PROSIDING -...

124
Prosiding BPTP Karangploso No. 02 ISSN: 1410-9905 PROSIDING SEMINAR HASIL PENELITIAN/PENGKAJIAN BPTP KARANGPLOSO BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN PUSAT PENELITIAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KARANGPLOSO 2000

Transcript of PROSIDING -...

Page 1: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

Prosiding BPTP Karangploso No. 02 ISSN: 1410-9905

PROSIDING SEMINAR HASIL

PENELITIAN/PENGKAJIAN

BPTP KARANGPLOSO

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

PUSAT PENELITIAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN

BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KARANGPLOSO 2000

Page 2: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

PROSIDING SEMINAR HASIL PENELITIAN/PENGKAJIAN BPTP

KARANGPLOSO

Penyunting:

Ketua : Ir. Pudji Santoso, MS Ahli Peneliti Muda

Anggota : Dr. Suhardjo Peneliti Madya

Dr. H. Sembiring

Peneliti Madya

Ir. Uum Umiyasih

Peneliti Madya

Penyunting Pelaksana:

Drs. Martinus Sugiyarto, MP Dra. Endang Widajati Budi Santosa

DEPARTEMEN PERTANIAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KARANGPLOSO

2000

Page 3: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

Penerbitan buku ini dibiayai dari:

Bagian Proyek Pengkajian Teknologi Partisipatif Jawa Timur

1999/2000

BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN (BPTP) KARANGPLOSO

Jalan Raya Karangploso, KM.4, Kotak Pos 188 Malang 65101

Telp. : (0341) 494052; 485056

Fax. : (0341) 471255

e-mail : [email protected]

PROSIDING SEMINAR HASIL PENELITIAN/PENGKAJIAN

BPTP KARANGPLOSO

Penyunting : Ir. Pudji Santoso, MS.

Dr. Suhardjo

Dr. H. Sembiring

Ir. Uum Umiyasih.

Penyunting Pelaksana : Drs. Martinus Sugiyarto, MP.

Dra. Endang Widajati

Budi Santosa

Diterbitkan oleh : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Karangploso, 2000

ISSN : 1410-9905

Page 4: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

i

KATA PENGANTAR

Sesuai dengan SK Mentan no. 350/Kpts/OT.210/6/2001 tanggal 14 Juni 2001, BPTP Jawa Timur mempunyai fungsi dan tugas antara lain melakukan penelitian komoditas pertanian spesifik lokasi, melakukan pengujian dan perakitan teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi, dan menyampaikan paket teknologi hasil pengujian dan perakitan sebagai bahan materi penyuluhan pertanian. Berkaitan dengan tugas ini, tahun 1999/2000 BPTP Jawa Timur telah melaksanakan berbagai kegiatan penelitian/pengkajian tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perikanan, konservasi, dan aspek lain yang menyangkut kebijakan pembangunan pertanian di Jawa Timur. Hasil-hasil penelitian/pengkajian tersebut telah diinformasikan kepada pengguna (Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Peternakan, Dinas Perikanan, Balai Informasi Penyuluh Pertanian), serta instansi terkait lainnya, melalui kegiatan seminar yang dilaksanakan pada tanggal 8-9 Agustus 2000 di BPTP Jawa Timur dengan tema “Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian Teknologi Pertanian Mendukung Ketahanan Pangan Berwawasan Agribisnis”. Dalam seminar ini juga dibahas beberapa makalah utama dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Brawijaya (Fakultas Pertanian, Fakultas Peternakan, dan Fakultas Perikanan), dan Balitkabi Malang. Prosiding ini merupakan rangkuman dari seminar tersebut, yang penyusunannya dibiayai oleh Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif Jawa Timur TA. 2001. Pada kesempatan ini disampaikan terimakasih dan penghargaan kepada: (1) Kepala BPTP Jawa Timur yang telah menyediakan fasilitas dan menyiapkan

pelaksanaan seminar dengan baik.

(2) Pemimpin Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif Jawa Timur yang

telah menyediakan dana untuk pelaksanaan seminar dan penyusunan prosiding ini.

(3) Dekan Fakultas Pertanian, Peternakan dan Perikanan Universitas Brawijaya Malang,

Kepala Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Peternakan dan Dinas Perikanan,

serta Kepala Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanian, atas partisipasinya secara

aktif dalam kegiatan seminar ini.

(4) Tim Perumus, Tim Penyunting dan Panitia Pelaksana yang telah bekerja secara

maksimal sehingga pelaksanaan seminar dapat berjalan dengan baik dan

penyusunan prosiding ini bisa diselesaikan.

(5) Peneliti, penyuluh dan dosen yang telah menyiapkan makalah hasil penelitian untuk

disampaikan dalam seminar ini. Disadari bahwa prosiding ini masih terdapat kekurangan, dan sangat dihargai

adanya kritik dan saran untuk perbaikan selanjutnya. Akhirnya semoga prosiding ini bermanfaat bagi pembangunan pertanian di Jawa Timur. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian ttd Dr. Tahlim Sudaryanto Nip. 080 035 289

Page 5: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

ii

RUMUSAN

SEMINAR HASIL PENELITIAN/PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN

MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN BERWAWASAN AGRIBISNIS

BPTP KARANGPLOSO, MALANG, 8-9 AGUSTUS 2000

1. Reorientasi pembangunan pertanian yang telah ditetapkan Departemen Pertanian,

merupakan kebijaksanaan operasional yang harus diterapkan dalam mendukung

ketahanan pangan berwawasan agribisnis yang berkelanjutan. Kebijaksanaan

pembangunan harus cepat memberikan dampak nyata terhadap peningkatan

kesejahteraan petani.

2. Perubahan preferensi konsumen yang lebih memperhatikan aspek alamiah,

keamanan, kesehatan pangan dan aspek humanisasi pasar lainnya, menuntut

pengembangan hasil produksi usahatani yang ramah lingkungan. Tuntutan ini makin

penting artinya bila dikaitkan dengan makin rendahnya kandungan bahan organik

dalam tanah sawah (di Jawa sekitar 60% lahan sawah mempunyai kandungan bahan

organik kurang dari 1%). Penggunaan bahan organik ditekankan terutama pada

upaya memperbaiki kualitas sumberdaya lahan pertanian, sekaligus diharapkan

dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas produk pertanian. Kombinasi yang tepat

antara pupuk kimia dan organik tampaknya masih merupakan pilihan saat ini. Untuk

pengendalian hama dan penyakit, pengendalian secara biologis dan pestisida nabati,

serta penggunaan varietas tahan mempunyai harapan untuk dikembangkan. Namun

demikian, penggunaan pestisida kimia sebagai salah satu komponen PHT, masih

diperlukan apabila tingkat serangan hama/penyakit mencapai ambang pengendali.

3. Kebijaksanaan peningkatan produksi dan penyediaan pangan seperti program IP

padi 300 dan KUT, pelaksanaanya masih perlu diperbaiki, terutama pemahaman

petani kepada teknologi usahatani secara benar, sistem penyaluran KUT secara

benar, dan kelembagaan usahatani yang mantap. Model agribisnis seperti Proksi-

Inbis bisa digunakan sebagai acuan dalam membenahi kelembagaan usahatani.

4. Agroekosistem Jatim yang beragam merupakan salah satu potensi yang perlu

dimanfaatkan dalam usaha pengembangan pertanian. Penggunaan zona agroekologi

sistem pakar dapat membantu memilih komoditas yang sesuai dengan

agroekosistem masing-masing wilayah, sehingga dapat dikembangkan sistem

usahatani spesifik lokasi yang memiliki daya saing. Keunggulan komparatif suatu

komoditas bersifat dinamis, sehingga usahataninya harus memperhatikan

optimalisasi penggunaan SDA pertanian termasuk tenaga wanita, efisiensi

usahatani, potensi wilayah, serta distribusi dan perdagangan antar wilayah.

5. Secara umum pembangunan pertanian di Jawa Timur dihadapkan pada kendala

biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen), serta sosial

ekonomi meliputi kondisi internal petani (antara lain modal lemah dan pendidikan

kurang) dan kondisi eksternal petani (sistem perbenihan dan struktur pasar).

Masalah ini selalu menjadi acuan semua kegiatan pengkajian BPTP Karangploso.

Beberapa hasil penelitian yang disajikan dalam seminar ini (oral dan poster) dapat

digunakan sebagai acuan untuk mengatasi kendala tersebut, karena teknologi yang

dihasilkan terbukti dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani, serta

menambah pemahaman petani kepada teknologi usahatani yang benar. Diseminasi

Page 6: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

iii

hasil penelitian seperti Liptan dan siaran radio (RKIP Wonocolo) dirasa sangat

membantu dalam pencepatan adopsi teknologi oleh pengguna.

6. Beberapa masalah yang belum terpecahkan dan muncul dalam seminar ini, menjadi

masukan bagi BPTP Karangploso untuk dikaji lebih lenjut. Koordinasi antar instansi

terkait yang terkesan lemah, dan sistem kelembagaan usahatani yang kurang

memadai, merupakan masalah kita bersama, sehingga perlu pemecahan bersama.

Khusus teknik deteksi kesuburan tanah secara cepat, mudah dan benar, akan

didiskusikan dengan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya yang sedang

menyiapkan teknologinya. Permasalahan penting yang hingga saat ini belum

ditemukan pemecahannya adalah penyakit udang pada tambak di pantai Utara Jawa

Timur. Ini merupakan masukan bagi Balit Perikanan

Malang, 9 Agustus 2000

Tim Perumus

Dr. Sutjipto P.H

Ir. Rita Nur Suhaeti, Msi

Ir. Moh. Cholil Mahfud, MS

Ir. M. Ali Yusron, MS

Page 7: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

RUMUSAN SEMINAR HASIL PENELITIAN/PENGKAJIAN TEKNOLOGI

PERTANIAN MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN BERWAWASAN

AGRIBISNIS

ii

DAFTAR ISI iv

I. MAKALAH UTAMA

KEBIJAKSANAAN STRATEGIS DALAM MENDUKUNG KETAHANAN

PANGAN BERWAWASAN AGRIBISNIS

(Tahlim Sudaryanto dan I Wayan Rusastra)

1

SISTEM PERTANIAN ORGANIK

(Yogi S.dan Yulia N.A.)

14

HASIL UTAMA PENELITIAN ANEKA TANAMAN KACANG DAN UMBI

(Nasir Saleh dan Astanto Kasno)

25

PENGARUH KEPADATAN TANAMAN TOMAT TERHADAP

PERTUMBUHAN DAN HASIL KUBIS SERTA PERKEMBANGAN HAMA

Plutella xylostella L. SECARA TUMPANGSARI DENGAN DAN TANPA

INSEKTISDA BIOLOGIS

(Ferziana, L. Agustina dan G. Mudjiono)

42

BIOLOGI DAN DISTRIBUSI SUMBERDAYA UDANG PENAEID

BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN SELAT MADURA

(Daduk S., D. Nugroho, TJ. Lelono, D.G.R. Wiadnya dan Martinus).)

50

PREDIKSI DAMPAK RESIDU OKSITETRASIKLIN DALAM DAGING BROILER PADA KONSUMEN DAGING BROILER

(Siswanto)

62

PENGGUNAAN ZONA-AGROEKOLOGI DALAM MENDUKUNG

PRIORITAS PEMBANGUNAN PERTANIAN DAERAH

(DP. Saraswati)

69

HASIL PELAKSANAAN PROKSI-INBIS PROPINSI JAWA TIMUR

(F. Kasijadi, A. Suryadi, N. Pangarsa, G.N. Wirawan dan H. Subagio)

78

II. MAKALAH PENUNJANG

A. PADI DAN PALAWIJA

PENGKAJIAN SISTEM USAHATANI PADI GOGO DI LAHAN KERING

JAWA TIMUR

(S. Roesmarkam, Suwono, Moh. Ismail W, Sarwono, S.R. Soemarsono, G.N.

Wirawan, H. Suseno dan C. Ismail)

94

PENGKAJIAN SISTEM USAHA PERTANIAN DAN EFISIENSI PUPUK

PADA PADI DI EKOREGION LAHAN IRIGASI

(Suwono, F. Kasijadi, Suyamto, S. Roesmarkam, L. Rosmahani, Sentot R.S.,

Sunarsedyono, B. Siswanto, M . Ismail W, Suliyanto, G. Kustiono, G.

Effendi, M. Saeri, Supriyadi, Mardjuki, H. Sutanto)

104

Page 8: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

v

UJI ADAPTASI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH

(Moh. Ismail-Wahab dan Suwono)

121

PENGKAJIAN SISTEM USAHA PERTANIAN JAGUNG DI LAHAN

KERING

(F. Kasijadi, Moh. Ismail W., H. Suseno dan W. Istuti)

127

UJI ADAPTASI CALON VARIETAS UNGGUL JAGUNG SPESIFIK

LOKASI LAHAN KERING

(B. Pikukuh, Abu, S. Roesmarkam, dan Moh. Ismail-Wahab)

139

PENGKAJAIAN SISTEM USAHATANI JAGUNG DI LAHAN KERING

(Z. Arifin, Sumarno, F. Kasijadi, Suwono, Wahyunindyawati, S. Roesmarkam,

B. Tegopati, C. Ismail, M. Sugiyarto, R.D. Wijadi dan Suhardi)

145

PENGKAJIAN PERTANAMAN LORONG GLIRICIDAE DENGAN

JAGUNG: PENGARUH JARAK TANAM TANAMAN JAGUNG

TERHADAP PRODUKSI HIJAUAN PAKAN

(AR. Effendy, M. AliYusran, U.Umiyasih, A. Rasyid dan Aryogy)

160

PENGKAJIAN TEKNIK PRODUKSI BENIH KEDELAI VARIETAS

UNGGUL

(C. Ismail, Al-Budijono, dan G. Kustiono)

175

UJI ADAPTASI CALON VARIETAS UNGGUL KEDELAI

(G. Effendi, G. Kustiono dan Sahuri)

182

PENGKAJIAN SISTEM USAHA PERTANIAN KEDELAI DI JAWA

TIMUR

(Roesmiyanto, N. Pangarsa, S. Roesmarkam, S. Yuniastuti, E. Purnomo,

W. Istuti, F. Kasijadi, Suyamto, Suhardjo, Handoko, Nasimun,

Mahfudi, A. Syaichu, dan B. Suwandi, )

191

UJI ADAPTASI RAKITAN TEKNOLOGI USAHATANI KACANG HIJAU

DI LAHAN KERING

(Sunarsedyono, L. Rosmahani, Handoko, N. Istiqomah,

Sunaryo, dan Roshid)

210

B. BUAH-BUAHAN

PENGKAJIAN PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK PADA BEBERAPA

KLON ANGGUR HARAPAN BANJARSARI

(B. Tegopati, Baswarsiati, L. Munir, dan M. Sugiyarto)

219

KAJIAN PENGGUNAAN KNO3 UNTUK PEMBUAHAN PADA

TANAMAN APEL ROME BEAUTY DAN MANALAGI

(D. Setyorini, Suhariyono, Sutopo, dan J.B. Suharman)

225

PENGKAJIAN PENGGUNAAN BEBERAPA VARIETAS BATANG

TENGAH PADA PERBANYAKAN APEL VARIETAS HUANG LIN DAN

SWEET CAROLINE

(Suhardi, Hardiyanto, Suhariyono, A. Sugiyatno dan Slamet)

230

Page 9: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

vi

KAJIAN TEKNIK PENGELOAAN MANGGA ARUMANIS 143 DI

CUKURGONDANG

(Sarwono, T. Purbiati, A.R. Effendy, Jumadi dan Abu)

237

PENGKAJIAN PENGELOLAAN TANAMAN MANGGA ARUMANIS

JARAK TANAM RAPAT

(S. Yuniastuti, Al-Budijono, E. Sugiyartini, Hanafi dan M. Ghozali)

244

PENGKAJIAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN MANGGA TUA

VARIETAS ARUMANIS

(Al-Budijono, Yuniarti, E.P. Kusumainderawati dan E. Retnanintyas)

253

PENGKAJIAN SISTEM USAHA PERTANIAN MANGGA ARUMANIS

BERBASIS EKOREGIONAL LAHAN KERING

(Suhardjo, P. Santoso, Much. Soleh, Yuniastuti, T. Purbiati, B. Tegopati,

B. Pikukuh, B. Siswanto, A.R. Effendy, Al-Budijojo, Sarwono, Yuniarti,

Handoko, A. Suryadi, Wahyudi, Yuwoko, Endriyanto dan Bonimin)

260

EVALUASI BEBERAPA VARIETAS JERUK MANIS INTRODUKSI

( A. Sugiyatno,Hardiyanto, M. Sugiyarto, dan DP. Saraswati)

275

PEMANFAATAN LARUTAN MIKROORGANISME DALAM

PERBAIKAN PENGELOLAAN POHON INDUK JERUK BEBAS

PENYAKIT DI POT DALAM RUMAH KASA

(A. Triwiratno, A. Supriyanto, Djoema’ijah dan H. Mulyanto)

285

PENGKAJIAN RAKITAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN KEBUN

JERUK MANIS

(A. Sugiyanto, A. Triwiratno, O. Endarto, DP. Saraswati, dan Hardianto)

293

PENGKAJIAN SISTEM USAHA PERTANIAN JERUK BEBAS

PENYAKIT MENDUKUNG REHABILITASI SENTRA PRODUKSI

(A. Supriyanto, O. Endarto, Sutopo, M. Sugiyarto, A. Triwiratno,

Suhardi, S. Nurbana, P. Santoso, B. Victor-Lotulung, Suhariyono,

A. Sugiyatno, Setiono, D.P. Saraswati, dan D.A. Susanto)

304

PENGKAJIAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN INDUK

SALAK

(R.D. Wijadi, E. Sugiyartini dan Martono)

326

PENGKAJIAN KELEMBAGAAN AGRIBISNIS PISANG PADA

EKOREGION LAHAN KERING

(P. Santoso, F. Kasijadi, Yuniarti, N. Pangarsa, Wahyunindyawati,

A. Suryadi, Al-Budijono, B. Nusantoro dan Bonimin)

332

PENGKAJIAN PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK PADA TANAMAN

BUAH-BUAHAN DALAM POT

(E. Retnaningtyas, Baswarsiati, D. Rachmawati, EP. Kusumainderawati, dan

Martono)

343

RAKITAN TEKNIK PEMBENTUKAN HIBRIDA MELON: UJI 13

GALUR F5 MELON (Cucuinus melo)

(M. Sugiyarto, B. Tegopati, M.C. Mahfud, Baswarsiati, dan Martono)

349

Page 10: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

vii

C. SAYURAN

UJI RAKITAN TEKNOLOGI KENTANG SPESIFIK LOKASI DATARAN

TINGGI

(Djoma’ijah, M.E. Dwiastuti, E. Retnaningtyas, B. Victor-Lotulung dan

Sukadi)

357

UJI ADAPTASI RAKITAN TEKNOLOGI USAHATANI BAWANG

MERAH DI LAHAN KERING

(E. Korlina, L. Rosmahani, Baswarsiati, S. Zunaini S., dan Sakur)

366

UJI ADAPTASI RAKITAN TEKNOLOGI PERBANYAKAN BIBIT

BAWANG MERAH VARIETAS PHILIPINE

(H. Susanto, E. Korlina, D. Rachmawati, dan Baswarsiati)

375

UJI ADAPTASI CALON VARIETAS UNGGUL BAWANG MERAH

(Baswarsiati, T. Purbiati, L. Moenir dan Indriana R.D.)

382

REVIEW PENGKAJIAN SISTEM USAHATANI BAWANG MERAH DI

LAHAN SAWAH

(Baswarsiati, L. Rosmahani dan E. Korlina)

392

PENGKAJIAN RAKITAN TEKNOLOGI USAHATANI BAWANG PUTIH

DATARAN TINGGI LAHAN KERING

(M. Soleh, P. Santoso, A.G. Pratomo, B. Pikukuh, O. Endarto, dan

S. Nurbana)

404

UJI ADAPTASI CALON VARIETAS UNGGUL CABAI MERAH

(E.P. Kusumainderawati, Sarwono, Sunarsedyono, E. Retnaningtyas,

E. Sugiyartini, N. Istoqomah, L. Moenir, dan E. Suryono

414

UJI ADAPTASI RAKITAN TEKNOLOGI USAHATANI CABAI DI

LAHAN KERING

(Wahyunindyawati, Abu, B. Pikukuh, E.P. Kusumainderawati, Sarwono,

dan S. Nurbana)

420

UJI ADAPTASI RAKITAN TEKNOLOGI USAHATANI KACANG

PANJANG DI LAHAN KERING

(Al-G. Pratomo, Nirmala F.D., L. Rosmahani, dan D.P. Saraswati)

432

UJI ADAPTASI BEBERAPA GALUR HARAPAN TOMAT SPESIFIK

LOKASI JAWA TIMUR

(Hardiyanto, Suhardi, Suhariyono dan Nirmala F.D.)

438

PENGKAJIAN TEKNIK BUDIDAYA BEBERAPA TANAMAN SAYURAN

SECARA ORGANIK DI WILAYAH SEKITAR PERKOTAAN

(M.C. Mahfud,D. Rachmawati, A. Suryadi, Sarwono, W. Istuti, Jumadi,

Sariati, dan D. Siswanto)

445

PENGKAJIAN RAKITAN TEKNOLOGI PERTANIAN ORGANIK

SAYURAN DAERAH PERI URBAN

(Sarwono, Yuniarti, M. Soleh, Wahyunindyawati, Al. Budijono, dan Subandi)

454

Page 11: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

viii

PENGKAJIAN SKALA USAHATANI KOMODITAS SAYURAN DI

WILAYAH SEKITAR PERKOTAAN: (KASUS DI KABUPATEN

SIDOARJO)

(A. Suryadi, D. Hardini, H. Subagio dan B. Nusantoro)

463

PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN ORGANIK PADA

USAHATANI SAYURAN DI DATARAN MEDIUM

(R. Hardianto, H, Sembiring, D. Hardini, B. Nusantoro, D. Siswanto, dan

Subandi)

470

PENGKAJIAN PAKET TEKNOLOGI BUDIDAYA SAYURAN

PEKARANGAN UNTUK PENINGKATAN GIZI DAN PENDAPATAN

PETANI DI LAHAN KERING

(O. Endarto, Yuniarti, H. Sembiring, Suhardi, S. Nurbana, dan Cahyono)

479

D. TANAMAN PERKEBUNAN DAN TAHUNAN

UJI ADAPTASI RAKITAN TEKNOLOGI USAHATANI UBIKAYU DI

LAHAN KERING

(Handoko, Z. Arifin, G. Kustiono, M. Sugiyarto dan Jumadi)

486

PENGKAJIAN RAKITAN TEKNOLOGI SISTEM USAHATANI CABE

JAMU DI LAHAN KERING DATARAN RENDAH

(Much Soleh, M.C. Mahfud, Moh. Ismail-Wahab, A. Suryadi,

D. Rachmawati, R.D. Wijadi, dan N. Pangarsa).

492

STUDI PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN PHT PADA TANAMAN

KOPI

(M.C. Mahfud, L. Rosmahani, D. Rachmawati, Handoko, Sarwono, E.

Korlina, M. Soleh, A. Suryadi, W. Istuti dan Jumadi)

507

UJI APLIKASI DAN PENGEMBANGAN RAKITAN TEKNOLOGI PHT

TANAMAN KOPI

(L. Rosmahani, D. Rachmawati, Sarwono, E.Korlina, M.Soleh, dan

A.Suryadi)

519

PENINGKATAN PEMAHAMAN PETANI KEPADA PHT

(M.C. Mahfud, D. Rachmawati, L. Rosmahani, Handoko, Sarwono dan

E. Korlina)

528

PENGKAJIAN BUDIDAYA BUNGA MAWAR EKOREGION DATARAN

TINGGI

(T. Purbiati, Wahyunindyawati, Suhariyono, O. Endarto dan H.

Mulyanto)

534

E. PETERNAKAN

PENGKAJIAN SISTEM PENGELOLAAN SAPI POTONG INDUK

(D.B. Wijono, Aryogi, U. Umiyasih,dan D.E. Wahyono)

547

PENGKAJIAN TEKNOLOGI PENGGEMUKAN SAPI POTONG

(U. Umiyasih, Aryogi. M. Ali Yusran, D. B. Wijono, dan D. E. Wahyono)

555

Page 12: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

ix

KAJIAN TEKNIK PENGGEMUKAN DOMBA

(D. .E. Wahyono , D.B. Wijono, L. Affandhy, D. Pamungkas dan U. Umiyasih)

564

F. PERIKANAN

PENGKAJIAN TEKNOLOGI BUDIDAYA UDANG WINDU

(Sutanto J.T., A. Muhariyanto, Diatri-Krissunari, dan Yuly-Astuti) 573

G. PERTANIAN UMUM DAN KONSERVASI

HASIL PENGKAJIAN ANALISIS MASALAH PEMBANGUNAN

PERTANIAN DI JAWA TIMUR

(Suyamto H., F. Kasijadi, R. Hardianto, M.C. Mahfud, L. Rosmani dan

Suwono)

588

PENGKAJIAN EFEITIVITAS MEDIA DISEMINASI

(Hendri Arianto) 596

PENGKAJIAN ANALISIS GENDER PADA PENGOLAHAN HASIL

PERTANIAN UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN

AGROINDUSTRI PEDESAAN

(S.R. Soemarsono, Suhardjo, Yuniarti, Suhardi, Wahyunindyawati, E. Retnaningtyas, B. Nusantoro, W. Istuti, H. Subagio, dan H. Suseno)

603

ANALISIS DAMPAK PENERAPAN SUTPA DI JAWA TIMUR

(Herman S, Purwanto, M Ismail W,Suliyanto dan F Kasijadi)

626

PENGKAJIAN PEMANFAATAN EMBUNG UNTUK PENGEMBANGAN

USAHATANI TERPADU DI LAHAN KERING

(Yuniarti, Z. Arifin, E. Korlina, R. Hardianto dan P. Santoso)

636

PENGKAJIAN PAKET TEKNOLOGI USAHATANI KONSERVASI DI

DAERAH PENYANGGA KAWASAN KONSERVASI ALAM

(R. Hardianto, H. Sembiring, Al-G. Pratomo, B. Nusantoro, D.P. Saraswati, D. Hardini, D. Siswanto dan L Haryanto)

651

PENGKAJIAN SISTEM USAHATANI KONSERVASI TERPADU DI

LAHAN KERING PERBUKITAN KAPUR

(Al. G. Pratomo, H. Sembiring, R. Hardianto, A. Sugiyatno, dan B. Supriyono)

658

LAMPIRAN

DAFTAR PESERTA 666

SUSUNAN PANITIA 671

JADWAL PELAKSANAAN 672

Page 13: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

Prosiding Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian BPTP Karangploso TA. 1999/2000 No. 6

i

KATA PENGANTAR

Risalah Seminar ini merupakan dokumentasi hasil penelitian/pengkajian

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Karangploso tahun kerja 1999-

2000. Seminar pembahasan makalah dan ekspose ini dilakukan pada tanggal 8-

9 Agustus 2000 di Kantor BPTP, diikuti oleh staf Dinas Pertanian Tingkat I dan

Tingkat II, Dinas Peternakan Tingkat II, BIPP, peneliti dari Balit dan dari

Instansi Pendidikan/Latihan APP, BLPP dan Universitas.

Dari seminar tersebut diperoleh manfaat ganda, yakni hasil penelitian/

pengkajian secara langsung dikomunikasikan dengan pengguna, sedangkan

peneliti/ penyuluh BPTP dapat memperoleh umpan balik dari para pengguna.

Jabaran informasi yang lebih mudah dimengerti oleh penyuluh lapang

kami harapkan dapat dilakukan oleh rekan kerja di BIPP di Propinsi Jawa

Timur.

Kami menyampaikan terima kasih kepada panitia seminar dan kepada

penyunting makalah, hingga dapat terwujudnya risalah ini. Semoga informasi

yang tersedia pada risalah ini bermanfaat bagi keberhasilan pembangunan

pertanian di Propinsi Jawa Timur, dan di Indonesia pada umumnya.

Malang, 2000

Kepala Balai,

Dr. Suyamto H

Ahli Peneliti Utama

Page 14: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

Prosiding Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian BPTP Karangploso TA. 1999/2000 No. 6

ii

RUMUSAN

SEMINAR HASIL PENELITIAN/PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN

MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN BERWAWASAN AGRIBISNIS

BPTP KARANGPLOSO, MALANG, 8-9 AGUSTUS 2000

1. Reorientasi pembangunan pertanian yang telah ditetapkan Departemen Pertanian,

merupakan kebijaksanaan operasional yang harus diterapkan dalam mendukung

ketahanan pangan berwawasan agribisnis yang berkelanjutan. Kebijaksanaan

pembangunan harus cepat memberikan dampak nyata terhadap peningkatan

kesejahteraan petani.

2. Perubahan preferensi konsumen yang lebih memperhatikan aspek alamiah,

keamanan, kesehatan pangan dan aspek humanisasi pasar lainnya, menuntut

pengembangan hasil produksi usahatani yang ramah lingkungan. Tuntutan ini makin

penting artinya bila dikaitkan dengan makin rendahnya kandungan bahan organik

dalam tanah sawah (di Jawa sekitar 60% lahan sawah mempunyai kandungan bahan

organik kurang dari 1%). Penggunaan bahan organik ditekankan terutama pada

upaya memperbaiki kualitas sumberdaya lahan pertanian, sekaligus diharapkan

dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas produk pertanian. Kombinasi yang tepat

antara pupuk kimia dan organik tampaknya masih merupakan pilihan saat ini. Untuk

pengendalian hama dan penyakit, pengendalian secara biologis dan pestisida nabati,

serta penggunaan varietas tahan mempunyai harapan untuk dikembangkan. Namun

demikian, penggunaan pestisida kimia sebagai salah satu komponen PHT, masih

diperlukan apabila tingkat serangan hama/penyakit mencapai ambang pengendali.

3. Kebijaksanaan peningkatan produksi dan penyediaan pangan seperti program IP

padi 300 dan KUT, pelaksanaanya masih perlu diperbaiki, terutama pemehaman

petani kepada teknologi usahatani secara benar, sistem penyaluran KUT secara

benar, dan kelembagaan usahatani yang mantap. Model agribisnis seperti Proksi-

Inbis bisa digunakan sebagai acuan dalam membenahi kelembagaan usahatani.

4. Agroekosistem Jatim yang beragam merupakan salah satu potensi yang perlu

dimanfaatkan dalam usaha pengembangan pertanian. Penggunaan zona agroekologi

sistem pakar dapat membantu memilih komoditas yang sesuai dengan

agroekosistem masing-masing wilayah, sehingga dapat dikembangkan sistem

usahatani spesifik lokasi yang memiliki daya saing. Keunggulan komparatif suatu

komoditas bersifat dinamis, sehingga usahataninya harus memperhatikan

optimalisasi penggunaan SDA pertanian termasuk tenaga wanita, efisiensi

usahatani, potensi wilayah, serta distribusi dan perdagangan antar wilayah.

5. Secara umum pembangunan pertanian di Jawa Timur dihadapkan pada kendala

biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen), serta sosial

ekonomi meliputi kondisi internal petani (antara lain modal lemah dan pendidikan

kurang) dan kondisi eksternal petani (sistem perbenihan dan struktur pasar).

Masalah ini selalu menjadi acuan semua kegiatan pengkajian BPTP Karangploso.

Beberapa hasil penelitian yang disajikan dalam seminar ini (oral dan poster) dapat

digunakan sebagai acuan untuk mengatasi kendala tersebut, karena teknologi yang

dihasilkan terbukti dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani, serta

menambah pemahaman petani kepada teknologi usahatani yang benar. Diseminasi

Page 15: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

Prosiding Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian BPTP Karangploso TA. 1999/2000 No. 6

iii

hasil penelitian seperti Liptan dan siaran radio (RKIP Wonocolo) dirasa sangat

membantu dalam pencepatan adopsi teknologi oleh pengguna.

6. Beberapa masalah yang belum terpecahkan dan muncul dalam seminar ini, menjadi

masukan bagi BPTP Karangploso untuk dikaji lebih lenjut. Koordinasi antar instansi

terkait yang terkesan lemah, dan sistem kelembagaan usahatani yang kurang

memadai, merupakan masalah kita bersama, sehingga perlu pemecahan bersama.

Khusus teknik deteksi kesuburan tanah secara cepat, mudah dan benar, akan

didiskusikan dengan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya yang sedang

menyiapkan teknologinya. Permasalahan penting yang hingga saat ini belum

ditemukan pemecahannya adalah penyakit udang pada tambak di pantai Utara Jawa

Timur. Ini merupakan masukan bagi Balit Perikanan

Malang, 9 Agustus 2000

Tim Perumus

Dr. Sutjipto P.H

Ir. Rita Nur Suhaeti, Msi

Ir. Moh. Cholil Mahfud, MS

Ir. M. Ali Yusron, MS

Page 16: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

Prosiding Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian BPTP Karangploso TA. 1999/2000 No. 6

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

RUMUSAN SEMINAR HASIL PENELITIAN/PENGKAJIAN TEKNOLOGI

PERTANIAN MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN BERWAWASAN

AGRIBISNIS

ii

DAFTAR ISI iv

I. MAKALAH UTAMA HASIL UTAMA PENELITIAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN (PSE)

HASIL UTAMA PERTANIAN ORGANIK

HASIL UTAMA PENELITIAN TANAMAN PANGAN

HASIL UTAMA PENELITIAN PERIKANAN

HASIL UTAMA PENELITIAN PETERNAKAN

PENDEKATAN ZONA AGROEKOLOGI UNTUK PENGEMBANGAN

KOMODITAS UNGGULAN DAERAH

REVIEW KEGIATAN PROKSI-INBIS DI JAWA TIMUR

II. MAKALAH PENUNJANG

A. PADI

HASIL PENGKAJIAN PADI GOGO DI EKOREGION LAHAN KERING

PENGKAJIAN SISTEM USAHA PERTANIAN PADI DAN EFISIENSI

PUPUK DI EKOREGION LAHAN IRIGASI

UJI ADAPTASI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH

HASIL PENGKAJIAN SISTEM USAHA PERTANIAN JAGUNG DI

LAHAN KERING

UJI ADAPTASI CALON VARIETAS UNGGUL JAGUNG SPESIFIK LOKASI LAHAN KERING

PENGKAJAIAN SISTEM USAHATANI JAGUNG DI LAHAN KERING

PENGKAJIAN PERTANAMAN LORONG GLIRICIDIA DENGAN

JAGUNG: PENGARUH JARAK TANAM TANAMAN JAGUNG

TERHADAP PRODUKSI HIJAUAN PAKAN

PENGKAJIAN TEKNIK PRODUKSI BENIH KEDELAI VARIETAS

UNGGUL

UJI ADAPTASI CALON VARIETAS UNGGUL KEDELAI

Page 17: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

Prosiding Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian BPTP Karangploso TA. 1999/2000 No. 6

v

UJI ADAPTASI RAKITAN TEKNOLOGI USAHATANI KACANG HIJAU

DI LAHAN KERING

PENGKAJIAN SISTEM USAHATANI KACANG TANAH DI

EKOREGION LAHAN KERING

B. PENELITIAN/PENGKAJIAN BUAH-BUAHAN

PENGKAJIAN PENGGUNAAN PUPUK PADA BEBERAPA KLON ANGGUR

HARAPAN BANJARSARI

KAJIAN PENGGUNAAN KNO3 UNTUK PEMBUAHAN PADA TANAMAN

APEL ROME BEAUTY DAN MANALAGI

PENGKAJIAN PENGGUNAAN BEBERAPA VARIETAS BATANG TENGAH

PADA PERBANYAKAN APEL VARIETAS HUANG LIN DAN SWEET

CAROLINE

KAJIAN TEKNIK PENGELOAAN MANGGA ARUMANIS 143 DI CUKUR

GONDANG

PENGKAJIAN PENGELOLAAN TANAMAN MANGGA ARUMANIS JARAK

TANAM RAPAT

PENGKAJIAN TEKNOLOGI [ENGELOLAAN MANGGA TUA VARIETAS

ARUMANIS

PENGKAJIAN SISTEM USAHA PERTANIAN MANGGA ARUMANIS

BERBASIS EKOREGIONAL LAHAN KERING

PEMANFAATAN LARUTAN MIKROORGANISME DALAM PERBAIKAN

PENGELOLAAN POHON INDUK JERUK BEBAS PENYAKIT DI POT

DALAM RUMAH KASA

PENGKAJIAN SISTEM USAHA PERTANIAN JERUK BEBAS PENYAKIT

MENDUKUNG REHABILITASI SENTRA PRODUKSI

PENGKAJIAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN INDUK SLAK

PENGKAJIAN KELEMBAGAAN AGRIBISNIS PPISANG PADA

EKOREGION LAHAN KERING

PENGKAJIAN PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK PADA TANAMAN BUAH-

BUAHAN DALAM POT

PENGKAJIAN RAKITAN TEKNOLOGI PEMBENTUKAN CALON TETUA

UNTUK PRODUKSI BENIH MELON HIBRIDA

C. PENELITIAN/PENGKAJIAN SAYUR-SAYURAN

UJI RAKITAN TEKNOLOGI KENTANG SPESIFIK LOKASI DATARAN TINGGI

UJI ADAPTASI RAKITAN TEKNOLOGI USAHATANI BAWANG MERAH DI LAHAN KERING

UJI ADAPTASI RAKITAN TEKNOLOGI PERBANYAKAN BIBIT BAWANG MERAH VARIETAS PHILIPINE

Page 18: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

Prosiding Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian BPTP Karangploso TA. 1999/2000 No. 6

vi

UJI ADAPTAI CALON VARIETAS UNGGUL BAWANG MERAH

HASIL PENGKAJIAN SISTEM USAHATANI BAWANG MERAH

PENGKAJIAN RAKITAN TEKNOLOGI USAHATANI BAWANG PUTIH

DATARAN TINGGI LAHAN KERING

UJI ADAPTASI CALON VARIETAS UNGGUL CABAI MERAH

UJI ADAPTASI RAKITAN TEKNOLOGI USAHATANI CABAI DI LAHAN KERING

Page 19: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

Prosiding Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian BPTP Karangploso TA. 1999/2000 No. 6

vii

UJI ADAPTASI RAKITAN TEKNOLOGI USAHATANI KACANG PANJANG DI LAHAN KERING

UJI ADAPTASI AAPTASI BEBERAPA GALUR HARAPAN TOMAT SPESIFIK LOKASI JAWA TIMUR

PENGKAJIAN TEKNIK BUDIDAYA BEBERAPA TANAMAN SAYURAN SECARA ORGANIK DI WILAYAH SEKITAR PERKOTAAN

PENGKAJIAN SKALA USAHATANI KOMODITAS SAYURAN DI WILAYAH SEKITAR PERKOTAAN: (KASUS DI KABUPATEN SIDOARJO)

PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN ORGANIK PADA USAHATANI SAYURAN DI DATARAN MEDIUM

PENGKAJIAN PAKET TEKNOLOGI BUDIDAYA SAYURAN PEKARANGAN UNTUK PENINGKATAN GIZI DAN PENDAPATAN PETANI DI LAHAN KERING

D. PENELITIAN/PENGKAJIAN TANAMAN PERKEBUNAN DAN TAHUNAN

UJI ADAPTASI RAKITAN TEKNOLOGI USAHATANI UBIKAYU DI LAHAN KERING

HASIL PENGKAJIAN BUDIDAYA CABE JAMU

HASIL PENGKAJIAN TEKNOLOGI PHT KOPI

UJI APLIKASI DAN DAMPAK PENGEMBANGAN RAKITAN TEKNOLOGI PHT TANAMAN KOPI

E. PENELITIAN/PENGKAJIAN PETERNAKAN

PENGKAJIAN SISTEM PENGELOLAAN SAPO POTONG INDUK

HASIL PENGKAJIAN PENGGEMUKAN SAPI POTONG

HASIL PENGKAJIAN PENGGEMUKAN DOMBA EKOR GEMUK

PENGKAJIAN SISTEM USAHA PERTANIAN AYAM BURAS

HASIL UTAMA PENELITIAN PETERNAKAN

F. PENELITIAN/PENGKAJIAN PERIKANAN

HASIL PENGKAJIAN BUDIDAYA UDANG WINDU

PENGKAJIAN TEKNOLOGI BUDIDAYA KATAK LEMBU

HSIL UTAMA PENELITIAN PERIKANAN

Page 20: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

Prosiding Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian BPTP Karangploso TA. 1999/2000 No. 6

viii

G. PENELITIAN/PENGKAJIAN PERTANIAN UMUM DAN

KONSERVASI

HASIL UTAMA PERTANIAN ORGANIK

PENDEKATAN ZONA AGROEKOLOGI UNTUK PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN DAERAH

REVIEW KEGIATAN PROKSI-INBIS DI JAWA TIMUR

HASIL PENGKAJIAN ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIAN DI JAWA TIMUR

HASIL PENGKAJIAN EFEKTIVITAS MEDIA DISEMINIASI

HASIL PENGKAJIAN ANALISIS GENDER PADA PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

ANALISIS DAMPAK PENERAPAN SUTPA DI JAWA TIMUR

PENGEMBANGAN DAN PENYEBARAN MEDIA INFORMASI TEKNOLOGI PERTANIAN

TEMU INFORMASI TEKNOLOGI PERTANIAN

TEMU APLIKASI TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGKAJIAN PEMANFAATAN EMBUNG UNTUK PENGEM-BANGAN USAHATANI TERPADU DI LAHAN KERING

PENGKAJIAN PAKET TEKNOLOGI USAHATANI KONSERVASI DI DAERAH PENYANGGA KAWASAN KONSERVASI ALAM

PENGKAJIAN SISTEM USAHATANI KONSERVASI TERPADU DI LAHAN KERING PERBUKITAN KAPUR

LAMPIRAN

DAFTAR PESERTA

Page 21: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

486

UJI ADAPTASI RAKITAN TEKNOLOGI USAHATANI UBIKAYU DI LAHAN KERING

(Adaptation test of Package Tehnology Farming System of Cassava In Dry-Land)

Handoko, Z. Arifin, G. Kutiono, M. Sugiyarto, dan Jumadi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Karangploso

ABSTRAK

Teknologi budidaya ubikayu di beberapa daerah masih beragam, tanpa didasari dengan

pengetahuan yang cukup mengenai sumber daya yang tersedia sehingga produktifitasnya belum

optimal. Produktifitas ubikayu di lahan entisol dengan bulan kering kumulatif lebih dari 4 bulan,

suhu tanah rata-rata tahunan lebih dari 22 derajat Celcius, pada ketinggian kurang dari 700 m

dpl (Entisol ustic isohyperthermic (Ent.3.1) dapat ditingkatkan dengan penerapan teknologi.

Jarak tanam rapat (100 X 40) cm dan pemupukan berimbang dosis rendah (Urea 100 + SP-36 50

+ KCl 50 + pupuk kandang 10.000) kg meningkatkan hasil ubikayu tujuh kali lipat (44,01

ton/Ha). Teknologi budidaya ubikayu yang paling efisien (R/C ratio 2,77) dan memberikan

keuntungan tertinggi (Rp. 5.627.840/Ha) adalah penerapan jarak tanam rapat dengan pemupukan

berimbang dosis rendah (Urea 100 + SP-36 50 + KCl 50 + pupuk kandang 10.000) kg per hektar,

penyiangan dua kali dan pembumbunan.

Kata kunci : ubikayu, lahan kering, pemupukan dan jarak tanam

ABSTRACT

Various cassava culture technic on several central of production, unenough knowing about

available resources make un optimum productivity. The productivity of cassava wich planted on

Entisol-land, within dry-month cumulative over than 4 months, land temperature average of year

over than 22o

C, on altitude less than 700 m beyond sea level (Entisol ustic isohyperthermic) could

be increased by appropriate technic of culture implementation. Thichkly planted (100 X 40) cm

and low dose integrated-fertilizeng (Urea 100 + SP-36 50 + KCl 50 + manure 10.000) kg could

increas cassava yield 7 times (44,01 ton/Ha). Neverteless, the low dose integrated-fertilizing (Urea

100 + SP-36 50 + KCl 50 + mature 10,000) kg/Ha, two times thinning treatment were the most

efficient technic (R/C ratio 2,77) and gave highest margin (Rp. 5,627,840;)

Key words : cassava, dry land, fertilizeng and thichkly planted

PENDAHULUAN

Luas lahan Entisol di Jawa Timur yang mempunyai bulan kering lebih dari 4 bulan, suhu

tanah rata-rata tahunan lebih dari 22 derajat Celsius, pada ketinggian kurang dari 700 m dpl dengan

topografi berombak sampai bergelombang (Ent.3.1) mencapai 489.375 hektar tersebar di 19

kabupaten, diantaranya Situbondo (Legowo dkk., 1997).. Kabupaten Situbondo sebagai daerah

pengembangan ubikayu diharapkan mampu memasok bahan baku ke wilayah kabupaten

Bondowoso yang merupakan produsen tape. Tape yang disukai konsumen memiliki beberapa

kriteria yaitu rasa manis, tidak berserat, tekstur lunak homogen, aroma enak, warna bagus, waktu

masak cepat dan ubi kayu tidak mudah hancur sebelum difermentasi (Antarlina dkk, 1993; Utomo

dkk, 1991).

Petani ubikayu di kabupaten Situbondo berkeyakinan, pemberian pupuk kandang dapat

berpengaruh pada rasa tape yang kurang enak (langu = Jawa) dan pemberian pupuk anorganik

mengakibatkan tape yang dihasilkan berair. Keyakinan petani tersebut mengakibatkan produksi

rata-rata ubikayu di Jawa Timur hanya 12,8 ton/Ha (BPS, 1995). Budidaya ubikayu di tingkat

petani selain tidak memakai pupuk juga masih menerapkan jarak tanam renggang. Teknologi

pengelolaan ubi kayu telah tersedia dan mampu meningkatkan produksi hingga 30 – 40 ton/ha

Page 22: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

487

(Hendroatmodjo, 1989). Penggunaan pupuk anorganik dan jarak tanam yang sesuai mampu

meningkatkan produksi sampai 15% (Adrizal dkk, 1994) bahkan bisa mencapai 5 kali lipat,

sedangkan bila diikuti dengan penambahan pupuk kandang mampu meningkatkan hasil 7 kali lipat

(Guritno dkk, 1996).

Beberapa penelitian yang telah dilakukan tersebut masih bersifat umum dan pada wilayah

yang beragam sehingga menghasilkan tehnik jarak tanam dan dosis pemupukan anorganik yang

berbeda. Jarak tanam yang dianjurkan berkisar 100 X 40 cm sampai 100 X 80 cm, dengan dosis

pupuk campuran per hektar berkisar antara 100 – 300 kg Urea; 50 – 150 kg SP-36 dan 50 – 150 kg

KCl (Yusuf dkk, 1995; Wargiono dkk, 1993; Widodo dan Sumarno, 1991; Sugito, 1990).

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan rakitan teknologi usahatani ubikayu di lahan

kering Ent.3.1.

MATERI DAN METODOLOGI

Penelitian dilakukan di desa Seletreng kecamatan Kapongan kabupaten Situbondo pada

lahan kering milik petani seluas 2 hektar (Ent.3.1). Saat tanam dilakukan pada bulan kering

(Agustus 1999) dengan memanfaatkan air tanah yang dipompa dengan mesin. Ubikayu yang

ditanam adalah klon Lokal dan cocok untuk bahan baku tape. Perlakuan yang diuji meliputi

kombinasi jarak tanam dan pemupukan, disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan 3

ulangan (Tabel 1). Pengolahan tanah dengan cara dibajak sebanyak 2 kali. Pupuk kandang

diberikan bersamaan dengan pengolahan tanah kedua. Penyiangan dilakukan sebanyak 2 kali pada

saat tanaman umur 1 dan 3 bulan setelah tanam. Pupuk anorganik pertama sebagai pupuk dasar

sebanyak 1/3 dosis Urea + 1/3 KCl dan seluruh SP-36 diberikan saat tanam. Pemupukan kedua

(2/3 dosis Urea dan 2/3 dosis KCl) dilakukan setelah penyiangan kedua, diikuti dengan

pembubunan.

Tabel 1. Jarak tanam dan dosis pupuk yang diuji

Kode Perlakuan A Jarak tanam (100 X 80) cm; (Urea 100 + SP-36 50 + KCl 50) kg B Jarak tanam (100 X 80) cm; (Urea 200 + SP-36 100 + KCl 100) kg C Jarak tanam (100 X 80) cm; (Urea 300 + SP-36 150 + KCl 150) kg D Jarak tanam (100 X 60) cm; (Urea 100 + SP-36 50 + KCl 50) kg E Jarak tanam (100 X 60) cm; (Urea 200 + SP-36 100 + KCl 100) kg F Jarak tanam (100 X 60) cm; (Urea 300 + SP-36 150 + KCl 150) kg G Jarak tanam (100 X 40) cm; (Urea 100 + SP-36 50 + KCl 50) kg H Jarak tanam (100 X 40) cm; (Urea 200 + SP-36 100 + KCl 100) kg I Jarak tanam (100 X 40) cm; (Urea 300 + SP-36 150 + KCl 150) kg J Jarak tanam (100 X 80) cm; (Urea 200) kg (Petani)

Pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman, berat brangkasan, berat umbi, jumlah umbi, dan

diameter umbi dapat dilihat dengan analisis ragam yang dilanjutkan uji beda. Data pendukung

berupa kadar pati diketahui dengan metode pengendapan ekstrak umbi ubikayu. Analisa ekonomi

sederhana (R/C ratio) dilakukan untuk mengetahui efisiensi masing-masing rakitan teknologi.

Page 23: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

488

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penanaman ubikayu di desa Seletreng kecamatan Kapongan kabupaten Situbondo dengan

agrokimat Ent.3.1 masih sangat sederhana yaitu tanpa pemilihan varietas/klon, tanpa pemupukan

anorganik dan organik, jarak tanam lebar (100 X 80 sampai 100 X 100) cm serta penyiangan dan

pembubunan yang kurang memadai. Pemupukan anorganik dengan Urea dosis 200 kg per hektar

dilakukan bila penanaman ubikayu ditumpangsarikan dengan tanaman lain yang biasanya jagung

dan atau kacang hijau. Desa yang bersebelahan yaitu Kandang lebih maju dalam mengelola

usahatani ubikayu dengan tanaman sisipan jagung, dengan menerapkan jarak tanam teratur

sehingga penyiangan dan pembubunan dapat dilakukan dengan bantuan ternak sapi (dibajak).

Pemupukan tanaman ubikayu tidak dilakukan tetapi tanaman jagung biasanya dipupuk dengan

Urea atau ZA dengan dosis 200 – 300 kg per hektar. Produktifitas ubikayu di tingkat petani masih

sangat rendah yaitu 5,92 ton per hektar, sedangkan dengan penerapan rakitan teknologi berupa

jarak tanam rapat, pemupukan dosis tinggi, penyiangan dan pembubunan mampu mencapai 45,02

ton per hektar (Tabel 2).

Jarak tanam menentukan jumlah populasi tanaman per luasan tertentu dan jumlah pupuk

yang diberikan per tanaman. Populasi tanaman ubikayu per hektar dengan jarak tanam 100 X 80

cm (jarak tanam renggang), 100 X 60 cm (jarak tanam sedang) dan 100 X 40 cm (jarak tanam

rapat) masing-masing 12.500 pohon, 16.666 pohon dan 25.000 pohon. Dosis pupuk yang sama per

hektar dengan populasi tanaman yang berbeda menentukan jumlah pupuk yang diterima masing-

masing tanaman. Porsi pupuk per tanaman tertinggi 24 gr Urea + 12 gr SP-36 dan 12 gr KCl

terdapat pada jarak tanam renggang dengan dosis Urea 300 kg + SP-36 150 kg + KCl 150 kg per

hektar (dosis tinggi) diikuti dengan jarak tanam sedang dengan dosis pupuk tinggi yang mencapai

18 gr Urea + 9 gr SP-36 dan 9 gr KCl. Jarak tanam sedang dengan dosis pupuk rendah porsi pupuk

per tanaman 6 gr Urea + 3 gr SP-36 dan 3 gr KCl, sedangkan pada jarak tanam rapat dengan dosis

pupuk rendah hanya 4 gr Urea + 2 gr SP-36 dan 2 gr KCl per tanaman. Porsi pupuk per tanaman

berkisar antara 8 gr Urea + 4 gr SP-36 dan 4 gr KCl sampai 16 gr Urea + 9 gr SP-36 dan 9 gr KCl

terdapat pada jarak tanam renggang dosis rendah dan jarak tanam rapat dosis sedang (urea 8 gr +

SP-36 4 gr + KCl 4 gr), jarak tanam sedang dosis sedang dan jarak tanam rapat dosis tinggi (Urea

12 gr + SP-36 6 gr + KCl 6 gr) serta jarak tanam sedang dosis sedang (Urea 16 gr + SP-36 8 gr +

KCl 8 gr).

Tinggi tanaman sangat dipengaruhi oleh jumlah pupuk yang diaplikasikan. Dosis pupuk

rendah mengakibatkan petumbuhan tanaman terhambat dan tampak kurang figor. Pertumbuhan

tanaman terpacu dan tampak hijau kekar bila pemberian pupuk ditingkatkan, kecuali pada jarak

tanam rapat. Umur 8 bulan (Maret 2000) tanaman ubikayu dipanen, tinggi tanaman pada jarak

tanam rapat dengan dosis pupuk rendah lebih rendah dibanding pada jarak tanam rapat dengan

dosis pupuk tinggi. Jumlah daun dipengaruhi oleh banyaknya tanaman per luasan dan dosis pupuk

yang diberikan. Jarak tanam rapat, populasi tanaman mencapai 25.000 pohon per hektar dengan

pemupukan dosis tinggi memberikan jumlah daun lebih banyak dibanding dengan jarak tanam

renggang dosis rendah dan teknologi petani. Berat brangkasan merupakan kompilasi tinggi

tanaman dan jumlah daun. Dosis pemupukan tinggi dengan jarak tanam rapat memberikan berat

brangkasan lebih tinggi dibanding dengan jarak tanam renggang dosis rendah dan dosis tinggi,

jarak tanam sedang dosis rendah sampai dosis tinggi dan teknologi petani. Jumlah umbi

dipengaruhi oleh dosis pupuk yang diberikan per tanaman. Dosis pupuk per tanaman rendah

menghasilkan jumlah umbi yang bisa dipanen lebih sedikit dibanding dengan dosis pupuk yang

lebih tinggi. Besar umbi juga dipengaruhi oleh pemupukan. Dosis pupuk per tanaman rendah

menyebabkan diameter umbi kecil. Berat umbi per satuan luas pada jarak tanam rapat dengan

pemupukan dosis tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan jarak tanam renggang dengan

pemupukan dosis rendah sampai sedang, jarak tanam sedang dosis pupuk tinggi dan teknologi

Page 24: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

489

petani (Tabel 2). Secara ekonomis rakitan teknologi jarak tanam rapat dengan pemupukan dosis

rendah memberikan keuntungan tertinggi, mencapai Rp. 5.627.840; / hektar dan paling efisien

(R/C ratio 2,77) (Tabel 3).

Tabel 2. Komponen tanaman ubikayu pada berbagai perlakuan penerapan teknologi

budidaya pada lahan Entisol isohyperthermic

Kode

Perlakuan

Tinggi

tanaman

(cm)

.Jumlah

daun per

4,8 m

Berat

brangkasan

(kg/4,8 m)

Jumlah

umbi

Diamete

r umbi

(cm)

Berat umbi

(kg/4,8 m)

Hasil

umbi

ton/ha

A 187,3 ab 1528 bc 7,40 cd 7,53 ab 3,92 a 10,50 bcd 21,87

B 190,0 ab 2420 abc 12,28 abcd 9,87 a 3,95 a 10,42 cd 21,71

C 203,7 ab 1608 abc 8,82 bcd 6,60 ab 4,48 a 11,98 abcd 24,95

D 181,7 ab 2432 abc 10,19 bcd 6,13 b 3,85 ab 11,45 abcd 23,85

E 193,3 ab 2496 abc 11,04 bcd 7,20 ab 4,04 a 17,68 abc 35,82

F 198,3 ab 2101 abc 10,93 bcd 7,87 ab 3,96a 10,77 bcd 22,43

G 152,0 b 3288 ab 15,20 ab 6,07 b 3,87 ab 21,13 ab 44,01

H 190,0 ab 2804 abc 14,48 abc 6,47 ab 3,37 ab 19,56 abc 40,24

I 222,3 a 3796 a 19,04 a 7,00 ab 3,91 a 22,00 a 45,02

J 138,0 b 796 c 4,92 d 4,80 b 2,39 b 3,32 d 5,92

KK 12,38 23,88 22,36 17,25 13,57 26,21

Keterangan: - Angka-angka sekolom yang diikuti huruf sama, tidak berbeda nyata pada taraf BNJ 5%.

- Kode perlakuan lihat tabel 1.

Tabel 3. Analisis ekonomi sederhana penerapan teknologi budidaya ubikayu di Kabupaten

Situbondo (1999/2000).

Kode Perlakuan Biaya (Rp) Penerimaan (Rp) Keuntungan (Rp) R/C ratio

A 2.423.580; 4.374.000; 1.950.420; 1.80

B 2.708.580; 4.342.000; 1.633.420; 1.60

C 2.993.580; 4.990.000; 1.996.420; 1.67

D 2.782.785; 4.770.000; 1.987.215; 1.71

E 3.068.285; 7.164.000; 4.095.715; 2.33

F 3.353.285; 4.486.000; 1.132.715; 1.34

G 3.174.160; 8.802.000; 5.627.840; 2.77

H 3.459.160; 8.148.000; 4.688.840; 2.36

I 3.744.160; 9.004.000; 5.259.840; 2.40

J 2.056.080; 3.134.000; 1.077.920; 1.52

Keterangan : Kode perlakuan tertera pada tabel 1.

Ubikayu lokal yang diduga varietas Mentega dengan ciri-ciri pucuk dan tangkai daun coklat

dengan umbi berwarna kuning sangat respon terhadap pemupukan. Peningkatan pemberian pupuk

sampai dosis tinggi mengakibatkan tanaman tumbuh subur. Daun-daun ubikayu pada jarak tanam

rapat saling tumpang tindih, mengakibatkan tanaman etiolasi. Hasil penelitian ini tidak sejalan

dengan penelitian Adrizal dkk. (1993) dan Sugito (1990) yang menyebutkan pemupukan pada

tanah yang kurang subur tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan dan

hasil umbi. Jumlah daun dan berat brangkasan dipengaruhi oleh jumlah tanaman per satuan luas

yang berarti sangat tergantung pada jarak tanam. Jarak tanam rapat populasi tanaman per satuan

luas terbanyak, menghasilkan daun dan brangkasan tertinggi serta tidak terpengaruh langsung oleh

dosis pupuk. Jumlah daun terbanyak sangat disukai petani setempat karena merupakan persediaan

Page 25: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

490

hijauan pakan ternak pada musim kemarau. Kebiasaan petani melaksanakan panen ubikayu pada

akhir musim kemarau, sedangkan daun-daun tanaman dipanen bertahap selama musim kemarau.

(rumput sudah jarang). Jumlah umbi sangat dipengaruhi porsi pupuk yang diterima masing-masing

tanaman. Proses fotosintesis berjalan normal dan ketersediaan unsur hara yang cukup

menghasilkan fotosintat yang optimal dan disimpan dalam bentuk umbi. Besar umbi diduga

bergantung pada varietas sehingga penyimpanan asimilat menghasilkan penambahan jumlah umbi.

Pemberian 6 gr Urea + 3 gr SP-36 dan 3 gr KCl per tanaman mengakibatkan jumlah umbi terendah

dan dapat ditingkatkan dengan peningkatan dosis pupuk sampai 16 gr Urea + 8 gr SP-36 dan 8 gr

KCl. Diameter umbi kelihatannya dipengaruhi oleh perpaduan jarak tanam dan dosis pupuk yang

ditunjukkan dengan tidak adanya perbedaan antara dosis pupuk tinggi dan dosis pupuk rendah.

Hanya dosis pupuk terendah yang kelihatan tidak mampu mensuplai unsur hara yang cukup. Pada

kondisi ketersediaan unsur hara dan sinar matahari yang cukup, besar umbi diduga bergantung

pada varietas. Dosis pupuk sedang sampai tinggi dengan jarak tanam rapat sampai renggang besar

umbi tidak konsisten. Bobot umbi bukan merupakan perpaduan antara jumlah umbi per tanaman

dan besar umbi, melainkan bergantung pada populasi tanaman per satuan luas. Jarak tanam rapat

(populasi tanaman 25.000 pohon) menghasilkan bobot umbi paling tinggi. Pada jarak tanam rapat

dosis pupuk tinggi yang menyebabkan tanaman etiolasi ternyata belum mempengaruhi proses

fotosintesis. Translokasi asimilat dari daun menuju ke umbi berjalan normal, ditunjukkan dengan

hasil analisa pati umbi yang tidak konsisten pada jarak tanam rapat sampai renggang (Tabel 4).

Jarak tanam rapat dengan pemupukan dosis rendah memberikan keuntungan tertinggi

disebabkan karena produktifitas tanaman cukup tinggi dengan penambahan biaya produksi yang

relatif kecil berupa tenaga kerja. Biaya yang dikeluarkan dalam usahatani ubikayu terdiri dari sewa

lahan, sarana produksi dan tenaga kerja. Penambahan dosis pupuk mengakibatkan biaya produksi

tinggi, yaitu pada dosis pupuk sedang dan dosis pupuk tinggi tambahan biaya masing-masing

mencapai Rp. 285.000; dan 570.000;. Tambahan biaya produksi yang berupa pupuk tersebut tidak

efisien karena tidak mampu meningkatkan produksi.

Tabel 4. Kandungan pati pada masing-masing penerapan rakitan teknologi budidaya

ubikayu di lahan Entisol isohyperthermic kab. Situbondo (1999/2000)

Perlakuan Kadar pati (%)

Jarak tanam (100 X 80) cm; (Urea 100 + SP-36 50 + KCl 50) kg 17,70

Jarak tanam (100 X 80) cm; (Urea 200 + SP-36 100 + KCl 100) kg 19,50

Jarak tanam (100 X 80) cm; (Urea 300 + SP-36 150 + KCl 150) kg 15,40

Jarak tanam (100 X 60) cm; (Urea 100 + SP-36 50 + KCl 50) kg 19,30

Jarak tanam (100 X 60) cm; (Urea 200 + SP-36 100 + KCl 100) kg 19,37

Jarak tanam (100 X 60) cm; (Urea 300 + SP-36 150 + KCl 150) kg 18,58

Jarak tanam (100 X 40) cm; (Urea 100 + SP-36 50 + KCl 50) kg 18,78

Jarak tanam (100 X 40) cm; (Urea 200 + SP-36 100 + KCl 100) kg 15,80

Jarak tanam (100 X 40) cm; (Urea 300 + SP-36 150 + KCl 150) kg 14,05

Jarak tanam (100 X 80) cm; (Urea 200) kg (Petani) 15,50

KESIMPULAN

1. Produktifitas ubikayu varietas Mentega pada lahan Entisol isohyperthermic dapat mencapai

45,02 ton per hektar dengan penerapan rakitan teknologi jarak tanam rapat (100 X 40) cm,

pemupukan berimbang dosis tinggi (Urea 300 + SP-36 150 + KCl 150 + pupuk kandang

10.000)kg per hektar, penyiangan 2 kali dan pembubunan.

2. Teknologi budidaya ubikayu yang paling efisien (R/C ratio 2,77) dan menguntungkan (Rp.

5.627.840; per hektar adalah jarak tanam rapat dengan pemupukan dosis rendah (Urea 100

+ SP-36 50 + KCl 50 + pupuk kandang 10.000)kg/ hektar.

Page 26: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

491

3. Ketersediaan hijauan pakan ternak lebih terjamin dengan penanaman ubikayu jarak tanam

rapat.

SARAN

Rakitan teknologi budidaya ubikayu di desa Seletreng kecamatan Kapongan kabupaten

Situbondo bisa diterapkan pada daerah lain yang sejenis (Ent.3.1). Pengkajian rakitan teknologi

perlu dilanjutkan dengan sistim tumpangsari sesuai dengan kebiasaan petani setempat.

DAFTAR PUSTAKA

Adrizal, D. Alamsyah dan M. Yusuf. 1993. Paket Teknologi Ubikayu di Lahan Kering. Dalam

Yusuf dkk. (Penyunting) : Risalah Seminar Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukarami,

2 : 145 – 152.

Antarlina, Sri Satya; Didik Harnowo dan Koes Hartoyo. 1994. Identifikasi Klon – klon Ubikayu

Sebagai Bahan Pangan dan Bahan Baku Industri. Dalam Suharsono dkk. (Penyunting) :

Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan tahun 1993. Balittan Malang 363 –

376.

BPS. 1995. Survey Pertanian : Produksi Padi dan Polowijo di Jawa Timur 1995. Kantor Statistik

Propinsi Jawa Timur. 151 hal.

Guritno, Bambang; Nur Basuki, Yudi Widodo dan Sumarno. 1996. Teknologi Produksi dan Pasca

Panen Ubikayu dan Ubijalar : Hasil Penelitian di Beberapa Sentra Produksi di Jawa

Timur. Dalam Syam dkk : 1203 – 1211.

Hendroatmodjo, Koes Hartojo dan Soetarjo Bronegoro. 1989. Keragaan Beberapa Klon Ubikayu

dan Kaitannya dengan Penggunaan Hasil pada Empat Lokasi di Indonesia. Dalam

Adisarwanto, T. dkk. (Penyunting) : Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan.

Balittan Malang. 157 - 161

Legowo, E., Y. Krisnadi dan Abu. 1996. Karakteristik Agroekologi Wilayah-wilayah Kecamatan

di Jawa Timur. Deptan. Badan Litbang Pertanaian. BPTP Karangploso.

Sugito, Yogi. 1990. Pengaruh Jarak Tanam dan Pemupukan Terhadap Hasil Dua Varietas Ubikayu

dan Hasil Jagung dalam Sistim Tumpangsari. Agrivita Vol 13 : 1, Januari – Maret 1990.

7 – 12.

Utomo, Joko S. dan Marianne van Dorp. 1991. Preferensi Konsumen pada Klon Ubikayu di

Malang Selatan. Dalam Kasno, Astanto dkk. (Penyunting) : Risalah Hasil Penelitian

Tanaman Pangan Tahun 1991. Balittan Malang. 109 – 117.

Wargiono, J; E. Tukerkih dan N. Heryani. 1993. Teknik Budidaya Ubikayu Dalam Menunjang

Sistim Usahatani Terlanjutkan. Dalam Syam dkk. (penyunting): Prosiding Simposium

Kinerja Penelitian Tanaman Pangan Buku 4: 1186-1202.

Widodo, Yudi dan Sumarno. 1991. Kegiatan Penelitian Ubi-ubian di Balittan Malang : Kemajuan

dan Permasalahannya. Dalam Dimyati, Ahmad dan M. Djazuli (Penyunting) : Prosiding

Lokakarya Pengembangan ubi-ubian di Wilayah Indonesia Bagian Timur Puslitbangtan.

113 – 120.

Yusuf, Amrizal, M. Yusuf, Hirwan, Adriyaswar dan Syofial 1995. Evaluasi beberapa Paket

Teknologi Budidaya Ubikayu di Pasaman dan Sarko. Dalam Yusuf, Adli dkk.

(Penyunting) : Risalah Seminar Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukarami. 13-24

Page 27: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

492

PENGKAJIAN RAKITAN TEKNOLOGI SISTEM USAHATANI CABE JAMU DI LAHAN

KERING DATARAN RENDAH

Much. Soleh, M.C. Mahfud, Moh. Ismail Wahab, Agus Suryadi, Diding Rachmawati, R.D. Wijadi

dan N. Pangarsa

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Karangploso

ABSTRAK

Usahatani Cabe Jamu beserta tumpang sarinya di kawasan dataran rendah di Kec. Bluto,

Sumenep, dan Kec. Mantup, Lamongan berpeluang dan perlu di kembangkan melalui masukan

teknologi yang sesuai. Pada pengkajian I (1998/1999) diketahui jarak tanam Cabe Jamu yang

masih efektif, penggunaan pupuk kandang dan N,P,K, dan varietas jagung, kedelai serta kacang

hijau yang adaptif dalam rangka perbaikan varietas tanaman tumpang sari. Dalam rangka

pengembangan rakitan teknologi sistem usahatani berbasis tanaman Cabe Jamu tersebut

dilakukan pengkajian tahap II (1999/2000) sebagai lanjutan dari pengkajian I, berupa pengkajian

penggunaan pupuk organik (pupuk kandang sapi, Bokasi, dan OCF+kompos) pada tanaman Cabe

Jamu dan tanaman tumpangsarinya. Pwengkajian pemberian air bagi tanaman Cabe Jamu pada

musim kemarau.Pengkajian pengendalian hama kutu putih. Pengkajian dilakukan di pusat

produksi Cabe Jamu di Jawa Timur yaitu di Kec. Bluto, Sumenep dan Kec. Mantup, Lamongan,

dimana pengkajian I dilaksanakan. Waktu pengkajian dimulai bulan April 1999 s/d Maret

2000.Pengkajian dilakukan dilahan petani dimana setiap petani peserta dianggap sebagai

ulangan. Untuk mengetahui respon petani dilaksanakan temu lapang di kedua tempat pengkajian.

Penggunaan pupuk kandang sapi merupakan pilihan petani dengan alasan bahwa hasil yang

ditampilkan oleh penggunaan ketiga macam pupuk organik tersebut tidak berbeda nyata, dan

pupuk kandang sapi mudah tersedia dan harganya murah. OCF (Organic Compound Fertilizer)

lebih banyak dimanfaatkan di tanaman tembakau, sedangkan Bokasi-alas dinilai masih sulit

dilaksanakan. Jagung varietas Bisma dengan hasil rata-rata 6,5 ton per ha serta kedelai putri

mulyo dengan hasil rata-rata 0,8 ton per ha ternyata berproduksi stabil sehingga diminati oleh

petani, kecuali di Bluto jagung Bisma masih memerlukan sosialisasi. Disisi lain Kacang Hijau

yang dikaji di Bluto masih perlu dikembangkan lebih jauh. Pemberian air sebanyak 5 l setiap 3

hari sekali dapat menghindarkan tanaman Cabe Jamu dari mati suri (mati sementara), bahkan

dapat mengkasilkan buah 74,0% lebi besar dari tanaman yang disiram dengan air sebanyak 2,5 l

setiap 6 hari sekali.. Selain itu penyiraman 5 l selang 3 hari berpeluang untuk panen 1 bulan lebih

awal. Penggunaan bubuk biji mimba 70 gr/l memiliki efektifitas sebanding dengan Carbofuran 70

gr/pohon dalam pengendalian kutu putih. Pembinaan kelompok tani cabe jamu di Mantup perlu

pembinaan serius. Secara umum petani menghendaki pembinaan dalam aktifitas agribisnis Cabe

Jamu beserta tumpangsarinya.

Kata kunci : Cabe Jamu, lahan kering, budidaya.

ABSTRACT

Mixed farming system of Javanese pepper in low land area at Kec. Bluto, Sumenep and Kec.

Mantup. Lamongan, still needed to be improved using suitable technology. First assessment

(98/99) provide that an effective planting space ( 4.0 m x 2.5 m) and (3.0 m x 3,0 m), the use of

manure and an adaptive maize varieties, soybean, and mungbean. Second assessment (99/00)

included the use of organic fertilizer ( manure, Bokasi, and OCF+ composet), watering during dry

season, white-mites control, assessment was carried out from April 1999 to March 2000. To

evaluate farmers respond, field day was conducted. Farmer preferred to use manure on farming

system of pepper application of the tree organic fertilizer did not so significant difference, but

manure was more preverenable as it was cipier and affailable. OCF was used on tobacco. Maize,

Page 28: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

493

Bisma variety (6.5 t/ha) and Soybean Putri Mulyo Var. were more preferred and produced stable

yield, but mungbean needed fectherly extensified. Watering 5.0 l per 3 days on Javanese pepper

saved plant, a live and produced fruit 74% higher compired to watering 2.5 l per 6 days, even

resulted earlier harvest. The used od Mimbo seed 70 gr per liter give similar effect with 70 gr per

tree Carbofuran to control white-mites. Further and supervising was still needed by pepper

farmers in Lamongan especially on agribusiness aspect and mixed cropping.

Key word: Javanese pepper, low-land, technology.

PENDAHULUAN

Lahan kering dataran rendah beriklim kering seperti Kabupaten Sumenep dan Kabupaten

Lamongan mempunyai komoditas unggulan berupa Cabe Jamu, dengan tumpang sari jagung

(Bisma), Kedelai (Putri Mulyo), dan Kacang Hijau (Kenari). Keempat komoditas tersebut masih

berpeluang ditingkatkan produksinya dengan masukan teknologi spesifik lokasi. pemberian air dan

pengendalian hama serta penyakit tanaman Cabe Jamu yang tepat. Dengan pola dan teknologi yang

tepat diharapapkan produktivitas lahan dapat ditingkatkan sehingga pendapatan petani bertambah

dan tanaman Cabe Jamu menjasi komoditas andalan di lahan kering dataran rendah beriklim

kering.

Usahatani Cabe Jamu serta tanaman semusim yang ditumpangsarikan di lahan kering

beriklim kering umumnya belum mempertimbangkan efisiensi lahan, jenis komoditas, mutu benih,

pemupukan, pemberian air serta pengendalian hama penyakit. Keadaan tersebut menyebabkan

produktivitas lahan menjadi rendah. Dari penelitian adaptif di lahan kering telah tersusun rakitan

teknologi yang antara lain mencakup penggunaan benih/bibit bermutu dari variates yang mampu

berproduksi tinggi seperti Batang Hijau untuk Cabe Jamu (Wahab dan Rostiana, 1994), Walet dan

Kenari untuk kacang hijau. Sedangkan untuk jagung adalah varietes Bisma. Kedele yang dapat

dianjurkan adalah Putri Mulya ( Soleh dkk, 1999).

Umumnya tanaman jagung ditanam pada awal musim hujan sedangkan Kacang Hijau,

Kedele pada akhir musim hujan. Perbedaan waktu tanam-tanaman semusim yang dapat

ditumpangsarikan dengan tanaman Cabe Jamu tersebut memberi peluang adanya model/pola

usahatani dalam satu lahan. Melalui pengkajian model/pola tumpangsari di lahan kering iklim

dengan tanaman Cabe Jamu sebagai tanaman pokoknya. Di sisi lain pengkajian peningkatan teknik

budidaya Cabe Jamu melalui pengkajian penggunaan, pupuk organik dan air akan dapat pula

meningkatkan produktivitas lahan.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilakukan di wilayah sentra produksi Cabe Jamu yaitu di desa Pakandangan

Sangrah, Bluto, Sumenep dan di desa Tunggun Jagir, Mantup, Lamongan di lahan petani,

menggunakan prinsip ―Onfarm Research‖ dengan mengikut sertakan petani, peneliti, penyuluh,

dan dinas terkait.

Pengkajian paket teknogi untuk tanaman cabe jamu yang telah berproduksi umur 7 th s/d 8

th dengan jarak tanam (4,0 m x 2,5 m) dan (3,0 m x 3,0 m) bersama dengan tumpangsarinya.

Tanaman tumpangsari yang dikaji kembangkan adalah tanaman semusim hasil perbaikan pada

pengkajian tahun (1998/1999). Pengkajian tersebut berupa:

Page 29: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

494

I. Kajian penggunaan pupuk organik untuk tanaman Cabe Jamu telah berproduksi

dengan jarak tanam umum.

Pemupukan empat macam pupuk organik yaitu pupuk kandang sapi (25 kg/tanaman),

pupuk kandang ayam (12,5 kg/tanaman), O.C.F.-Organik Compound Fertilizer (0,25 kg/tanaman)

dan pupuk Bokasi-alas (0,50 kg/tanaman). Diberikan 2 kali (masing-masing 50%) pada awal dan

akhir musim penghujan.. Pupuk campuran (250 g. ZA + 250 g. Sp36 dan 250 g. KCl) per tanaman

diberikan 3 kali. Campuran pupuk pertama diberikan pada awal musim penghujan sebesar 300 g,

ke 2 sebesar 300 g dan ke 3 sebesar 150 g. Pupuk kedua diberikan 40 hari setelah pupuk ke 2.

II. Kajian penggunaan pupuk organik untuk tanaman cabe jamu belum berproduksi

dengan jaram tanam (4,0 m x 2,5 m) atau (3,0 m x 3,0 m).

Pemupukan empat macam pupuk organik yaitu pupuk kandang sapi (25 kg/tanaman),

pupuk kandang ayam (12,5 kg/tanaman, O.C.F.-Organik Compound Fertilizer (0,25 kg/tanaman

dan pupuk Bokasi-alas (0,50 kg/tanaman), diberikan 2 kali, pada awal dan akhir musim penghujan

masing-masing separuh takaran. Pupuk campuran (250 g. ZA + 250 g. Sp36 dan 250 g. Kcl) per

tanaman diberikan 3 kali. Campuran pupuk pertama diberikan pada awal musim penghujan sebesar

300 g, ke 2 sebesar 300 g dan ke 3 sebesar 150 g. Pupuk kedua diberikan 40 hari setelah pupuk ke

2.

III. Rakitan teknologi budidaya Jagung (Bisma dan Lokal) dan Kacang Hijau (Kenari)

sebagai tumpangsari.

Pada musim penghujan diantara tanaman Cabe Jamu pada jarak tanam umum maupun jarak

tanam (3,0 m x 3,0 m) dan (4,0 m x 2,5 m) Bluto, Sumenep. Ditumpangsarikan tanaman Jagung

(Bisma dan Lokal) dilanjutkan penanaman Kacang Hijau (Kenari) setelah Jagung panen.

Sedangkan di Lamongan, Mantup tanaman semusim untuk tumpang sari adalah Jagung (Bisma)

dan Kedelai (Putri Mulyo di tanaman Cabe Jamu jarak tanam umum. Untuk tanaman tumpang sari

juga dikaji penggunaan empat macam pupuk organik tersebut diatas, masing-masing dengan

takaran 10 ton, 5 ton, 1 ton, dan 2 ton per ha. Sedangkan pupuk anorganik ZA, SP36, dan KCl

sesuai rekomendasi setempat.

Di Kecamatan Mantup dilakukan satu percobaan sebagai ―super imposed‖, berupa

pengkajian pemberian air, sedangkan di Kec. Bluto di samping percobaan pembeian air juga

dilakukan pengkajian pengendalian hama dan penyakit.

1. Pengkajian pemberian air berupa :

Percobaan pemberian air yang berbeda waktu pemberian dan volumenya bagi tanaman cabe

jamu telah berproduksi jarak tanam umum.

Metodologi.

Rancangan acak kelompok (RAK), Ulangan 3 kali dengan perlakuan sebagai berikut : 1. A1-M1: Selang 3 hari 2,5 1iter per tanaman.

2. A1-M2: Selang 6 hari 2,5 1iter per tanaman.

3. A2-M1: Selang 3 hari 5,0 liter per tanaman.

4. A2-M2: Selang 6 hari 5,0 liter per tanaman.

Page 30: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

495

2. Kajian penerapan pengendalian hama dan penyakit secara terpadu pada tanaman cabe

jamu.

Percobaan di rancang menggunakan acak kelompok (RAK), masing-masing perlakuan

diulang 5 kali. Umur tanaman 7 th- 8 th, seragam Tanaman terpilih (tanaman yang mengalami

gejala serangan hama/penyakit) dikelompokkan menjadi 4 untuk perlakuan sebagai berikut :

Perlakuan I.

Bersama dengan pemberian pupuk kandang tanaman diberi karbofuram sebanyak 70

g/pohon. Bagian tanaman yang menunjukkan gejala serangan dan tidak produktif dipangkas.

Perlakuan II.

Tanaman di semprot dengan pestisida tiap 2 minggu (tergantung tingkat serangan).

Perlakuan III

Bersama dengan pemupukan tanaman diberi Mimba sebanyak 70 g/pohon.

Bagian tanaman yang menunjukkan gejala serangan dan tidak produktif dipangkas.. Perlakuan IV

Tanaman disemprot dengan larutan Mimba selang 2 minggu sekali ( tergantung

serangan H/P. Teknologi pemupukan mengacu pada anjuran pemupukan yang lain.

Luas Hamparan

Luas hamparan pengkajian masing –masing 5,0 ha di tiap Kabupaten.

Waktu Pengkajian

Percobaan pemberian air dilaksanakan pada musim kemarau 1999. Percobaan pengendalian

hama/penyakit duimulai musim kemarau sampai menjelang panen.

Pelaksanaan pengkajian untuk tanaman cabe jamu dan tumpangsari dilaksanakan pada musim

penghujan 1999/2000.

Pengamatan Data

a) Curah hujan, suhu maksimum dan minimum.

b) Produksi .bobot buah basah, bobot buah kering.

c) Pengamatan tanaman sela jagung, kedelai, dan kacang hijau. d) Tingkat serangan hama dan penyakit..

g) Nilai ekonomi.

h) Respon petani.

Analisa Data

a). Perbedaan antar perlakuan dianalisa dengan analisis varian, kemudian diuji banding dengan uji

DMRT, atau BNT pada (p=95%). b). Faktor ekonomi dianalisis dengan analisa output-input. Juga dianalisa kemungkinan beberapa

skim kredit yang fisibel.

c). Untuk mengetahui respon petani dilakukan temu lapang dan diskusi.

Page 31: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

496

HASIL DAN PEMBAHASAN

Beberapa pengkajian yang di laksanakan pada periode 1999/2000 merupakan

kelanjutan/pengembangan dari pengkajian tahap I(1998/2000). Sehingga di pengkajian ini kontrol

petani di pergunakan jika perlu saja. Berbagai kegiatan tahap II ini meliputi :

1. Karakterisasi daerah pengkajian.

2. Pengkajian paket teknologi untuk tanaman cabe jamu telah berproduksi (umur

7 th s/d 8 th) pada jarak tanaman umum (di tanam di galengan) beserta tumpang sarinya.

3. Pengkaji paket teknologi untuk tanaman cabe jamu (tanaman baru) jarak tanam (3,0 m x

3,0 m) dan ( 4,0 m x 2,5 m) yang telah berumur 2 tahun beserta tumpang sarinya.

4. Pengkajian pemberian air bagi tanaman cabe jamu jarak tanam umum.

5. Kajian penerapan pengendalian hama penyakit.

6. Nilai ekonomi out put – in put usahatani cabe jamu.

7. Respon/tanggapan petani.

Dari ke tujuh kegiatan terbebut, 2 pengkajian tidak dilaksanakan di Lamongan yaitu

pengkaji no. 3 dan no 5 karena memang tidak di program di Lokasi ini.

1. Karakterisasi daerah pengkajian

Diskripsi fisik ke 2 wilayah pengkajian telah di sampaikan pada laporan pengkajian tahap I.

Sehingga pada laporan ini di bahas mengenai kondisi iklim setempat, serta sedikit masalah sosial

ekonomi termasuk kelembagaan yang mendukung usaha tani cabe jamu.

Dari pengamatan rata – rata curah hujan 10 tahun (data disbun), Kecamatan Bluto, maupun

Mantup bertipe iklim E menurut (Scmidt & Fergusson). Rata-rata jumlah bulan basah per tahun

antara 5,2 s/d 5,5 bulan, bulan lembab 1,0 s/d 1,2 bulan dan bulan kering antara 5,5 s/d 6,0 bulan.

Rata – rata bulan kering sebanyak itu tidak berlaku untuk 1998/1999 besamaan dengan pengkajian

tahap I, hampir tidak terjadi bulan kering karena pengaruh La Nina.

Pada periode kemarau secara umum tanaman cabe jamu yang tidak di siram mengalami

fase ― mati suri ― dan akan bersemi lagi pada musim penghujan. Di Tunggun Jagir (Mantup), pada

musim kemarau petani yang tanamannya berdekatan dengan waduk (sumber air yang tidak pernah

kering, meskipun musim kemarau) menyiram tanamannya sebanyak cukup agar tidak mati,

sedangkan di Pakandangan Sangrah (Bluto), petani menyiram tanaman cabe jamunya

mengandalkan sumber air yang di salurkan melalui slang (pipa karet) dari jarak yang cukup jauh

kurang lebih 2 km. Dewasa ini (1999/2000) sumber air tersebut telah di kembangkan mencapai

volume yang cukup berdana bantuan Gubernur Jatim. Sehingga bila sumber air telah selesai tahun

2000, daerah pusat produksi cabe jamu di Bluto termasuk desa Pakandangan Sangrah dan

sekitarnya akan mendapatkan air cukup untuk keperluan sehari – hari, termasuk pertanian bukan

sawah, dan ternak.

Lokasi desa Pakandangan Sangrah berada di tepi pantai dan di lewati jalur jalan utama

Sumenep-Pamekasan. Posisi ini sangat berpengaruh terhadap peri kehidupan masyarakatnya termasu

petani. Hampir rata-rata para petani di samping menanam cabe jamu juga berprofesi sebagai nelayan,

petani rumput laut, pedagang, dan peternak. Khusus kegiatan peternakan, sekarang sedang di

kembangkan ternak sapi dan kambing. Rata-rata petaninya mudah menerima informasi, apalagi di

Pekandangan Sangrah tampil tokoh masyarakat seorang kyai yamg sangat aktif dalam berbagai hal. Dari

kondisi ini telah muncul dan di kembangkan kelompok tani Nurul Jannah dimana pada tahun 1998

masih berstatus kelompok tani dan pada tahun akhir 1999 telah berstatus koperasi dengan berbagai

kegiatan utamanya dalm proses pasca panen dan pemasaran cabe jamu.

Page 32: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

497

Lokasi desa Tunggun Jogir sebagai pusat produksi cabe jamu di Kecamatan Mantup

letaknya cukup jauh (9 km) dari jalan utama kota Lamongan – Mojakerto, namun desa ini berada di

jalur jalan antar Kecamatan. Petani/masyarakatnya selain bertani juga sebagai pengrajin kayu dan

berdagang, namun tidak sedinamis desa Pekandangan Sangrah (Sumenep). Waduk yang ada di

desa airnya di manfaatkan bersama untuk pertanian, tetapi khusus untuk perikanan, di koordinasi

oleh desa. Kelembagaan yang aktif cabe jamu secara de jure ada, tetapi aktifitas menangani cabe

jamu secara kelompok masih harus di bina secara intensif, bahkan masih harus di bangkitkan rasa

kebersamaannya.

Kegiatan utama pola tanam di Tunggun Jagir adalah cabe jamu sebagai tanaman tahunan

dan pada musim hujan secara dominan mereka bertanam jagung + kedele dan setelah panen

mereka menanam jagung ataukedelai saja. Sedangkan di Pekandangan Sangrah, cabe jamu sebagai

tanam tahunan dan pada musim penghujan mereka menanam jagung (100 % ) dan kemudian

menanam kacang hijau, atau tembakau pada menjelang musim kemarau.

2. Pengkajian paket teknologi untuk tanaman cabe jamu telah berproduksi (umur 7 th 8 th)

pada jarak tanam umum (tanam di galengan) beserta tumpang saringnya

Dari penggunaan 4 macam pupuk organik berupa pupuk kandung sapi,pupuk kandang

ayam, organik compound ferti lizer (OCF), maupun Bokasi – alas, masing – masing dengan

takaran 25 kg, 12,5 kg, 0,25 kg dan 0,50 kg per pohon rata – rata memperlihatkan hasil yang tidak

berbeda nyata pada bobot kering cabe jamu, meskipun tampak bahwa penggunaan pupuk kandang

sapi memperlihatkan hasil tertinggi melebihi yang lain. Rata –rata hasil cabe jamu kering per

tanaman dari pemberian pupuk organik yang berbeda hasilnya di sampaikan pada Tabel 1

Tabel 1 Rata – rata bobot basah dan bobot kering cabe jamu per pohon akibat di pupuk

kandang sapi, pupuk kandang ayam, OCF dan Bokasi – alas di Bluto, Sumenep dan

Mantup, Lamongan. Malang 2000

Perlakuan

(kg per tanaman)

Mantup Bluto

Basah

(kg/pohon)

Kering

(kg/pohon)

Basah

(kg/pohon)

Kering

(kg/pohon)

Pupuk kandang sapi (25) 7,25 2,41 6,98 2,32

Pupuk kandang ayam (12,5) 6,42 2,21 6,26 2,01

O.C.F. (0,25) 6,24 2,01 6,02 2,07

Bokasi –alas (0,50) 6,57 2,09 6,35 2,19

Penggunaan pupuk kandang sapi, ayam, O.C.F. dan Bokasi-alas tidak memperlihatkan hasil

yang berbeda baik untuk hasil bobot basah maupun bobot kering, tetapi pupuk kandang sapi

memperlihatkan hasil lebih dari yang lain. Hal ini disebabkan takaran pupuk organik yang

dipergunakan cukup tinggi, sehingga bahan organik yang diperlukan oleh tanaman sepanjang

tumbuh dan berproduksi cukup tersedia. Berbeda dengan pupuk yang lain terutama penggunaan

O.C.F. dan Bokasi-alas, karena takarannya sedikit efisiensi ketersediaan selama tumbuh dan

berproduksi sangat berkurang karena aliran air hujan/erosi. Dengan ketersediaan bahan organik

cukup lama tersedia maka akan diikuti oleh efisiensi ketersediaan pupuk anorganik terutama

Nitrogen. Kondisi interaksi antara ketersediaan yang cukup lama bahan organik dan efisiensi ini

diikuti oleh produksi yang lebih tinggi.

Penggunaan ke empat pupuk organik tersebut pada tanaman jagung dan kedele (sebagai

tumpang sari) di Mantup, dan pada tanaman jagung dan kacang hijau di Bluto tampak bahwa

penggunaan pupuk kandang sapi memperlihatkan hasil lebih tinggi dari pupuk organik yang lain.

Page 33: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

498

Khusus data produksi kacang hijau yang di tanam setelah tanaman jagung di Bluto kurang valid,

sebab sejak awal pertumbuhan ( tanaman bulan januari 2000 ) turun hujan tidak stabil mulai

berkurang dan jarang, ialah setelah hujan tidak turun di lokasi pengkaji selama 4 hari. Data curah

hujan bulan januari 2000 di sampaikan pada lampiran 1. Pada rata produksi jagung Bisma, jagung

labil, dan kacang hijau jenis kenari per ha, akibat pemupukan pupuk organik sapi, ayam, OCF dan

(Bokasi-alas) di sajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Rata – rata produksi jagung, kedelai dan kacang hijau di pupuk kandang sapi, ayam,

organic coumpousd fertilizer (OCF), dan (Bokasi – alas) di Mantup, dan Bluto,

Malang

Perlakuan per ha

Mantup Bluto

Jagung

Bisma

Kedelai Putri

Mulyo

Jagung

Bisma

Jagung

Lokal

Kacang

Hijau

--------------------- (ton/ha) --------------------

Pupuk Kandang sapi 10 ton 6,56 a 0,91 a 6,22 a 3,01 a 0,20

Pupuk kandang ayam 5 ton 6,34 a 0,85 a 5,96 a 2,87 a 0,21

O.C.F. 1 ton 6,18 a 0,82 a 5,92 a 2,70 a 0,20

(Bokasi- alas) 2 ton 6,22 a 0,79 a 5,93 a 2,76 a 0,19

Keterangan: Angka yang didampingi huruf yang sama selanjutnya tidak berbeda pada uji beda BNT (p=0,05)

Penggunaan ke empat pupuk organik pada takaran rekomendasi masing – masing pupuk

memperlihatkan hasil yang tidak berbeda meskipun pupuk kandang cenderung memberikan hasil tertinggi. Bagi petani di Bluto mereka lebih cenderung memanfaatkan pupuk kandang sapi sebab lebih mudah

tersedia. Di Bluto petani telah membentuk kegiatan interaksi antara cabe jamu dengan ternak sapi.

Sedangkan di Mantup petani lebih cenderung memanfaatkan pupuk kandang ayam, sebab di desa Tunggul

Jagir terdapat beberapa lokasi peternakan ayam yang mampu mendukung kebutuhan pupuk organik baik untuk tanaman jagung, kedelai maupun cabe jamu. Produksi Kacang Hijau sangat bias dan tidak normal,

Hal ini terjadi karena sejak penanaman tanaman ini tidak memperoleh air yang cukup terutama saat awal

pertumbuhan.

3. Pengkajian paket teknologi untuk tanaman Cabe Jamu jarak tanam (3,0 m x 3,0 m) dan

(4,0 m x 2,5 m) telah berumur 2 tahun beserta tumpang sarinya

Dari pengamatan tinggi tanaman cabe jamu umur 2 tahun terlihat bahwa penggunaan pupuk

kandang sapi memperlihatkan pertumbuhan lebih nyata dari pupuk organik yang lain, tetapi

pertumbuhan tanaman muda ini tidak berbeda baik yang ditanam pada jarak tanam (3,0 m X 3,0 m)

maupun jarak tanam (4,0 m X 2,5 m) ( Tabel 3 ).

Page 34: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

499

Tabel 3 Rata – rata tinggi tanaman cabe jamu umur 2 tahun yang di tanam pada jarak

tanam (3,0 m x 3,0 m) dan (4,0 m x 2,5 m) di pupuk kandang sapi, ayam, (OCF),

dan ( Bokasi – alas ) di Bluto. Malang 2000

Perlakuan (kg per tanaman) Tinggi tanaman (cm) pada jarak tanam

( 3,0 m x 3,0 m ) ( 4,0 m x 2,5 m )

Pupuk kandang sapi (25) 186,70 a 199,50 a

Pupuk kandang ayam (12,5) 176,09 a 183,63 a

O.C.F.(0,25) 168,75 a 167,40 a

Bokasi – alas (0,50) 175,87 a 175,17 a

Keterangan: Angka yang didampingi oleh huruf yang sama selajur, tidak berbeda nyata pada uju BNT (p=0.05)

Penggunaan pupuk kandang sapi tampak memperlihatkan pengaruh pada tinggi tanaman

lebih dari yang lain, meskipun tidak berbeda nyata, baik itu untuk tanaman muda yang di tanam

pada jarak ( 3,0 m X 3,0 m ) maupun jarak tanam ( 4,0 m X 3,0 m ). Secara sepintas tampak bahwa

sampai tanaman berumur 2 tahun jarak tanam belum berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman

cabe jamu muda. Pada posisi jarak tanam (3,0 m x 3,0 m) dan (4,0 m x 2,5 m) bagi tanaman cabe

jamu belum terjadi persaingan untuk memperoleh cahaya, unsur hara, maupun air. Pengaruh yang

tampak hanya pada pengunaan pupuk kandang sebanyak 25 kg perpohon, sehingga dengan takaran

yang cukup besar tersebut, bahan organik maupun pupuk anorganik ysng di berikan lebih efektif

dan efisien. Dengan takaran yang lebih rendah seperti pupuk organik yang lain, ketersediaanbahan

organiknya lebih cepat terbatas dan cepat berkurang karena terbawa aliran air hujan.

Kondisi pertanaman jagung dan kedelai yang di tanam di antara tanaman cabe Jamu jarak

tanam (3,0 x 3,0) dan (4,0 m x 2,5 m) hampir sama dengan kondisi tanaman jagung dan kacang

hijau yang di tanam di lahan cabe jamu pada jarak tanam umum, yaitu pertumbuhan tanaman

kacang hijaunya kurang normal. Rata – rata hasil jagung Bisma dan Lokal per ha, di petak cabe

jamu jarak tanam (3,0 m x 3,0 m) dan (4,0 m x 2,5 m) di sajikan pada Tabel 4.

Penggunaan pupuk kandang bagi tanaman jagung Bisma dan lokal memberikan hasil lebih

baik dari pada penggunaan pupuk organik yang lain meskipun dengan pupuk kandang ayam tidak

begitu berbeda, tetapi dengan pupuk O,C,F dan (Bokasi- alas) hasilnya berbeda nyata. Hal ini

disebabkan karena lahan di Bluto memang miskin bahan organik, sehingga dengan pemberian

yang cukup 10 ton/ka, mampu meningkatkan hasil dengan nyata. Sedangkan hasil antara varietas

Bisma dan lokal tampaknya posisi tersebut masih stabil yaitu dimana Bisma rata-rata menghasilkan

kurang lebih 2 kali hasil lokal, hampir sama seperti hasil pengkajian tahun 1998 / 1999. Disisi lain

tampak bahwa Jagung varietas lokal kurang begitu respon pada macam pupuk organik, berbeda

dengan Bisma yang memperlihatkan hasil berbeda akibat perbedaan sumber pupuk organik.

Page 35: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

500

Tabel 4 : Rata-rata hasil Jagung Bisma dan Lokal di tumpang sarikan dengan Cabe Jamu

jarak tanam (3,0 m x 3,0 m) dan (4,0 m x 2,5 m) di pupuk dengan pupuk kandang

sapi, ayam, OCF, dan Bokasi – alas di Bluto. Malang 2000

Perlakuan (pupuk per ha)

Rata-rata hasil tongkol t/ha Bisma dan Lokal

(3.0 m x 3.0 m) (4.0 m x 2,5 m)

Bisma Lokal Bisma Lokal

Pupuk kandang sapi 10 ton 4,05 b 1,97 a 4,32 b 2,07 a

Pupuk kandang ayam 5 ton 3,89 ab 1,74 a 4,19 b 1,94 a

O.C.F, 1,0 ton 3,54 a 1,72 a 3,62 a 1,74 a

(Bokasi-alas) 2,0 ton 3,69 a 1,65 a 3,92 ab 1,75 a

Keterangan: Angka yang didampingi oleh huruf yang sama selajur tidak berbeda nyata pada uji BNT( p=0,05).

4. Pengkajian pemberian air pada tanaman cabe jamu telah berproduksi jarak tanam

umum.

Pada musim kemarau untuk mempertahankan pertumbuhan telah di kaji penggunan volume

dan waktu pemberi air pada tanama cabe jamu yang telah beproduksi. Dari 4 perlakuan yang telah

di terapkan ternyata penggunaan air 5 liter setiap 3 hari memberikan hasil yang nyata dari pada

pemberi 5 liter setiap 6 hari, maupun 2,5 tiap 3 atau 6 hari.Tanaman yang tidak disiram dianggap

sebagai kontrol.

Kondisi tanaman yang secara visual setelah 3 bulan perlakuan tampak bahwa tanaman yang

tidak disiram (kontrol) menampilkan warna dan daun menguning dan rontok. Sedangkan tanaman

yang diberi air 2,51 setiap 6 hari daunnya berwarna hijau pucat. Tanaman yang diberi air 5,0 1iter

selama 3 hari menampilkan tanaman yang sehat, warna daun hijau mengkilat dan lebih lebar-lebar.

Kondisi penampilan tanaman tersebut hampir sama antara yang di Madura, Kecamatan Bluto,

Sumenep dengan yang di Lamongan, Kecamatan Matup, lamongan. Namun kondisi tanaman di

Mantup rata-rata lebih baik daripada di Bluto Sumenep. Hal tersebut dapat terjadi karena, di

samping tanah di Bluto lapisan olahnya sudah tipis, rata-rata suhu maksimumnya lebih tinggi.

Penampilan tanaman akibat pemberian air yang berbeda waktu dan takarannya ternyata

tidak saja berpengaruh pada penampilan pertumbuhan tanaman tetapi juga pada hasil buahnya,

seperti tampak pada Tabel 5.

Tabel 5 Rata-rata panjang, diameter dan bobot per buah, buah cabe jamu yang disiram

dengan takaran dan waktu pemberian air yang berbeda, di Bluto, Sumenep dan di

Mantup, Lamongan. Malang 2000

Kode Perlakuan

Penyiraman

Selang

(Liter)

Produksi rata2 per buah

Bluto, Sumenep

Produksi rata2 –per buah

Mantup, Lamongan

Panjang (cm)

Diameter (mm)

Bobot (gr)

Panjang (cm)

Diameter (mm)

Bobot (gr)

Al-Ml

Al-M2

A2-M1

A2-M2

2.50/6 hari

2.50/3 hari

5.00/6 hari

5.00/3 hari

3.08 a

3.41 ab

3.46 ab

3.60 b

5,50 a

6,14 ab

5,65 a

6,20 b

1,28 a

1,59 ab

1,49 ab

2,14 b

3,89 a

3.79 a

4,13 ab

4,31 b

7,05 a

7,51 ab

7,48 ab

8,56 b

2,12 a

2,18 a

2,27 ab

2 ,32 b

Keterangan: Angka yang didampingi oleh huruf yang sama dalam satu lajur tidak berbeda pada uji BNT (p=0,05).

Page 36: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

501

Panjang, diameter dan bobot per buah tanaman yang disiram gengan 5.01iter air selang 3

hari (A2-M2) mempunyai ukuran lebih tinggi daripada yang disiram 5,0 liter selang 6 hari, maupun

disiram 2,50 liter selang 3 atau 6 hari.

Secara umum pertumbuhan dan hasil buah relatif sama antara daerah Bluto dan mantup,

tetapi tampak bahwa rata-rata panjang, diameter, dan bibit diameter perbuah lebih tinggi di

Mantup. Hal tersebut di sebabkan rata-rata Cabe Jamu di Mantup di tanaman dilahan yang

solumnya lebih tebal. Hal yang cukup menarik adalah bahwa Bluto, selang penyiraman air lebih

pendek ternyata memberikan hasil lebih baik dari pada selang penyiraman yang lebih panjang.

Ternyata kondisi yang terjadi pada awal pertumbuhan tersebut tampakanya diikuti sampai

hasil panen, dimana tampak secara umum rata-rata produksi cabe jamu di Mantup lebih tinggi

daripada di Bluto. Rata-rata produksi cabe jamu per tanaman akibat di siram 2,5 liter dan 5,0 liter

setiap 3 atau 6 hari pada musim kemarau, di sampaikan pada Tabel 6..

Rata-rata petani cabe jamu baik di Mantup dan di Bluto, menyiram tanamannya bila

ketersediaan air cukup. Bagi tanaman yang jauh dari sumber air, tanaman tidak di siram dan mati

suri. Petani hanya sekedarnya menyiram tanamannya pada musim kemarau. Dari pengkajian

penggunaan air yang berbeda waktu dan takarannya tampak bahwa pemberian air 5,0 liter per

tanaman yang di berikan 3 hari sekali memperlihatkan hasil tertinggi, di samping itu masa panen

tanaman yang di siram pada musim kemarau, lebih awal dari tanaman umumnya yang tergantung

musim penghujan. Tanaman yang kita siram ini panen pada akhir januari s/d februari sehingga

mendahului panen raya yang rata-rata jatuh pada bulan maret, dan harganya pun masih cukup

tinggi bekisar 10-15% dari saat panen raya.

Tabel 6 Rata- rata produksi cabe jamu basah dan kering per tanaman akibat penyiraman

air 2,5 liter dan 5,0 liter di berikan 3 dan 6 hari pada musim kemarau di Bluto.

Malang 2000

Perlakuan Mantup Bluto

Basah

(kg/pohon)

Kering

(kg/pohon)

Basah

(kg/pohon)

Kering

(kg/pohon)

2,5 l selang 3 hari 6,18 b 1,42 b 5,02 b 1,12 b

2,5 l selang 6 hari 4,12 a 1,03 a 2,86 a 0,67 a

5,0 l selang 3 hari 7,86 d 2,42 d 7,32 d 2,13 d

5,0 l selang 6 hari 7,11 c 1,91 c 6,65 c 1,75 c

Keterangan: Angka yang didampingi oleh huruf yang sama selajur, tidak berbeda nyata pada uji BNT (P=0,05)

5. Kajian penerapan pengendalian hama penyakit

Dalam pengkajian pengendalian hama dan penyakit semula hanya akan di kaji

menggunakan pestisida kimia, tetapi dalam pengembangannya ( dimana petani ada yang

mempergunakan miba untuk memberantas hama/ penyakit tanaman cabe jamu ) maka perlakuan

pengkaji penerapan pengendalian hama dan penyakit tanaman cabe jamu pestisida kimia juga di

pergunakan mimba. Perlakuan yang di kerjakan adalah sama seperti dalam rencana semula, namun

di tambah perlakuan mimba yang di siramkan ke tanah dan di semprotkan ke tanaman. Aplikasi

perlakuan di lakukan sejak september 1999. Dari hasil kegiatan bulan januari dimana tanaman pada

fase separo umum berbuah ( 2 bulan lagi telah panen ) terlihat bahwa pada mimba dapat di jadikan

alternatif untuk pengendalian hama / penyakit tanaman cabe jamu dengan teknologi cairan

rendamannya di semprotkan ke tanaman. Jumlah tanaman terserang hama dan penyakit yang di

berikan pada cabe jamu adalah pestisida kimia dan mimba yang di siramkan ke daerah penyakit

dan di semprotkan ke dedaunan di sajikan pada Tabel 7.

Page 37: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

502

Tabel 7. Jumlah tanaman terserang hama / penyakit yang di kendalikan dengan pestisida

kimia dan mimba ( pestisida hayati ) di Bluto. Malang 2000

Perlakuan Jumlah tanaman terserang per kelompok pengamatan

1 2 3 4 5 6 Total Rata-2

A 1

A 2

0

0

1

0

1

0

0

0

1

0

0

0

3

0

3.13

B 1

B 2

0

0

1

0

0

0

0

0

1

1

0

1

2

2

4.51

C 1

C 2

0

1

0

0

1

1

0

0

0

0

0

0

1

2

3,13

D 1

D 2

0

0

1

1

1

0

1

1

1

1

0

0

4

3

7,19

0 : sehat

1 : sakit. Perlakuan : A : Pestisida disemprotkan

B : Pestisida disiramkan.

C : Mimba disemprotkan

D : Mimba disiramkan.

Data Tabel 7 tersebut di atas, merupakan pengamatan serangan hama/penyakit terakhir

(akhir Januari 2000) di mana buah yang dihasilkan tanaman menjelang tua dan merupakan

gambaran potensi toleransi tanaman cabe jamu terhadap hama dan penyakit. Dari data tanaman

yang terserang tampak bahwa pengendalian hama penyakit cabe jamu melalui semprot ( melalui

daun ) rata – rata lebih efektif dari pada melalui penyiraman di tanah. Sedangkan penggunaan

mimba mempunyai peluang yang sama dengan pestisida yamg lain dalam pengendalian hama /

penyakit cabe jamu. Bagi pengguna mimba akan lebih efektif melalui penyemprotan di daun.

6 Nilai ekonomi usaha tani cabe jamu

Dari ke empat aplikasi teknologi pada tanaman cabe jamu jarak utama dengan perbedaan

unggul pengguna pupuk organik di temui bahwa penggunaan pupuk kandang memiliki nilai input

yang tidak berbeda jauh dengan penggunaan pupuk organik lain tetapi memiliki nilai out put lebih

tinggi. Dari pengkajian ini yang menjadi pembeda dalam analisis ekonominya adalah harga pupuk

organik. Rata-rata biaya, penerimaan, pendapatan, dan B/C rasio usahatani cabe jamu jarak tanam

umum (650 pohon/ha) dipupuk kandang sapi, ayam, OCF, dan bokasi di (Sumenep dan

Lamongan) tahun 1999/2000 disampaikan pada Tabel 8.

Page 38: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

503

Tabel 8. Rata-rata biaya, penerimaan, pendapatan, dan B/C rasio usahatani Cabe Jamu jarak tanam umum (650 pohon/ha) dipupuk kandang

sapi, ayam, OCF, dan bokasi di (Sumenep dan Lamongan) 1999/2000

Uraian

Tanaman Cabe Jamu (650 pohon/ha) dipupuk dengan pupuk organik

Sapi Ayam OCF Bokasi-alas

Fisik Nilai (Rp) Fisik Nilai (Rp) Fisik Nilai (Rp) Fisik (Nilai (Rp)

(A) SAPRODI: Urea 162,5 kg 195000,- 162,5 kg 195000,- 162,5 kg 195000,- 162,5 kg 195000,-

Sp 36 162,5 kg 195000.- 162,5 kg 195000,- 162,5 kg 195000,- 162,5 kg 195000,-

KCl 162,5 kg 325000,- 162,5 kg 325000,- 162,5 kg 325000,- 162,5 kg 325000,-

Pupuk kandang sapi 16,00 ton 320000,- - - - - - -

Pupuk kandang ayam - - 8,00 ton 320000,- - - - -

Organic Compound Fertilizer - - - - 162,5 kg 162500,- - -

Bokasi-alas - - - - - - 325,0 kg 162500,-

Pestisida 5,0 kg 125000,- 5,0 kg 125000,- 5,0 kg 125000,- 5,0 kg 125000,-

JUMLAH (A) - 1160000,- - 1160000,- - 1002000,- - 1002000,-

(B) TNG KERJA: Bumbun 39 OK 390000,- 39OK 390000,- 39 OK 390000,- 39 OK 390000,-

Pupuk sapi 30 OK 300000,- - - - - - -

Pupuk ayam - - 25 OK 250000,- - - - -

Pupuk OCF - - - - 15 OK 150000,- - -

Pupuk Bokasi - - - - - - 25 OK 250000,-

Pupuk An-organik 30 Ok 300000,- 30 OK 300000,- 30 OK 300000,- 30 OK 300000,-

Semprot 22 OK 220000,- 22 OK 220000,- 22 OK 220000,- 22 OK 220000,-

Panen 52 OK 520000,- 52 OK 520000,- 52 OK 520000,- 52 OK 520000,-

Prosesing 32 OK 320000,- 32 OK 320000,- 32 OK 320000,- 32 OK 320000,-

JUMLAH (B) - 2050000,- - 2000000,- - 1900000,- - 2000000,-

(C). PRODUKSI KERING t/ha 1,275 1,171 1,126 1,191

(D) HARGA Rp/kg kering 9500,- 9500,- 9500,- 9500,-

(E).. PENERIMAAN Rp/ha 12112500,- 11124500,- 10692000,- 11314500,-

(F). BIAYA (A+B) Rp/ha 3210000,- 3160000,- 2902000,- 3002500,-

(G). PENDAPATAN Rp/ha 8902500,- 7964500,- 7795000,- 8312000,-

B/C rasio 2,77 2,52 2,68 2,76

Page 39: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

504

Dari analisis ekonomi seperti diatas terlihat bahwa budidaya cabe jamu dengan masukan

berbagai pupuk organik layak untuk dilaksanakan, karena rata-rata B/C rasio diatas 0. Dari hasil

pertemuan diskusi/ temu lapang, meskipin semua pupuk organik dapat diterapkan dilapang dan

menguntungkan para petani memiliki pupuk pilihan. Untuk petani Pakandangan Sangrah, Sumenep

mereka lebih memilih pupuk kandang sapi, sedangkan petani Tunggun Jagir, Lamongan memilih

pupuk kandang Ayam baru kemudian pupuk kandang sapi. Berbagai pilihan tersebut berdasarkan

kemudahan untuk memperoleh bahan pupuknya. Untuk pupuk OCF dan Bokasi pilihan terakhir,

sebab sering sulit dan harga serta memerlukan tenaga ekstra khususnya untuk

memperoleh/membuat bokasi.

7. Respon petani.

Untuk mengetahui respon petani, telah dilakukan temu lapang di masing-masimg lokasi

pengkajian. Di Pekandangan Sangrah, Bluto maupun di Tunggul Jagir Mantup, petani cukup

respon terhadap beberapa hasil pengkajian yang tampak dari animo petani mendatangi pertemuan,

dan diskusi yang disampaikan. Rata-rata para peserta pertemuan di 2 lokasi tersebut lebih dari 125

orang termasuk para pejabat terkait. Khusus di Bluto, sumenep hampir 35 % peserta pertemuan

terdiri dari ibu – ibu petani. Hasil pengkajian pemberian air pada musim kemarau menjadi diskusi

yang sangat menarik , apalagi di daerah masing – masing cukup tersedia air termasuk daerah Bluto

yang memperoleh bantuan pompa air dengan volume cukup untuk cabe jamu.Tanaman pemanjat

(kelor) di Bluto di harapkan untuk di kembangkan/termasuk pemrosesan menjadi makanan dapat

disimpan, karena tanaman kelor yang tumbuh sebagai pemanjat cabe jamu menjadi alternatif pakan

ternak sapi dan kambing yang mereka kembangkan. Pembuatan tandon air di tiap – tiap petak di

Bluto menjadi contoh untuk di lanjutkan karena dinilai cukup efektif dan efisien.. Sedangkan di

Mantup diskusi yang utama mengarah pada pembentukan kelompok tani, koperasi, dan jalur pasar

yang selam ini selalu di permainkan oleh tengkulak. Perbaikan jarak tanam untuk efisiensi lahan

dan pemberian air yang efisien menjadi diskusi yang menarik juga. Temu lapang di Mantup juga di

hadiri oleh petani dari lain kecamatan. Pertemuan di Bluto di tandai dan di prakarsai oleh disbun ke

II, sedangkan di Tunggun Jagir temu lapang justru di pandu oleh pihak pemda setempat

(Kecamatan ), Pupuk organik yang paling mereka dapat andalkan adalah penggunaan pupuk

kandang sapi di Bluto, sedangkan di desa Tunggul Jagir akan mengembangkan pupuk kandang

ayam, hal ini tampaknya ada kaitan dengan bahwa di Tunggul jogir berkembang peternakan ayam,

sedangkan di Bluto di kembangkan peternakan ternak sapi dan kambing. Namun dalam dua temu

lapang tersebut berkembang diskusi untuk daerah Tunggul Jagir di kembangkan sapi dan kambing

sedangkan di pekandangan sangrah di kembangkan ternak ayam.

KESIMPULAN

Dari hasil pengkajian cabe jamu di Lamongan dan Bluto 1999/2000 dapat disimpulkan

beberapa hal sebagai berikut:

1. Tanaman Cabe Jamu memerlukan pemupukan bahan organik dan penggunaan pupuk

kandang sapi lebih efektif dan efisien bagi tanaman ini, dengan alternatif kedua adalah

pupuk kandang ayam, demikian juga untuk tanaman tumpang sarinya

2. Tanaman cabe jamu membutuhkan air penyiraman pada musim kemarau, dimana

penyiraman dengan 0,5 liter air selang 3 hari memberikan pengaruh paling baik. Periode

penyiraman lebih pendek membeikan hasil lebih baik, dan panen lebih awal dari tanaman

yang memanfaatkan air pada musim penghujan saja.

Page 40: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

505

3. Mimba mempunyai peluang yang sama baiknya dengan pestisida kimia pada sistim

pengendalaian hama dan penyakit tanaman cabe jamu dan lebih efektif lagi bila diberikan

melalui daun/disemprotkan ke tanaman.

PRAKIRAAN DAMPAK HASIL KEGIATAN.

Dari penelitian/pengkajian dan interaksi dengan para petani selama pengkajian tampak

bahwa petani menjadi sangat memperhatikan komoditas tanamannya. Beberapa teknologi

seperti penggunaan pupuk kandang (sapi,ayam) menjadi masukan dalam pengelolaan tanaman

termasuk penggunaan air pada musim kemarau. Aktifitas penyiraman tanaman pada musim

kemarau serta pemberdayaan sumber air agar lebih efektif dan efisien akan direncanakan

bersama dengan baik. Petani sangat memerlukan pembinaan kelembagaan proses dan

pemasaran, terutama di Mantup, Lamongan. Petani di dua lokasi sangat optimis dengan

perkembangan Cabe Jamu akan datang, dan siap untuk menjadi kelompok masarakat

perkebunan khusus masarakat perkebunan Cabe Jamu.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1997a. Rencana Induk Tahap Kedua Pengembangan Pertanian Terpadu Repelita VI dan

Repelita VII Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur, Kanwil Deptan Jatim.

Anonim, 1997b. Rencana Induk Tahap Ketiga Pengembangan Pertanian Terpadu Repelita VI Dan

Repelita VII Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Deptan Jatim.

Muhammad, H. dan Sudiarto, 1994. Serapan hara dan sosial ekonomi pertanaman Cabe Jamu di

sentra produksi (Pakandangan Sangrah), Bluto, Sumenep). Balai Penelitian Tanaman

Rempah dan Obat.

Legowo E, Q.D Ernawanto, S.R. Soemarno, R. Hardianto, N. Pangarsa and H.Sembiring, 1996a.

Zonasi agroekologi dan karakteristik wilayah-wilayah Kecamatan di JawaTimur. Badan

Litbang Pertanian, Balai pengkajian Teknologi Pertanian Karangploso, Malang.

Legowo E, Yuwoko, Krisnadi dan Abu. 1996b. Karekteristik Agrekologi wilayah-wilayah

kecamatan di Jawa Timur. Badan Litbang Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian Karangploso, Malang.

Soleh, M. Cholil Machfud, S. Rusmarkam, Ismail wahab, Zainal Arifin, Agus Suryadi, Diding

Rachmawati, R. Djoko Wijadi, Nugraha Pangarsa, 1999. Pengkajian rakitan Teknologi

Sistem Usaha Tani Cabe Jamu BPTP Karangploso Malang, Belum diterbitkan

Wahab, M. I. dan O. Rostiana, 1994. Teknik bercocok tanam dan pasca panen cabe Jawa (Piper

retrofractum Vahl.) di Madura. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Page 41: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

506

DISKUSI

Ir. Budianto (APP Malang)

1. Selain bahan jamu apakah cabe jamu digunakan bahan baku industri

2. Tanamannya merambat, rambatan apa yang paling bagus ?

3. Sejauhmana kebutuhan cahaya matahari untuk berbunga terus ?

Dr. Moh Soleh

1. Dapat untuk subtitusi merica di India, bumbu gule

2. Rambatan di Sumenep dengan Kelor, di lamongan dengan dadap tetapi tidak tahan lama

dan juga di Lamongan dengan kayu jaranan.

3. Yang di anjurkan adalah kelor dan untuk memenuhi kebutuhan cahaya, daun kelor

dipangkas .

Ir. Rusdi ( Dinas TK II Perkebunan Lamongan)

1. Kebutuhan pupuk kandang 16 ton/ha, penggunaan OCF hanya memerluan 1% dari pukan

sapi untuk meningkatkan hasil, apa tidak mungkin dosis OCF dinaikkan ?

2. Pengairan 3 hari sekali meningkatkan produksi 78%, bagaimana dengan penggenangan ?

Dr. Moh Soleh

1. Pupuk kandang baik di Sumenep (sapi) dan di Lamongan (ayam) sudah tersedia banyak

sekali.

2. Pengairan masih di kaji terus, karena jurang efisien, dapat digunakan mulsa.

Penggenangan tidak disukai cabe jamu.

Page 42: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

507

STUDI PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN PHT PADA TANAMAN KOPI

(Study of IPM development dan application on coffee)

M.C. Mahfud, L. Rosmahani, D. Rachmawati, Handoko, Sarwono, E. Korlina, M. Soleh,

A. Suryadi, W. Istuti dan Jumadi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Karangploso

ABSTRAK

Keberhasilan penerapan PHT tergantung pada tersedianya teknologi PHT dan kemampuan petani

untuk menerapkannya. Pengkajian ini bertujuan untuk: (1) memperoleh teknologi PHT yang

efektif mengendalikan hama-penyakit, menguntungkan usahatani, tidak mencemari lingkungan

hidup, dan dapat diterapkan oleh petani, serta (2) meningkatkan pemahaman petani kepada PHT.

Pengkajian dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 1997/1998, pada tanaman kopi arabika

Kartika-1 milik petani di desa Kemiri kecamatan Jabung kabupaten Malang, melalui percobaan

dan survei. Komponen PHT yang dikaji meliputi kultur teknis, pengendalian secara mekanis,

pengendalian secara biologi, dan pengendalian dengan pestisida. Komponen PHT ini

dibandingkan dengan cara yang umumnya dilakukan oleh petani di lokasi pengkajian.

Peningkatan pemahaman petani dilakukan dengan dua cara, yaitu tatap muka dan praktek

penerapan PHT. Teknologi PHT yang efektif mengendalikan hama dan penyakit utama tanaman

kopi, tidak mencemari lingkungan, meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil, menguntungkan

usahatani kopi arabika Kartika-1, serta dapat diterapkan oleh petani adalah kultur teknis

(membersihkan gulma, memupuk 2 kali pada awal dan akhir musim hujan dengan pupuk

kandang +urea + SP-36 + KCl, memangkas bagian tanaman yang tidak produktif), buah yang

bergejala PBKo dibersihkan (petik bubuk, lelesan dan rampasan) dan tanaman disemprot dengan

jamur Beauveria bassiana, tanaman yang bergejala nematoda diberi larutan bubuk biji mimba (30

g/l), daun yang bergejala penyakit karat daun dan antraknose dipangkas serta apabila serangan

15 % disemprot dengan larutan bubur bordo.Tanaman yang dipelihara dengan menerapkan PHT

berproduksi lebih tinggi dan lebih menguntungkan daripada cara petani. Kegiatan tatap muka dan

praktek penerapan PHT dapat meningkatkan pemahaman petani kepada PHT.

Kata kunci: Kopi arabika Kartika-1, hama dan penyakit, petani, PHT

ABSTRACT

Success of IPM application depended on available of IPM technology and farmer’s ability to

applicated it. The objectives of this assessment were to: (1) found effective IPM technology for

controlling pests and diseases, provitable farming, not pulluted life environment and could be

applicated by farmer; and (2) increased farmer’s understanding to IPM. The assessment was done

rankly began 1997/1998, on farmer’s Kartika-1 arabic coffee in Kemiri (Jabung-Malang), through

experiment and survey. IPM component assessmed was consist of cultured practices, mechanical

and biological control, and used pesticide. Those IPM components were compared with farmer’s

method. Increasing farmer’s understanding was done by faced to faced ecounter and practicing

IPM technology. The effective IPM technology to control main pests and diseases, not polluted life

environment , increased production and profitable Kartika-1 arabic coffee farming, and could be

applicated by farmer, was cultured practices (weeded, twice fertilized and cut inproductive

branch), took coffee borrer seed/CBS (Hypothenemus hampei) infected seed and sprayed by fungi

Beauveria bassiana, used nimb seed powder for controlling parasitic nematode, cut Hemileia

vastatrix anad Colletotrichum coffeae infected leafs and sprayed by bubur bordo if diseases

intensity was more than 15 %. Faced to faced encounter followed by practicing IPM technology

could increase farmer’s understanding to IPM.

Key words: Kartika-1 arabic coffee, pests and diseases, farmer, IPM

Page 43: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

508

PENDAHULUAN

Sebagai sentra produksi, Jawa Timur memprioritaskan kopi (Coffee sp) untuk

dikembangkan terutama kopi arabika (Disbun Dati I Jatim, 1998) karena memiliki harga jual lebih

tinggi daripada robusta, dengan pangsa pasar ekspor 72 % (Hartana dan Danimihardja, 1990). Di

Jawa Timur tahun 1996 terdapat 977.575 ha tanaman kopi, sebagian besar (88,13 % atau 861.533

ha) adalah perkebunan rakyat (Bappeda Dati I Jatim, 1998), mutu dan produktivitasnya rendah

terutama karena serangan hama dan penyakit (BPTP Jatim, 1998), yang antara lain adalah hama

penggerek buah kopi atau PBKo (Hypothenemus hampei), nematoda (terutama oleh Pratylenchus

coffeae dan Radopholus similis) dan penyakit karat daun (Hemileia vastatrix), masing-masing

dapat menurunkan produksi 10-20 %, 28-78 % dan 20-70 % (Puslit Kopi dan Kakao, 1998). Di

sentra pengembangan kopi arabika kabupaten Malang, penyakit antraknose (Colletotrichum

coffeae) juga menjadi masalah yang tingkat serangannya setara dengan penyakit karat daun.

Peranan hama dan penyakit pada usahatani kopi semakin terasa bila dikaitkan dengan

ekspor. Yahmadi (1988) melaporkan bahwa 75 % dari produksi kopi Jawa Timur diekspor ke

beberapa negara yang harus memenuhi persyaratan antara lain bebas hama-penyakit, sehingga

pengendalian hama-penyakit menjadi sangat penting.

Dalam setiap program perlindungan tanaman di Indonesia, PHT telah merupakan dasar

kebijaksanaan pemerintah dengan dasar hukum Inpres no.3 tahun 1986 dan UU no. 12 tahun 1992

(Untung, 1993). Smith (1983 dalam Oka, 1995) menyatakan bahwa istilah hama dalam PHT

mencakup semua organisme atau agensia yang bertentangan dengan kepentingan manusia,

termasuk di dalamnya adalah serangga, tikus, babi hutan, jamur, bakteri, virus dan sejenisnya,

nematoda serta gulma. PHT merupakan konsep dan sekaligus teknologi pengendalian hama yang

dilaksanakan dengan mengelola ekosistem setempat melalui berbagai teknik pengendalian hama

secara kompatibel dan teknik pemantauan sedemikian rupa sehingga hama tetap seimbang dengan

musuh alamnya (Untung, 1996). Sitepu dkk (1997) menyarankan dalam melaksanakan kebijakan

PHT hendaknya mengutamakan keterpaduan komponen-komponen yang kompatibel dan serasi

dengan lingkungan setempat.

Keberhasilan penerapan PHT adalah tanggung jawab petani (Direktorat Bina Perlindungan

Tanaman Perkebunan, 1998), dan untuk mencapainya dibutuhkan rakitan teknologi PHT yang

efektif diikuti dengan pemberdayaan petani melalui peningkatan pemahaman kepada PHT.

Pengkajian ini bertujuan:

(1) Memperoleh teknologi PHT yang efektif mengendalikan hama-penyakit, menguntungkan

usahatani, tidak mencemari lingkungan hidup, dan dapat diterapkan oleh petani.

(2) Meningkatkan pemahaman petani kepada PHT

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilaksanakan di desa Kemiri, kecamatan Jabung kabupaten Malang, salah satu

sentra pengembangan kopi arabika, antara April 1997 s/d Maret 2000, secara bertahap, melalui

percobaan dan survai.

Tahapan Pengkajian

1. Tahun 1997/1998

Pengkajian ditekankan pada uji penerapan komponen PHT hama PBKo dan penyakit

karat daun. Pengkajian dilaksanakan melalui percobaan menggunakan rancangan petak

berpasangan, di lahan petani pada tanaman kopi arabika Kartika-1 umur 2 tahun. Teknologi PHT

yang dikaji dibandingkan dengan cara yang umumnya dilakukan oleh petani di lokasi pengkajian

(Tabel 1). Jumlah tanaman yang digunakan dalam pengkajian, sebanyak 900 pohon, dibagi

Page 44: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

509

menjadi 2 kelompok, masing-masing dipelihara dengan menerapkan PHT dan cara petani. Residu

pestisida Kocide 77 WP dalam buah dianalisis menggunakan khromatografi gas di laboratorium

Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Jakarta.

Tabel 1. Komponen PHT yang dikaji untuk mengendalikan hama PBKo dan penyakit

karat daun

Cara pengendalian Komponen PHT Cara petani

Kultur teknis Membersihkan gulma di sekitar

pertanaman kopi Memupuk 2 kali (awal dan akhir

musim hujan) masing-masing dengan 10 kg kotoran sapi + 50 g urea + 40 g SP-36 + 40 g KCl per pohon

Menyiang gulma sebelum memupuk

Memupuk 2 kali dengan 20 kg/po-hon kotoran sapi, dan 50 g urea/po-hon sekali setahun setelah panen

Hama PBKo Petik bubuk, lelesan dan ram-pasan

Menyemprot tanaman dengan suspensi jamur Beauveria bas-siana

Tidak dilakukan

Penyakit karat daun Memotong bagian tanaman sakit

Menyemprot tanaman dengan larutan fungisida Kocide 77 WP bila serangan 15 %

Tidak dilakukan

2. Tahun 1998/1999

Salah satu kelemahan dari kopi arabika Kartika-1 adalah kurang tahan terhadap

nematoda parasit terutama spesies Pratylenchus coffeae, dan daerah pengembangan kopi arabika

di Jawa Timur umumnya endemis nematoda tersebut. Di lokasi pengkajian yaitu di desa Kemiri

(Jabung-Malang) (ketinggian + 700 m dpl dengan iklim kering), tingkat serangan penyakit

antraknose (Colletotrichum coffeae) setara dengan penyakit karat daun (H. vastatrix). Di

samping itu, informasi tingkat pemahaman petani kepada hama-penyakit perlu digali sebagai dasar

dalam mengadopsikan teknologi PHT. Berkaitan dengan hal ini, pengkajian tahun 1998/1999

dikembangkan pada PHT nematoda dan penyakit antraknose, serta menggali informasi tingkat

pemahaman petani. Teknologi PHT yang dikaji (Tabel 2) dibandingkan dengan cara yang

umumnya dilakukan oleh petani di lokasi pengkajian. Pengkajian dilaksanakan melalui percobaan

menggunakan rancangan petak berpasangan. Pengkajian dilaksanakan pada tanaman kopi arabika

Kartika-1 umur 3 tahun, di 4 kebun milik petani (sebagai ulangan), masing-masing sebanyak 300

pohon. Di tiap lokasi, pertanaman kopi dibagi menjadi 2 kelompok masing-masing dipelihara

dengan menerapkan PHT dan cara petani.

Page 45: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

510

Tabel 2. Komponen PHT yang dikaji untuk mengendalikan hama PBKo, nematoda

parasit, penyakit karat daun dan antraknose

Cara pengendalian Komponen PHT Cara petani

Kultur teknis Membersihkan gulma di sekitar pertanaman kopi

Memupuk 2 kali (awal dan ak-hir musim hujan) masing-ma-sing dengan 15 kg kotoran sapi +75 g urea + 40 g SP-36 + 60 g KCl per pohon

Memangkas bagian tanaman yang tidak produktif

Menyiang gulma sebelum memupuk

Memupuk 2 kali dengan 20 kg/po-hon kotoran sapi, dan 50 g urea/po-hon sekali

Hama PBKo Petik bubuk, lelesan dan rampa-san

Menyemprot tanaman dengan suspensi jamur Beauveria bas-siana

Tidak dilakukan

Nematoda parasit Tanaman yang bergejala ringan diberi Furadan 3 G

Tanaman yang terserang parah dibongkar, dan tanah bekas ta-naman diberi nematisida

Tidak dilakukan

Penyakit karat daun dan antraknose

Memotong bagian tanaman sakit

Menyemprot tanaman dengan larutan fungisida Kocide 77 WP bila serangan 15 %

Tidak dilakukan

Penggalian informasi tingkat pemahaman petani, dilakukan melalui survai. Data

dikumpulkan melalui wawancara dengan petani menggunakan daftar pertanyaan. Petani responden

sebanyak 40 orang tergabung dalam kelompok tani Sumber Rejeki.

3. Tahun 1999/2000

Teknologi PHT yang dihasilkan dari pengkajian tahun 1997/1998 dan 1998/1999 terlalu

mahal bagi petani, sehingga perlu dimodifikasi untuk menghasilkan teknologi PHT yang lebih

murah sesuai dengan kondisi ekonomi petani. Tingkat pemahaman petani yang rendah merupakan

hambatan dalam adopsi teknologi PHT, sehingga perlu meningkatkan pemahaman petani kepada

hama, penyakit dan PHT. Berkaitan dengan hal ini, pengkajian tahun 1999/2000 ditekankan pada

pengkajian penerapan PHT modifikasi (Tabel 3), dan peningkatan pemahaman petani kepada

PHT. Pengkajian penerapan PHT dilaksanakan melalui percobaan, menggunakan rancangan acak

kelompok, pada 900 tanaman kopi arabika Kartika-1 umur 4 tahun.

Page 46: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

511

Tabel 3. Modifikasi komponen PHT yang dikaji untuk mengendalikan hama PBKo,

nematoda parasit, penyakit karat daun dan antraknose

Komponen

Aspek PHT PHT PHT modifikasi Cara petani Kultur teknis Menyiang gulma,

memupuk dengan 20 kg pukan + 400 g ZA + 80 g SP-36 + 160 g KCl per pohon, diberikan 2 kali, ½ takaran pada awal musim hujan dan sisanya pada akhir musim hujan

Mengatur naungan dan memangkas tanaman kopi

Menyiang gulma, memu-puk 400 g ZA + 80 g SP-36 + 160 g KCl per po-hon, diberikan 2 kali, ½ takaran pada awal musim hujan dan sisanya pada akhir musim hujan

Pemupukan awal musim hujan ditambah 2 kg bo-kasi/ph, dan akhir musim hujan ditambah 20 kg pu-kan/ph

Mengatur naungan dan memangkas bentuk dan produksi

Menyiang gulma sebe-lum memu-puk

Memupuk dengan 20 kg pukan 2 kali setahun

Urea 50 g/ph diberi-kan sekali setahun se-telah panen

Pengendalian hama penyakit

1. Nematoda

Mulai tampak gejala, ta-

naman diberi nematisi-da 70 g/ph

Tanaman terserang pa-rah, dibongkar, tanah dibuka kemudian diberi nematisida

Mulai tampak gejala, ta-

naman diberi bubuk biji mimba 30 g/pohon

Tanaman terserang parah, dibongkar, tanah dibuka kemudian diberi bubuk biji mimba

Tidak dilakukan

2. PBKo Petik bubuk, lelesan dan racutan

Aplikasi B. Bassiana dosis 2,5 kg bahan padat/ha, tiga kali aplikasi

Petik bubuk, lelesan dan racut

Aplikasi B. Bassiana dosis 2,5 kg bahan padat/ ha, tiga kali aplikasi

Tidak dilakukan

3.Karat daun dan antrakno-se

Daun sakit dipangkas, jika serangan 15 % ta-naman disemprot fungi-sida sintetis tiap 2 minggu

Daun sakit dipangkas, jika serangan 15 % tanaman di-semprot larutan bubur bordo tiap 2 minggu

Tidak dilakukan

Kegiatan peningkatan pemahaman petani dilakukan melalui tatap muka dan praktek

penerapan PHT. Kegiatan praktek penerapan PHT di laksanakan di 40 kebun kopi milik petani (+

10 ha). Pada akhir kegiatan, pemahaman petani dievaluasi melalui wawancara dengan petani

menggunakan daftar pertanyaan untuk mengetahui perubahan tingkat pemahaman petani kepada

PHT.

B. Pengumpulan dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan meliputi serangan hama-penyakit, hasil panen, residu pestisida

dalam buah, biaya dan harga jual produksi, serta tingkat pemahaman petani kepada PHT. Data

yang dikumpulkan dari pengkajian ini dianalisis menggunakan kriteria tingkat serangan, input-out

put usahatani, sidik ragam atau uji t, serta persentase tingkat pemahaman petani.

Page 47: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

512

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tahun 1997/1998

Kombinasi komponen PHT yang efektif mengendalikan hama PBKo dan penyakit karat

daun adalah kultur teknis, mengendalikan hama PBKo secara mekanis (petik bubuk, lelesan dan

rampasan) dan menyemprot tanaman dengan jamur Beauveria bassiana, serta mengendalikan

penyakit karat daun secara mekanis (memotong bagian tanaman sakit) dan menyemprot

tanaman dengan larutan fungisida bila serangan 15 %. Tanaman kopi yang dipelihara dengan

menerapkan PHT berproduksi lebih tinggi daripada cara petani, serta menguntungkan usahatani

kopi arabika Kartika-1 umur 2 tahun (Tabel 4).

Tabel 4. Tingkat serangan PBKo dan karat daun, produksi serta keuntungan usahatani

kopi arabika Kartika-1 umur 2 tahun cara PHT dan petani

Perlakuan Tingkat serangan (%) Produksi

basah (t/ha)

Keuntungan

(Rp/ha)

Residu Kocide

77 WP PBKo Karat daun

PHT 2,43 37 4,420 14.179.370 Tidak terdeteksi

Cara petani 17,58 61 1,356 3.229.400

Kegiatan kultur teknis (menyiang dan memupuk) diikuti dengan pengendalian

hama/penyakit secara mekanis (petaki bubuk, rampasan dan lelesan untuk hama PBKo, serta

memangkas bagian tanaman bergejala penyakit karat) menyemprot tanaman dengan fungisida

Kocide 77 WP selama periode vegetatif (Juli-Desember), dan menyemprot tanaman dengan jamur

B. Bassiana selama periode generatif (Maret-Juni), adalah teknologi PHT yang efektif

mengendalikan hama PBKo dan penyakit karat daun. Wiryadiputra (1996) melaporkan bahwa

pengendalian (petik bubuk, rampasan dan lelesan), efektif mengendalikan hama PBKo karena

dapat memutus siklus hidup H. hampei. Penggunaan jamur B. bassiana dapat menurunkan

intensitas serangan PBKo sampai 87 %.

Bagian tanaman sakit dapat menjadi sumber penular penyakit karat daun, sehingga kegiatan

memangkas bagian tanaman tersebut secara langsung mengurangi sumber penular penyakit karat

daun. Zadoks dan Schein (1979) melaporkan bahwa pemusnahan bagian tanaman sakit,

menurunkan kecepatan perkembangan penyakit. Menurut Palti dan Rotem (1983) tindakan

meminimalkan sumber penular penyakit, meningkatkan keberhasilan pengendalian penyakit.

Fungicida Koside 77 WP dengan bahan aktif tembaga hidroksida termasuk dalam golongan

fungisida protektan (Saidi, 1998), dan direkomendasikan untuk mengendalikan penyakit karat daun

tanaman kopi (Anonim, 1997). Apabila diaplikasikan pada tanaman menyebabkan permukaan

tanaman tertutup racun jamur tersebut, sehingga jamur H. vastatrix terhalang menginfeksi daun.

Dengan aplikasi sebanyak 10 kali selama periode vegetatif, dalam buah tanaman kopi tidak

terdeteksi residu fungisida tersebut. Hal ini diduga karena 2 hal, yaitu (1) fungisida Kocide 77 WP

tergolong kontak sehingga partikel bahan aktifnya tidak terakumulasi dalam buah, dan (2)

penyemprotan diakhiri 3 bulan sebelum panen, partikel bahan aktifnya telah terurai dan berubah

menjadi senyawa yang tidak toksit dalam buah. Menurut Saidi (1998) senyawa tembaga (copper)

tidak ditranslokasikan dalam tanaman sehingga residunya secara mudah dapat dipisahkan oleh

pencucian.

Dengan tingkat serangan hama PBKo dan penyakit karat daun yang rendah, diikuti dengan

tanaman tumbuh baik akibat perlakuan kultur teknis, maka tanaman mampu berproduksi sesuai

potensinya.

Page 48: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

513

B. Tahun 1998/1999

Teknologi PHT (Tabel 2) efektif mengendalikan hama PBKo, nematoda parasit, penyakit

karat daun dan antraknose. Tanaman yang dipelihara dengan menerapkan PHT berproduksi lebih

tinggi daripada cara petani, serta menguntungkan usahatani kopi arabika Kartika-1 umur 3 tahun

(Tabel 5). Tingkat pemahaman petani kepada hama dan penyakit masih rendah (Tabel 6)

Tabel 5. Tingkat serangan PBKo, nematoda, penyakit dan karat daun dan antraknose,

produksi serta keuntungan usahatani kopi arabika Kartika-1 umur 3 tahun

Perlakuan

Tingkat serangan (%) Produksi

basah (t/ha)

Keuntungan

(Rp/ha) PBKo Nematoda Karat

daun

Antraknose

PHT 0 0 5,85 2,57 1,861 891.500

Cara petani 0,52 17,25 11,17 7,45 0,719 -350.000

Furadan 3 G bekerja secra sistemik dan kontak, merupakan salah satu nematisida yang

direkomendasikan untuk mengendalikan nematoda parasit pada tanaman kopi (Anonim, 1997).

Apabila tanaman kopi yang menunjukkan gejala nematoda diberi Furadan 3 G, tanaman berangsur-

angsur sembuh dan tumbuh normal. Menurut Wiryadiputra (1998), Furadan 3 G memiliki

efektifitas tinggi dalam mengendalikan nematoda parasit tanaman kopi.

Jenis jamur Hemileia berbeda dengan Colletotrichum, namun pada tanaman kopi, kedua

jenis jamur ini memiliki kemiripan dalam menimbulkan kerusakan. Kedua jenis jamur ini sama-

sama menyerang bagian bawah permukaan daun, dan periode antara awal sampai akhir musim

kemarau sangat cocok bagi perkembangannya. Kemiripan tersebut menyebabkan teknik

pengendalian kedua jenis jamur ini juga sama, yaitu memotong bagian tanaman sakit dan apabila

tingkat serangan lebih dari 15 % tanaman disemprot dengan fungisida Kocide 77 WP.

Salah satu prinsip dari PHT adalah mengusahakan tanaman sehat (Suhardjan, 1998). Hama

PBKo dan nematoda parasit, serta penyakit karat daun dan antraknose, adalah hama-penyakit yang

sangat merusak tanaman kopi arabika Kartika-1 (Mahfud dkk, 1998). Dengan tingkat serangan

hama-penyakit ini rendah, diikuti tanaman tumbuh normal karena kebutuhan unsur haranya

terpenuhi, tanaman kopi mampu berproduksi tinggi.

Tabel 6. Tingkat pemahaman petani kepada hama dan penyakit tanaman

kopi, serta PHT

Komponen pemahaman Jumlah petani Persentase (%)

1. Hama dan penyakit

Belum memahami 39 97,5

Sudah memahami 1 2,5 2. Pengendalian hama terpadu

Belum memahami 31 77,5

Sudah memahami 9 22,5

Rendahnya pemahaman petani kepada hama dan penyakit diduga antara lain karena: (1)

tahap perkenalan, (2) tingkat pendidikan, (3) status tanaman kopi, dan (4) persepsi petani kepada

aspek hama dan penyakit tanaman kopi.

Page 49: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

514

1. Tahap perkenalan

Bagi petani kopi di lokasi pengkajian, informasi detail tentang hama-penyakit tanaman kopi

belum pernah diterima. Dengan demikian, tatap muka dan kunjungan lapang tentang hama-

penyakit dan PHT selama pengkajian, merupakan tahap perkenalan bagi petani. Oleh karena tahap

perkenalan atau pengetrap awal, maka tingkat adopsinya lebih lambat bila dibandingkan dengan

golongan petani yang sebelumnya sudah mengenal (Wiriatmadja, 1986).

2. Pendidikan

Sebagian besar petani (90 %) berpendidikan sekolah dasar (SD) atau madrasah ibtidai’yah

(MI), akibatnya sulit memahami aspek hama-penyakit serta PHT. Nainggolan dkk (1988)

melaporkan bahwa proses alih teknologi kepada petani antara lain dipenagaruhi oleh tingkat

pendidikan petani, makin rendah menyebabkan proses alih teknologi makin lambat.

3. Status tanaman kopi

Selain bertanam kopi, sebagian besar petani (90 %) juga berternak sapi perah. Apabila

dibandingkan dengan kegiatan berternak, waktu petani yang dicurahkan untuk usahatani kopi jauh

lebih sedikit. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dari kegiatan sapi perah, petani setiap

minggu mendapatkan uang kontan dari penjualan air susu ke KUD. Dengan demikian usahatani

kopi termasuk usaha sambilan. Artinya apabila petani mempunyai waktu setelah berternak sapi

perah (merumput, membersihkan kandang, memandikan dan memerah sapi), baru petani

menangani kopi. Dengan demikian, pikiran dan tenaga petani lebih banyak dicurahkan untuk

berternak sapi perah.

4. Persepsi petani terhadap aspek hama-penyakit

Sebagian (10 %) petani menganggap bahwa adanya hama dan penyakit kurang atau tidak

menjadi masalah pada usahatani kopi. Persepsi ini diduga mengurangi minat petani untuk

memahami aspek hama-penyakit dan PHT pada tanaman kopi.

C. Tahun 1999/2000

Teknologi PHT yang dimodifikasi (Tabel 3) efektif mengendalikan hama PBKo, nematoda

parasit, penyakit karat daun dan antraknose, tanaman yang dipelihara dengan menerapkan PHT

modifikasi berproduksi lebih tinggi daripada PHT dan cara petani, serta menguntungkan usahatani

kopi arabika Kartika-1 umur 4 tahun (Tabel 7).

Tabel 7. Tingkat serangan PBKo, nematoda, penyakit dan karat daun dan antraknose,

produksi serta keuntungan usahatani kopi arabika Kartika-1 umur 4 tahun

Perlakuan Tingkat serangan (%) Produksi

basah (t/ha)

Keuntungan

(Rp/ha) PBKo Nematoda Karat daun Antraknose

PHT 0 1,00 9,47 1,91 8.568 8.154.800

PHT modifikasi 0 0,86 6,79 1,25 11.322 10.868.000

Cara petani 1,0 12 19,75 5,06 1.221 -165.750

Page 50: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

515

Aplikasi nematisida sintetis (bahan aktif karbofuran) dan nematisida nabati (larutan bubuk

biji mimba atau BBM) dapat menekan serangan nematoda parasit. Tanaman bergejala nematoda

yang diaplikasi larutan BBM, menunjukkan gejala penyembuhan (recovery) yaitu tanaman

membentuk tunas-tunas baru. Kemampuan BBM dalam menyembuhkan gejala nematoda diduga

karena BBM mengandung 4 senyawa yaitu azadirachtin, salanin, nimbin dan meliantriol yang

dapat mempengaruhi perkembangan mikroorganisme (Sudarmadji, 1993). Pengendalian kimiawi

menggunakan racun nematoda (nematisida sintetis) merupakan tindakan paling mudah dan cepat

dalam mengendalikan nematoda. Namun disadari bahwa cara ini membutuhkan tambahan biaya

cukup banyak dan membahayakan lingkungan (Wiryadiputra, 1998).

Bubur bordo memiliki efektifitas yang setaraf dengan fungisida sisntetis dalam

mengendalikan penyakit karat daun dan antraknose. Keuntungan dari penggunaan bubur bordo

adalah biayanya lebih murah dan dapat dibuat sendiri oleh petani.

Lebih tingginya produksi biji kopi basah pada perlakuan PHT daripada cara petani, diduga

karena keberhasilan penerapan PHT dalam menurunkan serangan hama-penyakit. Melalui

penerapan PHT, serangan hama-penyakitnya terkendali dan kebutuhan nutrisi tanaman terpenuhi,

sehingga tanaman kopi tumbuh optimal dan mampu berbuah sesuai potensinya.

Usahatani kopi arabika umur 4 tahun cara petani ternyata tidak menguntungkan. Hal ini

disebabkan oleh produksi dan harga jualnya lebih rendah daripada produksi dan harga jual biji kopi

dari tanaman yang dipelihara dengan menerapkan PHT. Tanaman kopi yang dipelihara dengan cara

petani tumbuh kurang optimal dan serangan hama-penyakitnya tinggi. Dengan cara panen serentak

antara yang merah dan hijau, serta dijual dalam keadaan tercampur, menyebabkan harga jualnya

lebih rendah daripada produksi tanaman kopi yang menerapkan PHT. Pada saat panen harga jual

biji kopi basah dari tanaman yang dipelihara dengan cara petani dan menerapan PHT, masing-

masing adalah Rp. 1250,-/kg dan Rp. 1500,-/kg.

Kegiatan tatap muka dengan petani diikuti dengan praktek lapang, mening-katkan

pemahaman petani kepada hama, penyakit dan PHT (Tabel 8). Dengan demikian,

Tabel 8. Tingkat pemahaman petani kepada PHT

Komponen pemahaman Sebelum kegiatan Sesudah kegiatan

Jumlah

petani

Persen-

tase (%)

Jumlah

petani

Persen-

tase (%) Hama dan penyakit

Belum memahami 39 97,5 16 40

Sudah memehami 1 2,5 24 60 2. PHT

Belum memahami 31 77,5 7 17,5

Sudah memahami 9 22,5 33 82,5

kegiatan tatap muka dan praktek penerapan PHT efektif meningkatkan pemahaman petani

kepada PHT. Wariatmadja (1986) melaporkan bahwa peningkatan pemahaman petani kepada

sesuatu aspek, dapat dilakukan dengan cara penyuluhan, antara lain melalui tatap muka

(pertemuan). Untuk mepermudah pemahaman bagi petani, kegiatan tatap muka perlu diikuti

dengan memberi kesempatan kepada petani untuk mempraktekkan materi yang disampaikan pada

tatap muka (Anonim, 1982).

Page 51: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

516

KESIMPULAN

1. Teknologi PHT yang efektif mengendalikan hama dan penyakit utama tanaman kopi, tidak

mencemari lingkungan, meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil, menguntungkan

usahatani kopi arabika Kartika-1, serta dapat diterapkan oleh petani, adalah kultur teknis

(membersihkan gulma, memupuk 2 kali pada awal dan akhir musim hujan dengan pupuk

kandang +urea + SP-36 + KCl, memangkas bagian tanaman yang tidak produktif), buah

yang bergejala PBKo dibersihkan (petik bubuk, lelesan dan rampasan) dan tanaman

disemprot dengan jamur Beauveria bassiana, tanaman yang bergejala nematoda diberi

larutan bubuk biji mimba (30 g/l), daun yang bergejala penyakit karat daun dan antraknose

dipangkas serta apabila serangan 15 % disemprot dengan larutan bubur bordo.

2. Tanaman yang dipelihara dengan menerapkan PHT berproduksi lebih tinggi dan lebih

menguntungkan daripada cara petani.

3. Kegiatan tatap muka dan praktek penerapan PHT dapat meningkatkan pemahaman petani

kepada PHT.

PRAKIRAAN DAMPAK HASIL PENELITIAN

Penerapan PHT diharapkan agar: (1) produksi tetap tinggi, (2) kualitas hasil pertanian

meningkat, (3) penggunaan pestisida berkurang, (4) kreativitas, dinamika, kepemimpinan dan

kemampuan petani berkembang, (5) dukungan pada para upaya petani dalam menguasai dan

menyebarluaskan penerapan PHT tumbuh dan bertambah kuat, dan (6) kesejahteraan petani

meningkat (Wiratmadja, 1998). Melalaui pengkajian ini telah dihasilkan teknologi PHT yang

sesuai dengan petani dan pemahaman petani kepada PHT sudah meningkat. Untuk keperluan

fungisida dan pupuk, sudah dapat membuat bubur bordo dan bokasi. Apabila teknologi PHT dan

pemahaman petani tersebut dikembangkan dan diterapkan, masalah hama-penyakit tanaman kopi

dapat diatasi, mutu dan produktivitas kopi meningkat, serta pendapatan petani bertambah. Hal ini

akan membantu program pengembangan kopi arabika di Jawa Timur.

Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur mengusulkan adanya pengembangan hasil

pengkajian penerapan PHT tersebut di kabupaten Pasuruan yang diprioritaskan sebagai salah satu

wilayah pengembangan kopi arabika, sekaligus mendukung pelaksanaan SLPHT tanaman kopi

bagi PL-2. Atas dasar usulan ini, tahun 2000 juga akan dilakukan pengkajian penerapan PHT pada

tanaman kopi arabika di kecamatan Tutur kabupaten Pasuruan, dengan melibatkan petani dan

penyuluh peserta SLPHT tanaman kopi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1982. Komunikasi pembangunan pertanian. Pengantar Penyuluhan Pertanian. Hapsara,

Surakarta. 81-83.

Anonim. 1997. Pestisida untuk pertanian dan perkebunan. Komisi Pestisida, Departemen

Pertanian, Jakarta. 152.

Bappeda Dati I Jatim. 1998. Program pembangunan perkebunan Jawa Timur. Workshop

Pengendalian Hama Terpadu pada Komoditas Kopi, 24 Pebruari 1998 di Surabaya.

Bagpro PHT-PR/IPM-SECP Jatim. 1-6.

BPTP Jatim. 1998. Program BPTP Jawa Timur yang mendukung pelaksanaan proyek PHT-

PR/IPM-SECP Jawa Timur. Workshop Pengendalian Hama Terpadu pada Komoditas

Kopi, 24 Pebruari 1998 di Surabaya. Bagpro PHT-PR/IPM-SECP Jatim. 1-3.

Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Perkebunan. 1998. Kebijaksanaan perlindungan tanaman

perkebunan. Workshop Pengendalian Hama Terpadu pada Komoditas Kopi, 24 Pebruari

1998 di Surabaya. Bagpro PHT-PR/IPM-SECP Jatim. 2-3.

Page 52: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

517

Disbun Dati I Jatim. 1998. Program pengembangan kopi rakyat di Jawa Timur. Workshop

Pengendalian Hama Terpadu pada Komoditas Kopi, 24 Pebruari 1998 di Surabaya.

Bagpro PHT-PR/IPM-SECP Jatim. 1-8.

Hartana, I dan S. Danimihardja. 1990. Program penelitian komoditas kopi di Indonesia Simposium

Kopi, 20 - 21 Nopember 1990 di Surabaya. 230 - 233.

Oka, I.N. 1995. Pengendalian hama terpadu dan implementasinya di Indonesia. Gajah Mada

University Press, Yogyakarta. 136-140.

Mahfud, M.C., L. Rosmahani dan D. Rachmawati. 1998. Pengendalian hama dan penyakit

tanaman kopi arabika. Seri Pengembangan no. 01/PT/BPTP/8/98. Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian Karangploso, Malang. 2-15.

Nainggolan< P. A.Muharam, D.Suminto, Siswandi dan G. Aminullah. 1988. Kendala-kendala

program alih teknologi di tingkat petani. Makalah Alih Teknologi Hortikultura, 4 Juli – 2

Agustus 1988. Sub Balithort. Lembang, Bandung. 4-6.

Palti, J. and J. Rotem. 1983. Cultural practices for the control of crop diseases. Plant Pathologiest’s

Pocketbook. Second Edition. Commonwealth Mycolo-gical Institute, England. 183-193.

Puslit Kopi dan Kakao. 1998. Program penelitian PHT tanaman kopi. Workshop Pengendalian

Hama Terpadu pada Komoditas Kopi, 24 Pebruari 1998 di Surabaya. Bagpro PHT-

PR/IPM-SECP Jatim. 1-9.

Saidi. 1988. Pestisida untuk perlindungan tanaman perkebunan di Indonesia. Kumpulan Materi

Pelatihan Pengelolaan Organisme Pengganggu Tanaman Kopi, 8-13 Juni 1998. Puslit

Koka Jember. 16.

Soehardjan, M. 1988. Penelitian PHT pada tanaman perkebunan. Kumpulan Materi Pelatihan

Pengelolaan Organisme Pengganggu Tanaman Kopi, 8-13 Juni 1998. Puslit Koka

Jember. 1-3.

Sitepu, D., A. Kardinan dan A. Asman. 1997. Hasil penelitian dan peluang penggunaan pestisida

nabati. Seminar Evaluasi dan Pemantapan Program PHT Tanaman Perkebunan.

Puslitbang Tanaman Industri, Bogor 23 - 24 April 1997. 1 - 2.

Sudarmadji, D. 1994. Prospek dan kendala dalam pemanfaatan mimba sebagai pestisida nabati.

Dalam Sitepu dkk (penyunting): Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka

Pemanfaatan Pestisida Nabati, 1-2 Desember 1993. Balit. Tanaman Rempah dan Obat.

Bogor. 222-228.

Untung, K. 1993. Konsep pengendalian hama terpadu. Audi Offset, Yogyakarta. 69 - 70.

---------------1996. Pengembangan sistem pertanian berkelanjutan berwawasan lingkungan. Seminar

Nasional Pertanian Berwawasan Lingkungan USI Pematangsiantar, 29 Juli 1996. 1 - 13.

Wiratmadja, R. 1998. Pelembagaan dan pemasyarakatan pengendalian hama terpadu tanaman

pangan dan hortikultura. Materi Pelatihan Pengelolaan Organisme Pengganggu Tanaman

Kopi, 8-13 Juni 1998. Puslit Koka Jember. 3-6.

Wiriatmadja, S. 1986. Pokok-pokok penyuluhan pertanian. CV. Yasaguna, Jakarta. 29-40.

Wiryadiputra, S. 1996. Uji terap pengendalian hama bubuk buah kopi menggunakan jamur B.

bassiana di Sulawesi Selatan. Warta Puslit Kopi dan Kakao, Jember 12 (2): 125-129.

Wiryadiputra, S. 1998. Pengelolaan nematoda parasit pada tanaman kopi di Indonesia. Materi

Pelatihan Pengelolaan Organisme Pengganggu Tanaman Kopi, 8-13 Juni 1998. Puslit

Koka Jember. 7-13.

Page 53: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

518

Yahmadi, M. 1998. Peluang dan tantangan pemasaran kopi Jawa Timur. Workshop Pengendalian

Hama Terpadu pada Komoditas Kopi, 24 Pebruari 1998 di Surabaya. Bagpro PHT-

PR/IPM-SECP Jatim. 1-8.

Zadoks, J.C. and R.D. Schein. 1979. Epidemiology and plant disease management. Oxford

University Press, New York. 340-355.

DISKUSI

1. Ir. Budianto (APP Malang)

a. PHT modifikasi, misal di banding PHT sebelumnya padahal faktornya lebih banyak.

b. Efek PHT modifikasi terhadap petani.

Ir. M. Cholil Mahfud, MS

a. Bahan kimia pada PHP modifikasi adalah pupuk an organik dan bubur bardo pestisida

yang lain diganti daunmimbo yang harganya jauh lebuh murah dan bubur bardo dapat

dibuat sendiri.

b. Efek modifikasi PHT terhadap petani sangat mempengaruhi harga jual (harga lebih

tinggi)

Ir., Rusdi ( Dinas TK II Perkebunan Lamongan)

Varietas yang dapat di tanam di dataran rendah lamongan

Ir. M. Cholil Mahfud, MS

Petani peserta PHP modifikasi telah faham cara memanen yang berpengaruh terhadap

kualitas biji kopi disini cara penen secara pertahap yaitu petik pilih Varietas dataran rendah

antara lain Robusta.

Page 54: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

519

UJI APLIKASI DAN PENGEMBANGAN RAKITAN TEKNOLOGI

PHT TANAMAN KOPI

(Application assessement and improvement of IPM technology package on coffea)

L. Rosmahani, D. Rachmawati, Sarwono, E.Korlina, M.Soleh dan A.Suryadi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Karangploso

ABSTRAK

Kopi arabika merupakan salah satu kopi yang diprioritaskan untuk dikembangkan di Jawa Timur,

karena memiliki harga jual lebih tinggi dari pada Robusta, dengan pangsa pasar ekspor 72 %.

Produksi dan mutu kopi perkebunan rakyat masih rendah terutama karena serangan hama

penyakit, yang antara lain disebabkan oleh serangan PBKo (Hypothenemus hampei), nematoda

parasit, penyakit karat daun (Hemileia vastatrix) dan antaraknose (Colletotrichum coffeeae). PHT

merupakan konsep dan sekaligus teknologi pengendalian hama penyakit yang dilaksanakan

dengan mengelola ekosistem setempat melalui berbagai tehnik pengendalian hama secara

kompatibel dan tehnik pemantauan sedemikian rupa sehingga hama tetap seimbang dengan musuh

alami. Pada penelitian/pengkajian ini ingin diperoleh rakitan teknologi PHT yang efektif

mengendalikan hama-penyakit kopi serta menguntungkan uasahatani kopi. Penelitian dilakukan di

Desa Kemiri, Kec. Jabung Kab. Malang, pada lahan kopi arabika umur 4 tahun, milik petani.

Penelitian dilakukan sejak bulan April 1999 sampai dengan bulan Maret 2000. Perlakuan yang

dicoba adalah penerapan PHT 1 dan PHT 2, masing-masing perlakuan diulang 3 kali . Data

kedua perlakuan ini dianalisa dengan analisa sidik ragam, untuk membedakan perlakuan

dilakukan uji beda dengan uji t. Sebagai pembanding diamati perlakuan cara petani setempat.

Perlakuan PHT 1 adalah penerapan komponen pengendalan hama terpadu yang meliputi: kultur

teknis: penyiangan, pemberian pupuk buatan dan pupuk kandang, pemangkasan ; pengendalian

hama penyakit : pemantauan serangan hama – penyakit, pemberian nematisida sintetis, petik

bubuk, racutan, aplikasi jamur B. bassiana, memangkas bagian tanaman yang terserang hama-

penyakit, aplikasi fungisida sintetis. Sedangan perlakuan PHT 2 adalah penerapan komponen

pengendalian hama terpadu yang meliputi : kultur teknis: penyiangan, pemberian pupuk buatan

dan pupuk kandang, pemangkasan ; pengendalian hama penyakit : pemantauan serangan hama –

penyakit, pemberian nematisida nabati (larutan sebuk biji mimba), petik bubuk, racutan, aplikasi

jamur B. bassiana, memangkas bagian tanaman yang terserang hama-penyakit, aplikasi fungisida

alami (bubur bordo). Hama-penyakit yang banyak menyerang tanaman kopi pada saat penelitian

adalah nematoda parasit, penyakit karat daun dan antraknose. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa tingkat serangan hama-penyakit pada perlakuan PHT 1 dengan PHT 2 tidak berbeda

namun lebih rendah dibandingkan dengan cara petani. Tingkat serangan nematoda parasit pada

perlakuan PHT 1: 1,0 %, PHT 2: 0,86 % dan cara petani :12,0 %. Tingkat serangan karat daun

pada PHT 1: 9,47 %, PHT 2 : 6,79 % dan cara petani : 19,75 %. Tingkat serangan penyakit

antaraknose pada perlakuan PHT 1 : 1,91%, PHT 2 : 1,25 % dan cara petani 5,06 %. Produksi

biji kopi basah pada pelakuan PHT 1 maupun PHT 2 tidak berbeda, namun keduanya berbeda

dengan cara petani, produksi pada perlakuan PHT 1 : 2,8 kg/pohon, PHT 2 : 3,7 kg/pohon dan

cara petani 0,4 kg/ pohon. Pendapatan usahatani dengan menerapkan perlakuan PHT 2

(Rp.10.868.000,-/ha) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan PHT 1 (Rp. 8.154.800,-/ha).

Usahatani dengan cara petani mengalami kerugian sebesar Rp.165.750,-/ha.

Kata kunci : PHT, kopi, arabika

Page 55: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

520

ABSTRACT

Arabica coffee is one of the variety which priority to develop in Jawa Timur, because of the higher

price compare to Robusta variety and the export market chance was 72 %. The production and

quality of coffee from farmer field was still low, it was bacause of pest and diseases attacked for

example by: coffee bery borer (Hypothenemus hampei), parasite nematode, rust diseas (Hemileia

vastatrix), antraknose (Colletotrichum coffeae). Intergrated Pest Management was a concept and

also pest and diseases controlled technics wich done by manage the local ecosystem, with several

control technic of pest and disease wich compatible and monitoring technic. Until the pest and

disease equal with his natural enemis. In this asessement/research want to ajust a technologi

package of IPM wich effective to coffee pest and disease also profitable by coffea farming system.

This asessement/research was conducted in desa Kemiri, kecamatan Jabung, Malang in 4 year

farmer coffee plantation from April 1999 until Maret 2000. The treatment were aplicate the IPM1

and IPM 2, compared the farmer treatment. Replicate 3 times. Those data was analisis by analisa

sidik ragam to differ of those treatment it analisis by t test. The IPM1 component including :

cultural technic : weeding; pruning; controlled of pest and disease; by monitoring of pest and

disease; application of sintetic nematicide ; cleaning of coffee bery borer attacked; application of

B bassiana fungy; cutting of infected pest and disease attacked; application of sintetic fungy. The

IPM 2 component including: cultural technic : weeding; pruning; controlled of pest and disease;

by monitoring of pest and disease; application of natural (powder of mimba seed) nematicide;

cleaning of coffee bery borer attacked; application of B bassiana fungy; cutting of infected pest and

disease attacked; application of natural fungi (bordeaux mixture). The dominan pest and diseases

attacked in the cofffee plantation was nematode parasite, rust desease, antracnose. The result of

assessement was, persentage damage of pest and disease in IPM1 treatment was not with IPM 2,

but lower if compared by farmer controlled technology. The percentage damage of parasite

nematode in IPM1 : 1.0 %, IPM2 : 0.86 % and farmer technology : 12.0 %. The percentage

damage of rust disease in IPM1 : 9.47 %, IPM 2 : 6.79 % and farmer technology : 19.75 %. While

the percentage damage of antracnose in IPM1: 1.91 %. IPM 2: 1.25 % and farmer technology :

5.06 %. The production coffee bery, in IPM1: 2.8 kg/tree, in IPM 2: 3.7 kg/ tree , and farmer

technology was : 0.4 kg/tree . The benefit of coffee farming sistem which applicate the IPM 2

(Rp.10,868,000,-/ha) was higher the IPM 1 (Rp.8,154,800,-/ha). The farming sistem by farmer

technology was no profit/suffer of financial lost Rp.165,750,-/ha.

Key words: IPM, coffee, arabica

PENDAHULUAN

Kopi arabika, merupakan salah satu kopi yang diprioritaskan untuk dikembangkan di Jawa

Timur (Disbun Dati I Jatim, 1998), karena memiliki harga jual lebih tinggi dari pada robusta,

dengan pangsa pasar ekspor 72 % (Haratana dan Danimihardja, 1990). Di Jawa Timur tahun 1996

terdapat 977.575 ha tanaman kopi, sebagian besar (88,13 % atau 861.533 ha) adalah perkebunan

rakyat (Bappeda Dati I Jatim, 1998), produksi dan mutunya masih rendah terutama karena

serangan hama dan penyakit (BPTP Jatim, 1998), yang antara lain disebabkan oleh serangan hama

penggerek buah kopi atau PBKo (Hypothenemus hampei), nematoda (terutama oleh Pratylenchus

coffeae dan Radopholus similis) dan penyakit karat daun (Hemileia vastatrix), masing-masing

dapat menurunkan produksi 10 –20 %, 28 – 78 % dan 20 – 70 % (Puslit Kopi dan Kakao, 1998).

Di sentra pengembangan kopi arabika di kabupaten Malang, penyakit antraknose (Colletotrichum

coffeae) juga menjadi masalah dngan tingkat serangan setara dengan penyakit karat daun.

Peranan hama dan penyakit pada usahatani kopi semakin terasa bila dikaitkan dengan

ekspor. Yahmadi (1988) melaporkan bahwa 75 % dari produksi kopi Jawa Timur diekspor ke

beberapa negara yang harus memenuhi persyaratan antara lain bebas hama-penyakit, sehingga

Page 56: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

521

pengendalian hama-penyakit menjadi sangat penting. Pada setiap program perlindungan tanaman

di Indonesia, PHT telah merupakan dasar kebijaksanaan pemerintah dengan dasar hukum

Inpresno.3 tahun 1986 dan UU no 12 tahun 1992 (Untung, 1993). Smith (1983 dalam Oka, 1995)

menyatakanbahwa istilah hama dalam penyakit mencakup di dalamnya adalah serangga, tikus, babi

hutan, jamur , bakteri, virus dan sejenisnya, nematoda serta gulma. PHT merupakan konsep dan

sekaligus teknologi pengendalian hama yang dilaksanakan dengan mengelola ekosistem setempat

melalui berbagai tehnik pengendalian hama secara kompatibel dan tehnik pemantauan sedemikian

rupa sehingga hama tetap seimbang dengan musuh alaminya (Untung, 1996). Sitepu dkk. (1997)

menyarankan dalam melaksanakan kebijakan PHT hendaknya mengutamakan keterpaduan

komponen-komponen yang kompatibel dan serasi dengan lingkungan setempat.

Dari pengkajian tahun 1997/1998 dan 1998/1999 telah dihasilkan teknologi PHT yang

efektif mengendalikan hama PBKo, dengan menggunakan larutan jamur B. bassiana, nematoda

parasit, penyakit karat daun dan antaraknose, pestisida yang digunakan untuk mengendalikan

nematoda parasit, penyakit karat daun dan antaraknose adalah perstisida sintetis, yaitu pestisida

dengan bahan aktif karbofuran untuk mengendalikan nematoda dan fungisida dengan bahan aktif

cuprioksida untuk mengendalikan penyakit karat daun dan antraknose ( Rosmahani, dkk., 1999).

Adanya harga kopi yang berfluktuasi serta harga pestisida sintetis yang mahal serta kesadaran akan

pengurangan penggunaan pestisida sintetis, dicoba digunakan pertisida nabati dan alami yang lebih

murah dan ramah lingkungan untuk menekan serangan nematoda parasit, penyakit karat daun dan

antraknose pada tanaman kopi arabika.

Serbuk biji mimba adalah salah satu pestisida nabati yang mengandung azadirachtin ,

aplikasi larutan serbuk biji mimba ini pada tanam tembakau diketahui dapat menekan populasi

nematoda parasit jenis Melidogine incognita 81,7 – 94,7 %, dengan dosis 15 gram tepung daun

mimba/lubang tanam ( Supriyono dan Dalmadiyo, 1977). Ekstrak dari tanaman mimba

(Azadirachta indica) ini efektif sebagai penolak makan, repelen, toksikan, sterilan dan

pengganggu pertumbuhan terhadap berbagai hama dan aman terhadap manusia dan hewan

(Jacobson, 1989). Bubur bordo adalah salah satu fungisida alami yang merupakan campuran dari

trusi dan larutan kapur tohor yang dilarutkan dalam air. Fungisida alami ini diketahui dapat

menekan serangan berbagai penyakit karat dan cacar daun.

Sehubungan dengan adanya hal-hal tersebut diatas, maka pada pengkajian ini dicoba

menerapkan PHT tanaman kopi dengan menggunakan larutan jamur B. Bassiana untuk menekan

serangan hama PBKo selain dengan petik bubuk, lelesan, racutan, penggunaan larutan sebuk biji

mimba untuk menekan serangan nematoda parasit, menggunakan larutan bubur bordo untuk

menekan serangan penyakit karat daun dan antraknose. Tujuan pengkajian ini adalah untuk

memperoleh rakitan teknologi PHT yang efektif mengendalikan hama-penyakit kopi serta

menguntungkan usahatani kopi

BAHAN DAN METODA

Pengkajian dilaksanakan di kebun kopi, milik petani di desa Kemiri, Kec. Jabung , pada

bulan April 1998 sampai dengan bulan Maret 1999, menggunakan rancangan petak berpasangan,

dengan 3 kali ulangan. Perlakuan terdiri dari 2 teknologi pengendalian hama, penyakit tanaman

kopi, yaitu (1) rakitan teknologi PHT 1, merupakan rakitan PHT tahun 1998/1999 dan (2) rakitan

teknologi pengendalian PHT 2, yang merupakan pengembangan dari PHT 1, sebagai pembanding

adalah pengendalian hama,penyakit cara petani. Tanaman kopi yang digunakan adalah jenis

arabika umur 4 tahun. Tiap perlakuan terdiri dari sekitar 150 pohon kopi. Selama pengkajian pada

tanaman kopi tidak dijumpai hama kutu putih (Planococcus citri), penggerek batang /cabang

(Zuezera coffeae) dan penyakit jamur upas (Upasia salmonicolor), sehingga pengendalian hama,

penyakit tersebut tidak dilakukan.

Page 57: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

522

Tabel 1. Komponen teknologi yang diterapkan Komponen teknologi

PHT 1 PHT 2 Cara petani

Kultur teknis: Penyiangan Pupuk buatan Pupuk kandang Pemangkasan

Dilakukan mulai satu minggu setelah panen , sebelum saat pemupuk an dan diulang bila gul ma menutup tanah Diberikan 2 kali/th, se kali ½ takaran setelah panen dan se kali ½ takaran pada saat bu ah berumur 2 bulan. Takar an pupuk buatan per po hon:Urea: 200 g, SP 36: 80 g, KCl: 160 g. Diberikan setelah pem berian pupuk buatan, dengan takaran: 10-15 kg/ pohon/th - Pada tanaman kopi : a.Pangkasan bentuk b.Pangkasan produksi - Pada naungan, secara berkala sesuai keadaan

Dilakukan mulai satu minggu setelah panen, sebelum saat pemu puk an dan diulang bila gul ma menutup tanah Diberikan 2 kali/th, se kali ½ takaran setelah panen dan se kali ½ ta karan pada saat buah berumur 2 bulan.Takar an pupuk buatan per po hon : Urea : 200 g, SP 36: 80 g, KCl: 160g. Diberikan setelah pem berian pupuk buatan, dengan takaran : 5 – 7,5 kg /pohon, pada akhir musim hujan dan 2 kg bokasi (bahan utama pupuk kandang) /pohon pada awal musim hujan - Pada tanaman kopi : a.Pangkasan bentuk b.Pangkasan produksi - Pada naungan , secara berkala sesuai keadaan

Dilakukan se belum saat pemupukan Diberikan se kali setelah panen.Takaran pupuk bu atan per pohon : Urea 50 g. Diberikan 2 ka li setahun dengan takar an 10–15 kg/ pohon/th Pada tanaman kopi dan pada naungan tidak dilaku kan pe mangkasan.

Pengendalian hama, penyakit 1. Nematoda 2. PBKo 3. Karat daun 4. Antraknose

Keputusan pengenda lian berdasarkan peman tauan Ada serangan pada ta hun sebelumnya, dibe ri nematisida sin tetis 70 g/ pohon.Tanaman terserang parah, dibong kar lubang diberi nema tisida Ada serangan pada ta hun sebelumnya, me nyiang gulma, dilaku kan petik bubuk, racu tan dan aplikasi lar. Ja mur B. Bassiana, dosis 2,5 kg bahan padat/ ha, aplikasi dilakukan 3 kali Ada serangan, memang kas bag. tan. yang terse rang. -Dikendalikan dengan fungisida sintetis (b.a. cupri oksida), jika se rangan mencapai 15 % Ada serangan, memang kas bag. tan yang terse rang. -Dikendalikan dengan fungisida sintetis (b.a. tembaga hidroksida), 2 minggu sekali, jika se rangan mencapai 15 %

Keputusan pengenda lian berdasarkan peman tauan Ada serangan pada ta hun sebelumnya, dibe ri sebuk biji mimba 30 g/ pohon.Tanaman ter serang parah, dibong kar, lubang diberi serbuk biji mimba Ada serangan pada ta hun sebelumnya, me nyiang gulma, dilaku kan petik bubuk, racu tan dan aplikasi lar. Ja mur B. Bassiana, dosis 2,5 kg bahan padat/ ha, aplikasi dilakukan 3 kali Ada serangan, memang kas bag. tan. yang terse rang. -Dikendalikan dengan fungisida: bubur bordo, jika serangan mencapai 15 % Ada serangan, memang kas bag. tan yang terse rang. -Dikendalikan dengan fungisida: bubur bordo, jika serangan mencapai 15 %

Tidak diken dalikan Tidak diken dalikan Tidak dikendalikan Tidak dikendalikan

Page 58: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

523

Data yang dikumpulkan meliputi tingkat serangan hama dan penyakit, produksi, biaya

produksi dan penerimaan dari usahatani kopi:

a. Serangan hama dan penyakit:

Tingkat serangan nematoda

Dihitung dengan ketentuan:

P = b/a x 100 %, keterangan: P = tingkat serangan nematoda

b = jumlah tanaman terserang nematoda

a = jumlah tanaman yang diamati

- Tingkat serangan PBKo

Pada tanaman contoh ditentukan 4 cabang sesuai dengan arah mata angin, untuk

diambil jumlah buah yang terserang PBKo dan yang sehat pada setiap 5 dompol

buah/ cabang.

Tingkat serangan dihitung dengan menggunakan rumus :

P = a/b x 100 %, keterangan: P = tingkat serangan

a = jumlah buah terserang

b = jumlah buah yang diamati

- Intensitas serangan penyakit karat daun dan antraknose

Pada setiap tanaman contoh ditentukan 4 cabang sesuai dengan arah mata angin. Sepuluh

daun (maksimum) dihitung dari daun yang terdekat dengan batang utama diamati.

Tingkat serangan penyakit ditentukan dengan menggunakan score sbb:

0 = tidak ada serangan

1 = infeksi sangat lemah (1/8 permukaan daun tertutup spora/bercak)

2 = infeksi lemah (1/6 permukaan daun tertutup spora/bercak)

3 = infeksi sedang (¼ permukaan daun tertutup spora/bercak)

4 = infeksi parah (½ permukaan daun tertutup spora/bercak)

5 = infeksi sangat parah (> ½ permukaan daun tertutup spora/bercak)

Hasil pengamatan dihitung dengan menggunakan rumus:

%100)(

xZxN

nxVP

Keterangan: P = Intensitas serangan

n = Jumlah daun dari setiap kategori serangan

V = Nilai numerik dari kategori serangan

Z = Nilai numerik dari kategori serangan tertinggi

N = Jumlah daun yang diamati

b. Produksi

Produksi dihitung dengan menimbang berat basah biji kopi pertanaman contoh, kemudian

dibandingkan antar perlakuan.

Page 59: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

524

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. Tingkat serangan hama dan penyakit kopi

Hama dan penyakit yang dominan pada tanaman kopi di lokasi pengkajian adalah hama

PBKo dan nematoda parasit, sedangkan penyakit yang dominan adalah penyakit karat daun dan

antraknose.

Tabel 2. Tingkat serangan hama dan penyakit kopi

Perlakuan

Tingkat serangan (%) *

Nematoda PBKo Karat daun Antaraknose

PHT 1 1,0 a 0 a 9,47 a 1,91 a

PHT 2 0,86 a 0 a 6,79 a 1,25 a

Cara petani 12,0 b 1,0 a 19,75 b 5,06 b

Keterangan:*) Angka-angka sekolom yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji t, pada

taraf kepercayaan 95 %

Penerapan PHT 1 maupun PHT 2, diawali dengan kegiatan kultur teknis yaitu menyiang

gulma yang ada dibawah tanaman kopi, membersihkan buah kopi (berukuran > 5 mm) yang ada di

tanaman maupun yang jatuh di tanah (racutan dan lelesan) yang dilanjutkan dengan petik bubuk,

memangkas bagian tanaman yang tidak produktif, wiwilan, cabang terserang hama dan penyakit,

memupuk tanaman dengan pupuk kandang dan pupuk buatan : ZA, SP 36, KCl diawal dan diakhir

musim penghujan, memberi nematisida pada tanaman yang terserang nematoda parasit. Cara

tersebut diatas disamping memutus daur hidup hama-penyakit dan menghilangkan sumber infeksi,

tanaman kopi juga dirangsang untuk tumbuh optimal. Palti dan Rotem (1983) mengemukakan

bahwa tindakan kultur teknis yang meminimalkan sumber infeksi, meningkatkan keberhasilan

pengendalian penyakit.

Rendahnya serangan hama PBKo pada lokasi pengkajian penerapan diduga karena

ekosistem pertanaman kopi tahun ini yang kurang mendukung bagi perkembangan hama tersebut,

tetapi aplikasi jamur B. Bassiana selama periode pembentukan buah, menyebabkan hama PBKo

(H. hampei) mati terparasit (Sulistyowati, 1998), sehingga buah kopi terbebas dari serangan hama

PBKo.

Aplikasi nematisida sintetis (bahan aktif karbofuran) maupun nematisida nabati (larutan

sebuk biji mimba), dapat menekan serangan nematoda. Tanaman terserang yang diaplikasi dengan

larutan serbuk biji mimba, meskipun belum dapat sembuh total, namun sudah menunjukkan gejala

penyembuhan (recovery) yaitu tanaman membentuk tunas-tunas baru. Hal ini mungkin karena

aplikasi baru dilakukan satu kali. Kemampuan larutan serbuk biji mimba dalam menyembuhkan

gejala nematoda diduga karena larutan sebuk biji mimba mengandung 4 senyawa yaitu

azadirachtin, salanin, nimbin dan meliantriol yang dapat mempengaruhi perkembangan

mikroorganisme (Sudarmadji, 1993). Pengendalian kimiawi menggunakan racun nematoda

(nematisida sintetis) merupakan tindakan paling mudah dan cepat dalam mengendalian nematoda,

namun disadari bahwa alternatif tersebut memerlukan biaya cukup mahal baik dilihat dari biaya

langsung maupun pengaruhnya terhadap lingkungan (Wiryadiputra, 1998). Pada pengkajian ini

penggunaan larutan sebuk biji mimba masih harus diamati lebih lama (lebih dari satu tahun) untuk

dapat menghasilkan penyembuhan yang lebih mantab.

Aplikasi fungisida sintetis (bahan aktif tembaga hidroksida) maupun fungisida alami

(bubur bordo) pada periode vegetatif, mengakibatkan permukaan tanaman tertutup racun jamur,

sehingga jamur H.vastatrix dan C. coffeae terhalang menginfeksi daun, hal ini mengakibatkan

penyakit karat daun dan antraknose terhambat perkembangannya. Penggunaan fungisida alami

bubur bordo pada pengakjian ini tampak dapat menekan serangan penyakit karat daun setaraf

Page 60: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

525

dengan penggunaan fungisida sintetik. Pada saat pengkajian, aplikasi fungisida utamanya

ditujukan untuk mengendalikan penyakit karat daun karena keadaan serangan yang melebihi

ambang batas pengendalian dicapai lebih dulu oleh penyakit karat daun (lebih dulu mencapai

tingkat serangan 15 %), namun dari pengamatan serangan penyakit antraknose, ternyata keadaan

serangannnya ikut menurun, sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan bubur bordo untuk

mengendalikan serangan karat daun dapat sekaligus menekan serangan panyakit antraknose.

2. Produksi

Rata-rata produksi tanaman kopi arabika umur 4 tahun per pohon pada masing-masing

perlakuan adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Produksi tanaman kopi arabika umur 4 tahun

Perlakuan

pengendalian

Produksi biji basah

(kg/pohon) *

Kenakian produksi (%)

PHT 1 2,8 a 617

PHT 2 3,7 a 848

Cara petani 0,4 b -

Keterangan: *) Angka-angka sekolom yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji t, pada

taraf kepercayaan 95 %

Rata-rata produksi biji basah tanaman kopi yang pengendaliannya dengan cara petani

adalah 0,39 kg/pohon, atau 671–848% lebih rendah dari pada rata-rata produksi tanaman kopi yang

pengendaliannya menerapkan PHT 1 maupun PHT 2 (Tabel 3). Lebih rendahnya produksi

tanaman kopi yang dipelihara dengan cara petani diduga disebabkan oleh keberhasilan penerapan

PHT dalam menurunkan serangan hama, penyakit dan pemenuhan kebutuhan nutrisi tanaman

untuk memproduksi biji. Melalui penerapan PHT, serangan hama,penyakit terkendali, kebutuhan

nutrisi tanaman terpenuhi, sehingga tanaman tumbuh optimal dan mampu berbuah sesuai

potensinya.

3. Biaya produksi, penerimaan dan keuntungan usahatani

Pada pengkajian ini perhitungan pendapatan usahatani tidak memasukkan komponen

biaya sewa tanah, pembelian bibit, tenaga kerja tanam bibit kopi dan naung an serta biaya

usahatani sebelummya. Hal ini karena pengkajian dilaksanakan pada per tanaman kopi yang telah

berumur 4 tahun, milik petani setempat.

Tabel. 4. Biaya produksi, penerimaan dan pendapatan usahatani kopi Arabika umur 4

tahun (Jabung, 1999)

Komponen usahatani Nilai ekonomi per ha

PHT 1 PHT 2 Cara petani

Biaya produksi (Rp) 4.697.200 6.115.000 1.572.000

Produksi biji kopi basah (kg) 8.568 11.322 1.221

Harga jual (Rp) 1.500 1.500 1.250

Penerimaan (Rp) 12.852.000 16.983.000 1.526.250

Pendapatan (Rp) 8.154.800 10.878.000 (-) 165.750

B/C Ratio 1,74 1,78 (-) 0,10

Page 61: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

526

Penerapan kombinasi komponen PHT meliputi menyiang, memupuk, memetik kopi yang

terserang PBKo, aplikasi jamur B. Bassiana, aplikasi nematisida pada tanaman yang terserang

nematoda, aplikasi fungisida pada saat tanaman terserang karat daun 15 %, memangkas bagian

tanaman yang sakit dan tidak produktif, ternyata masih menguntungkan dibandingkan dengan cara

petani. Harga biji kopi basah pada perlakuan pengendalian cara petani lebih rendah, karena saat

panen kopi petani hanya dilakukan dua kali, karena produksi per pohon tidak banyak sehingga biji

yang dipanen tercampur antara yang berwarna merah dan yang hijau. Harga biji kopi yang

tercampur antara yang merah dan yang hijau lebih rendah dibanding dengan harga biji kopi yang

berwarna merah.

Usahatani kopi cara petani membutuhkan biaya lebih rendah karena dalam usahataninya

hanya melakukan penyiangan 2 kali, tanpa pemangkasan naungan, pemupukan dengan pupuk

kandang yang sama banyak dengan cara PHT dan pupuk buatan Urea 50 gr/tanaman atau di bawah

dosis anjuran. Keadaan ini diduga menyebabkan tanaman kopi yang dipelihara cara petani kurang

berproduksi optimal, serangan penyakit tidak ditekan, karena kopi arabika KT termasuk jenis kopi

arabika yang respon terhadap pemupukan yang tinggi dan cukup rentan terhadap serangan hama

dan penyakit.

Pelaksanaan PHT antara lain bertujuan menekan serangan hama dan penyakit serta

meningkatkan pendapatan petani (Wiraatmadja, 1998). Penerapan PHT2 yaitu mengganti

fungisida sintetis dengan fungisida alami (bubur bordo) dan nematisida nabati larutan serbuk biji

mimba, dapat menekan biaya produksi, meningkatkan penerimaan maupun pendapatan usahatani

kopi dibandingkan dengan penerapan PHT 1. Menurut Suhardjan (1998), PHT memadukan

berbagai metode pengelolaan tanaman budidaya dalam perpaduan yang paling efektif untuk

mencapai stabilitas produksi, dengan kerugian seminimal mungkin bagi manusia dan lingkungan.

(Tabel 4), dapat menekan biaya produksi, meningkatkan penerimaan maupun pendapatan usahatani

kopi dibandingkan dengan penerapan PHT 1. Dengan demikian dari pengkajian ini diketahui

bahwa rakitan teknologi PHT yang efektif mengendalikan hama penyakit kopi arabika di

Kab.Malang adalah: menyiang, memupuk, memangkas naungan, memangkas bagian tanaman

yang tidak produktif, memetik biji kopi yang terserang PBKo, aplikasi jamur B. bassiana, 3 kali

selama periode pembentukan buah, pengendalian penyakit karat daun dan anrtraknose dengan

pemangkasan bagian tanaman yang terserang, aplikasi fungisida alami bubur bordo jika serangan

penyakit mencapai 15 % dan mengendalikan nematoda dengan nematisida nabati, larutan serbuk

biji mimba.

KESIMPULAN

1. Penerapan PHT meliputi kultur teknis: menyiang, memupuk, memangkas naungan dan

bagian tanaman yang tidak produktif, memetik biji kopi yang terserang PBKo, aplikasi

jamur B. bassiana 3 kali selama periode pembentukan buah, pengendalian penyakit karat

daun dan anrtraknose dengan pemangkasan bagian tanaman yang terserang, aplikasi

fungisida alami bubur bordo jika serangan penyakit mencapai 15 % dan mengendalikan

nematoda dengan nematisida nabati, larutan serbuk biji mimba, efektif mengendaliakn

hama PBKo, nematoda parasit, penyakit karat daun dan antraknose.

Page 62: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

527

2. Tanaman kopi arabika yang dipelihara dengan menerapkan PHT2 berproduksi 11.322 kg

biji kopi basah/ha atau 848 % lebih tinggi dari pada tanaman kopi yang dipelihara dengan

cara petanidan memberi keuntungan Rp. 10.868.000,-/ha.

SARAN

Penggunaan serbuk biji mimba untuk menekan serangan nematoda parasit perlu dilakukan

pengkajian lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang lebih mantab.

Harga biji kopi basah saat pengkajian lebih rendah dari tahun sebelumnya yaitu Rp. 1.250,-

- Rp. 1.500,-/kg. Sehingga penggunaan sarana produksi yang membutuhkan biaya rendah namun

efektif dapat segera diperkenalkan kepada petani kopi, misalnya penggunaan fungisida alami bubur

bordo untuk menekan serangan penyakit karat daun dan antraknose pada tanaman kopi.

DAFTAR PUSTAKA

Bappeda Dati I Jatim. 1998. Program pembangunan perkebunan Jawa Timur. Workshop

Pengendalian Hama Terpadu pada Komoditas Kopi, 24 Pebruari 1998 di Surabaya.

Bagpro PHT-PR/IPM-SECP Jatim. 1-6.

BPTP Jatim. 1998. Program BPTP Jawa Timur yang mendukung pelaksanaan proyek PHT-

PR/IPM-SECP Jawa Timur. Workshop Pengendalian Hama Terpadu pada Komoditas

Kopi, 24 Pebruari 1998 di Surabaya. Bagpro PHT-PR/IPM-SECP Jatim. 1 – 3.

Disbun Dati I Jatim, 1998. Program pengembangan kopi rakyat di Jawa Timur, Workshop

Pengendalian Hama Terpadu pada Komoditas Kopi, 24 Pebruari 1998 di Surabaya.

Bagpro PHT-PR/IPM-SECP Jatim. 1– 8.

Hartana, I dan S. Danimihardja. 1990. Program penelitian komoditas kopi di Indonesia Simposium

Kopi, 20 – 21 Nopember 1990 di Surabaya. 230 – 233.

Oka, I.N. 1995. Pengendalian hama terpadu dan implementasinya di Indonesia. Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta. 136-140.

Jacobson, M. 1989. Botanical pesticides: Past, Present and Future. In Pesticides of Plant Origin.

ACS. Symposium Series. 387. Eds. J.T. Arnason, B.J.R. Philogene and P. Morand. 1-10.

Palti, J. dan J. Rotem. 1983. Cultural practices for the control of crop diseases. In. Johnston and

Booth (Ed); Plant Pathologist Pocketbook. Second Edition. Commonwealth Mycological

Institute, London. 183-190.

Puslit Kopi dan Kakao, 1998. Program penelitian PHT tanman kopi. Workshop Pengendalian

Hama Terpadu pada Komoditas Kopi, 24 Pebruari 1998 di Surabaya. Bagpro PHT-

PR/IPM-SECP Jatim. 1-9.

Rosmahani, L., M. Cholil M, D. Rachmawati, Handoko, E. Korlina, Sarwono, Sri Sukamto, M.

Soleh dan A. Suryadi. 1999. Laporan Hasil Penelitian : Uji apliksi kombinasi komponen

PHT hama penggerek buah kopi (PBKo) dan penyakit karat daun kopi. Badan Litbang

Pertanian. BPTP Karangploso, Malang. 13 hal.

Sitepu, D., A. Kardinan dan A. Asman. 1997. Hasil penelitian dan peluang penggunaan pestisida

nabati. Seminar Evaluasi dan Pemantapan Program PHT Tanaman erkebunan. Puslitbang

Tanaman Industri, Bogor 23-24 April 1997. 1-2.

Soehardjan, M. 1998. Penelitian PHT pada Tanaman Perkebunan. Kumpulan Materi Pelatihan

Pengelolaan Organisme Pengganggu Tanaman Kopi. Juni 1998 di Puslit Kopi dan Kakao

Jember . 1-3.

Page 63: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

528

Sudarmadji, D. 1993. Prospek dan kendala dalam pemanfaatan mimba sebagai insektisida nabati.

(Eds) D. Sitepu, P. Wahid, M. Soehardjan, S. Rusli, Ellyda A.W., Ika M., D. Soetopo.

Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka pemanfaatan Pestisida Nabati, Bogor,

1-2 Desember 1994. 222-228

Sulistyowati, E. 1998. Pengelolaan hama utama tanaman kopi. Materi Pelatihan Pengelolaan

Organisme Pengganggu Tanaman kopi, 8-13 Juni 1998. Puslit Koka Jember. 1-3.

Supriyono dan G. Dalmadiyo. 1977. Pengaruh waktu pemberian daun mimba (Azadirachta

indica)terhadap populasi nematoda puru akar (Meloidogine incognita). Prosiding

Kongres Nasional XIV. Seminar Ilmiah PFI, Palembang 27-29 Oktober 1997. 178-180.

Untung, K. 1993. Konsep pengendalian hama terpadu. Andi Ofset, Yogyakarta. 69-70.

________. 1996. Pengembangan sistem pertanian berkelanjutan berwawasan lingkungan. Seminar

Nasional Berwawasan Lingkungan, 29 Juli 1996, USI Pematangsiantar. 1-13

Wiraatmadja, R. 1998. Pelembagaan dan peasyarakatan pengendalian hama terpadu tanamana

pangan dan hortikultura. Kumpulan Materi Pelatihan Pengelolaan Organisme

Pengganggu Tanaman Kopi, Juni 1998 di Puslit Kopi dan Kakao Jember. 2-5.

Yahmadi, M. 1998. Peluang dan tantangan pemasaran kopi Jawa Timur. Workshop Pengendalian

Hama Terpadu pada Komoditas Kopi, 24 Pebruari 1998 di Surabaya. Bagpro PHT-

PR/IPM-SECP Jatim. 1-8.

Page 64: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

527

Lampiran 1. Analisis penerimaan dan pengeluaran usahatani kopi arabika umur 4 tahun/ ha di Jabung (th 1999/2000)

Komponen

Perlakuan pengendalian

PHT 1 PHT 2 Cara petani

Satuan Rp. Satuan Rp. Satuan Rp.

A. Biaya tenaga kerja (OH)

a. menyiang, lelesan,racutan, petik bubuk

b. memangkas pohon kopi, naungan

c. memupuk, membuat dan menabur bokasi, menabur

nematisida

d. aplikasi fungisida

e. aplikasi jamur B. bassiana

f. panen

g. JUMLAH

54

118

40

6

12

35

216.000

472.000

160.000

24.000

48.000

140.000

1.060.000

54

118

50

6

12

35

216.000

472.000

200.000

24.000

48.000

140.000

1.100.000

16

16

8

-

-

8

64.000

64.000

32.000

-

-

32.000

192.000

B. Bahan

a. pupuk kandang (t)

b. pupuk ZA/Urea (kg)

c. pupuk SP 36 (kg)

d. pupuk KCl (kg)

e. nematisida sintetis (kg)

f. serbuk biji mimba (kg)

g. jamur B. bassiana (lt)

h. fungisida sintetis (kg)

i. fungisida bubur bordo(unit)

j. bokashi (kg)

k. JUMLAH

44

720

288

576

2

-

4

3,5

-

1.320.000

720.000

460.800

950.400

16.000

-

30.000

140.000

-

3.637.200

22

720

288

576

-

5

4

-

1

7.200

660.000

720.000

460.000

950.000

-

25.000

30.000

-

10.000

2.160.000

5.015.000

44

180

-

-

-

-

-

-

-

-

1.320.000

180.000

-

-

-

-

-

-

-

-

1.500.000

C. BIAYA PRODUKSI 4.697.200 6.115.000 1.692.000

D. PRODUKSI (kg) 8.568 11.322 1.221

E. HARGA JUAL (Rp.) 1.500 1.500 1.250

F. PENERIMAAN (Rp) 12.852.000 16.983.000 1.526.250

G. PENDAPATAN (Rp) 8.154.800 10.868.000 (-) 165.750

H. B/C RATIO 1.74 1,78 (-) 0,10

Page 65: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

528

PENINGKATAN PEMAHAMAN PETANI KEPADA PHT

(Increase farmer’s understanding to IPM)

M. C. Mahfud, D. Rachmawati, L. Rosmahani, Handoko, Sarwono dan E. Korlina

ABSTRAK

Pemahaman petani yang rendah kepada PHT menghambat adopsi teknologi PHT. Pengkajian ini

bertujuan untuk meningkatkan pemahaman petani kepada hama, penyakit dan PHT tanaman kopi.

Pengkajian dilaksanakan antara Mei 1999 s/d Maret 2000 di desa Kemiri (Jabung-Malang). Petani

responden sebanyak 40 orang. Peningkatan pemahaman dilaksnakan dengan 2 cara, yaitu tatap muka

dan praktek penerapan PHT. Pemahaman petani kepada hama, penyakit dan PHT meningkat setelah

petani mengikuti kegiatan tatap muka dan praktek penerapan PHT.

Kata kunvi: Petani, pemahaman, hama, penyakit, PHT

ABSTRACT

Lack of IPM understanding caused coffee farmer was difficult to IPM adoption. The aim of this

assessment was to increased farmer’s understanding to pests, diseases and IPM. The assessment was

done on May 1999 till March 2000, in desa Kemiri (Jabung-Malang). Number of responden was 40

farmers. Increasing of farmer’s understanding was done two ways, fased to faced encoured and

practiced IPM application on field. Farmer’s understanding became increased to coffee pests, diseases

and IPM after farmer followed IPM activities. Faced to faced encoured followed by practiced IPM

application could increased farmer’s understanding to coffee pests, diseases and IPM.

Key words: farmer, understanding, pest, disease, IPM

PENDAHULUAN

Dalam setiap program perlindungan tanaman di Indonesia, PHT telah merupakan dasar

kebijaksanaan pemerintah dengan dasar hukum Inpres no.3 tahun 1986 dan UU no. 12 tahun 1992

(Untung, 1993). Smith (1983 dalam Oka, 1995) menyatakan bahwa istilah hama dalam PHT mencakup

semua organisme atau agensia yang bertentangan dengan kepentingan manusia, termasuk di dalamnya

adalah serangga, tikus, babi hutan, jamur, bakteri, virus dan sejenisnya, nematoda serta gulma. PHT

merupakan konsep dan sekaligus teknologi pengendalian hama yang dilaksanakan dengan mengelola

ekosistem setempat melalui berbagai teknik pengendalian hama secara kompatibel dan teknik

pemantauan sedemikian rupa sehingga hama tetap seimbang dengan musuh alamnya (Untung, 1996).

Sitepu dkk (1997) menyarankan dalam melaksanakan kebijakan PHT hendaknya mengutamakan

keterpaduan komponen-komponen yang kompatibel dan serasi dengan lingkungan setempat dan

kemampuan petani.

Mahfud dkk (1999) melaporkan bahwa pemahaman petani kopi kepada PHT masih rendah

sehingga menghambat adopsi teknologi PHT. Keberhasilan penerapan PHT adalah tanggung jawab

petani (Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Perkebunan, 1998), sehingga pemberdayaan petani

sangat diperlukan guna meningkatkan pemaha-mannya kepada PHT. Peningkatan pemahaman petani

kepada suatu teknologi dapat dilakukan melalui tatap muka (diskusi) dan praktek penerapan teknologi

(Anonim, 1982).

Pengkajian bertujuan untuk meningkatkan pemahaman petani kepada hama, penyakit dan

PHT.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilaksanakan di desa Kemiri, kecamatan Jabung kabupaten Malang, salah satu sentra

pengembangan kopi arabika, antara Mei 1999 s/d Maret 2000. Petani responden ditentukan dengan

Page 66: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

529

kriteria: (1) pemilik dan penggarap usahatani kopi arabika Kartika-1, (2) anggota kelompok tani, dan (3)

bersedia mengikuti kegiatan PHT, Jumlah petani responden sebanyak 40 orang tergabung dalam

kelompok tani Sumber Rejeki.

Peningkatan pemahaman petani kepada PHT dibagi dalam 2 kegiatan yaitu (1) tatap muka, dan

(2) praktek penerapan PHT. Tatap muka dilaksanakan tiap bulan, berisi penjelasan dan diskusi tentang

jenis hama-penyakit, gejala serangan, penyebab hama/penyakit, faktor yang mempengaruhi

perkembangannya, pengertian dan manfaat PHT, serta komponen dan teknik aplikasinya. Untuk

mempermudah dan mempercepat penyerapan informasi, petani dibekali buku saku yang beirisi secara

detail materi tatap muka tersebut.

Kegiatan praktek penerapan PHT dilaksanakan di 40 kebun kopi milik masing-masing petani

(17 petani pada kopi robusta dan 23 petani pada kopi arabika). Petani peserta dibagi kedalam 5

kelompok masing-masing 8 petani dengan dibimbing oleh seorang peneliti. Praktek dimulai dengan

kegiatan monitoring untuk mengetahui keadaan pertanaman kopi dan tingkat serangan hama-

penyakitnya. Komponen PHT yang dipraktekkan mencakup kultur teknis (menyiang gulma, memupuk

dengan pukan + ZA + SP-36 + KCl yang jumlahnya disesuaikan dengan umur dan jenis tanaman kopi,

diberikan 2 kali pada awal dan akhir musim hujan, mengatur naungan, dan memangkas tanaman),

mengendalikan hama dan penyakit menggunakan komponen PHT. Di samping itu, petani juga diajari

membuat bokasi untuk memanfaatkan pupuk kandang sebagai pupuk organik tanaman kopi, serta bubur

bordo untuk mengendalikan penyakit karat daun (Hemileia vastatrix) dan antraknose (Colletotrichum

coffeae).

Data pemahaman petani kepada hama, penyakit dan PHT dikumpulkan melalaui wawancara

menggunakan daftar pertanyaan yang dilaksanakan pada awal dan akhir pengkajian. Data terkumpul

dianalisis menggunakan persentase, untuk menetapkan persentase petani yang sudah atau belum

memehami hama, penyakit dan PHT.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Apabila dibandingkan dengan sebelum kegiatan, pemahaman petani kepada PHT telah

meningkat setelah kegiatan tatap muka dan penerapan PHT (Tabel 1). Rendahnya pemahaman petani

kepada PHT sebelum kegiatan diduga karena 4 hal, yaitu (1) tahap perkenalan, (2) tingkat pendidikan,

(3) status tanaman kopi, dan (4) persepsi petani kepada aspek hama dan penyakit tanaman kopi.

Page 67: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

530

Tabel 1. Tingkat pemahaman petani kepada PHT

Komponen pemahaman Sebelum kegiatan Sesudah kegiatan

Jumlah petani

Persentase (%)

Jumlah petani

Persentase (%)

1. Mengenal hama dan Penyakit

Belum 6 15,0 0 0

Sedikit 34 85,0 7 17,5

Banyak 0 0 33 82,5 Perbedaan hama dan Penyakit

Belum mengetahui 39 97,5 7 17,5

Mengetahui tetapi kurang benar

1 2,5 16 40

Mengetahui dengan benar 0 0 17 42,5 3. Gejala serangan

Belum mengetahui 0 0 0 0

Mengetahui tetapi kurang benar

38 95 18 45

Mengetahui dengan benar 2 5 22 55 4. Istilah PHT

Belum mengetahui 32 80 7 17,5

Sudah mengetahui 8 20 33 82,5 5. Komponen PHT

Belum mengetahui 32 80 7 17,5

Sudah mengetahui 8 20 33 82,5 6. Aplikasi PHT

Kurang benar 28 70 8 20

Sudah benar 12 30 32 80

1. Tahap perkenalan

Bagi petani kopi di lokasi pengkajian, informasi detail tentang hama-penyakit tanaman kopi

belum pernah diterima. Dengan demikian, tatap muka dan kunjungan lapang tentang hama-

penyakit dan PHT selama pengkajian, merupakan tahap perkenalan bagi petani. Oleh karena tahap

perkenalan atau pengetrap awal, maka tingkat adopsinya lebih lambat bila dibandingkan dengan

golongan petani yang sebelumnya sudah mengenal (Wiriatmadja, 1986).

2. Pendidikan

Sebagian besar petani (90 %) berpendidikan sekolah dasar (SD) atau madrasah ibtidai’yah

(MI), akibatnya sulit memahami aspek hama-penyakit serta PHT. Nainggolan dkk (1988)

melaporkan bahwa proses alih teknologi kepada petani antara lain dipenagaruhi oleh tingkat

pendidikan petani, makin rendah menyebabkan proses alih teknologi makin lambat.

Page 68: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

531

3. Status tanaman kopi

Selain bertanam kopi, sebagian besar petani (90 %) juga berternak sapi perah. Apabila

dibandingkan dengan kegiatan berternak, waktu petani yang dicurahkan untuk usahatani kopi jauh

lebih sedikit. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dari kegiatan sapi perah, petani setiap

minggu mendapatkan uang kontan dari penjualan air susu ke KUD. Dengan demikian usahatani

kopi termasuk usaha sambilan. Artinya apabila petani mempunyai waktu setelah berternak sapi

perah (merumput, membersihkan kandang, memandikan dan memerah sapi), baru petani

menangani kopi. Dengan demikian, pikiran dan tenaga petani lebih banyak dicurahkan untuk

berternak sapi perah.

4. Persepsi petani terhadap aspek hama-penyakit

Sebagian (10 %) petani menganggap bahwa adanya hama dan penyakit kurang atau tidak

menjadi masalah pada usahatani kopi. Persepsi ini diduga mengurangi minat petani untuk

memahami aspek hama-penyakit dan PHT pada tanaman kopi.

Berdasarkan pada Tabel 1 tampak bahwa kegiatan tatap muka diikuti dengan praktek

pengenalan hama-penyakit dan penerapan PHT, efektif meningkatkan pemaha-man petani kepada

hama, penyakit dan PHT. Wariatmadja (1986) melaporkan bahwa peningkatan pemahaman petani

kepada sesuatu aspek, dapat dilakukan dengan cara penyuluhan, antara lain melalui tatap muka

(pertemuan). Untuk mepermudah pemahaman bagi petani, kegiatan tatap muka perlu diikuti

dengan memberi kesempatan kepada petani untuk mempraktekkan materi yang disampaikan pada

tatap muka (Anonim, 1982).

KESIMPULAN

Pemahaman petani kepada hama, penyakit dan PHT sudah meningkat melalui kegiatan

tatap muka dan praktek perkenalan hama, penyakit dan penerapan PHT.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1982. Komunikasi pembangunan pertanian. Pengantar Penyuluhan Pertanian. Hapsara,

Surakarta. 81-83.

Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Perkebunan. 1998. Kebijaksanaan perlindungan tanaman

perkebunan. Workshop Pengendalian Hama Terpadu pada Komoditas Kopi, 24 Pebruari

1998 di Surabaya. Bagpro PHT-PR/IPM-SECP Jatim. 2-3.

Oka, I.N. 1995. Pengendalian hama terpadu dan implementasinya di Indonesia. Gajah Mada

University Press, Yogyakarta. 136-140.

Mahfud, M.C., L. Rosmahani dan D. Rachmawati, Handoko, Sarwono, E. Korlina, M. Soleh, A.

Suryadi, W. Istuti dan Jumadi. 1999. Studi pengembangan dan penerapan PHT pada

tanaman kopi. Laporan Hasil Penelitian, Bagpro PHT tanaman Perkebunan, Bogor. 10-

16.

Page 69: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

532

Nainggolan. P. A.Muharam, D.Suminto, Siswandi dan G. Aminullah. 1988. Kendala-kendala

program alih teknologi di tingkat petani. Makalah Alih Teknologi Hortikultura, 4 Juli – 2

Agustus 1988. Sub Balithort. Lembang, Bandung. 4-6.

Sitepu, D., A. Kardinan dan A. Asman. 1997. Hasil penelitian dan peluang penggunaan pestisida

nabati. Seminar Evaluasi dan Pemantapan Program PHT Tanaman Perkebunan.

Puslitbang Tanaman Industri, Bogor 23 - 24 April 1997. 1 - 2.

Untung, K. 1993. Konsep pengendalian hama terpadu. Audi Offset, Yogyakarta. 69 - 70.

---------------1996. Pengembangan sistem pertanian berkelanjutan berwawasan lingkungan. Seminar

Nasional Pertanian Berwawasan Lingkungan USI Pematangsiantar, 29 Juli 1996. 1 - 13.

Wiriatmadja, S. 1986. Pokok-pokok penyuluhan pertanian. CV. Yasaguna, Jakarta. 29-40.

Page 70: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

533

DISKUSI

1. Budianto (APP Malang

1. PHT modifikasi, misal di banding PHP sebelumnya padahal faktornya lebih

banyak.

2. Efek PHP modifikasi terhadap petani.

Ir. Moh. Cholil Mahfud, MS

1. Bahan kimia pada PHP modifikasi adalah pupuk an organik dan bubur bardo

pestisida yang lain diganti daun mimbo yang harganya jauh lebih murah dan bubur

bordo dapat dibuat sendiri.

2. Efek modifikasi PHP terhadap petani sangat mempengaruhi harga jual (harga lebih

tinggi)

2. Rusdi ( Dinas TK II Perkebunan Lamongan)

Varietas yang dapat di tanam di dataran rendah lamongan

Ir. Moh. Cholil Mahfud, MS

Petani peserta PHP modifikasi telah faham cara memanen yang berpengaruh terhadap

kualitas biji kopi disini cara panen secara bertahap yaitu petik pilih. Varietas dataran

rendah Robusta.

Page 71: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

534

PENGKAJIAN BUDIDAYA BUNGA MAWAR EKOREGION DATARAN TINGGI

(Assessment Of Rose Culture On High Land Ecoregion)

T. Purbiati, Wahyunindyawati, Suhariyono, O.Endarto dan H. Mulyanto

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Karangploso

ABSTRAK.

Teknologi budidaya mawar bunga potong belum sepenuhnya dikenal dan diterapkan oleh petani

bunga, sehingga pada waktu tertentu seperti hari-hari besar, valentine day’s atau pesta

perkawinan, produksinya belum dapat memenuhi target permintaan. Pengkajian ini bertujuan

untuk memperoleh rakitan teknologi budidaya mawar bunga potong yang optimal pada ekoregion

dataran tinggi dan dengan memasukkan penggunaan pupuk organik, pupuk organik bokasi

maupun anorganik yang seimbang pada teknologi budidaya tanaman mawar rekomendasi

maupun cara petani. Pengkajian terdiri dari 2 kegiatan yaitu: 1) Rakitan teknologi budidaya

tanman mawar umur 4 tahun di lahan petani sebagai perlakuannya adalah : Rakitan teknologi

anjuran, rakitan teknologi madya, rakitan teknologi cara petani; 2) penelitian pendukung tentang

pemupukan mawar dengan perlakuan sebagai berikut: A) pupuk kandang 15 ton/ha + Urea 50

kg/ha + SP-36 160 kg/ha, B) bokasi 7,5 ton/ha + SP-36 160 kg/ha, C) ZA 50 kg/ha + NPK 50

kg/ha. Pengkajian dilaksanakan di Pujon dan Batu sedangkan Super Imposed di IPPTP Punten

Batu. Hasil pengkajian adalah: Rakitan teknologi budidaya madya yang menggunakan pupuk

dasar bokasi 15 t/ha +SP-36 325 kg/ha dapat meningkatkan produksi tanaman mawar bunga

potong sebesar 80,1% dibanding rakitan teknologi cara petani dan meningkat 59,7% dibanding

rakitan teknologi anjuran. Petani lebih menerima rakitan teknologi budidaya madya yang

menggunakan pupuk dasar bokasi. Panen bunga dilakukan periode 1 minggu 2 kali dan stadia

panen dengan kuntum bunga mekar 2 petal. Selama pengkajian penyakit yang banyak dijumpai di

lahan petani adalah sejenis kanker batang. Keragaan tanaman yang terdiri dari tinggi tanaman

dan lebar tajuk di tingkat petani tidak ada perbedaan. Analisis ekonomi menunjukkan B/C Ratio

tertinggi pada rakitan teknologi madya yaitu 1,96. Hasil Super Imposed adalah: penggunaan

pupuk dasar bokasi 7,5 ton/ha + SP-36 160 kg/ha selama pengamatan 3 bulan dapat

meningkatkan produksi bunga 17,54% dibanding pupuk dasar kandang 15 ton/ha + Urea 50 kg/ha

+SP-36 160 kg/ha dan meningkat 16,5% dibanding ZA 50 kg/ha + NPK 50 kg/ha. Tinggi tanaman,

jumlah cabang, jumlah daun, panjang tangkai bunga, diameter bunga, jumlah petal bunga dan

lama kesegaran bunga tidak terdapat perbedaan. Analisis usahatani umur 7 bulan dari okulasi

masih belum menguntungkan.

Kata kunci: Mawar, budidaya,pemupukan, produksi, analisis ekonomi.

ABSTRACT

So far growers of Rose for cutting flowers have not known and applied technology of Rose culture

properly caused the demands expectially during the Wedding month, Chrismas or Valentine day”s

have not been fulfiled. The goal of this assessment were to find technology of Rose culture for

cutting flower in high and dry ecoregion in Batu and Pujon by inducing manure, organic matter of

bokasi by using EM 4 and an organic fertilizer for recommended technology or existing/grower

technology. It consist of two main activities. The fisrt was Assessment of culture technology for

productive Rose in grower area with for treatments of: recommended technology, medium level

technology and growers technology. B/C ratio highest on the medium level technology for 1,96.

The second activities was super imposed trial for Rose fertilizatin conducted in IPPTP Punten with

different dozes those are :A) 15 t/ha manure + 50 kg/ha Urea +160 kg/ha SP-36, B) 7.5 t/ha of

bokasi +160 kg/ha of SP-36, C) 50 kg/ha of ZA + 50 kg/ha of NPK (15-15-15). The medium level

technology of 15 t/ha of bokasi + 325 kg/ha of Sp-36 increased cutting flower of Rose production

Page 72: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

535

of 80,1% higher than those produced by applying grower technology, while the production of

using recommended technology increased 59.7%. The plant performance by using three levels of

technologypackage were not different but growers preferred to choose the medium level

technology introduced. For super imposed trial by using 7.5 t/ha of bokasi + 160 kg/ha of SP-36

increased 17,56% of Rose cutting flower production than by using 15 t/ha manure +50 kg/ha of

Urea + 160 kg/ha of SP- 36 and 16.5% higher than those using 50 kg/ha of ZA + 50 kg/ha of NPK

(15-15-15). High of plant, number of twig leaves and petal and flower fresh long were same inter

tretment. The economical analysis of seven months Rose growth shown not profitable get.

Key words: Rose, assessment, fertlization, production, economical analysis.

PENDAHULUAN

Peluang ekspor bunga potong sangat cerah dan sasaran ekspor adalah negara-negara di

benua Eropa dan Amerika. Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik pada tahun 1984 Indonesia

mengekspor 791.640 kg senilai US $ 1.135.576 dan pada tahun 1988 meningkat menjadi

1.703.185 kg senilai US $ 1.370.901 (Anonim, 1991). Pada tahun 1999 total nilai ekspor bunga dan

tanaman hias Indonesia mencapai US $ 10.343.105 atau meningkat tajam sebesar US $ 9.158.820,

bila dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar US $ 1.184.285 (Anonim, 2000) dan negara

yang gencar meminta bunga dan tanaman hias tersebut adalah Hongkong, Singapura dan Amerika

Serikat.

Permintaan secara Nasional untuk komoditas bunga setiap tahunnya meningkat, dan lebih

meningkat pada saat menjelang hari-hari besar Nasional, Idul Fitri, Natal, Tahun Baru, Vlentine,

pesta perkawinan dan peristiwa penting lainnya (Soetopo, 1989 dan Hasyim, 1989).

Bunga mawar berdasarkan kegunaannya dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu mawar

tabur, bunga hias (bunga potong) dan mawar pot/taman, sedangkan berdasarkan pembungaannya

dapat digolongkan menjadi 2 yaitu Summer Rose yang berbunga di bulan Mei, Juni dan July dan

mawar yang berbunga selama hidupnya. Mawar untuk bunga potong digolongkan type yang

berbunga selama hidupnya (Kartapraja, 1995).

Menurut Effendie K. (1994 ) mawar sebagai bunga potong mempunyai nilai yang cukup

tinggi dan dalam kegiatan perdagangan bunga potong memberikan peringkat pertama yang terjual

setiap harinya. Jika saat Valentine day‖s permintaan sangat tinggi dan harga tiap tangkai hingga

mencapai Rp 5000,- (Anonim, 2000).

Bunga mawar potong umumnya ditanam di spesifik lokasi ekoregion dataran tinggi. Sentra

produksi bunga mawar di Indonesia tersebar di propinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah

dan Jawa Timur. Luas panen bunga mawar di Jawa Timur menduduki urutan yang paling luas

diantara propinsi-propinsi yang lain, sehingga produksi bunga mawar asal Jawa Timur dapat

memenuhi kebutuhan propinsi lain misalkan untuk daerah Bali.

Permasalahan yang ada adalah produksinya masih belum dapat memenuhi target

permintaan. Hal tersebut penyebabnya adalah pemanfaatan sumberdaya yang belum optimal, lahan

yang miskin hara akibat eksploitasi unsur hara oleh varietas unggul sehingga perlu masukan

teknologi pemupukan yang seimbang dan ekoregion dataran tinggi mudah tererosi dan teknologi

yang tersedia belum sepenuhnya diadopsi oleh petani.

Beberapa teknologi hasil rekomendasi Balithi telah banyak didokumentasikan dan

kesemuanya adalah untuk peningkatan produksi dan perbaikan kualitas bunga sesuai dengan

permintaan konsumen. Sebagai contoh adalah: penanaman mawar dengan jarak tanam 15 cm x 40

cm menghasilkan jumlah bunga yang banyak dan tangkai bunga yang panjang (Wuryaningsih dkk.,

1994). Usaha peningkatan produksi bunga dengan pemberian zat pengatur tumbuh juga

memberikan effek yang positif yaitu pemberian triakontanol dengan konsentrasi 150 ppm dan

diberikan dengan interval 10 hari mulai umur 3 minggu sesudah tanam (Wuryaningsih dan

Page 73: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

536

Kusuma., 1977). Pengendalian penyakit pada tanaman mawar lebih effektif menggunakan benomil

karena tanaman lebih subur terutama terhadap penyakit embun tepung (Djatnika dan Nuryani.,

1993). Pemupukan dengan pupuk kandang yang diberikan dengan kisaran dosis 28-32 ton./ha

(Sanjaya dkk., 1994), pemberian pupuk N 180 kg/ha yang diberikan empat kali selang 2 minggu

menghasilkan produksi bunga paling banyak (Wuryaningsih, 1995).

Sebagai pengganti pupuk organik alternatif dapat digunakan bokasi. Bokasi sebagai pupuk

organik pemakaiannya cukup efektif dan memberikan pengaruh yang baik terhadap hasil produksi

maupun pertumbuhan tanaman misalkan pada tanaman kentang, bawang merah, sayuran dan

mangga (Untung, 1995; Hardianto dkk.., 1998; Yuntamah, 1998; Purbiati dkk., 1999).

Pengkajian ini bertujuan untuk memperoleh rakitan teknologi budidaya bunga mawar pada

ekoregion dataran tinggi dan optimasi hasil dengan masukan teknologi penggunaan pupuk organik,

pupuk organik alternatif, NPK yang seimbang dan pengendalian hama penyakit yang tepat.

Luaran yang ingin dicapai dari pengkajian adalah rakitan usahatani bunga mawar dengan

teknologi budidaya yang dapat diadopsi oleh petani sehingga memberikan dampak terhadap

peningkatan produksi.

BAHAN DAN METODE

Bahan pengkajian

Tanaman mawar berumur 4 tahun milik petani dan tanaman mawar mulai okulasi (umur 0 tahun).

Varietas yang digunakan lokal Batu, jenis bunga potong dan berwarna merah tua dan muda.

Luas tanaman yang berumur 4 tahun sebesar 3000 m2 yang terdiri dari 5 pemilik petani mawar.

Setiap petani menggunakan luasan 600 m2 untuk 3 perlakuan. Tanaman untuk penelitian Super

Impose luasannya adalah 200 m2

di IPPTP Punten.

Pada pengkajian ini saprodi yang digunakan adalah pupuk kandang, bokasi, pupuk Urea, SP-36,

NPK, obat-obatan pestisida dan fungisida.

Lokasi pengkajian : Pujon dan Batu Jawa Timur.

Musim : Penghujan dan kemarau

Agroekologi : And. 2.2.3.1., ekoregion lahan sawah dataran tinggi.

Pelaksanaan pengkajian:

Pengkajian terdiri dari 2 yaitu: 1) Pengkajian sistem usaha tani tanaman mawar umur 4

tahun di lahan petani dan 2) melakukan penelitian Super Impose dengan menanam mawar mulai

batang bawah , okulasi sampai produksi yang dilaksanakan di IPPTP Punten.

Metode pengkajian:

1) Penelitian pada tanaman mawar bunga potong umur 4 tahun di lahan petani.

Rancangan percobaan acak kelompok terdiri dari 3 perlakuan dan ulangan 5 kali, sebagai

ulangan adalah petani, macam perlakuan (Tabel 1).

A. Rakitan teknologi anjuran

B. Rakitan teknologi madya

C. Rakitan teknologi petani.

Page 74: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

537

Tabel 1. Perlakuan rakitan teknologi budidaya tanaman mawar bunga potong umur 4

Tahun.

Uraian Rakitan teknologi

anjuran

Rakitan teknologi

madya

Rakitan teknologi petani

Varietas yang digunakan Lokal Batu

Bunga potong warna merah tua dan muda

Lokal Batu

Bunga potong warna merah tua dan muda

Lokal Batu

Bunga potong warna merah tua dan muda

Umur tanaman

Jarak tanam

4 tahun

40 x 20 cm

4 tahun

40 x 20 cm

4 tahun

40 x 20 cm

Pengolahan tanah

Pembumbunan tanah disekitar tanaman

Waktu

Dilakukan

Dicangkul sepanjang baris tanaman

Bersamaan dengan mupuk

Dilakukan

Dicangkul sepanjang baris tanaman

Bersamaan dengan mupuk

Dilakukan

Dicangkul sepanjang baris tanaman

Bersamaan dengan mupuk

Penyiangan dan sanitasi kebun

Dilakukan Dilakukan Dilakukan

Pengairan

Cara

Dilakukan

Dilep

Dilakukan

Dilep

Dilakukan

Dilep

Pemupukan

Dasar

Dosis

Waktu

Buatan

Jenis dan dosis

Waktu aplikasi

Dilakukan

Pupuk kandang

30 t/ha

Musim kemarau

Urea 100 kg/ha

SP-36 325 kg/ha

Menjelang hari-hari besar, misalkan perkawinan, falentine, hari natal, idul fitri, tahun baru

Dilakukan

Bokasi

15 t/ha

Musim kemarau

SP-36 325 kg/ha

Menjelang hari-hari besar, misalkan perkawinan, falentine, hari natal, idul fitri, tahun baru

Dilakukan

Pupuk kandang

Tidak tentu

Menurut selera petani

Urea 100 kg/ha

NPK 100 kg/ha

Beragam

Menjelang hari-hari besar, misalkan perkawinan, falentine, hari natal, idul fitri, tahun baru

Pengendalian hama

Penyakit

Kimiawi

Macam obat

Takaran obat

Aplikasi obat

Dilakukan

Anfil, Buldog

Sesuai dosis anjuran

Saat terjadi serangan

Dilakukan

Anfil, Buldog

Sesuai dosis anjuran

Saat terjadi serangan

Dilakukan

Bervariasi, tergantung daya beli petani

Sesuai dosis anjuran

Saat terjadi serangan

Panen bunga

Waktu

1 minggu 2 kali

1 minggu 2 kali

1 minggu 2 kali

2) Penelitian Super Impose:

Tanaman mawar bunga potong umur 0 tahun (dimulai dari okulasi)

Pelaksanaan percobaan adalah sebagai berikut:

Pengolahan tanah dan sanitasi lahan percobaan.

Pembuatan bedengan, tinggi 15- 25 cm dan panjangnya 2,5 m sedangkan lebarnya 0,8 m.

Setiap bedengan ditanami tanaman mawar dengan populasi 20 tanaman dan ditanam

dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm.

Tanaman yang ditanam jenis batang bawah mawar pagar dan ditanam pada bulan Mei

1999.

Page 75: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

538

Okulasi dilakukan pada bulan July 1999 dengan mengambil mata tempel bunga potong

warna merah tua.

Perlakuan pemupukan , pupuk kandang dan bokasi sebagai pupuk dasar diberikan pada saat

awal tanam, sedangkan pupuk buatan diberikan setelah mata okulasi mulai bertunas dan

diberikan selang 2 minggu sebanyak 4 kali.

Pengairan dan penyiangan dilakukan seoptimal mungkin.

Setelah okulasi jadi dan tumbuh tunas maka dilakukan pemangkasan dengan menyisakan

tunas sepanjang 10 cm dan dilakukan untuk semua populasi tanaman percobaan..

Rancangan percobaan acak kelompok dan terdiri dari 3 perlakuan, ulangan 6 kali. Macam

perlakuan adalah:

1) Pupuk kandang 15 t/ha, 50 kg/ha Urea, 160 kg.ha SP-36

2) Bokasi 7,5 t/ha, 160 kg/ha SP-36

3) 50 kg/ha ZA, 50 kg/ha NPK

Pengamatan data:

Tanaman mawar bunga potong umur 4 tahun di lahan petani.

Pertumbuhan vegetatif meliputi tinggi tanaman (diukur mulai pangkal batang di atas

permukaan tanah sampai titik tumbuh batang paling ujung, setiap perlakuan/ulangan adalah

5 tanaman) dan lebar tajuk ( diukur tajuk terluar tanaman, setiap perlakuan/ulangan adalah

5 tanaman). Pengamatan dilakukan bulan November 1999.

Produksi bunga, dihitung selama 3 bulan mulai bulan November 1999 s/d Februari 2000.

Kriteria panen

Serangan hama penyakit selama pengkajian.

Respon petani.

Analisis in put – out put

Super Impose : Pengkajian tanaman mawar bunga potong umur kurang dari 1 tahun.

Pertumbuhan vegetatif meliputi: tinggi tanaman (diukur mulai batang di atas permukaan

tanah sampai tunas pucuk tertinggi, setiap perlakuan/ulangan 5 tanaman), jumlah cabang

(dihitung cabang yang tumbuh pada satu tunas okulasi, setiap perlakuan/ulangan adalah 5

tanaman) dan jumlah daun ( dihitung daun yang tumbuh dari tunas batang atas, setiap

perlakuan/ulangan adalah 5 tanaman). Pengamatan dilakukan bulan November 1999.

Produksi bunga diamati: jumlah bunga yang dipanen , mulai dari awal produksi yaitu

bulan November 1999 s/d Februari 2000.

Komponen pertumbuhan bunga yang meliputi: panjang tangkai bunga, diameter bunga,

jumlah petal bunga dan lama kesegaran bunga. Cara pengamatan dengan mengambil 5

tangkai bunga untuk setiap perlakuan/ulangan. Panjang tangkai diukur mulai dari pangkal

tunas sampai dibawah kelopak bunga. Diameter bunga diukur panjang petal terluar yang

mekar, jumlah petal bunga dihitung jumlah petal bunga seluruhnya setiap kumtum

sedangkan lama kesegaran bunga dengan cara meremdam tangkai bunga kedalam botol

yang berisi air bersih.

Analisis in put- out put.

Page 76: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

539

HASIL DAN PEMBAHASAN

1) Pengkajian tanaman mawar bunga potong umur 4 tahun dilahan petani.

a) Pertumbuhan vegetatif

Pertumbuhan vegetatif yang diamati meliputi tinggi tanaman dan lebar tajuk. Hasil

pengamatan menunjukkan bahwa penerapan tiga rakitan teknologi yang diuji tidak mempengaruhi

tinggi tanaman, sementara itu teknologi anjuran memberikan lebar tajuk yang lebih rendah

dibanding cara petani (Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh rakitan teknologi budidaya tanaman mawar bunga potong terhadap

tinggi tanaman dan lebar tajuk

Perlakuan Tinggi tanaman (cm) Lebar tajuk (cm)

Rakitan teknologi budidaya anjuran 153,92 a 43,81 b

Rakitan teknologi budidaya madya 147,28 a 53,32 ab

Rakitan teknologi budidaya cara petani 155,28 a 59,04 a

Keterangan: Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf

5% uji BNT( Means followed by the same letters within the same column are not significanlty different

at 5 % level of LSD).

Dari hasil analisa statistik terhadap pertumbuhan vegetatif yaitu, lebar tajuk ada perbedaan

yang nyata sedangkan tinggi tanaman tidak ada beda nyata. Pada perlakuan rakitan teknologi cara

petani, lebar tajuk tanaman keragaannya lebih lebar dan ada beda dibandingkan rakitan teknologi

budidaya anjuran sedangkan dengan rakitan teknologi madya tidak ada beda.

Pada rakitan teknologi budidaya cara petani ternyata petani sudah mampu memberi

tambahan nutrisi yang berupa pupuk kandang maupun buatan untuk tanaman mawarnya, tetapi

dosis pemberiannya masih bervariasi tergantung selera masing-masing petani. Dari hasil

pengkajian yang terdiri dari 5 petani, pemberian pupuk kandang tidak diukur takarannya, rata-rata

petani memberikan yang lebih banyak. Berdasarkan perlakuan petani tersebut kemungkinan akibat

pupuk kandang yang melebihi dosis anjuran maka vigoritas tanaman terutama lebar tajuknya

menjadi lebih baik dibandingkan rakitan teknologi budidaya anjuran.

b) Produksi bunga

Produksi bunga diamati selama 3 bulan setelah perlakuan. Hasil pengamatannya

menunjukkan bahwa penerapan teknologi madya justru mampu meningkatkan produksi bunga

dibanding penerapan teknologi anjuran ataupun cara petani (Tabel 3).

Tabel 3. Pengaruh rakitan teknologi budidaya tanaman mawar bunga potong terhadap

produksi bunga//ha

Perlakuan Produksi bunga /ha (tangkai)

Rakitan teknologi budidaya anjuran 130.257 b

Rakitan teknologi budidaya madya 208.017 a

Rakitan teknologi budidaya cara petani 115.524 b

Keterangan: Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf

5% uji BNT( Means followed by the same letters within the same column are not significanlty different

at 5 % level of LSD).

Hasil analisa statistik terhadap produksi bunga per ha ada perbedaan yang nyata. Rakitan

teknologi budidaya madya menghasilkan produksi bunga per ha paling tinggi dan berbeda nyata dengan

Page 77: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

540

rakitan teknologi budidaya anjuran maupun cara petani. Rakitan teknologi budidaya anjuran dan rakitan

teknologi budidaya cara petani tidak ada beda terhadap produksi bunga per ha nya.

Rakitan teknologi budidaya madya, memasukkan perlakuan pemupukan yang berbeda

dengan rakitan teknologi budidaya anjuran maupun cara petani. Pemupukan yang berbeda adalah

penggunaan pupuk organik maupun buatan. Rakitan teknologi budidaya madya sebagai pupuk

dasar menggunakan bokasi sedangkan pupuk buatan hanya menggunakan SP-36.

Produksi bunga pada rakitan teknologi budidaya madya lebih tinggi dari pada rakitan

teknologi budidaya anjuran maupun cara petani, hal itu karena menggunakan pupuk dasar bokasi,

sedangkan teknologi anjuran dan cara petani menggunakan pupuk dasar kandang. Beberapa

penelitian yang menggunakan pupuk dasar bokasi terbukti dapat meningkatkan hasil. Menurut

Hardianto dkk., 1998, penggunaan bokasi ditambah EM dalam bentuk kombinasi pemberian

melalui tanah dan disemprot langsung ke tanaman dapat meningkatkan produksi umbi kentang

sebesar 35% dan bawang putih 26%. Pemberian bokasi 3,2 ton/ha pada tanaman bawang merah

memberikan hasil yang lebih tinggi (10,56 ton/ha) dibanding tanpa bokasi (9,28 ton/ha)

(Yuntamah, 1998).

c) Panen

Petani melakukan panen dengan cara memotong kumtum bunga bersama dengan

tangkainya, setiap satu tangkai satu kuntum bunga. Bunga yang dipanen pada umumnya memiliki

tangkai yang panjang. Waktu panen dilakukan setiap minggu 2 kali panen. Umur panen dari mulai

panen bunga pertama sampai panen lagi adalah membutuhkan umur 1-1,5 bulan. Jika pengelolaan

tanaman kurang baik maka akan diperoleh kuntum bunga yang tidak normal dan tangkai bunga

yang pendek. Berdasarkan informasi dari pedagang bunga Kayon Surabaya bahwa konsumen

selalu menghendaki kuntum bunga yang bagus dan tangkai bunga panjang, dengan tangkai bunga

panjang maka memudahkan cara merangkainya.

Menurut Wuryaningsih dkk., 1994 berdasarkan informasi dari Dirjen Bina Produksi

Hortikultura tahun 1991, bahwa standar bunga potong mawar dikelaskan menurut panjang

tangkainya yaitu tangkai bunga potong mawar dengan panjang lebih 50 cm termasuk kelas 1 dan 2,

sedangkan standar kelas 3 dan 4 jika panjang tangkainya lebih dari 30 cm.

Stadia panen untuk bunga potong mawar adalah jika kuntum bunga tersebut telah mekar 2

petal. Cara memotongnya dengan memakai gunting pangkas, kemudian daun-daunnya dibuang

untuk selanjutnya bunga dikumpulkan menjadi satu dan tangkai bunga direndam didalam ember

yang berisi air bersih.

d) Serangan hama penyakit

Pada saat pengkajian, hama dan penyakit yang dominan menyerang tanaman mawar di

lahan petani adalah penyakit sejenis kanker. Penyakit ini ditandai adanya pembengkakan pada

bagian tanaman yaitu di batang. Bagian tanaman yang paling peka adalah disekitar pangkal

batang. Batang tanaman tersebut tumbuh berbenjol-benjol yang mengakibatkan batang diatas

benjolan tersebut lama kelamaan mengering dan tanaman mati. Pemberantasan secara kimiawi

telah dilakukan tetapi masih belum berhasil, sehingga diambil alternatif untuk mengendalikan

secara kultur teknis caranya dengan membuang bagian tanaman yang sakit. Jika bagian tanaman

yang terserang pada pangkal batang bawahnya maka dilakukan dengan memangkas seluruh

tanaman, kemudian batang bawah diokulasi lagi dengan mata tempel yang baru. Tetapi jika bagian

batang bawahnya yang diserang maka tanaman dibongkar dan diganti dengan tanaman baru yang

dimulai dari batang bawah sampai diokulasi lagi.

Page 78: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

541

e) Respon petani

Dengan adanya perbedaan produksi bunga, petani lebih menerima Rakitan teknologi

budidaya mayda, dengan menggunakan pupuk dasar bokasi.

f) Analisis in put – out put

Dari analisis in put – out put terlihat bahwa marginal B/C ratio rakitan teknologi anjuran

adalah sebesar 1,39 sedangkan rakitan teknologi madya sebesar 1,96 (Tabel 4).

Tabel 4. Analisis usahatani tanaman mawar bunga potong umur 4 tahun per ha.

Uraian

Rakitan teknologi

anjuran

Rakitan teknologi madya Rakitan teknologi petani

Fisik Rp. Fisik Rp. Fisik Rp.

I. Biaya Produksi Biaya tetap Sewa lahan - 1.500.000 - 1.500.000 - 1.500.000 Penyusutan - 187.500 - 187.500 - 187.500 Biaya tidak tetap 1. Pupuk (kg) Kandang 30.000 3.000.000 - - 35.000 3.500.000 Urea 100 80.000 - - 100 80.000 SP - 36 325 390.000 235 390.000 - Bokasi - - 15.000 4.875.000 - NPK - - - - 100 230.000 2. Pestisida (kg/l) 25 2.250.000 25 2.250.000 25 2.250.000 3. Tenaga Kerja

(HKSP/HOK)

Menyiang 31,25 312.500 25 250.000 31,25 312.500 Pengairan 16 160.000 16 160.000 16 160.000 Pemupukan 18,75 187.500 18,75 187.500 18,75 187.500 Penyemprotan 112,5 112.500 112,5 112.500 125 125.000 Panen 150 150.000 150 150.000 150 150.000 Total biaya produksi 8.330.000 12.312.500 7.184.000 II. Produksi 130.257 14.111.000 208.017 22.530.000 115.524 12.515.000 III. Pendapatan 5.781.000 10.217.500 5.331.000 Gross B/C ratio 1,69 1,83 1,74 Net B/C ratio 0,69 0,83 0,43 Marginal B/C ratio 1,39 1,96

Pada usahatani mawar umur 4 tahun, dengan sistem teknologi anjuran , madya dan petani

masing-masing diperoleh nilai Gross B/C ratio sebesar 1,69; 1,83 dan 1,74 dan Net B/C masing-

masing adalah 0,69; 0,83 dan 0,43. Artinya pada sistem teknologi anjuran, madya dan petani pada

usahatani mawar untuk setiap Rp1,- biaya yang dikeluarkan rata-rata mampu memberikan

penerimaan masing-masing sebesar Rp 1,69; Rp 1,83 dan Rp 1,74.

Jika dilihat dari hasil gross B/C ratio dan net B/C ratio yang tertinggi dicapai pada teknologi

madya yang berarti paling efisien.

Penerapan teknologi sistem anjuran, madya pada usahatani mawar mempunyai pengaruh

cukup nyata terhadap penerimaan petani. Untuk setiap Rp 1,- tambahan biaya yang dikeluarkan

pada teknologi anjuran dan madya terhadap teknologi petani mampu memberikan tambahan

penerimaan Rp 1,39 dan Rp 1,69 (marginal B/C = 1,39 dan 1,69).

Dari analisis finansial, secara umum usahatani mawar baik dengan teknologi anjuran,

madya dan petani layak untuk diteruskan. Usahatani mawar pada teknologi madya mempunyai

tingkat kelayakan yang lebih tinggi dari teknologi anjuran dan petani.

Page 79: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

542

Penelitian Super impose:

Dilakukan pada tanaman yang dimulai dari tanam batang bawah kemudian diokulasi sampai

menghasilkan produksi. Hasil pengamatannya meliputi: pertumbuhan vegetatif yang terdiri dari tinggi

tanaman, jumlah cabang dan jumlah daun (Tabel 5), produksi bunga/20 populasi tanaman (Tabel 6),

sedangkan hasil pengamatan komponen pertumbuhan bunga yang meliputi panjang tangkai bunga,

diameter bunga, jumlah petal bunga dan lama kesegaran bunga pada Tabel 7.

a) Pertumbuhan vegetatif

Tabel 5. Pengaruh pemupukan pada tanaman mawar bunga potong umur kurang 1 tahun

terhadap pertumbuhan vegetatif.

Perlakuan Tinggi tanaman

(cm)

Jumlah cabang Jumlah daun

Pupuk kandang 15 t/ha

Urea 50 kg/ha SP-36 160 kg/ha

49,3

6,37 55,8

Bokhasi 7,5 t/ha SP-36 160 kg/ha 50,97 5,8 60,17

ZA 50 kg/haNPK 50 kg/ha 48,77 5,43 57,53

BNT 0.05 Tn tn tn

Keragaan tanaman yaitu pertumbuhan vegetatif yang meliputi tinggi tanaman, jumlah

cabang dan jumlah daun. Hasil analisis statistik terhadap pertumbuhan vegeatif tidak ada beda

nyata. Tanaman mawar bunga potong pada umur kurang satu tahun pada perlakuan yang diberi

pupuk dasar kandang atau bokasi atau yang tidak diberi pupuk dasar, tinggi tanaman, jumlah

cabang dan jumlah daunnya relatif menunjukkan hasil yang sama. Hal tersebut perlakuan yang

tanpa pupuk dasar kebutuhan nutrisi sudah terpenuhi dari pupuk buatan majemuk yang telah

mengandung unsur N, P dan K.

Produksi bunga

Tabel 6. Pengaruh pemupukan pada tanaman mawar bunga potong umur kurang 1 tahun

terhadap produksi bunga.

Perlakuan Produksi bunga/20 populasi

tanaman (tangkai)

Pupuk kandang 15 t/ha Urea 50 kg/haSP-36 160 kg/ha 89,5 b

Bokhasi 7,5 t/ha SP-36 160 kg/ha 105,2 a

ZA 50 kg/ha NPK 50 kg/ha 90,3 b

Keterangan: Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf

5% uji BNT( Means followed by the same letters within the same column are not significanlty different

at 5 % level of LSD).

Hasil analisis statistik terhadap produksi bunga, tanaman mawar bunga potong ada

perbedaan yang nyata. Tanaman yang diberi pupuk dasar bokasi menghasilkan produksi bunga

yang paling tinggi (105 tangkai/20 populasi tanaman/3 bulan) dibanding perlakuan yang lain.

Tanaman yang diberi pupuk dasar kandang + Urea + SP-36 tidak berbeda nyata dengan yang diberi

pupuk ZA + NPK.

Pada rakitan teknologi budidaya madya di lahan petani yang menggunakan tanaman mawar

produksi yang telah berumur 4 tahun pemakaian pupuk dasar bokasi memberikan efek yang positif

terhadap produksi bunga tanaman mawar bunga potong dan hasilnya paling tinggi. Pemberian

bokasi sebagai pupuk dasar dan dikombinasi dengan pupuk buatan SP-36 pada tanaman mawar

bunga potong umur kurang satu tahun juga menghasilkan produksi bunga yang paling tinggi.

Page 80: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

543

c) Komponen pertumbuhan bunga

Hasil pengamatan komponen pertumbuhan bunga yang meliputi : panjang tangkai bunga,

diameter bunga, jumlah petal bunga dan lama kesegaran bunga disajikan pada tabel 7

Tabel 7. Pengaruh pemupukan pada tanaman mawar bunga potong umur kurang 1 tahun

terhadap komponen pertumbuhan bunga.

Perlakuan Panjang tangkai bunga (cm)

Diameter bunga (cm)

Jumlah petal bunga

Lama kesegaran bunga (hari)

Pupuk kandang 15 t/ha Urea 50 kg/ha SP-36 160 kg/ha

37,6

8,03

32,57

6,82

Bokasi 7,5 t/ha SP-36 160 kg/ha

42,87

7,82

34,03

6,77

ZA 50 kg/ha NPK 50 kg/ha

40,11

7,84

31,3

6,83

BNT 0.05 tn tn tn tn

Hasil analisis statistik terhadap komponen pertumbuhan bunga (panjang tangkai bunga,

diameter bunga, jumlah petal bunga dan lama kesegaran bunga) tidak ada beda nyata. Tanaman

yang diperlakukan dengan menggunakan pupuk dasar kandang, bokasi dan tanpa pupuk dasar

komponen pertumbuhan bunganya relatif sama tetapi yang menggunakan pupuk dasar bokasi

cenderung memiliki tangkai bunga yang lebih panjang dan jumlah petal bunga yang lebih banyak

dan diameter bunganya lebih pendek. Berdasarkan hasil wawancara dengan pedagang bunga

potong bahwa konsumen bunga mawar potong menghendaki panjang tangkai yang lebih panjang

dan kumtum bunga yang bagus. Jumlah petal yang lebih banyak dan diameter bunga yang tidak

terlalu lebar akan memberikan kumtum bunga yang ideal.

Analisis in put – out put

Dari analisis in put – out put terlihat bahwa B/C ratio pada perlakuan pupuk kandang 15

t/ha + urea 50 kg/ha + SP-36 160 kg/ha sebesar 0,57, perlakuan bokasi 7,5 t/ha + SP-36 160 kg/ha

sebesar 0,75 dan perlakuan ZA 50 kg/ha + NPK 50 kg/ha sebesar 0,68 (Tabel 8).

Page 81: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

544

Tabel 8. Analisis usahatani tanaman mawar bunga potong per ha umur 7 bulan setelah

okulasi

URAIAN

MACAM PERLAKUAN

A B C

fisik (Rp.000,-) Fisik (Rp.000,-) fisik (Rp.000,-)

A. BIAYA SAPRODI

1. Bibit (pot/Rp.) 100 25.000 100 25.000 50 25.000

2. Pupuk (Kg/Rp)

a). Kandang 15.000 1.500 - - - -

b). Urea 50 52,50 - - - -

c). SP-36 160 288 14 288 - -

d). Bokasi - - 7.500 2.812,50 - -

e). NPK - - - - 50 115

f). ZA - - - - 50 52,50

3. Pestisida (Kg/l/Rp) 3 180 50 180 3 180

TOTAL BIAYA 26.840,50 28.100,50 25.347,50

B. BIAYA TEN. KERJA

(HOK)

a). Pengolahan tanah 30 240 14 240 30 240

b). Tanam 16 128 14 128 16 1288

c). Penyiraman 10 80 14 80 10 80

d). Penyiangan 48 384 14 400 46 368

e). Penyemprotan 50 400 14 400 50 400

f). Pemupukan 36,5 292 14 288 32,5 260

g). Bumbun & pasang ajir 3,.5 28 3,5 28 3,5 28

h). Pemangkasan 13 104 50 112 10 80

i). Panen 14 192 50 224 24 192

TOTAL BIAYA 14 1.848 237,5 1.900 222 1.776

C. TOTAL BIAYA PROD 28.688,50 30.000,50 27.123,50

D. PRODUKSI

(tangkai/Rp.)

44.800 52.600 45.600

E. PEN. BERSIH 16.111,50 22.599,50 18.476,50

F. B/C RATIO 0,57 0,75 0,68

Keterangan: A: pupuk kandang 15 t/ha + Urea 50 Kg/ha + Sp-36 160 Kg/ha

B: Bokasi 7,5 t/ha + SP-36 160 Kg/ha

C: ZA 50 Kg/ha + NPK 50 Kg/ha

HOK: Hari orang kerja

Analisis usahatani masing-masing perlakuan pada tabel 6., biaya saprodi yang terbesar dari

masing-masing perlakuan adalah bibit yaitu sebesar 80% dari biaya saprodi, sedangkan biaya

terkecil adalah penggunaan pestisida dan pupuk.

Berdasarkan hasil produksi mawar bunga potong yang dihasilkan pada masing-masing

perlakuan masih belum menguntungkan, karena umur tanaman masih 7 bulan setelah okulasi, hal

ini dapat dilihat dari hasil analisis B/C ratio. Dari hasil analisis B/C ratio maka pada perlakuan

Bokasi 7,5 t/ha + SP-36 160 Kg/ha nilai B/C ratio paling tinggi dibanding perlakuan yang lain yaitu

0,75.

KESIMPULAN

Rakitan teknologi budidaya madya dengan menggunakan pupuk dasar bokasi dosis 1,5

ton/ha dan pupuk buatan SP-36 dosis 325 kg/ha meningkatkan produksi mawar bunga

potong sebesar 80,06% dibanding rakitan teknologi budidaya cara petani dan meningkat

Page 82: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

545

59,70% dibanding rakitan teknologi budidaya anjuran. Teknologi yang paling

menguntungkan adalah rakitan teknologi madya dengan B/C ratio 1,96.

Tinggi tanaman dan lebar tajuk tidak berbeda nyata antara rakitan teknologi budidaya

anjuran, madya dan cara petani.

Penyakit yang dominan adalah sejenis kanker batang.

Periode panen, 1 minggu 2 kali panen dan stadia panen dengan kuntum bunga mekar 2 petal.

Petani lebih menerima Rakitan teknologi budidaya madya dengan menggunakan pupuk

dasar bokasi.

Super Imposed:

Penggunaan pupuk dasar bokasi 7,5 ton/ha dan SP-36 160 kg/ha (diberikan 4 kali selang 2

minggu) pada tanaman mawar bunga potong mulai tanam sampai produksi (selama 3

bulan) meningkatkan produksi bunga sebesar 17,54% dibanding menggunakan pupuk dasar

kandang (15 ton/ha) + Urea 50 kg/ha + SP-36 160 kg/ha dan meningkat 16,5% dibanding

menggunakan ZA 50kg/ha + NPK 50 kg/ha.

Keragaan tanaman (tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah daun) dan komponen

pertumbuhan bunga ( panjang tangkai bunga, diameter bunga, jumlah petal bunga dan lama

kesegaran bunga) tidak ada beda nyata.

Analisis usahatani tanaman mawar bunga potong umur 7 bulan dari okulasi masih belum

menguntungkan. B/C ratio tertinggi pada perlakuan penggunaan pupuk bokasi 7,5 t/ha +

SP-36 160 Kg/ha yaitu 0,75.

SARAN

Saat aplikasi pupuk disarankan menjelang permintaan bunga meningkat terutama saat

Valentine, pesta perkawinan dan peristiwa penting lainnya. Untuk pengkajian selanjutnya

diupayakan untuk mempertahankan dan meningkatkan kwalitas bunga.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1991. Pamor bunga mawar tidak pernah pudar , dalam buku kumpulan kliping Mawar.

Pusat Informasi Pertanian Trubus. P: 29-30

Anonim, 2000. Setangkai mawar kini harganya Rp 5000,-. Radar Malang Jawa Pos. halaman 1.

Anonim, 2000. Kebijaksanaan peningkatan ekspor bunga dan tanaman hias. Makalah workshop

Florikulture 4, 18-19 Mei 2000. Ditjen Perdagangan luar negeri Departemen

Perindustrian dan Perdagangan.11p.

Djadnika dan Wakiah Nuryani, 1993. Pengendalian penyakit embun tepung pada mawar dengan

fungisida dan minyak bawang putih. Bul.Penel. Tan. Hias. 1(1): 93-98.

Effendie K., 1994. Tataniaga dan perilaku konsumen bunga potong. Bul. Penel. Tan. Hias. 2(2): 1-17.

Hardianto R., H.Sembiring, H.Suseno, Moch.Soleh, S.R.Soemarsono dan Siswanto, 1998.

Pengkajian penggunaan mikroorganisme effektif pada sistem Usahatani konservasi

berbasis Hortikultura di lahan kering vulkanik.Prosiding Seminar hasil penelitian

/pengkajian BPTP – Karangploso. Roemiyanto, Komarudin M., P.Santoso, Mutia ED,

H.Sembiring (Ed): 351-363.

Hasyim, S.I. 1989. Floriculture Indonesia. Floriculture Cultivation and Bussiness. Cibubur, Jakarta.

56 p.

Kartapradja R.,1995. Botani dan Ekologi mawar dalam Mawar. Balai Penelitian Tanaman Hias.

Jakarta. 59 p.

Page 83: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

546

Purbiati T., Yuniarti, AR. Effendie dan Samad. 1999. Kajian teknik pengelolaan mangga klon

Arumanis 143 di Cukurgondang. Lap. Hasil penelitian & pengkajian BPTP –

Karangploso. Belum dipublikasi. 11 p.

Sutopo L., 1989. Potensi tanaman hias di Jawa Timur. Prosiding Seminar Tanaman Hias. Balithor

Lembang. Cipanas, 28 Agustus 1989. p: 239-240.

Sanjaya L., Samijan dan T.Sutarter, 1994. Pengaruh kapur dan pupuk kandang terhadap

pertumbuhan dan produksi bunga mawar. Bul.Penel. Tan. Hias 2 (1): 73-82.

Untung K., 1995. Membangun sistem produksi Hortikultura berwawasan lingkungan. Makalah

dalam seminar Nasional Hortikultura, 20 September 1995. Jakarta.

Wuryaningsih S., T.Sutarter dan A. Supriyadi. 1994. Kerapatan tanaman dan pemupukan N pada

bunga mawar. Bul.Penel. Tan.Hias. 2 (1): 91-101.

------------------, 1995. Pengaruh jarak tanam dan dosis pemupukan nitrogen terhadap pertumbuhan

dan produksi bunga mawar kultivar Cherry Brandy. J.Hort. 5(2): 100-106.

------------------ dan S.Kusumo, 1997. Pemberian Triakontanol untuk perbaikan hasil dan kualitas

bunga mawar. J.Hort. 7(2): 673-677.

Yuntamah K., 1998. Respon pemberian dosis bokasi dan konsentrasi larutan 4 mikroorganisme

yang efektif terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah. Skripsi jurusan

Budidaya tanaman FP. Univ. Muhammadiyah Malang. 38 p.

DISKUSI

1. Suroto (BIPP Mojokerto)

Apakah tidak mungkin usatani budidaya mawar di arahkan di dataran rendah, sebab arah

pembangunan di kota mengarah ketanaman hortikultura/tanaman hias.

Ir. Titiek Purbiati (BPTP Karangploso)

Untuk mawar bunga potong hanya dapat di lakukan di dataran tinggi karena proses

pembungaannya membutukan suhu 15 C bisajuga di tanamn di dataran rendah tetapi

kualitasnya rendah dan juga karena preferensi konsumen menginginkan tangkai panjang dan

diameter kuntum tertentu, sedang untuk yang di tanam di dataran rendah biasanya untuk

bunga tabur.

2. Ir. M. Tohir, MS. (Kanwil Deptan Jatim)

Bagaimana untuk mendapatkan tangkai bunga mawar yang panjang dan juga

mempertahankan kesegaran sehingga dapat di simpan lama

Ir. Titiek Purbiati (BPTP Karangploso)

Untuk mendapatkan tangkai mawar yang panjang, bisa dipakai hormon tumbuh, sedangkan

untuk mempertahankan kesegaran mawar yang telah di potong didinginkan selama 4 menit

kemudian dicelupkan ke dalam campuran sukrosa 2%

Page 84: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

547

PENGKAJIAN SISTEM PENGELOLAAN SAPI POTONG INDUK

(Assessment of System Management of Beef Cattle)

D.B. Wijono, Aryogi, Uum Umiyasih, dan D.E. Wahyono

Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Grati

ABSTRAK

Teknologi pemeliharaan dan pengaturan perkawinan yang efektif pada sapi induk dibutuhkan

untuk mendapatkan produktivitas yang tinggi dalam penyediaan sapi potong bakalan. Sebagai

upaya pemenuhan kebutuhan pretein hewani memburuhkan tatanan. Pengkajian dilakukan di

Kabupaten Tuban, kecamatan Widang, desa Minohorejo. Materi penelitian menggunakan 60 ekor

sapi potong induk milik peternak, dengan umur kebuntingan 7-9 bulan yang dibagi menjadi 2

kelompok perlakuan. Perlakuan pertama adalah perbaikan pakan dengan pemberian konsentrat

(1-1,5 % berat badan) dan obat cacing . Perlakuan II adalah kontrol (tanpa perlakuan).

Pemberian pakan dilakukan sekitar 2 bulan sebelum beranak (flushing) sampai 3 bulan setelah

beranak. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa rata-rata berat badan induk setelah beranak

perlakuan satu mampu mampu bertahan dari 332,6 kg menjadi 314,1 kg, dibandingkan dengan

kontrol yaitu dari 327,6 kg menjadi 289,6 kg. Estrus post partum terjadi lebih awal pada

perlakuan satu dibandingkan dengan kontrol yaitu sebesar 50,8 hari dan 108 hari.. Perkembangan

pedet setelah dilahirkan masing-masing untuk perlakuan satu dan dua, terhadap berat lahir

adalah 22,1 kg dan 19,8 kg, dan pertambahan berat badan harian sebesar 0,54 dan 0,32

kg/ekor/hari . Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pola perbaikan pakan mampu meningkatkan

efisiensi pemeliharaan induk dan perkenmbangan pedet dalam upaya pemenuhan kebutuhan sapi

potong bakalan

Kata kunci : Sapi potong, reproduksi, performan, peertumbuhan.

ABSTRACT

Technology of effective breeding and controlling mating for cows is needed to get high productivity

fpr supplying beef cattle candidate, as the efforts to fulfill protein needs. A research was done in

Minohorejo village, distric of Widang, Tuban regency. The material of research used 60 heads

cows owned by the breeders, with 7-9 months of pragnancy, and devided into 2 group of treatment.

Treatment I was feeding improvement with concentrate (1-1.5 body wieght) and giving worms

grugs. Treatment II was controlling as what the breeders usually do wit their cattle. Feeding with

consentrate was given about 2 month before brith (flushing) and 3 months after birth. The result

research showed that the cows on treatment I were able to keep their average body weigh namely

from 332.6 kg became 280.0 kg. The oestrus pospartum on treatment I was earlier namely 50,8

days compare with treatment II namely 108.0 days. The calves improvement after birth on

treatment I and treatment II for birth weigh were 22.1 kg and 19.8 kg respectively, and daily gain

respectively for 0.54 and 0.32 kg/head/day. The breeders response by feeding improvement for

pragnancy cows and suckling namely 67.80 and 46.75, and response for AI was 75.40. The

conclusion of the research was that the feeding improvement style was able to increase the

breeding efficiency of caws and calves improvement. The breeders did not accep fukky the result of

feeding improment for pragnancy and lactating cows, but they still in adaptation stage.

Key words : Beef cattle, reproction, performance, growth

Page 85: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

548

PENDAHULUAN

Perkembangan sapi potong di Jawa Timur setiap tahunnya cenderung statis, sehingga

tidak dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan akan daging. Pemaksaan pemenuhan kebutuhan

daging akan menyebabkan terkurasnya populasi ternak yang ada. Pemenuhan kekurangan daging

dilaksanakan melalui pemasokkan sapi potong bakalan untuk digemukkan dari luar negeri

(Anonimus, 1997).

Produksi sapi potong bakalan sampai saat ini belum mampu memenuhi permintaan

konsumen untuk digemukkan guna memenuhi kebutuhan daging. Hal ini antara lain karena kondisi

badan sapi potong induk pada tingkat peternakan rakyat umumnya berada dalam kondis badan

sedang sampai jelek. Kondisi badan induk secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh

terhadap perkembangan dan aktivitas reproduksinya seperti siklus estrus dan keberhasilan dalam

kejadian kebuntingan (Service per Conseption). Teknologi perbaikan kondisi badan pada sapi

potong dara melalui tatlaksana pakan, mampu meningkatkan berat badan sampai 0,5 kg/ekor/hari

dan menunjukkan gejala estrus yang jelas (Wijon dkk. 1998).

Pemeliharaan sapi potong ditingkat peternak masih tradisional dengan tingkat

produktivitas yang cukup beragam. Penurunan kondisi badan dan berat badan yang ekstrim

merupakan salah satu faktor yang menyebabkan gangguan terhadap perkembangan dan aktivitas

reproduksi (Toelihere, 1980). Kegagalan atau gangguan reproduksi pada sapi potong induk yang

tampak adalah jarak beranak (calving interval) yang panjang. Kemampuan jarak beranak yang

mampu dicapai pada peternakan rakyat adalah tidak efisien yaitu sekitar 605,4 ± 101,6 hari dan

saat kawin kembali setelah beranak 309,4 ± 101,9 hari (Astuti, dkk. 1983). Sedangkan siklus estrus

sapi potong yang berada di peternakan rakyat adalah sekitar 38 - 74,4 hari dengan skor kondisi

badan 3 - 4 (Wijono, dkk. 1999).

Sapi betina yang tidak terpelihara dengan baik mempunyai kondisi badan yang jelek, akan

berpengaruh negatif terhadap aktivitas ovarium dan mempengaruhi perkembangan sel telur. Penur-

unan berat badan sebesar 18 % akan mengakibatkan kondisi badan jelek, sehingga menyebabkan

terjadinay inaktivitas ovarium dan diikuti hilangnya tanda-tanda estrus secara klinis (Wijono, dkk.

1992), serta dapat bertindak sebagai penyebab terjadinay infertilitas pada sapi potong induk (Hafez,

1980 dan Toelihere, 1980).

Perubahan produksi sapi potong akan berpengaruh terhadap aktivitas reproduksi dan

menyebabkan terjadinay perpanjangan jarak beranak. Jarak beranak yang ideal pada sapi potong

adalah kurang dari 15,6 bulan (More, 1984). Faktor tatalaksana, pakan dan kesehatan perlu

diperhatikan karena sebesar 95 % aktivitas reproduksi tergantung kepada faktor ini (Toelihere,

1983).

Dengan perbaikan pengelolaan sistem produksi induk dan anak melalui perbaikan pakan

dan pemberian obat cacing, diharapkan dapat memperpendek jarak beranak melalui percepatan

timbulnya estrus post partum dan meningkatkan produktivitas pedet yang dihasilkan.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilakukan di desa Minohorejo, kecamatan Widang Kabupaten Tuban sebagai

salah satu lokasi sumber ternak dan digunakan sapi potong milik peternak.

Kegiatan pengkajian dilaksanakan dengan perbaikan pemeliharaan dan pengaturan

perkawinan sapi potong induk dengan melibatkan 60 peternak kooperator yaitu peternak pemilik

sapi potong induk bunting tua (umur kebuntingan 7 bulan). Pola percobaan menggunakan

rancangan acak lengkap dengan ulangan 30 ekor per perlakuan, masing-masing adalah perlakuan I

merupakan kelompok perlakuan perbaikan teknologi sistem produksi induk dan anak dan

Page 86: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

549

perlakuan II sebagai kontrol, merupakan sistem produksi yang diterapkan peternak. Teknologi

yang diterapkan adalah pengelolaan induk dengan perbaikan pakan pada umur kebuntingan 7 bulan

dan selama menyusui (3 bulan) dengan menggunakan pakan penguat (konsentrat) berupa dedak

padi (70 %), jagung giling (30 %) ditambah urea dan mineral (suplement) masing-masing sebanyak

2,5 dan 1,5 % dari ransum.

Untuk mengevaluasi kelayakan teknologi sapi potong induk, digunakan analisis data

dengan uji t, dan evaluasi keragaan sosial digunakan secara analisis diskriptif.

Pengumpulan data dilakukan melalui survei dan monitoring secara berkala disesuaikan

dengan jenis kegiatan. Data yang dikumpulkan meliputi status produksi dan reproduksi yaitu berat

badan, kondisi badan, kejadian estrus post partum, proses kelahiran, pemberian pakan dan

pertumbuhan pedet, serta respon terhadap introduksi teknologi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Performan induk

Hasil pengamatan terhadap perkembangan performan induk sapi potong yang diamati

selama bunting dan menyusui menunjukan bahwa rata – rata penurunan berat badan induk pada

perlakuan I lebih rendah secara nyata (P<0,05) dari perlakuan II yaitu sebesar 5,1 berbanding 10,5

%, demikian pula terhadap perubahan kondisi badan ternak menunjukkan bahwa skor kondisi

badan perlakuan I lebih baik (P<0,05) dari perlakuan II yaitu 5,5 berbanding 4,8 (Tabel 1).

Tabel 1. Rata-rata kondisi badan sapi potong induk sebelum dan setelah beranak.

Uraian Perlakuan I Perlakuan II

Berat badan (kg):

- Sebelum beranak 332,6 46,6 320,0 55,1

- Setelah beranak 314,1 55,5 280,0 55,3

Penurunan BB (%) * 5,1 a 10,5

b

Kondisi badan (skor) * 5,5 0,7 b 4,8 0,28

a

Keterangan : - a,b Superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,05)

- BB = Berat badan

- Perlakuan I : Perbaikan teknologi sistem produksi induk dan anak.

- Perlakuan II : Sistem produksi pola peternak.

Dengan demikian tampak bahwa sapi induk yang mendapat perlakuan perbaikan pakan

dengan pemberian konsentrat mampu meningkatkan berat badan yang lebih berat, juga mampu

mempertahankan kondisi badannya setelah beranak dan selama menyusui, dibanding dengan

kelompok kontrol yaitu pola yang biasa dilakukan peternak tanpa pemberian konsentrat.

Status reproduksi

Proses kelahiran dari kedua perlakuan didalam penelitian ini terjadi secara normal, dan

tidak ditemukan gangguan kelahiran seperti kesulitan kelahiran, prolapsus uteri maupun infeksi

organ reproduksi.

Pengamatan terhadap status reproduksi induk setelah beranak meliputi kajadian estrus post

partum pada induk yang mendapat perbaikan pakan maupun yang tidak mendapatkan perbaikan

pakan (kontrol) dilakukan secara teratur. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa masa estrus post

partumnya yaitu kejadian estrus post partum yang diakibatkan oleh perbaikan pakan (flushing)

pada induk bunting dan steaming up pada induk menyusui ( perlakuan I) mempunyai masa estrus

Page 87: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

550

post partum yang lebih pendek dari pada perlakuan II sebagai kontrol (P<0,05) yaitu sebesar 50,8

hari berbanding 108,0 hari (Tabel 2).

Tanda-tanda estrus setelah beranak menunjukkan tanda-tanda estrus secara jelas berupa

gejala gelisah, menaiki sapi lainnya dan tampak munculnya lendir dari vagina. Kejadian estrus

pos partus yang terjadi pada perlakuan I yaitu kelompok perlakuan untuk waktu estrus yang

terpendek timbul kurang dari 30 hari sebanyak 40 %, kurang dari 60 hari sebanyak 40 % dan yang

meninjukkan tanda-tanda estrus lebih dari 90 hari sebanyak 20 %. Sedangkan pada perlakuan II

yaitu kelompok kontrol tanda – tanda estrus pos partumnya tampak setelah 90 hari beranak

sebanyak 66 % dan selebihnya menunjukkan tanda-tanda estrus diatas 120 hari sebanyak 34 %,

sedangkan pada kelompok kontrol tidak didapatkan sapi potong induk yang menunjukkan tanda-

tanda estrus secara klinis setelah baranak dalam kurun waktu 60 hari.

Lubis dan Sitepu (1998) menyatakan bahwa aktivitas ovarium setelah beranak pada sapi

Bali berkisar antara 45-290 hari; frekuensi aktivitas ovarium hasil pengamatan secara normal

sebesar 54,5% berada sekitar 106-165 hari yang menunjukkan tanda estrus.. Dengan demikian

waktu estrus yang diperlukan adalah sebesar 12% sekitar 45-65 hari, 13,38% sekitar 86-105 hari

dan 18,68% sekitar 106-125 hari. Hal ini ada kaitannya dengan kondisi badan ternak keadaan gizi

ternak dan tatalaksana pemeliharaan induk. Sedangkan pada induk yang mengalami kekurangan

pakan/malnutrisi dapat mempengaruhi produktivitas dan menyebabkan terjadinya penurunan

kemampuan membesarkan anak, meningkatkan angka kematian neonatal, lahir mati/lemah, estrus

pos partum lebih panjang (Dunn, 1980).

Dengan demikian tampak bahwa perbaikan pakan mampu memperbaiki kondisi badan

induk setelah melahirkan dan selama manjusui, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap

perkembangan aktivitas reproduksinya. Pada induk yang mendapat perbaikan pakan secara teratur

menunjukkan adanya peningkatan aktivitas reproduksi ternak berupa kejadian estrus pos partus

yang lebih pendek dan menunjukkan tanda-tanda estrus yang nyata secara klinis, serdangkan

proses kelahiran tidak terpengaruh oleh adanya perbaikan pakan.

Tabel 2. Rata-rata reproduksi sapi potong induk di lokasi pengkajian

Uraian Perlakuan I Perlakuan II

Estrus post partum (hari) * 50,8 15,1 a 108,0 25,6

b

Kejadian estrus (%) :

< 30 hari 40 0

<60 hari 40 0

<90 hari 10 66

>120 hari 10 34

Keterangan : * a,b Superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,05)

Wi jono dkk. (1992) melaporkan bahwa pada induk yang kondisi badanya sangat menurun

atau sangat kurus dengan skor kondisi badan 4 menyebabkan aktivitas reproduksinya terhenti

berupa inaktivitas ovarium (ovariumnya mengecil), dan selanjutnya dilakukan perbaikan pakan

dengan pemberian konsentrat mampu meningkatkan skor kondisi badan menjadi 6 dan diikuti

peningkatan aktivitas reproduksinya berupa aktivitas ovarium yang ditandai oleh munculnya

tanda-tanda estrus yang tampak secara klinis.

Setiadi dkk. (1998) mendapatkan days open pada sapi PO berkisar antara 45,2 - 61,5 hari,

demikian pula Siregar dkk. (1998) menunjukkan bahwa perbaikan pakan pada induk bunting 7

bulan mampu memperpendek jarak beranak sebesar 11,5 - 13,8 % dari kelompok tanpa

pemberian konsentrat.

Page 88: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

551

Pertumbuhan pedet.

Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan pedet sejak lahir sampai umur 90 hari

berdasarkan perubahan berat badan dari kedua perlakuan yang diamati, maka didapatkan berat

lahir, berat badan pedet umur 60 dan 90 hari. Berat lahir pedet perlakuan I lebih berat dari pada

perlakuan II yaitu sebagai kontrol masing-masing sebesar 22,1 kg dan 19,8 kg serta menunjukkan

perbedaan yang nyata (P<0,05), sedangkan hasil pengamatan berat badan pedet pada umur 30 hari

tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Pada pengamatan umur pedet 90 hari kembali

menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) yaitu masing-masing sebesar 68,9 kg dan

59,0 kg. Begitu pula terhadap pertambahan berat badan harian menunjukkan bahwa pedet dari

induk dari perlakuan I lebih tinggi dari perlakuan II masing-masing sebesar 0,52 dan 0,32

kg/ekor/hari (Tabel 3).

Tabel 3. Rata-rata berat badan dan pertambahan berat badan pedet sapi potong

Uraian Perlakuan I Perlakuan II

Berat badan (kg) :

Lahir 22,1 2,2 b 19,8 2,9

a

30 hari 37,7 6,2 a 35,5 4,5

a

60 hari 54,2 9,1 b 43,5 22,5

a

90 hari 68,9 11,7 b 59,0 8,7

a

Pertambahan berat badan (kg/ekor/hari) 0,52 0,18 b 0,32 0,08

a

Keterangan : a,b superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,05)

Hal ini menunjukkan perlakuan perbaikan pakan akan memperbaiki produksi berat badan

anak dan hasilnya sama dengan yang didapatkan Putu dkk.(1998) bahwa pengaruh perbaikan

pakan dengan pemberian konsentrat 2 bulan menjelang beranak akan memperbaiki kondisi badan

induk bunting dengan pertambahan berat badan 0,71 kg/ekor/hari; diikuti pertumbuhan anak

sebesar 0,62 /ekor/hari dan menekan angka kematian.

Demikian pula Siregar dkk. (1998) melaporkan bahwa induk yang mendapatkan pakan

baik selama umur kebuntingan 7 bulan mampu memperpendek jarak beranak serta meningkatkan

performan berat lahir 22,15 kg dengan pertambahan berat badan harian sebesar 0,63 kg/ekor/hari;

sedangkan pada kelompok tanpa pemberian konsentrat (kontrol) masing-masing sebesar 17,5 kg

dan 0,53 kg/ekor/hari.

Dengan demikian tampak bahwa perbaikan pakan yang dilakukan pada sapi potong induk

yang dipelihara dengan pola pemeliharaan peternakan rakyat, mampu memperbaiki produksi dan

reproduktivitasnya secara nyata.

Pola Pemberian Pakan

Pola pemeliharaan sapi potong induk dilokasi pengkajian adalah dilakukan secara semi

intensif yaitu dikandangkan pada malam hari dan digembalakan pada pagi hari, sedangkan pada

musim tanam lebih dominan dilakukan pemeliharaan secara dikandangkan.

Hasil pengamatan terhadap pola pemberian pakan dari kedua perlakuan terlihat bahwa

hijauan pakan yang secara umum digunakan oleh peternak adalah rumput lapangan dan jerami

padi yang terutama sekali biasa diberikan pada musim kemarau.

Page 89: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

552

Tabel 4. Persentase peternak dan jenis pakan yang digunakan dilokasi pengkajian

Jenis pakan Perlakuan I Perlakuan II

--- % ----

Rumput lapangan 100 100

Jerami padi 75 75

Jerami jagung (Tebon) 100 17

Jerami kacang 69 8

Dedak - 100

Konsentrat 100 -

Pola pakan pada perlakuan I yang menggunakan jerami jagung sebanyak 100 % dan jerami

kacang sebanyak 69 % peternak. Sedangkan peternak responden pada perlakuan II menggunakan

jerami jagung dan jerami kacang. masing-masing sebanyak 17 dan 8 % (Tabel 4). Pemberian

dedak pada perlakuan II yang umumnya telah memberikan dedak yang pemberiannya tidak

dilakukan secara rutindan dengan porsi pemberiannya jauh dari memadai atau dibawah

kebutuhan. Cara pemberian ini mengakibatkan terjadinya penurunan kondisi badan dan

memberikan skor kondisi badan cukup rendah yaitu sampai 4,8. Sedangkan pada perlakuan I pada

pemberian konsentrat terkontrol disubstitusi secara rutin, mampu memperbaiki kondisi badan

induk dan mampu memperbaiki pertumbuhan pedet.

Respon Peternak

Respon peternak terhadap introduksi teknologi perbaikan pengelolaan pada induk bunting

dan menyusui serta perbaikan pada kualitas pedet yang dilahirkan terlihat bahwa respon terbesar

terjadi pada pelaksanan inseminasi buatan (skor 75,40) dan respon terkecil terhadap perbaikan

teknologi pakan untuk induk menyusui yaitu skor 46,75 (Tabel 5).

Tabel 5. Skor respon peternak terhadap teknologi introduksi di lokasi pengkajian

No. Uraian Skor respon

1. Perbaikan pakan pada induk bunting 67,80

2. Perbaikan pada induk menyusui 46,75

3. Pelaksanaan IB (inseminasi buatan) 75,40

Nilai rata-rata 63,32

Proses perubahan perilaku khususnya dalam merespon suatu teknologi dipengaruhi oleh

faktor ekonomi dan sosial yaitu antara lain tanggungan keluarga, pendidikan dan tingkat

pendapatan. Pola hubungan yang dilakukan responden terjadi dalam komunitas tempat tinggal dan

tempat bekerja. Tingginya respon peterank terhadap pelaksanaan IB, ditimbulkan oleh aktivitas

petugas inseminator turun kelapangan dan peternak sering berkomunikasi dengan petugas IB atau

ketua kelompok khususnya mengenai pelaporan kejadian estrus ternak yang dimilikinya; secara

nyata memberikan respon yang cepat penyebarannya setiap informasi yang diperoleh dalam

pelaksanaan IB. Semakin sering seseorang mengadakan komunikaso atau mangadakan hubungan

untuk mendapatkan komunikasi secara inter personal akan menyebabkab semakin menambah

keyakinan seseorang dalam mengadopsi suatu inovasi. Perilaku responden (PSK) dalam merespon

teknologi IB dipengaruhi oleh variabel pola hubungan serta motivasi beternak (sambilan atau

komersial.

Dalam hal perbaikan pakan pada induk bunting dan menyusui, peternak secara umum

belum berfikir rasional akan manfaat flushing terhadap kualitas anak yang dilehirkan dan

produktivitas induk. Sebagai dasar pertimbangan dalam perbaikan pakan adalah kemampuan

Page 90: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

553

keuangan. Pemeliharaan pedet pra sapih belum menjadi pertimbangan pemeliharaannya,

pemberian pakan yang pada kenyataannya berupa rumput saja sampai umur 3 bulan; dengan

demikian perkembangan pedet sangat tergantung kepada kemampuan induk untuk memnuhi

kebutuhan susunya. Pada perlakuan I yang mengalami perbaikan pakan terjadi perbaikan kondisi

badan induk mampu memperbaiki pertumbuhan pedet.

Kondisi rumen yang seharusnya belum berkembang dipaksa untuk berkembang dengan

pesat akibat pemberian pakan yang kualitasnya rendah yaitu berupa rumput yang berserat tinggi,

sehingga berbentuk perut buncit (pot belly). Pada akhirnya pertumbuhan eksteriour pedet ,emjadi

jeleh.

KESIMPULAN

Pemeliharaan induk bunting dengan meningkatkan pengelolaannya melalui perbaikan

pakan dan pencegahan penyakit parasiter internal, mampu meningkatkan efisiensi reproduksi

berupa perpendekan estrus post partum, pertambahan berat badan dan kondisi badan serta

pertumbuhan anak lebih baik.

Pola pemberian pakan di peternak masih perlu ditingkatkan untuk mendapatkan

pengelolaan sapi potong induk yang efisien.

Respon peternak terhadap introduksi teknologi perbaikan pakan induk bunting dan

menyusui belum sepenuhnya dapat diterima, tapi masih pada taraf memahami.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 1997. Penentuan komoditas peternakan unggulan Jawa Timur dan strategi

pembangunannya. Disnak Prop. Jatim. Lokakarya Wawasan dan strategi Pembangunan

Pertanian di Jawa Timur Menjelang Abad XXI. BPTP Karangploso.

Astuti, M., W. Hardjosoebroto dan S. Lebdosukoyo. 1983. Analisis jarak beranak sapi peranakan

onggole di kecamatan Cangkringan D.I. Yogyakarta. Proc. Pertemuan Ilmiah Ruminansia

Besar. Bogor.

Dunn, T.G. 1980. Nutrition and Reproductive Processes in Beef Cattle. dalam Morrow, D.A. (ed).

Current Theraphy in Thereogenocology. W.B. Sounder Company. Toronto.

Hafez, E.S.E. 1980. Reproduction in Farm Animals. 4th Ed. Lea & Febriger. Philadelphia.

Lubis, A.M dan Sitepu. 1998. Performance reproduksi sapi Bali dan potensinya sebagai breeding

stock di kecamatan Lampung Utara. Proc. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner.

Puslitbang Peternakan. Bogor.

Moore, C.P. 1984. Early weaning for increased reproduction rate in tropical beef cattle. WAR.

Nicholson, M.J. dan M.N. Butterworth. 1986. A quide to scoring of zebu cattle. International

Livestock Centre for Africa.

Putu, I. G., P. Situmorang, A. Lubis, T.D. Chaniago, E. Triwulaningsih, T. Sugiarti, I. W. Mathius

dan B. Dudaryanto. 1998. Pengaruh pemberian pakan konsentrat tambahan selama dua

bulan sebelum dan sesudah kelahiran terhadap produksi dan reproduksi sapi potong .

Sem. Nas. Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak.

Setiadi, B., D. Priyanto, Subandriyo dan N.K. Wardhani. 1998. Pengkajian pemanfaatan teknologi

inseminasi buatan terhadap kinerja reproduksi sapi peranakan Ongole di daerah istimewa

Yogyakarta. Proc. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan

Bogor.

Page 91: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

554

Siregar, A. R. P. Situmorang, J. Bestari, Y. Sani dan R.H. Matondang. 1998. Pengaruh flushing

pada sapi induk peranakan Ongol di dua lokasi dengan perbedaan ketinggian pada

program IB di Kabupaten Agam. Sem. Nas. Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak.

Toelihere, M. 1980. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Angkasa Bandung.

Toelihere, M. 1983. Tinjauan tentang penyakit reproduksi pada ruminansia besar di Indonesia.

Proc. Pertemuam Ilmiah Ruminansia Besar. Cisarua, Bogor.

Wijono, D.B., L. Affandhy dan E. Teleni. 1992. The Relationship between liveweight, body

condition and Ovarian aktivity in Indonesia cattle. Dalam: W.J. Pryor (Eds) Drought

Animal Power in Asia-Australian. ACIAR Proc, no. 46. Canberra.

Wijono, D.B., K. Ma’sum, M.A. Yusran, Gunawan dan L Affandhy. 1998. Perakitan Teknologi

perbaikan sistem produksi sapi potong untuk mendukung agribisnis dalam SUT sapi

potong di Jawa Timur. Proc. Seminar Hasil Penelitian dan Pengkajian SUT Jawa

Timur. BPTP Karangploso Malang.

Wijono, D.B., K. Ma’sum, M.A. Yusran, D.E. Wahyono dan L Affandhy. 1999. Perakitan

teknologi perbaikan sistem produksi sapi potong bakalan untuk mendukung agribisnis

dalam sistim usaha tani berbasis sapi potong di Jawa Timur. Proc. Seminar Hasil

Penelitian dan Pengkajian SUT Jawa Timur. BPTP Karangploso Malang.

Page 92: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

555

PENGKAJIAN TEKNOLOGI PENGGEMUKAN SAPI POTONG

(The Assessment of Fattening of beef Cattle Technology)

U. Umiyasih, Aryogi. M.A. Yusran, D.B. Wijono, dan D.E. Wahyono

Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Grati

ABSTRAK

Pengkajian ini dilakukan untuk memperoleh rakitan teknologi budidaya sapi potong pada kondisi

dan potensi spesifik wilayah yang mampu meningkatkan produktivitas dan efisiensi ekonomi

melalui pemanfaatan probiotik. Probiotik yang dikaji adalah bioplus dengan menggunakan 29

ekor sapi peranakan ongole (PO) umur sekitar 2 th milik peternak yang dibedakan menjadi 3

kelompok perlakuan yaitu PI= pemberian ransum pola peternak sebagai kontrol ; PII=

pemberian bioplus + ransum pola peternak + singkong dan PIII = pemberian bioplus + ransum

pola peternak + empok. Pemberian bioplus dilakukan pada awal pengkajian sebesar 0,25% dari

berat badan ternak. Singkong dan empok diberikan sesuai dengan kebutuhan nutrisi menurut

standar. Didalam kegiatan ini dilakukan pula pengkajian penggunaan Bossdext dengan

menggunakan 10 ekor sapi Madura. Pengujian Bossdext pada sapi Madura dilakukan dengan

mengamati 2 kelompok perlakuan yaitu PI = kelompok yang tidak mendapatkan bossdext (sebagai

kontrol) dan kelompok PII= yang mendapatkan Bossdext masing-masing dengan ransum dasar

sesuai rekomendasi Bossdext. Parameter yang diamati adalah pertambahan berat badan, jumlah

dan konsumsi zat-zat nutrisi ransum, nilai kelayakan teknologi nilai ekonomis serta tingkat respon

peternak terhadap teknologi yang dikaji. Pola percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak

Lengkap dengan metode analisis single covariate, data ekonomis dengan analisis B/C ratio dan

data respon peternak dengan analisis diskriptif. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa

penggunaan bioplus dengan perbaikan pakan berupa penambahan empok mampu meningkatkan

pertambahan berat badan harian sebesar 0,56 kg/ekor/hari lebih tinggi dari perlakuan kontrol

yang hanya mencapai 0,44 kg/ekor/hari dan secara nyata mampu meningkatkan pendapatan

peternak (nilai BC ratio 1,68). Penambahan singkong meski mampu meningkatkan penambahan

berat badan (sebesar 0,55 kg/ekor/hari) namun tidak mampu meningkatkan pendapatan;

ditunjukkan dengan nilai BC ratio yang lebih rendah daripada perlakuan kontrol (1,54 vs 1,64).

Sedangkan penggunaan bossdext tidak efektif karena hanya mampu meningkatkan pertambahan

berat badan namun tidak mampu meningkatkan pendapatan peternak.

Kata kunci : Penggemukan, Sapi Potong, pakan.

ABSTRACT

This assessment was conducted to get a connect of beef cattle cultivation technology on condition

and specific potential area which can improve productivity and economic efficient by probiotic

exploit. The probiotic which assessment was bioplus, used 29 hards. Peranakan Ongole (PO) bulls

age about 2 years, possesion of small holder farmers on Tawanganom village in Magetan district.

The bulls was devided to 3 treatment : I = smallholder farmer ration condition as control ; II = I +

bioplus and cassava added and III = I + bioplus and corn brand. The usage of bioplus was

connected on early of assessment amounted 0.25% of bull body weigh. Corn brand and cassava

added was conducted to complete of standard nutrition requirement. The parameters that

measured were body weight, and quality of feedstuff and nutritions consumtion. On this research

was also conducted a assessment the use of bossdext on 10 head Madura bulls age about 2 years.

Madura bulls were devided into 2 treatments : I = ration which was recommended by bossdext as

control and II = bossdext used or ration which is recommendation. The parameters that measured

were body weight and nutrious, consumption, econmical value and the farmer response of

technology that it was assessed. The experiment design for all of assessments were completely

Page 93: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

556

randomized design with single covariate analysis (body weight on early assessment as a covariable

) BC ratio and discriptif. The result showed that bioplus used with corn brain added (treatment III)

could increase daily gain as 0.56 kg/head/day higher than control (only 0.44 kg/head/day) and

significantly increased the farmer income (B/C ratio 1,68). Although cassava added could increase

the average daily gain (0,55 kg/head/day) but it was not increase farmar income; B/C ratio was

lower than control ( 1.54 vs 1.65). While the use of Bossdext was not effectife because it only could

increase daily gain but could not increase the farmer income

Key words : fattening, beef cattle, feed.

PENDAHULUAN

Jawa Timur merupakan salah satu gudang sapi potong yang populasinya pada tahun 1994

mencapai 27% dari populasi sapi potong di Indonesia (Anonimus, 1994). Peningkatan populasi

yang hanya sebesar 2%/th belum mampu mengimbangi permintaan konsumen sehingga volume

impor daging dari tahun ke tahun semakin meningkat.

Sebagian besar usaha penggemukan sapi, diusahakan oleh petani peternak dipedesaan

dengan penerapan teknologi seadanya sehingga pada umumnya mempunyai nilai produktivitas

yang rendah. Jenis bahan pakan penyusun ransum yang diberikan sebagian besar berupa limbah

pertanian dengan komposisi yang sangat beragam sehingga rata-rata mengalami kekurangan zat

nutrisi berupa Protein Kasar (PK) sebesar 18.49% dan Total Digestible Nutrient (TDN) sebesar

18,74% dari standar kebutuhan (Aryogi dkk., 1998 a).

Dalam upaya memacu peningkatan produktivitas tersebut perlu segera digalakkan

penerapan teknologi ―adaptif‖ yang dapat meningkatkan nilai efisiensi usaha antara lain melalui

pengaturan rekayasa pakan. Winugroho dkk. (1996) menyatakan bahwa bioplus adalah salah satu

jenis probiotik, berupa hasil seleksi mikroba rumen yang apabila diberikan kepada ternak

ruminansia akan berpengaruh positif terhadap produktivitas ternak.

Pemberian bioplus, diikuti dengan pemberian ransum yang sesuai dengan kebutuhan

nutrisi sapi secara nyata mampu meningkatkan pertambahan berat badan harian (PBBH). Hasil

pengkajian Aryogi dkk (1998), menunjukkan bahwa pemberian bioplus yang disertai dengan

penambahan dedak padi sebesar 1% dari (BB) mampu menghasilkan PBBH sapi PO sebesar 0,61

kg/hari lebih tinggi dari yang tanpa bioplus, yakni sebesar 0,36 kg/hari . Pemberian bioplus terlihat

semakin efektif apabila ketersediaan zat-zat nutrisi ransum cukup karena kemampuan mencerna

mikroba yang berasal dari bioplus menjadi optimal.

Selain bioplus, bossdext yang berasal dari sari pati tumbuhan mampu meningkatkan

efisiensi penggunaan pakan yang berkualitas rendah. Dengan ransum basal rumput/jerami, disertai

dengan pemberian katul sebesar 1,5% dari (BB) dan bossdext sebanyak 0,01% /hari pada sapi

seberat 200-300 kg mampu menghasilkan PBBH sampai dengan 3 kg (Anonimus, 1999). Beberapa

informasi yang ada menyatakan masih banyak kendala didalam pelaksanaan penggunaan bossdext

karena sebelum diberikan kepada sapi terlebih dahulu harus diperam untuk mengoptimalkan

jumlah bakteri yang tumbuh. Selain menggunakan air sebagai media pemeraman yang

memerlukan persyaratan khusus, pemeraman harus disertai dengan aerasi yang baik.

Berkaitan dengan permasalahan tersebut, kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh rakitan

teknologi penggemukan sapi potong yang ekonomis melalui pemanfaatan probiotik yang

termaksud. Penerapan teknologi pakan yang tepat disertai dengan pemanfaatan potensi wilayah

sebagai sumber pakan diharapkan akan meningkatkan efisiensi ekonomi sehingga mampu

meningkatkan pendapatan peternak.

Page 94: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

557

BAHAN DAN METODE

1. Lokasi dan waktu

Kegiatan ini terdiri dari 2 (dua) sub kegiatan yaitu pengkajian pemanfaatan probiotik

bioplus dan pengkajian bossdext, dilaksanakan mulai bulan Juli 1999 sampai dengan Nopember

1999.

Pengkajian bioplus merupakan kegiatan pengkajian sistem usaha tani (SUT), dilaksanakan

di Desa Tawanganom-Kecamatan Magetan. Lokasi desa pengkajian merupakan sentra

penggemukan sapi potong yang beragroekosistem lahan kering, sedangkan pengkajian bossdext

dilaksanakan dikandang percobaan Instalasi Penelitian Pengkajian Teknologi Pertanian (IPPTP)

Grati-Pasuruan.

2. Rancangan percobaan dan bentuk pengkajian

Pola percobaan yang digunakan dalam pengkajian bioplus adalah Rancangan Acak

Lengkap (RAL), dengan 3 perlakuan, yaitu : pemberian pakan pola peternak sebagai kontrol (PI);

pola perbaikan pakan alternatif I (PII) dan pola perbaikan pakan alternatif II (PIII). Pada pengkajian

bossdext, dibandingkan 2 kelompok perlakuan yaitu kelompok PI (kontrol/tanpa bossdext) dan

kelompok yang diberi bossdext (PII). Secara rinci, uraian dari masing perlakuan adalah sebagai

berikut

Tabel 1. Perlakuan Pengkajian

Pengkajian Perlakuan

PI PII PIII Bioplus

Pemberian pakan pola

peternak

Lama penggemukan 4 bulan

Pemberian bioplus pada

awal peng-gemukan

sebesar 0,25% BB. Perbaikan pakan dengan

pemberian singkong pada

2 bulan terakhir

penggemukan *

Lama penggemukan 4

bulan.

Pemberian bioplus pada

awal peng-gemukan sebesar

0,25% BB. Perbaikan pakan dengan

pemberian em-pok selama 2

bulan dimulai pada awal

penggemukan *

Lama penggemukan 4 bulan

PI PII

Bossdext

Pemberian ransum rekomendasi

bossdext berupa dedak sebesar

1,5% BB dan hijauan sebesar

1% BB.

Lama penggemukan 2 bulan.

Pemberian ransum rekomendasi

bossdext = dedak padi sebesar 1,5%

BB + hijauan sebesar 10% berat

badan + bossdext sejumlah 0,3 ml/kg

BB.

Lama penggemukan 2 bulan.

Keterangan : *Perbaikan ransum yang dilakukan adalah dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas ransum yang

mengandung nutrisi untuk perkiraan pertambahan berat badan harian (PBBH) minimal 0,6 kg/hari

menurut Ranjhan (1980) melalui aplikasi teknologi yang sudah ada, diminati dan mampu

dilaksanakan oleh peternak.

Besar satuan pengkajian

Pada pengkajian bioplus, digunakan materi Sapi PO milik peternak yang berumur sekitar 2

tahun; dibedakan menjadi 3 kelompok perlakuan yaitu perlakuan kontrol (PI) sebanyak 9 ekor,

perlakuan PII dan PIII masing-masing sebanyak 10 ekor. Pada pengkajian bossdext digunakan 10

Page 95: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

558

ekor sapi Madura umur sekitar 2 tahun; dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu perlakuan kontrol

(PI) dan perlakuan pemberian bossdext (PII). Masing-masing sebanyak 10 ekor.

Pengamatan dan Analisis data

Data teknis, meliputi PBBH jumlah dan kandungan zat-zat nutrisi ransum (BK, PK dan

TDN). Penimbangan berat badan Sapi PO dilaksanakan setiap bulan dan pada Sapi Madura

dilaksanakan setiap 2 minggu sekali. Pengamatan nilai konsumsi dan kecernaan zat-zat nutrisi

ransum dilakukan 1 minggu sekali selama 3 hari berturut-turut.

Data sosial ekonomi, meliputi input-output usaha penggemukan selama pengkajian serta

responpeternak terhadap teknologi yang dikaji. Metode analisis data untuk kelayakan teknologi

adalah single covariate dengan berat badan awal sebagai satu covariate, data kelayakan ekonomi

menggunakan analisis input-output dengan B/C ratio sedangkan data sosial disajikan secara

diskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pengkajian bioplus

a. Pertambahan berat badan harian (PBBH) ternak dan jumlah konsumsi zat-zat nutrisi

ransum.

Pemberian bioplus yang diberikan pada awal penggemukan ternyata mampu menghasilkan

PBBH yang secara nyata lebih tinggi. Mikroba yang terdapat didalam bioplus (Harry dan Adikara,

1996) diduga mampu meningkatkan jumlah mikroba didalam rumen sapi, sehingga mampu

meningkatkan pemanfaatan zat-zat nutrisi didalam ransum yang diberikan. Tampilan PBBH yang

mampu dicapai masing-masing adalah sebesar 0,44 kg/ekor/hari pada kelompok PI (kontrol),

sebesar 0,55 kg/ekor/hari pada kelompok perlakuan PII (singkong) dan 0,56 kg/ekor/hari pada

perlakuan III (empok). Didalam Tabel 2 tertera tampilan PBBH, komposisi dan konsumsi zat-zat

nutrisi ransum masing-masing perlakuan.

Tabel 2. Tampilan penambahan berat badan, komposisi dan konsumsi nutrisi ransum

masing-masing perlakuan

Parameter PI PII PIII

Pertambahan berat badan harian (kg/ekor/hari) 0,44 a 0,55 b 0,55 b

Konsumsi nutrisi ransum (kg/hari) a. BK (kg/hari) 8,07 a 8,70 b 8,56 b

b. PK (kg/hari) 0,67 0,67 0,68

c. TDN 4,67a 5,18 c 5,07 b

Komposisi ransum a. BK (%)

- hijauan 65,86 54,58 64,12

- konsentrat 34,14 45,42 35,88

b. PK (% BK) - hijauan 74,11 71,69 74,86

- konsentrat 22,89 28,31 25,14

c. TDN (% BK)

- hijauan 62,67 50,52 62,04 - konsentrat 37,64 49,48 37,96

a,b notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata P <0,05.

Page 96: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

559

Penambahan bioplus yang dikombinasikan dengan singkong maupun empok mampu

meningkatkan konsumsi BK masing-masing sebesar 8,70 kg/hari dan 8,56 kg/hari yang secara

nyata lebih tinggi dari konsumsi BK pada kelompok yang tidak mendapat pakan tambahan (pola

peternak) yang hanya sebesar 8,07 kg/hari. Kondisi ini sejalan dengan konsumsi TDN; perbaikan

pakan mengakibatkan peningkatan konsumsi TDN (dari 4,67 kg/hari menjadi 5,18 kg/hari dan 5,07

kg/hari). Dibanding dengan standar kebutuhan nutrisi untuk sapi dengan berat badan sekitar 200 kg

dan ADG sekitar 0,6 kg yaitu BK sebesar 6,7 kg/hari, PK sebesar 0,61 kg/hari dan TDN 3,6

kg/hari, maka sapi-sapi pada semua kelompok perlakuan telah terpenuhi kebutuhan nutrisinya.

b. Analisis Ekonomi Usaha

Harga ransum pada perlakuan PII dan PIII secara nyata lebih tinggi dari perlakuan pola

peternak (PI) karena adanya biaya bioplus perbaikan pakan. Dilihat dari besarnya pendapatan,

perlakuan PII dan PIII terlihat lebih tinggi daripada PI, namun hasil perhitungan BC ratio

menunjukkan bahwa hanya perlakuan PIII (BC ratio 1,68) yang dapat diterapkan karena perlakuan

PII mempunyai BC ratio yang lebih rendah (1,53) dari PI (1,64). Secara rinci tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Analisis ekonomi pendapatan masing-masing perlakuan

Parameter PI PII PIII

Input (Rp/ekor/hari)

- Hijauan 985,07 1105,47 987,35

- Singkong 245,77 516,45 232,55

- Empok 0 0 349,25

- Bioplus 0 77,78 77,78

- Konsentrat 429,76 467,54 435,26

Total (Rp/ekor/hari) 1660,60a 2167,24 b 2082,19b

Total input selama 1 periode

penggemukan

199.272,00 260.068,8 249.862,80

Out put (Rp)

- Harga dari penambahan berat

badan selama 1 periode peng-

gemukan

528.000,00 660.000,00 672.000,00

Pendapatan

B/C ratio

328.728,00

1,64

399.931,20

1,54

422.137,20

1,68

Keterangan : Harga jual diasumsikan sebesar Rp 10.000/kg berat hidup

Pemberian bioplas yang diikuti dengan perbaikan ransum akan mampu meningkatkan

pendapatan peternak; hasil penelitian Aryogi dkk b (1998) menunjukkan bahwa pemberian bioplus

dikombinasikan dengan penambahan dedak padi (1% dari berat badan) mampu meningkatkan BC

ratio dari 1,32 menjadi 1,38. Meskipun mampu meningkatkan PBBH yang lebih tinggi dari pada

perlakuan kontrol, tetapi hanya perlakuan PIII yang dapat meningkatkan keuntungan peternak.

Penambahan empok sebagai sumber protein nampaknya merupakan alternatif pilihan untuk

diterapkan.

Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan 29 orang peternak responden setelah selesai

pengkajian dan pada acara temu lapang diketahui bahwa penggunaan bioplus sangat mudah

diterapkan dan mampu menaikkan pendapatan (dinyatakan oleh 90% responden), tetapi karena

harus disertai dengan perbaikan ransum, maka beberapa peternak responden (20%) menyatakan

keberatan.

Page 97: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

560

2. Pengkajian bossdext

a. Pertambahan berat badan harian (PBBH) ternak dan jumlah konsumsi zat-zat nutrisi

ransum

Perlakuan pemberian bossdext pada ransum basal menurut teknologi bossdext (PII) selama

8 minggu menghasilkan PBBH sebesar 0,44 kg/hari yang secara nyata lebih tinggi daripada

perlakuan tanpa bossdext (PI) yaitu sebesar 0,40 kg/hari (Tabel 4).

Tabel 4. Tampilan PBBH komposisi dan konsumsi nutrisi ransum masing-masing perlakuan

Parameter PI PII

PBBH 0,40 a 0,44 b

Konsumsi nutrisi ransum (kg/hari)

- BK (kg/hari) 2,93 2,93

- PK (kg/hari) 0,22 a 0,31 b

- TDN (kg/hari) 1,75 a 2,63 b

Komposisi ransum

a. BK (%)

- hijauan 44,70 64,80

- dedak 55,30 35,20

b. PK (% BK)

- hijauan 38,64 54,23

- dedak 61,36 45,77

c. TDN (%BK)

- hijauan 39,71 59,03

- dedak 60,29 40,97 Keterangan : a,b notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata P<0,05

Pemberian bossdext mampu meningkatkan konsumsi PK dari 0,22 kg/hari menjadi 0,31

kg/hari dan konsumsi TDN dari 1,75 kg/hari menjadi 2,63 kg/hari. Dibandingkan dengan standar

kebutuhan nutrisi untuk BB 150 kg dan ADG 0,5 kg yakni BK sebesar 5,8 kg/hari, PK sebesar 0,58

kg/hari dan TDN 4,2 kg/hari maka nampak bahwa sapi pada perlakuan kontrol (PI) mengalami

kekurangan nutrisi yang lebih besar dari pada PII.

3. Analisis ekonomi penggunaan Bossdext

Pada Tabel 5 terlihat bahwa biaya ransum (rumput, jerami, dedak) pada perlakuan

tanpa bossdext sebesar (Rp 32.247,-); secara nyata lebih murah dari pada ransum perlakuan

bossdext (Rp 91,848). Meskipun out put berupa penambahan berat pada penambahan bossdext

dengan dosis 2 botol untuk masa penggemukan 8 minggu.secara nyata lebih tinggi (sebesar 0,04

kg/ekor/hari) dari kelompok kontrol tetapi tidak ekonomis sehingga sulit untuk diterapkan.

Page 98: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

561

Tabel 5. Analisi ekonomi pendapatan

Parameter PI PII

Input (Rp/ekor/2 bulan)

- hijauan (rumput jerami)

- bossdext

Total input

32.247

0

32.247 a

31.848

60.000

91.848 b

Out put dari penambahan berat badan (Rp/ek/2b) 78.333 a 95.000 b

Keuntungan (Rp/ekor/2 bulan) 46.086 b 3152 a

B/C ratio 1,43 0,03

a,b notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata P<0,05

Kontroversi tentang peningkatan berat badan sapi yang dapat mencapai 3-5 kg/ekor/hari

dengan penggunaan bossdext tampaknya terlalu spektakuler. Dari beberapa hasil penelitian

diketahui bahwa kemampuan genetis sapi lokal untuk tumbuh hanya berkisar 1 kg/ekor/hari.

Walaupun pada sapi bakalan yang sebelumnya memperoleh ransum kualitas rendah, kemudian

memperoleh ransum penggemukan yang memenuhi syarat akan dapat mengalami peningkatan

PBBH sesaat hingga 3 kali dari PBBH semula; yang diduga sebagai effek dari compensatory

growth. Hal ini nampaknya terjadi pula pada sapi-sapi materi pengkajian yang mengalami

peningkatan berat badan cukup tinggi pada minggu-minggu ke 2-3 yang selanjutnya terlihat

menurun sesuai dengan kemampuan genetisnya (Gambar 1)

Gambar 1 : Grafik PBBH masing-masing perlakuan

Page 99: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

562

KESIMPULAN

Penggunaan bioplus dengan perbaikan pakan berupa empok dalam usaha penggemukan

sapi potong rakyat cukup efektif meningkatkan produktivitas. Kendala utama adalah kemampuan

peternak yang terbatas dalam menyediakan pakan tambahan yang harus diberikan setiap hari

setelah pemberian bioplus.

Penggunaan bossdext tidak efektif karena hanya mampu meningkatkan pertambahan berat

badan namun tidak dapat meningkatkan pendapatan peternak. Penerapannya agak sulit karena

memerlukan persiapan yang cukup rumit sebelum siap digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 1994. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Daerah Tk.I Jawa Timur. Surabaya.

Anonimus. 1999. Pemeliharaan Sapi Potong Sistem Plasma Dengan Teknologi Bossdext. Koperasi

Dermakesra Surabaya

Aryogi, DB Wijono, DE Wahyono dan U.Umiyasih. 1998. a Pengkajian teknologi penggemukan

Sapi Potong melalui perlakuan pemberian bioplus, laser puncture pada kondisi

peternakan rakyat di Jawa Timur. Proc Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian BPTP

Karangploso T.A.1997/1998 BPTP Karangploso Malang.

Aryogi, DB.Wijono, D.E Wahyono dan Uum Umiyasih. 1998,b Pengkajian Rakitan Teknologi

Penggemukan Sapi Potong Seminar Hasil-hasil Penelitian BPTP Karangploso Malang.

Herry, A. dan Adikara R.T.S. 1996. Teknologi Bioplus untuk Hewan Ternak. FKH, Universitas

Airlangga Surabaya.

Kusnadi, U.,M. Sabrani dan K.Dwiyanto.1996. Dampak Imbuhan Bioplus dan Starbio Pada kinerja

Produksi Daging Sapi FH jantan dfi Garut. BPT Ciawi Bogor.

S.K. Ranjhan., 1980. Animal Nutrition in Tropies Second edition Vikas Publishing Haouse PUT

LTD

Santosa,T.D, Chamiago dan M.Winugroho. 1995. Pengaruh pemberian Bioplus Pada Kinerja Sapi

Potong Pada Pola PIR di Lampung, BPT Ciawi. Bogor.

Suyasa,Nym, S. Guntoro, Widiyasid, S. Suprapto dan M.Parwathi. 1998. Pemanfaatan probiotik

dalam pengembangan Sapi Potong berwawasan agribisnis di Bali. Laporan Pelaksanaan

DIP Bagpro Litbang SUT di Bali T.A. 1997/1998. IPPTP Denpasar Bali.

Winugroho, M. Y. Widiawati dan A.D. Sujana. 1996. Penggunaan Probiotik untuk meningkatkan

efisiensi Produksi Sapi Potong di Indonesia BPT Ciawi-Bogor.

Page 100: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

563

DISKUSI

Ir. Sunarto (BIPP Mojokerto)

Probiotik (Bossdex/Bioplast) perlu di coba pada ssapi jenis lain

Ir. U’um Umiyasih

Sebaiknya bibit penggemukan diusahakan sapi yang mempunyai berat badan yang lebih besar

karena pertumbuhannya (ADG) lebih bessar dari pada sapi yang kecil.

Ir. Joko (APP Malang)

Seleksi bibit belum di sampaikan dalam makalah padahal penting untuk program

penggemukan.

Ir. U’um Umiyasih

Penggemukan menggunakan bibit yang mempunyai kondisi badan (Body Condition) 4-5, dan

punggung lurus serta kulit longgar.

Berat badan yang ideal /PO 275-300 kg diharapkan selama 2,5 bulan sudah di jual.

Page 101: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

564

KAJIAN TEKNIK PENGGEMUKAN DOMBA

(The Assessment of Method of Fattening Sheep)

D. E. Wahyono , D.B. Wijono, L. Affandhy, D. Pamungkas dan U. Umiyasih,

Intsalasi Penelitian danPengkajian Teknologi Pertanian Grati

ABSTRAK

Kegiatan kajian teknik penggemukan domba jantan dilakukan di kecamatan Puspo, kabupaten

Pasuruan. Jumlah materi pengkajian 120 ekor domba jantan, distratifikasi berdasarkan skala

pemeliharaan 6 ekor, 9 ekor, 11 ekor dan 15 ekor. Rancangan percobaan menggunakan

rancangan acak lengkap. lama penggemukan 6 bulan. Paket teknologi yang diaplikasikan meliputi

perbaikan pakan dengan konsentrat 2,5 ons – 3,5 ons per ekor hari, pemberian bioplus 25 gram

diawal penggemukan, pemberian obat cacing ¼ tablet Monil pada awal, kandang panggung

bersekat dan sanitasi kandang maupun ternak. Data yang dicatat meliputi pertambahan bobot

badan, konsumsi pakan, biaya produksi untuk usaha penggemukan domba, maupun keragaan

upah kerja berdasarkan jenis pekerjaan. Sedangkan tingkat adopsi teknologi didasarkan pada

respon peternak kooperator. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa dengan perbaikan pakan dan

pemberian bioplus mampu meningkatkan pertambahan bobot badan 77,50 gram hingga 81,25

gram. Respon peternak terhadap teknologi introduksi pada masing –masing skala usaha yaitu

68,97; 69,42; 68,42 dan 68,62. Produktivitas tenaga kerja keluarga untuk usaha ternak domba

sebesar Rp 11.600/ HOK lebih tinggi dibandingkan untuk usaha tanaman pangan, buruh tani dan

tukang masing-masing Rp 10.550 / HOK, Rp 7.500/ HOK dan Rp 11.000 / HOK. Efisiensi

penggunaan konsentrat pada masing –masing skala usaha yaitu 0,30; 0,29; 0,36; 0,34. Benefit

cost ratio pada masing –masing skala usaha yaitu 1,49, 1,50, 1,72 dan 1,65. Ditinjau dari benefit

cost ratio maka usaha penggemukan domba skala 11 ekor layak diusahakan dan esecara

ekonomis menguntungkan

Kata Kunci : Penggemukan, Domba EG, skala usaha

ABSTRACT

The assesment of method of fattening sheep was a continuing activitiy in 1998/1999. The activity of

of fattening male-sheep was held in Puspo, Pasuruan county. The material of this assesment was

consisted of 120 sheep and it was stratified base on rearing scale as follow 6, 9, 11 and 15 head.

Complete Randomized Design was used and the fattening was held in six months. The technology

was applied consisted were feeding added by consentrate 2.5 ons-3.5 ons every head/ days, given

probiotik bioplus 25 gram early fattening, given anti parasit (worm) by Monit ¼ tablet, stall

individual with model slatt and to increased sanitation stall and sheep. Recording data were

consisted of averege weight gain to record every months, feeding comsumpsion, production cost

for fattening and result from sale sheeps. The level adoption technology to indicator by farmer’s

respons of introduction technology. Result showed that through improving fed and giving bioplus

can raise gain-weight 77.5 gram up to 81.25 gram. The farmer’s respons of introduction

technology at each fattening scales such as 68.97; 69.42; 68.42 and 68.62. Family labour

productivities at sheep rearing were Rp. 11.600/HOK higher than cultivate plant farming, farmer-

labor and skilled worker as follow : 10,500/HOK, Rp. 7,500/HOK and Rp.11,000/HOK,

respectively. Concentrate-fed efficiency of each rearing scale was 0.30; 0.29; 0.36 and 0.34. B/C

ratio of each rearing scale was 1.49; 1.50; 172 and 1.65. Thus, based on B/C ratio, by scale 11

head and 15 head the fattening of sheep rearing was considerable and profitable.

Key Words : Fattening, Fat Tail Sheeps, Economic Scale.

Page 102: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

565

PENDAHULUAN

Usahatani ternak domba di Jawa Timur masih bersifat komplementer. Namun demikian

ternak domba merupakan komponen penting dalam sistem usahatani rakyat, karena memberikan

kontribusi yang nyata.

Ternak domba dipelihara tidak terkonsentrasi disatu wilayah tapi tersebar keseluruh daerah pedesaan. Hampir 99% ternak ruminansia kecil (domba) berada di peternakan rakyat berskala kecil (Soejana, 1993). Kenyataan ini menunjukkan bahwa peternakan rakyat memegang peranan penting sebagai potensi dasar guna pen-gembangan produksinya.

Peternakan rakyat memiliki porsi terbesar dan perlu segera didorong mengarah ke usaha yang komersial. Profil peternakan rakyat adalah relatip sedikit jumlah pemilikan ternaknya, modal kecil, ketrampilan rendah, dan tatalaksana masih dibawah standart yang dipersyaratkan (Wahyono, 1995).

Disinyalir peternakan domba rakyat dari hasil beberapa pengamatan dan laporan bahwa ketersediaan pakan sepanjang tahun masih terbatas terutama kebutuhan akan gizinya ( Kevin, 1993, Wijono, 1994). Hal ini menunjukkan pula bahwa petani ternak domba umumnya belum mengetahui dan menerapkan pemberian pakan atas dasar kebutuhan gizinya. Walaupun kelihatanya domba bahwa domba kenyang,namun sebenarnya masih lapar gizi (antara lain energi dan protein).

Teknologi pemeliharaan tradisional dicirikan oleh managemen usaha seadanya, kualitas pakan rendah dan kurang mencukupi dari tingkat kebutuhan gizi sehingga pertumbuhan lambat dan pertambahan bobot badannya kecil. Potensi pertumbuhan domba masih dapat ditingkatkan dengan perbaikan pakan diantaranya pemberian limbah industri rumah tangga (ampas tahu, kulit kedelai tempe dan air rebusan kedelai) sedangkan hijauan pakannya dapat ditambahkan leguminosa misalnya daun turi, lamtoro dan gliricidea (Wahyono dkk .1994).

Seiring dengan semakin meningkatnya permintaan daging, maka usaha penggemukan domba yang merupakan sumber pemasok daging alternatip harus diupayakan semakin ekonomis dan efisien, antara lain melalui penerapan teknologi yang adaptif dan aplikatif misalnya teknologi pemanfaatan probiotik bioplus, pemberian konsentrat, obat cacing dan perbaikan sistem perkandangan.

Winugroho dkk. (1996) menyatakan bahwa bioplus adalah salah satu jenis probiotik,

berupa hasil seleksi mikroba rumen yang apabila diberikan kepada ternak ruminansia akan

berpengaruh positif terhadap produktivitas ternak. Efek nyata dari pemanfaatan bioplus adalah

adanya peningkatan pertambahan bobot badan harian antara lain pada sapi PO jantan di Lampung

dari 0,7 kg menjado 1,0 kg (Santosa dkk. 1995) dan sapi PFH jantan di Garut dari 1,0 kg menjadi

1,2 kg (Kusnadi dkk. 1996). Untuk penggemukan domba jantan pemberian bioplus dengan dosis

25 gram/ ekor - 6 bulan, pemberian konsentrat 2,5 ons/ekor-hari, terbukti meningkatkan

pertambahan bobot badan rata-rata dari 36 gram/ ekor-hari pada perlakuan kontrol menjadi 64

gram/ekor/hari (Wahyono dkk 1998). Hasil penggunaan bioplus tersebut memberikan pertambahan

bobot badan lebih tinggi dari yang dilaporkan Astuti dan Suwarno di Jawa Tengah yaitu 54,44

gram, sedangkan hasil penelitian di Tugujaya dan Cimarga Kabupaten Bogor sebesar 46,52 gram.

Pemberian probiotik bioplus dimaksudkan untuk memperbaiki dan memperkaya jenis dan jumlah

mikroba rumensehingga dapat memanfaatkan dan mencerna pakan lebih efisien.

Diperolehnya pertambahan bobot badan dan peningkatan pendapatan peternak dari usaha

penggemukan domba adalah sebagian dari tujuan pengkajian. Adapun maksud pengkajian secara

luas adalah didapatkannya paket teknologi perbaikan produksi dan skala usaha ekonomis untuk

Page 103: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

566

penggemukan domba. Penggemukan domba jantan diharapkan dapat meningkatkan peroduktivitas

ternak (pertambahan bobot badan)yang berdampak positip terhadap pendapatan, perluasan

kesempatan kerja dan peningkatan produktivitas tenaga kerja.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian ini dilakukan di desa Jimbaran Kecamatan Puspo Kabupaten Pasuruan. Waktu

pelaksanaan Agustus 1999 hingga Maret 2000. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak

lengkap dengan jumlah ulangan tidak imbang, dengan perlakuan berupa jumlah skala

pemeliharaan. Perlakuan dalam pengkajian ini sebagai berikut : 1. Perlakuan A, jumlah

pemeliharaan 6 ekor dan jumlah responden 5 orang.

2. Perlakuan B, jumlah pemeliharaan 9 ekor dan jumlah responden 3 orang.

3. Perlakuan C, jumlah pemeliharaan 11 ekor dan jumlah responden 3 orang.

4. Perlakuan D, jumlah pemeliharaan 15 ekor dan jumlah responden 2 orang.

Materi ternak yang digunakan adalah domba ekor gemuk (DEG) umur 8 – 10 bulan berat

badan awal berkisar 16 - 18 kg. Domba tersebut milik petani yang dipilih secara acak. Prosedur

pengkajian :

Ternak domba materi pengkajian ditiap perlakuan memperoleh perlakuan pemeliharaan

sebagai berikut :

- Pemberian bioplus dosis 25 gram/ ekor/ 6 bulan.

- Perbaikan pakan konsentrat 2,5 ons/ ekor-hari pada tiga bulan pertama dinaikkan menjadi 3,5

ons pada tiga bulan berikutnya.

- Kandang model panggung dilengkapi sekat, berisi 2 ekor/ ruang

- Pemberian obat cacing dengan dosis 1/4 tablet/ ekor-3 bulan.

- Peningkatan sanitasi ternak dan kandang.

- Pencukuran bulu diawal pengkajian diulang tiga bulan kemudian.

Data yang diamati meliputi

a. Data teknis

- data berat badan setiap bulan

b. Data sosial ekonomis

- out put input penggemukan

- Tingkat keuntungan B/C ratio

- Potensi , alokasi dan produktivitas tenaga kerja keluarga.

- Respon peternak terhadap teknologi introduksi diukur dengan metode Scoring

Analisis data.

Data dianalisa dengan analisis variansi dari rancangan acak lengkap. Analisi finansial untuk

melihat tingkat keuntungan dan kelayakan usaha. Untuk mengetahui respon peternak dari teknologi

introduksi digunakan metoda scoring.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi lokasi dan responden pengkajian

Kecamatan Puspo Kabupaten Pasuruan merupakan daerah lahan kering dataran medium

dan sebagian daerahnya terdari dari areal perhutani. Desa Jimbaran terletak 5 km sebelah timur dari

Puspo sebagian besar penduduknya sebagai petani ternak dan buruh tani. Potensi hijauan tersedia

sepanjang tahun dengan penanaman di lahan perhutani. Tanaman semusim yang diusahakan

berupa jahe dan jagung, sedangkan tanaman tahunan berupa nangka, kapok, petai, alpokat, durian

dan pisang.

Page 104: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

567

Responden pengkajian berpendidikan SD (70%) sedangkan sisa-nya SLTP dengan umur

berkisar 28 tahun hingga 52 tahun. Mata pencaharian utama sebagai petani ternak dengan luas

pemilikan ku-rang dari 0,5ha (73%) sedangkan sisanya sebagai buruh tani dan buruh kasar.

Pengkajian teknik penggemukan domba di Puspo dilaksanakan secara on farm research dengan

melibatkan aktif petani responnya cukup bagus.. Respon peternak terhadap teknologi yang

diintroduksikan terlihat dari perubahan perilaku, yaitu perubahan yang dapat dilihat orang lain

tercermin pada sikap, pengetahuan dan ketrampilannya (Slamet, 1978). Proses perubahan tersebut

dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi antara lain umur, tingkat pendidikan, status sosial, pola

hubungan, motivasi dan status ekonomi (Musofie, dkk 1993). Faktor lain yang dikategorikan faktor

sosial adalah tanggungan keluarga dan lama menjadi anggota kelompok dan faktor ekonomi antara

lain pemilikan ternak, lahan dan pendapatan dari usaha peternakan.

Responden kajian penggemukan domba di Puspo memiliki pendidikan tamat SD dan SMP

serta berumur muda antara 24 tahun hingga 36 tahun merupakan modal utama dalam merespon

teknologi yang diintroduksikan. Dari segi tanggungan keluarga rata-rata responden merupakan

keluarga kecil berkisar 3 orang hingga 5 orang dan usaha ternak merupakan cabang usaha tani

pokok selain usaha pertanian. Adanya respon peternak untuk menerapkan teknologi tidak terlepas

dari harapan keuntungan yang akan diperoleh dari usaha penggemukan domba, kemudahan

menerapkan teknologi dan pengalaman responden.

Alokasi tenaga kerja keluarga untuk usaha tani ternak

Potensi tenaga kerja keluarga petani di desa Jimbaran cukup berarti berkisar antara 2-3

orang dewasa perkeluarga setara dengan 454 HOK hingga 660 HOK per keluarga per tahun.

Alokasi untuk usaha ternak domba selama 6 bulan sebesar 76,3 HOK dan untuk usaha tani setahun

sebesar 80,26 HOK (Tabel 1.)

Alokasi tenaga kerja untuk usaha pertanian bersifat fluktuatif ditentukan oleh musim kerja, sehingga distribusinya tidak merata. Dapat saat musim kerja diperlukan banyak tenaga kerja bahkan kadang-kadang kesulitan tenaga kerja terutama pada saat mengolah lahan sampai menyiang setelah itu praktis tidak ada pekerjaan.

Tabel 1. Potensi dan alokasi tenaga kerja keluarga responden untuk usaha tani ternak selama

setahun di Desa Jimbaran Kec. Puspo Kabupaten Pasuruan

No Uraian Nilai HOK

1. Potensi tenaga kerja keluarga 454-660 2. Kegiatan usaha ternak domba 152,60 3. Kegiatan usaha tanaman pangan 80,26 4. Kegiatan usaha non pertanian 156,50 5. Tenaga kerja yang belum dimanfaatkan 64,64-260,64

Potensi tenaga kerja keluarga petani di Desa Jimbaran cukup berarti bervariasi 2 orang

hingga 3 orang atau setara 450 HOK hingga 660 HOK. Kebutuhan tenaga kerja untuk memelihara

ternak setiap harinya relatif stabil dan dapat dikerjakan disela-sela kegiatan usahataninya.

Sedangkan kebutuhan tenaga kerja untuk usahatani tanaman bersifat fluktuatif dan distribusinya

tidak merata yaitu, diperlukan tenaga kerja banyak saat pengolahan tanah hingga menyiang setelah

itu praktis menganggur.

Potensi tenaga kerja keluarga tersebut dapat dimanfaatkan untuk kegiatan usaha tani,

kegiatan pertanian dan non pertanian yang bersifat musiman serta untuk usaha ternak domba.

Page 105: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

568

Kegiatan usaha ternak dapat dikerjakan pagi hari sebelum keladang, siang hari pulang dari kebun

dan sore hari. Tenaga kerja untuk usaha ternak tidak spesifik artinya dapat dikerjakan oleh

bapaknya atau ibunya dan anak dapat membantu.

Produktivitas Tenaga Kerja

Tingkat produktivitas tenaga kerja dipengaruhi oleh faktor pendapatan yang diperoleh dan

alokasi tenaga kerja yang diperlukan. Pada tingkat pendapatan yang sama sektor usaha yang

memerlukan tenaga kerja lebih banyak akan lebih kecil produktivitas tenaga kerjanya. Usaha

penggemukan domba memerlukan tenaga kerja yang lebih sedikit dibandingkan dengan usaha

tanaman pangan. Disamping itu dapat dikerjakan disamping kegiatan pokok sebagai petani.

Produktivitas tenaga kerja untuk usaha ternak memiliki keunggulan ganda yaitu nilainya Rp 11.600

lebih tinggi dibanding usaha lain dan dikerjakan waktu luang.

Tingkat produktivitas tenaga kerja untuk usaha tanaman pangan setara dengan Rp 10.550/

HOK, sedangkan usaha penggemukan domba Rp 11.600 / HOK ( Tabel 2)

Tabel 2. Produktivitas tenaga kerja keluarga untuk usaha tanaman, usaha ternak, buruh

tani, buruh kasar dan tukang di Desa Jimbaran Kec Puspo Kabupaten Pasuruan

.No Uraian Produktivitas tenaga kerja Rp/ HOK

1. Usaha tanaman pangan 0,75 ha 10,550 2. Usaha penggemukan domba 6 – 15 ekor 11,600 3. Buruh tani 7.500 4. Buruh kasar 8.000 5. Tukang kayu/batu 11.000

Efisiensi penggunaan pakan dan pertambahan bobot badan

Tingkat efisiensi penggunaan pakan dipengaruhi oleh daya cerna, genetik dan kesehatan

ternak itu sendiri. Disamping itu lingkungan sangat mempengaruhi pertambahan bobot badannya

yaitu sanitasi ternak maupun kandang, kenyamanan dan luas ruangan kandang sirkulasi udara dan

pemberian sekat. (Tabel 3.)

Tabel 3. Rata-rata bobot badan awal dan pertambahan bobot badan

No A. Uraian Perlakuan

A B C D

1. Bobot badan awal (kg) 16,50 17,25 16,50 17,50

2. Pertambahan bobot badan g/h

80,00 78,50 81,25 77,50

Disamping itu faktor lingkungan sangat mempengaruhi yaitu sanitasi ternak dan kandang,

kenyamanan ruangan kandang, sirkulasi udara dan pemberian sekat kandang. Pemberian obat

cacing sebelum pengkajian dimaksudkan untuk membersihkan parasit dalam sistem pencernaan.

Gangguan-gangguan pencernaan akibat mengkonsumsi rumput muda kembung dan diare

akan menurunkan bobot badan dan menggangu efisiensi pakannya. Cara pemberian pakan

konsentrat secara basah atau kering juga berpengaruh terhadap efisiensi pakan.

Hasil pertambahan bobot badan dengan perbaikan pakan konsentrat 2,5 ons hingga 3,5 ons

per ekor hari dan pemberian bioplus 25 gram dan obat cacing mampu meningkatkan pertambahan

Page 106: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

569

bobot badan 77,50 gram hingga 81,25 gram lebih tinggi dari yang dilaporkan Suwarno dan Astuti

di Jawa Tengah yaitu 54,44 gram, sedangkan hasil pengkajian di Tugujaya dan Cimarga

Kabupaten Bogor sebesar 46,52 gram. Pembrian probiotik bioplus dimaksudkan untuk

memperbaiki dan memperkaya jenis dan jumlah mikroba rumen sehingga dapat memanfaatkan dan

mencerna pakan menjadi lebih efisien.

Tingkat pendapatan dan efisiensi ekonomis usaha

Tingkat pendapatan dari usaha ternak merupakan selisih dari penjualan ternak dikurangi

seluruh komponen biaya produksi masing—masing perlakuan, pendapatan usahatani berbeda

(Tabel 4).

Tabel 4. Rata-rata pendapatan petani dan efisiensi usaha beberapa skala usaha pada lokasi

pengkajian (Rp 000)

No B. Uraian Perlakuan

A B C D

A Biaya produksi (Rp) 1.238,5 1.850,25 2.259,25 3.078,75

Bibit/bakalan (Rp175/ekor) 1.050 1.575 1.925 2.625

Pakan (Rp 500/kg) 150 225 275 375

Bioplus Rp 750/ekor) 4,50 6.75 8.25 11.25

Obat Cacing (Rp 1500/ekor) 9,0 13.50 16.50 22.50

Peralatan (Rp/th) 15 20 22,5 30

Penyusutan kandang(Rp/th) 10 10 12 15

B. Penerimaan (Rp) 1.850 2.775 3.875 5.100

Penjualan ternak (Rp) 1.850 2.775 3.875 5.100

C Keuntungan 611,5 924,75 1.615,75 2.021,25

D Keuntungan / ekor 101,80 102,75 146,80 134,70

E Benefit cost Ratio 1,49 1,50 1,72 1,65

Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan diantaranya skala usaha, mutu

genetik ternak, tata laksana pemeliharaan dan pakan yang diberikan.

Dalam perhitungan nilai ekonomis dari usaha penggemukan domba jantan menggunakan

asumsi sebagai berikut :

Tenaga kerja yang terlibat dalam usaha adalah tenaga kerja keluarga . Tenaga kerja keluarga

mencakup pengadaan hijauan dan managemen pemeliharaan tidak diperhitungkan sebagai

biaya produksi.

Pendapatan adalah semua pemasukan dari usaha penggemukan ternak domba setelah dikurangi

semua biaya produksi. Dalam hal ini meliputi biaya konsentrat, bioplus, obat cacing,

penyusutan kandang dan alat serta pembelian bakalan.

Pendapatan peternak adalah pendapatan keluarga petani yang merupakan pendapatan sebagai

upah tenaga kerja pengelola usaha dan bunga modal.

Page 107: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

570

Respon peternak dalam penerapan teknologi

Rakitan teknologi yang diintroduksikan meliputi perbaikan pakan dengan konsentrat dan

bioplus, sistem perkandangan, pengobatan cacing dan sanitasi ternak. Teknologi umumnya suatu

inovasi yang perlu proses dan waktu yang cukup lama untuk dapat diterima petani. Hal ini

disebabkan beberapa faktor antara lain keterbatasan pendidikan maupun pola usaha tani yang

masih subsisten. Perbedaan institusi pelaku pembinaan dan pengembangan, perbedaan

agroekosistem dan pemimpin teknologi baru.

Teknologi tepat guna dapat mendukung peningkatan produktivitas karena teknologi suatu

cara mengerjakan sesuatu lebih efisien. Peternak responden di Desa Jimbaran 70% berusia muda

24 - 37 tahun dan telah tamat SD, sehingga merupakan modal utama dalam merespon suatu paket

teknologi (Tabel 5).

Penerapan Teknologi secara langsung di lapangan mampu merubah 67,6% pola peternak

tradisional ke intensif, sedangkan penerapan teknologi melalui penyuluhan hanya 31% (Anonimus,

1993). Pengkajian teknik penggemukan domba yang dilakukan di peternak responden secara on

farm research, dengan melibatkan aktif petani (secara partisipatif) Tabel 1.

Tabel 5. Respon responden terhadap penerapan teknologi yang diintroduksikan

No Uraian Perlakuan

A B C D

1. Pakan 72,15 70,50 69,50 71,15

2. Tatalaksana Pemeliharaan 69,25 71,25 68,75 66,50

3. Pemasaran 65,50 66,50 67,00 68,10

Rata-rata 68,97 69,42 68,42 68,62

Semakin muda usia petani biasanya semangat untuk ingin mengetahui apa yang belum

diketahui cukup tinggi, sehingga mereka berusaha lebih cepat melakukan adopsi inovasi.

Responden di kecamatan Puspo memiliki potensi umur muda berkisar 24 tahun hingga 36 tahun,

maka diharapkan potensi umur dan pendidikan ini mampu memacu laju penerapan potensi umur

dan pendidikan ini mampu memacu laju penerapan teknologi introduksi. Namun besarnya

pendapatan yang akan diperoleh petani lebih menjanjikan peluang besarnya respon peternak untuk

adopsi teknologi. Pembinaan kelompok yang dilakukan sebulan sekali, merupakan media

komunikasi yang efektif baik bagi peternak maupun peneliti. Dalam pertemuan tersebut terdapat

diskusi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada baik berkaitan teknis pemeliharaan ternak,

penyakit maupun rencana program pengembangan usaha.

KESIMPULAN

Usaha ternak penggemukan domba yang dilakukan petani secara umum masih tradisional

khususnya tatalaksana pemeliharaan dan pakan yang diberikan. Penerapan teknologi introduksi

yang meliputi perbaikan pakan, bioplus, pemberian obat cacing dan managemen perkandangan

memberikan dampak positip terhadap pertambahan bobot badan harian sebesar 77,50 gram hingga

81,25 gram, sehingga memberikan tingkat keuntungan per ekor sebesar Rp 101.800 hingga Rp

146.800. Dengan demikian usaha penggemukan ini memeberikan harapan untuk diusahakan secara

komersial dengan tingkat kelayakan usaha sebesar 1,49 hingga 1,72. Skala usaha yang

direkomendasikan untuk rumah tangga petani adalah penggemukan 11 ekor.

Page 108: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

571

DAFTAR PUSTAKA

Kevin. R, Pond. 1993. Recent advances in small ruminant research in Indonesia. Feeding and

Nutrien Strategies for Indonesia. Proc. of workshop. RIAP Ciawi Bogor.

Soedjana, T.D. 1993. Direction of future small ruminant research and developmen in Indonesia. In

advances in Small ruminant Research in Indonesia. Proc. of Workshop RIAP Ciawi,

Bogor.

Soepeno dan J Manurung. 1996. beberapa kendala dalam pemeliharaan ternak domba/ kambing

dengan sistem intensif di jawa. Wartazoa. puslitbangnak Vol 5 no 1 Bogor.

Subandriyo. 1985. Sheep production in three village of west Java SR CRSP Working Paper No 60.

Balitnak Bogor,

Sutama, I.K. 1992. Reproductive development and perfomans of small ruminant in indonesia. In

New Tecnologi for small ruminant production in Indonesia. Winrock International Ins.

For Agr Development Arkansas, USA.

Soetranggono 1991. Program for conservation and development of Javanese Fat tail sheep in east

Java. Proc. workshop production aspect of Javanese Fat tail sheep in Indonesia, Surabaya.

Wijono, D.B. 1994. Keragaan hasil dan perencanaan penelitian domba ekor gemuk di daerah

agroekosistem lahan kering. Risalah komunikasi hasil penelitian peternakan. Sub

Balitnak Grati.

Wahyono, D.E. Soepeno, Komarudin Ma'sumdan armiadi Semali. 1994. Efisiensi produktivitas

domba kambing hubungannya dengnan optimalisasi pendapatan peternak. Proc

pertemuan Nasional Pengolahan dan Komunikasi hasil - hasil Penelitian. Sub Balai

penelitian ternak Klepu, Semarang.

Wahyono, D.E., 1995. Pengembangan ternak domba model gaduhan kredit untuk petani dan buruh

tani di lingkungan perkebunan kopi. Proc. pertemuan ilmiah hkomunikasi dan penyaluran

hasil penelitian. Sub Balitnak Klepu, Semarang.

Winugroho, M, Y. Widiawati dan T. D. Sudjana. 1996. Penggunaan Probiotik untuk meningkatkan

efisiensi produksi sapi potong di Indonesia. BPT Ciawi, Bogor.

DISKUSI

Ibu Hartini (BLPP Batu – Malang)

Berapa komposisi pakan Nutrisi (pakan dan energi) Complete Feed ?

Ir. Didik Eko Wahyono (IPPTP Grati)

Kandungan Nutrisi Complete Feed Pk 12,75, TDN kurang lebih 65%.

Bp. Sunarto (BIPP Mojokerto)

1. Berapa adaptasi pakan complete Feed ?

2. Foto yang ditempelkan bukan DEG yang asli.

Ir. Didik Eko Wahyono (IPPTP Grati)

1. Perlu adaptasi 1 minggu

2. Bibit utuk penggemukan dan di potong kualitas bibit yang baik menyebabkan mahalnya

harga bibit sebagai tidak menguntungkan bila dipotong kecuali untuk bibit.

Page 109: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

572

Bp. Joko (APP Malang)

Dari seleksi bibit termasuk performans genetiknya belum di sampaikan padahal ini penting di

perhatikan dalam penggemukan.

Terima kasih atas sarannya.

Page 110: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

573

PENGKAJIAN TEKNOLOGI BUDIDAYA UDANG WINDU

(The Assessment Of Tiger Prawn Culture Technique)

Sutanto Joko Tiyoso, Anang Muhariyanto, Diatri Krissunari, dan Yuli Astuti

Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Wonocolo

ABSTRAK

Tujuan dari pengkajian teknologi budidaya perikanan pantai ini untuk mendapatkan paket

teknologi lokal spesifikusaha budidaya udang windu di tambak dan sawah tambak di wilayah

pantai Utara (kabupaten Lamongan) dan pantai Selat Madura (kabupaten Probolinggo), dengan

menerapkan padat penebarandan pakan yangberbeda terutama pakanbuatan dan pakan buatan

pabrik. Dengan sasaran hasil 100-200kg/ha untuk memulihkan pendapatan petani.Pengkajian

dilakukan di lahan tambak petani di kecamatan Paciran kabupaten Lamongan dan desa Lemah

Kembar kabupaten Probolinggo; di sawah tambak petani di kecamatan Deket dan Glagah

kabupaten Lamongan. Pengkajian dilakukan dengan RAK dengan 2 perlakuan di tambak yaitu

padat penebaran 45.000 ekor benur/ha dengan pakan buatan sendiri, padat penebaran 90.000

ekor benur /ha dengan pakan buatan sendiri. Sedang di sawah tambak 3 perlakuan masing-masing

padat penebaran 20.000 ekor tokolan/hadan 10.000 ekor toloan /ha dengan pakan pelet pabrik

danpadat penebaran 10.000 ekor tokolan/ha dengan pakan buatan sendiri.Tiap perlakuan dengan

dua ulangan.Hasil yang diperolehdari panen pertama pada bulan Septemberudang windu di

tambak Probolinggo81,7 kg/ha ukuran 70 ekor/kg dan hasil ulangannya 86,7 kg/ha ukuran 70

ekor/kg atau hasil rata-rata perlakuan 84,2 dengan tingkat kelangsungan hidup (SR) rata-rata

13,1%. Hasil udang di tambak Lamongan pertama 158,3 kg/ha dan hasil ulangannya 162,5 kg/ha

atau hasil rata-rata160,4 kg/ha dengan tingkat kelangsungan hidup rata-rata14,3 %.Hasil udang

di sawah tambak Deket (Lamongan) pada petak I 140 kg/ha ukuran 80- 70 ekor/kgdan hasil

ulangannya 192 kg/ha ukuran 50 ekor/kg atau hasil rata-rata 166 kg/ha dengan tingkat

kelangsungan hidup 52 %, sedang hasil petak ke II175 kg/hadan hasil ulangannya 140 kg/ha atau

hasil rata-ratanya 148,8 kg/ha dengan tingkat kelangsungan hidup rata-rata 81,8%. Hasil udang

windu di sawah tambak Glagah (Lamongan) 147,5 kg/ha ukuran 55 ekor/kg, sedang hasil

ulangannya 155,2 kg/ha ukuran 48 ekor/kg atau hasil rata-rata 151.4 kg/ha dengan tingkat

kelangsungan hidup rata-rata 77,8 %. Hasil ini masih dalam kisaran hasil udang di tambak dan

sawah tambak tradisional petani sekitar. Tingkat kelangsungan hidup rata-rata udang windu di

tambak masih rendahdibandingkan dengan tingkat kelangsungan hidup rata-rata hasil penelitian (

44,2% ), karena seperti yang lain masih terjangkit penyakit yang belum teratasi.. Sedang tingkat

kelangsungan hidup udang windu di sawah tambak, dengan penebaran glondongan yang relatif

sedikit (1-2 ekor/m2), ternyata dapat lebih tinggi dibandingkan tingkat kelangsunganhidup udang

windu di tambak. Tingkat kelangsungan hidup udang windu di sawah tambak ini setara dengan

tingkat kelangsungan hidup udang windu di sawah tambak petani sekitar pada umumnya. Walau

tingkat harga udang menurun, pendapatandari usahatani tambak dan sawah tambak masih layak

dengan R/C 1,01-1,2dan 1,44. Dengan demikian usaha budidaya di tambak dan sawah tambak

masih merupakan usaha budidaya alternatif, terutama dengan pola budidaya campuran udang

windu dengan bandeng. Upaya pembuatan pakan udang sendiri merupakan alternatif untuk

menyiasati tak terjangkaunya harga beli pakan pabrik, namun ketersediaan bahan dan peralatan

yang memadai masih menjadi hambatan.

Kata kunci: Udang windu, tambak, sawah tambak, padat penebaran, pakan buatan

Page 111: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

574

ABSTRACT

The objectives of the assessment oftiger prawn culture techniques are to find out alternatives of

local specific tiger prawn culture techniques in implementing different stock densities and feeds in

both brackish water and fresh water pond. The assessment has been done infarmer’s brackish &

fresh water ponds at North coastal region of Lamongan regency and in brackish water pond

atcoast al region of Madura Strait of Probolinggo regency. There were two treatments e.g

stockingwith 90.000 prawn fries/ha and 45.000 prawn fries/ha in brackish water ponds fed with

selfmade feed, and three treatments e.g.stocking density with 20.000 and 10.000 prawn fingerlings

/hafed with commercial feeds and 10.000 prwan fingerlings/ha fed with selfmade feed in

fresdhwater pond..Each treatment replicated twice.So far the average yield of brackish tiger prawn

was 70-sized prawn 84.2kg/ha at Probolinggo or it’s average survival rate was 13.1%, and the

average brackish tiger prawn yield at Lamongan was 160.4 kg of 70-90 sized prawn/ha or it’s

average survival rate was 14.3%. While the average yield of tiger prawn in freshwater ponds of

Lamongan were 166 kg/ha, 157.5 kg/ha and 151.4 kg/ha or their average survival rates were 52

%, 78.8 % and 77.8%. These yield is within the range production ofboth tradition albrackish and

fresh water ponds. The survival rates of tiger prawn reared in brackish water pond were still as

low as other traditional farmers’. The survival rates of tiger prawn reared in fresh water

pond,stocked with low density fingerling tiger prawn as the other farmers did, higher than the

survival rate of tiger prawn reared in brackish water pond. Since the revenue depends and

correlates positively with prawn price and Rupiah/Dollar value, tiger prawn culture still has an

opportunity in increasing farmers income and welfare .Especially polyculture of tiger prawn with

milk fish,it will be a local specific and an alternative appropriate culture technique in the brackish

and flood plain agroecosystem.

Key words: Penaeidtiger prawn, brackish water pond, flood plain pond, stock density, self made

prawnfeed

PENDAHULUAN

Ekoregion pantai Jawa Timur, beragam dari ordo tanah, rejim kebasahan, suhu, fisiografi

hingga penggunaan lahannya . Selain potensial dalam perikanan pantai dan laut dalam, juga

potensial untuk budidaya komoditi perikanan pantai. Terutama yang terpengaruh pasang surut dan

kawasan bantaran sungai, dengan ordo tanah entisol (alluvial).Tipe penggunaan lahan menjadi

kawasan pertambakan dan sawah tambak.

Luas tambak di Jawa Timur tercatat 51.846,54 ha dengan total produksi tahun 1995 sebesar

66.949,16 ton dengan nilai Rp. 410.018.893.000,-, sedang produksi udang windu 16.239,61 ton

(24,54%) dengan nilai Rp. 226.186.421.000,- (55,19% nilai hasil tambak). Sedang luas tambak di

Jawa Timur pada tahun 1998 tercatat 59.049,25 hadengan jumlah produksi 73.310,70 ton dengan

nilai Rp 1.129.238.404.000,-. Namun produksi udang windu 11.930,8 ton dengan nilai Rp

769.733.850.000,-Dari data ini produksi udang rata-rata di tambak pada tahun 1995 masih 313,225

kg/ha/tahun dan pada tahun 1998 adalah 202,05 kg/ha/tahun, yang berarti dibawah hasil udang di

tambak semi intensif sebesar 1.500-2.000 kg/ha/musim (Ismail & Sudrajat, 1992).

Hasil udang windu selain untuk konsumsi dalam negeri terutama untuk ekspor. Misal pada

tahun 1995 ekspor udang Jawa Timur tercatat 17.763,329 ton (24,12% total ekspor hasil perikanan

Jawa Timur 1995) dengan nilai US $ 208.016.206.55 (61,89 % nilai total ekspor hasil perikanan

Jawa Timur 1995), sedang pada tahun 1998 jumlah ekspor udang beku Jawa Timur tercatat

41.857,182 ton dengan nilai US$ 277.146.027,88.Dengan menurunnya nilai tukar rupiah terhadap

dolar AS, harga udang melambung hingga pernah mencapai Rp. 150.000/kg, maka petambak

sangat bergairah berupaya agar berhasil dalam membudidayakan udang windusebagai tumpuan

untuk peningkatan keuntungan.

Page 112: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

575

Namun usaha budidaya udang windu dewasa ini mengalami hambatan yang sangat serius

terutama dengan adanya kematian akibat serangan penyakit. Menurut Rukyani (1993) sudah sekitar

40 % dari seluruh areal pertambakan di Indonesia yang masih beroperasi. Kerugian yang

ditimbulkan di Jawa Timur saja mencapai 150 milyar rupiah dan sekurang – kurangnya 300 milyar

rupiah kerugian usaha pertambakan di wilayah Indonesia. Penyakit timbul akibat adanya interaksi

antara faktor udang sebagai inang (host), organisme patogen penyebab penyakit dan lingkungan

tempat pemeliharaan (tambak). Perubahan lingkungan atau sistem budidaya yang melebihi daya

dukung lingkungan akan mengganggu keseimbangan antara ketiga faktor tersebut sehingga timbul

penyakit. Upaya penanggulangan penyakit udang, ditempuh dengan strategi antara lain diagnosis

cepat, kualitas benur, pakan yang cukup mengandung vitamin, peningkatan kekebalan udang

terhadap penyakit, memperbaiki lingkungan, pemakaian obat-obatan, rotasi pemeliharaan jenis

udang (Rukyani,1993; Boer, 1993; Chen, tanpa tahun; Nishijima & Fukami, tanpa tahun).

Selain penyakit dan pencemaran air, meningkatnya harga pakan tambahan produksi pabrik

juga melampaui daya beli dan daya dukung modal rata-rata petani tambak.

Untuk itu perlu pengkajian rakitan teknologi dari beberapa komponen hasil penelitian

budidaya udang windu. Dari hasil pengkajian pada T.A 1998/1999, budidaya udang windu di

tambak semi intensif dengan padat penebaran benur 52.500 ekor/ha dengan pakan ikan rucah giling

dan pakan pabrik diperoleh hasil rata-rata 753 kg/ha/musim, dengan padat penebaran benur

105.000 ekor/ha diperoleh hasil rata-rata 766,5 kg/ha/musim dan pada tambak intensif dengan

padat penebaran benur 225.000 ekor/hadengan pakan buatan pabrik dan ikan rucah giling diperoleh

hasil rata-rata 2.154 kg/ha/musim. Sedang pada budidaya campuran udang windu dengan bandeng

umpan di sawah tambak, dengan padat penebaran udang glondongan (bijen) 15.000 ekor/ha dan

bandeng glondongan 30.000 ekor/ha diperoleh hasil rata-rata udang 85,75 kg/ha/musim ditambah

13.100 ekor bandeng umpan/ha musim, pada padat penebaran udang glondongan 20.000 ekor/ha

dan 30.000 ekor bandeng glondongan/ha diperoleh hasil rata-rata 123,5 kg/ha/musim ditambah

9.630 ekor bandeng umpan. Oleh karena itu pengkajian perlu dilanjutkan denganpadat penebaran

berbeda, penggantian air secara berkala,penggunaan pakan tambahan buatan sendiri sesuai anjuran.

Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk mendapatkan paket teknologi alternatif lokal

spesifik usaha budidaya udang windu dengan menggunakan pakan alternatifberupa pakan buatan

sendiri dan pakanbuatan pabrik, padat penebaran yang berbeda pada usahaudangwindu di tambak

dan sawah tambak di wilayah pantai Utara (Kabupaten Lamongan)dan pantai Selat Madura

(kabupaten Probolinggo). Keluaran yang diharapkan adalah diperolehnya rakitan teknologi

alternatif spesifik lokasi budidaya udang windu di tambak dan sawah tambak, dengan sasaran pada

pola usaha tradisional 100-200 kg/ha .

BAHAN DAN METODE

Pengkajian penerapan teknologi lokal spesifik budidaya udang windu di tambak dan di

sawah tambak dilakukan dengan Rancangan Acak Sederhana. Adapun perlakuannya yang dikaji

dilakukan di tambak dan sawah tambak petani, adalah:

a. Dua perlakuan di tambak

Perlakuan1. padat penebaran 90.000 ekor benur/ ha, pakan tambahan buatan sendiri

Perlakuan 2. padat penebaran 45.000 ekor benur/ha, pakan tambahan buatan sendiri

Page 113: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

576

b. Tiga perlakuan di sawah tambak

Perlakuan 1. padat penebaran 20.000 ekor tokolan/ha, pakan buatan pabrik

Perlakuan 2. padat penebaran 10.000 ekor tokolan/ha, pakan buatan pabrik

Perlakuan 3. padat penebaran 10.000 ekor tokolan/ha, pakan buatan sendiri Masing-masing perlakuan dengan dua ulangan.

Metode analisis yang dipakai ANOVA Satu Arah, Uji Chi-kuadrat(Spiegel, 1996;

Mulyono, 1991; Suparman, 1983; Kartiko, 1996). Aspek ekonomis dikaji dengan wawancara

untuk analisis usahatani petani setempat sebagai pembanding analisis usahatani hasil pengkajian.

Aspek sosial dikaji dengan pengamatan dan wawancara tanggapan atau umpan balik petani

terhadap penerapan teknologi yang dikaji.

Lokasi pengkajian di tambak dan sawah tambak milik petani, yaitu 1(satu) petak tambak

0,6 ha di wilayah kecamatan Paciran (Lamongan), 1 (satu) petak tambak 0,25-0,3 hg di wilayah

desa Lemah Kembar (Probolinggo), 0,8 ha sawah tambak di wilayah kecamatan Glagah dan 0,25

ha di wilayah kecamatan Deket (kab. Lamongan).

Data yang dikumpulkan meliputi :

Penjajagan dan perencanaan dengan karakterisasi wilayah (survei RRA)

Pengamatan sifat fisik dan kimia perairan, disesuaikan dengan alat yang ada, yaitu salinitas,

suhu. warna, kedalaman air

Sampling pertumbuhan udang, baik berat maupun panjang total

Pencatatan pemberian pakan dan pergantian air

Penimbangan hasil panen, perhitungan tingkat kelangsungan hidup

Analisa sosial ekonomi antara lain analisa input-output

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil udang windu di tambak Paciran (Lamongan), dengan padat penebaran 90.000 ekor

benur/ha, adalah 158,3 kg/hadan hasil ulangannya adalah 162,5 kg/ha atau hasil rata-rata 160,4

kg/ha. Tingkat kelangsungan hidup12,3% dan 16,3 % atau rata-rata 14,3%. Hasil panen udang

windu di tambak Lemahkembar (Probolinggo), dengan padat penebaran benur 45.000 ekor/ha,

adalah 81,7 kg/ha dan hasil ulangannya 86,7 kg/ha atau hasil rata-ratanya 84,2 kg/ha. Tingkat

kelangsungan hidup 12,7 % dan 13,5% atau tingkat kelangsungan hidup rata-rata 13,1% (Tabel 1).

Hasil udang windu di sawah tambak di Glagah (Lamongan), dengan padat penebaran

10.000 ekor tokolan/ha, adalah 147,5 kg/ha ukuran 55 ekor/kg dan hasil ulangannya 155,2 kg/ha

ukuran 48 ekor/kg atau hasil rata-rata 151,4 kg/ha. Tingkat kelangsungan hidup 81,1 % dan 74,5%

atau tingkat kelangsungan hidup rata-rata 77,8%. Hasil udang windu di sawah tambak di Deket

(Lamongan), (1) pada petak I, dengan padat penebaran 20.000 ekor tokolan/ha, adalah 140 kg/ha

ukuran 80 ekor/kg dan hasil ulangannya 192 kg/ha ukuran 50 ekor/kg atau hasil rata-rata 166

kg/ha. Tingkat kelangsungan hidup 56% dan 48% atau tingkat kelangsungan hidup rata-rata 52% .

(2) pada petak II, dengan padat penebaran 10.000 tokolan/ha, adalah 175 kg/ha ukuran 50 ekor/kg

dan hasil ulangannya 140kg/ha ukuran 50 ekor/kg atau hasil rata-ratanya 157,5 kg/ha. Tingkat

kelangsungan hidup 87,5% dan70% atau tingkat kelangsungan hidup rata-rata 78,8% (Tabel 2).

Page 114: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

577

Tabel 1. Hasil dan tingkat kelangsungan hidup udang windu di tambak Probolinggo dan

Lamongan1999/2000

Perlakuan

Ulangan

Jumlah hasil (konversi)

(kg/ha/musim)

Tingkat kelang- sungan hidup (SR)(%)

Keterangan

I. Padat penebaran Benur 45.000 ekor/ha Pakan buatan sendiri Lokasi Probolinggo

1 2

81,7

86,7

12,7

13,5

Pompa salinitas 35 ppt ukuran 70

Rata-rata 84,2 13,1 II. Padat penebaran Benur 90.000 ekor/ha Pakan buatan sendiri & pabrik Lokasi Lamongan

1 2

158,3

162,5

12,3

16,3

Pompa sumur salinitas 25-35 ppt ukuran70-90

Rata-rata 160,4 14,3

Tabel 2. Hasil dan tingkat kelangsungan hidup udang windu di sawah tambak diwilayah

Kabupaten Lamongan 1999-2000

Perlakuan

Ulangan

Jumlah hasil konversi tiap ha (kg/ha/musim)

Tingkat kelangsungan

hidup (SR) (%)

Keterangan

I Padat penebaran 20.000 ekor/ha pakan buatan pabrik & jagung rebus (blendung)

1 2

140

192

56

48

Pompa salinitas 0-5 ppt

Lokasi Deket, Lamongan Rata-rata 166 52 ukuran 80 & 40 II Padat penebaran 10.000 ekor/ha pakan buatan sendiri & jagung rebus (blendung)

1 2

175

140

87,5

70

Pompa salinitas 0-5 ppt

Lokasi Deket, Lamongan Rata-rata 157,5 78,8 ukuran 80 `III Padatpenebaran 10.000 ekor/ha pakan buatan pabrik & jagung rebus (blendung)

1 2

147,4

155,2

81,2

74,5

Pompa salinitas 0 ppt

Lokasi Glagah, Lamongan Rata-rata 151,4 77,8 ukuran 55 & 48

Page 115: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

578

Hasil rata-rata udang windu di sawah tambak sebanyak 157,5 kg/ha dari padat penebaran

10.000 ekor/ha dengan pakan buatan sendiri, sebanyak 151,4 kg/hadari penebaran 10.000 ekor/ha

dengan pakan barik dan jagung rebus giling, dan sebanyak 166 kg/hadari padat penebaran 20.000

ekor/hadengan pakan buatan pabrik dan jagung rebus giling, tidak berbeda.. Tingkat kelangsungan

hidup rata-rata masing-masing 78,8 %, 77,8 % dan 52% tidak berbeda. Namun hasil rata-rata ini

sudah berbeda dengan hasil rata-rata petani sawah tambak lainnya yaitu115 kg/ha.. Sedang hasil

rata-rata udang windu di tambak dengan padat penebaran 90.000 ekor/ha yaitu 160,4 kg/ha sudah

berbeda dengan hasil rata-rata dari padat penebaran 45.000 ekor/ha yaitu 84,2 kg/ha. Namun tidak

ada perbedaan antara tingkat kelangsungan hidup udang windu di tambak yang masih sangat

rendah, yaitu rata-rata hanya 14,3% dan 13,1%. Hasil ini sudah berbeda dengan hasil rata-rata

udang windu di tambak Jawa Timur tahun 1995 yaitu antara 90,27-135,41 kg/ha. Rendahnya

tingkat kelangsungan hidup udang windu, terutama ditambak,karena terjadinya kematian masal

yang diduga akibat serangan penyakit dan pencemaran air. Dari tanda-tanda visual, antara lain

permukaan air ―menyala atau terang‖, menurut Rukyani (1993), Muliani dan Mangampa (1993),

Atmomarsono (1993), Zafran (1997) dan Zafran dkk (1998), suatu pertanda berjangkitanya

penyakit kunang-kunang atau vibriosis. Oleh karen itu untuk menghindar dari kematian total,

disarankan bila ditengarai timbulnya gejala penyakit, agar sesegera mungkin dilakukan panen

total.. Memang dari laporan tahunan Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur 1995,

sejak tahun 1992 terjadi penurunan produktifitas tambak udang akibat serangan penyakit,

pencemaran air, penggunaan teknologi yang kurang memadai misalnya pemberian pakan yang

berlebih, penggunaan obat-obatan dan penggantian air yang kurang terkontrol serta kurang

memperhatikan daya dukung lahan., Upaya pengendalian penyakit bakteri menurut Zafran dkk

(1998) antara lain dengan upaya perbaikan mutu lingkungan terutama air, pemberian pakan yang

bergizi; sedang penggunaan antibiotik, selain dapat menimbulkan resistensi, juga menurunan mutu

pasca panen karena tidak disukai di pasar internasional. Sedang penyakit viral belum ditemukan

upaya pencegahan dan pengobatannya yang manjur.

Dari analisis input-output usaha budidaya udang di sawah tambak, dapat dikemukakan

bahwa penebaran 10.000 ekor bibit udang glondongan/ha paling menguntungkan dengan R/C =

1,44, dari padat penebaran 20.000 ekor bibit udang glondongan/ha diperoleh R/C = 1,12, sedang

R/C rata-rata petani= 1,41. Dibandingkan dengan usaha budidaya campuran dengan hasil 172 kg

udang windu dan 14.250 ekor bandeng umpan /ha diperoleh R/C = 1,44, dengan hasil budidaya

tunggal bandeng konsumsi sebesar 1525 kg /hadengan R/C = 1,3, tidak berbeda. Sedang pada

budidaya udang di tambak diperoleh R/C1,01-1,2 yang juga belum berbeda dengan R/C = 4,7 pada

budidaya bandeng dengan hasil 1600 kg/ha selama 5-6 bulan budidaya.

Karena menurunnya harga udang dan menurunnya ukuran udang yang dipanen lebih awal,

akibat upaya menghindar dari serangan penyakit atau pencemaran yang dapat menimbulkan

kematian masal, usaha budidaya tunggal udang windu tidak signifikan mempengaruhi peningkatan

nilai tambah, bahkan sangat riskan. Oleh karen itu usaha budidaya campuran udan dengan bandeng

tetap layak teknis dan layak ekonomis.

Pakan merupakan salah satu komponen utama dalam budidaya udang yaitu berperan

terhadap kesehatan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang, Penggunaan dan pembuatan

pakan buatan sendiri merupakan upaya penggunaan pakan alternatif untuk menyiasati tak

terjangkaunya penggunaan pakan buatan pabrik. Sebab nilai faktor konversi pakan (FCR) rata-rata

pada usaha budidaya udang di sawah tambak dengan pakan buatan sendiri adalah 1.91 dan nilai

efisiensi protein 1.63, faktor konversi pakan (FCR) rata-rata pada usaha budidaya udang di sawah

tambak dengan pakan pabrik adalah1,9, serta faktor konversi pakan (FCR) rata-rata pada usaha

udang di tambak dengan pakan buatan sendiri adalah 1,95 dan efisiensi protein 1,55, yang masih

setara dengan nilai faktor konversi pakan (FCR) rata-rata hasil penelitian 1,9 (Mangampa dkk,

1993).

Page 116: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

579

Komposisi pakan buatan sendiri mengacu hasil penelitian terdiri dari tepung kepala udang

60%, 15 % ampas tahu sebagai pengganti tepung kedele, 15 % tepung ikan, 10% dedak, sedikit

rumput laut, tepung kanji dan multi vitamin.. Pakan yang dibuat dengan komposisi ini setelah

dianalisis hanya mengandung protein 33%, karbohidrat 13%, lemak 6%, Ca 1,6%, P 1,8%, abu

masih 47,6%. Pakan buatan yang menggunakan rumput laut dan tepung kanji ini, walau dibuat

dengan teknologi sederhana, cukup memenuhi syarat sebab mampu bertahan atau tidah mudah

hancur dalam air hingga lebih dari 24 jam. Sedang menurut Yakob dan Palinngi (1987) dan anjuran

intensifikasi tambak, pakan tambahan mengandung protein 42-45%. Upaya pembuatan pakan

sendiri masih belum mencapai mutu fisik dan gizi yang diharapkan. Selain itu peralatan yang

manual, walau tepat guna, namun karena tingginya upah dan jarangnya tenaga kerja serta hasilnya

belum memuaskan, masih perlu rekayasa. Apalagi bahan baku pakan, terutama tepung kepala

udang, yang menurut Shigueno (1975) dalam Mangampa dkk (1933) penting untuk pertumbuhan

udang, ternyata juga tidak mudah didapat; sehingga akan menghambat minat upaya pembuatan

pakan sendiri.. Tepung kedele yang menurut Mangampa dkk (1993) sebanyak 42,89 % belum

dapat digunakan, sebab dengan alat giling daging yang dipergunakan belum dapat dibuat sendiri.

Untuk itu digantikan dengan ampas tahu, namun kandungan proteinnya jelas telah berkurang.

Untuk menambah kandungan proteinnya digunakan tepung ikan dan ikan asin BS (barang sisa atau

afkir), walau menurut Andrews dkk (1972) dalam Mangampa dkk (1993) tepung ikan yang

mengandung kadar lemak tinggi kurang baik sebagai pakan udang.

Walau hasilnya belum optimal, upaya budidaya udang windu di sawah tambak yang

berkadar garam rendah hingga air tawar, selama pengkajian kadar garam di sawah tambak berkisar

0-5%, merupakan inovasi teknologi petani yang harus ditindak lanjuti. Terutama aneka upaya

peningkatan produksi. Karena hingga saat ini usaha budidaya udang windu di sawah tambak masih

setara, baik pemberlakuan teknologi, skala usaha dan hasil, dengan usaha budidaya udang di

tambak secara sederhana atau U-1 pada program Intam..

Fluktuasi harga udang akibat fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar mempengaruhi hasil

jual produk udang windu. Bila nilai rupiah menguat terhadap dolar, justru menurunkan nilai jual

udang, sehingga keuntungan petani juga cenderung menurun. Akibatnya juga menurunkan gairah

usaha budidaya udang windu di tambak dan sawah tambak. Oleh karena itu usaha budidaya udang

windu di tambak dan sawah tambak. walau cukup riskan karena tidak dapat lagi menjanjikan

produksi dan keuntungan yang optimal, namun masih dapat dijadikan usaha budidaya alternatif,

terutama sebagai pola budidaya campuran dengan bandeng atau ikan lainnya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil rata-rata budidaya udang windu di tambak tradisional dengan pakan buatan sendiri,

dengan padat penebaran 45.000 ekor/ha adalah 84,2 kg/ha/musim (tingkat kelangsungan hidup

rata-rata hanya 13,1 %) dan dengan padat penebaran 90.000 ekor adalah 160,4 kg/ha/musim

(dengan tingkat kelangsungan hidup rata-rata hanya 14,3 %), masih dalam kisaran hasil budidaya

udang pola sederhana pada proyek intam. Belum optimalnya hasil udang di tambak ditengarai

karena masih belum dapat diatasinya masalah penyakit dan pencemaran air yang melanda sejak

tahun 1992.

Sedang usaha budidaya udang windu di sawah tambak dengan pakan buatan sendiri dan

padat penebaran udang glondongan 10.000 ekor/ha diperoleh hasil rata-rata 157,5 kg/ha dengan

tingkat kelangsungan hidup rata-rata 78,8%. Hasil ini tidak berbeda dengan hasil rata-rata udang

windu dengan padat penebaran udang glondongan 10.000 ekor/hadan pakan jagung rebus dan

pakan pabrik yaitu 151,4 kg/ha/musim dengan tingkat kelangsungan hidup rata-rata 77,8%, dan

hasil rata-rata dengan padat penebaran udang glondongan 20.000 ekor/ha dengan pakan jagung

rebus dan pakan pabrik yaitu 166 kg/ha/musim dengan tingkat kelangsungan hidup rata-rata 52%.

Page 117: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

580

Dengan hasil ini upaya budidaya udang windu di sawah tambak dapat menjadi usaha budidaya

alternatif spesifik lokasi, sebagai upaya meningkatkan nilai tambah Namun untuk menyiasati

resiko kegagalan panen yang merugikan, akibat serangan penyakit dan pencemaran lingkungan

yang belum teratasi, usaha budidaya campuran udang windu dengan bandeng merupakan pilihan

yang lebih layak

Penggunaan pakan buatan sendiri merupakan upaya untuk menyiasati kekurang mampuan

untuk pembelian dan penggunaan secara optimal pakan pabrik Namun untuk meningkatkan mutu

fisik, efisiensi antara tenaga, waktu, perhitungan biaya dengan jumlah pakan yang dihasilkan,

masih perlu rekayasa alat pembuat dan pengering yang lebih tepat guna. Kemudahan, kemampuan

beli dan ketersedian bahan pakan yang sesuai anjuran, misalnya tepung kepala udang dan tepung

kedelai yang seharusnya masing-masing mencapai 42%,merupakan syarat penting dalam upaya

pembuatan pakan alternatif buatan sendiri.

Nilai tambahdari usaha budidaya udang windu, baik di tambak dan sawah tambak, akan

memicu perkembangan usaha dan kesejahteraan keluarga tani-nelayan.

Page 118: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

581

DAFTAR PUSTAKA

Atmomarsono, M. M. I. Madeali, Muliani dan A. Tompo, 1993. Kasus penyakit udang windu

dikabupaten Pinrang dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Budidaya

Pantai. Maros 16-19 Juli 1993.Badan Litbang Pertanian, Balitkan Budidaya Pantai,

Maros. Hal9-12.

Atmomarsono, M. Muliani dan S Ismawati, 1995. Prospek penggunaan tandon pada budi- daya

udang windu. Balit Perikanan Pantai Maros. 11 hal.

Balai Informasi Jawa Timur, 1986. Intensifikasi Tambak. Deptan. BIP. Surabaya. 43 hal.

Boer, D.R. Zafran dan T. Ahmad, 1993. Penanggulangan penyakit udang windu (Penaeus

monodon)di pantibenih dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Budidaya

Pantai.Maros 16-19 Juli 1993. Badan Litbang Pertanian, Balitkan Budidaya

Pantai,Maros. Hal 9-12.

Boyd, C, 1992. Water quality management for pond fish culture. Elsevier. Amsterdam. Page 55-

113.

Chang, C. I, --.Membahas strategi pengendalian penyakit udang dari segi fisiologi dan Pathologi.

ATM. Surabaya. 2 hal.

Chen, H. C, --. Studiesontherole offryqualityinshrimp farming. National Taiwan Univ. ROC. 11

pg.

Chen, H. C, --. Teknik pengelolaan pada budidaya udang windu yang sukses setelah ber

berjangkitnya penyakit virus bintik putih. Atm. Surabaya. 2 hal.

Dinas Perikanan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur,1995. Evaluasi Pelaksanaan

Pembangunan Perikanan Jawa Timur 1994/1995. Dinas Perikanan Daerah Propinsi

Daerah Tingkat I Jawa Timur. Surabaya. 78 hal.

Dinas Perikanan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur, 1995 Laporan Statistik Perikanan

Jawa Timur 1995.Dinas Perikanan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.

Surabaya. 157 hal.

Gaffar, A.K, 1997. Effect of different levels of phosphorous input on phytoplankton productivity

inlimed acid sulfate soils fish pond. Indonesian Fisheries Research Journal, Vol VIII, No

I, 1997. CRIF. AARD. Jakarta. Page 16-21.

Giri, I.N.A,1997.Effects of dietary pyridoxine levels on growth and vitamin B6 profile juvenile

kuruma prawn, Penaeus japonicus. Indonesian Fisheries Research Journal, Vol VIII,No I,

1997. CRIF. AARI. Jakarta. Page 23-35.

Haryanti, S. Lante dan S. Tsumura, 1997. Studi pendahuluan penggunaan bakteri Flavi- monas

BY-9 sebagai probiotik dalam pemeliharaan larva udang windu (Penaeus monodon)

jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Vol III, No I, Th 1997. Puslitbangkan. JakartaHal

44-52.

Ismail, A. dan A. Sudradjat, 1992. Pengelolaan budidaya udang windu semi intensif. Dalam

Makalah Temu Tugas Dalam Aplikasi Teknologi Bidang Perikanan. Pusat Perpus takaan

Pertanian dan Komunikasi Penelitian, Badan Litbang Pertanian, Deptan. Hal 1 -64.

Jamil, M., R. Yakob dan N.N. Palinggi, 1987. Pengaruh pemberian pakan dari berbagai sumber

protein terhadap laju pertumbuhan dan kelulusan hidup benur windu (Penaeus monodon).

Dalam Jurnal Penelitian Budidaya Pantai Vol3, no. 2, Balitbangtan Balit Budidaya Pantai

Maros. Hal 8-18.

Page 119: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

582

Legowo, E., Q.D. Ernawanto, S.R. Soemarsono, R. Hardiyanto, N. Pangarso, H. Sembiring 1996.

Zonasi Agroekologi dan karakteristik wilayah-wilayah kecamatan di Jawa Timur BPTP

Karangploso, Malang. 42 hal.

Mangampa, M., M. Tjaronge, F. Rasjid, S.E. Wardoyo, F. Cholik, 1993. Pengaruh Pergantian Air

dan Lama Aerasi pada Budidaya Udang Windu, Penaeus monodon. Dalam Prosiding

Seminar Hasil Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros, 16-19 Juli 1993.

Balitbangtan. Balitkan Budidaya Pantai Maros. Hal 67-71.

Mangampa, M., A. Ismail, A. Mustafa, M. Tjaronge, Muliani,1993.Pengaruh Padat Penebaran dan

Kedalaman Air dalam Budidaya Udang Windu, (Penaeus monodon). Dalam Prosiding

Seminar Hasil Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros, 16-19 Juli 1993.

Balitbangtan. Balitkan Budidaya Pantai Maros. Hal 61-66.

Mangampa, M., A. Ismail, A. Mustafa,M. Tjaronge,F. Cholik,1993. Pengaruh Dosis dan Frekuensi

Pemberian Pakan pada Budidaya Udang Windu, Penaeus monodon. Dalam Prosiding

Seminar Hasil Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros, 16-19 Juli 1993.

Balitbangtan. Balitkan Budidaya Pantai Maros. Hal 61-66.

Mansyur,A.,S.Tonnek, M. Amin dan Utojo, 1987. Budidaya campuran udang windu (Penaeus

monodon Fabr) dan ikan bandeng (Chanos chanos (Forskal)) di tambak. dalam Jurnal

Penelitian Budidaya Pantai Vol 3, no. 2, Balitbangtan. Balit Budidaya Pantai Maros.

Hal49-59.

Moton, H., 1979. Studies on the fisheries biology of the giant tiger prawn, Penaeus monodon, in

the Philippines. Aquaculture Dept. SEAFDC. Tigbauan, Ilolo, Philippines. Page 80-82.

Muliani dan Mangampa, 1993. Identifikasi Parasit pada Budidaya Udang Windu, Penaeus

monodon. dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros,

16-19Juli 1993. Balitbangtan. Balitkan Budidaya Pantai Maros. Hal 31-34.

Nagel, J.V., 1995. Feasibility study: closed recirculated saltwater fish farming project for tropical

coral reef fish. IPAS-Consulting. Hamburg. Page 1-50.

Nishijima, T.dan K. Fulkami, --.Bioremediation of Polluted Fish Farms by a Bacterium, Bacillus

subtilis. Paper. Fakulty of Agriculture, Kochi Univ., Nankoku, Japan. 6 hal.

Pasaribu, A.M., 1997. Efisiensi ekonomi dan skala usaha teknologi budidaya udang windu

(Penaeus monodon) di Jawa Timur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Vol III, No. 3,

Tahun1997. Puslitbangkan. Balitbangtan. Jakata. Hal 52-57.

Rasjid, F, Kahar, M. Mangampa, A. Tompo, A.M. Pirzan, E. Danakusumah, 1983. Polikultur

Rumput Laut, Bandeng dan Udang Windu di Tambak. Dalam Prosiding Seminar Hasil

Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros, 16-19 Juli 1993. Balitbangtan. Balitkan

Budidaya Pantai Maros. Hal 79-84.

Rantetondok, A., M. Atmomarsono, M. V Alday-Sanz, 1995. Use of aerators. Brochure No..2.

MSEP. UNHAS. 2 pages.

Rukyani, A., 1993. Penanggulangan Penyakit Udang. dalamProsiding Seminar Hasil Pe

nelitianPerikanan Budidaya Pantai, Maros 16-19 Juli 1993. Badan Litbang Pertanian,

BalitkanBudidaya Pantai Maros. Hal 1-8.

Shigueno, K., 1967. Shrimp culture in Japan. AITP. Tokyo. Page 7-117.

Sugama, K., Haryanti, M. Takano, C. Kuma, 1993. Panduan pembenihan udang windu (Penaeus

monodon). Sub Balit Perikanan Budidaya Pantai Gondol dan JICA, Gondol. 43 hal.

Page 120: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

583

Suprapto, H., 2000.Beberapa penyakit pada budidaya udang, diagnosis dan pengobatannya

FKH.Unair. 7 hal.

Tonnek, S., 1987. Pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan dan kelulusan hidup nener

(Cha-nos chanos (Forskal)) dalam air berkadar garam tinggi. Dalam Jurnal Penelitian

Budidaya Pantai Vol 3, no.2, Balitbangtan. Balit Budidaya Pantai Maros. Hal 24-30.

Zafran, 1997. Penyakit ikan dan udang serta cara penggunaannya. Lolitkanta Gondol, Bali. 6 hal.

Zafran, Des Roza, I. Koesharyani, F.Johny dan K.Yuasa, 1998. Manual for fish Diseases

Diagnosis. GRSCF Gondol,Bali & JICA. 44 hal.

Page 121: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

584

Lampiran 1

Hasil pengkajianteknologi budidaya udang windu di tambak T.A.1998 / 1999

Perlakuan Ulangan Jumlah hasil (kg) Tingkat kelangsungan keterangan

(konversi/ha/musim) hidup (SR) (%)

I

Padat penebaran 1 819 93,6 Kemarau

52.500 ekor/ha Pompa

Pakan 2 693 92,4 Sumur

ikan rucah giling & pakan pabrik salinitas

Lokasi Palang, Tuban (0,3 ha) 25-30 ppt

Rata-rata 753 93 ukuran

63-70

II

Padat penebaran 1 690 46,82 Rendeng

105.000 ekor/ha Pompa

Pakan 2 843 32,11 sumur

ikan rucah giling & butan pabrik salinitas

Lokasi Palang, Tuban (0,3 ha) 10-25 ppt

Rata-rata 766,5 39,5 ukuran

53-46

III

Padat penebaran 1 2.568 46,37 Pompa

225.000 ekor/ha sumur

Pakan 2 1.740 51,16 salinitas

buatan pabrik & ikan rucah giling 25-30 ppt

Lokasi Paciran, Lamongan (0,3 ha) kincir

Rata-rata 2.154 48.8 ukuran

49-125

Page 122: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

585

Lampiran 2

Hasil pengkajianteknologi budidaya udang windu dengan bandeng umpan di sawah

tambakT.A.1998 /1999

Perlakuan Ulangan JJumlah hasil (kg)

(konversi/ha/musim)

Tingkat kelangsungan

hidup (SR)(%)

keterangan

I

Padat penebaran 1 56 13.6 Pompa

15.000 ekor/ha udang salinitas

(+ glondongan bandeng 30.000 ekor/ha) 0

Pakan 2 115.5 23.1

buatan pabrik & blendung bandeng

Lokasi Laladan, Deket, Lamongan umpan

(ekor/ha)

Rata-rata 85.75 18.35 13100

II

Padat penebaran 1 92 27.4 Pompa

20.000 ekor/ha udang salinitas

(+ glondongan bandeng 30.000 ekor/ha) 0

Pakan 2 155 33.5

pakan buatan pabrik & blendung bandeng

Lokasi Laladan, Deket, Lamongan umpan

(ekor/ha)

Rata-rata 123.5 30.45 9630

Page 123: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

586

Lampiran 4

PAKAN PELET UNTUK UDANG BUATAN SENDIRI

Komposisi pakan udang yang baik (Mangampa dkk, 1993)

Silase kepala udang 42,89%

Tepung kedele 42,89

Dedak 1,39

Tepung terigu 1,39

Tepung tapioka 1,39

Tepung darah 5

Vitamin & mineral 3

Menurut Shigueno (1975) pakan udang yang baik adalah bila komposisi asam aminonya

menyamai asam amino dalam tubuh udang, terutama asam amino lysin dan histidin. Oleh

karena itu penting penggunaan silase kepala udang sebagai bahan pakan.

Tepung ikan yang mengandung kadar lemak tinggi kurang atau sedikit saja dipergunakan,

karena menurut Andrews dkk (1972) udang penaeid yang diberi pakan tambahan banyak

mengandung lemak, hidupnya lebih merana dibandingkan dengan pakan tanpa tambahan

lemak.

Pada pengkajian inisusunan bahan pakan dibuat Kepala udang kering 40 %

Ampas tahu kering 20

Ikankering gi ling 20

Dedak 17

Tepung tapioka 2,5

Rumput laut 0,5

Dari hasil pengujian (analisis) bahan pakan diperoleh

Protein 33 %

% Karbohidrat/serat 13

Lemak 6

Ca 1,6

P 1,8

Abu dll 47,6

Page 124: PROSIDING - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding... · biofisik (benih, pakan, tanah dan hara, OPT, panen dan pasca panen),

587

DISKUSI

Ir.. Supri (Dinas Perikanan Kabupaten Pasuruan)

1. Apakah paket teknologi untuk petani tambak yang berlaku sat ini sudah ada

2. Berapa standar kelangsungan hidup (SR) untuk udang windu

3. Apakah tidak ada hasil kajian teknologi benih unggul

Ir. Sutanto

1. Pengkajian teknologi ini diharapkan dapat menemukan paket teknologi yang sesuai saat

ini. Untuk menaggulangi kendala masih pada tahap identifikasi penyakit.

2. Rekomendasi teknologi sudah ada tapi belum berani dikaji di lapangan, karena kendalanya

petani tidak besedia.

3. Sudah ada anjuran dari Taiwan. Teknologi seleksi bibit unggul belum di lakukan