PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH …
Transcript of PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH …
BUPATI BANJAR
PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR
NOMOR 4 TAHUN 2021
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANJAR
TAHUN 2021 - 2041
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI BANJAR,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (7) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perlu
menetapkan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Banjar Tahun 2021 - 2041;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Repuplik Indonesia Nomor 352) sebagai Undang-Undang
(Lembaran Negara Repuplik Indonesia Tahun 1959 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 1820);
2. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkunag Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5601);
6. Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
2
7. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4833) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 77, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6042);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2021 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6633);
9. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 9 Tahun
2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2015 – 2035 (Lembaran Daerah Provinsi
Kalimantan Selatan Tahun 2015 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 9);
10. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 2 Tahun
2017 tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Selatan (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2017 Nomor 2,
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 2);
11. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 13 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2018 - 2038 (Lembaran
Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2018 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor
13);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANJAR
dan
BUPATI BANJAR
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANJAR TAHUN 2021-2041.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Provinsi adalah Provinsi Kalimantan Selatan.
2. Daerah adalah Kabupaten Banjar.
3
3. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
4. Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Bupati adalah Bupati Banjar.
5. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah.
6. Kecamatan atau yang disebut nama lain adalah bagian wilayah dari daerah
kabupaten yang dipimpin oleh camat.
7. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut dan ruang udara termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan kehidupannya.
8. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
9. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
10. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem
jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional.
11. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.
12. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
13. Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
14. Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
15. Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah rencana secara terperinci tentang tata ruang wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota.
16. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.
17. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya.
18. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan.
19. Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan.
20. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kawasan bawahannya yang meliputi kawasan hutan lindung, kawasan bergambut dan
kawasan resapan air.
21. Kawasan perlindungan setempat adalah kawasan lindung yang meliputi sempadan pantai, sempadan sungai, sekitar danau/waduk, sekitar mata air,
dan kawasan lindung spiritual dan kearifan lokal.
4
22. Kawasan konservasi adalah kawasan pengelolaan sumberdaya dengan fungsi
utama menjamin kesinambungan, ketersediaan, dan kelestarian sumberdaya alam ataupun sumberdaya buatan dengan tetap memelihara, serta
meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.
23. Kawasan lindung geologi adalah kawasan meliputi: kawasan cagar alam geologi, kawasan rawan bencana alam geologi, dan kawasan yang
memberikan perlindungan terhadap air tanah.
24. Kawasan ekosistem mangrove adalah wilayah pesisir laut yang merupakan
habitat alami hutan bakau (mangrove), yang berfungsi memberikan perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan.
25. Kawasan hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi
pokok memproduksi hasil hutan.
26. Kawasan Pertanian adalah kawasan yang diperuntukan bagi kegiatan pertanian yang meliputi kawasan pertanian lahan basah, kawasan lahan
pertanian kering, kawasan pertanian tanaman tahunan/perkebunan, perikanan dan peternakan.
27. Kawasan Perikanan adalah kawasan yang diperuntukan bagi kegiatan perikanan yang meliputi kawasan peruntukan perikanan tangkap, kawasan peruntukan perikanan budidaya, kawasan pengolahan dan pemasaran hasil
perikanan dan sarana dan prasarana perikanan.
28. Kawasan Pertambangan dan Energi adalah wilayah yang memiliki potensi sumber daya bahan tambang yang berwujud padat, cair, atau gas
berdasarkan peta/data geologi dan merupakan tempat dilakukannya sebagian atau seluruh tahapan kegiatan pertambangan yang meliputi
penelitian, penyelidikan umum, eksplorasi, operasi produksi/eksploitasi dan pasca tambang, baik diwilayah daratan maupun perairan, serta tidak dibatasi oleh penggunaan lahan, baik kawasan budidaya maupun lindung.
29. Kawasan Peruntukan Industri adalah daerah khusus yang disediakan oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk kegiatan industri.
30. Kawasan Pariwisata adalah kawasan yang memiliki objek dengan daya tarik wisata yang mendukung upaya pelestarian budaya, keindahan alam, dan lingkungan.
31. Kawasan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan dan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan
tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
32. Kawasan Pertahanan dan Keamanan adalah wilayah yang ditetapkan secara
nasional yang digunakan untuk kepentingan pertahanan.
33. Kawasan Strategis Nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional
terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan
sebagai warisan dunia.
34. Kawasan Strategis Provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan.
35. Kawasan Strategis Kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan.
5
36. Ruang Terbuka Hijau yang selanjutnya disingkat RTH adalah area
memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah
maupun yang sengaja ditanam.
37. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau
beberapa kabupaten/kota.
38. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten atau beberapa kecamatan.
39. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa.
40. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi.
41. Masyarakat adalah orang, perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan non
pemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan ruang.
42. Peran Masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
43. Forum Penataan Ruang adalah wadah di tingkat pusat dan daerah yang bertugas untuk membantu Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan memberikan pertimbangan dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang.
Bagian Kedua
Ruang Lingkup
Pasal 2
Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi:
a. ruang lingkup materi; dan
b. ruang lingkup Wilayah.
Pasal 3
Ruang lingkup materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi Penataan Ruang;
b. rencana Struktur Ruang;
c. rencana Pola Ruang;
d. penetapan Kawasan strategis;
e. arahan Pemanfaatan Ruang; dan
f. ketentuan pengendalian Pemanfaatan Ruang.
Pasal 4
Ruang lingkup Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b secara
geografis terletak pada 114° 30' 20" sampai dengan 115° 33' 37" Bujur Timur dan 2° 49' 55" sampai dengan 3° 43' 38" Lintang Selatan dengan luas 4.589 (empat ribu lima ratus delapan puluh sembilan) Km2, meliputi:
a. Kecamatan Aluh-Aluh;
b. Kecamatan Aranio;
6
c. Kecamatan Astambul;
d. Kecamatan Beruntung Baru;
e. Kecamatan Cintapuri Darussalam;
f. Kecamatan Gambut;
g. Kecamatan Karang Intan;
h. Kecamatan Kertak Hanyar;
i. Kecamatan Martapura;
j. Kecamatan Martapura Timur;
k. Kecamatan Martapura Barat;
l. Kecamatan Mataraman;
m. Kecamatan Pengaron;
n. Kecamatan Paramasan;
o. Kecamatan Sambung Makmur;
p. Kecamatan Simpang Empat;
q. Kecamatan Sungai Pinang;
r. Kecamatan Sungai Tabuk;
s. Kecamatan Tatah Makmur; dan
t. Kecamatan Telaga Bauntung.
Bagian Ketiga Tujuan Penataan Ruang
Pasal 5
Penataan Ruang Daerah bertujuan untuk mewujudkan Penataan Ruang Wilayah yang mampu mendukung keunggulan ekonomi Wilayah melalui pengelolaan sumberdaya alam guna mendukung Daerah sebagai pusat pertumbuhan Provinsi
yang berdasarkan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
Bagian Keempat Kebijakan Penataan Ruang
Pasal 6
(1) Untuk mewujudkan tujuan Penataan Ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 maka disusun kebijakan dan strategi Penataan Ruang.
(2) Kebijakan Penataan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
a. pemerataan usaha pembangunan di seluruh kecamatan;
b. pengembangan jaringan perdagangan lokal, regional, nasional dan internasional;
c. pengembangan ekonomi lokal Daerah berbasis potensi sumber daya alam dan komoditas unggulan;
d. perlindungan lahan pertanian untuk menjaga keseimbangan ekosistem;
e. pengembangan pariwisata yang berbasis alam dan lingkungan binaan;
f. pengembangan sektor pertanian yang dapat merangsang ke arah
berkembangnya agropolitan dan perluasan areal pertanian;
g. pengembangan Kawasan Perikanan budidaya dan tangkap;
7
h. perlindungan dan konservasi Kawasan lindung pesisir berupa ekosistem
mangrove;
i. pengelolaan kawasan hutan (konservasi, lindung dan produksi) dengan
memperhatikan aspek keberlanjutan dan dikelola secara optimal; dan
j. pembukaan permukiman perdesaan baru.
Bagian Kelima Strategi Penataan Ruang
Pasal 7
(1) Untuk melaksanakan kebijakan Penataan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, ditetapkan strategi Penataan Ruang Wilayah.
(2) Strategi kebijakan pemerataan usaha pembangunan di seluruh kecamatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a meliputi:
a. pemerataan pembangunan yang berkeadilan dalam rangka menurunkan
tingkat kesenjangan antara Daerah yang maju dengan kurang berkembang;
b. mengarahkan kegiatan pembangunan di Daerah sesuai dengan
kemampuan dan potensi yang terdapat di Daerah serta diserasikan dengan prioritas Daerah; dan
c. mengembangkan hubungan ekonomi antar Daerah yang saling
menguntungkan dan keseimbangan antar Wilayah dalam hal tingkat kemakmuran sehingga terjalin ikatan ekonomi yang kokoh.
d. mengembangkan Kawasan pusat perkantoran terpadu Daerah yang terintegrasi.
(3) Strategi kebijakan pengembangan jaringan perdagangan lokal, regional,
nasional dan internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b meliputi:
a. mengembangkan Kawasan perdagangan sebagai pemasaran hasil industri kerajinan dan industri pengolah hasil pertanian;
b. meningkatkan fungsi, nilai dan ciri khas kualitas barang yang akan
dipasarkan;
c. mengembangkan pasar-pusat komoditi untuk skala lokal, regional; dan
d. meningkatkan aksesibilitas barang dan jasa melalui sistem jaringan prasarana wilayah beserta simpul-simpulnya.
(4) Strategi kebijakan pengembangan ekonomi lokal Daerah berbasis potensi sumber daya alam dan komoditas unggulan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) huruf c meliputi:
a. menetapkan Kawasan Strategis Kabupaten yang berfungsi meningkatkan, memperkuat dan mengembangkan perekonomian
Daerah;
b. mengembangkan pusat pertumbuhan berbasis potensi sumberdaya alam dan kegiatan budidaya unggulan sebagai penggerak utama
pengembangan Wilayah;
c. mengembangkan pusat-pusat industri yang terhubung secara terpadu dan terintegrasi dengan daerah-daerah sumber bahan baku, sumber
produksi yang didukung dengan pengembangan sarana dan prasarana penunjang ekonomi lainnya;
8
d. mengelola pemanfaatan sumberdaya alam agar tidak melampaui daya
dukung dan daya tampung Kawasan; dan
e. mengintensifkan promosi peluang investasi dengan menciptakan iklim
investasi yang kondusif dan saling menguntungkan.
(5) Strategi kebijakan perlindungan lahan pertanian untuk menjaga keseimbangan ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
huruf d meliputi:
a. mengamankan Kawasan pertanian pangan yang produktif dan cadangan
Kawasan pertanian;
b. mengendalikan perubahan fungsi lahan pertanian yang produktif menjadi daerah terbangun;
c. memberikan intensif kepada masyarakat berupa sarana dan prasarana yang mendukung pertanian.
(6) Strategi kebijakan pengembangan pariwisata yang berbasis alam dan
lingkungan binaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf e meliputi:
a. meningkatkan dan mengembangkan objek wisata religius, wisata alam, agrowisata;
b. mengembangkan seni dan budaya tradisional warisan leluhur;
c. memberlakukan muatan lokal tentang sejarah serta budaya kerajinan Banjar melalui pendidikan, pariwisata, penelitian dan kerjasama pengelolaan Kawasan; dan
d. melindungi Kawasan disekitar bangunan dan Kawasan yang mempunyai nilai sejarah dan budaya.
(7) Strategi kebijakan pengembangan sektor pertanian yang dapat merangsang kearah berkembangnya agropolitan dan perluasan areal pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf f meliputi:
a. mengamankan ketahanan pangan melalui peningkatan efisiensi, produktivitas, produksi, daya saing dan nilai tambah produk pertanian
serta peningkatan kemampuan petani serta pelaku pertanian beserta penguatan lembaga pendukungnya;
b. mengembangkan ekonomi berbasis kerakyatan dengan memberdayakan
pengusaha kecil, menengah dan koperasi bermitra usaha dalam kesempatan kerja dan iklim usaha yang kondusif dan terbuka;
c. membangun industri pengolah hasil budi daya pertanian;
d. perkebunan, hortikultura yang diarahkan untuk eksport dan kebutuhan dalam negeri melalui peningkatan teknologi yang ramah lingkungan;
e. mempertahankan luasan pertanian lahan basah secara keseluruhan agar tidak berkurang dan saluran irigasi tidak boleh diputus; dan
f. meningkatkan daya saing produk pertanian melalui dorongan untuk
peningkatan pasca panen dan pengolahan hasil pertanian, peningkatan standar mutu komoditas pertanian dan keamanan pangan.
(8) Strategi kebijakan pengembangan Kawasan Perikanan budidaya dan tangkap sebagaimana dimaksud dalam 6 ayat (2) huruf g meliputi:
a. meningkatkan kualitas, kuantitas, efisiensi, produktivitas, produksi;
b. mengembangkan sektor unggulan di Kawasan pesisir dan laut;
c. memantapkan sentra-sentra perikanan tangkap dan budidaya perikanan;
9
d. mengembangkan industri kecil dan rumah tangga pada sentra-sentra
produksi hasil perikanan; dan
e. meminimalkan dampak negatif pengelolaan perikanan melalui pelarangan penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan,
pengolahan limbah hasil perikanan dan menjaga kelestarian lingkungan perikanan.
(9) Strategi kebijakan perlindungan dan konservasi kawasan lindung pesisir berupa ekosistem mangrove sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
huruf h yaitu memantapkan kawasan konservasi meliputi kawasan ekosistem mangrove, konservasi perairan, dan sempadan sungai.
(10) Strategi kebijakan untuk kebijakan pengelolaan kawasan hutan (konservasi,
lindung dan produksi) dengan memperhatikan aspek keberlanjutan dan dikelola secara optimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf i meliputi:
a. mengoptimalkan produksi hasil hutan untuk dapat diolah lebih lanjut;
dan
b. meningkatkan pengelolaan jasa lingkungan alam didalam kawasan hutan.
(11) Strategi kebijakan permukiman perdesaan baru sebagaimana dimaksud
dalam 6 ayat (2) huruf j meliputi:
a. menjadikan permukiman transmigrasi sebagai pusat pertumbuhan baru yang dapat meratakan pengembangan wilayah;
b. menyiapkan infrastruktur kawasan permukiman transmigrasi yang
memadai sesuai standar pengembangan kawasan;
c. mengendalikan perkembangan pusat pelayanan atau kota yang berdekatan dengan pusat pembukaan transmigrasi baru;
d. menjadikan kegiatan budidaya pertanian tanaman pangan sebagai kegiatan utama dalam pembukaan kawasan; dan
e. memenuhi kebutuhan RTH seluas 30% (tiga puluh persen) dari luas kawasan perkotaan yang terdiri dari RTH publik sebesar 20% (dua puluh persen) dan RTH privat sebesar 10% (sepuluh persen).
BAB II RENCANA STRUKTUR RUANG
Bagian Kesatu Umum
Pasal 8
(1) Rencana Struktur Ruang Wilayah Daerah, meliputi:
a. sistem perkotaan; dan
b. sistem jaringan prasarana.
(2) Rencana Struktur Ruang Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000 (satu banding
lima puluh ribu) sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
10
Bagian Kedua
Sistem Perkotaan
Pasal 9
(1) Sistem perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a,
terdiri atas:
a. PKW;
b. PKL; dan
c. PPK.
(2) PKW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu Perkotaan
Martapura.
(3) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas:
a. Kecamatan Gambut, Kertak Hanyar dan Sungai Tabuk; dan
b. Kecamatan Martapura Timur, Astambul, Mataraman dan Simpang Empat.
(4) PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas:
a. Kecamatan Beruntung Baru;
b. Kecamatan Tatah Makmur;
c. Kecamatan Martapura Barat;
d. Kecamatan Karang Intan;
e. Kecamatan Aranio;
f. Kecamatan Sungai Pinang;
g. Kecamatan Paramasan;
h. Kecamatan Pengaron;
i. Kecamatan Sambung Makmur;
j. Kecamatan Telaga Bauntung;
k. Kecamatan Cintapuri Darussalam; dan
l. Kecamatan Aluh Aluh.
Bagian Ketiga
Sistem Jaringan Prasarana
Pasal 10
(1) Sistem jaringan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b, terdiri atas:
a. sistem jaringan transportasi;
b. sistem jaringan energi;
c. sistem jaringan telekomunikasi;
d. sistem jaringan sumber daya air; dan
e. sistem jaringan prasarana lainnya.
(2) Sistem jaringan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000 (satu banding lima puluh ribu) sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
11
Paragraf 1
Sistem Jaringan Transportasi
Pasal 11
Rencana sistem transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf
a yaitu sistem jaringan transportasi.
Pasal 12
Sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, terdiri atas:
a. sistem jaringan jalan;
b. sistem jaringan kereta api; dan
c. sistem jaringan sungai, danau, dan penyeberangan.
Pasal 13
(1) Sistem jaringan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, terdiri
atas:
a. jaringan jalan arteri primer;
b. jaringan jalan kolektor primer;
c. jaringan jalan lokal primer;
d. jaringan jalan bebas hambatan;
e. jaringan jalan strategis provinsi;
f. jalan khusus; dan
g. terminal penumpang.
(2) Jaringan arteri primer yang ada di Wilayah kabupaten, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas:
a. ruas batas kota Banjarmasin – Sp. Lianganggang;
b. ruas jalan A. Yani (Martapura);
c. ruas Martapura - Desa Tungkap (batas Kabupaten Tapin);
d. Pelabuhan Trisakti - Lianganggang (Jalan G. Subarjo); dan
e. SP. Handil Bakti (SP. Serapat) - KM 17 (By Pass Banjarmasin)/Jalan Gubernur Syarkawi.
(3) Jaringan jalan kolektor primer yang ada di Wilayah kabupaten, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas:
a. jalan kolektor primer dua (JKP-2) yakni ruas jalan Banjarmasin -
Martapura;
b. jalan kolektor primer tiga (JKP-3), terdiri atas:
1. ruas jalan Banjarbaru - Aranio (Jalan PM. Noor);
2. ruas jalan Gambut - Pulausari;
3. ruas Gunung Kupang - Kiram - Tambang Ulang;
4. ruas Mataraman - Karang Intan - Sungai Ulin;
5. ruas jalan Peramasan;
6. ruas Sungai Tabuk - Gambut;
12
7. rencana pembangunan dan/atau peningkatan jalan lingkar dalam
dan lingkar luar Banjarbaru, Martapura dan Tanah Bumbu; dan
8. rencana jalan Martapura - Simpang Empat.
c. jalan kolektor primer empat (JKP-4) yang menjadi kewenangan kabupaten, terdiri atas:
1. ruas Gambut - Beruntung Baru;
2. ruas jalan Desa Mandiangin Timur - Bendungan Irigasi Desa Mandi Kapau Karang Intan;
3. ruas jalan Lingkar Selatan (Desa Melintang) - Aluh Aluh;
4. ruas Banjarmasin - Kuin Kecil - Aluh Aluh - Sungai Musang;
5. ruas jalan Mahligai;
6. ruas jalan Manarap;
7. ruas jalan Pengaron - Karang Intan;
8. ruas jalan Benteng - Pengaron;
9. ruas jalan Kuin Kecil - Handil Bujur;
10. jalan Syekh. Moh. Arsyad Al Banjari;
11. rencana pembangunan ruas jalan lingkar kecamatan Simpang Empat dan Karang Intan;
12. rencana pembangunan ruas jalan Sungai Kitano - Kelampayan;
13. rencana pembangunan ruas jalan Kampung Melayu - Kelampayan;
14. rencana pembangunan ruas jalan Martapura - Kawasan Perkantoran Baru;
15. rencana pembangunan ruas jalan Simpang Empat - Cintapuri - Simpang Lima - Martapura Barat;
16. rencana pembangunan ruas jalan Karang Intan - Pengaron;
17. rencana pembangunan ruas jalan Cindai Alus - Banjarbaru;
18. rencana peningkatan ruas jalan Astambul - Kelampayan;
19. rencana pembangunan ruas jalan Sungai Lulut tembus batas Banjarmasin;
20. rencana peningkatan ruas jalan Astambul - Bincau;
21. rencana pembangunan ruas jalan Veteran - Pesayangan; dan
22. jaringan jalan kolektor primer empat (JKP-4) yang menjadi
kewenangan kabupaten merupakan ruas jalan di Daerah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(4) Jaringan jalan lokal primer yang menjadi kewenangan kabupaten, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, merupakan ruas jalan di
Daerah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(5) Jaringan jalan bebas hambatan, meliputi atas rencana jalan bebas hambatan
Banjarmasin-Liang Anggang.
(6) Jaringan jalan strategis Provinsi, terdiri atas:
1. ruas jalan Kiram - Simpangtiga Tahura - Mandiangin;
2. ruas jalan Tahura Sultan Adam (Mandiangin - Puncak Kolam);
3. ruas jalan Angkipih - Remo - Paramasan Bawah;
13
4. ruas jalan Kiram - Gunung Coklat;
5. ruas jalan alternatif Makam Syech M. Arsyad Al-Banjari (Kintanu-makam); dan
6. ruas Jejangkit - Desa Bahadang - Keliling Benteng.
(7) Jalan khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu rencana peningkatan dan pengembangan jalan pada ruas-ruas jalan khusus
angkutan komoditas yang mendukung kelancaran arus distribusi dari sentra-sentra produksi sumber daya mineral dan perkebunan yang dikelola oleh
pihak swasta/investor menuju pelabuhan khusus, terdiri atas:
a. rencana jalan khusus untuk angkutan hasil tambang mulai dari underpass (Jalan A. Yani Km 71), Desa Simpang Empat, Desa Cintapuri,
Desa Banua Anyar, Desa Alalak Padang, Desa Batik sampai pada pelabuhan khusus yang terletak di Sungai Barito;
b. daerah pertambangan/daerah perkebunan di Desa Lok Cantung Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar - underpass pada jalan nasional kurang lebih pada kilometer 71 (tujuh puluh satu) di Desa
Lokcantung Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar - flyover pada jalan Provinsi Margasari - Marabahan Desa Batik Kecamatan
Bakumpai Kabupaten Barito Kuala arah Jembatan Rumpiang - pelabuhan khusus Desa Banua Anyar Kecamatan Bakumpai Kabupaten Barito Kuala; dan
c. daerah pertambangan/daerah perkebunan di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar - underpass pada jalan nasional kurang lebih
kilometer pada 94 (sembilan empat) di Desa Pulau Pinang Utara Kecamatan Pulau Pinang Kabupaten Tapin - pelabuhan khusus Sungai Puting Kabupaten Tapin.
(8) Terminal penumpang, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, terdiri atas :
a. terminal penumpang tipe A di Kecamatan Gambut;
b. terminal penumpang tipe B di Kecamatan Martapura; dan
c. terminal penumpang tipe C terdapat di:
1. Kecamatan Kertak Hanyar;
2. Kecamatan Aluh Aluh;
3. Kecamatan Tatah Makmur;
4. Kecamatan Beruntung Baru;
5. Kecamatan Sungai Tabuk;
6. Kecamatan Martapura Barat;
7. Kecamatan Martapura Timur;
8. Kecamatan Karang Intan;
9. Kecamatan Aranio;
10. Kecamatan Astambul;
11. Kecamatan Mataraman;
12. Kecamatan Simpang Empat;
13. Kecamatan Cintapuri Darussalam;
14. Kecamatan Pengaron;
15. Kecamatan Sungai Pinang;
16. Kecamatan Telaga Bauntung;
14
17. Kecamatan Paramasan; dan
18. Kecamatan Sambung Makmur.
Pasal 14
Sistem jaringan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b, terdiri
atas:
a. jalur kereta api antar kota, melalui Kecamatan Tatah Makmur, Kecamatan
Kertak Hanyar, Kecamatan Gambut, Kecamatan Martapura, Kecamatan Martapura Timur, Kecamatan Astambul, Kecamatan Mataraman, Kecamatan Simpang Empat, dan Kecamatan Cintapuri Darusalam;
b. stasiun operasi Balai Yasa berada di Kecamatan Gambut; dan
c. Stasiun penumpang terdapat di:
1. TOD Pal 17 Kecamatan Gambut;
2. stasiun Martapura di Kecamatan Martapura;
3. stasiun Bawahan Selan di Kecamatan Mataraman; dan
4. stasiun Pasar Lama di Kecamatan Simpang Empat.
Pasal 15
(1) Sistem jaringan sungai, danau, dan penyeberangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf c, terdiri atas:
a. alur pelayaran; dan
b. pelabuhan sungai dan danau pengumpan.
(2) Alur pelayaran, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu alur-pelayaran kelas III kewenangan Pemerintah Daerah dengan alur pelayaran Sungai Martapura yang melintasi Martapura - Banjarmasin.
(3) Pelabuhan sungai dan danau pengumpan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas:
a. pelabuhan sungai dan danau pengumpan Simpang Warga I di Kecamatan Aluh-Aluh;
b. pelabuhan sungai dan danau pengumpan Simpang Warga II di
Kecamatan Aluh-Aluh;
c. pelabuhan sungai dan danau pengumpan Aluh-Aluh Besar di Kecamatan Aluh-Aluh;
d. pelabuhan sungai dan danau pengumpan Depan Kantor Camat di Kecamatan Aluh-Aluh;
e. pelabuhan sungai dan danau pengumpan Kuin Kecil di Kecamatan Aluh-Aluh;
f. pelabuhan sungai dan danau pengumpan Kuin Besar di Kecamatan
Aluh-Aluh;
g. pelabuhan sungai dan danau pengumpan Tanipah di Kecamatan Aluh-
Aluh;
h. pelabuhan sungai dan danau pengumpan Bakambat di Kecamatan Aluh-Aluh;
i. pelabuhan sungai dan danau pengumpan Sungai Musang di Kecamatan Aluh-Aluh;
j. pelabuhan sungai dan danau pengumpan Sungai Lulut di Kecamatan
Sungai Tabuk;
15
k. pelabuhan sungai dan danau pengumpan Sungai Tabuk di Kecamatan
Sungai Tabuk;
l. pelabuhan sungai dan danau pengumpan Keliling Benteng di Kecamatan
Sungai Tabuk;
m. pelabuhan sungai dan danau pengumpan Lok Baintan di Kecamatan Sungai Tabuk;
n. pelabuhan sungai dan danau pengumpan Riam Kanan di Kecamatan Aranio;
o. pelabuhan sungai dan danau pengumpan Belangian di Kecamatan Aranio;
p. pelabuhan sungai dan danau pengumpan Murung Kenanga di
Kecamatan Martapura;
q. pelabuhan sungai dan danau pengumpan Astambul di Kecamatan Astambul; dan
r. pelabuhan sungai dan danau pengumpan Telok Selong di Kecamatan Martapura Timur.
Paragraf 2
Sistem Jaringan Energi
Pasal 16
(1) Sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b yaitu jaringan infrastruktur ketenagalistrikan.
(2) Jaringan infrastruktur ketenagalistrikan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
a. infrastruktur pembangkitan tenaga listrik dan sarana pendukungnya,
terdiri atas:
1. pembangkit listrik tenaga air (PLTA), yang terdiri atas:
a) PLTA Ir. Pangeran Mohammad Noor di Kecamatan Aranio; dan
b) rencana PLTA Riam Kiwa di Kecamatan Paramasan.
2. rencana pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH), yang terdiri
atas:
a) PLTMH di Kecamatan Sungai Pinang sebanyak 2 unit;
b) PLTMH di Kecamatan Pengaron;
c) PLTMH di Kecamatan Simpang empat;
d) PLTMH di Kecamatan Aranio;
e) PLTMH di Kecamatan Karang Intan;
f) PLTMH di Kecamatan Mataraman;
g) PLTMH di Kecamatan Cintapuri Darussalam;
h) PLTMH di Kecamatan Astambul;
i) PLTMH di Kecamatan Martapura Timur;
j) PLTMH di Kecamatan Martapura;
k) PLTMH di Kecamatan Sungai Tabuk;
l) PLTMH di Kecamatan Aluh-aluh; dan
m) PLTMH di Kecamatan Paramasan.
16
b. infrastruktur penyaluran tenaga listrik dan sarana pendukungnya,
terdiri atas:
1. jaringan transmisi tenaga listrik untuk menyalurkan tenaga listrik
antar sistem yaitu saluran udara tegangan tinggi (SUTT), terdiri atas:
a) SUTT Cempaka Mantuil;
b) SUTT Mantuil - Trisakti 1;
c) SUTT Mantuil - Trisakti 2; dan
d) SUTT PLTA PM. Noor.
2. jaringan distribusi tenaga listrik yaitu saluran udara tegangan menengah yang menyuplai kebutuhan energi listrik di Daerah;
3. gardu induk (GI), terdiri atas:
a) GI Mantuil di Kecamatan Gambut ;
b) GI P.M. Noor di Kecamatan Karang Intan;
c) GI Paramasan di Kecamatan Paramasan; dan
d) GI Sungai Tabuk di Kecamatan Gambut.
(3) Infrastruktur ketenagalistrikan lainnya sebagaimana ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.
Paragraf 3
Sistem Jaringan Telekomuniasi
Pasal 17
(1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(1) huruf c, terdiri atas:
a. jaringan bergerak terestrial;
b. jaringan bergerak seluler; dan
c. jaringan tetap.
(2) Jaringan bergerak terestrial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
merupakan sentral telepon otomat (STO) yang terdapat di Kecamatan Martapura.
(3) Jaringan bergerak seluler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
berupa jaringan stasiun penguatan daya pancar/terima seluler (Base Trasciever Station/BTS) di seluruh kecamatan.
(4) Jaringan tetap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan jaringan kabel yang meliputi:
a. Kecamatan Kertak Hanyar;
b. Kecamatan Gambut;
c. Kecamatan Aluh-Aluh;
d. Kecamatan Sungai Tabuk;
e. Kecamatan Martapura;
f. Kecamatan Martapura Barat;
g. Kecamatan Martapura Timur;
h. Kecamatan Karang Intan;
i. Kecamatan Astambul;
j. Kecamatan Matraman;
17
k. Kecamatan Tatah Makmur;
l. Kecamatan Beruntung Baru;
m. Kecamatan Aranio;
n. Kecamatan Mataraman;
o. Kecamatan Sambung Makmur;
p. Kecamatan Pengaron; dan
q. Kecamatan Simpang Empat.
Paragraf 4 Sistem Jaringan Sumber Daya Air
Pasal 18
(1) Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(1) huruf d, yaitu terdiri atas:
a. sistem jaringan sumber daya air lintas kabupaten/kota; dan
b. sistem jaringan sumber daya air kabupaten.
(2) Sistem jaringan sumber daya air lintas kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan prasarana sumber daya air lintas
kabupaten/kota sistem penyediaan air minum (SPAM) Banjarbakula.
(3) Sistem jaringan sumber daya air kabupaten, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurup b, terdiri atas:
a. sumber air, terdiri atas:
1. air permukaan, terdiri atas:
a) sungai Martapura;
b) sungai Riam Kanan;
c) sungai Riam Kiwa;
d) mata air Pegunungan Meratus di Kecamatan Peramasan;
e) waduk, terdiri dari:
1) Waduk Riam Kiwa di Kecamatan Peramasan;
2) Waduk Riam Kanan di Kecamatan Aranio;
3) Waduk Karang Intan di Kecamatan Karang Intan; dan
4) Waduk Check Dam Madurejo.
2. air tanah pada cekungan air tanah (CAT) Kabupaten Banjar, meliputi Cekungan Air Tanah Palangkaraya - Banjarmasin.
b. prasarana sumber daya air, terdiri atas:
1. sistem jaringan irigasi, terdiri atas:
a) jaringan irigasi primer meliputi:
1) Kecamatan Karang Intan;
2) Kecamatan Martapura;
3) Kecamatan Martapura Barat; dan
4) Kecamatan Sungai Tabuk.
18
b) jaringan irigasi sekunder meliputi:
1) Kecamatan Karang Intan;
2) Kecamatan Martapura;
3) Kecamatan Martapura Barat; dan
4) Kecamatan Sungai Tabuk.
c) rencana pembangunan jaringan irigasi, daerah irigasi riam
kanan meliputi:
1) jaringan irigasi primer di Kecamatan Martapura; dan
2) jaringan irigasi sekunder di Kecamatan Tatah Makmur, Kecamatan Beruntung Baru, Kecamatan Kertak Hanyar, dan Kecamatan Gambut.
2. bangunan pengendali banjir, terdiri atas:
a) Bendungan Ir. Pangeran Muhammad Noor di Kecamatan Aranio;
b) Bendungan Riam Kiwa yang di Kecamatan Peramasan;
c) Bendung Karang Intan di Kecamatan Karang Intan;
d) Bendung Sungkai di Kecamatan simpang empat;
e) Bendung Mandiangin di Kecamatan Karang Intan; dan
f) Bendung Takuti di Kecamatan Pengaron.
3. Daerah irigasi yang ada di Daerah meliputi:
a) daerah irigasi dan daerah rawa kewenangan nasional adalah daerah irigasi Riam Kanan seluas kurang lebih 5.000 (lima ribu)
hektar dan daerah irigasi rawa Belanti I dan II seluas kurang lebih 2.267 (dua ribu dua ratus enam puluh tujuh) hektar;
b) daerah irigasi rawa kewenangan Provinsi adalah daerah irigasi rawa Alalak Padang, Daerah Irigasi Rawa Antasan Kyai, daerah irigasi rawa Antasan Tanipah, daerah irigasi rawa Polder
Tambak Hanyar, dan daerah irigasi rawa Tanggul Martapura;
c) daerah irigasi dan daerah irigasi rawa kewenangan kabupaten
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini; dan
d) rencana pengembangan jaringan daerah irigasi pada seluruh
daerah potensial yang memiliki lahan pertanian yang ditujukan untuk mendukung ketahanan pangan dan pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan.
Paragraf 5
Sistem Jaringan Prasarana Lainnya
Pasal 19
(1) Sistem jaringan prasarana lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) huruf e, terdiri atas:
a. sistem penyediaan air minum;
b. sistem pengelolaan air limbah;
c. sistem pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun;
d. sistem jaringan persampahan wilayah; dan
e. sistem jaringan evakuasi bencana.
19
(2) Sistem penyediaan air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
merupakan jaringan perpipaan, terdiri atas:
a. Jaringan air baku yang merupakan sistem penyediaan air minum
Banjarbakula;
b. Unit produksi air yang berada di:
1. instalasi pengolahan air Pinus yang terdapat di Kecamatan
Martapura;
2. instalasi pengolahan air Peramuan yang terdapat di Kecamatan
Kertak Hanyar;
3. instalasi pengolahan air Karang Intan yang terdapat di Kecamatan Karang Intan;
4. instalasi pengolahan air Astambul yang terdapat di Kecamatan Astambul;
5. instalasi pengolahan air Mataraman yang terdapat di Kecamatan
Mataraman;
6. instalasi pengolahan air Pengaron yang terdapat di Kecamatan
Pengaron;
7. instalasi pengolahan air Simpang Empat yang terdapat di Kecamatan Simpang Empat; dan
8. rencana pembangunan instalasi pengolahan air di Kecamatan Aluh-Aluh, Kecamatan Aranio Kecamatan Beruntung Baru, Kecamatan Martapura Barat, Kecamatan Martapura Timur, Kecamatan
Peramasan, Kecamatan Sambung Makmur, Kecamatan Sungai Pinang, Kecamatan Sungai Tabuk, Kecamatan Gambut, Kecamatan
Tatah Makmur, Kecamatan Telaga Bauntung, dan Kecamatan Cintapuri Darussalam.
c. jaringan distribusi yang melayani seluruh Daerah.
(3) Sistem pengelolaan air limbah (SPAL), sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas:
a. sistem pembuangan air limbah domestik termasuk sistem pengolahan berupa instalasi pengolahan air limbah (IPAL), di Kecamatan Martapura, Kecamatan Martapura Timur, Kecamatan Gambut, Kecamatan Sungai
Tabuk dan Kecamatan Martapura Barat; dan
b. rencana sistem pembuangan air limbah domestik termasuk sistem pengolahan berupa instalasi pengolahan air limbah (IPAL), di Kecamatan
Aluh-Aluh, Kecamatan Aranio, Kecamatan Beruntung Baru, Kecamatan Paramasan, Kecamatan Martapura Timur, Kecamatan Sambung
Makmur, Kecamatan Sungai Pinang, Kecamatan Sungai Tabuk, Kecamatan Gambut, Kecamatan Tatah Makmur, Kecamatan Telaga Bauntung, Kecamatan Cintapuri Darussalam, Kecamatan Kertak
Hanyar, Kecamatan Karang Intan, Kecamatan Astambul, Kecamatan Mataraman, Kecamatan Pengaron, dan Kecamatan Simpang Empat.
(4) Sistem pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, di Kecamatan Beruntung Baru, Kecamatan Gambut, Kecamatan Kertak Hanyar, Kecamatan Tatah Makmur dan
Kecamatan Aluh-Aluh.
(5) Sistem jaringan persampahan wilayah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdiri atas:
20
a. tempat penampungan sampah sementara (TPS), di Kecamatan
Kecamatan Kertak Hanyar, Kecamatan Sungai Tabuk, Kecamatan Gambut, Kecamatan Martapura, Kecamatan Astambul, Kecamatan
Mataraman, Kecamatan Pengaron, Kecamatan Simpang Empat dan Kecamatan Sungai Pinang;
b. rencana pembangunan dan peningkatan tempat penampungan sampah
sementara (TPS), di Kecamatan Aluh-Aluh, Kecamatan Aranio, Kecamatan Beruntung Baru, Kecamatan Paramasan, Kecamatan
Martapura Timur, Kecamatan Sambung Makmur, Kecamatan Sungai Pinang, Kecamatan Sungai Tabuk, Kecamatan Martapura, Kecamatan Martapura Barat, Kecamatan Tatah Makmur, Kecamatan Telaga
Bauntung, Kecamatan Cintapuri Darussalam, Kecamatan Kertak Hanyar, Kecamatan Karang Intan, Kecamatan Astambul, Kecamatan Mataraman, Kecamatan Pengaron, Kecamatan Gambut dan Kecamatan
Simpang Empat; dan
c. tempat pemroresan akhir sampah (TPA), di Desa Padang Panjang
Kecamatan Karang Intan.
(6) Sistem jaringan evakuasi bencana, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, terdiri atas:
a. jalur evakuasi bencana pemanfaatan ruas jalan arteri primer, kolektor primer, jalan lokal dan jalan lingkungan yang ada pada setiap kecamatan; dan
b. ruang evakuasi bencana ruang terbuka hijau dan fasilitas umum halaman perkantoran kecamatan, koramil, polsek serta lapangan
olahraga pada setiap kecamatan.
BAB III
RENCANA POLA RUANG WILAYAH
Bagian Kesatu Umum
Pasal 20
(1) Rencana Pola Ruang Wilayah Daerah terdiri atas:
a. kawasan peruntukan lindung; dan
b. Kawasan Budidaya.
(2) Rencana Pola Ruang Wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000 (satu banding lima puluh ribu) sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.
Bagian Kedua
Kawasan Peruntukan Lindung
Pasal 21
Kawasan peruntukan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1)
huruf a, terdiri atas: a. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
b. kawasan perlindungan setempat;
c. kawasan konservasi;
d. kawasan lindung geologi; dan
e. kawasan ekosistem mangrove.
21
Paragraf 1 Kawasan Yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya
Pasal 22
(1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a merupakan kawasan hutan
lindung (HL).
(2) Kawasan hutan lindung (HL) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seluas kurang lebih 44.771 (empat puluh empat ribu tujuh ratus tujuh puluh satu)
Ha, terdapat di Kecamatan Beruntung Baru, Kecamatan Paramasan, Kecamatan Gambut, Kecamatan Aranio, Kecamatan Martapura Barat, Kecamatan Sambung Makmur, Kecamatan Sungai Pinang, dan Kecamatan
Telaga Bauntung.
(3) Pada kawasan hutan lindung (HL) sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdapat kawasan permukiman perdesaan yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang kehutanan masih ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung yang selanjutnya disebut kawasan hutan
lindung/kawasan permukiman perdesaan (HL/PD) seluas kurang lebih 45 (empat puluh lima) Ha, terdapat di Kecamatan Sungai Pinang dan Kecamatan Paramasan.
(4) Perubahan fungsi kawasan hutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 2
Kawasan Perlindungan Setempat
Pasal 23
Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, berupa sempadan sungai (SS) seluas kurang lebih 3.483 (tiga ribu empat ratus
delapan puluh tiga) Ha, terdapat di Kecamatan Astambul, Kecamatan Karang Intan, Kecamatan Martapura, Kecamatan Martapura Barat, Kecamatan Martapura Timur, Kecamatan Mataraman, Kecamatan Pengaron, Kecamatan Simpang Empat,
Kecamatan Sungai Tabuk, Kecamatan Aluh-Aluh, Kecamatan Beruntung Baru, Kecamatan Sambung Makmur, dan Kecamatan Tatah Makmur.
Paragraf 3
Kawasan Konservasi
Pasal 24
(1) Kawasan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c, terdiri
atas:
a. kawasan suaka alam (KSA); dan
b. kawasan pelestarian alam (KPA).
(2) Kawasan suaka alam, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri
atas:
a. suaka alam (KSA) seluas kurang lebih 6 (enam) Ha, terdapat di
Kecamatan Aranio;
b. cagar alam (CA) seluas kurang lebih 1.645 (seribu enam ratus empat puluh lima) Ha, terdapat di Kecamatan Karang Intan dan Kecamatan
Aluh-Aluh;
22
c. pada cagar alam (CA) sebagaimana dimaksud pada huruf b terdapat
kawasan tanaman pangan yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan masih ditetapkan sebagai
cagar alam yang selanjutnya disebut cagar alam/kawasan tanaman pangan (CA/P-1) seluas kurang lebih 0,5 (nol koma lima) Ha, terdapat di Kecamatan Aluh-Aluh;
d. suaka margasatwa (SM) seluas kurang lebih 214 (dua ratus empat belas) Ha, terdapat di Kecamatan Aluh-Aluh; dan
e. pada suaka margasatwa (SM) sebagaimana dimaksud pada huruf d terdapat kawasan tanaman pangan yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang kehutanan masih ditetapkan sebagai
suaka margasatwa yang selanjutya disebut suaka margsatwa/kawasan tanaman pangan (SM/P-1) seluas kurang lebih 150 (seratus lima puluh) Ha, terdapat di Kecamatan Aluh-Aluh.
(3) Kawasan pelestarian alam (KPA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu taman hutan raya (THR) seluas kurang lebih 89.186 (delapan puluh
sembilan ribu seratus delapan puluh enam) Ha, terdapat di Kecamatan Aranio, Kecamatan Karang Intan, Kecamatan Mataraman, Kecamatan Pengaron, dan Kecamatan Sungai Pinang.
(4) Pada taman hutan raya (THR) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdapat di:
a. kawasan permukiman perdesaan yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan masih ditetapkan sebagai taman hutan raya yang selanjutnya disebut taman hutan
raya/kawasan permukiman perdesaan (THR/PD) seluas kurang lebih 147 (seratus empat puluh tujuh) Ha, terdapat di Kecamatan Aranio dan Kecamatan Karang Intan; dan
b. kawasan tanaman pangan yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan masih ditetapkan sebagai
taman hutan raya yang selanjutnya disebut taman hutan raya/kawasan tanaman pangan (THR/P-1) seluas kurang lebih 140 (seratus empat puluh) Ha, terdapat di Kecamatan Aranio, Kecamatan Karang Intan, dan
Kecamatan Mataraman.
(5) Perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 4
Kawasan Lindung Geologi
Pasal 25
Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf d, berupa
kawasan imbuhan air tanah (LGE-4) seluas kurang lebih 739 (tujuh ratus tiga puluh sembilan) Ha, terdapat di Kecamatan Martapura dan Kecamatan Martapura Timur.
Paragraf 5
Kawasan Ekosistem Mangrove
Pasal 26
(1) Kawasan ekosistem mangrove sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf
e, berupa kawasan ekosistem mangrove (EM) seluas kurang lebih 69 (enam
puluh sembilan) Ha di Kecamatan Kecamatan Aluh-Aluh.
23
(2) Pada kawasan ekosistem mangrove (EM) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdapat kawasan tanaman pangan yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan masih ditetapkan sebagai
kawasan ekosistem mangrove yang selanjutnya disebut kawasan ekosistem mangrove/kawasan tanaman pangan (EM/P-1) seluas kurang lebih 3,4 (tiga koma empat) Ha, terdapat di Kecamatan Aluh-Aluh.
(3) Perubahan fungsi kawasan ekosistem mangrove sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Ketiga
Kawasan Budidaya
Pasal 27
Kawasan Budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b, terdiri
atas:
a. kawasan hutan produksi;
b. Kawasan Pertanian;
c. Kawasan Perikanan;
d. kawasan pertambangan dan energi;
e. Kawasan Peruntukan Industri;
f. Kawasan Pariwisata;
g. Kawasan Permukiman; dan
h. Kawasan Pertahanan dan Keamanan.
Paragraf 1 Kawasan Hutan Produksi
Pasal 28
(1) Kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, terdiri atas:
a. kawasan hutan produksi terbatas (HPT);
b. kawasan hutan produksi tetap (HP); dan
c. kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK).
(2) Kawasan hutan produksi terbatas (HPT) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, seluas kurang lebih 25.142 (dua puluh lima ribu seratus empat puluh dua) Ha, terdapat di Kecamatan Aranio, Kecamatan Sungai Pinang, Kecamatan Sambung Makmur, Kecamatan Pengaron, Kecamatan Telaga
Bauntung, dan Kecamatan Paramasan.
(3) Pada kawasan hutan produksi terbatas (HPT) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat kawasan permukiman perdesaan yang berdasarkan
ketentuan perundang-undangan di bidang kehutanan masih ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi terbatas yang selanjutnya disebut kawasan hutan produksi terbatas/kawasan permukiman perdesaan (HPT/PD) seluas
kurang lebih 67 (enam puluh tujuh) Ha, terdapat di Kecamatan Pengaron, Kecamatan Paramasan, dan Kecamatan Sungai Pinang.
24
(4) Kawasan hutan produksi tetap (HP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b seluas kurang lebih 84.133 (delapan puluh empat ribu seratus tiga puluh tiga) Ha, terdapat di Kecamatan Aranio, Kecamatan Mataraman,
Kecamatan Paramasan, Kecamatan Pengaron, Kecamatan Sambung Makmur, Kecamatan Sungai Pinang, dan Kecamatan Telaga Bauntung.
(5) Pada kawasan hutan produksi tetap (HP) sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) terdapat:
a. kawasan permukiman perdesaan yang berdasarkan ketentuan
perundang-undangan di bidang kehutanan masih ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi tetap yang selanjutnya disebut sebagai kawasan produksi tetap/kawasan permukiman perdesaan (HP/PD)
seluas kurang lebih 687 (enam ratus delapan puluh tujuh) Ha, terdapat di Kecamatan Paramasan, Kecamatan Pengaron, Kecamatan Sambung Makmur, dan Kecamatan Sungai Pinang; dan
b. kawasan tanaman pangan yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang kehutanan masih ditetapkan sebagai kawasan
hutan produksi tetap yang selanjutnya disebut kawasan hutan produksi tetap/kawasan tanaman pangan (HP/P-1) seluas kurang lebih 693 (enam ratus sembilan puluh tiga) Ha, terdapat di Kecamatan Pengaron,
Kecamatan Sungai Pinang, dan Kecamatan Telaga Bauntung.
(6) Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, seluas kurang lebih 2.316 (dua ribu tiga ratus
enam belas) Ha, terdapat di Kecamatan Karang Intan, Kecamatan Mataraman, Kecamatan Simpang Empat dan Kecamatan Pengaron.
(7) Pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) terdapat kawasan tanaman pangan yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan masih ditetapkan sebagai kawasan hutan
produksi yang dapat dikonversi yang selanjutnya disebut kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi/kawasan tanaman pangan (HPK/P-1) seluas
kurang lebih 38 (tiga puluh delapan) Ha, terdapat di Kecamatan Mataraman dan Kecamatan Pengaron.
(8) Perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 2
Kawasan Pertanian
Pasal 29
(1) Kawasan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf b, terdiri
atas:
a. Kawasan tanaman pangan (P-1);
b. Kawasan hortikultura (P-2); dan
c. Kawasan perkebunan (P-3).
(2) Kawasan tanaman pangan (P-1) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a yang kemudian disebut sebagai Kawasan Pertanian pangan berkelanjutan seluas kurang lebih 42.006 (empat puluh dua ribu enam) Ha, terdapat di Kecamatan Kertak Hanyar, Kecamatan Gambut, Kecamatan Aluh-aluh,
Kecamatan Astambul, Kecamatan Beruntung Baru, Kecamatan Cintapuri Darussalam, Kecamatan Karang Intan, Kecamatan Martapura, Kecamatan
Martapura Barat, Kecamatan Martapura Timur, Kecamatan Mataraman, Kecamatan Pengaron, Kecamatan Sambung Makmur, Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan Sungai Tabuk dan Kecamatan Tatah Makmur.
25
(3) Kawasan hortikultura (P-2) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
seluas kurang lebih 2.236 (dua ribu dua ratus tiga puluh enam) Ha, terdapat di Kecamatan Gambut, Kecamatan Karang Intan, Kecamatan Martapura
Barat, dan Kecamatan Sungai Tabuk.
(4) Kawasan perkebunan (P-3) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, seluas kurang lebih 110.954 (seratus sepuluh ribu sembilan ratus lima puluh empat) Ha, terdapat di Kecamatan Aranio, Kecamatan Astambul, Kecamatan
Beruntung Baru, Kecamatan Cintapuri Darussalam, Kecamatan Karang Intan, Kecamatan Martapura Barat, Kecamatan Mataraman, Kecamatan
Paramasan, Kecamatan Pengaron, Kecamatan Sambung Makmur, Kecamatan Simpang Empat, dan Kecamatan Telaga Bauntung.
Paragraf 3 Kawasan Perikanan
Pasal 30
Kawasan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf c berupa Kawasan Perikanan budidaya (IK-2) seluas kurang lebih 2.793 (dua ribu tujuh ratus sembilan puluh tiga) Ha terdapat di Kecamatan Martapura, Kecamatan
Martapura Barat, Kecamatan Karang Intan, Kecamatan Sungai Tabuk dan Kecamatan Aluh-Aluh.
Paragraf 4
Kawasan Pertambangan Dan Energi
Pasal 31
(1) Kawasan pertambangan dan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf d terdiri atas:
a. kawasan pertambangan mineral bukan logam; dan
b. kawasan pertambangan batubara.
(2) Kawasan pertambangan mineral bukan logam, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, yaitu kawasan pertambangan batuan, seluas kurang lebih 314 (tiga ratus empat belas) Ha, terdapat di Kecamatan Karang Intan dan
Kecamatan Beruntung Baru.
(3) Kawasan pertambangan batubara, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, seluas kurang lebih 2.352 (dua ribu tiga ratus lima puluh dua) Ha, terdapat di sebagian Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan Sambung
Makmur, Kecamatan Telaga Bauntung, Kecamatan Cintapuri Darussalam, Kecamatan Karang Intan, Kecamatan Mataraman, dan Kecamatan Pengaron.
(4) Kegiatan pertambangan dapat dilakukan diluar dari kawasan diatas dengan
mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan lokasi yang diajukan masuk dalam wilayah izin usaha pertambangan sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini dengan dilengkapi kode pola ruang sebagai berikut:
a. MNL untuk kode pola ruang kawasan pertambangan mineral bukan logam; dan
b. BR untuk kode pola ruang kawasan pertambangan batubara.
26
Paragraf 5
Kawasan Peruntukan Industri
Pasal 32
Kawasan Peruntukan Industri (KPI) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf
e, seluas kurang lebih 2.106 (dua ribu seratus enam) Ha, terdapat di Kecamatan Beruntung Baru, Kecamatan Gambut, Kecamatan Kertak Hanyar, Kecamatan
Tatah Makmur dan Kecamatan Aluh-Aluh.
Paragraf 6
Kawasan Pariwisata
Pasal 33
(1) Kawasan Pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf f, terdiri
atas:
a. Kawasan Pariwisata Alam;
b. Kawasan Pariwisata Buatan;
c. Kawasan Pariwisata Budaya;
d. Kawasan Pariwisata Religi;
e. Kawasan Pariwisata Edukasi;
f. Kawasan Pariwisata Kuliner/Belanja; dan
g. Kawasan Pariwisata Sejarah.
(2) Kawasan Pariwisata Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berada di Kecamatan Aranio, Kecamatan Karang Intan, Kecamatan Paramasan, Kecamatan Pengaron, Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan
Sungai Tabuk dan Kecamatan Sambung Makmur.
(3) Kawasan Pariwisata Buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
berada di Kecamatan Aranio, Kecamatan Beruntung Baru, dan Kecamatan Kertak Hanyar.
(4) Kawasan Pariwisata Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
berada di Kecamatan Karang Intan, Kecamatan Martapura, Kecamatan Martapura Barat, Kecamatan Martapura Timur, Kecamatan Pengaron dan Kecamatan Sungai Tabuk.
(5) Kawasan Pariwisata Religi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, berada di Kecamatan Astambul, Kecamatan Karang Intan, Kecamatan
Martapura, Kecamatan Martapura Barat, dan Kecamatan Martapura Timur.
(6) Kawasan Pariwisata Edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, berada di Kecamatan Kertak Hanyar, Kecamatan Martapura, Kecamatan
Martapura Barat dan Kecamatan Martapura Timur.
(7) Kawasan Pariwisata Kuliner/Belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf f, berada di Kecamatan Martapura dan Kecamatan Martapura Timur.
(8) Kawasan Pariwisata Sejarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, berada di Kecamatan Gambut, Kecamatan Karang Intan, Kecamatan
Martapura, Kecamatan Pengaron dan Kecamatan Sungai Tabuk.
(9) Lokasi Kawasan Pariwisata terdiri atas titik Lokasi desa/kelurahan yang menjadi alamat tempat wisata di Daerah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
27
Paragraf 7
Kawasan Permukiman
Pasal 34
(1) Kawasan Permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf g terdiri
atas:
a. Kawasan peruntukan permukiman perkotaan (PK); dan
b. Kawasan peruntukan permukiman perdesaan (PD).
(2) Kawasan peruntukan permukiman perkotaan (PK) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, seluas kurang lebih 20.788 (dua puluh ribu tujuh ratus
delapan puluh delapan) Ha, terdapat di Kecamatan Aluh-Aluh, Kecamatan Astambul, Kecamatan Gambut, Kecamatan Karang Intan, Kecamatan Kertak Hanyar, Kecamatan Martapura, Kecamatan Martapura Timur, Kecamatan
Martapura Barat, Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan Mataraman, dan Kecamatan Sungai Tabuk.
(3) Kawasan peruntukan permukiman perdesaan (PD) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, seluas kurang lebih 14.148 (empat belas ribu seratus empat puluh delapan) Ha, terdapat di Kecamatan Aluh-Aluh, Kecamatan
Tatah Makmur, Kecamatan Beruntung Baru, Kecamatan Gambut, Kecamatan Kertak Hanyar, Kecamatan Martapura Timur, Kecamatan Mataraman, Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan Cintapuri Darusalam,
Kecamatan Astambul, Kecamatan Karang Intan, Kecamatan Aranio, Kecamatan Sungai Tabuk, Kecamatan Sungai Pinang, Kecamatan Paramasan,
Kecamatan Telaga Bauntung, Kecamatan Pengaron, dan Kecamatan Sambung Makmur.
Paragraf 8 Kawasan Pertahanan Dan Keamanan
Pasal 35
Kawasan Pertahanan dan Keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf h terdiri atas:
a. Kawasan Perkantoran Komando Distrik Militer (KODIM) 1006 di Kecamatan
Martapura;
b. Kawasan Komando Rayon Militer (KORAMIL) meliputi;
1. Koramil 1006-01/Sungai Pinang di Kecamatan Sungai Pinang;
2. Koramil 1006-02/Pengaron di Kecamatan Pengaron;
3. Koramil 1006-03/Simpang Empat di Kecamatan Simpang Empat;
4. Koramil 1006-04/Astambul di Kecamatan Astambul;
5. Koramil 1006-05/Karang Intan di Kecamatan Karang Intan;
6. Koramil 1006-06/Martapura di Kecamatan Martapura;
7. Koramil 1007-08/Gambut di Kecamatan Gambut;
8. Koramil 1007-09/Sungai Tabuk di Kecamatan Sungai Tabuk;
9. Koramil 1007-10/Kertak Hanyar di Kecamatan Kertak Hanyar;
10. Koramil 1007-11/Aluh-Aluh di Kecamatan Aluh-Aluh;
11. Pos Koramil Ariano di Kecamatan Ariano; dan
12. Pos Koramil Sambung Makmur di Kecamatan Sambung Makmur.
28
c. Kawasan Perkantoran Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort (POLRES)
di Kecamatan Martapura;
d. Kawasan Perkantoran Kepolisian Negara Republik Indonesia Sektor (POLSEK)
yang tersebar di seluruh Wilayah Daerah; dan
e. Markas Polisi Air di Kecamatan Aluh-Aluh.
Pasal 36
(1) Pemanfaatan Kawasan untuk peruntukan lain selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 35 dapat dilaksanakan apabila tidak mengganggu fungsi Kawasan yang bersangkutan dan tidak melanggar
Ketentuan umum zonasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini.
(2) Pemanfaatan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan setelah adanya kajian komprehensif dan setelah mendapat
rekomendasi dari badan atau pejabat yang bertugas mengoordinasikan penataan ruang di Daerah.
BAB IV
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS
Pasal 37
(1) Kawasan strategis yang ada di Daerah, terdiri atas:
a. Kawasan Strategis Nasional;
b. Kawasan Strategis Provinsi; dan
c. Kawasan Strategis Kabupaten.
(2) Rencana Kawasan strategis digambarkan dalam peta dengan tingkat
ketelitian 1:50.000 (satu banding lima puluh ribu) sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.
Pasal 38
Kawasan Strategis Nasional yang ada di Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a, yaitu Kawasan Metropolitan Banjar Bakula.
Pasal 39
Kawasan Strategis Provinsi yang ada di Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, terdiri atas:
a. Kawasan Rawa Batang Banyu;
b. Bendungan Riam Kiwa di Kecamatan Paramasan;
c. Kawasan Pasar Terapung dan wisata budaya di Kecamatan Sungai Tabuk;
d. Kawasan kota Bandara Syamsuddin Noor di Kecamatan Martapura dan Kecamatan Martapura Barat;
e. Kawasan Pegunungan Meratus yaitu Kawasan hutan lindung yang memanjang dari Kabupaten Kota Baru sampai dengan wilayah Daerah termasuk Taman Hutan Rakyat (TAHURA) Sultan Adam di Desa Mandiangin
Kecamatan Karang Intan;
f. Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, Kawasan terbuka sepanjang pantai
timur - tenggara Wilayah Provinsi dengan berbagai pola Pemanfaatan Ruang baik lindung maupun budidaya di Daerah;
29
g. Kawasan tertentu di sepanjang sungai, pesisir pantai, laut dan pulau-pulau
kecil sebagai daerah pertahanan laut, daerah pendaratan, daerah basis militer, daerah latihan militer, daerah pembuangan amunisi, gudang amunisi
dan daerah ujicoba persenjataan dan daerah industri pertahanan; dan
h. Kawasan tertentu di Pegunungan Meratus sebagai daerah pertahanan darat dan pertahanan udara, daerah basis militer, daerah latihan militer, daerah
pembuangan amunisi, gudang amunisi dan daerah uji coba persenjataan.
Pasal 40
(1) Kawasan Strategis Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
huruf c, terdiri atas:
a. Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi; dan
b. Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan sosial budaya.
(2) Kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
c. Kawasan peruntukan industri Jalan Lingkar Selatan meliputi
Kecamatan Kertak Hanyar, Kecamatan Gambut, Kecamatan Tatah Makmur, Kecamatan Aluh-aluh, Kecamatan Beruntung Baru;
d. Kawasan perlindungan pertanian tanaman pangan berkelanjutan
(pengembangan padi), holtikultura dan tanaman pangan meliputi Kecamatan Gambut, Kecamatan Kertak Hanyar, Kecamatan Beruntung
Baru, Kecamatan Tatah Makmur, Kecamatan Aluh-Aluh, Kecamatan Martapura Barat, Kecamatan Martapura Timur, Kecamatan Martapura, Kecamatan Sungai Tabuk, Kecamatan Astambul, Kecamatan Mataraman,
Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan Cintapuri Darussalam, Kecamatan Sambung Makmur dan Kecamatan Pengaron; dan
e. Kawasan Perikanan budidaya meliputi Kecamatan Martapura, Kecamatan Martapura Barat, Kecamatan Aluh-Aluh, Kecamatan Aranio dan Kecamatan Karang Intan.
(3) Kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. Kawasan tradisional, religius dan bersejarah Daerah (Sekumpul, Teluk
Selong, Lok Baintan, Pesayangan, Kelampayan dan di seluruh Daerah); dan
b. Kawasan Pariwisata meliputi Kecamatan Astambul, Kecamatan Sungai Tabuk, Kecamatan Aranio, Kecamatan Martapura Barat, Kecamatan Karangintan dan Kecamatan Martapura (wisata budaya, wisata agro,
wisata alam, wisata religi).
Pasal 41
(1) Pemerintah Daerah menetapkan RDTR.
(2) RDTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk operasionalisasi RTRW Daerah.
(3) RDTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun untuk PKW, PKL dan
PPK serta Kawasan lain sesuai kebutuhan dan urgensi penanganan.
(4) RDTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan
Bupati.
30
BAB V
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG
Pasal 42
(1) Pemanfaatan Ruang Wilayah Daerah berpedoman pada rencana Struktur
Ruang dan Pola Ruang.
(2) Pemanfaatan Ruang Wilayah Daerah dilaksanakan melalui penyusunan dan
pelaksanaan program Pemanfaatan Ruang beserta perkiraan pendanaannya.
(3) Arahan Pemanfaatan Ruang meliputi:
a. program Pemanfaatan Ruang prioritas;
b. lokasi;
c. besaran;
d. sumber pendanaan;
e. instansi pelaksana; dan
f. waktu dan tahapan pelaksanaan.
Pasal 43
Program Pemanfaatan Ruang prioritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) huruf a, meliputi:
a. program perwujudan rencana Struktur Ruang;
b. program perwujudan rencana Pola Ruang; dan
c. program perwujudan penetapan Kawasan Strategis Kabupaten.
Pasal 44
Program perwujudan rencana Struktur Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf a, meliputi:
a. perwujudan pusat pelayanan kegiatan;
b. perwujudan jaringan transportasi; dan
c. perwujudan jaringan prasarana.
Pasal 45
Program perwujudan rencana Pola Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf b, meliputi:
a. perwujudan zona lindung; dan
b. perwujudan zona budidaya.
Pasal 46
Program perwujudan penetapan Kawasan Strategis Kabupaten dimaksud dalam Pasal 43 huruf c, meliputi:
a. program penyusunan RDTR;
b. program penyusunan kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi; dan
c. program penyusunan kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial
budaya.
31
Pasal 47
Program ketentuan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (3)
huruf b, menunjukkan lokasi tempat dimana usulan program akan dilaksanakan.
Pasal 48
Program ketentuan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (3)
huruf c, menunjukkan besaran dan biaya yang diperkirakan untuk masing-masing usulan program prioritas pengembangan Wilayah yang akan dilaksanakan.
Pasal 49
Program ketentuan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (3)
huruf d, menunjukkan sumber dan perkiraan besaran kebutuhan pendanaan untuk melaksanakan masing-masing usulan program prioritas pengembangan
Wilayah yang dapat berasal dari APBD dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 50
Program ketentuan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (3)
huruf e, menunjukkan pihak-pihak yang menjadi pelaksana program prioritas, meliputi Perangkat Daerah dan/atau kementerian/lembaga, swasta, dan/atau
masyarakat.
Pasal 51
Waktu dan tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3)
huruf f, terdiri atas 4 (empat) tahapan sebagai dasar bagi instansi pelaksana baik pusat maupun Daerah dalam menetapkan prioritas pembangunan di Daerah, yang meliputi:
a. tahap pertama pada periode tahun 2021-2025;
b. tahap kedua pada periode tahun 2026-2030;
c. tahap ketiga pada periode tahun 2031-2035; dan
d. tahap keempat pada periode tahun 2036-2041.
Pasal 52
Program Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) disusun berdasarkan indikasi program utama lima tahunan yang ditetapkan
dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pasal 53
(1) Pendanaan program Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 bersumber dari APBD dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kerja sama pendanaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
32
BAB VI
PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
Bagian Kesatu Umum
Pasal 54
(1) Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten.
(2) Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. ketentuan umum zonasi;
b. ketentuan kesesuaian kegiatan Pemanfaatan Ruang;
c. ketentuan insentif dan disinsentif; dan
d. sanksi.
Bagian Kedua
Ketentuan Umum Zonasi
Pasal 55
(1) Ketentuan umum zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2)
huruf a digunakan sebagai pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun peraturan zonasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(2) Ketentuan umum zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. ketentuan umum zonasi untuk Struktur Ruang, terdiri atas:
1. ketentuan umum zonasi untuk sistem perkotaan; dan
2. ketentuan umum zonasi untuk kawasan sekitar sistem jaringan prasarana.
b. ketentuan umum zonasi untuk Pola Ruang, terdiri atas:
1. ketentuan umum zonasi untuk Kawasan lindung; dan
2. ketentuan umum zonasi untuk Kawasan Budidaya.
Paragraf 1
Ketentuan Umum Zonasi Sistem Perkotaan
Pasal 56
(1) Ketentuan umum zonasi untuk sistem perkotaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a, angka 1 meliputi:
a. ketentuan umum zonasi untuk PKW;
b. ketentuan umum zonasi untuk PKL: dan
c. ketentuan umum zonasi untuk PPK.
(2) Ketentuan umum zonasi untuk PKW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
33
a. kegiatan yang diperbolehkan yaitu pemanfaatan lahan yang sesuai
untuk kegiatan perkotaan berskala Provinsi atau beberapa kabupaten dan kota, dengan didukung fasilitas dan prasarana yang sesuai dengan
skala pelayanan antar kabupaten, dengan tetap mempertimbangkan potensi kerawanan terhadap bencana;
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat yaitu kegiatan lainnya yang
memenuhi persyaratan teknis (termasuk persyaratan teknis bangunan di kawasan rawan bencana) dan tidak mengganggu fungsi Kawasan
perkotaan sebagai PKW;
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan yaitu kegiatan yang tidak sesuai dan/atau dapat menurunkan kualitas lingkungan permukiman
perkotaan serta kegiatan hunian baru; dan
d. ketentuan intensitas Pemanfaatan Ruang sedang hingga tinggi dan dapat dikembangkan bangunan bertingkat serta penyediaan Kawasan siap
bangun (kasiba) dan lingkungan siap bangun (lisiba).
(3) Ketentuan umum zonasi untuk PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan yaitu pemanfaatan lahan yang sesuai untuk kegiatan perkotaan berskala Kecamatan, dengan didukung
fasilitas dan prasarana yang sesuai dengan skala pelayanan kabupaten dan beberapa Kecamatan, dengan tetap mempertimbangkan potensi kerawanan terhadap bencana;
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat yaitu kegiatan lainnya yang memenuhi persyaratan teknis (termasuk persyaratan teknis bangunan
di kawasan rawan bencana) dan tidak mengganggu fungsi Kawasan perkotaan sebagai PKL;
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan yaitu kegiatan yang tidak sesuai
dan/atau dapat menurunkan kualitas lingkungan permukiman perkotaan serta kegiatan hunian baru; dan
d. ketentuan intensitas Pemanfaatan Ruang rendah hingga sedang dan pembatasan bangunan bertingkat serta penyediaan Kawasan siap bangun (kasiba) dan lingkungan siap bangun (lisiba).
(4) Ketentuan umum zonasi untuk PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan yaitu pemanfaatan lahan yang sesuai
untuk kegiatan permukiman berskala lokal, dengan didukung fasilitas dan prasarana yang sesuai dengan skala pelayanan Kecamatan dan beberapa desa, dengan tetap mempertimbangkan potensi kerawanan
terhadap bencana, serta penyediaan fasilitas pendukung kegiatan pertanian, distribusi hasil pertanian dan pemasaran produk pertanian;
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat yaitu kegiatan lainnya yang memenuhi persyaratan teknis (termasuk persyaratan teknis bangunan
di kawasan rawan bencana) dan tidak mengganggu fungsi Kawasan perkotaan sebagai PPK;
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan yaitu kegiatan yang tidak sesuai
dan/atau dapat menurunkan kualitas lingkungan permukiman serta kegiatan hunian baru; dan
d. ketentuan intensitas Pemanfaatan Ruang disesuaikan dengan kondisi fisik dan daya dukung lingkungan setempat.
34
Paragraf 2
Ketentuan Umum Zonasi Kawasan Sekitar Sistem Jaringan Prasarana
Pasal 57
Ketentuan umum zonasi untuk jaringan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a angka 2 meliputi:
a. ketentuan umum zonasi Kawasan sekitar jaringan transportasi darat;
b. ketentuan umum zonasi Kawasan sekitar jaringan sungai, danau, dan penyebrangan;
c. ketentuan umum zonasi Kawasan sekitar jaringan energi;
d. ketentuan umum zonasi Kawasan sekitar jaringan telekomunikasi;
e. ketentuan umum zonasi Kawasan sekitar jaringan sumber daya air; dan
f. ketentuan umum zonasi Kawasan sekitar jaringan prasarana lainnya.
Pasal 58
(1) Ketentuan umum zonasi Kawasan sekitar jaringan transportasi darat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a meliputi:
a. ketentuan umum zonasi jalan arteri primer (JAP);
b. ketentuan umum zonasi jalan kolektor primer (JKP);
c. ketentuan umum zonasi jalan lokal primer (JLP);
d. ketentuan umum zonasi terminal penumpang tipe A;
e. ketentuan umum zonasi terminal penumpang tipe B; dan
f. ketentuan umum zonasi jaringan jalur kereta api.
(2) Ketentuan umum zonasi jalan arteri primer (JAP) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri dari:
1. pengembangan RTH sepanjang jaringan jalan yang mempunyai fungsi konservasi dan penyediaan oksigen; dan
2. transportasi orang dan barang dengan berbagai jenis moda
transportasi yang menyesuaikan kelas jalan dari masing-masing ruas jalan.
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, terdiri dari:
1. kegiatan komersial berupa industri, perdagangan jasa dan menyediakan prasarana tersendiri dengan memenuhi standar
keamanan dan yang tidak menimbulkan parkir di badan jalan;
2. perumahan dengan kepadatan rendah dan sedang dengan syarat tidak berorientasi langsung pada jalan dengan memenuhi standar
keamanan dan yang tidak menimbulkan parkir di badan jalan;
3. kegiatan lain berupa pariwisata, pendidikan, kesehatan, olahraga
disediakan secara terbatas melalui penyediaan sarana dan prasarana dengan memenuhi standar keamanan dan yang tidak menimbulkan parkir di badan jalan; dan
4. pemasangan utilitas prasarana umum, kelengkapan jalan (street furniture), dan pemasangan reklame ukuran sedang dan tidak
mengganggu fungsi jalan dan keamanan pengguna jalan.
35
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan, terdiri dari:
1. kegiatan komersial berupa industri, perdagangan dan jasa dengan intensitas tinggi dan berorientasi langsung pada jalan;
2. perumahan dengan kepadatan tinggi yang langsung berorientasi langsung pada jalan;
3. kegiatan lain berupa pariwisata, pendidikan, kesehatan, olahraga
yang berorientasi langsung pada jalan;
4. kegiatan lain yang berpotensi membahayakan pengguna jalan;
5. pemanfaataan jalan yang melebihi ketentuan muatan, dimensi, muatan sumbu terberat, dan/atau beban;
6. penggunaan ruang pengawasan jalan yang mengganggu
keselamatan pengguna jalan dan keamanan konstruksi jalan;
7. penutupan jalan tanpa mendapatkan izin dari instansi yang berwenang;
8. bangunan reklame yang menutupi ruas jalan yang memiliki scenic view;
9. Kegiatan pasar tradisional yang memakai badan jalan; dan
10. Kegiatan pendidikan sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat
pertama, sekolah lanjutan tingkat atas.
d. ketentuan intensitas koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, koefisien dasar hijau, jalan arteri primer, dan jalan kolektor
primer menyesuaikan dengan jenis peruntukan yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan; dan
e. ketentuan sarana prasarana minimum jalan arteri primer terdiri dari:
1. penyediaan rambu lalu lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, alat penerangan jalan, alat pengendali dan pengaman
pengguna jalan, alat pengawasan dan pengamanan jalan, fasilitas untuk sepeda, dan fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada di jalan dan di luar badan jalan; dan
2. penyediaan tempat pemberhentian angkutan yang sesuai dengan tipe penggunaan lahan dan pengguna jalan.
(3) Ketentuan umum zonasi jalan kolektor primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri dari:
1. pengembangan RTH sepanjang jaringan jalan yang mempunyai fungsi konservasi dan penyediaan oksigen; dan
2. transportasi orang dan barang dengan berbagai jenis moda
transportasi yang menyesuaikan kelas jalan kolektor primer dari masing-masing ruas jalan.
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, terdiri dari:
1. kegiatan komersial berupa industri, perdagangan dan jasa dengan intensitas sedang dan menyediakan prasarana tersendiri dengan
memenuhi standar keamanan dan yang tidak menimbulkan parkir di badan jalan kolektor;
2. perumahan dengan kepadatan rendah dan sedang dengan syarat
tidak berorientasi langsung pada jalan kolektor primer dengan memenuhi standar keamanan dan yang tidak menimbulkan parkir
di badan jalan kolektor;
36
3. kegiatan lain berupa pariwisata, pendidikan, kesehatan, olahraga
disediakan secara terbatas melalui penyediaan sarana dan prasarana dengan memenuhi standar keamanan dan yang tidak
menimbulkan parkir di badan jalan kolektor; dan
4. pemasangan utilitas prasarana umum, kelengkapan jalan, dan pemasangan reklame sepanjang tidak mengganggu fungsi jalan dan
keamanan pengguna jalan.
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan, terdiri dari:
1. kegiatan komersial berupa industri, perdagangan dan jasa dengan intensitas tinggi dan berorientasi langsung pada jalan kolektor primer;
2. perumahan dengan kepadatan tinggi yang langsung berorientasi langsung pada jalan kolektor primer;
3. kegiatan lain berupa pariwisata, pendidikan, kesehatan, olahraga
yang langsung berorientasi langsung pada jalan kolektor primer;
4. kegiatan lain yang berpotensi membahayakan pengguna jalan
kolektor primer;
5. pemanfaataan jalan yang melebihi ketentuan muatan, dimensi, muatan sumbu terberat, dan/atau beban;
6. penggunaan ruang pengawasan jalan yang mengganggu keselamatan pengguna jalan dan keamanan konstruksi jalan;
7. penutupan jalan tanpa mendapatkan izin dari instansi yang
berwenang; dan
8. bangunan dan atau reklame yang menutupi ruas jalan yang
memiliki scenic view.
d. ketentuan intensitas koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien lantai
bangunan (KLB) dan koefisien dasar hijau (KDH) jalan kolektor primer menyesuaikan dengan jenis peruntukan yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan; dan
e. ketentuan sarana prasarana minimum jalan kolektor primer, dan jalan kolektor primer, terdiri dari:
1. prasarana dan sarana minimum berupa rambu lalu lintas, marka
jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, alat penerangan jalan, alat pengendali dan pengaman pengguna jalan, alat pengawasan dan
pengamanan jalan, fasilitas untuk sepeda, dan fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada di jalan dan di luar badan jalan;
2. penyediaan penempatan rambu yang sesuai dengan tipe penggunaan lahan dan pengguna jalan;
3. penyediaan penempatan iklan yang sesuai dengan tipe penggunaan
lahan dan pengguna jalan; dan
4. penyediaan tempat pemberhentian angkutan yang sesuai dengan
tipe penggunaan lahan dan pengguna jalan.
(4) Ketentuan umum zonasi jalan lokal primer (JLP) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri dari:
1. pengembangan RTH sepanjang jaringan jalan yang mempunyai
fungsi konservasi dan penyediaan oksigen;
37
2. transportasi orang dan barang dengan berbagai jenis moda
transportasi yang menyesuaikan kelas jalan lokal primer dari masing-masing ruas jalan; dan
3. perumahan dengan kepadatan rendah dan sedang dengan syarat tidak berorientasi langsung pada jalan kolektor primer dengan
memenuhi standar keamanan dan yang tidak menimbulkan parkir di badan jalan kolektor.
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, terdiri dari:
1. kegiatan komersial berupa industri, perdagangan dan jasa dengan intensitas sedang dan menyediakan prasarana tersendiri dengan memenuhi standar keamanan dan yang tidak menimbulkan parkir
di badan jalan kolektor;
2. kegiatan lain berupa pariwisata, pendidikan, kesehatan, olahraga
disediakan secara terbatas melalui penyediaan sarana dan prasarana dengan memenuhi standar keamanan dan yang tidak
menimbulkan parkir di badan jalan kolektor; dan
3. pemasangan utilitas prasarana umum, kelengkapan jalan, dan
pemasangan reklame sepanjang tidak mengganggu fungsi jalan dan keamanan pengguna jalan.
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan, terdiri dari:
1. kegiatan komersial berupa industri, perdagangan dan jasa dengan
intensitas tinggi dan berorientasi langsung pada jalan lokal primer;
2. kegiatan lain berupa pariwisata, pendidikan, kesehatan, olahraga yang langsung berorientasi langsung pada jalan lokal primer;
3. kegiatan lain yang berpotensi membahayakan pengguna jalan lokal primer;
4. pemanfaataan jalan yang melebihi ketentuan muatan, dimensi, muatan sumbu terberat, dan/atau beban;
5. penggunaan ruang pengawasan jalan yang mengganggu keselamatan pengguna jalan dan keamanan konstruksi jalan;
6. penutupan jalan tanpa mendapatkan izin dari instansi yang berwenang; dan
7. bangunan dan atau reklame yang menutupi ruas jalan yang memiliki scenic view.
d. ketentuan intensitas koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien lantai
bangunan (KLB) dan koefisien dasar hijau (KDH) jalan lokal primer menyesuaikan dengan jenis peruntukan yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan; dan
e. ketentuan sarana prasarana minimum jalan lokal primer, terdiri dari:
1. prasarana dan sarana minimum berupa rambu lalu lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, alat penerangan jalan, alat
pengendali dan pengaman pengguna jalan, alat pengawasan dan pengamanan jalan, fasilitas untuk sepeda, dan fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada di jalan dan di
luar badan jalan;
2. penyediaan penempatan rambu yang sesuai dengan tipe penggunaan lahan dan pengguna jalan;
3. penyediaan penempatan iklan yang sesuai dengan tipe penggunaan lahan dan pengguna jalan; dan
4. penyediaan tempat pemberhentian angkutan yang sesuai dengan tipe penggunaan lahan dan pengguna jalan.
38
(5) Ketentuan umum zonasi terminal penumpang tipe A sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri dari:
1. kegiatan operasional angkutan penumpang;
2. kegiatan pelayanan jasa lainnya yang mendukung langsung sistem terminal tipe A; dan
3. pengembangan RTH di internal maupun di sekitar kawasan terminal yang mempunyai fungsi konservasi dan penyediaan
oksigen.
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat yaitu kegiatan komersial berupa perdagangan dan jasa dengan menyediakan prasarana tersendiri
dengan memenuhi standar keamanan dan yang tidak menimbulkan gangguan terhadap akses terminal dan gangguan terhadap parkir di badan jalan;
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan, yaitu kegiatan perdagangan dan jasa dan perumahan yang ada di radius 500 (lima ratus) meter di sekitar
terminal tipe A dengan kepadatan tinggi, berpotensi mengganggu akses keluar masuk terminal dan berorientasi langsung pada jalan;
d. ketentuan intensitas koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien lantai
bangunan (KLB) dan koefisien dasar hijau (KDH) terminal penumpang tipe A menyesuaikan dengan jenis peruntukan yang memenuhi ketentuan ruang di terminal tipe A dan radius sekitarnya; dan
e. ketentuan sarana prasarana minimum terminal penumpang tipe A terdiri dari:
1. fasilitas pelayanan keselamatan meliputi jalur pejalan kaki, fasilitas keselamatan jalan, jalur evakuasi, alat pemadam kebakaran, pos fasilitas dan petugas kesehatan, pos fasilitas dan petugas pemeriksa
kelaikan kendaraan umum, fasilitas perbaikan ringan kendaraan umum, informasi fasilitas keselamatan, informasi fasilitas
kesehatan, informasi fasilitas pemeriksaan dan perbaikan ringan kendaraan bermotor;
2. fasilitas keamanan meliputi media pengaduan gangguan keamanan,
petugas keamanan dan fasilitas keamanan lainnya;
3. fasilitas pendukung kehandalan/keteraturan meliputi jadwal kedatangan dan keberangkatan beserta besaran tarif, jadwal
kendaraan umum dalam trayek lanjutan, loket penjualan tiket, kantor penyelenggara terminal, ruang kendali dan menajemen
sistem informasi terminal, petugas operasional terminal;
4. fasilitas kenyamanan meliputi ruang tunggu, toilet, fasilitas peribadatan/mushola, RTH, rumah makan, fasilitas dan petugas
kebersihan, tempat istirahat awak kendaraan, area merokok, drainase, lampu penerangan ruangan;
5. fasilitas kemudahan/keterjangkauan meliputi letak jalur pemberangkatan, letak jalur kedatangan, informasi pelayanan, informasi angkutan lanjutan, informasi gangguan perjalanan
kendaraan angkutan, tempat penitipan barang, fasilitas pengisian baterai, tempat naik dan turun penumpang, tempat parkir kendaraan umum dan pribadi; dan
6. fasilitas kesetaraan meliputi fasilitas penyandang cacat dan ruang ibu menyusui.
(6) Ketentuan umum zonasi terminal penumpang tipe B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
39
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri dari:
1. kegiatan pasar induk dan pasar tradisional;
2. kegiatan operasional angkutan penumpang;
3. kegiatan pelayanan jasa lainnya yang mendukung langsung sistem terminal tipe B; dan
4. pengembangan RTH di internal maupun di sekitar kawasan
terminal yang mempunyai fungsi konservasi dan penyediaan oksigen.
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat yaitu kegiatan komersial berupa perdagangan dan jasa dengan menyediakan prasarana tersendiri dengan memenuhi standar keamanan dan yang tidak menimbulkan
gangguan terhadap akses terminal dan gangguan terhadap parkir di badan jalan;
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan, terdiri dari:
1. kegiatan bongkar muat barang; dan
2. kegiatan komersial berupa industri, perdagangan dan jasa dan
perumahan yang ada di radius 500 (lima ratus) meter di sekitar terminal tipe B dengan kepadatan tinggi, kegiatan yang menggangu keamanan dan kenyamanan pada fasilitas penunjang terminal.
d. ketentuan intensitas koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien lantai bangunan (KLB) dan koefisien dasar hijau (KDH) terminal penumpang tipe B menyesuaikan dengan jenis peruntukan yang memenuhi
ketentuan ruang di terminal tipe B dan radius sekitarnya; dan
e. ketentuan sarana prasarana minimum terminal penumpang tipe B,
terdiri dari:
1. fasilitas pelayanan keselamatan meliputi jalur pejalan kaki, fasilitas keselamatan jalan, jalur evakuasi, alat pemadam kebakaran, pos
fasilitas dan petugas kesehatan, pos fasilitas dan petugas pemeriksa kelaikan kendaraan umum, fasilitas perbaikan ringan kendaraan
umum, informasi fasilitas keselamatan, informasi fasilitas kesehatan, informasi fasilitas pemeriksaan dan perbaikan ringan kendaraan bermotor;
2. fasilitas keamanan meliputi media pengaduan gangguan keamanan, petugas keamanan dan fasilitas keamanan lainnya;
3. fasilitas pendukung kehandalan/keteraturan meliputi jadwal
kedatangan dan keberangkatan beserta besaran tarif, jadwal kendaraan umum dalam trayek lanjutan, loket penjualan tiket,
kantor penyelenggara terminal, ruang kendali dan menajemen sistem informasi terminal, petugas operasional terminal;
4. fasilitas kenyamanan meliputi ruang tunggu, toilet, fasilitas
peribadatan/mushola, RTH, rumah makan, fasilitas dan petugas kebersihan, tempat istirahat awak kendaraan, area merokok,
drainase, lampu penerangan ruangan;
5. fasilitas kemudahan/keterjangkauan meliputi letak jalur pemberangkatan, letak jalur kedatangan, informasi pelayanan,
informasi angkutan lanjutan, informasi gangguan perjalanan kendaraan angkutan, tempat penitipan barang, fasilitas pengisian baterai, tempat naik dan turun penumpang, tempat parkir
kendaraan umum dan pribadi; dan
6. fasilitas kesetaraan meliputi fasilitas penyandang cacat dan ruang
ibu menyusui.
40
(7) Ketentuan umum zonasi jaringan jalur kereta api sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf f meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri dari:
1. pengembangan RTH sepanjang jaringan jalur kereta api yang mempunyai fungsi konservasi dan penyediaan oksigen; dan
2. kawasan lindung dan budidaya yang tertata dengan menggunakan
pagar pembatas (baik alami maupun buatan) antara jaringan jalur kereta api sebagai bentuk perlindungan keselamatan dan peredam
kebisingan suara kereta api baik dan tidak mengganggu fungsi jaringan jalur kereta api.
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, terdiri dari:
1. kegiatan penunjang angkutan kereta api selama tidak mengganggu perjalanan kereta api;
2. perlintasan jalan dengan rel kereta api harus disertai palang pintu,
rambu-rambu dan jalur pengaman dengan mengikuti ketentuan yang berlaku; dan
3. pemasangan utilitas prasarana umum sepanjang tidak mengganggu fungsi dan keamanan jalur kereta api.
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan, terdiri dari:
1. kegiatan di sepanjang jalur kereta api yang berorientasi langsung tanpa ada pembatas dalam sempadan rel kereta api; dan
2. kegiatan yang tidak memiliki hubungan langsung dengan jalur
kereta api dan mengganggu keselamatan lalu lintas perkeretaapian.
d. ketentuan intensitas jaringan jalur kereta api, terdiri dari:
1. bebas bangunan dengan jarak minimum 100 (seratus) meter; dan
2. intensitas pemanfaatan ruang berupa penentuan koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien lantai bangunan (KLB) dan koefisien
dasar hijau (KDH) menyesuaikan dengan jenis peruntukan yang memenuhi ketentuan sistem jaringan kereta api.
e. ketentuan sarana prasarana minimum jaringan jalur kereta api, terdiri dari:
1. jaringan komunikasi sepanjang jalur kereta api;
2. rambu-rambu; dan
3. bangunan pengaman jalur kereta api.
Pasal 59
(1) Ketentuan umum zonasi kawasan sekitar jaringan sungai, danau, dan penyebrangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 57 huruf b meliputi:
a. ketentuan umum zonasi untuk alur pelayaran; dan
b. ketentuan umum zonasi untuk pelabuhan sungai dan danau.
(2) Ketentuan umum zonasi untuk alur pelayaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, terdiri dari:
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri atas:
1. kegiatan operasional pada alur pelayaran; dan
2. keselamatan dan keamanan pelayaran.
41
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat berupa pembatasan
pemanfaatan perairan yang berdampak pada keberadaan alur pelayaran; dan
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan berupa pembatasan kegiatan pada
ruang bebas di atas perairan dan di bawah perairan yang mengganggu keamanan dan kenyamanan kawasan sekitar alur pelayaran.
(3) Ketentuan umum zonasi untuk pelabuhan sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, terdiri atas:
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri dari:
1. kegiatan operasional pada pelabuhan sungai dan danau; dan
2. pengembangan kawasan pelabuhan sungai dan danau.
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat berupa perdagangan dan jasa;
c. Kegiatan yang tidak diperbolehkan berupa pembatasan kegiatan pada ruang bebas di atas dan di bawah perairan yang mengganggu keamanan
dan kenyamanan kawasan sekitar pelabuhan; dan
d. ketentuan sarana dan prasarana minimum pelabuhan sungai dan danau, terdiri atas:
1. penampungan limbah; dan
2. penampungan sampah.
Pasal 60
Ketentuan umum zonasi kawasan sekitar jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf c yaitu ketentuan umum zonasi untuk jaringan infrastruktur
ketenagalistrikan, meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri dari:
1. RTH berupa taman; dan
2. pertanian tanaman pangan.
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat berupa kegiatan budidaya yang terbentang di jalur energi jaringan energi yang tidak mengganggu fungsi dan
pelayanan energi listrik;
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan berupa kegiatan permukiman komersil, permukiman swadaya dan kegiatan budidaya yang dapat mengganggu fungsi dan pelayanan energi listrik;
d. ketentuan intensitas koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien lantai bangunan (KLB) dan koefisien dasar hijau (KDH) untuk jaringan infrastruktur ketenagalistrikan menyesuaikan dengan jenis peruntukan yang memenuhi
ketentuan infrastruktur kelistrikan;
e. ketentuan sarana prasarana minimum untuk jaringan infrastruktur ketenagalistrikan berupa pengaman pada pembangkit energi listrik; dan
f. Ketentuan ruang bebas jaringan transmisi tenaga listrik berpedoman pada
ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Pasal 61
(1) Ketentuan umum zonasi kawasan sekitar jaringan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf d meliputi:
a. ketentuan umum zonasi untuk jaringan bergerak terestrial;
b. ketentuan umum zonasi untuk jaringan bergerak seluler; dan
c. ketentuan umum zonasi untuk jaringan tetap.
42
(2) Ketentuan umum zonasi untuk jaringan bergerak terestrial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri dari:
1. pengembangan jaringan berupa fiber optik di bawah tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan; dan
2. pengembangan jaringan telekomunikasi lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan.
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat berupa pengembangan
menara microcell dengan memperhatikan keamanan dan karakteristik kawasan;
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan berupa kegiatan yang dapat
mengganggu fungsi dan pelayanan jaringan telematika; dan
d. ketentuan intensitas untuk jaringan bergerak terestrial dengan
ketentuan ketinggian bangunan terbatas dan bebas interferensi.
(3) Ketentuan umum zonasi untuk jaringan bergerak seluler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri dari:
1. instalasi menara telekomunikasi (BTS) dengan memperhatikan kebutuhan dan karakteristik Kawasan; dan
2. RTH berupa taman.
b. kegiatan yang tidak diperbolehkan berupa kegiatan yang tidak
berhubungan dengan instalasi BTS dan mengganggu fungsi dan layanan BTS;
c. ketentuan intensitas untuk jaringan bergerak seluler dengan ketentuan
ketinggian bangunan terbatas dan bebas interferensi;
d. ketentuan sarana prasarana minimum untuk jaringan bergerak seluler
berupa pagar pengaman/pembatas dengan guna lahan di sekitarnya; dan
e. ketentuan lainnya dan ketentuan khusus untuk jaringan bergerak
seluler mengikuti ketentuan jarak minimal antar menara sebagai berikut:
1. untuk tinggi menara maksimal 45 (empat puluh lima) meter, jarak minimal 20 (dua puluh) meter dari bangunan perumahan, 10
(sepuluh) meter di daerah komersial dan 5 (lima) meter bila di daerah industri;
2. untuk tinggi menara maksimal di atas 45 (empat puluh lima) meter, jarak minimal 30 (tiga puluh) meter dari bangunan perumahan, 15 (lima belas) meter untuk daerah komersial dan 10 (sepuluh) meter
untuk daerah industri;
3. untuk ketinggian menara di atas 60 (enam puluh) meter, jarak dari bangunan terdekat minimal adalah 40 (empat puluh) meter; dan
4. jarak aman ketinggian menara dengan area permukiman berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan umum zonasi untuk jaringan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri dari:
1. pengembangan jaringan tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan; dan
2. pengembangan jaringan telekomunikasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
43
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat berupa pengembangan
jaringan tetap dengan memperhatikan keamanan dan karakteristik Kawasan;
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan berupa kegiatan yang dapat mengganggu fungsi dan pelayanan jaringan telematika, jaringan listrik dan menggangu jaringan jalan; dan
d. ketentuan intensitas untuk jaringan tetap dengan ketentuan ketinggian bangunan terbatas dan bebas interferensi.
Pasal 62
(1) Ketentuan umum zonasi kawasan sekitar jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf e yaitu berupa ketentuan umum zonasi untuk prasarana sumber daya air, meliputi:
a. ketentuan umum zonasi untuk prasarana sumber daya air lintas kabupaten/kota;
b. ketentuan umum zonasi untuk sistem jaringan irigasi;
c. ketentuan umum zonasi untuk sistem pengendali banjir;
d. ketentuan umum zonasi untuk sistem air permukaan;
e. ketentuan umum zonasi untuk sistem air bersih; dan
f. ketentuan umum zonasi untuk sistem air bersih kelompok pengguna.
(2) Ketentuan umum zonasi untuk prasarana sumber daya air lintas
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri dari:
1. pengembangan jaringan SPAM Banjarbakula; dan
2. pemasangan papan pengumuman/larangan.
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, terdiri dari:
1. bangunan instalasi/unit pengolahan dan produksi air bersih; dan
2. pengembangan jaringan pipa air minum/Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM).
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan berupa bangunan maupun bukan bangunan yang berpotensi mencemari dan merusak prasarana sumber
daya air lintas kabupaten/kota; dan
d. ketentuan sarana prasarana minimum untuk sistem jaringan irigasi yaitu pelindung jaringan berupa jalan setapak, kelengkapan bangunan
yang diijinkan, dan bangunan pelindung terhadap kemungkinan banjir.
(3) Ketentuan umum zonasi untuk sistem jaringan irigasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri dari:
1. pengembangan jaringan irigasi;
2. pembangunan jalan inspeksi;
3. pemasangan papan pengumuman/larangan;
4. pemasangan pondasi, tiang dan rentangan kabel listrik;
5. pondasi jembatan/jalan; dan
6. bangunan bendung/bendungan dan bangunan lalu lintas air seperti dermaga, gardu listrik, bangunan telekomunikasi, dan
pengontrol/pengukur debit air/pencatat hidrologi/kantor pengamat pengairan.
44
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, terdiri dari:
1. bangunan pengolahan limbah dan bahan pencemar lainnya;
2. bangunan instalasi/unit pengolahan dan produksi air bersih;
3. bangunan pembangkit listrik mikro hidro;
4. sarana prasarana pendukung pariwisata;
5. pengembangan jaringan pipa air minum/Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM);
6. pengembangan jaringan pipa gas; dan
7. pondasi jembatan/jalan, pembangunan jalan pendekat/oprit jembatan melintasi jaringan irigasi dan/atau pengembangan jalan.
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan, berupa bangunan maupun bukan
bangunan yang berpotensi mencemari dan merusak jaringan sumber daya air pendukung pertanian dan kegiatan yang dapat mengganggu fungsi saluran, bangunan dan irigasi;
d. ketentuan sarana prasarana minimum untuk sistem jaringan irigasi, yaitu pelindung jaringan berupa jalan setapak, kelengkapan bangunan
yang diijinkan, dan bangunan pelindung terhadap kemungkinan banjir; dan
e. ketentuan garis sempadan irigasi yang diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan-undangan.
(4) Ketentuan umum zonasi untuk sistem pengendali banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri dari:
1. bangunan struktural dan non struktural pengendali banjir;
2. pengembangan embung dan sarana/prasarana pengendali banjir lain sebagai penahan air hujan;
3. bangunan penunjang pengendali banjir; dan
4. pemasangan sistem peringatan dini (early warning system).
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat berupa kegiatan yang
mendukung pengendalian banjir dan bangunan penunjang kegiatan pariwisata;
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan, terdiri dari:
1. kegiatan budidaya terbangun yang tidak meresapkan air tanah; dan
2. kegiatan yang berpotensi merusak prasarana dan sarana
pengendali banjir.
d. ketentuan intensitas koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien lantai bangunan (KLB) dan koefisien dasar hijau (KDH) untuk sistem
pengendali banjir disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
e. ketentuan sarana prasarana minimum untuk sistem pengendali banjir
berupa pelindung terhadap kemungkinan banjir.
(5) Ketentuan umum zonasi untuk sistem air permukaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri dari:
1. pembangunan RTH di sempadan sungai;
2. penelitian; dan
3. pemasangan sistem peringatan dini (early warning system).
45
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat berupa kegiatan yang
mendukung pengendalian banjir dan bangunan penunjang kegiatan pariwisata; dan
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan, terdiri dari:
1. kegiatan yang mengganggu proses meresapnya air ke tanah; dan
2. kegiatan yang berpotensi merusak prasarana dan sarana
pengendali banjir.
(6) Ketentuan umum zonasi untuk sistem jaringan air bersih sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri dari:
1. pengembangan jaringan air bersih;
2. pembangunan instalasi air bersih;
3. pembangunan instalasi/unit pengolahan dan produksi air bersih;
4. pemasangan papan pengumuman/larangan;
5. pemasangan jaringan sistem air bersih;
6. pondasi jembatan/jalan; dan
7. bangunan bendung/bendungan dan bangunan lalu lintas air seperti dermaga, gardu listrik, bangunan telekomunikasi, dan pengontrol/pengukur debit air/pencatat hidrologi/kantor
pengamat pengairan.
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, terdiri dari:
1. bangunan pengolahan limbah dan bahan pencemar lainnya;
2. sarana prasarana pendukung pariwisata;
3. pengembangan jaringan pipa gas; dan
4. pondasi jembatan/jalan, pembangunan jalan pendekat/oprit jembatan melintasi jaringan irigasi; dan atau pengembangan jalan.
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan berupa bangunan maupun bukan
bangunan yang berpotensi mencemari dan merusak jaringan sumber daya air.
(7) Ketentuan umum zonasi untuk sistem jaringan air bersih kelompok pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri dari:
1. pemasangan jaringan sistem air bersih; dan
2. pemasangan alat pengontrol/pengukur debit air.
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, terdiri dari:
1. bangunan pengolahan limbah dan bahan pencemar lainnya; dan
2. pondasi jembatan/jalan, pembangunan jalan pendekat/oprit
jembatan melintasi jaringan irigasi dan atau pengembangan jalan.
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan, berupa bangunan maupun bukan bangunan yang berpotensi mencemari dan merusak jaringan air bersih
ke kelompok pengguna.
Pasal 63
(1) Ketentuan umum zonasi kawasan sekitar jaringan prasarana lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf f meliputi:
46
a. ketentuan umum zonasi untuk sistem pengelolaan air limbah;
b. ketentuan umum zonasi untuk sistem pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3);
c. ketentuan umum zonasi untuk sistem jaringan persampahan wilayah; dan
d. ketentuan umum zonasi untuk sistem jaringan evakuasi bencana.
(2) Ketentuan umum zonasi untuk sistem pengelolaan air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri dari:
1. kegiatan pemrosesan air limbah menjadi air baku atau sisa lainnya;
2. bangunan pendukung instalasi pengolahan air limbah (IPAL); dan
3. pembangunan instalasi pengolahan limbah terpadu (IPLT).
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, terdiri dari:
1. pembangunan jalan/fasilitas publik di atas jaringan air limbah; dan
2. kegiatan pendidikan dan penelitian yang terkait dengan pengolahan air limbah.
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan, terdiri dari:
1. kegiatan yang berpotensi merusak jaringan sistem air limbah;
2. kegiatan pembuangan sampah ke dalam jaringan air limbah;
3. kegiatan yang tidak terkait dengan pemrosesan air limbah;
4. kegiatan fungsi budidaya di sekitar kawasan yang berpotensi mengganggu instalasi air limbah; dan
5. kegiatan yang berpotensi merusak prasarana dan sarana di IPAL.
d. ketentuan sarana prasarana minimum untuk sistem pengelolaan air
limbah berupa bak pengumpul, bak penangkap pasir, kolam fakultatif dan kolam maturasi.
(3) Ketentuan umum zonasi untuk sistem pengelolaan limbah bahan berbahaya
dan beracun (B3) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri dari:
1. kegiatan pemrosesan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3);
2. bangunan pendukung pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3); dan
3. pembangunan instalasi pengolahan air limbah bahan berbahaya dan beracun (IPAL B3).
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, terdiri dari:
1. pembangunan jalan/fasilitas publik di atas jaringan air limbah; dan
2. kegiatan pendidikan dan penelitian yang terkait dengan pengolahan
limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan, terdiri dari:
1. kegiatan yang berpotensi merusak jaringan sistem limbah bahan
berbahaya dan beracun (B3);
2. kegiatan pembuangan sampah ke dalam jaringan sistem
pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3);
3. kegiatan mengalirkan air ke dalam jaringan sistem pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3);
47
4. kegiatan yang tidak terkait dengan sistem pengelolaan limbah
bahan berbahaya dan beracun (B3);
5. kegiatan fungsi budidaya di sekitar kawasan yang berpotensi
mengganggu sistem pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3); dan
6. kegiatan yang berpotensi merusak prasarana dan sarana di
instalasi pengolahan air limbah bahan berbahaya dan beracun (IPAL B3).
d. ketentuan sarana prasarana minimum untuk sistem pengelolaan air bahan berbahaya dan beracun (B3) berupa bak pengumpul, bak penangkap pasir, kolam fakultatif dan kolam maturasi.
(4) Ketentuan umum zonasi untuk jaringan persampahan wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas:
a. ketentuan umum zonasi untuk tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah;
dan
b. ketentuan umum zonasi untuk tempat penampungan sementara (TPS)
dan tempat pengolahan sampah dengan prinsip reduce, reuse, dan recycle (TPS 3R).
(5) Ketentuan umum zonasi untuk tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, berupa ketentuan umum zonasi di kawasan sekitar tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah, terdiri atas:
a. ketentuan kegiatan pemanfaatan ruang dalam kawasan sekitar tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah, terdiri atas:
1. kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan dalam kawasan
sekitar tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah, terdiri atas:
a) kegiatan yang terkait langsung dengan kegiatan penanganan
sampah meliputi kegiatan pemilahan sampah, dan kegiatan pengolahan sampah;
b) pembangkit listrik tenaga sampah, tempat penampungan
sementara, dan gardu listrik;
c) penyediaan RTH; dan
d) kegiatan kehutanan.
2. kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak diperbolehkan dalam kawasan sekitar tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah, terdiri
atas:
a) kegiatan perumahan;
b) penyediaan fasilitas perdagangan dan jasa;
c) penyediaan fasilitas pemerintahan seperti kantor pemerintahan, kantor kecamatan, kantor kelurahan, polsek,
dan korem;
d) penyediaan fasilitas pendidikan seperti pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, dan perpustakaan;
e) penyediaan fasilitas kesehatan seperti puskesmas, balai pengobatan, praktek dokter, apotek, klinik/poliklinik, dan posyandu;
f) penyediaan fasilitas olah raga seperti lapangan olah raga, gelanggang olah raga, dan stadion;
g) penyediaan fasilitas peribadatan seperti masjid, gereja, pura, vihara, kelenteng, dan langgar/mushola;
48
h) penyediaan fasilitas umum seperti gedung pertemuan
lingkungan, gedung serba guna, balai pertemuan dan pameran, pusat informasi lingkungan, dan kantor lembaga sosial/ormas;
i) penyediaan terminal;
j) kegiatan peternakan seperti lapangan penggembalaan dan kandang hewan;
k) penyediaan instalasi pengolahan air;
l) penyediaan rumah kabel; dan
m) kegiatan yang dapat mengganggu operasionalisasi persampahan, dan fungsi kawasan tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah.
3. kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan bersyarat dalam kawasan sekitar tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah, terdiri atas:
a) kegiatan yang mendukung operasionalisasi tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah termasuk prasarana dan
utilitas terdiri atas:
1) kegiatan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK);
2) lapangan parkir umum;
3) instalasi pengolahan air limbah; dan
4) jaringan drainase;
b) kegiatan pertanian non tanaman pangan;
c) kegiatan perkebunan;
d) kegiatan pariwisata;
e) kegiatan bersyarat secara terbatas yang hanya diperbolehkan terletak di hulu tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah, yaitu
kegiatan hunian/perumahan beserta kegiatan pendukungnya, termasuk prasarana umum, terdiri atas:
1) perdagangan dan jasa pemerintahan pendidikan, kesehatan, fasilitas olah raga, fasilitas peribadatan dan fasilitas umum;
2) riset dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK);
3) instalasi pengolahan air dan jaringan prasarana air bersih
lainnya;
4) instalasi pengolahan air limbah dan jaringan prasarana
air limbah lainnya; dan
5) jaringan prasarana drainase.
f) kegiatan bersyarat secara terbatas yang dimungkinkan untuk
berlokasi baik di hulu maupun di hilir tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah, yaitu kegiatan yang tidak terpengaruh
oleh adanya dampak negatif tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah secara langsung, tidak ada aktivitas manusia selama sehari penuh pada kegiatan tersebut, terdiri atas:
1) kegiatan peternakan seperti lapangan pengembalaan, pemerahan susu, dan kandang ternak; dan
49
2) kegiatan transportasi seperti terminal dan lapangan
parker.
g) kegiatan yang diperbolehkan apabila memenuhi syarat sesuai
dengan perencanaan dan perijinan dari dinas atau instansi terkait, terdiri atas:
1) kegiatan pertambangan; dan
2) prasarana jaringan jalan, perkeretapian, jaringan energi/kelistrikan, dan telekomunikasi.
h) kegiatan lain dengan kriteria dapat mendukung upaya pengurangan dampak negatif keberadaan tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah, dengan pertimbangan bahwa masih
terdapat potensi bahaya tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah di luar kawasan sekitar tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah akibat praktik pengelolaan sampah yang tidak
berkelanjutan.
b. ketentuan intensitas Pemanfaatan Ruang dan sarana prasarana
minimum dalam kawasan sekitar tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah, terdiri atas:
1. jalan akses ke tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah dengan
ketentuan lebar jalan dapat dilalui truk sampah dua arah, dan kelas jalannya memiliki kemampuan memikul beban tertentu;
2. jaringan drainase;
3. fasilitas parkir dan bongkar muat sampah terpilah yang akan didaur ulang di lokasi lain;
4. jaringan air limbah untuk fasilitas-fasilitas pengolahan sampah yang menghasilkan limbah;
5. jaringan air bersih, dipersyaratkan tidak menggunakan air tanah
setempat dalam proses produksi dan kegiatan penunjang lain; dan
6. jarak bebas hunian dengan tempat pemrosesan akhir (TPA) paling
sedikit 500 (lima ratus) meter.
(6) Ketentuan umum zonasi untuk tempat penampungan sementara (TPS) dan tempat pengolahan sampah dengan prinsip reduce, reuse, dan recycle (TPS
3R) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, terdiri atas:
a. ketentuan kegiatan pemanfaatan ruang dalam kawasan sekitar tempat
penampungan sementara (TPS) dan tempat pengolahan sampah dengan prinsip reduce, reuse, dan recycle (TPS 3R), terdiri atas:
1. kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan, terdiri atas:
a) kegiatan penampungan sampah dan tempat peralatan angkutan sampah di tempat penampungan sementara (TPS)
dan tempat pengolahan sampah dengan prinsip reduce, reuse, dan recycle (TPS 3R); dan
b) kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan sampah di tempat pengolahan sampah dengan prinsip reduce, reuse, dan
recycle (TPS 3R).
2. kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak diperbolehkan, terdiri atas:
a) penampungan sampah di sekitar tempat penampungan sementara (TPS);
b) kegiatan yang mengganggu penampungan dan pengangkutan
sampah;
50
c) kegiatan yang mengganggu pemrosesan sampah di tempat
pengolahan sampah dengan prinsip reduce, reuse, dan recycle (TPS 3R); dan
d) kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan sarana dan prasarana tempat penampungan sementara (TPS).
3. kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan bersyarat, yaitu
pembangunan fasilitas pendukung kegiatan pengelolaan sampah di sekitar tempat penampungan sementara (TPS) setelah mendapat
persetujuan masyarakat setempat.
b. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang yaitu jarak bebas hunian dengan tempat penampungan sementara (TPS) paling sedikit 50 (lima
puluh) meter; dan
c. ketentuan sarana dan prasarana minimum, terdiri atas:
1. ruang pemilahan;
2. gudang;
3. tempat pemindahan sampah; dan
4. jaringan jalan akses yang dapat dilalui kendaraan pengangkut sampah seperti truk jungkit (dump truck), truk pengangkut barang
(armroll truck), truk pemadat (compactor truck), kendaraan penyapu jalan (street sweeper vehicle), dan truk trailer.
(7) Ketentuan umum zonasi untuk sistem jaringan evakuasi bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:
a. kegiatan yang diperbolehkan berupa pemanfaatan jalan umum sebagai jalur menuju tempat evakuasi bencana pada saat tanggap darurat;
b. kegiatan yang tidak diperbolehkan berupa menutup, membatasi, atau
menghalangi akses jalan umum;
c. ketentuan intensitas untuk jalur evakuasi bencana menyesuaikan dengan ketentuan ruang milik jalan; dan
d. ketentuan sarana prasarana minimum untuk jalur evakuasi bencana
harus terdapat bahu jalan sebagai akses jalur kendaraan pelayanan darurat.
Paragraf 3 Ketentuan Umum Zonasi Kawasan Lindung
Pasal 64
Ketentuan umum zonasi Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b angka 1 terdiri atas:
a. ketentuan umum zonasi Kawasan yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya;
b. ketentuan umum zonasi Kawasan Perlindungan Setempat;
c. ketentuan umum zonasi Kawasan Konservasi;
d. ketentuan umum zonasi Kawasan Lindung Geologi; dan
e. ketentuan umum zonasi Kawasan mangrove.
51
Pasal 65
(1) Ketentuan umum zonasi Kawasan yang Memberikan Perlindungan Terhadap
Kawasan Bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a, merupakan ketentuan umum zonasi Kawasan hutan lindung.
(2) Ketentuan umum zonasi Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri atas pemanfaatan ruang untuk
penyimpanan atau penyerapan karbon, pemanfaatan air, energi air, energi panas, energi angin, dan pemanfaatan sumber plasma nutfah;
b. kegiatan yang diperbolehkan secara bersyarat, terdiri atas:
1. wisata alam tanpa mengurangi fungsi lindung;
2. kegiatan budidaya hanya diizinkan bagi penduduk asli dengan luasan tetap, tidak mengurangi fungsi lindung Kawasan, dan di
bawah pengawasan ketat;
3. kegiatan latihan militer tanpa mengurangi fungsi Kawasan hutan
dan tutupan vegetasi; dan
4. kegiatan selain kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
c. kegiatan yang dilarang, yaitu seluruh kegiatan yang berpotensi mengurangi fungsi lindung;
d. pemanfaatan hutan lindung dan penggunaan Kawasan hutan lindung
untuk keperluan di luar sektor kehutanan yang diperoleh melalui izin pinjam pakai Kawasan hutan atau mekanisme lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan; dan
e. pengelolaan dan pemanfaatan hutan lindung berpedoman pada ketentuan peraturan perundangan di bidang kehutanan.
Pasal 66
(1) Ketentuan umum zonasi Kawasan Perlindungan Setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf b, meliputi Ketentuan umum zonasi
sempadan sungai.
(2) Ketentuan umum zonasi sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Kawasan sempadan sungai yaitu lahan sepanjang sisi kiri-kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, dengan kriteria:
1. garis sempadan sungai bertanggul di luar Kawasan perkotaan, ditetapkan paling sedikit 5 (lima) meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul;
2. garis sempadan sungai bertanggul di dalam Kawasan perkotaan, ditetapkan paling sedikit 3 (tiga) meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul.
3. garis sempadan sungai tidak bertanggul di luar Kawasan perkotaan pada sungai besar yang mempunyai daerah pengaliran sungai
seluas 500 (lima ratus) Km2 atau lebih ditetapkan paling sedikit 100 (seratus) meter, sedangkan pada sungai kecil yang mempunyai daerah pengaliran sungai seluas kurang dari 500 (lima ratus) Km2
paling sedikit 50 (lima puluh) meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan; dan
4. penetapan garis sempadan sungai tak bertanggul di dalam Kawasan
perkotaan ditetapkan sebagai berikut:
52
a) sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 (tiga)
meter, garis sempadan ditetapkan paling sedikit 10 (sepuluh) meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan;
b) sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 3 (tiga) meter sampai dengan 20 (dua puluh) meter, garis sempadan ditetapkan paling sedikit 15 (lima belas) meter dihitung dari
tepi sungai pada waktu ditetapkan; dan
c) sungai yang mempunyai kedalaman maksimum lebih dari 20
(dua puluh) meter, garis sempadan sungai paling sedikit 30 (tiga puluh) meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
b. kegiatan yang diperbolehkan yaitu kehutanan, konservasi, mangrove, hutan kota, taman kota, taman lingkungan, perikanan tangkap, dan penelitian;
c. kegiatan yang diperbolehkan secara bersyarat, yaitu pemakaman, pertanian, infrastruktur ketenagalistrikan, infrastruktur migas,
pariwisata, dermaga stockfile mineral dan logam, sarana dan prasarana transportasi air, prasarana sumberdaya air, pengelolaan air limbah, pengelolaan persampahan, telekomunikasi, penyediaan air minum,
militer, prasarana penunjang perikanan, kegiatan selain kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
kehutanan dan infrastruktur kebencanaan;
d. kegiatan yang tidak diperbolehkan yaitu perkebunan, perikanan budidaya, peternakan, kepolisian, pengelolaan limbah B3, perumahan,
perdagangan jasa, dan/atau perkantoran;
e. ketentuan khusus untuk penetapan kawasan sempadan sungai diatur
dalam Peraturan Bupati;
f. ketentuan lainnya dan ketentuan khusus untuk kawasan sempadan sungai, terdiri dari:
1. tanah pada Kawasan ini dimiliki oleh negara dan apabila terdapat izin yang dikeluarkan untuk bangunan yang ada dengan prosedur yang benar, maka dibebaskan dengan penggantian yang layak;
2. bangunan dalam sempadan sungai dinyatakan dalam status quo artinya tidak boleh diubah, ditambah, dan diperbaiki;
3. izin membangun yang baru tidak akan dikeluarkan lagi;
4. permukiman nelayan pada kawasan ini yang tercantum dalam rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) di
Kecamatan Aluh-Aluh diakomodir secara khusus; dan
5. semua kegiatan di sempadan sungai wajib memiliki izin dari lembaga berwenang.
g. ketentuan yang tidak disebutkan diatas, diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Pasal 67
(1) Ketentuan umum zonasi Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c terdiri atas:
a. ketentuan umum zonasi kawasan suaka alam (KSA); dan
b. ketentuan umum zonasi kawasan pelestarian alam (KPA) Tahura.
(2) Ketentuan umum zonasi kawasan suaka alam (KSA) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a berupa:
53
a. ketentuan umum zonasi kawasan suaka alam;
b. ketentuan umum zonasi kawasan cagar alam; dan
c. ketentuan umum zonasi kawasan suaka margasatwa.
(3) Ketentuan umum zonasi kawasan suaka alam (KSA) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. kegiatan yang diperbolehkan yaitu konservasi dan penelitian;
b. kegiatan yang diperbolehkan secara bersyarat yaitu perikanan budidaya, perikanan tangkap, pariwisata, perumahan, peribadatan, pendidikan,
kesehatan, olahraga, transportasi, prasarana sumber daya air, pengelolaan air limbah, pengelolaan persampahan, militer, telekomunikasi, penyediaan air minum, infrastruktur kebencanaan,
kegiatan selain kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan; dan
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan yaitu kehutanan, hutan kota, taman
kota, taman lingkungan, pemakaman, perkebunan, pertanian, infrastruktur ketenagalistrikan, infrastruktur migas, prasarana
penunjang perikanan, peternakan, industri, perdagangan dan jasa, perkantoran, ruang terbuka non hijau, kepolisian, dan/atau pengelolaan limbah B3.
(4) Ketentuan umum zonasi Kawasan pelestarian alam (KPA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas:
a. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu kehutanan, konservasi, mangrove
dan penelitian;
b. kegiatan yang diperbolehkan secara bersyarat, yaitu infrastruktur
ketenagalistrikan, infrastruktur migas, militer, pariwisata, transportasi, telekomunikasi, infrastruktur kebencanaan, kegiatan selain kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang
kehutanan; dan
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan, yaitu hutan kota, taman kota, taman
lingkungan, pemakaman, perkebunan, pertanian, perikanan budidaya, perikanan tangkap, prasarana penunjang perikanan, peternakan, industri, perumahan, perdagangan dan jasa, perkantoran, peribadatan,
kesehatan, olahraga, prasarana sumber daya air, pengelolaan air limbah, pengelolaan persampahan, kepolisian, penyediaan air minum, dan/atau pengelolaan limbah B3.
Pasal 68
(1) Ketentuan umum zonasi Kawasan Lindung Geologi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 64 huruf d, merupakan ketentuan umum zonasi Kawasan
imbuhan air tanah.
(2) Ketentuan umum zonasi Kawasan imbuhan air tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. kegiatan yang diperbolehkan yaitu pengembangan kawasan lindung, manajemen aliran air dan pembangunan pengendali banjir;
b. kegiatan yang diperbolehkan secara bersyarat yaitu pengembangan jalur kereta api dan stasiun penumpang beserta prasarananya dan, kegiatan selain kehutanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bidang
kehutanan;
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan yaitu kegiatan yang merusak fungsi
resapan; dan
54
d. ketentuan khusus untuk kawasan imbuhan air tanah yang merupakan
kawasan resapan air, yaitu diperbolehkan secara terbatas kegiatan budidaya di daerah yang bukan daerah irigasi (DI) dan daerah irigasi
rawa (DIR).
Pasal 69
Ketentuan umum zonasi Kawasan mangrove sebagaimana dimaksud dalam Pasal
64 huruf e terdiri atas:
a. kegiatan yang diperbolehkan yaitu kehutanan, konservasi, mangrove dan penelitian;
b. kegiatan yang diperbolehkan secara bersyarat yaitu infrastruktur ketenagalistrikan, infrastruktur migas, pariwisata, transportasi, prasarana sumber daya air, telekomunikasi, penyediaan air minum, militer, dan
infrastruktur kebencanaan dan kegiatan selain kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan; dan
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan yaitu taman kota, taman lingkungan, pemakaman, perkebunan, pertanian, perikanan budidaya, perikanan tangkap, prasarana penunjang perikanan, peternakan, industri, perumahan,
perdagangan dan jasa, perkantoran, peribadatan, pendidikan, kesehatan, olahraga, pengelolaan air limbah, pengelolaan persampahan, kepolisian, pengelolaan limbah B3 dan kegiatan yang dapat mengubah, mengurangi luas,
dan/atau mencemari ekosistem mangrove.
Paragraf 4 Ketentuan Umum Zonasi Kawasan Budidaya
Pasal 70
Ketentuan umum zonasi untuk Kawasan Budidaya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b angka 2, terdiri atas:
a. ketentuan umum zonasi Kawasan Hutan Produksi;
b. ketentuan umum zonasi Kawasan Pertanian;
c. ketentuan umum zonasi Kawasan Perikanan;
d. ketentuan umum zonasi Kawasan Pertambangan dan Energi;
e. ketentuan umum zonasi Kawasan peruntukan industri;
f. ketentuan umum zonasi Kawasan Pariwisata;
g. ketentuan umum zonasi Kawasan Permukiman; dan
h. ketentuan umum zonasi Kawasan Pertahanan dan Keamanan.
Pasal 71
(1) Ketentuan umum zonasi Kawasan Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf a terdiri atas:
a. ketentuan umum zonasi Kawasan Hutan Produksi terbatas;
b. ketentuan umum zonasi Kawasan Hutan Produksi tetap; dan
c. ketentuan umum zonasi Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi.
(2) Ketentuan umum zonasi Kawasan Hutan Produksi terbatas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. kegiatan yang diperbolehkan yaitu kehutanan, konservasi, mangrove,
hutan kota, perkebunan, pertanian dan penelitian;
55
b. kegiatan yang diperbolehkan secara bersyarat yaitu infrastruktur
ketenagalistrikan, infrastruktur migas, peternakan, industri, pariwisata, peribadatan, pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana sumber
daya air, militer, kepolisian, telekomunikasi, penyediaan air minum, dan infrastruktur kebencanaan dan kegiatan selain kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan;
dan
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan yaitu taman kota, taman lingkungan,
pemakaman, perikanan budidaya, perikanan tangkap, prasarana penunjang perikanan, peternakan, perumahan, perdagangan dan jasa,
perkantoran, olahraga, pengelolaan air limbah, pengelolaan persampahan, dan/atau pengelolaan limbah B3.
(3) Ketentuan umum zonasi Kawasan Hutan Produksi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. kawasan hutan produksi tetap, yaitu hutan yang dapat di eksploitasi dengan perlakuan cara tebang pilih maupun dengan cara tebang habis;
b. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu kehutanan, konservasi P3K, mangrove, hutan kota, perkebunan, pertanian dan penelitian;
c. kegiatan yang diperbolehkan secara bersyarat, yaitu infrastruktur ketenagalistrikan, infrastruktur migas, peternakan, industri, pariwisata,
peribadatan, pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana sumber daya air, militer, kepolisian, telekomunikasi, penyediaan air minum,
kegiatan selain kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang kehutanan dan infrastruktur kebencanaan; dan
d. kegiatan yang tidak diperbolehkan, yaitu taman kota, taman lingkungan, pemakaman, perikanan budidaya, perikanan tangkap, prasarana penunjang perikanan, peternakan, perumahan, perdagangan dan jasa,
perkantoran, olahraga, pengelolaan air limbah, pengelolaan persampahan, dan/atau pengelolaan limbah B3.
(4) Ketentuan umum zonasi Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi, yaitu kawasan hutan
yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan di Daerah yang secara ruang dapat dicadangkan bagi pembangunan diluar kegiatan
kehutanan;
b. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu kehutanan, konservasi P3K, mangrove, hutan kota, perkebunan, pertanian dan penelitian;
c. kegiatan yang diperbolehkan secara bersyarat, yaitu infrastruktur ketenagalistrikan, infrastruktur migas, peternakan, industri, pariwisata, peribadatan, pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana sumber
daya air, militer, kepolisian, telekomunikasi, penyediaan air minum, kegiatan selain kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang kehutanan dan infrastruktur kebencanaan; dan
d. kegiatan yang tidak diperbolehkan yaitu taman kota, taman lingkungan,
pemakaman, perikanan budidaya, perikanan tangkap, prasarana penunjang perikanan, peternakan, perumahan, perdagangan dan jasa, perkantoran, olahraga, pengelolaan air limbah, pengelolaan
persampahan, dan/atau pengelolaan limbah bahan beracun dan berbahaya (B3).
(5) Pemanfaatan Ruang Kawasan Hutan Produksi untuk kepentingan pembangunan diluar kegiatan kehutanan dilakukan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan.
56
(6) Penyelesaian penguasaan tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan
Produksi berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 72 (1) Ketentuan umum zonasi Kawasan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 70 huruf b terdiri atas:
a. ketentuan umum zonasi Kawasan peruntukan tanaman pangan;
b. ketentuan umum zonasi Kawasan peruntukan hortikultura; dan
c. ketentuan umum zonasi Kawasan peruntukan perkebunan.
(2) Ketentuan umum zonasi Kawasan peruntukan tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. Kawasan peruntukan tanaman pangan yaitu area yang digunakan dan
dicadangkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan;
b. kegiatan yang diperbolehkan yaitu pertanian dan penelitian;
c. kegiatan yang diperbolehkan secara bersyarat yaitu:
1. diperbolehkan secara bersyarat Pemanfaatan Ruang pada Kawasan Pertanian tanaman pangan untuk menjadi Kawasan Permukiman
dan lahan terbangun di sepanjang Jalan A. Yani (arteri primer) maksimal 600 (enam ratus) meter kanan dan kiri, kecuali untuk Kawasan Kecamatan Kertak Hanyar dan Kecamatan Gambut
maksimal 1.250 (seribu dua ratus lima puluh) meter kanan dan kiri dari as jalan;
2. diperbolehkan secara bersyarat Pemanfaatan Ruang pada Kawasan
Pertanian tanaman pangan untuk menjadi Kawasan Permukiman dan lahan terbangun di sepanjang jalan malintang baru Kecamatan Gambut maksimal 500 (lima ratus) meter kanan dan kiri dari as
jalan;
3. diperbolehkan secara bersyarat Pemanfaatan Ruang pada Kawasan Pertanian tanaman pangan untuk menjadi Kawasan Permukiman
dan lahan terbangun di sepanjang ruas jalan Martapura Lama maksimal 500 (lima ratus) meter kanan dan kiri dari as jalan;
4. diperbolehkan secara bersyarat Pemanfaatan Ruang pada Kawasan Pertanian tanaman pangan untuk menjadi Kawasan Permukiman
dan lahan terbangun di sepanjang ruas jalan lokal primer dan jalan lingkungan di Kecamatan Tatah Makmur, Kecamatan Beruntung
Baru, Kecamatan aluh Aluh, Kecamatan Gambu, Kecamatan Kertak Hanyar dan Kecamatan Sungai Tabuk dengan luas seperti pada Lampiran IV Peta Pola Ruang.
5. pemanfaatan permukiman di areal persawahan harus
menggunakan struktur rumah panggung agar tidak menggangu aliran hidrologi air;
6. perikanan budidaya, perikanan tangkap yang tidak mengganggu
pertanian; dan
7. perkebunan rakyat, peternakan skala kecil, infrastruktur ketenagalistrikan, infrastruktur migas, transportasi, prasarana sumber daya air, telekomunikasi, penyediaan air minum, militer,
dan infrastruktur kebencanaan.
57
d. kegiatan yang tidak diperbolehkan, yaitu kehutanan, konservasi P3K,
mangrove, hutan kota, taman kota, taman lingkungan, pemakaman, prasarana penunjang perikanan, industri, pariwisata, perumahan,
perdagangan dan jasa, perkantoran, peribadatan, pendidikan, kesehatan, olahraga, pengelolaan air limbah, pengelolaan persampahan, kepolisian, dan/atau pengelolaan limbah B3.
(3) Ketentuan umum zonasi Kawasan peruntukan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. Kawasan peruntukan hortikultura, yaitu kawasan yang diperuntukkan untuk agribisnis tanaman berbasis hortikultura dan menjadi lahan cadangan pertanian tanaman pangan;
b. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu pengembangan agrowisata serta penyiapan sarana-prasarana pendukung, peningkatan produktivitas pertanian hortikultura, peternakan dan pengembangan produksi
komoditas andalan Daerah;
c. kegiatan yang diperbolehkan secara bersyarat, yaitu aktivitas
pendukung pertanian tanaman pangan dan meminimalkan alih fungsi lahan hortikultura, militer; dan
d. kegiatan yang tidak diperbolehkan, yaitu kehutanan, konservasi ,
mangrove, hutan kota, taman kota, taman lingkungan, pemakaman, perikanan budidaya, perikanan tangkap, prasarana penunjang perikanan, industri, pariwisata, perumahan, perdagangan dan jasa,
perkantoran, peribadatan, pendidikan, kesehatan, olahraga, pengelolaan air limbah, pengelolaan persampahan, kepolisian, dan/atau pengelolaan
limbah B3.
(4) Ketentuan umum zonasi Kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. Kawasan peruntukan perkebunan, yaitu Kawasan Pertanian yang sesuai untuk komoditas tanaman tahunan dengan memperhatikan asas-asas
konservasi dan lahan cadangan permukiman;
b. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu:
1. pengembangan luas areal pada lahan-lahan yang memiliki
potensi/kesesuaian lahan sebagai lahan perkebunan;
2. pengembangan produksi komoditas andalan Daerah;
3. peningkatan produktivitas perkebunan;
4. diversifikasi komoditas perkebunan;
5. industri pengolahan hasil kebun; dan
6. sarana dan prasarana penunjang perkebunan.
c. kegiatan yang diperbolehkan secara bersyarat dan terbatas, yaitu:
1. aktivitas pendukung pertanian perkebunan;
2. agrowisata;
3. militer;
4. mendirikan perumahan dengan syarat tidak mengganggu fungsi perkebunan;
5. kegiatan selain perkebunan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
6. meminimalkan alih fungsi lahan perkebunan yang mempunyai tingkat sangat sesuai: dan
7. kegiatan peternakan.
58
d. kegiatan yang tidak diperbolehkan, yaitu aktivitas budidaya yang
mengurangi atau merusak fungsi lahan dan kualitas tanah untuk perkebunan.
Pasal 73
Ketentuan umum zonasi Kawasan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf c terdiri atas:
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri atas industri penunjang perikanan dan industri hasil perikanan, mangrove, perikanan budidaya, prasarana penunjang perikanan dan penelitian;
b. kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, terdiri atas pertanian, infrastruktur ketenagalistrikan, infrastruktur migas, perikanan tangkap, jaring apung, pariwisata, transportasi, prasarana sumber daya air, pengelolaan air limbah,
pengelolaan persampahan, militer, telekomunikasi, penyediaan air minum, dan infrastruktur kebencanaan; dan
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan, terdiri atas kehutanan, hutan kota, taman kota, taman lingkungan, pemakaman, perkebunan, peternakan, industri, perumahan, perdagangan dan jasa, perkantoran, peribadatan, pendidikan,
kesehatan, olahraga, kepolisian, dan/atau pengelolaan limbah B3.
d. ketentuan yang tidak disebutkan diatas diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Pasal 74
(1) Ketentuan umum zonasi Kawasan Pertambangan dan Energi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70 huruf d terdiri atas:
a. kawasan pertambangan mineral bukan logam; dan
b. kawasan pertambangan batubara.
(2) Ketentuan umum zonasi kawasan pertambangan mineral bukan logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. kegiatan yang diperbolehkan dalam kawasan pertambangan mineral
bukan logam, yaitu kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan/atau eksploitasi bahan tambang mineral bukan logam;
b. kegiatan yang diperbolehkan bersyarat dalam kawasan pertambangan
mineral bukan logam terdiri atas:
1. kegiatan konstruksi permanen, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan dengan syarat memiliki izin usaha pertambangan operasi produksi dan/atau izin usaha pertambangan khusus operasi produksi;
2. kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral bukan logam semua besaran wajib dilengkapi analisis mengenai dampak lingkungan
(AMDAL);
3. kegiatan eksploitasi (operasi produksi) mineral bukan logam dengan:
a) luas perizinan lebih dari atau sama dengan 200 (dua ratus)
hektar; atau
b) luas daerah terbuka untuk pertambangan sebesar lebih dari atau sama dengan 50 (lima puluh) hektar (kumulatif per tahun),
wajib dilengkapi analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
4. kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) dapat berlokasi di luar kawasan industri dengan syarat:
59
a) memiliki Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi dan/atau
berada dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP); dan
b) luasan pabrik kurang dari 50 (lima puluh) hektar,
pembangunan pembangkit listrik (pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD)/pembangkit listrik tenaga gas (PLTG)/pembangkit listrik tenaga uap (PLTU)/pembangkit
listrik tenaga gas dan uap (PLTGU)) dengan kapasitas lebih dari atau sama dengan 100 (seratus) megawatt dalam satu lokasi,
wajib dilengkapi analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
5. kegiatan pengangkutan tambang menggunakan jalan umum harus
memperoleh izin atau memberikan dispensasi penggunaan jalan umum dengan persyaratan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan bidang pekerjaan umum;
6. pengaturan bangunan lain di sekitar instalasi dan peralatan kegiatan pertambangan yang berpotensi menimbulkan bahaya
sesuai dengan kepentingan daerah; dan
7. kegiatan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat untuk masyarakat di sekitar Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan
Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus yang terkena dampak langsung akibat aktifitas pertambangan.
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan dalam kawasan pertambangan
mineral bukan logam terdiri atas:
1. kegiatan pertambangan tanpa izin, dan/atau tidak sesuai dengan
izin usaha pertambangan;
2. kegiatan pertambangan yang secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau
pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya;
3. kegiatan penambangan yang mengancam keberlanjutan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), dan merusak ekosistem rawa di Taman Nasional;
4. kegiatan pembangkitan tenaga listrik yang tidak menerapkan prinsip konservasi dan keberlanjutan;
5. kegiatan penambangan tanpa melakukan rehabilitasi (reklamasi
dan/atau revitalisasi) kawasan pasca tambang, tidak melakukan pemulihan rona bentang alam pasca tambang;
6. penambangan di daerah tikungan luar, tebing dan bagian-bagian sungai pada umumnya tetapi mengarahkan penambangan ke daerah agradasi/sedimentasi tikungan dalam, bagian-bagian
tertentu pada sungai dan daerah kantong-kantong pasir; dan
7. kegiatan yang memakai akses jalan tambang.
d. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang dalam kawasan pertambangan mineral bukan logam terdiri atas:
1. koefisien dasar bangunan (KDB) maksimum, koefisien luas
bangunan (KLB) maksimum, dan koefisien dasar hijau (KDH) minimum ditetapkan sesuai dengan klasifikasi kepadatan dan fungsi jalan serta dengan mempertimbangkan daya dukung lahan;
2. garis sempadan bangunan (GSB) minimum berbanding lurus dengan ruang milik jalan; dan
60
3. tinggi bangunan maksimum mempertimbangkan daya dukung
lahan dan prasarana lingkungan, serta mempertimbangkan aspek keselamatan.
e. ketentuan sarana dan prasarana minimum dalam kawasan pertambangan mineral bukan logam terdiri atas:
1. peralatan pertambangan;
2. fasilitas transportasi antara lain jalan, jembatan, dan kendaraan;
3. fasilitas telekomunikasi;
4. fasilitas perkantoran;
5. fasilitas permukiman pegawai tambang meliputi tempat tinggal, rumah sakit, toko, sekolah, tempat ibadah, dan hiburan;
6. fasilitas listrik, air bersih dan sanitasi; dan
7. fasilitas keselamatan kerja.
f. ketentuan khusus dalam kawasan pertambangan mineral bukan logam
terdiri atas:
1. lokasi tidak terlalu dekat terhadap daerah permukiman, jarak dari
permukiman antara 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) kilometer bila menggunakan bahan peledak, dan paling sedikit berjarak 500 (lima ratus) meter bila tanpa peledakan, hal ini untuk menghindari
bahaya yang diakibatkan oleh gerakan tanah, pencemaran udara, serta kebisingan akibat lalu lintas pengangkutan bahan galian, dan mesin pemecah batu, dan ledakan dinamit;
2. lokasi penggalian tidak dilakukan pada lereng curam atau lebih dari 40% (empat puluh persen) yang kemantapan lerengnya kurang
stabil, hal ini untuk menghindari terjadinya erosi dan tanah longsor;
3. kegiatan pertambangan mineral bukan logam dalam kawasan hutan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan bidang
kehutanan;
4. pemegang izin usaha pertambangan yang akan melakukan kegiatan
operasi produksi, wajib menyelesaikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5. usaha pertambangan rakyat pada Wilayah Pertambangan Rakyat
dilakukan setelah mendapatkan Izin Pertambangan Rakyat dengan persyaratan antara lain diajukan oleh orang perseorangan dan/atau kelompok masyarakat dan/atau koperasi, dan tidak
menggunakan alat berat dan bahan peledak; dan
6. kawasan pertambangan mineral bukan logam yang berada dalam
kawasan rawan banjir harus melakukan mitigasi bencana antara lain:
a) penanaman kembali di lokasi bekas bukaan lahan tambang;
b) tidak dibangun atau relokasi permukiman pegawai tambang beserta fasilitasnya;
c) penyediaan drainase;
d) dilengkapi dengan prasarana pengendali banjir;
e) penyediaan lokasi evakuasi dan penampungan sementara jika
terjadi bencana banjir;
f) penyediaan sarana peringatan dini dan rambu-rambu yang dibutuhkan terkait dengan peringatan dini dan evakuasi; dan
61
g) mengikuti ketentuan pemanfaatan ruang dalam kawasan
rawan bencana.
(3) Ketentuan umum zonasi kawasan pertambangan batubara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan dalam kawasan pertambangan batubara, yaitu kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi,
dan/atau eksploitasi pertambangan batubara;
b. kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan bersyarat dalam
kawasan pertambangan batubara terdiri atas:
1. kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan dengan syarat memiliki Izin
Usaha Pertambangan Operasi Produksi dan/atau Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi;
2. kegiatan eksploitasi (operasi produksi) batubara dengan kapasitas
biji lebih dari atau sama dengan 1.000.000 (satu juta) ton per tahun dan/atau jumlah material penutup yang dipindahkan sebesar lebih
dari atau sama dengan 4.000.000 empat juta) ton per tahun, wajib dilengkapi analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL);
3. kegiatan eksploitasi (operasi produksi batubara dengan:
a) luas perizinan lebih dari atau sama dengan 200 (dua ratus) hektar; atau
b) luas daerah terbuka untuk pertambangan sebesar lebih dari
atau sama dengan 50 (lima puluh) hektar (kumulatif per tahun), wajib dilengkapi analisis mengenai dampak lingkungan
(AMDAL).
4. kegiatan pengangkutan tambang batubara menggunakan jalan umum harus memperoleh izin atau memberikan dispensasi
penggunaan jalan umum dengan persyaratan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan bidang pekerjaan
umum; dan
5. kegiatan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat untuk masyarakat di sekitar Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan
Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus yang terkena dampak langsung akibat aktifitas pertambangan.
c. kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak diperbolehkan dalam kawasan
pertambangan batubara, yaitu kegiatan pertambangan tanpa izin, dan/atau tidak sesuai dengan izin usaha pertambangan;
d. ketentuan sarana dan prasarana minimum dalam kawasan pertambangan batubara terdiri atas:
1. peralatan pertambangan;
2. fasilitas transportasi antara lain jalan, jembatan, dan kendaraan;
3. fasilitas telekomunikasi;
4. fasilitas perkantoran;
5. fasilitas permukiman pegawai tambang meliputi tempat tinggal, rumah sakit, toko, sekolah, tempat ibadah, dan hiburan;
6. fasilitas listrik, air bersih dan sanitasi; dan
7. fasilitas keselamatan kerja.
e. ketentuan khusus dalam kawasan pertambangan batubara yaitu
kegiatan pertambangan batubara dalam kawasan hutan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan bidang kehutanan.
62
(4) Ketentuan lainnya untuk kawasan pertambangan terdiri dari:
a. kawasan pertambangan eksisting dalam peta pola ruang yaitu berdasarkan penggunaan lahan Tahun 2019. Ijin Usaha Pertambangan
(IUP) yang dikeluarkan sebelum tahun 2019, sebelum Peraturan Daerah berlaku dan tidak tergambar dalam pola ruang, maka prosedur yang berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b. semua kegiatan di kawasan pertambangan wajib memiliki izin dari instansi yang berwenang.
Pasal 75
Ketentuan umum zonasi Kawasan Peruntukan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf e terdiri atas:
a. Kawasan Peruntukan Industri, yaitu Kawasan yang diperuntukkan bagi
kegiatan industri besar, sedang, kecil (termasuk sentra industri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)) dan pergudangan;
b. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri atas hutan kota, taman kota, taman lingkungan, industri, penelitian, ruang terbuka non hijau, dan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3);
c. kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, terdiri atas konservasi, pertanian, infrastruktur ketenagalistrikan, infrastruktur migas, prasarana penunjang perikanan, perdagangan dan jasa, perkantoran, peribadatan, kesehatan,
transportasi, prasarana sumber daya air, pengelolaan air limbah, pengelolaan persampahan, telekomunikasi, penyediaan air minum, dan infrastruktur
kebencanaan; dan
d. kegiatan yang tidak diperbolehkan, terdiri atas pemakaman, perkebunan, perikanan budidaya, perikanan tangkap, peternakan, pariwisata, pendidikan,
perumahan militer, dan/atau kepolisian.
Pasal 76
Ketentuan umum zonasi Kawasan Pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal
70 huruf f terdiri atas:
a. ketentuan kegiatan Pemanfaatan Ruang dalam Kawasan Pariwisata terdiri atas:
1. kegiatan yang diperbolehkan dalam Kawasan Pariwisata terdiri atas:
a) kegiatan pengembangan daya tarik wisata, meliputi daya tarik
wisata alam, daya tarik wisata sejarah dan budaya, dan/atau daya tarik wisata hasil buatan manusia;
b) kegiatan penyediaan fasilitas umum, meliputi fasilitas keamanan,
keuangan dan perbankan, bisnis (perdagangan dan jasa), kesehatan, fasilitas rekreasi, lahan parkir, fasilitas ibadah, dan fasilitas khusus
bagi penderita cacat fisik, anak-anak dan lansia; dan
c) kegiatan penyediaan fasilitas pariwisata, meliputi fasilitas akomodasi, rumah makan, informasi dan pelayanan pariwisata,
pelayanan keimigrasian, pusat informasi pariwisata, dan toko cinderamata.
2. kegiatan yang diperbolehkan bersyarat dalam Kawasan Pariwisata terdiri
atas:
a) kegiatan wisata alam terbatas dalam kawasan lindung;
b) kegiatan wisata sejarah dan budaya dalam kawasan cagar budaya;
63
c) kegiatan wisata dalam kawasan budidaya hutan (agroforestry),
agrowisata perkebunan/pertanian, dan kawasan perikanan;
d) kegiatan industri kecil, dan industri menengah yang terpadu
dengan kegiatan kepariwisataan;
e) kegiatan pengembangan daya tarik wisata yang wajib dilengkapi analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) terdiri atas:
1) Kawasan Pariwisata dalam semua besaran;
2) taman rekreasi dengan luas lebih dari atau sama dengan 100 (seratus) hektar; dan/atau
3) lapangan golf (tidak termasuk driving range) dalam semua besaran.
f) kegiatan yang mempunyai tujuan strategis dan wajib dilengkapi analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) seperti:
1) instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik, serta teknologi energi baru dan terbarukan;
2) pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar
radio, dan stasiun relay televisi;
3) jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api; dan
4) sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air dan saluran air bersih dan/atau air limbah.
3. kegiatan yang tidak diperbolehkan dalam Kawasan Pariwisata terdiri atas:
a) kegiatan wisata dalam kawasan lindung yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan;
b) kegiatan wisata yang merusak situs sejarah dan tidak
memperhatikan kelestarian benda cagar budaya; dan
c) kegiatan yang tidak sesuai dengan prinsip pengembangan daya tarik wisata, yaitu menjunjung tinggi nilai agama dan budaya, dan
keseimbangan antara upaya pengembangan manajemen atraksi untuk menciptakan daya tarik wisata yang berkualitas, berdaya
saing, serta mengembangkan upaya konservasi untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumber dayanya.
b. ketentuan intensitas Pemanfaatan Ruang dalam Kawasan Pariwisata terdiri
atas:
1. koefisien dasar bangunan (KDB) maksimum, koefisien luas bangunan (KLB) maksimum, dan koefisien dasar hijau (KDH) minimum ditetapkan
sesuai dengan jenis daya tarik wisata (tunggal atau mengelompok/klaster) dan fungsi jalan serta mempertimbangkan daya
dukung lahan;
2. garis sempadan bangunan (GSB) minimum berbanding lurus dengan ruang milik jalan; dan
3. tinggi bangunan maksimum mempertimbangkan daya dukung lahan dan prasarana lingkungan, serta mempertimbangkan aspek
keselamatan.
c. ketentuan sarana dan prasarana minimum dalam Kawasan Pariwisata terdiri atas:
64
1. prasarana umum meliputi jaringan listrik, telekomunikasi, jalan, air
bersih, tempat pembuangan sampah, drainase, dan saluran air kotor; dan
2. penunjuk arah/papan informasi wisata/rambu lalu lintas wisata.
d. ketentuan khusus dalam Kawasan Pariwisata terdiri atas:
1. Kawasan Pariwisata dengan daya tarik wisata berupa pertanian
(agrowisata), desa/kampung wisata, geowisata, dll. mengikuti ketentuan yang berlaku pada peruntukan dasar kawasannya dengan ketentuan
dilengkapi dengan fasilitas pariwisata;
2. pemanfaatan taman nasional dan Kawasan hutan untuk kegiatan pariwisata alam dapat dilaksanakan dengan berpedoman pada
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan; dan
3. jenis-jenis usaha sarana pariwisata alam yang dapat dilakukan meliputi kegiatan usaha akomodasi (pondok wisata, bumi perkemahan, karavan
dan penginapan), makanan dan minuman, sarana wisata tirta, angkutan wisata, cinderamata, dan sarana wisata budaya.
e. pemanfaatan Kawasan, lingkungan dan/atau bangunan cagar budaya sebagai Kawasan Pariwisata budaya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Kawasan cagar budaya.
Pasal 77
(1) Ketentuan umum zonasi Kawasan Permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf g terdiri atas:
a. Kawasan Permukiman perkotaan; dan
b. Kawasan Permukiman perdesaan.
(2) Ketentuan umum zonasi Kawasan Permukiman perkotaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. kegiatan yang diperbolehkan, yaitu:
1. penyediaan sarana pendidikan, kesehatan, perkenomian sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan;
2. penyediaan RTH, fasilitas ekonomi berupa perdagangan jasa yang
merupakan bagian dari permukiman, bangunan sistem mitigasi bencana atau sistem peringatan dini (early warning system)
termasuk jalur evakuasi bencana, konstruksi gedung tempat tinggal dan non tempat tinggal, konstruksi jalan dan jembatan, pemakaman umum, pengadaan dan penyediaan air bersih,
konstruksi bangunan pengolahan, penyaluran, dan penampungan air minum, konstruksi dan instalasi telekomunikasi;
3. penyediaan kegiatan wisata beserta bangunan sarana kepariwisataan dan penampungan sementara korban bencana alam;
dan
4. pemanfaatan air tanah bebas untuk kepentingan rumah tinggal.
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, terdiri dari:
1. kegiatan industri usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan syarat tidak mencemari lingkungan, dan dilengkapi kajian pendukung lainnya sesuai ketentuan yang berlaku;
2. pengumpulan dan pengangkutan limbah serta konstruksi
bangunan pengolahan, penyaluran, dan penampungan limbah dengan syarat tidak mengganggu kegiatan tempat tinggal dan kegiatan non tempat tinggal;
65
3. pengumpulan, pengelolaan dan pembuangan sampah dan daur
ulang dengan syarat tidak mengganggu kegiatan tempat tinggal dan kegiatan non tempat tinggal;
4. konstruksi bangunan ketenagalistrikan dan instalasi listrik dengan syarat pengaturan jarak aman dengan fungsi hunian dan tempat
kegiatan;
5. Kawasan pemakaman komersil;
6. pemanfaatan air tanah tertekan/dalam dan air tanah artesis untuk
kegiatan perekonomian akan tetapi harus memperoleh izin dari pejabat berwenang;
7. Kawasan militer;
8. pertanian dan perikanan budidaya dengan syarat tidak
mengganggu fungsi utama kawasan permukiman perkotaan;
9. pembangunan perumahan komersil dengan ketentuan
menyediakan lahan kuburan minimal 2% (dua persen) dari luas aeral perumahan yang dimohon;
10. pembangunan industri pengolahan bahan baku menjadi bahan jadi yang skala kecil sampai sedang dan harus di jalan arteri primer;
11. pembangunan perumahan komersil dan pembangunan rumah tinggal di lahan sawah dan ataupun rawa agar menggunakan
struktur rumah panggung agar menghindari terganggunya siklus hidrologi air dan membangun perumahan pada zona rawan banjir
sangat tinggi dan tinggi agar mendapat rekomendasi dari instansi terkait;
12. pembangunan apartemen, pusat perkantoran dan mall dengan tinggi tidak boleh melebihi dari ketentuan kawasan operasional penerbangan (KKOP) dan harus mendapat ijin dari instansi yang
berwenang;
13. industri rumahan dengan syarat tidak mengganggu fungsi utama Kawasan Permukiman perkotaan; dan
14. pada Kawasan Permukiman perkotaan yang telah mendapat izin pertambangan dapat dilakukan kegiatan pertambangan dengan syarat:
a) tidak diperbolehkan kegiatan pertambangan yang secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan
kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya;
b) tidak diperbolehkan kegiatan pertambangan di daerah imbuhan air karena untuk menjaga kelestarian sumber air
berupa mata air, dan air tanah;
c) tidak diperbolehkan penambangan di daerah tikungan luar,
tebing dan bagian-bagian sungai pada umumnya tetapi mengarahkan penambangan ke daerah agradasi/sedimentasi
tikungan dalam, bagian-bagian tertentu pada sungai dan daerah kantong-kantong pasir;
d) lokasi penggalian tidak dilakukan pada lereng curam atau lebih dari 40% (empat puluh persen) yang kemantapan lerengnya kurang stabil, hal ini untuk menghindari terjadinya
erosi dan tanah longsor;
e) tidak diperbolehkan kegiatan penambangan tanpa melakukan rehabilitasi (reklamasi dan/atau revitalisasi) kawasan pasca tambang, tidak melakukan pemulihan rona bentang alam
pasca tambang;
66
f) lokasi pertambangan tidak terlalu dekat terhadap daerah
permukiman, jarak dari permukiman antara 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) kilometer bila menggunakan bahan peledak,
dan paling sedikit berjarak 500 (lima ratus) meter bila tanpa peledakan, untuk menghindari bahaya yang diakibatkan oleh gerakan tanah, pencemaran udara, serta kebisingan akibat
lalu lintas pengangkutan bahan galian, mesin pemecah batu, dan ledakan dinamit; dan
g) lokasi pertambangan harus sudah dikuasai lahannya dari masyarakat dan tidak ada permasalahan terkait lahan pertambangan yang tidak dikuasai oleh perusahaan.
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan, berupa kegiatan yang mempunyai intensitas besar yang mengganggu fungsi Kawasan Permukiman dan Pemanfaatan Ruang untuk Kawasan Permukiman pada Kawasan
Lindung/Kawasan Konservasi/Kawasan imbuhan air tanah dan lahan pertanian dengan irigasi teknis;
d. ketentuan intensitas untuk Kawasan Permukiman perkotaan, terdiri dari:
1. intensitas pengembangan Kawasan terbangun dengan ketentuan
koefisien dasar bangunan (KDB) maksimal 70 (tujuh puluh) persen; dan
2. intensitas koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien luas
bangunan (KLB) dan koefisien dasar hijau (KDH) menyesuaikan dengan jenis peruntukan yang memenuhi ketentuan ruang per
kawasan yang diatur dengan peraturan detail Tata Ruang;
e. ketentuan sarana prasarana minimum untuk Kawasan Permukiman perkotaan berupa jaringan jalan lingkungan, jaringan listrik, jaringan air
bersih, jaringan pembuangan limbah, RTH, dan jaringan pelayanan minimal permukiman perkotaan sesuai standar yang berlaku; dan
f. ketentuan lainnya dan ketentuan khusus untuk Kawasan Permukiman perkotaan, terdiri dari:
1. ketersediaan dan keterjangkuan rumah layak huni dan prasarana,
sarana, dan utilitas umum (PSU) berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. pada kawasan rawan bencana banjir, kegiatan permukiman
dilengkapi dengan sistem kesiapsiagaan bencana, minimal konstruksi bangunan 2 (dua) lantai atau bangunan konstruksi
panggung;
3. pada kawasan rawan bencana banjir sangat tinggi dan tinggi harus mendapat izin dari instansi yang berwenang dalam rekomendasi
bebas banjir;
4. permukiman yang berada pada Kawasan Pertanian pangan
berkelanjutan yang termasuk kedalam daerah irigasi teknis agar mencari ganti Kawasan Pertanian pangan berkelanjutan atau mendapat rekomendasi dari instansi teknis.
(3) Ketentuan umum zonasi Kawasan Permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri dari:
1. kegiatan budidaya pertanian;
2. sarana dan prasarana permukiman;
3. fasilitas sosial ekonomi yang merupakan bagian dari permukiman;
67
4. fasilitas perkantoran pemerintah;
5. peternakan;
6. industri rumahan;
7. jalur evakuasi bencana;
8. pemakaman umum;
9. pemakaman komersil; dan
10. perikanan budidaya.
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, terdiri dari:
1. kegiatan industri skala kecil dan menengah, pertambangan galian
mineral bukan logam dan batubara serta pariwisata budaya maupun buatan seperti desa wisata yang bersinergis dengan kawasan permukiman dengan syarat tidak mengganggu
masyarakat, tidak mencemari lingkungan, dan dilengkapi kajian pendukung lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. kegiatan industri pengolahan air minum dalam kemasan terdapat di Kecamatan Karang Intan;
3. kegiatan industri pengolahan bahan baku menjadi bahan jadi di Kecamatan Karang Intan dan Kecamatan Simpang Empat;
4. kegiatan industri berbasis pertanian, perikanan dan perkebunan;
5. pembangunan perumahan komersil dan pembangunan rumah
tinggal di lahan sawah dan ataupun rawa agar menggunakan struktur rumah panggung agar menghindari terganggunya siklus
hidrologi air dan membangun perumahan pada zona rawan banjir sangat tinggi dan tinggi agar mendapat rekomendasi dari instansi terkait;
6. pembangunan menara telekomunikasi yang masuk kedalam
kawasan keamanan operasional penerbangan (KKOP) agar mendapat rekomendasi dari instansi yang berwenang;
7. pembangunan perumahan komersil yang berdekatan dengan
Kawasan Pertanian pangan berkelanjutan agar memberikan sempadan jarak antara Kawasan Pertanian pangan berkelanjutan sebesar kurang lebih 20 (dua puluh) meter;
8. selain permukiman perdesaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
9. kawasan militer; dan
10. pada kawasan permukiman perdesaan yang telah mendapat izin pertambangan dapat dilakukan kegiatan pertambangan dengan
syarat:
a) tidak diperbolehkan kegiatan pertambangan yang secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan
dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya;
b) tidak diperbolehkan kegiatan pertambangan di daerah imbuhan air karena untuk menjaga kelestarian sumber air
berupa mata air, dan air tanah;
68
c) tidak diperbolehkan penambangan di daerah tikungan luar,
tebing dan bagian-bagian sungai pada umumnya tetapi mengarahkan penambangan ke daerah agradasi/sedimentasi
tikungan dalam, bagian-bagian tertentu pada sungai dan daerah kantong-kantong pasir;
d) lokasi penggalian tidak dilakukan pada lereng curam atau
lebih dari 40% (empat puluh persen) yang kemantapan lerengnya kurang stabil, hal ini untuk menghindari terjadinya
erosi dan tanah longsor;
e) tidak diperbolehkan kegiatan penambangan tanpa melakukan rehabilitasi (reklamasi dan/atau revitalisasi) kawasan pasca
tambang, tidak melakukan pemulihan rona bentang alam pasca tambang;
f) lokasi pertambangan tidak terlalu dekat terhadap daerah
permukiman, jarak dari permukiman antara 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) kilometer bila menggunakan bahan peledak,
dan paling sedikit berjarak 500 (lima ratus) meter bila tanpa peledakan, untuk menghindari bahaya yang diakibatkan oleh gerakan tanah, pencemaran udara, serta kebisingan akibat
lalu lintas pengangkutan bahan galian, mesin pemecah batu, dan ledakan dinamit; dan
g) lokasi pertambangan harus sudah dikuasai lahannya dari
masyaratat dan tidak ada permasalahan terkait lahan pertambangan yang tidak dikuasai oleh perusahaan.
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan, berupa kegiatan yang mempunyai intensitas besar yang mengganggu fungsi kawasan permukiman dan berpotensi mencemari lingkungan beserta tidak diperbolehkan
pembangunan permukiman di bantaran sungai yang rawan banjir sangat tinggi;
d. ketentuan intensitas untuk Kawasan Permukiman perdesaan, terdiri dari:
1. KDB maksimal 60 (enam puluh) persen;
2. KLB maksimal 2,4 (dua koma empat); dan
3. KDH minimal 40 (empat puluh) persen.
e. ketentuan sarana prasarana minimum untuk Kawasan Permukiman
perdesaan, berupa jaringan jalan lingkungan, jaringan listrik, jaringan air bersih, jaringan pembuangan limbah, RTH, dan jaringan pelayan minimal permukiman perdesaan; dan
f. ketentuan lainnya dan ketentuan khusus untuk Kawasan Permukiman
perdesaan, terdiri dari:
1. ketersediaan dan keterjangkuan rumah layak huni dan prasarana, sarana, dan utilitas umum (PSU) berpedoman pada ketentuan
peraturan perundang-undangan;
2. kegiatan industri berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
3. pada kawasan rawan bencana banjir, kegiatan permukiman dilengkapi dengan sistem kesiapsiagaan bencana, minimal
konstruksi bangunan 2 (dua) lantai atau bangunan konstruksi panggung.
69
Pasal 78
(1) Ketentuan umum zonasi Kawasan Pertahanan dan Keamanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70 huruf h terdiri atas:
a. Kawasan militer; dan
b. Kawasan kepolisian.
(2) Ketentuan umum zonasi Kawasan militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. Kawasan militer, yaitu area yang mewadahi instalasi militer dan fasilitas
pendukungnya;
b. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri atas kehutanan, mangrove, hutan kota, taman kota, taman lingkungan, pertanian, peribadatan, kesehatan, olahraga, ruang terbuka non hijau, militer;
c. kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, terdiri atas perkebunan,
infrastruktur ketenagalistrikan, infrastruktur migas, transportasi, prasarana sumber daya air, pengelolaan air limbah, pengelolaan
persampahan, telekomunikasi, penyediaan air minum, kepolisian, infrastruktur kebencanaan; dan
d. kegiatan yang tidak diperbolehkan, konservasi, pemakaman, perikanan budidaya, perikanan tangkap, prasarana penunjang perikanan,
peternakan, industri, pariwisata, perumahan, perdagangan dan jasa, perkantoran, pendidikan, penelitian, pengelolaan limbah bahan
berbahaya dan beracun (B3).
(3) Ketentuan umum zonasi Kawasan kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. Kawasan kepolisian, yaitu area yang mewadahi instalasi kepolisian dan fasilitas pendukungnya;
b. kegiatan yang diperbolehkan, terdiri atas kehutanan, mangrove, hutan
kota, taman kota, taman lingkungan, pertanian, peribadatan, kesehatan, olahraga, ruang terbuka non hijau, kepolisian;
c. kegiatan yang diperbolehkan bersyarat, terdiri atas perkebunan,
infrastruktur ketenagalistrikan, infrastruktur migas, transportasi, prasarana sumber daya air, pengelolaan air limbah, pengelolaan persampahan,telekomunikasi, penyediaan air minum, kepolisian,
infrastruktur kebencanaan; dan
d. kegiatan yang tidak diperbolehkan, konservasi, pemakaman, perikanan budidaya, perikanan tangkap, prasarana penunjang perikanan,
peternakan, industri, pariwisata, perumahan, perdagangan dan jasa, perkantoran, pendidikan, penelitian, pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Bagian Ketiga
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
Pasal 79
(1) Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) menjadi pertimbangan
dalam melaksanakan kegiatan pemanfaatan ruang.
(2) Pelaksanaan KKPR sebagaimana dimaksud pada ayat dilakukan melalui:
a. Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKKPR);
70
b. Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR); dan
c. Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
(3) Pelaksanaan KKPR dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Keempat
Ketentuan Insentif dan Disinsentif
Pasal 80
(1) Ketentuan insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54
ayat (2) huruf c merupakan acuan bagi Pemerintah Daerah dalam pemberian insentif dan pengenaan disinsentif.
(2) Insentif diberikan apabila Pemanfaatan Ruang sesuai dengan rencana
struktur ruang, rencana pola ruang, dan ketentuan umum zonasi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.
(3) Disinsentif dikenakan terhadap Pemanfaatan Ruang yang perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
Pasal 81
(1) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam Pemanfaatan Ruang Wilayah kabupaten dilakukan oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat.
(2) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan oleh instansi berwenang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 82
(1) Insentif yang diberikan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2), merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana Tata
Ruang, terdiri atas:
a. keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi, imbalan, sewa ruang, dan urun saham;
b. pembangunan serta pengadaan infrastruktur;
c. fasilitasi persetujuan kesesuaian kegiatan Pemanfaatan Ruang;
dan/atau
d. pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau Pemerintah Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif diatur dalam Peraturan Bupati.
Pasal 83
(1) Disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (3), yang merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana Tata Ruang, meliputi:
a. pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat
Pemanfaatan Ruang;
71
b. pengenaan pajak yang tinggi terhadap kegiatan yang berlokasi di daerah
yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti pusat kota, Kawasan komersial, daerah yang memiliki tingkat kepadatan tinggi;
c. pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti;
d. peniadaan sarana dan prasarana bagi daerah yang tidak dipacu
pengembangannya atau pengembangan dibatasi;
e. kewajiban membayar kompensasi terhadap kerugian disebabkan oleh
dampak yang ditimbulkan akibat Pemanfaatan Ruang;
f. penolakan pemberian izin perpanjangan hak guna usaha, hak guna bangunan terhadap kegiatan yang terlanjur tidak sesuai dengan rencana
Tata Ruang;
g. pencabutan kesesuaian kegiatan Pemanfaatan Ruang yang sudah diberikan karena adanya perubahan Pemanfaatan Ruang budidaya
menjadi lindung;
h. pemberian status tertentu pada Kawasan rawan bencana dan/atau pada
daerah yang memiliki ketidaksesuaian yang tinggi dengan rencana Tata Ruang; dan
i. pembatasan administrasi pertanahan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan disinsentif diatur dalam Peraturan Bupati.
Bagian Kelima Sanksi
Pasal 84
(1) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) huruf d merupakan acuan bagi Pemerintah Daerah dalam pengenaan sanksi administratif kepada
pelanggaran Pemanfaatan Ruang.
(2) Pelanggaran Pemanfaatan Ruang ayat (1) meliputi:
a. Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai dengan rencana Struktur Ruang
dan Pola Ruang;
b. pelanggaran ketentuan umum zonasi;
c. Pemanfaatan Ruang yang tidak memiliki kesesuaian kegiatan
Pemanfaatan Ruang;
d. Pemanfaatan Ruang tidak sesuai dengan kesesuaian kegiatan
Pemanfaatan Ruang yang diterbitkan;
e. pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam muatan kesesuaian kegiatan Pemanfaatan Ruang yang diterbitkan;
f. Pemanfaatan Ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum;
dan/atau
g. Pemanfaatan Ruang dengan izin yang diperoleh melalui prosedur yang tidak benar.
Pasal 85
(1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 merupakan tindakan penertiban yang dilakukan terhadap Pemanfaatan Ruang yang tidak
sesuai dengan rencana Tata Ruang.
72
(2) Indikasi ketidaksesuaian Pemanfaatan Ruang dengan rencana tata ruang
dapat diketahui melalui:
a. laporan masyarakat; atau
b. temuan oleh petugas.
(3) Laporan masyarakat atau temuan oleh petugas ditindaklanjuti dengan evaluasi terhadap dugaan pelanggaran di bidang penataan Ruang.
(4) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam rangka:
a. menganalisis penyebab terjadinya dugaan pelanggaran di bidang
penataan Ruang yang timbul;
b. memperkirakan besaran dampak atau kerugian akibat dugaan pelanggaran di bidang penataan Ruang yang timbul; dan
c. menganalisis dan merumuskan tindakan dan tindak lanjut yang diperlukan dalam pengenaan/penerapan sanksi apabila pelanggaran di bidang penataan Ruang memenuhi unsur pelanggaran di bidang
penataan Ruang.
(5) Evaluasi yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menghasilkan
berita acara hasil evaluasi untuk dilampirkan dalam surat peringatan.
(6) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. sanksi administratif; dan/atau
b. sanksi pidana.
(7) Unsur pelanggaran penataan Ruang yang dapat dikenai sanksi adminstratif, meliputi:
a. Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai dengan rencana Tata Ruang dan ketentuan umum zonasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah
ini;
b. pemanfaatan Ruang yang tidak memiliki kesesuaian kegiatan Pemanfaatan Ruang;
c. Pemanfaatan Ruang tidak sesuai dengan kesesuaian kegiatan Pemanfaatan Ruang yang diterbitkan;
d. Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam muatan kesesuaian kegiatan Pemanfaatan Ruang; diterbitkan;
e. Pemanfaatan Ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum; dan/atau
f. Pemanfaatan Ruang dengan izin yang diperoleh melalui prosedur yang tidak benar.
Pasal 86
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (6) huruf a dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pencabutan kesesuaian kegiatan Pemanfaatan Ruang;
f. pembatalan kesesuaian kegiatan Pemanfaatan Ruang;
73
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau
i. denda administratif.
(2) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i merupakan penerimaan Daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
Pasal 87
(1) Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana Struktur Ruang dan
Pola Ruang dan pelanggaran ketentuan umum zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) huruf a dan huruf b meliputi:
a. memanfaatkan ruang dengan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
di lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya;
b. memanfaatkan ruang tanpa Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang di
lokasi yang sesuai peruntukannya; dan/atau
c. memanfaatkan ruang tanpa Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang di lokasi yang tidak sesuai peruntukannya.
(2) Pemanfaatan ruang yang tidak memiliki Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) huruf c meliputi:
a. tidak menindaklanjuti Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang
telah dikeluarkan; dan/atau
b. memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan fungsi ruang yang tercantum
dalam Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
(3) Pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) huruf
d meliputi:
a. melanggar batas sempadan yang telah ditentukan;
b. melanggar ketentuan koefisien lantai bangunan yang telah ditentukan;
c. melanggar ketentuan koefisien dasar bangunan, dan koefisien dasar hijau;
d. melakukan perubahan sebagian atau keseluruhan fungsi bangunan;
e. melakukan perubahan sebagian atau keseluruhan fungsi lahan; dan/atau
f. tidak menyediakan fasilitas sosial atau fasilitas umum sesuai dengan persyaratan dalam izin pemanfaatan ruang.
(4) Pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) huruf e meliputi:
a. melanggar batas sempadan yang telah ditentukan;
b. melanggar ketentuan koefisien lantai bangunan yang telah ditentukan;
c. melanggar ketentuan koefisien dasar bangunan, dan koefisien dasar hijau;
d. melakukan perubahan sebagian atau keseluruhan fungsi bangunan;
e. melakukan perubahan sebagian atau keseluruhan fungsi lahan; dan/atau
74
f. tidak menyediakan fasilitas sosial atau fasilitas umum sesuai dengan
persyaratan dalam izin pemanfaatan ruang.
(5) Pemanfaatan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang
dinyatakan oleh peraturan perundang-undangan sebagai milik umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) huruf f meliputi:
a. menutup akses ke sungai, danau, situ, dan sumber daya alam serta
prasarana publik;
b. menutup akses terhadap sumber air;
c. menutup akses terhadap taman dan ruang terbuka hijau;
d. menutup akses terhadap fasilitas pejalan kaki;
e. menutup akses terhadap lokasi dan jalur evakuasi bencana; dan/atau
f. menutup akses terhadap jalan umum tanpa izin pejabat yang berwenang.
(6) Pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh melalui prosedur yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) huruf g meliputi:
a. mendapat izin dari pejabat yang bukan berwenang mengeluarkan izin;
b. mendapat izin dari pejabat yang bukan membidangi tata ruang;
dan/atau
c. mendapat izin dari hasil suap menyuap.
BAB VII KELEMBAGAAN
Pasal 88
(1) Bupati membentuk Forum Penataan Ruang Daerah.
(2) Forum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mengoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang dan kerja sama antar sektor/antar daerah
bidang penataan ruang di Daerah.
(3) Keanggotaan, tugas, susunan organisasi, dan tata kerja Forum Penataan
Ruang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG
Bagian Kesatu Hak Masyarakat
Pasal 89
Dalam kegiatan mewujudkan penataan ruang wilayah, masyarakat berhak:
a. berperan dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang;
b. mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah;
c. menikmati manfaat ruang dan/atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat
dari penataan ruang;
d. memperoleh pergantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata
ruang;
75
e. mengajukan tuntutan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
f. mengajukan tuntutan pembatalan persetujuan kegiatan penataan ruang dan
penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang;
g. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang
izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian; dan
h. mengawasi pihak yang melakukan penyelenggaraan tata ruang.
Bagian Kedua
Kewajiban Masyrarakat
Pasal 90
Kewajiban masyarakat dalam penataan ruang wilayah meliputi:
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan rencana tata ruang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan Kesesuaian
Kegiatan Pemanfaatan Ruang; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
Pasal 91
(1) Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 90 dilaksanakan dengan mematuhi dan menerapkan
kriteria, kaidah, baku mutu, dan aturan-aturan penataan ruang yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dilakukan masyarakat secara turun temurun dapat diterapkan sepanjang memperhatikan faktor-faktor daya dukung lingkungan, estetika lingkungan, lokasi, dan struktur
pemanfaatan ruang serta dapat menjamin pemanfaatan ruang yang serasi, selaras, dan seimbang.
Pasal 92
(1) Peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
a. peran masyarakat dalam pelaksanaan penataan ruang; dan
b. peran masyarakat dalam pengawasaan penataan ruang.
(2) Peran masyarakat dalam pelaksanaan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan pada tahap:
a. proses perencanaan tata ruang;
b. pemanfaatan ruang; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang.
(3) Peran masyarakat dalam pengawasan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan secara terus menerus selama masa berlakunya Rencana Tata Ruang.
(4) Ketentuan mengenai peran masyarakat dalam pelaksanaan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berpedoman kepada ketentuan
peraturan perundang-undangan.
76
(5) Ketentuan mengenai peran masyarakat dalam pengawasan penataan ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui:
a. keikutsertaan memantau pelaksanaan penyelenggaraan penataan ruang;
b. keikutsertaan mengevaluasi pelaksanaan penyelenggaraan penataan ruang; dan
c. pemberian laporan terhadap ketidaksesuaian terhadap penyelenggaraan
penataan ruang.
(6) Peran masyarakat dibidang penataan ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat disampaikan secara lisan dan/atau tertulis.
(7) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat disampaikan kepada Bupati.
(8) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga dapat disampaikan melalui unit kerja terkait yang ditunjuk oleh Bupati.
Pasal 93
(1) Bentuk peran masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) huruf a dapat berupa:
a. masukan, meliputi:
1. persiapan penyusunan rencana tata ruang;
2. penentuan arah pengembangan wilayah;
3. pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan;
4. perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan
5. penetapan rencana tata ruang.
b. menyampaikan keberatan terhadap rancangan rencana tata ruang; dan
c. melakukan kerja sama dengan pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah daerah dan/atau sesama unsur masyarakat dalam
perencanaan tata ruang.
(2) Masyarakat dapat menyampaikan masukan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a melalui forum pertemuan yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah.
Pasal 94
Bentuk peran masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) huruf b dapat berupa:
a. melakukan kegiatan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal
dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. menyampaikan masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang;
c. memberikan dukungan bantuan teknik, keahlian, dan/atau dana dalam
pengelolaan pemanfaatan ruang;
d. meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang
darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. melakukan kerjasama pengelolaan ruang dengan pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah daerah, dan/atau dan pihak lainnya secara bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan penataan ruang;
77
f. menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan dan
Sumber Daya Alam (SDA);
g. melakukan usaha investasi dan/atau jasa keahlian; dan
h. mengajukan gugatan ganti rugi kepada pemerintah atau pihak lain apabila kegiatan pembangunan yang dilaksanakan merugikan.
Pasal 95
Bentuk peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) huruf c dapat berupa:
a. memberikan masukan mengenai ketentuan Kesesuaian Kegiatan
Pemanfaatan Ruang, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi;
b. turut serta memantau dan mengawasi pelaksanaan kegiatan pemanfaatan
ruang, rencana tata ruang yang telah ditetapkan, dan pemenuhan standar pelayanan minimal di bidang penataan ruang;
c. melaporkan kepada instansi/pejabat yang berwenang dalam hal menemukan kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan dan adanya indikasi kerusakan dan/atau pencemaran
lingkungan, tidak memenuhi standar pelayanan minimal dan/atau masalah yang terjadi di masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang;
d. mengajukan keberatan terhadap keputusan pejabat publik yang dipandang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang; dan
e. mengajukan gugatan pembatalan persetujuan kegiatan penataan ruang
dan/atau penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada instansi yang berwenang.
Pasal 96
Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat, Pemerintah Daerah membangun sistem informasi dan dokumentasi Penataan Ruang yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Pasal 97
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat dalam Pasal 89 sampai denngan Pasal 95 diatur dalam Peraturan Bupati.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 98
Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi pedoman untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten;
d. perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antar sektor; dan
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi.
78
Pasal 99
(1) Jangka waktu rencana tata ruang wilayah Kabupaten Banjar adalah 20 (dua
puluh) tahun.
(2) Rencana tata ruang wilayah Kabupaten Banjar ditinjau kembali 1 (satu) kali pada setiap periode 5 (lima) tahunan.
(3) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar dan/atau perubahan batas teritorial wilayah yang
ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banjar dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(4) Peraturan Daerah ini, dilengkapi dengan buku rencana dan album peta yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 100
Kebijakan Daerah mengenai penataan ruang Daerah yang telah ada, dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan
Peraturan Daerah ini.
Pasal 101
(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka:
a. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku dengan masa berlakunya;
b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai
dengan ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan:
1. izin yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut
disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini;
2. izin yang sudah dilaksanakan pembangunannya, dilakukan penyesuaian dengan masa transisi berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
3. izin yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak
memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini, izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul
sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan penggantian yang layak; dan
4. penggantian yang layak sebagaimana dimaksud pada angka 3 memperhatikan indikator sebagai berikut:
a) memperhatikan harga pasaran setempat;
b) sesuai dengan nilai jual objek pajak; dan/atau
c) menyesuaikan kemampuan keuangan daerah.
79
c. pemanfaatan ruang yang izinnya sudah habis dan tidak sesuai dengan
Peraturan Daerah ini dilakukan penyesuaian berdasarkan Peraturan Daerah ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 102
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Kabupaten Banjar Nomor 3 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Banjar Tahun 2013-2032 (Lembaran Daerah Kabupaten Banjar Tahun 2013 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Banjar Nomor 3), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 103
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Banjar.
Ditetapkan di Martapura pada tanggal 7 Juli 2021
BUPATI BANJAR,
Ttd SAIDI MANSYUR
Diundangkan di Martapura pada tanggal 7 Juli 2021
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BANJAR,
Ttd
MOKHAMAD HILMAN
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJAR TAHUN 2021 NOMOR 4
NOMOR REGISTER PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR, PROVINSI KALIMANTAN SELATAN: (4-69/2021)
80
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 4 TAHUN 2021
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANJAR TAHUN 2021 – 2041
I. UMUM
Ruang merupakan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan
wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Demi mewujudkan ruang yang berkelanjutuan perlu dilakukan penataan ruang agar dalam
pemanfaatannya dapat dilaksanakan secara berdaya guna dan berhasil guna.
Penataan ruang adalah suatu sistem proses Perencanaan Tata Ruang, Pemanfaatan Ruang, dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang.
Penataan ruang dituangkan dalam Peraturan Daerah dan peraturan pelaksana lainnya. Penataan ruang Kabupaten Banjar didasarkan pada karakteristik dan potensi wilayah sehingga tercipta suatu sistem yang
mampu mendukung keungggulan ekonomi wilayah.
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah sebagai kebijakan
pemerintah daerah merupakan arahan penetapan lokasi pembangunan dari kawasan dengan fungsi lindung maupun budidaya.
Pemerintah Kabupaten Banjar telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2013-2032 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Banjar Tahun 2013-2032. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, serta kebutuhan
akan pembangunan daerah dimasa depan yang didasarkan pada potensi daerah, kebijakan pembangunan nasional, provinsi, dan kabupaten,
maka dilakukan revisi melalui pencabutan terhadap Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2013-2032 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banjar Tahun 2013-2032 menjadi Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Banjar Tahun 2021-2041.
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banjar
Tahun 2021-2041 dilakukan untuk menghasilkan rencana tata ruang yang bersifat umum dan makro dalam skala 1:50.000 dan disusun
berdasarkan pendekatan wilayah administratif kabupaten dengan muatan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang.
Kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui proses pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan pelaksanaan sinkronisasi program Pemanfaatan Ruang yang
dimaksudkan sebagai upaya penertiban pemanfaatan ruang sehingga pemanfataan ruang yang harus dilakukan sesuai dengan rencana tata
ruang yang berlaku. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang akan dikenakan sanksi.
81
Pemberian insentif dilakukan sebagai upaya pemberian imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan agar sejalan dengan rencana tata ruang.
Sedangkan pemberian disinsentif dilakukan sebagai upaya yang diberikan untuk kegiatan pemanfaatan ruang pada kawasan yang
dibatasi pengembangannya.
Pengenaan sanksi dilakukan untuk memberikan sanksi bagi siapa
saja yang melakukan pelanggaran ketentuan kewajiban pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku.
Dengan terbitnya Peraturan Daerah ini maka dalam pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Banjar harus sesuai dengan rencana tata ruang, agar dalam pemanfaatan ruang tidak bertentangan dengan
substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banjar Tahun 2021-2041.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Tujuan penataan ruang Wilayah Kabupaten Banjar disesuaikan dengan visi dan misi pembangunan Kabupaten Banjar.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
82
Huruf f
Yang dimaksud dengan “Agropolitan” adalah kawasan
yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian
dan pengelolaan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan
agrobisnis.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Pengelolaan kawasan hutan (konservasi, lindung dan produksi) dengan memperhatikan aspek keberlanjutan
dan dikelola secara optimal dilakukan dengan mempedomani ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Agrowisata” adalah salah satu bentuk wisata yang dilakukan dikawasan pertanian yang menyajikan suguhan pemandangan alam kawasan
pertanian dan aktivitas didalamnya seperti persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan,
pengolahan hasil panen sampai dalam bentuk siap dipasarkan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
83
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
PKL Martapura Timur, Astambul, Mataraman dan Simpang Empat adalah kegiatan permukiman perkotaan
disepanjang Koridor Jalan A. Yani dengan luasan sesuai dengan Peta Rencana Pola Ruang.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Huruf a
Cukup jelas.
84
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Stasiun operasi balai yasa”
merupakan stasiun kereta api untuk keperluan pengoperasian kereta api, seperti perawatan, pemeliharaan,
dan rehabilitasi atau modifikasi kereta api.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Transit Oriented Development (TOD)” merupakan konsep kawasan yang memadukan fungsi transit antara manusia, kegiatan, bangunan, dan ruang
publik yang bertujuan untuk mengoptimalkan akses terhadap transportasi publik dimana stasiun sebagai simpul transit merupakan tempat pergantian moda transportasi.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Pelabuhan sungai dan danau pengumpan” merupakan pelabuhan sungai dan danau yang
mempunyai cakupan pelayanan dan mempengaruhi perkembangan ekonomi relatif terbatas, berperan dalam
transportasi antar kabupaten dalam provinsi atau dalam Kabupaten.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “Pembangkit Listrik
Tenaga Mikrohidro (PLTMH)” adalah teknologi untuk memanfaatkan debit air yang ada disekitar untuk diubah menjadi energi listrik. PLTMH
memanfaatkan debit air untuk menggerakkan turbin yang akan menghasilkan energi mekanik
yang digunakan untuk menggerakkan generator dan menghasilkan listrik.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
85
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “Cekungan Air Tanah
(CAT)” adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan,
pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “Bendungan” adalah
bangunan yang berupa urukan tanah, urukan batu, dan beton, yang dibangun selain untuk
menahan dan menampung air.
Yang dimaksud dengan “Bendung” adalah bangunan yang berfungsi untuk menaikkan muka air hingga ketinggian yang diperlukan agar air
dapat mengalir.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “Daerah Irigasi” adalah kesatuan lahan yang mendapatkan air dari satu
jaringan irigasi.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM)” merupakan satu kesatuan sarana dan
prasarana penyediaan air minum. Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang dimaksud dalam Peraturan Daerah
ini berasal dari PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) dan PAMSIMAS (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat).
86
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Sistem Penyediaan Air Limbah
(SPAL)” merupakan satu kesatuan sarana dan prasarana pengelolaan air limbah.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Yang dimaksud dengan “Sempadan Sungai” adalah kawasan
sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.
Yang dimaksud dengan “Garis semapadan sungai” adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai.
Yang dimaksud dengan “Perlindungan terhadap semapadan sungai”
adalah untuk melindungi fungsi sungai dari kegiatan budidaya yang dapat mengganggu dan merusak kondisi sungai dan mengamankan aliran sungai.
Pasal 24
Cukup jelas.
87
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Kawasan hutan produksi“ adalah
kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
Yang dimaksud dengan “Kawasan hutan produksi terbatas” (HPT) merupakan kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing-
masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai antara 125-174, di luar kawasan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam dan taman buru.
Yang dimaksud dengan “Kawasan hutan produksi tetap” (HP) merupakan kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng,
jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai dibawah 125, di luar kawasan lindung, hutan suaka alam,
hutan pelestarian alam dan taman buru.
Yang dimaksud dengan “Hutan produksi yang dapat dikonversi”
(HPK) merupakan kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pembangunan di luar kehutanan, seperti pertanian, perkebunan, perkembangan
infrastruktur, dan lain-lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
88
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “Ijin Usaha Pertambangan (IUP)” adalah izin untuk melaksanakan Usaha Pertambangan.
Yang dimaksud dengan “wilayah Izin Usaha Pertambangan”
adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP atau pemegang SIPB.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
89
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Yang dimaksud “sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah Provinsi.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Yang dimaksud “sumber lain yang sah dan tidak mengikat
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
90
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “Koefisien Dasar Bangunan (KDB)” adalah angka persentase perbandingan antara
luas seluruh lantai dasar bangunan gedung dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata riang dan rencana tata
bangunan dan lingkungan.
Yang dimaksud dengan “Koefisien Lantai Bangunan (KLB)” adalah angka persentase perbandingan antara
luas seluruh lantai bangunan gedung dan luas tanag perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan
lingkungan.
Yang dimaksud dengan “Koefisien Daerah Hijau (KDB)” adalah angkat persentase perbandingan antara luas
seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai
sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
91
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Yang dimaksud dengan “Sistem Peringatan Dini
(Early Warning System)” adalah serangkaian sistem untuk memberitahukan akan timbulnya
kejadian alam, dapat berupa bencana maupun tanda-tanda alam lainnya. Peringatan dini merupakan tindakan memberikan informasi
dengan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
92
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Lahan pertanian pangan
berkelanjutan (LP2B)” merupakan bidang lahan yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
93
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Kegiatan Penyelidikan umum”
adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi
adanya mineralisasi.
Yang dimaksud dengan “Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh
informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya
terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)” adalah kajian
mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/ atau kegiatan.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
94
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “Agroforestry” adalah sistem
penggunaan lahan yang mengkombinasikan pepohonan (tanaman hutan) dengan tanaman pertanian untuk meningkatkan keuntungan, baik
secara ekonomi maupun lingkungan.
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
95
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Cukup jelas.
Angka 12
Yang dimaksud dengan “Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP)” adalah wilayah daratan dan/atau perairan dan ruang udara di
sekitar bandar udara yang dipergunakan untuk kegiatan operasi penerbangan dalam rangka menjamin keselamatan penerbangan.
Angka 13
Cukup jelas.
Angka 14
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
96
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan
Ruang” adalah kesesuaian antara rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan RTR.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKKPR)” adalah dokumen yang
menyatakan kesesuaian antara rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan RDTR.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR)” adalah dokumen
yang menyatakan kesesuaian antara rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan RTR selain RDTR.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Rekomendasi Kesesuaian
Kegiatan Pemanfaatan Ruang” adalah dokumen yang menyatakan kesesuaian rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang yang didasarkan pada kebijakan nasional yang
bersifat strategis dan belum diatur dalam RTR dengan mempertimbangkan asas dan tujuan Penyelenggaraan
Penataan Ruang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
97
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJAR TAHUN 2021 NOMOR 4