prosiding - ATR/BPN

248
or olah Tinggi Pertanahan ahun 2001 dan meraih enelian yang pernah mbangan SDM dalam DITERBITKAN OLEH: PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL 2017 prosiding Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia Hotel Century Park Jakarta 21 November 2017

Transcript of prosiding - ATR/BPN

Page 1: prosiding - ATR/BPN

Peneliti Muda/Koordinator

INDRIAYATIIndriayati merupakan peneliti muda di Puslitbang-BPN RI. Pendidikan S1 diselesaikan dari Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta pada tahun 2001 dan meraih master dalam bidang Administrasi Publik dari STIA-LAN Jakarta tahun 2011. Beberapa penelitian yang pernah dilaksanakan diantaranya, pengembangan SDM dalam mendukung pelayanan pertanahan (2009), penataan kebijakan pertanahan di kawasan bekas pertambangan (2010), model access reform dan pemberdayaan masyarakat di wilayah perkebunan (2011), pelimpahan kewenangan di BPN (2012) dan peluang peningkatan optimalisasi penggunaan CORS dalam mendukung pelayanan pertanahan (2013).

DITERBITKAN OLEH:PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL2017

Pen

daftar

an Tan

ah Sistem

atis Leng

kap d

alam

ran

gk

a M

od

ern

isasi Ad

min

istrasi P

ertan

ahan

di In

do

nesia

prosidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Hotel Century Park Jakarta21 November 2017

ISBN 978-979-1069-64-9

9 789791 069649ISBN 978-979-1069-65-6

9 789791 069656

Page 2: prosiding - ATR/BPN

i

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

PROSIDING

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Hotel Century Park Jakarta21 November 2017

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

2017

Page 3: prosiding - ATR/BPN

ii

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINISTRASI PERTANAHAN DI INDONESIA

Diterbitkan Oleh:Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Jl. H. Agus Salim No.58 Jakarta Pusat 10350

Cetakan Pertama - Desember 2017ISBN: 978-979-1069-65-6

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang.Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.

REVIEWER RB Agus Widjayanto, S.H., M.Hum Djamaluddin, S.H., M.Hum Uke Muhammad Hussein, S.Si, MPP Dr. Ir. Irawan Sumarto, M.Sc.

TIM EDITOR Ir. Eliana Sidipurwanty, M.Si Romi Nugroho, S.Si Drs. Makmur A. Siboro, M.Eng.Sc Ika Dini Haryanti, S.Kom Jauhari Thonthowi, S.Si Aulia Latif, S.T., MSISc Melia Yusri, SP

Page 4: prosiding - ATR/BPN

iii

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

KEPANITIAN FORUM ILMIAH

PENANGGUNG JAWAB Ir. Izda Putra, M.M (Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan)

KETUA Drs. Makmur A. Siboro, M.Eng.Sc (Kepala Bidang Publikasi dan Perpustakaan)

ANGGOTA Ika Dini Haryanti, S.Kom (Kepala Subbidang Publikasi) Robin T.H. Sijabat, S.Kom (Kepala Subbidang Program) Eri Khaeruman Khuluki, S.P., M.Si (Kepala Subbidang Kerja Sama) Halim Kuswoyo, S.SiT (Kepala Subbidang Perpustakaan) Dr. Sigit Santosa, S.Si., M.App.Sc (Kepala Seksi Perencanaan Konsolidasi Tanah) Hotman Pardomuan, S.H., M.Kn (Kepala Seksi Tanah dan Ruang Wilayah IIA) Septina Marryanti P., S.Si., M.Si (Peneliti Pertama) Melia Yusri, S.P (Penyusun Bahan Penyelenggaraan Litbang) Jauhari Thonthowi, S.Si (Penyusun Bahan Penyelenggaraan Litbang) Aulia Latif, S.T., MSISc (Penyusun Bahan Penyelenggaraan Litbang) Probo Socowibowo, S.Kom., M.AP (Penyusun Bahan Penyelenggaraan Litbang) Shofiatul Munawaroh, S.Kom (Penyusun Bahan Penyelenggaraan Litbang) Wina Dwi Febrina, S.P., M.Si (Penyusun Bahan Penyelenggaraan Litbang)

Page 5: prosiding - ATR/BPN

iv

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan karuniaNya, sehingga prosiding kegiatan Forum Ilmiah Pusat Penelitian dan Pengembangan dapat selesai tersusun. Prosiding ini berisikan kumpulan makalah terpilih yang telah melalui seleksi oleh beberapa reviewer dan dipresentasikan dalam acara Forum Ilmiah yang dilaksanakan pada tanggal 21 November tahun 2017 di Hotel Century Park Jakarta. Forum Ilmiah tahun 2017 mengusung tema “Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia”.

Dari 10 (sepuluh) makalah yang terpilih, dibagi ke dalam 2 (dua) subtema. Subtema Teknologi terdiri dari 5 judul makalah, yaitu : (1) Penggunaan Teknologi UAV/Drone untuk Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap; (2) Pengembangan Sistem Informasi Kadastral Empat Dimensi (4D) dalam Penyelesaian Sengketa pada Pendaftaran Tanah; (3) “Reformasi SKP-KKPWEB dan Komisi Khusus” sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konflik dalam Momentum Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap; (4) Analisis Pemetaan Pola Spasial Nilai NJOP dan Jumlah Bidang Tanah Terdaftar untuk Penentuan Lokasi Prioritas PTSL (Studi Pada Kecamatan Kayen dan Sukolilo Kabupaten Pati); dan (5) Sistem Proyeksi Distorsi Minimum untuk Mensukseskan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Makalah dengan subtema Hukum dan Manajemen terdiri dari 5 (lima) makalah, yaitu : (1) Problematika Pelaksanaan Pendaftaran Sistematik Lengkap dan Alternatif Penyelesaiannya (Studi Kasus di Provinsi Sumatera Utara); (2) Peningkatan Access Reform Pelayanan Sertipikasi Tanah sebagai Modal Usaha di Pasar Desa Melalui Pendaftaran Tanah di Kabupaten Banjar; (3) Evaluasi Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap; (4) Dampak Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Terhadap Sosial Ekonomi Petani di Kelurahan Lancirang Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidenreng Rappang; (5) Gerakan Nasional Pendaftaran Tanah Melalui Pelibatan Multipihak (Penta Helix).

Dalam proses penyempurnaannya, kami mengharapkan kritik dan saran untuk peningkatan kualitas Forum Ilmiah maupun penyusunan prosiding ini. Semoga prosiding ini dapat bermanfaat khususnya bagi pegawai di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta seluruh pembaca pada umumnya sebagai referensi dalam khasanah keilmuan administrasi pertanahan.

Jakarta, Desember 2017

Tim Penyusun

KATA PENGANTAR

Page 6: prosiding - ATR/BPN

v

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... ivDAFTAR ISI ......................................................................................................................... v

MAKALAH SUBTEMA TEKNOLOGI ............................................................................ 1 Penggunaan Teknologi UAV/Drone Untuk Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap .................................................................................................. 2 Pengembangan Sistem Informasi Kadastral Empat Dimensi (4D) dalam Penyelesaian Sengketa Pada Pendaftaran Tanah ................................................. 29 “Reformasi SKP-KKPWEB dan Komisi Khusus” Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konflik Dalam Momentum Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap .................................................................................................. 43 Analisis Pemetaan Pola Spasial Nilai NJOP dan Jumlah Bidang Tanah Terdaftar Untuk Penentuan Lokasi Prioritas PTSL (Studi Pada Kecamatan Kayen dan Sukolilo Kabupaten Pati) ..................................................................... 62

Sistem Proyeksi Distorsi Minimum Untuk Mensukseskan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap ................................................................ 86

NOTULEN SUBTEMA TEKNOLOGI .............................................................................. 109

MAKALAH SUBTEMA HUKUM DAN MANAJEMEN ............................................... 115 Problematika Pelaksanaan Pendaftaran Sistematik ....Lengkap dan Alternatif Penyelesaiannya (Studi Kasus di Provinsi Sumatera Utara) ............................... 116 Peningkatan Access Reform Pelayanan Sertipikasi Tanah Sebagai Modal Usaha di Pasar Desa Melalui Pendaftaran Tanah di Kabupaten Banjar ........... 136

Evaluasi Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap .......................... 160

Dampak Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Terhadap Sosial Ekonomi Petani di Kelurahan Lancirang Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidenreng Rappang .................................................................................................. 186

Gerakan Nasional Pendaftaran Tanah Melalui Pelibatan Multipihak (Penta Helix) ............................................................................................................. 207

NOTULEN SUBTEMA HUKUM DAN MANAJEMEN ................................................. 229

DAFTAR ISI

Page 7: prosiding - ATR/BPN

vi

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Page 8: prosiding - ATR/BPN

1

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

MAKALAHSubtema:

Teknologi

Page 9: prosiding - ATR/BPN

2

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

PENGGUNAAN TEKNOLOGI UAV/DRONE UNTUK PERCEPATAN PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIK LENGKAP

Eko Budi Wahyono

Dosen STPN Yogyakarta

[email protected]

ABSTRAK Pengumpulan data fisik untuk keperluan percepatan Pendafataran Tanah

Sistematik Lengkap jika hanya mengandalkan metode terestris saja tidak akan

dapat memenuhi target yang dicanangkan. Salah satu teknologi pengukuran dan

pemetaan yang dapat mempercepat pengumpulan data fisik adalah metode

Fotogrametri. Metode Fotogrametri dengan teknologi UAV/drone yang memenuhi

syarat teknis dan ketentuan pengukuran dan pemetaan pendaftaran tanah dapat

digunakan untuk kegiatan pengumpulan data fisik dalam rangka Pendaftaran

Tanah Sistematik Lengkap secara cepat.

Metodologi penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan studi

literatur dari hasil penelitian-penelitian lain tentang UAV/drone jenis quadchopter

yang telah dilakukan dengan cara mendeskripsikan ketelitian dan akurasi hasil

pengukuran dan pemetaan menggunakan teknologi UAV/drone jenis

quadchopter terhadap kesesuaian persyaratan teknis dalam kegiatan

pendaftaran tanah pada daerah dengan topografi yang relatif datar dengan

penggunaan tanah didominasi tanah persawahan. Software yang digunakan

untuk pengolahan foto adalah Agisoft Photoscan Profesional. .

Hasil penelitian yang diperoleh sebagai berikut : Ketelitian planimetris peta foto

yang dihasilkan pada skala 1 : 1000 kurang dari 30 cm, selisih jarak ukuran

langsung dengan diatas peta foto kurang dari 25 cm pada daerah pertanian dan

kurang dari 10 cm pada daerah permukiman terbuka. Perbedaan luas yang

diperoleh dari perbandingan terestris dan fotogrametri kurang dari ½ √L.

Perbandingan jumlah bidang tanah pengukuran batas bidang tanah antara

metode terestris menggunakan Total Station dengan metode Fotogrametri

teknologi UAV/drone adalah 1 : 3. Sumber daya manusia yang digunakan :

Terestri perlu 4 orang sedangkan UAV/drone memerlukan 2 orang. Maka dengan

ketelitian dan akurasi yang diperoleh serta memenuhi syarat teknis pengukuran

dan pemetaan pendaftaran tanah maka metode fotogrametri teknologi

Page 10: prosiding - ATR/BPN

3

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

PENGGUNAAN TEKNOLOGI UAV/DRONE UNTUK PERCEPATAN PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIK LENGKAP

Eko Budi Wahyono

Dosen STPN Yogyakarta

[email protected]

ABSTRAK Pengumpulan data fisik untuk keperluan percepatan Pendafataran Tanah

Sistematik Lengkap jika hanya mengandalkan metode terestris saja tidak akan

dapat memenuhi target yang dicanangkan. Salah satu teknologi pengukuran dan

pemetaan yang dapat mempercepat pengumpulan data fisik adalah metode

Fotogrametri. Metode Fotogrametri dengan teknologi UAV/drone yang memenuhi

syarat teknis dan ketentuan pengukuran dan pemetaan pendaftaran tanah dapat

digunakan untuk kegiatan pengumpulan data fisik dalam rangka Pendaftaran

Tanah Sistematik Lengkap secara cepat.

Metodologi penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan studi

literatur dari hasil penelitian-penelitian lain tentang UAV/drone jenis quadchopter

yang telah dilakukan dengan cara mendeskripsikan ketelitian dan akurasi hasil

pengukuran dan pemetaan menggunakan teknologi UAV/drone jenis

quadchopter terhadap kesesuaian persyaratan teknis dalam kegiatan

pendaftaran tanah pada daerah dengan topografi yang relatif datar dengan

penggunaan tanah didominasi tanah persawahan. Software yang digunakan

untuk pengolahan foto adalah Agisoft Photoscan Profesional. .

Hasil penelitian yang diperoleh sebagai berikut : Ketelitian planimetris peta foto

yang dihasilkan pada skala 1 : 1000 kurang dari 30 cm, selisih jarak ukuran

langsung dengan diatas peta foto kurang dari 25 cm pada daerah pertanian dan

kurang dari 10 cm pada daerah permukiman terbuka. Perbedaan luas yang

diperoleh dari perbandingan terestris dan fotogrametri kurang dari ½ √L.

Perbandingan jumlah bidang tanah pengukuran batas bidang tanah antara

metode terestris menggunakan Total Station dengan metode Fotogrametri

teknologi UAV/drone adalah 1 : 3. Sumber daya manusia yang digunakan :

Terestri perlu 4 orang sedangkan UAV/drone memerlukan 2 orang. Maka dengan

ketelitian dan akurasi yang diperoleh serta memenuhi syarat teknis pengukuran

dan pemetaan pendaftaran tanah maka metode fotogrametri teknologi

UAV/drone dapat digunakan untuk kegiatan percepatan pendaftaran tanah

sistematik lengkap. Untuk itu perlu adanya revisi terhadap petunjuk teknis

pengukuran dan pemetaan bidang tanah Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-

300/VII/2017 tanggal 31 Juli 2017 Direktorat Jendral Infrastruktur Agraria

Kementerian ATR/BPN Tahun 2017.

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.

Dalam sebuah pidatonya Presiden Republik Indonesia Joko Widodo

menyampaikan “Proyek Prona (Proyek Operasi Nasional Agraria) ini sudah

berjalan 35 tahun, tapi belum rampung – rampung sampai sekarang. Baru

mencapai 46% diseluruh Indonesia, separuh saja belum. Sehingga kita harapkan

tahun 2025 seluruh Indonesia sudah pegang sertipikat semuanya”. Untuk itulah

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

melakasanakan percepatan pendaftaran tanah melalui Pendaftaran Tanah

Sistematik Lengkap atau yang sering disebut dengan PTSL. Untuk itu

Kementerian ATR/BPN ditargetkan untuk menyelesaikan pendaftaran tanah

untuk tahun 2017 sebanyak 5 juta bidang tanah tahun berikutnya 2018 sebanyak

7 juta bidang tanah dan Tahun 2019 sebanyak 9 juta bidang tanah.

Untuk melaksanakan tugas percepatan Pendaftaran tanah sistematik

lengkap dengan target tersebut, diperlukan suatu teroboson – terobosan baik

dalam aspek regulasi, pemenuhan sumber daya manusia maupun penggunaan

teknologi pengukuran dan pemetaan yang efektif dan efisien. Salah satu

permasalahan dalam pendaftaran tanah adalah pengumpulan data fisik atau

kegiatan pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah. Pelaksanaan

Pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah lebih banyak digunakan metode

terestris dan metode lain, metode fotogrametri tidak pernah dipergunakan.

Padahal menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun

1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah, pasal 12 ayat 1 “Pengukuran dan pemetaan

untuk pembuatan peta dasar pendaftaran diselenggarakan dengan cara

terrestrial, fotogrametri atau metode lain”. Penggunaan metode terestris dan

metode lain yang digunakan untuk kegiatan pengukuran dan pemetaan dalam

rangka pendaftaran tanah, ternyata sampai tahun 2015 menurut Pusat Penelitian

Dan Pengembangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan

Page 11: prosiding - ATR/BPN

4

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Nasional (ATR/BPN), Kementerian ATR/BPN hanya mampu menyajikan data

untuk kepentingan sertipikasi bidang tanah seluruh Indonesia baru mencapai

35.789.766 bidang yang telah terdaftar dari sejumlah 90.622.503 bidang. Berarti

masih ada 54.832.737 bidang belum terdaftar. Dengan menggunakan metode

terestris dan metode lain untuk kegiatan pengumpulan data fisik untuk keperluan

percepatan Pendafataran Tanah Sistematik Lengkap jika hanya mengandalkan

metode terestris dan atau metode lain saja tidak akan dapat memenuhi target

yang dicanangkan.

1.2. Rumusan Masalah

Metode fotogrametri masih belum dimanfaatkan secara maksimal, padahal

secara ketentuan diperbolehkan. Hal ini dikarenakan masih terdapat keraguan

terhadap hasil atau output dari pelaksanaan pengukuran dan pemetaan metode

fotogrametri. Keraguan meliputi : ketelitian hasil ukuran, kebenaran angka ukuran

panjang sisi bidang tanah, pengakuan legalitas produk fotogrametri untuk

kepentingan pendaftaran tanah dan lain lainnya. Bahkan dalam petunjuk teknis

pengukuran dan pemetaan bidang tanah Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-

300/VII/2017 tanggal 31 Juli 2017 Direktorat Jendral Infrastruktur Agraria

Kementerian ATR/BPN Tahun 2017 halaman 3 bagian teknis pengukuran dan

pemetaan disebutkan :

2. Teknis Pengukuran dan Pemetaan

Pengukuran dan pemetaan bidang tanah sistematis lengkap dalam

rangka pendaftaran tanah dilaksanakan dengan metode terestris,

fotogrametri, pengamatan satelit dan kombinasi dari ketiga metode

tersebut. Sebelum pelaksanaan pengukuran dan pemetaan bidang

tanah harus disediakan Peta Kerja yang bersumber dari :

a. Peta Dasar Pendaftaran sesuai dengan standar yang berlaku

(sesuai Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 dan Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3

Tahun 1997). Peta Dasar Pendaftaran berasal dari peta foto

udara dari wahana pesawat udara berawak dengan kamera

metrik. Peta Dasar Pendaftaran yang berusia maksimal 2 tahun

dapat dipergunakan untuk pengukuran dan pemetaan bidang

tanah dengan metode fotogrametri.

b. Data mentah CSRT (raw data) dan/atau peta foto udara dari

wahana pesawat udara nirawak (Unmanned Aerial Vehicle). Data

Page 12: prosiding - ATR/BPN

5

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Nasional (ATR/BPN), Kementerian ATR/BPN hanya mampu menyajikan data

untuk kepentingan sertipikasi bidang tanah seluruh Indonesia baru mencapai

35.789.766 bidang yang telah terdaftar dari sejumlah 90.622.503 bidang. Berarti

masih ada 54.832.737 bidang belum terdaftar. Dengan menggunakan metode

terestris dan metode lain untuk kegiatan pengumpulan data fisik untuk keperluan

percepatan Pendafataran Tanah Sistematik Lengkap jika hanya mengandalkan

metode terestris dan atau metode lain saja tidak akan dapat memenuhi target

yang dicanangkan.

1.2. Rumusan Masalah

Metode fotogrametri masih belum dimanfaatkan secara maksimal, padahal

secara ketentuan diperbolehkan. Hal ini dikarenakan masih terdapat keraguan

terhadap hasil atau output dari pelaksanaan pengukuran dan pemetaan metode

fotogrametri. Keraguan meliputi : ketelitian hasil ukuran, kebenaran angka ukuran

panjang sisi bidang tanah, pengakuan legalitas produk fotogrametri untuk

kepentingan pendaftaran tanah dan lain lainnya. Bahkan dalam petunjuk teknis

pengukuran dan pemetaan bidang tanah Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-

300/VII/2017 tanggal 31 Juli 2017 Direktorat Jendral Infrastruktur Agraria

Kementerian ATR/BPN Tahun 2017 halaman 3 bagian teknis pengukuran dan

pemetaan disebutkan :

2. Teknis Pengukuran dan Pemetaan

Pengukuran dan pemetaan bidang tanah sistematis lengkap dalam

rangka pendaftaran tanah dilaksanakan dengan metode terestris,

fotogrametri, pengamatan satelit dan kombinasi dari ketiga metode

tersebut. Sebelum pelaksanaan pengukuran dan pemetaan bidang

tanah harus disediakan Peta Kerja yang bersumber dari :

a. Peta Dasar Pendaftaran sesuai dengan standar yang berlaku

(sesuai Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 dan Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3

Tahun 1997). Peta Dasar Pendaftaran berasal dari peta foto

udara dari wahana pesawat udara berawak dengan kamera

metrik. Peta Dasar Pendaftaran yang berusia maksimal 2 tahun

dapat dipergunakan untuk pengukuran dan pemetaan bidang

tanah dengan metode fotogrametri.

b. Data mentah CSRT (raw data) dan/atau peta foto udara dari

wahana pesawat udara nirawak (Unmanned Aerial Vehicle). Data

mentah CSRT (raw data) dan/atau peta foto udara tersebut perlu

dikoreksi secara geometrik terlebih dahulu. Dalam pelaksanaan

di lapangan, peta kerja yang bersumber dari peta data mentah

CSRT (raw data) dan/atau peta foto udara dari wahana pesawat

udara nirawak (UAV) tidak dapat digunakan untuk pengukuran

dan pemetaan bidang tanah dengan metode fotogrametri.

Bahwa berdasarkan petunjuk teknis pengukuran dan pemetaan bidang

tanah Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-300/VII/2017 tanggal 31 Juli 2017

Direktorat Jendral Infrastruktur Agraria Kementerian ATR/BPN Tahun 2017

pengunaan peta foto udara dari wahana pesawat udara nirawak (UAV) tidak dapat digunakan untuk pengukuran dan pemetaan bidang tanah dengan

metode fotogrametri. Secara sepintas menimbulkan pemahaman bahwa metode

fotogrametri menggunakan wahana UAV tidak dapat digunakan untuk

pelaksanaan pengukuran bidang tanah dengan metode fotogrametri dalam

rangka pendaftaran tanah sistematik lengkap. Padahal metode fotogrametri

diharapkan dapat mempercepat pengumpulan data fisik untuk pendafaran tanah

sistematik lengkap. Menurut Yagol Pravesh, 2015, penyelesaian pengukuran dan

pemetaan sebanyak 102 bidang tanah dengan luas 20,5 Ha pada daerah yang

relatif datar antara menggunakan alat ukur Total Station = 27 hari sedangkan

dengan menggunakan citra satelit resolusi tinggi = 16 hari. Dengan tingkat

ketelitian posisi dengan nilai kurang dari 1 meter sebanyak 84 persen. Citra yang

digunakan citra GEO-EYE dengan resolusi spasial 0,5 m.

Perkembangan teknologi fotogrametri dengan menggunakan wahana tanpa

awak / UAV untuk kegiatan pengukuran dan pemetaan secara fotogrametri telah

merambah berbagai bidang. Wahana tanpa awak/UAV yang terbang tidak terlalu

tinggi akan menghasilkan resolusi spasial yang tinggi sehingga identifikasi batas

bidang tanah pada daerah terbuka dan tidak tertutup obyek lain seperti atap,

kanopi menjadi lebih mudah dilakukan. Dengan teknologi GPS yang terdapat

pada wahana tanpa awak/UAV akan bisa didapatkan georeferencing dengan

ketelitian yang tinggi. Pada akhirnya ketelitian posisi dapat

dipertanggungjawabkan. Metode Fotogrametri dengan teknologi UAV/drone yang

memenuhi syarat teknis dan ketentuan pengukuran dan pemetaan pendaftaran

tanah dapat digunakan untuk kegiatan pengumpulan data fisik dalam rangka

Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap secara cepat.

Page 13: prosiding - ATR/BPN

6

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

1.3. Tujuan Penulisan. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui penggunaan teknologi

fotogrametri menggunakan wahana pesawat tanpa awak / UAV/drone dalam

rangka percepatan pendafataran tanah sistematik lengkap ditinjau dari aspek

legalitas, ketelitian geometri dan kecepatan dalam pengukuran – pemetaan

bidang tanah.

1.4. Manfaat Penulisan. Manfaat penulisan ini untuk

a. memberikan masukan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan

Pertanahan Nasional : Metode fotogrametri dapat digunakan untuk kegiatan

pengukuran dan pemetaan bidang tanah dalam rangka percepatan

Pendafataran Tanah Sistematik Lengkap

b. Melakukan revisi petunjuk teknis pengukuran dan pemetaan bidang tanah

Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-300/VII/2017 tanggal 31 Juli 2017

Direktorat Jendral Infrastruktur Agraria Kementerian ATR/BPN Tahun 2017

khususnya pengukuran dan pemetaan bidang tanah untuk diperbolehkan

menggunakan metode fotogrametri dengan wahana UAV/drone.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL)

Menurut Peraturan Menteri ATR/BPN No. 35 Tahun 2016, Peraturan

Menteri ATR/BPN No. 1 Tahun 2017 dan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 12

Tahun 2017, Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap adalah kegiatan

pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak bagi

semua obyek pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam

satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang

meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis

mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan

pendaftarannya. Obyek Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap adalah seluruh

obyek pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Obyek

pendaftaran tersebut meliputi seluruh bidang tanah tanpa terkecuali, baik bidang

tanah yang belum ada hak atas tanahnya maupun bidang tanah hak, baik

merupakan tanah asset Pemerintah/Pemerintah Daerah, tanah Badan Usaha

Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, tanah desa, Tanah Negara, tanah

masyarakat hukum adat, kawasan hutan, tanah obyek landreform, tanah

Page 14: prosiding - ATR/BPN

7

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

1.3. Tujuan Penulisan. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui penggunaan teknologi

fotogrametri menggunakan wahana pesawat tanpa awak / UAV/drone dalam

rangka percepatan pendafataran tanah sistematik lengkap ditinjau dari aspek

legalitas, ketelitian geometri dan kecepatan dalam pengukuran – pemetaan

bidang tanah.

1.4. Manfaat Penulisan. Manfaat penulisan ini untuk

a. memberikan masukan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan

Pertanahan Nasional : Metode fotogrametri dapat digunakan untuk kegiatan

pengukuran dan pemetaan bidang tanah dalam rangka percepatan

Pendafataran Tanah Sistematik Lengkap

b. Melakukan revisi petunjuk teknis pengukuran dan pemetaan bidang tanah

Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-300/VII/2017 tanggal 31 Juli 2017

Direktorat Jendral Infrastruktur Agraria Kementerian ATR/BPN Tahun 2017

khususnya pengukuran dan pemetaan bidang tanah untuk diperbolehkan

menggunakan metode fotogrametri dengan wahana UAV/drone.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL)

Menurut Peraturan Menteri ATR/BPN No. 35 Tahun 2016, Peraturan

Menteri ATR/BPN No. 1 Tahun 2017 dan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 12

Tahun 2017, Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap adalah kegiatan

pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak bagi

semua obyek pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam

satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang

meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis

mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan

pendaftarannya. Obyek Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap adalah seluruh

obyek pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Obyek

pendaftaran tersebut meliputi seluruh bidang tanah tanpa terkecuali, baik bidang

tanah yang belum ada hak atas tanahnya maupun bidang tanah hak, baik

merupakan tanah asset Pemerintah/Pemerintah Daerah, tanah Badan Usaha

Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, tanah desa, Tanah Negara, tanah

masyarakat hukum adat, kawasan hutan, tanah obyek landreform, tanah

transmigrasi, dan bidang tanah lainnya. Bidang – bidang tanah yang menjadi

obyek PTSL baik yang sudah ada tanda batasnya maupun yang akan ditetapkan

tanda batasnya dalam pelaksanaan kegiatan PTSL. Kegiatan pengumpulan data

fisik PTSL berupa kegiatan pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah dapat

dilakukan dengan menggunakan teknologi survei dan pemetaan seperti drone,

Global Positioning System (GPS), Continuously Operating Reference Station (CORS), Total Station, Distometer dan lainnya, serta memanfaatkan

peta citra/peta foto dengan resolusi tinggi sebagai dasar pembuatan peta

pendaftaran. Dengan demikian pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah

secara fotogrametri menggunakan wahana pesawat tanpa awak/UAV/drone

diperbolehkan.

2.2. Pengukuran Dan Pemetaan Metode Fotogrametri untuk PTSL Fotogrametri adalah seni, ilmu dan teknologi untuk memperoleh informasi

terpercaya tentang obyek fisik dan lingkungan melalui proses perekaman,

pengukuran dan interpretasi gambaran fotografik dan pola radiasi tenaga

elektromagnetik yang terekam (Wolf, 1993). Images are utilized in two distinct

manner: by performing either metric or interpretative analysis. In the metric

analysis, quantitative measurements are made in the image and then geometric information, such as spatial position, distance, area, shape, size, volume, distribution of objects are derived. This operation is called photogrammetry.

The definition of photogrammetry is therefore: the science of obtaining reliable

measurements by means of images for the determination of the geometric

properties of objects (E. E. Derenyi, 1996). Metode fotogrametri menurut Undang

– Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, adalah

pengumpulan data informasi Geospasial dengan menggunakan instrumentasi

ukur /wahana dan/atau rekam pada wahana udara”, menggunakan peralatan

yang dipasang pada wahana terbang seperti kamera, sensor radar, dan sensor

lidar. Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun

1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan dari PP Nomor 24 tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah. Pada Bagian Kedua, Paragraf I, Pasal 12, huruf (1),

disebutkan bahwa pengukuran dan pemetaan untuk pembuatan peta dasar

pendaftaran diselenggarakan dengan cara terrestrial, fotogrametri atau metode

lain.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pengukuran dan pemetaan secara

fotogrametri adalah pengukuran dan pemetaan dengan menggunakan sarana

Page 15: prosiding - ATR/BPN

8

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

foto udara. Berdasarkan petunjuk teknis pengukuran dan pemetaan bidang tanah

Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-300/VII/2017 tanggal 31 Juli 2017 Direktorat

Jendral Infrastruktur Agraria Kementerian ATR/BPN Tahun 2017 dalam sub bab

teknis pengukuran dan pemetaan disebutkan : Pengukuran dan pemetaan

bidang tanah sistematis lengkap dalam rangka pendaftaran tanah dilaksanakan

dengan metode terestris, fotogrametri, pengamatan satelit dan kombinasi dari

ketiga metode tersebut. Sebelum pelaksanaan pengukuran dan pemetaan

bidang tanah harus disediakan Peta Kerja yang bersumber dari :

a. Peta Dasar Pendaftaran sesuai dengan standar yang berlaku (sesuai

Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1997). Peta Dasar

Pendaftaran berasal dari peta foto udara dari wahana pesawat udara

berawak dengan kamera metrik. Peta Dasar Pendaftaran yang berusia

maksimal 2 tahun dapat dipergunakan untuk pengukuran dan pemetaan

bidang tanah dengan metode fotogrametri.

b. Data mentah CSRT (raw data) dan/atau peta foto udara dari wahana

pesawat udara nirawak (Unmanned Aerial Vehicle). Data mentah CSRT (raw

data) dan/atau peta foto udara tersebut perlu dikoreksi secara geometrik

terlebih dahulu. Dalam pelaksanaan di lapangan, peta kerja yang bersumber

dari peta data mentah CSRT (raw data) dan/atau peta foto udara dari

wahana pesawat udara nirawak (UAV) tidak dapat digunakan untuk

pengukuran dan pemetaan bidang tanah dengan metode fotogrametri.

Pelaksanaan Pengukuran bidang tanah dengan metode fotogrametri

mengikuti ketentuan sebagai berikut :

a. Pengukuran dilakukan dengan cara melakukan identifikasi batas bidang

bidang tanah dengan menggunakan Peta Kerja bersumber dari Peta Dasar

Pendaftaran yang berasal dari peta foto udara dari wahana pesawat udara

berawak dengan kamera metrik dan menarik garis ukur (delineasi) untuk

batas bidang tanah yang jelas dan memenuhi syarat. Metode ini hanya dapat

dilaksanakan untuk daerah terbuka, nonpemukiman, non-komersial, non-

industri. Untuk garis batas bidang tanah yang tidak dapat diidentifikasi

dilakukan dengan pengukuran tambahan di lapangan (suplesi).

b. Pengukuran terestris dilaksanakan sebagai pengukuran suplesi dan/atau

pengukuran panjangan sisi bidang tanah sebanyak :

Page 16: prosiding - ATR/BPN

9

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

foto udara. Berdasarkan petunjuk teknis pengukuran dan pemetaan bidang tanah

Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-300/VII/2017 tanggal 31 Juli 2017 Direktorat

Jendral Infrastruktur Agraria Kementerian ATR/BPN Tahun 2017 dalam sub bab

teknis pengukuran dan pemetaan disebutkan : Pengukuran dan pemetaan

bidang tanah sistematis lengkap dalam rangka pendaftaran tanah dilaksanakan

dengan metode terestris, fotogrametri, pengamatan satelit dan kombinasi dari

ketiga metode tersebut. Sebelum pelaksanaan pengukuran dan pemetaan

bidang tanah harus disediakan Peta Kerja yang bersumber dari :

a. Peta Dasar Pendaftaran sesuai dengan standar yang berlaku (sesuai

Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1997). Peta Dasar

Pendaftaran berasal dari peta foto udara dari wahana pesawat udara

berawak dengan kamera metrik. Peta Dasar Pendaftaran yang berusia

maksimal 2 tahun dapat dipergunakan untuk pengukuran dan pemetaan

bidang tanah dengan metode fotogrametri.

b. Data mentah CSRT (raw data) dan/atau peta foto udara dari wahana

pesawat udara nirawak (Unmanned Aerial Vehicle). Data mentah CSRT (raw

data) dan/atau peta foto udara tersebut perlu dikoreksi secara geometrik

terlebih dahulu. Dalam pelaksanaan di lapangan, peta kerja yang bersumber

dari peta data mentah CSRT (raw data) dan/atau peta foto udara dari

wahana pesawat udara nirawak (UAV) tidak dapat digunakan untuk

pengukuran dan pemetaan bidang tanah dengan metode fotogrametri.

Pelaksanaan Pengukuran bidang tanah dengan metode fotogrametri

mengikuti ketentuan sebagai berikut :

a. Pengukuran dilakukan dengan cara melakukan identifikasi batas bidang

bidang tanah dengan menggunakan Peta Kerja bersumber dari Peta Dasar

Pendaftaran yang berasal dari peta foto udara dari wahana pesawat udara

berawak dengan kamera metrik dan menarik garis ukur (delineasi) untuk

batas bidang tanah yang jelas dan memenuhi syarat. Metode ini hanya dapat

dilaksanakan untuk daerah terbuka, nonpemukiman, non-komersial, non-

industri. Untuk garis batas bidang tanah yang tidak dapat diidentifikasi

dilakukan dengan pengukuran tambahan di lapangan (suplesi).

b. Pengukuran terestris dilaksanakan sebagai pengukuran suplesi dan/atau

pengukuran panjangan sisi bidang tanah sebanyak :

a) Minimal 1 (satu) sisi bidang tanah untuk pekerjaan dengan skala

petakerja paling kecil skala 1:2.500 (misalnya skala 1:2.500, skala

1:1.000,skala 1:500)

b) Semua sisi bidang tanah untuk pekerjaan dengan skala peta kerja paling

besar skala 1:2.500 (misalnya skala 1:3.000, skala 1:5.000)

2.3. Teknologi Drone/UAV Untuk Pemetaan Fotogrametri. A UAV is defined as a "powered, aerial vehicle that does not carry a human

operator, uses aerodynamic forces to provide vehicle lift, can fly autonomously or

be piloted remotely, can be expendable or recoverable, and can carry a lethal or

nonlethal payload". (Wikipedia.org). Dalam sejarahnya UAV awalnya digunakan

untuk kepentingan militer, selanjutnya pemanfaatannya untuk kegiatan non-

militer, termasuk kegiatan pemetaan secara fotogrametri untuk kepentingan

administrasi pertanahan. Prinsip pemetaan menggunakan wahana UAV tetap

menggunakan teori Fotogrametri. Berdasarkan jenis wahana yang digunakan

untuk pemetaan dengan teknologi UAV dapat dikelompokkan : Jenis

Rotary/Chopter, Fixed wings dan Hybrid. Masing–masing memiliki kelebihan dan

kekurangan dalam kegiatan pengukuran dan pemetaan. Proses akuisisi data

memiliki kesamaan dengan pemotretan menggunakan pesawat terbang. Hanya

saja resolusi spasial dan ketelitian yang diperoleh dapat disesuaikan dengan

mudah. Proses pemetaan yang digunakan menggunakan teknologi digital,

kamera yang digunakan dapat berupa kamera metrik maupun non metric. Tinggi

terbang untuk pemotretan mengunakan teknologi UAV yang tidak terlalu tinggi

dapat dibuat untuk pembuatan peta skala besar. Selain terkait dengan skala

peta, maka tinggi terbang juga akan mempengaruhi resolusi spasial yang

dihasilkan dari suatu kegiatan pemotretan udara. Hubungan antara tinggi

terbang, panjang fokus kamera, kemampuan kamera dalam merekam obyek dan

resolusi spasial yang dihasilkan ditunjukkan oleh nilai Ground Sample Distance

(GSD). Nilai GSD sebuah foto udara digital sebelum dan sesudah menjadi ortho

foto berbeda. Wilayah dengan topografi yang berbeda akan menghasilkan

keragaman nilai GSD. Secara matematis dapat dilihat pada rumus dibawah ini :

Page 17: prosiding - ATR/BPN

10

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Ground Sample Distance (GSD) = 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑇𝑇𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑇𝑇𝑃𝑃𝑃𝑃𝑇𝑇𝑇𝑇 𝐹𝐹𝑆𝑆𝐹𝐹𝐹𝐹𝑆𝑆 𝑥𝑥 𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑈𝑈𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃

Keterangan :

GSD = The linear dimension of a sample pixel’s footprint on the

ground.

Tinggi Sensor = Tinggi terbang UAV.

Panjang focus = Panjang focus kamera yang digunakan dalam

pemotretan.

Ukuran Piksel = ukuran piksel kamera digital yang digunakan dalam

pemotretan.

Ground Sampel Distance (GSD) menunjukkan resolusi spasial dari citra/foto

yang dihasilkan. Hal ini akan terkait dengan ketelitian peta foto yang akan

dihasilkan, baik ketelitian geometri peta foto maupun ketelitian secara visual

untuk dapat melakukan identifikasi obyek yang akan difoto secara tepat dan

akurat. Dari nilai Ground Sample Distance ini dapat digunakan digunakan untuk

menentukan skala peta foto yang akan dibuat, dengan mengunakan rumus

sebagai berikut :

Resolusi Piksel = 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑃𝑃𝑆𝑆𝑃𝑃 𝑃𝑃𝑆𝑆𝑃𝑃𝑃𝑃 𝑓𝑓𝑆𝑆𝑃𝑃𝑆𝑆𝑅𝑅𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝐹𝐹𝑆𝑆𝑇𝑇 𝑆𝑆𝐹𝐹𝑃𝑃𝑇𝑇𝑇𝑇𝑆𝑆𝑆𝑆

Keterangan :

Resolusi Piksel = resolusi spasial dari hasil pemetaan fotogrametri.

Skala Peta Foto = nilai Skala Peta Foto yang dihasilkan.

Resolusi Scanner = nilai resolusi printer/scanner yang digunakan,

biasanya nilai sebesar 200 dpi.

Pelaksanaan kegiatan pemetaan mengunakan moda UAV, tidak berbeda

dengan tahapan pemetaan secara fotogrametri pada umumnya. Tahapan

kegiatan pemetaan metode UAV dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini. Mulai

tahap perencanaan sampai pada tahap pembuatan peta foto.

Page 18: prosiding - ATR/BPN

11

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Ground Sample Distance (GSD) = 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑇𝑇𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑇𝑇𝑃𝑃𝑃𝑃𝑇𝑇𝑇𝑇 𝐹𝐹𝑆𝑆𝐹𝐹𝐹𝐹𝑆𝑆 𝑥𝑥 𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑈𝑈𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃

Keterangan :

GSD = The linear dimension of a sample pixel’s footprint on the

ground.

Tinggi Sensor = Tinggi terbang UAV.

Panjang focus = Panjang focus kamera yang digunakan dalam

pemotretan.

Ukuran Piksel = ukuran piksel kamera digital yang digunakan dalam

pemotretan.

Ground Sampel Distance (GSD) menunjukkan resolusi spasial dari citra/foto

yang dihasilkan. Hal ini akan terkait dengan ketelitian peta foto yang akan

dihasilkan, baik ketelitian geometri peta foto maupun ketelitian secara visual

untuk dapat melakukan identifikasi obyek yang akan difoto secara tepat dan

akurat. Dari nilai Ground Sample Distance ini dapat digunakan digunakan untuk

menentukan skala peta foto yang akan dibuat, dengan mengunakan rumus

sebagai berikut :

Resolusi Piksel = 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑃𝑃𝑆𝑆𝑃𝑃 𝑃𝑃𝑆𝑆𝑃𝑃𝑃𝑃 𝑓𝑓𝑆𝑆𝑃𝑃𝑆𝑆𝑅𝑅𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝐹𝐹𝑆𝑆𝑇𝑇 𝑆𝑆𝐹𝐹𝑃𝑃𝑇𝑇𝑇𝑇𝑆𝑆𝑆𝑆

Keterangan :

Resolusi Piksel = resolusi spasial dari hasil pemetaan fotogrametri.

Skala Peta Foto = nilai Skala Peta Foto yang dihasilkan.

Resolusi Scanner = nilai resolusi printer/scanner yang digunakan,

biasanya nilai sebesar 200 dpi.

Pelaksanaan kegiatan pemetaan mengunakan moda UAV, tidak berbeda

dengan tahapan pemetaan secara fotogrametri pada umumnya. Tahapan

kegiatan pemetaan metode UAV dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini. Mulai

tahap perencanaan sampai pada tahap pembuatan peta foto.

Gambar 1. Tahapan kegiatan Pemetaan Fotogrametri menggunakan UAV.

Sumber : Catur Aries, 2016.

Perencanaan pemotretan harus memperhitungkan :

a. Cakupan wilayah yang akan dipetakan, akan menentukan desain jalur

terbang.

b. Skala peta yang akan dihasilkan, hal ini terkait dengan rencana tinggi

terbang.

c. Rencana tinggi terbang, diusahakan tidak lebih dari 150 meter.

d. Besaran GSD yang dihasilkan.

Besaran Overlap dan Side Lap, untuk memperkirakan jumlah foto yang

dihasilkan dalam cakupan wilayah pemotretan.

3. METODE PENELITIAN Metodologi penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan

studi literatur dari hasil penelitian-penelitian lain tentang UAV/drone jenis Chopter

yang telah dilakukan dengan cara mendeskripsikan ketelitian dan akurasi hasil

pengukuran dan pemetaan menggunakan teknologi UAV/drone mendeskripsikan

ketelitian dan akurasi hasil pengukuran dan pemetaan menggunakan teknologi

UAV/drone jenis quadchopter terhadap kesesuaian persyaratan teknis dalam

kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap pada daerah dengan topografi

Page 19: prosiding - ATR/BPN

12

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

yang relatif datar dengan penggunaan tanah didominasi tanah persawahan.

Software yang digunakan untuk pengolahan foto adalah Agisoft Photoscan

Profesional. Tinggi terbang pesawat UAV/drone berkisar antara 90 sampai

dengan 110 meter diatas permukaan tanah. Ketelitian Geometri merujuk pada

Ketelitian Geometri peta dasar menurut Peraturan Kepala Badan Informasi

Geospasial Nomor 15 Tahun 2014, menggunakan Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Ketelitian Geometri Peta RBI.

Nilai ketelitian setiap kelas menggunakan ketentuan seperti yang tertera dalam

Tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Ketentuan Ketelitian Geometri Peta RBI Berdasarkan Kelas.

Nilai ketelitian posisi peta dasar pada Tabel 1 adalah nilai CE90 untuk ketelitian

horizontal dan LE90 untuk ketelitian vertikal, yang berarti bahwa kesalahan posisi

peta dasar tidak melebihi nilai ketelitian tersebut dengan tingkat kepercayaan

90%. Nilai CE90 dan LE90 dapat diperoleh dengan rumus mengacu kepada

standar sebagai-berikut US NMAS (United States NationalMap Accuracy

Standards) sebagai berikut:

CE90 = 1,5175 x RMSEr

LE90 = 1,6499 x RMSEz

Dengan : RMSEr : Root Mean Square Error pada posisi x dan y (horizontal)

RMSEz : Root Mean Square Error pada posisi z (vertikal)

Page 20: prosiding - ATR/BPN

13

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

yang relatif datar dengan penggunaan tanah didominasi tanah persawahan.

Software yang digunakan untuk pengolahan foto adalah Agisoft Photoscan

Profesional. Tinggi terbang pesawat UAV/drone berkisar antara 90 sampai

dengan 110 meter diatas permukaan tanah. Ketelitian Geometri merujuk pada

Ketelitian Geometri peta dasar menurut Peraturan Kepala Badan Informasi

Geospasial Nomor 15 Tahun 2014, menggunakan Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Ketelitian Geometri Peta RBI.

Nilai ketelitian setiap kelas menggunakan ketentuan seperti yang tertera dalam

Tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Ketentuan Ketelitian Geometri Peta RBI Berdasarkan Kelas.

Nilai ketelitian posisi peta dasar pada Tabel 1 adalah nilai CE90 untuk ketelitian

horizontal dan LE90 untuk ketelitian vertikal, yang berarti bahwa kesalahan posisi

peta dasar tidak melebihi nilai ketelitian tersebut dengan tingkat kepercayaan

90%. Nilai CE90 dan LE90 dapat diperoleh dengan rumus mengacu kepada

standar sebagai-berikut US NMAS (United States NationalMap Accuracy

Standards) sebagai berikut:

CE90 = 1,5175 x RMSEr

LE90 = 1,6499 x RMSEz

Dengan : RMSEr : Root Mean Square Error pada posisi x dan y (horizontal)

RMSEz : Root Mean Square Error pada posisi z (vertikal)

Uji ketelitian peta foto yang dapat digunakan untuk pembuatan peta dasar

pendaftaran dan peta pendaftaran merujuk pada Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, pada pasal 17

huruf b disebutkan bahwa pembuatan peta dasar pendaftaran dari peta lain

memiliki ketelitian planimetris lebih besar atau sama dengan 0,3 mm pada skala

peta. Berarti perbedaan ukuran di lapangan dengan di atas peta foto yang akan

digunakan sebagai peta dasar pendaftaran / peta pendaftaran tidak boleh lebih

dari 0,3 mm x bilangan skala peta foto tersebut.

4. PEMBAHASAN 4.1. Tinjauan Aspek Legalitas Pemanfaatan Drone/UAV Untuk Kegiatan

Pendaftaran Tanah. Kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang tanah dalam rangka

pendaftaran tanah harus merujuk pada aturan yang telah ditetapkan. Peraturan

mengenai pelaksanaan pendafataran tanah merujuk pada Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 pasal 20 ayat 4 disebutkan Ketentuan lebih

lanjut mengenai pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan

peta pendaftaran ditetapkan oleh Menteri. Kemudian Menteri Negara

Agraria/Kepala BPN menetapkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan dari PP Nomor 24 tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pada Bagian Kedua, Paragraf I, Pasal 12,

huruf (1), disebutkan bahwa pengukuran dan pemetaan untuk pembuatan peta

dasar pendaftaran diselenggarakan dengan cara terrestrial, fotogrametri atau

metode lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Pengukuran dan pemetaan secara

fotogrametri adalah pengukuran dan pemetaan dengan menggunakan sarana

foto udara.

Foto udara adalah foto dari permukaan bumi yang diambil dari udara

dengan mempergunakan kamera yang dipasang pada pesawat udara dan

memenuhi persyaratan-persyaratan teknis tertentu untuk digunakan bagi

pembuatan peta dasar pendaftaran. Persyaratan teknis tertentu tersebut

dijabarkan dalam petunjuk teknis dan buku standardisasi pembuatan peta dasar

secara fotogrametri. Ketelitian peta foto yang dapat dijadikan peta dasar seperti

yang disebutkan dalam Pasal 17 ayat 1 huruf b dan c Peraturan Menteri

Negara/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, (b). peta tersebut sebagaimana

Page 21: prosiding - ATR/BPN

14

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

dimaksud pada huruf a mempunyai ketelitian planimetris lebih besar atau sama

dengan 0,3 mm pada skala peta; (c). untuk mengetahui ketelitian planimetris

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan dengan pengecekan

jarak pada titik-titik yang mudah diidentifikasi di lapangan dan pada peta. Selama

peta foto tersebut memiliki ketelitian planimetris di bawah 0,3 pada skala peta

maka secara teknis dapat digunakan untuk kepentingan pendaftaran tanah.

Selanjutnya dalam petunjuk teknis PMNA/Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997 materi

pengukuran dan pemetaan pendaftaran tanah juga disebutkan metode

Fotogrametri dapat digunakan untuk pengukuran dan pemetaan menghasilkan

titik dasar teknik orde 3, 4 dan titik dasar teknik perapatan. Serta metode

Fotogrametri dapat digunakan untuk kegiatan pengukuran dan pemetaan dalam

rangka membuat peta dasar pendaftaran.

Dalam peraturan ini tidak disebutkan limitasi mengenai wahana dan jenis

kamera yang digunakan untuk kegiatan pengukuran dan pemetaan batas bidang

tanah dalam rangka pendaftaran tanah. Dalam juknis ini diatur teknis dan tata

cara pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah menggunakan metode

fotogrametri. Bahkan Bagian Proyek Administrasi Pertanahan BPN Tahun

Anggaran 2003 telah menerbitkan standardisasi Pembuatan Peta Dasar Secara

Fotogrametri, membahas standard operasional procedure pelaksanaan

pembuatan peta dasar secara fotogrametri dan persayaratan teknis. Hanya saja

konteks dalam standardisasi tersebut masih dalam konteks fotogrametri analog.

Maka jika merujuk legalitas penggunaan metode fotogrametri dalam rangka

pendaftaran tanah sudah cukup dan diperbolehkan. Apalagi dengan

dikeluarkannya petunjuk teknis pengukuran dan pemetaan bidang tanah

Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-300/VII/2017 tanggal 31 Juli 2017 Direktorat

Jendral Infrastruktur Agraria Kementerian ATR/BPN Tahun 2017 dalam rangka

Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap, metode fotogrametri juga

diperkenankan. Peta kerja yang bersumber dari peta data mentah CSRT (raw

data) dan/atau peta foto udara dari wahana pesawat udara nirawak (UAV) tidak dapat digunakan untuk pengukuran dan pemetaan bidang tanah dengan

metode fotogrametri. Kalimat tersebut menjadi multitafsir, yang tidak dapat

digunakan untuk menjadi peta kerja tersebut apakah peta foto udara dari wahana

UAV yang masih mentah / raw data atau juga yang sudah dilakukan

georeferencing dan proses orthofoto. Bagaimana dengan peta foto hasil dari

pemetaan fotogrametri menggunakan wahana UAV tetapi memenuhi ketelitian

Page 22: prosiding - ATR/BPN

15

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

dimaksud pada huruf a mempunyai ketelitian planimetris lebih besar atau sama

dengan 0,3 mm pada skala peta; (c). untuk mengetahui ketelitian planimetris

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan dengan pengecekan

jarak pada titik-titik yang mudah diidentifikasi di lapangan dan pada peta. Selama

peta foto tersebut memiliki ketelitian planimetris di bawah 0,3 pada skala peta

maka secara teknis dapat digunakan untuk kepentingan pendaftaran tanah.

Selanjutnya dalam petunjuk teknis PMNA/Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997 materi

pengukuran dan pemetaan pendaftaran tanah juga disebutkan metode

Fotogrametri dapat digunakan untuk pengukuran dan pemetaan menghasilkan

titik dasar teknik orde 3, 4 dan titik dasar teknik perapatan. Serta metode

Fotogrametri dapat digunakan untuk kegiatan pengukuran dan pemetaan dalam

rangka membuat peta dasar pendaftaran.

Dalam peraturan ini tidak disebutkan limitasi mengenai wahana dan jenis

kamera yang digunakan untuk kegiatan pengukuran dan pemetaan batas bidang

tanah dalam rangka pendaftaran tanah. Dalam juknis ini diatur teknis dan tata

cara pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah menggunakan metode

fotogrametri. Bahkan Bagian Proyek Administrasi Pertanahan BPN Tahun

Anggaran 2003 telah menerbitkan standardisasi Pembuatan Peta Dasar Secara

Fotogrametri, membahas standard operasional procedure pelaksanaan

pembuatan peta dasar secara fotogrametri dan persayaratan teknis. Hanya saja

konteks dalam standardisasi tersebut masih dalam konteks fotogrametri analog.

Maka jika merujuk legalitas penggunaan metode fotogrametri dalam rangka

pendaftaran tanah sudah cukup dan diperbolehkan. Apalagi dengan

dikeluarkannya petunjuk teknis pengukuran dan pemetaan bidang tanah

Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-300/VII/2017 tanggal 31 Juli 2017 Direktorat

Jendral Infrastruktur Agraria Kementerian ATR/BPN Tahun 2017 dalam rangka

Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap, metode fotogrametri juga

diperkenankan. Peta kerja yang bersumber dari peta data mentah CSRT (raw

data) dan/atau peta foto udara dari wahana pesawat udara nirawak (UAV) tidak dapat digunakan untuk pengukuran dan pemetaan bidang tanah dengan

metode fotogrametri. Kalimat tersebut menjadi multitafsir, yang tidak dapat

digunakan untuk menjadi peta kerja tersebut apakah peta foto udara dari wahana

UAV yang masih mentah / raw data atau juga yang sudah dilakukan

georeferencing dan proses orthofoto. Bagaimana dengan peta foto hasil dari

pemetaan fotogrametri menggunakan wahana UAV tetapi memenuhi ketelitian

geometris peta foto seperti yang disyaratkan dalam pembuatan peta dasar

pendaftaran dan ketelitian planimetris untuk kepentingan pengukuran dan

pemetaan bidang tanah dalam rangka pendaftaran tanah. Seperti yang

disyaratkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 dan

petunjuk teknisnya serta dalam prosedur pengukuran dan pemetaan metode

fotogrametri mengikuti standar operasional prosedur pembuatan peta dasar

secara fotogrametri. Dalam proses pemotretan juga tidak melanggar Peraturan

Menteri Perhubungan No. PM 47 Tahun 2016 Perubahan Atas Peraturan Menteri

Perhubungan No. PM 180 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian

Sistem Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara Yang Dilayani Indonesia,

yaitu tinggi terbang tidak lebih dari 150 meter. Dengan terpenuhi : spesifikasi

teknis, ketelitian geometri dan standart operasional prosedur pemotretan dalam

rangka pendaftaran tanah maka sudah selayaknya metode pengukuran dan

pemetaan pendaftaran tanah metode fotogrametri menggunakan wahana UAV

diperbolehkan.

4.2. Tinjauan Aspek Ketelitian Geometri Peta Foto dari Pemetaan Mengunakan Drone/UAV Penelitian terkait uji ketelitian geometri peta foto dari pemetaan

menggunakan Drone/UAV telah banyak dilakukan dan menghasilkan ketelitian

geometri yang baik.

Penelitian yang dilakukan Agung Widianto, 2017 menggunakan drone

merek Dji Phantom 3 Pro dengan pemetaan metode Indirect Georeferencing

menggunakan 9 Ground Control Point (GCP) dan 10 Independent Control Point

(ICP) sebanyak 10 titik. Tinggi terbang 114 meter, dan diperoleh nilai GSD = 4,27

cm/piksel. Pengolahan data menggunakan software AGISOFT PHOTOSCAN

PROFESSIONAL VERSION 1.3.2.4205 diuji dan dibandingkan dengan ukuran

Terestris menggunakan Instrumen ukur Elektronic Total Station. Lokasi penelitian

relatif datar dengan penggunaan tanah berupa tanah pertanian atau sawah.

Diperoleh hasil ketelitian geometri peta foto dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel

4 berikut ini.

Page 23: prosiding - ATR/BPN

16

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Tabel 3. Ketelitian Ground Control Point

Sumber : Agung Widiyanto, 2017.

Tabel 4. Ketelitian Independen Control Point

Sumber : Agung Widiyanto, 2017.

Berdasarkan Tabel 3 dan Tabel 4 di atas, diperoleh nilai perbedaan posisi

GCP secara lateral 0,021472 meter atau 2,1472 cm sedangkan nilai perbedaan

posisi ICP 0.0676663 meter atau 6,76663 cm. Untuk menguji ketelitian geometri

hasil peta foto tersebut Ketelitian Geometri peta dasar menurut Peraturan Kepala

Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014 dengan menggunakan nilai

RMSE, maka diperoleh nilai RMSEx,y = 2,1472 cm. Diperoleh CE 90 = 1,5175 x

2,1472= 3,258 cm = 0,03258 m. Berdasarkan Tabel 1 di atas, maka peta foto ini

secara geometri layak untuk digunakan sebagai peta dasar pada skala diatas 1 :

1000. Kemudian Perbandingan ukuran jarak terestris menggunakan alat ukur

Elektronik Total Station dari 100 data jarak yang diukur diperoleh rata – rata

0.063 meter atau 6,3 cm, perbedaan terbesar 0,21 meter dan terendah 0 meter.

Maka dengan demikian uji terhadap persyaratan menurut PMNA/Ka. BPN

Nomor 3 Tahun 1997 dan Juknis PMNA/Ka. BPN Nomor 3 tahun 1997 dengan

syarat untuk pengukuran dan pemetaan di daerah pertanian toleransi kesalahan

yang diperbolehkan terhadap hasil ukuran batas bidang tanah pertanian

maksimum 25 cm dapat dipenuhi. Kemudian terhadap luas bidang tanah

diperoleh perbedaan luas bidang tanah dengan sampel 86 bidang tanah sawah

diperoleh Jumlah total luas bidang tanah hasil ukuran terestris sebesar 113.709

m2 sedangkan hasil ukuran diatas peta foto sebesar 113.779 m2 terdapat

Page 24: prosiding - ATR/BPN

17

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Tabel 3. Ketelitian Ground Control Point

Sumber : Agung Widiyanto, 2017.

Tabel 4. Ketelitian Independen Control Point

Sumber : Agung Widiyanto, 2017.

Berdasarkan Tabel 3 dan Tabel 4 di atas, diperoleh nilai perbedaan posisi

GCP secara lateral 0,021472 meter atau 2,1472 cm sedangkan nilai perbedaan

posisi ICP 0.0676663 meter atau 6,76663 cm. Untuk menguji ketelitian geometri

hasil peta foto tersebut Ketelitian Geometri peta dasar menurut Peraturan Kepala

Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014 dengan menggunakan nilai

RMSE, maka diperoleh nilai RMSEx,y = 2,1472 cm. Diperoleh CE 90 = 1,5175 x

2,1472= 3,258 cm = 0,03258 m. Berdasarkan Tabel 1 di atas, maka peta foto ini

secara geometri layak untuk digunakan sebagai peta dasar pada skala diatas 1 :

1000. Kemudian Perbandingan ukuran jarak terestris menggunakan alat ukur

Elektronik Total Station dari 100 data jarak yang diukur diperoleh rata – rata

0.063 meter atau 6,3 cm, perbedaan terbesar 0,21 meter dan terendah 0 meter.

Maka dengan demikian uji terhadap persyaratan menurut PMNA/Ka. BPN

Nomor 3 Tahun 1997 dan Juknis PMNA/Ka. BPN Nomor 3 tahun 1997 dengan

syarat untuk pengukuran dan pemetaan di daerah pertanian toleransi kesalahan

yang diperbolehkan terhadap hasil ukuran batas bidang tanah pertanian

maksimum 25 cm dapat dipenuhi. Kemudian terhadap luas bidang tanah

diperoleh perbedaan luas bidang tanah dengan sampel 86 bidang tanah sawah

diperoleh Jumlah total luas bidang tanah hasil ukuran terestris sebesar 113.709

m2 sedangkan hasil ukuran diatas peta foto sebesar 113.779 m2 terdapat

perbedaan luas sebesar 70 m2 atau perbedaan rata – rata setiap bidang tanah

sebesar 0.814 m2. Hal ini memenuhi persayaratan perbedaan luas tanah dengan

syarat maksimum ½ √ L (Agung Widiyanto, 2017).

Berdasarkan hasil penelitian Eko Budi Wahyono dkk tahun 2017, diperoleh

hasil sebagai berikut : Lokasi Penelitian Desa Kudu Kecamatan Kertosono

Kabupaten Nganjuk Provinsi Jawa timur, penggunaan tanah pada wilayah yang

dipotret pertanian berupa tanah sawah. Pemotretan lokasi penelitian dilakukan

dengan UAV/drone pada ketinggian 98,1 s.d. 111 m, overlap 80 % dan side lap

40%. Cakupan area yang dihasilkan seluas 1,11 Km2 atau 111 Ha, dilakukan 3

kali penerbangan dan diperoleh sebanyak 1.085 lembar foto. Nilai GSD = 4,38

cm/piksel. Untuk kepentingan Georeference dipasang 9 premark yang berfungsi

sebagai Ground Control Point diukur menggunakan GNSS CORS dengan Base

Station Kantor Pertanahan Kabupaten Jombang. Untuk kepentingan uji ketelitian

hasil foto dibandingkan dengan ukuran metode terestris menggunakan alat ukur

Total Station dengan titik referensi yang diukur menggunakan GNSS CORS.

Untuk menguji ketelitian geometri peta foto adalah dengan mengetahui nilai

kesalahan posisi antara Ground Control Point (GCP) berdasarkan koordinat

lapangan dengan koordinat hasil proses Indirect Georeference dapat dilihat

pada Tabel 5 berikut ini.

Tabel. 5. Nilai Kesalahan Koordinat GCP di Lapangan dengan

Koordinat GCP Foto.

Sumber : Eko Budi Wahyono dkk, 2017.

Dari Table 5 diatas diperoleh nilai :RMSEx = 14,8419 cm, RMSEy =

16,5355 cm, RMSEz = 5,1718 cm. Maka diperoleh nilai RMSEr (RMSEx,y) =

22,2195 cm. RMSE total = 22.8134 cm. Ketelitian Geometri peta dasar menurut

Page 25: prosiding - ATR/BPN

18

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014 adalah

kesalahan posisi peta dasar tidak melebihi nilai ketelitian tersebut dengan tingkat

kepercayaan 90%. Nilai CE90 dan LE90 dapat diperoleh dengan rumus mengacu

kepada standar sebagai-berikut US NMAS (United States NationalMap Accuracy

Standards) sebagai berikut: CE90 = 1,5175 x RMSEr = 1,5175 x 14,8419 cm =

22,52258 cm. Berdasarkan ketelitian tersebut dan Tabel 1 tentang ketelitian

geometri peta RBI, maka peta foto ini cocok untuk digunakan dalam pembuatan

peta dasar pada skala 1 : 1.000 kelas 2. Jika untuk menjadi peta dasar

pendaftaran dalam rangka kegiatan pendaftaran tanah, ketelitian yang diperoleh

masuk toleransi dan dapat diterima karena menurut Peraturan Menteri Negara

Agraria Nomor 3 Tahun 1997 kesalahan planimetris yang diperbolehkan dari peta

dasar pendaftaran yang akan dijadikan peta pendaftaran adalah kesalahan

planimetris < 0,3 x skala peta. Pada skala 1 : 1000 kesalahan maksimum harus

kurang dari 30 cm, hasil dari penelitian tersebut 22,52258 cm kurang dari 30 cm

(Eko Budi Wahyono, 2017).

Berdasarkan penelitian Frandika tahun 2017, diperoleh hasil sebagai

berikut : Lokasi penelitian Desa Sempol Kecamatan Maospati Kabupaten

Magetan Provinsi Jawa Timur. Penggunaan tanah permukiman dan pertanian.

Untuk kepentingan Georeference memasang premark yang berfungsi sebagai

Ground Control Point (GCP) sebanyak 10 titik GCP. Tinggi terbang 109 meter,

memetakan wilayah seluas 145 Ha dan diperoleh nilai Ground Sample Distance

(GSD) = 3,43 cm/piksel. Jumlah foto 1.480 lembar. Untuk menguji ketelitian

posisi pada peta dasar yang berupa peta foto hasil pemotretan UAV yaitu dengan

membandingkan nilai koordinat GCP pada peta dasar dengan hasil ukuran

GPS/GNSS – CORS. Perbedaan nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 berikut

ini.

Page 26: prosiding - ATR/BPN

19

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014 adalah

kesalahan posisi peta dasar tidak melebihi nilai ketelitian tersebut dengan tingkat

kepercayaan 90%. Nilai CE90 dan LE90 dapat diperoleh dengan rumus mengacu

kepada standar sebagai-berikut US NMAS (United States NationalMap Accuracy

Standards) sebagai berikut: CE90 = 1,5175 x RMSEr = 1,5175 x 14,8419 cm =

22,52258 cm. Berdasarkan ketelitian tersebut dan Tabel 1 tentang ketelitian

geometri peta RBI, maka peta foto ini cocok untuk digunakan dalam pembuatan

peta dasar pada skala 1 : 1.000 kelas 2. Jika untuk menjadi peta dasar

pendaftaran dalam rangka kegiatan pendaftaran tanah, ketelitian yang diperoleh

masuk toleransi dan dapat diterima karena menurut Peraturan Menteri Negara

Agraria Nomor 3 Tahun 1997 kesalahan planimetris yang diperbolehkan dari peta

dasar pendaftaran yang akan dijadikan peta pendaftaran adalah kesalahan

planimetris < 0,3 x skala peta. Pada skala 1 : 1000 kesalahan maksimum harus

kurang dari 30 cm, hasil dari penelitian tersebut 22,52258 cm kurang dari 30 cm

(Eko Budi Wahyono, 2017).

Berdasarkan penelitian Frandika tahun 2017, diperoleh hasil sebagai

berikut : Lokasi penelitian Desa Sempol Kecamatan Maospati Kabupaten

Magetan Provinsi Jawa Timur. Penggunaan tanah permukiman dan pertanian.

Untuk kepentingan Georeference memasang premark yang berfungsi sebagai

Ground Control Point (GCP) sebanyak 10 titik GCP. Tinggi terbang 109 meter,

memetakan wilayah seluas 145 Ha dan diperoleh nilai Ground Sample Distance

(GSD) = 3,43 cm/piksel. Jumlah foto 1.480 lembar. Untuk menguji ketelitian

posisi pada peta dasar yang berupa peta foto hasil pemotretan UAV yaitu dengan

membandingkan nilai koordinat GCP pada peta dasar dengan hasil ukuran

GPS/GNSS – CORS. Perbedaan nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 berikut

ini.

Tabel 6. Perbedaan nilai koordinat GCP pada Foto

dengan Ukuran GNSS-CORS.

Sumber : Frandika, 2017.

Dari Tabel 6 tersebut diperoleh nilai rata – rata perbedaan nilai koordinat

GCP secara lateral dan planimetris hasil ukuran diatas peta dasar berupa peta

foto dengan ukuran GNSS CORS adalah 0,079797274 meter atau 7,9797274

cm. Kemudian ketelitian posisi pada peta dasar dengan tingkat kepercayaan 90%

diperoleh CE90 = 0,121092364. .Menurut Peraturan Kepala Badan Informasi

Geospasial Nomor 15 Tahun 2014, pada nilai CE90= 0,121092364 dengan

merujuk pada Tabel 1 sangat sesuai digunakan untuk pembuatan peta dasar

pada skala 1 : 1000. Hasil peta foto tersebut kemudian dilakukan digitasi

terhadap obyek yang mudah diidentifikasi pada foto maupun di lapangan

kemudian diukur jarak horisontalnya. Pengukuran jarak diatas foto hasil dari

proses digitasi sedangkan pengukuran jarak di lapangan dilakukan secara

langsung. Pengukuran jarak secara langsung di lapangan menggunakan alat

ukur berupa pita ukur dari bahan fiber dengan panjang maksimum 50 meter.

Hasil perbedaan hasil ukuran jarak pada peta foto dengan ukuran langsung

dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini (Frandika, 2017).

Page 27: prosiding - ATR/BPN

20

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Tabel 7. Perbedaan ukuran Langsung dengan Hasil Digitasi Peta Foto.

Sumber : Frandika, 2017.

Pada Tabel 7, diperoleh perbedaan ukuran di atas peta foto dan secara

langsung di lapangan rata – rata 0,055 meter atau 5,5 cm. Perbedaan terbesar

0,10 meter dan terkecil 0 meter. Berdasarkan juknis PMNA/Ka. BPN Nomor 3

Tahun 1997 tentang toleransi ketelitian pengukuran jarak untuk pemukiman 10

cm dan pertanian 25 cm. Maka perbedaan ukuran jarak tersebut sudah

memenuhi syarat toleransi ketelitian Juknis PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1997

tersebut (Frandika, 2017).

Berdasarkan hasil ketiga penelitian di atas, maka jika dilihat dalam aspek

ketelitian geometri peta foto hasil produk dari pemetaan fotogramteri

menggunakan UAV/drone sudah memenuhi toleransi ketelitian yang disyaratkan.

Baik menurut Peraturan Kepala BIG Nomor 15 Tahun 2014 maupun oleh

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1997 (PMNA/Ka.

BPN No. 3 Tahun 1997) beserta petunjuk teknis pengukuran dan pemetaan

dalam rangka Pendaftaran Tanah menurut PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1997.

4.3. Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap Menggunakan Drone/UAV Pelaksanaan pengukuran batas bidang tanah dalam rangka pendaftaran

tanah sistematik lengkap dengan metode fotogrametri dapat mempercepat

proses pengukuran batas bidang tanah. Dalam petunjuk teknis pengukuran dan

pemetaan bidang tanah Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-300/VII/2017

tanggal 31 Juli 2017 Direktorat Jendral Infrastruktur Agraria Kementerian

Page 28: prosiding - ATR/BPN

21

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Tabel 7. Perbedaan ukuran Langsung dengan Hasil Digitasi Peta Foto.

Sumber : Frandika, 2017.

Pada Tabel 7, diperoleh perbedaan ukuran di atas peta foto dan secara

langsung di lapangan rata – rata 0,055 meter atau 5,5 cm. Perbedaan terbesar

0,10 meter dan terkecil 0 meter. Berdasarkan juknis PMNA/Ka. BPN Nomor 3

Tahun 1997 tentang toleransi ketelitian pengukuran jarak untuk pemukiman 10

cm dan pertanian 25 cm. Maka perbedaan ukuran jarak tersebut sudah

memenuhi syarat toleransi ketelitian Juknis PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1997

tersebut (Frandika, 2017).

Berdasarkan hasil ketiga penelitian di atas, maka jika dilihat dalam aspek

ketelitian geometri peta foto hasil produk dari pemetaan fotogramteri

menggunakan UAV/drone sudah memenuhi toleransi ketelitian yang disyaratkan.

Baik menurut Peraturan Kepala BIG Nomor 15 Tahun 2014 maupun oleh

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1997 (PMNA/Ka.

BPN No. 3 Tahun 1997) beserta petunjuk teknis pengukuran dan pemetaan

dalam rangka Pendaftaran Tanah menurut PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1997.

4.3. Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap Menggunakan Drone/UAV Pelaksanaan pengukuran batas bidang tanah dalam rangka pendaftaran

tanah sistematik lengkap dengan metode fotogrametri dapat mempercepat

proses pengukuran batas bidang tanah. Dalam petunjuk teknis pengukuran dan

pemetaan bidang tanah Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-300/VII/2017

tanggal 31 Juli 2017 Direktorat Jendral Infrastruktur Agraria Kementerian

ATR/BPN Tahun 2017 dalam rangka Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap,

menyebutkan pengukuran batas bidang tanah secara fotogrametri dilakukan

dengan mengukur salah satu sisi bidang tanah selama ketelitian geometris peta

foto tersebut terpenuhi dan batas bidang tanah dapat teridentifikasi di atas peta

foto tersebut. Tidak semua sisi bidang tanah diukur, sehingga hal ini akan

mempercepat proses pengukuran dibandingkan dengan semua sisi dan letak

batas bidang tanah diukur secara terestris. Berdasarkan penelitian Agung

Widiyanto, 2017, perbandingan waktu penyelesaian pada jumlah dan luasan

obyek bidang tanah yang sama antara pengukuran secara terestris

menggunakan Total Station dengan metode fotogrametri menggunakan wahana

UAV dapat dilihat pada Tabel 8 dan Tabel 9 berikut ini. Luas wilayah 11,38 Ha

dan jumlah total 86 bidang tanah pertanian. Jumlah sumber daya manusia untuk

proses pengukuran metode terestris sebanyak 4 orang, sedangkan metode

fotogrametri dikerjakan oleh dua orang.

Tabel 8. Waktu yang diperlukan untuk pengukuran metode terestris.

Sumber : Agung Widiyanto, 2017

Dengan menggunakan 4 orang untuk mengukur 86 bidang tanah seluas

11,38 Ha diperlukan waktu sebanyak 3210 menit atau 53,5 jam. Waktu terbesar

digunakan untuk proses pengukuran batas bidang tanah tanah yaitu 1720 menit.

Sedangkan untuk proses perhitungan dan pemetaan tidak begitu memerlukan

waktu yang lama (Agung Widiyanto, 2017). Pengukuran batas bidang tanah ini

dilakukan pada kenampakan fisik batas batas bidang tanah tersebut di lapangan

dan mudah diidentifikasi batas bidang tanah yang sesuai pada peta foto. Unsur

pemenuhan asas Contradictoire Delimitatie telah dilakukan terlebih dahulu baik di

lapangan maupun pada peta foto tersebut serta dilaksanakan sebelum proses

pengukuran.

Page 29: prosiding - ATR/BPN

22

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Tabel 9. Waktu yang diperlukan untuk pengukuran metode Fotogrametri.

Sumber : Agung Widiyanto, 2017

Dalam metode fotogrametri pelaksanaan pengukuran dan pemetaan

dilaksanakan oleh dua orang. Durasi waktu paling lama adalah pengolahan

mosaic foto memerlukan waktu 470 menit atau 7 jam. Waktu pemotretan yang

relatif pendek hanya 30 menit. Pada metode fotogrametri ini 100% pengukuran

batas bidang tanah dilakukan di atas peta foto. Ketelitian geometri lihat pada

Tabel 3 dan Tabel 4 di atas (Agung Widiyanto, 2017).

Berdasarkan Tabel 8 dan Tabel 9 tersebut di atas untuk menyelesaikan

pengukuran dan pemetaan bidang tanah perbandingan antara metode terestris

dan fotogrametri adalah 3210 jam : 1032 jam. Dapat juga dikatakan penyelesaian

pengukuran dan pemetaan bidang tanah antara metode terestris dan metode

fotogrametri adalah 3 : 1. Dengan catatan perbandingan Sumber Daya Manusia :

4 : 2. Maka dengan demikian metode fotogrametri dapat mempercepat proses

pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah dan sangat mendukung

percepatan pendaftaran tanah sistematik lengkap yang memiliki keterbatasan

jumlah sumber daya manusia.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari berbagai hasil penelitian diperoleh sebagai kesimpulan sebagai

berikut:

a. Kegiatan pengukuran dan pemetaan secara fotogrametri untuk kepentingan

pendaftaran tanah termasuk percepatan pendaftaran tanah sistematik

lengkap telah mendapatkan legalitas.

Page 30: prosiding - ATR/BPN

23

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Tabel 9. Waktu yang diperlukan untuk pengukuran metode Fotogrametri.

Sumber : Agung Widiyanto, 2017

Dalam metode fotogrametri pelaksanaan pengukuran dan pemetaan

dilaksanakan oleh dua orang. Durasi waktu paling lama adalah pengolahan

mosaic foto memerlukan waktu 470 menit atau 7 jam. Waktu pemotretan yang

relatif pendek hanya 30 menit. Pada metode fotogrametri ini 100% pengukuran

batas bidang tanah dilakukan di atas peta foto. Ketelitian geometri lihat pada

Tabel 3 dan Tabel 4 di atas (Agung Widiyanto, 2017).

Berdasarkan Tabel 8 dan Tabel 9 tersebut di atas untuk menyelesaikan

pengukuran dan pemetaan bidang tanah perbandingan antara metode terestris

dan fotogrametri adalah 3210 jam : 1032 jam. Dapat juga dikatakan penyelesaian

pengukuran dan pemetaan bidang tanah antara metode terestris dan metode

fotogrametri adalah 3 : 1. Dengan catatan perbandingan Sumber Daya Manusia :

4 : 2. Maka dengan demikian metode fotogrametri dapat mempercepat proses

pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah dan sangat mendukung

percepatan pendaftaran tanah sistematik lengkap yang memiliki keterbatasan

jumlah sumber daya manusia.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari berbagai hasil penelitian diperoleh sebagai kesimpulan sebagai

berikut:

a. Kegiatan pengukuran dan pemetaan secara fotogrametri untuk kepentingan

pendaftaran tanah termasuk percepatan pendaftaran tanah sistematik

lengkap telah mendapatkan legalitas.

b. Berdasarkan Peraturan Kepala BIG No. 15 Tahun 2014, ketelitian CE90

diperoleh nilai berkisar antara 0,035 sampai dengan 0,22 maka peta foto

hasil pemotretan menggunakan wahana drone dapat dibuat menjadi peta

dasar pada skala 1 : 1000.

c. Ketelitian planimetris peta foto hasil pemotretan UAV/drone yang dihasilkan

berkisar antara 6 cm sampai dengan 23 cm, jika merujuk pada

PMNA/Ka.BPN No. 3 Tahun 1997 memenuhi syarat teknis untuk pembuatan

peta pendaftaran karena pada skala 1 : 1000 kesalahan planimetrisnya

kurang dari 30 cm. selisih jarak ukuran langsung dengan diatas peta foto

kurang dari 25 cm pada daerah pertanian dan kurang dari 10 cm pada

daerah permukiman terbuka.

d. Perbedaan luas yang diperoleh dari pengukuran secara terestris dan

fotogrametri kurang dari ½ √L, rata – rata perbedaan luas setiap bidang

tanah sebesar 0,814 m2.

e. Perbandingan jumlah bidang tanah yang dapat dipetakan melalui

pengukuran batas bidang tanah antara metode terestris menggunakan Total

Station dengan metode Fotogrametri teknologi UAV/drone adalah 1 : 3.

Kemudian sumber daya manusia yang digunakan : Terestri perlu 4 orang

sedangkan UAV/drone memerlukan 2 orang.

f. Dengan memperhatikan ketelitian, akurasi, efisiensi hasil pengukuran dan

pemetaan bidang tanah menggunakan metode fotogrametri dengan wahana

UAV/drone, maka dapat digunakan untuk kegiatan percepatan pendaftaran

tanah sistematik lengkap.

Saran :

a. Melakukan revisi Petunjuk Teknis Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah

Sistematik Lengkap No. 03/JUKNIS-300/VII/2017 tanggal 31 Juli 2017,

khususnya pelarangan penggunaan pesawat tanpa awak/UAV/drone.

Dengan memperhatikan ketelitian yang diperoleh dari pemetaan fotogrametri

menggunakan drone maka pelarangan tersebut agar dapat direvisi khusus

untuk wilayah yang sesuai dengan kondisi lokasi penelitian (sawah, datar)

dengan metode yang sesuai metode penelitian yang digunakan (Jenis UAV,

ketinggian terbang dan pengolahan citra).

b. Penggunaan Teknologi UAV/drone sebaiknya perlu tetap memperhatikan

kepastian tentang batas bidang tanah dan asas Contradictoire Delimitatie.

Page 31: prosiding - ATR/BPN

24

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

c. Metode Fotogrametri masih belum dipercaya oleh petugas ukur Kementerian

Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional terkait ketelitian yang

dihasilkan maka untuk itu perlu ada sosialisasi dan pelatihan terus menerus

terhadap sumber daya manusia terkait dengan penggunaan drone untuk

pengukuran dan pemetaan dengan metode fotogrametri.

d. Diperlukan penelitian lanjutan untuk wilayah dengan kondisi geografis,

topografi dan penggunaan tanah yang berbeda

e. Sesegera mungkin dibuatkan petunjuk teknis operasionalisasi penggunaan

drone untuk percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap, sehingga

terdapat keseragaman metode dalam menerapkan metode fotogrametri

dengan wahana UAV/drone.

DAFTAR PUSTAKA Agung, W. (2017). Pemanfaatan UAV Tipe QUADCOPTER Untuk Percepatan

Pengukuran Bidang Tanah Pertanian. Skripsi Sekolah Tinggi Pertanahan

Nasional. Yogyakarta. 130 hlm.

David P. Pain. (1993). Fotografi Udara Dan Penafsiran Citra Untuk Pengelolaan

Sumber Daya. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.

Eko Budi Wahyono, Agung NB, Arief Syaifullah (2017), Pemetaan Metode

Fotogrametri Dengan Wahana UAV/drone : Direct Georefenrencing Dan

Inderect Georeferencing Untuk Base Map Geo-KKP Web, Penelitian

Strategis PPPM – STPN, Yogyakarta.

Frandika, (2017), Uji Ketelitian Hasil Pemotretan Dengan Unmanned Aerial

Vehicle Quadchopter Untuk Pembuatan Peta Dasar Pendaftaran Tanah,

Skripsi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. Yogyakarta. 72 hlm.

F. Yildiz, S. Y. Oturanc. (2014). “An Investigation of Direct and Indirect Geo-

Referencing Techniques on the Accuracy of Points in Photogrammetry”.

World Academy of Science, Engineering and Technology International

Journal of Environmental, Chemical, Ecological, Geological and Geophysical

Engineering Vol:8, No:9, 2014.

Gularso, Herjuno, Hayu Rianasari dan Florence Elfriede S Silalahi.2015.

Penggunaan Foto Udara Format Kecil Menggunakan Wahana Udara

NirAwak Dalam Pemetaan Skala Besar. Jurnal BIG. Cibinong

http://jurnal.big.go.id/index.php/GM/article/viewFile/472/325 diakses pada

tanggal 23-3-2017 pukul 15:00 WIB.

Page 32: prosiding - ATR/BPN

25

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

c. Metode Fotogrametri masih belum dipercaya oleh petugas ukur Kementerian

Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional terkait ketelitian yang

dihasilkan maka untuk itu perlu ada sosialisasi dan pelatihan terus menerus

terhadap sumber daya manusia terkait dengan penggunaan drone untuk

pengukuran dan pemetaan dengan metode fotogrametri.

d. Diperlukan penelitian lanjutan untuk wilayah dengan kondisi geografis,

topografi dan penggunaan tanah yang berbeda

e. Sesegera mungkin dibuatkan petunjuk teknis operasionalisasi penggunaan

drone untuk percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap, sehingga

terdapat keseragaman metode dalam menerapkan metode fotogrametri

dengan wahana UAV/drone.

DAFTAR PUSTAKA Agung, W. (2017). Pemanfaatan UAV Tipe QUADCOPTER Untuk Percepatan

Pengukuran Bidang Tanah Pertanian. Skripsi Sekolah Tinggi Pertanahan

Nasional. Yogyakarta. 130 hlm.

David P. Pain. (1993). Fotografi Udara Dan Penafsiran Citra Untuk Pengelolaan

Sumber Daya. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.

Eko Budi Wahyono, Agung NB, Arief Syaifullah (2017), Pemetaan Metode

Fotogrametri Dengan Wahana UAV/drone : Direct Georefenrencing Dan

Inderect Georeferencing Untuk Base Map Geo-KKP Web, Penelitian

Strategis PPPM – STPN, Yogyakarta.

Frandika, (2017), Uji Ketelitian Hasil Pemotretan Dengan Unmanned Aerial

Vehicle Quadchopter Untuk Pembuatan Peta Dasar Pendaftaran Tanah,

Skripsi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. Yogyakarta. 72 hlm.

F. Yildiz, S. Y. Oturanc. (2014). “An Investigation of Direct and Indirect Geo-

Referencing Techniques on the Accuracy of Points in Photogrammetry”.

World Academy of Science, Engineering and Technology International

Journal of Environmental, Chemical, Ecological, Geological and Geophysical

Engineering Vol:8, No:9, 2014.

Gularso, Herjuno, Hayu Rianasari dan Florence Elfriede S Silalahi.2015.

Penggunaan Foto Udara Format Kecil Menggunakan Wahana Udara

NirAwak Dalam Pemetaan Skala Besar. Jurnal BIG. Cibinong

http://jurnal.big.go.id/index.php/GM/article/viewFile/472/325 diakses pada

tanggal 23-3-2017 pukul 15:00 WIB.

Michael Cramer, Dirk Stallmann and Norbert Haala. (2000). “Direct

Georeferencing Using GPS/Inertial Exterior Orientations For

Photogrammetric Applications”. IAPRS, Vol. XXXIII, Amsterdam.

Petr Gabrlik. (2015). “The Use of Direct Georeferencing in Aerial

Photogrammetry with Micro UAV “. IFAC- Papers On Line 48-4 (2015)

380–385.

Siwi, Ribka Tjiptaning dan Suwardhi Deni . 2016. Pengaruh Precalibration Dan

Self Calibration Kamera Digital Non Metrik Terhadap Ketelitian Hasil

Fotogrametri. Proceeding FIT-ISI 2016..

Tampubolon, W, & Reinhard, W. (2016). Direct Georeferencing Of UAV Data

Based On Simple Building Structures. The International Archives of the

Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences,

Volume XLI-B1, 2016 XXIII ISPRS Congress, 12–19 July 2016, Prague,

Czech Republic, 5(3), 1024–1044.

Peraturan/Undang- Undang.

Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah.

Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 47 Tahun 2016 Perubahan Atas

Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 180 Tahun 2015 tentang

Pengendalian Pengoperasian Sistem Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang

Udara Yang Dilayani Indonesia.

Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014 Tentang

Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar.

Page 33: prosiding - ATR/BPN

26

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Biodata Penulis

Nama : Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si.

Tempat/Tanggal Lahir : Nganjuk, 21 Mei 1965.

NIP : 196505211993031005

NIK : 3471092105650001

NPWP : 69.610.197.1-541.000

Pekerjaan :

1. Kepala UPT Laboratorium STPN

2. Dosen Tetap STPN Yogyakarta.

3. Dosen Tidak Tetap Univ. Muhammadiyah

Yogyakarta.

Alamat Rumah : Jl. Namburan Kidul No. 27/71 Yogyakarta (55131)

(0274)371337 HP: 081391651598.

Alamat Kantor : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Jl. Tata Bumi No. 5 Yogyakarta. Tlp. (0274)

587239

Alamat Email : [email protected].

Pendidikan :

1. S1 (Strata 1) Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas

Gadjah Mada Yogyakarta lulus tahun 1991.

2. S2(Strata 2), Bidang Studi Penginderaan Jauh, Fakultas MIPA

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta lulus tahun 2007.

Pengalaman Pekerjaan :

1. Geoded, pengukuran keliling Lahan Transmigrasi 1992 – 1993.

2. Staf Pengukuran Dan Pendaftaran Tanah pada KANWIL BPN Provinsi

Maluku, 1993 – 1996.

3. Kepala Sub Seksi Pendaftaran hak dan sistim informasi Kantor

Pertanahan Kabupaten Maluku Utara, 1996 – 2000.

4. Staf Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2000 sampai dengan

sekarang.

5. Kepala Laboratorium Pengukuran – Pemetaan STPN, 2001 – 2007.

6. Sekretaris Program Diploma I Pengukuran Dan Pemetaan Kadastral

STPN, 2007.

7. Kepala Unit Pelaksana Tugas (UPT) Laboratorium STPN, 2007 – 2011

Page 34: prosiding - ATR/BPN

27

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Biodata Penulis

Nama : Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si.

Tempat/Tanggal Lahir : Nganjuk, 21 Mei 1965.

NIP : 196505211993031005

NIK : 3471092105650001

NPWP : 69.610.197.1-541.000

Pekerjaan :

1. Kepala UPT Laboratorium STPN

2. Dosen Tetap STPN Yogyakarta.

3. Dosen Tidak Tetap Univ. Muhammadiyah

Yogyakarta.

Alamat Rumah : Jl. Namburan Kidul No. 27/71 Yogyakarta (55131)

(0274)371337 HP: 081391651598.

Alamat Kantor : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Jl. Tata Bumi No. 5 Yogyakarta. Tlp. (0274)

587239

Alamat Email : [email protected].

Pendidikan :

1. S1 (Strata 1) Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas

Gadjah Mada Yogyakarta lulus tahun 1991.

2. S2(Strata 2), Bidang Studi Penginderaan Jauh, Fakultas MIPA

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta lulus tahun 2007.

Pengalaman Pekerjaan :

1. Geoded, pengukuran keliling Lahan Transmigrasi 1992 – 1993.

2. Staf Pengukuran Dan Pendaftaran Tanah pada KANWIL BPN Provinsi

Maluku, 1993 – 1996.

3. Kepala Sub Seksi Pendaftaran hak dan sistim informasi Kantor

Pertanahan Kabupaten Maluku Utara, 1996 – 2000.

4. Staf Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2000 sampai dengan

sekarang.

5. Kepala Laboratorium Pengukuran – Pemetaan STPN, 2001 – 2007.

6. Sekretaris Program Diploma I Pengukuran Dan Pemetaan Kadastral

STPN, 2007.

7. Kepala Unit Pelaksana Tugas (UPT) Laboratorium STPN, 2007 – 2011

8. Ketua Jurusan Perpetaan Program Diploma IV Pertanahan 2011 – 2014

9. Kepala Unit Penunjang Akademik Laboratorium STPN, 2014 sd

sekarang.

Narasumber Pada Pelatihan / Workshop :.

1. Pelatihan Bidang Pertanahan Untuk PT PERTAMINA, 2010.

2. Workshop Pengembangan SDM Pertanahan Kantor Pertanahan

Kabupaten Tabanan Propinsi Bali, 2013.

3. Pelatihan Pengukuran dan Pemetaan Batas Desa, Lembaga Kajian

Publik Pemerintah Dan Otonomi Daerah UII, Yogyakarta, 2013.

4. Pelatihan Pembangunan Sistem Administrasi Pertanahan, Pemerintah

Daerah Kabupaten Sleman, 2014.

5. Pelatihan SDM Pertanahan, Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang di

Jogjakarta, 2014.

6. Workshop Inovasi Akademik Departemen Teknologi Kebumian SV-UGM

Dalam Pembelajaran Berbasis Link And Match Yang Menerapkan

Konsep Teaching Industry, UGM Yogyakarta, 2015.

7. Pelatihan Pengukuran dan Pemetaan Batas Wilayah, Invite Training Of

Quality Yogyakarta, 2015.

8. Pelatihan Peningkatan Kapasitas SDM di Bidang Survey, Pengukuran

Dan Pemetaan di Lingkungan Kanwil BPN Propinsi Banten, 2015.

9. Peningkatan Kapasitas SDM dibidang Pengukuran dengan JRSP/CORS

Kanwil BPN Propinsi JawaTimur, Sidoarjo, 2015.

10. WorkShop Bimbingan Teknis Pengukuran di Lingkungan Kanwil BPN

Propinsi Lampung, Lampung 2015.

11. WorkShop Peningkatan Kapasitas SDM Pertanahan “Hybrid Positioning

System”, STPN Yogyakarta 2015.

12. Rapat Kerja Teknis Bidang Survei, Pengukuran Dan Pemetaan Kanwil

BPN Sumatera Selatan, Palembang 2016.

13. Workshop Peningkatan Kapasitas SDM Dalam Penggunaan CORS di

lingkungan Kanwil BPN Propinsi Jawa Timur, Surabaya 2016.

14. WorkShop Peningkatan Kapasitas SDM Pertanahan “Optimalisasi

JRSP/CORS Menggunakan Mobile Base Station Untuk Percepatan

Pendaftaran Tanah”, STPN Yogyakarta, 2016.

Page 35: prosiding - ATR/BPN

28

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

15. Workshop Pemanfaatan Foto Udara untuk Percepatan Pengukuran dan

Pemetaan Bidang Tanah di lingkungan Kanwil BPN Provinsi DKI Jakarta,

2016

16. Pembinaan Teknis Bidang Survei, Pengukuran Dan Pemetaan Kantor

Wilayah BPN Propinsi Sulawesi Tenggara. Kendari, 2016.

17. Workshop Pemanfaatan Drone Untuk Pemetaan, Kantor Wilayah BPN

Propinsi Riau, Pekan Baru, 2016.

18. Workshop Peningkatan Kapasitas SDM “Pemetaan Batas Wilayah Dan

Administrasi Pertanahan”, Pemerintah Kabupaten Nunukan, Nunukan,

Kalimantan Utara, 2017.

19. Workshop Peningkatan Kapasitas SDM Pertanahan :“Pemanfaatan

Teknologi GNSS Metode Real Time Point Precisse Positioning (RT-PPP)

dan Teknologi UAV/drone Untuk Pembangunan Data Base Land

Record”, STPN, Yogyakarta, 2017.

20. Workshop: Peningkatan Kapasitas Calon Wisudawan Program Studi

Diploma IV Pertanahan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Tahun 2017

“Pengukuran dan Pemetaan Metode Fotogrametri Menggunakan

Wahana Drone untuk PTSL”, STPN, Yogyakarta, 2017.

Page 36: prosiding - ATR/BPN

29

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

15. Workshop Pemanfaatan Foto Udara untuk Percepatan Pengukuran dan

Pemetaan Bidang Tanah di lingkungan Kanwil BPN Provinsi DKI Jakarta,

2016

16. Pembinaan Teknis Bidang Survei, Pengukuran Dan Pemetaan Kantor

Wilayah BPN Propinsi Sulawesi Tenggara. Kendari, 2016.

17. Workshop Pemanfaatan Drone Untuk Pemetaan, Kantor Wilayah BPN

Propinsi Riau, Pekan Baru, 2016.

18. Workshop Peningkatan Kapasitas SDM “Pemetaan Batas Wilayah Dan

Administrasi Pertanahan”, Pemerintah Kabupaten Nunukan, Nunukan,

Kalimantan Utara, 2017.

19. Workshop Peningkatan Kapasitas SDM Pertanahan :“Pemanfaatan

Teknologi GNSS Metode Real Time Point Precisse Positioning (RT-PPP)

dan Teknologi UAV/drone Untuk Pembangunan Data Base Land

Record”, STPN, Yogyakarta, 2017.

20. Workshop: Peningkatan Kapasitas Calon Wisudawan Program Studi

Diploma IV Pertanahan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Tahun 2017

“Pengukuran dan Pemetaan Metode Fotogrametri Menggunakan

Wahana Drone untuk PTSL”, STPN, Yogyakarta, 2017.

PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI KADASTRAL EMPAT DIMENSI (4D) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PADA PENDAFTARAN TANAH

Ketut Tomy Suhari

Surveyor Kadaster Berlisensi (1-0374-17)

Kantor Jasa Surveyor Kadaster Berlisensi (KJSKB) Ketut Tomy Suhari

[email protected] – 081236828055

ABSTRAK

Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional

menerbitkan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 1 Tahun 2017 mengenai program

percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL). Tujuan program

tersebut adalah untuk percepatan pemberian hukum dan perlindungan hukum

hak atas tanah secara adil dan merata, serta mendorong pertumbuhan ekonomi

negara dan ekonomi rakyat.

Namun, dalam menjalankan program tersebut telah ditemukan bahwa terdapat

beberapa masalah atau sengketa (Permen ATR/BPN No. 11 tahun 2016) dalam

hal kepemilikan tanah dan ruang, penguasaan tanah negara, tanah dan ruang

yang terkena bencana alam, pengembalian batas dan pewaris tanah sehingga

perlu diluruskan dan membagi pengetahuan kepada seluruh masyarakat

Indonesia untuk mengetahuinya. Penelitian pada paper ini akan mengangkat

kasus rumah susun seperti penduduk yang mempunyai hak atas ruang dalam

rumah susun / apartemen yang mengalami kerugian akibat bencana alam dan

memperjelas dan mengetahui hak atas kepemilikan tanah dari masa lalu

(sebelum dijual atau dipecah), masa sekarang (dibeli / dihibahkan ke pewaris),

dan pada masa depan (kredit / ahli waris) sehingga mempermudah penyelesaian

sengketa di kemudian hari.

Dalam kasus ini, Pemerintah Indonesia sebaiknya menggunakan suatu metode

baru untuk memecahkan atau memberikan solusi pada sengketa tersebut. Perlu

adanya pengembangan sistem informasi kadastral 4D (3D cadaster plus time)

untuk mengetahui suatu kepemilikan yang diketahui dengan posisi titik koordinat

(x,y), ketinggian dalam rumah susun (z), dan sejarah (History) atau waktu yang

mengetahui suatu kepemilikan hak atas tanah berdasarkan tahun pada masa

lalu, masa sekarang, masa depan (t).

Page 37: prosiding - ATR/BPN

30

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Sehingga, perlu adanya pengembangan dalam survey kadaster yang akan

memanfaatkan dan menggunakan data yuridis, data fisik dan data waktu

(timelapse).

Kata Kunci : Kadastral 4D, Sengketa Rumah Susun, Informasi Sejarah Hak

Tanah, SIK 4D.

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) / Badan Pertanahan Nasional

menerbitkan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 1 Tahun 2017 mengenai program

percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL). Tujuan program

tersebut adalah untuk percepatan pemberian hukum dan perlindungan hukum

hak atas tanah secara adil dan merata, serta mendorong pertumbuhan ekonomi

negara dan ekonomi rakyat.

Dalam proyek PTSL, Pemerintah akan melibatkan berbagai Instansi dan

juga masyarakat untuk memenuhi target setiap tahunnya. Sehingga, Menteri

Agraria dan Tata Ruang mengesahkan PERMEN ATR No. 11 Tahun 2017

tentang Surveyor Kadastral Berlisensi guna untuk memenuhi dan memperbanyak

Petugas Ukur dalam membantu proyek PTSL. Namun dalam suatu pengukuran

untuk mendapatkan data fisik dilapangan akan menghadapi berbagai masalah

atau sengketa yang berhubungan dengan hak atas tanah kepemilikan

sebelumnya dan sesudahnya dan pertengkaran ahli waris dalam pemecahan

tanah atau pembagian sehingga pengukuran tersebut dapat ditunda dan

menunggu konfirmasi penyelesaian masalah dari pemohon atau masyarakat

setempat dengan mengadakan musyawarah dan jika tidak ada solusi dari

sengketa tersebut maka harus melewati jalur hukum yang tertuang dalam

PERMEN ATR No. 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Tanah.

Dalam penelitian ini, akan mengangkat kasus tentang Sengketa Rumah

Susun yang terjadi karena kerusakan batas dikarenakan adanya bencana alam

seperti longsor, tsunami dan lain-lain sehingga pengembalian hak atas tanah dan

Page 38: prosiding - ATR/BPN

31

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Sehingga, perlu adanya pengembangan dalam survey kadaster yang akan

memanfaatkan dan menggunakan data yuridis, data fisik dan data waktu

(timelapse).

Kata Kunci : Kadastral 4D, Sengketa Rumah Susun, Informasi Sejarah Hak

Tanah, SIK 4D.

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) / Badan Pertanahan Nasional

menerbitkan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 1 Tahun 2017 mengenai program

percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL). Tujuan program

tersebut adalah untuk percepatan pemberian hukum dan perlindungan hukum

hak atas tanah secara adil dan merata, serta mendorong pertumbuhan ekonomi

negara dan ekonomi rakyat.

Dalam proyek PTSL, Pemerintah akan melibatkan berbagai Instansi dan

juga masyarakat untuk memenuhi target setiap tahunnya. Sehingga, Menteri

Agraria dan Tata Ruang mengesahkan PERMEN ATR No. 11 Tahun 2017

tentang Surveyor Kadastral Berlisensi guna untuk memenuhi dan memperbanyak

Petugas Ukur dalam membantu proyek PTSL. Namun dalam suatu pengukuran

untuk mendapatkan data fisik dilapangan akan menghadapi berbagai masalah

atau sengketa yang berhubungan dengan hak atas tanah kepemilikan

sebelumnya dan sesudahnya dan pertengkaran ahli waris dalam pemecahan

tanah atau pembagian sehingga pengukuran tersebut dapat ditunda dan

menunggu konfirmasi penyelesaian masalah dari pemohon atau masyarakat

setempat dengan mengadakan musyawarah dan jika tidak ada solusi dari

sengketa tersebut maka harus melewati jalur hukum yang tertuang dalam

PERMEN ATR No. 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Tanah.

Dalam penelitian ini, akan mengangkat kasus tentang Sengketa Rumah

Susun yang terjadi karena kerusakan batas dikarenakan adanya bencana alam

seperti longsor, tsunami dan lain-lain sehingga pengembalian hak atas tanah dan

ruang kemungkinan terjadi penambahan atau pengurangan dari hak atas tanah

sebelumnya.

1.2. Rumusan Masalah Dalam penelitian ini terdapat beberapa permasalahan sehingga dapat di

rumuskan sebagai berikut;

a. Apakah suatu Sistem Informasi Kadastral 4D berguna untuk Indonesia?

b. Bagaimana mengatasi permasalahan jika suatu tanah dan ruangnya terkena

bencana alam dan mengakibatkan kerugian yang besar?

c. Kenapa diperlukan suatu pengembangan sistem informasi kadastral 4D?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan ilmu Sistem Informasi

Kadastral (SIK) dalam Empat dimensi (4D) supaya dapat membantu pekerjaan

Pemerintah atau Badan Pertanahan Nasional dan Instansi yang berkepentingan

dalam penyelesaian Sengketa Tanah pada Rumah Susun atau Apartemen.

Manfaat dari penelitian ini akan berguna bagi Pemerintah dan Masyarakat

Indonesia. Pada Pemerintah atau Instansi yang berkepentingan, data pada

Sistem Informasi Kadastral 4D ini akan memberikan informasi data yuridis, data

fisik dan data waktu (History) sehingga dapat dipergunakan untuk menyelesaikan

kasus-kasus sengketa atau untuk keperluan lainnya. Data ini akan sangat

bermanfaat bagi masyarakat sehingga mereka dapat mengetahui Hak

Kepemilikan yang sebelumnya memiliki nilai Luasan pada posisi yang sudah

ditentukan dan mengetahui sejarah Hak Kepemilikannya.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Aspek Hukum Pertanahan dan Rumah Susun Pesatnya perkembangan sektor properti di Indonesia memaksa berbagai

pihak untuk lebih memahami mengenai hukum properti, terutama megenai

pertanahan dan rumah susun. Hukum agraria merupakan bidang hukum positif

yang mengatur unsur-unsur sumber daya alam yang merupakan satu kesatuan

atas suatu bidang tanah. Sumber daya alam tersebut meliputi bumi, air dan

Page 39: prosiding - ATR/BPN

32

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk ruang angkasa.

Penguasaan dan pemilikan tanah diatur sepenuhnya oleh hukum agraria.

Pembahasan mengenai rumah tidak terlepas dari pembahasan mengenai

status hukum dari tanah di mana rumah tersebut didirikan. Demikian juga apabila

rumah yang dibicarakan adalah hunian rumah vertikal atau rumah susun yang

seringkali disebut sebagai apartemen, maka konstruksi hukum mengenai hak

penguasaan tanah di mana apartemen tersebut didirikan harus sesuai dengan

peraturan perundang-undangan mengenai tanah dan rumah susun. Hal ini

dikarenakan bahwa meskipun hak milik atas atas satuan rumah susun bukanlah

hak atas tanah, tetapi berkaitan dengan tanah. (Harsono, 2008).

Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam

suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara

fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-

satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah,

terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda

bersama dan tanah bersama yang di atur dalam Undang – Undang Rumah

Susun (UURS) No. 20 tahun 2011 pasal 1 ayat 1.

2.2. Sistem Informasi Kadastral 3D Badan Pertanahan Nasional, sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan

Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Pertanahan

ditugaskan untuk membangun dan mengembangkan suatu sistem informasi

pertanahan yang didalamnya meliputi pengelolaan, penggunaan, dan

pemanfaatan tanah berbasiskan sistem informasi geografis. Pembangunan

sistem informasi pertanahan ini salah satunya ditujukan untuk mengoptimalkan

pelayanan pertanahan dalam penyampaian data dan informasi kepada

masyarakat. Terkait dengan pengoptimalan pelayanan pertanahan, pemetaan

kadastral dua dimensi yang diterapkan pada bangunan rumah susun sudah

saatnya mulai dikembangkan kearah tiga dimensi. Hal ini dikarenakan rumah

susun merupakan bangunan bertingkat yang memiliki banyak properti dengan

pemanfaatan yang berbeda-beda. Sebuah model tiga dimensi memberikan

kemudahan bagi pengguna untuk memilih posisi virtual dalam peta, keakuratan

yang lebih baik dalam memahami dan menginterpretasi peta, serta untuk

menampilkan bentuk yang lebih perspektif dan dapat memperlihatkan bentuk

Page 40: prosiding - ATR/BPN

33

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk ruang angkasa.

Penguasaan dan pemilikan tanah diatur sepenuhnya oleh hukum agraria.

Pembahasan mengenai rumah tidak terlepas dari pembahasan mengenai

status hukum dari tanah di mana rumah tersebut didirikan. Demikian juga apabila

rumah yang dibicarakan adalah hunian rumah vertikal atau rumah susun yang

seringkali disebut sebagai apartemen, maka konstruksi hukum mengenai hak

penguasaan tanah di mana apartemen tersebut didirikan harus sesuai dengan

peraturan perundang-undangan mengenai tanah dan rumah susun. Hal ini

dikarenakan bahwa meskipun hak milik atas atas satuan rumah susun bukanlah

hak atas tanah, tetapi berkaitan dengan tanah. (Harsono, 2008).

Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam

suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara

fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-

satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah,

terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda

bersama dan tanah bersama yang di atur dalam Undang – Undang Rumah

Susun (UURS) No. 20 tahun 2011 pasal 1 ayat 1.

2.2. Sistem Informasi Kadastral 3D Badan Pertanahan Nasional, sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan

Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Pertanahan

ditugaskan untuk membangun dan mengembangkan suatu sistem informasi

pertanahan yang didalamnya meliputi pengelolaan, penggunaan, dan

pemanfaatan tanah berbasiskan sistem informasi geografis. Pembangunan

sistem informasi pertanahan ini salah satunya ditujukan untuk mengoptimalkan

pelayanan pertanahan dalam penyampaian data dan informasi kepada

masyarakat. Terkait dengan pengoptimalan pelayanan pertanahan, pemetaan

kadastral dua dimensi yang diterapkan pada bangunan rumah susun sudah

saatnya mulai dikembangkan kearah tiga dimensi. Hal ini dikarenakan rumah

susun merupakan bangunan bertingkat yang memiliki banyak properti dengan

pemanfaatan yang berbeda-beda. Sebuah model tiga dimensi memberikan

kemudahan bagi pengguna untuk memilih posisi virtual dalam peta, keakuratan

yang lebih baik dalam memahami dan menginterpretasi peta, serta untuk

menampilkan bentuk yang lebih perspektif dan dapat memperlihatkan bentuk

secara real sehingga dapat memberikan informasi dari bangunan fisik yang ada.

(Edwin, 2010)

Pentingnya pengenalan sebuah peta kadastral 3D dikarenakan agar peta

tersebut tidak terlhat overlap terhadap bidang lain sehingga jelas batas dan

bentuk tanah dan bangunan tersebut. Hal ini dapat dicontohkan pada Gambar. 1

terdapat bangunan ITC Mangga Dua Mall yang penguasaan batas bidangnya

sampai melewati jalan raya sehingga terlihat pada peta 2D akan tertindih atau

overlap.

Gambar 1. Bangunan ITC Mangga Dua Mall

Pengembangan Sistem Informasi Kadastral 3D saat ini sangat populer di

berbagai belahan dunia. Pada sistem ini menjelaskan bahwa posisi (x,y) dan

ketinggian (z atau h) sangat penting dan dibutuhkan untuk kemajuan pendataan

dan penambahan geospatial.

2.3. Implementasi Kadastral 4D Perkembangan teknologi sudah tidak bisa lagi dihindari. Perkembangan

Sistem Informasi Kadastral 4D sangat penting untuk berbagai aspek dalam

pendaftaran kadastral. Kelebihan 4D ini, dapat mengetahui history (sejarah)

karena ditambahkan suatu database yang menunjukan waktu (time) kepemilikan

suatu hak atas tanah. (van Oosterom, Maessen, and Quak, 2002).

Metode ini dinamakan temporal timeline. Suatu kepemilikan sebelumnya

sangat penting untuk diabadikan karena hal ini akan menyangkut pada sengketa

pada masa depan. Suatu alur Temporal Timeline yang ditunjukan pada Gambar

2. Hal ini menjelaskan bahwa suatu sejarah kepemilikan akan mempengaruhi

pada saat ini dan masa depan, seperti contoh pemohon ahli waris selalu

mengatakan bahwa mendapatkan warisan dari orang tua nya yang berupa batas

bidang tanah dan selalu menceritakan sebuah “History” yang menunjukan waktu

Page 41: prosiding - ATR/BPN

34

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

kepemilkannya. Adapun juga ahli waris tersebut ingin membagi warisannya

kepada saudaranya.

Gambar 2. The method of time line

3. METODE PENELITIAN Penelitian ini dikonsepkan untuk pengembangan sistem informasi kadastral

4D secara mudah dan friendly. Pada alur yang pertama adalah Pemerintah atau

Instansi yang berkepentingan sebagai user dan pengguna lalu berhubungan

dengan Masyarakat yang sebagai pemohon sekaligus sebagai saksi (viewer)

dalam suatu sistem kadastral 4D. Alur yang dilakukan Pemerintah dan

masyarakat adalah;

1) Pemerintah atau instansi yang berkepentingan menerima permohonan

sertifikat dari masyarakat yang telah memenuhi Blangko pendaftaran hak

milik suatu tanah guna untuk memenuhi data yuridis sehingga dapat

melaksanakan kegiatan pengumpulan data dan melaksanakan pengukuran

untuk mencari data fisik dilapangan sesuai dengan JUKNIS PERMEN ATR

No. 1 tahun 2017.

2) Setelah dilakukannya kegiatan pengukuran yang meliputi pengukuran sudut

dan jarak untuk memperoleh posisi atau koordinat TM3 juga perlu

Page 42: prosiding - ATR/BPN

35

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

kepemilkannya. Adapun juga ahli waris tersebut ingin membagi warisannya

kepada saudaranya.

Gambar 2. The method of time line

3. METODE PENELITIAN Penelitian ini dikonsepkan untuk pengembangan sistem informasi kadastral

4D secara mudah dan friendly. Pada alur yang pertama adalah Pemerintah atau

Instansi yang berkepentingan sebagai user dan pengguna lalu berhubungan

dengan Masyarakat yang sebagai pemohon sekaligus sebagai saksi (viewer)

dalam suatu sistem kadastral 4D. Alur yang dilakukan Pemerintah dan

masyarakat adalah;

1) Pemerintah atau instansi yang berkepentingan menerima permohonan

sertifikat dari masyarakat yang telah memenuhi Blangko pendaftaran hak

milik suatu tanah guna untuk memenuhi data yuridis sehingga dapat

melaksanakan kegiatan pengumpulan data dan melaksanakan pengukuran

untuk mencari data fisik dilapangan sesuai dengan JUKNIS PERMEN ATR

No. 1 tahun 2017.

2) Setelah dilakukannya kegiatan pengukuran yang meliputi pengukuran sudut

dan jarak untuk memperoleh posisi atau koordinat TM3 juga perlu

dilakukannya pengukuran ketinggian atau kontur atau ketinggian ruang

(rumah susun) dan terhir suatu pendataan sejarah kepemilikan sebelumnya

yang ditunjukan oleh waktu. Penunjukan batas dilakukan oleh pemohon.

3) Setelah pengukuran selesai, sehingga mendapatkan data koordinat,

ketinggian, dan waktu maka dilakukannya prosesing penggambaran yang

akan nantinya distandarisasi dan divalidasi oleh pihak yang berwenang

sehingga dapat dimasukan ke sistem informasi kadastral 4D.

4) Dalam sistem informasi kadastral 4D ini, semua orang yang memiliki

sertifikat berhak untuk melihat dan menyaksikan suatu sejarah hak milik

tanah dan ruangnya. Dengan login atau password yang akan ada di

sertifikatnya untuk mempermudah mencari hak atas tanah dan ruangnya.

Metode ini dapat dilihat di Gambar 3.

Gambar 3. Metode penggunaan sistem informasi kadastral 4D.

Page 43: prosiding - ATR/BPN

36

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

4. PEMBAHASAN

4.1. Implementasi pada aplikasi Sistem Informasi Kadastral 4D.

Dalam penelitian ini direncanakan untuk mengabungkan teori, praktik dan

juga keahlian dalam bidang pemrograman. Untuk software akan digunakan open

source Celsium dan juga menggunakan SketchUp dengan metode teori CityGML

untuk mengimport data 3D ke dalam website yang akan menampilkan sistem

informasi kadastral seperti contoh Gambar 4.

Gambar 4. 3D modelling Bangunan UTM Space (Kuala Lumpur)

Dari sistem 3D tersebut direncanakan untuk membuat suatu program

menggunakan software Celsium dan CityGML sehingga dapat menciptakan

metode kadastral 4D yang ditambahkan waktu real time dan database yang

menunjukan data yuridis. Gambar 5 yang berada paling atas menunjukan data

register atau informasi kepemilikan tanah atau ruang, garis berwarna kuning

menunjukan waktu pada pagi dan malam hari dan terakhir garis warna merah

menunjukan waktu berdasarkan jam, tanggal dan koordinat.

Page 44: prosiding - ATR/BPN

37

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

4. PEMBAHASAN

4.1. Implementasi pada aplikasi Sistem Informasi Kadastral 4D.

Dalam penelitian ini direncanakan untuk mengabungkan teori, praktik dan

juga keahlian dalam bidang pemrograman. Untuk software akan digunakan open

source Celsium dan juga menggunakan SketchUp dengan metode teori CityGML

untuk mengimport data 3D ke dalam website yang akan menampilkan sistem

informasi kadastral seperti contoh Gambar 4.

Gambar 4. 3D modelling Bangunan UTM Space (Kuala Lumpur)

Dari sistem 3D tersebut direncanakan untuk membuat suatu program

menggunakan software Celsium dan CityGML sehingga dapat menciptakan

metode kadastral 4D yang ditambahkan waktu real time dan database yang

menunjukan data yuridis. Gambar 5 yang berada paling atas menunjukan data

register atau informasi kepemilikan tanah atau ruang, garis berwarna kuning

menunjukan waktu pada pagi dan malam hari dan terakhir garis warna merah

menunjukan waktu berdasarkan jam, tanggal dan koordinat.

Gambar 5. 3D modelling miami from celsium

4.2. Penyelesaian Sengketa Tanah dengan Sistem Informasi Kadastral 4D Bencana Alam terjadi kapan saja sehingga mengakibatkan hilangnya

beberapa batas bidang hak atas seseorang. Seperti contoh pada Gambar 6

terlihat Tsunami Aceh, Lumpur Lapindo Sidoarjo, Gunung Merapi Meletus dan

lainnya.

Gambar 6. Bencana Alam di Indonesia

Page 45: prosiding - ATR/BPN

38

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Setelah kejadian ini, pengukuran ulang atau rekontruksi pengembalian

batas bidang hak atas seseorang dilakukan. Namun, hal ini akan mengakibatkan

Sengketa dan Konflik berkelanjutan dikarenakan batas hak atas seseorang

hilang dan di lain sisi, beberapa orang lain akan beranggapan dan mengakui

penguasaan tanahnya lebih dari sebelumnya sehingga terjadinya suatu database

yang overlap. Rekontruksi batas bidang hak atas seseorang pastinya tidak akan

sama dari luas dan posisi sebelumnya namun hal ini diartikan bahwa rekontruksi

atau pengembalian batas bidang hak atas seseorang mendekati kebenaran

dengan akurasi dari alat pengukuran yang digunakan tergantung ketelitiannya.

Sengketa pun dapat terjadi pada kasus jual beli pada suatu apartment atau

rumah susun. Pada Kasus ini dapat dilihat di Gambar 7 yang menjelaskan jual

beli hak atas tanah yang dimiliki oleh seorang bernama A di beli setengah

luasanya oleh si B. Setelah di beli oleh si B maka tanah tersebut dikelola dan di

bangun sebuah apartement berlantai 3. Dalam setiap lantai dan setiap ruangan

di beli dengan susunan lantai 1 di isi oleh si C dan D, lantai 2 di isi oleh si E dan

F dan seterusnya. Namun, setelah semua lantai itu terpenuhi misalnya saja

terjadi bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor atau tsunami maka

tanah dan ruangan tersebut akan mengalami kerugian dan kerusakan yang fatal

sehingga batas tanah tersebut hilang dan sangat sulit untuk rekontruksi

dikarenakan posisi dan luasannya akan berbeda dari sebelumnya sehingga

muncul suatu permasalahan. Namun, pertanyaannya adalah siapa yang akan

mendanai dalam rekontruksi hak atas seseorang yang berupa tanah atau

ruangan pada lantai tertentu yang terkena bencana sehingga hilangnya suatu

batas bidang yang dimilikinya, apakah pemerintah atau pengelola yang bernama

si B ?

Page 46: prosiding - ATR/BPN

39

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Setelah kejadian ini, pengukuran ulang atau rekontruksi pengembalian

batas bidang hak atas seseorang dilakukan. Namun, hal ini akan mengakibatkan

Sengketa dan Konflik berkelanjutan dikarenakan batas hak atas seseorang

hilang dan di lain sisi, beberapa orang lain akan beranggapan dan mengakui

penguasaan tanahnya lebih dari sebelumnya sehingga terjadinya suatu database

yang overlap. Rekontruksi batas bidang hak atas seseorang pastinya tidak akan

sama dari luas dan posisi sebelumnya namun hal ini diartikan bahwa rekontruksi

atau pengembalian batas bidang hak atas seseorang mendekati kebenaran

dengan akurasi dari alat pengukuran yang digunakan tergantung ketelitiannya.

Sengketa pun dapat terjadi pada kasus jual beli pada suatu apartment atau

rumah susun. Pada Kasus ini dapat dilihat di Gambar 7 yang menjelaskan jual

beli hak atas tanah yang dimiliki oleh seorang bernama A di beli setengah

luasanya oleh si B. Setelah di beli oleh si B maka tanah tersebut dikelola dan di

bangun sebuah apartement berlantai 3. Dalam setiap lantai dan setiap ruangan

di beli dengan susunan lantai 1 di isi oleh si C dan D, lantai 2 di isi oleh si E dan

F dan seterusnya. Namun, setelah semua lantai itu terpenuhi misalnya saja

terjadi bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor atau tsunami maka

tanah dan ruangan tersebut akan mengalami kerugian dan kerusakan yang fatal

sehingga batas tanah tersebut hilang dan sangat sulit untuk rekontruksi

dikarenakan posisi dan luasannya akan berbeda dari sebelumnya sehingga

muncul suatu permasalahan. Namun, pertanyaannya adalah siapa yang akan

mendanai dalam rekontruksi hak atas seseorang yang berupa tanah atau

ruangan pada lantai tertentu yang terkena bencana sehingga hilangnya suatu

batas bidang yang dimilikinya, apakah pemerintah atau pengelola yang bernama

si B ?

Gambar 7. Teori perubahan waktu

Dalam penelitian ini, mencoba menjelaskan dan mengaplikasikan suatu

teori Temporal Timeline seperti Gambar 8 yang menerangkan suatu sejarah,

pada saat terkini dan masa depan. Ketika dalam rumah susun terjadinya suatu

bencana alam maka batas pada hak atas seseorang akan hilang sehingga dapat

kemungkinan menimbulkan suatu sengketa namun dengan hadirnya suatu

sistem baru maka sengketa atau permasalahan tersebut dapat diredakan dan

juga meminimalisir permasalahan di kemudian hari.

Page 47: prosiding - ATR/BPN

40

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Gambar 8. 4D Cadastre Temporal time

Maka dari itu dibutuhkan suatu sistem informasi kadastral 4D yang akan

mencatat koordinat (posisi), ketinggian, dan waktu sehingga para surveyor dan

masyarakat tahu bahwa luasan, posisi, dan ketinggian hak milik suatu tanah dan

ruang dapat terlihat dan transparan. Data tersebut digunakan untuk menghadapi

dan menyelesaikan masalah sengketa dikemudian hari. Dalam penyelesaiannya

diartikan bahwa sistem Informasi kadastral 4D ini akan menjadi sebuah alat bukti

untuk menjamin kepastian hukum terhadap data fisik dan data yuridis dan juga

untuk mengurangi sengketa atau konflik pertanahan di kemudian hari.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Sistem Informasi Kadastral

4D (SIK 4D) adalah suatu metode baru dalam survei pengukuran dan pemetaan

kadastral yang mengutamakan sejarah atau waktu kepemilikan atas hak tanah

dan pengukuran 3D. SIK 4D ini sangat penting untuk pendataan dan pengukuran

di Indonesia sehingga perlu dilakukan pengembangan dan inovasi dalam

pembuatan software Sistem Informasi Kadastral 4D dan diperlihatkan di suatu

sistem website dengan tingkat keamanan yang tinggi. Hal ini dapat sebagai

penjamin kepastian hukum terhadap data fisik dan yuridis dan untuk mengurangi

adanya sengketa dan konflik pertanahan.

Page 48: prosiding - ATR/BPN

41

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Gambar 8. 4D Cadastre Temporal time

Maka dari itu dibutuhkan suatu sistem informasi kadastral 4D yang akan

mencatat koordinat (posisi), ketinggian, dan waktu sehingga para surveyor dan

masyarakat tahu bahwa luasan, posisi, dan ketinggian hak milik suatu tanah dan

ruang dapat terlihat dan transparan. Data tersebut digunakan untuk menghadapi

dan menyelesaikan masalah sengketa dikemudian hari. Dalam penyelesaiannya

diartikan bahwa sistem Informasi kadastral 4D ini akan menjadi sebuah alat bukti

untuk menjamin kepastian hukum terhadap data fisik dan data yuridis dan juga

untuk mengurangi sengketa atau konflik pertanahan di kemudian hari.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Sistem Informasi Kadastral

4D (SIK 4D) adalah suatu metode baru dalam survei pengukuran dan pemetaan

kadastral yang mengutamakan sejarah atau waktu kepemilikan atas hak tanah

dan pengukuran 3D. SIK 4D ini sangat penting untuk pendataan dan pengukuran

di Indonesia sehingga perlu dilakukan pengembangan dan inovasi dalam

pembuatan software Sistem Informasi Kadastral 4D dan diperlihatkan di suatu

sistem website dengan tingkat keamanan yang tinggi. Hal ini dapat sebagai

penjamin kepastian hukum terhadap data fisik dan yuridis dan untuk mengurangi

adanya sengketa dan konflik pertanahan.

Sistem Informasi Kadastral 4D meliputi posisi (x,y), ketinggian (z), dan

waktu (t), luasan, Informasi data yuridis dan Informasi Surveyor yang mengukur.

Penelitian selanjutnya, akan membuat sebuah software dan dikhususkan untuk

BPN untuk mempercepat pendaftaran tanah sistematik lengkap dan dapat

dilakukan pengukuran 4D sehingga data dari PTSL tersebut dapat terlihat di SIK

4D.

5.2. Saran Dalam kasus ini, pemerintah Indonesia sebaiknya menggunakan suatu

metode baru untuk memecahkan atau memberikan solusi pada sengketa

tersebut. Perlu adanya pengembangan sistem informasi kadastral 4D (3D

cadaster plus time) untuk mengetahui suatu kepemilikan yang diketahui dengan

posisi titik koordinat (x,y), ketinggian dalam rumah susun (z), dan sejarah

(History) atau waktu yang mengetahui suatu kepemilikan hak atas tanah

berdasarkan tahun pada masa lalu, masa sekarang, masa depan (t).

Perlu adanya pengembangan dalam survei kadaster yang akan

memanfaatkan dan menggunakan data yuridis, data fisik dan data waktu

(timelapse).

DAFTAR PUSTAKA

Harsono, B. 2007. ‘Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang

Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya’. Jakarta: Djambatan. Hlm.

348

Oosterom, van P.J.M. Ploeger, H. Stoter, Jantien. Thompshon, Rod. Lemmen,

Christiaan. 2006. “Aspect of a 4D Cadastre: A First Exploration “. XXIII FIG

Congress. “Shaping the Cange” Munich, Germnay. October 8-13, 2006.

Priyandika, E, M. 2010. “Aplikasi Kadastral 3 Dimensi Guna Mengoptimalkan

Sistem Informasi Pertanahan Properti Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

(HMASRS)”. ITS.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang. 2016. Undang-Undang No 11 Tahun

2016 tentang Penyelesaian Kasus Sengketa.

Page 49: prosiding - ATR/BPN

42

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang. 2017. Undang-Undang No 1 Tahun

2017 tentang Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang. 2017. Undang-Undang No. 11 Tahun

2017 tentang Surveyor Kadastral Berlisensi.

Republik Indonesia. 2011. Undang – Undang Rumah Susun (UURS) No. 20

tahun 2011 pasal 1 ayat 1.

Biodata Penulis

Ketut Tomy Suhari, S.T, adalah lulusan Sarjana Teknik dalam 3,5 tahun dan Wisudawan Terbaik dari jurusan Teknik Geodesi S1, Fakultas Teknik Sipil dan

Perencanaan di Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang pada tahun 2017. Dia

sangat tertarik untuk penelitian dalam bidang Kadastral dan Hidrografi. Pada

tahun 2016, Dia berhasil membuat Kapal Tanpa Awak yang bernama

Page 50: prosiding - ATR/BPN

43

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang. 2017. Undang-Undang No 1 Tahun

2017 tentang Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang. 2017. Undang-Undang No. 11 Tahun

2017 tentang Surveyor Kadastral Berlisensi.

Republik Indonesia. 2011. Undang – Undang Rumah Susun (UURS) No. 20

tahun 2011 pasal 1 ayat 1.

Biodata Penulis

Ketut Tomy Suhari, S.T, adalah lulusan Sarjana Teknik dalam 3,5 tahun dan Wisudawan Terbaik dari jurusan Teknik Geodesi S1, Fakultas Teknik Sipil dan

Perencanaan di Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang pada tahun 2017. Dia

sangat tertarik untuk penelitian dalam bidang Kadastral dan Hidrografi. Pada

tahun 2016, Dia berhasil membuat Kapal Tanpa Awak yang bernama

“REFORMASI SKP-KKPWEB DAN KOMISI KHUSUS” SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA KONFLIK DALAM MOMENTUM

PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP

Dinar Wisnu Wardhani

Mahasiswa Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

[email protected]

ABSTRAK Permen ATR/BPN RI Nomor 35 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan

Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap merupakan upaya mempercepat

pendaftaran tanah agar muncul jaminan kepastian hukum bagi seluruh rakyat

Indonesia. Lewat PTSL cita-cita tersebut merupakan langkah tepat dalam

mencapai tujuan yang dimaksud. Akan tetapi sistem kerja yang jauh dari

sempurna karena target dikhawatirkan akan memunculkan beberapa persoalan

di kemudian hari, terutama terkait sengketa konflik. Oleh karena itu perlu

diantisipasi secara dini kemungkinan-kemungkinan tersebut.

Masalahnya, apakah PTSL mampu melakukan modernisasi sistem administrasi

pertanahan sekaligus valid tanpa sengketa konflik? Dan bagaimana menciptakan

sistem pendaftaran yang cepat dan modern sekaligus meminimalisir sengketa

konflik di kemudian hari? Kajian ini akan mencoba melengkapi disain PTSL

sebagai administrasi pertanahan modern sekaligus meminimalisir sengketa

konflik di kemudian hari. Langkah yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan data spasial yang

disajikan dalam bentuk integrasi Web SKP dengan KKPWEB.

Hasil sementara penelitian ini menunjukkan bahwa PTSL merupakan langkah

tepat sebagai momentum untuk memodernisasi administrasi pertanahan. Akan

tetapi, melihat praktik di lapangan, ke depan kemungkinan akan menambah

jumlah sengketa konflik sebagai konsekuensi yang sulit dihindarkan. Oleh karena

itu, untuk mengantisipasi hal tersebut, beberapa langkah dini penulis ajukan: 1).

Menata ulang sistem pengurusan dan pendaftaran hak atas tanah dengan

mengintegrasikan antara web SKP dengan KKPWEB. Apabila integrasi ini

berhasil, otomatis proses pendaftaran tanah yang bersengketa dapat langsung

terdeteksi sehingga meminimalisir adanya tumpang tindih dan sertipikat ganda

yang menjadi kasus terbanyak dalam sengketa konflik; 2). Membuat mekanisme

Page 51: prosiding - ATR/BPN

44

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

khusus (semacam “Komisi Khusus Penyelesaian”) di bawah Dirjen Penanganan

Masalah dari pusat sampai ke Kantah untuk menyelesaikan produk-produk yang

dikeluarkan oleh Kem ATR/BPN khususnya produk PTSL sebelum menuju ranah

Pengadilan. Harapannya, komisi ini dapat secara spesifik menyelesaikan

persoalan-persoalan yang muncul akibat dari kebijakan yang dikeluarkan terkait

PTSL sehingga sangat diharapkan untuk pengadaan komisi khusus ini.

Kata kunci: modernisasi, administrasi, SKP-KKPWEB, dan Komisi

Penyelesaian.

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Selama 57 tahun sejak UUPA lahir, jaminan kepastian hukum dan

kekuatan hak atas tanah untuk masyarakat belum dapat sepenuhnya terpenuhi,

bahkan banyak persoalan terus bermunculan, salah satunya yang paling

siginifikan adalah meluasnya konflik tanah di Indonesia. Dalam banyak catatan,

akumulasi permasalahan pertanahan yang masuk ke Mahkamah Agung

diperkirakan berkisar antara 60% hingga 70% setiap tahun dan belum

ditambahkan dengan kasus yang selesai ketika diputus pada tingkat pertama

maupun tingkat banding (Abdurrahman, 2009). Data Kementrian Agraria dan

Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mencatat sebanyak 5.878 kasus

pertanahan yang masuk ke BPN RI pada tahun 2014. Kasus tersebut terdiri atas

kasus yang belum terselesaikan di tahun 2013 sebanyak 1.927 kasus dan kasus

baru di tahun 2014 sebanyak 3.906 kasus. Dari 5.878 kasus tersebut, baru 2.910

kasus (57,92%) sudah terselesaikan dan masih ada sisa kasus sebanyak 2.968

kasus yang belum diselesaikan (Laporan Kinerja BPN, 2014). Meluasnya konflik

terkait tanah juga bisa dilihat di lembaga lain yang menangani aduan terkait

kasus tanah. Komnas HAM misalnya, menerima aduan terkait persoalan tanah

baik konflik-sengketa maupun perkara atas tanah cukup tinggi. Tahun 2015,

Komnas HAM menerima aduan dari masyarakat sebanyak 1.225 dan tahun 2016

menerima aduan sebanyak 1039. (Laporan Data Aduan Komnas HAM, 2015-

2016).

Banyaknya jumlah konflik agraria menunjukkan bahwa administrasi

pertanahan di Indonesia harus direvitalisasi agar dapat lahir kembali dan

memberikan kepastian hukum hak atas tanah. Salah satu akar permasalahan

konflik agraria yakni ketidaktegasan penerapan peraturan perundangan dalam

Page 52: prosiding - ATR/BPN

45

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

khusus (semacam “Komisi Khusus Penyelesaian”) di bawah Dirjen Penanganan

Masalah dari pusat sampai ke Kantah untuk menyelesaikan produk-produk yang

dikeluarkan oleh Kem ATR/BPN khususnya produk PTSL sebelum menuju ranah

Pengadilan. Harapannya, komisi ini dapat secara spesifik menyelesaikan

persoalan-persoalan yang muncul akibat dari kebijakan yang dikeluarkan terkait

PTSL sehingga sangat diharapkan untuk pengadaan komisi khusus ini.

Kata kunci: modernisasi, administrasi, SKP-KKPWEB, dan Komisi

Penyelesaian.

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Selama 57 tahun sejak UUPA lahir, jaminan kepastian hukum dan

kekuatan hak atas tanah untuk masyarakat belum dapat sepenuhnya terpenuhi,

bahkan banyak persoalan terus bermunculan, salah satunya yang paling

siginifikan adalah meluasnya konflik tanah di Indonesia. Dalam banyak catatan,

akumulasi permasalahan pertanahan yang masuk ke Mahkamah Agung

diperkirakan berkisar antara 60% hingga 70% setiap tahun dan belum

ditambahkan dengan kasus yang selesai ketika diputus pada tingkat pertama

maupun tingkat banding (Abdurrahman, 2009). Data Kementrian Agraria dan

Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mencatat sebanyak 5.878 kasus

pertanahan yang masuk ke BPN RI pada tahun 2014. Kasus tersebut terdiri atas

kasus yang belum terselesaikan di tahun 2013 sebanyak 1.927 kasus dan kasus

baru di tahun 2014 sebanyak 3.906 kasus. Dari 5.878 kasus tersebut, baru 2.910

kasus (57,92%) sudah terselesaikan dan masih ada sisa kasus sebanyak 2.968

kasus yang belum diselesaikan (Laporan Kinerja BPN, 2014). Meluasnya konflik

terkait tanah juga bisa dilihat di lembaga lain yang menangani aduan terkait

kasus tanah. Komnas HAM misalnya, menerima aduan terkait persoalan tanah

baik konflik-sengketa maupun perkara atas tanah cukup tinggi. Tahun 2015,

Komnas HAM menerima aduan dari masyarakat sebanyak 1.225 dan tahun 2016

menerima aduan sebanyak 1039. (Laporan Data Aduan Komnas HAM, 2015-

2016).

Banyaknya jumlah konflik agraria menunjukkan bahwa administrasi

pertanahan di Indonesia harus direvitalisasi agar dapat lahir kembali dan

memberikan kepastian hukum hak atas tanah. Salah satu akar permasalahan

konflik agraria yakni ketidaktegasan penerapan peraturan perundangan dalam

mengatur mengenai sanksi/hukum yang dikenai akibat perbuatan yang dilakukan

terhadap tanah. Bahkan mirisnya, pemerintah juga tidak “bertanggung jawab”

atas data dan informasi yang ada pada sertipikat hak atas tanah di mana data

dan informasi dianggap benar sepanjang tidak ada pihak lain yang menggugat.

Kondisi ini yang semakin memperumit rona pendaftaran tanah di Indonesia.

Jaminan kepastian hukum merupakan salah satu pekerjaan tanpa habis

sepanjang tahun karena pada setiap program percepatan pendaftaran tanah

selalu berujung bentrok dengan alasan hal tersebut. Contoh pada PRONA.

Proyek Nasional ini merupakan program yang dijalankan pada masa

pemerintahan Presiden SBY. Program ini menuai protes karena ada unsur

kesengajaan dalam pemilihan subjek PRONA sehingga menimbulkan banyak

pihak lain yang berusaha membatalkan penerbitan sertipikat serta adanya calo

dari pihak Desa yang meracuni hakikat dari pendaftaran tanah.

Hingga di penghujung akhir tahun 2016, Presiden Joko Widodo membuat

perubahan yakni adanya kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

dengan cakupan objek di tahun 2017 yakni 5 juta, dan akan berlanjut hingga

pada tahun 2025 diharapkan seluruh objek tanah di Indonesia sudah terpetakan

dan memiliki jaminan kekuatan hak atas tanah untuk mewujudkan keadilan sosial

untuk masyarakat secara merata.

Ketiadaan jaminan kepastian akan hak atas tanah sekalipun bersertipikat

akan menimbulkan banyak konflik, sementara penyelesaian konflik di Indonesia

belum sepenuhnya memenuhi apa yang dituntut oleh masyarakat. Oleh karena

itu, butuh upaya lain bagaimana konflik itu bisa dicegah sedini mungkin dalam

kerangka membangun sistem pendaftaran tanah yang modern. Momentum PTSL

adalah peluang untuk menciptakan sistem dan mekanisme agar bidang-bidang

tanah yang dipetakan dan juga didaftarkan bisa terlindungi sekaligus aman bagi

pemiliknya. Salah satu upaya yang ingin dibangun dalam rangka mencegah

meluasnya konflik-konflik hak, penulis menawarkan alternatif penyelesaian

dengan sistem deteksi dini dari infrastruktur yang ada yakni maksimalisasi SKP-

KKP web dan penciptaan “komisi khusus”. Adanya integrasi SKP-KKP web ini

merupakan program komputerisasi yang dapat menjadi peringatan apabila

bidang tanah yang bersengketa hendak didaftarkan di Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota letak bidang tanah tersebut. Sedangkan komisi khusus adalah

suatu komisi yang sengaja dibentuk untuk menyelesaikan masalah agraria tanpa

harus ke Pengadilan TUN, khususnya kasus-kasus yang muncul pasca PTSL

Page 53: prosiding - ATR/BPN

46

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

dilaksanakan. Langkah ini merupakan bentuk antisipasi agar kerja-kerja yang

dilakukan oleh ATR/BPN dibidang pendaftaran hak tidak dikriminalisasi sekaligus

petugas kantor pertanahan dapat bekerja dengan tenang dan penuh kehati-

hatian.

1.2. Rumusan Masalah PTSL merupakan program percepatan pendaftaran tanah sistematik

lengkap. PTSL memiliki target pada tahun 2017 sebanyak 5 juta bidang,

kemudian pada tahun 2018 sebanyak 7 juta bidang dan pada tahun 2019

sebanyak 9 juta bidang seterusnya hingga seluruh bidang tanah dapat

terpetakan pada tahun 2025.

Dalam proses pendaftaran tanah sistematik lengkap terutama proses

pengumpulan data hingga proses penerbitan sertipikat memungkinkan beberapa

hal yang menimbulkan persoalan/konflik. Hal itu salah satunya dikarenakan

tingginya target kementerian untuk masing-masing kantor pertanahan yang bisa

menyebabkan beberapa kesalahan, dari administrasi sampai tindakan yang fatal.

Sementara, kekhawatiran itu belum memiliki mekanisme bagaimana jika konflik

muncul dan jalan penyelesaiannya. Penulis mencoba menawarkan alternatif lain

yakni reformasi skp-kkpweb dan komisi khusus penyelesaian sengketa konflik

dalam menjaga momentum PTSL.

Dua persoalan di atas penulis coba rumuskan dalam pertanyaan

sederhana untuk menjawabnya:

a. Apakah PTSL mampu melakukan modernisasi sistem administrasi pertanahan

sekaligus valid tanpa “sengketa konflik”?

b. Mungkinkah reformasi SKP-KKPWEB dan komisi khusus dapat digunakan

sebagai alternatif penyelesaian sengketa konflik dalam momentum PTSL?

1.3. Tujuan Penulisan Penelitian ini untuk menjawab persoalan yang muncul dan persoalan yang

akan muncul di kemudian hari akibat dari PTSL. Penulis meyakini bahwa

Reformasi SKP-KKPWEB dan adanya Komisi Khusus akan menjawab persoalan

yang sedang dan akan terjadi.

1.4. Manfaat Penulisan Manfaat penulisan ini ditujukan kepada:

a. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dalam hal ini menambahkan kajian

mengenai efektivitas Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.

Page 54: prosiding - ATR/BPN

47

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

dilaksanakan. Langkah ini merupakan bentuk antisipasi agar kerja-kerja yang

dilakukan oleh ATR/BPN dibidang pendaftaran hak tidak dikriminalisasi sekaligus

petugas kantor pertanahan dapat bekerja dengan tenang dan penuh kehati-

hatian.

1.2. Rumusan Masalah PTSL merupakan program percepatan pendaftaran tanah sistematik

lengkap. PTSL memiliki target pada tahun 2017 sebanyak 5 juta bidang,

kemudian pada tahun 2018 sebanyak 7 juta bidang dan pada tahun 2019

sebanyak 9 juta bidang seterusnya hingga seluruh bidang tanah dapat

terpetakan pada tahun 2025.

Dalam proses pendaftaran tanah sistematik lengkap terutama proses

pengumpulan data hingga proses penerbitan sertipikat memungkinkan beberapa

hal yang menimbulkan persoalan/konflik. Hal itu salah satunya dikarenakan

tingginya target kementerian untuk masing-masing kantor pertanahan yang bisa

menyebabkan beberapa kesalahan, dari administrasi sampai tindakan yang fatal.

Sementara, kekhawatiran itu belum memiliki mekanisme bagaimana jika konflik

muncul dan jalan penyelesaiannya. Penulis mencoba menawarkan alternatif lain

yakni reformasi skp-kkpweb dan komisi khusus penyelesaian sengketa konflik

dalam menjaga momentum PTSL.

Dua persoalan di atas penulis coba rumuskan dalam pertanyaan

sederhana untuk menjawabnya:

a. Apakah PTSL mampu melakukan modernisasi sistem administrasi pertanahan

sekaligus valid tanpa “sengketa konflik”?

b. Mungkinkah reformasi SKP-KKPWEB dan komisi khusus dapat digunakan

sebagai alternatif penyelesaian sengketa konflik dalam momentum PTSL?

1.3. Tujuan Penulisan Penelitian ini untuk menjawab persoalan yang muncul dan persoalan yang

akan muncul di kemudian hari akibat dari PTSL. Penulis meyakini bahwa

Reformasi SKP-KKPWEB dan adanya Komisi Khusus akan menjawab persoalan

yang sedang dan akan terjadi.

1.4. Manfaat Penulisan Manfaat penulisan ini ditujukan kepada:

a. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dalam hal ini menambahkan kajian

mengenai efektivitas Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.

b. Direktorat Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan

Tanah untuk mendeteksi secara dini adanya sengketa konflik perkara yang

akan muncul di kemudian hari

c. Pembaca pada umumnya.

2. TINJAUAN PUSTAKA Sejauh ini, tulisan mengenai integrasi sistem dan adanya komisi khusus

belum terlalu banyak ditemukan. Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap

merupakan program baru pada tahun 2016 sehingga belum banyak kajian

mengenai itu. Pada tulisan ini, akan dibuat dua pembahasan yakni adanya

Reformasi SKP-KKPWEB yang memuat mengenai integrasi sistem dan Komisi

Khusus sebagai Penyelesaian Sengketa Perkara Pertanahan.

Mengenai integrasi sistem, ada sedikit kajian yang penulis anggap memiliki

relevansi dengan kajian ini, baik sebagai rujukan maupun sebagai pembanding.

Kajian Sukmo Pinuji (2016), “Integrasi Sistem Pertanahan dan Infrastruktur Data

Spasial dalam Rangka Perwujudan One Map Policy”. Fokus penelitian ini bahwa

informasi pertanahan memiliki peran penting dalam infrastruktur data spasial,

perkembangan sistem informasi pertanahan (SIP) berperan dalam spatial based

decision making untuk terwujudnya sustainable development. Lebih lanjut, dalam

implementasinya SIP belum optimal terintegrasi dalam Infrastruktur Data Spasial

Nasional (IDSN). Dalam penelitian ini juga mengidentifikasi dan menganalisis

berbagai “titik sensitif” dalam pengintegrasian SIP ke dalam IDSN, enam elemen

IDS, implementasi Geo-KKP yang merupakan rintisan IDS di level organisasi

Kementrian ATR/BPN. Hasil penelitian menunjukkan Geo-KKP masih

dikembangkan secara parsial dari konsep IDSN, sebatas untuk mendukung

kegiatan pendaftaran tanah dan belum mencakup kepentingan yang lebih luas

sebagaimana yang diinginkan oleh konsep IDS. Untuk dapat mengembangkan

SIP yang dapat memenuhi tuntutan tersebut, keenam elemen IDS tersebut harus

diafiliasi secara komprehensif dan menyeluruh, dan secara tidak parsial.

Sementara terkait kajian konflik, ada banyak yang memformulasikan dan

tawaran solusinya. Kajian Farhan Fajar (2011), “Penyelesaian Konflik

Pertanahan (Studi Kasus Konflik Penguasaan Tanah Blang Padang Kota Banda

Propinsi Aceh)” menarik untuk dilihat lebih jauh. Fokus penelitian tersebut adalah

konflik saling klaim tanah yang tidak bersertipikat antara TNI AD dengan

Pemerintahan Aceh mengenai hak penguasaan tanah. Pada penelitian ini

Page 55: prosiding - ATR/BPN

48

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

dilakukan pengkajian atas upaya penyelesaian konflik pertanahan dimulai

dengan melihat akar lahirnya konflik, upaya yang telah dilakukan. Penulis

menemukan adanya kesamaan pada salah satu pihak yang berkonflik, dan

upaya dari salah satu pihak dalam penguasaan tanah. Hasil analisa

mengungkapkan bahwa yang menjadi penyebab konflik adalah ketidaktertiban

administrasi pertanahan, pengelolaan atas tanah-tanah terlantar, dan

ketidaklengkapan data menyangkut risalah atau sejarah tanah. Penyelesaian

dengan jalan mediasi dapat dijadikan tinjauan untuk merumuskan potensi

penyelesaian konflik karena berhasilnya penyelesaian tersebut. Dalam penelitian

ini, hanya disinggung bahwa salah satu faktor yang menjadi penyebab konflik

adalah adanya double inventaris aset antara asset Pemda dan asset TNI,

sehingga terbuka peluang bagi Penulis untuk mengkaji apa yang menjadi faktor

penyebab tidak terinventarisirnya suatu aset, yang diklaim oleh salah satu pihak

sebagai status hak atas tanah dalam konflik pertanahan tersebut.

Berbeda dengan temuan Farhan Fajar, kajian Bastoni Solichin (2007)

terkait aspek kewenangan dalam sengketa konflik. Kajian dengan judul “Konflik

Kewenangan di Bidang Pertanahan Terhadap Penguasaan Tanah di Batam”,

fokus untuk mengetahui aspek–aspek konflik kewenangan di bidang pertanahan

di Batam, serta untuk mengetahui jalan keluar menyelesaikan konflik

kewenangan bidang pertanahan di Batam. Temuan penulis dari penelitian ini

adalah konflik kewenangan yang diidentifikasikan meliputi konflik dari aspek

perencanaan, pengendalian, pembangunan, perencanaan pemanfaatan dan

pengawasan tata ruang, penyelesaian sarana prasarana umum, pengendalian

lingkungan hidup, pelayanan pertanahan serta administrasi penanaman modal.

Penyelesaian konflik dapat dilakukan bukan hanya oleh pemegang atau

pemangku kewenangan lembaga penyelesaian konflik melainkan juga dapat

dilakukan oleh lembaga politis-perancang peraturan daerah, yakni Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), salah satunya dengan memasukkannya ke

dalam produk hukum daerah. Peluang yang terbuka untuk penulis teliti adalah

dalam penelitian ini tidak dikaji sejauh mana peran dari lembaga terkait dalam

menangani penyelesaian konflik pertanahan ketika terjadi dualisme hukum

dalam menafsirkan konsep kewenangan di bidang pertanahan.

Kemudian ada juga penelitian karya Harahap Kanna (2005) yang menelisik

konflik penguasaan. “Penyelesaian Konflik Penguasaan Hak atas Tanah antara

Masyarakat dengan PT. Poleka Jaya Agung di Dusun Kassa Kecamatan

Page 56: prosiding - ATR/BPN

49

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

dilakukan pengkajian atas upaya penyelesaian konflik pertanahan dimulai

dengan melihat akar lahirnya konflik, upaya yang telah dilakukan. Penulis

menemukan adanya kesamaan pada salah satu pihak yang berkonflik, dan

upaya dari salah satu pihak dalam penguasaan tanah. Hasil analisa

mengungkapkan bahwa yang menjadi penyebab konflik adalah ketidaktertiban

administrasi pertanahan, pengelolaan atas tanah-tanah terlantar, dan

ketidaklengkapan data menyangkut risalah atau sejarah tanah. Penyelesaian

dengan jalan mediasi dapat dijadikan tinjauan untuk merumuskan potensi

penyelesaian konflik karena berhasilnya penyelesaian tersebut. Dalam penelitian

ini, hanya disinggung bahwa salah satu faktor yang menjadi penyebab konflik

adalah adanya double inventaris aset antara asset Pemda dan asset TNI,

sehingga terbuka peluang bagi Penulis untuk mengkaji apa yang menjadi faktor

penyebab tidak terinventarisirnya suatu aset, yang diklaim oleh salah satu pihak

sebagai status hak atas tanah dalam konflik pertanahan tersebut.

Berbeda dengan temuan Farhan Fajar, kajian Bastoni Solichin (2007)

terkait aspek kewenangan dalam sengketa konflik. Kajian dengan judul “Konflik

Kewenangan di Bidang Pertanahan Terhadap Penguasaan Tanah di Batam”,

fokus untuk mengetahui aspek–aspek konflik kewenangan di bidang pertanahan

di Batam, serta untuk mengetahui jalan keluar menyelesaikan konflik

kewenangan bidang pertanahan di Batam. Temuan penulis dari penelitian ini

adalah konflik kewenangan yang diidentifikasikan meliputi konflik dari aspek

perencanaan, pengendalian, pembangunan, perencanaan pemanfaatan dan

pengawasan tata ruang, penyelesaian sarana prasarana umum, pengendalian

lingkungan hidup, pelayanan pertanahan serta administrasi penanaman modal.

Penyelesaian konflik dapat dilakukan bukan hanya oleh pemegang atau

pemangku kewenangan lembaga penyelesaian konflik melainkan juga dapat

dilakukan oleh lembaga politis-perancang peraturan daerah, yakni Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), salah satunya dengan memasukkannya ke

dalam produk hukum daerah. Peluang yang terbuka untuk penulis teliti adalah

dalam penelitian ini tidak dikaji sejauh mana peran dari lembaga terkait dalam

menangani penyelesaian konflik pertanahan ketika terjadi dualisme hukum

dalam menafsirkan konsep kewenangan di bidang pertanahan.

Kemudian ada juga penelitian karya Harahap Kanna (2005) yang menelisik

konflik penguasaan. “Penyelesaian Konflik Penguasaan Hak atas Tanah antara

Masyarakat dengan PT. Poleka Jaya Agung di Dusun Kassa Kecamatan

Patampanua Kabupaten Pinrang”. Fokus kajian ini melihat penyebab terjadinya

konflik, cara penyelesaian, dan kendala penyelesaiannya atas penguasaan

tanah masyarakat dengan PT Poleka Jaya Agung. Dalam penelitian ini, penulis

menemukan bahwa desakan yang dilakukan oleh DPRD dan LSM tidak serta

merta membuat BPN dapat membentuk tim verifikasi HGU PT Poleka Jaya

Agung walaupun hal tersebut adalah sebuah bentuk penyelesaian konflik yang

telah disepakati. Tidak dijelaskan bagaimana penyelesaian konflik yang tepat jika

ada faktor kekuasaan sebagai hal yang mempengaruhi proses terjadinya konflik,

menjadi peluang yang terbuka bagi penulis untuk ditelusur.

Sebelum berjalan lebih lanjut mengenai PTSL (Pendaftaran Tanah Sistem

Lengkap), penulis ingin membangunnya dalam kerangka pendaftaran tanah.

Konflik dan modernisasi pendaftaran tanah serta penyelesaiannya didekati

dengan kerangka kebijakan yang sedang berjalan dan dibutuhkan beberapa

alternatif pendekatan baru untuk menjawabnya. Kerangka besar untuk melihat

sejauh mana sistem pendaftaran tanah kita dan sampai di mana kita bisa

mengusulkan alternatif kebijakannya.

Pendaftaran tanah berasal dari istilah Cadastre (bahasa Perancis) yakni

suatu daftar yang menggambarkan seluruh persil tanah dalam suatu daerah

berdasarka pemetaan dan pengukuran yang cermat (Abdurrahman,1985). Istilah

Cadastre di dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah Kadaster yang

sebenarnya bverasal dari bahasa Latin, yakni Capistratrum. Istilah Capistratrum

dalam bahasa Perancis berubah menjadi Cadastre yang berarti suatu register

yang diadakan untuk kepentingan pajak tanah Romawi (Parlindungan, 1990).

Pendaftaran tanah juga dapat didefinisikan sebagai proses pencatatan hak

kepemilikan atau penggunaan tanah legal (McLaughlin dan Nicols,1989 dalam

Zevenbergen,2002).

Sedangkan pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 yang berarti serangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungam, dan

teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta

pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai

bidang–bidang tanah dan satuan–satuan rumah susun, termasuk pemberian

surat tanda bukti haknya bagi bidang–bidang tanah yang sudah ada haknya dan

hak milik atas satuan rumah susun serta hak–hak tertentu yang membebaninya.

Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas, luas bidang tanah, dan

Page 57: prosiding - ATR/BPN

50

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

satuan rumah susun yang di daftar, termasuk keterangan mengenai adanya

bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Data yuridis adalah keterangan

mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang di daftar

serta pemegang haknya, hak pihak lain dan beban–beban lain yang

membebaninya.

Pendaftaran tanah di Indonesia dibagi menjadi pendaftaran tanah

sistematis dan sporadis (PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah)

dijabarkan dibawah ini :

Tabel 1. Perbedaan antara pendaftaran tanah secara sistematik dan sporadik

Perbedaan Pendaftaran Tanah Sistematik

Pendaftaran Tanah Sporadis

Pelaksanaan Serentak Individu atau massal

Sumber Biaya Dibiayai oleh Pemerintah Biaya Pribadi

Jangka Waktu Lebih cepat mendapatkan tentang bidang-bidang yang akan didaftar

Lebih lama mendapatkan data bidang-bidang tanah yang akan didaftar

Jumlah Objek yang didaftarkan

Semua obyek pendaftaran tanah didaftarkan

Hanya satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah didaftarkan

Pelaksanaan Dilaksanakan atas permintaan dari pemerintah

Dilaksanakan atas permintaan dari pihak yang berkepentingan

Sumber : PP Nomor 24 Tahun 1997 dan analisa penulis

Pendaftaran tanah antara negara yang satu dengan negara yang lain

memiliki sistem publikasi tanah yang berbeda antara satu dengan yang lain.

Sistem publikasi dibagi menjadi dua yakni sistem publikasi positif dan sistem

publikasi negatif. Perbedaan kedua sistem publikasi tersebut terdapat pada jenis

sistem pendaftarannya. Sistem publikasi positif selalu menggunakan sistem

pendaftaran hak (registration of tiles), sedangkan sistem publikasi negative selalu

menggunakan sistem pendaftaran akta (registration of deeds) (Harsono, 2008;

Handstad,1998). Di Amerika Serikat, sistem pendaftaran akta ini disebut “Land

Recordation” yang meliputi pendaftaran atau pencatatan dokumen yang

mempengaruhi hak atas tanah (Hanstad,1998).

Indonesia menganut sistem pendaftaran negatif bertendensi positif

sehingga sertipikat tanah yang merupakan alat bukti hak atas tanah bersifat

Page 58: prosiding - ATR/BPN

51

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

satuan rumah susun yang di daftar, termasuk keterangan mengenai adanya

bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Data yuridis adalah keterangan

mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang di daftar

serta pemegang haknya, hak pihak lain dan beban–beban lain yang

membebaninya.

Pendaftaran tanah di Indonesia dibagi menjadi pendaftaran tanah

sistematis dan sporadis (PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah)

dijabarkan dibawah ini :

Tabel 1. Perbedaan antara pendaftaran tanah secara sistematik dan sporadik

Perbedaan Pendaftaran Tanah Sistematik

Pendaftaran Tanah Sporadis

Pelaksanaan Serentak Individu atau massal

Sumber Biaya Dibiayai oleh Pemerintah Biaya Pribadi

Jangka Waktu Lebih cepat mendapatkan tentang bidang-bidang yang akan didaftar

Lebih lama mendapatkan data bidang-bidang tanah yang akan didaftar

Jumlah Objek yang didaftarkan

Semua obyek pendaftaran tanah didaftarkan

Hanya satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah didaftarkan

Pelaksanaan Dilaksanakan atas permintaan dari pemerintah

Dilaksanakan atas permintaan dari pihak yang berkepentingan

Sumber : PP Nomor 24 Tahun 1997 dan analisa penulis

Pendaftaran tanah antara negara yang satu dengan negara yang lain

memiliki sistem publikasi tanah yang berbeda antara satu dengan yang lain.

Sistem publikasi dibagi menjadi dua yakni sistem publikasi positif dan sistem

publikasi negatif. Perbedaan kedua sistem publikasi tersebut terdapat pada jenis

sistem pendaftarannya. Sistem publikasi positif selalu menggunakan sistem

pendaftaran hak (registration of tiles), sedangkan sistem publikasi negative selalu

menggunakan sistem pendaftaran akta (registration of deeds) (Harsono, 2008;

Handstad,1998). Di Amerika Serikat, sistem pendaftaran akta ini disebut “Land

Recordation” yang meliputi pendaftaran atau pencatatan dokumen yang

mempengaruhi hak atas tanah (Hanstad,1998).

Indonesia menganut sistem pendaftaran negatif bertendensi positif

sehingga sertipikat tanah yang merupakan alat bukti hak atas tanah bersifat

mutlak, sehingga apabila terdapat tanda bukti hak lain yang lebih kuat maka

itulah pemilik hak sebenarnya. Hal ini akan berkebalikan dengan negara–negara

maju. Beberapa contoh negara maju yang sudah menerapkan sistem publikasi

positif antara lain Australia, Kanada, dan Inggris.

Di Australia, sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem publikasi

positif yang dikenal dengan nama sistem Torrens yang diatur dalam Land Titles

Act 1925. Di Kanada, sistem pendaftaran tanahnya didasarkan pada Indian Land

Register yang dibuat di bawah Indian Act. Sistem pendaftaran tanah di Kanada

menggabungkan sistem informal dan hukum adat kepemilikan tanah sehingga

urusan penyelesaian sengketa tanah harus sesuai dengan adat budaya

setempat. Saat ini sistem pendaftaran tanah di Kanada telah menggunakan

sistem online yang disebut sebagai Indian Land Registry System (IRLS). IRLS

adalah panduan prosedur yang dirancang untuk mengatur pendaftaran hak,

pengjuan klaim, dan pemberitahuan serta tempat penyimpanan dokumen tapi

tidak ada jaminan keakuratan di dalamnya.

Di Inggris, sistem yang dianut yakni sistem Anglo-Saxon, suatu sistem

hukum yang didasarkan pada hukum yurisprudensi.Konsep Anglo Saxon ini

berbasis feudal di mana tanah adalah milik raja dan tidak ada orang lain yang

memiliki tanah. Pemilik hak atas tanah raja disebut sebagai penyewa

(Apriyana,2016). Penguasaan atas tanah dilakukan oleh lembaga pertanahan

(Land Registry).

3. METODE PENELITIAN Hasil analisa dalam tulisan ini akan memberikan konsep alternatif

penyelesaian sengketa perkara dalam moementum PTSL dengan adanya

reformasi SKP-KKPWEB dan adanya Komisi Khusus berdasarkan pola

keruangan penulis dan hasil wawancara dengan beberapa pejabat struktural di

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN Pusat.

Data yang diperoleh di lapangan yakni berupa data hasil wawancara

secara elektronik dengan pejabat struktural seksi V di Kementrian Agraria dan

Tata Ruang/BPN Pusat Data yang kemudian dikonsep dengan imajinasi penulis

dan disesuaikan dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Page 59: prosiding - ATR/BPN

52

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

4. PEMBAHASAN Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap merupakan program baru yang

diluncurkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN pada tahun 2016

untuk mewujudkan amanah pasal 33 UUD 1945 dan menindaklanjuti program

Nawacita Presiden Joko Widodo yang menginginkan percepatan sertifikasi

tanah. PTSL pada tahun 2017 ditarget 5 juta bidang, kemudian di tahun

selanjutnya 9 juta bidang, hingga pada tahun 2025 diharapkan seluruh bidang

tanah dapat terpetakan, hingga disertifikasi.

Program PTSL dianggap sebagai modernisasi administrasi pertanahan

dibandingkan program sebelumnya, yakni PRONA. Dianggap sebagai

modernisasi karena PTSL merupakan program yang dibuat sesuai dengan

tuntutan masa kini di mana menerapkan pekerjaan yang cepat dan teknologi

tepat guna.

PTSL dianggap sebagai program percepatan pendaftaran tanah secara

sistematik dengan cakupan keseluruhan bidang tanah pada suatu desa, waktu

pengumuman yang lebih cepat yakni 14 hari, metode pengukuran yang lebih

akurat dan sistematis sehinga jaminan kepastian hak atas tanah lebih cepat

tertuju pada subjeknya.

Saat ini, 70 persen perkara pengadilan adalah masalah tanah seperti

warkah hilang di Kantor Pertanahan, oleh karena itu dibuatlah PTSL yang

merupakan program kerja Kementerian ATR/BPN untuk mendaftar 5 juta bidang

tanah pada 2017 serta melakukan pemetaan tanah–tanah yang belum terdaftar

di Indonesia. PTSL membagikan sertipikat tanah secara sistematis sehingga

kemungkinan hilang warkah dapat diminimalisir, sehingga kemungkinan lebih

lanjut dapat meminimalisir sengketa pertanahan. Sertipikat yang dikeluarkan

hasil PTSL tidak boleh diganggu gugat minimal 5 tahun setelah dikeluarkan juga

dapat mengurangi angka sengketa pertanahan.

Akan tetapi, pada kenyataannya di lapangan PTSL mungkin setelah 5

tahun ke depan sangat mungkin dapat menambah angka sengketa tanah,

kemungkinan yang terjadi berasal dari: 1). Dari segi pengukuran, asas

kontradiktur delimitasi belum terpenuhi karena pada waktu pengukuran pemilik

tanah sebenarnya dan pemilik tanah yang berbatasan tidak dihadirkan,

melainkan hanya pamong desa 2). Untuk asas publikasi, 14 hari dirasa belum

cukup untuk mengumumkan data fisik dan yuridis bidang tanah yang

bersangkutan karena pada umumnya 30 hari (1 bulan) bidang tanah baru selesai

Page 60: prosiding - ATR/BPN

53

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

4. PEMBAHASAN Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap merupakan program baru yang

diluncurkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN pada tahun 2016

untuk mewujudkan amanah pasal 33 UUD 1945 dan menindaklanjuti program

Nawacita Presiden Joko Widodo yang menginginkan percepatan sertifikasi

tanah. PTSL pada tahun 2017 ditarget 5 juta bidang, kemudian di tahun

selanjutnya 9 juta bidang, hingga pada tahun 2025 diharapkan seluruh bidang

tanah dapat terpetakan, hingga disertifikasi.

Program PTSL dianggap sebagai modernisasi administrasi pertanahan

dibandingkan program sebelumnya, yakni PRONA. Dianggap sebagai

modernisasi karena PTSL merupakan program yang dibuat sesuai dengan

tuntutan masa kini di mana menerapkan pekerjaan yang cepat dan teknologi

tepat guna.

PTSL dianggap sebagai program percepatan pendaftaran tanah secara

sistematik dengan cakupan keseluruhan bidang tanah pada suatu desa, waktu

pengumuman yang lebih cepat yakni 14 hari, metode pengukuran yang lebih

akurat dan sistematis sehinga jaminan kepastian hak atas tanah lebih cepat

tertuju pada subjeknya.

Saat ini, 70 persen perkara pengadilan adalah masalah tanah seperti

warkah hilang di Kantor Pertanahan, oleh karena itu dibuatlah PTSL yang

merupakan program kerja Kementerian ATR/BPN untuk mendaftar 5 juta bidang

tanah pada 2017 serta melakukan pemetaan tanah–tanah yang belum terdaftar

di Indonesia. PTSL membagikan sertipikat tanah secara sistematis sehingga

kemungkinan hilang warkah dapat diminimalisir, sehingga kemungkinan lebih

lanjut dapat meminimalisir sengketa pertanahan. Sertipikat yang dikeluarkan

hasil PTSL tidak boleh diganggu gugat minimal 5 tahun setelah dikeluarkan juga

dapat mengurangi angka sengketa pertanahan.

Akan tetapi, pada kenyataannya di lapangan PTSL mungkin setelah 5

tahun ke depan sangat mungkin dapat menambah angka sengketa tanah,

kemungkinan yang terjadi berasal dari: 1). Dari segi pengukuran, asas

kontradiktur delimitasi belum terpenuhi karena pada waktu pengukuran pemilik

tanah sebenarnya dan pemilik tanah yang berbatasan tidak dihadirkan,

melainkan hanya pamong desa 2). Untuk asas publikasi, 14 hari dirasa belum

cukup untuk mengumumkan data fisik dan yuridis bidang tanah yang

bersangkutan karena pada umumnya 30 hari (1 bulan) bidang tanah baru selesai

diumumkan kemudian memperoleh hak atas tanah 3). Satgas yuridis bertugas

untuk mengumpulkan data yuridis dan memverifikasi data yang telah dilampirkan

oleh aparatur desa agar dapat terjamin kebenaran data yang diperoleh. Akan

tetapi, kenyataan di lapangan, untuk mengejar cepatnya waktu penyelesaian

bidang tanah yang telah didaftar, petugas terkadang mengacuhkan jaminan

kebenaran data yang diperoleh. Hal ini terbukti pada beberapa kantor pertanahan

yang mengejar kecepatan data sehingga beberapa daftar isian diabaikan.

Penyelesaian Kasus Pertanahan di Indonesia selama ini didasarkan pada

Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian

dan Penanganan Kasus akan tetapi hasil yang diperoleh dinilai kurang efektif.

Lalu Menteri Agraria dan Tata Ruang/KBPN telah meneken peraturan baru yakni

Peraturan MATR/KBPN Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus

Pertanahan dan diharapkan dapat berjalan lebih efektif. Ada beberapa hal yang

lebih spesifik dalam peraturan ini, yakni: 1).kasus pertanahan sendiri

membedakan namanya sengketa, konflik dan perkara pertanahan, 2).dibedakan

penanganan penyelesaian sengketa dan konflik berdasarkan datangnya laporan,

3).untuk eksekusi di mana keputusan penyelesaian sengketa atau konflik

dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan, 4). Terkait penanganan perkara di

mana penanganan perkara yang dilaksanakan dalam perkara di Peradilan

Perdata atau TUN di mana Kementrian ATR/BPN menjadi pihak sehingga

apabila kalah masih dapat melakukan upaya hukum.

PTSL sendiri karena masih merupakan program baru sehingga masih

menggunakan landasan peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016. Akan tetapi mengingat

beberapa faktor dalam program PTSL maka sangat dimungkinkan, angka

sengketa konflik dari hasil PTSL sangat meningkat setelah 5 tahun sertipikat

tersebut dikeluarkan.

Untuk mengurangi jumlah konflik sengketa perkara pertanahan dari hasil

PTSL, penulis mengajukan beberapa alternatif penyelesaian yakni :

a. Reformasi SKP-KKPWEB

Reformasi berarti perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang

sosial, politik, agama) dalam suatu masyarakat atau negara (KBBI,2017).

SKPWEB adalah suatu program yang dibuat secara khusus untuk

Direktorat Penanganan Masalah Agraria dan Pemanfaatan Ruang serta

Tanah yang memuat mengenai kasus / data masalah agraria

Page 61: prosiding - ATR/BPN

54

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

KKPWEB adalah aplikasi komputerisasi kantor pertanahan yang

diluncurkan pada tahun 2014 secara nasional untuk proses pendaftaran ,

pemeliharaan data fisik dan data yuridis bidang tanah.

SKPWEB dan KKPWEB ini berjalan secara sendiri–sendiri sehingga

hal ini yang mengakibatkan kurang efektifnya pencegahan sengketa konflik

perkara pertanahan secara dini. SKPWEB hanya dapat diakses oleh

pegawai / pejabat yang berada di seksi V yakni seksi penanganan masalah

agraria. Sedang KKPWEB setiap pegawai kantor pertanahan dapat

mengakses program ini.

SKPWEB memuat data mengenai sengketa konflik perkara pertanahan

pada bidang tanah tersebut dengan merujuk pada contoh kasus sengketa

konflik perkara yang telah diajukan pada kantor pertanahan hingga pada

bidang tanahnya telah dapat ditandai warna merah bahwa itu terjadi

permasalahan pertanahan di dalamnya, Sedang KKPWEB merupakan pintu

masuk dalam proses pendaftaran serta pemeliharaan data pertanahan. Oleh

karena itu, apabila SKP-KKPWEB direformasi menjadi satu kesatuan maka

akan tersusun simponi yang apik untuk “early warning” dalam penyelesaian

sengketa konflik perkara pertanahan.

Reformasi yang dimaksud disini adalah perombakan di mana data dari

SKPWEB sudah dapat dibuka di KKPWEB sehingga “warning” akan muncul

ketika berkas pendaftaran tanah hendak melakukan pemeliharaan data

semisal pengecekan sertipikat sehingga berkas tidak dapat dijalankan

apabila permasalahan agraria itu belum terselesaikan.

Akan tetapi, hal ini tidak seimbang apabila proses pengentrian data

mengenai bidang–bidang tanah yang bermasalah secara rutin serta

kekurangan informasi di mana kasus yang diupload/dientry hanya berupa

aduan dari masyarakat sehingga apabila masyarakat tersebut tidak

mengadu omatis Kantor Kementrian Agraria dan Tata Ruang/BPN tidak

mengetahuinya kecuali karena hal tertentu. Tidak lupa, terkadang SKPWEB

sendiri karena merupakan program di bawah kekuasaan Direktorat

Penanganan Masalah Agraria dikucilkan karena tidak semua orang bisa

mengakses data mengenainya. Oleh karena itu, reformasi SKP-KKPWEB ini

perlu didukung oleh beberapa pihak terutama pejabat atau pegawai SKP

untuk rutin melakukan pengentrian data bidang tanah yang bermasalah.

Skema SKPWEB dan KKPWEB saling berintegrasi

Page 62: prosiding - ATR/BPN

55

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

KKPWEB adalah aplikasi komputerisasi kantor pertanahan yang

diluncurkan pada tahun 2014 secara nasional untuk proses pendaftaran ,

pemeliharaan data fisik dan data yuridis bidang tanah.

SKPWEB dan KKPWEB ini berjalan secara sendiri–sendiri sehingga

hal ini yang mengakibatkan kurang efektifnya pencegahan sengketa konflik

perkara pertanahan secara dini. SKPWEB hanya dapat diakses oleh

pegawai / pejabat yang berada di seksi V yakni seksi penanganan masalah

agraria. Sedang KKPWEB setiap pegawai kantor pertanahan dapat

mengakses program ini.

SKPWEB memuat data mengenai sengketa konflik perkara pertanahan

pada bidang tanah tersebut dengan merujuk pada contoh kasus sengketa

konflik perkara yang telah diajukan pada kantor pertanahan hingga pada

bidang tanahnya telah dapat ditandai warna merah bahwa itu terjadi

permasalahan pertanahan di dalamnya, Sedang KKPWEB merupakan pintu

masuk dalam proses pendaftaran serta pemeliharaan data pertanahan. Oleh

karena itu, apabila SKP-KKPWEB direformasi menjadi satu kesatuan maka

akan tersusun simponi yang apik untuk “early warning” dalam penyelesaian

sengketa konflik perkara pertanahan.

Reformasi yang dimaksud disini adalah perombakan di mana data dari

SKPWEB sudah dapat dibuka di KKPWEB sehingga “warning” akan muncul

ketika berkas pendaftaran tanah hendak melakukan pemeliharaan data

semisal pengecekan sertipikat sehingga berkas tidak dapat dijalankan

apabila permasalahan agraria itu belum terselesaikan.

Akan tetapi, hal ini tidak seimbang apabila proses pengentrian data

mengenai bidang–bidang tanah yang bermasalah secara rutin serta

kekurangan informasi di mana kasus yang diupload/dientry hanya berupa

aduan dari masyarakat sehingga apabila masyarakat tersebut tidak

mengadu omatis Kantor Kementrian Agraria dan Tata Ruang/BPN tidak

mengetahuinya kecuali karena hal tertentu. Tidak lupa, terkadang SKPWEB

sendiri karena merupakan program di bawah kekuasaan Direktorat

Penanganan Masalah Agraria dikucilkan karena tidak semua orang bisa

mengakses data mengenainya. Oleh karena itu, reformasi SKP-KKPWEB ini

perlu didukung oleh beberapa pihak terutama pejabat atau pegawai SKP

untuk rutin melakukan pengentrian data bidang tanah yang bermasalah.

Skema SKPWEB dan KKPWEB saling berintegrasi

Gambar 1. Integrasi SKPWEB pada KKPWEB

Hasil integrasi yang diperoleh pada gambar di atas menunjukkan pada

buku tanah bidang tersebut ketika kita mencari kemudian muncul lalu diklik

2x maka akan muncul subbab yakni mengenai pendaftaran pertama, catatan

pendaftaran, riwayat kasus dan catatan blokir internal. Adanya integrasi ini

ditunjukkan dengan adanya catatan pada riwayat kasus. Contoh di atas

yakni adanya sengketa masalah pemilikan dan penguasaan HM.

1837/Bukitsangkal.

Page 63: prosiding - ATR/BPN

56

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Gambar 2. Layout bidang tanah bersengketa pada Peta Pendaftaran di

SKPWEB

Layout bidang tanah bersengketa pada peta pendaftaran SKPWEB

terdapat pada menu peta skp. Bidang tanah yang bersengketa akan tampil

dengan warna merah dan bidang tanah tidak bersengketa dengan warna

oranye. Kenampakan alami tidak terlihat pada peta skp. Pada peta skp, lebih

menonjolkan mengenai bidang tanah baik yang bersengketa maupun tidak

serta nama jalan.

Gambar 3. Layout bidang tanah bersengketa pada Peta Pendaftaran di

KKPWEB

Layout bidang tanah bersengketa dengan tanah yang tidak

bersengketa akan muncul berbeda di Peta Pendaftaran pada KKPWEB.

Bidang tanah bersengketa akan muncul dengan warna merah sedang untuk

bidang tanah tidak bersengketa akan dibordir dengan warna kuning di setiap

Page 64: prosiding - ATR/BPN

57

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Gambar 2. Layout bidang tanah bersengketa pada Peta Pendaftaran di

SKPWEB

Layout bidang tanah bersengketa pada peta pendaftaran SKPWEB

terdapat pada menu peta skp. Bidang tanah yang bersengketa akan tampil

dengan warna merah dan bidang tanah tidak bersengketa dengan warna

oranye. Kenampakan alami tidak terlihat pada peta skp. Pada peta skp, lebih

menonjolkan mengenai bidang tanah baik yang bersengketa maupun tidak

serta nama jalan.

Gambar 3. Layout bidang tanah bersengketa pada Peta Pendaftaran di

KKPWEB

Layout bidang tanah bersengketa dengan tanah yang tidak

bersengketa akan muncul berbeda di Peta Pendaftaran pada KKPWEB.

Bidang tanah bersengketa akan muncul dengan warna merah sedang untuk

bidang tanah tidak bersengketa akan dibordir dengan warna kuning di setiap

sisi. Hal ini akan mempermudah identifikasi bidang tanah apabila seluruh

bidang tanah telah dipetakan secara lengkap.

b. Komisi Khusus sebagai alternatif Penyelesaian Sengketa Konflik dalam

Moementum PTSL

PTSL merupakan program pendaftaran tanah sistematis lengkap yang

dibuat oleh Kementerian ATR/BPN dengan tujuan untuk mempercepat

proses pendaftaran tanah dan pemetaan seluruh bidang tanah di Indonesia.

Akan tetapi, pelaksanaan PTSL tidak diimbangi dengan adanya jaminan

khusus bidang tanah yang hendak disertipikatkan sehingga dimungkinkan

adanya konflik di kemudian hari.

Untuk itu, sebagai alternatif penyelesaian sengketa konflik dalam

momentum PTSL, penulis menyajikan adanya komisi khusus penyelesaian

sengketa konflik PTSL. Lahirnya Komisi Khusus ini dilatarbelakangi karena

adanya ketakutan penulis melihat pelaksanaan dari PTSL untuk memperoleh

data, memproses data hingga menerbitkan sertipikat. Sengketa Konflik

dalam PTSL akan menjadikan label bahwa Kementrian Agraria dan Tata

Ruang/BPN memiliki kinerja yang kurang baik. Hal ini akan berdampak

kepercayaan publik menjadi menurun dan berindikasi terhadap tujuan

administrasi pertanahan.

Komisi Khusus ini berdiri di bawah naungan Direktorat Penanganan

Masalah dan Pengendalian Pertanahan yang dibuat di masing–masing

kantor pertanahan Kabupaten/Kota. Komisi Khusus masing–masing

kabupaten diketuai oleh Kepala Bidang V Sengketa, Konflik, Perkara

Provinsi masing–masing. Untuk anggota yang berada di kabupaten/kota

beranggotakan Eselon IV, Eselon V, Staf Bidang V dari Kantor Wilayah,

serta Staf Bidang V Kabupaten/Kota.

Mengenai tugas dari Komisi Khusus ini adalah menangani sengketa

konflik perkara yang muncul dari program PTSL. Apabila tidak ada

permasalahan, maka komisi khusus ini tidak bekerja. Persoalan atas produk

PTSL bermacam –macam,sebagai contoh adalah kesalahan dalam

memberikan nomor sertipikat, tumpang tindih, kesalahan pengisian riwayat

tanah, dan lain-lain.

Landasan pembentukan Komisi Khusus ini berdasarkan SK Menteri

Agraria dan Tata Ruang/BPN. Kewenangan pelimpahan tugas dari Pusat

Page 65: prosiding - ATR/BPN

58

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

kepada Daerah mengenai PTSL, sehingga fungsi Pusat hanyalah memonitor

pelaksanaan PTSL di daerah.

Dengan adanya Komisi Khusus ini, tidak lupa untuk membuat

kesepakatan (MoU) antara Kementrian Agraria dan Tata Ruang/BPN dengan

Kepolisian dan Kejaksaan mengenai pemakluman kesalahan administratif

pertanahan. Hal ini dirasa perlu karena sebagai langkah antisipasi untuk

menjaga pegawai Kementrian Agraria dan Tata Ruang yang notabene

pelayan administrasi publik untuk dikriminalisasi. Pegawai Kementrian

Agraria dan Tata Ruang/BPN yang sudah bekerja keras untuk melakukan

proses pendaftaran tanah dengan PTSL yang menuntut cepat serta

memenuhi target, sangat memungkinkan akan muncul kesalahan-kesalahan.

Kesalahan yang dimaksud semisal sertipikat salah bidang, sertipikat ganda,

ataupun kesalahan administrasi lainnya yang dapat dilakukan penyelesaian

sesuai hukum administrasi dan tidak perlu ke ranah pengadilan.

Pemakluman kesalahan administratif tidak berlaku apabila dikaitkan dengan

adanya suap maupun pungli dan hal-hal lain yang berbau KKN.

Penulis mengharapkan dengan adanya Reformasi SKP-KKPWEB dan

Komisi Khusus maka jumlah sengketa konflik perkara dalam momentum ptsl

dapat diminimalisir.

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

PTSL merupakan langkah tepat modernisasi pertanahan dalam 5 tahun ke

depan karena sertipikat yang dihasilkan tidak dapat di ganggu gugat dalam

jaminan kepastian hukumnya. Tetapi untuk 10 tahun ke depan, PTSL mungkin

menambah angka sengketa konflik. Langkah penyelesaian yang dapat ditempuh

: 1). Menata ulang sistem pengurusan dan pendaftaran hak atas tanah dengan

mengintegrasikan antara web SKP dengan KKPWEB sehingga meminimalisir

adanya sertipikat dobel yang menjadi kasus terbanyak dalam sengketa konflik

pertanahan. 2). Membuat sebuah Komisi Khusus Penyelesaian Sengketa

Perkara di bawah Direktorat V Penanganan Masalah dan Pengendalian

Pertanahan yang menangani perkara yang muncul sebelum menuju ranah

Pengadilan TUN, sehingga apabila dapat diselesaikan oleh Komisi Khusus maka

tidak perlu merujuk pada Pengadilan TUN.

Page 66: prosiding - ATR/BPN

59

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

kepada Daerah mengenai PTSL, sehingga fungsi Pusat hanyalah memonitor

pelaksanaan PTSL di daerah.

Dengan adanya Komisi Khusus ini, tidak lupa untuk membuat

kesepakatan (MoU) antara Kementrian Agraria dan Tata Ruang/BPN dengan

Kepolisian dan Kejaksaan mengenai pemakluman kesalahan administratif

pertanahan. Hal ini dirasa perlu karena sebagai langkah antisipasi untuk

menjaga pegawai Kementrian Agraria dan Tata Ruang yang notabene

pelayan administrasi publik untuk dikriminalisasi. Pegawai Kementrian

Agraria dan Tata Ruang/BPN yang sudah bekerja keras untuk melakukan

proses pendaftaran tanah dengan PTSL yang menuntut cepat serta

memenuhi target, sangat memungkinkan akan muncul kesalahan-kesalahan.

Kesalahan yang dimaksud semisal sertipikat salah bidang, sertipikat ganda,

ataupun kesalahan administrasi lainnya yang dapat dilakukan penyelesaian

sesuai hukum administrasi dan tidak perlu ke ranah pengadilan.

Pemakluman kesalahan administratif tidak berlaku apabila dikaitkan dengan

adanya suap maupun pungli dan hal-hal lain yang berbau KKN.

Penulis mengharapkan dengan adanya Reformasi SKP-KKPWEB dan

Komisi Khusus maka jumlah sengketa konflik perkara dalam momentum ptsl

dapat diminimalisir.

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

PTSL merupakan langkah tepat modernisasi pertanahan dalam 5 tahun ke

depan karena sertipikat yang dihasilkan tidak dapat di ganggu gugat dalam

jaminan kepastian hukumnya. Tetapi untuk 10 tahun ke depan, PTSL mungkin

menambah angka sengketa konflik. Langkah penyelesaian yang dapat ditempuh

: 1). Menata ulang sistem pengurusan dan pendaftaran hak atas tanah dengan

mengintegrasikan antara web SKP dengan KKPWEB sehingga meminimalisir

adanya sertipikat dobel yang menjadi kasus terbanyak dalam sengketa konflik

pertanahan. 2). Membuat sebuah Komisi Khusus Penyelesaian Sengketa

Perkara di bawah Direktorat V Penanganan Masalah dan Pengendalian

Pertanahan yang menangani perkara yang muncul sebelum menuju ranah

Pengadilan TUN, sehingga apabila dapat diselesaikan oleh Komisi Khusus maka

tidak perlu merujuk pada Pengadilan TUN.

5.2. Saran Mempertegas peraturan perundang–undangan yang berlaku mengenai

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Mendesak Pusdatin untuk segera

mengembangkan reformasi skp-kkpweb sebagai salah satu “early warning”

penyelesaian sengketa konflik perkara pertanahan. Memberikan penyuluhan

kepada Kantor Pertanahan dalam mengimplementasikan pelaksanaan PTSL

dengan menerapkan prinsip kehati–hatian secara benar tidak hanya memburu

peningkatan kuantitas pensertipikatan tanah. Menginstruksikan kepada eselon

IV, eselon V serta staf di bawah Direktorat Penanganan Masalah dan

Pengendalian Pertanahan agar melakukan pengentrian berkas yang memuat

sengketa, konflik dan perkara pertanahan secara rutin karena tidak akan muncul

warning berkas bermasalah kalo data mengenai masalah agraria tersebut tidak

diinput.

DAFTAR PUSTAKA Apriyana, Nana. (2016). Studi Banding Mengenai Tata Ruang dan Pertanahan

di Inggris. Buletin Tata Ruang dan Pertanahan “Perwujudan Infrastruktur

Wilayah dan Nasional: Peran Tata Ruang dan Pertanahan. Edisi I hlm

22–24.

Solichin, Bastoni. (2007). Konflik Kewenangan di Bidang Pertanahan

Terhadap Penguasaan Tanah di Batam.

Fajar, Farhan.(2011). Penyelesaian Konflik Pertanahan (Studi Kasus

Penguasaan Tanah Blang Padang Kota Banda Propinsi Aceh).

Hanstad, Tim. (1998). Designing Land Registration System for Developing

Countries. American University International Law Review, 13, 647-703.

Kanna, Harahap.(2005). Penyelesaian Konflik Penguasaan Hak Atas Tanah

antara Masyarakat PT. Poleka Jaya Agung di Dusun Kassa Kecamatan

Patampanua Kabupaten Pinrang.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, “Laporan Data Pengaduan Tahun 2015

Subbagian Penerimaan dan Pemilahan Pengaduan”,

https://www.komnasham.go.id/index.php/data-pengaduan/

Page 67: prosiding - ATR/BPN

60

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, “Rekap Data Pengaduan Komnas Ham

Tahun 2016”, https://www.komnasham.go.id/index.php/data-pengaduan/

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia. (2014). Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. Jakarta: Kementerian Agraria

dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Land Titles Act 1925 Australia. Tersedia di http://www.legislation.act.gov.au.

Diakses pada 26 Agustus 2016.

Parlindungan, A.P. 1990. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Bandung: Mandar

Maju

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3

Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3

Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian Dan Penanganan Kasus

Pertanahan.

Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus

Pertanahan

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional

No. 35 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional

No. 12 Tahun 2017 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

Pinuji, Sukmo.(2016). Integrasi Sistem Pertanahan dan Infrastruktur Data Spasial

dalam Rangka Perwujudan One Map Policy.

2016. Petunjuk Teknis Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah Sistematis

Lengkap. Direktorat Infrastrukur dan Keagrariaan

2017. Petunjuk Teknis Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis

Lengkap Bidang Yuridis. Direktorat Jenderal Hubungan Hukum

Keagrariaan

Page 68: prosiding - ATR/BPN

61

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, “Rekap Data Pengaduan Komnas Ham

Tahun 2016”, https://www.komnasham.go.id/index.php/data-pengaduan/

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia. (2014). Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. Jakarta: Kementerian Agraria

dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Land Titles Act 1925 Australia. Tersedia di http://www.legislation.act.gov.au.

Diakses pada 26 Agustus 2016.

Parlindungan, A.P. 1990. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Bandung: Mandar

Maju

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3

Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3

Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian Dan Penanganan Kasus

Pertanahan.

Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus

Pertanahan

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional

No. 35 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional

No. 12 Tahun 2017 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

Pinuji, Sukmo.(2016). Integrasi Sistem Pertanahan dan Infrastruktur Data Spasial

dalam Rangka Perwujudan One Map Policy.

2016. Petunjuk Teknis Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah Sistematis

Lengkap. Direktorat Infrastrukur dan Keagrariaan

2017. Petunjuk Teknis Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis

Lengkap Bidang Yuridis. Direktorat Jenderal Hubungan Hukum

Keagrariaan

Zevenbergen, Jaap. (2002). System of Land Registration: Aspects and Effects.

Delft: Geodesy 51. ISBN 90 6132 277 4

http://www.eurekapendidikan.com/2015/11/metode-penelitian-eksperimen.html

yang diakses pada tanggal 21 Oktober 2017 pukul 9: 28 PM

Biodata Penulis Nama Penulis : Dinar W. Wardhani

Tempat dan Tanggal Lahir : Sukoharjo, 22 Oktober 1993

Nama Instansi Asal : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Alamat Instansi Asal : Jalan Tata Bumi No. 5 Banyuraden, Gamping,

Sleman, DIY

Alamat Tempat Tinggal : Asrama Taruna Bhumi Sekolah Tinggi Pertanahan

Nasional Jalan Tata Bumi No.5, Banyuraden,

Gamping, Sleman, DIY

Alamat Email : [email protected]

Nomor Telepon : 0815766693 ( HP/WA)

Page 69: prosiding - ATR/BPN

62

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

ANALISIS PEMETAAN POLA SPASIAL NILAI NJOP DAN JUMLAH BIDANG TANAH TERDAFTAR UNTUK PENENTUAN LOKASI PRIORITAS PTSL

(STUDI PADA KECAMATAN KAYEN DAN SUKOLILO KABUPATEN PATI)

Catur Kuat Purnomo

Analis Kendali Mutu Survei, Pengukuran dan Pemetaan

Kantor Pertanahan Kabupaten Pati

[email protected]

ABSTRAK Lokasi kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dapat ditentukan

berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain usulan dari kantor desa

setempat, ketersediaan data pendukung seperti jumlah bidang tanah terdaftar,

ketersediaan data citra dan ketersediaan peta dasar pertanahan. Analisis

pemetaan pola spasial nilai NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar pada

rencana lokasi PTSL diperlukan untuk melakukan identifikasi pola spasial nilai

NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar yang dapat digunakan sebagai

pertimbangan dalam menentukan lokasi PTSL pada masa yang akan datang.

Penelitian ini menggunakan metode indeks Global Moran’s I dan K-Mean

Clustering, regresi maximum likelihood spasial lag dan spasial error serta

Moran’s I Scatterplot untuk mengidentifikasi pola spasial nilai NJOP dan jumlah

bidang tanah terdaftar untuk penentuan lokasi PTSL.

Pola spasial jumlah bidang tanah terdaftar menghasilkan lima klaster yaitu klaster

1 untuk lokasi PTSL tahun 2017 sebanyak 11 desa, klaster 2 untuk lokasi PTSL

tahun 2018 sebanyak 7 desa, klaster 3 untuk lokasi PTSL tahun 2019 sebanyak

6 desa, klaster 4 untuk lokasi PTSL tahun 2020 sebanyak 5 desa dan klaster 5

untuk lokasi PTSL tahun 2021 sebanyak 4 desa.

Pola spasial nilai NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar teridentifikasi memiliki

pola sistematik atau mengelompok. Model spasial error lebih menjelaskan variasi

nilai NJOP, akan tetapi koefisien lag ρ rho 31,97% dan λ lambda 39,79% belum

cukup kuat dalam menunjukkan pengaruh spatial dependence. Variabel yang

dapat memengaruhi nilai NJOP yaitu variabel kepadatan penduduk dan variabel

jumlah bidang tanah terdaftar HM, HGB, Hak Pakai dan Hak Wakaf. Lokasi PTSL

pada tahun pertama dapat dilaksanakan di Desa Wegil, Pakem, Kuwawur untuk

Page 70: prosiding - ATR/BPN

63

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

ANALISIS PEMETAAN POLA SPASIAL NILAI NJOP DAN JUMLAH BIDANG TANAH TERDAFTAR UNTUK PENENTUAN LOKASI PRIORITAS PTSL

(STUDI PADA KECAMATAN KAYEN DAN SUKOLILO KABUPATEN PATI)

Catur Kuat Purnomo

Analis Kendali Mutu Survei, Pengukuran dan Pemetaan

Kantor Pertanahan Kabupaten Pati

[email protected]

ABSTRAK Lokasi kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dapat ditentukan

berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain usulan dari kantor desa

setempat, ketersediaan data pendukung seperti jumlah bidang tanah terdaftar,

ketersediaan data citra dan ketersediaan peta dasar pertanahan. Analisis

pemetaan pola spasial nilai NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar pada

rencana lokasi PTSL diperlukan untuk melakukan identifikasi pola spasial nilai

NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar yang dapat digunakan sebagai

pertimbangan dalam menentukan lokasi PTSL pada masa yang akan datang.

Penelitian ini menggunakan metode indeks Global Moran’s I dan K-Mean

Clustering, regresi maximum likelihood spasial lag dan spasial error serta

Moran’s I Scatterplot untuk mengidentifikasi pola spasial nilai NJOP dan jumlah

bidang tanah terdaftar untuk penentuan lokasi PTSL.

Pola spasial jumlah bidang tanah terdaftar menghasilkan lima klaster yaitu klaster

1 untuk lokasi PTSL tahun 2017 sebanyak 11 desa, klaster 2 untuk lokasi PTSL

tahun 2018 sebanyak 7 desa, klaster 3 untuk lokasi PTSL tahun 2019 sebanyak

6 desa, klaster 4 untuk lokasi PTSL tahun 2020 sebanyak 5 desa dan klaster 5

untuk lokasi PTSL tahun 2021 sebanyak 4 desa.

Pola spasial nilai NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar teridentifikasi memiliki

pola sistematik atau mengelompok. Model spasial error lebih menjelaskan variasi

nilai NJOP, akan tetapi koefisien lag ρ rho 31,97% dan λ lambda 39,79% belum

cukup kuat dalam menunjukkan pengaruh spatial dependence. Variabel yang

dapat memengaruhi nilai NJOP yaitu variabel kepadatan penduduk dan variabel

jumlah bidang tanah terdaftar HM, HGB, Hak Pakai dan Hak Wakaf. Lokasi PTSL

pada tahun pertama dapat dilaksanakan di Desa Wegil, Pakem, Kuwawur untuk

Kecamatan Sukolilo dan Desa Sundoluhur, Boloagung, Rogomulyo untuk

Kecamatan Kayen.

Kata Kunci: NJOP, regresi spasial, spatial dependence 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional pada

tahun ini sedang melaksanakan program pendaftaran 5 juta bidang tanah di

seluruh Indonesia. Target masih akan dilanjutkan pada tahun 2018 dengan 7 juta

bidang, 9 juta untuk tahun 2019 dan seterusnya. Diharapkan pada tahun 2025

seluruh bidang tanah di Indonesia telah terdaftar. Pendaftaran Tanah Sistematis

Lengkap PTSL mulai bergulir dengan dasar Peraturan Menteri ATR/BPN No. 35

Tahun 2016 mengenai Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis

Lengkap.

Tujuan dari program ini adalah percepatan pemberian kepastian hukum

dan perlindungan hukum hak atas tanah secara adil dan merata, serta

mendorong pertumbuhan ekonomi negara dan ekonomi rakyat. Konsideran

bagian menimbang Peraturan Menteri ATR/ BPN No. 35 Tahun 2016.

Pelaksanaannya dapat melalui beberapa jalur antara lain PRONA/PRODA

Proyek Operasi Nasional Agraria/Proyek Operasi Daerah Agraria, program lintas

sektor, kegiatan lintas sektor, kegiatan dari dana desa, swadaya masyarakat atau

kegiatan massal lain yang sesuai dengan peraturan perundangan. Pada

dasarnya sistem administrasi pertanahan Land Administration System adalah

pekerjaan yang rumit karena melibatkan berbagai aspek antara lain: politik,

hukum dan teknologi Enemark, Williamson, & Wallace,

2005. Oleh karena itu, program PTSL yang dikerjakan oleh Kementerian

ATR/BPN adalah upaya membangun sistem administrasi pertanahan modern

yang bertujuan akhir pada pembangunan berkelanjutan, untuk memudahkan

perencanaan pembangunan bangsa dan Negara.

Lokasi kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dapat

ditentukan berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain usulan dari kantor

desa setempat, ketersediaan data pendukung seperti jumlah bidang tanah

terdaftar, ketersediaan data citra dan ketersediaan peta dasar pertanahan.

Analisis pemetaan pola spasial nilai NJOP pada usulan lokasi PTSL diperlukan

untuk melakukan identifikasi pola spasial nilai NJOP yang dapat digunakan

Page 71: prosiding - ATR/BPN

64

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan lokasi PTSL pada masa

yang akan datang.

1.2 Rumusan Masalah Adanya perbedaan informasi tentang ketersediaan data citra, ketersediaan

data peta dasar pendaftaran, informasi spasial nilai NJOP dan jumlah bidang

tanah pada lokasi penerima PTSL dapat menyebabkan kekeliruan dalam

menentukan lokasi prioritas desa penerima program PTSL. Penentuan lokasi

prioritas desa penerima PTSL yang kurang tepat dapat menyebabkan tidak

tercapainya target jumlah bidang PTSL. Oleh sebab itu diperlukan informasi

lokasi prioritas yang akurat, perencanaan yang tepat dan pengambilan keputusan

yang tepat agar target PTSL dapat tercapai sesuai dengan waktu yang tersedia.

1.3 Tujuan Penulisan a. Menyediakan informasi pola spasial nilai NJOP dan jumlah bidang tanah

terdaftar untuk penentuan lokasi prioritas PTSL

b. Menyediakan informasi variabel yang dapat memengaruhi nilai NJOP

1.4 Manfaat Penulisan Manfaat bagi institusi Kementerian ATR/BPN:

a. Sebagai model alternatif perencanaan pada Kegiatan PTSL

b. Sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan lokasi prioritas

desa penerima program PTSL

Manfaat bagi Pemda:

a. Sebagai identifikasi dan proyeksi potensi penerimaan pajak daerah

b. Sebagai pertimbangan lokasi dalam pemberian bantuan/hibah.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Johann Heinrich von Thünen 1783-1850 memaparkan ide tentang kota

monosentris dalam bukunya Der Isolierte Staat The Isolated State pada tahun

1826. Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai Von

Thünen’s Isolated State pada tahun 1966. Oleh karena penulis belum

mendapatkan buku terjemahan tersebut, penulis menggunakan pandangan

Grotewold 1959 dalam Cahjadi 2013 untuk menjabarkan ide Von Thünen.

Ide kota monosentris von Thünen sebenarnya merupakan ide mengenai

monocentric space pada produksi barang pertanian. Dengan kata lain, kota

monosentris von Thünen merupakan teori mengenai lokasi produksi barang

pertanian. Ide tersebut terlihat dalam konsep isolierte staat isolated state yang

Page 72: prosiding - ATR/BPN

65

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan lokasi PTSL pada masa

yang akan datang.

1.2 Rumusan Masalah Adanya perbedaan informasi tentang ketersediaan data citra, ketersediaan

data peta dasar pendaftaran, informasi spasial nilai NJOP dan jumlah bidang

tanah pada lokasi penerima PTSL dapat menyebabkan kekeliruan dalam

menentukan lokasi prioritas desa penerima program PTSL. Penentuan lokasi

prioritas desa penerima PTSL yang kurang tepat dapat menyebabkan tidak

tercapainya target jumlah bidang PTSL. Oleh sebab itu diperlukan informasi

lokasi prioritas yang akurat, perencanaan yang tepat dan pengambilan keputusan

yang tepat agar target PTSL dapat tercapai sesuai dengan waktu yang tersedia.

1.3 Tujuan Penulisan a. Menyediakan informasi pola spasial nilai NJOP dan jumlah bidang tanah

terdaftar untuk penentuan lokasi prioritas PTSL

b. Menyediakan informasi variabel yang dapat memengaruhi nilai NJOP

1.4 Manfaat Penulisan Manfaat bagi institusi Kementerian ATR/BPN:

a. Sebagai model alternatif perencanaan pada Kegiatan PTSL

b. Sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan lokasi prioritas

desa penerima program PTSL

Manfaat bagi Pemda:

a. Sebagai identifikasi dan proyeksi potensi penerimaan pajak daerah

b. Sebagai pertimbangan lokasi dalam pemberian bantuan/hibah.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Johann Heinrich von Thünen 1783-1850 memaparkan ide tentang kota

monosentris dalam bukunya Der Isolierte Staat The Isolated State pada tahun

1826. Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai Von

Thünen’s Isolated State pada tahun 1966. Oleh karena penulis belum

mendapatkan buku terjemahan tersebut, penulis menggunakan pandangan

Grotewold 1959 dalam Cahjadi 2013 untuk menjabarkan ide Von Thünen.

Ide kota monosentris von Thünen sebenarnya merupakan ide mengenai

monocentric space pada produksi barang pertanian. Dengan kata lain, kota

monosentris von Thünen merupakan teori mengenai lokasi produksi barang

pertanian. Ide tersebut terlihat dalam konsep isolierte staat isolated state yang

terdiri dari beberapa hal diantaranya; a Terdapat satu kota di tengah suatu

wilayah, b Pasar berada di kota, c Wilayah di luar kota merupakan tanah

pertanian dan ciri fisik tanah bersifat homogen, c Wilayah kota dan pertanian

dilayani oleh satu moda transportasi, dan d Petani mendiami lahan pertanian,

menyuplai kota, serta mampu beradaptasi terhadap semua perubahan kondisi

ekonomi.

Isolated State juga melihat hubungan dari tiga hal yaitu jarak lahan

pertanian dari pasar, harga jual barang pertanian yang diterima petani dan land

rent. Hubungan antara jarak lahan pertanian dari pasar dengan harga jual barang

pertanian yang diterima petani cukup sederhana. Harga yang diterima petani

adalah harga jual barang pertanian di pasar dikurangi dengan biaya transportasi

barang tersebut ke pasar. Biaya transportasi meningkat seiring dengan

peningkatan jarak dari pasar. Dengan demikian, barang pertanian memiliki nilai

lebih tinggi bagi petani yang berlokasi dekat pasar daripada petani yang berlokasi

lebih jauh dari pasar.

Hubungan antara land rent dengan jarak lahan pertanian dari pasar dapat

dilihat dengan memperhatikan definisi land rent, yaitu return dari investasi pada

tanah dimana return merupakan hasil penjualan barang pertanian dikurangi biaya

produksi dan dikurangi biaya angkut ke pasar. Hubungan antara land rent

dengan jarak ke pasar adalah semakin dekat suatu lahan dengan pasar maka

rent lahan tersebut semakin besar. Karena nilai lahan ditentukan dari besaran

rent lahan tersebut, maka semakin dekat suatu lahan dengan pasar maka nilai

lahan akan semakin tinggi. Hubungan tersebut dapat dilihat dengan

mempertimbangkan pola perkembangan isolated state. Pada saat isolated state

masih kecil, hanya butuh sedikit lahan di sekitar kota untuk memenuhi kebutuhan

barang pertanian di kota.

Hasil penelitian von Thünen tentang bentuk kota tidak cukup berkembang

di luar Jerman. Salah satu alasannya yaitu bahasa, buku Der Isolierte Staat

ditulis dalam bahasa Jerman. Pada tahun 1940, ahli ekonomi Jerman bernama

August Lösch 1906-1945 menyederhanakan ide von Thünen dalam buku Die

Raumliche Ordnung der Wirischaft Baumont dan Huriot, 1998. Buku Lösch

diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1954 dengan judul The

Economics of Location. Meskipun demikian, ide von Thünen kembali

berkembang pada ilmu ekonomi setelah diterapkan pada wilayah perkotaan

Page 73: prosiding - ATR/BPN

66

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

urban area oleh William Alonso 1933-1993, sehingga muncul aliran pemikiran

bernama New Urban Economics Baumont dan Huriot, 1998.

Alonso menggunakan ide von Thünen untuk menjelaskan fenomena

pembentukan kota, kemudian memaparkan ide kota monosentris dalam buku

Location and Land Use pada tahun 1964. Penulis menggunakan pandangan

Wheaton 1977 dalam Cahjadi 2013 untuk menjabarkan ide Alonso. Model Alonso

selanjutnya dikembangkan oleh Richard Muth dan Edwin S. Mills. Muth

memaparkan ide kota monosentris dalam bukunya Cities and Housing pada

tahun 1969 dan Mills memaparkan ide kota monosentris dalam buku Studies in

the Structure of the Urban Economy pada tahun 1972. Oleh karena penulis

belum mendapatkan buku tersebut, penulis menggunakan pandangan Brueckner

1987 dalam Cahjadi 2013 untuk menjabarkan ide Muth dan Mills.

William Alonso Ide kota monosentris Alonso pada dasarnya merupakan penerapan ide von

Thünen pada konsumsi tempat tinggal di perkotaan. Alonso mengubah sudut

pandang von Thünen dari fenomena produksi menjadi fenomena konsumsi.

Wilayah kota digambarkan sebagai sebuah lingkaran dengan satu pusat kota dan

pusat kota tersebut berada di tengah wilayah perkotaan. Wilayah di luar pusat

kota digunakan sebagai tempat tinggal. Setiap bidang tanah memiliki sifat sama

untuk seluruh wilayah perkotaan. Semua tempat bekerja berada di pusat kota

dan transportasi bersifat kontinu. Dalam kota monosentris, harga tanah akan

semakin rendah bila semakin jauh dari pusat kota.

Model kota monosentris Alonso dibangun dengan menggunakan

pendekatan bid price dikenal juga dengan nama bid rent pada pasar tanah di

kota. Dengan melihat pasar sebagai tempat pelelangan, konsumen memberikan

harga penawaran bids untuk menggunakan atau membeli tanah. Karena pemilik

tanah memiliki monopoli atas tanahnya dan setiap konsumen bertindak sendiri-

sendiri, maka setiap bidang tanah akan diberikan kepada penawar tertinggi.

Jika tanah, dalam jangka panjang dialokasikan kepada penawar tertinggi,

maka rumah tangga dengan kurva bid price lebih datar angka slope lebih besar

akan berada pada lokasi yang berjarak lebih jauh daripada rumah tangga dengan

kurva bid price lebih curam angka slope lebih kecil. Kondisi tersebut bukan hanya

kondisi keseimbangan atau ekuilibrium tetapi juga efisien karena kurva bid price

lebih curam berarti individu memberikan nilai marginal yang lebih tinggi pada

pusat kota.

Page 74: prosiding - ATR/BPN

67

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

urban area oleh William Alonso 1933-1993, sehingga muncul aliran pemikiran

bernama New Urban Economics Baumont dan Huriot, 1998.

Alonso menggunakan ide von Thünen untuk menjelaskan fenomena

pembentukan kota, kemudian memaparkan ide kota monosentris dalam buku

Location and Land Use pada tahun 1964. Penulis menggunakan pandangan

Wheaton 1977 dalam Cahjadi 2013 untuk menjabarkan ide Alonso. Model Alonso

selanjutnya dikembangkan oleh Richard Muth dan Edwin S. Mills. Muth

memaparkan ide kota monosentris dalam bukunya Cities and Housing pada

tahun 1969 dan Mills memaparkan ide kota monosentris dalam buku Studies in

the Structure of the Urban Economy pada tahun 1972. Oleh karena penulis

belum mendapatkan buku tersebut, penulis menggunakan pandangan Brueckner

1987 dalam Cahjadi 2013 untuk menjabarkan ide Muth dan Mills.

William Alonso Ide kota monosentris Alonso pada dasarnya merupakan penerapan ide von

Thünen pada konsumsi tempat tinggal di perkotaan. Alonso mengubah sudut

pandang von Thünen dari fenomena produksi menjadi fenomena konsumsi.

Wilayah kota digambarkan sebagai sebuah lingkaran dengan satu pusat kota dan

pusat kota tersebut berada di tengah wilayah perkotaan. Wilayah di luar pusat

kota digunakan sebagai tempat tinggal. Setiap bidang tanah memiliki sifat sama

untuk seluruh wilayah perkotaan. Semua tempat bekerja berada di pusat kota

dan transportasi bersifat kontinu. Dalam kota monosentris, harga tanah akan

semakin rendah bila semakin jauh dari pusat kota.

Model kota monosentris Alonso dibangun dengan menggunakan

pendekatan bid price dikenal juga dengan nama bid rent pada pasar tanah di

kota. Dengan melihat pasar sebagai tempat pelelangan, konsumen memberikan

harga penawaran bids untuk menggunakan atau membeli tanah. Karena pemilik

tanah memiliki monopoli atas tanahnya dan setiap konsumen bertindak sendiri-

sendiri, maka setiap bidang tanah akan diberikan kepada penawar tertinggi.

Jika tanah, dalam jangka panjang dialokasikan kepada penawar tertinggi,

maka rumah tangga dengan kurva bid price lebih datar angka slope lebih besar

akan berada pada lokasi yang berjarak lebih jauh daripada rumah tangga dengan

kurva bid price lebih curam angka slope lebih kecil. Kondisi tersebut bukan hanya

kondisi keseimbangan atau ekuilibrium tetapi juga efisien karena kurva bid price

lebih curam berarti individu memberikan nilai marginal yang lebih tinggi pada

pusat kota.

Pada Gambar 1. menunjukkan kurva bid price dari tiga rumah tangga.

Rumah tangga pertama memiliki kurva bid price Bid 1 paling curam sehingga

mendapat lokasi paling dekat dengan pusat kota 0 − 𝑡𝑡1. Rumah tangga ketiga

memiliki kurva bid price Bid 3 paling landai sehingga mendapatkan lokasi paling

jauh dari pusat kota 𝑡𝑡2 − 𝑡𝑡3. Sementara itu, rumah tangga kedua memiliki

kemiringan kurva bid price Bid 2 di antara rumah tangga pertama dan rumah

tangga kedua sehingga menempati lokasi di antara rumah tangga pertama dan

rumah tangga kedua 𝑡𝑡1 − 𝑡𝑡2.

Gambar 1. Kurva Bid Price

Sejumlah rumah tangga harus menerima kesejahteraan lebih rendah agar

dapat menawar tanah lebih tinggi. Hal ini memungkinkan kelompok rumah

tangga tersebut untuk mengambil tanah dari kelompok rumah tangga lain.

Karena tingkat utilitas lebih rendah menghasilkan bid price lebih tinggi, mereka

juga harus mengurangi jumlah konsumsi tanah. Solusi pada kondisi ekuilibrium

adalah sejumlah tingkat utilitas sehingga wilayah dengan bid price tertinggi dari

kelompok rumah tangga tertentu sama dengan total konsumsi tanah yang

diinginkan.

Pola penggunaan tanah pada model Alonso berbentuk lingkaran lihat

Gambar 2 yang menunjukkan pola penggunaan tanah untuk tiga kelompok

rumah tangga. Setiap kelompok menempati wilayah berbentuk cincin. Luas

setiap cincin sama dengan jumlah permintaan lahan untuk setiap kelompok

rumah tangga. Rumah tangga 1 memiliki bid price tertinggi sehingga menempati

lokasi paling dekat dengan pusat kota. Rumah tangga 3 memiliki bid price

terendah sehingga menempati lokasi paling jauh dari pusat kota.

Bid 1

𝑡𝑡1 0

Bid 2

Bid 3

𝑡𝑡2 𝑡𝑡3 Jarak dari pusat kota (t)

Page 75: prosiding - ATR/BPN

68

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Legenda:

Gambar 2. Pola Penggunaan Tanah Alonso

Penelitian Empiris mengenai Harga Tanah Penelitian mengenai harga tanah telah beberapa kali dilakukan diantaranya

oleh Brigham di LA, Weiss et al., di North Carolina USA, Johnson and Ragas,

Vandeveer et al., Millen et al., Akhtar, Goffette-Nagot et al.

Eugene F. Brigham 1965 melakukan penelitian tentang The determinant of

residential land value di Los Angeles dengan metode analisis regresi berganda

beberapa variabel aksesibilitas terhadap fasilitas, topografi dan historical faktors

menyimpulkan bahwa jarak ke CBD bertanda negatif, variabel neighborhood

bertanda negatif, nilai bangunan bertanda positif, topografi bertanda negatif dan

sangat signifikan.

Pendapat Brigham tersebut diperkuat oleh penelitian F. Weiss; Thomas G

Donnely; dan Edward J. Kaiser 1966 yang menyimpulkan bahwa variabel spasial

jarak bertanda negatif, meneliti tentang Land value and land development

influence faktor:An analytical Approach for Examining Policy Alternatives di North

Carolina’s Piedmont Crescent, USA, dengan metode regresi berganda dan 14

variabel independen yaitu accessibility to work area, availability to work sewage,

distance to major street, distance to nearest elementary school, land not suitable

for building purpose, zoning protection, residential amenity, availability of city

water, dwelling density, total travel distance, proximity to blighted area, proximity

to non white area, distance to recreation area and distance to shopping area.

Pusat kota

Rumah tangga 1

Rumah tangga 2

Rumah tangga 3

Page 76: prosiding - ATR/BPN

69

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Legenda:

Gambar 2. Pola Penggunaan Tanah Alonso

Penelitian Empiris mengenai Harga Tanah Penelitian mengenai harga tanah telah beberapa kali dilakukan diantaranya

oleh Brigham di LA, Weiss et al., di North Carolina USA, Johnson and Ragas,

Vandeveer et al., Millen et al., Akhtar, Goffette-Nagot et al.

Eugene F. Brigham 1965 melakukan penelitian tentang The determinant of

residential land value di Los Angeles dengan metode analisis regresi berganda

beberapa variabel aksesibilitas terhadap fasilitas, topografi dan historical faktors

menyimpulkan bahwa jarak ke CBD bertanda negatif, variabel neighborhood

bertanda negatif, nilai bangunan bertanda positif, topografi bertanda negatif dan

sangat signifikan.

Pendapat Brigham tersebut diperkuat oleh penelitian F. Weiss; Thomas G

Donnely; dan Edward J. Kaiser 1966 yang menyimpulkan bahwa variabel spasial

jarak bertanda negatif, meneliti tentang Land value and land development

influence faktor:An analytical Approach for Examining Policy Alternatives di North

Carolina’s Piedmont Crescent, USA, dengan metode regresi berganda dan 14

variabel independen yaitu accessibility to work area, availability to work sewage,

distance to major street, distance to nearest elementary school, land not suitable

for building purpose, zoning protection, residential amenity, availability of city

water, dwelling density, total travel distance, proximity to blighted area, proximity

to non white area, distance to recreation area and distance to shopping area.

Pusat kota

Rumah tangga 1

Rumah tangga 2

Rumah tangga 3

Hasilnya terdapat empat variabel yang konsisten signifikan yaitu: accessibility to

work area bertanda positif, availability of public sewerage bertanda positif,

distance to major street bertanda negatif dan distance to nearest elementary

school bertanda negatif. Kedua penelitian ini belum menggunakan model regresi

spasial dalam pendekatan analisisnya.

Untuk menyempurnakan kelemahan penelitian harga tanah oleh Brigham

1965; Kaiser et al. 1966, Johnson and Ragas 1983, maka Lonnie R. Vandeveer,

Steven A. Henning, Huizhen Niu, Gary A. Kennedy 1998 meneliti tentang A

Spatial Analysis of Land Values At The Rural Urban Fringe dengan

menggunakan model OLS dan model maximum likelihood spatial error,

sedangkan model ML spasial lag digunakan untuk menganalisa kontur harga/

nilai tanah. Data penjualan harga tanah yang digunakan, dikumpulkan

menggunakan teknik korespondensi dari periode Januari 1993 sampai Juni 1998.

Variabel independen yang digunakan sebanyak 9 variabel yaitu ukuran tanah,

persentase lahan panen, persentase padang rumput, selisih kenaikan harga,

jarak ke pusat kota terdekat, waktu penjualan, jalan diperkeras, komersial, dan

residensial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model spasial error lebih

superior dalam menjelaskan variasi estimasi perkiraan harga daripada model

regresi OLS. Sementara itu model ml spasial lag dapat digunakan untuk

menjelaskan batasan kontur isoline harga tanah dengan interval harga tanah

sebesar $200. Penelitian ini sudah menggunakan model spasial sehingga dapat

mengidentifikasi pengaruh dependensi spasial, hasil analisis juga lebih rinci

dalam menggambarkan variasi estimasi harga tanah.

Berbeda dengan model yang digunakan Vandeveer et all 1998, Shamshad

Akhtar 2004 meneliti tentang Spatial Distribution of Land Value in Karachi City

dengan menggunakan 3 model jarak yang terkenal yaitu model Knos, model

Alonso dan model Mills, data primer didapatkan melalui metode kuesioner pada

tiga area di perkotaan yaitu residensial area, komersial area dan industrial area.

Digunakan metode sampling, sampel dipilih secara acak sehingga terpilih dari

area residensial sebanyak 200 sampel, komersial sebanyak 100 sampel dan

industri sebanyak 50 sampel. Data primer tersebut kemudian dihitung secara

statistik dan kartografi pada berbagai penggunaan tanah. Penulis menggunakan

modifikasi model regresi berganda dengan 6 variabel yaitu jarak dari kantor SITE

pusat industri dan perdagangan, jarak dari fasilitas tansportasi utama, lebar jalan,

jarak ke jalan didepan letak tanah, jarak dari pusat industri. Hasil penelitian

Page 77: prosiding - ATR/BPN

70

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

menunjukkan bahwa variabel jarak dari kantor SITE, jarak dari fasilitas

transportasi utama, lebar jalan, jarak ke jalan dan jarak dari pusat industri

memiliki hubungan yang signifikan. Semakin jauh dari SITE dan transportasi

utama harga tanah semakin turun, semakin jauh dari pusat industri, harga tanah

semakin tinggi, semakin lebar jalan dan road frontage maka harga tanah semakin

tinggi.

Penelitian tersebut memiliki keunggulan dalam kontribusi penggunaan

konsep spasial dalam analisa harga tanah dan hasilnya semakin menjelaskan

bahwa harga tanah berkorelasi negatif terhadap jarak ke pusat kota, distribusi

spasial juga dapat menjelaskan fenomena spillover effect dari berbagai jenis

penggunaan tanah terhadap harga tanah baik di area residensial, komersial

maupun industrial.

Untuk menyempurnakan hasil penelitian Vandeveer et al. 1998, Millen et al.

2001, dan Akhtar 2004, maka Florence Goffette-Nagot, Isabelle Reginster,

Isabelle Thomas 2009 kemudian melakukan penelitian tentang A spatial analysis

of residential land prices in Belgium: accessibility, linguistic border and

environmental amenities menggunakan 3 model yaitu OLS, spatial error model

SEM, dan spatial lag model SLM. Data rata–rata harga jual tanah/ nilai tanah

yang digunakan berasal dari Belgian National Institute for Statistics selama 3

tahun yaitu tahun 1999, 2000, dan 2001 dengan menggunakan variabel

lingkungan, aksesibilitas pekerjaan dan sosial ekonomi. Variabel dependen yaitu

harga jual tanah dan variabel independen yang digunakan sebanyak 13 tiga

belas variabel yaitu access intra, access inter, access bxl, jobs, popdens,

income, wallonia, coast, coastprox, slope, water, forest ln dan agriculture ln.

Hasilnya menunjukkan bahwa pada level negara secara keseluruhan

variasi harga tanah ditentukan dari faktor jarak suatu faktor yang bergantung

pada unit biaya transportasi dan trade off antara biaya transportasi dan harga

tanah, natural amenities tidak memiliki peran yang stabil terhadap harga tanah.

Variabel lingkungan dan natural amenities lebih berpengaruh pada tingkat lokal.

Seperti pada penelitian Akhtar 2004, Gofette-Nagot et all 2009 dan penelitian

sebelumnya dapat diketahui bahwa dengan penggunaan model regresi berganda

maupun model regresi spasial, variabel jarak memiliki pengaruh yang konsisten

terhadap harga tanah. Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan penggunaan

model regresi spasial dapat lebih menunjukkan perbedaan pengaruh terhadap

variasi estimasi harga tanah pada tingkat global maupun lokal.

Page 78: prosiding - ATR/BPN

71

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

menunjukkan bahwa variabel jarak dari kantor SITE, jarak dari fasilitas

transportasi utama, lebar jalan, jarak ke jalan dan jarak dari pusat industri

memiliki hubungan yang signifikan. Semakin jauh dari SITE dan transportasi

utama harga tanah semakin turun, semakin jauh dari pusat industri, harga tanah

semakin tinggi, semakin lebar jalan dan road frontage maka harga tanah semakin

tinggi.

Penelitian tersebut memiliki keunggulan dalam kontribusi penggunaan

konsep spasial dalam analisa harga tanah dan hasilnya semakin menjelaskan

bahwa harga tanah berkorelasi negatif terhadap jarak ke pusat kota, distribusi

spasial juga dapat menjelaskan fenomena spillover effect dari berbagai jenis

penggunaan tanah terhadap harga tanah baik di area residensial, komersial

maupun industrial.

Untuk menyempurnakan hasil penelitian Vandeveer et al. 1998, Millen et al.

2001, dan Akhtar 2004, maka Florence Goffette-Nagot, Isabelle Reginster,

Isabelle Thomas 2009 kemudian melakukan penelitian tentang A spatial analysis

of residential land prices in Belgium: accessibility, linguistic border and

environmental amenities menggunakan 3 model yaitu OLS, spatial error model

SEM, dan spatial lag model SLM. Data rata–rata harga jual tanah/ nilai tanah

yang digunakan berasal dari Belgian National Institute for Statistics selama 3

tahun yaitu tahun 1999, 2000, dan 2001 dengan menggunakan variabel

lingkungan, aksesibilitas pekerjaan dan sosial ekonomi. Variabel dependen yaitu

harga jual tanah dan variabel independen yang digunakan sebanyak 13 tiga

belas variabel yaitu access intra, access inter, access bxl, jobs, popdens,

income, wallonia, coast, coastprox, slope, water, forest ln dan agriculture ln.

Hasilnya menunjukkan bahwa pada level negara secara keseluruhan

variasi harga tanah ditentukan dari faktor jarak suatu faktor yang bergantung

pada unit biaya transportasi dan trade off antara biaya transportasi dan harga

tanah, natural amenities tidak memiliki peran yang stabil terhadap harga tanah.

Variabel lingkungan dan natural amenities lebih berpengaruh pada tingkat lokal.

Seperti pada penelitian Akhtar 2004, Gofette-Nagot et all 2009 dan penelitian

sebelumnya dapat diketahui bahwa dengan penggunaan model regresi berganda

maupun model regresi spasial, variabel jarak memiliki pengaruh yang konsisten

terhadap harga tanah. Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan penggunaan

model regresi spasial dapat lebih menunjukkan perbedaan pengaruh terhadap

variasi estimasi harga tanah pada tingkat global maupun lokal.

Secara umum masih relatif sedikit penggunaan model regresi spasial untuk

analisis pola spasial harga tanah, sehingga dari berbagai penelitian tentang

harga tanah tersebut penulis terinspirasi untuk melengkapi penelitian tentang

nilai NJOP dengan penekanan analisa dan metode yang berbeda yaitu

menggunakan model regresi spasial. Penulis terinspirasi menggunakan dua

model yaitu model spasial lag dan model spasial error pada spesifikasi yang

sama Mallios et al., 2009; Breustedt and Habermann, 2011. dengan

menggunakan empat variabel independen yaitu jarak ke pusat kota, jarak ke

puskesmas, kepadatan penduduk dan jumlah bidang tanah terdaftar.

3. METODE PENELITIAN Menurut Lembo 2006 dalam Kartika 2007 autokorelasi spasial adalah

korelasi antara variabel dengan dirinya sendiri berdasarkan ruang atau dapat

juga diartikan suatu ukuran kemiripan dari objek di dalam suatu ruang jarak,

waktu dan wilayah. Jika terdapat pola sistematik di dalam penyebaran sebuah

variabel, maka terdapat autokorelasi spasial. Adanya autokorelasi spasial

mengindikasikan bahwa nilai atribut pada daerah tertentu terkait oleh nilai atribut

tersebut pada daerah lain yang letaknya berdekatan bertetangga. Matrik

pembobot spasial dapat ditentukan dengan beragam metode, yaitu matrik

pembobotan dengan metode persinggungan sisi-sisi/ Rooks Case,

persinggungan sudut-sudut/ Bishops Case dan persinggungan sudut sisi/

Queen’s Case. Pada penelitian ini akan menggunakan penghitungan weight

matrix metode persinggungan sisi-sisi Rooks Case

Indeks Global Moran’s I Global Moran's I mengukur korelasi satu variabel misal x adalah 𝑥𝑥𝑖𝑖 dan 𝑥𝑥𝑗𝑗

dimana i ≠ j, i=1,2,...n, j=1,2,...n dengan banyak data sebesar n, maka formula

dari Moran’s I adalah pada persamaan 1. Paradis, 2010

�̅�𝑥 pada persamaan 1 merupakan rata-rata dari variabel x, 𝑤𝑤𝑖𝑖𝑗𝑗 merupakan elemen

dari matrik pembobot, and 𝑆𝑆0 adalah penjumlahan dari elemen matrik pembobot,

dimana 𝑆𝑆0 = ∑ ∑ 𝑤𝑤𝑖𝑖𝑗𝑗𝑗𝑗𝑖𝑖 . Nilai dari indeks I ini berkisar antara -1 dan 1. Identifikasi

pola menggunakan kriteria nilai indeks I, jika 𝐼𝐼 > 𝐼𝐼0, maka mempunyai pola

n

1i

2i0

n

1i

n

1jjiij

)x(x

)x)(xx(xw

S

NI

Page 79: prosiding - ATR/BPN

72

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

sistematik atau mengelompok cluster, jika 𝐼𝐼 = 𝐼𝐼0, maka berpola menyebar tidak

merata tidak ada autokorelasi, dan 𝐼𝐼 < 𝐼𝐼0,, memiliki pola tidak sistematik atau

menyebar disperse. 𝐼𝐼0 merupakan nilai ekspektasi dari I yang dirumuskan E I= 𝐼𝐼0

= −1/n − 1 Lee dan Wong, 2001.

Pengujian hipotesis terhadap parameter I dapat dilakukan sebagai berikut:

𝐻𝐻0: tidak ada autokorelasi spasial

𝐻𝐻1: terdapat autokorelasi positif indeks Moran’s I bernilai positif

𝐻𝐻1: terdapat autokorelasi negatif indeks Moran’s I bernilai negatif

Lee dan Wong 2001 menyebutkan bahwa Moran’s Scatterplot adalah salah

satu cara untuk menginterpretasikan statistik Indeks Global Moran’s I. Moran’s

Scatterplot merupakan alat untuk melihat hubungan antara nilai pengamatan

yang sudah distandarisasi dengan nilai rata-rata daerah tetangga yang telah

distandarisasi.

Kuadran I terletak di kanan atas disebut High-High HH, menunjukkan

daerah yang mempunyai nilai pengamatan tinggi dikelilingi oleh daerah yang

mempunyai nilai pengamatan tinggi. Kuadran II terletak di kiri atas disebut Low-

High LH, menunjukkan daerah dengan pengamatan rendah tapi dikelilingi daerah

dengan nilai pengamatan tinggi. Kuadran III terletak di kiri bawah disebut Low-

Low LL, menunjukkan daerah dengan nilai pengamatan rendah dan dikelilingi

daerah yang juga mempunyai nilai pengamatan rendah. Kuadran IV terletak di

kanan bawah disebut High-Low HL, menunjukkan daerah dengan nilai

pengamatan tinggi yang dikelilingi oleh daerah dengan nilai pengamatan rendah

Kartika, 2007.

Moran’s Scatterplot yang banyak menempatkan pengamatan di kuadran

HH dan kuadran LL akan cenderung mempunyai nilai autokorelasi spasial yang

positif cluster. Sedangkan Moran’s Scatterplot yang banyak menempatkan

pengamatan di kuadran HL dan LH akan cenderung mempunyai nilai

autokorelasi spasial yang negatif.

Local Indicator of Spatial Autocorrelation LISA Pengidentifikasian koefisien autocorrelation secara lokal dalam artian

menemukan korelasi spasial pada setiap daerah, dapat digunakan Moran’s I.

Berbeda dengan Global Moran’s I sebelumnya, Moran’s I pada LISA

mengindikasikan local autocorrelation. LISA disini mengidentifikasi bagaimana

hubungan antara suatu lokasi pengamatan terhadap lokasi pengamatan yang

lainnya. Adapun indeksnya adalah sebagai berikut Lee dan Wong, 2001.

Page 80: prosiding - ATR/BPN

73

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

sistematik atau mengelompok cluster, jika 𝐼𝐼 = 𝐼𝐼0, maka berpola menyebar tidak

merata tidak ada autokorelasi, dan 𝐼𝐼 < 𝐼𝐼0,, memiliki pola tidak sistematik atau

menyebar disperse. 𝐼𝐼0 merupakan nilai ekspektasi dari I yang dirumuskan E I= 𝐼𝐼0

= −1/n − 1 Lee dan Wong, 2001.

Pengujian hipotesis terhadap parameter I dapat dilakukan sebagai berikut:

𝐻𝐻0: tidak ada autokorelasi spasial

𝐻𝐻1: terdapat autokorelasi positif indeks Moran’s I bernilai positif

𝐻𝐻1: terdapat autokorelasi negatif indeks Moran’s I bernilai negatif

Lee dan Wong 2001 menyebutkan bahwa Moran’s Scatterplot adalah salah

satu cara untuk menginterpretasikan statistik Indeks Global Moran’s I. Moran’s

Scatterplot merupakan alat untuk melihat hubungan antara nilai pengamatan

yang sudah distandarisasi dengan nilai rata-rata daerah tetangga yang telah

distandarisasi.

Kuadran I terletak di kanan atas disebut High-High HH, menunjukkan

daerah yang mempunyai nilai pengamatan tinggi dikelilingi oleh daerah yang

mempunyai nilai pengamatan tinggi. Kuadran II terletak di kiri atas disebut Low-

High LH, menunjukkan daerah dengan pengamatan rendah tapi dikelilingi daerah

dengan nilai pengamatan tinggi. Kuadran III terletak di kiri bawah disebut Low-

Low LL, menunjukkan daerah dengan nilai pengamatan rendah dan dikelilingi

daerah yang juga mempunyai nilai pengamatan rendah. Kuadran IV terletak di

kanan bawah disebut High-Low HL, menunjukkan daerah dengan nilai

pengamatan tinggi yang dikelilingi oleh daerah dengan nilai pengamatan rendah

Kartika, 2007.

Moran’s Scatterplot yang banyak menempatkan pengamatan di kuadran

HH dan kuadran LL akan cenderung mempunyai nilai autokorelasi spasial yang

positif cluster. Sedangkan Moran’s Scatterplot yang banyak menempatkan

pengamatan di kuadran HL dan LH akan cenderung mempunyai nilai

autokorelasi spasial yang negatif.

Local Indicator of Spatial Autocorrelation LISA Pengidentifikasian koefisien autocorrelation secara lokal dalam artian

menemukan korelasi spasial pada setiap daerah, dapat digunakan Moran’s I.

Berbeda dengan Global Moran’s I sebelumnya, Moran’s I pada LISA

mengindikasikan local autocorrelation. LISA disini mengidentifikasi bagaimana

hubungan antara suatu lokasi pengamatan terhadap lokasi pengamatan yang

lainnya. Adapun indeksnya adalah sebagai berikut Lee dan Wong, 2001.

𝐼𝐼𝑖𝑖 = 𝑧𝑧𝑖𝑖 ∑ 𝑤𝑤𝑖𝑖𝑖𝑖𝑧𝑧𝑖𝑖𝑖𝑖

𝑧𝑧𝑖𝑖 dan 𝑧𝑧𝑖𝑖 pada persamaan di atas merupakan deviasi dari nilai rata-rata.

𝑧𝑧𝑖𝑖 = 𝑥𝑥𝑖𝑖 − �̅�𝑥2/𝛿𝛿

𝛿𝛿 adalah nilai standar deviasi dari 𝑥𝑥𝑖𝑖

Pengujian terhadap parameter 𝐼𝐼𝑖𝑖 dapat dilakukan sebagai berikut.

𝐻𝐻0: tidak ada autokorelasi spasial

𝐻𝐻1: terdapat autokorelasi spasial

Statistik uji:

𝑍𝑍ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 = 𝐼𝐼𝑖𝑖 − Ɛ𝐼𝐼𝑖𝑖

√𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝐼𝐼𝑖𝑖

dengan 𝐼𝐼𝑖𝑖 merupakan indeks LISA, 𝑍𝑍ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 merupakan nilai statistik uji indeks

LISA, Ɛ𝐼𝐼𝑖𝑖 merupakan nilai ekspektasi indeks LISA, dan 𝑉𝑉𝑣𝑣𝑣𝑣𝐼𝐼𝑖𝑖 merupakan nilai

varians dari indeks LISA.

𝐸𝐸(𝐼𝐼𝑖𝑖) = −𝑤𝑤𝑖𝑖/𝑛𝑛 − 1

𝑉𝑉𝑣𝑣𝑣𝑣(𝐼𝐼𝑖𝑖) = 𝑤𝑤𝑖𝑖.2

𝑛𝑛 − 𝑚𝑚4𝑚𝑚2

2

𝑛𝑛 − 1 − 2𝑤𝑤𝑖𝑖𝑖𝑖ℎ

2𝑚𝑚4𝑚𝑚2

2 − 𝑛𝑛

(𝑛𝑛 − 1)𝑛𝑛 − 2 − 𝑤𝑤𝑖𝑖.2

𝑛𝑛 − 12

Dimana:

𝑤𝑤𝑖𝑖.2 = ∑ 𝑤𝑤𝑖𝑖𝑖𝑖

2𝑖𝑖 , 𝑖𝑖 ≠ 𝑗𝑗

𝑤𝑤𝑖𝑖𝑖𝑖ℎ = ∑ ∑ 𝑤𝑤𝑖𝑖𝑖𝑖𝑤𝑤𝑖𝑖ℎℎ≠𝑖𝑖𝑖𝑖≠𝑖𝑖

𝑤𝑤𝑖𝑖.2 = ∑ 𝑤𝑤𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖

2

Pengujian ini akan menolak hipotesis awal jika nilai 𝑍𝑍ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 terletak pada

pada |𝑍𝑍ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖| > 𝑍𝑍𝛼𝛼2

Model Empiris dan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

meliputi peta batas administrasi desa di Kecamatan Sukolilo dan Kayen

Kabupaten Pati dengan unit Desa dalam bentuk digital dan data sekunder yang

diperoleh dari berbagai instansi Pemerintah. Adapun data jarak antara dua lokasi

titik diperoleh dari internet melalui situs Google Maps. Bentuk data yang

digunakan merupakan data cross section pada 33 wilayah administrasi desa.

Sumber data nilai NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar serta data pada

variabel penjelas yang digunakan pada penelitian ini yaitu data sekunder yang

dikumpulkan dari GeoKKPWeb, BPS, Daftar Nominatif pemohon PTSL dan

Google Maps.

Page 81: prosiding - ATR/BPN

74

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Ada dua alasan penggunaan model regresi spasial. Pertama, karena

penggunaan model regresi Ordinary Least Square OLS untuk melakukan analisis

harga tanah kurang tepat sebab pada model OLS mensyaratkan bahwa tidak

adanya korelasi antar error sementara itu pada analisis spasial mensyaratkan

adanya korelasi antar error spatial autocorrelation sehingga penggunaan model

OLS untuk analisis harga tanah akan melanggar asumsi yang disyaratkan pada

model regresi spasial. Kedua, sesuai dengan kaidah hukum geografi pertama

Tobler 1970, harga tanah pada wilayah tertentu akan sangat dipengaruhi oleh

harga tanah di wilayah sekitarnya atau adanya efek spatial dependence.

Sebagian penelitian harga tanah menggunakan salah satu dari kedua

model yaitu spasial lag Pykkonen, 2005; Huang et al., 2006 atau spasial error

Hardie et al., 2001; Bell and Bockstael, 2000, sementara sebagian yang lain

menggunakan kedua model spasial yaitu spasial lag dan spasial error dalam

spesifikasi yang sama Mallios et al., 2009; Breustedt and Habermann, 2011.

Pada penelitian ini, penulis memilih untuk menggunakan kedua model spasial

yaitu model spasial lag dan spasial error, penggunaan model spasial lag

ditujukan untuk mengidentifikasi adanya efek spatial dependence, sedangkan

penggunaan model spasial error ditujukan untuk mengidentifikasi adanya faktor

lain di luar faktor spatial dependence.

Penggunaan metode indeks Moran’s I sebelum dilakukan regresi spasial

ditujukan untuk mengidentifikasi adanya autokorelasi spasial. Kedua estimasi

model spasial lag dan spasial error akan dibandingkan untuk memberikan

konfirmasi bukti yang jelas mengenai ada atau tidaknya efek spatial dependence

serta ada atau tidaknya faktor lain selain efek spatial dependence seperti faktor

eksternalitas maupun faktor penentuan harga tanah oleh Pemerintah.

Untuk menjawab tujuan penelitian yang ke-1 tentang bagaimana pola

spasial nilai NJOP dilakukan penghitungan nilai indeks Moran’s I, dengan terlebih

dahulu membuat matrik pembobot spasial weight matrix menggunakan metode

rook contiguity 33 baris x 33 kolom yang dianggap lebih sesuai untuk

menggambarkan korelasi spasial atau pengaruh dependensi spasial

ketetanggaan di wilayah Kecamatan Sukolilo dan Kayen.

Sementara itu, untuk menjawab tujuan penelitian ke-2, digunakan model

regresi Maximum Likelihood Spatial Lag Model, dan Maximum Likelihood Spatial

Error Model, sebelum dilakukan analisis menggunakan model regresi spasial

terlebih dahulu akan dilakukan uji Lagrange Multiplier untuk mengetahui model

Page 82: prosiding - ATR/BPN

75

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Ada dua alasan penggunaan model regresi spasial. Pertama, karena

penggunaan model regresi Ordinary Least Square OLS untuk melakukan analisis

harga tanah kurang tepat sebab pada model OLS mensyaratkan bahwa tidak

adanya korelasi antar error sementara itu pada analisis spasial mensyaratkan

adanya korelasi antar error spatial autocorrelation sehingga penggunaan model

OLS untuk analisis harga tanah akan melanggar asumsi yang disyaratkan pada

model regresi spasial. Kedua, sesuai dengan kaidah hukum geografi pertama

Tobler 1970, harga tanah pada wilayah tertentu akan sangat dipengaruhi oleh

harga tanah di wilayah sekitarnya atau adanya efek spatial dependence.

Sebagian penelitian harga tanah menggunakan salah satu dari kedua

model yaitu spasial lag Pykkonen, 2005; Huang et al., 2006 atau spasial error

Hardie et al., 2001; Bell and Bockstael, 2000, sementara sebagian yang lain

menggunakan kedua model spasial yaitu spasial lag dan spasial error dalam

spesifikasi yang sama Mallios et al., 2009; Breustedt and Habermann, 2011.

Pada penelitian ini, penulis memilih untuk menggunakan kedua model spasial

yaitu model spasial lag dan spasial error, penggunaan model spasial lag

ditujukan untuk mengidentifikasi adanya efek spatial dependence, sedangkan

penggunaan model spasial error ditujukan untuk mengidentifikasi adanya faktor

lain di luar faktor spatial dependence.

Penggunaan metode indeks Moran’s I sebelum dilakukan regresi spasial

ditujukan untuk mengidentifikasi adanya autokorelasi spasial. Kedua estimasi

model spasial lag dan spasial error akan dibandingkan untuk memberikan

konfirmasi bukti yang jelas mengenai ada atau tidaknya efek spatial dependence

serta ada atau tidaknya faktor lain selain efek spatial dependence seperti faktor

eksternalitas maupun faktor penentuan harga tanah oleh Pemerintah.

Untuk menjawab tujuan penelitian yang ke-1 tentang bagaimana pola

spasial nilai NJOP dilakukan penghitungan nilai indeks Moran’s I, dengan terlebih

dahulu membuat matrik pembobot spasial weight matrix menggunakan metode

rook contiguity 33 baris x 33 kolom yang dianggap lebih sesuai untuk

menggambarkan korelasi spasial atau pengaruh dependensi spasial

ketetanggaan di wilayah Kecamatan Sukolilo dan Kayen.

Sementara itu, untuk menjawab tujuan penelitian ke-2, digunakan model

regresi Maximum Likelihood Spatial Lag Model, dan Maximum Likelihood Spatial

Error Model, sebelum dilakukan analisis menggunakan model regresi spasial

terlebih dahulu akan dilakukan uji Lagrange Multiplier untuk mengetahui model

mana yang dapat lebih menjelaskan variasi estimasi harga tanah apakah model

spasial lag atau spasial error, sehingga model empiris yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Model Spasial Lag untuk nilai NJOP

𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑚𝑚 = 𝜌𝜌𝜌𝜌𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑚𝑚 + 𝛽𝛽1𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 + 𝛽𝛽2𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 + 𝛽𝛽3𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 +𝛽𝛽4𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 + 𝜀𝜀𝑖𝑖

Model 1

Dimana:

𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑚𝑚 : Nilai NJOP dalam bentuk logaritma

𝜌𝜌 : Koefisien spatial autoregressive

𝜌𝜌𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑚𝑚 : Spasial lag nilai NJOP

𝛽𝛽1sd 𝛽𝛽5 : Koefisien regresi

𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 : Jarak dari desa 𝐿𝐿 ke pusat kota dalam bentuk logaritma

𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 : Jarak dari desa 𝐿𝐿 ke puskesmas terdekat dalam bentuk

logaritma

𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 : Kepadatan penduduk pada desa 𝐿𝐿 dalam bentuk

logaritma

𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 : Banyaknya bidang tanah terdaftar pada desa 𝐿𝐿 dlm

bentuk logaritma

𝜀𝜀𝑖𝑖 : Galat i

Model 1. digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang ke-2 yaitu

mengidentifikasi faktor spasial nilai NJOP, dari hasil regresi ml spasial lag

tersebut dilakukan uji Breush-Pagan untuk mendeteksi adanya

heteroskedastisitas dan uji Likelihood Ratio untuk melihat adanya korelasi spasial

atau efek dependensi spasial pada model.

b. Model Spasial Error untuk nilai NJOP

𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑚𝑚 = 𝛽𝛽1𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 + 𝛽𝛽2𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 + 𝛽𝛽3𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 + 𝛽𝛽4𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 + 𝜀𝜀𝑖𝑖

Model 2 dimana 𝜀𝜀𝑖𝑖 = 𝜆𝜆𝜌𝜌𝜀𝜀𝑖𝑖 + 𝜉𝜉

𝜀𝜀𝑖𝑖 = 𝐼𝐼 − 𝛾𝛾𝜌𝜌−1𝜉𝜉

Dimana:

𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑚𝑚 : Nilai NJOP dalam bentuk logaritma

𝜆𝜆 : Koefisien spatial autoregressive

𝜌𝜌𝜀𝜀 : Spatial lag for the error nilai NJOP

𝛽𝛽1sd 𝛽𝛽5 : Koefisien regresi

𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 : Jarak dari desa 𝐿𝐿 ke pusat kota dalam bentuk logaritma

Page 83: prosiding - ATR/BPN

76

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 : Jarak dari desa 𝐿𝐿 ke puskesmas terdekat dalam bentuk

logaritma

𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 : Kepadatan penduduk pada desa 𝐿𝐿 dalam bentuk

logaritma

𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 : Banyaknya bidang tanah terdaftar pada desa 𝐿𝐿 dlm

bentuk logaritma

𝜀𝜀𝑖𝑖 : Galat i

𝜉𝜉 : Distribusi normal dengan mean 0 dan varians σ2I

Model 2. ini digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang ke-2 yaitu

mengidentifikasi faktor spasial dari nilai NJOP, dari hasil regresi ml spasial error

tersebut dilakukan uji Breush-Pagan untuk mendeteksi adanya

heteroskedastisitas dan uji Likelihood Ratio untuk melihat adanya korelasi spasial

atau efek dependensi spasial pada model.

Metode Analisis Secara detail, langkah dan metode analisis yang dilakukan dalam

penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Melakukan pengumpulan data penelitian

2) Membuat matrik pembobot spasial Weight Matrix berdasarkan metode rook

contiguity

3) Menghitung nilai dan uji indeks Moran’s I I dan z value

4) Melakukan analisis pola spasial nilai NJOP dan jumlah bidang tanah

terdaftar menggunakan K-Mean Clustering dan hasil dari nilai indeks

Moran’s I

5) Menentukan model spasial yang lebih menjelaskan variasi estimasi harga

tanah menggunakan uji Lagrange Multiplier dengan tools OLS regression

6) Melakukan regresi spasial lag dan atau spasial error nilai NJOP

7) Melakukan uji model regresi spasial menggunakan uji Breush-Pagan dan

uji Likelihood Ratio

8) Melakukan analisis faktor yang memengaruhi nilai NJOP secara spasial

9) Melakukan interpretasi, pembahasan dan penarikan kesimpulan.

Uji signifikansi model regresi spasial yang digunakan pada penelitian ini

diantaranya adalah uji Lagrange Multiplier untuk menentukan pilihan model mana

yang lebih menjelaskan adanya korelasi spasial atau efek dependensi spasial

pada penelitian harga tanah secara empiris, apakah model spasial lag atau

spasial error Fingleton and Le Gallo, 2008; Goffette-Nagot et al., 2009;

Page 84: prosiding - ATR/BPN

77

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 : Jarak dari desa 𝐿𝐿 ke puskesmas terdekat dalam bentuk

logaritma

𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 : Kepadatan penduduk pada desa 𝐿𝐿 dalam bentuk

logaritma

𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑖𝑖 : Banyaknya bidang tanah terdaftar pada desa 𝐿𝐿 dlm

bentuk logaritma

𝜀𝜀𝑖𝑖 : Galat i

𝜉𝜉 : Distribusi normal dengan mean 0 dan varians σ2I

Model 2. ini digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang ke-2 yaitu

mengidentifikasi faktor spasial dari nilai NJOP, dari hasil regresi ml spasial error

tersebut dilakukan uji Breush-Pagan untuk mendeteksi adanya

heteroskedastisitas dan uji Likelihood Ratio untuk melihat adanya korelasi spasial

atau efek dependensi spasial pada model.

Metode Analisis Secara detail, langkah dan metode analisis yang dilakukan dalam

penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Melakukan pengumpulan data penelitian

2) Membuat matrik pembobot spasial Weight Matrix berdasarkan metode rook

contiguity

3) Menghitung nilai dan uji indeks Moran’s I I dan z value

4) Melakukan analisis pola spasial nilai NJOP dan jumlah bidang tanah

terdaftar menggunakan K-Mean Clustering dan hasil dari nilai indeks

Moran’s I

5) Menentukan model spasial yang lebih menjelaskan variasi estimasi harga

tanah menggunakan uji Lagrange Multiplier dengan tools OLS regression

6) Melakukan regresi spasial lag dan atau spasial error nilai NJOP

7) Melakukan uji model regresi spasial menggunakan uji Breush-Pagan dan

uji Likelihood Ratio

8) Melakukan analisis faktor yang memengaruhi nilai NJOP secara spasial

9) Melakukan interpretasi, pembahasan dan penarikan kesimpulan.

Uji signifikansi model regresi spasial yang digunakan pada penelitian ini

diantaranya adalah uji Lagrange Multiplier untuk menentukan pilihan model mana

yang lebih menjelaskan adanya korelasi spasial atau efek dependensi spasial

pada penelitian harga tanah secara empiris, apakah model spasial lag atau

spasial error Fingleton and Le Gallo, 2008; Goffette-Nagot et al., 2009;

Feichtinger and Salhofer, 2013, karena spesifikasi model spasial lag harga tanah

dihasilkan dari interaksi ekonomi spasial antara fungsi permintaan tanah dan

penawaran tanah yang tersedia.

Hipotesisnya adalah 𝐻𝐻0: 𝜌𝜌 = 0 tidak terdapat efek korelasi spasial atau efek

dependensi spasial dan 𝐻𝐻1: 𝜌𝜌 ≠ 0 terdapat efek korelasi spasial atau efek

dependensi spasial, 𝐻𝐻0 akan ditolak apabila 𝐿𝐿𝐿𝐿 > 𝜒𝜒𝛼𝛼,12 atau p-value lebih kecil

dari nilai α Anselin, 1999

Selanjutnya, uji Breush-Pagan digunakan untuk mengidentifikasi apakah

terjadi masalah heteroskedastisitas dalam model spasial. Vandeveer, et al.,

1998; Akhtar, 2004; Goffette-Nagot et al., 2009; Stephanie and Miller, 2011.

Prosedur Breusch-Pagan 1980 mengasumsikan bahwa ketika varians residual

adalah tidak konstan maka ia akan berhubungan dengan satu atau lebih variabel

dalam spesifikasi yang linier.

Hipotesisnya adalah 𝐻𝐻0: 𝛿𝛿1 = 𝛿𝛿2 = ⋯ = 𝛿𝛿𝑘𝑘 = 0 dan 𝐻𝐻1: 𝛿𝛿1 ≠ 0 Paling tidak

satu 𝛿𝛿1 ≠ 0. Hipotesis null yang digunakan adalah tidak terdapat

heterokedastisitas residual memiliki pola homoskedastis. Jika hipotesis null tidak

dapat ditolak, maka dapat disimpulkan bahwa model regresi yang dimiliki tidak

mengalami masalah heterokedastisitas. Sedangkan penolakan terhadap

hipotesis null memberikan indikasi bahwa model mengalami heterokedastisitas

dan perlu dilakukan koreksi.

Uji ketiga yaitu uji Likelihood Ratio untuk mengetahui ada tidaknya

pengaruh variabel penjelas terhadap variabel respon secara spasial. Kleinbaum

and Klein, 2002; Goffette-Nagot et al., 2009; Stephanie and Miller, 2011. Prinsip

dari uji likelihood ratio atau uji simultan ini adalah membandingkan nilai observasi

dari variabel respon dependent dengan nilai prediksi yang diperoleh dari model

dengan variabel independent dan tanpa variabel independent untuk kasus

univariat atau membandingkan persamaan model yang memasukkan variabel

tertentu dengan yang tidak untuk kasus multivariat

Hipotesisnya adalah 𝐻𝐻0: 𝛽𝛽𝑔𝑔𝑘𝑘 = 0 tidak ada pengaruh antara variabel

penjelas terhadap variabel respon dan 𝐻𝐻1: 𝛽𝛽𝑔𝑔𝑘𝑘 ≠ 0 minimal ada satu variabel

penjelas yang berpengaruh terhadap variabel respon, untuk g = 1, 2, ....., N-1

dan k = 1, 2, .... , n dan dengan tingkat signifikansi alfa 0.05. Penarikan

kesimpulannya, jika 𝐻𝐻0 ditolak maka secara bersama-sama ada beberapa

variabel penjelas yang tidak signifikan berada dalam model atau ada beberapa

variabel penjelas yang berpengaruh terhadap variabel respon.

Page 85: prosiding - ATR/BPN

78

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

4. PEMBAHASAN 4.1 Analisis pola spasial nilai NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar

untuk penentuan lokasi prioritas PTSL Lokasi penelitian ini yaitu 33 desa di Kecamatan Sukolilo dan Kecamatan

Kayen Kabupaten Pati seperti pada Gambar 3. Data yang digunakan yaitu data

nilai NJOP, data jarak ke pusat kota, data jarak ke puskesmas, data kepadatan

penduduk dan data jumlah bidang tanah terdaftar.

Gambar 3. Batas administrasi desa penelitian

Spatial pattern analysis pada penelitian ini menggunakan metode penilaian

indeks Global Moran’s I dimana metode ini menggunakan nilai statistik z untuk

mengevaluasi keberadaan pola spasial dari populasi dan menunjukkan tingkat

signifikansi, jika nilai statistik z hitung lebih dari 1.96 z-tabel maka tingkat

signifikansinya sebesar 5% dan jika nilai statistik z hitung lebih dari 2.57 z-tabel

maka tingkat signifikansinya sebesar 1%.

Tabel 1. Nilai Global Moran’s I nilai NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar

Nilai Morans Estimasi (NJOP)

Estimasi (BT)

Moran’s Index 0.3918 0.2335

Expected Index -0.0161 -0.0161

Variance 0.0066 0.0049

z-score 4.6768 3.6568

p-value 0.0000*** 0.0000***

Page 86: prosiding - ATR/BPN

79

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

4. PEMBAHASAN 4.1 Analisis pola spasial nilai NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar

untuk penentuan lokasi prioritas PTSL Lokasi penelitian ini yaitu 33 desa di Kecamatan Sukolilo dan Kecamatan

Kayen Kabupaten Pati seperti pada Gambar 3. Data yang digunakan yaitu data

nilai NJOP, data jarak ke pusat kota, data jarak ke puskesmas, data kepadatan

penduduk dan data jumlah bidang tanah terdaftar.

Gambar 3. Batas administrasi desa penelitian

Spatial pattern analysis pada penelitian ini menggunakan metode penilaian

indeks Global Moran’s I dimana metode ini menggunakan nilai statistik z untuk

mengevaluasi keberadaan pola spasial dari populasi dan menunjukkan tingkat

signifikansi, jika nilai statistik z hitung lebih dari 1.96 z-tabel maka tingkat

signifikansinya sebesar 5% dan jika nilai statistik z hitung lebih dari 2.57 z-tabel

maka tingkat signifikansinya sebesar 1%.

Tabel 1. Nilai Global Moran’s I nilai NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar

Nilai Morans Estimasi (NJOP)

Estimasi (BT)

Moran’s Index 0.3918 0.2335

Expected Index -0.0161 -0.0161

Variance 0.0066 0.0049

z-score 4.6768 3.6568

p-value 0.0000*** 0.0000***

Penelitian ini menggunakan contiguity weight matrix berdasarkan metode

penghitungan rook contiguity dimana kelurahan yang bertetangga langsung

diberikan nilai 1 dan kelurahan yang tidak bertetangga secara langsung diberikan

nilai 0. Hasil analisis pola spasial nilai NJOP dan jumlah bidang tanah terdaftar

disajikan pada Tabel 1. Nilai indeks Global Moran’s I yaitu 0.3918 dan 0.2335,

sedangkan nilai expected index 𝐸𝐸(𝐼𝐼) = 𝐼𝐼0 = − 1𝑛𝑛−1 = −0,0161 sehingga dapat

disimpulkan 0.3918 dan 0.2335 > -0.0161 atau 𝐼𝐼 > 𝐼𝐼0, pola spasial nilai NJOP

dan jumlah bidang tanah terdaftar memiliki pola yang sistematik atau

mengelompok (cluster).

Nilai z-score = 4.676851 dan p-value = 0.0000 menunjukkan bahwa

estimasi pola spasial nilai NJOP tersebut signifikan pada level 1%, artinya nilai

NJOP dan BT terdaftar pada daerah penelitian memiliki autokorelasi spasial yang

kuat.

Gambar 4. Pola spasial nilai NJOP

Berdasarkan analisa indeks LISA, didapatkan pola spasial nilai NJOP yang

disajikan pada Gambar 4. Lokasi prioritas PTSL tahun pertama dapat

dilaksanakan pada desa dengan tingkat signifikansi 99%, tahun kedua untuk

tingkat signifikansi 95% dan 90 %, lokasi desa sisanya dapat dilaksanakan pada

tahun ketiga. Sehingga pada tahun pertama, kegiatan PTSL dapat dilaksanakan

pada 6 desa yaitu Desa Wegil, Pakem, Kuwawur untuk Kecamatan Sukolilo dan

Desa Sundoluhur, Boloagung, Rogomulyo untuk Kecamatan Kayen.

Kegiatan PTSL pada tahun kedua dapat dilaksanakan pada 10 desa yaitu

Desa Prawoto, Baleadi, Kedungwinong, Sukolilo, Wotan pada Kecamatan

Sukolilo dan Desa Talun, Pesagi, Pasuruhan, Trimulyo, Jatiroto pada Kecamatan

Kayen. Sedangkan pada tahun ketiga dapat dilaksanakan pada 17 desa sisanya.

Page 87: prosiding - ATR/BPN

80

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Untuk variabel jumlah BT terdaftar dengan metode K-Mean clustering (5

klaster) didapatkan hasil sebagai berikut:

Gambar 5. Pola spasial jumlah bidang tanah terdaftar (K-Mean) Analisis pola spasial jumlah BT terdaftar menggunakan K-Mean

menghasilkan Klaster 1 warna biru muda untuk lokasi PTSL tahun 2017

sebanyak 11 desa, klaster 2 warna hijau muda untuk lokasi PTSL tahun 2018

sebanyak 7 desa, klaster 3 warna hijau tua untuk lokasi PTSL tahun 2019

sebanyak 6 desa, klaster 4 warna biru tua untuk lokasi PTSL tahun 2020

sebanyak 5 desa dan klaster 5 warna merah muda untuk lokasi PTSL tahun 2021

sebanyak 4 desa.

4.2 Analisis variabel yang dapat memengaruhi nilai NJOP Analisis variabel yang dapat memengaruhi nilai NJOP disajikan pada Tabel

1. Ada 4 faktor yang digunakan pada penelitian ini yaitu jarak ke pusat kota

(LogCBD), jarak ke puskesmas terdekat (LogFacility), tingkat kepadatan

penduduk (LogKPDT) dan jumlah bidang tanah terdaftar (LogBT). Dengan

menggunakan model spasial lag, dapat disimpulkan bahwa dari keempat faktor

tersebut, hanya faktor jumlah bidang tanah terdaftar LogBT yang tingkat

signifikansinya mencapai 95%, sedangkan ketiga faktor lainnya hanya memiliki

tingkat signifikansi dibawah 80%. Model spasial lag nilai NJOP pada penelitian ini

yaitu

𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 = 0.3197𝑊𝑊𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + −0.5039𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + −0.2060𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿+ 0.5331𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + 0.0055𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + 𝜀𝜀𝑖𝑖

Page 88: prosiding - ATR/BPN

81

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Untuk variabel jumlah BT terdaftar dengan metode K-Mean clustering (5

klaster) didapatkan hasil sebagai berikut:

Gambar 5. Pola spasial jumlah bidang tanah terdaftar (K-Mean) Analisis pola spasial jumlah BT terdaftar menggunakan K-Mean

menghasilkan Klaster 1 warna biru muda untuk lokasi PTSL tahun 2017

sebanyak 11 desa, klaster 2 warna hijau muda untuk lokasi PTSL tahun 2018

sebanyak 7 desa, klaster 3 warna hijau tua untuk lokasi PTSL tahun 2019

sebanyak 6 desa, klaster 4 warna biru tua untuk lokasi PTSL tahun 2020

sebanyak 5 desa dan klaster 5 warna merah muda untuk lokasi PTSL tahun 2021

sebanyak 4 desa.

4.2 Analisis variabel yang dapat memengaruhi nilai NJOP Analisis variabel yang dapat memengaruhi nilai NJOP disajikan pada Tabel

1. Ada 4 faktor yang digunakan pada penelitian ini yaitu jarak ke pusat kota

(LogCBD), jarak ke puskesmas terdekat (LogFacility), tingkat kepadatan

penduduk (LogKPDT) dan jumlah bidang tanah terdaftar (LogBT). Dengan

menggunakan model spasial lag, dapat disimpulkan bahwa dari keempat faktor

tersebut, hanya faktor jumlah bidang tanah terdaftar LogBT yang tingkat

signifikansinya mencapai 95%, sedangkan ketiga faktor lainnya hanya memiliki

tingkat signifikansi dibawah 80%. Model spasial lag nilai NJOP pada penelitian ini

yaitu

𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 = 0.3197𝑊𝑊𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + −0.5039𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + −0.2060𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿+ 0.5331𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + 0.0055𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + 𝜀𝜀𝑖𝑖

Model regresi spasial lag NJOP menghasilkan nilai estimasi yang disajikan

pada Tabel 2, terlihat bahwa nilai R-square 0.3527, artinya variasi nilai variabel

independen secara spasial dapat menjelaskan variasi nilai NJOP sebesar 35.27

% sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain di luar model. Faktor lag

atau ketetanggaan pada model spasial lag memberikan pengaruh sebesar

31,97%, faktor lag ini lebih rendah dari model spasial eror yang sebesar 39,79%.

Hal ini menunjukkan bahwa model spasial error lebih menjelaskan variasi nilai

NJOP, faktor penentuan nilai NJOP oleh Pemerintah diindikasikan sebagai

penyebab kuatnya pengaruh spasial error daripada faktor permintaan dan

penawaran tanah oleh mekanisme pasar.

Tabel 2. Hasil Regresi Model Spasial Lag dan Spasial Error

Nilai NJOP Spatial Lag Spatial Error Variabel Koefisien

Std.Error Koefisien Std.Error

W_Lag Rho

0.3197

0.2018

CONSTANT 3.7467

1.4220

5.6615

0.9912

LOGCBD -0.5039

0.3790

-0.6573

0.4484

LOGFacility -0.2060

0.17.92

-0.3160

0.2082

LOGKPDT -0.5331

0.1699

0.1467*

0.1640

LOGBT 0.0055

0.0892**

0.0151

0.0867*

ErrorLambda 0.3979

0.1942*

R-square 0.3527 0.3702

*sig 0.1, **sig 0.05, ***sig 0.01

Koefisien variabel jarak ke pusat kota sebesar -0.5039 bernilai negatif

artinya semakin dekat jarak dari desa ke pusat kota sebesar 1% maka nilai NJOP

akan naik sebesar 50,39% demikian pula sebaliknya. Interpretasi ini juga berlaku

Page 89: prosiding - ATR/BPN

82

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

untuk variabel lain yaitu variabel jarak ke puskesmas terdekat -0.2060,

kepadatan penduduk sebesar -0.5331, dan jumlah bidang tanah terdaftar 0.0055,

variabel tersebut secara spasial berpengaruh terhadap nilai NJOP.

Sementara itu untuk model spasial error nilai NJOP pada penelitian ini yaitu

𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 = −0.6573𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + −0.3160𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + 0.1467𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿+ 0.0151𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + 0.3979𝑊𝑊Ɛ + 𝜀𝜀𝑖𝑖

Koefisien variabel jarak ke pusat kota sebesar -0.6573 bernilai negatif

artinya semakin dekat jarak dari desa ke pusat kota sebesar 1% maka nilai NJOP

akan naik sebesar 65,73% demikian pula sebaliknya. Interpretasi ini juga berlaku

untuk variabel lain yaitu variabel jarak ke puskesmas terdekat -0.3160,

kepadatan penduduk sebesar -0.1467, dan jumlah bidang tanah terdaftar 0.0151,

variabel tersebut secara spasial berpengaruh terhadap nilai NJOP. Sementara

itu, variabel yang berpengaruh signifikan terhadap nilai NJOP baik pada model

spasial lag maupun model spasial eror yaitu jumlah bidang tanah terdaftar

(LogBT). Model Spasial Error lebih menjelaskan variasi nilai NJOP daripada

model spasial lag ditunjukkan dengan koefisien lambda yang lebih tinggi

daripada koefisien lag rho yaitu 0,3979 > 0,3197.

Temuan ini menunjukkan bahwa variabel jumlah bidang tanah terdaftar dan

variabel tingkat kepadatan penduduk lebih memengaruhi nilai NJOP daripada

variabel jarak ke pusat kota dan variabel jarak ke puskesmas terdekat.

5. KESIMPULAN Penelitian ini menghasilkan beberapa simpulan diantaranya sebagai

berikut:

a. Pola spasial nilai NJOP teridentifikasi memiliki pola sistematik atau

mengelompok. Model spasial error (SEM) lebih menjelaskan variasi nilai

NJOP daripada model spasial lag (SLM), akan tetapi koefisien lag ρ rho

31,97% dan λ lambda 39,79% belum cukup kuat dalam menunjukkan

pengaruh spatial dependence. Variabel yang dapat memengaruhi pola dan

nilai NJOP yaitu variabel tingkat kepadatan penduduk dan variabel jumlah

bidang tanah terdaftar HM, HGB, Hak Pakai dan Hak Wakaf.

b. Analisis pemetaan pola spasial nilai NJOP dan jumlah BT terdaftar dengan

menggunakan model spasial dan metode K-Mean Clustering dapat

digunakan sebagai pertimbangan dalam penentuan lokasi prioritas PTSL.

Page 90: prosiding - ATR/BPN

83

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

untuk variabel lain yaitu variabel jarak ke puskesmas terdekat -0.2060,

kepadatan penduduk sebesar -0.5331, dan jumlah bidang tanah terdaftar 0.0055,

variabel tersebut secara spasial berpengaruh terhadap nilai NJOP.

Sementara itu untuk model spasial error nilai NJOP pada penelitian ini yaitu

𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 = −0.6573𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + −0.3160𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + 0.1467𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿+ 0.0151𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 + 0.3979𝑊𝑊Ɛ + 𝜀𝜀𝑖𝑖

Koefisien variabel jarak ke pusat kota sebesar -0.6573 bernilai negatif

artinya semakin dekat jarak dari desa ke pusat kota sebesar 1% maka nilai NJOP

akan naik sebesar 65,73% demikian pula sebaliknya. Interpretasi ini juga berlaku

untuk variabel lain yaitu variabel jarak ke puskesmas terdekat -0.3160,

kepadatan penduduk sebesar -0.1467, dan jumlah bidang tanah terdaftar 0.0151,

variabel tersebut secara spasial berpengaruh terhadap nilai NJOP. Sementara

itu, variabel yang berpengaruh signifikan terhadap nilai NJOP baik pada model

spasial lag maupun model spasial eror yaitu jumlah bidang tanah terdaftar

(LogBT). Model Spasial Error lebih menjelaskan variasi nilai NJOP daripada

model spasial lag ditunjukkan dengan koefisien lambda yang lebih tinggi

daripada koefisien lag rho yaitu 0,3979 > 0,3197.

Temuan ini menunjukkan bahwa variabel jumlah bidang tanah terdaftar dan

variabel tingkat kepadatan penduduk lebih memengaruhi nilai NJOP daripada

variabel jarak ke pusat kota dan variabel jarak ke puskesmas terdekat.

5. KESIMPULAN Penelitian ini menghasilkan beberapa simpulan diantaranya sebagai

berikut:

a. Pola spasial nilai NJOP teridentifikasi memiliki pola sistematik atau

mengelompok. Model spasial error (SEM) lebih menjelaskan variasi nilai

NJOP daripada model spasial lag (SLM), akan tetapi koefisien lag ρ rho

31,97% dan λ lambda 39,79% belum cukup kuat dalam menunjukkan

pengaruh spatial dependence. Variabel yang dapat memengaruhi pola dan

nilai NJOP yaitu variabel tingkat kepadatan penduduk dan variabel jumlah

bidang tanah terdaftar HM, HGB, Hak Pakai dan Hak Wakaf.

b. Analisis pemetaan pola spasial nilai NJOP dan jumlah BT terdaftar dengan

menggunakan model spasial dan metode K-Mean Clustering dapat

digunakan sebagai pertimbangan dalam penentuan lokasi prioritas PTSL.

c. Analisis pemetaan pola spasial nilai NJOP menunjukkan bahwa kegiatan

PTSL tahun pertama dapat dilaksanakan pada 6 desa yaitu Desa Wegil,

Pakem, Kuwawur untuk Kecamatan Sukolilo dan Desa Sundoluhur,

Boloagung, Rogomulyo untuk Kecamatan Kayen. Kegiatan PTSL pada

tahun kedua dapat dilaksanakan pada 10 desa yaitu Desa Prawoto,

Baleadi, Kedungwinong, Sukolilo, Wotan pada Kecamatan Sukolilo dan

Desa Talun, Pesagi, Pasuruhan, Trimulyo, Jatiroto pada Kecamatan

Kayen. Sedangkan pada tahun ketiga dapat dilaksanakan pada 17 desa

sisanya.

d. Analisis pemetaan pola spasial jumlah BT terdaftar menggunakan K-Mean

menghasilkan Klaster 1 warna biru muda untuk lokasi PTSL tahun 2017

sebanyak 11 desa, klaster 2 warna hijau muda untuk lokasi PTSL tahun

2018 sebanyak 7 desa, klaster 3 warna hijau tua untuk lokasi PTSL tahun

2019 sebanyak 6 desa, klaster 4 warna biru tua untuk lokasi PTSL tahun

2020 sebanyak 5 desa dan klaster 5 warna merah muda untuk lokasi PTSL

tahun 2021 sebanyak 4 desa.

DAFTAR PUSTAKA

Akhtar, Shamshad 2004. Spatial Distribution of Land Value in Karachi City. A

Thesis Submitted to The Department of Geography, University of Karachi

for The Degree of Doctor of Philosophy

Alonso, William, 1964. A Theory of the urban land market. Paper in Regional

Science. Vol 6, Issue 1. pp.149-157 Baumont, Catherine dan Jean-Marie

Huriot. 1998. “The monocentric model and after”. Recherches

Economiques de Louvain / Louvain Economic Review 64, 23-43

Brigham, Eugene F. Nov 1965. The Determinant of Residential Land Value. Land

Economics, Vol. 41 No. 4, pp. 325-334.

Cahjadi, P. 2013. Penerapan Agent-Based Computational Economics pada

Model Monocentric City. Thesis. Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi.

FEUI.

Enemark, S. 2005. A Cadastral Tale. Proceedings of Week of Geomatics,

Bogota, Columbia, 8-13 August 2005.

Page 91: prosiding - ATR/BPN

84

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Fingleton, B. and J. Le Gallo 2008. “Estimating spatial models with endogenous

variables, a spatial lag and spatially dependent disturbances: Finite sample

properties”, Papers in Regional Science, Vol. 87, No. 3, pp. 319-339

Friedmann, John., 1964. Regional planning as a field of study. In John Friedmann

and William

Goffette-Nagot, Florence, et all 2009. A spatial analysis of residential land prices

in Belgium: accessibility, linguistic border and environmental amenities.

Grotewold, Andreas. 1959. “Von Thunen in Retrospect”. Economic Geography

35: 346-355. http://www.jstor.org/stable/142467

Hall, Peter, ed., 1966 Von Thunen's Isolated State. Oxford: Pergamon, Hardie, I.

W., T.A. Narayan and B. L. Gardner 2001, “The Joint Influence of

Agricultural and Nonfarm Factors on Real Estate Values: An Application to

the Mid-Atlantic Region”, American Journal of Agricultural Economics, Vol.

83, No. 1, pp. 120–132.

Huang, H., Miller, G.Y., et all. 2006. “Factors influencing Illinois farmland values”,

American Journal of Agricultural Economics, Vol. 88, No. 2, pp. 458-470.

Kleinbaum, David G and Klein, Mitchel. 2002. Logistic Regression. New York:

Springer-Verlag

Johnson, Michael S., et all, Nov 1997. CBD Land Value and Multiple

Externalities, Land Economics, Vol. 63 No.4, pp.337-347

Kartika Yoli, 2007. Pola Penyebaran Spasial Demam Berdarah Dengue di Kota

Bogor tahun 2005. [Tugas Akhir] Institut Pertanian Bogor

Lee Jay & Wong S W David. 2000. Statistical Analysis with Arcview GIS. John

Willey & Sons, INC: United Stated of America

Paradis, Emanuel. 2010. Moran's Autocorrelation, http://hosho.ees.hokudai.ac.jp/

~kubo/Rdoc/library/ape/html/MoranI.html [22 September, 2010]

Pyykkönen, P. 2005, “Spatial analysis of factors affecting Finnish farmland

prices”, Paper presented at the XIth Congress of the EAAE, Copenhagen,

22-27.8.2005

Von Thünen, J. 1826, The Isolated State, English edn, London, Pergamon Press

Wheaton, William C. 1977. “Income and Urban Residence: An Analysis of

Consumer Demand for Location”. The American Economic Review 67:620-

631. http://www.jstor.org/stable/1813394

Page 92: prosiding - ATR/BPN

85

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Fingleton, B. and J. Le Gallo 2008. “Estimating spatial models with endogenous

variables, a spatial lag and spatially dependent disturbances: Finite sample

properties”, Papers in Regional Science, Vol. 87, No. 3, pp. 319-339

Friedmann, John., 1964. Regional planning as a field of study. In John Friedmann

and William

Goffette-Nagot, Florence, et all 2009. A spatial analysis of residential land prices

in Belgium: accessibility, linguistic border and environmental amenities.

Grotewold, Andreas. 1959. “Von Thunen in Retrospect”. Economic Geography

35: 346-355. http://www.jstor.org/stable/142467

Hall, Peter, ed., 1966 Von Thunen's Isolated State. Oxford: Pergamon, Hardie, I.

W., T.A. Narayan and B. L. Gardner 2001, “The Joint Influence of

Agricultural and Nonfarm Factors on Real Estate Values: An Application to

the Mid-Atlantic Region”, American Journal of Agricultural Economics, Vol.

83, No. 1, pp. 120–132.

Huang, H., Miller, G.Y., et all. 2006. “Factors influencing Illinois farmland values”,

American Journal of Agricultural Economics, Vol. 88, No. 2, pp. 458-470.

Kleinbaum, David G and Klein, Mitchel. 2002. Logistic Regression. New York:

Springer-Verlag

Johnson, Michael S., et all, Nov 1997. CBD Land Value and Multiple

Externalities, Land Economics, Vol. 63 No.4, pp.337-347

Kartika Yoli, 2007. Pola Penyebaran Spasial Demam Berdarah Dengue di Kota

Bogor tahun 2005. [Tugas Akhir] Institut Pertanian Bogor

Lee Jay & Wong S W David. 2000. Statistical Analysis with Arcview GIS. John

Willey & Sons, INC: United Stated of America

Paradis, Emanuel. 2010. Moran's Autocorrelation, http://hosho.ees.hokudai.ac.jp/

~kubo/Rdoc/library/ape/html/MoranI.html [22 September, 2010]

Pyykkönen, P. 2005, “Spatial analysis of factors affecting Finnish farmland

prices”, Paper presented at the XIth Congress of the EAAE, Copenhagen,

22-27.8.2005

Von Thünen, J. 1826, The Isolated State, English edn, London, Pergamon Press

Wheaton, William C. 1977. “Income and Urban Residence: An Analysis of

Consumer Demand for Location”. The American Economic Review 67:620-

631. http://www.jstor.org/stable/1813394

Biodata Penulis Nama : Catur Kuat Purnomo, ST, MSE, MM

TTL : Juwana, Pati, 21 Mei 1981

Pendidikan :

- SD sd SMU di Pati

- D3 Penginderaan Jauh dan SIG UGM 2002

- S1 Teknik Geodesi Geomatika UGM 2004

- S2 Ilmu Ekonomi-Wilayah UI 2013

- S2 Manajemen Keuangan UGM 2007

Pekerjaan :

- Analis pada PT. Surveyor Indonesia (2004-2005).

- Analis Pengukuran dan Pemetaan Dasar pada Direktorat Pengukuran dan

Pemetaan Dasar Kementerian ATR/ BPN (2008-Juni 2017)

- Analis Kendali Mutu Survei, Pengukuran dan Pemetaan pada Kantor

Pertanahan Kabupaten Pati (Juli 2017 sd sekarang)

Korespondensi :

E-mail : [email protected]

Page 93: prosiding - ATR/BPN

86

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

SISTEM PROYEKSI DISTORSI MINIMUM UNTUK MENSUKSESKAN PROGRAM PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP

Cecep Subarya

Pemerhati Keagrariaan dan Informasi Geospasial

[email protected]

ABSTRAK

Ketersediaan Peta Pendaftaran Tanah atau disingkat PPT adalah merupakan

peta kerja, dalam pelaksanaan kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang tanah

sistematis lengkap. Dan PPT berkualitas optimal dan kekinian, mengacu pada

satu sistem Geo-referensi dan satu sistem proyeksi peta yang tepat guna.

Selama ini, perlakuan terhadap titik-titik koordinat planimetrik produk dari suatu

sistem proyeksi peta, seolah-olah terletak di permukaan rupabumi. Yang

digunakan sebagai titik-titik koordinat planimetrik acuan pada pengukuran

kadastral (terestris) dan pada proses koreksi geometris citra-udara metode

fotogrametris. Padahal, sesungguhnya letak titik-titik koordinat planimetrik itu,

selalu berada di bidang-proyeksi atau muka-peta suatu bidang elipsoid referensi

di perut Bumi-bulat, yang secara geometris “by default” nilai konstanta berada di

kedalaman 635 m untuk TM3 dan di kedalaman 2,5 km untuk UTM.

Sedangkan titik koordinat planimetrik tidak selalu ‘segaris tegak lurus’ terhadap

titik pasangannya di rupabumi, karena adanya : kelengkungan Bumi; variasi

elevasi; dan jauhnya dari meridian sentral proyeksi, menjadikan ‘segaris miring’

dari titik di tanah ke titik proyeksi terus kearah geosentris. Maka, bila titik

koordinat planimetrik acuan diposisikan di tanah akan terjadi suatu DISLOKASI,

dan berimplikasi sebagai perambatan kesalahan yang menimbulkan deviasi pada

proses berikutnya dalam menyelaraskan karakteristik objek-objek di rupabumi

yang tergambarkan di peta, menjadi tidak ‘seamless’ secara geometris.

Sebagai suatu metode alternatif untuk pemecahan masalah yang disampaikan

pada makalah ini adalah dengan menggunakan Sistem Proyeksi Distorsi

Minimum atau disingkat SPDM, yang pada dasarnya merupakan suatu metode

bagaimana agar bidang-proyeksi atau muka-peta pada cakupan area yang

dipetakan, di desain paling mendekati permukaan rupabumi. Yaitu untuk

meminimalisir distorsi dengan memperhitungkan tidak hanya efek kelengkungan

Bumi, tetapi termasuk variasi alami tinggi elipsoid di rupabumi.

Page 94: prosiding - ATR/BPN

87

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

SISTEM PROYEKSI DISTORSI MINIMUM UNTUK MENSUKSESKAN PROGRAM PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP

Cecep Subarya

Pemerhati Keagrariaan dan Informasi Geospasial

[email protected]

ABSTRAK

Ketersediaan Peta Pendaftaran Tanah atau disingkat PPT adalah merupakan

peta kerja, dalam pelaksanaan kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang tanah

sistematis lengkap. Dan PPT berkualitas optimal dan kekinian, mengacu pada

satu sistem Geo-referensi dan satu sistem proyeksi peta yang tepat guna.

Selama ini, perlakuan terhadap titik-titik koordinat planimetrik produk dari suatu

sistem proyeksi peta, seolah-olah terletak di permukaan rupabumi. Yang

digunakan sebagai titik-titik koordinat planimetrik acuan pada pengukuran

kadastral (terestris) dan pada proses koreksi geometris citra-udara metode

fotogrametris. Padahal, sesungguhnya letak titik-titik koordinat planimetrik itu,

selalu berada di bidang-proyeksi atau muka-peta suatu bidang elipsoid referensi

di perut Bumi-bulat, yang secara geometris “by default” nilai konstanta berada di

kedalaman 635 m untuk TM3 dan di kedalaman 2,5 km untuk UTM.

Sedangkan titik koordinat planimetrik tidak selalu ‘segaris tegak lurus’ terhadap

titik pasangannya di rupabumi, karena adanya : kelengkungan Bumi; variasi

elevasi; dan jauhnya dari meridian sentral proyeksi, menjadikan ‘segaris miring’

dari titik di tanah ke titik proyeksi terus kearah geosentris. Maka, bila titik

koordinat planimetrik acuan diposisikan di tanah akan terjadi suatu DISLOKASI,

dan berimplikasi sebagai perambatan kesalahan yang menimbulkan deviasi pada

proses berikutnya dalam menyelaraskan karakteristik objek-objek di rupabumi

yang tergambarkan di peta, menjadi tidak ‘seamless’ secara geometris.

Sebagai suatu metode alternatif untuk pemecahan masalah yang disampaikan

pada makalah ini adalah dengan menggunakan Sistem Proyeksi Distorsi

Minimum atau disingkat SPDM, yang pada dasarnya merupakan suatu metode

bagaimana agar bidang-proyeksi atau muka-peta pada cakupan area yang

dipetakan, di desain paling mendekati permukaan rupabumi. Yaitu untuk

meminimalisir distorsi dengan memperhitungkan tidak hanya efek kelengkungan

Bumi, tetapi termasuk variasi alami tinggi elipsoid di rupabumi.

Dalam makalah ini dijelaskan prosedur yang digunakan pada suatu cakupan area

yang dipetakan dengan sebaran titik-titik dasar teknis yang ditentukan

posisi/koordinat lintang (), bujur (), tinggi (h), melalui pengamatan konstelasi

satelit navigasi Global Positioning System (GPS), dan untuk mendapatkan nilai

besaran distorsi minimum melalui konstanta faktor skala ('ko') dari hitungan rata-

rata tinggi elipsoid referensi World Geodetic System 1984 (WGS84).

Kajian komparatif dan deskriptif dilakukan pada suatu cakupan area yang

dipetakan, di daerah sekitar meridian sentral dan/atau di sekitar batas zona

proyeksi. Dengan membandingkan hasil konversi dari koordinat bidang-lengkung:

, (“tanpa” h WGS84) ke koordinat bidang-datar planimetrik : timur [x], utara [y]

produk TM3 dan UTM, dan dari , , hrata-rata WGS84 ke koordinat planimetrik

produk SPDM.

Hasil perbandingan distorsi, mengindikasikan bahwa solusi untuk mendapatkan

koordinat planimetrik produk SPDM, ditentukan selalu tetap lebih kecil dari 20

ppm (part-per-million), lebih unggul bila dibandingkan distorsi produk TM3 dan

UTM yang dominansi lebih besar dari 20 ppm sampai ratusan ppm.

PPT yang berbasiskan produk SPDM di antaranya akan memberikan kepastian

untuk menghasilkan nilai ukuran jarak dan luas bidang tanah, dari hasil hitungan

menggunakan data koordinat-koordinat planimetrik yang tertulis pada peta, sama

dengan atau paling mendekati ukuran jarak dan luas bidang tanah pasangannya

di rupa Bumi-bulat faktual.

Sehingga batas-batas dan luas bidang tanah pada PPT tersebut tatkala

direkonstruksi di lapangan tidak akan mengalami perbedaan berarti. Begitu pun

data fisik batas-batas dan luas bidang tanah hasil pengukuran kadastral teliti di

lapangan, dapat diplot atau digambarkan ‘matching atau seamless’ pada peta.

Selain itu koordinat planimetrik produk SPDM dapat digunakan sebagai alas

untuk pembuatan peta skala : besar; menengah, kecil yang akan memudahkan

dalam pengintegrasian menjadi satu peta nasional “seamless”; dapat

interoperabilitas bertukar-pakai data di antara para pemangku kepentingan;

menghindari peta atau informasi geospasial yang tumpang-tindih; dan terciptanya

tata kelola tertib administrasi pertanahan yang modern di Indonesia.

Page 95: prosiding - ATR/BPN

88

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pada Hari Agraria Nasional tahun 2017 ini, Menteri Agraria dan Tata

Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional menyatakan bahwa sampai dengan

akhir 2016, baru sekitar 45% jumlah bidang tanah yang sudah terdaftar di seluruh

Indonesia. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

disingkat Kementerian ATR/BPN melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis

Lengkap (PTSL) bertekad menyelesaikan pemetaan, registrasi dan sertipikasi

tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia hingga 2025.

Jika pada tahun-tahun sebelumnya, target sertipikasi tanah rakyat melalui

Prona kurang dari 1 juta bidang per tahun, maka pada tahun 2017 ini targetnya

ditingkatkan menjadi 5 juta bidang tanah, kemudian meningkat lagi menjadi 7 juta

bidang tanah pada tahun 2018, dan pada tahun 2019 ditingkatkan menjadi 9 juta

sertipikat tanah akan diterbitkan.

Sesuai aturan yang ada, untuk menunjang kelancaran pelaksanaan

kegiatan pengukuran kadastral (terestris), registrasi, sertipikasi dan pemetaan

bidang tanah dalam penetapan suatu lokasi PTSL, sebaiknya

mempertimbangkan ketersediaan Peta Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

atau disingkat PPTSL.

Pada dasarnya, peta dapat dipahami sebagai representasi dari seluruh

atau sebagian permukaan bumi-bulat dengan elevasi variatif oleh adanya gunung

dan lembah, yang kemudian direpresentasikan dalam gambar Bumi-datar.

Sebuah peta atau gambar bumi-datar, dapat dibuat dengan menggunakan

korelasi matematis yang mengacu pada satu sistem referensi geospasial, melalui

suatu sistem proyeksi, di mana ada skala tertentu, di dalamnya.

Dalam pelaksanaan kegiatan program pengukuran jutaan bidang tanah

tersebut, yang diukur langsung dengan pengukuran kadastral teliti, selain untuk

menentukan batas-batas dan luas bidang tanah, juga untuk diketahui letak

(posisi) geospasial batas dan luas bidang tanah di permukaan Bumi. Artinya,

pengukuran kadastral bidang tanah harus mengacu pada satu sistem referensi

geospasial dan satu sistem proyeksi, yang sama digunakan pada PPTSL.

Kemudian, letak dan luas bidang tanah produk pengukuran kadastral dapat

digambarkan (di-plot) pada PPTSL dengan selaras atau “seamless”. Demikian

pula, batas dan luas bidang-bidang tanah yang tertulis berupa koordinat pada

Page 96: prosiding - ATR/BPN

89

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pada Hari Agraria Nasional tahun 2017 ini, Menteri Agraria dan Tata

Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional menyatakan bahwa sampai dengan

akhir 2016, baru sekitar 45% jumlah bidang tanah yang sudah terdaftar di seluruh

Indonesia. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

disingkat Kementerian ATR/BPN melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis

Lengkap (PTSL) bertekad menyelesaikan pemetaan, registrasi dan sertipikasi

tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia hingga 2025.

Jika pada tahun-tahun sebelumnya, target sertipikasi tanah rakyat melalui

Prona kurang dari 1 juta bidang per tahun, maka pada tahun 2017 ini targetnya

ditingkatkan menjadi 5 juta bidang tanah, kemudian meningkat lagi menjadi 7 juta

bidang tanah pada tahun 2018, dan pada tahun 2019 ditingkatkan menjadi 9 juta

sertipikat tanah akan diterbitkan.

Sesuai aturan yang ada, untuk menunjang kelancaran pelaksanaan

kegiatan pengukuran kadastral (terestris), registrasi, sertipikasi dan pemetaan

bidang tanah dalam penetapan suatu lokasi PTSL, sebaiknya

mempertimbangkan ketersediaan Peta Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

atau disingkat PPTSL.

Pada dasarnya, peta dapat dipahami sebagai representasi dari seluruh

atau sebagian permukaan bumi-bulat dengan elevasi variatif oleh adanya gunung

dan lembah, yang kemudian direpresentasikan dalam gambar Bumi-datar.

Sebuah peta atau gambar bumi-datar, dapat dibuat dengan menggunakan

korelasi matematis yang mengacu pada satu sistem referensi geospasial, melalui

suatu sistem proyeksi, di mana ada skala tertentu, di dalamnya.

Dalam pelaksanaan kegiatan program pengukuran jutaan bidang tanah

tersebut, yang diukur langsung dengan pengukuran kadastral teliti, selain untuk

menentukan batas-batas dan luas bidang tanah, juga untuk diketahui letak

(posisi) geospasial batas dan luas bidang tanah di permukaan Bumi. Artinya,

pengukuran kadastral bidang tanah harus mengacu pada satu sistem referensi

geospasial dan satu sistem proyeksi, yang sama digunakan pada PPTSL.

Kemudian, letak dan luas bidang tanah produk pengukuran kadastral dapat

digambarkan (di-plot) pada PPTSL dengan selaras atau “seamless”. Demikian

pula, batas dan luas bidang-bidang tanah yang tertulis berupa koordinat pada

PPTSL dapat direkonstruksi batas-batasnya di lapangan tanpa ada perubahan

ukuran, bentuk, dan luas, sama dengan hasil pengukuran kadastral.

Namun, realitas menunjukkan bahwa hasil hitungan jarak dan luas bidang

tanah berdasarkan koordinat pada peta, tatkala direkonstruksi tidak selalu sama

dan/atau berbeda signifikan dengan ukuran faktual di lapangan. Sebaliknya,

pengukuran kadastral teliti batas dan luas bidang tanah di lapangan, tatkala di

gambarkan pada peta, secara geometris tidak selalu ‘sesuai’ atau “matching”.

Hal ketidak-sesuaian ini, sering terjadi pada cakupan area pegunungan dan yang

mendekati atau sekitar batas zona proyeksi peta.

Sebenarnya substansi penyebab ketidak-sesuaian tersebut yakni akibat

daripada kandungan besaran distorsi koordinat planimetrik produk suatu sistem

proyeksi yang tidak diperhitungkan dan dikendalikan secara terukur. Dan distorsi,

dipahami sebagai posisi nilai koordinat planimetrik pada peta, tidak sepenuhnya

mewakili keadaan faktual di rupabumi.

Pada makalah ini disampaikan suatu alternatif untuk meminimalisir distorsi

pada koordinat planimetrik produk sistem proyeksi TM3 yang digunakan selama

ini, agar menghasilkan PPTSL berkualitas optimal dan kekinian, maka ia harus

menggunakan apa yang disebut Sistem Proyeksi Distorsi Minimum atau disingkat

SPDM.

1.2. Perumusan Masalah Sistem Koordinat Planimetrik Nasional (SKPN), selama ini lebih dikenal

sebagai sistem proyeksi konformal transverse mercator yaitu TM6 atau

Universal Transverse Mercator (UTM) dan TM3. SKPN didesain untuk

memudahkan dalam bekerja dengan menggunakan koordinat planimetrik 2-

dimensi bagi praktisi survei dan pemetaan, teknik rekayasa, sistem/sains

informasi geografi, sistem informasi pertanahan, dan pekerjaan lainnya, dan

sekaligus mengacu pada Datum Geodesi, yang pada saat ini dinamakan Sistem

Referensi Geospasial Indonesia (SRGI).

Aspek fungsionalisasi SKPN dan SRGI tersebut, akan tidak optimal dalam

implementasinya, bilamana di antaranya : a) kandungan distorsi pada koordinat

planimetrik tidak dapat dikendalikan; b) nilai ukuran jarak dan luas bidang-bidang

tanah pada peta, berbeda signifikan dengan ukuran jarak dan luas bidang

pasangannya di permukaan rupabumi faktual; c) menimbulkan kesulitan dalam

pemutakhiran peta yaitu, pada proses migrasi, sinkronisasi dan integrasi

karakteristik objek-objek di rupabumi yang tergambarkan pada peta.

Page 97: prosiding - ATR/BPN

90

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Namun dengan dukungan ketersediaan teknologi canggih yang serba

digital sekarang ini, dan untuk melayani akan kebutuhan tuntutan di masa

datang, sudah pada saatnya untuk mendesain ulang kebijakan SKPN yang

selama ini digunakan. Satu alternatif pilihan logis adalah dengan

mengimplementasikan SPDM, agar aspek fungsionalisasi tersebut di atas

tercapai optimal.

Dalam SPDM ini ketinggian variatif pada cakupan area yang dipetakan ikut

diperhitungkan, dan disesuaikan dengan tinggi elipsoid referensi rata-rata

permukaan bumi yang nyata. Di mana yang terjadi selama ini, ketinggian variatif

itu ditentukan oleh satu nilai tinggi elipsoid yang (bersifat) konstan diberlakukan

global, sehingga kerap ia menjauh dari realitas faktualnya.

SPDM layak diimplementasikan, supaya tidak menafikan: pencapaian

ketelitian milimeter pada penentuan posisi (, , h) berbasiskan pengamatan

konstelasi satelit navigasi; pengukuran kadastral (sudut, jarak, azimut) teliti; dan

resolusi piksel sentimeter pada produk citra-udara. Di mana, akhirnya beberapa

pencapaian tersebut akan menjadi ter(di)degradasi signifikan akibat kandungan

distorsi koordinat planimetrik yang dijadikan acuan, produk dari penggunaan

sistem proyeksi peta tidak tepat guna.

Makalah ini mengulas algoritma SPDM sebagai suatu alternatif dari SKPN

yang digunakan selama ini, melalui uji komparatif hasil koordinat planimetrik

berbasiskan SPDM, TM3 dan UTM produk dari konversi koordinat (, , h) pada

titik-titik kontrol geodesi faktual sebagai titik-titik acuan, yang diukur dengan

pemanfaatan teknologi Global Positioning System (GPS). Selanjutnya dianalisa,

diverifikasi, dan divalidasi untuk menunjukkan nilai besaran distorsi masing-

masing ke-3 sistem proyeksi tersebut, yang mengakibatkan terjadinya dislokasi

koordinat titik-titik acuan di rupabumi.

1.3. Tujuan dan Manfaat Bahasan pada makalah ini bertujuan untuk memberikan suatu solusi

alternatif, agar dapat menghasilkan PPTSL berkualitas optimal dan kekinian,

yang akan mampu memenuhi sebuah diktum dalam dunia digital geospasial

global: ‘what I see and written on the map is what I get exactly on the Earth

surface’; atau tatkala peta digital di ‘zoom-in, zoom-out’ tetap jelas dan akurat.

Sebuah peta yang akurat dan bernilai, akan mampu di antaranya

menunjukkan nilai ukuran jarak atau luas bidang tanah (dari hitungan nilai

koordinat di dua titik atau lebih) pada peta, akan sama dengan atau paling

Page 98: prosiding - ATR/BPN

91

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Namun dengan dukungan ketersediaan teknologi canggih yang serba

digital sekarang ini, dan untuk melayani akan kebutuhan tuntutan di masa

datang, sudah pada saatnya untuk mendesain ulang kebijakan SKPN yang

selama ini digunakan. Satu alternatif pilihan logis adalah dengan

mengimplementasikan SPDM, agar aspek fungsionalisasi tersebut di atas

tercapai optimal.

Dalam SPDM ini ketinggian variatif pada cakupan area yang dipetakan ikut

diperhitungkan, dan disesuaikan dengan tinggi elipsoid referensi rata-rata

permukaan bumi yang nyata. Di mana yang terjadi selama ini, ketinggian variatif

itu ditentukan oleh satu nilai tinggi elipsoid yang (bersifat) konstan diberlakukan

global, sehingga kerap ia menjauh dari realitas faktualnya.

SPDM layak diimplementasikan, supaya tidak menafikan: pencapaian

ketelitian milimeter pada penentuan posisi (, , h) berbasiskan pengamatan

konstelasi satelit navigasi; pengukuran kadastral (sudut, jarak, azimut) teliti; dan

resolusi piksel sentimeter pada produk citra-udara. Di mana, akhirnya beberapa

pencapaian tersebut akan menjadi ter(di)degradasi signifikan akibat kandungan

distorsi koordinat planimetrik yang dijadikan acuan, produk dari penggunaan

sistem proyeksi peta tidak tepat guna.

Makalah ini mengulas algoritma SPDM sebagai suatu alternatif dari SKPN

yang digunakan selama ini, melalui uji komparatif hasil koordinat planimetrik

berbasiskan SPDM, TM3 dan UTM produk dari konversi koordinat (, , h) pada

titik-titik kontrol geodesi faktual sebagai titik-titik acuan, yang diukur dengan

pemanfaatan teknologi Global Positioning System (GPS). Selanjutnya dianalisa,

diverifikasi, dan divalidasi untuk menunjukkan nilai besaran distorsi masing-

masing ke-3 sistem proyeksi tersebut, yang mengakibatkan terjadinya dislokasi

koordinat titik-titik acuan di rupabumi.

1.3. Tujuan dan Manfaat Bahasan pada makalah ini bertujuan untuk memberikan suatu solusi

alternatif, agar dapat menghasilkan PPTSL berkualitas optimal dan kekinian,

yang akan mampu memenuhi sebuah diktum dalam dunia digital geospasial

global: ‘what I see and written on the map is what I get exactly on the Earth

surface’; atau tatkala peta digital di ‘zoom-in, zoom-out’ tetap jelas dan akurat.

Sebuah peta yang akurat dan bernilai, akan mampu di antaranya

menunjukkan nilai ukuran jarak atau luas bidang tanah (dari hitungan nilai

koordinat di dua titik atau lebih) pada peta, akan sama dengan atau paling

mendekati nilai ukuran jarak atau luas bidang tanah di rupabumi faktual. Dan

sebuah sistem semacam SPDM muncul belakangan hari ini, memang untuk

mewujudkan harapan di atas.

Pemanfaatan SPDM sebagai alas pembuatan PPTSL adalah jalan keluar

yang akan mereduksi kemungkinan-kemungkinan potensi konflik secara

maksimal (seperti akibat tumpang tindih lahan pada peta, dsb), bahkan bisa jadi

nol. Mudahnya proses migrasi, sinkronisasi, dan integrasi produk peta berbagai

skala berbasiskan SPDM, dilakukan dengan terlebih dulu mengkonversi

koordinat planimetrik ke bentuk koordinat lintang, bujur faktual the real world.

2. TINJAUAN PUSTAKA Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria yang selanjutnya disingkat UUPA 5/1960. Pada Pasal 19 ayat (1)

Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah

di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur

dengan Peraturan Pemerintah. Dan ayat (2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1)

pasal ini meliputi : a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah; b.

pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. pemberian

surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Dalam rangka peningkatan Pembangunan Nasional yang berkelanjutan

memerlukan dukungan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, dan

perlindungan hukum hak atas tanah rakyat secara adil dan merata, serta

mendorong pertumbuhan ekonomi negara pada umumnya dan ekonomi rakyat

khususnya, perlu dilakukan percepatan pendaftaran tanah lengkap di seluruh

wilayah Republik Indonesia, yang tertuang pada Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang selanjutnya

disingkat PP Pendaftaran Tanah 24/2017. Dan untuk pelaksanaannya,

Kementerian ATR/BPN telah menetapkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata

Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 35 Tahun

2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap,

yang selanjutnya disingkat Permen ATR/Kepala BPN 35/2016.

Kemudian, sebagai tindak-lanjut dari Permen ATR/Kepala BPN 35/2016,

Direktorat Jenderal Infrastruktur Keagrariaan Kementerian Agraria dan Tata

Ruang/Badan Pertanahan Nasional menetapkan Petunjuk Teknis Pengukuran

dan Pemetaan Bidang Tanah Sistematik Lengkap Nomor: 01/JUKNIS-300/2016.

Page 99: prosiding - ATR/BPN

92

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Yang menerangkan bahwa pendaftaran tanah secara sistematis lengkap adalah

kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali, yang dilakukan secara serentak

yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam satu

wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat, dan juga termasuk

pemetaan seluruh obyek pendaftaran tanah yang sudah terdaftar dalam rangka

menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai bidang-bidang

tanahnya.

Dalam implementasi pelaksanaan kegiatan pengukuran dan pemetaan

bidang tanah sistematis lengkap dilakukan dengan beberapa metode, yaitu: a.

Metode Terestris; b. Metode Fotogrametris; c. Metode Pengamatan Satelit

Navigasi; d. Metode kombinasi terestris, fotogrametris, dan/atau pengamatan

satelit navigasi.

Pengukuran bidang tanah secara sistematis adalah proses pemastian letak

batas bidang-bidang tanah. Dan pemetaan bidang tanah adalah kegiatan

pengolahan data dan penggambaran hasil pengukuran bidang-bidang tanah

dengan suatu metode tertentu pada media tertentu, sehingga letak dan ukuran

bidang tanahnya dapat diketahui dari media tempat pemetaan bidang tanah itu.

Sebagai produk akhir dari hasil pengukuran dan pemetaan bidang-bidang

tanah secara sistematis tersebut, adalah berupa PPTSL berkualitas dengan

tingkat ketelitian geometris maksimal. Yang dimaksud dengan ‘tingkat ketelitian

geometris’ adalah ukuran kedekatan dengan nilai sebenarnya yang terkait

dengan posisi (horizontal dan vertikal), bentuk, panjang, dan luas di rupabumi.

Dan untuk mencapainya secara maksimal, sangat ditentukan oleh penggunaan

satu sistem referensi geospasial dan satu sistem proyeksi peta yang tepat guna.

Selanjutnya, Pasal 2 BAB II Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang

Informasi Geospasial (IG) mengamanatkan, IG diselenggarakan berdasarkan

asas: kepastian hukum; keterpaduan; keterbukaan; kemutakhiran; keakuratan;

kemanfaatan; dan demokratis. Dan dalam pelaksanaannya, Badan Informasi

Geospasial (BIG) menetapkan Peraturan Kepala BIG Nomor 15 Tahun 2013

tentang Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013 disingkat SRGI2013.

2.1. Sistem Referensi Geospasial. Suatu posisi yang dinyatakan dengan tingkat ketelitian koordinat pada

komponen horizontal dan vertikal, adalah untuk menunjukkan ukuran kedekatan

nilai koordinat tersebut hasil data pengukuran dan/atau pengamatan berikut

proses hitung perataan data, terhadap nilai koordinat ‘sebenarnya’.

Page 100: prosiding - ATR/BPN

93

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Yang menerangkan bahwa pendaftaran tanah secara sistematis lengkap adalah

kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali, yang dilakukan secara serentak

yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam satu

wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat, dan juga termasuk

pemetaan seluruh obyek pendaftaran tanah yang sudah terdaftar dalam rangka

menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai bidang-bidang

tanahnya.

Dalam implementasi pelaksanaan kegiatan pengukuran dan pemetaan

bidang tanah sistematis lengkap dilakukan dengan beberapa metode, yaitu: a.

Metode Terestris; b. Metode Fotogrametris; c. Metode Pengamatan Satelit

Navigasi; d. Metode kombinasi terestris, fotogrametris, dan/atau pengamatan

satelit navigasi.

Pengukuran bidang tanah secara sistematis adalah proses pemastian letak

batas bidang-bidang tanah. Dan pemetaan bidang tanah adalah kegiatan

pengolahan data dan penggambaran hasil pengukuran bidang-bidang tanah

dengan suatu metode tertentu pada media tertentu, sehingga letak dan ukuran

bidang tanahnya dapat diketahui dari media tempat pemetaan bidang tanah itu.

Sebagai produk akhir dari hasil pengukuran dan pemetaan bidang-bidang

tanah secara sistematis tersebut, adalah berupa PPTSL berkualitas dengan

tingkat ketelitian geometris maksimal. Yang dimaksud dengan ‘tingkat ketelitian

geometris’ adalah ukuran kedekatan dengan nilai sebenarnya yang terkait

dengan posisi (horizontal dan vertikal), bentuk, panjang, dan luas di rupabumi.

Dan untuk mencapainya secara maksimal, sangat ditentukan oleh penggunaan

satu sistem referensi geospasial dan satu sistem proyeksi peta yang tepat guna.

Selanjutnya, Pasal 2 BAB II Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang

Informasi Geospasial (IG) mengamanatkan, IG diselenggarakan berdasarkan

asas: kepastian hukum; keterpaduan; keterbukaan; kemutakhiran; keakuratan;

kemanfaatan; dan demokratis. Dan dalam pelaksanaannya, Badan Informasi

Geospasial (BIG) menetapkan Peraturan Kepala BIG Nomor 15 Tahun 2013

tentang Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013 disingkat SRGI2013.

2.1. Sistem Referensi Geospasial. Suatu posisi yang dinyatakan dengan tingkat ketelitian koordinat pada

komponen horizontal dan vertikal, adalah untuk menunjukkan ukuran kedekatan

nilai koordinat tersebut hasil data pengukuran dan/atau pengamatan berikut

proses hitung perataan data, terhadap nilai koordinat ‘sebenarnya’.

Untuk pelaksanaan kegiatan pengukuran dan pemetaan di seluruh wilayah

Indonesia, penentuan posisi (, , h) titik-titik di lapangan harus mengacu pada

SRGI2013 epoch 2012.00 dengan elipsoid referensi WGS84. Dan SRGI2013,

relatif “terikat” atau mengacu pada proses evolusi kerangka terestris referensi

International Terrestrial Reference Frame (ITRF), sebagai satu sistem koordinat

‘sebenarnya’, yang pada saat ini adalah ITRF2014 epoch 2010.00. Selanjutnya,

dengan menggunakan persamaan korelasi matematis suatu Sistem Proyeksi,

dilakukan konversi dari koordinat di bidang lengkung: lintang []; bujur []; tinggi

elipsoid [h] untuk mendapatkan koordinat planimetrik: timur [x]; utara [y].

2.2. Sistem Proyeksi Peta. Terdapat lebih dari 10 jenis sistem proyeksi peta yang dikenal di dunia, dan

masing-masing sistem mempunyai kelebihan dan kekurangan, yang dalam

penggunaannya disesuaikan peruntukkannya. Seperti halnya, produk sistem

proyeksi konformal UTM dengan lebar zona proyeksi 6, diasumsikan tidak dapat

memberikan ketelitian yang memadai untuk digunakan sebagai koordinat

planimetrik acuan, pada pengukuran kadastral dan pemetaan bidang tanah pada

skala peta dengan ketelitian 1 : 5000 dan/atau skala peta lebih besar. Maka,

digunakan produk sistem proyeksi konformal TM3 dengan lebar zona 3.

Sistem koordinat proyeksi dipastikan mengandung distorsiini suatu

kenyataan adanya. Walaupun distorsi tersebut tidak dapat dieliminir, tetapi

masih dapat diminimalisir sekecil mungkin, diantaranya dengan SPDM. Dan

SPDM adalah masih merupakan sistem proyeksi konformal TM, yang bertujuan

untuk membuat cakupan area seluas mungkin dengan distorsi linier minimal, dan

tetap dapat mempertahankan bentuk, jarak, dan lebih lanjut sudut dan azimuth.

Pada dasarnya, persamaan korelasi matematis yang digunakan SPDM persis

sama seperti halnya yang digunakan TM3 dan UTM, yang membedakan terletak

pada: a) SPDM, memperhitungkan variasi faktual tinggi elipsoid (hrata-rata) pada

cakupan area yang dipetakan, dan untuk meminimalkan distorsi didesain dengan

mendekatkan muka-peta sedekat mungkin pada permukaan rupabumi; b)

dengan memperhitungkan hrata-rata, maka konstanta faktor skala (= ‘ko’) secara

fleksibel akan mengikuti variasi tinggi pada tiap cakupan area yang dipetakan,

tidak sebagaimana pada UTM “by default” ditetapkan pada cakupan global ko =

0,9996 dan TM3 ditetapkan ko = 0,9999; c) SPDM, tidak lagi disekat-sekat oleh

batas zona proyeksi, namun pada tiap cakupan area yang dipetakan dibatasi

oleh besaran distorsi minimum 10 ppm sampai 30 ppm (ppm = part per million);

Page 101: prosiding - ATR/BPN

94

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

d) meridian sentral (= o) ditetapkan pada tengah-tengah cakupan area yang

dipetakan seluas mungkin tidak melebihi distorsi 30 ppm; e) nilai awal koordinat

planimetrik semu atau “false origin” {xo,yo}, ditentukan oleh luasnya cakupan area

yang dipetakan, dengan tidak didapatkan nilai negatif.

Untuk penjelasan lebih detail tentang sistem proyeksi dapat dipelajari lebih

lanjut pada beberapa tulisan, yang paling dikenal: Karney, C.F.F, (2011); Stem,

James, E. (1989).

3. METODOLOGI PENELITIAN Pada makalah ini, metodologi penelitian yang dilakukan adalah melalui

proses pengolahan data pengamatan GPS di titik-titik dasar teknik pada suatu

cakupan area yang dipetakan, untuk menghasilkan koordinat geodetik yang

dinyatakan dalam , , hWGS84, dengan perolehan ketelitian pada tingkat mm

sampai 2 cm. Dan diasumsikan sebagai titik-titik kontrol acuan di tanah atau

‘ground control points’ ('gcp') yang umum digunakan pada pengukuran kadastral

dan pemetaan bidang tanah metode fotogrametris.

Dalam tahap berikutnya, dilakukan hitungan konversi dari koordinat

geodetik di bidang lengkung , , hWGS84 pada 'gcp-gcp' ke koordinat

planimetrik di muka-peta yang dinyatakan dengan koordinat timur [x], utara [y],

masing-masing dengan menggunakan persamaan korelasi matematis sistem

proyeksi UTM, TM3, SPDM. Hasil hitungan tersebut di analisis berikut proses

verifikasi dan validasinya, untuk selanjutnya masing-masing luaran dibandingkan,

agar mendapatkan koordinat planimetrik berdistorsi paling minimum.

Setiap tahapan penelitian tersebut terkait satu dengan lainnya, di mana

setiap tahapan menghasilkan luaran yang dibutuhkan untuk tahapan berikutnya.

Seperti ditunjukkan pada Diagram 3., proses penyusunan strategi penelitian

diawali dengan studi pustaka, untuk mempelajari landasan yuridis pengukuran

dan pemetaan bidang tanah dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah,

agar dapat memenuhi kaidah-kaidah teknis pengukuran dan pemetaan sehingga

bidang tanah yang diukur dapat dipetakan dan diketahui letak, batas dan luas

pada peta pendaftaran tanah, serta dapat direkonstruksi batasnya di lapangan.

Hasil studi pustaka ini menghasilkan suatu kerangka strategi untuk

mendapatkan koordinat planimetrik distorsi minimum.

Page 102: prosiding - ATR/BPN

95

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

d) meridian sentral (= o) ditetapkan pada tengah-tengah cakupan area yang

dipetakan seluas mungkin tidak melebihi distorsi 30 ppm; e) nilai awal koordinat

planimetrik semu atau “false origin” {xo,yo}, ditentukan oleh luasnya cakupan area

yang dipetakan, dengan tidak didapatkan nilai negatif.

Untuk penjelasan lebih detail tentang sistem proyeksi dapat dipelajari lebih

lanjut pada beberapa tulisan, yang paling dikenal: Karney, C.F.F, (2011); Stem,

James, E. (1989).

3. METODOLOGI PENELITIAN Pada makalah ini, metodologi penelitian yang dilakukan adalah melalui

proses pengolahan data pengamatan GPS di titik-titik dasar teknik pada suatu

cakupan area yang dipetakan, untuk menghasilkan koordinat geodetik yang

dinyatakan dalam , , hWGS84, dengan perolehan ketelitian pada tingkat mm

sampai 2 cm. Dan diasumsikan sebagai titik-titik kontrol acuan di tanah atau

‘ground control points’ ('gcp') yang umum digunakan pada pengukuran kadastral

dan pemetaan bidang tanah metode fotogrametris.

Dalam tahap berikutnya, dilakukan hitungan konversi dari koordinat

geodetik di bidang lengkung , , hWGS84 pada 'gcp-gcp' ke koordinat

planimetrik di muka-peta yang dinyatakan dengan koordinat timur [x], utara [y],

masing-masing dengan menggunakan persamaan korelasi matematis sistem

proyeksi UTM, TM3, SPDM. Hasil hitungan tersebut di analisis berikut proses

verifikasi dan validasinya, untuk selanjutnya masing-masing luaran dibandingkan,

agar mendapatkan koordinat planimetrik berdistorsi paling minimum.

Setiap tahapan penelitian tersebut terkait satu dengan lainnya, di mana

setiap tahapan menghasilkan luaran yang dibutuhkan untuk tahapan berikutnya.

Seperti ditunjukkan pada Diagram 3., proses penyusunan strategi penelitian

diawali dengan studi pustaka, untuk mempelajari landasan yuridis pengukuran

dan pemetaan bidang tanah dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah,

agar dapat memenuhi kaidah-kaidah teknis pengukuran dan pemetaan sehingga

bidang tanah yang diukur dapat dipetakan dan diketahui letak, batas dan luas

pada peta pendaftaran tanah, serta dapat direkonstruksi batasnya di lapangan.

Hasil studi pustaka ini menghasilkan suatu kerangka strategi untuk

mendapatkan koordinat planimetrik distorsi minimum.

Diagram 1 Metodologi Penelitian

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah selama ini di

asumsikan bahwa koordinat planimetrik produk TM3 yang lebih layak digunakan

untuk pembuatan PPTSL pada skala 1 : 5000 dan/atau skala lebih besar, karena

mengandung distorsi lebih kecil dibandingkan koordinat planimetrik produk UTM.

Namun, sesungguhnya koordinat planimetrik produk TM3 pun belum

meminimalisir kandungan distorsi secara maksimal, dan upaya untuk

meminimalisir distorsi agar maksimal, masih dapat dilakukan dengan SPDM.

Secara umum kontribusi dari penelitian ini adalah SPDM sebagai suatu

metode alternatif yang logis, dalam upaya meminimalisir kandungan distorsi pada

koordinat planimetrik yang akan selalu dijadikan acuan dalam pengukuran

kadastral dan pemetaan bidang tanah, yang produk akhirnya berupa PPTSL.

Dan secara khusus koordinat planimetrik produk SPDM merupakan

kontribusi dari penelitian ini, yaitu: a) Persamaan korelasi matematis untuk

Page 103: prosiding - ATR/BPN

96

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

mendapatkan koordinat planimetrik tidak berbeda dengan proses hitungan pada

TM3 dan/atau UTM; b) Titik-titik koordinat planimetrik posisinya berada paling

mendekati rupabumi, dan dapat diasumsikan tegak lurus terhadap masing-

masing titik pasangannya di rupabumi. Sehingga, dapat disekutukan di titik

pasangannya pada rupabumi tanpa terjadi dislokasi atau dislokasi minimal; c)

Nilai ukuran jarak dan luas bidang tanah, berdasarkan hitungan koordinat pada

peta, akan sama dengan atau paling mendekati ukuran jarak dan luas faktual di

rupa bumi.

4. PEMBAHASAN Pada proses hitungan sistem proyeksi peta, dipastikan akan terjadi suatu

distorsi, hal yang tidak dapat dihindarkan. Terjadinya distorsi adalah merupakan

konsekuensi dari suatu upaya merepresentasikan permukaan rupabumi dari

bidang lengkung dengan variasi elevasi (3-Dimensi=3D) ke bidang datar (=2D).

Dan distorsi tersebut dapat diartikan sebagai terjadinya suatu perubahan pada

hubungan antara lokasi titik-titik yang ‘benar’ di permukaan rupabumi dan titik-titik

yang direpresentasikan di muka-peta.

Distorsi tidak dapat dieliminir. Apa yang masih dapat dilakukan adalah

meminimalisir efek-efek yang mengakibatkannya. Distorsi horizontal linier, adalah

beda jarak antara koordinat dua titik di muka-peta dibandingkan dengan jarak

horizontal “sebenarnya” pada dua titik pasangannya di-tanah, yang dinyatakan

dengan simbol pada satuan part-per-million(=mm/km). Misalkan: 0,3 m/1,5 km

= 200 ppm = 200 mm/km.

Akan halnya bahwa distorsi linier tidak dapat dihindarkan, maka distorsi

linier juga makin besar dengan perbedaan elevasi makin tinggi terhadap

permukaan elipsoid referensi. Dapat diasumsikan bahwa fungsi “elevasi”

terhadap elipsoid memberikan kontribusi signifikan pada distorsi horizontal linier.

Dengan demikian, suatu kombinasi distorsi horizontal linier yang

disebabkan oleh faktor kelengkungan bumi dan variasi elevasi di rupabumi

terhadap elipsoid referensi adalah sebagai total distorsi linier horizontal.

Besarnya distorsi relatif dari tiap komponen koordinat tergantung pada variasi

elevasi rupabumi dan luas cakupan area proyeksi.

4.1. Desain untuk suatu ‘Sistem Proyeksi Distorsi Minimum’ (SPDM) Objektif dari desain SPDM adalah untuk optimalisasi meminimalkan distorsi

linier pada cakupan area (proyeksi) seluas mungkin. Dengan perkataan lain,

Page 104: prosiding - ATR/BPN

97

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

mendapatkan koordinat planimetrik tidak berbeda dengan proses hitungan pada

TM3 dan/atau UTM; b) Titik-titik koordinat planimetrik posisinya berada paling

mendekati rupabumi, dan dapat diasumsikan tegak lurus terhadap masing-

masing titik pasangannya di rupabumi. Sehingga, dapat disekutukan di titik

pasangannya pada rupabumi tanpa terjadi dislokasi atau dislokasi minimal; c)

Nilai ukuran jarak dan luas bidang tanah, berdasarkan hitungan koordinat pada

peta, akan sama dengan atau paling mendekati ukuran jarak dan luas faktual di

rupa bumi.

4. PEMBAHASAN Pada proses hitungan sistem proyeksi peta, dipastikan akan terjadi suatu

distorsi, hal yang tidak dapat dihindarkan. Terjadinya distorsi adalah merupakan

konsekuensi dari suatu upaya merepresentasikan permukaan rupabumi dari

bidang lengkung dengan variasi elevasi (3-Dimensi=3D) ke bidang datar (=2D).

Dan distorsi tersebut dapat diartikan sebagai terjadinya suatu perubahan pada

hubungan antara lokasi titik-titik yang ‘benar’ di permukaan rupabumi dan titik-titik

yang direpresentasikan di muka-peta.

Distorsi tidak dapat dieliminir. Apa yang masih dapat dilakukan adalah

meminimalisir efek-efek yang mengakibatkannya. Distorsi horizontal linier, adalah

beda jarak antara koordinat dua titik di muka-peta dibandingkan dengan jarak

horizontal “sebenarnya” pada dua titik pasangannya di-tanah, yang dinyatakan

dengan simbol pada satuan part-per-million(=mm/km). Misalkan: 0,3 m/1,5 km

= 200 ppm = 200 mm/km.

Akan halnya bahwa distorsi linier tidak dapat dihindarkan, maka distorsi

linier juga makin besar dengan perbedaan elevasi makin tinggi terhadap

permukaan elipsoid referensi. Dapat diasumsikan bahwa fungsi “elevasi”

terhadap elipsoid memberikan kontribusi signifikan pada distorsi horizontal linier.

Dengan demikian, suatu kombinasi distorsi horizontal linier yang

disebabkan oleh faktor kelengkungan bumi dan variasi elevasi di rupabumi

terhadap elipsoid referensi adalah sebagai total distorsi linier horizontal.

Besarnya distorsi relatif dari tiap komponen koordinat tergantung pada variasi

elevasi rupabumi dan luas cakupan area proyeksi.

4.1. Desain untuk suatu ‘Sistem Proyeksi Distorsi Minimum’ (SPDM) Objektif dari desain SPDM adalah untuk optimalisasi meminimalkan distorsi

linier pada cakupan area (proyeksi) seluas mungkin. Dengan perkataan lain,

suatu desain SPDM adalah agar produk koordinat-koordinat proyeksi dan

ikutannya yaitu ukuran jarak dan luas bidang tanah di peta, dapat “sedekat

mungkin” dengan “nilai sebenarnya” di-tanah, tanpa mengabaikan kaidah-kaidah

sistem proyeksi peta.

Proses tahapan suatu SPDM dijelaskan sebagai berikut:

1) Pendefinisian distorsi untuk cakupan area proyeksi dan penentuan tinggi elipsoid (=h), yang dapat mewakili seluruh cakupan area (hrata-rata).

Walaupun, tinggi elipsoid rata-rata seringkali belum dapat mewakili untuk

desain faktor-skala (=ko) ideal, yang disebabkan oleh faktor kelengkungan

bumi dan/atau variasi (ekstrem) elevasi rupabumi, terkecuali untuk area

proyeksi relatif datar dan cakupan area kecil.

● Objektif untuk “distorsi minimum” secara umum adalah ± 20 ppm (± 0,020

m/km), tetapi hal ini kemungkinan tidak dapat dicapai disebabkan oleh

variasi beda (ekstrem) tinggi rupabumi dan/atau luasnya desain cakupan

area proyeksi.

● Desain ukuran/luas area, distorsi yang disebabkan oleh faktor

kelengkungan bumi adalah ± 5 ppm untuk lebar cakupan area 56 km. Dan

lebar cakupan area tersebut adalah tegak-lurus terhadap “sumbu proyeksi”

atau meridian-sentral kearah barat dan timur. Dan efek distorsi tidak linier

semakin bertambah dengan bertambah lebarnya area proyeksi dan

proporsional dengan perkalian luas area zona.

● Variasi tinggi elipsoid referensi di rupabumi, distorsi yang disebabkan oleh

faktor perubahan tinggi adalah ± 5 ppm untuk ketinggian ± 30 m, hanya

saja efek distorsinya linier.

● Pada suatu cakupan area dengan tinggi elipsoid rata-rata (hrata-rata), akan

dijumpai hrata-rata tidak memadai untuk dapat mewakili tinggi untuk seluruh

area-proyeksi, utamanya di area pegunungan.

● Untuk area pegunungan tidak perlu mengestimasi hrata-rata sampai dengan

tingkat ketelitian ± 6 m yang sebanding dengan distorsi ± 1 ppm. Tetapi,

pada tahap awal dalam penentuan faktor-skala proyeksi (=ko) yang

menggunakan hrata-rata, akan diperbaiki pada tahapan proses desain sampai

maksimal (kompromistis).

2) Pilih dan tempatkan koordinat Bujur-awal (o) meridian sentral peta atau MS, di sentral atau di tengah-tengah cakupan suatu area proyeksi:

Page 105: prosiding - ATR/BPN

98

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

● Dengan menempatkan o sedekat mungkin di sentral cakupan area

proyeksi, sebagai permulaan yang baik pada proses desain.

● Dalam hal di mana perubahan tinggi dipermukaan rupabumi cenderung ke

satu arah atau di-area pegunungan, dengan menggeser-geser MS secara

fleksibel, berkecenderungan akan diperoleh hasil yang baik.

● Dan penempatan o pada suatu proyeksi peta dekat dengan “tengah-

tengah” timur-barat cakupan area proyeksi adalah untuk meminimalisir

sudut konvergensi (beda sudut antara utara geodetik dan utara peta).

3) Penentuan faktor-skala (=ko) meridian sentral peta, yang mewakili tinggi

elipsoid referensi WGS84 di-tanah:

● Dengan melakukan hitungan faktor-skala, ko, pada meridian sentral di

“tanah” (tinggi hrata-rata), menggunakan muka-peta di atas elipsoid ko > 1:

(1)

● Rm adalah nilai rata-rata radius kelengkungan bumi geometrik di meridian

() dan divertikal utama (), di mana adalah fungsi lintang koordinat,

dengan menggunakan persamaan:

(2)

Pada UTM besaran faktor-skala, ko = 0,9996, dan pada TM3, ko = 0,9999,

adalah diperoleh dari hubungan matematis dengan persamaan berikut:

dan

Terdapat sedikit perbedaan desain dalam menggunakan jenis bidang-

proyeksi, pada UTM dan TM3 digunakan jenis proyeksi “secant”, artinya

bidang muka-peta memotong bidang elipsoid di dua titik, sedangkan pada

SPDM digunakan jenis proyeksi, di mana bidang muka-peta selalu di atas

Page 106: prosiding - ATR/BPN

99

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

● Dengan menempatkan o sedekat mungkin di sentral cakupan area

proyeksi, sebagai permulaan yang baik pada proses desain.

● Dalam hal di mana perubahan tinggi dipermukaan rupabumi cenderung ke

satu arah atau di-area pegunungan, dengan menggeser-geser MS secara

fleksibel, berkecenderungan akan diperoleh hasil yang baik.

● Dan penempatan o pada suatu proyeksi peta dekat dengan “tengah-

tengah” timur-barat cakupan area proyeksi adalah untuk meminimalisir

sudut konvergensi (beda sudut antara utara geodetik dan utara peta).

3) Penentuan faktor-skala (=ko) meridian sentral peta, yang mewakili tinggi

elipsoid referensi WGS84 di-tanah:

● Dengan melakukan hitungan faktor-skala, ko, pada meridian sentral di

“tanah” (tinggi hrata-rata), menggunakan muka-peta di atas elipsoid ko > 1:

(1)

● Rm adalah nilai rata-rata radius kelengkungan bumi geometrik di meridian

() dan divertikal utama (), di mana adalah fungsi lintang koordinat,

dengan menggunakan persamaan:

(2)

Pada UTM besaran faktor-skala, ko = 0,9996, dan pada TM3, ko = 0,9999,

adalah diperoleh dari hubungan matematis dengan persamaan berikut:

dan

Terdapat sedikit perbedaan desain dalam menggunakan jenis bidang-

proyeksi, pada UTM dan TM3 digunakan jenis proyeksi “secant”, artinya

bidang muka-peta memotong bidang elipsoid di dua titik, sedangkan pada

SPDM digunakan jenis proyeksi, di mana bidang muka-peta selalu di atas

bidang elipsoid ko > 1 agar mendekati permukaan rupa Bumi-bulat. Secara

geometris kedudukan muka-peta, dapat diilustrasikan pada Gambar 1.

4) Penentuan distorsi di seluruh cakupan area proyeksi dan perbaikan parameter desain:

● Dengan melakukan hitungan distorsi di suatu titik proyeksi (pada tinggi

elipsoid h):

(3)

Gambar 1. Geometri bidang-proyeksi/muka-peta untuk UTM; TM3; SPDM.

● Di mana, k = faktor-skala di suatu titik dibidang-proyeksi, yaitu, distorsi di

titik itu terhadap elipsoid referensi. Dan nilai k, diperoleh dari hasil proses

proyeksi TM (Stem, 1989, halaman 32-35). ● Untuk mendapatkan distorsi minimum pada seluruh cakupan area proyeksi,

adalah dengan melakukan evaluasi kembali pada nilai ko yang berbeda,

sampai mendapatkan nilai ko terbaik. Hal ini dengan menggeser-geserkan

o, sampai di tempat yang terbaik.

4.2. Hubungan hitungan Jarak: di peta di elipsoid di tanah

Dengan koordinat planimetrik produk UTM; TM3; SPDM masing-masing,

dilakukan hitungan untuk menentukan nilai ukuran jarak di peta, jarak geodesik

di elipsoid, dan jarak di tanah, yang hasil hitungan ketiga produk tersebut akan

saling berbeda nilai akhirnya.

1

hRRkm

m

Page 107: prosiding - ATR/BPN

100

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Pada umumnya, pengukuran dan hitungan jarak dilakukan mendatar, tidak

miring, dan untuk menentukan ukuran jarak dua titik atau lebih di peta yang

merupakan bidang datar, ditentukan melalui bacaan koordinat planimetrik di titik

A (xA, yA) dan B (xB, yB), dengan persamaan yang umumnya digunakan, yaitu:

Jarak di peta = 22 )()( ABABAB yyxxd (4)

Hasil hitungan ukuran jarak pada peta berkualitas (berdistorsi minimum) tatkala

direkonstruksi, maka ukuran jarak tersebut akan sama atau paling mendekati

dengan ukuran faktual di lapangan.

Dengan menggunakan peta beralas koordinat planimetrik produk TM3

dan/atau UTM, dan karena kandungan distorsi belum sepenuhnya terminimalisir,

maka hasil hitungan ukuran jarak pada peta seringkali tidak selalu sama dengan

ukuran faktual di lapangan. Disetiap peta tidak pernah ada dicantumkan faktor

skala di titik-proyeksi (= k), yaitu hasil proses pada tiap konversi dari , ke x, y.

Sebenarnya, dengan memperhitungkan, k, dan tinggi elipsoid h, maka

ukuran jarak di peta (= JPETA) dapat dikorelasikan dengan ukuran jarak faktual di

lapangan (= JTANAH) dengan persamaan berikut:

ABm

ABmPETATANAH

kRhRJJ (5)

di mana, hAB = tinggi elipsoid di titik A dan B = (hA+ hB)/2 ; kAB= (kA+ kB)/2

4.3. Hasil dan analisis.

Pada penelitian ini, digunakan koordinat geodetik (, , hWGS84) hasil

pengukuran dan pengolahan data-data GPS di titik-titik dasar teknis di wilayah P.

Kalimantan, dan di asumsikan sebagai titik-titik kontrol tanah atau ‘ground control

points’ (‘gcp’) yang biasa dijadikan acuan pada pengukuran kadastral dan/atau

pemetaan bidang tanah metode fotogrametris, yang selanjutnya di konversi ke

koordinat planimetrik menggunakan sistem proyeksi UTM, TM3, SPDM.

Dan untuk kajian komparatif pada aspek distorsi koordinat dan jarak dari

produk ke-3 sistem itu, ditentukan ‘gcp-gcp’ di area sekitar: ekuator; meridian

sentral proyeksi; dan batas zona proyeksi. Sebaran ‘gcp-gcp’ di indikasikan

dalam kotak garis hitam yang terdiri dari kotak: A; B; C; D; dan E ditunjukkan

pada Gambar 2.

Page 108: prosiding - ATR/BPN

101

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Pada umumnya, pengukuran dan hitungan jarak dilakukan mendatar, tidak

miring, dan untuk menentukan ukuran jarak dua titik atau lebih di peta yang

merupakan bidang datar, ditentukan melalui bacaan koordinat planimetrik di titik

A (xA, yA) dan B (xB, yB), dengan persamaan yang umumnya digunakan, yaitu:

Jarak di peta = 22 )()( ABABAB yyxxd (4)

Hasil hitungan ukuran jarak pada peta berkualitas (berdistorsi minimum) tatkala

direkonstruksi, maka ukuran jarak tersebut akan sama atau paling mendekati

dengan ukuran faktual di lapangan.

Dengan menggunakan peta beralas koordinat planimetrik produk TM3

dan/atau UTM, dan karena kandungan distorsi belum sepenuhnya terminimalisir,

maka hasil hitungan ukuran jarak pada peta seringkali tidak selalu sama dengan

ukuran faktual di lapangan. Disetiap peta tidak pernah ada dicantumkan faktor

skala di titik-proyeksi (= k), yaitu hasil proses pada tiap konversi dari , ke x, y.

Sebenarnya, dengan memperhitungkan, k, dan tinggi elipsoid h, maka

ukuran jarak di peta (= JPETA) dapat dikorelasikan dengan ukuran jarak faktual di

lapangan (= JTANAH) dengan persamaan berikut:

ABm

ABmPETATANAH

kRhRJJ (5)

di mana, hAB = tinggi elipsoid di titik A dan B = (hA+ hB)/2 ; kAB= (kA+ kB)/2

4.3. Hasil dan analisis.

Pada penelitian ini, digunakan koordinat geodetik (, , hWGS84) hasil

pengukuran dan pengolahan data-data GPS di titik-titik dasar teknis di wilayah P.

Kalimantan, dan di asumsikan sebagai titik-titik kontrol tanah atau ‘ground control

points’ (‘gcp’) yang biasa dijadikan acuan pada pengukuran kadastral dan/atau

pemetaan bidang tanah metode fotogrametris, yang selanjutnya di konversi ke

koordinat planimetrik menggunakan sistem proyeksi UTM, TM3, SPDM.

Dan untuk kajian komparatif pada aspek distorsi koordinat dan jarak dari

produk ke-3 sistem itu, ditentukan ‘gcp-gcp’ di area sekitar: ekuator; meridian

sentral proyeksi; dan batas zona proyeksi. Sebaran ‘gcp-gcp’ di indikasikan

dalam kotak garis hitam yang terdiri dari kotak: A; B; C; D; dan E ditunjukkan

pada Gambar 2.

Gambar 2. Sebaran Titik Dasar Teknis (‘gcp’) di P. Kalimantan.

Di mana ‘gcp-gcp’, pada: kotakA, berada di dekat ‘garis’ Ekuator dan di

sekitar meridian sentral TM3 (o = 109,5 ) zona 49-1; kotakB, berada di

sekitar meridian sentral UTM (o = 111 ) zona 49 dan di batas barat zona 49-2

TM3; kotakC, berada di sekitar batas zona UTM dan TM3; kotakD, berada di

sekitar meridian sentral TM3 (o = 115,5 ) zona 50-1; dan kotakE, berada di

sekitar meridian sentral UTM (o = 117 ) zona 50 dan di batas timur zona 50-1

TM3. Sedangkan meridian sentral (o) untuk SPDM ditetapkan selalu ditengah-

tengah kumpulan ‘gcp-gcp’ pada masing-masing kotak tersebut.

Berdasarkan data-data koordinat planimetrik ‘gcp-gcp’ di setiap kotak

tersebut yaitu, hasil konversi koordinat geodetik (, , h) dari produk UTM, TM3,

SPDM, dan khusus untuk SPDM terlebih dahulu ditentukan konstanta ‘ko’

menggunakan persamaan (1), selanjutnya dihitung masing-masing ukuran jarak

dua titik di peta dan jarak pasangannya di tanah menggunakan persamaan (4)

dan (5) berikut distorsi menggunakan persamaan (3). Maka, hasil hitungan

ukuran distorsi, jarak, dan beda () jarak di tanah minus jarak di peta tersebut, di

ringkas pada Tabel 1.

Page 109: prosiding - ATR/BPN

102

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Tabel 1. Distorsi dan Beda Jarak diTanah dan diPeta di wilayah Kalimantan.

Beda () = Jarak di Tanah Jarak di Peta

Dari Ke

Sistem Proyeksi

DiTanah [meter]

DiPeta [meter]

Beda () [meter]

Distorsi ()

[ppm] UTM 17700,407 17701,461 -1,054 60 A1A2 TM3 17700,410 17698,712 1,698 -96

SPDM 17700,407 17700,568 -0,161 9 UTM 18181,164 18181,205 -0,041 2 A A2A3 TM3 18181,163 18179,295 1,868 -103 SPDM 18181,164 18181,205 -0,041 2 UTM 34597,218 34598,584 -1,366 39 A3A1 TM3 34597,219 34593,850 3,369 -97

SPDM 34597,219 34597,483 -0,264 8 UTM 31830,172 31817,380 12,792 -402 B1B2 TM3 31830,172 31835,463 -5,291 166

SPDM 31830,171 31830,256 -0,085 3 UTM 19816,781 19809,112 7,670 -387 B2B3 TM3 19816,782 19818,504 -1,723 87

B SPDM 19816,783 19816,835 -0,053 3 UTM 38573,004 38557,969 15,035 -390 B3B4 TM3 38573,003 38577,395 -4,392 114

SPDM 38573,004 38573,182 -0,178 5 UTM 32819,711 32806,431 13,280 -405 B4B1 TM3 32819,710 32826,050 -6,340 193

SPDM 32819,711 32819,860 -0,152 5 UTM 14479,469 14492,161 -12,692 877 C1C2 TM3 14479,468 14482,219 -2,751 190

SPDM 14479,469 14479,501 -0,032 2 UTM 15824,064 15838,660 -14,596 922 C C2C3 TM3 15824,065 15827,421 -3,356 212 SPDM 15824,068 15824,076 -0,011 1 UTM 13686,482 13698,457 -11,976 875 C3C1 TM3 13686,483 13689,074 -2,591 189

SPDM 13686,482 13686,514 -0,032 2

Page 110: prosiding - ATR/BPN

103

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Tabel 1. Distorsi dan Beda Jarak diTanah dan diPeta di wilayah Kalimantan.

Beda () = Jarak di Tanah Jarak di Peta

Dari Ke

Sistem Proyeksi

DiTanah [meter]

DiPeta [meter]

Beda () [meter]

Distorsi ()

[ppm] UTM 17700,407 17701,461 -1,054 60 A1A2 TM3 17700,410 17698,712 1,698 -96

SPDM 17700,407 17700,568 -0,161 9 UTM 18181,164 18181,205 -0,041 2 A A2A3 TM3 18181,163 18179,295 1,868 -103 SPDM 18181,164 18181,205 -0,041 2 UTM 34597,218 34598,584 -1,366 39 A3A1 TM3 34597,219 34593,850 3,369 -97

SPDM 34597,219 34597,483 -0,264 8 UTM 31830,172 31817,380 12,792 -402 B1B2 TM3 31830,172 31835,463 -5,291 166

SPDM 31830,171 31830,256 -0,085 3 UTM 19816,781 19809,112 7,670 -387 B2B3 TM3 19816,782 19818,504 -1,723 87

B SPDM 19816,783 19816,835 -0,053 3 UTM 38573,004 38557,969 15,035 -390 B3B4 TM3 38573,003 38577,395 -4,392 114

SPDM 38573,004 38573,182 -0,178 5 UTM 32819,711 32806,431 13,280 -405 B4B1 TM3 32819,710 32826,050 -6,340 193

SPDM 32819,711 32819,860 -0,152 5 UTM 14479,469 14492,161 -12,692 877 C1C2 TM3 14479,468 14482,219 -2,751 190

SPDM 14479,469 14479,501 -0,032 2 UTM 15824,064 15838,660 -14,596 922 C C2C3 TM3 15824,065 15827,421 -3,356 212 SPDM 15824,068 15824,076 -0,011 1 UTM 13686,482 13698,457 -11,976 875 C3C1 TM3 13686,483 13689,074 -2,591 189

SPDM 13686,482 13686,514 -0,032 2

Beda () = Jarak di Tanah Jarak di Peta

Dari Ke

Sistem Proyeksi

DiTanah [meter]

DiPeta [meter]

Beda () [meter]

Distorsi ()

[ppm] UTM 26190,236 26191,344 -1,108 42 D1D2 TM3 26190,236 26187,572 2,664 -102

SPDM 26190,236 26190,320 -0,084 3 UTM 30371,034 30368,680 2,354 -78 D2D3 TM3 30371,035 30367,704 3,332 -110

SPDM 30371,036 30371,187 -0,152 5 UTM 47995,258 47991,855 3,403 -71 D D3D4 TM3 47995,260 47990,053 5,207 -108 SPDM 47995,259 47995,535 -0,276 6 UTM 23960,912 23961,595 -0,682 28 D4D5 TM3 23960,913 23958,449 2,464 -103

SPDM 23960,911 23960,990 -0,078 3 UTM 34214,346 34217,153 -2,807 82 D5D1 TM3 34214,346 34211,050 3,297 -96

SPDM 34214,346 34214,537 -0,192 6 UTM 3249,881 3248,535 1,345 -414 E1E2 TM3 3249,883 3250,376 -0,492 152

SPDM 3249,880 3249,877 0,003 -1 UTM 6429,960 6427,326 2,634 -410 E E2E3 TM3 6429,957 6431,081 -1,124 175 SPDM 6429,960 6429,982 -0,022 3 UTM 134,156 134,101 0,055 -410 E3E4 TM3 134,157 134,182 -0,025 188

SPDM 134,156 134,157 -0,001 3 UTM 9378,231 9374,345 3,886 -414 E4E1 TM3 9378,231 9379,775 -1,544 165

SPDM 9378,231 9378,218 0,013 -1

Pada Tabel 1. kolom 6, beda jarak (Δ) bertanda negatif, menunjukkan jarak

di tanah lebih pendek dari jarak di peta, adalah tergantung pada jauh atau

dekatnya dari meridian sentral proyeksi. Dan jarak di tanah pada kolom 4,

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan jarak yang signifikan antara ke-3

sistem proyeksi itu. Hal ini memang merupakan hitungan standar untuk

menyelaraskan jarak di peta dan jarak pasangannya di tanah dengan

menggunakan persamaan (5) diatas yaitu, dengan cara hitungan ‘menaikkan’

secara bertahap dari jarak di peta ke jarak geodesik (di elipsoid) dan ke jarak di

tanah yang dikenal sebagai ‘gabungan faktor skala’ atau ‘combined scale factor’.

Page 111: prosiding - ATR/BPN

104

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Tetapi perlu diperhatikan bahwa prosedur tersebut BUKAN MEMINDAHKAN

KOORDINAT PLANIMETRIK di bidang-proyeksi ke permukaan tanah atau rupa

Bumi-bulat!!.

Namun, apa yang dilakukan selama ini titik-titik koordinat planimetrik

produk TM3 dan UTM dikedalaman pada perut Bumi-bulat, dianggap ‘segaris

tegak-lurus’ jadi ‘dinaikkan’ di titik (‘gcp’) pasangannya, artinya ‘dipaksakan’

bersekutu pada koordinat lintang, bujur semula di permukaan rupabumi sebelum

konversi. Sesungguhnya, titik koordinat planimetrik makin jauh dari meridian

sentral jadi ‘segaris miring’ kearah geosentris terhadap titik pasangannya di

rupabumi.

Konsekuensinya titik-titik koordinat planimetrik produk TM3 dan/atau UTM,

akan mengalami dislokasi bila ‘dinaikkan’ ke permukaan tanah, yang kemudian

dijadikan titik-titik (‘gcp’) acuan pada pengukuran kadastral dan/atau pemetaan

bidang tanah metode fotogrametris. Maka, pada proses hitung perataannya akan

terjadi perambatan kesalahan atau ‘propagation of errors’ tanpa kendali.

Dampak berikutnya adalah dalam proses pemutakhiran produk akhir peta,

bilamana memperhitungkan koreksi dislokasi titik koordinat akibat laju kecepatan

(mm/tahun) deformasi kerak bumi, akan dijumpai kesulitan dalam memberikan

koreksi tersebut secara proporsional. Disinilah, perambatan kesalahan itu

terakumulasi, sehingga nilai ukuran jarak hasil hitungan koordinat dua titik di

peta, akan berbeda signifikan dengan nilai ukuran faktual di rupa Bumi-bulat.

Selanjutnya, bagi para pengguna Sistem/Sains Informasi Geografi, dan

dalam upaya pembangunan ‘Geo-database’, di mana koordinat-koordinat

planimetrik di peta terlebih dahulu dikembalikan ke rupabumi, tentunya tidak akan

kembali pada posisi koordinat-koordinat lintang, bujur faktual the real world.

Pada akhirnya, tujuan untuk menyelaraskan karakteristik objek-objek di rupabumi

yang tergambarkan pada peta agar menjadi ‘seamless’, tidak/sulit tercapai

optimal.

Dan dari uji komparatif seperti pada kotakA dan kotakD di Tabel 1. kolom

6 dan 7, menunjukkan bahwa beda jarak (Δ) begitu pun kandungan distorsi

koordinat planimetrik produk TM3, tidak selalu lebih kecil daripada produk UTM.

Akan tetapi, tidak demikian halnya pada titik-titik (‘gcp’) koordinat

planimetrik berbasiskan produk SPDM, nampak pada Table 1. kolom 6 yaitu,

beda jarak (Δ), menunjukkan bahwa nilai ukuran jarak dan otomatis ukuran luas

bidang tanah di peta, adalah yang paling mendekati ukuran jarak dan luas bidang

Page 112: prosiding - ATR/BPN

105

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Tetapi perlu diperhatikan bahwa prosedur tersebut BUKAN MEMINDAHKAN

KOORDINAT PLANIMETRIK di bidang-proyeksi ke permukaan tanah atau rupa

Bumi-bulat!!.

Namun, apa yang dilakukan selama ini titik-titik koordinat planimetrik

produk TM3 dan UTM dikedalaman pada perut Bumi-bulat, dianggap ‘segaris

tegak-lurus’ jadi ‘dinaikkan’ di titik (‘gcp’) pasangannya, artinya ‘dipaksakan’

bersekutu pada koordinat lintang, bujur semula di permukaan rupabumi sebelum

konversi. Sesungguhnya, titik koordinat planimetrik makin jauh dari meridian

sentral jadi ‘segaris miring’ kearah geosentris terhadap titik pasangannya di

rupabumi.

Konsekuensinya titik-titik koordinat planimetrik produk TM3 dan/atau UTM,

akan mengalami dislokasi bila ‘dinaikkan’ ke permukaan tanah, yang kemudian

dijadikan titik-titik (‘gcp’) acuan pada pengukuran kadastral dan/atau pemetaan

bidang tanah metode fotogrametris. Maka, pada proses hitung perataannya akan

terjadi perambatan kesalahan atau ‘propagation of errors’ tanpa kendali.

Dampak berikutnya adalah dalam proses pemutakhiran produk akhir peta,

bilamana memperhitungkan koreksi dislokasi titik koordinat akibat laju kecepatan

(mm/tahun) deformasi kerak bumi, akan dijumpai kesulitan dalam memberikan

koreksi tersebut secara proporsional. Disinilah, perambatan kesalahan itu

terakumulasi, sehingga nilai ukuran jarak hasil hitungan koordinat dua titik di

peta, akan berbeda signifikan dengan nilai ukuran faktual di rupa Bumi-bulat.

Selanjutnya, bagi para pengguna Sistem/Sains Informasi Geografi, dan

dalam upaya pembangunan ‘Geo-database’, di mana koordinat-koordinat

planimetrik di peta terlebih dahulu dikembalikan ke rupabumi, tentunya tidak akan

kembali pada posisi koordinat-koordinat lintang, bujur faktual the real world.

Pada akhirnya, tujuan untuk menyelaraskan karakteristik objek-objek di rupabumi

yang tergambarkan pada peta agar menjadi ‘seamless’, tidak/sulit tercapai

optimal.

Dan dari uji komparatif seperti pada kotakA dan kotakD di Tabel 1. kolom

6 dan 7, menunjukkan bahwa beda jarak (Δ) begitu pun kandungan distorsi

koordinat planimetrik produk TM3, tidak selalu lebih kecil daripada produk UTM.

Akan tetapi, tidak demikian halnya pada titik-titik (‘gcp’) koordinat

planimetrik berbasiskan produk SPDM, nampak pada Table 1. kolom 6 yaitu,

beda jarak (Δ), menunjukkan bahwa nilai ukuran jarak dan otomatis ukuran luas

bidang tanah di peta, adalah yang paling mendekati ukuran jarak dan luas bidang

faktual di tanah, dan berkorelasi erat dengan distorsi yang di desain selalu 20

ppm. Selain daripada itu titik-titik koordinat planimetrik SPDM, di desain relatif

paling mendekati permukaan rupabumi, maka diasumsikan tegak-lurus dan dapat

disekutukan berimpit tanpa mengalami dislokasi, terhadap titik koordinat lintang,

bujur pasangannya di permukaan tanah.

5. KESIMPULAN DAN SARAN Dalam hemat penulis, sistem proyeksi peta yang selama ini digunakan dan

tidak memperhitungkan perubahan nilai titik koordinat acuan sebagai fungsi

waktu akibat deformasi kerak bumi, setidaknya dua faktor utama

penanggungjawab yang menimbulkan bias/deviasi dalam proses menyelaraskan

karakteristik objek-objek di rupabumi yang tergambarkan di peta, menjadi tidak

selaras atau tidak ‘seamless’ secara geometris. Inferensial ter(di)degradasinya

secara signifikan atas pencapaian hasil pada: penentuan posisi berbasiskan

konstelasi satelit navigasi berketelitian milimeter; pengukuran kadastral (terestris)

teliti; dan piksel citra-udara berresolusi sentimeter.

Pemanfaatan Sistem Proyeksi Distorsi Minimum (SPDM) dan SRGI2013

epoch 2012.00 yang mengacu ke sistem koordinat ‘sebenarnya’ ITRF dan

WGS84, adalah untuk pemastian dalam menggambarkan objek-objek di

rupabumi pada peta, agar secara geometris paling mendekati keadaan faktual,

merupakan jalan keluar yang akan mereduksi kemungkinan-kemungkinan negatif

itu secara maksimal, bahkan bisa jadi nol.

Pelaksanaan kegiatan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

(PTSL) melalui pemetaan dan pengukuran kadastral puluhan juta bidang tanah di

seluruh wilayah Indonesia, diharapkan tuntas pada tahun 2025. Supaya data-

data fisik hasil pengukuran tersebut, dapat diplot atau digambarkan pada peta

tanpa merubah bentuk dan ukuran, begitu pun sebaliknya bentuk dan ukuran

(berdasarkan koordinat) bidang-bidang tanah pada peta, tatkala di rekonstruksi di

lapangan sama-dengan atau paling mendekati bentuk dan ukuran faktual, dapat

dilakukan dengan langkah-langkah strategis berikut:

a) Untuk program PTSL yang saat ini sedang berlangsung pada kegiatan

pengukuran kadastral teliti dan pemetaan puluhan juta bidang tanah,

bersegeralah mengacu pada koordinat planimetrik produk SPDM.

b) Peta Pendaftaran Tanah yang tersedia pada saat ini beralaskan koordinat

planimetrik TM3, dengan dilengkapi riwayat data atau ‘metadata’ dan

Page 113: prosiding - ATR/BPN

106

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

sementara abaikan konten informasi hasil proses kartografi ‘map rubber

sheeting’, dapat di migrasi ke SPDM.

c) Diharapkan, produk PTSL pada butir b) akan lebih memudahkan ‘matching

atau seamless’, tatkala digambarkan pada Peta Pendaftaran Tanah hasil

butir a).

d) Pada saat program PTSL berjalan, hasil data fisik pengukuran kadastral teliti

dan pemetaan puluhan juta bidang tanah sebagai akurasi geospasial untuk

melengkapi akurasi yuridis, akan otomatis merevisi ‘filling the gaps’ Peta

Pendaftaran Tanah seperti pada butir b).

Dengan demikian upaya percepatan terciptanya tata kelola tertib

administrasi pertanahan yang modern di Indonesia segera terwujud.

Suatu ilustrasi pada Diagram 2. Memprediksikan keniscayaan kebutuhan

mendatang, akan peta digital berkualitas berbasiskan koordinat planimetrik

distorsi minimum.

Diagram 2.

Prediksi Peta Berkualitas berbasiskan ‘Sistem Proyeksi Distorsi Minimum’

Karena itu, sudah menjadi fungsi dan tugas yang imperatif harus

diselenggarakan oleh Kementerian ATR/BPN RI, lembaga negara yang memiliki

peran sangat strategis dalam penyelenggaraan negara di bidang pertanahan dan

penataan ruang wilayah Indonesia, untuk mengaplikasikan SPDM.

Page 114: prosiding - ATR/BPN

107

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

sementara abaikan konten informasi hasil proses kartografi ‘map rubber

sheeting’, dapat di migrasi ke SPDM.

c) Diharapkan, produk PTSL pada butir b) akan lebih memudahkan ‘matching

atau seamless’, tatkala digambarkan pada Peta Pendaftaran Tanah hasil

butir a).

d) Pada saat program PTSL berjalan, hasil data fisik pengukuran kadastral teliti

dan pemetaan puluhan juta bidang tanah sebagai akurasi geospasial untuk

melengkapi akurasi yuridis, akan otomatis merevisi ‘filling the gaps’ Peta

Pendaftaran Tanah seperti pada butir b).

Dengan demikian upaya percepatan terciptanya tata kelola tertib

administrasi pertanahan yang modern di Indonesia segera terwujud.

Suatu ilustrasi pada Diagram 2. Memprediksikan keniscayaan kebutuhan

mendatang, akan peta digital berkualitas berbasiskan koordinat planimetrik

distorsi minimum.

Diagram 2.

Prediksi Peta Berkualitas berbasiskan ‘Sistem Proyeksi Distorsi Minimum’

Karena itu, sudah menjadi fungsi dan tugas yang imperatif harus

diselenggarakan oleh Kementerian ATR/BPN RI, lembaga negara yang memiliki

peran sangat strategis dalam penyelenggaraan negara di bidang pertanahan dan

penataan ruang wilayah Indonesia, untuk mengaplikasikan SPDM.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Infrastruktur Keagrarian, Kementerian ATR/BPN, Petunjuk

Teknis Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah Sistematik Lengkap,

No.:01/JUKNIS-300/2016.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah.

Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial No. 15 Tahun 2013 tentang

Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013.

Karney, C.F.F.(2011). Transverse Mercator with an accuracy of a few

nanometers, J. Geodesy 85 (8) 475-485.

Stem, J.E.(1989). http://www.ngs.noaa.gov/PUBS_LIB/ManualNOSNGS5.pdf.

Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi

Geospasial.

Vincenty, T.(1975). Direct and inverse solutions of geodesics on the ellipsoid with

application of nested equations, Survey Review, Vol. 23, No. 176, pp. 88-93,

http://www.ngs.noaa.gov/PUBS_LIB/inverse.pdf.

Page 115: prosiding - ATR/BPN

108

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Biodata Penulis

Nama : Cecep Subarya, Dr., MSurvSc.

Tempat/Tgl lahir : Bandung, 17 Januari 1955.

Pendidikan : Lulus S2, di School of Surveying

University of New South Wales,Sydney,Australia.

Lulus S3 (2007-2010) dengan cum-laude, di Fakultas

Ilmu dan Teknologi Kebumian-Institut Teknologi

Bandung.

Alamat : Jln. Ki Djungdjung No. 5, Rt 001/RW 013, Cijujung,

Sukaraja,Bogor 16710

Email : [email protected] Hp: +628128138281

Riwayat Pekerjaan :

1. 1979-Januari 2011, bekerja di Badan Koordinasi Survei

dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL).

2. 1991- Januari 2011, Pembangunan Jaring Kontrol

Geodesi dan Geodinamika di wilayah yurisdiksi NKRI

berbasiskan teknologi GPS.

3. Pembangunan 238 Titik Dasar (basepoints) untuk

membuat garis-pangkal dalam menentukan 200 nMile

wilayah yurisdiksi Zona Ekonomi Eksklusif NKRI.

4. 2009-2010, Kepala Pusat Geodesi dan Geodinamika.

5. Anggota Tim Penggagas Pembangunan Indonesia

Tsunami Early Warning System (InaTEWS).

6. Pendefinisian Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN95)

dan Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013 epoch

2012.00.

7. 2011-2013, bekerja sebagai tenaga konsultan di

Research Center for Geosciences, Potsdam-Germany.

8. 2014-sekarang, Konsultan Independen Bidang Informasi

Geospasial dan Bidang Ilmu Kebumian.

Page 116: prosiding - ATR/BPN

109

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Biodata Penulis

Nama : Cecep Subarya, Dr., MSurvSc.

Tempat/Tgl lahir : Bandung, 17 Januari 1955.

Pendidikan : Lulus S2, di School of Surveying

University of New South Wales,Sydney,Australia.

Lulus S3 (2007-2010) dengan cum-laude, di Fakultas

Ilmu dan Teknologi Kebumian-Institut Teknologi

Bandung.

Alamat : Jln. Ki Djungdjung No. 5, Rt 001/RW 013, Cijujung,

Sukaraja,Bogor 16710

Email : [email protected] Hp: +628128138281

Riwayat Pekerjaan :

1. 1979-Januari 2011, bekerja di Badan Koordinasi Survei

dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL).

2. 1991- Januari 2011, Pembangunan Jaring Kontrol

Geodesi dan Geodinamika di wilayah yurisdiksi NKRI

berbasiskan teknologi GPS.

3. Pembangunan 238 Titik Dasar (basepoints) untuk

membuat garis-pangkal dalam menentukan 200 nMile

wilayah yurisdiksi Zona Ekonomi Eksklusif NKRI.

4. 2009-2010, Kepala Pusat Geodesi dan Geodinamika.

5. Anggota Tim Penggagas Pembangunan Indonesia

Tsunami Early Warning System (InaTEWS).

6. Pendefinisian Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN95)

dan Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013 epoch

2012.00.

7. 2011-2013, bekerja sebagai tenaga konsultan di

Research Center for Geosciences, Potsdam-Germany.

8. 2014-sekarang, Konsultan Independen Bidang Informasi

Geospasial dan Bidang Ilmu Kebumian.

NOTULENSubtema:

Teknologi

Page 117: prosiding - ATR/BPN

110

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : TEKNOLOGI

Hari/Tanggal Selasa, 21 November 2017 Tempat Century Park Hotel Jakarta Narasumber 1. Dr. Ir. Irawan Sumarto, M.Sc

2. Ir. Raden Muhammad Adi Darmawan, M.Eng.Sc Penyaji 1. Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si

2. Ketut Tomy Suhari, ST 3. Dinar W. Wardhani 4. Catur Kuat Purnomo 5. Dr. Cecep Subarya, M.SurvSc

Moderator Ir. Andry Novijandri Peserta Daftar Undangan terlampir

No Deskripsi Keterangan

SESI I 1. Moderator membuka acara Ir. Andry Novijandri 2. Paparan Penyaji 1 : Penggunaan Teknologi UAV/DRONE

Untuk Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si

3. Paparan Penyaji 2 : Pengembagan Sistem Informasi Kadastral Empat Dimensi (4D) Dalam Penyelesaian Sengketa Pada Pendaftaran Tanah

Ketut Tomy Suhari, ST

4. Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 1: 1. Penggunaan drone dari penelitian STPN, mengurangi waktu

menjadi 1/3nya dan penggunaan tenaga 1/2 dari pengukuran kadastral terestrial.

2. Dirjen infrastruktur agraria telah melakukan pembelian UAV untuk seluruh Indonesia.

3. Hasil penelitian bisa dikembangkan untuk penyempurnaan juknis.

Ir. Raden Muhammad Adi Darmawan, M.Eng.Sc

5. Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 1: 1. Toleransi +/- pengukuran terjadi karena penggunaan rapido

0.3 dalam peta bidang dalam peta dasar 1:1000. 2. Pada masa depan yang perlu disimpan adalah koordinat,

untuk merekonstruksi bidang. Jadi skala yang dipakai adalah 1:1.

Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 2: 1. BPN masih mengerjakan pengukuran 2 dimensi. Penelitian

ini perlu diapresiasi.

Dr. Ir. Irawan Sumarto, M.Sc

6. Jawaban Penyaji 1 : 1. Pergeseran pada peta foto terkait dengan hasil foto yang

dipengaruhi GSD dan GCP.

Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si

7. Jawaban Penyaji 2 : 1. Penggunaan penelitian ini melihat tren pembangunan

perumahan secara vertikal. 2. Dalam perkara pengadilan dapat digunakan untuk

pembuktian sengketa hukum ruang vertikal.Bab II: A.

Ketut Tomy Suhari, ST

Page 118: prosiding - ATR/BPN

111

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : TEKNOLOGI

Hari/Tanggal Selasa, 21 November 2017 Tempat Century Park Hotel Jakarta Narasumber 1. Dr. Ir. Irawan Sumarto, M.Sc

2. Ir. Raden Muhammad Adi Darmawan, M.Eng.Sc Penyaji 1. Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si

2. Ketut Tomy Suhari, ST 3. Dinar W. Wardhani 4. Catur Kuat Purnomo 5. Dr. Cecep Subarya, M.SurvSc

Moderator Ir. Andry Novijandri Peserta Daftar Undangan terlampir

No Deskripsi Keterangan

SESI I 1. Moderator membuka acara Ir. Andry Novijandri 2. Paparan Penyaji 1 : Penggunaan Teknologi UAV/DRONE

Untuk Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si

3. Paparan Penyaji 2 : Pengembagan Sistem Informasi Kadastral Empat Dimensi (4D) Dalam Penyelesaian Sengketa Pada Pendaftaran Tanah

Ketut Tomy Suhari, ST

4. Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 1: 1. Penggunaan drone dari penelitian STPN, mengurangi waktu

menjadi 1/3nya dan penggunaan tenaga 1/2 dari pengukuran kadastral terestrial.

2. Dirjen infrastruktur agraria telah melakukan pembelian UAV untuk seluruh Indonesia.

3. Hasil penelitian bisa dikembangkan untuk penyempurnaan juknis.

Ir. Raden Muhammad Adi Darmawan, M.Eng.Sc

5. Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 1: 1. Toleransi +/- pengukuran terjadi karena penggunaan rapido

0.3 dalam peta bidang dalam peta dasar 1:1000. 2. Pada masa depan yang perlu disimpan adalah koordinat,

untuk merekonstruksi bidang. Jadi skala yang dipakai adalah 1:1.

Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 2: 1. BPN masih mengerjakan pengukuran 2 dimensi. Penelitian

ini perlu diapresiasi.

Dr. Ir. Irawan Sumarto, M.Sc

6. Jawaban Penyaji 1 : 1. Pergeseran pada peta foto terkait dengan hasil foto yang

dipengaruhi GSD dan GCP.

Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si

7. Jawaban Penyaji 2 : 1. Penggunaan penelitian ini melihat tren pembangunan

perumahan secara vertikal. 2. Dalam perkara pengadilan dapat digunakan untuk

pembuktian sengketa hukum ruang vertikal.Bab II: A.

Ketut Tomy Suhari, ST

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : TEKNOLOGI

Pendaftaran Tanah. B. Modal Usaha (Bagaimana menyambungkan keduanya, menjembantani agar bisa berkesinambungan).

8. Sesi Diskusi : 1. Permasalahan pengukuran ada pada sistem koordinat. 2. Ketelitian pengukuran pada presisi pengukuran, bukan

penentuan posisinya pada sistem proyeksi. 3. Apresiasi untuk Pak Ketut, Datum untuk antisipasi

kepemilikan vertikal. 4. UTM 2,5KM dari permukaan bumi TM3 dengan 650 M dari

permukaan bumi. 5. Pak Eko, hasil penelitiannya bermasalah pada internal

accuracy. 6. Distorsi pada elipsoid tinggi dari meridian dengan

koordinat TM3. 7. Rekonstruksi koordinat akibat gempa aceh cukup tinggi di

Pulau Simeleu 5m. 8. Koordinat tinggi (z) dengan planimetris distorsinya tinggi

pada UTM dan TM3, dan ini akan dialami BPN di masa depan.

9. Penentuan Koordinat z perlu menggunakan geoid sebagai referensi karena lebih presisi dibandingkan dengan msl (mean sea level).

10. Pemetaan Geoid belum dilakukan karena keterbatasan. 11. SRGI/ITRF seluruh satelit GSS menggunakan itu.

Dr. Cecep Subarya, M.SurvSc

9. 1. Penggunaan drone untuk pembuatan peta kerja sudah dilakukan.

2. Standarisasi jenis drone. 3. Tinggi terbang. 4. Lokasi penggunaannya seperti apa (bidang datar/bidang

berbukit) 5. Verifikasi terestris yang terstandardisasi.

Nandang Isnandar, S.SiT, M.T

10. 1. Batas ketelitian dalam penelitian 0,3 menggunakan PMNA 3/1997.

2. Apabila ada referensi ketelitian dengan koordinat bisa digunakan.

3. Demikian halnya dengan sistem koordinat terbaru (Pak Cecep), bisa dilakukan uji coba.

Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si

11. 1. Akurasi adalah hasil kesepakatan. 2. Kecepatan dan biaya. 3. Seberapa cepat pekerjaan bisa dikerjakan? 4. Berapa efisiensi pembiayaannya? 5. Variabel alat, topografi, tutupan vegetasi perlu

dipertimbangkan. 6. Kita belum mengenal historical data spatial, polygon induk

yang dipecah sering hilang. Menyebabkan sengketa tidak bisa dipecahkan.

Hanhan Lukman Syahid, S.T., M.Sc.

Page 119: prosiding - ATR/BPN

112

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : TEKNOLOGI

12. 1. Semua penggunaan alat ada kelebihan dan kekurangannya. 2. Melalui riset penggunaan alat disesuaikan dengan kondisi

lapangan. 3. Juknis pengukuran dan pemetaan untuk pendaftaran tanah

perlu disesuaikan.

Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si

13.

1. Di masa depan BPN akan menghadapi sengketa yang memerlukan teknologi 3 dimensi.

Ketut Tomy Suhari, ST

14. Tanggapan Narasumber : 1. PTSL dilakukan secara simultan ditemukan bidang-bidang

bermasalah. 2. Penambahan dan pembenahan dilakukan melalui PTSL. 3. Empat kategori PTSL, semua bidang terdata. Khusus K4

untuk pendataan sengketa. 4. FFP (Fit for Purpose) untuk PTSL lebih tepat, akurasi

lokasi lebih dikedepankan dengan partisipasi masyarakat

Ir. Raden Muhammad Adi Darmawan, M.Eng.Sc

SESI II

15. Pemaparan Penyaji 3 : “REFORMASI SKP-KKPWEB dan KOMISI KHUSUS” sebagai alternatif penyelesaian sengketa konflik dalam Momentum PTSL

Dinar W. Wardhani

16. Pemaparan Penyaji 4 : Analisis Pemetaan Pola Spasial Nilai NJOP pada lokasi Prona-PTSL

Catur Kuat Purnomo

17. Pemaparan Penyaji 5 : Sistem Proyeksi Distorsi Minimum untuk Mensukseskan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

Dr. Cecep Subarya, M.SurvSc

18. Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 3: 1. IT KKP dan SKP web lebih cocok dengan optimalisasi

untuk menjamin kepastian hukum dan hak PTSL. 2. Selama ini pelayanan pertanahan terpisah, seharusnya bisa

di integrasikan melalui PTSL. 3. Pra dan Pelaksanaan PTSL dengan memulai mulai K4

(Sudah bersertipikat), selama pengukuran ada K2. 4. Mendorong SKP Kantah untuk entry K4. 5. Jika K4 dan K2 sudah benar, maka potensi permasalahan di

masa mendatang bisa diantisipasi. 6. Pembentukan komisi berpotensi redundant.

Ir. Raden Muhammad Adi Darmawan, M.Eng.Sc

Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 4: 1. Penentuan lokasi terkait ketersediaan peta dasar. 2. NJOP kurang terkait dengan prona, karena pertimbangan

penentuannya berbeda Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 5: 1. Apakah penggunaa SPDM mendukung penyelesaian PTSL? 2. Kompleksitas permasalahan meningkat dengan perbaikan

proyeksi? 19. Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 3:

1. Penyelesaian atau pencegahan? 2. Dari mana langkah awal dua sistem yang sudah berjalan?

Dr. Ir. Irawan Sumarto, M.Sc

Page 120: prosiding - ATR/BPN

113

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : TEKNOLOGI

12. 1. Semua penggunaan alat ada kelebihan dan kekurangannya. 2. Melalui riset penggunaan alat disesuaikan dengan kondisi

lapangan. 3. Juknis pengukuran dan pemetaan untuk pendaftaran tanah

perlu disesuaikan.

Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si

13.

1. Di masa depan BPN akan menghadapi sengketa yang memerlukan teknologi 3 dimensi.

Ketut Tomy Suhari, ST

14. Tanggapan Narasumber : 1. PTSL dilakukan secara simultan ditemukan bidang-bidang

bermasalah. 2. Penambahan dan pembenahan dilakukan melalui PTSL. 3. Empat kategori PTSL, semua bidang terdata. Khusus K4

untuk pendataan sengketa. 4. FFP (Fit for Purpose) untuk PTSL lebih tepat, akurasi

lokasi lebih dikedepankan dengan partisipasi masyarakat

Ir. Raden Muhammad Adi Darmawan, M.Eng.Sc

SESI II

15. Pemaparan Penyaji 3 : “REFORMASI SKP-KKPWEB dan KOMISI KHUSUS” sebagai alternatif penyelesaian sengketa konflik dalam Momentum PTSL

Dinar W. Wardhani

16. Pemaparan Penyaji 4 : Analisis Pemetaan Pola Spasial Nilai NJOP pada lokasi Prona-PTSL

Catur Kuat Purnomo

17. Pemaparan Penyaji 5 : Sistem Proyeksi Distorsi Minimum untuk Mensukseskan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

Dr. Cecep Subarya, M.SurvSc

18. Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 3: 1. IT KKP dan SKP web lebih cocok dengan optimalisasi

untuk menjamin kepastian hukum dan hak PTSL. 2. Selama ini pelayanan pertanahan terpisah, seharusnya bisa

di integrasikan melalui PTSL. 3. Pra dan Pelaksanaan PTSL dengan memulai mulai K4

(Sudah bersertipikat), selama pengukuran ada K2. 4. Mendorong SKP Kantah untuk entry K4. 5. Jika K4 dan K2 sudah benar, maka potensi permasalahan di

masa mendatang bisa diantisipasi. 6. Pembentukan komisi berpotensi redundant.

Ir. Raden Muhammad Adi Darmawan, M.Eng.Sc

Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 4: 1. Penentuan lokasi terkait ketersediaan peta dasar. 2. NJOP kurang terkait dengan prona, karena pertimbangan

penentuannya berbeda Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 5: 1. Apakah penggunaa SPDM mendukung penyelesaian PTSL? 2. Kompleksitas permasalahan meningkat dengan perbaikan

proyeksi? 19. Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 3:

1. Penyelesaian atau pencegahan? 2. Dari mana langkah awal dua sistem yang sudah berjalan?

Dr. Ir. Irawan Sumarto, M.Sc

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : TEKNOLOGI

3. Bagaimana usulan apakah peta harus sama? Karena beda sistem

Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 4: 1. Prioritas apa dasarnya? 2. Mengapa dasarnya NJOP? 3. NJOP besar atau kecil yang menjadi prioritas awal, karena

BPN sudah menggunakan ZNT. 4. Hasil uji bahwa yang gelap di ujung selatan dan utara,

bagaimana aplikatifnya? Tanggapan Narasumber untuk Penyaji 4: Rekonstruksi di BPN harus sesuai dengan hasil pengukuran dan harus diplotkan di SPDN, dengan sebelumnya ada 20 juta titik yang sudah diukur. Apa saran untuk menuju ideal. Karena BPN adalah IGT-nya (20 juta titik)

20. Jawaban Penyaji 3: 1. konflik tidak akan terjadi bila terjadi optimalisasi, di

daerah lebih mengoptimalkan K1. 2. Tools untuk mencegah --> SKP-KKPWEB 3. Tools untuk menyelesaikan --> komisi khusus 4. SKP-KKPWeb sudah disediakan Pusdatin, sehingga bisa

dioptimalkan 5. Petanya sudah satu berdasarkan peta pendaftaran di KKP-

Web

Dinar W. Wardhani

21. Jawaban Penyaji 4: 1. Penentuan lokasi tergantung ketersediaan data, prioritas

lokasi bisa dilakukan melalui regresi spasial. 2. Lokasi spesifik dengan penentuan melalui analisis spasial

dengan variabel NJOP, diharapkan meningkatkan keberhasilan PTSL.

3. Spatial Error dan Spatial Lack Analysis menghasilkan data peta prioritas.

Catur Kuat Purnomo

22. Jawaban Penyaji 5: 1. Sistem koordinat SPDM merupakan pilihan. 2. IGD (Informasi Geospasial Dasar) yang dimaksud BIG dan

BPN berbeda. 3. BPN membuat IGT ( Informasi Geospasial Tematik) . 4. Perbedaan sistem proyeksi meninggalkan permasalahan

untuk NSDI. 5. Jika sudah selesai pengukuran PTSL nasional metadata

perlu dipelihara. 6. Contohlah penyimpanan metadata di USGS yang sangat

detil dari waktu, surveyor, data asli. 7. Drone untuk survei memerlukan spesifikasi tinggi yang

harganya mahal. 8. Ketersedian peta dasar pendaftaran yang berproyeksi

berbeda meninggalkan masalah di masa depan.

Dr. Cecep Subarya, M.SurvSc

23. Tanggapan pada Penyaji 3, 4, dan 5 : 1. Pemahaman PTSL di tingkat lapangan berlainan

Loso Judijanto, S.Si., M.M., M.Stats.

Page 121: prosiding - ATR/BPN

114

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : TEKNOLOGI

menanggapi penyaji 4. 2. Selain ini itu interpretasi regresi dengan variabel yang

sudah ditranformasi ke skala logaritma perlu diperbaiki. 3. Konsep PTSL tidak dipahami seragam di tingkat pelaksana. 4. Model Spatial Lack dan Spatial Error kurang bagus untuk

penentuan lokasi secara statistik. 5. Peningkatan perolehan NJOP tidak tetap, karena log

dengan log, bukan antar variabel. 6. Signifikasi level tunggal untuk pengambilan kesimpulan

perlu dilakukan. 7. Perlu adanya peer review untuk menghidari kesalahan

elementer dalam makalah. 24. Penutup Moderator

1. Pemahaman pelaksanaan PTSL yang terdiri dari empat kluster, bukan hanya sertifikasi di tingkat pelaksana perlu diseragamkan.

2. Perbaikan metode statistik diperlukan. Walaupun secara indikatif, peta NJOP yang telah lengkap dapat dijadikan referensi.

3. Metadata pengukuran perlu disimpan dengan baik untuk dapat dimanfaatkan, walaupun penggunaan metode dan teknologi berbeda di masa mendatang.

Ir. Andry Novijandri

Jakarta, 21 November 2017

Notulis

Page 122: prosiding - ATR/BPN

115

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : TEKNOLOGI

menanggapi penyaji 4. 2. Selain ini itu interpretasi regresi dengan variabel yang

sudah ditranformasi ke skala logaritma perlu diperbaiki. 3. Konsep PTSL tidak dipahami seragam di tingkat pelaksana. 4. Model Spatial Lack dan Spatial Error kurang bagus untuk

penentuan lokasi secara statistik. 5. Peningkatan perolehan NJOP tidak tetap, karena log

dengan log, bukan antar variabel. 6. Signifikasi level tunggal untuk pengambilan kesimpulan

perlu dilakukan. 7. Perlu adanya peer review untuk menghidari kesalahan

elementer dalam makalah. 24. Penutup Moderator

1. Pemahaman pelaksanaan PTSL yang terdiri dari empat kluster, bukan hanya sertifikasi di tingkat pelaksana perlu diseragamkan.

2. Perbaikan metode statistik diperlukan. Walaupun secara indikatif, peta NJOP yang telah lengkap dapat dijadikan referensi.

3. Metadata pengukuran perlu disimpan dengan baik untuk dapat dimanfaatkan, walaupun penggunaan metode dan teknologi berbeda di masa mendatang.

Ir. Andry Novijandri

Jakarta, 21 November 2017

Notulis

MAKALAHSubtema:

Hukum dan Manajemen

Page 123: prosiding - ATR/BPN

116

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

PROBLEMATIKA PELAKSANAAN PENDAFTARAN SISTEMATIK LENGKAP DAN ALTERNATIF PENYELESAIANNYA

(Studi Kasus di Provinsi Sumatera Utara)

Wahyuni

Staf Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

[email protected]

ABSTRAK Pendaftaran tanah dipandang sebagai cara untuk memberikan jaminan kepastian

hukum terhadap penguasaan dan pemilikan bidang tanah. Selan itu pendaftaran

tanah merupakan salah satu cara untuk membangun database pertanahan yang

sangat diperlukan dalam melaksanakan manajemen pertanahan. Tahun 2016

dimulai program Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL) untuk

percepatan pendaftaran tanah. Presiden Joko Widodo menargetkan dalam waktu

5 tahun dapat didaftar 60 juta bidang tanah

Pelaksanaan PTSL dengan output kuantitas yang tinggi dipastikan akan

menemui masalah-masalah dan diperlukan strategi penyelesaian khusus sesuai

karakteristik wilayah di mana kegiatan PTSL dilaksanakan. Berdasarkan

permasalahan tersebut perlu dikaji “Problematika Pelaksanaan Program

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dan Alternatif Penyelesaiannya”

Metode penelitian menggunakan metode kualitatif-eksploratoris. Pengumpulan

data dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap para pelaku PTSL, dan

kajian eksploratoris dilakukan terhadap pendaftaran tanah sistematis

menggunakan data dari kajian pustaka.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hambatan pelaksanaan PTSL adalah (1)

Belum ada pemahaman yang sama antara Kementerian Agraria dan Tata

Ruang/Badan Pertanahan Nasional dengan Kantor-kantor Pertanahan tentang

output dari pelaksanaan PTSL; (2) ketersediaan SDM yang belum memadai baik

jumlah maupun kompetensi;(3) Belum ada pengaturan yang bersifat operasional

sebagai dasar koordinasi antar sektor dalam mendukung PTSL;(4) Kesadaran

serta kepercayaan masyarakat bervariasi; (5) Belum ada perlindungan hukum

terhadap petugas maupun produk PTSL (6) Perhitungan target bidang yang pada

lokasi PTSL tidak didasarkan pada perhitungan yang akurat. Penyelesaian yang

dapat ditempuh untuk meminimalkan hambatan pelaksanaan PTSL adalah

Page 124: prosiding - ATR/BPN

117

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

PROBLEMATIKA PELAKSANAAN PENDAFTARAN SISTEMATIK LENGKAP DAN ALTERNATIF PENYELESAIANNYA

(Studi Kasus di Provinsi Sumatera Utara)

Wahyuni

Staf Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

[email protected]

ABSTRAK Pendaftaran tanah dipandang sebagai cara untuk memberikan jaminan kepastian

hukum terhadap penguasaan dan pemilikan bidang tanah. Selan itu pendaftaran

tanah merupakan salah satu cara untuk membangun database pertanahan yang

sangat diperlukan dalam melaksanakan manajemen pertanahan. Tahun 2016

dimulai program Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL) untuk

percepatan pendaftaran tanah. Presiden Joko Widodo menargetkan dalam waktu

5 tahun dapat didaftar 60 juta bidang tanah

Pelaksanaan PTSL dengan output kuantitas yang tinggi dipastikan akan

menemui masalah-masalah dan diperlukan strategi penyelesaian khusus sesuai

karakteristik wilayah di mana kegiatan PTSL dilaksanakan. Berdasarkan

permasalahan tersebut perlu dikaji “Problematika Pelaksanaan Program

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dan Alternatif Penyelesaiannya”

Metode penelitian menggunakan metode kualitatif-eksploratoris. Pengumpulan

data dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap para pelaku PTSL, dan

kajian eksploratoris dilakukan terhadap pendaftaran tanah sistematis

menggunakan data dari kajian pustaka.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hambatan pelaksanaan PTSL adalah (1)

Belum ada pemahaman yang sama antara Kementerian Agraria dan Tata

Ruang/Badan Pertanahan Nasional dengan Kantor-kantor Pertanahan tentang

output dari pelaksanaan PTSL; (2) ketersediaan SDM yang belum memadai baik

jumlah maupun kompetensi;(3) Belum ada pengaturan yang bersifat operasional

sebagai dasar koordinasi antar sektor dalam mendukung PTSL;(4) Kesadaran

serta kepercayaan masyarakat bervariasi; (5) Belum ada perlindungan hukum

terhadap petugas maupun produk PTSL (6) Perhitungan target bidang yang pada

lokasi PTSL tidak didasarkan pada perhitungan yang akurat. Penyelesaian yang

dapat ditempuh untuk meminimalkan hambatan pelaksanaan PTSL adalah

sebagai berikut: (1) Persamaan persepsi output yang hendak dicapai melalui

kegiatan PTSL sehingga dapat dipilih strategi yang tepat untuk penyelesaian

PTSL dengan melihat karakter bidang tanah pada lokasi PTSL; (2) perhitungan

kemampuan SDM untuk penyelesaian pekerjaan; (3) Perlu ada kerja bersama

yang lebih padu antar sektor (4) Intensifikasi penyuluhan dengan melibatkan

desa dan masyarakat setempat; (5) Kantor Pertanahan harus memahami

karakteristik penguasaan pemilikan tanah di daerahnya untuk dapat

memperhitungkan bidang yang dapat diklasifikasikan sebagai K1, K2, K3, K4; (6)

Kementrian ATR/BPN harus segera menerbitkan peraturan yang setingkat

Peraturan Pemerintah atau Undang-undang untuk melindungi proses PTSL

maupun Produk PTSL, atau melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Kata Kunci : PTSL, Problematika, Penyelesaian PTSL

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kepastian hukum hak atas tanah serta kesejahteraan masyarakat

merupakan tujuan pengelolaan pertanahan yang menjadi agenda dalam

Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019. Kedua tujuan ini menjadi

dasar isu-isu strategis yang diusung dalam pembangunan di bidang pertanahan

yaitu : (1) Jaminan kepastian hukum hak masyarakat atas tanahnya; (2)

Ketimpangan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah

(P4T) serta kesejahteraan masyarakat; (3) Kinerja pelayanan pertanahan; dan

(4) Ketersediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Selanjutnya untk menjawab isu-isu strategis ditetapkan sasaran-sasaran

diantaranya adalah meningkatnya jaminan kepastian hukum yang disapai melalui

sistem pendaftaran tanah positif.

Pendaftaran tanah dipandang sebagai cara untuk memberikan jaminan

kepastian hukum terhadap penguasaan dan pemilikan bidang tanah. Selain itu

pendaftaran tanah merupakan salah satu cara untuk membangun database

pertanahan yang sangat diperlukan dalam melaksanakan manajemen

pertanahan. Database pertanahan yang lengkap ini merupakan jawaban

terhadap baseline kondisi umum untuk meningkatnya kinerja pelayanan

pertanahan dengan pengembangan konsep kadaster multiguna.

Page 125: prosiding - ATR/BPN

118

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Keinginan untuk menyelesaikan pekerjaan pendaftaran tanah di seluruh

wilayah Indonesia, saat ini menjadi prioritas utama Kementerian Agraria dan Tata

Ruang/ Badan Pertanahan Nasional. Pada tahun 2025 diharapkan seluruh

bidang tanah di Indonesia sudah dipetakan,dan pada tahun 2017 dimulai

program pendaftaran tanah secara sistematik untuk percepatan pendaftaran

tanah. Presiden Joko Widodo menargetkan dalam waktu 5 tahun dapat didaftar

60 juta bidang tanah (http://setkab.go.id, diakses tanggal 6 Februari 2017).

Presiden memerintahkan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Kepala

Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sofyan Djalil agar menyelesaikan 5 juta

sertifikat pada tahun 2017, 7 juta sertifikat pada tahun 2018; dan 9 juta sertifikat

pada tahun 2019. Sementara RPJM 2015-2019 menetapkan sasaran sebesar 70

% dari sasaran ideal sebesar 80 % dari luas wilayah secara nasional (tidak

termasuk kawasan hutan).

Program percepatan pendaftaran tanah bukanlah program yang pertama

kali dilakukan. Pada tahun 1981, Pemerintah mencanangkan Proyek Operasi

Nasional Agraria (PRONA) yang diatur dalam Kepmendagri No. 189 Tahun 1981

tentang Proyek Operasi Nasional Agraria dengan tujuan utama memproses

pensertipikatan tanah secara masal, terpadu dan ditujukan bagi segenap lapisan

masyarakat terutama bagi golongan ekonomi lemah, serta menyelesaikan secara

tuntas sengketa-sengketa tanah yang bersifat strategis. Dalam periode 1995 s/d

2001, dengan bantuan Bank Dunia, Indonesia melaksanakan proyek

pensertifikatan tanah melalui program ILAP (Indonesian Land Administration

Project). Dalam kerangka ILAP ini Pemerintah mengganti Peraturan Pemerintah

10 tahun 1961 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah. Dukungan Bank Dunia untuk penyelenggaraan pendaftaran

tanah ini berlanjut melaui program LMPDP (Land Management and Policy

Development Project) yang dilaksanakan tahun 2004 s/d 2009. Program ILAP

maupun LMPDP yang didukung dengan program percepatan seperti ajudikasi

mapun PRONA ternyata tidak dapat meneyelesaikan pendaftaran seluruh bidang

tanah, termasuk pemetaannya (van der Eng, P., 2016) Beberapa masalah yang

terjadi setelah proses pengukuran dan pemetaan berdasarkaan Peraturan

Pemerntah Nomor24 Tahun 1997 jo. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Pendaftaran Tanah antara lain adalah (1)

Bidang terdaftar namn tidak terpetakan; (2) Bidang terdaftar, terpetakan namun

Page 126: prosiding - ATR/BPN

119

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Keinginan untuk menyelesaikan pekerjaan pendaftaran tanah di seluruh

wilayah Indonesia, saat ini menjadi prioritas utama Kementerian Agraria dan Tata

Ruang/ Badan Pertanahan Nasional. Pada tahun 2025 diharapkan seluruh

bidang tanah di Indonesia sudah dipetakan,dan pada tahun 2017 dimulai

program pendaftaran tanah secara sistematik untuk percepatan pendaftaran

tanah. Presiden Joko Widodo menargetkan dalam waktu 5 tahun dapat didaftar

60 juta bidang tanah (http://setkab.go.id, diakses tanggal 6 Februari 2017).

Presiden memerintahkan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Kepala

Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sofyan Djalil agar menyelesaikan 5 juta

sertifikat pada tahun 2017, 7 juta sertifikat pada tahun 2018; dan 9 juta sertifikat

pada tahun 2019. Sementara RPJM 2015-2019 menetapkan sasaran sebesar 70

% dari sasaran ideal sebesar 80 % dari luas wilayah secara nasional (tidak

termasuk kawasan hutan).

Program percepatan pendaftaran tanah bukanlah program yang pertama

kali dilakukan. Pada tahun 1981, Pemerintah mencanangkan Proyek Operasi

Nasional Agraria (PRONA) yang diatur dalam Kepmendagri No. 189 Tahun 1981

tentang Proyek Operasi Nasional Agraria dengan tujuan utama memproses

pensertipikatan tanah secara masal, terpadu dan ditujukan bagi segenap lapisan

masyarakat terutama bagi golongan ekonomi lemah, serta menyelesaikan secara

tuntas sengketa-sengketa tanah yang bersifat strategis. Dalam periode 1995 s/d

2001, dengan bantuan Bank Dunia, Indonesia melaksanakan proyek

pensertifikatan tanah melalui program ILAP (Indonesian Land Administration

Project). Dalam kerangka ILAP ini Pemerintah mengganti Peraturan Pemerintah

10 tahun 1961 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah. Dukungan Bank Dunia untuk penyelenggaraan pendaftaran

tanah ini berlanjut melaui program LMPDP (Land Management and Policy

Development Project) yang dilaksanakan tahun 2004 s/d 2009. Program ILAP

maupun LMPDP yang didukung dengan program percepatan seperti ajudikasi

mapun PRONA ternyata tidak dapat meneyelesaikan pendaftaran seluruh bidang

tanah, termasuk pemetaannya (van der Eng, P., 2016) Beberapa masalah yang

terjadi setelah proses pengukuran dan pemetaan berdasarkaan Peraturan

Pemerntah Nomor24 Tahun 1997 jo. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Pendaftaran Tanah antara lain adalah (1)

Bidang terdaftar namn tidak terpetakan; (2) Bidang terdaftar, terpetakan namun

bermasalah; (3) Informasi bidang kurang lengkap; (4) Spasial bdang tanah tidak

lengkap satu kelurahan.

Pada tahun 2016 diluncurkan inovasi pecepatan pendaftaran tanah melalui

Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL), sebagai jawaban terhadap

berbagai kesulitan percepatan pendaftaran tanah. Konsep baru ini menemui

banyak kendala yang memerlukan strategi khusus untuk dapat melaksanakan

sesuai tujuannya yaitu percepatan pendaftaran tanah yang salah satunya diukur

dengan target penerbitan sertipikat.

Berdasarkan latar belakang di atas maka sangat perlu dikaji

PROBLEMATIKA PELAKSANAAN PROGRAM PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP DAN ALTERNATIF PENYELESAIANNYA 1.2. Rumusan Masalah :

a. Bagaimana problematika pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematik

Lengkap (PTSL)

b. Bagaimana alternatif penyelesaian terhadap problematika PTSL

1.3. Tujuan Penulisan a. Melakukan kajian untuk dapat menangkap problematika yang terjadi pada

pelaksanaan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL)

b. Menemukan dan menganalisis alternatiif penyelesaian terhadap masalah-

masalah yang terjadi dalam pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematik

Lengkap

1.4. Manfaat Penulisan a. Manfaat secara teoritis

Memperkaya teori-teori mengenai praktik pendaftaran tanah sistematik

lengkap dengan segala problematikanya

b. Manfaat secara praktis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan

srategi pelaksanaan PTSL

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Problematika Pendaftaran Tanah dan Adminstrasi Pertanahan

Kata problematika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna

masalah-masalah atau persoalan. Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

(PTSL) menurut Peraturan menteri ATR/BPN No. 1 Tahun 2017 adalah kegiatan

pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak bagi

Page 127: prosiding - ATR/BPN

120

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

semua obyek pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam

satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang

meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis

mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan

pendaftarannya.

Problematika dalam pelaksanaan PTSL berarti masalah-masalah atau

persoalan yang terjadi dalam proses pelaksanaan PTSL. Masalah-masalah atau

persoalan yang terjadi dapat diformulasikan alternatif penyelesaiannya dengan

terlebih dahulu mengupas makna dari pendaftaran tanah dan tujuan yang hendak

dicapai melalui pendaftaran tanah.

Menurut Zevenbergen (2002:26) terdapat terminologi yang heterogen untuk

pendaftaran tanah yang dapat dirujuk menjadi standar di seluruh dunia.

Pendaftaran tanah ditafsirkan berbeda-beda di setiap negara, dibangun sesuai

kebutuhan dan dikembangkan dengan historinya masing-masing. (Pendaftaran

berasal dari kata cadastre (bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah teknis untuk

suatu record (rekaman), menunjukan kepada luas, nilai dan kepemilikan suatu

bidang tanah. Selanjutnya Pendaftaran juga berasal dari bahasa latin capitastum

yang berarti suatu register atau capita atau unit diperbuat untuk pajak tanah

Romawi (capotatio terrens), sedangkan menurut Rawton Simpson (1976)

pendaftaran tanah merupakan suatu upaya yang tangguh dalam administrasi

kenegaraan, sehingga dapat juga dikatakan pendaftaran tanah merupakan

bagian dari mekanisme pemerintahan.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria atau

yang dikenal denngan UUPA memberikan arahan apa yang dimaksud dengan

pendaftaran tanah di Indonesia. Pengertian Pendaftaran Tanah dalam Pasal 19

ayat (2) UUPA yaitu: (a) Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah (b)

Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak- hak tersebut (c) Pemberian

surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Pasal 19 ayat (2) ini menyiratkan makna bahwa dalam kegiatan pendaftaran

tanah ada 3 kegiatan yaitu pembukuan tanah, pembukuan hak untuk tanah-tanah

yang dapat diterbitkan atau dikenali haknya, dan pemberian tanda bukti yang kuat

untuk tanah-tanah yang sudah dapat diidentifikasi hak-haknya.

Pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi

Page 128: prosiding - ATR/BPN

121

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

semua obyek pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam

satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang

meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis

mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan

pendaftarannya.

Problematika dalam pelaksanaan PTSL berarti masalah-masalah atau

persoalan yang terjadi dalam proses pelaksanaan PTSL. Masalah-masalah atau

persoalan yang terjadi dapat diformulasikan alternatif penyelesaiannya dengan

terlebih dahulu mengupas makna dari pendaftaran tanah dan tujuan yang hendak

dicapai melalui pendaftaran tanah.

Menurut Zevenbergen (2002:26) terdapat terminologi yang heterogen untuk

pendaftaran tanah yang dapat dirujuk menjadi standar di seluruh dunia.

Pendaftaran tanah ditafsirkan berbeda-beda di setiap negara, dibangun sesuai

kebutuhan dan dikembangkan dengan historinya masing-masing. (Pendaftaran

berasal dari kata cadastre (bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah teknis untuk

suatu record (rekaman), menunjukan kepada luas, nilai dan kepemilikan suatu

bidang tanah. Selanjutnya Pendaftaran juga berasal dari bahasa latin capitastum

yang berarti suatu register atau capita atau unit diperbuat untuk pajak tanah

Romawi (capotatio terrens), sedangkan menurut Rawton Simpson (1976)

pendaftaran tanah merupakan suatu upaya yang tangguh dalam administrasi

kenegaraan, sehingga dapat juga dikatakan pendaftaran tanah merupakan

bagian dari mekanisme pemerintahan.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria atau

yang dikenal denngan UUPA memberikan arahan apa yang dimaksud dengan

pendaftaran tanah di Indonesia. Pengertian Pendaftaran Tanah dalam Pasal 19

ayat (2) UUPA yaitu: (a) Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah (b)

Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak- hak tersebut (c) Pemberian

surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Pasal 19 ayat (2) ini menyiratkan makna bahwa dalam kegiatan pendaftaran

tanah ada 3 kegiatan yaitu pembukuan tanah, pembukuan hak untuk tanah-tanah

yang dapat diterbitkan atau dikenali haknya, dan pemberian tanda bukti yang kuat

untuk tanah-tanah yang sudah dapat diidentifikasi hak-haknya.

Pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi

pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data

fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang

tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti

haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas

satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya Tujuan

dilaksanakannya Pendaftaran Tanah adalah untuk memberikan jaminan

Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum.

Salah satu tujuan dari pendaftaran tanah adalah memberikan kepastian

hukum hak atas tanah yang dimiliki. Kepastian hukum hak atas tanah dapat

diperoleh pemegang hak atas tanah dengan cara melakukan pendaftaran tanah.

Sasaran dari kepastian hukum hak atas tanah adalah memberikan perlindungan

hukum kepada pemegang hak atas tanah, (siapa pemiliknya, ada / tidak beban di

atasnya) dan kepastian mengenai obyeknya, yaitu letaknya, batas-batasnya dan

luasnya serta ada atau tidaknya bangunan, tanaman di atasnya . (Effendy,

1993;5) Rangkaian kegiatan pendaftaran tanah terdiri dari : (1) Pengumpulan dan

pengolahan data fisik; (2) Pembuktian hak dan pembukuannya; (3) penerbitan

sertipikat; (4) penyajian data fisik dan data yuridis; (5) penyimpanan daftar umum

dan dokumen untuk pedaftaran tanah pertama kali dan (1) pendaftaran

perubahan dan pembebanan hak; serta (2) pendaftaran perubahan data

pendaftaran tanah lainnya. Untuk kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah. United Nation- Economic Comission for Europe (UNECE)(2006)

menyatakan pendaftaran tanah merupakan salah satu bentuk dari administrasi

pertanahan berupa perekaman (recording) data pertanahan, dengan penjaminan

kebenaran informasi pemilikan dan penguasaan tanah. Output pendaftaran tanah

adalah berupa daftar tanah disebut sebagai kadaster yang dapat digunakan untuk

banyak kepentingan termasuk manajemen pertanahan.Manajemen pertanahan

yang berkelanjutan dapat dilaksanakan secara terukur apabila didasarkan atas

ketersediaan data pertanahan yang lengkap dan akurat melalui administrasi

pertanahan yang berkualitas Kondisi bentang alam beberapa negara di dunia menyebabkan beberapa

kesulitan untuk mewujudkan data kadaster yang komprehensif. Enemark (2014)

memeperkenalkan reformasi dengan percepatan Administrasi Pertanahan

melalui konsep Fit for Purpose. Menurut Enemark reformasi administrasi

pertanahan dapat dicapai dengan membangun kerangka spasial, kerangka

Page 129: prosiding - ATR/BPN

122

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

hukum, dan kerangka institusional. Kerangka spasial dapat dibangun dengan 4

(empat) prinsip yaitu : (1) Penggunaan konsep general boundary daripada fix

boundary; (2) Penggunaan citra (fotogrametri) daripada survey lapang (terestris);

(3) Akurasi lebih mengakomodasi tujuan akhir penyelenggaraan administrasi

pertanahan daripada sekedar kesesuaian dengan standar teknis pengukuran dan

pemetaan; (4) Perbaikan kualitas data spasial melalui perubahan data dan

peningkatan kualitas. Konsep percepatan administrasi pertanahan juga dapat dicapai melalui

pembangunan kerangka hukum yang lebih memihak pada kepentingan

administratif daripada kepentingan hukum. Konsep pemilikan dan penguasaan

tanah yang rumit menjadi kendala yang cukup mempengaruhi proses reformasi

administrasi pertanahan, sehingga pertimbangan hukum sementara dapat

dikesampingkan. Kerangka legal sistem tenurial, harus dapat mengadopsi

adanya konsep social tenure di mana di Indonesia terdapat daerah-daerah

dengan sistem penguasaan tanah adat yang beragam, dan sudah pasti

memerlukan waktu yang tidak singkat untuk dapat membangun tata laksana

pemberian/pengakuan hakuntuk masing-masing sistem penguasaan tanah adat.

Demikian pula keberadaan tanah negara yang saat ini semakin kompleks,

dengan adanya penguasaan/pemilikan tanah yang diperlakukan sebagai aset dari

masing-masing organisasi pemerintahan. Percepatan ke arah terwujudnya

administrasi pertanahan yang komplit harus mempertimbangkan simplifikasi dari

tata hukum penguasaan pemilikan yang yang berlaku tidak hanya untuk

perorangan, namun juga Badan Hukum dan Instansi Pemerintah. Kerangka

institusional dibangun untuk memberikan arahan bagaimana sektor-sektor lain

dapat melakukan dukungan (supporting) terhadap administrasi pertanahan. Jika percepatan pendaftaran tanah ditujukan kepada terbentuknya

administrasi pertanahan yang modern yang lengkap maka pelaksanaan

pendaftaran tanah sebagai instrumen untuk membentuk sistem kadaster

nasional, harus memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan sistem administrasi

pertanahan sesuai tujuan fit for purpose. 2.2. Pendaftaran Tanah Sistematik

Pendaftaran tanah secara sistematik yaitu kegiatan pendaftaran tanah

untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek

pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu

Page 130: prosiding - ATR/BPN

123

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

hukum, dan kerangka institusional. Kerangka spasial dapat dibangun dengan 4

(empat) prinsip yaitu : (1) Penggunaan konsep general boundary daripada fix

boundary; (2) Penggunaan citra (fotogrametri) daripada survey lapang (terestris);

(3) Akurasi lebih mengakomodasi tujuan akhir penyelenggaraan administrasi

pertanahan daripada sekedar kesesuaian dengan standar teknis pengukuran dan

pemetaan; (4) Perbaikan kualitas data spasial melalui perubahan data dan

peningkatan kualitas. Konsep percepatan administrasi pertanahan juga dapat dicapai melalui

pembangunan kerangka hukum yang lebih memihak pada kepentingan

administratif daripada kepentingan hukum. Konsep pemilikan dan penguasaan

tanah yang rumit menjadi kendala yang cukup mempengaruhi proses reformasi

administrasi pertanahan, sehingga pertimbangan hukum sementara dapat

dikesampingkan. Kerangka legal sistem tenurial, harus dapat mengadopsi

adanya konsep social tenure di mana di Indonesia terdapat daerah-daerah

dengan sistem penguasaan tanah adat yang beragam, dan sudah pasti

memerlukan waktu yang tidak singkat untuk dapat membangun tata laksana

pemberian/pengakuan hakuntuk masing-masing sistem penguasaan tanah adat.

Demikian pula keberadaan tanah negara yang saat ini semakin kompleks,

dengan adanya penguasaan/pemilikan tanah yang diperlakukan sebagai aset dari

masing-masing organisasi pemerintahan. Percepatan ke arah terwujudnya

administrasi pertanahan yang komplit harus mempertimbangkan simplifikasi dari

tata hukum penguasaan pemilikan yang yang berlaku tidak hanya untuk

perorangan, namun juga Badan Hukum dan Instansi Pemerintah. Kerangka

institusional dibangun untuk memberikan arahan bagaimana sektor-sektor lain

dapat melakukan dukungan (supporting) terhadap administrasi pertanahan. Jika percepatan pendaftaran tanah ditujukan kepada terbentuknya

administrasi pertanahan yang modern yang lengkap maka pelaksanaan

pendaftaran tanah sebagai instrumen untuk membentuk sistem kadaster

nasional, harus memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan sistem administrasi

pertanahan sesuai tujuan fit for purpose. 2.2. Pendaftaran Tanah Sistematik

Pendaftaran tanah secara sistematik yaitu kegiatan pendaftaran tanah

untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek

pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu

desa/kelurahan yang diselenggarakan atas prakarsa Pemerintah (Harsono,

2005)

Mengenai pendaftaran tanah sistematik, Pasal 1 PP Nomor 24 tahun 1997,

ditetapkan bahwa dalam melaksanakan pendaftaran secara sistematik Kepala

Kantor Pertanahan dibantu oleh Panitia Ajudikasi dibentuk oleh Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional atau pejabat yang ditunjuk dan

mengenai pembentukan panitia ajudikasi serta susunan tugas dan kewenangan

akan diatur lebih lanjut. Ajudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam

rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau

beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.

Penggunaan terminologi pengumpulan dan penetapan keenaran data fisik

dan data yuridis tersebut mengandung berbagai aspek teknis dan yuridis dan bila

ditinjau lebih dalam lagi, ternyata definisi tersebut merupakan penyempurnaan

dari pada ruang lingkup kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan PP 10 Tahun

1961 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 2 UUPA, yang hanya meliputi

pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran dan peralihan hak

atas tanah, serta pemberian surat tanda bukti hak atau sertipikat.

a. Pendaftaran tanah sistematik dengan ajudikasi

Ajudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses

pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan

kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek

pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya. (Harsono;2005) Pengertian

definisi tersebut mengandung berbagai aspek teknis dan yuridis yang merupakan

penyempurnaan dari pada ruang lingkup kegiatan pendaftaran tanah

berdasarkan PP 10 Tahun 1961 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 2

UUPA, yang hanya meliputi pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah,

pendaftaran dan peralihan hak atas tanah, serta pemberian surat tanda bukti hak

atau sertipikat.

Pendaftaran tanah sistematik melalui Ajudikasi memberikan proses

jaminan kualitas data fisik dan yuridis oleh pengumpul data fisik maupun yuriidis,

dengan proses penetapan kebenarannya secara materiil. Ajudikasi dilaksanakan

dengan membentuk Panitia Ajudikasi, dengan maksud pelaksanaan pendaftaran

tanah secara massal melalui ajudikasi tidak mengganggu pekerjaan pendaftaran

Page 131: prosiding - ATR/BPN

124

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

tanah yang bersifat pelayanan rutin. Berdasarkan Pasal 8 PP Nomor 24 Tahun

1997 ditetapkan :

Bahwa dalam melaksanakan pendaftaran tanah secara sistematik Kepala

Kantor Pertanahan dibantu oleh panitia ajudikasi, yang dibentuk oleh Menteri

Negara Agraria Kepala BPN atau Pejabat yang ditunjuk. Panitia Ajudikasi sesuai

dengan PP No. 24 Tahun 1997 ini mempunyai tugas dan wewenang sebagai

berikut :

1) Menyiapkan rencana kerja ajudikasi secara terperinci;

2) Mengumpulkan data fisik dan dokumen asli data yuridis semua bidang

tanah yang ada di wilayah yang bersangkutan serta memberikan tanda

penerimaan dokumen kepada pemegang hak atau kuasanya;.

3) Menyelidiki riwayat tanah dan menilai kebenaran alat bukti pemilikan atau

penguasaan tanah;

4) Mengumumkan data fisik dan data yuridis yang sudah dikumpulkan;

5) Membantu menyelesaikan ketidaksepakatan atau sengketa antara pihak-

pihak yang bersangkutan mengenai data yang diumumkan;

6) Mengesahkan hasil pengumuman data fisik dan data yuridis yang akan

digunakan sebagai dasar pembukuan hak atau pengusulan pemberian hak;

7) Menerima uang pembayaran, mengumpulkan dan memelihara setiap

kuitansi bukti pembayaran dan penerimaan uang yang dibayarkan oleh

mereka yang berkepentingan sesuai ketentuan yang berlaku;

8) Menyampaikan laporan secara periodik dan menyerahkan hasil kegiatan

panitia ajudikasi kepada Kepala Kantor Pertanahan;

9) Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan secara khusus kepada yang

berhubungan dengan pendaftaran tanah secara sistematis di lokasi yang

bersangkutan

b. Pendaftaran tanah sistematis dengan Proyek Operasi Nasional Agraria

(PRONA)

Pengertian PRONA adalah “Semua kegiatan yang diselenggarakan oleh

Pemerintah di bidang pertanahan dengan suatu subsidi di bidang pendaftaran

tanah pada khususnya, yang berupa pensertifikatan tanah secara massal dalam

rangka membantu masyarakat golongan ekonomi lemah” (Parlindungan, 1999)

Pelaksanaan PRONA ini, merupakan usaha dari pemerintah untuk

memberikan stimulasi kepada pemegang hak atas tanah agar berpartisipasi

dengan melakukan pensertipikatan atas tanahnya dan berusaha membantu

Page 132: prosiding - ATR/BPN

125

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

tanah yang bersifat pelayanan rutin. Berdasarkan Pasal 8 PP Nomor 24 Tahun

1997 ditetapkan :

Bahwa dalam melaksanakan pendaftaran tanah secara sistematik Kepala

Kantor Pertanahan dibantu oleh panitia ajudikasi, yang dibentuk oleh Menteri

Negara Agraria Kepala BPN atau Pejabat yang ditunjuk. Panitia Ajudikasi sesuai

dengan PP No. 24 Tahun 1997 ini mempunyai tugas dan wewenang sebagai

berikut :

1) Menyiapkan rencana kerja ajudikasi secara terperinci;

2) Mengumpulkan data fisik dan dokumen asli data yuridis semua bidang

tanah yang ada di wilayah yang bersangkutan serta memberikan tanda

penerimaan dokumen kepada pemegang hak atau kuasanya;.

3) Menyelidiki riwayat tanah dan menilai kebenaran alat bukti pemilikan atau

penguasaan tanah;

4) Mengumumkan data fisik dan data yuridis yang sudah dikumpulkan;

5) Membantu menyelesaikan ketidaksepakatan atau sengketa antara pihak-

pihak yang bersangkutan mengenai data yang diumumkan;

6) Mengesahkan hasil pengumuman data fisik dan data yuridis yang akan

digunakan sebagai dasar pembukuan hak atau pengusulan pemberian hak;

7) Menerima uang pembayaran, mengumpulkan dan memelihara setiap

kuitansi bukti pembayaran dan penerimaan uang yang dibayarkan oleh

mereka yang berkepentingan sesuai ketentuan yang berlaku;

8) Menyampaikan laporan secara periodik dan menyerahkan hasil kegiatan

panitia ajudikasi kepada Kepala Kantor Pertanahan;

9) Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan secara khusus kepada yang

berhubungan dengan pendaftaran tanah secara sistematis di lokasi yang

bersangkutan

b. Pendaftaran tanah sistematis dengan Proyek Operasi Nasional Agraria

(PRONA)

Pengertian PRONA adalah “Semua kegiatan yang diselenggarakan oleh

Pemerintah di bidang pertanahan dengan suatu subsidi di bidang pendaftaran

tanah pada khususnya, yang berupa pensertifikatan tanah secara massal dalam

rangka membantu masyarakat golongan ekonomi lemah” (Parlindungan, 1999)

Pelaksanaan PRONA ini, merupakan usaha dari pemerintah untuk

memberikan stimulasi kepada pemegang hak atas tanah agar berpartisipasi

dengan melakukan pensertipikatan atas tanahnya dan berusaha membantu

menyelesaikan sengketa-sengketa tanah yang bersifat strategis. Stimulasi

dilakukan dengan memberikan kepada masyarakat tersebut fasilitasi dan

kemudahan, serta pemberdayaan organisasi dan SDM.

Berbeda dengan pendaftaran tanah sistematik melalui ajudikasi, PRONA

dilaksanakan sebagai bagian dari kegiatan pelayanan pertanahan di Kantor

Pertanahan sehingga dalam pelaksanaannya tidak dibentuk Panitia khusus.

c. Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap diinisiasi oleh Pemerintah dalam

rangka mewujudkan kehadiran Negara di bidang pertanahan dengan

memberikan jaminan kepastian hukum Hak Atas Tanah sebagaimana

diamanatkan dalam pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pemerintah berkewajiban

menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Data tanah terdaftar yang besarnya kurang dari 50% dari taksiran jumlah

bidang tanah di seluruh Indonesia mendorong Pemerintah melakukan upaya

terobosan percepatan pendaftaran tanah untuk mengejar prosentase tanah

terdaftar. Salah satu cara yang ditempuh Kementerian Agraria dan Tata Ruang

adalah melalui program Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis

Lengkap sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata

Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 35 Tahun 2016 jo Peraturan

Mentri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2017 sebagaimana

diubah dengan Peraturan Mentri Agraria dan Tata Ruang Nomor 12 Tahun 2017

tentang Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dilaksanakan melalui tahapan sebagai

berikut :

1) Persiapan, seluruh jajaran Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan

Pertanahan Nasional memberikan informasi secara terbuka kepada

masyarakat bahwa akan dilaksanakan Pendaftaran Tanah Sistematis

Lengkap baik secara langsung ataupun melalui berbagai media. Dalam

masa persiapan ini disiapkan pula database tanah bidang tanah belum

tervalidasi, bidang tanah belum terpetakan, dan bidang tanah yang belum

didaftarkan, serta melihat ketersediaan peta dasar. Berdasarkan database

yang disiapkan dapat dilakukan pemilihan lokasi sera penetapan lokasi

serta menyiapkan hitungan target K1, K2, K3, dan K4

Page 133: prosiding - ATR/BPN

126

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Untuk bidang-bidang yang berpotensi untuk diproses pada klaster K1,

dikumpulkan subyek haknya untuk melaksanakan penunjukan batas

(pemasangan patok).

2) Penyuluhan, dilakukan oleh Kantor-Kantor pertanahan beserta Panitia

Ajudikasi Percepatan dan Satgas Yuridis bersama Satgas Fisik. Dalam

penyuluhan disampaikan tahapan kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis

Lengkap, dokumen yuridis yang perlu disiapkan dan jadwal pengumpulan

data yuridis. Untuk bidang-bidang yang berpotensi untuk diproses pada

klaster K1, dikumpulkan subyek haknya untuk melaksanakan penunjukan

batas (pemasangan patok)

3) Pengukuran dan pemetaan bidang, dilaksanakan dengan beberapa metode

pengukuran seperti : Terestrial, Fotogrametri, Pengamatan Satelit, atau

kombinasi dari dari ketiganya.

4) Pengumpulan Data Yuridis, dilaksanakan oleh Pengumpul Data Yuridis

yaitu seorang Aparatur Sipil Negara dan/atau non Aparatur Sipil Negara

yang telah ditetapkan untuk melaksanakan tugas mengumpulkan data

yuridis.

5) Pengolahan Data Yuridis dan Pembuktian Hak, analisis dilakukan oleh

Panitia Ajudikasi Percepatan terkait data kepemilikan yang memiliki

hubungan hukum antara subyek/peserta Pendaftaran Tanah Sistematis

Lengkap dengan tanah obyek Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap yang

kemudian hasilnya akan diklusterisasi/dikelompokkan berdasarkan

ketentuan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan

Nasional.

6) Pemeriksaan Tanah, untuk memastikan keterangan yang tertuang dalam

yuridis sesuai dengan keadaan di lapangan.

7) Pengumuman, hasil pemeriksaan tanah yang menyimpulkan dapat

dibukukan dan/atau diterbitkannya Sertipikat Hak Atas Tanah atas suatu

bidang diumumkan pada papan pengumuman di Kantor Pertanahan,

Kantor Kelurahan/Desa, Sekretariat RT/RW dan/atau web portal

daerah/Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.

8) Pengesahan, hasil pengumuman disahkan dalam Berita Acara Hasil

Pengumuman oleh Panitia Ajudikasi.

9) Penerbitan SK Penetapan Hak dan SK Penegasan/Pengakuan Hak.

Page 134: prosiding - ATR/BPN

127

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Untuk bidang-bidang yang berpotensi untuk diproses pada klaster K1,

dikumpulkan subyek haknya untuk melaksanakan penunjukan batas

(pemasangan patok).

2) Penyuluhan, dilakukan oleh Kantor-Kantor pertanahan beserta Panitia

Ajudikasi Percepatan dan Satgas Yuridis bersama Satgas Fisik. Dalam

penyuluhan disampaikan tahapan kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis

Lengkap, dokumen yuridis yang perlu disiapkan dan jadwal pengumpulan

data yuridis. Untuk bidang-bidang yang berpotensi untuk diproses pada

klaster K1, dikumpulkan subyek haknya untuk melaksanakan penunjukan

batas (pemasangan patok)

3) Pengukuran dan pemetaan bidang, dilaksanakan dengan beberapa metode

pengukuran seperti : Terestrial, Fotogrametri, Pengamatan Satelit, atau

kombinasi dari dari ketiganya.

4) Pengumpulan Data Yuridis, dilaksanakan oleh Pengumpul Data Yuridis

yaitu seorang Aparatur Sipil Negara dan/atau non Aparatur Sipil Negara

yang telah ditetapkan untuk melaksanakan tugas mengumpulkan data

yuridis.

5) Pengolahan Data Yuridis dan Pembuktian Hak, analisis dilakukan oleh

Panitia Ajudikasi Percepatan terkait data kepemilikan yang memiliki

hubungan hukum antara subyek/peserta Pendaftaran Tanah Sistematis

Lengkap dengan tanah obyek Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap yang

kemudian hasilnya akan diklusterisasi/dikelompokkan berdasarkan

ketentuan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan

Nasional.

6) Pemeriksaan Tanah, untuk memastikan keterangan yang tertuang dalam

yuridis sesuai dengan keadaan di lapangan.

7) Pengumuman, hasil pemeriksaan tanah yang menyimpulkan dapat

dibukukan dan/atau diterbitkannya Sertipikat Hak Atas Tanah atas suatu

bidang diumumkan pada papan pengumuman di Kantor Pertanahan,

Kantor Kelurahan/Desa, Sekretariat RT/RW dan/atau web portal

daerah/Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.

8) Pengesahan, hasil pengumuman disahkan dalam Berita Acara Hasil

Pengumuman oleh Panitia Ajudikasi.

9) Penerbitan SK Penetapan Hak dan SK Penegasan/Pengakuan Hak.

10) Pembukuan Hak, pencetakan Buku Tanah dan salinannya (sertipikat hak

atas tanah).

11) Penyerahan Sertipikat, dicatat dalam Daftar Isian Penyerahan Sertipikat.

(www.bpn.go.id)

Perbedaan yang menarik dari konsep PTSL dibandingkan dengan konsep

perndaftaran tana sistematik sebelumnya adalah adanya kesadaran bahwa

berdasarkan aspek yuridisnya tidak semua bidang tanah dapat diterbitkan

setipikatnya. Untuk memenuhi aspek kelengkapan daftar tanah maka dalam

Petunjuk Teknis Pengumpulan Data Yuridis PTSL Nomor 01/JUKNIS-

400/XII/2016, mengklasifikasikan data yuridis bidang tanah menjadi 4 klaster

yaitu :

(1) Klaster 1 yaitu data yuridis bidang tanah, memenuhi syarat diproses

sampai dengan penerbitan sertipikat hak atas tanah

(2) Klaster 2 (dua) yaitu bidang tanah yang data yuridisnya memenuhi syarat

untuk diterbitkan sertipikat namun terdapat perkara di Pengadilan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal13 Peraturan Menteri Agraria dan Tata

Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 35Tahun 2016.

(3) Kluster 3 (tiga) yaitu bidang tanah yang data yuridisnya tidak dapat

dibukukan dan diterbitkan sertipikat karena Subyek Warga Negara Asing,

Badan Hukum Swasta, subyek tidak diketahui, subyek tidak bersedia

mengikuti pendaftaran tanah sistematis lengkap dan Obyek merupakan

tanah P3MB, Prk 5, Rumah Golongan III, Obyek Nasionalisasi, Tanah

Ulayat, Tanah Absente, Obyek tanah milik adat, dokumen yang

membuktikan kepemilikan tidak lengkap, peserta tidak bersedia membuat

surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah. Terhadap tanah yang

tidak dapat dibukukan dan diterbitkan sertipikatnya dicatat dalam daftar.

(4) Kluster 4 untuk data yuridisnya subyeknya sudah lengkap karena sudah

bersertipikat, obyek memenuhi syarat, namun belum memenuhi kualitas

data spasial yang diharapkan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Problematika dalam Pelaksanaan PTSL dan Penyelesaiannya a. Tata laksana dan output PTSL

Tata laksana PTSL meliputi perencanaan, dan persiapan. Perencanaan

penyelenggaraan PTSL meliputi penentuan lokasi dan target berdasarkan

Page 135: prosiding - ATR/BPN

128

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

pengolahan peta-peta atau data lain yang tersedia, penyuluhan kepada

masyarakat lokasi PTSL, pengumpulan bukti-bukti alas hak, atau data yuridis

lainnya. Perencanaan menjadi pekerjaan yang sangat strategis untuk

menentukan keberhasilan pelaksanaan PTSL. Sebagian besar Kantor

Pertanahan menggunakan data IP4T dan SPT PBB untuk menentukan lokasi

PTSL. Seluruh Kantor Pertanahan yang menjadi sampel dalam penelitian ini juga

telah melaksanakan pekerjaan penyuluhan. Khusus untuk Kota Binjai

penyuluhan dilanjutkan dengan pertemuan seluruh Kepala Lingkungan se-Kota

Binjai, bersama Walikota, Kepolisian, dan Kejaksaan untuk mendapatkan

kesepahaman pelaksaaan PTSL.

Pada tahap persiapan awal pelaksanaan PTSL semestinya ada

kesepahaman antar pelaksana mengenai tata laksana dan ouput PTSL, karena

akan sangat menentukan strateginya, seperti pemilihan lokasi, mobilisasi

sumberdaya manusia, pendekatan kepada masyarakatnya, maupun pendekatan

kepada pihak Pemda. Namun berdasarkan wawancara dengan responden yang

berasal dari 10 (sepuluh) kantor pertanahan di wilayah Provinsi Sumatera Utara

terdapat pemahaman yang berbeda mengenai konsep PTSL dari aspek tata

laksana dan outputnya.

Sebagian besar pelaksana PTSL di Kantor Pertanahan berpendapat bahwa

output pelaksanaan PTSL harus mengutamakan pendaftaran tanah pertama kali

dengan output sampai dengan penerbitan sertipikat atau Klaster 1. Kantor

Pertanahan yang melaksanakan PTSL dengan output mengutamakan Klaster 1

adalah Kota Binjai, Kabupaten Karo, Kabupaten PakPak Bharat, Kabupaten

Dairi, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Pematang Siantar dan

Kabupaten Simalungun. Dasar yang digunakan sebagai acuan adalah

penyebutan target 5 juta, 7 juta, 9 juta, sertipikat yang harus diterbitkan oleh

Kementrian ATR/BPN oleh Presiden. Output PTSL berupa Peta Bidang, Gambar

Ukur dan Surat Ukur dan sertipikat hak atas tanah.

Namun ada juga pendapat bahwa output PTSL harus menggambarkan

data bidang tanah dalam satu wilayah administratif tertentu secara lengkap,

sehingga output pelaksanaan PTSL adalah semua bidang tanah dalam satu

wilayah tertentu direkam, dan dibukukan meliputi semua Kluster data pertanahan

yang memang ada secara nyata di lokasi PSTL. Kantor Pertanahan yang

memahami hal ini dengan pemahaman sebagaimana dijelaskan di atas adalah

Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Tebing Tinggi dan Kota

Page 136: prosiding - ATR/BPN

129

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

pengolahan peta-peta atau data lain yang tersedia, penyuluhan kepada

masyarakat lokasi PTSL, pengumpulan bukti-bukti alas hak, atau data yuridis

lainnya. Perencanaan menjadi pekerjaan yang sangat strategis untuk

menentukan keberhasilan pelaksanaan PTSL. Sebagian besar Kantor

Pertanahan menggunakan data IP4T dan SPT PBB untuk menentukan lokasi

PTSL. Seluruh Kantor Pertanahan yang menjadi sampel dalam penelitian ini juga

telah melaksanakan pekerjaan penyuluhan. Khusus untuk Kota Binjai

penyuluhan dilanjutkan dengan pertemuan seluruh Kepala Lingkungan se-Kota

Binjai, bersama Walikota, Kepolisian, dan Kejaksaan untuk mendapatkan

kesepahaman pelaksaaan PTSL.

Pada tahap persiapan awal pelaksanaan PTSL semestinya ada

kesepahaman antar pelaksana mengenai tata laksana dan ouput PTSL, karena

akan sangat menentukan strateginya, seperti pemilihan lokasi, mobilisasi

sumberdaya manusia, pendekatan kepada masyarakatnya, maupun pendekatan

kepada pihak Pemda. Namun berdasarkan wawancara dengan responden yang

berasal dari 10 (sepuluh) kantor pertanahan di wilayah Provinsi Sumatera Utara

terdapat pemahaman yang berbeda mengenai konsep PTSL dari aspek tata

laksana dan outputnya.

Sebagian besar pelaksana PTSL di Kantor Pertanahan berpendapat bahwa

output pelaksanaan PTSL harus mengutamakan pendaftaran tanah pertama kali

dengan output sampai dengan penerbitan sertipikat atau Klaster 1. Kantor

Pertanahan yang melaksanakan PTSL dengan output mengutamakan Klaster 1

adalah Kota Binjai, Kabupaten Karo, Kabupaten PakPak Bharat, Kabupaten

Dairi, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Pematang Siantar dan

Kabupaten Simalungun. Dasar yang digunakan sebagai acuan adalah

penyebutan target 5 juta, 7 juta, 9 juta, sertipikat yang harus diterbitkan oleh

Kementrian ATR/BPN oleh Presiden. Output PTSL berupa Peta Bidang, Gambar

Ukur dan Surat Ukur dan sertipikat hak atas tanah.

Namun ada juga pendapat bahwa output PTSL harus menggambarkan

data bidang tanah dalam satu wilayah administratif tertentu secara lengkap,

sehingga output pelaksanaan PTSL adalah semua bidang tanah dalam satu

wilayah tertentu direkam, dan dibukukan meliputi semua Kluster data pertanahan

yang memang ada secara nyata di lokasi PSTL. Kantor Pertanahan yang

memahami hal ini dengan pemahaman sebagaimana dijelaskan di atas adalah

Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Tebing Tinggi dan Kota

Medan. Terdapat pula pemahaman pelaksanaan PTSL adalah pengukuran dan

pemetaan serta kegiatan pendaftaran tanah pertama kali dalam lingkup satu

desa penuh (secara Sistematis), sehingga output pelaksanaan PTSL data K1,

K2, K3 dan K4. Kantor Pertanahan dengan pemahaman sebagaimana dijelaskan

di atas adalah Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Tebing

Tinggi dan Kota Medan

b. Sumber Daya Manusia

Penyelesaian target PTSL 2017 Kantor Wilayah Kemneterian ATR/BPN

Sumatera Utara dengan volume 200.000 bidang atau meningkat 2000 % dari

target tahun 2016 sebanyak 10.000 bidang.

Jumlah juru ukur PNS dan ASP 2017 tidak berubah secara signifikan sedangkan

target berubah secara total. Target PTSL untuk 10 Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota dapat disajikan sebagai berikut :

Tabel 1. Target PTSL dan Beban Petugas Ukur diluar Pengukuraan Rutin di 10

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara

NO. KANTAH Target (Bidang)

Ketersediaan Petugas Ukur

Beban Kerja PU per Hari

Kerja

ASN ASP

1 Deli Serdang 12.000 12 8 1,49

2 Medan 5.000 13 19 1,37

3 Serdang Bedagai 10.000 3 1 2,96

4 Simalungun 5.000 6 10 1,75

5 Dairi 5.000 2 5 2,75

6 Karo 5.000 2 5 4,81

7 Pematang Siantar 25.000 3 2 16,03

8 Binjai 10.500 5 3 8,08

9 Tebing Tinggi 20.500 2 0 39,42

10 Pakpak Bharat 1.000 1 0 3,85

Sumber : Pengolahan data primer 2017

Page 137: prosiding - ATR/BPN

130

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Beban yang paling tinggi adalah Kota Tebing Tinggi dengan beban 39

bidang per hari dengan asumsi hanya mengerjakan pengukuran untuk PTSL

saja, belum memeperhitungkan tugas pegukuran rutin yang rata-rata 3 bidang

per hari. Selanjutnya Kantor Pertaahan Kota Pematang Siantar dengan beban

perhari 17 bidang untuk pengukuran PTSL ditambah pengukuran rutin rata-rata 3

bidang per hari. Kantor Pertanahan Pakpak Bharat juga harus mendapatkan

perhatian karena sampai peneliti turun lapang untuk pengamblan data tidak ada

satu pun Petugas Ukur di Kantor Pertanahan Kabupaten Pakpak Barat. Pada

bulan Agustus ada 1 (satu) orang petugas ukur yang selesai menjalankan tugas

belajar di STPN.

Keterlibatan Surveyor Kadaster Berlisensi sampai peneliti turun lapang,

bulan Juli 2017, belum dapat dilaksanakan secara optimal dan masih

menggunakan atau berpedoman pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 9 Tahun 2013, belum sepenuhnya merujuk pada Peraturan

Menteri Negara Agraria Nomor 33 Tahun 2016. Masih ada keraguan dalam

penerapan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 33 Tahun 2016. Kantor

Jasa Surveyor Berlisensi hanya ada satu di seluruh Provinsi Sumatera Utara,

Kantor Jasa Surveyor Berlisensi Perseorangan Boston Sianturi dengan nomor ijin

kerja : 122/KEP-15.2/V/2017. Padahal hasil ujian lisensi terdahulu untuk Provinsi

Sumatera Utara telah meluluskan Surveyor Kadaster Berlisensi dan Asisten

Surveyor Kadaster Berlisensi dalam jumlah yang relatif banyak. Keterlibatan

Surveyor Berlisensi dalam pekerjaan pengukuran dan pemetaan dalam rangka

pendaftaran tanah belum optimal dilakukan karena :

a) Pemahaman dan implementasi Permen ATR/BPN nomor 33 Tahun

2016 yang belum optimal.

b) Ragu atas hasil pengukuran, baik aspek ketelitian hasil ukuran maupun

legalitas serta tanggung jawab hasil pekerjaaannya (hal ini didukung

dengan pengalaman menggunakan jasa SKB pada pekerjaan PPAN

pada tahun 2008 di Kabupaten Padang Sidempuan, SKB/Swasta dari

Bandung mengukur batas – batas bidang tanah obyek PPAN

menggunakan alat ukur GPS Navigasi tidak seperti menggunakan

metode terestris).

c) Kantor Jasa Surveyor Berlisensi belum mempunyai alat ukur

sebagaimana diwajibkan dalam Peraturan Menteri No 33 Tahu 2017,

Page 138: prosiding - ATR/BPN

131

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Beban yang paling tinggi adalah Kota Tebing Tinggi dengan beban 39

bidang per hari dengan asumsi hanya mengerjakan pengukuran untuk PTSL

saja, belum memeperhitungkan tugas pegukuran rutin yang rata-rata 3 bidang

per hari. Selanjutnya Kantor Pertaahan Kota Pematang Siantar dengan beban

perhari 17 bidang untuk pengukuran PTSL ditambah pengukuran rutin rata-rata 3

bidang per hari. Kantor Pertanahan Pakpak Bharat juga harus mendapatkan

perhatian karena sampai peneliti turun lapang untuk pengamblan data tidak ada

satu pun Petugas Ukur di Kantor Pertanahan Kabupaten Pakpak Barat. Pada

bulan Agustus ada 1 (satu) orang petugas ukur yang selesai menjalankan tugas

belajar di STPN.

Keterlibatan Surveyor Kadaster Berlisensi sampai peneliti turun lapang,

bulan Juli 2017, belum dapat dilaksanakan secara optimal dan masih

menggunakan atau berpedoman pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 9 Tahun 2013, belum sepenuhnya merujuk pada Peraturan

Menteri Negara Agraria Nomor 33 Tahun 2016. Masih ada keraguan dalam

penerapan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 33 Tahun 2016. Kantor

Jasa Surveyor Berlisensi hanya ada satu di seluruh Provinsi Sumatera Utara,

Kantor Jasa Surveyor Berlisensi Perseorangan Boston Sianturi dengan nomor ijin

kerja : 122/KEP-15.2/V/2017. Padahal hasil ujian lisensi terdahulu untuk Provinsi

Sumatera Utara telah meluluskan Surveyor Kadaster Berlisensi dan Asisten

Surveyor Kadaster Berlisensi dalam jumlah yang relatif banyak. Keterlibatan

Surveyor Berlisensi dalam pekerjaan pengukuran dan pemetaan dalam rangka

pendaftaran tanah belum optimal dilakukan karena :

a) Pemahaman dan implementasi Permen ATR/BPN nomor 33 Tahun

2016 yang belum optimal.

b) Ragu atas hasil pengukuran, baik aspek ketelitian hasil ukuran maupun

legalitas serta tanggung jawab hasil pekerjaaannya (hal ini didukung

dengan pengalaman menggunakan jasa SKB pada pekerjaan PPAN

pada tahun 2008 di Kabupaten Padang Sidempuan, SKB/Swasta dari

Bandung mengukur batas – batas bidang tanah obyek PPAN

menggunakan alat ukur GPS Navigasi tidak seperti menggunakan

metode terestris).

c) Kantor Jasa Surveyor Berlisensi belum mempunyai alat ukur

sebagaimana diwajibkan dalam Peraturan Menteri No 33 Tahu 2017,

sehingga apabila dilaksanakan pengadaan barang dan jasa pengukuran

kepada KJSKB masih diperlukan sewa alat ukur;

d) Terdapat perbedaan nilai pembiayaan pekerjaan yang dilakukan oleh

Surveyor Kadaster Berlisensi dengan ASN pada jenis pekerjaan yang

sama menimbulkan permasalahan tersendiri, rasa kecemburuan di

lingkungan ASN.

e) Asisten Surveyor Kadaster Berlisensi, masih belum dioptimalkan secara

mandiri/perseorangan, padahal menurut Permen ATR/BPN No. 33/2017,

diperbolehkan sampai bulan Oktober tahun 2017.

Seluruh pegawai termasuk Pegawai Tidak Tetap (PTT) dan Siswa yang

sedang praktrek kerja lapangan dimobilisisasi untuk membantu pengumpulan

data fisik dan data yuridis, khususnya pada proses pemberkasannya. Ada

catatan tersedniri mengenai pengumpulan data yuridis oleh PTT dan Siswa

Magang ini karena mereka belum dibekali tata cara pengumpulan data yuridis,

sehingga kompetensi untuk dapat menentukan apakah berkas dan alas hak yang

diperiksa mempunyai nilai kebenaran secara materiel masih diragukan.

c. Koordinasi antar sektor

Pekerjaan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap tidak akan sukses tanpa

ada dukungan dari lembaga/sektor lain. Dukungan Pemerintah Daerah

merupakan hal yang mutlak harus diberikan, oleh karena dalam hal kelengkapan

berkas untuk PTSL ini diterbitkan oleh instansi lain. Kebenaran formal dan

materiel alas hak yang diajukan untuk tanah-tanah yang belum diadministrasikan

dalam buku ledger, misalnya, merupakan produk dari pihak Pemerintah Desa.

Berdasarkan hasil wawancara ternyata tidak semua pemerintah daerah dan

masyarakat mendukung pelaksanaan program PTSL. Berikut temuan yang

diperoleh terkait dukungan pemerintah daerah dan masyarakat dalam

pelaksanaan PTSL.

Bentuk dukungan pemerintah daerah dapat berupa kebijakan. Kebijakan

pemerintah daerah pada umumnya berupa pengurangan nilai Bea Perolehan

Hak Atas Tanah, pembuatan surat keterangan tanah dan surat keterangan waris

gratis, memerintahkan kepala lingkungan membantu sepenuhnya pelaksanaan

PTSL ini terjadi di Kota Binjai.

Page 139: prosiding - ATR/BPN

132

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

d. Peraturan perundang-undangan yang menjamin perlindungan terhadap

proses dan produk PTSL Salah satu hal penting yang harus diperhatikan dalam mensukseskan

PTSL adalah ketersediaan peraturan-perundang-undangan yang melindungi

proses dan produk PTSL. Dalam wawancara dengan beberapa responden ada

kekhawatiran bahwa Permen Nomor 35 Tahun 2016 tentang PTSL tidak dapat

menjamin perlindungan hukum terhadap proses penerbitan sertipikat karena

tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang secara

hirarki lebih tinggi posisinya. Di antaranya adalam masalah lamanya waktu

pengumuman serta proses pemeriksaan data yuridis yang tidak melalui proses

ajudikasi (sidang pemeriksaan tanah di lapangan)

4. PENUTUP 4.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan untuk Evaluasi Pelaksanaan PTSL di Provinsi

Sulawesi Utara disimpulkan hal-hal seperti berikut :

a. Mekanisme pelaksanaan PTSL pada maing-masng Kanor Pertanahan

berbeda-beda tergantung pada paradigma yang menjadi kerangka acuan

pelaksaan PTSL. Untuk daerah yang melaksanakan PTSL dengan prioritas

output K1, pemilihan lokasi lebih mengutamakan daerah yang belum lengkap

peta pendaftarannya, sedang untuk Kantor Pertanahan yang mengutamakan

outputnya Desa Lengkap maka lebih banyak menggunakan data IP4T untuk

memilih lokasi PTSL

b. Ketersediaan Petugas Ukur relatif masih mencukupi untuk menyelesaikan

target Kantor Pertanahan masing-masing. Hanya Kantor Pertanahan

Pematang Siantar, Tebing Tinggi, dan Pak-pak Barat yang perlu

mendapatkan perhatian untuk penyediaan petugas ukur. Pengumpulan data

yuridis yang melibatkan semua ASN, ASK, dan PTT boleh dilakukan namun

harus ada supervisi dari ASN yang memang betul-betul menguasai aspek

yuridis pendaftaran tanah.

c. Infrastruktur keagrariaan, berupa peta-peta pendaftaran, peta citra, peta

blok, peta administrasi, peta IP4T masih perlu diperhatikan. Namun demikian

dukungan peta-peta ini memang sangat tergantung dari kualitas

penatausahaan maupun pengelolaan arsip msing-masing Kantor

Pertanahan. Infrastruktur yang harus diberikan perhatian khusus adalah

Page 140: prosiding - ATR/BPN

133

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

d. Peraturan perundang-undangan yang menjamin perlindungan terhadap

proses dan produk PTSL Salah satu hal penting yang harus diperhatikan dalam mensukseskan

PTSL adalah ketersediaan peraturan-perundang-undangan yang melindungi

proses dan produk PTSL. Dalam wawancara dengan beberapa responden ada

kekhawatiran bahwa Permen Nomor 35 Tahun 2016 tentang PTSL tidak dapat

menjamin perlindungan hukum terhadap proses penerbitan sertipikat karena

tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang secara

hirarki lebih tinggi posisinya. Di antaranya adalam masalah lamanya waktu

pengumuman serta proses pemeriksaan data yuridis yang tidak melalui proses

ajudikasi (sidang pemeriksaan tanah di lapangan)

4. PENUTUP 4.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan untuk Evaluasi Pelaksanaan PTSL di Provinsi

Sulawesi Utara disimpulkan hal-hal seperti berikut :

a. Mekanisme pelaksanaan PTSL pada maing-masng Kanor Pertanahan

berbeda-beda tergantung pada paradigma yang menjadi kerangka acuan

pelaksaan PTSL. Untuk daerah yang melaksanakan PTSL dengan prioritas

output K1, pemilihan lokasi lebih mengutamakan daerah yang belum lengkap

peta pendaftarannya, sedang untuk Kantor Pertanahan yang mengutamakan

outputnya Desa Lengkap maka lebih banyak menggunakan data IP4T untuk

memilih lokasi PTSL

b. Ketersediaan Petugas Ukur relatif masih mencukupi untuk menyelesaikan

target Kantor Pertanahan masing-masing. Hanya Kantor Pertanahan

Pematang Siantar, Tebing Tinggi, dan Pak-pak Barat yang perlu

mendapatkan perhatian untuk penyediaan petugas ukur. Pengumpulan data

yuridis yang melibatkan semua ASN, ASK, dan PTT boleh dilakukan namun

harus ada supervisi dari ASN yang memang betul-betul menguasai aspek

yuridis pendaftaran tanah.

c. Infrastruktur keagrariaan, berupa peta-peta pendaftaran, peta citra, peta

blok, peta administrasi, peta IP4T masih perlu diperhatikan. Namun demikian

dukungan peta-peta ini memang sangat tergantung dari kualitas

penatausahaan maupun pengelolaan arsip msing-masing Kantor

Pertanahan. Infrastruktur yang harus diberikan perhatian khusus adalah

ketersediaan alat ukur. Kekurangan alat ukur ini bisa dianggarkan melalui

sewa alat, apabila memang tidak dimungkinkan dilakukan pembelian.

d. Skema penganggaran PTSL dalam DIPA belum tersosialisasikan dengan

baik, sehingga masih ada anggapan jika pembayaran hanya bisa dilakukan

untuk pekerjaan dengan output sertipikat atau K1.

e. Koordinasi antar sektor belum dlaksanakan secara sistematis. Hubungan

baik dengan stakeholder lain sangat tergantung pada kemampuan

komunikasi dari para Kepala Kantor Pertanahan maupun kemauan politik

dari pimpinan stakeholder, sehingga ada Pemerintah Daerah yang benar-

benar mendukung sampai ke level operasional, ada yang hanya mendukung

secara moral, dan ada yang kurang mendukung.

4.2 Rekomendasi Hal-hal yang direkomendasikan oleh Tim Peneliti untuk mmenyelesaikan

isu-isu tersebut di atas adalah sebagai berikut :

a. Harus dirumuskan paradigma yang akan diusung melalui PTSL, untuk dapat

dipedomani bersama, apakah orientasi PTSL ini mengutamakan output yang

berupa sertipikat (K1) atau terbangun database pertanahan yang lengkap.

Paradigma ini akan sangat menentukan perencanaan dan tatalaksana dari

PTSL.

b. Ketersediaan SDM pada 10 Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagian

besar masih cukup mendukung kecuali Kantor Pertanahan Kabupaten

Pematang Siantar, Kota Tebing Tinggi, dan Pak-pak Barat. Mobilisasi

seluruh ASN dan PTT untuk pengumpulan data yuridis seyogyanya tetap

dilakukan di bawah supervisi para ASN yang mempunyai kompetensi untuk

menentukan validitas alas hak, maupun data yuridis yang lain untuk

menghindari masalah hukum di kemudian hari. Sesuai dengan konsep PTSL

petugas yuridis bukan hanya mengawal kebenaran formal tetapi juga

beranggungjawab secara materiel data yuridis yang dikumpulkan.

c. Skema penggangaran dalam DIPA yang sudah mengakomodasi output K2,

dan K3, serta K4 harus terus disosialisasikan sehingga tidak lagi ada

anggapan yang bisa dibiayai melalui DIPA hanyalah output PTSL yang

berupa sertipikat (K1)

d. Koordinasi antar sektor semestinya dapat diatur dengan payung hukum yang

lebih mengikat daripada Surat Keputusan Bersama, sehingga dukungan dari

stakeholder merupakan dukungan yang sistemik, oleh karena sesungguhnya

Page 141: prosiding - ATR/BPN

134

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

basis data pertanahan dapat digunakan sebagai infrastruktur keagrariaan

bagi sektor lain untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahannya. Perlu ada

sosialisasi PTSL dalam skala nasional, sehingga mengurangi beban kerja

masing-masing Kantor Pertanahan, dengan demikian energi dan

sumberdaya yang dikeluarkan untuk sosialisasi dapat langsung

dimanfaatkan untuk pelaksanaan PTSL

e. Perlu ada perlindungan hukum terhadap pelaksanaan PTSL untuk

melindungi produk maupun pelaksana PTSL dengan melakukan revisi

terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah.

DAFTAR PUSTAKA A.P Parlindungan, 1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia (Berdasarkan PP 24

Tahun 1997) Dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PP 37 Tahun 1998) : Bandung , Mandar Maju, hlm,.18

Bachtiar Effendie, 1993, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Perturan

Pelaksaanya, Bandung : Alumni, hlm. 5

Boedi Harsono, 2005, “Hukum Agraria Indonesia” Jilid 1, edisi revisi , Penerbit

Djambatan Jakarta, Hal. 474

Jaap Zevenbergen, 2002, Systems of Land Registration. Aspects and Effects,

NCG, Nederlandse Commissie voor Geodesie, Netherlands Geodetic

Commission, Delft, The Netherlands

S. Rowton Simpson, 1976, Land Law and Registration, Cambridge ; New York :

Cambridge University Press

Sarwono, Jonathan, 2006, Metode Penelitian kuantitatif dan Kualitatai, Graha

Ilmu Yogyakarta

Stig Enemark, 2014, Fit for Purpose Land Administration, The International

Federation of Surveyors Publication, Copenhagen-Denmark

Suharsimi Arikunto, 2006, Metode Penelitian: Prosedur Penelitian

SuatuPendekatan Praktik, Rineka Cipta, Jakarta

Sugiyono, 2007, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif,dan RD, CV. Alfabeta,

Bandung

Page 142: prosiding - ATR/BPN

135

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

basis data pertanahan dapat digunakan sebagai infrastruktur keagrariaan

bagi sektor lain untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahannya. Perlu ada

sosialisasi PTSL dalam skala nasional, sehingga mengurangi beban kerja

masing-masing Kantor Pertanahan, dengan demikian energi dan

sumberdaya yang dikeluarkan untuk sosialisasi dapat langsung

dimanfaatkan untuk pelaksanaan PTSL

e. Perlu ada perlindungan hukum terhadap pelaksanaan PTSL untuk

melindungi produk maupun pelaksana PTSL dengan melakukan revisi

terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah.

DAFTAR PUSTAKA A.P Parlindungan, 1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia (Berdasarkan PP 24

Tahun 1997) Dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PP 37 Tahun 1998) : Bandung , Mandar Maju, hlm,.18

Bachtiar Effendie, 1993, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Perturan

Pelaksaanya, Bandung : Alumni, hlm. 5

Boedi Harsono, 2005, “Hukum Agraria Indonesia” Jilid 1, edisi revisi , Penerbit

Djambatan Jakarta, Hal. 474

Jaap Zevenbergen, 2002, Systems of Land Registration. Aspects and Effects,

NCG, Nederlandse Commissie voor Geodesie, Netherlands Geodetic

Commission, Delft, The Netherlands

S. Rowton Simpson, 1976, Land Law and Registration, Cambridge ; New York :

Cambridge University Press

Sarwono, Jonathan, 2006, Metode Penelitian kuantitatif dan Kualitatai, Graha

Ilmu Yogyakarta

Stig Enemark, 2014, Fit for Purpose Land Administration, The International

Federation of Surveyors Publication, Copenhagen-Denmark

Suharsimi Arikunto, 2006, Metode Penelitian: Prosedur Penelitian

SuatuPendekatan Praktik, Rineka Cipta, Jakarta

Sugiyono, 2007, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif,dan RD, CV. Alfabeta,

Bandung

UNECE, 2006, Land Administration Guidelines, United Nation Publication,

Newyor-Geneva, Sales No. E.96.11.E.7, ISBN 92-1-1-11644-6

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tetang Peraturan Dasar Pokok-pokok

Agraria

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1007 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Mentri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 35 Tahun 2016 jo. Peraturan Mentri Agraria dan Tata Ruang

Nomor1 Tahun 2017 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik

Lengkap

Petunjuk Teknis Nomor 01/JUNKIS-400/XII/2016 tentang Percepatan

Pelaksanaan Pendaftaran tanah Sistematik Lengkap Bidang Yuridis

Petunjuk Teknis Nomor 01/JUKNIS-300/XII/2016 tentang Pengukuran dan

Pemetaan Bidang Tanah Sistematik Lengkap

http://setkab.go.id/beri-target-bpn-presiden-jokowi-60-juta-sertifikat-tanah-belum-

diselesaikan/ diakses tanggal 6 Februari jam 20.00 WIB

Biodata Penulis

Nama : Wahyuni, S.H.,M.Eng

NIP : 1972050619972003

Pangkat/Ruang : Penata Muda Tingka I/ IIIb

Jabatan : Asisten Ahli di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Email : [email protected]

HP : 082242139423

Page 143: prosiding - ATR/BPN

136

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

PENINGKATAN ACCESS REFORM PELAYANAN SERTIPIKASI TANAH SEBAGAI MODAL USAHA DI PASAR DESA MELALUI PENDAFTARAN

TANAH DI KABUPATEN BANJAR

Saheriyanto, S.Pd, SE.*

*Mahasiswa Magister Sains Administrasi Pembangunan

Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

Pegawai Kantor Pertanahan Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan

[email protected]

ABSTRAK Sebagai perwujudan dari reforma agraria, program kegiatan legalisasi aset

melalui kegiatan Prona di Kantor Pertanahan Kabupaten Banjar mengadakan

penerbitan sertipikat hak atas tanah bagi masyarakat terutama golongan

ekonomi lemah. Reformasi Agraria masyarakat sudah memiliki asset reform

berupa sertipikat tanah. Namun, dari sisi access reform masyarakat ekonomi

lemah tidak mempunyai akses terhadap permodalan usaha. Oleh karena itu,

diperlukan percepatan melalui layanan inovasi pertanahan berupa Pelayanan

Sertipikasi Tanah sebagai Modal Usaha di Pasar Desa (TATAMU PADE) yang

memberi kemudahan kepada masyarakat desa untuk memperoleh akses

terhadap modal, teknologi dan pasar. Tujuan penelitian ini untuk memberikan

masukan dan bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan agar sertipikat

tanah memberikan nilai tambah ekonomi (Economic Value Added) sehingga

kegiatan Pendaftaran Tanah ini diharapkan menjadi ujung tombak dalam

pelaksanaan reforma agraria.

Metode penelitian dilakukan dengan cara penelitian lapang (fieldwork) yang

bersifat deskriptis analitis, yaitu mendeskripsikan pelaksanaan pendaftaran tanah

melalui Prona Tahun Anggaran 2016 di Kabupaten Banjar pengaruhnya terhadap

peningkatan asset reform sertipikat tanah untuk modal usaha di pasar desa.

Metode pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris dengan

menganalisis berbagai peraturan perundangan pendaftaran hak atas tanah dan

menganalisa dampaknya terhadap perekonomian sektor riil di pedesaan. Teknik

pengumpulan data meliputi, studi pustaka, observasi, dan dokumentasi.

Page 144: prosiding - ATR/BPN

137

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

PENINGKATAN ACCESS REFORM PELAYANAN SERTIPIKASI TANAH SEBAGAI MODAL USAHA DI PASAR DESA MELALUI PENDAFTARAN

TANAH DI KABUPATEN BANJAR

Saheriyanto, S.Pd, SE.*

*Mahasiswa Magister Sains Administrasi Pembangunan

Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

Pegawai Kantor Pertanahan Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan

[email protected]

ABSTRAK Sebagai perwujudan dari reforma agraria, program kegiatan legalisasi aset

melalui kegiatan Prona di Kantor Pertanahan Kabupaten Banjar mengadakan

penerbitan sertipikat hak atas tanah bagi masyarakat terutama golongan

ekonomi lemah. Reformasi Agraria masyarakat sudah memiliki asset reform

berupa sertipikat tanah. Namun, dari sisi access reform masyarakat ekonomi

lemah tidak mempunyai akses terhadap permodalan usaha. Oleh karena itu,

diperlukan percepatan melalui layanan inovasi pertanahan berupa Pelayanan

Sertipikasi Tanah sebagai Modal Usaha di Pasar Desa (TATAMU PADE) yang

memberi kemudahan kepada masyarakat desa untuk memperoleh akses

terhadap modal, teknologi dan pasar. Tujuan penelitian ini untuk memberikan

masukan dan bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan agar sertipikat

tanah memberikan nilai tambah ekonomi (Economic Value Added) sehingga

kegiatan Pendaftaran Tanah ini diharapkan menjadi ujung tombak dalam

pelaksanaan reforma agraria.

Metode penelitian dilakukan dengan cara penelitian lapang (fieldwork) yang

bersifat deskriptis analitis, yaitu mendeskripsikan pelaksanaan pendaftaran tanah

melalui Prona Tahun Anggaran 2016 di Kabupaten Banjar pengaruhnya terhadap

peningkatan asset reform sertipikat tanah untuk modal usaha di pasar desa.

Metode pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris dengan

menganalisis berbagai peraturan perundangan pendaftaran hak atas tanah dan

menganalisa dampaknya terhadap perekonomian sektor riil di pedesaan. Teknik

pengumpulan data meliputi, studi pustaka, observasi, dan dokumentasi.

Inovasi Layanan Tatamu Pade memiliki kelebihan yaitu mampu memberikan

dampak pada aspek ekonomi. Economic Value dari sertipikat yang diberikan

kepada pelaku ekonomi produktif melalui program Tatamu Pade dapat

membantu pelaku ekonomi memiliki Hak Atas Tanah yang sah secara hukum

sehingga sertipikat ini dapat digunakan sebagai jaminan bagi pelaku untuk

memperoleh pinjaman modal dengan nilai yang lebih tinggi. Hasil penelitian

terbukti sebanyak 2883 bidang tanah (realisasi 100% Prona 2016), dapat

menjaring 180 bidang tanah untuk modal usaha bagi masyarakat desa KUR BRI

sebesar Rp 6.286. 700.000. Legalisasi aset tanah masyarakat merupakan bagian

dari rangkaian pemberdayaan masyarakat desa (NAWACITA: membangun dari

pinggiran). Apabila desa mampu digerakkan secara ekonomi, maka kemajuan

desa dapat menyumbangkan arus uang (Cash Flow) yang sangat baik dalam

membangun bagi perekonomian negara. Kesejahteraan rakyat lebih baik dan

merata yang merupakan elemen utama dari reformasi agraria.

Kata Kunci: pendaftaran tanah, access reform, modal usaha

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tanah memiliki peran strategis dalam tatanan kehidupan manusia.

Kebutuhan tanah yang semakin besar sejalan dengan pertambahan jumlah

penduduk menyebabkan semakin banyak pula perebutan kepentingan atas

tanah. Keterkaitan tanah dengan berbagai perspektif di antaranya adalah

perspektif sosial, ekonomi, politik, ekonomi, dan budaya sehingga permasalahan

tanah berdampak cukup signifikan terhadap kondisi tersebut di suatu wilayah.

Hubungan hukum antara manusia dengan tanah, sedemikian rupa sehingga

dalam pemanfaatan dan penggunaan tanah mampu mewujudkan kondisi yang

kondusif bagi kehidupan dan penghidupan manusia mutlak perlu diupayakan

pengaturan demi ketertibannya. Kepastian hukum sebagai suatu jaminan bagi

pemilik tanah, pemerintah maupun pihak lain merupakan landasan pokok bagi

terselenggaranya tertib hukum bagi kehidupan dan penghidupan sosial, politik,

ekonomi, dan budaya.

Wujud peranan pemerintah dalam mengatur hubungan manusia dengan

tanah adalah pemberian kepastian hukum hak atas tanah melalui pendaftaran

tanah. Salah satu program tersebut meliputi percepatan pendaftaran tanah baik

secara sistematis maupun sporadis. Berdasarkan data dari Kementerian Agraria

Page 145: prosiding - ATR/BPN

138

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), saat ini baru 44,5 juta

bidang tanah yang tersertipikasi dan teregistrasi di seluruh wilayah Indonesia dari

sekitar 110 – 130 juta bidang tanah yang ada di luar kawasan hutan, sehingga

pada tahun 2025 ditargetkan 100% akan tersertipikasi dan teregistrasi. Sejak

diterbitkannya UUPA, pemerintah telah menyadari akan arti pentingnya kepastian

hukum terhadap kepemilikan hak atas tanah. Pasal 19 UUPA di antaranya

menyebutkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum, oleh Pemerintah

diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut

ketentuan – ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah UU No.5 Th

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Hal ini menunjukkan bahwa

penyelenggaraan pendaftaran tanah, yang merupakan kegiatan administrasi

pertanahan untuk memberikan jaminan kepastian hukum sebagaimana

dimaksudkan tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah.

Luasnya wilayah Indonesia dan besarnya jumlah bidang tanah yang harus

disertipikasi, menghadapi berbagai kendala dan kekurangan yang menjadi

tantangan di antaranya keterbatasan biaya, peralatan, SDM, dan sebagainya.

Penulis menarik untuk melakukan studi kasus mengenai dampak pendaftaran

tanah terhadap peningkatan ekonomi masyarakat peserta pensertifikatan di

Kabupaten Banjar.

Kabupaten Banjar merupakan salah satu wilayah dari 13 kota/kabupaten di

Provinsi Kalimantan Selatan yang sedang berkembang dalam perekonomian.

Mayoritas masyarakat adalah pelaku usaha kecil dan menengah yang bergerak

di berbagai bidang usaha, di antaranya pada bidang pertanian, perdagangan dan

jasa. Pertumbuhan penduduk yang meningkat sebanding dengan permintaan

akan tanah baik itu dipergunakan sebagai tempat tinggal maupun tempat usaha.

Dengan pendaftaran tanah, selain untuk melegalkan kepemilikan obyek tanah,

juga turut mengatur mengenai penataan dan penggunaan tanah, jadi suatu

wilayah lebih tertib dalam pemanfaatan ruang, sehingga tercipta keharmonisan

dalam masyarakat. Setiap tahun jumlah penerbitan sertipikat hak atas tanah

didorong selalu meningkat di Kabupaten Banjar, dapat dilihat tabel di bawah ini.

Page 146: prosiding - ATR/BPN

139

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), saat ini baru 44,5 juta

bidang tanah yang tersertipikasi dan teregistrasi di seluruh wilayah Indonesia dari

sekitar 110 – 130 juta bidang tanah yang ada di luar kawasan hutan, sehingga

pada tahun 2025 ditargetkan 100% akan tersertipikasi dan teregistrasi. Sejak

diterbitkannya UUPA, pemerintah telah menyadari akan arti pentingnya kepastian

hukum terhadap kepemilikan hak atas tanah. Pasal 19 UUPA di antaranya

menyebutkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum, oleh Pemerintah

diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut

ketentuan – ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah UU No.5 Th

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Hal ini menunjukkan bahwa

penyelenggaraan pendaftaran tanah, yang merupakan kegiatan administrasi

pertanahan untuk memberikan jaminan kepastian hukum sebagaimana

dimaksudkan tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah.

Luasnya wilayah Indonesia dan besarnya jumlah bidang tanah yang harus

disertipikasi, menghadapi berbagai kendala dan kekurangan yang menjadi

tantangan di antaranya keterbatasan biaya, peralatan, SDM, dan sebagainya.

Penulis menarik untuk melakukan studi kasus mengenai dampak pendaftaran

tanah terhadap peningkatan ekonomi masyarakat peserta pensertifikatan di

Kabupaten Banjar.

Kabupaten Banjar merupakan salah satu wilayah dari 13 kota/kabupaten di

Provinsi Kalimantan Selatan yang sedang berkembang dalam perekonomian.

Mayoritas masyarakat adalah pelaku usaha kecil dan menengah yang bergerak

di berbagai bidang usaha, di antaranya pada bidang pertanian, perdagangan dan

jasa. Pertumbuhan penduduk yang meningkat sebanding dengan permintaan

akan tanah baik itu dipergunakan sebagai tempat tinggal maupun tempat usaha.

Dengan pendaftaran tanah, selain untuk melegalkan kepemilikan obyek tanah,

juga turut mengatur mengenai penataan dan penggunaan tanah, jadi suatu

wilayah lebih tertib dalam pemanfaatan ruang, sehingga tercipta keharmonisan

dalam masyarakat. Setiap tahun jumlah penerbitan sertipikat hak atas tanah

didorong selalu meningkat di Kabupaten Banjar, dapat dilihat tabel di bawah ini.

Tabel 1 Jumlah Penerbitan Sertipikat Legalisasi Aset di Kabupaten Banjar

Tahun

Kegiatan Legalisasi Aset % Realisasi

Kegiatan dan

Anggaran Prona UKM

Nelayan

Tangkap

Nelayan

Budidaya

2015 1250 100 100 50 100%

2016 2884 100%

Sumber : Kantor Pertanahan Kabupaten Banjar (2016)

Permasalahan utama yang dihadapi dalam studi kasus ini ada dua.

Pertama, rendahnya kesadaran masyarakat desa di Kabupaten Banjar untuk

melakukan sertipikasi tanahnya sehingga belum memberikan kepastian hukum

penyebab terjadinya sengketa pertanahan. Masyarakat pedesaan di Kabupaten

Banjar lebih memilih tanahnya untuk tidak disertipikatkan. Proses sertipikat tanah

dihindari karena akan menjadi beban dalam pembayaran Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB), prosesnya memerlukan waktu lama, prosedurnya berbelit,

biayanya mahal, serta enggan berurusan dengan Kantor Pertanahan Kabupaten

Banjar yang lokasinya relatif cukup jauh. Sebagai contoh masyarakat di desa

Mangkauk, Kecamatan Simpang Empat atau Desa Bunipah, Kecamatan Aluh –

Aluh harus menempuh 50 KM untuk sampai ke Kantor Pertanahan Kabupaten

Banjar. Kedua, sertipikat yang dimiliki tidak mempunyai akses terhadap sumber

ekonomi sektor riil terutama dalam rangka penguatan modal usaha sehingga

belum maksimal dalam upaya perbaikan kesejahteraan sosial. Tanah yang

belum bersertipikat, perbankan belum dapat memberikan pinjaman secara

maksimal sebagai penunjang permodalan usaha. Masyarakat pedesaan

mempunyai tanah, akan tetapi tidak memiliki jalur akses mendapatkan uang

sebagai modal untuk merintis dan mengembangkan usaha.

Semangat reforma agraria yang mengacu pada TAP MPR Nomor

IX/MPR/2001 melalui program pendaftaran tanah selain bertujuan untuk

mempercepat pemberian kepastian hukum dan perlindungan hukum hak atas

tanah secara adil dan merata, juga dapat berperan dalam mendorong

pertumbuhan ekonomi negara dan ekonomi rakyat. Namun kenyataannya,

pelaksanaan sertipikasi tanah melalui Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona)

sekarang ini masih belum mempunyai nilai ekonomi (Economic Value) yang

dapat menggerakkan sektor riil perekonomian. Kegiatan Prona masih sebatas

pada legalitas tanahnya semata sehingga perlu dilakukan modifikasi inovasi

Page 147: prosiding - ATR/BPN

140

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

layanan pertanahan supaya memiliki nilai tambah dari sektor ekonomi.

Permasalahan yang menjadi tantangannya dimulai dari penentuan subyek dan

obyek hak atas tanah yang layak agar terarah dan menjadi tepat sasaran dalam

pelaksanaan akses permodalan.

Sesuai dengan amanat Nawa Cita membangun dari pinggiran, maka salah

satu fokus subyek dan obyek hak atas tanah pada pelaksanaan sertipikasi tanah

adalah masyarakat di pedesaan yang menguasai tanah dan memerlukan modal

usaha, tetapi tidak mempunyai akses permodalan. Program kegiatan sertipikasi

tanah oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

(ATR/BPN) selalu tingkatkan jumlahnya. Akan tetapi, peningkatan ini kurang

berdampak untuk menggerakkan aktivitas ekonomi masyarakat desa. Pada

kenyataannya pelaksanaan sertipikasi ini tidak menyentuh langsung kepada

pelaku ekonomi produktif. Biaya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah melalui

APBN dalam rangka sertipikasi menjadi kurang efektif dan efisien. Dengan kata

lain, dari sisi pendekatan Reformasi Agraria masyarakat sudah memiliki asset

reform berupa sertipikat tanah. Namun, dari sisi access reform masyarakat

ekonomi lemah tidak mempunyai akses terhadap modal usaha. Oleh karena itu,

diperlukan percepatan melalui berbagai terobosan baru salah satunya layanan

inovasi Sertipikasi Tanah sebagai Modal Usaha di Pasar Desa (Tatamu Pade) di

Kantor Pertanahan Kabupaten Banjar, yang memberi kemudahan pelaku usaha

untuk memperoleh akses terhadap modal, teknologi dan pasar.

1.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang terdapat dalam penulisan ini adalah

1. Apa yang dimaksud pelayanan pendaftaran tanah “Tatamu Pade”?

2. Bagaimana tahapan pelaksanaan pelayanan “Tatamu Pade”?

3. Apa saja kendala dan solusi dalam pelaksanaan “Tatamu Pade”?

4. Bagaimana dampak pendaftaran tanah terhadap akses modal usaha

masyarakat di pasar desa Kabupaten Banjar?

1.3. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui apa yang dimaksud pelayanan pendaftaran tanah “Tatamu

Pade”

2. Mendeskripsikan tahapan pelaksanaan pelayanan “Tatamu Pade”

3. Menjelaskan kendala dan solusi dalam pelaksanaan “Tatamu Pade”

Page 148: prosiding - ATR/BPN

141

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

layanan pertanahan supaya memiliki nilai tambah dari sektor ekonomi.

Permasalahan yang menjadi tantangannya dimulai dari penentuan subyek dan

obyek hak atas tanah yang layak agar terarah dan menjadi tepat sasaran dalam

pelaksanaan akses permodalan.

Sesuai dengan amanat Nawa Cita membangun dari pinggiran, maka salah

satu fokus subyek dan obyek hak atas tanah pada pelaksanaan sertipikasi tanah

adalah masyarakat di pedesaan yang menguasai tanah dan memerlukan modal

usaha, tetapi tidak mempunyai akses permodalan. Program kegiatan sertipikasi

tanah oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

(ATR/BPN) selalu tingkatkan jumlahnya. Akan tetapi, peningkatan ini kurang

berdampak untuk menggerakkan aktivitas ekonomi masyarakat desa. Pada

kenyataannya pelaksanaan sertipikasi ini tidak menyentuh langsung kepada

pelaku ekonomi produktif. Biaya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah melalui

APBN dalam rangka sertipikasi menjadi kurang efektif dan efisien. Dengan kata

lain, dari sisi pendekatan Reformasi Agraria masyarakat sudah memiliki asset

reform berupa sertipikat tanah. Namun, dari sisi access reform masyarakat

ekonomi lemah tidak mempunyai akses terhadap modal usaha. Oleh karena itu,

diperlukan percepatan melalui berbagai terobosan baru salah satunya layanan

inovasi Sertipikasi Tanah sebagai Modal Usaha di Pasar Desa (Tatamu Pade) di

Kantor Pertanahan Kabupaten Banjar, yang memberi kemudahan pelaku usaha

untuk memperoleh akses terhadap modal, teknologi dan pasar.

1.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang terdapat dalam penulisan ini adalah

1. Apa yang dimaksud pelayanan pendaftaran tanah “Tatamu Pade”?

2. Bagaimana tahapan pelaksanaan pelayanan “Tatamu Pade”?

3. Apa saja kendala dan solusi dalam pelaksanaan “Tatamu Pade”?

4. Bagaimana dampak pendaftaran tanah terhadap akses modal usaha

masyarakat di pasar desa Kabupaten Banjar?

1.3. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui apa yang dimaksud pelayanan pendaftaran tanah “Tatamu

Pade”

2. Mendeskripsikan tahapan pelaksanaan pelayanan “Tatamu Pade”

3. Menjelaskan kendala dan solusi dalam pelaksanaan “Tatamu Pade”

4. Mendeskripsikan dampak pelayanan pendaftaran tanah terhadap akses

modal usaha masyarakat di pasar desa Kabupaten Banjar

1.4. Manfaat Penulisan 1. Bagi pemerintah: hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

masukan atau bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan yang

berkaitan dengan dampak pendaftaran tanah terhadap sosial ekonomi

masyarakat di Kabupaten Banjar sehingga tidak terjadi ketimpangan

dalam hak kepemilikan hanya pada pemilik modal besar. Oleh karena itu

diharapkan Pendaftaran Tanah baik secara sistematis (PTSL) maupun

sporadis ini dapat menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan reforma

agraria.

2. Bagi masyarakat: Tanah tidak hanya dianggap sebagai komoditi yang

memiliki nilai ekonomi tetapi juga harus dipenuhi hakikatnya sebagai

sumberdaya yang harus dijaga keberlanjutannya untuk masa yang akan

datang.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi

pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data

fisik dan yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah

dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat

tanda bukti haknya bagi bidang bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak

milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

(Boedi Harsono: Hal. 474, 2005).

Pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

pemerintah untuk mengumpulkan data fisik dan data yuridis dari bidang-bidang

tanah yang akan didaftar. Sehingga dikatakan bahwa pendaftaran tanah

merupakan proses administrasi yang merupakan kewenangan dari Kantor

Pertanahan untuk menghasilkan sebuah sertipikat sebagai suatu tanda bukti hak

kepemilikan atas sebidang tanah (Silviana, 1997).

Seperti dikemukakan oleh Boedi Harsono, pendaftaran tanah sistematik

adalah: "Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara

serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar

Page 149: prosiding - ATR/BPN

142

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Pelaksanaan

pendaftaran tanah sistematik dalam implementasinya sering mengaitkan dengan

istilah Ajudikasi, yang mempunyai pengertian kegiatan dan proses dalam rangka

pendaftaran tanah untuk pertama kali secara sistematik, berupa pengumpulan

dan pemastian kebenaran data fisik dan yuridis mengenai sebidang tanah atau

lebih untuk keperluan pendaftarannya. Selanjutnya dikemukakan oleh Boedi

Harsono, yang dimaksud ajudikasi adalah: Kegiatan yang dilaksanakan dalam

rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan

penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa

obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.

Sasaran pembangunan di bidang pertanahan yaitu terwujudnya tertib

pertanahan, seperti tertuang dalam Keputusan Presiden No. 7 tahun 1979 yang

menghendaki terciptanya tertib pertanahan (Catur Tertib Pertanahan) yang

meliputi: Tertib Hukum Pertanahan, Tertib Administrasi Pertanahan, Tertib

Penggunaan Tanah, dan Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup.

1. Tertib Hukum Pertanahan

Tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan

secara efektif agar semua pihak yang menguasai dan menggunakan tanah

mempunyai hubungan hukum yang sah dengan tanah yang bersangkutan.

2. Tertib Administrasi Pertanahan

Merupakan keadaan di mana untuk setiap bidang telah tersedia aspek-aspek

ukuran fisik, penguasaan penggunaan, jenis hak dan kepastian hukumnya

yang dikelola dalam sistem informasi pertanahan lengkap. Selain hal

tersebut terdapat mekanisme prosedur, tata kerja pelayanan di bidang

pertanahan yang sederhana, cepat dan massal yang dilaksanakan secara

tertib dan konsisten (Chomzah, 2004).

3. Tertib Penggunaan Tanah

Tanah telah digunakan secara optimal, serasi dan seimbang sesuai dengan

potensinya, guna berbagai kegiatan kehidupan dan penghidupan yang

diperlukan untuk menunjang terwujudnya tujuan nasional, serta tidak

terdapat benturan kepentingan antar sektor dalam peruntukan penggunaan

tanah. Oleh karena itu, pelaksanaan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Tata

Ruang, dalam rangka pemberian aspek tata guna tanah, baik dalam

pemberian izin lokasi maupun dalam proses pemberian hak atas tanah,

harus disesuaikan dengan rencana tata ruang dan aspek lingkungan hidup

Page 150: prosiding - ATR/BPN

143

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Pelaksanaan

pendaftaran tanah sistematik dalam implementasinya sering mengaitkan dengan

istilah Ajudikasi, yang mempunyai pengertian kegiatan dan proses dalam rangka

pendaftaran tanah untuk pertama kali secara sistematik, berupa pengumpulan

dan pemastian kebenaran data fisik dan yuridis mengenai sebidang tanah atau

lebih untuk keperluan pendaftarannya. Selanjutnya dikemukakan oleh Boedi

Harsono, yang dimaksud ajudikasi adalah: Kegiatan yang dilaksanakan dalam

rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan

penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa

obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.

Sasaran pembangunan di bidang pertanahan yaitu terwujudnya tertib

pertanahan, seperti tertuang dalam Keputusan Presiden No. 7 tahun 1979 yang

menghendaki terciptanya tertib pertanahan (Catur Tertib Pertanahan) yang

meliputi: Tertib Hukum Pertanahan, Tertib Administrasi Pertanahan, Tertib

Penggunaan Tanah, dan Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup.

1. Tertib Hukum Pertanahan

Tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan

secara efektif agar semua pihak yang menguasai dan menggunakan tanah

mempunyai hubungan hukum yang sah dengan tanah yang bersangkutan.

2. Tertib Administrasi Pertanahan

Merupakan keadaan di mana untuk setiap bidang telah tersedia aspek-aspek

ukuran fisik, penguasaan penggunaan, jenis hak dan kepastian hukumnya

yang dikelola dalam sistem informasi pertanahan lengkap. Selain hal

tersebut terdapat mekanisme prosedur, tata kerja pelayanan di bidang

pertanahan yang sederhana, cepat dan massal yang dilaksanakan secara

tertib dan konsisten (Chomzah, 2004).

3. Tertib Penggunaan Tanah

Tanah telah digunakan secara optimal, serasi dan seimbang sesuai dengan

potensinya, guna berbagai kegiatan kehidupan dan penghidupan yang

diperlukan untuk menunjang terwujudnya tujuan nasional, serta tidak

terdapat benturan kepentingan antar sektor dalam peruntukan penggunaan

tanah. Oleh karena itu, pelaksanaan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Tata

Ruang, dalam rangka pemberian aspek tata guna tanah, baik dalam

pemberian izin lokasi maupun dalam proses pemberian hak atas tanah,

harus disesuaikan dengan rencana tata ruang dan aspek lingkungan hidup

agar pemanfaatannya tidak mengakibatkan terjadinya kerusakan tanah dan

sumber daya alam lainnya.

4. Tertib Pemeliharaan dan Lingkungan Hidup

Merupakan keadaan di mana penanganan bidang pertanahan telah dapat

menunjang kelestarian hidup dan terwujudnya pembangunan berkelanjutan

bernuansa lingkungan.

Menurut Pasal 9 PP No. 24 Tahun 1997, objek pendaftaran tanah meliputi:

a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak

guna bangunan dan hak pakai;

b. Tanah hak pengelolaan;

c. Tanah wakaf;

d. Hak milik atas satuan rumah susun;

e. Hak tanggungan;

f. Tanah negara (Boedi Harsono 1999: 476).

Tanah negara sebagai objek pendaftaran tanah, pendaftarannya dilakukan

dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah negara dalam

daftar tanah. Daftar tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat

identitas bidang tanah dengan suatu sistem penomoran. Untuk tanah negara

tidak disediakan buku tanah dan oleh karenanya di atas tanah negara tidak

diterbitkan sertipikat (Urip Santoso 2010: 30).

Dalam aturan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun

1997 Pasal 3 pendaftaran tanah bertujuan :

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada

pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak

lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai

pemegang hak yang bersangkutan.

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan

termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang

diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang

tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Tujuan memberikan jaminan kepastian hukum merupakan tujuan utama

dalam pendaftaran tanah sebagaimana yang ditetapkan oleh Pasal 19 UUPA,

maka memperoleh sertipikat, bukan sekedar fasilitas melainkan merupakan hak

Page 151: prosiding - ATR/BPN

144

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh Undang-undang (Boedi Harsono

1999: 472).

Adapun fungsi pendaftaran tanah menurut Prakoso dan Purwoto (1985:22)

disebutkan bahwa: Dengan diselenggarakan pendaftaran tanahnya adalah untuk

memperoleh alat pembuktian yang kuat tentang adanya perbuatan hukum

mengenai tanah. Alat bukti dimaksud adalah sertipikat yang di dalamnya

disebutkan adanya perbuatan hukum dan nama pemiliknya sekarang ialah

menerima atau yang memperoleh peralihan haknya.

2.2. Modal Usaha Pengertian modal usaha menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam

Listyawan Ardi Nugraha (2011:9) “modal usaha adalah uang yang dipakai

sebagai pokok (induk) untuk berdagang, melepas uang, dan sebagainya; harta

benda (uang, barang, dan sebagainya) yang dapat dipergunakan untuk

menghasilkan sesuatu yang menambah kekayaan”.

Modal dalam pengertian ini dapat diinterpretasikan sebagai sejumlah uang

yang digunakan dalam menjalankan kegiatan-kegiatan bisnis. Banyak kalangan

yang memandang bahwa modal uang bukanlah segala-galanya dalam sebuah

bisnis. Namun perlu dipahami bahwa uang dalam sebuah usaha sangat

diperlukan. Yang menjadi persoalan di sini bukanlah penting tidaknya modal,

karena keberadaannya memang sangat diperlukan, akan tetapi bagaimana

mengelola modal secara optimal sehingga bisnis yang dijalankan dapat berjalan

lancar (Amirullah, 2005:7).

Tambahan modal kerja yang diperlukan pelaku usaha tersebut dapat

diperoleh dari pinjaman/kredit. UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU

Nomor 7 tahun 1992, pasal 1 ayat 11, kredit adalah penyediaan uang atau

tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan tujuan atau

kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan

pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan

pemberian bunga.

Kasmir (2003) kredit dapat digolongkan di antaranya berdasarkan.

1. Segi kegunaan kredit

a. Kredit investasi. Merupakan kredit yang digunakan untuk keperluan

perluasan usaha atau membangun pabrik baru.

Page 152: prosiding - ATR/BPN

145

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh Undang-undang (Boedi Harsono

1999: 472).

Adapun fungsi pendaftaran tanah menurut Prakoso dan Purwoto (1985:22)

disebutkan bahwa: Dengan diselenggarakan pendaftaran tanahnya adalah untuk

memperoleh alat pembuktian yang kuat tentang adanya perbuatan hukum

mengenai tanah. Alat bukti dimaksud adalah sertipikat yang di dalamnya

disebutkan adanya perbuatan hukum dan nama pemiliknya sekarang ialah

menerima atau yang memperoleh peralihan haknya.

2.2. Modal Usaha Pengertian modal usaha menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam

Listyawan Ardi Nugraha (2011:9) “modal usaha adalah uang yang dipakai

sebagai pokok (induk) untuk berdagang, melepas uang, dan sebagainya; harta

benda (uang, barang, dan sebagainya) yang dapat dipergunakan untuk

menghasilkan sesuatu yang menambah kekayaan”.

Modal dalam pengertian ini dapat diinterpretasikan sebagai sejumlah uang

yang digunakan dalam menjalankan kegiatan-kegiatan bisnis. Banyak kalangan

yang memandang bahwa modal uang bukanlah segala-galanya dalam sebuah

bisnis. Namun perlu dipahami bahwa uang dalam sebuah usaha sangat

diperlukan. Yang menjadi persoalan di sini bukanlah penting tidaknya modal,

karena keberadaannya memang sangat diperlukan, akan tetapi bagaimana

mengelola modal secara optimal sehingga bisnis yang dijalankan dapat berjalan

lancar (Amirullah, 2005:7).

Tambahan modal kerja yang diperlukan pelaku usaha tersebut dapat

diperoleh dari pinjaman/kredit. UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU

Nomor 7 tahun 1992, pasal 1 ayat 11, kredit adalah penyediaan uang atau

tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan tujuan atau

kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan

pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan

pemberian bunga.

Kasmir (2003) kredit dapat digolongkan di antaranya berdasarkan.

1. Segi kegunaan kredit

a. Kredit investasi. Merupakan kredit yang digunakan untuk keperluan

perluasan usaha atau membangun pabrik baru.

b. Kredit modal kerja. Kredit yang dipergunakan untuk membiayai

kebutuhan modal kerja suatu perusahaan yang pada umumnya

berjangka waktu pendek,maksimal satu tahun

2. Dilihat dari segi tujuan kredit.

a. Kredit produktif

b. Kredit konsumtif

c. Kredit perdagangan 2.3. Reforma Agraria

Reformasi agraria adalah suatu istilah yang dapat merujuk kepada dua hal.

Secara sempit istilah tersebut merujuk pada distribusi ulang (redistribusi) lahan

pertanian atas prakarsa atau dukungan pemerintah (lihat reformasi pertanahan

(land reform)); sedangkan secara luas istilah tersebut merujuk pada peralihan

sistem agraria suatu negara secara keseluruhan, yang sering kali juga meliputi

reformasi pertanahan.

Pada hakekatnya, tujuan dilaksanakannya reformasi agraria adalah untuk

meningkatkan kesejahteraan kaum tani miskin sehingga reformasi agraria dapat

berperan sebagai akses reform dan aset reform. Jika secara aset reform, reforma

agraria hanya dipahami sebagai kebijakan untuk redistribusi tanah, tetapi secara

akses reform juga berfungsi sebagai proses yang lebih luas seperti akses ke

sumber daya alam, keuangan/modal, teknologi, pasar barang dan tenaga kerja,

dan juga distribusi kekuatan politik (Arisaputra, 2016). Pemerataan penguasaan

tanah di pedesaan sebagai hasil dari reformasi agraria akan menghasilkan

peningkatan kesejahteraan warga desa. Reforma agraria memainkan peran

penting dalam perang melawan kemiskinan pedesaan. Sasaran utama reforma

agraria adalah terciptanya keadilan sosial yang ditandai dengan adanya keadilan

agraria.

Pada implementasinya, redistribusi tanah baru mencapai 1 persen dari target

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN)

dan 13.000 ha dengan skema pengakuan hutan adat oleh Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pemerintah melaporkan telah melakukan redistribusi tanah sekitar 4,2 %

dari target. Lambatnya proses pelaksanaan akibat ketiadaan visi reforma agraria

dan lemahnya inisiatif Kementerian ATR/BPN memimpin, mengoordinasikan

kementerian lain, dan kelompok masyarakat sipil rencana pelaksanaan reforma

Page 153: prosiding - ATR/BPN

146

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

agraria. Ini menyebabkan kerangka regulasi operasional reforma agraria yang

hendak dijalankan pemerintah belum optimal (Kompas, edisi 16/02/2017).

3. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian Penelitian lapangan (fieldwork) ini dilakukan secara kualitatif. Cara yang

digunakan untuk memperoleh data dengan metode kualitatif yaitu melalui

wawancara. Pengambilan sampel responden dilakukan dengan purposive

sampling.

3.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan.

Penelitian dilaksanakan selama satu tahun anggaran pada bulan Januari sampai

dengan Desember 2016.

3.3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data kualitatif dengan catatan harian. Data yang

diperoleh dapat berupa data primer dan data sekunder. Data primer didapat

melalui wawancara mendalam kepada informan dan responden, dan

pengamatan berperan serta terbatas. Data sekunder didapat dengan studi

dokumen yaitu menguatkan dan melengkapi terhadap data-data yang di dapat

melalui wawancara dan pengamatan berperan serta terbatas. Pilihan informan

dilakukan dengan cara sengaja (purposive).

3.4. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan mereduksi data.

Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan secara sistematis dan

akurat mengenai fakta-fakta dari fenomena yang diteliti. Pereduksian data-data

yang diperoleh disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Data primer dan

sekunder yang diperoleh di lapangan direduksi yaitu dengan penyederhanaan

data yang didapat dalam penelitian. Penyederhanaan data dilakukan untuk

menajamkan, menggolongkan dan mengarahkan data yang sesuai dengan yang

diperlukan dalam penelitian. Data yang dikumpulkan melalui survai akan dientri

ke dalam program Microsoft Excel. Data diolah dan dianalisis untuk mengetahui

keadaan masyarakat sebelum dan sesudahnya adanya program pendaftaran

tanah.

Page 154: prosiding - ATR/BPN

147

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

agraria. Ini menyebabkan kerangka regulasi operasional reforma agraria yang

hendak dijalankan pemerintah belum optimal (Kompas, edisi 16/02/2017).

3. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian Penelitian lapangan (fieldwork) ini dilakukan secara kualitatif. Cara yang

digunakan untuk memperoleh data dengan metode kualitatif yaitu melalui

wawancara. Pengambilan sampel responden dilakukan dengan purposive

sampling.

3.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan.

Penelitian dilaksanakan selama satu tahun anggaran pada bulan Januari sampai

dengan Desember 2016.

3.3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data kualitatif dengan catatan harian. Data yang

diperoleh dapat berupa data primer dan data sekunder. Data primer didapat

melalui wawancara mendalam kepada informan dan responden, dan

pengamatan berperan serta terbatas. Data sekunder didapat dengan studi

dokumen yaitu menguatkan dan melengkapi terhadap data-data yang di dapat

melalui wawancara dan pengamatan berperan serta terbatas. Pilihan informan

dilakukan dengan cara sengaja (purposive).

3.4. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan mereduksi data.

Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan secara sistematis dan

akurat mengenai fakta-fakta dari fenomena yang diteliti. Pereduksian data-data

yang diperoleh disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Data primer dan

sekunder yang diperoleh di lapangan direduksi yaitu dengan penyederhanaan

data yang didapat dalam penelitian. Penyederhanaan data dilakukan untuk

menajamkan, menggolongkan dan mengarahkan data yang sesuai dengan yang

diperlukan dalam penelitian. Data yang dikumpulkan melalui survai akan dientri

ke dalam program Microsoft Excel. Data diolah dan dianalisis untuk mengetahui

keadaan masyarakat sebelum dan sesudahnya adanya program pendaftaran

tanah.

4. PEMBAHASAN 4.1. Layanan Tatamu Pade

Layanan Tatamu Pade merupakan salah satu inovasi layanan pertanahan

berupa kegiatan pendaftaran tanah pertama kali bagi segenap lapisan

masyarakat terutama bagi golongan ekonomi lemah dan pelaku ekonomi

produktif di pasar desa. “Tatamu Pade” secara harfiah dapat diartikan bertemu

dengan paman yang biasanya identik dengan memberikan uang kepada

kemenakan. Namun, Tatamu Pade ini merupakan akronim dari Sertipikasi Tanah

sebagai Modal Usaha di Pasar Desa. Pendekatan Layanan Tatamu Pade ini

menghubungkan antara ATR/BPN, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah

(UMKM) dan perbankan sehingga terbuka aksesnya terhadap modal, teknologi

dan pasar. Layanan ini memadukan fungsi ATR/BPN, Perbankan dan Satuan

Kerja Teknis Pemerintah Daerah (SKPD) ke dalam satu tim pelaksana dengan

Leading sector nya adalah ATR/BPN. Tim akan menelusuri dan menjaring target

di Pasar Desa. Penekanan pada Pasar Desa ini perlu dilakukan untuk menjamin

ketepatan target, bahwa target benar-benar pelaku UMKM yang mempunyai

tanah tetapi masih belum bersertipikat.

Target pelaku UMKM yang belum bersertipikat akan dilakukan kegiatan

sertipikasi tanah melalui kegiatan legalisasi aset (Prona) yang dibiayai oleh

APBN dan dihubungkan dengan perbankan serta dibina oleh instansi teknis.

Inovasi kreatif yang ditawarkan mengacu pada sasaran pelaku pasar untuk

meningkatkan usaha sektor riil. Pelaku UMKM masih berkutat dengan masalah

klasik, yakni kerap dinilai tidak mampu memenuhi syarat perbankan (bankable).

Padahal, secara prospek, banyak UKMM memiliki usaha yang layak untuk

diberikan akses perbankan (feasible). Akibatnya, tidak semua UMKM mampu

mengakses kredit usaha rakyat (KUR). Padahal, KUR diperuntukkan kepada

masyakarat kecil, termasuk para pelaku UMKM.

Selama ini kegiatan legalisasi aset yang dibiayai oleh Pemerintah

khususnya Prona kurang mengandung unsur pemberdayaan masyarakat pelaku

Usaha Mikro dan Kecil. Kita ketahui bahwa target legalisasi aset Prona adalah

masyarakat ekonomi lemah secara keseluruhan dan dilaksanakan kurang

terhubung dengan kegiatan pasca legalisasi aset. Dengan Layanan Tatamu

Pade ini sertipikasi Hak Atas Tanah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari

upaya pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat Usaha Mikro dan

Kecil. Dipastikan bahwa biaya yang dikeluarkan Pemerintah dalam rangka

Page 155: prosiding - ATR/BPN

148

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

legalisasi aset menjadi pemicu munculnya pelaku ekonomi mikro dan kecil, serta

memicu mobilisasi pengusaha mikro dan kecil menjadi pengusaha menengah.

Langkah-langkah yang akan dilaksanakan di antaranya dengan

membangun kebersamaan dengan pemangku kepentingan (stake holder),

sosialisasi kepada masyarakat di Pasar Desa, penentuan target, pelaksanaan,

serta evaluasi dan pelaporan. Sehingga manfaat inovasi yang diperoleh dari

layanan ini yaitu terbangunnya sinergi antar lembaga pemerintah, percepatan

pendaftaran Hak Atas Tanah, biaya yang dikeluarkan pemerintah memiliki

multiplier effect, tersedianya akses masyarakat terhadap modal teknologi dan

pasar, munculnya pengusaha ekonomi mikro dan kecil, berkembangnya

pengusaha ekonomi mikro dan kecil menjadi pengusaha ekonomi menengah

serta terbangunnya ekonomi pedesaan.

Sebagai layanan inovasi, Tatamu Pade harus memiliki nilai pembeda

dengan layanan yang sudah ada. Jika prona hanya menyasar masyarakat

kalangan tidak mampu untuk memiliki sertipikat. Maka, layanan Tatamu Pade

terdapat dua output konkrit dari pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka

meningkatkan akses reform sertipikat tanah sebagai modal usaha di pasar desa.

1. Sertipikat hak milik digunakan untuk jaminan kepastian hukum dan tanda

bukti kepemilikan asset tanah milik masyarakat. Masyarakat yang sudah

memiliki sertipikat tanah dapat mengakses layanan modal usaha ke BRI

Cabang Martapura dan Unit – unit di wilayah Kabupaten Banjar.

2. Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai modal usaha bagi masyarakat desa

terkumpul sebanyak 180 bidang tanah dengan nilai total pinjaman di BRI

sebesar Rp6.286.700.000,00 (enam milyar dua ratus delapan puluh enam

juta tujuh ratus ribu rupiah).

4.2. Pelaksanaan Layanan Pendaftaran Tanah “Tatamu Pade” di Pasar Desa Pelaksanaan layanan pendaftaran tanah di pasar desa sebagai modal

usaha terdiri atas tiga tahapan, yaitu:

1) Pra sertipikasi hak atas tanah

a. Menjaring dan menyeleksi pelaku usaha/calon penerima Kredit Usaha

Rakyat (KUR) yang diakukan oleh BRI Cabang Martapura dan unit -

unitnya.

Page 156: prosiding - ATR/BPN

149

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

legalisasi aset menjadi pemicu munculnya pelaku ekonomi mikro dan kecil, serta

memicu mobilisasi pengusaha mikro dan kecil menjadi pengusaha menengah.

Langkah-langkah yang akan dilaksanakan di antaranya dengan

membangun kebersamaan dengan pemangku kepentingan (stake holder),

sosialisasi kepada masyarakat di Pasar Desa, penentuan target, pelaksanaan,

serta evaluasi dan pelaporan. Sehingga manfaat inovasi yang diperoleh dari

layanan ini yaitu terbangunnya sinergi antar lembaga pemerintah, percepatan

pendaftaran Hak Atas Tanah, biaya yang dikeluarkan pemerintah memiliki

multiplier effect, tersedianya akses masyarakat terhadap modal teknologi dan

pasar, munculnya pengusaha ekonomi mikro dan kecil, berkembangnya

pengusaha ekonomi mikro dan kecil menjadi pengusaha ekonomi menengah

serta terbangunnya ekonomi pedesaan.

Sebagai layanan inovasi, Tatamu Pade harus memiliki nilai pembeda

dengan layanan yang sudah ada. Jika prona hanya menyasar masyarakat

kalangan tidak mampu untuk memiliki sertipikat. Maka, layanan Tatamu Pade

terdapat dua output konkrit dari pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka

meningkatkan akses reform sertipikat tanah sebagai modal usaha di pasar desa.

1. Sertipikat hak milik digunakan untuk jaminan kepastian hukum dan tanda

bukti kepemilikan asset tanah milik masyarakat. Masyarakat yang sudah

memiliki sertipikat tanah dapat mengakses layanan modal usaha ke BRI

Cabang Martapura dan Unit – unit di wilayah Kabupaten Banjar.

2. Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai modal usaha bagi masyarakat desa

terkumpul sebanyak 180 bidang tanah dengan nilai total pinjaman di BRI

sebesar Rp6.286.700.000,00 (enam milyar dua ratus delapan puluh enam

juta tujuh ratus ribu rupiah).

4.2. Pelaksanaan Layanan Pendaftaran Tanah “Tatamu Pade” di Pasar Desa Pelaksanaan layanan pendaftaran tanah di pasar desa sebagai modal

usaha terdiri atas tiga tahapan, yaitu:

1) Pra sertipikasi hak atas tanah

a. Menjaring dan menyeleksi pelaku usaha/calon penerima Kredit Usaha

Rakyat (KUR) yang diakukan oleh BRI Cabang Martapura dan unit -

unitnya.

b. Hasil penjaringan dan seleksi penerima KUR disampaikan kepada Kantor

Pertanahan Kabupaten Banjar untuk ditetapkan sebagai peserta program

sertipikasi tanah.

KUR BRI terdiri dari KUR Mikro, KUR Ritel, dan KUR TKI dengan plafon

pinjaman sebagai berikut:

a. KUR Mikro: kredit modal kerja/investasi dengan plafon s.d Rp 25

juta/debitur;

b. KUR Ritel: kredit modal kerja/investasi kepada debitur yang memiliki

usaha produktif dan layak dengan plafon > Rp 25 juta s.d Rp 500 juta per

debitur;

c. KUR TKI diberikan untuk membiayai keberangkatan calon TKI ke negara

penempatan dengan plafon s.d 25 juta.

2) Sertipikasi hak atas tanah

Pelaksanaan sertipikasi hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan Kabupaten

Banjar dengan menggunakan skema Prona yang meliputi:

a. Persiapan (Sosialisasi, Pembentukan Tim, dan Penetapan Lokasi)

Tahapan sosialisasi dimulai dengan rapat konsolidasi dengan BRI

Martapura dan memberikan informasi secara luas melalui brosur dan

Televisi Lokal: Duta TV mengenai layanan sertipikat tanah sebagai modal

usaha di pasar desa. Lokasi tanah dari usulan penerima/calon penerima

KUR BRI yang ditetapkan berdasarkan SK Nomor: 02/KEP-

63.03.100/I/2016 Tanggal 11 Januari 2016 dan pembentukan tim

pelaksana sertipikasi tanah SK Nomor: 04/KEP-63.03.100/I/2016 Tanggal

14 Januari 2016.

Page 157: prosiding - ATR/BPN

150

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Gambar 1. Dokumentasi sosialisasi dan konsolidasi dengan BRI wilayah

Kab. Banjar serta penyerahan hibah mobil oleh Bupati Banjar untuk

operasional Tatamu Pade

b. Penyuluhan

Penyuluhan dilakukan oleh pegawai Kantor Pertanahan Kab. Banjar

bersama pihak BRI dan unit Kab. Banjar ke lokasi pasar desa. Berikut

jadwal pelaksanaan penyuluhan kegiatan sertipikasi tanah sebagai modal

usaha.

Tabel 2. Jadwal pelaksanaan penyuluhan kegiatan sertipikasi tanah

No. Waktu Pelaksanaan Tempat Penyuluhan

1 Sabtu, 20 Februari 2016 Pasar Kindai Limpuar, Kec. Gambut

2 Minggu, 21 Februari 2016 Pasar Ahad, Kec. Kertak Hanyar

3 Kamis, 3 Maret 2016 Pasar Astambul, Kec. Astambul

4 Minggu, 13 Maret 2016 Pasar Sungkai, Kec. Simpang Empat

5 Sabtu, 19 Maret 2016 Pasar Sungai Tabuk, Kec. Sungai Tabuk

6 Sabtu, 9 April 2016 Pasar Jati, Kec. Mataraman

7 Selasa, 12 April 2016 Desa Indrasari, Kec. Martapura

8 Senin, 18 April 2016 Desa Antasan Senor, Kec. Martapura

Timur

9 Kamis, 21 April 2016 Desa Keliling Benteng Tengah, Kec.Mtp

Barat

10 Selasa, 26 April 2016 Desa Mandiangin Timur, Kec. Karang

Intan

11 Sabtu, 30 April 2016 Desa Aluh-aluh besar, kec. Aluh -aluh

12 Sabtu, 7 Mei 2016 Desa Mangkaok, Kec. Pangaron

Page 158: prosiding - ATR/BPN

151

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Gambar 1. Dokumentasi sosialisasi dan konsolidasi dengan BRI wilayah

Kab. Banjar serta penyerahan hibah mobil oleh Bupati Banjar untuk

operasional Tatamu Pade

b. Penyuluhan

Penyuluhan dilakukan oleh pegawai Kantor Pertanahan Kab. Banjar

bersama pihak BRI dan unit Kab. Banjar ke lokasi pasar desa. Berikut

jadwal pelaksanaan penyuluhan kegiatan sertipikasi tanah sebagai modal

usaha.

Tabel 2. Jadwal pelaksanaan penyuluhan kegiatan sertipikasi tanah

No. Waktu Pelaksanaan Tempat Penyuluhan

1 Sabtu, 20 Februari 2016 Pasar Kindai Limpuar, Kec. Gambut

2 Minggu, 21 Februari 2016 Pasar Ahad, Kec. Kertak Hanyar

3 Kamis, 3 Maret 2016 Pasar Astambul, Kec. Astambul

4 Minggu, 13 Maret 2016 Pasar Sungkai, Kec. Simpang Empat

5 Sabtu, 19 Maret 2016 Pasar Sungai Tabuk, Kec. Sungai Tabuk

6 Sabtu, 9 April 2016 Pasar Jati, Kec. Mataraman

7 Selasa, 12 April 2016 Desa Indrasari, Kec. Martapura

8 Senin, 18 April 2016 Desa Antasan Senor, Kec. Martapura

Timur

9 Kamis, 21 April 2016 Desa Keliling Benteng Tengah, Kec.Mtp

Barat

10 Selasa, 26 April 2016 Desa Mandiangin Timur, Kec. Karang

Intan

11 Sabtu, 30 April 2016 Desa Aluh-aluh besar, kec. Aluh -aluh

12 Sabtu, 7 Mei 2016 Desa Mangkaok, Kec. Pangaron

c. Pengumpulan Data Yuridis

Agar efektif dan efisien, pengumpulan data yuridis dilaksanakan secara

bersamaan waktunya dengan penyuluhan di pasar – pasar desa

sekaligus juga menjaring pelaku usaha/calon penerima KUR selain yang

bersumber dari usulan bank pada tahapan pra sertipikasi tanah hingga

berkas dinyatakan lengkap secara aspek hukum pertanahan dan aspek

hukum perbankan.

Gambar 2. Dokumentasi kegiatan penyuluhan sekaligus pengumpulan data

yuridis di Pasar Kindai Limpuar Kecamatan Gambut dan Pasar Ahad

Kecamatan Kertak Hanyar.

d. Pengukuran Bidang Tanah

Proses ini untuk memastikan letak, batas, dan luas bidang tanah yang

memenuhi persyaratan teknis untuk ditetapkan dan/atau diberikan hak

atas tanah kepada pemiliknya sebagai subyek hak. Output dari kegiatan

ini berupa Peta Bidang Tanah (PBT).

e. Pemeriksaan Tanah

Pemeriksaan tanah dilakukan untuk memastikan keterangan yang

tertuang di dalam data yuridis sesuai dengan keadaan di lapangan.

Dilakukan dengan cara menggali informasi yang meliputi kesesuaian

nama dan profesi peserta. Membandingkan keterangan yang tertera di

dalam dokumen/data yuridis dengan kesesuaian dengan kondisi

penguasaan, penggunaan tanah, kesesuaian letak, serta batas dan luas

yang tertuang dalam data fisik (PBT) dengan kenyataan di lapangan.

Page 159: prosiding - ATR/BPN

152

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Hasil pemeriksaan tanah tertuang dalam Risalah Panitia Pemeriksaan

Tanah.

f. Penerbitan Surat Keputusan Pemberian Hak

Berdasarkan Risalah Panitia Pemeriksaan Tanah tersebut ditindaklanjuti

oleh panitia pemeriksaan tanah dengan menyiapkan naskah Surat

Keputusan Penetapan Hak yang ditandatangani oleh Kepala Kantor

Pertanahan. Dalam rangka penerbitan SK Pemberian Hak, bagi para

pihak yang mampu membayar BPHTB, bukti pembayaran dibawa pada

saat pendaftaran hak. Namun, apabila peserta tidak mampu memenuhi

BPHTB, maka yang bersangkutan dapat membuat permohonan

keringanan pembayaran BPHTB ke Dinas Pendapatan Daerah

Kabupaten Banjar.

g. Penerbitan dan Penyerahan Sertipikat

Sertipikat Hak Atas Tanah yang sudah ditandatangani oleh Kepala Kantor

Pertanahan diserahkan kepada pemegang hak atau kuasanya (BRI

wilayah Kab. Banjar) untuk mendapatkan modal usaha. Pada

pelaksanaannya terdapat 180 pelaku usaha yang mendapatkan KUR BRI

dari Rp5000.000,00 s.d. Rp150.000.000,00 dengan perincian sebagai

berikut.

Tabel 3. Rincian modal pinjaman KUR BRI

Rentang Nilai

Pinjaman

Jumlah

KUR Mikro

Jumlah

KUR Ritel Jumlah Pinjaman KUR

s.d. Rp25.000.000,00 99

Orang/Bdg

Rp1.940.000.000

>Rp25.000.000,00–

Rp150.000.000,00

81

Orang/Bdg Rp 4.346.700.000

TOTAL 180 Orang/Bidang Rp 6.286.700.000

Rata-rata KUR/bidang Rp34.926.000

3) Pasca sertipikasi hak atas tanah

Kegiatan pasca sertipikasi tanah merupakan kegiatan yang dilakukan oleh

Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Kabupaten Banjar yang

meliputi pembinaan, pengembangan, dan pemberdayaan masyarakat. Kantor

Pertanahan Kabupaten Banjar berperan dalam bentuk fasilitas dan

pendampingan ke akses permodalannya yang dilaksanakan oleh BRI wilayah

Page 160: prosiding - ATR/BPN

153

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Hasil pemeriksaan tanah tertuang dalam Risalah Panitia Pemeriksaan

Tanah.

f. Penerbitan Surat Keputusan Pemberian Hak

Berdasarkan Risalah Panitia Pemeriksaan Tanah tersebut ditindaklanjuti

oleh panitia pemeriksaan tanah dengan menyiapkan naskah Surat

Keputusan Penetapan Hak yang ditandatangani oleh Kepala Kantor

Pertanahan. Dalam rangka penerbitan SK Pemberian Hak, bagi para

pihak yang mampu membayar BPHTB, bukti pembayaran dibawa pada

saat pendaftaran hak. Namun, apabila peserta tidak mampu memenuhi

BPHTB, maka yang bersangkutan dapat membuat permohonan

keringanan pembayaran BPHTB ke Dinas Pendapatan Daerah

Kabupaten Banjar.

g. Penerbitan dan Penyerahan Sertipikat

Sertipikat Hak Atas Tanah yang sudah ditandatangani oleh Kepala Kantor

Pertanahan diserahkan kepada pemegang hak atau kuasanya (BRI

wilayah Kab. Banjar) untuk mendapatkan modal usaha. Pada

pelaksanaannya terdapat 180 pelaku usaha yang mendapatkan KUR BRI

dari Rp5000.000,00 s.d. Rp150.000.000,00 dengan perincian sebagai

berikut.

Tabel 3. Rincian modal pinjaman KUR BRI

Rentang Nilai

Pinjaman

Jumlah

KUR Mikro

Jumlah

KUR Ritel Jumlah Pinjaman KUR

s.d. Rp25.000.000,00 99

Orang/Bdg

Rp1.940.000.000

>Rp25.000.000,00–

Rp150.000.000,00

81

Orang/Bdg Rp 4.346.700.000

TOTAL 180 Orang/Bidang Rp 6.286.700.000

Rata-rata KUR/bidang Rp34.926.000

3) Pasca sertipikasi hak atas tanah

Kegiatan pasca sertipikasi tanah merupakan kegiatan yang dilakukan oleh

Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Kabupaten Banjar yang

meliputi pembinaan, pengembangan, dan pemberdayaan masyarakat. Kantor

Pertanahan Kabupaten Banjar berperan dalam bentuk fasilitas dan

pendampingan ke akses permodalannya yang dilaksanakan oleh BRI wilayah

kerja Kab. Banjar dalam rangka peningkatan modal usaha dan penguatan

ekonomi riil di pedesaan.

4.3. Kendala dan Solusi Pelaksanaan Layanan Pendaftaran Tanah “Tatamu Pade” di Pasar Desa Dalam pelaksanaan sertipikasi tanah sebelumnya, tidak dilakukan

penelusuran mengenai identitas kawasan. Sehingga terlanjur dilakukan

pengukuran pada beberapa lahan yang termasuk ke dalam kawasan hutan.

Selain itu, munculnya kendala karena beberapa desa di Kabupaten Banjar

lumayan pelosok dan jauh dari pusat kabupaten Banjar tempat kantor

pertanahan, sehingga kesulitan akses untuk mendapatkan informasi seputar

sertipikasi tanah.

Kendala yang dihadapi dan solusi penyelesaian dalam pelaksanaan

layanan pendaftaran tanah sebagai modal usaha di pasar desa, di antaranya

sebagai berikut.

Tabel 4. Kendala dan Solusi Pelaksanaan

No. Kendala Solusi 1 Masyarakat di pedesaan

kebanyakan belum

mempunyai surat – surat

tanah/bukti kepemilikan dan

Surat Pemberitahuan Pajak

Terhutang Pajak Bumi dan

Bangunan (SPPT PBB).

Perangkat pemerintah (RT, RW, Kepala

Desa/ Lurah, dan Camat menjalin kerjasama

(MOU) dengan Kantor Pertanahan Kab.

Banjar untuk membantu mempercepat

pembuatan surat tanah/ bukti kepemilikan

tanah dan SPPT PBB serta turut membantu

mendaftarkan permohonan SPPT PBB

secara kolektif ke Dispenda Kab. Banjar.

Selain itu, mengadakan pembinaan

Administrasi Pertanahan Desa kepada

seluruh Lurah dan Desa di wilayah kerja

Kab. Banjar supaya seragam bentuk dan

isinya.

2 Sulitnya menghadirkan pemilik

tanah yang berbatasan saat

pelaksanaan pengukuran

bidang tanah.

Peserta Program membuat Berita Acara

bahwa tetangga yang berbatasan tersebut

sulit untuk ditemui. Kesanggupan perserta

program untuk bertanggungjawab secara

mutlak apabila di kemudian hari muncul

keberatan dari pemilik tanah yang

Page 161: prosiding - ATR/BPN

154

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

berbatasan yang dituangkan dalam Berita

Acara tersebut.

3 Lokasi tanah sebagai obyek

sertipikasi terindikasi masuk ke

dalam kawasan hutan

berdasarkan Kemenhut Nomor

SK: 435/Menhut-II/2009 Tgl.

23 Juli 2009. Ada 3 Bidang

yang termasuk Kawasan hutan

di Desa Awang Bangkal Barat

Kec. Karang Intan.

Mengajukan permohonan pelepasan fungsi

kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan.

Ini merupakan solusi jangka panjang

mengingat prosedur dan mekanisme

pelepasan kawasan hutan yang melibatkan

antar kementerian.

4.4. Dampak Pelaksanaan Layanan Pendaftaran Tanah di Pasar Desa

sebagai Modal Usaha Dampak dari kebijakan dan program layanan pendaftaran tanah di pasar

desa sebagai modal usaha, yaitu:

1. Terbangunnya sinergi antar lembaga Pemerintah;

2. Percepatan pendaftaran hak atas tanah;

3. Biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka legalisasi aset tanah

mempunyai multiplier efek terutama dalam sosial ekonomi masyarakat;

4. Tersedianya akses masyarakat terhadap modal, teknologi, dan pasar;

5. Menumbuhkan dan mengembangkan pengusaha ekonomi mikro dan kecil;

6. Berkembangnya pengusaha ekonomi mikro dan kecil menjadi pengusaha

ekonomi menengah dengan jenis usaha bahan pokok, barang kebutuhan

rumah tangga, pakaian dan lain sebagainya; serta

7. Terbangunnya ekonomi yang berbasis dari pedesaan dan daerah pinggiran.

Perbedaan sebelum dan sesudah dari kebijakan dan program layanan

pendaftaran tanah dapat diamati dalam tabel berikut ini:

Page 162: prosiding - ATR/BPN

155

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

berbatasan yang dituangkan dalam Berita

Acara tersebut.

3 Lokasi tanah sebagai obyek

sertipikasi terindikasi masuk ke

dalam kawasan hutan

berdasarkan Kemenhut Nomor

SK: 435/Menhut-II/2009 Tgl.

23 Juli 2009. Ada 3 Bidang

yang termasuk Kawasan hutan

di Desa Awang Bangkal Barat

Kec. Karang Intan.

Mengajukan permohonan pelepasan fungsi

kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan.

Ini merupakan solusi jangka panjang

mengingat prosedur dan mekanisme

pelepasan kawasan hutan yang melibatkan

antar kementerian.

4.4. Dampak Pelaksanaan Layanan Pendaftaran Tanah di Pasar Desa

sebagai Modal Usaha Dampak dari kebijakan dan program layanan pendaftaran tanah di pasar

desa sebagai modal usaha, yaitu:

1. Terbangunnya sinergi antar lembaga Pemerintah;

2. Percepatan pendaftaran hak atas tanah;

3. Biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka legalisasi aset tanah

mempunyai multiplier efek terutama dalam sosial ekonomi masyarakat;

4. Tersedianya akses masyarakat terhadap modal, teknologi, dan pasar;

5. Menumbuhkan dan mengembangkan pengusaha ekonomi mikro dan kecil;

6. Berkembangnya pengusaha ekonomi mikro dan kecil menjadi pengusaha

ekonomi menengah dengan jenis usaha bahan pokok, barang kebutuhan

rumah tangga, pakaian dan lain sebagainya; serta

7. Terbangunnya ekonomi yang berbasis dari pedesaan dan daerah pinggiran.

Perbedaan sebelum dan sesudah dari kebijakan dan program layanan

pendaftaran tanah dapat diamati dalam tabel berikut ini:

Tabel 5. Perbedaan Sebelum dan Sesudah Pelaksaan Kebijakan dan Program

Layanan Pendaftaran Tanah

No. Sebelum Sesudah 1 Akses masyarakat desa terhadap modal,

teknologi dan pasar relatif terbatas,

sehingga masyarakat melakukan kegiatan

ekonomi hanya untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya sehari hari.

Tersedianya akses masyarakat desa

terhadap permodalan, teknologi, dan

pasar

2 Legalisasi aset khususnya prona terbatas

hanya pada penerbitan sertipikasi hak

atas tanah

Legalisasi asset tanah masyarakat

merupakan bagian dari rangkaian

pemberdayaan masyarakat desa

(membangun dari pinggiran:

NAWACITA)

3 Terbatasnya sinergi antar lembaga

pemerintah. Misalnya dalam pengurusan

SPPT PBB dan BPHTP

Meningkatnya sinergi antar lembaga

pemerintah mempercepat pelayanan

publik kepada masyarakat (BPN,

Pemda dan aparat desa, BRI sebagai

lembaga keuangan)

4 Terbatasnya sinergi antara lembaga

pemerintah dengan Notaris/PPAT

Terbinanya hubungan kerja antara

lembaga pemerintah dengan Notaris

PPAT

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan, maka dapat disimpulkan

bahwa :

1) Tatamu Pade merupakan layanan pendaftaran tanah di pasar desa yang

berorientasi pada akses reform sebagai modal usaha

2) Pelaksanaan pelayanan pendaftaran tanah “Tatamu Pade” melingkupi 3

tahap pra sertipikasi, sertipikasi dan pasca sertipikasi tanah.

3) Kendala dan solusi pelaksanaan “tatamu pade: mencakup ada tidaknya bukti

kepemilikan sertipikat tanah, sulitnya koordinasi dengan pemilik tanah yang

berbatasan, serta lokasi tanah yang terindikasi kawasan hutan.

Page 163: prosiding - ATR/BPN

156

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

4) Kebijakan pengentasan kemiskinan melalui peningkatan akses reform

sertipikasi tanah sebagai modal usaha di pasar desa melalui pendaftaran

tanah merupakan layanan inovasi yang memberikan multiplier effect

terutama sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Banjar Kalimantan

Selatan. Dalam penerapannya Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai modal

usaha bagi masyarakat desa yang terkumpul sebanyak 180 bidang tanah

dengan nilai total pinjaman di BRI sebesar Rp6.286.700.000,00.

5.2. Saran Saran yang direkomendasikan untuk keberlanjutan layanan inovatif ini,

adalah dengan menjaga konsistensi layanan dan hubungan baik di berbagai

pihak (stakeholder) yang terlibat. Layanan ini memadukan fungsi Badan

Pertanahan Nasional, Perbankan dan Satuan Kerja Teknis Pemerintah Daerah

ke dalam satu Tim Pelaksana dengan leading sectornya adalah Badan

Pertanahan Nasional (BPN), menghubungkan antara pemangku kepentingan

pemberdayaan masyarakat khususnya Usaha Mikro dan Kecil sehingga terbuka

aksesnya terhadap modal, teknologi dan pasar. Selain itu diperlukan penelitian

lebih lanjut untuk mengetahui dampak secara kuantitatif bagi pendapatan

masyarakat melalui pelayanan “Tatamu Pade” ini.

DAFTAR PUSTAKA Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia) Jilid I, Prestasi

Pustaka, Jakarta, 2004, hal.74

Amir, A, 2008, “Analisis Dampak Program Sertipikasi Tanah Terhadap Akses

Kredit Perbankan dan Peningkatan Pendapatan Petani di Kabupaten

Bekasi Tesis S2, Magister Studi Manajemen dan Bisnis, Sekolah

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Ana Silviana, Penerapan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun

1997 Dalam Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah di Indonesia, Masalah-

Masalah Hukum, Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Vo. 33 N0. 3 Juli-September 2004, hal. 252.

Arisaputra, Muhammad Ilham. Access Reform dalam Kerangka Reforma Agraria

untuk Mewujudkan Keadilan Sosial. Perspektif. Volume XXI No. 2 Tahun

2016.

Harsono, Boedi. 1997. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Kasmir, 2003, “Manajemen Perbankan” PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Page 164: prosiding - ATR/BPN

157

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

4) Kebijakan pengentasan kemiskinan melalui peningkatan akses reform

sertipikasi tanah sebagai modal usaha di pasar desa melalui pendaftaran

tanah merupakan layanan inovasi yang memberikan multiplier effect

terutama sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Banjar Kalimantan

Selatan. Dalam penerapannya Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai modal

usaha bagi masyarakat desa yang terkumpul sebanyak 180 bidang tanah

dengan nilai total pinjaman di BRI sebesar Rp6.286.700.000,00.

5.2. Saran Saran yang direkomendasikan untuk keberlanjutan layanan inovatif ini,

adalah dengan menjaga konsistensi layanan dan hubungan baik di berbagai

pihak (stakeholder) yang terlibat. Layanan ini memadukan fungsi Badan

Pertanahan Nasional, Perbankan dan Satuan Kerja Teknis Pemerintah Daerah

ke dalam satu Tim Pelaksana dengan leading sectornya adalah Badan

Pertanahan Nasional (BPN), menghubungkan antara pemangku kepentingan

pemberdayaan masyarakat khususnya Usaha Mikro dan Kecil sehingga terbuka

aksesnya terhadap modal, teknologi dan pasar. Selain itu diperlukan penelitian

lebih lanjut untuk mengetahui dampak secara kuantitatif bagi pendapatan

masyarakat melalui pelayanan “Tatamu Pade” ini.

DAFTAR PUSTAKA Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia) Jilid I, Prestasi

Pustaka, Jakarta, 2004, hal.74

Amir, A, 2008, “Analisis Dampak Program Sertipikasi Tanah Terhadap Akses

Kredit Perbankan dan Peningkatan Pendapatan Petani di Kabupaten

Bekasi Tesis S2, Magister Studi Manajemen dan Bisnis, Sekolah

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Ana Silviana, Penerapan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun

1997 Dalam Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah di Indonesia, Masalah-

Masalah Hukum, Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Vo. 33 N0. 3 Juli-September 2004, hal. 252.

Arisaputra, Muhammad Ilham. Access Reform dalam Kerangka Reforma Agraria

untuk Mewujudkan Keadilan Sosial. Perspektif. Volume XXI No. 2 Tahun

2016.

Harsono, Boedi. 1997. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Kasmir, 2003, “Manajemen Perbankan” PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Listyawan Ardi Nugraha. (2011). Pengaruh Modal Usaha, Tingkat Pendidikan,

dan Sikap Kewirausahaan terhadap Pendapatan Usaha Pengusaha

Industri Kerajinan Perak Di Desa Sodo Kecamatan Paliyan Kabupaten

Gunung Kidul. Skripsi: Universitas Negeri Yogyakarta.

Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosda

Karya, Bandung.

Mesman, A, 2008, “Analisis Pengaruh Sertipikat Hak Atas Tanah Terhadap

Kinerja Ekonomi Pengusaha Mikro dan Kecil di Kabupaten Konawe

Selatan”. Tesis S2. Magister Studi Manajemen dan Bisnis, Sekolah

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Ismail, Nurhasan. 2012. Arah Politik Hukun Pertanahan dan Perlindungan

Kepemilikan Tanah Masyarakat. Jurnal Rechts Vinding. Volume 1 No 1,

April 2012.

Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung; PT.Citra

Aditya Bakti, 1993, hlm. 1.

Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945, tentang Peraturan Dasar Negara

Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Undang – Undang Pokok

Agraria

Page 165: prosiding - ATR/BPN

158

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Biodata Penulis Data Pribadi Nama : Saheriyanto, S.Pd., SE.

NIP : 19850610 200912 1 003

Unit Kerja/Instansi : Kantor Pertanahan Kabupaten Tanah Bumbu

Alamat : Jl. Gang Purnama 3 Nomor 12 Banjarbaru - Kalsel

Mobile Phone : +62 81805020768

Agama : Islam

Email : [email protected]

Latar Belakang Pendidikan

Tahun Tempat Pendidikan 1991-1998 SDN Barkot V Pamekasan

1998-2001 SLTP Negeri I Pamekasan

2001-2004 SMA Negeri I Pamekasan

2004-2007 Diploma III Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang

2007-2009 S1 Pendidikan Akuntansi Universitas Negeri Malang

2011-2013 S1 Akuntansi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

2017-sekarang S2 Magister Sains Administrasi Pembangunan Universitas Lambung

Mangkurat Banjarbaru

Karya Ilmiah Dan Prestasi Yang Pernah Diperoleh

1. Finalis Lomba Presentasi Pemikiran Kritis Mahasiswa Bidang Perekonomian

tingkat Nasional Tahun 2006 dengan judul “Analisis Kelayakan Implementasi

Kebijakan Privatisasi BUMN Terkait Kegagalan Target Privatisasi Tahun

1999-2005” di Pontianak, Kalimantan Barat.

2. Peserta Lomba Karya Tulis Perbankan Syariah Tahun 2006 dengan judul

“Implikasi Kebijakan Moneter Ekspansif terhadap Bisnis dan Layanan

Perbankan Syariah” yang diselenggarakan oleh BNI Syariah.

3. Juara II Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa Tingkat Nasional Tahun 2006

dengan judul “Peran Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) dalam rangka

Meminimalisir Tumbuhnya Praktik-praktik KKN, Mungkinkah?” di Universitas

Brawijaya Malang.

4. Finalis Lomba Kompetensi Pemikiran Kritis Mahasiswa Bidang Kesra tingkat

Nasional Tahun 2007 dengan judul “Uji Sertifikasi sebagai Upaya

Mewujudkan Profesionalitas, Kesejahteraan Guru dan Dosen untuuk

Mencapai Pendidikan Yang berkualitas” di Denpasar, Bali.

Page 166: prosiding - ATR/BPN

159

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Biodata Penulis Data Pribadi Nama : Saheriyanto, S.Pd., SE.

NIP : 19850610 200912 1 003

Unit Kerja/Instansi : Kantor Pertanahan Kabupaten Tanah Bumbu

Alamat : Jl. Gang Purnama 3 Nomor 12 Banjarbaru - Kalsel

Mobile Phone : +62 81805020768

Agama : Islam

Email : [email protected]

Latar Belakang Pendidikan

Tahun Tempat Pendidikan 1991-1998 SDN Barkot V Pamekasan

1998-2001 SLTP Negeri I Pamekasan

2001-2004 SMA Negeri I Pamekasan

2004-2007 Diploma III Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang

2007-2009 S1 Pendidikan Akuntansi Universitas Negeri Malang

2011-2013 S1 Akuntansi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

2017-sekarang S2 Magister Sains Administrasi Pembangunan Universitas Lambung

Mangkurat Banjarbaru

Karya Ilmiah Dan Prestasi Yang Pernah Diperoleh

1. Finalis Lomba Presentasi Pemikiran Kritis Mahasiswa Bidang Perekonomian

tingkat Nasional Tahun 2006 dengan judul “Analisis Kelayakan Implementasi

Kebijakan Privatisasi BUMN Terkait Kegagalan Target Privatisasi Tahun

1999-2005” di Pontianak, Kalimantan Barat.

2. Peserta Lomba Karya Tulis Perbankan Syariah Tahun 2006 dengan judul

“Implikasi Kebijakan Moneter Ekspansif terhadap Bisnis dan Layanan

Perbankan Syariah” yang diselenggarakan oleh BNI Syariah.

3. Juara II Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa Tingkat Nasional Tahun 2006

dengan judul “Peran Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) dalam rangka

Meminimalisir Tumbuhnya Praktik-praktik KKN, Mungkinkah?” di Universitas

Brawijaya Malang.

4. Finalis Lomba Kompetensi Pemikiran Kritis Mahasiswa Bidang Kesra tingkat

Nasional Tahun 2007 dengan judul “Uji Sertifikasi sebagai Upaya

Mewujudkan Profesionalitas, Kesejahteraan Guru dan Dosen untuuk

Mencapai Pendidikan Yang berkualitas” di Denpasar, Bali.

5. Finalis Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa Tingkat Nasional Tahun 2008 dengan

judul “Analisis Kebijakan Pengalihan Subsidi BBM dalam Upaya

Pengentasan Kemiskinan pada Tahun 2005-2007” di Universitas Brawijaya

Malang.

6. Juara I Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa Bidang IPS Tingkat Universitas

Tahun 2008 dengan judul “Rekonstruksi Kebijakan Pangan dan Pertanian

sebagai Upaya Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional” di Universitas

Negeri Malang.

7. Juara III Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa Tingkat Universitas Tahun 2008

dengan judul “Safeguard terhadap Budaya Indonesia dari Ekspoitasi Negara

Luar sebagai Identitas Bangsa melalui Cultural Tourism” di Universitas

Negeri Malang.

8. Finalis Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa Bidang IPS Wilayah C Tahun 2008

dengan judul “Rekonstruksi Kebijakan Pangan dan Pertanian sebagai Upaya

Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional” di Universitas Mataram.

9. Penyaji Tingkat Nasional Program Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan

dalam rangka Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XXI Tahun 2008

dengan judul “Usaha Pembuatan Kaos Distro Berciri Khas Madura sebagai

Sumber Ekonomi Baru Berbasis Budaya” di Universitas Islam Sultan Agung

Semarang.

10. Juara III Lomba Penulisan Artikel Perpajakan se-Malang Tahun 2008 dengan

judul “Mengoptimalkan Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan

Penggunaan Pajak sebagai Upaya Peningkatan Program Pembangunan

yang Berkelanjutan” di Direktorat Jendral Pajak Kanwil III Malang.

11. Penelitian didanai oleh Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan

Menengah RI Tahun 2009 dengan judul “Studi Komparatif Keberadaan

Koperasi dan Badan Usaha Milik Desa dalam rangka Penguatan

Perekonomian Desa.

12. Juara II Lomba Karya Tulis Mahasiswa Pemerintah Provinsi Jawa Timur

Tahun 2009 dengan Judul “Penerapan Local Governance melalui Kebijakan

Agroindustri dalam rangka Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Madura

Pasca Beroperasinya Jembatan Suramadu” di Kantor Gubernur Jawa Timur.

13. Mahasiswa Berprestasi Utama I Program Sarjana (S1) Fakultas Ekonomi

Tahun 2009.

Page 167: prosiding - ATR/BPN

160

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

EVALUASI PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIK LENGKAP

Restu Istiningdyah

Mahasiswa Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

[email protected]

ABSTRAK Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) adalah pendaftaran tanah untuk

pertama kali meliputi tanah yang belum didaftar maupun yang sudah terdaftar

dalam wilayah desa/kelurahan. PTSL merupakan salah satu upaya yang

dilakukan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional

(ATR/BPN) untuk merealisasikan target legalisasi aset sebanyak 5 juta sertipikat.

Beban target legalisasi aset yang besar berdampak pada target legalisasi aset di

setiap Kantor Pertanahan. Contohnya di Kabupaten Pasuruan yang

mendapatkan target legalisasi aset tahun 2017 sebanyak 21.000 sertipikat tanah.

Besarnya target legalisasi aset yang dibebankan kepada Kantor Pertanahan

mengharuskan Kantor Pertanahan mengerahkan seluruh sumber daya manusia

yang ada demi pemenuhan target tersebut. Ditemukan di beberapa Kantor

Pertanahan, petugas yuridis belum mengetahui bagaimana cara meneliti riwayat

tanah dan kelengkapan berkas, proses input data di aplikasi Komputerisasi

Kantor Pertanahan (KKP) berdasarkan daftar nominatif, di mana banyak

ditemukan alas hak yang tercantum masih merupakan nomor Letter C induk

(bukan nomor Letter C terbaru), sertipikat yang diterbitkan berkasnya masih

belum lengkap, bahkan ditemukan sertipikat yang diterbitkan, sementara

berkasnya belum ada. Kajian ini mencoba mendekati masalah di lapangan

dengan metode dan pendekatan evaluatif atas praktik dan kebijakan PTSL di

Kantor Pertanahan. Penulis akan mereview peraturan yang digunakan dalam

PTSL dan peraturan terkait kemudian diturunkan ke dalam praktik di lapangan.

Temuan Penulis di lapangan, pelaksanaan PTSL telah mengesampingkan

ketentuan dalam pendaftaran tanah sehingga dapat menimbulkan permasalahan

di kemudian hari. Sengketa kepemilikan sebagai akibat dari tidak teliti dalam

pemeriksaan dan penelitian riwayat tanah maupun sengketa batas bidang tanah

akan menjadi hal yang wajar ke depannya. Selain itu, informasi-informasi

Page 168: prosiding - ATR/BPN

161

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

EVALUASI PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIK LENGKAP

Restu Istiningdyah

Mahasiswa Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

[email protected]

ABSTRAK Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) adalah pendaftaran tanah untuk

pertama kali meliputi tanah yang belum didaftar maupun yang sudah terdaftar

dalam wilayah desa/kelurahan. PTSL merupakan salah satu upaya yang

dilakukan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional

(ATR/BPN) untuk merealisasikan target legalisasi aset sebanyak 5 juta sertipikat.

Beban target legalisasi aset yang besar berdampak pada target legalisasi aset di

setiap Kantor Pertanahan. Contohnya di Kabupaten Pasuruan yang

mendapatkan target legalisasi aset tahun 2017 sebanyak 21.000 sertipikat tanah.

Besarnya target legalisasi aset yang dibebankan kepada Kantor Pertanahan

mengharuskan Kantor Pertanahan mengerahkan seluruh sumber daya manusia

yang ada demi pemenuhan target tersebut. Ditemukan di beberapa Kantor

Pertanahan, petugas yuridis belum mengetahui bagaimana cara meneliti riwayat

tanah dan kelengkapan berkas, proses input data di aplikasi Komputerisasi

Kantor Pertanahan (KKP) berdasarkan daftar nominatif, di mana banyak

ditemukan alas hak yang tercantum masih merupakan nomor Letter C induk

(bukan nomor Letter C terbaru), sertipikat yang diterbitkan berkasnya masih

belum lengkap, bahkan ditemukan sertipikat yang diterbitkan, sementara

berkasnya belum ada. Kajian ini mencoba mendekati masalah di lapangan

dengan metode dan pendekatan evaluatif atas praktik dan kebijakan PTSL di

Kantor Pertanahan. Penulis akan mereview peraturan yang digunakan dalam

PTSL dan peraturan terkait kemudian diturunkan ke dalam praktik di lapangan.

Temuan Penulis di lapangan, pelaksanaan PTSL telah mengesampingkan

ketentuan dalam pendaftaran tanah sehingga dapat menimbulkan permasalahan

di kemudian hari. Sengketa kepemilikan sebagai akibat dari tidak teliti dalam

pemeriksaan dan penelitian riwayat tanah maupun sengketa batas bidang tanah

akan menjadi hal yang wajar ke depannya. Selain itu, informasi-informasi

pertanahan yang didapatkan dari kegiatan legalisasi aset tentu menjadi tidak

akurat, sehingga dapat memperlambat kegiatan pemelihaan data pertanahan.

Kata Kunci : Evaluasi, Target Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap,

Administrasi Pertanahan, Pendaftaran Tanah

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) merupakan bagian dari 9 (sembilan) agenda prioritas Presiden Joko Widodo atau yang dikenal dengan Nawa Cita, yaitu dalam poin ke 5, “Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program “Indonesia Pintar”, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program “Indonesia Kerja” dan “Indonesia Sejahtera” dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019. Nawa Cita digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. (Henri Lopulalan: 2014 yang dimuat dalam Kompas.com tanggal 21 Mei 2014). Dalam upaya mewujudkan Nawacita, pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan dengan berbasis percepatan. Kebijakan yang menjadi landasan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah adalah Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 35 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap jo. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2017. Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL) adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam suatu wilayah desa/kelurahan. Petunjuk Teknis Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah Sistematis Lengkap menyatakan bahwa kegiatan PTSL juga meliputi pemetaan seluruh obyek pendaftaran ranah yang sudah terdaftar. Harapan dari dilaksanakannya PTSL adalah seluruh bidang tanah di Indonesia terpetakan dan memiliki bukti hak sebagai jaminan kepastian hukum atas tanah yang berupa sertipikat tanah.

Page 169: prosiding - ATR/BPN

162

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Amanat dari Presiden RI kepada Kementerian Agraria dan Tata

Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN) bahwa

Kementerian ATR/BPN harus bekerja keras agar seluruh pemilik tanah di

Indonesia didaftarkan Tahun 2017 ini, target pendaftaran tanah adalah 5 juta

bidang tanah. Tahun depan (2018) ditargetkan selesai 7 juta bidang tanah dan

tahun 2019 sebanyak 9 juta bidang tanah (Joko Widodo, 11 Oktober 2017,

wartakota.tribunnews.com tanggal 11 Oktober 2017). Dalam upaya

melaksanakan amanat dari Presiden RI, Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala

Badan Pertanahan Nasional membagi target pendaftaran tanah ke seluruh

Kantor Wilayah Kementerian ATR/BPN di seluruh Indonesia. Kantor Wilayah

Kementerian ATR/BPN Provinsi Jawa Timur tahun 2017 mendapatkan target

sertipikasi tanah PTSL sebanyak 625.000 bidang tanah untuk seluruh wilayah

Provinsi Jawa Timur dan untuk Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan

mendapatkan target PTSL sebanyak 21.000 bidang tanah.

Problematika muncul karena selain dituntut menyelesaikan proyek PTSL,

Kantor Pertanahan juga tetap harus melaksanakan pelayanan pertanahan lain

yang sudah menjadi tupoksi dari Kantor Pertanahan khususnya dan Kementerian

ATR/BPN pada umumnya. Besarnya target PTSL yang dibebankan kepada

kantor pertanahan dirasakan tidak sesuai dengan ketersediaan sumber daya

yang ada. Dalam upaya penyelesaian pekerjaan PTSL ditemukan beberapa

penyimpangan pelaksanaannya di lapangan. Penyimpangan-penyimpangan ini

“dilakukan” semata-mata untuk terealisasinya target PTSL yang harus dipenuhi di

tahun 2017 sebagai contoh hasil pengukuran bidang tanah yang belum tertuang

pada Gambar Ukur sedangkan Peta Bidang Tanah dan Surat Ukur sudah terbit,

di sisi lain adanya ketidaklengkapan berkas PTSL sedangkan Buku Tanah sudah

terbit bahkan Sertipikat tanahnya sudah diserahkan kepada warga. Akan tetapi,

apakah “penyimpangan” itu sebagai bentuk kesengajaan atas ketidakmampuan

atau memang kondisi yang tidak memungkinkan? Poin itu perlu mendapat

penjelasan bagaimana praktik dan kebijakan itu dilakukan di lapangan.

Di sisi lain, terjadi shock culture dalam sistem kerja ATR/BPN di mana

sebelumnya target-target yang diemban jauh lebih kecil, sementara Pemerintah

baru menuntut kerja yang lebih untuk mengejar ketertinggalan sebelumnya. Pada

titik inilah butuh penyesuaian ritme kerja yang polanya mengalami perubahan.

Pertanyaan lebih jauh mungkin bisa diajukan, apakah ritme kerja baru itu sesuai

dan mampu dilakukan? Sejarah akan membuktikan bagaimana ATR/BPN akan

Page 170: prosiding - ATR/BPN

163

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Amanat dari Presiden RI kepada Kementerian Agraria dan Tata

Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN) bahwa

Kementerian ATR/BPN harus bekerja keras agar seluruh pemilik tanah di

Indonesia didaftarkan Tahun 2017 ini, target pendaftaran tanah adalah 5 juta

bidang tanah. Tahun depan (2018) ditargetkan selesai 7 juta bidang tanah dan

tahun 2019 sebanyak 9 juta bidang tanah (Joko Widodo, 11 Oktober 2017,

wartakota.tribunnews.com tanggal 11 Oktober 2017). Dalam upaya

melaksanakan amanat dari Presiden RI, Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala

Badan Pertanahan Nasional membagi target pendaftaran tanah ke seluruh

Kantor Wilayah Kementerian ATR/BPN di seluruh Indonesia. Kantor Wilayah

Kementerian ATR/BPN Provinsi Jawa Timur tahun 2017 mendapatkan target

sertipikasi tanah PTSL sebanyak 625.000 bidang tanah untuk seluruh wilayah

Provinsi Jawa Timur dan untuk Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan

mendapatkan target PTSL sebanyak 21.000 bidang tanah.

Problematika muncul karena selain dituntut menyelesaikan proyek PTSL,

Kantor Pertanahan juga tetap harus melaksanakan pelayanan pertanahan lain

yang sudah menjadi tupoksi dari Kantor Pertanahan khususnya dan Kementerian

ATR/BPN pada umumnya. Besarnya target PTSL yang dibebankan kepada

kantor pertanahan dirasakan tidak sesuai dengan ketersediaan sumber daya

yang ada. Dalam upaya penyelesaian pekerjaan PTSL ditemukan beberapa

penyimpangan pelaksanaannya di lapangan. Penyimpangan-penyimpangan ini

“dilakukan” semata-mata untuk terealisasinya target PTSL yang harus dipenuhi di

tahun 2017 sebagai contoh hasil pengukuran bidang tanah yang belum tertuang

pada Gambar Ukur sedangkan Peta Bidang Tanah dan Surat Ukur sudah terbit,

di sisi lain adanya ketidaklengkapan berkas PTSL sedangkan Buku Tanah sudah

terbit bahkan Sertipikat tanahnya sudah diserahkan kepada warga. Akan tetapi,

apakah “penyimpangan” itu sebagai bentuk kesengajaan atas ketidakmampuan

atau memang kondisi yang tidak memungkinkan? Poin itu perlu mendapat

penjelasan bagaimana praktik dan kebijakan itu dilakukan di lapangan.

Di sisi lain, terjadi shock culture dalam sistem kerja ATR/BPN di mana

sebelumnya target-target yang diemban jauh lebih kecil, sementara Pemerintah

baru menuntut kerja yang lebih untuk mengejar ketertinggalan sebelumnya. Pada

titik inilah butuh penyesuaian ritme kerja yang polanya mengalami perubahan.

Pertanyaan lebih jauh mungkin bisa diajukan, apakah ritme kerja baru itu sesuai

dan mampu dilakukan? Sejarah akan membuktikan bagaimana ATR/BPN akan

menjawab tantangan tersebut. Dalam bahasa lain, evaluasi praktik kebijakan

PTSL diletakkan dalam kerangka secara utuh untuk melihat secara proporsional

bagaimana sikap, tindakan, dan respons dilakukan di lapangan.

1.2. Rumusan Masalah Besarnya target bidang tanah yang akan disertipikatkan melalui proyek

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) oleh Kementerian Agraria dan

Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional merupakan salah satu wujud

pelaksanaan 9 Program Nasional, Nawacita. Harapan dari kegiatan ini adalah

adanya kepastian jaminan hukum terhadap seluruh bidang tanah yang ada di

Indonesia. Pelaksanaan PTSL didasarkan pada Peraturan Menteri Agraria dan

Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 35 Tahun 2016

diperbaharui dengan Peraturan Menteri Agaria dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional No. 12 Tahun 2017. Dalam pelaksanaan PTSL di lapangan

ditemukan beberapa praktik pelaksanaan yang tidak sesuai dengan peraturan

dan petunjuk teknis pelaksanaan yang ada. Hal itu ditengarai sebagai akibat dari

besarnya target yang dibebankan kepada masing-masing Kantor Pertanahan.

Namun demikian, muncul pertanyaan besar, apakah target yang besar itu harus

mengurangi tingkat akurasi sebuah produk yang dihasilkan, bahkan mengurangi

tingkat ketelitian dalam beberapa proses penerbitan hak atas tanah? Tentu saja

produk PTSL sangat terkait dengan status hak seseorang, oleh karena itu, asas

kehati-hatian tetap menjadi yang utama, karena menyangkut sebuah kepastian

hukum akan hak atas tanah. Berangkat dari problem dan praktik tersebut, penulis

mengajukan rumusan masalah dalam kajian ini yaitu mengenai bagaimana

praktik pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap di Kantor

Pertanahan khususnya dalam kegiatan pengumpulan data fisik dan data yuridis.

1.3. Tujuan Penulisan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menganalisis praktik pelaksanaan

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dan melakukan evaluasi secara parsial,

khususnya praktik PTSL di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur dalam kegiatan

pengumpulan data fisik dan pengumpulan data yuridis.

1.4. Manfaat Penulisan Hasil evaluasi diharapkan dapat menjadi umpan balik bagi Kementerian

ATR/BPN untuk memperbaiki kinerja untuk meningkatkan kualitas produk PTSL.

Page 171: prosiding - ATR/BPN

164

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

2. TINJAUAN PUSTAKA Sejauh ini, kajian mengenai Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

(PTSL) belum banyak ditemukan, karena PTSL merupakan kegiatan pendaftaran

tanah yang masih baru dan sedang berjalan. Muncul beberapa kajian mengenai

PTSL sebelumnya berupa jurnal yang ditulis oleh Rachmad Nur Nugroho (2017),

“Pelaksanaan Pendaftaran Hak Milik Atas Tanah Secara Sistematis Lengkap

Dengan Berlakunya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 35 Tahun 2016 di Kabupaten Sleman”. Kajian

Nugroho menyoroti persoalan proses pelaksanaan dan hambatan-hambatan

yang terjadi dalam pelaksanaannya. Salah satu temuan Nugroho adalah problem

sosialisasi dalam praktik di lapangan. Kurangnya sosialisasi menjadi salah satu

faktor penghambat dalam pelaksanaan PTSL di Kabupaten Sleman.

Penelitian lain yaitu penelitian yang dilakukan oleh Eko Budi Wahyono

(2017) mengenai Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Pada

Kantor Wilayah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan

Nasional Provinsi Sumatera Utara. Penelitian yang dilakukan di fokuskan pada

pelaksanaan PTSL di Sumatera Utara dalam hal tata laksana, mobilisasi

sumberdaya manusia dan strategi melakukan kerja sama dengan Pemerintah

Daerah serta apa saja yang kelemahan dan kekuatan yang perlu diperhatikan

dalam melaksanakan PTSL serta strategi untuk mengoptimalkan kekuatan dan

meminimalkan kelemahan. Penelitian lain juga dilakukan oleh I Gusti Nyoman

Guntur dkk (2017) yang mengkaji mengenai jaminan kepastian hukum dalam

pelaksanaan PTSL di Kota Tangerang Selatan. Dalam penelitian disimpulkan

bahwa pelaksanaan PTSL di Kota Tangerang Selatan pada prinsipnya tetap

diarahkan agar dapat memberikan jaminan kepastian hukum hak atas tanah,

sehingga prosedurnya meliputi kegiatan penyiapan (lokasi, panitia dan

penyuluhan), dilanjutkan dengan pengumpulan dan pengolahan data fisik dan

data yuridis, serta pembukuan dan penerbitan sertipikatnya. Perbedaan dengan

penelitian sebelumnya, penelitian peneliti ada pada lokasi penelitian dan issue

yang dikaji, meskipun pada dasarnya sama-sama mengkaji mengenai

pelaksanaan sebuah produk kebijakan pertanahan mengenai Pendaftaran Tanah

Sistematis Lengkap khusus dalam kegiatan pengumpulan data fisik dan data

yuridis.

Evaluasi menurut Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006 tentang Tata

Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan adalah

Page 172: prosiding - ATR/BPN

165

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

2. TINJAUAN PUSTAKA Sejauh ini, kajian mengenai Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

(PTSL) belum banyak ditemukan, karena PTSL merupakan kegiatan pendaftaran

tanah yang masih baru dan sedang berjalan. Muncul beberapa kajian mengenai

PTSL sebelumnya berupa jurnal yang ditulis oleh Rachmad Nur Nugroho (2017),

“Pelaksanaan Pendaftaran Hak Milik Atas Tanah Secara Sistematis Lengkap

Dengan Berlakunya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 35 Tahun 2016 di Kabupaten Sleman”. Kajian

Nugroho menyoroti persoalan proses pelaksanaan dan hambatan-hambatan

yang terjadi dalam pelaksanaannya. Salah satu temuan Nugroho adalah problem

sosialisasi dalam praktik di lapangan. Kurangnya sosialisasi menjadi salah satu

faktor penghambat dalam pelaksanaan PTSL di Kabupaten Sleman.

Penelitian lain yaitu penelitian yang dilakukan oleh Eko Budi Wahyono

(2017) mengenai Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Pada

Kantor Wilayah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan

Nasional Provinsi Sumatera Utara. Penelitian yang dilakukan di fokuskan pada

pelaksanaan PTSL di Sumatera Utara dalam hal tata laksana, mobilisasi

sumberdaya manusia dan strategi melakukan kerja sama dengan Pemerintah

Daerah serta apa saja yang kelemahan dan kekuatan yang perlu diperhatikan

dalam melaksanakan PTSL serta strategi untuk mengoptimalkan kekuatan dan

meminimalkan kelemahan. Penelitian lain juga dilakukan oleh I Gusti Nyoman

Guntur dkk (2017) yang mengkaji mengenai jaminan kepastian hukum dalam

pelaksanaan PTSL di Kota Tangerang Selatan. Dalam penelitian disimpulkan

bahwa pelaksanaan PTSL di Kota Tangerang Selatan pada prinsipnya tetap

diarahkan agar dapat memberikan jaminan kepastian hukum hak atas tanah,

sehingga prosedurnya meliputi kegiatan penyiapan (lokasi, panitia dan

penyuluhan), dilanjutkan dengan pengumpulan dan pengolahan data fisik dan

data yuridis, serta pembukuan dan penerbitan sertipikatnya. Perbedaan dengan

penelitian sebelumnya, penelitian peneliti ada pada lokasi penelitian dan issue

yang dikaji, meskipun pada dasarnya sama-sama mengkaji mengenai

pelaksanaan sebuah produk kebijakan pertanahan mengenai Pendaftaran Tanah

Sistematis Lengkap khusus dalam kegiatan pengumpulan data fisik dan data

yuridis.

Evaluasi menurut Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006 tentang Tata

Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan adalah

rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output),

dan hasil (outcome) terhadap rencana dan strandar. Secara sederhana, evaluasi

dianggap sebagai sebuah kegiatan pemberian nilai atas suatu fenomena di

dalamnya terkandung kegiatan pertimbangan nilai (value judgment) tertentu

(Mustopadidjaja, 1004:45 dalam Aswar, 2017:48). Organisasi Kerjasama dan

Pembangunan Ekonomi (OECD) merumuskan evaluasi sebagai proses

menentukan nilai atau pentingnya suatu kegiatan, kebijakan atau program,

sebuah penilaian yang obyektif dan sistematik terhadap sebuah intervensi yang

direncanakan, sedang berlangsung ataupun yang telah selesai dilaksanakan.

Azwar (1996) mengartikan evaluasi sebagai suat proses yang teratur dan

sistematis dalam membandingkan hasil yang dicapai dengan tolak ukur atau

kriteria yang telah ditetapkan kemudian dibuat suatu kesimpulan dan

penyusunan saran pada setiap tahap dari pelaksanaan program. Secara garis

besar dapat dikatakan evaluasi adalah pemberian nilai terhadap kualitas sesuatu.

Evaluasi dapat dipandang sebagai proses merencanakan memperoleh, dan

menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk membuat alternatif-

alternatif keputusan.

Sementara, pendefinisian beberapa konsep Pendaftaran Tanah (Pasal 1

butir 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997) adalah rangkaian kegiatan

yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan

teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta

pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar,

mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk

pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada

haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang

membebaninya. Pendaftaran Tanah Sistematik menurut Peraturan Pemerintah

No. 24 Tahun 1997 adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang

dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang

belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan.

Pasal 1 butir 1 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional No. 35 Tahun 2016 mengartikan Pendaftaran Tanah

Sistematis Lengkap selanjutnya disebut PTSL adalah kegiatan pendaftaran tanah

untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek

pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam satu wilayah desa/kelurahan atau

nama lainnya yang setingkat dengan itu. Dalam Pasal 1 butir 2 Peraturan Menteri

Page 173: prosiding - ATR/BPN

166

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun

2017 kegiatan PTSL meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik

dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek Pendaftaran Tanah untuk

keperluan pendaftarannya.

Dalam Petunjuk Teknis Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah

Sistematis Lengkap Bidang Yuridis, disebutkan bahwa obyek PTSL adalah

seluruh bidang tanah yang belum didaftar maupun yang telah terdaftar dalam

suatu wilayah desa/kelurahan atau nama lain yang setingkat dengan itu. Hasil

inventarisasi data yuridis bidang tanah dikelompokkan ke dalam 4 (empat)

kategori (Pasal 25 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan

Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 2017):

a. Kategori 1, yaitu bidang tanah yang data fisik dan data yuridisnya memenuhi

syarat untuk diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanah;

b. Kategori 2, yaitu bidang tanah yang data fisik dan data yuridisnya memenuhi

syarat untuk diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanahnya namun terdapat

perkara di Pengadilan;

c. Kategori 3, yaitu bidang tanah yang data fisik dan data yuridisnya tidak dapat

dibukukan dan diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanah, karena subyek haknya

wajib terlebih dahulu memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan dalam

Peraturan Menteri ini; dan

d. Kategori 4, yaitu bidang tanah yang obyek dan subyeknya sudah terdaftar

dan sudah bersertipikat Hak atas Tanah, sehingga tidak menjadi obyek

PTSL secara langsung namun wajib dilakukan pengintegrasian peta-peta

bidang tanahnya ke dalam Peta Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.

Pelaksanaan PTSL dapat dilakukan melalui program dan anggaran khusus

PTSL atau gabungan PTSL dengan program dan/atau kegiatan lain, yaitu:

a. Program Nasional Agraria/Program Daerah Agraria (PRONA/ PRODA);

b. Program Lintas Sektor;

c. Kegiatan dari Dana Desa;

d. Kegiatan Massal Swadaya Masyarakat;

e. Program atau kegiatan sertipikasi massal redistribusi tanah obyek

landreform, konsolidasi tanah, dan transmigrasi atau

f. Kegiatan massal lainnya, gabungan dari beberapa atau seluruh kegiatan

sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Page 174: prosiding - ATR/BPN

167

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun

2017 kegiatan PTSL meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik

dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek Pendaftaran Tanah untuk

keperluan pendaftarannya.

Dalam Petunjuk Teknis Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah

Sistematis Lengkap Bidang Yuridis, disebutkan bahwa obyek PTSL adalah

seluruh bidang tanah yang belum didaftar maupun yang telah terdaftar dalam

suatu wilayah desa/kelurahan atau nama lain yang setingkat dengan itu. Hasil

inventarisasi data yuridis bidang tanah dikelompokkan ke dalam 4 (empat)

kategori (Pasal 25 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan

Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 2017):

a. Kategori 1, yaitu bidang tanah yang data fisik dan data yuridisnya memenuhi

syarat untuk diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanah;

b. Kategori 2, yaitu bidang tanah yang data fisik dan data yuridisnya memenuhi

syarat untuk diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanahnya namun terdapat

perkara di Pengadilan;

c. Kategori 3, yaitu bidang tanah yang data fisik dan data yuridisnya tidak dapat

dibukukan dan diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanah, karena subyek haknya

wajib terlebih dahulu memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan dalam

Peraturan Menteri ini; dan

d. Kategori 4, yaitu bidang tanah yang obyek dan subyeknya sudah terdaftar

dan sudah bersertipikat Hak atas Tanah, sehingga tidak menjadi obyek

PTSL secara langsung namun wajib dilakukan pengintegrasian peta-peta

bidang tanahnya ke dalam Peta Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.

Pelaksanaan PTSL dapat dilakukan melalui program dan anggaran khusus

PTSL atau gabungan PTSL dengan program dan/atau kegiatan lain, yaitu:

a. Program Nasional Agraria/Program Daerah Agraria (PRONA/ PRODA);

b. Program Lintas Sektor;

c. Kegiatan dari Dana Desa;

d. Kegiatan Massal Swadaya Masyarakat;

e. Program atau kegiatan sertipikasi massal redistribusi tanah obyek

landreform, konsolidasi tanah, dan transmigrasi atau

f. Kegiatan massal lainnya, gabungan dari beberapa atau seluruh kegiatan

sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

3. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode evaluasi dalam pendekatan kualitatif.

Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang sangat relevan untuk meneliti

fenomena yang tejadi dalam suatu masyarakat, karena pengamatan diarahkan

pada latar belakang dan individu secara holistik dan memandangnya sebagai

bagian dari suatu keutuhan, bukan berdasarkan pada variabel atau hipotesis

sehingga melalui pendekatan kualitatif penelitian yang dilakukan dapat

memperoleh informasi yang lebih detail mengenai kondisi, situasi dan peristiwa

yang terjadi (Moleong, 2003.3).

Penelitian evaluatif menurut Suchman sebagaimana dikutip Nazir (1988)

adalah penentuan (apakah berdasarkan opini, catatan, data subjektif atau

obyektif), hasil yang diperoleh dari beberapa kegiatan pada suatu program yang

dibuat untuk memperoleh suatu tujuan tentang nilai dan performance. Tujuan

penelitian evaluatif adalah untuk mengukur pengaruh suatu program terhadap

tujuan-tujuan yang akan dicapai untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi

pembuatan keputusan tentang suatu program untuk meningkatkan/ memperbaiki

program yang akan datang. Hasil analisa dalam tulisan ini akan memberikan

gambaran bagaimana pelaksanaan PTSL terhadap peraturan yang berlaku

berdasarkan catatan dan pengamatan substantif lapangan dari keterlibatan

penulis secara langsung di lapangan.

Data-data yang diperoleh di lapangan yaitu berupa data hasil pengamatan

yang merupakan wujud dari keterlibatan penulis dalam pelaksanaan PTSL serta

hasil wawancara dengan petugas pengumpul data fisik dan data yuridis. Data

yang diperoleh kemudian dianalisis kesesuaiannya dengan peraturan

perundangan yang berlaku sebagai wujud dari evaluasi pelaksanaan PTSL.

4. PEMBAHASAN

Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

Amanah kegiatan pendaftaran tanah diberikan kepada Kementerian

Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN)

sebanyak 5 juta pendaftaran bidang tanah. Amanah ini kemudian dilaksanakan

dengan dasar Peraturan Menteri ATR/ Kepala BPN No. 35 Tahun 2016 jo

Peraturan Menteri ATR/BPN No. 12 Tahun 2017 Tentang Pendaftaran Tanah

Sistematis Lengkap (PTSL) merupakan sistem pendaftaran tanah yang meliputi

seluruh bidang tanah baik yang belum didaftar maupun yang sudah terdaftar

Page 175: prosiding - ATR/BPN

168

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

dalam suatu desa/kelurahan. Inventarisasi bidang tanah ini dimasukkan dalam 4

Kluster/ kategori sehingga diperoleh informasi pertanahan berbasis bidang tanah

yang dapat membentu identifikasi bidang-bidang tanah bersengketa. Hal ini

sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Menteri ATR/ Kepala BPN No. 11 Tahun 2016

tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan bahwa salah satu penyelesaian

sengketa dan konflik dilakukan berdasarkan inisiatif dari Kementerian.

Inventarisasi bidang tanah juga menghasilkan informasi mengenai indikasi

tanah terlantar, tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee dalam suatu

wilayah. Tanah yang tidak diusahakan, digunakan dan dimanfaatkan dengan

baik, bahkan tidak memperhatikan batas minimum dan maksimum kepemilikan

tanah yang ditentukan peraturan perundang-undangan sehingga terjadi

pembiaran atas tanah yang menyebabkan tanah tidak terawat berakibat tanah

menjadi terindikasi terlantar bahkan bisa menjadi tanah terlantar.

Inventarisasi berbasis bidang tanah juga menyediakan informasi

ketersediaan tanah. Kebutuhan akan tersedianya tanah untuk pembangunan

tersebut memberi peluang terjadinya pengambilalihan tanah untuk berbagai

proyek, baik untuk kepentingan negara/kepentingan umum maupun untuk

kepentingan bisnis dalam skala besar maupun kecil (Maria Sumardjono, 2005:

256). Informasi ini mendukung Pasal 18 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012

tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

bahwa dalam tahap persiapan, dilakukan pendataan awal di lokasi rencana

pembangunan yang meliputi kegiatan pengumpulan data awal pihak yang berhak

dan obyek pengadaan tanah.

Di sisi lain, Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No. 12 Tahun 2017

tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dapat

menyumbangkan sengketa dan konflik di kemudian hari. Dalam pembuktian

kepemilikan tanah, Pasal 18 Peraturan ini disebutkan bahwa bidang tanah yang

menjadi obyek PTSL merupakan Tanah Bekas Milik Adat dibuktikan dengan

Girik, Pipil, Petuk, Verponding Indonesia atau sebutan lain yang sama atau

berlaku di daerah setempat. Namun, apabila bukti kepemilikan tanah masyarakat

tidak lengkap atau tidak ada sama sekali maka dapat dilengkapi dan dibuktikan

dengan surat pernyataan tertulis tentang penguasaan fisik bidang tanah dengan

itikad baik oleh yang bersangkutan (Pasal 19). Pendaftaran tanah berdasarkan

alat bukti lama yaitu Letter C masih ditemukan konflik disebabkan karena

pencatatan yang kurang tertib sehingga ada untuk 1 Letter C diatasnamakan

Page 176: prosiding - ATR/BPN

169

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

dalam suatu desa/kelurahan. Inventarisasi bidang tanah ini dimasukkan dalam 4

Kluster/ kategori sehingga diperoleh informasi pertanahan berbasis bidang tanah

yang dapat membentu identifikasi bidang-bidang tanah bersengketa. Hal ini

sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Menteri ATR/ Kepala BPN No. 11 Tahun 2016

tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan bahwa salah satu penyelesaian

sengketa dan konflik dilakukan berdasarkan inisiatif dari Kementerian.

Inventarisasi bidang tanah juga menghasilkan informasi mengenai indikasi

tanah terlantar, tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee dalam suatu

wilayah. Tanah yang tidak diusahakan, digunakan dan dimanfaatkan dengan

baik, bahkan tidak memperhatikan batas minimum dan maksimum kepemilikan

tanah yang ditentukan peraturan perundang-undangan sehingga terjadi

pembiaran atas tanah yang menyebabkan tanah tidak terawat berakibat tanah

menjadi terindikasi terlantar bahkan bisa menjadi tanah terlantar.

Inventarisasi berbasis bidang tanah juga menyediakan informasi

ketersediaan tanah. Kebutuhan akan tersedianya tanah untuk pembangunan

tersebut memberi peluang terjadinya pengambilalihan tanah untuk berbagai

proyek, baik untuk kepentingan negara/kepentingan umum maupun untuk

kepentingan bisnis dalam skala besar maupun kecil (Maria Sumardjono, 2005:

256). Informasi ini mendukung Pasal 18 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012

tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

bahwa dalam tahap persiapan, dilakukan pendataan awal di lokasi rencana

pembangunan yang meliputi kegiatan pengumpulan data awal pihak yang berhak

dan obyek pengadaan tanah.

Di sisi lain, Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No. 12 Tahun 2017

tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dapat

menyumbangkan sengketa dan konflik di kemudian hari. Dalam pembuktian

kepemilikan tanah, Pasal 18 Peraturan ini disebutkan bahwa bidang tanah yang

menjadi obyek PTSL merupakan Tanah Bekas Milik Adat dibuktikan dengan

Girik, Pipil, Petuk, Verponding Indonesia atau sebutan lain yang sama atau

berlaku di daerah setempat. Namun, apabila bukti kepemilikan tanah masyarakat

tidak lengkap atau tidak ada sama sekali maka dapat dilengkapi dan dibuktikan

dengan surat pernyataan tertulis tentang penguasaan fisik bidang tanah dengan

itikad baik oleh yang bersangkutan (Pasal 19). Pendaftaran tanah berdasarkan

alat bukti lama yaitu Letter C masih ditemukan konflik disebabkan karena

pencatatan yang kurang tertib sehingga ada untuk 1 Letter C diatasnamakan

beberapa pihak. Bagaimana dengan Surat Keterangan Penguasaan Fisik yang

hanya didasarkan pada pengakuan seseorang? Surat Keterangan Penguasaan

Fisik dapat dibuat oleh siapa saja yang merasa menguasai bidang tanah dengan

disaksikan oleh aparat desa dan diketahui oleh kepala desa/lurah. Namun, dalam

surat pernyataan penguasaan fisik tidak didapatkan informasi riwayat

penguasaan tanah dari penguasa tanah sebelumnya hingga yang terakhir.

Sementara, penelitian riwayat tanah oleh petugas penting dilakukan untuk

memastikan apakah pemohon hak atas tanah adalah pihak yang benar-benar

menguasai tanah dan berhak atas tanah tersebut.

1) Kondisi dan Strategi yang Dijalankan

Target 5 juta pendaftaran bidang tanah yang dibebankan kepada

Kementerian ATR/BPN dilaksanakan dengan mendistribusikan target

kepada seluruh kantor pertanahan di seluruh Indonesia. Kantor Pertanahan

Kabupaten Pasuruan merupakan salah satu Kantor Pertanahan yang

memiliki target PSTL cukup besar, yakni sebanyak 21.000 bidang tanah

yang terbagi dalam 2 tahapan. Tahap I sebesar 15.000 bidang tanah dan

Tahap II sebesar 6.000 bidang tanah yang meliputi 16 desa di Kabupaten

Pasuruan. Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan mempunyai Sumber

Daya Manusia (SDM) sejumlah 93 orang terdiri dari 43 Pegawai Negeri Sipil

(PNS), 42 Pegawai Tidak Tetap (PTT) dan 8 Asisten Surveyor Pertanahan

(ASP).

Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan membentuk 5 Tim Ajudikasi

di mana 1 Tim Ajudikasi bertanggung jawab atas 2 sampai 3 lokasi

desa/kelurahan PTSL. Masing-masing Tim Ajudikasi terdiri dari 1 Kepala

Seksi sebagai Ketua Tim, 1 PNS sebagai Sekretaris, 1 PNS sebagai petugas

pengumpul data yuridis yang dibantu oleh 2 orang PTT, 1 PNS sebagai

petugas pengumpul data fisik dibantu oleh 1 orang ASP dan 1 orang dari

desa/kelurahan. Keanggotaan ini dapat ditambah sesuai kebutuhan.

Dalam upaya mensukseskan program PTSL, Kantor Pertanahan

Kabupaten Pasuruan juga menjalin kerja sama dengan beberapa instansi

terkait, seperti Pemerintah Daerah, Kepolisian dan Kejaksaan Kabupaten

Pasuruan. Pihak dari instansi lain ini diikutsertakan dalam kegiatan

penyuluhan PTSL di desa-desa dengan tujuan adanya keterbukaan

pelaksanaan PTSL. Keterbukaan ini berkaitan dengan keuangan, tata cara

pelaksanaan, dan penyerahan hasil PTSL.

Page 177: prosiding - ATR/BPN

170

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Berdasarkan Petunjuk Teknis Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

Bidang Yuridis Tahun 2017, bahwa satu orang pengumpul data yuridis

mempunyai target sebanyak minimal 15 berkas/bidang dalam satu hari kerja.

Kenyataan di lapangan, hal ini sulit dilaksanakan karena pihak pemerintah

desa belum memahami kelengkapan berkas proses pendaftaran tanah.

Selain itu, pekerjaan pemberkasan dipengaruhi juga oleh minat masyarakat

dalam pensertipikatan tanah dan kesiapan dari pegawai kantor desa/ lurah.

Ada desa yang masyarakatnya antusias, namun perangkat desanya tidak

siap, ada juga yang perangkat desanya siap, namun masyakaratnya kurang

berminat. Hal ini tentu memperlambat proses pengumpulan data yuridis.

Akibatnya banyak berkas permohonan hak atas tanah melalui PTSL yang

belum lengkap informasinya. Pengisian informasi pada berkas-berkas

permohonan yang tidak lengkap serta tidak lengkapnya tanda tangan pihak-

pihak yang berkaitan dengan pendaftaran tanah. Selain itu, petugas

pengumpul data yuridis juga mempunyai tanggung jawab atas pelayanan

pertanahan yang bersifat rutin di Kantor Pertanahan sehingga tidak bisa

setiap hari melaksanakan pengumpulan data yuridis di desa lokasi PTSL.

Problematika lain adalah beberapa lokasi desa PTSL mempunyai

radius yang jauh dari Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan. Tentu ini

membutuhkan waktu dan perhatian khusus untuk dapat menyelesaikan

target yang dibebankan. Di sisi lain, ketersediaan alat pengukuran menjadi

kendala tersendiri di bidang pengukuran bidang tanah. Alat yang ada di

Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan terutama Total Station jumlahnya

sedikit sehingga dalam pengukuran bidang tanah, yang memerlukan alat

Total Station dilaksanakan bergantian 1 desa dengan desa lain. Pemakaian

Total Station dalam proses pengukuran sangat membantu terutama dalam

pengukuran bidang tanah yang panjang sisinya lebih dari 50 meter.

Penggantian penggunaan alat ukur menjadi kendala karena proses

pengukuran 1 desa dengan desa lain tidak sama. Hal ini juga dipengaruhi

oleh iklim atau cuaca. Apabila pengukuran tanah yang panjangnya lebih dari

50 meter dengan menggunakan pita ukur, maka faktor kesalahannya tentu

sangat besar, yang dapat berpengaruh pada bentuk bidang tanah hasil

pengukuran. Percepatan pengukuran juga dapat dilakukan dengan

menggunakan CORS, namun keterbatasan alat ini, yakni hanya 1 yang

Page 178: prosiding - ATR/BPN

171

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Berdasarkan Petunjuk Teknis Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

Bidang Yuridis Tahun 2017, bahwa satu orang pengumpul data yuridis

mempunyai target sebanyak minimal 15 berkas/bidang dalam satu hari kerja.

Kenyataan di lapangan, hal ini sulit dilaksanakan karena pihak pemerintah

desa belum memahami kelengkapan berkas proses pendaftaran tanah.

Selain itu, pekerjaan pemberkasan dipengaruhi juga oleh minat masyarakat

dalam pensertipikatan tanah dan kesiapan dari pegawai kantor desa/ lurah.

Ada desa yang masyarakatnya antusias, namun perangkat desanya tidak

siap, ada juga yang perangkat desanya siap, namun masyakaratnya kurang

berminat. Hal ini tentu memperlambat proses pengumpulan data yuridis.

Akibatnya banyak berkas permohonan hak atas tanah melalui PTSL yang

belum lengkap informasinya. Pengisian informasi pada berkas-berkas

permohonan yang tidak lengkap serta tidak lengkapnya tanda tangan pihak-

pihak yang berkaitan dengan pendaftaran tanah. Selain itu, petugas

pengumpul data yuridis juga mempunyai tanggung jawab atas pelayanan

pertanahan yang bersifat rutin di Kantor Pertanahan sehingga tidak bisa

setiap hari melaksanakan pengumpulan data yuridis di desa lokasi PTSL.

Problematika lain adalah beberapa lokasi desa PTSL mempunyai

radius yang jauh dari Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan. Tentu ini

membutuhkan waktu dan perhatian khusus untuk dapat menyelesaikan

target yang dibebankan. Di sisi lain, ketersediaan alat pengukuran menjadi

kendala tersendiri di bidang pengukuran bidang tanah. Alat yang ada di

Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan terutama Total Station jumlahnya

sedikit sehingga dalam pengukuran bidang tanah, yang memerlukan alat

Total Station dilaksanakan bergantian 1 desa dengan desa lain. Pemakaian

Total Station dalam proses pengukuran sangat membantu terutama dalam

pengukuran bidang tanah yang panjang sisinya lebih dari 50 meter.

Penggantian penggunaan alat ukur menjadi kendala karena proses

pengukuran 1 desa dengan desa lain tidak sama. Hal ini juga dipengaruhi

oleh iklim atau cuaca. Apabila pengukuran tanah yang panjangnya lebih dari

50 meter dengan menggunakan pita ukur, maka faktor kesalahannya tentu

sangat besar, yang dapat berpengaruh pada bentuk bidang tanah hasil

pengukuran. Percepatan pengukuran juga dapat dilakukan dengan

menggunakan CORS, namun keterbatasan alat ini, yakni hanya 1 yang

tersedia di Kantor Pertanahan serta keterbatasan SDM yang menguasai alat

ini menjadi kendala dalam pengukuran bidang tanah.

Pengukuran bidang tanah juga terhambat karena belum siapnya

masyarakat desa lokasi PTSL ditunjukkan dengan belum terpasangnya

patok batas bidang tanah hasil musyawarah antara pemilik tanah dengan

tetangga berbatasan terkait batas bidang tanah atau dikenal dengan

kontradiktur delimitasi. Sesuai dengan Petunjuk Teknis Pengukuran Bidang

Tanah Sistematis Lengkap, bahwa dalam rangka percepatan, pemasangan

tanda batas dan surat penyataan telah memasang tanda batas dilaksanakan

sebelum satgas fisik melaksanakan pengukuran dan pemetaan. Namun, di

lapangan tanda batas bidang tanah ini belum terpasang sehingga menunda

pelaksanaan pengukuran karena petugas ukur harus menunggu hasil

kesepakatan antara pemilik tanah dengan tetangga berbatasan mengenai

batas bidang tanah yang akan dimohon hak atas tanahnya.

Mengatasi ketidaklengkapan berkas permohonan Pendaftaran Tanah

Sistematis Lengkap, Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan melalui

petugas yang bekerja di lokasi PTSL melakukan pengarahan dan

pendampingan pemberkasan kepada petugas dari desa/ kelurahan. Selain

itu, menambahkan 1 sampai 2 orang PTT di keangotaan tim ajudikasi untuk

membantu proses pengumpulan data yuridis. Proses peng-input-an data

subjek dan alas hak di Komputerisasi Kantor Pertanahan dilakukan sebisa

mungkin di desa/kelurahan lokasi PTSL. Pada saat pengumpulan data, ada

petugas yang memeriksa berkas permohonan pendaftaran tanah, dan ada

petugas yang bertugas meng-input data permohonan pendaftaran hak di

KKP. Proses penandatanganan para pihak yang berkepentingan di berkas

permohonan dilakukan bersaman dengan bantuan kepala dukuh. Perangkat

yang lain melakukan kegiatan melengkapi data yang dinyatakan kurang oleh

petugas dari Kantor Pertanahan. Begitu berkas permohonan pendaftaran

hak dinyatakan lengkap, baik lengkap dari segi dokumen maupun tanda

tangan para pihak yang berkepentingan, berkas yang lengkap tersebut

kemudian dibawa ke kantor pertanahan untuk dilanjutkan proses

pendaftaran haknya.

Di bidang pengukuran, Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan

melakukan penambahan alat ukur yaitu Total Station yang dilakukan dengan

sistem pengadaan barang dan jasa dan melakukan peminjaman alat ukur

Page 179: prosiding - ATR/BPN

172

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

pada kantor pertanahan terdekat yang memiliki alat ukur lebih memadai

dalam segi kuantitas. Menjalin kerjasama dengan pihak lain, Surveyor

Berlisensi, untuk membantu percepatan pengukuran bidang tanah dalam

rangka PTSL juga dilakukan Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan

sebagai upaya untuk merealisasikan target yang dibebankan.

Tabel 1. Tabulasi Kondisi dan Strategi Kantor Pertanahan Kabupaten

Pasuruan

No Kondisi Strategi

1 Target Pendaftaran

Tanah sebanyak 21.000

bidang tanah

membentuk 5 Tim Ajudikasi di mana 1 Tim

Ajudikasi bertanggung jawab atas 2

sampai 3 lokasi desa/kelurahan PTSL.

Masing-masing Tim Ajudikasi terdiri dari 1

Kepala Seksi sebagai Ketua Tim, 1 PNS

sebagai Sekretaris, 1 PNS sebagai

petugas pengumpul data yuridis yang

dibantu oleh 2 orang PTT, 1 PNS sebagai

petugas pengumpul data fisik dibantu oleh

1 orang ASP dan 1 orang dari

desa/kelurahan

2 Keterbatasan Alat Ukur Membentuk sistem bergilir dalam

menggunakan alat ukur dan melakukan

peminjaman alat ukur ke Kantor Wilayah

Kementerian ATR/BPN Provinsi Jawa

Timur dan Kantor Pertanahan yang

memiliki alat ukur lebih memadai sebagai

contoh Kantor Pertanahan Kota Surabaya I

3 Belum terpasangnya

tanda batas bidang

tanah

Bekerjasama dengan kepa dukuh desa

lokasi PTSL untuk megkondisikan agar

ketika pengukuran bidang tanah

dilaksanakan, tanda batas bidang tanah

telah jelas terpasang

4 Perangkat desa yang

belum paham mengenai

riwayat bidang tanah

Melakukan pendampingan dalam proses

pengumpulan data yuridis dan

memberikan pengarahan singkat

mengenai riwayat tanah

Page 180: prosiding - ATR/BPN

173

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

pada kantor pertanahan terdekat yang memiliki alat ukur lebih memadai

dalam segi kuantitas. Menjalin kerjasama dengan pihak lain, Surveyor

Berlisensi, untuk membantu percepatan pengukuran bidang tanah dalam

rangka PTSL juga dilakukan Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan

sebagai upaya untuk merealisasikan target yang dibebankan.

Tabel 1. Tabulasi Kondisi dan Strategi Kantor Pertanahan Kabupaten

Pasuruan

No Kondisi Strategi

1 Target Pendaftaran

Tanah sebanyak 21.000

bidang tanah

membentuk 5 Tim Ajudikasi di mana 1 Tim

Ajudikasi bertanggung jawab atas 2

sampai 3 lokasi desa/kelurahan PTSL.

Masing-masing Tim Ajudikasi terdiri dari 1

Kepala Seksi sebagai Ketua Tim, 1 PNS

sebagai Sekretaris, 1 PNS sebagai

petugas pengumpul data yuridis yang

dibantu oleh 2 orang PTT, 1 PNS sebagai

petugas pengumpul data fisik dibantu oleh

1 orang ASP dan 1 orang dari

desa/kelurahan

2 Keterbatasan Alat Ukur Membentuk sistem bergilir dalam

menggunakan alat ukur dan melakukan

peminjaman alat ukur ke Kantor Wilayah

Kementerian ATR/BPN Provinsi Jawa

Timur dan Kantor Pertanahan yang

memiliki alat ukur lebih memadai sebagai

contoh Kantor Pertanahan Kota Surabaya I

3 Belum terpasangnya

tanda batas bidang

tanah

Bekerjasama dengan kepa dukuh desa

lokasi PTSL untuk megkondisikan agar

ketika pengukuran bidang tanah

dilaksanakan, tanda batas bidang tanah

telah jelas terpasang

4 Perangkat desa yang

belum paham mengenai

riwayat bidang tanah

Melakukan pendampingan dalam proses

pengumpulan data yuridis dan

memberikan pengarahan singkat

mengenai riwayat tanah

5 Ketidaklengkapan tanda

tangan pada berkas

PTSL

Menjalin kerjasama dengan Kepala Dukuh

dan warga sekitar dalam proses

melengkapi tanda tangan dalam berkas

PTSL

2) Evaluasi Pelaksanaan PTSL

Target PTSL yang begitu besar kepada kantor pertanahan membuat

petugas harus bekerja ektra untuk merealisasikannya. Hasil studi lapangan

ditemukan adanya beberapa penyimpangan dari peraturan yang ada dalam

pelaksanaan PTSL sebagaimana tabel:

Tabel 2. Implementasi pelaksanaan PTSL

Keterangan Peraturan Pelaksanaan Inventarisasi Bidang

Tanah

Terdiri dari 4 kategori Hanya difokuskan

pada 1 kategori yaitu

K1

Kontradiktur Delimitasi Dilaksanakan

sebelum pegukuran

batas bidang tanah

oleh petugas

Terdapat beberapa

bidang tanah belum

dilaksanakan

kontradiktur

delimitasi

Gambar Ukur Petugas ukur

membuat gambar

ukur hasil

pengukuran bidang

tanah sebagai dasar

penerbitan Peta

Bidang Tanah dan

Surat Ukur

Ditemukan gambar

ukur yang belum

dibuat sedangkan

Peta Bidang Tanah

dan Surat Ukur telah

terbit

Bukti kepemilikan Pasal 24 PP 24

Tahun 1997 berupa

alat bukti hak lama,

Apabila bukti

kepemilikan

sebagaimana

dimaksud dalam

Terdapat berkas

yang belum

dilengkapi kesaksian

dalam pernyataan

penguasaan tanah.

Page 181: prosiding - ATR/BPN

174

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

angka 1 tidak

lengkap/tidak ada,

dapat dilakukan

dengan bukti lain

yang dilengkapi

dengan pernyataan

yang bersangkutan,

dan keterangan yang

dapat dipercaya dari

sekurang-kurangnya

2 (dua) orang saksi

dari masyarakat

setempat, yang tidak

mempunyai

hubungan keluarga

dengan yang

bersangkutan, dan

membenarkan

bahwa yang

bersangkutan adalah

pemilik tanah

tersebut

Tanda Tangan Harus lengkap tanda

tangan pemohon,

pihak berbatasan

dan pihak lain yang

berkaitan dengan

tanah tersebut di

berkas permohonan

maupun Daftar Isian.

Apabila pemohon

pengukuran atau

pemegang hak atas

tanah tidak dapat

hadir pada

Ditemukan

ketidaklengkapan

tanda tangan di

Gambar Ukur dan

berkas permohonan

hak atas tanah lain.

Page 182: prosiding - ATR/BPN

175

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

angka 1 tidak

lengkap/tidak ada,

dapat dilakukan

dengan bukti lain

yang dilengkapi

dengan pernyataan

yang bersangkutan,

dan keterangan yang

dapat dipercaya dari

sekurang-kurangnya

2 (dua) orang saksi

dari masyarakat

setempat, yang tidak

mempunyai

hubungan keluarga

dengan yang

bersangkutan, dan

membenarkan

bahwa yang

bersangkutan adalah

pemilik tanah

tersebut

Tanda Tangan Harus lengkap tanda

tangan pemohon,

pihak berbatasan

dan pihak lain yang

berkaitan dengan

tanah tersebut di

berkas permohonan

maupun Daftar Isian.

Apabila pemohon

pengukuran atau

pemegang hak atas

tanah tidak dapat

hadir pada

Ditemukan

ketidaklengkapan

tanda tangan di

Gambar Ukur dan

berkas permohonan

hak atas tanah lain.

waktu yang

ditentukan untuk

menunjukkan batas-

batas bidang

tanahnya, maka

penunjukan batas itu

dapat dikuasakan

dengan kuasa tertulis

kepada orang lain.

Untuk pojok-pojok

batas yang sudah

jelas letaknya

karena ditandai oleh

benda-benda yang

terpasang secara

tetap seperti pagar

beton,

pagar tembok atau

tugu penguat pagar

kawat, tidak harus

dipasang tanda batas

Letter C dalam KKP Idealnya adalah

Nomor Letter C

terbaru

Ditemukan input data

pada KKP

berdasarkan Letter C

lama atau induk

Pengklusteran bidang tanah hanya pada kategori 1 salah satunya

disebabkan karena kurang pahamnya masyarakat bahwa inventarisasi

bidang tanah hasilnya tidak selalu sertipikat tanah. Selama ini, masyarakat

beranggapan bahwa, jika tanahnya diukur maka akan terbit sertipikat. Hal ini

berakibat, warga lokasi PTSL yang tidak berkeinginan untuk

mensertipikatkan tanahnya keberatan dilakukan pengukuran terhadap

tanahnya. Sebab lain adalah karena kurangnya pemahaman petugas terkait

kluster bidang tanah. Pengklusteran hasil inventaris bidang tanah hanya

pada 1 Kluster juga menyebabkan tidak tercapainya tujuan dari PTSL yakni

Page 183: prosiding - ATR/BPN

176

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

tidak terciptanya informasi bidang tanah berbasis bidang. Informasi yang

didapatkan hanya informasi mengenai bidang tanah terdaftar saja,

sedangkan informasi mengenai sengketa dan konflik pertanahan serta

informasi ketersediaan tanah guna pengadaan tanah untuk pembangunan

tidak didapatkan.

Kontradiktur delimitasi yang belum dilaksanakan dapat disebabkan

pemilik tanah berbatasan yang sulit ditemui. Belum terlaksananya

kontradiktur delimitasi dapat menyebabkan ketidaklancaran dalam proses

pengukuran bidang tanah obyek PTSL. Ketidaklancaran ini seperti petugas

pengumpul data fisik menunggu hingga terjadi kesepakatan batas bidang

tanah kemudian dilakukan pengukuran bidang tanah. Apabila dalam proses

penetapan batas berjalan baik, yaitu para pihak berbatasan langsung setuju

dan bersepakat, tidak ada masalah; yang bermasalah adalah para pihak

yang terus berseteru mengenai batas bidang tanah. Menjalin komunikasi

yang intensif antara Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan dengan pihak

desa dalam rangka persiapan desa yang menjadi lokasi PTSL menjadi

langkah yang dimbil untuk mengatasi hal ini.

Gambar Ukur (GU) pendaftaran tanah sistematik (Daftar Isian 107)

merupakan Gambar Ukur yang digunakan untuk pengukuran dalam

pendaftaran tanah sistematis. Di Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan,

Gambar Ukur yang digunakan adalah Gambar Ukur Sporadik (Daftar Isian

107 A) (Gambar 1). Perbedaan antara GU sporadik dan GU Sistematik

adalah terletak pada halaman ke-1 dan ke-4 yakni, di GU Sporadik, halaman

4 merupakan halaman kartiran sedangkan halaman 4 pada GU Sistematik

merupakan halaman untuk tanda tangan berbatasan dan tanda tangan saksi,

sebagai contoh GU pada Kantor Pertanahan Kabupaten Demak (Gambar 2).

Dalam proses pengukuran bidang tanah, GU yang memuat data lapangan

sebaiknya dibawa ke lapang dan ditandatangangi langsung oleh para pihak

yang berbatasan. Dalam pelaksanaan pengukuran di Kabupaten Pasuruan,

para petugas pengumpul data fisik tidak membawa Gambar Ukur di lokasi

PTSL. Gambar Ukur digambar di Kantor Pertanahan agar memiliki catatan

yang rapi dan baik. Hal ini tidak masalah dilakukan jika petugas dengan

sigap membuat GU dan melengkapi tandatangan para pihak. Menjadi

masalah apabila petugas ukur menunda-nunda pekerjaan terkait

penggambaran GU, karena dapat menjadi beban pekerjaan selanjutnya. Ada

Page 184: prosiding - ATR/BPN

177

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

tidak terciptanya informasi bidang tanah berbasis bidang. Informasi yang

didapatkan hanya informasi mengenai bidang tanah terdaftar saja,

sedangkan informasi mengenai sengketa dan konflik pertanahan serta

informasi ketersediaan tanah guna pengadaan tanah untuk pembangunan

tidak didapatkan.

Kontradiktur delimitasi yang belum dilaksanakan dapat disebabkan

pemilik tanah berbatasan yang sulit ditemui. Belum terlaksananya

kontradiktur delimitasi dapat menyebabkan ketidaklancaran dalam proses

pengukuran bidang tanah obyek PTSL. Ketidaklancaran ini seperti petugas

pengumpul data fisik menunggu hingga terjadi kesepakatan batas bidang

tanah kemudian dilakukan pengukuran bidang tanah. Apabila dalam proses

penetapan batas berjalan baik, yaitu para pihak berbatasan langsung setuju

dan bersepakat, tidak ada masalah; yang bermasalah adalah para pihak

yang terus berseteru mengenai batas bidang tanah. Menjalin komunikasi

yang intensif antara Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan dengan pihak

desa dalam rangka persiapan desa yang menjadi lokasi PTSL menjadi

langkah yang dimbil untuk mengatasi hal ini.

Gambar Ukur (GU) pendaftaran tanah sistematik (Daftar Isian 107)

merupakan Gambar Ukur yang digunakan untuk pengukuran dalam

pendaftaran tanah sistematis. Di Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan,

Gambar Ukur yang digunakan adalah Gambar Ukur Sporadik (Daftar Isian

107 A) (Gambar 1). Perbedaan antara GU sporadik dan GU Sistematik

adalah terletak pada halaman ke-1 dan ke-4 yakni, di GU Sporadik, halaman

4 merupakan halaman kartiran sedangkan halaman 4 pada GU Sistematik

merupakan halaman untuk tanda tangan berbatasan dan tanda tangan saksi,

sebagai contoh GU pada Kantor Pertanahan Kabupaten Demak (Gambar 2).

Dalam proses pengukuran bidang tanah, GU yang memuat data lapangan

sebaiknya dibawa ke lapang dan ditandatangangi langsung oleh para pihak

yang berbatasan. Dalam pelaksanaan pengukuran di Kabupaten Pasuruan,

para petugas pengumpul data fisik tidak membawa Gambar Ukur di lokasi

PTSL. Gambar Ukur digambar di Kantor Pertanahan agar memiliki catatan

yang rapi dan baik. Hal ini tidak masalah dilakukan jika petugas dengan

sigap membuat GU dan melengkapi tandatangan para pihak. Menjadi

masalah apabila petugas ukur menunda-nunda pekerjaan terkait

penggambaran GU, karena dapat menjadi beban pekerjaan selanjutnya. Ada

pekerjaan melengkapi administrasi yang kurang sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku di samping mempersiapkan diri untuk

target PTSL tahun depan.

Gambar 1. Halaman 1 dan 4 GU yang digunakan oleh Kantor Pertanahan

Kabupaten Pasuruan

Page 185: prosiding - ATR/BPN

178

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Gambar 2. Halaman 1 dan 4 GU Sistematis pada Kantor Pertanahan

Kabupaten Demak

Untuk memenuhi kelengkapan tanda tangan para pihak dalam gambar

ukur, Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan menambahkan lampiran pada

Gambar Ukur yang digunakan dalam pengukuran bidang tanah PTSL. Tanda

tangan para pihak yang belum dapat dilengkapi ketika pengukuran bidang

tanah berlangsung, dilengkapi bersamaan dengan pengumpulan data

yuridis. Karena halaman 2 dan 3 GU digunakan untuk sket dan angka ukur

bidang tanah, maka gambar kartiran GU dicetak secara terpisah

menggunakan kertas A3 yang menjadi satu kesatuan dengan GU (Gambar

3).

Page 186: prosiding - ATR/BPN

179

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Gambar 2. Halaman 1 dan 4 GU Sistematis pada Kantor Pertanahan

Kabupaten Demak

Untuk memenuhi kelengkapan tanda tangan para pihak dalam gambar

ukur, Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan menambahkan lampiran pada

Gambar Ukur yang digunakan dalam pengukuran bidang tanah PTSL. Tanda

tangan para pihak yang belum dapat dilengkapi ketika pengukuran bidang

tanah berlangsung, dilengkapi bersamaan dengan pengumpulan data

yuridis. Karena halaman 2 dan 3 GU digunakan untuk sket dan angka ukur

bidang tanah, maka gambar kartiran GU dicetak secara terpisah

menggunakan kertas A3 yang menjadi satu kesatuan dengan GU (Gambar

3).

Gambar 3. Tanda tangan tetangga berbatasan yang belum lengkap pada

Gambar Ukur Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan

Sementara, kutipan Letter C merupakan penegasan dari surat

pernyataan penguasaan fisik bidang tanah yang merupakan alat bukti

kepemilikan tanah bekas milik adat di Pulau Jawa umumnya termasuk di

Kabupaten Pasuruan (Gambar 4 dan 5). Buku C ini berupa buku tebal yang

di dalamnya terdapat informasi mengenai pemilik tanah berikut riwayat

peralihannya dan disimpan di Kantor Desa/Kelurahan. Letter C perlu

dilampirkan sebagai salah satu syarat kelengkapan berkas permohonan

pendaftaran hak atas tanah. Letter C yang belum dilampirkan dapat

disebabkan karena Buku Letter C yang ada di Kantor Desa telah rusak

ditandai dengan satu atau beberapa halaman yang hilang dan dapat

disebabkan karena perangkat desa yang saat ini menjabat kurang mengerti

dalam membaca Buku C desa. Tetapi, selama buku C desa tidak rusak,

Page 187: prosiding - ATR/BPN

180

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

maka lembaran yang memuat informasi mengenai pemilik tanah dari awal

hingga pemilik tanah terakhir wajib dilampirkan. Tidak dilampirkannya

kutipan Letter C dan hanya berdasarkan Surat Penguasaan Fisik sangat

berpotensi menyumbang sengketa konflik pertanahan. Dengan tidak

dilampirkannya kutipan Letter C maka tidak diketahui informasi apakah

kebenaran peralihan tanah yang dimohon, sehingga tidak diperoleh juga

mengenai kebenaran pemohon hak atas tanah sebagai pemilik tanah. selain

itu, dengan tidak dilampirkannya Letter C sebagai bukti alas hak tanah bekas

milik adat dapat menyebabkan potensi sengketa di kemudian hari.

Gambar 4. Contoh Letter C

Page 188: prosiding - ATR/BPN

181

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

maka lembaran yang memuat informasi mengenai pemilik tanah dari awal

hingga pemilik tanah terakhir wajib dilampirkan. Tidak dilampirkannya

kutipan Letter C dan hanya berdasarkan Surat Penguasaan Fisik sangat

berpotensi menyumbang sengketa konflik pertanahan. Dengan tidak

dilampirkannya kutipan Letter C maka tidak diketahui informasi apakah

kebenaran peralihan tanah yang dimohon, sehingga tidak diperoleh juga

mengenai kebenaran pemohon hak atas tanah sebagai pemilik tanah. selain

itu, dengan tidak dilampirkannya Letter C sebagai bukti alas hak tanah bekas

milik adat dapat menyebabkan potensi sengketa di kemudian hari.

Gambar 4. Contoh Letter C

Gambar 5. Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah Yang Belum

Lengkap Tanda Tangan Kesaksian

Page 189: prosiding - ATR/BPN

182

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Untuk mengatasi kemampuan perangkat desa yang kurang dalam

membaca buku C desa, Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan meminta

para tetua atau orang yang dituakan di desa lokasi PTSL yang merupakan

orang yang paham akan peralihan tanah di desa itu, biasanya Sekretaris

Desa atau Lurah sebelumnya, untuk membantu penelitian riwayat tanah.

Keterlibatan kepala dukuh juga penting dalam penelitian riwayat tanah. Oleh

karena itu, pihak kantor pertanahan tidak membatasi panitia dari

desa/kelurahan hanya 1 orang, tetapi bisa sampai 2 hingga 4 orang bahkan

lebih untuk membantu proses kelengkapan berkas permohonan pendaftaran

tanah.

Nomor Letter C induk yang di-input ke dalam Komputerisasi Kantor

Pertanahan (KKP) dilakukan dalam rangka mempercepat proses penelitian

riwayat tanah yang menjadi obyek PTSL. Hal ini bisa saja dilakukan selama

tanah tersebut belum beralih, karena setiap peralihan tanah, maka nomor

Letter C juga berganti, sehingga idealnya, nomor C yang dimasukkan ke

dalam KKP adalah nomor Letter C terbaru. Pengentrian data obyek hak atas

tanah yang update merupakan sumbangan dalam mewujudkan tertib

administrasi pertanahan.

Strategi lain yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten

Pasuruan adalah dengan melakukan evaluasi pelaksanaan PTSL setiap

minggu untuk mengetahui capaian kegiatan PTSL. Monitoring dan evaluasi

yang dilakukan setiap minggu ini juga bermanfaat untuk mengetahui

kesulitan-kesulitan petugas di lapangan sehingga dapat dimusyawarahkan

mengenai jalan keluar dari masalah tersebut. Namun, sangat disayangkan

apabila monitoring dan evaluasi yang dilakukan hanya untuk pemenuhan

target PTSL. Monitoring dan evaluasi sebaiknya juga membahas mengenai

prosedur pelaksanaan yang dilakukan oleh masing-masing petugas.

Apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau belum.

Memikirkan bagaimana mengantisipasi akibat hukum atas kerja di

lapangan juga masuk dalam poin monitoring dan evaluasi tiap minggunya.

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Tahun 2017, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan

Nasional mengemban amanah pendaftaran tanah sebanyak 5 juta bidang tanah

Page 190: prosiding - ATR/BPN

183

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Untuk mengatasi kemampuan perangkat desa yang kurang dalam

membaca buku C desa, Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan meminta

para tetua atau orang yang dituakan di desa lokasi PTSL yang merupakan

orang yang paham akan peralihan tanah di desa itu, biasanya Sekretaris

Desa atau Lurah sebelumnya, untuk membantu penelitian riwayat tanah.

Keterlibatan kepala dukuh juga penting dalam penelitian riwayat tanah. Oleh

karena itu, pihak kantor pertanahan tidak membatasi panitia dari

desa/kelurahan hanya 1 orang, tetapi bisa sampai 2 hingga 4 orang bahkan

lebih untuk membantu proses kelengkapan berkas permohonan pendaftaran

tanah.

Nomor Letter C induk yang di-input ke dalam Komputerisasi Kantor

Pertanahan (KKP) dilakukan dalam rangka mempercepat proses penelitian

riwayat tanah yang menjadi obyek PTSL. Hal ini bisa saja dilakukan selama

tanah tersebut belum beralih, karena setiap peralihan tanah, maka nomor

Letter C juga berganti, sehingga idealnya, nomor C yang dimasukkan ke

dalam KKP adalah nomor Letter C terbaru. Pengentrian data obyek hak atas

tanah yang update merupakan sumbangan dalam mewujudkan tertib

administrasi pertanahan.

Strategi lain yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten

Pasuruan adalah dengan melakukan evaluasi pelaksanaan PTSL setiap

minggu untuk mengetahui capaian kegiatan PTSL. Monitoring dan evaluasi

yang dilakukan setiap minggu ini juga bermanfaat untuk mengetahui

kesulitan-kesulitan petugas di lapangan sehingga dapat dimusyawarahkan

mengenai jalan keluar dari masalah tersebut. Namun, sangat disayangkan

apabila monitoring dan evaluasi yang dilakukan hanya untuk pemenuhan

target PTSL. Monitoring dan evaluasi sebaiknya juga membahas mengenai

prosedur pelaksanaan yang dilakukan oleh masing-masing petugas.

Apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau belum.

Memikirkan bagaimana mengantisipasi akibat hukum atas kerja di

lapangan juga masuk dalam poin monitoring dan evaluasi tiap minggunya.

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Tahun 2017, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan

Nasional mengemban amanah pendaftaran tanah sebanyak 5 juta bidang tanah

untuk di realisasikan. Target ini bukanlah target yang kecil sehingga

membutuhkan kerja yang ekstra dan strategi-strategi khusus dalam

pelaksanaannya di lapangan. Pelaksanaan PTSL di lapangan yang dilakukan

oleh petugas ditemukan adanya penyimpangan prosedur atau tidak sesuai

dengan peraturan dan petunjuk teknis yang ada.

Penyimpangan pelaksanaan di lapangan yang tidak sesuai prosedur di

antaranya, penggunaan Daftar Isian dalam pengumpulan data fisik yang belum

sesuai, belum adanya Daftar Isian 107 (Gambar Ukur Pendaftaran Tanah

Sistematis) terhadap bidang-bidang tanah PTSL sedangkan Peta Bidang Tanah

dan Surat Ukur sudah terbit, Gambar Ukur yang ada belum dilengkapi dengan

tandatangan pihak yang berbatasan dan saksi-saksi, belum dilampirkannya

Letter C sebagai bukti pemilikan tanah dalam berkas permohonan pendaftaran

hak, dan belum lengkapnya tanda tangan para pihak dalam berkas permohonan

pendaftaran hak atas tanah.

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) merupakan solusi

percepatan pendaftaran tanah dan kepastian hukum apabila pelaksanaan PTSL

sesuai dengan kaidah yang berlaku. Kekurangan dalam prosedur akibat dari

pelaksanaan yang tidak sesuai petunjuk teknis akan menjadi beban bagi petugas

di kemudian hari. Kegiatan melengkapi kekurangan tersebut harus dilakukan

agar produk dari kegiatan PTSL tidak cacat dan untuk melindungi petugas

apabila dikemudian hari terdapat permasalahan berkaitan dengan produk yang

dihasilkan. Beban harus melengkapi kekurangan dalam prosedur ini juga

mempengaruhi persiapan kantor pertanahan terhadap target legalisasi aset di

tahun yang akan datang.

5.2. Saran

Pelaksanaan pendaftaran tanah berbasis percepatan dengan PTSL

sebaiknya dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan yang ada

sehingga produk dari Program PTSL dapat menjamin kepastian hukum. Hal lain

yang dapat dilakukan untuk mensukseskan PTSL adalah dengan

mengoptimalkan sarana dan prasarana penunjang pendaftaran tanah seperti

penyediaan alat ukur yang memadai menjadi salah satu hal peningkatan kinerja

petugas. Pemberdayaan masyarakat dalam hal pendaftaran tanah dengan

pelatihan dan pendampingan dalam proses mengecek kelengkapan berkas serta

meneliti riwayat tanah juga merupakan hal yang dapat membantu mempercepat

proses pendaftaran tanah. Selain itu melibatkan pihak ketiga yakni surveyor

Page 191: prosiding - ATR/BPN

184

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

pertanahan perlu dilakukan untuk membantu merealisasikan target PTSL yang

dibebankan, tentu dengan kontrol dari petugas yang ditetapkan oleh Kantor

Pertanahan. Satu hal yang paling penting dari semua itu, mengejar kuantitas

adalah penting, akan tetapi tunduk pada peraturan sebagai payung kebijakan

adalah mutlak, sebab kualitas produk jauh lebih penting dari sekedar jumlah

sertipikat yang dikeluarkan. Oleh karena itu, ke depan, jauh lebih arif jika

kebijakan Kementerian ATR/BPN di lapangan tidak diterjemahkan semata

menghasilkan sertipikat (K-1), tetapi yang juga penting adalah inventarisasi

seluruh bidang tanah dalam satu desa/keluarahan sehingga inti dari PTSL yakni

informasi bidang tanah berbasis bidang dapat terwujud.

DAFTAR PUSTAKA Annas, Aswar. 2017. Interaksi Pengambilan Keputusan dan Evaluasi Kebijakan.

Makasar: Celebes Media Perkasa

Azwar. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: Bina Putra

Azar, Saifudin. 2000. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Lexy, Moleong. 2003. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya

Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia

Nugroho, Rachmad Nur. 2017. Jurnal Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Hak Milik

Atas Tanah Secara Sistematis Lengkap Dengan Berlakunya Peraturan

Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 35 Tahun 2016 Di Kabupaten Sleman. Universitas Atmajaya:

Fakultas Hukum

Sumardjono, Maria. 2005. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan

Implementasi. Jakarta: Buku Kompas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3

Tahun 1997 tentag Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus

Pertanahan

Page 192: prosiding - ATR/BPN

185

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

pertanahan perlu dilakukan untuk membantu merealisasikan target PTSL yang

dibebankan, tentu dengan kontrol dari petugas yang ditetapkan oleh Kantor

Pertanahan. Satu hal yang paling penting dari semua itu, mengejar kuantitas

adalah penting, akan tetapi tunduk pada peraturan sebagai payung kebijakan

adalah mutlak, sebab kualitas produk jauh lebih penting dari sekedar jumlah

sertipikat yang dikeluarkan. Oleh karena itu, ke depan, jauh lebih arif jika

kebijakan Kementerian ATR/BPN di lapangan tidak diterjemahkan semata

menghasilkan sertipikat (K-1), tetapi yang juga penting adalah inventarisasi

seluruh bidang tanah dalam satu desa/keluarahan sehingga inti dari PTSL yakni

informasi bidang tanah berbasis bidang dapat terwujud.

DAFTAR PUSTAKA Annas, Aswar. 2017. Interaksi Pengambilan Keputusan dan Evaluasi Kebijakan.

Makasar: Celebes Media Perkasa

Azwar. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: Bina Putra

Azar, Saifudin. 2000. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Lexy, Moleong. 2003. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya

Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia

Nugroho, Rachmad Nur. 2017. Jurnal Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Hak Milik

Atas Tanah Secara Sistematis Lengkap Dengan Berlakunya Peraturan

Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 35 Tahun 2016 Di Kabupaten Sleman. Universitas Atmajaya:

Fakultas Hukum

Sumardjono, Maria. 2005. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan

Implementasi. Jakarta: Buku Kompas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3

Tahun 1997 tentag Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus

Pertanahan

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional

No. 35 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional

No. 12 Tahun 2017 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

2016. Petunjuk Teknis Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah Sistematis

Lengkap. Direktorat Infrastrukur dan Keagrariaan

2017. Petunjuk Teknis Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis

Lengkap Bidang Yuridis. Direktorat Jenderal Hubungan Hukum

Keagrariaan

http://nasional.kompas.com/read/2014/05/21/0754454/.Nawa.Cita.9.Agenda.Prior

itas.Jokowi-JK diakses pada tanggal 11 Oktober 2017 Pukul 23.46 WIB

http://wartakota.tribunnews.com/2017/10/11/jokowi-targetkan-16-juta-tanah-

bersertifikat-sampai-2019 diakses pada tanggal 11 Oktober 2017 Pukul

23.46 WIB

http://www.indonesian-publichealth.com/pengertian-dan-tujuan-evaluasi/ diakses

pada tanggal 12 Oktober 2017 Pukul 10.07 WIB

Biodata Penulis Nama : Restu Istiningdyah

Tempat Tanggal Lahir : Jayapura, 09 Januari 1990

Alamat : Desa Plandi, Rt 01 Rw I, Kecamatan

Purwodadi Kabupaten Purworejo

Email : [email protected]

Taruna Diploma IV Pertanahan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Page 193: prosiding - ATR/BPN

186

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

DAMPAK PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP TERHADAP SOSIAL EKONOMI PETANI DI KELURAHAN LANCIRANG

KECAMATAN PITU RIAWA KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG Fadhil Surur

Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota

Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar

[email protected]

ABSTRAK Kondisi sosial ekonomi masyarakat petani di Kelurahan Lancirang dipengaruhi

oleh status kepemilikan tanah yang dikelola untuk kegiatan pertanian. Diperlukan

dukungan kepastian hukum terhadap status kepemilikan tanah yang dikelola.

Program nasional Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) telah

dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Sidrap secara langsung kepada

masyarakat petani di Kelurahan Lancirang. Kawasan kajian merupakan kawasan

yang memiliki potensi lahan pertanian produktif dengan sistem irigasi yang

memadai. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kegiatan PTSL, menganalisa

dampak PTSL terhadap kondisi sosial ekonomi petani dan merumuskan

rekomendasi dalam pelaksanaan PTSL. Penelitian ini menggunakan data

sekunder dan data primer. Data primer diperoleh dengan dari kuesioner dengan

sampel indeks slovin sehingga diperoleh sampel sebesar 106 respoden. Data

dianalisis menggunakan pendekatan analisis deskriptif, analisis regresi bunga

berganda dan paired sample test. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa kondisi

sosial ekonomi masyarakat petani sebelum dan sesudah program PSTL didorong

oleh sistem PTSL itu sendiri yaitu waktu, prosedur dan biayanya. Masyarakat

petani lebih memilih program PTSL dibandingkan mendaftar secara pribadi.

Dampak sosial ekonomi yang signfikan setelah dilakukan PSTL adalah dampak

rasa aman, akses kredit, kemudahan menjual, dan harga tanah. Sedangkan

dampak penyelesaian konflik tidak signifikan. Arahan kebijakan pengelolaan

PTSL dapat dipertimbangkan mencakup penambahan SDM, membangun

database, dan meningkatkan fungsi kontrol atau pengawasan, prioritas lahan

pertanian produktif dan optimalisasi penyuluhan.

Page 194: prosiding - ATR/BPN

187

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

DAMPAK PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP TERHADAP SOSIAL EKONOMI PETANI DI KELURAHAN LANCIRANG

KECAMATAN PITU RIAWA KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG Fadhil Surur

Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota

Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar

[email protected]

ABSTRAK Kondisi sosial ekonomi masyarakat petani di Kelurahan Lancirang dipengaruhi

oleh status kepemilikan tanah yang dikelola untuk kegiatan pertanian. Diperlukan

dukungan kepastian hukum terhadap status kepemilikan tanah yang dikelola.

Program nasional Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) telah

dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Sidrap secara langsung kepada

masyarakat petani di Kelurahan Lancirang. Kawasan kajian merupakan kawasan

yang memiliki potensi lahan pertanian produktif dengan sistem irigasi yang

memadai. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kegiatan PTSL, menganalisa

dampak PTSL terhadap kondisi sosial ekonomi petani dan merumuskan

rekomendasi dalam pelaksanaan PTSL. Penelitian ini menggunakan data

sekunder dan data primer. Data primer diperoleh dengan dari kuesioner dengan

sampel indeks slovin sehingga diperoleh sampel sebesar 106 respoden. Data

dianalisis menggunakan pendekatan analisis deskriptif, analisis regresi bunga

berganda dan paired sample test. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa kondisi

sosial ekonomi masyarakat petani sebelum dan sesudah program PSTL didorong

oleh sistem PTSL itu sendiri yaitu waktu, prosedur dan biayanya. Masyarakat

petani lebih memilih program PTSL dibandingkan mendaftar secara pribadi.

Dampak sosial ekonomi yang signfikan setelah dilakukan PSTL adalah dampak

rasa aman, akses kredit, kemudahan menjual, dan harga tanah. Sedangkan

dampak penyelesaian konflik tidak signifikan. Arahan kebijakan pengelolaan

PTSL dapat dipertimbangkan mencakup penambahan SDM, membangun

database, dan meningkatkan fungsi kontrol atau pengawasan, prioritas lahan

pertanian produktif dan optimalisasi penyuluhan.

1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Pada saat ini laju pembangunan sektor pertanian semakin tertinggal

dibandingkan dengan sektor – sektor lainnya, sektor pertanian diprediksi akan

terus menurun dalam perekonomian nasional (Poerwanto, 2008). Kemunduran

sektor pertanian di Indonesia ditandai dengan penurunan produktivitas pada

kisaran -1,97% (BPS, 2017). Sistem pertanian nasional mengalami

permasalahan dari berbagai segi, salah satunya masalah agraria. Hal ini menjadi

sendi-sendi masalah tani, dimana menyangkut soal hidup dan penghidupan para

petani (Tauchid & Soetarto, 2009).

Sebuah tahap baru dalam kebijakan pertanahan dan pertanian di Indonesia

adalah mempercepat pembentukan pasar tanah melalui reformasi manajemen

dan administrasi pertanahan yang dimulai dengan kebijakan Bank Dunia yang

merekomendasikan serangkaian rencana aksi (Rachman, 2012). Teorisasi land

reform di negara berkembang ditandai dengan legalisasi atau perundang-

undangan terhadap tanah yang akan meredistribusi kepemilikan, mewujudkan

hak atas tanah pertanian dan dijalankan untuk memberi manfaat pada

masyarakat tani dengan cara meningkatkan status, kekuasaan dan pendapatan

absolut (Lipton, 2009). Program tersebut kemudian dilaksanakan oleh

Kementerian Agaria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional dalam rangka

mewujudkan reforma agraria dengan upaya legalisasi seluruh bidang tanah di

Indonesia. Kebijakan pemberian hak atas tanah rakyat secara adil dan merata,

serta mendorong pertumbuhan ekonomi negara pada umumnya dan ekonomi

rakyat khususnya, maka perlu dilakukan percepatan pendaftaran tanah lengkap

di seluruh wilayah.

Peraturan Daerah Kabupaten Sidrap No. 5 tahun 2012 RTRW Kabupaten

Sidrap tahun 2012 – 2032 mengarahkan tujuan penataan ruang sebagai upaya

untuk mewujudkan pembangunan yang maju dan sejahtera dengan berbasis

pada pembangunan agribisnis modern. Kebijakan tersebut didukung dengan

potensi pertanian yang menyumbang 33% dari total PDRB dengan 575,50 ha

sawah berada di Kelurahan Lancirang Kecamatan Pitu Riawa. Pengembangan

potensi pertanian tersebut mengalami kendala terkait dengan legalisasi tanah

yang dikelola oleh masyarakat setempat. Sehingga dengan kebijakan nasional

melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) oleh Pemerintah

Kabupaten Sidrap diharapkan mampu meningkat produktivitas pertanian degan

Page 195: prosiding - ATR/BPN

188

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

menjamin kepastian hukum tanah yang dikelola. Hal ini penting dilaksanakan

karena yang mayoritas pendaftarnya adalah masyarakat petani di Kelurahan

Lancirang.

Sumber daya agraria merupakan sumber nafkah yang akan menentukan

seberapa jauh jangkauan para petani dalam memenuhi kebutuhan pangan,

perumahan, pendidikan, dan unsur kesejahteraan lainnya (Sajogyo, 1985 dalam

Ariwijayanti, 2011). Sehingga dengan adanya kepastian hukum melalui sertifikasi

tanah secara sistematis dan lengkap, petani akan memperoleh keuntungan yang

lebih dari aktivitas pertanian yang dilaksanakan. Berdasarkan data dari ATR/BPN

Kabupaten Sidrap bahwa jumlah tanah yang telah disertifikasi di Kelurahan

Lancirang mencapai 1.336 bidang, 145 orang diantaranya merupakan petani

yang telah terdaftar dalam program ini. Proses PTSL di Kelurahan Lancirang

dilakukan sesuai dengan prosedur pelaksanaan dalam peraturan menteri.

Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakasanakan penelitian untuk mengukur

sejauh mana program PTSL ini berdampak pada sosial ekonomi petani di

Kelurahan Lancirang Kabupaten Sidrap.

1.2. Rumusan Masalah a. Faktor faktor apa yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap

kegiatan PTSL?

b. Bagaimana dampak PTSL terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat

petani?

c. Bagaimana arahan dan rekomendasi pelaksanaan PTSL bagi

masyarakat petani?

1.3. Tujuan a. Menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat

terhadap kegiatan PTSL.

b. Menganalisa dampak PTSL terhadap kondisi sosial ekonomi petani.

c. Merumuskan arahan dan rekomendasi pelaksanaan PTSL bagi

masyarakat petani.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Agraria

Agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu

dengan bahasa lainnya. Dalam Bahasa Latin kata agraria berasal dari kata ager

dan agrarius. Kata Ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata

Page 196: prosiding - ATR/BPN

189

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

menjamin kepastian hukum tanah yang dikelola. Hal ini penting dilaksanakan

karena yang mayoritas pendaftarnya adalah masyarakat petani di Kelurahan

Lancirang.

Sumber daya agraria merupakan sumber nafkah yang akan menentukan

seberapa jauh jangkauan para petani dalam memenuhi kebutuhan pangan,

perumahan, pendidikan, dan unsur kesejahteraan lainnya (Sajogyo, 1985 dalam

Ariwijayanti, 2011). Sehingga dengan adanya kepastian hukum melalui sertifikasi

tanah secara sistematis dan lengkap, petani akan memperoleh keuntungan yang

lebih dari aktivitas pertanian yang dilaksanakan. Berdasarkan data dari ATR/BPN

Kabupaten Sidrap bahwa jumlah tanah yang telah disertifikasi di Kelurahan

Lancirang mencapai 1.336 bidang, 145 orang diantaranya merupakan petani

yang telah terdaftar dalam program ini. Proses PTSL di Kelurahan Lancirang

dilakukan sesuai dengan prosedur pelaksanaan dalam peraturan menteri.

Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakasanakan penelitian untuk mengukur

sejauh mana program PTSL ini berdampak pada sosial ekonomi petani di

Kelurahan Lancirang Kabupaten Sidrap.

1.2. Rumusan Masalah a. Faktor faktor apa yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap

kegiatan PTSL?

b. Bagaimana dampak PTSL terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat

petani?

c. Bagaimana arahan dan rekomendasi pelaksanaan PTSL bagi

masyarakat petani?

1.3. Tujuan a. Menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat

terhadap kegiatan PTSL.

b. Menganalisa dampak PTSL terhadap kondisi sosial ekonomi petani.

c. Merumuskan arahan dan rekomendasi pelaksanaan PTSL bagi

masyarakat petani.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Agraria

Agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu

dengan bahasa lainnya. Dalam Bahasa Latin kata agraria berasal dari kata ager

dan agrarius. Kata Ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata

agrarius mempunyai arti sama dengan “perladangan, persawahan, atau

pertanian”. Dalam bahasa Inggris kata agraria diartikan agrarian yang selalu

diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian. Pengertian agraria ini,

sama sebutannya dengan agrarian laws bahkan sering kali digunakan untuk

menunjuk kepada perangkat peraturan hukum yang bertujuan mengadakan

pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan

lahan dan pemilikan tanah. Pengertian agraria dapat pula dikemukakan dalam

undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Jika dijabarkan pengertian tanah

menurut pasal 4 ayat 1 adalah permukaan bumi, sedangkan pengertian Bumi

menurut pasal 1 ayat 4, yaitu selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi

serta yang berada di bawah air. Adapun yang termasuk bumi Indonesia tidaklah

terbatas pada yang berada di bawah batas-batas perairan Indonesia saja, yaitu

perairan pedalaman (inland waters) dan laut wilayah (territorial waters) melainkan

bumi yang berada di bawah air laut diluar batas-batas itu.

2.2. Pendaftaran Tanah Rudolf Hemanses (Chomzah, 2004) merumuskan mengenai apa yang

dimaksud dengan pendaftaran tanah (kadaster) yaitu pembukuan bidang-bidang

tanah dalam daftar-daftar, berdasarkan pengukuran dan pemetaan yang

seksama dari bidang-bidang itu. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan

yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan

teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta

pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar,

mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk

pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada

haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang

membebaninya (Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997).

Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah untuk pertama kali dapat dilakukan

dengan 2 (dua) cara, yaitu pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran

tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan

pendaftaran tanah untuk pertama kali atas prakarsa pemerintah, yang dilakukan

secara serentak dan meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum

didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Sedangkan

pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk

pertama kali yang dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan,

Page 197: prosiding - ATR/BPN

190

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau

bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal.

2.3. Administrasi Pertanahan

Administrasi pertanahan adalah pemberian hak, perpanjangan hak,

pembaruan hak, peralihan hak, peningkatan hak, penggabungan hak, pemisahan

hak, pemecahan hak, pembebanan hak, izin lokasi, izin perubahan penggunaan

tanah, serta izin penunjukan dan penggunaan tanah. Sedangkan menurut Murad

mengemukakan bahwa administrasi pertanahan adalah suatu usaha dan

kegiatan suatu organisasi dan manajemen yang berkaitan dengan

penyelenggaraan kebijakankebijakan pemerintah di bidang pertanahan dengan

menggerakkan sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai dengan perundang-

undangan yang berlaku (Hermit, 2007).

PTSL adalah kegiatan Pendaftaran Tanah untuk pertama kali yang

dilakukan secara serentak bagi semua obyek Pendaftaran Tanah di seluruh

wilayah Republik Indonesia dalam satu wilayah desa/kelurahan atau nama

lainnya yang setingkat dengan itu, yang meliputi pengumpulan dan penetapan

kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek

Pendaftaran Tanah untuk keperluan pendaftarannya.

2.4. Konsep Pertanian Pertanian merupakan tulang punggung bagi kehidupan di pedesaan, aspek

ekonomi desa dan peluang kerja berkaitan erat dengan masalah kesejahteraan

masyarakat desa. Kecukupan dan keperluan ekonomi bagi masyarakat dikatakan

terjangkau bila pendapatan rumah tangga cukup untuk menutupi keperluan

rumah tangga dan pengembangan usaha-usahanya yang sebagian besar

didapatkan dari aspek pertanian. Interaksi yang dilakukan oleh individu-individu

dalam memenuhi kebutuhannya, mengakibatkan dinamika sosial ekonomi

masyarakat pedesaan. Kondisi sosial ekonomi sebagai kaitan antara status

sosial dan kebiasaan hidup sehari-hari yang telah membudaya bagi individu atau

kelompok dimana kebiasaan hidup yang membudaya ini biasanya disebut

dengan culture activity. Kemudian semua masyarakat di dunia baik yang

sederhana maupun yang kompleks, pola interaksi atau pergaulan hidup antara

individu menunjuk pada perbedaan kedudukan dan derajat atau status kriteria

dalam membedakan status pada masyarakat yang kecil biasanya sangat

sederhana, karena di samping jumlah warganya yang relatif sedikit, juga orang-

orang yang di anggap tinggi statusnya tidak begitu banyak jumlah dan ragamnya.

Page 198: prosiding - ATR/BPN

191

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau

bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal.

2.3. Administrasi Pertanahan

Administrasi pertanahan adalah pemberian hak, perpanjangan hak,

pembaruan hak, peralihan hak, peningkatan hak, penggabungan hak, pemisahan

hak, pemecahan hak, pembebanan hak, izin lokasi, izin perubahan penggunaan

tanah, serta izin penunjukan dan penggunaan tanah. Sedangkan menurut Murad

mengemukakan bahwa administrasi pertanahan adalah suatu usaha dan

kegiatan suatu organisasi dan manajemen yang berkaitan dengan

penyelenggaraan kebijakankebijakan pemerintah di bidang pertanahan dengan

menggerakkan sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai dengan perundang-

undangan yang berlaku (Hermit, 2007).

PTSL adalah kegiatan Pendaftaran Tanah untuk pertama kali yang

dilakukan secara serentak bagi semua obyek Pendaftaran Tanah di seluruh

wilayah Republik Indonesia dalam satu wilayah desa/kelurahan atau nama

lainnya yang setingkat dengan itu, yang meliputi pengumpulan dan penetapan

kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek

Pendaftaran Tanah untuk keperluan pendaftarannya.

2.4. Konsep Pertanian Pertanian merupakan tulang punggung bagi kehidupan di pedesaan, aspek

ekonomi desa dan peluang kerja berkaitan erat dengan masalah kesejahteraan

masyarakat desa. Kecukupan dan keperluan ekonomi bagi masyarakat dikatakan

terjangkau bila pendapatan rumah tangga cukup untuk menutupi keperluan

rumah tangga dan pengembangan usaha-usahanya yang sebagian besar

didapatkan dari aspek pertanian. Interaksi yang dilakukan oleh individu-individu

dalam memenuhi kebutuhannya, mengakibatkan dinamika sosial ekonomi

masyarakat pedesaan. Kondisi sosial ekonomi sebagai kaitan antara status

sosial dan kebiasaan hidup sehari-hari yang telah membudaya bagi individu atau

kelompok dimana kebiasaan hidup yang membudaya ini biasanya disebut

dengan culture activity. Kemudian semua masyarakat di dunia baik yang

sederhana maupun yang kompleks, pola interaksi atau pergaulan hidup antara

individu menunjuk pada perbedaan kedudukan dan derajat atau status kriteria

dalam membedakan status pada masyarakat yang kecil biasanya sangat

sederhana, karena di samping jumlah warganya yang relatif sedikit, juga orang-

orang yang di anggap tinggi statusnya tidak begitu banyak jumlah dan ragamnya.

2.5. Sosial Ekonomi Petani Petani adalah sebagian penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam

pores cocok tanam dan secara otonom menetapkan keputusan atas cocok tanam

tersebut. Pertanian terbagi dalam dua golongan, yaitu pertanian primitif dan

pertaian modern. Pertanian primitif diartikan sebagai petani yang bekerja

mengikuti metode-metode yang berasal dari orang-orang tua dan tidak menerima

pemberitahuan (inovasi). Mereka yang mengharapkan bantuan alam untuk

mengelola pertaniannya. Sedangkan pertanian modern diartikan sebagai yang

menguasai pertumbuhan tanaman dan aktif mencari metode-metode baru serta

dapat menerima pembaruan (inovasi) dalam bidang pertanian (Mosher, 1983).

Memberi penjelasan tentang hubungan sosial dan interaksi sosial baik

langsung maupun tidak langsung memberikan arti yang sama dalam kedua hal

tersebut (Syani, 1987). Faktor sosial ekonomi petani di pedesaan dipengaruhi

oleh berbagai hal yaitu jumlah anggota keluarga, lama bermukim, tingkat

pendidikan, tingkat pendapatann, lamanya penggunaan lahan, tingkat umur,

jumlah lahan yang dimiliki, jumlah anggota keluarga produktif, gaya hidup dan

kepemilikan tempat tinggal, barang-barang berharga rumah tangga dan hewan

peliharaan rumah tangga (sapi, kerbau, ayam, bebek, dan lain-lain).

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Lancirang Kecamatan Pitu Riawa

Kabupaten Sidrap sebagai salah satu wilayah percontohan pelaksanaan PTSL di

Sulawesi Selatan. Waktu pelaksanaan penelitian September sampai Oktober

2017.

3.2. Jenis dan Sumber Data Jenis data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh

dengan menggunakan kuesioner sesuai dengan sampel yang dibutuhkan serta

proses wawancara mendalam bagi informan kunci yang dituju antara lain Kepala

Kantor Pertanahan Kabupaten Sidrap, Lurah Lancirang dan masyarakat

setempat. Sedangkan data sekunder berupa data luasan dan jumlah sertipikat,

keadaan sosial ekonomi masyarakat, kondisi wilayah dan peraturan yang terkait.

Sumber data diperoleh dari Kantor Pertanahan Kabupaten Sidrap, Badan Pusat

Statistik, Pemerintah Kelurahan Lancirang, Gabungan Kelompok Tani Lancirang

dan Dinas Pertanian Kabupaten Sidrap.

Page 199: prosiding - ATR/BPN

192

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

3.3. Teknik Pengumpulan Data a. Survei lapangan

Survei lapangan secara langsung dilaksanakan untuk memperoleh

gambaran kondisi wilayah penelitian b. Kuesioner dan Wawancara

Kuesioner dilakukan pada responden yang telah ditetapkan secara

terstruktur dan didukung dengan wawancara mendalam untuk

menguatkan hasil penyebaran kuesioner c. Studi Kepusatkaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh literatur pendukung

yang terkait dengan topik penelitian. 3.4. Populasi dan Sampel

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan di Kelurahan Lancirang, Kecamatan

Pituriawa, Kabupaten Sidrap. Jumlah total masyarakat yang bekerja dibidang

pertanian mencapai 388 dan yang telah melakukan pendaftaran PTSL adalah

sebanyak 145 orang. Sehingga dengan menggunakan rumus slovin diperoleh

sampel sebesar 106 respoden dengan derajat ketelitian sampel 5%.

3.5. Teknik Analisis Data Penelitian menggunakan beberapa teknik analisis data yang disesuaikan

dengan tujuan penelitian yang mencakup :

a. Analisis Deskriptif

Analisis yang digunakan untuk pencarian fakta yang kemudian

diinterpretasikan sesuai dengan masalah penelitian. Analisis deksriptif

dilakukan untuk mengetahui keberadaan variabel mandiri, baik hanya

pada satu variabel atau lebih (variabel yang berdiri sendiri) tanpa

membuat perbandingan dan mencari hubungan variabel itu dengan

variabel yang lain (Sugiyono, 2009). Analisis deskriptif akan

memperoleh gambaran karakterstik masyarakat petani dan dampak dari

PTSL terhadap sosial ekonomi masyarakat.

b. Analisis Linear Berganda

Dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi responden

terhadap PTSL digunakan model analisis regresi linear berganda.

Analisis regresi adalah sebuah alat analisis statistik yang memberikan

penjelasan tentang pola hubungan (antara dua variabel atau lebih).

Tujuan dari analisis regresi ini adalah meramalkan nilai rata-rata satu

Page 200: prosiding - ATR/BPN

193

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

3.3. Teknik Pengumpulan Data a. Survei lapangan

Survei lapangan secara langsung dilaksanakan untuk memperoleh

gambaran kondisi wilayah penelitian b. Kuesioner dan Wawancara

Kuesioner dilakukan pada responden yang telah ditetapkan secara

terstruktur dan didukung dengan wawancara mendalam untuk

menguatkan hasil penyebaran kuesioner c. Studi Kepusatkaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh literatur pendukung

yang terkait dengan topik penelitian. 3.4. Populasi dan Sampel

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan di Kelurahan Lancirang, Kecamatan

Pituriawa, Kabupaten Sidrap. Jumlah total masyarakat yang bekerja dibidang

pertanian mencapai 388 dan yang telah melakukan pendaftaran PTSL adalah

sebanyak 145 orang. Sehingga dengan menggunakan rumus slovin diperoleh

sampel sebesar 106 respoden dengan derajat ketelitian sampel 5%.

3.5. Teknik Analisis Data Penelitian menggunakan beberapa teknik analisis data yang disesuaikan

dengan tujuan penelitian yang mencakup :

a. Analisis Deskriptif

Analisis yang digunakan untuk pencarian fakta yang kemudian

diinterpretasikan sesuai dengan masalah penelitian. Analisis deksriptif

dilakukan untuk mengetahui keberadaan variabel mandiri, baik hanya

pada satu variabel atau lebih (variabel yang berdiri sendiri) tanpa

membuat perbandingan dan mencari hubungan variabel itu dengan

variabel yang lain (Sugiyono, 2009). Analisis deskriptif akan

memperoleh gambaran karakterstik masyarakat petani dan dampak dari

PTSL terhadap sosial ekonomi masyarakat.

b. Analisis Linear Berganda

Dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi responden

terhadap PTSL digunakan model analisis regresi linear berganda.

Analisis regresi adalah sebuah alat analisis statistik yang memberikan

penjelasan tentang pola hubungan (antara dua variabel atau lebih).

Tujuan dari analisis regresi ini adalah meramalkan nilai rata-rata satu

variabel. Metode ini sebenarnya menggambarkan hubungan antara

peubah bebas atau independen (Y) dengan peubah tak bebas atau

dependen (X) mencakup pendidikan (X1), usia pendaftar (X2), prosedur

PTSL (X3), waktu PTSL (X4) dan biaya PTSL (X5), adapun

persamaannya adalah :

Y = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + β5 X5 + ε

Dimana :

Y : Pelaksanaan Program PTSL

X : Faktor yang diduga mempengaruhi petan untuk mengikuti

program

β : Koefisien regresi

ε : Erorr Term

c. Analisis Paired Sample Test

Paired-Sample T Test adalah analisis dengan melibatkan dua

pengukuran pada subjek yang sama terhadap suatu pengaruh atau

perlakuan tertentu. Apabila suatu perlakuan tidak memberi dampak,

maka perbedaan rata-rata adalah nol. Paired Sample T-test merupakan

perhitungan statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis beda dua

rata-rata sampel untuk data yang berbentuk interval atau rasio. Untuk

melakukan uji t diperlukan data berskala interval atau rasio yang dalam

SPSS disebut scale. Untuk menguji hipotesis parsial yang tersirat dari

hipotesis penelitian, seperti yang dikemukakan dengan rumus berikut :

𝑥𝑥 = r √n − 2 √1 − r2

Dimana :

r : distribusi student dengan derajat kebebasan (dk) = n-2

r 2 : koefisien korelasi

n : banyaknya sampel

Ketentuan dari uji hipotesis ini yaitu: Ho : tidak ada perbedaan yang

nyata pada kondisi sosial ekonomi masyarakat Kelurahan Lancirang

sebelum dan setelah pelaksanaan PTSL, sedangka Ha : Ada perbedaan

yang nyata pada kondisi sosial ekonomi masyarakat Kelurahan

Lancirang sebelum dan setelah adanya program PTSL penolakan

hipotesisnya adalah jika t hitung > t tabel maka Ho ditolak dan Ha

Page 201: prosiding - ATR/BPN

194

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

diterima. Sedangkan jika t hitung < t tabel maka Ho diterima dan Ha

ditolak.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Wilayah

Gambar 1. Kondisi wilayah penelitian

Sumber : survey lapangan, 2017

a. Kondisi Geografis

Kelurahan Lancirang terletak di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten

Sidrap dengan letak geografis pada 3°55'09.0"S bujur timur

119°56'18.5"E lintang selatan dengan batas geografis mencakup :

Sebelah utara : Desa Sumpang Mango

Sebelah selatan : Kabupaten Wajo

Sebelah timur : Kelurahan Ponrange

Sebelah barat : Desa Padangloang

Wilayah kajian berjarak 19 km dari ibukota Kabupaten Sidrap.

Karakteristik wilayahnya secara keseluruhan merupakan dataran rendah

dengan kemiringan lereng 0 – 2 %. Sedangkan jenis tanah berupa jenis

Alluvial Coklat Kelabu yang potensial untuk dimanfaatkan pada kegiatan

pertanian. Luas wilayah secara keseluruhan mencapai 6,55 km2.

Kelurahan Lancirang berapa pada lokasi yang strategis (Gambar 1 dan

Gambar 2) karena dilintasi oleh jalan provinsi yang memungkinkan

untuk maksimalisasi distribusi hasil pertanian ke daerah lain.

Page 202: prosiding - ATR/BPN

195

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

diterima. Sedangkan jika t hitung < t tabel maka Ho diterima dan Ha

ditolak.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Wilayah

Gambar 1. Kondisi wilayah penelitian

Sumber : survey lapangan, 2017

a. Kondisi Geografis

Kelurahan Lancirang terletak di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten

Sidrap dengan letak geografis pada 3°55'09.0"S bujur timur

119°56'18.5"E lintang selatan dengan batas geografis mencakup :

Sebelah utara : Desa Sumpang Mango

Sebelah selatan : Kabupaten Wajo

Sebelah timur : Kelurahan Ponrange

Sebelah barat : Desa Padangloang

Wilayah kajian berjarak 19 km dari ibukota Kabupaten Sidrap.

Karakteristik wilayahnya secara keseluruhan merupakan dataran rendah

dengan kemiringan lereng 0 – 2 %. Sedangkan jenis tanah berupa jenis

Alluvial Coklat Kelabu yang potensial untuk dimanfaatkan pada kegiatan

pertanian. Luas wilayah secara keseluruhan mencapai 6,55 km2.

Kelurahan Lancirang berapa pada lokasi yang strategis (Gambar 1 dan

Gambar 2) karena dilintasi oleh jalan provinsi yang memungkinkan

untuk maksimalisasi distribusi hasil pertanian ke daerah lain.

Gambar 2. Peta Kelurahan Lancirang

Sumber : RTRW Kabupaten Sidrap dan Peta RBI Bakosurtanal

b. Aspek Kependudukan

Secara umum jumlah penduduk total mencapai 2.662 jiwa, dengan

jumlah KK sebanyak 803 dan kepadatan penduduk 406 jiwa/km2.

Jumlah penduduk laki – laki sebanyak 1.275 sedangkan jumlah

penduduk perempuan mencapai 1.387. Perkembangan jumlah

penduduk (Tabel 1) di Kelurahan Lancirang hanya mengalami

perkembangan jumlah penduduk rata-rata 33 jiwa pertahun dari tahun

2011-2015.

Tabel 1. Perkembangan jumlah penduduk

No Tahun Jumlah Penduduk

1 2011 2499

2 2012 2534

3 2013 2569

4 2014 2601

5 2015 2632

Sumber : BPS Kabupaten Sidrap, 2017

Page 203: prosiding - ATR/BPN

196

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

c. Potensi Tenaga Kerja

Besarnya potensi pertanian di Kelurahan Lancirang didukung

dengan jumlah sumber daya manusia berupa tenaga kerja yang

bergerak di bidang pertanian yang mencapai 388 jiwa. Selain itu jasa

perdagangan juga banyak diusahakan oleh masyarakat yang mencapai

59 jiwa. Selengkapnya pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja

No Jenis Jumlah

1 Pertanian 388

2 Peternakan 2

3 Perkebunan 30

4 Perdagangan 59

5 Perindustrian 27

6 Pertambangan 2

7 Listrik dan Air Minum 3

8 Pengangkutan dan komunikasi 22

9 Perbankan 2

10 Pemerintahan/jasa 36

11 Lainnya 27

Sumber : BPS Kabupaten Sidrap, 2017

d. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan yang diusahakan oleh masyarakat setempat

didominasi oleh penggunaan lahan sawah yang mencapai 575,50 ha

atau sekitar 87,86% dari luas wilayah Kelurhan Lancirang. Selebihnya

79,50 ha merupakan pekarangan, perkebunan dan lahan permukiman

beserta sarana dan prasarananya (Tabel 3).

Tabel 3. Luas penggunaan lahan

No Jenis Luas (ha) Persentase (%)

1 Sawah 575,50 87.86

2 Pekarangan 20,82 3.18

3 Perkebunan 54,16 8.27

4 Permukiman 4,52 0.69

Jumlah 655 100

Sumber : BPS Kabupaten Sidrap, 2017

Page 204: prosiding - ATR/BPN

197

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

c. Potensi Tenaga Kerja

Besarnya potensi pertanian di Kelurahan Lancirang didukung

dengan jumlah sumber daya manusia berupa tenaga kerja yang

bergerak di bidang pertanian yang mencapai 388 jiwa. Selain itu jasa

perdagangan juga banyak diusahakan oleh masyarakat yang mencapai

59 jiwa. Selengkapnya pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja

No Jenis Jumlah

1 Pertanian 388

2 Peternakan 2

3 Perkebunan 30

4 Perdagangan 59

5 Perindustrian 27

6 Pertambangan 2

7 Listrik dan Air Minum 3

8 Pengangkutan dan komunikasi 22

9 Perbankan 2

10 Pemerintahan/jasa 36

11 Lainnya 27

Sumber : BPS Kabupaten Sidrap, 2017

d. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan yang diusahakan oleh masyarakat setempat

didominasi oleh penggunaan lahan sawah yang mencapai 575,50 ha

atau sekitar 87,86% dari luas wilayah Kelurhan Lancirang. Selebihnya

79,50 ha merupakan pekarangan, perkebunan dan lahan permukiman

beserta sarana dan prasarananya (Tabel 3).

Tabel 3. Luas penggunaan lahan

No Jenis Luas (ha) Persentase (%)

1 Sawah 575,50 87.86

2 Pekarangan 20,82 3.18

3 Perkebunan 54,16 8.27

4 Permukiman 4,52 0.69

Jumlah 655 100

Sumber : BPS Kabupaten Sidrap, 2017

e. Potensi Pertanian

Potensi pertanian dipengaruhi oleh ketersediaan lahan untuk

kegiatan pertanian. Secara umum lahan pertanian (Gambar 3) di

Kelurahan Lancirang adalah lahan pertanian teknis 317,71 ha

sedangkan lahan pertanian semi teknis 257,79 ha. Masyarakat setempat

dapat memanen 3-4 kali setahun dengan pasokan air yang stabil melalui

sistem irigasi.

Selain potensi pertanian, kawasan ini juga memiliki potensi

tanaman sayuran antara lain komoditi jagung, ubi kayu, kacang tanah,

kacang kedelai, kacang panjang dan cabe rawit. Sedangkan potensi

tanaman perkebunan berupa jeruk siam, mangga, pisang dan durian.

Jenis tanaman yang diusahakan pada perkebunan rakyat terdiri dari

kelapa, kakao, jambu mete dan kemiri. Potensi peternakan yang

teridentifikasi berupa sapi, kambing dan jenis ternak ungags

.

Gambar 3. Potensi lahan pertanian

Sumber : survey lapangan, 2017

4.2. Karakteristik Responden

a. Umur Responden

Peubah umur dari total responden cukup bervariasi. Peubah umur

ini dibagi menjadi empat bagian yaitu kelompok umur antara 20 tahun

sampai 30 tahun, kelompok umur antara 31 tahun sampai 40 tahun,

kelompok umur antara 41 tahun sampai 50 tahun dan kelompok umur

lebih dari 51 tahun. Umur total responden didominasi oleh kelompok

umur antara 41 tahun sampai 50 tahun yaitu sebanyak 46.23% persen

(Gambar 4).

Page 205: prosiding - ATR/BPN

198

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

0

10

20

30

40

50

60

20-30 31-40 41-50 >50

0

10

20

30

40

50

Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Diploma Sarjana

Gambar 4. Kelompok umur respoden

Sumber : hasil olah data, 2017

b. Tingkat Pendidikan

Gambaran umum tingkat pendidikan merupakan salah satu aspek

penting dalam pengembangan sumber daya manusia. Tingkat

pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 5. Secara umum

responden memiliki latar belakang pendidikan tamat SMP dengan

persentase sebanyak 40,57%.

Gambar 5. Tingkat pendidikan responden

Sumber : hasil olah data, 2017

c. Luas Kepemilikan Lahan

Sedangkan profil lahan sawah yang dimiliki oleh responden pada

umumnya sekitar 82% merupakan tanah warisan sisanya sebanyak 18%

adalah tanah pembelian. Luas rata-rata tanah yang dimiliki responden

mencapai rata-rata 1000 m2 – 2000 m2 sekitar 43,40% dan luas lahan

>2000 m2 atau mencapai 34,91%, selengkapnya pada Gambar 6.

Page 206: prosiding - ATR/BPN

199

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

0

10

20

30

40

50

60

20-30 31-40 41-50 >50

0

10

20

30

40

50

Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Diploma Sarjana

Gambar 4. Kelompok umur respoden

Sumber : hasil olah data, 2017

b. Tingkat Pendidikan

Gambaran umum tingkat pendidikan merupakan salah satu aspek

penting dalam pengembangan sumber daya manusia. Tingkat

pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 5. Secara umum

responden memiliki latar belakang pendidikan tamat SMP dengan

persentase sebanyak 40,57%.

Gambar 5. Tingkat pendidikan responden

Sumber : hasil olah data, 2017

c. Luas Kepemilikan Lahan

Sedangkan profil lahan sawah yang dimiliki oleh responden pada

umumnya sekitar 82% merupakan tanah warisan sisanya sebanyak 18%

adalah tanah pembelian. Luas rata-rata tanah yang dimiliki responden

mencapai rata-rata 1000 m2 – 2000 m2 sekitar 43,40% dan luas lahan

>2000 m2 atau mencapai 34,91%, selengkapnya pada Gambar 6.

05

18

46

37

0

10

20

30

40

50

< 200 m2 200 m2 -500 m2

500 m2 -1000 m2

1000 m2 -2000 m2

> 2000 m2

Gambar 6. Luas kepemilikan sawah

Sumber : hasil olah data, 2017

4.3. Faktor Faktor yang Mempegaruhi Persepsi Petani terhadap Program PTSL

Keterlibatan masyarakat petani pada program Pendaftaran Tanah

Sistematis Lengkap (PTSL) dipengaruhi oleh beberapa faktor. Penilaian

faktor secara keseluruhan menggunakan metode regresi berganda. Hasil

analisis ditampilkan pada Tabel 4 berikut :

Tabel 4. Faktor – faktor yang mempengaruhi

Status Coef Std error Probability

Luas lahan -0.396 0.315 0.208

Pendidikan -0.035 0.383 0.926

Umur -0.132 0.162 0.415

Prosedur PTSL 0.607 0.225 0.007

Waktu PTSL 1.114 0.299 0.000

Biaya PTSL 1.436 0.417 0.001

Konstanta -3.978 1.588 0.012

Sumber : hasil olah data, 2017

Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh bahwa faktor – faktor

yang mempengaruhi responden untuk mengikuti program PTSL adalah

dipengaruhi oleh sistem PTSL sedangkan faktor karakteristik respoden

tidak siginifikan pada tingkat t α=5 persen. Sistem PTSL diukur dengan

pendekatan prosedur, waktu dan biaya yang digunakan mempengaruhi

responden secara signifikan dengan nilai masing masing faktor tersebut

yaitu 0,007; 0,000; dan 0,0001.

Page 207: prosiding - ATR/BPN

200

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Berdasarkan nilai probability tersebut maka faktor utama mengikuti

PTSL tidak dipangaruhi oleh luas lahan yang dimiliki. Dimana responden

menggangap bahwa besar kecilnya lahan sawah harus memiliki sertipikat

tanah. Begitu juga dengan umur dan latar belakang pendidikan responden

juga tidak menjadi faktor utama yang mempengaruhi respoden terhadap

keterlibatannya dalam PTSL. Sejalan dengan hal tersebut baik umur dan

pendidikan tidak berpengaruh signifikan, hal ini disebabkan karena

masyarakat petani secara umum telah mengikuti sosialisasi, sehingga telah

memiliki gambaran tentang program ini sebelumnya. Pada dasarnya faktor-

faktor yang mempengaruhi masyarakat petani di Kelurahan Lancirang

dalam keikutsertaannya pada program PTSL adalah pada sistem PTSL itu

sendiri. Dimana dengan prosedur, waktu dan biaya yang dikeluarkan

menjadi faktor utama. Masyarakat menilai sistem ini lebih mudah dan

terpercaya dibandingkan mendaftarkan secara pribadi.

4.4. Dampak Program PTSL Dampak program PTSL diukur berdasarkan variabel sosial ekonomi

(Sugiyanto, Siregar, & Soetarto, 2008) yang mencakup:

a. Rasa Aman

Program PTSL memberikan dampak positif terhadap segi sosial

pemilik lahan yang diukur dengan rasa aman terhadap aset yang

dimiliki. Berdasarkan hasil analisis perbedaan rasa aman sebelum dan

sesudah memiliki sertipikat signifikan dengan t = -21,026, dengan

tingkat signifikan (α) 5% dan derajat kebebasan 19 (Tabel 5). Sehingga

diinterpretasikan bahwa petani di Kelurahan Lancirang memiliki rasa

aman dibandingkan sebelum melakukan pendaftran PTSL. Hal ini berarti

Ho ditolak dan Ha diterima. Terdapat perbedaan antara rasa aman

sebelum dan sesudah berpartisipasi dalam PTSL. Sertipikat hak atas

tanah berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat serta memberikan

rasa aman dan tentram bagi pemiliknya (Nae, 2013).

Tabel 5. Hasil analisis variabel rasa aman

Pengamatan Rata -rata Jumlah Signifikansi T-hitung

Sebelum 2,650 106 0,0000 -21,026

Sesudah 3,665 106

Sumber : hasil olah data, 2017

Page 208: prosiding - ATR/BPN

201

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Berdasarkan nilai probability tersebut maka faktor utama mengikuti

PTSL tidak dipangaruhi oleh luas lahan yang dimiliki. Dimana responden

menggangap bahwa besar kecilnya lahan sawah harus memiliki sertipikat

tanah. Begitu juga dengan umur dan latar belakang pendidikan responden

juga tidak menjadi faktor utama yang mempengaruhi respoden terhadap

keterlibatannya dalam PTSL. Sejalan dengan hal tersebut baik umur dan

pendidikan tidak berpengaruh signifikan, hal ini disebabkan karena

masyarakat petani secara umum telah mengikuti sosialisasi, sehingga telah

memiliki gambaran tentang program ini sebelumnya. Pada dasarnya faktor-

faktor yang mempengaruhi masyarakat petani di Kelurahan Lancirang

dalam keikutsertaannya pada program PTSL adalah pada sistem PTSL itu

sendiri. Dimana dengan prosedur, waktu dan biaya yang dikeluarkan

menjadi faktor utama. Masyarakat menilai sistem ini lebih mudah dan

terpercaya dibandingkan mendaftarkan secara pribadi.

4.4. Dampak Program PTSL Dampak program PTSL diukur berdasarkan variabel sosial ekonomi

(Sugiyanto, Siregar, & Soetarto, 2008) yang mencakup:

a. Rasa Aman

Program PTSL memberikan dampak positif terhadap segi sosial

pemilik lahan yang diukur dengan rasa aman terhadap aset yang

dimiliki. Berdasarkan hasil analisis perbedaan rasa aman sebelum dan

sesudah memiliki sertipikat signifikan dengan t = -21,026, dengan

tingkat signifikan (α) 5% dan derajat kebebasan 19 (Tabel 5). Sehingga

diinterpretasikan bahwa petani di Kelurahan Lancirang memiliki rasa

aman dibandingkan sebelum melakukan pendaftran PTSL. Hal ini berarti

Ho ditolak dan Ha diterima. Terdapat perbedaan antara rasa aman

sebelum dan sesudah berpartisipasi dalam PTSL. Sertipikat hak atas

tanah berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat serta memberikan

rasa aman dan tentram bagi pemiliknya (Nae, 2013).

Tabel 5. Hasil analisis variabel rasa aman

Pengamatan Rata -rata Jumlah Signifikansi T-hitung

Sebelum 2,650 106 0,0000 -21,026

Sesudah 3,665 106

Sumber : hasil olah data, 2017

b. Akses Kredit

Keterbukaan akses kredit bagi pemilik tanah yang sah dengan

sertipikat, berbeda dengan petani penggarap (lahan non milik) tidak

mempunyai akses untuk mendapatkan kredit atau bantuan dari lembaga

keuangan karena tidak ada jaminan yang sah untuk mendapatkan akses

pada bantuan dari lembaga keuangan (Winarso, 2012). Hasil analisis

diperoleh bahwa akses kredit sebelum dan sesudah mengikuti PTSL

mengalami kemudahan. Dimana memiliki nilai t = -14,658 dengan

signifikan (α) 5% dan derajat kebebasan 19 (Tabel 6). Responden

menyatakan akses kredit lebih mudah setelah mereka memperoleh

sertipikat tanah dari program PTSL. Akses kredit akan berpengaruh

pada tinggi atau rendahnya produktivitas lahan yang dikelola.

Rendahnya produktivitas disebabkan oleh ketidaksesuaian lahan, teknik

budidaya yang belum optimal, kesulitan kredit/modal, bias kebijakan

pemerintah, dan instabilitas harga (Eka, 2013).

Tabel 6. Hasil analisis variabel akses kredit

Pengamatan Rata -rata Jumlah Signifikansi T-hitung

Sebelum 2,910 106 0,0000 -14,658

Sesudah 3,750 106

Sumber : hasil olah data, 2017

c. Kemudahan menjual

Lahan merupakan aset yang sangat strategis bagi petani

beberapa petani menjual lahan dengan beragam, namun yang terkait

dengan upaya pemenuhan kebutuhan rumah tangga lebih menonjol dari

pada alasan yang terkait dengan motif perbaikan taraf hidup melalui

perpindahan profesi (Sumaryanto, 2010). Hipotesis awal diprediksi

bahwa setelah terbitnya sertipikat melalui program PTSL maka

masyarakat akan lebih mudah menjual tanah yang dimiliki. Hasil analisis

menunjukkan bahwa nilai t = -11,487 dimana tingkat signifikan (α) 5%

dan derajat kebebasan 19 (Tabel 7). Sehingga diinterpetasikan bahwa

masyarakat petani akan lebih mudah menjual tanahnya ketika setelah

terbitnya sertipikat tanah.

Page 209: prosiding - ATR/BPN

202

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Tabel 7. Hasil analisis variabel kemudahan menjual

Pengamatan Rata -rata Jumlah Signifikansi T-hitung

Sebelum 2,650 106 0,0000 -11,487

Sesudah 3,430 106

Sumber : hasil olah data, 2017

d. Harga tanah

Tanah mempunyai kekuatan ekonomis dimana nilai atau harga

tanah sangat tergantung pada penawaran dan permintaan. Dalam

jangka pendek penawaran sangat inelastis, ini berarti harga tanah pada

wilayah tertentu akan tergantung pada faktor permintaan, seperti

kepadatan penduduk dan tingkat pertumbuhannya, tingkat kesempatan

kerja dan tingkat pendapatan masyarakat serta kapasitas sistem

transportasi dan tingkat suku bunga (Eckert, 1990). Hasil olahan data

menunjukkan terjadinya perbedaan menurut respoden terhadap harga

tanah sebelum dan setelah didaftrakan dalam PTSL. Nilai t-hitung untuk

variabel harga tanah diperoleh -15,632 dengan tingkat signifikan (α) 5%

dan derajat kebebasan 19 (Tabel 8). Maka dapat dinyatakan bahwa

PSTL berdampak pada harga tanah sawah di Kelurahan Lancirang.

Harga lahan sawah di Kabupaten Sidrap cenderung mengikuti

poduktivitas sawah yang diukur berdasarkan akses jalan dan potensi

irigasi yang digunakan. Secara umum lahan – lahan sawah di lokasi

penelitian merupakan lahan produktif dengan rata – rata produksi

mencapai 3-4 kali dalam setahun.

Tabel 8. Hasil analisis variabel harga tanah

Pengamatan Rata -rata Jumlah Signifikansi T-hitung

Sebelum 2,070 106 0,0000 -15,785

Sesudah 2,030 106

Sumber : hasil olah data, 2017

e. Konflik

Salah satu langkah pasti yang dilakukan pemerintah dalam

mengurangi konflik tanah adalah dengan mempercepat sertifikasi tanah

yang dilakukan melalui administrasi tanah yang terpadu. Sengketa tanah

dan sumber-sumber agraria pada umumnya merupakan konflik laten

dan pihak-pihak yang bersengketa tidak hanya melibatkan individual,

namun juga dalam tataran komunal (Pratiwi, 2014). Hasil analisis

Page 210: prosiding - ATR/BPN

203

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Tabel 7. Hasil analisis variabel kemudahan menjual

Pengamatan Rata -rata Jumlah Signifikansi T-hitung

Sebelum 2,650 106 0,0000 -11,487

Sesudah 3,430 106

Sumber : hasil olah data, 2017

d. Harga tanah

Tanah mempunyai kekuatan ekonomis dimana nilai atau harga

tanah sangat tergantung pada penawaran dan permintaan. Dalam

jangka pendek penawaran sangat inelastis, ini berarti harga tanah pada

wilayah tertentu akan tergantung pada faktor permintaan, seperti

kepadatan penduduk dan tingkat pertumbuhannya, tingkat kesempatan

kerja dan tingkat pendapatan masyarakat serta kapasitas sistem

transportasi dan tingkat suku bunga (Eckert, 1990). Hasil olahan data

menunjukkan terjadinya perbedaan menurut respoden terhadap harga

tanah sebelum dan setelah didaftrakan dalam PTSL. Nilai t-hitung untuk

variabel harga tanah diperoleh -15,632 dengan tingkat signifikan (α) 5%

dan derajat kebebasan 19 (Tabel 8). Maka dapat dinyatakan bahwa

PSTL berdampak pada harga tanah sawah di Kelurahan Lancirang.

Harga lahan sawah di Kabupaten Sidrap cenderung mengikuti

poduktivitas sawah yang diukur berdasarkan akses jalan dan potensi

irigasi yang digunakan. Secara umum lahan – lahan sawah di lokasi

penelitian merupakan lahan produktif dengan rata – rata produksi

mencapai 3-4 kali dalam setahun.

Tabel 8. Hasil analisis variabel harga tanah

Pengamatan Rata -rata Jumlah Signifikansi T-hitung

Sebelum 2,070 106 0,0000 -15,785

Sesudah 2,030 106

Sumber : hasil olah data, 2017

e. Konflik

Salah satu langkah pasti yang dilakukan pemerintah dalam

mengurangi konflik tanah adalah dengan mempercepat sertifikasi tanah

yang dilakukan melalui administrasi tanah yang terpadu. Sengketa tanah

dan sumber-sumber agraria pada umumnya merupakan konflik laten

dan pihak-pihak yang bersengketa tidak hanya melibatkan individual,

namun juga dalam tataran komunal (Pratiwi, 2014). Hasil analisis

diperoleh dampak program PTSL terhadap konflik lahan sawah

cenderung tidak mengalami signifikansi. Nilai t-hitung untuk variabel

konflik lahan diperoleh -1,265 dengan tingkat signifikan (α) 5% dan

derajat kebebasan 19 yang berarti Ho diterima dan Ha ditolak, dimana

diperoleh t hitung ≥ t tabel (1,265 ≤ 2,093). Sehingga disimpulkan bahwa

tidak ada perbedaan konflik sebelum dan sesudah didaftarkan dalam

PTSL.

Tabel 9. Hasil analisis variabel konflik

Pengamatan Rata -rata Jumlah Signifikansi T-hitung

Sebelum 2,626 106 0,4211 -1,265

Sesudah 3,389 106

Sumber : hasil olah data, 2017

4.5. Arahan dan Rekomendasi Program PTSL telah dilakasanakan di Kelurahan Lancirang, namun

selama proses pelaksanaan program ini juga mengalami kendala. Program

PTSL secara umum mampu mendorong jumlah tanah sawah yang

tersertifikasi. Dalam rangka memaksimalkan program PTSL ini terhadap

sosial ekonomi masyarakat petani, maka diperlukan langkah strategis

sebagai rekomendasi untuk penyempurnaan program ini di masa yang

akan datang. Hasil pengukuran diperoleh bahwa setelah program PTSL

adalah akses kemudahan menjual, hal menjadi penting untuk

dipertimbangkan, karena wilayah Kelurahan Lancirang merupakan

kawasan pertanian produktif. Kemudahan menjual dikhawatirkan akan

mendorong terjadinya konversi lahan yang cepat. Maka perlu dilakukan

proteksi lahan lahan pertanian yang dimiliki oleh masyarakat dengan :

a. Memberikan reward kepada petani yang masih mempertahankan lahan

pertanian mereka

b. Melakukan prioritas terhadap lahan – lahan yang produktif secara fisik

dengan mengembangkan sarana dan prasarana pertanian yang lebih

memadai

c. Mengoptimalisasikan penyuluhan dengan pendekatan participatory

mapping serta integrasi dengan kebaruan teknologi yang menggunakan

sistem informasi geografis.

Page 211: prosiding - ATR/BPN

204

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

5. PENUTUP 5.1. Kesimpulan

Secara umum program PTSL representatif untuk menangangi

masalah sosial ekonomi petani di Kelurahan Lancirang. Faktor yang

mendorong masyarakat petani untuk terlibat dalam program PTSL adalah

prosedur, waktu dan biaya PTSL. Sistem PTSL saat ini signifikan

mempengaruhi masyarakat, sedangkan dari latar belakang pendidikan,

usia dan luas lahan bukan faktor yang signifikan berpengaruh terhadap

keterlibatan masyarakat petani dalam program ini. Dampak dari program

PTSL terhadap sosial ekonomi masyarakat petani antara lain rasa aman,

akses kredit, kemudahan menjual, dan harga tanah. Dampak ini mulai

dirasakan setelah mereka mendaftar ataupun menerima sertipikat tanah,

Pada dasarnya PTSL berdampak positif terhadap sosial ekonomi

masyarakat petani, dengan adanya sertipikat maka terdapat beberapa

kemudahan yang diperoleh. Hal ini mampu mendorong produktivitas lahan

sawah yang dimiliki. Beberapa rekomendasi yang perlu dipertimbangkan

mencakup pemberian reward, proteksi lahan dan kegiatan penyuluhan.

5.2. Saran

Penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan, sehingga hasil

temuan ini diharapkan dapat dilanjutkan pada proses penelitian berikutnya.

Tingkat kedalaman penilaian dampak yang masih rendah hal ini karena

keterbatasan variabel atau parameter yang digunakan dan waktu

pengambilan data. Selain itu faktor masa pelaksanaan program ini yang

masih baru, sehingga penilaian dampak yang lebih detail dapat dilakukan

setelah program ini dilaksanakan secara keseluruhan. Hal ini menjadi

sebagai bentuk evaluasi terhadap program atau kebijakan yang

dilaksanakan oleh pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA Ariwijayanti, E. (2011). Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Sosial Ekonomi

Masyarakat (Kasus: Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan

Cigudeg, Kabupaten Bogor Jawa Barat). Bogor: Institit Pertanian Bogor

(Skripsi).

BPS. (2017). Statistik Pertanian Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Page 212: prosiding - ATR/BPN

205

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

5. PENUTUP 5.1. Kesimpulan

Secara umum program PTSL representatif untuk menangangi

masalah sosial ekonomi petani di Kelurahan Lancirang. Faktor yang

mendorong masyarakat petani untuk terlibat dalam program PTSL adalah

prosedur, waktu dan biaya PTSL. Sistem PTSL saat ini signifikan

mempengaruhi masyarakat, sedangkan dari latar belakang pendidikan,

usia dan luas lahan bukan faktor yang signifikan berpengaruh terhadap

keterlibatan masyarakat petani dalam program ini. Dampak dari program

PTSL terhadap sosial ekonomi masyarakat petani antara lain rasa aman,

akses kredit, kemudahan menjual, dan harga tanah. Dampak ini mulai

dirasakan setelah mereka mendaftar ataupun menerima sertipikat tanah,

Pada dasarnya PTSL berdampak positif terhadap sosial ekonomi

masyarakat petani, dengan adanya sertipikat maka terdapat beberapa

kemudahan yang diperoleh. Hal ini mampu mendorong produktivitas lahan

sawah yang dimiliki. Beberapa rekomendasi yang perlu dipertimbangkan

mencakup pemberian reward, proteksi lahan dan kegiatan penyuluhan.

5.2. Saran

Penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan, sehingga hasil

temuan ini diharapkan dapat dilanjutkan pada proses penelitian berikutnya.

Tingkat kedalaman penilaian dampak yang masih rendah hal ini karena

keterbatasan variabel atau parameter yang digunakan dan waktu

pengambilan data. Selain itu faktor masa pelaksanaan program ini yang

masih baru, sehingga penilaian dampak yang lebih detail dapat dilakukan

setelah program ini dilaksanakan secara keseluruhan. Hal ini menjadi

sebagai bentuk evaluasi terhadap program atau kebijakan yang

dilaksanakan oleh pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA Ariwijayanti, E. (2011). Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Sosial Ekonomi

Masyarakat (Kasus: Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan

Cigudeg, Kabupaten Bogor Jawa Barat). Bogor: Institit Pertanian Bogor

(Skripsi).

BPS. (2017). Statistik Pertanian Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Chomzah, A. A. (2004). Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia Jilid 2). Jakarta:

Prestasi Pustakaraya.

Eckert, J. K. (1990). Property Appraisal and Asssement Administration. Chicago

Illinois: IAAO.

Eka, I. (2013). Implikasi Kredit Pertanian Terhadap Pendapatan Petani. Malang:

Jurusan Ilmu Ekonomi dan Binis Universitas Brawijaya.

Hermit, H. (2007). Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Wakaf. Bandung: Mandar

Maju.

Lipton, M. (2009). Land Refrom in Developing Conutriies. Priperty Rughts and

Property Wrongs. London: Routledege.

Mosher. (1983). Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Jakarta: Yasaguna.

Nae, F. E. (2013). Kepastian Hukum terhadap Hak Milik atas Tanah yang Sudah

Bersertifkat. Lex Privatum, 54-63.

Peraturan Pemerintah. (1997). PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran

Tanah. Jakarta: Peraturan Pemerintah.

Poerwanto, R. (2008). Pemikiran Guru Besar Institut Pertanian Bogor. Bogor:

Penebar Swadaya.

Pratiwi, A. (2014). Analisis Hukum atas Penyelesaian Sengketa Tanah Bumi

Flora Aceh. Pena Justicia, 159-170.

Rachman, N. F. (2012). Land Reform dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Tanah Air

Beta.

Sugiyanto, Siregar, H., & Soetarto, E. (2008). Analisis Dampak Pendaftran Tanah

Sistematis terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat di Kota Depok. Jurnal

Manajemen dan Agribisnis, 64-72.

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,

dan R&D). Bandung: Alfabeta.

Sumaryanto. (2010). Faktor-Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi

Keputusan Petani Menjual Lahan. Informatika Pertanian, 1-15.

Syani, A. (1987). Sosiologi Kelompok dan Masalah Sosial. Jakarta: Fajar Agung.

Tauchid, M., & Soetarto, E. (2009). Masalah Agraris sebagai Masalah

Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta: STPN

Press.

Winarso, B. (2012). Dinamika Pola Penguasaan Lahan Sawah di Wilayah

Pedesaan di Indonesia. Jurnal Penelitian Terapan, 1-14.

Page 213: prosiding - ATR/BPN

206

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Biodata Penulis

Penulis adalah pria kelahiran 06 Maret 1989 di Kabupaten Bone Provinsi

Sulawesi Selatan. Saat ini bekerja sebagai salah satu tenaga pengajar di

Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota UIN Alauddin Makassar sejak

tahun 2015. Jenjang sarjana diselesaikan di jurusan Teknik PWK UIN Alauddin

Makassar (2007-2011) dan magister di Ilmu Perencanaan Wilayah IPB (2012-

2014). Pada tahun yang 2015 kemudian diangkat menjadi PNS di UIN Alauddin

Makassar - Kementerian Agama. Penulis telah terlibat dari beberapa kegiatan

penelitian dan seminar baik skala lokal, regional maupun nasional.

Page 214: prosiding - ATR/BPN

207

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Biodata Penulis

Penulis adalah pria kelahiran 06 Maret 1989 di Kabupaten Bone Provinsi

Sulawesi Selatan. Saat ini bekerja sebagai salah satu tenaga pengajar di

Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota UIN Alauddin Makassar sejak

tahun 2015. Jenjang sarjana diselesaikan di jurusan Teknik PWK UIN Alauddin

Makassar (2007-2011) dan magister di Ilmu Perencanaan Wilayah IPB (2012-

2014). Pada tahun yang 2015 kemudian diangkat menjadi PNS di UIN Alauddin

Makassar - Kementerian Agama. Penulis telah terlibat dari beberapa kegiatan

penelitian dan seminar baik skala lokal, regional maupun nasional.

GERAKAN NASIONAL PENDAFTARAN TANAH MELALUI PELIBATAN MULTIPIHAK (PENTA HELIX)

Reza Abdullah

Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta

[email protected]

ABSTRAK

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) kurang dimaknai sebagai

gerakan nasional yang melibatkan seluruh komponen/elemen bangsa. Setiap

terdengar program pendaftaran tanah, yang terlintas adalah tanggungjawab

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN)

semata tanpa ada dukungan yang kuat oleh seluruh komponen bangsa.

ATR/BPN sibuk mencari data dan mengusahakan sendiri. Padahal, ketika

masyarakat tidak aktif dan/atau peran serta desa/kelurahan tidak aktif maka

ATR/BPN tidak dapat bergerak. Sehingga PTSL yang sepatutnya berupa

pendaftaran tanah sistematis lengkap terkikis secara halus menjadi sporadik

massal. Dewasa ini, yang terjadi adalah masyarakat yang butuh sertipikat tanah

saja yang mendaftarkan tanahnya sedangkan yang merasa tidak butuh seolah-

oleh tidak peduli dengan kesuksesan Program PTSL.

Tulisan ini dibuat secara deskriptif dengan analisis konten untuk mengkaji

keterbatasan PTSL dan peluang keberhasilannya. Ritme/pola perencanaan

program PTSL perlu dibentuk agar berhasil seperti yang diharapkan. Tulisan ini

juga berupaya menyajikan pola strategis perencanaan PTSL dengan pelibatan

multipihak.

Sinergi penta helix menjadi kunci kerja besar semua komponen secara

kolaboratif, yaitu pemerintah, masyarakat, non-governmental organization

(NGO) atau pelaku bisnis/swasta, akademisi, komunitas, serta media dalam

mensukseskan PTSL. Masing-masing pihak berperan dan bertanggungjawab

sesuai kapasitas dan kompetensinya. Untuk itu, PTSL harus menjadi Gerakan

Nasional dirangkai dalam sebuah harmoni yang besar berupa kebijakan nasional

yang melibatkan khalayak luas.

Kata Kunci: Gerakan Nasional, Penta Helix, Kebijakan Nasional, Pendaftaran

Tanah.

Page 215: prosiding - ATR/BPN

208

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Eksistensi tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti dan sekaligus

memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai

social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan

masyarakat untuk hidup dan kehidupan, sedangkan capital asset tanah

merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda

ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek

spekulasi (Achmad, 2007). Pemerintah dalam rangka menjamin kepastian hukum yaitu dengan

mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut

ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Dalam hal ini kepastiannya

mengenai letak batas luas tanah, status tanah dan orang yang berhak atas

tanah, dan pemberian surat berupa sertipikat. Pemerintah telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang pendaftaran tanah di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau biasa

disingkat UUPA. Tujuan dari pendaftaran tanah sebagaimana tercantum dalam

Pasal 19 UUPA yang menyebutkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum

oleh Pemerintah diadakan Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Republik

Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

Sejak awal mula kemerdekaan negara Indonesia pendaftaran tanah di

Indonesia belumlah tuntas. Indonesia masih menghadapi persoalan: (1) tumpang

tindihnya peraturan perundang-undangan bidang agraria-

pertanahan; (2) banyaknya tanah terlantar ataupun diterlantarkan; (3) belum

terselesaikannya agenda pendaftaran tanah; (4) tingginya ketimpangan

penguasaan dan pemilikan tanah; (5) lambatnya penyelesaian sengketa dan

konflik; serta (6) belum memadainya perlindungan hak atas tanah bagi

masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat. Kelima misi tersebut merupakan

bukti nyata bahwa kelahiran UUPA dicita-citakan untuk mewujudkan hukum

agraria nasional, menata kembali penguasaan dan pemilikan tanah demi

kesejahteraan masyarakat serta terpenuhinya hak rakyat atas tanah. Banyaknya

konflik sengketa yang lambat dikerjakan, tumpang tindih peraturan agraria dan

lain-lain merupakan beberapa problematika pendaftaran tanah di Indonesia.

Page 216: prosiding - ATR/BPN

209

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Eksistensi tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti dan sekaligus

memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai

social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan

masyarakat untuk hidup dan kehidupan, sedangkan capital asset tanah

merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda

ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek

spekulasi (Achmad, 2007). Pemerintah dalam rangka menjamin kepastian hukum yaitu dengan

mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut

ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Dalam hal ini kepastiannya

mengenai letak batas luas tanah, status tanah dan orang yang berhak atas

tanah, dan pemberian surat berupa sertipikat. Pemerintah telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang pendaftaran tanah di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau biasa

disingkat UUPA. Tujuan dari pendaftaran tanah sebagaimana tercantum dalam

Pasal 19 UUPA yang menyebutkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum

oleh Pemerintah diadakan Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Republik

Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

Sejak awal mula kemerdekaan negara Indonesia pendaftaran tanah di

Indonesia belumlah tuntas. Indonesia masih menghadapi persoalan: (1) tumpang

tindihnya peraturan perundang-undangan bidang agraria-

pertanahan; (2) banyaknya tanah terlantar ataupun diterlantarkan; (3) belum

terselesaikannya agenda pendaftaran tanah; (4) tingginya ketimpangan

penguasaan dan pemilikan tanah; (5) lambatnya penyelesaian sengketa dan

konflik; serta (6) belum memadainya perlindungan hak atas tanah bagi

masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat. Kelima misi tersebut merupakan

bukti nyata bahwa kelahiran UUPA dicita-citakan untuk mewujudkan hukum

agraria nasional, menata kembali penguasaan dan pemilikan tanah demi

kesejahteraan masyarakat serta terpenuhinya hak rakyat atas tanah. Banyaknya

konflik sengketa yang lambat dikerjakan, tumpang tindih peraturan agraria dan

lain-lain merupakan beberapa problematika pendaftaran tanah di Indonesia.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri ATR/KaBPN Bapak Sofyan A.

Djalil, “Sudah 71 tahun (Indonesia) merdeka. Dari 110 juta bidang tanah di luar

kawasan hutan, saat ini baru 46 juta bidang yang bersertifikat. Butuh waktu 100

tahun lagi agar semua bidang tanah di Indonesia bersertifikat.” Oleh karena itu,

Pemerintah melakukan akselerasi pendaftaran tanah di Indonesia dalam

penguatan hak atas tanah yang disebut program Pendaftaran Tanah Sistematis

Lengkap atau biasa disingkat PTSL.

Gambar 1. Road Map Infrastruktur Keagrariaan

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) merupakan program

pemerintah yang sedang berjalan dilakukan saat ini. Pemerintah, dalam hal ini

ATR/BPN mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan program pendaftaran

tanah akselerasi ini dengan target yang ditetapkan paling besar dari tahun-tahun

sebelumnya. Tahun 2017, 5 juta bidang tanah harus sudah terdaftar. Berikutnya

tahun 2018, 7 juta bidang dan tahun 2018, 9 juta bidang hingga target 2025

seluruh bidang tanah di Indonesia telah terdaftar.

Program PTSL dengan jumlah yang sangat fantastis tersebut ternyata

dalam perjalanannya kurang dimaknai sebagai gerakan nasional yang

melibatkan seluruh komponen/elemen bangsa. Setiap terdengar program

pendaftaran tanah, yang terlintas adalah tanggungjawab ATR/BPN semata tanpa

ada dukungan yang kuat oleh seluruh komponen bangsa. ATR/BPN sibuk

mencari data dan mengusahakan sendiri. Padahal ketika masyarakat tidak aktif

2034 2025 2020 2018 2015

Baseline

Terbentuknya Dirjen

Infrastruktur Keagrariaan

Menyelesaikan

pengukuran dan

pemetaan bidang

tanah di seluruh

Indonesia

Prona 7 juta

bidang; Infrastruktur

Data Geospasial Terintegrasi

Full Geo-KKP

Stelsel Positif

Cadaster 2034

Pembangunan

Berkelanjutan

Integrasi

2017

Prona 5 juta bidang

Percepatan

Prona 9 juta bidang;

Infrastruktur Data

Geospasial Terintegrasi

Page 217: prosiding - ATR/BPN

210

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

dan/atau peran serta desa/kelurahan tidak aktif maka ATR/BPN tidak dapat

bergerak. Sehingga PTSL yang sepatutnya berupa pendaftaran tanah sistematis

lengkap terkikis secara halus menjadi sporadik massal.

Kurangnya ketertarikan masyarakat dalam mendukung kesuksesan PTSL

dengan promosi biaya Rp.0- (nol rupiah), akses reform dan jaminan kepastian

hukum belum optimal dalam menambah animo masyarakat dalam keterlibatan

PTSL. Pemikiran yang masih ada yakni untuk apa tanah tersebut disertipikatkan

sekiranya mereka tidak membutuhkan sebagai akses reform ataupun sudah

turun-temurun mereka miliki dan tidak ada yang menggugat. Dewasa ini, yang

terjadi adalah masyarakat yang butuh sertipikat tanah saja yang mendaftarkan

tanahnya sedangkan yang merasa tidak butuh seolah-oleh tidak peduli dengan

Kesuksesan Program PTSL.

1.2. Rumusan Masalah 1.2.1. Mengapa masyarakat kurang berperan aktif dalam

penyelenggaraan PTSL?

1.2.2. Mengapa PTSL terkikis menjadi sporadik massal?

1.2.3. Bagaimana peran serta seluruh stake holder (penta helix) dalam

rangka mensukseskan PTSL?

1.3. Tujuan Penulisan 1.3.1 Untuk mengetahui problematika kurang aktifnya masyarakat dalam

penyelenggaraan PTSL.

1.3.2 Untuk mengetahui mengapa PTSL yang sejatinya dilaksanakan

secara sistematis lengkap justru dilaksanakan secara sporadik

massal.

1.3.3 Untuk mengetahui pentingnya keterlibatan multipihak (penta helix)

dalam mensukseskan PTSL.

1.4. Manfaat Penulisan Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pola strategis

penyelenggaraan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dengan melibatkan

multipihak (penta helix) sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan kepada

stake holder untuk merumuskan kebijakan selanjutnya.

2. TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan berkelanjutan adalah cita-cita dari setiap negara di mana

negara tersebut dapat mengatur perencanaaan pembangunan dengan baik,

Page 218: prosiding - ATR/BPN

211

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

dan/atau peran serta desa/kelurahan tidak aktif maka ATR/BPN tidak dapat

bergerak. Sehingga PTSL yang sepatutnya berupa pendaftaran tanah sistematis

lengkap terkikis secara halus menjadi sporadik massal.

Kurangnya ketertarikan masyarakat dalam mendukung kesuksesan PTSL

dengan promosi biaya Rp.0- (nol rupiah), akses reform dan jaminan kepastian

hukum belum optimal dalam menambah animo masyarakat dalam keterlibatan

PTSL. Pemikiran yang masih ada yakni untuk apa tanah tersebut disertipikatkan

sekiranya mereka tidak membutuhkan sebagai akses reform ataupun sudah

turun-temurun mereka miliki dan tidak ada yang menggugat. Dewasa ini, yang

terjadi adalah masyarakat yang butuh sertipikat tanah saja yang mendaftarkan

tanahnya sedangkan yang merasa tidak butuh seolah-oleh tidak peduli dengan

Kesuksesan Program PTSL.

1.2. Rumusan Masalah 1.2.1. Mengapa masyarakat kurang berperan aktif dalam

penyelenggaraan PTSL?

1.2.2. Mengapa PTSL terkikis menjadi sporadik massal?

1.2.3. Bagaimana peran serta seluruh stake holder (penta helix) dalam

rangka mensukseskan PTSL?

1.3. Tujuan Penulisan 1.3.1 Untuk mengetahui problematika kurang aktifnya masyarakat dalam

penyelenggaraan PTSL.

1.3.2 Untuk mengetahui mengapa PTSL yang sejatinya dilaksanakan

secara sistematis lengkap justru dilaksanakan secara sporadik

massal.

1.3.3 Untuk mengetahui pentingnya keterlibatan multipihak (penta helix)

dalam mensukseskan PTSL.

1.4. Manfaat Penulisan Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pola strategis

penyelenggaraan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dengan melibatkan

multipihak (penta helix) sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan kepada

stake holder untuk merumuskan kebijakan selanjutnya.

2. TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan berkelanjutan adalah cita-cita dari setiap negara di mana

negara tersebut dapat mengatur perencanaaan pembangunan dengan baik,

sehingga terwujud pembangunan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang

Wilayah.

Gambar 2. Paradigma Manajemen Pertanahan

(Enemark et al, 2005)

Pembangunan berkelanjutan tidak akan terwujud tanpa adanya

pembangunan manajemen pertanahan yang baik dan saling terintegrasi antara

land tenure, land value, land use, dan land development. Khusus di Indonesia,

keempat pilar ini yang kurang lebih dikontrol langsung oleh 12 kementerian dan

departemen. Semua pilar tersebut memiliki berbagai Layer Structure Data

Information (SDI) dan bagian terkecil dari SDI adalah persil.

Gambar 3 Pentingnya Kadaster (Ian Williamson, et.al, 2010)

Page 219: prosiding - ATR/BPN

212

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Pembangunan SDI terbentuk dari 3 unsur yakni multipurpose cadastre, title

or deeds tenure style dan taxation driven cadastre. Di Indonesia pembangunan

title or deeds tenure berupa registration of parcel atau pendaftaran hak atas

tanah yang ditangani di bawah Kementerian ATR/BPN. Kegiatan ini

mempengaruhi kemajuan perekonomian dari suatu negara di mana memberikan

peluang lebih besar terhadap perencanaan pembangunan. Berdasarkan data

doing of businees dunia yang dikeluarkan oleh World Bank, Indonesia berada

pada urutan ke-91 dalam kemudahan memulai bisnis. Hal ini tidak terlepas dari

salah satu faktor yang mengacu dari kondisi infrastruktur pertanahan registration

of property di Indonesia di mana berada pada urutan ke-118 (Data tahun 2017

bulan September). Maka diperlukan upaya dari Pemerintah Indonesia untuk

melakukan akselerasi terhadap inventarisai pendaftaran tanah.

Gambar 4. Ranking Ekonomi Indonesia di Dunia

(www.doingbusiness.org/rankings)

PTSL merupakan program pendaftaran tanah yang mulai berlangsung di

Indonesia sejak awal tahun 2017. PTSL memiliki target yang berkesinambungan

dari tahun ke tahun. Pada tahun 2017 ditargetkan 5 juta bidang tanah terdaftar.

Kemudian meningkat pada tahun 2018 sebanyak 7 juta bidang tanah.

Ditargetkan pada tahun 2025 seluruh bidang tanah di Indonesia terpetakan

secara keseluruhan.

Dalam perjalanan perdana PTSL di tahun 2017 banyak sekali kendala-

kendala yang dialami sebagai penghambat berjalannya PTSL sehingga

dikhawatirkan target pada 2017 tidak dapat tercapai. Belum lagi target tahun

depan atau tahun 2018 lebih besar daripada target tahun 2017.

Page 220: prosiding - ATR/BPN

213

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Pembangunan SDI terbentuk dari 3 unsur yakni multipurpose cadastre, title

or deeds tenure style dan taxation driven cadastre. Di Indonesia pembangunan

title or deeds tenure berupa registration of parcel atau pendaftaran hak atas

tanah yang ditangani di bawah Kementerian ATR/BPN. Kegiatan ini

mempengaruhi kemajuan perekonomian dari suatu negara di mana memberikan

peluang lebih besar terhadap perencanaan pembangunan. Berdasarkan data

doing of businees dunia yang dikeluarkan oleh World Bank, Indonesia berada

pada urutan ke-91 dalam kemudahan memulai bisnis. Hal ini tidak terlepas dari

salah satu faktor yang mengacu dari kondisi infrastruktur pertanahan registration

of property di Indonesia di mana berada pada urutan ke-118 (Data tahun 2017

bulan September). Maka diperlukan upaya dari Pemerintah Indonesia untuk

melakukan akselerasi terhadap inventarisai pendaftaran tanah.

Gambar 4. Ranking Ekonomi Indonesia di Dunia

(www.doingbusiness.org/rankings)

PTSL merupakan program pendaftaran tanah yang mulai berlangsung di

Indonesia sejak awal tahun 2017. PTSL memiliki target yang berkesinambungan

dari tahun ke tahun. Pada tahun 2017 ditargetkan 5 juta bidang tanah terdaftar.

Kemudian meningkat pada tahun 2018 sebanyak 7 juta bidang tanah.

Ditargetkan pada tahun 2025 seluruh bidang tanah di Indonesia terpetakan

secara keseluruhan.

Dalam perjalanan perdana PTSL di tahun 2017 banyak sekali kendala-

kendala yang dialami sebagai penghambat berjalannya PTSL sehingga

dikhawatirkan target pada 2017 tidak dapat tercapai. Belum lagi target tahun

depan atau tahun 2018 lebih besar daripada target tahun 2017.

Pada tahun 2017 ATR/BPN bekerjasama dengan Surveyor Kadastral

Berlisensi melalui KJSKB dalam membantu percepatan PTSL. Ritme pekerjaan

di mana kantor-kantor pertanahan yang kewalahan dengan target tersebut atau

tidak mampu menyelesaikan sendiri target bidang tanah yang diberikan

ATR/BPN menyarankan agar pekerjaan tersebut dilakukan melalui kerjasama

dengan ke pihak ketiga (KJSKB). Dalam mensukseskan PTSL sebagai gerakan

Nasional maka diperlukan kerjasama dari setiap pihak atau yang disebut sebagai

keterlibatan multipihak (penta helix). Sebab, program PTSL ini adalah kerja yang

besar dan untuk kepentingan semua orang/pihak/lembaga/negara maka perlu

dilakukan secara kolaboratif.

Ritme/pola dari para stake holder dalam membuat strategi dalam

mengambil keputusan dapat membuat perbedaan besar dalam bagaimana

sebuah proyek/pekerjaan dikembangkan. Bagaimana sebuah masalah dirasakan

dan perbedaan persepsi menimbulkan suatu gesekan dan hambatan dalam

penyatuan keselarasan pandangan. Penta helix adalah alat diskusi sederhana

untuk memetakan minat dan mengeksplorasi cara-cara untuk menjaga agar

sebuah pekerjaan tetap seimbang. Walaupun kelihatannya sederhana, namun

hal ini dapat membantu untuk segera membuka atau menjelaskan kompleksitas

sosial di samping pemangku kepentingan memahami pentingnya kolaborasi dan

keterlibatan multipihak.

Gambar 5. Konsep Penta Helix

(Hill,.A ,2015)

Page 221: prosiding - ATR/BPN

214

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Model Penta Helix didasarkan pada lima jenis pemangku kepentingan:

Pemerintah, NGO (Non-Government Organization/pelaku bisnis, komunitas,

masyarakat, akademisi dan media. Model ini sangat berguna untuk mengelola

kompleksitas berbasis aktor. Dengan membangun sinergi Penta Helix maka

membantu menganalisis gabungan pemangku kepentingan. Mereka yang

mungkin terlibat aktif dalam suatu pekerjaan (aktor) dan pihak lain yang terlibat

karena sifat pekerjaan (kelompok kepentingan) seperti otoritas publik dan model

ini berkaitan dengan sampel pemangku kepentingan.

Konsep Penta Helix dibangun di atas dua model fokus inovasi sebelumnya:

Triple dan Quadra Helix. Triple Helix mencatat pentingnya hubungan antara

pengetahuan, industri dan sektor publik. Trilogi pelaku ini agak jelas dan saling

bergantung: sektor publik menggunakan basis pajak untuk mendanai lembaga

pengetahuan untuk meneliti teknologi dan produk inovatif, sektor bisnis

memproduksikannya dan akhirnya sektor publik menuai hasilnya melalui

pengembalian pajak.

"Unsur dari Triple Helix adalah universitas, industri dan pemerintah untuk

menghasilkan format kelembagaan dan sosial baru untuk produksi, transfer dan

penerapan pengetahuan." (sumber:Kelompok riset Triple Helix University of

Stanford)

Quadra Helix

Triple Helix sifatnya terlalu umum namun jika inovasi tersebut menyangkut

orang, maka pengguna harus masuk dalam daftar pemangku

kepentingan. Masalah dengan Triple Helix adalah bahwa mereka

mengasumsikan bahwa mereka mengetahui yang terbaik untuk pasar. Hal inilah

yang menjadi alasan diperkenalkannya aliran tambahan ke helix, yakni

pengguna, sehingga menciptakan Quadruple Helix.

Kepentingan pemangku kepentingan dan hubungan antarlembaga

Pemangku kepentingan yang didorong oleh terlalu banyak kepentingan

dapat mengganggu sebuah pekerjaan dengan tidak menjelaskan tujuan mereka.

Hal ini berguna untuk menetapkan motivasi profesional para pemangku

kepentingan dan jika kepentingan pribadi mereka akan memainkan peran yang

kuat.

Kendalanya selanjutnya adalah hubungan stakeholder. Hal yang wajar jika

pemangku kepentingan membawa gesekan pribadi atau kelembagaan yang

dapat menahan pembangunan. Mengakibatkan pemangku kepentingan memiliki

Page 222: prosiding - ATR/BPN

215

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Model Penta Helix didasarkan pada lima jenis pemangku kepentingan:

Pemerintah, NGO (Non-Government Organization/pelaku bisnis, komunitas,

masyarakat, akademisi dan media. Model ini sangat berguna untuk mengelola

kompleksitas berbasis aktor. Dengan membangun sinergi Penta Helix maka

membantu menganalisis gabungan pemangku kepentingan. Mereka yang

mungkin terlibat aktif dalam suatu pekerjaan (aktor) dan pihak lain yang terlibat

karena sifat pekerjaan (kelompok kepentingan) seperti otoritas publik dan model

ini berkaitan dengan sampel pemangku kepentingan.

Konsep Penta Helix dibangun di atas dua model fokus inovasi sebelumnya:

Triple dan Quadra Helix. Triple Helix mencatat pentingnya hubungan antara

pengetahuan, industri dan sektor publik. Trilogi pelaku ini agak jelas dan saling

bergantung: sektor publik menggunakan basis pajak untuk mendanai lembaga

pengetahuan untuk meneliti teknologi dan produk inovatif, sektor bisnis

memproduksikannya dan akhirnya sektor publik menuai hasilnya melalui

pengembalian pajak.

"Unsur dari Triple Helix adalah universitas, industri dan pemerintah untuk

menghasilkan format kelembagaan dan sosial baru untuk produksi, transfer dan

penerapan pengetahuan." (sumber:Kelompok riset Triple Helix University of

Stanford)

Quadra Helix

Triple Helix sifatnya terlalu umum namun jika inovasi tersebut menyangkut

orang, maka pengguna harus masuk dalam daftar pemangku

kepentingan. Masalah dengan Triple Helix adalah bahwa mereka

mengasumsikan bahwa mereka mengetahui yang terbaik untuk pasar. Hal inilah

yang menjadi alasan diperkenalkannya aliran tambahan ke helix, yakni

pengguna, sehingga menciptakan Quadruple Helix.

Kepentingan pemangku kepentingan dan hubungan antarlembaga

Pemangku kepentingan yang didorong oleh terlalu banyak kepentingan

dapat mengganggu sebuah pekerjaan dengan tidak menjelaskan tujuan mereka.

Hal ini berguna untuk menetapkan motivasi profesional para pemangku

kepentingan dan jika kepentingan pribadi mereka akan memainkan peran yang

kuat.

Kendalanya selanjutnya adalah hubungan stakeholder. Hal yang wajar jika

pemangku kepentingan membawa gesekan pribadi atau kelembagaan yang

dapat menahan pembangunan. Mengakibatkan pemangku kepentingan memiliki

berbedaan persepsi yang berimbas pada hasil perencanaan hingga hasil

pekerjaan.

Gambar 6 Peranan setiap unsur Penta Helix

(Hill,.A ,2015)

Skema berikut dapat digunakan untuk mengeksplorasi pemangku

kepentingan dalam suatu kelompok pekerjaan. Skema ini untuk mengeksplorasi

posisi pemangku kepentingan sesuai dengan gambaran umum dalam suatu

pekerjaan. Dengan skema ini maka akan menjadi jelas di mana kesenjangan

berada, kemungkinan konflik dapat terjadi melalui tumpang tindih atau

kekosongan ruang (kurangnya dukungan) yang menghambat suatu

pekerjaan. Kemudian setelah dianalisis tingkat minat, kekuatan dan komitmen

setiap unsur maka akan memperoleh gambaran yang lebih baik tentang aktor

utama dan hal-hal yang perlu dilibatkan.

Lima jenis pemangku kepentingan

Tidak ada aturan tetap untuk siapa yang sesuai dengan masing-masing

kategori pemangku kepentingan karena ini akan bergantung sepenuhnya pada

konfigurasi aktor dalam situasi tersebut. Misalnya, pemangku kepentingan

mungkin mewakili masyarakat lokal dalam satu konteks, sementara skala

regional di negara lain. Uraian berikut memberikan indikasi bagaimana cara

mendistribusikan para pemangku kepentingan.

Page 223: prosiding - ATR/BPN

216

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

a. Pemerintah

Kelompok ini memliki kekuatan dan pengaruhnya yang cenderung tinggi:

Tanpa kerja sama mereka, gagasan paling inspiratif sekalipun akan sulit

untuk dapat diimplementasikan.

b. (Non-Government Organization/NGO)

Kelompok ini mengacu pada Surveyor Kadastral berlisensi melalui Kantor

Jasa Surveyor Kadastral berlisensi (KJSKB). Kepentingan komunitas ini

akan tergantung pada bagaimana proyek akan mempengaruhi mereka:

apakah akan membawa pelanggan baru atau pesaing baru? Akankah ini

memberi kesempatan untuk tumbuh, atau hambatan bagi perkembangan

masa depan mereka?

c. Akademisi (knowledge)

Istilah ini mengacu pada praktisi dengan pengetahuan dan pengalaman yang

relevan untuk pengembangan suatu pekerjaan. Dapat berupa; penduduk

lokal dengan keahlian dalam inovasi dan pengetahuan (arsitek, insinyur,

ilmuwan, dokter dan praktisi kesehatan, ahli geografi, pendidik) atau staf

sekolah, universitas atau organisasi riset yang tertarik pada pengembangan

inovasi pekerjaan terkait. Selain praktisi berbasis tempat, ada juga

serangkaian aktor nasional dan internasional yang dapat menyumbangkan

pengetahuan dan pengalaman, seperti organisasi penelitian, advokasi atau

konsultan. Sementara anggota kelompok ini sering mengungkapkan

pendapat yang kuat mengenai sebuah pekerjaan baru, tidak jarang pendapat

para praktisi berbeda dan menyimpang.

d. Masyarakat (Community)

Pelaku dalam kelompok ini termasuk kelompok masyarakat lokal (sosial,

kesehatan, budaya, agama dll), maupun LSM yang berbasis pada isu

masyarakat, serikat pekerja dan LSM internasional. Kepentingan mereka

akan didorong oleh apa yang penting bagi penduduk setempat. Seperti

pentingnya suatu pekerjaan tersebut apakah memberikan dampak postif,

negatif atau bahkan terasa tidak menyentuh ke dalam kebutuhan

masyarakat. Hal ini akan menjadi bahan pertimbangan mereka dalam

mengambil sikap dan inovasi atas suatu pekerjaan.

e. Media

Peran media sangat berpengaruh terhadap diseminasi informasi. Baik

buruknya pekerjaan dipengaruhi oleh bagaimana para pelaku mengemas

Page 224: prosiding - ATR/BPN

217

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

a. Pemerintah

Kelompok ini memliki kekuatan dan pengaruhnya yang cenderung tinggi:

Tanpa kerja sama mereka, gagasan paling inspiratif sekalipun akan sulit

untuk dapat diimplementasikan.

b. (Non-Government Organization/NGO)

Kelompok ini mengacu pada Surveyor Kadastral berlisensi melalui Kantor

Jasa Surveyor Kadastral berlisensi (KJSKB). Kepentingan komunitas ini

akan tergantung pada bagaimana proyek akan mempengaruhi mereka:

apakah akan membawa pelanggan baru atau pesaing baru? Akankah ini

memberi kesempatan untuk tumbuh, atau hambatan bagi perkembangan

masa depan mereka?

c. Akademisi (knowledge)

Istilah ini mengacu pada praktisi dengan pengetahuan dan pengalaman yang

relevan untuk pengembangan suatu pekerjaan. Dapat berupa; penduduk

lokal dengan keahlian dalam inovasi dan pengetahuan (arsitek, insinyur,

ilmuwan, dokter dan praktisi kesehatan, ahli geografi, pendidik) atau staf

sekolah, universitas atau organisasi riset yang tertarik pada pengembangan

inovasi pekerjaan terkait. Selain praktisi berbasis tempat, ada juga

serangkaian aktor nasional dan internasional yang dapat menyumbangkan

pengetahuan dan pengalaman, seperti organisasi penelitian, advokasi atau

konsultan. Sementara anggota kelompok ini sering mengungkapkan

pendapat yang kuat mengenai sebuah pekerjaan baru, tidak jarang pendapat

para praktisi berbeda dan menyimpang.

d. Masyarakat (Community)

Pelaku dalam kelompok ini termasuk kelompok masyarakat lokal (sosial,

kesehatan, budaya, agama dll), maupun LSM yang berbasis pada isu

masyarakat, serikat pekerja dan LSM internasional. Kepentingan mereka

akan didorong oleh apa yang penting bagi penduduk setempat. Seperti

pentingnya suatu pekerjaan tersebut apakah memberikan dampak postif,

negatif atau bahkan terasa tidak menyentuh ke dalam kebutuhan

masyarakat. Hal ini akan menjadi bahan pertimbangan mereka dalam

mengambil sikap dan inovasi atas suatu pekerjaan.

e. Media

Peran media sangat berpengaruh terhadap diseminasi informasi. Baik

buruknya pekerjaan dipengaruhi oleh bagaimana para pelaku mengemas

pekerjaan tersebut menjadi sebuah informasi. Informasi yang menarik akan

meningkatkan sinergi dari kerjasama para pelaku kepentingan dan semangat

dalam mensukseskan suatu pekerjaan. Sebaliknya kurangnya informasi

bahkan buruknya informasi yang tersebar akan mengikis kepercayan para

pelaku dalam mendukung atau terlibat dalam suatu perkerjaan.

Berdasarakan landasan teori di atas maka diperlukannya sinergi dari setiap

stakeholders dalam model Penta helix dalam merumuskan strategi suatu

ritme atau pola dalam merencakan strategi pembangunan program PTSL.

3. METODE PENELITIAN Tulisan ini dibuat secara deskriptif dengan analisis konten untuk mengkaji

keterbatasan PTSL dan peluang keberhasilannya. Ritme/pola perencanaan

program PTSL perlu dibentuk agar berhasil seperti yang diharapkan. Tulisan ini

juga berupaya menyajikan pola strategis perencanaan PTSL dengan pelibatan

multipihak.

4. PEMBAHASAN 4.1. Kurangnya peran aktif masyarakat yang sangat dibutuhkan sebagai

subyek pendaftaran tanah Melalui PTSL pemerintah berupaya menunaikan kewajibannya untuk

melakukan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia dengan biaya Rp.0,-

(nol rupiah). Tetapi di luar itu, terdapat beberapa kegiatan yang belum

dimasukkan dalam aspek pembiayaan dalam pelaksanaan PTSL yang menjadi

beban masyarakat, contohnya: pembuatan alas hak, patok batas, honor-honor

masyarakat desa yang membantu program PTSL. Data pembayaran dalam

kondisi demikian tidak semua masyarakat dapat menyiapkannya. Terkesan nol

rupiah, namun ketika masyarakat mencoba mendaftarkan tanahnya, ternyata ada

biaya-biaya yang cukup besar yang tidak dapat ditanggung oleh masyarakat. Hal

ini dapat memicu terhambatnya PTSL.

Sebelumnya memang ada Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri

Nomor 25/SKB/v/2017 tentang Persiapan Pembiayaan Pendaftaran Tanah

Sistematis yang memunculkan aturan dalam memungut biaya. SKB 3 Menteri ini

mencoba memberikan respon atas permasalahan tersebut. Namun, yang

menjadi titik persoalan di sini adalah asal nilai tersebut yakni penarikan dari

masyarakat. Walaupun kita berbicara hak dan kewajiban, penarikan dari

Page 225: prosiding - ATR/BPN

218

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

masyarakat inilah yang memungkinkan peluang terjadinya pungutan liar (pungli)

di tengah-tengah masyarakat.

Penarikan-penarikan tersebut memungkinkan untuk menciderai niatan baik

dari Kementerian ATR/BPN berupa PTSL nol rupiah. Masyarakat memaknai

PTSL nol rupiah berupa program “gratis tapi berbayar”. Sebab, penarikan-

penarikan yang sifatnya dari masyarakat walaupun telah dibuatkan aturan

tentang hal itu, mudah untuk masuk di benak masyarakat bahwasanya

Kementerian ATR/BPN memang mahal dan mempersulit dalam memberikan

sertipikat. Artinya, hal ini dapat dievaluasi dengan menyuguhan anggaran untuk

meng-cover biaya-biaya diluar PTSL tersebut baik dari Kementerian Desa

maupun Kementerian Dalam Negeri. Sehingga niatan baik dari ATR/BPN untuk

memberikan sertipikat tanah gratis kepada masyarakat tidak terciderai dengan

kurangnya dukungan dari kementerian yang lainnya yang memunculkan pikiran-

pikiran negatif dari masyarakat apalagi terjadi pungli. Sehingga, masyarakat

benar-benar menerima nol rupiah.

Selanjutnya diberikan punishment and reward kepada masyarakat

sebagaimana program tax amnesty. Masyarakat yang aktif melaporkan tanahnya

kepada pemerintah desa sebagai usulan program PTSL dalam pembentukan

Bank Data Yuridis di Kantor Desa diberikan prioritas lebih awal dalam kategori

K1. Besar kemungkinan masyarakat akan terlibat aktif dalam program PTSL.

Hal yang perlu digarisbawahi adalah bukan sekedar pada kemampuan

masyarakat yang dapat membayar biaya yang tidak ditanggung PTSL tersebut.

Namun, keaktifan masyarakat dalam membantu PTSL mulai dari pemasangan

patok, pengisian formulir pendaftaran, kehadiran pada penyuluhan hingga

kontradiktur delimintasi. Ketika seseorang mampu membayar biaya pendukung

tersebut, kemudian lepas tangan tinggal menunggu hasil sertipikat adalah hal

yang perlu dihindari. Sehingga bagaimana masyarakat tersebut aktif sebagai

subyek dan memliki peranan penting selama proses pendaftaran tanah.

4.2. Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap terkikis menjadi Pendaftaran Tanah Sporadik Massal Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) adalah kegiatan

pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang

meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar maupun yang telah

terdaftar dalam suatu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat

Page 226: prosiding - ATR/BPN

219

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

masyarakat inilah yang memungkinkan peluang terjadinya pungutan liar (pungli)

di tengah-tengah masyarakat.

Penarikan-penarikan tersebut memungkinkan untuk menciderai niatan baik

dari Kementerian ATR/BPN berupa PTSL nol rupiah. Masyarakat memaknai

PTSL nol rupiah berupa program “gratis tapi berbayar”. Sebab, penarikan-

penarikan yang sifatnya dari masyarakat walaupun telah dibuatkan aturan

tentang hal itu, mudah untuk masuk di benak masyarakat bahwasanya

Kementerian ATR/BPN memang mahal dan mempersulit dalam memberikan

sertipikat. Artinya, hal ini dapat dievaluasi dengan menyuguhan anggaran untuk

meng-cover biaya-biaya diluar PTSL tersebut baik dari Kementerian Desa

maupun Kementerian Dalam Negeri. Sehingga niatan baik dari ATR/BPN untuk

memberikan sertipikat tanah gratis kepada masyarakat tidak terciderai dengan

kurangnya dukungan dari kementerian yang lainnya yang memunculkan pikiran-

pikiran negatif dari masyarakat apalagi terjadi pungli. Sehingga, masyarakat

benar-benar menerima nol rupiah.

Selanjutnya diberikan punishment and reward kepada masyarakat

sebagaimana program tax amnesty. Masyarakat yang aktif melaporkan tanahnya

kepada pemerintah desa sebagai usulan program PTSL dalam pembentukan

Bank Data Yuridis di Kantor Desa diberikan prioritas lebih awal dalam kategori

K1. Besar kemungkinan masyarakat akan terlibat aktif dalam program PTSL.

Hal yang perlu digarisbawahi adalah bukan sekedar pada kemampuan

masyarakat yang dapat membayar biaya yang tidak ditanggung PTSL tersebut.

Namun, keaktifan masyarakat dalam membantu PTSL mulai dari pemasangan

patok, pengisian formulir pendaftaran, kehadiran pada penyuluhan hingga

kontradiktur delimintasi. Ketika seseorang mampu membayar biaya pendukung

tersebut, kemudian lepas tangan tinggal menunggu hasil sertipikat adalah hal

yang perlu dihindari. Sehingga bagaimana masyarakat tersebut aktif sebagai

subyek dan memliki peranan penting selama proses pendaftaran tanah.

4.2. Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap terkikis menjadi Pendaftaran Tanah Sporadik Massal Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) adalah kegiatan

pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang

meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar maupun yang telah

terdaftar dalam suatu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat

dengan itu. PTSL dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia

dengan jumlah target yang tinggi jika dibandingkan dengan target bidang tanah

setahun yang lalu. Hal tersebut tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi setiap

Kantor Pertanahan (Kantah) kabupaten/kota se Indonesia. Berbagai trik dan

strategi ditempuh oleh semua Kantah agar pelaksaanaan PTSL ini dapat

terlaksana dengan baik dan selesai tepat pada waktunya.

Ikhtiar dan strategi yang diterapkan oleh setiap kantah tentunya dengan

tujuan agar PTSL ini cepat terselasaikan. Hanya saja, terdapat sedikit perbedaan

pelaksanaan khususnya dalam hal teknis dan hasil akhir dari pekerjaan PTSL ini.

Kantor Pertanahan yang memaknai PTSL sebagai pendaftaran sistematis

lengkap, melaksanakan pekerjaan dengan cara mengukur secara keseluruhan

bidang tanah (persil) di dalam satu desa dengan menginventarisasikan data fisik

dan yuridis menjadi 4 kluster, yaitu

a. Kluster 1 (satu) yaitu bidang tanah yang data yuridisnya memenuhi syarat

untuk sampai diterbitkan sertipikat hak atas tanahnya.

b. Kluster 2 (dua) yaitu bidang tanah yang data yuridisnya memenuhi syarat

untuk diterbitkan sertipikat namun terdapat perkara di Pengadilan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Peraturan Menteri Agraria dan

Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 35 Tahun 2016.

c. Kluster 3 (tiga) yaitu bidang tanah yang data yuridisnya tidak dapat

dibukukan dan diterbitkan sertipikat karena:

1) Subyek Warga Negara Asing, BUMN/BUMD/BHMN, Badan Hukum

Swasta, subyek tidak diketahui, subyek tidak bersedia mengikuti

pendaftaran tanah sistematis lengkap;

2) Obyek merupakan tanah P3MB, Prk 5, Rumah Golongan III, Obyek

Nasionalisasi, Tanah Ulayat, Tanah Absentee;

3) Obyek tanah milik adat, dokumen yang membuktikan kepemilikan tidak

lengkap, peserta tidak bersedia membuat surat pernyataan

penguasaan fisik bidang tanah. Terhadap tanah yang tidak dapat

dibukukan dan diterbitkan sertipikatnya dicatat dalam daftar tanah.

d. Kluster 4 (empat) yaitu bilamana subyek dan obyek tidak memenuhi syarat

untuk Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap karena sudah bersertipikat.

Kantah yang melaksanakan secara sistematis lengkap akan cepat

mencapai target yang menjadi tanggung jawabnya dikarena menerapkan

sistem “sapu bersih” (nge-round). Sistem ini mempunyai konsekuensi bahwa

Page 227: prosiding - ATR/BPN

220

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

tidak semua bidang tanah yang diukur dan diinventarisasikan tersebut masuk

ke dalam kluster 1. Pengukuran, pemetaan dan inventarisasi di satu desa

menghasilkan data berupa Peta dan daftar tanah. Begitu juga, ketika data fisik

dan yuridis telah dibukukan dengan baik, maka dapat diterbitkan sertipikat

tanahnya. Dengan mengedepankan sistematis lengkap ini maka pemetaan

bidang tanah dan inventarisasi subyek dan obyek persil dapat diselesaikan

dengan cepat. Akan tetapi, tidak semua hasil inventarisasi akan sampai pada

penerbitan sertipikat. Hasil inventarisasi data dapat juga berupa K2, K3 dan K4.

Lain halnya yang dilakukan oleh beberapa kantor pertanahan dengan

menerapkan sistem sporadis massal. Sistem ini menerapkan pengumpulan

data fisik dan yuridis terhadap bidang tanah yang masuk ke dalam Kluster 1

saja yaitu bidang tanah yang data yuridisnya memenuhi syarat untuk sampai

diterbitkan sertipikat hak atas tanahnya. Hal tersebut tidak berbeda jauh dengan

PRONA, karena hasil akhir pekerjaan tersebut adalah sertipikat hak atas tanah.

Ketika sistem sporadik massal ini diterapkan maka target penyelesaian PTSL

lebih sulit tercapai dan tentunya membutuhkan lebih banyak waktu, SDM serta

sarana dan prasarana dikarenakan bidang tanah yang diukur tidak

mengelompok atau dapat dikatakan terpisah-pisah, walaupun dalam satu desa.

Dengan diperlukanya tambahan tenaga “extra” ini, tidak sedikit kantah

melakukan kerjasama dengan pihak ketiga atau KJSKB.

Pelaksanaan PTSL dengan menerapkan system Sporadik massal ini

tentunya dengan berbagai pertimbangan. Pertama, Presiden Jokowi

menerjemahkan PTSL ini adalah program sertifikasi massal, sehingga dalam

setiap kesempatan berkunjung ke daerah selalu ingin membagi-bagikan

sertipikat. Kedua, Sistem SKPMPP ATR/BPN yang dijalankan melalui

Komputerisasi Kantor Pertanahan menilai kinerja atau prestasi Kantor

pertanahan dengan rumus jumlah sertipikat yang diterbitkan dibagi dengan total

beban pekerjaan PTSL dikali dengan 100 persen. Dengan sistem penilaian

seperti ini maka, Kantah akan berlomba menerbitkan Sertipikat Hak atas tanah

di dalam program PTSL.

Sebagaimana diterangkan dalam gambar berikut ini:

Sistematik Lengkap

𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 = 𝐾𝐾1 + 𝐾𝐾2 + 𝐾𝐾3 + 𝐾𝐾4𝑇𝑇𝐾𝐾𝐾𝐾𝑇𝑇𝐾𝐾𝑇𝑇 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐾𝐾ℎ 𝐵𝐵𝐾𝐾𝐵𝐵𝐾𝐾𝐾𝐾𝑇𝑇 𝑇𝑇𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾ℎ 𝑥𝑥 100%

Page 228: prosiding - ATR/BPN

221

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

tidak semua bidang tanah yang diukur dan diinventarisasikan tersebut masuk

ke dalam kluster 1. Pengukuran, pemetaan dan inventarisasi di satu desa

menghasilkan data berupa Peta dan daftar tanah. Begitu juga, ketika data fisik

dan yuridis telah dibukukan dengan baik, maka dapat diterbitkan sertipikat

tanahnya. Dengan mengedepankan sistematis lengkap ini maka pemetaan

bidang tanah dan inventarisasi subyek dan obyek persil dapat diselesaikan

dengan cepat. Akan tetapi, tidak semua hasil inventarisasi akan sampai pada

penerbitan sertipikat. Hasil inventarisasi data dapat juga berupa K2, K3 dan K4.

Lain halnya yang dilakukan oleh beberapa kantor pertanahan dengan

menerapkan sistem sporadis massal. Sistem ini menerapkan pengumpulan

data fisik dan yuridis terhadap bidang tanah yang masuk ke dalam Kluster 1

saja yaitu bidang tanah yang data yuridisnya memenuhi syarat untuk sampai

diterbitkan sertipikat hak atas tanahnya. Hal tersebut tidak berbeda jauh dengan

PRONA, karena hasil akhir pekerjaan tersebut adalah sertipikat hak atas tanah.

Ketika sistem sporadik massal ini diterapkan maka target penyelesaian PTSL

lebih sulit tercapai dan tentunya membutuhkan lebih banyak waktu, SDM serta

sarana dan prasarana dikarenakan bidang tanah yang diukur tidak

mengelompok atau dapat dikatakan terpisah-pisah, walaupun dalam satu desa.

Dengan diperlukanya tambahan tenaga “extra” ini, tidak sedikit kantah

melakukan kerjasama dengan pihak ketiga atau KJSKB.

Pelaksanaan PTSL dengan menerapkan system Sporadik massal ini

tentunya dengan berbagai pertimbangan. Pertama, Presiden Jokowi

menerjemahkan PTSL ini adalah program sertifikasi massal, sehingga dalam

setiap kesempatan berkunjung ke daerah selalu ingin membagi-bagikan

sertipikat. Kedua, Sistem SKPMPP ATR/BPN yang dijalankan melalui

Komputerisasi Kantor Pertanahan menilai kinerja atau prestasi Kantor

pertanahan dengan rumus jumlah sertipikat yang diterbitkan dibagi dengan total

beban pekerjaan PTSL dikali dengan 100 persen. Dengan sistem penilaian

seperti ini maka, Kantah akan berlomba menerbitkan Sertipikat Hak atas tanah

di dalam program PTSL.

Sebagaimana diterangkan dalam gambar berikut ini:

Sistematik Lengkap

𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 = 𝐾𝐾1 + 𝐾𝐾2 + 𝐾𝐾3 + 𝐾𝐾4𝑇𝑇𝐾𝐾𝐾𝐾𝑇𝑇𝐾𝐾𝑇𝑇 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐾𝐾ℎ 𝐵𝐵𝐾𝐾𝐵𝐵𝐾𝐾𝐾𝐾𝑇𝑇 𝑇𝑇𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾ℎ 𝑥𝑥 100%

Keterangan :

K1 : Kluster 1

K2 : Kluster 2

K3 : Kluster 3

K4 : Kluster 4

Sumber: Hasil hitungan yang dikeluarkan oleh Pusdatin sesuai

keinginan kementerian ATR/BPN

Sporadik Massal

𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 = 𝐾𝐾1𝑇𝑇𝐾𝐾𝐾𝐾𝑇𝑇𝐾𝐾𝑇𝑇 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐾𝐾ℎ 𝐵𝐵𝐾𝐾𝐵𝐵𝐾𝐾𝐾𝐾𝑇𝑇 𝑇𝑇𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾ℎ 𝑥𝑥 100%

Keterangan :

K1 : Kluster 1 (jumlah sertipikat yang diterbitkan)

Sumber : Hasil hitungan yang dikeluarkan oleh Pusdatin sesuai dengan

keinginan Presiden Jokowi untuk menghasilkan sertipikat 5

juta bidang tanah.

Berdasarkan perbandingan di atas bahwa hasil capaian Pendaftaran

Tanah Sistematis Lengkap, targetnya adalah "terdaftarnya dan terpetakannya"

seluruh bidang tanah di desa lokasi yg di tetapkan dalam K1, K2, K3 & K4.

Maka 5 juta bidang adalah K1 + K2+ K3 + K4. Sebab, kinerja = pemetaan:

target bukan sertipikat.

Berbeda halnya dengan persepsi yang kedua yakni sporadik massal

bahwasanya targetnya adalah sertipikat, sesuai target presiden. Dalam

dashboard tersebut, kinerja = jumlah sertipikat: target adalah sertipikat.

Sehingga hampir seluruh daerah mengejar K1 semua, yg pada gilirannya

menjadi "sporadik massal.

4.3 Sinergi Penta helix dalam Pelaksanaan PTSL Sinergi penta helix adalah menjadi kunci kerja besar program PTSL. Setiap

kementerian wajib mendukung dari Program PTSL. Contohnya : Kementerian

Desa tertinggal, inventarisasi data yuridis desa dapat digunakan untuk

mengetahui situasi desa dari segi kepemilikan untuk bantuan dana desa.

Pertimbangan bantuan dana desa dapat juga mengacu pada berlakunya

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa di mana desa wajib untuk

Page 229: prosiding - ATR/BPN

222

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

berperan aktif dalam mensukseskan program pemerintah, desa-desa yang sudah

memiliki data lengkap sebagai prasyarat tinggi/rendahnya pemberian bantuan.

Kementerian Dalam Negeri memerintahkan semua unsur pemerintahan;

provinsi, kabupaten sampai ke tingkat unit terkecil pemerintahan yakni desa

mendukung aktif terhadap kegiatan PTSL. Selayaknya seperti kegiatan sensus

penduduk, pemerintah desa merasa program tersebut adalah bagian dari

tanggung jawab mereka sehingga mereka dengan penuh tangung jawab

membantu dan mensukseskan program tersebut.

PTSL bukan hanya tugas sektoral ATR/BPN. Hendaknya menjadi tugas

semua elemen bangsa. Ironisnya, kegiatan PTSL hanya seperti ATR/BPN yang

aktif. Seringkali dijumpai ketidakaktifan RT/RW bahkan masyarakat. Maka, perlu

memposisikan pemilik tanah berperan aktif untuk melaporkan data kepemilikan

bidang tanahnya ke Desa. Sehingga pengumpulan data di Desa akan lebih

mudah dan cepat. Begitu data sudah ada data, maka akan terbentuk Bank Data

yuridis yang baik di setiap desa. Bank data yuridis berupa rekapitulasi dari

tabulasi kepemilikan bidang tanah. Desa-Desa yang terlibat dalam program

PTSL sudah menyiapkan daftar nominatif lebih awal sebagai usulan ke Kantor

Pertanahan. Maka akan diketahui dengan jelas berapa jumlah bidang tanah pada

setiap desa tersebut berdasarkan kategori K1, K2, K3 dan K4. Sehingga posisi

ATR/BPN adalah sebagai administrator untuk mengkonversi data tersebut ke

sertipikat. Sebelum melaksanakan PTSL, bank data sudah dimiliki dengan

lengkap. Hasilnya pekerjaan pendaftaran tanah dapat selesai dengan lebih

mudah.

Saat ini ATR/BPN tidak memiliki data. ATR/BPN melalui Kantor Pertanahan

(kantah) Kabupaten/Kota sibuk sendiri dalam mengumpulkan data. Ketika desa

tidak terlibat aktif, maka Kantah tidak dapat bergerak. Sebab, arena/unit yang

memiliki data adalah desa.

Hasil dari PTSL seharusnya dapat digunakan sebagai basic layer bagi

kementerian-kementarian lainnya dalam mewujukan One Map Policy seperti

Kementerian Keuangan sebagai peta kerja pembuatan Pajak Bumi dan

Bangunan. Maka, Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) sesuai dengan luas (area

boundary) berbasis Kadaster sehingga sesuai dengan luas yang benar.

Keuntungan permodelan seperti ini akan memudahkan dalam penilaian,

perencanaan, pembebasan tanah, pengadaan tanah dan menjawab kesulitan

Page 230: prosiding - ATR/BPN

223

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

berperan aktif dalam mensukseskan program pemerintah, desa-desa yang sudah

memiliki data lengkap sebagai prasyarat tinggi/rendahnya pemberian bantuan.

Kementerian Dalam Negeri memerintahkan semua unsur pemerintahan;

provinsi, kabupaten sampai ke tingkat unit terkecil pemerintahan yakni desa

mendukung aktif terhadap kegiatan PTSL. Selayaknya seperti kegiatan sensus

penduduk, pemerintah desa merasa program tersebut adalah bagian dari

tanggung jawab mereka sehingga mereka dengan penuh tangung jawab

membantu dan mensukseskan program tersebut.

PTSL bukan hanya tugas sektoral ATR/BPN. Hendaknya menjadi tugas

semua elemen bangsa. Ironisnya, kegiatan PTSL hanya seperti ATR/BPN yang

aktif. Seringkali dijumpai ketidakaktifan RT/RW bahkan masyarakat. Maka, perlu

memposisikan pemilik tanah berperan aktif untuk melaporkan data kepemilikan

bidang tanahnya ke Desa. Sehingga pengumpulan data di Desa akan lebih

mudah dan cepat. Begitu data sudah ada data, maka akan terbentuk Bank Data

yuridis yang baik di setiap desa. Bank data yuridis berupa rekapitulasi dari

tabulasi kepemilikan bidang tanah. Desa-Desa yang terlibat dalam program

PTSL sudah menyiapkan daftar nominatif lebih awal sebagai usulan ke Kantor

Pertanahan. Maka akan diketahui dengan jelas berapa jumlah bidang tanah pada

setiap desa tersebut berdasarkan kategori K1, K2, K3 dan K4. Sehingga posisi

ATR/BPN adalah sebagai administrator untuk mengkonversi data tersebut ke

sertipikat. Sebelum melaksanakan PTSL, bank data sudah dimiliki dengan

lengkap. Hasilnya pekerjaan pendaftaran tanah dapat selesai dengan lebih

mudah.

Saat ini ATR/BPN tidak memiliki data. ATR/BPN melalui Kantor Pertanahan

(kantah) Kabupaten/Kota sibuk sendiri dalam mengumpulkan data. Ketika desa

tidak terlibat aktif, maka Kantah tidak dapat bergerak. Sebab, arena/unit yang

memiliki data adalah desa.

Hasil dari PTSL seharusnya dapat digunakan sebagai basic layer bagi

kementerian-kementarian lainnya dalam mewujukan One Map Policy seperti

Kementerian Keuangan sebagai peta kerja pembuatan Pajak Bumi dan

Bangunan. Maka, Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) sesuai dengan luas (area

boundary) berbasis Kadaster sehingga sesuai dengan luas yang benar.

Keuntungan permodelan seperti ini akan memudahkan dalam penilaian,

perencanaan, pembebasan tanah, pengadaan tanah dan menjawab kesulitan

satgas fisik dan satgas yuridis yang selama ini terlalu susah dalam pengambilan

data.

Gambar 7. Sinergi PTSL dalam Konsep Penta Helix

Media-media membantu diseminasi informasi, NGO bekerjasama dalam

membantu percepatan PTSL dapat merata di seluruh Indonesia dan para akademisi

dapat ikut serta dalam merumuskan inovasi-inovasi maupun sebagai kritik terhadap

perbaikan program. Bahkan di sekolah-sekolah pun perlu disampaikan sosialisasi.

Masing-masing pihak berperan dan bertanggungjawab sesuai kapasitas dan

kompetensinya. Untuk itu, PTSL harus menjadi Gerakan Nasional dirangkai

dalam harmoni yang besar berupa kebijakan nasional yang melibatkan khalayak

luas.

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

5.1.1. Legalisasi asset berupa akses reform dalam program PTSL tidak

menambah animo masyarakat dalam keterlibatan program PTSL.

Terbukti, masyarakat yang butuh sertipikat tanah saja yang

mendaftarkan tanahnya sedangkan yang merasa tidak butuh

seolah-oleh tidak peduli dengan kesuksesan Program PTSL.

Terdapat tujuan jangka panjang yang jauh ke depan dari program

PTSL ini yakni memberikan jaminan kepastian hukum dalam

pemberian hak atas tanah dalam menginventarisasi seluruh bidang-

bidang tanah di Indonesia termasuk aset-aset negara untuk

Page 231: prosiding - ATR/BPN

224

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable

Development).

5.1.2. Terminologi "sistematis lengkap" belum sejalan bagi seluruh

stakeholders. Adanya perbedaan target antara target pemetaan

atau target sertipikat. Target pemetaan dalam pembangunan basis

data. Target sertipikat dalam memenuhi keinginan Presiden Jokowi

agar Program PTSL benar-benar menyentuh masyarakat.

Sedangkan yang kita ketahui bahwasanya 5 juta bidang tanah yang

sistematis dipetakan tidak semuanya dapat diterbitkan sertipikat

(Kategori K1). Sebab, masih ada hal-hal tertentu yang

menyebabkan hasil inventarisasi data tersebut masuk pada

Kategori K2,K3 dan K4.

5.1.3. Program PTSL merupakan kerja yang besar. Sinergi penta helix

menjadi kunci kerja besar semua komponen secara kolaboratif,

yaitu pemerintah, masyarakat, non-governmental organization

(NGO) atau pelaku bisnis/swasta, akademisi, komunitas, serta

media dalam mensukseskan PTSL. Masing-masing pihak berperan

dan bertanggungjawab sesuai kapasitas dan kompetensinya. Untuk

itu PTSL harus menjadi Gerakan Nasional dirangkai dalam sebuah

harmoni yang besar berupa kebijakan nasional yang melibatkan

khalayak luas.

5.2. Saran 5.2.1. Mengeluarkan suatu aturan agar Masyarakat/Pemilik Tanah

berkewajiban untuk melaporkan tanahnya ke Desa dalam kurun

waktu tertentu, untuk mewujudkan Bank Data Pertanahan di setiap

Kantor Desa.

5.2.2. Setiap stakeholders perlu duduk bersama untuk menyatukan

persepsi terkait target PTSL antara sistematik lengkap atau

sporadik massal dan menghasilkan kesepakatan bersama sehingga

setiap stakeholders dapat bergerak bersinergi dalam persepsi yang

sama.

5.2.3. PTSL hendaknya dirangkai dengan kebijakan yang mengatur

komponen yang lebih luas agar bersinergi dalam membantu

mensukseskan program PTSL.

Page 232: prosiding - ATR/BPN

225

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable

Development).

5.1.2. Terminologi "sistematis lengkap" belum sejalan bagi seluruh

stakeholders. Adanya perbedaan target antara target pemetaan

atau target sertipikat. Target pemetaan dalam pembangunan basis

data. Target sertipikat dalam memenuhi keinginan Presiden Jokowi

agar Program PTSL benar-benar menyentuh masyarakat.

Sedangkan yang kita ketahui bahwasanya 5 juta bidang tanah yang

sistematis dipetakan tidak semuanya dapat diterbitkan sertipikat

(Kategori K1). Sebab, masih ada hal-hal tertentu yang

menyebabkan hasil inventarisasi data tersebut masuk pada

Kategori K2,K3 dan K4.

5.1.3. Program PTSL merupakan kerja yang besar. Sinergi penta helix

menjadi kunci kerja besar semua komponen secara kolaboratif,

yaitu pemerintah, masyarakat, non-governmental organization

(NGO) atau pelaku bisnis/swasta, akademisi, komunitas, serta

media dalam mensukseskan PTSL. Masing-masing pihak berperan

dan bertanggungjawab sesuai kapasitas dan kompetensinya. Untuk

itu PTSL harus menjadi Gerakan Nasional dirangkai dalam sebuah

harmoni yang besar berupa kebijakan nasional yang melibatkan

khalayak luas.

5.2. Saran 5.2.1. Mengeluarkan suatu aturan agar Masyarakat/Pemilik Tanah

berkewajiban untuk melaporkan tanahnya ke Desa dalam kurun

waktu tertentu, untuk mewujudkan Bank Data Pertanahan di setiap

Kantor Desa.

5.2.2. Setiap stakeholders perlu duduk bersama untuk menyatukan

persepsi terkait target PTSL antara sistematik lengkap atau

sporadik massal dan menghasilkan kesepakatan bersama sehingga

setiap stakeholders dapat bergerak bersinergi dalam persepsi yang

sama.

5.2.3. PTSL hendaknya dirangkai dengan kebijakan yang mengatur

komponen yang lebih luas agar bersinergi dalam membantu

mensukseskan program PTSL.

5.2.4. Model sosialisasi pra pelaksanaannya sudah saatnya menggunakan

sosialisasi yang modern. Mencari momentum seperti layaknya

sensus penduduk dan tax amnesty sehingga se-Indonesia dapat

merasakan PTSL sebagai Program Nasional melalui media-media

sosial. Selama ini hanya sosialisasi seperti era lama. Mengundang

beberapa tokoh warga kemudian kumpul di desa dan kemungkinan

besar banyak warga yang tidak hadir. Misalnya, “Gerakan

Pemasangan Patok Batas Bidang Tanah Nasional”. Presiden tidak

hanya membagikan sertipikat sebagai produk PTSL. tetapi juga,

mencanangkan Gerakan Nasional pemasangan patok tanda batas

bidang tanah.

DAFTAR PUSTAKA Achmad R., 2007, “Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum”,

Bayumedia, Malang, hlm 1.

Candra, 2005, “Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Persyaratan Permohonan

di Kantor Pertanahan”, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hlm

3.

Djalil,Sofyan,A., “71 tahun merdeka baru 46 juta bidang tanah bersertifikat”,

diunduh dari https://www.merdeka.com/uang/menteri-71-tahun-merdeka-

baru-46-juta-bidang-tanah-bersertifikat.html pada tanggal 17 Oktober 2017

pukul 10.47.

Enemark, S., 2014. “Fit-For-Purpose Land Administration”. Joint FIG/ WORLD

BANK Publication, p.10-11, Publish By : International Federation of

Surveyor, Libris Oy, Helnsinki Findland.

Hill, A., 2015. “Research: Penta-helix stakeholder management”, diunduh dari

http://osmosnetwork.com/research-stakeholder-management/ pada tanggal

15 Oktober 2017 pukul 09.00.

Sutaryono, 2017, “Penguatan Hak Rakyat atas Tanah”, dimuat di Surat Kabar

Harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu 23 September 2017 hlm.12, diunduh dari

http://manajemenpertanahan.blogspot.in\. pada tanggal 17 Oktober 2017

pukul 10.00.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Page 233: prosiding - ATR/BPN

226

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Pemerintah Nomor 128 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Agraria

dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 35 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran

Tanah Sistematis Lengkap.

Petunjuk Teknis Nomor 01/JUKNIS-400/XII/2016 tentang Percepatan

Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Bidang Yuridis

Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan atas

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 35 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan. Pertanahan Nasional

Nomor 12 Tahun 2017 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis

Lengkap

Revisi Petunjuk Teknis Pengukuran Dan Pemetaan Bidang Tanah Sistematik

Lengkap Nomor : 03/JUKNIS-300/VII/2017 Tanggal : 31 JULI 2017 tentang

Pengukuran Dan Pemetaan Bidang Tanah Sistematik Lengkap.

Surat Keputusan Bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan

Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa, Pembangunan

Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor : 25/SKB/V/2017, Nomor 590-

3167A Tahun 2017, Nomor : 34 Tahun 2017 tentang Pembiayaan

Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis.

Page 234: prosiding - ATR/BPN

227

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Pemerintah Nomor 128 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Agraria

dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 35 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran

Tanah Sistematis Lengkap.

Petunjuk Teknis Nomor 01/JUKNIS-400/XII/2016 tentang Percepatan

Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Bidang Yuridis

Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan atas

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 35 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan. Pertanahan Nasional

Nomor 12 Tahun 2017 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis

Lengkap

Revisi Petunjuk Teknis Pengukuran Dan Pemetaan Bidang Tanah Sistematik

Lengkap Nomor : 03/JUKNIS-300/VII/2017 Tanggal : 31 JULI 2017 tentang

Pengukuran Dan Pemetaan Bidang Tanah Sistematik Lengkap.

Surat Keputusan Bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan

Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa, Pembangunan

Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor : 25/SKB/V/2017, Nomor 590-

3167A Tahun 2017, Nomor : 34 Tahun 2017 tentang Pembiayaan

Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis.

Biodata Penulis

Nama Penulis : Reza Abdullah

Tempat dan Tanggal Lahir : Selong, 22 April 1991

Nama Instansi Asal : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Alamat Instansi Asal : Jalan Tata Bumi No. 5 Banyuraden, Gamping,

Sleman, DIY

Alamat Tempat Tinggal : Asrama Taruna Bhumi Sekolah Tinggi Pertanahan

Nasional Jalan Titi Bumi No. 1, Banyuraden,

Gamping, Sleman, DIY

Alamat Email : [email protected]

Nomor Telepon : 081272092263 / 081907228558 (Whatsapp)

Page 235: prosiding - ATR/BPN

228

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Page 236: prosiding - ATR/BPN

229

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

NOTULENSubtema:

Hukum dan Manajemen

Page 237: prosiding - ATR/BPN

230

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN

Hari/Tanggal Selasa, 21 November 2017 Tempat Century Park Hotel Jakarta Narasumber 1. Drs. Pelopor, M.Eng. Sc

2. Aswicaksana, ST., MT., M.Sc

Penyaji

1. Wahyuni, S.H., M.Eng 2. Saheriyanto, S.Pd., S.E. 3. Restu Istiningdyah 4. Fadhil Surur 5. Reza Abdullah

Moderator Andi Tenrisau, S.H., M.Hum Peserta Daftar Undangan terlampir

No Deskripsi Keterangan

SESI I 1. Moderator membuka acara Andi Tenrisau, S.H.,

M.Hum 2. Paparan Penyaji 1 : Problematika Pelaksanaan Pendaftaran

Sistematik Lengkap dan Alternatif Penyelesaiannya 1. Jumlah penduduk hingga 2050 diperkirakan mencapi 400

juta jiwa dan memerlukan ruang yang keberadaannya cukup terbatas.

2. Pembangunan yang lestari sehingga tetap sustainable. 3. Keberpihakan dalam pembangunan mau ke arah mana? 4. Diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas. 5. Manajemen pertanahan diperlukan manajemen SDM yang

baik dan Manajemen administrasi berkualitas. 6. 1961-1989 : 11 juta sertipikat dan 26 juta persil daftar

tanah. 7. 1992 : 12 juta dati 56 juta bidang. 8. Pertumbuhan jumlah bidang : 1 juta bidang pertahun

(Worldbank 1994). 20% terdaftar di Perkotaan 10% terdaftar di Perdesaan 9. Konsep Pendaftaran Tanah (Land Registration) : Menurut

UUPA dan PP 24 Tahun 1997 10. UNECE 2006 : Pendaftaran tanah merupakan bentuk

admninitrasi pertanahan. 11. PP 24 Tahun 1997 dengan obyek kepulauan seperti

Indonesia dibutuhkan cara pedaftaran yang berbeda. 12. Prinsip Fit For Purpose terdapat 3 (tiga) aspek: Spasial,

Hukum dan Konstitusial. 13. PTSL dengan Pendaftaran Tanah Sistematik: 14. Fakta: Tidak semua bidang tanah bisa didaftar. 15. Problematika: PTSL Paradigma, SDM, Kerangka Hukum,

Perencanaan, Koordinasi dan Infrastruktur. 16. Belum ada kesamaan paradigma antar sesama intern

Wahyuni, S.H., M.Eng

Page 238: prosiding - ATR/BPN

231

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN

Hari/Tanggal Selasa, 21 November 2017 Tempat Century Park Hotel Jakarta Narasumber 1. Drs. Pelopor, M.Eng. Sc

2. Aswicaksana, ST., MT., M.Sc

Penyaji

1. Wahyuni, S.H., M.Eng 2. Saheriyanto, S.Pd., S.E. 3. Restu Istiningdyah 4. Fadhil Surur 5. Reza Abdullah

Moderator Andi Tenrisau, S.H., M.Hum Peserta Daftar Undangan terlampir

No Deskripsi Keterangan

SESI I 1. Moderator membuka acara Andi Tenrisau, S.H.,

M.Hum 2. Paparan Penyaji 1 : Problematika Pelaksanaan Pendaftaran

Sistematik Lengkap dan Alternatif Penyelesaiannya 1. Jumlah penduduk hingga 2050 diperkirakan mencapi 400

juta jiwa dan memerlukan ruang yang keberadaannya cukup terbatas.

2. Pembangunan yang lestari sehingga tetap sustainable. 3. Keberpihakan dalam pembangunan mau ke arah mana? 4. Diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas. 5. Manajemen pertanahan diperlukan manajemen SDM yang

baik dan Manajemen administrasi berkualitas. 6. 1961-1989 : 11 juta sertipikat dan 26 juta persil daftar

tanah. 7. 1992 : 12 juta dati 56 juta bidang. 8. Pertumbuhan jumlah bidang : 1 juta bidang pertahun

(Worldbank 1994). 20% terdaftar di Perkotaan 10% terdaftar di Perdesaan 9. Konsep Pendaftaran Tanah (Land Registration) : Menurut

UUPA dan PP 24 Tahun 1997 10. UNECE 2006 : Pendaftaran tanah merupakan bentuk

admninitrasi pertanahan. 11. PP 24 Tahun 1997 dengan obyek kepulauan seperti

Indonesia dibutuhkan cara pedaftaran yang berbeda. 12. Prinsip Fit For Purpose terdapat 3 (tiga) aspek: Spasial,

Hukum dan Konstitusial. 13. PTSL dengan Pendaftaran Tanah Sistematik: 14. Fakta: Tidak semua bidang tanah bisa didaftar. 15. Problematika: PTSL Paradigma, SDM, Kerangka Hukum,

Perencanaan, Koordinasi dan Infrastruktur. 16. Belum ada kesamaan paradigma antar sesama intern

Wahyuni, S.H., M.Eng

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN

pertanahan. 17. Strategi: Menggunakan data hasil IP4T. 18. Infrasturktur Keagrariaan: Strtagei dengan perimbanggan

penggunaan general boundary. 19. Koordinasi antar sektor: Kebijakan BPHTB, Surat

Keterangan Waris, SKPT, Partisipasi Aktif.

3. Moderator: Inti dari pemaparan Wahyuni, S.H. Pentingnya PTSL Konsep Pendaftaran PTSL Problematika PTSL Alternatif penyelesaian

Andi Tenrisau, S.H., M.Hum

4. Paparan Penyaji 2 : Peningkatan Akses Reform Pelayanan Sertipikasi Tanah Sebagai Model Usaha di Pasar Desa Melalui Pendaftaran Tanah di Kab. Banjar 1. Kepastian pemilikan hukum atas tanah tetapi pendaftaran

tanah masih rendah. Hal ini didasarkan atas rendahnya kesadaran masyarakat untuk mensertipikatkan tanah.

2. Masyarakat juga membutuhkan modal, tetapi fakta dilapangan masyarakat belum mengetahui pentingnya sertipikat tanah termasuk didalamnya adalah untuk akses modal.

3. Di Kabupaten Banjar terdapat inovasi “Tatamu Pade” 4. Apa itu Tatamu Pade? Dalam artian bahasan Tatamu:

bertamu, Pade: Paman. 5. Dalam arti praktik : Kantor pertanahan menyediakan

kemudahan dalam pengurusan sertipikat tanah. 6. Terdapat 2 tahapan: Pra Sertipikasi dan Sertipikasi. 7. Pra Sertipikasi: Pengumpulan data yuridis, pengukuran,

permerikasaan tanah dan penerbitan surat keputusan penerbitan hak.

8. Hasil kegitan Tatamu Pade: Rentang pinjaman 5-150 juta: < 25 juta 99 orang dan > 25 juta- 150 juta: 81 orang. Jumlah pinjaman: > 6 milyar.

9. Kendala yang dihadapi: Tidak ada surat/tanda bukti pemilikan tanah (Kantah dan perangkat daerah membantu mempercepat pembuatan tanda bukti hak dan SPPT PBB), Sulit menghadirkan pemilik tanah (Kesanggupan peserta program untuk ikut bertanggungjawab),bidang lokasi masuk kawasan hutan (jangka panjang: pelepasan kawasan hutan).

10. Tatamu Pade: pendaftran tanah berorientasi pada access reform.

11. Tatamu pade meliputi 3 tahap: Pra sertipkasi, sertipikasi dan pasca sertipikasi.

Saheriyanto, S.Pd., S.E.

Page 239: prosiding - ATR/BPN

232

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN

5. Paparan Narasumber : Dalam nawacita ke-5: Peningkatan kesejahteraan masyarakat. (Dengan reforma agraria 9 juta hektar). Apa yang dilakukan: Redistribusi dan legalisai aset masing-masing 4,5 juta hektar. A. Pemetaan, Registrasi dan Sertipikasi

Langkah-langkah yang dilakukan: percepatan penyediaan peta kadasral (1:5000 dan sistem fit for purpose), Registrasti NIB, Sertipikasi (dengan kenaikan jumlah bidang setiap tahunnya), 100% tanah diluar kawasan hutan dan 50% dikawasan hutan. K 1: tidak ada masalah K 2: Belum bisa diterbitkan sertipikatkan K 3: Recode daftar tanah dimasukkan dalam wadah yang telah dksediakan. Bidang. K 4: Biadang tanah yang sudah ada tetapi tidak memiliki koordinat.

B. Reforma Agraria: Legalisasi aset: 4,5 juta bidang (Tanah transmigrasi: 0,6 juta Ha =848.860 bidang dan Legalisasi aset: 3,9 juta Ha) Grand design PTSL PTSL adalah salah satu segmen dari berbagai kegiatan pendaftaran tanah.

C. Peran pemerintah daerah menentukan sukses PTSL: 1. Membantu sosialisasi PTSL. 2. Menanjamkan prioritas penetapan desa lokasi (Lintor

dimasukkan dalam PTSL). 3. Mendorong partisipasi masyarakat dalam PTSL. 4. Memfasilitasi bantuan/kemudahan dari aparatur. 5. Memberi insentif berupa pengurangan/pembebasan

BPHTB.

Drs. Pelopor, M.Eng. Sc

6. Tanggapan Narasumber : Terkait paparan Wahyuni, S.H.: 1. Belum ada bagian kesimpulan dan saran. Contoh: terkait

SDM kurang, apa solusinya. Kurangnya berapa? 2. Pemahaman masyarakat kurang: apakah sosialisasi

kurang, atau seperti apa yang bisa dilakukan agar masyarakat bisa mengerti dan memahami PTSL.

3. Koordinasi antar sektor: siapa dan apa yang harusnya dilakukan oleh subyek tersebut atau lembaga tersebut melakukan apa?

4. Abstrak masih umum, baru rinci setelah halaman 12. 5. Sampel di Sumatera Utara. Kenapa memilih Sumatera

Utara, apa yang menarik disini dan termasuk Kantahnya. 6. Kalimat yang kurang selesai seperti halaman 9. 7. Harus ditambahkan dengan kesimpulannya.

Aswicaksana, ST., MT., M.Sc

Page 240: prosiding - ATR/BPN

233

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN

5. Paparan Narasumber : Dalam nawacita ke-5: Peningkatan kesejahteraan masyarakat. (Dengan reforma agraria 9 juta hektar). Apa yang dilakukan: Redistribusi dan legalisai aset masing-masing 4,5 juta hektar. A. Pemetaan, Registrasi dan Sertipikasi

Langkah-langkah yang dilakukan: percepatan penyediaan peta kadasral (1:5000 dan sistem fit for purpose), Registrasti NIB, Sertipikasi (dengan kenaikan jumlah bidang setiap tahunnya), 100% tanah diluar kawasan hutan dan 50% dikawasan hutan. K 1: tidak ada masalah K 2: Belum bisa diterbitkan sertipikatkan K 3: Recode daftar tanah dimasukkan dalam wadah yang telah dksediakan. Bidang. K 4: Biadang tanah yang sudah ada tetapi tidak memiliki koordinat.

B. Reforma Agraria: Legalisasi aset: 4,5 juta bidang (Tanah transmigrasi: 0,6 juta Ha =848.860 bidang dan Legalisasi aset: 3,9 juta Ha) Grand design PTSL PTSL adalah salah satu segmen dari berbagai kegiatan pendaftaran tanah.

C. Peran pemerintah daerah menentukan sukses PTSL: 1. Membantu sosialisasi PTSL. 2. Menanjamkan prioritas penetapan desa lokasi (Lintor

dimasukkan dalam PTSL). 3. Mendorong partisipasi masyarakat dalam PTSL. 4. Memfasilitasi bantuan/kemudahan dari aparatur. 5. Memberi insentif berupa pengurangan/pembebasan

BPHTB.

Drs. Pelopor, M.Eng. Sc

6. Tanggapan Narasumber : Terkait paparan Wahyuni, S.H.: 1. Belum ada bagian kesimpulan dan saran. Contoh: terkait

SDM kurang, apa solusinya. Kurangnya berapa? 2. Pemahaman masyarakat kurang: apakah sosialisasi

kurang, atau seperti apa yang bisa dilakukan agar masyarakat bisa mengerti dan memahami PTSL.

3. Koordinasi antar sektor: siapa dan apa yang harusnya dilakukan oleh subyek tersebut atau lembaga tersebut melakukan apa?

4. Abstrak masih umum, baru rinci setelah halaman 12. 5. Sampel di Sumatera Utara. Kenapa memilih Sumatera

Utara, apa yang menarik disini dan termasuk Kantahnya. 6. Kalimat yang kurang selesai seperti halaman 9. 7. Harus ditambahkan dengan kesimpulannya.

Aswicaksana, ST., MT., M.Sc

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN

Terkait paparan Saheriyanto: 1. Menarik karena tidak berhenti di legalisasi aset tetapi

lanjut dengan access reform. 2. Adakah bisa disarankan ketempat lain dari Tatamu Pade

ketempat lain. 3. Dari sekian ribu tanah yang sudah disertipikatkan,

seberapa persen yang berhasil. 4. Data-data agar dilengkapi: sebarapa besar dan

keberhasilannya seperti apa, maksud pemdaftaran tanah dari pinggiran.

5. Access Reform: apakah cuma modal usaha dari pengembangan pensertipikatan tanah.

6. Bab II: A. Pendaftaran Tanah. B. Modal Usaha (Bagaimana menyambungkan keduanya, menjembantani agar bisa berkesinambungan).

7. Sesi Diskusi : 1. Dari penelitian dan pengayaan di Sumatera Utara: 2. Implikasi hukum dari PTSL aga bisa disebutkan

(dimunculkan). PTSL yang sudah jalan dan mengahsilkan produk agar dikaji lebih detail karena sertipikat adalh produk hukum.

3. Surat pernyataan mutlak dari pemilik agar dapat dipaki dipaling akhir. Lebih baik didorong dengan partisipasi aktif masyarakat.

4. Antisipasi: mencegah sengketa dan konflik, maka perlu didorong partisapasi aktif masyarakat. Karena Surat pernyataan tidak bisa menggantikan Kontradiktur Delimitasi.

Ketut Mangku, SH., MH

8. 1. Kendala kerangka hukum, perlu diperkuat dengan landasan hukum karena di Sumatera Utara terdapat tanah-tanah Grand Sultan.

2. PP 24/1997 dan PP 3/1997 agar bisa menjadi rujukan dalam RUU Pertanahan.

3. Kesulitan mengumpulkan bukti tanah: PP 24/1997 menyebut penguasaan tanah >20 tahun bisa dijadikan landasan.

4. Koordinasi dengan lintas sektor: Berbentuk seperti apa? Contoh di PUPR sudah memberikan bantuan sertipikasi rumah dan nantinya diberikan kemudahan (drainase, tempat sampah dll). Membentuk PSU ditempat PTSL.

5. 11,4 juta unit rumah yang menjadi kebutuhan rumah untuk dipenuhi: dari PTSL bisa masuk pada bagian ini.

Sri Maharani

Page 241: prosiding - ATR/BPN

234

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN

9. 1. Kondisi di NTT: ada permasalahan khusus di lapangan. Awal tahaun ada pemeriksaan oleh Inspektorat menemukan ada 1 orang memiliki 10 sertipikat. Di NTT masyarakat punya banyak bidang tanah, kalau ada pembatasan PTSL tidak jalan.

2. Terkait dengan adat, bisa diberikan sertipikat sesuai dengan adat (materilinial dan patrilinial).

3. Ketidakjujuran dari masyarakat. Sebenarnya sudah disertipikat tetapi disampaikan belum sertipikat, reskonya double administrasi.

4. DI NTT tahun 2018 mulai kerjasama dengan Pemda dengan lebih kuat daripada tahun sebelumnya.

5. PTSL: Perlu dikerjasamakan dengan Bank (UKM bisa digratiskan dalam pengurusan penerbitan sertipikat).

Drs. Yulius Talok

10. 1. Untuk materi dari Wahyuni, S.H.: terkait SDM bisa didetailkan sehingga bisa nanti menjadi referensi lebih luas.

2. Untuk Saheriyanto: pengalaman dilapangan sertipikasi dilapangan dikaitkan dengan akses reform, tetapi perlu adanya penjelasan terkait dengan pembinaan.

3. Setelah masyarakat dapat modal dari bank, pengembaliannya bagaimana? Setelah meminjam bisa diberikan pembinaan pasca pinjam terkait dengan modal yang sudah didapat.

4. Terkait dengan PP 24/1997: Pendaftaran tanah esensinya: klarifikasi subyek, obyek dan alas hak. Terdapat ruang dan waktu dalam sebuah dinamika. PTSL sebaiknya PTSL Berkelanjutan karena masih terdapat PR yang belum terselesaikan (K2, K3 dan K4). Pendaftaran harus tuntas, tidak hanya terbit sertipikat tetapi harus sinkron dengan peta pendaftaran.

5. Perbaikan data: kenapa tidak boleh dalam anggaran. Padahal waktu dulu, teknologi sederahana sedangkan sekarang adalah era teknologi yang berkembang. Hasil dari kegiatan pendaftaran tanah waktu dulu (pengukuran) tidak bisa sebaik saat ini termasuk dalam hal koordinat bidang. Apabila tidak mulai maka akan semakin tertinggal, padahal produk zaman dulu ada yang tidak relevan.

Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc.

11. 1. Dalam pendaftaran lengkap, apa yang lengkap? Yuridis atau fisiknya.

2. Menentukan jumlah bidang di Banjar yang bisa sukses? 3. Embrio PTSL dari RA, dari hektar menjadi bidang. Jumlah

bidang yang tidak rasional dalam targetnya. 4. Kategori PTSL: K1, K2, K3 dan K4. Padahal Presiden

menginginkan sertipikat (K1), bagaimana selanjutnya yang K2, K3, K4)

Andi Andadi, A.Ptnh., M.Si

Page 242: prosiding - ATR/BPN

235

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN

9. 1. Kondisi di NTT: ada permasalahan khusus di lapangan. Awal tahaun ada pemeriksaan oleh Inspektorat menemukan ada 1 orang memiliki 10 sertipikat. Di NTT masyarakat punya banyak bidang tanah, kalau ada pembatasan PTSL tidak jalan.

2. Terkait dengan adat, bisa diberikan sertipikat sesuai dengan adat (materilinial dan patrilinial).

3. Ketidakjujuran dari masyarakat. Sebenarnya sudah disertipikat tetapi disampaikan belum sertipikat, reskonya double administrasi.

4. DI NTT tahun 2018 mulai kerjasama dengan Pemda dengan lebih kuat daripada tahun sebelumnya.

5. PTSL: Perlu dikerjasamakan dengan Bank (UKM bisa digratiskan dalam pengurusan penerbitan sertipikat).

Drs. Yulius Talok

10. 1. Untuk materi dari Wahyuni, S.H.: terkait SDM bisa didetailkan sehingga bisa nanti menjadi referensi lebih luas.

2. Untuk Saheriyanto: pengalaman dilapangan sertipikasi dilapangan dikaitkan dengan akses reform, tetapi perlu adanya penjelasan terkait dengan pembinaan.

3. Setelah masyarakat dapat modal dari bank, pengembaliannya bagaimana? Setelah meminjam bisa diberikan pembinaan pasca pinjam terkait dengan modal yang sudah didapat.

4. Terkait dengan PP 24/1997: Pendaftaran tanah esensinya: klarifikasi subyek, obyek dan alas hak. Terdapat ruang dan waktu dalam sebuah dinamika. PTSL sebaiknya PTSL Berkelanjutan karena masih terdapat PR yang belum terselesaikan (K2, K3 dan K4). Pendaftaran harus tuntas, tidak hanya terbit sertipikat tetapi harus sinkron dengan peta pendaftaran.

5. Perbaikan data: kenapa tidak boleh dalam anggaran. Padahal waktu dulu, teknologi sederahana sedangkan sekarang adalah era teknologi yang berkembang. Hasil dari kegiatan pendaftaran tanah waktu dulu (pengukuran) tidak bisa sebaik saat ini termasuk dalam hal koordinat bidang. Apabila tidak mulai maka akan semakin tertinggal, padahal produk zaman dulu ada yang tidak relevan.

Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc.

11. 1. Dalam pendaftaran lengkap, apa yang lengkap? Yuridis atau fisiknya.

2. Menentukan jumlah bidang di Banjar yang bisa sukses? 3. Embrio PTSL dari RA, dari hektar menjadi bidang. Jumlah

bidang yang tidak rasional dalam targetnya. 4. Kategori PTSL: K1, K2, K3 dan K4. Padahal Presiden

menginginkan sertipikat (K1), bagaimana selanjutnya yang K2, K3, K4)

Andi Andadi, A.Ptnh., M.Si

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN

12.

1. Kesuksesan Tata Pade (sertipikasi dan acces reform). Apakah 180 sertipikat yang mendapatkan kredit semua dari Tatamu Pade, karena dimakalah disebutkan 2.880 bidang prona didalamnya ada 180 bidang yang mendapatkan KUR, apakah semua dari tatamu pade. Seberapa besar keberhasilan Tatamu Pade dalam memberikan akses reform? Apakah nantinya bisa ditunjukkan sehingga bisa menjadi contoh bagi dari daerah lain.

Agustinus W. Sahetapy, A.Ptnh

13. Tanggapan terhadap makalah Wahyuni : Terdapat kesalahan konsep dan pemahaman tertang ukuran percepatan pendaftaran tanah yaitu “target penerbitan sertipikat”

Loso Judijanto, S.Si., M.M., M.Stats.

14. Tanggapan Penyaji : 1. Menanggapi pertanyaan Pak Ketut: Di Sumatera Utara

beberapa Kantor Pertanahan memperhatikan administrasi dengan cek kebeberapa saudara subyek. Tidak hanya verifikasi berkas. Di Fakfak Barat sebagain wilayahnya kawasan hutan sehingga tahun berikutnya perlu diperhatikan lagi batas-btas yang bisa di sertipikatkan.

2. Menanggapi Bu Maharai dan Pak Andi: K1 sudah lengkap dan memasukkan aspek yuridis lengkap. Jika tidak ada yang belum lengkap dengan berbagai permasalahan dimasyarakat maka perlu diselesaikan terlebih dahulu.

3. Menanggapi Pak Yulius Talok: SDM juru ukur sudah ada solusi dan sambil berjalan dicukupkan. Infrastruktur peta yang sudah dimiliki, bisa menjadi data awal. Setiap kantor punya IP4T bisa jadi obyek PTSL dengan ploting dilapangan.

Wahyuni, S.H., M.Eng

15. Tanggapan Penyaji : 1. Menanggapi Pak Agus dan Pak Andi: Kepala Kantor

koordinasi dengan Kasi terkait (Infastruktur dan Hubungan Hukum). Tidak menyeleksi masyarakat yang memiliki usaha produktif tetapi langsung diberikan kemudahan dalam pengurusannya sehingga akan cepat diperoleh modal usaha.

2. Kantor Pertanahan: perannya pada fasilitasi. 3. Menaggapi Pak Ketut: Surat pernyataan mutlak adalah

alternatif terakhir dan kami hati-hati dalam mengelola data ini.

4. Menanggapi Bu Maharani : akan kami sampaikan keatasan kami untk nanti bisa ditindaklanjuti dengan kerjasama dengan PUPR.

5. Menanggapi Pak Yulius : persoalan SDM sama dengan ditempat kami.

6. Menanggapi Prof. Budi : Sebagai sukses story untuk memberikan kesenangan bagi masyarakat (stimulan bgai masyarakat lain)

Saheriyanto, S.Pd., S.E.

Page 243: prosiding - ATR/BPN

236

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN

SESI II

16. Pemaparan Penyaji 3 : Evaluasi Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap 1. Presiden menekanankan pada penyelesaian Pendaftaran

Tanah di Indonesia. 2. Di Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan masih ada yang

belum sesuai dengan kaidah yang berlaku selama kegiatan 4 bulan praktik kerja lapangan.

3. Pengumpulan data fisik dan Yuridis beserta pengelompokan sesuai dengan kelengkapan data yang ada.

Permasalahan: 1. Jarak lokasi yang jauh. 2. Pengumpulan data yuridis selama 5 hari yang terlalu cepat

jika dibandingkan jarak dan proses pelaksanaan pengumpulan data.

3. Startegi PTSL di Kabupaten Pasuruan: 4. 1 tim ajudikasi: 2-3 lokasi desa/kelurahan, menjalin

kerjasama dengan beberapa instasi daerah dan instansi vertikal seperti Kepolisian dan Kejaksaan.

Temuan lapangan: 1. Kegiatan difokuskan pada K1. 2. Desa belum siapnya masyarakat terkait dengan

kontradiktur delimitasi 3. Gambar ukur belum dicetak 4. Alas Hak seperti Letter C yang belum ada 5. Ketidaklengkapan Gambar Ukur seperti tanda tangan

pemilik tanah, Kepala Desa. Kesimpulan: 1. Jika sesuai dengan aturan, PTSL adalah solusi terkait

pendaftaran tanah tetapi seandainya belum lengkap persyaratannya bisa menjadi boom waktu (permasalahan) dikemudian hari.

2. Pemberdayaan masyarakat penerima PTSL, pelibatan pihak ketiga dalam pengukuran, tunduk pada aturan berlaku.

Restu Istiningdyah

17. Pemaparan Penyaji 4 : Dampak Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Terhadap Sosial Ekonomi Petani di Kelurahan Lancirang Kecamatan Pitu Riawa Kab. Sidenreng Rappang 1. Penurunan produkstivitas pertanian di Kabupaten

Sidenreng Rapang (Sidrap). 2. Kabupaten Sidrap ditetapkan sebagai salah satu lumpung

padi. RTRW: Pendaftaran tanah ini sudah sejalan dengan PTSL.

a. Analisis faktor yang mempengaruhi keberhasilan pertanian

b. Dampak PTSL pada kondisi sosial ekonomi petani

Fadhil Surur

Page 244: prosiding - ATR/BPN

237

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN

SESI II

16. Pemaparan Penyaji 3 : Evaluasi Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap 1. Presiden menekanankan pada penyelesaian Pendaftaran

Tanah di Indonesia. 2. Di Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan masih ada yang

belum sesuai dengan kaidah yang berlaku selama kegiatan 4 bulan praktik kerja lapangan.

3. Pengumpulan data fisik dan Yuridis beserta pengelompokan sesuai dengan kelengkapan data yang ada.

Permasalahan: 1. Jarak lokasi yang jauh. 2. Pengumpulan data yuridis selama 5 hari yang terlalu cepat

jika dibandingkan jarak dan proses pelaksanaan pengumpulan data.

3. Startegi PTSL di Kabupaten Pasuruan: 4. 1 tim ajudikasi: 2-3 lokasi desa/kelurahan, menjalin

kerjasama dengan beberapa instasi daerah dan instansi vertikal seperti Kepolisian dan Kejaksaan.

Temuan lapangan: 1. Kegiatan difokuskan pada K1. 2. Desa belum siapnya masyarakat terkait dengan

kontradiktur delimitasi 3. Gambar ukur belum dicetak 4. Alas Hak seperti Letter C yang belum ada 5. Ketidaklengkapan Gambar Ukur seperti tanda tangan

pemilik tanah, Kepala Desa. Kesimpulan: 1. Jika sesuai dengan aturan, PTSL adalah solusi terkait

pendaftaran tanah tetapi seandainya belum lengkap persyaratannya bisa menjadi boom waktu (permasalahan) dikemudian hari.

2. Pemberdayaan masyarakat penerima PTSL, pelibatan pihak ketiga dalam pengukuran, tunduk pada aturan berlaku.

Restu Istiningdyah

17. Pemaparan Penyaji 4 : Dampak Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Terhadap Sosial Ekonomi Petani di Kelurahan Lancirang Kecamatan Pitu Riawa Kab. Sidenreng Rappang 1. Penurunan produkstivitas pertanian di Kabupaten

Sidenreng Rapang (Sidrap). 2. Kabupaten Sidrap ditetapkan sebagai salah satu lumpung

padi. RTRW: Pendaftaran tanah ini sudah sejalan dengan PTSL.

a. Analisis faktor yang mempengaruhi keberhasilan pertanian

b. Dampak PTSL pada kondisi sosial ekonomi petani

Fadhil Surur

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN

c. Rekomendasi dari rumusan/temuan. Luas desa Lanciran: 6,5 km2. 42,63% umur responden 41-50 tahun. Luas pemelikan tanah rata-rata: >2.000 m2. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan:

a. Rasa aman (dominan) b. Akses kredit (dominan) c. Kemudahan menjual (dominan) d. Harga tanah (dominan) e. Konflik

Arahan/rekomendasi: a. Penambahan SDM b. Membangun database c. Oprimalasi sumber daya yang ada d. Meningkatkan fungsi kontrol

18. Pemaparan Penyaji 5 : Gerakan Nasional Pendaftaran Tanah Melalui Pelibatan Multi Pihak (Penta Helix)

1. Ranking kemudahan bisnis di Indonesia (Oktober: 118, November: 106).

2. 33% (31Oktober 2017) dari target 2017. Mengindikasikan terdapat belum optimalnya dari kegiatan ini.

3. Masyarakat belum banyak yang mengerti tentang PTSL. 4. Sertipikat bisa dijadikan modal. Keinginan untuk sertipikat

belum kuat, karena masih belum memahami arti penting legalisasi aset.

5. Masyarakat memhami kegiatan sertipikasi dari program pemetintah, Gratis tapi berbiaya murah. Ada pungutan (tarikan) dimasayraakt terkadang mencederai arti program ini. Ada curiga terhadap penggunaan pungutan.

6. Bagaimana mempermudah mempercepat PTSL ini? a. Gerakan pemasangan Patok Nasional b. Komitmen stakeholder c. Memasukkan masyarakat (peran) dalam kegiatan ini

(dari Triple Helix menjadi Penta Helix) d. Pemerintah, Akademisi, Media, NGO, dan masyarakat

terlibat aktif didalmnya.

Reza Abdullah

Page 245: prosiding - ATR/BPN

238

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN

19. Tanggapan Narasumber : 1. Harapan pada penyaji Fadhil: dari lokasi yang diteliti

diharapkan adanya pendaftaran tanah bisa menjadi salah satu pengendali alih fungsi tanah pertanahan.

2. Perspektif diluar ATR/BPN: Terkunci pada aktivitas birokrasi, justru masyarakat menganggap sebagai wadah/fasilitas ekonomi pasar: Land and economic market.

3. Di ATR/BPN masih berkutat penuh pada land administration, seharusnya sudah diikuti dengan pengembangan paca registrasi tanah.

4. Terhadap penyaji dari Taruna dan Taruni STPN: Ketika mempermasalahakan suatau masalah, tidaka akan mendapatkan apa-apa. Tetapi metodenya perlu merubah dengan sumbangsih pemikiran. Dari Taruna dan Taruna STPN memberikan sumbangsih terhadap wawasan baru yang merubah pandangan pegawai ATR/BPN (rutinitas).

5. Kantor Pertanahan agar menyampaikan realitas data sesuai dengan urutan sebenarnya. Seandainya tidak sesuai riilnya, jangan menyiasatinya karena data selalu dipantau oleh pemimpin dipusat termasuk pemimpin negara.

6. Sosialisasi: media sosial yang bicara PTSL tetapi tidak menyampaikan PTSL secara benar dan sesuai dengan harapan untuk media sosialisasi.

7. Penta Helix: Tahun 2017 merupakan pilot project, tetapi sertipikat bukanlah coba-coba. Harus memenuhi kaidah dan aturan yang sesuai. Beberapa ide-ide yang genuine bisa kita adopsi dan menjadi model.

8. PTSL sebenarnya bukan pekerjaan baru, tetapi sama dengan Pendaftaran Tanah sesuai PP 24/1997. Hanya model kemasan penyelesaiannya berbeda.

9. Tidak boleh dibiarkan begitu saja tentang pemahaman bahwa ATR/BPN hanya produksi sertipikat. Harus lebih dari itu dengan peningkatan ekonomi masyarakat/pemberdayaan.

Drs. Pelopor, M.Eng. Sc

Page 246: prosiding - ATR/BPN

239

ProsidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN

19. Tanggapan Narasumber : 1. Harapan pada penyaji Fadhil: dari lokasi yang diteliti

diharapkan adanya pendaftaran tanah bisa menjadi salah satu pengendali alih fungsi tanah pertanahan.

2. Perspektif diluar ATR/BPN: Terkunci pada aktivitas birokrasi, justru masyarakat menganggap sebagai wadah/fasilitas ekonomi pasar: Land and economic market.

3. Di ATR/BPN masih berkutat penuh pada land administration, seharusnya sudah diikuti dengan pengembangan paca registrasi tanah.

4. Terhadap penyaji dari Taruna dan Taruni STPN: Ketika mempermasalahakan suatau masalah, tidaka akan mendapatkan apa-apa. Tetapi metodenya perlu merubah dengan sumbangsih pemikiran. Dari Taruna dan Taruna STPN memberikan sumbangsih terhadap wawasan baru yang merubah pandangan pegawai ATR/BPN (rutinitas).

5. Kantor Pertanahan agar menyampaikan realitas data sesuai dengan urutan sebenarnya. Seandainya tidak sesuai riilnya, jangan menyiasatinya karena data selalu dipantau oleh pemimpin dipusat termasuk pemimpin negara.

6. Sosialisasi: media sosial yang bicara PTSL tetapi tidak menyampaikan PTSL secara benar dan sesuai dengan harapan untuk media sosialisasi.

7. Penta Helix: Tahun 2017 merupakan pilot project, tetapi sertipikat bukanlah coba-coba. Harus memenuhi kaidah dan aturan yang sesuai. Beberapa ide-ide yang genuine bisa kita adopsi dan menjadi model.

8. PTSL sebenarnya bukan pekerjaan baru, tetapi sama dengan Pendaftaran Tanah sesuai PP 24/1997. Hanya model kemasan penyelesaiannya berbeda.

9. Tidak boleh dibiarkan begitu saja tentang pemahaman bahwa ATR/BPN hanya produksi sertipikat. Harus lebih dari itu dengan peningkatan ekonomi masyarakat/pemberdayaan.

Drs. Pelopor, M.Eng. Sc

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN

20. Tanggapan Narasumber : 1. Terhadap Restu: Langsung dijudulnya disebutkan

Kabupaten Pasuruan. 2. Kekurangan alat, maka sebut kekurangan berapa. 3. Hal 9 menyebut TORA, apakah perlu disebutkan di

makalah ini. 4. Kesimpulan dan saran agar menekankan pada studi itu. 5. Terhadap Fadhil: rekomendasi lebih didetailkan lagi

sehingga bisa sesuai dengan keinginan penulis. 6. Temuan ini bisa lanjutkan pada penelitian berikutnya.

Berikutnya harus melakukan apa? 7. Terhadap Reza: Detailnya harus seperti apa, khususnya

stakeholder (5 subyek) ini harus seperti apa? Leadernya apa, keterkaitan dengan lembaga apa saja dan tugas masing-masing.

8. Animo masyarakat rendah dalam sertipikasi: Misalnya ada insentif atau punishment.

9. PTSL dirangkai dalam komponen lebih luas? Apa saja yang harus dirangkai komponen-komponennya.

Aswicaksana, ST., MT., M.Sc

21. Sesi Diskusi : 1. ATR/BPN tidak bekerja sendiri. Harus bekerjasama dengan

Kementerian Dalam Negeri dengan payung hukum. 2. Sumber data valid berada di RT, ditarik ke desa (data

subyek, obyek, hubungan hukum/bukti pemillikan/bukti penguasaan).

3. Tidak ada payung hukum bagi lurah dalam sosialisasi.

Darsono, A.Ptnh

22. 1. PTSL merupakan hutang bagi kita dalam menyelesaikan pendaftaran tanah. Tidak terselesaikan maka akan menjadi Boom waktu.

2. Upaya (setengah mewajibkan) jika tidak mensertipikatkan ada resikonya (reward dan punishment). Seperti gerakan Tax Amnesty yang telah berjalan, meskipun tidak berhasil 100% tetapi semangatnya bisa kita contoh.

Nugraha, SH

23. 1. Terhadap Restu : Karya ilmiah harus disesuaikan dengan kaidah. Kesimpulannya jika PTSL tidak sesuai dengan kaidah, maka perlu menggunakan metode penelitian hukum empirik.

2. DIM: kesesuaian antara aturan dari ATR/BPN dengan pelaksanaannya dilapangan. DIM bisa menjadi bahan masukan menteri.

3. Sosialisasi/iklan pada jam/waktu prime time. 4. SKB ditindaklanjuti dengan juklak dan juknis sesuai

dengan dirjen terkait. 5. Terhadap Pak Fadhil: PUPR berkontribusi terhadap tanah

pertanian (irigasi) dan perumahan. Sertipikat sangat membantu masyarakat dalam mempertahankan tanah pertanian.

Sri Maharani

1. Tanggapan terhadap makalah Fadhil Surur : Metode dan analisis statistik yang digunakan secara fundamaental

Loso Judijanto, S.Si., M.M., M.Stats.

Page 247: prosiding - ATR/BPN

240

Pusat Penelitian dan PengembanganKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

NOTULEN

Pusat Penelitian &

Pengembangan FORUM ILMIAH

“PTSL DALAM RANGKA MODERNISASI ADMINITASI PERTANAHAAN DI INDONESIA”

SUBTEMA : HUKUM DAN MANAJEMEN

tidak dapat diyakini kesahihannya. Perlu perbaikan yang fundamental.

2. Untuk Analisis Linear Berganda : terdapat kesalahan pengertian independent dan dependent variabel.

3. Tanggapan terhadap makalah Reza Abdullah : NGO tdk sama dengan pelaku bisnis, dan KJSKB tidak sama dengan NGO.

24. Tanggapan penyaji: Terima kasih atas masukkannya untuk penyempuranaan penulisan.

Restu Istiningdyah

25. Terhadap PTSL di Desa Lanciran masih belum genap setahun, sehingga perlu analisis lebih lanjut mengenai dampaknya pada tahun-tahun berikutnya. Terima kasih atas koreksi dan metodenya

Fadhil Surur

26. Banyak masukan yang diberikan oleh narasumber dan peserta sehingga dapat dijadikan sebagai bahan perbaikan. Terkait dengan SKB tiga menteri agar bisa diikuti dengan pembiayaan sehingga masyarakat benar-benar gratis merasakannya.

Reza Abdullah

Jakarta, 21 November 2017

Notulis

Page 248: prosiding - ATR/BPN

Peneliti Muda/Koordinator

INDRIAYATIIndriayati merupakan peneliti muda di Puslitbang-BPN RI. Pendidikan S1 diselesaikan dari Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta pada tahun 2001 dan meraih master dalam bidang Administrasi Publik dari STIA-LAN Jakarta tahun 2011. Beberapa penelitian yang pernah dilaksanakan diantaranya, pengembangan SDM dalam mendukung pelayanan pertanahan (2009), penataan kebijakan pertanahan di kawasan bekas pertambangan (2010), model access reform dan pemberdayaan masyarakat di wilayah perkebunan (2011), pelimpahan kewenangan di BPN (2012) dan peluang peningkatan optimalisasi penggunaan CORS dalam mendukung pelayanan pertanahan (2013).

DITERBITKAN OLEH:PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL2017

Pen

daftar

an Tan

ah Sistem

atis Leng

kap d

alam

ran

gk

a M

od

ern

isasi Ad

min

istrasi P

ertan

ahan

di In

do

nesia

prosidingPendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam rangka Modernisasi Administrasi Pertanahan di Indonesia

Hotel Century Park Jakarta21 November 2017

ISBN 978-979-1069-64-9

9 789791 069649ISBN 978-979-1069-65-6

9 789791 069656