Proyek Alergi Makanan
-
Upload
marshafela -
Category
Documents
-
view
23 -
download
0
description
Transcript of Proyek Alergi Makanan
-
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Alergi makanan didefinisikan sebagai sebuah reaksi respon imun terhadap
makanan. Reaksi imun tersebut dapat bergantung pada IgE atau pun tidak. Reaksi
alergi makanan tergantung IgE dapat mempengaruhi satu atau lebih organ target:
kulit (urtikaria, angioedema), saluran pernafasan (rhinitis, asma), saluran
pencernaan (nyeri, emesis, diare), dan sistem kardiovaskular (syok anafilaksis).
Insiden alergi makanan berkisar antara 3% hingga 35%, sedangkan estimasi dari 6
studi yang menggunakan oral food challenge (OFC) berkisar antara 1% hingga
10,8%. Alergen utama yang paling banyak berperan dalam menimbulkan reaksi
yang signifikan meliputi susu, telur, kacang, ikan, gandum, dan kecap.
Mekanisme imunologis yang terjadi pada alergi makanan sebagian besar berupa
reaksi hipersensitivitas tipe I yang diinduksi oleh sejumlah kecil alergen dan
dimediasi utama oleh IgE.
Pada alergi makanan yang termediasi IgE, paparan primer terhadap
makanan berujung pada perkembangan kadar yang tinggi dari IgE spesifik alergen
makanan, yang terikat pada FcRI pada permukaan basofil. Setelah terjadi
paparan ulang, degranulasi dari basofil menyebabkan penempelan IgE pada
epitope dari alergen makanan sehingga menyebabkan gejala alergi.
Hingga saat ini, menghindari alergen makanan (avoidance) masih
merupakan satu-satunya metode efektif yang ada untuk mencegah reaksi
-
anafilaksis yang mengancam jiwa pada pasien dengan alergi. Beberapa medikasi
mungkin dapat digunakan namun hanya bersifat sementara dan untuk mengurangi
gejala saja. Kemajuan pengetahuan dan pemahaman mengenai mekanisme imun
tubuh yang mendasari penyakit alergi dan karakterisasi yang lebih baik dari
alergen makanan telah memperluas pilihan terapi yang potensial untuk digunakan
di masa depan, termasuk salah satunya yang banyak diteliti saat ini adalah
imunoterapi. Mengingat IgE berperan penting dalam mekanisme imun yang
terjadi pada alergi, anti-IgE dapat menjadi salah satu pilihan dalam terapi pasien
dengan alergi makanan.
1.2 Rumusan Masalah
1. A
2.
1.3 Tujuan Penulisan
Mengetahui
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Alergi Makanan
2.1.1 Definisi
Istilah alergi makanan digunakan untuk mendefinisikan sebuah reaksi
respon imun terhadap makanan.1 Reaksi imun tersebut dapat bergantung pada IgE
atau pun tidak. Reaksi alergi makanan tergantung IgE dapat mempengaruhi satu
atau lebih organ target: kulit (urtikaria, angioedema), saluran pernafasan (rhinitis,
asma), saluran pencernaan (nyeri, emesis, diare), dan sistem kardiovaskular (syok
anafilaksis).2
2.1.2 Epidemiologi
Alergi makanan yang dilaporkan sendiri oleh pasien berkisar antara 3%
hingga 35%, sedangkan estimasi dari 6 studi yang menggunakan oral food
challenge (OFC) berkisar antara 1% hingga 10,8%. Alergen utama yang paling
banyak berperan dalam menimbulkan reaksi yang signifikan meliputi susu, telur,
kacang, ikan, gandum, dan kecap.1
2.1.3 Patofisiologi
Makanan yang dimakan akan melewati traktus gastrointestinal yang
tersusun atas lapisan tunggal sel kolumnar intestinal. Fungsi utamanya adalah
-
memproses makanan yang masuk menjadi suatu bentuk yang dapat diabsorbsi dan
digunakan untuk energi dan pertumbuhan, di saat yang sama juga mencegah
penetrasi patogen berbahaya ke dalam tubuh. Sawar mukosa usus tersebut terdiri
dari komponen fisiologis dan imunologis dalam mengadakan fungsi ini.
Sawar fisiologis tersebut meliputi lapisan tunggal sel epitel yang
terhubung oleh tight junction dan tertutup oleh mukus tebal yang menjebak
partikel, bakteri dan virus. Faktor trefoil juga disekresikan oleh sel-sel pada
lambung dan usus untuk membantu memperkuat dan mendukung pengembalian
sawar usus. Selain itu, enzim brush border dan luminal, garam empedu, dan pH
yang ekstrim berperan untuk menghancurkan patogen dan antigen yang kurang
imunogenik.
Komponen imunologis terdiri dari imunitas innate (polymorphonuclear
neutrophils, makrofag, sel natural killer, sel epitel, dan reseptor Toll-like) dan
adaptif (limfosit intra-epitelial dan lamina propria, Peyer patches, IgA sekretori,
dan sitokin). Komponen-komponen tersebut juga secara aktif menjadi sawar
terhadap antigen asing. Akan tetapi, efisiensi sawar mukosa ini pada bayi dan
anak tidak optimal oleh karena imaturitas perkembangan dari berbagai komponen
dari sawar pencernaan dan sistem imun. Imaturitas tersebut seperti aktivitas
beberapa enzim yang kurang optimal pada periode neonaatus dan sistem IgA
sekretori yang tidak sepenuhnya matur hingga usia 4 tahun. Oleh karena itu,
imaturitas tersebut dapat memainkan peran dalam peningkatan prevalensi infeksi
traktus gastrointestinal dan alergi makanan yang terliat pada beberapa tahun
pertama dari kehidupan.
-
Mekanisme imunologis yang terjadi pada alergi makanan dapat berupa
seluruh jenis reaksi imun Gell dan Coombs. Reaksi hipersensitivitas tipe I sering
diinduksi oleh sejumlah kecil alergen dan dimediasi utama oleh IgE. Reaksi ini
merupakan yang paling baik dipahami dan bermanifestasi sebagai urtikaria,
angioedema, bronkospasme, iritasi gastrointestinal, dan anafilaksis sistemik.
Selain hipersensitivitas tipe 1, reaksi imun yang sering terjadi adalah reaksi
hipersensitivitas tipe IV. Reaksi tersebut dimanifestasikan pada dermatitis kontak
alergi dan dapat terlibat pada dermatitis atopi.
Reaksi imunologis lain yang dapat terjadi pada alergi makanan adalah
reaksi sitotoksik atau hipersensitivitas tipe II. Reaksi ini melibatkan antibodi dan
mengaktivasi komplemen dan lisis sel. Reaksi ini jarang terjadi dan dapat
bermanifestasi pada trombositopeni berat pada konsumsi susu. Reaksi kompleks
imun atau hipersensitivitas tipe III juga dapat terjadi, dengan manifestasi yang
mungkin berupa vaskulitis, arthropati, atau nefropati.
Gambar 1. Diagram mekanisme imun dari alergi makanan dan desensitisasi
setelah terapi
-
Pada alergi makanan yang termediasi IgE, paparan primer terhadap
makanan berujung pada perkembangan kadar yang tinggi dari IgE spesifik alergen
makanan, yang terikat pada FcRI pada permukaan basofil. Pada gambar (a),
setelah terjadinya paparan ulang, degranulasi dari basofil menyebabkan
menempelnya IgE pada epitope dari alergen makanan sehingga menyebabkan
gejala alergi. Oleh karena IgE berperan penting dalam mekanisme ini, anti-IgE
dapat menjadi salah satu pilihan dalam terapi pasien dengan alergi makanan.
2.1.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis alergi makanan dapat terjadi pada beberapa sistem organ
manusia. Manifestasi klinis yang paling sering terjadi adalah pada sistem
gastrointestinal dan integumen. Manifestasi lain dapat terjadi pula pada sistem
respiratori dan juga sistemik. Pada tinjauan tentang alergi makanan, Bahna dan
Mayer menyimpulkan beberapa manifestasi tersebut pada tabel berikut
Sistem Termediasi IgE Tidak termediasi IgE Campuran
Gastro-
intestinal
Immediate gastrointestinal
hypersensitivity
Oral allergy syndrome
Vomiting
Infantile colic
Diarrhea
Gastroesophageal
reflux
Food protein-
induced
enteropathies
Celiac disease
Bleeding (occult,
gross)
Eosinophilic gastrointestinal
disorders
Integumen Urtikaria akut
Angioedema akut
Dermatitis kontak
Dermatitis
herpetiformis
Dermatitis
Atopi
-
Respiratori Rinokonjunctivitis
Bronkospasme
Sindrom Heiner
Sistemik Anafilaksis Anafilasis
terinduksi latihan
setelah makan
Nyeri
kepala/migrain
2.1.5 Diagnosis
Alergi makanan tidak memiliki gambaran klinis yang patognomonis. Oleh
karena itu, diagnosis alergi makanan hanya bisa didapat melalui anamnesis yang
baik, pemeriksaan fisik yang cermat dan tes laboratorium yang tepat. Berikut
merupakan tabel pendekatan diagnostik untuk alergi makanan.
Prosedur Poin spesifik
Riwayat medis Usia onset
Sifat, keparahan, durasi, dan frekuensi gejala
Waktu onset terkait makanan atau faktor lain
Riwayat alergi, khususnya dermatitis atopi
Pemeriksaan fisik Manifestasi alergi
Manifestasi yang mengarah pada penyakit non alergi
Tes laboratorium untuk
mendukung alergi
Darah lengkap
Kadar IgE
Eosinofilia
Tes deteksi spesifik Uji coba eliminasi diet
Catatan makanan/gejala
Tes alergi kulit
Antibodi IgE spesifik pada serum
Double-blind placebo-controlled oral food challenge (DBPCFC)
merupakan baku emas dalam diagnosis klinis alergi makanan. Pada metode ini,
pasien memakan sejumlah makanan yang semakin meningkat jumlahnya,
kemudian dilihat terjadi sensitisasi atau plasebo. Elisitasi gejala alergi pada
-
konsumsi alergen makanan dan tidak adanya gejala pada plasebo menunjukkan
alergi makanan tersebut.
Pengukuran respon imun melalui skin prick test dan estimasi IgE spesifik
alergen dapat membantu dokter untuk memberikan pelayanan terhadap pasien
alergi makanan. Skin prick test dilakukan dengan memberikan sejumlah
mikroskopis alergen makanan pada kulit pasien. Walaupun berguna dalam
mengidentifikasi makanan yang dapat memicu reaksi alergi, uji ini tidak
direkomendasikan untuk memastikan diagnosis alergi makanan.
2.1.6 Terapi
Terapi utama pada alergi makanan adalah dengan menghindari makanan
penyebab alergi itu sendiri. Edukasi mengenai penghindaran (avoidance) meliputi
perhatian khusus untuk membaca label makanan, perhatian pada kandungan
makanan dari rumah makan atau penyedia makanan lain, dan penghindaran cross-
contact antara makanan dengan alergen selama proses pembuatan makanan,
seperti menghindari penggunaan bersama dari pisau, papan pemotong, ataupun
mixers. Pasien dan perawat pasien sangat dianjurkan untuk menggunakan penanda
sebagai identifikasi medis, diajarkan untuk mengenali gejala-gejala reaksi alergi,
diinstruksikan untuk menggunakan self-injectable epinefrin dan dengan segera
mengaktifkan EMS atau layanan emergensi medis.1
Berbagai medikasi dapat membantu mengurangi beberapa gejala dari
reaksi alergi makanan. Antihistamin mampu meringankan sebagian gejala dari
sindroma alergi oral dan juga gejala kulit yang dimediasi oleh IgE. Terapi
-
antiinflamasi mungkin menguntungkan untuk esophagitis atau gastroenteritis
alergika eosinofilik. Selain itu, penting untuk diketahui bahwa kunci terapi untuk
anafilaksis yang diinduksi oleh makanan adalah pemberian epinefrin dengan
segera.1 Namun perlu diketahui bahwa kemajuan pengetahuan dan pemahaman
mengenai mekanisme imun tubuh yang mendasari penyakit alergi dan
karakterisasi yang lebih baik dari alergen makanan telah memperluas pilihan
terapi yang potensial untuk digunakan di masa depan, termasuk salah satunya
yang banyak diteliti saat ini adalah imunoterapi (Burks, et al., 2001).
2.1.6.1 Imunoterapi
Imunoterapi pertama kali dikembangkan di St Mary Hospital London pada
akhir abad ke 19. Pada tahun 1910, imunoterapi alergen dilakukan dan dilaporkan
oleh Noon dan Freeman yang menguraikan pembuatan ekstrak grass pollen dan
disuntikkan dengan dosis yang meningkat pada penderita rhinitis alergi. Sejak itu
digunakan selama kurang lebih 90 tahun untuk mengobati penyakit alergi yang
disebabkan oleh alergen inhalasi dan ternyata efektif pada rhinitis dan juga asma
alergi, tetapi tidak diindikasikan pada alergi makanan. Tahun 1918 Cooke dari
Amerika Serikat melaporkan suatu kondisi alergi seperti hay fever dan asma yang
berasal dari antibodi yang timbul setelah pajanan agen sensitizing. Pada tahun
1922 ia mengemukakan metode hiposensitisasi untuk mengobati pasien alergi dan
hal ini yang berkembang menjadi imunoterapi sampai saat ini (Freeman, 1994).
Sebelum itu, Prausnitz dan Kustner tahun 1921 melakukan percobaan
dengan menyuntikkan serum yang tidak dipanaskan dari donor alergi kepada
-
resipien nonalergi (uji P-K). Mereka berhasil membuktikan bahwa individu alergi
memiliki serum terhadap antigen spesifik (reagin) yang dapat dipindahkan secara
pasif kepada individu non alergi. Cooke tahun 1935 mengemukakan konsep
antibodi penghalang (blocking antibody) yang meningkat pada pemberian
imunoterapi. Tahun 1967 pertama kali dikemukan nama immunoglobulin E (IgE)
oleh Ischikawa dan tahun 1977 Yungiger dan Gleich mengemukakan bahwa
terjadi kenaikan titer IgE pada saat musim semi dan terjadi penurunan apabila
musim tersebut berganti (Freeman, 1994).
Berbagai bentuk teknik terapi imunomodulator saat ini sedang banyak
dikembangkan, diantaranya vaksin peptida sel T, imunoterapi dengan alergen-
rekombinan, alergen hipoalergenik, imunisasi alergen DNA, vaksinasi dengan
sekuens DNA imunostimulan, dan terapi anti-imunoglobulin E (Anti-IgE) (Burks,
et al., 2001).
Tabel 1. Teknologi baru imunoterapi
Alergen rekombinan
Alergen hipo-alergenik
Vaksin peptida Sel T
Imunostimulan Th1
Komplek alergen-imunostimulan
Anti IgE
Alergen rekombinan memungkinkan standardisasi alergen yang lebih tepat
dan mengatur penggunaan ekstrak terhadap pola reaktivitas yang tidak umum.
-
Sebagian besar penderita alergi bereaksi terhadap komponen alergen yang sama
yang disebut common allergen, yaitu alergen yang ditemukan pada serum lebih
dari 50% penderita dengan klinis yang serupa terhadap alergen yang sensitif.
Sebagian lagi tidak bereaksi tehadap allergen ini sehingga perlu digunakan
kombinasi alergen lain yang juga sensitif. Tersedianya alergen rekombinan
memungkinkan karakterisasi sensitivitas yang lebih lebar. Teknologi ini juga
memungkinkan dibuat alergen dengan modifikasi molekul tertentu. Telah dibuat
rekombinan trimer yang terdiri dari tiga kovalensi alergen utama birch pollen, Bet
v1. Bentuk trimer ini mempunyai alergenisitas rendah walaupun mempunyai
epitop sel B dan sel T yang sama, dan dapat menginduksi pelepasan sitokin Th1.
Yang sangat menarik, trimer rBet v1 menginduksi IgG seperti yang dihasilkan
dengan imunoterapi spesifik konvensional (Vrtala et al., 2000; Vrtala, et al.,
2001).
Vaksin peptida sel T dikembangkan berdasarkan epitop yang diikat oleh
IgE tiga dimensi, sedangkan epitop yang dikenali sel T lebih pendek. Dua
pendekatan telah dicoba, pertama diberikan dosis besar dari peptida,
menyebabkan sel T toleran terhadap dosis besar, kedua dengan memberikan ligan
peptida yang telah dirubah (OHehir et al, 1991). Kedua prosedur memerlukan
pemeriksaaan kompleks histokompatibilitas major calon penerima imunoterapi.
Dengan cara perubahan sebagian peptida Der p maka proliferasi klon sel T
dihambat, dan menekan ekspresi ligan CD40 beserta produksi IL-4, IL-5 dan IFN-
. Sel T yang anergi ini tidak bisa membantu sel B memproduksi IgE, dan yang
-
penting anergi ini tidak bisa dirubah lagi dengan pemberian IL-4 eksogen (Fasler
et al, 1998).
Dua pendekatan menggunakan vaksin DNA saat ini sedang dalam
penelitian intensif. Pertama, menggunakan cytosine-phosphat-guanosine
oligodeoxynucleotides (CpG ODN), yang menyerupai DNA kuman. Bahan ini
akan merangsang sitokin Th1. Pada percobaan model asma tikus pemberian CpG
ODN mencegah terjadinya eosinofilia dan hiperesponsifitas bronkus (Harsono, A.,
2003). Kedua, menggabungkan CpG ODN dengan protein alergen, dengan
demikian mengurangi alergenitas tetapi merangsang pembentukan Th1 (Tighe, et
al., 2000).
Imunoglobulin E memegang peran penting dalam patofisiologi penyakit
alergi. Imunoterapi baru yang sedang dikembangkan antara lain anti-IgE (Babu
dan Holgate, 2002). Penelitian yang melibatkan banyak subyek berumur 6-76
tahun sedang dilakukan, ternyata hasilnya memuaskan terutama pada penderita
asma yang gagal dengan steroid hirupan dosis tinggi. Pengobatan dengan anti-IgE
bermanfaat juga pada pasien yang disertai rinitis alergika, dan saat mulai
dikembangkan pula terapi anti-IgE untuk alergi makanan (Bush, RK., 2002).
Tujuan utama pemberian anti-IgE adalah menghambat peran sentral IgE yaitu
menghambat hipereaktivitas tipe I. Hasil akhir pengobatan ini adalah menurunkan
IgE tanpa melihat spesifistas alergennya. Jika digabung dengan imunoterapi
spesifik, akan meningkatkan efektifitas dan menurunkan efek samping
(Hamelmann et al., 2003).
-
2.2 Imunoterapi pada Alergi Makanan
Baru-baru ini, imunoterapi oral (OIT) telah banyak diteliti sebagai
pendekatan terapi alergi makanan, dengan sejumlah clinical trials termasuk
randomized controlled trials, telah dilakukan (Sato, et al., 2014). Selain itu, mulai
berkembang pula penelitian mengenai sublingual immunotherapy (SLIT) dan
epicutaneous immunotherapy (EPIT) serta antibodi monoklonal anti-IgE
(omalizumab) sebagai jenis imunoterapi lain untuk alergi makanan. Terapi-terapi
ini diyakini mampu meningkatkan ambang jumlah makanan (alergen) pasien dan
menurunkan insiden reaksi yang tidak diharapkan, sehingga dapat bermanfaat
sebagai terapi alergi makanan (Sato et al., 2014).
2.2.1 Imunoterapi Oral
Mekanisme imunoterapi oral belum diketahui dengan jelas hingga saat ini,
namun diketahui bahwa OIT menginduksi desensitisasi dan toleransi (Gambar 2)
(Scurlock et al., 2010). Jika dibandingkan dengan nilai dasar, pada bulan 12 dan
18 (Gambar 3) (Jones, et al., 2009), kadar IgE-spesifik antigen pada subjek yang
mendapatkan OIT terkesan meningkat lebih awal namun selanjutnya menurun.
Peningkatan signifikan pada kadar IgG spesifik terjadi setelah pasien telah
mendapatkan OIT selama 3 bulan, namun kadarnya secara bertahap menurun
hingga kembali pada nilai dasar dalam 33 bulan. Sebaliknya, kadar IgG4 spesifik
awalnya meningkat dan tetap tinggi hingga akhir dari penelitian. OIT pada
umumnya berkaitan dengan reduksi kadar IgE-spesifik antigen dan peningkatan
kadar IgG4 spesifik-antigen, meskipun dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa
-
tidak ada perubahan kadar IgE-spesifik antigen selama terapi dengan OIT
(Skripak et al., 2007; Buchanan et al., 2008; Pajno et al., 2010; Burks et al., 2012).
Mengingat perubahan-perubahan kadar IgE, IgG, IgG4-spesifik antigen ini
hanya muncul pada subyek yang mendapat perlakuan OIT, maka respon imun ini
diyakini bersifat spesifik terhadap alergen (Vickery et al., 2010). Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Vickery et al. (2013) melaporkan bahwa respon
imun tersebut berkaitan dengan perubahan pola ikatan epitop (epitope binding
patterns), hal ini menunjukkan bahwa OIT menginduksi pergeseran (shifts) pada
antibodi repertoir (Vickery et al., 2013).
Mucosal Immunology 2010; 3:345
Gambar 2. OIT menginduksi desensitisasi dan toleransi
-
J Allergy Clin Immunol 2009;124:292-300
Gambar 3. Perubahan kadar Imunoglobulin-spesifik kacang selama OIT kacang
Banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar subyek yang
menerima OIT mengalami desensitisasi dan paparan alergen terus-menerus dapat
meningkatkan ambang reaktivitas klinis terhadap makanan (Tabel 2). Namun,
masih belum diketahui apakah toleransi yang muncul setelah OIT ini menyerupai
toleransi natural yang telah berkembang secara spontan pada pasien dengan alergi
makanan.
Tabel 2. Efikasi OIT
Food
Study
(published
year)
Subjects Duration/
Target dose
Clinical
outcomes 1
Clinical
outcomes 2
Peanut
Varshney
et al.
(2011)
2-10 years
OIT: 19
Control: 9
Duration of
OIT: 48
weeks
Target dose:
4000 mg
OIT:
threshold
dose Control:
threshold
dose was
lower than
OIT group
Desensitizatio
n: 84%
Dropout:
16%
Anagnosto
u et al.
(2014)
7-16 years
OIT: 39
Control: 46
Duration of
OIT: 24
weeks
Target dose:
800 mg
OIT:
threshold
dose Control: no
changed
Desensitizatio
n: 62%
Dropout: 2%
Milk
Longo et
al.
(2008)
5-17 years
OIT: 30
Control: 30
Duration of
OIT: 1 year
Target dose:
150 mL
OIT:
threshold
dose Control: no
Desensitizatio
n: 36%
Dropout:
10%
-
changed
Skripak et
al.
(2008)
6-17 years
OIT: 13
Control: 7
Duration of
OIT: 13
weeks
Target dose:
15 mL
OIT:
threshold
dose Control: no
changed
Desensitizatio
n: 46%
Dropout: 8%
Pajno et al.
(2010)
4-13 years
OIT: 15
Control: 15
Duration of
OIT: 48
weeks
Target dose:
200 mL
OIT:
threshold
dose Control: no
changed
Desensitizatio
n: 67%
Dropout:
10%
Egg
Burks et al.
(2012)
5-11 years
OIT: 40
Control: 15
Duration of
OIT: 22
months
Target dose:
2000 mg
OIT:
threshold
dose Control: no
changed
Desensitizatio
n: 55%
Tolerance:
28%
Dropout:
13%
Dari beberapa penelitian tersebut, diketahui bahwa terdapat perbedaan signifikan
antara pasien yang menerima OIT dan pasien yang hanya melakukan diet
eliminasi sebagai kontrol. Tingkat keberhasilan untuk desensitisasi berkisar antara
36 hingga 67%. Angka terendah didapatkan pada studi dengan subyek yang
menderita alergi susu berat dengan riwayat anafilaksis dan kadar IgE-spesifik susu
lebih dari 85 kUA/L (Longo et al., 2008).
2.2.2 Imunoterapi Lain
Sublingual immunotherapy (SLIT)
Metode SLIT menempatkan dosis imunoterapi cukup kecil di bawah lidah.
Metode ini telah terbukti efektif dalam pengobatan rhinitis alergi. Dua
randomized, controlled trials dari SLIT untuk kacang tanah telah dipublikasikan
(Kim et al., 2011; Fleischer et al., 2013). Fleisher et al. meneliti SLIT dengan
kacang dalam sebuah studi multisenter double-blind, dengan kontrol plasebo,
-
dengan jumlah subyek 40 berusia rata-rata 15 tahun. Dosis pemeliharaan berkisar
165-1386 mg protein kacang. Pada minggu ke 44 setelah memulai terapi, empat
belas (70%) dari 20 subyek yang menerima pengobatan aktif mengalami
peningkatan ambang dosis alergen, tetapi tidak ada satu pun dari subyek yang
melewati 5 gram kacang OFC. Selain itu, efek samping yang terjadi, sebagian
besar ringan dan tidak memerlukan administrasi antihistamin oral. Keet et al.
langsung membandingkan efektivitas SLIT dan OIT untuk susu. Penelitian ini
melibatkan 30 subyek secara acak dengan alergi susu yang menerima SLIT sendiri
dan SLIT diikuti oleh OIT. Setelah eskalasi SLIT awal, satu kelompok subyek,
dipilih secara acak, akan terus mendapatkan SLIT saja dan kelompok yang lain
akan mulai OIT dengan dua dosis pemeliharaan yang berbeda. Enam puluh
minggu kemudian, hanya satu subjek pada kelompok SLIT lolos 8 gram susu
OFC, dibandingkan dengan enam di kelompok OIT dosis rendah dan delapan
pada kelompok OIT dosis lebih tinggi. Reaksi sistemik lebih umum ditemukan
selama OIT dibandingkan dengan SLIT. Pasien dengan alergi kacang diterapi
dengan OIT kacang atau SLIT juga mengalami keberhasilan yang lebih besar jika
diberikan dengan OIT daripada dengan SLIT (Chin, et al., 2013). Hasil ini
menunjukkan bahwa OIT lebih efektif daripada SLIT sendiri dalam mencapai
desensitisasi. Terapi kombinasi SLIT dan OIT mungkin bermanfaat dari segi
keamanan dengan SLIT dan potensi toleransi dosis makanan semakin besar
dengan OIT.
-
Tabel 3. Clinical trials imunoterapi pada alergi makanan
Treatment Allerge
n
Study
(publishe
d year)
Subjects Duration/
Target dose Clinical outcomes
Sublingual
immunotherapy
(SLIT)
Peanut
Kim et al.
(2011)
1-11 years
Active: 11
Control: 7
Duration of
therapy: 12
months
Target dose:
2000 mg
threshold doses : active group was
higher than control
group.
Drop outs: 0
Fleischer
et al.
(2013)
12-37 years
Active: 20
Control: 20
Duration of
therapy: 44
weeks
Target dose:
5000 mg
threshold doses : 70% of active
group, 15% of
control group.
Drop outs: 10
SLIT + OIT Milk
Keet et al.
(2012)
6-15 years
Active: 30
Duration of
therapy: 60
weeks
Target dose:
high dose (2
g), low dose
(1 g), SLIT
(7 mg)
Desensitization:
60% of low dose
group,
80% of high dose
group,
10% of SLIT group
Drop outs: 2
Epicutaneous
immunotherapy
(EPIT)
Milk
Dupont et
al.
(2010)
6-15 years
Active: 10
Control: 9
Duration of
therapy: 3
months
Target dose:
300 mg
threshold doses : 60% of active
group, none of
control group.
Drop outs: 0
OIT +
Omalizumab Milk
Nadeau et
al. (2011)
7-11 years
Active: 11
Duration of
therapy: 24
weeks
Target dose:
2000 mg
threshold doses : 90% of active
group
Drop outs: 1
Epicutaneous immunotherapy
Imunoterapi Epikutaneus (EPIT) mungkin merupakan sebuah pendekatan baru
untuk alergi makanan. EPIT, yang melibatkan penggunaan patch alergen-loaded
pada kulit intak, terbukti dapat mendesensitisasi pasien dengan alergi susu
(Dupont et al., 2010). Subyek dalam kelompok pengobatan aktif bisa mentolerir
susu dengan dosis yang lebih tinggi dibandingkan dengan subyek dalam
kelompok plasebo. Efek samping kebanyakan terdiri dari reaksi kulit lokal dan
-
tidak ada reaksi sistemik yang berat. Pilot studi ini menunjukkan bahwa EPIT
aman dan ditoleransi dengan baik; administrasi epikutaneus mungkin menjadi
pilihan yang efektif untuk memberikan imunoterapi.
Antibodi Monoklonal Anti-IgE
Antibodi monoklonal anti-IgE (omalizumab), antibodi monoklonal rekombinan
manusia yang mengeblok IgE, bekerja dengan mengurangi atau mencegah respon
alergi yang dipicu oleh molekul IgE. Administrasi terapi tambahan anti-IgE
rekombinan monoklonal dapat menjadi strategi yang menjanjikan untuk
meningkatkan profil keamanan yang terkait dengan OIT (Lieberman et al., 2013;
Nadeau et al., 2012). Penggunaan antibodi monoklonal anti-IgE sebagai
imunoterapi alergi makanan ini akan dibahas lebih lanjut dan lebih dalam dalam
sub bab berikutnya.
2.3 Terapi Anti-IgE pada Pasien dengan Alergi Makanan
Omalizumab adalah antibodi monoklonal anti-IgE yang dibuat dengan
teknologi rekombinan DNA hamster. Saat ini, omalizumab disetujui oleh US
Food and Drug Administration (FDA) sejak 20 Juni 2003, digunakan untuk pasien
asma sedang hingga berat yang tidak terkontrol dengan inhalasi kortikosteroid,
dan seperti telah disebutkan sebelumnya saat ini mulai dikembangkan pula
penelitian omalizumab untuk digunakan pada pasien dengan alergi makanan.
Mekanisme kerja primer omalizumab, antibodi monoklonal anti-IgE,
adalah dengan berikatan pada epitope (area konformasi) antibodi IgE yang
bersirkulasi dalam pembuluh darah, mencegah interaksi antibodi IgE dengan
-
reseptornya (high-affinity IgE receptor FcRI) yang terdapat pada sel mast dan
basofil sehingga proses (kaskade) alergi terhambat (gambar ).
Gambar a. Mekanisme Kerja Omalizumab
Gambar b. Mekanisme Kerja Omalizumab
-
Mekanisme kerja sekunder dari omalizumab adalah dengan down regulasi
ekspresi high affinity FcRI (pada sel mast, basofil, sel dendritik, monosit) dan
low affinity FcRII (CD23 sel B).
Sebuah studi oleh Rafi et al. (2010) dilakukan untuk menilai efektivitas
omalizumab di 22 pasien dengan asma persisten yang juga menderita alergi
makanan IgE-mediated. Semua pasien menunjukkan tes kulit positif untuk
makanan tertentu dan memiliki riwayat reaksi alergi makanan. Tiga belas pasien
perempuan dan sembilan pasien laki-laki (rentang usia 4-66 tahun; rata-rata 38
tahun) dievaluasi dalam seting praktik swasta. Tingkat IgE rata-rata adalah
1120,74 IU / mL. Sensitized alergen meliputi ikan, kerang, kacang tanah, kacang
pohon, telur, kedelai, dan gandum. Semua 22 pasien (100%) menunjukkan
perbaikan yang signifikan, ditunjukkan oleh penurunan / tidak adanya gejala klinis
pada reeksposure dengan makanan untuk sensitisasi. Perbaikan klinis setelah dosis
keenam omalizumab (150-300 mg q. 2-4 minggu) telah dicatat berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Delapan pasien mengalami penurunan kejadian
dermatitis atopik yang diinduksi makanan, 13 pasien mengalami penurunan gejala
asma yang diinduksi makanan, 3 pasien mengalami penurunan urtikaria yang
diinduksi makanan, 6 pasien mengalami penurunan gejala rinosinusitis yang
diinduksi, dan 9 pasien menunjukkan efektivitas untuk angioedema dan / atau
anafilaksis. Saat pasien asma terapi dengan omalizumab, pasien diamati secara
subyektif mengalami penurunan gejala alergi makanan yang dimediasi IgE (Rafi
et al., 2010).
-
Pada sebuah penelitian penggunaan antibodi monoklonal anti-IgE pada
penderita alergi kacang yang dilakukan oleh Donald et al. (2003) ditemukan
bahwa pemberian antibodi ini mampu meningkatkan nilai ambang sensitivitas
subyek terhadap kacang secara signifikan dibandingkan dengan plasebo. Selain
itu, peningkatan dosis pemberian anti-IgE sebanding dengan peningkatan ambang
sensitivitas subyek, yaitu dari ambang sensitivitas dasar rata-rata 178 436 mg
kacang pada semua kelompok, ambang rata-ratanya meningkat setelah dilakukan
oral food challenge (OFC) sebesar 710 mg kacang pada kelompok plasebo, 913
mg pada kelompok dengan dosis 150 mg anti-IgE, 1650 mg pada kelompok
dengan dosis 300 mg anti-IgE, dan 2627 mg pada kelompok yang mendapat dosis
450 mg anti-IgE (Donald et al., 2003).
Kombinasi dari imunoterapi spesifik dan omalizumab diketahui
menguntungkan yaitu dapat meningkatkan efektivitas jangka pendek dan/atau
panjang dan juga keamanan pasien yang mendapatkan terapi. Menurut beberapa
studi, diketahui administrasi terapi tambahan anti-IgE rekombinan monoclonal
dapat menjadi strategi yang menjanjikan untuk meningkatkan profil keamanan
yang terkait dengan OIT (Lieberman et al., 2013; Nadeau et al., 2012). Nadeau et
al. melaporkan sebuah studi percontohan pengobatan omalizumab dikombinasikan
dengan OIT susu. Setelah sembilan minggu pretreatment dengan omalizumab
saja, diberikan OIT kombinasi dengan omalizumab, diikuti dengan periode
pemeliharaan OIT tanpa omalizumab dan, akhirnya, DBPCFC pada minggu ke 24.
Sembilan dari 10 subyek mencapai dosis target dan melewati DBPCFC tersebut.
Insiden efek sampingnya hanya sebesar 1,8%. Hanya satu subjek mengalami
-
rhinitis dan urtikaria; dan ia berespon terhadap adrenalin ketika diuji dengan
protokol DBPCFC. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan terapi anti-IgE
rekombinan monoklonal akan efektif dalam mengurangi efek samping yang parah
selama fase eskalasi OIT.
-
BAB III
KESIMPULAN
Alergi makanan merupakan respon imun terhadap makanan yang dapat
bergantung pada IgE atau pun tidak. Pada alergi makanan yang termediasi IgE,
paparan primer terhadap makanan berujung pada perkembangan kadar yang tinggi
dari IgE spesifik alergen makanan, yang terikat pada FcRI pada permukaan
basofil. Setelah terjadi paparan ulang, degranulasi dari basofil menyebabkan
penempelan IgE pada epitope dari alergen makanan sehingga menyebabkan gejala
alergi.
Imunoterapi merupakan pilihan terapi yang potensial untuk digunakan
masa depan. Imunoterapi yang dapat diberikan pada alergi makanan meliputi
imunoterapi oral (OIT), sublingual immunotherapy (SLIT) dan epicutaneous
immunotherapy (EPIT) serta antibodi monoklonal anti-IgE (omalizumab). Terapi
ini meningkatkan ambang jumlah makanan (alergen) dan menurunkan insiden
reaksi yang tidak diharapkan.
Administrasi terapi tambahan anti-IgE rekombinan monoklonal dapat
menjadi strategi yang menjanjikan untuk meningkatkan efektivitas dan profil
keamanan yang terkait dengan OIT.
-
DAFTAR PUSTAKA
1. Sicherer
2. Sildanha
3.
Freeman J. Vaccination against Hay fever: report of results during the first three
years. Lancet 1994;1: 1178.
Vrtala S, Akdis CA, Budak F, Akdis M, Blaser K, Kraft D, et al. T cell epitope
containing hypoallergenic recombinant fragments of the major birch pollen
allergen, Bet v 1, induce blocking antibodies. J Allergy Clin Immunol
2000;165:6653-9. 36.
Vrtala S, Hirtenlehner K, Susani M, Akdis M, Kussebi F, Akdis CA, et al. Genetic
engineering of a hypoallergenic trimer of the major birch pollen allergen Bet
v 1. FASEB J 2001;15:2045-7.
O'Hehir RE, Yssel H, Verma S, de vries JE, Spits H, Lamb JR. Clonal analyses of
differential lymphokine production in peptide and superantigen-induced T-
cell anergy. Int Immunol 1991;3:819-26.
Fasler S, Aversa G, de Vries JE, Yssel H. Antagonistic peptides specifically
inhibit proliferation, cytokine production, CD40L expression, and help for
IgE synthesis by Der p1 specific human T-cell clones. J Allergy Clin
Immunol 1998;101:521-30.
Erb KJ, Holloway JW, Sobeck A, Moll H, Le Gros H. Infection of mice with
mycobacterium bovis BCG suppresses allergen-induced airways
eosinophilia. J Exp Med 1998;187:561-9.
-
Harsono A. Efficacy of low dosis sublingual immunotherapy in the treatment of
asthma in children. Fol Med Indones 2003;39:223-7
Tighe H, Takayashi K, Schwart D, van Nest G, Tuck S, Eiden JJ, et al.
Conjugation of immunostimulatory DNA to the short ragweed allergen Amb
a1 enhances its immugenicity and reduces its allergenicity. J Allergy Clin
Immunol 2000;106:124-34.
Babu KS and Holgate ST. Newer therapies for asthma: a focus on anti-IgE. Indian
J Chest Dis Allied Sci 2002;44:107-15. 43.
Bush RK. The use of anti-IgE in the treatment of allergic asthma. Med Clin North
Am 2002;86:1113-29. 44.
Hamelmann E, Rolinck-Werninghaus C, et al. Is there a role for anti-IgE in
combination with specific allergen immunotherapy?. Curr Opin Allergy
Clin Immunol 2003;3:501-10.
Scurlock AM, Vickery BP, Hourihane JO, Burks AW. Pediatric food allergy and
mucosal tolerance. Mucosal Immunol. 2010;3:345-54.
Jones SM, Pons L, Roberts JL, Scurlock AM, Perry TT, Kulis M, et al. Clinical
efficacy and immune regulation with peanut oral immunotherapy. J Allergy
Clin Immunol. 2009;124:292-300, e1-97.
Harsono A. 2006. New Develospment Of Immunotherapy In The Treatment Of
Allergic Diseases. Available online http://pediatrik.com/pkb/20060220-
k5ms69-pkb.pdf.
Skripak JM, Nash SD, Rowley H, Brereton NH, Oh S, Hamilton RG, et al. A
randomized, double-blind, placebo-controlled study of milk oral
immunotherapy for cow's milk allergy. J Allergy Clin Immunol.
2008;122:1154-60.
-
Buchanan AD, Green TD, Jones SM, Scurlock AM, Christie L, Althage KA, et al.
Egg oral immunotherapy in nonanaphylactic children with egg allergy. J
Allergy Clin Immunol. 2007;119:199-205.
Pajno GB, Caminiti L, Ruggeri P, De Luca R, Vita D, La Rosa M, et al. Oral
immunotherapy for cow's milk allergy with a weekly up-dosing regimen: a
randomized single-blind controlled study. Ann Allergy Asthma Immunol.
2010;105:376-81.
Burks AW, Jones SM, Wood RA, Fleischer DM, Sicherer SH, Lindblad RW, et
al. Oral immunotherapy for treatment of egg allergy in children. N Engl J
Med. 2012;367:233-43.
Vickery BP, Pons L, Kulis M, Steele P, Jones SM, Burks AW. Individualized IgE-
based dosing of egg oral immunotherapy and the development of tolerance.
Ann Allergy Asthma Immunol. 2010;105:444-50.
Vickery BP, Lin J, Kulis M, Fu Z, Steele PH, Jones SM, et al. Peanut oral
immunotherapy modifies IgE and IgG4 responses to major peanut allergens.
J Allergy Clin Immunol. 2013;131:128-34 e1-3.
Longo G, Barbi E, Berti I, Meneghetti R, Pittalis A, Ronfani L, et al. Specific oral
tolerance induction in children with very severe cow's milk-induced
reactions. J Allergy Clin Immunol. 2008;121:343-7.
Dupont C, Kalach N, Soulaines P, Legoue-Morillon S, Piloquet H, Benhamou PH.
Cow's milk epicutaneous immunotherapy in children: a pilot trial of safety,
acceptability, and impact on allergic reactivity. J Allergy Clin Immunol.
2010;125:1165-7.
Chin SJ, Vickery BP, Kulis MD, Kim EH, Varshney P, Steele P, et al. Sublingual
versus oral immunotherapy for peanut-allergic children: a retrospective
comparison. J Allergy Clin Immunol. 2013;132:476-8 e2.