PROSES TRANSMISI HADIST
-
Upload
priangga-emilsyah -
Category
Documents
-
view
182 -
download
0
Embed Size (px)
Transcript of PROSES TRANSMISI HADIST

Halaman ini berisi cover :D
Bikin ya eneng cantikk

DAFTAR ISI
BAB I (PENDAHULUAN)
Latar Belakang........................................................................................................3
Pendahuluan............................................................................................................3
BAB II (PEMBAHASAN)
II.A.Pengertian........................................................................................................4
II.B.Cara nabi menyampaikan hadist......................................................................4
II.C.Periwayatan hadist dari zaman nabi-sesudah generasi sahabat nabi...............5
II.D.Jalan menerima hadist.....................................................................................9
II.E.Keistimewaaan cara rasul menyampaikan hadist............................................13
BAB III (PENUTUP)
Kesimpulan.....................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................15
2

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits sebagai pernyataan, pengamalan, taqrir da hal ihwal nabi Muhammad SAW.,
merupakan sumber ajaran Islam yang kedua sesudah Quran. Pada masa Nabi, sesungguhnya
sudah ada beberapa sahabat Nabi yang menulis hadits Nabi, tetapi jumlah mereka selain tidak
banyak, juga materi hadits yang mereka catat masih terbatas. Namun, setelah rasulullah
wafat, kebutuhan akan pentingnya hadits meningkat. Sehingga hadits mengalami oroses
transmisi atau penyebaran. Untuk itu kita perlu tahu akan penyebaran hadits tersebut.
Dalam makalah ini penulis memaparkan mengenai bagaimana proses
periwayatan(transmisi) semenjak masa hidup nabi, sahabat dan sesudahnya.
B. Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana proses penyebaran hadits sebagai sumber ajaran islam
yang kedua. Dan juga merupakan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah studi hadits.
3

BAB II
PEMBAHASAN
PROSES TRANSMISI HADIST
Periwayatan Hadits
II.A. Pengertian
Sebelum kita masuk kedalam inti dari masalah proses transmisi hadist, pertama kita
harus tahu dulu apa pengertian atau makna dari transmisi. Transmisi adalah penyampaian
atau peralihan atau penyebaran. Jadi transmisi hadist bisa di artikan yaitu proses peralihan
atau perpindahan serta suatu hadist dari sanad ke sanad sampai ke perawi.
Menurut istilah ilmu hadits, yang dimaksud dengan al-riwayat ialah kegiatan
penerimaan dan penyampaian hadits, serta penyandaran hadits itu kepada rangkaian para
periwayatnya dalam bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadits dari seorang
periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan hadits itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat
disebut orang yang telah melakukan periwayatan hadits. Atau ketika dia menyampaikan
hadits kepada orang lain tanpa menyebutkan sanad maka dia juga bukan orang yang
melakukan periwayatan hadits.1 Jadi ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan
hadits, yakni: 1 Kegiatan menerima hadits dari periwayat hadits; 2 Kegiatan menyampaikan
hadits itu kepada orang lain; 3 Ketika hadits itu disampaikan, susunan rangkaian
periwayatnya(sanad) disebutkan.
II.B. Cara nabi menyampaikan hadistnya
1. Cara rasulullah menyampaikan haditsnya pada dasarnya dengan cara natural saja. Ada masalah
lalu dia memberikan penyelesaian.
2. Dengan lisan dan perbuatan, dihadapan orang banyak, di mesjid, pada waktu malam dan
subuh.
3. Dalam bentuk tulisan.
Banyak riwayat menyatakan bahwa nabi telah berkirim surat kepada kepala Negara dan
pembesar daerah yang non-Islam.
1. Lihat: Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthiy, Tadrib al-Rawiyfiy Syarh Taqrib al-Nawawiy jilid
II, h 225
4

II.C. Periwayatan hadits pada zaman nabi sampai zaman sesudah genersi sahabat nabi
Berbagai hadist Nabi yang temaktub di kitab-kitab hadist sekarang ini, asal mulanya
adalah hasil kesaksian sahabat nabi terhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan atau hal-ihwal
Nabi.
Cara periwayat memperoleh dan menyampaikan hadits pada zaman nabi tidaklah
sama dengan pada zaman sahabat nabi. Demikian juga dengan pada zaman sahabat nabi
tidaklah sama dengan zaman sesudahnya.
1. Periwayatan pada zaman nabi
Hadits yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat. Karena, para
sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadits nabi kemudian
menyampaikannya kepada orang lain. Mereka( sahabat) secara bergantian menemui nabi.
Seandainya Umar tidak datang maka berita dari nabi akan disampaikan oleh sahabat lainnya
kepadanya.2
Proses transmisi hadits pada masa nabi bisa dibilang lancar. Kelancaran ini terjadi
karena 2 hal yaitu:
a. Cara penyampaian hadits oleh rasulullah secara langsung.
b. Minat yang besar dari para sahabat.
2. Lebih lanjut lihat: al-Bukhari, op, cit., Juz I, h, 28
5

2. Periwayatan Hadits Pada Zaman Sahabat Nabi
a. Pada Zaman Abu Bakar al-Shiddiq
Abu bakar merupakan sahabat nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-
hatiannya dalam periwayatan hadits.3 Beliau sangat berhati-hati dengan periwayatan hadist.
Ini didasarkan pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek.
Beliau tidak melihat petunjuk Quran dan praktek nabi yang memberikan harta warisaan
kepada nenek. Lalu ia bertanya kepada sahabat-sahabat yang lain. Al-Mughirah bin Syu’bah
menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa nabi memberikan bagian waris kepada nenek sebesar
seperenam bagian. Namun Abu Bakar tidak langsung percaya terhadap perkataan sahabat
tersebut. Dia meminta sahabat tersebut untuk mendatangkan saksi. Lalu Muhammad bin
Maslamah memberikan kesaksian. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan
memberikan seperenam bagian.
Karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadits, maka dapat
dimaklumi bila jumlah hadits yang diriwayatkannya relative tidak banyak.4 Data sejarah
tentang kegiatan periwayatan hadits dikalangan umat islam pada masa khalifah Abu Bakar
sangat terbatas. Hal ini karena pada pemetintahan Abu Bakar tersebut, umat islam
dihadapkan ancaman dan kekacauan yang membahayakan pemerintahan dan Negara.
b. Pada Zaman Umar bin Khattab
Pada masa Umar penyebaran hadits kurang berjalan. Karena pada masa umar lebih
memfokuskan pada membaca dan mendalami Quran. Akan tetapi lebih banyak dari masa
Abu Bakar. Namun pada masa Umar para perawi terkekang karena Umar sangat tegas. Beliau
sangat berhati-hati. Karena umar ingin ummat lebih konsentrasi dengan Quran dan lebih
berhati-hati dalam periwayatan hadits.
3. Lihat ibid, (al-Dzahaby), h.2.
4. Al- Suyuthiy telah menghimpun hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar dari berbagai mukharrij, sebanyak
695 hadits.
6

c. Pada Masa Utsman bin Affan
Secara umum, kebijakan Utsman tentang periwayatan sama seperti khalifah
sebelumnya. Namun langkah yang dijalani Utsman tidaklah setangkas Umar bin Khattab.
Utsman meminta kepada para sahabat agar tidak meriwayatkan hadits yang tak pernah
didengar pada masa Abu Bakar dan Umar.5 Penyebaran hadits pada masa Utsman lebih
banyak dibanding dengan khalifah Umar bin Khattab. Karena wilayah islam meluas dan
perawi jumlahnya bertambah dan meluas.
d. Pada Masa Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Thalib pun tidak jauh berbeda sikapnya dengan para pendahulunya
dalam periwayatan hadits. Secara umum ali bersedia menerima riwayat hadits Nabi setelah
periwayat hadits mengucapkan sumpah, bahwa hadits itu benar-benar berasal dari Nabi.
Hanya dengan periwayat yang benar-benar dipercayainya, Ali tidak meminta untuk
bersumpah.
Transmisi hadits pada masa Ali juga sangat hati-hati seperti para pendahulunya. Akan
tetapi pada masa Ali, kondisi politik sudah makin menajam. Hal ini menjadi dampak negatif
dalam penyebaran hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu
melakukan pemalsuan hadits.6 Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat
dipercaya riwayatnya.
5. Lihat al-Khatib, op, cit., hh. 97-98
6. Pemalsuan terjadi karena kepentingan politik antara Ali dan Muawwiyah.
7

3. Periwayatan Hadits Pada Zaman Sesudah Generasi Sahabat
Pada zaman sesudah generasi sahabat Nabi, khususnya pada saat hadits Nabi
dihimpunkan dalam kitab-kitab hadits, telah telah dibakukan tata cara penyampaian dan
penerimaan riwayat hadits Nabi. Pembakuan periwayatan ini sangat erat kaitannya upaya
ulama dari hadits-hadits palsu.
Pada masa ini konsentrasi kepada hadist sangat meningkat. Yang mereka kaji bukan
hanya matan saja, namun juga sanad-nya. Periwayatan hadits Nabi pada zaman ini tidak
memperoleh hadits secara langsung dari Nabi, karena mereka memang tidak sezaman dengan
Nabi.
Periwayatan hadits pada zaman sesudah sahabat Nabi telah makin meluas, rangkaian
periwayat hadits yang beredar di masyarakat menjadi lebih panjang dibandingkan pada
zaman sahabat Nabi.
II.D. Jalan Menerima Hadits (thuruq at-tahammul) dan Penyampaiannya.
Yang dimaksud dengan "jalan menerima hadits" (thuruq at- tahammul) adalah cara-cara
menerima hadits dan mengambilnya dari Syaikh.
Dan yang dimaksud dengan "bentuk penyampaian" (sighatul- ada') adalah lafadh-
lafadh yang digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan hadits dan menyampaikannya
kepada muridnya, misalnya dengan kata : sami'tu "Aku telah mendengar"; haddatsani "telah
bercerita kepadaku"; dan yang semisal dengannya.
Dalam menerim hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah
pendapat yang benar. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh.
Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum
masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq
dan yang bathil) sebelum baligh.
Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang
benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami
pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan
mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak.
Jalan untuk menerima hadits ada delapan, yaitu as-sama' atau mendengar lafadh
syaikh; al- qira'ah atau membaca kepada syaikh; al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-
8

I'lam, al-washiyyah, dan al-wijadah. Berikut ini masing-masing penjelasannya berikut
lafadh-lafadh penyampaian masing-masing :
1. As-Sama' atau mendengar lafadh syaikh (guru).
Metode ini bisa berbentuk pendekatan (imlâ’) Hadis atau yang lainnya, bisa dari
hafalan dan bisa juga dari tulisan seorang guru Hadis. Menurut jumhur ahli Hadis, ini
merupakan metode yang paling tinggi.
Gambarannya : Seorang guru membaca dan murid mendengarkan; baik guru membaca dari
hafalannya atau tulisannya, dan baik murid mendengar dan menulis apa yang didengarnya,
atau mendengar saja, dan tidak menulis. Menurut jumhur ulama, as-sama' ini merupakan
bagian yang paling tinggi dalam pengambilan hadits.
Lafadh-lafadh penyampaian hadits dengan cara ini adalah aku telah mendengar dan
telah menceritakan kepadaku. Jika perawinya banyak : kami telah mendengar dan telah
menceritakan kepada kami. Ini menunjukkan bahwasannya dia mendengar dari sang syaikh
bersama yang lain.
2. Al-Qira'ah atau membaca kepada syaikh. Para ahli hadits menyebutnya : Al-Ardl
Bentuknya : Seorang perawi membaca hadits kepada seorang syaikh, dan syaikh
mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau orang lain yang
membaca sedang syaikh mendengarkan, dan baik bacaan dari hafalan atau dari buku, atau
baik syaikh mengikuti pembaca dari hafalannya atau memegang kitabnya sendiri atau
memegang kitab orang lain yang tsiqah.
Mereka (para ulama) berselisih pendapat tentang membaca kepada syaikh; apakah dia
setingkat dengan as-sama', atau lebih rendah darinya? Yang benar adalah lebih rendah dari
as-sama'.
Ketika menyampaikan hadits atau riwayat yang dibaca si perawi menggunakan
lafadh- lafadh : aku telah membaca kepada fulan atau telah dibacakan kepadanya dan aku
mendengar orang membaca dan ia menyetujuinya.
Lafadh as-sama' berikutnya adalah yang terikat dengan lafadh qira'ah seperti :
haddatsana qira'atan 'alaih - (ia menyampaikan kepada kami melalui bacaan orang
9

kepadanya). Namun yang umum menurut ahli hadits adalah dengan menggunakan lafadh
akhbarana saja tanpa tambahan yang lain.
3. Al-Ijazah
Yaitu : Seorang Syaikh mengijinkan muridnya meriwayatkan hadits atau riwayat, baik
dengan ucapan atau tulisan. Gambarannya : Seorang syaikh mengatakan kepada salah
seorang muridnya : Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian. Di antara
macam-macam ijazah adalah :
a. Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia
berkata,"Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari". Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang
paling tinggi derajatnya.
b. Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang
diijazahkannya. Seperti mengatakan,"Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua
riwayatku".
c. Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak
menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,"Aku ijazahkan semua riwayatku
kepada semua orang pada jamanku".
d. Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia
mengatakan,"Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad- Dimasyqi"; sedangkan di
situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu.
e. Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang
hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,"Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan
keturunannya". Bentuk pertama (a) dari beberapa bentuk di atas adalah diperbolehkan
menurut jumhur ulama, dan ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat
yang benar. Sedangkan bentuk-bentuk yang lain, terjadi banyak perselisihan di antara para
ulama. Ada yang bathil lagi tidak berguna.
Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah
adalah ajaza li fulan (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan), haddatsana ijaazatan -
إجازة akhbarana ijaazatan[/I], dan anba-ana ijaazatan (beliau telah memberitahukan[I/] ,حدثنا
kepada kami secara ijazah).
10

4. Al-Munaawalah atau menyerahkan .
Al-Munawalah ada dua macam :
a. Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara
macam- macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya
kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,"Ini riwayatku dari si fulan, maka
riwayatkanlah dariku". Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau
dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan
tingkatannya lebih rendah daripada as-sama' dan al-qira'ah.
b. Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya
kepada sang murid dengan hanya mengatakan : "Ini adalah riwayatku". Yang seperti ini tidak
boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.
Lafadh-lafadh yang dipakai dalam menyampaikan hadits atau riwayat yang diterima dengan
jalan munawalah ini adalah jika si perawi berkata : nawalanii wa ajazanii, atau haddatsanaa
munawalatan wa ijazatan, atau akhbarana munawalatan.
5. Al-Kitabah
Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya
kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Kitabah ada 2 macam :
a. Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,"Aku ijazahkan kepadamu
apa yang aku tulis untukmu", atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini
adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.
b. Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk
muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk
meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak
memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan
tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.
6. Al-I'lam (memberitahu)
Yaitu : Seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah
riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkan daripadanya.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan cara al-I'lam. Sebagian
11

membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya.
Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi berkata : A'lamanii syaikhi (guruku
telah memberitahu kepadaku).
7 . Al-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah
kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi.
Riwayat yang seorang terima dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama,
namun yang benar adalah tidak boleh dipakai.
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya
fulaanun bi kitaabin - بكتاب فالن إلي si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah) أوصى
kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan - وصية فالن si fulan telah bercerita) حدثني
kepadaku dengan sebuah wasiat).
8. Al-Wijaadah (mendapat)
Yaitu : Seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia
mengenal syaikh itu, sedang hadits- haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh
si perawi. Wijadah ini termasuk hadits munqathi', karena si perawi tidak menerima sendiri
dari orang yang menulisnya.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si
perawi berkata,"Wajadtu bi kaththi fulaanin" (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan),
atau "qara'tu bi khththi fulaanin" (aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan);
kemudian menyebutkan sanad dan matannya.
12

II.E. Keistimewaan Cara Rasul Menyampaikan Hadist
Ada suatu keistemewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya, yaitu umat Islam dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasulullah SAW sebagai sumber hadis. Pada masa ini tidak ada jarak atau hijabb yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuan mereka.
Tempat pertemuan kedua belah pihak sangatlah terbuka dalam berbagai kesempatan, misalnya masjid, rumah beliau sendiri, pasar, ketika beliau dalam perjalanan (safar), dan ketika beliau muqim (berada di rumah). Melalui tempat-tempat tersebut, Rasulullah SAW menyampaikan hadis, melalui sabdanya yang didengar langsung oleh para sahabat (melalui musyafahah) dan terkadang melalui perbuatan serta taqriri-nya yang disaksikan oleh mereka (melalui musyafahah). Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga seluruh ucapan dan tutur kata beliau menjadi tumpuan dan perhatian para sahabat. Segala gerak gerik beliau, mereka jadikan pedoman hidup. Apabila kedudukan Nabi (sebagai Nabi, Kepala Negara) tersebut dilihat dan dihubungkan dengan bentuk hadis yang terdiri dari sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ihwalnya, maka dapatlah dinyatakan bahwa hadis Nabi telah disampaikan oleh Nabi dalam berbagai cara.
Berikut ini dikemukakan beberapa cara Nabi menyampaikan Hadisnya:1. Secara lisan dimuka orang banyak yang terdiri dari kaum laki-laki.2. Pengajian rutin dikalangan kaum wanita, setelah kaum wanita memintanya.3. Nabi menyampaikan hadisnya melalui perbuatan seperti, Sholat berjama’ah pada bulan Ramadhan, dua atau tiga malam.4. Nabi menyampaikan hadis melalui “teguran”, yaitu terhadap seorang petugas yang telah melakukan “korupsi” berupa penerimaan hadiah dari masyarakat ketika bertugas mengumpulkan zakat (amil.5. Untuk hal-hal sensitive, seperti soal keluarga dan kebutuhan biologis, ia sampaikan melalui istri-istrinya.6. Cara lain yang dilakukan Rasul adalah melakukan ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika Haji Wada’ atau Futuh Makkah. Disamping itu, kebijaksanaan Nabi mengutus para sahabat ke berbagai daerah, baik untuk tugas khusus berdakwah maupun untuk memangku jabatan, tidak kecil peranannya dalam penyebaran hadis. Berbagai peperangan yang banyak dimenangkan oleh Nabi dan umat Islam di berbagai daerah, juga turut mempercepat proses penyebaran hadis. Seiring dengan itu, umat Islam menyebar ke berbagai wilayah yang telah tunduk kepada kekuasaan Islam. Penyebaran umat Islam bukan sekedar untuk mencari nafkah, melainkan juga untuk kepentingan dakwah. Dengan melalui dakwah-dakwah itu tersebar pulalah hadis Nabi.
13

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Proses transmisi hadits dari masa rasulullah hidup dan setelah wafat tidaklah sama.
Semakin lama jarak antara masa hidupnya akan semakin sulit mengontrol menyebaran dan
kebenaran hadits tersebut. Sehingga memerlukan kehati-hatian yan tinggi dalam penyebaran
hadits tersebut sehingga terhindar dari munculnya hadits palsu.
Demikianlah makalah ini kami susun, dan kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi menjadikan makalah ini lebih baik lagi.
14

Daftar pustaka
Abdurrahman, mifdol, Pengantar Studi Ilmu Hadist, Jakarta, Ulumul Hadist, 2005
Aziz Mahmud dan Mahmud yunus, ilmu musthalah al-hadist. Jakarta: Jamamurni 1975
Alimuddin, ulama al-hadist, jami’atu al-masyari’ al-khoiriah. Beirut 1998
Departemen agama RI, Qur’an hadist, pembinaan kelembagaan agama islam, Jakarta 2000
Ismail syuhudi, kaedah kesahihan sanad hadits. Jakarta. Pt Bulan Bintang. 1995
zairifblog.2010.cara rasulullah menyampaikan hadist.http://zairifblog.blogspot.com/2010/06/i-
cara-rasul-menyampaikan-hadis.html
15