Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

33
www.futurumcorfinan.com PSAK 22 (revisi 2010) tentang Kombinasi Bisnis (adopsi International Financial Reporting Standard 3 “Business Combinations” (revisi 2008): Beberapa Implikasi terhadap Perpajakan BAGIAN 3 BAB 3 GOODWILL Pendahuluan Topik goodwill telah menjadi topik yang mengundang diskusi sejak lama di kalangan akuntan. Pada awalnya, goodwill lebih diartikan sebagai memiliki hubungan yang baik dengan pelanggan. Faktor-faktor sekunder lainnya turut mendukung ke arah tersebut, misalnya memiliki lokasi yang strategis (misalnya dekat dengan pelanggan atau mudah dijangkau) dan kebiasaan belanja pelanggan, sehingga dapat meningkatkan nilai suatu bisnis. Sukarnen DILARANG MENG-COPY, MENYALIN, ATAU MENDISTRIBUSIKAN SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS DARI PENULIS Untuk pertanyaan atau komentar bisa diposting melalui website www.futurumcorfinan.com

Transcript of Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

Page 1: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

PSAK 22 (revisi 2010) tentang Kombinasi

Bisnis (adopsi International Financial

Reporting Standard 3 “Business

Combinations” (revisi 2008):

Beberapa Implikasi terhadap Perpajakan – BAGIAN 3

BAB 3

GOODWILL

Pendahuluan

Topik goodwill telah menjadi topik yang mengundang diskusi sejak lama di kalangan

akuntan. Pada awalnya, goodwill lebih diartikan sebagai memiliki hubungan yang baik

dengan pelanggan. Faktor-faktor sekunder lainnya turut mendukung ke arah tersebut,

misalnya memiliki lokasi yang strategis (misalnya dekat dengan pelanggan atau mudah

dijangkau) dan kebiasaan belanja pelanggan, sehingga dapat meningkatkan nilai suatu

bisnis.

Sukarnen

DILARANG MENG-COPY, MENYALIN,

ATAU MENDISTRIBUSIKAN

SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN

INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS

DARI PENULIS

Untuk pertanyaan atau komentar bisa

diposting melalui website

www.futurumcorfinan.com

Page 2: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

Yang1 menjelaskan goodwill sebagai “everything that might contribute to the advantage an

established business possessed over a business to be started anew” (terjemahan bebas:

segala sesuatu yang dapat memberikan kontribusi untuk keuntungan yang dimiliki oleh

suatu bisnis yang mapan dibandingkan dengan suatu bisnis yang baru).

Sejak itu, konsep goodwill telah berkembang menjadi konsep kekuatan mencetak laba

(earning power concept) dimana nilai goodwill merupakan semua laba “ekses” yang

diperoleh di masa depan yang diharapkan (expected excess earnings stream) akan lebih

tinggi dibandingkan laba rata-rata yang akan dihasilkan oleh perusahaan sejenis (similar),

laba “ekses” mana kemudian didiskonto untuk diperoleh nilai kininya.

Richard Barker2 menyebutkan bahwa goodwill dapat timbul baik karena:

Aset diukur secara tidak benar (incorrectly valued) di pembukuan, dan/atau

Perusahaan secara keseluruhan lebih bernilai dibandingkan penjumlahan dari

bagian-bagiannya (dikenal sebagai goodwill “murni (pure)”).

Lebih lanjut, disebutkan bahwa laporan posisi keuangan atau neraca suatu entitas

menyajikan nilai untuk asset yang dapat dipisahkan, aset mana yang memiliki harga pasar

saat ini (current market prices) yang dapat berbeda dengan nilai tercatat yang disajikan di

laporan posisi keuangan suatu entitas pelapor (reporting entity). Goodwill, sebaliknya,

adalah komponen yang tidak dapat dipisahkan (non-separable component) yang nilainya

didasarkan pada kejadian masa depan yang diharapkan, dan tidak dapat dinyatakan dengan

menggunakan harga pasar saat ini.

Sifat dari tidak dapat dipisahkannya goodwill dari aset lain, juga diakui oleh IFRS, dimana

disebutkan 3 bahwa tidak seperti aset takberwujud lainnya yang secara individual dapat

teridentifikasi, goodwill adalah tak berbentuk dan tidak dapat hadir, dari sudut pandang

pelaporan keuangan, terpisah dari aset berwujud dan takberwujud teridentifikasi dengan

mana ia diperoleh dan tetap terkait. Dengan demikian, evaluasi langsung atas nilai

terpulihkan dari goodwill sesungguhnya tidak mungkin. Untuk itu, IFRS mewajibkan bahwa

1

Yang, J.M. Goodwill and Other Intangibles. New York: Ronald Press, 1927. Halaman 29. Sebagaimana dikutip dari Schroeder, R. G., Myrtle W. Clark dan Jack M. Cathey. Financial Accounting Theory and Analysis: Text and Cases. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc., 2009. Halaman 342. 2 Barker, Richard. Determining Value: Valuation Models and Financial Statements. London: Pearson

Education Limited, 2001. Halaman 86 (catatan kaki no. 10) dan halaman 110.

3 Epstein, Barry J., dan Eva K. Jermakowicz. 2010 Interpretation and Application of International

Financial Reporting Standards. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc, 2010. Halaman 381.

Page 3: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

goodwill digabungkan dengan aset lainnya yang bersama-sama membentuk Unit Penghasil

Kas - UPK (Cash-Generating Unit), dan bahwa evaluasi dari penurunan nilai potensial

apapun wajib dilakukan secara keseluruhan (aggregate basis) secara tahunan. Unit

Penghasil Kas adalah kelompok terkecil aset teridentifikasikan yang menghasilkan arus kas

masuk yang sebagian besar independen dari arus kas masuk dari aset atau kelompok aset

lain4.

Apa yang disampaikan di atas bahwa goodwill tidak dapat hadir, dari sudut pandang

pelaporan keuangan, terpisah dari aset berwujud dan takberwujud teridentifikasi dengan

mana ia diperoleh dan tetap terkait, sangat menarik. Richard Barker menyertakan 1 (satu)

contoh terkait goodwill5, yang mungkin bisa menjelaskan darimana goodwill tersebut dapat

hadir:

Adding goodwill to existing assets

Last week, a group of the largest US mall operators, all of them Real Estate Investment

Trusts, announced the formation of MerchantWired, a venture intended to provide a

technology infrastructure for retail centres. The move suggests that some property investors

4 PSAK 48 (revisi 2009) tentang Penurunan Nilai Aset menyebutkan bahwa:

[Paragraf 80] Untuk tujuan uji penurunan nilai, goodwill yang diperoleh dalam suatu kombinasi bisnis harus, sejak tanggal akuisisi, dialokasikan pada setiap unit penghasil kas pihak pengakuisisi, (atau kelompok unit penghasil kas) yang diharapkan memberikan manfaat dari sinergi kombinasi, terlepas dari apakah aset atau liabilitas lain dari pihak yang diakuisisi yang ditetapkan ke unit-unit atau kelompok unit-unit tersebut. Setiap unit atau kelompok unit yang memperoleh alokasi goodwill harus:

(a) Merupakan tingkat terendah dalam entitas yang goodwill-nya dimonitor untuk tujuan manajemen internal; dan

(b) Tidak lebih besar dari suatu segmen operasi yang ditentukan sesuai dengan PSAK 5 (revisi 2009) tentang Segmen Operasi.

[Paragraf 81] Goodwill yang diakui dalam kombinasi bisnis adalah aset yang mewakili manfaat ekonomi masa depan yang timbul dari aset lain yang diperoleh dalam kombinasi bisnis yang tidak teridentifikasi secara individual dan diakui secara terpisah. Goodwill tidak menghasilkan arus kas secara independen dari aset atau kelompok aset lain, dan seringkali berkontribusi pada arus kas dari beragam unit penghasil kas. Goodwill kadang tidak dapat dialokasikan atas suatu dasar yang non-arbitrer terhadap unit penghasil kas individual, tetapi hanya pada sekelompok unit penghasil kas. Akibatnya, tingkatan terendah dalam entitas dimana goodwill dimonitor untuk tujuan manajemen internal terkadang terdiri dari sejumlah unit penghasil kas yang dengannya goodwill tersebut terkait, tetapi padanya goodwill tersebut tidak dapat dialokasikan. Rujukan di dalam paragraf 83-94 dan Lampiran C mengenai unit penghasil kas yang mendapatkan alokasi goodwill dimaksudkan juga sebagai rujukan mengenai sekelompok unit penghasil kas yang memperoleh alokasi goodwill.

[Paragraf 82] Penerapan persyaratan dalam paragraf 80 menghasilkan goodwill yang diuji penurunan nilainya pada tingkat yang mencerminkan bagaimana entitas mengelola operasinya dan bagaimana goodwill diasosiasikan secara alami. Sehingga, pengembangan sistem pelaporan tambahan secara khusus tidak diperlukan.

5 Barker, Richard. Determining Value: Valuation Models and Financial Statements. London: Pearson

Education Limited, 2001. Halaman 110.

Page 4: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

have understood that the sector is among the best placed to benefit from the so-called new

economy…… MerchantWired says that it plans to provide retailers with a so-called virtual

private network allowing high-speed connectivity between different stores. This will allow a

retailer with sites not only at, say, the 45 Macerich shopping centres nationwide, but also at

those of the other mall company partners, to communicate quickly between stores.

MerchantWired also promises to deliver high-speed data connectivity, secure access to the

internet, and video/internet broadcasting capabilities, the last of which offers great potential

for brand-led promotions at many sites simultaneously.

Source: Financial Times, Norma Cohen, 26 May 2000.

Disebutkan bahwa:

Kehadiran Merchantwired adalah untuk mengakui adanya kesempatan guna menggunakan

teknologi informasi untuk meningkatkan nilai kolektif dari pusat-pusat eceran. Adanya

koneksi antara pusat-pusat tersebut-lah yang memampukan masing-masing dari pusat-

pusat itu untuk memperoleh manfaat dari satu sama lain, dan memungkinkan nilai

keseluruhan akan lebih besar dari penjumlahan masing-masing bagian. Sebagai contoh,

dengan meningkatkan keberlangsungan ekonomi dari kegiatan promosi merek, atau dengan

mengumpulkan dan membagi data atas permintaan konsumen. MerchantWired, dengan

demikian, memungkinkan hadirnya goodwill (dan juga memunculkan nilai goodwill dan

peningkatan nilai tersebut selanjutnya), dan bukan ditujukan terutama untuk meningkatkan

nilai yang dapat dipisahkan dari masing-masing aset individual.

Ketentuan bahwa goodwill disajikan “terpisah” di laporan posisi keuangan6, seakan-akan

menyiratkan bahwa ia merupakan suatu aset yang mampu berdiri sendiri (dan dinilai

terpisah), dan bahwa goodwill dikategorikan sebagai aset takberwujud7, namun hal ini dapat

menimbulkan interpretasi yang kurang tepat. Aset-aset lain selain goodwill, besar

kemungkinan dapat memiliki:

nilai pasar tersendiri (kepada pihak eksternal) dan

nilai kepada perusahaan sendiri (yang sangat erat terkait kepada hubungannya

dengan sumberdaya yang lain yang dipergunakan bersama-sama oleh perusahaan).

Jadi terdapat 2 (dua) nilai, yaitu nilai ke pihak eksternal dan nilai internal. Contohnya

sebagai berikut:

6 Mengacu ke Bagian I: Ilustrasi Penyajian Laporan Keuangan PSAK No. 1 (revisi 2009) tentang

Penyajian Laporan Keuangan.

7

Page 5: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

Nilai saham suatu perusahaan mencerminkan nilai gabungan dari seluruh asetnya. Masalah

dengan penilaian yang sangat sulit dipecahkan adalah bahwa total nilai ini tidak dapat

dipecah-pecah ke masing-masing aset individual, terkait adanya faktor sinergi di antara

aset-aset tersebut. Suatu perusahaan tidak menciptakan nilai hanya dengan memegang

aset, namun nilai tersebut tercipta melalui kombinasi yang cermat dari keputusan-keputusan

pengeluaran biaya dan investasi (expenditure and investment decisions), mulai dari

rekrutmen tenaga kerja, pengembangan produk, pembangunan pabrik, iklan, penyediaan

jasa dan manajemen operasional. Dampak kontribusi gabungan dari seluruh sumber daya

yang dipergunakan bersama-sama (terlepas apakah sumber daya tersebut disajikan

sebagai aset atau dibiayakan di laporan keuangan perusahaan) tersebut itulah yang

kemudian menghasilkan arus pendapatan dan arus kas yang memungkinkan perusahaan

tetap berkelanjutan dalam usahanya, dan dengan demikian memampukan suatu

perusahaan secara keseluruhan memiliki nilai di depan pihak eksternal. Walaupun aset

individual perusahaan memiliki nilai bersama-sama dengan aset lainnya, namun secara

individual, masing-masing aset tersebut besar kemungkinan tetap memiliki nilai pasar

kepada pihak eksternal. Misalnya, mesin dan peralatan tetap dapat dilepas ke pihak

eksternal dengan harga jual tertentu, bisa lebih tinggi atau lebih rendah dari nilai tercatat

dalam pembukuan perusahaan.

Hal yang sama tidak didapatkan pada goodwill, karena kehadiran dan nilai goodwill ke pihak

eksternal tidak dapat hadir secara terpisah dari aset-aset lainnya. Ia hanya hadir bersama-

sama dengan nilai perusahaan secara keseluruhan, dan it pun dengan kondisi bahwa pasar

tidak sempurna. Hanya pada saat pasar tidak sempurna-lah, yang memungkinkan suatu

perusahaan dapat memperoleh imbal hasil abnormal positif, dimana kemudian nilai

perusahaan secara keseluruhan akan lebih tinggi daripada harga masuk (entry price, atau

biaya perolehan) dari aset-asetnya8.

Sebelum dibicarakan goodwill dari sudut pandang PSAK atau IAS, akan disinggung terlebih

dahulu ketentuan perpajakan terkait dengan goodwill.

8 Barker, Richard. Determining Value: Valuation Models and Financial Statements. London: Pearson

Education Limited, 2001. Halaman 110.

Page 6: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

Ketentuan Perpajakan – Goodwill

Ketentuan perpajakan terkait aspek pajak atas goodwill juga sampai saat ini masih belum

banyak memberikan klarifikasi9.

Goodwill

Goodwill pada umumnya suatu aset yang dibukukan pada laporan posisi keuangan (atau

neraca) wajib pajak, dan banyak ditemukan pada laporan keuangan konsolidasian suatu

kelompok usaha, yaitu entitas induk dan entitas anaknya.

Walaupun goodwill dibukukan pada saat terjadi transaksi penggabungan usaha dan akuisisi

- suatu transaksi yang pada umumnya melibatkan nilai transaksi yang signifikan - namun

dalam peraturan perpajakan Indonesia tidak banyak diperoleh gambaran apa yang

dimaksud dengan goodwill dari sudut pandang otoritas perpajakan10.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat

atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) pasal 11A

hanya memberikan ketentuan mengenai amortisasi goodwill, dan di pasal tersebut

digunakan kata “muhibah”.

Dalam praktik, menjadi suatu pertanyaan umum apakah pemahaman goodwill dan

penentuan nilainya menurut Standar Akuntansi Keuangan Indonesia dapat diterima oleh

pihak fiskus. Hal ini tentunya juga akan mempengaruhi jumlah amortisasinya setiap tahun

yang akan dibebankan dalam penentuan Penghasilan Kena Pajak (PKP) wajib pajak.

Dalam suatu surat jawaban dari Direktorat Jenderal Pajak Republik Indonesia nomor S-

248/PJ.52/1988 perihal “Perlakuan Perpajakan atas “Goodwill” dan “Pre-Operating

Expenses”, ada disebutkan bahwa:

9

Aspek pajak atas goodwill dimasukkan sebagai salah satu pembahasan dalam Grey Area Perpajakan (halaman 130-132) tulisan Tugiman Binsarjono, dkk. Jakarta: PT Gemilang Gagasindo Handal, cetakan pertama, Juli 2007. 10

Direktorat Jenderal Pajak pernah menerbitkan panduan dalam bentuk buku berjudul “Perlakuan Perpajakan atas Restrukturisasi Perusahaan” pada bulan Mei 1999, dengan latar belakang restrukturisasi perusahaan yang banyak terjadi sesudah krisis ekonomi melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Buku tersebut banyak menyinggung soal penggabungan usaha (merger), peleburan usaha (consolidation) dan pemekaran usaha (expansion), namun yang menarik tidak terdapat hal-hal terkait goodwill dan bagaimana aspek perpajakannya. Tentunya dapat diperkirakan bahwa perusahaan-perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan tersebut dan kemudian menjalani program restrukturisasi, kemungkinan membukukan goodwill sebagai salah satu unsur aset dalam laporan posisi keuangan atau neraca sebelum restrukturisasi.

Page 7: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

1. Goodwill adalah harta tidak berwujud (intangible asset) dari suatu perusahaan yang

nilainya didasarkan pada kemampuan perusahaan dalam mendapatkan keuntungan.

Nama baik dari suatu perusahaan yang telah dipupuk selama perusahaan beroperasi

menciptakan “goodwill”. Walaupun demikian, “goodwill” baru dibukukan, apabila ada

realisasi dalam bentuk pemindahtanganan perusahaan yang bersangkutan kepada

pihak lain. Sepanjang tidak ada pemindahtanganan, maka “Goodwill” tidak akan

muncul.

2. Sesuai butir 1, maka bagi perusahaan yang baru berdiri, terdapat 2 (dua)

kemungkinan:

2.1. Perseroan yang baru didirikan mengoperasikan perusahaan yang berasal dari

pembelian (perusahaan yang dibeli telah mempunyai nama baik), maka akan

terdapat “Goodwill”;

2.2. Perusahaan yang baru sama sekali (tidak berasal dari pembelian perusahaan yang

telah beroperasi) tidak mungkin mempunyai “Goodwill”.

Dalam hal butir 2.2., karena tidak ada “Goodwill”, tidak ada pula amortisasi, sedangkan

untuk butir 2.1., harga perolehan dari “Goodwill” dapat diamortisasi.

Dari isi surat Dirjen Pajak di atas dapat disimpulkan bahwa:

(1) Goodwill adalah harta tidak berwujud (intangible asset) dari suatu perusahaan.

(2) Nilai goodwill didasarkan pada kemampuan perusahaan dalam mendapatkan

keuntungan.

(3) Nama baik dari suatu perusahaan yang telah dipupuk selama perusahaan beroperasi

menciptakan “goodwill”.

(4) Goodwill baru dibukukan, apabila ada realisasi dalam bentuk pemindahtanganan

perusahaan yang bersangkutan kepada pihak lain.

Butir (1) di atas mengindikasikan bahwa otoritas perpajakan memandang goodwill sebagai

suatu aset takberwujud, yang membawa konsekuensi bahwa goodwill tidak dapat

dibiayakan seketika ke laporan laba rugi. Proses pembebananya adalah melalui amortisasi

sepanjang masa manfaatnya. Hal ini dipertegas dalam surat Dirjen Pajak di atas, berbunyi:

Sesuai dengan Pasal 11 ayat (10) Undang-Undang PPh 1984, sebagai harta tak berwujud,

“Goodwill” diamortisasi sesuai dengan masa manfaatnya. Mengingat bahwa masa manfaat

“Goodwill” melekat pada perusahaan dengan pengertian bahwa suatu perusahaan didirikan

untuk jangka waktu yang sangat lama bahkan untuk selama-lamanya, maka masa manfaat

dari suatu “Goodwill” termasuk golongan dengan masa manfaat lebih dari delapan tahun.

Page 8: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

UU PPh Pasal 11A mengatur bahwa amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta

tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan,

hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih

dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

penghasilan dilakukan dengan metode:

a. dalam bagian-bagian yang sama besar setiap tahun selama masa manfaat (catatan:

umum dikenal sebagai metode garis lurus (straight line method)); atau

b. dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara menerapkan tarif

amortisasi atas nilai sisa buku (catatan: umum dikenal sebagai metode saldo menurun

ganda (double-declining balance method)).

Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode saldo

menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak-hak

tersebut diamortisasi sekaligus.

Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:

Kelompok Harta Tak

Berwujud

Masa Manfaat Tarif Amortisasi berdasarkan

Metode

Garis Lurus Saldo Menurun

Kelompok 1 4 tahun 25% 50%

Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%

Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%

Kelompok 4 20 tahun 5% 10%

Dari pasal 11A UU PPh tersebut, ada disebutkan bahwa pengeluaran lainnya, termasuk

goodwill, untuk dapat diterima sebagai biaya dalam penentuan PKP wajib pajak, perlu

dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (catatan:

menurut penulis, baik pihak wajib pajak dan fiskus dapat mengacu ke PSAK 22 (revisi 2009)

tentang Kombinasi Bisnis11 paragraf B64 dimana entitas pelapor (reporting entity) diwajibkan

memberikan pengungkapan mengenai penjelasan kualitatif tentang faktor yang membentuk

goodwill yang diakui).

11

PSAK 22 (revisi 2009) tentang Kombinasi Bisnis adalah Standar Akuntansi Keuangan Indonesia yang digunakan sebagai acuan terkait penentuan goodwill dalam kombinasi bisnis.

Page 9: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

Butir (2) mengungkapkan bahwa nilai goodwill12 didasarkan pada kemampuan perusahaan

dalam mendapatkan keuntungan. Hal ini mengindikasikan bahwa kehadiran goodwill lekat

atau identik pada kemampuan perusahaan untuk memperoleh keuntungan (catatan: tidak

dipersoalkan apakah keuntungan tersebut harus merupakan keuntungan di atas keuntungan

rata-rata atau normal). Perusahaan yang terus menerus menderita kerugian untuk beberapa

tahun tampaknya dapat saja diartikan bahwa tidak terdapat kemampuan perusahaan untuk

mencetak laba, sehingga goodwill yang ada tidak diakui oleh pihak fiskus.

Menyambung dari butir (2) di atas dimana goodwill terkait dengan kemampuan untuk

mencetak laba, maka dalam butir (3), kemampuan tersebut berasal dari nama baik

(reputasi). Hal ini dipertegas dalam surat Dirjen Pajak tersebut dimana pembelian atau

akuisisi atas perusahaan yang baru sama sekali, tidak ada goodwill yang diakui, karena

dianggap belum memiliki nama baik. Apakah ini berarti bahwa pihak fiskus hanya mengakui

bahwa goodwill yang tidak terkait dengan nama baik, tidak dapat diakui secara fiskus13?

Butir (4) mensyaratkan bahwa goodwill baru dibukukan, apabila ada realisasi dalam bentuk

pemindahtanganan perusahaan yang bersangkutan kepada pihak lain.

Tidak ada penjelasan lebih lanjut transaksi-transaksi apa saja yang tercakup dalam

“pemindahtanganan perusahaan”. Namun tampaknya ini mengacu ke terjadinya pengalihan

saham perusahaan dari satu pihak ke pihak lainnya. Pemindahtanganan perusahaan pada

umumnya diikuti dengan pengendalian (atau penguasaan) atas perusahaan tersebut14. Dari

surat Dirjen Pajak tersebut, adanya transaksi “pemindahtanganan perusahaan” saja sudah

cukup untuk membukukan goodwill.

Terkait dengan transaksi “pemindahtanganan perusahaan”, kita lihat apa yang diatur oleh

PSAK 22 (revisi 2010) terkait pengakuan goodwill, dimana disebutkan bahwa:

12

Secara teori, nilai goodwill sama nilai kini diskonto dari laba superior yang diharapkan, yaitu laba masa depan yang diharapkan dikurangi oleh laba normal dalam industri tersebut). Schroeder, R. G., Myrtle W. Clark dan Jack M. Cathey. Financial Accounting Theory and Analysis: Text and Cases. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc., 2009. Halaman 343. 13

PSAK 22 (revisi 2009) paragraf B64 menyebutkan aktor yang membentuk goodwill yang diakui, dimana tidak terbatas hanya pada nama baik (reputasi) seperti:

sinergi yang diharapkan dari penggabungan operasi pihak pengakuisisi dan pihak yang diakuisisi,

aset tidak berwujud yang tidak memenuhi persyaratan untuk pengakuan terpisah atau faktor lain.

14

Pemilikan (misalnya dengan cara membeli) dan hak secara hukum (legal rights) hanya merupakan salah satu cara untuk mendapatkan penguasaan atau kendali (Mos, Kenneth S. Accounting Theory. Columbus, OH: Grid Publishing, Inc., 1982. Halaman 341-342).

Page 10: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

Entitas mencatat setiap kombinasi bisnis dengan menerapkan metode akuisisi [paragraf

04]

Penerapan metode akuisisi mensyaratkan [paragraf 05]:

(a) pengidentifikasian pihak pengakuisisi;

(b) penentuan tanggal akuisisi;

(c) pengakuan dan pengukuran aset teridentifikasi yang diperoleh, liabilitas yang

diambil-alih, dan kepentingan nonpengendali pihak yang diakuisisi; dan

(d) pengakuan dan pengukuran goodwill atau keuntungan dari pembelian dengan diskon.

Pihak pengakuisisi mengakui goodwill pada tanggal akuisisi yang diukur sebagai

selisih…..[paragraf 32].

Dari paragraf-paragraf di atas dapat diketahui bahwa pengakuan goodwill oleh pihak

pengakuisisi terkait dengan penerapan metode akuisisi atas setiap kombinasi bisnis.

Kombinasi bisnis sendiri adalah suatu transaksi atau peristiwa lain dimana pihak

pengakuisisi memperoleh pengendalian atas satu atau lebih bisnis [Lampiran A: Istilah]. Di

sini, kombinasi bisnis identik dengan diperolehnya pengendalian atas bisnis.

Namun perlu diperhatikan bahwa hanya pada akuisisi bisnis saja diperbolehkan oleh PSAK

22 (revisi 2010) untuk pengakuan goodwill, sedangkan akuisisi di luar bisnis tidak dapat

menimbulkan goodwill. Hal ini dipertegas dalam paragraf 02 tentang ruang lingkup PSAK 22

(revisi 2010) dimana suatu transaksi atau peristiwa akuisisi aset atau kelompok aset

yang bukan merupakan suatu bisnis tidak menimbulkan goodwill.

Dalam PSAK 19 (revisi 2010) tentang Aset Takberwujud lebih jauh mengatur bahwa:

Goodwill yang dihasilkan secara internal tidak boleh diakui sebagai aset [paragraf 47].

Dalam beberapa kasus, entitas melakukan pengeluaran untuk menghasilkan manfaat

ekonomis masa depan, tetapi pengeluaran tersebut tidak berakibat pada timbulnya aset

takberwujud yang dapat diakui sesuai dengan PSAK 19 (revisi 2010) ini. Pengeluaran

seperti itu sering dianggap memberikan sumbangsih terhadap timbulnya goodwill dalam

entitas yang dihasilkan secara internal. Goodwill yang dihasilkan secara internal tidak

boleh diakui sebagai aset karena goodwill tersebut bukan merupakan suatu sumber daya

teridentifikasi (tidak dapat dipisahkan dan tidak timbul dari kontrak atau hak legal) yang

dikendalikan oleh entitas dan bisa diukur secara andal menurut biaya perolehannya

[paragraf 48].

Page 11: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

Selisih antara nilai pasar entitas dan jumlah tercatat aset bersih teridentifikasi dapat

mencerminkan berbagai faktor yang mempengaruhi nilai entitas tersebut. Namun, selisih

tersebut tidak bisa dianggap sebagai biaya perolehan aset takberwujud yang

dikendalikan oleh entitas [paragraf 49].

Jadi PSAK 19 (revisi 2010) tidak memperbolehkan goodwill yang dihasilkan secara internal

diakui sebagai aset suatu entitas. Dengan demikian, terkait dengan PSAK 22 (revisi 2010),

dapat disimpulkan bahwa pengakuan goodwill hanya dimungkinkan timbul pada transaksi

akuisisi, yaitu diperolehnya pengendalian atas suatu bisnis, dimana pengendalian

dianggap ada dalam 9 (sembilan) situasi sebagaimana ditentukan oleh PSAK 4 (revisi

2009) tentang Laporan Keuangan Konsolidasian dan Laporan Keuangan Tersendiri paragraf

10 dan Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) Nomor 07 (revisi 2009) tentang

Konsolidasi Entitas Bertujuan Khusus paragraf 10, sebagai berikut:

(i) Entitas induk memiliki secara langsung atau tidak langsung melalui entitas anak lebih

dari setengah kekuasaan suara suatu entitas, kecuali dalam keadaan yang jarang,

dapat ditunjukkan secara jelas bahwa kepemilikan tersebut tidak diikuti dengan

pengendalian.

(ii) Entitas memiliki setengah atau kurang kekuasaan suara suatu entitas jika terdapat:

(a) Kekuasaan yang melebihi setengah hak suara sesuai dengan perjanjian dengan

investor lain;

(b) Kekuasaan untuk mengatur kebijakan keuangan dan operasional entitas

berdasarkan anggaran dasar atau perjanjian;

(c) Kekuasaan untuk menunjuk atau mengganti sebagian besar dewan direksi dan

dewan komisaris atu organ pengatur setara dan mengendalikan entitas melalui

dewan atau organ tersebut; atau

(d) Kekuasaan untuk memberikan suara mayoritas pada rapat dewan direksi dan

dewan komisaris atau organ pengatur setara dan mengendalikan entitas melalui

dewan direksi dan dewan komisaris atau organ tersebut.

(iii) kondisi-kondisi berikut ini, misalnya, mungkin mengindikasikan hubungan dimana

entitas mengendalikan Entitas Bertujuan Khusus (EBK) dan konsekuensinya

mengonsolidasi EBK tersebut:

(a) secara substansi, kegiatan dari EBK dijalankan untuk mewakili suatu entitas

sesuai dengan kebutuhan khususnya, sehingga entitas tersebut memperoleh

manfaat dari operasi EBK;

(b) secara substansi, entitas mempunyai kekuasaan dalam pengambilan keputusan

untuk memperoleh sebagian besar manfaat dari kegiatan EBK, atau dengan cara

Page 12: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

membuat mekanisme autopilot, entitas telah mendelegasikan kekuasaan dalam

pengambilan keputusan ini;

(c) secara substansi, entitas mempunyai hak untuk memperoleh sebagian besar

manfaat dari EBK dan oleh karena itu, juga menanggung risiko dari aktivitas

EBK; atau

(d) secara substansi, entitas memperoleh mayoritas hak residual dan menanggung

risiko kepemilikan yang terkait dengan EBK atau asetnya untuk memperoleh

manfaat dari aktivitas EBK yang bersangkutan.

Apabila dibandingkan dengan ketentuan perpajakan, pengakuan goodwill dikaitkan dengan

adanya transaksi “pemindahtanganan perusahaan”, sedangkan dari PSAK 22 (revisi 2010)

lebih ditekankan pada apakah ada transaksi akuisisi yang mengakibatkan diraihnya

pengendalian oleh pihak pengakuisisi atas suatu bisnis. Jadi di sini konsep

“pemindahtanganan” vs “perolehan pengendalian”. Apabila bisa dilihat lebih mendalam,

maka tentunya apa yang diatur oleh PSAK 22 (revisi 2010) terkait konsep pengendalian

lebih luas, karena:

tidak semua transaksi “pemindahtanganan perusahaan” akan diikuti dengan

diperolehnya pengendalian atas perusahaan tersebut, walaupun memang dalam

praktik, pihak yang menerima pemindahtanganan perusahaan akan cenderung

meminta porsi kepemilikan mayoritas yang memungkinkan pihak tersebut

mengendalikan perusahaan.

PSAK 22 (revisi 2010) mengatur bahwa akuisisi harus dilakukan atas suatu bisnis,

sehingga di sini perlu dilakukan identifikasi atas kombinasi bisnis dan identifikasi

atas bisnis (lihat Lampiran Panduan Aplikasi PSAK 22 (revisi 2010) terkait

Penerapan Paragraf 03). Dengan kata lain, perlu dipastikan bahwa transaksi akuisisi

tersebut memenuhi definisi (i) kombinasi bisnis dan (ii) bisnis menurut pengertian

PSAK 22 (revisi 2010).

Bisnis sendiri diartikan sebagai suatu rangkaian terpadu dari kegiatan dan aset yang

mampu diadakan dan dikelola dengan tujuan memberikan hasil dalam bentuk

dividen, biaya yang lebih rendah, atau manfaat ekonomi lainnya secara langsung

kepada investor atau pemilik, anggota, atau peserta lainnya [Lampiran A: Istilah].

Dalam hal ini, suatu transaksi akuisisi harus memenuhi definisi kombinasi bisnis

menurut PSAK 22 (revisi 2010) tersebut dan perlu ada identifikasi pihak pengakuisisi.

Kombinasi bisnis sendiri didefinisikan sebagai suatu transaksi atau peristiwa lain

dimana pihak pengakuisisi memperoleh pengendalian atas satu atau lebih bisnis,

Page 13: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

dan pihak pengakuisisi sebagai pihak yang memperoleh pengendalian atas pihak

lain yang diakuisisi, biasanya merupakan entitas yang bergabung yang ukuran relatif

(diukur dengan, misalnya, aset, pendapatan atau laba) secara signifikan lebih besar

dari ukuran entitas yang bergabung lainnya.

Diperolehnya pengendalian atas suatu bisnis tidak selalu diikuti dengan

pemindahtanganan perusahaan, sebagaimana diatur dalam ISAK Nomor 7 (revisi

2009) tentang Konsolidasi Entitas Bertujuan Khusus, dimana suatu entitas mungkin

memperoleh kendali atas suatu EBK meskipun entitas tersebut hanya memiliki

sedikit atau bahkan sama sekali tidak memiliki modal EBK [paragraf 09]. ISAK 7

(revisi 2009) mengingatkan bahwa penerapan konsep pengendalian membutuhkan

adanya pertimbangan atas semua faktor yang relevan untuk tiap-tiap kasus [paragraf

09].

Lampiran terkait Indikasi Adanya Pengendalian terhadap EBK mencakup 4 (empat)

hal, sebagai berikut:

(i) Kegiatan dimana kegiatan EBK, secara substansi, dilakukan atas nama entitas

pelapor, yang secara langsung dan tidak langsung membentuk EBK sesuai

dengan kebutuhan khusus bisnisnya.

(ii) Pengambilan keputusan, dimana entitas pelapor, secara substansi, memiliki

kemampuan dalam pengambilan keputusan untuk mengendalikan atau untuk

memperoleh pengendalian atas EBK atau asetnya, termasuk kemampuan

dalam pengambilan keputusan setelah pembentukan EBK. Kemampuan dalam

pengambilan keputusan tersebut mungkin telah didelegasikan dengan

pembentukan mekanisme “autopilot”.

(iii) Manfaat, dimana entitas pelapor, secara substansi, mempunyai hak untuk

memperoleh manfaat yang besar dari kegiatan EBK melalui undang-undang,

kontrak, perjanjian, aturan tertentu, atau skema lain, dalam bentuk

perencanaan atau perangkat aturan. Hak untuk memperoleh manfaat dalam

EBK menunjukkan adanya pengendalian ketika hal itu dikhususkan untuk

entitas yang melakukan transaksi dengan EBK dan entitas tersebut

memperoleh manfaat tersebut dari kinerja keuangan EBK.

(iv) Risiko, dimana indikasi adanya pengendalian dapat diperoleh dengan

mengevaluasi risiko dari masing-masing pihak yang bertransaksi dengan EBK.

Sering kali, entitas pelapor menjamin tingkat pengembalian atau perlindungan

kredit baik secara langsung atau tidak langsung melalui EBK ke investor luar

yang memberikan modal secara substansial ke EBK. Sebagai hasil dari

penjaminan, entitas menanggung risiko residual atau risiko kepemilikan dan

Page 14: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

investor substansinya hanya sebagai peminjam karena kerentanan mereka

atas keuntungan dan kerugian terbatas.

Bahkan sangat dimungkinkan tidak terjadi pemindahtanganan perusahaan dalam

pengertian konvensional (yaitu terjadinya jual-beli saham) namun pihak pengakuisisi

tetap memperoleh pengendalian atas pihak yang diakuisisi. Paragraf 43 PSAK 22

(revisi 2010) memberikan 3 (tiga) contoh terkait hal ini, yaitu kombinasi bisnis yang

dilakukan tanpa pengalihan imbalan, dimana:

(i) Pihak yang diakuisisi membeli kembali sahamnya sendiri dengan jumlah yang

memadai sehingga investor yang ada (pihak pengakuisisi) memperoleh

pengendalian.

(ii) Hilangnya hak veto minoritas, yang sebelumnya menghalangi pihak

pengakuisisi untuk mengendalikan pihak yang diakuisisi, dimana pihak

pengakuisisi memiliki hak suara mayoritas.

(iii) Pihak pengakuisisi dan pihak yang diakuisisi sepakat untuk mengkombinasikan

bisnisnya dengan kontrak semata. Pihak pengakuisisi tidak mengalihkan

imbalan dalam pertukaran dengan pengendalian atas pihak yang diakuisisi dan

tidak memiliki kepentingan ekuitas pada pihak yang diakuisisi, baik pada

tanggal akuisisi maupun sebelumnya. Contoh dari kombinasi bisnis yang

dilakukan dengan kontrak semata termasuk penggabungan dua bisnis

bersama-sama dalam satu kesepakatan gabungan (stapling arrangement) atau

pembentukan perusahaan yang tercatat di dua bursa (dual listed corporation).

Dalam hal ini, kepentingan ekuitas pada pihak yang diakuisisi yang dimiliki oleh

pihak selain pihak pengakuisisi adalah kepentingan nonpengendali dalam

laporan keuangan paska-kombinasi pihak pengakuisisi, bahkan jika hasilnya

adalah bahwa seluruh kepentingan ekuitas pada pihak yang diakuisisi

diatribusikan kepada kepentingan nonpengendali [paragraf 44 PSAK 22 (revisi

2010)]. Dengan kata lain, seluruh aset neto pihak yang diakuisisi disajikan

sebagai kepentingan non-pengendalian, atau diatribusikan kepada pemilik

pihak yang diakuisisi.

Kembali ke ketentuan perpajakan, goodwill yang dikaitkan dengan nama baik (reputasi),

maka kalau diperhatikan dengan cermat, misalnya goodwill yang berasal dari nama baik,

sesungguhnya selalu ada atau sudah ada pada titik waktu manapun juga dalam

kegiatan usaha normal suatu perusahaan (catatan: kecuali terjadi perubahan atas nama

baik tersebut, misalnya, produk cacat yang dipasarkan), namun dari segi akuntansi atau

Page 15: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

pencatatannya, goodwill diakui atau “baru muncul” ketika ia diperoleh melalui pembelian

bisnis yang sudah berjalan15.

Karena dalam UU PPh maupun peraturan perpajakan tidak terdapat penjelasan terkait apa

dan bagaimana perhitungan goodwill, maka menurut hemat penulis, perlu kembali ke Pasal

28 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga

atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan (UU KUP) terkait pembukuan atau pencatatan wajib pajak.

Penjelasan Pasal 28 ayat (7) paragraf terakhir UU KUP menyebutkan bahwa:

Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim

dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali

peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.

Mengacu ke Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) di Indonesia, setidak-

tidaknya ada 2 (dua) PSAK yang dapat digunakan untuk acuan pencatatan goodwill dalam

pembukuan wajib pajak:

PSAK 22 (revisi 2010) tentang Kombinasi Bisnis16

PSAK 15 (revisi 2009) tentang Investasi pada Entitas Asosiasi

PSAK 12 (revisi 2009) tentang Bagian Partisipasi atas Ventura Bersama, yaitu untuk

penggunaan metode ekuitas dalam mencatat bagian partisipasi venturer atas

pengendalian bersama entitas.

GOODWILL

PSAK 22 (revisi 2010) atau IFRS 3 (2008) mendefinisikan goodwill dalam konteks sifat

(nature)-nya dan bukan berdasarkan pengukurannya.

15

Pertimbangan utama adalah bahwa melalui transaksi “pemindahtanganan perusahaan”, nilai goodwill dapat ditentukan dengan andal, dimana penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi antara wajib pajak dengan pihak lainnya dapat diuji relatif lebih mudah. Transaksi “pemindahtanganan perusahaan” pada umumnya melibatkan aset, bisa berupa uang tunai, aset tetap, atau bahkan saham yang dipertukarkan. Nilai aset yang dipertukarkan akan memberikan indikasi total nilai wajar entitas bisnis yang dibeli. Penulis teringat sebagaimana dikutip oleh penulis Kam, Moonitz menyatakan bahwa “exchange does not make values, it merely reveals them”. Kam, Vernon. Accounting Theory. New York: John Wiley & Sons, Inc., 1990. Halaman 107-108. 16

PSAK 22 (revisi 2010) merupakan adopsi dari International Financial Reporting Standard 3 (2009) tentang Business Combinations, dan wajib diterapkan secara prospektif untuk kombinasi bisnis yang tanggal akuisisinya pada atau setelah awal periode tahun buku yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2011. PSAK 22 (revisi 2010) menggantikan PSAK 22 sebelumnya (1994) tentang Penggabungan Usaha.

Page 16: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

Goodwill adalah suatu aset yang mencerminkan manfaat ekonomi masa depan yang timbul

dari aset lainnya yang diperoleh dalam kombinasi bisnis yang tidak dapat diidentifikasi

secara individual dan diakui secara terpisah [PSAK 22 (revisi 2010) Bagian Lampiran A:

Istilah].

Dari definisi di atas, tampak bahwa goodwill adalah:

(i) suatu aset,

Karena goodwill didefinisikan sebagai suatu aset, tentunya ia memenuhi definisi aset

dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan (Framework

for the Preparation and Presentation of Financial Statements), dimana aset

merupakan sumber daya yang dikuasai oleh perusahaan sebagai akibat dari

peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi di masa depan diharapkan akan

diperoleh perusahaan (a resource controlled by the enterprise as a result of past

events and from which future economic benefits are expected to flow to the

enterprise [paragraf 49(a)]).

Definisi aset di atas berbeda dengan definisi aset yang terdapat pada U.S. Statement

of Financial Accounting Concepts (SFAC) No. 6 tentang Elements of Financial

Statements, dimana aset didefinisikan sebagai berikut17:

Assets are probable future economic benefits obtained or controlled by a particular

entity as a result of past transactions or events [paragraf 25].

An asset has three essential characteristics:

(a) it embodies a probable future benefit that involves a capacity, singly or in

combination with other assets, to contribute directly or indirectly to future net cah

inflows,

(b) a particular entity can obtain the benefit and control others’ access to it, and

(c) the transaction or other event giving rise to the entity’s right to or control of the

benefit has already occurred.

Assets commonly have other features that help identify them – for example, assets

may be acquired at a cost and they may be tangible, exchangeable, or legally

enforceable. However, those features are not essential characteristics of assets.

Their absence, by itself, is not sufficient to preclude an item’s qualifying as an asset.

17

Diunduh pada tanggal 28 Juni 2012 dari http://www.fasb.org/cs/BlobServer?blobcol=urldata&blobtable=MungoBlobs&blobkey=id&blobwhere=1175820901044&blobheader=application%2Fpdf.

Page 17: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

That is, assets may be acquired without cost, they may be intangible, and although

not exchangeable they may be usable by the entity in producing or distributing other

goods or services. Similarly, although the ability of an entity to obtain benefit from an

asset and to control others’ access to it generally rests on a foundation of legal rights,

legal enforceability of a claim to the benefit is not a prerequisite for a benefit to qualify

as an asset if the entity has the ability to obtain and control the benefit in other ways

[paragraf 26].

Apabila dibandingkan kedua definisi aset di atas18, maka diperhatikan bahwa US

GAAP SFAC No. 6 menggunakan istilah “manfaat yang diperoleh atau dikendalikan”

sedangkan IASB Framework “sumber daya yang dikuasai” oleh entitas. Ini

merupakan perbedaan yang cukup mendasar karena akan mempunyai implikasi

dalam praktik, misalnya, goodwill akan termasuk dalam definisi aset menurut US

GAAP SFAC No. 6, tetapi tidak masuk dalam definisi aset menurut IAS Framework,

karena goodwill tidak dapat dikuasai oleh entitas. Jadi cukup menarik bahwa justru

definisi aset dalam IASB Framework tidak termasuk goodwill, padahal dalam IFRS 3

(2008) atau PSAK 22 (revisi 2010) justru diakui sebagai suatu aset.

(ii) dimana aset ini mencerminkan manfaat ekonomi masa depan19,

18

Bagi pembaca yang berminat mengetahui pembahasan definisi aset, dapat mengacu ke buku: Suwardjono. Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Jogjakarta: BPFE-Jogjakarta, 2005. Edisi Ketiga. Bab 6. 19

Hadirnya istilah “manfaat ekonomi [di] masa depan (future economic benefits) tanpa diberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud juga menimbulkan permasalahan tersendiri dalam definisi aset menurut IASB Framework. Penting diperhatikan bahwa dalam definisi aset menurut IASB Framework, tidak terdapat kata “mungkin (probable)”, suatu kata yang justru dijadikan satu kesatuan dengan “manfaat ekonomi [di] masa depan” yaitu “probable future economic benefits” dalam definisi aset menurut US SFAC No. 6. IASB sengaja menanggalkan kata “probable” karena dianggap bahwa ia merupakan kriteria pengakuan (recognition) dan bukan sifat dari aset itu sendiri. Hal ini tampak disebutkan dalam paragraf 89 terkait pengakuan aset dimana disebutkan bahwa: Aset diakui dalam neraca kalau besar kemungkinan (catatan: terjemahan dari kata “probable’) bahwa manfaat ekonominya di masa depan diperoleh perusahaan dan aset tersebut mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan andal. Di samping itu, IASB memaknai manfaat ekonomi masa depan bukan sebagai potensi jasa yang sekarang dikuasai perusahaan tetapi sebagai manfaat yang diharapkan mengalir ke perusahaan. Jadi manfaat ekonomi yang dimaksudkan oleh IASB adalah bukan manfaat yang dikandung (embodied) dalam sumber ekonomi yang dikuasai, tetapi melainkan manfaat yang didatangkan atau yang mengalir ke perusahaan. Karena bukan manfaat yang dikandung, pengertian manfaat ekonomi [di] masa depan oleh IASB dapat diinterpretasikan sebagai aliran masuk manfaat akibat pemerolehan sumber ekonomi baru lantaran pertukaran dengan sumber ekonomi yang sebelumnya dikuasai atau lantaran aliran masuk pendapatan [Suwardjono (2005): Halaman 254, dan IASB Framework paragraf 53 – 59 terkait Aset]. Namun, tanpa pengertian kalimat “manfaat ekonomi [di] masa depan” dalam IASB Framework akan menimbulkan permasalahan sirkularisasi, karena aset dalam US SFAC No. 6 justru didefinisikan sebagai “manfaat ekonomi [di] masa depan yang besar kemungkinan terjadi [terjadi]”, jadi kalau dilihat dari IASB Framework dan US SFAC No. 6, secara logika akan tampak sebagai berikut:

Page 18: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

(iii) dan aset ini timbul dari aset lainnya, (dalam konteks timbul dari kombinasi/sinergi?)

(iv) yang diperoleh dalam kombinasi bisnis

(v) yang tidak dapat diidentifikasi secara individual dan diakui secara terpisah.

Goodwill Memenuhi Kualifikasi sebagai suatu Aset

Dalam IFRS 3.BC313, IASB mengambil 6 komponen jumlah yang menurut praktik

berdasarkan petunjuk yang berlaku pada saat itu (yaitu pada saat Draf Exposure US

Statement of Financial Accounting Standards No. 141 versi 1999 dan 2001), telah diakui

sebagai goodwill. Enam komponen tersebut adalah sebagai berikut:

Komponen 1 - selisih (excess) nilai wajar di atas nilai buku aset neto pihak yang

diakuisisi pada tanggal akuisisi.

Komponen 2 – nilai wajar aset neto lainnya yang sebelumnya tidak diakui oleh pihak

yang diakuisisi. Aset neto lainnya ini yang belum diakui kemungkinan karena (i)

mereka gagal untuk memenuhi kriteria pengakuan (kemungkinan karena kesulitan

dalam hal pengukuran), (ii) terdapat ketentuan yang tidak memungkinkan pengakuan

mereka, atau (iii) pihak yang diakuisisi berkesimpulan bahwa biaya pengakuan

mereka secara terpisah tidak dapat dijustifikasi oleh manfaat yang akan diperoleh.

Komponen 3 – nilai wajar unsur going concern dari bisnis yang ada saat ini dari

pihak yang diakuisisi. Unsur going concern mencerminkan kemampuan dari bisnis

yang mapan untuk meraih tingkat imbal hasil yang lebih tinggi atas sekumpulan aset

neto, lebih dari yang diharapkan seandainya aset neto tersebut harus diperoleh

secara terpisah. Nilai tersebut berasal dari sinergi aset neto dari bisnis tersebut,

demikian juga manfaat lainnya (seperti faktor yang terkait dengan

ketidaksempurnaan pasar, termasuk kemampuan untuk memperoleh laba

monopolistik dan adanya halangan bagi pihak calon pesaing untuk masuk ke pasar

(barriers to market entry) – apakah datang dari segi legal atau disebabkan oleh biaya

transaksi.

Komponen 4 – Nilai wajar dari sinergi yang diharapkan dan manfaat lainnya yang

berasal dari menggabungkan aset neto dan business pihak pengakuisisi dan pihak

yang diakuisisi. Sinergi dan manfaat lainnya tersebut adalah unik untuk masing-

masing kombinasi, dan kombinasi yang berbeda akan menghasilkan sinergi yang

berbeda, dan karenanya, nilai yang berbeda.

Komponen 5 – valuasi berlebihan (overvaluation) dari imbalan yang dibayarkan oleh

pihak pengakuisisi berasal dari kesalahan dalam menilai imbalan yang dilakukan.

Aset adalah sumber daya yang dikuasai oleh perusahaan sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana aset [baca: manfaat ekonomi di masa depan] diharapkan akan diperoleh perusahaan.

Page 19: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

Meskipun harga pembelian dalam suatu transaksi seluruhnya uang tunai tidak akan

mengalami kesalahan pengukuran, namun hal yang sama tidak dapat begitu saja

disimpulkan untuk suatu transaksi yang melibatkan kepentingan ekuitas pihak

pengakuisisi. Artinya, dalam hal ini, yang dijadikan imbalan adalah instrumen ekuitas

pihak pengakuisisi, yang akan diberikan ke pihak yang diakuisisi atau pemegang

saham sebelumnya. Seumpama saham pihak akuisisi yang dijadikan imbalan dan

saham tersebut dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek. Sekalipun

diperdagangkan di bursa efek, jumlah saham biasa yang diperdagangkan setiap hari

di bursa efek bisa jadi jumlahnya kecil dibandingkan dengan jumlah lembar saham

yang diterbitkan untuk suatu transaksi kombinasi bisnis. Apabila demikian, menarik

kesimpulan dari nilai pasar saat ini terhadap seluruh saham yang diterbitkan guna

menutup transaksi kombinasi bisnis kemungkinan akan menghasilkan nilai yang

lebih tinggi dibandingkan dengan nilai yang diperoleh jika saham-saham tersebut

dijual terlebih dahulu guna memperoleh uang tunai, dimana uang tunai tersebut lalu

dipergunakan untuk membayar transaksi kombinasi bisnis tersebut.

Komponen 6 – Pembayaran terlalu tinggi (overpayment) atau pembayaran terlalu

rendah (underpayment) oleh pihak pengakuisisi. Pembayaran lebih tinggi dapat

terjadi, sebagai contoh, jika harga didorong naik dalam proses penawaran (bidding)

guna membeli bisnis pihak yang diakuisisi; dan sebaliknya pembayaran yang lebih

rendah dapat terjadi dalam suatu penjualan dalam kondisi tertekan (kadangkala

dikenal sebagai penjualan “obral” – fire sale).

[IFRS 3.BC314] IASB melihat bahwa 2 (dua) komponen pertama-tama disebutkan,

keduanya terkait dengan pihak yang diakuisisi, yang secara konseptual bukan merupakan

bagian dari goodwill. Komponen pertama bukan sendirinya merupakan suatu aset;

sebaliknya, ia mencerminkan keuntungan yang belum diakui oleh pihak yang diakui atas

aset netonya. Dalam hal ini, komponen tersebut merupakan bagian dari aset-aset tersebut

dan bukannya bagian dari goodwill. Komponen kedua juga secara konseptual bukan

merupakan bagian dari goodwill dimana ia terutama mencerminkan aset takberwujud yang

dapat diakui sebagai aset individual.

[IFRS 3.BC315] Komponen ke-lima dan ke-enam, keduanya yang mana terkait dengan

pihak pengakuisisi, secara konseptual juga bukan merupakan bagian dari goodwill.

Komponen ke-lima bukan dengan sendirinya merupakan suatu aset atau bahkan bukan

merupakan bagian dari suatu aset, namun lebih merupakan suatu pengukuran yang salah.

Komponen ke-enak juga bukan merupakan suatu aset; secara konseptual ia merupakan

suatu kerugian (dalam hal terjadi pembayaran lebih tinggi) atau suatu keuntungan (dalam

Page 20: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

hal terjadi pembayaran lebih rendah) bagi pihak pengakuisisi. Dengan demikian, tidak ada

satupun dari kedua komponen tersebut yang secara konseptual merupakan bagian dari

goodwill.

[IFRS 3.BC316] IASB juga memperhatikan bahwa komponen ketiga dan keempat adalah

bagian dari goodwill. Komponen ketiga berkaitan dengan pihak yang diakuisisi dan

mencerminkan selisih lebih (excess) nilai gabungan dari aset neto pihak yang diakuisisi. Ia

mencerminkan goodwill yang ada sebelumnya (pre-existing goodwill) yang dihasilkan secara

internal oleh pihak yang diakuisisi atau diakuisisi oleh pihak yang diakuisisi dalam kombinasi

bisnis sebelumnya (dimana pada waktu itu, pihak yang diakuisisi merupakan pihak

pengakuisisi). Komponen keempat berkaitan dengan pihak yang diakuisisi dan pihak

pengakuisisi bersama-sama dan mencerminkan selisih lebih nilai gabungan yang tercipta

dari kombinasi – yaitu sinergi yang diharapkan dari menggabungkan bisnis-bisnis tersebut.

IASB menggambarkan komponen ketiga dan keempat secara kolektif sebagai “goodwill

murni/core goodwill”.

[IFRS 3.BC317] Standar IFRS 3 (revisi 2008) berusaha menghindari menggabungkan

komponen pertama, kedua dan kelima dari goodwill menjadi jumlah yang pada awalnya

diakui sebagai goodwill. Secara spesifik, pihak pengakuisisi diwajibkan untuk berusaha

semaksimal mungkin:

PENGUKURAN ATAU PENENTUAN NILAI GOODWILL

PSAK 22 (revisi 2010) tentang Kombinasi Bisnis paragraf 32, menyebutkan bahwa pihak

pengakuisisi mengakui goodwill pada tanggal akuisisi yang diukur sebagai selisih lebih (a)

atas (b) di bawah ini:

(a) nilai agregat dari:

(i) imbalan yang dialihkan yang diukur sesuai dengan Pernyataan ini, yang pada

umumnya mensyaratkan nilai wajar tanggal akuisisi;

(ii) jumlah setiap kepentingan nonpengendali pada pihak yang diakuisisi yang diukur

sesuai dengan Pernyataan ini; dan

Page 21: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

(iii) untuk kombinasi bisnis yang dilakukan secara bertahap, nilai wajar pada tanggal

akuisisi kepentingan ekuitas yang sebelumnya dimiliki oleh pihak pengakuisisi pada

pihak yang diakuisisi.

(b) selisih jumlah dari aset teridentifikasi yang diperoleh dan liabilitas yang diambil-alih

pada tanggal akuisisi, yang diukur sesuai dengan Pernyataan ini.

ALASAN GOODWILL EXPENSED OFF?

Dalam PSAK 22 (revisi 2010) tidak ditemukan Dasar Kesimpulan terkait IFRS 3 tentang

Business Combinations, namun dalam Basis for Conclusions on IFRS 3 Business

Combinations, ada disebutkan bahwa IFRS 3 (revisi 2009) mewajibkan pihak pengakuisisi

untuk mengakui goodwill sebagai suatu aset dan untuk mengukur goodwill sebagai suatu

residu [paragraf BC312] dan bahwa baik International Accounting Standards Board maupun

US Financial Accounting Standards Board, masing-masing berkesimpulan bahwa

pengukuran langsung atas goodwill adalah tidak mungkin [paragraf 328].

Menjadi menarik tentunya, baik bagi pihak wajib pajak maupun pihak fiskus, adalah

bagaimana menghitung nilai residu tersebut, yang akan menentukan nilai goodwill (dan

jumlah amortisasi menurut ketentuan perpajakan UU PPh).

Mengingat bahwa pengukuran goodwill merupakan suatu residu, maka menurut penulis

minimal terdapat 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan:

1. Pengukuran nilai atas aset teridentifikasi yang diperoleh, dimana aset ini dapat mencakup

aset berwujud dan takberwujud20.

2. Pengukuran atas kepentingan nonpengendali (minority interests) 21 pada pihak yang

diakuisisi, jika pihak pengakuisisi mengakuisisi kurang dari 100% dari suatu bisnis (atau

dikenal pula sebagai akuisisi parsial). Pengukuran kepentingan nonpengendali menjadi

salah satu kunci untuk pengukuran goodwill menurut PSAK 22 (revisi 2010).

Pada point ke (2) di atas menjadi hal yang menarik karena merupakan satu-satunya area

dalam PSAK 22 (revisi 2010) atau IFRS 3, dimana pihak pengakuisisi mempunyai atau

diberikan pilihan untuk mengukur kepentingan nonpengendali berdasarkan setiap kasus

kombinasi bisnis (business combination-by-combination basis), sehingga tidak diperlukan

20

Di sini, penulis tidak membahas lebih lanjut perihal permasalahan identifikasi dan pengukuran aset takberwujud. Bagi pembaca yang berminat, dapat membaca bagian “Aset Takberwujud Teridentifikasi” paragraf C116 – C144 dari PSAK 22 (revisi 2010) tentang Kombinasi Bisnis. 21

Kepentingan nonpengendali adalah ekuitas pada entitas anak yang tidak dapat diatribusikan, baik langsung maupun tidak langsung, pada entitas induk [PSAK 22 (revisi 2010) Lampiran A tentang Istilah].

Page 22: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

bahwa satu metode yang dipilih harus tetap secara taat asas digunakan untuk kasus

kombinasi bisnis lainnya meskipun dilakukan oleh pihak pengakuisisi yang sama22.

Menurut paragraf 19 PSAK 22 (revisi 2010), disebutkan bahwa untuk setiap kombinasi

bisnis, pihak pengakuisisi mengukur kepentingan nonpengendali pada pihak yang

diakuisisi dengan menggunakan salah satu metode23, yaitu pada:

1. Nilai wajar24 (fair value method atau full goodwill method); atau

2. Proporsi kepemilikan kepentingan nonpengendali atas aset neto teridentifikasi dari

pihak yang diakuisisi (proportionate share method atau partial goodwill method).

Masukkan diagram

Contoh pengukuran kepentingan nonpengendali:

Pada tanggal 1 Maret 2012, Perusahaan AB mengakuisisi perusahaan DC dengan

membeli 75% ekuitas perusahaan DC secara tunai sebesar Rp200milyar.

Total aset neto teridentifikasi perusahaan DC yang diukur sesuai dengan PSAK 22

(revisi 2010) ditentukan sebesar Rp100milyar pada tanggal akuisisi.

Nilai wajar kepentingan nonpengendali (mewakili 25%) pada perusahaan DC

ditentukan sebesar Rp60milyar.

Penentuan Goodwill:

Apabila kepentingan nonpengendali diukur menggunakan nilai wajar:

22

Masih dapat diperdebatkan apakah ketentuan PSAK 22 (revisi 2010) atau IFRS 3 terkait adanya pilihan untuk mengukur kepentingan nonpengendali yang tidak perlu dilakukan secara taat asas dari satu kombinasi bisnis ke kombinasi bisnis lainnya dapat diterima oleh otoritas perpajakan. UU KUP Pasal 28 ayat (5) dan penjelasannya mewajibkan bahwa pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas termasuk dalam penggunaan metode akuntansi atau pembukuan, terutama dimaksudkan untuk mencegah terjadi penggeseran laba atau rugi dari satu tahun ke tahun berikutnya. 23

Bagi pembaca yang tertarik untuk mengetahui beberapa point yang perlu dipertimbangkan oleh suatu entitas ketika ia memutuskan apakah akan mengukur kepentingan nonpengendali menggunakan nilai wajar atau tidak, dapat membaca PricewaterhouseCoopers LLP Global Accounting Consulting Services. Manual of Accounting IFRS 2011. London: CCH a Wolters Kluwer business, 2010. Halaman 25101.

24

Definisi nilai wajar menurut IFRS 13 “Fair Value Measurement” (Mei 2011): Fair value is the price that would be received to sell an asset or paid to transfer a liability in an orderly transaction in the principal (or most advantageous) market at the measurement date under current market conditions (i.e. an exit price) regardless of whether that price is directly or estimated using another valuation technique. Fair value is a market-based measurement, not an entity-specific measurement.

Page 23: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

Keterangan Jumlah (dalam

milyar Rupiah)

Nilai wajar imbalan yang dialihkan (uang tunai dalam hal ini) 200

Kepentingan nonpengendali diukur pada nilai wajar 60

Nilai wajar kepentingan ekuitas Perusahaan DC yang

sebelumnya dimiliki oleh Perusahaan AB

Tidak berlaku

Total 260

Dikurangi:

Total aset neto teridentifikasi pada tanggal akuisisi (100)

Goodwill 160

Apabila kepentingan nonpengendali diukur menggunakan proporsi kepemilikan

kepentingan nonpengendali atas aset neto teridentifikasi Perusahaan DC:

Keterangan Jumlah (dalam

milyar Rupiah)

Nilai wajar imbalan yang dialihkan (uang tunai dalam hal ini) 200

Kepentingan nonpengendali diukur pada 25% x Rp100milyar

(total aset neto teridentifikasi Perusahaan DC)

25

Nilai wajar kepentingan ekuitas Perusahaan DC yang

sebelumnya dimiliki oleh Perusahaan AB

Tidak berlaku

Total 225

Dikurangi:

Total aset neto teridentifikasi pada tanggal akuisisi (100)

Goodwill 125

Dari contoh di atas, dapat diperhatikan bahwa pada saat kepentingan nonpengendali diukur

menggunakan proporsi kepemilikan kepentingan nonpengendali atas aset neto

teridentifikasi Perusahaan DC, nilai goodwill adalah lebih kecil (yaitu Rp125milyar)

dibandingkan pada saat diukur menggunakan nilai wajar (yaitu Rp160milyar). Perbedaan

tersebut disebabkan karena pada metode yang pertama, nilai goodwill hanya termasuk

jumlah goodwill yang terkait dengan kepentingan pihak pengakuisisi dalam bisnis yang

diakuisisi, sedangkan pada metode yang kedua, nilai goodwill mencakup baik kepentingan

pihak pengakuisisi maupun kepentingan nonpengendali dalam bisnis yang diakuisisi.

Pemilihan metode untuk mengukur kepentingan nonpengendali wajib dilakukan untuk setiap

kejadian kombinasi bisnis dan bukan merupakan suatu kebijakan akuntansi.

Page 24: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

Walaupun goodwill memenuhi definisi aset sesuai dengan Kerangka Penyusunan dan

Penyajian Laporan Keuangan dan karena pengukuran langsung atas goodwill adalah tidak

mungkin, dan untuk itu IFRS 3 (revised 2008) mengharuskan goodwill diukur sebagai suatu

residual, namun demikian, bukan berarti goodwill menjadi suatu “keranjang penampung hal-

hal sisa yang tidak atau relatif sulit untuk teridentifikasi”, PSAK 22 (revisi 2009) paragraf B64

tetap mewajibkan pengungkapan mengenai penjelasan kualitatif tentang faktor yang

membentuk goodwill yang diakui.

PENYAJIAN GOODWILL

Penting dicatat bahwa goodwill hanya dapat muncul dalam:

1) laporan keuangan konsolidasian pihak pengakuisisi (dalam hal entitas induk

mengakuisisi suatu entitas anak yang baru); atau

2) laporan keuangan individu pihak pengakuisisi (dalam hal pihak pengakuisisi membeli

bisnis dan aset dari perusahaan lainnya).

Apabila goodwill disajikan secara suatu aset yang terpisah di laporan posisi keuangan

(neraca), maka tentunya relatif mudah bagi pihak wajib pajak untuk menjelaskan ke pihak

fiskus selama pemeriksaan pajak.

PSAK 1 (revisi 2009) tentang Penyajian Laporan Keuangan Bagian I: Ilustrasi Penyajian

Laporan Keuangan untuk kelompok usaha XYZ menyajikan secara terpisah aset goodwill.

Ini akan berlaku untuk penerapan PSAK 22 (revisi 2010) tentang Kombinasi Bisnis, dan

kelompok usaha sendiri diartikan sebagai suatu entitas induk dan seluruh entitas anaknya

(subsidiary) menurut PSAK 4 (revisi 2009) tentang Laporan Keuangan Konsolidasian dan

Laporan Keuangan Tersendiri.

Namun goodwill tidak hanya timbul dalam kaitannya dengan kelompok usaha, namun juga

dapat timbul dari investasi yang dilakukan pada entitas asosiasi dan ventura bersama

(pengendalian bersama entitas dimana bagian partisipasi venturer dibukukan dengan

metode ekuitas).

Paragraf 20 PSAK 15 (revisi 2009) tentang Investasi pada Entitas Asosiasi menyebutkan

bahwa dalam investasi pada entitas asosiasi 25 , goodwill akan disajikan dalam jumlah

tercatat investasi. Dengan kata lain, akun “Investasi pada Entitas Asosiasi atau

Pengendalian Bersama Entitas” akan termasuk juga nilai goodwill, dan goodwill yang

25

Tentunya juga berlaku untuk bagian partisipasi venturer atas ventura bersama (pengendalian bersama ekuitas) yang menggunakan metode ekuitas, karena paragraf 37 PSAK 12 (revisi 2009) tentang Bagian Partisipasi dalam Ventura Bersama, mengacu metode ekuitas sebagaimana dijelaskan dalam PSAK 15 (revisi 2009) tentang Investasi pada Entitas Asosiasi.

Page 25: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

bersangkutan tidak akan disajikan sebagai suatu akun tersendiri di laporan posisi keuangan

(neraca) wajib pajak.

Pertanyaan jelas apakah goodwill yang disajikan di dalam akun “Investasi” akan diakui oleh

pihak fiskus, termasuk amortisasinya padahal akun “Goodwill” tidak ada di laporan posisi

keuangan (neraca) wajib pajak?

Apabila mengacu ke paragraf 11 PSAK 15 (1994) tentang Akuntansi untuk Investasi dalam

Perusahaan Asosiasi, disebutkan bahwa penyesuaian yang diperlukan terhadap bagian

investor atas laba rugi setelah akuisisi atas entitas asosiasi harus dilakukan untuk amortisasi

atas selisih antara biaya perolehan dan bagian investor atas nilai wajar aset neto yang dapat

diidentifikasi (dalam hal selisih tersebut adalah positif, maka selisih tersebut merupakan

goodwill). Mengingat bahwa ketentuan UU

Akuisisi aset tidak menimbulkan goodwill.

PENGUKURAN GOODWILL SETELAH PENGAKUAN AWAL

Ketika goodwill dibukukan, ia merupakan aset takberwujud. Menurut PSAK 22 (1994)

tentang Penggabungan Usaha paragraf 39, goodwill harus diamortisasi sebagai beban

selama masa manfaatnya. Dalam mengamortisasi goodwill harus digunakan metode garis

lurus, kecuali terdapat metode lain yang dianggap lebih tepat pada keadaan tertentu.

Periode amortisasi goodwill tidak boleh lebih dari 5 (lima) tahun, kecuali periode yang lebih

panjang, tetapi tidak boleh lebih dari 20 tahun dapat digunakan apabila terdapat dasar yang

tepat (justifiable).

Landasan justifikasi amortisasi atas goodwill disebutkan dalam paragraf 40 dimana dengan

berlalunya waktu, manfaat goodwill berkurang, yang mencerminkan menurunnya

kemampuan untuk memberikan kontribusi pada laba perusahaan di masa mendatang. Oleh

karena itu, sewajarnya goodwill diamortisasi dan dibukukan sebagai beban secara

sistematis selama masa manfaatnya. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa amortisasi atas

goodwill adalah berdasarkan konsep akuntansi akrual, dimana perusahaan telah membayar

goodwill tersebut, dan diasumsikan akan menghasilkan pendapatan di masa depan,

sehingga untuk itu, biayanya perlu dipadankan (matched) terhadap pendapatan di masa

depan pada saat pendapatan tersebut terjadi. Dalam kaitan dengan goodwill, harus diakui

bahwa menjadi relatif sulit, dan bahkan tidak mungkin, untuk mengestimasi masa

manfaatnya. Apalagi konsep goodwill dikaitkan dengan kemampuan mencetak laba ekses

(excess earnings power), sehingga bagaimana menentukan akan berapa lama ia akan

memberikan manfaat kepada bisnis suatu perusahaan? Kalau ada persaingan bisnis yang

Page 26: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

tinggi, bisa jadi goodwill tersebut tidak dapat bertahan lama, sehingga perlu dihapusbukukan

dalam jangka waktu yang pendek. Namun sebaliknya, kalau goodwill tersebut berasal dari

kemampuan khusus terkait dengan perusahaan, karyawan, atau manajemen yang tidak

memungkinkan perusahaan pesaing untuk melakukan duplikasi, kemungkinan goodwill

tersebut dapat memiliki masa manfaat yang tidak dapat ditentukan (indefinite), dimana

dalam kejadian ini, menjadi tidak tepat untuk melakukan amortisasi atas goodwill tersebut

sama sekali.

Sebetulnya PSAK 22 (1994) paragraf 42 sudah mengakui hal di atas, dimana disebutkan

bahwa karena goodwill merupakan manfaat keekonomian masa yang akan datang sebagai

hasil sinergi atau sebagai hasil suatu aktiva yang tidak mungkin diakui, maka sering kali sulit

untuk mengestimasi masa manfaatnya. Karenanya, untuk tujuan akuntansi, PSAK 22 (1994)

menentukan secara arbitrer batas maksimum periode amortisasi. Anggapan yang

digunakan dalam PSAK 22 (1994) adalah bahwa goodwill biasanya tidak mempunyai masa

manfaat melebihi 5 (lima) tahun. Namun, karena kurun waktu perencanaan atas kegiatan

operasional perusahaan secara keseluruhan tidak akan lebih dari 20 (dua puluh) tahun,

maka sulit dipercaya untuk membuat proyeksi masa manfaat goodwill melebihi 20 (dua

puluh) tahun.

Konsep amortisasi atas goodwill, kemudian tidak dipakai lagi dalam PSAK 22 (revisi 2010)

tentang Kombinasi Bisnis dan PSAK 19 (revisi 2010) tentang Aset Takberwujud, namun

konsep penurunan nilai aset (impairment in asset value) tetap dipertahankan, suatu konsep

yang sudah ada sejak PSAK 22 (1994)26.

Konsep bahwa goodwill tidak diamortisasi dan sebaliknya diuji apakah telah terjadi

penurunan nilai sudah diperkenalkan sejak U.S. Financial Accounting Standards Board

menerbitkan Statements of Financial Accounting Standards (SFAS) No. 141 tentang

Business Combinations dan No. 142 tentang Goodwill and Other Intangible Assets pada

bulan Juni 2001. Kedua SFAS tersebut banyak menimbulkan kontroversi dan ada di antara

SFAS yang paling penting yang pernah diterbitkan oleh SFAS, dan memiliki dampak yang

cukup signifikan atas bagaimana perusahaan membukukan suatu transaksi kombinasi bisnis.

26

PSAK 22 (1994) tentang Penggabungan Usaha paragraf 44: Saldo goodwill yang belum diamortisasi harus dievaluasi pada setiap tanggal neraca, dan apabila terdapat indikasi bahwa jumlah tersebut tidak dapat sepenuhnya atau sebagian dipulihkan (recovered) dari ekspektasi manfaat keekonomian di masa mendatang, maka bagian jumlah yang tidak dipulihkan tersebut langsung dibukukan sebagai beban pada periode yang bersangkutan. Setiap penurunan nilai (write-down) goodwill tidak boleh dinaikkan (write-up) kembali pada periode selanjutnya. Jadi dari PSAK 22 (1994) dapat dilihat ada dua konsep yang diterapkan atas goodwill, yaitu amortisasi goodwill selama 5 (lima) tahun dan tidak boleh lebih dari 20 (dua puluh) tahun, dan penurunan nilai (impairment).

Page 27: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

Salah satu ketentuan baru yang diterbitkan adalah terkait goodwill, dimana berdasarkan

SFAS No. 142, goodwill tidak boleh diamortisasi lagi, tapi wajib diuji, setidak-setidaknya

setiap tahun, terkait penurunan nilai pada tingkat unit pelaporan. Penurunan nilai adalah

suatu kondisi yang terjadi dimana nilai tercatat goodwill lebih tinggi dari pada nilai wajar

tersirat (implied fair value). Nilai wajar tersirat ini mengacu ke estimasi atau suatu perkiraan

atas nilai goodwill yang berasal dari penerapan metodologi pengujian penurunan nilai. Nilai

wajar goodwill hanya dapat diukur sebagai suatu residual dan tidak dapat diukur secara

langsung. FASB percaya bahwa nilai wajar tersirat memberikan suatu estimasi atau

perkiraan wajar atas nilai wajar goodwill untuk tujuan pengukuran kerugian akibat

penurunan nilai27.

Schroeder, Clark dan Cathay 28 bahkan menjadikan contoh terkait perubahan akuntansi

untuk goodwill di atas sebagai suatu perbedaan antara standar akuntansi berbasis aturan

(rules-based) dengan standar akuntansi berbasis prinsip (principles-based) yang menjadi

arah dari pengembangan FASB. Di satu sisi, standar akuntansi berbasis aturan lebih

menekankan pada standar yang sangat kaku (highly rigid) sedangkan di sisi ujung lainnya,

standar akuntansi berbasis prinsip lebih menekankan pada definisi umum dari konsep-

konsep berdasarkan ekonomi.

Misalnya, standar akuntansi yang sebelumnya diterima secara umum mengatur bahwa

goodwill wajib diamortisasi selama 40 tahun sampai biaya perolehannya habis diamortisasi.

Ketentuan ini tidak memberikan banyak ruang untuk menjalankan suatu penilaian

(judgement) atau bahkan tidak diberikan kemungkinan adanya ketidaksepakatan mengenai

jumlah beban amortisasi yang akan diakui. Kesebandingan dan konsistensi diantara para

perusahaan dan antar periode pelaporan tampaknya akan terjamin dengan penerapan

ketentuan ini. Namun demikian, ketentuan tersebut mengurangi tingkat relevansi informasi

dalam laporan keuangan karena ia tidak menggambarkan ekonomi yang mendasari entitas

pelapor, yang dapat berbeda-beda antar perusahaan dan antar periode pelaporan.

Pada sisi ujung lainnya, ketentuan FASB yang baru dimana goodwill tidak diamortisasi,

namun perlu diuji penurunan nilainya setiap tahun dan jika terjadi penurunan nilai, nilai

tercatatnya diturunkan ke nilai wajar yang berlaku saat ini (current fair value). Ketentuan ini

memerlukan aplikasi penggunaan penilaian dan keahlian baik oleh pihak penyusun laporan

27

Ernst & Young – Assurance and Advisory Business Services. Financial Reporting Developments: Accounting for Business Combinations, Goodwill and Intangible Assets – FASB Statements 141 and 142. December 2001: First Edition. 28

Schroeder, R. G., Myrtle W. Clark dan Jack M. Cathey. Financial Accounting Theory and Analysis: Text and Cases. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc., 2009. Halaman 59.

Page 28: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

keuangan maupun auditor. Tujuan mendasar adalah membukukan penurunan nilai

ekonomis dari aset tersebut, dimana dalam hal ini, goodwill.

PSAK 19 (revisi 2010) tentang Aset Takberwujud menegaskan bahwa suatu aset

takberwujud dengan masa manfaat tak terbatas tidak boleh diamortisasi [paragraf 107] dan

sesuai dengan PSAK 48 (revisi 2009) tentang Penurunan Nilai Aset, suatu entitas

disyaratkan untuk menguji aset takberwujud dengan masa manfaat tak terbatas29 untuk

penurunan nilai dengan membandingkan jumlah terpulihkan dengan jumlah tercatatnya

[paragraf 108].

Jadi dapat kita catat bahwa UU PPh di Indonesia masih mewajibkan penggunaan amortisasi

atas goodwill sesuai dengan masa manfaat yang diharapkan, sedangkan konsep amortisasi

sendiri sudah tidak dipergunakan oleh SAK di Indonesia30. Bahkan dalam paragraf 66 PSAK

22 (revisi 2010) mewajibkan entitas untuk menghentikan amortisasi atas goodwill sejak

periode tahun buku yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2011. Perbedaan perlakuan ini

akan menimbulkan beda temporer untuk pelaporan goodwill di laporan posisi keuangan

(neraca) komersial dengan fiskal.

Yang masih merupakan grey area perpajakan adalah bagaimana dengan beban penurunan

nilai atas goodwill. Apakah beban penurunan nilai tersebut sebagai akibat penerapan PSAK

29

Paragraf 91 PSAK 19 (revisi 201) menjelaskan bahwa kata “tak terbatas” bukan berarti “tak terhingga”, namun lebih pada tidak dapat ditentukan. Dalam International Accounting Standard 38 tentang Intangible Assets bagian Dasar Kesimpulan (Basis for Conclusions) disebutkan bahwa: BC65 : the Board noted that an intangible asset’s useful life would be regarded as indefinite in accordance with IAS 38 only when, based on an analysis of all of the relevant factors, there is no foreseeable limit to the period of time over which the asset is expected to generate net cash inflows for the entity. Difficulties in accurately determining an intangible asset’s useful life do not provide a basis for regarding that useful life as indefinite. BC74: the Board observed that many assets yield benefits to an entity over several periods. Amortization is the systematic allocation of the cost (or revalued amount) of an asset, less any residual value, to reflect the consumption over time of the future economic benefits embodied in that asset. Thus, if there is no foreseeable limit on the period during which an entity expects to consume the future economic benefits embodied in an asset, amortization of that asset over, for example, an arbitrarily determined maximum period would not be representationally faithful. BC75: Consequently, the Board decided that intangible assets with indefinite useful lives should not be amortized, but should be subject to regular impairment testing.

30

Revenue Reconciliation Act of 1993 dalam ketentuan perpajakan di Amerika Serikat memperbolehkan goodwill dihapusbukukan selama periode 15 (lima belas) tahun untuk tujuan pajak penghasilan. Sebagaimana dikutip dari Schroeder, R. G., Myrtle W. Clark dan Jack M. Cathey. Financial Accounting Theory and Analysis: Text and Cases. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc., 2009. Halaman 343 catatan kaki 43.

Page 29: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

48 (revisi 2009) tentang Penurunan Nilai Aset dapat diakui secara fiskal, padahal, konsep

itulah yang sekarang yang sekarang diwajibkan oleh SAK di Indonesia? Bahkan, menurut

PSAK 19 (revisi 2010) tentang Aset Takberwujud paragraf 108, uji penurunan nilai atas

goodwill sesuai dengan PSAK 48 (revisi 2009) tentang Penurunan Nilai Aset wajib dilakukan

setiap tahun dan kapanpun apabila terdapat indikasi bahwa aset tak berwujud mengalami

penurunan nilai. Menurut hemat penulis, sepanjang tidak ada penegasan dalam UU PPh

yang tidak memperbolehkan beban penurunan nilai aset [pasal _____] dibebankan sebagai

pengurang penghasilan dalam rangka penentuan Penghasilan Kena Pajak, maka pihak

wajib pajak tetap berhak membebankannya secara fiskal, sepanjang dapat dibuktikan

bahwa goodwill tersebut terkait dengan dipergunakan goodwill untuk mendapatkan,

menagih, dan memelihara penghasilan.

Yang penting dicatat pula adalah berdasarkan PSAK 48 (revisi 2010) tentang Penurunan

Nilai Aset, rugi penurunan nilai yang diakui untuk goodwill tidak dapat dibalik (reversed)

pada periode berikutnya [paragraf 119], dan PSAK 19 (revisi 2010) tentang Aset

Takberwujud melarang pengakuan goodwill yang dihasilkan secara internal. Setiap kenaikan

jumlah terpulihkan dari goodwill dalam periode setelah terjadinya pengakuan rugi penurunan

nilai goodwill tersebut kemungkinan merupakan kenaikan goodwill yang dihasilkan secara

internal, bukan merupakan pembalikan rugi penurunan nilai yang diakui untuk goodwill yang

diperoleh [paragraf 120].

Isu : Previously held interest – deemed disposal – mengakibatkan pengakuan laba

Dibebankan sebagai biaya dalam menentukan penghasilan kena pajak

Bab 20 tentang komponen goodwill.

Catlett dan Olson31 memerikan karekteristik goodwill yang membedakannya dari unsur nilai lainnya, yaitu:

1. Nilai goodwill tidak memiliki hubungan yang andal dan dapat diprediksi terhadap

biaya (costs) yang telah dikeluarkan untuk menimbulkan goodwill.

2. Faktor-faktor takberwujud individual yang dapat memberikan kontribusi kepada

timbulnya goodwill tidak dapat dinilai.

3. Goodwill melekat hanya pada bisnis secara keseluruhan.

31

Catlett, G.R., dan Normal O. Olson. Accounting for Goodwill. New York: AICPA, 1968. Halaman 20-21. Sebagaimana dikutip dari Schroeder, R. G., Myrtle W. Clark dan Jack M. Cathey. Financial Accounting Theory and Analysis: Text and Cases. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc., 2009. Halaman 342.

Page 30: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

4. Nilai goodwill dapat, dan mungkin, berfluktuasi secara tiba-tiba dan meluas

disebabkan banyak faktor yang turut mempengaruhi nilainya.

5. Goodwill tidak digunakan (utilized) atau dihabiskan (consumed) dalam mencetak

laba.

6. Goodwill tampaknya merupakan unsur nilai yang secara langsung mengarah pada

pihak investor atau pemilik bisnis.

Goodwill diuji penurunan nilai secara

periodik.

Goodwill harus diamortisasi

sebagai beban selama masa

manfaatnya. Dalam

mengamortisasi goodwill

harus digunakan metode

garis lurus, kecuali terdapat

metode lain yang dianggap

lebih tepat pada keadaan

tertentu. Periode amortisasi

goodwill tidak boleh lebih dari

5 tahun, kecuali periode yang

lebih panjang, tetapi tidak

boleh lebih dari 20 tahun

dapat digunakan apabila

terdapat dasar yang tepat

(justifiable).

Goodwill

negatif

Istilahnya menjadi “Pembelian dengan

Diskon (Bargain Purchase)”.

Apabila dalam suatu kombinasi bisnis,

jumlah (b) di atas melebihi nilai agregat dari

jumlah (a) di atas, maka atas selisih lebih

tersebut, pihak pengakuisisi akan mengakui

keuntungan yang dihasilkan dalam laporan

laba rugi pada tanggal akuisisi. Keuntungan

tersebut diatribusikan kepada pihak

pengakuisisi.

Jika biaya perolehan (cost of

the acquisition) lebih rendah

dari bagian (interest)

pengakuisisi atas nilai wajar

aset dan kewajiban yang

dapat diidentifikasi yang

diakuisisi pada tanggal

transaksi, maka nilai wajar

aset nonmoneter yang

diakuisisi harus diturunkan

secara proporsional, sampai

seluruh selisih tersebut

dieliminasi. Apabila setelah

nilai wajar aset nonmoneter

Page 31: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

sudah diturunkan seluruhnya,

namun ternyata masih

terdapat sisa selisih yang

belum dieliminasi, maka sisa

selisih tersebut diakui sebagai

goodwill negative dan

diperlakukan sebagai

pendapatan ditangguhkan

(deferred income) dan diakui

sebagai pendapatan secara

sistematis selama suatu

periode yang tidak kurang

dari 20 tahun.

Dalam Bagian “SAK Lain yang Memberikan Panduan Akuntansi dan Pengukuran

Selanjutnya (Penerapan dari Paragraf 54) [PSAK 22 (revisi 2010) paragraf B63]” disebutkan

bahwa PSAK 19 (revisi 2010) tentang Aset Takberwujud mengatur akuntansi untuk aset

takberwujud teridentifikasi yang diperoleh dalam kombinasi bisnis. Pihak pengakuisisi

mengukur goodwill pada jumlah yang diakui pada tanggal akuisisi dikurangi akumulasi rugi

penurunan nilai. PSAK 48 (revisi 2009) tentang Penurunan Nilai Aset mengatur akuntansi

untuk rugi penurunan nilai.

Perlu ada transaksi akuisisi?

PSAK 19 (revisi 2010) tentang Aset Takberwujud paragraf 47 dan 48 menegaskan bahwa:

goodwill yang dihasilkan secara internal tidak boleh diakui sebagai aset.

dalam beberapa kasus, entitas melakukan pengeluaran untuk menghasilkan manfaat

ekonomis masa depan, tetapi pengeluaran tersebut tidak berakibat pada timbulnya aset

takberwujud yang dapat diakui sesuai dengan Pernyataan ini. Pengeluaran seperti itu

sering dianggap memberikan sumbangsih terhadap timbulnya goodwill dalam entitas

yang dihasilkan secara internal. Goodwill yang dihasilkan secara internal tidak boleh

diakui sebagai aset karena goodwill tersebut bukan merupakan suatu sumber daya

teridentifikasi (tidak dapat dipisahkan dan tidak timbul dari kontrak atau hak legal) yang

dikendalikan oleh entitas dan bisa diukur secara andal menurut biaya perolehannya.

Jadi harus ada transaksi _______________.

Page 32: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

Paragraf 20 PSAK 15 (revisi 2009) tentang Investasi pada Entitas Asosiasi, disebutkan:

Pada saat perolehan investasi, setiap selisih lebih antara:

~~~~~~ ####### ~~~~~~

Page 33: Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill

www.futurumcorfinan.com

Disclaimer

This material was produced by and the opinions expressed are those of FUTURUM as of the date of

writing and are subject to change. The information and analysis contained in this publication have

been compiled or arrived at from sources believed to be reliable but FUTURUM does not make any

representation as to their accuracy or completeness and does not accept liability for any loss arising

from the use hereof. This material has been prepared for general informational purposes only and is

not intended to be relied upon as accounting, tax, or other professional advice. Please refer to your

advisors for specific advice.

This document may not be reproduced either in whole, or in part, without the written permission of the

authors and FUTURUM. For any questions or comments, please post it at www.futurumcorfinan.com

© FUTURUM. All Rights Reserved