PROSES KOLONISASI BANGSA AUSTRONESIA DI KAWASAN MALUKU · PDF file1 PROSES KOLONISASI BANGSA...
Transcript of PROSES KOLONISASI BANGSA AUSTRONESIA DI KAWASAN MALUKU · PDF file1 PROSES KOLONISASI BANGSA...
1
PROSES KOLONISASI BANGSA AUSTRONESIA
DI KAWASAN MALUKU UTARA
Studi Kasus Pada Situs Ceruk Peneduh Uattamdi, Pulau Kayoa
Pendahuluan
Penelitian tentang keberadaan manusia di Indonesia telah dimulai sejak
Eugene Dubois menemukan fosil atap tengkorak dan tulang paha Pithecantropus
eractus (Homo erectus) di Trinil pada tahun 1891.1 Hingga kini penelitian
mengenai hal tersebut telah banyak mengalami kemajuan. Berdasarkan bukti
paleoantropologi populasi mahluk manusia yang pertama kali mendiami kawasan
Indonesia adalah Homo erectus.2 Jenis tersebut diperkirakan punah pada sekitar
40.000 th yl, yang diwakili oleh jenis yang progresif yaitu Homo eractus soloensis
(Solo Man).3 Sedangkan populasi manusia yang dianggap secara anatomi modern,
yang paling awal masuk ke wilayah Indonesia adalah Homo sapiens pada sekitar
50.000 th yl.4 Saat ini populasi Homo sapiens sapiens yang mendiami kawasan
Indonesia terdiri dari dua ras yaitu Australo-Melanesia yang diwakili oleh orang
Papua di kawasan Indonesia bagian Timur dan Mongoloid (selatan), atau lebih
1 RP Soejono, Sejarah Nasional Indonesia I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1975), hlm. 61.
2 Peter Bellwood, Man’s Conquest of the Pacific, (Auckland: Collins, 1975), hlm. 38.
3 Ibid., hlm. 42. 4 Sandra Bowdler, “Sunda and Sahul: A 30 KYR BP Culture Area ?”,
dalam Smith. MA; Springgs.M and Fankhain, Sahul in Review, (Canbera: RPAS, ANU, 1993), hlm. 65.
2
populer di sebut bangsa Austronesia yang mayoritas mendiami kawasan Indonesia
barat dan sedikit di bagian Indonesia timur.5
Istilah Austronesia adalah istilah yang diberikan oleh ahli linguistik, untuk
menyebut suatu rumpun bahasa yang hampir dituturkan oleh semua orang di
kepulauan Indo-Malaysia dan Oceania. Pada akhirnya istilah Austronesia juga
digunakan untuk menyebut seluruh bangsa yang menggunakan rumpun bahasa
tersebut. Rumpun bahasa ini terdiri dari 1.200 bahasa dan digunakan oleh kira-
kira 270 juta penutur.6 Persebarannya bahasa ini mencapai lebih dari separuh
belahan dunia sebelum masa kolonialisme (penjajahan) bangsa Eropa. Banyak
ahli yang berpendapat bahwa persebaran rumpun bahasa Austronesia yang luas
disebabkan oleh proses perpindahan bangsa penutur rumpun bahasa tersebut ke
luar dari daerah asalnya.
Sudah banyak para ahli yang mengajukan model migrasi untuk kasus
persebaran bangsa Austronesia. Heine Geldern adalah ahli yang pertama
menyodorkan konsep tentang budaya Austronesia. Ia berpendapat bahwa luas
persebaran budaya Austronesia ditunjukkan dengan persebaran kompleks budaya
Vierkantbeil adze. Ciri-ciri utama dari kompleks budaya Vierkantbeil adze adalah
kehadiran beliung persegi. Kompleks budaya ini berasal dari neolitik Sandinavia,
daerah Danau Baikal dan Baltik. Kemudian menyebar melalui sepanjang wilayah
5 Peter Bellwood, Prasejarah kepulauan Indo-Malaysia, edisi revisi,
(Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 99. 6 Darrel Tryon, “Proto-Austronesian and the Major Austronesian
Subgroup” dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, (Canberra: ANU, 1995), hlm. 17.
3
pantai Arktik Eurasia menuju Pasifik utara, hingga akhirnya secara mayoritas
distribusinya meliputi wilayah Pasifik Basin, Asia Tenggara dan Polynesia. Selain
itu, bentuk beliung dari Asia Timur Laut juga berhubungan erat dengan beliung
dari Amerika Barat Laut.7
Ahli lainnya adalah WG Solheim II yang mengajukan teori bahwa,
wilayah geografis persebaran beliung persegi memiliki hubungan dengan
bersebaran bangsa Austronesia. Persebaran artefak yang diperkirakan memiliki
fungsi pada pola subsistansi pertanian tersebut, menunjukkan hubungan yang erat
dengan sistim pertanian yang dikembangkan oleh bangsa Austronesia. Arah
persebaran beliung persegi diperkirakan menunjukkan arah persebaran bangsa
Austronesia. Solheim juga berpendapat bahwa asal bangsa ini berasal dari
Indonesia bagian timur dan Filipina selatan. Hal ini di dukung oleh jenis artefak
beliung persegi dan kapak lonjong yang ditemukan bersama-sama di Indonesia
bagian timur, seperti misalnya situs Kalumpang.8
Kemudan Roger Duff juga mengajukan teori bahwa, arah persebaran
bangsa Austronesia yang didukung oleh pola subsistensi bercocok tanam
tercermin oleh persebaran suatu jenis tipologi beliung persegi dari kawasan Asia
Tenggara daratan. Teori tersebut berpijak pada hasil klasifikasi typologi beliung
persegi bardasarkan bentuk irisan, bentuk tajaman, dan bentuk pangkal. Roger
7 Roger Duff, Stone Adze of Southeast Asia, (New Zealand: Centerbury
Museum, 1970), hlm.8. 8 Indah Asikin Nurani, “Persebaran Tradisi Beliung Persegi dan Kapak
Lonjong, Perpaduan di Kalumpang”, Berkala Arkeologi, th XIII No 1, (Yogyakarta: Balai Arkeologi DIY, 1993), hlm. 6-7.
4
Duff sampai pada kesimpulan bahwa pusat asal penyebaran beliung persegi yang
tersebar di kawasan kepulauan Indonesia kecuali Nugini berasal dari semenanjung
Malaya bagian selatan. Ciri-ciri budaya Austronesia ditandai dengan Malayan
Beacked Adze (beliung paruh)9 dan Indonesian Pick Adze (belincung)10. Beliung
paruh menyebar dari Malaysia ke Pulau sumatra dan Jawa, sedangkan belincung
yang tersebar di Indonesia tidak ditemukan di Malaysia. Ia mengutip pendapat
Heekern bahwa, belincung berasal dari Sumatra dan Jawa yang kemudian
menyebar ke Bali, menuju Sunda kecil dan Sulawesi sampai Minahasa.
Sedangkan beliung di Borneo Barat berasal dari Sumatra lewat Bangka.11
Peter Bellwood, dengan bukti yang lebih kompleks mampu mengajukan
teori yang lebih valid. Bertolak dari bukti arkeologis dan linguistik ia mengajukan
teori bahwa daerah asal bangsa Austronesia adalah Taiwan dan pantai Cina bagian
selatan. Kawasan tersebut oleh berberapa ahli linguistik dianggap sebagai tempat
asal bahasa proto-Austronesia. Sedangkan secara arkeologis, daerah tersebut
menghasilkan bukti pola subsistensi bercocok tanam dan aspek budaya
Austronesia lainnya, yang paling tua di Asia tenggara. Seperti misalnya situs
Hemudu di teluk Hangzou, propinsi Zhejiang yang berumur 7000 tahun.12
9 Type 7, variasi D dan E menurut klasifikasi Duff. 10 Type 7, variasi A, B dan C menurut klasifikasi Duff. 11 Roger Duff, op.cit., 1970, hlm. 14. 12 Peter bellwood, “Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland,
Expansion and Transformation”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, (Canberra: ANU, 1995), hlm. 97-98.
5
Berdasarkan analisis linguistik, Blust mengajukan pendapat bahwa sub
kelompok bahasa Melayu-Polynesia bergerak relatif terpisah ke arah selatan
Filipina memasuki Borneo dan Sulawesi. Kemudian cikal bakal yang bergerak ke
arah timur dan selatan yang memasuki wilayah Maluku dan Sunda Kecil
memunculkan sub kelompok Melayu Polynesia Timur-Tengah.13 Berdasarkan
peta persebaran bahasa, dapat diketahui bahwa rumpun bahasa Austronesia juga
secara mayoritas dipakai di Oceania. Padahal untuk mencapai daerah tersebut
maka harus dicari wilayah yang menjadi batu loncatan. Bukti linguistik di atas
mengajukan asumsi bahwa proto bahasa yang digunakan di wilayah Oceania
berawal dari sub kelompok Melayu Polynesia Timur- Tengah yang berada di
kawasan Filipina bagian selatan dan bergerak ke arah timur yaitu ke kawasan
Maluku.
Sebelum kedatangan bangsa Austronesia, wilayah Indonesia secara
mayoritas telah dihuni oleh populasi Australo-Melanesia. Coon dan Howells
berpendapat bahwa pada masa lalu terdapat suatu daerah yang disebut Melanesia
Lama, wilayah ini merupakan kawasan persebaran populasi Australo-Melanesia
yang meliputi Daratan Sunda, Wallacea dan Sahul. Tengkorak Wajak, Niah dan
Tabon dianggap merupakan nenek moyang Australo-Melanesia, yang telah
muncul di wilayah kepulauan ini setidaknya sejak 50.000 tyl.14 Kemudian dengan
bersamaan munculnya pola susbsistensi bercocok tanam, wilayah Indonesia mulai
di gantikan oleh populasi Mongoloid selatan (Austronesia). Sedangkan populasi
13 Peter Bellwood, op. cit., 2000, hlm. 153-154. 14 Peter Bellwood, op.cit., 2000, hlm. 128-129.
6
Australo-Melanesia berangsur-angsur terdesak ke arah timur, dan wilayah tersebut
dinamakan Melanesia baru.
Sisa-sisa keberadaan populasi Australo-Melanesia di kawasan Wallacea
antara lain diwakili oleh sebuah tengkorak dari lapisan paling dasar di Leang
Buidane, kepulauan Talaud.15 Selain itu, budaya yang dianggap sebagai hasil
Australo-Melanesia antara lain adalah: industri alat batu dari Leang Burung 2
(29.000 BP dan 17.000 BP), Ulu Leang 1 (awal Holosen), bukit sampah kerang
Paso (6.500 SM).16 Sedangkan di kawasan Maluku Utara khususnya, kegiatan
manusia yang berlangsung lebih dari 32.000 tahun telah ditemukan di gua pantai
Golo dan Wetef, selain itu juga Daeo 2 dan Tanjung pinang di pulau Morotai
(14.000 BP), dan Gua Siti Nafisah di pulau Halmahera (5.500 BP).17 Tinggalan
dari fase budaya tersebut juga merupakan jejak keberadaan populasi Australo-
Melanesia.
Berdasarkan penelitian baru-baru ini, dari kawasan Maluku Utara
diperoleh catatan prasejarah yang rinci dan panjang meliputi lebih dari 32.000
tahun.18 Kawasan tersebut memiliki banyak situs yang berpotensi untuk
membantu mengungkapkan berbagai asumsi mengenai kasus migrasi Austronesia
tersebut. Salah satu situs tersebut adalah situs ceruk peneduh Uattamdi di pulau
15 Ibid., hlm. 126. 16 Ibid., hlm. 273-275. 17 Ibid., hlm. 278-280. 18 Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo,
Geoffrey Irwin, “The Northern Molluccas as A Crossroads between Indonesia and the Pacific”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 195.
7
Kayoa, Kabupaten Maluku Utara. Secara garis besar, berdasarkan penelitian yang
dilakukan pada tahun 1994-1996 telah disusun lapisan budaya dari situs tersebut,
yaitu:19
a. 31.000-3.500 BP : tidak di okupasi oleh manusia
b. 3.500-2.000 BP : lapisan budaya yang mengandung gerabah
berpoles merah, lancipan tulang, serpih, beliung
yang diasah, manik-manik dan gelang kerang,
ekofak berupa tulang babi, anjing, fokus pada
eksploitasi fauna aquatik, dan tanpa hewan
marsupial kecuali kus-kus.
c. 2.000-1.000 BP : lapisan yang budaya mengandung gerabah berhias
teknik terra (gores), penguburan dalam tempayan,
sisa besi dan perunggu, manik-manik gelas
monokrom, mata uang Cina (setelah 1000 BP).
d. 1.000-500 BP20 : lapisan budaya yang menunjukkan meningkatnya
interaksi dengan kesultananTidore.
Berdasarkan analisis Peter Bellwood, tinggalan dari fase lapisan budaya
awal di situs tersebut berhubungan erat dengan tinggalan dari Filipina dan Lapita
di Melanesia yang sejaman. Selain itu domestikasi spesies babi dan anjing yang
19 Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Geoffrey Irwin, Gunadi, Agus
Waluyo, Daud Tanudirjo, “35,000 Years of Prehistoriy in the northern Moluccas”, dalam Gert-Jan Bartstra Bird’s Heads Approaches, (Rotterdam: Balkema, 1998), hlm. 268-269.
20 Peter Bellwood dkk, op.cit., 2000. hlm. 241.
8
diperkenalkan di pulau Kayoa, mengindikasikan adanya kolonisasi bangsa
Austronesia di kawasan tersebut.21
Menurut Peter Bellwood, untuk mengidentifikasi keberadaan penyebaran
populasi manusia pada masa lampau, hendaknya kita memahami struktur mereka
dalam hal:22
a. Koordinat-koordinat waktu dan ruang
b. Derajat interaksi antara komunitas yang datang dengan komunitas
yang telah ada pra-kolonisasi
c. Derajat perbedaan filogenetik antara populasi pra-koloniasai dengan
populasi dari masa selanjutnya
Bertolak pada teori diatas, maka dalam mengkaji proses migrasi dan
kolonisasi bangsa Austronesia hendaknya kita harus memperhatikan hal-hal
seperti tersebut di atas. Poin pertama pada teori tersebut menyarankan kita untuk
memperhatikan aspek ruang dan waktu. Aspek tersebut berguna untuk
menjelaskan situs-situs yang memiliki persamaan bentuk budaya. Disamping itu
juga dapat digunakan untuk mengetahui arah asal serta kawasan yang menjadi
tujuan migrasi dan kolonisasi bangsa Austronesia.
Poin kedua merupakan aspek yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini akan diungkap interaksi antara komunitas pra-Austronesia
21 Ibid., hlm. 219 22 Peter Bellwood, “Human Dispersal and Colonizations in Prehistory-the
Southeast Asian Data and Their Implications”, dalam K. Omoto dan P.V. Tobias (eds) The Origins and Past of Modern Humans-Towards Reconciliation, (Singapore: World Scientific, 1998), hlm.189.
9
yang telah menghuni kawasan tersebut (Australo-Melanesia), dengan bangsa
Austronesia yang merupakan komunitas pendatang. Berdasarkan hasil penelitian
sebelumnya dapat diketahui bahwa situs ceruk peneduh Uattamdi, pulau Kayoa,
menyediakan data mengenai kedatangan bangsa Austronesia yang paling awal
pada kawasan Maluku Utara. Tentunya interaksi antara komunitas setempat yang
merupakan pemburu-peramu dengan komunitas pendatang (bangsa Austronesia)
yang merupakan petani-pelaut dapat diungkapkan berdasarkan data arkeologi
yang ditinggalkan. Poin ini merupakan pokok bahasan yang menjadi fokus dalam
penelitian ini.
Sedangkan poin ketiga dari teori tersebut meyarankan untuk
membandingkan data genetik dari komunitas sebelum proses penghunian dengan
komunitas setelah penghunian baru di kawasan yang bersangkutan. Berdasarkan
pada fokus objek kajian penelitian ini yang dititikberatkan pada kajian data
arkeologi, maka hanya kedua poin pertama saja yang akan dibahas. Sedangkan
poin ketiga agak diabaikan karena keterbatasan data yang tersedia, mungkin hal
tersebut merupakan bias dari hasil penelitian ini.
Saat ini sudah ada beberapa tulisan mengenai kolonisasi manusia di
wilayah Indonesia, seperti misalnya: Daud Aris Tanudirdjo (1991 dan 2000)
menulis “Proses Awal Penghunian Paparan Sahul Utara dan Kepulauan
Melanesia” dan “Pleistocene Colonization in the Indo-Pacific: The models and the
Data”. Kedua tulisan tersebut membahas beberapa kemungkinan mengenai proses
kolonisasi di Indonesia pada kala Pleistosen (pra-Austronesia) berdasarkan model
dan data yang tersedia. Hannibal Hutagalung (1999) menulis mengenai
10
keterkaitan antara situs Gua Golo dengan situs-situs lain yang relatif sejaman di
Asia tenggara dalam perspektif proses migrasi Homo sapiens (pra-Austronesia).
Peter Veth, dkk (2000) dalam tulisannya menyimpulkan bahwa pulau Aru dapat
digunakan sebagai objek kaji untuk menguji hipotesis mengenai migrasi yang
diajukan dengan berbagai cara, khususnya model Birdsell (1977).
Indah Asikin Nurani (1993 dan 1996) menulis “Persebaran Tradisi
Beliung Persegi dan Kapak Lonjong, Perpaduan di Kalumpang” dan “Sulawesi
Sebagai Pusat Migrasi bangsa Austronesia” sampai pada kesimpulan bahwa
daerah Indonesia timur bagian utara (khususnya Sulawesi) adalah daerah pusat
migrasi bangsa Austronesia. Ia berpendapat bahwa gerabah Kalumpang yang
sangat mirip dengan gerabah Kalanay, serta variasi temuan beliung persegi dan
kapak lonjong mengindikasikan bahwa Kalumpang adalah daerah asal persebaran
bangsa Austronesia. Dari daerah ini beliung persegi menyebar ke arah Indonesia
barat dan Asia tenggara daratan, sedangkan kapak lonjong menyebar ke arah
timur menuju kep. Melanesia.
Peter Bellwood, dkk (1998 dan 2000) dalam tulisannya “35,000 Years of
Prehistory in the Northern Moluccas” dan “The Northern Molluccas as A
Crossroads between Indonesia and the Pacific”, dibahas tentang kolonisasi kala
Pleistosen, kontak antar pulau, data baru mengenai pertanian dan hubungan antara
rumpun bahasa Austronesia dengan rumpun bahasa Papua. Walaupun kawasan
yang dikaji dalam tulisan tersebut juga Maluku Utara, tetapi tulisan tersebut
belum membahas aspek interaksi para kolonis yang datang dengan para komunitas
setempat yang telah ada di kawasan tersebut.
11
Permasalahan Dan Tujuan penelitian
Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
diketahui bahwa bangsa Austronesia sebagai populasi pendatang yang
mengkoloni kawasan Maluku, harus berhadapan dengan populasi pra-Austronesia.
Sehingga akhirnya dapat disusun rumusan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah interaksi antara populasi pra-Austronesia dengan
Austronesia, yang tercermin pada data arkeologi pada situs ceruk peneduh
Uattamdi ?
2. Bagaimanakah proses kolonisasi bangsa Austronesia di kawasan Maluku
Utara ?
Berdasarkan pada perumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengungkapkan proses interaksi yang terjadi antara populasi
pendatang Austronesia dengan populasi pra-Austronesia yang telah mendiami
kawasan Maluku Utara sebelum kedatangan bangsa Austronesia. Jawaban atas
permasalah ini mungkin dapat juga dijadikan sebagai asumsi awal untuk
menjelaskan fenomena etnografi mengenai keragaman aspek budaya bangsa
Austronesia yang sampai saat ini masih dapat dijumpai.
Sedangkan tujuan utama yang kedua merupakan implikasi dari
permasalahan pertama. Jawaban atas kasus kolonisasi situs ceruk peneduh
Uattamdi, pulau Kayoa dapat digunakan sebagai contoh model untuk menjelaskan
tahapan proses kolonisasi bangsa Austronesia di kawasan Maluku Utara. Manfaat
lain yang lebih jauh dari tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan
12
kerangka pikir kita pada sebuah kasus penghunian suatu wilayah oleh populasi
pendatang yang sebelumnya telah dihuni oleh populasi pra-pendatang.
Metode dan Strategi Penelitian
Penelitian ini menggunakan penalaran induktif, yaitu penalaran yang
bergerak dari kajian fakta-fakta atau gejala-gejala khusus untuk kemudian
disimpulkan sebagai gejala yang bersifat umum atau generalisasi empiris.23 Fakta
atau gejala khusus yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data arkeologi,
yang meliputi data artefaktual, data ekofak, sisa tulang manusia, konteks
stratigrafi dan pertanggalannya. Selain itu juga akan digunakan data pendukung
yaitu data etnografi dan linguitik. Jadi berdasarkan sifat penalarannya, penelitian
ini mengutamakan pengkajian data sebagai pangkal tolak dalam penarikan
kesimpulan.
Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak diselesaikan, maka penelitian
ini bersifat eksplikatif. Penelitian ini akan memberikan gambaran atau deskripsi
yang sistematik tentang data atau fakta. Dalam penelitian ini akan diuraikan
keseluruhan data atau fakta menjadi bagian-bagian dan akan ditunjukkan
hubungan-hubungan diantaranya.24 Dalam penelitian ini fakta yang berasal dari
data artefaktual, ekofak, sisa penguburan (tulang manusia) dan pertanggalan akan
diuraikan secara keseluruhan dan dijelaskan hubungannya, sehingga dapat
23 Daud Aris Tanudirjo, “Ragam Metode Penelitian Arkeologi Dalam Skripsi Karya Mahasiswa Arkeologi Universitas Gadjah Mada”, Laporan Penelitian, (Yogyakarta: Jur. Arkeologi, Fak. Sastra, UGM, 1988-1989), hlm.34.
24 Ibid., hlm. 26.
13
diketahui jawaban mengenai tujuan penelitian yang akan dicapai. Selain itu,
dalam penelitian ini juga akan digunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini
digunakan untuk mengungkapkan makna yang melekat pada data arkeologi.
Sedangkan strategi yang dipilih dalam penelitian ini adalah intepretasi-
teoritis. Penelitian dengan menggunakan strategi ini bertujuan untuk melakukan
re-intepretasi terhadap berbagai macam informasi yang pernah didapatkan.
Informasi yang dimaksud bukan hanya mengacu pada data empiris, tetapi juga
meliputi hipotesis, teori dan intepretasi lama.25 Penelitian ini beranjak dari hasil
penelitian arkeologi dan linguistik sebelumnya. Penelitian di kawasan Maluku
Utara pada tahun 1994-1996, banyak menghasilkan data-data baru, sehingga perlu
dilakukan re-intepretasi yang berguna untuk menguatkan hasil penelitian
sebelumnya atau bahkan sebaliknya.
Berdasarkan pada metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini,
maka dapat disusun tahap-tahap penelitian yang akan dilakukan sebagai berikut:
1. Tahap pengumpulan data
Data arkeologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hasil
penelitian yang dilakukan oleh Peter Bellwood pada tahun 1994-1996 di kawasan
Maluku Utara, khususnya situs ceruk peneduh Uattamdi, pulau Kayoa, Kab.
Maluku Utara. Pertanggalan dan pendokumentasian data arkeologi yang cukup
baik merupakan alasan dipilihnya data dari situs tersebut. Data arkeologi tersebut
antara lain adalah data artefaktual, ekofak, tulang manusia (sisa penguburan), dan
25 Ibid., hlm. 28.
14
konteks pertanggalannya. Selain itu, juga akan digunakan data hasil penelitian di
kawasan sekitar Maluku Utara yang relevan dalam penelitian ini, khususnya untuk
perbandingan serta rekonstruksi unsur-unsur budaya dari situs yang diteliti,
misalnya situs Gua Golo, Um Kapat Papo dan Buwawansi (pulau Gebe), Tanjung
Pinang dan Daeo 2 (pulau Morotai), dan Siti Nafisah (pulau Halmahera). Dalam
penelitian ini juga akan digunakan data pendukung yang berasal dari studi
pustaka, berupa laporan penelitian dan jurnal ilmiah yang sesuai dengan tema
penelitian.
Peter Bellwood (1993) dalam tulisannya ”Crossing the Wallacea line-With
Style” menyarankan bahwa, hanya dengan bukti arkeologi saja tidak cukup dalam
merekonstruksi masalah migrasi dan kolonisasi pada masa prasejarah. Oleh
karena itu, kita juga harus memperhatikan catatan etnografi, bukti linguistik dan
genetik.26 Pada dasarnya kelemahan data arkeologi adalah sifatnya yang terbatas
dan fraghmentaris. Kadang kala data arkeologi tidak dapat menunjukkan aspek
dinamis dari suatu budaya.27 Hal ini disebabkan oleh berbagai aspek, seperti
misalnya proses tafonomis dan bias-bias yang ditimbulkan. Maka dalam
penelitian ini selain digunakan data arkeologi, juga akan digunakan data dari
beberapa ilmu bantu lainnya, yaitu linguistik dan etnografi. Sedangkan data
genetik tidak digunakan, karena disebabkan oleh kelangkaan data tersebut.
26 Peter Bellwood, ”Crossing the Wallacea line-With Style”, dalam
Matthew Spriggs, dkk (eds), A Community of Culture, The People and Prehistory of the Pacific, No. 21, (Canberra: ANU, 1993), hlm. 155-156.
27 Daud Aris Tanudirdjo, “Kajian Budaya Bendawi Modern dan Arkeologi”, Artefak, No. 15/Agustus, (Yogyakarta: HIMA, Fak. Sastra UGM, 1995), hlm. 13.
15
2. Tahap Pengolahan (analisis) data
Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka analisis yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis terhadap data arkeologi. Untuk
menjawab permasalahan pertama mengenai interaksi budaya yang tercermin pada
data arkeologi di situs Uattamdi, maka analisis data arkeologi dilakukan secara
bertingkat. Hal pertama yang akan dilakukan adalah merekonstruksi sejarah
budaya pada situs Uattamdi. Analisis data arkeologi dilakukan pada tiap lapisan
budaya. Pada tahap ini analisis yang dilakukan adalah:
1. Analisis data artefaktual digunakan untuk mengetahui:
• Bahan baku, asal bahan
• Tipologi, meliputi: ukuran, bentuk, style
• Fungsi
2. Analisis data ekofak digunakan untuk mengetahui: sumber daya alam yang
dimanfaatkan oleh manusia.
3. Analisis sisa tulang manusia digunakan untuk mengetahui ciri ras manusia
pendukung budaya situs tersebut.
4. Analisis pertanggalan digunakan untuk mengetahui umur suatu lapisan
budaya.
5. Analisis tafonomi digunakan untuk mengetahui kecepatan sedimentasi,
kemungkinan lapisan yang teraduk (rusak), dan lapisan streril.
Kemudian setelah kita dapat merekonstruksi sejarah budaya situs
Uattamdi, akan dilakukan continuous monitoring pada tiap layer untuk
mengetahui dinamika data arkeologi di situs tersebut. Continuous monitoring
adalah salah satu metode penelitian dalam antropologi budaya, untuk mengetahui
perubahan-perubahan budaya yang berhubungan dengan penyebaran budaya.
Dalam etnologi, metode ini diterapkan pada satu atau beberapa kebudayaan
16
sekaligus, dan dikerjakan dalam jangka waktu beberapa tahun. Dalam penelitian
ini, sejarah budaya situs Uattamdi selama 5.500 tahun yang telah direkonstruksi,
dianggap mewakili data yang digunakan dalam antropologi difusi. Perbandingan
data arkeologi yang dilakukan antara layer yang satu dengan yang lain diharapkan
dapat memperlihatkan dinamika budaya di situs tersebut.
Pada tahap ini juga akan dilakukan pemilah-milahan (pengelompokkan)
aspek budaya pre-Austronesia dan Austronesia, sehingga dapat diketahui unsur
budaya yang mempengaruhi dan mana yang dipengaruhi. Pemilahan unsur budaya
akan dibantu dengan komparasi budaya dari situs lainnya di Maluku Utara yang
memiliki data arkeologi yang cukup lengkap, seperti: Golo (tidak menutup
kemungkinan digunakan situs lainnya dari luar Maluku Utara). Pada tahap
selanjutnya akan disusun hipotesis mengenai dinamika di situs Uattamdi dan
interaksi budaya pre-Austronesia dengan Austronesia. Hipotesis yang dihasilkan
akan diajukan sebagai model untuk menjelaskan kasus kolonisasi bangsa
Austronesia di kawasan yang sebelumnya telah dihuni oleh komunitas pre-
Austronesia.
Tujuan dari permasalahan kedua adalah untuk merekontruksi kolonisasi
An di Maluku Utara. Pada tahap ini, situs Uattamdi akan ditempatkan diantara
situs-situs lainnya di Maluku Utara, seperti: situs Gua Golo, Um Kapat papo, dan
Buwawansi (pulau Gebe), Tanjung Pinang dan Daeo 2 (pulau Morotai), dan Siti
Nafisah (pulau Halmahera). Situs-situs tersebut akan dikaitkan satu dengan yang
lain dalam kerangka pikir migrasi-kolonisasi Austronesia.
Variabel yang akan menjadi tolak ukur untuk merekonstruksi persebaran
(pengaruh) budaya Austronesia berasal dari kajian antropologi difusi, variabel
tersebut antara lain adalah: ruang, waktu, kompleksitas budaya, dan kemiripan
bentuk, makna serta fungsi. Selain itu dalam tahap ini juga akan digunakan data
pendukung yang berasal dari kajian etnolinguistik dan etnografi.
17
3. Tahap Sintesis
Dalam tahap ini berbagai deskripsi mengenai fakta-fakta akan
dihubungkan secara sistematis sehingga menghasilkan suatu gambaran mengenai
suatu fenomena yang utuh. Dalam penelitian ini, diharapkan data arkeologi dapat
mengungkapkan aspek bentuk, ruang dan waktu suatu budaya. Dengan
mengkombinasikan antara data artefaktual, ekofak, serta tulang manusia dengan
konteks kronologinya maka akan dihasilkan suatu gambaran mengenai proses
interaksi dan kolonisasi bangsa Austronesia di kawasan tersebut, khususnya pada
situs ceruk peneduh Uattamdi. Dating yang dihasilkan oleh situs tersebut dapat
digunakan untuk memahami peranan budaya situs tersebut pada masa tertentu
dalam perspektif keruangan yang lebih luas. Sedangkan silang budaya secara
sinkronik dapat membantu untuk memahami derajat interaksi dengan populasi
lainnya yang memiliki hubungan secara temporal. Pada silang budaya ini, akan
ditampilkan data-data dari beberapa situs di kawasan Maluku Utara.
Disamping itu, pada tahap ini analisis terhadap data arkeologi yang telah
dilakukan akan dikombinasikan dengan data etnografi dan linguistik. Data dari
linguistik memiliki dua peranan dalam penelitian ini. Peran yang pertama adalah
sebagai penghasil kemungkinan awal dan peran yang lain sebagai data pendukung
dari hasil penelitian ini. Jadi penelitian terhadap situs Uattamdi ini bertolak dari
model migrasi yang diajukan berdasarkan teori linguistik. Dan hasil dari
penelitian ini nantinya juga akan didukung oleh data linguistik, seperti misalnya
persamaan kosa kata dan peta persebaran etnolinguistik di daerah tersebut yang
masih berkembang. Seperti peran data linguistik, data etnografi juga bermanfaat
18
untuk mendukung hasil penelitian ini. Sehingga berdasarkan pada sintesis
berbagai data tersebut akan dihasilkan gambaran mengenai proses kolonisasi
bangsa Austronesia di kawasan Maluku Utara, secara lebih komprehensif.
4. Tahap penarikan kesimpulan
Tahapan ini merupakan tahap terakhir dari penelitian ini. Dalam tahapan
ini diharapkan dapat mememberikan gambaran mengenai proses interaksi antara
komunitas pra-Austronesia dengan Austronesia di situs ceruk peneduh Uattamdi.
Selain itu juga akan diketengahkan gambaran mengenai proses kolonisasi di situs
ceruk peneduh Uattamdi, Pulau Kayoa, Maluku Utara, serta implikasinya bagi
rekonstruksi proses migrasi bangsa Austronesia, khususnya di kawasan Maluku
Utara.
19
DAFTAR PUSTAKA
Bellwood, Peter
1993 ”Crossing the Wallacea line-With Style”, dalam Matthew Spriggs, dkk (eds), A Community of Culture, The People and Prehistory of the Pacific, No. 21, Canberra: ANU.
1995 “Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion and Transformation”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, Canberra: ANU
1998 “Human Dispersal and Colonizations in Prehistory-the Southeast Asian Data and Their Implications”, dalam K. Omoto dan P.V. Tobias, The Origins and Past of Modern Humans-Towards Reconciliation, Singapore: World Scientific.
2000 Prasejarah kepulauan Indo-Malaysia, edisi revisi, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama
Bellwood, Peter dkk
1998 “35,000 Years of Prehistoriy in the northern Moluccas”, dalam Gert-Jan Bartstra, Bird’s Heads Approaches, Rotterdam: Balkema
2000 “The Northern Molluccas as A Crossroads between Indonesia and the Pacific”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, PSAP- UGM, Yogyakarta
Bowdler, Sandra
1993 “Sunda and Sahul: A 30 KYR BP Culture Area ?”, dalam Smith. MA; Springgs.M and Fankhain, Sahul in Review, Canbera: RPAS, ANU
Duff, Roger
1970 Stone Adze of Southeast Asia, New Zealand: Centerbury Museum.
Hutagalung, Hannibal
1999 “Pemanfaatan Situs (Gua) Golo, Pulau Gebe, Maluku Utara, Skripsi, Yogyakarta: Fak. Sastra, UGM.
Nurani, Indah Asikin
1993 “Persebaran Tradisi Beliung Persegi dan Kapak Lonjong, Perpaduan di Kalumpang”, Berkala Arkeologi, th XIII No 1, Yogyakarta: Balai Arkeologi DIY.
20
1996 “Sulawesi Sebagai Pusat Migrasi bangsa Austronesia”, Seminar Prasejarah Indonesia 1, Kongres API I, Yogyakarta: API.
RP Soejono
1975 Sejarah Nasional Indonesia I, Jakarta: Balai Pustaka.
Tanudirjo, Daud Aris
1989 “Ragam Metode Penelitian Arkeologi Dalam Skripsi Karya Mahasiswa Arkeologi Universitas Gadjah Mada”, Laporan Penelitian, Yogyakarta: Jur. Arkeologi, Fak. Sastra, UGM, Yogyakarta.
1991 “Proses Awal Penghunian Paparan Sahul Utara dan Kepulauan Melanesia”, Kegiatan Ilmiah IAAI, Yogyakarta.
1995 “Kajian Budaya Bendawi Modern dan Arkeologi”, Artefak, No. 15/Agustus, Yogyakarta: HIMA, Fak. Sastra UGM.
2000 “Pleistocene Colonization in the Indo-Pacific: The models and the Data”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, PSAK- UGM, Yogyakarta.
Tryon, Darrell
1995 “Proto-Austronesian and the Major Austronesian Subgroup” dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, Canberra: ANU.
Veth, Peter dkk
2000 “Bridging Sunda and Sahul: The Archaeological Significance of the Aru Island, Maluku, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, PSAK- UGM, Yogyakarta
Widijastuti, Endang
1998 “Penguburan Tempayan di Indonesia, Persamaan dan Perbedaannya dengan Asia Tenggara Lainnya”, Skripsi, Yogyakarta: Fak. Sastra, UGM.
21
Rancangan Skripsi
BAB I: PENDAHULUAN
I.1 Latar belakang Masalah
I.2 Perumusan Masalah
I.3 Tujuan Penelitian
I.3 Metode Penelitian
BAB II: TINJAUAN UMUM
II.1 Kondisi Lingkungan Maluku Utara
II.2 Kondisi Lingkungan Situs Ceruk Peneduh Uattamdi
II.3 Data Hasil Penggalian
BAB III: ANALISIS DATA ARKEOLOGI
III.1 Analisis Data Artefak
III.2 Analisis Data Ekofak
III.3 Analisis Sisa Rangka Manusia
III.4 Analisis Tafonomi
III.5 Komparasi Kronologi
BAB IV: SINTESIS
IV.1 Interaksi komunitas Pra-Austronesia dengan Austronesia di Situs
Ceruk Peneduh Uattamdi, Pulau Kayoa
IV.2 Proses Kolonisasi Bangsa Austronesia di Kawasan Maluku Utara
BAB V: KESIMPULAN
22
Alur Penalaran
Asumsi: Linguistik
--------------------------------------Situs Uattamdi, Pulau Kayoa, Maluku Utara----------------------------
Data Arkeologi:
Data Artefaktual Data ekofak Data sisa tulang manusia
Komparasi Kronologi
Data Pendukung: Kronologi Lapisan Budaya Data Pendukung:
Etnografi Dan Manusia Pendukungnya Linguitik
Hasil Penelitian:
Proses Interaksi Pra-Austronesia – Austronesia
Proses Kolonisasi Maluku Utara
-------------------------------------------------Implikasi Hasil Penelitian--------------------------------------
Mengembangkan Kerangka Pikir Kasus Kolonisasi Bangsa Austronesia
Ket: --------------- = batas penelitian