PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JARAK PAGAR...

122
23 PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JARAK PAGAR (Jatropa Curcas) PADA BERBAGAI ORDER TANAH DI PULAU LOMBOK Novrizal 1 dan Suwardji 2 1 Mahasiswa dan 2 Staf Pengajar Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Mataram, Jalan Majapahit No. 62 Mataram 83125; Telp. 0370-628143 ABSTRAK Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) sampai saat ini masih belum dibudidayakan secara khusus oleh masyaraka di Pulau Lombokt. Masyarakat umumnya menjadikan tanaman jarak pagar hanya sebagai pagar pembatas lahan. Potensi pengembangan tanaman jarak pagar sangat besar bila dibudidayakan di lahan yang ideal untuk pertumbuhannya. Disamping menghasilkan minyak yang dapat diolah menjadi bahan bakar, seluruh bagian tanamannya juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk dan obat-obatan. Pada saat ini belum ada kajian untuk menilai kesesuaian tanaman Jarak Pagar pada berbagai ordo tanah yang ada di Pulau Lombok. Informasi semacam ini sangat penting untuk mengetahui kecocokan tanaman jarak pagar pada berbagai ordo tanah di Pulau Lombok untuk prospek pengembangan tanaman ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperiment yang dilakukan di rumah kaca. Ordo tanah yang digunakan yaitu ordo tanah Vertisol diambildari daerah Batujai, ordo tanah Entisol diambil ari daerah Mataram, ordo tanah Alfisol diambil dari daerah Masbagik, dan ordo tanah Inceptisol diambil dari daerah Kuripan. Parameter tanah yang diukur meliputi sifat fisik dan kima tana, sedangkan parameter tanaman yang diukur meliputi wakktu kecambah, tinggi tanaman, diameter batang dan perhitungan jumlah daun. Hasil penelitian menunjukkan ordo tanah vertisol memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 29.36 persen, tekstur tanahnya liat berpasir, memiliki pH netral (6,69), nilai C-Organik rendah (1,38%) dan nilai N total yang sangat rendah (0,004%),pada ordo tanah Inceptisol memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 34.09 persen, tekstur tanahnya lempung liat berpasir, memiliki pH agak masam (6,26), nilai C-Organik rendah (1,13%) dan nilai N total yang sangat rendah (0,009%), pada ordo tanah Entisol memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 35.18 persen, tekstur tanahnya lempung liat berpasir, memiliki pH agak masam (6,12), nilai C-Organik rendah (1,33%) dan nilai N total yang sangat rendah (0,0051%), pada ordo tanah Alfisol memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 35.89 persen, tekstur tanahnya lempung liat berpasir, memiliki pH agak masam (6,25), nilai C-Organik rendah (1,4%) dan nilai N total yang sangat rendah (0,0059%). Dari hasil pengukuran tinggi tanaman, jumlah daun dan diameter batang ordo tanah Alfisol menunjukan pertumbuhan vegetatif yang lebih baik dan diikuti oleh ordo tanah Entisol, ordo tanah Inceptisol dan ordo Vertisol. Dalam hal ini ordo tanah Alfisol dan Entisol merupakan ordo tanah yang paling sesuai untuk pengembangan tanaman Jarak Pagar di Pulau Lombok. Kata kunci : Jarakpagar (Jatropha curcas ), ordo tanah di Pulau Lombok, pengembangan tanaman jarak pagar PENDAHULUAN Terjadinya krisis energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM) yang diikuti oleh meningkatnya harga BBM dunia telah berdampak langsung pada rakyat Indonesia. Meningkatnya harga BBM yang ditetapkan oleh pemerintah pada bulan Oktober tahun 2005 merupakan kenaikan harga BBM yang paling tinggi yaitu sebesar 108% (Pambudy, 2006). Harga BBM yang sangat tinggi menyebabkan inflasi dan membuat rakyat Indonesia akan semakin menderita. Terkait hal tersebut sudah saatnya sektor pertanian di Indonesia berfokus pada pengembangan tanaman yang dapat diproses menjadi bahan bakar alternatif pengganti BBM yang berasal dari minyak bumi. Salah satu tanaman yang memiliki potensi besar sebagai sumber bahan bakar alternatif adalah tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas). Tanaman ini memiliki potensi yang sangat menjanjikan, disamping kandungan minyaknya yang mencapai 30 50%, hampir seluruh bagian tanamannya juga dapat dimanfaatkan, diantaranya sebagai insektisida, pupuk, sampai kemungkinan memiliki bahan anti kanker (Pambudy, 2006). Tanaman Jarak Pagar mulai berbunga setelah berumur 3 4 bulan dan pembentukan buah mulai pada umur 4 5 bulan. Secara agronomis, tanaman ini dapat beradaptasi pada lahan maupun agroklimat di Indonesia, bahkan dapat tumbuh dengan baik pada kondisi kering dengan tingkat curah hujan antara 300 1300 mm pertahun maupun pada lahan dengan tingkat kesuburan yang rendah (Irfan, 2005). Salah satu daerah yang mempunyai lahan kritis yang sangat luas di Indonesia adalah daerah Nusa Tenggara Barat, dengan luas total lahan kritisnya mencapai 524.000 hektar yang tersebar di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Khusus di Pulau Lombok lahan kritis tersebar di Lombok Barat (92.925,409 ha) Lombok Tengah (92.225,794 ha), dan Lombok Timur (87.958,754 ha) (Suwardji dan Priyono, 2003). Berdasarkan data dari peta tanah tinjau NTB (BAPPEDA, 1988) Pulau Lombok juga memiliki empat ordo tanah yang paling dominan yaitu Entisol, Vertisol, Inceptisol, dan Alfisol. Untuk mengembangkan tanaman Jarak Pagar secara besar-besaran perlu dinilai tingkat kecocokkan tanah yang ada.

Transcript of PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JARAK PAGAR...

  • 23

    PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JARAK PAGAR (Jatropa Curcas) PADA BERBAGAI

    ORDER TANAH DI PULAU LOMBOK

    Novrizal1 dan Suwardji

    2

    1Mahasiswa dan

    2Staf Pengajar Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian

    Universitas Mataram, Jalan Majapahit No. 62 Mataram 83125; Telp. 0370-628143

    ABSTRAK

    Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) sampai saat ini masih belum dibudidayakan secara khusus oleh

    masyaraka di Pulau Lombokt. Masyarakat umumnya menjadikan tanaman jarak pagar hanya sebagai pagar pembatas

    lahan. Potensi pengembangan tanaman jarak pagar sangat besar bila dibudidayakan di lahan yang ideal untuk

    pertumbuhannya. Disamping menghasilkan minyak yang dapat diolah menjadi bahan bakar, seluruh bagian tanamannya juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk dan obat-obatan. Pada saat ini belum ada kajian untuk menilai kesesuaian

    tanaman Jarak Pagar pada berbagai ordo tanah yang ada di Pulau Lombok. Informasi semacam ini sangat penting untuk

    mengetahui kecocokan tanaman jarak pagar pada berbagai ordo tanah di Pulau Lombok untuk prospek pengembangan

    tanaman ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperiment yang dilakukan di rumah kaca. Ordo tanah yang digunakan yaitu ordo tanah Vertisol diambildari daerah Batujai, ordo tanah Entisol diambil ari daerah

    Mataram, ordo tanah Alfisol diambil dari daerah Masbagik, dan ordo tanah Inceptisol diambil dari daerah Kuripan.

    Parameter tanah yang diukur meliputi sifat fisik dan kima tana, sedangkan parameter tanaman yang diukur meliputi

    wakktu kecambah, tinggi tanaman, diameter batang dan perhitungan jumlah daun. Hasil penelitian menunjukkan ordo tanah vertisol memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 29.36 persen, tekstur tanahnya liat berpasir, memiliki pH

    netral (6,69), nilai C-Organik rendah (1,38%) dan nilai N total yang sangat rendah (0,004%),pada ordo tanah Inceptisol

    memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 34.09 persen, tekstur tanahnya lempung liat berpasir, memiliki pH agak

    masam (6,26), nilai C-Organik rendah (1,13%) dan nilai N total yang sangat rendah (0,009%), pada ordo tanah Entisol memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 35.18 persen, tekstur tanahnya lempung liat berpasir, memiliki pH agak

    masam (6,12), nilai C-Organik rendah (1,33%) dan nilai N total yang sangat rendah (0,0051%), pada ordo tanah Alfisol

    memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 35.89 persen, tekstur tanahnya lempung liat berpasir, memiliki pH agak

    masam (6,25), nilai C-Organik rendah (1,4%) dan nilai N total yang sangat rendah (0,0059%). Dari hasil pengukuran

    tinggi tanaman, jumlah daun dan diameter batang ordo tanah Alfisol menunjukan pertumbuhan vegetatif yang lebih baik

    dan diikuti oleh ordo tanah Entisol, ordo tanah Inceptisol dan ordo Vertisol. Dalam hal ini ordo tanah Alfisol dan Entisol

    merupakan ordo tanah yang paling sesuai untuk pengembangan tanaman Jarak Pagar di Pulau Lombok.

    Kata kunci : Jarakpagar (Jatropha curcas), ordo tanah di Pulau Lombok, pengembangan tanaman jarak pagar

    PENDAHULUAN

    Terjadinya krisis energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM) yang diikuti oleh meningkatnya

    harga BBM dunia telah berdampak langsung pada rakyat Indonesia. Meningkatnya harga BBM yang

    ditetapkan oleh pemerintah pada bulan Oktober tahun 2005 merupakan kenaikan harga BBM yang paling

    tinggi yaitu sebesar 108% (Pambudy, 2006). Harga BBM yang sangat tinggi menyebabkan inflasi dan

    membuat rakyat Indonesia akan semakin menderita. Terkait hal tersebut sudah saatnya sektor pertanian di

    Indonesia berfokus pada pengembangan tanaman yang dapat diproses menjadi bahan bakar alternatif

    pengganti BBM yang berasal dari minyak bumi.

    Salah satu tanaman yang memiliki potensi besar sebagai sumber bahan bakar alternatif adalah

    tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas). Tanaman ini memiliki potensi yang sangat menjanjikan, disamping

    kandungan minyaknya yang mencapai 30 – 50%, hampir seluruh bagian tanamannya juga dapat

    dimanfaatkan, diantaranya sebagai insektisida, pupuk, sampai kemungkinan memiliki bahan anti kanker

    (Pambudy, 2006). Tanaman Jarak Pagar mulai berbunga setelah berumur 3 – 4 bulan dan pembentukan buah

    mulai pada umur 4 – 5 bulan. Secara agronomis, tanaman ini dapat beradaptasi pada lahan maupun

    agroklimat di Indonesia, bahkan dapat tumbuh dengan baik pada kondisi kering dengan tingkat curah hujan

    antara 300 – 1300 mm pertahun maupun pada lahan dengan tingkat kesuburan yang rendah (Irfan, 2005).

    Salah satu daerah yang mempunyai lahan kritis yang sangat luas di Indonesia adalah daerah Nusa

    Tenggara Barat, dengan luas total lahan kritisnya mencapai 524.000 hektar yang tersebar di Pulau Lombok

    dan Pulau Sumbawa. Khusus di Pulau Lombok lahan kritis tersebar di Lombok Barat (92.925,409 ha)

    Lombok Tengah (92.225,794 ha), dan Lombok Timur (87.958,754 ha) (Suwardji dan Priyono, 2003).

    Berdasarkan data dari peta tanah tinjau NTB (BAPPEDA, 1988) Pulau Lombok juga memiliki

    empat ordo tanah yang paling dominan yaitu Entisol, Vertisol, Inceptisol, dan Alfisol. Untuk

    mengembangkan tanaman Jarak Pagar secara besar-besaran perlu dinilai tingkat kecocokkan tanah yang ada.

  • 24

    Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui kecocokan tanaman Jarak Pagar pada berbagai order

    tanah di Pulau Lombok yang sampai saat ini belum pernah dilakukan.

    Setiap ordo tanah memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda-beda, Pulau Lombok memiliki

    empat ordo tanah yang paling dominan yaitu: Ordo Entisol, Ordo Vertisol, Ordo Alfisol, dan Ordo Inceptisol.

    Tingkat kecocokan tanaman jarak pagar pada berbagai ordo tanah di Pulau Lombok belum pernah diketahui.

    Hal ini penting untuk program pengembangan tanaman Jarak Pagar secara besar-besaran di Pulau Lombok.

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai tingkat kecocokan ordo tanah yang ada di Pulau

    Lombok untuk pengembangan tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas). Manfaat dari program penelitian ini

    adalah (1), Dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang bagaimana cara menanam tanaman

    Jarak Pagar (Jatropha curcas) yang baik, (2) Dapat berguna bagi masyarakat dan instansi yang terkait dalam

    mengembangkan dan membudidayakan tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) pada berbagai ordo tanah

    yang ada di Pulau Lombok.

    BAHAN DAN METODE PENELITIAN

    Penelitian ini dilakukan mulai bulan Januari sampai bulan Juni 2007 di Laboratorium Fisika dan

    Konservasi Tanah, laboratorium Kimia dan Biologi Tanah, dan Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas

    Mataram. Metode yang digunakan pada program penelitian ini adalah metode eksperiment yang meliputi

    pengambilan contoh tanah dan percobaan penanaman tanaman jarak pagar di rumah kaca. Rancangan

    percobaan yang digunakan adalah rancanagan acak lengkap (RAL), dengan empat perlakuan yaitu: 1) Ordo

    Inceptisol, 2) Ordo Entisol, 3) Ordo Vertisol, dan 4) Ordo Alfisol. Masing-masing perlakuan diulang

    sebanyak lima kali, semua pot percobaan akan diletakkan secara acak dan mendapatkan kondisi yang

    seragam.

    Pengambilan contoh tanah. Dalam penelitian ini contoh tanah yang diambil antara lain; (1) Contoh

    tanah agregat utuh yang digunakan untuk analisis struktur tanah, dan (2) Contoh tanah terusik yang

    digunakan untuk analisis tekstur, kadar lengas kering angin, kadar lengas kapasitas lapang, pH tanah, C-

    organik, dan N-total tanah. Pengambilan contoh tanah agregat utuh dan contoh tanah terusik diambil pada

    empat lokasi ordo tanah yang tersebar di Pulau Lombok antara lain: Ordo Vertisol diambil didaerah Batujai,

    Ordo Alfisol diambil didaerah Masbagik, Ordo Inceptisol diambil di daerah Kuripan, dan Ordo Entisol

    diambil di daerah Mataram pada kedalaman 0 – 20 cm, diambil secara acak sistematis dan contoh tanah

    terusik dari masing-masing daerah dikompositkan. Selanjutnya contoh tanah dimasukkan kedalam kantong

    plastik, diberi label, dan dipersiapkan untuk keperluan analisis sifat fisika dan kimia tanah.

    Persiapan contoh tanah. Contoh tanah yang telah diambil kemudian dikering anginkan selama 1 – 2 minggu.

    Selanjutnya di ayak menggunakan ayakan 0,5 mm untuk analisis fisika, kimia tanah, dan untuk penanaman

    menggunakan ayakan 2 mm.

    Percobaan Rumah Kaca meliputi persiapan Media Tanam. Masing-masing contoh ordo tanah yang

    telah diayak menggunakan ayakan 2 mm sebanyak 7 kg akan dimasukkan kedalam pot-pot percobaan yang

    berukuran 8 kg. Masing-masing pot pecobaan diulang sebanyak lima kali, kemudian disiram hingga

    mencapai kadar lengas kapasitas lapang. Persiapan Benih. Benih jarak pagar yang digunakan dipilih dari biji

    yang telah cukup tua yaitu dari buah yang telah masak, biasanya berwarna hitam dan diperoleh dari Dinas

    Perkebunan Provinsi NTB. Sebelum ditanam, benih direndam dulu dalam air selama satu malam. Selain

    bertujuan untuk meningkatkan kadar air benih agar cepat berkecambah, perendaman juga bertujuan untuk

    mengadakan seleksi benih. Sebelum ditanam, benih juga dicelupkan kedalam larutan insektisida 2 cc per satu

    liter air. Pencelupan dilakukan setelah benih direndam dalam air, tujuannya untuk mencegah serangan

    serangga tanah, seperti rayap atau semut sewaktu benih berada di dalam tanah (Sujatmaka, 1992).

    Penanaman. Penanaman dilakukan dengan cara benih dimasukkan kedalam lubang tanam. Setiap

    lubang diisi dengan 3 – 5 benih. Hal ini bertujuan untuk menjaga kalau diantara benih ada yang tidak bisa

    berkecambah. Penyiraman. Penyiraman dilakukan secara rutin yaitu pada pagi atau sore hari, dan untuk

    mengetahui jumlah air yang harus ditambahkan maka dibuat pot sebagai control untuk masing-masing ordo

    tanah. Tujuannya untuk mempertahankan keadaan kadar lengas pada kondisi sekitar kapasitas lapang.

    Penjarangan. Penjarangan dilakukan pada umur delapan hari setelah tanam (HST). Tujuan dari penjarangan

    ini adalah untuk menyeleksi tanaman sehingga mendapatkan tanaman yang seragam. Penyiangan.

    Penyiangan dilakukan untuk membersihkan tanaman pengganggu yang tumbuh disekitar tanaman utama

    dengan cara manual yaitu mencabut dengan tangan.

    Parameter tanah, Parameter yang digunakan untuk menentukan kualitas tanah meliputi parameter

    sifat fisik dan kimia tanah yaitu kadar lengas (kering angin, kapasitas lapang), tekstur tanah, struktur tanah

  • 25

    (bj tanah, bv tanah), pH tanah, C-organik, dan N-total tanah. Parameter tanaman, waktu Kecambah (hari).

    Pengamatan dilakukan pada waktu biji mulai di tanam sampai dengan 7 HST. Tinggi Tanaman (cm).

    Pengukuran dilakukan pada waktu tanaman berumur 9 HST sampai dengan tanaman berumur 93 hari setelah

    tanam (hst) dengan menggunakan penggaris dari pangkal batang sampai titik tumbuh tertinggi tanaman.

    Jumlah Daun (helai). Pengukuran dilakukan pada waktu tanaman berumur 9 HST sampai dengan tanaman

    berumur 93 HST dengan cara menghitung jumlah daun yang terdapat pada setiap tanaman. Diameter Batang

    (cm). Pengukuran dilakukan pada waktu tanaman berumur 9 HSTsampai dengan tanaman berumur 93 HST

    dengan mengunakan jangka sorong.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. Pengambilana Contoh Tanah

    Beberapa ordo tanah yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Tanah yang digunakan untuk penelitian

    No Ordo Tanah Lokasi Penggunaan Lahan

    1. Vertisol Batujai/Praya Barat/Loteng Kebun

    2. Inceptisol Kuripan/Lobar Tegalan

    3. Alfisol Masbagik/Lotim Tegalan

    4. Entisol Mataram/Kodya Mataram Kebun

    B. Sifat Fisik dan Kimia Berbagai Ordo Tanah

    Kadar Lengas Tanah

    Kadar lengas tanah menunjukkan jumlah kandungan air didalam tanah. Berdasarkan analisis di

    Laboratorium didapatkan hasil kadar lengas yang disajikan pada Tabel 2.

    Tabel 2. Hasil analisis kadar lengas kapasitas lapang

    No Ordo Tanah Kadar Lengas Kapsitas Lapang (%)

    1. Vertisol 29.36

    2. Inceptisol 34.09

    3. Alfisol 35.89

    4. Entisol 35.18

    Tabel 2 menunjukkan bahwa pada ordo tanah Vertisol memiliki kadar lengas kapasitas lapang

    sebesar 29,36%, untuk tanah Inceptisol memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 34,09% pada tanah

    Alfisol memiliki kadar lengas kapasistas lapang sebesar 35,89%, dan pada tanah Entisol memiliki kadar

    lengas kapasitas lapang sebesar 35,18%. Pada keadaan ini menunjukkan bahwa pengikatan antara partikel-

    partikel tanah cukup kuat yang menyebabkan tingginya kadar lengas kapasitas lapang pada ke-empat ordo

    tanah tersebut. Secara berurutan kadar lengas kapasitas lapang tertinggi pada ordo tanah Alfisol diikuti oleh

    ordo tanah Entisol, Inceptisol dan Vertisol. Tingginya kadar lengas kapasitas lapang pada berbagai ordo

    tanah di atas dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman Jarak pagar yang diketahui tidak terlalu

    membutuhkan air (Jones dan Miller (1992) dalam Prastiwi dkk., 2006).

    Tekstur Tanah

    Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif halus kasarnya fraksi tanah, karena terdiri dari

    berbagi ukuran butir-butir tanah maka dibedakan menjadi tanah bertekstur pasir, debu, dan liat. Hasil analisis

    tekstur tanah disajikan pada Tabel 3.

    Tabel 3. Hasil analisis tekstur tanah

    No Ordo Tanah Pasir (%) Debu (%) Liat (%) Harkat

    1. Vertisol 57 5 38 Liat Berpasir

    2. Entisol 66,5 6,5 27 Lempung Liat Berpasir

    3. Inceptisol 63 1,2 25 Lempung Liat Berpasir

    4. Alfisol 69,5 2,5 28 Lempung Liat Berpasir

    Tabel 3 menunjukkan bahwa pada tanah Vertisol memiliki persen pasir yang lebih dominan yaitu

    sebesar 57% dan diikuti oleh persen liat sebesar 38% dan 5% untuk debu, dari jumlah persen pasir, debu dan

  • 26

    liat tanah Vertisol yang digunakan memiliki kelas tekstur liat berpasir (Suwardji dkk., 2006). Seperti

    dijelaskan juga oleh Yasin (2004), tanah Vertisol memiliki kadar liat yang tinggi ( > 35%). Pada tanah

    Entisol memiliki 66,5% fraksi pasir, 6,5% fraksi debu dan 27% fraksi liat sehingga menurut Suwardji

    (2006), menyatakan tanah ini termasuk dalam kelas lempung liat berpasir yang hampir sama dengan lempung

    berliat hanya sedikit lebih kasar karena dominan fraksi pasir. Pada tanah dengan dominan pasir memiliki

    ruang pori makro yang lebih banyak dibandingkan pori mikro sehingga jumlah air yang diikat lebih sedikit,

    hal ini disebabkan oleh daya ikat antar partikel tanah lemah. Pada tanah Inceptisol memiliki 65% fraksi pasir,

    1,2% fraksi debu dan 25% fraksi liat, menurut Suwardji, (2006), tanah ini termasuk dalam kelas tekstur

    lempung liat berpasir. bila dibandingkan dengan tanah Entisol tanah Inceptisol telah memiliki horizon meski

    masih lemah. Sedangkan pada tanah Alfisol memiliki 69,5% fraksi pasir, 2,5% fraksi debu dan 28% fraksi

    pasir, tanah ini tergolong dalam kelas tekstur lempung liat berpasir. Dari ke-empat ordo tanah diatas Alfisol

    memiliki kandungan fraksi pasir yang lebih tinggi. Perbedaan jumlah kandungan fraksi pasir, debu dan liat

    dapat menyebabkan perbedaan pertumbuhan pada tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas). Hal ini sesuai

    dengan pernyataan Prastiwi dkk., 2006 bahwa untuk pertumbuhan tanaman Jarak Pagar yang terbaik dapat

    dijumpai pada tanah-tanah yang ringan atau pada tanah yang mengandung pasir antara 60-90%. Menurut

    Okabe dan Somabhi 1989 dalam Prastiwi dkk., 2006 tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada tanah yang

    bertekstur lempung berpasir dapat memberikan hasil tertinggi dari pada tanah yang bertekstur lainnya.

    Kemasaman (pH) Tanah

    Reaksi tanah menunjukkan tingkat keasaman atau kealkalinitas tanah. Berdasarkan analisis pH tanah

    didapatkan hasil yang disajikan pada Tabel 4.

    Tabel 4. Hasil analisis pH tanah

    No Ordo Tanah pH H2O Harkat

    1. Vertisol 6,69 Netral

    2. Entisol 6,12 Agak Masam

    3. Inceptisol 6,26 Agak Masam

    4. Alfisol 6,25 Agak Masam

    Keterangan : Agak Masam = pH 5.6 – 6.5 ; Netral pH 6.5 – 7.5; Agak Alkalis = pH 7.6 8.5; dan Alkalis = pH > 8.5

    (Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005).

    C-Organik

    Karbon (C) merupakan unsur utama penyusun bahan organik, sehingga jumlah karbon merupakan

    gambaran kandungan bahan organik dalam tanah. Hasil analisis C-Organik disajikan pada Tabel 5.

    Tabel 5. Hasil analisis C- Organik Tanah

    No Ordo Tanah C- Organik (%) Harkat

    1. Vertisol 1.38 Rendah

    2. Entisol 1.33 Rendah

    3. Inceptisol 1.13 Rendah

    4. Alfisol 1.4 Rendah

    Keterangan : C = Karbon

    N total

    Jumlah N total didalam tanah sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman khususnya pada fase

    vegetatif. Sumber N total di dalam tanah dapat berasal dari bahan organik sehingga tanaman yang diusahakan

    dilokasi pengambilan contoh tanah juga dapat mempengaruhi jumlah N total. Hasil analisis N total tanah

    disajikan pada Tabel 6.

    Tabel 6. Hasil analisis N total tanah

    No Ordo Tanah N total (%) Harkat

    1. Vertisol 0.004 Sangat Rendah

    2. Entisol 0.0051 Sangat Rendah

    3. Inceptisol 0.009 Sangat Rendah

    4. Alfisol 0.0059 Sangat Rendah

  • 27

    C. Pertumbuhan Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas)

    Waktu Kecambah

    5.4

    5.6

    5.8

    6

    6.2

    6.4

    6.6

    6.8

    7

    7.2

    Vertisol Inceptisol Entisol Afisol

    Ordo Tanah

    Waktu

    Kec

    am

    ba

    h(H

    ari

    )

    Vertisol

    Inceptisol

    Entisol

    Afisol

    5.4

    5.6

    5.8

    6

    6.2

    6.4

    6.6

    6.8

    7

    7.2

    Vertisol Inceptisol Entisol Afisol

    Ordo Tanah

    Waktu

    Kec

    am

    ba

    h(H

    ari

    )

    Vertisol

    Inceptisol

    Entisol

    Afisol

    Gambar 1. Hasil Pegukuran Waktu Kecambah Tanaman Jarak Pagar (Jatropha Curcas) Pada Berbagai Ordo

    Tanah di Pulau Lombok.

    Berdasarkan grafik di atas waktu kecambah untuk tanaman Jarak Pagar pada ordo tanah Vertisol

    rata-rata selama enam hari setelah tanam, hal ini juga terjadi pada ordo tanah Inceptisol dan pada tanah

    Alfisol. Sedangkan pada ordo tanah Entisol waktu berkecambah rata-rata lebih lambat yaitu pada hari ke-

    tujuh setelah tanam. Dilihat dari hasil diatas maka untuk pembibitan tanaman Jarak Pagar cocok dilakukan

    pada ordo tanah Vertisol Incepisol, dan alfisol.

    Tinggi Tanaman Jarak Pagar

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    80

    90

    9 15 21 27 33 39 45 51 57 63 69 75 81 87 93

    Hari Setelah Tanam

    Tin

    gg

    iT

    an

    am

    an

    (cm

    )

    Vertisol

    Inceptisol

    Entisol

    Afisol

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    80

    90

    9 15 21 27 33 39 45 51 57 63 69 75 81 87 93

    Hari Setelah Tanam

    Tin

    gg

    iT

    an

    am

    an

    (cm

    )

    Vertisol

    Inceptisol

    Entisol

    Afisol

    Gambar 2. Hasil Pengukuran Tinggi Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) Pada Berbagai Order Tanah di

    Pulau Lombok (cm).

    Tabel 7. Hasil Sidik Ragam Pengukuran Tinggi Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) (cm).

    No Ordo

    Tanah

    Hari Setelah Tanam (HST)

    39 45 51 57 63 69 75 81 87 93

    1 Vertisol 34,8 a 41,8 a 45,7 b 50,6 b 54,6 bc 58,4 b 63,4 b 66 b 67,8 b 70,8 b

    2 Entisol 38 a 45,8 a 53 a 56 a 58,4 b 61,8 b 64,4 b 65,8 b 67 b 68,8 b

    3 Inceptisol 29,7 b 34,8 b 42,6 b 47,8 b 51,4 c 58,6 b 64,6 b 68,8 b 71,6 b 75,8 ab

    4 Alfisol 34,8 a 43,4 a 51,8 a 60,2 a 67,2 a 72,2 a 75,2 a 77,8 a 79 a 79,8 a

    BNT 5 % 3,63 3,70 4,66 4,99 5,65 7,51 7,54 7,13 7,25 7,24

    Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%.

    Berdasarkan grafik dan hasil sidik ragam pengukuran tinggi tanaman Jarak Pagar di atas, pada awal

    pertumbuhan yaitu pada umur 9 – 33 hari setelah tanam tinggi tanaman Jarak Pagar yang di tanam pada ke-

    empat ordo tanah tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Setelah umur tanaman mencapai 39 dan 45 hari

  • 28

    setelah tanam tinggi tanaman pada ordo tanah Entisol, Alfisol dan Vertisol berbeda nyata dengan ordo tanah

    Inceptisol yang secara statistik tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Entisol, Alfisol dan

    Vertisol lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman Jarak pagar yang ditanam pada ordo tanah Inceptisol.

    Pada umur tanaman 51 dan 57 hari setelah tanam tinggi tanaman Jarak Pagar pada ordo tanah Alfisol dan

    Entisol berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol dan Inceptisol yang secara statistik tinggi tanaman Jarak

    Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol dan Entisol lebih tinggi dari pada tanaman Jarak Pagar yang

    ditanam pada ordo tanah Vertisol dan Inceptisol.. Pada umur tanaman 63 hari setelah tanam ke-empat ordo

    tanah menunjukan tinggi tanaman yang berbeda nyata, yang secara statistik ordo tanah Alfisol lebih tinggi

    dan diikuti berturut-turut oleh tanaman yang ditanam pada ordo tanah Entisol, Vertisol dan Inceptisol. Pada

    umur tanaman 69, 75 81 dan 87 hari setelah tanam ketinggian tanaman pada ordo tanah Alfisol berbada nyata

    dengan ordo Inceptisol, Entisol dan Vertisol. Pada umur tanaman 93 hari setelah tanam ketinggian tanaman

    Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol dan Entisol,

    namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol. Berdasarkan grafik dan hasil sidik ragam

    menunjukan bahwa perbedaan ordo tanah dapat memberikan pengaruh pada tinggi tanaman Jarak Pagar.

    Jumlah Daun

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    9 15 21 27 33 39 45 51 57 63 69 75 81 87 93

    Hari Setelah Tanam

    Ju

    mla

    hD

    au

    n(H

    ela

    i)

    Vertisol

    Inceptisol

    Entisol

    Afisol

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    9 15 21 27 33 39 45 51 57 63 69 75 81 87 93

    Hari Setelah Tanam

    Ju

    mla

    hD

    au

    n(H

    ela

    i)

    Vertisol

    Inceptisol

    Entisol

    Afisol

    Gambar 3. Hasil Perhitungan Jumlah Daun Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) Pada Berbagai Order

    Tanah di Pulau Lombok

    Tabel 8. Hasil Sidik Ragam Perhitungan Jumlah Daun Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) (Helai).

    No Ordo Tanah Hari Setelah Tanam (HST)

    15 33 39 45 51 57 63

    1 Vertisol 4 a 15,4 ab 22,4 a 27,6 a 32,2 ab 36,2 b 40,2 b

    2 Entisol 3,26 ab 16,4 a 23 a 30,6 a 36 a 40,4 ab 43,2 b

    3 Inceptisol 3,2 b 10,6 b 12,4 b 15,6 b 22 b 29,4 b 34,8 b

    4 Alfisol 4 a 13 ab 19,4 a 26,6 a 39,2 a 50 a 54,8 a

    BNT 5 % 0,47 3,96 5,84 8,73 10,27 11,2 11,55

    Keterangan : Anggka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%.

    Berdasarkan grafik dan hasil sidik ragam perhitungan jumlah daun tanaman Jarak Pagar pada umur

    9 hari setelah tanam, tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ke-empat ordo tanah tidak menunjukan

    perbedaan yang nyata. Setelah umur 15 hari setelah tanam jumlah daun tanaman Jarak Pagar pada ordo tanah

    Vertisol dan Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan

    ordo tanah Entisol. Pada umur 21 – 27 hari setelah tanam jumlah daun tanaman Jarak Pagar pada ke-empat

    ordo tanah tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Pada umur tanaman 33 hari setelah tanam jumlah daun

    tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Entisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol,

    namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol dan ordo tanah Alfisol. Pada umur tanaman 39

    dan 45 hari setelah tanam jumlah daun tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Entisol, Vertisol,

    dan Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol. Pada umur tanaman 51 hari setelah tanam jumlah

    daun tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol dan Entisol berbeda nyata dengan ordo

    tanah Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol. Pada umur 57 hari setelah

    tanam jumlah daun tanaman Jarak Pagar ordo tanah Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol, dan

  • 29

    ordo tanah Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda berbeda nyata dengan ordo tanah Entisol. Pada umur

    tanaman 63 – 93 hari setelah tanam jumlah daun tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol

    berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol, Vertisol, dan Entisol. Berdasarkan grafik dan hasil sidik ragam

    menujukan bahwa perbedaan ordo tanah dapat memberikan pengaruh pada jumlah daun tanaman Jarak

    Pagar.

    Diameter Batang

    Tabel 9. Hasil Sidik Ragam Pengukuran Diameter Batang Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) (Helai).

    No Ordo

    Tanah

    Hari Setelah Tanam (HST)

    33 39 45 51 57 63 69 75 81 87 93

    1 Vertisol 1.03 a 1.28 a 1.44 a 1.63 ab 1.77 ab 1.9 bc 2.1 b 2.26 b 2.4 b 2.53 b 2.65 b

    2 Entisol 1.07 a 1.32 a 1.49 a 1.74 a 1.9 ab 2.1 ab 2.25 ab 2.42 ab 2.6 ab 2.74 ab 2.87 b

    3 Inceptisol 0.88 b 1.08 b 1.27 b 1.46 b 1.67 b 1.8 c 1.97 b 2.25 b 2.4 b 2.55 b 2.68 b

    4 Alfisol 1.07 a 1.33 a 1.53 a 1.81 a 1.99 a 2.22 a 2.4 a 2.6 a 2.8 a 2.92 a 3.1 a

    BNT 5 % 0.11 0.12 0.16 0.18 0.19 0.2 0.24 0.24 0.22 0.22 0.19

    Keterangan : Anggka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%.

    0.00

    0.50

    1.00

    1.50

    2.00

    2.50

    3.00

    3.50

    9 15 21 27 33 39 45 51 57 63 69 75 81 87 93

    Hari Setelah Tanam

    Dia

    me

    ter

    Ba

    tan

    g(c

    m)

    Vertisol

    Inceptisol

    Entisol

    Afisol

    0.00

    0.50

    1.00

    1.50

    2.00

    2.50

    3.00

    3.50

    9 15 21 27 33 39 45 51 57 63 69 75 81 87 93

    Hari Setelah Tanam

    Dia

    me

    ter

    Ba

    tan

    g(c

    m)

    Vertisol

    Inceptisol

    Entisol

    Afisol

    Gambar 4. Hasil Pengukuran Diameter Batang Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) Pada Berbagai Order

    Tanah di Pulau Lombok

    Berdasarkan grafik dan hasil sidik ragam pengukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar pada

    awal pertumbuhan yaitu pada umur 9 – 27 hari setelah tanam diameter batang tanaman Jarak Pagar yang di

    tanam pada ke-empat ordo tanah tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Pada umur 33, 39 dan 45 hari

    setelah tanam ukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol, Entisol,

    dan Vertisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol. Pada umur tanaman 51 hari setelah tanam ukuran

    diameter batang tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol dan Entisol berbeda nyata

    dengan ordo tanah Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol. Pada umur

    tanaman 57 hari setelah tanam ukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar yang di tanam pada ordo tanah

    Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah

    Entisol dan Vertisol. Pada umur tanaman 63 hari setelah tanam ukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar

    yang ditanam pada ordo tanah Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol dan Inceptisol, namun tidak

    terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Entisol. Pada umur tanaman 69, 75, 81, dan 87 hari setelah tanam

    ukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar yang di tanam pada ordo tanah Alfisol berbeda nyata dengan

    ordo tanah Vertisol dan Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Entisol. Pada umur

    tanaman 93 hari setelah tanam ukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar yang di tanam pada ordo tanah

    Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol, Entisol, dan Vertisol. Berdasarkan grafik dan hasil sidik

    ragam menujukan bahwa perbedaan ordo tanah dapat memberikan pengaruh pada ukuran diameter batang

    tanaman Jarak Pagar.

    D. Hubungan Karakteristik Tanah dengan Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jarak Pagar

    Tanah merupakan media tumbuh bagi tanaman. Sifat dan karakteristik dari tanah sangat menentukan

    baik atau tidaknya pertumbuhan vegetatif tanaman Jarak Pagar. Menurut Prihandana, (2006) menyatakan

    bahwa tanaman Jarak Pagar dapat tumbuh pada lahan marjinal yang miskin hara, namun mempunyai

    drainase dan airase yang baik. Produksi optimal akan diperoleh pada lahan yang subur, dan untuk

  • 30

    pertumbuhan vegetatif tanaman Jarak pagar terbaik pada tanah yang mengandung pasir 60 – 90 persen.

    Berdasarkan hasil analisis tekstur tanah, ordo tanah Alfisol menunjukan jumlah kandungan fraksi pasir yang

    lebih tinggi yaitu sebesar 69.5 %. Ketersediaan air tidak terlalu memberikan pengaruh yang berarti bagi

    pertumbuhan vegetatif tanaman Jarak Pagar, Tapi jumlah dari kandungan fraksi pasir pada tiap-tiap ordo

    tanah dapat menentukan tinggkat kecepatan pertumbuhan vegetatif tanaman Jarak Pagar. Berdasarkan hasil

    pengukuran tinggi tanaman, jumlah daun, dan diameter batang tanaman Jarak Pagar, ordo tanah Alfisol rata-

    rata menunjukkan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan ordo tanah Inceptisol, Entisol, dan

    Vertisol. Dilihat dari sifat ordo Vertisol yang dapat menyimpan air dalam jumlah yang lebih besar bila

    dibandingkan dengan ordo tanah Alfisol, Entisol dan ordo tanah Inceptisol maka ordo tanah Vertisol sesuai

    untuk pengembangan tanaman Jarak Pagar yang termasuk dalam golongan klas kesesuaian S-2 (sesuai) yang

    hanya memiliki hambatan ketersediaan air yang besar akibat pengikatan antar partikel tanah yang kuat,

    sedang untuk ordo tanah Alfisol, Entisol dan Inceptisol sangat sesuai untuk pengembangan tanaman Jarak

    pagar karena tidak terdapat hambatan dalam pengembangan tanaman jarak Pagar. Namun ordo tanah Vertisol

    dapat termasuk dalam golongan klas kesesuaian lahan S-1 (sangat sesuai) apabila hambatan ketersedian air

    dapat diatasi.

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Dari hasil pengukuran tinggi tanaman, diameter batang dan perhitungan jumlah daun tanaman Jarak

    Pagar, ordo tanah Alfisol menunjukan hasil yang lebih baik dari tiga ordo lainnya yaitu ordo tanah Entisol,

    Inceptisol dan Vertisol. Tanaman Jarak Pagar sesuai ditanam pada ordo tanah Alfisol, Entisol dan Inceptisol

    karena tidak memiliki faktor pembatas untuk pengembngan tanaman Jarak Pagar dibandingkan pada ordo

    tanah Vertisol yang memiliki faktor pembatas berupa ketersediaan air yang cukup besar. Tanaman Jarak

    Pagar tumbuh dengan baik pada ordo tanah yang banyak mengandung fraksi pasir, dari hasil analisis tanah

    ordo tanah Alfisol, Entisol dan Inceptisol memiliki kandungan pasir lebih banyak bila dibandingkan dengan

    ordo tanah Vertisol. Dari pelaksanaan penelitian yang telah dilakukan di sarankan kepada instansi dan petani

    di Pulau Lombok untuk mengembangkan tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) secara besar-basaran pada

    ordo tanah Alfisol, selanjutnya diikuti oleh ordo tanah entisol, dan Inceptisol.

    DAFTAR PUSTAKA

    Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), (1989). Peta Tanah Tinjau Pulau Lombok.

    BAPPEDA Propinsi NTB.

    Hardjowigeno. S., (2003). Ilmu Tanah. Akademi Presindo. Jakarta

    Irfan, (2005). Budidaya Tanaman Jarak (Jatropha curcas) Sebagai Sumber Bahan Alternatif Biofuel.

    http;//www.iptek.net.id/ind/img/050260504/005 jarak pagar.1.jpg

    Pambudy.M.N., (2006). Bahan Bakar Alternatif, Tarik Investor Kompas:21(3).34 h.

    Prastiwi. N., Siti. S., Zaenal. M., Irmia. N., Djoko. P., Hadi. S., (2006). Budidaya Jarak Pagar Sebagai Bahan

    Baku Bahan Bakar Nabati (Biodisel). Direktorat Jendral Perkebunan. Departemen Pertanian.

    Jakarta.

    Sujatmaka, (1992). Prospek Pasar dan Budidaya Jarak. Penebar Swadaya. Jakarta.

    Suwardji, dan Joko.P., (2003) Inventarisasi Luas Lahan Kritis Propinsi Nusa Tenggarara Barat. Mataram.

    Yasin, (2004). Pengantar Klasifikasi Tanah. Bahan Ajar MK Klasifikasi Tanah. Fakultas Pertanian. Unram.

    Mataram.

  • 31

    POTENSI PEMANFAATAN INSEKTISIDA NABATI DALAM PENGENDALIAN HAMA PADA

    BUDIDAYA SAYURAN ORGANIK

    Muhammad Sarjan

    Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan

    Fakultas Pertanian UniversitasMataram

    Jl. Pendidikan Mataram-Lombok-NTB

    ABSTRAK

    Hama merupakan salah satu masalah yang penting diperhatikan dalam usaha produksi tanaman secara umum

    karena hama mampu menurunkan produksi secara signifikan baik kualitatif maupun kuantitatif. Demikian juga halnya pada tanaman sayuran yang sebagaian besar produknya dikonsumsi dalam keadaan segar, masih mengandalkan

    insektisida kimia sintetis untuk mengendalikan hama. Penggunaan insektisida kimia sintetis merupakan masalah yang

    sangat perlu dipertimbangkan terutama dampak residu terhadap lingkungan, kesehatan manusia dan terhadap mahluk

    hidup lainnya serta satwa-satwa liar. Oleh karena itu harus dicari cara alternatif yang lebih aman dalam pengendalian hama antara lain dengan mengusahakan budidaya pertanioan organik yang pada prinsipnya menminimalkan input

    produksi seperti pupuk dan pestisida dari senyawa kimia sintetis. Salah satu komponen dalam budidaya organik adalah

    pemanfaatan pestisida non-kimiawi sintetis baik berupa insektisida hayati maupun nabati untuk mengendaliklan hama.

    Sementara ini sudah banyak dilakukan ujicoba pemanfaatan insektisida nabati sebagai alat pengendali hama daeri berbagai spesies dengan hasil yang beragam. Namun dalam impelmentasinya terutama untuk mendukung usaha

    pengembangan sayuran organik masih belum memadai baik mengenai jenis dan cara pembuatannya. Dengan

    mempertimbangkan keragaman jenis dan hasil dari insektisida nabati tersebut maka pada tulisan ini akan dipaparkan

    bagaimana potensi pemanfaatan insektisida nabati untuk mengendalikan hama pada sistem budidaya sayuran organik.

    Kata kunci: Insektisida nabati, sayuran organik

    PENDAHULUAN

    Penggunaan pestisida di lingkungan pertanian menjadi masalah yang sangat dilematis, terutama

    pada tanaman sayuran yang sampai sat ini masih menggunakan insektisida kimia sintetis secara intensif. Di

    satu pihak dengan digunakannya pestisida maka kehilangan hasil yang diakibatkan organisme penggangu

    tanaman (OPT) dapat ditekan, tetapi akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan seperti

    berkembangnya ras hama yang resisten terhadap insektisida, resurjensi hama, munculnya hama sekunder,

    terbunuhnya musuh alami hama dan hewan bukan sasaran lainnya, serta terjadinya pencemaran lingkungan

    (Prijono, 1994). Sedangkan di lain pihak tanpa pengunaan pestisida akan sulit menekan kehilangan hasil yang

    diakibatkan OPT (Kardinan, 2001).

    Untuk mengatasi masalah tersebut dan menciptakan tanaman holtikultura terutama sayuran yang

    ramah lingkungan untuk menghasilkan produk yang aman dikonsumsi maka penerapan usaha tani berbasis

    organik (pertanian organik) merupakan keharusan (Anonim,2004). Saat ini petani menerapkan budidaya

    sayuran organik sebagai respon terhadap semakin perlunya kesehatan konsumen dan produsen, dan juga

    sebagai upaya untuk membuat pertanian yang berwawasan lingkungan (Riza dan Tahjadi, 2001).

    Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan gizi menyebabkan

    bertambahnya permintaan sayuran, dan jenis sayurannya pun semakin bervariasi. Oleh karena itu diperlukan

    upaya peningkatan produksi tanaman sayuran antara lain dengan cara mengembangkan pertanian organik

    yang diharapkan dapat menghasilkan produk pertanian yang mampu bersaing di pasaran, karena pertanian

    organik selain mempunyai biaya produksi rendah, juga hasil panen umumnya mengandung residu bahan

    kimia yang relatif rendah, sehingga hasilnya digemari oleh masyarakat. Saat ini banyak konsumen yang

    menuntut kualitas produk pertanian yang aman untuk dikonsumsi, sehingga pengembangan pertanian organik

    ke depan mempunyai prospek yang bagus, jika dikelola dengan baik, dan menerapkan prinsip-prinsip

    pertanian berkelanjutan (Sustainable Agricultural Development) (Anonim, 2004).

    Beberapa tindakan pengendalian yang dapat digunakan untuk mecegah serangan hama pada

    tanaman sayuran antara lain dengan teknik bercocok tanam (rotasi tanaman, sanitasi), penggunaan varietas

    yang tahan, pengendalian hayati dengan memanfaatkan predator dan parasitoid, pengendalian dengan

    menggunakan pestisida botani dari ekstrak tumbuhan serta pengendalian secara kimia dengan menggunakan

    insektisida. Budidaya sayuran organik dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada berupa pestisida

    hayati dan botani serta pengunaan pupuk organik diharapkan dapat menekan populasi dan intensitas serangan

    organisme pengganggu tanaman (OPT) pada ekosistem sayuran organik. Sementara ini sudah banyak

    dilakukan ujicoba pemanfaatan insektisida nabati sebagai alat pengendali hama daeri berbagai spesies dengan

  • 32

    hasil yang beragam. Namun dalam impelmentasinya terutama untuk mendukung usaha pengembangan

    sayuran organik masih belum memadai baik mengenai jenis dan cara pembuatannya. Dengan

    mempertimbangkan keragaman jenis dan hasil dari insektisida nabati tersebut maka pada tulisan ini akan

    dipaparkan bagaimana potensi pemanfaatan insektisida nabati untuk mengendalikan hama pada sistem

    budidaya sayuran organik.

    POTENSI TUMBUHAN TROPIS SEBAGAI INSEKTISIDA BOTANI

    Sebagai daerah trofis, Indonesia memiliki flora yang sangat beragam, mengandung cukup banyak

    jenis tumbuh-tumbuhan yang merupakan sumber bahan insektisida yang dapat dimanfaatkan untuk

    pengendalian hama. Dewasa ini penelitian tentang famili tumbuhan yang berpotensi sebagai insektisida

    botani dari penjuru dunia telah banyak dilaporkan. Dilaporkan bahwa lebih dari 1500 jenis tumbuhan dapat

    berpengaruh buruk terhadap serangga (Grainge & Ahmed, 1988). Di Filipina, tidak kurang dari 100 jenis

    tumbuhan telah diketahui mengandung bahan aktif insektisida (Rejesus, 1987). Laporan dari berbagai

    propinsi di Indonesia menyebutkan lebih 40 jenis tumbuhan berpotensi sebagai pestisida nabati (Direktorat

    BPTP & Ditjenbun, 1994). Hamid & Nuryani (1992) mencatat di Indonesia terdapat 50 famili tumbuhan

    penghasil racun. Famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensial insektisida nabati adalah

    Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae dan Rutaceae (Arnason et al., 1993; Isman, 1995), namun

    hal ini tidak menutup kemungkinan untuk ditemukannya famili tumbuhan yang baru. Didasari oleh

    banyaknya jenis tumbuhan yang memiliki khasiat insektisida maka penggalian potensi tanaman sebagai

    sumber insektisida botani sebagai alternatif pengendalian hama tanaman cukup tepat.

    Anggota Meliaceae yang paling banyak diteliti adalah nimba/mimba (Azadirachta indica A. Juss)

    dengan bahan aktif utama azadirachtin (limonoid). Tanaman ini tersebar di daratan India. Di Indonesia

    tanaman ini banyak ditemukan di sekitar Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur). Ekstrak biji tanaman

    mimba mengandung senyawa aktif utama azadiraktin. Senyawa aktif dari tanaman ini memiliki aktivitas

    insektisida, antifeedant dan penghambat perkembangan (Scmutterer & Singh 1995) serta berpengaruh

    terhadap reproduksi berbagai serangga (Schmutterer & Rembold 1995). Sediaan insektisida komersial

    dengan formulasi dasar ekstrak nimba (neem) telah dipasarkan di Amerika Serikat dan India (Wood et al.

    1995, Parmer 1995). Selain bersifat sebagai insektisida, jenis-jenis tumbuhan tertentu juga memiliki sifat

    sebagai fungisida, virusida, nematisida, bakterisida, mitisida maupun rodentisida.

    Selain tanaman di atas, Aglaia sp. (Meliaceae) merupakan salah satu tanaman yang akhir-akhir ini

    banyak diteliti aktivitasnya. Daerah penyebaran tanaman ini meliputi India, Cina bagian selatan, Asia

    Tenggara, Australia bagian utara dan kepulauan di Samudra Pasifik. Di Indonesia tumbuhan dapat ditemui

    tumbuh di pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Philipina, Sulawesi, Bali dan Flores. Janpraset et al. (1993)

    berhasil mengidentifikasi senyawa aktif yang bersifat insektisida dari ranting A. odorata (Meliaceae) (culan,

    pacar cina) sebagai rokaglamida. Senyawa aktif utama yang bersifat insektisida ini termasuk dalam golongan

    benzofuran. Pada daun A. odorata selain rokaglamida juga ditemukan dan tiga senyawa turunannya, yaitu

    desmetilrokaglamida, metil rokaglat dan rokaglaol (Ishibashi et al., 1993). Rokaglamida juga telah diisolasi

    dari empat spesies Aglaia lain, yaitu dari akar dan batang A. elliptifolia (Wu et al., 1997), ranting A.

    duppereana (Nugroho et al., 1997), dan buah A. elliptica serta daun A. harmsiana. Tiga jenis tanaman yang

    disebutkan terakhir tumbuh dengan baik di Kebun Raya Bogor. Aktivitas ekstrak bagian tanaman Aglaia

    selain dapat bersifat sebagai insektisida dapat juga bersifat sebagai antifidan dan/atau penghambat

    perkembangan.

    Beberapa spesies tanaman famili Annonaceae ternyata cukup berpotensi untuk dimanfaatkan

    sebagai insektisida nabati. Jenis-jenis tanaman famili Annonaceae yang disebutkan di atas umum dijumpai di

    Indonesia. Ekstrak biji tanaman srikaya (Annona squamosa) dan nona seberang (A. glabra) mempunyai

    aktivitas insektisida yang tinggi terhadap Crocidolomia binotalis (Basana & Prijono, 1994; Prijono et al.,

    1995). Sementara itu Budiman (1994) melaporkan ekstrak biji tanaman A. reticulata, A. montana, A.

    deliciosa dan Polyalthia littoralis efektif terhadap serangga gudang Callosobruchus chinensis. Senyawa aktif

    utama dalam A. sqoamosa dan A. glabra adalah squamosin dan asimisin yang termasuk golongan asetogenin

    (Mitsui et al., 1991). Di samping itu mungkin masih banyak jenis tumbuhan lainnya yang belum dilaporkan

    berpotensi sebagai pestisida nabati yang perlu dieksplorasi dan diujicoba.

  • 33

    HASIL UJI COBA DAN IMPLEMENTASI INSEKTISIDA NABATI PADA BUDIDAYA SAYURAN

    ORGANIK

    Penggunaan pestisida kimia sintetis untuk mengendalikan hama mempunyai dampak negatif

    terhadap komponen ekosistem lainnya seperti terbunuhnya musuh alami, resurgensi dan resistensi hama serta

    pencemaran lingkungan karena residu yang ditinggalkan. Alternatif lain untuk pengendalian hama yaitu

    dengan memanfaatkan senyawa beracun yang terdapat pada tumbuhan yang dikenal dengan insektisida

    nabati. Insektisida nabati secara umum diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan aktifnya berasal dari

    tumbuh-tumbuhan yang bersifat racun bagi organisme pengganggu, mempunyai kelompok metabolit

    sekunder yang mengandung berbagai senyawa bioaktif seperti alkoloid, terpenoid dan fenolik (Anonim,

    1994).

    Efektivitas suatu bahan-bahan alami yang digunakan sebagai insektisida nabati sangat tergantung

    dari bahan tumbuhan yang dipakai, karena satu jenis tumbuhan yang sama tetapi berasal dari daerah yang

    berbeda akan menghasilkan efek yang berbeda pula, ini dikarenakan sifat bioaktif atau sifat racunnya

    tergantung pada kondisi tumbuh, umur tanaman dan jenis dari tumbuhan tersebut (Grainge and Ahmed 1987

    cit Wasiati 2003). Menurut Sarjan dan Astam (1997), penggunaan insektisida non kimiawi sintetis nimba

    (Azadirachta indica) dan Bt memiliki potensi yang cukup tinggi sebagai agen pengendali hama ulat kubis

    Plutella xylostella yang dalam prakteknya hampir sama dengan insektisida kimia Sumithion 50 EC mampu

    menekan intensitas serangan sekitar 80%.

    Di Indonesia terdapat berbagai jenis tumbuhan dan tanaman yang berpotensi sebagai pestisida yang

    aman bagi lingkungan. Namun sampai saat ini pemanfaatan belum dilakukan secara maksimal dan di bawah

    ini hasil penelitian yang telah dilakukan pada budidaya sayuran organik Saat ini setidaknya terdapat lebih

    dari 2,000 jenis tanaman yang telah dikenal memiliki kemampuan sebagai pestisida. Balai Penelitian

    Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) di Bogor memiliki koleksi puluhan jenis tanaman yang dapat dipakai

    sebagai insektisida. Penelitian tentang tanaman-tanaman beracun botani di Indonesia dimulai sejak

    didirikannya Pusat Ilmu Pengetahuan Botani oleh Belanda pada tahun 1888. Sementara itu, penelitian

    tentang pemanfaatan tanaman tuba (Derris sp.), bunga krisan liar (Pyrethrum), dan bengkuang sebagai

    pestisida botani dimulai sejak tahun 1950 an di Bogor (Novizan, 2002).

    Famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensi insektisida nabati adalah Meliaceae,

    Annonaceae, Asteraceae, dan Rutaceae (Arnoson et al., 1993 ; Isman, 1995 dalam Sarjan 2005). Potensi

    insektisida nabati yang berasal dari famili Meliaceae terutama ekstrak biji memiliki aktifitas penghambat

    makan dan penghambat perkembangan yang kuat terhadap serangga, seperti nimba memiliki senyawa

    azadirachtin yang bersifat racun perut. Selain dari famuli Meliaceae, tanaman dari famili Annonaceae yang

    potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber insektisida nabati adalah srikaya. Senyawa aktif utama yang

    terkandung dalam srikaya adalah squamosin yang termasuk senyawa asetogenin, yang memiliki efek kontak

    cukup baik terhadap serangga (Djoko, 1994).

    Seperti dilaporkan oleh Sarjan (2004) menyakan bahwa penggunaan insektisida non kimia sintetis

    dari nimba, dan srikaya mempunyai kemampuan untuk menekan populasi Spodoptera litura F. dan

    melestarikan populasi musuh alami berupa predator pada tanaman kedelai. Selain mampu menekan populasi

    S. litura, insektisida non kimia sintetis nimba memiliki potensi yang cukup tinggi yaitu mampu menekan

    intensitas serangan yang hampir sama dengan insektisida kimia. Sedangkan insektisida non kimia sintetis dari

    srikaya memiliki kemampuan yang paling rendah dalam mengendalikan hama ulat kubis Plutella xylostella

    (Sarjan dan Wiresyamsi, 1997).

    Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana keberadaan hama pengisap daun, Thrips

    parvispinus dan Myzus persicae pada tanaman tomat yang dibudidayakan secara organik. Hasil penelitian ini

    menunjukkan bahwa rata- rata populasi Thrips parvispinus lebih tinggi terdapat pada tanaman tomat yang

    diperlakukan secara konvensional yaitu 137,59 ekor/tanaman untuk nimfa, dan 41,01 ekor/tanaman untuk

    imago dibandingkan dengan kondisi organik berturut-turut sebesar 74,89% dan 23,05%. Sedangkan intensitas

    serangan kedua hama pengisap daun tersebut tidak berbeda antara tanaman tomat yang dibudidayakan secara

    organik dibandingkan dengan konvensional. Tanaman tomat yang dibudidayakan secara organik berproduksi

    lebih tinggi yaitu 125 kw/ha dari pada tanaman secara konvensional sebesar 120 kw/ ha.

  • 34

    Tabel 1. Uji Statistik T-Test Untuk Populasi dan Intensitas Serangan Hama Pengisap Daun Tomat yang

    Diperlakukan Secara Konvensional dan Organik.

    Uraian Organik Konvensional F. hitung F. tabel t.hitung t. tabel ket

    Populasi Hama (ekor/ 8tanaman)

    Imago Myzus persicae 0,65 0,53 2,086815 1,860811 0,67818 2,006646 NS

    Imago Thrips parvispinus 23,05 41,01 2,694896 1,860811 2,408404 2,010635 S

    Nimfa Thrips parvispinus 74,89 1376,59 2,636344 1,860811 2,27959 2,010635 S

    Intensitas serangan (%/8 tanaman)

    Myzus persicae 0,05 0,04 1,3682203 1,860611 0,6760154 2,001717 NS

    Thrips parvispinus 3,01 3,69 1,060862 1,860811 1,747459 2,001717 NS

    Sumber : Data Primer diolah

    Besarnya populasi dan intensitas serangan serta pola fluktuasi hama Myzus persicae pada kondisi

    organik dan konvensional hampir sama pada tanaman tomat yang dibudidayakan secara organik dan

    konvensional. Rata- rata populasi dan intensitas serangan Thrips parvispinus lebih tinggi terdapat pada

    tanaman tomat yang diperlakukan secara konvensional dibandingkan dengan kondisi organik.

    Pola fluktuasi populasi dan intensitas serangan pada kedua kondisi tanaman tomat yang

    dibudidayakan secara konvensional dan organik adalah sama yaitu mulai meningkat sejak tanaman berumur

    22 hari setelah tanam dan mencapai puncaknya pada umur tanaman antara 32 dan 37 hari setelah tanam

    untuk Thrips parvispinus dan 42 hari setelah tanam untuk Myzus persicae. Perlakuan secara organik dapat

    menghasilkan tomat lebih tinggi dari pada tanaman tomat yang diperlakukan secara konvensional yaitu 125

    kw/ ha untuk organik dan 120 kw/ ha untuk konvensional.

    0

    0,5

    1

    1,5

    2

    2,5

    3

    3,5

    7 12 17 22 27 32 37 42 47 52

    umur tanaman

    po

    pu

    las

    i

    konvensional organik

    0,00%

    0,02%

    0,04%

    0,06%

    0,08%

    0,10%

    0,12%

    0,14%

    7 12 17 22 27 32 37 42 47 52

    umur tanaman

    inte

    nsit

    as s

    era

    ng

    an

    konvensional organik

    A B

    Gambar 1. Fluktuasi populasi imago (A) dan Intensitas Serangan (B) Myzus persicae yang menyerang tanaman

    tomat pada dua sistem budidaya yang berbeda.

    Sementara itu hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan populasi dan intensitas

    serangan hama Thrips parvispinus pada tanaman cabai merah yang diperlakukan secara organik maupun

    secara konvensional . Pola fluktuasi populasi dan intensitas serangannya selama pengamatan juga hampir

    sama yaitu menncapai puncakya pada saat tanaman berumur 87 – 97 hari. Namun berdasarkan hasil yang

    dicapai menunjukkan bahwa produksi cabe pada kondisi organik lebih tinggi dibandingkan dengan

    konvensional yaitu , tanaman cabai merah yang dibudidayakan secara organik mampu menghasilkan buah

    dua kali lipat dibandingkan dengan hasil budidaya secara konvensional, sehinga budidaya cabai merah secara

    organik mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan.

    Tabel 2. Data hasil analisis rata-rata populasi dan intensitas serangan hama T. parvispinus pada tanaman cabai

    merah yang diperlakukan secara konvensional dan organik.

    No. Analisis Pengamatan

    Populasi Intensitas Serangan

    1 F hitung 1,617566 1,386460

    2 F tabel 1,860811 1,860812

    3 T hitung 1,347937 1,618329

    4 T tabel 2,001716 2,001716

    Keterangan NS NS

  • 35

    0

    5

    10

    15

    7 17 27 37 47 57 67 77 87 97

    umur tanaman

    po

    pu

    lasi

    konvensional organik

    Gambar 2. Perkembangan populasi hama T. parvispinus pada tanaman cabai merah yang diperlakukan secara

    konvensional dan organik.

    0.00%

    1.00%

    2.00%

    3.00%

    4.00%

    5.00%

    7 17 27 37 47 57 67 77 87 97

    umur tanaman

    intens

    itas s

    era

    nga

    n

    konvensional organik

    Gambar 3. Perkembangan intensitas serangan hama T. parvispinus pada tanaman cabai merah yang

    diperlakukan secara konvensional dan organik.

    Perkembangan populasi dan intensitas serangannya selama pengamatan menunjukkan pola yang

    sama, dimana hama ini akan mencapai puncaknya pada saat fase tanaman mengahsilkan tunas-tunas muda

    dan menurun pada saat bagian tanaman sudah mulai menua serta sangat tergantung pada waktu penggunaan

    insektisida (baik kimiawi sintetis maupun non sintetis) yang cenderung menekan populasi hama. Walaupun

    demikian terlihat bahwa hasil cabe merah yang dibudidayakan secara organik lebih tinggi dari pada

    konvensional. Oleh karena itu budidaya cabae merah secara organik mempunyai prospek untuk

    dikembangkan baik untuk tujuan perlindungan tanaman dari hama pengisdap daun, maupun untuk tujuan

    peningkatan produksi.

    Pada tanaman kubis, untuk mengetahui fluktuasi intensitas serangan ulat S. litura pada kondisi yang

    berbeda yaitu pada sisitem budidaya organik dan konvensional telah dilakukan penelitian yang menunjukan

    bahwa tidak terdapat berbedaan intensitas serangan ulat S. litura pada tanaman kubis yang dibudidayakan

    secara organik dan konvensional dengan pola fluktuasi yang berbeda. Intensitas serangan S. litura mencapai

    puncaknya pada umur tanaman 27 hari setelah tanam pada kondisi organik , sedangkan pada kondisi

    konvensinal pada 42 hari setelah tanam.

    Tabel 3. Uji statistik t-test intensitas serangan ulat Spodoptera litura pada tanaman kubis yang diperlakukan

    secara organik.dan konvensional

    Parameter Organik Konvensional F. hitung F. tabel t. hitung t. tabel ket

    Intensitas serangan 2,561 2,900 2,207 3,179 - 0,642 2,101 NS

    Sumber : Data Primer Diolah

  • 36

    Rata-rata intensitas serangan hama Spodoptera litura tidak berbeda pada tanaman kubis yang

    dibudidayakan secara organik maupun konvensional . Pola fluktuasi intensitas serangan hama Spodoptera

    litura cendrung berbeda pada tanaman kubis yang dibudidayakan secara organik maupun

    konvensional.Intensitas serangan hama Spodoptera litura mencapai puncaknya lebih awal pada tanaman

    kubis yang dibudidayakan secara organik yaitu pada umur tanaman 35 hari, sedangkan pada kondisi

    konvensional pada saat tanaman berumur 56 hari setelah tanam.

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

    Pengamatan ke-

    Inte

    ns

    ita

    sse

    ran

    ga

    n(%

    )

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

    Pengamatan ke-

    Inte

    ns

    ita

    sse

    ran

    ga

    n(%

    )

    Keterangan :

    : Konvensional

    : Organik

    Gambar 4. Perkembangan Intensitas Hama S. litura pada Tanaman Kubis yang dibudidayakan secara

    Konvensional dan Organik dari Pengamatan ke-1 -ke-10.

    PENUTUP

    Produksi pestisida nabati secara masal untuk keperluan komersial masih menghadapi beberapa

    kendala, diantaranya ketersediaan jumlah bahan baku yang tidak mencukupi. Rendahnya kandungan

    metobolik sekunder dalam tanaman, sehingga diperlukan pasokan bahan baku yang sangat besar. Jika untuk

    keperluan sendiri, kebutuhan bahan baku cukup melimpah dan sangat murah. Oleh karena itu perlu

    menggalakkan dan mengembangkan teknik ekstraksi sederhana yang dapat dilakukan oleh petani untuk

    mengendalikan hama secara individu dan kelompok. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan

    sosialisasi baik melalui penyuluhan maupun pelatihan dan demplot sebagai upaya untuk menyebarkan

    informasi tentang potensi suatu bahan ekstrak tumbuhan sebagai pestisida nabati. Demikian juga dari pihak

    pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang mengarah kepada pemanfaatan pestisida nabati untuk

    keperluan pengendalian hama, terutama pada sistem pertanian organik. Dari beberapa laporan menyatakan

    bahwa sebenarnya efektivitas pestisida nabati tidak kalah dibandingkan pestisida kimia sintetis, namun

    karena petani masih mengandalkan penggunaan pestisida kimia sebagai cara yang ampuh dengan alasan

    antara lain mudah didapat, cepat bekerja membunuh hama sasaran serta relatif murah (subsidi), maka

    pemanfaatan insektisida nabati masih sangat terbatas.

    Berdasarkan hasil penelitian pada sayuran organik (Cabe, tomat dan kubis) dapat disimpulkan

    bahwa rata-rata populasi dan intensitas serangan hama hama penting pada tanaman tersebut relatif sama

    pada tanaman yang dibudidayakan secara organik dan konvensional. Demikian juga dengan perkembangan

    populasi dan intensitas serangannya selama pengamatan menunjukkan pola yang sama, dimana hama ini akan

    mencapai puncaknya pada saat fase tanaman menghasilkan tunas-tunas muda dan menurun pada saat bagian

    tanaman sudah mulai menua serta sangat tergantung pada waktu penggunaan insektisida (baik kimiawi

    sintetis maupun non sintetis) yang cenderung menekan populasi hama. Walaupun demikian terlihat bahwa

    hasil cabe merah maupun tomat yang dibudidayakan secara organik lebih tinggi dari pada konvensional. Oleh

    karena itu budidaya cabae merah ,tomat dan kubis secara organik mempunyai prospek untuk dikembangkan

    baik untuk tujuan perlindungan tanaman dari hama maupun untuk tujuan peningkatan produksi.

  • 37

    Dengan mengetahui pola perkembangan hama pada tanaman, maka hasil penelitian ini diharapkan

    akan berguna untuk kegiatan monitoring hama dalam rangka penerapan pengelolaan hama secara terpadu.

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai pedoman dalam upaya pengelolaan hama

    sayuran organik ( cabe, tomat dan kubis), terutama program monitoring untuk menentukan saat yang tepat

    dalam pengendalian hama.

    DAFTAR PUSTAKA

    Anonim, 2004. Buku Pedoman Non Kimia. Departemen Pertanian. Jakarta. 13 h.

    Arnason, J.T., S. Mackinnon, A. Durst, B.J.R. Philogene, C. Hasbun, P. Sanchez, L. Poveda, L. San Roman,

    M.B. Isman, C. Satasook, G.H.N. Towers, P. Wiriyachitra, J.L. McLaughlin. 1993. Insecticides in

    Tropical Plants with Non-neurotoxic Modes of Action. p. 107-151. In K.R. Downum, J.T. Romeo,

    H.A.P. Stafford (eds.), Phytochemical Potential of Tropical Plants. New York: Plenum Press.

    Basana, I.R., D. Prijono. 1994. Insecticidal Activity of Aqueous Extracts of Four Species of Annona

    (Annonaceae) against Cabbage Head Caterpillar, Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera:

    Pyralidae). Bul. HPT. 7:50-60.

    Kardinan, A. dan Ruhnayat, A., 2003. Mimba Budidaya dan Pemanfaatannya. Penebar Swadaya. Jakarta.

    7-9 h.

    Kardinan,A., 2001. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasinya. Penebar Swadaya. Jakarta. 2 h.

    Novizan, 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Agromedia Pustaka. Jakarta.

    Parnata, A.S., 2004. Pupuk Organik Cair Aplikasi dan Manfaatnya. Agromedia Pustaka. Jakarta. 62 h.

    Prijono, D., dan Hasan E., 1993. Pengaruh Ekstrak Nimba Terhadap Perkembangan dan Mortalitas

    Croccidolonia binotalis. Proseding Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida

    Nabati. Bogor 1 – 2 Desember 1993.

    ________1994. Pedoman Praktikum Teknik Pemanfaatan Insektisida Botanis. Fakultas Pertanian Institut

    Pertanian Bogor. Bogor.

    Riza,V. dan Tahjadi, 2001. Alternatif Pengendalian Hama. PAN Indonesia. Jakarta. 63 h.

    Sarjan, M., 2004a. Pengelolaan Hama Terpadu Dalam Perspektif Sistem Pertanian Berkelanjutan Di Era

    Galobalisasi. Orasi Ilmiah Dies Natalis UNRAM. Fakultas Pertanian Universitas Mataram.

    _______, 2004b. Potensi Insektisida Non Kimia Sintetik Dalam Konservasi Predator Ulat Grayak

    (Spodoptera litura F.) Pada Tanaman Kedelai. Agroteksos. Majalah Ilmiah Pertanian (Agronomi,

    dan Sosial Ekonomi) Volume 13 No 4. Fakultas Pertanian Universitas Mataram.

    ________, dan Astam Wiresyamsi, 1997. Laporan Penelitian Potensi Insektisida Non Kimiawi Sintetis

    Sebagai Pengendali Ulat Kubis Plutella xylostella. Fakultas Pertanian Universitas Mataram.

    ________, 2006a. Intensitas Serangan Ulat Spodoptera litura pada Tanaman Kubis yang Dibudidayakan

    Secara Organik dan Konvensional ( Jurnal HAPETE, Vol 3:1. April 2006)

    ________, 2006 b. Pengelolaan hama Pengisap daun Thrips parvispinus Karny Pada Tanaman cabe Yang

    dibudidayakan Secara Organik dan Konvensional (Jurnal Penenltian Universitas Mataram, Edisi A:

    Sains dan Teknologi. Vol 2:10. Agustus 2006)

    ________, 2007. Perkembangan ulat grayak (Spodoptera litura Hbn) pada tanaman tomat yang

    dibudidayakan secara organik dan konvensional. (Jurnal PARTNER Politeknik Pertanian Kupang

    NTT tahun 14.No periode januari 2007)

  • 38

    IDENTIFIKASI PENERAPAN TEKNOLOGI JAGUNG PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN

    DI PROPINSI SULAWESI SELATAN

    Bahtiar dan A. Tenrirawe

    Balitsereal Maros – Sulawesi Selatan

    ABSTRACT

    Identification to maize production systems on rainfed lowland in South Sulawesi. The study aimed to explore

    the potency of rainfed lowland and its utilization, and maize production systems on it land. In relation with that purpose, a survey was conducted to farmers and other information sources related to maize development. Data and information

    were collected through individual and group interview based on questionaire prepared. In two regencies surveyed,

    rainfed lowland availabeled was large enough but was not utilized maximally yet, due to many factors. On regions were

    maize areas not developed (Pangkep), maize production could be increased through extensification. Technology applied in maize production systems in these regencies were still modestly, even though technology information such as hybrid

    seeds had been known. Technology production needed to be disseminated to increase maize production including open-

    pollinate maize varieties, high quality seeds, land preparation, plantation, irrigation, fertilizer and fertilization, pest

    control, and harvesting. Besides it, post harvest technologies and marketing channels also need to be informed. In these region production inputs were difficult to obtain and their prices were expensive. On region where maize areas

    developed (Takalar), maize production could be increased through increase planting intensity, cropping pattern

    adjustment, besides extensification. Maize production technology applied in these region were quite advance but

    improvement were still needed. Fertilizers applied were excessive, irrigation not efficient, and cropping pattern needed to be adjusted. In several places, high quality open-pollinated seed were required. Production inputs were availabled but

    their prices were still expensive.

    Key Words : Identification, rainfed lowland, maize production systems.

    PENDAHULUAN

    Indonesia pada masa datang dihadapkan kepada masalah persediaan jagung, seiring dengan

    meningkatnya permintaan, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun bahan baku pakan ternak dan industri

    pengolahan makanan (Damardjati et al., 2005). Hal ini tampak pada peningkatan jumlah impor jagung dalam

    kurun waktu 1997-2001 yang mencapai 0,96 juta ton dan diperkirakan meningkat menjadi 1,80 juta ton pada

    tahun 2005 (Subandi dan Hermanto, 2002).

    Selama sepuluh tahun terakhir komoditas jagung memperlihatkan peningkatan produksi yang lebih

    tinggi dibanding dengan produksi tanaman pangan lainnya. Dari sudut pandang agribisnis kecenderungan

    tersebut menunjukkan tanaman jagung memberikan pendapatan memadai kepada semua yang terkait dalam

    pengembangan jagung, khususnya petani sebagai produsen.

    Program penciptaan teknologi budidaya jagung hendaknya mengacu kepada kebutuhan pengguna

    atau user oriented (Badan Litbang Pertanian, 1994). Dalam hubungan dengan arahan tersebut Balitsereal

    memerlukan informasi dasar tentang sistem produksi jagung, oleh karena itu, mulai tahun anggaran 2005

    dilakukan studi tentang karakterisasi sistem produksi pada berbagai tipe lahan potensil untuk jagung

    (Balitsereal, 2004). Salah satu tipe lahan yang sangat sesuai untuk pertanaman jagung adalah lahan sawah

    tadah hujan. Pada tahun 1991 luas pertanaman jagung di Indonesia mencapai 3,0 juta hektar dan sekitar 10%

    luas areal tersebut berada pada lahan sawah tadah hujan (Sudjana dan Setiyono, 1993). Jika kisaran tersebut

    digunakan untuk melihat luas panen pertanaman jagung pada tahun 2004 yang sudah mencapai 3,3 juta

    hektar (Deptan, 2004) maka terdapat sekitar 300 ribu hektar pertanaman jagung pada lahan sawah tadah

    hujan. Angka tersebut dinilai masih sangat kecil jika dibandingkan dengan luas lahan tersedia. Potensi

    lahan sawah tadah hujan di Indonesia mencapai 2,15 juta ha, dan 1,37 juta ha (63,73 %) diantaranya berada

    di luar pulau Jawa. Dari jumlah tersebut, 244.902 ha (17,85 %) berada di Provinsi Sulawesi Selatan (BPS,

    2003). Pada lahan sawah tadah hujan, jagung dapat ditanam sebelum dan sesudah padi. Jagung kedua lebih

    sering berhasil walaupun tidak jarang mengalami ancaman kekeringan (Subandi dan Manwan, 1990).

    TUJUAN PENELITIAN

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penerapan teknologi jagung pada lahan sawah

    tadah hujan dan faktor-faktro yang mempengaruhinya dalam rangka pengembangan jagung dimasa datang.

  • 39

    METODOLOGI

    Lokasi dan Waktu Pelaksanaan

    Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan survei. Survei pada tingkat petani

    dilakukan secara intensif dengan berpedoman kepada kata-kata kunci yang telah disiapkan sebelumnya. Di

    laksanakan pada 2 kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu Takalar dan Pangkep. Kabupaten Takalar

    mewakili daerah sentra produksi yang sudah maju penerapan teknologi budidayanya, sedang Kabupaten

    Pangkep mewakili daerah yang potensil lahannya tetapi belum berkembang perjagungannya. Secara rinci

    lokasi yang dipilih pada setiap kabupaten dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Lokasi Penelitian Identifikasi Penerapan Teknologi Jagung, Sulsel, 2005

    Kabupaten Kecamatan Desa

    Takalar Galessong Utara Pa‟rasangan Beru

    Pangkep Mandalle Sigeri

    Labakkang

    Coppotompong Manggalung

    Parenreng

    Penentuan Responden

    Dalam penelitian ini terdapat dua kelompok responden, yaitu: (1) Petani yang telah menanam jagung.

    Penentuannya dilakukan secara purposif sampling pada setiap kabupaten. Untuk mendapatkan responden

    yang representatif, dilakukan kordinasi dengan Petugas Lapangan dan Pemerintah Desa, (2) Tokoh

    masyarakat yang terdiri atas aparat desa, tokoh-tokoh adat, ketua-ketua kelompok tani, pedagang saprodi dan

    pedagang hasil pertanian, Petugas Pertanian Lapangan (PPL), dan staf Dinas Pertanian Kabupaten setempat.

    Pengumpulan Data

    Pengumpulan data disesuaikan dengan jenis responden. Untuk petani jagung, metode yang

    digunakan adalah wawancara perorangan untuk menggali cara petani menanam jagung mulai dari persiapan

    lahan, penanaman, pemeliharaan sampai kepada panen dan prosesing, serta alokasi hasil. Selain itu,

    pemilikan asset dan modal yang digunakan juga digali jumlah dan sumbernya. Wawancara menggunakan

    daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk mewawancarai petani yang menananm jagung.

    Wawancara dilakukan baik di rumah petani, di lahan usahatani petani ataupun di pos ronda. Untuk

    menghindari informasi yang bias, wawancara diusahakan sedemikian rupa agar petani dalam keadaan siap

    memberikan informasi yang diperlukan.

    Untuk responden tokoh masyarakat, pengumpulan data dilakukan dengan diskusi kelompok guna

    mendapatkan informasi umum seperti, varietas jagung yang beredar, ketersediaan saprodi terutama pupuk

    dan benih, insektisida dan herbisida, harga hasil jagung, dan tanggapan petani terhadap tanaman jagung

    dalam meningkatkan pendapatannya, dan yang tidak kalah pentingnya adalah hambatan dan tantangannya

    untuk pengembangan jagung ke depan.

    Selain data primer tersebut, juga dilakukan pengumpulan data sekunder melalui kegiatan studi

    literatur ke dinas-dinas pemerintah terkait untuk mendapatkan gambaran umum mengenai perkembangan dan

    rencana pengembangan jagung.

    Analisisa Data

    Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan dua model yaitu, untuk data kuantitatif

    analisisnya diarahkan kepada biaya dan pendapatan usahatani, sedang data kualitatif dianalisa secara

    deskriptif dengan penekanan kepada budidaya tanaman jagung pada lahan sawah tadah hujan.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

    a. Potensi dan pemanfaatan lahan sawah tadah hujan

    Potensi lahan sawah tadah hujan di wilayah penelitian cukup luas, namum belum seluruhnya

    dimanfaatkan untuk pertanaman jagung karena berbagai faktor, antara lain: animo masyarakat yang rendah

    terhadap jagung. Misalnya di Pangkep petani masih trauma dengan pengalaman pahit menanam jagung

    kuning yang tidak ada pasarnya. Padahal sesungguhnya secara fisik teknis jagung lebih menguntungkan

  • 40

    dibanding dengan padi musim gadu. Oleh karena itu, petani di Pangkep masih lebih tertarik menanam

    kacang tanah setelah padi rendengan.

    Data tahun 2003 menunjukkan bahwa sebagian besar lahan sawah tadah hujan hanya dimanfaatkan

    satu kali padi setahun (Tabel 2). Hal ini memberi gambaran bahwa lahan tersebut mempunyai peluang untuk

    penanaman jagung setelah padi.

    Tabel 2. Potensi dan pemanfaatan lahan sawah tadah hujan di wilayah penelitian.

    Kabupaten Potensi lahan sawah tadah

    hujan (ha)1) Luas penanaman padi (ha)

    Ditanami 1 kali Ditanami 2 kali

    Takalar

    Pangkep

    8.357

    6.993

    6.682

    5.794

    1.675

    1.199

    Sulsel 244.902 209.545 35.357

    Sumber : BPS tahun 2003.

    b. Potensi dan ketersediaan tenaga kerja pertanian

    Data sumberdaya manusia menunjukkan bahwa penduduk yang berprofesi sebagai petani telah

    mengenal cara bercocok tanam jagung dengan tingkat penerapan teknologi budidaya yang sangat beragam,

    mulai dari yang membudidayakan seadanya/sampingan sampai kepada yang maju. Diantaranya bahkan ada

    yang menjadikan jagung sebagai komoditi utamanya pada lahan sawah tadah hujan menggerser padi. Jumlah

    penduduk yang berprofesi sebagai petani rata-rata di atas 50% dari jumlah penduduk yang mempunyai

    pekerjaan tetap, kecuali di Kabupaten Gowa yang hanya 44,7% (Tabel 3).

    Tabel 3. Potensi sumberdaya manusia di wilayah penelitian.

    Kabupaten Jumlah

    penduduk (org)

    Jumlah usia

    produktif (org)

    Yang sudah

    bekerja (org)

    Jumlah petani

    (org)

    Persentase petani

    (%)

    Takalar

    Pangkep

    241.973

    279.887

    129.249

    191.698

    106.571

    92.161

    56.074

    52.963

    52,6

    57,5

    Sumber: BPS (2004) Kabupaten Takalar dan Pangkep

    c. Perkembangan komoditas jagung

    Perkembangan komoditas jagung lebih menonjol di kabupaten sentra produksi yang telah

    mengadopsi penggunaan benih jagung hibrida (Kabupaten Takalar). Tingkat produksi yang dicapai selama

    lima tahun menunjukkan angka yang lebih besar dibanding dengan pada daerah yang belum maju (Kabupaten

    Pangkep). Pada tahun 2003-2004, tingkat produksi di Takalar, 83.850 ton, sedang produksi yang dicapai di

    Kabupaten Pangkep masih sangat rendah, yaitu: hanya 704 ton. Penyebabnya adalah tingkat produktivitas

    yang lebih tinggi pada daerah maju, yaitu 4,9-5,3 t/ha, sementara pada daerah belum maju hanya 3,2-3,4 t/ha

    (Tabel 4).

    Tabel 4. Perkembangan luas pertanaman jagung di wilayah penelitian.

    Kabupaten Tahun Pertumbuhan

    (%) 99/00 00/01 01/02 02/03 03/04

    Takalar : Luas tanam (ha)

    Produksi (t) Produktivitas (t/ha)

    Pangkep : Luas tanam (ha)

    Produksi (t)

    Produktivitas (t/ha)

    6.483

    32.079 4,95

    707

    2.436

    3,45

    6.457

    32.214 4,99

    310

    1.006

    3,25

    4.920

    24.095 5,06

    229

    762

    3,33

    5.547

    27.325 4,93

    227

    757

    3,33

    15.916

    83.580 5,25

    210

    704

    3,35

    43,87

    48,62 1,53

    -22,66

    -22,65

    -0,68

    Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Takalar (tahun 2000-2004) dan Pangkep adalah tahun 1999 - 2003.

    Lima tahun yang lalu jagung pernah dikembangkan secara luas di Kabupaten Pangkep dan mampu

    menghasilkan biji kering yang memadai, namun tidak dapat diserap oleh pasar sehingga petani trauma dan

    tidak lagi tertarik menanam jagung. Hal tersebut nampak dalam perubahan pertanaman dari tahun 1999 ke

    tahun 2000 drastis menurun, yaitu lebih dari 50% akibat pengalaman buruk tersebut. Kondisi itu

    menyebabkan pertumbuhan produksi minus yang rata-rata selama tahun 1999 sampai 2003 adalah menurun

    sebesar 23%.

  • 41

    d. Ketersediaan Sarana Produksi

    Kesan petani terhadap ketersediaan sarana produksi dapat dilihat dari banyak faktor antara lain:

    sumber, ketersediaan, kemudahan mendapatkan, dan keterjangkauan harga. Petani di Takalar yang

    menggunakan benih hibrida menyatakan bahwa ketersediaan dan kualitas benih yang ditanam baik, mudah

    didapatkan; tetapi harganya yang terasa mahal, yaitu berada pada kisaran Rp.23.000-Rp.32.000/kg tergantung

    jenis dan cara bayar. Pioneer lebih mahal dibanding dengan BISI dan di bayar tunai lebih murah dibanding

    dengan yarnen (Tabel 5).

    Petani dikabupaten Pangkep masih menggunakan jagung komposit, selain merasakan kualitas

    jelek, juga memperolehnya sulit karena tidak diketahui dimana sumbernya. Biasanya benih varietas

    komposit berasal dari petugas pertanian (PPL), yang kualitasnya jelek dan tersedianya terlambat, sehingga

    menambah kesan jelek terhadap citra varietas jagung komposit. Fakta ini perlu menjadi perhatian khusus

    kalau ingin berusaha mengembangkan varietas komposit di tingkat petani. Upaya yang sangat mungkin

    dilakukan adalah bekerjasama dengan Dinas Pertanian memperbanyak penangkaran.

    Tabel 5. Ketersediaan sarana produksi jagung di wilayah penelitian, 2005

    Uraian Ketersediaan sarana produksi pada tingkat petani

    Benih Herbisida Urea SP36 KCl ZA

    Takalar- - Persentase petani (%) 100,0 50,0 100,0 28,6 5,0 0 - Sumber Kios Kios Kios Kios Kios - - Ketrsediaan Tersedia Tersedia Tersedia Tersedia Tersedia - - Jumlah Kebutuhan (kg,l/ha) 15,8 1,5 290,00 50 36,0 - - Kemudahan Memperoleh Mudah Mudah Mudah Mudah Mudah - - Harga (Rp/kg, l) 23.000 45.000 1.200 1.800 2.000 - - Cara Pembayaran Tunai Tunia Tunai Tunai Tunai -

    Pangkep

    - Persentase petani (%) 100 100 100 0,0 0 0 - Sumber PPL Pasar Kios - - - - Ketrsediaan Sulit Tersedia Tersedia - - - - Jumlah Kebutuhan(kg,l/ha) 20,6 1,0 228 - - - - Kemudahan Memperoleh Sulit Mudah Mudah - - - - Harga (Rp/kg,l) 7.000 45.000 1.200 - - - - Cara Pembayaran Tunai Tunai Tunai - - -

    Sarana produksi lainnya seperti pupuk dan herbisida dinilai petani sudah tersedia cukup baik, karena

    pada tingkat kelompokpun sudah ada yang melayani kebutuhan petani, sehingga petani merasakan selalu

    tersedia, mudah memperolehnya, dan kualitasnya baik, hanya saja harganya terasa mahal. Jika dibayar tunai

    harga urea misalnya hanya Rp.55.000-65.000/sak, sedang kalau dibayar setelah panen (yarnen) harganya

    meningkat mencapai Rp.70.000-Rp.80.000/sak.

    2. Identitas Responden

    Identitas petani perlu diketahui dalam hubungannya dengan penerapan inovasi teknologi. Faktor-

    faktor demografi yang banyak menentukan adalah umur, pendidikan, pekerjaan, pengalaman, dan

    ketersediaan tenaga keluarga. Semua faktor demografi tersebut di wilayah penelitian mendukung penerapan

    teknologi. Umur petani masih dalam batasan usia produktif yang biasanya sangat respon dengan inovasi

    baru, pendidikan rata-rata tammat SD, bahkan beberapa diantaranya telah melanjutkan ke SLTP (Tabel 6).

    Tabel 6. Identitas Petani Responden di Wilayah Penelitian, 2005

    Uraian Identitas Responden Kabupaten

    Takalar Pangkep

    Umur (thn)

    Pendidikan (thn)

    Pekerjaan pokok

    Pengalaman bertani jagung (thn) Jumlah anggora keluarga (org)

    Jumlah yang aktif membantu (org)

    40,6

    7,1

    Tani

    14,9 3,6

    1,5

    44,6

    6,8

    Tani

    6,3 3,7

    1,7

    Sumber: Data primer setelah diolah, 2005

  • 42

    3. Penerapan Teknologi Budidaya Tanaman Jagung

    a. Kabupaten Takalar

    Luas lahan sawah tadah hujan di Takalar mencapai 7.395 ha. Lahan yang banyak dimanfaatkan

    untuk pertanaman jagung adalah di Kecamatan Galessong Utara. Pemanfaatannya cukup intensif, yaitu

    mencapai Indeks Pertanaman (IP) 300% dengan penanaman padi yang diikuti jagung dua kali dalam setahun

    (Gambar 1).

    Gambar 1. Pola curah hujan, hari hujan selama 11 tahun (1994-2004) dan pola tanam pada lahan sawah tadah

    hujan di Kecamatan Galesong Utara, 2005

    Teknologi yang diterapkan dalam budidaya jagung pada lahan sawah tadah hujan adalah

    menggunakan benih jagung hibrida, menggunakan pupuk urea yang banyak, memanfaatkan air tanah dengan

    pompa jika tanaman jagung memerlukan irigasi, menggunakan herbisida dalam persiapan lahan (Tabel 7).

    Tabel 7. Keragaan penerapan Teknologi Budidaya Jagung pada Lahan Sawah Tadah Hujan di Kecamatan

    Galesong Utara, Takalar, 2005

    Uraian Jagung hibrida Jagung Manis

    Periode Tanam April – Desember Juni – Oktober

    Pengolahan Traktor 2 kali, sewa Rp.700.000/ha Herbisida Gramoxone 1,5 l/ha

    Varietas Bisi-2, P21, P11, P7 Jagung manis

    Jarak tanam 70cmx20cm, 1biji/lubang atau

    70cmx40cm, 2 biji/lubang

    60cm x 40 cm, 3 biji/lubang

    Pemupukan 2 kali pada umur 10 hst 200 kg urea/ha, pada

    umur 30-35 hst 300 kg urea, ditugal

    1 kali pada umur 10 hst dengan

    urea saja 200 kg/ha ditugal

    Penyiangan Cangkul atau herbisda Gramoxon jika rumput

    banyak

    Manual cangkul 1 kali pada

    umur 30 hst

    Pengairan Curah hujan dan dibantu pompa dari sumur

    bor, kedalaman 4-6m

    Diairi 2 kali saja sudah dapat dipanen

    Pengendalian

    hama/penyakit

    Belalang, dikendalikan dengan Regent Belalang, serangan ringan, dibiarkan

    Panen dan

    prosessing

    Tebang, kupas klobot, angkut kerumah

    (Rp.2000/karung pupuk), pipil, jemur 2 hari,

    jual

    Petik dan jual ke penjual jagung rebus atau ke

    pasar terdekat

    Produksi 4-5 t/ha biji kering 300.000 – 500.000 tongkol/ha

    Harga jual Rp.1.100/kg ditempat petani oleh pedagang

    desa. Rp.1.200/kg jika diantar.

    Terjual 80 % dari hasil dengan harga 250-300/

    tongkol, sisanya untuk keluarga

    Sumber: Hasil wawancara dengan petani di Desa Pa‟rasangan Beru, Takalar, 2005.

    0

    100

    200

    300

    400

    500

    Nop Des Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt

    C.hujan (mm/bln)

    0

    5

    10

    15

    20H.Hujan (hari/bln)

    C.hujan

    H.hujan

    Padi JagungJagung II/

    Jagung

    Manis

    0

    100

    200

    300

    400

    500

    Nop Des Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt

    C.hujan (mm/bln)

    0

    5

    10

    15

    20H.Hujan (hari/bln)

    C.hujan

    H.hujan

    Padi JagungJagung II/

    Jagung

    Manis

  • 43

    b. Kabupaten Pangkep

    Untuk merespon permintaan pasar terhadap jagung yang terus meningkat, pemerintah Kabupaten

    Pangkep dalam tahun 2006, memprogramkan pengembangan jagung seluas 5000 hektar yang tersebar pada 9

    kecamatan, tetapi paling luas adalah di Kecamatan Sigeri dan Mandalle yaitu masing-masing 500 dan 825

    ha (Diperta Pangkep 2004).

    Preferensi petani terhadap pengembangan jagung ke depan agak beragam tergantung dari

    pengalaman mereka. Petani yang ikut dalam penanaman jagung komposit tahun 2004 yang lalu terkesan

    jelek karena dua alasan pokok yaitu : (1) benih terlambat datang dan daya tumbuhnyapun rendah (45%)

    sehingga banyak petani menanam dua kali dan itu pun kurang berhasil, (2) kesulitan air menjelang

    pembungaan (bulan Agustus), karena pada saat itu hujan sudah minim sementara air saluran irigasi juga

    sudah terbatas, bahkan sebagian petani mengatakan air sungai ketika itu kadar garamnya sudah tinggi akibat

    air permukaan di laut naik dan mengalir masuk ke tambak-tambak nelayan. Meskipun demikian, sebagian

    besar petani masih sangat optimis dapat mengembangkan jagung setelah padi asal saja dipenuhi tiga syarat

    yaitu: tersedia benih yang baik, ada sumber air untuk mengairi saat pembungaan, dan ada jaminan pasar.

    Pola pemanfaatan lahan sawah tadah hujan di Pangkep adalah penanaman padi rendengan pada

    bulan Nopember dan tanam palawija pada bulan Mei/Juni Gambar 2.

    Gambar 2. Rata-rata curah hujan, hari hujan selama 11 tahun (1994-2004) dan pola tanam pada lahan sawah

    tadah hujan di Kecamatan Mandalle, 2005

    Beberapa permasalahan penanaman jagung pada lahan sawah tadah hujan setelah padi rendengan

    antara lain: (1) Curah hujan sering berlangsung lama sehingga di bulan Juni pun masih sering ada hujan lebat

    dan banjir terutama pada sawah-sawah yang tidak baik pembuangannya seperti di Desa Manggalung, (2)

    Penanaman yang tertunda sampai akhir Juni dikhawatirkan mengalami kekeringan pada periode pembungaan

    di bulan September, (3) Pemilik lahan enggan mengijinkan lahannya ditanami jagung karena batang jagung

    sulit dibersihkan dan membahayakan bagi buruh tanam pada penanaman padi berikutnya, sementara buruh

    tanam sangat terbatas di daerah ini, (4) Penanaman jagung yang tidak serempak pada satu kawasan/hamparan

    menjadi ancaman terhadap ternak sapi yang pada priode tersebut sapi masih dilepas liar pada lahan sawah

    tadah hujan.

    Teknologi budidaya jagung yang diterapkan pada lahan sawah tadah hujan tersebut dinilai cukup

    memadai terutama dalam persiapan lahan yang telah memperhitungkan faktor efisiensi, sedang

    pemupukannya dan penggunaan varietas masih perlu diperbaiki (Tabel 8).

    0

    200

    400

    600

    800

    1000

    Nop Des Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt

    C.h

    uja

    n (

    mm

    /bln

    )

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    H.H

    uja

    n (

    hari/b

    ln)

    C.hujan

    H.hujan

    Padi Rendengan Jagung

    0

    200

    400

    600

    800

    1000

    Nop Des Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt

    C.h

    uja

    n (

    mm

    /bln

    )

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    H.H

    uja

    n (

    hari/b

    ln)

    C.hujan

    H.hujan

    Padi Rendengan Jagung

  • 44

    Tabel 8. Keragaan penerapan teknologi budidaya jagung pada lahan sawah tadah hujan di Kecamatan Mandalle,

    Pangkep, 2005

    Uraian Keterangan

    Periode Tanam Mei/Juni - Agustus/September

    Penyiapan lahan TOT Basmillang diberikan 1 hari sebelum tanam, atau Round Up diaplikasikan minggu

    sebelum tanam atau olah sempurna dengan bajak atau traktor

    Varietas Lokal, Lamuru tahun 2004, dulu ada jagung kuning (Bisma)

    Perlakuan benih Ada sebagian kecil petani yang merendam dengan karbon batrei 1 batrei/2 kg benih untuk

    menghindari semut. Penggunaan Saromil/Ridomil belum umum dilakukan

    Jarak tanam 75-100 cmx 25-30cm, 1-2 biji/lubang dilakukan oleh anggota keluarga.

    Pemupukan Hanya menggunakan Urea dan ZA dengan dosis 2 sak urea dan 1 sak ZA/ha. Alasan

    menggunakan ZA adalah cepat kelihatan pengaruhnya. Diantaranya ada yang sudah

    mencoba pupuk tersebut dilarutkan kemudian disiramkan ke pangkal tanaman pada umur

    10-15 hari.

    Penyiangan Manual dengan cangkul atau herbisda Gramoxone jika rumput banyak. Menggunakan

    handsprayer yang dilengkapi dengan pembatas di nonselnya

    Pengairan Mengandalkan curah hujan, sebagian petani tetap memanfaatkan pompa dari sumur bor,

    kedalamannya 4-6 m

    Pengendalian hama Belum ada hama yang berat serangannya. Hama yang sering muncul adalah penggerek

    tongkol yang nampak gejala serangannya pada rambut tongkol.

    Panen dan prosessing Kupas klobot, petik, angkut kerumah, pipil dengan alat tradisionil (pisau atau lempengan

    besi, tancapan paku/besi pada kayu) dilakukan oleh anggota keluarga.

    Produksi 0 - 3 t/ha biji kering.

    Harga jual Rp.700/kg, Harga yang diinginkan petani Rp.1.500/kg.

    Sumber : Hasil wawancara kelompok dengan petani di Coppo Tompong, Parenreng, dan Manggalung, Kecamatan

    Mandalle, Pangkep, 2005

    Berdasarkan fakta tersebut, perlu upaya pembuatan drainase yang baik untuk mempercepat

    penanaman jagung, dan teknologi pengolahan tanah untuk lahan sawah yang dapat menghancurkan

    bongkahan tungkul akar jagung, atau perlu diperkenalkan sistem penanaman padi secara tabela, serta

    perlunya dibangun kesepakatan untuk penanganan ternak dengan memanfaatkan teknologi integrasi tanaman

    pangan dan ternak.

    Produksi jagung pada periode pertanaman tersebut sangat baik kualitasnya karena panen

    berlangsung pada saat musim kemarau, sehingga petani memungkinkan mendapatkan harga yang lebih baik.

    Apalagi dalam periode tersebut tidak ada pasokan jagung dari sentra produksi bagian selatan Sulawesi

    Selatan. Oleh karena itu, Kabupaten Pangkep mempunyai peluang yang sangat besar untuk dijadikan sentra

    produksi benih jagung komposit mendukung Celebes Corn Belt yang permintaannya besar dan

    berkesinambungan.

    KESIMPULAN

    1. Perluasan areal tanam tanaman jagung pada lahan sawah tadah hujan masih terbuka luas di Kabupaten Pangkep. Sedang di Takalar, perluasan areal tanam dapat ditempuh dengan mengatur pola tanam dari

    padi-padi-jagung menjadi padi – jagung – jagung. Hal ini sangat memungkinkan karena telah terbukti

    jagung dapat memberikan keuntungan yang lebih besar dibanding padi gadu yang sering kekeringan pada

    akhir pertumbuhannya.

    2. Ketersediaan sarana produksi berupa benih, pupuk dan herbisida dinilai cukup baik, terutama di wilayah yang sudah maju, sedang di wilayah yang belum maju ketersediaan masih perlu terus diupayakan agar

    dapat dengan mudah terakses petani

    3. Keragaman penerapan teknologi budiaya jagung sangat nampak terutama di daerah yang belum maju perjagungannya (Pangkep)

    4. Teknologi yang diperlukan petani pada daerah belum maju adalah penangkaran untuk penyediaan benih komposit, sedang pada daerah maju adalah penentuan dosis pemupukan yang efisien dan penyiapan lahan

    termasuk sistem drainase untuk menetapkan pola tanam yang tepat.

  • 45

    DAFTAR PUSTAKA

    Badan Litbang Pertanian., 1994. Renstra Badan Litbang Pertanian Tahun 2005-2009.

    Balitsereal. 2004. Rencana Strategis Balai Penelitian Tanaman Serealia 2005-2009 (Belum dipublikasikan).

    BPS. 2003. Luas lahan menurut penggunaannya di Indonesia. Survei Pertanian. Badan Pusat Statistik-

    Jakarta

    BPS Kabupaten Pangkep. 2004. Kabupaten Pangkep dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten

    Pangkep, Pangkep

    BPS Kabupaten Takalar, 2004. Kabupaten Takalar dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar.

    Takalar.

    Damardjati, Subandi. I.K.Kariasa, Zubachtirodin, dan Sania Saenong, 2005. Prospek dan arah pengembangan

    agribisnis jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta,

    51 halaman.

    Deptan, 2004. Statistik Pertanian. Departemen Perta