Psikologi Penerapan Hukuman

31
PRAKTIK TA’ZIR DAN PSIKOLOGI PENERAPAN HUKUMAN DIPONDOK PESANTREN (Studi Fenomenologi di Pondok Pesantren Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah Al-Amien Prenduan) PROPOSAL SKRIPSI Oleh: FADLUR RAHMAN NIM : 10410002

description

Pembahasan tentang psikologi penerapan hukuman

Transcript of Psikologi Penerapan Hukuman

Page 1: Psikologi Penerapan Hukuman

PRAKTIK TA’ZIR DAN PSIKOLOGI PENERAPAN HUKUMAN DIPONDOK PESANTREN

(Studi Fenomenologi di Pondok Pesantren Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah Al-Amien Prenduan)

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh:FADLUR RAHMAN

NIM : 10410002

FAKULTAS PSIKOLOGIUNIVERSITAS ISLAM NEGERI

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANGFAKULTAS PSIKOLOGI

2013

Page 2: Psikologi Penerapan Hukuman

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam dunia pendidikan sering dijumpai istilah punishment (hukuman).

Punishment adalah menghadirkan atau memberikan sebuah situasi yang tidak

menyenangkan dan situasi yang ingin dihindari untuk menurunkan perilaku

(Baharuddin & Esa, 2010). Karena hukuman adalah salah satu alat pendidikan

yang juga diperlukan dalam pendidikan. Hukuman diberikan sebagai akibat dari

pelanggaran, kejahatan, atau kesalahan yang dilakukan oleh anak didik. Tidak

seperti akibat yang ditimbulkan oleh ganjaran, hukuman mengakibatkan

penderitaan atau kedukaan bagi anak didik yang menerimanya (Djamarah, 2010).

Secara psikologis hukuman dapat dipandang sebagai sumber motivasi

dalam keseluruhan perilaku manusia. Misalnya, seorang anak menghindari tidak

menyontek dalam ujian karena tahu bahwa perbuatan menyontek tersebut tidak

baik, dapat dikenakan hukuman antara lain tidak lulus. Dari sudut pandang

pendidikan, hukuman merupakan alat pendidikan baik di sekolah maupun di luar

sekolah, yaitu sebagai alat dalam proses upaya mengembangkan kepribadian

peserta didik (Surya, 2003)

Tidak ada bukti yang mendukung gagasan bahwa hukuman itu buruk bagi

anak. Dalam teknik disiplin manapun, semua hukuman bisa efektif jika diterapkan

dengan benar, tetapi menjadi tidak efektif jika tidak diterapkan dengan benar

(Steinberg, 2004). Salah satu lembaga pendidikan yang selama ini dipandang

efektif dalam memberikan hukuman dalam menanamkan kedisiplinan adalah

pondok pesantren.

Pondok Pesantren pada hakikatnya adalah sebuah lembaga pendidikan

keagamaan yang memerankan fungsi sebagai institusi sosial. Sebagai institusi

sosial, maka Pondok Pesantren memiliki dan menjadi pedoman etika serta

moralitas masyarakat (Halim, 2009). Oleh karena itu, bagi Pondok Pesantren

pengembangan Sumber Daya Manusia merupakan suatu keharusan. Sebab untuk

mencapai kemajuan masyarakat arus dipenuhi prasyarat yang diperlukan. Dengan

pengembangan Sumber Daya Manusia akan memberikan kontribusi signifikan

Page 3: Psikologi Penerapan Hukuman

bagi upaya peningkatan kehidupan masa depan kehidupan masyarakat (Halim,

2009).

Dalam hal ini, Pondok Pesantren sebagai agen pengembangan masyarakat

sangat diharapakan dapat mempersiapkan sejumlah konsep pengembangan

Sumber Daya Manusia baik untuk peningkatan kualitas Pondok Pesantren itu

sendiri maupun untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. Salah satu

upaya tersebut diantaranya memperbaiki sistem pendidikan yang ada di dalam

Pondok Pesantren. Salah satu misi berdirinya pesantren adalah menanamkan

kedisiplinan sejak dini. Dalam menanamkan kedisiplinan, banyak hal yang

dilakukan oleh pondok pesantren agar santri-santrinya dapat menjalankan tata

tertib dengan baik, meskipun awalnya harus melalui paksaan. Strategi untuk

mencapai tujuan mengembangkan pesantren antara lain melalui keteladanan

pengasuhnya melalui nasehat-nasehat, bimbingan dan pemberian ta'zir

(hukuman).

Di dalam dunia pesantren sering dijumpai istilah ta'zir (hukuman) atau

dalam dunia pendidikan lebih dikenal dengan sebutan punishment. Adapun ta'zir

adalah hukuman yang dijatuhkan pada santri yang melanggar. Hukuman yang

terberat adalah dikeluarkan dari pesantren. Hukuman ini diberikan kepada santri

yang telah berulang kali melakukan pelanggaran, seolah sudah tidak bisa

diperbaiki (Burhanuddin, 2001).

Di dalam fiqih, ta'zir secara harfiah berarti membinasakan pelaku kriminal

karena tindak pidana yang memalukan. Menurut ketentuan ta'zir, hukuman itu

diterapkan dengan ketentuan hukum, dan hakim diperkenankan

mempertimbangkan baik bentuk ataupun hukuman yang akan dikenakan. Bentuk

hukuman dengan kebijaksanaan ini diberikan dengan pertimbangan khusus

tentang berbagai faktor yang mempengaruhi perubahan sosial dalam peradaban

manusia dan bervariasi berdasarkan metode yang digunakan pengadilan ataupun

jenis tindak pidana yang dapat ditunjukkan dalam undang-undang. Pelanggaran

yang dapat dihukum dengan metode ini adalah yang mengganggu kehidupan,

harta, serta kedamaian, dan ketentraman masyarakat. Ringkasnya ta'zir dapat

didefinisikan sebagai berikut:

والكفارة فيه الحد ذنب على تأديب

Page 4: Psikologi Penerapan Hukuman

"Ini merupakan hukuman disipliner karena tindak kejahatan, (namun) tak

ada ketetapan had ataupun kafarah di dalamnya"(Rahman, 1996).

Di dalam al-Qur'an, hukuman juga telah ditetapkan Allah sebagai balasan

bagi suatu pelanggaran, di antaranya pada ayat berikut ini:

Artinya: "(keadaan mereka) adalah sebagai Keadaan kaum Fir'aun dan

orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat kami;

karena itu Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosa mereka. dan

Allah sangat keras siksa-Nya."(QS. Ali Imran: 11)

Berkenaan dengan hukuman dalam pendidikan, Rasulullah menjelaskan

dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan AlHakim dari Amr

bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah saw. bersabda:

: صلى الله رسول قال قال جده عن أبيه عن شعيب بن عمر عن

سنين سبع ابناء وهم بالصالة أوالدكم مروا وسلم عليه الله

رواه ( المضاجع فى بينهم وفرقوا عشر ابناء وهم عليها واضربوهم

ابوداود)

"Dari Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya berkata: Rasulullah

bersabda: suruhlah anak-anak kalian mengerjakan shalat sejak mereka

berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika melalaikannya, ketika

mereka berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka dari tempat

tidurnya" (Mahdi, 2007).

Dengan demikian, telah diketahui bahwa Islam juga menyarankan

pemberian hukuman kepada anak jika memang diperlukan. Oleh karena itu,

sebagai institusi sosial yang bertanggung jawab untuk ikut andil dalam mendidik

generasi muda, pesantren berusaha seoptimal mungkin memberikan pendidikan

yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Termasuk di dalamnya hukuman yang

dapat membuat santri berkembang menjadi lebih baik.

Mengenai hukuman ini Gunning, Kohnstamn dan Scheler berkata:

"Hukuman dalam pendidikan harus mengandung tujuan membangun keinsyafan

batin, atau menumbuhkan dan mempertajam hati nurani." Harus ditekankan pula,

bahwa hukuman itu sifatnya tidak boleh memperhinakan anak dan tidak

Page 5: Psikologi Penerapan Hukuman

merendahkan martabat dirinya. Sebaliknya, hukuman tersebut supaya bisa

membangkitkan rasa rendah hati dan kesediaan untuk mengakui kesalahan dan

kelemahan sendiri, lalu bersedia memperbaiki tingkah lakunya. Oleh karena itu,

hukuman harus bisa membangunkan nilai-nilai moril dan etis anak didik

(Kartono, 1992).

Dengan memperhatikan pendapat di atas, ada baiknya sebagai pendidik

hendaknya memikirkan cara yang terbaik dalam mendidik. Khususnya dalam hal

memberi hukuman. Agar nantinya tidak berdampak negatif bagi perkembangan

anak didik.

Pelaksanaan pemberian ta'zir (hukuman) di pesantren pada umumnya

lebih menekankan dengan menggunakan hukuman fisik. Hukuman tersebut

semata-mata hanya menginginkan agar santri jera dan tidak mengulangi kesalahan

kembali. Sehingga dianggap tidak relevan dengan tujuan pendidikan karena tidak

memperhatikan segi psikis para santri. Sebagai akibatnya, dewasa ini ta'zir

mendapatkan kritik dari pendidik modern. Pendidik modern berpendapat bahwa

Punishment (khususnya hukuman fisik) pada umumnya tidak akan membawa

dampak positif (sebaliknya membawa kenangan horror nightmare bagi siswa)

(Syukur, 2006).

Dalam hal ini Ibnu Khaldun berakata : "Pendidikan yang bersikap keras,

baik itu terhadap anak didik (murid), hamba sahaya, atau pembantu, maka

pendidik itu telah menyempitkan jiwanya dalam hal perkembangan,

menghilangkan semangat, menyebabkan malas, dan menyeretnya untuk berdusta

karena takut terhadap tangan-tangan keras dan kejam singgah di mukanya. Hal itu

berarti telah mengajarkan anak untuk berbuat makar dan tipu daya yang

berkembang mejadi kebinasaannya. Dengan demikian rusaklah makna

kemanusiaan yang ada padanya” (Ulwan, 1988)

Agar dampak negatif tersebut tidak terjadi pada santri, Pondok Pesantren

Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah Al-Amien Prenduan merupakan salah satu

lembaga pendidikan yang penulis pandang sebagai Pondok Pesantren yang

mengaplikasikan ta'zir yang berbentuk ritual keagamaan dalam mendisiplinkan

para santri. Dengan alasan yang demikian, menurut penulis Pondok Pesantren

Page 6: Psikologi Penerapan Hukuman

Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah Al-Amien Prenduan berbeda dengan

Pondok Pesantren lainnya dalam kegiatan kontrol terhadap kedisiplinan santri.

Oleh karena alasan di atas, penelitian ini mengambil tema ta'zir dengan

judul “Praktik Ta’zir dan Psikologi Penerapan Hukuman di Pesantren (Studi

Kasus di Pondok Pesantren Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah Al-Amien

Prenduan) penulis tetapkan sebagai pembahasan yang akan penulis uraikan secara

bertahap.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Praktik Ta’zir

dan Psikologi Penerapan Hukuman di Pondok Pesantren Tarbiyatul Mu’allimien

Al-Islamiyah Al-Amien Prenduan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Praktik Ta’zir

dan Psikologi Penerapan Hukuman di Pondok Pesantren Tarbiyatul Mu’allimien

Al-Islamiyah Al-Amien Prenduan.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

a. Peneliti ini tentunya sangat berguna bagi peneliti sebagai media

pengembangan diri.

b. Dapat memperluas ilmu pengetahuan baik secara teori maupun praktik

pendidikan ilmupsikologi sesuai dengan disiplin yang peneliti tekuni.

2. Bagi Fakultas atau Kampus

a. Sebagai bahan informasi bagi pemerhati kajian psiokologi serta praktisi

dan civitas akademika pendidikan yang ada pada lingkungan UIN

MALIKI Malang.

b. Sebagai acuan atau bahan dasar bagi peneliti lain yang akan

mengadakan penelitian lebihlanjut.

Page 7: Psikologi Penerapan Hukuman

3. Bagi Masyarakat Umum

a. Sebagai wacana kedepannya lebih dapat meningkatkan pemahaman

tentang Ta’zir dan Hukuman yang lebih baik.

b. Bahan referensi bagi masyarkat luas khususnya Pondok Pesantren.

Page 8: Psikologi Penerapan Hukuman

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Ta’zir

1. Pengertian Ta'zir

Ta'zir berasal dari kata 'azzara, yu azziru, ta'zir yang berarti

menghukum atau melatih disiplin. Menurut istilah, ta'zir bermakna at-Ta'dib

(pendidikan) dan at-Tankil (pengekangan). Dalam kamus istilah fiqih kata

"ta'zir" adalah bentuk masdar dari kata 'azzara yang artinya menolak, adapun

menurut istilah hukum syara' berarti pencegahan dan pengajaran terhadap

tindak pidana yang tidak mempunyai hukum had, kafarat, dan kisas (Mujib,

1994).

Menurut Abu Bakr Jabir Al Jaziri, ta'zir adalah sanksi disiplin dengan

pemukulan, atau pemukulan, atau embargo, atau pengasingan. Adapun

menurut A. Rahman I Doi, ta'zir secara harfiah berarti membinasakan pelaku

kriminal karena tindak pidana yang memalukan. Hukuman itu dapat berupa

cambukan, kurungan penjara, denda, peringatan, dan lain-lain (Faruq, 2009).

Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa

ta'ziradalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang

hukumannya belum ditentukan oleh syara'. Di kalangan fukaha, jarimah-

jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara' dinamakan dengan

jarimah ta'zir. Jadi, istilah ta'zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga

untuk jarimah (tindak pidana).

Dari definisi tersebut, juga dapat dipahami bahwa jarimah ta'zir terdiri

atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan had dan tidak

dikenakan kafarat, dengan demikian inti dari jarimah ta'zir adalah perbuatan

maksiat. Adapun yang dimaksud dengan maksiat adalah meninggalkan

perbuatan yang diwajibkan dan melakukan perbuatan yang diharamkan

(dilarang). Di samping itu juga hukuman ta'zir dapat dijatuhkan apabila hal

itu dikehendaki oleh kemaslahatan umum.

Dari uraian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa jarimah ta'zir

dibagi kepada tiga bagian yaitu:

a. Ta'zir karena melakukan perbuatan maksiat

Page 9: Psikologi Penerapan Hukuman

b. Ta'zir karena melakukan perbuatan yang membahayakan

kepentingan umum

c. Ta'zir karena melakukan pelanggaran (mukhalafah)

Selain itu pula jika dilihat dari segi hak yang dilanggarnya, jarimah

ta'zir dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu:

a. Jarimah ta'zir yang menyinggung hak Allah

b. Jarimah ta'zir yang menyinggung hak perorangan (individu)

Adapun yang dimaksud dengan jarimah ta'zir yang menyinggung hak

Allah adalah semua perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan dan

kemaslahatan umum. Misalnya membuat kerusakan di muka bumi, pencurian

yang tidak memenuhi syarat, mencium wanita lain yang bukan istri,

penimbunan bahan-bahan pokok, penyelundupan, dan lain-lain. Sedangkan

yang dimaksud dengan jarimah ta'zir yang menyinggung hak perorangan

(individu) adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada

orang tertentu, bukan orang banyak. Contohnya seperti penghinaan, penipuan,

pemukulan, dan lain-lain.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa ta'zir merupakan

suatu istilah untuk hukuman atas tindak pidana yang hukumannya belum

ditetapkan oleh syara' dan tidak dikenakan had serta kafarat.

2. Dasar Hukum dan Tujuan Disyariatkannya

Ta'zir Pada jarimah ta'zir, di dalam al-Qur'an dan hadis tidak

menetapkan secara terperinci, baik dari segi bentuk jarimah maupun

hukumannya. Dasar hukum disyariatkannya sanksi bagi pelaku jarimah ta'zir

adalah al-ta'zir yaduru ma'a al-maslahah. Artinya hukum ta'zir didasarkan

pada pertimbangan kemaslahatan dengan tetap mengacu kepada prinsip

keadilan dalam masyarakat.

Menurut Syarbini al-Khatib, bahwa ayat al-Qur'an yang dijadikan

landasan adanya jarimah ta'zir adalan Qur'an Surat al-Fath ayat 8-9:

Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa

beritagembira dan pemberi peringatan, (Q. S. al-Fath: 8)

Page 10: Psikologi Penerapan Hukuman

Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,

menguatkan (agama)Nya, membebaskan-Nya. dan bertasbih kepada-

Nya di waktu pagi dan petang. (Q. S. al-Fath:9)

Dari terjemahan tersebut di atas A. Hasan menerjemahkan

watu'azziruhu sebagaimana dikutip oleh Haliman dengan dan supaya kamu

teguhkan (agamanya) dan untuk mencapai tujuan ini, satu diantaranya ialah

dengan mencegah musuh-musuh Allah, sebagaimana yang telah dikemukakan

oleh Syarbini al-Khatib.

Adapun hadis yang dijadikan dasar adanya jarimah ta'zir adalah

sebagai berikut:

a. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz Ibn Hakim

, 5ه4 6ي ع6ل الله7 ص6ل8ى 4َّي8 6ب الن َّن86 أ ج6د;ه4 ع6ن5 5ه4 4ي ب

6 أ ع6ن5 < 5م ح6ِك4ي 5ن4 اب 6ه5ِز4 ب ع6ن5

) والترمذى داود ابو رواه Cه5م6ِة4 الت ف4ى D ج7ال ر6 6َس6 ح6ب 8م6 ل و6س6

( الحاكم وصححه والبيهقى والنسائى

Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw.

Menahan seseorang yang disangka melakukan kejahatan. (H.R. Abu

Dawud, Turmudzi, Nasa'i, dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh

Hakim)

b. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abi Burdah

الله4 و5ل6 س7 ر6 م4ع6 س6 8ه7 ن6 أ 5ه7 ع6ن الله7 ض4ى6 ر6 5ص6ار4ى ن

6 اَأل Dد6ة 7ر5 ب 4ى 6ب ا ع6ن5

: 4ال8 ِإ و6اٍط> 6س5 ا ة4 ر6 ع6ش5 ف6و5َق6 4د7وا ل 6ْج5 ت ال6 6ق7و5ل7 ي 8م6 ل و6س6 5ه4 6ي ع6ل الله7 ص6ل8ى

( عليه ( متفق 6ع6ال6ى ت الله4 ح7د7و5د4 م4ن5 ح6د; ف4ى

Dari Abi Burdah Al-Anshari ra. Bahwa ia mendengar Rasulullah

saw. Bersabda: "Tidak boleh dijilid di atas sepuluh cambuk keuali di

dalam hukuman yang telah ditentukan oleh Allah Ta'ala. (Muttafaq

Alaih).

c. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah

Page 11: Psikologi Penerapan Hukuman

4 8م ل و6س6 5ه4 6ي ع6ل الله7 ص6ل8ى 4َّي8 8ب الن َّن86 أ 5ه6ا ع6ن الله7 ض4ى6 ر6 ِة6 4ش6 ع6ائ و6ع6ن5

) ابو: احمد رواه 5ح7د7و5د6 ال 4ال8 ِإ 4ه4م5 ات 6ر6 ع6َث 6اِت4 5َئ 5ه6ي ال ذ6و4ى 7و5ا 5ل ق4ي6 أ ق6ال6

( والبيهقى والنسائى داود

Dari Aisyah ra. Bahwa Nabi saw. bersabda: ”Ringankanlah

hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan

atas perbuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah hudud. (H.R.

Ahmad, Abu Dawud, Nasa'i, dan Baihaqi).

Secara umum ketiga hadis tersebut menjelaskan tentang eksistensi

ta'zirdalam syariat Islam. Hadis pertama menjelaskan tentang tindakan Nabi

yang menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan

tujuan untuk memudahkan penyelidikan. Hadis kedua menjelaskan tentang

batas hukuman ta'zir yang tidak boleh lebih dari sepuluh kali cambukan,

untuk membedakan dengan jarimah hudud. Dengan batas hukuman ini

dapatlah diketahui mana yang termasuk jarimah hudud dan mana yang

jarimah ta'zir. Sedangkan hadis ketiga mengatur tentang teknis pelaksanaan

hukuman ta'zir yang bisa berbedaantara satu pelaku dengan pelaku lainnya,

tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya.

Adapun tujuan diberikannya hak penentuan jarimah-jarimah ta'zirdan

hukumannya kepada penguasa adalah agar mereka dapat mengatur

masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta dapat

menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap keadaan yang bersifat mendadak.

Jadi jelaslah bahwa ta'zir juga telah diterapkan pada zaman Nabi dan

eksistensinya juga telah disyariatkan dalam Islam. Sedangkan tujuan ta'zir

sendiri adalah agar penguasa dapat dengan baik mengatur masyarakat dalam

kepemimpinannya untuk menegakkan keadilan hukum yang sifatnya

mendadak, dan saat itu juga harus diputuskan, karena dengan ta'zir hakim

dapat diberi keleluasaan untuk berijtihad dalam menentukan hukuman.

3. Jenis-jenis Ta'zir

Jarimah ta'zir tidak dijelaskan tentang macam dan sanksinya yang jelas

oleh nas, melainkan hak ulil amri dan hakim dalam setiap ketetapannya.

Maka jarimah ta'zir dapat berupa perbuatan yang menyinggung hak Allah

Page 12: Psikologi Penerapan Hukuman

atau hak individu. Jarimah ta'zir adakalanya melakukan perbuatan maksiat

dan pelanggaran yang dapat membahayakan kepentingan umum.

Adapun pembagian jarimah ta'zir menurut Abdul Qadir Awdah ada tiga

macam:

a. Jarimah ta'zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qisas,

tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti

pencurian yang tidak mencapai nishab, atau oleh keluarga sendiri.

b. Jarimah ta'zir yang jenisnya disebutkan dalam nas syara' tetapi

hukumnya belum ditetapkan, seperti riba, suap, dan mengurangi

takaran dan timbangan.

c. Jarimah ta'zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan

oleh syara'. Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri,

seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.

Abdul Aziz Amir membagi jarimah ta'zir secara terperinci kepada

beberapa bagian, yaitu:

a. Jarimah ta'zir yang berkaitan dengan pembunuhan

b. Jarimah ta'zir yang berkaitan dengan pelukaan

c. Jarimah ta'zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan

dan kerusakan akhlak

d. Jarimah ta'zir yang berkaitan dengan harta

e. Jarimah ta'zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu

f. Jarimah ta'zir yang berkaitan dengan keamanan umum.

Secara umum, tindak pidana ta'zir terbagi menjadi tiga bagian, yaitu

sebagai berikut:

a. Tindak pidana hudud dan qisas yang syubhat, atau tidak jelas, atau

tidak memenuhi syarat, tetapi merupakan maksiat. Contohnya:

percobaan pencurian, percobaan perzinaan, pencurian dalam

keluarga, dan lain-lain.

b. Tindak pidana atau kemaksiatan yang ditentukan oleh al-Qur'an dan

hadis, tetapi tidak ditentukan sanksinya. Contohnya: penghinaan,

saksi palsu, tidak melaksanakan amanah, makan babi, mengurangi

timbangan, riba, dan sebagainya.

Page 13: Psikologi Penerapan Hukuman

c. Berbagai tindak pidana atau kemaksiatan yang ditentukan oleh ulil

amri (penguasa) berdasarkan ajaran Islam demi kemaslahatan

umum. Contohnya pelanggaran terhadap berbagai peraturan

penguasa yang telah ditetapkan berdasarkan ajaran Islam, korupsi,

kejahatan ekonomi, dan lain sebagainya.

Berdasarkan pelanggarannya, tindak pidana ta'zir terbagi menjadi tujuh

kelompok, yaitu sebagai berikut:

a. Pelanggaran terhadap kehormatan, diantaranya:

perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan

perbuatan-perbuatan yang melanggar kesopanan

perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan suami istri,

penculikan

b. Pelanggaran terhadap kemuliaan, diantaranya:

tuduhan-tuduhan palsu

pencemaran nama baik

penghinaan, penghujatan, dan celaan

c. Perbuatan yang merusak akal di antaranya adalah perbuatan-

perbuatan yang berhubungan dengan sesuatu yang dapat merusak

akal seperti, menjual, membeli, membuat, mengedarkan,

menyimpan, atau mempromosikan minuman khamr, narkotika,

psikotropika, dan sejenisnya.

d. menjual bahan-bahan tertentu, seperti anggur, gandum, atau apa pun

dengan maksud untuk dibuat khamr oleh pembelinya.

e. Pelanggaran terhadap harta, di antaranya:

penipuan dalam masalah muamalah

kecurangan dalam perdagangan

ghasab (meminjam tanpa izin)

pengkhianatan terhadap amanah harta

f. Gangguan keamanan, di antaranya:

berbagai gangguan keamanan terhadap orang lain, selain dalam

perkara hudud dan qisas

menteror, mengancam, atau menakut-nakuti orang lain

Page 14: Psikologi Penerapan Hukuman

penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan untuk dirinya sendiri dan

merugikan orang lain.

g. Subversi/gangguan terhadap keamanan negara, di antaranya:

makar, yang tidak melalui pemberontakan,

spionase (mata-mata),

membocorkan rahasia negara,

h. Perbuatan yang berhubungan dengan agama, di antaranya:

menyebarkan ideologi dan pemikiran kufur

mencela salah satu dari risalah Islam, baik melalui lisan maupun

tulisan.

Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan syariat, seperti

meninggalkan shalat, terlambat membayar zakat, berbuka puasa

di siang hari pada bulan Ramadhan tanpa uzur.

Jenis tindak pidana ta'zir tidak hanya terbatas pada macam-macam

tindak pidana di atas. Ta'zir sangat luat dan elastis, sehingga perbuatan apa

pun (selain hudud dan jinayat) yang menyebabkan pelanggaran terhadap

agama, atau terhadap penguasa, terhadap masyarakat, atau terhadap

perorangan, maka dapat dikategorikan sebagai kejahatan ta'zir.

4. Macam-macam Hukuman Pada Tindak Pidana Ta'zir

Dalam uraian yang lalu telah dikemukakan bahwa hukuman ta'zir

adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara' dan diserahkan kepada

ulil amri untuk menetapkannya. Hukuman ta'zir ini jenisnya beragam, namun

secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam empat kelompok, yaitu

sebagai berikut:

a. Hukuman ta'zir yang mengenai badan, seperti hukuman mati dan

cambuk (dera). Sebagian fukaha Syafi'iyah membolehkan hukuman

mati sebagai ta'zir dalam kasus penyebaran aliran-aliran sesat yang

menyimpang dari ajaran al-Qur'an dan al-Sunah. Demikian pula

hukuman mati bisa diterapkan kepada pelaku homoseksual dengan

tidak membedakan antara muhsan dan ghair muhsan.

b. Hukuman yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti

hukuman penjara dan pengasingan.

Page 15: Psikologi Penerapan Hukuman

c. Hukuman ta'zir yang berkaitan dengan harta, seperti denda,

penyitaan/perampasan harta, dan penghancuran barang.

d. Hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri demi

kemaslahatan umum.

Di samping hukuman-hukuman yang telah disebutkan terdapat

hukuman-hukuman ta'zir yang lain. Hukuman-hukuman tersebut adalah:

a. peringatan keras

b. dihadirkan dalam sidang

c. nasihat

d. celaan

e. pengucilan

f. pemecatan

g. pengumuman kesalahan secara terbuka

5. Manfaat dan Hikmah Ta'zir

Manfaat ta'zir antara lain adalah untuk memberikan keleluasaan kepada

hakim untuk menentukan hukuman bagi pelanggar serta memberikan

kesempatan kepada pelanggar pidana untuk jera dan tidak mengulangi

kesalahan kembali.

Adapun hikmah diterapkannya ta'zir di antaranya ialah:

a. Segi Pengampunan

Dalam jarimah ta'zir sifat pengampunannya lebih luas.

Pengampunan tersebut bisa diberikan oleh korban dalam hal yang

menyangkut hak individu dan bisa juga oleh penguasa dalam hal

yang menyangkut hak masyarakat.

b. Segi Kompetensi hakim

Dalam jarimah ta'zir hakim mempunyai kebebasan untuk berijtihad.

Sehingga dalam segi kompetensi, hakim mempunyai kekuasaan yang

luas. Mulai dari memilih macamnya hukuman atau bahkan

membebaskannya.

c. Segi keadaan yang meringankan

Dalam jarimah hudud dan qisas, hukuman tidak terpengaruh oleh

keadaankeadaan tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan

Page 16: Psikologi Penerapan Hukuman

jarimah, kecuali apabila pelaku tidak memenuhi syarat-syarat taklif,

seperti gila atau di bawah umur. Akan tetapi dalam jarimah ta'zir,

keadaan korban atau suasana ketika jarimah itu dilakukan dapat

mempengaruhi berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan

kepada pelaku.

d. Segi alat-alat pembuktian

Untuk jarimah-jarimah hudud dan qisas, syara' telah menetapkan

bilangan saksi tertentu, apabila alat pembuktian yang digunakan

berupa saksi.

Dalam membuktikan jarimah zina misalnya diperlukan empat orang

saksi yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri terjadinya jarimah

tersebut. Akan tetapi untuk jarimah ta'zir kadang-kadang hanya diperlukan

seorang saksi saja.

Hukuman

Page 17: Psikologi Penerapan Hukuman

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan tentang "Praktik Ta’zir dan Psikologi

Penerapan Hukuman (Studi Kasus di Pondok Pesantren Tarbiyatul Mu’allimen

Al-Islamiyah Al-Amien Prenduan) ini merupakan jenis penelitian kualitatif yaitu

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan

dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Jadi penelitian ini hanya

mendeskripsikan dan menganalisis tentang data-data maupun informasi yang

didapat sesuai dengan realita yang ada dan tidak dibuat-buat.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakanpada lembaga pendidikan non formal di Pondok

Pesantren Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah Al-Amien Prenduan. Pondok

Pesantren Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah Al-Amien Prenduan ini adalah

salah satu pondok pesantren yang mempertahankan pola pendidikan khas

pesantren yang telah lama berlaku di pesantren, baik kurikulum maupun metode

pembelajarannya. Dalam metode pembelajarannya masih diterapkan ta'zir sebagai

hukuman sekaligus alternatif dalam mendisiplinkan para santri.

Peneliti memilih pondok pesantren ini karena di dalam metode

pembelajarannya, berbagai macam bentuk ta'zir diterapkan. Baik yang berupa

hukuman fisik maupun non fisik. Adapun yang berupa non fisik disebut sebagai

ta'zir dengan pola ritual keagamaan. Karena dalam praktiknya, ta'zir ini lebih

menekankan pada santri untuk melaksanakan hukuman yang sifatnya ibadah. Hal

yang demikianlah yang menurut hemat peneliti berbeda dengan pondok pesantren

pada umumnya.

C. Metode Pengumpulan Data

Alsa (2003) berpendapat bahwa peneliti kualitatif cenderung

mengumpulkan data melalui kontak secara terus menerus dengan subjek dalam

setting alamiah, seperti rutinitas mereka sehari-hari. Metode pengumpulan data

yang paling mewakili karakteristik penelitian kualitatif adalah interview dan

observasi partisipan.

Page 18: Psikologi Penerapan Hukuman

1. Wawancara

Berdasar taxonomi bentuk pertanyaannya, wawancara dapat

dikelompokkan menjadi beberapa bentuk yaitu verbal dan non verbal. Ada dua

bentuk pertanyaan verbal yaitu pertanyaan langsung dan tidak langsung;

sementara itu untuk yang non verbal juga mempunyai dua bentuk pertanyaan

yaitu overt dan covert. Sementara itu pertanyaan langsung dari verbal

mempunyai dua bentuk yaitu terbuka dan tertutup (Werner dan Schoepfle,

1987 dalam Koentjoro, 2007).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan wawancara partisipan dan

tidak berstruktur, pemilihan model wawancara ini didasarkan atas kemampuan

model ini untuk terhindar dari bias. Koentjoro (2007) membagi interview

berdasar cara pengambilan datanya menjadi dua, yaitu interview partisipatif

dan non partisipatif. Wawancara partisipatif pada umumnya berbentuk verbal

terstruktur maupun tidak, terbuka maupun tertutup. Yang membedakan adalah

adanya kecenderungan responden tidak menyadari kalau tengah diinterview,

karena peneliti memanfaatkan momen-momen khusus. Karenanya penggunaan

interview partisipatif dapat menekan bias khususnya yang berbetuk faking

good dan faking bad.

2. Observasi

Walaupun sudah dilakukan interview, peneliti akan melakukan

observasi untuk memperoleh informasi-informasi mengenai perasaan-perasaan

subjek penelitian, Bogdan (1993) menegaskan peneliti juga melakukan

pencatatan tentang perasaan perasaan subjektif dan sikap pribadi sebagai

peneliti atas tema-tema yang dibahas. Selain itu tujuan observasi adalah untuk

mendapat data tentang suatu masalah sehingga diperoleh pemahaman atau

sebagai alat rechecking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan

yang diperoleh sebelumnya. (Koentjoro, 2007).

D. Instrumen Penelitian

Alsa (2003) mengatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah

instrumen utama, sehingga ia dapat melakukan penyesuaian yang sejalan dengan

kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan. Karena itu, peneliti dapat

Page 19: Psikologi Penerapan Hukuman

berhubungan dengan subjek penelitian dan mampu memahami keterkaitannya

dengan kenyataan di lapangan.

E. Analisa Data

Menurut Alsa (2003) dalam penelitian kualitatif, karena data terdiri dari

teks maka setelah terkumpulnya data base teks, kemudian dilakukan analisis teks

dengan memasukkan kedalam kelompok-kelompok kalimat dan menetapkan arti.

Keseluruhan laporan kualitatif umumnya merupakan deskripsi yang panjang

untuk memberikan gambaran kompleks mengenai fenomena. Dari gambaran

kompleks ini peneliti membuat interpretasi tentang makna data melalui refleksi.

Refleksi berarti bahwa peneliti merefleksikan bias, nilai, dan asumsi-asumsi

personal mereka kedalam penelitiannya.

Dalam penelitian ini analisis data dilakukan dengan memadukan hasil

wawancara. Hasil wawancara dirangkum sebagai catatan otobiografi subjek

kemudian hasil tes grafis di interpretasi secara mendetail sehingga dapat

disimpulkan bagaimana cara individu menyatakan dorongan, afeksi dan kognisi,

sikap sosial, seksual, serta hubungan dengan keluarga.

Hasil akhir dari kesimpulan tema diagnostik dan catatan klinis tersebut

dirangkum secara keseluruhan sehingga dalam summary dan final raportnya akan

tergambar bagaimana penerimaan keluarga terhadap penderita tersebut.

F. Teknik Keabsahan Data

Peneliti melakukan teknik triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan

data yang menekankan adanya penggunaan lebih dari satu metode yang berfungsi

sebagai rechecking terhadap informasi atau data yang diperoleh. (Koentjoro,

2007).

Page 20: Psikologi Penerapan Hukuman

KAJIAN PUSTAKA

Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Bandung: Asysyifa', 1988

Abdur Rahman I Doi, Hudud dan Kewarisan Syari'ah III, alih bahasa: Zaimudin danRusydi Sulaiman dalam Syari'ah The Islamic Law, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996

Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar & Pembelajaran, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010

Halim, dkk,Manajemen Pesantren, Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang, 2009

Asadulloh Al Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009

Charles Schaefer, Cara Efektif Mendidik dan Mendisiplinkan Anak terj. R. Turman Sirait, Jakarta: Mitra Utama, 1994

Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005

Muhammad Abdul Mujib, dkk. Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994

Mohammad Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998

Alsa, A., Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2003

Bogdan, R. & Taylor, S., Kualitatif (Dasar-dasar Penelitian) (terjemahan), Surabaya;Usaha Nasional,1993