Prosedur Pencopotan Jabatan Presiden Secara Konstitusional
-
Upload
parna-sitanggang -
Category
Documents
-
view
38 -
download
1
description
Transcript of Prosedur Pencopotan Jabatan Presiden Secara Konstitusional
PROSEDUR PENCOPOTAN JABATAN PRESIDEN SECARA KONSTITUSIONAL
(IMPEACHMENT ATAU PEMAKZULAN)
Oleh :
Nama : Andreas Sinuraya
NIM : 4133210002
Kelas : Kimia Nondik 2013
M. Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2015
A. PENDAHULUAN
Salah satu keputusan penting yang diambil oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
dalam Perubahan Ketiga UUD NKRI Tahun 1945 adalah dimasukkanya ketentuan yang
secara eksplisit mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dalam UUD. Ketentuan dimaksud diatur dalam Pasal 7A, Pasal 7B, dan
Pasal 24C ayat (2) Perubahan Ketiga UUD NKRI Tahun 1945. Hal yang
melatarbelakangi dimasukkannya ketentuan mengenai prosedur pemberhentian presiden
adalah pelajaran dari kasus impeachment/pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid
yang sempat menjadi permasalahan pelik, baik dalam bidang politik, hankam maupun
permasalahan hukum ketatanegaraan. Secara teoritis pelembagaan prosedur impeachment
secara ketat memang menjadi ciri pokok sistem pemerintahan presidensiil (murni) yang
hendak dilembagakan dalam perubahan UUD NKRI Tahun 45.
Ketentuan Pemberhentian Presiden/Wapres dalam masa jabatannya memang tidak
diatur secara tegas dalam Batang Tubuh (baca-pasal-pasal) UUD Tahun 1945 sebelum
perubahan, kalaupun ada hanya termaktub dalam Penjelasan UUD 45. Meskipun
demikian juga tidak ada ketentuan sama sekali dalam UUD 45 yang menyatakan bahwa
ujung dari Sidang Istimewa yang meminta pertanggungjawaban Presiden adalah
pemecatan . Bahkan beberapa pakar Hukum Tata Negara, semisal Harun Alrasyid
menolak secara tegas keberadaan lembaga impeachment dalam UUD 45, karena menurut
beliau Penjelasan bukanlah bagian dari UUD 45 yang syah. Lebih lanjut belia juga
mempertanyakan keabsahan prosedur pencopotan Presiden Abdurrahman Wahid, dengan
alasan bahwa Tap. MPR No.III/MPR/1978 tentang Hubungan dan Tata Kerja Lembaga
Tinggi Negara, yang mengatur tentang Prosedur impeachment bertentangan dengan UUD
45.
Dari sisi akademis, pandangan Harun Alrasyid memang sangat debateble, karena
meskipun dalam Pasal 8 UUD 45 tidak mengatur tentang pemberhentian, melainkan
hanya penggantian, akan tetapi eksistensi Penjelasan UUD 45 sebagai bagian dari UUD
yang tidak terpisahkan dari batang tubuh tidak menjadi permasalahan hukum lagi, karena
UUD yang berlaku saat itu bukanlah UUD 45 (Proklamasi) yang disayahkan PPKI
tanggal 18 Agustus 1945, melainkan UUD 45 Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memuat
pula Penjelasan, hal mana Dekrit tersebut juga telah disyahkan oleh MPR. Kedudukan
MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat juga memberikan legalitas kepada MPR untuk
membentuk Tap MPR sebagai pengaturan lebih lanjut maupun penafsiran dari konstitusi.
Dalam teori hukum tata negara, terdapat dua cara pemberhentian presiden, pertama
adalah impeachment dan yang kedua adalah mekanisme forum previelegiantum .
Impeachment berasal dari bahasa Inggris – “to impeach”, yang berarti memanggil atau
mendakwa untuk meminta pertanggungjawaban. Konsep pertama impeachment lahir
pada masa mesir kuno, dengan istilah “iesengela”, artinya kecenderungan kearah
pengasingan diri, yang kemudian pada abad 18 diadopsi oleh Inggris dan Amerika
Serikat dengan memasukkannya dalam Konstitusi. Perlu diketahui bahwasanya
impeachment tidak hanya diartikan sebagai prosedur pemberhentian presiden di tengah
masa jabatanya, melainkan pula mencakup pemecatan terhadap pejabat tinggi negara
lainnya.
Sementara mekanisme forum previelegiantum / special legal procedings / forum
peradilan khusus, merupakan prosedur pemberhentian presiden melalui proses pengadilan
khusus, dan bukan melalui mekanisme parlemen. Sebagaimana impeachment, forum
pengadilan khusus ini juga dapat digunakan untuk mengadili pejabat tinggi negara selain
Presiden. Dalam sistem ini proses peradilan yang dijalankan untuk memeriksa presiden
atau pejabat tinggi negara lainnya dipercepat, tidak melaui jenjang konvensional yang
bertingkat-tingkat, oleh karenanya juga pengadilannya adalah pengadilan tingkat pertama
dan terakhir serta putusannya bersifat final.
Menarik untuk dikaji di sini adalah bagaimana jatuh bangunnya perjalanan sejarah
ketatanegaraan Indonesia terkait dengan pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya.
Sebagai negara yang mengalami banyak pergantian Konstitusi, banyak hal yang patut
dicatat beberapa ketentuan konstitusi maupun ketentuan pelaksanannya yang mengatur
tentang prosedur impeachment maupun dari berbagai kasus pemberhentian Presiden yang
pernah terjadi selama ini. Tulisan ini secara khusus hendak mengkaji secara singkat
perjalanan sejarah tersebut dalam perspektif ketatanegaraan Indonesia.
B. PEMBAHASAN
a. Pemberhentian Presiden dalam Masa Jabatan di Indonesia Menurut tiga Konstitusi
Meskipun tidak mengatur secara tegas dan komperhensif sebagaimana Konstitusi
Amerika, akan tetapi dalam beberapa Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia
terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur perihal pemberhentian Presiden dan/atau
Wapres dalam masa jabatannya. Dalam Konstitusi RIS 1949, menurut Pasal 148 ayat (1)
ditegaskan bahwa “Presiden, Menteri, Ketua dan Anggota Senat serta ketua dan anggota
lembaga negara lainnya dapat diuji perbuatannya oleh Mahkamah Agung dalam hal
menjalankan jabatan, melakukan kejahatan, dan pelanggaran lain yang ditentukan UU.
Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa Presiden hanya dapat dijatuhkan oleh Mahkamah
Agung, jika benar-benar melakukan tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) dalam masa
jabatnnya. Meskipun juga tidak terdapat ketentuan yang jelas bagaimana prosedur
pemberhentiannya. Dalam usianya yang pendek (RIS kurang dari satu tahun) prosedur
pemberhentian presiden berdasarkan ketentuan Pasal 148 tersebut belum pernah terjadi.
Jika menilik dari konstruksi pasalnya, maka prosedur pemberhentian presiden dalam
masa jabatannya pada masa RIS menganut mekanisme forum previelegiantum.
Konstruksi Pasal 148 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 juga dianut oleh UUD Sementara
1950. Dalam Pasal 106 UUDS 1950 dinayatakan bahwa: “Presiden, Wakil Presiden,
Menteri-menteri, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota, Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua,
Wakil Ketua dan Anggota Mahkamah Agung, Jaksa Agung pada Mahkamah Agung,
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pengawas Keuangan, Presiden Bank Sirkulasi
dan juga pegawai-pegawai, anggota-anggota Majelis-majelis tinggi dan pejabat-pejabat
lain yang ditunjuk dengan undang-undang, diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi
juga oleh Mahkamah Agung, pun sesudah mereka berhenti, berhubung dengan kejahatan
dan pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan
undang-undang dan yang dilakukannya dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan
lain dengan undang-undang.
Sebagaimana Konstitusi RIS 1949, ketentuan di atas juga tidak dibarengi prosedur
pemberhentian secara memadai. Pasal 48 juga tidak mengatur mengenai pemberhentian,
melainkan hanya prosedur penggantian Presiden oleh Wakil Presiden. Corak sistem yang
dianut oleh UUDS 1950 dalam pemberhentian presiden dalam masa jabatannya adalah
mekanisme forum previelegiantum. Meskipun demikian, sampai dengan berlakunya
kembali UUD 45 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, prosedur pemberhentian presiden
dengan dengan mekanisme ini juga tidak pernah terjadi.
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, UUD 45 sebelum amandemen meskipun tidak
secara tegas dan lengkap telah mengatur ketentuan mengenai pemberhentian Presiden dan
/ Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Ketentuan tersebut diatur dalam Penjelasan
UUD 45. Bagian VII Penjelasan UUD 45 menyatakan: “jika DPR menganggap bahwa
Presiden benar-benar telah melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-
Undang Dasar, atau oleh MPR, maka DPR dapat diundang untuk melakukan Sidang
Istimewa, guna meminta pertanggungjawaban Presiden atas tindakan-tindakannya. Akan
tetapi sebagaimana diungkapkan oleh Denny Indrayana bahwa tidak ada aturan di bagian
manapun dalam UUD 1945 yang secara eksplsit menyatakan bahwa konsekuensi dari
Sidang Istimewa tersebut adalah pencopotan Presiden.
Pengaturan lebih lanjut mengenai kewenangan MPR untuk melakukan pemberhentian
Presiden dalam masa jabatannya dituangkan dalam Tap MPR. Tap. MPR tersebut adalah
Tap. MPR Nomor III/MPR.1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Kerja Lembaga
Tinggi Negara. Dalam Pasal 4 Tap. MPR tersebut diatur mengenai kekuasaan MPR untuk
melakukan pencopotan Presiden dari jabatannya sebelum habis masa jabatan, dalam hal
Presiden telah melanggar haluan negara. Prosedur pemberhentian selanjutnya juga diatur
dalam Tap. MPR yang mengatur tentang Susunan dan Kedudukan MPR.
Beberapa ketentuan yang terkait erat dengan mekanisme pemberhentian Presiden dapat
kita lihat dalam beberapa ketentuan berikut. Pasal 4 Tap. MPR Nomor III/MPR/1978
menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat memberhentikan Presiden
sebelum habis masa jabatannya dikarenakan: 1) permintaan sendiri; 2) berhalangan tetap;
3) sungguh-sungguh melanggar haluan negara. Pasal 5 ayat (2) menegaskan lebih lanjut
bahwasanya “Presiden wajib memberikan pertanggungjawaban di hadapan sidang
istimewa majelis yang khusus diadakan untuk meminta pertanggungjwaban presiden
dalam pelaksanaan haluan negara yang ditetapkan oleh UUD atau majelis. Dalam Tap.
MPR No.II/MPR/1999 tentang SUSDUK MPR ditambahkan “pelanggaran terhadap
konstitusi sebagai landasan tambahan untuk melakukan pemecatan Presiden.
b. Penggantian Presiden Soekarno dan Pemberhentian Presiden Gusdur
UUD 45 yang begitu sumir mengatur tentang impeacment Presiden telah berhasil
melengser-keprabon-kan 2 orang Presiden melalui pelaksanaan kekuasaan MPR yang tak
terbatas. Kedua Presiden tersebut adalah Soekarno yang istilahnya lebih tepat digunakan
penggantian, atau menurut konstruksi Pasal 8 UUD 45 digunakan istilah diganti, dan
Abdurrahman Wahid yang diberhentikan berdasarkan Penjelasan UUD 45 jo. Tap. MPR
Nomor III/MPR.1978 dan Tap. MPR No.II/MPR/1999, untuk kemudian digantikan oleh
Wapres Megawati berdasarkan Pasal 8 UUD 45. Dalam kontek ini, Presiden Soeharto
yang juga lengser keprabon pada tahun 1998 tidak masuk dalam kategori diberhentikan,
karena berdasarkan Pasal 8 UUD 45, Ia lebih memilih mengundurkan diri, meskipun juga
atas desakan dari MPR.
Menurut Abdul Rasyid Thalib , Presiden Soekarno tidak diberhentikan, melainkan diganti
dengan Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Istilah yang tidak dikenal sebenarnya dalam
konstitusi kita, karena konstruksi Pasal 8 menyatakan Presiden“digantikan oleh Wakil
Presiden”, sementara pada masa demokrasi terpimpin tidak ada Wakil Presiden. Tap.
MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 menetapkan Presiden Soekarno diganti oleh Jendral
Soeharto berdasarkan ketentuan Pasal 8 UUD 45, karena pertimbangan bahwa Presiden
Soekarno tidak dapat melaksanakan kewajibannya-tidak dapat melaksanakan haluan
negara. Ketetapan tersbut diambil dalam Sidang Istimewa MPRS tahun 1967 setelah
adanya memorandum DPR GR dan ditolaknya Pidato Pertanggungjawaban Presiden,
Nawaksara maupun Pelnawaksara. Indikasi keterlibatan Soekarno dalam G/30S/PKI
menjadi pijakan awal memorandum tersebut. Meskipun secara faktual tindakan MPRS
tersebut dapat dikatakan sebagai pemberhentian, namun secara konstitusional tindakan ini
dinamakan penggantian.
Gerakan untuk meng-impeachment Abdurrahman Wahid sesungguhnya diawali oleh
keretakan hubungannya dengan parlemen. Kompromi-kompromi politik yang telah
disepakati oleh poros tengah, PDIP dan Gusdur ternyata diabaikan, salah satu indikasinya
melakukan reshuffle kabinet dengan tanpa melihat komposisi konfigurasi parpol
pendukung koalisi yang duduk di parlemen. Peran Wapres Megawati sebagai ketua
umum partai pemenang pemilu juga diabaikannya. Akhirnya tanggal 28 Agustus 2000,
lima hari setelah perombakan kabinet, dilakukanlah voting untuk membentuk Pansus
Bulog dan Brunei gate, di mana dalam kasus tersebut Gusdur diduga terlibat dalam
penarikan dana yang tidak sah.
Hasil Rapat Paripurna DPR pun menyimpulkan adanya indikasi yang cukup kuat perihal
keterlibatan Gusdur dalam kasus tersebut, sehingga akhirnya dikeluarkanlah
memorandum pertama yang menyatakan bahwa Gusdur telah melanggar Pasal 9 UUD 45
tentang sumpah jabatan dan Tap. MPR No.XI/MPR/1998 tentang Pemerintahan yang
Bersih dan Bebas dari KKN. Atas memorandum tersebut Gusdur menanggapi dengan
menyatakan bahwa tindakan DPR dianggap sebagai tindakan illegal oleh karena
melanggar prinsip sistem kepresidenan UUD 45. Atas tanggapan itu, disampaikan
kembali memorandum kedua dari DPR, namun lagi-lagi tanggapan atas memorandum
kedua ini juga tidak memuaskan DPR. Dari tanggapan yang tidak memuaskan tersebut
akhirnya digelar voting untuk memutuskan keberlanjutan proses impeachment di MPR.
Sesuai dengan ketentuan TAP MPR No.II/MPR/2000, dijadwalkan Sidang Istimewa (SI)
pada tanggal 1 Agustus 2001 (setidaknya dua bulan setelah memorandum kedua). Tak
ayal, konflik yang kian meruncing pasca dicopotnya Jendral Pol. Bimantoro dari jabatan
Kapolri, digantikan Jendral Pol. Chaerudin Ismail sebagai Pjs. Kapolri, menjadikan MPR
mengajukan jadwal SI menjadi tanggal 21 Juli 2001.
Putusan MPR yang mengajukan jadwal Sidang Istimewa pun ditanggapi Gusdur dengan
mengeluarkan Dekrit/Maklumat Presiden tentang Keadaan Darurat pada tanggal 23 Juli
2001. Salah satu isi Dekrit tersebut adalah keputusan pembubaran DPR RI dan MPR RI,
serta pembentukan KPU untk mempersiapkan Pemilu dalam waktu satu tahun. Tidak
adanya dukungan militer dan kekuatan politik saat itu menyebabkan Dekrit Presiden
Gusdur seperti macan ompong. Tak ayal, tindakan Gusdur tersebut semakin menguatkan
syahwat politik anggota MPR untuk segera melengserkannya. Dengan alasan
ketidakhadiran dan penolakannya untuk memberikan pidato pertanggungjawaban dan
tindakan Gusdur mengeluarkan maklumat/dekrit, akhirnya meloloskan Tap. MPR RI
Nomor II Tahun 2001 tentang Pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid dengan
suara mutlak tanpa ada satupun anggota yang menolak. Dari kasus Abdurrahman Wahid
ini akhirnya menyadarkan pada kita semua agar dilakukan penyusunan prosedur
impeachment yang jelas dalam konstitusi.
c. Belajar dari Amerika Serikat
Impeachment di Amerika Serikat lebih bersifat yuridis pidana karena melalui
mekanisme yang menyerupai jalannya suatu kasus di pengadilan. Alasan yang dijadikan
dasar untk meng-impeachment Presiden lebih banyak didasarkan pada alasan-alasan yang
bersifat kriminal, sebagaimana diatur dalam Section 4 [Impeachment] United States
Constitution:
The President, Vice President and all civil Officers of the United States, shall be removed
from Office on Impeachment for, and Conviction of, Treason, Bribery, or other high
Crimes and Misdemeanors. (terjemahan bebas: Presiden, Wakil Presiden dan semua
pejabat sipil Amerika Serikat, dapat diberhentikan dari jabatannya melalui imeachment
apabila terbukti melakukan pengkhianatan, penyuapan, kejahatan berat maupun tindakan-
tindakan tercela lainnya.
Prosedur pemberhentian Presiden didesain untuk tidak mudah, karena tetap
dibutuhkan mayoritas suara di Kongres. House of Representative (DPR) memiliki fungsi
sebagai penuntut umum untuk selanjutnya disidangkan di Senat dengan dipimpin oleh
Ketua Mahkamah Agung AS. Keputusan Senat untuk menjatuhkan vonis impeachment
harus dihadiri 2/3 anggota Senat dan disetujui oleh minimal 2/3 anggota yang hadir.
Artinya meskipun secara hukum tindakan Presiden yang melanggar Pasal 2 ayat (4)
Konstitusi Amerika Serikat terbukti di persidangan Kongres, akan tetapi realitas dan
konfigurasi politik dalam kongreslah yang paling menentukan jatuh tidaknya seorang
Presiden.
Meskipun Amerika telah memiliki prosedur impeachment yang relatif lengkap selama
beratus-ratus tahun, akan tetapi dalam perjalanan sejarahnya belum pernah ada satu
presiden-pun yang berhasil diberhentikan. Sampai saat ini tercatat telah tiga Presiden AS
yang terancam di impeachment oleh Kongres, yaitu: Presiden Nixon dalam kasus
watergate, namun akhirnya mengundurkan diri sebelum proses selesai, Presiden Andrew
Johnson(1865-1869), dan Presiden Bill Clinton dalam kasus pelecehan seksual terhadap
staf Gedung Putih Monika Lewinsky (1993-2001).
d. Mekanisme Impeachment dalam UUD NRI Tahun 1945 Perubahan
Telah dijelaskan di depan bahwa diadopsinya pengaturan mekanisme impeachment
secara lebih rinci dan lebih dipersulit dilatari oleh 2 hal, yaitu latar belakang politik, ialah
kisruhnya proses impeachment yang telah terjadi selama ini. Pada hal kekisruhan politik
tersebut membawa dampak bagi instabilitas negara yang pada akhirnya juga akan
mempengaruhi instabilitas perekonomian, konflik sosial horisontal, dan potensi-potensi
ancaman lainnya. Tentu saja ketidakjelasan mekanisme menurut UUD 45 menjadi salah
satu penyebab permasalahan tersebut. Di samping itu, ditinjau dari perspektif teori
ketatanegaraan, wacana penguatan sistem presidensiil dan dilembagakannya prinsip
check and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia juga menghendaki reformasi
mekanisme impeachment yang selama ini ada. Sistem presidensiil murni menghendaki
agar Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh Parlemen, dan begitu juga sebaliknya Presiden
juga tidak dapat membubarkan parlemen. Namun demikian, dalam hal Presiden/Wapres
melakukan tindak pidana berat, melakukan pengkhianatan terhadap negara, melakukan
perbuatan tercela atau dianggap benar-bear tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden,
maka tentu saja harus disediakan sarana untuk melakukan pemecatan, meskipun dengan
prosedur yang dipersulit.
Pada Tahap Perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945 dicapilah kesepakatan
tersebut dalam Sidang Paripurna MPR tanggal 9 November 2001. Beberapa Pasal dalam
UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur tentang Mekanisme Pemberhentian
Presiden/Wapres dalam masa jabatannya antara lain: Pasal 7A, Pasal 7B dan Pasal 24C
ayat (2). Ketentuan lebih lanjut yang mengatur Hukum Acaranya di Mahkamah
Konstitusi diatur dalam UU No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dan
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam
Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran Presiden/Wapres.
Alasan-alasan Pemakzulan
Berdasarkan Pasal 7A UUD NRI Tahun 1945 ditegaskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, dalam hal
Presiden dan/atau Wapres terbukti:
1. Telah melakukan pelanggaran hukum berupa:
a. pengkhianatan terhadap (keamanan) negara;
b. korupsi;
c. penyuapan;
d. tindak pidana berat lainnya (yaitu tindak pidana yang diancam pidana 5 tahun atau
lebih), ataupun perbuatan tercela (yaitu perbuatan yang dapat merendahkan martabat
presiden dan/atau wapres)
2. Apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Lebih lanjut Pasal 24C UUD NRI memberikan kewenangan kepada Mahkamah
Konstitusi sebagai peradilan forum previelegiantum untuk membuktikan dugaan DPR
terhadap pelanggaran Presiden terkait dengan pelanggaran hukum tertentu dan tidak
terpenuhinya lagi syarat-syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden. Perbuatan-
perbuatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A mengandung karakter aspek
yuridis pidana, sehingga oleh karenanya juga tunduk pada asas-asas hukum pidana pada
umumnya. Salah satu asas yang nampak dalam perumusan Pasal 7A tersebut adalah asas
legalitas formil sekaligus asas legalitas materiil. Penerapan asas legalitas formil nampak
dalam pengkategorisasian beberapa tindak pidana yang diatur di dalam KUHP, misalnya
pengkhianatan terhadap negara, dan tindak pidana berat, maupun tidak pidana yang diatur
di luar KUHP, misalnya korupsi, penyuapan dan tindak pidana berat lainnya.
Dianutnya asas legalitas materiil sebagai dasar patut dinyatakan bersalah atau tidaknya
Presiden dan / atau Wakil Presiden oleh Mahkamah Konstitusi memiliki konsekuensi
hukum yang relatif lebih kompleks bila dibandingkan dengan asas legalitas formil di atas,
dalam arti pelanggaran yang menjadi objek pemeriksaan MK tidak harus diatur terlebih
diatur oleh peraturan perundang-undangan (tertulis), melainkan, asalkan tindakan tersebut
memiliki unsur perbuatan tercela, terdapat sifat melawan hukum materiil, maka MK
berwenang untuk memeriksanya. Dua kata yang menjadi kunci masuknya asas legalitas
materiil tersebut nampak dalam frasa “pelanggaran hukum” dan “perbuatan tercela
lainnya”. Dengan rumusan demikian, maka terdapat ruang ruang yang cukup luas bagi
dewan maupun Mahkamah Konstitusi untuk memasukkan dan menetapkan apakah
perilaku menyimpang atau tercela secara sosial yang didakwa dilakukan oleh Presiden
atau Wapres dapat menjadi penyebab pemakzulan atau tidaknya dalam forum
impeachment di MPR.
Barangkali tindakan yang dilakukan oleh Presiden itu sendiri masuk dalam kategorisasi
sebagai tindak pidana ringan dalam KUHP ataupun malah sama sekali tidak
dikategorisasikan sebagai tindak pidana oleh KUHP maupun peraturan perundang-
undangan yang lainnya, akan tetapi jika secara sosial tindakan tersebut dianggap tercela,
maka dapat pula ditafsirkan sebagai tidakan yang memenuhi rumusan Pasal 7A. Sebagai
contoh tindak pidana mabuk di tempat umum sebagaimana diatur dalam Pasal 492
KUHP. Kualifikasi delik tindak pidana ini adalah pelanggaran dengan ancaman hukuman
kurungan paling lama enam hari, atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh
lima rupiah. Jika menilik ancaman hukumannya, maka jelas tindak pidana ini tidak
masuk dalam kategorisasi tindak pidana berat sebagaimana ditafsirkan lebih lanjut dalam
Pasal 1 angka 10 Peraturan MK Nomor 21 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa tindak
pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun
atau lebih. Namun demikan menurut hemat penulis tindakan ini juga dapat dikategorikan
sebagai tindakan tercela, sehingga oleh karenanya juga dapat memenuhi unsur perbuatan
sebabaimana ditetapkan dalam Pasal 7A UUD 45. Hal mana juga menurut hemat penulis
bisa ditafsirkan apabila Presiden atau Wapres melakukan perbuatan mabuk tidak di
tempat umum. Meskipun tindakan ini tidak dilarang oleh KUHP maupun oleh peraturan
perundang-undangan lainnya. Mengapa?, karena secara sosial tindakan ini dapat
dikategorisasikan sebagai perbuatan yang dapat merendahkan martabat dan kedudukan
Presiden. Tentu saja masih banyak kasus-kasus lain yang karena begitu pluralalnya ke-
Indonesiaan kita, sehingga mungkin pada suku atau etnis tertentu suatu perbuatan
dianggap sebagai perbuatan tercela, namun menurut anggapan suku, etnis atau
masyarakat lain tidak dipandang sebagai perbuatan tercela. Di sinilah diperlukan kearifan
dan kebijakan sembilan hakim konstitusi untuk tidak larut dalam hegemoni politik dan
mampu untuk menggali hukum yang hidup (living law) sehingga dapat memberikan
putusan yang syarat dengan nilai-nilai keadilan.
Alasan pemakzulan yang didasarkan pada tidak terpenuhinya lagi syarat sebagai Presiden
dan Wakil Presiden didasarkan pada dua kategori:
1. Alasan pemakzulan dikarenakan tidak terpenuhinya syarat-syarat Presiden dan Wakil
Presiden sebagai mana ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yaitu: 1)
warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan
lain karena kehendaknya sendiri, 2) tidak pernah mengkhianati negara, dan 3) mampu
secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan
Wakil Presiden.
2. Alasan pemakzulan dikarenakan tidak terpenuhinya syarat-syarat Presiden dan Wakil
Presiden sebagaimana ditetapkan oleh Undang-undang tentang Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden.
Perdebatan sering muncul terkait dengan syarat mampu secara jasmani dan rohani
untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai persiden dan wakil presiden, hal ini
karena memang tidak terdapat ukuran yang pasti mengenai kapan seorang Presiden dan
Wakil Presiden dianggap tidak mampu sacara jasmani dan rohani tersebut.
Prosedur Pemakzulan
Usul pemberhentian dari DPR tersebut harus terlebih dahulu diajukan kepada
Mahkamah Konstitusi untuk diperiksa dan diputus apakah Pendapat DPR dibenarkan atau
permohonan ditolak. Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada
Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3
dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakya.
Meskipun demikian, dalam hal Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri
pada saat proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi, maka proses pemeriksaan
tersebut dihentikan dan permohonan dinyatakan gugur oleh Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi wajib dibacakan paling lama 90 hari setelah permohonan
DPR dicatat dalam buku registrasi perkara.
Tindak lanjut dari Putusan MK yang membenarkan pendapat DPR atas dugaan
pelanggaran adalah Dewan Perwakilan Rakyat harus menyelenggarakan sidang paripurna
untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan
sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga
puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. Syarat yang
ketat juga diterapkan dalam Sidang Paripurna karena Keputusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan
yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, dengan terlebih dahulu memberi
kesempatan Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menyampaikan penjelasan dalam
rapat paripurna.
Dengan menyimak Prosedur pemberhentian Presiden dan/atau Wapres yang
dilembagakan dalam UUD 45 Perubahan, terlihat bahwa sistem ketatanegaraan RI
menganut 2 mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wapres, yaitu: mekanisme
forum previelegiantum sebagaimana pelaksanaan kewenangan MK dalam memutus
pendapat DPR perihal dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau
Wapres, dan mekanisme impeachment sebagaimana dilakukan MPR dalam Sidang
Paripurna untuk memutuskan apakah Presiden dan/atau Wapres diberhentikan atau tidak.
Akan tetapi, putusan akhir/final yang memiliki dampak hukum, apakah Presiden dan/atau
Wapres diberhentikan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada keputusan politik di
MPR.
C. Penutup
Dalam teori hukum tata negara, terdapat dua cara pemberhentian presiden,
pertama adalah impeachment dan yang kedua adalah mekanisme forum previelegiantum.
Impeachment berasal dari bahasa Inggris – “to impeach”, yang berarti memanggil atau
mendakwa untuk meminta pertanggungjawaban, dalam hal ini terkait dengan tugas dan
fungsi parlemen dalam pengawasan terhadap pemerintah. Sementara mekanisme forum
previelegiantum/ special legal procedings, merupakan prosedur pemberhentian presiden
melalui proses pengadilan khusus, dan bukan melalui mekanisme parlemen. Pada
prinsipnya impeachment tidak hanya diartikan sebagai prosedur pemberhentian presiden
di tengah masa jabatanya, melainkan pula mencakup pemecatan terhadap pejabat tinggi
negara lainnya.
Meskipun tidak secara lengkap mengatur prosedur pemberhentian Presiden dalam
masa jabatannya, Konstitusi RIS 1949 maupun UUDS 1950 sama-sama mengatur forum
peradilan khusus (forum previelegiantum) yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung,
tidak hanya terbatas pada Presiden saja, melainkan juga pejabat-pejabat tinggi negara
lainnya. UUD 45 sebelum amandemen sendiri tidak mengatur secara tegas ketentuan
mengenai pemberhentian Presiden, jikalau dikatakan ada landasan konstitutionalnya,
maka itupun hanya terdapat dalam Penjelasan dan tidak secara jelas menyebut bahwa
akhir dari pertanggungjwaban Presiden sebagai mandataris MPR adalah pemberhentian.
Pengaturan yang lebih teknis termuat dalam beberapa Tap. MPR Nomor III/MPR/1978
dan Tap. MPR No.II/MPR/1999.
Dimuatnya pengaturan mekanisme impeachment secara lebih rinci dan lebih
dipersulit dalam UUD NRI Tahun 1945 Perubahan dilatari oleh 2 hal, yaitu latar
belakang politik, ialah kisruhnya proses impeachment yang telah terjadi selama ini. Di
samping itu, ditinjau dari perspektif teori ketatanegaraan, wacana penguatan sistem
presidensiil dan dilembagakannya prinsip check and balances dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia juga menghendaki reformasi mekanisme impeachment yang
selama ini ada. UUD NRI Tahun 1945 Perubahan menganut dua sistem sekaligus dalam
proses pemberhentian Presiden dan / atau Wapres, yaitu : prosedur forum
previelegiantum dalam persidangan MK dan proses impeachment di MPR.