:24 WIB

Pada akhir tahun 1970-an, jilbab membanjiri pola kehidupan masyarakatdunia. Globalisasi jilbab ini tak lain karena lahirnya revolusi Iran yangdikomandoni Imam Khomeini pada akhir 1970-an. Salah simbol kemenanganKhomeini adalah mengenakan jilbab bagi para pendukungnya, bahkankemudian dijadikan legitimasi politik Islam yang dipimpinnya. Berjilbabakhirnya menjadi trend umat manusia, bukan saja umat Islam, sebagaibentuk eksentrik lahirnya peradaban baru dunia. Sampai-sampai EmhaAinun Najib membuat puisi bertajuk “lautan jilbab” yang melihat Indonesiajuga kebanjiran trend dunia dalam mengenakan jilbab.

Trend berjilbab ini menjadi ideologi global yang berbaur dengan gejolakpolitik global menjelang akhir abad ke-20. Ragam berjilbab manusia ini jugamelahirkan gerak trend global baru pada awal abad ke-21 yang menjelajahi dunia bahwa tanpa jilban pun, manusia bisamelesakkan tradisi berperadaban. Jilbab bukan lagi sebagai trend ideologis, melainkan sebuah trend budaya yang telahberjalan pada dasawarsa sebelumnya. Buku bertajuk “Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan (Melepas) Jilbab” iniberupaya melihat trend melepas jilbab bukanlah sebagai “pembangkangan” dalam beragama, tetapi sebagai sebuah trendglobal yang niscaya.

Penulis melihat bahwa kewajiban berjilbab bukanlah simbol bagi perempuan. Banyak lelaki di Timur Tengah yang berjilbablayaknya perempuan. Berjilbab merupakan psikologi manusia dalam menyesuaikan diri dengan konteks jamannya. Setiapjaman memberikan tanda dan jawab sendiri, sehingga anak manusia harus mempunyai kreativitas psikologis yangmemberikan daya elastis dalam menjawab tanda jaman. Jilbab merupakan tradisi dalam berbudaya, bukanlah khitab agamayang mengharuskan perempuan memakainya.

Perempuan postmodern saat ini biasa dengan melepaskan jilbabnya. Sekali lagi, bukan berarti membangkang atas ajaranagama, tetapi memang jilbab merupakan trend global yang dipengaruhi jalan politik. Tidak berjilbab mencobamempertaruhkan jiwa psikologisnya dalam suatu aliran gerak organisasional. Pertaruhan ini akan menjadi sebuah gerak baruideologis yang mematahkan lautan jilbab sebagai jalan politik yang coba dilanggengkan para aktornya. Para pendukunglautan jilbab pastilah menggunakan banyak argumentasi agama untuk melegitimasi jalan politik jilbabnya dalam mencuri harikonstituen politik yang sedang dijalaninya.

Tak berjilbab dengan demikian menjadi “tradisi tanding” yang mencoba bergerak melakukan dekonstruksi atas kemutlakanyang dijalankan secara sewenang-wenang. Kesewenangan dalam berjilbab sudah tidak relevan lagi di tengah laju kehidupankontemporer, selain karena lemah dalam argumentasinya, juga karena diselingi jalinan politik yang berada dibalik layar.Tradisi tanding ini bisa menjadi trend global abad ke-21 yang mendekontruksi jelajah rezim lautan jilbab yang dikomandoniIran.

Penulis melihat fakta mutakhir terus memperlihatkan bahwa fenomena melepas jilbab telah melepaskan fanatisme beragamadan berpolitik. Beragama dan berpolitik tidak lagi dimaknai secara monilitik, saklek dan logisentris. Tetapi beragama yangramah, toleran dan penuh penghargaan.

____________________________

udul buku : Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan (Melepas) Jilbab

Penulis : Juneman

Peresensi : Siti Muyassarotul Hafidzoh (Peneliti CDIE UIN Sunan Kalijaga)

Penerbit : LKiS Yogyakarta

Tebal : 298 halaman

Cetakan : I, November 2010

Kata Kunci

Buku jilbab Modernitas

Kirim komentar baru

Nama anda: *

E-mail: *

The content of this field is kept private and will not be shown publicly.

Homepage:

Komentar: *

15/01/2011 06:08 WIB | Indeks

BERITA TERKAITMemangnya Kenapa Kalau Aku Berjilbab?Jilbab Kok Gitu? Koreksi Jilbab IndonesiaKehidupan 1 Perempuan Bersama 14 Laki-LakiMenguak Kehidupan Para Pecandu Seks danMembangun Kesadaran BaruKorupsi Dalam Sebuah KisahBerakhirnya Era Pelarangan Buku di Indonesia

KATA KUNCI POPULAR

Buku Bursa Citizen JournalismEkonomi & Energi Fokus IsuGaya Hidup KhasanahMalaysia & InternasionalNasional Opini Otomotif Pokok& Tokoh Politik & HukumRagam Rumor dan Fakta SuratPembaca Topik Aktual

Powered by Translate

HOME NASIONAL MALAYSIA & INTERNASIONAL EKONOMI & ENERGI POLITIK & HUKUM RAGAM KHASANAH TOPIK AKTUAL FOKUS ISU POKOK & TOKOHOTOMOTIF BURSA FOTO BUKU GAYA HIDUP CITIZEN JOURNALISM OPINI RUMOR & FAKTA INDEKS

Jilbab di Tengah Modernitas | rimanews.com - Berjuang Tanpa Kebencian h�p://www.rimanews.com/read/20110112/12505/jilbab-di-tengah-m...

1 of 2 1/15/2011 5:43 PM

Page 4: Psikologi Perempuan Melepas Jilbab

Home Paper Edition Weekender Youthspeak Study abroad Login Register

News & Views Headlines National Archipelago Business Jakarta World Sports Opinion Readers' forum Site Map

Sunday, August 29, 2010 07:18 AM Follow us on Search GO

A | A | A |To veil or not to veil, Islamic women face tough choicesDina Indrasafitri, The Jakarta Post, Jakarta | Thu, 08/26/2010 9:40 AM | National

When Wina decided to shed her jilbab, the headscarf symbolizing, for most people, a woman’s commitment toIslam, her husband commented, “It’s up to you, but it’s degrading.”

She said some of her colleagues at work started gossiping and were cynical toward her following her decision toremove the scarf after three years wearing it.

Wina, a thirty something Jakarta resident, had been one of the subjects in the book “Psychology of Fashion”:Fenomena Perempuan Melepas Jilbab (Psychology of Fashion: The Phenomenon of Women Removing TheirJilbab), launched Tuesday in Jakarta.

The author, Juneman, a psychologist from the University of Persada Indonesia, interviewed three other womenwho also decided to shed their headscarves.

The choice was often met with shock and criticism — some soft and others openly harsh — from their friends andfamily.

Intan, a citizen from West Java, said she had a long argument with her mother after deciding to take off her veil andsaid her mother accused her of being “wishy-washy”.

In the book, Intan recalled her mother’s words: “See? I told you so. You didn’t have to [wear a jilbab] now you’reembarrassed, right?”

The book revealed that social institutions and peer groups often play a large part in influencing a woman’s decisionto wear the Islamic head-scarf. And they are quick to react to women’s decision to remove it regardless of the factthat such a decision is a private one.

“I often get comments on my Facebook page, saying that I would look prettier in a jilbab ,” said Tia — not her realname — who attended the book launch.

The woman in her thirties said that despite similar nudges from friends and colleagues, she would still put offdonning a scarf.

Four of the women in the book said they were encouraged to wear the head scarf by institutions such as religiousorganizations and schools, and by male figures.

Intan in particular recalled her public junior high school teacher teaching students that women who refused to wearthe jilbab were bound to hell.

The women interviewed in the book shared their various reasons behind their decision to remove their jilbabs. Tarifrom West Java was disillusioned by the election process for the head of the women’s division of her campus’religious group. She said rumor was rife that candidates had to wear the very conservative hijab, which coversmore than just the head and shoulders.

“This is not right. How come a woman’s worth is judged by the size of her jilbab,” she said.

Lanni from East Java said that one of her reasons was having her heart broken by the man who encouraged her towear a jilbab. While for Intan, studying Hindu and Buddhist philosophy during college had been one of theantecedents.

Juneman said the reason to shed the jilbab fell into two categories: the feeling that one is not “enlightened” orpious enough to wear one, or, on the contrary, feeling that they are already enlightened thus felt that the attire wasunnecessary.

Three of the women said they felt more comfortable after taking off their jilbabs, and two said they may return towearing the headscarf again in the future.

NATIONAL

Population boom spells multi-sectoralbust for RIEdmond points finger at Raja in Gayus’caseGovt tries to improve conversionprogramCompost ‘not helping’ urban trashwoesPress Council questions ‘Playboy’court rulingPTTEP: ‘No verifiable proof’ for RI oilspill claim

more

House, govt call for calm over borderdisputeHatta says no reason for Idul Fitri foodshortagesKPK to have more authority in money-laundering probesPolice warn travelers of fickle weather15,000 expected to attend service insupport of pluralism

more

More National News

Paper Edition

To veil or not to veil, Islamic women face tough choices | The Jakarta Post h�p://www.thejakartapost.com/news/2010/08/26/to-veil-or-not-veil-i...

1 of 2 8/29/2010 7:16 AM

Page 5: Psikologi Perempuan Melepas Jilbab

All of the four women had finished undergraduate degrees and were living in major cities when Juneman conductedthe book’s research in 2007. When he first announced he needed subjects for the research over the Internet, morethan 10 women expressed their interest over the one month waiting period.

“The nature of this research [qualitative], is not a representative one,” Juneman said.

Siti Musdah Mulia of the Conference For Religion and Peace said that it was only after the 1980sthat jilbabs became a major phenomenon in Indonesia, and the movement had grown more significantly in publicschools rather than religious ones.

“For pesantren [Islamic boarding school] students, the headscarf was just considered as part of the uniform, therewere no talks of hell for those not wearing jilbabs there,”she said.

Siti added that there were other changing habits regarding how people viewed religion. For example, in the pastthere were no unwritten rules that lectures should pause during the call to prayer.

She illustrated less rigid methods of wearing jilbab that she encountered during her student days at a university inCairo.

“Some female students only put on their scarves in class,” Siti said.

Some regions, which won autonomy since the fall of Soeharto’s centralist government, have imposed Islamic dresscodes on women.

In some regions, such as several parts of Aceh, failure to adhere to these codes can lead to punishment undersharia law.

| | | | | | | |

Related News >>

Ramadan: Suddenly religious

Issue: ‘Islam without veil’

Islam without veil

Malaysian women: Caning was opportunity to repent

Post Comments | Comments (0)

Life Sci-Tech Environment Body & Soul Art & Design Culture Lifestyle Entertainment People Features

News & Views Headlines National Archipelago Business Jakarta World Sports Special Report Opinion Readers' forum

Home Company Profile Online Media Kit Print Media Kit Weekender Media Kit About Us Contact Us Site Map

Copyright © 2008 The Jakarta Post - PT Bina Media Tenggara. All Rights Reserved.

To veil or not to veil, Islamic women face tough choices | The Jakarta Post h�p://www.thejakartapost.com/news/2010/08/26/to-veil-or-not-veil-i...

2 of 2 8/29/2010 7:16 AM

Page 6: Psikologi Perempuan Melepas Jilbab

Home Tentang SI Tim Redaksi Berlangganan Hubungi Kami Company Profile 2010

search... Go!

Index Berita Selengkapnya

News

Berita UtamaBudayaCerpen & PuisiEkonomi & BisnisInternationalMegapolitanNusantaraNasionalOpiniPolitik & HukumPeriskopPolling & AnalisisQuote of The DayMirrorResensi Buku

Sports

Bola MancaBola NasionalRagam Sport

LifeStyle

Halaman utamaAutomotiveFashionFamilySyariahFoodHome & GardenOffice solutionMovie & MusicKesehatanKolomPendidikanRagamSelebritiTechnoTravelTrend & beautyKarierEnergiPropertiRemaja

Daerah

Jawa BaratJawa Tengah & DIYJawa TimurSumatera UtaraSumatera SelatanSulawesi Selatan

VALAS

KURS JUAL BELI

USD 9050.00 8850.00SGD 6961.85 6780.85AUD 8874.65 8642.65JPY 112.08 108.52

22-Okt-2010 / 09:03 WIB

Fenomena “Perempuan (Melepas) Jilbab”

Sunday, 24 October 2010

ITU adalah sebuah judul buku yang ditulis oleh seorang sarjana psikologi bernama Juneman danditerbitkan oleh PT LKIS Printing Cemerlang,Yogyakarta. Ketika buku itu akan di-launching, Junemanmeminta pendapat saya, bagaimana baiknya.

Apakah buku ini diteruskan terbit atau ditunda atau bahkan dibatalkan saja. Pertanyaan yang sangatmasuk akal melihat betapa di Indonesia ini orang bisa dilempari batu atau bahkan ditusuk hanyakarena melakukan sesuatu yang menurut sekelompok orang tertentu bertentangan dengan apa yangmenurut mereka melanggar syariat agama, misalnya membangun rumah ibadah, berdoa atauberbusana secara tertentu.Di Aceh misalnya,perempuan bisa ditangkap polisi syariat hanyagara-gara pakai jins dan baju ketat walaupun berjilbab.

Padahal busana seperti itu sangat umum di Jakarta. Ketika saya jadi pensyarah pelawat (istilahMalaysia untuk: dosen tamu) di Universiti Malaya (UM), saya bermukim di Kuala Lumpur selama satusemester. Menurut pengamatan saya,suasana keberagamaan di Malaysia lebih kental dari diIndonesia. Semua bumiputra (istilah Malaysia untuk pribumi) identik dengan muslim. Kalau di KampusUI Jakarta kita masih bisa lihat cowok-cowok nongkrong di kantin pada saat salat Jumat, di UMkantin-kantin bersih dari cowok bumiputra pada saat seperti itu.

Bahkan saya agak tercengang ketika mengetahui bahwa beberapa rekan profesor saya berpoligami.Sayang sekali kontrak saya terlalu singkat dan saya pun membawa istri saya ke Malaysia. Kalausaya sendirian di sana, mungkin saya akan minta kontrak saya diperpanjang sampai waktu yangtidak terbatas. Saya tercengang karena selama ini mengira bahwa yang boleh berpoligami hanyapara sultan dan bangsawan saja, sebagai privilege yang dibenarkan oleh adat,bukan agama.

Ternyata bukan begitu.Ternyata memang orang Malaysia menjalankan agama sesuai dengan syariatIslam,bukan sekadar adat.Saya tanyakan hal ini kepada mahasiswa-mahasiswa saya, lakilakimaupun perempuan. Saya tambah heran karena juga buat mereka poligami adalah hal yangbiasa-biasa saja. Di antara mereka cukup ramai (bahasa Malaysia untuk: banyak) yang lahir darikeluarga poligami dan ketika saya tanya apakah mereka nanti akan berpoligami (buat yang laki-laki)atau mau dimadu (buat yang perempuan), jawab mereka,“Mungkin saja.

”Alasan dari mahasiswi,“Daripada suami saya berzina ....”Subhanallah ... alangkah bahagianya orangMalaysia. Semuanya ahli surga. Namun dalam hal busana, mereka justru lebih santai daripada yangdiharuskan oleh kelompok tertentu di Indonesia. Di dekat apartemen tempat kami tinggal ada sebuahrestoran tempat kami makan malam kalau istri saya sedang malas memasak.Salah satu pelayannyaberjilbab, tetapi mengenakan jins (dengan kantong di bokongnya menggelembung karena adaHP-nya) dan kaus ketat tangan pendek.

Saya pun yang Islamnya biasa-biasa saja (paling setengah- tingkat lebih tinggi dari pada Islam KTP)merasa disonan (bahasa psikologi untuk: heran) karena sepengetahuan saya, yang namanya auratperempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali telapak tangan dan wajahnya (bahkan wajah pun kadangharus ditutup karena termasuk aurat). Jadi baju perempuan, walaupun kaus, ya harusnya tanganpanjang, dong. Begitu pikir saya. Namun disonansi saya tidak lama.

Setelah saya tinggal beberapa hari di Kuala Lumpur, saya melihat cukup banyak perempuanbumiputra di mal (bukan di kampus) yang tidak berjilbab walaupun berbaju muslim.Saya juga melihatcewek-cowok pacaran di mal, pegangan tangan, duduk berdampingan rapat-rapat, berangkulan, dansebagainya sebagaimana layaknya cewek-cowok pacaran di mal-mal Jakarta, padahal mereka tetapberjilbab.

Bahkan saya pernah menyaksikan serombongan ABG perempuan di tempat parkir di basementberlarian sambil tertawa- tawa menuju pintu masuk mal.Khas perilaku ABG-lah di mana pun di duniaini. Bedanya adalah bahwa mereka berhenti sejenak di depan sliding door mal,copot jilbab masing-masing, memasukkan jilbab ke ransel,dan melanjutkan berhamburan masuk ke dalam mal.Sejak itusaya berkesimpulan bahwa ternyata jilbab di Malaysia hanya bagian dari aksesori busana yanglazim, tetapi tidak harus dipakai. Sesuai selera dan situasi dan kondisi saja.

*** Berbeda sekali dengan pengalaman saya di Arab Saudi.Ketika saya bekerja sebagai konsultanuntuk sebuah perusahaan elektronik Indonesia yang mengerjakan proyek di Mekkah dan Madinah(1980) maupun ketika saya berhaji dengan istri saya (1995),saya melihat semua perempuan ArabSaudi berjilbab dan bercadar. Bukan sembarang jilbab dan cadar,melainkan jilbab lebar hitam dancadar pun hitam.

Jadi di Arab sana,tidak ada fashion-fashion busana muslim seperti di Indonesia yang walaupunberjilbab, masih bisa tampil sensual. Karena itu saya pikir tadinya di Arab Saudi perempuan berjilbabbenar-benar karena faktor agama. Apalagi saya sering melihat formasi keluarga Arab ketika sedangberjalan-jalan di tempat-tempat umum di Arab Saudi. Sang bapak jalan paling depan, ibu berjalan

Dapatkan account e-mail gratis @sindotechno.net Daftar Check e-mail

Harian Seputar Indonesia, Sumber Referensi Terpercaya h�p://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/359445/

1 of 2 10/24/2010 10:39 AM

Page 7: Psikologi Perempuan Melepas Jilbab

Group Links :

Copyright © 2010 Media Nusantara Citra Group Tampilan terbaik pada resolusi 1024x768 pada browser FF1+, IE6+, Opr9+ Legal Disclaimer Privacy Policy

beberapa langkah di belakangnya, lengkap dengan jilbab-lebat-tutuprapat- hitamnya, sambilmenggandeng dua atau tiga anaknya.

Saya heran,bagaimana anak-anak itu bisa membedakan ibunya dari perempuan-perempuan lainyang semuanya berjilbab-lebar-tutuprapat- hitam? Saya sendiri melihat perempuan-perempuan itusama saja. Kalau istri saya ada di antara mereka, saya pun tak tahu bagaimana mengenali istrisaya,kecuali saya panggil dan dia menjawab. Nah suara istri saya pasti saya kenal karena itulahsatu-satunya suara perempuan yang paling dekat di hati saya (di samping beberapa suaraperempuan lain yang juga dekat di hati saya).

Namun anggapan saya bahwa perempuan Arab berjilbab karena hakkul yakin akan agamanya sirnaketika dalam suatu penerbangan dari Kairo ke Amsterdam (1976) sejumlah perempuan Arabberjilbab- lebar-tutup-rapat-hitam bergantian masuk toilet dan keluar dari toilet mereka sudah bukajilbab semua.Di bawah jilbab itu ternyata mereka memakai busana dan aksesori bermerek (waktu itusedang zaman oil boom, jadi orang Arab kaya-raya) dan wajah mereka cantik-cantik (wanita TimurTengah rata-rata cantik). Ternyata berjilbab atau tidak berjilbab hanyalah pilihan saja. Di Arab lebihbaik berjilbab, di Eropa lebih senang buka jilbab.

*** Karena itu, apa yang ditulis Juneman dalam bukunya Fenomena Perempuan (Melepas) Jilbabtidak jauh-jauh dari realitas yang ada di seluruh dunia.Kasus-kasus yang diwawancarai dalam bukuJuneman semuanya memilih untuk membuka jilbab karena berbagai alasan. Persis sama denganketika mereka memilih untuk memakai jilbab yang juga dengan berbagai alasan. Karena itu kata“melepas” judul buku itu diberinya kurung.Artinya, kalau kita mau, kita bisa saja menggantinyadengan kata “memakai” tanpa mengubah isi buku.

Soal pilih-memilih ini sebetulnya sangat manusiawi. Setiap hari manusia selalu melakukan pilihan.Memilih mau nikah atau tunda nikah, pilih sekolah atau kerja, pilih makan di rumah atau di warung,pilih baju, pilih kendaraan umum, pilih parpol atau presiden (dalam pemilu),dan seterusnya.Begitujuga soal berbusana, pilih (melepas) atau (memakai) jilbab. Sama saja, hanya soal pilihan. Bahkanpilih agama mana yang mau dianut atau mau pilih gak mau beragama sama sekali, itu sah-sah sajakarena pilihan memang menyangkut hak asasi manusia yang namanya “kebebasan”.

Dengan perkataan lain, orang yang terenggut kebebasan memilihnya sama saja dengan terenggutsalah satu hak asasinya. Termasuk kalau dia tidak boleh memilih agama atau kepercayaan atauversi kepercayaannya. Masalah timbul ketika kebebasan yang hak asasi itu bertemu dengan hakasasi orang lain yang bebas memilih juga,yang kebetulan saling bertentangan. Misalnya kalauseorang perokok bertemu di satu tempat dengan orang yang nonperokok.Mereka pasti berbenturankepentingan, kecuali salah satu mau mengalah dan menyingkir.

Demikian juga kalau orang memilih agama atau busana dan orang lain tidak menyukainya, makaakan terjadi konflik lagi,kecuali kalau salah satu bertoleransi (wanita wartawan CNN selaluberkerudung dan berbaju tertutup kalau sedang meliput di Afghanistan atau Irak). Tidak (atau:kurang) adanya toleransi dari sebagian masyarakat Indonesia inilah yang membuat Junemanwaswas ketika akan melaunching buku ini. Perasaan waswas ini bukan dialaminya sendiri, melainkanbanyak yang waswas kalau suatu persoalan sudah menyangkut masalah agama atau sesuatu yangdianggap termasuk dalam kawasan agama.

Apalagi kalau untuk mencari jalan keluarnya (“duduk-bersama”) tetap saja digunakan dalil-dalilagama (termasuk hukum syariat) karena hukum agama, seperti halnya setiap hukum lain, padadasarnya tidak toleran terhadap segala sesuatu yang di luar dirinya (pelanggaran hukum).Apalagikalau hukum agama tertentu harus diterapkan kepada orang lain yang tidak percaya pada agama ituatau bahkan orang dari agama itu sendiri yang tidak percaya pada hukum-hukum agama yang itu.

Karena itu sebaiknya memang kalau sudah menyangkut hubungan dengan sesama manusia (hablum-minannas), terutama kalau sudah menyangkut orang banyak, tidak terbatas pada kalangan sendirisaja, kita gunakan hukum negara saja.Ada yang mengatakan,“ Loh, kok hukum Tuhan dianggap lebihrendah daripada hukum negara yang bikinan manusia?” Tapi apa boleh buat,sebab Tuhan yangmembuat hukum itu benar memang Tuhannya sebagian orang tertentu,tetapi belum tentu diakui(maaf) sebagai Tuhannya sebagian orang lain. Adapun hukum negara minimal diakui (walau tidakselalu ditaati) oleh hampir seluruh bangsa ini.(*)

SARLITO WIRAWAN SARWONOGuru Besar Fakultas Psikologi UI

Harian Seputar Indonesia, Sumber Referensi Terpercaya h�p://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/359445/

2 of 2 10/24/2010 10:39 AM

Page 8: Psikologi Perempuan Melepas Jilbab

JERUSALEM-Roma berjarak 1.600 kilometer. Di bawah ke dua kota itu, sekelompok orang berusaha menghapus sejarah.

Jonathan Marcus, seorang pe-ngacara muda dan mantan siswa program doktor di bidang studi klasik, telah menjadi komoditas panas yang dicari-cari para peda-gang barang purbakala. Namun, saat diminta datang ke Roma un-tuk memeriksa sekeping peta batu kuno milik seorang kliennya, dia menemukan sebuah rahasia yang

mencengangkan: petunjuk tsurat ha-hidah--teka-teki simbolis.

Penemuan itu melontarkan ia ke dalam sebuah petualangan penuh bahaya mulai dari labirin di bawah Colosseum sampai berbagai tero-wongan yang dibangun pada za-man kenabian di Yerusalem untuk menemukan artefak tersembunyi berusia 2.000 tahun yang selama ini dicari sejumlah kerajaan berbagai zaman.

Benda itu adalah simbol sejarah yang lebih hebat jika dibandingkan dengan mitos agama mana pun. (*/M-4)

begitu. Aku mikir, apa dengan membaca buku ini, aku bisa berubah pikiran akan melepas jilbab,” kata perempuan ber-jilbab itu.

Perasaan itu juga diakui Chaeriwati (Eri) dan Puspa Sari Ayu Yudha (Ayu). Ke-duanya berjilbab dan merasa penasaran dengan isi buku tersebut. “Tapi setelah dibaca, aku justru makin yakin dengan pilihanku,” ujar Ayu.

Pendapatnya disambut ang-gukan mantap dari Eri. “Aku sendiri memakai jilbab sesuai kebutuhan. Saat fi tnes misal-nya, jujur saja ya, aku enggak pakai. Karena lebih nyaman enggak pakai,” kata Eri.

TerwakiliPerasaan khawatir di awal

membaca buku juga dialami Feby Indirani. “Tapi berbeda dengan teman-teman yang merasa khawatir jangan-jangan buku ini akan membuat ber-pikir ulang mengenai pema-kaian jilbab. Aku sebaliknya, takut dihakimi,” ujar Feby lalu tertawa.

14 | Jendela Buku SABTU, 25 SEPTEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA

SEJAK awal halaman buku Psychology of Fashion: Feno-mena Perempuan (Melepas) Jil bab, penulis Juneman me-negaskan karyanya sebagai buku psikologi, bukan buku agama.

“Awalnya adalah pengamat-an pribadi. Ada kenalan yang mengeluh mengalami tekanan sosio-psikis, mulai dari tekan-an yang halus sampai keras, ketika mereka melepas jilbab dan berada di ruang publik,” jelas Juneman melalui surat elektronik, Kamis (23/9).

Dia mengakui, sejumlah perbincangan itu telah me-nimbulkan empati terhadap beban teror ekstensial yang rutin dialami para muslimat pascapelepasan jilbab.

“Latar belakang saya ialah psikologi. Saya bisa merasa-kan dan menilai hal-hal terse-but bersentuhan langsung de ngan kesehatan jiwa dan psikologi-sosial,” imbuhnya.

Apalagi, ‘perhatian’ terha-dap masalah yang potensial mengganggu kesejahteraan mental itu hampir tak ada di antara maraknya buku-buku mengenai jilbab dan perem-puan.

“Kita perlu mendengar dan belajar dari suara yang lain dengan sungguh-sungguh,”

tegasnya.Menurut Juneman, persoal-

an jilbab adalah persoalan yang akan terus hidup tidak tergerus masa. Isu jilbab, lan jutnya, tetap hangat dan sem pat ‘dimainkan’ dalam arena politik elektabilitas saat Pemilu 2009.

“Bahkan, kalau saja ada yang menyadari tinda-kan ‘penjilbaban perempuan’ (yang dito-lak ke-e m p a t muslimat dalam pe-nelitian kua-litatif ini) te-lah terjadi pula pada level sosial dengan diberlaku-kannya saf antrean penumpang yang memisahkan perem-puan dengan laki-laki di beberapa halte Trans-Jakarta, serta diluncurkannya gerbong kereta khusus perem-puan belum lama ini. Saya kira perlu ada kajian-kajian kritis-mendalam terhadap hal-hal ini,” ujar kandidat magister psikologi sosial, Universitas Indonesia itu.

Buku ini, ditulis Juneman

sebagai upaya menghargai keragaman manusia.

“Saya memang mencermati beragamnya pemaknaan ter-hadap jilbab. Ambil contoh, ungkapan-ungkapan seperti ‘jilbab pilihan busana’ atau-pun ‘merendahkan jilbab’.

Itu kan mengandung muatan makna dengan

nuansa yang berbeda-beda. Pergumulan

pemaknaan para muslimat itulah

yang saya hadir-kan dalam pe-

nelitian ini.”D a l a m

bu kunya, June man

m e n g -aju kan

e m -p a t

pe rempuan muslim yang me-

lepas jilbab mereka. Semuanya memiliki pengala-man personal yang disebut-nya ‘memiliki perjuangannya sendiri’.

“Yang paling berkesan se-lama proses penelitian, saya menangkap para subjek sa-ngat rendah hati dalam ber-bagi pengalaman hidup yang menurut saya mestinya tidak mudah bagi mereka. Ada

hal-hal yang sebetulnya sulit, memalukan, ingin disangkal bahkan traumatik. Dari kisah-kisah mereka, barangkali da-pat kita amini bahwa mereka menampakkan kualitas diri se-bagai perempuan-perempuan tangguh yang berani ambil posisi walau tetap menempat-kan dirinya sebagai ‘pejalan spiritual yang kreatif’, seka-ligus sanggup mempertang-gungjawabkan kepercayaan eksistensial mereka,” ujarnya.

Untuk memahami penga-laman para muslimat itu da ri sisi psikologi, Juneman ju-ga menguraikan psikologi perkembangan kepercayaan eksistensial secara komple-mentaris-komprehensif. “Juga bisa untuk memahami dina-mika fundamentalisme ke-agamaan,” tambah anggota Jejaring Komunikasi Kesehat-an Jiwa Indonesia itu.

Konsekuensinya, pembaca mesti ‘menyiapkan energi’ untuk membaca buku padat teori psikologi ini, terutama ba gi yang awam.

Yang jelas, buku ini cocok dibaca mahasiswa psikologi sebagai sumber referensi, pe-rempuan serta khalayak luas untuk menambah wawasan dan menghargai pilihan-pilih-an individu. (Sic/M-1)

OBROLAN PEMBACA

Bermula dari Empati

JILBAB memang tak seka-dar kain penutup kepala. Ada aspek psikologis, so-siologis, sampai kultural,

ketika seseorang memutuskan berjilbab, pun ketika melepas-nya.

Juneman, psikolog lulusan Universitas Persada Indonesia ini menggelontorkan perspek-tif segar di bukunya, berjudul Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan (Melepas) Jilbab. Di antara maraknya buku-buku mengenai jilbab dan perem-puan, Juneman menawarkan pandangan dari sisi psikologis pelakunya, demi memahami keragaman manusia.

Kebaruan itu diakui peserta Obrolan Pembaca Media In-donesia (OPMI), saat mendis-kusikan buku ini di kantor Me dia Indonesia, Sabtu (18/9). Para peserta diskusi sepakat, kebaruan ide penulis terletak pada penawaran konsep meng-hormati pilihan, meski terkesan kontroversial sekalipun.

“Dengan baca buku ini, aku belajar jangan segampang itu-lah menghakimi orang. Kalau ia melepas jilbab, jangan lang-sung bilang itu degradasi,” ungkap Didiet Prihastuti, salah satu peserta diskusi.

Dia mengaku sudah deg-degan ketika melihat sampul buku. “Judulnya kan sudah

Jilbab bukan Penakar Iman

MI/SUSANTO

BAHAS BUKU: Peserta Obrolan Pembaca Media Indonesia bersama Moderator Komunitas Good Reads Indonesia Lita Soerjadinata (tengah) seusai pembahasan buku Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan (Melepas) Jilbab di Kantor Media Indonesia, Sabtu (18/9).

Tidak perlu menghakimi keimanan seseorang ketika jilbab terlepas dari kepala. Bagaimanapun, itu teritorium Tuhan.

Vini Mariyane Rosya

Perempuan 31 tahun itu me mang pernah mengenakan jilbab tapi kini telah melepas-nya. “Setelah baca, ya aku me-rasa cukup terwakili dan sangat terkoneksi dengan buku ini,” katanya.

Feby pernah mengalami ‘te-kanan-tekanan’ setelah me-lepas jilbab. “Pasti ada, lah. Pertama kali pakai jilbab pasti dikerumunin tuh, dikasih ucap-an selamat. La gue juga selalu

Feby Indirani31 tahun, penulis dan

penerjemah lepas

Didiet Prihastuti28 tahun, karyawan perusahaan swasta

Puspa Sari Ayu Yudha 25 tahun, anggota Good

Reads Indonesia

Chaeriwati (Eri)28 tahun, karyawan perusa-

haan swasta

“Gue suka idenya, menarik. Kare na sebetulnya, melepas jilbab bukan hal baru, tapi enggak banyak yang mendekati persoalan ini secara in-telektual.”

Aku suka idenya, suka judulnya. Se be-tulnya aku bukan penggemar buku non-fiksi jadi buku ini sedikit bukan tipeku. Mungkin bisa dibuat lebih populer.”

Aku suka ide dan cara menggambar-kan subjek-subjeknya. Meski capek membacanya, aku betul-betul bisa merasakan. Maksud si penulis benar-benar nyampe ke aku.

Menurutku ide buku ini bagus dan baru. Hanya saja, di awal-awal buku, agak boring sih, karena penulisnya memberi-kan teori-teori. Ya, memang tergantung kebutuhan pembacanya, sih.

BUKU BARU

The Last Ember

Pada 18 September 2010, pembaca Media Indonesia berkumpul untuk mendiskusikan buku Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan (Melepas) Jilbab yang diterbitkan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS). Kami membahas buku ini mengingat maraknya buku me-ngenai jilbab dan perempuan, tapi hampir tidak ada yang mengupas persoalan fenomena melepas jilbab dari aspek psikologis. Pendekat-an ini bisa memberi pemahaman untuk menghargai pilihan-pilihan individu dalam beragama, tanpa harus menghakimi, mengingat saat ini begitu mudahnya orang dituduh kafir. Berikut adalah catatan Obrolan Pembaca Media Indonesia menge-nai buku tersebut.

mikir kenapa juga diselamatin. Saat udah lepas, ya terus dinilai kemunduran. Banyak loh yang berhenti tersenyum sama gue, enggak mau nyapa lagi. Aduh, kok perempuan dikotak-ko-takkan begitu. Gue lepas jilbab karena merasa lebih nyaman sekaligus menjadi protes gue untuk kemunculan perda-per-da syariat,” katanya.

Proses pelepasan jilbab Feby dilakukan secara bertahap. Plus melalui fase kucing-kucingan dengan sang ibu.

“Nyokap pakai jilbab sete-lah haji. Dia enggak pernah maksa orang untuk pakai, tapi dia selalu bilang kalau pakai ya jangan pernah buka. Ya su dah, hampir tiga tahun gue ahli pakai jilbab di ojek atau angkot. Sampai di rumah, keli-hatan berjilbab padahal di luar udah dilepas,” ujar Feby yang meyakini jilbab ialah bagian dari budaya.

Feby juga mengaku kenyang dengan pandangan lelaki atas perempuan berjilbab. “Yang paling mengganggu ialah pan-dangan laki-laki yang meng-

anggap perempuan berjilbab lebih baik. Cowok-cowok ter-nyata se nang cewek karena dia pake jilbab, itu nyebelin,” ujar perempuan yang sempat ber-jilbab se lama dua tahun itu.

Mendengar komentar Feby, Eri tertawa. “Dan di buku ini, keputusan empat perempuan mengenai jilbab mereka ber-hubungan dengan lelaki. Aku sempat mikir, kok dangkal bener ya,” ujarnya.

Ayu menyambung, “Sebe-tulnya aku penasaran kenapa dia (penulis) ambil ide ini. Apalagi dia ini laki-laki. Jadi pengin tahu, apa pernah ada alasan personal, misalnya ce-weknya pernah lepas jilbab? Kok seakan-akan alasan cewek pake jilbab adalah cowok,” ujar nya.

PemahamanSecara umum, empat peserta

OPMI mengaku mendapati pe-mahaman tentang bagaimana menghargai pilihan-pilihan seseorang. Pengalaman-penga-laman perempuan yang me-lepas jilbab mereka yang dipa-

parkan dalam buku ini, diakui keempatnya merupakan upaya ‘pembacaan’ yang baik menge-nai fenomena yang terjadi di masyarakat.

Emmy Djatiningsih, calon peserta OPMI yang batal hadir menuliskan komentarnya mela-lui surat elektronik, “Buku ini membuka pandangan baru ba gi saya, mudah-mudahan bi sa membuka wawasan me-ngenai pemaknaan jilbab. Ja-ngan sampai fenomena perem-puan melepaskan jilbabnya men jadi sesuatu yang krusial untuk diperdebatkan sehingga kita melupakan esensi Islam. Agama ini kan sangat mene-kankan pentingnya penghor-

matan kepada manusia dan akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan.”

Buku yang tampil ‘serius’ dengan judul eye catching ini dinilai semua peserta memberi-kan pandangan komprehensif mengenai fenomena perem-puan melepas jilbab. Paling-paling yang terasa sedikit mem-butuhkan perjuangan membaca ialah pemaparan teori-teori karena terkesan berat bagi orang awam. “Tapi itu pun per lu agar kita bisa memahami dari sisi ilmunya,” tambah Ayu. (M-4)

[email protected]

kan, kalau saja ada enyadari tinda-njilbaban uan’

t pe-kua-i) te-di pula el sosial

diberlaku-saf antrean pang yang hkan perem-ngan laki-laki

h l T

muatan makna denuansa yang berb

beda. Pergumpemaknaan

muslimat ityang saya h

kan dalamnelitian i

D a lbu ku

Junem e

ajep

pe remmuslim yang

lepas jilbab meSemuanya memiliki pen

l di

JUNEMAN

“SEKARANG bagaimana aku harus mencari Ratuku, di Jakarta yang gemerlap ini? Jadi aku bilang, kalau pacarku sekadar cantik, apa bedanya aku dengan laki-laki pada umumnya? Jika tak kutemukan perempuan yang kuimpikan, akan kujual saja hatiku.” (I Didn’t Lose My Heart, I Sold It On eBay!)

Gelombang buku kumpulan cer-pen sedang lumayan tinggi bulan-bulan ini. Antara lain Balada Ching Ching yang ditulis Maggie Tiojakin sampai Un Soir du Paris, Satu Petang di Paris karya 12 penulis Indonesia.

Di antara semarak kumpulan cer-pen itu, kami pilihkan buku I Didn’t Lose My Heart, I Sold It On eBay! karya Fajar Nugros yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama. Sebelum ini, Fajar yang juga sutradara fi lm itu lebih dulu menulis, antara lain

Bunuh Diri Massal 2008 (bersama Alanda Kariza) serta Adriana: Di Nol Kilometer Cinta(bersama Ar-tasya Sudirman). Kisah-kisah Fajar merupakan

rangkaian cerita yang lebih dulu tersebar di internet, baik di akun Facebook-nya ataupun laman pribadi www.sutradarakacangan.multiply.com. Media Indonesia mengundang lima pembaca untuk berpartisipasi dalam Obrolan Pembaca Media Indonesia untuk membahas karya Fajar ini. Bagi yang berminat, silakan kirim data diri melalui surat elektronik ke [email protected] selambat-lambatnya Minggu(2/10). Kami akan mengirimkan buku ini untuk Anda sebelum dibahas

bersama pada Sabtu (16/10) di Jakarta. Kami tunggu ya!

Redaksi

Buku Bulan Oktober 2010

Dengan baca buku ini, aku belajar jangan segampang itulah menghakimi orang. Kalau ia melepas jilbab, jangan langsung bilang itu degradasi.”

Didiet PrihastutiPeserta Obrolan Pembaca

Penulis : Daniel LevinPenerbit : SerambiHalaman : 573

Page 9: Psikologi Perempuan Melepas Jilbab

Jimmy Carter mengakuipenyelesaian masalah

Palestina-Israel boleh di-bilang mustahil.

Konflik Palestina dan Isra-el selalu menjadi isu uta-ma bagi siapa saja Presi-den Amerika Serikat.Termasuk Jimmy Carter,

yang merupakan pemimpin ke-39 negara adidaya itu. Bahkanpersoalan yang sudah berlang-sung lebih dari enam dekade—ji-ka dihitung sejak negara Israelberdiri—itu kerap menjadi jual-an dalam kampanye pemilihanpresiden Amerika.

Namun apa yang dilakukanJimmy Carter, 86 tahun, sung-guh luar biasa. Ia bukan seka-dar asal bicara. Tapi, sejak per-tama kali mengunjungi negaraZionis itu pada 1973, ia sudahmulai tertarik dan bertekadmendalami konflik di antara duabangsa itu. Saat itu Carter, men-jabat Gubernur Negara BagianGeorgia, diundang sebagai tamuPerdana Menteri Golda Meir.

Carter, yang datang bersamaistrinya, Rosalynn, sejak itu mu-lai membangun hubungan priba-di dengan Perdana Menteri Meir,Menteri Luar Negeri Abba Eban,Yitzhak Rabin—yang kemudianmenjadi perdana menteri—danJenderal Moshe Dayan yang le-gendaris.

Ia pun menjadikan isu Palesti-na-Israel sebagai prioritas kebi-jakan luar negerinya setelah di-lantik sebagai presiden pada 20Januari 1977. Dalam dua buku-nya, Palestina Perdamaian Bu-kan Perpecahan (Palestine PeaceNot Apartheid) dan MerengkuhPerdamaian di Kota Suci (WeCan Have Peace in The HolyLand), Carter membagi peng-alaman pribadinya dalam men-ciptakan perdamaian di kawasanTimur Tengah.

Simak saja usaha kerasnya sa-at mempertemukan PresidenMesir Anwar Sadat dengan Per-dana Menteri Israel MenachemBegin.Setelah beberapa kali per-undingan di tempat peristirahat-an Carter di Camp David, hanyadalam dua tahun masa rezimnya(1977-1981), ia berhasil menggi-ring kedua pemimpin itu mene-ken perjanjian damai.

Pria kelahiran Kota Plains,Georgia, ini menyadari isu Pales-tina merupakan syarat utamabagi perdamaian di seluruh ka-wasan itu. Prinsip itu tercantum

dalam proposal Putra MahkotaAbdullah dari Arab Saudi yangdiadopsi dalam resolusi Konfe-rensi Tingkat Tinggi Liga Arab diBeirut, Libanon, delapan tahunyang lalu.

Sebanyak 22 negara Arab setu-ju membina hubungan diploma-tik dan kerja sama perdagangandengan Israel jika negara itu ber-sedia mundur dari seluruh wila-yah yang mereka kuasai setelahPerang Enam Hari pada 1967. Iniberarti, negara Yahudi itu harusmenyerahkan Dataran TinggiGolan kepada Suriah dan kawas-an pertanian Sheeba yang di-klaim oleh Libanon serta Suriah.

Buku Palestine Peace NotApartheid terbit pada 2006, danWe Can Have Peace in The HolyLand dipublikasikan pertamakali pada 2009. Kedua buku iniditerbitkan oleh Simon & Schus-ter. Sedangkan edisi bahasa In-donesianya diterbitkan oleh pe-nerbit Dian Rakyat.

Yang menarik dalam buku ini,Carter mengakui penyelesaian

masalah Palestina-Israel bolehdibilang mustahil. Ada dua fak-tor internal yang bercokol di ke-dua pihak yang menjadi ganjal-an. Di Jalur Gaza, terdapat ke-lompok Hamas yang berprinsiptidak mengakui keberadaan Is-rael dan bersumpah menghan-curkan Negara Bintang Dauditu.

Di dalam Israel sendiri jugamasih hidup komunitas-komuni-

tas Yahudi ortodoks-ultranasio-nalis yang memimpikan negaraIsrael Raya mencakup seluruhTepi Barat dan Gaza. Partai-par-tai religius sayap kanan selalumenjadi pemain kunci dalam ti-ap pemerintahan koalisi di Isra-el.

Kuatnya kelompok Yahudi ga-ris keras ini bisa dibuktikan daripengakuan Perdana MenteriBenjamin Netanyahu, yang ber-kuasa saat ini. Dia mengatakanrezimnya terancam bubar jikameneruskan pembekuan proyek

permukiman Yahudi di Tepi Ba-rat, termasuk Yerusalem Timur,yang akan berakhir tenggatnyabulan depan.

Peraih Hadiah Nobel Perda-maian 2002 itu pun secara jujurmenilai Amerika selama ini sela-lu memihak Israel dan bersikappermisif atas penjajahan Israelterhadap Palestina. Hal ini me-rupakan faktor eksternal yangsejatinya bisa menjadi penentu.Alhasil, mimpi Carter dan rakyatPalestina akan negara berdaulatmasih terus berlanjut. ● FAISAL ASSEGAF

29 AGUSTUS 2010

A9

Rak

Ketika Jilbab Dilepas

Selama ini masalahjilbab hanya diulasoleh ahli agama darisegi perspektif teolo-gis dan hukum islam.Juneman, mahasiswamagister psikologi,menulis buku ini de-ngan pendekatan psi-kologis. Dia mengurai-kan alasan-alasan pe-rempuan yang mele-pas jilbabnya.

Juneman melakukan penelitian kualitatifterhadap empat subyek selama setahun me-lalui serangkaian wawancara. Meski tidakmewakili seluruh muslimah yang melepas jil-bab, buku ini berusaha menjawab persoalanseperti, “Apakah perempuan menjadi lebih ti-dak religius ketika dia melepaskan jilbab?”

Melalui buku ini, penulis mengajak pemba-canya untuk berempati dan tidak menilaiatau memberikan cap tertentu bagi perempu-an yang memutuskan melepas jilbabnya. Bu-ku ini penting dibaca untuk yang ingin men-dalami soal jilbab. ● AMANDRA MM

Judul : Psychology of Fashion: FenomenaPerempuan (Melepas) Jilbab

Penulis : JunemanPenerbit : LKiSEdisi : Cetakan 1, Juli 2010Tebal : 398 halaman

Mengarungi Rimba Kaban

Novel ini terinspirasioleh pengalaman priba-di penulis selama men-jadi siswa MualliminMuhammadiyah Yogya-karta 30 tahun silam.Tapi penulis tetap me-nyelipkan imajinasinya.Sehingga, menurut Bu-tet Kertaradjasa, novelini tetap tergolong fiksidan membuat novel ini

enak dibaca.Kaban, tokoh utama novel ini, lancar men-

ceritakan gambaran sekolahnya itu. Bagi me-reka yang bersekolah di lembaga pendidikanyang mainstream, Muallimin tergolong seko-lah aneh. Bahkan, jika merujuk kepada kuali-tas, ijazah Muallimin tidak bakal laku dipakaimelanjutkan ke perguruan tinggi, apalagimencari pekerjaan.

Namun kekurangan ini justru menjadi “ser-ba lebih” di mata Kaban. Muallimin tidak ha-nya membentuk kepribadiannya, tapi jugamengajari bagaimana seharusnya manusia hi-dup. Ia tak gampang menyerah. Justru Kabanmenyulapnya menjadi energi positif meng-arungi ombak kehidupan. “Modal luar biasabagi para peselancar hidup,” tulis Nataya Cha-roonsri, dosen Universitas Trisakti Jakarta.

Bagi Emha Ainun Nadjib, rekan penulis,Kaban membolak-balikkan arti rumah danrimba. Rumah Kaban di Samarinda dan pe-tualangannya bersekolah di Yogyakarta sa-ma-sama membentuk jati dirinya. Pengalam-an Kaban mampu mencerahkan dan inspira-tif bagi pembacanya. ● AKBAR TRI KURNIAWAN

Judul : Rimba KabanPenulis : Syafril Teha NoerPenerbit : Komunitas LadangEdisi : Juni 2010Tebal : x + 421 halaman

JUDUL : Palestina: Perdamaian Bukan PerpecahanJUDUL ASLI : Palestine: Peace Not ApartheidPENULIS : Jimmy CarterPENERBIT : Dian RakyatCETAKAN : 2010TEBAL : 344 halaman

JUDUL : Merengkuh Perdamaian di KotaSuci

JUDUL ASLI : We Can Have Peace in The HolyLand

PENULIS : Jimmy CarterPENERBIT : Dian RakyatPENERJEMAH : Heri PurwosusantoCETAKAN : 2010TEBAL : 270 + xxix halaman

Mimpi Carter SOAL PALESTINA

Page 10: Psikologi Perempuan Melepas Jilbab

Minggu, 29 Agustus 2010 Selamat Datang | Register | Sign In cari

Jeda Padamu Negeri Puisiku Ceritaku Mata Air Novel Cakrawala Muasal Cerber Resensi

muslimah.or.id

ilustrasi

Penulis: Jodhi Yudono | Editor: Jodhi Yudono | Sumber : ANT Dibaca : 58249

Sent from Indosat BlackBerry powered by

"Perempuan (Melepas) Jilbab" DiluncurkanRabu, 25 Agustus 2010 | 05:48 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Buku Psychologyof Fashion: Fenomena Perempuan (Melepas)Jilbab yang ditulis psikolog dari UniverstasPersada Indonesia, Juneman (27), diluncurkandi Jakarta, Selasa (24/8/2010) sore. Acarapeluncuran itu dihadiri mantan MenteriPemberdayaan Perempuan Prof Dr MeutiaHatta Swasono.

Menurut Juneman, buku tersebut berisi hasilriset kualitas dirinya sebagai peneliti terhadapsubyek yang melepas jilbabnya dan lebihmenyoroti perempuan yang melepas jilbabnya (setelah sebelumnya mengenakan jilbab) dariperspektif psikososial filosofis, dengan didukung teori psikologi kontemporer.

"Buku ini menghadirkan pergulatan atau dinamika kepercayaan eksistensial muslimah yangmelepaskan jilbabnya pada sebelum, sedang, dan sesudah melakukan tindakan itu," katanya.

Dia menambahkan, meskipun tidak berpretensi mewakili seluruh muslimah di Indonesia yangmelepas jilbab, buku ini dapat menggugah kearifan masyarakat sebagai pribadi dan ketikadihadapkan pada fenomena ini.

"Buku ini juga mengandung muatan psikologi perkembangan, psikologi perempuan, psikologi spiritual,dan psikologi sosial," ujarnya.

Juneman menegaskan, semua muslimah dalam penelitian di buku tersebut tetap menjadi seorangmuslim sampai mereka telah melepaskan jilbabnya saat ini, namun cara mereka menjadi muslim danlebih khusus cara memakai jilbab dan berjilbab beberapa kali diperdalam, diperluas, dan ditatakembali.

Meutia Hatta Swasono dalam sambutan mengharapkan, kehadiran buku dapat meningkatkankesadaran masyarakat Indonesia untuk bisa memahami perbedaan dan pluralisme dalam kehidupanberbangsa dan bernegara.

Sementara itu, Guru Besar UIN Syarief Hidayatullah Jakarta Prof Dr Siti Musdah Mulia, MA, yangmenulis kata pengantar dalam buku tersebut mengatakan, buku tersebut menarik untuk dibaca siapapun yang ingin mendalami jilbab.

Oleh karena itu, katanya, perlu membangun sikap apresiasi terhadap perempuan yang ataskerelaannya sendiri memakai jilbab, sebaliknya juga menghargai mereka yang dengan pilihanmelepas jilbabnya.

Ketua LSM Jejaring Komunikasi Kesehatan Jiwa (Jejak Jiwa) selaku penyelenggara peluncuranbuku itu, dr G Pandu Setiawan, SpKJ mengatakan, Juneman sebagai penulis dan peneliti memilikikejelian memilih tema yang nilainya jauh lebih penting adalah apabila masyarakat melihat upaya inisebagai tawaran dialog berkelanjutan.

Font: A A A

Ada 100 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

Ayo Taufik! Tinggal Selangkah LagiLuruskan Sejarah Kelahiran SoekarnoGunung Sinabung MeletusMascherano Sudah di BarcelonaChelsea Menang, Ancelotti Justru...Nani Gemilang, MU Menang Lagi

» Selengkapnya

KOMPAS.com Cetak ePaper Bola Entertainment Games Tekno Otomotif Female Health Properti Forum Kompasiana Images Mobile KompasKarier PasangIklan GramediaShop

Terpopuler

Terkomentari

Terekomendasi

Kabar Palmerah

Home Nasional Regional Internasional Megapolitan Bisnis & Keuangan Olahraga Sains Travel Oase Edukasi English Archive Video More

"Perempuan (Melepas) Jilbab" Diluncurkan - KOMPAS.com h�p://oase.kompas.com/read/2010/08/25/05484226/Perempuan.Me...

8/29/2010 7:17 AM

Page 11: Psikologi Perempuan Melepas Jilbab

Forgot your password? Forgot your username? Create an account

Home Berita LKiS Resensi Buku Tentang LKiS Cara Transaksi Galeri Foto search...

Katalog Buku

Ekonomi

Filsafat

Islam Kritis

Kajian Perempuan & Gender

Komunikasi

NU dan Pesantren

Pendidikan

Sosial Budaya

Seri Dialog

Politik

Pustaka Tokoh Bangsa

Pustaka Sastra

Pustaka Populer

Pustaka Pesantren

Matapena

List All ProductsShow Cart

Your Cart is currently empty.

latestnews

NGOBROL DENGAN GUS DURDARI ALAM KUBURBEDA PENDAPAT DI TENGAHUMAT ; Sejak Zaman Sahabathingga Abad KeempatOBAT HATI ; MenyehatkanRuhani dengan Ajaran IslamiINSPIRING RAMADHAN ;Renungan Pencerahan di BulanPenuh KemuliaanMATA AIR PERADABAN ; DuaMilenium Wonosobo

Populer

NGOBROL DENGAN GUS DURDARI ALAM KUBURBEDA PENDAPAT DI TENGAHUMAT ; Sejak Zaman Sahabathingga Abad KeempatOBAT HATI ; MenyehatkanRuhani dengan Ajaran IslamiINSPIRING RAMADHAN ;Renungan Pencerahan di BulanPenuh KemuliaanMATA AIR PERADABAN ; DuaMilenium Wonosobo

Home you are : Berita LKiS you are : Buku Baru you are : PSYCHOLOGY OF FASHION ; Fenomena Perempuan (Melepas) Jilbab

© 2010 Penerbit LKISJoomla! is Free Software released under the GNU General Kontak Kami

PSYCHOLOGY OF FASHION ; Fenomena Perempuan (Melepas) JilbabKode Buku : B0492Judul Buku : PSYCHOLOGY OF FASHION ; Fenomena Perempuan (Melepas) JilbabPenulis : JunemanKata Pengantar : Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, M.A., A.P.U. & Dra. Tiwin Herman, M.Psi.Epilog : Afrizal Malna & dr. G. Pandu Setiawan, Sp. K.J.ISBN 10 : 979-25-5325-8ISBN 13 : 978-979-25-5325-3Halaman : xxxiv + 398 hlmKertas / Ukuran : HVS / 14,5 x 21 cmCetakan : I, Juli 2010Katagori : Sosial HumanioraPenerbit : LKiS YogyakartaHarga : Rp. 72.500,-

“Ide-ide dan penjabaran di dalam buku ini tidak bermaksud menyandera pembacanya dalam kontekskeilmuan saja, tetapi memberikan perspektif telaah yang humanistik, tanpa pretensi. Layak sebagai referensi pencerahan batin &pengayaan berpikir, supaya tidak tersesat dalam labirin kecurigaan, ketidaktahuan, & akusasi.”— dr. Nova Riyanti Yusuf. Psikiater, Anggota Komisi IX DPR RI, Novelis, Scriptwriter

“Buku ini menunjukkan bahwa setiap orang memiliki penghayatan personal dalam menjalani pengalamannya, termasuk pengalamanberagama. Sebuah usaha yang layak diberi apresiasi.”— Dr. Bagus Takwin, M.Hum. Manajer Riset Fakultas Psikologi UI, Penulis Buku & Novel

“Penulis menggambarkan melalui analisis kualitatifnya: Selama seseorang tidak melalui tahap-tahap kepercayaan eksistensial,diragukan bahwa ia mengenal hakikat dirinya sendiri... Spirits rebellious dalam kasus-kasus buku ini hendaknya dimengerti dalamkonteks pertumbuhan, yang justru akan menjadi dangkal jika dibaca sebagai alas justifikasi simplistik bagi muslimah yang berjilbabuntuk melepaskan jilbab.”— Dr. Ahmad Zubaidi, M.Psi., Psikolog, Wakil Ketua Program Magister Psikologi UPI YAI Jakarta, Psikolog alumnus UGM

“Dalam ilmu psikologi bisnis telah mengemuka kajian mengenai intercultural sensitivity yang memberi kita pengertian betapa kepekaansemacam itu sangat penting dikembangkan dalam rangka kondusivitas, sustainabilitas, dan produktivitas suatu institusi bisnis sepertiperusahaan. Penulis buku ini telah mengambil bagian dalam konteks tersebut dengan membagikan pengalaman belajarnya darimuslimah yang melepas Jilbab”— Djati Adi Wicaksono, M.Inf.Sys.(Griffith), Manajer Sistem Informasi PT. Indika Energy, Tbk.

“Kehadiran buku ini kami sambut dalam rangka pengembangan wacana psikologis yang ilmiah dan dialogis dalam masyarakatIndonesia yang plural dan multidimensional.”Drs. Lukman S. Sriamin, M.Psi., Psikolog, Ketua Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah DKI Jakarta 2005-2008

Copyright © 2000-2009 PT LKIS Pelangi Aksara, Email: [email protected]

Kantor Pusat :Jl. Parangtritis Km. 4,4, Salakan Baru No. 1, Sewon - Bantul - JOGJAKARTA, Telp. (0274) 387 194 Fax. (0274) 379 430

Kantor Perwakilan Jabotabek:Jl.Desa Putra RT. 04 RW. 06 No. 73, Srengseng Sawah - Jagakarsa - Jakarta Selatan, Telp/Fax. (021) 7889 0304

Kantor Perwakilan Jawa Timur:Perumahan Graha Sejahtera Blok G-2 RT. 04 RW. 09, Jl. Tirtomulyo - Klandungan - Landungsari - Dau - Malang - Jawa Timur Telp : (0341) 461 878

PSYCHOLOGY OF FASHION ; Fenomena Perempuan (Melepas) Jilbab h p://www.lkis.co.id/index.php?op*on=com_content&view=ar*cle&...

8/29/2010 1:43 PM

Page 12: Psikologi Perempuan Melepas Jilbab

jejaring komunikasi kesehatan jiwathe indonesian mental health network

Acara Peluncuran dan Ulas Buku Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan [Melepas] Jilbab

Selasa, 24 Agustus 2010, di Jakarta

Buku ini berisikan hasil riset kualitatif penulis/peneliti terhadap para subjek yang melepas jilbabnya. Buku ini lebih menyoroti fenomena perempuan yang melepas jilbabnya (setelah sebelumnya mengenakan jilbab) dari perspektif psikososial filosofis, dengan didukung oleh teori-teori psikologi kontemporer. Buku ini menghadirkan pergulatan atau dinamika kepercayaan eksistensial muslimah yang melepaskan jilbabnya pada sebelum, sedang, dan sesudah melakukan tindakan itu. Meskipun tidak berpretensi mewakili seluruh muslimah di Indonesia yang melepas jilbab, buku ini menggugah kearifan kita sebagai pribadi dan masyarakat ketika dihadapkan pada fenomena ini. Buku ini mengandung muatan psikologi perkembangan, psikologi perempuan, psikologi spiritual, dan psikologi sosial.

Dr. Siti Musdah Mulia, M.A., A.P.U. Buku yang terbuka di hadapan pembaca, setahu saya, adalah buku pertama mengupas secara tuntas fenomena melepas jilbab di kalangan perempuan Islam. Menariknya, buku ini ditulis oleh seorang Sarjana Psikologi, Juneman .... Buku ini menjadi penting dibaca oleh siapapun yang ingin mendalami soal jilbab. Perlu membangun sikap apresiasi terhadap perempuan yang atas kerelaannya sendiri memakai jilbab, sebaliknya juga menghargai mereka yang dengan pilihan bebasnya melepas atau membuka kembali jilbabnya. Bahkan, juga mengapresiasi mereka yang sama sekali tidak tertarik memakai jilbab. Itulah pesan psikologis dari buku ini. dr. Pandu Setiawan, Sp.K.J. Penulis (sekaligus peneliti)-nya, Juneman, memiliki kejelian memilih tema …. Nilai yang jauh lebih penting adalah apabila kita melihat upaya ini sebagai tawaran dialog berkelanjutan dan pemicu kuat untuk mencoba memahami proses-proses intrapsikis yang sangat halus nuansanya. Afrizal Malna Buku Juneman ini membawa saya ke dalam dialog yang luas dan terbuka antara wacana-wacana teologis dan antropologis. Sejumlah biografi kecil dari beberapa perempuan yang menghadapi arus yang terkesan saling bertolak belakang antara “berpakaian teologis” atau “berpakaian eksistensialis”, diturunkan dalam buku ini seperti membaca kisah-kisah kecil yang seringkali tidak terdengar di antara suara-suara besar.

ISBN 978-979-25-5325-3 Cetakan Juli, 2010

xxxiv + 398 halaman; 14,5 x 21 cm