PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

64
1 TUGAS TEORI KEBIJAKAN PUBLIK TAHAPAN DALAM SIKLUS KEBIJAKAN PUBLIK” Tulisan ini disusun sebagai Tugas Terstruktur Mata Kuliah Teori Kebijakan Publik Dosen pengampu: Prof. Dr. Paulus Israwan Setyoko Disusun Oleh: Yulianti F1B012018 Kelas A KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA 2014

Transcript of PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

Page 1: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

1

TUGAS TEORI KEBIJAKAN PUBLIK

“TAHAPAN DALAM SIKLUS KEBIJAKAN PUBLIK”

Tulisan ini disusun sebagai

Tugas Terstruktur Mata Kuliah Teori Kebijakan Publik

Dosen pengampu: Prof. Dr. Paulus Israwan Setyoko

Disusun Oleh:

Yulianti F1B012018

Kelas A

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

2014

Page 2: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

2

Daftar IsiA. PENGERTIAN KEBIJAKAN PUBLIK .......................................................................................................... 4

B. TAHAPAN KEBIJAKAN PUBLIK MENURUT PARA AHLI ........................................................................... 6

C. AGENDA SETTING................................................................................................................................10

1. PENGERTIAN AGENDA SETTING/AGENDA KEBIJAKAN....................................................................10

2. MASALAH KEBIJAKAN......................................................................................................................11

3. PENGARUH DISTRIBUSI KEKUASAAN TERHADAP ISU KEBIJAKAN...................................................13

4. AKTIVITAS DALAM AGENDA SETTING .............................................................................................14

5. JENIS-JENIS AGENDA KEBIJAKAN ....................................................................................................15

6. HUBUNGAN MASYARAKAT-PEMERINTAH DALAM AGENDA SETTING ...........................................17

D. POLICY FORMULATION .......................................................................................................................18

1. PENGERTIAN FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK ................................................................................18

2. AKTOR-AKTOR PERUMUS KEBIJAKAN .............................................................................................19

3. Pembentukan kebijakan versus perumusan kebijakan ..................................................................21

4. MODEL-MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK..........................................................................22

Gambar 1 kerangka kerja sistem yang dikembangkan oleh Easton ...........................................................23

Gambar 2.....................................................................................................................................................24

Model pembuatan kebijakan yang dikembangkan oleh Paine dan Naumes..............................................24

7. TAHAPAN DALAM FORMULASI KEBIJAKAN.....................................................................................28

8. TEORI FORMULASI KEBIJAKAN........................................................................................................30

E. POLICY IMPLEMENTATION..................................................................................................................34

1. PENGERTIAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN.......................................................................................34

2. AKTOR IMPLEMENTASI KEBIJAKAN.................................................................................................36

3. TEKNIK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ................................................................................................39

4. MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN................................................................................................40

5. PENDEKATAN-PENDEKATAN IMPLEMENTASI .................................................................................43

F. POLICY EVALUATION...........................................................................................................................48

1. PENGERTIAN EVALUASI KEBIJAKAN ................................................................................................48

2. TIPE-TIPE EVALUASI KEBIJAKAN ......................................................................................................50

3. EVALUATOR KEBIJAKAN ..................................................................................................................51

4. SIFAT-SIFAT EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ........................................................................52

Gambar perspektif what’s happening ....................................................................................................54

Page 3: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

3

G. POLICY CHANGE ..................................................................................................................................55

H. POLICY TERMINATION.........................................................................................................................59

Page 4: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

4

A. PENGERTIAN KEBIJAKAN PUBLIKBeberapa pengertian kebijakan public dari para ahli (Winarno, 2007, pp. 16-23) sebagai berikut.

1. James Anderson

Kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang diterapkan oleh

seorang actor atau sejumlah actor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.

Pengertian ini dianggap tepat karena memusatkan perhatiian pada apa yang sebenarnya

dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Konsep ini juga

membedakan kebijakan dari keputusan yang merupakan pilihan diantara berbagai

alternative yang ada.

2. Robert Eyestone

Kebijakan public didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan

lingkungannya.

3. Thomas R. Dye

Kebijakan public adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan dan tidak

dilakukan. Batasan ini dianggap kurang cukup memberikan pembedaan yang jelas antara

apa yang diputuskan dan apa yang sebenarnya dilakukan pemerintah. Konsep ini

mencakup tindakan-tindakan seperti pengangkatan pegawai baru atau pemberian lisensi.

Tindakan yang sebenarnya berada diluar domain kebijakan public.

4. Richard Rose

Kebijakan public sebagai serangkian yang sedikit banyak berhubungan beserta

konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu

keputusan tersendiri. Kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan

sekedar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu.

5. Charles Friederich

Kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau

pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan

peluang-ppeluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi

dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan atau suatu maksud tertentu.

6. Amir Santoso

Page 5: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

5

kebijakan public adalah “serangkaian intruksi dari para pembuat keputusan pelaksana

kebijakna yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.”

Pada dasarnya pandangan terhadap kebijakan public dapat dibagi kedalam dua kategori.

Pertama, pendapat ahli yang menyamakan kebijakan public dengan tindakan-tindakan

pemerintah. Para ahli cenderung menganggap bahwa semua tindakan pemerintah dapat

disebut sebagai kebijakan public. Kedua, berangkat dari para ahli yang memandang

kebijakan public yang memberikan pengertian khusus kepada pelaksanaan kebijakan.

Mereka memandang kebijakan public sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang

mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu, dan mereka yang menganggap

kebijakan public sebagai memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan

Jadi kebijakan public dipandang sebagai proses perumusan, implementasi dan evaluasi

kebijakan.

7. Jeffrey L. Presman dan Aaron Wildavsky

Kebijakan public sebagai suatu hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan

akibat-akibat yang bisa diramalkan.

Sementara itu pengertian kebijakan public dari beberapa tokoh lain (Kusumanegara , 2010, p. 4).

8. Rs. Parker

Kebijakan public adalah suatu tujuan tertentu atau serangkaian prinsip atau tindakan yang

dilakukan oleh pemerintah pada periode tertentu dalam hubungannya dengan suatu

subjek atau tanggapan terhadap krisis.

9. Edward dan Sharkansky

Kebijakan public adalah apa yang dikatakan dan dilakukan pemerintah, mencakup:

tujuan-tujuan, maksud program pemerintah, pelaksanaan niat, dan peraturan.

10. Nakamura dan Smalwood

Kebijakan public adalah serangkaian instruksi dari pembuat keputusan kepada pelaksana

kebijakan yang menjelaskan tjuan-tujuan dan cara-cara mencapai tujuan tersebut.

11. James P. Lester dan Joseph Stewart Jr.

Kebijakan public merupakan kebijakan yang dibuat oleh otoritatif yang ditujukan dan

berdampak pada public serta ditujukan untuk mengatasi persoalan-persoalan public.

Masih banyak definisi kebijakan public (Pasolong, 2007, pp. 38-39)

Page 6: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

6

12. Chandler dan Plano

Kebijakan public adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber-sumber daya yang

ada untuk memecahkan masalah public atau pemerintah.

Chandler dan Plano bahkan beranggapan bahwa kebijakan public merupakan suatu

bentuk investasu yang kontinu oleh pemerintah demi kepentingan orang-orang yang tidak

berdaya dalam masyarakat agar mereka dapat hidup dan ikut berpartisipasi dalam

pemerintah.

13. William N. Dunn

Kebijakan public adalah suatau rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang

dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas

pemerintah seperti pertahanan keamanan, energy, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan

masyarakat, kriminalitas, perkotaan dan lain-lain.

14. Shfritz dan Russel

Public policy “is whatever government desides to do or not to do”.

15. Chaizi Nasucha

Kebijakan public adalah kewenangan pemerintah dalam pembuatan suatu kebijakan yang

digunakan dalam perangkat peraturan hukum. Kebijakan tersebut untuk menyerap

dinamika sosial masyarakat, yang akan dijadikan acuan perumusan kebijakan agar

tercipta hubungan sosial yang harmonis.

16. Samodra Wibawa

Kebijakan public adalah setiap keputusan yang dibuat oleh suatu sistem politik negara,

provinsi, kabupaten dan desa,atau RW dan RT. Setiap sistem membuat kebijakan public

untuk public dan untuk itu sistem tersebut menghimpun serta mengerahkan sumber daya

public yang bersangkutan.

B. TAHAPAN KEBIJAKAN PUBLIK MENURUT PARA AHLI

Proses pembuatan kebijakan public merupakan proses yang kompleks karena melibatkkan

banyak proses maupun variable yang harus dikaji. Oleh karena itu, ahli politik membagi proses

kebijakan public dalam tahap-tahapan agar mudah mengkaji kebijakan public yang dibuat.

Page 7: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

7

Berikut ada beberapa pendapat dari para ahli mengenai tahapan dalam pembuatan kebijakan

public:

1. James Anderson

1) Formulasi masalah

2) Formulasi kebijakan

3) Penentuan kebijakan

4) Implementasi kebijakan

5) Evaluasi kebijakan

2. AG. Subarsono

1) Penyusunan agenda

2) Formulasi kebijakan

3) Adopsi kebijakan

4) Implementasi kebijakan

5) Evaluasi kebijakan

*dalam Harbani Pasolong (2007:41)

3. Randal B. Ripley

1) Agenda setting

2) Formulation and legitimation of goals and programs

3) Program implementation

4) Evaluation of implementation

4. James P. Lester dan Joseph Stewart Jr.

1) Agenda setting

2) Formulasi kebijakan

3) Implementasi kebijakan

4) Evaluasi kebijakan

5) Perubahan kebijakan

6) Terminasi kebijakan

*dalam Solahuddin Kusumanegara (2010:11-15)

Page 8: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

8

5. Herbert A. Simon (1947)

1) Inteligensi

2) Desain

3) Pilihan

6. Harold D. Lasswell (1956)

1) Inteligensi

2) Promosi

3) Preskpripsi

4) Invocation (perujukan ke kebijakan yang lebih tinggi)

5) Aplikasi

6) Terminasi (penghentian)

7) Evaluasi (appraisal)

7. R. Mack (1971)

1) Memutuskan untuk menetapkan (pengenalan problem)

2) Merumuskan alternative dan kriteria pemilihan

3) Menentukan keputusan yang terbaik

4) Melahirkan akibat kebijakan (effectuation)

5) Koreksi dan penambahan (supplementation)

8. R. Rose

1) Pengakuan public akan perlunya sebuah kebijakan (isu)

2) Isu masuk agenda kontroversi public

3) Masuk/diajukan tuntutan/permintaan

4) Terlibatnya pemerintah

5) Dikerahkannya sumber daya dan disingkirkannya (diciptakan) rintangan

6) Keputusan kebijakan (policy decisions)

7) Implementasi

8) Output

9) Evaluasi

10) Umpan balik (feedback)

9. W. Jenkins (1976)

1) Inisiasi

Page 9: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

9

2) Informasi

3) Pertimbangan

4) Keputusan

5) Implementasi

6) Evaluasi

7) Terminasi (penghentian)

10. BW. Hogwood dan L.A. Gunn (1984)

1) Memutuskan untuk memutuskan (pencarian isu dan penentuan agenda)

2) Memutuskan cara bagaimana memutuskan

3) Mendefinisikan isu

4) Meramalkan, memperkirakan, forecasting

5) Menentukan tujuan dan prioritas

6) Analisis opsi.

7) Implementasi kebijakan, monitoring, dan control

8) Evaluasi dan review

9) Pemeliharaan kebijakan, penggantian dan penghentian

11. William N. Dunn

1) Penetapan agenda (agenda setting)

2) Perumusan kebijakan

3) Penerimaan kebijakan

4) Pelaksanaan kebijakan

5) Pengkajian kebijakan

6) Perbaikan kebijakan

7) Penerusan kebijakan

8) Pengakhiran kebijakan

*Samodra Wibawa (2011:6-7)

Dari pendapat para ahli diatas mengenai tahapan kebijakan public, dapat diambil garis berarnyayaitu:

Stage I Agenda Setting

Stage II Policy Formulation

Page 10: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

10

Stage III Policy Implementation

Stage IV Policy Evaluation

Stage V Policy Change

Stage VI Policy Termination

Penjelasan dari tahapan-tahapan diatas adalah:

C. AGENDA SETTING

1. PENGERTIAN AGENDA SETTING/AGENDA KEBIJAKANAgenda setting merupakan tahap dimana diputuskan masalah yang menjadi perhatian

pemerintah untuk dibuat menjadi kebijakan (Kusumanegara , 2010, p. 12). Pemerintah

dihadapkan pada berbagai issue (masalah) yang ada di sekitarnya. Untuk itu, pada saat tertentu

pemerintah harus memutuskan isu apa yang menjadi dasar dibuatnya suatu kebijakan public.

Agenda setting atau dikenal dengan agenda kebijakan (Winarno, 2007, p. 80) didefinisikan

sebagai tuntutan-tuntutan agar para pembuat kebijakan memilih atau merasa terdorong untuk

melakukan tindakan tertentu. Agenda kebijakan dapat dibedakan dari tuntutan politik secara

umum serta dengan istilah prioritas yang dimaksudkan untuk merujuk pada susunan pokok-pkok

agenda dengan pertimbangan bahwa satu agenda lebih penting dari agenda lain.

Cobb dan Elder (Winarno, 2007, p. 80)mendefinisikan agenda kebijakan sebagai “a set of politicl

conversies that will be viewed as falling within range of legitimate concerns meriting attention

by decision making body.” Sementara itu, Barbara Nelson menyatakan bahwa proses agenda

kebijakan berlangsung ketika pejabat public belajar mengenai masalah-masalah baru,

memutuskan untuk memberi perhatian secara personal dan memobilisasi organisasi yang mereka

miliki untuk merespon masalah tersebut. Agenda kebijakn merupakan arena pertarungan wacana

yang terjadi dalam lembaga pemerintah.

Tidak semua isu yang akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Isu-isu tersebut harus

berkompetisi satu sama lain dan masalah yang dianggap menang akan masuk kedalam agenda

kebijakan. Mengapa terjadi demikian? David Truman menyatakan bahwa kelompok-kelompok

akan berusaha mempertahankan diri dalam keadaan equilibrium yang layak, dan jika kondisi

Page 11: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

11

sesuatu mengancam kondisi tersebut, maka mereka akan bereaksi melakukan penyesuaian diri.

Pada saat terjadi ketidakseimbangan sistem, maka kelompok-kelompok akan melakukan adaptasi

terhadap perubahan perubahan yang menggangu equilibrium tersebut. Konsep eqiliberium

Truman ini hanya menjelaskan seandainya disequiliberium terjadi dalam kelompok. Namum

konsep ini tidak mampu menjelaskan peran elit politik dalam mendorong suatu isu masuk ke

dalam agenda kebijakan. Padahal, Nelson mengungkap bahwa suatu proses kebijakan terjadi

sebagai hasil “belajar” elit politik.

Sedangkan Mark Rushefky menyatakan bahwa suatu isu menjadi agenda melalui konjungsi tiga

urutan.

Pertama, pengidentifikasian yaitu tahap pengidentifikasian masalah yang didiskusikan

sebelumnya.

Kedua, menitikberatkan pada kebijakan atau pemecahan masalah. Urutan ini, biasanya

terdiri dari para spesialis di bidang kebijakan, seperti misalnya para birokrat, staf

legislative, akademisi, para ahli dalam kelompok-kelompok kepentingan, dan proposal

yang dibawa oleh komunitas-komunitas tertentu.

Ketiga, merupakan urutan politik (political stream). Pada urutan ini biasanya disusun dari

perubahan dalam administrasi dan pergantian partisipan atau ideology dalam lembaga

legislative.

2. MASALAH KEBIJAKANMengapa suatu isu menjadi agenda setting pemerintah sedangkan lainnya tidak? Perlu dipahami

terlebih dahulu kondisi permasalahan yang berkembang di masyarakat. menurut Ripley

(Kusumanegara , 2010, p. 69) kondisi tersebut adalah:

Ekstermitas masalah, yaitu isu yang dirasakan sangat membutuhkan pemecahan

Konsentrasi masalah, yaitu jika isu dari berbagai sumber akan terkonsentras pada satu

area

Cakupan masalah, yaitu jika isu yang dampaknya mencakup banyak orang

Mountain climber problem, yaitu isu yang akan terus berkembang setelah program yang

telah dilakukan ternyata tidak bisa memecahkan masalah secara tuntas

Page 12: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

12

Analogi agenda setting, yaitu isu yang baru muncuk ternyata hanya analogi isu lama yang

belum berhasl diatasi

Symbol, jika problem berhubungan dengan simbl-simbol nasional yang dianggap penting

dan sensitive

Ketersediaan teknoologi, jika ada teknologi yang dapat memecahkan persoalan

Ketidakhadiran peran swasta, jika persoalan yang tidak dapat dipecahkan melalui

mekanisme pasar, atau peran swasta yang lain.

Sebuah isu yang akhirnya menjadi agenda pemerinta mungkin tdak dinilai memenuhi semua

kondisi diatas. Suatu isu yang memebuhi satu kriteria kondisi sudah cukup menjadi agenda

pemerintah untuk dirumuskan pemecahannya melalui kebijakan. Namun semakin anyak kriteria

kondisi dimiliki suatu isu, semakin layak baginya diformulasikan dalam kebijakan.

Lester dan Stewart menyatakan bahwa suatu isu akan mendapatkan perhatian bila memenuhi

beberapa kriteria, yaitu

pertama, bila suatu isu telah melampui proporsi suatu krisis dan tidak dapat terlalu lama

didiamkan, misalnya kebakaran hutan.

Kedua, suatu isu akan mendapat perhatian bila isu tersebut bersifat partikularistas,

dimana isu tersebut menunjukkan dan mendratisir isu yang lebih besar seperti kebocoran

lapisan ozon dan pemanasan global.

Ketiga, mempunyai aspek emosional dan mendapat perhatian media massa karena faktor

human interest.

Keempat, mendorong munculnya pertanyaan menyangkut kekuasaan dan legitimasi, dan

masyarakat.

Kelima isu tersebut sedang menjadi trend atau sedang diminati oleh banyak orang.

Dari bermacam isu kebijakan yang muncul ada tahap awal proses kebijakan, ternyata

mempunyai sifat yang berbeda antara yang satu dengan lainnya. Ada isu yang mudah

didefinisikan dan mudahpula dipecahkan. Namun adapula isu yang sulit didefinisikan dan

dipecahkan. Hal ini menyebabkan para pebuat kebijakan kesulitan memahami secara pasti

hubungan klausal masalah kebijakan dan solusinya. Jika sifat itu ternyata sulit didefinisikan dan

dipecahkan, maka para analis diharapkan lebih cermat mengobservasi karakteristik persoalannya

Page 13: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

13

agar bisa dibuat solusi kebijakan yang tepat. Juga isu secara kontinu didefinisikan kembali

berdasarkan pada informasi baru atau pemahaman baru terhadap masalah ( Lester dan Stewart,

2000 dalam (Kusumanegara , 2010, p. 71)

3. PENGARUH DISTRIBUSI KEKUASAAN TERHADAP ISU KEBIJAKANMeskipun kriteria isu untuk menjadi agenda kebijakan terpenuhi, namun dalam praktek

sebenarnya tidak ada yang menjamin bahwa suatu isu secara otomatis akan dapat menembus

mulus pintu akses kekuasan dan menjadikannya sebagai agenda kebijakan public (Wahab, 2008,

p. 41).

Untuk memahami dengan baik mengapa isu tertentu reltif mudah menembus pintu-pintu

kekuasaan sementara isu yanglain tidak, memang bukan pekerjaan yang gampang. Kendati

demikian untuk keperluan itu kita dapat mengunakan pendekatan sosiologi kebijakan dengan

cara mencermati bagaiman peran dan pengaruh riil dari apa yang disebut sebagai agenda setters.

Dalam teori ini disebutkan pada umumnya yang secara potensial tergolonga agenda setter ini

adalah organisasi kelompok kepentingan, kelompok-kelompok pemrotes, para pejabat senior

pemrintah dan pembentuk opini, seperti editor surat kabar, dan sebagainya. Posisi dari kelompok

tertentu yang berpengaruh akan semakin kukuh jika mereka dipersepsikan sebagai memiliki

legitimasi dan kekuasaan atas isi tersebut, sehingga pandangan-pandangan mereka atas isu yang

diperdebatkan dianggap memiliki nilai keabsahan tertentu.

Proses masuknua isu menjadi agenda kebijakan public/pemerintah pada dasarnya merupakan

proses ang berdosis politik sangat tinggi. Artinya proses ini dpengaruhi secara kental oleh

bagaimana perwujudan dan distribus kekuasaan riil yang berlangsung disuatu negara, organisasi,

atau masyarakat secara keseluruhan. Itu sebabnya, dalam praktek politik kebijakan, bisa jadi

beberapa kelompok atau organisasi ternyata tidak mampu menebus pintu akses kekuasaan sama

sekali, sementara kelompok lain relative dapat menembus pintu akses itu, namun tak memiliki

daya resonansi dan dampak yang cukup besar pada diri policy-maker; sedangkan kelompok kecil

orang lainnya terbukti bukan hanya mampu menembus pintu akses, melainkan mampu

mempengaruhi secara nyata tahap proses penyusunan agenda kebijakan, hingga akhirnya

kebijakan public yang sebenarnya. Derajat polarisasi dan tingkat persaingan yang berlangsung

dikalangan para actor penting dalam suatu sistem politik pada kurun waktu tertentu, praktis dapat

pula dilihat dari sudut; siapa yang mampu menggulirkan isu (seraya menepis isu yang lain),

Page 14: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

14

memasukkan isu yang digulirkan sebagai agenda kebijakan public yang diimpementasikan serta

berdampak nyata pada kehidupan sosial politik massa.

4. AKTIVITAS DALAM AGENDA SETTINGAktivitas dalam agenda setting (Kusumanegara , 2010, p. 12)antara lain:

Bagaimana masalah yang ada dirasakan keberadaanya oleh individu dan kelompok,

memutuskan bahwa pemerintah harus disertakan dalam masalah tersebut.

Masalah diidentifikasikan. Memobilisasi dukungan untuk memasukkan problem itu

menjadi agenda pemerintah. Dalam tahap ini akan terjadi terjadi kompetisi dalam

berbagai bentuk. Pertama, banyak kelompok atau individu melakukan tindakan untuk

menarik perhatian actor-aktor pemerintah agar terlibat dalam masalah tertentu yang ada

dalam agenda. Terkadang masalah tertentu tidak masuk ke agenda. Pemerintah.

Sedangkan kapasitas pemerintah untuk memasukan daftar tuntutan untuk dilaksanakan,

dalam waktu yang telah ditetapkan, sifatnya terbatas. Jadi, dari sekian banyak isu

tidaklah seluruhnya mendapat perhatian dari pemerintah. Kedua, sekalipun dalam

banyak kelompok dan individu memperhatikan sebuah masalah yang bersifat umum,

disana ada kompetisi mengenai definisi spesifik tentang masalah kemudian, kompetisi

terjadi dalam kelompok-kelompok serta muncul pandangan-pandangan untuk

memobilisasi dukungan dan bagaimana melaksanakannya.

Masalah ada yang tidak mendapat perhatian para pembuat kebijakan sehingga tidak sampai

masuk kedalam agenda public. Menurut Peter Bachrach dan Morton Barazt, konsep tidak

membuat keputusan merupakan sarana yang digunakan untuk mencegah atau menghilangkan

tuntutan-tuntutan yang menghendaki perubahan dalam alokasi keuntungan-keuntungan dan hak-

hak istimewa dalam masyarakat sebelum mendapatkan akses kedalam pembuatan kebijakan.

Beberapa cara digunakan untuk menggagalkan suatu isu masuk ke agenda pemerintah yaitu

pertama dengan menggunakan cara kekerasan dan kedua dengan menggunakan nilai-nilai dan

kepercayaan yang berlaku, yaitu dengan budaya politik. Ketiga melalui pengendalian konflik.

Semua partai politik, organisasi, pemerintah, dan pemimpin harus terlibat dalam pengelolaan

konflik.

Page 15: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

15

5. JENIS-JENIS AGENDA KEBIJAKANRoger W. Cobb dan Charles D. Elder mengidentifikasikan dua macam agenda pokok yaitu

agenda sistemik dan agenda lembaga/pemerintah. Agenda sistemik terdiri dari semua yang

menurut pandangan masyarakat politik pantas mendapat perhatian public dan mencakup masalah

yang secara yuridis berada pada wewenang pemerintah yang sah. Pokok agenda sistemik

misalkan kejahatan di jalanan yang tercantum tidak hanya pada satu agenda sistemik. Agenda

sistemik merupakan agenda pembahasan. Tindakan mengenai suatu masalah hanya akan ada

apabila masalah tersebut diajukan kepada pemerintah untuk diambil kewenagan dan tindakan

yang pantas.

Agenda lembaga atau agenda pemerintah terdiri dari masalah-masalah yang mendapatkan

perhatian sungguh-sungguh dari pejabat pemerintah. Pada tingkat nasional, agenda pemerintah

misalnya agenda presiden, agenda admnistratif, agenda pengendalian dan lain sebagainya.

Agenda lembaga merupakan agenda tindakan yang mempunyai sifat khusus dan dan elbih

konkret bila dibandingkan dengan agenda sistemik.

Pokok-pokok agenda lembaga dibedakan menjadi pokok-pokok agenda lama dan pokok-pokok

agenda baru. Pokok-pokok agenda lama tercantum secara teratur sedangkan pokok-pokok

agenda baru timbul dari keadaan atau kejadian tertentu. Pokok agenda lama cenderung

mendapatkan prioritas daripada pokok agenda baru. Alokasi waktu yang dilakukan juga terbatas,

serta agenda selalu sarat dengan masalah.

Apa yang menjadi perhatian public tidak sendirinya menjadi subjek dari kebijakan-kebijakan.

Sehingga perlu dipertanyakan bagaimana peran pemerintah dalam agenda seting? Peran

pemerintah mungkin terbatas pada agenda formal, namun kenyataanya pemerintah merupakan

penentu dalan agenda sistemik. Bisa saja pemerintah akan memotong jalur agenda sistemik

sebelum massuk ke agenda formal. Ada emapat kategori dalam hal ini yaitu:

Membiarkan begitu saja agenda setting menjadi agenda formal. Dalam hal ini pemerintah

bersikap pasif (let it happen).

Pemerintah mendorong masyarakat untuk mendefinisikan dan mengartikulasikan

masalah-masalah yang mereka rasakan (encourage it to happen)

Page 16: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

16

Pemerintah memainkan peranan yang aktif dalam mendefinisikan masalah yang timbul

dan merancang tujuan-tujuan yang hendak dicapai (make it happened)

Pemerintah menghalangi agenda sistemik menjadi agenda formal dengan membatasi dan

bahkan menutup akses dan komunikasinya (do not let it happen). Dalam masyarakat ynag

terbuka, pemerintah tidak bisa mengontrol agenda sistemik, namun dalam masyarakat

yang tertutup pemerintah mengintervensi persoalan-persalan tertentu agar tidak

dibicarakan masyarakat.

Berkaitan dengan kompetisi yang muncul, Cobb dan Ross mengetengahkan tiga tipe agenda

setting untuk tipe-tipe kebijakan yang berbeda, yaitu:

Tipe Outside Initiative, ditetapkan dimana situasi dimana berbagai kelompok yang tengah

berkompetisi diluar kekuasaan atau diluar struktur pemerintah melakukan tindakan-

tindakan seperti.

Mengartikuasikan masalah-masalah

Mencoba memperluas kepentingan-kepentinganya terhadap kelompok lain agar

menjadi agenda public

Menciptakan tekanan terhadap pembuat keputusan agar kepentingan mereka

menjadi agenda formal.

Tipe kebijakan ini banyak digunakan pada area kebijakan redistributuf.

Tipe inside access, menggambarkan pola agenda seting dan formulasi kebijakan yang

coba menyingkirkan partisipasi individu dan kelompok dari lingkaran pemerintah.

Usulan-usulan kebijakan berasal dari unit-unit yang ada dalam struktur pemerintah dan

kelompok yang dekat dengan lingkaran kekuasaan. Tipe ini lebih banyak digunakan pada

area kebijakan distributuf. Dalam kerangka tipe inside access pengaruk kelompok yang

beada dalam lingkaran pemerintah juga dominan dalam tahap formulasi, implementasi

dan evaluasi kebijakan.

Tipe Mobilization, menjelaskan proses agenda setting dalam situasi dimana para

pemimpin politik mempunyai inisiatif atas kebijakan-kebijakan, namun inisiatif ini

terlaksana apabila ada dukungan masyarakat dalam implementasinya. Tipe ini digunakan

Page 17: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

17

untuk area kebijakan redistributive golongan minoritas dan beberapa hal digunakan untu

kebijakan protective regulatory.

6. HUBUNGAN MASYARAKAT-PEMERINTAH DALAM AGENDA SETTINGDalam Agenda settting muncul kompetisi dikalangan actor. Mereka mengeluarkan isu yang akan

dijadikan agenda pemerintah. Ripley (1985) (Kusumanegara , 2010, p. 71) menggambarkan

bahwa keterlibatan individu dan kelompok dalam kompetisi pada hakekatnya ditujukan untuk

menarik perhatian pemerintah terhadap kompetisi yang terjadi. Sebagai akibatnya pemerintah

ikut terlibat dalam pengembnagan isu-isu kebijakan. Selebihnya, individu maupun kelompok

mengembangkan kompetisi dalam penentapan isu yang bersifat umum serta masing-masing

berupaya mendefinisikan isu agar menjadi agenda kebijakan.

Menurut Davies ada tiga kegiatan yang dilakukan individu atau kelompok yang berkompetisi

yaitu:

Inisiasi, adalah tahap muculnya masalah-masalah dalam masyarkkat yang mendorong

tuntutan masing-masing individu atau kelompok melakukan aksi.

Difusi, yaitu kegiatan yang dilakukan actor yang berkompetisi mentransformasikan

maslah yang menjadi perhatian mereka menjadi masalah untuk pemerintah.

Prosesing, adalah kegiatan mengkonversikan berbagai isu kedalam item-item agenda.

Dalam hal ini ada isu yang tidak berhasil dibuat kebijakan.

Sedangkan menurut Barbara Nelson ada empat kegiatan dalam agenda setting yaitu:

Issue recognition, yaitu pengenalan masalah yang perlu diperhatikan secara serius oleh

pemerintah.

Issue adoption, adalah kegiatan yang menunjukan adanya keputusan pemerintah untuk

merespon atau untuk tidak merespon isu-isu yang ditekankan oleh individu-individu atau

kelompok yang berkompetisi.

Issue prioritization, adalah upaya memprioritaskan isu yang poensial untuk menjadi

agenda pemerintah.

Page 18: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

18

Issue maintenance, adalah kegiatan yangdilakukan berbagai pihak yang terlibat untuk

mempertahankan isu yang petotensial tersebut agar secara nyata menjadi kebijakan

public.

Ketika kompetisi terjadi dan berbagai kegiatan dalam agenda seting dilakukan, kemungkinan

pemerintah berada dalam dua posisi yaitu, pertama pemerintah tindak mempunyai agenda setting

sendiri atas isu yang muncul. Kedua pemerintah mungkin telah mempunya agendanya sendiri.

Dalam kasus yang pertama agenda yang popular (agenda sistemik) akan berpeluang untuk masuk

menjadi agenda public (agenda formal), sehingga berpeluang diformulasikan kebijakan.

Sedangkan kasus kedua, agenda formal berpeluang diformulasikan.

D. POLICY FORMULATION

1. PENGERTIAN FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIKFormulasi merupakan tahap yang terjadi setelah isu diagendakan. Raymond Bauer

(Kusumanegara , 2010, p. 85) menyatakan bahwa perumausan kebijakan public adalah proses

transformasi input menjadi output. Jika kita memperhatikan model sistem politik David Easton,

maka pendapat Bauer pada hakekatnya menunjukan aktivitas yang terjadi dalam proses konversi.

Jika demikian maka proses kebijakan publik bersifat politis karena actor, kepentingan, dan

interaksi antara actor menjadi focus utamanya (Lindblom, 1986). Disampng itu, dimensi politis

dalam formulasi dapat terjadi dalam serangkaian aktifitas yang terjadi didalamnya seperti:

mengkoleksi informasi, analisis informasi, diseminasi, pengembangan alternatif advokasi,

membangun koalisi, kompromi dan negosiasi.

Lester dan Stewart menyatakan formulasi kebijakan sebagai sebuah tahap dalam proses

kebijakan dalam mana sebuah isu yang menjadi agenda pemerintah diteruskan dalam bentuk

hukum public.pengagendaan isu pada dasarnya proses artikulasi dan agregasi yang merupakan

fungsi input. Sedangkan yang dimaksud hukum public adalah ouput sistem politik.

Hasil yang diharapkan dalam formulasi kebijakan adalah solusi terhadap masalah public.

Formulasi merupakan aktivitas kebijakan yang tidak netral dari politik, sehingga kebijakan ang

terbentuk merupakan resultante kompromi politik dari para actor yang berperan merumuskan

kebijakan.

Page 19: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

19

Dalam upaya menyelesaikan masalah public, Deborah Stone menyarankan ada lima tipe solusi

yang perlu diformulasikan dalam kebijakan yaitu:

Inducement, yaitu langkah kebijakan yang bersifat membujuk atau menekankan atas

suatu isu tertentu, misalnya kredit pajak (positif) dan penalty polusi (negative)

Rules, langkah kebijakan yang menekankan pada pembentukan aturan-aturan dalam

bentuk regulasi-regulasi yang harus ditaati oleh masyarakat.

Facts, langkah kebijakan berupa pembentukan jalur informas untuk mengajak kelmpok

target agar mau melakukan sesuatu yang dianggap menyelesaikan masalah.

Rights, langkah kebijakan dengan memberikan hak-hak atau tugas-tugas kepada

masyarakat.

Power, upaya kebijakan berupa penambahan bobot kekuasaan yang disebabkan adanya

tuntutan tertentu. misalnya memberi kekuasaan khsus kepada badan legislative untuk

memperbaiki pembuatan keputusan melalui bobot kekuasaan anggaran guna

mempengaruhi anggaran pemerintah.

2. AKTOR-AKTOR PERUMUS KEBIJAKANActor merupakan penentu isi kebijakan dan dinamika tahap-tahap proses kebijakan. Lasswelian

menunjuk actor sebagai who gets what. Actor perumus kebijakan dapat dibedakan menjdi dua

yaitu actor resmi dan yang tidak resmi. Termasuk dalam kelompok resmi adalah:

Badan-badan administrasi (agen-agen pemerintah)

Badan adminsitrasi sebagai pelaksana dari kebijakan public. Badan administrasi dapat

melakukan penyesuaian kebijakan ketika melaksanakan kebijakan. Oleh karena perannya

yang penting, sudah seharusnya para pembuat kebijakan (politik) melibatkan badan

administrator untuk ikut serta dalam formulasi kebijakan agar kebijakan dan

penerapannya bisa selaras.

Presiden (eksekutif)

Keterlibatan presiden dalam perumusan kebijakan dapat dilihat pada komisi-komisi

presidensial, maupun dalam rapat-rapat cabinet. Bahkan presiden terlibat secara pribadi

dalam perumusan kebijakan.

Lembaga legislative (kongres)

Page 20: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

20

Lembaga ini bersama dengan eksekutif (presiden dan pembantu-pembantunya)

memegang peranan yang krusial dalam pembuatan kebijakan public.lembaga ini

berperan dalam melegislasi kebijakan baru maupun merevisi kebijakan yang dianggap

keliru. Setiap undang-undang yang menyangkut masalah public harus mendapatkan

persetujuan dari lembaga legislative, misalnya kebijakan menyangkut swadana rumah

sakit. Keterlibatan lembaga legislaif dapat dilihat dalam mekanisme dengar pendapat,

penyelidikan-penyelidikan dan kontak-kontak yang mereka lakukan dengan pejabat

adminsitrasi, kelompok-kelompok kepentingan dan lain sebagainya. Di negara

demokrasi, peran legislative dalam perumusan kebijakan didasaarkan pada keberadaan

mekanisme check and balances dengan eksekutif. Hal ini menyebabkan pergeseran

kekuasaan eksekutif tidak menggeser secara apriori kekuasan legislative.

Lembaga yudikatif

Badan yudikatif di AS seringkali mempengaruhi substansi kebijakan public melalui

penggunaan kekuasaan penijauan yudisial dan penafsiran undang-undang terhadap kasus

yang diajukan kepadanya. Tinjauan yudisial merupakan kekuasaan pengadilan untuk

menentukan tindakan-tindakan yang akan diambil oleh cabang-cabang eksekutif maupun

legislative sesuai dengan konsesi atau tidak. Bila kebijakan yang diambil bertentangan

dengan konstitusi negara, maka lembaga yudikatif berhak membatalkan dan menetapkan

tidak sahnya suatu kebijakan.

Peran serta tidak resmi dalam perumusan kebijakan diikuti oleh kelompok-kelompok yang

meskipun aktif dalam proses perumusan kebijakan namun mereka tidak mempunyai kewenangan

yang saha untuk membuat kewenangan yang mengikat. Peran serta tersebut dilakukan oleh:

Kelompok kepentingan

Kelompok ini memiliki peran penting dalam pembentukan kebijakan public hampir di

semua negara. kelompok kepentingan menjalankan fungsi artikulasi kepentingan, yaitu

menyatakan tuntutan dan memberikan alternative tindakan kebijakan. Kelompok ini

seringkali juga memberi informasi kepada pejabat public dan seringkali informasi yang

diberikan bersifat teknis mengenai sifat serta konsekuensi yang mungkin timbul dari

kebijakan yang diajukan.

Page 21: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

21

Pengaruh kelompok kepentingan terhadap keputusan kebijakan tergantung pada fakor:

ukuran-ukuran keanggotaan kelompok, keuangan dan sumber-sumber lain, kepaduan,

kecakapan dari pemimpin kelompok, tidak adanya persaingan organisasi, tingkah laku

para pejabat pemerintah, dan tempat pengambilan keputusan dalam sistem politik. Suatu

kelompok kepentingan akan efektif untuk mempengaruhi suatu kebijakan, namun

cenderung tidak efektif mempengaruhi bidang kebijakan lainnya.

Partai politik

Dalam masyarakat modern, partai-partai poitik cenderung melakukan agregasi

kepentingan. Partai tersebut berusaha mengubah tuntutan-tuntutan tertentu dari

kelompok kepentingan menjadi alternative kebijakan. Keinginan untuk memperoleh

dukungan saat pemilu mengharuskan partai politik memasukkan tuntutan-tuntutan yang

luas dalam masyarakat dan mencegah kelompok yang menonjol untuk menjauh.

Warganegara individu

Peran warga negara dalam menyampaikan aspirasi dan masukan terhadap kebijakan.

Beberapa ilmuwan politik berspekulasi bahwa pemberian suara dalam pemilihan-

pemilihan yang murni mungkin merupakan suatu metode yang penting dari pengaruh

warga negara dalam pembentukan kebijakan karena hal tersebut memungkinkan warga

negara untuk memilih para pejabat dan sedikit banyak menginstruksikan pejabat-pejabat

ini mengenai kebijakan tertentu.

3. Pembentukan kebijakan versus perumusan kebijakanProses pembentukan kebijakan melibatkan aktivitas pembuatan keputusan yang cenderung

mempunyai cabang yang luas, mempunyai perspektif jangka panjang dan penggunaan sumber

daya yang krisis untuk meraih kesempatan yang diterma dalam kondisi lingkungan yang

berubah. Pembentukan kebijakan merupakan proses sosial yang dinamis dengan proses

intelektual yang lekat didalamnya. Ini berarti proses pembentukan kebijakan merupakan proses

yang melibatkan proses-proses sosial dan proses-proses intelektual.

Menurut Anderson perumusan kebijakan public meyangkut upaya menjawab pertanyaan

bagaimana berbagai alternative disepakati untuk masalah-masalah yang dikembangkan dan siapa

yang berpartisipasi. Sedangkan pembuatan kebijakan lebih merujuk pada aspek-aspek lain

seperti bagaimana masalah-masalah public menjadi perhatian para pembentuk kebijakan,

Page 22: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

22

bagaimana proposal kebijakan dirumuskan untuk masalah-masalah khusus, dan bagaimana

proporsal tersebut dipilih diantara berbagai alternative yang berkompetisi. Pembentukan

kebijakan merupakan keseluruhan tahap dalam kebijakan public yeng berupa rangaian

keputusan.

4. MODEL-MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIKPenggunaan model berguna untuk memahami perumusan kebijakan dan analisis kebijakan.

Model yang dikembangkan oleh para ahli dimaksudkan untuk menyederhanakan proses

perumusan kebijakan yang sangat rumit, dan sekaligus mudah dimengerti.

1. Model sistem

Menurut Paine dan Naumes model ini merupakan model deskriptif karena lebih berusaha untuk

menggambarkan senyatanya yang terjadi dalam pembentukan kebijakan. Model ini menurut

Paine dan Naumes disusun hanya dari sudut pandang pembuat kebijakan. Para pembuat

kebijakan dilihat perannya dalam perencanaan dan pengkoordinasian untuk menemukan

pemecahan masalah yang akan, pertama menghitung kesempatan dan meraih atau menggunakan

dukungan internal dan eksternal; kedua, memuaskan permintaan lingkungan; ketiga, secara

khusus memuaskan keinginan atau kepentingan para pembuat kebijakan itu sendiri.

Paine dan Naumes menggambarkan model pembentukan kebijakan sebagai interaksi yang terjadi

antara lingkungan dengan para pembentuk kebijakan dalam suatu proses yang dinamis. Model

ini mengasumsikan bahwa dalam pembentukan kebijakan terjadi interaksi yang terbuka dan

dinamis antara para pembuat kebijakan dengan lingkungan. Interaksi yang terjadi dalam bentuk

masukan dan keluaran (input dan output). Keluaran dihasilakan oleh organisasi pada akhirnya

akan menjadi bagian lingkungan dan seterusnya akan berinteraksi dalam organisai. Paine dan

Naumes e,odifikasi pendekatan ini dengan menerapkan langsung pada proses pembuatan

kebijakan.

Menurut model sistem, kebijakan dipandang sebagai tanggapan dari sistem politik terhadap

tuntutan-tuntutan yang timbul dari lingkungan (David Easton) yang merupakan kondisi atau

keadaan yang berada diluar batas-batas sistem politik. Sistem politik adalah sekumpulan struktur

dan proses yang saling berhubungan yang berfungsi secara otoritatif untuk mengaloksikan nilai-

nilai bagi suatu masyarakat. konsep sistem menunjuk pada seperangkat lembaga dn kegiatan

Page 23: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

23

yang dapat diidentifikasikan dalam masyarakat yang berfungsi mengubah tuntutan (demands)

menjadi keputusan yang otoritatif. Sistem menunjuk adanya hubungan timbal balik antara

elemen-elemen ynag membangun sistem politik serta mempunyai kemampuan dalam

menanggapi kekuatan-kekuatan yang berasal dari lingkungan (internal and eksternal

environment). Masukan diterima oleh sistem politik dalam bentuk tuntutan (demands) dan

dukungan (support).

Tuntutan timbul bila individu atau kelompok di luar sistem politik memainkan perannya dalam

mempengaruhi kebijakan public. Sedangkan dukungan bisa berupa sumber-sumber keungan

yang dimiliki oleh sistem politik, dan dukungan politik dari individu atau kelompok dengan cara

mereka menerima hasil pemilihan, mematuhi undang-undang, membayar pajak dan secara umum

mematuhi kebijakan.

Untuk mengubah tuntutan menjadi hasil-hasil kebijakan (policy outputs), suatu sistem harus

mampu mengatur penyelesaian atau konflik dan memberlakukan penyelesaian pada pihak yang

bersangkutan. Model ini memberikan manfaat dalam membantu mengorganisasikan

penyelidikan terhadap pembentukan kebijakan. Model ini juga menyadarkan mengenai beberapa

aspek penting dari proses perumusan kebijakan, seperti bagaimana masukan dari lingkungan

mempengaruhi substansi dan sifat kebijakan public, bagaimana kebijakan public memperngaruhi

lingkungan dan tuntutan berikut tindakannya? Faktor-faktor apa saja yang memainkan peran

penting yang mendorong timbulnya tuntutan kepada sistem politik.

Gambar 1kerangka kerja sistem yang dikembangkan oleh Easton

INPUTS A POLITICALSISTEM

OUTPUTS

Feedback

Page 24: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

24

Gambar 2Model pembuatan kebijakan yang dikembangkan oleh Paine dan

Naumes

Menurut Thomas R. Dye kegunaan teori sistem bagi studi kebijakan public bisa diringkas

sebagai berikut:

a. Dimensi-dimensi penting apa dari lingkungan yang menggerakkan tuntutan-tuntutan pada

sistem politik?

b. Karakteristik penting apa dari sistem politik yang memungkinkan untuk mengubah

tuntutan menjadi kebijakan public dan mempertahankan diri dalam suatu kurun waktu.

c. Bagaimana input lingkungan mepengaruhi karakter sistem politik?

d. Bagaiman karakteristik-karakteristik sistem politik mempengaruhi isi (content) kebijakan

public?

e. Bagaimana inputs lingkungan mempengaruhi isi kebijakan public?

f. Bagaimana kebijakan public mempengaruhi lingkungan dan karakter sistem politik

melalui umpan balik?

Environmental forcesEksternal and InternalDemandsRequirementsOpportunitiesCapabilitiesSupport

StructureRoles, ProgramSelf-interest or valuePoitical Resource

Role Performance

InteractionForce and structure

Change inenvironmental forces

Organization Outcomes

Objective, Strategies

(Inputs ) (Feedback)

(Outputs )

Page 25: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

25

Kontribusi teori sistem terhadap analisis kebijakan public terletak dalam pertanyaan dalam enam

bidang penyelidikan diatas.

2. Model rasional komprehensif

Model ini merupakan model pembentukan kebijakan yang paling terkenal dan juga paling luas

diterima dikalangan para pengkaji kebijakan public. Pada dasarnya model ini terdiri dari

beberapa elemen yaitu:

a. Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu.

b. Tujuan-tujuan, nilai-nilai atau sasaran yang mengarah pembuat keputusan dijelaskan dan

disusun menurut arti pentingnya.

c. Berbagai alternative untuk menyelesaikan masalah perlu diselidiki.

d. Konsekuensi-konsekuensi (biaya dan keuntungan) yang timbul dari setiap pemilihan

alternative yang diteliti.

e. Setiap alternative dan konsekuensi yang menyertainya dapat dibandingkan dengan

alternative-alternatif lainya. Pembuat keputusan memiliki alternative beserta

konsekuensi-konsekuensinya yang memaksimalkan pencapaian tujuan, nilai atau sasaran

yang hendak dicapai.

Keseluruhan proses tersebut akan menghasilkan keputusan yang rasional, yaitu keputusan yang

efektif untuk mencapai tujuan tertentu yang diinginkan (intended goal). Namun demikian banyak

kritik terhadap model kebijakan ini antara lain:

a. Pembuat keputusan tidak berhadapan dengan masalah-masalah yang konkret. Hal ini

menyebabkan masalah yang ada tidak terdefinisikan dengan jelas sehingga keputusan

yang dibuat tidak sesuai dengan masalah yang ada.

b. Teori rasional komprehensif tidak rasionalistis dalam tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh

para pembuat keputusan. Menurut teori rasional para pembuat kebijakan akan

mempunyai cukup informasi mengenai alternative-alternatif yang digunakan utuk

menanggulangi masalah. Pembuat keputusan akan membuat perbandingan alternative

berdasarkan besar biaya dan keuntungan secara tepat.

c. Pembuat keputusan biasanya dihadapkan pada situasi konflik daripada kesepakatan nilai.

Para pembuat keputusan mungkin mengacaukan nilai-nilai public dengan nilai-nilai

Page 26: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

26

pribadi. Fakta-fakta dan nilai-nilai dapat dipisahkan dengan mudah tidak berlaku dan sulit

dilaksanakan.

d. Pembuat keputusan tidak memiliki motivasi untuk menetapkan kebijakan berdasarkan

tujuan masyarakat, tetapi sebaliknya mereka memaksimalkan kedudukan mereka serta

motivasi agar dipilih lagi dalam pemilihan mendatang.

e. Kelemahan alamiah yang dimiliki oleh manusia sehingga pembuat kebijakan tidak

mampu untuk membuat keputusan berdasarkan rasionalitas yang tinggi.

f. Meskipun pembuat kebijakan telah menggunakan teknik analisa komputer yang paling

maju tetapi mereka tidak memiliki kecakapan untuk menghitung rasio biaya dan

keuntungan secara tepat karena nilai-nilai yang berbeda.

g. Investasi-investasi yang besar dalam program dan kebijakan menyebabkan pembuat

keputusan tidak mempertimbangkan lagi alternatif yang telah ditetapkan oleh keputusan

sebelumnya.

h. Terdapat dalam mengumpulkan berbagai informs yang diperlukan untuk mengetahui

segala kemungkinan alternative dan konsekuensi dari masing-masing alternative,

termasuk dalam biaya pengumpulan informasi dan waktu yang dibutuhkan untuk

pengumpulannya.

Kritik-kritik diatas sebenarnya disebabkan oleh ketidakmampuan pembuat keputusan untuk

benar-benar mengambil keputusan sesuai dengan konsep model rasional. Sesungguhnya, model

pembuatan keputusan rasional dalam hal tertentu berhasil, seperti dalam meningkatkan dan

memperbesar efisiensi dan keefektifan kegiatan pemerintah melalui aplikasinya pada PPBS,

operation research, sistems analysis, cost benefit analysis, and cost-efectiveness analysis.

3. Model kepuasan

Simon dan March dalam menggunakan model mereka menggunakan pendekatan pembentukan

kebijakan dari dimensi perilaku. Mereka memberi tekanan pada aspek-aspek sosio-psokoogis

dalam pembuatan keputusan. Model Simon didasarkan pada premis bahwa kualitas yang terbaik

yang sebenarnya bisa dicapai oleh para pembuat kebijakan.

Kekuatan utama dari model ini adalah pandangannya realitis dan didasarkan pada aspek-aspek

sosio-psikologi dari yeori organisasi. Dalam perkembangan kebijakan public sekarang, para

Page 27: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

27

pembuat kebijaka tidak berupaya keras memperbaiki pembentukan kebijakan diluar apa yang

menurut mereka memuaskan.salah satu kelemahan dari model ini adalah bahwa subtitusi

alternative-alternatif kepuasan untuk alternative optimal mengurangi kebutuhan untuk inovasi,

imajinasi, dan kreativitas di pihak administrator dalam pencariannya memperoleh alternative-

alternatif.

4. Model penambalan (the incremental model)

model ini muncul karena kritik terhadap model rasional komprehensif, sehingga berusaha untuk

menutupi kekurangan modal tersebut. Model ini menggambarkan secara actual cara-cara yang

dipakai para pejabat dalam membuat keputusan. Model ini berusaha menyesuaikan realitas

kehidupan praktis dengan mendasarkan pada pluralism dan demokrasi, maupun keterbatasan

kemampuan manusia.

Menurut model ini, kebijakan atau keputusan selalu bersifat serial, fragmentary, dan sebagian

besar remedial. Keputusan dan kebijakan merupakan hasil kompromi dan kesepakatan bersama

antara banyak partisipan. Inkrimentalisme mempunyai sifat realistis karena didasari kenyataan

bahwa para pembuat keputusan memiliki keterbatan.

5. Model pengamatan campuran (mixed scanning)

Penyelidikan campuran merupakan suatu bentuk pendekatan kompromi yang menggabungkan

penggunaan inkrementalis dan rasional. Pendekatan ini mengingatkan kenyataan bahwa

keputusan berubah secara besar-besaran dan proses keputusan yang berbeda adalah wajar sejalan

dengan sifat keputusan yang berubah-ubah.

6. Model kualitatif optimal

Dror mengemukakan model kualitatif optimal didasarkan pada asumsi-asumsi normative-

intrumental. Karakter utama dari modal ini adalah:

Model ini adalah kualitatif bukan kuantitatif

Komponen ini memiliki komponen rasional dan ekstrarasional

Landasan pemikiran adalah rasional secara ekonomi

Model in berkaitan dengan pembuatan metapolicy

Page 28: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

28

Model ini memiliki a build in feedback

7. TAHAPAN DALAM FORMULASI KEBIJAKANMasalah yang masuk dalam agenda kebijakan selanjutnya akan dibahasa oleh actor perumus

kebijakan. Masalah tersebut dibahas sesuai tingkat urgensinya dalam pemecahannya. Tahap

dalam formuasi kebijakan menurut Pasolong (2010:42-52) adalah dimana kebijakan dianalisis

kemudian dicari fomulasi terbaiknya melalui langkah-langkah sebagai berikut.

Identifikasi masalah

Badjur (Pasolong, 2007, p. 42) i mengatakan bahwa pada dasarnya kebijakan public terjadi

karena adanya masalah yang perlu ditangani secara serius. Tanpa adanya masalah, barang kali

tidak akan pernah dibuat kebijakan public.

Informasi mengenai masalah kebijakan dapat diperoleh melalui sumber tertulis seperti indicator

sosial (social indicators), data sensus dan laporan-laporan survey nasional, jurnal, Koran, dan

sebagainya.

Pertanyaan penting yang harus dijawab pada tahap identifikasi masalah adalah:

Apa isu itu benar-benar masalah?

Siapa sasarannya?

Apa alasan atau apa buktinya?

Apa masalah itu sudah sangat mendesak/urgen?

Apakah akibat negative yang terjadi akan signifikan apabila tidak segera diintervensi?

Jawaban-jawaban terhadap permasalahan tersebut tidak hanya membuat analisis menjadi tidak

rasional tetapi juga lebih etis. Analis tidak boleh melakukan apa yang disebut solving the wrong

problem (Howard Raiffa) atau errors of the third type (Dunn).

Dalam perumusan masalah ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, masalah yang

diusulkan harus berdasarkan informasi dan data yang bebas dari rekayasa. Kepalsuan data atau

informasi akan memperngaruhi proses formulasi kebijakan karena akan memberikan hasil yang

palsu juga. Hal ini terkesan bahwa masalah yang dirumuskan telah dipolitisir oleh elit yang

menggunakan kesempatan kekuasaanya. Kedua, cara pengolahan data. Pengolahan data

Page 29: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

29

seringkali tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku. Kesalahan dalam pegolahan akan

memperngaruhi rumusan maslah. Ketiga, cara penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan

tidak boleh berlebihan atau sebaliknya. Diperlukan sebuah indicator tertentu yang dapat diterima,

misalnya kecenderungan menunjukan diatas rata-rata nasional atau jauh dibawah rata-rata

nasinal sehingga membutuhkan intervensi serius dan segera.

Berbagai metode yang sering digunakan dalam merumuskan masalah sehingga masalah dapat

dipahami dengan baik. Menurut Subarsono (Pasolong, 2007, p. 43) metode yang sering dipakai

adalah:

Analisis batas yaitu usaha memetakan masalah melalui snowball samping dari

stakeholders. Ini disebabkan karena analisis kebijakan sering dihadapkan pada masalah

yang tidak jelas dan rumit, sehingga perlu minta bantuan stakeholders untuk

memberikan informasi yang berhubungan masalah yang bersangkutan.

Analisis klasifikasi yakni mengklasifikasikan masalah ke dalam kategori-kategori

tertentu dengan tujuan untuk lebih memudahkan analisis.

Analisis hirarkis yakni metode untuk menyusun masalah berdasarkan sebab-sebab yang

mungkin dari situasi masalah.

Brainstorming yakni metode untuk merumuskan masalah melalui curah pendapat dari

orang-orang yang mengetahui kondisi yang ada.

Analisis perspektif ganda yaitu metode untuk memperoleh pandangan yang bervariasi

dari perspektif yang berbeda mengenai suatu masalah dan pemecahannya.

Identifikasi alternative

Apabila masalah telah diidentifikasikan maka selanjutnya adalah dicari teori yang mampu

mengidentifikasikan faktor-faktor penyebab, dan berdasarkan analisis tersebut mengembangkan

alternative- alternative kebijakan. Tahap ini membutuhkan sensivitas yang tinggi sebagai

ilmuwan dan politikus. Sebagai ilmuwan, seorang analis telah diperkenalkan dibangku kuliah

tentang berbagai penyebab timbulnya isu/masalah.

Sebagai poitisi, seorang analis dapat menilai seberapa besar perhatian pemerintah dan elit politik

yang telah diberikan dalam bentuk anggaran selama sekian lama kepada daerah untuk mengatasi

Page 30: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

30

kemiskinan yang terjadi. Aspek teoritis dan praktis harus menjadi acuan dalam

mengidentifikasikan alternative kebijakan.

Seleksi alternative

Dalam tahap ini, seorang perencana akan melalukan seleksi alternative terbaik untuk

diajukan ke poicy makers.

Pengesahan kebijakan

Adalah proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap prinsip-prinsip

yang diakui dan ukuran-ukuran yang diterima. Landasan utamanya adalah variable

sosial seperti sistem nilai masyarakat, ideology negara, sistem politik, dan sebagainya.

Menurut James Andeson proses pengesahan kebijakan biasanya diawali kegiatan

persuasion and bargaining. Orang mencari dukungan orang lain bahwa pilihannya

benar, bermanfaat bagi masyarakat, sesuai dengan kebutuhan yang mendesak, sehingga

orang lain membenarkan dan mendukung tindakan tersebut.

Kegiatan bargaining oleh Andeson diyakini sebagai proses dimana dua orang atau lebih

yang mempunyai kekuasaan atas otoritas mengatur/menyesuaikan setidak-tidaknya

dengan tujuan yang tidak mereka sepakati agar dapat merumuskan serangkaian tindakan

yang dapat diterima bersama tetapi tidak terlalu ideal bagi mereka.

8. TEORI FORMULASI KEBIJAKANTeori formulasi kebijakan dirumuskan oleh Dye (Pasolong, 2007, pp. 52-57) ada sembilan model

yaitu:

a. Teori kelembagaan

Yaitu teori yang sederhana yang mengatakan bahwa tugas membuat kebijakan adalah tugas

pemerintah. Oleh karena itu, apapun yang dilakukan oleh pemerintah dapat disebut sebagai

kebijakan public. Teori ini hanya mendasarkan pada fungsi kelembagaan dan pemerintah disetiap

sector dan tingkatan dalam formulasi kebijakan.

b. Teori proses

Page 31: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

31

Berasumsi bahwa politik merupakan sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses. Teori ini

memberikan rujukan tentang bagaimana kebijakan dibuat atau seharusnya dibuat, namun

memberikan tekanan pada substansi seperti yang harus ada.

c. Teori kelompok

Teori yang mengendalikan kebijakan sebagai titik keseimbangan. Inti teori ini adalah interaksi

kelompok akan menghasilkan keseimbangan yang terbaik. Individu dan keoompok kepentingan

berinteraksi secara formal dan informal, dan secara langsung atau melalui media massa

menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah untuk melahirkan kebijakan public yang

dibutuhkan. Teori kelompok pada dasarnya adalah abstraksi dari formulasi kebijakan yang akan

dibuat. Wibawa (1994:9 dalam Pasolong, 2010:54).

d. Teori elit

Teori ini berasumsi bahwa dalam masyarakat terdapat dua kelompok, yaitu pemegang kekuasaan

(elit) dan yang tidak memiliki kekuasaan (massa). Teori berkembang dari kenyataan bahwa

sedemokratis apapun, selalu ada bias didalam formulasi kebijakan, karena pada akhirnya

kebijakan yang dibuat merupakan preferensi politik dari elit.

e. Teori rasional

Yaitu teori yang mengedepankan gagasan bahwa kebijakan public sebagai maksimum sosial gain

berarti pemerintah memberikan manfaat yang terbaik terhadap masyarakat. teori ini mengatakan

bahwa proses formulasi kebijakan harus didasarkan pada keputusan yang sudah diperhitungkan

tingkat rasionalitasnya. Teori ini lebih mengedepankan aspek efisiensi. Adapun langkah-langkah

dalam memformulasi kebijakan adalah:

Mengetahui preferensi public dan kecenderungannya

Menentukan pilihan-pilihan

Mengetahui konsekuensi masing-masing pilihan

Menilai rasional nilai sosial yang dikorbankan

Memilih alternative kebijakan yang paling efisien.

f. Teori inkrementalis

Page 32: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

32

Teori ini berasumsi bahwa kebijakan public merupakan variasi ataupun kelanjutan dari kebijakan

masa lalu. Pendekatan ini digunakan ketika pengambilan kebijakan berhadapan dengan waktu,

ketersediaan informasi dan kecukupan dana untuk melakukan evaluasi kebijakan secara

komprehensif.

g. Teori permainan

Teori permainan muncul setelah berbagai pendekatan yang sangat rasional tidak dapat menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang muncul dan sulit diterangkan dengan fakta-fakta yang tersedia,

karena sebagian besar dari fakta tersembunyi. Teori permainan adalah sangat abstrak dan

deduktif dalam formulasi kebijakn. Teori ini didasari oleh formulsi yang rasional. Namun,

kondisi kompetisi, tingkat keberhasilan kebijakan tidak hanya ditentukan oleh faktor perumusan

kebijakn, tetapi juga oleh actor-aktor lain. Konsep kunci dari teori permainan adalah strategi.

Konsep kunci yaitu bukan yang paling optimum, namun yang paling aman dari serangan lawan.

Jadi, pada dasarnya teori ini memiliki tingkat konservatis yang tinggi karena pada intinya adalah

strategi defensive. Inti dari teori permainan adalah bahwa ia mengakomodasi kenyataan riil,

bahwa setiap warga negara, setiap pemerintah, setiap masyarakat tidak hidup dalam vakum.

Ketika ia mengambil keputusan, lingkungan tidak pasif, melainkan membuat keputusan yang

bisa menurunkan keefektifan keputusan.

h. Teori pilihan public

Teori ini melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi keputusan kolektif dari individu-

individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut. Kebijakan ini sendiri berdasarkan teori

ekonomi pilihan public, yang mengasumsikan bahwa manusia homo economicus yang memiliki

kepentingan yang harus dipuaskan.

Inti dari teori ini adalah, setiap kebijakan public yang dibuat oleh pemerintah harus merupakan

pilihan public yang menjadi penguna. Proses formulasi kebijakan public melibatkan public

melalui kelompok-kelompok kepentingan. Secara umum teori ini merupakan konsep yang paling

demokratis karena memberi ruang yang luas kepada public untuk mengkontribusikan pilihan-

pilihannya kepada pemerintah sebelum keputusan diambil. Hal ini sejalan dengan pemikiran

John Locke, mengatakan bahwa pemerintah merupakan lembaga yang muncul dari kontrak sosial

diantara individu warga masyarakat.

Page 33: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

33

i. Teori sistem

Teori ini dipelopori oleh David Easton yang melakukan analogi sistem biologi. Pada dasarnya

sistem biologi merupakan prosesn interaksi antara makluk hidup dan lingkungannya, yang pada

akhirnya menciptakan kelangsungan perubahan hidup yang relative stabil. Dalam teori ini

dikenal tiga komponen yaitu; input, proses, dan output. Salah satu kelemahan dari teori ini

adalah terpusatnya perhatian pada tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah, dan pada

akhirnya kita kehilangan apa yang tidak pernah dilakukan oleh pemerintah. Formulasi kebijakan

dengan menggunakan teori sistem mengasumsikan bahwa kebijakan merupakan hasik dari sistem

(politik). Penggunaan teori ini merupakan pendekatan yang paling sederhana namun cukup

komprehensif, meskipun tidak memadai lagi untuk digunakan sebagai landasan perumusan

kebijakan dan atau pengambilan keputusan.

j. Teori demokrasi

Di negara-negara berkembang belakangan ini seringa mengeaborasi semua teori yang berintikan

bahwa pengambilan keputusan harus sebanyak mungkin mengelaborasi suara stakeholders.

Menurut Nugroho (2006:98 dalam Pasolong, 2010:67) dikatakan sebagai teori model demokrasi

karena menghendaki agar setiap pemilik hak demorasi diikutsertakan sebanyak munngkin. Teori

ini berkembang dinegara yang baru saja mengalami transisi ke demokrasi.

Teori ini biasanya dikaitkan dengan implementasi Good Governance bagi pemerintah yang

menggunakan agar dalam membuat kebijakan, para konstituen dan pemanfaat diakomodasi

keberadaannya. Teori model demokrasi ini kemudian dikembangkan menjadi model democratic

governance. Istilah ini dikembangkan antara lain oleh March dan Olsen. Kedua ahli ilmu sosial

ini mendefinisikan democratic governance sebagai demokrasi yang perlu dipelajari sebagai

budaya, kayakinan dan etos yang dikembangkan melalui interpretasi dan praktik March dan

Olsen mengalami democratic governance sebagai budaya politik yang demokratis.

Page 34: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

34

E. POLICY IMPLEMENTATION

1. PENGERTIAN IMPLEMENTASI KEBIJAKANSetelah proses legislasi kebijakan selesai, maka kebijakan public diimplementasian. Dalam tahap

implementasi, isi kebijakan dan akibat-akibatnya mungkin akan mengalami modifikasi dan

elaborasi bahkan mungkin akan dinegasikan. Bernadine R. wijaya dan Susilo Supardo (2006:81

dalam (Pasolong, 2007, p. 57) mengatakan bahwa implementasi adalah proses

mentransformasikan suatu rencana ke daam praktik.

Oraang sering menganggap bahwa implementasi hanya merupakan pelaksanaan dari apa yang

diputuskan legislative atau para pengambil keputusan, seolah-olah tahap ini kurang berpengaruh.

Akan tetapi dalam kenyataan dapat dilihat sendiri bahwa baiknya rencana yang telah dibuat tidak

ada gunana apabila tidak dilaksanakan dengan baik dan benar. Ia membutuhkan pelaksana yang

benar-benar jujur, untuk menghasilkan apa yang menjadi tujuannya, dan benar-benar

memperlihatkan rambu-rambu pemerintah yang berlaku. Sayangnya, implementasi sering

digunakan sebagai ajang melayani kepentingan kelompok, pribadi dan bahkan kepentingan

partai. Implementasi pada dasarnya operasionalisasi dari berbagai aktivitas guna mencapai

tujuan.

Hinggis (1985) mendefinisikan implementasi sebagai rangaian dari berbagai kegiatan yang

didalamnya sumber daya manusia menggunakan sumber daya yang lain untuk mencapai sasaran

strategis.Grindel (1980), implementasi sering dilihat sebagai proses yang penuh dengan muatan

politik dimana mereka yang berkepentingan berusaha untuk mempengaruhinya. Gordon (1986),

mengatakan bahwa implementasi berkenaan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan pada

realisasi program. Dalam hal ini, administrator mengatur cara untuk mengorganisir,

menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi.mengorganisir berarti

mengatur sumber daya, unit-unit dan metode-metode untuk melaksanakan program. Melakukan

interpretasi berkenaan dengan mendefinisikan istilah-istilah program ke dalam rencana-rencana

dan petunjuk-petunjuk yang dapat diterima dan feasible. Menerapkan berarti menggunakan

instrument-instrumen atau memberikan pelayanan rutin, melakukan pembayaran-pembayaran.

Atau dengan kata lain implementasi merupakan tahap realisasi tujuan-tujuan program. Dalam hal

ini perlu diperhatikan adalah persiapan implementasi, yaitu memikirkan dan menghitung secara

Page 35: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

35

matang berbagai kemungknan keberhasilan dan kegagalan, termasuk hambatan dan peluang-

peluang yang ada dan kemampuan organisasi yang diserah tugas melaksanakan program.

Sebagaimana diungkap oleh Laswell dan Stewart (2000), implementasi adalah tahapan yang

dilakukan setelah aturan hukum ditetapkan melalu proses politik. Implementasi lebih bersifat non

politik, yaitu administrative. James Andeson (1979) menyatakan bahwa implementasi

kebijakan/program merupakan bagian dari proses administrasi. Proses administrasi oleh

Anderson digunakan untuk menunjukan desain atau pelaksanaan sistem administrasi yang terjadi

pada setiap saat. Proses administrasi merupakan konsekuensi terhadap pelaksanaan, isi dan

dampak kebijakan.

Secara luas, implementasi dapat didefinisikan sebagai proses administrasi dari hukum (statute)

yang didalamnya tercakup keterlibatan berbagai actor, organisasi, prosedur, dan teknik yang

dilakukan agar kebijakan yang ditetapkan mempunyai akibat, yaitu tercapainya suatu tujuan.

Dari dua pengertian implementasi diatas dapat ditafsirkan bahwa kebijakan-kebijakan

diimplementasikan belum tentu dapat mencapai tujuannya.

Selain pengertian diatas, implementasi kebijakan dipahami sebagai suatu proses, output, dan

outcome. Implementasi dapat dikonseptualisasikan sebagai proses karena didalamnya terjadi

beberapa rangkaian aktivitas yang berkelanjutan.

Implementasi juga diartikan sebagai outputs, yaitu melihat apakah aktivitas dalam rangka

mencapai tujuan program telah sesuai dengan arahan atau bahkan mengalami penyimpangan.

Selain itu, implementasi juga dikonseptualisasikan sebagai outcomes, yang terfokus pada akibat

yang ditimbulkan dari adanya implementasi kebijakan, yaitu apakah implementasi suatu

kebijakan mengurangi masalah atau bahkan menambah masalah dalam masyarakat.

Studi implementasi mencakup fenomena yang luas dan bahkan overlapping dengan studi

evaluasi (Ripey, 1985). Sekalipun fenomenanya kompleks, para pengkaji implementasi

kebijakan disarankan untuk mempertimbangkan berbagai aspek pemahaman seperti: proses,

output, dan outcme. Juga perlu diperhatikan bermacam actor yang terlibat, organisasi, dan teknik

pangawasannya.

Page 36: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

36

2. AKTOR IMPLEMENTASI KEBIJAKANTerdapat beberapa actor yang terlbat dalam proses implementasi, baik dari pemerintah maupun

masyarakat, dan identifikasikan berasal dari kalangan birokrasi, legislative, lembaga peradilan,

kelompok-kelompok penekan, dan organisasi-organisasi komunitas (Anderson, 1979; Lester dan

Stewart, 2000 dalam (Kusumanegara , 2010, p. 100)

Birokrasi

Birokrasi dipandang sebagai agen administrasi yang bertanggung jawab pada implementasi

kebijakan. Pandangan ini berlaku untuk implementasi kebijakan negara maju maupun negara

yang sedang berkembang. Birokrasi mempnyai kewenangan yang besar untuk sepenuhnya

menguasai area implementasi kebijakan dalam wilayah operasinya karena mereka mendapat

amndat dari lembaga legislative. Hal ini juga disebabkan peraturan perundangan yang dibuat

legislative dan presiden bersifat umum dan tidak mengatur secara mendetail segala aspek teknis

yang dibutuhkan agar implementasi berbagai program mencapai tujuannya. Dengan kata lain,

para partisipan yang terlibat dalam perumusan undang-undang tidak mengembangkan berbagai

ketentuan/kebijakan dalam guidelines yang rinci dan operasional. Hal ini mungkin disebabkan

oleh kompleksitas masalah yang dihadapi, keterbatasan waktu, kepentingan/ nilai partisipan, atau

bahkan kurangnya informasi. Akibatnya birokrasi mempnyai kewenangan melakukan diskresi

kebijakan. Secara konseptula diskresi merupakan tindakan yang ditempuh oleh administrator

untuk menyelesaian masalah kasus tertentu (yang terjadi dalam implementasi) yang tidak atau

belum diatur dalam regulasi yang baku (Dwiyanto, 2002 dalam (Kusumanegara , 2010, p. 101)

Peran birokrasi yang dominan dalam area implementasi cukup menjadikannya sebagai actor

yang powerfull. Karena kekuatan birokrasi atas diskresi kebijakan tanpa disertai dengan control

eksternal yang memadai menyebabkan birokrasi kuat pula secara politik. Kekuatan birokrasi

dalam diskresi ditambah dengan rekruitmen birokrat tanpa melalui pemilihan menyebabkan

birokrasi berada dalam posisi yang berseberangan dengan demokrasi (Gruber, 1988). Birokrasi

dan demokrasi merupakan dua konsep yang dilematis. Jika pemerintahan demokratis

menekankan pluralisme sementara birokrasi menekankan pada efektivitas implementasi

kebijakan. Disatu pihak pluralism menghenaki adanya peran public dalam proses kebijakan,

termasuk peran control. Disisi lain, control akan menghilangkan kreativitas birokrasi dalam

melakukan diskresi sehingga memungkinkan hambatan pencapaian tujuan kebijakan secara

Page 37: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

37

efektif (Smith, 1988). Sekalipun deskresi secara teoritis dianggap penyimpangan, namun dalam

konteks masyarakat yang dinamis diperlukan agar suatu kebijakan dapat melakukan penyesuaian

dengan aspirasi masyarakat (Dwiyanto, 2002 dalam (Kusumanegara , 2010, p. 102)

Badan Legislatif

Secara tradisional ada pandangan dalam ilmu administrasi negara yaitu politik dan administrsi

adalah aktivitas yang terpisah. Politik dianggapa lebih memusatkan perhatiannya pada aktivitas

merumuskan kebijakan public yang ditangani oleh lembaga politis negara, yaitu legislative dan

eksekutif. Sedangkan kebijakan administrasi lebih terkonsentrasi pada implementasi kebijakan

yang ditangani oleh agen-agen administrative (birokasi) yang bervariasi. Kenyataannya banyak

agen administrasi yang jstru terlibat dalam prumusan kebijakan disamping tugas utamanya

mengimplementasikan kebijakan public. Hal ini terjadi saat birokrasi membuat serangkaian

peraturan pendukung kebijakan yang sudah ada.

Sedangkan lembaga legislative dapat juga terlibat dalam implementasi kebijakan ketika mereka

ikut menentukan peraturan yang spesifik dan mendetail. Semakin mendetail legislasi yang

dibuat, akan semakin terbatas ruang gerak yang dimiliki agen-agen administrasi. Misalnya,

legislasi menetapkan adanya adanya pembatasan spesifik sumber biaya suatu proyek yang

ditetapkan dalam undang-undang. Agen-agen administrasi tidak mungkin menolak kecuali harus

melaksanakan. Namun dengan mempertimbangkan berbagai resiko tertentu administrasi tertentu

administrasi dapat melakukan penolakan (ini terjadi dalam negara demokratis). Keadaan ini

dapat berbeda kalau ada ketentuan yang lebih leluasa, misalnya jika sumber dana tidak dibatasi.

Dalam kasus ini menjadikan para legislator akan terus berupaya mempengaruhi tindakan agen

administrasi dalam pelaksanaan kebijakan.

Sebagaimana yang telah menjadi kecenderungan di berbagai negara, sekarang ini para legislator

lebih sering terlibat dalam implementasi kebijakan dengan membuat peraturan-peraturan

mendetail agar diskresi kebijakan yang dilakukan birokrasi dalam implementasi kebijakan tidak

menyimpang dari ketentuan seharusnya (Lester dan Stewart, 2000 dalam (Kusumanegara , 2010,

p. 1004). Upaya perluasan fungsi sekarang dianggap semakin penting karena tujuan kebijakan

dapat tidak tercapai karena adanya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan birokrasi.

Lembaga Peradilan

Page 38: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

38

Lembaga peradilan merupakan cabang yudisial yang menangani hukum public. Namun lembaga

peradilan dapat terlibatkan dalam proses implementasi kebijakan ketika muncul tuntutan

masyarakat atas kebijakan publk tertentu yang implementasinya dianggap merugikan masyarakat

sehingga menjadi perkara hukum. Menanggapi tuntutan tersebut, lembaga peradilan dapat

merevisi ketentuan-ketentuan impementasi agar tidak merugikan masyarakat. dalam banyak

kasus, pengaruh paling besar lembaga peradilan terhadap implementasi kebijakan public adalah

melalui interpretasi aparat hukum terhadap berbagai statute, aturan administrative, dan regulasi

serta review mereka terhdapa kasus adminsitratif yan dihadapi.

Anderson menjelaskan bahwa produk hukum (kebijakan public) akan dilaksanakan melalui

tindakan-tindakan yudisial. Yang terpenting dari peranan lembaga ini adalah pengaruhnya dalam

menginterpretasikan UU, peraturan-peraturan dn cara pengaturan adminsitratif, dan kewenangan

untuk meninjau kebijakan admnsitrasi yang telah atau sedang dilaksanakan

Kelompok kepentingan/ penekan

Banyaknya diskresi yang dilakukan oleh birokrasi, maka banya kelompok kepentingan yang ada

dalam masyarakat yang berusaha mempengaruhi berbagai peraturan implementasi seperti

pedoman dan regulasi. Tindakan kelompok penekan menekan kebijakan pemerintah dimaksud

agar mereka memperoleh keuntungan dengan adanya implementasi program tersebut. Di banyak

negara berkembang, kelompok penekan diharuskan terlibat dalam formulasi dan implementasi

program yang didanai oleh lembaga-lembaga asing. Pelibatan ini disebabkan banyak program

yang dilaksanakan tertutup dari peran lembaga non pemerintah, sehingga keuntungan yang

diperoleh akibat implementasi suatu program lebih banyak dinikmati oleh kalangan pemerintah

sendiri.

Ketidakleluasan aparat administrasi dalam melaksanakan kebijakan, maka begitu kebijakan

disetujui, berbagai kelompok kepentinan yang memperjuangkan aspirasi mereka ke lembaga

legislative beralih ke lembaga administrative. Memanfaatkan peluang atas ketidakleluasaan ini,

maka kelompok kepentingan yang paling berhasil mempengaruhi tindakan-tindakan agen

adminstrasi mempunyai pengaruh yang besar dalam pelaksanan dan menerima dampak dari

kebijakan. Misalnya kebijakan lisensi, maka kelompok yang diberi lisensi tersebut sering kali

terlibat dominan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Akibat buruk dari praktek ini adalah

Page 39: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

39

kepentingan-kepentingan kelompok menjadi focus sentral dalam kegiatan administrasu, bukan

berfokus pada kepentingan public.

Organisasi komunitas

banyak program yang dirancang untu melaksanakan kebijakan yang berlabel pro pembangunan

masyarakat. dengan sendirinya masyarakat baik secara individu maupun kelompok terlibat dalam

implementasi program itu baik sebagai subjek maupun objek program.

Banyak kelompok yang terlibat dalam pelaksanaan implementasi suatu kebijakan atau program.

Selain actor diatas, bisa juga partai politik dan staf eksekutif juga ikut berpengaruh dalam

pelaksanaan kebijakan. Anderson menyarankan agar kajian analisis kebijakan seharusnya

memfokuskan perhatian untuk menjabab masalah penting dalam area pelaksanaan kebijakan,

yaitu kelompok mana yang paling berpengaruh.

3. TEKNIK IMPLEMENTASI KEBIJAKANImplementasi kebijakan memerlukan perangkat yang digunakan untuk mengetahui kesesuaian

pelaksanaan suatu program dengan kebijakan public yang menjadi acuannya. Lester dan Stewart

(2000 dalam (Kusumanegara , 2010, p. 108) menyatakan bahawa perdebatan yang muncul

tentang persoalan implementasi kebijakan public mengarah pada dua pendekatan, yaitu

pendekatan command and control dan pendekatan economic incentive (market). Pendekatan

command and control menyertakan mekanisme yang Nampak koersif untuk menyelaraskan

pelaksanaan dengan kebijakan acuan. Mekanisme tersebut misalnya rancangan baku, inspeksi,

dan pemberian sanksi jika terjadi pelanggaran. Sedangkan pendekatan economic incentive

menggunakan sarana perpajakan, subsidi, atau penalty agar pelaksanaan sesuai dengan kebijakan

acuan.

Pendekatan command and control dianggap para penentangnya terlalu kaku, mengabaikan

inisiatif dan inovasi dalam pencapaian tujuan kebijakan, dan menyia-yiakan sumber daya

masyarakat. para penganut economic incentive berpandangan bahwa sebaiknya para individu

diberi ruang yang cukup untuk membuat keputusannya sendiri, mempunyai kebebasan dan

kerelaan bertindak untuk mencapai tujuan yang diinginkan dengan biaya sosial serendah

mungkin.

Page 40: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

40

Penggunaan pendekatan tersebut tergantung pada keyakinan para actor yang terlibat dalam

implementasi kebijakan. Tidak ada satupun skema acuan pencapaian tujuan yang bekerja dengan

baik jika diantara actor implementasi mempunyai pandangan yeng berbeda tentang bagaimana

cara yang tepat untuk mencapainya. Bada akhirnya diperlukan bargaining dan negosiasi diantara

actor-aktor yang terlibat atau bahkan komunitas yang lebih luas lagi untuk menetapkan cara yeng

terbaik untuk mencapai tujuan.

4. MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKANSemakin kompleks suatu masalah kebijakan maka semakin mendalam analisis yang dilakukan,

semakin diperlukan teori atau model yang relative operasional – model yang mampu

menjelaskan hubungan kausalitas antar variable. Ada beberapa model implementasi kebijakan

yaitu (Wahab, 2008, pp. 71-108):

a. Model yang dikembangkan oleh Brian w. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978;1986)

Model mereka seringkali disebut sebagai “the top down approach”. Menurut Hogwood dan

Gunn, untuk mengimplementasikan kebijakn secara sempurna maka diperlukan beberapa

persyaratan tertentu. syarat-syarat itu adalah:

a) Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan

menimbulkan gangguan/kendala yang serius.

b) Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup

memadai.

c) Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.

d) Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh hubungan kausalitas yang

andal.

e) Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai

penghubungnya.

f) Hubungan ketergantungan harus kecil.

g) Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.

h) Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.

i) Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

Page 41: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

41

j) Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan

kepatuhan yang sempurna.

b. Model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn (1975), disebut sebagai A

Model of Policy Implementation Process (model implemntasi kebijakaan)

Van Meter dan Van Horn dalam teorinya beranjak dari suatu argument bahwa perbedaan-

perbedaan dalam proses implementasi dipengaruhi oleh sifat kebijakn yang akan dilaksanakan.

Mereka menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu

kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan

denga prestasi kerja (performance). Kedua ahli ini menegaskan bahwa perubahan, control, dan

kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep yang pentng dalam prosedur-prosedur

implementasi. Dengan memanfaatkan konsep-konsep tersebut, maka permasalahan yang erlu

dikaji dalam hubungan ini adalah hambatan apakah yang terjadi dalam mengenalkan perubahan

terhadap organisasi? Seberapa jauh tingkat efektivitas mekanisme-mekanisme control pada

setiap jenjang struktur? Seberapa pentingkah rasa keterikatan masing-masing orang dalam

organisasi?

Atas dasar pandangan seperti ini Van Meter dan Van Horn kemudian berusaha untuk membuat

tipologi kebijakan menurut:

o Jumlah masing-masing perubahan yang dihasilkan dan,

o Jangkauan atau ingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang

terlibat dalam proses implementasi.

Alasan dikemukannya hal ini adalah bahwa proses implementasi ini dipengaruhi oleh dimensi-

dimensi kebijakan semacam itu, yaitu implementasi kebanyakan akan berhasil apabila perubahan

yang dikehendaki relative sedikit, sememntara kesepakatan terhadap tujuann dilapangan relative

tinggi. Hal lain yang dikemukakan oleh kedua ahli diatas ialah bahwa jalan yang

menghubungkan kebijakan dan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah variable bebas yang

saling berkaitan. Variable bebas itu ialah:

a) Ukuran dan tujuan kebijakan

b) Sumber-sumber kebijakan

c) Ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksana

Page 42: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

42

d) Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

e) Sikap para pelaksana, dan

f) Lingkungan ekonomi, sosial, politik.

Variable-variabel kebijakan bersangkut paut dengan tujuan-tujuan yang telah digariskan dan

sumber-sumber yang tersedia. Pusat perhatian pada badan-badan pelaksana meliputi baik

organisasi formal maupun informal; sedangkan komunikasi antar anggota terkait berdasarkan

kegiatan-kegiatan pelaksanaanya mencakup antar hubungan di dalam lingkungan sistem politik

dan dengan kelompok-kelompok sasaran. Akhirnya, pusat perhatian pada sikap para pelaksana

mengantarkan kita ke telaah mengenai orientasi dari mereka yang mengoperasionalkan program

di lapangan.

c. Model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmania dan Paul A. Sabatier dikenal dengan

A Frame work for Implementation Analysis (kerangkan analisis implementasi)

Kedua ahli berpendapat bahwa peran penting dari analisis implementasi kebijakan adalah

mengidentifikasikan variable-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal

pada keseluruhan proses implementasi. Variable-variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan

menjadi tiga kategori besar yaitu (variable bebas/independen):

a) Mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan. Tersusun dari:

Kesukaran-kesukaran teknis

Keragaman perilaku kelompok sasaran

Prosentase kelompok sasaran disbanding jumlah penduduk

Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan

b) Kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses

implementasi, tersusun dari:

Kejelasan dan konsistensi tujuan

Digunakannya teori kausal yang memadai

Ketepatan alokasi sumber dana

Keterpaduan hirarki dalam dan diantara lembaga pelaksana

Aturan-aturan keputusan dari badan pelaksana

Rekruitmen pejabat pelaksana

Page 43: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

43

Akses formal pihak luar.

c) Pengaruh langsung berbagai variable politik terhadap keseimbangan dukungan bagi

tujuan yang terat dalam keputusan kebijakan tersebut. Variable tersebut terdiri:

Kondisi sosial ekonomi dan teknologi

Dukungan public

Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok-kelompok

Dukungan dari pejabat atasan

Komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat-pejabat pelaksana.

Sedangkan variable tergantngnya adalah tahapan-tahapan dalam proses implementasi. Proses

implementasi ditinjau dari tahapan-tahapannya yaitu:

a) Output-output kebijakan (keputusan-keputsan) dari badan-badan pelaksana

b) Kepatuhan kelompok-kelompok sasaran terhadap keputusan tersebut.

c) Dampak nyata keputusan-keputusan badan pelaksana

d) Persepsi terhadap dampak keputusan tersebut.

e) Evaluasi sistem politik terhadap undang-undang, baik berupa perbaikan-perbaikan

mendasar (atau upaya untuk melaksanakan perbaikan) dan muatan/isinya.

Dalam hubungan ini perlu diingat, bahwa setiap tahap akan berpengaruh terhadap tahapan yang

lainnya, misalkan tingkat kesediaan kelompok sasaran akan mengindahkan atau mematuhi

ketentuan-ketentuan yang termuat dalam keputusan kebijakan dari badan-badan (instansi)

pelakasanaan akan berpengaruh terhadap dampak nyata (actual impact) keputusan-keputusan

tersebut.

5. PENDEKATAN-PENDEKATAN IMPLEMENTASIBeberapa pendekatan implementasi digunakan untuk meningkatkan efektivitas implementasi

yang menyandarkan pendekatan dari atas atau top down. Beberapa pendekatan tersebut adalah

(Wahab, 2008, pp. 110-120):

a. Pendekatan Struktural

Struktur organisasi tertentu hanya cocok digunakan untuk tipe tugas dan lingkungan tertentu

pula. Analisis organisasi modern telah memberikan sumbangan yang berharga pada studi

Page 44: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

44

implementasi, karena rancang bangun kebijakan dan rancangan bangun organisasi, sedapat

mungkin dipertimbangkan secara bersamaan. Untuk menyederhanakan masalah yang luas kita

perlu menarik perbedaan antara perencanaan mengenai perubahan dan perencanaan untuk

melakukan perubahan.

Perencanaan mengenai perubahan berarti bahwa perubahan ditimbulkan dari dalam organisasi

atau sepenuhnya berada dibawah kendali organsasi, baik arah, laju maupun waktunya. Disini

implementasi dipandang sebagai persoalan teknis atau persoalan manajerial. Perencanaan untuk

melakukan perubahan, berlangung apabila dipaksakan oleh faktor eksternal/ organisasi lain atau

kekuatan-kekuatan lingkungan atau jika proses itu sukar untuk diramalkan , dikontrol, atau

dibendung. Implementasi akan membutuhkan pendekatan yang lebih adaptif, proses pembuatan

kebijakan secara keselurhan lebih bersifat linier, dan hubungan antara kebijakan dengan

implementasi akan mendekati apa yang oleh Barrett dan Fudge sebagai Policy—Action—Policy

continuum.

Bentuk organisasi yang cocok untuk merencanakan perubahan tersebut dapat bersifat agak

birokratik, seperti model Weber. Sedangkan organisasi yang cocok untuk melakukan

perencanaan perubahan adalah organisasi yang tidak terlalu mementingkan perincian tugas dan

kurang menekankan struktur yang hirarkis. Struktur yang bersifat organis dianggap cocok dalam

lingkungan yang mengalami perubahan dan ketidakpastian yang tinggi. Struktur seperti itu

mampu menyresuaikan diri dengan cepat dan efektif, sebagian karena mereka memiliki

kemampuan untuk mengelola informasi, khususnya bila dibandingkan dengan organisasi

birokrasi yang tradiisonal.

Struktur yang bersifat organis cocok untuk situasi implementasi dimana kita memerlukan

merancang bangun struktur-struktur yang mampu melaksanakan suatu kebijakan senantiasa

berubah bila dibandingkan dengan merancng struktur bangun untuk struktur khusus untuk

program yang sekali selesai. Namun karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, bentuk struktur

yang organis seringklai tidak mudah diterima dikalangan dinas-dinas pemerintah, semisal

kebutuhan pertanggungjawaban dan keharusan untuk terlihat konsisten dan seragam dalam

menangani kasus yang serupa. Untuk itu, bentuk struktur yang kompromis mungkin adalah

struktur matrik dimana departemen-departemen vertikal bersilang dengan tim-tim proyek antar

departemen horizontal yang dikepalai oleh pimpinan-pimpinan proyek. Kombinasi struktur yang

Page 45: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

45

bersifat birokratik dan andhokrasi ini mengandug kelemahan tertenu, misalnya adanya

kewenangan ganda, tetapi bagaimanapun ia lebih luwes bila dibandingkan struktur-struktur

model mesin pemerinta yang selama ini ada.

b. Pendekatan procedural dan manajerial

Upaya mengembangkan proses-proses dan prosedur-prosedur yang tepat—termasuk prosedur

managerial beserta teknik-teknik yang relevan penting bagi implementasi program. Kita tarik

garis pembeda antara perencanaan mengenai perubahan dan perencanaan untuk melakukan

perubahan. Dalam hal pertama implementasi dipandang sebagai masalah teknis atau manajerial.

Disini prosedur-prosedur yang dimaksud menyangkut penjadwalan, perencanaan, dan

pengawasan.

Dengan demikian logikanya adalah sesudah identifikasi masalah dan pemilihan kebijakan yang

dilihat dari sudut biaya dan efektivitas paling memenuhi syarat, maka tahap implementasi itu

mencakup urutan sebagai berikut:

Mendesain program beserta perincian tugas dan perumusan tujuan yang jelas, penentuan

ukuran prestasi kerja, biaya dan waktu.

Melaksanakan program, dengan mendayagunakan struktur-struktur dan personalia, dana

dan sumber-sumber, prosedur-prosedur dan metode-metode yang tepat.

Membangun sistem penjadwalan, monitoring, dan sarana-sarana pengwasan yang tepat

guna menjamin bahwa tndakan-tindakan yang tepat dan benar dapat segera dilaksanakan.

Namun pendekatan ini mengasumsikan adanya tingkat kemampuan pengawasan yang sangat

tinggi atas pelaksanaan dan hasil akhir satu program dan dianggap terisolasi dari lingkungan.

Teknik manajerial yang merupakan perwujudan dari pendekatan perencanaan jaringan kerja dan

pengawasan (network planning and control—NPC) yang menyajikan suatu kerangka kerja

dimana proyek dapat direncanakan dan implementasinya dapat diawasi dengan cara

mengidentifikasikan tugas-tugas yang harus diselesaikan, hubungan antara tugas tersebut, dan

urutan logis dimana tugas harus dilaksanakan. Bentuk jaringan kerja yang canggih misalnya

program evaluation and review technique (PERT) memungkinkan untuk memperkirakan secara

tepat jangka waktu yang tepat dalam menyelesaikan tiap tugas, mendukung lintasan kritis

Page 46: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

46

dimana setiap keteledoran akan menghambat penyelesaian keseluruhan proyek, memonitor setiap

luang waktu yang tersedia bagi penyelesaian tugas dalam jaringan kerja, dan merealokasikan

sumber-sumber guna memungkinkan kegiatan-kegiatan yang terletak disepanjang lintasan kritis

dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Analisis jaringan kerja juga digunakan dalam menyelesaikan tugas-tugas pemerintahan sehari-

hari, misal penjadwalan kontrak pembangunan gedung. Penggunaan sebagai sarana/instrument

pengendalian/pengawasan tergantung pada sejauh mana jaringan kerja itu benar-benar

komunikastif, dapat diterima oleh semua kaangan, layak dan dapat dipercaya.

c. Pendekatan keperilakuan

Perilaku manusia beserta segala sikapnya harus dipengaruhi kebijakan jika ingin kebijakan

diimplementasikan dengan baik. Pendekatan keperilakuan didasari bahwa seringkali terdapat

penolakan terhadap perubahan. Alternative-alternatif yang tersedia jarang sekali yang

sesederhana seperti menerima atau menolak, dan sebenarnya terbentang spectrum kemungkinan

reaksi sikap, mulai dari penerimaan aktif hingga pasif, acuh tak acuh, dan penolakan pasif hingga

aktif.

Mungkin terdapat perasaan khawatir terhadap perubahan itu sendiri, karena perubahan berart

ketidakpastian dan toleransi yang rendah dari beberapa orang terhadap situasi yang tidak pasti

tersebut. Untuk menghindari atau mengurangi penolakan, informasi yang lengkap mengenai

perubahan yang diharapkan disediakan sejak awal, yang meliputi alasan, tujuan, dan sarana yang

digunakan. Selain itu harus ada kontak yang ekstensif dengan pihak-pihak yang akan

dipengaruhi perubahan. Penerapan analisis keperilakuan pada masalah manajemen yang paling

dikenal adalah pengembangan organisasi/organizational development. Pengembangan organisasi

adalah suatu proses untuk menimbulkan perubahan-perubahan yang diinginkan dalam suatu

organisasi melalui penerapan ilmu keperilakuan. OD juga merupakan salah satu bentuk

konsultasi manajemen dimana seorang konsultan bertindak sebagai agen perubahan untuk

mempengaruhi seluruh budaya organisasi, termasuk sikap dan perilaku para pegawai yang

menduduki posisi kunci.

Bentuk lain dari pendekatan keperilakuan ialah management by objective (MBO). MBO adalah

sebuah pendekatan yang menggabungkan unsur-unsur yang terdapat dalam pendekatan

Page 47: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

47

procedural/manajerial dengan unsur-unsur yang termuat dalam analisis keperilakuan. MBO

berusaha untuk menjembatani antara tujuan yang telah dirumuskan secara spesifik dengan

implementasinya. Unsur-unsur pokok yang biasanya melekat pada MBO ialah: Pertama, harus

ada penjenjangan tujuan. Kedua proses untuk mencapai tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran yang

berbaung dibawah MBO harus bersifat interaktif. Ketiga, harus ada suatu sistem penilaian atas

prestasi kerja yang mencakup suatu kombinasi monitoring kemampuan manajemen dan

pengawasan melekat dan evaluasi bersama terhadap kemajuan-kemajuan oleh tiap-tiap manajer

dan atasan-atasan mereka.

d. Pendekatan politik

Pengertian politik lebih mengacu pada pola-pola kekuasaan dan pengaruh diantara dan

diingkungan organisasi. Alasannya adalah implementasi suatu kebijakan mungkin direncanakan

secara seksama, baik dilihat dari sudut organisasinya, prosedurnya, manajemennya, dan

pengaruh perilaku, tetapi tidak memperhitungkan realita kekuasaan maka mustahil kebijakan

tersebut dapat berhasil. Pendekatan politik secara fundamental menentang asumsi yang

diketengahkan oleh ketiga pendahulunya khususnya pendekatan keperilakuan. Pada umumnya

ilmuwan ilmu sosial menentang asumsi bahwa konflik adalah bentuk penyimpangan yang dapat

disembuhkan dengan cara penyempurnaan kemampuan komunikasi antar pribadi. Konflik yang

ada didalam organisasi dan kelompok sosial merupakan gejala endemis, karena tidak bisa hanya

diatasi lewat komunikasi dan koordinasi.

Dengan demikian, keberhasilan suatu program kebijakan pada akhirnya tergantung pada

kesediaan dan kemampuan kelompok yang dominan dari kelompok untuk memaksakan

kehandaknya. Apabila kelompok dominan tidak ada mungkin implementasi kebijakan hanya bisa

dicapai melalui proses panjang yang bersifat incremental dan saling pengertian diantara mereka

yang terlibat. Analisis mengenai aspek politis dari implementasi kebijakan makin penting bila

menyangkut berbagai lembaga pemerintah, mengingat kenyataan bahwa sebagian besar

kebijakan pemerintah pusat sebenarnya tidak dilakuak oleh departemen pemerintah pusat.

Pemerintah daerah dan instansi lain juga mengeluarkan kebijakan yang membutuhkan

persetujuan dari organisasi lainnya. Badan tertentu memiliki keleluasaan bertindak dengan

implementasi disamping memiliki kekuatan menawar (bargaining power) dalam hubungannya

dengan instansi lain, baik pada saat implementasi maupun pada awal ketika akibat/dampak

Page 48: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

48

implementasi didiskusikan. Jika lebih dari dua organisasi yang terlibat, maka ruang lingkup

keleluasaan bertndak itu akan semakin besar, misalnnya karena kemungkinan muncul

persekongkolan diantara beberapa organisasi ataupun saling pengertian.

F. POLICY EVALUATION

1. PENGERTIAN EVALUASI KEBIJAKANSebagian besar ahli kebijakan berpendapat (Kusumanegara , 2010, p. 121) bahwa tahap akhir

dari proses kebijakan disebut tahapan evaluasi. Lester dan Stewart (2000) menyatakan evaluasi

kebijakan pada hakekatnya mempelajari konsekuensi-konsekuensi kebijakan public. Kajian yang

memberi deskripsi dan eksplanasi atas eksistensi kebijakan tidak termasuk dalam studi evaluasi.

Badjuri dan Admin (2003: 132, dalam (Pasolong, 2007, p. 60) mengatakan bahwa evaluasi

kebijakan salah satu tahapan penting kebijakan. Keban (2004:74 dalam (Pasolong, 2007, p. 60),

salah satu bidang pentng yang digunakan untuk mengawasai jalannya proses implementasi

adalah monitoring. Di dalam proses monitoring ini dilakukan pengamatan langsung ke lapangan

dan hasil-hasil sementara untuk dinilai tingkat efisiensi dan efektiitasnya, semua biaya yang

dikeluarkan selama proses implementasi dibanding dengan hasil sementara yang diperoleh,

sementara tingkat efektivitasnya selalu dikaitkan dengan apakah suatu hasil sementara yang

didapatkan merupakan hasil yang memang dirancang atau tidak.

Evaluasi digunakan untuk memperlajari tentang hasil yang diperoleh dalam suatu proses untuk

dikaitkan dengan pelaksanaannya, mengendalikan tingkah laku dari orang-orang yang

bertanggungjawab terhadap pelaksanaan program, dan mempengaruhi respon dari mereka yang

berada diluar lingkungan politik. Evaluasi, tidak saja berguna untuk menjustifikasikan kegunaan

dari program yang sedang berjalan, tetapi juga untuk melihat kegunaan program dan insiatif

baru, meningkatkan efektivitas manajemen dan administrasi program, dan

mempertanggungjawabkan hasil kepada pihak yang mensponsori program tersebut. (Rossi dan

Freeman, 1993:3 dalam (Pasolong, 2007, p. 60)

Anderson (1979) berpendapat evaluasi kebijakan memusatkan perhatian pada estmasi, penilaian,

dan taksiran terhadap implementasi (proses) dan akibat-akibat (dampak) kebijakan. Sebagai

aktivitas fungsional, evaluasi kebijakan sebenarnya dapat dilakukan terhadap keseluruhan tahap-

Page 49: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

49

tahap kebijakan bukan hanya tahap akhirnya saja. Umpamanya menetapkan dan membuat

estimasi atas konsekuensi dari berbagai alternative kebijakan sehubungan dengan masalah yang

dihadapi, dalam rangka mengadopsi salah satu alternative yang dianggap paling baik.

Evaluasi kebijakan sebagai suatu aktivitas suatu fungsional telah dilakukan sejak lama, bahkan

sejak kebijakan public mulai dikenal. Para pembuat kebijakan dan administrator selalu membuat

penilaian terhadap berbagai dampak dari kebijakan, program, dan proyek tertentu. dalam

melakukan penilaian diketahui banyak faktor yang berpengaruh seperti: ideology, kepentingan-

kepentingan pribadi, atau kriteria nilai lainnya. Sebuah program misalnya, karena dampaknya,

dinilai “sosialistik” dan dapat ditolak oleh kelompok masyarakat lain (yang tidak menyukai

sosialisme). Contoh lainnya program pengurangan pajak bisa saja dinilai baik oleh para elevator

dari partai politik karena dapat menambah jumah suara bagi parpol tersebut. Program pemberian

kompensasi bagi para pengangguran dapat dinilai buruk karena evaluator lebih tahu banyak siapa

yang paling banyak mendapat keuntungan dalam masyarakat. dalam studi evaluasi terhadap

program yang sama sangat terbuka kemungkinan terjadinya konflik karena adanya perbedaan

dari evaluatornya, kriteria juga berbeda, dan akhirnya kesimpulannya juga berbeda. Salah satu

program yang terpenting adalah unsur subjektivitas dalam evaluasi. Memang dalam evaluasi

diperlukan adanya unsur objektivitas dan bebas nilai, namun dalam kenyataan evaluasi sangat

bersifat politis, misalnya adanya kecenderungan melaporkan hasil yang sukses meskipun dalam

kenyataan tidak sukses, sebagai akibat kepentingan tertentu seperti keinginan mendapat promosi,

mendapatkan proyek baru atau program baru lagi, malu kalau membeberkan kelemahan dan

sebagainya.

Variasi kebijakan evaluasi lainnya memusatkan pada beberapa pertanyaan terhadap pelaksanaan

kebijakan atau program. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah: apakah program telah dilaksanakan

secara apa adanya (sesuai dengan peraturan)? Apa dan berapa biaya finansialnya? Siapa yang

menerima keuntungan dari suatu program dan berapa besarnya? Apakah program yang

dilaksanakan merupakan duplikasi dari program lainnya? Apakah standar legal dan prosedur

dilaksanakannya dalam suatu program?

Untuk dapat melakukan evaluasi, diperlukan rncian tentang apa yang perlu dievaluasi,

pengukuran terhadap kemajuan yan diperoleh dengan mengumpulkan data, dan analisis terhadap

data yang ada terutama berkaitan dengan output dan outcome yang diperoleh untuk kemudian

Page 50: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

50

dibandingkan dengan tujuan suatu program. Hubungan sebab aibat harus diteliti secara cermat

antara kegiatan program dengan output dan outcome yang Nampak. Pertanyaan kunci yang

sering diungkapkan dalam proses evaluasi adalah apakah outcome yang muncul merupakan

kebutuhan pedesaan yang meningkat dua tahun terakhir benar-benar dipengaruhi oleh partisipasi

mereka dalam program pengembangan kecamatan, atau faktor lain. Kalau memang dipengaruhi

oleh faktor lain, maka evaluator tidak dapat mengklaim bahwa program tersebut telah efektif.

Variasi berikutnya adalah yang paling dianggap maju dan paling mendapat perhatian saat ini

adalah evaluasi yang sistematis dan objektif terhadap suatu program untuk mengukur dampaknya

kepada masyarakat, dan apakah suatu program telah sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.

Anderson (1979) menyebutnya sebagai evaluasi sistematis.

Evaluasi sistematis memusatkan perhatian dan kesesuaian antara dapak dari program dengan

kebutuhan public, atau apakah dampak program telah menjawab masalah-masalah yang dihadapi

public. Beberapa pertanyaan yang diajukan dalam evaluasi sistematis adalah; apakah hasil

program telah sesuai dengan tujuannya? Bagaimana perbandingan biaya dan manfaat yang

diperolehnya? Siapa yang paling diuntungkan oleh kebijakan? Peristiwa-peristiwa baru apa saja

muncul sebagai konsekuensi dari kebijakan?

Secara demikian, evaluasi sistematis menjelaskan baik pembuat kebijakan dan public tentang

akibat actual dari kebijakan dan membuka peluang terbuaknya diskusi kebijakan sesuai dengan

relitas. Selanjutnya evaluasi dapa digunakan untuk memodifikasi suatu kebijakan atu program

dan menyesuaikannya dengan kebutuhan masa depan.

2. TIPE-TIPE EVALUASI KEBIJAKANJames Anderson (Winarno, 2007, p. 227)membagi evaluasi kebijakan kedalam tiga tipe. Masing-

masing tipe evaluasi yang diperkenalkan ini didasari oleh pemahaman para evaluator terhadap

evaluasi. Tipe tersebut yaitu:

Tipe pertama, evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional. Evaluasi

kebijakan dipandang sebagai kegiatan yang sama pentingnya dengan kebijakan itu

sendiri. Para pembentuk kebijakan dan administrator selalu membuat pertimbangan-

pertimbangan mengenai manfaat dan dampak dari kebijakan-kebijakan, program-

program. Dan proyek-proyek.

Page 51: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

51

Tipe kedua, tipe evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau

program-program tertentu. tipe evaluasi seperti ini berangkat dari pertanyaan mendasar

mengenai: apakah program dilakanakan sebagaimana mestinya? Berapa biayanya? Siapa

yang menerima manfaat dan jumahnya? Apakah terdapat duplikasi atau kejenuhan

dengan program-program lain? Apakah ukuran-ukuran dasar dan prosedur secara sah

diikuti?

Tipe ketiga, tipe evaluasi kebijakan sistematis. Evaluasi sistematik melihat secara objektif

program-program kebijakan yang dijalankan untuk mengukur dampaknya bagi

masyarakat yang melihat sejauh mana tujuan-tujuan yang telah dinyatakan tersebut

tercapai.

Namun demikian, suatu evaluasi tidak selamanya digunakan untuk hal-hal baik. Dalam hal ini,

Carol Weiss (Winarno, 2007, p. 229) mengatakan bahwa para pembuat keputusan program

evaluasi untuk menunda keputusan-keputusan , untuk mengesahkan dan membenarkan

keputusan-keputusan yang sudah dibuat, untuk membebaskan diri dari kontroversi tentang

tujuan-tujuan masa depan dengan mengelakkan tanggungjawab, mempertahankan program

dalam pandangan pemiliknya, pemberi dana, atau masyarakat, serta untuk memenuhi syarat-

syarat pemerintah atau yayasan dengan ritual evaluasi. Selain itu evaluasi digunakan untuk

meraih tujuan-tujuan politik tertentu. oleh karena itu, otivasi evaluator dalam melakukan evaluasi

dibedakan menjadi dua yaitu motivasi untuk malayani kepentingan public dan motvasi untuk

melayani kepentingan pribadi.

3. EVALUATOR KEBIJAKANPada kenyataanya banyak lembaga dalam masyarakat yang berkepentingan dengan evaluasi

kebijakan. Lester dan Steward (2000) menggolongkan para evaluator dalam dua kelompok, yaitu

evaluator internal dan evaluator eksternal. Evaluator internal berasal dari lembaga legislative dan

eksekutif beserta cabang-cabangnya (birokrasi). Salah kelebihan yang perlu dipertimbangkan

bahwa evaluator internal terdiri dari mereka yang mengetaui secara deail dan terlibat dalam

proses kebijakan. Namun ada beberapa kelemahannya yaitu:

Para evaluator internal mungkin tidak mempunyai keterampilan yang baik untuk

melakukan evaluasi.

Page 52: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

52

Karena kebijakan yang dievaluasi melibatkan banyak organisasi, maka evaluasi yang

lengkap tidak dapat diperoleh dengan menguji akibat-akibat yang ditimbulkan dari

kegiatan satu organisasi saja. Pelibatan banyak organisasi akan memakan biaya yang

cukup besar.

Kegiatan evaluasi bisa saja dipengaruhi oleh keinginan para evaluator internal untuk

tidak melakukan perubahan kebijakan, sehingga hasil kebijakan akan menyarankan

pemerinta untuk melakukan kegiatan serupa yang dievaluasi.

Evaluator eksternal terdiri dari lembaga-lembaga penelitian privat, media komunikasi massa,

kelompok penekan, dan organisasi-organisasi kepentingan public. Mereka melakukan studi

evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan yang telah menimbulkan dampak pada masyarakat

maupun organisasi pemerintah. Di Indonesia contohnya, perguruan tinggi mempunyai lembaga

didalamnya yang terlibat dalam pengumpulan data mengenai performa kebijakan tertentu yang

merupakan bagiam kegiatan evaluasi. Pusat studi kebijakan dan kependudukan UGM pernah

melakukan government decentralization survey ((GDS) terhadap daerah-daerah otonom di

Indonesia untuk mengevaluasi pelaksanaan dan dampak penerapan desentralisasi di bawah UU

No. 22 Tahun 1999.

Disamping bagian yang ada di universitas, evaluator lainya adalah kelompok kepentingan seperti

Indonesian Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan lain-

lain yang melakukan evaluasi atas dampak spesifik kebijakan seperti korupsi, tingkat

keterjaminan barang-barang konsumsi, dan lain-lain kebijakan yang mempunyai relevansi

dengan kelompok kepentingan atau penekan.

4. SIFAT-SIFAT EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKANDalam tahapan agenda building, formulasi dan legitimasi, jarang dilakukan evaluasi oleh

ilmuwan politik. Ilmuwan poitik hanya cenderung untuk mendiskripsikan dan menganalisis saja

terhadap tahapan agenda building, formulasi dan legitimasi. Meskipun demikian mereka juga

melakukan studi studi deskriptif dan analits terhadap implementasi kebijakan. Disamping itu,

mereka juga mendeskripsikan dan menganalisis dampak kebijakan. Beberapa sifat-sifat evaluasi

kebijakan adalah sebagai berikut (Kusumanegara , 2010, pp. 127-132).

a. Perspektif compliance

Page 53: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

53

Ada dua perspektif utama dalam studi evaluasi implementasi kebijakan yaitu; compliance dan

what’s happening. Perspektif compliance (kepatuhan) melihat agen-agen administrasi dan

individu-individu yang ada didalamnya bersifat fungsional dalam suatu tatanan hirarki

administrasi. Dengan kata lain, perspektif ini menunjukkan adanya batas-batas kedudukan yang

superior dan subordinat dalam unit-unit birokrasi dan para birokrat.

Pertanyaan-pertanyaan yang berkembang dalam compliance adalah berkisar dengan kepatuhan

dari agen-agen dan birokrat-birokrat yang ada dalam posisi subordinat kepada perintah-perintah

mereka yang ada di posisi superior. Jika derajat kepatuhan tinggi maka implementasi sudah dapat

dikatakan baik. Sebaliknya jika derajatnya rendah maka implementasinya dinilai buruk.

Implementasi buruk juga disebabkan oleh adany perintah yang tidak jelas dari superior pada

subordinat.

Perspektif compliance banyak digunakan di dalam studi politik dari tingkah laku organisasi.

Dalam studi ini, program itu sendiri bukanlah perhatian pokok karena dianggap sebagai sekedar

benda yang dihasilkan oleh karakter dan kualitas tingkah laku organisasi. Asumsinya adalah jika

hubungan yang terjadi dalam organisasi berjalan sesuai ketentuan maka program dengan

sendirinya akan berjalan dengan baik. Kelemahan yang dimiliki program compliance adalah:

Banyak faktor-faktor nonbirokrasi yang mempengaruhi tujuan-tujuan yang akan dicapai

birokrasi.

Ada beberapa program dirancang dengan tidak baik, sehingga sesempurna apapun

tingkah laku, ketaatan, dan koordinasi dalam organisasi, maka tidak mungkin dapat

berjalan dengan baik. Kelemahan ini mendorong timbulnya pertanyaan mengenai makna

dari implementasi dan keberhasilan implementasi program.

Terlepas dari kelemahan diatas, perlu ditegaskan bahwa implementasi program berhasil adalah

performa dan dampaknya sesuai dengan yang diinginkan. Jika implementasi berhasil maka

program juga berhasil. Dalam studi mengenai perspektif compliance, berbagai fenomena terlibat

di dalamnya. Studi tidak terbatas hanya pada sebuah birokrasi, namun seluruh birokras dari pusat

hingga local. Disamping itu, tidak tertutup pula pengaruh yang beraal dari luar lingkungan

pemerintah, sehingga perlu dilakukan penelitian tenang kepatuhan dari unit-unit nonpemerintah.

b. Perspektif what’s happening

Page 54: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

54

Perspektif what’s happening mempunyai asumsi bahwa banyak faktor yang mempengaruhi

implementasi kebijakan. Berdasarkan asumsi tersebut, studi diarahkan untuk menentukan dan

membuat spesifikasi terhadap faktor-faktor yang berpengaruh pada implementasi. Studi what’s

happening digambarkan sebagai berikut.

Gambar perspektif what’s happeningSumber: Randall B. Repley (Kusumanegara , 2010, p. 129)

Penjelasan terhadap perspektif what’s happening dimulai dengan membuat kategori variable X

dan Y. jika kita melakukan sesuatu (X) maka akibat yang diinginkan (Y) akan terjadi. Variable X

dalam formulasi sederhana adalah treatment program-program, khusus beberapa faktor lainnya

seperti organisasi-organisasi dengan kekhususan tertentu, proses birokrasi yang akan

memfasilitasi implementasi yang diinginkan, serta target populasi yaitu siapa-siapa yang akan

memperoleh manfaat dari sebuah program. Sedangkan variable Y adalah akibat-akibat yang

diinginkan.

Begitu implementasi berjalan, maka menetapkan peristiwa-peristiwa apa yang terjadi (what’s

happen) diperlukan kerja lapangan yang sistematis-substansial. Dalam tahap ini, para analis

dapat segera mengkoleksi data yang dibutuhkan untuk membuat kesimpulan yang menjawab

berbagai pertanyaan mengenai implementasi dan dampaknya. Pertanyaan-pertanyaan ini

mengenai implementasi dalam peran fasilitatfnya, dan tidak diperkenankan meakukannya

sebagai fenomena yang sama sekali tiak berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan perihal

Environment

ProgramConsequences

and result

Implementation

Page 55: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

55

performa program baik berjalan jangka pendek, dan dampak atau bahkan dampak jangka

panjang.

Dalam hal ini analis dapat mengajukan berapa pertanyaan singkat:

Apakah X menyebabkan Y?

Mengapa X menyebabkan Y? atau mengapa X tidak menyebabkan Y?

Dalam hal apa X menyebabkan Y atau bagian-bagian dari Y?

G. POLICY CHANGESetelah evaluasi tahap berikutnya dalam siklus kebijakan adalah perubahan kebijakan disusul

dengan terminasi. Dalam dua tahap ini kebijakan direiew dan mungkin akan dihentikan atau

mengalami perubahan. Setelah itu siklus kebijakan dimulai dari awal lagi, kebijakan akan

direfomulasi dan direimplementasi. Para ilmuwan politik biasanya berpandangan bahwa

pembuatan kebijakan merupakan akibat dari perjuangan kekuasaan dari berbagai kelompok

dimasyarakat dengan berbagai sumberdaya dan kepentingan. Perjuangan tesebut terjadi struktur

kelembagaan yang ada dalam lingkungan sosial ekonomi yang berubah-ubah. Dengan demikian

impikasinya adalah perubahan dan terminasi kebijakan menjadi sangat penting untuk diobservasi

oleh ilmuwan politik karena dipandang sebagai awal keanjutan dari perjuangan kekuasaan dalam

kehidupan politik.

Konsep perubahan kebijakan menunjuk pada pergantian satu atau lebih kebijakan dengan satu

atau lebih kebijakan lain. Perubahan kebijakan dapat terjadi dalam tiga bentuk (Easton, 1992

dalam (Kusumanegara , 2010, p. 143) :

Perubahan sedikit/tambal sulam dari kebijakan yang telah dievaluasi.

Perubahan statute baru dalam area kebijakan public tertentu.

Perubahan drastic dari kebijakan public sebagai konsekuensi dari munculnya pilihan-

piihan baru.

Jarang ditemukan kebijkan yang terus terpelihara seperti bentuknya semula dalam berkali-kali

perputaran siklus. Revisi terhadap kebijakan tergantung pada berbagai faktor yang muncul pada

saat kebijakan dinilai memecahkan masalah atau tidak, keterampilan mengadministrasikan

Page 56: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

56

kebijakan saat implementasi, munculnya cacat saat implementasi, dan ketika berbagai kekuatan

poitik menaruh perhatian pada kebijakan.

Hogwood dan Gunn ( dalam Lester dan Steward, 2000 dalam (Kusumanegara , 2010, p. 144)

mengetengahkan tiga alasan untuk perubahan kebijakan dinegara barat yaitu:

a. Pemerintah memperluas aktivitasnya dalam kebijakan tertentu, sehingga tumpang tindaih

dengan program yang sedang berjalan.

b. Kebijakan itu sendiri yang menciptakan kondisi yang mensyaratkan perubahan karena

ketidakmampuannya menciptakan efek samping sesuai yang diharapkan. Kekeliruan

proses di legislative (pada saat perubahan) dianggap sebagai sebab perubahan kebijakan.

Dalam hala ini agar tidak terjadi perubahan kebijakan, anggota legislative bekerja lebih

baik lagi.

c. Tingkat relativitas keberlanjutan pertumbuhan ekonomi dan implikasi finansialnya

menyebabkan suatu kebijakan yang ada kemudian dianggap tidak diperlukan lagi, hanya

bersifat pemborosan, dan tidak tepat. Untuk menghindari resiko politik, kebijakan tidak

diberhentikan namun hanya dirubah.

Menurut Lester dan Steward (2000 dalam (Kusumanegara , 2010, p. 144), dalam beberapa kasus

perubahan kebijakan terjadi dalam beberapa bentuk yaitu:

a. Perubahan kebijakan hanya berbentuk linear. Misalnya perubahan kebijakan

ketenagakerjaan yang ditangani pemerintah dengan kebijakan pelatihan kerja yang

ditangani pemerintah bekerja ama dengan pihak swasta.

b. Penggabungan (merger) beberapa program yang dianggap cocok. Misalnya

penggabungan program-program kesehatan dengan program kesejahteran.

c. Pemisahan satu program menjadi dua atau beberapa paket program. Hal ini disebabkan

munculnya konflik antar program ketika diimplementasikan.

d. Perubahan program secara nonlinear. Beberapa perubahan kebjakan bersifat kompleks

dan meliputi elemen perubahan lainnya. Misalnya program bantuan sementara untuk

keluarga miskin berubah menjadi program bantuan untuk anak-anak terbelakang.

Ada tiga model perubahan kebijakan yaitu: Tesis Siklikal, Tesis Policy-Learning, dan Tesis Zig

Zag (Lester dan Steward, 2000 dalam (Kusumanegara , 2010, p. 145). Tesis Siklikal

Page 57: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

57

berargumentasi adanya perubahan berkelanjutan antara tujuan public dengan kepentingan privat.

Dalam politik di Amerika Serikat ada siklus kekuasaan antara konservatisme dan liberalism.

Dalam waktu-waktu tertentu konservatisme dianggap solusi atas permasalah nasional dan

liberalism pada waktu yang lain. Misalnya Theodore Roosevelt mengantarkan program

Progressive pada 19011, Franklin D. Roosevelt mengeluarkan kebijakan New Deal antara era

1930-an, John F. Kennedy memperkenalkan program New Frontier pada 1960an. Alternatifnya,

Ronald Regand mengeluarkan kebijakan konservatif pada era 1980an, yang sebenarnya

merupakan pengulangan konservatisme tahun 1950an dan era Harding-Coolidge 1920an.

Model Tesis Siklikal nampaknya tidak mudah diterapkan dinegara-negara yang respon politiknya

terhadap problem nasionalnya tidak didasarkan pada siklus dua ideology seperti AS. Di

Indonesia pernah dikenal era ideology-ideologi dan kebijakan public didasarkan preferensi

ideologis para penguasa era politik aliran pasca kemerdekaan 1945 dan demokrasi terpimpin.

Saat itu preferensi ideologis yang memberikan warna kuat dalam diskursus kebijakan public

adalah Nasionalisme, Islam, Komunisme, Sosialisme, Demokrasi, Dan Tradisionalisme Jawa.

Beberapa diskursus kebijakan misalnua tentang penerapan syariat Islam, nasionalisasi

perusahaan-perusahaan asing, desentralisasi politik, landreform, pengebangan usahawan pribumi

(program Benteng), koperasi, dan sebagainya, tanpa disertai dengan siklus sebagaimana di AS.

Penjelasan Tesis Policy Learning mengenai perubahan kebijakan berasal dari studi yang

dilakukan Paul Sabatier dan kawan-kawan. Paul Sebatier telah mengembangkan kerangka

konseptual proses kebijakan sebagai fungsi dari tiga faktor, yaitu:

a. Interaksi kompetitif antara koalisi advokasi didalam subsistem kebijakan (masyarakat).

Koalisis advokasi adalah aktor-aktor dari bermacam organisasi public dan privat yang

mempunyai seperangkat sistem kepercayaan dan berusaha merealisasi tujuan sepanjang

waktu.

b. Perubahan-perubahan yang terjadi diluar subsistem kebijakan (peristiwa yang terjadi di

luar masyarakat)

c. Efek dari parameter sistem yang relative stabil.

Kerangka kerja menghasilkan tiga premis untuk perubahan kebijakan yaitu:

Page 58: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

58

a. Memahami proses perubahan kebijakan memerlukan waktu yang lama, karena observasi

dilakukan terhadap keseluruhan tahap yang terjadi pada siklus kebijakan.

b. Cara yang berguna untuk memahami perubahan kebijakan adalah dengan memfokuskan

perhatian pada subsistem kebijakan yang merupakan arena interaksi koalisi advokasi.

c. Kebijakan public dapat dikonseptualisasikan sama dengan sistem keyakinan, yaitu

seperangkat nilai prioritas dan asumsi kausal tentang cara-cara merealisasikannya.

Berikutnya adalah Tesis Zig Zag yang dijelaskan oleh Edwin Amenta dan Theda Scocpol

berkaitan dengan studi terhadap kebijakan public di AS. Mereka berpendapat adanya pola yang

tidak teratur dalam sejarah kebijakan public di AS. Pola yang tidak teratur ini dicirikan seperti

zigzag atau stimulus dan respon (backlash). Efek zigzag dan backlash terjadi dalam pergeseran

kebijakan sesuai dengan ideology pemerintah yang menguntungkan masing-masing kelompok.

Mereka berpendapat bahwa konsep perjuangan kelas atau kompetisi kelompok dalam masyarakat

digunakan sebagai penjelas pergeseran kebijakan yang tidak teratur itu. Misalnya pada akhir

abad ke 19 politik AS ditandai oleh pembelanjaan uang negara dan patronase dikalangan kulit

putih. Kebijakan dirancang oleh para republican yang radikal dan keuntungan kebijakan

didistribusikan secara partisan.

Pada era Progressive (1900-1930) diusahakan tindakan eliminasi atas patronase politik masa

sebelumnya. Kebijakan bergeser pada upaya pemenuhan kebutuhan fundamental bagi rakyat.

Seperti reformasi pelayanan sipil, pemilihan langsung terhadap administrator, legislasi

pembatasan jam kerja bagi wanita, dan berbagai program yang memberikan jaminan kesehatan

dan keamanan. Pada masa ini kaum Demokrat menetapkan dirinya sendiri seperti kelompok

democrat sosial.

Pada era New Deal (1930-1950) berbagai program jaminan sosial dan kesejahteraan mensyarakat

semakin ditekan. Kebijakan ini merupakan jawaban tehadap depresi ekonomi, bukan kelanjutan

pengeliminasian politik patronase dari republican dan bukan pula sebagai upaya melanjutkan

incremental kebijakan kaum democrat era Progressive. Pada masa ini diadopsi teori ekonomi

Keynesian, dan pemerintah federal melancarkan kebijakan redistribusi kesejahteraan secara

massif melalui pembentukan program sosial secara luas dan intervensi negara dalam bidang

ekonomi. Pada era setelahnya, misalnya New Federalism 1970-1980, kebijakan public ternyata

Page 59: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

59

tidak bergeser kembali kearah patronese politik. Sehingga tidak terjadi siklus sebagaimana

dijelaskan oleh Tesis Siklikal di atas.

Sepertinya, tesis zigzag dapat dipakai untuk menggambarkan kebijakan public di Indonesia

berdasarkan sejarah. Jika pada masa demokrasi parlementer dan orde Soekarno sistem

kepercayaan (ideology) Nampak mewarnai kebijakan, maka pada masa berikutnya (orde

Soeharto) kebijakan tertuju pada upaya pengembangan prestasu ekonomi di tingkat nasional,

patronase dikalangan birokrasi (termasuk militer), intervensi negara yang kuat dalam aspek-

aspek kehidupan masyarakat. Pada era reformasi kebijakan public cenderung mencerminkan

preferensi koalisi partai dan sebagai respon atas tekanan internasional, misalnya menaikkan

bahan bakar minyak (BBM) tahun 2004. Jadi perubahan kebijakan tidak berlangsung siklis

namun cenderung zigzag.

H. POLICY TERMINATIONIstilah terminasi kebijakan mengarah pada penghapusan agensi, mengarahkan kembali kebijakan

dasar, penghapusan program, penghapusan sebagian (agensi, kebijakan dasar, dan program), dan

pengurangan anggaran. Sebagai konsep, terminasi kebijakan menjadi objek pembahasan dalam

studi kebijakan public mulai tahun 1970an. Ketika itu, para ilmuwan menitikberatkan perhatian

pada penghapusan eksistensi organisasi sebagai cara untuk mengakhiri kebijakan atau program

yang dianggap gagal mencapai tujuannya. Terminasi sebenarnya merupakan fase tersulit

dilakukan dalam siklus kebijakan public.

Seketika keputusan dibuat; kebijakan, program, dan para agensinya segera membentuk dan

mempunyai cara kehidupan sendiri. Munculnya tuntutan politik agar kebijakan diterminasi

biasanya disebabkan terkontaminasinya implementasi kebijakan dan komponen-komponennya

oleh kepentingan pribadi ataupun kepentingan jangka pendek actor yang terlibat. Sehingga

kebijakan atau program mengalami masalah pembiayaan. Berkaitan dengan itu, kelompok koalisi

antiterminasi segera melakukan mobilisasi dan mengunakan segala sumber daya yang dimilik

untuk mempertahankan kebijakan, program, dan organisasi yang dituntut untuk diterminasi.

Feneomena tersebut menunjukkan bahwa upaya terminasi memakan biaya yang tidak sedikit.

Page 60: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

60

Sejak 1970an perhatian terhadap terminasi kian meningkat disebabkan oleh dua alasan pokok,

yaitu:

a. Beberapa kebijakan dan program ternyata tidak efektif sehingga perlu dihauskan.

b. Adanya suasana politik yang tidak mendukung pelaksanaaan program serta pengurangan

fiscal yang biasanya berwujud penyusutan anggaran.

Terminasi kebijakan dapat terjadi pada negara maju maupun negara berkembang dengan

berbagai bentuk. Menurut Lester dan Stewart bentuk-bentuk terminasi adalah:

a. Terminasi fungsional yaitu terminasi yang terarah pada tindakan seluruh area kebijakan,

meliputi baik organisasi maupun kebijakannya sendiri. Namun terminasi bentuk seperti

ini jarang ditemukan. Namun dalam kasus yang sensitive seperti pergantian rezim politik

sangat mungkin terjadi terminasi fungsional. Misalnya penghapusan seluruh area

kebijakan otonomi daerah di bawah UU No. 18 Tahun 1965 oleh pemerintah orde Baru

karena dianggap bermuatan ideologis komunis dan secara politis counter productive bagi

strategi penciptaan stabilitas politik.

b. Terminasi organisasi yaitu tertuju pada penghapusan seluruh organisasi yang terlibat

dalam implementasi kebijakan atau program, akibat dari kegagalannya mencapai tujuan.

Contohnya adalah penghapusan Departemen Penerangan pada masa Abdurrahman Wahid

di Indonesia. Depatemen Penerangan dihapaskan karena selama ini berfungsi hanya

sebagai penyambung lidah pemerintah kepada rakyat, tidak sebaliknya. Sehingga tidak

sesuai dengan reformasi politik yang lebih mengutamakan pada permberdayaan politik

rakyat.

c. Terminasi kebijakan yaitu tertuju kepada penghapusan sebuah kebijakan ketika teori dan

pendekatan yang mendukung sudah tidak dipercaya kebenarannya oleh actor-aktor

formal. Contohnya adalah PP No. 10 tahun 1959 yang dikeluarkan pada masa cabinet

Djuanda. Peraturan tersebut menetapkan pelarangan usaha kecil milik orang asing

ditingkat desa setelah Desember 1959. Peraturan pemerintah ini mempunyai semangat

pribuminisme perdagangan sebagaimana kebijakan sebelumnya, namun dalam

perkembangannya, para elit birokrat, militer, dan Soekarno dalam sistem politik

demokrasi terpimpin tidak antusias terhadap tujuan kebijakan itu. Akhirnya kebijakan

itupun menghilang.

Page 61: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

61

d. Terminasi program dilakukan untuk mengeliminasi program-program spesifik. Terminasi

bentuk ini sering dilakukan karena konstituensinya terbatas sehingga tidak memerlukan

biaya besar dibandingkan dengan menghapus program dengan konstituensi yang

cakupannya luas. Contohnya adalah penghapusan program sosial seperti revenue sharing

program, yaitu semacam program pemerataan pendapatan yang dilakukan dalam

pemerintahan Nixon 1972. Program ini akhirnya dihapuskan pada 1986 karena

pemerintah federal menanggung beban deficit anggaran yang cukup besar. Di Indonesia

pernah pula terjadi penghapusan program, misal Program Banteng pada decade 1950an

karena kegagalan implementasinya, yaitu kegagalan memunculkan wirausahawan

pribumi yang difasilitasi oleh pemerintah dan penggunaan uang negara yang tidak

semestinya seperti penyalahgunaan kredit dalam skala besar.

Dalam studi terminasi kebijakan ada dua pendekatan yang sering digunakan oleh para ahli yaitu:

terminasi big bang dan long whimper. Dalam pendekatan big bang, pihak pemegang otoritas

kebijakan menetapkan terminasi secara desisif dalam dilakukan dalam waktu cepat, sehingga

tidak memberi kesempatan kepada oposisi untuk mengorganisir kekuatan lawan langkah

terminasi. Lebih ekstrim lagi pemegang otoritas segera menutup isu terminasi dengan kekuatan

pamungkas. Terminasi semacam ini terjadi jika kebijakan sepenuhnya merupakan arena

pertarungan politik kedalam jangka waktu yang lama dan melibatkan begitu banyah partisipan.

Pendeketan kedua adalah long whimper menunjukkan terminasi sebagai akhir dari proses

penurunan sumberdaya organisasi dalam waktu yang lama. Proses yang terjadi disebut juga

dekrementalisme, yaitu konsep yang menggambarkan penurunan anggaran organisasi secara

perlahan atau posisi organisasi yang tersudut dari waktu ke waktu, dan kahirnya perlahan-lahan

tereliminasi (Lester dan Stewart, 2000 dalam (Kusumanegara , 2010, p. 153)

Terminasi kebijakan tidak sepenuhnya didasarkan pada alasan rasional dan administrasi semata,

namun nilai-nilai politik dan ideology merupkan variable kunci untuk menjelaskan langkah ynag

dilakukan terminasi. Munculnya kebijakan terminasi, pertimbangan-pertimbangan politk lebih

mengemuka dibandingkan pertimbangan evaluasi.

Terminasi dengan alasan politik ditunjukan dengan adanyaa oposisi terhadap kebijakan yang

sedang berjalan yang kemudian dinilai buruk karena bertentangan dengan nilai-nilai dan

Page 62: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

62

kepentingan sosial, politik dan ekonomi para oposan. Namun ada kalanya terminasi diputuskan

secara rasional misalkan demi mengurangi pemborosan pengeluaran negara atau penggantian

kebijakan denga kebijakan baru yang dianggap lebih berguna bagi masyarakat.

Untuk kebutuhan praktis, ada beberapa strategi untuk melaukan terminasi kebijakan

sebagaimana diungkapkan oleh Robert Behn (Lester dan Stewart, 2000 dalam (Kusumanegara ,

2010, p. 153) berikut:

a. Para terminator disarankan untuk tidak mengumbar informasi secara dini mengenai

terminasi kebijakan tertentu sehingga memberikan peluang pada oposisi untuk

mengorganisir pendukungnya. Informasi baru diungkap jika mempunyai justifikasi

komprehensif secara formal (memperoleh landasan hukum).

b. Terminator akan lebih berhasil menghapus kebijakan jika memperluas pendukungnya

hingga keluar basis pendukungnya secara tradisional.

c. Memfokuskan terminasi pada kebijakan atau program yang secara politis tidak merusak.

d. Memanfaatkan ideology untuk memberi perspektif baru bahwa kebijakan yang akan

dieleminasi bersifat merusak.

e. Menciptakan langkah-langkah yang akan menggagalkan terjadinya kompromi berbagai

kelompok yang mendukung kebijakan yang akan dieleminasi.

f. Menggunakan para outsider mengembangkan isu-isu yang mungkin menguntungkan

kebijakan yang akan dihapus.

g. Menghndari pemungutan suara di lembaga legislative, karena para legislator biasanya

berorientasi pada dukungan bukan pada permusuhan. Sehingga pemungutan suara di

legislative sangat mungkin menggagalkan terminasi kebijakan-kebijakan yang popular.

h. Para terminator dari birokrasi disarankan menghindari konflik antara kekuatan

konstitusional presiden dan legislative.

i. Menerima peningkatan biaya terminasi dalam jangka pendek.

j. Menawarkan pekerjaan alternative bagi pekerja yang terlibat dalam program yang

dieliminasi, serta memberi biaya pengganti pada organisasi klien yang terlibat dalam

program.

Page 63: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

63

k. Menciptakan kasus yang menimbulkan persepsi bahwa kebijakan baru yang lebih baik

perlu diadopsi tetapi dengan persyaratan adanya penghapusan kebijakan yang sedang

berjalan (yang menjadi sasaran terminasi).

l. Karena terminasi merupakan cara yang sulit, maka supaya tidak counter productive para

terminator disarankan melakukan terminasi tidak sembarangan dan tergesa-gesa.

Terminasi dilakukan hanya jika benar-benar diperlukan dan dianggap sangat penting serta

terpaksa.

Page 64: PROSES_PERUMUSAN_KEBIJAKAN_PUBLIK.pdf

64

Daftar Pustaka

Kusumanegara , S. (2010). Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gava Media.

Pasolong, H. (2007). Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta.

Wahab, S. (2008). Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta:Bumi Aksara.

Wibawa , S. (2011). Politik Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Winarno, B. (2007). Kebijakan Publik Teori dan Konsep. Yogyakarta: Media Pressindo.