PROSES PENEMUAN JATI DIRI TOKOH ED DALAM NOVEL
Transcript of PROSES PENEMUAN JATI DIRI TOKOH ED DALAM NOVEL
PROSES PENEMUAN JATI DIRI TOKOH ED DALAM NOVEL
GITANJALI KARYA FEBRIALDI R: KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA
SKRIPSI
OLEH:
ADE IRMA
160701036
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
Universitas Sumatera Utara
i
Universitas Sumatera Utara
ii
Universitas Sumatera Utara
iii
PERNYATAAN
Proses Penemuan Jati Diri Tokoh Ed dalam Novel Gitanjali Karya Febrialdi
R: Kajian Psikologi Sastra
Oleh
Ade Irma
160701036
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh pihak lain, kecuali yang saya kutip dalam naskah ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak
benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang
saya peroleh.
Medan, Oktober 2020
Peneliti,
Ade Irma
Universitas Sumatera Utara
iv
PROSES PENEMUAN JATI DIRI TOKOH ED DALAM NOVEL
GITANJALI KARYA FEBRIALDI R: KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA
ADE IRMA
ABSTRAK
Karya sastra merupakan gambaran totalitas dari kehidupan masyarakat yang
menciptakannya. Dalam karya sastra, tokoh merupakan unsur yang sangat
penting. Setiap tokoh dalam sebuah cerita memiliki perbedaan karakteristik antara
satu dengan yang lain, terutama dalam hal kepribadian. Kepribadian tersebut
berubah dan berkembang sesuai dengan fase perkembangan dalam menemukan
jati dirinya. Hal itu juga terdapat pada tokoh Ed dalam novel Gitanjali karya
Febrialdi R. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan
kepribadian dalam proses penemuan jati diri tokoh Ed dalam novel Gitanjali.
Teori yang diterapkan dalam penelitian ini adalah teori psikologi sastra dan
metode kualitatif yang berhubungan dengan nilai atau kesan pada objek. Dari
hasil penelitian ini ditemukan 6 fase perkembangan psikologis menurut teori
perkembangan Erik H Erikson yang dialami oleh tokoh Ed sejak: (1) fase bayi, (2)
fase anak-anak, (3) fase bermain, (4) usia sekolah, (5) adolesen, dan (6) dewasa
awal, dan 10 ciri-ciri masa dewasa awal menurut teori Yudrik jahja yang
menunjukkan proses penemuan jati diri tokoh Ed dalam novel Gitanjali karya
Febrialdi R yaitu: (1) masa pengaturan, (2) masa usia produktif, (3) masa
bermasalah, (4) masa ketegangan emosional, (5) masa keterasingan sosial, (6)
masa komitmen, (7) masa ketergantungan, (8) masa perubahan nilai, (9) masa
penyesuaian diri dengan hidup baru, dan (10) masa kreatif.
Kata kunci: novel, penemuan, jati diri, perkembangan, psikologi.
Universitas Sumatera Utara
v
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, nikmat, hidayah-Nya, serta kekuatan sehingga peneliti dapat
menyesesaikan skripsi yang berjudul ”Proses Penemuan Jati Diri Tokoh Ed
dalam Novel Gitanjali Karya Febrialdi R: Kajian Psikologi Sastra”. Adapun
tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi persyaratan memperoleh
gelar sarjana Program Studi Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini, peneliti banyak mendapatkan
bantuan berupa doa, dukungan, pengarahan, bimbingan, dan nasihat dari berbagai
pihak. Oleh karenan itu penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih
kepada:
1. Bapak Dr. Drs. Budi Agustono, M.S. sebagai dekan Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Drs. Mauly Purba, M.A. Ph.D.
sebagai wakil dekan I, Ibu Dra. Heristina Dewi, MPd. sebagai wakil dekan
II, dan Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. sebagai wakil dekan
III.
2. Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P. selaku Ketua Program Studi Sastra
Indonesia dan Bapak Drs. Amhar Kudadiri, M.Hum. selaku Sekretaris
Program Studi Sastra Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
vi
3. Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P sebagai dosen pembimbing yang
telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing serta memberikan
pengetahuan dan arahan kepada peneliti dalam menyesesaikan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Drs. Hariadi Susilo, M.Si dan Ibu Dra. Nurhayati Harahap,
M.Hum selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran
kepada peneliti.
5. Seluruh dosen dan staf pengajar Program Studi Sastra Indonesia yang telah
memberikan ilmu pengetahuan selama peneliti mengikuti kegiatan
akademis di Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara, dan penulis ucapkan terima kasih kepada
Bapak Joko yang telah banyak membantu penulis dalam mengurus
keperluan administrasi akademik.
6. Keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan baik berupa moril dan
materil selama perkuliahan. Terutama kepada Ayahanda tercinta Abdul
Rahim dan Ibunda Mainar yang tidak pernah lelah berjuang demi mencapai
cita-cita seluruh anaknya, selalu mendoakan, mendukung, serta
menyayangi peneliti dengan sepenuh hati. Kepada Abangda dan Kakanda
tersayang Meldi Rahim, Dian Daniati, Deni Rahim, dan Irma Susanti yang
selalu memberikan doa, motivasi, dan semangat selama ini.
7. Abangda terkasih Mora Afandi yang senantiasa menemani peneliti dari
awal hingga akhir masa perkuliahan dan selalu memberi dukungan kepada
peneliti hingga bisa menyelesaikan skripsi ini.
8. Teman kost tercinta Kak Intan, Kak Tini, Kak Putri, Kak Fanny, Jana, dan
Kak Aling, yang banyak membuat kenangan di kala tinggal satu atap, suka
Universitas Sumatera Utara
vii
maupun duka dirasakan bersama. Teruntuk teman yang pertama kali
dikenal di dunia perkuliahan, Nabila Afifah, terima kasih telah
memperkenalkan novel Gitanjali kepada peneliti, serta terima kasih atas
semangat dan dukungannya selama ini.
9. Teman-teman seperjuangan, untuk stambuk 2016 dan teman perkumpulan
saya di Koridor Sastra yang tidak bisa disebutkan namanya satu-persatu,
saya ingin mengucapkan terima kasih telah memberi dukungan serta telah
mengukir kenangan indah sejak awal perkuliahan hingga kita
merindukannya.
10. Abangda dan Kakanda senior stambuk 2013, dan 2015 terima kasih atas
pengarahan dan semangat yang telah diberikan kepada peneliti dalam
menyelesaikan skripsi ini.
11. Kepada semua yang telah memberi dukungan dan memberi semangat
kepada peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini.Peneliti menyadari
penelitian ini belum sempurna. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan
kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan hasil penelitian
ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi peneliti dan pembaca.
Medan, Oktober 2020
Ade Irma
Universitas Sumatera Utara
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
PERNYATAAN .............................................................................................. iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
PRAKATA ...................................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Batasan Masalah ............................................................................. 3
1.3 Rumusan Masalah .......................................................................... 4
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 4
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Konsep............................................................................................ 5
2.1.1 Novel ...................................................................................... 5
2.1.2 Psikologi Sastra ...................................................................... 6
2.1.3 Tokoh ...................................................................................... 6
2.1.4 Proses Pencarian Jati Diri ...................................................... 6
2.2 Landasan Teori .............................................................................. 8
2.2.1 Psikologi Sastra ...................................................................... 8
2.2.2 Jati Diri ................................................................................... 9
2.3 Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 12
BAB III METODE PENELITIAN.............................................................. 15
3.1 Metode Penelitian....................................................................................... 15
3.2 Sumber Data ............................................................................................... 15
3.3 Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 16
3.4 Teknik Analisis Data .................................................................................. 16
BAB IV PROSES PENEMUAN JATI DIRI TOKOH ED DALAM NOVEL
GITANJALI KARYA FEBRIALDI R .......................................... 18
4.1 Perkembangan Psikologis Tokoh Ed ............................................. 18
Universitas Sumatera Utara
ix
4.1.1 Fase Bayi (0-1 Tahun) .......................................................... 18
4.1.2 Fase Anak-Anak (1-3 Tahun) ............................................... 20
4.1.3 Usia Bermain (3-6 Tahun).................................................... 22
4.1.4 Usia Sekolah (6-12 Tahun) .................................................. 23
4.1.5 Adolesen (12-20 Tahun)....................................................... 25
4.1.6 Dewasa Awal (20-30 Tahun) ............................................... 28
4.2 Penemuan Jati Diri Tokoh Ed ...................................................... 30
4.2.1 Masa Pengaturan (Settle Down) ........................................... 30
4.2.2 Masa Usia Produktif ............................................................. 32
4.2.3 Masa Bermasalah ................................................................. 35
4.2.4 Masa Ketegangan Emosional ............................................... 50
4.2.5 Masa Keterasingan Sosial .................................................... 58
4.2.6 Masa Komitmen ................................................................... 63
4.2.7 Masa Ketergantungan ........................................................... 66
4.2.8 Masa Perubahan Nilai .......................................................... 69
4.2.9 Masa Penyesuaian Diri ......................................................... 74
4.2.10 Masa Kreatif ....................................................................... 76
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 79
5.1 Simpulan ...................................................................................... 79
5.2 Saran ............................................................................................ 79
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 81
LAMPIRAN .................................................................................................... 83
Sinopsis.............................................................................................. 83
Data Riwayat Hidup Febrialdi R ................................................... 85
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan gambaran totalitas dari kehidupan masyarakat
yang menciptakannya. Apa saja yang ditemukan di dalam karya sastra tidak
pernah terlepas dari gambaran masyarakatnya. Setelah itu, para pencipta karya
sastra (sastrawan) dapat menggunakan pengalaman, pikiran, dan proses
imajinasinya sehingga karya itu menarik untuk dibaca, dipahami, dinikmati dan
dianalisis untuk menangkap dan memanfaatkan pesan yang diperoleh di
dalamnya. Menurut Tantawi (2017:51), “karya sastra merupakan gambaran
tentang apa yang pernah berlaku atau yang sedang dijalankan atau apa yang akan
dijalankan pada waktu yang akan datang di dalam kehidupan masyarakatnya”.
Dalam sebuah karya sastra, “tokoh merupakan unsur yang sangat penting.
Tokoh adalah pelaku yang mengemban atau menjalankan peristiwa dalam cerita
rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita” (Aminuddin,1995:79). Setiap
tokoh dalam sebuah cerita memiliki perbedaan karakteristik antara satu dengan
yang lainnya, terutama dalam hal kepribadian. Kepribadian tersebut berubah dan
berkembang secara berbeda dalam setiap diri manusia.
Perkembangan dalam kepribadian manusia adalah sebuah proses yang
harus dialami oleh setiap individu. Dimulai dari masa kanak-kanak, remaja, dan
berlanjut sampai masa dewasa. Dalam setiap fase perkembangan tersebut,
kepribadian manusia terbentuk secara berbeda dan tiap-tiap kepribadian dengan
Universitas Sumatera Utara
2
sadar atau tidak akan menemukan jati dirinya masing-masing. Penemuan jati diri
ini adalah sebuah kebutuhan manusia yang harus dipenuhi oleh setiap individu.
Selain kebutuhan fisik, manusia memiliki kebutuhan lainnya yang sesuai dengan
eksistensinya sebagai manusia.
Menurut Fromm (dalam Alwisol,2009:124), “manusia memiliki kebutuhan
untuk menjadi sadar dengan dirinya sendiri dan mengetahui jati dirinya. Oleh
sebab itu, tak heran jika seseorang selalu mencari identitas dirinya baik disadari
maupun tidak”.
Dalam novel Gitanjali ini, perkembangan kepribadian tokoh yang bernama
Ed sangat dipengaruhi oleh peristiwa dan konflik masa kecil yang dialaminya. Ed
adalah anak yang dibesarkan di panti asuhan di Kota Yogyakarta. Sejak beranjak
remaja, ia memutuskan untuk keluar dari panti dan merantau di Kota Bandung.
Kisah ini dimulai ketika ia berusia sekitar 27 tahun. Ed yang saat itu
berprofesi sebagai steward atau karyawan pencuci piring di salah satu restoran
mengalami suatu kecelakaan kerja yang mengakibatkan harus terbaring koma
selama satu bulan di rumah sakit. Di-PHK secara sepihak oleh perusahaan dan
ditambah lagi hubungannya yang rumit dengan Ine, kekasihnya membuat Ed
semakin hilang arah.
Namun, berkat saran dan dorongan dari sahabat-sahabatnya, Ed
melakukan Seven Summits Indonesiayaitu menaklukan 7 gunung tertinggi yang
mewakili 7 pulau terbesar yang ada di Indonesia. Meski dengan sedikit keraguan,
ia melangkah memulai perjalanan dengan modal uang pesangon PHK-nya yang
Universitas Sumatera Utara
3
terbilang cukup besar. Pendakian itu awalnya ia persembahkan kepada Ine untuk
membuktikan bahwa ia bisa melakukan sesuatu yang dapat dibanggakan.
Alih-alih mendaki sebagai persembahan, di tengah perjalan Ed justru
mengalami sekelumit kisah yang tak terduga dalam pencapaiannya. Kematian
seorang gadis yang ikut pergi bersamanya mendaki Gunung Rinjani, seketika
mengguncang hati dan niatnya untuk melanjutkan Seven Summit Indonesia.
Akibat dari kehilangan itu, Ed perlahan membuka pikiran atas apa yang telah
dialaminya. Ia memilih kembali ke panti asuhan tempat di mana ia dibesarkan,
mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan akhirnya menemukan jati dirinya.
Hal itulah yang menjadi latar belakang peneliti memilih melakukan penelitian
dengan judul “Proses Penemuan Jati Diri Tokoh Ed dalam Novel Gitanjali karya
Febrialdi S : Kajian Psikologi Sastra” untuk penelitian pada skripsi ini.
1.2. Batasan Masalah
Pembatasan masalah diperlukan agar penelitian ini dapat mengarah serta
mengenai sasaran yang diinginkan. Sebuah penelitian perlu dibatasi ruang
lingkupnya agar wilayah kajiannya tidak terlalu luas yang berakibatkan penelitian
menjadi tidak fokus. Perlu diketahui pula bahwa penelitian yang baik bukan
penelitian yang objek kajiannya luas ataupun dangkal, melainkan penelitian yang
objek kajiannya terfokus dan mendalam.
Dalam hal ini, peneliti hanya ingin membahas aspek ekstrinsik dalam
kajian psikologi sastra, yaitu perkembangan kepribadian yang dialami tokoh Ed
dalam proses penemuan jati dirinya.
Universitas Sumatera Utara
4
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang telah diuraikan, terdapat masalah
yang akan diteliti, yaitu: bagaimanakah perkembangan kepribadian tokoh Ed
dalam proses penemuan jati dirinya dalam novel Gitanjali karya Febrialdi R?
1.4 Tujuan dan Manfaat penelitian
1.4.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditentukan, maka tujuan
penelitian ini adalah: mendeskripsikan perkembangan kepribadian dalam proses
penemuan jati diri tokoh Ed dalam novel Gitanjali karya Febrialdi R.
1.4.2 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk:
1) Menambah wawasan mahasiswa sastra Indonesia khususnya dan
masyarakat umum dalam pengkajian dan pengapresiasian karya sastra
di Indonesia.
2) Menambah pengetahuan analisis sastra melalui tinjauan psikologi
sastra untuk penelitian lebih lanjut.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk:
1) Penelitian ini dapat memperluas apresiasi pembaca terhadap studi
psikologi sastra.
2) Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi penelitian
psikologi sastra berikutnya.
3) Untuk menambah khazanah pengetahuan terhadap karya sastra.
Universitas Sumatera Utara
5
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan, menggambarkan atau
mendeskripsikan suatu topik pembahasan. Konsep yang dimaksud adalah
gambaran dari objek yang akan dianalisis berupa novel Gitanjali karya Febrialdi
R dalam tulisan ilmiah yang berjudul Proses Penemuan Jati Diri Tokoh Ed dalam
Novel Gitanjali karya Febrialdi R: Kajian Psikologi Sastra. Berdasarkan
pengertian tersebut, maka penelitian ini memiliki beberapa konsep yang akan
menjadi dasar pembahasan untuk bab selanjutnya, yaitu sebagai berikut:
2.1.1 Novel
Dalam Nurgiyantoro (1995:9), “novel berasal dari bahasa Italia novella,
yang dalam bahasa Jerman disebut novella dan novel dalam bahasa Inggris dan
inilah yang kemudian masuk ke Indonesia, berasal dari bahasa Italia novella (yang
dalam bahasa Jerman: novella)”. Secara harfiah, novella berarti sebuah barang
baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek yang berbentuk
prosa. Dewasa ini, istilah novella “mengandung pengertian yang sama dengan
istilah Indonesia „novelet‟ (Inggris novellet), yang berarti sebuah karya fiksi yang
panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek”
(Nurgiyantoro, 1995:9).
Universitas Sumatera Utara
6
2.1.2 Psikologi Sastra
Psikologi sastra adalah kajian yang memandang karya sastra sebagai
aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam
berkarya. Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya, tak lepas juga dari jiwa
masing-masing. Bahkan, sebagaimana sosiologi refleksi, psikologi sastra pun
mengenal karya sastra sebagai pantulan kejiwaan. Pengarang akan menangkap
gejala jiwa kemudian diolah ke dalam teks dan dilengkapi dengan kejiwaannya.
Proyeksi pengalaman sendiri dan pengalaman hidup di sekitar pengarang, akan
terproyeksi secara imajiner ke dalam teks sastra (Endaswara, 2008:96).
2.1.3 Tokoh
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah
cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga
terasa mendominasi sebagian besar cerita, dan sebaliknya, ada tokoh-tokoh yang
hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin
dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebut tokoh utama
(central character, main character), sedangkan yang kedua adalah tokoh
tambahan (pheriperal character), (Nurgiyantoro, 1995:176)
2.1.4 Jati Diri
Hadi(1996:25), mengatakan jati diri memiliki pengertian yang ganda. Dari
satu pihak, jati diri mengandaikan adanya kesatuan yang utuh di dalam diri
manusia. Kesatuan ini begitu mutlak sehingga terasa begitu jelas ketunggalan di
dalam dirinya sendiri yang tidak bisa dibagi-bagi.„Aku‟ adalah „aku‟, baik pada
Universitas Sumatera Utara
7
waktu bekerja, berdoa, belajar, berjalan-jalan, makan dan lain-lain. Demikian juga
walaupun lingkungan berubah, pergaulan sosial berganti, aku tetaplah aku.
Dengan begitu, manusia selalu identik dengan dirinya sendiri, meskipun
mengalami perubahan di dalam ukuran dan bentuk, perubahan cara berpikir,
merasa, bersikap, cita-cita, perkembangan pergaulan, peranan yang dimainkan,
dan lingkungan sosialnya.
Dari pihak lain, meskipun kita menyadari diri kita sebagai satu kesatuan
yang utuh, namun diri kita jelas terdiri dari badan dan jiwa, yang masing-masing
mempunyai kegiatan, kemampuan, dan gaya, serta perkembangan sendiri. „Aku‟
terdiri dari begitu banyak pengalaman baik yang disadari maupun tidak disadari.
Meskipun „aku‟ yang dulu dan sekarang serta yang akan datang tetap sebagai
„aku‟, namun masing-masing tahap perkembangan mempunyai kepadatan yang
berbeda-beda.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa dalam diri manusia terdapat
kesatuan (unitas) dan sekaligus keberagaman (kompleksitas) yang tidak mungkin
disangkal kebenarannya. Unitas dan kompleksitas jati diri manusia inilah yang
memberikan kekayaan pada manusia, tetapi sekaligus menyebabkan kesulitan
untuk memahami diri secara tepat. Namun, kejelasan penting demi pengarahan
hidup, pemberian makna, serta langkah-langkah yang diperjuangkan demi
keseluruhan proses. Unitas dan kompleksitas inilah yang menyebabkan timbulnya
bermacam-macam pendapat mengenai jati diri manusia.
Universitas Sumatera Utara
8
2. 2 Landasan Teori
2.2.1 Psikologi Sastra
Di dalam penelitian ilmiah, diperlukan adanya landasan teori yang menjadi
kerangka dasar peneltian. Endaswara (2008:98) mengatakan bahwa “psikologi
sastra mempunyai empat kemungkinan penelitian”. Pertama, adalah penelitian
terhadap psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Kedua, penelitian
proses kreatif dalam kaitan kejiwaan. Ketiga, penelitian hukum-hukum psikologi
yang diterapkan pada karya sastra. Dalam kaitan yang ketiga ini, studi dapat
diarahkan pada teori-teori psikologi, misalnya psikoanalisis ke dalam sebuah teks
sastra. Asumsi dari kajian ini bahwa pengarang sering menggunakan teori
psikologi tertentu dalam penciptaan. Studi ini benar-benar mengangkat teks sastra
sebagai wilayah kajian. Keempat, penelitian dampak psikologis teks sastra kepada
pembaca. Maka, pengertian yang ketigalah yang akan dikaji dalam penelitian ini.
Penelitian psikologi sastra memang memiliki landasan pijak yang kokoh.
Karena baik sastra maupun psikologi sama-sama mempelajari hidup manusia.
Bedanya, kalau sastra mempelajari manusia sebagai ciptaan imajinasi pengarang,
sedangkan psikologi mempelajari manusia sebagai ciptaan Illahi secara riil.
Namun, sifat-sifat manusia dalam psikologi maupun sastra sering menunjukkan
kemiripan, sehingga kajian psikologi sastra memang tepat untuk dilakukan,
meskipun karya sastra bersifat kreatif dan imajiner, pencipta tetap sering
memanfaatkan hukum-hukum psikologi untuk menghidupkan karakter tokoh-
tokohnya. Pencipta sadar atau tidak telah menerapkan teori psikologi secara diam-
diam (Endaswara, 2008:98-99).
Universitas Sumatera Utara
9
2.2.2 Jati Diri
Hadi (1996:69) menyatakan “jati diri memiliki berbagai aspek, yaitu:
kepribadian, keunikan, dan identitas diri”. Pada hal ini, peneliti hanya akan
membahas aspek identitas diri.
Menurut Jahja (2011:92-93),“perkembangan psikososial terbagi menjadi
beberapa tahap. Masing-masing tahap psikososial memiliki dua komponen, yaitu
komponen yang baik (yang diharapkan) dan yang tidak baik (yang tidak
diharapkan)”.
Erik. H Erikson (dalam Lindzey,1993:141), mengemukakan teori
psikoanalisis perkembangan melalui delapan tahap. Empat tahap yang pertama
terjadi pada masa bayi dan kanak-kanak, tahap kelima pada masa adolesen, dan
ketiga tahap yang terakhir pada tahun-tahun dewasa dan usia tua.
Erikson membagi tahap-tahap itu berdasarkan kualitas dasar ego yang
muncul pada masing-masing tahap. Ia menguraikan ritulisasi yang khas untuk
masing-masing tahap. Ritualisasi yang dimaksudkan Erikson adalah suatu cara
serba main-main (playful) namun dipolakan oleh kebudayaan dalam mengerjakan
atau mengalami pergaulan sehari-hari antara individu-individu (Lindzey,
1993:146)
Erikson (dalam Alwisol, 2009:86) membedakan dua macam identitas,
yaitu identitas pribadi dan identitas ego. Identitas pribadi seseorang berpangkal
pada pengalaman langsung bahwa ia akan tetap sama dalam sekian tahun.
Sedangkan identitas ego sendiri merupakan identitas yang menyangkut kualitas
eksistensi dari subyek yang berarti bahwa subyek itu mandiri dengan suatu gaya
Universitas Sumatera Utara
10
pribadi yang khas. Identitas ego berarti mempertahankan suatu gaya
individualitasnya sendiri. Dalam hal ini, kesamaan batinlah serta hidup pribadinya
yang unik harus diterima dan diteguhkan oleh orang lain di masyarakat. Jadi, di
sini dapat dikatakan bahwa identitas ego adalah kesamaan kontinuitas dalam gaya
individualitasnya yang diakui oleh diri sendiri dan orang lain.
Teori Erikson dinamakan teori perkembangan sosial, karena teori ini
menekankan pentingnya interaksi sosial dalam pengembangan kepribadian. Pada
setiap tahap perkembangan orang berinteraksi dengan pola-pola tertentu, disebut
ritualisasi (ritualization). Dengan adanya ritualisasi ini, orang menjadi terdorong
untuk berkomunikasi sekaligus mengembangkan kepribadiannya. Pengertian
ritualisasi(dalam Alwisol 2009:90-91), dapat disingkat sebagai berikut:
1) Ritualisasi adalah pola kultural berinteraksi dengan orang dan objek
lainnya, yang membuat interaksi menjadi menyenangkan (playful)
2) Ritualisasi adalah kesepakatan saling berhubungan antara dua orang
(atau lebih) yang terus menerus berlangsung dan mempunyai nilai
adaptif (dapat dipakai dalam berbagai kesempatan).
3) Ritualisasi membuat individu bertingkah laku secara efektif dan tidak
canggung di masyarakat.
4) Ritualisasi memasukkan orang ke dalam masyarakat dengan
mengajarkan kepada mereka memuaskan keinginan memakai cara-cara
yang dapat diterima budaya.
Seperti pada konflik psikososial, pola hubungan yang positif bisa menjadi
ritualisasi, sebaliknya hubungan yang negatif bisa menjadi ritualisme. Ritualisme
adalah pola hubungan yang tidak menyenangkan kedua belah pihak, karena salah
Universitas Sumatera Utara
11
satu menduduki posisi yang lebih superior, dan yang lain inferior. Ciri-ciri
ritualisme adalah sebagai berikut:
1) Perhatian orang dalam ritualisme terfokus pada dirinya sendiri. Orang
menjadi lebih peduli dengan performansi dirinya dari pada
mempedulikan hubungannya dengan yang lain atau dengan makna apa
yang mereka lakukan.
2) Sifatnya tidak menyenangkan, tetapi compulsive (terpaksa dilakukan).
Ritualisme juga terpola secara kultural, menjadi tingkah laku yang
menyimpang, abnormal, dan aneh.
3) Ritualisme sering melibatkan orang lain, dalam kedudukan untuk tidak
dipungkiri keberadaannya. Orang yang didominasi oleh ritualisme
tidak dapat berinteraksi dengan orang lain dalam cara saling mendapat
kepuasan (Alwisol 2009:90-91).
Erik H. Erikson (dalam Alwisol, 2009:91-103), membagi perkembangan
kepribadian manusia kedalam beberapa fase yaitu, (1) fase bayi 0-1 tahun, (2) fase
anak-anak 1-3 tahun, (3) usia bermain 3-6 tahun, (4) usia sekolah 6-12 tahun, (5)
adolesen 12-20 tahun, (6) dewasa awal 20-30 tahun, (7) dewasa 30-65 tahun, (8)
usia tua >65 tahun.
2.3 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka dalam penelitian bertujuan untuk mengetahui keaslian
karya ilmiah, karena pada dasarnya suatu penelitian berasal dari acuan yang
mendasarinya. Untuk mengetahui keaslian penelitian ini, dipaparkan beberapa
tinjauan pustaka yang telah dimuat dalam bentuk skripsi dan jurnal. Tinjauan
pustaka tersebut sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
12
Dalam penelitian ini, yang akan diteliti adalah tentang proses penemuan
jati diri tokoh Ed dalam novel yang berjudul Gitanjali karya Febrialdi R.
Sepanjang pengetahuan dan penelitian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa
penelitian terhadap novel Gitanjali karya Febrialdi R dengan menggunakan
pendekatan psikologi sastra dan dengan objek kajian yang sama belum pernah
dilakukan sebelumnya.
Namun, penelitian tentang jati diri dengan objek kajian yang berbeda
pernah diteliti oleh Ninin Kholida Mulyono, mahasiswi Universitas Dipenogoro,
pada tahun 2007 yaitu proses pencarian jati diri pada remaja mualaf. Hasil
penelitian ini menemukan bahwa peran konversi agama dapat mendorong
pencapaian identitas diri (identity achivement) tetapi juga berpotensi
menimbulkan kebingungan identitas ( identity difusion). Hal ini dipengaruhi oleh
faktor : penerimaan diri, inisiatif dan motivasi, keterampilan komunikasi, strategi
koping, kehendak bertanggungjawab, tingkat ancaman dan tekanan eksternal,
serta dukungan sosial. Peran konstruktif konversi agama dalam pencarian identitas
diri remaja antaralain; keberanian membuat komitmen, kematangan emosi,
ketatagan, otonomi, kemantapan dalam mengarahkan diri (self direction) dan
munculnya motivasi keberagamaan intrinsik. Sedangkan peran dekonstruktif
berupa kebingungan dan ragu-ragu dalam mengambil keputusan, takut membuat
komitmen, ketergantungan secara emosional terhadap orang lain, menghindari
tanggungjawab yang besar. Keputusan mualaf untuk melakukan konversi agama
dilatarbelakangi oleh motif intelektual, afeksional dan transendental.Sedangkan
faktor yang mempengaruhi keputusan melakukan konversi agama adalah faktor
kognitif, psikologis, sosial dan adanya hidayah Tuhan.
Universitas Sumatera Utara
13
Penelitian tentang jati diri dengan objek kajian yang berbeda juga pernah
dilakukan oleh Atikah Dwi Ariani, mahasiswi Universitas Airlangga Surabaya,
pada tahun 2019 dengan mengkaji novel yang berjudul Intelegensi Embun Pagi
karya Dee Lestari. Analisis yang dilakukan yaitu mengidentifikasi perjalanan
pencarian jati diri yang dihadirkan dalam novel. Penelitian ini menggunakan teori
struktur naratif Tzvetan Torodov. Analisis yang dilakukan yaitu mengidentifikasi
perjalanan pecarian jati diri masing-masing tokoh utama dalam novel.
Berdasarkan tahap analisis, ditemukan pemaknaan mengenai pencarian jati diri.
Selain itu, terdapat pula definisi perjalanan pencarian jati diri melalui simbol-
simbol yang dihadirkan dalam teks. Kedua hal yang peneliti ini temukan dalam
analisis novel ini dapat dimaknai sebagai sebuah kritik terhadap manusia agar
dapat mengetahui siapa jati diri mereka. Berdasarkan kedua hal tersebut pula,
sikap dan sifat toleran terhadap sebuah perbedaan menjadi hal yang sangat penting
untuk semua orang.
Penelitian tentang jati diri dengan objek kajian yang berbeda juga pernah
dilakukan oleh Ester Daniyati, mahasiswa Universitas Diponegoro pada tahun
2010 dengan judul novel Kim karya Rudyard Kipling. Penulis menggunakan
metode pendekatan struktural untuk menganalisis latar, karakter, dan
konflik.Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologis untuk menganalisis
pencarian identitas tokoh Kim, sebagai karakter tokoh utama.Hasil analisis ini
menunjukkan bahwa masa adolesen yang dialami oleh Kim membuatnya bertanya
tentang identitas dirinya. Dalam fase adolesen ini, Kim mengalami banyak konflik
internal dan eksternal.
Universitas Sumatera Utara
14
Penelitian tentang pembentukan identitas diri pernah dilakukan pada
remaja yang tinggal di panti asuhan oleh Rizda Armi Mitasari, mahasiswi
Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
pada tahun 2017 dengan mengkaji stratego pembentukan identitas diri remaja di
Panti Asuhan Putri Aisyiyah Malang. Penelitian ini mendeskripsikan kondisi
pembentukan identitas diri pada remaja yang tinggal di panti asuhan. Jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan teknik pengumpulan data yang digunakan oleh teknik observasi
partisipan, wawancara, dan lifehistory. Temuan dalam penelitian ini berupa: a)
Kondisi pembentukan identitas diri subyek berupa perasaan puas, tidak pernah
meratapi nasib, dan selalu bersyukur, mandiri dan bertanggung jawab. b) Problem
dalam pembentukan identitas yang meliputi proses identifikasi subyek dengan
orang tua yang digantikan oleh pengasuh panti tidak optimal, dan kepribadian
yang tertutup. c) Faktor yang mempengaruhi pembentukan identitas diri subyek
meliputi kepribadian, keluarga, teman sebaya, budaya, serta teknologi dan
komunikasi. d) strategi pembentukan subyek.
Universitas Sumatera Utara
15
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode kualitatif.
Menurut Tantawi (2017:61), “metode kualitatif yaitu metode yang berhubungan
dengan nilai atau kesan dari objek”. Metode kualitatif digunakan untuk
menyelidiki dan menjelaskan kualitas serta keistimewaan dari pengaruh yang
tidak terjelaskan dan tidak terukur dari pendekatan kuantitatif. Dalam hal ini, data
yang dihasilkan dari penelitian diungkapkan melalui kalimat dan kutipan yang ada
pada novel Gitanjali karya Febrialdi R.
3.2 Sumber Data
Adapun sumber data yang akan diteliti adalah:
Judul Novel : Gitanjali
Pengarang : Febrialdi R
Penerbit : Mediakita
Tahun Terbit : 2018
Cetakan : 299 halaman
Warna Sampul : Jingga dan hitam dengan tulisan berwarna putih
Sumber data di atas merupakan sumber data primer atau sebagai sumber
data utama. Sumber data sekunder yang digunakan peneliti adalah buku-buku
Universitas Sumatera Utara
16
kajian sastra, buku psikologi, jurnal, dan artikel baik yang ada di pustaka maupun
di website atau situs-situs yang berhubungan dengan penelitian.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Cara memperoleh data dalam penelitian ini adalah dengan metode
heuristik dan hermeneutik. Menurut Pradopo, metode heuristik adalah pembacaan
karya sastra berdasarkan struktural bahasanya, sedangkan hermeuneutik adalah
pembacaan karya sastra berdasarkan konvensi sastranya (dalam Tantawi,
2017:61).
Menurut Tantawi (2017:61), “pada metode heuristik dilakukan dengan
cara membaca novel yang menjadi objek utama (primer) penelitian ini. Pada
bagian ini novel dipahami berdasarkan konvensi bahasa-bahasa yang digunakan
oleh pengarang sebagai media untuk menyampaikan pesan kepada pembaca.
Bahasa dipahami melalui berbagai aspek makna kebahasannya”.
Pada metode hermeneutik, membaca novel objek penelitian dilakukan
dengan cara memahami konvensi-konvensi yang berlaku terhadap sebuah karya
sastra, terutama sastra dan budaya (Tantawi, 2017:62)
3.4 Teknik Analisis Data
Setelah data-data sudah terkumpul, penelitian ini lalu dianalisis dengan
metode deskriptif. Menurut Nasir,1988:84(dalam Tantawi, 2017:66),“metode
deskriptif adalah mendekripsikan tentang situasi atau kejadian, gambaran, lukisan,
secara sistematis, faktual, akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan
antara fenomena dengan fenomena pada objek”.
Universitas Sumatera Utara
17
Dalam analisis ini, data yang diperoleh dicatat dan dipilih berdasarkan
masalah yang dibahas. Metode ini dilakukan dengan cara melukiskan kembali
data yang terkumpul. Analisis tersebut didasari oleh teori-teori pendukung yang
berhubungan dengan topik penelitian yaitu teori psikologi sastra.
Analisis data dimulai dengan memamparkan teori tentang jati diri oleh
Hardono Hadi, meneliti tahap-tahap perkembangan psikologis tokoh Ed
menggunakan teori Erik H. Erikson. Setelah itu, peneliti mendeskripsikan proses
penemuan jati diri tokoh Ed berdasarkan ciri-ciri masa dewasa awal yang
dikemukakan oleh Yudrik Jahja yang dialami tokoh Ed dalam novel Gitanjali
karya Febrialdi R.
Proses pencarian jati diri tokoh Ed tentu saja dilihat dari tuturan, tindak-
tanduk, respons, maupun uraian-uraian lain yang ditimbulkan oleh para tokoh
yang memang dirumuskan pengarang sebagai bentuk kisahan memperindah novel
tersebut.
Universitas Sumatera Utara
18
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Perkembangan Psikologis Tokoh Ed
Dalam siklus kehidupan, manusia pasti mengalami proses perkembangan
baik dari segi fisik maupun psikologis yang terjadi sejak kecil hingga dewasa.
Begitu juga yang terjadi pada tokoh Ed dalam novel Gitanjali karya Febrialdi R
ini. Perkembangan psikologis ini terbagi dalam beberapa tahap, yaitu: (1) fase
bayi 0-1 tahun, (2) fase anak-anak 1-3 tahun, (3) usia bermain 3-6 tahun, (4) usia
sekolah 6-12 tahun, (5) adolesen 12-20 tahun, (6) dewasa awal 20-30 tahun, (7)
dewasa 30-65 tahun, (8) usia tua >65 tahun. Pada penelitian ini, hanya akan
dibahas sampai dengan tahap dewasa awal (20-30 tahun) karena tokoh Ed dalam
novel Gitanjali karya Febrialdi R menemukan jati dirinya pada usia 27 tahun.
4.1.1 Fase Bayi (0-1 Tahun)
Masa bayi dianggap sebagai masa dasar, karena merupakan dasar periode
kehidupan yang sesungguhnya. Pada saat ini banyak pola perilaku, sikap, dan pola
ekspresi terbentuk. Seorang bayi dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya, belum
dapat makan, baru punya refleks menghisap dan menelan. Sebagaimana terlihat
pada aspek-aspek perkembangan, tampak bahwa peranan lingkungan sangat
penting.
Tahap pertama kehidupan ini, masa bayi merupakan tahap ritualisasi
nominous.Yang dimaksudkan Erikson dengan nominous adalah:
Perasaan bayi akan kehadiran ibu yang bersifat keramat,
pandangannya, pegangannya, sentuhannya, senyumannya,
Universitas Sumatera Utara
19
teteknya, caranya memanggil dengan nama, pendek kata
“pengakuannya” atas dirinya. Interaksi-interaksi yang berulang-
ulang ini bersifat sangat pribadi namun diritualisasikan dalam
budaya (Lindzey, 1993:144).
Aku sendiri tak pernah tahu yang disebut dari kecil itu sejak kapan.
Karena aku sendiri tak pernah tahu siapa orang tua kandungku.
Mengapa aku berada di rumah itu. Dan menjadi bagian dari rumah
itu (Febrialdi:81).
Pada kutipan di atas menggambarkan bahwa Ed sejak lahir tidak pernah
mengetahui orang tua kandungnya siapa. Hal-hal yang dijabarkan oleh Erikson,
yakni kehadiran seorang ibu yang bersifat keramat, pandangan, sentuhan dan
senyuman tidak dirasakan oleh Ed.
Aku hanya ingin hidup bersama Ibu Ros, orang yang mengurus aku
dan kami semua di rumah panti itu. Hanya Ibu Roslah orang yang
aku kenal sebagai orang tua (Febrialdi:82).
Pada waktu itu, aku tak tahu bahwa seorang anak terlahir dari orang
tua, yaitu ayah dan ibu. Karena saat itu yang kutahu hanya ibu
Roslah orang tuaku (Febrialdi:82).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa ada seorang Ibu pengganti yang
mengurus dan merawat Ed sejak bayi. Ibu itu bernama Ibu Ros, beliau adalah ibu
pengasuh panti di tempat Ed tinggal. Ed hanya mengenal Ibu Ros sebagai sosok
seorang ibu. Bahkan, ketidaktahuan Ed tentang orang tua membuat dirinya tidak
mengerti ketika seorang anak memiliki orang tua seperti ayah dan ibu.
Aku tidak tahu siapa orang tua kandungku. Ibu Ros pun tak pernah
menceritakan siapa sebetulnya orang tua kandungku. Yang kutahu,
bahwa aku ada di dunia dan dibesarkan oleh Ibu Ros. Itu mengapa
saat teman-teman panti lain diangkat sebagai anak oleh orang lain,
aku bersikeras tetap tinggal bersama Ibu Ros (Febrialdi:82).
Erikson (dalam Lindzey, 1993:144), mengatakan bahwa pengakuan ibu
terhadap bayi meneguhkan dan meyakinkan bayi serta hubungan timbal-baliknya
dengan ibu. Tiadanya pengakuan dapat menyebabkan keterasingan dalam
Universitas Sumatera Utara
20
kepribadian bayi; sejenis perasaan bahwa ia dipisahkan (separation) dan dibuang
(abandonment).
Kapasitas sensori dari seorang bayi yang sangat muda, selalu menjadi
pertanyaan yang tak ada habisnya untuk para psikolog. Apakah seorang bayi yang
bru lahir daat merasaakan sesuatu? Bagaimana awalnya ketika dia mulai
mengiterpretasikan stimuli di sekelilingnya? Atau seberapa aktif dirinya dalam
bermain? Untuk itu dapatkah lingkungan mempengaruhi atau memperbaiki
pengembangan peseptual? Ini hanyaah sedikit dari segelintir pertayaan para
psikolog pada masa perkembangan para bayi.
4.1.2 Fase Anak-anak (1-3 Tahun)
Menurut Jahja (2011:191), perkembangan psikosial yang terjadi pada masa
awal anak-anak, di antaranya permainan, hubungan dengan orang tua, teman
sebaya, perkembangan gender, dan moral. Permainan adalah salah satu bentuk
aktivitas sosial yang dominan pada masa awal anak-anak. Sebab, anak-anak
menghabiskan lebih banyak waktunya di luar rumah bermain dengan teman-
temannya dibanding terlibat dalam aktivitas lain.
Hubungan dengan orang tua atau pengasuhnya merupakan dasar bagi
perkembangan emosional dan sosial anak. Sejumlah ahli memercayai bahwa kasih
sayang orang tua atau pengasuh selama beberapa tahun pertama kehidupan
merupakan kunci utama perkembangan sosial anak, meningkatkan anak memiliki
kompetensi secara sosial, dan penyesuaian diri yang baik pada tahun-tahun
prasekolah dan setelahnya.
Universitas Sumatera Utara
21
Sejumlah penelitian telah merekomendasikan betapa hubungan sosial
dengan teman sebaya memiliki arti yang sangat penting bagi perkembangan
pribadi anak. Salah satu fungsi kelompok teman sebaya yang paling penting ialah
menyediakan suatu sumber dan perbandingan tentang dunia luar keluarga.
Gender dimaksudkan sebagai tingkah laku dan sikap diasosiasikan
dengan laki-laki atau perempuan. Stereotip peran gender merujuk pada
karakteristik psikologis atau perilaku yang secara tipikal diasosiasikan dengan
laki-laki atau peempuan menurut Matsumo, 2020 (dalam Jahja, 2011:196).
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan
dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam
interaksinya dengan orang lain menurut Santrock, 1995 (dalam Jahja,2011:197).
Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (immoral). Tetapi dalam
dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan.
Rumah tua yang mulai ditumbuhi lumut dan ilalang di sana-sini itu
adalah asrama yatim-piatu. Dulu aku tinggal di sana. Dari kecil
hingga dewasa (Febrialdi:81).
Panti asuhan adalah sebuah lembaga pelayanan sosial untuk membentuk
perkembagan anak-anak yang tidak memiliki keluarga ataupun yang tidak tinggal
bersama keluarga. Penghuni panti asuhan adalah mereka yang tidak memiliki
orang tua (yatim maupun yatim piatu), ada juga anak yang masih memiliki orang
tua tetapi karena keterbatasan ekonomi maka anak tersebut dibawa ke panti
asuhan, anak terlantar, anak jalanan, anak yang mengalami kekerasan (bullying),
dan anak-anak yang tanpa identitas atau anak yang tidak memiliki wali sah.
Universitas Sumatera Utara
22
Penghuni panti asuhan bukan saja anak-anak, tetapi mulai dari anak-anak hingga
dewasa.
Yang kutahu, sejak kecil aku sudah ada di rumah itu. Bersama
teman-teman yatim-piatu lain yang diurus oleh Ibu Ros. Dirawat
dan disekolahkan hingga kami dewasa. Kami tak pernah tahu siapa
orang tua kandung kami. Yang kami tahu bahwa Ibu Ros
mengurusi kami dengan penuh kasih sayang (Febrialdi:82).
Dalam penjelasan dan kutipan di atas perkembangan permainan, hubungan
dengan orang tua, perkembangan teman sebaya, perkembangan gender, dan
perkembangan moral didapat dan dipelajari Ed dalam ruang lingkup panti asuhan.
Perkembangan permainan yang sudah jelas tercipta dengan baik karena
berkumpulnya anak-anak seusia Ed. Hubungan orang tua yang diperoleh Ed
berupa kasih sayang dan pola asuh yang diberikan oleh ibu asuh yang bernama
Ibu Ros. Yang terakhir adalah perkembangan moral yang diajarkan oleh
lingkungan panti asuhan. Dalam panti asuhan biasanya terdapat peraturan-
peraturan yang dibuat oleh pengurus panti dan dimaksudkan sebagai pedoman
yang wajib ditaati oleh segenap anak asuh, untuk menciptakan suasana tertib dan
mendidik anak asuh agar lebih disiplin. Peraturan itu biasanya berupa menjaga
kebersihan lingkungan panti, menjaga kerukunan, dan menaati peraturan lainnya.
4.1.3 Usia Bermain (3-6 Tahun)
Pada tahap ini, Lindzey (1993:146) mengatakan bahwa “Kegiatan utama
anak adalah bermain dan tujuan dari kegiatan bermainnya, eksplorasi-
eksplorasinya, usaha-usaha dan kegagalan-kegagalannya, serta eksperimentasinya
dengan alat-alat permainannya. Di samping permainan fisik, anak juga melakukan
permainan kejiwaan dengan memerankan peranan orang tua dan orang dewasa
Universitas Sumatera Utara
23
lain dalam suatu permainan khayalan. Dengan meniru gambaran-gambaran orang
dewasa ini sedikit banya anak mengalami bagaimana rasanya menjadi seperti
mereka. Dengan demikian, permainan yang bersifat khayalan dan bebas sangat
penting bagi perkembangan anak.”
Masa bermain ini bercirikan ritualisasi dramatik. Anak secara aktif
berpatisipasi dalam kegiatan bermain, memakai pakaian, meniru kepribadian-
kepribadian orang dewasa, dan berpura-pura menjadi apa saja mulai dari seekor
anjing sampai seorang astronot.
Sementara aku, aku tak pernah mau diambil oleh orang lain untuk
dijadikan anak. Aku hanya ingin hidup bersama ibu Ros (Febrialdi
R:82)
Dulu aku suka iri dengan teman-teman sekolahku di mana mereka
memiliki orang tua lengkap, ayah dan ibu. Saat itu aku berpikir,
mengapa mereka memiliki orang tua yang terdiri ayah dan ibu?
(Febrialdi:82).
Pada kedua kutipan di atas menunjukkan bahwa pada masa kecil, Ed yang
tidak terbiasa dengan kehadiran orang tua berdampak pada kepribadian Ed yang
sering menarik diri dan menolak untuk mengenal orang baru, ia tak pernah mau
diadopsi oleh orang tua angkat mana pun. Dalam kasus ini, Ed mengalami
ritualisme impersonasi, yaitu kebalikan dari ritualisasi dramatik. Dampak negatif
ritualisme impersonasi adalah dikhawatirkan ketika Ed dewasa nanti, ia akan
memainkan peranan atau melakukan tindakan-tindakan untuk menampilkan suatu
gambaran yang tidak mencerminkan kepribadian yang sejati.
4.1.4 Usia Sekolah (6-12 Tahun)
Erikson (dalam Alwisol, 2009:96) mengatakan bahwa “pada usia ini,
dunia anak meluas keluar dari dunia keluarga, bergaul dengan teman sebaya, guru,
Universitas Sumatera Utara
24
dan orang dewasa lainnya. Pada usia ini, keingintahuan menjadi sangat kuat dan
hal itu berkaitan dengan perjuangan dasar menjadi berkemampuan (competence)”.
Menurut Erikson (dalam Alwisol, 2009:96) “lingkungan sosial yang luas
memaksa anak untuk mengembangkan teknik atau metode bagaimana berinteraksi
secara efektif. Hal ini disebuat dengan ritualisasi formal, interaksi yang
mementingkan metode secara tepat untuk memperoleh hasil yang sempurna”.
Perkembangan negatif dari formal adalah ritual formalisme. Dalam
ritualisme ini, anak hanya mementingkan metode, pekerjaan yang harus
dikerjakan dengan benar, tidak penting bagaimana hasilnya. Interaksi formalisme
cenderung kaku, penuh aturan, dan tidak bisa menjalin persahabatan yang akrab.
Dalam dunia kerja, formalisme membuat manusia menjadi mesin, bekerja sesuai
standar/aturan, tanpa memasukkan nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya.
Yang kutahu, sejak kecil aku sudah ada di rumah itu. Bersama
teman-teman yatim-piatu lain yang diurus oleh Ibu Ros. Dirawat
dan disekolahkan hingga kami dewasa. Kami tak pernah tahu siapa
orang tua kandung kami. Yang kami tahu bahwa Ibu Ros
mengurusi kami dengan penuh kasih sayang (Febrialdi:82).
Seperti yang telah diketahui, Ed adalah anak yang dirawat di panti asuhan.
Sebuah panti asuhan yang menampung dan merawat banyak anak tentu saja
menerapkan sistem kebersamaan dalam segala hal. Persahabatan yang terjalin atas
rasa senasib-sepenanggungan dirasakan oleh Ed dan anak panti lainnya. Pada
novel Gitanjali ini, penulis tidak menceritakan bagaimana tokoh Ed ketika masa
sekolahnya. Penulis hanya fokus menceritakan kehidupan Ed di lingkungan panti
asuhan saja.
Universitas Sumatera Utara
25
4.1.5 Adolesen (12-20 Tahun)
Tahap ini menurut Erikson (dalam Alwisol, 2009:98) merupakan tahap
yang paling penting di antara tahap lainnya, karena pada akhir tahap ini orang
harus mencapai tingkat identitas ego yang cukup baik. Walaupun pencarian
identitas ego itu tidak dimulai dan tidak berakhir pada usia remaja (pencarian
identitas ego ada sejak tahap bayi sampai tahap tua), krisis antara identitas dengan
kekacauan identitas mencapai puncaknya pada tahap adolesen ini.
Perkembangan kepribadian yang penting pada masa remaja ialah
pencarian identitas diri. Pencarian identitas diri adalah proses menjadi seseorang
yang unik dengan peran yang penting dalam hidup. Pada diri remaja, pengaruh
lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat.
Menurut Conger (dalam Jahja, 2011:234), walaupun remaja telah
mencapai perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya
sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku bayak dipengaruhi oleh
tekanan dari kelompok teman sebaya.
Namun, meski demikian, bukan berarti aku tak pernah nakal. Dulu,
waktu aku remaja, aku pernah kabur dari panti asuhan. Hanya
karena ada sepasang orang tua yang hendak mengadopsiku sebagai
anak. Aku tak mau. Maka aku kabur. Berhari-hari hidup di jalanan.
Tidur di terminal dan cari makan di pasar (Febrialdi:83)
Seperti yang sudah dibahas pada tahap usia bermain, Ed mengalami
ritualisme impersonasi yang membuatnya sering menarik diri dari interaksi
sosialnya. Menurut Erikson (dalam Lindzey, 1993:150), pada tahap adolesen ini:
Remaja merasa bahwa ia harus membuat keputusan-keputusan
penting tetapi belum sanggup melakukannya. Para remaja mungkin
merasa bahwa masyarakat memaksa mereka untuk membuat
Universitas Sumatera Utara
26
keputusan-keputusan, sehingga mereka justru semakin menentang.
Mereka sangat peka terhadap cara orang lain memandang mereka,
dan menjadi mudah tersinggung dan merasa malu.
Tingkah laku remaja tidak konsisten dan tidak dapat diprediksi selama
masa kacau ini. Menurut Erikson (dalam Lindzey, 1993:150), pada suatu saat ia
menutup diri terhadap siapa pun karena takut ditolak, dikecewakan, atau
disesatkan. Pada saat berikutnya, ia mungkin menjadi pengikut, pecinta, atau
murid, dengan tidak menghiraukan konsekuensi-konsekuensi dari komitmen itu.
Seluruh isi rumah panti mencoba mencariku. Ibu Ros mengerahkan
seluruh anak panti untuk mencari dan membawaku pulang. Namun,
karena mereka pun tak pernah tahu kehidupan jalanan, mereka
kembali dengan tangan kosong (Febrialdi:83).
Tak kusangka sama sekali, rupanya kehidupan di luar panti begitu
keras dan menakutkan. Saat itu aku belum memiliki cukup nyali
untuk berani bertaruh dan menghadapi kehidupan jalanan. Merasa
takut dengan kehidupan yang serba tak menentu, akhirnya
kuputuskan untuk kembali ke rumah panti (Febrialdi:83).
Kedua kutipan di atas menggambarkan bahwa Ed remaja pernah mengalami krisis
identitas. Ed yang selalu menolak untuk diadopsi oleh orang tua angkat mana pun
membuatnya lelah dan memilih kabur dari panti untuk menghindari masalah. Ed
mencoba kemampuannya, seberapa sanggup ia bertahan hidup di luar panti
dengan menggelandang di jalanan. Ternyata melihat kerasnya dunia luar, Ed
terpaksa mengalah dan kembali ke panti asuhan.
Namun, sejak kejadian itu, aku jadi punya cara untuk
menyelesaikan masalah. Setiap ada persoalan yang berhubungan
dengan diriku, aku selalu memilih kabur. Keluar dari rumah panti
dan dicari-cari lagi (Febrialdi:83).
Pada tahap ini, remaja mulai menyampaikan kebebasan dan haknya untuk
mengemukakan pendapatnya sendiri. Tidak terhindarkan, ini dapat menciptakan
ketegangan, perselisihan, dan dapat menjauhkan ia dari keluarganya. Pada kutipan
Universitas Sumatera Utara
27
di atas, terlihat tokoh Ed remaja berpikir bisa menyelesaikan masalah ketika ia
memilih kabur dari rumah panti. Sikap Ed pada masa adolesen ini menunjukkan
bahwa Ed sedang mengalami krisis identitas yang membuatnya mencari pelarian
ketika sedang ada masalah.
Namun, karena mereka sudah tahu persembunyianku, setiap kali
kabur, mereka selalu mencariku ke terminal. Lama-lama, aku
merasa percuma jika setiap kali kabur selalu dapat ditemukan lagi.
Lagi pula, lama-kelamaan caraku untuk kabur memang lebih untuk
menghindari masalah. Bukan untuk menyelesaikan masalah
(Febrialdi:83).
Sehingga, setiap kali aku pergi, aku seolah memang merasa ingin
dicari. Butuh untuk dicari, ditemukan, dan dibawa pulang kembali.
Kusadari, aku sekadar ingin sembunyi. Bukan pergi dalam arti
sesungguhnya. Akhirnya, aku menghentikan kebiasaan kaburku
(Febrialdi:83-84).
Dalam kutipan di atas, terlihat bahwa ketika tokoh Ed beranjak dewasa, ia
sudah menyadari kalau yang dilakukannya saat remaja adalah salah. Kabur dari
rumah panti dijadikannyakebiasaankarena merasa akan selalu dicari lagi. Hal ini
(dalam Jahja, 2011:226) diuraikan sebagai masa transisi dari kanak-kanak ke
dewasa, yaitu “remaja sering terlalu percaya diri dan bersamaan dengan emosinya
yang meningkat, mengakibatkan ia sukar menerima nasihat orang tua”.
Ternyata, caraku menyelesaikan setiap persoalanku malah ditiru
oleh kawan-kawan lain. Siapa yang menyangka, setiap salah satu
dari mereka memiliki persoalan, mereka malah meniru caraku,
kabur dari rumah panti. Akhirnya, aku yang kena getahnya. Aku
dimarahi Ibu Ros. Sebagai hukumannya, setiap kali ada yang
kabur, aku yang harus mencari salah seorang dari mereka untuk
kubawa kembali ke rumah panti (Febrialdi:84).
Pada kutipan di atas, terlihat bahwa remaja lebih mudah terpengaruh oleh
teman-temannya. Sikap negatif Ed yang selalu kabur dari rumah panti ternyata
diikuti oleh teman-temannya yang sedang mengalami persoalan. Peran orang tua
memberikan komunikasi kepada anak sangat diperlukan di masa remaja ini.
Universitas Sumatera Utara
28
Jahja, (2011:236), mengatakan bahwa “kebanyakan remaja bersikap
ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Di satu sisi mereka
menginginkan kebebasan, di sisi lain mereka takut akan bertanggung jawab yang
menyertai kebebasan ini, serta meragukan kemampuan mereka sendiri untuk
memikul tanggung jawab ini”. Dalam kutipan di atas, Ed yang berkali-kali
mencoba untuk kabur akhirannya selalu kembali ke rumah panti karena tidak
tahan dengan kerasnya hidup di jalanan.
Akhirnya, Ibu Ros mengultimatumku. Kalau aku mengulang lagi
kebiasaan kabur dan menularkan caraku pada teman-teman dalam
menyelesaikan persoalan, Ibu Ros mengancam tak akan
mengurusku lagi. Aku manut. Hingga aku beranjak dewasa, kerja
serabutan, dan mencoba kuliah di Bandung (Febrialdi:84)
Kutipan di atas menunjukkan sikap tegas Ibu Ros sebagai orang tua ganti
tokoh Ed yang memberikan hukuman berupa meminta Ed bertanggung jawab atas
kebiasaan buruknya yang mempengaruhi teman-temannya. Jahja, 2011:235,
mengatakan:
Pada masa ini banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada
remaja, misalnya mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah
seperti anak-anak, mereka harus lebih mandiri, dan bertanggung
jawab. Kemandirian dan tanggung jawab ini akan terbentuk seiring
berjalannya waktu, dan akan tampak jelas pada remaja akhir yang
duduk di awal-awal masa kuliah.
4.1.6 Dewasa Awal (20-30 Tahun)
Menurut Putri (2019) pada artikelnya yang berjudul Pentingnya Orang
Dewasa Awal Menyelesaikan Tugas Perkembangannya, masa dewasa awal
merupakan masa puncak dari perkembangan seorang individu, masa dewasa awal
merupakan masa transisi dari masa remaja yang masih dalam keadaan bersenang-
senang dengan kehidupan. Pada masa dewasa awal ini individu akan banyak
menemui permasalahan dalam hidup dan permasalahan tersebut harus bisa
Universitas Sumatera Utara
29
diselesaikan dengan baik. Adapun tugas perkembangan masa dewasa awal adalah:
memilih pasangan hidup, mencapai peran sosial, bertanggung jawab, mencapai
kemandirian emosional, belajar membangun kehidupan rumah tangga dengan
pasangan hidup, mengasuh anak, dan menjadi warga negara yang baik.
Dewasa adalah orang yang bukan lagi anak-anak dan telah menjadi pria
atau wanita seutuhnya. Setelah mengalami masa kanak-kanak dan remaja yang
panjang, seorang individu akan mengalami masa di mana ia telah menyelesaikan
pertumbuhannya dan mengharuskan dirinya untuk berkecimpung dengan
masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya.
Pada novel Gitanjal karya Febrialdi R ini, peneliti memperkirakan usia
tokoh Ed sekitar 27 tahun yang digolongkan Erikson (2009:100) sebagai dewasa
awal (20-30 tahun). Hal itu dibuktikan pada kutipan:
Aku menoleh tersenyum. Rasanya aku masih bisa mengingat
bagaimana perasaan banggaku bisa menjalin hubungan dengan Ine.
Seorang dosen, berpendidikan S2, bahkan sedang menempuh S3.
Namun sekaligus membuatku kerap minder jika mengingat aku
yang kuliah S1 saja tak kelar-kelar (Febrialdi: 21).
Entah siapa yang terlena, Ine justru memilih pacaran dengan
seorang steward yang hidupnya serba pas-pasan, tak lulus S1, hobi
naik gunung pula. Apa istimewanya? (Febrialdi:21).
Pada kutipan di atas, menunjukkan bahwa Ed memiliki kekasih yang
bernama Ine. Ine adalah seorang dosen berlatar belakang pendidikan S2 dan
sedang melanjutkan studi S3, sedangkan Ed adalah seorang karyawan steward
(pencuci piring) di salah satu restoran.
Jika dilihat berdasarkan lamanya masa studi seseorang yang sedang
mengejar gelar doktor, maka bisa diperkirakan usia Ine adalah 27 tahun. Tokoh
Universitas Sumatera Utara
30
Ed dan Ine adalah seumuran, jadi peneliti menggolongkan Ed berada pada masa
dewasa awal (20-30 tahun).
Menurut Jahja (2011:246), seseorang yang sedang berada di fase dewasa
awal, melewati masa-masa berikut ini, yaitu: (a) masa pengaturan, (b) masa usia
produktif, (c) masa bermasalah, (d) masa ketegangan emosional (e) masa
keterasingan sosial (f) masa komitmen (g) masa ketergantungan (h) masa
perubahan nilai (i) masa menyesuaikan diri dengan hidup baru, dan (j) masa
kreatif. Peneliti akan mendeskripsikan ciri-ciri masa dewasa awal yang terjadi
pada tokoh Ed dalam novel Gitanjali karya Febrialdi R, yaitu:
4.2 Penemuan Jati Diri Tokoh Ed
4.2.1 Masa Pengaturan (Settle Down)
Pada masa ini, seseorang akan “mencoba-coba” sebelum ia menentukan
mana yang sesuai, cocok, dan memberi kepuasan permanen. Ketika ia telah
menemukan pola hidup yang diyakini dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, ia
akan mengembangkan pola-pola perilaku, sikap, dan nilai-nilai yang cenderung
akan menjadi kekhasannya selama sisa hidupnya.
Aku sering menjemputnya sepulang ia mengajar dengan motor
trail-ku. Giliran akhir minggu tiba, aku mengajaknya mendaki
gunung-gunung kecil di sekitar kota Bandung. Sekadar
mengenalkan dia pada kegiatan alam (Febrialdi:15).
Awalnya ia malas harus melakukan pendakian walau sekadar
pendakian sederhana. Seiring berjalannya waktu, tetap saja ia malas
dan tak begitu suka dengan kegiatan alam. Sama tak sukanya ketika
aku harus menemaninya berkeliling berjam-jam di mal untuk entah
melakukan apa. Namun, begitulah hubungan kami (Febrialdi:15).
Pada kutipan di atas, menjelaskan bahwa di masa pengaturan ini, tokoh Ed
memiliki hobi berkegiatan alam seperti mendaki gunung. Banyak gunung yang
Universitas Sumatera Utara
31
sudah dijelajahi oleh Ed. Ed juga mencoba mengenalkan hobi itu kepada
kekasihnya, Ine yang tidak suka mendaki gunung. Dalam kehidupan sepasang
kekasih, pada dasarnya memiliki keinginan untuk menyamakan kesukaan agar
merasa lebih cocok dalam berhubungan. Tapi pada kenyataannya, tokoh Ed dan
Ine tidak memiliki kegemaran yang sama.
Sementara aku, ke mana-mana naik motor trail tua, tinggal di
tempat kos murah, dan bekerja sebagai steward di sebuah restoran.
Sementara aku bisa mengembangkan Ine, lantas apa yang bisa
dibanggakan Ine atas diriku? (Febrialdi:22).
Pada tahap pengaturan ini, tokoh Ed memiliki pola hidup sebagai
karyawan steward (pencuci piring) di salah satu restoran untuk menghidupi
kebutuhan sehari-harinya. Ed tinggal seorang diri di suatu kos-kosan. Menjalani
kehidupan yang pas-pasan untuk menghidupi dirinya sendiri. Tapi, pada kutipan
di atas, pada saat yang bersamaan, Ed merasa tidak percaya diri atas
pencapaiannya jika dibandingkan dengan Ine yang seorang dosen.
“Emang kamu bener-bener nggak tahu bakal travelling ke mana?”,
tanya Dava heran.
Aku hanya menggeleng.
“Sama sekali?” Dava penasaran.
Aku mengangguk pelan.
“Gilaaa!” umpat Dava.
“Serius. Aku benar-benar nggak punya rencana atau target.
Pokoknya jalan aja.”
“Makanya, aku usul pakai rencana dan target, Ed”, tambah Fadil
lagi.
“Gimana kalo Seven Summits Indonesia?” usul Andriza.
(Febrialdi:55).
Kutipan di atas menunjukkan keraguan yang dialami Ed selepas keluar
dari rumah sakit karena koma atas kecelakaan yang menimpa dirinya.
Diputushubungan kerja secara sepihak dan mendapat pesangon yang terbilang
Universitas Sumatera Utara
32
besar, membuat Ed bingung untuk melanjutkan hidupnya. Teman-teman
sepermainannya mengusulkan untuk melakukan perjalanan, seperti Seven Summit
Indonesia, yaitu mendaki tujuh puncak tertinggi di Indonesia. Pada masa
pengaturan ini, Ed kembali mencoba melanjutkan hidupnya dengan melakukan
perjalanan untuk memulai pola kehidupan yang baru.
Sudah hampir satu bulan aku tinggal di rumah panti. Rumah Ibu
Ros yang diberikan padaku. Ada banyak perbaikan yang kulakukan
berkenaan dengan kerusakan rumah panti. Pak Hendra malah
mengusulkan agar memanggil tukang saja. Sekalian diperbaiki
secara menyeluruh. Biayanya ditanggung Pak Hendra sepenuhnya
(Febrialdi:285).
Pada kutipan di atas menunjukkan bentuk masa pengaturan yang dialami
oleh tokoh Ed pada fase dewasa awal. Setelah perjalanan yang baru dimulai,
kehilangan teman sependakian membuat jiwa Ed sangat terguncang. Ed memilih
untuk kembali ke Yogyakarta, ke panti asuhan karena teringat akan janji Pak
Hendra yang mengajaknya beribadah haji. Dari panti asuhan itulah Ed mengalami
masa pengaturan baru dalam hidupnya. Membuka lembar baru untuk memilih
tinggal dan mengurus rumah panti seperti yang diwariskan oleh Ibu Ros
kepadanya.
4.2.2 Masa Usia Produktif
Dinamakan sebagai masa produktif karena pada rentang usia ini
merupakan masa-masa yang cocok untuk menentukan pasangan hidup, menikah,
dan berproduksi/menghasilkan anak. Pada masa ini, organ reproduksi sangat
produktif dalam menghasilkan keturunan (anak).
Aku sudah lupa, entah sudah berapa lama hubungan kami berjalan.
Bisa jadi cukup lama. Kalau disebut pacaran, hubungan kami tak
seperti umumnya muda-mudi yang tengah menjalin hubungan
percintaan. Di mana mereka saling kunjung ke rumah masing-
Universitas Sumatera Utara
33
masing, saling mengenal orang tua, melakukan aktivitas bersama,
atau sekadar makan berdua. Jika tidak disebut pacaran, hubungan
kami lebih dari sekadar serius. Entah jenis apa hubungan semacam
ini, yang jelas bukan sekadar teman (Febrialdi:15).
Pada tahap dewasa awal, seseorang akan mulai memikirkan untuk
menjalin hubungan percintaan ke tingkat yang lebih serius, yaitu pernikahan.
Namun, hal itu tidak terjadi pada tokoh Ed. Ed dan Ine menjalani hubungan yang
rumit. Perbedaan status sosial membuat Ed tidak percaya diri untuk
membicarakan hal yang serius kepada Ine. Ed juga tidak berani untuk
mengunjungi orang tua Ine. Pada kutipan di atas, Ed juga bingung untuk
menetapkan status apa yang pantas untuk menamai hubungannya dengan Ine. Hal
inilah yang sering menjadi konflik antara mereka berdua.
Rima tersenyum. “Saat itu kerja Dicky nggak jelas, Ed. Serabutan.
Ah, pokoknya serba nggak jelaslah. Kamu malah jauh lebih jelas.
Bantu koki masak dan cuci piring di restoran. Karyawan tetap.
Dicky? Uang keluar masuk nggak jelas. Kadang utang sana , utang
sini. Sementara kamu, kamu itu punya pekerjaan. Kerja yang jelas
malah. Tapi Dicky berani bicara sama orang tuaku. Dalam keadaan
serabutan kayak gitu, dia berani ngomong sama orang tuaku kalau
dia serius ingin menikahi aku. Itu yang dilihat orang tuaku.”
Aku termenung mendengar kata-kata Rima (Febrialdi:45-46).
Pada kutipan di atas, Rima, istri Dicky, sahabat baik Ed menceritakan
pengalaman percintaannya bersama Dicky. Dicky berani melamar Rima walaupun
belum memiliki pekerjaan yang tetap. Hal itu langsung saja menyinggung Ed
yang tidak kunjung menemui orang tua Ine, padahal ia sudah memiliki pekerjaan
tetap. Ed hanya berfokus pada status sosial keluarga Ine yang membuatnya merasa
tidak pantas. Hal itulah yang menjadi sebab permasalahan Ed dan Ine tidak
kunjung menikah.
Universitas Sumatera Utara
34
Kehadiran Putri sendiri sungguh mengagetkan. Mengapa tiba-tiba
harus bertemu dengan gadis secantik Putri? Ia tak seperti
perempuan-perempuan yang selama ini kukenal. Ia lucu, sederhana,
dan tampak menyenangkan.
Tak bisa kupungkiri aku merasa nyaman setiap berada di dekatnya.
Tiba-tiba saja ada keinginan untuk lebih mengenal dirinya. Tapi,
apakah ia sudah punya kekasih? Jadi, apa motifku menerima ajakan
ibadah Haji? Untuk bisa mengenal Putri lebih dekat?
(Febrialdi:98).
Fase dewasa awal yang sedang dialami tokoh Ed membuatnya merasakan
gejolah di usia produktif. Pada kutipan di atas, terlihat bahwa Ed merasa kagum
pada gadis yang bernama Putri. Putri adalah anak dari Pak Hendra, ketua yayasan
panti asuhan tempat di mana Ed dibesarkan dulu. Namun, Ed merasa bimbang
apakah ibadah haji yang ditawarkan Pak Hendra bisa dijadikannya sebagai alasan
untuk mendekati Putri karena ia sedang mengagumi sosok Putri.
Jangan-jangan Fuad betul, apakah benar aku punya perasaan pada
Nina? Biasanya aku memang tak pernah ambil pusing soal tenda
atau tidur dengan siapa. Karena tidur di dalam pendakian tak lain
adalah proses mengembalikan energi. Memulihkan tenaga. Istirahat
dalam arti sebenarnya. Bukan yang lain-lain (Febrialdi:197).
Kutipan di atas adalah ciri-ciri masa usia produktif yang dialami oleh
tokoh Ed. Situasi di atas menjelaskan bahwa Ed yang sedang bingung karena
Nina, teman sependekiannya ke Gunung Rinjani tidak membawa tenda. Biasanya
itu tidak pernah mengganggu Ed, tapi ia tidak tahu mengapa kali ini ia harus
merasa gelisah ketika harus berbagi tenda dengan Nina. Ed memikirkan perkataan
Fuad, apa benar ia sudah menaruh perasaan kepada Nina sehingga merasa
gelisah.
Aku masih memperhatikan setiap lekuk wajahnya. Mulai dari anak
rambutnya, keningnya, alisnya, matanya, hidungnya, tulang
pipinya, dagunya, dan berhenti di bibirnya. Ah, bibir itu.
Universitas Sumatera Utara
35
Nina masih memejamkan mata ketika tiba-tiba berkata, “Kalo
kelamaan lihat, hati-hati jatuh cinta , lho.”
Aku tercekat. Sialan! Umpatku dalam hati. Rupanya ia tahu jika
tengah diperhatikan wajahnya. Masih sambil memejamkan mata ia
tersenyum geli. Betul-betul sableng, batinku dalam hati
(Febrialdi:205)
Kutipan di atas menunjukkan ciri-ciri masa usia produktif pada tokoh Ed.
Rasa ketertarikan terhadap lawan jenis tidak dapat dielakkan oleh Ed terhadap
Nina yang dijulukinya sebagai bunga liar. Mendapat kesempatan bisa mendaki
Gunung Rinjani berdua bersama Nina membuat Ed diam-diam mengagumi gadis
cantik itu.
4.2.3 Masa Bermasalah
Masa dewasa dikatakan sebagai masa yang sulit dan bermasalah. Hal ini
dikarenakan seorang harus mengadakan penyesuaian dengan peran barunya
(perkawaninan vs pekerjaan). Jika ia tidak dapat mengatasinya, maka akan
menimbulkan masalah.
Terlepas dari itu, orang tuanya tetap mendesak Ine agar aku
menyelesaikan kuliahku, mengurangi hobi naik gunungku, dan
bekerja secara layak. Secara layak? Apa maksud orang tuanya
tentang bekerja secara layak? Kalau pun Ine berasal dari kalangan
akademisi, apakah itu berarti aku mesti jadi dosen juga? Kalau
benar demikian, rumus hidup macam apa itu?(Febrialdi:15).
Pada kutipan di atas, orang tua Ine yang menginginkan kejelasan atas
hubungan anaknya dengan Ed mulai mendesak Ine untuk menyampaikan kepada
Ed agar menyelesaikan kuliahnya. Ed sebenarnya adalah seorang mahasiswa S1
yang tidak kunjung lulus. Ed memilih untuk fokus bekerja sebagai seorang
pencuci piring dari pada menyelesaikan kuliahnya. Hal itu menimbulkan keraguan
orang tua Ine atas Ed.
Universitas Sumatera Utara
36
“Kalau punya uang banyak? Mmm... nikahin kamu!”
“Huuu... itu sih bukan jawaban!”
“Lha, tadi nanya...”
“Jadi kamu baru mau nikahin aku kalo udah dapat uang banyak?
Kalo nggak dapat-dapat? Berarti nggak nikah-nikah, dong?”
(Febrialdi:19)
Kutipan di atas menampilkan pertanyaan Ine yang bertanya apa yang akan
Ed lakukan jika memiliki banyak uang. Ed menjawab ingin menikahi Ine. Tapi,
jawaban Ed malah menjadi keraguan tersendiri oleh Ine. Ine beranggapan Ed
hanya akan menikahinya jika ia punya banyak uang, lantas tidak akan
menikahinya jika uang yang dipunya tidak banyak. Masalah yang timbul adalah
keraguan Ine terhadap Ed yang belum berniat untuk menikahinya.
Aku masih tak mengerti, hingga minggu ketiga aku dirawat di
rumah sakit, Ine masih belum menjengukku. Aku tahu, sejak
pertemuan terakhir, kami sudah lama tak berkontak bahkan tak
bertemu. Kami memang tak bertengkar. Namun, bukankah apa
yang sedang terjadi denganku saat ini bukan kejadian sepele? Aku
kena musibah. Kecelakaan. Bahkan dipecat dari tempat kerja
(Febrialdi:23)
Pada kutipan di atas, Ed yang sudah sadar dari koma tidak mendapati
keberadaan Ine, orang pertama yang seharusnya ada di sisinya. Ibarat sudah jatuh
tertimpa tangga, Ed yang mengalami musibah kecelakaan kerja, dipecat secara
sepihak, mendapat masalah yang bertambah, yaitu Ine yang tidak datang
menjenguknya. Pertemuan terakhir mereka yang sudah lama dan meninggalkan
sedikit perdebatan membuat Ed yakin Ine tidak peduli dengannya lagi dan telah
meninggalkannya begitu saja.
“Tapi apa? Apa? Kamu pengin orang tuaku yang bisa memaklumi?
Kamu ingin aku yang bisa memahami kamu? Iya? Ha?” Nada
bicara Ine jelas tampak jengkel. “Kurang apa? Kurang apa aku
memahami kamu selama ini? Kurang memaklumi gimana orang
tuaku terhadap hubungan kita selama ini? Kurang gimana?
Sementara kamu? Apa kamu mau memaklumi keinginan orang
tuaku? Apa kamu mau memahami kesabaranku? Jangan egois, Ed!
Universitas Sumatera Utara
37
Ini bukan melulu soal kamu aja. Ini soal kita. Soal dua pihak yang
dipersatukan. Nggak bisa kalo satu pihak aja yang terus-terusan
minta dimaklumi dan dipahami.” (Febrialdi:24).
Pada kutipan di atas, Ed teringat perdebatan di pertemuan terakhirnya
dengan Ine. Ine yang pada saat itu tersulut emosi karena Ed hanya bisa
mempermasalahkan status sosial keluarga Ine yang akademisi. Ed merasa Ine dan
orang tuanya tidak memahami dan memaklumi keadaannya. Ine geram dengan
sikap Ed yang tidak mau mencari solusi atas masalah hubungan mereka.
“Kamu kok malah menyudutkan aku, sih?”
“Menyudutkan? Menyudutkan katamu? Kamu kalo udah nggak
bisa beragumen, bisanya merasa tersudut. Terpojok. Merasa
dirongrong. Padahal aku cuma butuh kejelasan dari kamu.
Kepastian. Ini nggak fair, Ed. Nggak fair. Bukan aku aja yang
harus memahami kamu. Bukan orang tuaku saja yang terus-
terusan memaklumi. Kamu juga harus sadar bahwa selama ini
dipahami dan dimaklumi. Masak mau gini terus. Bakal ke mana?”
(Febrialdi:24-25).
Kutipan di atas menunjukkan ketidaksiapan dan ketidakseriusan tokoh Ed
dalam menjalin hubungan dengan Ine. Ed memiliki masalah dengan dirinya
karena tidak bisa mengambil sikap tegas. Ed tidak kunjung memberi kepastian
kepada Ine dan keluarganya. Setiap kali harus berdebat perihal hubungannya,
akan berakhir dengan Ed yang merasa terpojokkan oleh desakan Ine.
“Kami sudah mendengar keputusan perusahaan tentang statusmu,
Ed,” sambung Kidung lagi. “Kami turut prihatin. Kami sempat
protes bahwa apa yang terjadi pada dirimu murni kecelakaan. Tapi,
kamu tahu sendiri, berapa pun jumlah kami, sekuat apa pun proes
kami, apalah arti kami di depan peraturan perusahaan? Boro-boro
minta perusahaan mencabut keputusan. Kami bahkan nggak bisa
apa-apa.” (Febrialdi:27).
Kutipan di atas terlihat teman-teman kerja Ed datang untuk menjenguknya
yang baru sadar dari koma. Mereka sudah mendengar keputusan perusahaan untuk
memutuskan hubungan kerja dengan Ed secara sepihak. Teman-temannya juga
Universitas Sumatera Utara
38
sudah menjelaskan keterlibatan mereka dalam membantu mencari keadilan dalam
kasus Ed. Namun, usaha teman-temannya tidak berbuah hasil yang baik.
Perusahaan tidak akan mencabut pemutusan hubungan kerja terhadap Ed. Jadi,
sudah dipastikan, sekeluarnya Ed dari rumah sakit, Ed resmi menjadi
pengangguran.
“Tapi, sudah berapa lama dia nggak ngontak kamu? Sama aja, kan?
Itu artinya dia pun nggak berusaha memperbaiki apa yang
sebetulnya sedang terjadi di antara kalian. Sudah. Pergi.”
(Febrialdi:34).
Dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa Dicky meyakinkan Ed untuk
tidak ragu dalam mengambil keputusan melakukan perjalanan. Ed masih ragu
karena sulit untuk meninggalkan Ine. Dicky mencoba menyadarkan Ed kalau Ine
pada kenyataannya sudah tidak peduli dengannya. Hal itu dibuktikan ketika Ine
tidak kunjung menjenguk atau sekadar memberi kabar kepada Ed.
“Perempuan itu, Ed, di mana-mana cuma butuh kepastian.”
“Kepastian?” Giliran aku yang kini mengernyitkan dahi.
“Iyalah. Mau kamu sekaya apa pun, mau punya pangkat atau harta
kayak gimana juga, kalo kamu nggak bisa ngasih kepastian atas
hubunganmu, perempuan bakal tetap bimbang”.
“Ini bukan soal belahan jiwa, meyakini terlihat dan gak terlihat.
Tapi kepastian, Ed”, jawab Rima. “Sekarang aku mau nanya, kamu
pernah nggak ngasih kepastian dan meyakinkan sama Ine bahwa
kamu yakin bakal nikahi dia?”
Aku terdiam seribu bahasa (Febrialdi:42).
Kutipan di atas menampilkan percakapan antara Ed dan Rima pada malam
sebelum keberangkatan Ed. Rima memberi nasihat yang membuka pikiran Ed
dalam persoalan percintaan dari sudut pandang perempuan. Rima mengatakan
kalau perempuan membutuhkan kepastian. Tidak peduli sekaya atau sehebat
apapun laki-laki, jika tidak bisa memberikan kepastian dalam hubungan,
Universitas Sumatera Utara
39
perempuan akan tetap bimbang. Hal itu tentu saja membuat Ed terdiam karena ia
menyadari sikapnya terhadap Ine yang selama ini hanya menyalahkan takdir
bahwa ia dan Ine berada pada status sosial yang berbeda.
Kulepaskan bibir cangkir itu dari mulutku. “Aku baru aja datang
dari Yogya, Put. Tiba-tiba ketemu kamu. Lalu diajak ngeliat rumah
ini. Belum juga sempat narik napas, sudah kamu sodorkan tawaran
haji. Sekarag malah sudah ditanya apa jawabanku,” kataku tertawa
(Febrialdi:96).
Dalam kutipan di atas, menunjukkan masa bermasalah pada fase dewasa
awal tokoh Ed. Percakapan antara Ed dan Putri, anak ketua yayasan panti asuhan
yang dulu menjadi tempat tinggal Ed semasa kecil hingga remaja. Keberangkatan
Ed yang diawali oleh kota Jogja untuk sekadar singgah melihat rumah panti
tempat di mana ia dibesarkan, menjadi kebimbangan baru atas dirinya. Tawaran
berangkat haji oleh Pak Hendra yang ternyata sudah lama mencari dan menunggu
kedatangan Ed membuatnya semakin bingung. Ditambah lagi Ed yang belum tahu
gunung mana yang akan didaki dahulu, bisa saja menerima tawaran haji tersebut,
tapi Ed merasa belum siap untuk berangkat haji pada saat itu.
“Itu ajaran Bapak. Itu kenapa Putri jadi senang berbisnis. Ada
kepuasan tersendiri saat mendapatkan hasil dari usaha yang kita
ciptakan. Di luar itu, Putri merasakan betul nikmatnya bekerja di
bidang yang Putri senangi. Bekerja karena kita senang, Mas. Bukan
karena keadaan yang mengharuskan kita untuk bekerja yang bisa
jadi sebetulnya kita nggak suka dengan pekerjaan yang kita
kerjakan.”
Tiba-tiba aku tersentak dengan kalimat terakhir Putri. Astaga!
Gadis semuda ini, sudah memiliki pemikiran seperti itu, batinku
cemburu. Seperti halnya Dicky, Andre, Andriza, Dava dan Fadil.
Sahabat-sahabatku di Bandung (Febrialdi:107).
Kedua kutipan di atas menujukkan masa bermasalah yang dialami Ed.
Pemikiran Putri tentang bisnis sontak saja menambah kecil hati Ed. Ia merasa
Universitas Sumatera Utara
40
Putri memiliki pemikirannya yang jauh berada di depannya. Hal itu juga
mengingatkan Ed pada teman-temannya atas jalan hidup mereka yang sesuai
dengan kemampuan dan keinginan, berbeda dengannya yang hanya bekerja demi
memenuhi kebutuhan hidup seorang diri dan belum bisa bekerja sesuai dengan
minat dan bakatnya.
Aku memicingkan mata sembari mulai waspada.
Hmm, siapa gerangan mereka? Anak-anak muda tanggung.
Usianya jelas berada jauh di bawahku. Namun, gaya dan sikapnya
sungguh kontras, sok jagoan (Febrialdi:112).
Kutipan di atas menunjukkan masa bermasalah yang dihadapi oleh tokoh
Ed. Pada malam selepas berjalan-jalan menikmati gudeg bersama Putri, Ed yang
menolak tawaran Putri untuk diantar pulang ke rumah panti dengan alasan ingin
pulang sendiri sambil menikmati suasana malam di Jogja, tiba-tiba dikejutkan
dengan kehadiran empat lelaki muda yang ternyata sudah mengincarnya dari tadi.
Tampak dari tampang mereka seperti anak muda berandalan yang akan
memancing keributan.
“Wah, raiso ngono, Mas,” tiba-tiba si parlente yang sejak tadi
diam, angkat bicara. “Mas jalan sama Putri, itu jelas berurusan
dengan kami!” katanya langsung ke pokok
persoalan(Febrialdi:113).
Rupanya si parlente itu punya riwayat dengan Putri. Kekasih Putri-
kah? Tanyaku menduga-duga. Rasanya terlalu konyol jika Putri
sampai pacaran dengan si parlente yang punya tampang kolokan
sekaligus tengik seperti siparlente. Tak sepadan sama sekali
(Febrialdi:115).
Kedua kutipan di atas menunjukkan masa bermasalah tokoh Ed ketika
berhadapan dengan sekelompok pemuda yang menantangnya di tengah jalan.
Ternyata salah satu dari pemuda-pemuda itu mempermasalahkan Ed yang barusan
Universitas Sumatera Utara
41
berjalan-jalan dengan Putri. Ed tidak mengetahui Putri dan pemuda itu
mempunyai hubungan apa. Hal itu menjadi ancaman bagi Ed karena dikepung
orang-orang tak di kenal.
“Rupanya yang bikin koboi-koboi unyu macam kalian stres semata
soal perempuan?” tanyaku balas mengejek.
“Jadi, kamu apanya Putri?” Seketika aku menoleh ke arah si
parlente. “Pacar? Atau baru sekadar suka?”
Kulihat wajah si parlente merah padam.
“Banyak mulut kowe!” Tiba-tiba si topi koboi menerjang ke arahku
(Febrialdi:113).
Percakapan di atas adalah kutipan dari salah satu masa bermasalah yang
dialami oleh tokoh Ed. Ed yang telah mengetahui akar permasalahan kenapa para
pemuda itu meradang dan menyerbu Ed adalah semata karena Putri. Amarah para
pemuda itu memuncak ketika Ed tidak kunjung menjawab pertanyaannya perihal
hubungannya dengan Putri. Sudah dipastikan adegan selanjutnya adalah baku
hantam antara Ed dan keempat pemuda tanggung itu.
Tangan kiri si parlente masih memegangi kerah kemejaku dengan
kasar. Sementara tangga kanannya menepuk-nepuk pipiku sambil
berkata, “Makanya, ojo sok jago di kota orang,” ujar si parlente
dengan nada sombong. “Sekali lagi aku lihat kamu jalan sama
Putri, habis kamu!” (Febrialdi:114).
Seperti pada kutipan di atas, Ed sedang mengalami masa bermasalah
ketika kedatangannya di Jogja. Sudah jelas Ed kalah dengan keroyokan anak-anak
berandalan yang mengaku pacar Putri itu. Para pemuda itu juga mengancam jika
Ed masih terlihat mendekati Putri, mereka tidak akan tinggal diam. Hal itu tentu
saja membuat Ed jadi serba salah, kemungkinan hal lebih parah akan menimpa Ed
kalau ia masih terlihat dekat dengan Putri.
Tapi, kalaupun Putri boleh memberi masukan, lakukanlah semua
demi Allah semata. Mendakilah untuk mencinta, mengahayati, dan
Universitas Sumatera Utara
42
mensyukuri segala ciptaan-Nya. Karena tak ada gunung yang lebih
tinggi selain ketinggian yang sudah Allah ciptakan di langit dan
bumi ini (Febrialdi:150).
Aku betul-betul terkejut. Terhenyak. Sampai berulang kali kubaca
kalimat Putri dalam e-mail-nya. Nyaris tak percaya. Selama ini
tujuanku mendaki sama sekali bukan dengan alasan-alasan yang
Putri sodorkan. Memang aku mencintai alam. Tapi demi
kecintaanku pada Sang Pencipta? Baru kali ini kudengar. Terlebih
rencana Seven Summits Indonesia-ku. Jadi untuk apa segala
rencana dan tujuan selama ini? (Febrialdi:152).
Pada kutipan pertama adalah penggalan isi e-mail yang dikirim Putri untuk
Ed selepas memilih untuk pergi karena kejadian pengeroyokan pada malam itu.
Penggalan e-mail tersebut, Putri mengingatkan Ed untuk melakukan pendakian
karena Allah. Pada kutipan kedua, terlihat reaksi Ed yang terkejut karena
membaca e-mail tersebut. Hal itu menambah masalah bagi Ed karena ia tersadar
bahwa perjalanannya kali ini bukan dipersembahkan untuk Allah, melainkan
merupakan pembuktiannya kepada Ine. Pada saat itulah Ed merasa semakin
bingung atas tujuan Seven Summits Indonesia-nya yang baru saja akan ia mulai.
Aku masih duduk di teras pos Ranu Pane. Masih menimang-
nimang apakah aku harus mengajak Nina atau tidak? Tiba-tiba aku
jadi teringat pada Ine. Di mana aku menjadikan hatinya sebagai
tempat berpulang (Febrialdi:157).
Pada kutipan di atas, ditemukan ciri-ciri masa bermasalah yang dialami
oleh tokoh Ed. Perasaan bingung melanda Ed ketika ia dan Cery, sahabatnya
berjumpa dua orang gadis di Gunung Semeru. Salah satu gadis yang bernama
Nina, mengetahui kalau Ed akan melajutkan pendakian di Gunung Rinjani yang
akan menjadi gunung kedua dalam pencapaian Seven Summits Indonesia-
nya.Yang menjadi masalah adalah bahwa Nina ingin ikut serta ke gunung Rinjani.
Kebingungan itu tentu saja datang karena Ed memikirkan perasaan Ine kalau saja
Universitas Sumatera Utara
43
Ine sampai tahu ia pergi ke Rinjani berdua dengan seorang gadis cantik. Alih-alih
mendaki untuk persembahan kepada Ine, Ed takut rencana perjalanannya akan
berubah tujuan kalau ia membawa Nina.
Kalau betul ia sedang menjemput rombongan yang hendak
mendaki Semeru, jelas mereka sudah melakukan booking pada
semacam agen perjalanan pendakian. Bisa jadi mereka pun sudah
melakukan pembayaran uang muka, termasuk transportasi dari
Stasiun Malang menuju Tumpang, bahkan Ranu Pane.
Jika seperti pengakuannya sebagai penjemput, berarti ia hanya
mencari uang dariku. Huh! Tiba-tiba aku merasa sebal. Padahal
semua itu tak lebih hanya analisisku semata. Ah, entahlah
(Febrialdi:167).
Kedua kutipan di atas adalah salah satu ciri masa bermasalah yang sedang
dialami Ed. Seorang lelaki tua yang mengaku sebagai penjemput rombongan
pendaki tiba-tiba mendatanginya ketika Ed baru saja tiba di Stasiun Malang.
Lelaki tua itu terus memaksa Ed untuk ikut rombongannya. Tawaran itu ditolak
Ed secara baik-baik karena merasa segan jika ikut menyisip dengan rombongan
lain dan Ed juga sudah risih dengan keberadaan lelaki itu karena terlihat niatnya
adalah untuk mendapatkan uang dari Ed dengan cara memaksa.
Di dalam kereta aku lebih banyak diam ketimbang mengobrol
dengan Nina. Kejadian di depan Stasiun Malang memang kejadian
sepele. Tak lantas membesar menjadi persoalan genting. Tetapi
sedikit banyak membuatku merenung akan makna perjalanan ini
(Febrialdi:172).
Pada kutipan di atas, menunjukkan ciri-ciri masa bermasalah yang dialami
tokoh Ed pada fase dewasa awal. Kejadian tidak diduga ketika seorang lelaki tua
yang berhasil menguras emosi Ed di Stasiun Malang membuatnya merenung
selama perjalanan di kereta api hingga tidak menghiraukan Nina, teman
perjalanannya.
Universitas Sumatera Utara
44
Apa yang sedang aku lakukan? Batinku bertanya. Apakah aku
sedang mengkhianati Ine? Sementara Putri? Bagaimanakah dengan
Putri? Mereka berdua sedang menunggu kabar dariku. Mereka
berdua sedang ingin secepatnya bertemu denganku.
Sementara aku, sedang di Lombok dengan seorang perempuan
yang baru saja kukenal (Febrialdi:176).
Namun, apakah masih cukup layak jika aku dianggap mengkhianati
Ine? Bukankah hubunganku dengannya sedang tak jelas ke mana
arah muaranya. Sementara Putri, aku tak pernah punya ikatan atau
janji apa-apa dengannya. Meski harus kuakui, aku menyukainya.
Ah, kenapa perjalanan ini malah membuatku dilema?
(Febrialdi:176)
Pada kedua kutipan di atas terdapat ciri-ciri masa bermasalah yang dialami
tokoh Ed. Membiarkan Nina, seorang gadis yang baru saja ia kenal, untuk ikut
serta dalam pendakian tentu saja menjadi masalah baru yang akan dialami Ed. Ed
merasa telah mengkhianati Ine karena tidak sesuai dengan tujuan awal melakukan
Seven Summits Indonesia, yaitu untuk mempersembahkannya kepada Ine. Tapi,
Ed juga menafikan kalau ia mengkhianati Ine karena Ed merasa hubungannya
dengan Ine sedang tidak jelas. Hal itu menimbulkan dilema dalam hati Ed tentang
perjalanannya.
Aku seringkali terbata-bata ketika harus mendefinisikan pengertian
cinta. Tak jarang malah jadi bertanya pada diri sendiri, apa yang
sebetulnya dicari oleh perempuan yang ingin mengikat cinta pada
lelaki yang tengah melakukan perjalanan seperti diriku? Bukankah
aku orang yang tidak diam di satu tempat. Terus berjalan dan
berpindah-pindah dalam kurun waktu yang tak bisa ditentukan.
Lantas apa artinya ikatan cinta bagi mereka?
Di satu sisi, harus jujur kuakui, bagaimanapun aku membutuhkan
cita dan kasih sayang dari seorang perempuan. Namun, di sisi lain,
hubungan cinta yang mengikat seperti itu justru membuat
perjalananku terhambat (Febrialdi:194).
Universitas Sumatera Utara
45
Kedua kutipan di atas menunjukkan masa bermasalah yang sedang dialami
oleh tokoh Ed ketika sudah memulai perjalanan. Nina yang sering kali
menyatakan perasaannya kepada Ed secara terus terang selama di perjalanan
membuatnya dilema. Ed hampir tidak bisa membedakan jika Nina sedang serius
atau sekadar bergurau ketika menyatakan perasaannya. Tak jarang pula Nina
mengatakan Ed sebagai lelaki yang tidak peka karena tidak menanggapi
perasaannya. Hal itu membuat Ed semakin bingung dalam memahami sifat
wanita. Walaupun tidak dipungkiri bahwa Ed juga membutuhkan cinta dan kasih
sayang dari seorang perempuan, tapi itu bisa saja menghambat perjalanannya.
Berarti cuma ada satu tenda milikku. Memang muat untuk dua
orang. Namun, apakah itu berarti itu satu tenda bersama Nina?
(Febrialdi:195).
Semua perbekalan dan perlengkapan hampir semua sudah siap.
Hanya tenda saja yang saat ini masih jadi biang masalah. Aku juga
masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Nina hendak mendaki
tanpa membawa tenda? (Febrialdi:197).
Pada kedua kutipan di atas menunjukkan masa bermasalah yang dialami
tokoh Ed. Nina yang ternyata tidak membawa tenda menimbulkan masalah baru
bagi Ed. Ed merasa canggung jika harus satu tenda dengan Nina. Padahal, Ed
sering melakukan pendakian dan sering tidak peduli akan satu tenda dengan siapa
saja. Tapi kali ini Ed merasa hal itu menjadi masalah ketika harus satu tenda
dengan Nina.
“Mas Ed sendiri kenapa kok melakukan Seven Summits
Indonesia?” tanya Nina tiba-tiba. “Boleh tahu tujuannya?”
Aku tercekat! Sungguh, alasan di balik itu tidak mudah untuk
kujawab. Mau tidak mau pertanyaan itu membuatku terlempar pada
omonganku terhadap Ine di email, yang kukirim sebelum
meninggalkan Kota Bandung. Dan kini kusadari, aku belum
Universitas Sumatera Utara
46
merespon email dari Ine. Ia pasti tengah menunggu-nunggu
balasanku (Febrialdi:202).
Pada kutipan di atas menunjukkan masa bermasalah yang dialami tokoh
Ed. Pertanyaan Nina tentang apa tujuannya melakukan Seven Summits Indonesia
ternyata mengganggu pikirannya. Karena pada awal Ed melakukan perjalanan
adalah untuk persembahannya kepada Ine, tapi tujuan itu perlahan menjadi hilang
arah semenjak Ed bertemu dengan Putri dan Nina.
Aku mencoba mengingat-ingat kejadian semalam. Kenapa tiba-tiba
Nina kedinginan dan menggigil hebat? Berarti kecurigaanku
terbukti. Sejak pos terakhir menuju Pelawangan Senaru,
kuperhatikan kondisi Nina sudah tidak optimal lagi. Seringkali
terseok-seok, beberapa kali terjatuh dan napasnya sudah tak
beraturan (Febrialdi:212).
Pada kutipan di atas menunjukkan ciri-ciri masa bermasalah yang dialami
tokoh Ed dalam proses penemuan jati dirinya. Ed merasa curiga dengan tingkah
laku Nina yang menunjukkan fisik yang lemah sejak tiba di Pelawangan Senaru.
Nina mulai berjalan dengan sempoyongan, wajah letihnya tidak bisa
disembunyikannya lagi, dan saat berbicara selalu patah-patah serta susul-
menyusul dengan tarikan napas yang mulai berkejaran. Ed dan Nina memutuskan
istirahat dan membangun tenda di pos Pelawangan Senaru.
“Nina! Nina! Bangun, Nina!” Kugoncang-goncang tubuhnya.
Namun Nina tetap tak bereaksi sama sekali.
Astaga! Apa yang terjadi? Apa yang harus kulakukan sekarang?
Saat ini aku seorang diri di Pelawangan Senaru Tak ada pendaki
melintas. Tak ada tenda sama sekali. Aku harus bagaimana?
(Febrialdi:215).
Entah karena kalut atau tak tahu mesti berbuat apa, lagi-lagi aku
mengeluarkan ponsel. Padahal sejak tadi sudah kuketahui, ponselku
tak menangkap sinyal (Febrialdi:217).
Universitas Sumatera Utara
47
Masa bermasalah yang dialami Ed mengalami puncaknya ketika pagi hari
Nina tidak kunjung bangun dari tidurnya. Ed yang sedang menyiapkan sarapan
tiba-tiba terkejut karena ketika akan membangunkan Nina, tidak ada reaksi apa-
apa. Pada saat itu Ed merasa ada yang tidak beres dari Nina. Masalah semakin
lengkap ketika Ed menyadari ternyata di sekitar mereka tidak ada tenda lain yang
bermalam di Pelawangan Senaru dan tidak ada sinyal yang tertangkap di
ponselnya.
“Oke,” kata sang dokter. “Aku tentu saja nggak bisa menyimpulkan
begitu saja. Perlu diagnosis lebih lanjut di rumah sakit. Tapi, yang
pasti, saat ini ia sudah meninggal. Yang lebih penting sekarang ini
adalah bagaimana caranya menginformasikan hal ini ke pos
gerbang Senaru dan menyiapkan penurunan jenazah.”
(Febrialdi:219).
Pada kutipan tersebut terdapat ciri-ciri masa bermasalah yang dialami
tokoh Ed. Kekhawatiran Ed ternyata benar. Nina sudah meninggal dunia. Hal itu
dipastikan oleh dokter Unu, dokter yang kebetulan lewat di pos Pelawangan
Senaru bersama rombongannya yang berjumlah 5 orang. Tapi penyebab kematian
Nina belum dapat dipastikan diagnosisnya karena memerlukan pemeriksaan yang
lebih lanjut.
“Ed,” panggilnya sambil keluar dari tenda, “keluarga Nina pasti
akan mempertanyakan kronologi Nina sampai bisa meninggal di
gunung.”
Aku mengangguk pelan.
“Dan satu-satunya orang yang tahu betul kronologi itu, hanya
kamu.”
Lagi aku mengangguk.
“Kamu siap?”
Kembali aku mengangguk. Pelan. Sangat pelan.
Aku tahu, cepat atau lambat aku pasti akan dimintai
pertanggungjawaban atas peristiwa ini. Tak mungkin keluarga Nina
menerima jenazah Nina begitu saja tanpa ingin mengetahui
bagaimana peristiwa itu sampai terjadi. (Febrialdi:227).
Universitas Sumatera Utara
48
Pada kutipan di atas menunjukkan ciri-ciri masa bermasalah yang dialami
tokoh Ed. Setelah Fuad memeriksa keadaan Nina, Fuad mengatakan kenyataan
yang harus dilewati Ed bahwa Ed akan menjadi satu-satunya orang yang
bertanggung jawab atas kejadian Nina. Keluarga Nina pasti akan mempertanyakan
kronologi mengapa Nina bisa meninggal di gunung. Hal itu pasti menjadi masalah
baru bagi Ed. Ia harus mempersiapkan diri untuk dimintai keterangan sebagai
saksi atas kematian Nina.
Tak mudah membawa jenazah menuruni gunung. Meski jalur
Pelawangan Senar menuju Desa Senaru cenderung normal dan
minim posisi-posisi yang menyulitkan, tetap saja, membawa
jenazah bukanlah pekerjaan mudah (Febrialdi:230).
Kutipan di atas menunjukkan masa bermasalah yang dialami Ed dalam
proses penemuan jati dirinya. Setelah Fuad mengkordinasi tim evakuasi dan
bantuan beberapa pendaki yang kebetulan melewati TKP, jenazah Nina pun di
digotong untuk dibawa ke Desa Senaru. Hal itu menimbulkan masalah baru
karena untuk turun gunung sambil membawa jenazah bukanlah hal yang mudah.
Tim pembawa jenazah sudah bergantian berkali-kali. Sesekali rombongan
berhenti sejenak untuk sekadar melepas lelah. Namun, tak bisa lama-lama
beristirahat karena hari sudah mulai gelap. Rombongan tetap harus terus bergerak.
Aku mencoba berempati atas musibah yang terjadi di Gunung
Rinjani. Tapi, terlepas dari meninggalnya mahasiswi tersebut, mau
tidak mau aku harus berkata bahwa kamu pengecut, Ed! Kamu
tidak berani menghadapi kenyataan (Febrialdi:263).
Aku pikir dan aku rasa kita sudah selesai, Ed. Bukan aku yang
mengakhiri hubungan ini. Melainkan kamu yang lebih dulu
memutuskan dengan perbuatanmu (Febrialdi:264).
Universitas Sumatera Utara
49
Pada data di atas menunjukkan masa bermasalah yang dialami oleh tokoh
Ed. Kutipan di atas adalah penggalan e-mail yang dikirimkan Ine kepada Ed. Ine
telah mengikuti kabar yang beredar. Ine tidak menyangka atas apa yang dilakukan
Ed. Ine kecewa karena Ed tidak membalas e-mail yang ia kirimkan sebelum Ed
memutuskan mendaki ke Rinjani. Ditambah lagi kenyataan bahwa Ed mendaki
gunung berdua dengan seorang perempuan. Meskipun Ine mencoba berempati
atas kejadian yang dialami Nina, tapi Ine tidak bisa memaafkan Ed. Ine tidak
peduli lagi jika Seven Summits Indonesia itu dipersembahkan untuknya. Karena
pada kenyataannya, hal itu berbanding terbalik ketika Ed mendaki dengan seorang
gadis. Akhirnya, Ine pun memutuskan hubungannya dengan Ed tanpa ingin
mendengar penjelasan apa pun dari Ed.
Dengan datangnya email dari Ine, kini aku sama sekali sudah tak
berhasrat untuk melanjutkan Seven Summits Indonesia-ku. Terlepas
dengan datangnya email dari Ine pun, di Gunung Rinjani aku sudah
gagal. Dan rasanya aku tak berani lagi mendaki Rinjani dalam
kurun waktu dekat ini. Trauma atas meninggalnya Nina di
Pelawangan Senaru masih begitu membekas di pikiran dan jiwaku.
Seven Summits Indonesia-ku otomatis terhenti di Gunung Rinjani
(Febrialdi:266).
Gagal sudah. Selesai sudah. Aku sudah tak berhasrat lagi mendaki
gunung. Rasanya ingin pensiun. Gantung carrier! (Febrialdi:266-
267).
Pada masa bermasalah yang dialami tokoh Ed, kedua kutipan di atas
menunjukkan keputusasaan yang dialami Ed setelah membaca e-mail dari Ine. Ed
merasa tidak ada gunanya lagi jika ia melanjutkan Seven Summits Indonesia. Ia
merasa gagal atas kematian Nina dan merasa sudah mengecewakan Ine. Lagi pula,
Universitas Sumatera Utara
50
Ed merasa trauma jika melanjutkan Seven Summits Indonesia karena kejadian
yang baru saja menimpa Nina.
4.2.4 Masa Ketegangan Emosional
Ketika seseorang berumur 20-an (sebelum 30-an), kondisi emosional
seseorang sering tidak terkendali. Ia cenderung labil, resah dan mudah
memberontak. Pada masa ini, emosi seseorang mudah tegang. Ia juga khawatir
dengan status dalam pekerjaan yang belum tinggi dan posisinya yang baru sebagai
orang tua.
Tidak! Aku ingin jadi diriku sendiri. Aku tidak mau menjadi sosok
yang tidak aku inginkan. Lagi pula, bukankah setiap orang berhak
menentukan jalan hidupnya sendiri? Bukan ditentukan oleh cara
pandang orang lain? (Febrialdi:15).
Pada kutipan di atas, ditemukan ciri-ciri ketegangan emosional pada tokoh
Ed. Emosi yang bergejolak membuatnya menentang desakan orang tua Ine untuk
menyelesaikan kuliah, mengurangi hobi naik gunung, dan bekerja secara layak.
Ed merasa tidak ada satu orang pun yang berhak mengatur hidupnya dan hal itu
menimbulkan kesenjangan sosial anatara Ed dan Ine yang belum juga
memutuskan untuk menikah.
Entah siapa yang terlena, Ine justru memilih pacaran dengan
seorang steward yang hidupnya serba pas-pasan, tak lulus S1, hobi
naik gunung pula. Apa istimewanya? (Febrialdi:21)
Pada data di atas, terdapat ciri-ciri masa ketegangan emosional yang
dialami oleh tokoh Ed. Ed merasakan keresahan atas pencapaian dirinya. Hidup
yang serba pas-pasan membuatnya sering tidak percaya diri kalau nyatanya Ine,
gadis dari keluarga berpendidikan tinggi itu mau menjalin hubungan dengannya.
Universitas Sumatera Utara
51
“Coba kalau kamu ada di posisiku. Kecelakaan, pacar nggak ada
kabarnya. Dipecat perusahaan. Jobless. Dengan segepok pesangon
dan amplop penuh uang dari teman-teman restoran, apa yang bakal
kamu lakukan saat ini?”
“Travelling!”
“HAH?”
“Travelling!” Kata Dicky sekali lagi dengan senyum menantang.
“Sinting!”
“Travelling! Percaya sama aku.” Kata-kata Dicky semakin
menggoda.
“Aku baru aja keluar rumah sakit, monyong!”
“Apa bedanya? Dari rumah sakit kamu malah ngajak ke kafe,
minum-minum. Sementara kamu dipecat, kamu nggak ada
mempersoalkan keputusan perusahaan. Ine pun nggak ada kabarnya.
Dengan uang segepok, aku harus menyarankan apa? Buka usaha?
Inginnya sih begitu. Tapi aku sangsi kamu bakal fokus untuk
bangkit saat ini. Lebih baik kamu pergi dulu. Puaskan hasratmu.
Setelah itu, baru pikirkan soal hidup ke depan.” (Febrialdi:33).
Pada data di atas menunjukkan percakapan antara Ed dan Dicky,
sahabatnya. Pada masa itu, Ed mengalami ketegangan emosional, yaitu merasakan
keresahan terhadap apa yang ingin dilakukannya setelah musibah kecelakaan
kerja, ditinggal kekasih, dan dipecat sepihak dari perusahaan, namun memiliki
uang pesangon yang lumayan besar. Kepada Dicky, Ed meminta saran atas apa
yang akan dilakukan untuk melanjutkan kehidupannya. Dicky menyarankan
travelling agar Ed dapat menyegarkan pikiran atas apa yang terjadi pada Ed
belakangan ini. Dicky tidak menyarankan Ed untuk langsung membuka usaha,
karena khawatir sahabatnya itu tidak fokus karena baru saja terkena banyak
masalah.
Emosi resah lainnya juga terlihat pada kutipan di atas bahwa Ed mengajak
Dicky ke kafe untuk minum-minuman keras, padahal pada saat itu kondisi Ed
baru saja keluar dari rumah sakit. Hal itu menandakan perasaan Ed yang sedang
kalut dan ingin sejenak melupakan masalahnya dengan minum-minuman keras.
Universitas Sumatera Utara
52
Dicky sendiri adalah seorang pendaki yang tangguh. Namanya
cukup diperhitungkan di komunitas pendaki gunung. Sering
diundang ke berbagai acara diskusi maupun pelatihan pendakian di
berbagai komunitas pecinta alam.
Selain sebagai hobi, kegiatan alam mampu menghidupinya. Meski
ia tak pernah menganggapnya sebagai pekerjaan, tetapi pada
kenyataannya, ia bisa hidup dari sana. Berbeda denganku yang
masih harus bekerja di bidang yang sama sekali tak ada
hubungannya dengan kegiatan alam. Untuk beberapa kalangan
maupun pribadi, Dicky kerap dianggap panutan (Febrialdi:35).
Jika melihat pendidikan dan profesi teman-temanku, barangkali
hanya akulah yang paling muram, baik pendidikan maupun kerja.
Tidak, aku tidak maksud menafikan profesi seorang pencuci piring.
Namun, jika dibandingkan teman-temanku, jelas mereka lebih tahu
apa yang diinginkan dalam hidup ini. Sementara aku, menjadi
steward jelas bukan cita-citaku. Namun lebih pada tidak sengaja
(Febrialdi:53).
Pada kedua kutipan di atas, menunjukkan bahwa Ed mengalami
ketegangan emosional karena membandingkan pencapaian karir yang dimiliki
teman-temannnya. Keresahan yang dialami Ed disebabkan perasaan rendah diri
atas status pekerjaan yang tidak sehebat teman-teman lainnya. Teman-temannya
yang berprofesi sebagai pengusaha toko outdoor, fotografer, buzzer medsos,
bahkan seorang dokter spesialis penyakit dalam makin membuat Ed tidak percaya
diri jika dibandingkan dengan profesinya sebagai seorang steward (pencuci piring)
di suatu restoran. Menjadi karyawan steward diakui Ed sebagai hal yang tidak
sengaja dipilihnya, karena tidak ada pilihan pekerjaan lain untuk meyambung
hidupnya. Pada masa dewasa awal ini, Ed merasa khawatir terhadap status dan
pekerjaannya yang belum tinggi dan pekerjaannya yang tidak sesuai dengan
kemauan.
“Tapi, untuk pergi menemui Ine, aku ragu.”
“Kenapa?”
Universitas Sumatera Utara
53
“Setelah berbulan lamanya, dia nggak berusaha mengontakku.
Kayaknya dia pun sudah nggak berhasrat untuk melanjutkan
hubungan ini.”
“Kenapa harus Ine yang berusaha? Kenapa nggak kamu yang
berinisiatif?”
Aku diam saja.
“Sori, Ed, sebetulnya kamu ini berani, tapi lebih sering jadi peragu.
Harus ada yang bisa menyulut keberanianmu,” tukas Rima.
Aku masih diam saja. Tetap mendengar kata-katanya. Tidak
tersinggung, tidak pula mengiyakan. Hanya mendengar
(Febrialdi:47).
Pada data di atas menunjukkan percakapan antara Ed dan Rima, istri
Dicky yang juga sahabat baik Ed. Ketegangan emosional ditunjukkan Ed ketika ia
menyampaikan keluh kesah hubungannya dengan Ine yang rumit kepada Rima.
Rima menyimpulkan kalau Ed yang bersikap tidak tegas dalam hubungannya.
Rima mengatakan bahwa Ed adalah seorang yang peragu, Ed tidak mau beinisiatif
menghubungi Ine duluan.
Giliran aku yang masih tak tahu harus merespons seperti apa.
Mereka begitu semangat, antusias, dan mendukungku. Jauh lebih
semangat dibanding aku yang justru hendak melakukan perjalanan.
Aku sendiri masih belum tahu mesti memutuskan bagaimana
(Febrialdi:56-57).
Pada data di atas, menunjukkan ketegangan emosional yang dirasakan oleh
Ed pada malam perpisahan bersama teman-temannya. Pesta perpisahan
keberangkatan Ed yang diadakan di belakang rumah Dicky dan Rima itu dihadiri
Andriza, Andre, Dava, dan Fadil. Percakapan mereka berakhir pada rencana Ed
untuk travelling sesuai saran Dicky. Teman-temannya mendukung penuh dan
sangat antusias atas keputusan Ed untuk berkelana. Namun, Ed merasa masih
bimbang karena belum menentukan arah dan tujuan berkelananya. Ditambah lagi,
Ine yang belum mengabarinya. Hal itu membuat Ed berat melakukan perjalanan.
Universitas Sumatera Utara
54
Aku sadar, Ine, setelah membaca surat ini, aku tidak perlu merasa
ge-er bahwa kamu akan mencariku. Ya, kan? Toh selama ini, sudah
berbulan-bulan lamanya kamu pun tak pernah berniat mencariku
(Febrialdi:60).
Kutipan di atas adalah penggalan pesan yang dikirim Ed kepada Ine lewat
E-mail pada malam sebelum ia berangkat. Sebuah pesan perpisahan yang
menimbulkan ketegangan emosional. Pada kutipan di atas terlihat bahwa Ed
merasa tidak percaya diri kalau Ine akan membalas pesan itu dan mencarinya
karena sudah berbulan-bulan tidak ada kabar.
Astaga! Haruskah aku melakukan perjalanan jauh dulu untuk
mendapatkan jawaban serta hikmah atas hidupku? Kenapa tidak
kusadari saja saat ini bahwa aku tak perlu melakukan perjalanan
untuk bisa mendapatkan jawaban serta hikmah atas hidup?
Mengapa aku harus melakukan sesuatu yang konyol dengan pergi
tak tentu arah?
Lelaki setengah baya yang duduk di sampingku ini betul-betul telah
menyentil perasaan terdalamku. Baru saja langkah pertama
perjalanan kuayunkan, sudah dipertemukan dengan seorang yang
seolah hendak mempertanyakan apa yang tengah kulakukan?
Inikah cara Tuhan menegurku? (Febrialdi:75)
Pada data di atas, terdapat ciri ketegangan emosional tokoh Ed.
Pertemuannya dengan seorang lelaki paruh baya di depan sebuah minimarket
Stasiun Tugu Yogyakarta seketika menggoyahkan niatnya untuk melanjutkan
perjalanan yang baru saja dimulai. Lelaki itu bercerita soal asal-usul, pulang,
orang tua, dan ketenangan di dalam keluarga berdasarkan pengalamannya. Semua
ceritanya tanpa sadar berkaitan dengan perjalanan hidup Ed. Hal itu membuatnya
bingung memikirkan apakah itu sebagai teguran atas apa yang akan dilakukannya
atau hanya sebagai ujian yang harus dilalui agar semakin yakin atas pilihannya
untuk melakukan perjalanan.
“Goyah, Dik. Nggak punya pegangan. Orang kalo sudah goyah dan
gak punya pegangan memang suka nggak berpikir logis. Usaha
Universitas Sumatera Utara
55
boleh saja bangkrut. Tapi nggak seharusnya saya larut dalam
kesedihan, lantas pergi nggak tentu arah, menghabiskan uang.”
Astaga! Aku makin tersentil dengan kata-katanya. Bisa jadi saat ini
aku sedang banyak uang dari hasil pesangon tempat kerja. Dan aku
memilih melakukan perjalanan dan pendakian ke berbagai tempat.
Bukankah aku seolah seperti sedang berasa di posisi bapak itu?
(Febrialdi:76).
Kutipan di atas menggambarkan ketegangan emosional yang dialami
tokoh Ed. Pengalaman yang diceritakan lelaki tua itu kepada Ed sangat sesuai
dengan keadaannya saat itu. Ed yang ditimpa musibah dan mendapat uang
pesangon yang besar memilih melakukan perjalanan sesuai usulan sahabatnya,
Dicky. Saran itu dicoba Ed karena ingin menenangkan pikiran atas apa yang
sudah menimpanya. Lelaki tua yang terus bercerita tanpa tahu alasan Ed pergi ke
Yogyakarta pun membuat keyakinan Ed untuk melakukan perjalanan semakin
tipis.
Bapak tadi nawari saya tumpangan ke Ranu Pane. Saya jawab baik-
baik kalo saya nggak butuh tumpangan. Tapi bapak maksa terus.
Setelah saya tolak, kenapa bapak malah ngomong „payah, kalo
nggak punya uang nggak usah gaya‟, maksudnya apa?” Aku
semakin emosi (Febrialdi:169).
Kutipan di atas menunjukkan masa ketegangan emosional yang dialami
tokoh Ed. Situasi tersebut terjadi ketika Ed sedang menunggu Nina di Stasiun
Malang. Seorang lelaki tua tiba-tiba mengajak Ed berbicang dan menawarkan Ed
untuk ikut rombongannya. Ed sudah menolak secara baik dan sopan, tapi lelaki itu
terus saja mengganggu Ed. Pada akhirnya lelaki itu mengumpat kepada Ed dan
menghina Ed tidak punya uang. Emosi Ed langsung naik mendengarnya.
Ketegangan pun terjadi ketika lelaki itu bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.
Sang dokter menggeleng sambil memegangi bahuku. “Sudah
meninggal, Mas.”
Universitas Sumatera Utara
56
Seperti ada petir yang menyambar persis di telingaku. Badanku
gemetar, lemas dan lunglai. Rasanya seluruh persendian tak mampu
lagi menyangga beban tubuhku. Aku merasa tubuhku melorot ke
bawah dan jatuh tertunduk. Sang dokter memegangi tubuhku yang
akan terjatuh. Ia pun ikut terduduk. Begitu pun dengan yang
lainnya (Febrialdi:219).
Aku, dokter Unu, Mila, dan Citra seketika berdiri mereka sudah
datang mendekat. Fuad berjalan paling depan. Bahkan nyaris
berlari. Seketika ia menghampiriku.
Saking emosinya aku, aku tak dapat mengontrol diriku, Tubuhku
gemetar. Seketika Fuad berjalan paling depan. Bahkan nyaris
berlari. Seketika Fuad memelukku. Menepuk-nepuk bahuku
(Febrialdi:224).
Kedua kutipan di atas merupakan ciri-ciri ketegangan emosional yang
dialami Ed. Setelah dokter Unu memeriksa kondisi Nina yang ternyata sudah
meninggal dunia, Ed langsung lemas tak berdaya mendengarnya. Hal itu pasti saja
mengguncang jiwanya karena tidak menyangka hal itu akan terjadi pada Nina. Hal
yang serupa juga dialami Ed ketika melihat Fuad sampai di TKP. Sekali lagi Ed
terpukul dan badannya terasa lemas.
“Awalnya boleh jadi memang hipotermia. Tapi di luar itu,
sepertinya korban mengalami Kematian Jantung Mendadak.”
“Kematian Jantung Mendadak?” aku tercekat.
“Secara medis, sudah saya jelaskan ke doker Unu. Berikut
kemungkinan dan penyebabnya. Meskipun jarang terjadi pada usia
muda. Penyebabnya tentu harus kita cari. Apakah memang ada
penyakit turunan dari jaringan otot jantung, sistem listriknya, atau
penyakit jantung bawaan.”
Aku tertunduk lemas. Mataku menubruk sepatu gunungku.
(Febrialdi:244).
Pada kutipan di atas, Ed masih merasa tidak menyangka atas apa yang
dialami oleh Nina. Dokter yang menangani jenazah Nina di rumah sakit
berspekulasi bahwa Nina mengalami hipotermia dan mengalami kematian jantung
mendadak. Hal itu langsung saja membuat Ed merasa bersalah. Hipotermia dan
Universitas Sumatera Utara
57
kematian jantung mendadak bisa saja disebabkan karena Nina kelelahan ketika
mendaki. Dan Ed adalah satu-satunya orang yang bertanggung jawab kejadian itu.
Tak berapa lama, penyidik tersebut mengiringi kedua orang tua
Nina memasuki ruang jenazah. Pintu ruang jenazah ditutup
kembali. Kami hanya menunggu di luar.
Tak harus menunggu waktu lama, terdengarlah ledakan suara
tangis ibu Nina. Suaranya terdengar meraung-raung. Suara yang
mampu menyayat-nyayat hati kami yang tengah menunggu di luar.
Kami hanya bisa menunduk tanpa mampu berkata apa-apa
(Febrialdi:245).
Kutipan di atas memiliki ciri-ciri masa ketegangan emosional yang dialami
tokoh Ed. Setelah menunggu semalaman, akhirnya orang tua Nina tiba di
Lombok. Mereka tergesa-gesa langsung menuju ruang jenazah. Mendapati Nina
yang sudah terbujur kaku, tangis ibu Nina langsung meledak hingga keluar
ruangan. Ed yang berada di luar ruangan hanya bisa menunduk merasa terpukul
mendengar raungan ibu Nina.
Setelah boarding, kami memasuki pesawat. Tak lama, pesawat pun
terbang mengangkasa meninggalkan Pulau Lombok.
Sejenak aku melihat dari balik kaca jendela pesawat dan bergumam
pada diri sendiri, “Ah, Rinjani...,” kataku pilu.
Tanpa sadar mataku berkaca-kaca (Febrialdi:253).
Kutipan di atas menunjukkan ciri-ciri masa ketegangan emosional yang
dialami tokoh Ed. Setelah semua urusan dan administrasi selesai, jenazah Nina
dibawa pulang dengan pesawat menuju Semarang. Di atas pesawat, dari atas
ketinggian terlihat Gunung Rinjani. Hal itu menimbulkan ketegangan emosional
pada tokoh Ed. Ia teringat akan kejadian yang membawanya menaiki pesawat itu
dengan jenazah Nina yang berada di kargo pesawat. Tanpa sadar, mata Ed mulai
berkaca-kaca.
Universitas Sumatera Utara
58
4.2.5 Masa Keterasingan Sosial
Masa dewasa awal adalah masa di mana seseorang mengalami “krisis
isolasi”, ia terisolasi atau terasingkan dari kelompok sosial. Kegiatan sosial
dibatasi karena berbagai tekanan dari pekerjaan dan keluarga. Hubungan dengan
teman-teman sebaya juga menjadi renggang. Keterasingan diintensifkan dengan
adanya semangat bersaing dan hasrat untuk maju dalam berkarir.
Pak Agus sudah menemuiku. Final sudah keputusan perusahaan
bahwa aku diberhentikan secara sepihak dari perusahaan, dengan
alasan kondisi fisikku yang tidak lagi memungkinkan untuk
melanjutkan kerja. Walaupun sekarang tidak ada luka serius yang
tertinggal di tubuhku.
Kini pekerjaanku hanya berbaring, berbaring, dan cuma berbaring.
Tak ada lagi yang biasa kulakukan selain menatap langit-langit
kamar. Dokter memintaku beristirahat total jika ingin kondisku
pulih. Kini aku merasa menjadi manusia tak berguna (Febrialdi:18).
Kutipan di atas menunjukkan ciri-ciri masa keterasingan sosial yang
dialami oleh tokoh Ed. Setelah musibah kecelakaan kerja yang menimpa Ed,
keterasingan sosial terlihat pada nasib Ed yang di-PHK secara sepihak oleh
perusahaan. Keputusan perusahaan tidak bisa diganggu gugat lagi untuk memecat
Ed dari perusahaan walau Ed-lah sesungguhnya yang menjadi korban atas
kejadian tersebut. Ed merasa tidak tahu mau melakukan apa setelah itu dengan
uang pesangon yang terbilang cukup banyak.
Bagi kami, sesama orang dapur, bekerja adalah bekerja. Usai jam
kerja, kami kembali ke kehidupan masing-masing. Tak pernah ada
kumpul-kumpul atau ikatan pertemanan di luar jam kerja. Interaksi
akrab hanya terjadi di dapur. Apa boleh buat, sudah bertahun-tahun
seperti itu. Dan kami sama sekali tak pernah mempersoalkan hal-
hal semacam tu. Karena kami menyadari, bekerja ya bekerja. Di
luar itu, kami punya kehidupan sendiri-sendiri (Febrialdi:23).
Universitas Sumatera Utara
59
Pada data di atas, terdapat kutipan yang menunjukkan ciri-ciri masa
keterasingan sosial yang dialami Ed pada fase dewasa awal. Memiliki teman di
tempat kerja tidak menjamin keakraban di kehidupan setelah jam kerja. Pada fase
ini, Ed membatasi hubungan sosialnya. Ed tidak ingin kehidupan pribadinya
dicampuri dengan orang-orang yang ada di tempat kerjanya, apa lagi antara
pekerjaan dan hobinya sangat berbanding terbalik. Hal itu mungkin saja menjadi
alasan Ed membatasi hubungan sosialnya karena merasa antara hobi dan
pekerjaan adalah dua hal yang berbeda.
“Waktu kamu masih koma, kami sempat datang beramai-ramai, Ed.
Satu dapur ikut besuk.”
“Hah? Serius” Aku terbelalak.
“Ya. Kami sedih, kamu sampai koma segala. Lama lagi,” sambung
Adis.
“Kamu memang yang paling parah. Beberapa teman cuma lecet
atau luka luar,” susul Kidung.
“Ya, Tuhan. Aku pikir nggak ada yang ingat sama aku.”
“Hah? Kamu kok ngomong gitu?” Kidung mengernyitkan dahi.
Tiba-tiba aku merasa malu. Mereka, teman-teman di tempat kerja,
ternyata tak seperti yang kuduga. Menurut cerita mereka, mereka
justru merupakan orang pertama yang menjengukku di rumah sakit.
Namun, karena aku mengalami koma, aku jelas tak tahu apa-apa.
Bahkan suster-suster di sini pun tak pernah menceritakan siapa saja
yang sudah datang membesukku (Febrialdi:26).
Pada kutipan di atas, keterasingan sosial yang terjadi di dunia kerja
ternyata tidak seburuk yang Ed bayangkan. Ed mengira tidak ada satu pun orang
yang menjenguknya, tapi Ed hanya tidak tahu selama ia dalam masa koma,
seluruh teman dapurnya menjenguk dan ikut berduka atas apa yang menimpa Ed.
Hal itu membuat Ed merasa malu karena sudah berpikir temannya tidak peduli
dengannya sama sekali.
Aku jadi berpikir, apakah iya Ine betul-betul tak tahu
keberadaanku? Tak tahu apa yang sedang menimpa diriku? Jadi dia
betul-betul tak mengontakku lagi? Lebih-lebih tak mencariku?
Kini, apa yang bisa kuharapkan (Febrialdi:28).
Universitas Sumatera Utara
60
Penggalan kutipan di atas menunjukkan masa keterasingan sosial yang
dirasakan tokoh Ed, yaitu Ed merasa sudah dilupakan oleh Ine, kekasihnya.
Pertemuan terakhir mereka memang meninggalkan sedikit percekcokan, ditambah
sejak Ed terbaring koma di rumah sakit, Ine tidak memberi kabar maupun
menjenguk Ed sekalipun. Hal itu semakin membuat Ed merasa diasingkan dari
orang-orang sekitarnya ketika ia sedang terpuruk.
“Tapi, Ma, dalam kasusku sama Ine, bukan soal aku berani berubah
atau nggak, tapi orang tua Ine itu keluarga akademisi, pendidikan
mereka tinggi, terpandang, terhormat, rumah mereka mentereng, ke
mana-mana naik mobil, sering berpergian ke luar negeri. Mungkin
mereka malu punya calon menantu gelar kuliahnya D3 dan S1-nya
aja nggak beres, kerjanya cuci piring dan bantu koki, doyannya
naik gunung pula. Apa yang bisa dibanggakan coba?”
(Febrialdi:45).
Masa keterasingan sosial yang dialami oleh tokoh Ed juga terlihat pada
kutipan di atas. Percakapannya dengan Rima, istri sahabatnya itu terlihat bahwa
Ed merasa tidak percaya diri jika dibandingkan dengan status sosial keluarga Ine
yang akademisi. Hal itulah yang dijadikan alasan oleh Ed mengapa sampai saat itu
ia tidak kunjung berniat untuk memberi kejelasan di hubungannya dengan Ine.
Ine, aku tahu, mungkin sudah bukan tempatnya aku pamit pada
dirimu atas perjalanan ini. Toh siapalah kini aku di depan matamu.
Nobody? Bisa jadi
Tapi, izinkan aku sekadar memberi tahu padamu tentang rencana
perjalananku. Selebihnya, aku sudah tak tahu lagi. Dibalas tidak
dibalas email ini, pun sudah tak membuat perbedaan bagi dirimu,
kan? (Febrialdi:65)
Pada kutipan di atas, menunjukkan masa keterasingan sosial yang sedang
dialami oleh Ed. Setelah sadar sepenuhnya dari koma, Dicky yang tidak tega
melihat sahabatnya terpuruk dalam masalah yang datang silih berganti,
Universitas Sumatera Utara
61
menyarankan Ed untuk melakukan perjalanan sebagai pemulihan jiwanya. Dengan
pertimbangan yang singkat, Ed mencoba mengikuti saran sahabatnya itu. Malam
sebelum Ed melakukan perjalanan, Ine tidak juga datang untuk Ed. Jadi, Ed
mengirimkan e-mail berisi pesan pamit kepada Ine untuk melakukan perjalanan.
Meski Ed tahu bahwa Ine tidak lagi peduli dengannya
Setelah mengatakan itu, dengan cepat mereka kabur. Menaiki
mobil lantas melesat pergi entah ke mana. Tinggal aku sendirian
tersungkur di trotoar sembari memegangi ulu hatiku yang terasa
sakit buka kepalang (Febrialdi:114).
Kutipan di atas menunjukkan masa keterasingan sosial yang dihadapi oleh
tokoh Ed. Kedatangannya di rumah panti asuhan yang berada di Yogyakarta,
tempat di mana ia dibesarkan, sangat disambut dengan hangat oleh Putri. Putri
adalah anak Pak hendra, ketua yayasan rumah panti yang baru setelah Ibu Ros
meninggal dunia. Tapi kedekatannya dengan Putri ternyata menimbulkan masalah
baru. Sekelompok pemuda tanggung yang tidak terima atas kedekatan Ed dan
Putri langsung mencelakainya. Mereka mengeroyok Ed di tengah jalan ketika Ed
berjalan sendiri sehabis berjalan-jalan dengan Putri. Perkelahian tidak seimbang
itu tentu saja dimenangkan oleh sekelompok pemuda tengik. Keterasingan sosial
terjadi ketika Ed ditinggal seorang diri di tengah jalan malam Yogyakarta dengan
luka lebam di sekujur tubuh.
Kini aku mengutuki diriku yang kecil, rendah, kerdil, dan gagal.
Aku menghela napas panjang.
Kutebarkan pandang. Orang-orang masih terus lalu-lalang. Ada
yang hendak pergi, ada yang baru pulang. Semua bergegas. Dan
aku, aku seorang diri di bandara ini. Seseorang yang tak tahu
hendak kemana. Akan pergi ke mana, akan pulang ke mana, sama
tak tahunya (Febrialdi:267).
Universitas Sumatera Utara
62
Pada data di atas mengandung kutipan pada masa keterasingan sosial yang
dialami oleh tokoh Ed. Perjalanan pendakian dilanjutkan ke gunung Rinjani
setelah menaklukkan Gunung Semeru. Ada seorang gadis bernama Nina yang
ditemuinya di Semeru memaksa meminta ikut dengan Ed ke Rinjani. Namun,
tiba-tiba musibah besar yang mengguncang hati Ed terjadi. Nina meninggal dunia
secara tiba-tiba di Rinjani. Pada kutipan di atas, Ed sedang berada di Bandara
Achmad Yani, Semarang sesudah mengantarkan dan memakamkan jenazah Nina.
Pada akhirnya, setelah apa yang ia lewati, Ed merenung sendiri mengutuki dirinya
sendiri yang tidak bisa menjaga Nina. Ed mengalami masa keterasingan sosial
karena tidak ada yang bisa ia lakukan setelah itu.
Aku bersimpuh, menangis dan mengadu kepada Allah atas cobaan
dan rintangan yang kualami selama ini. Aku memohon agar diberi
kekuatan seta kesabaran dalam menghadapi hidup yang keras ini
(Febrialdi:289).
Kutipan di atas menunjukkan berakhirnya masa keterasingan sosial oleh
tokoh Ed dalam fase dewasa awalnya. Setelah mengalami keraguan dan cobaan
yang bertubi dalam kehidupannya, Ed akhirnya kembali ke rumah panti dan
menerima ajakan Pak Hendra untuk ibadah haji. Sesampainya di Mekkah, Ed
memohon ampun tidak henti-henti berdoa kepada Allah. Pada akhirnya, Ed tidak
merasakan keterasingan sosial lagi, karena jawaban atas segala keraguannya
sudah terjawab. Ed menyadari sejauh manapun ia mendaki tidak akan berarti
ketika pendakian itu tidak karena Allah.
Universitas Sumatera Utara
63
4.2.6 Masa Komitmen
Pada masa selanjutnya, setiap individu yang sedang mengalami tahap
dewasa awal mulai sadar akan pentingnya sebuah komitmen. Ia mulai membentuk
pola hidup, tanggung jawab, dan komitmen baru.
“Aku baru aja kena musibah, monyong. Sudah kecelakaan, dipecat,
pacar ngilang. Malah nyaranin travelling!”
“Percaya sama aku. Kalo sekarang kamu harus cari kerja atau uang
pesangonmu untuk buka usaha, aku senang. Aku senang melihatmu
tetap optimis. Tapi aku ragu kamu bakal fokus. Kamu malah nggak
jelas. Terus-terusan uring-uringan. Apa yang bakal terjadi?
Hidupmu malah makin nggak jelas. Lebih baik ikuti kata
hatimu.”(Febrialdi:33).
Setelah melakukan perenungan yang bisa dikatakan tidak sebentar,
kini keputusanku sudah bulat. Aku akan melakukan perjalanan
panjang dalam waktu yang tak terbatas. Dengan uang pesangon
perusahaan, ditambah uang saweran dari teman-teman kerja,
rasanya tak ada masalah bagiku soal biaya perjalanan. Toh
perjalananku bukan perjalanan mewah. Melainkan travelling ala
backpacker (Febrialdi:38).
Kedua kutipan di atas menunjukkan masa komitmen yang dilakukan oleh
tokoh Ed. Setelah mendengarkan saran dari Dicky, Ed membulatkan tekadnya
untuk melakukan perjalanan (travelling) untuk menyegarkan pikiran. Menurut
Dicky, dengan pesangon yang banyak dari perusahaan, bisa saja Ed membuka
usaha. Tapi Dicky ragu kalau Ed akan fokus. Dicky khawatir kalau Ed semakin
tidak jelas dan uring-uringan dikarenakan berbagai masalah yang sedang
menimpanya.
Lebih dari itu, aku ingin membuktikan padamu, pada orang tuamu,
bahwa aku pun bisa berprestasi, mencatatkan dri dalam sejarah
pendakian di Indonesia, diperhitungkan, dan bisa kubanggakan
padamu. Izinkan aku mempersembahkan Seven Summits Indonesia
ini untukmu (Febrialdi: 64).
Universitas Sumatera Utara
64
Data di atas merupakan ciri-ciri masa komitmen yang dilakukan oleh Ed.
Kutipan itu adalah penggalan e-mail yang dikirim Ed kepada Ine sebagai salam
perpisahan sebelum Ed melakukan perjalanan. Ed ingin membuktikan kepada Ine
dan orang tua Ine bahwa Ed bisa mencapai prestasi yang membanggakan dengan
melakukan Seven Summits Indonesia. Ed ingin mempersembahkan itu untuk Ine.
Tidak, kataku lagi dalam hati. Barangkali ini justru ujian untuk
menguji seberapa besar niatku untuk memulai perjalanan. Ini bukan
batu sandungan. Ini cuma mengingatkan aku agar aku yakin dengan
segala rencanaku. Aku tahu maksud lelaki setengah baya ini baik.
Namun aku tak boleh goyah dengan segala rayuan gombalnya
tentang hidup yang melenakan (Febrialdi:77).
Kutipan di atas merupakan masa komitmen yang dilakukan tokoh Ed pada
fase dewasa awal. Ed mencoba meyakinkan dirinya kalau lelaki setengah baya
yang baru saja berbincang panjang lebar tentang pengalaman hidupnya hanya
berupa ujian yang menghampirinya untuk menguji seberapa besar niat Ed untuk
tetap yakin atas perjalanannya.
Keputusanku sudah bulat, aku harus meninggalkan Yogyakarta
secepatnya. Ini tak baik untuk putri, juga untuk rencana
perjalananku nanti. Tak bisa kupingkiri, aku mulai menyukai Putri.
Rasanya masih ingin berlama-lama dengannya. Ingin mengenal
lebih jauh tentang dirinya (Febrialdi:118).
Pada data di atas menunjukkan ciri-ciri masa komitmen yang dilakukan
Ed. Setelah dikeroyok oleh kumpulan pemuda tanggung yang merasa tidak senang
karena malam itu Ed jalan dengan Putri, Ed memutuskan untuk meninggalkan
Yogyakarta agar rencana perjalanannya tidak terganggu. Hal itu juga dilakukan
Ed untuk kebaikan Putri, walaupun Ed masih ingin berlama-lama dekat dengan
Putri.
Universitas Sumatera Utara
65
Aku berjalan menuju orang tua Nina. Ketika sudah berada di
hadapan mereka, segera aku cium punggung tangan mereka satu
persatu.
“Bapak, Ibu,” kataku terbata-bata, “kalau ada orang yang harus
disalahkan, sayalah orangnya. Saya tidak bisa menjaga Nina. Saya
teledor. Saya, saya, saya minta maaf.”
Aku menangis di hadapan kedua orang tua Nina. Menangis
sesenggukan bagai anak kecil (Febrialdi:248).
Pada kutipan di atas menunjukkan masa komitmen yang dilakukan oleh
tokoh Ed. Setelah orang tua Nina keluar dari ruang jenazah, Ed memberanikan
diri untuk menemui mereka. Di depan orang tua Nina, Ed mengaku kesalahan dan
akan berkomitmen untuk bertanggung jawab atas kematian Nina. Seketika Ed
menangis sesenggukan di depan orang tua Nina.
Aku berdiri mematung di samping Pak Hendra. Kukitari
pemandangan sekitar. Kini saatnya aku harus melakukan perubahan
dalam hidupku. Melakukan sesuatu yang berguna dan bermanfaat
tidak hanya bagi diriku, tetapi juga bagi orang lain (Febrialdi:292).
Kutipan di atas menunjukkan masa komitmen yang dilakukan tokoh Ed.
Setelah kembali ke Yogyakarta, Ed menemui Pak Hendra dan menerima
ajakannya untuk ibadah haji bersama. Di kota Mekkah, di Jabal Nur, Pak Hendra
dan Ed berbincang perihal tujuan manusia dalam mendaki gunung. Pak Hendra
mengatakan terkadang tujuan manusia mendaki gunung hanya untuk meraih decak
kagum dari orang lain, bukan untuk memaknai perjalanan agar bisa menimbulkan
manfaat bagi manusia lain. Perkataan itu membuat Ed tersadar bahwa
pendakiannya selama ini hanya sebagai aktifitas fisik saja. Jadi, Ed akan
berkomitmen untuk melakukan sesuatu yang berguna dan bermanfaat juga untuk
orang lain.
Universitas Sumatera Utara
66
4.2.7 Masa Ketergantungan
Pada awal masa dewasa awal ini sampai akhir 20-an, seseorang masih
punya ketergantungan pada orang tua atau organisasi/instansi yang mengikutinya.
Dicky adalah temanku sejak lama di kegiatan alam. Sudah banyak
gunung yang kami daki. Sudah tak terhitung tempat yang kami
kunjungi bersama. Suka dan duka perjalanan pernah kami rasakan
(Febrialdi:34-35).
Kecelakaan, jatuh di gunung, terposok jurang, kehabisan air,
kelaparan di tengah perjalanan, mencari orang tersesat di hutan,
menolong korban hanyut di sungai, menggotong mayat pendaki
yang jatuh di jurang, hingga saling mengolok soal percintaan di
antara teman-teman kami (Febrialdi:35).
Pada kutipan di atas, tokoh mengalami masa ketergantungan kepada
sahabatnya yang bernama Dicky. Ed bersahabat dengan Dicky sejak lama dan
memiliki kesamaan hobi yaitu berkegiatan alam. Suka duka perjalanan sudah
dirasakan mereka berdua. Hal itulah yang membuat Ed menyetujui saran Dicky
untuk melakukan perjalanan Seven Summits Indonesia untuk melepas beban dan
penyegaran jiwa.
“Jadi, tujuh puncak Indonesia?” tanya Dicky sambil mengangkat
alis.
“Tujuh puncak dunialah...,” timpal Andre.
Kupandangi satu-satu wajah temanku. Kumatikan rokokku.
“Kamu mampir Yogya dulu kan, Ed?‟ tanya Fadil tiba-tiba.
Sontak aku terkesiap. Seketika mereka saling pandang tanpa
berkata apa-apa.
Aku menghela napas panjang (Febrialdi:57).
Kutipan di atas adalah perbincangan Ed dengan teman-teman seperhobian
mendaki gunung ketika menggelar acara kecil untuk perpisahan Ed yang akan
memulai perjalanan. Dari semua saran yang mereka utarakan, salah satu teman
yang bernama Fadil tiba-tiba bertanya apakah Ed akan mampir dulu ke Kota
Yogyakarta atau tidak.. Sudah lama Ed tidak ke Yogyakarta untuk mengunjungi
Universitas Sumatera Utara
67
rumah panti tempat ia dibesarkan. Hal itu menjadi pertimbangan Ed dalam
memulai perjalanannya. Ed merasa perlu mengunjungi rumah panti karena di
tempat itulah dulu ia dirawat dan dibesarkan.
Meski begitu, selama berhubungan denganmu, banyak yang bisa
kupelajari dari seorang perempuan seperti dirimu. Pandanganku
jauh lebih terbuka dibanding sebelum mengenalmu. Kamu
mengajarkan tentang arti memiliki dalam hidup serta bagaimana
menanggapinya (Febrialdi:63-64).
Namun niatku cuma satu: aku hanya ingin mengabarkan tentang
diriku juga tentang rencana pendakian panjangku yang hendak
kutunjukkan padamu. Juga pada orang tuamu (Febrialdi:65).
Kedua kutipan di atas menunjukkan masa ketergantungan yang dialami Ed
dalam proses penemuan jati dirinya. Kasih sayang Ed kepada Ine membuatnya
merasa ketergantungan. Hingga melakukan perjalanan, Seven Summits Indonesia
semata Ed persembahkan untuk Ine dan keluarganya untuk membuktikan bahwa
Ed adalah laki-laki yang dapat dipertimbangkan.
Bagiku, gudeg terlezat yang pernah kurasakan adalah gudeg sajian
Ibu Ros di rumah panti. Meskipun bukan masakan Ibu Ros sendiri,
tetapi makan bersama-sama dengan teman-teman rumah panti
merupakan kenikmatan tersendiri (Febrialdi:102).
Data di atas menunjukkan masa ketergantungan yang dialami oleh tokoh
Ed. Ketika berjalan-jalan menikmati malam di kota Yogyakarta bersama Putri,
mereka singgah di warung gudeg. Gudeg mengingatkan Ed kepada Ibu Ros. Ibu
yayasan di rumah panti itu sering memasak gudeg untuk dimakan bersama-sama
dengan anak-anak panti. Ed masih mengingat dan ketergantungan dengan
kenangannya bersama Ibu Ros.
Kukitari pandang. Rumput liar dan ilalang tetap terlihat tinggi di
halaman rumah. Juga pohon jambu yang sudah berusia tua. Namun
tak lagi kulihat daun-daun layu berserakan di depan kursi teras
yang sudah keropos.
Universitas Sumatera Utara
68
Aku menghela napas (Febrialdi:270).
Kutipan di atas menunjukkan masa ketergantungan yang dialami oleh
tokoh Ed. Setelah mengalami kejadian yang mengguncang jiwa dan meruntuhkan
semangat Ed karena kematian Nina, Ed akhirnya memilih kembali ke rumah panti.
Ed teringat akan janji Pak Hendra yang mengajaknya untuk ibadah haji. Setelah
kejadian itu, Ed merasa selama ini ia sudah jauh dari Allah dan berniat kembali di
jalan Allah dengan menerima ajakan Pak Hendra untuk berangkat haji.
“Nah, rupanya wasiat Ibu Ros tak hanya sampai di situ. Ternyata,
selain meminta saya untuk meneruskan dan mempertahankan
keberadaan rumah panti, Ibu Ros pun berwasiat agar kelak jika
sudah meninggal, mohon rumah panti ini kepemilikannya
diserahkan pada Mas Ed.”
“Dan beliau meminta agar suatu hari kelak, saya berkenan
mengajak Mas Ed untuk menunaikan rukun islam kelima yaitu
ibadah haji ke tanah suci.”
“Itu wasiat Ibu ros. Itulah kenapa saya berusaha mencari-cari Mas
Ed. Karena jauh sebelum Ibu Ros meninggal, Mas Ed sudah tak
tinggal di sini lagi. Sayangnya, begitu Ibu Ros meninggal, tak ada
yang tahu di mana Mas Ed berada. Saya dengar ada yang kuliah
dan tinggal di Bandung. Tetapi tetap saja saya kesulitan mencari
jejak Mas Ed.” (Febrialdi:278).
Kutipan terakhir tentang masa ketergantungan yang dialami tokoh Ed
adalah di mana Pak Hendra menceritakan dan menyerahkan wasiat yang
diamanahkan oleh Ibu Ros kepada Pak Hendra. Ed diminta oleh Ibu Ros untuk
menjadi pemilik rumah panti dan menerima ajakan ibadah ke tanah suci. Hal itu
menunjukkan bahwa sejauh apapun Ed melakukan petualangan, ternyata jati
dirinya berada di tempat asalnya, yaitu di rumah panti.
Universitas Sumatera Utara
69
4.2.8 Masa Perubahan Nilai
Nilai yang dimiliki seseorang ketika ia berada pada masa dewasa awal
berubah karena pengalaman dan hubungan sosialnya semakin meluas. Nilai sudah
mulai dipandang dengan kaca mata orang dewasa. Nilai-nilai yang berubah ini
dapat meningkatkan kesadaran positif. Alasan kenapa seseorang merubah nilai-
nilainya dalam kehidupan karena agar dapat diterima oleh kelompoknya yaitu
dengan cara mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati. Pada masa ini juga
seseorang akan lebih menerima/berpedoman pada nilai konvensional dalam hal
keyakinan.
“Orang tua mana pun, Ed, wajar kalo ingin melihat kepastian dari
orang yang akan menikah dengan anaknya. Nggak laki, nggak
perempuan. Mungkin kamu nggak sekaya mereka. Tapi, apakah
kamu yakin itu merupakan syarat dari mereka? Seperti kataku tadi,
jangan-jangan itu baru analisis kamu aja.” (Febrialdi:47)
Pada kutipan di atas adalah ciri-ciri masa perubahan nilai yang dialami
tokoh Ed seiring berjalannya proses penemuan jati dirinya. Percakapannya dengan
Rima, istri Dicky perihal hubungannya dengan Ine, telah membuka pikiran Ed. Ed
yang selama ini mengira jika Ine dan keluarganya menganggapnya rendah karena
perbedaan status sosial mereka, mengalami perubahan nilai ternyata Ine dan
keluarganya mungkin saja menunggu kepastian dari Ed.
“Sepertinya kamu memang harus melakukan perjalanan jauh dan
lama.”
“Biar apa?”
“Biar jangan jadi peragu. Siapa tahu, perjalanan akan mengajarkan
untuk berani mengambil keputusan. Apa pun itu.”
Aku tersenyum memandangnya. Rima istri sahabatku, juga
merupakan sahabatku yang baik. Semua yang sudah keluar dari
mulutnya kusimak dan kuingat baik-baik. Barangkali dia benar .
Lebih dari itu, terlepas benar atau tidaknya kata-katanya, dalam hal
kematangan hidup, Dicky dan Rima memang jauh berada beberapa
langkah di depanku. Aku harus mengakui itu (Febrialdi:47-48).
Universitas Sumatera Utara
70
Kutipan di atas ini pun juga menunjukkan bagaimana Ed mengalami masa
perubahan nilai ketika Rima memberikannya nasihat dan saran. Rima menyetujui
kalau Ed harus melakukan perjalanan panjang dan jauh agar tidak menjadi orang
yang peragu. Rima yakin pengalamannya di perjalanan kelak akan membawanya
menjadi orang yang berani mengambil keputusan apa pun itu.
“Kalo merunut ke masa-masa awal Islam tumbuh dan mulai
tersebar, bepergian atau travelling adalah salah satu anasir yang
menyebabkan Islam tersebar luas. Makam Saad bin Abi Waqqas
yang terdapat di Cina, adalah salah satu bukti betapa giatnya para
sahabat bepergian untuk menyebarkan Islam. Lihatlah bagaimana
proses pembuatan kitab “Sahih Bukhari”. Imam Bukhari kerap
melakukan perjalanan yang sangat jauh „hanya‟ untuk
memverifikasi satu hadis pendek. Padahal kitab tersebut memuat
ribuan hadis. Tak terbayangkan berapa orang yang ia jumpai dan
berapa jauh perjalanan yang ia lakukan.” (Febrialdi:54).
Kutipan di atas menunjukkan ciri-ciri tokoh Ed mengalami masa
perubahan nilai. Hal itu ditunjukkan ketika Dicky menjelaskan tentang bepergian
telah diatur oleh Islam dengan begitu indah. Tentu banyak manfaat yang didapat
dari perjalanan. Dengan begitu, Ed tidak perlu ragu dan khawatir untuk
mengambil langkah melakukan perjalanan.
“Prinsip Putri, Mas, seperti banyak orang bilang, lebih baik jadi
kepala kucing daripada jadi buntut macan.”
Aku tersenyum mendengar prinsip klise itu. Namun, ada benarnya
juga (Febrialdi:107).
Kupandangi Putri dalam-dalam. Ada rasa kagum dan rasa hormat
pada dirinya. Di mataku, tiba-tiba ia menjelma menjadi seorang
gadis yang jauh lebih dewasa dari umurnya. Seorang perempuan
yang memiliki prinsip, sikap, dan madiri. Aku semakin ingin
memiliki lebih dekat akan dirinya (Febrialdi:108).
Universitas Sumatera Utara
71
Kutipan di atas menunjukkan masa perubahan nilai yang dialami oleh
tokoh Ed pada Putri. Penuturan Putri tentang prinsip hidup dan tentang bisnis
membuat Ed semakin kagum dan hormat dengan gadis itu. Tiba-tiba Ed melihat
Putri seperti gadis yang jauh lebih dewasa dari umurnya. Ed telah menilai seorang
gadis lewat pencapaian, prinsip dan tutur katanya. Ed pun semakin menyukai
Putri.
Mau tidak mau aku harus tersenyum mendengar penuturannya.
Lelaki ini baik, batinku. Ia tahu posisiku dan apa yang telah
dilakukan bapak tadi. Tetapi hanya ingin menjaga agar semuanya
baik-baik saja. Bagi diriku maupun suasana di stasiun. Terlebih ia
mempertaruhkan dirinya untuk kotanya (Febrialdi:171).
"Meski Mas posisinya benar, meski bapak itu yang cari gara-gara,
tapi dia temannya banyak. Sayang banget meski kita benar, kalo
diprovokasi, bisa-bisa malah kita yang rugi. Yang waras ngalah
ketimbang terjadi keributan yang lebih luas. Mas ngerti kan
maksud saya?” tanyanya sembari tersenyum (Febrialdi:170).
Kedua kutipan tersebut menunjukkan masa perubahan nilai yang dialami
oleh tokoh Ed. Seorang lelaki yang melerai keributan yang terjadi di teras Stasiun
Malang antara Ed dan lelaki tua menyebalkan, membuat Ed merubah penilaiannya
terhadap orang asing di kota itu. Lelaki baik itu melerai perdebatan agar tidak
menjadi lebih besar walaupun dia tahu Ed tidak bersalah. Hal itu membuat Ed
belajar untuk bisa menahan emosi yang bisa diredam dengan mengalah. Mengalah
bukan berarti mengaku kalah, tetapi mengalah untuk kebaikan bersama.
Kupandangi wajahnya yang cantik. Si bunga liar ini memang
menggoda. Namun di balik kecantikan dan keliarannnya,
sesungguhnya ia perempuan dengan pemikiran dewasa dan
bependidikan. Aku seolah melihat kecantikan yang sesungguhnya
di balik kecantikan lahiriahnya (Febrialdi:184).
Aku tersenyum mendengar penuturanya. Si bunga liar ini punya
prinsip, batinku mencoba menyimpulkan. Ia berani berpendapat.
Universitas Sumatera Utara
72
Tapi lebih dari itu, ia memiliki argumentasi yang bisa ia petahakan.
Bagiku itu jauh lebih menarik ketimbang orang-orang yang sekadar
ikut-ikutan tren belaka (Febrialdi:201).
Kedua kutipan di atas merupakan ciri-ciri masa perubahan nilai pada diri
Ed. Nina, yang disebutnya bunga liar karena memiliki kecantikan yang menggoda,
ternyata tidak sekadar cantik. Dari penuturannya tentang prinsip, Nina sungguh
membuat Ed menilainya dari sisi lain, yaitu tidak hanya cantik, Nina juga seorang
gadis yang berprinsip.
Aku jadi terharu mendengar uluran tangan mereka. Kami tak saling
kenal. Bahkan soal nama pun kami tak saling mengetahui satu
sama lain. Baru bertemu pun di Pelawangan Senaru. Tetapi mereka,
yang seharusnya sudah bisa turun ke Senaru sejak berjam-jam
sebelumnya, malah ikut menunggu rombongan tim evakuasi datang
untuk bersama-sama turun ke Senaru. Mereka dengan ikhlas bahu-
membahu. Besar juga rasa empati yang terjadi di antara sesama
pendaki. Aku betul-betul terharu (Febrialdi:229).
Kutipan di atas menunjukkan masa perubahan nilai yang dialami oleh Ed.
Ketika jenazah Nina akan dievakuasi, tidak sedikit pendaki-pendaki yang
kebetulan melintas di TKP ikut membantu apa pun yang bisa dibantu. Ed tidak
menyangka solidaritas para pendaki begitu kuat ketika ada pendaki lain yang
sedang terkena musibah. Khususnya kepada dokter Unu dan rombongannya.
Rombongan dokter Unu yang pertama kali membantu situasi Ed yang sedang
kebingungan karena kondisi Nina.
Di rumah Fuad, setelah mandi dan wudhu, aku lanjut shalat. Aku
menangis dan memohon ampun pada Tuhan atas segala dosa dan
kesalahan yang telah kuperbuat selama ini. Air mataku bercucuran.
Aku sesenggukan mengadu kepada Allah.
Manusia memang kerap begitu. Ketika sedang ditimpa musibah
dan cobaan, baru mengadu dan memohon pertolongan pada Tuhan.
Saat segala-galanya tampak membahagiakan, manusia kerap
melupakan keberadaan Tuhan yang justru telah memberi mereka
kebahagiaan. Akulah si manusia itu (Febrialdi:240).
Universitas Sumatera Utara
73
Kedua data di atas menunjukkan masa perubahan nilai yang dialami oleh
tokoh Ed. Setelah mendapat banyak cobaan dan masalah, barulah Ed merasa
membutuhkan Allah. Ed mengadu, menangis dan memohon ampun atas kesalahan
yang telah diperbuatnya. Ed menyadari dirinya yang sudah melupakan Allah
selama ini.
Aku hanya bisa menunduk dan tak berani menatap mata Bapak
Nina. Namun hatiku kaget bukan main demi mendengar kata-kata
beliau. Orang tua yang bisa berkata begitu saat mengetahui
kematian anaknya, adalah orang tua yang selalu siap serta ikhlas
menghadapi segala hal dalam hidup (Febrialdi:248).
Kutipan di atas menunjukkan masa perubahan nilai yang dialami tokoh Ed
pada proses penemuan jati dirinya. Sikap orang tua Nina yang tidak disangka oleh
Ed sungguh membuatnya terkejut. Orang tua Nina sungguh ikhlas dan sabar dan
tidak menyalahkan Ed atas kematian anaknya. Mengetahui bahwa anaknya
memiliki penyakit bawaan menjadikan orang tua Nina bisa lebih ikhlas atas hal
buruk yang akan terjadi. Orang tua Nina malah mengatakan kelegaannya ketika
mengetahui Nina meninggal pada saat sedang berada bersama Ed. Hal itu
membuat hati Ed merasa hancur sekaligus terhibur. Ed bisa belajar ikhlas dari
sikap orang tua Nina.
“Manusia boleh saja melakukan perjalanan ke mana pun ia mau.
Mendaki gunung tertinggi sekalipun. Tapi bukan kegiatan
bepergian atau mendakinya yang akan dikenang manusia.
Melainkan makna di balik pendakian yang akan abadi selamanya.
Apa artinya melakukan pendakian ke berbagai pucak dunia, namun
tidak menjadi pencerahan bagi manusia lainnya?...”
Aku mangut-mangut. Jujur saja, penuturan seperti ini belum pernah
kudengar sama sekali sebelumnya. Aku jadi terhenyak dan tersadar.
Rupanya perjalanan pendakianku selama ini belum berarti apa-apa.
Masih berupa kegiatan fisik. Tidak merasuk ke jiwa (Febrialdi:290-
291).
Universitas Sumatera Utara
74
Kedua kutipan di atas menunjukkan bahwa kesadaran yang dialami Ed
sehingga ia mengalami masa perubahan nilai pada hidupnya. Kedatangannya ke
Mekkah untuk menjalani ibadah haji sangat membuka pikirannya atas hikmah
yang bisa diambil dari setiap musibah yang dialaminya. Percakapannya dengan
Pak Hendra juga menyadarkannya tentang kegiatan pendakian yang selama ini
dilakukannya.
4.2.9 Masa Penyesuaian Diri dengan Hidup Baru
Ketika seseorang telah mencapai masa dewasa berarti ia harus lebih
bertanggung jawab karena pada masa ini ia sudah mempunyai peran ganda (peran
orang tua dan pekerja). Pada masa ini setelah melalui beragam masalah yang
menimpanya, Ed mencoba untuk mulai menyesuaikan diri dengan kehidupan baru
yang akan ia lewati.
Hei, bukankah aku sudah mengambil keputusan? Bukankah aku
sudah memulai perjalanan? Buktinya aku sudah meninggalkan kota
Bandung dan tiba di Yogyakarta. Kalau memang Tuhan hendak
menegurku serta menghentikan perjalananku, mestinya Ia
mempertemukan dengan lelaki semacam bapak ini sejak dari
Bandung. Sejak aku belum memulai perjalanan sama sekali. Sejak
aku belum mengemas ransel dan memutuskan meninggalkan
segala-galanya di Bandung. Kini, aku sudah mengayunkan kaki
pada langkah pertama. Sudah di kota Yogyakarta. Aku sudah
memulainya. Mengapa harus terhenti di sini? (Febrialdi:76-77).
Kutipan di atas menunjukkan tokoh Ed sudah mulai terbiasa dengan
kehidupan baru yang dipilihnya. Ed sudah memilih untuk melakukan perjalanan.
Hal itu membuatnya mulai terbiasa ketika harus menjumpai rintangan dan teguran
selama diperjalanan. Ia yakin kalau itu hanya cobaan agar ia bisa melakukan
perjalanan dengan lebih yakin.
Universitas Sumatera Utara
75
Kini yang kulihat justru kebalikannya. Tiap tenda sibuk dengan
sekelompoknya masing-masing. Setelah acara masak selesai,
mereka sibuk makan dengan kelompoknya juga di tenda masing-
masing. Tak ada tegur sapa dengan kelompok lain. Hal yang justru
jamak dilakukan tak lebih sekadar ajang berfoto di pinggir danau,
sembari memegang kertas bertuliskan klise, kutunggu di Ranu
Kumbolo, untuk kemudian diunggah ke media sosial. Esensi dari
mendaki gunung itu sendiri tak jadi berarti.
Apa boleh buat, zaman berubah. Zaman memang akan terus
berubah. Tak ada kondisi yang selamanya sama. Juga dalam
pendakian (Febrialdi:134).
Data di atas menunjukkan ciri-ciri masa penyesuaian diri dengan hidup
baru yang dialami Ed. Ketika Ed, Cery, Nina, dan Ayu memutuskan untuk
membangun tenda di Ranu Kumbolo, terlihat banyak tenda-tenda pendaki lain
juga terpacak di sekitar mereka. Namun, tradisi yang dulu dirasakan Ed sebagai
pendaki, perlahan kini sudah hilang. Zaman sekarang, tiap pendaki hanya sibuk
pada kelompok masing-masing. Tidak ada tegur sapa, basa-basi dengan
kelompok lain. Ed sudah terbiasa pada hal itu. Apa boleh buat, zaman sudah
berubah.
“Mas Ed, bisa bicara sebentar?” tanya Nina.
“Bicara?” Aku mengernyitkan dahi.
Nina mengangguk.
“Nggak bisa langsung gitu, Na. Kamu harus mengikuti prosedur
yang sudah ditetapkan.” Kini giliran Nina yag mengernyitkan dahi.
“Bikin janji dengan sekertarisku dulu. Katakan untuk keperluan
apa. Baru nanti dikasih jadwal untuk ketemu dan bicara. Itu pun
kalo waktunya memungkinkan.”
Kulihat Nina terbelalak. Sementara aku menahan tawa. Tetapi
rasanya aku sudah mulai bisa membalas kejailan-kejailan si bunga
liar ini (Febrialdi:138-139).
Kutipan di atas adalah sepenggal percakapan Ed dan Nina ketika sedang
berkemas untuk meninggalkan Semeru. Nina tiba-tiba menemui Ed untuk
membicarakan sesuatu. Tetapi pada kutipan itu, Ed terlihat bercanda dengan Nina.
Hal itu dilakukan Ed karena saat semalaman bersama Nina dan Ayu, mereka
Universitas Sumatera Utara
76
adalah gadis yang suka berkelakar dan bercanda ketika berbicara. Jadi, Ed
mencoba untuk menyesuaikan diri dengan mereka agar bisa terlihat seru.
Gadis ini cepat sekali berubah, batinku menyimpulkan. Kadang ia
ceria penuh tawa, kadang berapi-api, kadang cerewet tiada henti,
kadang memberengut dan merajuk, kini malah sudah kembali ceria.
Namun sikapnya yang seperti itu justru menyenangkan dan
membuatku tak perlu membangun batas terhadapnya
(Febrialdi:175).
Pada kutipan di atas, Ed yang pada dasarnya adalah lelaki dengan sikap
yang pendiam dan tidak mudah ditebak, mencoba memahami sikap dan perilaku
Nina. Ed mulai bisa menyesuaikan diri dengan Nina yang tingkah lakunya cepat
berubah. Hal itu justru menyenangkan dan tidak membatasi dirinya dengan Nina.
Sudah hampir satu bulan aku tinggal di rumah panti. Rumah Ibu
Ros yang diberikan padaku. Ada banyak perbaikan yang kulakukan
berkenaan dengan kerusakan di rumah panti. Pak Hendra malah
mengusulkan agar memanggil tukang saja. Sekalian diperbaiki
secara menyeluruh. Biasanya ditanggung Pak Hendra sepenuhnya
(Febrialdi:285).
Data di atas menunjukkan masa penyesuaian diri dengan hidup baru
setelah Ed menemukan jati dirinya. Ed akhirnya tinggal di rumah panti yang
diwariskan Ibu Ros kepadanya. Ed mulai membiasakan diri untuk merawat dan
melakukan perbaikan yang ternyata disengaja oleh Ibu Ros untuk
mempertahankan keaslian bentuk panti sampai diwariskan pada Ed.
4.2.10 Masa Kreatif
Dinamakan sebagai masa kreatif karena pada masa ini seseorang bebas
untuk berbuat apa yang diinginkan. Namun kreatifitas tergantung pada minat,
potensi, dan kesempatan. Pada masa ini, Ed sudah menemukan jati dirinya yaitu
Universitas Sumatera Utara
77
di panti asuhan Yogyakarta, tempat di mana ia diasuh sejak kecil. Ed menjadi
penerus yayasan rumah panti yang sudah diwariskan oleh mendiang Ibu Ros.
Kemudain memasuki sebuah toko peralatan rumah tangga. Aku
membeli sabit, gunting rumput, pacul, sapu lidi, pengki, dan
beberapa peralatan lain yang diperlukan. Setelah beres, kuminta
mereka membawa barang-barang itu (Febrialdi:273)
Pagi itu suasana tampak semarak. Semua anak bekerja dan
bergembira. Tak ada yang duduk melamun atau sekadar melihat
yang lain bekerja. Semua harus bekerja.
Begitu pun denganku. Aku membongkar rangka kayu pada plafon
teras yang sudah keropos. Lantas mengukurnya dengan ukuran
yang dibutuhkan. Kemudian menggergaji kayu yang tadi kubeli
(Febrialdi:274).
Pada beberapa kutipan di atas menunjukkan masa kreatif yang dilakukan
Ed setelah penemuan jati dirinya. Setelah memutuskan untuk kembali ke
Yogyakarta, ternyata rumah panti itu diwariskan Ibu Ros kepada Ed. Hal itu
membuat Ed merasa bertanggung jawab atas panti dan ingin mempercantik dan
memperbaiki keadaan panti dengan mengajak anak-anak panti bergotong royong
membereskan rumah panti itu.
Akhirnya kisah yang kutulis selama ini selesai juga, bersamaan
dengan selesainya ibadah haji 40 hari lamanya. Setiap malam aku
selalu menyempatkan diri untuk menulis agar naskah yang kutulis
bisa selesai sebelum pulang ke Indonesia (Febrialdi:296)
Akhirnya kukabulkan permintaanya. Kubuka laptop, kubuka file
tulisan yang kumaksud, dan kuserahkan ke pangkuannya.
Putri pun mulai membaca halaman pertama.
“Gitanjali. Apa arti Gitanjali?”
“Tembang persembahan.”
“Bahasa apa?”
“Sansekerta.” (Febrialdi:297).
Kedua kutipan di atas menunjukkan masa kreatif yang dilakukan oleh
tokoh Ed. Ketika musim haji tiba, Ed, Putri, Ibu Putri dan Pak Hendra melakukan
ibadah haji bersama. Selama menjalankan ibadah haji, banyak pencerahan batin
Universitas Sumatera Utara
78
yang didapatkan oleh Ed. Kesempatan itu tidak disia-siakannya. Selama 40 hari
beribadah haji, setiap kembali ke hotel, Ed langsung membuka laptop dan
menuangkan segala yang dipikirkan dan dirasakannya melalui tulisan. Akhirnya
kisah perjalanan Ed tidak hanya terbuang sia-sia. Ed menuliskan semuanya pada
cerita yang berjudul Gitanjali, yang diambil dari bahasa Sansekerta, yaitu
tembang persembahan.
Universitas Sumatera Utara
79
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap proses penemuan jati diri tokoh Ed
dalam novel Gitanjali karya Febrialdi R, dengan menggunakan analisis kajian
psikologi sastra, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Latar belakang terjadinya penemuan jati diri adalah berawal dari fase-
fase perkembangan kepribadian yang dialami tokoh Ed yaitu: (1) Fase
bayi 0-1 tahun, (2) Fase anak-anak 1-3 tahun, (3) Usia bermain 3-6
tahun, (4) Usia sekolah 6-12 tahun, (5) Adolesen 12-20 tahun, (6)
Dewasa awal 20-30 tahun.
2. Proses penemuan jati diri tokoh Ed berada pada fase dewasa awal (20-
30 tahun). Hal itu dianalisis dengan melihat ciri-ciri yang terjadi pada
fase dewasa awal yang dialami tokoh Ed. Ciri-ciri fase dewasa awal
yaitu: (1) Masa pengaturan, (2) Masa usia produktif, (3) masa
bermasalah, (4) Masa ketegangan emosional, (5) masa keterasingan
sosial, (6) Masa komitmen, (7) Masa ketergantungan, (8) Masa
perubahan nilai, (9) Masa menyesuaikan diri dengan hidup baru, (10)
Masa kreatif.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, menurut peneliti novel Gitanjali ini masih
bisa diteliti kembali dari berbagai aspek dan teori sastra lainnya. Seperti sosiologi
sastra, antropologi sastra, semiotika, maupun kajian ilmu lainnya. Peneliti
Universitas Sumatera Utara
80
berharap agar penelitian lanjutan yang mendalam dan bervariasi dapat
memperkaya kajian di bidang ilmu sastra.
Universitas Sumatera Utara
81
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press
Aminuddin. 1995. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Biru
Endaswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta:
Media Pressindo
Hadi, Hardono P. 2000.Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme
Whitehead.Yogyakarta: Pustaka Filsafat.
Jahja, Yudrik. 2011. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup.
Lindzey, Calvin S. Hall & Gardner. 2017. Teori-Teori Psikodinamik (Klinis).
Yogyakarta: PT Kanisius.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Tantawi, Isma. 2017. Bahasa Indonesia Akedemik. Bandung: Cipta Pustaka
Media.
Skripsi:
Ariani, Atikah Dwi. 2019. ”Pencarian Jati Diri dalam Novel Intelegensi Embun
Pagi karya Dee Lestari”. (Skripsi). Program Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga Surabaya.
(http://repository.unair.ac.id/view/thesis_type/skripsi/Sastra=5FIndonesia/
2019.type.html ) Diakses pada Tanggal 12 Desember 2019
Daniyati, Ester. 2010. “Perjalanan Pencarian jati Diri Tokoh Kimpada Novel Kim
Karya Rudyard Kipling”. (Skripsi).Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Dipenogoro Semarang.
(http://eprints.undip.ac.id/10124/) Diakses pada Tanggal 11 November
2019
Mitasari, Rizda Armi. 2017. “Strategi Pembentukan Identitas Diri Remaja di Panti
Asuhan Putri Aisyiyah Malang”. (Skripsi). Fakultas Psikologi, Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Universitas Sumatera Utara
82
(https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://etheses.
uin-malang.ac.id/) Diakses pada tanggal 3 September 2020.
Mulyono, Ninin Kholida. 2007. “Proses Pencarian Identitas Diri Pada Remaja
Muallaf”. (Skripsi). Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran,
Universitas Dipenogoro Semarang.
(http://eprints.undip.ac.id/10124/) Diakses pada tanggal 15 Desember
2019.
Artikel:
Putri, Alifia Fernanda. 2019. Pentingnya Orang Dewasa Awal Menyelesaikan
Tugas Perkembangannya. (Artikel). Universitas Negeri Padang.
(https://doi.org/10.23916/08430011) Diakses pada September 2020.
Universitas Sumatera Utara
83
Lampiran I
SINOPSIS
Gitanjali Karya Febrialdi R
Novel ini menceritakan tentang pemuda yang bernama Ed, seorang
karyawan restoran dengan posisi sebagai pencuci piring dan pembantu koki di
dapur. Ed memiliki kekasih yang bernama Ine, seorang dosen, berpendidikan S2,
bahkan sedang menempuh S3. Cerita bermula ketika Ed terkena korban ledakan
gas dapur tempat ia bekerja. Kecelakaan kerja itu mengakibatkan Ed mengalami
koma selama dua minggu. Namun, perusahaan tempat ia bekerja malah
memutuskan untuk mem-PHK Ed dengan alasan bahwa akibat cedera di kepala,
secara kondisi sudah tak memungkinkan untuk melanjutkan kerja di restoran lagi.
Meskipun melalui asuransi perusahaan sudah menanggung seluruh biaya rumah
sakit dan Ed diberkan pesangon dengan nominal cukup besar, tetapi pemutusan
kerja secara sepihak semacam itu sungguh membuat Ed merasa diperlakukan
tidak adil.
Perasaan kalut itu semakin menjadi ketika ia tidak mendapati kehadiran
Ine di kala ia masih dalam keadaan koma hingga sampai ia pulih. Ed berfikir hal
itu mungkin disebabkan karena sebuah percakapan serius yang lumayan
menyesakkan ketika mereka terakhir bertemu. Ine memang berasal dari keluarga
akademisi. Pendidikan mereka tinggi. Sering keluar negeri. Hidup mapan dan
bekecukupan. Sejak awal Ed mendekatinya, Ed sadar bahwa dirinya telah
memasuki sebuah lingkaran yang berbeda sama sekali dengan kehidupan Ed.
Namun Ed tetap saja nekat. Pesona Ine sudah menyedot akal sehat Ed untuk terus
Universitas Sumatera Utara
84
mendekatinya dan menjadikannya kekasih.Perbedaan status sosial itulah yang
menjadi dilema dalam hubungan percintaan mereka.
Seorang teman yang bernama Dicky, datang dan memberi saran kepada Ed
untuk melakukan travelling agar Ed mendapatkan ketenangan hati sebelum
memulai kehidupannya dari nol lagi. Dicky khawatir kalau uang pesangon itu
langsung digunakan untuk buka usaha atau mencari kerja, ia ragu kalau Ed tidak
akan fokus dan uring-uringan karena sebenarnya Ed pasti masih ragu untuk
melangkah kedepannya. Setelah pertimbangan yang matang, Ed memutuskan
untuk melakukan perjalanan Seven summit Indonesia, kegiatan menaklukan 7
gunung tertinggi yang mewakili 7 pulau terbesar yang ada di Indonesia. Dengan
modal uang pesangon PHK tempat ia bekerja dan tekad yang kuat, ia melangkah
untuk membuktikan kepada Ine bahwa ia bisa melakukan sesuatu yang dapat
dibanggakan. Alih-alih mendaki sebagai persembahan, Ed justru mengalami
sekelumit kisah yang tak terduga dalam pencapaiannya.Ketika cinta dan asa tak
selalu seirama, Ed mendapatkan makna reliji sesungguhnya atas perjalanannya itu.
Universitas Sumatera Utara
85
Lampiran II
DATA RIWAYAT HIDUP FEBRIALDI R
Nama lengkap : Febrialdi Rusdi
Tempat, tanggal lahir : Bandung, 4 Februari 1981
Status : Belum Menikah
Riwayat Pendidikan : D3 Fikom Jurnalistik- Stikom Bandung
Karya :Novel Bara (2017) Penerbit Media Kata, Novel
Gitanjali (2018) Penerbit Media Kata, Novel Proelium
(2019-2020) Penerbit Media Kata.
Universitas Sumatera Utara
29
Universitas Sumatera Utara