Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

114
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEPAILITAN “Antisipasi Krisis Keuangan Kedua, Sudah Siapkah Pranata Hukum Kepailitan Indonesia?” Jakarta, 29 Oktober 2008

Transcript of Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Page 1: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEPAILITAN

“Antisipasi Krisis Keuangan Kedua,

Sudah Siapkah Pranata Hukum Kepailitan Indonesia?”

Jakarta, 29 Oktober 2008

Page 2: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Seminar Nasional tentang Kepailitan telah dilaksanakan oleh Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) dengan dukungan dari rakyat Amerika melalui USAID (United States Agency for International Development). Materi yang terdapat dalam prosiding hasil seminar ini merupakan tanggung jawab penulis dan bukan menggambarkan kebijakan dari USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.

Page 3: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Susunan Acara Seminar Nasional Kepailitan

Rabu, 29 Oktober 2004 08:00 - 09:00 : Pendaftaran Peserta Seminar

09:00 - 09:45 : Sambutan

09:45 - 10:00 : Rehat

10:00 - 12:00 : Sesi Pertama, Moderator: GP. Aji Wijaya, S.H

1. Sepuluh Tahun Berlakunya Peraturan Perundang-undangan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia (Analisis Kritis mengenai Keberhasilan dan Kegagalan)

Oleh: Kartini Muljadi, S.H.

2. Pemikiran tentang Penyempurnaan Undang-Undang Kepailitan dari Segi Prosedural

Oleh: Prof. DR. Paulus Effendie Lotulung, S.H.

3. Kedudukan Tagihan Buruh, Tagihan Pajak Versus Kedudukan Kreditur Separatis Dalam Kepailitan Perusahaan

Oleh: Elijana Tansah, S.H.

4. Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 dan Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 sehubungan dengan Penyelesaian Kewajiban Perseroan Pailit terhadap para Krediturnya

Oleh: Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF.CIP

12:00 - 13:00 : Makan Siang

13:00 - 15:00 : Sesi Kedua, Moderator: Paul Sukran, S.H.

1. Permasalahan terhadap Kendala Efektifitas Undang-Undang Kepailitan dan Pemecahannya dari Sudut Pandang Kurator

Oleh: Yan Apul Girsang, S.H.

2. Peran Hakim Pengawas dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit

Oleh: Agus Subroto, S.H., M.H.

3. Permasalahan terhadap Kendala Efektifitas Undang-Undang Kepailitan dan Pemecahannya dari Sudut Pandang Penyidik

Oleh: AKBP. CH. Patoppoi, SSTMK, S.H.

15:00 - 15:15 : Rehat

15:15 - 17:00 : Sesi Ketiga, Moderator: Ali, Ak. BAP., M. Com., CPA.

Pilihan dalam Hukum Kepailitan: Sudut Pandang Internasional dan Penerapannya

Oleh: Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

i

Page 4: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Working Committee Seminar Nasional Kepailitan

Kerjasama AKPI dan Proyek In-ACCE

Steering Committee Fred B. G. Tumbuan, S.H.

DR. Syamsudin Manan Sinaga, S.H., M.H. Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF, CIP. Yan Apul, S.H. Gunawan Widyaatmadja, S.H. Edino Girsang, S.H. Mike Sheppard Patrick J. Wujcik Daniel J. Fitzpatrick

Organizing Committee Ketua : Junaedi, S.H., LL.M.

Wakil Ketua : Ali, Ak., BAP, M.Comm, CPA Muhammad Ismak, S.H. Paul Sukran, S.H. Marjan E. Pane, S.H.

Sekretaris : Ferhat Sartono, S.H., M.H. Iva Diah Noor, S.H. Sheila Salomo, S.H.

Bendahara : Duma Hutapea, S.H. Ria Nuri Dharmawan, S.H.

Pengkaji Makalah : Timur Sukirno, S.H., LL.M. DR. Andre Sitanggang, S.H., MM. William E. Daniel, S.E., S.H., LL.M., MBL. Chemby J. Hutapea, S.H. Darwin Marpaung, S.H.

PR & LO : Safitri Hariyani Saptogino, S.H., M.H. Denny A. Latief, S.H. Desita Sari, S.H.

General Affair & Dokumentasi

: Jimmy Simanjuntak, S.H. Otto Bismark Simanjuntak, S.H.

Akomodasi : Maria Leweresia, S.H. Titik Kiranawati Soebagjo, S.H. Sahroni, S.H.

Other Contributors

Bellatrix Shaula Vanessa Bogar Cucu Asmawati, S.H. Diah Lestari Pitaloka, S.H., MKn. Fitria Djemaat, S.H., MKn. Nur Hayati, S.H. Panji Nindyaputra Sudoyo, S.H. Rizkiansyah Seruni Lissari Saerang, S.H. Susan Kumaat, MBA.

Editor Prosiding : Muhammad Faiz Aziz, S.H., S.IP

ii

Page 5: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Kata Pengantar Asosiasi Kurator & Pengurus Indonesia (AKPI)

Pertama-tama, sebagai Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), saya sangat mendukung dan mengucapkan terimakasih atas kerjasama Tim USAID In Acce Project dan Media Hukumonline, sehingga dapat dipublikasikannya Prosiding dari Seminar Nasional kepailitan dengan topik: ”Antisipasi Krisis Keuangan Kedua, Sudah Siapkah Pranata Hukum Kepailitan Indonesia?” yang dilaksanakan pada tanggal 29 Oktober 2008 lalu di Jakarta, sebagai hasil Kerjasama USAID In ACCE Project dan AKPI sebagai suatu langkah refleksi dari 10 tahun Reformasi Undang-Undang Kepailitan Indonesia (UU Kepailitan).

Melihat kebelakang, yaitu 10 tahun lalu, kebutuhan untuk mereformasi UU Kepailitan diyakini oleh pemerintah Indonesia sebagai suatu kebutuhan yang sangat urgent, dan bahkan bersifat emergency dalam upaya menyelesaikan konflik utang-piutang - yang diduga meningkat secara luar biasa diantara kreditur dan debitur sebagai akibat dari krisis moneter yang melanda Indonesia ketika itu – secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Undang-Undang Kepailitan peninggalan Belanda, Faillisements Verordening, Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348 secara tegas-tegas dianggap tidak dapat diandalkan lagi begitu pula dengan keberadaan Pengadilan Indonesia ketika itu. Sehingga, dalam keyakinan atas kepentingan yang memaksa, reformasi UU Kepailitan ketika itu dilakukan dengan memberlakukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) no. 1 Tahun 1998.

Krisis ekonomi global yang juga mengalir ke Indonesia saat ini, membangunkan kembali pertanyaan sampai sejauh mana Reformasi UU Kepailitan (yang dihadirkan melalui PERPU No. 1 tahun 1998 dan kemudian diundangkan menjadi UU No. 4 tahun 1998 dan kemudian disempurnakan melalui UU No. 37 tahun 2004 tersebut), telah mampu menyelesaikan konflik utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif dan berkepastian hukum? Masa 10 tahun keberlakuannya menjadi jawaban untuk dapat menyimpulkan apakah Hukum Kepailitan Indonesia telah dapat diandalkan, atau malah sebaliknya, masih harus mengalami penyempurnaan lagi? Mengapa kepercayaan pencari keadilan terhadap UU Kepailitan tidak begitu menggembirakan?

Bentuk-bentuk pemikiran tersebut di ataslah yang menjadi latar belakang dari kerjasama AKPI dan USAID In Acce project dalam menyelenggarakan Refleksi 10 tahun UU Kepailitan Indonesia. Dari seminar nasional tersebut ternyata muncul keinginan untuk kembali memperbaiki UU Kepailitan dan juga konsekuensi dari pelaksanaannya. Hal tersebut terlihat dalam pembahasan-pembahasan yang dilakukan oleh para Pembicara begitu pula respons dari beberapa peserta seminar yang hadir.

Untuk itulah Prosiding ini menjadi penting untuk dipublikasikan, untuk dapat dibaca dan direspons oleh lebih banyak pihak, yang kesemuanya bertujuan untuk membangun suatu UU Kepailitan dan Pengadilan Niaga yang benar-benar dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan utang piutang secara adil, cepat, terbuka, efektif dan berkepastian hukum.

Hormat saya, Jakarta, Juni 2009

Ricardo Simanjuntak, S.H.,LL.M.,ANZIIF.CIP Ketua Umum

iii

Page 6: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Kata Pengantar USAID Indonesia ACCE (In-ACCE) Project

Dalam tiga tahun terakhir ini, proyek In-ACCE (Proyek Peningkatan Pengadilan Tipikor & Pengadilan Niaga – Indonesia) yang didanai oleh USAID telah bekerjasama erat dengan Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk mendukung upaya reformasi di lima pengadilan negeri di Indonesia yang memiliki wilayah hukum Pengadilan Niaga dan Pengadilan Tipikor. Karena perkara kepailitan dan PKPU merupakan bagian yang penting dalam agenda pengadilan niaga, maka In-ACCE melakukan kerjasama dengan AKPI dalam menyelenggarakan Seminar Nasional tentang Kepailitan dan Krisis Keuangan yang terjadi baru-baru ini.

Pertanyaan pokok pada seminar tersebut adalah apakah sistem kepailitan di Indonesia telah siap untuk membantu debitor dan kreditor dalam menyelesaikan masalah keuangan yang terjadi sebagai akibat dari krisis keuangan yang melanda Indonesia. Hampir sepenuhnya disepakati di antara para pembicara dan kontributor bahwa masih banyak yang harus diselesaikan. Sepuluh tahun setelah diberlakukannya undang-undang kepailitan “modern” Indonesia, masih terdapat masalah-masalah, baik dalam teks undang-undang kepailitan itu sendiri dan mungkin juga yang terlebih penting adalah tentang bagaimana pelaksanaannya.

Banyak pembicara memperhatikan bahwa secara relatif hanya sedikit permohonan kepailitan yang diajukan setiap tahun, walaupun kita mendengar bahwa cukup banyak bukti yang menunjukkan bahwa banyak utang yang tidak terbayar dan banyak terjadi kesulitan keuangan. Ada kemungkinan bahwa baik kreditor dan debitor sudah kurang percaya lagi kepada pengadilan dalam membantu mereka menyelesaikan masalah mereka.

Untuk memulihkan kepercayaan ini tidaklah mudah dan akan memakan waktu serta kesabaran. Tetapi, tidak diragukan lagi bahwa hal ini patut diusahakan. Saya hanya ingin memberi contoh mengenai negara asal saya, Amerika Serikat. Perusahaan Chrysler dan General Motors telah mengajukan permohonan pailit atas desakan Washington. Negara Amerika Serikat, yang mengusung reformasi undang-undang kepailitan di Eropa Timur, negara-negara pecahan Uni Soviet, dan Asia Tenggara selama 15 tahun terakhir, pada akhirnya mempraktikkan apa yang mereka selama ini wacanakan. Mereka telah mendorong dua perusahaan produsen mobil terbesar di dunia untuk menyelesaikan kesulitan keuangan yang dihadapinya melalui undang-undang kepailitan.

Pada pundak dua orang hakim kepailitan yang menyidangkan dua perkara tersebut terletak nasib dari ribuan pekerjaan dan usaha kecil yang bergantung pada industri mobil Amerika Serikat. Apabila berhasil, maka kedua perusahaan tersebut setelah proses kepailitan akan menjadi perusahaan yang lebih kecil, tetapi akan dapat bersaing dengan Toyota dan Volkswagen di kancah dunia. Tetapi apabila tidak berhasil, maka kedua perusahaan mobil tersebut seperti berada di atas jembatan yang menghubungkan antara pengadilan akhirat dan surga dimana di bawah jembatan tersebut terdapat neraka (shiroothol mustaqiim) selama bertahun-tahun, karena bank, pemegang surat berharga dan buruh akan saling berebut harta pailit dari proses tersebut.

Walaupun akan memakan waktu lama bagi kita untuk mengetahui nasib dari Chrysler dan General Motors, setidak-tidaknya kita mengetahui bahwa Amerika Serikat mempunyai keyakinan akan dapat mengatasinya melalui pengadilan yang menangani kepailitan pada saat krisis terjadi.

Kapankah hal yang sama dapat terjadi pada sistem kepailitan di Indonesia?

iv

Page 7: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

v

Publikasi prosiding ini mungkin tidak memberikan jawaban terhadap pertanyaan di atas. Akan tetapi, perlahan-lahan harus ditanamkan untuk meningkatkan kepercayaan terhadap undang-undang kepailitan serta pelaksanaannya yang saat ini masih dalam perjalanan menuju arah yang tepat. Pembahasan dalam publikasi ini akan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai bagaimana persepsi yang ada terhadap undang-undang kepailitan serta pelaksanaannya, dan hal-hal apa yang masih harus ditangani untuk perkembangan selanjutnya.

Hormat Saya, Jakarta, Juni 2009

Daniel J. Fitzpatrick Bankruptcy Reform Specialist

Page 8: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Daftar Isi Seminar Nasional Kepailitan

“Antisipasi Krisis Keuangan Kedua, Sudah Siapkah Pranata Hukum Kepailitan Indonesia?”

Materi I – Sepuluh Tahun Berlakunya Peraturan Perundang-undangan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia .................................................................. 1

A. Catatan Pendek Sejarah Perundang-undangan Kepailitan di Indonesia .................................. 1

B. Apakah Banyak Perkara Kepailitan Yang Telah Masuk Pengadilan Niaga? Jika Tidak, Mengapa? .................................................................................................................................. 1

Materi II – Pemikiran tentang Penyempurnaan Undang-Undang Kepailitan dari segi Prosedural ................................................................................................................................................................ 9

A. Pengantar .................................................................................................................................. 9

B. Pertimbangan Perlunya Perubahan Sistem Pemeriksaan ........................................................ 9

C. Peranan Pengadilan Tinggi Sebagai Hakim Instansi Pertama dalam Perkara Kepailitan ...... 10

D. Kendala-kendala Yang Dihadapi ............................................................................................. 10

E. Kesimpulan .............................................................................................................................. 11

Materi III – Kedudukan Tagihan Buruh, Tagihan Pajak versus Kedudukan Kreditur Separatis dalam Kepailitan Perusahaan ............................................................................................................ 12

A. Arti Kepailitan ........................................................................................................................... 12

B. Lima Golongan Kreditur dalam Kepailitan ............................................................................... 12

C. Cara Kurator Melakukan Pembayaran Kepada Para Kreditur dari Debitur Pailit .................... 14

D. Batas Waktu Tanggung Jawab Kurator terhadap Pembayaran Utang Wajib Pajak Yang Pailit dari Harta Pailit ........................................................................................................................ 16

E. Penutup .................................................................................................................................... 16

Materi IV – Undang-Undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004 dan Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 sehubungan dengan Penyelesaian Kewajiban Perseroan Pailit terhadap para Krediturnya ................................................................................................................. 17

A. Pendahuluan ............................................................................................................................ 17

B. Sebagai Legal Entity, Perseroan Dapat Mengajukan Permohonan Pailit Ataupun Dimohonkan Pailit ......................................................................................................................................... 19

C. Tidak Dilunasinya Utang Yang Telah Jatuh Tempo Merupakan Dasar dari Dapat Dipailitkannya Sebuah PT ....................................................................................................... 24

D. Kepailitan PT bukan Kepailitan Pemegang Saham, Direksi, Dewan Komisaris, Kecuali Terbukti Terjadinya Pelanggaran Hukum ................................................................................ 26

E. Kedudukan Hukum PT Secara Tegas Dicantumkan dalam Anggaran Dasarnya ................... 28

F. Badan Hukum Persero Yang Juga Tunduk pada Ketentuan UU No. 40 Tahun 2007, Dapat Dipailitkan Tanpa Membutuhkan Izin Menteri Keuangan ........................................................ 29

G. PT yang sedang Dilikuidasi Akibat dari Pembubaran (Winding Up) Masih Dapat Dipailitkan 30

H. Putusan Pailit Pengadilan Indonesia Tidak Dapat Dieksekusi di Negara Asing ..................... 34

Materi V – Permasalahan terhadap Kendala Efektifitas Undang-Undang Kepailitan dan Pemecahannya dari Sudut Pandang Kurator................................................................................... 36

A. Pendahuluan ............................................................................................................................ 36

B. Peranan Kurator dalam Kepailitan ........................................................................................... 36

vi

Page 9: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

C. Hambatan yang Ditemui Kurator dalam Praktek ..................................................................... 37

1. Asset Tracing dan Asset Recovery ..................................................................................... 37

2. Peranan Asosiasi Kurator .................................................................................................... 40

3. Hak Panitia Kreditur vs Kewenangan Kurator ..................................................................... 41

D. Solusi Yang Ditawarkan ........................................................................................................... 41

E. Penutup .................................................................................................................................... 41

Materi VI – Peran Hakim Pengawas dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit ............... 42

A. Pendahuluan ............................................................................................................................ 42

B. Proses Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit .................................................................. 44

C. Melanjutkan Usaha (On Going Concern) ................................................................................. 47

D. Rapat Verifikasi (Pencocokan Piutang) ................................................................................... 47

E. Perdamaian (Akoord) ............................................................................................................... 48

F. Insolvensi ................................................................................................................................. 50

G. Penutup .................................................................................................................................... 52

Materi VII – Permasalahan terhadap Kendala Efektifitas Undang-Undang Kepailitan dan Pemecahannya dari Sudut Pandang Penyidik ................................................................................. 69

A. Pengertian ................................................................................................................................ 69

B. Hukum Acara UU Kepailitan .................................................................................................... 70

C. Tugas POLRI yang Berkaitan dengan Kepailitan .................................................................... 70

D. Pasal KUHP yang terkait dengan Kepailitan ........................................................................... 71

E. Permasalahan dalam Penyidikan Tindak Pidana yang Berkaitan dengan Kepailitan ............. 74

F. Kesimpulan dan Saran Pemecahan ........................................................................................ 74

Materi VIII – Pilihan dalam Hukum Kepailitan: Sudut Pandang Internasional dan Penerapannya .............................................................................................................................................................. 76

A. Pendahuluan ............................................................................................................................ 76

B. Bagian Pertama: Pilihan-pilihan Sehubungan Dengan Implementasi ..................................... 76

1. Haruskah AKPI dan IKAPI Mencalonkan Kurator atau Pengurus Untuk Setiap Perkara? . 77

2. Dapatkah Penjualan di Bawah Tangan Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan Dibuat Menjadi Lebih Kompetitif dan Transparan? ........................................................................ 78

3. Haruskah Kode Etik Hakim dan Kurator/Pengurus Melarang Adanya Komunikasi Selain di Ruang Sidang dan Melalui Jalur Resmi? ............................................................................ 79

4. Haruskah Pengadilan Niaga Membuat Contoh-contoh Formulir Untuk Setiap Permohonan yang Akan Diajukan Oleh Debitor, Kurator, Pengurus atau Kreditor di Bawah UU No. 37? ............................................................................................................................................ 80

5. Haruskah Pengadilan Niaga dan Organisasi Kurator Membuat Formulir Rujukan Kepada Jaksa Jika Terbukti Bahwa Terjadi Pelanggaran Atas Ketentuan-ketentuan Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Yang Berhubungan Dengan Perkara Kepailitan? ........... 81

C. Bagian Kedua: Pilihan-Pilihan Sehubungan Dengan Perubahan atau Penggantian UU No. 37 ................................................................................................................................................. 82

1. Haruskah Masing-masing Pengadilan Niaga Mempunyai Kewenangan Untuk Mengeluarkan Peraturan Lokal Mereka Sendiri Sehubungan Dengan Praktek-praktek Kepailitan? .......................................................................................................................... 82

vii

Page 10: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

viii

2. Haruskah Indonesia Memperkenalkan Ketentuan Mengenai “Awal Baru/Fresh Start” (Contohnya: Memperbolehkan Penghapusan Utang) Untuk Debitor Perorangan? ........... 83

3. Haruskah Undang-Undang Mewajibkan Bahwa Untuk Setiap Putusan Kepailitan Diumumkan Di Internet Sebagai Syarat Keabsahan? ........................................................ 84

4. Haruskah Kreditor Yang Berhasil Mengawali Proses Perkara Diberikan Status Istimewa Sehubungan Dengan Surat Permohonan Mereka?............................................................ 85

5. Haruskah Peringkat Dari Berbagai Tagihan Dibuat Secara Ekslusif Berdasarkan Prioritas Yang Ada di UU Kepailitan? ............................................................................................... 85

6. Haruskah Undang-Undang Diubah Agar Dapat Mengakomodasi Prosedur Perdamaian Yang Lebih Rumit dan Menyeluruh? .................................................................................. 87

7. Apakah Prosedur Yang Mengizinkan Kurator Untuk Membatalkan Saham Debitor Pailit, Menerbitkan Saham Baru dan Kemudian Menjualnya Secara Cepat akan Mendorong Likuidasi yang Lebih Cepat Dan Lebih Efisien? ................................................................. 88

8. Haruskah Suatu Proses Formal Dibentuk Untuk Menangani Kepailitan Transnasional? ... 89

9. Jika Diperlukan Perubahan Yang Besar Terhadap UU No. 37, Haruskah Perubahan Tersebut Dalam Bentuk Undang-Undang Baru ataukah Cukup Dengan Amandemen Terhadap Undang-Undang Yang Ada Sekarang? .............................................................. 91

D. Bagian Ketiga: Pilihan Sehubungan Dengan Lingkungan Perundang-undangan Di Luar Kepailitan Yang Dapat Mempengaruhi Pelaksanaan UU No. 37 atau yang Menggantikannya ................................................................................................................................................. 92

1. Haruskah Pihak-pihak Swasta, Dengan Lisensi, Diizinkan Untuk Melaksanakan Putusan Pengadilan? ........................................................................................................................ 92

2. Apakah Mengurangi Prioritas yang Diberikan Terhadap Otoritas Pajak Dapat Meningkatkan Jumlah yang Ditagih Melalui Proses Kepailitan Melalui Peningkatan Jumlah Pengajuan Kepailitan? ........................................................................................................ 93

3. Haruskah Likuidator Perusahaan Di Luar Proses Kepailitan Dibuat Secara Eksplisit dan Secara Penuh Bertanggung Jawab Terhadap Utang Perusahaan? .................................. 95

E. Kesimpulan .............................................................................................................................. 95

Page 11: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi I Kartini Muljadi, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Materi I Sepuluh Tahun Berlakunya Peraturan Perundang-undangan Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia

Oleh Kartini Muljadi, S.H.

A. Catatan Pendek Sejarah Perundang-undangan Kepailitan di Indonesia

Bermanfaat kiranya jika kita mulai dengan mengingat kembali pengaturan kepailitan di Indonesia. Sudah sejak tahun 1906, di Indonesia (ketika itu “Hindia Belanda”), berlaku Faillissements Verordening. Mulai tahun 1997, kita mengalami terpuruknya mata uang Rupiah dan mulainya krisis ekonomi dan keuangan. Maka, dirasakan perlu untuk antara lain mengadakan perbaikan/penyempurnaan peraturan perundang-undangan kepailitan. Pada tanggal 22 April 1998, Faillissements Verordening tersebut diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (“Perpu”) No. 1 Tahun 1998 dan perubahan tersebut berlaku sejak tanggal 20 Agustus 1998. Perpu tersebut kemudian diberlakukan sebagai undang-undang oleh Undang-undang No. 4 Tahun 1998. Saya anggap tahun 1998 ini sebagai titik awal peraturan kepailitan nasional. Pada tanggal 18 Oktober 2004 mulai berlaku Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal 307 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 ini mencabut dan menyatakan tidak berlaku Faillissements Verordening dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998.

B. Apakah Banyak Perkara Kepailitan Yang Telah Masuk Pengadilan Niaga? Jika Tidak, Mengapa?

Hemat saya, belum banyak permohonan pernyataan pailit diajukan pada Pengadilan Niaga di tahun-tahun belakangan ini. Apakah hal ini pertanda baik bahwa banyak Debitor menepati kewajiban pembayaran utang mereka? Jika benar, hal ini merupakan suatu kemajuan bagi dunia perbankan kita dan dunia usaha kita pada umumnya.

Ataukah kecilnya jumlah permohonan pernyataan pailit yang diajukan itu, disebabkan karena UU No. 4 Tahun 1998 dan UU No. 37 tahun 2004 (“UU Kepailitan”) telah diberlakukan, dan peraturan kepailitan ini memang memenuhi tujuannya untuk memberikan perlakuan yang adil dan seimbang, baik bagi Kreditor maupun bagi Debitor, dan dengan demikian mengurangi risiko bagi pihak yang meminjamkan dana kepada pihak lain?

Namun, hemat saya, sedikit sekali Kreditor dan Debitor mengajukan permohonan kepailitan ke Pengadilan Niaga karena alasan utama sebagai berikut:

1. Saya peroleh kesan bahwa pencari keadilan kurang percaya pada jalannya peradilan di Indonesia, dan pada konsistensi putusan Pengadilan Niaga;

2. Masing-masing pihak dalam perkara saling mencurigai pihak lainnya, karena mengira bahwa pihak lawan mempunyai hubungan tertentu yang lebih baik dengan pihak, yang baik langsung maupun tidak langsung, mempunyai hubungan di Pengadilan Niaga, sehingga lebih mudah untuk memenangkan perkaranya walaupun sebenarnya pihak lain tersebut tidak mempunyai posisi hukum yang kuat untuk memenangkan perkaranya;

3. Selain alasan tersebut di atas, Debitor sendiri enggan mengajukan permohonan pailit, karena kepailitan menunjukkan antara lain kegagalan Debitor dalam menjalankan usahanya sebagaimana mestinya. Lagipula, akibat dinyatakan pailit, Debitor, demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk harta pailit, sejak tanggal Putusan Pernyataan Pailit diucapkan. Yang kemudian melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit adalah Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas (Pasal 24 dan Pasal 16 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Mengingat Putusan Pernyataan Pailit bersifat serta merta, maka baik upaya hukum kasasi maupun peninjauan kembali tidak dapat mencegah terjadinya status pailit Debitor tersebut di atas, sejak tanggal Putusan Pailit diucapkan;

1

Page 12: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi I Kartini Muljadi, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

4. Memang perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan Niaga jumlahnya tidak begitu banyak jika dibandingkan dengan jenis perkara lainnya. Karenanya, tidak dapat diperoleh banyak yurisprudensi atau tulisan tentang kepailitan yang dapat membantu para Hakim, Advokat, Kurator, Pengurus dan pihak lainnya untuk mengembangkan pengetahuan dan pengalaman mereka dalam menangani dan menyelesaikan perkara kepailitan. Dengan demikian, penyelesaian perkara kepailitan jarang berjalan lancar sebagaimana diharapkan masyarakat pencari keadilan. Lagipula, terkesan ada keterlambatan yang mengganggu pada waktu Pengadilan Niaga memutuskan perkara permohonan pailit, mengeluarkan salinan putusan Pengadilan Niaga, putusan Kasasi dan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung. Keterlambatan ini dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum.

5. Juga aspek biaya, yang mungkin membuat suatu pihak enggan untuk mengajukan perkara kepailitan. Kenyataannya memang proses penyelesaian perkara pailit membutuhkan biaya yang tidak kecil dan waktu yang relatif lama. Tampaknya muda untuk menyatakan Debitor pailit karena secara teoritis menurut Pasal 2 UU Kepailitan, hanya diperlukan bukti sederhana bahwa Debitor mempunyai 2 (dua) atau lebih Kreditor dan Debitor tidak membayar lunas sedikit-dikitnya satu utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

6. Namun, menurut hemat saya, kendala utama bagi pihak-pihak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit, adalah proses hukum berikutnya yang harus dijalani untuk melaksanakan Putusan Pernyataan Pailit. Inilah yang pada kenyataannya sangat sulit, rumit, dan sering terkesan bertele-tele sebagaimana akan diuraikan di bawah ini. a. Proses pencocokan piutang (verifikasi)

Menurut Pasal 26 & Pasal 27 UU Kepailitan, suatu tuntuntan mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap Kurator, jadi tidak dapat langsung terhadap Debitor.

Tuntutan untuk memperoleh pemenuhan suatu perikatan dari harta pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan atau verifikasi. Verifikasi diatur dalam Pasal 113 sampai dengan Pasal 143 UU Kepailitan. Proses verifikasi tidak sederhana karena ada piutang yang diakui dan ada yang dibantah oleh Kurator. Dalam hal ada bantahan, dan Hakim Pengawas tidak dapat mendamaikan Kreditor yang piutangnya dibantah oleh Kurator, maka Hakim Pengawas dapat memerintahkan agar kedua belah pihak menyelesaikan sengketa tersebut di Pengadilan Negeri (proses renvooi).

Kalau memang diajukan kepada Pengadilan Negeri, dan diputuskan oleh Pengadilan Negeri, maka terhadap Putusan Pengadilan Negeri dalam perkara tersebut, masih ada upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali yang dapat dilakukan sehingga prosesnya makin lama (Pasal 127 UU Kepailitan).

Jadi, proses verifikasi piutang dapat memerlukan waktu yang lama.

b. Proses perdamaian

Selanjutnya ada proses perdamaian (accoord). Sebagaimana diatur di dalam Pasal 144 sampai dengan pasal 177 UU Kepailitan, Debitor berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor.

Rencana perdamaian dibicarakan dalam Rapat Kreditor untuk dapat diterima atau ditolak oleh Rapat Kreditor.

Kemudian usul perdamaian yang diterima baik oleh Rapat Kreditor tersebut diajukan ke Pengadilan Niaga untuk disahkan (homologatie). Pengadilan Niaga dapat menolak atau mengesahkan usul perdamaian tersebut.

2

Page 13: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi I Kartini Muljadi, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Jika Pengadilan Niaga menolak mengesahkan perdamaian, baik Kreditor yang menyetujui perdamaian maupun Debitor pailit dalam waktu 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan Pengadilan diucapkan, dapat mengajukan kasasi terhadap Putusan Pengadilan Niaga tersebut ke Mahkamah Agung (Pasal 160 ayat (1) UU Kepailitan).

Jika Pengadilan Niaga mengabulkan pengesahan perdamaian, maka terhadap putusan tersebut dalam waktu 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan Pengadilan diucapkan, dapat diajukan kasasi oleh Kreditor yang menolak perdamaian atau yang semula menyetujui perdamaian namun kemudian mengetahui bahwa perdamaian dicapai karena penipuan (Pasal 160 ayat (2) UU Kepailitan).

c. Proses pemberesan

Proses pemberesan harta pailit (vereffening) diatur dalam Pasal 178 sampai dengan Pasal 203 UU Kepailitan. Menurut Pasal 178 ayat (1), jika dalam Rapat Pencocokan Piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian atau rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka demi hukum harta pailit dalam keadaan insolven.

Lantas Hakim Pengawas mengadakan Rapat Kreditor untuk mengatur cara pemberesan harta pailit (Pasal 187 UU Kepailitan). Kurator wajib menyusun dan menyerahkan daftar pembagian harta pailit kepada Kreditor yang piutangnya sudah dicocokkan. Daftar Pembagian tersebut harus disetujui oleh Hakim Pengawas (Pasal 189 UU Kepailitan).

Terhadap Daftar Pembagian tersebut, Kreditor dapat mengajukan perlawanan ke Pengadilan Niaga (Pasal 193 UU Kepailitan). Terhadap Putusan Pengadilan Niaga atas perlawanan tersebut Kreditor/Kurator berhak mengajukan kasasi (Pasal 196 UU Kepailitan).

Kepailitan baru berakhir setelah kepada Kreditor yang telah dicocokkan dibayarkan penuh piutang mereka atau segera setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat (Pasal 202 UU Kepailitan).

Dari uraian di atas, ternyata bahwa proses sejak diucapkannya Putusan Pernyataan Pailit sampai berakhirnya kepailitan membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Oleh karenanya, kita seringkali melihat bahwa baik Debitor maupun Kreditor lebih memilih jalan untuk berdamai dan menyelesaikan perselisihan mereka di luar pengadilan daripada mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga.

7. Alasan lain yang menyebabkan pencari keadilan enggan mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga, mungkin karena sering terjadi sikap Hakim Pengawas yang tidak konsisten sebagaimana tampak dalam kasus di bawah ini.

Suatu Perseroan Terbatas (“PT Debitor”) dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Niaga yang telah berkekuatan hukum tetap dan putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung tetap menyatakan pailit PT Debitor.

Setelah PT Debitor dinyatakan pailit, maka diselenggarakan Rapat Kreditor untuk membicarakan rencana perdamaian yang diajukan oleh PT Debitor. Rapat ini menerima baik rencana perdamaian yang diajukan oleh PT Debitor. Kemudian Pengadilan Niaga menjatuhkan putusan mensahkan perdamaian yang berkekuatan hukum tetap (Putusan Homologasi Perdamaian).

Kurator telah mengumumkan Putusan Homologasi Perdamaian tersebut dalam Berita Negara Republik Indonesia dan dalam 2 (dua) surat kabar harian yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.

3

Page 14: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi I Kartini Muljadi, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Setelah tanggal Putusan Homologasi Perdamaian diucapkan dan diumumkan, ternyata PT Debitor menawarkan kepada para Kreditor separatis PT Debitor suatu rencana perdamaian terhadap utang yang dijamin (juga disebut “Secured Debt Restructuring Plan”). Ternyata mayoritas Kreditor separatis kemudian menyetujui Secured Debt Restructuring Plan tersebut. Tetapi, ada 2 (dua) Kreditor separatis yang tidak menyetujuinya (mereka kita sebut dengan “PT A” dan “PT B”), sehingga Secured Debt Restructuring Plan tidak dapat dilaksanakan.

Atas permohonan Kurator, Hakim Pengawas mengeluarkan penetapan (kita sebut “Penetapan I”) dengan pertimbangan hukum yang pada pokoknya menyatakan bahwa karena PT A dan PT B tidak menyetujui Secured Debt Restructuring Plan, maka hal ini mengganggu keseluruhan proses restrukturisasi utang Kreditor separatis lain pada khususnya, dan semua Kreditor pada umumnya, berdasarkan rencana perdamaian yang telah disahkan oleh Pengadilan Niaga.

Selanjutnya dipertimbangkan, bahwa Undang-undang Kepailitan bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak yang berkepentingan dan untuk mencegah kesewenang-wenangan pihak Kreditor yang mengusahakan pembayaran atas tagihannya masing-masing tanpa mempedulikan Kreditor lainnya.

Diktum Penetapan Hakim Pengawas berbunyi sebagai berikut:

“Menyatakan perjanjian perdamaian yang telah dihomologasi pada tanggal 16 Nopember 2005, dan rencana perdamaian terhadap utang yang dijamin/Secured Debt Restructuring Plan tertanggal 29 Nopember 2005, yang ditawarkan oleh PT Debitor kepada Kreditor Separatis adalah sah dan mengikat semua Kreditor baik Kreditor konkuren maupun Kreditor separatis termasuk Kreditor separatis yang tidak menyetujui Secured Debt Restructuring Plan (PT A dan PT B).”

Kemudian, PT A dan PT B sebagai Kreditor separatis mengajukan keberatan atas Penetapan I tersebut di atas, dengan alasan bahwa PT A dan PT B sebagai Kreditor separatis tidak menyetujui Secured Debt Restructuring Plan yang diajukan PT Debitor.

Kira-kira dua bulan setelah Penetapan I dikeluarkan, Hakim Pengawas yang sama mengeluarkan Penetapan lagi yang merevisi Penetapan I (kita sebut “Penetapan II”).

Pertimbangan hukum Penetapan II antara lain menyebutkan Pasal 162 UU Kepailitan yang berbunyi sebagai berikut:

“Perdamaian yang disahkan berlaku bagi semua Kreditor yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan, tanpa ada pengecualian, baik yang telah mengajukan diri dalam kepailitan maupun tidak. Selanjutnya, dipertimbangkan bahwa Kreditor separatis yang tidak menyetujui Secured Debt Restructuring Plan tidak dapat dipaksa untuk diikat dan harus dikeluarkan dari Secured Debt Restructuring Plan tersebut.”

Hakim Pengawas tersebut memakai secara analogi Pasal 281 UU Kepailitan.

Diktum Penetapan II berbunyi:

• Menyatakan perjanjian perdamaian yang telah dihomologasi melalui Putusan Homologasi nomor _______ tanggal ______ mengikat seluruh Kreditor Konkuren tanpa terkecuali baik yang telah mengajukan diri dalam kepailitan maupun tidak.

• Menyatakan Rencana Perdamaian terhadap hutang yang dijamin (Secured Debt Restructuring Plan) tanggal ____ yang ditawarkan oleh PT Debitor kepada seluruh Kreditor separatis, adalah sah dan mengikat kepada Kreditor separatis yang telah menyetujui Rencana Perdamaian tersebut.”

Adapun pendapat saya atas Penetapan I dan Penetapan II tersebut adalah sebagai berikut:

“Penetapan I dan Penetapan II tidak sesuai dengan tugas Hakim Pengawas, sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Kepailitan.”

4

Page 15: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi I Kartini Muljadi, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Dalam Putusan Pernyataan Pailit diangkat Hakim Pengawas yang bertugas untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit (Pasal 15 dan Pasal 65 UU Kepailitan). Peran Hakim Pengawas krusial dalam proses penyelesaian kepailitan, dan Hakim Pengawas harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang Undang-undang Kepailitan. Berdasarkan Pasal 166 UU Kepailitan, jika Putusan Pengadilan mengenai pengesahan perdamaian (homologasi) telah berkekuatan hukum tetap, maka kepailitan berakhir. Perdamaian tersebut wajib diumumkan oleh Kurator dalam Berita Negara Republik Indonesia dan dalam 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas. Kurator wajib memberikan pertanggungjawaban kepada Debitor dihadapan Hakim Pengawas dan Kurator wajib mengembalikan kepada Debitor benda yang termasuk harta pailit (Pasal 167 UU Kepailitan). Dari ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Tugas Hakim Pengawas adalah mengawasi pengurusan serta pemberesan harta pailit. Dengan adanya putusan homologasi atas perdamaian, kepailitan berakhir. Jika pemberesan harta pailit selesai, maka selesai pulalah tugas Hakim Pengawas. Debitor kembali berhak menguasai dan mengurus kekayaannya sendiri. Jika masih ada Kreditor, Kreditor dapat menggugat Debitor di Pengadilan Negeri sebagai gugatan perdata biasa.

Penetapan Hakim Pengawas yang menyatakan sah perdamaian sebenarnya tidak diperlukan karena sudah ada putusan Pengadilan Niaga yang mensahkan perdamaian tersebut. Hakim Pengawas juga tidak perlu menetapkan bahwa Secured Debt Restructuring Plan mengikat semua Kreditor Separatis termasuk PT A dan PT B yang tidak menyetujuinya. Untunglah kesalahan dalam Penetapan I diperbaiki dalam Penetapan II. Perdamaian yang sudah disahkan tersebut tidak mengikat Kreditor yang didahulukan (Kreditor yang dijamin dengan gadai, fidusia, hak tanggungan dan hipotik serta Kreditor yang diistimewakan). Maka, diktum dalam Penetapan I adalah salah. Syukurlah kekeliruan tersebut diperbaiki di dalam Penetapan II.

8. Sebelumnya, saya sudah kemukakan bahwa kurangnya pengajuan permohonan pernyataan kepailitan, antara lain disebabkan karena pencari keadilan kurang percaya pada jalannya peradilan di Indonesia dan pada konsistensi putusan Pengadilan Niaga.

Apakah Putusan Kasasi Mahkamah Agung dalam perkara yang akan dibahas di bawah ini merupakan salah satu alasan?

Suatu perseroan terbatas yang berpiutang atau Kreditor, mengajukan permohonan kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri X terhadap Debitornya, agar Debitor itu dinyatakan pailit. Kreditor bukan Kreditor dengan hak untuk didahulukan, tetapi suatu Kreditor Konkuren. Petitum permohonan pailit yang diajukan itu berbunyi, antara lain, sebagai berikut:

a. Mengabulkan permohonan pailit untuk seluruhnya;

b. Menyatakan debitor dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya;

c. Menunjuk Q sebagai kurator;

d. Menghukum debitor supaya membayar hutangnya kepada pemohon pailit, Kreditor, sebesar US$ 25.000 (dua puluh lima ribu dollar Amerika Serikat).

Termohon (Debitor) kemudian menolak semua dalil Pemohon (Kreditor). Kemudian, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri X menjatuhkan putusan yang menolak seluruh permohonan Kreditor. Selanjutnya, Kreditor mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung kemudian menjatuhkan putusan dengan diktum sebagai berikut:

Mengadili:

a. Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi (Kreditor);

b. Membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri X tanggal ____, nomor _____.

5

Page 16: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi I Kartini Muljadi, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

MENGADILI SENDIRI:

1. Mengabulkan permohonan pailit untuk seluruhnya;

2. Menyatakan debitor dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya;

3. Menunjuk Q sebagai kurator;

4. Menghukum debitor untuk membayar hutang kepada pemohon pailit (Kreditor) sebesar US$ 25.000 (dua puluh lima ribu dollar Amerika Serikat);

5. Menghukum termohon kasasi untuk membayar biaya perkara,…….dan sebagainya

Perlu dipertanyakan, mengapa dalam Putusan Kasasi ini tidak ada diktum pengangkatan Hakim Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (i) Undang-undang Kepailitan? Tentunya ini merupakan kelalaian yang sangat mengganggu.

Lagipula, diktum yang berbunyi: menghukum Debitor untuk membayar utangnya kepada Pemohon Pailit/Kreditor sebesar US$ 25.000 (selanjutnya disebut dengan “Diktum nomor 4”) tidak sesuai dengan Undang-undang Kepailitan, yakni:

a. Asas di dalam Undang-undang Kepailitan

Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Kepailitan dikemukakan bahwa:

1. Sebab perlunya diadakan pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) adalah untuk menghindari perebutan harta Debitor, apabila pada waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang menagih piutangnya dari Debitor dan untuk menghindari adanya Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual milik Debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya.

2. Kalau kita teliti, maka asas-asas Undang-undang Kepailitan adalah:

a) Asas keseimbangan. Dalam Undang-undang Kepailitan terdapat ketentuan yang merupakan perwujudan asas keseimbangan, yaitu di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur. Di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang beritikad tidak baik.

b) Asas keadilan. Asas keadilan ini adalah untuk mencegah terjadinya kesewenangan pihak penagih utang yang mengusahakan penerimaan pembayaran atau realisasi tagihan masing-masing terhadap Debitor tanpa menghiraukan Kreditor lainnya.

Jadi, Undang-undang Kepailitan bermaksud memberikan perlakuan yang baik dan seimbang kepada para Kreditor. Para Kreditor dengan peringkat yang sama harus mendapat perlakuan yang sama, jadi dihindarkan tindakan yang diskriminatif.

Undang-undang Kepailitan sangat mendukung perlakuan yang seimbang dan bukan perlombaan dimana Kreditor yang pertama menagih dibayar didahulukan dan dibayar seluruh tagihannya.

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa diktum Putusan Pailit yang menghukum Debitor untuk membayar seluruh tagihan satu Kreditor Konkuren, sangat tidak adil dan bertentangan dengan maksud dan tujuan pengaturan kepailitan dan asas keseimbangan yang diusahakan oleh Undang-undang Kepailitan.

6

Page 17: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi I Kartini Muljadi, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

b. Diktum nomor 4 melanggar ketentuan tentang pencocokan piutang

Pencocokan piutang diatur dalam Pasal 113 sampai dengan Pasal 143 UU Kepailitan. Pencocokan atau verifikasi tagihan adalah suatu proses untuk menentukan nilai suatu tagihan, proses untuk mengakhiri atau menolak (mempersengketakan) adanya suatu tagihan.

Dalam kasus yang kita bahas sekarang ini, Kreditor sebagai pemohon pailit merupakan Kreditor Konkuren. Kreditor tersebut tidak dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan atau hipotik, dan bukan Kreditor dengan hak istimewa, dan karenanya Kreditor ini baru akan dibayar tagihannya setelah semua Kreditor lainnya dengan peringkat piutang yang lebih tinggi menerima pembayaran. Karenanya, pada umumnya, Kreditor Konkuren hanya akan menerima sebagian kecil tagihan mereka.

Pada Pasal 27 UU Kepailitan disebutkan bahwa selama berlangsungnya kepailitan, tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang diajukan terhadap Debitor pailit hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan (verifikasi) dalam Rapat Verifikasi. Kemudian, di Pasal 115 ayat (1) UU Kepailitan disebutkan bahwa semua Kreditor wajib menyerahkan piutangnya masing-masing kepada Kurator disertai perhitungan atau keterangan tertulis lainnya yang menjukkan sifat dan jumlah piutang, disertai dengan suatu bukti atau salinannya, dan surat pernyataan ada atau tidaknya Kreditor yang mempunyai hak istimewa, hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau hak untuk menahan benda. Jadi, sebelum dicocokkan atau sebelum “diverifikasi”, tidak dapat langsung diputuskan dalam suatu Putusan pernyataan Pailit besarnya tagihan yang harus dibayar Debitor pailit kepada Kreditor.

Tagihan kreditor yang besarnya US$ 25.000 adalah tagihan dalam mata uang asing dan perlu dirujuk kepada Pasal 139 UU Kepailitan. Pasal tersebut menyebutkan bahwa pada pokoknya piutang yang tidak dinyatakan dalam mata uang Republik Indonesia wajib dicocokkan sesuai dengan nilai taksirannya dalam mata uang Republik Indonesia. Penetapan nilai piutang ke dalam mata uang Republik Indonesia tersebut dilakukan berdasarkan nilai yang berlaku pada tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.

Rapat Kreditor yang diadakan untuk verifikasi yang akan menentukan berapa nilai mata uang dollar Amerika Serikat dalam Rupiah pada waktu Putusan Pailit diucapkan. Kemungkinan ada tagihan yang diakui ada pula tagihan yang dibantah. Jika ada bantahan sedangkan Hakim Pengawas tidak dapat mendamaikan Debitor dan Kreditor yang tagihannya dibantah, maka Hakim Pengawas memerintahkan mereka untuk menyelesaikan sengketa di Pengadilan Negeri (Pasal 127 Undang-undang Kepailitan). Menurut penjelasan Pasal 127 tersebut, yang dimaksud dengan pengadilan adalah Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Ini berarti terhadap putusan sengketa sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 127 dapat diajukan banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Diktum nomor 4 menyalahi ketentuan tentang “verifikasi”.

Upaya hukum terhadap putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dalam kasus ini adalah dengan mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung sebagaimana diatur di dalam Pasal 14 juncto Pasal 12, Pasal 13 serta Pasal 295 UU Kepailitan. Alasan untuk mengajukan PK diatur di dalam Pasal 295 UU Kepailitan yang yakni jika setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu diperiksa di Pengadilan sudah ada, tapi belum ditemukan atau dalam Putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata. Diktum nomor 4 merupakan kekeliruan Hakim yang nyata.

7

Page 18: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi I Kartini Muljadi, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

8

Jangka waktu untuk mengajukan PK dengan alasan “kekeliruan yang nyata” diatur di dalam Pasal 296 ayat (2) huruf b UU Kepailitan, yaitu dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan PK itu memperoleh kekuatan hukum tetap.

Sebenarnya Pasal 296 ayat (2) tersebut di atas harus ditambah dengan kalimat: “dan setelah Putusan yang dimohonkan PK diberitahukan kepada pihak berpekara”.

Silahkan membaca Pasal 69 huruf c Undang-undang No. 14 tahun 1985 jo. Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut sebagai “UU Mahkamah Agung”).

Alasan untuk PK tercantum di dalam Pasal 295 ayat (2) huruf a UU Kepailitan juga tidak tegas menyebutkan bahwa bukti baru tersebut harus bukti yang tertulis (novum) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 67 huruf b UU Mahkamah Agung.

Apakah memang bukti baru yang dimaksud dalam Pasal 295 ayat (2) huruf a tersebut meliputi juga bukti tidak tertulis? Misalnya saksi? Pertanyaan ini sukar untuk dijawab karena tidak ada penjelasan di dalam Pasal 295 UU Kepailitan tersebut. Kita semua berharap kasus ini dapat diselesaikan sesuai dengan rasa keadilan dan tanpa merugikan pihak manapun.

Perkenankan saya menambahkan beberapa saran kepada Pengadilan Niaga agar Pengadilan Niaga dapat lebih efektif melayani kebutuhan masyarakat usaha di Indonesia dalam masa sulit sekarang ini yang kelihatannya juga akan menimbulkan banyak perkara kepailitan.

1. Sebaiknya Pengadilan Niaga lebih menaati displin waktu dalam memeriksa dan memutuskan perkara permohonan pailit di semua tingkat Pengadilan Niaga, baik dalam kasasi dan upaya hukum khusus “PK”, serta memegang teguh waktu-waktu penyampaian salinan putusan/memori kasasi/PK/kontra memori kasasi/PK kepada pihak-pihak yang berpekara dan juga kurator. Sedih sekali sampai saat ini, hal-hal tersebut selalu terlambat khususnya dari Mahkamah Agung. Keterlambatan memutuskan perkara ataupun menyampaikan salinan putusan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum dan melanggar asas transparansi, karena putusan pailit bersifat serta merta. Misalnya dalam hal yang dipailitkan tersebut adalah PT Tbk, maka akan terjadi kekacauan jika status pailit PT tersebut diketahui oleh publik 6 (enam) bulan kemudian setelah tanggal putusan diucapkan. Ketepatan waktu bersidang di Pengadilan Niaga yang tidak indispliner, seperti panggilan untuk sidang pukul 10.00 WIB, tetapi dalam hal kenyataan sidang Pengadilan dimulai pada pukul 12.00 WIB. Hal ini akan sangat mempengaruhi disiplin dalam persidangan di lingkungan semua Pengadilan serta mempengaruhi ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya.

2. Indonesia ternyata tidak dapat menghindar dari keadaan ekonomi dan finansial global yang sangat memprihatinkan yang dampaknya sudah mulai kita rasakan. Maka, sebaiknya kita segera mempersiapkan diri membaca, mempelajari pengaturan pelaksanaan kepailitan serta pengaturan hak-hak dan kedudukan buruh dalam kepailitan, karena pengaturan ini hampir pasti dibutuhkan baik oleh dunia usaha maupun karyawan pada umumnya.

Page 19: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi II Prof. DR. Paulus Effendie Lotulung, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Materi II Pemikiran tentang Penyempurnaan Undang-Undang Kepailitan

dari segi Prosedural

Oleh Prof. DR. Paulus Effendie Lotulung, S.H.1

A. Pengantar

Sebagaimana kita ketahui pranata kepailitan sudah lama ada (sejak 1905 yaitu Faillessements Verordening Staatsblad tahun 1905 No. 217 juncto Staatsblad 1906 No. 348) yang kemudian beberapa kali diubah, namun dalam praktek peradilan tidak begitu populer, sebab prosedurnya yang tidak mudah. Dalam beberapa penelitian melalui data statistik perkara di pengadilan, jumlahnya tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan perkara-perkara perdata pada umumnya.

Pembaruan dalam hukum kepailitan di Indonesia diawali sejak tahun 1998 dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 1998 yang diundangkan pada tanggal 22 April 1998 dan dinyatakan berlaku 120 hari kemudian. Penerbitan PERPU Nomor 1 Tahun 1998 tersebut secara politis yuridis adalah merupakan langkah penanggulangan dalam rangka mengatasi dan usaha menyikapi krisis ekonomi yang melanda Indonesia saat itu, dengan mendasarkan pada konsideran/pertimbangan adanya keadaan darurat/memaksa.

Dengan disertai perubahan-perubahan yang mendasar, diharapkan bahwa prosedur hukum melalui proses kepailitan di badan peradilan pada waktu itu dapat menjadi upaya perangkat hukum untuk mengatasi krisis moneter, dengan secepatnya memberikan terapi psikologis dalam rangka pemulihan kepercayaan bagi perspektif penyelesaian utang-piutang agar ada kepastian hukum.

PERPU No. 1 Tahun 1998 tersebut kemudian ditingkatkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 dengan isi substansi, dan prosedur, maupun struktur organisasi yang sama sebagai bentuk perubahan terhadap peraturan Kepailitan yang lama, yaitu Faillessements Verordening tahun 1905 tersebut diatas.

Perkembangan kemudian sejak tahun 1998 dalam praktek pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tersebut dengan berbagai pertimbangan dan konsideran membawa penyempurnaan hukum kepailitan dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang berlaku hingga sekarang.

Dari perbandingan terhadap peraturan kepailitan yang mengalami ”re-inkarnasi” sejak 1905 sampai sekarang, dapat dikatakan telah menunjukkan adanya beberapa perkembangan secara substantif, prosedural maupun organisatoris yang menyangkut aspek hukumnya.

Namun dengan melihat pada beberapa segi dalam praktek pelaksanaannya, terutama dari segi proses peradilan, penulis merasakan adanya suatu perubahan prinsipiil dalam sistem jenjang pemeriksaannya yang dapat menjadi wacana perubahan menuju penyempurnaannya peraturan kepailitan. Sudah barang tentu wacana perubahan ini akan mengandung implikasi-implikasi dan konsekwensi-konsekwensi yang perlu dipikirkan dan diatasi agar dapat direalisasikan.

B. Pertimbangan Perlunya Perubahan Sistem Pemeriksaan

Sesuai dengan hukum positif yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, perkara permohonan kepailitan diajukan dalam pemeriksaan tingkat pertama ke Pengadilan

1 Ketua Muda Mahkamah Agung RI dan Ketua Tim Pembaharuan Mahkamah Agung RI. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional tentang Hukum Kepailitan yang diselenggarakan oleh AKPI (Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia) dan In-ACCE USAID (Indonesia Anti Corruption & Commercial Court Enhancement Project) di Jakarta pada tanggal 29 Oktober 2008.

9

Page 20: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi II Prof. DR. Paulus Effendie Lotulung, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Niaga.2 Upaya hukum yang terbuka terhadap putusan tingkat pertama tersebut adalah langsung upaya hukum kasasi dan selanjutnya bisa Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung. Sehingga, karenanya tidak terbuka adanya pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi.

Sistem penjenjangan pemeriksaan yang demikian, dalam tataran prakteknya memang menguntungkan dari segi kecepatan proses perkara yang memang menjadi salah satu asas prosedur kepailitan agar ada kepastian hukum yang cepat. Tetapi dari sudut pandang yang lain, jenjang pemeriksaan yang demikian juga dapat menimbulkan aspek negatif yang lain, yaitu:

1. Kerugian sistem karir bagi hakim khusus kepailitan yang telah menempuh pendidikan kekhususan (dengan mendapat pengangkatan Surat Keputusan yang khusus) dan menjalani praktek memutus perkara kepailitan dalam tingkat pertama dengan segala tingkat kesulitannya dan kompleksitasnya kasus kepailitan. Apabila hakim yang bersangkutan mendapat promosi diangkat sebagai Hakim Tinggi maka terputuslah ilmu dan pengalamannya sebagai hakim kepailitan, yang sudah dipersiapkan dan investasi susah payah sebagai hakim khusus kepailitan selama beberapa tahun. Pengalaman dan kekhususannya dalam hukum kepailitan, baru akan kembali diterapkannya manakala diangkat sebagai Hakim Agung di Mahkamah Agung (Itupun kalau ada kesempatan dan keberuntungannya diangkat sebagai Hakim Agung !).

2. Pengalaman dan kekhususan dalam hukum kepailitan yang diperoleh hakim-hakim tingkat pertama seolah-olah tidak akan dimanfaatkan lagi dalam posisinya sebagai hakim tinggi di Pengadilan Tinggi karena tidak akan ada kasus-kasus tingkat banding tentang perkara kepailitan yang akan mereka tangani dalam praktek peradilan. Hal ini juga merupakan kerugian bagi perkembangan keilmuan mereka yang sudah diinvestasikan dengan susah payah, dan tidak ada kesempatan untuk mengamalkannya.

C. Peranan Pengadilan Tinggi Sebagai Hakim Instansi Pertama dalam Perkara Kepailitan

Aspek negatif apabila Pengadilan Tinggi tidak diberdayakan sebagai pemutus perkara kepailitan, dapat dihindari dengan mengubah sistem pemeriksaan perkara kepailitan dengan menjadikan Pengadilan Tinggi sebagai lembaga pemeriksa tingkat pertama (judex factie). Keuntungan dari sistem demikian adalah sebagai berikut:

1. Pengalaman dan penguasaan ilmu hukum serta jam terbangnya yang tinggi sebagai hakim akan banyak menentukan arah penyelesaian dan perkembangan hukum dalam putusan-putusannya.

2. Sistem karir dalam promosi ataupun mutasi jabatannya tidak terhambat sebab ada jaminan kelangsungan pengalamannya yang khusus dan profesionalisme dalam memutus perkara-perkara kepailitan.

D. Kendala-kendala Yang Dihadapi

Apabila sistem tersebut akan diterapkan, maka dengan melihat pada sistem yang berlaku sekarang, akan dapat menimbulkan kendala-kendala atau implikasi negatif yang perlu diantisipasi.

Pengadilan Tinggi sebagai lembaga peradilan banding dalam sistem yang berlaku sekarang, tidak mempunyai jurusita yang akan melakukan panggilan-panggilan atau tindakan-tindakan lain yang harus dilakukan oleh seorang juru sita. Secara umum, Pengadilan Tinggi tidak dilengkapi dengan unit-unit atau petugas sebagai aparat di Pengadilan tingkat pertama. Hal-hal semacam inilah yang harus segera dilengkapi dalam undang-undang, apabila sistem Pengadilan Tinggi sebagai instansi tingkat pertama akan diterapkan.

2 Saat ini ada 5 (lima) Pengadilan Niaga di Indonesia yaitu di Jakarta Pusat, Surabaya, Semarang, Medan, dan Makassar.

10

Page 21: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi II Prof. DR. Paulus Effendie Lotulung, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

11

Sebagai gambaran perbandingan, di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dikenal adanya peranan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai instansi tingkat pertama, yaitu dalam perkara-perkara yang sebelumnya melalui upaya banding administrasi (administratief-beroep), misalnya: putusan-putusan BAPEK (Badan Pertimbangan Kepegawaian). Demikian juga di lingkungan Peradilan Umum dahulu dikenal sistem yang demikian itu, ialah sengketa tentang besarnya ganti rugi sebagai akibat diterapkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Milik untuk Kepentingan Umum.

E. Kesimpulan

Dalam perbandingan dengan lingkungan peradilan lain, ada kemungkinan Pengadilan Tinggi berdasarkan alasan-alasan tertentu menjadi peradilan tingkat pertama, misalnya di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara ataupun di lingkungan Peradilan Umum. Oleh karenanya, dalam hukum kepailitan dimungkinkan juga Pengadilan Tinggi menjadi peradilan tingkat pertama, dan upaya kasasi langsung ke Mahkamah Agung serta Peninjauan Kembali, asalkan struktur organisasi dan aparat-aparat di Pengadilan Tinggi disempurnakan dan disesuaikan dengan kebutuhan penerapan hukum kepailitan, baik substansial maupun prosedurnya.

Page 22: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi III Eljana Tansah, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Materi III Kedudukan Tagihan Buruh, Tagihan Pajak versus Kedudukan Kreditur

Separatis dalam Kepailitan Perusahaan

Oleh Elijana Tansah, S.H.

A. Arti Kepailitan

Undang-Undang Kepailitan yang sekarang berlaku adalah Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang menggantikan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998.

Berdasarkan undang-undang tersebut di atas, Kepailitan adalah sita umum terhadap seluruh harta kekayaan Debitur pailit yang sudah ada pada saat Debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga yang berwenang maupun yang akan diperoleh selama kepailitan berlangsung, kecuali yang ditentukan dalam pasal 22 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan tujuan akhir untuk mempergunakan seluruh harta Debitur pailit tersebut (harta pailit) membayar semua Krediturnya secara adil dan merata berimbangan oleh seorang Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas.

Pembayaran utang Debitur pailit dilakukan oleh Kurator berdasarkan Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1138 KUH Perdata. Jadi pembayaran oleh Kurator kepada Kreditur dilakukan berdasarkan asas paritas creditorum, kecuali diantara para kreditur ada alasan yang sah untuk didahulukan pembayaran piutangnya.

B. Lima Golongan Kreditur dalam Kepailitan

Penentuan golongan kreditur di dalam Kepailitan adalah berdasarkan Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1138 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (“UU KUP”); dan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) (selanjutnya disebut sebagai “UU Kepailitan”).

Berdasarkan peraturan-peraturan di atas, golongan kreditur tersebut meliputi:

1. Kreditur yang kedudukannya di atas Kreditur pemegang saham jaminan kebendaan (contoh utang pajak) dimana dasar hukum mengenai kreditur ini terdapat di dalam Pasal 21 UU KUP jo Pasal 1137 KUH Perdata;

2. Kreditur pemegang jaminan kebendaan yang disebut sebagai Kreditur Separatis (dasar hukumnya adalah Pasal 1134 ayat 2 KUH Perdata). Hingga hari ini jaminan kebendaan yang dikenal/diatur di Indonesia adalah:

a. Gadai; b. Fidusia; c. Hak Tanggungan; dan d. Hipotik Kapal;1

1 Gadai dan Hipotik (kini termasuk Fidusia dan Hak Tanggungan) adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal dimana oleh Undang-Undang ditentukan sebaliknya (Pasal 1134 ayat 2 KUH Perdata), sedangkan Pasal 1137 KUH Perdata menentukan bahwa hak dari kas Negara, Kantor Lelang dan lain-lain badan umum yang dibentuk oleh pemerintah untuk didahulukan, tertibnya melaksanakan hak itu dan jangka waktu berlangsungnya hak tersebut, diatur dalam berbagai undang-undang khusus yang mengenai hal-hal itu. Hal-hal yang sama mengenai peraturan-peraturan atau perkumpulan-perkumpulan yang berhak atau kemudian akan mendapat hak untuk memungut bea.

12

Page 23: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi III Eljana Tansah, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

3. Utang harta pailit. Yang termasuk utang harta pailit antara lain adalah sebagai berikut:

a. Biaya kepailitan dan fee Kurator; b. Upah buruh, baik untuk waktu sebelum Debitur pailit maupun sesudah Debitur pailit

(Pasal 39 ayat (2) UU Kepailitan);2 dan c. Sewa gedung sesudah Debitur pailit dan seterusnya (Pasal 38 ayat (4) UU

Kepailitan);

4. Kreditur preferen khusus, sebagaimana terdapat di dalam Pasal 1139 KUH Perdata, dan Kreditur preferen umum, sebagaimana terdapat di dalam Pasal 1149 KUH Perdata; dan

5. Kreditur konkuren. Kreditur golongan ini adalah semua Kreditur yang tidak masuk Kreditur separatis dan tidak termasuk Kreditur preferen khusus maupun umum (Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUH Perdata).

Dari lima golongan kreditur yang telah disebutkan di atas, berdasarkan Pasal 1134 ayat 2 jo. Pasal 1137 KUH Perdata dan Pasal 21 UU KUP, Kreditur piutang pajak mempunyai kedudukan di atas Kreditur Separatis. Dalam hal Kreditur Separatis mengeksekusi objek jaminan kebendaannya berdasarkan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan, maka kedudukan tagihan pajak di atas Kreditur Separatis hilang. Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No. 28 Tahun 2008, menentukan :

“Hak mendahului untuk pajak melebihi segala hak mendahului lainnya kecuali terhadap : a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang

suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak; b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan atau c. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu

warisan.”

Bagaimana dengan kedudukan tagihan buruh? Tidak demikian halnya untuk piutang para buruh karena upah buruh tidak termasuk hak dari kas Negara. Meskipun Pasal 95 ayat 4 UU Kepailitan menentukan bahwa dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau likuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Dan, penjelasannya menyebutkan yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu daripada utang-utang lainnya. Kedudukan tagihan upah buruh tetap tidak dapat lebih tinggi dari kedudukan piutang Kreditur Separatis karena upah buruh bukan utang kas Negara.

Pasal 1134 ayat 2 jo. Pasal 1137 KUH Perdata justru merupakan rambu-rambu agar tidak setiap undang-undang dapat menentukan bahwa utang yang diatur dalam undang-undang tersebut mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari tagihan Kreditur Separatis maupun tagihan Pajak.

Dalam Pasal 39 ayat (2) UU Kepailitan telah ditentukan bahwa upah buruh untuk waktu sebelum dan sesudah pailit termasuk utang harta pailit artinya pembayarannya didahulukan dari Kreditur Preferen Khusus dan Preferen Umum yang diatur dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH Perdata.

Lalu, bagaimana dengan objek jaminan kebendaan yang termasuk harta pailit? Kreditur pemegang jaminan kebendaan/separatis bukan pemilik objek jaminan kebendaan, objek jaminan tetap milik Debitur pailit, jadi termasuk harta pailit hanya objek jaminan kebendaan tidak terkena sita umum. Kreditur pemegang jaminan kebendaan hanya mempunyai hak untuk mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan/eksekusi objek jaminan kebendaan lebih dahulu dari Kreditur lain. Apabila setelah Kreditur pemegang jaminan kebendaan tersebut melunasi piutangnya, dari hasil eksekusi/penjualan objek jaminan tersebut masih ada sisa uang, maka Kreditur tersebut harus mengembalikan sisa

2 Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, hanya upah buruh untuk waktu setelah Debitur pailit, masuk utang harta pailit, untuk upah buruh sebelum Debitur pailit masuk utang preferen ke-4 (pasal 1149 ayat 4 KUH Perdata).

13

Page 24: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi III Eljana Tansah, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

uang tersebut kepada boedel pailit melalui Kurator. Sedangkan apabila hasil penjualan tidak cukup untuk melunasi piutangnya, maka sisa piutang yang tidak terbayar tersebut dapat diajukan/didaftarkan kepada Kurator untuk diverifikasi sebagai tagihan/piutang konkuren.

C. Cara Kurator Melakukan Pembayaran Kepada Para Kreditur dari Debitur Pailit

Dalam hal Kreditur Separatis melaksanakan Hak Eksekusinya sesuai Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan yaitu mengeksekusi objek jaminan kebendaannya dalam jangka waktu setelah “stay” terangkat sampai 2 (dua) bulan setelah insolvensi, Kreditur Separatis tersebut tidak terkena akibat kepailitan pemilik objek jaminan kebendaannya (Kreditur Separatis dapat melaksanakan Hak Eksekusinya seperti tidak ada kepailitan) artinya Kreditur Separatis tersebut setelah biaya lelang dan pajak penjualan objek jaminan dibayar, berhak untuk mengambil pelunasan piutangnya dari hasil lelang eksekusi tersebut. Kemudian menyerahkan sisanya kepada Kurator/harta pailit tidak ada kewajiban untuk membayar utang pajak dari Debitur pailit (vide pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan).

Kedudukan tagihan pajak adalah lebih tinggi dari kedudukan tagihan Kreditur Separatis hanya dalam hal Kurator yang menjual lelang objek jaminan kebendaan, karena Kreditur Separatis tersebut tidak melaksanakan Hak Eksekusinya dalam jangka waktu setelah Stay terangkat sampai 2 (dua) bulan setelah insolvensi. Pasal 60 ayat (2) UU Kepailitan yang menentukan bahwa: …..“atas tuntutan Kurator atau Kreditur yang diistimewakan, yang kedudukannya lebih tinggi daripada Kreditur pemegang hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (Kreditur Separatis), maka Kreditur pemegang hak tersebut wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah yang sama dengan jumlah tagihan yang diistimewakan…..” tentunya jelas bertentangan dengan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan. Oleh karenanya sebaiknya dihapus saja dan untuk sementara ini sebaiknya diabaikan saja oleh Pengadilan Niaga seandainya sampai ada gugatan/tuntutan dari Kurator atau Menteri Keuangan terhadap Kreditur Separatis yang telah bertindak sesuai Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan tersebut.

Di dalam prakteknya Pasal 60 ayat (2) UU Kepailitan berpotensi menyebabkan Kreditur Separatis enggan untuk berpartisipasi dalam pemberesan harta pailit, karena hal-hal berikut:

1. Kreditur Separatis enggan melaksanakan hak eksekusinya sesuai Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan, Kreditur Separatis tidak mau mengambil resiko digugat oleh Kreditur piutang pajak (Menteri Keuangan) atau Kurator;

2. Setelah jangka waktu 2 (dua) bulan setelah insolvensi berlalu, Kreditor Separatis akan berusaha sekuat tenaga menggagalkan upaya Kurator mengeksekusi/menjual lelang objek jaminan kebendaannya, untuk menghindari resiko tagihan separatisnya menjadi tagihan konkuren.

Perlu dipertanyakan, apakah tindakan Kreditur Separatis berdasarkan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan? Jawabannya tentu saja tidak, karena tindakan Kreditur Separatis mengambil pelunasan dari hasil eksekusi objek jaminan kebendaan, seperti tidak ada kepailitan, adalah sesuai Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan, sehingga tindakan tersebut adalah tindakan menurut hukum dan jelas bukan tindakan melawan hukum. Dengan demikian, salah satu unsur dari tindak pidana penggelapan sebagaimana diatur dalam pasal 372 KUH Pidana tidak mungkin terbukti.3

Dengan adanya Pasal 21 ayat (3a) UU KUP, sering dipertanyakan apakah Kurator yang tidak mengajukan tuntutan/gugatan berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU Kepailitan terhadap Kreditor Separatis yang melaksanakan hak eksekusinya berdasarkan Pasal 55 ayat

3 Pasal 372 KUH Pidana menentukan:

“barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain tetapi berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”

14

Page 25: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi III Eljana Tansah, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

(1) UU Kepailitan dan mengambil pelunasan bagi piutangnya dari hasil eksekusi objek jaminan kebendaannya, telah melanggar Pasal 21 ayat (3a) UU KUP?4 Tentu saja tidak, karena larangan bagi Kurator berdasarkan pasal tersebut adalah membagikan harta wajib pajak dalam pailit kepada pemegang saham atau Kreditor lainnya sebelum menggunakan harta pailit untuk membayar utang wajib pajak tersebut. Dalam hal Kreditor Separatis bertindak sesuai Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan, maka yang membayar piutang Kreditor Separatis dari hasil eksekusi adalah Kreditur Separatis sendiri bukan Kurator.

Pembayaran dilakukan oleh Kurator berdasarkan urutan peringkat piutang Kreditor seperti disebut diatas Nomor 2 sebagai hasil rapat verifikasi. Kurator hanya melakukan pembayaran terhadap piutang yang telah diverifikasi, kecuali utang harta pailit yang tidak perlu diverifikasi tetapi akan langsung dibayar dari harta paiilt. Setelah piutang diverifikasi dan harta pailit likuidasi, Kurator akan melakukan pembayaran kepada Kreditur menurut peringkatnya. Jadi, pertama, Kurator akan membayar Kreditur piutang pajak (utang kepada Kas Negara yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan).

Pada umumnya Kurator tidak membayar Kreditur Separatis karena umumnya Kreditur Separatis begitu stay 90 hari lewat, langsung mengeksekusi objek jaminan kebendaan seolah-olah tidak ada kepailitan Debiturnya/pemilik objek jaminan. Kurator baru melakukan pembayaran terhadap Kreditur Separatis manakala ada Kreditur Separatis yang sampai 2 (dua) bulan setelah insolvensi, Kreditur yang bersangkutan belum melakukan eksekusi sendiri, sehingga Kurator yang berhak mengeksekusi objek jaminan.

Setelah pembayaran terhadap Kreditur piutang pajak dan Kreditur Separatis yang sampai 2 (dua) bulan setelah insolvensi belum mengeksekusi objek jaminan sehingga Kurator yang mengeksekusi, baru Kurator melakukan pembayaran terhadap Kreditur piutang harta pailit (utang harta pailit tidak diverifikasi tetapi langsung dibayar dari harta pailit). Pembayarannya dilakukan secara paritas creditorum.

Masalah akan timbul bila harta pailit tidak cukup untuk membayar semua utang boedel pailit. Piutang boedel pailit siapa yang wajib dibayar terlebih dahulu? Apakah biaya pailit termasuk fee Kurator, atau upah buruh, atau sewa gedung, dan lain-lain? Perlu direnungkan bahwa apabila biaya kepailitan yang meliputi tiap bagian dari harta pailit (kecuali benda yang menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 telah dijual sendiri oleh Kreditur pemegang jaminan kebendaan), termasuk fee Kurator, tidak dibayar lebih dahulu dari harta pailit sebelum utang harta pailit lainnya dibayar apakah masih ada Kurator yang mau melakukan pengurusan harta pailit dan pemberesan harta pailit, yaitu menjadikan harta pailit uang (melikuidasi harta pailit)? Karena untuk menjadikan uang harta paiilt diperlukan biaya, disamping tentunya pembayaran jasa Kurator untuk itu.

Bisa saja Indonesia mengikuti praktek di Belanda bahwa meskipun biaya kepailitan termasuk di dalamnya fee Kurator sama dengan upah buruh merupakan utang harta pailit tetapi peringkat utang harta pailit yang berupa biaya kepailitan termasuk fee Kurator peringkat lebih tinggi dari utang harta pailit yang lain.

Setelah semua utang harta pailit dibayar oleh Kurator kemudian Kurator melakukan pembayaran kepada Kreditur preferen khusus sesuai Pasal 1139 KUH Perdata. Kemudian, setelah itu melakukan pembayaran kepada Kreditur preferen umum sesuai Pasal 1149 KUH Perdata baru setelah itu/terakhir Kurator melakukan pembayaran terhadap Kreditur Konkuren secara Paritas Creditorum.

4 Pasal 21 ayat 3a Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 menentukan:

“Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, bubar atau likuidasi, maka Kurator, Likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta wajib pajak dalam pailit, pembubaran, atau likuidasi kepada pemegang saham atau Kreditor lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak wajib tersebut”

15

Page 26: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi III Eljana Tansah, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

16

D. Batas Waktu Tanggung Jawab Kurator terhadap Pembayaran Utang Wajib Pajak Yang Pailit dari Harta Pailit

Dalam hal kepailitan seorang subjek hukum (pribadi maupun badan hukum) berakhir, maka:

1. Dengan insolvensi maka kepailitan tersebut berakhir pada saat Kurator telah membayar seluruh harta pailit kepada para Kreditur dari debitur pailit sesuai daftar Kreditur sebagai hasil Rapat Verifikasi dalam hal harta pailit sudah habis sedangkan utang pajak Debitur pailit belum terbayar lunas maka, setelah Kurator memberikan pertanggungjawabannya tentang pelaksanaan tugasnya pada Hakim Pengawas berakhirlah kepailitan wajib pajak tersebut. Sisa utang wajib pajak yang tidak terbayar dari harta pailit bukan menjadi tanggung jawab Kurator lagi. Karena dengan berakhirnya kepailitan tugas Kurator sudah selesai.

2. Putusan Pernyataan Pailit dibatalkan oleh Pengadilan yang lebih tinggi maka utang pajak yang belum terbayar bukan tanggung jawab Kurator lagi. Karena dengan dibatalkannya Putusan Pernyataan Pailit, kepailitan telah berakhir demikian juga tugas Kurator.

Dalam hal tagihan pajak/utang telah kadaluarsa, maka Kurator tidak boleh membayar utang pajak tersebut dari harta pailit karena utang yang sudah kadaluarsa tidak ada hak tagihnya. Justru, Kurator yang telah membayar utang pajak yang telah kadaluarsa dan menimbulkan kerugian bagi Kreditur yang peringkatnya dibawah utang pajak harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut dengan seluruh harta kekayaan pribadinya (Pasal 72 UU Kepailitan)

E. Penutup

Mudah-mudahan pointers ini dapat menjadi bahan tambahan diskusi para peserta Seminar 10 tahun berlakunya undang-undang kepailitan sejak berlakunya PERPU No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Tentang Kepailitan.

Page 27: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi IV Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF. CIP

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Materi IV Undang-Undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004 dan Undang-Undang Perseroan

Terbatas No. 40 Tahun 2007 sehubungan dengan Penyelesaian Kewajiban Perseroan Pailit terhadap para Krediturnya1

Oleh Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF.CIP2

A. Pendahuluan

Reformasi Undang-Undang Kepailitan Indonesia yang dimulai pada tahun 1998 merupakan suatu reformasi undang-undang – upaya penyelesaian konflik utang-piutang antara kreditur dan debitur – diyakini ketika itu – lahir dari suatu kebutuhan yang sangat mendesak dalam suatu krisis moneter yang melanda Indonesia sejak tahun 1997, sehingga dalam upaya untuk mewujudkannya pun dilakukan dengan luar biasa pula yaitu melalui Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan, yang ditetapkan menjadi Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) No. 4 tahun 1998 pada tanggal 9 September 1998.

Begitu besarnya harapan yang diletakkan pada Undang-Undang Kepailitan tersebut sehingga pemerintah tidak hanya melakukan perbaikan terhadap ketentuan-ketentuan dari Undang-Undang kepailitan tersebut sebagai upaya upaya mewujudkan mekanisme penyelesaian sengketa secara adil, cepat, terbuka dan efektif, akan tetapi secara khusus juga menghadirkan Pengadilan Niaga sebagai suatu pengadilan yang khusus memeriksa dan memutuskan perkara kepailitan dan PKPU3 dengan tata pengaturan waktu (time frame) yang sangat ketat. Selain itu, Undang-Undang Kepailitan juga memperkenalkan Kurator dan Pengurus swasta4 sehubungan dengan tugas dan kewenangan untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit, ataupun pengurusan debitur dalam PKPU.

Sepuluh tahun sudah Undang-Undang Kepailitan diberlakukan, dari Perpu No. 1 Tahun 1998 yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998, dan selanjutnya 6 (enam) tahun kemudian mengalami revisi untuk penyempurnaan menjadi Undang-Undang No. 37 tahun 2004 (UU Kepailitan No.37/2004), merupakan suatu masa waktu yang cukup untuk mempertanyakan, apakah memang benar undang-undang kepailitan Indonesia tersebut telah memberikan warna yang berbeda bagi penyelesaian perkara-perkara, secara adil, cepat, terbuka dan efektif? Apakah memang Pengadilan Niaga – yang secara khusus dibangun untuk melaksanakan misi dari Undang-Undang Kepailitan ini - telah bisa melakukan fungsinya secara berbeda dengan pengadilan-pengadilan lain yang ada di Indonesia?5

Begitu pula dalam hal pengurusan dan pemberesan harta dari debitur pailit ataupun pengurusan harta debitur yang dinyatakan PKPU, apakah Kurator ataupun Pengurus telah menjadi bagian yang secara nyata mendorong pencapaian misi dari reformasi undang-

1 Dipresentasikan pada “National Seminar on Bankruptcy Law” diselenggarakan oleh AKPI – In ACCE Working Committee, di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, tanggal 29 Oktober 2008. 2 Pemakalah adalah seorang Advokat senior, Partner (pendiri) Law Firm, Ricardo Simanjuntak & Partners beralamat di Wirausaha Building Lt. 1 Jl. Rasuna Said Kav. C-5, Kuningan Jakarta Selatan. Selain itu Pemakalah juga berprofesi sebagai Kurator dan Pengurus di Pengadilan Niaga, serta juga authorized mediator di pengadilan, dan juga dosen Pasca Sarjana. 3 Pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Umum, yang berdasarkan Pasal 280 UU Kepailitan No. 4/1998 yang telah digantikan dengan UU Kepailitan No. 37/2004 dalam Pasal 300-nya, pada umumnya dimaksudkan sebagai pengadilan yang khusus memeriksa kasus-kasus yang berhubungan dengan kasus-kasus komersial, yang sejak mulai beroperasinya pada tanggal 20 Agustus 1998 hingga saat ini masih sebatas untuk mengadili perkara kepailitan dan PKPU serta juga sengketa Merek dan Hak Milik Intelektual lainnya. 4 Profesi Kurator dan Pengurus sebelumnya berasal dari Balai Harta Peninggalan (BHP). 5 Putusan Pertama Pengadilan Niaga ditetapkan pada tanggal 14 September 1998 terhadap permohonan PKPU dengan register perkara No. 01/PKPU/1998/PN.Niaga.Jkt.Pst. yang diajukan oleh PT. Karabha Digdaya sebagai reaksi terhadap permohonan pailit yang diajukan terhadapnya oleh PT. Jaya Obayashi dan PT. Nusa Raya Cipta dengan register perkara No. 01/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst pada tanggal 26 Agustus 1998.

17

Page 28: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi IV Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF. CIP

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

undang kepailitan tersebut di atas, yaitu penyelesaian sengketa utang piutang antara kreditur dengan debiturnya? Dengan kalimat lain, apakah fungsi kurator yang pada prinsipnya melakukan upaya maksimalisasi jumlah dan nilai harta pailit (boedel pailit) untuk dapat dibagikan secara maksimal terhadap krediturnya telah dapat dilakukan secara benar dan adil dalam waktu yang wajar?

Sebagai salah satu topik yang dipilih dalam seminar nasional ini, Makalah ini, memang tidak dipersiapkan untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas dari seluruh aspek, akan tetapi memberikan jawaban yang lebih difokuskan dari sisi kehadiran dan peran Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas – sebagai pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas – terhadap keberlakukan dan pelaksanaan UU Kepailitan No. 37/2004 dalam hal debitur yang dinyatakan pailit ataupun PKPU tersebut adalah Perseroan Terbatas (PT) melalui pengalaman perkara-perkara kepailitan di Pengadilan Niaga selama ini.

Kehadiran PT sebagai suatu badan usaha yang berbentuk badan hukum, merupakan salah satu kendaraan bisnis yang semakin banyak dipilih oleh pelaku usaha dalam menjalankan aktivitas komersialnya di Indonesia. Corporate legal entity ini tidak saja digunakan oleh pemilik-pemilik modal ataupun pelaku-pelaku usaha domestik, akan tetapi juga pelaku usaha internasional dalam aktivitas penanaman modal di Indonesia, serta juga oleh pemerintah dalam bentuk PT Persero, ataupun perusahaan milik Pemerintah Daerah. Sehingga, tidak mengherankan bila mayoritas debitur yang diputuskan pailit oleh Pengadilan Niaga dalam kurun waktu satu dekade ini adalah perusahaan yang berbadan hukum Perseroan Terbatas.

Aktivitas korporasi PT (atau badan hukum korporasi yang sama dengannya di Negara lain) yang bergerak lintas batas negara (transnational corporations) membuat pertumbungan hak dan kewajiban terhadapnya sering susah dibaca, karena pada satu waktu, sering tiba-tiba merupakan fakta pencapaian prestasi yang mengagumkan, akan tetapi pada waktu lain, juga dapat tiba-tiba diumumkan dalam keadaan ketidakmampuan lagi untuk menjalankan bisnisnya sehingga harus di pailitkan. Kasus Enron, Lehman Brothers merupakan bagian dari keterkejutan dunia terhadap fakta bagaimana suatu korporasi yang kelihatan begitu besar, sehat dan powerful tiba-tiba begitu saja dipailitkan. Istilah transparansi yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari doktrin good corporate governance hanya merupakan debat atau tudingan-tudingan pelipur lara setelahnya. Situasi yang sangat sulit yang merupakan bola panas perekonomian global saat ini suka atau tidak suka telah tergulir masuk pada wilayah perekonomian Indonesia, yang sangat memungkinkan mendorong peningkatan konflik utang-piutang dikalangan pelaku usaha.

Oleh karena itulah komitmen besar yang menjadi dasar perubahan Undang-Undang Kepailitan dan pengoperasian Pengadilan Niaga dalam upaya mewujudkan mekanisme penyelesaian sengketa secara adil, cepat, terbuka dan efektif menjadi penting untuk dievaluasi setelah sepuluh tahun pelaksanaan UU Kepailitan dan Pengadilan Niaga tersebut. Apakah memang UU Kepailitan dan Pengadilan Niaga Indonesia telah mampu meyakinkan dunia usaha sebagai tempat penyelesaian sengketa yang adil, cepat, terbuka dan efektif dan berkepastian hukum?

Sehubungan dengan itu, maka pembahasan makalah ini akan difokuskan antara lain pada bagaimana kedudukan hukum PT sebagai suatu legal entity dan bagaimana sebuah utang tersebut timbul dan menjadi kewajiban PT, dan bagaimana seharusnya penyelesaian terhadap utang-utang tersebut harus dilakukan? Bagaimana bila ternyata utang-utang tersebut timbul akibat dari ketidakhati-hatian, atau bahkan penyalahgunaan kewenangan atau tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh Pemegang Saham, lembaga direksi, atau salah satu direktur ataupun dewan komisaris dari PT tersebut, Bagaimana bila PT yang merasa tidak lagi dapat memenuhi utang-utangnya kepada krediturnya, tidak memilih jalur kepailitan, akan tetapi mengambil langkah untuk membubarkan (winding up) PT tersebut, apakah kreditur dapat menghindarinya dengan cara mengajukan permohonan pailit terhadap PT yang sedang dibubarkan tersebut? Atau dengan pertanyaan lain, dapatkah sebuah PT yang sedang dalam likuidasi dipailitkan atau sebaliknya? Bagaimana pentingnya waktu dalam hal yang dipailitkan

18

Page 29: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi IV Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF. CIP

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

adalah PT terbuka dan bagaimana sikap dari otoritas Bursa terhadap saham-saham PT terbuka dalam hal PT tersebut telah dinyatakan pailit?

Selanjutnya, dalam proses pengurusan dan pemberesan harta pailit, bagaimana bila ternyata ditemukan bahwa harta-harta PT tersebut, telah dialihkan secara tidak seharusnya kepada pihak lain ataupun telah dikuasai ataupun secara formal didokumentasikan atas nama pribadi, pemegang saham, pribadi komisaris, ataupun pribadi direksi? Bagaimana mengatasi terjadinya kreditur fiktif, bagaimana mengatasi permasalahan dalam hal aset-aset PT pailit tersebut berada di luar negeri?

B. Sebagai Legal Entity, Perseroan Dapat Mengajukan Permohonan Pailit Ataupun Dimohonkan Pailit

Telah tegas diatur dalam Paragraf 2 dan Paragraf 3 dari Pasal 1 tentang Ketentuan Umum di dalam UU Kepailitan No. 37/2004, bahwa yang dapat menjadi kreditur ataupun debitur adalah “orang”. Pengertian kata “orang” dalam pengertian kreditur dan debitur dalam undang-undang kepailitan tersebut meliputi orang pribadi (personal entity) ataupun badan hukum (legal entity). Perseroan Terbatas (PT) adalah “orang” dalam bentuk badan hukum (legal entity).6 Sebagai suatu legal entity PT merupakan pribadi hukum yang mandiri yang secara tegas mempunyai keterpisahan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban dengan masing-masing pribadi pemegang saham ataupun pengurusannya (separate entity separate liability).

Dengan kalimat lain, walaupun PT merupakan wadah persekutuan modal7 dari para pemodalnya, akan tetapi pada saat PT disahkan menjadi suatu badan hukum oleh Departemen Hukum dan HAM berdasarkan Pasal 7 ayat (4) jo. Pasal 1 ayat (1) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), maka sejak saat itulah PT lahir menjadi “orang” yang memiliki kekayaan sendiri – yang terpisah dari masing-masing pemegang sahamnya – yang secara mandiri dapat digunakan untuk melaksanakan aktivitas bisnisnya dengan pihak lain, begitu pula penyelesaian kewajibannya ataupun utang-utangnya kepada krediturnya dengan menggunakan hartanya tersebut berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata dan Pasal 1 angka 6 UU Kepailitan No. 37/20048.

Hal tersebutlah yang menjadi dasar bahwa dalam UU Kepailitan No. 37/2004, PT dapat dikategorikan sebagai kreditur ataupun sebagai debitur, sehingga sebagai kreditur PT mempunyai kewenangan (persona standi judicio) untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debiturnya, ataupun sebaliknya dapat dimohonkan pailit oleh krediturnya ataupun secara volunteer oleh dirinya sendiri atas terpenuhinya bukti bahwa PT tersebut memiliki minimal 2 (dua) kreditur dimana salah satu utangnya tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih seperti diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan No.37/2004.

Berbeda dengan badan usaha yang tidak berbentuk badan hukum, karena bukan merupakan “orang” maka secara hukum tidak dapat didudukkan sebagai “kreditur” ataupun sebagai “debitur”. Hal tersebut tegas diatur dalam Pasal 5 UU Kepailitan No. 37/20049 yang menyatakan bahwa dalam hal yang dimohonkan pailit adalah persekutuan perdata Firma,

6 Selain Perseroan Terbatas, dikenal juga badan hukum lainnya, seperti Yayasan, Koperasi dan badan hukum khusus lainnya. 7 Seluruh modal dasarnya terbagi atas saham. 8 Pasal 1131 KUH Perdata menegaskan bahwa harta debitur demi hukum akan menjadi jaminan terhadap pembayaran seluruh utang-utangnya, dikutip sebagai berikut:

“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.”

9 Ketentuan tentang Firma, yang sebelumnya terdapat dalam Pasal 4 ayat (7) UU Kepailitan (lama) No. 4 tahun 1998, diatur dalam Pasal 5 UU Kepailitan No. 37/2004, sebagai berikut: “Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma harus memuat nama dan tempat tinggal dari masing-masing persero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang firma.”

19

Page 30: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi IV Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF. CIP

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

maka bukan persekutuan Firma tersebut yang dijadikan sebagai termohon pailit, akan tetapi masing-masing dari pribadi persero (firmant) yang secara tanggung renteng bertanggung-jawab terhadap seluruh utang Firma tersebut.

Ketidakpahaman Pengadilan Niaga terhadap siapa sebenarnya yang dapat didudukkan sebagai kreditur dan siapa sebagai debitur dalam hal suatu hak dan kewajiban muncul sebagai konsekuensi dari aktivitas suatu persekutuan perdata, telah muncul pada awal-awal pelaksanaan Pengadilan Niaga, ketika memutuskan permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Jaya Readymiz dan PT. Primacoat Lestari sebagai kreditur kepada Hutama Bina Maint Joint Operation dalam perkara No. 24/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst pada tanggal 22 Desember 1998 dan juga permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Bangun Prima Graha Persada terhadap Daito Kogyo Co. Ltd-PT. Bina Baraga Utama Joint Operation dalam perkara No. 30/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst pada tanggal 14 Januari 1999.

Dalam putusan tersebut, Majelis Pengadilan Niaga berpendapat bahwa Joint Operation (OP) dapat menjadi pihak ataupun sebagai subjek dalam melakukan perbuatan hukum sehingga oleh karena itu juga dapat dipailitkan. Pertimbangan hukum tersebut menjadi dasar dari Majelis Hakim Niaga Jakarta Pusat menolak permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Jaya Readymix dan PT. Primacoat Lestari terhadap PT. Hutama Karya langsung terhadap PT. Bina Maint masing-masing sebagai Termohon I dan II yang menurut pemohon sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap aktivitas dari Hutama Bina Maint Joint Operation, dan sebaliknya menerima permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Bangun Prima Graha Persada secara langsung kepada Daito Kogyo Co.Ltd-PT. Bina Baraga Utama Joint Operation, dan menyatakan Daito Kogyo.Ltd-PT Bina Baraga Utama Joint Operation pailit.

Kedua putusan Pengadilan Niaga tersebut kemudian dibatalkan oleh Majelis Hakim Niaga tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) dalam putusannya No. 01 K/N/1999 tanggal 28 Februari 1999 dan oleh Majelis Hakim Peninjauan Kembali (PK) dalam putusannya No. 7 PK/N/1999 tanggal 14 Mei 1999.10 Dalam pertimbangan hukumnya terhadap pembatalan putusan No. 24/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst, Majelis Hakim Kasasi Niaga MA menolak pertimbangan hukum Majelis Hakim Niaga Jakarta Pusat - yang pada intinya menyatakan bahwa Hutama Bina Main Joint Operation merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam melunasi utangnya kepada masing-masing pemohon pailit tersebut – antara lain dengan mempertimbangkan hukum sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa dengan memperhatikan cara-cara pembentukan Hutama Bina Maint Joint Operation yakni merupakan usaha bersama yang tidak berbentuk badan hukum antara PT Hutama Karya dan PT Bina Maint dengan tujuan mencari keuntungan bersama dan masing-masing dengan perbandingan 60% dan 40%. Mahkamah Agung berpendapat bahwa usaha bersama tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah perseroan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 1618 KUH Perdata, dan apabila diperhatikan cara penggunaan nama bersama yakni Hutama Bina Maint Joint Operation, maka perseroan yang merupakan usaha bersama dari para termohon kasasi dapat dikategorikan sebagai perseroan firma sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 KUH Dagang.

Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 1643 KUH Perdata atau pasal 18 KUH Dagang, masing-masing persero mempunyai tanggung jawab secara tanggung renteng…””11

10 Terhadap putusan Pengadilan Niaga, pemohon pailit tidak mengambil upaya hukum kasasi, akan tetapi mengambil upaya hukum khusus Peninjauan Kembali. 11 Putusan No. 01 K/N/1999 tanggal 28 Februari 1999 yang memutuskan masing-masing PT. Hutama Karya dan PT. Bina Maint pailit, dimana kemudian putusan MA tersebut dibatalkan kembali oleh Putusan Peninjauan Kembali No. 04 PK/N/1999 tanggal 6 April 1999, AKAN TETAPI bukan karena pertimbangan hukum tentang Persona Standi in Judicio akan tetapi karena akhirnya dapat dibuktikan tidak adanya kreditur lain, karena adanya Novum yang membuktikan bahwa utang termohon pailit tersebut kepada kreditur lainnya telah dilunasi sebelumnya. Lebih jauh, baca Himpunan Putusan-Putusan Pengadilan Niaga dalam Perkara Pailit (HPPN) jilid 1, terbitan PT. Tatanusa hal.309-317 dan Himpunan Putusan-Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara Kepailitan (HPPMA) jilid 2, terbitan Tatanusa hal. 1-14 dan hal. 189-203.

20

Page 31: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi IV Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF. CIP

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Pertimbangan hukum yang sama juga diberikan oleh Majelis Hakim PK MA dalam putusannya, yang antara lain dikutip sebagai berikut:

“Bahwa…walaupun yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian Padang Area Flood Control Project Package I adalah Daito Kogyo Co. Ltd-PT. Bina Baraga Utama Joint Operation dan PT. Bangun Prima Graha Persada, akan tetapi Daito Kogyo Co. Ltd-PT. Bina Baraga Utama Joint Operation bukanlah suatu badan hukum yang dapat dituntut dimuka pengadilan…Karena itu walaupun secara format, Pemohon Pailit berhubungan langsung dengan Daito Kogyo Co. Ltd-PT. Bina Baraga Utama Joint Operation dalam membuat perjanjian Padang Area Flood Control Project Package I, namun segala pertanggungjawaban yang timbul…tetap berada pada kedua badan hukum Daito Kogyo Co. Ltd-PT. dan PT. Bina Baraga Utama,…

Bahwa oleh karena yang dimohon untuk dinyatakan pailit dalam perkara ini adalah suatu badan kerjasama yang bukan merupakan badan hukum dan tidak memiliki aset sebagai kekayaan sendiri yang dapat memenuhi tagihan-tagihan para kreditur, maka permohonan Permohon Pailit harus ditolak.”

Dari pertimbangan hukum tersebut diatas, jelas ditegaskan bahwa badan usaha yang tidak berbentuk badan hukum bukanlah “orang” atau bukan merupakan pendukung hak dan kewajiban yang mandiri, sehingga tanggungjawab pelaksanaan hak dan kewajiban yang timbul merupakan tanggung jawab dari masing-masing anggota persekutuan perdata tersebut sebagai “orang” ataupun “badan hukum” yang sebenarnya.

Secara hukum, status “orang” atau badan hukum dari suatu persekutuan perdata tidak secara otomatis terjadi hanya karena persekutuan ataupun perkumpulan tersebut telah memenuhi persyaratan-persyaratan teori untuk dapat dikualifikasikan sebagai badan hukum, akan tetapi sangat ditentukan oleh adanya pengesahan terhadap status badan hukum dari badan usaha tersebut oleh Menteri Hukum dan HAM seperti yang diatur dalam Pasal 7 ayat (4) UUPT. Selanjutnya dalam Pasal 14 dan Pasal 13 ayat (1)-nya ditegaskan bahwa dalam hal suatu PT yang didirikan belum memperoleh status badan hukum, maka seluruh perbuatan hukum yang dilakukan oleh pendiri untuk kepentingan PT tersebut, merupakan tanggung jawab dari masing-masing pendirinya, ataupun bahkan pengurus dan komisaris yang secara perjanjian (anggaran dasar) telah diangkat untuk melakukan pengurusan dan pengawasan terhadap PT yang sedang didirikan tersebut dalam hal ikut secara bersama-sama menandatangani perbuatan hukum untuk kepentingan PT, sebagai berikut:

Pasal 14: (1) Perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum,

hanya boleh dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama sama dengan semua pendiri serta semua anggota Dewan Komisaris Perseroan dan mereka semua bertanggung jawab secara tanggung renteng atas perbuatan hukum tersebut.

(2) Dalam hal perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pendiri atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, perbuatan tersebut menjadi tanggung jawab pendiri yang bersangkutan dan tidak mengikat Perseroan.

(3) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), karena hukum menjadi tanggungjawab Perseroan setelah perseroan menjadi badan hukum.

Pasal 13 ayat (1): “Perbuatan hukum yang dilakukan calon pendiri untuk kepentingan Perseroan yang belum didirikan, mengikat Perseroan setelah perseroan menjadi badan hukum apabila RUPS pertama Perseroan secara tegas menyatakan menerima atau mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh calon pendiri dan kuasanya.”

Ketentuan tersebut di atas telah secara benar digunakan sebagai dasar pertimbangan dari Majelis Hakim Niaga dalam putusan pailit yang menolak permohonan pailit yang diajukan oleh Hin Hin Trading Pte Ltd terhadap PT. Rawai Tajur Aspalindo (dalam pendirian) No. 28/Pailit/2002/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 10 Oktober 2002 dengan pertimbangan hukum antara lain sebagai berikut:

21

Page 32: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi IV Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF. CIP

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

“Menimbang, akan tetapi dengan memperhatikan bukti…dan diperkuat dengan bukti T-2 tentang keterangan dari Notaris yang bersangkutan yang menyatakan bahwa Akta pendirian sebagaimana tersebut dalam bukti T-1 belum mendapatkan pengesahan dari Menteri Kehakiman dan HAM RI didapat adanya suatu fakta hukum yang memperlihatkan bahwa perbuatan hukum yang menimbulkan adanya Permohonan Pailit ini dilakukan oleh Debitur selaku PT yang belum didaftarkan dan diumumkan, sehingga berdasarkan Pasal 11 ayat (2) jo. Pasal 23 UU No. 1 tahun 199512 tentang PT yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah para pendirinya…”

Selanjutnya pertimbangan hukum Majelis Hakim Niaga tersebut didukung dan ditegaskan oleh Majelis Hakim Niaga pada Tingkat Kasasi Mahkamah Agung dalam putusannya No. 29 K/N/2002 tertanggal 18 November 2002 dengan pertimbangan hukum antara lain sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti T1 dan T2 ternyata bahwa PT. Rawai Tajur Aspalindo tersebut belum disahkan oleh Menteri Kehakiman dan HAM, dengan demikian maka perseroan tersebut belum berstatus badan hukum seperti yang dimaksud dalam Pasal 7 (6) UU No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Bahwa oleh karena PT. Rawai Tajur Aspalindo tersebut belum berstatus badan hukum, maka PT tersebut bukan merupakan subjek hukum, sehingga tidak dapat digugat/dimohonkan pernyataan pailit dimuka Pengadilan Niaga.

Bahwa permohonan pernyataan pailit dalam perkara aquo haruslah ditujukan langsung kepada pengurus PT. Rawai Tajur Aspalindo sebagaimana yang tercantum dalam akta pendirian PT. tersebut.”

Dari beberapa dasar hukum dan contoh kasus tersebut di atas, seharusnya telah terlihat sikap dari Pengadilan Niaga terhadap siapa sebenarnya pihak yang dapat dipailitkan dalam hal suatu badan usaha yang digunakan untuk melakukan perbuatan hukum tersebut merupakan persekutuan perdata atau tidak berbentuk bandan hukum.

Akan tetapi sayangnya hal tersebut tidak terjadi dalam hal yang dimohonkan pailit tersebut adalah badan usaha dalam bentuk Persekutuan Komanditer atau yang lebih dikenal dengan CV (Commanditaire Vennootschap) dimana sikap Pengadilan Niaga terhadap status CV tersebut masih belum menunjukkan keseragaman. Dalam putusan terhadap permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Mustika Ratu Buana Internasional terhadap Decky Tambayong selaku direktur CV. Daitia, dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim Niaga tidak dengan tegas melakukan pembahasan tentang status dan tanggung jawab dari CV, akan tetapi menerima didudukkannya Decky Tambayong selaku pesero pengurus dari CV tersebut untuk bertanggungjawab, antara lain dikutip sebagai berikut: 13

“…sehingga permohonan Pemohon untuk mempailitkan Termohon dalam kedudukannya sebagai direktur CV. Daitia yang bertanggungjawab penuh atas semua harta kekayaannya, terhadap kewajiban CV. Daitia tersebut, telah memenuhi semua persyaratan seperti diatur dalam Pasal 1 dan Pasal 6 ayat (1)a dan (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998, sehingga dengan demikian permohonan Pemohon haruslah dikabulkan dan Termohon harus dinyatakan pailit.”

Dalam putusan yang tidak dilakukan upaya hukum tersebut, majelis hakim niaga secara tegas berpendapat bahwa tanggung jawab dari CV sebagai persekutuan komanditer merupakan tanggung jawab dari masing-masing pesero pengurusnya, bukan tanggungjawab CV. Hal yang sama juga ditegaskan dalam putusan Pengadilan Niaga No. 35/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 27 Juni 2000 dimana dalam permohonan pailit yang diajukannya, PT. Dainipon Ink & Chemicals Indonesia mendudukan CV. Mantrade secara langsung sebagai debitur ataupun Termohon pailit. Majelis Hakim Pengadilan Niaga menyatakan permohonan pailit tersebut tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard) karena CV bukan merupakan badan hukum yang dapat didudukkan sebagai pihak dalam permohonan pailit tersebut, dimana pertimbangan hukum tersebut antara lain sebagai berikut:

12 Ketentuan tersebut didasarkan pada UU No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang telah diubah menjadi UU No. 40 Tahun 2007 dan diatur dalam Pasal 13 ayat (1) jo. Pasal 14 seperti yang dikutip di atas. 13 Putusan No. 28 Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst tertanggal 15 Januari 1999 dimana terhadap putusan tersebut tidak diajukan upaya hukum yang membuat putusan tersebut menjadi final.

22

Page 33: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi IV Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF. CIP

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

“Menimbang, bahwa oleh karena itu CV tidak merupakan suatu Perusahaan/perseroan yang berbadan hukum, maka CV tidak dapat bertindak atau dijadikan sebagai subjek hukum (Rechtpersoon), oleh karena itu pula CV tidak dapat dijadikan pihak di dalam perkara ini; dan dengan demikian permohonan Pemohon tidak dapat ditujukan atau dialamatkan kepada CV. Mantrade, seharusnya permohonan Pemohon ditujukan dan dialamatkan kepada komplementaris CV. Mantrade; oleh karena itu pula permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).”

Akan tetapi Majelis Hakim Kasasi MA dalam putusannya No. 22 K/N/2000 tertanggal 1 Agustus 2000 membatalkan putusan Pengadilan Niaga tersebut, dengan pertimbangan hukum bahwa CV dapat dinyatakan pailit sehingga memutuskan CV. Mantrade Pailit. Dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim Kasasi MA menyatakan antara lain, dikutip sebagai berikut:

“Bahwa, …meskipun CV bukan merupakan badan hukum, namun tidak berarti suatu CV tidak dapat bertindak sebagai pihak dalam perkara.”14

Pendapat tersebut tentu saja menimbulkan kebingungan, karena walaupun MA mengakui bahwa CV bukan merupakan badan hukum, akan tetapi menyatakan bahwa CV bisa bertindak sebagai “orang” dan mempailitkan CV tersebut tanpa mempailitkan para persero aktifnya.

Berbeda pula dengan Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 01/Pailit/ 2003/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 13 Januari 2003 terhadap Permohonan Pailit yang diajukan oleh Samsung Corporation terhadap CV. WiraMustika Indah bersama-sama dengan Persero pengurusnya, Soesanto Leo, serta juga kedua Persero Pasifnya, Tansri Benui dan Yulia Luplo Intan sebagai Termohon Pailit I s/d IV. Pengadilan Niaga dalam putusannya menerima CV didudukkan sebagai debitur Termohon Pailit, dan bahkan memutuskan pailit CV tersebut beserta dengan seluruh persero aktif dan pasifnya. Terhadap putusan tersebut, Majelis Hakim Niaga tingkat kasasi dalam putusannya No. 05/K/N/2003 15 April 2003 yang dikuatkan oleh Putusan Majelis Hakim PK No. 05/PK/N/2003 tanggal 20 Juni 2003 tetap menerima CV sebagai pihak yang dapat dipailitkan bersama dengan persero aktif dan salah satu persero pasif yang telah bertindak secara aktif, dan membebaskan Termohon IV yang merupakan persero pasif.

Tiga putusan Pengadilan Niaga tersebut ternyata menghasilkan putusan yang berbeda-beda yang semakin mengaburkan pengertian CV sebagai persekutuan komanditer yang bukan merupakan badan hukum. Secara logis, bahwa dengan dinyatakannya CV bukan badan hukum, maka CV tersebut bukanlah “orang” atau subjek pendukung hak dan kewajiban yang dimaksud oleh Paragraf 2 dan Paragraf 3 dari Pasal 1 tentang Ketentuan Umum dalam UU Kepailitan No. 37/2004 karena tidak dapat memiliki harta yang digunakan sebagai jaminan pelunasan utangnya kepada krediturnya seperti yang diatur dalam pasal 1131 KUH Perdata. Sebagai persekutuan perdata, maka secara tegas, tanggung jawab akibat dari hubungan hukum yang dengan menggunakan persekutuan komanditer tersebut merupakan tanggung jawab dari masing-masing anggota peseronya.

Yang berbeda adalah bahwa tanggung jawab pesero aktif (pesero pengurus) merupakan tanggung jawab personal yang meliputi seluruh harta bendanya. Sedangkan tanggung jawab dari pesero pasif (sekutu komanditer) hanya terbatas pada modal yang dimasukkannya ke persekutuan perdata tersebut15, sehingga logikanya pesero aktif dapat dipailitkan, sementara pesero pasif tidak. Adanya sekutu komanditer tidak dapat dijadikan alasan bahwa CV menjadi persekutuan perdata yang dapat memiliki kekayaan16, sehingga

14 Dari data putusan, tidak dilakukan upaya hukum khusus PK terhadap putusan Kasasi ini. 15 Kecuali sekutu komanditer tersebut bertindak aktif dalam mengurus CV tersebut, maka dia akan secara otomatis bertanggungjawab secara pribadi terhadap seluruh kewajiban yang ditimbulkan oleh CV tersebut sesuai dengan Pasal 21 KUH Dagang. 16 Khusus terhadap benda tidak bergerak yang wajib dinyatakan kepemilikannya dalam sertifikat kepemilikan sesuai dengan ketentuan Pasal 617 KUH Perdata, tidak dapat dinyatakan atas nama CV karena CV bukan badan hukum. Hal tersebut membuktikan CV tidak dapat memiliki harta yang terpisah dari harta peseronya.

23

Page 34: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi IV Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF. CIP

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

dapat didudukkan sebagai Termohon Pailit, karena tetap saja pemasukan dari pesero aktif tersebut merupakan harta langsung dari pesero pasif tersebut karena tidak terdapat perbedaan entity.17 Sehingga pengajuan permohonan pailit terhadap CV secara langsung tidak dapat diterima, akan tetapi hanya dapat diajukan kepada masing-masing sekutu komplementer (pesero pengurusnya).

C. Tidak Dilunasinya Utang Yang Telah Jatuh Tempo Merupakan Dasar dari Dapat Dipailitkannya Sebuah PT

Pengertian tentang Utang merupakan suatu permasalahan yang memudarkan kepercayaan pencari keadilan terhadap kesungguhan pelaksanaan UU Kepailitan serta juga kemampuan dari hakim-hakim niaga pada masa sebelum UU Kepailitan No. 4 Tahun 1998 diubah menjadi UU No. 37 Tahun 2004. Betapa tidak, pengertian tentang definisi “utang” yang secara beragam dipahami oleh Hakim-Hakim Niaga ketika itu, memberikan konsekuensi terjadinya ketidakpastian hukum dalam memutuskan apakah seorang (termohon) yang dimohonkan pailit, memang mempunyai utang atau tidak.

Perdebatan tentang definisi utang pada awalnya muncul ketika Johan Subekti cs mengajukan permohonan pailit kepada PT. Modernland Realty Ltd18 dimana terjadi permasalahan utang-piutang antara Pemohon tersebut dengan Termohon akibat dari berhentinya pembangunan Apartemen yang telah disepakati untuk dibeli oleh Pemohon tersebut, padahal Pemohon telah membayar uang pesanan dan cicilan pembelian apartemen tersebut seperti yang telah disepakati dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun Golf Modern diantara mereka.

Pada tingkat Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Modernland Realty dinyatakan pailit karena tidak melunasi utangnya kepada Pemohon sebagai konsekuensi dari terhentinya pembangunan Apartemen tersebut. Dalam perdebatan tentang pengertian utang Majelis Hakim Niaga Jakarta Pusat pada dasarnya berpendapat bahwa utang bukan hanya merupakan kewaijban yang timbul dari perjanjian pinjam meminjam uang semata, akan tetapi juga lahir akibat dari tidak terpenuhinya suatu perjanjian atau kontrak (wanprestasi).

Akan tetapi pada tingkat Kasasi19, Majelis hakim kasasi MA membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tersebut20, dengan pertimbangan hukum yang pada dasarnya menyatakan bahwa utang tidak meliputi suatu kewajiban yang timbul akibat dari tindakan wanprestasi, yang dikutip antara lain sebagai berikut:

“…pada hakekatnya hubungan hukum yang ada antara para Termohon kasasi (dahulu termohon asal/PT. Modernland Realty Ltd.) adalah hubungan hukum perikatan jual beli mengenai satuan rumah susun Golf Modern yang dibangun oleh Pemohon Kasasi dengan pembayaran secara angsuran oleh para Termohon Kasasi sehingga karenanya merupakan perikatan antara produsen dan konsumen.

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 4/1998 beserta penjelasannya telah dicantumkan dengan jelas adanya hubungan hukum utang dan bahwa pengertian utang yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah utang pokok dan bunganya.

Bahwa dengan demikian pengertian “utang” dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 4/1998 harus diartikan dalam konteks pemikiran konsiderans tentang maksud diterbitkannya undang-undang tersebut dan tidak dapat dilepaskan kaitan itu daripadanya, yang pada dasarnya menekankan

17 Dalam pertanggungjawaban terhadap pihak ketiga, Prof. Abdulkadir Muhammad dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perusahaan Indonesia” cet. I 1999 terbitan PT. Citra Aditya Bakti hal. 57 menegaskan, antara lain sebagai berikut: “Sekutu komanditer hanya bertanggungjawab kepada sekutu komplementer dengan menyerahkan sejumlah pemasukan (Pasal 19 ayat (1) KUHD). Sedangkan yang bertanggung jawab terhadap pihak ketiga hanyalah sekutu komplementer.” 18 Putusan Pengadilan Niaga No. 07/Pailit/1998/PN.Niaga/Jtk.Pst tanggal 12 Oktober 1998. 19 Putusan Kasasi MA No. 03 K/N/1998 tanggal 2 Desember 1998. 20 Dimana Putusan tersebut juga didukung oleh Majelis Hakim Niaga PK MA dalam Putusan No. 06 PK/N/1999 tanggal 14 Mei 1999.

24

Page 35: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi IV Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF. CIP

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

pada pinjam meminjam swasta. Sehingga karenanya tidak meliputi wanprestasi lain yang tidak berawal dari konstruksi pinjam meminjam.”

Akan tetapi sikap Majelis Hakim Kasasi MA terhadap pengertian “utang” berbeda ketika PT. Djawa Barat Indah dimohonkan pailit juga oleh konsumennnya. Dalam substansi kasus yang tidak berbeda dengan kasus Modernland Realty tersebut di atas, Majelis Hakim Kasasi mendukung putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menjatuhkan putusan pailit terhadap PT. Djawa Barat Indah dengan pertimbangan hukum antara lain sebagai berikut:

“Bahwa Undang-undang No. 4 tahun 1998 tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan utang, namun menurut majelis yang dimaksud dengan utang adalah: “Suatu hak yang dapat dinilai dengan sejumlah uang tertentu, yang timbul karena perjanjian/perikatan atau karena undang-undang, termasuk tidak hanya kewajiban debitur untuk membayar, akan tetapi juga hak dari kreditur menerima dan mengusahakan pembayaran.” (…)

Bahwa dengan demikian maka kedudukan Termohon Kasasi sebagai konsumen dapat disebut Kreditur sedangkan kedudukan Pemohon Kasasi sebagai produsen dapat disebut Debitur.”21

Walaupun pada akhirnya putusan Pengadilan Niaga yang didukung oleh MA tersebut dibatalkan kembali oleh Majelis Hakim PK MA dalam putusannya No. 05 PK/N/1999 tanggal 14 Mei 1999, sangat terlihat ketidakkonsistenan Pengadilan Niaga dalam membangun pengertian utang yang sebenarnya. Dalam putusan-putusan berikutnya pengertian “utang” terus mengalami ketidakpastian, karena di masing-masing tingkat Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri, pada tingkat kasasi dan pada upaya hukum khusus PK, masih terjadi keragaman tentang pengertian utang, hingga akhirnya terus membutuhkan ketegasan definisi yang dicantumkan dalam Pasal 1 angka 6 dari UU No. 37/2004 sebagai penyempurnaan dari UU No. 4 tahun 1998 yang menyatakan sebagai berikut:

“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.”

Dari pengertian tentang definisi utang tersebut sangat diharapkan dapat terbangunnya kepastian hukum tentang pengertian utang.

Melihat dari pengertian utang dalam UU No. 37 tahun 2004 tersebut diatas, maka sebagai suatu badan hukum, kewajiban dari suatu PT tidak saja muncul dari suatu kewajiban melunasi utang yang timbul dari Perjanjian pinjam meminjam uang, akan tetapi juga timbul akibat dari tindakan wanprestasi (breach of contract) terhadap kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya sesuai dengan kontrak yang telah disepakatinya, termasuk juga kewajiban yang muncul sebagai akibat hukum dari Penjaminan (corporate guarantee)22 yang diberikan PT terhadap pihak ketiga sehubungan dengan kepastian pelaksanaan prestasi dari mitra berkontrak23 pihak ketiga tersebut.

Akan tetapi pemberian corporate guarantee dari suatu PT harus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 35 ayat (2)c yang pada dasarnya membutuhkan alasan hukum terhadap penerbitan dari corporate guarantee yang merupakan kewajiban yang bersifat kontijen terhadap PT tersebut. Dengan kalimat lain, UUPT baru mensyaratkan bahwa penerbitan corporate guarantee tersebut hanya memungkinkan untuk diterima sebagai kewajiban dari PT apabila terhadap penerbitan corporate guarantee tersebut PT menerima manfaat berupa uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang yang langsung atau tidak langsung secara nyata diterima oleh PT. 21 Putusan MA No. 04/K/N/1999 tanggal 9 Maret 1999. 22 Yang secara tegas telah mengesampingkan pasal-pasal istimewa Penjamin (guarantor) yang diatur dalam Pasal 1430, 1831, 1833, 1837 dan 1847 KUH Perdata. 23 Corporate guarantee tersebut bagi pihak Bank telah diciptakan menjadi suatu produk komersial yang dikenal dengan nama Bank Guarantee, Produk yang sama juga diterbitkan oleh perusahaan asuransi dalam produk yang dikenal dengan nama Surety Bond.

25

Page 36: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi IV Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF. CIP

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Selain itu, kewajiban tersebut juga dapat timbul sebagai konsekuensi dari keberlakukan undang-undang, misalnya dalam hal kewajiban dari perusahaan untuk membayar gaji, jaminan sosial ataupun pesangon, dan bentuk penghargaan lainnya terhadap buruhnya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang perburuhan, ataupun kewajiban-kewajiban lainnya yang harus dipenuhi oleh PT sebagai perusahaan dalam menjalankan aktivitas bisnisnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ataupun peraturan yang berlaku di wilayah pelaksanaan aktivitas komersialnya, misalnya kewajiban royalti sehubungan dengan pelaksanaan kuasa pertambangan, ataupun retribusi dalam hal pemenuhan kewajiban kepada pemerintah daerah.

D. Kepailitan PT bukan Kepailitan Pemegang Saham, Direksi, Dewan Komisaris, Kecuali Terbukti Terjadinya Pelanggaran Hukum

Seperti yang telah dijelaskan tersebut di atas, sebagai suatu badan hukum, kewajiban pemenuhan utang-utang PT terhadap krediturnya sesuai dengan yang dimaksud oleh Pasal 1131 KUH Perdata dan Pasal 1 angka 6 UU Kepailitan No. 37/2004 hanya dipenuhi dari harta milik PT tersebut. Dalam Pasal 21 UU Kepailitan No. 37/2004 ditegaskan bahwa dalam hal sebuah PT dinyatakan pailit, maka pembayaran kewajiban PT terhadap kreditur-krediturnya akan dilakukan dengan menggunakan harta PT tersebut yang telah ada pada saat kepailitan diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh PT tersebut selama kepailitan berlangsung.

Dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT yang baru disebutkan bahwa pemegang saham PT tidak bertanggungjawab secara pribadi atas utang-utang PT melebihi saham yang dimilikinya. Batasan tersebut juga berlaku bagi direksi sesuai dengan Pasal 97 ayat (5) dan juga terhadap Dewan Komisaris berdasarkan Pasal 114 ayat (5). Pasal-pasal tersebut menegaskan kemandirian PT tidak saja dalam kepemilikan terhadap harta-hartanya secara mandiri, akan tetapi juga terhadap penyelesaian kewajiban ataupun utang-utangnya.

Akan tetapi selanjutnya Pasal 3 ayat (2), menegaskan bahwa dalam hal utang tersebut terjadi:

• pada saat badan hukum dari perseroan tersebut belum lahir; • akibat dari itikad buruk dari pemegang saham yang secara melawan hukum

memanfaatkan PT untuk kepentingan pribadinya; atau • pemegang saham terlibat dalam perbuatan hukum yang dilakukan PT yang

menimbulkan kewajiban ataupun utang PT tersebut; maka dalam hal harta dari PT tersebut tidak mencukupi dalam penyelesaian utang-utangnya, pemegang saham tersebut bertanggungjawab secara pribadi terhadap penyelesaian utang-utang PT tersebut (piercing the corporate veil). Hal yang sama juga berlaku pada Direksi dan Dewan Komisaris yang mengharuskan bertanggungjawab secara pribadi dalam hal kesalahan atau kelalaian tersebut menimbulkan kerugian PT seperti yang diatur dalam Pasal 115 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 97 ayat (3) dan Pasal 114 ayat (3).

Sehingga dengan dapat dibuktikan bahwa kerugian dari PT tersebut terjadi akibat kesalahan ataupun kelalaian dari pemegang saham, direksi ataupun Dewan Komisaris, maka pengajuan permohonan pailit terhadap PT dapat juga dilakukan bersamaan dengan pengajuan permohonan pailit terhadap masing-masing pemegang saham ataupun direksi ataupun komisaris dari PT tersebut secara sekaligus ataupun secara terpisah.

Harus diakui bahwa pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan UUPT tersebut di atas tidaklah semudah memahaminya karena hingga saat sekarang sangat sulit meminta pertanggungjawaban pemegang saham, pengurus ataupun Dewan komisaris secara pribadi walaupun ditemukan alasan bahwa kepailitan tersebut terjadi akibat dari kesalahan ataupun kelalaian dari Direksi ataupun Dewan Komisaris PT yang pailit tersebut ataupun kesalahan dari para pemegang sahamnya, misalnya; beberapa temuan yang menunjukkan bahwa pemegang saham banyak menggunakan harta-harta ataupun kekayaan-kekayaan dari PT tersebut untuk kepentingan perusahaan-perusahaan lain dalam grupnya ataupun untuk kepentingan pribadinya, yang menjadi dasar dari ketidakmampuan dari PT tersebut untuk menyelesaikan kewajibannya sehingga harus dipailitkan.

26

Page 37: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi IV Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF. CIP

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Ketidakmampuan dalam mengungkap sisi ini (yang secara teori dapat digunakan sebagai upaya untuk memperbesar kemampuan debitur pailit untuk membayar utang-utangnya secara lebih baik kepada masing-masing krediturnya) selain tidak saja disebabkan karena pengadilan Indonesia tidak memberikan perhatian yang serius untuk itu, dalam konteks UU Kepailitan, Pasal 3 ayat (1)24 yang mewajibkan kasus-kasus sehubungan dengan dugaan pelanggaran Pasal 3 ayat (2) dan pelanggaran Pasal 115 ayat (1) UUPT oleh pemegang saham, direksi ataupun dewan komisaris diajukan ke Pengadilan Niaga, sampai saat ini hanya menimbulkan ketidakpastian hukum25.

Pengadilan Niaga kewenangannya pada saat diberlakukan hanya dikhususkan untuk memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit ataupun permohonan PKPU, secara tegas mempunyai keterbatasan wewenang untuk hanya dapat memeriksa sengketa utang-piutang yang didasarkan “pembuktian sederhana”26 bahwa adanya utang debitur yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kepada salah satu krediturnya, dimana utang tersebut belum dilunasi pada saat permohonan pernyataan pailit tersebut diajukan. Dalam perluasan kewenangannya seperti yang diatur dalam Pasal 300 (dahulu pasal 280 ayat 2) secara tegas dinyatakan akan membutuhkan pengaturan tersendiri. Hal tersebut telah dilakukan pada saat kewenangan Pengadilan Niaga diperluas pada pemeriksaan dan pemutusan sengketa-sengketa Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) seperti yang diatur antara lain dalam Undang-Undang Merek No. 15 tahun 2001 dan Undang-Undang Paten No. 14 tahun 2001.

Tentunya, adanya tudingan bahwa kepailitan yang dialami oleh PT diakibatkan oleh kesalahan dari pemegang saham, ataupun kesalahan pengurusan dari direksi dan pengawasan dari dewan Komisaris, tidak dapat dilakukan sekedar dengan mengajukan permohonan, karena sifat dari tuduhan tersebut tidak dapat diperiksa secara sepihak (ex parte) mengingat UUPT Pasal 115 ayat (5) memberikan kewenangan pada direksi dan komisaris untuk membela diri begitupun pembelaan diri pemegang saham sehubungan dengan tuduhan Pasal 3 ayat 2 UUPT. Begitu pula dengan memberikan kewenangan untuk mengadili pada Pengadilan Niaga, hingga sampai saat ini sangat sulit didapatkan kepastian hukumnya, karena Pengadilan Niaga tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa kasus selain dengan penggunaan ketentuan Pasal 8 ayat (4) yang memberikan konsekuensi tata penggunaan waktu (time frame) maksimum 60 hari di Pengadilan Niaga, maksimum 60 hari di Tingkat Kasasi MA dan 30 hari Upaya Hukum Khusus PK di MA.

Misalnya, dalam hal diduga bahwa pemegang saham menggunakan utang PT untuk membeli aset-aset yang secara formal dibuat atas nama pribadinya, ataupun atas nama perusahaan lainnya? Atau tindakan pemegang saham yang memaksa PT untuk meminjam uang untuk digunakan menutupi kebutuhan pribadinya atau PT lainnya, ataupun tindakan pemegang saham untuk menjaminkan asset PT untuk kepentingan dirinya ataupun PT miliknya yang lain yang membuat PT tersebut sulit untuk menggunakan harta tersebut untuk kebutuhannya, tindakan pemegang saham atau direksi atau komisaris yang menggelapkan harta perusahaan, tindakan direksi yang menggunakan perusahaan untuk melakukan aktivitas pidana.

Semua contoh-contoh tersebut bukanlah kasus-kasus yang dapat dengan begitu begitu saja diajukan ke Pengadilan Niaga karena jika mempunyai unsur pidana, harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ataupun jika 24 Pemberian kewenangan terpadu kepada Pengadilan Niaga untuk memeriksa seluruh kasus-kasus yang timbul setelah kepailitan pada dasarnya untuk memberikan sinkronisasi waktu. Akan tetapi pembuat undang-undang kurang memperhatikan dasar dari kewenangan Pengadilan Niaga untuk memeriksa perkara-perkara yang sangat bervariasi yang mungkin muncul setelah kepailitan tersebut. 25 Untuk perbandingan, baca putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 47/Pailit/2006/PN. Niaga/Jkt.Pst, sehubungan dengan permohonan pailit yang diajukan kepada para pemegang saham, pengurus, komisaris dari PT. Citra Hidayat Komunikaputra yang telah dinyatakan pailit dimana harta dari PT dalam pailit tersebut sangat tidak cukup untuk melunasi kewajiban kepada kreditur-krediturnya. Putusan Pengadilan Niaga menyatakan masing-masing dari pribadi pemegang saham, pengurus dan komisaris dari PT pailit tersebut pailit. Akan tetapi pada upaya hukum khusus PK, putusan Pengadilan Niaga tersebut dibataslkan dengan pertimbangan antara lain, bahwa perkara yang menjadi substansi permohonan pailit tersebut dinyatakan tidak sederhana, sehingga bukan kewenangan Pengadilan Niaga untuk memutuskannya. 26 Pasal 8 ayat 4 jo. Pasal 2 ayat 1 UU Kepailitan No. 37 tahun 2004.

27

Page 38: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi IV Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF. CIP

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

harus dipaksakan ke Pengadilan Niaga maka sangat sulit Pengadilan Niaga untuk memutuskan perkara tersebut dalam waktu 60 hari. Hal inilah yang antara lain menjadi kendala dari Kurator dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Oleh karena itu, jikapun dengan keinginan membangun suatu sinkronisasi kualitas penanganan dan waktu sehubungan kasus-kasus yang timbul dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, haruslah diatur lebih jauh, seharusnya tidak hanya dengan sekedar menghadirkan Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan No.37/2004 saja.

E. Kedudukan Hukum PT Secara Tegas Dicantumkan dalam Anggaran Dasarnya

Pada prinsip umumnya27, kewenangan mengadili dari suatu pengadilan adalah ditentukan oleh domisili ataupun kedudukan hukum dari Tergugat atau Termohonnya. Secara khusus, berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan No. 37/2004 dinyatakan bahwa Pengadilan Niaga yang berwenang memeriksa dan memutuskan permohonan pailit adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur. Selanjutnya, di dalam Pasal 3 ayat (5) lebih ditegaskan lagi bahwa dalam hal debitur merupakan badan hukum, maka tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya. Ketentuan tersebut sejalan dengan Pasal 15 ayat (1) dan Pasal 17 yang menegaskan tentang kedudukan dari PT yang secara tegas diatur dalam anggaran dasarnya.

Sehubungan dengan kehadiran Pengadilan Niaga yang hingga pada saat ini masih terbatas hanya pada lima wilayah Indonesia28 yang dasar pendirian dan pembagian kewenangannya diatur berdasarkan Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1999, sebagai berikut:

1. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makasar (d/h. Ujung Pandang), wilayah hukumnya meliputi Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku dan Papua (d/h. Irian Jaya).

2. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan, wilayah hukumnya meliputi Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi dan Nangroe Aceh Darussalam (d/h. Daerah Istimewa Aceh).

3. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya, wilayah hukumnya meliputi Propinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Timor-Timur (sebelum merdeka).

4. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang, wilayah hukumnya meliputi Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

5. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, wilayah hukumnya meliputi Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Lampung, dan Kalimantan Barat.

Dengan pengaturan domisili yang disesuaikan terhadap wilayah hukum yang menjadi kewenangan kelima Pengadilan Niaga tersebut menjadi ketentuan yang sangat penting untuk dipahami sehubungan dengan pengajuan permohonan pailit ataupun PKPU terhadap seorang debitur.

Sayangnya, ketentuan yang secara tegas telah mengatur wilayah kewenangan Pengadilan Niaga tersebut dilanggar begitu saja dalam Putusan Pengadilan Niaga No. 04/PKPU/2006/PN.Niaga.Jkt.Pst. jo. No. 11/Pailit/2006/PN.Niaga.Jkt.Pst yang mengabulkan permohononan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh PT. Indoveneer Utama terhadap dirinya sebagai respons terhadap permohonan pailit yang diajukan oleh CV. Indo Djati terhadap dirinya, padahal telah tegas dalam Anggaran Dasarnya bahwa kedudukan hukum dari PT. Indoveneer Utama tersebut adalah di Surakarta. Walaupun terhadap putusan tersebut Pengadilan Niaga Jakarta Pusat akhirnya melakukan koreksi berdasarkan Putusan No. 02/Perlawanan Pailit/2006/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 15 Agustus

27 Berdasarkan pasal 118 HIR. 28 Lihat Pasal 281 ayat (1) dan ayat (2) UU Kepailitan No. 4 Tahun 1998 yang pada dasarnya mengatur tentang pembangunan Pengadilan Niaga diseluruh Indonesia secara bertahap.

28

Page 39: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi IV Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF. CIP

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

2006, akan tetapi akhirnya dibatalkan oleh Majelis Hakim Kasasi MA dalam putusannya No. 027 K/N/2006 begitu juga dengan putusan PK No. 05 PK/N/2007 tanggal 23 Juli 2007.

Putusan yang memperbolehkan debitur yang berkedudukan hukum di Surakarta dimohonkan pailit ataupun PKPU di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, jelas merupakan pelanggaran terhadap Pasal 3 ayat (1) dan (5) dari UU No. 37 Tahun 2004 jo. Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1999. Selain itu juga, akan memberikan potensi terjadinya pelanggaran dan ketidakpastian hukum tentang ketentuan domisili pengajuan permohonan pailit dan PKPU di kemudian hari.

Sayangnya, Mahkamah Agung yang pada Penjelasan Umum angka 3 huruf c Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dinyatakan sebagai pengadilan tertinggi dalam melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan, hanya memberi pertimbangan hukum yang pada dasarnya bahwa pelanggaran terhadap Pasal 3 ayat (1) yang sebenarnya telah tegas mengatur tentang domisili hukum mengajukan permohonan pailit tersebut, tidak dapat diperbaiki, karena tidak diatur di dalam UU Kepailitan ketentuan untuk itu. Dengan pengertian lain bahwa walupun Mahkamah Agung telah jelas melihat bahwa telah terjadi pelanggaran tentang domisili Termohon yang menjadi dasar kewenangan Pengadilan Niaga untuk mengadili, akan tetapi tidak melakukan perbaikan (koreksi) terhadap pelanggaran Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan jo. Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1999 tersebut hanya dengan alasan bahwa upaya hukum terhadap putusan PKPU tidak diperobolehkan.

Yang sulit diterima adalah pertimbangan hukum tersebut dinyatakan oleh sebuah lembaga pengawas peradilan tertinggi -terhadap putusan pengadilan niaga sebagai pengadilan yang berada dalam pengawasannya- yang jelas-jelas telah dilakukan secara melawan hukum, yaitu melawan Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (5) UU Kepailitan No. 37/2004.

Fakta putusan ini akan memicu ketidakpastian hukum dalam menentukan Pengadilan Niaga sebagai pengadilan yang secara hukum berwenang memutuskan permohonan pailit atau PKPU. Artinya, jika Debitur dalam kasus di atas yang jelas-jelas mempunyai domisili hukum di Surakarta (seharusnya permohonan kepailitan ataupun PKPU kepadanya diajukan di Pengadilan Niaga Semarang) dapat dipailitkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, maka bukan tidak mungkin debitur yang berdomisili di Medan juga dapat dipailitkan di Pengadilan Niaga Makassar, dengan menggunakan putusan Mahkamah Agung tersebut diatas sebagai pedoman.

F. Badan Hukum Persero Yang Juga Tunduk pada Ketentuan UU No. 40 Tahun 2007, Dapat Dipailitkan Tanpa Membutuhkan Izin Menteri Keuangan

Kasus permohonan pailit yang diajukan oleh Haryono dan kawan-kawan (yang merupakan buruh yang telah di PHK oleh PT. Dirgantara Indonesia (Persero)) terhadap PT. Dirgantara Indonesia (Persero) kembali meminta perhatian terhadap sampai seberapa besar kepastian hukum sehubungan dengan UU Kepailitan No. 37 Tahun 2004 dapat diwujudkan.

Dalam Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004 diatur bahwa dalam hal debitur adalah BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 2 ayat (5) tersebut ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik” adalah BUMN yang tidak terbagi atas saham. Lebih jauh lagi berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, yang dimaksud dengan BUMN yang modalnya tidak terbagi atas saham adalah BUMN yang berbentuk PERUM. Sementara BUMN yang modalnya terbagi atas saham adalah BUMN yang berbentuk PERSERO.

29

Page 40: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi IV Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF. CIP

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Bila berdasarkan pada ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka sebagai Persero, pengajuan permohonan pailit terhadap PT. Dirgantara Indonesia tidak harus diajukan oleh Menteri Keuangan, akan tetapi dapat secara langsung diajukan oleh krediturnya, sepanjang persyaratan untuk memohonkan pailit sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37/2004 telah terpenuhi. Hal tersebutlah yang menjadi dasar dari beralasannya secara hukum Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan PT. Dirgantara Indonesia pailit dalam putusannya No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 4 September 2007, yang antara lain dikutip sebagai berikut:

“menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka Majelis Hakim sependapat dengan Pemohon bahwa Termohon Pailit PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tidak termasuk dalam kategori BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik yang seluruh modalnya dimiliki oleh Negara dan tidak terbagi atas saham sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan dan PKPU, sehingga dengan demikian Pemohon Pailit mempunyai kapasitas hukum untuk mengajukan Permohonan Pailit terhadap Termohon Pailit, PT. Dirgantara Indonesia (Persero).”

Pada dasarnya, permohonan pailit kepada BUMN Persero, bukan baru pertama kali diajukan ke Pengadilan Niaga. Pengajuan Pailit telah pernah diajukan kepada PT. Hutama Karya (Persero) yang pada Tingkat Kasasi telah diputuskan pailit. Akan tetapi, kemudian putusan kasasi tersebut dibatalkan oleh Majelis Hakim PK MA, tidak dengan menggunakan alasan hukum seperti yang diajukan dalam putusan PT. Dirgantara Indonesia (Persero), akan tetapi dengan membuktikan fakta bahwa kewajiban PT persero tersebut kepada kreditur lainnya, ternyata telah dilunasi, sehingga tidak terbukti mempunyai kreditur lainnya seperti yang dipersyaratkan oleh Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan No. 37/2004. Begitu pula terhadap permohonan pailit yang diajukan oleh The Vietnam Forntier Fund terhadap PT. DOK & Perkapalan Kodja Bahari (Persero) yang ditolak oleh Pengadilan Niaga hingga pada tahap kasasi, tidak didasarkan oleh adanya hak khusus terhadap Persero.

Akan tetapi, terhadap Putusan Pengadilan Niaga yang menyatakan PT. Dirgantara Indonesia (Persero) pailit, Majelis Hakim Niaga tingkat Kasasi MA membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tersebut dalam putusannya No. 075 K/Pdt.Sus/2007 yang diputus pada tanggal 22 Oktober 2007 dengan pertimbangan antara lain sebagai berikut:

“Bahwa oleh karena itu, Pemohon Kasasi I/Termohon sebagai Badan Usaha Milik Negara yang keseluruhan modalnya dimiliki Negara dan merupakan objek vital industri, adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik yang hanya dapat dimohonkan pailit oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 2 ayat (5) UU No. 37/2004.”

Pemakalah berpendapat, bahwa Pengadilan Niaga harus secara berani mengambil sikap yang tegas dan berkepastian hukum sehubungan dengan kedudukan BUMN dalam hal permohonan pailit yang tetap akan memungkinkan diajukan kepadanya sebagai badan hukum pendukung hak dan kewajiban. Mahkamah Agung tidak dapat dengan begitu saja mengesampingkan ketentuan yang telah ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan No. 37/2004 dan juga dalam penjelasannnya serta juga UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang secara tegas dimaksudkan dalam hal BUMN tersebut adalah Persero, maka permohonan pailit terhadapnya dapat diajukan secara langsung oleh krediturnya.

G. PT yang sedang Dilikuidasi Akibat dari Pembubaran (Winding Up) Masih Dapat Dipailitkan

Secara hukum dalam hal Perseroan Terbatas, antara lain, sudah merasa tidak lagi memiliki kemampuan untuk menjalankan usahanya, baik karena ijin usahanya dicabut, ataupun usahanya mengalami kerugian yang terus menerus sehingga PT tersebut menghentikan kegiatannya, maka langkah yang memungkinkan yang dilakukan oleh PT untuk mengakhiri permasalahan tersebut adalah dengan “membubarkan” atau “mempailitkan” PT tersebut. Hal tersebut secara tegas dimungkinkan berdasarkan Pasal 142 ayat (1) a dan c UUPT yang baru dan Pasal 2 ayat 1 UU Kepailitan No. 37 Tahun 2004.

30

Page 41: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi IV Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF. CIP

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Tindakan Likuidasi yang wajib segera harus dilakukan pasca pembubaran PT secara hukum dilakukan oleh Likuidator yang diangkat untuk itu ataupun jika Likuidator tidak diangkat, maka direksi akan bertindak sebagai Likuidator. Pada dasarnya tugas dari seorang Likuidator adalah tidak hanya untuk membereskan ataupun menjual aset-aset PT yang telah dibubarkan tersebut agar dapat digunakan untuk melunasi kewajiban PT bubar tersebut kepada kreditur-krediturnya, akan tetapi juga untuk melakukan pengurusan, termasuk melakukan pencarian secara maksimal aset-aset dari PT tersebut (asset recovery) sesuai dengan maksud dari Pasal 1131 KUH Perdata dalam hal untuk memaksimalisasi jumlah aset, dimana pada saat yang bersamaan juga melakukan upaya maksimalisasi dari nilai aset-aset tersebut agar dapat menghasilkan harga jual yang terbaik untuk dapat digunakan secara maksimal melunasi kewajiban PT dalam likuidasi tersebut kepada masing-masing krediturnya sesuai dengan hak-hak yang dimiliki oleh kreditur tersebut.

Hal inilah yang sering sulit dilakukan oleh seorang Likuidator, apalagi fungsi Likuidator tersebut dilakukan oleh Direksi, dalam hal Likuidator tersebut harus berhadapan dengan kewenangan RUPS yang mengangkatnya ataupun yang menjadi tempat pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan kewenangannnya seperti yang diatur dalam Pasal 152 UUPT No. 40 Tahun 2007. Tidak sedikit ditemukan pemasalahan bahwa langkah pembubaran tersebut merupakan suatu langkah yang digunakan oleh para pemilik saham untuk dapat lari dari kewajibannya (ataupun mengamankan harta-harta PT yang telah disembunyikan ataupun yang dibuat secara formal atas namanya), karena Likuidator yang diangkatnya sulit untuk memaksa masing-masing pemegang saham tersebut untuk terbuka atau tunduk padanya sehubungan dengan dugaan penyalahgunaan aset PT yang sedang dipailitkan tersebut, karena kewenangan yang dimiliki Likuidator yang diangkat RUPS adalah kewenangan yang diberikan dan akan dipertanggungjawabkan kemudian ke RUPS tersebut.

Sehingga tidak sedikit kasus pembubaran PT yang menimbulkan kerugian kepada kreditur PT tersebut atas keterbatasan dari kreditur tersebut untuk memperoleh kemandirian dari Likuidator yang diangkat oleh RUPS. Keadaan inilah yang menimbulkan pertanyaan kembali pada maksud dari Pasal 1131 KUH Perdata serta status keterpisahan kepemilikan harta PT dengan masing-masing pemegang sahamnya sebagai entitas yang terpisah. Dan, permasalahan ini pulalah yang men-trigger timbulnya pertanyaan, apakah PT yang dibubarkan dan sedang berada dalam proses likuidasi masih dapat dipailitkan?

Pertanyaan tersebut diatas awalnya muncul pada kasus permohonan pailit yang diajukan oleh LG Electronic, Inc. terhadap PT. LG Bangunindo Electronic. Dalam putusannya No. 06/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 7 Oktober 1998 Pengadilan Niaga menolak Permohonan Pernyataan Pailit tersebut dengan pertimbangan hukum bahwa PT. LG Bangunindo Electronic telah dibubarkan dengan alasan ketentuan Pasal 119 UUPT No. 1 tahun 1995 yang pada dasarnya menyatakan bahwa Perseroan dalam Likuidasi tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali sehubungan dengan tindakan pemberesan kekayaan Perseroan dalam pailit tersebut. Putusan tersebut selanjutnya didukung oleh Majelis Hakim Kasasi dalam putusannya No. 02/K/N/1998 tanggal 26 November 1998 walaupun pemohon pailit mengajukan bukti-bukti bahwa proses likuidasi belum selesai dan tidak dilaksanakan dengan seharusnya.

Putusan yang menyatakan bahwa Perseroan dalam Likuidasi tidak lagi dapat dipailitkan juga menjadi dasar pertimbangan putusan hakim Niaga dan Majelis Hakim Kasasi MA dalam kasus permohonan pailit yang diajukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) terhadap PT. Ometraco Corporation Tbk yang telah dibubarkan dan sedang dalam proses likuidasi, dengan pertimbangan hukum yang merujuk pada putusan kasasi dalam kasus LG Bangunindo Electronic tersebut di atas29, yang menyatakan bahwa PT yang sedang dalam likuidasi tidak dapat dipailitkan.

29 Putusan Pengadilan Niaga No. 20/Pailit/2000/PN. Niaga/Jkt.Pst tanggal 26 April 2000, dan Putusan Kasasi MA No. 17 K/N/2000 tanggal 9 Juni 2000.

31

Page 42: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi IV Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF. CIP

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Putusan tersebut mulai menunjukkan perbedaan dalam kasus Permohonan Pailit yang diajukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) terhadap PT. Muara Alas Prima. Walaupun putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 71/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 21 Oktober 2000 menolak permohonan pailit dengan alasan bahwa PT. Muara Alas Prima telah dibubarkan akan tetapi Majelis Hakim Kasasi membatalkan putusan Pengadilan Niaga tersebut dan menyatakan PT. Muara Alas Prima Pailit. Pertimbangan Majelis Hakim Niaga tingkat Kasasi MA tersebut antara lain sebagai berikut:

“Bahwa apa yang telah dilakukan Termohon Kasasi baru dalam proses pemberesan (dalam likuidasi), oleh karena itu pembubaran PT in casu tidak mempunyai ketentuan hukum yang berlaku, sehingga karenanya PT. Muara Alas Prima masih exist (ada). Bahwa suatu Perseroan Terbatas dalam Likuidasi masih dapat dimohonkan untuk dinyatakan pailit.”

Sayangnya pada tingkat upaya hukum khusus PK di Mahkamah Agung, pembatalan terhadap putusan kasasi tersebut dibatalkan oleh Majelis Hakim PK No. 01 PK/N/2001 tanggal 2 Februari 2001, akan tetapi bukan karena pertimbangan hukum Majelis Hakim Kasasi yang memutuskan bahwa PT dalam likuidasi dapat dipailitkan, akan tetapi lebih pada tidak dipenuhinnya syarat formal pengajuan permohonan kasasi yang seharusnya dilakukan maksimum 8 (delapan) hari sejak tanggal putusan kasasi ditetapkan.

Sangat disayangkan, setelah beberapa perdebatan penting pada kasus-kasus sebelumnya, Mahkamah Agung tidak siap menuntaskan sikap Mahkamah Agung terhadap pertanyaan apakah PT yang sedang dilikuidasi dapat dipailitkan, dan mengambil langkah aman dalam menolak putusan Hakim Niaga tingkat Kasasi tersebut dengan menggunakan alasan formalitas pendaftaran permohonan pailit.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, maka proses likuidasi merupakan suatu proses yang dilakukan oleh Likuidator untuk melakukan pemberesan aset yang secara prioritas digunakan untuk menyelesaikan kewajiban PT dalam likuidasi tersebut kepada masing-masing krediturnya berdasarkan hak-hak yang dimilikinya. Dan, jika masih ada tersisa maka sisa dari harta PT tersebut akan dikembalikan kepada masing-masing pemegang saham sesuai dengan perimbangan kepemilikan sahamnya (modal yang disetornya) di PT yang telah bubar tersebut. Artinya, kemampuan seorang likuidator untuk dapat bertugas secara maksimal akan sangat memberi peluang bagi peningkatan potensi kreditur untuk dibayar dengan lebih baik.

Dalam hal inilah, Pemakalah berpendapat bahwa Kreditur berhak untuk menentukan apakah proses pemberesan seorang debitur dilakukan melalui likuidasi ataupun kepailitan. Dengan pengertian lain, dalam hal Likuidator di mata kreditor telah menunjukkan ketidakmampuannya dalam mengurus dan membereskan aset PT dalam likuidasi tersebut, serta juga tidak dapat secara mandiri dan profesional dalam melaksanakan tugasnya, maka kreditur tersebut dapat memilih proses kepailitan sebagai dasar hukum proses pemberesan tersebut karena dengan diangkatnya Kurator, maka kewenangan RUPS dalam proses likuidasi aset akan hilang.

Pemakalah tidak sependapat dengan Majelis Hakim Kasasi Ometraco Corporation, yang pada dasarnya menyatakan bahwa kepailitan suatu PT yang sedang dalam Likuidasi hanya dapat dimungkinkan dalam hal aset PT tersebut ternyata lebih kecil dari kewajibannya kepada krediturnya. Pendapat tersebut justru menghilangkan maksud dan prinsip dari Kepailitan itu sendiri. Dimana kebenarannya? Jika majelis hakim meyakini bahwa proses Likuidasi oleh Likuidator setelah pembubaran adalah sama dengan Proses Likuidasi oleh Kurator setelah Kepailitan, maka mengapa Majelis Hakim Kasasi baru memperbolehkan PT yang sedang dalam likuidasi untuk dipailitkan hanya jika harta PT yang sedang dalam likuidasi tersebut dinyatakan lebih kecil dari kewajiban terhadap krediturnya? Justru yang terjadi seharusnya kebalikannya, yaitu dalam hal PT yang dipailitkan ternyata hartanya lebih kecil dari kewajibannya kepada krediturnya, maka debitur pailit tersebut harus dibubarkan karena prinsip tersebut sejalan dengan prinsip Limited Liability Company.

Prinsip tersebut sejalan dengan ketentuan tentang Pembubaran Perseroan yang diatur dalam Pasal 142 ayat (1) huruf d dan e UUPT No. 40/2007 yang menyatakan sebagai berikut:

32

Page 43: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi IV Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF. CIP

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

(1) Pembubaran Perseroan terjadi: d. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;

e. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan PKPU.

Oleh karena itu, pendapat Majelis Hakim Niaga tingkat kasasi tersebut sulit untuk didukung, dan seharusnya kewenangan untuk menentukan apakah suatu PT yang akan dibereskan dilakukan lebih dahulu melalui proses pembubaran atau kepailitan merupakan kewenangan ataupun hak dari kreditur untuk menentukan bagaimana tagihannya kepada debitur tersebut dapat dibayarkan dengan lebih baik. Jika memang Likuidator dapat bekerja profesional dan independen, maka pemberesan melalui Likuidator akan memenuhi harapan tersebut, akan tetapi sebaliknya, jika tidak, maka kreditur dengan membuktikan fakta-fakta bahwa proses likuidasi tidak dilakukan dengan semestinya dapat meminta ke Pengadilan Niaga agar PT yang sedang dalam likuidasi tersebut untuk dipailitkan.

Sehubungan dengan pembahasan tersebut di atas, Pemakalah mempertanyakan kepastian hukum dari Pasal 142 ayat (1) huruf e tersebut di atas karena menyatakan bahwa Pembubaran Perseroan terjadi pada saat harta pailit perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam UU Kepailitan No. 37/2004. Bila dihubungkan dengan pengertian Insolvent yang diatur dalam Pasal 178 UU Kepailitan No. 37/2004, dengan tegas diatur bahwa Insolvent adalah keadaan dimana debitur yang telah dinyatakan pailit tidak mengajukan usulan perdamaian atau usulan perdamaian yang diajukan oleh debitur tersebut ditolak oleh krediturnya.

Dengan ketentuan tersebut, maka sangat tidak beralasan hukum dan keadilan bila perusahaan yang dinyatakan insolvent secara bersamaan juga harus dinyatakan “bubar” dalam konteks Pasal 142 ayat (1) huruf e UUPT No. 40/2007. Insonlvensi pada UU Kepailitan adalah awal dari langkah pemberesan yang dilakukan oleh Kurator, sehingga dengan sekaligus dibubarkan, apakah juga pada saat yang bersamaan harus diangkat Likuidator? Pasal ini memberikan kekaburan tidak saja pada para kreditur akan tetapi juga para kurator dalam melaksanakan pekerjaannya, sehingga sebaiknya harus diperbaiki. Yang benar adalah pembubaran suatu PT yang setelah dilakukan pemberesan ternyata harta dari debitur insolvent tersebut tidak mencukupi untuk membayar kewajibannya kepada krediturnya.

Dengan kata lain, setelah pembagian akhir dari harta debitur pailit (insolvent) dilakukan dan tidak ada lagi harta yang tersisa sementara kewajibanya masih banyak, maka barulah langkah pembubaran Perseroan terjadi. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 18 UU Kepailitan yang mengangkat status pailit dari PT yang sama sekali tidak ada lagi hartanya, yang secara hukum dapat dibubarkan dengan menggunakan Pasal 142 ayat (1) huruf d UUPT No. 40 Tahun 2007.

Selain itu, Pemakalah juga mengkritisi ketentuan Pasal 149 ayat (2) UUPT No. 40 Tahun 2007 yang menyatakan sebagai berikut:

“Dalam hal likuidator memperkirakan bahwa utang perseroan lebih besar daripada kekayaan perseroan, Likuidator wajib mengajukan permohonan pailit Perseroan, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain dan semua kreditur yang diketahui identitasnya dan alamatnya, menyetujui pemberesan dilakukan diluar kepailitan.”

Pada satu sisi, pasal ini semakin menguatkan bahwa PT yang sedang dalam likuidasi dapat dipailitkan. Yang menjadi pertanyaan, apa dasar pemberian kewajiban untuk mempailitkan tersebut kepada Likuidator hanya karena ditemukan bahwa utang PT lebih besar dari kekayaan PT yang sedang dalam likuidasi? Apakah dimaksudkan bahwa PT hanya dapat dibubarkan dalam hal harta kekayaan sebuah PT dipastikan lebih besar dari kewajibannya barulah sebuah PT dapat dibubarkan untuk memastikan proses pemberesannya dapat dilakukan oleh Likuidator? Ataukah pasal ini dimaksudkan bahwa Likuidator kurang layak untuk melakukan langkah pemberesan suatu harta PT dibubarkan dalam hal harta tersebut lebih kecil dari kewajibannya? Kata “wajib” dalam pasal ini semakin menunjukkan bahwa seakan-akan proses pemberesan dalam pailit berbeda dengan proses pemberesan dalam

33

Page 44: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi IV Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF. CIP

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

pembubaran, padahal tidak! Keduanya sama, yaitu melakukan pengurusan dan pemberesan terhadap harta tersebut PT untuk dapat digunakan secara maksimal melunasi kewajiban debitur pailit atau bubar tersebut kepada krediturnya sesuai dengan hak-hak yang dimiliknya berdasarkan Pasal 1132, Pasal 1139, Pasal 1149, Pasal 1134 dan pasal 1137 KUH Perdata. Sehingga, seharusnya kewenangan untuk memilih langkah pemberesan harta PT melalui kepailitan atau pembubaran, bukanlah kewajiban dari Likuidator, akan tetapi hak dari kreditur untuk menentukan bagaimana selayaknya proses pemberesan harta debitur tersebut dilakukan. Artinya, jika kreditur menemukan bahwa Likuidator tidak berani berhadapan dengan direksi yang sekaligus merupakan pemegang saham yang mengangkat Likuidator tersebut dalam RUPS, sehingga dugaan-dugaan terhadap penyembunyian aset tidak dapat dibuka, maka tentulah hak dari kreditur yang dirugikan oleh itu untuk memilih pemberesan melalui kepailitan.

Selain itu, pasal tersebut juga memberikan ketentuan bahwa kewajiban tersebut dapat tidak dilaksanakan kecuali ada peraturan perundang-undangan yang mengatur sebaliknya, atau semua kreditur yang diketahui identitas dan alamatnya menyetujui pemberesan dilakukan di luar kepailitan. Ketentuan ini semakin menimbulkan ketidakpastian, karena dalam konteks PT tidak ada ketentuan lain dalam proses pemberesan aset selain dari ketentuan yang diatur oleh UU Kepailitan dan UUPT. Jikapun dalam PP No. 25 tahun 1999 diatur tentang langkah likuidasi bank, akan tetapi ketentuan tersebut tetap masih sejalan dengan kedua UUPT dan UU Kepailitan. Selanjutnya, “kata semua kreditur” merupakan suatu syarat yang tidak mungkin atau akan sangat sulit untuk terwujud, karena sulit untuk mendapatkan persetujuan seratus persen.

H. Putusan Pailit Pengadilan Indonesia Tidak Dapat Dieksekusi di Negara Asing

Salah satu kesulitan yang dialami oleh Kurator dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta debitur pailit adalah dalam hal ditemukannya harta si debitur pailit berada di luar negeri. Walaupun pada prinsipnya UU Kepailitan No. 37/2004 menganut prinsip universalitas yang memberikan pengertian bahwa putusan pailit tersebut memberikan konsekuensi dilakukannya sita umum terhadap harta debitur pailit dimanapun berada, termasuk yang berada diluar negeri, akan tetapi dalam pelaksanaannya di luar negeri prinsip universalitas tersebut dihadang oleh prinsip regionalitas yang dianut oleh negara-negara berdaulat, yang membuat putusan Pengadilan Niaga Indonesia tersebut tidak dapat dieksekusi di luar negeri dimana aset debitur pailit berada. Dengan pengertian lain, bahwa pailitnya suatu PT di Indonesia, tidak pailit di mata hukum asing. Prinsip tersebut sebenarnya juga berlaku di Indonesia, yang tidak mengenal keberlakuan putusan pailit dari pengadilan asing (foreign judgment).

Solusi yang dapat digunakan hanyalah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 212 sampai dengan Pasal 214 UU Kepailitan No. 37/2004 yang pada dasarnya tidak memberikan kewenangan bagi kreditur konkuren untuk melakukan upaya mendapatkan pembayaran secara sepihak terhadap harta debitur pailit yang berada di luar negeri tersebut dengan cara mengambil langkah hukum terhadap debitur di negara dimana aset tersebut berada, ataupun menjual tagihannya kepada pihak luar negeri dimana aset tersebut berada agar orang tersebut dapat dengan lebih mudah mendapatkan pembayaran dengan mengeksekusi asset tersebut, ataupun menjual piutang atau utangnya kepada pihak ketiga dalam upaya untuk melakukan perjumpaan utang diluar wilayah Indonesia, yang membuat kreditur konkuren tersebut mendapatkan pembayaran lebih tinggi dari kreditur konkuren lainnya, wajib mengembalikan segala apa yang diperolehnya tersebut kepada boedel pailit. Akan tetapi, ketentuan tersebut tidak mudah untuk diketahui, apalagi bila kreditur konkuren tersebut adalah pihak asing yang tidak berdomisili di wilayah Indonesia.

Solusi lain dalam bentuk penandatanganan kesepakatan internasional ataupun traktat sehubungan dengan mutual enforcement of foreign bankruptcy judgment masih sebatas teori, begitu pula dengan langkah harmonisasi hukum kepailitan di wilayah tertentu, seperti ASEAN, masih merupakan suatu wacana yang membutuhkan waktu yang lama dalam mewujudkannya.

34

Page 45: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi IV Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF. CIP

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

35

Oleh karena itu, solusi yang paling cepat dalam hal untuk memberikan kewenangan pada Kurator dalam mengurus dan membereskan harta debitur pailit yang berada di luar Indonesia, maka perlu dipikirkan tentang keharusan bagi direksi PT yang telah dipailitkan untuk memberikan Kuasa kepada kurator untuk melakukan pengurusan dan pemberesan terhadap harta debitur pailit tersebut yang berada di luar negeri. Walaupun berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UU Kepailitan No. 37/2004 yang menyatakan bahwa debitur pailit demi hukum telah kehilangan haknya untuk melakukan penguasaan dan pengurusan terhadap harta pailit, akan tetapi mengingat kewenangan yang telah dipindahkan kepada kurator berdasarkan Pasal 21, Pasal 24 dan Pasal 16 UU Kepailitan No. 37/2004 tersebut tidak dapat dilaksanakan di luar negeri dimana aset dari debitur tersebut berada, maka kewenangan tersebut, dalam wilayah hukum asing, dapat ditegaskan kembali dengan pemberian Surat Kuasa dari direksi debitur pailit ataupun RUPS-nya sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar PT pailit tersebut.

Di mata Negara Asing, pemberian Kuasa kepada Kurator dalam melakukan pengurusan dan pemberesan aset tersebut akan sama dengan kuasa ataupun kewenangan yang diberikan kepada Likuidator dalam melakukan pemberesan terhadap harta yang dalam likuidasi yang berada di luar negeri.

Secara keseluruhan, kehadiran UU Kepailitan di Indonesia yang melibatkan Pengadilan Niaga sebagai suatu pengadilan khusus yang memeriksa dan memutuskan kepailitan akan memberi arti dalam penyelesaian sengketa utang-piutang yang selalu mungkin saja terjadi, sepanjang undang-undang, hakim, perangkat pengadilan dan kurator atau pengurus bertekad untuk memberikan keadilan bagi semua pihak. Keterbatasan undang-undang kepailitan dalam memberikan pengaturan yang sempurna tidak akan memberikan akibat yang terlalu mengecewakan jika undang-undang tersebut berada di tangan hakim yang berkemampuan baik dan jujur serta juga di tangan Kurator dan Pengurus yang berkualitas dan bermoral baik. Karena jika tidak, maka UU Kepailitan hanya akan menimbulkan kejutan-kejutan yang semakin mengecilkan kepercayaan pencari keadilan terhadap dunia peradilan dan hukum Indonesia.

Page 46: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi V Yan Apul, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Materi V Permasalahan terhadap Kendala Efektifitas Undang-Undang Kepailitan dan

Pemecahannya dari Sudut Pandang Kurator

Oleh Yan Apul, S.H.1

Setelah berlangsung hampir satu abad, aturan yang termuat dalam S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348 digantikan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) No. 1 tahun 1998 dan selanjutnya menjadi UU No. 4 tahun 1998.

Selanjutnya, UU tersebut diperbaharui dengan UU No. 37 tahun 2004 (LNRI tahun 2004 Nomor 131; TLNRI Nomor 4484, tanggal 18 Oktober 2004) dari awalnya suatu peraturan Kepailitan didasarkan pada kebutuhan untuk “Pemecahan sengketa utang piutang, dengan mewujudkan mekanisme penyelesaian yang adil, cepat, terbuka dan efektif dalam suatu pengadilan dalam rangka penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya”2

A. Pendahuluan

Penyelesaian sengketa Kepailitan memang memerlukan suatu aturan yang disamping menyelesaikan sengketa utang piutang itu sendiri, juga harus tetap menjaga berjalannya roda usaha dan perekonomian suatu bangsa.

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila suatu peraturan cepat berubah dan diganti dengan yang baru guna menampung gejolak perubahan yang ada dalam masyarakat, khususnya dunia usaha dan dunia perekonomian pada umumnya.

Perubahan dari aturan kolonial (S.1905 – 1906) menjadi UU No. 4 tahun 1998, selanjutnya diubah lagi menjadi UU No. 37 tahun 2004 didasarkan atas:3

1. Adanya kebutuhan yang sesaat dan sifatnya mendesak untuk secepatnya mewujudkan sarana hukum bagi penyelesaian yang cepat, adil, terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan perekonomian Nasional

2. Dalam kerangka penyelesaian akibat-akibat dari gejolak moneter yang terjadi sejak pertengahan 1997, khususnya terhadap masalah utang piutang di kalangan dunia usaha Nasional, penyelesaian yang cepat mengenai masalah ini akan sangat membantu mengatasi situasi yang tidak menentu di bidang perekonomian.

B. Peranan Kurator dalam Kepailitan

Undang-Undang No. 37 tahun 2004 terdiri dari 308 (tiga ratus delapan) pasal, kurang lebih sepertiganya atau 30 % (tiga puluh persen) mengatur mengenai Kurator. Secara khusus, Pasal 69 ayat (1) mengatur mengenai tugas Kurator, yaitu:

“Tugas Kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit.” Tentang arti Kurator itu sendiri dinyatakan secara tegas (expersis verbis) dalam Pasal

1 angka 5 sebagai berikut: “Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit dibawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-undang ini.”

1 Advokat/Kurator pada Yan Apul Law Firm, dan Staf Pengajar pada Universitas Atma Jaya-Jakarta. 2 Penjelasan Undang-Undang No. 37 tahun 2004. 3 UU No. 37 Tahun 2004 – Penjelasan – I – Umum – TLNRI Nomor 4443.

36

Page 47: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi V Yan Apul, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Salah satu kewenangan dari Kurator ditegaskan dalam Pasal 16 ayat (1): “Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.”

Tentang putusan Pengadilan itu sendiri, harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan (Pasal 8 ayat (5)) yaitu setelah Pengadilan mengabulkan permohonan pernyataan pailit karena terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana (prima facie) bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah dipenuhi (Pasal 8 ayat (4)).

Pasal 21 menyatakan: “Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan penyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.” Menurut Jerry Hoff (h-248)4 aset atau kekayaan tersebut meliputi:

− rekening bank; − suatu daftar dari dan dokumen yang membuktikan kepemilikan dari kekayaan

tidak bergerak yang dipegang oleh Debitor dan setiap perseroan dalam kelompok; − semua saham dalam perusahaan lokal dan asing; − daftar paten, merek dagang dan nama dagang; − daftar piutang dan syarat-syarat pembayaran; − daftar persediaan; − daftar surat-surat berharga; dan − spesifikasi dari pekerjaaan yang sedang berlangsung.

Sedangkan yang tidak termasuk kedalam harta pailit adalah sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 22.

Kewenangan Kurator tersebut diimbangi dengan tanggungjawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit, hal mana ditegaskan dalam Pasal 72 UU No. 37 Tahun 2004.

Sebagaimana dikemukakan dimuka bahwa salah satu faktor perlunya pengaturan tentang kepailitan adalah untuk menghindari kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah satu Kreditor atau Debitor sendiri. Sesuai dengan standar 340.02.AKPI, maka beberapa tindakan yang wajib dilakukan Kurator dalam permulaan kepailitan adalah sebagai berikut:

a. mengidentifikasi seluruh rekening bank dan harta kekayaan penting atau material lain yang dimiliki Debitor Pailit;

b. mengumpulkan informasi sehubungan dengan tempat, jenis, dan skala kegiatan usaha debitur;

c. mengumpulkan informasi tentang keuangan debitur; dan d. membuka rekening bank baru atas nama Kurator qq. Debitor Pailit untuk

menampung seluruh dana dari rekening debitur pailit.

Pasal 81 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 mewajibkan Kurator untuk memberikan kepada Panitia Kreditur semua keterangan yang dimintanya, yaitu meliputi semua buku, dokumen dan surat mengenai kepailitan dan dalam hal diperlukan Kurator dapat mengadakan rapat dengan panitia kreditur untuk meminta nasehat.

C. Hambatan yang Ditemui Kurator dalam Praktek

1. Asset Tracing dan Asset Recovery

Adakalanya Kurator berhadapan dengan debitur yang tidak menghormati “status sita umum”. Sejak putusan pailit diucapkan, debitur kehilangan haknya, untuk menguasai dan mengurus kekayaannya (Pasal 24 ayat (1)). Namun, debitur seringkali tidak kooperatif dengan cara-cara antara lain: 4 Jerry Hoff – Undang-undang Kepailitan di Indonesia – PT. Tata Nusa – Cetakan 1 – Oktober 2000 – Jakarta.

37

Page 48: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi V Yan Apul, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

- harta pailit sudah dialihkan sebelum putusan; - harta pailit tumpang tindih kepemilikannya, sengaja dipindahtangankan,

disewakan atau dijadikan jaminan hutang; - dokumennya kadang-kadang cacat hukum sehinga sulit dilakukan eksekusi;

dan/atau - sikap manajemen yang tidak kooperatif dalam penyerahan harta pailit dengan

melakukan perlawanan terhadap Kurator dengan cara: a. menghalangi Kurator untuk tidak menyentuh atau mengambil harta pailit;

atau b. menghalangi Kurator memasuki area perusahaan pailit dengan cara

antara lain menutup akses, mengancam Kurator baik langsung atau dengan menggunakan oknum-oknum, kadang pula menjaga lokasi tersebut dengan pengawalan baik dengan pengawalan orang maupun hewan.

Sehubungan dengan hal tersebut, Kurator seringkali mengalami kesulitan dalam praktek, sebagai berikut:

a. Asset Tracing

Saat ini informasi mengenai aset debitur pailit diperoleh Kurator dari para kreditur dan debitur yang kooperatif saja. Sangat jarang Kurator berhasil melakukan investigasi untuk menemukan aset debitur yang memang sengaja disembunyikan debitur.

1) Belum ada sinkronisasi peraturan perundang-undangan

Belum ada koordinasi dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang sebenarnya dapat sangat mudah memberikan instruksi kepada seluruh bank yang terdaftar. Selama ini, Kurator harus mengirim surat satu persatu kepada setiap Bank yang diperkirakan memiliki rekening debitur. Bank Indonesia selama ini berlindung pada ketentuan tentang rahasia bank, dimana bank harus menjaga kerahasiaan nasabahnya.

Hal yang paling nyata adalah tentang aturan kerahasiaan bank. Sesuai dengan ketentuan Pasal 40 UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, diatur bahwa Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Pengecualian atas hal tersebut, diatur secara limitatif dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44A jo. Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 Pasal 2 yaitu bahwa peraturan kerahasiaan tidak berlaku untuk5:

a) kepentingan perpajakan; b) penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada BUPLN; c) kepentingan peradilan dalam perkara pidana; d) kepentingan peradilan perkara perdata antara bank dengan nasabahnya; e) permintaan nasabah yang bersangkutan yang dibuat secara tertulis; dan/atau f) permintaan ahli waris yang sah.

Kurator tidak dapat dengan mudah menggunakan kewenangan yang dimilikinya berdasarkan UU Kepailitan untuk mencari data debitur melalui Bank Sentral. Padahal menurut UU Kepailitan, keadaan pailit debitur dimulai sejak putusan pailit diucapkan. Dalam hal ini, kurator tentu saja diharapkan dapat bertindak cepat untuk langsung memblokir rekening debitur agar tidak dialihkan ke tempat lain

Namun, hal ini belum dapat dilakukan dengan cepat, karena Kurator harus mengirim satu persatu surat kepada setiap bank yang ada untuk menanyakan apakah ada debitur A tercatat mempunyai account di bank tersebut. Pada akhirnya, Kurator tidak dapat menjangkau seluruh bank yang ada, biasanya dipilih bank yang mungkin terkait saja, misalnya kalau yang

5 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Perintah Atau Ijin Tertulis Membuka Rahasia Bank.

38

Page 49: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi V Yan Apul, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

dipailitkan adalah perusahaan PMA atau perusahaan yang cukup besar, maka bank yang dikirimi surat adalah bank besar dalam wilayah hukum kedudukan perseroan. Surat yang demikian ini biasanya akan dijawab oleh pihak bank dalam waktu 1-2 minggu, dan hanya apabila ada kecocokan data nasabah 100% (nama lengkap, alamat, nomor KTP). Dalam praktek, sangat jarang terdapat dana yang cukup besar.

Seharusnya, apabila peraturan perbankan bisa disesuaikan agar dapat mengakomodir pelaksanaan tugas kurator, mungkin saja Kurator cukup mengirim 1 (satu) surat ke Bank Indonesia (sebagai bank sentral), yang kemudian bisa menginstruksikan kepada seluruh Bank yang terdaftar di seluruh Indonesia melalui kawat/faksimili internal, sehingga informasi tersebut langsung sampai kepada setiap bank yang ada dan rekening debitur dapat langsung diblokir untuk mengamankan aset pailit.

Kemudian, disamping itu, Kurator juga tidak jarang mengalami kendala memperoleh data dari Badan Pertahanan Nasional (BPN) karena data di BPN tidak terintegrasi secara nasional. Bahkan belum tentu BPN di daerah mengenal apa sebenarnya Kurator itu.

Satu-satunya nilai positif saat ini adalah dari Kantor Pajak. Sistem di Kantor Pajak saat ini sudah terintegrasi secara nasional yang memungkinkan diperolehnya data aset wajib pajak secara nasional. Hanya saja data yang diperoleh tentu saja terbatas pada data aset yang memang secara sukarela dilaporkan oleh wajib pajak pada saat membuat laporan SPT. Data ini belum tentu akurat. Dalam hal ini, Kurator dapat bekerjasama dengan Kantor Pajak untuk mencari data aset seperti ini.

2) Kepailitan belum cukup dikenal secara luas, terutama pada lingkungan instansi penegak hukum sendiri

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur tindak pidana yang dilakukan oleh debitur (pengusaha, pengurus atau komisaris PT, Maskapai Andil Indonesia atau Perkumpulan Koperasi), yaitu Pasal 396, 397, 398 dan 400 KUHP.

Pasal-pasal KUHP tersebut sebenarnya dapat dijadikan “senjata pamungkas” oleh Kurator terhadap debitur pailit yang tidak kooperatif dengan melakukan perbuatan pidana seperti: tidak bersedia memberikan dokumen; tidak memberikan laporan keuangan perusahaan pailit; dan atau manipulasi dokumen atau penggelapan harta pailit. Namun, harus diakui bahwa upaya ini memang tidak pernah dilakukan oleh Kurator karena belum terkoordinasi baik dengan aparat penegak hukum, yang sebenarnya memegang peranan penting dalam hal ini, pihak Kepolisian dan Kejaksaaan.

3) Tidak berfungsinya lembaga paksa badan

Kendala yang paling utama saat ini adalah tidak ada alat yang dapat digunakan untuk memaksa debitur bertindak kooperatif dengan Kurator. Satu-satunya alat yang ada, yaitu Lembaga Paksa Badan, sampai saat ini belum dapat dilaksanakan karena belum ada aturan pelaksanaan yang jelas.

Menurut Pasal 93 UU Kepailitan, pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atas usul Hakim Pengawas, permintaan Kurator atau atas permintaan kreditur atau lebih dan setelah mendengar Hakim Pengawas dapat memerintahkan supaya debitur pailit, dengan alasan bahwa debitur pailit tersebut dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, 110, atau Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2) UU Kepailitan.

Dalam prakteknya penerapan pasal ini hampir tidak pernah terjadi, walaupun Mahkamah Agung RI telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 tahun 2000 Tentang Pengaktifan Lembaga Penyanderaan (gizjeling) hal mana harus diajukan permohonan kepada pengadilan. Permohonan tersebut tidak pernah dikabulkan oleh pengadilan dengan alasan infrastruktur atau hal-hal yang dibutuhkan untuk pelaksanaan lembaga paksa badan tersebut belum jelas.

Dengan tidak adanya lembaga pemaksa ini, maka masih sangat sering dijumpai, Kurator yang berkunjung harus berhadapan dengan ancaman kekerasan, misalnya “anjing

39

Page 50: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi V Yan Apul, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

galak” atau preman yang disewa oleh debitur atau juga dengan cara yang halus, debitur tiba-tiba menghilang. Hal ini terutama sekali dapat terjadi pada debitur perorangan. Apabila yang pailit adalah perseroan, maka yang hilang adalah Direkturnya.

b. Asset Recovery

1) Sistem lelang yang menunjang tercapainya harga maksimal

Sistem lelang yang ada saat ini harus benar-benar diperbaiki, karena penjualan dengan cara lelang ternyata dapat memberikan hasil yang maksimal. Hasil penjualan barang yang berhasil dilelang biasanya di bawah 1% dari harga limit, kurang lebih antara Rp. 1.000.000,- atau Rp. 3.000.000,-.

Kendala yang muncul adalah pada penentuan harga limit, apabila kurator menentukan harga limit yang tinggi, barang tersebut juga tidak akan laku terjual, karena biasanya calon pembeli akan menunggu lelang kedua yang harganya pasti diturunkan dari waktu lelang pertama.

Banyak sekali calon peserta lelang yang terdaftar dan memberikan uang jaminan hanya supaya memperoleh uang mundur dari calon pembeli yang memang benar-benar berminat. Hal nyata, yang pernah terjadi dalam praktek, dalam suatu lelang, ada peserta yang telah membayar uang jaminan sampai dengan 200 orang, namun pada saat dilaksanakan lelang, ternyata yang menawar hanya 1 atau 2 orang, dan itu pun sudah disepakati diantara mereka, yaitu harga penawaran hanya dilebihkan Rp. 1.000.000 atau malahan pas pada harta limit. Selanjutnya mereka akan melakukan lelang sendiri di tempat lain antara mereka. Selisih harga lelang resmi dengan harga lelang intern mereka dibagi diantara mereka.

Salah satu cara yang mungkin dapat membantu mengurangi apa yang disebut dengan istilah ‘mafia lelang’ adalah dengan membuat aturan yang tegas bahkan kalau perlu menetapkan ketentuan denda kepada calon peserta yang sudah menyetor uang jaminan sebagai peserta lelang, tapi tidak ikut menawar atau menawar dibawah harga. Tetapi akan lebih baik, apabila Kurator dibolehkan menjual di bawah tangan, maka pembeli akan terlepas dari “persekongkolan lelang” dan memasukkan surat dengan bebas.

2) Actio Pauliana

Actio Pauliana sebenarnya juga merupakan salah satu cara asset recovery yang bisa meningkatkan aset pailit. Namun, hal ini ternyata masih sangat tidak efektif. Sudah 10 (sepuluh) tahun Pengadilan Niaga didirikan, ternyata masih juga belum jelas apakah Pengadilan Niaga berwenang mengadili perkara Actio Pauliana?

Belum lama ini ada putusan dari Mahkamah Agung RI di tingkat kasasi yang menyatakan bahwa actio pauliana bukan kewenangan Pengadilan Niaga karena pembuktian dalam actio pauliana tidak sederhana. Salah satu syarat dalam actio pauliana adalah “debitur dan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan menimbulkan kerugian bagi kreditur”. Menurut majelis hakim, syarat tersebut mengakibatkan pembuktian tidak mungkin dilakukan secara sederhana, sehingga Pengadilan Niaga tidak berwenang mengadili perkara actio pauliana.

2. Peranan Asosiasi Kurator

Asosiasi Kurator memegang peranan yang sangat penting untuk meningkatkan efektivitas UU No. 37 tahun 2004. Sosialisasi yang intentif ke instansi yang terkait dengan pelaksanaan kepailitan harus dilakukan. Selain itu, perlu juga untuk memanfaatkan teknologi informasi yang terus berkembang, diantaranya dengan membuat website yang bisa menjadi tempat yang murah bagi para kurator anggota asosiasi untuk memperdalam ilmu dan keahliannya dengan melakukan diskusi atau bahkan untuk membantu menyebarkan informasi mengenai aset yang akan dijual sehingga memungkinkan diperolehnya calon pembeli yang

40

Page 51: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi V Yan Apul, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

41

tepat dengan harga yang baik. Kemudian, menjaga tingkah laku anggota dengan penegakan “code of conduct”. Terakhir, menyelenggarakan pendidikan lanjutan bagi para kurator untuk menjaga kualitas anggota tetap terjaga dan selanjutnya setiap tahun organisasi profesi mengeluarkan daftar rekomendasi Kurator yang “qualified”. Tentang hal ini sebenarnya sudah diatur dalam Anggaran Dasar Asosiasi Kurator & Pengurus Indonesia (AKPI), namun sampai saat ini memang belum bisa dilaksanakan secara optimal.

Cara-cara ini mungkin lebih baik dibandingkan dengan mengubah ketentuan pemilihan kurator bukan lagi kepada pemohon pailit melainkan memberikan kewenangan kepada asosiasi untuk mengusulkan kurator yang akan ditunjuk.

3. Hak Panitia Kreditur vs Kewenangan Kurator

Sebagaimana diatur dalam Pasal 79 sampai dengan Pasal 84 UU No. 37 tahun 2004, diatur tentang pembentukan Panitia Kreditur yang dapat memberikan nasehat kepada Kurator dan juga dapat memeriksa semua buku, dokumen dan surat mengenai kepailitan. Hak Panitia Kreditur ini pada hakekatnya sangat membantu pelaksanaan tugas dari Kurator. Hanya saja permasalahan yang sering muncul dengan adanya Panitia Kreditur adalah anggota Panitia Kreditur sering kali hanya mementingkan kepentingan diri sendiri, tanpa memperhatikan bahwa sebagai Panitia Kreditur ia juga harus memperhatikan kepentingan seluruh kreditur. Adakalanya, antara Kreditur juga mempunyai kepentingan yang berbeda. Masalah dapat bertambah apabila anggota Panitia Kreditur juga tidak memahami dengan jelas mekanisme yang diatur dalam Hukum Kepailitan.

D. Solusi Yang Ditawarkan

Dari apa yang telah dikemukakan sebelumnya di atas, solusi yang hendak ditawarkan adalah sebagai berikut:

1. sosialisasi yang terus-menerus kepada seluruh instansi yang terkait; 2. melakukan revisi atas UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang; 3. pendidikan berkelanjutan untuk seluruh anggota asosiasi; dan 4. memanfaatkan teknologi informasi, dengan membangun website resmi dari asosiasi

agar dapat dimanfaatkan oleh anggota untuk menambah ilmu maupun membantu

E. Penutup

Demikianlah makalah yang dapat Saya sampaikan, semoga memberikan manfaat bagi para pembaca, mohon maaf apabila masih terdapat kekurangan dan kelemahan. Terima kasih dan sekian.

Page 52: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Materi VI Peran Hakim Pengawas dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit1

Oleh Agus Subroto, S.H., M.H.2

A. Pendahuluan

Sebagaimana dipahami bersama bahwa setelah proses pemeriksaan terhadap permohonan pernyataan pailit dilakukan, maka Majelis Hakim pada Pengadilan Niaga harus menjatuhkan putusan dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung semenjak permohonan tersebut didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Niaga. Ketentuan Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK dan PKPU”) tidak mengatur konsekuensi yuridis jika tenggang waktu 60 (enam puluh) hari tersebut terlampaui.

Berbeda halnya dengan ketentuan hukum acara perdata biasa yang mengatur bahwa suatu putusan baru dapat dilaksanakan manakala ia telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), terkecuali bila ternyata ditetapkan dalam amar bahwa putusan bersifat serta merta (uit voorbaar bij voorrad); berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (7) UUK dan PKPU putusan dalam kepailitan pada prinsipnya dapat dijalankan terlebih dahulu, betapapun atas putusan tersebut diajukan permohonan upaya hukum kasasi. Apakah sesungguhnya yang menjadi dasar filosofi yuridis ketentuan tersebut? Tujuan kepailitan pada dasarnya adalah melakukan distribusi aset untuk membayar utang debitor kepada para kreditornya. Oleh karena itu, jika faktanya debitor telah terlanjut membayar utangnya kepada para kreditornya karena putusan pailit yang bersifat langsung dijalankan, namun pada sisi yang lain ternyata putusan pailit aquo dibatalkan oleh Mahkamah Agung, dalam hubungan ini tidak merugikan debitor. Sebab, yang namanya utang harus tetap dibayar, baik sekarang ataupun masa nanti.

Dalam putusan pernyataan pailit, disamping amar yang menyatakan debitor pailit dengan segala akibat hukumnya, juga ditetapkan adanya Hakim Pengawas dan Kurator. Siapakah yang ditunjuk sebagai Hakim Pengawas? Biasanya Hakim Pengawas yang ditunjuk adalah salah satu hakim pada Pengadilan Niaga yang tidak menjadi hakim pemeriksa dan pemutus dalam permohonan pernyataan pailit aquo. Sementara itu, mengenai kurator yang ditunjuk adalah kurator yang diusulkan oleh pihak pemohon pernyataan pailit. Bila ternyata pihak tersebut tidak mengusulkan nama kurator, maka Pengadilan Niaga akan menunjuk Balai Harta Peninggalan (“BHP”) sebagai kurator untuk melakukan tugas pengurusan dan pemberesan dalam kepailitan.

Betapapun kurator yang akan ditunjuk dan ditetapkan oleh Pengadilan Niaga atas dasar usulan dari pemohon, akan tetapi ketentuan undang-undang membatasi bahwa seorang kurator hanya dapat menangani kepailitan maksimal 3 (tiga) kasus dalam waktu yang berjalan. Filosofi yuridis atas ketentuan tersebut adalah agar kurator terfokus pada kasus yang ditanganinya, disamping adanya maksud pemerataan penanganan kepailitan di antara para kurator tersebut.

Di dalam proses kepailitan dijumpai lembaga hukum baru yang tidak pernah ada ataupun diatur dalam ketentuan hukum acara perdata. Lembaga dimaksud adalah Hakim Pengawas. Lembaga semacam ini sesungguhnya telah ada dan diatur dalam ketentuan peraturan kepailitan pada zaman Hindia Belanda, hanya saja terminologinya adalah hakim komisaris.

1 Makalah ini disampaikan pada acara NATIONAL SEMINAR OF BANKRUPTCY LAW PRACTICES yang diselenggarakan kerjasama antara Asosiasi Kurator & Pengurus Indonesia (AKPI) dengan Indonesia Anticorruption Commercial Court Enhancement (In ACCE) Project, Grand Hyatt Hotel – Jakarta, 29 Oktober 2009. 2 Penulis adalah Hakim/Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Pinang serta Dosen tidak tetap pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

42

Page 53: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Apakah sesungguhnya tugas dan wewenang hakim pengawas dalam proses kepailitan? Tugas dan wewenangnya adalah mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh kurator. Dari kalimat “mengawasi” tersebut, terkesan bahwa tugas seorang hakim pengawas bersifat pasif saja. Ternyata pandangan demikian adalah keliru, sebab bila ketentuan peraturan perundangan yang mengaturnya dipelajari secara seksama ternayta tugas dan wewenang hakim pengawas tidak sebatas bersifat pasif saja, melainkan banyak pula sifat aktifnya, sebagai contohnya hakim pengawas menyusun penetapan, memimpin rapat-rapat kreditor dan rapat verifikasi.

Berbicara tentang tugas dan wewenang hakim pengawas, bila ditelaah secara seksama lampiran Pasal 63 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 (“UUK”) jo. Pasal 65 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 diatur bahwa ia mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit. Lebih dari hal itu, ketentuan undang-undang menggariskan pula bahwa sebelum memutuskan sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan pengurusan dan pemberesan harta pailit, Pengadilan Niaga wajib mendengar nasehat terlebih dahulu dari Hakim Pengawas.

Selain dari hal itu, Hakim Pengawas berwenang untuk mendengar keterangan saksi-saksi atau memerintahkan para ahli untuk menyelidikinya. Para saksi ini akan dipanggil oleh Hakim Pengawas, bila ternyata saksi tidak memenuhi panggilan tersebut ataupun menolak memberikan kesaksiannya, maka bagi yang bersangkutan berlaku ketentuan Pasal 140, 141, 148 HIR atau Pasal 167, 176 RBg yaitu:

a. Saksi dihukum untuk membayar segala biaya yang telah dikeluarkan untuk pemanggilan saksi-saksi tersebut;

b. Ia dipanggil sekali lagi atas biayanya sendiri;

c. Saksi dibawa oleh polisi menghadap ke pengadilan untuk memberikan kesaksiannya;

d. Apabila seorang saksi datang ke persidangan akan tetapi enggan memberikan keterangan; maka permintaan yang berkepentingan, Ketua Pengadilan boleh memerintahkan supaya saksi itu ditahan dalam penjara dengan biaya dari pihak itu, sampai saksi bersedia memenuhi kewajibannya (Pasal 65 ayat (3) UUK).

Dari berbagai macam tugas dan wewenang Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam ketentuan Bagian Ketiga paragraf 1 Pasal 65 sampai dengan Pasal 68 UUK dan PKPU, secara ringkas dapat kiranya dirumuskan sebagai berikut:

1. memimpin rapat verifikasi;

2. mengawasi tindakan dari kurator dalam melaksanakan tugasnya, memberikan nasihat dan peringatan kepada kurator atas pelaksanaan tugasnya tersebut;

3. menyetujui atau menolak daftar-daftar tagihan yang diajukan oleh kreditor;

4. meneruskan tagihan-tagihan yang tidak dapat diselesaikannya dalam rapat verifikasi kepada Hakim Pengadilan Niaga yang memutus perkara itu;

5. mendengarkan saksi-saksi dan para ahli atas segala hal yang berkaitan dengan kepailitan (misalnya: tentang keadaan boedel, perilaku si pailit dan sebagainya); dan

6. memberikan izin atau menolak permohonan si pailit untuk bepergian (meninggalkan tempat) kediamannya.

Ketentuan UUK dan PKPU, perihal pengurusan harta pailit diatur pada bagian tersendiri adalah pada Bab II tentang Kepailitan, Bagian Ketiga Pengurusan Harta Pailit, yang terdiri dari lima paragraph sebagai berikut:

1. Paragraf 1 tentang Hakim Pengawas (Pasal 65 – Pasal 68);

2. Paragraf 2 tentang Kurator (Pasal 69 – Pasal 78);

3. Paragraf 3 tentang Panitia Kreditor (Pasal 79 – Pasal 84);

43

Page 54: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

4. Paragraf 4 tentang Rapat Kreditor (Pasal 85 – Pasal 90);

5. Paragraf 5 tentang Penetapan Hakim (Pasal 91 – Pasal 92).

Bagaimanakah peran Hakim Pengawas dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit? Penulis mencoba untuk menguraikannya dalam tulisan berikut ini.

B. Proses Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit

Hakikat kepailitan adalah sita umum yang meliputi seluruh kekayaan milik debitor pailit, termasuk dalam pengertian ini kekayaan yang diperoleh debitor selama berlangsungnya kepailitan. Oleh sebab itu setelah putusan pernyataan pailit dijatuhkan, maka si pailit langsung kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta kekayaan debitor pailit? Dalam hubungan ini, oleh karena segenap harta kekayaan si pailit menjadi boedel pailit maka kurator yang ditunjuk dalam putusan pernyataan pailit tersebut segera melakukan pengurusan dan penguasaan boedel pailit di bawah pengawasan hakim pengawas. Sesuai dengan sifat pembawaan putusan pernyataan pailit yang dapat dijalankan terlebih dahulu, maka dalam kaitannya dengan tugas seorang kurator untuk melakukan pengurusan dan pemberesan atas boedel pailit, tugas dan wewenang tersebut dijalankannya betapapun termohon mengajukan upaya hukum kasasi maupun peninjauan kembali.

Aktifitas apakah yang dilakukan kurator dalam kaitannya dengan pengurusan boedel pailit? Pengurusan itu meliputi menginventarisasi, menjaga dan memelihara agar harta pailit tidak berkurang dalam tataran:

1. jumlah;

2. nilai; dan

3. bahkan jika memungkinkan diupayakan untuk bertambah dalam jumlah dan nilainya.

Dari uraian tersebut diperoleh pemahaman bahwa demikian besarnya wewenang kurator terhadap harta benda pailit. Oleh sebab itu, dituntut bagi seorang kurator untuk bersikap independen, pada dirinya tidak boleh ada conflict of human interest. Dalam hubungannya dengan kewenangan yang demikian besar tersebut, kurator senantiasa harus mempertanggungjawabkan atas segala apa yang telah dilakukannya atas harta benda pailit, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 72 UUK dan PKPU bahwa kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit. Ketentuan tersebut merupakan landasan hukum (bagi hakim pengawas) untuk mengawasi tindakan hukum kurator.

Demikian besarnya tanggung jawab seorang kurator atas tindakan hukum yang berkaitan dengan pengurusan dan pemberesan harta pailit, namun dalam hubungan ini Jerry Hoff menguraikan pendapatnya dalam buku yang berjudul “Indonesian Bankruptcy Law” sebagai berikut:

In My opinion, this article does not create a stricter liability than would arise under the applicable rules for tort (article 1365 CC). A receiver may be held liable if he has committed a tort. Any degree of faulth is sufficient to create liability. The acts of the receiver will presumably be compared with the acts a reasonably competent receiver. It maybe argued, however, that the liability of a reciever must to be judged by a higher standard if he has more than average expertise or experience.

Lebih lanjut Hoff menguraikan pandangannya tentang tanggungjawab kurator dalam dua bingkai yang berbeda, ialah sebagai kurator pada satu sisi dan tanggungjawab pribadi pada sisi yang lain selengkapnya sebagai berikut ini:

Liability of the reciever in its capacity as a reciever :

In this case, the bankrutpcy estate, and not the receiver personally, must pay for the damages. The claimant has a claim on the bankruptcy estate, and his claim is an estate debt. Examples, the receiver forgets to include one of the creditors in the distribution plan, the receiver sells the

44

Page 55: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

debtor’s assets which are not included in the bankrutpcy estate, the receiver sells the assets for third party, the receiver tries to collect a claim of the bankrupt debtor, attaches the property of this debtor to the end, and it is subsequently proven that debtor’s claim is false, the receiver continues a business without due consideration or research, the receiver enter into a contract while he knows or should know that the consideration due cannot be met, the receiver fails to dispute a claim or to limit liabilities, for example, by lodging an appeal against a tax assessment, the receiver does not inform a creditor of its statutory priority right when he should suspect that a creditor is ignorant of that right, that receiver brings civil proceeding and incurs irrecoverable legal cost while there is no reasonable chance of success.

Personal liability of receiver:

In this case the receiver is personally laible; he has to pay for the damages himself. The liability may occur, for example, if the receiver embezzled the property of the bankruptcy estate. In Netherlands, the personal liability of receiver will be established if the receiver intentionally acted recklessly or if there was a willfull misconduct on his part (Jerry Holf, 1999: 70-71).

Dalam hubungannya dengan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kurator menyusun working paper, sebagai pengejawantahan akuntabilitas atas tugasnya. Apakah yang dimaksudkan dengan working paper tersebut? Pada galibnya, ia merupakan kumpulan setiap dan seluruh dokumentasi yang diselenggarakan oleh kurator atau pengurus beserta kompilasi segala data atau informasi yang berhubungan dengan penugasan dalam kepailitan. Working paper bersifat rahasia, terkecuali dokumen di dalamnya yang dinyatakan oleh undang-undang sebagaai dokumen publik. Working paper berfungsi untuk membantu kurator agar dapat bekerja secara terstruktur dan efisien, dan pula mempermudah akuntabilitas atau pertanggungjawaban kurator atas pelaksanaan tugasnya.

Hal apa sajakah yang dimuat dalam working paper? Ternyata, working paper memuat hal-hal sebagai berikut:

1. dokumentasi administratif yang menjadi dasar penugasan;

2. rencana kerja yang dipersiapkan oleh kurator pada awal penugasan;

3. korespondensi dengan para pihak yang terkait dalam proses kepailitan;

4. dokumentasi (termasuk dokumentasi pendukung) yang berhubungan dengan harta pailit atau kewajiban harta pailit, termasuk namun tidak terbatas pada catatan atau uraian atas harta pailit atau pertelaannya;

5. catatan hal-hal yang dianggap penting oleh kurator dalam menjalankan tugasnya;

6. minuta rapat-rapat yang diselenggarakan sehubungan dengan penugasan, termasuk namun tidak terbatas pada rapat kreditor dan konsultasi kurator dengan hakim pengawas;

7. kesimpulan-kesimpulan, analisis, memorandum, dan representasi yang dibuat kurator selama penugasan; dan

8. laporan-laporan kurator sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Kepailitan.

Hal apa sajakah yang harus dilakukan oleh kurator dalam hubungannya dengan tugas melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit? Langkah pertama yang harus dilakukan oleh kurator setelah adanya putusan pernyataan pailit dalam hubungannnya dengan proses pengurusan dan penguasaan harta pailit adalah mengumumkan putusan tersebut. Untuk melaksanakan tugas tersebut kurator berkonsultasi dengan Hakim Pengawas guna membicarakan media apa yang akan dipergunakan untuk mengumumkan. Sebagaimana dipahami bersama bahwa ketentuan undang-undang mengatur:

1. dalam waktu paling lama 5 (lima) hari sejak putusan pernyataan pailit ditetapkan kurator mengumumkan putusan tersebut dalam Berita Negara RI dan 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh hakim pengawas;

45

Page 56: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

2. pengurus wajib mengumumkan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara dalam Berita Negara RI dan surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas.

Dari ketentuan tersebut diperoleh pemahaman bahwa ketentuan undang-undang mengamanatkan kepada Hakim Pengawas untuk memerintahkan kurator (dalam kepailitan) ataupun pengurus (dalam PKPU), untuk mengumumkan pernyataan pailit atau PKPU tersebut. Dalam konteks ini adalah merupakan titik awal hubungan kerja antara seorang Hakim Pengawas dengan seorang atau lebih kurator ataupun pengurus. Jalinan hubungan kerja tersebut seyogyanya senantiasa dijaga dan dipelihara dengan baik, sebab Hakim Pengawas dengan kurator/pengurus merupakan dua aktor yang nantinya menentukan arah penyelesaian kepailitan (ataupun PKPU) dalam hubungannya dengan mengurus kepentingan para kreditor dan debitor.

Materi apakah yang diumumkan oleh kurator? Pengumuman tersebut meliputi penetapan hari dan tanggal serta tempat diselenggarakannya rapat kreditor pertama, pun pula tentang deadline (batas waktu) pengajuan tagihan oleh para kreditor kepada kurator.

Sesungguhnya perintah melakukan pengumuman atas putusan pernyataan pailit tersebut mengandung makna agar para kreditor mengetahui bahwa debitor dinyatakan pailit, lebih-lebih bagi debitor yang memiliki banyak kreditor yang masing-masing domisilinya tersebar diberbagai tempat yang saling berjauhan. Dalam kondisi demikian, pengumuman kepailitan melalui media surat kabar harian memiliki makna strategis, lebih-lebih surat kabar yang jangkauan edarnya luas secara nasional bahkan regional. Adalah hal tidak mungkin terjadi, debitor memberitahukan statusnya yang pailit kepada para kreditornya.

Apakah arti pentingnya pengumuman tentang kepailitan tersebut bagi para kreditor? Dengan mengetahui bahwa debitor dinyatakan dalam keadaan pailit, maka para kreditor mempunyai hak dan pula kesempatan yang cukup untuk mengajukan tagihannya serta melakukan verifikasi utang. Tanpa melalui proses pengajuan tagihan dan verifikasi utang, sudah barang tentu kreditor tersebut tidak tercatat sebagai kreditor pailit, yang konsekuensi hukumnya ia tidak akan mendapatkan pembagian harta pailit untuk perluasan piutangnya. Hal yang dimuat dalam pengumuman tersebut adalah meliputi:

1. nama, alamat, dan pekerjaan debitor yang dinyatakan pailit;

2. nama hakim pengawas;

3. nama, alamat dan pekerjaan kurator;

4. nama, alamat dan pekrejaan panitia kreditor sementara apabila ditunjuk; dan

5. tempat serta waktu penyelenggaraan rapat kreditor pertama.

Berkaitan dengan rapat kreditor pertama, hal tersebut harus diselenggarakan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari terhitung semenjak putusan pernyataan pailit ditetapkan. Tempat penyelenggaraan rapat-rapat kreditor biasanya di gedung Pengadilan Niaga setempat.

Tugas dan tanggung jawab kurator tidak ringan. Ia harus bertanggung jawab terhadap keselamatan harta pailit. Dalam hubungannya dengan menjaga keselamatan harta pailit, kurator segera menentukan langkah pengamanan atas keselamatan harta pailit, misalnya menyimpan segala surat-surat berharga, uang, perhiasan atau barang-barang berharga lainnya. Itu sebabnya, dengan persetujuan hakim pengawas kurator dapat melakukan penyegelan terhadap harta pailit. Selain itu, ia atas dasar persetujuan hakim pengawas dimungkinkan pula untuk mengalihkan harta pailit, dengan catatan sepanjang hal tersebut diperlukan untuk ongkos pailit, atau jika dibiarkan maka akan menimbulkan kerugian bagi harta pailit.

46

Page 57: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

C. Melanjutkan Usaha (On Going Concern)

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa tugas dan wewenang kurator adalah untuk menjaga dan memelihara agar harta pailit tidak berkurang; dalam hubungan dengan hal tersebut kurator juga mempunyai wewenang atas persetujuan panitia kreditor untuk melanjutkan usaha (going concern) debitor, utamanya bila langkah tersebut dipandang akan menguntungkan harta pailit. Jika debitor pailit adalah merupakan suatu perusahaan, langkah demikian ini adalah strategis, lain halnya jika debitor pailit adalah perseorangan kebijakan demikian tentu sulit dilakukan.

Hal yang sepatutnya dipertimbangkan bahwa sebelum kurator menentukan langkah untuk melanjutkan usaha debitor, ia harus mempertimbangkan secara matang apakah kiranya langkah melanjutkan usaha debitor tesebut akan mendatangkan pendapatan (keuntungan) yang lebih bila diperhitungkan dengan ongkos operasionalnya, serta harus pula diperhitungkan tentang dari manakah modal kerja untuk melanjutkan usaha tersebut diperoleh, apakah untuk itu harus membuka kredit?

Jika setelah dipertimbangkan secara seksama ternyata keuntungannya tidak memadai, sudah barang tentu kurator sepatutnya memutuskan untuk tidak melanjutkan usaha debitor tersebut. Justru sebaliknya, langkah yang ditempuh adalah berupaya untuk menjualnya dengan memperoleh harga yang tertinggi.

Para kreditor mengajukan tagihannya kepada kurator dengan melampirkan surat-surat atau bukti-bukti perhitungan, dengan maksud agar dapat diketahui apakah kreditor yang mengajukan hak tagih tersebut mempunyai hak kebendaan seperti misalnya, hak tanggungan, gadai, fidusia dan lain-lainnya. Segala tagihan tersebut diteliti oleh kurator dan dicocokkan dengan catatan dan keterangan dari debitor, untuk kemudian dimasukkan dalam suatu daftar. Untuk melancarkan tugas-tugasnya tersebut kurator harus menyediakan daftar utang-utang dan piutang-piutang harta pailit, serta nama-nama dan tempat kedudukan pihak berpiutang dan jumlahnya.

Setelah kurator menyelenggarakan penelitian, maka dipilah-pilah piutang yang disetujui untuk dimasukkan ke dalam daftar pitang yang diakui, sementara itu yang dibantah dimasukkan ke dalam daftar yang terpisah dan mencantumkan alasan-alasan bantahannya, serta daftar piutang yang diragukan atau sementara diakui jika kurator hanya membantah adanya hak untuk didahulukan atau adanya hak retensi pada suatu piutang. Masing-masing daftar tersebut harus pula disediakan salinannya yang harus diletakkan di kantor kurator selama 7 (tujuh) hari sebelum rapat verifikasi piutang; serta secara cuma-cuma diperlihatkan kepada siapa saja yang berkehendak untuk mengetahuinya. Sebelum rapat verifikasi diselenggarakan, kurator harus mengundang para kreditor untuk menghadiri rapat verifikasi tersebut.

D. Rapat Verifikasi (Pencocokan Piutang)

Pada saat dan tempat yang telah ditetapkan, rapat verifikasi diselenggarakan dengan dipimpin oleh Hakim Pengawas. Rapat verifikasi utang adalah rapat untuk mencocokkan utang-utang si pailit sebagai penentuan klasifikasi tentang tagihan-tagihan yang masuk terhadap harta pailit, guna memerinci tentang berapa besarnya piutang-piutang yang dapat dibayarkan kepada masing-masing kreditor, yang diklasifikasikan menjadi daftar piutang yang diakui, piutang yang diragukan (sementara diakui), maupun piutang yang dibantah, yang akan menentukan pertimbangan dan urutan hak dari masing-masing kreditor. Dalam rapat verifikasi tersebut hadir kreditor baik yang menghadiri sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya dan juga kurator. Debitor wajib hadir dalam rapat-rapat kreditor, lebih-lebih dalam rapat verifikasi. Jika debitor adalah badan hukum maka yang menghadirinya adalah direksinya.

Dalam kaitannya dengan rapat verifikasi tersebut, dalam prakteknya Hakim Pengawas meminta kepada kurator untuk menyelenggarakan mekanisme pra-verifikasi di suatu tempat di luar gedung Pengadilan Niaga tanpa dihadiri oleh Hakim Pengawas. Hal demikian sangat efektif untuk menunjang proses verifikasi karena pada saat pra-verifikasi yang dimotori oleh

47

Page 58: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

kurator, baik debitor maupun kreditor dapat saling mencocokkan supporting document masing-masing dan pada saat terdapat titik temu, maka angka-angka yang telah disepakati dalam rapat pra-verifikasi dalam kesempatan rapat verifikasi tinggal disahkan saja. Mengapa hal demikian terjadi? Karena Hakim Pengawas mempunyai keterbatasan ruang gerak terkait dengan tempat dan waktu, terlebih lagi sarana dan prasarana pengadilan juga terbatas.

Ada kalanya dalam proses verifikasi tersebut baik debitor maupun kreditor tetap mempertahankan pendirian masing-masing atas jumlah utang-piutangnya atau bahkan bantahannya. Dalam keadaan demikian, Hakim Pengawas berupaya sedemikian rupa untuk mendamaikan kedua belah pihak, namun bila ternyata tetap tidak berhasil maka persoalan tersebut oleh Hakim Pengawas diserahkan kepada Majelis Hakim untuk diperiksa dan diputus. Untuk itulah, Hakim pengawas menetapkan hari persidangannya dengan agenda yang dikenal istilah Renvooi Procedure atau prosedur renvooi. Tujuan dari prosedur renvooi ini adalah untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul dalam rapat verifikasi, yang pemeriksaannya dilakukan secara sederhana.

Apakah arti pentingnya rapat verifikasi? Filosofi diselenggarakannya rapat verifikasi adalah bahwa harta pailit akan dibagi secara proporsional (pari passu pro rata parte) di antara kreditor konkuren. Oleh sebab itulah, maka perlu disediakan lembaga untuk melakukan pengujian yang disebut rapat verifikasi, dimaksudkan untuk meneliti dan mengkaji atas klaim-klaim piutang yang diajukan oleh para kreditor. Dalam rapat verifikasi tersebut, Hakim Pengawas akan membacakan daftar piutang yag dibuat oleh kurator, baik yang diakui, dibantah ataupun diragukan. Langkah demikian memang teramat penting artinya untuk menghindari hadirnya kreditor-kreditor fiktif yang sengaja ditampilkan oleh debitor yang beritikad tidak baik. Debitor berkepentingan untuk menampilkan kreditor fiktif, karena ia berkepentingan untuk membagi habis harta pailit sehingga kreditor lain hanya akan mendapatkan sedikit bagian proporsionalnya mengingat demikian banyak munculnya kreditor fiktif. Lebih dari hal tersebut, dimunculkannya banyak kreditor fiktif terkait dengan pengambilan suara dalam rangka perdamaian.

Dalam hal rapat verifikasi piutang telah selesai, adalah kewajiban kurator untuk memberikan laporan mengenai keadaan harta pailit dengan memberikan keterangan kepada kreditor tentang segala apa yang dipandang perlu. Lebih dari hal itu, berita acara rapat verifikasi harus ditempatkan di kepaniteraan Pengadilan Niaga, sementara itu salinannya diletakkan di kantor kurator, dengan tujuan agar hal tersebut dapat dilihat dan dibaca secara cuma-cuma bagi siapa saja yang berkepentingan.

E. Perdamaian (Akoord)

Betapapun debitor telah dinyatakan pailit oleh putusan Pengadilan Niaga, bukan berarti dunia menjadi gelap baginya. Mengapa? Sebab ketentuan undang-undang telah mengatur bahwa bagi debitor yang telah dinyatakan pailit tersebut diberi kesempatan untuk mengajukan rencana perdamaian kepada para kreditornya. Perdamaian yang dimaksudkan dalam hal ini berbeda dengan perdamaian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 130 HIR/Pasal 154 Rbg jo. Peraturan Mahkamah Agung (“PERMA”) Nomor 2 Tahun 2003 sebagaimana kemudian disempurnakan dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008. Mengapa dikatakan berbeda? Sebab perdamaian sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan hukum acara tersebut pada hakikatnya dapat dilakukan oleh para pihak yang tengah bersengketa, tanpa melibatkan siapapun, termasuk dalam pengertian ini tanpa perlu adanya campur tangan dari pihak pengadilan. Perdamaian dalam perkara kepailitan senantiasa melibatkan peran atau campur tangan pengadilan, yang dalam hal ini adalah hakim pengawas.

Jika ditelaah secara seksama, perdamaian dalam hubungannya dengan pemberesan harta pailit, ternyata berbeda karakteristiknya dengan perdamaian dalam PKPU. Letak perbedaan dimaksud adalah perdamaian dalam kaitannya dengan kepailitan lebih lanjut pada bagaimanakah penyelesaian utang-piutang debitor melalui harta pailit. Sementara itu, perdamaian dalam kaitannya dengan PKPU lebih diarahkan pada rencana penawaran pembayaran atau dikenal dengan istilah restrukturisasi pembayaran utang.

48

Page 59: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Bagaimanakah prosedur perdamaian dalam perkara kepailitan? Setelah verifikasi selesai dilakukan, debitor pailit diberi kesempatan untuk mengajukan rencana perdamaian kepada keseluruhan kreditornya. Rencana perdamaian tersebut harus diajukan debitor pailit dalam jangka waktu 8 (delapan) hari sebelum rapat verifikasi utang serta diletakkan di kepaniteraan Pengadilan Niaga dan kantor kurator serta salinan yang ada harus dikirimkan kepada masing-masing anggota panitia sementara para kreditor. Dalam hubungannya dengan rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor pailit tersebut, dari kurator maupun panitia para kreditor diharapkan nasihat atau penilaian secara tertulis yang disampaikannya dalam rapat.

Atas rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor pailit tersebut kemudian dibawa ke forum rapat, guna diputuskan apakah kiranya rencana perdamaian tersebut diterima atau tidak. Siapakah yang mempunyai wewenang untuk menyampaikan pendapatnya menerima atau menolak rencana perdamaian tersebut? Ketentuan undang-undang mengatur bahwa yang berhak memutuskan menerima atau tidaknya rencana perdamaian tersebut adalah mereka yang mempunyai hak surat dalam rapat, yaitu para kreditor konkuren yang hadir dalam rapat. Sementara itu, para kreditor yang tidak hadir dalam rapat tidak berpengaruh pada diterima atau tidaknya rencana perdamaian tersebut, betapapun jumlahnya signifikan. Apa sebabnya demikian? Rasio logisnya adalah kreditor yang tidak hadir dianggap telah melepaskan haknya (rechtsverwerking), karenanya akan menerima putusan apapun yang diambil serta untuk menghindari tirani minoritas dalam proses pengambilan keputusan perdamaian tersebut. Perlu kiranya dipahami bahwa dalam hubungannya dengan rapat perdamaian tersebut tidak dikenal kuorum minimal untuk sahnya suatu rapat perdamaian. Rasio dari ketentuan ini adalah untuk melindungi debitor pailit utamanya yang beritikad baik yang berkeinginan untuk menyelesaikan kepailitan melalui mekanisme perdamaian.

Apakah yang menjadi tolok ukur rencana perdamaian tersebut diterima? Rencana perdamaian diterima jika ternyata disetujui dalam rapat kreditor oleh lebih dari ½ (satu perdua) dari jumlah kreditor konkuren yang hadir dalam rapat dan haknya diakui atau yang untuk sementara diakui, yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari seluruh jumlah piutang konkuren yang diakui atau yang untuk sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut. Jika ternyata lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor yang hadir pada rapat kreditor dan mewakili paling sedikit ½ (satu perdua) dari jumlah piutang kreditor yang mempunyai hak suara menyetujui untuk menerima rencana perdamaian, maka dalam kurun waktu paling lambat 8 (delapan) hari setelah pemungutan suara pertama diadakan, diselenggarakan pemungutan suara kedua tanpa diperlukan pemanggilan. Pada penyelenggaraan pemungutan suara kedua ini, kreditor tidak lagi terikat pada suara yang dikeluarkan pemungutan suara yang pertama.

Jika ternyata hasil rapat pengambilan suara dalam perdamaian menolak rencana perdamaian yang ditawarkan oleh debitor pailit tersebut, maka bagi yang bersangkutan tidak ada celah lagi untuk mengajukan rencana perdamaian kedua; hal demikian membawa konsekwensi yuridis bahwa proses kepailitan dilanjutkan dengan memasuki tahapan insolvensi.

Sebaliknya, jika ternyata rencana perdamaian disetujui dalam rapat, maka langkah berikutnya adalah meminta pengesahan pada Pengadilan Niaga. Hal demikian disebut sebagai homologasi. Tidak selamanya rencana perdamaian yang telah disetujui tersebut disahkan oleh Pengadilan Niaga. Dalam hubungan ini berdasarkan ketentuan Pasal 159 ayat (2) UUK dan PKPU, Pengadilan Niaga akan menolak homologasi jika ternyata:

1. harta debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan suatu benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian.

2. pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin; dan/atau

3. perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau lebih kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal itu.

49

Page 60: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Apakah rasio ketentuan tersebut? Jika ternyata harta debitor lebih besar dari jumlah yang disetujui dalam perdamaian, maka akibatnya kreditor yang dirugikan. Untuk apa perdamaian tersebut diselenggarakan jika harta pailit sesungguhnya masih mampu meng-cover utang-utang debitor kepada para kreditornya, akan lebih memenuhi rasa keadilan jika dilakukan pemberesan pailit tanpa melalui perdamaian, yang jika hal terakhir ditempuh justru kreditor akan memperoleh bagian yang lebih kecil dari yang semestinya diterimanya. Begitu pun jika pelaksanaan perjanjian perdamaian tidak cukup terjamin, seyogyanya majelis hakim tidak menghomologasi perdamaiannya, sebab hal demikian sama halnya dengan putusan ompong kosong karena tidak dapat dilaksanakan. Majelis hakim sepatutnya juga tidak memberikan homologasi atas perdamaian yang dilakukan dengan cara tidak jujur karena reka daya tipu muslihat ataupun persekongkolan, sebab hal sedemikan cenderung merugikan kreditor, sebagaimana dicontohkan betapa kreditor dirugikan jika ternyata banyak kreditor fiktif yang ditampilkan pada waktu pengambilan putusan.

Bila ternyata rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor pailit tersebut dihomologasi oleh Pengadilan Niaga, maka akan menimbulkan akibat hukum sebagai berikut ini:

a. kepailitan dinyatakan berakhir;

b. perdamaian tersebut mengikat bagi seluruh kreditor konkuren, namun demikian tidak berlaku bagi kreditor separatis dan yang diistimewakan;

c. perdamaian tidak dapat diajukan untuk dua kali;

d. perdamaian merupakan alas hak bagi garantor;

e. hak-hak kreditor tetap berlaku terhadap guarantor dan rekan debitor;

f. hak-hak kreditor tetap berlaku terhadap benda-benda pihak ketiga;

g. penangguhan eksekusi jaminan utang berakhir;

h. actio pauliana berakhir; dan

i. debitor pailit dapat direhabilitasi.

F. Insolvensi

Jika setelah verifikasi dilakukan ternyata debitor pailit tidak menawarkan perdamaian, atau debitor pailit telah menawarkan perdamaian akan tetapi ternyata ditolak oleh para kreditornya, atau tawaran perdamaian yang dikemukakan oleh debitor pailit disetujui oleh para kreditornya, namun ternyata Pengadilan Niaga tidak mengesahkannya (homologasi), maka saat itu telah terjadi insolvensi.

Apakah yang dimaksudkan dengan insolvensi tersebut? Yang dimaksudkan dengan insolvensi dalam kepailitan ini adalah suatu tahap dimana akan terjadi jika ternyata tidak dapat diwujudkannya suatu perdamaian sampai dihomologasi, dan dalam tahapan ini akan dilakukan suatu pemberesan terhadap harta pailit.

Adapun konsekwensi yuridis atas insolvensi tersebut ialah terhadap harta pailit akan dilakukan pemberesan. Dalam hubungannya dengan hal ini, kurator akan mengadakan pemberesan dengan jalan menjual harta pailit di muka umum ataupun di bawah tangan serta menyusun daftar pembagian dengan izin hakim pengawas, pada sisi yang lain hakim pengawas menyelenggarakan rapat kreditor dengan agenda menentukan cara pemberesan.

Dari hasil penjualan harta pailit ditambah dengan hasil penagihan piutang, setelah dikurangi biaya kepailitan dan utang, harta pailit merupakan harta yang dapat dibagikan kepada para kreditor dengan urutan sebagai berikut:

50

Page 61: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

a. Kreditor dengan hak istimewa (preferen);

b. Sisa tagihan kreditor dengan hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, atau hipotik yang belum dilunasi dan untuk sisa tersebut para kreditor tersebut didaftar sebagai kreditor konkuren; dan

c. Kreditor konkuren.

Bagi kreditor separatis, hak atas perluasan piutangnya telah terjamin pembayarannya atas dasar hak kebendaan yang dipegangnya, seperti gadai, hak tanggungan fidusia, maupun hipotik. Jika ternyata jaminan atas hak kebendaan yang dipegangnya tidak mencukupi untuk pelunasan piutangnya, maka sisa piutang yang belum dibayarkan akan menjadi tagihan dalam kapasitanya sebagai kreditor konkuren. Sebaliknya, jika ternyata jaminan atas hak kebendaan yang dipegangnya hasil penjualan lelang terlebih untuk pelunasan piutangnya, maka kelebihannya tersebut dikembalikan sebagai harta pailit. Oleh karena mekanisme yang demikian ini, maka diatur ketentuan Pasal 56 ayat (1) UUK dan PKPU bahwa kreditor separatis dikenai masa tunggu (stay) selama 90 (Sembilan puluh) hari. Makna filosofis yang dapat ditangkap dalam masa syat ini adalah bahwa para pemegang hak jaminan dalam prakteknya senantiasa akan menjual benda jaminannya tersebut dengan harga yang sangat rendah, ia hanya mengedepankan tagihannya saja. Namun dengan adanya masa stay selama 90 (sembilan puluh) hari tersebut diharapkan memberi kesempatan pada kurator untuk memperoleh harga yang layak bahkan kemungkinan harga yang terbaik.

Sedangkan yang dimaksud dengan kreditor istimewa (kreditor preferen) adalah kreditor yang mempunyai preferensi karena perintah undang-undang. Kreditor preferen diwajibkan untuk mengajukan tagihan mereka kepada kurator untuk dicocokkan sehingga kreditor istimewa dibebani sebagian biaya kepailitan secara prorate parte.

Kreditor istimewa yang mempunyai prioritas berdasarkan perundang-undangan terdiri dari yang mempunyai prioritas khusus sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1139 KUH Perdata, sementara kreditor istimewa yang mempunyai prioritas umum diatur dalam ketentuan Pasal 1149 KUH Perdata. Perihal kreditor istimewa yang bukan berdasarkan undang-undang terdiri dari hak untuk menahan barang, penahanan atas titel (retention of title), perjumpaan utang (kompensasi, set off), hak penjual untuk menuntut kembali barangnya dan untuk mengakhiri suatu perjanjian. Sedangkan estate creditor adalah kreditor yang mempunyai piutang atas harta pailit seperti upah kurator, biaya pemberesan harta pailit, upah karyawan sejak tanggal pailit.

Setelah dilakukan pemberesan ternyata harta pailit mencukupi untuk membayar keseluruhan utang debitor pailit, maka langkah berikutnya yang ditempuh adalah rehabilitasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 215 UUK dan PKPU. Dalam fase ini, status debitor pailit dipulihkan, ia menjadi subyek hukum penuh atas harta kekayaannya. Untuk mengajukan permohonan rehabilitasi, syarat yang harus dipenuhi adalah si pailit telah membayar semua utangnya kepada para kreditor yang dibuktikan dengan surat tanda bukti pelunasan dari para kreditor bahwa utang debitor pailit telah dibayar lunas semuanya. Selain hal itu, syarat lain yang harus dipenuhi adalah permohonan rehabilitasi tersebut diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar harian yang ditunjuk oleh Pengadilan Niaga. Setelah selang 2 (dua) dua bulan kemudian dari masa pengumuman tersebut, Pengadilan Niaga harus memutus permohonan rehabilitasi tersebut. Putusan menerima atau menolak permohonan rehabilitasi dari Pengadilan Niaga tersebut bersifat final, dalam arti kata tidak ada upaya hukum apapun atas putusan Pengadilan Niaga yang menyatakan mengabulkan ataupun menolak permohonan rehabilitasi tersebut.

Sebaliknya, jika ternyata harta pailit tidak mencukupi untuk melunasi utang-utangnya kepada para kreditor, maka:

1. jika debitor pailit merupakan suatu badan hukum, maka demi hukum badan hukum tersebut menjadi bubar. Seiring dengan bubarnya badan hukum tersebut, maka utang-utang badan hukum yang belum terbayarkan menjadi utang di atas kertas

51

Page 62: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

52

saja. Berarti atas utang tersebut tidak dapat dimintakan pembayarannya, mengingat badan hukum yang mempunyai utang tersebut telah bubar;

2. badan hukum (pailit) juga tidak dapat mengajukan permohonan pencabutan kepailitan, mengingat badan hukum tersebut telah bubar;

3. jika debitor pailit tersebut adalah perseorangan, maka kepailitan akan dicabut oleh pengadilan. Setelah kepailitan dicabut, debitor pailit menjelma menjadi subyek hukum yang sempurna, tanpa status pailit. Mengenai sisa utang yang belum dibayar tetap mengikuti yang bersangkutan, yang konsekwensi hukumnya debitor dapat dimohonkan pailit lagi, mengingat menurut sistem hukum kepailitan di Indonesia ternyata tidak mengenal lembaga pengampunan utang terhadap debitor pailit.

G. Penutup

Dari sajian makalah tersebut kiranya diperoleh pemahaman yang mendasar bahwa Hakim Pengawas mempunyai peranan dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit. Hakim Pengawas mempunyai tugas dan wewenang untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh kurator.

Keberadaan Hakim Pengawas sangat penting dalam hubungannya dengan tugas dan tanggung jawab kurator yang sedemikian berat, terlebih-lebih bila debitor pailit berbentuk perseroan. Hakim pengawas berfungsi sebagai pengawas tugas-tugas kurator. Karena itulah, kurator dan hakim pengawas merupakan dua variabel penting dalam pengurusan dan pemberesan harga pailit. Kedua lembaga tersebut masing-masing berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi sulit sekali untuk memisahkannya. Yang patut dicatat disini bahwa bukanlah superordinasi bagi kurator; dan kurator bukan pula sebagai subordinasi dari hakim pengawas. Keduanya mempunyai tugas, wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam proses pengurusan dan pemberesan harta pailit.

Page 63: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Lampiran Slide Presentasi

PERAN HAKIM PENGAWAS

DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT

Oleh: AGUS SUBROTO

Perbandingan Peraturan Mengenai Kepailitan dan PKPU

(Fv, PERPU/UUK No. 4 Tahun 1998 dan UUK No. 37 Tahun 2004)

Materi yang diatur Fv. PERPU No. 1/1998 atau UUK No. 4/1998

UUK No. 37/2004

I. Kepailitan Pengertian Setiap berutang yang berada

dalam keadaan telah berhenti membayar utang-utangnya, dengan putusan hakim, baik atas pelaporan sendiri, baik atas permintaan seseorang atau lebih para berpiutangnya, dinyatakan dalam keadaan pailit (Pasal 1 ayat 1).

Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya (Pasal 1 ayat 1).

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini (Pasal 1 ayat 1)

Syarat Pengajuan Pailit a) Setiap berutang yang berada dalam keadaan telah “telah berhenti membayar utang-utangnya”

b) Atas pelaporan sendiri, baik atas permintaan seseorang atau lebih para berpiutangnya

(Pasal 1 ayat 1)

a) Debitur punya dua atau lebih kreditur

b) Tidak membayar sedikitnya satu utang jatuh waktu dan

c) Atas permohonannya sendiri atau permintaan seorang atau lebih krediturnya

(Pasal 1 ayat (1))

a. Debitur punya dua atau lebih kreditur

b. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih

c. Atas permohonannya sendiri atau ermohonan satu atau lebih krediturnya

p

(Pasal 2 ayat 1)

53

Page 64: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

…….Lanjutan Materi yang diatur Fv. PERPU No. 1/1998 atau

UUK No. 4/1998 UUK No. 37/2004

Yang dapat Mengajukan Pailit

1. Debitur sendiri 2. Seorang atau lebih

kreditur 3. Jaksa Penuntut

Umum

1. Debitur sendiri 2. Seorang atau lebih

krediturnya 3. Kejaksaan untuk

kepentingan umum 4. Bank Indonesia, dalam hal

debitor adalah bank 5. Badan Pengawas Pasar

Modal dalam hal d a Perusahaan Efek

ebitorny

(Pasal 1 ayat (1) – (4))

1. Debitur sendiri 2. Satu atau lebih krediturnya 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum 4. Bank Indonesia dalam hal debitor

adalah bank 5. Badan Pengawas Pasar Modal dalam

hal debitornya Perusahaan Efek, Lembaga Kliiring, dan Penajaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian

6. Menteri Keuangan dalam hal debitornya Perusahaan Asuransi, Reasuransi, dana Pensiun atau BUMN yang bergerak dalam bidang publik.

(Pasal 2 ayat (1) – (5))

Yang Dinyatakan Pailit a) Orang atau badan pribadi (pasal 1)

b) Debitur yang telah menikah

c) Badan-badan Hukum

d) Harta Warisan

a) Orang atau badan pribadi (pasal 1)

b) Debitur yang telah menikah (pasal 3)

c) Badan-badan Hukum (pasal 113)

d) Harta Warisan (pasal 97)

a) Orang atau badan pribadi (pasal 2) b) Debitur yang telah menikah (pasal 4) c) Badan-badan Hukum d) Harta Warisan (pasal 207-211)

…….Lanjutan Materi yang diatur Fv. PERPU No. 1/1998 atau UUK

No. 4/1998 UUK No. 37/2004

Syarat Permohonan bagi debitur menikah

Setiap perempuan bersuami, yang dengan tenaga sendiri melakukan suatu pekerjaan tetap atau suatu perusahaan, ataupun mempunyai suatu kekayaan sendiri, iapun dapat dinyatakan Pailit, oleh Pengadilan Negeri tempat ia melakukan pekerjaan atau perusahaan tersebut, atau oleh Pengadilan Negeri tempat kediamannya (Pasal 3)

a) Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitur yang menikah, permohonan hanya dapat diajukan atau persetujuan suami atas isterinya.

b) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak berlaku pabila tidak ada percampuran harta

a

(Pasal 3).

a) Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitur yang masih terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau isterinya.

b) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku abila tidak ada persatu harta

apan

(Pasal 4).

Akibat-akibat Kepailitan 1. Terhadap Debitur pailit dan hartanya (pasal 19)

2. Terhadap eksekusi atas harta kekayaan Debitur pailit (pasal 32)

3. Terhadap perjanjian timbal balik yang dilakukan sebelum kepailitan (pasal 36 berubah)

1. Terhadap Debitur Pailit dan hartanya (pasal 19)

2. Terhadap eksekusi atas harta kekayaan Debitur pailit (pasal 32)

3. Terhadap perjanjian timbal balik yang dilakukan sebelum kepailitan (pasal 36 ayat (1))

4. Terhadap Kewenangan berbuat Debitur pailit dalam bidang hk harta kekayaan (pasal 41)

5. Terhadap Barang jaminan (pasal 56, 56 A, 57, 58)

1. Terhadap Debitur Pailit dan hartanya (pasal 21-22)

2. Terhadap eksekusi atas harta kekayaan Debitur pailit (pasal 31 ayat (1))

3. Terhadap perjanjian timbal balik yang dilakukan sebelum kepailitan (pasal 36 ayat (1) – (5))

4. Terhadap Kewenangan berbuat Debitur pailit dalam bidang hk harta kekayaan (pasal 41)

54

Page 65: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

…….Lanjutan

Materi yang diatur

Fv. PERPU No. 1/1998 atau UUK No. 4/1998

UUK No. 37/2004

Akibat-akibat Kepailitan (…lanjutan)

1. Terhadap Kewenangan berbuat Debitur pailit dalam bidang hk harta (pasal 41, berubah)

2. Terhadap Barang Jaminan (pasal 36 berubah)

Terhadap Barang jaminan (pasal 55-56)

Pengurusan Harta Pailit

1. Hakim Pengawas 2. Balai Harta Peninggalan (BHP)

1. Hakim Pengawas (pasal 13) 2. Kurator (pasal 12) 3. Balai Harta Peninggalan

(BHP) (pasal 67 A)

1. Hakim Pengawas (pasal 65–68) 2. Kurator (pasal 16, 69-78) 3. Balai Harta Peninggalan (BHP)

(pasal 70 ayat (2))

Berakhirnya Pailit

a) Akur/Perdamaian (Pasal 143-167) b) Insolvensi/ Pemberesan Harta Pailit

(Pasal 168) c) Rehabilitasi (pasal 205)

a) Akur/Perdamaian (Pasal 143-167)

b) Insolvensi/Pemberesan Harta Pailit (Pasal 168)

c) Rehabilitasi (pasal 205)

a) Akur/Perdamaian (Bagian Keenam: Pasal 144-177)

b) Insolvensi/Pemberesan Harta Pailit (Bagian Ketujuh: 178-203)

c) Rehabilitasi (Bagian Kesebelas: pasal 215-221)

Pengadilan yang berwenang

Pengadilan Negeri Pengadilan Niaga (Bab III, pasal 280-289)

Pengadilan Niaga (Pasal 1 ayat (7), pasal 300-303

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Diatur dalam Bab II: Pengunduran pembayaran (pasal 212-279)

Diatur dalam Bab II, Pasal 212-279

Diatur dalam Bab III, Pasal 222-294

…….Lanjutan Materi yang diatur Fv. PERPU No. 1/1998 atau

UUK No. 4/1998 UUK No. 37/2004

Yang Berhak Minta PKPU

Debitur sendiri (pasal 212) Debitur sendiri (pasal 212) 1. Debitur sendiri 2. Krediturnya 3. Bank Indonesia dalam hal debitor

adalah bank 4. Badan Pengawas Pasar Modal dalam

hal debitornya Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliiring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian

5. Menteri Keuangan dalam hal debitornya Perusahaan Asuransi, Reasuransi, Dana Pensiun atau BUMN yang bergerak di bidang publik.

(Pasal 222-223)

Syarat untuk Bisa PKPU

Setiap berutang yang menduga, bahwa ia takkan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang dapat ditagih, diperbolehkan meminta akan pengunduran pembayaran (Pasal 212)

Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat mohon PKPU, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utangnya kepada kreditur konkuren (Pasal 212)

Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat mohon PKPU, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utangnya kepada kreditur (Pasal 222 ayat (2))

55

Page 66: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

…….Lanjutan

Materi yang diatur

Fv. UUK No. 4/1998 UUK No. 37/2004

Akibat PKPU Diatur dalam Bab II, Bagian kesatu, pasal 212-248

Diatur dalam Bab II, pasal 212-279 1. Terhadap Tindakan

Hukum Debitur(pasal 226)

2. Terhadap utang-utang Debitur (pasal 228 jo pasal 231)

3. Terhadap perjanjian timbal balik (pasal 234)

4. Terhadap perjanjian untuk menyerahkan Barang

5. Terhadap Debitur Penyewa

Diatur dalam Bab III, Bagian kesatu, pasal 222-264 1. Terhadap Tindakan Hukum

Debitur (pasal 240) 2. Terhadap utang-utang Debitur

(pasal 228 jo pasal 231) 3. Terhadap perjanjian timbal

balik (pasal 249) 4. Terhadap Perjanjian untuk

menyerahkan Barang (pasal 250)

5. Terhadap Debitur Penyewa (pasal 251)

Pengadilan Yang Berwenang

Pengadilan Negeri Pengadilan Niaga Pengadilan Niaga

…….Lanjutan Materi yang diatur UUK No. 4/1998 UUK No. 37/2004

II. PENGADILAN NIAGA

Tugas dan Wewenang

1. Memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit.

2. Penundaan kewajiban pembayaran utang.

3. Memeriksa perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dengan peraturan pemerintah.

(Pasal 280)

1. Memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit.

2. Penundaan kewajiban pembayaran utang.

3. Memeriksa perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dengan peraturan pemerintah.

(Pasal 300 ayat (1))

Pembentukan Pengadilan Niaga

1. Untuk pertama kali pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

2. Pembentukan pengadilan niaga dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan.

3. Sebelum pengadilan niaga terbentuk, semua perkara yang menjadi lingkup kewenangan pengadilan niaga diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan niaga Jakarta Pusat.

4. Pembentukan pengadilan niaga dilakukan paling lambat dalam jangka waktu 120 (seratus dua puluh) hari terhitung sejak berlakunya peraturan pemerintah pengganti undang-undang No. 1 Th 1998 (yakni tanggal 22 April 1998). (Pasal 281)

Pembentukan pengadilan niaga dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber da yang diperlukan. ya

(Pasal 300 ayat (2))

56

Page 67: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

…….Lanjutan Materi yang

diatur UUK No. 4/1998 UUK No. 37/2004

II. PENGADILAN NIAGA

Pemeriksaan Perkara oleh Hakim

1. Pengadilan niaga memeriksa dan memutuskan perkara pada tingkat pertama dan hakim majelis.

2. Dalam hal menyangkut perkara lain di bidang perkara lain di bidang perniagaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 ayat (2), ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada tingkat pertama diperiksa dan diputuskan oleh hakim tunggal.

3. Dalam menjalankan tugasnya, hakim pengadilan niaga dibantu oleh seseorang panitera atau seseorang pengganti dan juru sita. (Pasal 282)

1. Pengadilan niaga memeriksa dan memutuskan perkara pada tingkat pertama dan hakim majelis.

2. Dalam hal menyangkut perkara lain di bidang perniagaan sebagaiman dimaksud dalam pasal 280 ayat (2), ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada tingkat pertama diperiksa dan diputuskan oleh hakim tunggal.

3. Dalam menjalankan tugasnya, hakim pengadilan niaga dibantu oleh seseorang panitera atau seseorang pengganti dan juru sita. (Pasal 301)

Syarat Pengangkatan Hakim

1. Hakim pengadilan niaga diangkat berdasarkan surat keputusan ketua Mahkamah Agung.

2. Syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai hakim adalah: a) Telah berpengalaman sebagai hakim

dalam lingkungan pengadilan umum. b) Mempunyai dedikasi dan menguasai

pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan pengadilan niaga.

c) Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela.

1. Hakim pengadilan niaga diangkat berdasarkan surat keputusan ketua Mahkamah Agung.

2. Syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai hakim adalah: a) Telah berpengalaman sebagai hakim

dalam lingkungan pengadilan umum. b) Mempunyai dedikasi dan menguasai

pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan pengadilan niaga.

c) Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela.

…….Lanjutan Materi yang

diatur UUK No. 4/1998 UUK No. 37/2004

II. PENGADILAN NIAGA

Syarat Pengangkatan Hakim (…lanjutan)

Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus hakim pada pengadilan niaga. (Pasal 283)

Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus hakim pada pengadilan niaga. (Pasal 283)

Upaya Hukum Kasasi (Pasal 8-10, 284 (2)-285) Terhadap putusan pengadilan niaga di tingkat pertama yang menyangkut permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung

Pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan oleh sebuah majelis hakim pada Mahkamah Agung yang khusus dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi lingkup kewenangan pengadilan niaga

Peninjauan Kembali (PK) (Pasal 286-289) Terhadap putusan pengadilan niaga

yang telah memperoleh kekuasaan hukum yang tetap, dapat diajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

Kasasi (Pasal 11-14, 256, 293) Terhadap putusan pengadilan niaga di

tingkat pertama yang menyangkut permohonan pernyataan pTailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung

Pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan oleh sebuah majelis hakim pada Mahkamah Agung yang khusus dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi lingkup kewenangan pengadilan niaga

Peninjauan Kembali (PK) (Pasal 286-289) Terhadap putusan pengadilan niaga

yang telah memperoleh kekuasaan hukum yang tetap, dapat diajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

57

Page 68: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

…….Lanjutan Materi yang

diatur UUK No. 4/1998 UUK No. 37/2004

II. PENGADILAN NIAGA

Permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan apabila:a) Terdapat bukti tertulis baru yang

penting, yang apabila diketahui pada tahap persidangan, sebelumnya akan menghasilkan putusan yang berbeda, atau

b) Pengadilan niaga yang bersangkutan telah melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum.

Permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan apabila: a) Setelah perkara diputus ditemukan

bukti baru yang bersifat menentukan pada waktu perkara diperiksa di pengadilan sudah ada tetapi belum ditemukan, atau

b) Pengadilan niaga yang bersangkutan telah melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum.

KEPAILITAN

• Adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang- undang ini (Bab I, Pasal 1, angka 1 UU No. 37 tahun 2004)

58

Page 69: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Putusan Pailit

• Pernyataan termohon pailit dengan segala akibat hukumnya

• Pengangkatan Hakim Pengawas • Penunjukan Kurator • Biaya perkara

Faktor perlunya Kepailitan:

• Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor;

• Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya;

• Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri.

59

Page 70: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Empat Asas Hukum Kepailitan

1. Asas Keseimbangan Terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur; dan pula terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik

2. Asas Kelangsungan Usaha Memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan;

3. Asas Keadilan Mencegah terjadinya kewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitor, dengan tidak memperdulikan kreditor lainnya.

4. Asas Integrasi Sistem hukum formil dan materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

Pengurusan Harta Pailit Menurut UU No. 37 Tahun 2004

• Bab II tentang Kepailitan, Bagian Ketiga Pengurusan Harta Pailit terdiri atas: 1. Paragraf 1 tentang Hakim Pengawas (Pasal 65-Pasal 68); 2. Paragraf 2 tentang Kurator (Pasal 69-Pasal 78); 3. Paragraf 3 tentang Panitia Kreditor (Pasal 79-Pasal 84); 4. Paragraf 4 tentang Rapat Kreditor (Pasal 85-Pasal 90); 5. Paragraf 5 tentang Penetapan Hakim (Pasal 91-Pasal 92)

60

Page 71: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Tugas dan Kewenangan Hakim Pengawas (Pasal 65-68)

1. Memimpin Rapat Verifikasi; 2. Mengawasi tindakan dari kurator dalam

melaksanakan tugasnya, memberikan nasihat dan peringatan kepada kurator atas pelaksanaan tugas tersebut;

3. Menyetujui atau menolak daftar- daftar tagihan yang diajukan oleh para kreditor;

Tugas dan Kewenangan Hakim Pengawas (Pasal 65-68)…(lanjutan)

4. Meneruskan tagihan-tagihan yang tidak dapat diselesaikannya dalam rapat verifikasi kepada Hakim Pengadilan Niaga yang memutus perkara tersebut;

5. Mendengar keterangan saksi-saksi dan para ahli atas segala hal yang berkaitan dengan kepailitan (misalnya: tentang keadaan budel pailit, perilaku pailit)

6. Memberikan ijin atau menolak permohonan si pailit untuk bepergian (meninggalkan tempat kediamannya).

61

Page 72: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Hambatan

Debitur tidak kooperatif; Harta Kekayaan debitor tidak ada

atau tidak mencukupi

Jalan Keluar

• Penerapan paksa badan (Gijzeling ) Diatur Pasal 93-96 UUK Teknis diatur PERMA No. 1 Tahun 2000 Pasal 209-224 HIR (dibekukan SEMA

No. 2/1964 dan No. 4/1975)

62

Page 73: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Disharmonis ketentuan Gijzeling dalam UUK, PERMA dan HIR

1. Pasal 4 Perma No. 1/2000 mengatur paksa badan dapat diterapkan untuk debitor yang beritikad tidak baik yang mempunyai utang sekurangnya Rp.1.000.000.000,00 (Satu Milyar Rupiah). Dalam UUK maupun HIR tidak mengatur hal tersebut

Disharmonis ketentuan Gijzeling dalam UUK, PERMA dan HIR …(lanjutan)

2. Jangka waktu pelaksanaan paksa badan • Dalam UUK penahanan paling lama 30 (tiga puluh) hari

terhitung sejak penahanan dilakukan dan dapat diperpanjang 30 (tiga puluh) hari.

• Dalam Perma No.1/2000 diatur, paksa badan ditetapkan 6 (enam) bulan, dapat diperpanjang setiap 6 (enam) bulang dengan keseluruhan maksimum 3 (tiga) tahun.

63

Page 74: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Disharmonis ketentuan Gijzeling dalam UUK, PERMA dan HIR …(lanjutan)

3. Usia Debitor • UUK dan HIR tidak mengatur • Perma No.1/2000 menentukan paksa

badan tidak dapat dikenakan terhadap debitor yang beritikad tidak baik yang telah berusia 75 (tujuh puluh lima) tahun.

Disharmonis ketentuan Gijzeling dalam UUK, PERMA dan HIR …(lanjutan)

4. Ruang lingkup debitor tidak beritikad baik • UU

Debitor pailit dengan sengaja dan tanpa alasan hukum yang sah tidak memenuhi kewajiban hukum seperti yang diatur Pasal 98, 110, 121 ayat (1) dan (2)

• Perma No. 1/2000 Debitor beritikad tidak baik, ia mampu tapi mau memenuhi kewajiban membayar utang-utangnya

64

Page 75: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Disharmonis ketentuan Gijzeling dalam UUK, PERMA dan HIR …(lanjutan)

5. Tujuan Gijzeling • UUK

Semata-mata untuk menekan debitor pailit agar kooperatif dalam proses kepailitan

• HIR Menekan debitor supaya ia membayar utangnya, betapapun debitor sudah tidak memiliki harta, dengan harapan kerabatnya membantu

• Perma No.1/2000 Ditujukan kepada debitor atau juga penjamin utang yang mampu tetapi tidak mau membayar utangnya.

ACTIO PAULIANA

1. Actio pauliana umum diatur dalam Pasal 1341 KUHPerd.

2. Actio pauliana (Waris) diatur dalam Pasal 1061 KUHPerd.

3. Actio pauliana dalam kepailitan diatur dalam Pasal 41-47 UUK

4.

65

Page 76: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Actio pauliana dalam kepailitan diajukan oleh Kurator atas persetujuan Hakim Pengawas Actio pauliana dalam kepailitan harus memenuhi kriteria :

1. Perbuatan hukum yang digugat merupakan perbuatan yang merugikan kreditor yang dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pailit.

2. Perbuatan hukum yang digugat actio pauliana tersebut merupakan perbuatan yang merugikan kreditor yang tidak wajib dilakukan oleh debitor pailit.

3. Perbuatan hukum yang digugat actio pauliana dalam kepailitan merupakan perbuatan yang merugikan kreditor yang merupakan perjanjian dimana kewajiban debitor jauh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perjanjian tersebut dibuat

5.

Actio pauliana dalam kepailitan harus memenuhi kriteria:…(lanjutan)

4. Perbuatan hukum yang digugat actio pauliana dalam kepailitan merupakan perbuatan yang merugikan kreditor yang merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dan/atau belum atau tidak dapat ditagih.

5. Perbuatan hukum yang digugat actio pauliana dalam kepailitan merupakan perbuatan yang merugikan kreditor yang dilakukan terhadap pihak terafiliasi sebagaimana ditentukan Pasal 42 UUK.

66

Page 77: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

67

TERIMA KASIH

Page 78: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VI Agus Subroto, S.H., M.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

DAFTAR PUSTAKA

- Asser-Rutten, Verbintenissenrecht I, Zesde druk, 1981.

- Hartini, Rahayu, Hukum Kepailitan, edisi revisi, UMM Press, Malang, 2007.

- Hartono, Siti Soemarti, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1993.

- Hartono, Sri Redjeki, Civil Laws as Foundation For Modern Laws on Bankruptcy, Paper, Jakarta 1999.

- Hoff, Jerry, Indonesian Bankruptcy Law, Tatanusa, Jakarta 1999.

- Hornby, As. Oxford Advanced Learn’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, 1987.

- John Ayto, Dictionary of Word Origin, Bloomsbury Publishing Plc. London, 1990.

- Juwana, Hikmahanto, Relevansi Hukum Kepailitan dalam Transaksi Bisnis Internasional, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 17, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2002.

- Lontoh, Rudhy A: A. Kailimang, Denny Pontoh, Benny (Ed.), Penyelesaian Utang-Piutang: Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001.

- Muljadi, Kartini, Kepailitan dan Penyelesaian Utang-Piutang, dalam Rudhy A. Lontoh, Penyelesaian Utang-Piutang: Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001.

- Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, Raja Grafindo, Jakarta, 2003.

- Nusantara, Abdul Hakim Garuda & Harman Benny K, Analisa Kritis Putusan-Putusan Pengadilan Niaga, CINCELS, Jakarta, 2000.

- Pahpahan, Normin S., Hukum Perusahaan Indonesia, Tinjauan Terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas, ELIPS, Jakarta, Juni 1995.

- Purba, A. Zein Umar: Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas, ELIPS (Proyek Pengembangan Hukum Ekonomi dan Penyempurnaan Sistem Pengadaan), Jakarta, Juni 1995.

- Remy Sjahdeni, Sutan, Hukum Kepailitan, Pustakan Utama, Grafiti, Jakarta, 2002.

- Republik Indonesia, Faillisemenstsverordening dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan (Lembaran Negara Republik Indonesia 1998 Nomor 135).

- Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Lembaran Negara Republik Indonesia 2004 Nomor 87).

- Sutadi, Marianna, Hukum Acara pada Pengadilan Niaga, dalam Litbang Mahkamah Agung RI, Makalah para Pakar yang Berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan, Mahkamah Agung RI, Jakarta 1999.

- Suyudi, Aria, et.al., Kepailitan di Negeri Pailit: Analisis Hukum Kepailitan Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2004.

- Suyuthi, Wildan (ed), Perkara Kepailitan dalam Putusan Kasasi dan Peninjauan Kembali, Puslitbang Mahakamah Agung, Jakarta, 2000.

- Simanjuntak, Ricardo, Kemandirian Tugas Kurator dalam Melakukan Pengurusan dan Pemberesan dalam Kepailitan, dalam Emmy Yuhassarie, et.al., Revitalisasi Tugas dan Wewenang Kurator/Pengurus, Hakim Pengawas dan Hakim/Niaga dalam rangka Kepailitan, Pusat Pengkajian Hukum (PPH), Jakarta, 2004.

- Tim Pengarah Pengadilan Niaga, Cetak Biru dan Rencana Aksi Pengadilan Niaga, Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Jakarta, 2004.

- Tumbuan, Fred B.G., Pokok-pokok Undang-undang Kepailitan Sebagaimana diubah oleh Perpu No. 1 Tahun 1998., Dalam: Rudhy A. Lontoh, Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001.

- Wignjosumarto, Parwoto, Tugas dan Wewenang Hakim Pemeriksa/Pemutus/Perkara, Hakim Pengawas dan Kurator/Pengurus, PT. Tatanusa, Jakarta, 2000.

68

Page 79: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VII AKBP. CH. Patoppol, SSTMK, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Materi VII Permasalahan terhadap Kendala Efektifitas Undang-Undang Kepailitan dan

Pemecahannya dari Sudut Pandang Penyidik

Oleh AKBP. CH. Patoppol, SSTMK, S.H.1

Secara umum pailit berarti suatu keadaan dimana pihak yang dinyatakan pailit tidak memiliki kekuasaan lagi untuk mengelola kekayaannya yang telah dinyatakan pailit. Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitor yang berada dalam keadaan kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan. Dengan demikian, kepailitan bertujuan untuk menjamin pembagian yang adil terhadap harta kekayaan debitur diantara para krediturnya dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing.

Lebih lanjut, beberapa pertimbangan diundangkannya UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK dan PKPU”) adalah sebagai berikut:

1. Bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD1945 harus mendukung dan menjamin kepastian, ketertiban, penegakkan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran.

2. Bahwa dengan makin pesatnya perkembangan perekonomian dan perdagangan, makin banyak permasalahan utang piutang yang timbul di masyarakat.

3. Bahwa krisis moneter yang terjadi di Indonesia telah memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian nasional sehingga menimbulkan kesulitan besar terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang piutang untuk meneruskan kegiatannya.

4. Bahwa sebagai salah satu sarana hukum untuk penyelesaian, utang piutang dan undang undang yang lama belum juga memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat.

UUK dan PKPU merupakan UU perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (“UUK”) yang disahkan oleh DPR RI pada tanggal 22 September 2004 dan telah diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2004. Lahirnya UU Kepailitan di Indonesia secara prinsip didasari terjadinya krisis moneter yang terjadi dimana hal ini memberikan dampak bagi pelaku usaha dengan banyaknya pelaku usaha mengalami kesulitan keuangan yang pada akhirnya tidak mampu membayar utang-utangnya. Dengan adanya UU Kepailitan diharapkan akan memberikan kepastian dan penjaminan atas pembagian harta kekayaan debitur kepada para krediturnya dengan cara adil.

A. Pengertian

Pengertian Kepailitan menurut Pasal 1 angka 1 Ketentuan Umum UUK dan PKPU adalah sebagai berikut:

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”

Dari definisi kepailitan yang dirumuskan dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 UUK dan PKPU tersebut dan menghubungkannya dengan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, maka dapat disimpulkan adanya beberapa pihak yang terkait dalam kepailitan, yaitu debitor, debitor pailit, kreditor, kurator, hakim pengawas dan pengadilan.

1 Pemakalah adalah Ajun Komisaris Besar POLRI dengan jabatan sebagai Penyidik Madya Unit Perbankan DIT II Eksus Bareskrim POLRI.

69

Page 80: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VII AKBP. CH. Patoppol, SSTMK, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

• Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.

• Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-Undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.

• Debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan.

• Kurator adalah balai harta peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit dibawah pengawasan hakim pengawas.

• Hakim pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.

• Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum.

B. Hukum Acara UU Kepailitan

Hukum acara yang berlaku dalam mengadili perkara kepailitan dan PKPU adalah Hukum Acara Perdata sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 299 UUK dan PKPU. Selain itu, badan peradilan yang berwenang memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan PKPU adalah pengadilan niaga.

Dengan demikian, hukum acara kepailitan yang dipergunakan pada pengadilan niaga dalam pemeriksaan perkara permohonan pernyataan pailit adalah sesuai dengan asas lex specialis derogat lex generalis. Selain ketentuan khusus tentang hukum acara sebagaimana diatur dalam UU Kepailitan, ketentuan hukum acara perdata yang bersifat umum tetap berlaku dalam pemeriksaan sengketa perdata umum pada pengadilan negeri.

UUK dan PKPU mengatur tentang pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit selain kreditor dan debitor, yaitu Kejaksaan RI dalam hal untuk kepentingan umum; Bank Indonesia dalam hal debitor adalah bank; Badan Pengawas Pasar Modal & Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dalam hal debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan Menteri Keuangan dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. Dengan demikian, baik dalam UUK maupun UUK dan PKPU tidak mengatur secara khusus peranan POLRI dalam kepailitan, akan tetapi bukan berarti POLRI tidak memiliki peranan dalam kepailitan.

Selain bertugas melakukan pengamanan atas timbulnya berbagai gangguan keamanan akibat diputuskan pernyataan pailit, apabila terjadi tindak pidana terkait dengan kepailitan sebagaimana diluar dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), POLRI memiliki peranan dalam kepailitan diantaranya melakukan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan terjadinya tindak pidana tersebut.

C. Tugas POLRI yang Berkaitan dengan Kepailitan

Seperti telah dibahas, meskipun ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepailitan tidak menyebutkan dengan jelas peranan POLRI dalam kepailitan, akan tetapi bukan berarti POLRI tidak memiliki peranan sama sekali. Secara rinci, peranan POLRI berkaitan dengan Kepailitan adalah sebagai berikut:

• Melakukan pengamanan berkaitan dengan kemungkinan/potensi munculnya gangguan Kantibmas2 pada saat pelaksanaan sidang kepailitan sampai dengan pasca putusan pailit.

2 Kantibmas adalah Keamanan dan Ketertiban Masyarakat.

70

Page 81: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VII AKBP. CH. Patoppol, SSTMK, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

• Melakukan pengamanan terhadap harta debitor pailit sampai dengan pelaksanaan lelang, atas permintaan kurator.

• Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana yang terjadi akibat dampak putusan pailit (pihak yang ditimbulkan unjuk rasa anarkis, pembakaran, pengrusakan, dan sebagainya).

• Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana yang diatur dalam KUHP yang berkaitan dengan kepailitan.

D. Pasal KUHP yang terkait dengan Kepailitan

Terdapat beberapa ketentuan pidana yang terkait dengan kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal 226, Pasal 231, Pasal 396 s/d Pasal 402 KUHP, dimana penyelidik dan penyidik POLRI memiliki peranan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan atas tindak pidana tersebut. Semua unsur pasal tersebut diatas dapat dipersangkakan apabila sudah ada putusan pailit. Beberapa tindak pidana terkait dengan Kepailitan tersebut meliputi sebagai berikut:

1. Debitor pailit dengan sengaja tidak hadir dengan alasan yang sah atau tidak mau memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang salah, sebagaimana diatur dalam Pasal 226 KUHP. Apabila pasal ini terpenuhi, maka penyidik POLRI dapat dimintakan bantuannya untuk menghadirkan debitor secara paksa di muka pengadilan atau melakukan penyidikan terhadap debitor atas tindak pidana memberikan keterangan yang salah dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.

2. Dengan sengaja menarik, menyembunyikan, membinasakan, menghancurkan, merusak, membuat tidak dapat dipakai barang yang telah disita menurut perundang-undangan (Pasal 231 KUHP). POLRI berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan atas tindak pidana tersebut dimana ancamannya adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Apabila tindak pidana tersebut dilakukan karena kealpaan penyimpan barang, maka ancamannya adalah pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda.

3. Perbuatan-perbuatan yang merugikan kreditor atau orang yang berhak sebagaimana diatur dalam Pasal 396 s/d Pasal 402 KUHP yaitu:

a. bila debitor dalam pailit memiliki pengeluaran melewati batas, meminjam uang dengan syarat-syarat yang memberatkan dengan maksud untuk menangguhkan kepailitan sedang si debitor mengetahui bahwa pinjaman tersebut tidak dapat mencegah kepailitan;

b. untuk mengurangi hak kreditor secara curang, debitor dalam pailit membuat pengeluaran fiktif atau tidak membukukan pendapatan atau menarik barang dari boedel, dan dengan suatu cara menguntungkan salah satu kreditor;

c. pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai Indonesia atau koperasi dalam pailit turut membantu untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar yang menyebabkan kerugian besar; dengan maksud menangguhkan kepailitan atau penyelesaian pembayaran, turut membantu atau mengizinkan melakukan perjanjian utang dengan syarat-syarat yang memberatkan;

d. pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai Indonesia atau koperasi dalam pailit mengurangi secara curang hak-hak kreditor untuk membuat pengeluaran fiktif atau tidak membukukan pendapatan; telah melakukan pemindahtanganan barang secara cuma-cuma atau dibawah harga atau dengan suatu cara menguntungkan salah seorang kreditor pada waktu kepailitan atau penyelesaian;

71

Page 82: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VII AKBP. CH. Patoppol, SSTMK, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

e. setiap orang melakukan penipuan untuk mengurangi hak-hak kreditor dalam hal pelepasan boedel pailit, kepailitan atau penyelesaian; atau menarik barang dari boedel pailit atau menerima pembayaran baik dari piutang yang belum dapat ditagih maupun yang sudah dapat ditagih;

f. kreditor menyetujui tawaran persetujuan di muka pengadilan karena telah ada persetujuan dengan kreditor atau pihak ketiga dengan ketuntungan istimewa bagi kreditor;

g. setiap orang melakukan kecurangan mengurangi hak-hak kreditor dengan membuat pengakuan atas pengeluaran fiktif atau menyembunyikan pendapatan atau menarik barang dari boedel pailit atau telah memindahtangankan barang secara cuma-cuma atau jelas dibawah harga;

Adapun isi dari pasal-pasal KUHP tentang tindak pidana terkait dengan Kepailitan adalah sebagai berikut:

• Pasal 226 KUHP Barangsiapa dinyatakan pailit atau dalam keadaan tidak mampu membayar utangnya atau sebagai suami/istri orang yang pailit dalam perkawinan dengan persatuan harta kekayaaan atau sebagai pengurus atau komisaris suatu perseroan, perkumpulan atau yayasan yang dinyatakan pailit, dan dipanggil menurut ketentuan undang-undang tidak memberi keterangan, dengan sengaja tidak hadir tanpa alasan yang sah, atau enggan memberi keterangan yang diminta ataupun dengan sengaja memberi keterangan yang salah, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.

• Pasal 231 KUHP 1) Barangsiapa dengan sengaja menarik suatu barang yang disita berdasarkan ketentuan

undang-undang atau dititipkan atas perintah hakim, atau menyembunyikan barang itu, padahal ia tahu bahwa barang itu ditarik dari sitaan atau simpanan itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

2) Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja menghancurkan, merusak atau membuat tak dapat dipakai barang yang disita berdasarkan ketentuan undang-undang.

3) Penyimpan barang yang dengan sengaja melakukan atau membiarkan dilakukan salah satu kejahatan itu, atau membantu pelaku dalam perbuatan itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

4) Bila salah satu perbuatan dilakukan karena kealpaan penyimpan barang, maka ia diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah.

• Pasal 396 s/d 402 KUHP

Pasal 396 Seorang pengusaha yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diizinkan melepaskan budel oleh pengadilan, diancam karena merugikan pemiutang dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan:

1. bila pengeluarannya melewati batas;

2. bila yang bersangkutan dengan maksud untuk menangguhkan kepailitannya telah meminjam uang dengan syarat-syarat yang memberatkan, padahal dia tahu bahwa pinjaman itu tidak dapat mencegah kepailitan;

3. bila dia tidak dapat memperlihatkan dalam keadaan tidak dapat diubah buku-buku dan surat-surat untuk catatan menurut Pasal 6 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan tulisan-tulisan yang harus disimpannya menurut pasal itu.

72

Page 83: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VII AKBP. CH. Patoppol, SSTMK, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Pasal 397 Seorang pengusaha yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau diizinkan melepaskan budel oleh pengadilan, diancam karena merugikan pemiutang secara curang bila yang bersangkutan untuk mengurangi hak pemiutang dengan cara curang:

1. membuat pengeluaran yang tidak ada, atau tidak membukukan pendapatan, atau menarik barang sesuatu dari budel;

2. telah memindahtangankan barang sesuatu dengan cara cuma-cuma atau jelas di bawah harganya;

3. dengan suatu cara menguntungkan salah seorang pemiutang pada waktu ia pailit atau pada saat dia tahu bahwa kepailitan tak dapat dicegah lagi;

4. tidak memenuhi kewajibannya untuk membuat catatan menurut pasal 6 alinea pertama Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau untuk menyimpan dan memperlihatkan buku-buku, surat-surat, dan tulisan-tulisan seperti tersebut dalam alinea ketiga pasal tersebut.

Pasal 398 Seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan koperasi yang dinyatakan pailit atau yang penyelesaiannya oleh pengadilan telah diperintahkan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan:

1. bila yang bersangkutan turut membantu atau mengizinkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar, yang menyebabkan seluruh atau sebagaian besar dari kerugian yang diderita oleh perseroan, maskapai atau perkumpulan;

2. bila yang bersangkutan dengan maksud untuk menangguhkan kepailitan atau penyelesaian perseroan, maskapai atau perkumpulan, turut membantu atau mengizinkan peminjaman uang dengan syarat-syarat yang memberatkan, padahal dia tahu bahwa kepailitan atau penyelesaiannya tidak dapat dicegah lagi;

3. bila yang bersangkutan dapat dipersalahkan tidak memenuhi kewajiban seperti tersebut dalam Pasal 6 alinea pertama Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Pasal 27 ayat (1) Ordonansi tentang Maskapai Andil Indonesia, atau bahwa buku-buku dan surat-surat yang memuat catatan-catatan dan tulisan-tulisan yang disimpan menurut pasal tadi, tidak dapat diperlihatkan dalam keadaan tak diubah.”

Pasal 399 Seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan koperasi yang dinyatakan pailit atau yang penyelesaiannya oleh pengadilan telah diperintahkan, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, bila yang bersangkutan mengurangi secara curang hak-hak pemiutang pada perseroan, maskapai atau perkumpulan untuk:

1. membuat pengeluaran yang tidak ada, atau tidak membukukan pendapatan atau menarik barang sesuatu dari budel;

2. telah memindahtangankan barang sesuatu dengan cuma-cuma atau jelas di bawah harganya;

3. dengan suatu cara menguntungkan salah seorang pemiutang pada waktu kepailitan atau penyelesaian, ataupun pada saat dia tahu bahwa kepailitan atau penyelesaian tadi tak dapat ditagih lagi;

4. tidak memenuhi kewajibannya untuk membuat catatan menurut Pasal 6 alinea pertama Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Pasal 27 ayat (1) Ordonansi tentang Maskapai Andil Indonesia, dan tentang menyimpan dan memperlihatkan buku-buku, surat-surat dan tulisan-tulisan menurut pasal-pasal itu.”

73

Page 84: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VII AKBP. CH. Patoppol, SSTMK, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Pasal 400 Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan, barang siapa yang untuk mengurangi dengan penipuan hak-hak pemiutang:

1. dalam hal pelepasan budel, kepailitan atau penyelesaian, atau pada waktu diketahui akan terjadi salah satu diantaranya dan kemudian benar-benar terjadi pelepasan budel, kepailitan atau penyelesaian, menarik barang sesuatu dari budel atau menerima pembayaran, baik dari piutang yang belum dapat ditagih maupun pitang yang sudah dapat ditagih, dalam hal terakhir dengan diketahuinya bahwa kepailitan atau penyelesaian pengutang sudah dimohonkan, atau akibat rundingan dengan pengutang;

2. pada waktu verifikasi piutang-piutang dalam hal pelepasan budel, kepailitan atau penyelesaian, mengaku adanya piutang yang tidak ada, atau memperbesar jumlah piutang yang ada.

Pasal 401 1) Seorang pemiutang yang menyetujui tawaran persetujuan di muka pengadilan karena

telah ada persetujuan dengan pengutang maupun pihak ketiga dimana si pengutang meminta keuntungan istimewa, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, bila persetujuan itu diterima.

2) Dalam hal demikian itu pengutang juga diancam dengan pidana sama, atau bila pengutang adalah perseroan, maskapai, perkumpulan atau yayasan, yang diancam adalah pengurus atau komisaris yang mengadakan persetujuan.

Pasal 402 Barangsiapa dinyatakan dalam keadaan jelas tidak mampu atau bila bukan pengusaha, dinyatakan pailit atau dibolehkan melepaskan budel, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan, bila yang bersangkutan secara curang mengurangi hak-hak pemiutang dengan mengaku adanya pengeluaran yang tidak ada, atau menyembunyikan pendapatan, atau menarik barang sesuatu dari budel, ataupun telah memindahtangankan barang sesuatu dengan cuma-cuma atau jelas dibawah harganya, atau pada waktu ketidakmampuannya, pelepasan budelnya atau kepailitannya, atau pada saat dia tahu bahwa salah satu dari keadaan tadi tak dapat dicegah, menguntungkan salah seorang pemiutang dengan suatu cara.

E. Permasalahan dalam Penyidikan Tindak Pidana yang Berkaitan dengan Kepailitan

Dari kondisi yang terjadi sehubungan dengan peranan POLRI dalam kaitannya dengan Kepailitan, diakui terdapatnya beberapa permasalahan yang dihadapi penyidik POLRI dalam melakukan penyidikan tindak pidana yang berkaitan dengan kepailitan, yaitu sebagai berikut:

• Kurangnya informasi bagi penyidik tentang terjadinya tindak pidana yang berkaitan dengan kepailitan. Hal ini dikarenakan tidak ada laporan dari pejabat pengadilan tentang terjadinya tindak pidana yang terjadi terkait dengan kepailitan. Penyelidik maupun penyidik POLRI dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan adanya laporan tentang terjadinya suatu tindak pidana.

• Apabila tindak pidana terjadi masih dalam lingkup wewenang pengadilan, penyidik mengalami kesulitan dalam melakukan pengumpulan alat bukti dan keterangan (pemeriksaan saksi dan penyitaan barang bukti) dikarenakan keterbatasan peraturan yang berlaku. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pejabat Pengadilan yang Melaksanakan Tugas Yustisial, diatur bahwa penyidik tidak dapat memeriksa pejabat pengadilan yang melakukan tugas justisia sabagai saksi atau tersangka, kecuali ditentukan oleh Undang-undang.

F. Kesimpulan dan Saran Pemecahan

Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa POLRI memiliki peranan dalam kepailitan terutama apabila terdapat persangkaan terjadinya tindak pidana yang berkaitan

74

Page 85: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VII AKBP. CH. Patoppol, SSTMK, S.H.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

75

dengan kepailitan sebagaimana diatur dalam KUHP dan UUK & PKPU termasuk melakukan pengamaman apabila terjadi kemungkinan/potensi munculnya gangguan Kantibmas pada saat pelaksanaan sidang kepailitan sampai dengan pasca putusan pailit; pengamanan terhadap harta debitor pailit sampai dengan pelaksanaan lelang, atas permintaan kurator dan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana yang terjadi akibat dampak putusan pailit (pihak yang ditimbulkan unjuk rasa anarkis, pembakaran, pengrusakan, dan sebagainya).

Dalam praktek, terdapat beberapa permasalahan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana yang terjadi terkait dengan kepailitan yaitu kurangnya laporan tentang dugaan tindak pidana yang terkait dengan kepailitan yang dilaporkan kepada Penyidik POLRI dan adanya pembatasan untuk dapat memeriksa pejabat pengadilan yang melakukan tugas justisia sabagai saksi atau tersangka. Melihat permasalahan yang terjadi tersebut, berikut saran pemecahan yang direkomendasikan adalah sebagai berikut:

• Pejabat pengadilan yang menangani kepailitan melaporkan indikasi terjadinya tindak pidana kepailitan kepada POLRI

• Perlunya koordinasi untuk memudahkan penyidik dalam proses pengumpulan alat bukti dan keterangan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan kepailitan.

Page 86: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VIII Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Materi VIII Pilihan dalam Hukum Kepailitan: Sudut Pandang Internasional dan

Penerapannya

Oleh Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

A. Pendahuluan

Salah satu hal yang membuat kebijakan mengenai kepailitan sangat sulit, dan untuk sebagian orang, sangat menarik, adalah putusan-putusan yang benar-benar penting. Ketika aset debitor tidak cukup untuk membayar seluruh kreditornya, suatu putusan untuk membayar Kreditor A mungkin membawa dampak yang besar bagi Kreditor C, D dan E. Ketika suatu perusahaan dalam pailit mengajukan rencana perdamaian, putusan oleh kreditor-kreditor untuk mendukung atau menolak rencana tersebut dapat membuat suatu perbedaan yang berarti antara penutupan perusahaan atau perbaikan perusahaan.

Pentingnya suatu pilihan, bagaimanapun juga, muncul jauh sebelumnya. Seperti halnya hakim-hakim dan para kreditor dalam suatu perkara kepailitan, pembuat keputusan mendapat tantangan ketika memutuskan tipe hukum kepailitan mana yang harus digunakan. Hukum yang terlalu kaku dapat membatasi hakim dalam membuat keputusan yang tepat dalam suatu perkara yang sulit atau unik. Hukum yang terlalu luas dan terbuka dapat memungkinkan hakim menyalahgunakan kekuasaan untuk melakukan diskresi yang diberikan kepadanya.

Dapat dikatakan bahwa dekade pertama hukum kepailitan Indonesia lebih ditandai dengan terlalu sedikitnya pilihan dibandingkan dengan banyaknya pilihan. Sepuluh tahun yang lalu, Indonesia menghadapi Krisis Asia dengan hukum kepailitan Belanda tahun 1906 yang telah diadopsi. Perubahan yang memodifikasi undang-undang insolvensi Belanda dikeluarkan melalui peraturan darurat dalam masa krisis ekonomi. Perubahan kedua terjadi pada tahun 2004, walaupun dengan bentuk hukum yang baru, terlihat bahwa ternyata hanya merupakan sedikit penyesuaian terhadap peraturan yang dikeluarkan pada tahun 1998. Sebagai hasilnya, negara terbesar di Asia ini masih terpaku pada peraturan kepailitan yang asal-mulanya dibuat di Belanda untuk orang Belanda lebih dari seratus tahun yang lalu.

Tapi mungkin ini merupakan hal yang baik. Kepailitan, pada dasarnya, adalah hukum acara. Masalah dapat terjadi ketika hukum kepailitan bergerak terlalu jauh dari prosedur atau acara yang biasanya digunakan oleh pengadilan. Karena hukum acara yang digunakan oleh Indonesia berasal dari hukum Belanda, mungkin akan lebih masuk akal jika perubahan undang-undang kepailitan secara keseluruhan hanya dilakukan setelah ada perubahan-perubahan atas hukum acara. Dengan kata lain, seperti dalam perkara kepailitan itu sendiri, tidak ada solusi yang mudah ketika merumuskan kebijakan dalam kepailitan.

Dari penjelasan tersebut diatas, makalah ini akan memfokuskan lebih kepada pengidentifikasian permasalahan dan penyajian pilihan-pilihan, daripada memberikan rekomendasi-rekomendasi yang spesifik. Bagian Pertama akan fokus kepada pilihan-pilihan sehubungan dengan implementasi dari undang-undang yang telah ada. Bagian Kedua akan fokus kepada pilihan-pilihan sehubungan dengan perubahan atau penggantian undang-undang kepailitan. Bagian Ketiga akan menjelaskan pilihan-pilihan yang berkaitan kepada peraturan-peraturan diluar kerangka kepailitan yang mempengaruhi bagaimana kepailitan diimplementasikan.

B. Bagian Pertama: Pilihan-pilihan Sehubungan Dengan Implementasi

Pijakan asumsi dalam pilihan-pilihan pada Bagian Pertama ini adalah bahwa undang-undang tetap sama, dan pilihan kebijakan apapun harus sesuai dengan ketentuan yang ada dibawah UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (untuk selanjutnya disebut “UU No. 37 atau UU Kepailitan”). Untungnya, adanya perubahan teknologi, 10 tahun pengalaman, dan ketentuan-ketentuan dalam UU No. 37 itu

76

Page 87: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VIII Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

sendiri menyediakan banyak kesempatan untuk memperbaiki sistem kepailitan tanpa harus mendapatkan persetujuan DPR.

1. Haruskah AKPI dan IKAPI Mencalonkan Kurator atau Pengurus Untuk Setiap Perkara?

Sejak kurator privat diperkenalkan sepuluh tahun yang lalu, praktek umum dari pengadilan adalah menunjuk kurator yang namanya tercantum dalam surat permohonan kepailitan oleh pihak yang sukses mengawali proses kepailitan. Dalam kasus-kasus Penundaan Kewajiban Penyelesaian Utang (selanjutnya disebut PKPU), Pengurus juga ditunjuk dengan cara yang mirip.

Praktek ini tidak diatur secara kaku oleh UU No. 37. Dalam proses kepailitan, Pasal 15 (2) menyebutkan bahwa Balai Harta Peninggalan (selanjutnya disebut BHP) akan ditunjuk jika pihak pemohon tidak mengajukan usul pengangkatan kurator dalam surat permohonannya. Hal ini menyiratkan bahwa nama orang/kurator yang tersebut dalam surat permohonan harus ditunjuk, tapi mengharuskan seperti itu. Dalam proses PKPU, tidak terdapat yang menyiratkan demikian sama sekali. Pengadilan, dibawah Pasal 225, bebas untuk menunjuk pengurus berlisensi manapun tanpa mengindahkan pilihan dari pemohon.

Praktek yang mengikuti keinginan pemohon dalam penunjukan kurator ataupun pengurus menjadikan lebih sulit untuk memastikan apakah orang-orang tersebut bebas/tidak berpihak dan tidak memiliki konflik kepentingan – suatu syarat dalam proses kepailitan dan PKPU.1 Selain itu, ketika orang-orang ini telah ditunjuk, kreditor-kreditor akan sulit untuk mengganti mereka, meskipun terdapat ketentuan yang menyebutkan bahwa mereka dapat mengganti kurator/pengurus.2

Maka dari itu, tidak mengherankan jika banyak negara melakukan pendekatan yang berbeda dari yang digunakan oleh Indonesia. Pengadilan dapat membuat keputusan yang bebas dalam hal siapa yang harus ditunjuk, atau sebuah lembaga pemerintah yang terpisah, yang bertanggung jawab atas kurator dan pengurus, yang akan melakukan penunjukan tersebut.

Indonesia tidak memiliki lembaga yang mengatur kurator dan pengurus. Untuk hal tersebut, asosiasi atau organisasi profesi yang mengurusnya. Saat ini terdapat 2 (dua) organisasi profesi: Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) dan Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia (IKAPI).

Dengan tidak memperhatikan apakah pengaturan dua organisasi ini optimal atau tidak, mungkin hal tersebut dapat dijadikan sarana untuk membentuk suatu sistem pencalonan yang memberikan kepastian yang lebih besar bahwa kurator atau pengurus yang ditunjuk merupakan kurator/pengurus yang tepat. Tidak akan sulit bagi pengadilan niaga, ketika menerima permohonan kepailitan atau PKPU, untuk meminta dari setiap organisasi untuk mengirimkan daftar nama maksimal tiga orang kandidat kurator/pengurus dan menjamin bahwa kandidat-kandidat tersebut memenuhi standar untuk ditunjuk berdasarkan UU No. 37, bahwa masing-masing mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang sesuai dengan perkara yang bersangkutan, dan bersedia untuk bekerja jika nantinya ditunjuk.

Prosedur ini sebenarnya akan mengambil keuntungan dari pengaturan dua organisasi tersebut di Indonesia dimana hal ini akan membawa kompetisi laten diantara keduanya ke arah yang positif. Dua organisasi tersebut akan berkompetisi untuk mencari kandidat yang tepat dan untuk mengungkapkan informasi yang berguna mengenai kandidat tersebut. Hal ini juga akan membantu masing-masing organisasi untuk mengelola dan mengatur anggota-

1 Pasal 15(3), 234. 2 Pengadilan setiap waktu dapat mengabulkan usul penggantian kurator, atas permohonan debitor atau hakim pengawas (Pasal 71 (1)). Kreditor konkuren dapat memberhentikan kurator berdasarkan putusan Rapat Kreditor (Pasal 71 (2)). Diskusi dengan hakim-hakim pengawas menunjukkan bahwa hal ini jarang terjadi.

77

Page 88: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VIII Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

anggota mereka. Bagaimana cara melakukan pencalonan merupakan kebijakan masing-masing organisasi.

Pada saat yang bersamaan, pendekatan ini juga mempunyai risiko. Sistem ini dapat menyebabkan terjadinya lebih banyak keberatan atas penunjukan kurator/pengurus, meskipun mengenai hal ini tidak seharusnya dapat diajukan keberatan. Lebih lanjut, tidak jelas peraturan seperti apa yang harus dibuat untuk pengaturan seperti ini. Walaupun Mahkamah Agung dapat mengeluarkan peraturan untuk hal tersebut, tapi jika tindakan serupa dilakukan oleh pengadilan niaga tingkat pertama akan ada kemungkinan diajukan keberatan atas peraturan tersebut.

2. Dapatkah Penjualan di Bawah Tangan Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan Dibuat Menjadi Lebih Kompetitif dan Transparan?

Pasal 187 UU No.37 menyebutkan bahwa hakim pengawas dapat mengadakan suatu rapat kreditor untuk mendiskusikan mengenai cara pemberesan harta pailit. Keputusan yang diambil berdasarkan Pasal 187 tersebut harus sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 185. Ayat 1 pasal tersebut mewajibkan bahwa semua harta debitor harus dijual di muka umum sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Ini berarti harta tersebut harus dilelang di Balai Lelang Negara dan dilaksanakan berdasarkan atas peraturan yang berlaku disana.

Namun, Pasal 185 ayat (2) menyebutkan bahwa “dalam hal penjualan di muka umum tidak tercapai maka penjualan di bawah tangan dapat dilakukan dengan izin Hakim Pengawas.”

Hakim Pengawas jarang membuat Rapat Kreditor untuk mendiskusikan pendekatan-pendekatan yang akan dilakukan untuk menjual harta debitor. Tidak adanya panduan mengenai hal ini, membuat kurator mengikuti Pasal 185 (1) dan melakukan penjualan melalui pusat pelelangan pemerintah/Balai Lelang Negara.

Metode tersebut tidak terlalu efektif. Banyak lelang yang gagal karena para penawar menolak untuk mengikuti harga dasar yang telah ditetapkan. Banyak pihak yang menyatakan bahwa dalam banyak perkara, para penawar dalam proses lelang bersengkongkol untuk menawar tidak jauh dari harga dasar atau tidak menawar sama sekali, membuat kurator harus membatalkan lelang dan mencoba lagi pada harga yang jauh lebih murah.

Proses tersebut dapat terjadi dua hingga tiga kali. Sebelum lelang pertama, dilakukan penilaian terhadap harta untuk menentukan nilai pasar dan nilai likuidasinya. Pada lelang kedua, harga dasar yang ditetapkan adalah setengah dari nilai pasar dan nilai likuidasi. Pada lelang ketiga, harga dasar adalah nilai likuidasi.

Ketika harta tidak menarik pembeli melalui lelang-lelang ini, pembeli biasanya datang dan bersedia membeli harta pada harga yang sama dengan harga dasar terakhir. Seringkali, pembeli ini adalah salah satu partisipan lelang atau koleganya. Dengan adanya pembeli dan perasaan yang lega, kurator akan datang kepada Hakim Pengawas untuk meminta persetujuan atas lelang di bawah tangan pada harga yang sesuai dengan harga dasar pada lelang terakhir yang gagal. Pada saat ini, kurator telah mendapatkan serangkaian fakta yang seakan-akan menjustifikasi penjualan pada harga tersebut.

Pendekatan ini pada dasarnya membutuhkan tiga kali lelang dan sekitar satu tahun untuk menghasilkan harga yang rendah tapi dapat dipertahankan, dimana harta dipindahkan melalui “lelang di bawah tangan”.

Tidak terdapat satupun ketentuan dalam undang-undang yang sekiranya dapat menahan kurator untuk mencoba metode alternatif dalam mencari pembeli ketika lelang pertama gagal. Tapi ini dapat berarti menggunakan pendekatan baru untuk mendapatkan persetujuan hakim untuk menyetujui penjualan di bawah tangan.

Daripada menunggu gagalnya tiga lelang, mencoba mencari pembeli dan kemudian datang ke Hakim Pengawas untuk meminta persetujuan, lebih baik kurator

78

Page 89: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VIII Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

mempertimbangkan untuk mencoba lelang sebanyak satu kali dan kemudian datang ke Hakim Pengawas dengan membawa solusi alternatif. Idenya adalah untuk mendapatkan persetujuan awal dari Hakim Pengawas mengenai proses penjualan daripada mengenai hasil penjualan. Selama harga dasar untuk usaha penjualan di bawah tangan adalah sama dengan atau lebih tinggi daripada harga dasar yang telah ditentukan pada lelang yang telah gagal maka penjualan di bawah tangan seperti ini akan dapat dibenarkan dan dipertahankan.

Selama disetujui oleh kreditor dalam rapat kreditor sesuai dengan ketentuan Pasal 187, seluruh prosedur penjualan di bawah tangan sesudah lelang dapat diusulkan. Hal yang paling mudah dilakukan adalah kurator membuat daftar harta tidak bergerak melalui agen real estate. Pendekatan lain yang lebih aktif adalah dengan mengorganisasi lelang di bawah tangan melalui perusahaan lelang swasta. Alternatifnya, organisasi kurator dapat membuat situs internet dimana ditampilkan semua harta yang gagal dilelang dan kemudian dijual melalui situs internet pada harga yang sama dengan atau diatas harga dasar yang telah ditetapkan pada lelang yang gagal tersebut.

Pendekatan ini tidak membutuhkan perubahan pada undang-undang atau peraturan lokal. Ini hanya membutuhkan perubahan pada praktek.

Tentunya, pada sesuatu yang baru, selalu terdapat risiko dimana hakim mungkin menolak usul tersebut, pembeli juga menolak, atau bahkan Mahkamah Agung berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan semangat dari Undang-undang. Ada juga kemungkinan dimana pihak ketiga atau Departemen Keuangan akan menolak penjualan seperti itu dengan alasan penjualan dilakukan tanpa adanya izin.

3. Haruskah Kode Etik Hakim dan Kurator/Pengurus Melarang Adanya Komunikasi Selain di Ruang Sidang dan Melalui Jalur Resmi?

Larangan tersebut berarti bahwa kurator dan pengurus tidak lagi dapat bertemu dengan hakim untuk memutuskan bagaimana menjalankan perkara. Permohonan apapun yang membutuhkan persetujuan hakim harus diajukan dalam bentuk tertulis yang formal dengan juga memberitahukan pihak-pihak lain yang terkait. Diskusi antara hakim dengan kurator/pengurus harus dilakukan di sidang terbuka, dengan dihadiri oleh para kreditor.

Peraturan seperti itu akan, secara substansial, mengubah cara kurator dan pengurus dalam berhubungan dengan pengadilan niaga. Kebanyakan kurator dan pengurus bertemu secara rutin dengan hakim pengawas perkara mereka, untuk mendiskusikan pilihan-pilihan dan untuk mendapatkan konfirmasi atas tindakan yang dilakukan, bahkan meskipun konfirmasi tersebut sebenarnya tidak diwajibkan. Hal-hal tersebut tidak akan terjadi lagi jika peraturan yang diusulkan diterima.

Usulan tersebut berasal dari kekhawatiran yang sama yang melarang komunikasi diluar pengadilan antara hakim dengan para pihak. Lihat Pedoman Perilaku Hakim, Pedoman No.1.2.3 Penerapan larangan yang sama untuk para kurator dan pengurus layak untuk didiskusikan.

Sebagai titik awal, sangat penting untuk dimengerti adanya konflik yang potensial yang dimiliki oleh kurator atau pengurus dalam suatu perkara serupa. Di satu pihak, tugas kurator/pengurus adalah untuk melayani kepentingan kreditor secara keseluruhan. Tanggung jawab kepada kreditor ini dapat saja bentrok dengan kebutuhan untuk menjaga agar hakim tetap senang. Kurator dan pengurus ditunjuk oleh pengadilan dan pengadilanlah yang

3 Pedoman Perilaku Hakim No. 1.2.1 menyebutkan bahwa hakim harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang khususnya pencari keadilan atau kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam suatu proses hukum di Pengadilan. Selanjutnya, dalam rangka menjamin terciptanya keadilan tersebut, Pedoman Nomor 1.2.2 menetapkan bahwa hakim tidak boleh berkomunikasi:

Dengan pihak yang berperkara di luar persidangan, kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung pengadilan demi kepentingan kelancaran persidangan yang dilakukan secara terbuka, diketahui pihak-pihak yang berperkara, tidak melanggar prinsip persamaan perlakukan dan ketidak berpihakan.

79

Page 90: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VIII Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

menetapkan gaji mereka. Ini mungkin saja membuat kurator/pengurus menjadi mengkompromikan tugasnya kepada kreditor demi membuat hakim senang.

Di negara-negara lain, ketika hakim dan kurator/pengurus sudah terlalu akrab dan santai satu sama lain maka yang akan terbentuk adalah “mafia kepailitan” (bankruptcy mafia)4. Hakim dan kurator bersekongkol, kadang-kadang juga dengan debitor, untuk mengambil harta dari debitor dengan biaya yang ditanggung oleh kreditor. Hal tersebut akan lebih sulit lagi ditolak dan lebih mudah untuk dilakukan ketika hakim dan kurator/pengurus dapat berbicara dengan hakim di ruang tertutup secara rutin.

Peraturan untuk tidak boleh melakukan kontak akan membuat hal tersebut sulit dilakukan. Kurator atau pengurus tidak boleh berada di pengadilan selain hari-hari dimana ada sidang. Hubungan via telepon memang mungkin terjadi, tapi teknologi saat ini memungkinkan pembicaraan via telepon dapat dilacak dan disadap. Lebih lanjut lagi, hubungan via telepon merupakan merupakan cara pengganti yang buruk dibandingkan dengan hubungan langsung tatap muka dalam hal salah satu pihak berusaha untuk meyakinkan pihak lain untuk “berkompromi”.

Jika peraturan ini diterapkan, mungkin pertama-tama akan terdapat kebingungan dan ketidakteraturan tapi kemudian para pihak pasti akan cepat beradaptasi. Sebenarnya, ini merupakan hal yang diinginkan oleh UU No. 37 dimana kurator dan pengurus diharapkan bertindak secara independen. Hanya terdapat beberapa kecil contoh dalam UU Kepailitan dimana kurator atau pengurus diwajibkan untuk meminta persetujuan hakim untuk melanjutkan jalannya perkara. Peraturan ini akan memaksa kurator dan pengurus untuk bertanggung jawab atas setiap tindakannya. Jika kurator atau pengurus memaksa untuk mendapatkan persetujuan atas tindakan sementara hal tersebut tidak diwajibkan, maka hal itu tetap dapat dilakukan tapi hanya melalui jalur resmi yaitu surat dan sidang/rapat yang terbuka.

Pada saat bersamaan, terdapat alasan untuk berpikir bahwa peraturan seperti itu dapat membatasi kebebasan kemajuan jalannya perkara kepailitan dan PKPU dengan hanya memberi sedikit manfaat sebagai kompensasinya. Jika kurator dan hakim ingin berkolusi secara ilegal, mereka tentunya akan menemukan jalan meskipun terdapat larangan formal apapun. Hal ini hanya akan berpengaruh terhadap hakim-hakim dan kurator/pengurus yang jujur dimana mereka terikat oleh hambatan secara hukum ketika hal paling penting yang harus dilakukan adalah menyelamatkan debitor dan hartanya.

4. Haruskah Pengadilan Niaga Membuat Contoh-contoh Formulir Untuk Setiap Permohonan yang Akan Diajukan Oleh Debitor, Kurator, Pengurus atau Kreditor di Bawah UU No. 37?

Terdapat lusinan contoh dalam UU No. 37 dimana seorang hakim harus membuat keputusan untuk kepentingan debitor dan para kreditor. Kebanyakan dari keputusan-keputusan tersebut disebabkan oleh adanya permohonan yang diajukan oleh salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan. Permohonan yang rasional dan terfokus untuk satu keputusan atau tindakan sangat mungkin membantu agar hakim mengambil keputusan yang cepat dan efektif.

Proses ini dapat dipermudah dengan membuat serangkaian contoh permohonan untuk para pihak dalam perkara kepailitan. Contoh formulir biasa akan menyajikan elemen-elemen dimana pemohon harus menjelaskan atau membuktikan agar hakim mau mengeluarkan penetapan atau putusan yang diminta. Formulir-formulir semacam ini akan berguna jika komunikasi informal sepihak antara hakim dengan kurator/pengurus dilarang.

4 Ini adalah istilah yang digunakan oleh media di Serbia untuk mendeskripsikan salah satu skandal korupsi terbesar beberapa tahun terakhir.

80

Page 91: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VIII Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Namun, terdapat beberapa hambatan untuk membuat hal ini menjadi kenyataan. Membuat satu paket model formulir permohonan akan membutuhkan tingkat kerjasama dan komunikasi yang terjaga dengan baik antara pengadilan-pengadilan niaga, dua organisasi kurator/pengurus, dan para kreditor. Lebih lanjut, tidak ada kepastian apakah pengadilan niaga mempunyai kewenangan untuk menjadikan formulir-formulir tersebut sebagai bentuk yang resmi. Selama ini, Mahkamah Agung dipandang sebagai instansi tunggal yang dapat mendistribusikan buku-buku pedoman dan model-model formulir.

5. Haruskah Pengadilan Niaga dan Organisasi Kurator Membuat Formulir Rujukan Kepada Jaksa Jika Terbukti Bahwa Terjadi Pelanggaran Atas Ketentuan-ketentuan Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Yang Berhubungan Dengan Perkara Kepailitan?

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Undang-Undang No.1 Tahun 1946 (selanjutnya disebut KUHP), mengenali beberapa tindak pidana yang berhubungan dengan perkara kepailitan. Contoh tindakan yang dikategorikan sebagai tindak pidana, dari pihak debitor, adalah lalai menyerahkan laporan perusahaan, tidak dapat mempertanggungjawabkan harta, dan menciptakan atau menggembungkan nilai tagihan kreditor tertentu. Kreditor juga dapat dipidana, misalnya dalam kasus dimana mereka memalsukan tagihan atau menggembungkan jumlah tagihan yang mereka miliki.5

Pada umumnya, setiap orang yang membuat kesaksian palsu dibawah sumpah, baik lisan maupun tulisan dapat dipidana. Dengan tidak memperhatikan apakah orang tersebut bersaksi secara langsung atau dengan surat kuasa khusus.6

Yang selama ini diketahui tindak pidana seperti ini sering sekali dilakukan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Namun, jikapun ada laporan mengenai tindak pidana ini, hanya sedikit yang kemudian dituntut.

Kewenangan untuk memeriksa perkara pidana dibawah KUHP bukan merupakan yurisdiksi pengadilan niaga. Pengajuan perkara pidana merupakan tanggung jawab pihak Kejaksaan.

Baik di Indonesia maupun di negara lain, banyak prosedur telah dikembangkan untuk mempermudah pelaporan tindak pidana kepada pihak yang berwenang. Di Indonesia, contoh yang paling mudah dilihat adalah pelaporan kegiatan yang mencurigakan dibawah Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Di negara-negara lain, instansi pemerintah diwajibkan mengajukan formulir rujukan adanya tindak pidana kepada pihak yang berwenang ketika mereka menemukan adanya bukti bahwa suatu tindak pidana telah terjadi.

Kelihatannya akan ada manfaatnya untuk membuat suatu prosedur laporan yang serupa jika tampak bukti adanya tindak pidana sehubungan dengan perkara kepailitan. Program ini dapat dilakukan secara sukarela atau wajib. Pelaporan tindak pidana tersebut dapat dipermudah dan didorong dengan membuat formulir pelaporan baku dan mengumumkan mengenai pasal-pasal KUHP yang terkait di papan pengumuman di gedung pengadilan. Dari pihak Kejaksaan, dapat dilakukan klarifikasi atas beberapa perbedaan kecil dalam UU No. 37 dan bagaimana cara menginterpretasikan formulir saat diterima oleh Kejaksaan.

Agar adil dan seimbang, harus diingat bahwa pihak Kejaksaan sudah mempunyai banyak pekerjaan yang harus dilakukan, dan ancaman hukuman yang tidak terlalu berat tersedia pada pengadilan niaga dan kurator/pengurus. Para pembuat kebijakan harus hati-hati dalam menimbang biaya dan usaha dalam pembuatan sistem pelaporan ini hingga ke potensi keuntungan yang mungkin didapatkan dari sistem ini.

5 Lihat KUHP, Pasal 396-402. 6 Ibid., Pasal 242.

81

Page 92: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VIII Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

C. Bagian Kedua: Pilihan-Pilihan Sehubungan Dengan Perubahan atau Penggantian UU No. 37

Bagian Kedua dari makalah ini memperkirakan bahwa terdapat kelompok orang-orang yang tertarik untuk melakukan perubahan atas UU No. 37 atau membuat undang-undang yang baru sama sekali. Selama satu tahun terakhir, proyek In-ACCE telah menelusuri dan mencatat bidang-bidang yang potensial dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pembaharuan. Berikut ini adalah contoh beberapa bidang dimana diskusi yang lebih luas akan sangat mungkin menuju kesepakatan yang lebih besar mengenai bagaimana hal ini akan ditindaklanjuti.

1. Haruskah Masing-masing Pengadilan Niaga Mempunyai Kewenangan Untuk Mengeluarkan Peraturan Lokal Mereka Sendiri Sehubungan Dengan Praktek-praktek Kepailitan?

Kecil kemungkinan bahwa adanya perubahan atau penggantian UU No. 37 akan dapat mengatur secara keseluruhan seluruh pertanyaan yang ada dalam suatu perkara kepailitan. Dalam rangka meningkatkan praktek-praktek yang lebih dapat diprediksi dan seragam, merupakan hal yang masuk akal untuk memiliki peraturan yang mengikat untuk mengisi kekosongan yang ada.

Peraturan lokal yang mengatur mengenai praktek bagi masing-masing pengadilan telah dikenal di banyak negara. 7 Peraturan tersebut dapat menciptakan kepastian, dimana pada saat yang bersamaan juga memberikan pemegang kebijakan lokal kebebasan untuk memodifikasi praktek-praktek yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Tentunya peraturan tersebut dibatasi, yaitu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang dan tidak boleh melanggar kemandirian hakim dalam memutus perkara.

Kerangka hukum yang ada saat ini, yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman, nampaknya tidak memberikan kekuasaan seperti itu dengan jelas. Lebih lanjut, tampaknya tidak banyak preseden mengenai tipe peraturan seperti ini. Maka, pemberian kekuasaan secara eksplisit dalam perubahan atau penggantian apapun atas UU No. 37 mungkin diperlukan untuk pengadilan dapat mengambil langkah tersebut.

Apakah peraturan lokal seperti ini berguna bagi Indonesia? Seperti yang telah didiskusikan di atas, peraturan lokal dapat meningkatkan kepastian dan memperbolehkan faktor lokal. Namun, terdapat risiko yaitu dalam hal pembuat peraturan lokal pada suatu pengadilan setempat tidak cukup terlatih dan tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk membuat suatu peraturan yang efektif. Atau lebih buruk lagi, orang-orang setempat tersebut mungkin saja membuat peraturan yang bertentangan dengan undang-undang atau membuatnya untuk kepentingan kelompok tertentu dengan merugikan kelompok lain.

Tentunya telah diketahui bahwa Mahkamah Agung mempunyai kepentingan dalam menjaga agar hukum acara di seluruh Indonesia adalah sama. Bagaimanapun juga, kekuasaan untuk mengeluarkan peraturan lokal dapat dibatasi hanya untuk proses kepailitan saja, dengan kata lain hanya untuk sedikit jumlah perkara dalam kelompok kecil pengadilan khusus. Jika ide ini dapat diterima, maka Mahkamah Agung tentunya memiliki kekuasaan untuk melakukan standardisasi atas peraturan-peraturan lokal jika diperlukan.

7 Salah satu contoh peraturan lokal (local rule) dalam konteks ini dapat berupa daftar jenis-jenis dokumen penting guna mendukung pelaksanaan persetujuan penjualan harta pailit oleh kurator berdasarkan Pasal 185 UU No. 37. Daftar tersebut dapat dibuat dalam bentuk surat edaran yang diterbitkan oleh ketua pengadilan niaga tertentu.

82

Page 93: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VIII Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

2. Haruskah Indonesia Memperkenalkan Ketentuan Mengenai “Awal Baru/Fresh Start” (Contohnya: Memperbolehkan Penghapusan Utang) Untuk Debitor Perorangan?

Undang-undang Kepailitan Belanda yang asli mengatur agar pengusaha individu dapat menghadapi penahanan atau “gijzeling” misalnya penahanan karena mempunyai utang. UU No. 37 juga mengatur hal yang sama. Pernyataan pailit berarti pembebasan dari tahanan atau ancaman akan hal itu.8 Namun sekarang, hal ini bukan lagi merupakan ancaman. Meskipun dalam gijzeling masih terdapat kemungkinan teknis bagi orang yang tidak membayar, tapi dalam praktek hal ini hampir tidak pernah terjadi.

Tanpa adanya ancaman penjara bagi debitor, seseorang hanya mempunyai sedikit, jika ada, alasan untuk secara sukarela mendapat “pengampunan” kepailitan. Keuntungan tambahannya sangat sedikit. Satu-satunya harapan untuk mendapat pembebasan dari utang adalah dengan bernegosiasi mengenai “rencana perdamaian” dengan mayoritas kreditor konkuren, dimana jika dikabulkan oleh pengadilan, akan mengikat kreditor minoritas yang mempunyai pendapat berbeda. Tapi rencana perdamaian tersebut tidak ada kepastiannya, dan itu akan tidak berpengaruh terhadap utang yang dijamin dan kreditor preferen, bahkan jika rencana tersebut dikabulkan.

Ketentuan mengenai “rehabilitasi” dalam UU No. 37 hanya melakukan sedikit perbaikan atas akibat yang berat ini. Pasal 215-221 memperbolehkan debitor setelah berakhirnya kepailitan untuk mengajukan permohonan rehabilitasi. Hal ini tentunya harus disertai dengan bukti bahwa semua kreditor yang diakui sudah memperoleh pembayaran lunas. Jika bukti tersebut dapat ditunjukkan, maka putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan dapat dicatat dalam Daftar Umum di Kepaniteraan. Putusan ini nampaknya tidak mempunyai akibat hukum secara langsung. Satu-satunya keuntungan nampaknya hanya dari segi reputasi. Diskusi dengan hakim-hakim menunjukkan bahwa tidak ada debitor yang repot-repot mengejar rehabilitasi dibawah pengaturan seperti ini. Maka, tidaklah heran jika kita mendengar dalam perkara kepailitan dimana debitor perorangan gagal untuk bekerja sama dan kadang-kadang secara sadar menghalangi jalannya proses kepailitan.

Pembuat kebijakan mungkin mau mempertimbangkan untuk memodifikasi undang-undang dalam hal memperbolehkan debitor perorangan mempunyai kemungkinan untuk mendapatkan pembebasan secara penuh dari utang-utang mereka jika mereka bekerja sama dalam kepailitan. Selain untuk mendapatkan kerja sama yang lebih baik dalam proses kepailitan, pembebasan akan membuat debitor dapat kembali berbisnis dan mempunyai kesempatan bekerja tanpa adanya perasaan takut akan dikejar-kejar oleh kreditor karena utang dimasa lalu.

Tidak diragukan lagi bahwa ide ini akan menjadi perubahan yang dramatis dari praktek masa lalu. Kreditor tentunya akan khawatir mereka akan kehilangan uang jika debitor dapat bebas melenggang setelah adanya putusan kepailitan. Pada saat bersamaan, bagaimanapun juga, kreditor harus bertanya pada diri mereka sendiri mengenai berapa banyak uang yang telah berhasil mereka terima dari debitor perorangan yang melewati proses kepailitan, tanpa adanya pembebasan utang.

Selain itu juga harus dicatat bahwa Amerika Serikat, salah satu yurisdiksi paling bebas dalam mendapatkan awal baru/pembebasan utang, baru-baru ini mempersulit proses tersebut. Di sisi lain, Belanda, yang secara tradisional tidak menyukai pembebasan utang, telah merubah undang-undangnya untuk memperbolehkan hal ini terjadi dengan syarat setelah

8 Pasal 31(3) UU No. 37 menyatakan bahwa debitor yang berada dalam penahanan harus dilepaskan seketika setelah putusan pernyataan pailit diucapkan. Pasal 32 dari Undang-undang Belanda menyatakan hal yang hampir sama, secara rinci menyebutkan debitor yang sedang berada dalam “tahanan karena tidak membayar utang.”

83

Page 94: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VIII Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

adanya pembayaran kepada kreditor selama beberapa tahun berdasarkan jadwal yang ditetapkan oleh pengadilan.9

3. Haruskah Undang-Undang Mewajibkan Bahwa Untuk Setiap Putusan Kepailitan Diumumkan Di Internet Sebagai Syarat Keabsahan?

Perkara kepailitan dan PKPU adalah unik karena secara potensial mempunyai akibat langsung terhadap banyak orang, terutama para kreditor. Pihak-pihak ini berhak mendapatkan perlakuan yang adil. Komponen kunci dalam perlakuan yang adil adalah mendapatkan pemberitahuan atas setiap aspek dalam proses perkara. Tanpa pemberitahuan, kreditor tidak dapat menjaga hak-hak mereka secara wajar selama proses berlangsung.

Mengakui akan hal ini, UU No. 37 mewajibkan dokumen-dokumen dalam perkara kepailitan tersedia bagi kreditor untuk dapat diperiksa dan diperbanyak.10 Beberapa dokumen harus tersedia bagi publik secara umum11 dan beberapa yang lain harus diumumkan. Melakukan hal ini, bagaimapun juga, merupakan hal yang sulit. Banyak kreditor yang tidak bertempat tinggal di wilayah hukum pengadilan yang memeriksa perkara dan seringkali jumlah tagihan mereka membuat tidak layak untuk melakukan perjalanan ke kepaniteraan pengadilan. Publikasi di media cetak dapat menghemat kreditor untuk pergi ke pengadilan, tapi mahal dan tidak ada jaminan bahwa kreditor berada dalam wilayah distribusi media yang bersangkutan atau dapat membacanya di hari pemberitahuan tersebut diumumkan.

Hanya sedikit orang yang mungkin tidak setuju bahwa peningkatan penggunaan internet oleh pengadilan-pengadilan ditujukan untuk meningkatkan transparansi. Pertanyaannya disini adalah apakah undang-undang harus dirubah untuk menyatakan bahwa pengumuman di internet adalah syarat untuk keputusan apapun dalam perkara kepailitan agar mempunyai keabsahan.

Ini dapat berarti perubahan yang besar dalam praktek. Dapat diambil contoh, suatu permohonan untuk mengabulkan penjualan di bawah tangan (telah dibahas sebelumnya diatas). Kurator dapat datang ke hakim dengan seorang pembeli yang mau membeli suatu properti, yang dalam beberapa lelang yang telah terjadi, tidak juga terjual. Permohonan tersebut adalah agar hakim mengabulkan penjualan di bawah tangan yang dimaksud dalam pasal 185 (2) Undang-undang Kepailitan. Dalam beberapa perkara, hakim akan menandatangani kontrak penjualan tersebut sebagai bukti dari persetujuan formal yang dia berikan. Dibawah usulan perubahan, persetujuan formal hakim tidak akan mempunyai dasar hukum hingga keputusan yang menyetujui penjualan di bawah tangan tersebut dibuat secara tertulis dan dipublikasikan melalui internet.

Membuat publisitas sebagai dasar untuk keabsahan secara hukum sehubungan dengan hak-hak banyak orang adalah praktek yang sudah lama dikenal. Contohnya mengenai hal ini dapat dilihat dari pendaftaran hak tanggungan atas tanah dimana hak tanggungan tidak berlaku hingga hak tersebut terdaftar.12 Membuat pendaftaran sebagai syarat dalam suatu perkara akan memastikan pihak-pihak yang terkait dengan tanah yang bersangkutan mendapatkan pemberitahuan yang layak mengenai hak-hak mereka.

Pendekatan seperti itu, bagaimanapun juga, dapat terlihat seperti menciptakan lebih banyak kertas kerja bagi kurator dan hakim dengan sedikit keuntungan sebagai timbal baliknya. Hal ini juga tidak bisa dengan mudah dibuat. Sistem seperti ini membutuhkan pengembangan dari sistem pemberkasan berbasis web bagi dokumen-dokumen dalam

9 J. Appeldorn, The ‘Fresh Start’ for Individual Debtors: Social, Moral and Practical Issues, International Insolvency Review, Volume 17, Edisi 1 (Spring 2008), hal. 57-72, tersedia secara online pada: www3.interscience.wiley.com/cgi-bin/fulltext/118479716/PDFSTART 10 Lihat Pasal 112 UU No. 37. 11 Sebagai contoh, laporan tiga bulanan dari kurator mengenai pengaturan harta debitor. Lihat Pasal 74. 12 Pasal 13 UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah mengatur bahwa Hak Tanggungan “lahir pada hari tanggal” buku tanah Hak Tanggungan pada Kantor Pertahanan.

84

Page 95: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VIII Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

perkara kepailitan, yang dapat diandalkan, atau menggunakan sistem yang sekarang sudah ada.13

4. Haruskah Kreditor Yang Berhasil Mengawali Proses Perkara Diberikan Status Istimewa Sehubungan Dengan Surat Permohonan Mereka?

Dapat dikatakan bahwa kepailitan adalah prosedur yang jarang digunakan di Indonesia. Orang-orang dapat menunjuk bermacam-macam masalah yang ada dalam sistem saat ini sebagai alasan terjadinya hal tersebut. Tapi, meskipun sistemnya berjalan dengan sempurna, atau mendekati sempurna, banyak kreditor konkuren yang tetap berkeberatan untuk mendaftar perkara. Biaya perkaranya tinggi dan mengawali proses perkara bukan berarti mendapatkan jaminan.

Namun, jika ada kreditor yang mengawali proses perkara kepailitan walaupun terdapat risiko-risiko tersebut, keuntungannya akan mengalir ke kreditor-kreditor yang pasif dan lebih senior yang tidak melakukan apapun untuk mempertahankan hak-hak mereka. Sementara, pemohon yang mengawali proses perkara beruntung jika dia bisa mendapat kembali uang biaya perkara yang dia bayarkan saat pertama mengawali proses perkara.

Karena tindakan dari pemohon pailit yang berhasil itu merupakan suatu layanan masyarakat, maka memberikan layanan publik atas performa pemohon kepailitan yang sukses mungkin masuk akal untuk mempertimbangkan semacam kompensasi secara resmi bagi kreditor konkuren yang sukses mengawali suatu proses perkara kepailitan. Selain pengembalian biaya yang mereka keluarkan, kreditor-kreditor tersebut seharusnya menerima pembayaran kembali setidak-tidaknya bagian dari piutang mereka sebagai biaya administratif atas proses kepailitan. Agar adil, jika tagihan kreditor termasuk besar, maka pengembalian kepada kreditor yang berada dibawah status istimewa ini harus dibatasi tidak lebih dari 5 hingga 10 persen dari total hasil penjualan harta debitor.

5. Haruskah Peringkat Dari Berbagai Tagihan Dibuat Secara Ekslusif Berdasarkan Prioritas Yang Ada di UU Kepailitan?

Pasal 1131 hingga 1149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan klasifikasi dari piutang kreditor dan prioritasnya atas satu terhadap yang lain. Ketentuan-ketentuan ini, yang berasal dari tahun 1847, tidak sedikitpun menyebutkan tentang kepailitan atau PKPU. Juga tidak ada yang menyebutkan aspek tertentu dari proses-proses tersebut seperti misalnya utang-utang harta pailit yang timbul sepanjang jalannya perkara kepailitan. Alih-alih, hal tersebut terdapat sesudah ketentuan-ketentuan mengenai warisan dan pembagian harta pailit. Rujukan terhadap “biaya pemakaman” dan biaya yang timbul sehubungan dengan penyakit yang terakhir” dalam ketentuan-ketentuan14 memang menunjukkan bahwa penulis lebih memfokuskan pada memperlancar disahkannya ketentuan yang diinginkan dari pada memenuhi kebutuhan masalah insolvensi perusahaan modern.

Ketentuan-ketentuan ini juga ditambah dengan peraturan lain yang berhubungan dengan tenaga kerja dan pajak. Pasal 95 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa ketika suatu perusahaan pailit atau berada dalam proses likuidasi maka gaji karyawan perusahaan tersebut harus menjadi utang yang diprioritaskan dibandingkan dengan utang lain. Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa utang ini harus “dibayarkan terlebih dahulu sebelum utang-utang lain dibayar.”

13 Hukum Online adalah salah satu contoh organisasi yang meyediakan layanan database tersebut di Indonesia. Selanjutnya, contoh lain yang sama adalah Australia Legal Information Institute (www.austii.edu.au) yang merupakan sumber informasi hukum di Negara lain. Hingga kini, kedua contoh tersebut sepertinya tidak menyediakan informasi secara rinci tentang putusan-putusan yang dibuat oleh hakim pengadilan niaga dalam menangani perkara kepailitan di pengadilan. 14 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1148.

85

Page 96: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VIII Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Berdasarkan Undang-Undang Pajak yang terkait, kurator mempunyai kewajiban untuk membayar pajak-pajak terutang dari debitor.15 Dibalik itu, undang-undang menyatakan bahwa negara mempunyai “hak terdahulu terhadap aset yang dimiliki oleh penanggung pajak untuk maksud menagih pajak.”16 Dengan demikian, jika terdapat kasus dimana Wajib Pajak telah dinyatakan pailit, berdasarkan UU Pajak kurator dilarang “membagikan harta” Wajib Pajak dalam pailit dengan pemegang saham atau kreditur lainnya “sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.”17

Pihak otoritas pajak dapat menyita atau menjual properti penanggung pajak manapun, bahkan jika properti tersebut telah dibebani hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu.18 Yang lebih tidak jelas lagi adalah status kreditur yang klaimnya (piutang) dijamin dengan hak tanggungan setelah properti tersebut dijual. Bahkan yang lebih tidak jelas lagi adalah status hak-hak para kreditur pemegang hak tanggungan pada saat jaminan dijual karena adanya putusan pengadilan tentang pailit.

Berbeda dengan ketentuan-ketentuan ini, ternyata, Undang-undang No. 37 hanya memberikan sedikit sekali petunjuk mengenai urutan para kreditor. Referensi terdapat dalam banyak tulisan mengenai hak prioritas tanpa keterangan yang jelas mengenai maksudnya. Penjelasan Pasal 60(1) menjelaskan mengenai kreditor yang diistimewakan sebagaimana kreditor yang dijelaskan menurut Pasal 1139 dan 1149 dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Tidak satu pun dari pasal-pasal yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut menyebutkan tagihan negara terhadap pajak-pajak yang belum dibayar dan rujukan mengenai tagihan buruh yang harus didahulukan berbeda dengan yang terdapat dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.

Hasilnya masih merupakan kontroversi sampai saat ini, mengenai siapa yang harus dibayar terlebih dahulu berkenaan dengan pembagian hasil penjualan dalam kepailitan. Ketidakpastian ini menunda penyelesaian perkara. Biaya yang timbul sehubungan dengan gugatan mengenai hal ini akan menghabiskan penghasilan yang seharusnya tersedia bagi para kreditor.19

Dalam menangani masalah prioritas penagihan secara universal, diperlukan pertimbangan yang seksama, dengan menjelaskan urutan prioritasnya secara jelas dalam undang-undang kepailitan. Hal ini sangat masuk akal berdasarkan beberapa alasan. Yang pertama adalah sangat sederhana. Suatu perkara kepailitan (dimana nilai tagihan melebihi nilai aset) pada dasarnya hanyalah satu-satunya situasi dimana urutan peringkat kreditor merupakan hal yang penting. Jika debitor dapat membayar lunas kreditor, siapa yang peduli mengenai siapa yang berada pada urutan pertama?

Kedua, pendekatan ini memaksa para pembuat kebijakan untuk membuat suatu keputusan yang sulit terhadap prioritas antara yang satu dengan yang lainnya. Kelihatannya mudah ketika merumuskan undang-undang tenaga kerja dengan memasukkan ketentuan yang membuat para pekerja adalah kreditor nomor satu. Tetapi mungkin tidak begitu mudah jika hal-hal yang memiliki kepentingan yang bersaing juga dipertimbangkan.

Ketiga, pendekatan ini membuat pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan hal-hal lain yang berdampak terhadap pemberian prioritas seperti dalam melakukan perundingan 15 UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 28 Tahun 2007, Pasal 32(1). 16 Ibid., Pasal 21. 17 Ibid., Pasal 21 ayat (3a) UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 18 UU No. 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, Pasal 14. 19 Pola yang serupa juga terjadi di Filipina. Pada tahun 1949, prioritas yang diatur dalam Kitab Hukum Perdata yang baru diadopsi menggantikan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan. Kemudian, undang-undang yang lain tentang buruh menetapkan aturan tambahan mengenai prioritas, dan Keputusan Mahkamah Agung nampaknya memberikan prioritas tertinggi untuk tagihan pajak diatas pihak lainnya, termasuk tagihan kreditor yang dijamin. Hasilnya adalah kebingungan yang serupa. Lihat Pendidikan Kehakiman Filipina (Philippine Judicial Academy), Benchbook on Liquidation Proceedings in Insolvency (2004), pp. 81-83.

86

Page 97: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VIII Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

rencana perdamaian yang mungkin dapat menyelamatkan perusahaan. Dengan membuat beberapa tingkatan kreditor yang dibedakan menurut status prioritas pembayaran akan terbentuk kelompok-kelompok individu yang mempunyai harapan yang berbeda terhadap pembayaran jika likuidasi harus dilakukan. Hal ini tentunya akan sangat mengurangi solidaritas kreditor yang diperlukan dalam merundingkan suatu rencana perdamaian yang wajar dan realitis.

Pada akhirnya, menangani masalah ini hanya dengan menggunakan satu undang-undang akan memberikan pihak swasta suatu pemahaman yang lebih baik mengenai risiko yang ada dalam memberikan pinjaman kepada individu dan perusahaan. Seperti yang dapat disimak dari Pedoman Peraturan mengenai Undang undang Kepailitan yang dikeluarkan oleh PBB baru-baru ini :

Dalam hal prioritas dicantumkan dalam undang-undang kepailitan atau dalam hal prioritas yang terdapat dalam undang-undang lain selain dari undang-undang kepailitan diakui dan berdampak terhadap proses kepailitan, diharapkan bahwa prioritas-prioritas tersebut dinyatakan secara eksplisit atau dirujuk dalam undang-undang kepailitan (dan bila perlu dibuatkan urutan prioritasnya dengan tagihan-tagihan lain). Hal ini untuk memastikan pihak yang berkepentingan dalam kepailitan mengetahui dengan jelas dan mengetahui dampaknya terhadap kreditor serta memungkinkan pihak pemberi pinjaman untuk dapat mempertimbangkan secara lebih seksama mengenai risiko yang terkait dengan pinjaman.20 (Penekanan ditambahkan).

Dengan kata lain, sama pentingnya untuk mendapatkan hak-hak yang kuat dalam kepailitan dengan memahami apa yang dimaksudkan dengan hak-hak tersebut. Dengan memiliki pemahaman ini, pihak-pihak swasta dapat setidak-tidaknya membuat penyesuaian dalam mengelola pinjaman dengan memperhitungkan juga risiko-resiko yang ada. Dengan ketidakpastian saat ini, hal ini tidak mungkin dilakukan.

Tentu saja, mengkonsolidasikan aturan-aturan mengenai prioritas ini sulit dilaksanakan. Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Perdata secara politis tidaklah mudah dan pihak yang berhak dan sangat berkepentingan seperti buruh dan negara mungkin akan berkeberatan terhadap setiap perubahan yang mungkin dilakukan terhadap undang-undang tenaga kerja dan perpajakan. Lebih lanjut, jika aturan mengenai prioritas ini dikonsolidasikan, tidak ada jaminan bahwa Parlemen kemudian tidak akan memberlakukan undang-undang tenaga kerja dan perpajakan yang baru untuk mendapatkan manfaat bagi pihaknya.

6. Haruskah Undang-Undang Diubah Agar Dapat Mengakomodasi Prosedur Perdamaian Yang Lebih Rumit dan Menyeluruh?

Sistem kepailitan Belanda diuraikan sebagai “sistem yang berbasis likuidasi ......... dengan ketentuan reorganisasi yang paling sederhana.”21 Sistem kepailitan Indonesia secara aman dapat dikarakterisasikan dengan cara yang sama. Proses Kepailitan tetap merupakan aturan dan PKPU tetap merupakan pengecualian. Rencana perdamaian biasanya merupakan usaha terakhir untuk mencegah terjadinya likuidasi lebih dari pada melakukan suatu pendekatan proaktif untuk merestrukturisasi utang dan mengurangi biaya-biaya.

Dalam 15 (lima belas) tahun terakhir ini banyak negara di Eropa dan Asia telah merombak undang-undang kepailitan mereka dengan memberlakukan langkah-langkah reorganisasi yang lebih canggih dan terperinci, yang sebagian terinspirasi oleh ketentuan-ketentuan reorganisasi Chapter 11 Undang-undang Kepailitan Amerika Serikat. Ketentuan-ketentuan ini memungkinkan antara lain: (a) beberapa tingkatan kreditor yang memberikan suara tersendiri; (b) menolak hak istimewa kreditor dalam hal-hal tertentu; dan (c) prosedur yang relatif baru, seperti dalam hal konversi utang menjadi modal (debt-equity swaps). Tujuan

20 Komisi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Undang Undang Perdagangan Internasional Legislative Guide on Insolvency Law 2005, p. 271 (selanjutnya disebut dengan “UNCITRAL Legislative Guide). Dapat diunduh di www.uncitral.org/pdf/english/texts/insolven/05-80722_Ebook.pdf. 21 O. Couwenberg and A. de Jong, Cost and Recovery Rates in the Dutch Liquidation-Based Bankruptcy System (rancangan Juni 2007), p. 6 tersedia di http://papers.ssrn.com/sol3/ papers.cfm?abstract_id=1008667

87

Page 98: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VIII Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

dari pembaharuan semacam ini adalah untuk menghindari terjadinya likuidasi perusahaan-perusahaan yang seharusnya dapat diselamatkan melalui prosedur reorganisasi.

Indonesia dapat membuat langkah yang maju dan membuat suatu bab yang canggih dan terperinci mengenai reorganisasi perusahaan. Banyak tersedia bentuk baku mengenai pengelolaan hal-hal seperti ini.

Namun harap diketahui, bahwa ketentuan-ketentuan mengenai reorganisasi perusahaan yang rumit tidak mudah untuk dijalankan dalam praktek. Walaupun banyak perusahaan yang dapat menyelamatkan perusahaan mereka dengan menerapkan ketentuan-ketentuan ini, banyak juga dan mungkin lebih banyak lagi perusahaan yang memanfaatkan ketentuan-ketentuan ini hanya untuk menunda terjadinya likuidasi. Terdapat banyak kasus dimana kreditor telah menyetujui suatu rencana reorganisasi tetapi pada akhirnya gagal (dengan penghasilan yang lebih sedikit karena penundaan likuidasi).

Mungkin karena alasan-alasan itulah, pemerintah Belanda belum mengadopsi proses-proses sejenis ini. Ketentuan-ketentuan mengenai rekonsiliasi berdasarkan undang-undang Belanda dan Indonesia secara relatif tetap serupa.

Hal ini mungkin tidaklah merupakan sesuatu hal yang buruk. Setidak-tidaknya suatu pengkajian yang mendalam mengenai bisnis kepailitan berdasarkan Undang-undang Belanda memberikan pandangan bahwa praktek-praktek di Belanda telah berkembang menjadi suatu cara ketiga di antara dua cara tradisional mengenai likuidasi dengan cara berangsur-angsur atau suatu tata cara reorganisasi yang rumit dan mahal. Hasil yang positif diperoleh dengan cepat jika aset debitor dijual melalui lelang sementara bisnis debitor dapat terus beroperasi.22

7. Apakah Prosedur Yang Mengizinkan Kurator Untuk Membatalkan Saham Debitor Pailit, Menerbitkan Saham Baru dan Kemudian Menjualnya Secara Cepat akan Mendorong Likuidasi yang Lebih Cepat Dan Lebih Efisien?

Pada saat ini Amerika Serikat sedang mengalamai krisis keuangan dimana perusahaan swasta dan semi-swasta berisiko gagal. Namun, beberapa dari perusahaan-perusahaan tersebut terlalu besar atau terlalu penting untuk gagal. Hasilnya adalah, dalam beberapa kasus, mereka mendapatkan penyaluran dana dari pemerintah Amerika Serikat – seperti misalnya penyuntikan modal atau jaminan pembiayaan yang dapat meneruskan operasi perusahaan-perusahaan tersebut.

Namun, dalam banyak kasus ini, Amerika Serikat memberikan syarat bahwa jumlah pemegang saham dikurangi sebagai akibat dari penyaluran dana tersebut. Misalnya dalam hal penyaluran dana untuk menyelamatkan AIG, sebuah perusahaan induk asuransi Amerika yang besar, jumlah pemegang saham dikurangi sampai kurang lebih hanya 20% dari tingkat sebelum dilakukan penyaluran dana. Ini dapat menyelamatkan perusahaan sementara membuat para pemegang saham AIG menderita karena biaya atas penyaluran dana tersebut.

Pertimbangan harus diberikan untuk melembagakan berbagai jenis kepailitan dimana kepemilikan debitor yang dilikuidasi dan bukan debitor itu sendiri. Saham debitor pailit dibatalkan dan saham baru diterbitkan. Saham-saham ini, dan bukanlah aset debitor, dijual dan hasil penjualan dipakai untuk membayar kreditor berdasarkan berbagai urutan yang ditentukan oleh undang-undang. Tagihan-tagihan yang belum terbayar karena tidak ada sisa dari hasil penjualan dibatalkan. Aset debitor dan operasi perusahaannya tetap tidak diganggu sampai ada pemilik baru atau pemilik yang dapat mengambil alih kendali dan membuat keputusan sulit yang diperlukan untuk melakukan restrukturisasi operasional perusahaan debitor.

Sampai taraf tertentu, ini merupakan suatu kemajuan dibandingkan dengan praktek yang diterapkan di Belanda. Seorang komentator memperhatikan bahwa kurator di Belanda sering menggunakan ketentuan lelang kepailitan sebagai “cara untuk melakukan reorganisasi

22 Ibid., pasal. 18.

88

Page 99: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VIII Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

suatu usaha dan bukan cara untuk melikuidasi usaha”23 Pendekatan ini timbul berdasarkan praktek yang berkembang dan keputusan pengadilan yang bersifat ad hoc, dan bukan berdasarkan kerangka kerja undang-undang. Dengan demikian, isu yang ada ditangani lebih kepada kasus per kasus.

Indonesia sepertinya belum berada dalam jalur yang serupa. Terdapat beberapa perkara yang mengkhawatirkan dimana perusahaan-perusahaan tetap beroperasi sementara dilakukan pelelangan. Mungkin hal ini terjadi karena kurangnya kualitas dan kemampuan bertahan dari perusahaan-perusahaan yang ada dalam proses kepalitan. Mungkin karena Undang-undang No. 37 tidak memberikan pedoman secara spesifik yang memadai dalam hal melakukan atau memberikan persetujuan untuk transaksi-transaksi seperti itu. Mengembangkan ketentuan-ketentuan terperinci secara memadai akan memungkinkan kurator untuk menangani masalah utang perusahaan dengan melikuidasi kepemilikan memberikan cara yang lebih cepat dan sederhana dalam menyelamatkan perusahaan serta pada secara bersamaan melindungi hak para kreditor di Indonesia.

Walaupun demikian, harus diperhatikan bahwa solusi semacam ini harus memperhatikan beberapa faktor. Misalnya, bagaimana para karyawan dari perusahaan tersebut diperlakukan? Apakah mereka akan tetapi terikat dengan perusahaan tersebut dengan kemungkinan diberhentikan oleh pemilik yang baru? Bagaimana ketentuan-ketentuan ini menangani hak-hak para kreditor yang dijamin dengan hak tanggungan atas properti debitor? Peraturan-peraturan jenis apa yang mengatur mengenai penjualan saham-saham yang baru diterbitkan? Mungkin sebaiknya melakukan praktek yang mendekati praktek yang dianut Belanda dan tidak melakukan hal-hal yang jauh di luar itu. Jenis-jenis permasalahan tersebut akan dibahas secara terperinci.

8. Haruskah Suatu Proses Formal Dibentuk Untuk Menangani Kepailitan Transnasional?

Dengan semakin banyaknya perusahaan dan pengelolaan keuangan lintas batas orang semakin mendengar lebih banyak mengenai aspek transnasional dalam proses kepailitan. Banyak artikel yang telah ditulis dalam bidang ini dan PBB bahkan telah mengembangkan suatu model dari undang-undang yang telah diadopsi oleh sekurang-kurangnya lima belas negara.24 Pada tingkat regional di Uni Eropa telah dikeluarkan peraturan kepailitan yang pada dasarnya dirancang untuk melakukan hal yang sama.

Isu kepailitan transnasional cenderung menjadi berita utama jika suatu perusahaan yang terkenal didirikan di negara A dan berdasarkan proses kepailitan disana mempunyai aset dalam jumlah besar di Negara B. Kurator perusahaan debitor ingin dapat pergi ke Negara B dan menagih atau menjual aset tersebut dengan hasil yang dapat dibawa kembali ke proses di Negara A. Kreditor dari debitor di Negara B pada umumnya berkeberatan. Seringkali Pengadilan di negara B menyetujui karena merasa mendapat tekanan untuk mengurus warganegaranya sendiri, sering kali, dan menolak untuk membiarkan kurator mengembalikan aset untuk dipakai dalam proses di Negara A. Hal ini disebut ring fencing (memagari aset).

Hal ini juga biasanya ditandai dengan adanya ketegangan antara pendekatan universal terhadap kepailitan dan pendekatan teritorial. Pihak universalis berpendapat bahwa semua aset dan tagihan kreditor harus ditangani secara terpusat. Pihak teritorialis menentang untuk melakukan pengajuan tagihan kreditor melalui proses di negara asing. Jika aset ditemukan setempat, pihak teritorialis berpendapat bahwa kreditor domestik harus mendapatkan prioritas pertama terhadap aset tersebut.

23 P. Declerq, Netherlands Insolvency Law (2002), hal. 60. 24 Mulai bulan Mei 2008, negara-negara tersebut mencakup Australia (2008), the British Virgin Islands (2005), Kolumbia (2006), Eritrea, Inggris (2006), Jepang (2000), Meksiko (2000), Montenegro (2002), Selandia Baru (2006), Polandia (2003), Republik Korea (2006), Rumania (2003), Serbia (2004), Afrika Selatan (2000), dan Amerika Serikat (2005). Untuk siaran pers PBB yang menjelaskan proses ini terkait dengan perundang-undangan Australia, lihat www.unis.unvienna.org/unis/pressrels/ 2008/unisl118.html.

89

Page 100: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VIII Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Model Undang-undang tersebut adalah pendekatan internasional. Jika Indonesia mengadopsi ketentuan-ketentuan tersebut, kurator yang mewakili debitor Indonesia akan lebih mudah untuk menagih aset yang telah dipindahkan ke luar negeri. Memang, PBB mengetahui bahwa membantu melakukan reakuisisi aset yang dipindahkan secara curang merupakan tujuan utama dari model undang-undang tersebut.25 Hal ini tentunya yang mungkin terjadi di negara-negara yang telah mengeluarkan undang-undang tersebut. Hal tersebut mungkin juga bermanfaat di negara-negara dimana Model Undang Undang belum diberlakukan, tetapi meskipun demikian tetap mengizinkan kurator asing untuk mendapatkan akses terhadap aset lokal atas dasar timbal balik. Kedua negara tersebut adalah Malaysia dan Singapura. Akibat dari usaha penagihan di kedua negara tersebut dibahas dalam laporan mengenai Komisi Undang-undang Selandia Baru sebelum Model Undang-Undang diberlakukan.

Mitra dagang lain yang utama di Selandia Baru [Singapura dan Malaysia], walaupun mempunyai ketentuan undang-undang yang memungkinkan pengadilan untuk memberikan bantuan kepada pengurus kepailitan asing dalam penerapan bantuan, mewajibkan untuk memberikan bantuan yang atas dasar timbal-balik. Timbal-balik berarti bahwa pengadilan yang diminta untuk memberikan bantuan harus mempertimbangkan apakah pengadilan negara yang meminta bantuan tersebut, jika posisinya ditukar, akan memberikan bantuan dalam hal yang diminta tersebut. 26

UU No. 37 pada saat ini tidak memiliki ketentuan-ketentuan yang berorientasi universal seperti Model Undang-Undang tersebut. Memang, kita mendengar bahwa kerangka kerja peraturan undang-undang di Indonesia tidak terlalu ramah terhadap kemungkinan adanya perwakilan debitor asing yang mencoba untuk mengendalikan hasil penjualan dengan kemungkinan adanya kerugian yang diderita oleh kreditor Indonesia. Hal ini kemungkinan dapat menghambat usaha-usaha dari kurator Indonesia untuk mendapatkankan kerjasama di Malaysia atau Singapura, atau negara-negara yang mengggunakan pendekatan timbal balik yang serupa.

Meskipun demikian, bahkan bila Indonesia memberlakukan Model Undang-Undang, pihak lawan yang berbuat segalanya untuk memperoleh aset yang berada di luar negeri kemungkinan akan memberikan argumentasi bahwa tidak ada kepastian bahwa ketentuan-ketentuan dalam Model Undang-Undang yang melindungi kurator asing yang datang ke Indonesia akan dilaksanakan. Sehingga, mungkin akan memakan waktu yang cukup lama bagi pengadilan-pengadilan Indonesia untuk mengenali dan menerima proses kepailitan asing (yang kemungkinan mengakibatkan ketidaknyamanan dan kerugian pada pihak kreditor lokal) sebelum kurator Indonesia menerima perlakuan yang serupa di Indonesia.

Secara singkat, dilihat dari sudut perundang-undangan, mengembangkan Model Undang-undang secara relatif mudah dilakukan. Namun memberlakukan ketentuan-ketentuan demikian dapat berarti bahwa kreditor lokal, daripada dapat memagari asetnya disini, harus mencari bantuan melalui proses kepailitan asing dimana mereka mungkin tidak memperoleh perlakuan istimewa. Manfaat yang dapat mengimbangi adalah kurator domestik mungkin akan dapat lebih berhasil untuk memulihkan asetnya di luar negeri.

Keputusan ini membutuhkan pertimbangan yang berimbang dan hati-hati dalam hal kepentingan nasional dan ideologi yang jauh lebih rumit dan banyak variasinya dibandingkan dengan membuat ketentuan-ketentuan itu sendiri.

25 UNCITRAL Legislative Guide, hal. 310 (“Kecurangan yang dilakukan oleh debitor insolven, khususnya dengan menyembunyikan hartanya atau memindahkannya ke luar negeri adalah masalah yang terus meningkat. . . Mekanisme kerjasama lintas batas yang ditetapkan oleh Model Undang-undang dirancang untuk menghadapi kecurangan internasional semacam itu.”). 26 Laporan Komisi Hukum Selandia Baru No. 52: Haruskah Selandia Baru Mengadopsi Model Undang-undang UNCITRAL tentang Kepailitan Lintas Batas? (1999), hal. 25. Tersedia di www.lawcom.govt.nz/ UploadFiles/Publications/Publication_51_97_R52.pdf.

90

Page 101: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VIII Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

9. Jika Diperlukan Perubahan Yang Besar Terhadap UU No. 37, Haruskah Perubahan Tersebut Dalam Bentuk Undang-Undang Baru ataukah Cukup Dengan Amandemen Terhadap Undang-Undang Yang Ada Sekarang?

Walaupun UU No. 37 diberlakukan sebagai undang-undang baru, dalam kenyataannya undang-undang tersebut adalah perubahan atas PERPU ketika terjadi Krisis Asia pada tahun 1998.27 Analisis yang dilakukan terhadap kedua undang-undang tersebut oleh Proyek Peningkatan Pengadilan Tipikor & Pengadilan Niaga – Indonesia (“In-ACCE”) menunjukkan bahwa dari 306 pasal dalam UU No. 37, sedikitnya delapan puluh lima persen (85 %) pada dasarnya tidak berbeda dari undang-undang sebelumnya.

Jika anggota DPR yang nanti mengubah UU Kepailitan tetap mengikuti pola evolusi tersebut, nampaknya akan lebih masuk akal untuk mengamandemen undang-undang yang ada sekarang ini daripada menggantinya dengan undang-undang yang sama sekali baru. Langkah demikian akan menghindari risiko terjadinya bentrokan antara undang-undang baru dengan kerangka kerja perundang-undangan yang ada saat ini. Hal ini juga berarti investasi untuk melatih para hakim dan staf lainnya mengenai prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan mengenai undang-undang yang ada sekarang tidak sia-sia.

Tetapi UU No. 37 merupakan undang-undang yang cukup rumit dan cenderung tidak mudah dipahami pada saat pertama kali membacanya.28 Hal ini sangat disayangkan terutama dalam hal hakim pengadilan niaga digantikan oleh hakim-hakim baru, yang sering kali belum mendapatkan banyak pengalaman dengan undang-undang tersebut, dimana hal ini terjadi setiap tiga atau empat tahun. Sekurang-kurangnya dibutuhkan waktu beberapa bulan bekerja dengan menggunakan undang-undang tersebut sebelum merasa nyaman menggunakannya.29 Melakukan perubahan atas UU Nomor 37 akan memberikan dampak yang tidak signifikan atas keadaan tersebut.

Undang-undang baru, yang dibuat dari nol, dapat dibuat dan dirancang sesuai dengan keadaan di Indonesia. Negara Cina, Serbia, dan Brazil adalah contoh negara-negara yang baru saja membuat undang-undang baru dari nol dan hasil yang dicapai pada umumnya sangat baik.

Sehingga pembuat kebijakan mempunyai pilihan: bekerja dengan infrastruktur hukum yang sudah ada atau membuat undang-undang yang sama sekali baru, yang ditata ulang. Jika kita memilih yang pertama, harus dipikirkan bagaimana mengurangi penggantian hakim-hakim yang akan melaksanakan UU No. 37 dalam versi yang telah diamandemen. Jika mereka memilih untuk melakukan yang kedua, maka sistem rotasi yang diterapkan saat ini terhadap hakim-hakim pengadilan niaga hanya dapat berjalan jika undang-undang baru dirancang dengan memberikan prioritas terhadap kemudahan menerapkannya.

27 Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 1998. Sesuai persyaratan, peraturan ini disahkan oleh DPR beberapa bulan setelah dikeluarkan dan kemudian disahkan menjadi undang-undang pada tanggal 8 September 1998. 28 Walaupun sulit untuk menunjukkan secara obyektif, salah satu indikator dari kerumitan yang dapat diukur adalah jumlah dari referensi silang. Perancang undang-undang cenderung untuk menghindari referensi silang yang akhirnya mengarah pada bahasa yang membingungkan. Jumlah referensi silang dalam undang-undang kepailitan Belanda adalah 210. Tidak mengherankan, UU No. 37, mempunyai 209. Dua undang-undang yang baru-baru ini diterbitkan yang secara relatif diterima dengan cukup baik mempunyai jauh lebih sedikit referensi silang. Undang-undang kepailitan Cina mempunyai 12. Undang-undang kepailitan Republik Serbia mempunyai 45. Sebagai perbandingan dengan undang-undang yang bukan kepailitan, UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mempunyai 43 referensi silang. Penjelasan mengenai metodologi yang dipakai untuk mengukur referensi silang, lihat Lampiran 1. 29 Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mencoba untuk menangani masalah ini, sekurang-kurangnya sebagian dari masalah ini, dengan cara menyusun suatu buku panduan tentang bagaimana membuat berbagai keputusan yang harus diundangkan.

91

Page 102: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VIII Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

D. Bagian Ketiga: Pilihan Sehubungan Dengan Lingkungan Perundang-undangan Di Luar Kepailitan Yang Dapat Mempengaruhi Pelaksanaan UU No. 37 atau yang Menggantikannya

Sistem kepailitan tidak berjalan dalam keadaan kosong. Perundang-undangan lain dapat memberikan dampak yang besar terhadap pelaksanaannya. Bagian Ketiga menawarkan 3 (tiga) area dimana pembuat kebijakan mungkin dapat mempengaruhi pelaksanaan kepailitan tanpa harus mengubah undang-undang kepailitan atau praktek-praktek berdasarkankan undang-undang tersebut.

1. Haruskah Pihak-pihak Swasta, Dengan Lisensi, Diizinkan Untuk Melaksanakan Putusan Pengadilan?

Suatu sistem kepailitan berjalan dengan baik bila debitor, yang mendapatkan tekanan untuk melaksanakan prosedur yudisial yang standar, secara sukarela bersedia menjalankan proses kepailitan. Proses tersebut bekerja kurang efektif jika hal tersebut dimanfaatkan sebagai alternatif mekanisme penagihan utang dimana debitor diambil alih, kadang-kadang dengan cara yang tidak bersahabat.

Sehingga, salah satu cara untuk memperbaiki sistem dalam menyelesaikan suatu kesulitan keuangan adalah dengan cara memperbaiki prosedur penagihan utang melalui sistem pengadilan yang biasa.

Usaha jangka panjang yang dilakukan di Indonesia selama ini sangat berat, dan akan terus demikian, dengan berbagai pembaharuan dan intervensi yang berjalan terus pada waktu yang bersamaan. Salah satu pembaharuan yang dapat dilakukan yang mungkin dapat memperoleh hasil yang secara relatif cepat dan signifikan dan dapat berdampak terhadap proses kepailitan secara langsung adalah memanfaatkan individu swasta yang berlisensi untuk melaksanakan putusan.

Secara tradisi, tanggung jawab demikian berada di tangan juru sita yang dipekerjakan pemerintah. Begitu mereka diberi tugas untuk menjalankan suatu putusan, mereka mengeluarkan anmaning, mencari lokasi properti, menjual properti melalui kantor lelang dan membagikan hasil penjualan berdasarkan undang-undang.

Setiap pengadilan memiliki alokasi untuk individu-individu demikian. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memiliki empat orang jurusita.30 Pada saat ini, pelaksanaan putusan tidak dapat dilihat dari statistik pengadilan berbasis nasional (a country-wide basis). Menurut survei terakhir tentang “Doing Business” yang dilakukan oleh Bank Dunia, diperkirakan bahwa diperlukan 180 hari untuk melaksanakan putusan dan biaya yang digunakan mencapai 8,3% dari jumlah tagihan.31

Dalam menghadapi hambatan yang serupa, Belanda mengenalkan sistem juru sita swasta pada tahun 2001. Beberapa negara lain yang bahkan mengalami permasalahan yang lebih besar dalam melaksanakan putusan pengadilan juga ikut menerapkan.32 Walaupun secara rinci berbeda dari satu negara ke negara lainnya, tetapi kita dapat melihat adanya beberapa kebijakan umum yang muncul. Karena tugas layanan untuk masyarakat yang

30 Laporan Tahunan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Tahun Fiskal 2007, hal. 23. 31 Data statistik terakhir dapat dilihat di situs www.doingbusiness.org/ExploreTopics/EnforcingContracts/ Details.aspx?economyid=90. Sebagai contoh eksekusi pada tingkat lokal, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memiliki 70 putusan pengadilan yang belum dapat dieksekusi hingga akhir tahun 2006. Sementara itu selama tahun 2007, terdapat lebih dari 33 putusan pengadilan telah diputus untuk eksekusi akan tetapi hanya dua dari jumlah tersebut yang selesai dieksekusi, sehingga keadaan ini menggambarkan adanya peningkatan yang tajam perbandingan antara jumlah putusan yang belum dieksekusi dengan yang telah diekseksi. Jumlah hak tanggungan yang belum dieksekusi juga meningkat. Laporan Tahunan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Tahun Fiskal 2007, hal. 15. Namun demikian, perlu dicatat bahwa jumlah tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan pengalaman beberapa negara lain sebelum mengadopsi reformasi hukum kepailitannya dimana terdapat ribuan kasus yang tidak dapat diproses secara hukum. 32 Contohnya Negara Polandia dan Bulgaria. Akan tetapi nampaknya belum ada negara-negara Asia Tenggara yang mengadopsi reformasi tersebut.

92

Page 103: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VIII Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

dilakukannya, individu-individu ini berlisensi dan harus mematuhi peraturan yang ada.33 Walaupun demikian, mereka bersaing untuk usahanya dan mereka mendapatkan pembayaran atas jasanya. Mereka biasanya dipilih oleh orang yang bermaksud untuk melaksanakan putusan.

Sebagian besar dari juru sita swasta mengikuti sistem yang ada. Mereka juga diizinkan untuk menelepon polisi jika memerlukan bantuan terhadap debitor yang tidak mau bekerjasama dan tidak bersahabat.

Karena Indonesia mengizinkan pihak swasta (kurator) untuk melaksanakan putusan dalam proses kepailitan maka tidaklah sulit untuk membayangkan hal tersebut juga dilakukan untuk putusan pengadilan yang lain, setidak-tidaknya yang terkait dengan kompensasi keuangan yang dicari. Jika memang benar Indonesia memilih untuk mempercayakan pihak swasta untuk menangani pelaksanaan hak-hak kreditor ketika debitor berada dalam kesulitan yang besar, nampaknya pihak swasta yang berlisensi dan diatur menurut undang-undang ini dapat menangani masalah ini bila keadaan keuangan debitor sudah lebih baik.

Untuk menangani tugas-tugas demikian, Indonesia dapat melihat dari jumlah kurator dan pengurus yang telah mengikuti pelatihan dan mendapatkan lisensi tentang bagaimana mereka menangani perkara kepailitan. Dengan mengizinkan kurator dan pengurus untuk melaksanakan pekerjaan ini (setelah menerima pelatihan tambahan dan mendapatkan lisensi) akan meningkatkan reputasi mereka di masyarakat dan meningkatkan keahlian mereka dalam menangani debitor yang sulit.

Tentu saja pembaharuan ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Yang penting adalah sampai dimana pengadilan dan polisi bersedia untuk bekerjasama dengan juru sita swasta dan apakah pemerintah Indonesia bersedia untuk membentuk suatu institusi yang dapat memberikan lisensi dan mengeluarkan peraturan untuk juru sita tersebut. Yang juga penting adalah sampai dimana publik dapat menerima pihak swasta melaksanakan putusan pengadilan. Beberapa penolakan yang dihadapi kurator di Indonesia dalam usahanya mengumpulkan harta debitur dapat membantu di sini.

2. Apakah Mengurangi Prioritas yang Diberikan Terhadap Otoritas Pajak Dapat Meningkatkan Jumlah yang Ditagih Melalui Proses Kepailitan Melalui Peningkatan Jumlah Pengajuan Kepailitan?

Seperti dapat dilihat dalam pembahasan di Bagian Kedua Angka 5 (sub materi C angka 5) di atas, terdapat kontroversi seputar posisi otoritas pajak yang sebenarnya dalam hubungannya dengan penagih lainnya dalam perkara kepailitan. Tujuan dari bagian ini tidak untuk menyelesaikan kontroversi tersebut berdasarkan undang-undang yang ada saat ini, tetapi untuk menawarkan pendekatan dalam menetapkan kebijakan yang optimal berdasarkan perundangan yang ada di kemudian hari.

Di banyak negara selama bertahun-tahun, negara diberikan hak yang istimewa dalam hal kepailitan. Namun, selama lebih dari dua puluh tahun, beberapa yurisdiksi telah mempertanyakan hak istimewa tersebut, dan meneliti secara mendalam biaya yang ditimbulkan dan manfaat serta pijakan moral dari kebijakan tersebut.34

Sama seperti pertanyaan mengenai juru sita swasta, suatu pembahasan mendalam mengenai kebijakan ini adalah di luar lingkup tulisan ini. Cukup dikatakan disini bahwa seharusnya fokus utama dari pengkajian lebih lanjut mengenai isu ini adalah pengaruh perilaku akibat kebijakan ini versus pendapatan yang diperoleh.

Dalam hal pengaruh perilaku, tidak sulit dibayangkan pengaruh terhadap kreditor preferen atas perlakuan istimewa yang dimiliki oleh otoritas pajak. Dibawah peraturan yang ada saat ini, kreditor yang tidak dijamin tidak mendapatkan apa-apa, kecuali tagihan pihak 33 Di beberapa negara upaya reformasi tersebut menimbulkan permasalahan dimana juru sita swasta tidak lebih adalah penagih hutang yang kejam dengan lisensi dari pemerintah. Akan tetapi, hal ini tidak menjadi masalah lagi. 34 Di tiga negara ini, Australia, Selandia Baru, dan Inggris, hak istimewa tersebut telah dihapuskan.

93

Page 104: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VIII Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

otoritas pajak yang harus didahulukan telah dibayar penuh. Hal ini hampir menghabiskan atau secara signifikan akan mengurangi pembayaran untuk kreditor yang tidak dijamin. Akibatnya, kelompok ini tidak termotivasi untuk mengajukan perkara kepailitan dan hanya sedikit termotivasi untuk secara aktif turut serta dalam perkara kepailitan.

Ironisnya disini adalah UU No. 37 memberikan kreditor yang tidak dijamin suatu hak untuk mengawasi dan, sampai hal-hal tertentu, memberikan panduan dalam proses perkara. Ketika tagihan pajak mengancam hilangnya motivasi bagi kreditor untuk berpartisipasi, sistem pengawasan tidak berjalan. Tanpa adanya pengawasan, pihak-pihak lainnya hanya sedikit termotivasi untuk bertindak secara jujur dan tekun.

Kebijakan yang memprioritaskan gugatan atas hutang pajak juga mempersulit upaya yang dilakukan seorang kurator dalam menjual harta debitur yang dibebankan hak tanggungan. UU Nomor 37 dan UU pajak terkait mengatur dengan jelas bahwa kurator harus mentransfer hasil penjualan harta pailit kepada otoritas pajak guna membayar pajak terhutang yang menjadi prioritas, bahkan termasuk hasil penjualan harta yang dibebankan hak tanggungan. Tetapi, dalam menjual harta yang dibebankan hak tanggungan, kurator harus bekerjasama dengan kreditur guna mendapatkan persetujuan tentang pelepasan hak tanggungannya. Kreditur yang memiliki piutang dengan hak tanggungan mengetahui hal ini dan seringkali menolak untuk melepaskan hak tanggungannya, kecuali semua piutangnya dibayar secara penuh. Kantor Pertanahan sering memihak kepada pemilik hak tanggungan dalam kasus ini.

Keadaan ini menjadikan kurator berada pada posisi yang sulit. Kurator harus menjual harta debitur dan tunduk terhadap ketentuan membayarkan hasil penjualan tersebut atas gugatan hutang pajak. Selain itu, kurator tidak dapat menjual harta debitur tanpa kerjasama dari pemegang hak tanggungan. Hal ini mengakibatkan jalan buntu, dimana nilai harta menurun sementara para pihak saling berargumentasi mencari solusi hukum atas masalah tersebut. Tidak satu pihak pun yang akan menang dalam masalah ini.

Jika kebijakan-kebijakan perpajakan benar berlaku demikian, pembuat kebijakan harus mempertimbangkan apakah dana yang diperoleh oleh kas negara memang setimpal. Sayangnya, jumlah dana yang didapat setiap tahun oleh pembendaharaan negara melalui kasus-kasus kepailitan sangatlah kecil dibandingkan sumber pendapatan lainnya. Salah satu alasan rendahnya jumlah pengembalian tersebut kemungkinan bahwa banyak perusahaan dan individu yang mengalami kesulitan finansial pada dasarnya tidak masuk dalam sistem kepailitan, sebagian dikarenakan kebijakan perpajakan menjadikan para kreditur enggan untuk mengajukan gugatan pailit.

Secara garis besar, hal ini mengakibatkan kebijakan perpajakan menjadi tidak efektif dengan pilihan: menagih hutang pajak terhadap wajib pajak yang kurang mampu dengan tingkat yang sangat tinggi, atau menagih hutang pajak terhadap wajib pajak yang mampu dengan tingkat yang lebih rendah. Mengingat bahwa masyarakat luas secara umum diuntungkan jika kesulitan finansial yang dialami perusahaan dan individu dapat diatasi, jika pilihan atas dua opsi yang relatif hampir sama maka alangkah lebih baik memilih opsi yang mendukung penyelesaian formal atas utang.

Tentu saja tidak diragukan lagi adanya pandangan-pandangan yang bertolak belakang atas kebijakan ini. Sangatlah dimungkinkan adanya pandangan bahwa (a) negara menagih utang pajak dalam jumlah besar dari perusahaan-perusahaan atau individu yang mengalami kesulitan finansial hingga tidak dapat melanjutkan kegiatan usahanya diluar sistem kepailitan (kemungkinannya kecil); dan (b) permasalahan lainnya yang terdapat dalam sistem kepailitan akan menjadikan para pihak enggan untuk mengajukan gugatan pailit tanpa memperhatikan prioritas pajak (kemungkinannya lebih besar). Banyak pihak juga mempertanyakan apakah dengan menyelesaikan masalah finansial yang dihadapi melalui cara formal memberikan manfaat sosial. Mungkin sebaiknya solusi atas masalah ini ditempatkan dalam area abu-abu dimana para pihak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa terlalu banyak birokrasi atau formalitas.

94

Page 105: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VIII Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

95

3. Haruskah Likuidator Perusahaan Di Luar Proses Kepailitan Dibuat Secara Eksplisit dan Secara Penuh Bertanggung Jawab Terhadap Utang Perusahaan?

Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, seseorang yang ditunjuk untuk melikuidasi perusahaan diluar proses kepailitan perlu mengajukan permohonan kepailitan jika ia memperkirakan bahwa utang perusahaan melebihi aset perusahaan.35 Namun, undang-undang tidak memberikan sanksi ataupun konsekuensi jika ia tidak melakukannya.

Situasi ini sangat tidak menguntungkan. Di banyak negara, posisi kreditor menjadi sangat rentan ketika para pemegang saham memutuskan untuk melikuidasi perusahaan yang berada dalam kesulitan diluar proses kepailitan. Likuidator yang ditunjuk oleh para pemegang saham dalam hal demikian mempunyai insentif untuk lebih berpihak kepada mereka dibandingkan kepada kreditor. Hal ini tidak menjadi masalah pada saat terdapat cukup aset untuk membayar semua kreditor secara penuh. Tapi merupakan suatu sandiwara belaka bila tidak.

Masalahnya adalah mengetahui kapan hal ini terjadi. Dalam banyak hal adalah tidak mungkin untuk mengetahui kapan debitor dalam keadaan insolven sampai asetnya dilikuidasi seluruhnya. Pada saat ini mungkin kerugian telah terjadi, akibat penjualan aset yang tidak transparan atau melalui transaksi yang lebih mementingkan pemegang saham dibandingkan kreditor.

Cara yang paling sederhana dalam menangani masalah ini adalah membuat likuidator sepenuhnya bertanggung jawab (misalnya, bertanggung jawab tanpa memperhatikan kesalahan yang ada) untuk tagihan kreditor yang belum terbayar bila ia melikuidasi sebuah perusahaan diluar proses kepailitan dan hasil penjualannya tidak mencukupi. Hal ini akan memaksa proses kepailitan diakhiri, yang memungkinkan kreditor konkuren untuk dapat lebih menentukan bagaimana melaksanakan likuidasi.36

Tentu saja, aturan demikian dapat menambah kerumitan dan ketidakpastian terhadap suatu proses likuidasi yang dapat berdampak terhadap pemegang saham dan sejumlah besar kreditor senior. Mungkin saja demikian. Dalam hal tersebut, tidak ada alasan mengapa likuidator atau pemegang saham tidak dapat mengatur untuk memberikan kompensasi yang cukup terhadap kreditor yang mempunyai resiko tidak terbayar, dengan membayarnya penuh (dalam hal mana mereka tidak lagi menjadi kreditor) atau bila tidak membujuk mereka untuk mengizinkan dilakukannya likuidasi diluar proses kepailitan.

E. Kesimpulan

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengajukan pertanyaan lebih daripada memberikan jawaban. Tentunya, masih terdapat bias dalam makalah ini. Kecenderungan untuk memihak beberapa kebijakan mungkin terlihat di beberapa pembahasan. Namun demikian perlu ditekankan disini bahwa walaupun terdapat praktek internasional terbaik dalam kepailitan, keputusan mengenai kapan dan bagaimana menerapkan prinsip-prinsip ini dalam situasi yang ada, harus ditentukan oleh Indonesia.

Mudah-mudahan tulisan ini dapat memulai pembahasan tentang hal tersebut. Kepailitan adalah suatu bidang hukum dimana dampaknya terhadap penduduk jauh melampaui kepentingan umum yang terdapat di dalamnya. Sayang sekali hanya sedikit orang yang benar-benar peduli terhadap masalah kepailitan. Sepanjang tulisan ini bermanfaat bagi kalangan yang berminat terhadap masalah ini, terdapat kemungkinan yang lebih besar dimana Indonesia dapat meraih sukses dalam perjalanannya menuju pembaharuan.

35 Undang-undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 150. 36 Lihat Pasal 187 UU No. 37 (membahas suatu krapat kreditor tentang prosedur likuidasi).

Page 106: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Materi VIII Daniel J. Fitzpatrick, Esq.

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan USAID In ACCE Project & AKPI

Lampiran 1 Metodologi dan Hasil dari Penilaian Kerumitan dalam Perundang-undangan

Untuk setiap peraturan perundang-undangan, kami mengidentifikasi Bahasa dalam pasal-pasal yang mereferensi pembacanya untuk melihat pasal lain di dalam UU yang bersangkutan. Kemudian, kami menghitung referensi ini dengan menggunakan program Adobe Reader’s Search.

Hasilnya adalah sebagai berikut:

Referensi Silang antar pasal ‐ Perbandingan dalam beberapa UU Kepailitan

050

100150200250300350400

UU KepailitanIndonesia

UU KepailitanBelanda

UU KepailitanCina

UU KepailitanSerbia

Jumlah Pasal

Jumlah Referensi Silang

Referensi silang antar pasal ‐ Perbandingan antara UU Kepailitan dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PHI)

050

100150200250300350

UU Kepailitan UUPenyelesaian

PHI

Jumlah Pasal

Jumlah referensi silang

Penulis memahami bahwa banyaknya referensi silang antar pasal bukan suatu indikator yang sempurna atas rumitnya suatu undang-undang.

96

Page 107: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

APENDIKS

Perilaku Peserta Seminar Nasional tentang Kepailitan

Pendahuluan dan Hasil Ringkasan

Pada tanggal 29 Oktober 2008 Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) bekerjasama dengan Proyek Peningkatan Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Niaga – Indonesia yang didanai oleh USAID (Proyek “In-ACCE”) menyelenggarakan seminar nasional tentang kepailitan.

Sebanyak lebih dari 220 orang diundang untuk menghadiri seminar ini. Namun, sekitar 130 undangan yang menghadiri seminar ini. Peserta yang hadir sebagian besar terdiri dari kurator, kreditor, hakim dan pihak lain yang tertarik dengan praktek kepailitan di Indonesia. Peserta yang hadir mewakili sebagian kecil dari populasi yang memperhatikan permasalahan kepailitan. In-ACCE berpendapat bahwa hal ini penting guna mendapatkan masukan-masukan tentang reformasi atau perbaikan apa yang mungkin memberikan pengaruh terbesar.

Hasil kuesioner yang dibagikan menunjukkan bahwa para peserta mengharapkan adanya peningkatan transparansi dan kompetensi para hakim. Peserta terlihat kurang tertarik dengan permasalahan yang berpotensi timbul akibat tindakan korupsi di peradilan. Peserta juga sangat antusias terhadap penyederhanaan dan kejelasan tentang bagaimana pengkategorian status kreditor.

Metodologi

Selama seminar berlangsung, In-ACCE membagikan 2 (dua) buah kuesioner kepada para peserta. Kuesioner pertama dibagikan kepada peserta ketika baru datang yang berisikan “daftar harapan” tentang perbaikan-perbaikan dalam praktek kepailitan. Para peserta dimintakan untuk memilih 3 (tiga) dari beberapa perbaikan yang ditawarkan dalam daftar yang dianggap sebagai pengaruh yang paling positif. Formulir kuesioner terlampir dalam Lampiran 1. Pada akhir seminar, In-ACCE telah mengumpulkan sebanyak 68 (enam puluh delapan) kuesioner yang telah diisi oleh peserta.

Kuesioner kedua dibagikan pada saat presentasi yang dilakukan oleh tenaga ahli In-ACCE, Daniel Fitzpatrick,. Bapak Daniel Fitzpatrick mempresentasikan sejumlah rekomendasi kebijakan dalam mereformasi kepailitan. Setiap rekomendasi ditampilkan dalam bentuk pertanyaan. Misalnya, pertanyaan 1:

Saat ini kurator melakukan pemberesan dalam suatu perkara kepailitan karena diminta/dipilih oleh pihak pemohon. Haruskah kurator, dalam menangani perkara kepailitan, dipilih berdasarkan rekomendasi organisasi kurator daripada dipilih oleh pemohon?

Setelah mendengarkan argumentasi singkat yang diperagakan oleh staf In-ACCE, para peserta diminta untuk mengangkat kartu merah atau kartu hijau di atas kepala masing-masing. Kartu merah berarti peserta tidak setuju atas rekomendasi. Kartu hijau berarti peserta setuju dengan rekomendasi. Latihan ini didokumentasikan dengan pengambilan foto. Diperkirakan sekitar 80 (delapan puluh) peserta mengambil bagian dalam latihan ini.

Hasil

Survei Daftar Harapan

Dari sejumlah jawaban atas daftar harapan tentang perbaikan sistem kepailitan yang diperoleh, tiga pilihan yang paling banyak diminati adalah:

97

Page 108: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Perbaikan yang diharapkan Proporsi Pilihan Peserta

1. Para hakim memiliki kemampuan yang lebih baik untuk dapat menghasilkan putusan yang adil, rasional dan cepat atas perkara Kepailitan dan PKPU. (ditekankan di awal).

44%

2. Pihak yang berkepentingan dapat memantau penyelesaian perkara kepailitan dan PKPU dengan mudah dan murah dengan dilakukannya persidangan dan pemberkasan perkara secara transparan..

41%

3. Mereka yang menyalahgunakan atau menghambat efektivitas perkara Kepailitan dan PKPU akan diberikan sanksi yang layak (contohnya denda, pidana penjara).

41%

Tidak ada harapan lain yang mendekati kebenaran. Tiga harapan setidaknya popular adalah sebagai berikut:

Perbaikan yang diharapkan Proporsi Pilihan Peserta

1. Prosedur mengenai pengumpulan utang unilateral diperbaiki sehingga perusahaan dan individu dapat mengajukan permohonan Pailit dan PKPU sebagai upaya perlawanan.

4%

2. Aturan mengenai peringkat kreditur dibuat lebih mudah dimengerti, tanpa menghiraukan pihak yang harus didahulukan atau tidak.

10%

3. Para hakim memiliki insentif yang lebih baik dalam menghasilkan putusan yang adil, rasional dan cepat atas perkara Kepailitan dan PKPU (ditekankan di awal).

12%

Pengambilan Suara atas Rekomendasi Kebijakan

Pengambilan suara tentang rekomendasi dicatat melalui pengambilan gambar dengan kamera. Secara umum, gambar dalam foto dihitung oleh Bapak Daniel Fitzpatrick saat beliau berdiri di atas podium pembicara. Hasilnya adalah sebagai berikut:

Usulan Kebijakan Setuju, Tidak Setuju, atau Ragu-ragu?

1. Saat ini kurator melakukan pemberesan dalam suatu perkara kepailitan karena diminta/dipilih oleh pihak pemohon. Haruskah kurator dalam menangani perkara kepailitan dipilih berdasarkan rekomendasi AKPI dan/atau IKAPI daripada dipilih oleh pemohon?

Tidak Setuju

2. Haruskah kreditor yang sukses memohon pailit diberikan status sebagai kreditor yang didahulukan dalam kaitannya dengan pembayaran tagihannya?

Tidak Setuju

3. Haruskah peringkat berbagai tagihan ditentukan secara eksklusif melalui prioritas yang terdaftar dalam UU Kepailitan?

Setuju

4. Haruskah masing-masing pengadilan niaga diberikan wewenang untuk membuat aturan sendiri untuk mengklarifikasi dalam praktek berdasarkan UU Kepailitan?

Tidak Setuju

5. Haruskah debitor perorangan dibolehkan dibebaskan dari kewajibannya jika mereka dapat menunjukkan telah kooperatif dalam menyerahkan semua aset-asetnya kepada kreditor?

Setuju

6. Haruskah UU Kepailitan mewajibkan agar setiap putusan oleh hakim dalam perkara kepailitan dipublikasikan dalam situs internet agar dianggap sah?

Setuju

98

Page 109: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Usulan Kebijakan Setuju, Tidak Setuju, atau Ragu-ragu?

7. Haruskah tagihan pajak dan buruh dimasukkan sejajar dengan tagihan kreditor konkuren?

Tidak Setuju

8. Haruskah hubungan antara kurator dan hakim dibatasi dalam sidang pengadilan dan permohonan formal?

Ragu-ragu

9. Haruskah kurator dibolehkan melaksanakan putusan pengadilan dalam perkara-perkara kontrak dan perkara penyitaan hak tanggungan?

Tidak Setuju

Interpretasi dan Kesimpulan

Pertama-tama, disclaimer. Kuesioner yang diisi oleh para peserta selama seminar berlangsung bukan dibuat oleh tenaga yang profesional di bidang polling. Besaran sampel relatif kecil jumlahnya dan banyak pertanyaan yang tidak mempengaruhi respon peserta. Namun demikian, dalam kondisi dimana informasi tentang perilaku kepailitan cukup terbatas, hasil sampel memiliki beberapa nilai marjinal. Setidaknya, hasil sampel memberikan beberapa masukan tentang pilihan-pilihan spontan dari orang-orang yang terlibat dan tertarik dengan praktek dan reformasi kepailitan di Indonesia.

Minat terhadap Transparansi yang Lebih Besar

Berbagai LSM telah menuntut beberapa lembaga pemerintah Indonesia agar meningkatkan transparansi dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Hasil sampel menunjukkan keinginan yang besar dan menyeluruh dari para peserta atas terciptanya transparansi yang lebih besar.

Diantara perbaikan yang diharapkan dalam daftar harapan, terdapat satu harapan, dimana setiap pihak yang berkepentingan dapat memantau penyelesaian perkara kepailitan dan PKPU dengan mudah dan murah, paling banyak dipilih dalam urutan nomor dua.

Hal ini kemudian berbalik ke jajak pendapat tentang rekomendasi kebijakan. Rekomendasi yang mewajibkan putusan pengadilan agar dipublikasikan dalam situs Internet dalam rangka pengesahan, mendapat respon dukungan yang banyak (dalam foto yang diambil menghasilkan setidaknya sekitar 80% setuju atas rekomendasi ini). Hasil jajak pendapat ini cukup mengejutkan; upaya reformasi tersebut akan sangat progresif. Beberapa Negara telah mengambil langkah ini.

Akan tetapi, salah satu peserta, setelah dilakukannya jajak pendapat, mengamati bahwa walaupun langkah tersebut cukup radikal, akan tetapi nampaknya memungkinkan, dengan merujuk kepada semua kesulitan di masa lalu dalam memperoleh data dan dokumentasi dari pengadilan.

Perbaikan dalam hal Kompetensi Lebih Penting daripada Perbaikan dalam hal Kejujuruan dan Integritas Para Hakim

Perbaikan yang paling diharapkan diantara harapan yang ditawarkan dalam daftar tersebut adalah bahwa hakim seharusnya memiliki “kemampuan yang lebih dalam membuat putusan-putusan pailit dan PKPU yang adil, rasional dan cepat” (ditekankan di awal).

Tepat dibawah pertanyaan tersebut adalah pernyataan yang hampir sama, akan tetapi secara krusial merupakan perbaikan yang berbeda: bahwa hakim seharusnya memiliki “insentif yang lebih besar dalam membuat putusan-putusan pailit dan PKPU yang adil, rasional dan cepat” (ditekankan di awal). Hanya sebesar 12% dari responden yang terdaftar yang menganggap bahwa perbaikan ini akan memiliki pengaruh yang sangat besar.

99

Page 110: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Kurangnya perhatian dalam memperbaiki integritas dan kejujuran tergambarkan dari jawaban tentang rekomendasi kebijakan dalam hal pembatasan hubungan antara kurator dan hakim “dalam sidang pengadilan dan permohonan formal.” Dukungan atas rekomendasi ini adalah ragu-ragu.

Minat terhadap Penyederhanaan yang Lebih Besar

Beberapa responden berharap “agar aturan tentang peringkat kreditor dibuat agar dapat diprediksi dan lebih mudah dipahami terlepas siapa yang didahulukan dan siap yang tidak.” Perbaikan ini adalah urutan nomor dua yang paling tidak populer.

Akan tetapi, pada sesi akhir seminar, rekomendsai agar peringkat tagihan “dibuat secara eksklusif melalui prioritas yang terdaftar dalam UU Kepailitan” sangat didukung oleh peserta.

Hal yang bertolak belakang ini kemungkinan dijelaskan melalui diskusi yang panjang dan kompleks diantara para pembicara tentang prioritas urutan kreditor. Dengan melihat adanya beberapa ahli yang setuju tentang bagaimana menginterpretasikan antara ketentuan UU Kepalitan, KUH Perdata, UU Perpajakan dan UU di bidang Perburuhan, para peserta terbukti memberikan kesimpulan bahwa kejelasan dan penyederhanaan atas peringkat kreditor sangatlah diperlukan.

100

Page 111: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Lampiran 1 Contoh Kuesioner yang Dibagikan pada Awal Seminar

Terdapat banyak aspek dalam suatu perkara Kepailitan atau PKPU, yang jika diperbaiki, dapat mempengaruhi bagaimana perkara tersebut dapat ditangani.

Dari DUA BELAS (12) perbaikan di bawah ini, pilih TIGA (3) yang dapat memberikan pengaruh terbesar dalam hal penyelesaian perkara secara lebih cepat, efisien, dan dapat diprediksi. Tentukan tiga pilihan dari daftar di bawah ini

Saya berharap agar…

Beri Tanda “X”

1. Hakim yang memeriksa suatu perkara kepailitan akan mengawasi pelaksanaan putusan perkara tersebut hingga tuntas.

2. Undang-undang Kepailitan dan Penyelesaian Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dibuat lebih pendek, sederhana dan modern

3. Pihak yang berkepentingan dapat memantau penyelesaian perkara kepailitan dan PKPU dengan mudah dan murah dengan dilakukannya persidangan dan pemberkasan perkara secara transparan

4. Para kurator dapat lebih mudah mengambil alih aset-aset debitur yang telah dinyatakan pailit

5. Metode penjualan aset debitur pailit diperbaiki sehingga dapat diperoleh harga pasar yang realistis tanpa melakukan pelelangan berulang kali

6. Para hakim memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menghasilkan putusan yang adil, rasional, dan cepat atas perkara Kepailitan dan PKPU

7. Para hakim memiliki insentif yang lebibh baik dalam menghasilkan putusan yang adil, rasional, dan cepat atas perkara Kepailitan dan PKPU

8. Terdapat pembatasan terhadap kriteria kreditur preferen, sehingga untuk tagihan tertentu, seperti upah buruh dan pajak, dapat ditempatkan sebagai kreditur konkuren lain

9. Peraturan peringkat kreditur dibuat lebih mudah dimengerti, tanpa menghiraukan pihak yang harus didahulukan atau tidak.

10. Dibuatkan suatu prosedur yang membantu kurator Indonesia untuk memperoleh aset-aset di luar negeri dan pada waktu yang sama mengizinkan kurator asing untuk memperoleh aset-aset yang berada di Indonesia

11. Prosedur pengumpulan utang unilateral diperbaiki sehingga perusahaan dan individu dapat mengajukan permohonan Pailit dan PKPU sebagai upaya perlawanan

12. Mereka yang menyalahgunakan atau menghambat efektifitas perkara Kepailitan dan PKPU akan diberikan sanksi yang layak (contohnya denda, pidana penjara)

Apakah harapan anda tidak ada di atas? Jelaskan harapan anda di bawah ini:

1. ________________________________________________________________

2. ________________________________________________________________

3. ________________________________________________________________

NAMA ANDA: ___________________________________________ (jika anda tidak keberatan, kami menindaklanjuti harapan/keinginan anda)

Serahkan daftar harapan ini. Kami akan mengumpulkan, memilah dan mengungkap harapan yang paling populer di ujung hari.

101

Page 112: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

102

Lampiran 2 Contoh Bagaimana Pengambilan Suara Dilakukan

Page 113: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Indeks

Actio Pauliana, 40 Advokat, 2, 17, 36 badan hukum, 16, 18, 19, 20, 21, 22, 23,

25, 26, 28, 30, 47, 51, 52 buruh, 8, 13, 15, 29, 86, 87 Debitor, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 25, 36, 37, 47,

48, 70, 71, 80, 83, 88 Faillessements Verordening, 9 Faillissements Verordening, 1 fidusia, 5, 7, 47, 51 gadai, 5, 7, 47, 51 hak tanggungan, 5, 7, 47, 51, 84, 86, 89,

92, 94 Hakim Pengawas, i, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 12,

16, 36, 39, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 52, 68, 78

harta pailit, 1, 2, 3, 5, 7, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 28, 33, 35, 36, 37, 38, 39, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 50, 51, 52, 78, 82, 85, 94

hipotik, 5, 7, 51 insolvensi, 14, 15, 16, 33, 49, 50, 76, 85 Kasasi, 2, 5, 6, 20, 22, 23, 24, 25, 27, 29,

30, 31, 32, 68 kepailitan, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,

12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 26, 27, 29, 32, 33, 34, 35, 37, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 48, 49, 50, 51, 52, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95

Konkuren, 4, 5, 6, 7, 15 Kreditor, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 14, 15, 25, 37,

43, 44, 51, 70, 76, 77, 78, 80, 81, 83, 85, 89

KUH Perdata, 12, 13, 15, 19, 20, 23, 25, 26, 31, 34, 51

Kurator, i, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 9, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 28, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 68, 70, 77, 79, 80, 81, 84, 88, 89, 94

lelang, 14, 40, 51, 71, 75, 78, 79, 84, 88, 92

Likuidator, 15, 31, 32, 33, 35, 95 Mahkamah Agung, 10 Majelis Hakim, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 29,

30, 31, 32, 33, 42, 48 pailit, 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 12, 13, 14, 15, 16,

17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27,

28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 83, 85, 86, 88, 94

pajak, 12, 13, 14, 15, 16, 39, 85, 86, 93, 94 Panitia Kreditur, 37, 41 paritas creditorum, 12, 15 pemberesan, 1, 3, 5, 14, 15, 17, 19, 28, 31,

32, 33, 34, 35, 36, 37, 42, 43, 44, 45, 48, 50, 51, 52, 78

Penetapan, 4, 5, 7, 44, 68 Pengadilan Negeri, 2, 5, 7, 25, 28, 42, 91,

92 Pengadilan Niaga, 1, 2, 3, 4, 5, 8, 10, 12,

14, 17, 18, 20, 22, 23, 24, 25, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 40, 42, 43, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 68, 70, 80, 81, 82, 91

pengurusan, 1, 5, 15, 17, 19, 21, 27, 28, 31, 34, 35, 36, 37, 42, 43, 44, 45, 52, 69

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, i, 1, 9, 12, 17, 28, 41, 42, 68, 69, 76

perdamaian, 2, 3, 4, 5, 33, 48, 49, 50, 76, 83, 87

pernyataan pailit, 1, 2, 7, 19, 22, 27, 29, 37, 39, 42, 44, 45, 46, 70, 83

persekutuan, 19, 20, 21, 22, 23 piutang, 2, 3, 7, 9, 13, 14, 15, 17, 18, 24,

27, 34, 35, 36, 37, 38, 47, 48, 49, 50, 51, 69, 70, 72, 74, 85, 86, 94

preferen, 13, 15, 51, 83, 93 Putusan, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 16, 17, 20,

22, 23, 24, 25, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 34, 51, 68, 83, 84, 92

Rapat Kreditor, 2, 3, 77 renvooi, 2, 48 Separatis, i, 4, 5, 12, 13, 14, 15 serta merta, 1, 8, 42 Staatsblad, 9 teritorial, 89 tindak pidana, 14, 39, 70, 71, 72, 74, 75,

81 transnasional, 89 universal, 86, 89, 90 verifikasi, 2, 7, 15, 43, 46, 47, 48, 49, 50,

74 wanprestasi, 24, 25

103

Page 114: Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

Notes:

104