Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

226
ISSN 1693 - 3168 PROSIDING PROSIDING SEMINAR NASIONA L X REKAYASA DAN APLIKASI TEKNIK MESIN DI INDUSTRI REKAYASA DAN APLIKASI TEKNIK MESIN DI INDUSTRI Kampus ITENAS Bandung, 17-18 Januari 2012 Penyelenggara : JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL (ITENAS) - BANDUNG Penyelenggara : JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL (ITENAS) - BANDUNG Seminar Teknik MESIN Editor : Dr. Tarsisius Kristyadi, Ir., MT. Dr.Ing. M. Alexin Putra Yusril Irwan, ST., MT. Marsono, ST., MT. M. Ridwan, ST., MT. Tito Shantika, ST., M.Eng. Liman Hartawan, ST., MT.

description

asd

Transcript of Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

Page 1: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693 - 3168

PROSIDINGPROSIDING

SEMINAR NASIONAL X

REKAYASA DAN APLIKASI

TEKNIK MESIN DI INDUSTRI

REKAYASA DAN APLIKASI

TEKNIK MESIN DI INDUSTRI

Kampus ITENAS

Bandung, 17-18 Januari 2012

Penyelenggara :JURUSAN TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRIINSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL (ITENAS) - BANDUNG

Penyelenggara :JURUSAN TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRIINSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL (ITENAS) - BANDUNG

Seminar

Teknik

MESIN

Editor : Dr. Tarsisius Kristyadi, Ir., MT.

Dr.Ing. M. Alexin Putra

Yusril Irwan, ST., MT.

Marsono, ST., MT.

M. Ridwan, ST., MT.

Tito Shantika, ST., M.Eng.

Liman Hartawan, ST., MT.

Page 2: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ii

PENGANTAR

Assalamu’alaikum. warahmatullahi wabarrakatuh, Pertama-tama marilah kita panjatkan Puji Syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas izin dan karunia-Nya kita dapat bertemu dan bersilaturahmi dalam seminar di kampus Itenas-Bandung. Semoga seminar ini dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan tujuannya. Seminar ini merupakan agenda tahunan civitas akademika Jurusan Teknik Mesin, FTI – Itenas, yang sudah dimulai sejak tahun 2002. Seminar ini diharapkan menjadi forum diskusi dan tukar informasi kegiatan studi dan penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti dari perguruan tinggi (dosen dan mahasiswa), instansi penelitian maupun praktisi industri, khususnya yang terkait dengan bidang teknik mesin, sehingga dapat meningkatkan sinergi diantara keduanya. Pada seminar kali ini, panitia telah berhasil menghimpun 31 makalah dan sejumlah 20 makalah akan dipresentasikan. Makalah dikelompokkan ke dalam tiga sub topik yaitu Teknologi Konversi Energi, Teknologi Bahan dan Material Komposit, dan Teknologi Perancangan dan Pengembangan Produk. Dalam kesempatan ini, perkenankan kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada seluruh penyaji makalah, peserta, civitas akademika Jurusan Teknik Mesin, FTI – Itenas, dan semua pihak yang telah berpartisipasi aktif sehingga seminar ini dapat terselenggara. Semoga kerjasama yang telah kita bangun selama ini dapat terus ditingkatkan dimasa-masa mendatang. Mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan. Akhir kata kami mengucapkan selamat mengikuti seminar, semoga semua gagasan dan pikiran yang berkembang selama seminar ini, dapat tercatat sebagai sumbangsih yang bermanfaat untuk kejayaan bangsa dan Negara kita. Wabillahi taufiq walhidayah, Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bandung, 16 Januari 2012 Jurusan Teknik Mesin, FTI – Itenas Encu Saefudin, Ir., MT Ketua

Page 3: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

iii

Teknik

MESIN

DAFTAR ISI

Hal

SAMBUTAN ii

DAFTAR ISI iii

TOPIK TEKNOLOGI PERANCANGAN DAN PENGEMBANGAN PRODUK TPPP

01 Analisa Kerusakan Timing Belt Pada Mesin Tenun (Heru Pahrudin , Sumadi) 102 Perancangan Mesin Bending Pipa Untuk Ukuran Diameter Pipa ¾ Inchi

Dengan Sistem Dongkrak Hidrolik (Encu Saefudin, Marsono dan Cecep Kiki Handrian)

6

03 Pengujian Prestasi Kompor Induksi (Syahbardia) 1404 Pembuatan dan Pengujian Mesin Tekuk Pipa untuk Diameter ¾ Inchi

(Marsono, Encu Saefudin, dan Farid Firmansyah) 21

05 Perancangan Dan Pembuatan Oven Pengering Eceng Gondok Untuk Skala Industri Kecil (Noviyanti Nugraha, M. Alexin P, Danang Pinandhitio)

29

06 Perancangan mesin briket batu bara dengan tipe screw press (Ali) 35 TOPIK TEKNOLOGI BAHAN DAN MATERIAL KOMPOSIT TBMK 01 Karakteristik Fisik Dan Mekanik Produk Indirect Pressureless Sintering

Serbuk Cu Dan Ni Dengan Penyangga Serbuk Besi Cor (Eko Sutarto, D Kristianto Hermawan, D.Subekti & Susilo Adi Widyanto)

1

02 Analisis Kerusakan Internal Rocker-Arm Mesin Diesel Kapal Motor Surya Sentosa (Halim Rusjdi, Rusjdi Hadjerat, Sahlan)

10

03 Pengaruh Temperatur Pemanasan Terhadap Koefisien Perpindahan Massa Difusi (Diffusivity) Karbon Pada Proses Pack Carburizing Baja AISI 3115 (Putu Hadi Setyarini, Ika Istiana, Slamet Wahyudi)

17

04 Remelting Dan Beda Temperatur Terhadap Sifat Mekanis Pada Limbah Piston Bekas Dengan Metode High Presure Die Casting (Purnomo dan Suparjo)

24

05 Pengujian Akustik Papan Serat Sabut Kelapa Dengan Matriks Gypsum (Yusril Irwan)

30

06 Analisis Visual untuk Perhitungan Initial Damage pada Sambungan Adhesive (Irfan Hilmy, Yusril Irwan)

38

07 Kaji Eksperimental Kekakuan Lentur Poros Retak Melintang Buatan Dua Sisi (Encu Saefudin)

42

Page 4: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

iv

Teknik

MESIN

TOPIK TEKNOLOGI KONVERSI ENERGI TKE

01 Analisis Penurunan Temperatur Berdasarkan Variasi Sprayer Pada Fasilitas Eksperimen Kontemen (Ade Satria1, Wahyu1, Luqmanul Hakim1, Edi Marzuki1, Mulya Juarsa1,2, Hendro Tjahjono2, Ismu Handoyo2, Kiswanta2, Ainur Rosidi2)

1

02 Analisis Rugi Kalor Berdasarkan Variasi Sudut Kemiringan Untai Simulasi Sirkulasi Alamiah (Ussa-Ft02) (Budi Gusnawan Juarsa1,2, Rizqi Faizal Muttaqin1,2, Mochammad Farid1,2, Sigit Herlambang1,2, Januar Akbar1,2, Yogi Sirodz Gaos2, Edi Marzuki2, Mulya Juarsa2)

6

03 Analisi Perpindahan Kalor Konveksi Berdasarkan Variasi Daya Heater Pada Bundel Uji Simulasi Eksperimen Temperatur Tinggi (Busetti) (Budi Utomo1, Oskar Riko1, Kiswanta2, Ainur Rosidi2, Ismu Handoyo2, Edi Marzuki1,Mulya Juarsa2)

14

04 Pengaruh Parameter Stack Serta Variasi Frekuensi Terhadap Performa Termal Pendingin Termoakustik Nandy Putra, Dinni Agustina, Gilang AIV, Sabdo W)

24

05 Perpindahan Kalor Dibagian Dingin Berdasarkan Variasi Warna Lapisan Film Pada Panel Sistem Solar Thermal (Indra Resmana1,2, Akhrom Aryadi1,2, Hasanudin Wijaya1,2, Januar Akbar1,2,Yogi Sirodz Gaos2, Edi Marzuki2, Mulya Juarsa2)

31

06 Analisis Distribusi Temperatur 2-D Dan Fluks Kalor Berdasarkan Variasi Temperatur Selama Proses Pemanasan Pada Pelat SUS316 Di Bagian Uji Heating-02 (Iwan Kurniawan1, Mulya Juarsa1,2, Edi Marzuki1 Susyadi2, Ainur Rosidi2, Ismu Handoyo2)

38

07 Analisis Perubahan Tekanan Uap Selama Proses Pendinginan Pada Simulator Sungkup Reaktor (FESPECo) (Luqmanul Hakim1, Ade Satria1, Wahyu1, Yogi Sirodz Gaos1, Edi Marzuki1, Mulya Juarsa1,2, Hendro Tjahjono2, Ismu Handoyo2, Kiswanta2, Ainur Rosidi2)

45

08 Analisi Perpindahan Kalor Konduksi Berdasarkan Variasi Daya Heater Pada Bundel Uji Simulasi Eksperimen Temperatur Tinggi (BUSETTI) (Oskar Riko1, Budi Utomo1, Kiswanta2, Ainur Rosidi2, Ismu Handoyo2, Edi Marzuki1,Mulya Juarsa2)

52

09 Fenomena Pendidihan pada Heat Pipe dengan Variasi Wick Screen Mesh dan Posisi Peletakan (Ratna Sary, Wayan Nata, Nandy Putra)

59

10 Pengaruh Viskositas Oli Terhadap Karakteristik Perpindahan Kalor Di Permukaan Aluminium Pada Dinamika Tumbukan Droplet (Slamet Wahyudi, Putu Hadi Setyarini dan Shancha Ricardo Agusta)

66

11 Analisis Rugi Kalor Selama Proses Pemanasan Dan Pendinginan Pada Simulator Sungkup Reaktor (Wahyudin1, Mulya Juarsa1, Surip Widodo1, Ismu Handoyo2, Edi Marzuki2, Joko Susilo2)

74

12 Analisis Perhitungan Koefisien Gesek Dengan Reynoldnumber Pada Material Plastik PP(Polypropylene), POM (Polyoxymethylene), PE (Polyethylene) Terhadap Temperatur Dan Waktu Pada Alat Uji Melt Flow Index (Vikram Pasha1, Mulya Juarsa1, Edi Marzuki1, Dedek Kurniawan1, Yuda Nurul Alfian1, Afrinaldi1, R. Burhan N1, Deni Kusmansyah1)

81

Page 5: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

v

Teknik

MESIN

13 Pengaruh Putaran Silinder Bagian Dalam Terhadap Pola Aliran Taylor-Couette (Sarip1,2, Indarto1, Prajitno1)

87

14 Variasi Ukuran Dan Jarak Nozel Terhadap Perubahan Putaran Turbin Pelton (Rr. Sri Poernomo Sari dan Rizki Hario Wicaksono)

95

15 Uji Experimental Rotor Savonius Helix Dua Sudu dan Empat Sudu (Mohammad Alexin Putra, Roni Ramadani, Ganda Roni Simanullang, Asdar Askar)

106

16 Perancangan dan Realisasi Pembangkit Listrik Tenaga Biogas Skala Rumah Tangga (Kristyadi T.,Wedha A, Andi T.)

112

17 EXERGETIC based of photovoltaic modules CHARACTERISTICS (Dani Rusirawan1 and István Farkas2)

119

Page 6: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

TOPIK MAKALAH: TEKNOLOGI PERANCANGAN DAN

PENGEMBANGAN PRODUK (TPPP)

Teknik

MESIN

SEMINAR NASIONAL X REKAYASA DAN APLIKASI TEKNIK MESIN

DI INDUSTRI

Page 7: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐1

Teknik

MESIN

Analisa Kerusakan Timing Belt Pada Mesin Tenun

Heru Pahrudin , Sumadi

Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Ibn Khaldun Bogor [email protected], [email protected]

Abstrak

Timing belt yang digunakan pada mesin tenun mengalami kerusakan / putus setelah beroperasi selama 1440 jam kerusakan tersebut dapat diketahui dengan melakukan analisis kerusakan pada bagian bagian yang mengalami putus.untuk itu diperlukan data-data hasil pengujian, dalam hal analisa kerusakan ini dilakukan dengan melakukan inspeksi visual, penentuan lokasi putus, pemotongan bahan,Pengujian sifat kekerasan bahan, Analisa komposisi kimia. Dari hasil analisis menunjukan adanya kesalahan dalam pemberian tension pada saat pemasnagan timing belt yang tidak sesuai standard, posisi sprocket yang tidak center antara sprocket driver dengan sprocket driven sehingga timing belt bergeser kesisi stopper hal menyebabkan terjadinya gesekan antara timing belt dengan stopper. Kata kunci: Timing Belt, Sproket, tension

1. Pendahuluan

Penelitian ini mempresentasikan analisa timing belt pada mesin tenun yang mengalami kerusakan berupa putus pada timing belt setelah beroperasi selama 1440 jam dari pemasangan.

Timing belt pada mesin tenun menghubungkan atau memindahkan daya dari motor ke crankshaft dari crank shaft daya putar motor diubah menjadi gerakan maju mundur melalui crank arm

Pengerak utama mesin tenun adalah motor listrik 3 phase 380V dengan RPM 485 , yang kemudian lewat pulley dan belt menggerakkan Poros Utama (PU). Dalam gerakan 1 kali putar poros utama = 1 kali gerakan pokok mesin tenun. 1 kali gerakan pokok adalah gerakan dari pembukaan mulut lusi, penyisipanpakan sampai dengan pengetekan akhir (360º). Dari 1 kali gerakan poros utama akan menggerakkan poros lain, seperti poros tambahan untuk penggerak cam atau dobby.

Selain menggerakkan engkol untuk gerakan pengetekan, poros cam untuk pembuat mulut lusi, juga menggerakkan bagian lain seperti take-up, cutter penggunting pakan, leno, easing, menggerakkan dan lain-lain[1].

Jenis Mesin tenun yang digunakan air jet loom, Sistem peluncuran benang pakan di mesin ini menggunakan angin bertekanan (air jet) sebagai media pembawanya. Angin dari kompresor di saring kebersihannya, kemudian masuk pengatur tekanan angin (regulator), terus disalurkan melalui main nozzle bersama benang pakan, sehingga benang pakan dapat menyisip kemulut lusi dari ujung kiri ke ujung kanan kain. Angin yang ada tidak ditembakkan secara terus-menerus, tetapi diatur secara elektronik valve saat terjadi penyisipan benang pakannya.

Sudut putaran crankshaft harus singkron dengan sudut elektronik valve supaya angin yang membawa benang pakan dapat sampai keujung.

Timing belt sebagai media utama pemindah daya dari motor ke crankshaft dan menggerakan bagian mesin yang lainya serta penyingkron antara crankshaft dan elektronik valve

Page 8: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐2

Teknik

MESIN

Timing belt rentan mengalami kerusakan karena timing belt mengalami gesekan dengan pully, tegangan dan tempratur dari motor yang terus berputarPutus yang timbul pada timing belt dapat ditimbulkan oleh berbagai faktor seperti: tekanan kerja melebihi dari tekanan kerja timing belt yang diijinkan, apakah beban itu berbentuk statis ataupun berbentuk dinamis, gesekan yang timbul dari pully, tempratur dari motor, putaran motor atau crankshaft yang macet attack, hal ini akan menyebabkan kondisi peralatan kurang baik dan cendrung akan mempersingkat umur timing belt.

Faktor penyebab rendahnya kualitas produk dapat disebabkan oleh terjadinya kesalahan dalam perencanaan, pemilihan material, fabrikasi, assembling atau pemasangan. Faktor lain yang takkala pentingnya adalah kesalahan dalam memlih metode pemeliharaan, inspeksi sperti[2] : adanya baut – baut pengencang yang longgar tanpa diketahui sejak awal, longgarnya baut-baut ini akan menyebabkan tingginya vibrasi, tegangan dari timing belt pada saat pemasangan.

Analisis kerusakan / kegagalan adalah hal yang sangat diperlukan dalam dunia industri terutama peralatan – peralatan yang mempunyai resiko tinggi karena kerusakan yang terjadi akan berdampak pada kerugian ekonomi dan keselamatan manusia. Disamping itu kerusakan – kerusakan peralatan dimasa lalu dapat menjadi suatu pelajaran yang sangat berharga bagi kita, sehingga tidak terulang kembali.

2. Metode Penelitian

a. Data teknis material • Choroprene rubber : 53,97% • Magnesium okside : 2,16% • Stearic acid : 1,08% • Santoflek 13 : 1,35% • TMQ : 0,81% • Carbon black N330 : 35,07% • Minarek B : 2,70% • ETU : 0,16% • Zink okside : 2,70%

b. Peralatan

• Tensometer • Alat pirolisis • Perahu perselin • Spektrofotometer • Plat kbr • Tabung pirolisis • Gas nitrogen

c. Lokasi pemeriksaan Pengambilan lokasi pemeriksaan sample uji propertise dilakukan pada timing belt yang mengalami putus dan pada bagian-bagian timing belt yang mengalami retak \ d. Spesifikasi teknis :

• Name : timing belt mitsuboshi 1400 • Size : 1400H14M • Merk : MITSUBOSHI • Manufacturer : JAPAN • Tension : 1,21 lbs • sprocket : d = 151,52 mm

D = 320,86 mm • RPM = 485 • Motor 3 phase 380v 5kw

Page 9: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐3

Teknik

MESIN

3. Hasil dan Pembahasan

a. Hasil pengamatan visual

Gambar 1. Timing belt putus dengan kondisi Tensile member yang tidak merata

Gambar 2. Timing belt pustus dengan sudut 5º antara putusan satu dengan lainnya .

b. Hasil uji properties • Hardness : 77 Shore A • Tensile strength : 16,9 N/mm2 • Modulus100 % : 3,6 N/mm2 • Elongation at break: 340%

Dari hasil pemeriksaan dan pengamatan secara visual terlihat dari putusnya timing belt mengalami

tekanan yang berlebih hal ini bisa disebabkan oleh penyetelan tension timing belt yang tidak sesuai dengan standar, posisi sproket yang tidak center dengan timing belt sehingga menyebabkan timing belt slip kearah sisi sprocket. Sprocket yang ada dimotor berputar terus menerus dan timing belt sebagai penghantar daya ke sprocket yang ada pada crankshaft

Dari hasil uji kekerasan terlihat penurunan kekerasan hal ini bisa disebabkan oleh gesekan antara timing belt dan sproket yang menyebabkan tempratur pada timing belt menjadi tinggi

Dari pengujian tarik terlihat sesuai dengan standard[5] , namun kenaikan tegangan tarik bisa disebabkan oleh tension yang diberikan pada saat pemasangan tidak sesuai dengan standar timing belt yang digunakan hal ini sangat mempengaruhi dari kekuatan rubber timing belt.

C. Faktor-Faktor Penyebab Rusaknya Timming Belt Faktor –faktor lain yang menyebabkan terlalu tegangnya timing belt yaitu : • Kesalahan possi timing belt tehadap sproket yang tidak senter • Posisi sproket driver dan sproket driven tidak senter yang menyebabkan timing belt slip

Page 10: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐4

Teknik

MESIN

• Tegangan / tension yang diberikan pada timing belt tidak sesuai dengan standart timing belt yang digunakan

• Vibrasi pada sproket motor yang terus berputar Selain itu ada beberapa faktor juga yang mempengaruhi putusnya timing belt • Kesalahan pengoprasian mesin oleh operator mesin • Cara pemasangan yang tidak memperhatikan posisi sproket yang tidak senter • Pemilihan matrial timing belt Selain itu ada beberapa faktor juga yang mempengaruhi putusnya timing belt • Kesalahan pengoprasian mesin oleh operator mesin • Cara pemasangan yang tidak memperhatikan posisi sproket yang tidak senter • Pemilihan matrial timing belt • Kesalahan perawatan Dari hasil uji propertise terlihat penurunan kinerja timing belt yang angat signifikan yang disebabkan oleh faktor- faktor terlalu tegangnya timing belt yang menyebabkan timing belt gampang putus. D. Prosedur yang perlu diperhatikan dalam dalam pemilihan Timing belt

Hal –hal yang perlu diperhatikan dalam memilih timing belt al: 1. Mencari daya rencana

Dalam pemilihan daya rencana perlu memperhatikan, service faktor dari mesin yang digerakan dan rata –rata jam opersasi setiap hari yang terus menerus juga harus ditentukan, dengan atau beban yang bervariasi. [4]

2. Memilih pitch belt Dengan menggunakan perhitungan daya rencana point 1 dan Rpm dari sproket kecil maka akan didapat daya rencana, pitch belt

3. Memilih sprocket dan panjang belt Dalam memilih sproket dan panjang belt pertama-tama harus menentukan Rasio speed dengan jalan a. Rpm poros yang paling cepat dibagi dengan Rpm poros yang lambat b. Membagi Pitch diameter sprocket yang besar dengan Pitch diameter sprocket yang kecil c. Membagi jumlah gigi sproket besar dengan gigi sproket kecil Kedua memilih kombinasi sproket antara sprocket penggerak dengan sprocket yang digerakan maka akan didapat jarak nominal center [4]

4. Memilih lebar Belt Dalam memilih lebar belt setelah didapat putaran tercepat dan jumlah jumlah groove sprocket kecil maka akan didapat faktor koreksi daya, dimana faktor koreksi daya tidak boleh melebihi dara rencana[4]

5. Melakukan pengecekan terhadap spesifikasi dan stock komponen penggerak a. Memeriksa pemilihan sprocket b. Mencari tipe bushing dan ukuran lubang c. Mengecek ketersediaan komponen penggerak ( sprocket)[4]

E. Memilih metode pemeliharaan

Untuk menjaga agar umur dan performance Timing belt sesuai dengan yang diinginkan maka perlu dilakukan pemeliharaan yang sesuai dengan kondisi operasional yang ada.

Page 11: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐5

Teknik

MESIN

4. Kesimpulan Dari hasil pemeriksaan secara visual dan uji properties dapat diambil kesimpulan bahwa timing belt mengalami putus disebabkan timing belt mengalami tekanan yang berlebih hal ini bisa disebabkan oleh penyetelan tension timing belt yang tidak sesuai dengan standar, posisi sproket yang tidak center antara sprocket driver dengan dengan sprocket driven sehingga timing belt selalu bergeser hal ini menyebabkan timing belt bergesekan dengan stopper hal ini yang menyebabkan timing belt bergesekan dengan stopper.

Ucapan Terimakasih Dengan kerendahan hati Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya kepada Bapak

Jaenal, sebagai staf PUSAT PENELITIAN KARET (INDONESIA RUBBER RESEARCH INSTITUTE) yang telah membantu dalam melaksanakan pengujian dan Penelitian dan Bapak Sumadi.ST,.MT selaku dosen teknik mesin Universitas Ibnu khaldun Bogor yang telah memberikan banyak arahan dalam penulisan makalah ini.

Daftar Fustaka [1].Manual book Draper Air Jet Machine 1986 [2] John Moubray, RCM II Reliability Center Maintenance,Second Edition [3] ASTM Handbook, “ Failure Analysis and Prevention” [4] PowerGrip HTD Systems,Catalog 190 / 1982 UNIROYAL [5] PT.Standard Inti Polymer 1987,Brosure

Page 12: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐6

Teknik

MESIN

Perancangan Mesin Bending Pipa Untuk Ukuran Diameter Pipa ¾ Inchi

Dengan Sistem Dongkrak Hidrolik

Encu Saefudin , Marsono dan Cecep Kiki Handrian Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri

Institut Teknologi Nasional Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124 [email protected], [email protected]

Abstrak

Kebutuhan masyarakat akan produk dengan bahan dasar pipa semakin tinggi, hal ini menjadi

peluang bisnis yang cukup menjanjikan bagi industri sebagai pihak produsen. Banyak industri kecil maupun menegah yang turut bersaing untuk menghasilkan kualitas produk yang tinggi yang dapat menyaingi industri besar. Industri kecil dan menengah bersaing untuk mengembangkan mesin penekuk pipa sehingga mampu menghasilkan produk yang sama dengan yang dihasilkan industri besar. Dalam pengembangan tersebut dibutuhkan peran serta dunia pendidikan sehingga dapat dilakukan penelitian yang dapat membantu pihak-pihak industri dalam menghasilkan suatu produk yang berkualitas.

Perancangan mesin bending pipa ini memanfaatkan sistem dari dongkrak hidrolik dimana metode yang digunakan adalah rotary draw bending. Kemudian melalui pengetahuan ilmu mekanika dasar coba dianalisis kekuatannya serta ditentukan dimensi dari tiap-tiap komponen mesin sehingga pada akhirnya akan menghasilkan rancangan optimal yang dapat direalisasikan. Key words : mesin bending, perancangan, dongkrak hidrolik, rotary draw bending, pipa 1. PENDAHULUAN

Proses penekukan pipa (bending), biasanya banyak sekali dilakukan untuk membuat komponen-komponen industri maupun rumah tangga serta perlengkapan lainnya yang memanfaatkan pipa sebagai bahan dasarnya.

Mengingat besarnya kebutuhan produk-produk tersebut dipasaran, banyak industri kecil (rumah tangga) maupun menengah yang mulai berkembang serta bersaing untuk mendapatkan peluang bisnis. Seiring dengan berkembangnya industri-industri tersebut, maka diperlukan peralatan yang handal dan mampu menghasilkan produk yang berkualitas baik.

Untuk itu peran serta dunia pendidikan didalam perkembangannya sangatlah dibutuhkan, sehingga dapat dilakukan penelitian yang dapat membantu pihak-pihak industri dalam menghasilkan suatu produk yang berkualitas. Untuk itu dilakukan penelitian menyangkut peralatan bending pipa, sehingga diharapkan suatu saat penelitian ini akan bermanfaat dan membantu pihak-pihak industri dalam menghasilkan produk yang berkualitas.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : • Menghasilkan rancangan mesin tekuk pipa sederhana dengan memanfaatkan sistem dari

dongkrak hidrolik. • Optimalisasi rancangan berdasarkan analisis ilmu mekanika dasar. • Menentukan spesifikasi teknis dari hasil rancangan.

Berdasarkan rumusan masalah yang timbul, penulis membatasi masalah yaitu : • Radius tekuk hanya 900. • Mesin hanya untuk pipa dengan diameter pipa ¾ inchi. • Menentukan Gaya-gaya yang terjadi pada mesin bending.

2. TINJAUAN PUSTAKA 1. Metode Penekukan Pipa

Page 13: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐7

Teknik

MESIN

Ada beberapa metode yang biasanya digunakan dalam melakukan penekukan pipa yang akan menghasilkan bentuk dan hasil akhir yang berbeda. Metode – metode yang digunakan antara lain :

a) Metode Ram (Ram Style Bending) b) Metode Rotary (rotary draw bending) c) Metode rol (roll bending ) d) Metode Compression Bending

Gambar 2.1 Metode Bending Pipa[12]

2. Tegangan Geser

Tegangan geser yang diizinkan τa (kg.mm) untuk pemakaian umum pada poros dapat dihitung dengan persamaan :

(2.1)

Dimana Sf1 adalah faktor keamanan atas dasar kelelahan sebesar 6 untuk bahan S-C dan Sf2 adalah faktor keamanan pengaruh konsentrasi tegangan sebesar 1,3 sampai dengan 3,0.

3. Poros Dengan Beban Lentur Murni

Kekuatan bahan yang dipilih pada poros yang menerima beban lentur murni dapat menentukan tegangan lentur yang dizinkan (kg/mm2). Momen tahanan lentur dari poros dengan diameter ds (mm)

adalah Z = (π /32)ds3 (mm3), sehingga diameter ds yang diperlukan dapat diperoleh dari

(2.2)

Page 14: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐8

Teknik

MESIN

(2.3)

4. Poros Dengan Beban Puntir Dan Lentur Poros pada umumnya meneruskan daya melalui sabuk, roda gigi dan rantai. Dengan demikian

poros tersebut mendapat beban puntir dan lentur sehingga permukaan poros akan terjadi tegangan geser karena momen puntir T dan tegangan lentur karena momen lentur

M. Untuk bahan yang liat seperti pada poros, dapat dipakai teori tegangan geser maksimum :

(2.4)

Sehingga diameter poros (minimum) dapat ditentukan dengan persamaan ASME, yaitu :

(2.5)

Dimana Km adalah faktor koreksi keadaan momen lentur dan Kt adalah faktor koreksi keadaan momen puntir. 3. PRINSIP KERJA DAN PERHITUNGAN

1. Prinsip Kerja

Penggerak utama pada mesin ini adalah dongkrak hidrolik. Dongkrak akan menekan rollerblock berikut rollernya akan bergerak ke atas ( arah y) .

Roller menggelinding dan menekan follow bar sehingga follow bar akan bergerak ke atas (arah y) dan ke arah kanan/kiri ( arah z) yang dipengaruhi oleh putaran dari dies karena dies tidak segaris dengan rollernya. Dies yang bergerak secara rotasi tetapi bukan pada titik pusatnya, melainkan pada salah satu sisi dari dies tersebut sehingga dies tersebut akan bergerak membentuk lintasan-lintasan tertentu. Follow bar tersebut bersamaan dengan dies akan menekan dan menekuk pipa tersebut .

Z

X

Y

Roller

Roller block

Dongkrak

Gambar 3.1 Komponen Mesin

Page 15: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐9

Teknik

MESIN

q4 Q4q4

2. Menghitung Gaya pada Tiap Komponen Perhitungan dilakukan dengan menentukan dimensi pada beberapa komponen utama.

a. DBB gabungan beberapa komponen:

Dari AΣM =0, diperoleh Q2=89,63N, dan yΣF =0 diperoleh Q3=0,002N.

b. Gaya pada Roller

DBB roller :

Dari yΣF =0 diperoleh NQQ 63,98924 ==

Gambar 3.2 Posisi

Lintasan‐lintasan yang Tidak pada pusat

173

Q2 Fp

Fd

Fp Fp

Q3

Fd

Q2 Q3

A

q2

Q2

Page 16: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐10

Teknik

MESIN

Q4

c. Gaya pada Roller Pin DBB roller pin :

Dari AΣM =0 diperoleh RD=499,99N, dan yΣF =0 diperoleh RB=499,99N.

Dimana Poros mengalami beban lentur murni. Dengan melakukan 4 kali pemotongan, diperoleh diagram momen lentur sebagai berikut :

Dipilih bahan poros (roller pin) S30C, maka σ=48 kg/mm2 =480 N/mm2, Sf1= 6 dan Sf2 =1,5, maka diameter poros minimum d (mm):

d. Gaya pada Follow Bar

DBB pada follow bar :

RB RD

Fp Fp

73 7344,5 44,5

B D

Page 17: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐11

Teknik

MESIN

Dari yΣF =0 diperoleh Q5=984,63N.

e. Gaya pada Pipa

DBB pipa :

Dari BΣM =0 diperoleh FD1=6713,3N dan yΣF =0 diperoleh Fpe=5728,75N.

f. Gaya pada Dies

DBB dies

Dari BΣM =0 diperoleh Mz=93006,7N.mm dan dari yΣF =0 diperoleh Fpo=984,63N.

q5

q3

w

Q2

Q5

Q3 Q2

w

w

FDI

Q5Fpe

16 27,

B

Fpo

Mz

FDI

Fpe

Page 18: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐12

Teknik

MESIN

g. Gaya pada Die Wrist Pin Sleeve DBB die wrist pin sleeve Dari yΣF =0 diperoleh Q6=Fpo=984,63N.

h. Gaya pada Pin Sleeve

Dari BΣM =0 diperoleh FSb2=492,3N, dan dari yΣF =0 diperoleh FSb1=492,3N.

Dimana pin mengalami beban lentur murni. Dengan melakukan 2 kali pemotongan, diperoleh

Mmax=-47264,6N.mm. Dipilih bahan pin S30C, maka σ=48 kg/mm2=480 N/mm2 dan Sf1=6, Sf2 =1,5 maka diameter minimum pin d (mm) :

4. Analisis

1. Pada perancangan ditentukan bahwa mekanisme yang digunakan adalah metode rotary draw bending, karena gaya yang bekerja pada pipa adalah gaya radial dari dongkrak. Metode ini mempunyai keunggulan di banding dengan metode lain untuk memperoleh hasil yang cukup baik dimana dies dan klemnya bergerak sehingga memungkinkan diameter pipa akan seragam.

2. Penggerak pada mesin ini menggunakan dongkrak hidrolik, diharapkan mendapatkan gaya yang besar dengan input gaya tangan yang kecil, selain itu agar mesin lebih portable.

3. Perancangan dimulai dengan asumsi dari gaya maksimum dongkrak, karena pada saat awal merencanakan kesulitan mendapatkan harga-harga atau data yang diperlukan seperti σ bahan, gaya yang dibutuhkan untuk menekuk dll.

4. Dimensi dan bentuk dies dan follow bar harus disesuaikan untuk ukuran pipa ¾ inchi, agar pipa mampu menahan gaya reaksi pipa akibat gaya radial dari dongkrak sehingga diharapkan diameter pipa seragam.

Fpo

Q6

FSb1 FSb2

Q6

192

B A

Page 19: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐13

Teknik

MESIN

5. Proses penekukan diasumsikan sebagai sebuah simple beam dengan tiga gaya karena untuk menekuk pipa itu dibutuhkan minimal tiga gaya kemudian akan mempermudah perhitungan dengan menggunakan ilmu mekanika dasar.

6. Dimensi pin dapat dipengaruhi dari penentuan safety factor, oleh karena itu diharapkan penentuan safety factor harus benar. Safety factor yang terlalu besar akan mengakibatkan dimensinya semakin besar. Dalam perhitungan ini pemilihan safety factor berdasakan buku “dasar perencanaan dan pemilihan elemen mesin”.

7. Pada komponen die wrist pin sleeve, digunakan bantalan luncur yang diberi pelumas karena selain pembuatan dan pemasangannya praktis, bantalan luncurpun mampu menahan gaya radial yang lebih besar dibanding dengan bantalan peluru (gaya per satuan luas penampang lebih kecil), selain itu harganya lebih murah dibanding dengan bantalan peluru.

8. Bentuk, ukuran serta kehalusan dies dan follow bar harus baik, perlu dibuat dengan proses pemesinan karena mampu menghasilkan kualitas mencapai angka kekasaran maksimum sekitar 1,6 µm sehingga akan menghasilkan produk yang baik.

9. Sebaiknya pada saat pembuatan dies dan follow bar menggunakan mesin CNC sehingga mendapatkan kehalusan dan kebulatan yang baik.

5. Kesimpulan Dari hasil perhitungan dan analisis, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Hasil perancangan maka diperoleh spesifikasi mesin :

Tipe mesin rotary draw bending, dongkrak min 1 ton, radius dies120 o, radius tekuk max 90o, panjang follow bar min 25 cm, diameter poros roller pin 16 mm, diameter poros pin sleeve 20 mm, bahan poros ST 42, diameter pipa ¾ inchi, bahan pipa ST 37.

2. Untuk penggerak dipilih dongkrak hirdolik tipe bottle. 3. Pada perancangan die wrist pin sleve menggunakan bantalan luncur.

6. Daftar Psutaka [1] Sularso, Ir, MSME Kiyokatsu Suga., 1991. Dasar Perencanaan Dan Pemilihan Elemen

Mesin., PT. Pradnya Paramita, Jakarta. [2] G. Takeshi Sato dan N. Sugiarto, “Menggambar Mesin sesuai standar ISO”, PT. Pradnya

Paramita, Jakarta. [3] Groover, Michael P., 1996. Fundamental of modern manufacturing., Prentice hall, Upper

Saddle River, New Jersey. [5] [4] J. E. Shigley and C. R. Mischke, 1983. Mechanical Engineering Design, McGraw Hill

Book Company, New York. [5] Popov, E.P. 1996. Mekanika Teknik, Erlangga. Jakarta. [6] Hadisaputro, Vincent S.T. 2006. Perancangan Mesin Roll Bending Pipa Dengan Kapasitas

Ukuran Diameter Pipa Maksimum 2 Inchi. ITENAS ,Bandung. [7] Rahadian, Dicky S.T. 2002. Perancangan Mesin Roll Bending Pipa . ITENAS. Bandung. [8] Cecep Kiki Handrian. 2010. Perancangan Mesin Bending Pipa untuk Diameter Pipa ¾

Inchi dengan Memanfaatkan Sistem Dongkrak Hidrolik. ITENAS. Bandung.

Gambar 4.1 Diameter pipa tidak Gambar 4.2 Diameter pipa

Page 20: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐14

Teknik

MESIN

Pengujian Prestasi Kompor Induksi

Syahbardia

Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik

Universitas Pasundan Jalan Setiabudhi No, 193 Bandung 40153

[email protected]

Abstrak

Pemanasan induksi pertama dikenal sebagai rugi-rugi panas pada mesin listrik dan transformator. Kemudian fenomena rugi-rugi disipasi panas ini dimanfaatkan untuk pengembangan design tungku pencairan logam, oven heat treatment dan pengelasan logam, dan ditemukanlah tungku induksi, oven induksi dan penyambungan logam dengan pemanas induksi. Berdasarkan kelebiham-kelebihan yang dimiliki sistem pemanas induksi, maka dewasa ini banyak kompor-kompor rumah tangga yang ada dipasaran merupakan jenis kompor induksi.

Kompor induksi adalah salah satu produk modern dan sangat bermanfaat bagi orang banyak terutama ibu-ibu rumah tangga. Kompor induksi ini faktor keselamatannya lebih tinggi dan lebih lebih efisien dari kompor listrik, minyak, dan gas. Penggunaan cukup dengan menggunakan energi listrik, produk ini memiliki kelebihan salah satunya adalah pada saat memasak dipegang dari setiap posisi tidak menimbulkan panas sama sekali.

Dalam penelitian ini dilakukan pengujian efisiensi kompor induksi untuk pemanasan air pada beberapa kondisi pada variasi volume air dari 1 liter air sampai 5 liter air. Dari hasil pengujian dan perhitungan, efisiensi maksimum terjadi pada volume air 4 liter air yaitu sebesar 88,2% dengan waktu pemanasan air 14 menit. Sedangkan efisiensi maksimum rata-rata terjadi pada volume air 4 liter yaitu sebesar 83,6%. Hasil penelitian ini juga dapat disimpulkan bahwa kompor induksi merupakan kompor rumah tangga yang memiliki efisiensi konversi energi yang tertinggi dibandingkan dengan kompor-kompor rumah tangga yang lainnya.

Keywords : kompor induksi

1. Latar Belakang Pemanasan induksi idenya berkembang menggunakan prinsip induksi elektromagnetik

yang pertama kali ditemukan oleh Michael Faraday pada tahun 1831. Pemanasan induksi pertama dikenal sebagai rugi-rugi panas pada mesin listrik dan transformator. Kemudian fenomena rugi-rugi disipasi panas ini dimanfaatkan untuk pengembangan design tungku pencairan logam, oven heat treatment dan pengelasan logam, dan berkembanglah tungku induksi, oven induksi dan penyambungan logam dengan pemanas induksi. Berdasarkan kelebiham-kelebihan yang dimiliki sistem pemanas induksi, maka dewasa ini banyak kompor-kompor rumah tangga yang ada dipasaran merupakan jenis kompor induksi.

Dari brosur, beberapa artikel majalah menjabarkan keunggulan-keunggulannya dibandingkan dengan kompor konvensional. Salah satunya adalah besarnya kemampuan dalam mengkonversikan energi listrik menjadi termal, atau lebih dikenal dengan istilah efisiensi konversi energi.

Page 21: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐15

Teknik

MESIN

Berdasarkan latar belakang tersebut dilakukan penelitian untuk mengetahui prestasi kompor induksi. Prestasi kompor induksi diketahui dengan studi referensi serta pengujian prestasi, memilih satu sample kompor induksi yang ada dipasaran.

Tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti yaitu: Mengetahui prinsip kerja kompor induksi, mengetahui prosedur pengujian prestasi dan besarnya efisiensi dari studi referensi dan pengujian prestasi kompor induksi.

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah menambah wawasan peneliti dan para pembaca tentang kompor induksi, dan mempunyai pertimbangan yang lebih banyak dalam pemilihan alternatif kompor induksi dengan kompor konvensional yang telah terlebih dahulu dikenal.

2. Metodologi Studi referensi

Berdasarkan hukum Ampere pembangkitan medan magnet dapat timbul jika kumparan dialirkan arus listrik, sesuai dengan persamaan (2-1):

……………(2-1)

Besarnya garis-garis medan magnet berbanding lurus dengan permeabilitas dari material core

…………………..(2-2)

Kerapatan medan magnet objek berkurang semakin dekat ke pusat core dari permukaan. Menurut Hukum Faraday, arus yang dihasilkan pada permukaan core konduktif memiliki hubungan yang berlawanan dengan arus pada sirkuit induksi. Arus pada permukaan core dinamakan arus eddy

Efficiency of Cooking Methos

Cooking Method Efficiency

Induction 90%

Halogen 58%

Electric 47%

Gas 40%

Gambar 2-1: Skematis pembangkitan arus eddy

Tabel 2-1: Tabel efisiensi beberapa jenis

kompor rumah tangga dari studi referensi

∫ == FiNHdl

AHμφ =

Page 22: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐16

Teknik

MESIN

…………………..(2‐3)

Akibatnya, energi listrik yang disebabkan oleh arus eddy yang diinduksi dan langsung dikonversi menjadi

energi panas (persamaan 2-4). ……………………..(2-4)

Besarnya resistansi ditentukan dari resistivitas (ρ) dan permeabilitas (μ) dari core. Konversi energi listrik ke termal selain akibat arus eddy juga disebabkan hysteresis, besarnya < 10% dari energi induksi.

Secara umum kompor induksi memiliki bagian utama: Power source AC, Rectifier, Filter, Inverter, Heating coil dan core atau heat load.

Gambar 2‐2: diagram blok bagian utama kompor induksi

Power source atau sumber listrik AC berasal dari generator/jaringan AC. Tegangan standard bisa 120 V, 220 V atau 380 V, frekuensi 50 Hz atau 60 Hz. Untuk power biasanya tegangan diturunkan supaya arusnya naik dengan transformator.

Rectifier atau penyearah, merupakan konvertor elektronik mengubah listrik AC menjadi DC menggunakan Dioda. Jumlah diode yang digunakan bisa dua jika transformatornya memiliki CT, empat buat disusun menjadi jembatan diode, atau enam buah jika sumber listrik AC tiga phasa.

Filter atau penyaring listrik DC agar ripplenya sekecil mungkin. Dapat jenis pasif dengan koninasi beberapa kapasitor dan induktor. Atau jenis aktif menggunakan komponen utama transistor

Inverter merupakan konverter elektronik mengubah listrik DC menjadi AC. Menggunakan komponen utama transistor atau tryristor. Jenis inverter yang digunakan ada tiga macam: current source inverters = CSI, Variable voltage inverters = VMI dan pulse-width-modulated = PWM. Jenis yang terakhir memiliki efisensi yang tinggi, oleh karena itu yang paling banyak digunakan.

Coil merupakan pembangkitan medan magnet, jenisnya ada dua yaitu: bentuk spiral untuk tegangan tinggi arus rendah sedang bentuk spring untuk arus yang tinggi.

powersource rectifier filter inverter coil heat load

dtdN

dtdE φλ

==

RiREP 2

2

==

Gambar 2-3: Penampang dinding panic kompor induksi

Page 23: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐17

Teknik

MESIN

Heat load merupakan komponen yang menimbulkan arus eddy, akibat dipotong oleh garis-garis medan magnet yang arah dan besarnya berubah-ubah. Untuk kompor induksi merupakan panci yang terbuat dari logam ferromagnetic. Fungsi dan jenis lapisan-lapisan panci: 1) 18/10 stainless steel adalah non-reaktif terhadap makanan dan mudah dibersihkan. 2,3,4) 1145 aluminium alloy seri 1145 dengan lapisan

3004 aluminium antara untuk pemerataan panas. 5) 18/10 stainless steel untuk superior bond. 6) stainless steel untuk proses induksi magnetik yang efisien 7) 18/10 stainless steel tahan pitting & berkarat

Gambar 2‐4: Jenis coil pemanas induksi

Prosedur Pengujian Metoda pengujian yang dilakukan adalah dengan pemanasan air yang dikenal dengan istilah boiling

water test.Parameter pengukuran yang menunjukan hasil pengukuran dari alat ukur, parameter-parameter itu antara lain :

1. waktu pendidihan air dan waktu operasi 2. energi listrik yang digunakan 3. arus 4. tegangan 5. daya 6. temperatur air

Parameter pengujian adalah parameter yang di bakukan dalam melakukan pengujian. Dimana terdapat dua parameter pengujian yaitu :

1. Parameter tetap adalah kondisi awal yang dibuat tetap untuk setiap pengujian. 2. parameter yang berubah, adalah parameter yang diubah-ubah untuk mendapatkan data yang

diinginkan. Parameter tersebut adalah mengubah volume air Peralatan pengujian yang digunakan adalah :

1. 1 unit kompor induksi 1800 W 2. 1 buah panci kompor induksi terbuat dari material ferro magnetik 3. Termocople 4. Gelas ukur 250 ml 5. Power analyzer 6. Stop watch

Prosedur pengujian kompor induksi

a. Menghidupkan kompor induksi dengan cara menekan tombol power pada posisi on. b. Menset temperatur yang diinginkan dan kemudian meletakkan panci yang berisi air pada

kompor induksi dan waktu mulai di catat

Page 24: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐18

Teknik

MESIN

c. Mengukur temperatur pada beberapa titik yang telah ditentukan setiap 60 detik sampai air mendidih

d. Mengulangi langkah diatas dengan massa air yang berbeda.

Instalasi pengujian untuk pengujian kompor induksi diperlihatkan seperti gambar berikut ini :

Gambar 2-5: Instalasi pengujian

Data hasil pengujian dan perhitungan

Tabel 2-2: Data pengujian kapasitas 1-liter

Tabel 2-3: Data pengujian kapasitas 2-liter

Tabel 2-4: Data pengujian kapasitas 3-liter

Page 25: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐19

Teknik

MESIN

Tabel 2-5: Data pengujian kapasitas 4-liter Tabel 2-6: Data pengujian kapasitas 5-liter

Gambar 2-6: Kurva efisiensi vs waktu untuk berbagai volume air

Gambar 2-7: a)Kurva efisiensi rata-rata vs volume air, b) Kurva efisiensi maksimum vs volume air

Page 26: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐20

Teknik

MESIN

3. Analisis dan Diskusi Dengan melihat kurva gambar 2-6, bahwa kelakuan kompor induksi efisiensi cenderung konstan

setelah beberapa menit kompor dihidupkan sampai mendidih. Efisiensi maksimum mendekati dari studi referensi. Efisiensi yang tinggi tersebut terjadi , karena rugi-rugi panas jauh lebih kecil dibandingkan dengan kompor konvensional. Rugi-rugi panas kecil karena perbedaan temperatur dinding dengan lingkungan tidak terlalu besar dibandingkan dengan kompor konvensional. Perpindahan panas dari sumber panas yaitu bagian bawah panci keair dengan modus perpindahan panas konduksi. Sehingga laju perpindahan panasnya lebih besar dibandingkan modus-modus yang lain. Gambar 2-7 memperlihatkan juga bahwa efisiensi maksimum terjadi tidak pada kapasitas maksimum kompor, tetapi pada kapasitas ± 80% kapasitasnya. Hal ini merupakan sesuatu yang umum terjadi. Biasanya designer merancang produk kondisi operasi optimal bukan pada kapasitas maksimumnya. 4. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa: 1. Prinsip kerja kompor induksi berdasarkan hukum Ampere dan hukum Faraday 2. Konversi energi listrik ketermal akibat efek Arus Eddy dan hysteresis 3. Besar efisiensi maksimum dari hasil pengujian 88,2 % 4. Efisiensi maksimum terjadi pada kapasitas terpasang 80 %

Daftar Pustaka

[1]. AN9012, “Induction Heating System Topology Review”,FAIRCHILD SEMI CODUCTOR,July,2000

[2]. Renesas Technology Europe “Induction Cooking Basics”,2008 [3]. Frianto, Decky.2010. “Pengujian prestasi kompor Induksi”. Bandung : Laporan Tugas Akhir

Jurusan Teknik Mesin UNPAS. [4]. ”High Frequency Induction Heating”, http://www.richieburnett.co.uk/indheat.html [5]. Rhoades, Nathan “A Fundamental Overview of Heating by Induction” , April 22, 2006 [6]. ”The Induction Heating Guide” , www.inductionatmospheres.com

Page 27: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐21

Teknik

MESIN

Pembuatan dan Pengujian Mesin Tekuk Pipa untuk Diameter ¾ Inchi

Marsono, Encu Saefudin dan Farid Firmansyah Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri

Institut Teknologi Nasional Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124

[email protected], [email protected]

Abstrak Proses penekukan (bending) sederhana yang umum dipakai adalah alat penekuk pipa, yang

digunakan dalam industri kecil dan industri rumah tangga. Seiring dengan perubahan pola hidup masyarakat yang sangat cepat dan persaingan yang semakin tajam pada bidang industri telah menyebabkan para produsen berlomba untuk menghasilkan kualitas produk yang tinggi yang dapat menyaingi industri besar. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu mesin tekuk pipa yang memilki konstruksi sederhana, pengoperasian mudah, dan dengan hasil penekukan yang baik. Mesin tekuk pipa ini dirancang dengan menggunakan hidrolik sebagai tenaga penekananya, sedangkan metoda penekukannya pipa yang dipakai adalah jenis rotary draw bwnding. Dari hasil pengujian yang dilakukan, diketahui bahwa kesempurnaan bentuk dan dimensi dari dies dan followbar akan ikut menentukan kesempuraan hasil tekukan. Distorsi pada bentuk diameter yang terjadi pada pipa yang tipis adalah sebesar 9.5% sedangkan pada pipa tebal distorsi penampang pipa terjadi lebih kecil, yaitu 2,3%. Distorsi sudut tekukan akibat springback yang terjadi pada kedua jenis pipa adalah sama, yaitu sebesar 16,7%. Waktu yang dibutuhkan untuk penekukan pipa dengan sudut 90o adalah 56 detik.

Key words : mesin tekuk pipa, rotary draw bending, springback, 1. Pendahuluan Proses tekuk pipa (pipe bending) digunakan untuk membuat bentuk komponen industri ataupun keperluan industri rumah tangga, dari sistem pemipaan, perlengkapan dan komponen kendaraan dan elemen mesin sampai kepada rangka furnitur. Keuntungan dari pemanfaatn pipa untuk struktur (rangka) adalah mampu mereduksi berat dan tentunya biaya. Permintaan yang tinggi akan produk-produk seperti ini mendorong banyak pihak untuk ikut serta mengembangkan usaha tekuk pipa, baik dalam skal kecil, menengah maupun industri besar. Hal ini juga mendorong meningkatnya kebutuhan mesin yang mampu mernghasilkan produk yang berkualitas baik agar dapat bersaing di pasaran. Mesin tekuk pipa yang ada saat ini masih memiliki kekurangan, yaitu masih sering menghasilkan pipa yang cacat, misalnya pipa mengalami pecah, pengerutan atau mengalami perubahan bentuk dan ukuran diameter yang tidak sesuai dengan harapan. Untuk meningkatkan keberdayaan industri kecil menengah, dalam penelitian ini akan dkembangkan mesin penekuk pipa diameter ¾ inchi yang diharapkan bisa membantu proses penekukan pipa di industri skala kecil, yang dapat dioperasikan dengan mudah dan mampu menghasilkan produk yang baik kualitasnya dan mampu mengurangi cacat produk. Mesin tekuk pipa ini dikembangkan untuk menghasilkan tekukan yang sempurna dan tidak terjadi cacat. Dan untuk mengetahui kinerja mesin ini, dilakukan pengujian dan analisis hasil tekukan.

Page 28: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐22

Teknik

MESIN

2. Metodologi Proses penekukan pipa dapat dilakukan dengan beberapa metode. Setiap metoda akan menghasilkan bentuk dan hasil akhir yang berbeda. Metode – metode yang digunakan anatara lain :

Metode Ram (Ram Style Bending) Metode ini bekerja dengan memanfaatkan sebuah batang penekan sementara pipa yang akan ditekuk dipasang pada dua buah penahan, kemudian penekan akan menekan pipa tepat diantara dua buah penahan, sehingga pipa akan tertekuk. Akan tetapi kelemahan metode ini adalah terjadinya perubahan bentuk penampang pipa yang semula harusnya bulat menjadi oval.

Metode Rotary (rotary draw bending) Metode ini bekerja dengan cara menjepit salah satu ujung pipa, kemudian merotasi pipa ke sekeliling cetakan ( dies ), dengan radius tekuk sesuai dengan radius rol. Berbeda dengan metode ram, metode ini di anggap dapat mempertahankan penampang pipa agar tetap sama dengan semula.

Metode rol (roll bending ) Metode ini digunakan untuk menekuk pipa secara kontinu serta membentuk suatu radius yang besar. Metode ini menggunakan tiga buah rol yang terhubung dengan tiga buah poros yang berbeda. Rol-rol tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu rol atas (upper roll) dan rol bawah (lower roll).

Metode Compression Bending Cara kerjanya untuk metoda ini sama dengan metoda rotary namun cetakan (dies) pada metoda ini diam. Proses pelengkungan seperti kereta geser slide piece bergeser mengelilingi dies

Gambar 1. Metode Bending Pipa[2]

Secara umum mesin bending adalah mesin yang digunakan untuk proses pembentukan logam dengan bebagai bentuk seperti pelat datar, lembaran dan bentuk pipa dapat dibentuk menurut lekukan yang diinginkan. Mesin ini menggunakan sistem dongkrak hidrolik yang berfungsi sebagai penggerak. Mesin bending pipa yang dibuat ini menggunakan metoda rotary draw bending di mana cara ini digunakan untuk menekuk pipa dengan sudut maksimum penekukan biasa mencapai 90o. Penggerak utama pada mesin ini adalah dongkrak hidrolik. Dongkrak akan menekan rollerblock berikut rollernya akan bergerak ke atas ( arah y).

Page 29: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐23

Teknik

MESIN

Roller menggelinding dan menekan follow bar sehingga follow bar akan bergerak ke atas (arah y) dan ke arah kanan/kiri ( arah z) yang dipengaruhi oleh putaran dari dies karena dies tidak segaris dengan rollernya. Dies yang bergerak secara rotasi tetapi bukan pada titik pusatnya, melainkan pada salah satu sisi dari dies tersebut sehingga dies tersebut akan bergerak membentuk lintasan-lintasan tertentu. Follow bar tersebut bersamaan dengan dies akan menekan dan menekuk pipa tersebut .

Gambar 3 Posisi dan lintasan gerak dies

Melalui proses perancangan, didapatkan mekanisme yang dipilih, bentuk dan ukuran komponen serta material yang dipilih untuk setiap komponen Dasar pertimbangan dalam pemilihan material untuk pembuatan komponen adalah kekuatan, kemudahan proses produksi dan ketersediaan di pasar. Bahan yang dipakai adalah baja profil, baja konstruks dan plat. Pembuatan komponen mesin tekuk pipa dilakukan dengan menggunakan beberapa macam mesin perkakas, antara lain mesin bubut, mesin freis, mesin gurdi, serta peralatan kerja bangku dan mesin las lisrik

Lintasan‐lintasan yang terbentuk

Tidak pada pusat lengkungan dies

Gambar 2. Komponen Mesin

Z X

Y

Roller

Roller block

Dongkrak

Page 30: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐24

Teknik

MESIN

3. Pengujian

Pengujian mesin tekuk pipa ini adalah untuk mengetahui kinerja dari mesin bending pipa, yang meliputi pengujian kemampuan mesin untuk melakukan pek[nekukan pipa dengan sudut penekukan 90o, serta meneliti qualitas hasil penekukan yang ditandai dengan tingkat distorsi atau cacat yang terjadi pada daerah tekukan

Adapun batasan yang dipakai untuk melakukan pengujian mesin tekuk pipa ini adalah :

1. Bahan pipa yang digunakan dalam pengujian menggunakan bahan St 37 dengan dimensi pipa berdiameter ¾ inch dan ketebalan 1,2 mm dan 2mm. Untuk pipa ¾ inch dengan ketebalan 1,2mm, diameter luar pipa adalah 21mm sedangkan untuk pipa ¾ inch dengan ketebalan 2mm, dimater pipa adalam 22mm.

2. Sudut lengkung pipa maksimum yang dicapai 90o. 3. Dongkrak hidrolik yang digunakan dengan kapasitas 10 ton.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan proses pengujian, diantaranya : 1. Benda uji (pipa) dimasukan dari depan dies. 2. Letakkan benda kerja diantara dies dan followbar kemudian atur followbar agar lurus dan sejajar

dies. 3. Setelah benda kerja, dies dan followbar lurus dongkrak hidrolik di naikkan secara perlahan hingga

pipa bengkok membentuk radius 90o. 4. Setelah mendapatkan radius yang diinginkan turunkan dongkrak agar benda kerja dapat di lepas dari

mesin.

Gambar 4. Penenetuan jarak pengukuran pada pipa

Gambar 5. Penentuan arah sumbu pada pipa

Page 31: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐25

Teknik

MESIN

Data Hasil Pengujian Serta Grafik Hasil Pengujian Tabel serta grafik yang didapat dari hasil pengujian pipa berdiameter 21 mm dan tebal 1,2 mm dapat dilihat dibawah ini :

Tabel 1. Hasil Pengujian Pipa 1 Diameter 21 mm Tebal 1,2 mm

No Jarak Sebelum

Pengujian Sesudah Pengujian

Pengukuran Pipa Ø21 - 1 Pipa Ø21 - 2 Pipa Ø21 - 3 Pipa Ø21 - 4 Pipa Ø21 - 5 (mm) X-X Y-Y X-X Y-Y X-X Y-Y X-X Y-Y X-X Y-Y X-X Y-Y

1 15 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 2 30 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 3 45 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 4 60 21 21 21 20 21 20 21 20.3 21 21 21 21 5 75 21 21 21.2 20 21.2 20 21.2 20 21 20.2 21 20.5 6 90 21 21 21.2 19.5 21 20 22 19 21.2 20 21.2 20.2 7 105 21 21 21.2 19.5 21 20 22 19 21.2 20 21.2 20.2 8 120 21 21 21 20.5 21 20.5 21.3 20 21.2 20 21.2 20.2 9 135 21 21 21 21 21 20.5 21 21 21 20.5 21 20.5

10 150 21 21 21 21 21 21 21 21 21 20.5 21 21 11 165 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 12 180 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 13 195 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21

Gambar 6. Grafik hasil pengujian penekukan pipa dengan diameter 21 mm dan tebal 1,2 mm

Page 32: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐26

Teknik

MESIN

Tabel 2. Hasil Pengujian Pipa 1 Diameter 22 mm Tebal 2 mm

No Jarak Sebelum

Pengujian Sesudah Pengujian

Pengukuran Pipa Ø22 - 1 Pipa Ø22 - 2 Pipa Ø22 - 3 Pipa Ø22 - 4 Pipa Ø22 - 5 (mm) X-X Y-Y X-X Y-Y X-X Y-Y X-X Y-Y X-X Y-Y X-X Y-Y

1 15 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 2 30 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 3 45 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 4 60 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 5 75 22 22 22 22 22 22 22 21.5 22 22 22 22 6 90 22 22 22 21.7 22 21.7 22 21.7 22 22 22 22 7 105 22 22 22 21.5 22 21.5 22 21.7 22 21.7 22 21.7 8 120 22 22 22 21.7 22 21.7 22 21.7 22 22 22 22 9 135 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22

10 150 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 11 165 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 12 180 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 13 195 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22

Gambar 7. Grafik hasil pengujian penekukan pipa dengan diameter 22 mm dan tebal 2 mm

Page 33: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐27

Teknik

MESIN

4. Analisis Proses pembuatan menghasilkan mesin tekuk yang sedikit berbeda dengan rancangan, dimana terdapat beberapa komponen yang mengalami perubahanadapun elemen yang diubah adalah base plat, dimana base plate ini diberi tambahan berupa tempat dudukan dongkrak agar pada saat digunakan dongkrak tidak bergeser. Disamping itu, komponen roller yang pada rancangan tidak ditumpu bearing, pada pembuatannya ditambahkan bearing, agar roller dapat bergerak secara rotasi dengan lancar pada saat penggunaannya. Kesulitan ditemui pada saat pembuatan dies dan followbar. Pembuatan dies dilakukan dengan hanya menggunakan mesin bubut konvensional, sehingga radius lengkungan dies tidak terbentuk dengan sempurna. Hal ini juga terjadi pada pembuatan followbar yang juga dikerjakan dengan menggunakan mesin freis vertical konvensional, dimana radius lengkungan followbar tidak terbentuk dengan sempurna. Untuk menyempurnakan dan manghaluskan permukaan dies dan followbar dilakukan penggerindaan dan gerinda amplas. Setting poros pin sleeve dan poros roller pin harus sejajar agar pipa hasil penekukan benar-benar satu sumbu (tidak miring). Dari hasil pengujian diketahaui bahwa pipa yang tipis lebih sulit di tekuk, dalam arti lebih mudah terjadi cacat. Hal ini disebabkan karena pipa yang tipis lebih mudah terdeformasi ( tidak mampu menahan tegangan yang besar). Pengujian juga menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan ukuran (dimensi) pipa pada arah sumbu-X dan sumbu-Y, dimana pada arah sumbu-X terjadi pembesaran dimensi sementara pada arah sumbu-Y terjadi pengecilan dimensi

Gambar 8. Hasil Pengujian Pipa Diameter 21 mm pada daerah tekukan, sebelum dan sesudah proses penekukan

Penyebab terjadinya perubahan dimensi ini adalah karena adanya kelonggaran yang berlebihan pada penampang lintang dies dan follow bar, dimana kelonggaran yang berlebihan ini menyebabkan deformasi pipa tidak dapat ditahan. Besar distorsi (perubahan) dimensi maksimum untuk pipa tipis (t=1,2mm) adalah sebesar (19-21)/21 = 9,5% sedangkan untuk pipa tebal (t=2mm) adalah sebesar (22-21,5)/22 = 2,3%. Hal ini dapat diatasi dengan cara membuat dies dan followbar dengan penampang lintang yang benar-benar membentuk kebulatan yang sempurna sehingga diameter pipa yang ditekuk benar-benar duduk di dalam dies dan follow bar dengan baik.

20 mm

21,2 mm21 mm

21 mm

Y

X

Page 34: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐28

Teknik

MESIN

Gambar 8. Bentuk Ketidakbulatan Profil Dies dan Followbar

Setelah proses penekukan pipa selesai, terjadi fenomena spring back, tepatnya pada saat dongkrak diturunkan, dimana tekukan pipa kembali terbuka kearah yang berlawanan terhadap arah penekukan. Fenomena spring back yang terjadi menyebabkan sudut tekukan kedua pipa (t=1,2mm dan t=2mm) lebih besar dari 90o yaitu 105o. Besar springback ini adalah (105O-90O)/90O = 16,7%. Untuk membuat sudut tekukan 90o, maka proses penekukan harus dilakukan dengan sudut yang lebih kecil dari dari 90o.

5. Kesimpulan Pengujian yang dilakukan pada 5 buah pipa ¾ inch dengan ketebalan 1,2mm dan 5 buah pipa ¾ inch dengan ketebalan 2mm menunjukkan bahwa untuk mendapatkan tekukan yang sempurna dibutuhkan kesempurnaan bentuk dan dimensi dari dies dan followbar. Kelonggaran yang berlebihan akan menyebabkan cacat pada hasil penekukan, terutama pada daerah tekukan. Perubahan dimensi (distorsi) pada bentuk diameter lebih mudah terjadi pada pipa yang tipis, yaitu sebesar 9.5% sedangkan pada pipa tebal distorsi penampang pipa terjadi lebih kecil, yaitu 2,3%. Distorsi sudut tekukan akibat springback yang terjadi pada kedua jenis pipa adalah sama, yaitu sebesar 16,7%. Waktu yang dibutuhkan untuk penekukan pipa dengan sudut 90o adalah 56 detik.

Daftar Pustaka [1]. Amstead B.H, 1991, “ Teknologi mekanik jilid 1dan 2 ”, Jakarta, Erlangga. [2]. Groover, Michael P., 1996. Fundamental of modern manufacturing., Prentice hall, Upper Saddle

River, New Jersey. [5] [3]. Hadisaputro, Vincent S.T. 2006. Perancangan Mesin Roll Bending Pipa Dengan Kapasitas

Ukuran Diameter Pipa Maksimum 2 Inchi. ITENAS ,Bandung. [4]. Permana Indra, 2006, “Proses Pembuatan dan Pengujian Mesin Roll Bending Pipa Dengan

Kapasitas Ukuran Diameter Pipa Maksimum 2 inchi” Jurusan Teknik Mesin, Institit Teknologi Nasional.

Page 35: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐29

Teknik

MESIN

Perancangan Dan Pembuatan Oven Pengering Eceng Gondok Untuk Skala Industri Kecil

Noviyanti Nugraha, MT, Dr. M. Alexin P, Danang Pinandhitio, ST Jurusan Teknik Mesin

Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung

ABSTRAK Pengeringan eceng gondok sebagai bahan baku dalam proses pembuatan anyaman tas ataupun sandal masih dilakukan secara tradisional dimana masih menggunakan panas matahari sebagai sumber energi untuk pengeringan. Hal ini dapat menyebabkan tersendatnya proses produksi karena dengan menggunakan energi panas dari matahari akan membutuhkan waktu yang lama dalam proses pengeringannya. Salah satu upaya untuk menanggulangi masalah tersebut adalah dengan merancang dan membuat oven pengering eceng gondok untuk skala industri kecil dengan menggunakan bahan bakar gas LPG. Pada pengujian awal diketahui dalam 100gr eceng gondok terdapat 92,6% kadar air yang terkandug didalamnya. Dengan menggunakan oven pengering eceng gondok yang berbahan gas LPG, jumlah kalor yang didapat dari hasil pembakaran adalah sebesar 3,74kW, sedangkan untuk melakukan proses pengeringan hanya membutuhkan laju kalor sebesar 0,373kW, sehingga waktu yang dibutuhkan adalah sebesar 98 menit untuk mengeringkan eceng gondok dengan kapasitas 1,3kg. Untuk melakukan pemanasan air hingga temperatur 95OC membutuhkan waktu hingga 90 menit, sehingga dengan total waktu 3jam 8 menit, maka eceng gondok sebanyak 1,3kg dapat dikeringkan dan dapat mempercepat proses produksi pembuatan anyaman berbahan dasar eceng gondok. Kata kunci : Eceng gondok, Oven pengering, Laju kalor pengeringan, Industri kecil 1. Pendahuluan Eceng chhornia crassipes) adalah salah satu jenis tumbuhan air mengapung. Eceng gondok memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma yang dapat merusak lingkungan perairan. Eceng gondok dengan mudah menyebar melalui saluran air ke badan air lainnya. Perkembangan tumbuhan air enceng gondok di perairan sungai, danau, hingga ke perairan payau sangat pesat. Sekilas tanaman enceng gondok tidak berguna. Bagi masyarakat di sekitar pinggiran sungai, enceng gondok adalah tanaman parasit yang hanya mengotori sungai dan dapat menyebabkan sungai menjadi tersumbat atau meluap karena enceng gondok terlalu banyak. Begitu pula bagi para masyakat disekitar pinggiran danau yang menganggap enceng gondok yang banyak didanau adalah penggau yang menghalangi aktivitas mereka di danau tersebut. Namun akhir-akhir ini eceng gondok mulai banyak diminati oleh para produsen kerajinan tangan sebagai bahan dasar untuk membuat berbagai jenis anyaman kerajinan, baik berupa tas,sandal, maupun bentuk-bentuk kerajinan tangan yang lainnya. Namun dalam pelaksaannya banyak dari pengusaha kerajinan tangan yang mengalami kendala ketika mengolah bahan tersebut,yaitu ketika proses pengeringan eceng gondok yang memakan waktu yang lama serta selalu tergantung dari panas matahari dalam upaya pengeringannya. Saat ini untuk mengeringkan Enceng gondok masih dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan jalan dijemur pada sinar matahari, dimana cara ini banyak memiliki kelemahan, antara lain: 1. Aktifitas pembuatan sangat tergantung pada cuaca. 2. Target produktifitas tidak bisa dipastikan. 3. Memerlukan jumlah tenaga yang cukup banyak. 4. Memerlukan waktu yang lama. 5. Memerlukan tempat yang besar. Dengan adanya masalah tersebut di atas, maka dalam Tugas Akhir ini dirancang, dibuat dan diuji sebuah Oven Pengering Eceng Gondok Untuk Skala Industri Kecil untuk mengurangi kendala-kendala yang terjadi dalam proses pengeringan eceng gondok.

Page 36: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐30

Teknik

MESIN

Gas LPG (Liquified Petroleum Gases) dipilih sebagai bahan bakar untuk alat pengering yang akan dirancang karena mudah didapat dan dengan harga yang relatif lebih murah jika dibandingkan dengan bahan bakar jenis lain yang ada di sekitar. Dengan adanya alat ini diharapkan pengeringan Enceng gondok akan lebih cepat dan aktivitas pembuatan kerajinan tangan dari bahan eceng gondok seperti anyaman tas dan sandal dapat berjalan terus tanpa tergantung lagi pada sinar matahari, disamping itu harga bahan yang digunakan bakar relatif murah dan mudah untuk didapatkan. 2. Perancangan Pengering Eceng Gondok Eceng Gondok Komposisi kimia enceng gondok tergantung pada kandungan unsur hara tempatnya tumbuh, dan sifat daya serap tanaman tersebut. Enceng gondok mempunyai sifat-sifat yang baik antara lain dapat menyerap logam-logam berat, senyawa sulfida, selain itu mengandung protein lebih dari 11,5 %, dan mengandung selulosa yang lebih tinggi besar dari non selulosanya seperti lignin, abu, lemak, dan zat-zat lain. Pada tabel 2.1, Anonymous (1966) dalam penelitiannya terhadap enceng gondok dari Banjarmasin mengemukakan kandungan kimia tangkai enceng gondok tua yang segar.

Tabel 2.1. Kandungan Kimia Enceng Gondok Segar Air 92,6%

Abu 0,44 Serat kasar 2,09 Karbohidrat 0,17

Lemak 0,35 Protein 0,16

Fosfor sebagai P2O5 0,52 Kalium sebagai K2O 0,42

Klorida 0,26 Alkanoid 2,22

Sedangkan, R. Roechyati (1983) mengemukakan kandungan dari tangkai enceng gondok kering tanur pada tabel 2.2.

Tabel 2.2. Kandungan Kimia Enceng Gondok Kering Senyawa

Kimia Persentase (%)

Selulosa 64,51 Pentosa 15,61 Lignin 7,69 Silika 5,56 Abu 12

(Sumber: R. Roechyati (1983) Proses Pengeringan Pengeringan pada dasarnya merupakan suatu proses pengeluaran kandungan air dari bahan hingga mencapai kandungan air tertentu agar tidak terjadi kerusakan pada bahan tersebut. Beberapa hal yang berpengaruh diantaranya adalah: Suhu, Kelembaban, Udara, Lingkungan, dan kecepatan aliran udara pengeringan. Proses pengeringan merupakan proses perpindahan panas yang terjadi didalam suatu medium pengering yang berupa udara panas atau aliran udara panas. Kandungan uap air udara yang dialirkan relatif rendah dengan temperatur lebih tinggi, sehingga terjadi penguapan zat cair dari bahan yang dikeringkan. Sedang yang menjadi dasar pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara dengan bahan karena perbedaan - perbedaan kandungan uap antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Dalam hal ini kandungan uap air lebih sedikit atau dengan kata lain udara mempunyai kelembaban nisbi rendah.

Page 37: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐31

Teknik

MESIN

Salah satu faktor yang mempercepat proses pengeringan adalah kecepatan angin atau udara yang mengalir. Bila udara tidak mengalir maka kandungan uap air disekitar bahan yang dikeringkan semakin jenuh sehingga pengeringan makin lambat. Selama pengeringan tersebut berlangsung terjadi dua proses yaitu: a. Proses perpindahan panas Dimana proses tersebut merupakan proses penguapan air dalam bahan atau proses perubahan bentuk cair menjadi gas. b. Proses perpindahan massa yaitu proses massa uap air dari permukaan bahan yang dikeringkan ke udara. Proses perpindahan panas terjadi karena temperature udara yang lebih tinggi dari temperature bahan yang dikeringkan akan memberikan sebagian panasnya pada bahan tersebut sehingga bahan yang tadinya memiliki tekanan uap yang seimbang dengan udara sekitarnya akan lebih tinggi yang mana akan berakibat terjadinya perpindahan massa uap air dari bahan ke udara sekitarnya. Pada saat perpindahan massa ini berlangsung maka terjadilah pengeringan pada permukaan bahan dan akan menurun setelah kenaikan temperature pada seluruh permukaan bahan naik. Sejalan dengan itu terjadilah pergerakan air secara difusi dari bahan ke permukaan bahan, demikian seterusnya proses penguapan pada permukaan bahan diulang lagi. Akhirnya setelah kandungan air pada bahan berkurang , maka tekanan uap air pada bahan akan menurun sampai terjadi keseimbangan dengan udara sekitarnya. Beberapa faktor yang berpengaruh pada proses pengeringan dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu : a) Faktor yang berhubungan dengan media pengering meliputi : - Suhu pengeringan - Lama pengeringan - Kelembaban udara - Udara panas b) Faktor yang berhubungan sifat bahan yang dikeringkan : - ukuran bahan - kadar air Perancangan Pengering Eceng Gondok Perancangan ini bertujuan untuk mengetahui jumlah kalor dan laju kalor yang dibutuhkan dalam proses pengeringan. Proses perhitungan merujuk kepada perhitungan secara termodinamika, serta tidak membahas rancangan konstruksi didalam perancangan dam pembuatan oven pengering. Dalam proses perancangan dengan kapasitas 1kg eceng gondok di dapat hasil perhitungan sebagai berikut :

no

1 Temperatur yang diinginkan dalam oven 95oC

2 Energi kalor yang dibutuhkan untuk memanaskan air 14981,12 kJ

3 Laju kalor yang dibutuhkan untuk proses pengeringan 0,273 kW

4 Laju kalor yang dapat dilepaskan bahan bakar (gas LPG) 3,74 kW

5 Massa bahan bakar yang digunakan 0,32 Kg

6 Waktu yang dibutuhkan untuk memanaskan air 66,7 menit

7 Waktu yang dibutuhkan untuk proses pengeringan dengan temperatur konstan 58,9 menit

8 Total Waktu yang dibutuhkan dalam proses pengeringan 125,6 menit

Page 38: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐32

Teknik

MESIN

Pembuatan Pengering Eceng Gondok Rangka oven pengering dibuat dengan besi siku dengan ketebalan 1mm. Besi dipilih sebagai struktur rangka agar rangka yang dihasilkan dapat memiliki kekuatan yang besar,sehingga dapat menahan beban dari bodi oven ataupun menahan beban eceng gondok didalamnya. Besi baja siku yang akan dibuat sebagai rangka memiliki panjang 0,8 meter, lebar 0,8 meter, dan tinggi 1 Meter

Gambar 1. Rangka Mesn Pengering Eceng Gondok

pembuatan tempat penampungan air ini, bahan yang digunakan adalah pelat baja dengan ketebalan 1,2mm dengan dimensi Panjang x lebar x tinggi adalah 0,8 x 0,8 m x 0,1m. Pada bagian penampungan air ini bahan yang digunakan adalah pelat baja, karena dimaksudkan agar memiliki kemampuan tahan panas yang lebih tinggi (titik lebur yang lebih tinggi) jika dibandingkan dengan bahan yang digunakan pada bagian dinding oven yaitu bahan alumunium. selain itu pelat baja juga dipilih sebagai wadah penampungan air karena pelat baja dinilai cukup untuk menahan beban air yang akan digunakan pada saat proses pengeringan berlangsung, sehingga akan meminimalisir kejadian melenting akibat kelebihan beban air pada saat penggunaannya

Gambar 2. Tempat Penampungan air

pembuatan rak dalam oven atau Tray yang berfungsi sebagai tempat menyimpan eceng gondok selama proses pengeringan berlangsung. Rak ini terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian yang pertama adalah siku tempat Rak tersebut menempel, kemudian bagian yang kedua adalah rak yang akan menjadi tempat penyimpanan eceng gondok. Pada pembuatan tempat rak tersebut menempel,bahan yang digunakan adalah besi baja siku dengan dimensi yang sama pada rangka oven, yaitu memiliki ketebalan 1 Mm dan memilik panjang 0,8 mm. Proses penyambungan yang dilakukan yaitu dengan mengelas bagian ujung dari Besi Baja tersebut ke bagian rangka dari oven

Sedangkan pada pembuatan rak sebagai tempat penyimpanan eceng gondok dalam oven, bahan yang digunakan adalah Ram kawat dengan diameter 0,1mm dengan dimensi panjang 0,8m dan lebar 0,8m, dan

Page 39: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐33

Teknik

MESIN

pada bagian ujung dari ram kawat tersebut disatukan pada setiap ujungnya dengan menggunakan kayu range dengan ukuran 2x3 mm yang dimaksudkan agar posisi kawat tidak berubah-ubah maupun melenting

Gambar 4. Rak bagian dalam

Pada bagian body oven pengering, bahan yang digunakan adalah pelat alumunium dengan ketebalan 0,5mm dan hanya menggunakan 1 lembar pelat pada setiap bagian sisi oven. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi biaya produksi pada pembuatannya, sehingga oven ini bisa digunakan oleh para pengusaha kecil dan menengah. Untuk proses pengeringan yang lebih baik maka disarankan untuk menggunakan pelat ganda (Double plate) atau menggunakan glass wol pada bagian celah antar dinding untuk menaikan tingkat isolasi thermal yang terjadi di dalam oven. Proses penyambungan pelat alumunium ke bagian rangka oven menggunakan paku keling dengan diameter 3mm

Gambar 5 Pengering Eceng Gondok

3. Analisa

1. Tempat penampungan air yang berada di dalam oven menggunakan bahan pelat baja dengan ketebalan 1,2 mm dengan dimensi panjang 0,8 m, lebar 0,8 m, dan tinggi 0,1m, yang bertujuan agar dapat menahan panas yang dihasilkan pada hasil dari nyala api pembakaran.

2. Pada oven pengering yang berhasil dirancang, telah diuji pemakaiannya untuk mengeringkan eceng gondok dengan kapasitas sekitar 66 batang. Jumlah ini dinilai masih kurang dalam penggunaannya,karena posisi rak yang terlalu berjauhan,sehingga menyebabkan kapasitas eceng gondok didalam oven menjadi sedikit. Dengan kapasitas yang hanya berjumlah sekitar 66 batang, maka produksi yang akan dilakukan dalam proses pengeringan akan menjadi berkurang efisiensinya.

Page 40: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐34

Teknik

MESIN

3. Pada bagian sisi-sisi bawah oven pengering harus ditutup dengan benda lain seperti batu bata atau genting agar nyala api dari hasil pembakaran gas LPG dapat menyala dengan konstan dan tidak berubah arah apinya

4. Kesimpulan

1. Ruang pengering dirancang dan dibuat dengan bentuk persegi panjang dengan ukuran tinggi, lebar

dan panjang yaitu : 1 m, 0,8 m, dan 0,8 m. 2. Laju kalor yang dibutuhkan untuk memanaskan air hingga 95OC adalah sebesar 0,273 kJ/s dan

membutuhkan waktu pengeringan kurang lebih 58,9 menit dengan temperatur yang konstan sebesar 95OC pada proses pengeringannya, yang didapat dari perhitungan secara teoritik

3. Kalor yang dibutuhkan untuk proses pengeringan adalah 20331,52 kJ yang didapat berdasarkan perhitungan secara teoritik

4. Waktu untuk memanaskan air hingga 95oC adalah selama 66,7 menit dan untuk menghilangkan kadar air yang terdapat di dalam eceng gondokadalah selama 58,9 menit,sehingga total waktu yang dibutuhkan adalah mengeringkan 1 kg Eceng gondok adalah 125,6 menit yang didapat berdasarkan perhitungan secara teoritik

5. Saran

1. Oven pengering yang telah berhasil dibuat selain dapat digunakan sebagai oven pengering eceng

gondok juga dapat dibuat sebagai oven pengering untuk bahan lain,seperti apel,kerupuk dan lain-lain dengan melakukan sedikit modifikasi pada bak penampungan air di dalam oven pengering

2. dalam proses produksi yang akan dilakukan sebaiknya melakukan sedikit modifikasi seperti yang perancang lakukan yaitu dengan cara memotong bagian daun dan ujung bawah dari eceng gondok, sehingga kapasitas dari oven pengering pun dapat lebih besar dari kapasitas sebelumnya

3. Dinding oven harus dibuat dinding penyekat atau isolasi yang dapat terbuat dari glasswol atapun bahan lain yang dapat menghambat panas yang keluar dari oven pengering

4. Dibuatnya alat pengatur temperatur otomatis yang dapat menghentikan laju bahan bakar ketika temperatur yang diinginkan tercapai

5. Pada pelaksaan proses pengeringnya sebaiknya kegiatan membuka pintu oven pengering harus seminimal mungkin agar temperatur di dalam oven dapat terjaga konstan

6. Perlu dibuatnya kaca dari akrilik atau polymer pada bagian pintu agar mempermudah proses kontrol pada saat pengeringan berlangsung

6. Daftar Pustaka [1] Holman J.P. , Thermodynamics , Int. Student Edition , Mc. H. Hill, New York, 1987 [2] Reynolds W.C., Perkins H.C. , Engineering Thermodynamics , Mc. G. Hill [3] Michale J. Moran, Howard N. Shapiro . , Termodinamika Teknik , , Penerbit: Erlangga [4] Frank Kreith, Alih Bahasa : Arko Prijono., Prinsip-prinsip Perpindahan Panas Edition 3,

Jakarta,Penerbit Erlangga., 1994 [5] http://en.citizendium.org/wiki/Lower_heating_value disunting pada tanggal 24 november 2010. [6] http://yefrichan.wordpress.com/2010/11/12/termometer-bola-kering-dan-termometer-bola-basah/ ,

disunting pada tanggal 2 september 2010. [7] http://bisnisukm.com/kerajinan-eceng-gondok-yang-mempesona.html , disunting tanggal 12 agustus

2010 [8] http://www.scribd.com/doc/36375752/KALOR , disunting pada tanggal 24 November 2010. [9] http://rovicky.wordpress.com/2010/08/13/e-l-p-i-j-i-l-p-g-liquefied-petroleum-gas-kenapa-meledak/ , disunting pada tanggal 24 november 2010

Page 41: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐35

Teknik

MESIN

PERANCANGAN MESIN BRIKET BATU BARA DENGAN TIPE SCREW PRESS

Ali

Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Nasional

Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124 [email protected]

ABSTRAK

Kebutuhan bahan bakar masyarakat indonesia pada saat ini sangat tinggi dimana harga bahan bakar yang sering digunakan seperti minyak tanah dan gas semakin tinggi juga, maka dari itu diperlukan bahan bakar alternatif untuk mengatasi masalah diatas. Batubara merupakan mineral organik yang dapat terbakar karena memiliki banyak unsur karbon didalamnya, maka dapat digunakan sebagai sumber energi. Dalam hal ini batubara yang sudah berupa serbuk akan dipadatkan melalui proses pembriketan dengan mesin briket sistem screw press sehingga akan menghasilkan bahan bakar alternatif.

Pembuatan briket yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa proses antara lain: persiapan peralatan dan bahan baku, pencampuran bahan baku, dan proses pengepresan menggunakan mesin briket sistem screw press, daya tekan putaran screw berasal dari motor listrik 2 Hp. Percobaan ini memvariasikan bahan yang digunakan seperti batubara murni (hanya dengan tambahan perekat) dan batubara campuran serbuk kayu dengan perekat yang sama. Dengan demikian diharapkan mengetahui kualitas masing – masing briket setelah dilakukan pengujian briket dengan proses pembakaran.

Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh briket yang mudah pada pembakaran awal yaitu briket batubara dengan campuran serbuk kayu dan biaya pembuatan briket. Proses pembuatan briket yang dilakukan adalah dengan sistem screw press, dimana proses pembuatan briketnya ini menggunakan motor 2 Hp. Mesin ini dapat memproduksi briket batubara profil silinder memanjang dengan diameter 71 mm serta mempunyai kapasitas produksi 13,94 Kg/jam.

Keyword : bahan bakar alternatif, batubara, pembuatan briket, screw press

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi di era globalisasi menyebabkan pertambahan konsumsi energi di berbagai sektor kehidupan. Bukan hanya negara-negara maju, tapi hampir semua negara mengalaminya termasuk Indonesia. Harga minyak dunia yang tidak menentu bahkan sempat naik berdampak pada meningkatnya harga jual bahan bakar minyak tanah di Indonesia. Walaupun Pemerintah Indonesia sudah mencanangkan konversi energi dari minyak tanah ke bahan bakar gas namun demikian masih banyak masyarakat Indonesia yang tetap menggunakan minyak tanah. Minyak tanah di Indonesia yang selama ini disubsidi menjadi beban yang sangat berat bagi pemerintah Indonesia karena nilai subsidinya meningkat pesat menjadi lebih dari 49 triliun pertahun dengan penggunaan kurang lebih 10 juta kilo liter per tahun. Untuk mengurangi beban subsidi tersebut maka pemerintah berusaha mengurangi subsidi yang ada dialihkan menjadi subsidi langsung kepada masyarakat kurang mampu. Namun untuk mengantisipasi kenaikan harga BBM dalam hal ini minyak tanah diperlukan bahan bakar alternatif yang murah dan mudah didapat. Briket batubara merupakan bahan bakar padat yang terbuat dari batubara. Bahan bakar padat ini merupakan bahan bakar alternatif atau merupakan pengganti minyak tanah yang murah dan

Page 42: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐36

Teknik

MESIN

dimungkinkan untuk dikembangkan secara masal dalam waktu yang relatif singkat mengingat teknologi dan peralatan yang digunakan relatif sederhana. Potensi penggunaan batubara sebagai bahan bakar sangat memungkinkan untuk digunakan masyarakat terutama indrustri kecil dan rumah tangga sebagai pengganti energi kayu atau minyak tanah. Dalam penelitian ini akan dilakukan perancangan pembuatan briket batubara dengan tipre screw press. 1.2 TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan mesin briket batubara dengan mesin briket tipe screw press. Serta mengetahui besar densitas batubara setelah dibriket. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Batubara Pembentukan batubara memerlukan kondisi-kondisi tertentu dan hanya terjadi pada era-era tertentu sepanjang sejarah geologi. Zaman Karbon, kira-kira 340 juta tahun yang lalu (jtl), adalah masa pembentukan batubara yang paling produktif dimana hampir seluruh deposit batubara (black coal) yang ekonomis di belahan bumi bagian utara terbentuk. Pada Zaman Permian, kira-kira 270 jtl, juga terbentuk endapan-endapan batubara yang ekonomis di belahan bumi bagian selatan, seperti Australia, dan berlangsung terus hingga ke Zaman Tersier (70 - 13 jtl) di berbagai belahan bumi lain. Di Indonesia, batubara merupakan bahan bakar utama selain solar (diesel fuel) yang telah umum digunakan pada banyak industri, dari segi ekonomis batubara jauh lebih hemat dibandingkan solar, dengan perbandingan sebagai berikut: Solar Rp 0,74/kilokalori sedangkan batubara hanya Rp 0,09/kilokalori, (berdasarkan harga solar Rp. 4800/liter). Dari segi kuantitas batubara termasuk cadangan energi fosil terpenting bagi Indonesia. Jumlahnya sangat berlimpah, mencapai puluhan milyar ton. Jumlah ini sebenarnya cukup untuk memasok kebutuhan energi listrik hingga ratusan tahun ke depan. Sayangnya, Indonesia tidak mungkin membakar habis batubara dan mengubahnya menjadi energi listrik melalui PLTU. Selain mengotori lingkungan melalui polutan CO2, SO2, NOx dan CxHy cara ini dinilai kurang efisien dan kurang memberi nilai tambah tinggi.

Gambar 2.1 Batubara[3] 2.1 Teori Pembriketan Pembriketan adalah salah satu teknologi pemadatan, dimana, suatu bahan dikenai tekanan yang tinggi untuk membentuk produk yang mempunyai bulk density lebih tinggi, kandungan air yang lebih rendah, dan keragaman dalam ukuran, dan sifat-sifat bahannya. Hingga didapatkan suatu briket yang keras dan kompak, tetapi sebaiknya briket jangan terlalu keras. Hal ini dikarenakan apabila briket terlalu keras maka akan mendapatkan kendala pada proses pembakaran, briket akan susah untuk dibakar.

Page 43: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐37

Teknik

MESIN

2.2 Diagram Proses Pembuatan Briket Batubara Bentuk dan ukuran briket batubara hasil cetakan (kemasan) dibuat sesuai untuk keperluan sektor pengguna. Saat ini telah dikembangkan dua bentuk briket batu bara, yaitu tipe bantal (telor) yang padat dan kompak dengan ukuran 30 s/d 60 mm, dan tipe sarang tawon (berongga) dengan ukuran lebih besar (mencapai 15 cm). Kedua bentuk dibuat untuk memudahkan pemakaian dan memperoleh efisiensi pembakaran. Tipe bantal berukuran kecil cocok digunakan untuk rumahtangga (memasak), dan yang berukuran lebih besar baik untuk industri. Tipe sarang tawon juga dirancang untuk industri dan memerlukan “kompor” atau tungku yang khusus. Jenis dan Ukuran Briket Batubara

• Bentuk telur : sebesar telu ayam • Bentuk kubus : 12,5 x 12,5 x 5 cm • Bentuk selinder : 7 cm (tinggi) x 12 cm garis tengah

Gambar 2.2 Bentuk Briket Batubara[4] 2.3 Perhitungan Densitas Perhitungan densitas pada percobaan ini adalah untuk membandingkan densitas briket batubara murni dengan briket batubara campuran serbuk gergaji. Densitas atau massa jenis adalah pengukuran massa setiap satuan volume benda, dengan rumus Satuan massa jenis dalam CGS adalah gram per sentimeter kubik (g/cm3). Briket batubara berbentuk silinder sehingga volume yang digunakan merupakan volume silinder dengan rumus : Volume silinder = π.r2.t (cm3)

Page 44: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐38

Teknik

MESIN

dimana : r = jari-jari(cm) t = tinggi (cm) 3.1 Pembuatan Briket Batubara Pembuatan briket batubara dilakukan dengan menggunakan mesin briket sistem screw modifikasi dan digerakkan oleh motor listrik. 3.1.1 Sistem Kerja Mesin Modifikasi Briket Batubara

Gambar 3.1 Mesin Pencetak Briket Batubara Modifikasi Keterangan : 1. Rangka 2. Motor Listrik 3. Puli 4. sabuk V 5. Reducer 6. sproket 7. rantai 8. Pillow Block 9. Poros Utama 10. Barell (Rumah screw) 11. Hopper 12. Die (cetakan) 13. Rel Penyangga Briket Prinsip kerja dari mesin briket batubara sistem screw yang digunakan adalah menghantarkan material yang dimasukkan lewat hopper menuju barell kemudian material tersebut dihantarkan kembali oleh screw yang berputar karena digerakkan oleh motor listrik ke ujung barell dimana barell tersebut berpasangan dengan die yang memiliki profil silinder tirus sehingga proses pemadatan terjadi karena adanya perbedaan diameter dipangkal dengan diujung die.

2

3

4

5

6

8

1

9

10

11

12

13

7

Page 45: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐39

Teknik

MESIN

3.1.3 Bahan Baku Briket Batubara Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan briket batubara adalah :

1. Serbuk Batubara Batubara merupakan bahan dasar utama. Batubara yang digunakan dalam proses pembriketan ini batubara jenis bituminus yang sudah berupa serbuk.

Gambar 3.2 Serbuk Batubara 2. Perekat Perekat berfungsi sebagai pengikat agar batubara bisa kompak atau menjadi satu kesatuan. Perekat yang digunakan pada pembuatan briket batubara ini adalah tepung kanji yang dilarutkan dengan air dan dipanaskan.

Gambar 3.3 Tepung Kanji 3. Serbuk Kayu Serbuk kayu didapat dari tempat penggergajian kayu yang sebelum proses pencampuran dengan batubara di ayak terlebih dahulu karena dipilih serbuk kayu yang halus.

Gambar 3.4 Serbuk Kayu 4. Air Air digunakan untuk membuat lem kanji, yaitu dengan melarutkan tepung tapioka dengan air yang dipanaskan.

Page 46: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐40

Teknik

MESIN

Mulai

Matikan Mesin Briket

Selesai

Mempersiapakan alat dan bahan baku

Penimbangan Batubara dan binder sesuai dengan komposisi yang ditentukan

Menyalakan Mesin Briket

Pencampuran batubara dan bahan baku lainnya

Memasukkan batubara ke hopper mesin briket

Memotong hasil briket

3.1.4 Urutan Proses Pembuatan Briket Batubara Urutan Proses pembuatan briket dapat dilihat pada diagram dibawah ini :

Gambar 3.5 Diagram alir pembuatan briket batubara Mutu briket sebagai bahan bakar dipengaruhi oleh jenis bahan baku dan kadar air briket serta tekanan pengempaan. Pengempaan dengan tekanan tinggi tidak selalu menghasilkan mutu briket yang lebih baik, karena briket yang sangat padat justru menurunkan efisiensi pembakaran dan menyulitkan penggunaan. 4. Analisis Pembuatan Dan Pengujian Briket Batubara Analisis ini berdasarkan percobaan pembuatan briket batubara dan pengujian pembakarannya, antara lain :

1. Hasil kedua briket batubara kurang padat dan rapuh karena proses pengadukkan yang kurang merata. 2. Briket batubara campuran serbuk kayu lebih cepat menjadi abu karena serbuk kayu mengeluarkan gas biomassa yang dapat mengakibatkan pembakaran yang lebih sempurna. 3. Briket batubara murni lebih berasap dan berbau karena kandungan gas pada batubara tidak terbakar dengan sempurna. 4. Nyala api pada kedua briket berwarna merah, itu menandakan pembakaran yang kurang baik dan sebabnya adalah penggunaan batubara jenis sub bituminus pada bercobaan pembuatan briket yang merupakan batubara muda dengan sedikit kandungan carbon dan banyak kandungan air.

Page 47: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TPPP‐41

Teknik

MESIN

5. Kesimpulan Pembuatan briket batubara dengan mesin briket telah berhasil dilakukan. Dari hasil perhitungan didapatkan densitas sebagai berikut : - Densitas briket batubara = ρ = 1,346 gram/cm3 - Densitas batubara = ρ = 0,833 gram/cm3 Dari perbandingan densitas diatas, maka batubara berhasil dimampatkan. Dari hasil percobaan pembakaran briket didapatkan :

Dengan melihat data diatas maka dapat diketahui bahwa briket batubara campuran serbuk gergaji lebih mudah dalam pembakaran awal tetapi briket ini lebih cepat habis menjadi abu. Saran

1. Sebaiknya pembuatan briket batubara tidak hanya menggunakan campuran serbuk gergaji tetapi juga menggunakan bahan campuran lain seperti tanah liat dimana tanah liat dapat membantu merekatkan serbuk batubara. 2. Briket batubara sebaiknya dikeringkan terlebih dahulu sebelum dibakar agar kadar airnya berkurang. 3. Pengeringan briket batubara sebaiknya dilakukan dengan mesin pengering agar kadar airnya lebih cepat berkurang. 4. Pemotongan briket batubara sebaiknya dilakukan pada saat briket baru keluar dari die (cetakan) dengan ukuran yang sudah ditentukan terlebih dahulu.

DAFTAR PUSTAKA

[1]. Sularso, K . Suga. ‘Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin’. PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.

[2]. Mitchell, Shigley. ‘Mechanical Engineering Design’. McGraw Hill, Michigan, 1983. [3]. http://images.google.co.id/images?hl=id&queen=batubara&um=1&ie=utf-8&sa=n&tab=wi [4]. http://www.agitc.cn/charcoal-powder-of-briquetting-plant2.htm [5]. http://www.retsasia.ait.ac.th./booklets/dissemination%20booklets-

phase%20III/tech%20pack/bb/low%20resl.pdf

Jenis Briket Lama briket mulai terbakar

Lama briket mendidihkan air 250 ml

Lama briket terbakar hingga jadi abu

Batubara murni 10 menit 6 menit 30 menit

Batubara dengan serbuk kayu

6 menit 3 menit 17 menit

Page 48: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

TOPIK MAKALAH: TEKNOLOGI BAHAN DAN

MATERIAL KOMPOSIT (TBMK)

Teknik

MESIN

SEMINAR NASIONAL X REKAYASA DAN APLIKASI TEKNIK MESIN

DI INDUSTRI

Page 49: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐1

Teknik

MESIN

Karakteristik Fisik Dan Mekanik Produk Indirect Pressureless Sintering Serbuk Cu Dan Ni Dengan

Penyangga Serbuk Besi Cor

1Eko Sutarto, 2D Kristianto Hermawan, 3D.Subekti & 4Susilo Adi Widyanto 1Jurusan Teknik Mesin, STT Ronggolawe, Mentul, Cepu 58315

2,3Fakultas Teknik Mesin, Universitas Diponegoro, Tembalang, Semarang 50275 3Magister Teknik Mesin, Universitas Diponegoro, Tembalang, Semarang 50275

Abstrak. Pembuatan produk kompleksitas geometri yang tinggi dapat dilakukan dengan proses Indirect Pressureless Sintering. Penelitian ini dilakukan menggunakan bahan spesimen serbuk tembaga ukuran partikel <63 μm kemurnian ≥99,7% dan serbuk nikel ukuran partikel ±10μm dengan kemurnian ≥99,5%, serta serbuk besi cor sebagai bahan penyangga spesimen dengan proses Pressureless Indirect Sintering. Suhu pemanasan divariasikan pada 870, 900, dan 930oC dengan waktu tahan 240 menit, dan ukuran partikel serbuk penyangga adalah 150 μm dan 100 μm. Karakterisasi hasil meliputi; uji tarik, penyusutan, densitas, komposisi, dan konduktivitas panas. Kekuatan tarik spesimen dipengaruhi oleh peningkatan suhu sintering, sedang penyusutan mencapai 49% untuk Cu dan 35,33% untuk Ni, nilai densitas dipengaruhi oleh suhu sintering dimana semakin tinggi suhu maka semakin besar nilai densitasnya karena ada penurunan komposisi serbuk pada semua suhu pemanasan dan nilai konduktivitas panas hasil tidak sesuai dengan literatur. Kata kunci; Serbuk tembaga, serbuk nikel, serbuk penyangga, pressureless Indirect Sintering.

1. Pendahuluan

Proses indirect pressureless sintering (IPS) adalah proses sinter pemanasan tak-langsung tanpa tekanan, produk dipanaskan ke dalam tungku dengan masih didukung serbuk penyangganya. Kelebihan proses ini adalah mampu dibuat produk yang memiliki kompleksitas bentuk yang tinggi (Widyanto, 2009), tidak memerlukan cetakan khusus, tidak menggunakan tekanan untuk proses pembentukannya dan pada beberapa kasus tidak memerlukan proses finishing.

IPS merupakan pengembangan sinter konvensional, karena pada sinter konvensional produk dengan bentuk yang rumit tidak dapat dibuat. Hal ini dikarenakan selama proses penekanan serbuk logam tidak mampu mengisi rongga cetakan, sehingga sulit mendapatkan kepadatan produk yang merata.

Secara teknis, geometri produk manufaktur semakin kompleks dengan variasi bahan semakin beragam. Dengan proses konvensional seperti: pemesinan, pengecoran, pembentukan dan pengelasan, tuntutan tersebut sulit diwujudkan (Widyanto, 2009). Hasil pengamatan sejak 25 tahun terakhir, produk pasar cenderung meningkat dalam kompleksitas geometri, Metelnick (1991). Walaupun secara umum, produk sintering memiliki karakteristik mekanik relatif rendah.

Penelitian ini akan difokuskan pada karakterisasi produk hasil proses IPS terhadap sifat fisik dan mekaniknya.

2. Dasar Teori

Menurut Upadhyaya (2002); sintering dapat dianggap sebagai proses dimana suatu perakitan partikel, dipadatkan dengan tekanan atau hanya dalam sebuah wadah, ikatan kimia diri menjadi sebuah bentuk koheren di bawah pengaruh suhu tinggi di bawah titik leleh dari konstituen utama. Pemanasan dapat dilakukan langsung atau dipanaskan kemudian (indirect) pada sekitar 70 s.d 90% dari suhu leleh

Page 50: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐2

Teknik

MESIN

bahan utamanya (ASM Vol.7, 1998). Proses pemanasan (holding time) biasanya dilakukan selama 1 hingga 1000 menit (Shimosaka dkk, 2003).

Tahapan proses sinter (gambar 1), mengacu pada perubahan fisik proses pembentukan ikatan antar partikel berlangsung, German (1996); -tahap awal (Initial Stage), ditandai dengan penyusunan kembali formasi leher, -tahap kedua (Intermediate Stage), pertumbuhan leher berlanjut, diikuti dengan pertumbuhan butir dan pertumbuhan pori. Penyusutan secara maksimal terjadi pada tahap ini, -tahap ketiga (Final Stage) ditandai dengan hilangnya struktur pori dan munculnya batas butir.

Gambar 1 Pertumbuhan ikatan mikrostruktur antarpartikel

selama proses sinter (German, 1996). 2.1. Densitas dan porositas

Densitas dapat diukur dengan rasio masa per volume spesimen menggunakan prinsip:

ρ = Vw

………………………………………………………………..(1)

dengan; ρ: densitas spesimen, w: berat spesimen, V: volume spesimen. Untuk pengukuran densitas aktual spesimennya, diukur dengan persamaan hukum Archimedes yaitu:

( ) fluidafluidaudara

udaraactual WW

W ρρ .−

= … . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .…..(2)

dengan; ρaktual: densitas aktual (gr/cm3), Wudara: berat di udara (gr), Wfluida: berat di dalam fluida (gr), ρfluida: densitas fluida (gr/cm3). Sedangkan untuk mengukur porositas mengunakan persamaan:

Porositas = 1 −theoritis

actual

ρρ

… . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .………..….(3)

dengan; ρaktual: densitas aktual (gr/cm3), ρtheoritis: densitas komposit/teoritis (gr/cm3). 2.2. Kekuatan Tarik

Untuk mengukur kekuatan mekanik diinterpretasikan dengan kuat tarik, spesimen dibuat berdasarkan Standard Test Method for Tensile Properties of Plastics (ASTM D638). Kekuatan tarik dihitung berdasarkan pembagian beban maksimum dengan luasan penampang lintang uji spesimen, dalam satuan Pascal.

σ = AP

. . … . . . . . .… … … … … … … . . . . . . . . . . . … … … … .(4)

dengan; σ: kekuatan tarik (Pa), P: beban maksimum (N), A: luas penampang (m2).

Page 51: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐3

Teknik

MESIN

Gambar 3 Spesimen uji tarik (ASTM D638).

3. Metoda Penelitian

Penelitian ini dilakukan mengikuti diagram alir yang disajikan pada gambar 2.

Mulai

Pemesanan Serbuk Cu-Ni

Sieving Mesh 150

Serbuk Siap

Analisa dan Evaluasi

Simpulan dan Saran

Sieving Mesh 100

Foto Micro Bahan Serbuk

Persiapan Serbuk Besi Cor

Sintering

Suhu 870 oC Suhu 900 oC Suhu 930 oC

Pengujian

PenyusutanDensitasKomposisiTarik Konduktivitas

Selesai

Pembuatan Spesimen Cu-Ni

Foto Micro Spesimen

Gambar 3 Diagram alir penelitian.

3.1. Bahan dan Prosedur Penelitian

Bahan yang digunakan untuk menentukan parameter proses IPS adalah: a. Serbuk nikel (Ni) dengan kemurnian ≥99,5%, ukuran partikel ± 10μm, tersedia dipasaran

dalam kemasan, spesifikasi tabel 1. b. Serbuk tembaga (Cu) dengan kemurnian ≥99,7%, ukuran partikel <63μm/mesh>230 ASTM,

yang tersedia dipasaran dalam kemasan, spesifikasi tabel 2. c. Serbuk besi cor (CI) ukuran partikel ±100μm (mesh > 150) dan ±150μm (mesh>100).

Penggunaan CI adalah sebagai serbuk penyangga yang berfungsi untuk; menstabilkan posisi serbuk spesimen dan sebagai media penghantar panas pada proses sinter (Widyanto, 2009). Diperoleh dengan menumbuk dan kemudian diayak sesuai standar ISO 13765-5 (2004) dari limbah pemesinan produk coran. Hasil observasi dengan mikroskop optik menunjukkan bentuk partikel CI, Cu, dan Ni adalah irregular, seperti ditunjukkan Gambar 3.

Page 52: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐4

Teknik

MESIN

Gambar 4 Serbuk logam yang digunakan pada proses IPS a)CI ±150μm, b)CI ±100μm, c)Cu< 63 μm,

d)Ni ± 10 μm (pembesaran 200x).

Tabel 1 Spesifikasi serbuk Ni 99+, merck (2011). Data Nilai

Assay (complexometric) ≥ 99,5% Ukuran partikel ±10μm Titik leleh 1453oC Densitas (pd 25oC) 8,9 gr/cm3

Tabel 2 Spesifikasi serbuk Cu, merck (2011). Kandungan Komposisi (%)

Assay (complexometric) ≥ 99,7 % Ukuran partikel <63μm Substances insoluble in nitric Acid ≤ 0,02 % P (phosphorus) ≤ 0,001 % Ag (Silver) ≤ 0,002 % As (Arsenic) ≤ 0,0005 % Fe (Iron) ≤ 0,005 % Mn (Manganese) ≤ 0,001 % Pb (Lead) ≤ 0,01 % Sb (Antimony) ≤ 0,001 % Sn (Tin) ≤ 0,01 % Titik leleh 1083oC Densitas (pd 20oC) 8,96 gr/cm3

3.2. Prosedur penelitian Serbuk besi cor dimasukkan kedalam wadah dari potongan pipa baja, setinggi ±20 mm. Untuk membentuk spesimen, serbuk Cu/Ni ditaburkan ke dalam cetakan dari plat tipis berukuran 40x16x5 mm yang diletakkan diatas serbuk penyangga di tengah wadah dengan posisi mendatar, diratakan tanpa penekanan. Selanjutnya, wadah diisi serbuk besi cor hingga penuh, kemudian cetakan ditarik keluar, sehingga posisi spesimen seperti gambar 5.

Page 53: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐5

Teknik

MESIN

Gambar 5 Ilustrasi posisi spesimen.

Suhu pemanasan divariasikan pada; T1=870, T2=900, dan T3=930oC, waktu penahanan/Holding Time (t) selama 240 menit. Pendinginan secara alami, dibiarkan dalam tungku hingga mencapai suhu kamar. Spesimen kemudian dilakukan karakterisasi secara mekanis dan fisis. 4. Hasil dan Pembahasan

Karakterisasi spesimen meliputi; uji tarik, porositas/penyusutan, komposisi, densitas, dan konduktivitas panas. 4.1. Uji Tarik

Patahan spesimen hasil uji tarik bahan Cu dan Ni ditunjukkan pada gambar 5, memperlihatkan bidang patah spesimen membentuk garis lurus/datar. Hal ini menunjukkan, bahwa spesimen bersifat getas/rapuh.

Gambar 6 Spesimen uji tarik Cu, suhu a)870oC, b)900oC, c)930oC, dan spesimen Ni,

suhu sinter d)870oC, e)900oC, f)930oC pada t=240 menit, ukuran serbuk penyangga mesh 100.

Pada gambar 7 diperlihatkan, hasil uji tarik untuk spesimen Cu dengan CI ukuran mesh 100, pada T1 = 6,27MPa, T2 = 10,49MPa dan T3 = 15,696Mpa. Kekuatan tarik spesimen mempunyai kecenderungan meningkat dengan naiknya suhu sinter. Hal ini disebabkan terjadi ikatan antar-butir makin kuat, ikatan antarbutir yang kuat menyebabkan serbuk tidak mudah terlepas sehingga massa yang hilang menjadi lebih kecil. Sedang dengan CI ukuran mesh 150, T1 = 12,31MPa, T2 = 8,94MPa dan T3 = 12,17Mpa, kecenderungannya sulit diprediksi. Dalam kebanyakan kasus, ketika serbuk menjadi lebih halus maka serbuk akan menjadi lebih kohesif dan sulit untuk dikendalikan (ASM Vol.7, 1998). Pada kondisi solid Cu mempunyai kekuatan tarik sebesar 200 MPa.

Page 54: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐6

Teknik

MESIN

Gambar 7 Grafik hubungan suhu sinter (oC) dengan kekuatan tarik (MPa)

spesimen Cu, pada t= 240 menit, dan suhu 870oC, 900oC, dan 930oC ukuran serbuk penyangga mesh 100 dan 150.

Gambar 8 menunjukkan, untuk CI ukuran mesh 100 dan 150, semakin tinggi suhu sintering spesimen mempunyai kecenderungan kekuatan tariknya meningkat, tetapi masih jauh lebih rendah dibanding dengan nilai kekuatan tarik maksimal nikel padat, yaitu sebesar 480 MPa.

Gambar 8 Grafik hubungan suhu sinter (oC) dengan kekuatan tarik (MPa) spesimen Ni, t= 240 menit, dan suhu 870oC, 900oC, dan 930oC, ukuran serbuk penyangga mesh 100 dan 150.

4.2. Penyusutan

Hasil perhitungan menunjukkan, untuk ukuran serbuk penyangga 150μm, penyusutan yang terjadi untuk spesimen Cu adalah sebesar 49% dan untuk spesimen Ni adalah sebesar 35,33%.

Gambar 9 Struktur mikro spesimen Cu suhu a) 870oC, b) 900oC, c) 930oC dan spesimen Ni, d)

870oC, e) 900oC, f) 930oC (pembesaran500x).

Page 55: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐7

Teknik

MESIN

Penyusutan volume spesimen yang terjadi sangat besar, fenomena penyusutan yang terjadi pada proses sinter sangat dipengaruhi oleh tekanan kerja serbuk dan suhu sinter. Hal ini karena pengisian serbuk kedalam cetakan tidak menggunakan kompaksi atau penekanan, sehingga densitas awal serbuk rendah, disamping itu sifat mampu alir partikel tidak merata, sehingga serbuk tidak mampu mengisi celah atau rongga pada separator. Untuk serbuk dengan densitas awal rendah (tekanan kerja rendah) menghasilkan produk dengan penyusutan yang lebih besar daripada serbuk dengan densitas awal tinggi, Hambir dan Jog (2000).

Gambar 9 memperlihatkan, pori-pori (warna hitam) tersebar pada permukaan spesimen, ukuran dan

jumlahnya semakin mengecil dengan adanya peningkatan suhu sinter, hal ini membuktikan bahwa, semakin tinggi suhu sinter, porositas semakin berkurang. German (1994) mengatakan, serbuk tidak dapat mengisi ruang secara efisien. Sebuah monosized bola akan mengisi wadah dengan kepadatan sekitar 60%, dan dengan getaran mencapai kerapatan maksimum 64%. Bentuk partikel lain dan penerapan tekanan dapat memberikan kerapatan yang lebih tinggi, tapi selalu ada porositas diantara partikel, semua struktur serbuk berpori.

4.3. Uji Komposisi

Uji komposisi yang dilakukan di lab. Kimia Analitik UGM Yogyakarta, hasilnya seperti pada tabel 2.

Tabel 3 Hasil uji komposisi. Pengujian ke Komposisi Cu Komposisi Ni 1 72% 75% 2 73% 77% 3 72% 79%

Uji komposisi menunjukkan, komposisi spesimen berbeda dengan komposisi serbuk awal

sebelum di sinter; • -Serbuk Cu, penurunan komposisi yang terjadi lebih besar, dari 99,7% menjadi sekitar 72%. Hal

ini disebabkan hilangnya sebagian kemurnian Cu akibat reaksi kimia Cu dengan oksigen membentuk Cupri Oksida (CuO) selama proses.

• -serbuk Ni, terjadi penurunan komposisi dari 99,5% menjadi berkisar 77%. Hal ini disebabkan reaksi kimia nikel dengan oksigen membentuk nikel oksida (NiO) selama proses sintering.

Reaksi kimiawi berlangsung cepat membentuk oksida, sehingga ketika proses sintering

berlangsung timbul reaksi kimia akibat pemanasan dalam tungku dan menyebabkan terjadinya dekomposisi gas ke udara dalam bentuk evaporasi.

4.4 Uji Densitas

Spesimen uji densitas/kerapatan diambil dari patahan uji tarik dengan ukuran bervariasi. Hasilnya ditunjukkan gambar 10.

Gambar 10 Grafik hubungan suhu sinter dengan kerapatan pada suhu 870, 900,

dan 930oC dengan t= 240 menit, CI ukuran mesh 100.

Page 56: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐8

Teknik

MESIN

Gambar10 menunjukkan pengaruh suhu terhadap nilai densitas pada spesimen Cu, pada T1=3,489 gr/cm3, T2=3,8075 gr/cm3, dan T3=4,78 gr/cm3. Terjadi peningkatan nilai kerapatan dengan peningkatan suhu sinter, namun masih lebih rendah dibanding nilai kerapatan solid nya, yaitu 8,96 gr/cm3. Untuk spesimen Ni; T1=5,441 gr/cm3, T2=5,718 gr/cm3, dan T3=7,5 gr/cm3. kecenderungan menunjukkan peningkatan dengan naiknya suhu sinter, tetapi masih lebih rendah dibandingkan harga densitas nikel solid, yaitu 8,9 gr/cm3. Secara umum, semakin besar suhu sinter, maka densitasnya semakin besar untuk ukuran serbuk penyangga 150μm (mesh 100). Hal ini disebabkan ikatan antar atom yang terjadi semakin kuat dan rapat dengan ukuran serbuk yang kecil maka celah antarpartikel juga mengecil. 4.5 Uji Konduktivitas Cu

Pengukuran konduktivitas panas spesimen sintering dibandingkan dengan spesimen pembanding, hasilnya dirangkum pada Tabel 4 dan Tabel 5 berikut;

a. Spesimen Cu Tabel 4 Hasil perhitungan rata-rata spesimen Cu sintering dan pembanding.

T1 T2 T3 T4 T5 T6 Spesimen 69 68 40 38 34 32 Pembanding 64 63 40 38 36 34

Gambar 11 Hasil uji konduktifitas spesimen Cu sintering dan pembanding

b. Spesimen Ni

Tabel 5 Hasil perhitungan rata-rata spesimen Ni sintering dan pembanding.

T1 T2 T3 T4 T5 T6 Spesimen 74 73 42 40 36 33 Pembanding 68 67 42 40 37 35

Gambar 12 Hasil uji konduktifitas spesimen Ni sintering dan pembanding

Page 57: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐9

Teknik

MESIN

Dari gambar 11 dan gambar 12, diperoleh kesamaan, yaitu; hasil perubahan suhu yang sangat besar antara T2 dan T3 dibanding T1 dan T2, T3 dan T4, serta T5 dan T6. Hal ini disebabkan ada sesuatu yang mempengaruhi pengukuran suhu antara T2 dan T3. Penyebabnya antara lain pengaruh suhu lingkungan, isolator yang menahan kebocoran panas kurang baik, kurang sempurnanya benda uji dan spesimen uji menempel pada heater. 5. Kesimpulan a. Kekuatan tarik spesimen Cu dan Ni dipengaruhi oleh perubahan suhu sintering, kekuatan patah

maksimum meningkat dengan kenaikan suhu sintering. Walaupun masih jauh dibawah nilai kekuatan tarik kondisi solid, proses infiltrasi diperlukan guna meningkatkan nilai kekuatan tarik produk sintering.

b. Adanya porositas di permukaan spesimen mengakibatkan struktur tidak terlihat. c. Penyusutan yang terjadi sangat besar sebagai akibat pendeposisian serbuk tanpa tekanan

(pressureless). d. Nilai densitas dipengaruhi oleh suhu sintering, perbedaan nilai densitas spesimen dibanding dengan

teori disebabkan terjadinya penurunan komposisi. e. Perubahan komposisi akibat interaksi kimia serbuk spesimen dengan serbuk penyangga. f. Hasil uji distribusi suhu dan perhitungan nilai konduktivitas panas ada perubahan yang disebabkan

pengaruh suhu lingkungan dan ketidaktelitian cara dan alat uji. Daftar Pustaka

[1]. ASM Handbook vol.7 (1998): Powder Metal Technologies and Applications, ASM Internasional.

[2]. German, R.M., (1994), Powder Metallurgy Science, 2nd Edition, The Pennsylvania State University.

[3]. German, R.M., (1996), Sintering Theory and Practice, 2nd Edition, John Wiley and Sons, Inc. NY.

[4]. Hambir, S. and Jog, J.P. (2000), “Sintering of Ultra High Molecular Weight Polyethylene”, Bull. Mater. Sci., vol. 23, No.3, pp. 221-226

[5]. ISO 13765-5 (2004): Refractory mortars - Part-5 Determination of grain size distribution (sieve analysis), Ed. 1, ISO Org.

[6]. Metelnick, J. (1991), “How today’s model/prototype shop helps designers use RP to full advantage”, Society of Manufacturing Engineers Technical Paper, MS91-475Palm, William, (1998), Rapid Prototyping Techniques, Penn State Learning Factory.

[7]. Shimoska, A., Ueda, Y., Shirakawa, Y. and Hidaka, Y., (2003), Sintering Mechanism of Two Sphere Forming a Homogeneous Solids Solubility Neck, KONA, No. 21, 210-233.

[8]. Upadhyaya, G.S. (2002): Powder Metallurgy Technology, Cambridge International Science Publishing, England.

[9]. Widyanto, S.A. (2009): Proses Sinter-Deposisi Multi Material (MMD-Is), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

[10]. Merck, Spesifikasi Serbuk Cu http://www.merck-chemicals.com/is-bin/INTERSHOP.enfinity/WFS/Merck-ID-Site/id_ID/-/IDR/ViewPDF-Print.pdf?RenderPageType=ProductDetail&CatalogCategoryID=xZOb.s1L72AAAAEWDeEfVhTl&ProductUUID=Mmab.s1OomAAAAEZt.480YvV&PortalCatalogUUID=t02b.s1LX0MAAAEWc9UfVhTl diakses 15 November 2011.

[11]. Merck, Spesifikasi Serbuk Ni http://www.merck-chemicals.com/is-bin/INTERSHOP.enfinity/WFS/Merck-ID-Site/id_ID/-/IDR/ViewPDF-Print.pdf?RenderPageType=ProductDetail&CatalogCategoryID=&ProductUUID=Klqb.s1OOfoAAAEZxZE80YwF&PortalCatalogUUID=sTqb.s1OiwAAAAEX_DYdBYP2 diakses 15 November 2011.

Page 58: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐10

Teknik

MESIN

Analisis Kerusakan Internal Rocker-Arm Mesin Diesel Kapal Motor Surya Sentosa

Halim Rusjdi*, Rusjdi Hadjerat*, Sahlan** *Jurus Teknik Mesin-Prog.DIII, STT-PLN

**Jurusan Teknik Mesin, S-1, STT-PLN Email: [email protected]

Abstrak

Analisis Kerusakan Internal Rocker-Arm Mesin Diesel Kapal Motor Surya Sentosa pada dasarnya merupakan hasil penelitian dari studi kasus perusahaan pelayaran Pt Gesury Loyd, dimana salah satu kapalnya, yaitu Kapal Motor Surya Sentosa, pada sisi dalam (internal) rocker-arm bagian tengah, Nomor 3, pada mesin Dieselnya mengalami kendala sering patah pada kurun waktu antara dua sampai dengan tiga tahun, bahkan terkadang baru delapan bulan sudah patah. Dari hasil kajian akademis dan studi pustaka serta fakta hasil penelitian dilaboratorium pada rocker-arm, suspektansi (dugaan sementara) kegagalan/kerusakan adalah jenis retak dalam (internal crack) . Ini dimungkinkan karena mesin bekerja pada daerah kecepatan (putaran) kritis (critical speed atau whirling speed). Dimana pada suatu mesin bila umur mesin (life time) sudah tercapai atau mesin sudah terlau lama beroperasi (long-long time of operation) maka mesin akan mengalami penurunan (kemampuan) kecepatan kritis. Pada kecepatan kritis tertentu sebuah poros atau rotor diketahui memberikan getaran lateral yang berlebihan, akibatnya bantalan-bantalan poros atau rocker-armnya akan mengalami kerusakan atau patah. Dan dari hasil analisis metalugrafi pada foto mikroskopis, yang mempergunakan SEM (Scanning Electron Microscope) bahwa kerusakan internal rocker-arm termati dengan jelas adanya pertumbuhan retak pergelinciran pita (slip band crack growth). Kerusakan ini bisa terjadi pada sisi internal rocker-arm karena struktur-struktur mikro atau struktur dasarnya mengalami tegangan mekanis berulang-ulang akibat getaran yang muncul pada kecepatan kritis. Kata Kunci: Kerusakan internal (internal crack), Rocker-Arm, retak pergelinciran pita (slip

band crack),

1. Pendahuluan Seiring dengan berkembangnya dunia industri, khususnya industri logam, dituntut adanya

kualitas atau mutu produk logam yang baik. Era globalisasi saat ini, kebutuhan akan permintaan produk yang terbuat dari logam, seperti produk industri rumah tangga, industri otomotif, industri mesin kapal laut, industri mesin pesawat terbang dan industri pemasok tenaga listrik terus meningkat dalam kuantitas dan kualitasnya.

Demikian halnya dengan Kapal Surya Sentosa milik Baruna Shipping Line untuk perawatan dan pemeliharaan mesin-mesinya tetap berpedoman pada standar kualitas sesuai dengan Standar Operasi kerja atau SOP (Standard of Operation) yang sudah ditetapkan. Namun begitu sering ditemui banyak kendala, seperti pengadaan suku cadang (spare parts) dari produsen atau pabrikan yang sering tidak diperoleh. Sebagai contoh rocker arm pada mesin penggerak untuk mesin (utama) kapalnya. Karena sudah pesan beberapa waktu namun barang tidak ada, akibatnya rocker arm yang sudah pada kondisi rusak tetap dipergunakan. Akibatnya terjadi kerusakan lanjutan pada bagian-bagian mesin lainnya. Hal lain yang sering ditemui suku cadang yang sudah langka maka dibuat sendiri dengan memesan pada bengkel mesin bubut, yang tentunya tidak memenuhi kebutuhan standar mutu.

Page 59: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐11

Teknik

MESIN

Dari pertimbangan adanya masalah perawatan yang timbul diatas, Baruna Shiping Line berinisiatif untuk melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi untuk melakukan penelitian dasar bagaimana masalah perawatan mesin pada kapal-kapalnya dapat dibantu solusinya. Rocker arm poros mesin penggerak pada mesin penggerak utama kapal yang mempunyai kapasitas daya 100 hp dapat dibantu untuk diteliti. Maka dilakukan penelitian dasar yang pertama yaitu menganalisis kerusakan dan proses pembuatannya. Dan rocker arm yang diteliti terindikasi bahwa rocker arm proses produksinya dengan cetak-tempa (cast of forging). Ini teramati dan terindikasi dari hasil analisis metalurgrafi dan analisis kimianya.

Harapan besar tentunya tertumpu pada hasil penelitian dasar ini, apakah mungkin kalau proses pembuatan rocker arm ini dibuat sendiri sesuai dengan spesifikasi aslinya, yaitu jenis bahan (dari analisis kimia), dan proses pembuatannya (dari hasil analisis metalurgrafi), serta spesifikasi standar yaitu nilai kekerasan bahan dan mesin beroperasi dibawah batas kecepatan kritisnya.

2. Studi Pustaka

2.1. Kecepatan Kritis Pada kecepatan tertentu sebuah poros rotor atau rotor diketahui memberikan dampak menimbulkan

getaran lateral yang berlebihan. Kecepatan sudut dari suatu poros dimana hal ini terjadi disebut dengan kecepatan kritis atau kecepatan pusaran kritis (critical speed or whirling speed). Pada suatu kecepatan kritis, lenturan atau lendutan (deflection) dari poros menjadi berlebihan dan dapat menyebabkan perubahan bentuk (deformasi) yang permanen atau strukturnya rusak atau pecah. Sebagai contoh poros nok pada mesin otomotif yang fungsinya mengatur sistem buka-tutup pada katup isap dan buang, dimana diantara dua nok ditumpu pada sisi-sisi ujungnya oleh dua buah bantalan, yang disebut rocker arm. Apabila putaran mesin terlalu tinggi dan tercapai kecepatan kritisnya, maka akibatnya poros nok akan lentur.

Lenturan poros nok yang (terlalu) besar yang terjadi pada kecepatan kritis dapat menyebabkan reaksi rocker arm (bantalan) yang besar dan dapat menyebabkan kerusakan pada rocker arm, atau kerusakan pada struktur dari pendukung rocker arm. Gejala ini dapat terjadi bahkan pada rotor-rotor yang telah dibuat seimbang secara teliti sekalipun. Sebuah mesin tidak akan pernah dapat beroperasi dalam suatu waktu yang lama tertentu pada suatu kecepatan yang dekat dengan kecepatan kritis. Selanjutnya kita akan mempelajari mengapa gejala ini terjadi dan bagaimana sebuah poros atau rotor dapat dirancang sehingga kecepatan kritisnya tidak akan sama dengan kecepatan operasinya.

(a). Massa M piringan terletak (b). dan (c). Akibat gaya sentrifugal Fc menyebabkan diantar bantalan poros melentur

Gambar 1: Lendutan poros yang beroperasi pada kecepatan kritis

Page 60: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐12

Teknik

MESIN

Pada Gambar 1a. suatu lempeng atau piringan dengan massa M yang terletak diantara dua bantalan pada kedua sisinya. Dalam pembahasan berikut ini, kita akan menganggap bahwa massa dari poros diabaikan dibandingkan dengan massa dari lempeng itu sendiri. Titik O terletak pada sumbu poros, dan G adalah titik pusat massa dari piringan. Selanjutnya jarak e adalah ekssentrisnya. Dalam Gambar 1b, porosnya berputar dan gaya sentrifugal cF bekerja secara radial keluar melalui G menyebabkan poros

membengkok seperti ilustrasi gambar. Gaya sentrifugal adalah sama dengan massa dari piringan dikalikan dengan percepatan normal dari titik G, karena percepatan normal sama dengan jari-jari putaran kali ω2, atau:

2)( ωeyMMAFc +== (1)

Dimana ω adalah kecepatan putar poros dalam radian per detik dan y adalah lenturan atau

defleksi dari poros dimana lempeng berada. Poros tersebut berperilaku seperti sebuah pegas dan untuk lenturan y dia akan melakukan gaya perlawanan sebesar , dimana k adalah konstatnta pegas dari poros yang dapat membengkok. Untuk suatu keadaan seimbang gaya lawan tersebut akan sama dengan gaya sentrifugal, dan oleh karena itu:

2)( ωeyMky += Dimana:

2

2

)/( ωω−

=Mkey (2)

Gambar 2: Lenturan (y) merupakan fungsi kecepatan putar (ω)

Dalam Gambar 2, suatu kurva dari garis utuh adalah merupakan gambaran dari persamaan (10).

Dari persamaan tersebut kita lihat bahwa pada waktu ω = 0, y = 0, dan pada waktu Mk /2 =ω ,

penyebutnya menjadi nol dan y menjadi tak terhingga. Harga ω ini dikenal sebagai kecepatan kritis, nω

(critical speed nω ) dan karena itu:

Mk

n =ω (3)

Page 61: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐13

Teknik

MESIN

Dimana M adalah massa lempengan. Juga kita melihat bahwa untuk harga-harga nωω >

penyebut dari persamaan (10) menjadi negatif, dan selanjutnya y menjadi negatif seperti ditunjukkan oleh cabang sebelah kanan dari kurva garis utuh. Selanjutnya kita melihat dari persamaan (10) bahwa pada waktu ω menjadi sangat besar, y akan menuju e− .

2.2. Kegagalan Lelah

Kegagalan lelah (fatigue failures) benda (logam) benda kerja pada mesin adalah kegagal atau kerusakan permanen akibat beban dinamik yang berulang-ulang kurun waktu tertentu. Lelah (fatigue) yang dipengaruhi oleh regangan siklus (yang berulang-ulang), berbeda dengan lelah yang dikendalikan oleh tegangan siklus. Pembebanan siklus yang dikendalikan oleh regangan dijumpai pada siklus termal, disini komponen akan mengalami pengembangan dan kontraksi sebagai akibat berubahnya suhu atau pelengkungan bolak-balik diantara perpindahan tetap. Regangan plastik setempat pada takikan yang dibebani tegangan atau regangan siklus menghasilkan kondisi yang dikendalikan oleh regangan dekat akar takik akibat efek perbatasan oleh massa disekitarnya yang terdiri dari bahan yang dideformasi secara elastik.

Karena deformasi plastik tidak sepenuhnya mampu balik atau perubahan bentuk permanen, perubahan struktur terjadi selama regangan siklus dan hal ini selanjutnya akan menghasilkan perubahan dalam respon tegangan-regangan. Bergantung pada keadaan awal, bahan dapat mengalami pengerasan siklus, pelunakan siklus atau tetap stabil selama siklus tersebut. Kemungkinan juga ketiga faktor tersebut terjadi dalam bahan tadi bergantung pada keadaan awal bahan dan kondisi pengujian. Penelitian mengenai perubahan-perubahan struktur dasar yang terjadi apabila logam mengalami tegangan berulang, secara tepat talah mebagi proses kelelahan menjadi tahan berikut:

1. Permukaan pembentukan retak-termasuk pembentukan awal kerusakan lelah, yang dapat dihilangkan dengan pelunakan/anil termal yang sesuai

2. Pertumbuhan retak pergelinciran pita (slip band crack growth), melibatkan pertumbuhan lebih lanjutretakan awal pada bidang dimana dengan tegangan geser yang tinggi. Tahap ini sering disebut sebagai pertumbuhan retak tahap I

3. Perubahan retak pada bidang-bidang yang tegangan tarik tinggi, meliputi pertumbuhan retak pada arah tegak lurus tegangan tarik maksimum. Biasanya dinamakan pertumbuhan retak tahap II

4. Kegagalan ulet puncak (ultimate), terjadi apabila retak mencapai panjang yang cukup besar, sedemikian hingga penampang yang tersisa, tidak mampu menahan beban yang ada.

Perbandingan relatif siklis hingga terjadi kegagalan pada setiap tahapan, bergantung pada

kondisi pengujian dan keadaan bahan. Akan tetapi, pada umumnya retak lelah mulai terbentuk sebelum 10% ketahanan total benda uji yang dilampaui. Tentu saja akan timbul kesulitan untuk menentukan kapan suatu pergelinciran pita bertambah dalam, yang selanjutnya dianggap keretakan atau kerusakan. Pada umumnya perbandingan siklus hingga terjadi kegagalan yang termasuk, pertumbuhan retak Tahap II pada kelelahan siklus rendah adalah lebih besar. Sedangkan pertumbuhan retak tahap I mencakup bagian besar jumlah siklus pada fatik tegangan-regangan rendah siklus tinggi. Jika tegangan tariknya tinggi seperti kelelahan yang terjadi pada benda uji bertakik tajam, perambatan retak Tahap I mungkin tidak teramati sama sekali.

Page 62: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐14

Teknik

MESIN

Gambar 3. Teori slip menurut konsep Wood, deformasi pergelinciran halus menjadi retakan lelah

Gambar 3 memperlihatkan konsep Wood mengenai perkembangan deformasi pergelinciran halus

menjadi retakan lelah. Gambar tersebut secara skematis memperlihatkan struktur halus pita gelincir pada pembesaran yang mampu dicapai oleh mikroskop elektron. Gambar 4, pada awal siklus pembebanan, ujung retakannya tajam (Gambar 4a). dengan diberikan beban tarik, takik ganda pada ujung retak mengalami pemusatan (concentrate) pergelinciran kebidang yang membuat sudut 45o dengan bidang retakan (Gambar 4b). Sejalan dengan pelebaran retakan hingga hingga harga maksimum (Gambar 4c), retakan tersebut bertambah panjang akibat pergeseran plastik dan pada saat yang sama retak menjadi tumpul. Apabila bebannya berubah menjadi beban tekan, arah pergelinciran pada daerahujung berbalik (Gambar 4d). Kedua permukaan retakan saling berinteraksi dan permukaan retakan baru yang terbentuk oleh beban tarik ditekan kebidang retakan (Gambar 4e), dimana sebagian retakan tertekuk, hingga membentuk ujung retakan yang tajam. Retak yang tajam ini kembali, kemudian akan merambat, mengalami penumpulan lagi pada siklus tegangan berikutnya

Gambar 4. Penumpukan slip plastis pada perambatan retakan lelah tahap II

3. Metodologi Penelitian

Pada kegiatan penelitin untuk menganalisis kerusakan internal rocker-arm bertumpu pada dua

aspek kegiatan. Pertama kajian pada hasil studi pustaka, yaitu mempelajari suspektasi kerusakan internal rocker-arm bisa terjadi karena akibat mesin Diesel beroperasi pada kecepatan kritis, dimana pada kajian studi pustaka diketahui bahwa kecepatan kritis pada poros atau rotor, lenturan atau lendutan (deflection) dari poros menjadi berlebihan dan dapat menyebabkan perubahan bentuk (deformasi) yang permanen atau strukturnya rusak atau pecah. Dan hasil kajian dari studi pustaka diketahui bahwa kerusakan atau kegagalan lelah (fatigue failures) benda (logam) benda kerja pada mesin adalah kegagalan atau kerusakan permanen akibat beban dinamik yang berulang-ulang kurun waktu tertentu. Kedua, kegiatan peneltian dilaboratorium untuk membuktikan kebenaran dari fakta teori (kajian studi pustaka), benar adanya bahwa analisis metalugrafi dari foto mikroskopis menunjukkan kerusakan internal rocker-arm akibat dari beban (dinamis) siklis yang terjadi pada kecepatan kritis, dan terjadi retak pergelinciran pita.

Page 63: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐15

Teknik

MESIN

4. Hasil dan Pembahasan

Gambar 5 bentuk rocker-arm yang sudah dipotong (dibelah) untuk mengamati dengan seksama bentuk geometrisnya. Secara visual dari ujung dan pangkal rocker memperlihatkan bentuk gejala perubahan geometris atau kerusakan internal yang tidak simetris atau disebut kegagalan lelah (fatigue failures) karena beban dinamis atau siklis yang berulang-ulang. Atau jenis kegagal atau kerusakan permanen akibat beban dinamik yang berulang-ulang pada kurun waktu tertentu. Dan jenis lelah (fatigue) ini sangat yang dipengaruhi oleh regangan siklus (yang berulang-ulang). Ini tentunya berbeda dengan lelah yang dikendalikan oleh tegangan siklus.

Perubahan bentuk geometris ini secara metalugrafi dapat diamati dari hasil pengamatan SEM, dimana dari hasil foto ini menunjukkan kerusakan internal rocker arm seperti pada Gambar 6. Ini tentunya sesuai dengan konsep Wood (Gambar 3) mengenai perkembangan deformasi pergelinciran halus menjadi retakan lelah. Kesesuai Gambar 6 dan Gambar 3 secara skematis memperlihatkan struktur halus pita gelincir pada pembesaran yang mampu dicapai oleh mikroskop elektron (SEM).

Rusak lelah internal rocker arm ini lebih dimungkinkan disebabkan oleh adanya lenturan poros nok yang (terlalu) besar yang terjadi pada kecepatan kritis. Akibatnya, ini dapat menyebabkan reaksi rocker arm (bantalan) yang besar dan dapat menyebabkan kerusakan pada rocker arm hingga patah, atau kerusakan pada struktur dari pendukung rocker arm. Gejala ini dapat terjadi bahkan pada rotor-rotor yang telah dibuat seimbang secara teliti sekalipun. Sebuah mesin tidak akan pernah dapat beroperasi dalam suatu waktu yang lama tertentu pada suatu kecepatan yang dekat dengan kecepatan kritis. Selanjutnya, tentu kita akan mempelajari gejala ini terjadi dan bagaimana untuk selanjutnya membuat suatu pedoman atau rancangan operasi kerja bagaimana poros dan roker arm dapat dirancang untuk bekerja atau beroperasi supaya kecepatan kritisnya tidak akan sama dengan kecepatan operasinya. Mesin bekerja diabwah putaran kritsnya sehingga rocker-arm tidak mengalami kerusakan internal.

Gambar 5 :Sampel rocker-arm yang sudah dipotong (dibelah)

Page 64: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐16

Teknik

MESIN

Gambar 6.: Konfigurasi kerusakan lelah internal rocker-arm (SEM)

5. Kesimpulan

Kerusakan internal pada rocker-arm, mesin Diesel kapal motor surya sentosa milik maskapai pelayaran Pt. Gesuri Loyd secara teori dari studi pustaka dan fakta laboratorium disebabkan oleh: - Getaran yang disebabkan karena mesin bekerja pada operasi kecepatan kritis (critical speed or

whirling speed). Pada kecepatan kritis diketahui memberikan dampak menimbulkan getaran lateral yang berlebihan. Pada suatu kecepatan kritis, lenturan atau lendutan (deflection) dari rocker-arm menjadi berlebihan dan dapat menyebabkan perubahan bentuk (deformasi) internal yang permanen atau strukturnya rusak atau pecah.

- Fakta laboratorium dari hasil foto metalugrafi yang menggunakan SEM, ujung dan pangkal rocker memperlihatkan bentuk gejala perubahan geometris atau kerusakan internal yang tidak simetris atau disebut kegagalan lelah (fatigue failures) karena beban dinamis atau siklis yang berulang-ulang. Atau jenis kegagal atau kerusakan permanen akibat beban dinamik yang berulang-ulang pada kurun waktu tertentu. Dan jenis lelah (fatigue) ini sangat yang dipengaruhi oleh regangan siklus (yang berulang-ulang). Ini tentunya berbeda dengan lelah yang dikendalikan oleh tegangan siklus.

Daftar Pustaka [1] Djaprie, Sriati, Metalurgi Mekanik (terjemahan: Mechanical Metallurgy, Dieter George E.), ed.6,

Penerbit Erlangga, Jakarta, 2006. [2] Setiyobakti, Kinematika dan Dinamika Teknik (terjemahan:Kinematics and Dynamics of Machines,

Martin, George H.), Penerbit Erlangga, Jakarta, 2008 [3] Saito, Shinroku, dan Surdia,Tata, Pengetahuan Bahan Teknik, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2008 [4] Laird, C., Fatigue Crack Propagation, ASTM Spec.Tech Publ., 415, halaman 131-168, 2005.

Page 65: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐17

Teknik

MESIN

Pengaruh Temperatur Pemanasan Terhadap Koefisien Perpindahan Massa Difusi (Diffusivity) Karbon Pada

Proses Pack Carburizing Baja AISI 3115

Putu Hadi Setyarini, Ika Istiana, Slamet Wahyudi Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

Jl. MT Haryono No.167, Malang, 65145,Indonesia E-mail: [email protected]

Abstrak

Perpindahan massa pada benda padat dinyatakan dalam bentuk koefisien difusi (diffusivity). Koefisien difusi ini dapat diamati dari parameter perubahan konsentrasi zat pada benda padat maupun perubahan massanya. Pada penelitian ini dilakukan perhitungan nilai koefisien difusi pada proses pack carburizing baja AISI 3115. Koefisien difusi didapatkan dengan menerapkan metode perhitungan direct flux pada hukum I Fick. Benda kerja yang dipakai adalah baja AISI 3115 dengan diameter 22 mm dan tebal 20 mm. Temperatur divariasikan dari 800-950oC. Holding time dikontrol sebesar 5 jam dan mesh ukuran butir carburizer dibedakan antara 60-100µm dan 500-560µm. Data yang diamati pada penelitian ini adalah perubahan massa (∆m), perubahan konsentrasi (∆C) dan kedalaman difusi (r) karbon sebelum dan sesudah perlakuan pack carburizing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur pemanasan, maka koefisien difusi (diffusivity) karbon akan semakin meningkat. Koefisien difusi tertinggi pada carburizer berukuran 60-100µm adalah 1.12322E-09, sedangkan pada carburizer berukuran 500-560µm adalah 3.81387E-11. Hal ini menunjukkan carburizer dengan mesh lebih kecil mempunyai koefisien difusi yang lebih besar daripada mesh yang lebih besar.

Kata Kunci: Koefisien difusi, pack carburizing, hukum Fick, baja AISI 3115

1. Pendahuluan

Perpindahan massa didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan partikel atau kuantitas fisik yang disebabkan oleh adanya perbedaan konsentrasi dalam suatu campuran (Incropera,1992). Sama halnya dengan perpindahan panas yang terjadi akibat adanya perbedaan suhu sebagai gaya pendorong, maka pada peristiwa perpindahan massa gaya pendorongnya berupa perbedaan konsentrasi. Pada industri material pemanfaatan prinsip perpindahan massa terjadi pada perlakuan carburizing untuk mengeraskan permukaan material. Carburizing merupakan proses penambahan unsur karbon pada baja karbon rendah secara difusi sehingga karbon dari media carburizing akan masuk ke permukaan baja dan meningkatkan kadar karbon pada permukaan baja karbon rendah tersebut (Budinski,1999).

Difusi karbon pada Pack carburizing sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor seperti temperatur pemanasan, waktu penahanan (holding), ukuran serbuk carburizer, katalis dan media pendingin. Temperatur pemanasan akan mempengaruhi energi aktifasi atom karbon sehingga memungkinkan atom karbon berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Karena kadar karbon di lingkungan lebih tinggi daripada kadar karbon di permukaan baja, maka atom karbon akan berdifusi masuk ke dalam baja. Sedangkan gerak perpindahan atom karbon ke dalam baja akan mempengaruhi flux massa karbon. Berdasarkan hukum Fick (Fick’s law) tentang keseimbangan flux massa dan gradient konsentrasi, Hal ini akan berpengaruh juga pada koefisien difusi (diffusivity) atom karbon.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh temperatur pemanasan terhadap koefisien perpindahan massa difusi (diffusivity) karbon pada proses pack carburizing baja AISI 3115. Penelitian tentang koefisien perpindahan massa difusi pada proses carburizing telah dilakukan oleh beberapa peneliti.

Page 66: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐18

Teknik

MESIN

Dr. Smith (1951) melakukan eksperimen pada sebuah pipa besi yang ditempatkan dalam suatu lingkungan isotermal dengan suhu 1000 oC. Gas carburizing ditiupkan ke dalam pipa ketika gas decarburizing mengalir ke luar dari pipa. Berdasarkan teknik analisa mikro, dia mendapatkan konstanta difusi. Hasil tersebut sesuai dengan analisa yang dilakukan oleh Adolph Fick.

Sedangkan penelitian yang lain dilakukan oleh Karabelctchikova (2007) pada disertasinya yang berjudul Carbon Diffusion in Steel- A Numerical Analysis Based On Direct Flux Integration. Pada penelitiannya ini dia menggunakan pendekatan analisis numerik pada persamaan fluks difusi dengan metode finite difference yang dihitung dan disimulasikan ke dalam program Matlab. Metode ini mendapatkan hasil yang cukup akurat dan dapat diterapkan dalam penghitungan koefisien difusi karbon berdasarkan gradien konsentrasi karbon. 2. Tinjauan Pustaka

Perpindahan massa/difusi adalah gerakan molekul-molekul atau fluida yang disebabkan adanya perbedaan atau gradien konsentrasi, molekul tersebut berpindah dari daerah berkonsentrasi tinggi menuju konsentrasi rendah (Treybal,1980).

Ditinjau berdasarkan perspektif atom, difusi merupakan perpindahan atom dari satu kisi ke kisi yang lain. Kenyataannya, atom dalam material padat bergerak secara konstan, berganti posisi secara cepat. Gerakan tersebut dapat terjadi apabila terpenuhi dua kondisi berikut: 1) Adanya kisi kosong yang berdekatan, dan 2) Atom tersebut harus mempunyai energi (aktivasi) yang cukup untuk memutuskan ikatan dengan atom tetangganya yang kemudian menyebabkan terjadinya distorsi antara beberapa kisi selama proses perpindahan tersebut. Adapun gerakan yang paling sering terjadi pada difusi logam adalah difusi vacancy dan difusi intersisi.

Gambar 1: Difusi vacancy Gambar 2: Difusi intersisi

Pada kondisi steady-state diffusion, fluks difusi sebanding dengan gradien konsentrasi dan

gradien konsentrasi tidak berubah mengikuti perubahan waktu. Keadaan ini disebut juga dengan Hukum 1 Fick (Fick’s first law).

dxdCDJ −= (1)

Dimana J adalah fluks difusi, D adalah koefisien difusi, C adalah konsentrasi dan x adalah jarak difusi. Sedangkan tanda (-) menandakan bahwa fluks difusi bergerak berlawanan arah dengan arah gradien konsentrasi.

Karabelctchikova (2007) mengembangkan rumus hukum Fick ke dalam persamaan finite different dengan mengaplikasikan perhitungan direct flux sehingga diperoleh persamaan berikut:

(2)

Page 67: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐19

Teknik

MESIN

rCD

tAm

∂∂

−=Δ

.

Dimana ∆m adalah perbedaan massa dan A adalah luasan difusi. Dari persamaan (2) dapat diketahui bahwa besarnya fluks difusi sebanding dengan perubahan massa per luasan difusi. Fluks difusi sendiri merupakan suatu besaran dengan fungsi waktu. Apabila persamaan ini dipadukan dengan hukum Fick, maka akan didapatkan persamaan berikut:

(3)

Karena pada penelitian ini menggunakan spesimen berbentuk silinder, maka nilai x diganti dengan r. Sehingga untuk menentukan besarnya koefisien difusi (D) dapat digunakan persamaan yang lebih sederhana seperti di bawah ini:

(4)

Pada proses difusi, temperatur mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap koefisien maupun laju difusi. Misalnya, pada self difusi Fe ke dalam α-Fe, koefisien difusi meningkat sekitar 6 digit (dari 3,0 x 10-21 menjadi 1,8 x 10-15 m2/s) pada peningkatan temperatur mulai 500oC menjadi 900oC. Pengaruh temperatur terhadap koefisien difusi dijelaskan melalui rumus matematis berikut:

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛−=

RTQdDoD exp (5)

Dimana Do adalah koefisien difusi pre-eksponensial,Qd adalah energi aktivasi pada difusi, R adalah Konstanta gas, 8,31 J/mol-K dan T adalah temperatur mutlak (K). Pada penelitian ini, pengamatan terhadap koefisien difusi dilakukan pada proses difusi karbon ke dalam baja melalui proses pack carburizing. Pack carburizing merupakan salah satu perlakuan dari surface hardening yang dilakukan dengan cara menambahkan karbon dalam bentuk padat ke dalam baja yang berkadar karbon rendah dengan mekanisme difusi. Proses difusi karbon ini terjadi karena adanya gradien konsentrasi antara lingkungan yang kaya karbon dengan karbon yang terkandung pada baja. Konsentrasi karbon pada lingkungan lebih besar dripada konsentrasi karbon pada baja sehingga terjadi proses pemindahan atom karbon aktif dari lingkungan ke dalam baja.

Pada proses ini benda kerja dimasukkan ke dalam kotak yang terbuat dari baja dan berisi carburizer. Kotak tersebut dilas dengan bagian atasnya terbuka dan diberi sebuah flens atau penyekat dengan tujuan untuk meminimalkan aliran gas yang keluar dari kotak selama proses carburizing berlangsung. Kotak diisi bahan carburizer bubuk atau butiran-butiran arang yang diaktifkan dengan bahan-bahan kimia seperti: kalsium karbonat, barium karbonat atau sodium karbonat untuk membantu pembentukan karbon monoksida (CO).

Proses pack carburizing memiliki tiga tahapan sama seperti perlakuan panas fisik lainnya. Proses tersebut meliputi heating (pemanasan), holding (penahanan) dan cooling (pendinginan).

= ‐DxC∂∂

Gambar 3: Proses pack carburizing

Page 68: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐20

Teknik

MESIN

Proses pack carburizing dilakukan pada baja AISI 3115. Baja ini merupakan jenis baja paduan rendah, menurut standarisasi AISI (American Iron and Steel Institute) baja AISI 3115 merupakan baja paduan yang mengandung unsur-unsur paduan 0,13-0,18% C; 0,15-0,25% Si; 0,4-0,6% Mn, 0,55-0,75% Cr; 1-1,2% Ni. Baja paduan ini sebagian besar digunakan sebagai bahan pembuat komponen-komponen otomotif dan konstruksi. 3. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode experimental research dengan variabel-variabel sebagai berikut: 1. Variabel bebas

Temperatur: 800oC, 850oC, 900oC dan 950oC. 2. Variabel terikat

Koefisien perpindahan massa difusi (diffusivity) 3. Variabel terkontrol

-Komposisi carburizer adalah 90% arang tempurung kelapa dan 10% barium karbonat (BaCO3) -Holding time selama 5 jam -Media quenching yang digunakan oli SAE 30 - Ukuran serbuk carburizer: mesh 60-100µm dan mesh 500-560µm

Prosedur pengambilan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memotong spesimen dengan dimensi d=22 mm dan tebal 20 mm sebanyak 27 buah. 2. Membersihkan dan menimbang massa awal spesimen 3. Memberi perlakuan pack carburizing terhadap spesimen yang telah disiapkan dengan variasi suhu

800oC, 850oC, 900oC dan 950oC pada mesh carburizer 60-100µm dan 500- 560µm.

4. Menimbang massa spesimen yang telah di-carburizing. 5. Membersihkan dan mengetsa spesimen kemudian melakukan uji foto mikro. 6. Melakukan uji komposisi untuk mendapatkan beda konsentrasi karbon. 7. Menganalisa data yang diperoleh dan memformulasikannya ke dalam persamaan (4) untuk

mendapatkan nilai koefisien difusi karbon hasil pack carburizing. Peletakan spesimen pada proses pack carburizing dapat dilihat pada gambar 4 berikut:

4. Hasil Dan Pembahasan

Berdasarkan pengujian pada spesimen dan pengolahan data menggunakan Direct Flux method pada persamaan (4) maka didapatkan nilai D pada perlakuan pack carburizing dengan mesh 60-100µm dan mesh 500-560µm.

Gambar 3: Peletakan spesimen pada pack carburizing

Page 69: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐21

Teknik

MESIN

Gambar 4: Pengaruh temperatur pemanasan terhadap koefisien difusi (D) karbon pada pack carburizing dengan mesh60-100µm

Gambar 5: Pengaruh temperatur pemanasan terhadap koefisien difusi (D) karbon pada pack carburizing dengan mesh 500-560µm

Dari grafik terlihat bahwa nilai koefisien difusi (D) karbon pada mesh 60-100µm semakin naik

dengan makin tingginya temperatur pack carburizing, baik pada perulangan 1 sampai 3. Koefisien difusi tertinggi terdapat pada temperatur 950oC, yaitu 1.6554E-5 (perulangan 3). Semakin tinggi temperature pada proses pack carburizing, maka akan semakin banyak atom-atom karbon yang teraktivasi sehingga pergerakan atom karbon dari luar menuju ke dalam material akan semakin banyak. Hal ini memungkinkan semakin banyaknya atom-atom karbon yang berdifusi intersisi.

Page 70: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐22

Teknik

MESIN

Gambar 6: Perbandingan Koefisien difusi rata-rata pada pack carburizing mesh 60-100µm-500-560µm

Begitupun dengan besarnya koefisien dfusi (D) karbon pada perlakuan pack carburizing dengan mesh 500-560µm juga mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya temperatur pemanasan. Koefisien difusi (D) tertinggi terjadi pada temperatur 950oC, yaitu: 8.04996E-06 (perulangan1). Hal ini sebagaiman terlihat pada gambar 5 di atas.

Pada sisi lain nilai D pada mesh 60-100µm lebih tinggi dari pada nilai D pada mesh 500-560µm.

Sebagaimana terlihat pada gambar 6 yang didapat berdasarkan perbandingan koefisien difusi rata-rata pada pack carburizing dengan mesh 60-100µm dan 500-560µm.

Hal ini dijelaskan oleh Lakhtin (1965) bahwa proses pengkarbonan mencakup 3 proses,meliputi:

proses yang terjadi pada medium eksternal berupa pembebasan elemen difusi Hal ini dijelaskan oleh Lakhtin (1965) bahwa proses pengkarbonan mencakup 3 proses,meliputi:

proses yang terjadi pada medium eksternal berupa pembebasan elemen difusi menjadi atom (ion), kontak elemen difusi dengan permukaan matrik membentuk ikatan kimia dan penetrasi elemen difusi menuju inti setelah menjadi keadaan jenuh dipermukaan matrik. Dari pengertian tersebut jelas bahwa serbuk carburizer dengan ukuran mesh yang lebih kecil akan mempermudah proses pembebasan elemen difusi menjadi atom, sehingga akan meningkatkan jumlah elemen difusi yang mengalami kontak dengan permukaan logam untuk membentuk ikatan kimia. Adanya kontak elemen difusi yang lebih tinggi pada proses pack carburizing dengan ukuran serbuk yang kecil akan meningkatkan kedalaman difusi. Meningkatnya kedalaman difusi berarti konsentrasi karbon yang masuk dari luar ke dalam material logam akan semakin banyak sehingga diperoleh gradien konsentrasi yang lebih tinggi. Dengan meningkatnya gradien konsentrasi, maka koefisien difusi (D) atom karbon akan semakin besar.

5. Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:

Nilai koefisien difusi (D) pada proses pack carburizing akan meningkat sebanding dengan peningkatan temperatur pemanasan baik pada pack carburizing dengan mesh 60-100µm maupun pada mesh 500-560µm. Nilai koefisien difusi (D) pada carburizer dengan mesh 60-100µm lebih besar daripada koefisien difusi mesh 500-560µm. Hal ini membuktikan bahwa semakin kecil ukuran carburizer maka difusi yang terjadi akan semakin banyak, sehingga meningkatkan konsentrasi karbon dan kedalaman difusi. Sehingga koefisien difusi pun meningkat.

Page 71: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐23

Teknik

MESIN

Daftar Pustaka [1]. Budinski, K.1983. Engineering Material Properties and Selection. Reston Ohio: Mc.Millan

Publishing Company. [2]. Incropera, Dewitt. 1992. Fundamental of Heat and Mass Transfer. Bangalore: Mc Graw Hill Inc. [3]. Johnson, D. D. 2006. Introduction to Engineering Material. Illinois: MSE International. [4]. Karabelctchikova, Olga. 2007. Carbon Diffusion in Steel- A Numerical Analysis Based on Direct

Flux Integration. Dressel: Journal of Phase Equillibrium and Diffusion. [5]. Lakhtin, Y.1980. Engineering Physical Metallurgy and Heat Treatment. Moscow: MIR.

Page 72: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐24

Teknik

MESIN

Remelting Dan Beda Temperatur Terhadap Sifat Mekanis Pada Limbah Piston Bekas Dengan Metode High Presure Die Casting

Purnomo dan Suparjo

Fakultas Teknologi, Jurusan Teknik Mesin, Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya Email : [email protected]

ABSTRAK Pengecoran logam dengan metode High Pressure Die Casting (HPDC) adalah metode pengecoran dengan cara menginjeksikan cairan logam ke dalam cetakan dengan kecepatan dan tekanan tertentu dengan menggunakan mesin HPDC. Cetakan yang digunakan adalah baja karbon. Metode pengecoran tersebut dilakukan dengan pengecoran ulang (Remelting) pada pembuatan komponen motor pada pembuatan piston, dengan bahan dasar aluminium dan silicon. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan variasi temperatur penuangan 700,750, 800C, komposisi paduan piston yaitu: 75% piston bekas + 25% ADC 12, 50% piston bekas + 50% ADC 12, 25% piston bekas + 75% ADC 12 dan sebagai kontrol piston bekas murni dan ADC 12 murni. Karakterisasi material hasil prototipe piston yang dilakukan meliputi uji komposisi kimia, struktur mikro, kekerasan, porositas dan kekasaran.Hasil prototipe material piston dan pengembangan prototipe piston berbasis limbah piston bekas yang terbaik dengan kekerasan 64,5 HRB, porositas terendah4,613 dan kekasaran setelah machining paling baik 1,58 dicapai pada komposisi 25% piston bekas + 75% ADC 12 dengan temperatur penuangan. 8000C

Kata kunci : HPDC, kekasaran,kekerasan,porositas, temperatur.

1. Pendahuluan

Perkembangan industry otomotif di Indonesia khususnya industry sepeda motor menunjukkan angkan yang cukup tinggi. Keadaan ini merupakan sebuah peluang bagi industry pendukung yaitu industry pengecoran sebagai penyuplai komponen bagi industry sepeda motor. Peluang pasar yang besar akan mendorong perusahaan manufaktur yang memproduksi komponen dari paduan aluminium berkompetisi menghasilkan produk yang mempunyai kualitas standar dan harga lebih murah. Tuntutan menghasilkan produk masal dengan bentuk yang lebih kompleks dengan toleransi tinggi, permukaan yang halus, bebas cacat dan waktu produksi yang singkat menjadi suatu keharusan bagi fabrikan agar dapat bersaing dengan fabrikan lain. Teknik pengecoran dengan cetakan permanen dengan siklus yang kontinyu adalah suatu solusi pemenuhan tuntutan. Teknik High Pressure Die Casting (HPDC) merupakan salah satu metode yang cocok untuk memenuhi tuntutan tersebut. HPDC adalah suatu proses pengecoran dengan menginjeksikan logam cair kedalam cetakan kemudian mempertahankan pemberian tekanan selama pembekuan proses ini berlangsung pada ruang tertutup. HPDC dibagi menjadi dua kategori yaitu HPDC Cold Chamber dan HPDC Hot Chamber. HPDC Hot Chamber biasanya digunakan untuk logam dengan temperature cair yang rendah dan logam yang tidak bereaksi membentuk paduan dengan logam die (baja) seperti tima hitam, tima putih dan zinc. HPDC Cold Chamber digunakan untuk logam dengan temperature cair tinggi seperti aluminium dan tembaga (dan paduannya). Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik HPDC Cold Chamber. Bahan baku yang digunakan adalah paduan standar yang umum digunakan pada pembuatan komponen otomotif seperti blok silinder, piston, tuas rem, pulley dan velg. Walaupun sudah luas penggunaannya namun paduan ini masih jarang diteliti.Paduan tersebut adalah paduan Al-Si Penelitian ini akan mengkarakteristik nilai kekasaran Al-Si terhadap temperature tuang dan tebal cetakan pada HPDC dalam proses pembuatan komponen otomotif yaitu pulley

2. Tinjauan Pustaka.

Penelitian tentang teknik pengecoran bertekanan dan perpindahan panas telah banyak dilakukan antara lain. G.Daor, dkk (2005) Meneliti mengukur koefisien perpindahan panas dan aplikasinya dengan

Page 73: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐25

Teknik

MESIN

tekanan tinggi pada cetakan tekan. Perpindahan panas terhadap ketebalan cetakan / chill pada material aluminium juga diiteliti oleh M.A Gafur dkk, (2003) . Pengecoran dengan system perpindahan panas pada permukaan cetakan logam juga diteliti oleh Haci Mehmet, dkk (2005) dengan tujuan penelitian menentukan koefisien perpindahan panas pada cetakan logam dan menghasilkan paduan Al-Si microstruktur lebih halus. Simulasi dan model cetakan logam dengan perpindahan panas A.S Usmani (2005). Mahmoudi dkk (2006) Meneliti tentang Perpindahan panas pada proses pembekuan dengan cairan fluida. Carakteristik perpindahan panas pada cetakan los foam Ziliu dkk, (2006). Rahmazan dkk (2007) meneliti Tekanan tinggi dan perpindahan panas pada pengecoran die casting. Dalam penelitiannya menghasilkan sifat mekanik meningkat. Sifat perpindahan panas pada tekanan tinggi dengan cetakan tekan juga diteliti oleh Zhi-Peng dkk (2008) . Koefisien perpindahan panas dengan menurunkan struktur kristal A. Hamasalid dkk, (2008) . Simulasi perpindahan panas pada cetakan tekan juga diteliti oleh (Dos Santos dkk 2008) dengan hasil penelitian proses pendinginanlambat membuat hasil coran lebih homogen. Zhi Peng dkk (2008) meneliti Perpindahan panas dalam proses cetakan tekanan tinggi. Han dan Xu (2005) meneliti HPDC dengan bahan aluminium murni, paduan Al - 1,8 Si, A 356, A 380. A 319, A 390,2 Aghion dkk (2006). ADC 12 diteliti oleh Tian dkk, (2002), Chen (2003), dan Lozano dan Peng (2006). Dargusch dkk, (2006) meneliti bahan DA 401 dan CA 313, bahan CA 313 juga diteliti ol;eh Gunasegaram dkk, (2007). Niu dkk (2000) meneliti Al =- 5 % Si, Al – 8 % Si, dan Al – 18 % Si. Paduan dengan Al – Si eutektik memiliki koefisien panas yang baik sehingga di gunakan pada pengecoran dengan die. Paduan ini juga digunakan bahan piston untuk mesin bensin dan mesin diesel. Ada beberapa metode yang digunakan pada proses HPDC. Lui dkk, (1996) melakukan perubahan proses pengisian cetakan dari tga tahapan: slow shot, fast shot, filling shot menjadi lima tahapan yaitu slow shot, fast shot, filling shot, pressure impact, finalpressure setting. Penelitian dengan tiga tahapan pengisian dilakukan oleh Chen, (2003), Tsoukolas dkk, (2004), Han dan Xu (2005), Dargusch dkk, (2006), Gunasegaram dkk, (2007), Zamora dkk,

3. Percobaan Bahan

Paduan aluminium – silikon merupakan jenis paduan aluminium yang paling banyak digunakan

dalam proses pengecoran dibandingkan dengan jenis paduan aluminium yang lain. Hal ini disebabkan antara lain sifat fluiditas yang baik. (Soejono Tjitro, 2003). Silikon ditambahkan dengan tujuan untuk meningkatkan mampu cor (castability) serta memperbaiki sifat mekanis dari aluminium murni. Paduan aluminium silikon termasuk paduan cor (casting alloys) dan diberi kode seri 4xx.x. (Hartanto, 2001) Mampu tuang paduan cor dapat diperbaiki dengan menambah unsur silikon sampai denga 23% Disamping itu, penambahan unsur silikon juga dapat memperbaiki sifat fluiditas dan feeding characteristic dari pada paduan. Dibawah ini beberapa sifat mekanis yang digunakan dalam penelitian.

Tabel 1. Sifat mekanis Paduan Aluminium Silikon

Paduan Fe Cu Mg Si Zn Densitas Konduktivitas panas 7 % 0,2 0,05 0,45 6,5-7,5 0,05 2,68 gr/cm3 152 W/mK 12,5 % 2.0 1,0 0,1 11,0-13,0 0,5 2.657 gr/cm3 121 W/mK

(2007). Penggunaan tahapan pengisian yang berbeda terlihat tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kualitas coran namun pertimbangan dipusatkan pada kecepatan piston dan pola aliran saat mengisi cetakan. Penelitian park dkk (2001) menghasilkan piston dengan kekerasan sebesar 77,5 HRB dan kekuatan tarik sebesar 630 MPa. Penelitian Duskiardi dkk (2002) menghasilkan piston dengan kekerasan sebesar 115 BHN. Peneliti Choi dkk (2005) menghasilkan piston dengan harga kekerasan sebesar 52 HRB. Peneliti Budi Harjanto dkk (2008) menghasilkan piston dengan harga kekerasan sebesar 97,86 HVN.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Page 74: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐26

Teknik

MESIN

Mesin PDC, Dies (Cetakan), Dapur peleburan,Termokopel, Pressure gage, Alat uji kekasaran

Gambar 1. Proses pengecoran High pressure Die Casting

4. Mesin Injeksi

Mesin injeksi dengan kapasitas tekanan maksimum 40 bar (gambar 1 ), sedangkan besar tekanan yang digunakan adalah 20 bar dan 40 bar

Prosedur penelitian.

Al-Si 12% dilebur pada dapur lebur, temperature logam cair dikontrol dengan thermokopel hingga sesuai untuk penuangan. Proses penuangan dimulai dari temperature 7000C, 7500C, dan 8000C. Pengaturan suhu cetakan dilakukan diantara proses injeksi untuk memastikan kondisi temperature cetakan tepat untuk melakukan injeksi selanjutnya. Tahapan pengecoran sebagai berikut. Cetakan tertutup logam cair dituang ke dalam cold chamber.Plunyer didorong dengan tekanan tertentu, sehingga logam cair akan mengisi ruang cetakan dan akan memadat.Cetakan dibuka dengan memanfaatkan dorongan dari plunyer.Ejector pins mendorong benda coran dan akan terlepas dari cetakan. Plunyer akan kembali ke tempat semula.komponen piston perlu dilakukan penggantian dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan penggunaan.

Kerusakan piston

Gambar 2. Kerusakan pada piston (www.Metalurgi.com)

5. Hasil dan Pembahasan

Pengaruh remelting terhadap sifat mekanis kekasaran permukaan benda kerja.Kekasaran terlihat menurun seiring meningkatnya temperature penuangan, kekasaran terendah terjadi pada temperature 7000C dan kekasaran tertinggi terjadi pada temperature penuangan 8000C.

Page 75: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐27

Teknik

MESIN

Hasil pengamatan sebagai berikut Tabel 1. Hasil kekasaran Pengecoran Ulang I

Tabel 2. Hasil kekasaran Pengecoran Ulang II

No Tekanan

(Bar) Temperatur tuang (0C)

Harga Kekasaran

( µ m)

No Tekanan (Bar)

Temperatur tuang (0C)

Harga Kekasaran

( µ m) 1 20 700 1,15 1 40 700 1,22 750 1,20 750 1,27 800 2,12 800 2,58 850 2,34 850 2,62

Gambar 3. Grafik kekasaran pengecoran ulang I dengan tekanan 20 bar

Gambar 4. Grafik kekasaran pengecoran ulang II dengan tekanan 40 bar

Gambar 5 Pengujian kekerasan material piston bekas

65

60

55

50

45

40

100% Pb Kontrol

75% Pb + 25% ADC 12

50% Pb + 50% ADC 12

25% Pb + 75% ADC 12

100% ADC Kontrol

KE

KER

ASA

N (H

RB

)

Page 76: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐28

Teknik

MESIN

6. Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan maka, bisa diambil kesimpulan sebagai berikut: a. Hasil studi karakterisasi material piston motor bensin diketahui bahwa piston

mempunyai sifat dan karakterisasi sebagai berikut: 1. Kekasaran benda uji pada tekanan 20 bar terlihat rata - rata naik dengan semakin

tingginya temperatur. 2. Kekasaran benda uji pada tekanan 40 bar terlihat rata – rata menurun dengan semakin

tingginya tempertur. 3. Kekasaran benda uji pada ketebalan cetakan bertambah terlihat semakin halus permukaan

dengan semakin tingginya temperature. 4. Harga kekerasan 76 HRB dan Komposisi kimia ( Al-Si) 84,19 % Al dan 10,7% Si 5. Kekasaran permukaan (1,25 – 187) µ m

b. Hasil studi pengecoran ulang piston bekas dapat disimpulkan beberapa hal seperti: Kekasaran hasil pengecoran ulang limbah piston bekas dengan HPDC masih

dibawah kekasaran piston. Komposisi kimia hasil pengecoran ulang limbah piston bekas khususnya untuk kandungan % Si juga masih dibawah komposisi piston Daihatsu Hi-Jet dan standar paduan aluminium AA. 333.0 yaitu pengecoran I 86,27% Al;7,78 % Si dan pengecoran II 87,82 % Al; 7,76 %

Daftar Pustaka. [1]. A.M. Samuel, F.H. Samuel, Effect of Magnesium Content on the Ageing Behaviour of Water

chilled Al-Si-Mg Alloy Casting. Journal of mat.Sci, Vol 30. 1996. [2]. Anson J.P, Gruzleski, Effect of Hydrogen Content on Relative Shrinkage and Gas Microporosity

in Al 7% Si Casting, McGill University, Canada, 2000. [3]. Abis S., Numerical Simulation of Silidification in an Aluminium Casting, Metallurgical

Transaction B, Vol. 17B, pp.209 – 216 March 1986. [4]. Anantharaman, T.R., 1987, Rapidly Sidified Metal, Trans. Tech. Publications, Switzerland. [5]. Anderson, T.L Fracture Mechanics Fundamentals and Application, CRC Press, Inc., Boca Raton

Ann Arbor Boston , 1991. [6]. A. Hamasaiid dkk Effect of Mold Coating Material and Thickness on Heat Transfer in

Permanent Mold Casting of Aluminium Alloy, Journal Metallurgical and Materials Transaction , Vol 38 Nomor 6 Springer Boston 2007.

[7]. Aoki,S., K. Kishimoto. T. Yoshida, M. Sakata, and H.A Richard, Elastic-Plastic Fracture Behavior of an Aluminium Alloy under Mixed Mode Loading., Journal. Mechanical Physics Solids, Vol 38, N0 2, 1990.

[8]. Bambang Suharno, Neni Octapiani Nurhayati, Bustanul Arifin, dan sri Harjanto, Pengaruh Waktu Kontak Terhadap reaksi Antar Muka Paduan Aluminium 7%Si dan Aluminium 11%Si Dengan Baja Cetakan SKD 61., Jurnal Makara, Teknologi, Vol 11, No 2 , Universitas Indonesia Jakarta, 2007.

[9]. Beeley P.R. Foundry Technologi London : Butterworth Scientific, 1972 [10]. Calister, W.D. Jr, Material Science and Engineering an Introduction, 6th John Wiley and Sons

Inc, 2003. [11]. Cheng Liu, dkk Effect of Process Parameters, Casting Thickness, and Alloys on the Interfacial

Heat-Transfer Coefficient in the High Pressure Die- casting Process. Metals & Materials Society and ASM International 2008

[12]. Dody P, Keterkaitan Kemiringan Cetakan, Kecepatan Pertumbuhan Dendrit dan Ukuran Butir pada Logam Aliminium- Silikon, Jurnal Teknik mesin ITS, 2007

[13]. David P. A, Phase Transformation in Metal and Alloy, Chapman and Hall, London, 1990.

Page 77: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐29

Teknik

MESIN

[14]. Duskiardi, Pengaruh Tekanan dan Temperatur Die Proses Squeeze Casting Terhadap Kekerasan dan Struktur Mikro Pada material piston Komersial Lokal, Jurnal Teknik Mesin, Univ Bung Hatta Padang, 2002.

[15]. Dargusch dkk, Heat Transfer at the casting/die interface in high pressure Die Casting – Experimental result and contribution to modelling. TheMinerals, Metals & Materials Society Excellence in Research Australia (ERA) 2006.

Page 78: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐30

Teknik

MESIN

Pengujian Akustik Papan Serat Sabut Kelapa Dengan Matriks Gypsum

Yusril Irwan,. M.T.

Staf Pengajar jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Nasional-Bandung

ABSTRAK

Serat sabut kelapa adalah salah satu limbah yang belum begitu dimanfaatkan secara

maksimal di Indonesia. Padahal jumlah kapasitas serat sabut kelapa yang dihasilkan dari panen kelapa setiap tahunnya di Indonesia cukup besar. Oleh sebab itu, perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengolah serat sabuk kelapa ini agar tidak menjadi limbah yang dibuang begitu saja.

Dalam penelitian ini membuat sabut kelapa menjadi papan komposit, yaitu serat sabut kelapa dengan matrik gibsum. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karateristik akustik dari material berbahan dasar serabut kelapa dengan matriks gypsum. Dengan mengetahui karateristik akustik pada material komposit berbahan dasar sabut kelapa ini maka dapat diketahui tempat penggunaanya jika dijadikan sebagai dinding. Karateristik akustik diperoleh dengan cara pengujian akustik. Pada pengujian akustik dapat diperoleh nilai koefisien absorbsi dan nilai transmission loss serta nilai sound transmission class. Nilai koefisien absorbsi didapat dengan pengujian absorption dimana ini berhubungan dengan pengaturan akustik dalam ruangan sedangkan nilai transmission loss dan sound transmission class diperoleh dengan pengujian transmission loss yang berfungsi untuk mengetahui seberapa besar pengurangan suara yang dapat dilakukan oleh komposit berbahan dasar serat sabut kelapa dengan matriks gypsum. Kata kunci : serat sabuk kelapa, sound transmission class, absorption, akustik, transmission loss, gypsum

ABSTRACT

Coconut coir fiber is one of the waste that has not been so fully utilizeed in Indonesia. Though the amount of coconut coir fibercapacity resulting from harvesting coconuts each year in Indonesia is quite large. Therefore, there should be a study for the processing of coconut fiber coir so as not to waste thrown away.

The purpose of this study was to determine the acoustic characteristic of materials made from coconut fibers to the gypsum matrix. By knowing the acoustic characteristic of composite materials based on coconut coir is then able to know where its use if used as a wall. Acoustic characteristics obtained by testing the acoustics. In testing the acoustic absorption coefficient can be obtained value and the value of transmission loss and sound transmission class is obtained by testing transmission loss of functioning to determine how much noise reduction that can be performed by a composite made from coconut coir with a matrix of gypsum. Key word : fiber coconut coir, sound transmission class, absorption, acoustics, transmission loss, gypsum. 1. Pendahuluan

Dengan semakin majunya teknologi, perkembangan peralatan yang digunakan manusia juga semakin meningkat. Peralatan tersebut bisa berupa sarana informasi, komunikasi, produksi, transportasi, maupun hiburan. Sebagian besar peralatan tersebut menghasilkan suara-suara yang tidak diinginkan sehingga menimbulkan kebisingan. Untuk mengatasi hal tersebut dikembangkan berbagai jenis bahan peredam suara. Disamping itu peredam suara juga dibutuhkan untuk menciptakan bangunan atau ruangan dengan karateristik akustik tertentu sehingga tercipta kenyamanan untuk penggunanya.

Page 79: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐31

Teknik

MESIN

Jenis bahan peredam suara yang sudah ada yaitu bahan berpori, resonator dan panel. Dari ketiga jenis bahan tersebut, bahan berporilah yang sering digunakan. Khususnya untuk mengurangi kebisingan pada ruang-ruang yang sempit seperti perumahan, perkantoran atau studio. Hal ini karena bahan berpori relatif lebih murah dan ringan dibanding jenis peredam suara lain. Material yang telah lama digunakan pada peredam jenis ini adalah glasswool dan rockwool. Namun karena harganya yang mahal, berbagai bahan pengganti material tersebut mulai dibuat. Diantaranya adalah berbagai macam gabus maupun bahan berkomposisi serat. Kelapa adalah buah yang mempunyai banyak serat yaitu 35 % dari berat totalnya. Kelapa dihasilkan di Indonesia dalam jumlah yang besar yang bisa mencapai jutaan ton pertahun. Dengan banyaknya kelapa yang dihasilkan maka serat kelapa juga akan semakin meningkat. Namun serat kelapa tersebut tidak semuanya bisa dimanfaatkan dengan optimal sehingga banyak yang dibuang dan menjadi limbah. Gypsum adalah batu putih yang terbentuk karena pengendapan air laut, kemudian dipanaskan 175 ºC disebut STUCCO. Gypsum adalah salah satu mineral terbanyak dalam lingkungan sedimen yaitu batu yang terdiri dari mineral yang diproduksi secara besar-besaran biasanya dengan persipitasi dari air asin. Gypsum sering digunakan sebagai pengikat/matriks karena mempunyai beberapa keunggulan yaitu ringan, tahan apai, fleksibilitas untuk disain dan dapat meredam suara.

Pada umumnya bahan komposit terdiri dari dua unsur yaitu serat dan matrik, dimana matriks sebagai bahan pengikat serat pada material komposit. Unsur utama bahan komposit adalah serat, serat inilah yang dapat menentukan karakteristik bahan komposit seperti kekakuan, kekuatan, dan sifat mekanik lainnya. Serat juga dapat menahan sebagian besar gaya-gaya yang bekerja pada bahan komposit, sedangkan matriks bertugas melindungi dan mengikat serat agar dapat bekerja dengan baik. Karena itu bahan serat yang digunakan adalah bahan yang kuat dan ulet. Sedangkan bahan matriks dipilih bahan-bahan yang lunak seperti tanah lempung. Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa bahan komposit relatif kaku, sehingga lendutannya relatif kecil. Hasil pengujian mekanik yang telah dilakukan sebelumnya dari komposit berbahan dasar serat sabut kelapa.

Tabel 1 Perbandingan sifat mekanik keempat jenis specimen

No Perbandingan serat

kelapa, sekam kayu dan gypsum

Massa jenis

(g/cm3)

Uji lengkung (N/mm2)

Uji kandungan

air (%)

Rasio perubahan ketebalan

(%) 1 1:01:40 1,242 20,16 32,07 1,176

2 1:02:40 1,222 16,28 32,94 0,66

3 1:03:40 1,222 12,94 31,42 0,8

4 Gypsum standar 0,591 12,07 35,85 1,59

Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Memanfaatkan serat sabut kelapa untuk dijadikan bahan dasar material komposit baru. 2. Untuk mengetahui karateristik akustik dari material berbahan dasar serat sabut kelapa dengan matriks

gypsum. 2. Metodologi Tahap – tahap dari proses penelitian ini adalah 2.1 Penyiapan Alat Cetakan Alat cetakan ini terbuat dari plat baja. Cetakan ini terdiri dari beberapa bagian, yaitu tiang penyangga, penutup cetakan, dan bagian bawah cetakan. Untuk menekan bagian penutup dan bagian bawah cetakan digunakan bantuan dongkrak hidrolik seperti pada gambar 1.

Page 80: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐32

Teknik

MESIN

Gambar 1. alat pengepresan

2.2 Penyiapan serat sabut kelapa Pertama-tama yang dilakukan adalah dilakukan pencabutan serat kelapa dari cangkang seperti pada gambar 2. Sabut kelapa kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari selama satu hari. Sabut kelapa yang telah kering, dibersihkan dengan cara memisahkan serat sabut kelapa dengan gabus yang melekat pada serat sabut tersebut. Serat sabut kelapa yang telah bersih, kemudian dipotong dengan ukuran 3 – 6 cm seperti pada gambar 4. Ukuran pemotongan ditentukan karena panjang serat mempengaruhi ikatan antar serat dan matrik.

Gambar 2. Pencabutan Gambar 3.Pembersihan Gambar 4 Pemotongan 2.3 Proses Pembuatan

Dilakukan pencampuran gypsum, serat sabut kelapa dengan air sesuai dengan perbandingan yang telah ditentukan dalam sebuah wadah. Setelah di aduk sampai merata, adonan campuran gypsum, serat sabut kelapa dengan air dimasukkan ke dalam cetakan dan dipress selama 2 x 24 jam seperti pada gambar 7 . Kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari selama 4 hari.

Gambar 5 Pencampuran Gambar 6 Penuangan Gambar 7 Pengepresan

Terdapat 3 jenis spesimen yang dibuat dengan perbandingan gypsum dan serat sabut kelapa yang berbeda-beda. Ketiga jenis spesimen tersebut yaitu :

1. Spesimen A = gypsum total 2. Spesimen B = 1 : 40 (perbandingan serat kelapa dengan gypsum) 3. Spesimen C = 1 : 20 (perbandingan serat kelapa dengan gypsum)

Page 81: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐33

Teknik

MESIN

Gambar 8 Spesimen A Gambar 9 Spesimen B Gambar 10 Spesimen C 2.4 Proses Persiapan spesimen Proses persiapan spesimen yang dilakukan adalah proses pemotongan spesimen untuk. Dimana untuk pengujian transmission loss, bentuk spesimen yang diperlukan adalah segiempat sedangkan untuk pengujian absorption, bentuk spesimen yang diperlukan adalah lingkaran. Untuk mengubah bentuk spesimen menjadi lingkaran digunakan coredrill.

Gambar 11 Spesimen yang telah di coredrill

3. Pengujian Parameter

Pengujian akustik adalah pengujian yang bertujuan untuk mengetahui karateristik akustik pada suatu bahan. Pengujian akustik terdiri dari dua jenis yaitu pengujian transmission loss dan pengujian absorption. 3.1 Pengujian Transmission Loss (TL) Pengujian transmission loss adalah pengujian yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan suatu bahan untuk mereduksi suara yang ditransmisikan ke luar ruangan atau untuk mengukur kemampuan penyekatan suara.

Secara sederhana prinsip pengujian dari pengujian transmission loss adalah spesimen diletakkan pada celah antara dua buah ruang dengung yaitu ruang sumber dan ruang penerima. Kemudian diberikan suara pada ruang sumber dengan menggunakan loudspeaker dengan frekuensi 125 – 4000 Hz, microphone pada ruang sumber akan menangkap besarnya tekanan suara, begitupun juga microphone pada ruang penerima akan menerima besarnya tekana suara yang tembus melalui spesimen yang menutup celah antara kedua ruang tersebut. Tekanan suara yang ditangkap oleh microphone akan ditransfer ke amplifier kemudian akan diteruskan ke soundcard kemudian nilainya akan bisa terbaca pada layar laptop.

Data berupa luas spesimen (s = 0,69m x 0,69m), volume ruang sumber (V=19m3), waktu dengung (T) dan tekanan suara ruang sumber (L1) serta ruang penerima (L2) akan diolah dan dimasukkan ke dalam persamaan:

Noise reduction (NR) = (L1 – L2)

Page 82: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐34

Teknik

MESIN

Gambar 12 Instalasi pengujian transmission loss

3.2 Pengujian Absorption Pengujian Absorption adalah pengujian yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan suatu bahan untuk menyerap suara. Prinsip pengujian absorption adalah spesimen yang berbentuk lingkaran dimasukkan ke dalam bagian kepala tabung impedansi kemudian diatur frekuensi suara pada amplifier dengan frekuensi 100 – 4000 Hz, maka speaker akan memberikan suara ke dalam tabung impedansi dan sound level meter akan membaca tekanan suara (L) hasil dari penyerapan spesimen yang ada dalam tabung impedansi. Data yang diperoleh akan diolah dan dimasukkan ke dalam persamaan :

L = Lmaks - Lmin

(Koefisien penyerapa suara)

Gambar 13 instalasi pengujian absorption

Page 83: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐35

Teknik

MESIN

4. Hasil Dan Pembahasan 4.1 Transmission Loss

Tabel 2. Perbandingan nilai transmission loss dan STC pada ketiga jenis specimen

Frekuensi TL A B C

125 22 19 16 160 14 16 12 200 22 20 16 250 22 24 23 315 22 17 16 400 25 26 21 500 25 26 21 630 24 25 20 800 28 26 22

1000 28 28 24 1250 27 26 24 1600 27 26 22 2000 26 25 23 2500 25 25 22 3150 26 25 23 4000 28 24 23 STC 26 25 22

Ket: STC = angka yang menggambarkan kemampuan menyekat/mereduksi suara

Grafik 1 Perbandingan nilai TL untuk ketiga jenis spesimen

Page 84: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐36

Teknik

MESIN

4.2 Absorption Tabel 3 Perbandingan nilai koefisien absorbsi ( ) dan NRC

pada ketiga jenis spesimen

Frekuensi

A B C 100 0,23 0,22 0,23 125 0,57 0,51 0,50 160 0,22 0,18 0,18 200 0,39 0,35 0,34 250 0,11 0,09 0,11 315 0,12 0,10 0,13 400 0,12 0,10 0,14 500 0,16 0,15 0,20 630 0,15 0,25 0,31 800 0,23 0,27 0,26 1000 0,27 0,31 0,37 1250 0,56 0,50 0,50 1600 0,69 0,69 0,51 2000 0,44 0,50 0,53 2500 0,41 0,50 0,52 3150 0,36 0,40 0,52 4000 0,35 0,39 0,41 NRC 0,24 0,26 0,30

Keterangan : NRC = angka yang menggambarkan kemampuan menyerap suara

Grafik 2 Perbadingan nilai absorbsi untuk ketiga jenis spesimen

Page 85: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐37

Teknik

MESIN

5. Kesimpulan

1. Adanya ketidakhomogenan serta perbedaan kerapatan menyebabkan nilai koefisien absorbsi, Noise reduction coefficient (NRC), nilai transmission loss (TL) dan STC pada ketiga jenis spesimen yaitu spesimen gypsum, spesimen 1 : 40, spesimen 1 : 20 berbeda-beda. Adanya ketidakhomogenan dan perbedaan kerapatan disebabkan karena kandungan serat sabut kelapa dalam spesimen.

2. Nilai STC pada spesimen gypsum total (STC = 26) lebih besar dari pada nilai STC pada spesimen 1 : 40 ( STC = 25) , dan spesimen 1 : 20 (STC=20) sehingga bahan gypsum total lebih bagus digunakan untuk keperluan menyekat suara atau untuk mereduksi suara.

3. Adanya kandungan serat sabut kelapa menyebabkan nilai transmission loss dan nilai STC suatu bahan menjadi berkurang tetapi nilai koefisien absorbsi dan Noise reduction coefficient (NRC) menjadi naik.

4. Nilai NRC pada spesimen 1 : 20 (NRC = 0,30) lebih besar dari pada nilai NRC pada spesimen 1 : 40 ( NRC = 0,26) , dan spesimen gypsum total (NRC=0,24) sehingga bahan spesimen 1 : 20 lebih bagus digunakan untuk keperluan bahan yang dapat menyerap suara yang banyak.

Daftar Pustaka

[1]. Kinsler, Lawrence E. & Austin R. Frey. "Fundamentals of Acoustics 3rd Ed.". John Wiley & Sons,

New York, 1982. [2]. Beranek, Louis L. “Noise and Vibration Control”. Institute of Noise Control Engineeering,

Washington D.C., 1988 [3]. International Organization for Standardization. “ISO 3382-2:2008 – Acoustics -- Measurement of

room acoustic parameters -- Part 2: Reverberation time in ordinary rooms”. 2008 [4]. Doelle, Leslie. “Environmental Acoustics”. Erlangga, Jakarta, 1993

Page 86: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐38

Teknik

MESIN

Analisis Visual untuk Perhitungan Initial Damage pada

Sambungan Adhesive

Irfan Hilmy, Yusril Irwan Teknik Mesin Itenas

[email protected] [email protected]

Abstrak Saat ini, Adhesive joint merupakan suatu jenis sambungan yang penggunaannya di bidang kedirgantaraan, perkapalan dan industri otomotif mulai popular menggantikan pengencangan mekanis konvensional lain seperti baut, paku keling dan las. Pada pemakaian adhesive untuk struktur-struktur tersebut di atas, identifikasi kerusakan (damage identification) terhadap sambungan adhesive merupakan hal yang kritis. Walaupun penggunaan adhesive mulai popular, latar belakang ilmu dan pengetahuan (science dan knowledge) yang mendukung masih baru (immature) dibanding jenis-jenis sambungan lain yang sudah baku dan standar. Oleh karena itu, peluang penemuan metoda-metoda baru untuk mendeteksi kerusakan masih terbuka lebar. Salah satu metode identifikasi kerusakan pada daerah sambungan adhesive adalah secara visual dengan menggunalan Image processing technique. Dengan metode ini evolusi proses kerusakan diidentifikasi secara visual dimana urutan-urutan Photo hasil video mikroskopi dikuantifikasi menjadi besaran Damage. Penelitian awal adalah mengevaluasi kualitas penempelan dengan menggunakan analisis visual. Nilai damage yang merupakan kuantifikasi dari porositas yang terjadi pada daerah adhesive. Dari hasil yang didapat dapat diketahui layak tidaknya sambungan adhesive untuk diuji tarik.

1. Pendahuluan Adhesive atau lebih dikenal dengan lem merupakan media perekat yang sudah dikenal di Mesir sejak 4000 tahun yang lalu. Sekarang adhesive sudah menjadi bagian dari hidup kita yang sudah kita terima apa adanya (take for granted). Di bidang rekayasa seperti aerospace, automotive ataupun struktur-struktur komplek lainnya, sambungan adhesive adalah jenis sambungan yang relatif baru digunakan dibanding jenis sambungan mekanis lain seperti: baut, riveting maupun pengelasan. Untuk bidang-bidang tersebut yang menuntut tingkat keyakinan dan keselamatan yang tinggi, pengetahuan tentang kekuatan dan perilaku adhesive di bawah suatu kondisi pembebanan tertentu adalah suatu hal yang kritis. Kaji analitik yang sudah dilakukan terhadap analisis sambungan adhesive masih sangat terbatas. Hal ini terjadi karena adanya masalah singularity karena keunikan geometri dari adhesive joint dimana dimensi geometri adhesivenya sendiri sangat kecil dibanding substrat yang akan direkatkan. Oleh karena itu kajian mengenai kekuatan adhesive joint harus dilengkapi kaji numerik dan eksperimental. Kaji numerik dan eksperimental mengenai prediksi kegagalan adhesive masih sangat terbuka lebar mengingat di Eropa sendiri pengkajian tersebut mulai populer menjelang tahun 90-an. Apalagi setelah harga komputer cenderung turun dan kecepatan pemrosesan data meningkat. 2. Teori Damage Salah satu kaji numerik yang tersedia adalah teknik Video Imaging. Teknik ini sudah dipergunakan secara luas pada berbagai bidang. Teknik Video Imaging ini akan diaplikasikan penggunaanya untuk observasi evolusi Damage (kerusakan) yang terjadi pada adhesive joint.

Page 87: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐39

Teknik

MESIN

Definisi “Damage” telah diperkenalkan pertama kalinya oleh Kachanov[1]. Untuk mendapatkan nilai Damage secara kuantitatif, Kachanov mengajukan Volume Elements Representatif (RVE) yang memiliki rongga-rongga (voids) seperti diperlihatkan pada Gambar 1. Damage didefinisikan sebagai luas penampang irisan yang rusak (AD) dibagi dengan luas penampang irisan tanpa damage (AND). Secara matematis dinyatakan dengan

ND

D

ND

D

AA

A

AD == ∫δ (1)

Terdapat suatu kondisi dimana material dikatakan sempurna atau tanpa damage. Pada kondisi ini

tidak terdapat baik mikrocrack maupun rongga. Damage pada kondisi ini bernilai nol. Suatu kondisi yang hanya eksis secara teoritik. Bahkan pada kondisi manufakturing yang akurat dan sempurna pun mikrocrack atau rongga pasti eksis.

Ketika beban diterapkan, rongga dan mikro-crack terinisiasi dan mulai tumbuh. Kenaikan nilai damage mengindikasikan fenomena ini. Sampai pada suatu nilai yang dinamakan Damage kritis, fenomena ini masih bisa ditoleransi. Di atas titik ini, rongga dan mikro-crack tumbuh secara cepat begitu pula dengan nilai damage. Akhirnya nilai damage akan mencapai maksimum (=1). Pada titik ini fase inisiasi retak telah selesai dan dilanjutkan dengan perambatan retak. 3. Teknik Video Imaging

Dengan teknik video imaging, evolusi degradasi warna pada daerah adhesive seperti diperlihatkan pada Gambar 2 akan dikuantifikasi menjadi besaran damage. Saat ini, masih menjadi perdebatan di antara para peneliti tentang mekanisme yang mana di antara inisiasi retak dan perambatan retak yang menyumbang waktu terbanyak dari suatu umur adhesive joint. Masalahnya adalah sangat sulit untuk mendeteksi adanya bukti signifikan yang dapat membuktikan mekanisme mana yang menyumbang kontribusi terbesar. Perbedaan temuan dapat terjadi tergantung bagaimana suatu inisiasi retak didefinisikan, diukur dan teknik apa yang digunakan dalam rangka mendeteksi perambatan retak. Para peneliti juga telah menemukan bahwa modifikasi geometri akan membuat perbedaan signifikan dari hasil-hasil sebelumnya.

Terdapat dua teknik yang umum digunakan dalam rangka observasi perilaku retak dari adhesive joint: video mikroskopi dan regangan back-face. Courta et al.[2] menggunakan polymethyl methacrylate adherends (PMA) transparan sehingga perambatan retak di dalam sambungan dapat diobservasi menggunakan video kamera. Harris and Fay[3] menggunakan video mikroskopik untuk mengobservasi sisi single lap joint yang diaplikasikan di bidang automotive dengan tujuan mengamati inisiasi retak. Teknik regangan back-face telah digunakan dan dikembangkan oleh para peneliti diantaranya Zhang et al.[4], Imanaka et al.[5] dan Crocombe et al.[6]. 4. Desain dan Metode Penelitian

Metode penelitian yang diusulkan ini mengikuti metode penelitian seperti tertera pada Gambar 3. Secara garis besar, penelitian terbagi atas 5 tahap. Tahap pertama, penelitian dimulai dengan studi literatur tentang algoritma image acquisition dan image detection yang dilanjutkan dengan pemrogramannya. Tahap kedua meliputi persiapan dan pengujian bulk adhesive. Suatu spesimen yang hanya terdiri dari bahan lem diuji kekuatannya serta evolusi kerusakannya diamati dengan video recorder. Tahap ketiga merupakan tahap verifikasi kode yang telah dibuat dengan data visual yang didapat dari hasil pengujian. Pada tahap ini didapatkan kode final yang akan diujicobakan selanjutnya. Tahap keempat merupakan tahap proses persiapan dan pengujian sambungan lem single lap joint. Tahap kelima adalah verifikasi kode dengan sambungan single lap yang bertujuan untuk penghitungan damage yang terjadi secara real time

Page 88: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐40

Teknik

MESIN

5 Analisis Analisis visual dilakukan dengan menggunakan mikroskop USB merk Dino-lite seperti

diperlihatkan pada Gambar 4. Dengan mikroskop ini, data bisa berupa image ataupun berupa video langsung ditangkap oleh PC/Laptop.

Contoh tampilan visual dari permukaan adhesive diperlihatkan pada Gambar 5. Porositas pada bulk adhesive terlihat muncul di berbagai lokasi. Porositas ini nantinya akan dikuantifikasi dengan aplikasi yang dibuat dan dijalankan dalam Matlab seperti diperlihatkan pada Gambar 6 dan dicek apakah kondisinya masih dalam batas toleransi atau di atasnya. Jika hasil kuantifikasi menunjukkan angkanya di atas batas toleransi, maka produk tersebut dapat dikatakan gagal (reject). 6. Kesimpulan Dari hasil-hasil yang telah didapatkan dari penelitian ini, dapat disimpulkan hal-hal berikut:

1. Telah didapat suatu algoritma versi awal yang akan digunakan untuk mengkuantifikasi damage pada bulk adhesive

2. Telah dirancang dan dibuat alat bantu pemegang bulk adhesive untuk pengujian tarik 3. Telah dirancang dan dibuat beberapa tipe alat bantu pencetakan bulk adhesive 4. Telah dirancang dan dibuat suatu prosedur pencetakan bulk adhesive dengan sebelumnya

dilakukan percobaan alternatif-alternatif pencetakannya. 5. Telah dilakukan analisis secara visual kualitas hasil pencetakan bulk adhesive 6. Tahap awal pemakaian Matlab untuk mengkonversi gambar hasil pemotretan ke dalam format

monokrome. Daftar Pustaka

[1]. LM Kachanov, On the Creep Fracture Time, Izv Akad, Nauk USSR Otd. Tech, 1958 [2]. RS Courta, MPF Sutcliffe, SM Tavakoli, Ageing of adhesively bonded joints, fracture and

failure analysis using video imaging techniques, International Journal of Adhesion & Adhesives, 21: 455–463, 2001

[3]. JA Harris and PA Fay, Fatigue Life Evaluation of Structural Adhesives for Automative Applications, International Journal of Adhesion and Adhesive, 12:9, 1992

[4]. Z Zhang, JK Shang, FV Lawrence, A Backface Strain Technique for Detecting Fatigue Crack Initiation in Adhesive Joints, Journal of Adhesion, 49:23, 1995

[5]. M Imanaka, K Haraga, T Nishikawa, Fatigue Strength of Adhesive/Rivet Combined Lap Joints, Journal of Adhesion, 49:197, 1995

[6]. AD Crocombe, CY Ong, CM Chan, MM Abdel-Wahab, IA Ashcroft, Investigating Fatigue Damage Evolution in Adhesively bonded Structures Using Back-face strain measurement, Journal of Adhesion, 78:745, 2002

[7]. I. Hilmy, Damage modelling of adhesive bonding, PhD Thesis, 2008

Page 89: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐41

Teknik

MESIN

Gambar 1: Definisi Damage, diadap- tasi dari Kachanov[1]

Gambar 2: Kondisi awal daerah adhesive (kiri) dan saat akan gagal (kanan) dimana terlihat adanya degradasi warna Diadaptasi dari Hilmy[7]

Gambar 3: Diagram metodologi penelitian

Gambar 4: Mikroskop Portabel Dino-lite

Gambar 5: Kondisi void pada beberapa daerah spesimen

Gambar 6: Kuantifikasi dari kondisi porositas pada berbagai lokasi

Page 90: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐42

Teknik

MESIN

Kaji Eksperimental Kekakuan Lentur Poros Retak Melintang Buatan Dua Sisi

Encu Saefudin Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri

Institut Teknologi Nasional Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124

[email protected]

Abstract

Poros memiliki fungsi untuk memindahkan daya atau torsi. Kedudukan dari poros sangat vital

sehingga apabila terjadi kerusakan pada poros maka kerja dari sistem tersebut akan berhenti total. Kerusakan pada poros dapat diakibatkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah keretakan. Keretakan pada poros dapat menyebabkan putaran poros menjadi tidak stabil yang diikuti dengan getaran yang melewati batas normal, dan juga menyebabkan harga kekakuan poros tersebut akan berubah.

Untuk mengetahui fenomena tersebut, akan dilakukan suatu pengujian kekakuan dengan menggunakan alat uji sederhana. Pengujian dilakukan dengan menggunakan poros Silver Steel berdiameter 12 mm dengan kedalaman retak yang bervariasi antara 30%, 50%, dan 70% yang diberi pembebanan diujung (batang kantilever).

Dalam penelitian dilakukan dengan dua cara pengujian, yaitu dalam keadaan di ujung bebas poros tanpa beban dan dengan beban. Pengujian tanpa beban, defleksi di ujung bebas poros hanya akibat misaligment poros. Sedangkan pengujian dengan beban, defleksi akibat misaligment dan defleksi lentur akibat gaya berat beban. Dari hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa semakin dalam retak maka harga defleksi akan semakin besar dan harga kekakuannya akan semakin kecil.

Key words : poros, retak melintang, defleksi, kekakuan

1. Pendahuluan

Poros merupakan komponen mesin yang sangat vital dalam mesin-mesin rotasi seperti kompresor, turbin, pompa dan lain-lain. Karena performansi mesin-mesin tersebut ditentukan oleh kefungsian porosnya. Dewasa ini terjadi kecenderungan pabrik untuk meningkatkan putaran operasi mesin. Putaran yang semakin tinggi mengakibatkan putaran tersebut berada diatas putaran kritisnya, sehingga poros berperilaku sebagai batang fleksibel. Berbagai gejala ketidaknormalan tersebut dapat terjadi pada waktu mesin dioperasikan. Gejala ketidaknormalan pada poros berputar diatas putaran kritisnya mempengaruhi putaran pada setiap komponennya. Oleh karena itu diperlukan suatu analisis karakteristik poros agar poros tersebut dapat diketahui sifat dan umur pemakaiannya.

Salah satu dari berbagai ketidaknormalan pada poros berputar yang menjadi bahan kajian adalah retak. Pada dasarnya retak adalah kerusakan yang sangat mungkin terjadi pada komponen mesin yang mengalami pembebanan. Retak pada poros terjadi karena poros mengalami pembebanan mekanik dan termal, sehingga poros mengalami beban fatigue. Retak bermula dari adanya cacat pada permukaan poros atau apabila poros dioperasikan melebihi batas umurnya. Timbulnya retak selanjutnya diikuti oleh penjalaran retak yang berakhir dengan patahnya poros dengan cepat. Sehingga diperlukan suatu tindakan pencegahan agar poros dapat diprediksi umur pemakaiannya.

Page 91: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐43

Teknik

MESIN

Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan suatu analisis untuk mengetahui sifat suatu poros berdasarkan keretakannya melalui pendekatan eksperimental dengan cara menentukan kekakuan lentur pada poros. Secara mendasar, perilaku dinamika rotor dapat dinyatakan oleh persamaan gerak kebebasan banyak.

)(tFKXXCXM =++ &&&

(1.1)

Perilaku sistem rotor yang dinyatakan dengan oleh matriks perpindahan X ditentukan oleh matrik massa M, matriks redaman C dan matriks kekakuan K yang pada umumnya konstan, serta gaya gangguan F(t) yang merupakan besaran yang bervariasi terhadap waktu.

Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan harga defleksi dan harga kekakuan suatu poros berdasarkan kedalaman retaknya dengan pembebanan statik melalui eksperimen pada suatu alat uji sederhana.

Dalam pelaksanaan penelitian ini dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Membuat suatu perangkat alat uji sederhana. 2. Pengujian defleksi poros dengan beban dan tanpa beban, untuk retak melintang buatan dua

sisi 30%, 50%, dan 70%. 3. Menentukan harga variasi kekakuan lentur poros berdasarkan posisi sudut putar. 4. Analisis hasil pengujian. Dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan yang dianalisis, yaitu mengenai defleksi

poros berdasarkan kedalaman retakan pada poros silver steel berdiameter 12 mm yang diberi retak melintang buatan dua sisi dengan pembebanan statik pada suatu alat uji sederhana. 2. Dasar Teori

1. Momen Inersia Penampang. Momen inersia penampang I dapat ditentukan dengan persamaan ∫ dAy 2 . Untuk poros pejal

berdiameter d, momen inersia penampang adalah :

I=(π d4/64) (2.1) 2. Poros dengan Retak Melintang Sistem poros dengan retak melintang memiliki kekakuan berbeda untuk arah beban yang

berbeda.

Gambar 2.1 Poros dengan retak melintang Gambar 2.2 Arah gaya poros retak

Kekauan poros seperti pada gambar 2.1 yang diakibatkan pemberian gaya 1P berbeda terhadap kekakuan

akibat gaya 2P .

Page 92: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐44

Teknik

MESIN

Model suatu sistem dibuat dengan cara melakukan pendekatan dari sistem sebenarnya. Karena terdapat proses pendekatan ini, suatu pemodelan melibatkan tindakan coba-coba (try and error) sehingga harus dilakukan pengujian-pengujian terhadap model yang dibuat.

3. Fleksibilitas Lokal Poros dengan Retak Melintang Dimaragonas telah melakukan percobaan untuk mendapatkan fleksibilitas lokal poros yang

memiliki retak melintang dan mengembangkan analisis secara analitik untuk mendapatkan hubungan antara kedalaman retakan terhadap fleksibilitas lokal poros retak. Dari perhitungan yang telah dilakukan, diperoleh harga fleksibilitas pada posisi sepanjang penampang retakan. Sebuah poros dengan jari-jari R yang mempunyai retak melintang seperti pada gambar 2.2 memiliki fleksibilitas lokal yang bervariasi terhadap arah gaya yang diberikan, menghitung perpindahan (U) pada struktur retak yang disebabkan gaya P, sebagai berikut :

( )∫∂∂

=a

daaJP

U0

(2.2)

Dimana a adalah kedalaman retak dan J(a) adalah fungsi densitas energi regangan. Untuk retakan yang bervariasi terhadap kedalaman fungsi J mempunyai bentuk :

∫−

−=

b

b

dE

KVJ ξ

ξ )()1( 21

2

(2.3)

1K adalah faktor intensitas tegangan, untuk lebar dξ dan kedalaman retak lokal α diperoleh persamaan :

( )22 εα −+−= RRa (2.4)

( ) aRh

FNR

MK πεα 22241

4−⎟

⎠⎞

⎜⎝⎛= (2.5)

dimana :

• M = Momen lentur pada poros • a = Kedalaman retak

harga h dan angka faktor intensitas tegangan 2F didapat dari persamaan :

( )222 ε−= Rh (2.6)

h

h

h

hh

F2

tan2

2cos

2sin1199293,0

4

2πα

παπα

παα

⎥⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢⎢

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ −+

=⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

(2.7)

Selanjutnya untuk P=M persamaan harga fleksibilitas untuk gaya yang searah dengan sumbu η menjadi :

Page 93: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐45

Teknik

MESIN

( )∫ ∫−

−−

=b

b

a

FRRE

vc0

22

2282

2 321 παεπε (2.8)

Untuk gaya yang searah dengan sumbu ξ poros retak mempunyai fleksibilitas yang berbeda, sebagai berikut :

ξαπ

ααε

ξ ddR

hF

Evc

b a

∫ ∫⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

⎡⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

−=

0 0 82

21

22 32

1 (2.9)

Dimana :

⎥⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢⎢

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛⎟⎠⎞

⎜⎝⎛−+⎟

⎠⎞

⎜⎝⎛+

=⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

h

hhh

F

2cos

2sin137,037,0752,0

3

21 πα

πααα

(2.10)

Harga kekakuan yang diperoleh dari perhitungan diatas dapat digunakan sebagai pembanding untuk menguji validitas dari model yang telah dibuat. 3. Data Dan Hasil Pengujian Eksperimental

1. Posisi Pembebanan Saat Pengujian

Saat pengujian terdapat dua variasi pembebanan dan dua variasi tumpuan. Pada pembahasan ini hanya ditampilkan data dan hasil pengujian dari satu jenis tumpuan dan satu jenis pembebanan (batang kantilever).

Gambar 3.1 Posisi pembebanan pada kantilever

2. Arah Putar Poros Pada saat pengujian poros diputar berlawanan arah jarum jam, dari titik 00 diputar hingga ke titik

3600. Arah putaran divisualisasikan seperti pada gambar di bawah ini.

Page 94: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐46

Teknik

MESIN

Gambar 3.2 Arah putar poros

Variasi kekakuan lentur poros hasil pengujian untuk setiap posisi sudut poros, dapat ditentukan dengan persamaan :

ii DefrmgK = (i = 1,2,...,25) (3.1)

dimana m adalah massa beban (1,2 kg) dan g adalah percepatan gravitasi (9,8m/s2). Variasi defleksi lentur relatif iDefr ditentukan dengan persamaan :

iii DefDefr Δ−= (3.2)

Di mana Def adalah defleksi lentur (absolut) dan Δ adalah misaligment di ujung bebas poros. Kedua besaran ini dihasilkan dari pengukuran. Dalam pengujian, misaligment dan defleksi lentur poros diukur sebanyak dua kali dan diambil harga rata-ratanya. Pengujian di lakukan pada setiap selang posisi sudut poros 15°. Pengukuran misaligment di dekat tumpuan menyatakan ketidakbulatan poros sedangkan pengukuran misaligment di ujung poros bebas poros menyatakan ketidakbulatan dan ketidaklurusan poros.

3. Hasil Pengujian Defleksi Poros Dari hasil pengujian yang dilakukan secara kontinyu didapatkan harga defleksi poros retak dua

sisi terhadap posisi sudutnya (θ). Adapun harga-harga tersebut adalah seperti pada gambar berikut di bawah ini.

Poros Retak 30%

Gambar 3.3 Kurva defleksi lentur sebenarnya (Uji) poros retak 30% dua sisi

Sudut 00 Sudut 900 Sudut Sudut Sudut

Page 95: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐47

Teknik

MESIN

Poros Retak 50%

Gambar 3.4 Kurva defleksi lentur sebenarnya (Uji) poros retak 50% dua sisi

Poros Retak 70%

Gambar 3.5 Kurva defleksi lentur sebenarnya (Uji) poros retak 70% dua sisi 4. Penentuan Harga Kekakuan Poros Dari hasil pengujian untuk mendapatkan harga kekakuan poros retak dua sisi terhadap posisi sudutnya (θ) yang diperlihatkan pada gambar, didapat harga sebagai berikut :

Poros Retak 30%

Gambar 3.6 Kurva kekakuan lentur poros retak 30% dua sisi

Page 96: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐48

Teknik

MESIN

Poros Retak 50%

Gambar 3.7 Kurva kekakuan lentur poros retak 50% dua sisi

Poros Retak 70%

Gambar 3.8 Kurva kekakuan lentur poros retak 70% dua sisi 4. Analisis Dalam penelitian, pada poros dilakukan pengujian statik yaitu berupa pengukuran defleksi lentur poros. Spesimen uji berupa poros dari material jenis silver steel dengan diameter 12 mm dan panjang 240 mm, yang diberi retak melintang buatan di kedua sisinya. Retak tersebut dibuat oleh EDM yang berjarak 125 mm dari ujung bebas poros dengan kedalaman 30%, 50% dan 70% dari diameternya.

Dalam penelitian dilakukan dua cara pengujian, yaitu dalam keadaan di ujung bebas poros tanpa beban dan dengan beban. Pengujian tanpa beban, defleksi di ujung bebas poros hanya akibat misalignment poros. Sedangkan pengujian dengan beban, defleksi tersebut akibat misalignment dan gaya berat beban.

1. Defleksi Terdapat hal-hal yang mengakibatkan pengujian suatu poros tidak sesuai dengan keadaan

teoritik, hal ini disebabkan oleh : a) Keterbatasan dari alat-alat pendukung pengujian. b) Poros dalam keadaan asal (as manufactured) mempunyai ketidakbulatan dan ketidaklurusan yang

perlu diperhatikan dalam mengidentifikasi ciri getaran karena retak. c) Kondisi bantalan bola (ball bearing) yang diasumsikan mengalami keausan sehingga poros berputar

tidak sempurna.

Page 97: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - X Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TBMK‐49

Teknik

MESIN

2. Kekakuan Dari hasil pengujian defleksi poros yang dilakukan secara statik, didapat harga kekakuan lentur

poros retak dengan cara menghitungnya oleh persamaan (3.1). Dari hasil pengujian diperoleh harga kekakuan yang bervariasi, sebagai berikut: a) Poros retak 30%

Harga kekakuan (K) hasil pengujian pada posisi sudut 00,1800,dan 3600 mempunyai harga yang lebih kecil dibandingkan pada posisi sudut 900 dan 2700. Hal ini diakibatkan karena harga momen inersia penampang pada posisi 00 , 1800, dan 3600 adalah minimum. Harga momen inersia penampang pada posisi 900 dan 2700 adalah maksimum. Hal ini disebabkan pada poros retak dipengaruhi oleh kedalaman retak yang bervariasi, posisi dari penampang retaknya dan posisi pembebanan, serta unsur lain yang mempengaruhi terjadinya ketidaklurusan pada posisi ini, yang disebabkan oleh proses pembuatan retak EDM dengan cara wire cutting.

b) Poros retak 50% Harga K hasil pengujian pada posisi sudut poros 00 , 1800, dan 3600 mempunyai harga yang lebih kecil bila dibanding harga K untuk posisi sudut 900 dan 2700. Untuk setiap posisi yang sama, harga kekakuan poros retak 50% lebih kecil dari pada kekakuan poros retak 30%. Hal ini disebabkan karena terjadinya penurunan momen inersia penampang dari poros retak. Momen inersia penampang ini berkurang akibat adanya pengurangan luas penampang lintang pada bagian poros yang mengalami retak. Pengurangan luas penampang lintang mengakibatkan defleksi yang terjadi semakin besar.

c) Poros retak 70% Harga K hasil pengujian untuk posisi 00 , 1800, dan 3600 mempunyai harga yang lebih kecil dari pada harga pada posisi 900 dan 2700. Untuk setiap posisi sudut pada posisi retak, harga K hasil pengujian poros retak 70% lebih kecil dari harga K pada poros retak 50%. Hal ini disebabkan oleh penurunan momen inersia penampangnya. Momen inersia penampang berkurang akibat adanya pengurangan luas dari penampang lintang di bagian poros yang mengalami retak, dimana penampang lintang untuk poros 70% memiliki harga kedalaman retak paling besar.

5. Kesimpulan

Dari hasil pengolahan data dan analisis data, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Retak melintang buatan akibat proses EDM dengan menggunakan wire cutting yang terjadi pada

poros dapat menyebabkan ketidaklurusan. 2. Semakin berkurang penampang suatu poros, maka defleksi yang terjadi akan semakin besar. 3. Harga kekakuan (K) lentur poros dengan retak melintang dua sisi, didapat harga yang minimum

pada posisi sudut 00, 1800, dan 3600 terhadap sudut porosnya. Sedangkan harga maksimum kekakuan terdapat pada posisi sudut 900 dan 2700.

4. Untuk setiap kondisi sudut poros yang sama, kekakuan lentur poros adalah menurun dengan bertambahnya kedalaman retak.

Daftar Pustaka [1] Popov, E . P. 1978. Mechanics of Material. New Jersey : Prentice Hall. [2] Mitchell, Shigley. 1983. Mechanical Engineering Design. Michigan : McGraw-Hill. [3] Den Hartog J.P., 1952. Advanced Strength of Materials. New York : McGraw Hill Book

Company Inc,. [4] Dimaragonas, D. Andrew. Stephen, A.P., Analytichal Method in Rotor Dynamics. London and

New York : Applied Science Publisher. [5] Thomson, W.T., 1981. Theory of Vibration Application, 2nd Ed. India : Prentice Hall Inc. [6] Saefudin, E., 1999. Kaji Eksperimental Pengaruh Retak Melintang Buatan pada Poros Terhadap

Perilaku Dinamika Rotor. Tesis, Program Studi Teknik Mesin ITB Bandung.

Page 98: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

TOPIK MAKALAH: TEKNOLOGI KONVERSI ENERGI

(TKE)

Teknik

MESIN

SEMINAR NASIONAL X REKAYASA DAN APLIKASI TEKNIK MESIN

DI INDUSTRI

Page 99: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐1

Teknik

MESIN

Analisis Penurunan Temperatur Berdasarkan Variasi Sprayer Pada Fasilitas Eksperimen Kontemen

Ade Satria1, Wahyu1, Luqmanul Hakim1, Edi Marzuki1 Mulya Juarsa1,2, Hendro Tjahjono2, Ismu Handoyo2, Kiswanta2, Ainur Rosidi2

1Engineering and Devices for Energy Conversion (EDfEC) Research Group

Fakultas Teknik Univeristas Ibn Khaldun Bogor Jl. KH. Soleh Iskandar Bogor

[email protected]

2Laboratorium Termohidrolika Eksperimental PTRKN BATAN Kawasan PUSPIPTEK Serpong Tangerang

Abstrak

Efisiensi proses pendinginan Fasilitas eksperimen simulasi pendinginan uap pada contemen FESPECo merupakan salah satu bentuk mempersingkat proses pendinginan yang di perlukan untuk mengetahui berapa besar pengaruh arah sprayer terhadap kinerja sistem pendingin. PESPEKo adalah fasilitas eksperimen bersekala kecil sebagai simulasi kecelakaan PLTN akibat gagalnya sistem pendingin. Karakterisasi untuk mengetahui tingkat kemaksimalan arah sprayer FESPECo di lakukan pengoprasian pompa dengan menggunakan frekuensi 5 Hz dengan variasi arah semprotan ke arah atas dan ke arah bawah. Pengaruh perubahan arah sprayer tehadap temperatur dan tekanan dicatat, kemudian hasil karakterisasi dijadikan sebagai acuan untuk pengoprasian FESPECo guna memenuhi kebutuhan penelitian. Hasil karakterisasi menunjukan bahwa hubungan variasi arah sprayer mengakibatkan terjadinya perbedaan temperatur yang signifikan terjadi saat waktu 4000 detik pada Tc 5 sprayer kearah atas 342.5 K dan kearah bawah 345.7 perbedaan terjadi karna sudut sprayer dan pengaruh pressur. Kata-kata kunci: Karakterisasi, pengoprasian, fariasi sprayer, temperatur Ideal Gas, Polytropic Proses

1. PENDAHULUAN

Peristiwa kecelakaan reaktor nuklir adalah peristiwa yang menjadi perhatian dalam setiap desain Pembangkit Listrik Tanaga Nuklir (PLTN). Sistem keselamatan PLTN sendiri telah menerapkan sistem depend in depth (pertahanan berlapis), terdiri dari 5 lapis pertahanan. Pertahahan pertama adalah matriks dari bahan bakar, kedua adalah pembungkus bahan bakar (cladding), yang ketiga adalah reaktor bejana tekan (reactor pressure vessel, RPV), kemudian bagian keempat adalah sungkup reaktor (containment) dan terakhir adalah gedung reaktor[1]. Sungkup reaktor berfungsi untuk menahan pelepasan radiasi akibat kegagalan pada sistem pendinginan di RPV. Terlepasnya radiasi dari sistem primer atau RPV biasanya menyertai pelepasan uap yang memiliki tekanan dan temperatur tinggi. Jenis PLTN tipe PWR memiliki sistem pendingan uap berupa air pendingin yang dilepaskan dari sprayer. Air pendingin dari sprayer berfungsi mendinginkan uap sehingga terjadi proses pengembunan, kondisi ini secara alamiah akan menurunkan kelebihan tekanan dan temperatur di dalam sungkup reaktor.

Penelitian terkait proses pendingin uap di dalam sungkup reaktor di Indonesia masih jarang dilakukan, sehingga tema penelitian terkait pendinginan di dalam sungkup selama simulasi pelepasan uap melalui pendinginan oleh air dari sprayer menjadi topik penelitian di Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir (PTRKN) Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Semenjak tahun 2009 hingga 2010, desain dan konstruksi fasilitas penelitian yang diberinama Fasilitas Eksperimen Simulasi Pendinginan Uap pada Containment (FESFECo) telah dilakukan. Eksperimen terkait pengaruh variasi pendinginan baik secara geometri (posisi) dan sifat termal dilakukan untuk memahami karakteristik penurunan temperatur dan tekanan di dalam sungkup untuk memahami marjin keselamatan PLTN, khususnya bila terjadi kecelakaan lepasnya uap yang berisi material radioaktif dari RPV ke dalam sungkup Gas ideal, kita ketahui bahwa dalam gas sejati, hanya dalam limit tekanan mendekati nol sajalah

Page 100: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐2

Teknik

MESIN

persamaan keadaanya mengambil bentuk yang sederhana PV = nRT. Energy internal gas sejati merupakan fungsi tekanan maupun temperatur (T2/T1)=(P2/P1) dalam proses polytropic beberapa parameter seperti Temperatur, Tekanan, Volum dan jumlah mol dianggap tidak konstan, dikarenakan pada prosesnya polytropic ada parameter diata yang masuk menambah dan ada parameter yang hilang atau berkurang (pada prosesnya ada energy yang masuk dan ada energy yang keluar).

2. Metode Eksperimen 2.1. Fasilitas Eksperimen

Komponen utama dari PESPEKO (lihat pada Gambar 1), adalah bagian uji yang berbentuk silinder horizontal yang terdiri dari pengungkung (Contaiment) dan Untai Uji BETA (UUB), pompa sirkulasi, pemanas (heater). Pemanas ini merupakan pemanas tunggal, digunakan untuk memanaskan air yang berada pada Lower plenum (Bagian benampung air) pemanasan di Lower plenum dilakukan dengan pemanas listrik berdaya 7,5 Kw (terdiri dari 4 buah heater 1 diantara nya berdaya 4,5kW dan 3 lain nya berdaya masing-masing 1 kW).

Gambar 1 Fasilitas eksperimen simulasi pendinginan pada kontaimen (FESPECo).

Komponen UUB terdiri dari:

o Pressure gauge (tekanan maksimal 10 bar) o Flowmeter elektronmagnetic (pengukuran maksimal 5 liter/detik) o Pompa sirkulasi (maksimal 260 rpm frekuensi maksimum 50 Hz) o Kondenser o Tangki reservoir/ekspansi o Katup-katup o Tube ½ inch

Komponen FESPECo terdiri dari: o Heater o Thermocouples o Safety valve (maksimal 5 bar) o Nozzel (dengangan sudut semprotan 700) o Pressure transducer o Cimon (sebagai alat pembaca temperatur dan tekanan yang langsung dapat di baca komputer

maksimal 1 data perdetik)

Berdasarkan Gambar 1, proses pendinginan dimulai dari pompa pada UUB yang disirkulasikan sebelum terjadi nya proses pendinginan pada PESPEKO. Sirkulasi akan melalui pre-heater dan kondensor lalu

Page 101: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐3

Teknik

MESIN

kembali lagi ke pompa. Kondisi ini dilakukan dengan menutup katup kearah PESPEKo. Proses pendinginan dilakuakn dengan tahapan sebagai berikut: o Mengisi air kedalam FESPECo sebanyak 30 liter hal ini di lakukan dengan cara manual menggunakan

gelas beker. o Menghidupkan CIMON (alat ukur pressure dan temperatur). o Menghidupkan heater sampai dengan pressure mencatai 3 bar. o Menghidupkan pompa sirkulasi dengan frekuensi putaran pompa sebesar 5 Hz. o Kemudian setelah mencapai tekanan pada FESPECO mencapai 3 bar katup sirkulasi ditutup lalu aliran

diarahkan ke bepas sebelum katup sprayer di buka.

Foto llengkap UUB dapat dilihat pada Gambar 2, sedangkan untuk FESPECo dapat dilihat pada Gambar 3, lalu gambar 4 dan 5 gambar bagian dalam FESPECo .

Gambar 2. Foto untai uji BETA (UUB) Gambar 3.Foto Fasilitas simulasi pendinginan uap pada contaimen

Gambar 4 Foto sprayer yang terletak pada bagian dalam atas FESPECo

Gambar 5 Foto tangki yang terletak pada bagian dalam bawah FESPECo

Page 102: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐4

Teknik

MESIN

2.2. Pengolahan data Data penurunan temperatur dan pressure dicatat otomatis 1 data perdetik berdasarkan variasi arah spayer. Data tersebut dibuat kurva hubungan antara arah semprotan terhadap penurunan temperatur, serta kurva perbandingan temperatur pada setiap termokopel. 3 Hasil Dan Pembahasan 3.1. Hasil

Hasil pengukuran debit aliran ditampilkan pada tabel 1, dimana terliahat perbedaan temperatur terhadap perbedaan arah sprayer.

Waktu Sprayer ke arah atas

Sprayer ke arah bawah

1 2 3 4 5 3996 3997 3998 3999 4000

392.8 392.5 391.2 391.5 391.3 342.7 342.7 342.5 342.5 342.5

392.2 391.4 391.3 391.4 391.1 345.7 346.4 345.8 346 345.7

Pengukuran penurunan temperatur pada cimon hanya memunculkan 1 data per-detik, dengan satuan oC lalu di ubah ke k. Selama eksperimen perubahan temperaratur pada Tc 1 dan 5 terjadi perbedaan temperatur berdasarkan variasi arah sprayer. 3.2 Penurunan temperatur

Berdasarkan Tabel 1 diperoleh karakteristik penaruh perubahan arah sprayer terhadap temperatur di dalam FESPECo. Karakteristik tersebut di tampilkan pada Gambar 5.

0 1000 2000 3000 4000

340

350

360

370

380

390

400

sprayer ke arah atas sprayer ke arah bawah

TEM

PER

ATU

R,T

(K)

WAKTU,t (s)

TC1

Sprayer dimatikan

Gambar 5 Kurva karakteristik pengaruh pariasi arah sprayer pada TC1

Gambar 5 menunjukan pengaruh arah sprayer terhadap perubahan temperatur pada FESPECo, dimana karakteristik yang terlihat perbedan akhir temperatur pada detik 4000. Sehingga dapat dikatakan sprayer ke arah atas lebih maksimal dibanding ke arah bawah pada TC1. Perbandingan pada Gambar 3 pada TC 5 terjadi perubahan temperatur terhadap variasi sprayer di dalam FESPECo.

Page 103: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐5

Teknik

MESIN

0 1000 2000 3000 4000330

340

350

360

370

380

390

Sprayer ke arah atas sprayer ke arah bawah

TEM

PER

ATU

R,T

(K)

WAKTU,t (s)

TC5

Sprayer dimatikan

Gambar 5 Kurva karakteristik pengaruh pariasi arah sprayer pada Tc 5

Gambar 5 menunjukan pengaruh arah sprayer terhadap perubahan temperatur pada FESPECo, terjadi perbedaan temperatur yang signifikan pada sprayer ke arah atas dan bawah akibat letak TC 5 berada bagian paling ataas dinding dan pengaruh sudut semprotan. 4. Kesimpulan

Karakterisasi pengoprasian FESPECo berdasarkan perubahan arah sprayer telah dilakukan, kesimpulan yang dapat di peroleh adalah: Hubungan antara perubahan arah sprayer terhadap perubahan temperatur mangakibatkan terjadi nya perbedaan penurunan temperatur. Sprayer kearah atas lebih maksimal dibandingkan sprayer kearah bawah yang di akibatkan sudut sprayer dan pressur. Notasi P : Tekanan [Bar] T : Temperatur [OK] V : Volum [m3/liter] n : Perbandingan Cp/Cv [-] R : Tetapan gas universal [kJ/kmol K] t : Waktu [s] Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Laboratorium Termohidrolika PTRKN BATAN yang telah mengijinkan untuk melakukan penelitian. Dosen peneliti dan mahasiswa Laboratorium EDfEC (Research Group), para Dosen pembimbing, senior-senior yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan dorongan dan motivasi sehingga makalah ini terselesaikan. Daftar Pustaka [1]. http:/www.batan.go.id/organisasi/profile.pho, 2 April 2007. [2]. http:/www.batan.go.id/ptrkn/index.pnp?option=comcontent&task=view&id=15&ltemid=46#thermo

, 2 April 2007. [3]. JanuarAkbar, studi identifikasi rejim aliran berdasarkan perbadaan diameter pipa dan temperatur air

pada untai uji BETA (UUB). PTRKN BATAN, Serpong 2009. [4]. Edi Marzuki, analisis laju aliran pada untai uji BETA (UUB) berdasarkan perubahan analisis pompa

sirkulasi. PTRKN BATAN, Serpong 2009. [5]. Zemansky, M. W dan Dittman, R. H, Kalor dan termodinamika, ITB diterjemahkan oleh The

Houw Liong, 1986.

Page 104: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐6

Teknik

MESIN

Analisis Rugi Kalor Berdasarkan Variasi Sudut KemiringanUntai Simulasi Sirkulasi Alamiah (Ussa-Ft02)

Budi Gusnawan Juarsa1,2, Rizqi Faizal Muttaqin1,2, Mochammad Farid1,2, Sigit Herlambang1,2, Januar Akbar1,2, Yogi Sirodz Gaos2, Edi Marzuki2, Mulya Juarsa2

1Mahasiswa Konversi Energi Jurusan Teknik Mesin

Fakultas Teknik Universitas Ibn Khaldun Bogor Jl. KH. Soleh Iskandar Bogor

[email protected]

2Engineering and Devices for Energy Conversion (EDfEC) Research Group Fakultas Teknik Univeristas Ibn Khaldun Bogor

Jl. KH. Soleh Iskandar Bogor

Abstrak: Salah satu metoda untuk mengoptimalisasikan penggunaan energy adalah dengan menerapkan hukum alamiah, dalam hal ini fenomena natural sirkulasi. Efisiensi fenomena sirkulasi alamiah dilakukan dengan mengidentifikasi nilai rugi kalor menggunakan Untai Simulasi Sirkulasi Alamiah (USSA-FT02). Analisis dilakukan untuk mengetahui pengaruh nilai pemindahan kalor oleh air terhadap nilai rugi kalor yang terjadi pada sistem aliran tertutup dengan adanya distribusi kalor pada fluida kerja (air) pada USSA-FT02, dengan komponen terdiri atas tube berdiameter 1 inchi, pre-heater, heater, dan cooler. Variasi eksperimen adalah beda ketinggian antara sisi panas dan sisi dingin dengan mengubah sudut kemiringan loop, yaitu pada sudut 90o, 45o dan 0o. Temperatur dari outlet heater dan temperatur inlet cooler digunakan sebagai parameter yang diukur dan direkam dengan rentang waktu eksperimen selama 45 menit. Hasil eksperimen dan perhitungan menggunakan beberapa korelasi menunjukkan, pemindahan kalor akan mencapai nilai yang secara berturut-turut 0,32 watt, 0,37 watt dan 0 watt berdasarkan perbedaan sudut kemiringan 90o, 45o dan 0o, mempengaruhi kenaikan nilai rugi kalor dari 10,6 hingga 28,4 watt. Kata-kata kunci: sudut kemiringan, pemindahan kalor, rugi kalor

1. Pendahuluan

Peralatan pemindah kalor berupa loop tertutup thermosyphon memiliki kemampuan untuk memindahkan kalor dari suatu sumber kalor ke area yang lebih dingin lain dengan jarak tertentu. Kondisi ini dapat digambarkan dengan loop tertutup yang diisi fluida kerja (air). Salah satu bagian dipanaskan dan bagian lainnya didinginkan, maka kerapatan air di bagian yang panas akan lebih rendah dibandingkan dengan bagian yang dingin. Perbedaan hidrostatik karena perbedaan kerapatan akan menyebabkan gradient kerapatan yang menggerakkan air untuk mengalir di dalam loop. Kemampuan pergerakan molekul air karena beda kerapatan dan ditambah adanya beda ketinggian akan menimbulkan aliran di dalam loop. Stabilitas aliran diharapkan akan timbul apabila terjadi perbedaan temperatur yang stabil antara bagian panas dan bagian dingin. Aliran tanpa adanya intervensi mekanik seperti pompa atau kendali aliran, disebut fenomena sirklasi alamiah (Natural Circulation)[1]. Sirkulasi alamiah tertutup dapat mentransfer panas yang lebih besar dengan jarak yang relatif tanpa ada bagian yang bergerak seperti pompa dan aktif kontrol[2]. Beberapa peneliti seperti Vijayan dan nayak telah mempelajari keuntungan dan tantangan dari sirklasi alamiah menggunakan untai atau loop terbuka[3]. Misale dan kawan-kawan juga telah mempelajari sirkulasi alamiah satu fasa menggunakan untai kecil. Fasilitas Untai Simulasi Sirkulasi Alamiah (USSA-FT02) dibuat untuk mempelajari fenomena laju aliran sirkulasi yang terjadi tanpa kerja pompa, dimana aliran terjadi karena adanya pemanasan oleh heater ke air, dan pendinginan oleh cooler[4]. Pada sistem perpipaan terrtutup kalor dari heater akan berpindah ke pipa dan terdistribusi ke seluruh permukaan pipa, proses distribusi tersebut akan

Page 105: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐7

Teknik

MESIN

mengakibatkan sejumlah kalor yang terlepas ke sekitar pipa. Fenomena tersebut disebut dengan rugi kalor (heat loss) dimana pada proses distribusi, kalor pada pipa akan berpindah ke lingkungan sekitar yang bertemperatur lebih rendah dari temperatur pipa.maka, pada penelitian ini USSA-FT02 yang merupakan penalitian lanjutan dengan memakai diameter loop 1”, dan sudut kemiringan 00, 450, 900, serta panjang loop 4800 mm akan mempelajari fenomena rugi kalor dan besar rugi kalor pada untai sebagai pengembangan dari penelitian sebelumnya. Penelititan ini bertujuan untuk memperoleh nilai rugi kalor berdasarkan beda ketinggian heater dan cooler dengan memvariasikan sudut kemiringan untai. 2. Metode Eksperimen 2.1. Fasilitas Eksperimen

Fasilitas eksperimen Untai Simulasi Sirkulasi Alamiah (USSA-FT02) yang ada di laboratorium teknik dan devais untuk konversi energy (EDfEC, Engineering and Device for Energy Conversion) di FT UIKA merupakan pengembangan dari Untai Simulasi Sirkulasi Alamiah (USSA-FT01) yang terdiri atas rangkaian tube SS-304 1 inch (2,54 cm), slide regulator vultage, Pressure Gauge, heater, Pre-heater, Cooler, dan tangki ekspansi. Gambar 1 menunjukkan geometri USSA-FT02[5].

Gambar 1. Fasilitas eksperimen USSA-FT02[5]

Perubahan sudut kemiringan dengan merubah posisi kedududkan yang ditopang oleh engsel. Busur derajat dipasang pada salah satu engsel untuk mengetahui sudut kemiringan untai. Bagian lengkap dari fasilitas eksperimen ditunjukkan pada Gambar 2. Gambar 1 menunjukkan posisi untai berdasarkan sudut kemiringannya. Perbedaan ketinggian (H) diperoleh dengan rumus:

( ) sinH Lα α= ………………………………. (1)

dengan L (meter) adalah jarak pada pipa antara titik tengan heater dan cooler, α adalah sudut kemiringan untai.

Tegangan masuk untuk heater divariasikan dengan menggunakan slide regulator voltage dan kemudian mengukur arus masuk menggunakan tang ampere. Pengukuran data temperatur menggunakan termokopel tipe K, kemudian data pengukuran direkam melalui system akuisisi data (DAS) WinDAQ T1000 dengan sampling rate 1 data per detik pada 8 kanal (dalam makalah ini hanya ditampilkan untuk TC6 (outlet heater) dan TC8 (inlet cooler). Gambar fasilitas eksperimen USSA-FT02, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Page 106: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐8

Teknik

MESIN

Gambar 2. Fasilitas eksperimen USSA-FT02

2.2. Prosedur Eksperimen

Eksperimen sebelumnya dilakukan pengisisan untai dengan air melaui katup inlet sampai tekanan idrostatik 1 bar lebih (untuk mengecek kebocoran). Setelah tidak terjadi kebocoran, eksperimen sudah bisa dilakukan. Setelah air terisi pada untai, setting terhadap system instrumentasi dilakukan. Kemudian posisi untai dirubah berdasarkan sudut kemiringan yang ditentukan, dalam hal ini 90o, 60o, 45o, 30o dan 0o. langkah pertama menghidupkan sampai temperatur konstan -10oC. Kemudian heater dinaikan sekala berkala sebesar 20 volt setiap 5 menit sampai 180 volt atau sampai 1000 watt selama 45 menit. Saat heater dihidupkan, DAS sudah mulai merekam data. Eksperimen dilakukan untuk setiap perubahan sudut kemiringan untai. 2.3. Perhitungan

Hasil pengamatan temperatur pada outlet heater dan inlet cooler dikonversikan menjadi densitas air untuk memperoleh perbedaan densitas air, sehingga dapat digunakan untuk memperoleh laju aliran massa air pada outlet heater sampai inlet cooler USSA-FT02, menggunakan korelasi (1)[6-7].

( )2 a c hgHm

Rρ ρ ρ−

=& ……………… (2)

Dengan (kg/s) adalah laju aliran massa air, H (meter) adalah beda ketinggian antara heater dan cooler, ρ (kg/m3) adalah massa jenis air, g percepatan gravitasi (m/s2) dan R adalah resistensi hidrodinamika (m4). Hasil perkalian antara Q (m3/s) debit air dengan densitas air adalah laju aliran massa air, seperti korelasi (2).

a am Q Avρ ρ= =& ……………………… (3) Kemudian, setelah laju aliran massa air pada untai diketahui kemudian dilanjutkan dengan penentuan

nilai pemindahan kalor oleh air berdasarkan persamaan (3).

( )p p h out c inq mc T mc T T− −= Δ = −& & ………… (4) Hasil pengukuran temperatur pada outlet heater dan inlet cooler digunakan untuk memperoleh nilai

perpindahan kalor menyeluruh menggunakan persamaan (4);

( )m air lingq UA T UA T T= Δ = − …………….. (5)

dengan U merupakan perpindahan kalor pada pipa dan ΔTm adalah perbedaan temperatur antara air dan udara ruangan.

Page 107: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐9

Teknik

MESIN

3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Hasil pengukuran temperatur

Hasil pengukuran pada dasarnya dilakukan pada 8 titik pengukuran, untuk penelitian ini hanya pada 2 titik pengukuran temperatur saja yang ditampilkan. Gambar 3, Gambar 4 dan Gambar 5 menampilkan hasil pengukuran Toh dan Tic serta selisihnya berdasarkan variasi sudut kemiringan untai secara berturut-turut dari 90o, 45o dan 0o. fenomena perubahan temperatur selama 45 menit dijelaskan sebagai berikut, pada Gambar 3 untuk sudut kemiringan 90o kenaikan temperatur air pada outlet heater naik secara perlahan mulai dari 0 detik hingga sektar 1350 detik temperatur air yang semula 23 oC naik sampai 26 oC. kenaikan temperatur air secara perlahan karena pengaruh cooler yang mampu menyerap kalor yang diberikan heater. Kemudian temperatur mulai naik cukup tajam dari 1350 detik hingga 2700 detik, kecendrungan kenaikan temperatur air yang tajam pada outlet heater karena kemampuan dari cooler yang tidak mampu menyerap kalor yang diberikan heater. Sedangkan pada posisi 45o (Gambar 4) profil temperatur sama seperti pada kasus 90o, bahkan lebih tajam dari sebelumnya.

0 300 600 900 1200 1500 1800 2100 2400 270022

24

26

28

30

32

34

36

38

40

Tem

pera

tur,

T [o

C]

Waktu, t [detik]

Toh Tic

0 300 600 900 1200 1500 1800 2100 2400 270020

25

30

35

40

45

50

55

Tem

pera

tur,

T [o

C]

Waktu, t [detik]

Toh Tic

Gambar 3. Temperatur air pada outlet heater dan inlet cooler untuk sudut kemiringan 90o

Gambar 4. Temperatur air pada outlet heater dan inlet cooler untuk sudut kemiringan 45o

0 300 600 900 1200 1500 1800 2100 2400 270020

30

40

50

60

70

80

Tem

pera

tur,

T [o

C]

Waktu, t [detik]

Toh Tic

Gambar 5. Temperatur air pada outlet heater dan inlet cooler untuk sudut kemiringan 0o

Kenaikan secara perlahan dari 0 detik sampai 1350 detik dati temperatur 24oC sampai 27oC, berikutnya sampai 2700 detik meningkat hingga 44oC. Pada kasus kemiringan untai 0o, kestabilan temperatur terjadi hanya sampai sekitar 600 detik. Peningkatan drastis pada detik 600 sampai 2700 detik hingga mencapai temperatur akhir 71oC. Perbedaan gradien kenaikan temperatur dapat disimpulkan mengalami perubahan berdasarkan perubahan sudut kemiringan untai. Gradient kenaikan temperatur menurun untuk kenaikan besar sudut kemiringan.

Page 108: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐10

Teknik

MESIN

3.2 Pembahasan

a. Laju aliran massa air

Berdasarkan data pengukuran temperatur pada outlet heater dan inlet cooler seperti pada Gambar 3, Gambar 4 dan Gambar 5. Kemudian nilai massa jenis air berdasarkan perbedaan temperatur menggunakan tabel sifat spesifik air,data tesebur dimasukkan kedalam persamaan (1). Dengan terlebih dahulu menghitung resistensi hidrodinamika (R). Hasil perhitungan disajikan pada Gambar 6, Gambar 7 dan Gambar 8 untuk setiap sudut kemiringan.

0 300 600 900 1200 1500 1800 2100 2400 27000.003

0.004

0.005

0.006

0.007

0.008

0.009

0.010

0.011

0.012

Laju

alir

an m

assa

air

, m [k

g/s]

Waktu, t [detik]

Laju aliran massa air

α=90ο

0 300 600 900 1200 1500 1800 2100 2400 2700-0.001

0.000

0.001

0.002

0.003

0.004

0.005

0.006

0.007

0.008

Laju

alir

an m

assa

air

, m [k

g/s]

Waktu, t [detik]

Laju aliran massa air

α=45ο

Gambar 6. Laju aliran massa air terhadap waktu

untk sudut kemiringan 90o

Gambar 7. Laju aliran massa air terhadap waku untuk sudut kemiringan 45o

0 300 600 900 1200 1500 1800 2100 2400 2700-1.0

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

Laju aliran massa air

Laju

alir

an m

assa

air

, m [k

g/s]

Waktu, t [detik]

α=0ο

Gambar 8. Laju aliran massa air terhadap waktu untuk sudut kemiringan 0o

Gambar 6 dan Gambar 7 memiliki profil perubahan laju aliran massa air yang sesuai dengan perubahan temperatur pada heater. Stabilitas aliran pada kedua kasus tidak tercapai, hal ini sangat sesuai dengan perubahan temperatur seperti pada Gambar 3 dan Gambar 4. Dalam kondisi ini, pengaruh perubahan tenperatur pada untai akan berpengarh pula pada perubahan laju aliran massa. Keadaan ini telah diungkapkan oleh Misale[6] dan D’Auria[7], bahwa perubahan perbedaan temperatur akan berpengaruh pada perubahan aliran. Gambar 8 memperlihatkan tidak adanya laju aliran massa pada untai. Mekanisme yang dapat dijelaskan dalam kasus ini adalah, pada sudut kemiringan 0o, efek dari gaya apung pada beda ketinggian H=0 meter menyebabkan gerakan molekul air mengisi kembali bagian yang kurang rapat tidak terjadi. Kemudian jika dibandingkan dengan sudut kemiringan 45odan 90o, efek gaya apung akan semakin membesar sesuai dengan perubahan perbedaan ketinggian, yaitu 0,389 meter dan 0,550 meter.

Page 109: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐11

Teknik

MESIN

b. Perpindahan kalor menyeluruh perhitungan perpindahan kalor menyeluruh dilakukan dengan menggnakan persamaan (5) dan memasukkan nilai perpundahan kalor menyeluruh pada untai.

11 1air ss u

U xh k h

=Δ+ +

…………………….. (6)

Hasil perhitungan disajikan pada Gambar 9, Gambar 10 dan Gambar 11 berturt-turut untuk sudut 90o, 45o dan 0o.

0 300 600 900 1200 1500 1800 2100 2400 2700-3.0-2.5-2.0-1.5-1.0-0.50.00.51.01.52.02.53.03.54.0

Perp

inda

han

kalo

r, q

[wat

t]

Waktu, t [detik]

q total

Penyerapan kalor(Heat absorbsion)

Pelepasan kalor (Heat loss)

Tair=Tpipa=Tudara

α=90ο

Gambar 9. Perpindahan kalor menyeluruh terhadap waktu pada sudut 90o

Gambar 9 menunjukkan profil perpindahan kalor menyeluruh terhadap waktu, terlihat pada 0 detik hingga sekitar 2110 detik nilai perpindahan kalor menunjukkan angka minus (-). Kondisi tersebut diakibatkan temperatur pada air lebih rendah dari temperatur udara rangan sekitar untai, karena pengaruh cooler pada untai yang dihidupkan terlebih dahulu sampai suh konstan (-10oC). Sehingga air pada untai menyerap kalor (heat absorbsion) dari udara yang bertemperatur lebih tinggi dari air. Kemudian dari sekitar detik 2111 perpindahan kalor berbalik, karena air yang terus menerus diberikan kalor oleh heater mengakibatkan temperatur air menjadi lebih besar dari temperatur sekitar, sehingga kalor pada air dilepas ke udara sekitar (heat loss).

0 300 600 900 1200 1500 1800 2100 2400 2700-3

-2

-1

0

1

2

3

4

5

6

Perp

inda

han

kalo

r, q

[wat

t]

Waktu, t [detik]

Penyerapan kalor(Heat absorbsion)

Pelepasan kalor (Heat loss)

Tair=Tpipa=Tudara

α=45ο

Gambar 10. Perpindahan kalor menyeluruh terhadap waktu pada sudut 45o

Gambar 10 menunjukkan pelepasan kalor yang terjadi lebih cepat terjadi mlai dari detik 1900. Terlihat pada sudut kemiringan 45o penyerapan kalor pada detik awal lebih kecil dibandingkan sudut 90o. Hal ini disebabkan karena laju aliran massa air yang lebih kecil untuk penyebaran kalor yang dibawa oleh aliran air berkurang dan terjadi penumpukan kalor pada daerah antara outlet heater sampai inlet cooler, dan nilai kalor yang dilepas (heat loss) yang terjadi menjadi lebih besar.

Page 110: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐12

Teknik

MESIN

0 300 600 900 1200 1500 1800 2100 2400 2700-10123456789

1011121314

Perp

inda

han

kalo

r, q

[wat

t]

Waktu, t [detik]

Pelepasan kalor (Heat loss)

α=0ο

Gambar 11. Perpindahan kalor menyeluruh terhadap waktu pada sudut 0o

Gambar 11 untuk sudut 0o pelepasan kalor langsung terjadi dari awal pengambilan data. Hal ini disebabkan oleh cooler tidak berpengaruh pada sistem karena tidak adanya laju aliran massa air, dan kalor yang diterima air tidak terdistribusi oleh pemindahan kalor air. Sehingga kalor yang diterima oleh air menumpuk dan temperatur pada air meningkat secara signifikan dan menyebabkan pelepasan kalor (heat loss) yang lebih besar dari sudut lainnya. Berdasarkan Gambar 9, Gambar 10 dan Gambar 11 terlihat bahwa semakin besar sudut kemiringan atau semakin besar nilai pemindahan kalor dari outlet heater sampai inlet cooler akan berbanding terbalik dengan besarnya nilai rugi kalor yang terjadi, secara berturut-trut adalah 3,7 watt, 5,2 watt dan 22,7 watt. Gambar 12 menunjukkan perbandingan ketiga perubahan nilai rugi kalor berdasarkan sudut kemiringannya.

0 300 600 900 1200 1500 1800 2100 2400 2700-4

-2

0

2

4

6

8

10

12

14

Perp

inda

han

kalo

r, q

[wat

t]

Waktu, t [detik]

q pada α=0ο q pada α=45ο

q pada α=90ο

Gambar 12. Perbandingan perpindahan kalor

4. Kesimpulan Hasil analisis nilai rugi kalor berdasarkan perubahan sudut kemiringan untai, menyimpulkan bahwa nilai rugi kalor dipengaruhi oleh laju aliran massa air, serta beda ketinggian antara heater dan cooler. Nilai rugi kalor terendah adalah 3,7 watt untuk sudut 90o dikarenakan nilai laju aliran massa air 0.011 kg/ dan nilai rugi kalor terbesar adalah 22, 7 watt pada sudut kemiringan 0o, dikarenakan laju aliran air 0 kg/s.

Daftar Notasi

H : Beda ketinggian heater dan cooler

[m]

α : Sudut kemiringan [°] L : Jarak antara heaterdan cooler [m]

Page 111: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐13

Teknik

MESIN

: Laju aliran massa air [kg/s] Kss : Konduktivitas termal ss 304 [W/m.K] g : Gaya gravitasi [m/s2] Ρa : Massa jenis air [kg/m3] Q : Debit aliran air [m3/s] R : Tahanan aliran [m4] A : Luas penampang pipa [m2] v : Kecepatan aliran air [m/s] q : Perpindahan kalor [watt] cp : Kalor spesifik air [Kj/kg.K] T : temperatur [oC] U : Koefisien perpindahan kalor [w/m.K] Δx : Tebal pipa [m] hair : Koefisien konveksi air [w/m2K] hudara : Koefisien konveksi udara [w/m2K]

Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada kepala lab. EDfEC untuk menyediakan fasilitas untuk riset, serta ketua jurusan Teknik Mesin dan para dosen untuk dukungan moril. Kepada asosiate riset lab EDfEC dan para rekan mahasiswa riset atas kerjasamanya kami capkan terima kasih. Terimaksih kepada Hibah Bersaing nasional DIKTI TA.2011 atas dukungan dananya.

Daftar Pustaka [1] Juarsa, Mulya, dkk, Studi Eksperimental Laju Aliran Massa Air Berdasarkan Perubahan Sudut

Kemiringan Untai Pada Kasus Sirklasi Alamiah Menggnakan Untai Sirklasi Alamiah (USSA-FT01), Jurnal Material dan Energi Indonesia, Jursan Fisika FMIPA, Universitas Padjajaran Vol. 01, No. 01 (20011) 22-30.

[2] Vijayan P.K., Nayak A.K., Natural Circulation Systems: Advantages And Challenges, Reactor Engineering Division Bhabha Atomic Research Centre, Mumbai, India, IAEA, Course on Natural Circulation in Water-Cooled Nuclear Power Plants ICTP, Trieste, Italy, 25-29 June, 2007

[3] Vijayan P.K., Experimental Validation And Database of Simple Loop Facilities, Reactor Engineering Division, Bhabha Atomic Research Centre, Mumbai, India, IAEA Course on Natural Circulation in Water-Cooled Nuclear Power Plants, ICTP, Trieste, Italy, 25-29 June, 2007.

[4] Setianto, Agus Putra, Analisis Perpindahan Kalor Melalui Pipa SS304 Berdasarkan Pengukuran Temperatur Pada Untai SimulasiSirkulasi Alamiah, Fakultas Teknik, Universitas Ibn Khaldun Bogor, Bogor, 2010.

[5] Juarsa, Mulya, dkk, Analisis Aliran Sirkulasi alamiah Dengan Bilangan Reynolds Berdasarka Variasi Sudut Kemiringan Untai Simulasi Sirkulasi Alamiah, Engineering and Devices for Energy Conversion (EDfEC) Laboratory, Fakultas Teknik, Universitas Ibn Khaldun Bogor, Bogor, 2011.

[6] M. Misale et al., Experiments in a single-phase natural circulation mini-loop, University of Genoa, Genoa, Italy (2006).

[7] F. D’Auria, et al., Insights Into Natural Circulation Stability, Dipartimento Di Ingegneria Meccanica, Nucleare e Della Produzione Universita' di Pisa 56100 Pisa, Italy, IAEA Course on Natural Circulation in Water-Cooled Nuclear Power Plants, ICTP, Trieste, Italy, 25-29 June (2007).

Page 112: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐14

Teknik

MESIN

Analisi Perpindahan Kalor Konveksi Berdasarkan Variasi Daya Heater Pada Bundel Uji Simulasi Eksperimen

Temperatur Tinggi (BUSETTI)

Budi Utomo1, Oskar Riko1, Kiswanta2, Ainur Rosidi2, Ismu Handoyo2, Edi Marzuki1,Mulya Juarsa2

1Engineering and Devices for Energy Conversion (EDfEC) Research Group Fakultas Teknik Univeristas Ibn Khaldun Bogor

Jl. KH. Soleh Iskandar Bogor [email protected]

2Laboratorium Termohidrolika Eksperimental PTRKN BATAN

Kawasan PUSPIPTEK Serpong Tangerang [email protected]

Abstrak

Penelitian diperlukan untuk mengetahui laju perpindahan kalor konveksi pada Bundel Uji Simulasi Eksperimen Temperatur Tinggi ( BUSETTI). Studi identifikasi telah dilakukan untuk mengetahui laju perpindahan kalor akibat adanya perambatan kalor dari bagian bertemperatur tinggi ke bagian bertemperatur rendah sirkulasi udara sebagai medianya dimana perubahan fasa udara menjadi gas dimungkinkan, proses perpindahan kalor terjadi pada bagian uji BUSETTI melibatkan tiga cara perpindahan kalor, yaitu konduksi, konveksi dan radiasi. Kondisi terpenting dalam pemanasan udara adalah terbentuknya aliran udara diakibatkan perbedaan temperatur ke bagian pelat dan ke bagian dalam yang dilaluinya dengan nilai koefisien udara (h) konstan. Rangkaian BUSETTI terdiri dari pelat berbentuk kubus berukuran: Panjang 0,2x0,2 m, tinggi; 1,2 m, tebal pelat 4mm, bahan pelat SS304. Variasi eksperimen dilakukan dengan pengukuran temperatur dengan daya heater yang dinaikan setiap 10 menit hingga pencapaian daya 220volt dengan memvariasikan temperatur 500oC, 600oC, 650oC perubahan variasi daya heater terhadap waktu dicatat, kemudian dijadikan acuan untuk melakukan perhitungan perpindahan kalor konveksi yang akan dibandingkan dengan hasil pengukuran., Hasil perbandingan daya terhadap temperatur antara perhitungan perpindahan kalor konveksi dengan data pengukuran daya menunjukkan penyimpangan terkecil 0,51% pada temperatur 650oC, penyimpangan terbesar 64,47% pada temperatur 600C. yang bemberikan gambaran fenomena perpindahan kalor konveksi. Berdasarkan hasil ekperimen dan perhitungan menunjukan bahwa laju perpindahan kalor konveksi pada pelat BUSETTi ditentukan oleh, konduktivitas termal, luas penampang dan koefisen udara.

Kata-kata kunci: temperatur tinggi, daya heater, karakterisasi, perpindahan kalor konveksi.

1.Pendahuluan Bundel Uji Simulasi Eksperimen Temperatur Tinggi (BUSETTI), yang dimiliki oleh

Laboratorium Termohidrolika PTRKN BATAN digunakan untuk meneliti fenomena sirkulasi udara sebagai media temperatur tinggi. Bagian uji BUSETTI digunakan untuk eksperimen media pemanasan pada pelat berbentuk kubus berukuran: Panjang 0,2x0,2 m, tinggi 1,2 m, tebal pelat 4mm, bahan pelat SS304. Proses perpindahan kalor pada suatu benda yang memiliki gradien menyebabkan terjadi perpindahan kalor atau perambatan kalor dari bagian yang bertemperatur tinggi ke bagian yang

Page 113: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐15

Teknik

MESIN

bertemperatur rendah[1]. BUSETTI dapat mensimulasikan proses perpindahan kalor berdasarkan distribusi temperaturnya. Prosesperpindahan kalor yang terjadi pada bagian uji BUSETTI melibatkan tiga cara perpindahan kalor, yaitu konduksi, konveksi dan radiasi. Kondisi terpenting dalam pemanasan udara adalah terbentuknya aliran udara yang diakibatkan perbedaan temperatur perubahan fasa udara menjadi gas dimungkinkan[2]. Bagian udara yang dipanaskan akan lebih renggang dan udara dari bagian dingin akan bergerak kearah bagian panas distribusi temperatur pada pelat SS304 dan pada udara yang melalui akibat perpindahan kalor dari kumparan pemanas ke bagian pelat dan ke bagian dalam yang dilalui udara[2].

Makalah ini mengandung tujuan penelitian yaitu memperoleh identifikasi perpindahan kalor konveksi berdasarkan variasi daya heater secara kontinyu. Metodologi

Fasilitas Eksperimen Bagian uji BUSETTI (Budel Uji Simulasi Eksperiment Temperatur Tinggi), terdiri dari pelat berbentuk kubus, pelat bagian utama bagian uji merupakan pelat SS304 dengan tebal 0,004m dan ukuran panjang 1,2 m dan lebar 0,2 m. Pelat SS304 ini dijadikan sebagai objek penelitian dan disebut sebagai bagian utama dari bagian uji yang akan dipanaskan hingga mencapai temperatur yang diinginkan.Geometri tampak depan fasilitas uji BUSETTI, seperti ditunjukan pada Gambar 1.

Gambar 1. Geometri tampak depan fasilitas uji BUSETTI

Uji pemanasan pada bundel uji BUSETTI dilakukan untuk memperoleh data kenaikan

temperatur. Uji pemanasan dilakukan dengan beberapa variasi temperatur maksimum yang dicapai pada bundel uji. Variasi temperatur maksimum pada uji pemanasan dimulai dari 500°C, 600°C dan 650°C, dengan alat kontrol slidregulator diperoleh pembacaan voltmeter dan amper yang dicatat secara manual setiap dinaikan daya sebagai acuan untuk mengidentifikasi kenaikan daya heater. Susunan termokopel merupakan hasil pengukuran jarak antara panjang kali lebar termokopel yang dipasang pada area aliran udara. 14 termokopel tersebut digunakan untuk mengukur perubahan temperatur selama proses ekperimen. Gambar 2. Diagram pemosisian titik termokopel.

Gambar 2. Diagram pemosisian titik termokopel.

Data kenaikan temperatur setiap termokopel selama pemanasan direkam, data per-detik pada 14 kanal oleh sistem akuisisi data (DAS) WinDAQ T1000.

Page 114: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐16

Teknik

MESIN

1.1 Prosedur Eksperimen

Proses pengambilan data pada saat eksperimen BUSETTI dilakukan dengan merubah-ubah besarnya tegangan (V) pada regulator. Seiring kenaikan tegangan, arus (I) akan mengalami kenaikan sehingga diperoleh besarnya daya (P) pada heater. Semakin besar daya yang dihasilkan pada heater maka semakin besar pula temperatur (T) yang terjadi pada bundel uji BUSETTI. Pengaturan besarnya kenaikan tegangan pada regulator 20 volt setiap 10 menit hingga pencapaian tegangan maksimum 220 volt. Uji pemanasan dilakukan dengan memanaskan bundel uji secara radiasi hingga temperatur tertinggi mencapai 650°C hasil recor temperatur terbaca oleh DAS (data aquisisi Sistem). 2.2 Perhitungan

Pengamatan kenaikan laju perpindahan kalor konveksi berdasarkan variasi daya heater, dapat beberapa langkah perhitungan yang harus dilakukan, yaitu mulai dari perhitungan daya yang dapat diketahui dalam teori kelistrikan dinyatakan sebagai perkalian antara tegangan (V), arus (I) dan cos phi (ϕ). Besar tegangan dan arus didapatkan dari hasil pengukuran Voltmeter dan amperemeter pada voltage regulator. Daya heater ditunjukan pada persamaan (1).

P= V.I coss φ (1) Perubahan temperatur dari mekanisme perpindahan kalor konveksi dimana pada fluida panas Tw dan fluida dingin T∞ akan terja perubahan kalorditunjukan pada persamaan (2)

Hukum Newton menyatakan bahwa untuk konveksi:

∞ (2) pada kasus heater kearah dinding plat: q1=h Aheater(Theater-T∞) (3) q2=h Adinding (Theater-Tdinding) (4)

=h.Aheater (Theeater-T∞) –k Adinding (Tudara-Tdinding) (5) =h[Aheater(Theater-T∞)-Adinding (Tudara-Tdinding)] (6)

Dimana h adalah koefisien perpindahan panas konveksi (convection heat transfer coefficient). Dengan meghitung besarnya harga h, maka dapatlah ditentukan besarnya laju perpindahan panas konveksi, besarnya harga h bergantung pada sifat-sifat termal fluida (konduktivitas termal, panas spesifik, densitas dll.) dan viskositas fluida. Koefisien perpindahan kalor menyeluruh untuk menghitung laju perpindahan kalor konveksi digunakan persamaan (10).

Dinyatakan dengan persamaan: q convection = h1 Adinding (Tw2 - T∞) (7)

q convection = L

Ak dinding. (Tw1 – Tw2) (8)

q convection = h2. Aheater (Tudara - Tw1) (9)

AkL

Ah

TTAq heater

..2

)(

+

∞−=

(10)

Page 115: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐17

Teknik

MESIN

3. Hasil diskusi 3.1 Hasil Pengukuran Daya Heater dan Temperatur

Data hasil pengukuran temperatur pada bundel uji BUSETTI dilakukan untuk memperoleh data kenaikan Daya dan temperatur akhir yang dicapai bundel uji, dimulai dari temperatur 500°C, 600°C, 650oC dilakukan dengan memvariasikan tegangan pada regulator. Besarnya kenaikan tegangan pada regulator sebesar 20 volt setiap 10 menit. Sehingga didapatkan data hubungan antara tegangan dan arus pada heater seperti yang dipresentasikan pada gambar 3, gambar 4 , gambar 5. Menunjukkan bahwa meningkatnya tegangan yang terjadi pada heater mengakibatkan naiknya arus listrik

Gambar 3. Kurva hubungan antara tegangan dan arus pada heater.

Gambar 3. menunjukkan kenaikan arus listrik dipengaruhi oleh naiknya tegangan, semakin besar naiknya tegangan yang dihasilkan oleh regulator, maka semakin besar pula arus listrik yang dihasilkan. Berdasarkan kurva hubungan antara tegangan dan arus listrik pada Gambar 3 diperoleh korelasi linier: I(V)=-1,42308+2,82885*V R ^2= 0.99965 Berdasarkan Tabel 3. besarnya daya yang terjadi pada heater dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (1) P = V x I Cosφ hasil perhitungan daya yang terjadi pada heater dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Daya yang terjadi pada heater

No Tegangan masuk

Vmasuk[volt]

Arus masuk

Imasuk[A]

Cos ϕ

Daya heater

P[watt] 1 0,0 0,0 0,8 0 2 20 0,53 0,8 8 3 40 1,10 0,8 35 4 60 1,67 0,8 80 6 80 2,28 0,8 145 7 100 2,84 0,8 227 8 120 3,42 0,8 328 9 140 3,90 0,8 437

10 160 4,52 0,8 579 11 180 5,10 0,8 734 12 200 5,51 0,8 882 13 220 6,30 0,8 1108,8

Page 116: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐18

Teknik

MESIN

Kurva hasil perhitungan daya terhadap kenaikan tegangan dan arus listrik adalah sebagai berikut :

Gambar 4. Kurva daya terhadap kenaikan tegangan

P (V) = -3.26573 + 0.13901*(V) + 0.02168*(V)^2 R^2= 0,9972

Gambar 5 Kurva daya heater terhadap waktu

P (x)= -0.25 + 0.00005*x + 0.00003*x^2 R^2=0.99965 Hasil perhitungan daya yang terjadi pada heater dapat dilihat pada Tabel 3 hasil perhitungan daya lalu dibuat kurva hubungan daya terhadap waktu. Gambar 5 menunjukkan kenaikan daya heater dipengaruhi oleh naiknya tegangan, terhadap waktu semakin besar naiknya tegangan yang dihasilkan oleh regulator, maka semakin besar pula daya yang dihasilkan. Berdasarkan kurva daya heater terhadap waktu pada Gambar 5 diperoleh korelasi polynomial sebagai berikut : Kenaikan temperatur Eksperimen

Uji pemanasan pada bundel uji BUSETTI dilakukan untuk memperoleh data kenaikan temperatur. (a) Temperatur akhir 500°C pada pelat bundel uji BUSETTI

Page 117: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐19

Teknik

MESIN

Gambar 6.Kurva kenaikan temperatur pada bundel uji terhadap waktu untuk capaian temperatur

maksimum 500°C.

(b) Temperatur akhir 600°C pada pelat bundel uji BUSETTI

Gambar 7 Kurva kenaikan temperatur pada bundel uji terhadap waktu untuk capaian temperatur maksimum 600°C.

(c) Temperatur akhir 650°C pada pelat bundel uji BUSETTI

Gambar 8 Kurva kenaikan temperatur pada bundel uji terhadap waktu untuk capaian temperatur

maksimum 650°C.

Gambar 6, Gambar 7, Gambar 8 menunjukan kurva hasil kenaikan temperatur pada bundel uji

terhadap waktu pada temperatur akhir 650°C dapat dilihat pada detik- 0, temperatur pada titik-titik termokopel heater TC-4, TC-5, TC-6 lebih tinggi karna berada dipusat pemanasan. koefesien udara

Page 118: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐20

Teknik

MESIN

sekitar, kenaikan temperatur mulai terlihat naik pada detik ke-420, saat daya mulai dinaikan 20 volt. Secara efisiensi masukan daya mendapatkan tegangan yang maksimum maka daerah kerja dari suatu penguat bekerja di saturasi. Tapi pada daerah ini terjadi degradasi sinyal yang sangat besar yang menyebabkan intermodulasi sinyal dan pergeseran fasa yang besar Gambar 6. Data Karakterisasi heater dibutuhkan untuk mendapatkan range rata-rata kesetabilan temperatur. Dari data rekaman dengan dataq dapat kita lihat bahwa heater selalu mengalami fluktuasi dalam mencapai kesetabilan temperatur. Tetapi fluktuasi yang terjadi membentuk grafik yang tetap dan stabil pada temperatur rata-rata setelah beberapa menit dan temperatur yang diinginkan berada pada range tersebut.

Dapat kita lihat pada detik ke-0 temperatur pada titik-titik termokopel dapat kita lihat pada detik

ke-0 temperatur pada titik-titik termokopel dinding luar (TC-11, TC-12, TC-13) lebih rendah karna belum terjadi adanya perpindahan kalor konveksi ke dalam dinding luar, dibandingkan dengan titik termokopel yang berada mendekati titik pusat pelat karena dipengaruhi oleh temperatur udara sekitar. Kenaikan temperatur pada dinding dalam setiap titik termokopel mulai terlihat naik pada detik ke-600, sampai dicapainya temperatur akhir 650°C pada detik ke- 26316 pada titik termokopel TC-5.

Pemahaman terhadap karakterisasi kenaikan temperatur pada bundel uji sangat diperlukan untuk

mengetahui besarnya temperatur yang terjadi pada setiap titik termokopel dan berapa lama waktu yang diperlukan untuk mencapai temperatur maksimum yang diinginkan. Korelasi yang bisa mendekati kurva kenaikan temperatur diperoleh dengan memfitting kurva kenaikan temperatur pada setiap variasi temperatur.

3.2 Pembahasan

Data-data kenaikan temperatur hasil eksperimen selama proses pemanasan radiasi yang terekam oleh dataq pada setiap titik termokopel untuk temperatur akhir 650°C diolah menjadi grafik menggunakan program Origin v7.0, kemudian, diplot kedalam fungsi T(t) secara eksponensial Boltzmann diperoleh korelasi-korelasi sebagai berikut: : A2+(A1-A2)/(1+exp((x-xo)/dx))

Gambar 3 Kurva karakteristik kenaikan temperatur eksperimen vs waktu

Untuk temperatur akhir 650ºC

Untuk perhitungan perpindahan panas konveksi (qconvection) dilakukan untuk mendapatkan nilai perubahan kalor dari Tudara melewati dinding pelat sebagai mediasinya dan dipengaruhi oleh A dan konduftifitas bahan termal (Kbahan), perhitungan yang sama dilakukan kembali pada setiap termokople. Dapat dilihat pada gambar 9, gambar 10 gambar 11, kurva hasil perhitungan analitik terhadap waktu berdasarkan posisi termokople.

Page 119: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐21

Teknik

MESIN

Gambar 9 Kurva hasil perhitungan analitik terhadap waktu temperatur 500oC

Gambar 9 kurva hasil perhitungan analitik terhadap waktu temperatur 600oC

Gambar 9 kurva hasil perhitungan analitik terhadap waktu temperatur 650oC

Perbandingan kenaikan daya hasil eksperimen dengan hasil perhitungan analitik perpindahan kalor konveksi dibandingkan untuk mengetahui seberapa jauh penyimpangan yang terjadi. Data-data kenaikan laju perpindahan kalor konveksi pada titik termokopel heater (TC6), diplot kedalam fungsi secara linier.

Page 120: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐22

Teknik

MESIN

Gambar 12. Kurva perbandingan hasil kenaikan daya dan Perhitungan perpindahan kalor konveksi di

TC-6 temperatur akhir 600°C

Gambar 13. Kurva perbandingan hasil kenaikan daya dan Perhitungan perpindahan kalor konveksi di TC-6 temperatur akhir 650°C

Nilai laju perpindahan kalor konveksi terhadap variasi daya heater tergantung pada selisih daya pada heater yang dicapai, semakin besar selisih daya, maka semakin besar laju perpindahan kalor konveksi yang terjadi. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan nilai laju perpindahan kalor konveksi pada termokopel TC-6 sebesar 0, watt untuk temperatur akhir 650°C, dimana besarnya selisih temperatur TC-6 terhadap daya heater hanya 2.37%. KESIMPULAN

Hasil studi identifikasi perpindahan kalor konveksi berdasarkan variasi daya heater pada pelat, menyimpulkan bahwa:

1. Kenaikan daya heater dipengaruhi oleh naiknya tegangan dan arus, semakin besar naiknya tegangan yang dihasilkan oleh regulator, maka semakin besar pula temperatur yang dihasilkan. Dapat dibuktikan daya 1108,8 watt tegangan 220volt, arus 6,30 amper pada temperatur tetertinggi terjadi di dalam pelat uji pada temperatur 650oC pada TC-6,

2. Luas penampang yang merupakan fungsi dari diameter bundel uji, juga menentukan penyebaran koefisien laju perpindahan kalor konveksi yang terjadi, Perbedaan temperatur juga mempengaruhi laju perpindahan kalor konveksi, dimana semakin tinggi temperatur heater maka sebakin besar nilai laju perpindahan kalor konveksi. Nilai perpindahan kalor konveksi terbesar terjadi diheater 643.96 watt pada temperatur 650oC, perpindahan kalor konveksi terhadap daya heater memiliki fungsi linier.

Page 121: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐23

Teknik

MESIN

NOTASI A = Luas penampang [m2] As = Luas permukaan perpindahan panas [m2] L = Tebal bahan [m] Cos ϕ

= Sudut kemiringan [°]

= Koefisien perpindahan kalor konveksi [W/m2.K] I = Arus [A] K = Konduktivitas termal [W/m.K] P = Daya [W] q = Perpindahan kalor konveksi [W] Ts = Temperatur permukaan [°C, K] T∞ = Temperatur lingkungan [°C, K] V = Tegangan [V]

= Beda temperatur [°C, K] = Panjang penampang [m]

Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Laboratorium Termohidrolika

PTRKN BATAN yang telah mengijinkan untuk melakukan penelitian. Dosen peneliti dan mahasiswa Laboratorium EDfEC (Research Group), para Dosen pembimbing, senior-senior yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan dorongan dan motivasi sehingga makalah ini terselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA [1]. Michael J. Moran, Howard N. Shapiro, Bruce r. Munson, David P. Dewitt, “Introduction to

Thermal Systems Engineering: Thermodynamics, Fluid Mechanics and Heat Transfer”, John Wiley & Sons, Inc, New York, 2003.

[2]. Holman JP, Perpindahan Kalor, diterjemahkan oleh: E.Jasjfi, Erlangga, 1995. [3]. J. Zhang, F. Tanaka, M. Juarsa, K. Mishima, Calculation of Boiling Curves During Rewetting of a

Hot Vertical Narrow Channel, Proceeding of NURETH-10, Seoul-Korea, October 5-9, 2003. [4]. U.Grigull and H. Sandner, International Series in Heat and Mass Transfer: Heat Conduction,

Hemisphere Publishing Co., London, 1984.

Page 122: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐24

Teknik

MESIN

Pengaruh Parameter Stack Serta Variasi Frekuensi Terhadap Performa Termal Pendingin Termoakustik

Nandy Putra, Dinni Agustina, Gilang AIV, Sabdo W, Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia

Kampus Baru UI Depok

Abstrak Sistem pendingin termoakustik merupakan suatu teknologi alternative yang ramah lingkungan karena menggunakan media kerja udara atau gas mulia sebagai pengganti refrijeran pada sistem pendinginan konvensional yang berpotensi merusak lingkungan. Tujuan dari penelitian ini adalah merancang dan membuat perangkat termoakustik sehingga dapat mengetahui prinsip kerjanya. Membuktikan fenomena bahwa adanya suatu getaran yang merambat pada suatu medium berupa udara menyebabkan perbedaan tekanan udara sehingga menghasilkan perbedaan suhu. Metode pengujian dilakukan dengan merancang prototype resonator termoakustik dari material PVC ((Polyvinyl chloride) berukuran 1 ¼ inci atau 35.8 mm dengan ketebalan sebesar 2.8 mm sepanjang 80cm. Suara dari loudspeaker dengan frekuensi gelombang yang ditetapkan akan melintasi tabung resonator yang kemudian melewati stack. Posisi dan panjang stack berpengaruh terhadap performa dari sistem ini karena dalam proses siklus termoakustik terdapat kompresi dan ekspansi sehingga bila kontak permukaan gas dan kanal-kanal dari stack terlalu panjang dapat mengakibatkan penurunan perbedaan suhu dimana pada stack dengan δk= 1mm pada 106 Hz dan Ls=10cm, mempunyai Xs maksimum 14 cm dengan hasil ∆T1 (Tpanas-Tdingin )maksimum sebesar 9.090C dan ∆T2 = T ambient – Tdingin minimum sebesar 6.16 0C. Penggunaan stack roll lebih efektif dibandingkan dengan stack plate karena kanal-kanalnya lebih luas. Keywords : pendingin termoakustik, resonator, stack, frekuensi

1.Pendahuluan

Dengan kondisi geografis di negara kita alat pendingin sangatlah bermanfaat baik untuk pemenuhan tingkat kenyamanan, maupun sebagai penyimpanan makanan. Namun, keprihatinan akan dampak buruk teknologi pendingin konvensional terhadap lingkungan telah memunculkan tantangan untuk pengembangan teknologi pendinginan alternatif yang efisien, ramah lingkungan dengan biaya operasional dan perawatan yang relatif rendah. Salah satu jawaban dari tantangan ini adalah perangkat pendingin termoakustik[1,2,4,5]. Termoakustik adalah sistem pendinginan yang ramah lingkungan karena menggunakan media kerja udara atau gas mulia sebagai alternatif sistem pendinginan konvensional yang membahayakan lingkungan[3,4]. Sistem ini bekerja dengan memanfaatkan gelombang suara yang dihasilkan oleh loudspeaker sebagai salah satu komponen system tersebut.

Dalam sistem ini, gelombang suara dihasilkan oleh sumber bunyi lalu bergerak rmelintasi suatu tabung resonator yang didalamnya terpasang stack yang berfungsi seperti kompresor pada sistem pendingin siklus kompresi vapor. Udara sebagai fluida kerja memasuki kanal-kanal kecil yang berada pada stack dan mengalami kompresi sehingga suhunya meningkat dan melepaskan kalor ke material stack. Selanjutnya mengalami ekspansi dan megalami penurunan suhu sehingga kalor berpindah Siklus ini mengakibatkan terjadi perbedaan suhu pada dua ujung stack. Perpindahan kalor dari udara ke stack dan sebaliknya merupakan akibat dari gelombang akustik yang beresonansi dalam tabung yang bekerja sebagai kerja eksternal.

Gelombang longitudinal dari gelombang akustik mengakibatkan partikel udara berosilasi sepanjang dinding–dinding stack. Apabila suhu udara menjadi lebih tinggi daripada dinding stack terdekat, maka kalor berpindah dari udara menuju dinding stack, dan sebaliknya. Sehingga menciptakan perbedaan suhu pada kedua ujung stack.

Pengembangan termoakustik telah dipublikasikan dalam jurnal-jurnal ilmiah seperti yang ditulis oleh Swift [7-10] dan oleh Garret dan Backhaus[8] telah menjadikan konsep-konsep yang mendasari fenomena termoakustik dapat dipahami oleh khalayak luas. Sebelumnya, Wheatley et al[9] menyajikan

Page 123: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐25

Teknik

MESIN

pemahaman fenomena termoakustik dan aplikasinya pada mesin kalor. Sebuah pustaka acuan yang banyak dirujuk tentang termoakustik adalah konsep-konsep yang terlibat dalam termoakustik yang ditulis oleh Swift[7-9]. Beberapa penelitian juga telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya dan mendapatkan hasil yang cukup memuaskan seperti research yang dilakukan oleh M.E.H Tijani dkk [11,12], telah mampu mencapai suhu pada sisi dingin hingga -65 0C.

Gambar 1. Perangkat uji pendingin termoakustik

Tujuan dari penelitian adalah merancang dan menguji perangkat pendingin termoakustik untuk memahami prinsip kerja dan mengkarakterisasi performa berdasarkan variasi parameter stack serta frekuensi. Membuktikan fenomena bahwa adanya suatu getaran yang merambat pada suatu medium berupa udara menyebabkan perbedaan tekanan udara sehingga menghasilkan perbedaan suhu.

2. Metodelogi 2.1 Desain Prototipe Pendingin Termoakustik

Frekuensi gelombang dan dimensi stack merupakan hal awal yang dipertimbangkan. Frekuensi diketahui dengan menghubungkan sebuah microphone ke multimeter atau osiloskop untuk membaca voltase yang dikeluarkan oleh microphone. Multimeter akan menunjukan besar voltase yang akan diolah dengan Adobe Audition untuk mengetahui frekuensi gelombang suara yang dihasilkan, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2 dan 3.

Frekuensi pada tabung resonator ditentukan dengan persamaan:

(1) (2)

Setelah parameter frekuensi ditentukan maka penentuan dimensi stack dapat dilakukan dengan persamaan:

(3)

Gambar 2. Skematik Penentuan Frekuensi Gambar 3 Grafik frekuensi gelombang suara

Page 124: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐26

Teknik

MESIN

Tabung resonator dibuat setelah penentuan dimensi stack dimana tabung resonator dirancang

dengan satu ujung tertutup berukuran 1 ¼ inci atau 35.8 mm dengan ketebalan sebesar 2.8 mm. bahan dasar tabung resonator ini adalah PVC ( Polyvinyl chloride) seperti yang terlihat pada gambar 4.

Gambar 4 Rancangan prototype resonator

2.2 Eksperimental set-up

Pengujian dilakukan mengatur frekuensi suara dari loudspeker melalui amplifier yang masuk ke tabung resonator melewati rangkaian stack. Dimana dua buah termokopel tipe k diletakkan pada daerah sebelum stack (cold side) dan daerah setelah stack (hot side) dan satu buah termokopel diletakkan pada di luar resonator. Data suhu dari termokopel dihubungkan dengan cassis NI c-DAQ 9172 dan module NI 9213 yang diolah dengan menggunakan software Labview 8.5. Pengambilan data suhu dilakukan pada variasi posisi dan panjang stack serta variasi frekuensi gelombang suara yang melewati resonator.

Gambar 5 Skematik pengujian pendingin termoakustik

3. Hasil Dan Pembahasan Gambar 6 menunjukkan distribusi suhu pada kedua ujung stack dengan konfigurasi Ls = 11cm

f=275 Hz, = 0,5 mm, Xs = 5,5 cm. Pengujian dilakukan pada suhu lingkungan 26,50C yang menjadi titik awal suhu kedua ujung stack. Input suara dinyalakan dengan volume amplifier maksimal. Pengaturan suara monotone pada frekuensi sample rate sebesar 275 Hz pada program Adobe audition 3.0 . Pada menit ke 10, suhu pada ujung stack sebelah kanan naik hingga mendekati 280C dan pada ujung kiri hanya turun 0,30C dari suhu awal mulai. Memasuki menit ke 20, suhu ujung kanan naik melebihi 280C dengan

Page 125: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐27

Teknik

MESIN

suhu ujung kiri ikut naik 0.10C pada menit ke 10. Setelah 30 menit, suhu ujung stack kanan terus naik hingga 28.260C dan suhu ujung kiri hampir sama dengan suhu awal 26.110C, sehingga perbedaan suhu kedua ujung stack 1,790C. Dari grafik dapat dianalisa bahwa bahwa pada perangkat termoakustik ini terjadi kompresi udara yang berada di dalam kanal-kanal stack dan panas dibuang ke ujung kanan sehingga suhu di lokasi tersebut terus naik namun pada pengujian ini tidak terjadi ekspansi walaupun tekanan dan suhu stack lebih rendah di bandingkan ujung kanan stack, sehingga udara tidak menyerap kalor untuk dibuang.

Pada panjang stack 8,5 cm terlihat suhu ujung kanan stack naik hingga mendekati 30.710C dan pada ujung kiri suhu turun mencapai 26.97 0C. Pada menit ke 20, suhu ujung kanan naik melebihi 31.320C dengan suhu ujung kiri turun lagi pada suhu 26.560C. Setelah 30 menit, sisi panas terus naik hingga pada suhu 31.370C dan suhu sisi dingin turun terus hingga 26.270C, sehingga perbedaan suhu kedua ujung stack sebesar 5.110C seperti terlihat pada gambar 7.

Gambar 6 Distribusi suhu resonator dengan stack Ls 11cm, f 275 hz, 0,5 mm xs 5,5 cm.

Gambar 7. Distribusi suhu resonator dengan stack Ls 11cm, f 275 hz, 0,5 mm xs 8,5 cm

Gambar 8 menunjukkan distribusi suhu resonator dengan stack Ls 11cm, f 275 hz, 0,5 mm, Xs

dan panjang stack 10 cm terlihat bahwa sisi panas naik hingga pada suhu 32.04 0C dan suhu sisi dingin turun terus hingga 26.43 0C, sehingga perbedaan suhu sisi panas dan sisi dingin sebesar 5.880C. Dari hasil grafik ini dapat kita analisa bahwa suhu yang lebih besar berada di sisi panas dan suhu di sisi dingin suhu menjadi lebih rendah dari titik permulaan walaupun suhu pada sisi panas berfluktuasi naik turun begitu juga dengan suhu pada sisi dingin, dan pada menit ke 30 terlihat suhu di sisi panas naik tetapi pada sisi dingin sudah mencapai kestabilan.

Gambar 8 Distribusi suhu resonator dengan

stack Ls 11cm, f 275 hz, 0,5 mm xs 10,5 cm.

Gambar 9 Distribusi suhu resonator dengan stack Ls 10cm, f 106 hz, 1 mm xs 10cm.

Page 126: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐28

Teknik

MESIN

Gambar 9, 10, 11 menunjukkan distribusi suhu pada resonator dengan frekuensi 106Hz dengan panjang stack 10, 12, dan 14 cm. Pada panjang stack 10 cm, terlihat pada menit ke 10 suhu sisi panas mendekati 33.970C dan pada suhu dingin turun mencapai 28.470C. Memasuki menit ke 20, suhu sisi panas naik menjadi 34.81 0C dengan suhu sisi dingin naik pada suhu 29.060C. Setelah 30 menit, sisi panas terus naik hingga pada suhu 35.160C dan suhu sisi dingin turun terus hingga 29.280C, sehingga perbedaan suhu sisi panas dan sisi dingin sebesar 5.930C. Pada panjang stack 12 cm, suhu sisi panas menurun hingga 33.730C dan suhu sisi dingin turun hingga 27.430C, sehingga perbedaan suhu kedua ujung sebesar 6.320C. Sedangkan untuk panjang stack 14 cm perbedaan suhu sisi panas dan sisi dingin mencapai 9.09oC

Gambar 10 Distribusi suhu resonator dengan stack Ls 10cm, f 106 hz, 1 mm xs 12 cm

Gambar 11 Distribusi suhu resonator dengan stack Ls 10cm, f 106 hz, 1 mm xs 14 cm.

Gambar 12 dan 13 memperlihatkan jarak stack optimum berada pada Xs= 10,5 dengan

mendapatkan hasil ∆T1(Thot-Tcold) yang paling besar yaitu pada frekuensi 275 hz adalah 4.360C dan pada frekuensi 106 hz sebesar 5.880C, dan juga pada ∆T2= Tambient – Tcold minimum mendapatkan hasil 1.070C pada frekuensi 275 hz serta pada frekuensi 106 hz sebesar 2.90C. Hal ini diakibatkan pengaruh lokasi stack, pada gelombang tegak dan untuk resonator berupa tabung berdiameter homogen harus berada di titik perut atau titik tekanan yang biasanya adalah λ/20 [7]. Karena posisi dan panjang stack berhubungan dengan tekanan amplitudo dari udara dan kecepatan partikel udara yang dekat dengan kedua ujung stack. Gradien suhu sepanjang stack akan menjadi proporsional dengan perbedaan dari tekanan amplitudo udara. Perbedaan tekanan ini akan menjadi besar ketika stack lebih panjang selama stack diletakan diantara node dan antinode dari tekanan. Namun, stack yang terlalu panjang akan menyebabkan kehilangan viscous. Oleh karena itu maka kita harus mendapatkan panjang yang optimum dari stack. Di lain sisi, stack harus diletakan dekat dengan pressure antinode mengecilkan nilai viscous dissipation dari energi suara. Tetapi gelombang tegak menghasilkan energi suara yang belum sempurna di dalam velocity amplitude. Artinya bahwa stack harus diletakan dekat titik tekan dari gelombang tegak. Oleh karena itu posisi stack yang optimum di dalam system termoakustik dapat diketahui. Hal ini juga diakibatkan perbedaan frekuensi yang menyebabkan perbedaan δK , karena dengan frekuensi 275Hz mendapatkan δK 0,5 dan frekuensi 106Hz mendapatkan δK 1 walaupun kedua frekuensi itu didapatkan dari mencari frekuensi resonansi tetapi dari pengaruh panjang tabung yaitu 80 cm maka dai perhitungan frekuensi resonansi maksimum adalah 106 hz.

Selain lokasi stack, panjang stak juga berpengaruh terhadap kinerja dari termoakustik dimana gambar 14 dan 15 menunjukkan perbandingan antara panjang stack 10 cm dan 11 cm. Panjang stack optimum berada pada Ls=10cm dengan hasil ∆T1(Thot-Tcold) yang terbesar yaitu pada Xs = 11cm sebesar 6.160C dan pada pada ∆T2= T ambient – Tcold minimum mendapatkan hasil yaitu sebesar 2.370C. Panjang stack dapat mengakibatkan penurunan performa. Stack yang lebih panjang memberikan perbedaan

Page 127: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐29

Teknik

MESIN

pressure amplitudes yang lebih besar dekat dengan kedua ujung stack dimana memberikan gradien suhu yang lebih besar dan oleh karena itu menghasilkan perbedaan suhu kedua ujung yang lebih besar. Pada stack yang lebih panjang dapat menyebabkan viscous loss yang besar karena kontak yang lebih besar dari permukaan partikel gas dan kanal stack. Efek ini membuat perpindahan panas dari udara ke stack dan sebaliknya tidak efektif dan perubahan suhu menjadi kecil.

Dari gambar 16 dan 17 terlihat perbandingan performa dengan variasi tipe stack. Perbedaan

suhu yang dihasilkan lebih besar dengan stack roll, karena kanal-kanal yang berada di stack roll lebih luas dibanding dengan stack plat, sehingga membuat banyak gas yang dapat berkontak dengan permukaan kanal-kanal yang dapat menyebabkan kenaikan perbedaan suhu.

Gambar 12 perbandingan Thot-Tcold (maksimum)variasi jarak stack

Gambar 13 perbandingan T ambient – Tcold minimum variasi jarak stack

Gambar 14 perbandingan Thot-Tcold (maksimum) variasi panjang stack

Gambar 15 perbandingan Tambient-Tcold (maksimum) variasi panjang stack

Page 128: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐30

Teknik

MESIN

Gambar 16 perbandingan Thot-Tcold

(maksimum) variasi tipe stack

Gambar 17 perbandingan Tambient-Tcold

(maksimum) variasi tipe stack

4. Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa panjang stack dapat mengakibatkan

penurunan performa perangkat pendingin termoakustik, dimana pada stack dengan δk= 1mm pada106 Hz dan Ls=10cm, mempunyai Xs maksimum 14 cm dengan hasil ∆T1 (Tpanas-Tdingin )Maksimum sebesar 9.090C dan ∆T2 = T ambient – Tdingin minimum sebesar 6.160C. Penggunaan stack roll lebih efektif dibandingkan dengan stack plate karena kanal-kanal yang berada di stack roll cukup banyak dibanding dengan stack plate. Penggunaan frekuensi sangat berpengaruh terhadap panjang stack, posisi stack dan panjang tabung sehingga untuk kondisi tabung resonator 80cm frekuensi resonansi maksimum adalah 106 hz.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Applied Heat Transfer Research Group atas dukungan fasilitas riset dan laboratorium.

Daftar Pustaka [1] Ikhsan Setiawan, The influence of the length and position of the stack on the performances of a

thermoaccoustic refrigerator, Universitas Gadjah Mada, 2009 [2] Mostafa A. Nouh, Nadim M. Arafa and Ehab Abdel Rahman,2009 Stack Parameters Effect On The

Performance Of An Anharmonic Resonator Thermoacoustic Heat Engine [3] Daniel George Chinn,2010 Piezoelectrically-Driven Thermoacoustic Refrigerator [4] Andreiadkk., Exprimental and Numerical Simulation Study on a Thermoacoustik [5] William C.Moss. San Mateo. Califf 1997, Thermoacoustik Refrigrator [6] Scout Backhaus , Thermoacoustik Refrigrator and Engines Comprising Cascading

StrilingThermodinamic Units, 2009 [7] Swift, G.W., 1995, Termoakustik engines and refrigerators, Phys. Today 48. [8] Backhauss, S., 2002, 7ew Varietes of Termoakustik Engines, Thermal Physics group [9] Wheatley, J., Hofler, T., Swift, G.W., and Migliori, A. (1985), Understanding some simple

phenomena in termoakustiks with applications to acoustical heat engines, Am. J. Phys 53, 147_162 [10] Swift, G., 2002, Termoakustiks: A Unifying Perspective for Some Engines and Refrigerators, Los

Alamos National Laboratory, Acoustical Society of America Publications. [11] Tijani, M.E.H., Zeegers, J.C.H., and de Waele, A.T.A.M., 2002b, Construction and Performance

of a Termoakustik Refrigerator, Cryogenics 42, (Dept. of applied physics, Eindhoven University of Technology)

[12] Tijani, M.E.H., 2001, Loudspeaker. driven termoakustik refrigeration, PhD Thesis, Unpublished, Eindhoven University of Technology.

Page 129: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐31

Teknik

MESIN

Perpindahan Kalor Dibagian Dingin Berdasarkan Variasi Warna Lapisan Film

Pada Panel Sistem Solar Thermal

Indra Resmana1,2, Akhrom Aryadi1,2, Hasanudin Wijaya1,2, Januar Akbar1,2,Yogi Sirodz Gaos2, Edi Marzuki2, Mulya Juarsa2

1Mahasiswa Konversi Energi Jurusan Teknik Mesin

Fakultas Teknik Universitas Ibn Khaldun Bogor Jl. KH. Soleh Iskandar Bogor

[email protected]

2Engineering and Devices for Energy Conversion (EDfEC) Research Group Fakultas Teknik Univeristas Ibn Khaldun Bogor

Jl. KH. Soleh Iskandar Bogor

Abstrak: Indonesia yang kaya sumber energi terbarukan seharusnya bisa terhindar dari krisis energi jika pemerintah secara serius menata kebijakan energi melalui energi baru dan terbarukan yang dikelola secara adil, efisien dan mandiri.. Eksperimental mengenai pemanfaatan energi matahari dilakukan dengan menggunakan Solar Thermal Eksperimental Aparatus (STEA FT-02), untuk memahami fenomena sirkulasi alamiah dengan menghitung perpindahan kalor berdasarkan perbedaan temperatur pada daerah air dan es. Konstruksi STEA FT-02 terdiri dari panel solar thermal dan tangki reservoir. Variasi eksperimen adalah perbedaan warna lapisan film yang dipasang pada kaca bagian dalam panel solar thermal yaitu bening (non warna), kuning dan merah. Temperatur rata-rata air (Trata2air) dan Temperatur es (Tes) diguakan sebagai parameter yang diukur dan direkam dengan rentang waktu eksperimen selama 90 menit. Hasil eksperimen dan perhitungan menggunakan beberapa korelasi menunjukan, perpindahan kalor memiliki kesetabilan yang secara berturut-turut adalah 5,18 watt pada kaca film warna bening (non warna), 7,41 watt pada kaca warna kuning, dan 8,63 watt pada kaca warna merah. Perpindahan kalor memiliki karakteristik berbeda untuk setiap perbedaan warna lapisan film. Semakin gelap warna lapisan film maka semakin besar kalor yang diterima. Kata kunci: sirkulasi alamiah, film, perpindahan kalor, warna, solar

1. Pendahuluan Mekanisme sistem pembangkitan dengan menerapakan hukum-hukum fisika dan aplikasi teknik

menjadi salah satu fokus pengembangan konversi energi dalam sistem energi terbarukan. Salah satu konsep fisika yang telah ada digunakan untuk kasus konversi energi adalah sirkulasi alamiah. Saat ini prinsip kerja sistem sirkulasi alamiah telah banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang, baik yang berhubungan dengan pembangkit listrik, pengelolaan sumber energi, industri dan kebutuhan energi secara umum. Sistem pemanas air matahari atau air panas solar adalah air dipanaskan dengan menggunakan energi matahari. Sistem pemanas solar pada umumnya terdiri dari kolektor panas matahari, sebuah tangki penyimpanan air atau lain titik penggunaan, interkoneksi pipa dan sistem fluida untuk memindahkan panas dari kolektor ketangki[1]. Panel kolektor pada solar thermal dilengkapi dengan penutup kaca berfungsi sebagai penangkap panas sinar matahari dan menahan panas supaya tidak keluar. Sedangkan tangki pada solar thermal berfungsi sebagai thermos (tempat penyimpanan air berinsulasi) yang mampu menahan penurunan panas secara minimal pada saat matahari bersinar, panel kolektor menangkap sinar matahari dan secara mekanis mengalirkan panas kepipa-pipa tembaga yang berisi air, sehingga suhu air di dalamnya perlahan meningkat[2].

Page 130: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐32

Teknik

MESIN

Sistem pasif bekerja berdasarkan hukum fisika sehingga sirkulasi yang terjadi didalam loop tidak memerlukan alat untuk menggerakan fluida karena aliran sirkulasi alamiah ditentukan oleh ketinggian loop dan perbedaan kerapatan fluida sebagai konsekuensi perbedaan temperatur (panas dan dingin) pada dua titik di dalam loop[3]. Berdasarkan uraian di atas, maka pemahaman terhadap kasus sirkulasi alamiah dengan memanfaatkan pemanas dari solar thermal dan bagian pendinginanya menjadi hal yang perlu dilakukan. Sehingga perpindahan kalor yang akan terjadi baik secara konduksi, konveksi dan radiasi yang terjadi pada sistem solar thermal akan mempengruhi gerakan air pada penampungannya, selain itu pengaruh lapisan warna film pada panel solar thermal akan mempengaruhi perpindahan kalor di bagian dingin (tanki pendingin). Sehingga perlu dilakukan penelitian terkait kinerja tangki reservoir, sebagai sistem pendingin pada rangkaian solar thermal.

2. Metode Eksperimental

2.1 Fasilitas Eksperimen

Fasilitas eksperimen yang ada di labolatorium teknik dan devais untuk konversi energi (EDfEC, Engineering and Device for Energy Conversion) di FT UIKA Bogor, telah dikonstruksi pada tahun 2009. STEA FT-02 dibuat dengan bentuk dua kubus, kubus yang di dalam sebagai penampung air dengan panjang plat (L) 300 mm, lebar plat (w) 200 mm, tebal plat (t) 1.8 mm dan tinggi plat (h) 150 mm, dengan bahan SS 304. Sedangkan kotak yang diluar berfungsi sebagai alat penampung es dengan panjang (L) 420 mm, lebar (w) 320 mm, tebal (t) 5 mm, tinggi (h) 220 mm, dengan bahan fiber glass.pipa inlet dan out let tanki menggunakan pipa SS 304 dengan panjang (L) 200 mm dan diameter (D) 1 inchi (25,4 mm), seperti di tunjukan pada Gambar 1.

Gambar 1. Tanki reservoir [4]

Data pengukuran pengukuran temperatur menggunakan termokopel type K dan direkam menggunakan sistem akuisi data (DAS) WinDaQ T1000 dengan sampling rate 1 data per-detik pada 8 kanal (dalam makalah ini data hanya ditampilkan Tair in , Tair out dan Tes). Gambar lengkap dari fasilitas eksperimen ditunjukan pada Gambar 2.

Gambar. 2 Instalasi solar thermal dan kelistrikan

2.2 Prosedur Eksperimen

Page 131: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐33

Teknik

MESIN

Eksperimen sebelumnya didahului dengan memasang selang (hose) pada pipa inlet dan outlet, mengisi tanki reservoir dengan air, menseting perangkat alat control DAS (Data Acquisition System), memasukan batu es pada tanki reservoir sebagai sumber pendiginan alami, nyalakan DAS untuk merekam data, memasukan tinta pewarna untuk mengetahui arah aliran, setelah data di dapat selanjutnya mengganti warna lapisan film pada panel solar thermal.

2.3 Perhitungan

Hasil pengamatan perbedaan temperatur air dan es di konversikan menjadi perpindahan kalor menyeluruh seperti persamaan (1).

1 1

1 2 2 2

( )

( ) ( )

A

B

q h A T TkA T T h A T T

x

= −

= − = −Δ

…………….. (1)

Dimana q (watt) adalah perpindahan kalor, h (W/m2,K) adalah koevisien perpindahan kalor konveksi, A (m2) adalah luas penampang, k (W/m,K) adalah konduktivitas thermal bahan. Sehingga perpindahan kalor dihitung dengan jalan membagi beda temperature menyeluruh dengan jumlah tahanan thermal, seperti yang diuraikan melalui korelasi (2)[5].

AhkAxAhTTq BA

21 /1//1 +Δ+−

=

…… (2),

Bahwa nilai 1/hA digunakan disini untuk menunjukkan tahanan konveksi. Aliran kalor menyeluruh sebagai hasil gabungan proses konduksi dan konveksi bisa dinyatakan dengan koefisien perpindahan kalor menyeluruh U, sehingga diperoleh korelasi (3)[6].

menyeluruhTUAq Δ= ……...………. (3),

Dimana U ialah total perpindahan kalor koefisien dan A (m2) ialah luas penampang. Kemudian korelasi (2) dan korelasi (3) diperoleh korelasi (4), sebagai berikut;

( )

ssair

esair

KL

h

TTAq

+

−=

2

...…….............……

(4).

Dimana q (watt) perpindahan kalor, L (m) adalah panjang, hair [W/m2,K] adalah koefisien konveksi air, dan Kss [W/m,K] adalah konduktifitas thermal bahan.

3. Hasil Dan Bahasan

3.1 Hasil pengukuran temperatur Hasil pengukuran pada dasarnya dilakukan pada 8 titik pengukuran, untuk penelitian ini hanya 3

titik pengukuran temperatur saja yang ditampilkan. Gambar 3, Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukkan hasil pengukuran Tair in ,Tair out, dan Tes serta rata-rata dari Tair in dan Tair out berdasarkan variasi warna film secara berturut-turut dari bening (non warna), kuning dan merah.

Page 132: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐34

Teknik

MESIN

0 1000 2000 3000 4000 5000

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

Tem

pera

tur d

idal

am ta

nki,

T [0 C

]

Waktu, t [s]

TC out TC inT air rata2 T es

0 1000 2000 3000 4000 50000

10

20

30

40

50

Tem

pera

tur d

idal

am ta

nki,

T [0 C

]

Waktu, t [s]

TCin

TCout Tair rata2

Tes

Gambar 3. Temperatur pada tanki reservoir untuk kaca bening (non warna)

Gambar 4. Temperatur pada tanki reservoir untuk kaca kuning

0 1000 2000 3000 4000 50000

10

20

30

40

50

Tem

pera

tur d

idal

am ta

nki,

T [0 C

]

Waktu (s)

TCout TCin Tes Trata2 air

Gambar 5. Temperatur pada tanki reservoir untuk kaca merah

Fenomena perubahan temperatur selama 90 menit dapat dijelaskan sebagai berikut, pada Gambar

3 untuk kaca bening (tanpa warna) penurunan TCin dan TCout dengan cepat dan cukup tajam dimulai dari 0 detik hingga sekitar 900 detik temperatur TCin dan TCout yang semula 400C dan 280C turun menjadi 360C dan 250C. kemudian temperatur mulai stabil, dari 900 detik hingga 5400 detik, meski pada detik ke 4700, temperatur turun sekitar 50C. Sedangkan pada Tes terjadi kenaikan temperatur dengan cepat dan cukup tajam dimulai dari 1900 detik hingga sekitar 3000 detik yang semula 60C naik menjadi 160C, kemudian temperatur naik kembali dan cukup tajam dari 3400 detik hingga 5400 detik yang semula 160C naik menjadi 210C. Sedangkan pada kaca kuning (Gambar 4) menunjukan penurunan pada TCin dengan cepat sehingga dimulai dari 0 detik hingga sekitar 900 detik yang semula 390C turun menjadi 360C, kemudian temperatur TCin perlahan terus naik dari 900 detik hingga 5400 detik, Tair out pada detik 3200 detik hingga 5400 detik menunjukan penurunan yang semula 390C turun menjadi 350C, pada Tes menunjukan kenaikan yang cukup cepat dari 4400 detik hingga 5400 detik yang semula 60C naik menjadi 90C. Sedangkan pada kaca merah (Gambar 5) Tes mengalami kenaikan yang relatif cepat dari 0 detik sampai detik terakhir.

3.2 Pembahasan

Page 133: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐35

Teknik

MESIN

a. Perpindahan Kalor Berdasarkan data pengukuran temperatur yang di tampilkan pada Gambar 3, Gambar 4 dan

Gambar 5. Kemudian perpindahan kalor berdasarkan perbedaan temperatur tersebut dimasukan ke dalam korelasi (4), dengan terlebih dahulu menghitung luas bidang (A) dan panjang bidang (L). Hasil perhitungan disajikan pada Gambar 6, Gambar 7 dan Gambar 8 untuk setiap variasi warna lapisan film.

0 1000 2000 3000 4000 50000

2

4

6

8

10

Perhitungan perpindahan kalor pada kaca bening Karakteristik linear q (t )= 4.40497+-6.62325E-4*t

Perp

inda

han

kalo

r, q

[wat

t]

Waktu, t [s]

R2=0.89847

0 1000 2000 3000 4000 50000

2

4

6

8

10

Perp

inda

han

kalo

r, q

[wat

t]Waktu, t [s]

Perhitungan perpindahan kalor pada kaca kuning Karakteristik linear q (t )=7.11657+-5.76627E-4*t

R2 = 0.96768

Gambar 6. kurva perpindahan kalor terhadap waktu pada kaca bening

Gambar 7. kurva perpindahan kalor terhadap waktu pada kaca kuning

0 1000 2000 3000 4000 50000

2

4

6

8

10

Perp

inda

han

Kal

or, q

[wat

t]

Waktu, t [s]

Perhitungan perpindahan kalor pada kaca merah Karakteristik linier q (t) = 9.3315-0.0003975*t

R2 = 0.82689

Gambar 8. kurva perpindahan kalor terhadap waktu pada kaca merah

Perpindahan kalor kaca bening (Gambar 6) menunjukan penurunan dari 0 detik sampai 5400 detik yang semula 5,18 watt turun menjadi 1,12 watt. Perpindahan kalor kaca kuning (Gambar 7) menunjukan penurunan dimulai dari 0 detik sampai 5400 detik yang semula 7,4 watt turun menjadi 3,8 watt. Perpindahan kalor kaca merah (Gambar 8) menunjukan penurunan dimulai dari 0 detik sampai 5400 detik yang semula 8,6 watt turun menjadi 6,7 watt. Gambar 6, Ganbar 7, Gambar 8 menunjukan perpindahan kalor menurun diakibatkan daerah es sudah terlalu banyak menerima kalor dari daerah air dan tidak terjadi keseimbangan antara masukan panas dari TH terhadap masukan dingin dari Tes. Korelasi linier perpindahan kalor terhadap waktu masing-masing warna yang diperoleh adalah: − Korelasi linier untuk kaca bening (tanpa warna):

q (t)= 4.40497+-6.62325E-4*t tingkat kepercayaan R2= 0,89847

− Korelasi linier untuk kaca kuning: q (t) =7.11657+-5.76627E-4*t tingkat kepercayaan R2= 0,96768

− Korelasi linier untuk kaca merah:

Page 134: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐36

Teknik

MESIN

q (t) = 9.3315-0.0003975*t tingkat kepercayaan R2= 0,82689

b. Perbandingan perpindahan kalor terhadap warna lapisan film

Hasil perhitungan berdasarkan perbedaan warna lapisan film menunjukan nilai perpindahan kalor yang berbeda antara warna bening (non warna), warna kuning dan warna merah seperti yang ditunjukan pada Gambar 9.

0 1000 2000 3000 4000 50000

2

4

6

8

10

12

14

16

qp=4.4573-0.0006914*t

qk = 7.11656-0.0005766*t

qp, laju perpindahan kalor (non warna) qk, laju perpindahan kalor kaca kuning qm, laju perpindahan kalor kaca merah

Perp

inda

han

kalo

r, q

[wat

t]

Waktu, t [s]

qm = 9.3315-0.0003975*t

Gambar 9 kurva perbandingan perpindahan kalor terhadap warna lapisan film

Gambar 9 menunjukan kurva perbandingan nilai perpindahan kalor berdasarkan perbedaan warna lapisan film, dimana terlihat bahwa perpindahan kalor kaca merah berada di atas dengan temperatur 0 detik 8,6 watt, kaca kuning di tengah dengan temperatur 0 detik 7,4 watt dan kaca bening paling bawah dengan temperatur 0 detik 5,18 watt. Hal ini disebabkan oleh perbedaan intensitas cahaya terhadap warna, semakin gelap warna lapisan film maka semakin besar panas yang diterima. 4. Kesimpulan

Hasil studi eksperimental perpindahan kalor dibagian dingin berdasarkan variasi warna lapisan film pada panel sistem solar thermal, menyimpulkan bahwa karakteristik perpindahan kalor dipengaruhi oleh perbedaan temperatur pada daerah tanki yaitu daerah air dan es, kemudian perpindahan kalor tertinggi 9 watt dan beda temperatur rata-rata 29,290C untuk lapisan warna merah,. Perpindahan kalor minimal terjadi pada lapisan kaca bening (non warna) 1,12 watt dan beda temperatur rata-rata 9,290C. Intensitas cahaya terhadap warna lapisan film sangat mempengaruhi perpindahan kalor.

Daftar Notasi

q : Perpindahan kalor [watt] L : Panjang permukaan [m] Kss : Konduktivitas termal ss 304 [W/m.K] A : Luas [m2] cp : Kalor spesifik air [Kj/kg.K] T : Temperatur [oC] U : Koefisien perpindahan kalor [w/m.K] Δx : Tebal dinding [m] hair : Koefisien konveksi air [w/m2K]

Page 135: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐37

Teknik

MESIN

Ucapan Terimaksih Penulis mengucapkan terimaksih kepada Dosen peneliti, Dosen pembimbing dan teman-teman mahasiswa EDfEC Research Group seperjuangan yang telah memberikan dorongan dan motivasi sehingga makalah ini bisa terselaesaikan. Daftar Pustaka [1] The National Renewable Energy Laboratory, Heat Your Water with The Sun, A Consumer’s Guide,

Energy Effieciency and Renewable Energy, DOE/GO-102003-1824, U.S. Department of Energy, USA, December 2003.

[2] http://kamissore.blogspot.com/2010/01/cara-kerja-wika-solar-heater.html, 24 September 2011. [3] Kays, William; Crawford, Michael; Weigand, Bernhard, Convective Heat and Mass Transfer, 4E.

McGraw-Hill Professional, New York, 2004. [4] Mauludin, Achmad Saleh, Analisis perpindahan panas konveksi pada air di dalam tangki reservoir

berbasis sistem solar heater, fakultas teknik UIKA Bogor, Bogor, 2010. [5] James R. Welty, Charles E. Wiks, Robert E. Wilson, Gregory Rorrer, Fundamental of Momentum,

Heat, and Mass Transfer, 4th edition, John & Sons, Inc., New York, 2002. [6] Holman, J.P, Heat Transfer (fifth edition), McGrow-Hill book company, New York, 1981.

Page 136: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐38

Teknik

MESIN

Analisis Distribusi Temperatur 2-D Dan Fluks Kalor

Berdasarkan Variasi Temperatur Selama Proses Pemanasan Pada Pelat SUS316 Di Bagian Uji Heating-02

Iwan Kurniawan1, Mulya Juarsa1,2, Edi Marzuki1

Susyadi2, Ainur Rosidi2, Ismu Handoyo2.

1Engineering and Device for Energy Conversion (EDfEC) Laboratory Fakultas Teknik Universitas Ibn Khaldun Bogor

Jl. KH. Soleh Iskandar Bogor – Jawa Barat INDONESIA [email protected]

2Laboratorium Termohidrolika Eksperimental PTRKN BATAN

Kawasan PUSPIPTEK Serpong Tangerang

Abstrak Distribusi temperatur 2 dimensi merupakan konsep dasar perpindahan kalor, untuk mengetahui perbedaan temperatur suatu benda terhadap kordinat x, y. HeaTiNG-02 (Heat Transfer in Narrow Gap), merupakan bagian uji eksperimen kecelakaan parah pada reaktor nuklir, berupa celah sempit hasil lelehan teras. Studi eksperimental dilakukan untuk menganalisis korelasi kenaikan temperatur, profil distribusi temperatur 2 dimensi dan 1 dimensi pada pelat SUS316 selama pemanasan radiasi, perhitungan kenaikan temperatur dan fluks kalor 2dimensi dengan metode analitik, lalu membandingkan dengan kenaikan temperatur eksperimen. Eksperimen dilakukan dengan variasi temperatur akhir eksperimen 100ºC, 200ºC, 300ºC, 400ºC, 500ºC. Hasil eksperimen dan perhitungan menggunakan perpindahan kalor 2 dimensi pada pelat vertikal, korelasi kenaikan temperatur dalam bentuk eksponensial grow 2, distribusi temperatur 2 dimensi mengarah dari titik tengah pelat ke titik terluar pelat, distribusi temperatur 1 dimensi menyerupai grafik sinusoida, kenaikan temperatur analitik untuk setiap variasi temperatur akhir eksperimen mulai terlihat pada detik ke-2500, penyimpangan terbesar antara temperatur analitik terhadap temperatur eksperimen terjadi pada eksperimen temperatur akhir 500ºC, pada titik-titik termokopel TC-2A 172%, TC-2B 181%, TC-2C 176%, fluks kalor terkecil pada posisi termokopel TC-9A sebesar 0,06 kW untuk temperatur akhir 400°C, sedangkan fluks kalor terbesar pada posisi termokopel TC-6B sebesar 1305,96 kW untuk temperatur akhir 500°C.

Kata kunci: distribusi, 2 dimensi, fluks kalor, pelat, profil.

1. Pendahuluan

Energi merupakan kebutuhan pokok dalam kelangsungan hidup manusia modern, diperkirakan beberapa tahun yang akan datang terjadi krisis energi. Pemanfaatan energi baru, pemerintah berencana membangun PLTN, tetapi masih kita ingat potensi bahaya nuklir seperti, kecelakaan di Three Mile Island Unit 2 (TMI-2), Amerika Serikat, tahun 1979 dan kejadian di Chernobyl, Ukraina, tahun 1986 [1, 2]. Kecelakaan terjadi karena adanya celah sempit hasil lelehan teras dengan dinding bejana reaktor. HeaTiNG-02 (Heat Transfer in Narrow Gap), merupakan bagian uji yang digunakan untuk simulasi eksperimen kecelakaan parah yang membentuk celah sempit antara lelehan teras di bagian bawah bejana dengan dinding bejana reaktor nuklir. Beberapa penelitian terkait keselamatan nuklir seperti yang telah dilakukan oleh F. Tanaka, J. Zhang, M. Juarsa, K. Mishima [3] kurva pendidihan pada waktu pembasahan ulang dinding, menjelaskan evaluasi CHF pada perpindahan kalor pada celah sempit berdasarkan data eksperimen M. Juarsa sebelumnya. Perpindahan kalor pada celah sempit oleh M. Murase et al [4], menjelaskan

Page 137: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐39

Teknik

MESIN

penurunan korelasi perpindahan kalor pada celah sempit. Studi eksperimental quenching pada celah sempit oleh M. Juarsa dan Antariksawan [5], menjelaskan pengaruh batasan aliran berlawanan arah (CCF) pada perpindahan panas pendidihan dalam celah sempit. Paper HeaTiNG-02 ini mempunyai tujuan memperoleh karakteristik kenaikan temperatur hasil eksperimen, profil distribusi temperatur 2 dimensi dan 1 dimensi berdasarkan hasil eksperimen, karakteristik kenaikan temperatur hasil perhitungan analitik, dan nilai penyimpangan, karakteristik fluks kalor hasil perhitungan. 2 Metodologi

Fasilitas eksperimen yang ada di laboratorium Termohidrolika Eksperimental PTRKN BATAN di kawasan Puspitek Serpong Tangerang, salah satunya adalah HeaTiNG-02 telah dikonstruksi pada tahun 2008. Bagian uji HeaTiNG-02 berbentuk pelat rektangular SUS316 yang dipasang vertical, dipasang 30 susunan termokopel matrik 3×10. bagian uji HeaTiNG-02 berdimensi panjang 1100 mm, lebar 50 mm. Deskripsi lay-out eksperimen HeaTiNG-02 ditunjukkan Gambar 1.

Gambar 1 Layout-Eksperimen H2

Gambar 2 Foto bagian uji HeaTiNG-02 Gambar 3 Susunan termokopel

Page 138: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐40

Teknik

MESIN

Kenaikan daya heater dilakukan secara manual dengan menaikan tegangan masukan heater menggunakan voltage regulator. Daya heater dihitung menggunakan persamaan daya, seperti ditunjukkan persamaan (1).

cosP VI ϕ= …………………………… (1) 2.1. Prosedur Eksperimen

Eksperimen dimulai dengan memanaskan heater, daya heater dinaikan secara bertahap, dengan variasi kenaikan tegangan masuk heater 20V/20 menit sampai tercapai temperatur akhir eksperimen. Data kenaikan temperatur setiap termokopel selama pemanasan direkam sampling 1 data per-detik pada 24 kanal oleh sistem akuisisi data (DAS) WinDAQ T1000. Eksperimen dilakukan berulang-ulang dengan variasi temperatur akhir eksperimen 100ºC, 200ºC, 300ºC, 400ºC, 500ºC, dalam makalah ini hanya menampilkan 500ºC. 2.2. Perhitungan

Hasil pengamatan kenaikan temperatur eksperimen disubtitusikan ke persamaan distribusi temperatur 2 dimensi pada pelat vertikal [6, 7], seperti ditunjukkan persamaan (2),

( ) ( )

( ) ( )

( ) ( )

0

0

4 1,2 1

2 1 sinh

2 1 2 1sin sinh (2)

n

T TT x y T

n Hn

b

n x n yb b

π π

π π

∞∞

∞=

−= +

⎡ ⎤++ ⎢ ⎥

⎣ ⎦⎡ ⎤ ⎡ ⎤+ +

× ⎢ ⎥ ⎢ ⎥⎣ ⎦ ⎣ ⎦

Laju perpindahan kalor pada pelat selama pemanasan diperoleh dengan mensubtitusikan data kenaikan temperatur eksperimen kedalam persamaan Laju perpindahan kalor 2 dimensi, seperti ditunjukkan persamaan (3).

( ) ( ) ( )

( )0

0" 4 2 1coth

2 1sin (3)

n

k T T n Hq x

b b

n xb

π

π

∞∞

=

⎡ ⎤− += − ⎢ ⎥

⎣ ⎦⎡ ⎤+

× ⎢ ⎥⎣ ⎦

Konduktifitas termal merupakan fungsi temperatur yang berubah sesuai dengan temperature, setelah difitting menggunakan program Origin V.8.0 didapat korelasi, seperti yang ditunjukkan sebagai berikut [8]: k (T) = 8,93571+0,01546×T (4) kemudian korelasi konduktivitas termal disubtitusikan ke dalam persamaan 2, sehingga diperoleh korelasi (4), ditunjukkan seperti persamaan (5).

( ) ( )

( ) ( )

0"

0

04(8,93571 (0,01546 ))

2 1 2 1coth sin (5)

n

T T Tq x

bn H n x

b bπ π

=

+ × −= −

⎡ ⎤ ⎡ ⎤+ +× ⎢ ⎥ ⎢ ⎥

⎣ ⎦ ⎣ ⎦∑

Page 139: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐41

Teknik

MESIN

3. Hasil Diskusi 3.1 Kenaikan temperatur Eksperimen

Kenaikan temperatur yang direkam pada 24 kanal DAS, diplot dalam bentuk grafik kenaikan temperatur eksperimen menggunakan program Origin V.8.0. Fenomena kenaikan temperatur untuk setiap temperatur akhir eksperimen terdapat beberapa kesamaan, dijelaskan sebagai berikut: (a) kenaikan temperatur mulai terlihat signifikan mulai detik ke-2500 dengan daya heater berkisar 800 W pada tegangan masuk 60V, (b) kenaikan temperatur terbesar berada pada posisi termokopel yang mendekati titik tenga pelat. Grafik kenaikan temperatur eksperimen untuk setiap temperatur akhir eksperimen ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Kenaikan temperatur hasil eksperimen Gambar 4 Kenaikan temperatur hasil eksperimen Pembahasan Korelasi kenaikan temperstur eksperimen

Gambar kenaikan temperatur eksperimen yang ditunjukkan pada Gambar 2 dipisahkan setiap termokopel, lalu dianalisis menggunakan program Origin V.8.0, Gambar kurva karakteristik kenaikan temperatur eksperimen vs waktu ditunjukkan pada Gambar 5, sehingga diperoleh korelasi kenaikan temperatur berupa eksponensial grow 2, seperti berikut:

: 21,090 , ,⁄ 16,910 , ,⁄ 32,348

Gambar 5 Kurva karakteristik kenaikan temperatur eksperimen vs waktu Untuk temperatur akhir 500ºC

Berdasarkan data pengukuran kenaikan temperatur setiap posisi termokopel pada pelat SUS316

seperti yang ditunjukkan Gambar 2, data tersebut dimasukan ke dalam origin lalu dirubah ke bentuk

TC‐6B

200ºC 500ºC

Page 140: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐42

Teknik

MESIN

matrik 3×10 sesuai dengan posisi termokopel, selanjutnya diplot dalam bentuk kontur warna yang merepresentasikan profil distribusi temperatur 2 dimensi pelat SUS316. Profil distribusi temperatur 2 dimensi ditunjukkan pada Gambar 6.

(a) (b)

Gambar 6 Profil distribusi temperatur 2 dimensi Profil distribusi temperatur 1 dimensi Sebagai perbandingan kebenaran Gambar profil 2 dimensi, dibuat profil 1 dimensi berdasarkan kolom matrik pada posisi termokopel dari data hasil pengukuran kenaikan temperatur. Profil distribusi temperatur 1 dimensi ditunjukkan pada Gambar 7 (a), 7(b) dan 7(c).

(a) (b)

Gambar 7 Profil distribusi 1 dimensi untuk temperatur akhir 500ºC

(c)

Page 141: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐43

Teknik

MESIN

Fenomena kenaikan temperatur untuk setiap temperatur akhir eksperimen terdapat beberapa kesamaan, dijelaskan sebagai berikut: (a) kenaikan temperatur mulai terlihat signifikan mulai detik ke-2500 dengan daya heater berkisar 3000 W pada tegangan masuk 60V, (b) kenaikan temperatur terbesar berada pada posisi termokopel yang mendekati titik tenga pelat, (c) Karakteristik kenaikan temperatur hasil perhitungan analitik

Data pengukuran kenaikan temperatur setiap posisi termokopel pelat SUS316 disubtitusikan pada persamaan untuk setiap posisi termokopel dari detik-1 sampai detik temperatur akhir eksperimen tercapai. Hasil perhitungan analitik diplot dalam bentuk grafik kenaikan temperatur analitik dan Grafik perbandingan kenaikan temperatur analitik terhadap kenaikan temperatur eksperimen. Grafik perbandingan kenaikan temperatur analitik terhadap kenaikan temperatur eksperimen ditunjukkan pada Gambar 8.

(a) (b)

Gambar 8 Penyimpangan temperatur hasil analitik terhadap temperatur eksperimen Fluks kalor

Hasil dari pengamatan eksperimen yaitu kenaikan temperatur pada pelat SUS316 dijadikan

acuan untuk menghitung besar fluks kalor yang terjadi pada pelat SUS316 selama proses pemanasan radiasi. Data kenaikan temperatur disubtitusikan ke dalam persamaan (5). Kurva laju perpindahan kalor berdasarkan data eksperimen terhadap waktu untuk temperatur akhir 500°C, ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9 Kurva laju perpindahan kalor berdasarkan data eksperimen terhadap waktu untuk temperatur akhir 500°C

Page 142: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐44

Teknik

MESIN

4. Kesimpulan Hasil analisis distribusi temperatur 2 dimensi dan fluks kalor di bagian uji HeaTiNG-02,

disimpulkan bahwa: 1. Korelasi kenaikan temperatur eksperimen pemanasan awal pelat SUS316 adalah eksponensial grow 2.

Profil distribusi temperatur 2 dimensi pada bagian uji tidak homogen, dengan arah fluks kalor dari posisi termokopel yang mendekati titik tengah pelat SUS316 ke posisi termokopel titik terluar pelat SUS316, profil distribusi temperatur 1 dimensi terhadap sumbu kordinat y menyerupai grafik sinusoida, kurva profil distribusi temperatur 1 dimensi terbesar dicapai pada bagian tengah bagian uji.

2. Kenaikan temperatur hasil perhitungan analitik terhadap distribusi hasil eksperimen terjadi penyimpangan, penyimpangan terbesar terjadi pada eksperimen untuk temperatur akhir 500ºC pada titik-titik termokopel TC-2A 172%, TC-2B 181%, TC-2C 176%, akibat terdapat udara yang melaui ceramic blanket, plenum atas yang mempunyai penambahan luas, sedangkan pada titik-titik termokopel (TC-5A, TC-6B, TC-5C) yang dipakai sebagai acuan dalam perhitungan analitik tidak terjadi penyimpangan. Besarnya laju perpindahan kalor terkecil pada posisi termokopel TC-9A sebesar 0,06 kW untuk temperatur akhir 400°C, dimana besarnya selisih temperatur TC-6B terhadap TLingkungan hanya 0,3°C. Laju perpindahan kalor terbesar pada posisi termokopel TC-6B sebesar 1305,96 kW untuk temperatur akhir 500°C, dimana besarnya selisih temperatur TC-6B terhadap TLingkungan mencapai 468,65°C.

Daftar Notasi B : Lebar pelat rektangular [m] Cos ϕ : Sudut kemiringan [°] H : Panjang pelat rektangular [m] I : Arus [A] K : Konduktivitas termal [W/m.K] P : Daya [W] q” : Fluks kalor [W/m2] To : Temperatur permukaan konstan [°C, K] T∞ : Temperatur lingkungan [°C, K] V : Tegangan [V] X : Jarak termokopel terhadap sumbu x [m] Y : Jarak termokopel terhadap sumbu y [m] Σ : Konstanta boltzman [W/m2.K4] Daftar Pustaka [1] Guy Gugliotta, Putting a Lid on Chernobyl, Washington Post, Sunday, December 29, 2002; Page

A01 The Accident At Three Mile Island, http://www.nrc.gov/reading-rm/doc-collections/fact-sheets/3mile-isle.pdf.

[2] J. Zhang, F. Tanaka, M. Juarsa, K. Mishima, Calculation of Boiling Curves During Rewetting of a Hot Vertical Narrow Channel, Proceeding of NURETH-10, Seoul-Korea, October 5-9, 2003.

[3] M. Murase et al., Heat Transfer Models in Narrow Gap, Proceedings of ICONE 9, Nice (France), 8-12 April, 2001.

[4] M. Juarsa dan A.R. Antariksawan, Studi Eksperimental Quenching pada Celah Sempit, Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia, Vol.4, Edisi Khusus 4, Agustus, 2003.

[5] Poulikakos, D., Conduction Heat Transfer, Prentice-Hall, New Jersey, 1994. [6] F. B. Cheung, Sang B. Kim, Critical Heta Flux in Inclined Rectangular Narrow Long Channel,

International Conference on Advance Power plants, Seoul, 2005. [7] Incropera, Frank P., DeWitt, David P., Fundamentals of Heat Transfer, John Wiley and Sons, Inc,

Canada, 1981.

Page 143: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐45

Teknik

MESIN

Analisis Perubahan Tekanan Uap Selama Proses Pendinginan Pada Simulator

Sungkup Reaktor (FESPECo)

Luqmanul Hakim1, Ade Satria1, Wahyu1, Yogi Sirodz Gaos1, Edi Marzuki1 Mulya Juarsa1,2, Hendro Tjahjono2, Ismu Handoyo2, Kiswanta2, Ainur Rosidi2

1Engineering and Devices for Energy Conversion (EDfEC) Research Group

Fakultas Teknik Univeristas Ibn Khaldun Bogor Jl. KH. Soleh Iskandar Bogor [email protected]

2Laboratorium Termohidrolika Eksperimental PTRKN BATAN Kawasan PUSPIPTEK Serpong Tangerang

@batan.go.id

Abstrak

Masalah keselamatan dan keamanan PLTN saat ini menjadi perhatian yang serius, terkait kecelakaan nuklir yang pernah terjadi. Kecelakaan reaktor antara lain, kecelakaan kehilangan aliran pendingin (loss of flow accident, LOFA) dan kecelakaan kehilangan pendingin (loss of coolant accident, LOCA), dari jenis kecelakan diatas dapat disimpulkan bahwa temperatur sangat tinggi didalam reaktor, kita ketahui temperatur akan memacu tekanan sehingga dapat menyebabkan kecelakan yang lebih berbahaya lagi. Kecelakaan pada TMI-2 (jenis PLTN air bertekanan, PWR) tidak menyebabkan lepasnya radiasi ke lingkungan karena sistem keselamatan pada sungkup reaktor bekerja dengan baik. Sedangkan pada peristiwa kecelakaan di PLTN Dai-ichi Fukushima, radiasi terlepas ke lingkungan karena jebolnya sungkup reaktor akibat peristiwa ledakan hidrogen. PLTN Dai-ichi adalah tipe PLTN jenis air didih (BWR) dan sistem keselamatannya sungkupnya berbeda dengan jenis PWR. Sungkup reaktor PWR hingga saat ini tingkat keselamatannya masih terus dievaluasi dan ditingkatkan. FESPECo adalah sebuah fasilitas eksperimen simulasi pendinginan pada sungkup reaktor. Sebuah sarana yang dapat mensimulasikan akibat adanya pembebanan internal berupa perubahan tekanan akibat uap air dan terkondensasi selama proses pendinginan pada sistem primer, maupun pipa uap. Lower plenum (Bagian benampung air) berdiameter 70 cm, tinggi 40 cm, Flanges (Sambungan), Jendela (Kaca Pantau) dengan lebar 27 cm, tinggi 70 cm, Shell (Badan) berdiameter 100 cm, tinggi 100 cm, dan Sungkup (Bagian atas ) berdiameter 100 cm dengan bentuk sentengah bola. Menggunakan alat ukur Preassure transmitter 2 (dua) unit, Thermocouple 7 (tujuh) unit, Bahan Carbon Steel ASTM 1020 dengan desain Tekanan 5 bar (5 x 105 N/m2) dan Temperatur 150oC (423oK). Pada proses eksperimen daya pompa divariasikan mulai dari, 5Hz, 15Hz, 25Hz dan 35Hz, variasi daya pompa tersebut dilakuakn untuk memperoleh hasil perbandingan disetiap beda aliran (debit) dan Volum air, sehingga diperoleh analisi dari setiap eksperimen diatas bahwa proses ideal gas yang bekerja didalam sistem FESPECo adalan Polytropic proses dikarenakan parameter Temperatur, Tekanan, Volum dan Perbandingan Cp/Cv tidak konstan. Kata-kata kunci: Temperatur, Tekanan, Volum, Cp/Cv, Debit Air, Ideal Gas, Polytropic Proses

1. Pendahuluan

Kajian mengenai kecelakaan kehilangan aliran pendingin (loss of flow accident, LOFA), dan lain-lain hingga terjadinya kecelakaan parah (severe accident), yaitu terjadinya pelelehan teras reactor. Salah satu kecelakaan PLTN di dunia yang menjadi dasar pemikiran dan perubahan akan paradigma keselamatan PLTN adalah kecelakaan reaktor nuklir Three Mile Island unit 2 (TMI-2), Pensylvania USA, pada bulan Maret 1979[1] dan peristiwa kecelakaan nuklir yang baru-baru ini terjadi di PLTN Dai-ichi di Fukushima Jepang[2].

Page 144: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐46

Teknik

MESIN

Kecelakaan pada TMI-2 (jenis PLTN air bertekanan, PWR) tidak menyebabkan lepasnya radiasi ke lingkungan karena sistem keselamatan pada sungkup reaktor bekerja dengan baik. Sedangkan pada peristiwa kecelakaan di PLTN Dai-ichi Fukushima, radiasi terlepas ke lingkungan karena jebolnya sungkup reaktor akibat peristiwa ledakan hidrogen. PLTN Dai-ichi adalah tipe PLTN jenis air didih (BWR) dan sistem keselamatannya sungkupnya berbeda dengan jenis PWR. Sungkup reaktor PWR hingga saat ini tingkat keselamatannya masih terus dievaluasi dan ditingkatkan[3]. Gas ideal, kita ketahui bahwa dalam gas sejati, hanya dalam limit tekanan mendekati nol sajalah persamaan keadaanya mengambil bentuk yang sederhana PV = nRT. Energy internal gas sejati merupakan fungsi tekanan maupun temperatur (T2/T1)=(P2/P1), dalam proses polytropic beberapa parameter seperti Temperatur, Tekanan, Volum dan jumlah mol dianggap tidak konstan, dikarenakan pada prosesnya polytropic ada parameter diata yang masuk menambah dan ada parameter yang hilang atau berkurang (pada prosesnya ada energy yang masuk dan ada energy yang keluar). Setiap sampel kecil gas terdiri atas sangat banyak molekul, banyaknya molekul per mol gas disebut bilangan Avogadro NA. molekul gas ideal dianggap menyerupai bola keras yang kecil, diameter molekul adalah dalam orde 2 atau 3 x 10-10 m, dalam keadaan baku, jarak rata-rata antar molekul sekitar 50 kali diameternya. Molekul gas ideal dianggap tidak menimbulkan gaya tari atau tolak, bagian dinding yang ditumbuk molekul dianggap rata, bila tidak ada medan eksternal molekul akan terdistribusi merata kesuluruh wadahnya dan kerapatannya dianggap sama, Perbandingan Cp/Cv sama yang bergerak kesitiap arah yang berbeda karena tidak ada arah istimewa dalam gerakan molekul, tapi tidak semua molekul berkelajuan sama, sehingga kelajuannya dapat dianggap meliputi kisaran nol hingga kelajuan cahaya[4].

Makalah ini mengandung tujuan penelitian, yaitu memperoleh identifikasi perubahan tekanan selama proses pendinginan dengan memvariasikan debit air yang diperoleh dari perubahan frekuensi putaran pompa. 2. Metode Eksperimen 2.1. Fasilitas Eksperimen

FESPECo terdiri atas Lower plenum berdiameter 70 cm, tinggi 40 cm, Flanges, Kaca Pantau, lebar 27 cm, tinggi 70 cm, Shell berdiameter 100 cm, tinggi 100 cm, dan Sungkup berdiameter 100 cm (bentuk sentengah bola). Menggunakan alat ukur Preassure transmitter 2 (dua) unit, Thermocouple 7 (tujuh) unit, Bahan Carbon Steel ASTM 1020 dengan desain Tekanan 5 bar (5 x 105 N/m2) dan Temperatur 150oC (423oK) [5]. Eksperimen akan dilakukan pada frekuensi pompa 5Hz, 15Hz, 25Hz dan 35Hz. untuk setiap eksperimen, air dengan volum 30 liter dipanaskan sampai tekanan mencapai 3 Bar. Data debit air diperoleh dari pembacaan flow meter yang dicatat secara manual dan digunakan sebagai acuan untuk mengidentifikasi volum air yang masuk selama proses pendinginan untuk perbandingan proses disetiap variasi daya pompa dan data tekanan diperoleh dari preassure transmitter yang terhubung dengan PLC sebelum data terbaca oleh computer. Preassure transmitter membaca perubahan tekanan yang terjadi selama proses eksperimen dan Thermocouple membaca perubahan temperatur yang terjadi, kedua alat ukur tersebut bertipe absolute, setiap nilai yang terbaca merupakan nilai perubahan yang terjadi didalam kontaimen. Geometri tampak depan fasilitas uji FESPECo, seperti ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Geometri tampak depan FESPECo

Page 145: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐47

Teknik

MESIN

2.2. Prosedur Eksperimen

Eksperimen dimulai dengan mendistribusikan panas kedalam FESPECo dari 4 unit heater dengan jumlah total daya 7500 W yang terpasang pada lower plenum (bagian penampung air) untuk memanaskan air hingga menguap, penguapan air tersebut akan terbaca oleh komputer dengan jumlah tekanan didalam terus bertambah dari proses pemanasan tersebut, sampai tekanan mencapai 3 Bar, heater dimatikan bersamaan dengan pompa dinyalakan untuk mengalirkan air kedalam kontaimen melalui sprayer. Proses tersebut terus berulang di setiap eksperimen dengan variasi daya pompa yang berbeda, untuk frekuensi 15Hz, 25Hz dan 35Hz. 2.3. Perhitungan

Untuk dapat melakukan identifikasi Volum air yang masuk kedalam kontaimen selama proses pendinginan, langkah perhitungan yang harus dilakukan, yaitu seperti persamaan (1).

VQt

= ……………………………………… (1)

dengan Q [m3/s] adalah debit air, V [dm3] adalah Volum air, dan t [s] adalah Waktu. Debit dan waktu sudah diketahui dari pencatatan secara manual, selanjutnya menghitung volum air yang masuk kedalam kontaimen selama pendinginan, dapat dihitung dengan persamaan diatas, sehingga volum air yang masuk selama eksperimen dapat diketahui. Untuk dapat melakuakan identifikasi nilai perbandingan disetiap eksperimen dengan memvariasikan daya pompa pada setiap proses pendinginan, langkah perhitungan yang harus dilakukan, yaitu seperti persamaan (2).

1

2 2

1 1

11

nnT P

T P

nA

⎛ ⎞ ⎛ ⎞=⎜ ⎟ ⎜ ⎟

⎝ ⎠ ⎝ ⎠

=−

…………………………… (2)

Dengan T2 adalah temperatur kedua dari data temperatur sebelumnya yaitu T1, sebagai variable

pembaginya P2 adalah tekanan kedua dari data tekanan sebelumnya yaitu P1, dan n adalah perbandingan cp dan cv. Data temperatur dan tekanan adalah data yang diperoleh selama eksperimen yang terbaca di computer, dengan persamaan diatas dapat kita ketahui perubahan parameter temperatur, tekanan, dan nilai n adalah nilai perbandingan disetiap variasi daya pompa. 4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Frekuensi pompa dan volum

Data volum air, diperoleh dari air yang tertampung pada lower plenum dari hasil eksperimen berdasarkan perubahan frekuensi putaran pompa secara kontinyu yang dikontrol melalui inverter pada panel kontrol utama. Hubungan antara frekuensi putaran pompa dan volum, seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hubungan antara frekuensi putaran pompa dan Volum air

Daya Pompa. f. [Hz] V air [liter] 5 Hz 32.6

15 Hz 37.6 25 Hz 44.2 35 Hz 48.7

Ditunjukkan pada Tabel 1, bahwa peningkatan volum air diakibatkan oleh kenaikan frekuensi

putaran pompa, dimana semakin tinggi putaran pompa, maka volum air yang dihasilkan semakin banyak. Hubungan antara volum air yang merupakan fungsi frekuensi putaran pompa sebagai variabel

Page 146: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐48

Teknik

MESIN

ditampilkan dalam bentuk kurva. Kurva hubungan antara frekuensi putaran pompa terhadap volum air, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

5 Hz 15 Hz 25 Hz 35 Hz30

35

40

45

50

Volu

me,

V. [

dm3 ]

Frekuensi Pompa, f. [Hz]

V = 27.05 + 5.49 * f Karakterisasi

R^2 = 0.

9975

3

Gambar 2 Kurva hubungan antara Frekuensi putaran pompa terhadap Volum air

Ditunjukkan pada Gambar 2, bahwa kenaikan volum air dipengaruhi oleh kenaikan frekuensi pompa secara kontinyu. Keadaan tersebut timbul karena frekuensi putaran pompa dinaikkan. Berdasarkan kurva hubungan antara frekuensi putaran pompa terhadap debit air pada Gambar 2, diperoleh korelasi linier V [dm3] = 27.05 + 5.49 * f [Hz]. Kurva karakterisasi tersebut kemudian digunakan untuk perbandingan disetiap eksperimen dengan perubahan variasi daya pompa, dapat diketahui bahwa volum didalam kontaimen selama proses pendinginan tidak konstan dikarenakan adanya penambahan volum air, sehingga tekanan, temperatur, volum dan Perbandingan Cp/Cv akan mengalami perubahan pada saat proses pendinginan. 3.2. Hasil Perbandingan Tekanan dan Temperatur

Perbandingan T2/T1 dan P2/P1 dilakukan 5 Hz, 15 Hz, 25 Hz, dan 35 Hz, untuk memperoleh nilai n pada setiap proses. Variasi daya pompa telah ditentukan sebelumnya, dengan acuan perbedaan volum air dalam kontaimen di setiap daya pompa. Perhitungan perbandingan ini ditujukan agar dapat tergambarkan kejadian dan terkarakterisasi proses yang terjadi selama eksperimen, terutama selama proses pendinginan. Sehingga didapat nilai perbandingan antara nteori dengan neksperimen pada setiap variasi.

0.6 0.8 1.0 1.20.6

0.8

1.0

1.2

Polytropic Proses pada Q = 0.0892 [dm³/s]nexp = 1.0521

nteori = 1.3

Perb

andi

ngan

Tem

pera

tur,

T2/

T1

Perbandingan Tekanan, P2/P1

Posisi PT1 dengan TC1

0.6 0.8 1.0 1.20.6

0.8

1.0

1.2Posisi PT2 dengan TC1

Polytropic Proses pada Q = 0.0892 [dm³/s]nexp = 1.0521

nteori = 1.3

Perb

andi

ngan

Tem

pera

tur,

T2/

T1

Perbandingan Tekanan, P2/P1

Gambar 3 Kurva Perbandingan T2/T1 dan P2/P1 pada proses pendinginan dengan daya pompa 5 Hz selama 600 detik

Gambar 4 Kurva Perbandingan T2/T1 dan P2/P1 pada proses pendinginan dengan daya pompa 5 Hz selama 600 detik

Ditunjukkan pada Gambar 3, bahwa nilai n berbeda antara nilai nteori dengan nilai neksperimen, dari

kurva dilihat bahwa Perbandingan Cp/Cv tidak konstan didalam kontaimen, karena pada saat pendinginan ada penambahan volum air kedalam kontaimen dengan Q=0.0892 [dm3/s], sehingga Perbandingan Cp/Cv

Page 147: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐49

Teknik

MESIN

berubah. Diperoleh juga kurva perbandingan T2/T1 dan P2/P1 pada posisi PT2 dengan TC1, kurva ditampilkan pada Gambar 4.

Ditunjukkan pada Gambar 4, bahwa pada posisi PT1 dan PT2 tidak terjadi perubahan Perbandingan Cp/Cv, disimpulkan bahwa didalam kontaimen kerapatan molekul adalah sama, molekul gas ideal dianggap menyerupai bola keras yang kecil, di temperatur dan tekanan gas ideal. Diameter molekul adalah dalam orde 2 atau 3 x 10-10 m. Dalam keadaan baku, jarak rata-rata antara molekul sekitar 50 kali diameternya. Setiap saat terdapat molekul yang bergerak ke satu arah dalam jumlah yang sama dengan yang bergerak ke arah lainnya[4].

0.6 0.8 1.0 1.20.6

0.8

1.0

1.2Posisi PT1 dengan TC1

Polytropic Proses pada Q = 0.2612 [dm³/s]nexp = 1.1099

nteori = 1.3

Perb

andi

ngan

Tem

pera

tur,

T2/

T1

Perbandingan Tekanan, P2/P1

0.6 0.8 1.0 1.20.6

0.8

1.0

1.2Posisi PT2 dengan TC1

Polytropic Proses pada Q = 0.2612 [dm³/s]nexp = 1.1099

nteori = 1.3

Perb

andi

ngan

Tem

pera

tur,

T2/

T1

Perbandingan Tekanan, P2/P1

Gambar 5 Kurva Perbandingan T2/T1 dan P2/P1 pada proses pendinginan dengan daya pompa 15 Hz selama 600 detik

Gambar 6 Kurva Perbandingan T2/T1 dan P2/P1 pada proses pendinginan dengan daya pompa 15 Hz selama 600 detik

Ditunjukkan pada Gambar 5, kurva perbandingan T2/T1 dan P2/T1 didapat nilai neksperimen

bertambah dari variasi daya pompa sebelumnya, diposisi 15 Hz volum air yang masuk bertambah besar dengan debit aliran Q=0.2612 [dm3/s] diketahui aliran dan volum kontinu bertambah naik, nilai n mengalami perubahan dari proses sebelumnya. Diperoleh juga kurva perbandingan T2/T1 dan P2/P1 pada posisi PT2 dengan TC1, kurva ditampilkan pada Gambar 5.

Ditunjukkan pada Gambar 6, kurva perbandingan T2/T1 dan P2/T1 pada posisi PT2 dengan TC1 nilai neksperimen posisi PT1 dan TC1 tidak mengalami perubahan nilai n=1.1099. Molekul yang bergerak ke satu arah dalam jumlah yang sama dengan yang bergerak ke arah lainnya[4].

0.6 0.8 1.0 1.20.6

0.8

1.0

1.2

Posisi PT1 dengan TC1

Polytropic Proses pada Q = 0.4887 [dm³/s]nexp = 1.0590

nteori = 1.3

Perb

andi

ngan

Tem

pera

tur,

T2/

T1

Perbandingan Tekanan, P2/P10.6 0.8 1.0 1.2

0.6

0.8

1.0

1.2

Polytropic Proses pada Q = 0.4887 [dm³/s]nexp = 1.0590

nteori = 1.3

Posisi PT2 dengan TC1

Perb

andi

ngan

Tem

pera

tur,

T2/

T1

Perbandingan Tekanan, P2/P1

Gambar 7 Kurva Perbandingan T2/T1 dan P2/P1 pada proses pendinginan dengan daya pompa 25 Hz selama 600 detik

Gambar 8 Kurva Perbandingan T2/T1 dan P2/P1 pada proses pendinginan dengan daya pompa 25 Hz selama 600 detik

Ditunjukkan pada Gambar 7, kurva perbandingan T2/T1 dan P2/P1 dilihat nilai n mengalami

perubahan dari proses sebelumnya di posisi 15 Hz, pada posisi sekarang 25 Hz nilai n mengalami

Page 148: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐50

Teknik

MESIN

penurunan, sedangkan debit dan volum air bertambah naik, sebelumnya diposisi 15 Hz nilai n=1.1099 sedangkan di posisi 25 Hz nilai n=1.0590 debit pada posisi ini Q = 0.4887 [dm3/s], jumlah volum dan debit aliran air sangat berpengaruh. Diperoleh juga kurva perbandingan T2/T1 dan P2/P1 pada posisi PT2 dengan TC1, kurva ditampilkan pada Gambar 8.

0.6 0.8 1.0 1.20.6

0.8

1.0

1.2Posisi PT1 dengan TC1

Polytropic Proses pada Q = 0.6439 [dm³/s]nexp = 1.0771

nteori = 1.3

Perb

andi

ngan

Tem

pera

tur,

T2/

T1

Perbandingan Tekanan, P2/P1

0.6 0.8 1.0 1.20.6

0.8

1.0

1.2Posisi PT2 dengan TC1

Polytropic Proses pada Q = 0.6439 [dm³/s]nexp = 1.0771

nteori = 1.3

Perb

andi

ngan

Tem

pera

tur,

T2/

T1

Perbandingan Tekanan, P2/P1

Gambar 9 Kurva Perbandingan T2/T1 dan P2/P1 pada proses pendinginan dengan daya pompa 35 Hz selama 600 detik

Gambar 10 Kurva Perbandingan T2/T1 dan P2/P1 pada proses pendinginan dengan daya pompa 35 Hz selama 600 detik

Ditunjukkan pada Gambar 9, kurva perbandingan T2/T1 dan P2/P1 dilihat pada variasi 35 Hz,

nilai n mengalami perubahan dari proses sebelumnya, pada kurva diatas nilai neksperimen=1.0771 pada variasi 25 Hz neksperimen=1.0590, variasi 35 Hz mengalami kenaikan Perbandingan Cp/Cv, dengan debit Q = 0.6439. Diperoleh juga kurva perbandingan T2/T1 dan P2/P1 pada posisi PT2 dengan TC1, kurva ditampilkan pada Gambar 10.

Ditunjukkan pada Gambar 10, kurva perbandingan T2/T1 dan P2/P1 pada posisi PT2 dengan TC1, dilihat dari kurva perbandingan PT1 pada Gambar 9 tidak terjadi perubahan pada nilai n, begitu pula pada setiap proses eksperimen sebelumnya di variasi 25 Hz, 15 Hz dan 5 Hz disetiap posisi PT1 dan PT2. Perbandingan T2/T1 dan P2/P1 lebih rapat dari kurva pada posisi PT1, dikarenakan pada posisi PT2 penurunan temperatur dan tekanan lebih lambat dibandingkan pada posisi PT1 yang berada dibawah arah dari semprotan sprayer.

4. Kesimpulan

Hasil studi identifikasi perubahan tekanan selama proses pendinginan dengan memvariasikan debit air yang diperoleh dari perubahan frekuensi putaran pompa, menyimpulkan bahwa: • Perbandingan Cp/Cv pada proses pendinginan dapat dikontrol dengan variasi daya pompa yang

mempengaruhi debit aliran air yang masuk dan volum air, semakin tinggi debit dan volum air dapat merubah Perbandingan Cp/Cv gas dalam kontaimen (uap air), dan juga bukan hanya parameter molekul yang mengalami perubahan, perubahan kecepatan penurunan juga terjadi pada temperatur dan tekanan, karena dilihat dari data Perbandingan Cp/Cv yang mengalami perubahan dapat disimpulkan pula bahwa parameter temperatur dan tekanan tentu mengalami perubahan kecepatan pendinginan di setiap variasi daya pompa.

• Perubahan temperatur, tekanan, volum dan Perbandingan Cp/Cv, di ketahui bahwa karakter proses selama proses pendinginan yaitu gas ideal polytropic proses. Perbandingan Cp/Cv terbesar ialah pada variasi f = 15 Hz nilai neksperimen= 1.1099 masih dibawah nilai tetapan n (uap air) berdasarkan teori nilai nteori= 1.3 dan Perbandingan Cp/Cv terkecil pada variasi f = 5 Hz nilai neksperimen= 1.0521. kenaikan nilai neksperimen pada variasi f = 25 Hz ke f = 35 Hz nilai masing-masing neksperimen= 1.0590 dan f = 25 Hz neksperimen= 1.0771. Variasi f = 35 Hz terlihat pemilihan daya pompa pada proses

Page 149: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐51

Teknik

MESIN

pendinginan sangat mempengaruhi efisiensi proses pendinginan, pada pipa ¼ inch dan perubahan luas penampang pipa sebelum masuk kedalam kontaimen dengan luas penampang 1 inch, dan pipa sprayer ¼ inch dengan ukuran nozzle ¼ inch dan tekanan didalam kontaimen sebesar 3 Bar tentu sangat mempengaruhi laju aliran air didalam pipa, dengan f = 25 Hz dan f =35 Hz terjadi back flow, sehingga air lebih banyak terbuang ke pipa bypass, flow meter membaca debit aliran sebelum pipa bypass, sehingga debit aliran menunjukkan aliran normal, kejadiannya aliran back flow selama proses pendinginan sehingga jumlah nilai neksperimen lebih kecil dibandingkan pada variasi f = 15 Hz.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Laboratorium Termohidrolika PTRKN BATAN yang telah mengijinkan untuk melakukan penelitian. Dosen peneliti dan mahasiswa Laboratorium EDfEC (Research Group), para Dosen pembimbing, senior-senior yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan dorongan dan motivasi sehingga makalah ini terselesaikan.

Daftar Notasi

P : Tekanan [Bar] T : Temperatur [OK] V : Volum [m3/liter] n : Perbandingan Cp/Cv [-] R : Tetapan gas universal [kJ/kmol K] N/V : Kerapatan molekul [-] NA : Bilangan Avogadro [molekul/mm3] Q : Debit aliran [dm3/s] f : Frekuensi putaran pompa [Hz]

Daftar Pustaka [1]. Broughthon, J.M et al, A Scenario on the Three Mile Island Unit 2 accident, Nucl

Tech,_____,1989; 87(1). [2]. ____,fukushima simple explanation,_____,_____, 13 Maret 2011, http://bravenewclimate.com [3]. _____,How the safety of NPP is secured in policy term: hopes to make safe more secured. NPP

safety demonstration analysis, ANRE & MITI,_____, 2001. [4]. Zemansky, M. W dan Dittman, R. H, Kalor dan termodinamika, ITB diterjemahkan oleh The

Houw Liong, 1986. [5]. Giarno, Analisis Tegangan Pada Dinding Sungkup PWR, PTRKN 23 September 2010

Page 150: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐52

Teknik

MESIN

Analisi Perpindahan Kalor Konduksi Berdasarkan Variasi Daya Heater Pada Bundel Uji Simulasi Eksperimen Temperatur Tinggi

(BUSETTI)

Oskar Riko1, Budi Utomo1 , Kiswanta2, Ainur Rosidi2, Ismu Handoyo2, Edi Marzuki1,Mulya Juarsa2

1Engineering and Devices for Energy Conversion (EDfEC) Research Group Fakultas Teknik Univeristas Ibn Khaldun Bogor

Jl. KH. Soleh Iskandar Bogor [email protected]

2Laboratorium Termohidrolika Eksperimental PTRKN BATAN

Kawasan PUSPIPTEK Serpong Tangerang [email protected]

Abstrak

Penelitian diperlukan untuk mengetahui laju perpindahan kalor konduksi pada Bundel Uji Simulasi Eksperimen Temperatur Tinggi ( BUSETTI). Studi identifikasi telah dilakukan untuk mengetahui laju perpindahan kalor akibat adanya perambatan kalor dari bagian bertemperatur tinggi ke bagian bertemperatur rendah sirkulasi udara sebagai medianya yang terjadi secara transien dimana perubahan fasa udara menjadi gas dimungkinkan, proses perpindahan kalor terjadi pada bagian uji BUSETTI melibatkan tiga cara perpindahan kalor, yaitu konduksi, konveksi dan radiasi. Kondisi terpenting dalam pemanasan udara adalah terbentuknya aliran udara diakibatkan perbedaan temperatur ke bagian pelat dan ke bagian dalam yang dilaluinya. Rangkaian BUSETTI terdiri dari pelat berbentuk persegi empat berukuran: Panjang 0,2x0,2 m, tinggi; 1,2 m, tebal pelat 4mm, bahan pelat SS304. Variasi eksperimen dilakukan dengan pengukuran temperatur dengan daya heater yang dinaikan setiap 10 menit hingga pencapaian daya 220volt dengan memvariasikan temperatur 500oC, 600oC, 650oC perubahan variasi daya heater terhadap waktu dicatat, kemudian dijadikan acuan untuk melakukan perhitungan perpindahan kalor konveksi yang akan dibandingkan dengan hasil pengukuran., Hasil perbandingan daya terhadap temperatur antara perhitungan perpindahan kalor konduksi dengan data pengukuran daya menunjukkan perpindahan kalor konduksi terkecil -0.16 pada temperatur 650oC, perpindahan kalor konduksi terbesar 42.67 pada temperatur 650C. yang bemberikan gambaran fenomena perpindahan kalor konduksi. Berdasarkan hasil ekperimen dan perhitungan menunjukan bahwa laju perpindahan kalor konduksi pada pelat BUSETTi ditentukan oleh, konduktivitas termal, luas penampang dan jarak termokopel

Kata-kata kunci: temperatur tinggi, daya heater, karakterisasi, kalor konduksi.

1. Pendahuluan Laboratorium Termohidrolika PTRKN BATAN memiliki fasilitas Bundel Uji Simulasi

Eksperimen Temperatur Tinggi (BUSETTI ) yang digunakan untuk meneliti fenomena sirkulasi udara sebagai media temperatur tinggi. Bagian uji BUSETTI digunakan untuk eksperimen media pemanasan pada aliran umpan Reaktor Temperatur Tinggi (High Temperature Gas cooled reactor, HTGR). Proses perpindahan kalor pada suatu benda yang memiliki gradien menyebabkan terjadi perpindahan kalor atau perambatan kalor dari bagian yang bertemperatur tinggi ke bagian yang bertemperatur rendah[1]. BUSETTI dapat mensimulasikan proses perpindahan kalor berdasarkan distribusi temperatur. Proses perpindahan kalor yang terjadi pada bagian uji BUSETTI melibatkan tiga cara perpindahan kalor, yaitu konduksi,konveksi dan radiasi. Kondisi terpenting dalam pemanasan udara adalah terbentuknya aliran udara yang diakibatkan perbedaan temperatur. Bagian udara yang dipanaskan akan lebih renggang dan

Page 151: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐53

Teknik

MESIN

udara dari bagian dingin akan bergerak kearah bagian panas[2]. Analisis untuk memahami bagaimana proses perpindahan kalor secara konduksi pada bagian uji BUSETTI perlu dilakukan.

Penelitian untuk mengetahui distribusi temperatur pada pelat SS304 dan pada udara yang melalui bundel uji. Akibat perpindahan kalor dari kumparan pemanas ke bagian pelat dan ke bagian dalam yang dilalui udara merupakan data parameter di dalam eksperimen. Perpindahan kalor yang terjadi didalam bundel uji pada temperatur tinggi perlu dipahami secara baik. Hasil yang memberikan gambaran fenomena perpindahan kalor konduksi selain untuk memberikan kegunaan untuk melengkapi data perpindahan kalor pada bundel uji temperatur tinggi dan juga untuk kemampuan analisis proses perpindahan kalor pada alat konversi energi[2]. 2. Metode Eksperimen

2.1. Fasilitas Eksperimen

Bagian uji BUSETTI (Budel Uji Simulasi Eksperiment Temperatur Tinggi), terdiri dari pelat

berbentuk persegi panjang, pelat bagian utama bagian uji merupakan pelat SS304 dengan tebal 0,01m dan ukuran panjang 1,2 m dan lebar 0,2 m. Pelat SS304 ini dijadikan sebagai objek penelitian dan disebut sebagai bagian utama dari bagian uji yang akan dipanaskan hingga mencapai temperatur yang diinginkan. Gambar 3.1 Foto penjelasan bagian uji BUSETTI

Gambar 2.1. Foto Bundel uji Simulasi Eksperimen Temperatur Tinggi (BUSETTI)

2.2 Prosedur Eksperimen Eksperimen dimulai dengan mengecek tegangan listrik terlebih dahulu apakah ada konsleting listrik yang terjadi pada heater. apabila tidak terjadi konsleting listrik, maka eksperimen pun dapat dilakukan, seiring dengan dioperasikannya pemanasan pada BUSETTI diatur dari slide regulator yang divariasikan setiap 10 menit dinaikan tegangan 20volt sampai 220volt, hingga temperatur udara yang diinginkan yaitu 5000C,6000C,6500C. Untuk mencapai temperatur tersebut kapasitas heater perlu diperhatikan.

Page 152: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐54

Teknik

MESIN

Gambar 2.2 Geometri tampak depan fasilitas uji BUSETTI

2.3 Perhitungan

Untuk dapat melakukan identifikasi pemanasan, terdapat beberapa langkah perhitungan yang

harus dilakukan, yaitu mulai dari perhitungan daya yang terjadi pada heater, seperti pada persamaan (1). P = V .I . Cos ϕ (1),

Dengan P [watt] adalah daya, V [volt] adalah tegangan, I [ampere] adalah arus. Setelah daya yang terjadi pada heater diketahui kemudian dilanjutkan dengan menghitung distribusi temperatur. Untuk menghitung distribusi temperatur seperti pada persamaan (2). T(z) = T1 – z (2), Dengan T1 adalah temperatur tertinggi, T2 adalah temperatur termokopel yang dihitung, L adalah panjang pelat, z adalah jarak termokopel. Setelah disitribusi temperatur diketahui kemudian dilanjutkan dengan menghitung perpindahan kalor konduksi, Untuk menghitung perpindahan kalor konduksi yang terjadi pada dinding BUSETTI seperti pada persamaan 3.

q = -k A (3), dengan q adalah kalor konduksi, -k adalah konduktivitas termal, A adalah luas penampang, T1 – T2 adalah temperatur tertinggi – temperatur terendah, L adalah jarak termokopel. 3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Hasil perhitungan daya terhadap heater.

Data hasil pengukuran temperatur pada bundel uji BUSETTI dilakukan untuk memperoleh data kenaikan Daya dan temperatur akhir yang dicapai bundel uji, dimulai dari temperatur 500°C, 600°C, 650oC dilakukan dengan memvariasikan tegangan pada regulator. Besarnya kenaikan tegangan pada regulator sebesar 20 volt setiap 10 menit. Sehingga didapatkan data hubungan antara tegangan dan arus pada heater seperti yang dipresentasikan pada gambar

Page 153: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐55

Teknik

MESIN

no Tegangann V [volt]

Arus I [A]

Cos ϕ

Daya heater P [watt]

1 0 0 0.8 0 2 20 0.53 0.8 8 3 40 1.10 0.8 35 4 60 1.67 0.8 80 5 80 2.28 0.8 145 6 100 2.84 0.8 227 7 120 3.42 0.8 328 8 140 3.90 0.8 437 9 160 4.52 0.8 579

10 180 5.10 0.8 734 11 200 5.51 0.8 882 Gambar 3.1 Kurva hubungan antara tegangan

dan arus pada heater. 12 220 6.30 0.8 1100.8

P(V)=‐3.26573+0.13901*(V)+ 0.02168*(V)^2 R^2= 0,9972

Hasil perhitungan daya yang terjadi pada heater dapat dilihat pada Tabel 3 hasil perhitungan daya lalu dibuat kurva hubungan daya terhadap waktu.

Uji pemanasan pada bundel uji BUSETTI dilakukan untuk memperoleh data kenaikan temperatur. Data variasi tegangan masuk hasil pengamatan ekperimen serta kenaikan arus masuk terjadi akibat meningkatnya tegangan masuk heater. Hubungan tegangan masuk terhadap arus masuk heater berdasarkan temperatur akhir 650°C

Gambar 4.5 menunjukan kurva kenaikan

temperatur Bundel uji terhadap waktu pada temperatur 6500C mulai terlihat pada detik ke-1000, temperatur pada titik-titik termokopel (TC-4, TC-5) lebih tinggi dibandingkan dengan titik termokopel yang berada pada pelat BUSETTI karena pada (TC-4, TC-5) terpasang pada heater dan dipengaruhi oleh temperatur udara sekitar. Kenaikan temperatur pada setiap titik termokopel mulai terlihat naik pada detik ke-1000 sampai tercapai temperatur akhir 650°C pada detik ke-26529 pada titik termokopel (TC-4, TC-5), sedangkan pada TC-1, TC-7, TC-8, TC-11, TC-12, TC-13 tidak terlihat adanya kenaikan temperatur yang signifikan, karena dipengaruhi oleh koefisien konveksi udara sekitar.

3.1.2 Karakterisasi kenaikan temperatur 6500 C

Data-data kenaikan temperatur hasil eksperimen selama proses pemanasan radiasi yang terekam oleh dataq pada setiap titik termokopel untuk temperatur akhir 650°C diolah menjadi grafik menggunakan program Origin v7.0, kemudian, diplot kedalam fungsi T(t) secara eksponensial Boltzmann diperoleh korelasi-korelasi sebagai berikut:

0 5000 10000 15000 20000 25000 300000

100

200

300

400

500

600

700

Tem

pera

tur,

T [o C

]

Waktu, t [s]

TC1 TC4 TC5 TC7 TC8 TC11 TC12 TC13

Gambar 3.2. Kurva kenaikan temperatur pada batang uji terhadap waktu untuk capaian temperatur 650°C.

Page 154: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐56

Teknik

MESIN

: A2+(A1-A2)/(1+exp((x-xo)/dx))

NOTASI TC A1 A2 x xo dx

TC-5

-3.2533

587.872

26529

3864.81847

1353.224

3.1.3 Profil distribusi temperatur 6500C

Data hasil eksperimen dapat dibuat menjadi kontur temperatur setiap detiknya dengan menggunakan piranti lunak origin 7.0. Pembuatan kontur temperatur dalam bentuk warna dimaksudkan untuk memperjelas pemetaan distribusi pelat BUSETTI. Hasil pembuatan sampel kontur distribusi temperatur dalam kordinat kartesian pelat pada temperatur 650°C untuk pelat sisi kiri dan pelat sisi kanan dapat dilihat pada Gambar

Berdasarkan Gambar 4.9 Pada t = 0 terlihat garisnya lurus, hal ini berarti tidak adanya kenaikan temperatur TC-1, TC-7, TC-8, TC-11,TC_12,TC-13 karena belum adanya kalor yang diterima oleh pelat. Kurva profil distribusi temperatur pada pelat yang ditunjukkan pada Gambar 4.9 cenderung homogen pada detik ke 1000, tetapi Setelah memplot grafik temperatur dengan skala yang lebih kecil setiap 1000 detik tidak didapat lagi kecenderungan pola perubahan temperatur yang homogen setiap detiknya karena posisi termokopel di pasang tidak sejajar yang mengakibatkan perubahan temperatur tidak homogen. 3.2 pembahasan Perhitungan perpindahan kalor konduksi dilakukan untuk mendapatkan nilai perpindahan kalor yang terjadi di dinding pelat sebagai mediasi yang dipengaruhi oleh tebal pelat dan konduktivitas termal bahan. Kurva hasil perhitungan analitik terhadap daya heater berdasarkan posisi termokopel.

Gambar 3.3 Kurva karakteristik kenaikan temperature 6500 C

TC_1

TC_13

TC_12

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

26259s

16000s

12000s8000s6000s4000s

2000s

0s

Posi

si T

erm

okop

el, [

TC

]

Temperatur, T [0C]

Gambar 3.4 Kurva profil distribusi temperatur 6500C

Page 155: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐57

Teknik

MESIN

0 200 400 600 800 1000 1200-10

0

10

20

30

40

50

60

Perp

inda

han

Kal

or K

ondu

ksi,

q con

d [w

att]

Daya Heater, P [watt]

Data Perhitungan TC7>TC8 q(P) =0.39249+0.02235*P

R2 = 0.9833

0 200 400 600 800 1000 1200-10

0

10

20

30

40

50

60

Perp

inda

han

Kal

or K

ondu

ksi,

q con

d [w

att]

Daya Heater, P [watt]

Data Perhitungan TC8>TC11 q(P) =-5.09456+0.04221*P

R2 = 0.99473

Gambar 3.5 Kurva perpindahan kalor konduksi di TC-7>TC-8 temperatur akhir 650°C

Gambar 3.6 Kurva perpindahan kalor konduksi di TC-7>TC-11 temperatur akhir 650°C

0 200 400 600 800 1000 1200-10

0

10

20

30

40

50

60

Perp

inda

han

Kal

or K

ondu

ksi,

q con

d [w

att]

Daya Heater, P [watt]

Data Perhitungan TC8>TC11 q(P) =-5.09456+0.04221*P

R2 = 0.99473

Gambar 3.7 Kurva perpindahan kalor konduksi di TC-8>TC-11 temperatur akhir 650°C

Besar perpindahan kalor pada ketiga gambar kurva perpindahan kalor tergantung pada selisih

temperatur yang dicapai pada pelat terhadap udara sekitar, maka semakin besar selisih temperatur semakin besar perpindahan kalor. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan selisih temperatur TC-8 terhadap TC-11 mencapai 134.60°C, nilai perpindahan kalor pada TC-8 terhadap TC-11 sebesar 42.67 watt. Temperatur tertinggi pada posisi termokopel TC-8 karena berada dekat titik pusat pelat rektangular yang tidak dipengaruhi oleh koefisien konveksi dari udara sekitar seperti pada titik-titik termokopel terluar yang dipengaruhi oleh koefisien konveksi dari udara sekitar. 4. Kesimpulan • Distribusi temperatur satu dimensi (1D) yang terjadi pada pelat bundel uji disebabkan adanya

perbedaan temperatur. Temperatur mengarah dari inti pelat rektangular ke titik terluar, dipengaruhi oleh koefisien konveksi dari temperatur udara sekitar. Temperatur tertinggi terjadi pada TC-5 karena posisi termokopel berada pada heater sedangkan posisi termokopel lainnya tidak terpasang pada heater. Kenaikan temperatur udara terjadi setelah detik ke-710 untuk setiap temperature yang dinginkan. pada Korelasi kenaikan temperatur yang dihasilkan pada eksperimen pemanasan radiasi

Page 156: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐58

Teknik

MESIN

pelat rektangular adalah eksponensial bolzmann, dimana korelasi temperatur pada selisih didapat dengan memfitting kenaikan temperatur pada setiap variasi temperatur.

• Hasil studi identifikasi perpindahan kalor konduksiberdasarkan variasi daya heater pada pelat,

menyimpulkan bahwa: Kenaikan daya heater dipengaruhi oleh naiknya tegangan dan arus, semakin besar naiknya tegangan yang dihasilkan oleh regulator, maka semakin besar pula temperatur yang dihasilkan. Dapat dibuktikan daya 1108,8 watt, tegangan 220volt arus 6,30 amper pada temperatur tetertinggi terjadi di dalam pelat uji pada temperatur 650oC pada TC-8>TC-11 dengan nilai perpindahan kalor konduksi sebesar 42.67 watt.

Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada kepala Lab. Termohidrolika eksperimental PTRKN BATAN untuk menyediakan fasilitas untuk riset, serta ketua jurusan Teknik Mesin dan para dosen untuk dukungan moril. Kepada asosiate riset Lab. Termohidrolika eksperimental PTRKN BATAN dan para rekan mahasiswa riset atas kerjasamanya saya ucapkan terima kasih. Notasi

A = LuasPenampang [m2] K = Konduktivitas Termal [W/m.K] L = Tebal Pelat [m2] I = Arus [Ampere] V = Tegangan [volt] P = Daya [Watt] Cos ϕ = Sudut Kemiringin / = Gradien Temperatur [K/m]

DAFTAR PUSTAKA [1] ___,___,___.http:/www.batan.go.id/ptrkn/index.pnp=comcontent&task= view&id

=15&ltemid=46#thermo, 2 April 2007 [2] Pitts, Donald R., Leighton E. Sissom, Perpindahan Kalor (diterjemahkan oleh: E. Jasjfi),

Erlangga, Jakarta, 1987 [3] Mark W. Zemansky, Richard H. dittman, Kalor dan Termodinamika. ITB Bandung, 1986 [4] Frank Kreith, Prinsip-prinsip Perpindahan panas, diterjemahkan oleh: Arko Prijono,Erlangga, Jakarta, 1991. [5] Incropera, F.P. dan D.P. Dewitt, Fundamental of Heat and Mass Transfer Fourth edition, John

Wiley, New York, 1996. [6] Welty, James R., Charles E.Wicks, Robert E. Wilson, Gregory L. Rorrer, Dasar-dasar Fenomena

Transport, Edisi Keempat (diterjemahkan oleh Ir. Gunawan Prasetio), Erlangga, Jakarta, 2002. [7] Reynolds. N.C. H.C. Perkin, Termodinamika Teknik, diterjemahkan oleh Filino Harahap, Diktat

Departemen Mesin, ITB, 1976. [8] Priyotomo, Gadang., Baja Stainlees,___,___,___.http://gadang-e-

bookformaterialscience.blogspot.com/2007/12/info-mengenal-singkat-apa-itu-stainless.html, Desember, May 12:29:2011 AM.

Page 157: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐59

Teknik

MESIN

Fenomena Pendidihan pada Heat Pipe dengan Variasi Wick

Screen Mesh dan Posisi Peletakan

Ratna Sary, Wayan Nata, Nandy Putra Laboratorium Applied Heat Transfer Research Gorup

Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia Kampus Baru UI- Depok

Abstrak

Fenomena Pendidihan yang ditimbulkan oleh wick heat pipe sangat berpengaruh terhadap kinerja heat pipe. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari jumlah mesh dan jumlah layer dari wick heat pipe terhadap fenomena pendidihan yang dihasilkan. Pengujian dilakukan pada heat pipe kaca berbahan pirex dengan diameter tube 15 mm dan panjang 300 mm. Tabung kaca diisi dengan wick stainless steel screen 100, dan 200 mesh dengan dimeter kawat ± 56,5 µm dengan jumlah anyaman 67,416 per mm dengan fluida kerja air destilasi (aquades). Wick screen mesh pada heat pipe dibuat 3 layer. Pada bagian kondensor dibentuk berupa alat penukar kalor kaca dengan panjang 80 mm dan diameter 35 mm. Bagian evaporator dari heat pipe kaca diberikan sumber panas dengan menggunakan heater dimana pembebanan diberikan dari DC-power supply, sedangkan bagian kondensor dialirkan air dengan temperatur 25oC dari thermostatic circulating batch. Thermocouple jenis K di letakkan pada bagian dinding dan bagian cairan dari heat pipe untuk mengetahui temperatur dinding dan temperatur saturasi dari fluida kerja heat pipe. Pengamatan fenomena pendidihan yang terjadi pada heat pipe direkam menggunakan High Speed Video Camera. Hasil pengujian menunjukkan bahwa terjadi perbedaan fenomena pendidihan yang ditimbulkan oleh pemakaian wick screen mesh dengan jumlah mesh dan sudut inklinasi. Ukuran, bentuk gelembung, dan temperatur terbentuknya nukleat pada heat pipe, serta koefisien perpindahn kalor cenderung lebih besar pada pemakaian wick 200 mesh. Sedangkan sudut inklinasi yang memberikan unjuk kerja paling baik adalah sudut 90o.

Key words: Heat pipe, wick, screen mesh, boiling.

1. Pendahuluan

Perkembangan heat pipe saat ini telah banyak dirasakan manfaatnya, salah satunya digunakan sebagai sistem pendingin pada komponen elektronik sebagai disipasi panas (pelepasan panas) terutama pada microprocessor yang kian hari menghasilkan fluks kalor yang semakin besar akibat peningkatan kinerja dan semakin kecilnya dimensi. Kapasitas microprocessor yang besar mengakibatkan meningkatnya panas yang ditimbulkan dan ini tidak mampu diserap oleh heat sink konvensional [1]. Heat pipe terbuat dari pipa berukuran tertentu yang berisi wick dan fluida kerja yang berfungsi untuk memindahkan kalor dari ujung yang evaporator ke ujung kondensor. Teknologi heat pipe ini dilengkapi dengan media berpori yang disebut dengan wick sebagai lintasan atau saluran kapiler untuk fluida cair kembali menuju ke bagian evaporator [2-5]. Heat pipe memanfaatkan fluida kerja dalam ruang terbatas dan tekanan kapiler yang ditimbulkan lapisan atau sumbu berpori dimana perpindahan kalor terjadi dari bagian evaporator ke kondensor melalui metode dua fase [6]. Fenomena pendidihan yang ditimbulkan oleh wick heat pipe sangat berpengaruh terhadap kinerja heat pipe, terutama pada heat transfer koefisien.

Pendidihan merupakan salah satu proses perubahan fase. Evaporasi terjadi pada permukaan antara cairan (liquid) dan uap (vapor) ketika tekanan uap lebih kecil dari tekanan cairan pada temperatur tertentu [7].

Beberapa penelitian telah dilakukan oleh Faghri [8] yang menggambarkan mengenai suatu proses resesi pada lapisan cair serta kemungkinan terjadinya evaporasi atau pendidihan transisi dengan adanya peningkatan fluks kalor. Pada fluks kalor yang rendah, perpindahan kalor pada media biasanya hanya terjadi

Page 158: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐60

Teknik

MESIN

secara konduksi dan konveksi bebas, tanpa adanya peristiwa pendidihan atau perubahan fase. Terdapatnya wick yang berupa sumbu kapilaritas di dalam heat pipe menyebabkan terjadinya evaporasi atau pendidihan trasisi secara intensif yang mengakibatkan fluks kalor meningkat secara tajam. Pada heat pipe, nukleat ataupun gelembung yang tumbuh pada wick didisain untuk dapat secara cepat lepas ke permukaan cairan dan pecah sehingga tidak adanya gelembung yang diam di dalam wick yang dapat menghalangi proses sirkulasi cairan atau mengurangi gaya kapilaritas cairan. Brautsch et al.[9]. ] juga telah melakukan penelitian mengenai fenomena pendidihan dimana mereka mensimulasikan proses perpindahan kalor dari pipa aluminium yang permukaan diberi mesh stainless steel dengan fluida kerja air. Pipa ini diletakkan secara vertical. Dari penelitian ini dapat diamati bahwa pada fluks kalor rendah gelembung-gelembung kecil mulai terbentuk pada permukaan mesh. Ketika terjadi peningkatan fluks kalor maka gelembung-gelembung membesar dan secara cepat dapat meninggalkan permukaan mesh tanpa terjebak dalam mesh. Proses pemanasan pipa tembaga dengan permukaan sintering juga dilakukan oleh Li et al [10] dimana dalam penelitian ini didapatkan peningkatan yang sangat tajam pada nilai fluks kalor kritis (CHF). 1. Metodelogi 1.1 Desain Heat Pipe Kaca

Heat pipe dibuat dengan pipa kaca pirex dengan diameter 15 mm dengan panjang 300 mm dan pada ujung tempat kondensor dipasang alat penukar kalor dengan ukuran diameter 35 mm dam panjang 80 mm. Salah satu ujungnya dipasangkan katup sebagai tempat penginjeksian fluida kerja. Wick heat pipe berupa screen mesh berdiameter kawat 56,5µm beranyaman tunggal dengan jumlah anyaman 67.416 per mm. Screen terbuat dari kawat stainless steel dengan konduktivitas termal 40W/(m·K). Wick screen mesh dibuat dalam bentuk gulungan sehingga akan terbentuk lapisan-lapisan (layer). Pada penelitian ini digunakan screen mesh berukuran 100 dan 200. Disain dari heat pipe kaca dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 2 merupakan skema pengujian dari pengamatan fenomena pendidihan pada heat pipe yang terbuat dari kaca

1.2 Skematik Pengujian

Gambar 2. Skematik pengujian Fenomena boiling heat pipe

Keterangan:

1 Thermostatic circulating batch

5 High speed video camera

2 Isolator phoulyuretane 6 DC-power supply 3 heat pipekaca 7 c-DAQ+NI module 9213 4 Heater 8 Unit computer

Gambar 1 heat pipe kaca

Page 159: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐61

Teknik

MESIN

Pengambilan data dilakukan pada tiga sudut peletakan (inklinasi) yaitu 0o, 45o dan 90o. Fluks panas pada bagian evaporator (qe) dihitung melalui [11]:

(1)

(2) Dengan Q adalah input power, r0 dan ri merupakan jari-jari luar dan dalam heat pipe, Le adalah panjang bagian evaporator, Ti dan T0 adalah temperatur bagian dalam dan luar dinding heat pipe dan adalah konduktivitas termal dari tembaga. Koefisien perpindahan kalor dari bagian dapat dihitung melalui perbandingan antara fluks kalor pada bagian evaporator berbanding dengan penurunan temperatur ΔT:

(3)

Untuk kalor maksimal yang mampu diserap oleh heat pipe dari bagian evaporator dapat dihitung melalui persamaan:

(4)

3. Hasil dan Diskusi 3.1 Pengaruh Sudut Inklinasi pada Variasi Wick Screen Mesh 100

Gambar 3 dan 4 memperlihatkan pertumbuhan dan bentuk gelembung dengan peningkatan fluks

kalor pada heat pipe dengan wick screen 100 mesh 3 layer pada posisi inklinasi 0o. Fenomena yang terjadi pada permukaan screen yakni pada fluks kalor 76,3 kW/m2 mulai terbentuk nukleat berupa gelembung-gelembung pada permukaan screen. Pendidihan dengan ukuran gelembung yang lebih besar terjadi antara fluks kalor 101,7kW/m2 dimana fluks kalor maksimal pada pendidihan inti adalah 127,1 kW/m2. Evaporasi atau pendidihan transisi mulai terjadi antara fluks kalor 152,5 kW/m2 dan 148,3 kW/m2 dan selanjutnya terjadi film dengan permukaan screen terlapisi oleh lapisan panjang berupa pendidihan film. Pada posisi 45o mulai terbentuk pada fluks kalor 101,7 kW/m2 sampai dengan 128,2 kWatt/m2. Pendidihan terjadi dengan fluks kalor maksimal 154,3kWatt/m2.

Gambar 3. Bentuk gelembung pada HP screen 100 mesh pada inklinasi 0o

Gambar 4. Bentuk gelembung pada HP screen 100 mesh pada inklinasi 45o

Page 160: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐62

Teknik

MESIN

Gambar 5 merupakan fenomena pendidihan pada heat pipe dengan wick screen 100 mesh dengan posisi peletakan (inklinasi) 90o. Bentuk gelembung pada kondisi ini sedikit berbeda baik dengan model peletakan 45o maupun 0o dimana ukuran gelembung lebih besar dari peletakan 0o dan 45o. Gelembung cenderung lebih cepat menuju bagian kondensor karena dalam kondisi ini kondensor terletak di bagian atas. Jika diamati pada gambar gelembung yang terbentuk terlihat lebih jarang hal ini dikarenakan gelembung yang terbentuk segera terlepas dari permukaan dan menuju ke sisi atas dari fluida kerja dan terlepas dalam bentuk uap untuk selanjutnya berevaporasi.

Gambar 5. Bentuk gelembung pada HP screen 100 mesh pada inklinasi 90o

Perbandingan kondisi fluks kalor pada beberapa kondisi peletakan inklinasi heat pipe

ditunjukkan pada Gambar 6. Pada gambar dapat diamati bahwa pada kondisi 45o dapat mencapai heat fluks yang lebih besar dengan beda temperatur yang lebih kecil dibandingkan dengan kondisi pada peletakan 0o. Hal ini juga terjadi pada kondisi 90o dimana dengan kondisi beda temperatur yang lebih kecil, heat fluks yang terbentuk lebih besar. 3.2 Pengaruh Sudut Inklinasi pada Variasi Wick Screen Mesh 200

Untuk fenomena pendidihan pada heat pipe dengan pemakaian wick screen mesh 200 mesh pada kondisi peletakan 0o diperlihatkan oleh Gambar 8. Dimana pada pemakaian screen mesh 200 terlihat bahwa gelembung yang terjadi pada penbentukan nukleat memiliki bentuk dan kondisi yang berbeda dibandingkan dengan pemakaian wick screen 100 mesh pada posisi peletakan yang sama.

Pada wick screen 200 mesh gelembung yang terbentuk lebih cepat bervariasi ukuran yakni pembentukan nukleat dari gelembung yang berukuran kecil lebih cepat membesar dan kemudian lebih cepat terlepas menuju kebagian kondensor. Hal ini menyebabkan terjadinya transfer kalor dari permukaan wick kebagian kondensor berlangsung lebih cepat.

Gambar 6. Grafik fenomena pendidihan HP screen 100 mesh

Page 161: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐63

Teknik

MESIN

Posisi peletakan 45o mengakibatkan bentuk gelembung yang terjadi pada fenomena pendidihan memiliki bentuk yang lebih besar dan cenderung terlepas lebih cepat dari permukaan screen menuju kearah kondensor. Hal yang sama juga terjadi untuk kondisi peletakan 90o dimana bentuk gelembung lebih besar lagi dibandingkan dengan 0odan 45o. Pada penggunaan screen 200 mesh terjadi perbedaan bentuk antara posisi peletakan 0o, 45odan 90o. Ini dapat diamati pada Gambar 7 s/d 9.

Gambar 7. Bentuk gelembung pada HP screen

200 mesh pada inklinasi 0o

Gambar 8. Bentuk gelembung pada HP screen 200 mesh pada inklinasi 45o

Bentuk gelembung yang lebih besar diakibatkan oleh lebih besarnya kalor berupa gas yang terbungkus oleh liquid atau cairan yang kemudian segera terlepas kepermukaan. Sudut 90o mengakibatkan lebih cepatnya gelembung terlepas dikarenakan kecenderungan udara untuk mengalir keatas. Perbandingan fluks kalor untuk pemakaian screen 100 dan 200 mesh dengan beberapa posisi peletakan diperlihatkan pada Gambar 10 dan 11.

Gambar 9. Bentuk gelembung pada HP screen 200 mesh pada inklinasi 90o

Dari gambar dapat kita amati bahwa pada perbedaan temperatur yang masih kecil baik pada

posisi 0o, 45o maupun 90o perpindahan kalor dari permukaan sumber panas terjadi secara konveksi alami. Dapat dikatakan bahwa perbedaan posisi peletakan atau inklinasi berpengaruh terhadap fenomena pendidihan dan perpindahan kalor pada heat pipe dengan wick screen mesh 200 mesh, dimana dengan perbedaan temperature yang lebih kecil antara temperatur dinding (Tw) dengan temperatur fluida (Tf) dapat mencapai fluks kalor yang lebih besar.

Page 162: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐64

Teknik

MESIN

Ukuran mesh dan posisi peletakan daripada heat pipe (inklinasi) juga berpengaruh terhadap koefisien perpindahan kalor dari heat pipe tersebut. Pada pemakaian fluida kerja konvensional air antara posisi peletakan 0o, 45o dan 90o, kondisi posisi peletakan 90o memberikan nilai koefisien perpindahan kalor paling tinggi. Pada posisi 90o bagian kondensor berada di posisi atas dan bagian evaporator berada di bagian bawah seperti pada gambar 3. Setelah bagian evaporator mendapat pemanasan dari heater maka fluida kerja pada bagian evaporator akan mengalami proses pendidihan yang kemudian gelembung uap yang terbentuk terlepas menuju bagian kondensor. Gas memiliki sifat yang cenderung lari keatas. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Jacob et al [12,13] bahwa koefisien heat transfer pada permukaan pemanas dengan posisi vertikal (900) akan lebih besar dibandingkan posisi horizontal (00). Penggunaan wick dengan screen 200 mesh menghasilkan gelembung yang cenderung lebih cepat lepas dari permukaan screen dibandingkan dengan screen 100 mesh. Dari hasil pengujian didapatkan bahwa gelembung yang terbentuk oleh screen dengan jumlah mesh yang lebih besar akan menbentuk pori yang lebih kecil. Pada pori-pori yang lebih kecil atau lebih halus nukleat atau gelembung-gelembung akan lebih cepat terbentuk. Terbentuknya nukleat lebih cepat dan lebih cepatnya nukleat terlepas dari permukaan screen dapat meningkatkan nilai koefisien perpindahan kalor. Seperti penelitina Stephan Kotthoff et al [14], bahwa pengaruh kekasaran dapat mempengaruhi perpindahan panas akibat proses timbulnya gelembung. Peningkatan koefisien perpindahan kalor terhadap fluks kalor ditunjukkan pada Gambar 11.

-25 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225

0

5

10

15

Koe

fisie

n pe

rpin

daha

n ka

lor,

h [k

W/m

2 .o C]

Fluks kalor, q [kW/m2]

Mesh 100, posisi inklinasi 0o

Mesh 200, posisi inklinasi 0o

Mesh 100, posisi inklinasi 45o

Mesh 200, posisi inklinasi 45o

Mesh 100, posisi inklinasi 90o

Mesh 200, posisi inklinasi 90o

Gambar 10. Grafik Fenomena pendidihan HP screen 200 mesh

Gambar 11. Grafik peningkatan koefisien perpindahan kalor terhadap fluks kalor

4. Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemakaian wick screen mesh

dengan jumlah mesh dan jumlah layer yang berbeda baik dari segi ukuran gelembung, bentuk gelembung, dan temperatur terbentuknya nukleat pada heat pipe, serta koefisien perpindahan kalor yang cenderung lebih besar pada pemakaian wick 200 mesh dibandingkan dengan wick screen mesh 100. Inklinasi atau posisi peletakan heat pipe memberikan kinerja yang paling baik pada posisi peletakan 90o [15,16]. Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan Terima Kasih kepada DRPM UI atas dukungan dana penelitian melalui Hibah RUUI.

Page 163: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐65

Teknik

MESIN

Daftar Pustaka [1]. Kaya, Tarik., and John Goldak. Numerical Analysis of Heat and Mass Transfer in The Capillary

Structure of a Loop Heat Pipe. International Journal of Heat and Mass Transfer Vol 49, pp. 3211-3220, 2006.

[2]. Reay, David & Peter Kew., Heat Pipe, Theory, Design and Applications, 5th Edition, USA, 2006. [3]. Leonard L, Vasiliev., Review Heat Pipes in Modern Heat Exchangers. Applied Thermal

Engineering 25, pp.1-19, 2005. [4]. Harris, James R., Modeling, Designing, Fabricating and Testing of Channel Panel Flat Plate Heat

Pipe. Utah State University, pp.1-6, 2008. [5]. Ochterbeck, Jay M., Heat Pipe. Departement of Mechanical Engineering Clemson University,

pp.1182-1229. [6]. Weibel, Justin A., Suresh V Garimella., and Mark T North. Characterization of Evaporation and

Boiling From Sintered Powder Wicks Fes by Capillary Action. International Journal of Heat and Mass Transfer vol 53, pp. 4202-4215, 2010.

[7]. Cengel, Yunus A. Heat Transfer- A Practical Approach 2nd, McGraw-Hill Companies, Inc., 2003. [8]. A. Faghri. Heat Pipe Science and Technology, Taylor & Francis, London, 1995. [9]. A. Brautsch, P.A. Kew. Examination and visualization of heat transfer processes during

evaporation in capillary porous structures, Appl. Therm. Eng. 22 (2002) 815–824. [10]. C.Li, G.P.Peterson, Y.Wang, Evaporation/ boiling in thin capillary wicks (I) – wick thickness

effects, J. Heat Transfer 128 (2006) 1312–1319. [11]. Harris, James R., Modeling, Designing, Fabricating and Testing of Channel Panel Flat Plate Heat

Pipe. Utah State University, pp.1-6, 2008. [12]. Jacob M, Hawkins GA(1995) Elements of heat transfer, 3rd edn. Wiley, New York, pp 206-210. [13]. Nishikawa K, Fujitha Y, Ohta H (1984) Effect of surface configuration on nucleate boiling heat

transfer. Int J Heat Transf 27:1559-1571. [14]. Stephan Kotthoff , Dieter Gorenflo, Elisabeth Danger, Andrea Luke, Heat transfer and bubble

formation in pool boiling: Effect of basic surface modifications for heat transfer enhancement, International Journal of Thermal Sciences 45 (2006) 217–236.

[15]. R.Kempers, D.Ewing, C.Y.Ching. Effect of number of mesh layers and fluid loading on the performance of screen mesh wicked heat pipes. Applied Thermal Engineering 26 (2006) 589-595.

[16]. Patrik Nemec, Alexander Caja, Milan Malcho. Thermal Performance measurement of heat pipe, Global journal of technology & Optimization, volume 2, 2011

Page 164: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐66

Teknik

MESIN

Pengaruh Viskositas Oli Terhadap Karakteristik Perpindahan Kalor Di Permukaan Aluminium Pada

Dinamika Tumbukan Droplet

Slamet Wahyudi, Putu Hadi Setyarini dan Shancha Ricardo Agusta Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

Jl. Mayjend Haryono no. 167 Malang, 65145, Indonesia E – mail : slamet_w72 @yahoo.co.id, [email protected]

Abstrak

Fenomena tumbukan droplet sering kita jumpai pada kehidupan sehari-hari. Untuk mengetahui pengaruh viskositas oli dan temperatur permukaan aluminium terhadap laju perpindahan kalor pada dinamika tumbukan droplet oli perlu dilakukan penelitian. Kekentalan oli yang dinyatakan dalam SAE dan temperatur permukaan padat aluminium merupakan parameter penting yang menentukan perilaku tumbukan dan laju perpindahan kalor saat interaksi droplet dengan permukaan. Materi droplet adalah oli dengan diameter awal droplet tetap 3 mm. Dinamika tumbukan droplet tunggal dengan permukaan padat aluminium yang dipanaskan divisualisasikan menggunakan kamera. Viskositas oli dinyatakan dalam SAE yaitu SAE 20; SAE 30; SAE 40; dan SAE 50. Temperatur permukaan padat aluminium divariasikan dari 280; 320; 360; 400°C dengan mengacu pada pola pendidihan, yaitu pendidihan fase tunggal, pendidihan nukleat, pendidihan transisi, dan pendidihan film. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur, maka perpindahan kalor total dan laju perpindahan kalor pada droplet semakin besar pula, sedangkan waktu evaporasi semakin kecil. Hal tersebut dikarenakan gelembung muncul dan pergerakannya menyebabkan terjadinya pencampuran fluida di sekitar permukaan padat, namun pada temperatur 320°C sampai 400°C fenomena yang terjadi sebaliknya. Hal tersebut disebabkan oleh droplet yang tidak lagi berkontak langsung dengan permukaan aluminium yang dipanaskan melainkan memantul karena ada lapisan film. Pada temperatur yang tetap, viskositas oli yang tinggi akan membuat luas sebaran droplet semakin kecil sehingga perpindahan kalor total dan laju perpindahan kalor akan menurun dan waktu evaporasi semakin kecil pula.

Kata Kunci : viskositas oli, karakteristik perpindahan kalor, dinamika tumbukan droplet.

1. Pendahuluan

Dinamika tumbukan butiran oli (droplet) dengan permukaan padat yang dipanaskan merupakan suatu fenomena yang banyak menarik perhatian berbagai kalangan peneliti karena aplikasinya yang sangat vital di dunia industri pada masa sekarang. Ketika droplet menyentuh permukaan padat yang dipanaskan, fenomena yang terjadi secara umum dapat berupa menyebar (spread), pecah berhamburan (splash), atau melambung kembali (rebound)[2]. Selanjutnya tetesan tersebut akan mendidih dan mulai hilang. Viskositas dari droplet itu sendiri juga akan mempengaruhi lama penguapan dan diameter penyebaran pada saat droplet menumbuk permukaan aluminium yg suhunya divariasikan. Pengaruh viskositas dan temperatur dapat kita lihat dari gambar 1.

Page 165: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐67

Teknik

MESIN

Gambar 1 : Kurva Pengaruh Suhu terhadap Viskositas

Akan tetapi bila temperatur permukaan padat cukup tinggi maka tetesan tidak lagi kontak

langsung dengan permukaan padat seperti melayang akibat adanya lapisan uap tipis semacam lapisan film yang menghalanginya. Maka proses penguapan pada kondisi temperatur ini menjadi lambat akibat perpindahan kalor dari permukaan padat ke tetesan turun. Fenomena tersebut digambarkan dalam Kurva Pendidihan Nukiyama seperti pada gambar 2.

Gambar 2 : Kurva Pendidihan Nukiyama

Dari diagram Nukiyama tersebut diperoleh empat daerah pendidihan yaitu daerah pendidihan

konveksi bebas (free convection boiling) terletak pada ∆Te < 5ºC, pendidihan inti (nucleate boiling) terletak antara 5ºC < ∆Te < 30ºC, pendidihan transisi (transition boiling) terletak antara 30ºC < ∆Te < 120ºC, dan pendidihan film (film boiling) terletak pada ∆Te > 120ºC.

Salah satu sifat dari sebuah tetesan adalah sifat mampu basah (wettability) yang merupakan kemampuan dari sebuah tetesan untuk membasahi permukaan atau seberapa luasan tetesan yang menyentuh permukaan padat [4]. Kemampuan dari wettability berkaitan erat dengan laju perpindahan kalor yang terjadi antara sebuah tetesan dengan permukaan padat, dimana semakin luas daerah yang dibasahi oleh tetesan maka semakin besar laju perpindahan kalornya. Metode untuk menilai kemampuan droplet membasahi permukaan padat (wettability) adalah dengan cara menghitung sudut kontak droplet.

Page 166: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐68

Teknik

MESIN

Caranya ada dua yaitu dengan persamaan Young atau dihitung langsung berdasarkan data tinggi tetesan dan panjang garis kontak antara tetesan dengan permukaan padat [5].

Bernardin (1997) melakukan pendekatan yang lebih sederhana dengan meneliti tumbukan sebuah droplet pada permukaan padat yang dipanaskan, dimana dari hasil penelitian tersebut diperoleh karakteristik perpindahan kalor pada droplet tunggal yang kemudian digunakan untuk memprediksi karakteristik perpindahan kalor secara menyeluruh pada proses spraying. Karakteristik perpindahan kalor dari penguapan tetesan terdapat sebuah titik minimum yang disebut titik penguapan minimum, minimum evaporation time point dan sebuah titik maksimum yang disebut titik Leidenfrost. Wetting limit temperature sedikit lebih tinggi dari titik minimum evaporation time dan diperoleh dengan cara mengamati perilaku tetesan yang sedang menguap. Sedangkan temperatur Leidenfrost adalah temperatur dimana titik perpindahan kalor mengalami perubahan arah, dari turun menjadi naik atau sebaliknya. Pada temperatur ini film boiling dimulai.

Laju perpindahan kalor tidak hanya dipengaruhi oleh sifat fluida, tetapi juga dipengaruhi oleh bagaimana cara fluida disuplai ke permukaan. Proses spray pada permukaan dengan droplet menghasilkan fluks kalor yang lebih besar dibandingkan dengan pendinginan secara konveksi paksa[2].

Bolle dan Moureau [6] mengembangkan ekspresi semi-empiris berikut untuk perpindahan kalor total selama kontak antara droplet dan permukaan yang dipanaskan,

dimana k adalah konduktivitas termal bahan, ρ adalah densitas bahan, Cp adalah kalor spesifik bahan, Ts adalah temperatur permukaan bahan, Tf adalah temperatur droplet, d0 adalah diameter droplet, dan v0 adalah kecepatan droplet. Sementara itu Takeuchi et al. [7] menyatakan laju perpindahan kalor berkorelasi terhadap frekuensi tetesan, kecepatan, dan diameter,

Dimana f adalah frekuensi, v0 adalah kecepatan droplet, dan d0 adalah diameter droplet.

Dinamika tumbukan droplet juga dipengaruhi oleh viskositas fluida droplet itu sendiri. Parameter yang digunakan untuk mengukur viskositas adalah,

ρμυ =

dimana ρ adalah massa jenis, υ adalah viskositas kinematik, dan µ adalah viskositas dinamik.

Pada penelitian ini akan diamati dan dikaji perpindahan kalor yang terjadi saat droplet menumbuk permukaan panas dengan memvariasikan viskositas oli yang digunakan dan temperatur pada permukaan aluminium.

2. Metode Penelitian

Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah metode eksperimental. Variabel yang digunakan dalam penelitian adalah viskositas oli : SAE 20; SAE 30; SAE 40; SAE 50 sebagai variabel bebas, karakteristik perpindahan kalor sebagai variabel terikat, dan temperatur temperatur aluminium : 280; 320; 360; 400°C sebagai variabel terkontrol.

Dinamika tumbukan droplet direkam dengan menggunakan kamera dengan kecepatan pengambilan gambar 30 frame per detik. Sudut kamera pada saat pengambilan data adalah 0o. Data yang diperoleh akan digunakan untuk pengolahan data kuantitatif. Analisa dilakukan berdasarkan data luas kontak droplet yang diukur melalui gambar untuk mengetahui karakteristik perpindahan kalor pada droplet.

(3)

(1)

(2)

Page 167: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐69

Teknik

MESIN

Instalasi pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar 3 berikut:

Gambar 3 : Instalasi Penelitian

3. Hasil Dan Pembahasan

Besarnya nilai karakteristik perpindahan kalor pada droplet ditunjukkan pada tabel 1

Tabel 1 Karakteristik Perpindahan Kalor pada Droplet

Gambar 4 menunjukkan grafik hubungan antara temperatur terhadap perpindahan kalor total dengan viskositas oli divariasikan sebesar SAE 20; SAE 30; SAE 40; SAE 50.

Keterangan: 1. Silinder Aluminium 2. Heater 3. Selang infus 4. Kamera 5. Temperature

controller 6. Termokopel 7. Botol plastik 8. Bata tahan api

Page 168: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐70

Teknik

MESIN

Gambar 4: Hubungan antara Viskositas terhadap Perpindahan Kalor Total

Pada grafik terlihat bahwa semakin besar temperatur permukaan aliminium maka semakin besar pula perpindahan kalor total (Qsd) yang terjadi pada semua variasi viskositas. Pada temperatur 280°C hingga 320°C perpindahan kalor total semakin besar. Hal ini disebabkan karena pada saat temperatur 280°C transfer panas dari permukaan panas ke cairan adalah dengan konveksi alami. Setelah menaikkan temperatur sampai 320°C gelembung muncul dan pergerakannya menyebabkan terjadinya pencampuran fluida di sekitar permukaan padat sehingga koefisien perpindahan kalor konveksi dan perpindahan kalor total juga meningkat. Perpindahan kalor total menjadi maksimum pada temperatur 320°C, pada titik ini disebut titik kritis atau Critical Heat Flux (CHF). Ketika temperatur permukaan dinaikkan kembali melebihi 320°C sampai 400°C maka perpindahan kalor total semakin menurun. Hal ini dikarenakan mulai terbentuk lapisan film uap air menyelimuti permukaan padat yang memisahkan sisi permukaan padat dengan cair. Droplet tidak lagi berkontak langsung dengan permukaan baja yang dipanaskan melainkan memantul karena ada lapisan film. Naiknya temperatur permukaan mengakibatkan makin banyak pula permukaan padat yang ditutupi oleh lapisan film.

Pada temperatur yang tetap, dimana semakin tinggi viskositas oli maka akan mengakibatkan

sebaran droplet mengecil sehingga perpindahan kalor total akan menurun. Perpindahan kalor total ketika kontak terjadi antara droplet dan permukaan yang dipanaskan dapat terlihat pada persamaan (1).

Semakin besar perbedaan temperatur antara temperatur permukaan dengan temperatur droplet

maka semakin besar perpindahan kalor total hanya sampai temperatur 320°C kemudian akan menurun saat temperatur ditingkatkan. Begitu pula dengan semakin meningkatnya viskositas oli maka luas sebaran droplet yang diperlihatkan dengan diameter droplet saat menumbuk semakin kecil sehingga perpindahan kalor total akan menurun.

Pada gambar 5 menunjukkan grafik hubungan antara temperatur terhadap laju perpindahan kalor dengan bilangan viskositas oli divariasikan sebesar SAE 20; SAE 30; SAE 40; dan SAE 50.

(1)

Page 169: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐71

Teknik

MESIN

Gambar 5 : Hubungan antara Viskositas terhadap Laju Perpindahan Kalor

Pada grafik terlihat bahwa semakin besar temperatur permukaan baja maka semakin besar pula

laju perpindahan kalor (qss) yang terjadi pada semua variasi viskositas. Pada temperatur 280°C hingga 320°C laju perpindahan kalor semakin besar. Hal ini disebabkan karena pada saat temperatur 280°C transfer panas dari permukaan panas ke cairan adalah dengan konveksi alami. Setelah menaikkan temperatur sampai 320°C gelembung muncul dan pergerakannya menyebabkan terjadinya pencampuran fluida di sekitar permukaan padat sehingga koefisien perpindahan kalor konveksi dan laju perpindahan kalor juga meningkat. Laju perpindahan kalor menjadi maksimum pada temperatur 320°C, pada titik ini disebut titik kritis atau Critical Heat Flux (CHF). Ketika temperatur permukaan dinaikkan kembali melebihi 320°C sampai 400°C maka laju perpindahan kalor semakin menurun. Hal ini dikarenakan mulai terbentuk lapisan film uap air menyelimuti permukaan padat yang memisahkan sisi permukaan padat dengan cair. Droplet tidak lagi berkontak langsung dengan permukaan baja yang dipanaskan melainkan memantul karena ada lapisan film. Naiknya temperatur permukaan mengakibatkan makin banyak pula permukaan padat yang ditutupi oleh lapisan film.

Pada temperatur yang tetap, dimana semakin tinggi viskositas oli maka akan mengakibatkan

sebaran droplet mengecil sehingga laju perpindahan kalor akan menurun. Laju perpindahan kalor ketika kontak terjadi antara droplet dan permukaan yang dipanaskan dapat terlihat pada persamaan (2).

Semakin besar viskositas droplet maka luas sebaran droplet yang diperlihatkan dengan diameter droplet saat menumbuk akan semakin kecil. Oleh sebab itu laju perpindahan kalor akan menurun.

Sedangkan pada gambar 6 menunjukkan grafik hubungan antara viskositas oli terhadap waktu evaporasi dengan bilangan viskositas divariasikan sebesar SAE 20; SAE 30; SAE 40; dan SAE 50.

Page 170: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐72

Teknik

MESIN

Gambar 6 : Hubungan antara Viskositas terhadap Waktu Evaporasi Pada grafik terlihat bahwa semakin besar temperatur permukaan aluminium maka semakin kecil

waktu evaporasi (s) yang terjadi pada semua variasi viskositas oli. Begitu pula halnya dengan semakin tinggi viskositas oli pada temperatur tetap maka semakin

besar waktu evaporasinya, hal ini disebabkan karena dengan viskositas yang semakin tinggi maka diameter penyebaran droplet semakin kecil sehingga waktu evaporasinya semakin meningkat.

Pada temperatur yang tetap, dimana semakin tinggi viskositas oli maka akan mengakibatkan diameter penyebaran droplet menurun. Diameter penyebaran droplet yang semakin kecil akan mempengaruhi waktu evaporasi, sehingga waktu evaporasi akan meningkat. 4. Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pada viskositas yang semakin tinggi, maka perpindahan kalor total dan laju perpindahan kalor pada droplet semakin kecil, sedangkan waktu evaporasi juga semakin kecil. Pada viskositas yang tetap, temperatur permukaan aluminium yang semakin tinggi akan mempengaruhi penyebaran droplet saat menumbuk, diikuti dengan bertambahnya luas sebaran droplet sehingga perpindahan kalor total dan laju perpindahan kalor akan meningkat tetapi waktu evaporasi tetap semakin kecil. Namun pada temperatur 320°C sampai 400°C fenomena yang terjadi sebaliknya yaitu perpindahan kalor total dan laju perpindahan kalor pada droplet semakin kecil, sedangkan waktu evaporasi juga semakin kecil.

DAFTAR PUSTAKA [1]. Bolle, L. ; Moureau, J.C. ; 1982 : Spray cooling of hot surfaces : In Multiphase Science and

Technologi. International Journal of Heat and Mass Transfer.

[2]. Bernardin, J.D., Stebbins, C.J., Mudawar, I. 1997: Mapping of Impact and Heat Transfer Regimes of Water Drops Impinging on a Polished Surface; International Journal of Heat and Mass Transfer.

[3]. Chandra, S. ; Avedisian, C.T. ; 1991 : On the Collision of a Droplet with a Solid Surface ; Proceedings, Mathematical and Physical Sciences.

[4]. Jayaningrat, I.G.A.G. 2010: Studi Eksperimental Dinamika Tetesan Tunggal yang Menimpa Permukaan Panas Aluminium dan Tembaga pada Bilangan Weber Rendah; Tesis dipublikasikan; Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Page 171: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐73

Teknik

MESIN

[5]. Njobuenwu, D.O., Oboho, E.O., Gumus, R.H. 2007: Determination of Contact Angle from Contact Area of Liquid Droplet Spreading on Solid Substrate; Leonardo Electronic Journal of Practices and Technologies.

[6]. Bolle, L., Moureau, J.C. 1982:Spray cooling of hot surfaces. In Multiphase Science and Technology. [7]. Takeuchi, K., Senda, J., Yamada, K.1983:Heat transfer characteristics and the breakup behavior of

small droplets impinging upon a hot surface, Proceedings ASMEIJSME Thermal Engineering Joint Conference.

Page 172: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐74

Teknik

MESIN

Analisis Rugi Kalor Selama Proses Pemanasan Dan

Pendinginan Pada Simulator Sungkup Reaktor

Wahyudin1, Mulya Juarsa1, Surip Widodo1, Ismu Handoyo2, Edi Marzuki2, Joko Susilo2

1Mahasiswa Konversi Energi Jurusan Teknik Mesin

Fakultas Teknik Universitas Ibn Khaldun Bogor Jl. KH. Soleh Iskandar Bogor [email protected]

2Laboratorium Termohidrolika Eksperimental PTRKN BATAN Kawasan PUSPIPTEK Serpong Tangerang

Abstrak

Telah dilakukan simulasi proses pemanasan dan pendinginan di dalam contaiment merupakan salah satu fenomena fisis heat transfer, karena fenomena tersebut mengandung perubahan temperatur terhadap waktu di dalam contaiment. Seiringnya perubahan temperatur terhadap waktu, mengalami perubahan uap setalah di sumber kalor(heater) di nyalakan . Efisiensi fenomena FESPECo dilakukan dengan mengidentifikasi nilai rugi kalor menggunakan Fasilitas Eksperimen Simulasi Pendinginan Uap Pada Contaiment (FESPECo). Analisis dilakukan untuk mengetahui pengaruh nilai perpindahan rugi kalor terhadap nilai rugi kalor yang terjadi pada sistem tertutup dengan adanya distribusi kalor pada fluida kerja (air) pada FESPECo, dengan komponen terdiri atas tube berdiameter 6 mm, heater, pressure gauge dan flanges. Hasil eksperimen dan perhitungan menggunakan beberapa korelasi menunjukkan, perpindahan kalor akan mencapai nilai yang secara linear 1,12 watt, 12,48 watt, dan 36,86 watt berdasarkan perbedaan waktu eksperimen, mempengaruhi kenaikan nilai rugi kalor dari 7498,88 watt hingga 6947,17 watt.

Kata-kata kunci: FESPECo, perpindahan kalor, rugi kalor

1. Pendahuluan

Potensi bahaya dalam sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) adalah sumber radioaktivitas yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu prinsip utama desain keselamatan PLTN adalah "Bungkus rapat dan jaga keutuhan bungkusnya". Untuk membungkus rapat radioaktivitas PLTN agar tetap berada ditempatnya yang aman, desain PLTN mempunyai sistem penghalang ganda (multiple barrier). Prinsip keselamatan pertahanan berlapis (defense in depth) juga diterapkan untuk menjaga keutuhan "pembungkus"[1]. Secara garis besar, model sungkup reaktor air bertekan (Pressurized Water Reactor, PWR) terdiri dari beberapa bagian yaitu, bagian utama adalah sebuah silinder penutupnya yang berbentuk setengah bola yang menahan terlepasnya bahan atau material radioaktif terlepas ke lingkungan. Mengingat bagian utama dinding sungkup PWR berperan sangat penting, maka dalam desain dinding akan dilakukan beberapa langkah yaitu, menentukan batas minimum ketebalan dinding, berdasarkan perubahan parameter tekanan, temperatur dan jumlah kalor yang berpindah[2].

Fasilitas Eksperimen Simulasi Pendinginan Uap pada Containment (FESPECo) jenis PWR adalah sebuah fasilitas eksperimen untuk mensimulasikan kecelakaan kegagalan manajemen termal. Kebocoran uap dari reaktor bejana tekan (Reactor Pressure Vessel, RPV) akan langsung dilepaskan ke bagian dalam sungkup (containment), kondisi tersebut akan mengganggu integritas dari sungkup jika terjadi pada kondisi yang tidak normal. Bagian dalam sungkup dilengkapi dengan sistem injeksi air pendingin yang disemprotkan melalui sprayer di bagian atas sungkup. Interaksi antara pendinginan uap dan air pendingin yang mengakibatkan perubahan parameter tekanan dan temperatur yang melibatkan perpindahan kalor menjadi kajian dan penelitian yang dilakukan[3].

Page 173: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐75

Teknik

MESIN

Proses perpindahan kalor yang terjadi di dalam sungkup berlangsung dalam konteks perubahan fasa uap menjadi air (pengembunan) dan pencampuran uap dengan air pendingin. Selain kalor dari uap yang dipindahkan ke air pendingin melalui kontak langsung, juga terjadi pengurangan kalor uap melalui dinding sungkup. Analisis rugi kalor selama proses pemanasan dan pendinginan pada simulator sungkup reaktor dilakukan untuk memahami rugi kalor yang terjadi dalam sungkup reaktor, yang dapat mensimulasikan akibat adanya pembebanan internal berupa naiknya tekanan akibat uap air dan gas tidak dapat terkondensasi setelah terjadi kecelakaan karena hilangnya air pendingin (Loss of Coolant Accident, LOCA) pada sistem primer maupun pipa uap[4].

2. Metode Eksperimen

2.1. Fasilitas Eksperimen

Fasilitas eksperimen simulasi pendinginan pada contaiment (FESPECo) yang ada di laboratorium termohidrolika eksperimental PTRKN BATAN terdiri atas rangkaian tube CS-1020 6 mm (0,6 cm), Heater, Pressure Gauge, heater, Flanges dan savety valve. Gambar 1 Fasilitas eksperimen pendinginan pada contaiment[3].

Gambar 1. Fasilitas eksperimen pendinginan pada contaiment [3]

Uji pemanasan dan pendinginan di dalam contaiment dilakukan untuk memperoleh data pemanasan dan pendinginan. Uji pemanasan dilakukan dengan menghidupkan heater secara konstan, setelah temperatur yang ditentukan tercapai, selanjutnya proses pendinginan dilakukan dengan cara pendinginan natural, yaitu menghentikan input kalor ke dalam contaiment hingga temperatur akhir dan tekanan akhir.

3. Prosedur Eksperimen

Prosedur eksperimen di bagi menjadi 3 sub fase:

1. Sub fase persiapan pemanasan Sub fase persiapan pemanasan dimulai sejak ditutupnya jendela pada kontaimen hingga sumber kalor (heater) dinyalakan. Sub fase ini berlangsung hingga t = 0 (t menyatakan waktu). Pada sub fase ini, temperatur dinding kontaimen masih sama dengan temperatur awalnya.

2. Sub fase pemanasan Sub fase pemanasan berlangsung saat t = 0, yaitu saat pemanas mulai dinyalakan hingga psumber kalor (heater).

Page 174: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐76

Teknik

MESIN

3. Sub fase pendinginan Sub fase pendinginan berlangsung saat t = th , yaitu saat sumber kalor (heater) mulai dimatikan.

4. Perhitungan

Hasil pengamatan temperatur pada setiap titik termokopel yang terpasang pada dinding udara di dalam contaiment dilakukan untuk mengetahui laju perpindahan kalor yang terjadi di dalam contaiment selama proses pemanasan dan pendinginan temperatur. Data tersebut disubtitusikan kedalam persamaan 1[5-7].

LrhLkrr

Lrh

TTq

udarabesiuap

udarauap

2

12

1 21

221

πππ++

−=

)/ln(

.................. (1)

Kemudian setelah laju perpindahan kalor pada contaiment diketahui dilanjutkan dengan penentuan nilai perpindahan kalor air yang terjadi di dalam contaiment berdasarkan persamaan 2.

)/),)((( tTCtCPq airair 62330 1 −×=

..................... (2)

Kemudian setelah laju perpindahan kalortotal pada contaiment diketahui dilanjutkan dengan penentuan nilai rugi kalor yang terjadi di dalam contaiment berdasarkan persamaan 4.

totalsloss TTq −= ..................................... (3)

5. Hasil dan Pembahasan

5.1. Pemanasan dan Pendinginan Temperatur Eksperimen

Pemanasan temperatur yang direkam pada 5 termokopel pada program Cimon, diplot dalam bentuk kurva pemanasan temperatur eksperimen menggunakan program origin V.8.0. Fenomena pemanasan dan pendinginan temperatur untuk setiap temperatur akhir menunjukan temperatur stabil, dijelaskan sebagai berikut: (a) pemanasan temperatur akhir mulai terlihat naik secara signifikan mulai detik 2500 dengan daya heater konstan 7500 watt terlihat temperatur TC-1 lebih tinggi dibandingkan TC yang lainnya, (b) pendinginan temperatur eksperimen untuk setiap temperatur akhir mulai terlihat turun pada detik 2000 terlihat TC-5 lebih rendah dibandingkan TC yang lainnya, pemanasan dan pendinginan temperatur hasil eksperimen ditunjukan pada Gambar 2 dan Gambar 3.

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 100000

102030405060708090

100110120130

Tem

pera

tur,

T [0 C

]

Waktu, t [detik]

TC_1 TC_2 TC_3 TC_4 TC_5

t = 8799 detik, Heater offTemp. akhir 1200C

8000 9000 10000 11000 12000 13000 14000 15000

50

60

70

80

90

100

110

120

130

t = 14823 detikTemp. akhir 530C

Tem

pera

tur,

T [0 C

]

Waktu, t [detik]

TC_1 TC_2 TC_3 TC_4 TC_5

Gambar 2. Kurva pemanasan temperatur hasil eksperimen

Gambar 3. Kurva pendinginan temperatur hasil eksperimen

Page 175: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐77

Teknik

MESIN

5.2. Korelasi Pemanasan dan Pendinginan Temperatur Hasil Eksperimen

Gambar pemanasan dan pendinginan temperatur hasil eksperimen yang ditunjukan pada Gambar 2 dan Gambar 3 dipisahkan setiap termokopel lalu di analisis menggunakan program origin V.8.0, Gambar pemanasan dan pendinginan temperatur eksperimen vs waktu ditunjukan pada Gambar 4 dan Gambar 5, sehingga diperoleh korelasi pemanasan dan pendinginan temperatur berupa linear sebagai berikut:

TC: T(t) = 30,53958+0,01123*t TC: T(t) = 113,44477+(-0,00939)*t

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000

60

70

80

90

100

110

120

130

TC_1 Karakterisasi linear = 113,44477+(-0,00939)*t

Tem

pera

tur,

T [0 C

]

Waktu, t [detik]

Gambar 4. Kurva karakterisasi pemanasan temperatur eksperimen vs waktu untuk temperatur akhir 1200C

Gambar 5. Kurva karakterisasi pendinginan temperatur eksperimen vs waktu untuk temperatur akhir 530C

5.3. Profil distribusi pemanasan dan pendinginan temperatur di dalam contaiment

Profil distribusi temperatur 1 dimensi berdasarkan posisi termokopel terhadap sumbu x dan y Gambar (a) lebih memperjelas distribusi temperatur terhadap posisi termokopel 1200C kurva distribusi pemanasan temperatur 1 dimensi, (b) ) lebih memperjelas distribusi pendinginan temperatur terhadap posisi termokopel 530C kurva distribusi temperatur 1 dimensi. Ditunjukan pada Gambar 6 dan Gambar 7.

TC2

TC3

TC4

TC5

20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120

8799 s

8000 s70 00 s

6000 s

5000 s

4 000 s

30 0 0 s

2 0 00 s

1000 s0 s

Temperatur, T [0C]

Posi

si te

rmok

opel

TC2

TC3

TC4

TC5

120 110 100 90 80 70 60

6023 s5000 s

4000 s

3000 s

2000 s

1000 s

0 s

Temperatur, T [0C]

Posi

si te

rmok

opel

(a) Gambar 6. Profil distribusi pemanasan temperatur

terhadap posisi termokopel

(b) Gambar 6. Profil distribusi pendinginan

temperatur terhadap posisi termokopel

Page 176: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐78

Teknik

MESIN

5.4. Perpindahan kalor menyeluruh selama proses pemanasan dan pendinginan temperatur didalam contaimen terhadap waktu

Perpindahan kalor selama proses pemanasan dan pendinginan temperatur didalam contaiment

terhadap waktu untuk mendapatkan nilai laju perpindahan kalor yang terjadi di dalam contaiment, seperti ditunjukan pada Gambar 9 dan Gambar 10.

0 2000 4000 6000 8000 100000

102030405060708090

100110120130140150160170180

Perpindahan kalor

Perp

inda

han

kalo

r, q

[wat

t]

Waktu, t [detik]

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000

60

80

100

120

140

160

180

Perpindahan kalor

Perp

inda

han

kalo

r, q

[wat

t]

Waktu, t [detik]

(a) Gambar 9. Perpindahan kalor menyeluruh

terhadap waktu

(b) Gambar 10. Perpindahan kalor menyeluruh terhadap

waktu

Berdasarkan Gambar 10 menunjukan pelepasan kalor menyeluruh terhadap waktu terlihat pada detik 0 lebih kecil karena contaiment belum menerima kalor sedangkan pada detik 5000 perpindahan kalor mulai terlihat signifikan sampai temperatur akhir.

Berdasarkan Gambar 11 menunjukan pelepasan kalor menyeluruh terhadap waktu terlihat pada detik 0 garis lurus karena temperatur terpengaruh udara sekitar sedangkan pada detik 3000 perpindahan kalor mulai terlihat turun sampai temperatur akhir.

5.5. Perpindahan kalor air selama proses pemanasan dan pendinginan di dalam contaiment

Perpindahan kalor air selama proses pemanasan dan pendinginan temperatur didalam contaiment terhadap waktu untuk mendapatkan nilai laju perpindahan kalor air yang terjadi di dalam contaiment, seperti ditunjukan pada Gambar 12 dan Gambar 13.

0 2000 4000 6000 8000 100000

100

200

300

400

500

600

700

800

Perpindahan kalor air

Perp

inda

han

kalo

r ai

r, q

air [w

att]

Waktu, t [detik]

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 70000

1000

2000

3000

4000

5000

6000

Perp

inda

han

kalo

r ai

r, q

air [

wat

t]

Waktu, t [detik]

Perpindahan kalor air

(a)

Gambar 12. Perpindahan kalor air selama proses pemanasan temperatur terhadap waktu

(b) Gambar 13. Perpindahan kalor air selama proses

pendinginan temperatur terhadap waktu

Page 177: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐79

Teknik

MESIN

Berdasarkan Gambar 12 menunjukan perpindahan kalor air terhadap waktu terlihat pada detik 0 tidak terjadi perpindahan kalor air di karenakan belum terjadinya perpindahan kalor air di dalam contaiment, sedangkan pada detik 2000 mulai terlihat perpindahan kalor air signifikan sampai temperatur akhir.

Berdasarkan Gambar 13 menunjukan perpindahan kalor air terhadap waktu terlihat pada detik 2500 terjadi penurunan yang signifikan di karenakan kalor air di dalam contaiment berubah bentuk menjadi uap, sedangkan pada detik 9000 penurunan kalor air stabil sampai temperatur akhir.

5.6. Perpindahan rugi kalor selama proses pemanasan dan pendinginan di dalam contaiment

Perpindahan rugi kalor selama proses pemanasan dan pendinginan temperatur didalam contaiment terhadap waktu untuk mendapatkan nilai laju perpindahan rugi kalor yang terjadi di dalam contaiment, seperti ditunjukan pada Gambar 14 dan Gambar 15.

0 2000 4000 6000 8000 100006600

6800

7000

7200

7400

7600

Perp

inda

han

rugi

kal

or, q

loss [w

att]

Waktu, t [detik]

Perpindahan rugi kalor

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 70000

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

Perp

inda

han

rugi

kal

or, q

loss [w

att]

Waktu, t [detik]

Perpindahan rugi kalor

(a)

Gambar 14. Perpindahan kalor total selama proses pemanasan temperatur terhadap waktu

(b)

Gambar 14. Perpindahan rugi kalor selama proses pendinginan temperatur terhadap waktu

Berdasarkan Gambar 14 menunjukan perpindahan rugi kalor terhadap waktu terlihat pada detik 2000 terjadi pelepasan kalor signifikan di karenakan udara sekitar contaiment, sedangkan pada detik 2500 pelepasan kalor fluktuasi sampai temperatur akhir.

Berdasarkan Gambar 14 menunjukan perpindahan rugi kalor terhadap waktu terlihat pada detik ke-0 sampai detik ke-1000 pelepasan kalor yang signifikan di karenakan di dalam contaiment dipengaruhi udara sekitar di contaiment , sedangkan pada detik 9000 penurunan rugi kalor stabil sampai temperatur akhir.

6. Kesimpulan

Hasil analisis nilai rugi kalor berdasarkan perubahan temperatur di dalam contaiment, menyimpulkan bahwa nilai rugi kalor dipengaruhi oleh udara sekitar. Nilai rugi kalor terendah adalah 1936,98 watt untuk proses pendinginan temperatur dikarenakan sumber kalor (heater) dimatikan dan contaiment tidak di bungkus oleh aluminium foil.

Page 178: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐80

Teknik

MESIN

Daftar Notasi

T : Temperatur [oC] k : Konduktivitas termal [W/m2.K] q : Perpindahan kalor [watt] L : Panjang bahan [mm] r1 : Diameter dalam pipa [mm] r2 : Diameter luar pipa [mm]

h : Koefisien perpindahan

kalor konveksi [W/m2.K]

CP : Specific heat [kj/kg.K] qloss : Perpindahan rugi kalor [watt] t : Waktu [detik]

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kepala Lab. Termohidrolika eksperimental PTRKN BATAN untuk menyediakan fasilitas untuk riset, serta ketua jurusan Teknik Mesin dan para dosen untuk dukungan moril. Kepada asosiate riset Lab. Termohidrolika eksperimental PTRKN BATAN dan para rekan mahasiswa riset atas kerjasamanya saya ucapkan terima kasih. Daftar Pustaka

[1] Prinsip keselamatan nuklir, http://www.infonuklir, may 11:25:2011 AM [2] www.batan.go.id [3] Giarno, Analisis Tegangan pada dinding sungkup PWR, PTRKN 23 September 2010 [4] Holman, J.P, Heat Transfer. – 7Rev.ed S. I. ed 1. Title 536.2. [5] Cengel, Yunus A. Heat Transfer : a practical approach / Yunus A. Cengel.-2nd ed. [6] Powell R.L, AIP Handbook, Mc Graw-Hill, 1972. [7] Holman J.P, Perpindahan Kalor, (diterjemahkan oleh: E.Jasjfi), Erlangga, Jakarta, 1995.

Page 179: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐81

Teknik

MESIN

Analisis Perhitungan Koefisien Gesek Dengan Reynoldnumber Pada Material Plastik PP(Polypropylene), POM (Polyoxymethylene), PE

(Polyethylene) Terhadap Temperatur Dan Waktu Pada Alat Uji Melt Flow Index

Vikram Pasha1, Mulya Juarsa1 , Edi Marzuki1, Dedek Kurniawan1, Yuda Nurul Alfian1, Afrinaldi1, R. Burhan N1, Deni Kusmansyah1

Engineering and Devices for Energy Conversion (EDfEC) Laboratory Fakultas Teknik Univeristas Ibn Khaldun Bogor

Jalan K.H. Sholeh Iskandar, Bogor [email protected]

Abstra Proses kerja alat Melt Flow Index yang berdasarkan faktor gesekan dan beban antara permukaan benda kerja dengan permukaan pipa memiliki peranan yang sangat penting, karena akan menentukan besar beban dan gaya yang dibutuhkan batang pendorong [1]. Beban gaya terjadi selama proses penekanan sehingga berpengaruh terhadap formability benda kerja, dan kualitas produk. Selain itu, faktor gesekan juga sangat penting dalam perhitungan analitik dan numerik terhadap tegangan, regangan, dan dalam memprediksi gaya penekan secara empiris. Meskipun mekanika gesekan antar permukaan sangat rumit, tetapi sangatlah penting untuk mendefinisikan seberapa besar nilainya, dalam hal ini berupa faktor gesekan atau koefisien gesekan.

1 Pendahuluan

Alat uji Melt Flow Index (MFI) adalah alat yang digunakan untuk mengetahui informasi tentang tingkat kekentalan suatu material, dimana informasi ini berguna untuk menentukan parameter mesin injeksi dalam memproduksi produk-produk dengan material plastik, sehingga dapat meminimalisir cacat produk akibat settingan parameter mesin injeksi yang tidak tepat.

Beberapa pengujian telah dilakukan untuk mengetahui seberapa besar koefisien gesek, diantaranya adalah ring compression test yang dilakukan oleh Wagnerer dan Wolf pada tahun 1994, mereka menggunakan data hasil simulasi dan eksperimen untuk memperoleh koefisien gesekan pada proses tempa (forging) [2]. Sebuah metode baru juga pernah diusulkan oleh Nakamura dan Bay pada tahun 1996 dalam tulisannya, dimana koefisien gesekan dapat diperkirakan tanpa membutuhkan pengukuran terhadap beban penekanan dan flow stress dari benda kerja[3]. Hsu dan Lee mengkombinasikan elemen hingga benda rigid-plastic untuk menyelidiki distribusi gesekan pada proses manufaktur. Keduanya kemudian menggunakan metode yang sama dalam mengembangkan model gesekan yang realistis yang mencakup variabel viskositas, dan kekasaran permukaan pada simulasi proses ekstrusi[4]. G. Shen dkk, 1992 melakukan evaluasi friksi menggunakan metode Backward Extrusion tipe fogging[5]. 2. Metode Penelitian

2.1 Type Alat Melt Flow Index Tipe Alat Uji MFI yang digunakan harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

1) Desain bentuk yang sederhana dan tidak rumit, sehingga tidak banyak pemakaian ruang. 2) Mudah dalam pemeliharaan dan perawatan 3) Sangat effisien dalam proses pembuatannya dan fungsi kerjanya dapat menghasilkan material plastik yang sangat berkualitas seperti yang ditunjukkan pada gambar (1),(2).

Page 180: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐82

Teknik

MESIN

1 2

Bandpembe

Gambar 1 Bagian-bagian utama alat uji melt flow index

Gambar 2 Gambar potongan barel dan pendorong

ket: berat beban (1) + batang pen dorong(2) = 2.16 kg

Berikut density / Massa jenis plastik dalam satuan (gr/cm3). Material Massa Jenis Polybutylene 0.6 Polymethylpenten 0.83 Ethylene-propylene 0.86 Polypropylene 0.75 PE 0.9 Polybutene 0.91 ABS 1.2 Polystyrene 1.05 Polyacrylonitrile 1.17 Polyvinyl 1.19 Polycarbonate 1.2 Polychloroprene 1.23 Polysulphone 1.24 Polyethylene 1.34-1.39 PVC 1.37-1.39 POM 1.2 Epoxy 0.75-1.00 Secara garis besar metode penelitian berhubungan dengan penelitian ini akan dilakukan dengan cara :

1. Nilai Koefisien Gesek antara Permukaan Benda dan Material Plastik

Untuk memperoleh koefisien gesek pada permukaan benda kerja yang bersinggungan dengan material plastik diperlukan perhitungan antara lain: 1) Panjang batang pendorong (h), diameter luar dan dalam Cylinder Heat (Ø), luas penampang Cylinder

Heat (A,) kemudian temperature pada saat pengujian ( . 2) Menghitung debit aliran fluida(Q), viskositas fluida dalam Cylinder Heat berdasarkan kecepatan

aliran fluida (V) dan volume aliran fluida ( dengan diameter Cylinder Heat (D) dan luas penampang diameter (A), kemudian menentukan bilangan reynold number (Re) untuk menghitung nilai koefisien geseknya permukaan benda kerja dan material plastik.

Page 181: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐83

Teknik

MESIN

2.2 Faktor Gesekan untuk Aliran Fluida di di dalam Cylinder Heat Sistem aliran yang sesungguhnya kondisi ini tak pernah terealisasi. Sebuah lapisan batas terbentuk pada permukaan cylinder heat dan ketebalannya bertambah dengan cara yang sama dengan pertumbuhan lapisan batas pada pelat datar. Pertumbuhan lapisan batas di dalam aliran cylinder head seperti ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 3 Pertumbuhan lapisan batas di dalam cylinder heat

Panjang jalan masuk yang dibutuhkan untuk sebuah profil kecepatan berkembang penuh agar

terbentuk dalam aliran laminer telah dinyatakan oleh Langhaar seperti persamaan (1).

0575,0=DLe Re.…………....…….. (1),

Gambar 4 Profil kecepatan dan variasi faktor gesekan untuk aliran laminer di dalam daerah dekat jalan masuk cylinder heat

Faktor gesekan untuk aliran laminer di dalam jalan masuk ke cylinder heat telah dinyatakan oleh Langhaar, hasilnya menunjukan bahwa faktor gesekan adalah paling tinggi disekitar jalan masuk, kemudian turun secara halus ke nilai aliran berkembang penuh. 2.3 Tekanan Fluida Tekanan adalah suatu ukuran dari gaya yang diberikan terhadap suatu area dari suatu sistem. Tekanan disebabkan oleh adanya benturan molekul-molekul terhadap batasan/dinding area sistem, dimana molekul-molekul tersebut mencoba untuk mendorong keluar dinding dengan kekuatan. Gaya yang dihasilkan dari benturan tersebut menyebabkan tekanan yang digunakan pada suatu sistem yang mengelilinginya. Dalam analisis ini tekanan dinyatakan dalam satuan bar [8]. 2.4 Bilangan Reynolds Reynolds menyatakan, bahwa kecepatan fluida merupakan salah satu variabel yang menentukan sifat aliran dalam pipa. Variabel lainya, adalah diameter pipa, densitas fluida dan viskositas fluida[9]. Keempat variabel tersebut dikombinasikan menjadai parameter tak berdimensi tunggal yang merupakan bilangan Reynolds dan diberi simbol Re seperti persamaan (2).

Re=μρvD

…………..….…………… (2),

Untuk aliran di dalam pipa lingkaran jika nilai bilangan Reynolds nya 2300 aliran adalah laminer. Di atas nilai ini aliran juga bisa laminer dan sesungguhnya aliran laminer telah diamati untuk bilangan Reynolds sebesar 40000 di dalam eksperimen-eksperimen dimana gangguan-gangguan

Page 182: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐84

Teknik

MESIN

eksternalnya dibuat minimum. Diatas bilangan Reynolds 23000 gangguan kecil akan menyebabkan transisi ke aliran turbulen sementara di bawah ini gangguan diredam habis dan aliran yang ada laminer. 2.5 Debit Aliran

Debit aliran digunakan untuk menghitung kecepatan aliran pada masing-masing pipa seperti persamaan (3).

Q=t∀

...................................................(3)

2.6 Laju Aliran Massa Debit aliran adalah volume fluida yang dikeluarkan tiap detiknya. Hubungan persamaan kontinuitasnya didapat seperti persamaan (4).

v=AQ

.............................................(4),

2.7 Koefisien Gesek

Koefisien gesek dipengaruhi oleh kecepatan, karena distribusi kecepatan pada aliran laminer dan aliran turbulen berbeda, maka penurunan koefisien gesek ini akan diturunkan secara berbeda pula untuk masing-masing jenis aliran. Untuk rumus koefisien geseknya adalah dapat dihitung seperti persamaan (5).

2

2vgD

=λ ………………………….(5),

3 Hasil Dan Pembahasan Pada eksperimen ini termokopel dipasang pada bagian atas silinder heat, bagian tengah, dan bagian bawah dan perhitungan dimulai pada waktu temperatur mencapai suhu 230 C0 yaitu pada temperatur T1. Berikut grafik hasil dari karakteristik koefisien gesek pada masing-masing material plastik PP, POM, PE terhadap temperatur T1, T2, dan T3 dan waktu yang di dapat dari tabel perhitungan Debit aliran (Q), kecepatan aliran fluida (v) dari hasil pengujian terhadap waktu (t) dan temperatur T1,T2, dan T3.

0 5000 10000 15000 20000 25000-2.00E+012

0.00E+000

2.00E+012

4.00E+012

6.00E+012

8.00E+012

1.00E+013

1.20E+013

1.40E+013

1.60E+013

1.80E+013

Koef

isie

n G

esek

(PO

M)

Re (POM)

Koefisien Gesek

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

Gambar 5 Pengaruh kenaikan Koefisien Gesek pada material PP,POM, PE terhadap waktu.

Gambar 6 Perubahan Koefisien Gesek Material POM terhadap Re POM

0 50 100 150 200 250

0,00E+000

1,00E+009

2,00E+009

3,00E+009

4,00E+009

5,00E+009

Koef

isie

n G

esek

(PO

M) (

PP)(P

E)

waktu (t) (s)

Koefisien Gesek (POM) Koefisien Gesek (LDPE) Koefisien Gesk Temperatur (T1) Temperatur (T2) Temperatur (T3)

Page 183: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐85

Teknik

MESIN

0 5000 10000 15000 20000 25000-2.00E+012

0.00E+000

2.00E+012

4.00E+012

6.00E+012

8.00E+012

1.00E+013

1.20E+013

1.40E+013

1.60E+013

1.80E+013

Koef

isie

n G

esek

(PO

M)

Re (POM)

Koefisien Gesek

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

0 5000 10000 15000 20000 25000-2.00E+012

0.00E+000

2.00E+012

4.00E+012

6.00E+012

8.00E+012

1.00E+013

1.20E+013

1.40E+013

1.60E+013

1.80E+013

Koef

isie

n G

esek

(PE)

Re (PE)

Koefisien Gesek

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

Gambar 7 Perubahan Koefisien Gesek Material POM terhadap Re POM

Gambar 8 Perubahan Koefisien Gesek Material PE terhadap Re PE

-2000 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000140150160170180190200210220230240250260270280290300310

Tem

pera

tur

Re (PE)

T1 T2 T3

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

0 5000 10000 15000 20000 25000140150160170180190200210220230240250260270280290300310

Tem

pera

tur

Re (POM)

T1 T2 T3

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

Gambar 9 Pengaruh Penurunan Re PE terhadap temperatur T1,T2,T3

Gambar 10 Pengaruh Penurunan Re POM terhadap temperatur T1,T2,T3

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000140150160170180190200210220230240250260270280290300310

Tem

pera

tur

Re (PP)

T1 T2 T3

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

d e m o d e m o d e m o d e m o d e m o

Gambar 11 Pengaruh Penurunan Re PP terhadap temperatur T1,T2,T3

Page 184: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐86

Teknik

MESIN

Daftar Notasi L = panjang cylinder heat, [m]; D = diameter cylinder heat, [m]; Re = bilangan Reynolds; D = diameter pipa, [m]; Ρ = densitas fluida, [kg/m3]; µ = viskositas, [Kg/m.s]; Q = debit aliran, [m3/s]; V = kecepatan aliran, [m/s];

= volume fluida, [m3]; t = waktu laju aliran, [s]. Ucapan terima kasih

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing dan rekan-rekan Tim Melt Flow Index, Mahasiswa Labolatorium EDfEC (Research Group) yang telah memberikan dorongan dan motivasi sehingga makalah ini terselesaikan Daftar Pustaka [1] Glanvill, A.B. and E.N.Denton.. Injection Mould Design Fundamentals, Industrial Press Inc, New

York, 1995. [2] Wagnerer, H.B. and J. Wolf, Coefficient of Friction in Cold Extrusion, J. Master. Process Technol,

1994. [3] Nakamura, T. and N. Bay, FEM Simulation of a Friction Testing Method Based on Combined

Fforward Rod Backward can Extrusion, Trans ASME, 1996. [4] Hsu, T.C. and C.-H. Lee, A Realistic Friction Modeling in Simple Upsetting, Master Degree

Thesis, Yuan Ze University, Chungli, Taoyuan County, Taiwan, 1995. [5] Shen, G., dkk, A Method for Evaluating Friction Using a Backward Extrusion – Type Forging, J.

Master. Process & Technol, 1992. [6] Khurmi, R.S. , Machine Design, Eurasia Publishing House, New Delhi, 2005. [7] Charles A.H, Modern Plastik Handbook, New York, 2000. [8] Douglas J.F., Gasiorek J.M, and Swaffield J.A, Fluid Mechanics Second Edition”, Longman

Singapore Publishers Pte Ltd, Singapore, 1985. [9] Moran Michael J., Howard N. Shapiro, Bruce r. Munson, David P. Dewitt, “Introduction to

Thermal Systems Engineering: Thermodynamics, Fluid Mechanics and Heat Transfer”, John Wiley & Sons, Inc., USA 2003.

Page 185: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐87

Teknik

MESIN

Pengaruh Putaran Silinder Bagian Dalam Terhadap Pola Aliran Taylor-Couette

Sarip1,2), Indarto1), Prajitno1)

1) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Jurusan Teknik Mesin Program Pascasarjana Jurusan Teknik Mesin dan Industri

JL. Grafika No.2 Yogyakarta 555281, Telp. (0274)521673. e-mail: [email protected] 2) Sekolah Tinggi Teknologi Ronggolawe Cepu, Jurusan Teknik Mesin

JL. Kampus Ronggolawe Blok B/I Mentul Cepu 58315 Telp.(0296)422322. e-mail: [email protected]

[email protected]

Abstract This research was conducted to know the effect of the inner cylinder rotation on Taylor-Couette flow patterns with the outer cylinder fixed. Test section in the form of two concentric cylinders with a length of 500 mm, radius ratio = 0.72 and aspect ratio = 40 and a gap (distance between cylinder) 12.5 mm. Observation of flow pattern carried out shooting several times using a digital camera on the inner cylinder rotation different. The results indicate that shooting at low speed Couette flow patterns that form-laminar, round up the flow pattern that is formed in pairs and opposite vortex, wavy vortex flow and high rotation formed vortek turbulent. Torque measurements can also be performed to determine the characterization of Taylor-Couette flow patterns by providing resistance to the electric motor is integrated with a Torque-meter. The measurement results show the relationship of torque and laminar flow Reynolds number is linear, where as in the transition region of the torque changes are large and non-linear. The experiments results showed that the same phenomenon occurs with the theory, although there is a quantitative difference.

Keywords: Rotation inner cylinder, flow pattern, Taylor-Couette flow, Concentric Cylinders.

1. Pendahuluan

Pola aliran Couette laminar dalam sebuah sistem aliran Taylor-Couette, akan mengalami transisi ke pola aliran Taylor vortex jika putaran silinder bagian dalam dinaikkan sampai melampaui nilai tertentu. Pola aliran Taylor vortex ditandai dengan munculnya vortex yang saling berpasangan berlawanan arah secara teratur di sepanjang sistem aliran. Perubahan pola aliran pada sistem Taylor-Couette atas pengaruh putaran silinder digambarkan dengan cukup lengkap oleh Andereck dkk. (1986) melalui eksperimen yang memvisualisasikan aliran fluida di antara dua silinder konsentrik yang berputar secara bebas antara satu dengan yang lainnya. Eksperimen tersebut dilakukan pada perbandingan radius silinder 0,883 dan variasi perbandingan aspek antara 20 sampai dengan 48. Hasilnya adalah berupa satu peta pola aliran Taylor-Couette yang cukup detail bedasarkan variasi putaran silinder bagian dalam maupun luar seperti pada Gambar 1. Untuk silinder bagian luar yang diam pola aliran yang terjadi adalah Couette-laminar pada bilangan Reynolds (0≤ Re ≤ 80), Taylor-vortex (80 ≤ Re ≤ 200), Vortex bergelombang (200 ≤Re ≤ 1000), Modulated waves (1000 ≤ Re ≤ 1500) dan vortex turbulent (Re ≥ 1500 ).

Page 186: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐88

Teknik

MESIN

Gambar 1. Peta pola aliran fluida diantara dua buah silinder

konsentrik yang salah satu maupun keduanya berputar. (Andereck dkk, 1986).

Ketidakstabilan yang terjadi pada aliran Couette diantara dua buah silinder konsentrik yang berputar berhasil dipecahkan oleh G.I. Taylor pada tahun 1923. Taylor menemukan bahwa fenomena ketidakstabilan terjadi akibat dari gaya sentrifugal yang terjadi pada aliran Couette melingkar dapat mengatasi gaya viscous. Perbandingan antara efek gaya sentrifugal dan gaya viscous tersebut dinyatakan dengan bilangan nondimensi, Taylor number, Ta sebagai berikut:

............(1)

Ketidakstabilan pertama terjadi jika putaran silinder dalam dinaikkan hingga mencapai nilai Takritis maka aliran laminar Couette melingkar akan berubah menjadi aliran Taylor vortex seperti terlihat pada gambar 2. Aliran dengan Taylor- vortex ini dapat disebut sebagai aliran transisi sebelum terbentuk aliran turbulen penuh. Batas untuk ketiga daerah aliran tersebut diberikan dalam parameter bilangan Taylor sebagai berikut:

Ta < 41.3 : aliran laminar Couette 41.3 < Ta < 400 : aliran laminer dengan Taylor vortex Ta > 400 : aliran turbulen

Re = : Reynolds number

Gambar. 2. Taylor vortex yang terjadi pada aliran Couette melingkar (Schlichting, 1979).

Pengukuran torsi juga dapat digunakan untuk menggambarkan karakteristik pola aliran Taylor-

Couette menurut Yutaka Yamada (1960) bahwa pada sistem aliran Taylor-Couette besarnya torsi yang dibutuhkan untuk memutar silinder diketahui merupakan fungsi dari bilangan Reynolds.

Page 187: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐89

Teknik

MESIN

Pada daerah aliran laminer hubungan antara torsi dan bilangan Reynolds adalah linear. Namun pada daerah transisi terjadi perubahan torsi yang besar dan non linear. Para peneliti terdahulu yang melakukan pengukuran torsi pada aliran Taylor-Couette merumuskan persamaan empiris untuk menghitung torsi dan hanya terbatas pada daerah bilangan Reynolds tertentu atau tidak berlaku global untuk semua daerah aliran. Beberapa persamaan korelasi empiris untuk menghitung besarnya koefisien hambatan torsi pada aliran Taylor-Couette dirangkum dalam Tabel. 1 Keterangan:

adalah torsi dalam bentuk

bilangan tak berdimensi. T adalah torsi (kg-cm). ρ adalah massa jenis fluida (Kg/m3). ν adalah viskositas kinematik fluida (m2/s). L adalah panjang silinder (mm).

, adalah koefisien torsi.

u adalah kecepatan tangensial fluida. R1 adalah radius silinder bagian dalam. Rω = ΩiR1d/ν adalah Reynolds number melingkar. Ωi = 2πn/60 adalah kecepatan putar silinder bagian dalam (rad/s). n adalah putaran silinder bagian dalam. (rpm) d adalah celah silinder (mm). Tabel.1 Persamaan torsi untuk aliran Taylor-Couette

No Peneliti Th Parameter Persamaan Keterangan

1 Wendt

(Lathrop, 1992) 1933

400 < Re < 104

104 < Re < 105

2 Bilgen dan Boulos

(Batten, 2002) 1973

500 < Re < 104

Re > 104

Page 188: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐90

Teknik

MESIN

2. Metodologi

Metodologi penelitian ini menggunakan skema alat penelitian sebagai berikut :

Gambar 3. Skema alat Penelitian. Skema alat penelitian ini terdiri dari sebuah silinder konsentris dihubungkan dengan motor listrik yang diintegrasikan dengan sebuah Inverter berfungsi untuk mengatur putaran silinder dalam. Silinder luar dari akrilik dengan diameter luar dan dalam 100 mm dan 90 mm dan silinder dalam dari filter RO dengan diameter luar 65 mm. Silinder tersebut mempunyai tutup bawah dan atas yang berfungsi sebagai sisi masuk dan keluar fluida yang di pompakan melalui sistem perpipaan dengan dipasang sepuluh gate valve dan satu globe valve untuk mengatur saat pengujian. Flow meter dipasang pada sisi masuk silinder dan sisi keluar filter berfungsi untuk mengetahui debit aliran fluida, dua pressure transducer dan satu pressure gauge dipasang pada sisi masuk , sisi keluar filter dan sisi keluar silinder berfungsi untuk mengetahui tekanan. Menggunakan fluida air 50 liter dicampur 50 gram serbuk aluminium dipompakan masuk ke dalam celah silinder konsentris sampai terisi penuh, lalu pompa di matikan. Putaran silinder dalam diatur dengan Inverter yang diintegrasikan dengan motor listrik dimulai dari frekuensi 0,9 HZ sampai dengan 50 HZ. Setiap putaran silinder dalam dilakukan pemotretan untuk pengambilan visualisasi gambar pola aliran Taylor-Couette.

28

KET:

• Inverter: 1 • Motor listrik: 2 • Pully Transmisi: 3 • Seksi uji: 4 • Efluent: 5 • Pressure Transducer: 6, 14 • Gate valve:

7,8,12,15,16,17,20, 22,24,25,26.

• Flusing: 9,21 • Influent: 10 • Pressure gauge: 11 • Filtrat: 13 • Flow meter masuk: 19 • Flow meter keluar: 18 • Globe valve: 23 • Pompa: 27 • Water Tank: 28

Page 189: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐91

Teknik

MESIN

Seksi Uji

3. Hasil Dan Pembahasan

Hasil visualisasi aliran Taylor-Couette pada putaran silinder bagian dalam rendah dengan bilangan Reynolds Re=79 pola aliran berbentuk couette laminar yaitu aliran halus di sepanjang sistem aliran

a. b. Gambar 5. aliran Couette laminar pada (a)Re= 79 dan (b)Sket.

Kemudian putaran silinder dalam di naikkan hingga mencapai bilangan Reynolds kritisnya Rec≈ 66,6; pola aliran berbentuk Taylor vortex pada bilangan Reynolds Re= 148 yang ditandai dengan munculnya vortex yang saling berpasangan dan berlawanan arah di sepanjang sistem aliran dengan jumlah pasang vortex 16 pasang. Jarak satu pasang vortex idealnya = dua kali celah silinder. Pada eksperimen ini jarak satu pasang vortex adalah 3 cm.

Seksi uji dari sebuah silinder konsentris, dengan ukuran :

• Jari-jari silinder dalam Ri = 32,5 mm. • Jari-jari silinder luar Ro= 45 mm. • Panjang silinder L = 500 mm. • Celah silinder d = 12,5 mm. • radius ratio η = 0,72. • aspect ratio Г = 40

Page 190: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐92

Teknik

MESIN

a b Gambar 6. Aliran Taylor-vortex pada (a)Re= 148 dan (b)Sket.

Putaran silinder dalam dinaikkan lagi hingga mencapai bilangan Reynolds Re= 543, pola aliran berbentuk wavy vortex yang terjadi pada arah tangensial saling berpasangan berlawanan arah secara teratur di sepanjang sistem aliran

a b Gambar 7. Aliran Vortex bergelombang pada (a)Re= 543 dan (b)Sket.

Putaran silinder dalam dinaikkan lagi hingga mencapai bilangan Reynolds Re= 987, pola aliran berbentuk vortex turbulen dan Pada daerah aliran ini garis vortex antara satu dengan garis vortex berikutnya berbentuk turbulen (tidak teratur).

a b Gambar 8. Aliran Vortex turbulen pada

(a)Re= 987 dan (b)Sket. Bila hasil visualisasi pola aliran ini dituangkan ke dalam sebuah gambar peta pola aliran maka

posisinya seperti terlihat pada gambar berikut ini,

Page 191: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐93

Teknik

MESIN

Gambar 9. Peta pola aliran Taylor-Couette di dalam silinder konsentris dengan silinder dalam berputar dan silinder luar diam.

Hasil pengukuran torsi pada eksperimen ini juga dapat menggambarkan karakteristik pola aliran Taylor-Couette yang dinyatakan dalam Gambar 10. Dalam penelitian ini, pemunculan sebuah pola aliran selalu mengalami keterlambatan dalam jumlah putaran dibanding dengan prediksi dari teori. Sebagai contoh pada putaran filter 1,56 rpm seharusnya sudah terbentuk Taylor vortex tetapi baru terbentuk pada putaran 2 rpm dan munculnya vortex turbulent juga mengalami keterlambatan seharusnya terbentuk pada putaran filter 14 rpm tetapi baru terbentuk pada putaran 16 rpm. Hal tersebut disebabkan karena bentuk permukaan silinder dalam tidak simetris (beralur) dan kurangnya kepresisian silinder konsentris sebagai seksi uji.

Gambar 10. Hubungan Torsi non dimensional (G) dan bilangan Reynolds melingkar.

Hubungan Torsi dan bilangan Reynolds melingkar dapat dijelaskan bahwa pada daerah aliran laminer hubungan Torsi dan bilangan Reynolds melingkar adalah linear dan bilangan Reynolds kritisnya Rec=80 lebih besar dari pada bilangan Reynolds kritis secara teori, ini disebabkan karena permukaan

Rec

Wavy

Couette

l

Taylor‐vortex

Vortex

T b l

Re

500

1000

150

Page 192: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐94

Teknik

MESIN

silinder bagian dalam tidak rata dan sistem aliran Taylor-Couette yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem terbuka. Pada daerah aliran transisi torsi mengalami perubahan yang besar dan non linear. 4. Kesimpulan

Kenaikan putaran silinder bagian dalam menghasilkan pola aliran berjenjang mulai dari couette laminar, Taylor-vortex, Wavy vortex (vortex bergelombang) dan vortex turbulent. Kecenderungan derajat kesalahan terjadi antara eksperimen dengan teoritis pada visualisasi aliran air di dalam silinder konsentris bila putaran silinder dalam meningkat.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Laboratorium Mekanika Fluida dan Perpindahan Panas dan Massa Jurusan Teknik Mesin dan Industri Fakultas Teknik UGM atas diijinkannya melaksanakan penelitian ini. Demikian juga kami ucapkan kepada saudara Shaleh Ahmad, Aditya Mianto Cahyono dan semua pihak yang telah membantu hingga penelitian ini selesai dengan baik.

Daftar Pustaka [1]. Andereck, C.D., Liu, S.S., Swinney, H.L. 1986. Flow regime in circular Couette system with

independently rotating cylinder. J. Fluid Mechanics. Vol. 164 pp. 155-183. [2]. Batten, W.M.J., Bressloff, N.W. and Turnock, S.R. 2002. Transition from Vortex to wall driven

turbulence production in the Taylor-Couette system with a rotating inner cylinder. Int. J. Numer. Meth. Fluids 2002. Vol. 38 pp. 207- 226.

[3]. Lathrop, D.P., Fineberg, J. and Swinney, H.L 1992. Transition to shear-driven turbulence in Couette- Taylor flow. Phys. Rev Vol-46 No:10. pp 6390-6405.

[4]. Schlichting, H. 1979. Boundary Layer Theory. McGraw-Hill. [5]. Yamada, Y. 1960. Resistance of a Flowthrough an Annulus with an Inner Rotating Cylinder.

Bulletin of JSME. Vol-5. pp 302-310. Nomenclature Huruf Roman G = torsi non dimensional. T = torsi. Ri = radius silinder dalam (mm) Ro = radius silinder luar (mm) d = celah antar silinder konsentris (mm) L = Panjang silinder (mm) n = Putaran silinder dalam (rpm) Huruf Yunani Ω1 = frekuensi dari putaran silinder dalam (rad/s).

Π = Konstanta (3,14 ) Г = L/d η = radius ratio ρ = massa jenis (kg/m3) μ = viskositas dynamik (kg/m.s) ν = viskositas kinematik (m2/s) Bilangan tak berdimensi Rω = bilangan Reynolds melingkar Re = Bilangan Reynolds Ta = Bilangan Taylor

Page 193: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐95

Teknik

MESIN

Variasi Ukuran Dan Jarak Nozel Terhadap Perubahan Putaran Turbin Pelton

Rr. Sri Poernomo Sari dan Rizki Hario Wicaksono

Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri Universitas Gunadarma, Jakarta

Email: [email protected]

Abstrak Efek jarak nozel terhadap sudu turbin dapat menghasilkan energi terbaik. Bentuk sudu turbin pelton, debit air, dan tekanan air yang keluar dari nozel akan memberi impuls yang baik untuk menghasilkan putaran turbin. Tujuan studi ini mengetahui efek perubahan jarak nozel terhadap sudu turbin guna menghasilkan putaran tercepat dan pengaruh diameter nozel terhadap putaran sudu turbin. Karakteristik model sudu turbin pada variasi jarak nozel dapat menghasilkan efisiensi yang tinggi. Model turbin pelton berdiameter 12,8 cm, lebar sudu 5 cm sejumlah 16 buah dengan dua macam bentuk ukuran nozel berdiameter ujung dalam 6 mm dan 8 mm digunakan dalam penelitian ini. Dengan variasi jarak nozel, ukuran nozel, dan debit air, mulai dari debit rendah menuju tinggi dilakukan pengambilan data. Hasil yang menunjukan hubungan antara putaran turbin dengan debit air dan jarak nozel ditampilkan dalam grafik. Bentuk dan diameter nozel yang sesuai terhadap bentuk sudu turbin dapat menghasilkan performa turbin yang maksimal. Kata kunci : Turbin Pelton, sudu turbin, jarak nozel, diameter nozel, debit air 1. Pendahuluan

Pengembangan sumber energi yang dapat diperbarahukan semakin meningkat sebagai antisipasi makin berkurangnya sumber energi yang berasal dari fosil seperti minyak bumi dan batubara. Sumber energi yang dapat diperbaraukan di Indonesia menurut sumber asean energy salah satunya adalah mikrohidro yang memanfaatkan air sebagai sumber energi dari suatu turbin. Turbin dimanfaatkan secara luas dan merupakan sumber energi yang dapat diperbaharukan. Turbin air berperan untuk mengubah energi air menjadi energi mekanik dalam bentuk putaran poros. Energi potensial air diubah menjadi energi kinetik pada nozel. Air keluar nozel yang mempunyai kecepatan tinggi membentur sudu turbin. Setelah membentur sudu arah kecepatan aliran berubah sehingga terjadi perubahan momentum (impulse) sehingga roda turbin akan berputar. Turbin dapat memanfaatkan air dengan putaran lebih cepat dan dapat memanfaatkan head yang lebih tinggi. Putaran poros turbin ini akan diubah oleh generator menjadi tenaga listrik. Turbin impuls adalah turbin tekanan sama karena aliran air yang keluar dari nosel tekanannya adalah sama dengan tekanan atmosfir sekitarnya. Semua energi tinggi tempat dan tekanan ketika masuk ke sudu jalan turbin dirubah menjadi energi kecepatan. Turbin pelton merupakan turbin impuls yang terdiri dari satu set sudu jalan yang diputar oleh pancaran air yang disemprotkan dari satu atau lebih alat yang disebut nozel. Turbin Pelton adalah salah satu dari jenis turbin air yang paling efisien dan sesuai digunakan untuk head tinggi. Bentuk sudu turbin terdiri dari dua bagian yang simetris. Sudu dibentuk sedemikian sehingga pancaran air akan mengenai tengah-tengah sudu dan pancaran air tersebut akan berbelok ke kedua arah sehinga bisa membalikkan pancaran air dengan baik dan membebaskan sudu dari gaya-gaya samping. Untuk turbin dengan daya yang besar, sistem penyemprotan airnya dibagi lewat beberapa nozel. Dengan demikian diameter pancaran air bisa diperkecil dan mangkok sudu lebih kecil.

Penyelesaian perhitungan dalam proses perancangan turbin pelton maka diperlukan kapasitas air max sebesar 0,0028 m³, perancangan di titik beratkan pada perencanaan jarak nozel, ukuran nozel, debit air, dan putaran sudu dengan putaran turbin max 1764 rpm. Tujuan penelitian adalah mengetahui efek perubahan jarak nozel terhadap sudu turbin guna menghasilkan putaran tercepat dan pengaruh diameter nozel terhadap putaran sudu turbin.

Page 194: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐96

Teknik

MESIN

2. Experimental Setup Tahap awal adalah pembuatan sketsa rangka dimana rangka adalah bagian utama dalam pembuatan komponen turbin dimana rangka harus memiliki kekuatan serta ketahanan terhadap beban yang ditopangnya. Selain harus memiliki kekuatan serta ketahanan rangka juga didesign seringan mungkin agar nantinya mudah dipindah-pindahkan. Tahap selanjutnya adalah membuat skema proses kerja turbin dan laju aliran fluida dimana fluida yang digunakan adalah air. Energi dari air inilah yang nantinya akan digunakan untuk memutar sudu pada turbin sehingga menjadi energi mekanik.

Air ditampung didalam bak penampung, kemudian air yang berada pada bak penampung dihisap

oleh pompa dimana pompa berfungsi untuk menghisap dan memompa air untuk dialirkan ke sudu turbin. Namun aliran air tidak langsung mengarah ke sudu turbin melainkan harus melewati pipa-pipa saluran yang telah diberi katup buka tutup sehingga laju aliran air dapat diatur sesuai dengan yang diinginkan. Kemudian katup-katup tersebut terhubung dengan saluran nozzle dimana nozel berfungsi sebagai pemancar air yang dipancarkan langsung ke arah sudu turbin sehingga sudu turbin berputar. Pada sudu-sudu turbin, energi aliran diubah menjadi energi mekanik yaitu putaran roda turbin. Apabila roda turbin dihubungan dengan poros generator listik, maka energi mekanik putaran roda turbin diubah menjadi energi listrik pada generator. Kemudian air yang telah digunakan untuk memutar sudu turbin jatuh kedalam bak penampung untuk kembali ke tahap awal maka terjadilah sirkulasi.

Turbin air akan mengubah energi kinetik air menjadi energi mekanik, yaitu putaran roda turbin.

Turbin pelton merupakan salah satu jenis turbin air yang prinsip kerjanya memanfaatkan energi potensial air menjadi energi listrik tenaga air (hydropower). Prinsip kerja turbin pelton adalah mengkonversi daya fluida dari air menjadi daya poros untuk digunakan memutar generator listrik, dimana energi potensial air disemprotkan ke bucket untuk dirubah menjadi energi mekanik yang digunakan untuk memutar poros generator. Turbin Pelton mempunyai beberapa keuntungan antara lain efisisensi turbin yang relatif stabil pada berbagai perubahan debit aliran. Turbin pelton cocok dipakai untuk tinggi jatuh air (Head) yang tinggi dan debit aliran yang kecil.

Air yang mengalir mempunyai energi yang dapat digunakan untuk memutar sudu turbin. Prinsip kerja

turbin pelton adalah mengkonversi daya fluida dari air menjadi daya poros untuk digunakan memutar generator listrik, dimana energi potensial air disemprotkan oleh nozel ke sudu untuk dirubah menjadi energi mekanik yang digunakan untuk memutar poros generator. nozel merupakan mekanisme pancaran yang berbentuk melengkung yang mengarahkan air sesuai dengan arah aliran yang direncanakan dan mengatur aliran air. Fungsi utama nozel adalah untuk mengubah tekanan air menjadi suatu kecepatan aliran atau untuk mengubah tekanan air menjadi suatu kecepatan aliran, yang digunakan untuk memutar runer. Bentuk nozel sangat mempengaruhi performa turbin, didalam perancangan sebuah nozel turbin pelton ini memerlukan beberapa tahap mulai dari menentukan ukuran runer dan sudu dengan menggunakan data yang telah ada setelah itu perlu dilakukan perhitungan-perhitungan yang berkaitan dengan nozel itu sendiri, yaitu meliputi perhitungan diameter ujung nozel, kecepatan aliran air pada ujung nozel, panjang ujung nozel. Bahan yang digunakan untuk nozel turbin pelton ini adalah menggunakan paduan Aluminium. Dari tahap-tahap yang telah direncanakan tersebut, maka didapatkan ukuran nozel untuk turbin air pelton yang sesuai dengan yang diharapkan.

Page 195: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐97

Teknik

MESIN

Gambar 1. Desain Nozel

Gambar 2. Nozel Turbin

Setelah design nozel selesai dibuat maka proses selanjutnya pembentukan diameter luar nozel, panjang nozel, dan juga pembuatan lubang bagian dalam nozel menjadi bentuk sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan. Nozel yang telah dibuat memiliki berbagai macam ukuran dimana dari perbedaan ukuran inilah akan dicari ukuran nozel yang dapat memutar sudu lebih baik sehingga dapat meningkatkan efesiensi turbin. Dengan meningkatkan efesiensi turbin maka dapat meningkatkan energi yang dihasilkan sehingga turbin air mampu menghasilkan kerja yang optimal dengan penggunaan energi yang minimal. Oleh karena itu dengan menggunakan ukuran nozel yang berbeda maka didapatkan bagaimana dapat merancang nozel turbin pelton yang baik.

Tabel 1. Ukuran Nozel

Nozel

Ukuran Nozel (mm) P.Ujung P.Total D.Ujung

Luar D.Ujung Dalam

D.Dalam Inti

D.Luar Inti

Nozel I 26 mm 81 mm 16 mm 6 mm 12 mm 24 mm Nozel II 26 mm 81 mm 16 mm 8 mm 14 mm 24 mm

Page 196: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐98

Teknik

MESIN

Nozel mempunyai beberapa fungsi yaitu mengarahkan pancaran air ke sudu turbin, mengubah tekanan menjadi energi kinetic dan mengatur kapasitas air yang masuk turbin. Sudu turbin merupakan sarana untuk merubah energi air menjadi energi mekanik berupa torsi pada poros sudu dimana aliran air yang ditembakkan oleh nozel kearah sudu mengakibatkan daun-daun sudu terdorong dan berputar. Aliran air yang diarahkan langsung menuju sudu-sudu melalui pengarah atau nozel ini juga menghasilkan daya pada sirip. Selama sudu berputar, gaya bekerja melalui suatu jarak, sehingga menghasilkan kerja. Dalam proses ini energi ditransfer dari aliran air ke turbin.

Gambar 3. Desain Runner Turbin Pelton

Gambar 4. Runner Turbin Pelton

Sudu dibentuk sedemikian sehingga pancaran air akan mengenai tengah-tengah sudu dan pancaran air tersebut akan berbelok ke kedua arah sehinga bisa membalikkan pancaran air dengan baik dan membebaskan sudu dari gaya-gaya samping. Untuk turbin dengan daya yang besar, sistem penyemprotan airnya dibagi lewat beberapa nozel. Dengan demikian diameter pancaran air bisa diperkecil dan ember sudu lebih kecil seperti pada gambar 3.8 di atas.

Page 197: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐99

Teknik

MESIN

Desain ini dibuat untuk mempermudah dalam proses perakitan sehingga dapat diketahui langkah-langkah yang harus dilakukan.

Gambar 5. Desain Turbin Pelton

3. Teori

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi aliran fluida, yaitu : a. Laju Aliran Volume

Laju aliran volume disebut juga debit aliran (Q) yaitu jumlah volume aliran per satuan waktu. Debit aliran dapat dituliskan pada persamaan sebagai berikut :

Q = A v (1)

Dimana : v = Kecepatan aliran (m/s) A = Luas penampang pipa (m) Q = Debit aliran (m³/s) Selain persamaan di atas dapat juga menggunakan persamaaan sebagai berikut:

vQt

= (2)

Dimana : V = Volume aliran (m3) Q = Debit aliran (m³/s) t = waktu aliran (s)

b. Kecepatan fluida (V) Didefinisikan besarnya debit aliran yang mengalir persatuan luas.

(3)

Dimana : v = Kecepatan atau laju aliran (m/s) Q = Debit aliran (m3/s) A = Luas penampang ( m2)

Page 198: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐100

Teknik

MESIN

c. Bilangan Reynolds Bilangan Reynolds didapat dengan menggunakan persamaan (2.4) dimana nilai dari Bilangan

Reynolds (Re) dapat dihitung bila mempunyai nilai-nilai dari : kecepatan aliran (v), massa jenis (ρ), diameter dalam pipa (d), viskositas dinamik (μ) atau viskositas kinematik (υ).

Re Vd Vdρμ υ

= = ……...………………………….. (4)

• aliran laminar, 0 < Re < 2300, fluida bergerak dengan kecepatan rendah dan memiliki viskositas yang tinggi. Gaya viskos yang memberikan tahanan terhadap gerakan relatif lapisan fluida yang berdekatan cenderung meredam terjadinya turbulensi. Dalam aliran laminer losses pada aliran sebanding dengan kecepatan fluida.

• aliran transisi, (antara laminar dan turbulen), 2300 < Re < 4000, biasa disebut dengan bilangan Reynolds kritis.

• aliran turbulen, Re > 4000, Partikel-partikel fluida yang bergerak secara acak dengan saling tukar momentum dan partikel antar lapisan fluida yang berdekatan dalam skala besar menyebabkan fluida bergerak ke segala arah, dan terjadi pembauran aliran fluida. aliran turbulen losses yang lebih besar, sebanding dengan kecepatan fluida pangkat 1.7-2.0.

4. Pengujian dan analisis

Pengujian ini dilakukan dengan berbagai tahap mulai dari proses persiapan pengujian, sampai dengan proses akhir yaitu pengujian kemampuan turbin tersebut berputar untuk mencapai putaran sesuai dengan yang diinginkan. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan proses pengujian adalah : Mengukur Volume Air (V)

Mengukur Volume Air terhadap pengaruh diameter nozel dan derajat bukaan katup. Pada tahapan pengujian ini didapatkan perbedaan volume air dimana diameter nozel yang lebih besar menghasilkan volume air yang lebih banyak dibandingkan nozel dengan diameter yang lebih kecil. Sehingga dapat disimpulkan nozel yang berdiameter lebih besar dapat menghasilkan debit air yang besar.

Mengukur Putaran Sudu (RPM) Dengan mengukur putaran sudu dengan menggunakan tachometer dapat mengetahui pengaruh besar diameter nozel dan derajat bukaan katup. Pada tahapan pengujian ini didapatkan perbedaan putaran sudu dimana nozel yang memiliki diameter lebih besar dapat memutarkan sudu lebih cepat mencapai kurang lebih 1742 RPM pada bukaan katup 90˚ dibandingkan dengan nozel yang memiliki ukuran diameter lebih kecil yang dapat memutarkan sudu hanya sebesar kurang lebih 1585 RPM pada bukaan katup yang sama. Berikut perbandingan putaran yang dihasilkan setelah dilakukan pengujian dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini.

Mengukur Diameter Dalam Selang (d) Pengukuran diameter selang ini dilakukan dengan menggunakan jangka sorong dimana pengukuran dilakukan pada diameter bagian dalam, sehingga akan didapatkan luas penampang (A) yang nantinya untuk menentukan diameter pipa yang akan digunakan. Setelah dilakukan pengukuran didapatkan diameter dalam selang sebesar 20mm, sedangkan untuk diameter luar selang sebesar 22mm.

Penghitungan Data

Air merupakan sumber energi yang murah dan relatif mudah didapat, karena pada air tersimpan energi potensial (pada air jatuh) dan energi kinetik (pada air mengalir). Tenaga air (Hydropower) adalah energi yang diperoleh dari air yang mengalir. Energi yang dimiliki air dapat dimanfaatkan dan digunakan dalam wujud energi mekanis maupun energi listrik. Pemanfaatan energi air banyak dilakukan dengan menggunakan kincir air atau turbin air yang memanfaatkan adanya suatu air terjun atau aliran air di

Page 199: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐101

Teknik

MESIN

sungai. Sejak awal abad 18 kincir air banyak dimanfaatkan sebagai penggerak penggilingan gandum, penggergajian kayu dan mesin tekstil. Memasuki abad 19 turbin air mulai dikembangkan.

Besarnya tenaga air yang tersedia dari suatu sumber air bergantung pada besarnya head dan debit air. Dalam hubungan dengan reservoir air maka head adalah beda ketinggian antara muka air pada reservoir dengan muka air keluar dari kincir air/turbin air. Laju aliran volume disebut juga debit aliran (Q) yaitu jumlah volume aliran per satuan waktu. Debit aliran dapat dituliskan dari persamaan (2) dimana dapat didefinisikan besarnya volume (V) persatuan waktu (t) sedangkan untuk laju aliran dapat didefinisikan besarnya debit (Q) aliran yang mengalir persatuan luas penampang (A) seperti pada persamaan (3).

Penghitungan Debit dan Kecepatan Aliran Fluida

Debit aliran fluida didapatkan dari volume fluida yang diambil selama waktu tertentu. Waktu diukur dengan menggunakan stopwatch dalam satuan sekon (s) dan volume didapat menggunakan gelas ukur dari percobaan dalam satuan ml.

Gambar 6. Diagram Alir Pengujian dan Analisis

MULAI

Menentukan:− Volume Air (V) − Putaran (RPM) − Diameter Selang (d)

Hitung:− Debit Aliran (Q) − Luas Penampang (A) − Kecepatan aliran (v) − Bil. Reynolds (Re)

Menentukan:− Bukaan Katup − Jumlah Nozel

Kecepatan Putar Turbin

SELESAI

Page 200: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐102

Teknik

MESIN

0200400600800

10001200140016001800

0,00016 0,00023 0,00029 0,00031 0,00036

RPM

Debit ( Q )

Nozel ø 6mm

Nozel D.dalam 6mm

Gambar 7. Grafik perbandingan debit air terhadap putaran sudu turbin

0

500

1000

1500

2000

0,00027 0,00037 0,00045 0,00054 0,00056

RPM

Debit (Q)

Nozel ø 8mm

Nozel D.dalam 8mm

Gambar 8. Grafik perbandingan debit air terhadap putaran sudu turbin

Untuk mendapatkan kecepatan aliran fluida (v) dalam m/s dapat digunakan persamaan (3) dapat didefinisikan besarnya debit (Q) aliran yang mengalir persatuan luas penampang (A). Dari data pengujian yang telah diolah untuk mencari debit aliran dan kecepatan aliran dapat dilihat bahwa semakin besar bukaan katup maka debit yang dihasilkan lebih besar, atau dengan kata lain semakin besar bukaan katup maka volume fluida akan semakin tinggi per satuan waktu. Dalam pengujian ini ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil pengambilan data untuk menentukan debit aliran seperti, ketepatan pengambilan volume dengan gelas ukur agar dalam proses penampungan tidak ada air yang tumpah dan ketepatan pengambilan waktu penampungan. Sementara untuk kecepatan aliran yang telah didapatkan dari pengolahan data dapat disimpulkan bahwa semakin besar bukaan katup, maka kecepatan aliran fluida akan cenderung meningkat. Kecepatan

Page 201: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐103

Teknik

MESIN

yang telah didapatkan akan mempengaruhi Bilangan Reynolds kerena kecepatan aliran merupakan fungsi pembilang dalam Bilangan Reynolds, sehingga semakin cepat aliran fluida yang mengalir di dalam pipa pengujian (pipa bulat) maka nilai bilangan Reynolds akan cenderung meningkat atau menunjukan kecenderungan turbulen. Penghitungan Bilangan Reynolds Bilangan Reynolds (Re) dapat dihitung bila mempunyai nilai-nilai dari : kecepatan aliran (v), massa jenis (ρ), diameter dalam pipa (d), viskositas dinamik (μ) atau viskositas kinematik (υ).

Tabel 1. Data Bilangan Reynolds

Bukaan katup T (°C) d-in (m) v (m/s) υ (m2/s) Re

50˚ 30 0.02 0,052 8,009E-07 1298 90˚ 30 0.02 0,116 8,009E-07 2897 50˚ 30 0.02 0,087 8,009E-07 2172 90˚ 30 0.02 0,181 8,009E-07 4519 50˚ 30 0.02 0,138 8,009E-07 3445 90˚ 30 0.02 0,3 8,009E-07 7492

Dimana : T = Temperatur fluida (°C) d-in = Diameter dalam pipa (m) v = Kecepatan aliran fluida (m/s2) υ = Viskositas kinematis (m2/s) μ = Viskositas dinamis (Pa.s) Re = Bilangan Reynolds

Nilai viskositas kinematis (υ) dan dinamis (μ) untuk air murni didapat dari fungsi

temperatur fluida pada tabel sifat fisika air murni. Dari tabel 1 diatas untuk diameter pipa yang sama dapat dilihat Bilangan Reynolds

cenderung meningkat karena dipengaruhi peningkatan kecepatan aliran fluida. Hal ini menunjukan semakin terjadi peningkatan kecepatan aliran fluida, maka aliran dalam pipa akan cenderung turbulen. Sedangkan semakin terjadi penurunan kecepatan aliran fluida, aliran tersebut akan cenderung laminer. Dalam pengujian ini kecepatan aliran (v) yang berfungsi sebagai pembilang di dalam Bilangan Reynolds sangat mempengaruhi karakteristik dari aliran fluida yang mengalir di dalam pipa pengujian. Selain itu transisi dari aliran laminer ke aliran turbulen tentunya juga merupakan fungsi dari bilangan Reynolds .

Pengaruh jarak nozel terhadap sudu turbin (l)

Gambar 9 Skema Jarak Antara Nozel Terhadap Runner

Page 202: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐104

Teknik

MESIN

Jarak tembak antara nozel terhadap daun sudu juga dapat mempengaruhi kecepatan putar sudu turbin. Dengan mendapatkan titik jarak yang tepat antara nozel dengan daun sudu maka dapat meningkatkan efisiensi turbin sehingga didapatkan putaran yang maksimal. Dengan mengetahui titik optimum dari jarak nozel terhadap daun sudu dapat meningkatkan putaran runner menjadi lebih cepat karena titik jatuhnya pancaran nozel tepat mengenai daun sudu dan tidak terpecah karena salah satu fungsi utama nozel adalah dapat mengarahkan pancaran aliran air tepat mengenai daun sudu. Berikut hasil data yang didapatkan dari hasil uji coba yang telah dilakukan :

0

500

1000

1500

2000

18 36 54 72 90

RPM

Bukaan Katup (°)

Nozel ø 6mm

90mm

80mm

70mm

60mm

Gambar 10. Grafik Pengaruh Jarak pada Nozel D.Ujung Dalam 6mm

0

500

1000

1500

2000

18 36 54 72 90

RPM

Bukaan Katup (°)

Nozel ø 8mm

90mm

80mm

70mm

60mm

Gambar 11. Grafik Pengaruh Jarak pada Nozel D.Ujung Dalam 8mm

Dari hasil pengamatan pada gambar 10 dan 11 diatas dapat disimpulkan bahwa

perbedaan jarak antara nozel dengan daun sudu dapat mempengaruhi kecepatan putar sudu turbin. Pada gambar diatas terlihat bahwa titik optimum nozel diameter 6mm berada pada jarak 80mm, sedangkan untuk nozel berdiameter 8mm jarak optimum terletak pada jarak 70mm. Jarak antara runner dengan nozel yang terlalu dekat dapat memecah aliran sehingga pancaran air tidak tepat atau tidak focus. Selain itu jarak antara nozel terhadap runner menentukan titik jatuhnya

Page 203: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐105

Teknik

MESIN

aliran air, karena itu nozel harus memiliki jarak yang tepat agar sudu turbin dapat menerima impuls dengan baik.

5. Kesimpulan

Dari hasil pengujian dan pengamatan yang telah dilakukan pada perancangan turbin pelton yang telah dibuat maka di dapat kesimpulan sebagai berikut :

Diameter nozel yang lebih besar menghasilkan volume air yang lebih banyak dibandingkan nozel dengan diameter yang lebih kecil. Sehingga sementara dapat disimpulkan nozel yang berdiameter lebih besar dapat menghasilkan volume air yang besar yaitu 0,00056 m³/s.

Perbedaan putaran sudu dimana nozel yang memiliki diameter lebih besar dapat memutarkan sudu lebih cepat mencapai kurang lebih 1742 RPM pada bukaan katup 90˚ dibandingkan dengan nozel yang memiliki ukuran diameter lebih kecil yang dapat memutarkan sudu hanya sebesar kurang lebih 1585 RPM pada bukaan katup yang sama.

Dari data pengujian yang telah diolah untuk mencari debit aliran dan kecepatan aliran dapat dilihat bahwa semakin besar bukaan katup maka debit yang dihasilkan lebih besar, atau dengan kata lain semakin besar bukaan katup maka volume fluida akan semakin tinggi per satuan waktu. Dalam pengujian ini ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil pengambilan data untuk menentukan debit aliran seperti, ketepatan pengambilan volume dengan gelas ukur agar dalam proses penampungan tidak ada air yang tumpah dan ketepatan pengambilan waktu penampungan.

Sementara untuk kecepatan aliran yang telah didapatkan dari pengolahan data dapat disimpulkan bahwa semakin besar bukaan katup, maka kecepatan aliran fluida akan cenderung meningkat. Kecepatan yang telah didapatkan akan mempengaruhi Bilangan Reynolds kerena kecepatan aliran merupakan fungsi pembilang dalam Bilangan Reynolds, sehingga semakin cepat aliran fluida yang mengalir di dalam pipa pengujian (pipa bulat) maka nilai bilangan Reynolds akan cenderung meningkat atau menunjukan kecenderungan turbulen pada saat Bilangan Re mencapai 4519 keatas.

Bilangan Reynolds cenderung meningkat karena dipengaruhi peningkatan kecepatan aliran fluida. Hal ini menunjukan semakin terjadi peningkatan kecepatan aliran fluida, maka aliran dalam pipa akan cenderung turbulen. Dalam pengujian ini kecepatan aliran (v) di dalam Bilangan Reynolds sangat mempengaruhi karakteristik dari aliran fluida yang mengalir di dalam pipa pengujian.

Daftar Pustaka

[1]. Reuben M. Olso, Steven j. Wraight. Essentials of Engineering Fluid Mechanics. Harper & Row

Publisher , inc, 1990 [2]. Victor I, Streeter, Fluid Mechanics. McGraw-Hill, Inc. 1985. [3]. Fritz Dietzel, Dakso Sriyono, Turbin Pompa dan Kompresor, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2006 [4]. EBARA Hatakeyama Memorial Fund, Ebara Corporation,Tokyo, Japan [5]. David G. Ullman, The Mechanical design Process, Mc Graw hill international Editions, 1992 [6]. Robert D. Blevins, Applied Fluid Dynamics Handbook, 1984

Page 204: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐106

Teknik

MESIN

Uji Experimental Rotor Savonius Helix Dua Sudu dan Empat Sudu

Mohammad Alexin Putra, Roni Ramadani, Ganda Roni Simanullang, Asdar Askar

Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri

Institut Teknologi Nasional

Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124

Email: [email protected]

Abstract

Turbin angin sumbu vertikal seperti rotor savonius mempunyai efisiensi yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan turbin angin sumbu horisontal. Namun turbin angin savonius cocok diterapkan untuk kecepatan angin yang relatif rendah seperti keadaan di Indonesia. Untuk meningkatkan efisensi dari rotor savonius telah dilakukan penelitian dengan memodifikasi bentuk savonius, yaitu memuntir sudu savonius hingga membentuk helix. Dari uji experimental terdahulu terbukti bahwa sudu savonius helix lebih efisien dibandingkan dengan sudu savonius biasa. Dalam makalah ini akan ditampilkan hasil uji experimental antara rotor savonius helix dua sudu dengan empat sudu. Untuk keperluan penelitian ini dibuat prototip dengan rotor savoinius helix dengan dimensi tinggi rotor 1,2 m, lebar rotor 0,54 m. Material sudu dibuat dari plat alumunium dengan tebal 0,4 mm. Pengujian dilakukan di laboratorium konversi energi ITENAS Bandung dengan menggunakan blower dan diatas gedung Student Center ITENAS Bandung. Kecepatan angin di laboratorium bervariasi dari 3,5 m/s sampai dengan 7,5 m/s, sedangkan diatas gedung student center kecepatan angin bisa mencapai 10 m/s. Namun untuk keperluan perbandingan hanya ditampilkan sampai dengan kecepatan 7,5 m/s. Putaran rotor digunakan untuk memutar generator yang menghasilkan listrik. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kinerja rotor savonius helix empat sudu lebih baik dibandingkan dengan dua sudu. Semakin tinggi kecepatan angin semakin besar pula perbedaan kinerja antara empat sudu dan dua sudu.

Keywords : rotor savonius helix 1. Pendahuluan Dengan naiknya permintaan energi di dunia internasional dan pasokan energi konvensional yang menipis membuat harga energi semakin meningkat, sehingga penelitian dan penerapan energi alternatif menjadi sangat diperlukan. Salah satu sumber daya energi alternatif yang dapat diperbarui adalah angin. Di Indonesia penggunaan energi angin sebagai pembangkit energi listrik masih jarang diterapkan, karena kecepatan angin di Indonesia tidak sebesar seperti di negara negara eropa yang telah sangat maju dalam penerapan energi angin. Perbedaan karakteristik angin ini menyebabkan teknologi yang berkembang di negara Eropa dan negara maju lainnya tidak dapat diaplikasikan dengan optimal untuk keadaan Indonesia. Namun, secara geografis, potensi energi angin masih cukup menjanjikan terutama untuk daerah pantai dan daerah daerah yang memiliki kecepatan angin diatas kecepatan angin rata rata.

Untuk kecepatan angin di Indonesia penerapan teknologi energi angin yang menjanjikan adalah dengan mengaplikasikan rotor savonius sebagai pembangkit listrik skala kecil. Bentuk dasar rotor savonius adalah dua silinder semisirkular yang dipotong setengahnya, kemudian dipasang bersilangan sehingga membentuk huruf "S". Selama ini rotor savonius kurang populer untuk digunakan sebagai pembangkit listrik, karena efisiensinya yang rendah dibandingkan dengan turbin angin tipe yang lain. Keuntungan dari rotor savonius adalah desainnya yang simpel, biaya konstruksi yang murah dan torsi yang besar pada kecepatan rotasi yang rendah, sehingga banyak diaplikasikan untuk memompa air dan pembangkit listrik skala kecil. Dengan berkembangnya generator dengan magnet yang kuat, yang cocok untuk pembangkit

Page 205: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐107

Teknik

MESIN

listrik tenaga angin skala kecil, maka dimasa yang akan datang penggunaan rotor savonius untuk pembangkit listrik diharapkan akan semakin meluas. Usaha usaha untuk perbaikan performansi rotor savonius dengan cara memuntir sudu menjadi bentuk savonius helix telah dilakukan di laboratorium konversi energi, Jurusan Teknik Mesin, Institut Teknologi Nasional Bandung [1],[2],[3]. Dari uji experimental yang telah dilakukan [4], terbukti bahwa kinerja rotor savonius helix lebih baik dari pada rotor savonius biasa (sudu lurus). Untuk simulasi rotor savonius helix menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD) telah dilakukan oleh Putra [5] dan Hussain [6]. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk melihat efisiensi dari rotor savonius helix dua sudu dibandingkan dengan empat sudu.

2. Metode Penelitian Dalam penelitian ini hanya ada dua jenis rotor yang diuji yaitu rotor savonius helix dua sudu dan empat sudu. Konfigurasi rotor savonius helix dua sudu berbentuk “S” yang terdiri dari 2 sudu berbentuk setengah lingkaran dan tipis dipuntir sebesar 90o dari ujung atas ke ujung bawah. Putaran dihasilkan dari perbedaan gaya drag (gaya dorong) antara sudu yang bergerak maju (dengan koefisien drag sebesar 2,3 [7]) dengan sudu disisi lain yang sedang bergerak balik (dengan koefisien drag yang lebih rendah 1,2). Gambar 1 memperlihatkan prinsip dari rotor savonius.

Gambar 1. Prinsip aliran angin yang mendorong rotor savonius

Gambar 2 dan 3 menunjukkan rotor helix dua sudu dan empat sudu setelah dirakit. Perbedaan antara keduanya adalah pada jumlah sudu saja. Tabel 1 menunjukkan dimensi rotor savonius helix.

Page 206: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐108

Teknik

MESIN

Gambar 2. Rotor savonius helix dua sudu Gambar 3. Rotor savonius helix empat sudu

Tabel 1 Dimensi rotor

Tinggi (mm) Diameter sudu (mm)

Diameter rotor (mm)

Tebal plat (mm)

Puntiran dari ujung atas sampai bawah (o)

1200 260 540 0,4 90

Pengujian dilakukan didua lokasi, yaitu di dalam Laboratorium Konversi Energi ITENAS dan di atas gedung Student Center ITENAS. Sumber angin di dalam laboratorium dihasilkan dari kompresor blower yang dipasangi konsentrator. Gambar 4 menunjukkan distribusi kecepatan angin di depan kompresor.

Gambar 4. Distribusi kecepatan angin di depan kompresor

Page 207: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐109

Teknik

MESIN

Pengujian di dalam laboratorium dilakukan dengan memvariasikan kecepatan angin dengan cara meletakkan rakitan rotor ditempat yang sesuai. Sebagai acuan adalah kecepatan angin di tengah ketinggian rotor. Setelah rotor berputar dengan stabil diambil data yaitu putaran rotor, tegangan dan kuat arus dari generator listrik. Generator disambungkan ke poros rotor melalui sabuk dan puli.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan Gambar 5 memperlihatkan hasil pengujian dari rotor savonius helix dua sudu dan empat sudu di laboratorium, dimana rotor keduanya tidak disambungkan pada generator sehingga kebutuhan torsi awalannya kecil. Gambar 6 memperlihatkan hasil pengujian di atas gedung student center. Secara umum putaran dari rotor empat sudu lebih tinggi dari pada dua sudu. Semakin tinggi kecepatan angin maka akan semakin besar pula perbedaan kecepatan putaran rotor. Hal ini menunjukkan rotor empat sudu lebih baik dalam memanfaatkan aliran udara dari pada dua sudu. Di lokasi di atas atap gedung ternyata kecepatan putaran rotor lebih tinggi dibandingkan dengan pengujian di dalam laboratorium. Hal ini disebabkan karena distribusi kecepatan angin dari blower di laboratorium tidak merata, artinya kecepatan angin tertinggi berada di titik tengah sedangkan semakin keatas, kebawah, kesamping kiri dan kanan kecepatan angin semakin melemah (lihat Gambar 4). Seadangkan diatas gedung angin bertiup merata keseluruh penampang rotor, sehingga putaran rotor jauh lebih tinggi.

60

80

100

120

140

160

180

3.5 4.5 5.5 6.5 7.5

Putaran Rotor (rpm)

Kecepatan Angin (m/s)

2 Sudu

4 Sudu

80

130

180

230

280

330

3.5 4.5 5.5 6.5 7.5

Putaran Rotor (rpm)

Kecepatan Angin (m/s)

2 Sudu

4 Sudu

Gambar 5. Putaran rotor savonius helix 2 sudu dan 4 sudu tanpa disambungkan ke generator

listrik pada beberapa kecepatan angin di laboratorium

Gambar 6. Putaran rotor savonius helix 2 sudu dan 4 sudu tanpa disambungkan ke generator listrik pada beberapa kecepatan angin di atap

gedung student center

Gambar 7 dan 8 menunjukkan hasil pengujian dari rotor di dalam laboratorium dan diatas gedung, dimana rotornya disambungkan pada generator sehingga kecepatan putaran rotor lebih rendah dibandingkan dengan yang tanpa generator. Pada kecepatan angin 4,5 m/s rotor mulai berputar, karena dengan generator membutuhkan torsi awalan yang besar. Disini juga terlihat bahwa putaran dari rotor dengan 4 sudu lebih besar dari pada rotor dengan 2 sudu, baik untuk pengujian di laboratorium maupun di atas gedung.

Page 208: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐110

Teknik

MESIN

30

50

70

90

110

130

4.5 5.5 6.5 7.5

Putaran Rotor (rpm)

Kecepatan Angin (m/s)

2 Sudu

4 Sudu

60

70

80

90

100

110

120

130

140

150

4.5 5.5 6.5 7.5

Putaran Rotor (rpm)

Kecepatan Angin (m/s)

2 Sudu

4 Sudu

Gambar 7. Putaran rotor savonius helix 2 sudu dan 4 sudu dengan disambungkan ke generator

listrik pada beberapa kecepatan angin di laboratorium

Gambar 8. Putaran rotor savonius helix 2 sudu dan 4 sudu dengan disambungkan ke generator listrik pada beberapa kecepatan angin di atap

gedung student center

Gambar 9 dan 10 menunjukkan daya listrik yang dihasilkan dari generator yang dipasang pada rotor savonius helix dua sudu dan empat sudu masing masing di laboratorium dan di atas gedung. Nilai daya listrik dihitung dari:

IVP ⋅= (1)

dimana P adalah daya dalam watt, V adalah tegangan dalam volt dan I adalah arus listrik dalam ampere yang dihasilkan oleh generator dan diukur dengan AVO meter. Nilai daya listrik yang dihasilkan oleh rotor empat sudu lebih tinggi dari pada rotor dengan dua sudu. Semakin besar kecepatan angin maka semakin besar selisihnya. Dengan menambah sudu pada rotor savonius helix dari dua menjadi empat membuat perbaikan kinerja sampai mencapai lebih dari 40% untuk kecepatan 7.5 m/s di laboratorium dan lebih dari 60% di atas gedung.

2

3

4

5

6

7

8

9

10

4.5 5.5 6.5 7.5

Daya Generator (W)

Kecepatan Angin (m/s)

2 Sudu

4 Sudu

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

4.5 5.5 6.5 7.5

Daya Generator (W)

Kecepatan Angin (m/s)

2 Sudu

4 Sudu

Gambar 9. Putaran rotor savonius helix 2 sudu dan 4 sudu dengan disambungkan ke generator

listrik pada beberapa kecepatan angin di laboratorium

Gambar 10. Putaran rotor savonius helix 2 sudu dan 4 sudu dengan disambungkan ke generator listrik pada beberapa kecepatan angin di atap

gedung student center

Daya yang dihasilkan oleh rotor savonius helix yang diuji masih relatif kecil untuk diterapkan sebagai pembangkit listrik di rumah rumah, hal ini disebabkan karena ukuran rotor masih dalam bentuk prototip. Disamping itu juga terjadi rugi rugi pada bantalan, puli, sabuk dan generatornya sendiri.

Page 209: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐111

Teknik

MESIN

4. Kesimpulan Dari hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa putaran rotor savonius berbentu helix dengan empat sudu lebih tinggi dari pada rotor dengan dua sudu. Daya yang dihasilkan oleh rotor empat sudu juga lebih baik dari rotor dengan dua sudu. Semakin besar kecepatan angin akan semakin besar selisih kinerja daya antara rotor empat sudu dengan dua sudu.

Notasi Cd koefisien drag [-]

I arus [A]

P daya [W]

V tegangan [V]

Daftar Pustaka

[1] Ramadani, Roni, 2012, Perancangan, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Mesin, Itenas Bandung.

[2] Askar, Asdar, 2012, Pembuatan Prototip Turbin Angin Sumbu Vertikal Savonius Tipe Helix Dua Sudu dan Empat Sudu, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Mesin, Itenas Bandung.

[3] Simanullang, Ganda Roni, 2012, Pengujian Prototip Turbin Angin Sumbu Vertikal Savonius Tipe Helix Dua Sudu dan Empat Sudu, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Mesin, Itenas Bandung.

[4] Putra M.A., Mulyadi, Pribadi G., Mawardinata T., Shantika T., 2011, Uji Experimental Rotor Hellical Savonius Dibandingkan Dengan Rotor Savonius, Seminar Nasional Teknik Mesin 6, Universitas Kristen Petra Surabaya.

[5] Putra, Mohammad Alexin, 2010, Kaji Performansi Rotor Savonius Dengan Sudu Puntir, Seminar Nasional Sains dan Teknologi dalam Penanganan Energi ke-VI, UNJANI Bandung.

[6] Hussain, M.M., Mehdi S.M., Reddy P.M., 2008, CFD Analysis of Low Speed Vertical Axis Wind Turbine with Twisted Blades, International Journal of Applied Engineering Research, Volume 3, Number 1, pp. 149-159, Research India Publication.

[7] Cengel Y.A, Cimbala J.M., 2006, Fluid Mechanics, Fundamentals and Aplications, pp. 573, McGraw-Hill International Edition.

Page 210: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐112

Teknik

MESIN

Perancangan dan Realisasi Pembangkit Listrik Tenaga Biogas Skala Rumah Tangga

Kristyadi T.,Wedha A, Andi T.

Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri (10 pt)

Institut Teknologi Nasional (10 pt)

Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124 (10 pt)

[email protected]

Abstrak

Makalah ini mengulas mengenai perancangan dan realisasi serta pengujian mesin pembangkit listrik tenaga biogas. Biogas merupakan salah satu sumber energy yang dapat diperbaharui dan mengandung CO2 yang relative rendah sehingga cocok untuk bahan bakar rendah emisi. Mesin pembangkit berupa motor bensin dan dirangkai dengan generator AC (Genset) yang dilengkapi alat mixer dan pengatur putaran. Dari hasilpengujian didapatkan bahwa genset dengan bahan bakar biogas lebih rendah emisi terutama CO dan HC dibandingkan dengan genset berbahan bakar premium.

Kata kunci : Biogas, genset, emisi 1. Pendahuluan

Permasalahan listrik yang paling signifikan adalah pembuatan pembangkit dan jaringan listrik yang sangat mahal, Untuk mengurangi masalah ini ada beberapa usaha yang dapat dilakukan yaitu pemanfaatan listrik skala rumah tangga sehingga tidak diperlukan jaringan khusus dan pemanfaatan sumber energy listrik terbarukan. Salah satu yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah pembangkit listrik skala rumah tangga dengan menggunakan bahan bakar biogas yang berasal dari kotoran sapi. Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme pada kondisi langka oksigen. Biogas sebagian besar mengandung gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2), dan beberapa kandungan yang jumlahnya kecil, diantaranya hydrogen sulfide (H2S), amonia (NH3) dan hydrogen (H2), serta Nitrogen (N2) yang kandungannya sangat kecil. Energi yang terkandung dalam biogas tergantung pada konsentrasi metana, semakin tinggi kandungan metana maka semakin tinggi kandungan energi (nilai kalor) pada biogas, dan sebaliknya semakin kecil nilai metana maka semakin kecil nilai kalor.

2. Perancangan dan realisasi Pembangkit listrik

Pembangkit yang dibuat memanfaatkan produk yang ada dipasaran dengan dilakukan modifikasi sehingga bias menggunakan bahan bakar biogas dan direncanakan berdaya kurang lebih 1 kW.

Secara garis besar mesin pembangkit terdiri dari penggerak mula dan generator listrik (Genset) Penggerak mula menggunakan motor bensin sedangkan generator menggunakan generator AC./ Pengerak mula motor bensin harus dilengkapi dengan peralatan tambahan yang memungkinkan penggunaan bahan bakar biogas yaitu mixer dan alat konstrol putaran. Secara garis besar peralatan tersebut dapat digambarkan sperti skema berikut:

Page 211: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐113

Teknik

MESIN

Gambar 1 Rangkaian system pengaturan putaran mesin genset

Tahapan awal adalah menghitung kebutuhan biogas dan membuat instalasi produksi biogas. Dari penelitian awal didapatkan bahwa biogas yang diproduksi mempunyai kandungan unsure sebagai berikut:

Tabel 1 Komposisi biogas hasil produksi

Komposisi Persentase (%) ml

Methana (CH4) 27.0

Karbon dioksida (CO2) 40.6

Nitrogen (N2) 32.4

Dari komposisi kimia diatas dilakukan perhitungan untuk menentukan perbandingan antara udara dan biogas sehingga didapatkan komposisi yang tepat untuk proses pembakaran berdasarkan persamaan reaksi untuk proses pembakaran,

CH4 + 2 O2 CO2 +2 H2O

Dari reaksi kimia tersebut dan mempertimbangkan komposisi biogas yang ada maka untuk 1 gr bahan bakar biogas membutuhkan 1.07 ml oksigen, menghasilkan 0.74 ml CO2 dan 0.60 ml H20. Maka Kebutuhan udara untuk proses pembakaran 4.59 gr

Atau AFR (Air Fuel Ratio) stoikiometri 4.59 : 1

Angka perbandingan tersebut digunakan untuk perencanaan mixer. Mixer merupakan peralatan untuk pencampuran antara bahan bakar dengan udara. Maka design mixer dibuat berdasarkan perbandingan bahan bakar dengan udara dengan tersebut. Dengan batasan bahwa saluran udara intake pada motor bensin adalah 27.5 mm, makan diameter saluran bahan bakar adalah 6 mm.

BATANG PENGHUBUNG

GOVERNOR KARBURATOR

POROS ENGKOL PISTON

TUAS

CONECTING ROD

Page 212: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐114

Teknik

MESIN

Gambar 2 Mixer

3. Perhitungan Konsumsi Bahan Bakar

Dalam menghitung kebutuhan biogas, dilihat dari kebutuhan mesin genset beroperasi selama 8 jam. Dari percobaan yang dilakukan selama 30 menit, mesin genset memerlukan bahan bakar sebanyak 1154.32 liter dengan beban maksimum 600 watt sama dengan 1 menit menghabiskan 38.47 liter bahan bakar biogas. Jadi konsumsi bahan bakar yg dibutuhkan untuk pembangkit listrik sekala rumah tangga dengan menggunakan bahan bakar biogas Untuk menyalakan mesin generator selama 8 jam = 480 menit di butuhkan biogas sebanyak 18500 liter biogas.

4. Instalasi Biogas

Data yang didapatkan dari hasil pengujian, biogas dalam 1 kg kotoran sapi di tambahkan dengan air sebanyak 2.75 kg ( 1 liter kotoran sapi : 1 liter air ) menghasilkan biogas sebanyak 21.7 liter. Percobaan dilakukan dengan menggunakan reaktor type batch. Untuk menyalakan mesin generator selama 8 jam dibutuhkan kotoran sebanyak 850 kg (dalam kondisi basah) dan volume reaktor yang dibutuhkan sebesar 20.42 m3

Dimensi penampung dapat di ketahui dari banyaknya bahan bakar biogas yang dihabiskan selama 8 jam.

Bayaknya konsumsi bahan bakar biogas yang dipakai selama 8 jam untuk menggerakan mesin generator sebesar 18645.6 liter. Jadi volume penampung yang dibutuhkan sebesar 18645,6 liter ≈ 18700 liter = 18.7 m3.

Sistem kontrol

Jumlah masukan bahan bakar diatur oleh peralatan yang digerakkan governor, yang menerima sinyal dari perubahan putaran (rpm) mesin penggerak generator listrik. Bila beban listrik naik maka governor akan menutup, yang mengakibatkan batang penghubung akan bergerak membuka katup masukan bahan bakar dan udara menjadi lebih besar ( pasokan bahan bakar meningkat). Sebaliknya bila beban turun, governor akan terbuka, yang mengakibatkan batang penghubung akan bergerak menutup katup masukan bahan bakar dan udara menjadi lebih kecil (pasokan bahan bakar rendah). Gambaran system kontrol dapat dilihat pada Gambar 1.

INPUTUDARA

INPUT BIOGASS

OUTPUTUDARA DAN

BIOGAS

INPUTKe

engine

Page 213: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐115

Teknik

MESIN

5. Pengujian

Pengujian bertujuan untuk mengetahui unjuk kerja dari mesin pembangkit berbahan bakar biogas dan juga mengetahui keunggulan dari pembangkit berbahan bakar biogas. Untuk itu maka pembangkit diuji dengan bahan bakar biogas dan premium serta dibandingkan. Unjuk kerja mesin pembangkit diketahui dari daya, konsumsi bahan bakar spesifik, efisiensi dan emisi.

Pengujian genset ini dilakukan secara bertahap pada beban 100 watt,200 watt, 300 watt, 400 watt, 500 watt, dan 600 watt dimana beban tersebut berupa lampu. Peningkatan pada pemberian beban dilakukan setelah lampu yang menjadi beban dari genset menyala. alat ukur yang digunakan dalam pengujian ini adalah Floating drum untuk mengetahui konsumsi bahan bakar biogas, tachometer untuk mengukur putaran, stopwatch dan gelas ukur untuk mengetahui konsumsi bahan bakar bensin, avometer untuk mengathui kuat arus. Pengujian gas emisi gas buang menggunakan sebuah alat uji emisi AutoGAS Emissions Analyzer, sebuah alat uji emisi portable yang mudah dibawa kemana saja, untuk menggunakan AutoGAS Emissions Analyzer harus terhubung dengan personal computer/laptop yang terinstal software AutoGAS Emissions Analyzer didalamnya,sehingga alat uji emisi ini dapat digunakan dan dapat diketahui hasil dari pembacaan dari sensor gas buang. Hasil pengujian dapat dilihat pada Gambar 3 – Gambar 8.

Gambar 3 Grafik Daya efektif terhadap beban

Dari gambar 3 terlihat grafik daya efektif terhadap beban pada genset berbahan bakar premium dan biogas. Terlihat bahwa daya efektif genset berbahan bakar premium dengan berbahan biogas hamper berimpit atau tidak ada perbedaan. Hal ini membuktikan bahwa dengan bahan biogas dimana pengaturan pemasukan yang diatur, maka daya genset dengan bahan bakar biogas dapat setara dengan genset berbahan bakar premium. Laju aliran massa bahan bakar genset dengan biogas dapat lebih tinggi dibandingkan dengan premium. Karena nilai kalor biogas lebih kecil dibandingkan dengan premium maka untuk menghasilkan daya yang simbang diperlukan biogas lebih tinggi. Hal ini terlihat pada Gambar 4.

Page 214: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐116

Teknik

MESIN

Gambar 4 Grafik laju massa bahan bakar

Gambar 4 dan Gambar 5 saling berhubungan, dimana pada Gambar 5 kebutuhan bahan bakar spesifik genset berbahan bakar biogas lebih tinggi. Kebutuhan bakar spesifik didefinisikan sebagai kebutuhan bahan bakar untuk setiap daya dikali waktu.

Gambar 5 Kebutuhan bahan bakar spesifik

Efisiensi genset digambarkan pada Gambar 6, dimana pada gambar 6 terlihat bahwa untuk daya yang rendah efisiensi genset berbahan bakar biogas lebih tinggi dibandingkan dengan berbahan bakar premium, tetapi untuk beban tinggi sebaliknya. Hal ini berhubungan dengan kebutuhan bahan spesifik pada putaran tinggi, genset berbahan bakar biogas lebih tinggi pada beban tinggi.

Page 215: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐117

Teknik

MESIN

Gambar 6 Grafik efisiensi genset

Gambar 7 Grafik emisi CO terhadap beban

Page 216: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐118

Teknik

MESIN

Gambar 8 Grafik emisi HC terhadap beban

Gambar 7 dan 8 menunjukkan emisi gas buang genset. Terlihat bahwa emsisi CO dan HC genset berbahan bakar biogas lebih rendah dibandingkan genset berbahan bakar premium. Hal ini disebabkan karena kandungan CO dan H pada biogas relative lebih rendah. Demikian juga pembakaran bahan bakar gas lebih baik dibandingkan bahan bakar cair.

6. Kesimpulan

Biogas merupakan bahan bakar yang dapat digunakan untuk penggerak motor bensin. Untuk menghasilkan konerja yang optimal, maka pengaturan perbandingan bahan bakar perlu dilakukan sehingga tercapai pembakaran yang stoikiometrik. Dengan berbagai modifikasi dan pengaturan kinerja didapatkan kinerja yang cukup baik bahkan dari sisi emisi pembangkit listrik berbahan bakar biogas relative lebih baik dibandingkan bahan bakar premium. Untuk itu perlu penelitian lanjutan guna mewujudkan pembangkit skala rumah tangga secara komersial.

7. Daftar Pustaka

[1] Peace Corps, 1985, The Biogas : Biofertilizer Business Handbook

[2] http://www.wfu.edu/chem/courses/organic/GC/index.html

[3] Meynell, P. J., 1976, Methane : Planning a Digester, Prism Press, Great Britain.

[4] Batstone. D. J. dkk, Anaerobic Digestion Model No. 1, IWA Task Group for Mathematical Modelling of Anaerobic Digestion Processes, 2002

[5] Lapp, H.M., and E.E. Robertson, Biogas Production from Animal Manure di dalam Wise, Donald L.,1981, Fuel Gas Production From Biomass, Volume 1, CRC Press, Boca Raton, Florida.

[6] Fry, L.J., 1974, Practical Building of Methane Power Plant For Rural Energy Independence, 2nd edition, Chapel River Press, Hampshire-Great Britain.

[7] Weinberg, f. j. (1986), combustion in heat – recirculating burners, in advanced combustion methods, ed. Weinberg, f.j., academic press, London, p.218.

[8] Arismunandar, wiranto. 1988. Penggerak mula motor bakar torak, edisi kelima. Bandung : penerbit ITB.

[9] Kalpakjian, Manufacturing Processes for Engineering Materials 4th ed, Prentice Hall. 2003.

Page 217: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐119

Teknik

MESIN

EXERGETIC based of photovoltaic modules CHARACTERISTICS

Dani Rusirawan (1) and István Farkas (2) (1) Department of Mechanical Engineering, Institut Teknologi Nasional (ITENAS)

Jl. PKHH Mustapa No. 23, Bandung 40124 – INDONESIA

E-mail : [email protected] (2) Department of Physics and Process Control, Szent István University

2103 Gödöllő, Pater K. u. 1 – HUNGARY

E-mail : [email protected], [email protected]

Abstract

This paper concerns on the characterizes of two different of Photovoltaic (PV) modules technologies (flat plate type), i.e. polycrystalline technology (ASE-100) and amorphous silicon technology (DS-40), under Gödöllő - Hungary climatic conditions, in exergy perspective. Two methods of PV exergy assessment i.e. “solar energy parameters method” and “photonic energy method” are applied to identify the exergy efficiencies both of above technologies, as a basic prerequisite in order to find other possibility to optimize or increase the electrical efficiency of PV modules.

Key words: polycrystalline technology, amorphous silicon technology, solar energy parameter, photonic energy method, electrical efficiency.

1. Introduction

Photovoltaics (PV) comprises the technology to converst sunlight directly into electricity. One single of PV cell produces up to 2 watts of power, so to increase a power output, many of PV cells are connected together to form modules, which are further assembled into larger units called panel or array. Fig. 1 illustrates the terminology used to describe a typical connection of PV installation (from smallest to biggest) and the standard terminology used to describe such connections (King et al., 2004).

(a) (b)

Fig. 1. (a) Identification of PV system components and (b) terminology used in module circuit design

Page 218: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐120

Teknik

MESIN

A complete of PV system consists not only of PV modules, but also the "balance of system" or BOS, included the support structure, wiring, storage, conversion devices, etc. i.e. everything else in a PV system except the PV modules.

In thermodynamic point of view, PV system (cell/module/panel/array) performance can be evaluated in terms both energy and exergy. Energy analysis (energetic) is based on the first law of thermodynamics meanwhile exergy analysis (exergetic) is based on both the First and the Second Laws of Thermodynamics. Exergy is consumed or destroyed, due to irreversibility in any real processes. The exergy consumption during a process is proportional to the entropy created due to irreversibility associated with the process. Exergy analysis method is employed to detect and to evaluate quantitatively the causes of the thermodynamic imperfection of the process under consideration. Therefore, it can indicate the possibilities of thermodynamic improvement of the process under consideration. In terminology of “sankey diagrams”, which commonly used to visualize the energy and exergy flow, the process in PV sytem (or generally in solar energy conversion device) can be seen in Fig. 2 (Kabelac, 2008).

Fig. 2. Energy and exergy flow diagrams in solar energy conversion device (Kabelac, 2008).

Testing (conducted to an experimental data) and modelling efforts are typically to quantify and then to replicate the measured phenomenon of interest. Testing and modelling of PV system performance in the outdoor environment is very complicated and influenced by a variety of interactive factors related to the environment and solar cell physics. In order to effectively design, implement, and monitor the performance of photovoltaic systems, a performance model must be able to separate and quantify the influence of all significant factors. In view of this, it is now becoming essential to look for various aspects in order to increase the PV energy conversion into electricity on its application in the field.

In this paper, an exergetic characterizes model of PV modules, as a basic component of PV array system, will be presented, refers to a 10 kWp grid-connected PV array system at Szent István University, Gödöllő - Hungary, which uses two different of PV technology i.e. polycrystalline PV technology (ASE-100) and amorphous silicon PV technology (DS-40). Two methods of PV exergy assessment i.e. “solar energy parameters method” and “photonic energy method” are applied to identify the exergy efficiencies both above technologies. As a long term target of this research, the other possibility to optimize and increase the overall performance of grid-connected PV array system at Szent István University, can be studied, observed and proposed.

Page 219: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐121

Teknik

MESIN

2. Crystalline silicon (c-Si) and amorphous silicon (a-Si) PV modules technologies Two major of types of PV systems are available today. i.e. flat plate and concentrator. The major types of materials of PV are crystalinne and thin film, which vary from each other in terms of light absorption efficiency, energy conversion efficiency, manufacturing technology and cost production, as can be seen in Table 1. Crystalline silicon (c-Si) cells are most popular, though they are expensive. The amorphous silicon (a-Si) thin-film solar cells are less expensive.

Tabel 1. General types of PV technologies and its sub-types

Technology

Thin Film Crystalline silicon

a-Si

CdTe CI(G)S a-Si/μc-Si

DSSC Mono Poly

Required of area per kW (m2) for modules

~ 15 ~ 9 ~ 10 ~ 12 n/a ~ 7 ~ 8

Module efficiency Low High

Description Semiconductor is deposited directly on glass Crystalline silicon wafers

Performance under heat

The heat coefficient lower (up to 60%) than crystalline silicon modules, making it a good choice in hot climates.

Performance degrades with higher temperatures.

Direct or diffuse light Both direct and diffuse light

Direct light preferred, but diffuse light can be used too

Source: European Photovoltaic Industry Association/EPIA (www.epia.org) and Green Rhino Energy (www.greenrhinoenergy.com) where: a-Si - Amorphous silicon

CdTe - Cadmium telluride

CI(G)S - Copper indium (gallium) selenide

a-Si/μ-Si - Micromorph: tandem of two cells of silicon – one amorphous (a-Si) and one microcrystalline (µc-Si)

DSSC/DSC/DYSC - Dye – sensitized solar cell, a solar cell based on a semiconductor formed between a photo-sensitized anode and an electrolyte, a photoelectrochemical system.

Mono - Monocrystalline or singlecrystalline silicon

Poly - Polycrystalline or multycrystalline silicon

The thermodynamic efficiency of PV system is a wide interest because the relevance of this parameter for energy conversion (efficiencies). Improving PV cell efficiencies while holding down the cost per cell is one of the most important tasks of the PV industry.

Page 220: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐122

Teknik

MESIN

Several methods have been offered to increase the power conversion efficiency of PV cells, including tandem cells, impurity-band and intermediate-band devices, hot-electron extraction, and carrier multiplication (Razykov et al., 2011).

3. Methods of evaluation

Exergetic PV assessment using solar energy parameters method

A PV array is non linear device and can be presented by its I-V-P (current-voltage-power) characteristic curve. The general equivalent circuit of a solar cell in a single diode model is presented in Fig. 3, and consists of a photocurrent source, a diode, a parallel resistor expressing a leakage current and a series resistor describing internal resistance to the current flow.

Fig. 3. General model of solar cell circuit in a single diode model

The current-voltage characteristic equation for a PV system is given as:

sh

ssol R

IRV

qnkTc

IRVexpIII

+−

⎥⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢⎢

⎟⎟⎟⎟⎟

⎜⎜⎜⎜⎜

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

+−= 1

(1)

where I is the current produced by the solar cell [A], Il is a light-generated current or photocurrent [A], Io is the dark saturation current (the diode leakage current density in the absence of light) [A], V is the output voltage/applied voltage [V], q is an electron charge [1.602 x 10-19 C], k is the Boltzmann’s constant [1.381 x 10-23 J/K], Tc is the cell working temperature [K], n is an ideality factor (a number between 1 and 2 that typically increases as the current decreases), Rsh is shunt resistance of the cell [Ω] and Rs is a series resistance of the cell [Ω]. Based on exergy efficiency definition, the exergy efficiency of a PV system in this method can be expressed as:

solar

.destthermalelectex xE

xExExE&

&&& ++=η

(2)

solar

.destelect

solar

relectex xE

xExE

xEIxE

&

&&

&

& ∑+=+

=η (3)

elect.destthermal.dest.dest xExExE &&& +=∑ (4)

rI contains both internal and external losses. Internal losses are electrical destruction, elect.destxE& ,

and external losses are heat losses, therm.destxE& , which is numerically equal to thermalxE& (Joshi et al., 2009).

Page 221: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐123

Teknik

MESIN

mpmpelect IVxE ×=& (5)

where mpVis voltage at maximum power point and mpI

is current at maximum power point.

QTT

xEc

athermal

&& ×⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−= 1

(6)

( )ref,aref

ac TNOCTG

GTT −+= (7)

Based on equations (2), (5) and (6), outxE& from the PV can be expressed as:

QTT

IVxEc

ampmpout

&& ×⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−−×= 1

(8)

meanwhile,

AGTT

xExEs

asolarin ××⎟⎟

⎞⎜⎜⎝

⎛−== 1&&

(9)

where ref,aTis the reference of ambient temperature [K]; NOCT is Nominal Operating Cell

Temperature [K]; G and refG are the actual and reference solar radiation [W/m2], respectively.

Exergetic PV assessment using photonic energy method

Solar energy can be termed as photonic energy from the sun and this energy travels in the form of

photons. The energy of a photon, ( )λphEn

[J], can be calculated as:

( )λ

λ hcEn ph = (10)

where h and c are physical constants; h is Planck’s constant [≈ 6.626 x 10-34 J.s]; c is speed of light in vacuum [2.998 x 108 m/s]; and λ is wavelength of spectrum the light [nm].

In order to evaluation of photonic energy parameters, the sets equations as follow can be implemented (Joshi et al., 2009):

13671044 21×

=.GN ph

(11)

( ) ( ) ANEnnE phphph ××= λλ& (12)

( ) ⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−×=

s

cphchemical T

TnEnE 1λ&&

(13)

where Nph is the numbers of photon falling per second per unit area on the Earth [1/m2.s]; ( )λphnE&

is the photonic energy falling on the PV system [W]; chemicalnE& is available photonic

energy or Chemical potential [W] and sT is the sun temperature [ 5777 K] (Joshi et al., 2009). In this

Page 222: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐124

Teknik

MESIN

method, inchemical xEnE && = and outxE& equal with power generated by the PV modules, and can be calculated as the product of their output current (I) and the voltage across their terminals (V) or as shown in equation (5).

For analysis, the yearly (monthly variation) of climate data for Gödöllő - Hungary (specific site location: 47.4o N for lattitude and 19.3o E for longitude) are taken from PV*SOL 3.0 software packages, which acquires data from MeteoSyn, Meteonorm, PVGIS, NASA SSE, SWERA (Klise et al., 2009). The following data such as solar radiation (both in horizontal, Ghor and tilt array position, Garr), ambient temperature and wind velocity (v) are shown in Table 2. Meanwhile the electrical

parameters under reference conditions (STC), such as scI (short circuit current); ocV (open circuit

voltage); mpI(current at maximum power point); mpV

(voltage at maximum power point), are provided by manufacturer sheets, as shown in Table 3.

Table 2. Monthly variation of climate data for Gödöllő, Hungary.

Month Ghor Garr v Ta Sun-hours* Garr = G

[kWh/m2.m] [kWh/m2.m] [m/s] [°C] (h) [W/m2]

January 29.79 44.57 2.65 -0.94 9 159.75

February 46.35 62.82 2.70 1.70 10 224.34

March 86.25 104.16 2.82 6.20 12 279.99

April 127.23 140.31 2.91 11.54 14 334.07

May 162.17 163.76 2.67 16.48 15 352.16

June 172.06 167.49 2.76 19.30 16 348.93

July 182.90 182.05 2.75 21.42 15 391.51

August 153.71 164.99 2.38 20.82 14 380.16

September 109.33 130.47 2.29 16.54 12 362.42

October 70.55 98.39 2.12 11.37 10 317.39

November 35.31 52.03 2.49 5.30 9 192.71

December 23.06 33.38 2.64 1.14 8 134.60

* Based on sun - path diagram.

Page 223: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐125

Teknik

MESIN

Table 3. Electrical parameters of ASE-100 and DS-40 module at Standard test condition (STC)*

Parameters ASE -100 DS - 40

Typical peak power (W) 105.00 40.00

Voltage at peak power (V) 35.00 44.80

Current at peak power (A) 3.00 0.80

Short circuit current (A) 3.30 1.15

Open circuit voltage (A) 42.60 62.20

Active surface area (m2) 0.83 0.79

Temp. coeff. of open circuit voltage (%/oC) -0.38 -0.28

Temp. coeff. of short circuit current (%/oC) 0.10 0.09

Approximate effect of temp. On power (%/oC) -0.47 -0.19

Nominal operating cell temperature/NOCT (oC) 45.00 50.00

* Under Standard Test Conditions (G = 1000 W/m2, AM = 1.5 and Tc = 25oC).

4. Results and discussion

The calculated results of the modules performance in exergy efficiency is shown in Fig. 4. Fig. 4 (a)-(b) shows the exergy efficiency for both methods, refers to preceding sets equation. The values of I and V is taken from I-V-P characteristics which obtained from previous research (Rusirawan et al., 2011).

For the photonic method purpose, calculated are performed by varying wavelength of the visible spectrum, for a given range of 400 to 800 nm. Comparison between exergy efficiency based on photonic, exergy efficiency based on solar energy parameter and energy efficiency is shown in Fig. 4 (c)-(d).

Based in Fig. 4(a)-(b), it can be seen that for the same case, exergy efficiency based on “solar energy parameter” is spread between exergy efficiency values based on “photonic energy” in the varying wavelength of the visible spectrum. Both of methods results an average of exergy efficiencies 11-12 % for ASE-100 and 4-5 % for DS-40. On the other hand, the actual PV efficiencies (electrical efficiency) average based on operational results are 13 % and 4 % respectively for ASE-100 module and DS-40 module (see Fig. 5).

Figure 4(c)-(d), shown that energy efficiency of PV higher than exergy efficiency, because in the energy efficiency terminology, the thermal energy and electrical energy are taken into account as an output of energy of the PV system. Meanwhile, in the exergy efficiency terminology, the thermal energy is viewed as losses and is not taken into account as an output.

Page 224: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐126

Teknik

MESIN

0

5

10

15

20

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Month

Eff (

%)

Eff_exλ = 40λ = 45λ = 50λ = 55λ = 60λ = 65λ = 70λ = 75λ = 80

(a)

0

5

10

15

20

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Month

Eff (

%)

Eff_exλ = 400λ = 450λ = 500λ = 550λ = 600λ = 650λ = 700λ = 750λ = 800

(b)

0

10

20

30

40

50

60

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Month

Eff (

%)

Eff_enEff_exλ = 40λ = 45λ = 50λ = 55λ = 60λ = 65λ = 70λ = 75λ = 80

(c)

0

10

20

30

40

50

60

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Month

Eff (

%)

Eff_enEff_exλ = 400λ = 450λ = 500λ = 550λ = 600λ = 650λ = 700λ = 750λ = 800

(d)

Polycrystalline (ASE-100) Amorphous silicon (DS-40)

Fig. 4. PV exergy efficiency at different wavelength (λ, nm) and its comparisons with exergy efficiency based on solar energy parameter (Eff_ex) and energy efficiency (Eff_en).

0200400600800

10001200

0:00 4:48 9:36 14:24 19:12 0:00

Time

(W/m

2)

0369121518

(%)

G (W/m2) Ex_solar (W/m2) P (W/m2)Ex_loss (W/m2) Eff_act (%) Eff_ex (%)

0200400600800

10001200

0:00 4:48 9:36 14:24 19:12 0:00

Time

(W/m

2)

0369121518

(%)

G (W/m2) Ex_solar (W/m2) P (W/m2)Ex_loss (W/m2) Eff_act (%) Eff_ex (%)

Polycrystalline (ASE-100) Amorphous silicon (DS-40)

Fig. 5. Actual electrical efficiency and exergy efficiency based on experimental, in one day.

Page 225: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

ISSN 1693-3168 Seminar Nasional - IX Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 17-18 Januari 2012

TKE‐127

Teknik

MESIN

5. Conclusion

In this study, exergy efficiency characteristics of two type of PV modules, i.e. polycrystalline silicon (ASE-100) and amorphous silicon (DS-40), as a main part of 10 kWp grid-connected PV array systems at the Szent István University, have been performed theoretically, based on “solar energy parameter” method and “photonic energy” method. It is observed that both methods of PV exergy assessment gives the realistic values than the PV energy assessment (if compares to an actual electrical efficiency). It also has been found that in the photonic energy method, the wavelength of visible spectrum plays an important role on the exergy efficiency characteristics. As expected, the efficiency characteristics of ASE-100 module (which included crystalline materials type) are higher than DS-40 module (which included thin film materials type). Further parametric studies are still needed, in order to obtain a deep correlation between climatic and operating parameter, and finally other possibility to optimize and increase the PV module performance can be found.

Acknowledgments

This research is carried out with the support of OTKA K 84150 project, and the Ministry of National Education of the Republic Indonesia

References

[1] Dincer, I and Rosen, M. A. (2005), Thermodynamic aspects of renewables and sustainable development, Renewable and Sustainable Energy Reviews 9, pp. 169-189.

[2] Farkas, I. and Seres, I. (2008), Operational experiences with small-scale grid-connected PV system, Szent István University Faculty of Mechanical Engineering, R&D in Mechanical Engineering Letters, Gödöllő, Hungary, Vol. 1, pp. 64-72.

[3] Joshi, A. S., Dincer, I and Reddy, B. V. (2009), Thermodynamic assessment of photovoltaic systems, Solar Energy 83, pp. 1139-1149.

[4] Kabelac, S., 2008. Thermodynamic basic of solar radiation. 5th European Thermal-Sciences Conference 2008, The Netherlands.Available from: < http://www.eurotherm2008.tue.nl/>, accessed on November 17, 2011.

[5] King, D. L., Boyson, W. E. and Kratochvil, J. A.(2004), Photovoltaic array performance model, Sandia National Laboratories, Albuquerque, New Mexico, 2004

[6] Klise, G.T., and Stein, J. S. (2009), Models used to assess the performance of photovoltaic systems, Sandia report: SAND2009-8258. Available from: <http://photovoltaics.sandia.gov/Pubs_2010/PV%20Website%20Publications%20Folder_09/Klise%20and%20Stein_SAND09-8258.pdf>, accessed on March 19, 2011.

[7] PV technologies: cells and modules. Available from: http://www.epia.org/solar-pv/pv-technologies-cells-and-modules.html, accessed on January 11, 2012.

[8] Razykov, T.M., Ferekides, C.S., Morel, D., Stefanakos, E., Ullal, H.S. and Upadhyaya, H.M., 2011. Solar photovoltaic electricity: current status and future prospects. Solar Energy [85] 1580–1608.

[9] Rosen, M. A. and Bulucea, C. A. (2009), Using exergy to understand and improve the efficiency of electrical power technologies, Entropy 2009, 11, pp820-835; doi: 10.3390/e11040820.

[10] Rusirawan, D. and Farkas, I. (2011), Simulation of electrical characteristics of polycrystalline and amorphous PV modules, Electrotehnica, Electronica, Automatica, Vol. 59, No. 2, pp. 9-15.

[11] Shukuya, M. and Hammache, A. (2002), Introduction to the concept of exergy, VTT Research notes 2158, Julkaisija–Utgivare-Publisher. Available from: <http://www.vtt.fi/inf/pdf/tiedotteet/2002/T2158.pdf>, accessed on March 19, 2011.

[12] Solar power. Available from: http://www.greenrhinoenergy.com/solar/technologies/pv_modules.php, accessed on January 11, 2012.

Page 226: Prosiding Semnas t Mesin Itenas x

PROSIDINGPROSIDING

Seminar

Teknik

MESIN

JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRIINSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL (ITENAS) - BANDUNGJURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRIINSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL (ITENAS) - BANDUNG

SEMINAR NASIONAL X

REKAYASA DAN APLIKASI TEKNIK MESIN DI INDUSTRIREKAYASA DAN APLIKASI TEKNIK MESIN DI INDUSTRI

Kampus ITENAS, Bandung 17-18 Januari 2012