Prosedur Pencopotan Jabatan Presiden Secara Konstitusional

18
PROSEDUR PENCOPOTAN JABATAN PRESIDEN SECARA KONSTITUSIONAL (IMPEACHMENT ATAU PEMAKZULAN) Oleh : Nama : Andreas Sinuraya NIM : 4133210002 Kelas : Kimia Nondik 2013 M. Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2015

description

Tugas PKn

Transcript of Prosedur Pencopotan Jabatan Presiden Secara Konstitusional

Page 1: Prosedur Pencopotan Jabatan Presiden Secara Konstitusional

PROSEDUR PENCOPOTAN JABATAN PRESIDEN SECARA KONSTITUSIONAL

(IMPEACHMENT ATAU PEMAKZULAN)

Oleh :

Nama : Andreas Sinuraya

NIM : 4133210002

Kelas : Kimia Nondik 2013

M. Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2015

Page 2: Prosedur Pencopotan Jabatan Presiden Secara Konstitusional

A. PENDAHULUAN

Salah satu keputusan penting yang diambil oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat

dalam Perubahan Ketiga UUD NKRI Tahun 1945 adalah dimasukkanya ketentuan yang

secara eksplisit mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa

jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) dalam UUD. Ketentuan dimaksud diatur dalam Pasal 7A, Pasal 7B, dan

Pasal 24C ayat (2) Perubahan Ketiga UUD NKRI Tahun 1945. Hal yang

melatarbelakangi dimasukkannya ketentuan mengenai prosedur pemberhentian presiden

adalah pelajaran dari kasus impeachment/pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid

yang sempat menjadi permasalahan pelik, baik dalam bidang politik, hankam maupun

permasalahan hukum ketatanegaraan. Secara teoritis pelembagaan prosedur impeachment

secara ketat memang menjadi ciri pokok sistem pemerintahan presidensiil (murni) yang

hendak dilembagakan dalam perubahan UUD NKRI Tahun 45.

Ketentuan Pemberhentian Presiden/Wapres dalam masa jabatannya memang tidak

diatur secara tegas dalam Batang Tubuh (baca-pasal-pasal) UUD Tahun 1945 sebelum

perubahan, kalaupun ada hanya termaktub dalam Penjelasan UUD 45. Meskipun

demikian juga tidak ada ketentuan sama sekali dalam UUD 45 yang menyatakan bahwa

ujung dari Sidang Istimewa yang meminta pertanggungjawaban Presiden adalah

pemecatan . Bahkan beberapa pakar Hukum Tata Negara, semisal Harun Alrasyid

menolak secara tegas keberadaan lembaga impeachment dalam UUD 45, karena menurut

beliau Penjelasan bukanlah bagian dari UUD 45 yang syah. Lebih lanjut belia juga

mempertanyakan keabsahan prosedur pencopotan Presiden Abdurrahman Wahid, dengan

alasan bahwa Tap. MPR No.III/MPR/1978 tentang Hubungan dan Tata Kerja Lembaga

Tinggi Negara, yang mengatur tentang Prosedur impeachment bertentangan dengan UUD

45.

Dari sisi akademis, pandangan Harun Alrasyid memang sangat debateble, karena

meskipun dalam Pasal 8 UUD 45 tidak mengatur tentang pemberhentian, melainkan

hanya penggantian, akan tetapi eksistensi Penjelasan UUD 45 sebagai bagian dari UUD

yang tidak terpisahkan dari batang tubuh tidak menjadi permasalahan hukum lagi, karena

UUD yang berlaku saat itu bukanlah UUD 45 (Proklamasi) yang disayahkan PPKI

tanggal 18 Agustus 1945, melainkan UUD 45 Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memuat

pula Penjelasan, hal mana Dekrit tersebut juga telah disyahkan oleh MPR. Kedudukan

MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat juga memberikan legalitas kepada MPR untuk

membentuk Tap MPR sebagai pengaturan lebih lanjut maupun penafsiran dari konstitusi.

Dalam teori hukum tata negara, terdapat dua cara pemberhentian presiden, pertama

adalah impeachment dan yang kedua adalah mekanisme forum previelegiantum .

Page 3: Prosedur Pencopotan Jabatan Presiden Secara Konstitusional

Impeachment berasal dari bahasa Inggris – “to impeach”, yang berarti memanggil atau

mendakwa untuk meminta pertanggungjawaban. Konsep pertama impeachment lahir

pada masa mesir kuno, dengan istilah “iesengela”, artinya kecenderungan kearah

pengasingan diri, yang kemudian pada abad 18 diadopsi oleh Inggris dan Amerika

Serikat dengan memasukkannya dalam Konstitusi. Perlu diketahui bahwasanya

impeachment tidak hanya diartikan sebagai prosedur pemberhentian presiden di tengah

masa jabatanya, melainkan pula mencakup pemecatan terhadap pejabat tinggi negara

lainnya.

Sementara mekanisme forum previelegiantum / special legal procedings / forum

peradilan khusus, merupakan prosedur pemberhentian presiden melalui proses pengadilan

khusus, dan bukan melalui mekanisme parlemen. Sebagaimana impeachment, forum

pengadilan khusus ini juga dapat digunakan untuk mengadili pejabat tinggi negara selain

Presiden. Dalam sistem ini proses peradilan yang dijalankan untuk memeriksa presiden

atau pejabat tinggi negara lainnya dipercepat, tidak melaui jenjang konvensional yang

bertingkat-tingkat, oleh karenanya juga pengadilannya adalah pengadilan tingkat pertama

dan terakhir serta putusannya bersifat final.

Menarik untuk dikaji di sini adalah bagaimana jatuh bangunnya perjalanan sejarah

ketatanegaraan Indonesia terkait dengan pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya.

Sebagai negara yang mengalami banyak pergantian Konstitusi, banyak hal yang patut

dicatat beberapa ketentuan konstitusi maupun ketentuan pelaksanannya yang mengatur

tentang prosedur impeachment maupun dari berbagai kasus pemberhentian Presiden yang

pernah terjadi selama ini. Tulisan ini secara khusus hendak mengkaji secara singkat

perjalanan sejarah tersebut dalam perspektif ketatanegaraan Indonesia.

B. PEMBAHASAN

a. Pemberhentian Presiden dalam Masa Jabatan di Indonesia Menurut tiga Konstitusi

Meskipun tidak mengatur secara tegas dan komperhensif sebagaimana Konstitusi

Amerika, akan tetapi dalam beberapa Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia

terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur perihal pemberhentian Presiden dan/atau

Wapres dalam masa jabatannya. Dalam Konstitusi RIS 1949, menurut Pasal 148 ayat (1)

ditegaskan bahwa “Presiden, Menteri, Ketua dan Anggota Senat serta ketua dan anggota

lembaga negara lainnya dapat diuji perbuatannya oleh Mahkamah Agung dalam hal

menjalankan jabatan, melakukan kejahatan, dan pelanggaran lain yang ditentukan UU.

Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa Presiden hanya dapat dijatuhkan oleh Mahkamah

Agung, jika benar-benar melakukan tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) dalam masa

jabatnnya. Meskipun juga tidak terdapat ketentuan yang jelas bagaimana prosedur

Page 4: Prosedur Pencopotan Jabatan Presiden Secara Konstitusional

pemberhentiannya. Dalam usianya yang pendek (RIS kurang dari satu tahun) prosedur

pemberhentian presiden berdasarkan ketentuan Pasal 148 tersebut belum pernah terjadi.

Jika menilik dari konstruksi pasalnya, maka prosedur pemberhentian presiden dalam

masa jabatannya pada masa RIS menganut mekanisme forum previelegiantum.

Konstruksi Pasal 148 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 juga dianut oleh UUD Sementara

1950. Dalam Pasal 106 UUDS 1950 dinayatakan bahwa: “Presiden, Wakil Presiden,

Menteri-menteri, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota, Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua,

Wakil Ketua dan Anggota Mahkamah Agung, Jaksa Agung pada Mahkamah Agung,

Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pengawas Keuangan, Presiden Bank Sirkulasi

dan juga pegawai-pegawai, anggota-anggota Majelis-majelis tinggi dan pejabat-pejabat

lain yang ditunjuk dengan undang-undang, diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi

juga oleh Mahkamah Agung, pun sesudah mereka berhenti, berhubung dengan kejahatan

dan pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan

undang-undang dan yang dilakukannya dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan

lain dengan undang-undang.

Sebagaimana Konstitusi RIS 1949, ketentuan di atas juga tidak dibarengi prosedur

pemberhentian secara memadai. Pasal 48 juga tidak mengatur mengenai pemberhentian,

melainkan hanya prosedur penggantian Presiden oleh Wakil Presiden. Corak sistem yang

dianut oleh UUDS 1950 dalam pemberhentian presiden dalam masa jabatannya adalah

mekanisme forum previelegiantum. Meskipun demikian, sampai dengan berlakunya

kembali UUD 45 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, prosedur pemberhentian presiden

dengan dengan mekanisme ini juga tidak pernah terjadi.

Sebagaimana telah dijelaskan di muka, UUD 45 sebelum amandemen meskipun tidak

secara tegas dan lengkap telah mengatur ketentuan mengenai pemberhentian Presiden dan

/ Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Ketentuan tersebut diatur dalam Penjelasan

UUD 45. Bagian VII Penjelasan UUD 45 menyatakan: “jika DPR menganggap bahwa

Presiden benar-benar telah melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-

Undang Dasar, atau oleh MPR, maka DPR dapat diundang untuk melakukan Sidang

Istimewa, guna meminta pertanggungjawaban Presiden atas tindakan-tindakannya. Akan

tetapi sebagaimana diungkapkan oleh Denny Indrayana bahwa tidak ada aturan di bagian

manapun dalam UUD 1945 yang secara eksplsit menyatakan bahwa konsekuensi dari

Sidang Istimewa tersebut adalah pencopotan Presiden.

Pengaturan lebih lanjut mengenai kewenangan MPR untuk melakukan pemberhentian

Presiden dalam masa jabatannya dituangkan dalam Tap MPR. Tap. MPR tersebut adalah

Tap. MPR Nomor III/MPR.1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Kerja Lembaga

Tinggi Negara. Dalam Pasal 4 Tap. MPR tersebut diatur mengenai kekuasaan MPR untuk

melakukan pencopotan Presiden dari jabatannya sebelum habis masa jabatan, dalam hal

Page 5: Prosedur Pencopotan Jabatan Presiden Secara Konstitusional

Presiden telah melanggar haluan negara. Prosedur pemberhentian selanjutnya juga diatur

dalam Tap. MPR yang mengatur tentang Susunan dan Kedudukan MPR.

Beberapa ketentuan yang terkait erat dengan mekanisme pemberhentian Presiden dapat

kita lihat dalam beberapa ketentuan berikut. Pasal 4 Tap. MPR Nomor III/MPR/1978

menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat memberhentikan Presiden

sebelum habis masa jabatannya dikarenakan: 1) permintaan sendiri; 2) berhalangan tetap;

3) sungguh-sungguh melanggar haluan negara. Pasal 5 ayat (2) menegaskan lebih lanjut

bahwasanya “Presiden wajib memberikan pertanggungjawaban di hadapan sidang

istimewa majelis yang khusus diadakan untuk meminta pertanggungjwaban presiden

dalam pelaksanaan haluan negara yang ditetapkan oleh UUD atau majelis. Dalam Tap.

MPR No.II/MPR/1999 tentang SUSDUK MPR ditambahkan “pelanggaran terhadap

konstitusi sebagai landasan tambahan untuk melakukan pemecatan Presiden.

b. Penggantian Presiden Soekarno dan Pemberhentian Presiden Gusdur

UUD 45 yang begitu sumir mengatur tentang impeacment Presiden telah berhasil

melengser-keprabon-kan 2 orang Presiden melalui pelaksanaan kekuasaan MPR yang tak

terbatas. Kedua Presiden tersebut adalah Soekarno yang istilahnya lebih tepat digunakan

penggantian, atau menurut konstruksi Pasal 8 UUD 45 digunakan istilah diganti, dan

Abdurrahman Wahid yang diberhentikan berdasarkan Penjelasan UUD 45 jo. Tap. MPR

Nomor III/MPR.1978 dan Tap. MPR No.II/MPR/1999, untuk kemudian digantikan oleh

Wapres Megawati berdasarkan Pasal 8 UUD 45. Dalam kontek ini, Presiden Soeharto

yang juga lengser keprabon pada tahun 1998 tidak masuk dalam kategori diberhentikan,

karena berdasarkan Pasal 8 UUD 45, Ia lebih memilih mengundurkan diri, meskipun juga

atas desakan dari MPR.

Menurut Abdul Rasyid Thalib , Presiden Soekarno tidak diberhentikan, melainkan diganti

dengan Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Istilah yang tidak dikenal sebenarnya dalam

konstitusi kita, karena konstruksi Pasal 8 menyatakan Presiden“digantikan oleh Wakil

Presiden”, sementara pada masa demokrasi terpimpin tidak ada Wakil Presiden. Tap.

MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 menetapkan Presiden Soekarno diganti oleh Jendral

Soeharto berdasarkan ketentuan Pasal 8 UUD 45, karena pertimbangan bahwa Presiden

Soekarno tidak dapat melaksanakan kewajibannya-tidak dapat melaksanakan haluan

negara. Ketetapan tersbut diambil dalam Sidang Istimewa MPRS tahun 1967 setelah

adanya memorandum DPR GR dan ditolaknya Pidato Pertanggungjawaban Presiden,

Nawaksara maupun Pelnawaksara. Indikasi keterlibatan Soekarno dalam G/30S/PKI

menjadi pijakan awal memorandum tersebut. Meskipun secara faktual tindakan MPRS

tersebut dapat dikatakan sebagai pemberhentian, namun secara konstitusional tindakan ini

dinamakan penggantian.

Page 6: Prosedur Pencopotan Jabatan Presiden Secara Konstitusional

Gerakan untuk meng-impeachment Abdurrahman Wahid sesungguhnya diawali oleh

keretakan hubungannya dengan parlemen. Kompromi-kompromi politik yang telah

disepakati oleh poros tengah, PDIP dan Gusdur ternyata diabaikan, salah satu indikasinya

melakukan reshuffle kabinet dengan tanpa melihat komposisi konfigurasi parpol

pendukung koalisi yang duduk di parlemen. Peran Wapres Megawati sebagai ketua

umum partai pemenang pemilu juga diabaikannya. Akhirnya tanggal 28 Agustus 2000,

lima hari setelah perombakan kabinet, dilakukanlah voting untuk membentuk Pansus

Bulog dan Brunei gate, di mana dalam kasus tersebut Gusdur diduga terlibat dalam

penarikan dana yang tidak sah.

Hasil Rapat Paripurna DPR pun menyimpulkan adanya indikasi yang cukup kuat perihal

keterlibatan Gusdur dalam kasus tersebut, sehingga akhirnya dikeluarkanlah

memorandum pertama yang menyatakan bahwa Gusdur telah melanggar Pasal 9 UUD 45

tentang sumpah jabatan dan Tap. MPR No.XI/MPR/1998 tentang Pemerintahan yang

Bersih dan Bebas dari KKN. Atas memorandum tersebut Gusdur menanggapi dengan

menyatakan bahwa tindakan DPR dianggap sebagai tindakan illegal oleh karena

melanggar prinsip sistem kepresidenan UUD 45. Atas tanggapan itu, disampaikan

kembali memorandum kedua dari DPR, namun lagi-lagi tanggapan atas memorandum

kedua ini juga tidak memuaskan DPR. Dari tanggapan yang tidak memuaskan tersebut

akhirnya digelar voting untuk memutuskan keberlanjutan proses impeachment di MPR.

Sesuai dengan ketentuan TAP MPR No.II/MPR/2000, dijadwalkan Sidang Istimewa (SI)

pada tanggal 1 Agustus 2001 (setidaknya dua bulan setelah memorandum kedua). Tak

ayal, konflik yang kian meruncing pasca dicopotnya Jendral Pol. Bimantoro dari jabatan

Kapolri, digantikan Jendral Pol. Chaerudin Ismail sebagai Pjs. Kapolri, menjadikan MPR

mengajukan jadwal SI menjadi tanggal 21 Juli 2001.

Putusan MPR yang mengajukan jadwal Sidang Istimewa pun ditanggapi Gusdur dengan

mengeluarkan Dekrit/Maklumat Presiden tentang Keadaan Darurat pada tanggal 23 Juli

2001. Salah satu isi Dekrit tersebut adalah keputusan pembubaran DPR RI dan MPR RI,

serta pembentukan KPU untk mempersiapkan Pemilu dalam waktu satu tahun. Tidak

adanya dukungan militer dan kekuatan politik saat itu menyebabkan Dekrit Presiden

Gusdur seperti macan ompong. Tak ayal, tindakan Gusdur tersebut semakin menguatkan

syahwat politik anggota MPR untuk segera melengserkannya. Dengan alasan

ketidakhadiran dan penolakannya untuk memberikan pidato pertanggungjawaban dan

tindakan Gusdur mengeluarkan maklumat/dekrit, akhirnya meloloskan Tap. MPR RI

Nomor II Tahun 2001 tentang Pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid dengan

suara mutlak tanpa ada satupun anggota yang menolak. Dari kasus Abdurrahman Wahid

ini akhirnya menyadarkan pada kita semua agar dilakukan penyusunan prosedur

impeachment yang jelas dalam konstitusi.

Page 7: Prosedur Pencopotan Jabatan Presiden Secara Konstitusional

c. Belajar dari Amerika Serikat

Impeachment di Amerika Serikat lebih bersifat yuridis pidana karena melalui

mekanisme yang menyerupai jalannya suatu kasus di pengadilan. Alasan yang dijadikan

dasar untk meng-impeachment Presiden lebih banyak didasarkan pada alasan-alasan yang

bersifat kriminal, sebagaimana diatur dalam Section 4 [Impeachment] United States

Constitution:

The President, Vice President and all civil Officers of the United States, shall be removed

from Office on Impeachment for, and Conviction of, Treason, Bribery, or other high

Crimes and Misdemeanors. (terjemahan bebas: Presiden, Wakil Presiden dan semua

pejabat sipil Amerika Serikat, dapat diberhentikan dari jabatannya melalui imeachment

apabila terbukti melakukan pengkhianatan, penyuapan, kejahatan berat maupun tindakan-

tindakan tercela lainnya.

Prosedur pemberhentian Presiden didesain untuk tidak mudah, karena tetap

dibutuhkan mayoritas suara di Kongres. House of Representative (DPR) memiliki fungsi

sebagai penuntut umum untuk selanjutnya disidangkan di Senat dengan dipimpin oleh

Ketua Mahkamah Agung AS. Keputusan Senat untuk menjatuhkan vonis impeachment

harus dihadiri 2/3 anggota Senat dan disetujui oleh minimal 2/3 anggota yang hadir.

Artinya meskipun secara hukum tindakan Presiden yang melanggar Pasal 2 ayat (4)

Konstitusi Amerika Serikat terbukti di persidangan Kongres, akan tetapi realitas dan

konfigurasi politik dalam kongreslah yang paling menentukan jatuh tidaknya seorang

Presiden.

Meskipun Amerika telah memiliki prosedur impeachment yang relatif lengkap selama

beratus-ratus tahun, akan tetapi dalam perjalanan sejarahnya belum pernah ada satu

presiden-pun yang berhasil diberhentikan. Sampai saat ini tercatat telah tiga Presiden AS

yang terancam di impeachment oleh Kongres, yaitu: Presiden Nixon dalam kasus

watergate, namun akhirnya mengundurkan diri sebelum proses selesai, Presiden Andrew

Johnson(1865-1869), dan Presiden Bill Clinton dalam kasus pelecehan seksual terhadap

staf Gedung Putih Monika Lewinsky (1993-2001).

d. Mekanisme Impeachment dalam UUD NRI Tahun 1945 Perubahan

Telah dijelaskan di depan bahwa diadopsinya pengaturan mekanisme impeachment

secara lebih rinci dan lebih dipersulit dilatari oleh 2 hal, yaitu latar belakang politik, ialah

kisruhnya proses impeachment yang telah terjadi selama ini. Pada hal kekisruhan politik

tersebut membawa dampak bagi instabilitas negara yang pada akhirnya juga akan

mempengaruhi instabilitas perekonomian, konflik sosial horisontal, dan potensi-potensi

ancaman lainnya. Tentu saja ketidakjelasan mekanisme menurut UUD 45 menjadi salah

Page 8: Prosedur Pencopotan Jabatan Presiden Secara Konstitusional

satu penyebab permasalahan tersebut. Di samping itu, ditinjau dari perspektif teori

ketatanegaraan, wacana penguatan sistem presidensiil dan dilembagakannya prinsip

check and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia juga menghendaki reformasi

mekanisme impeachment yang selama ini ada. Sistem presidensiil murni menghendaki

agar Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh Parlemen, dan begitu juga sebaliknya Presiden

juga tidak dapat membubarkan parlemen. Namun demikian, dalam hal Presiden/Wapres

melakukan tindak pidana berat, melakukan pengkhianatan terhadap negara, melakukan

perbuatan tercela atau dianggap benar-bear tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden,

maka tentu saja harus disediakan sarana untuk melakukan pemecatan, meskipun dengan

prosedur yang dipersulit.

Pada Tahap Perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945 dicapilah kesepakatan

tersebut dalam Sidang Paripurna MPR tanggal 9 November 2001. Beberapa Pasal dalam

UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur tentang Mekanisme Pemberhentian

Presiden/Wapres dalam masa jabatannya antara lain: Pasal 7A, Pasal 7B dan Pasal 24C

ayat (2). Ketentuan lebih lanjut yang mengatur Hukum Acaranya di Mahkamah

Konstitusi diatur dalam UU No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dan

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam

Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran Presiden/Wapres.

Alasan-alasan Pemakzulan

Berdasarkan Pasal 7A UUD NRI Tahun 1945 ditegaskan bahwa Presiden dan/atau Wakil

Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, dalam hal

Presiden dan/atau Wapres terbukti:

1. Telah melakukan pelanggaran hukum berupa:

a. pengkhianatan terhadap (keamanan) negara;

b. korupsi;

c. penyuapan;

d. tindak pidana berat lainnya (yaitu tindak pidana yang diancam pidana 5 tahun atau

lebih), ataupun perbuatan tercela (yaitu perbuatan yang dapat merendahkan martabat

presiden dan/atau wapres)

2. Apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Lebih lanjut Pasal 24C UUD NRI memberikan kewenangan kepada Mahkamah

Konstitusi sebagai peradilan forum previelegiantum untuk membuktikan dugaan DPR

terhadap pelanggaran Presiden terkait dengan pelanggaran hukum tertentu dan tidak

terpenuhinya lagi syarat-syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden. Perbuatan-

perbuatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A mengandung karakter aspek

Page 9: Prosedur Pencopotan Jabatan Presiden Secara Konstitusional

yuridis pidana, sehingga oleh karenanya juga tunduk pada asas-asas hukum pidana pada

umumnya. Salah satu asas yang nampak dalam perumusan Pasal 7A tersebut adalah asas

legalitas formil sekaligus asas legalitas materiil. Penerapan asas legalitas formil nampak

dalam pengkategorisasian beberapa tindak pidana yang diatur di dalam KUHP, misalnya

pengkhianatan terhadap negara, dan tindak pidana berat, maupun tidak pidana yang diatur

di luar KUHP, misalnya korupsi, penyuapan dan tindak pidana berat lainnya.

Dianutnya asas legalitas materiil sebagai dasar patut dinyatakan bersalah atau tidaknya

Presiden dan / atau Wakil Presiden oleh Mahkamah Konstitusi memiliki konsekuensi

hukum yang relatif lebih kompleks bila dibandingkan dengan asas legalitas formil di atas,

dalam arti pelanggaran yang menjadi objek pemeriksaan MK tidak harus diatur terlebih

diatur oleh peraturan perundang-undangan (tertulis), melainkan, asalkan tindakan tersebut

memiliki unsur perbuatan tercela, terdapat sifat melawan hukum materiil, maka MK

berwenang untuk memeriksanya. Dua kata yang menjadi kunci masuknya asas legalitas

materiil tersebut nampak dalam frasa “pelanggaran hukum” dan “perbuatan tercela

lainnya”. Dengan rumusan demikian, maka terdapat ruang ruang yang cukup luas bagi

dewan maupun Mahkamah Konstitusi untuk memasukkan dan menetapkan apakah

perilaku menyimpang atau tercela secara sosial yang didakwa dilakukan oleh Presiden

atau Wapres dapat menjadi penyebab pemakzulan atau tidaknya dalam forum

impeachment di MPR.

Barangkali tindakan yang dilakukan oleh Presiden itu sendiri masuk dalam kategorisasi

sebagai tindak pidana ringan dalam KUHP ataupun malah sama sekali tidak

dikategorisasikan sebagai tindak pidana oleh KUHP maupun peraturan perundang-

undangan yang lainnya, akan tetapi jika secara sosial tindakan tersebut dianggap tercela,

maka dapat pula ditafsirkan sebagai tidakan yang memenuhi rumusan Pasal 7A. Sebagai

contoh tindak pidana mabuk di tempat umum sebagaimana diatur dalam Pasal 492

KUHP. Kualifikasi delik tindak pidana ini adalah pelanggaran dengan ancaman hukuman

kurungan paling lama enam hari, atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh

lima rupiah. Jika menilik ancaman hukumannya, maka jelas tindak pidana ini tidak

masuk dalam kategorisasi tindak pidana berat sebagaimana ditafsirkan lebih lanjut dalam

Pasal 1 angka 10 Peraturan MK Nomor 21 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa tindak

pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun

atau lebih. Namun demikan menurut hemat penulis tindakan ini juga dapat dikategorikan

sebagai tindakan tercela, sehingga oleh karenanya juga dapat memenuhi unsur perbuatan

sebabaimana ditetapkan dalam Pasal 7A UUD 45. Hal mana juga menurut hemat penulis

bisa ditafsirkan apabila Presiden atau Wapres melakukan perbuatan mabuk tidak di

tempat umum. Meskipun tindakan ini tidak dilarang oleh KUHP maupun oleh peraturan

perundang-undangan lainnya. Mengapa?, karena secara sosial tindakan ini dapat

Page 10: Prosedur Pencopotan Jabatan Presiden Secara Konstitusional

dikategorisasikan sebagai perbuatan yang dapat merendahkan martabat dan kedudukan

Presiden. Tentu saja masih banyak kasus-kasus lain yang karena begitu pluralalnya ke-

Indonesiaan kita, sehingga mungkin pada suku atau etnis tertentu suatu perbuatan

dianggap sebagai perbuatan tercela, namun menurut anggapan suku, etnis atau

masyarakat lain tidak dipandang sebagai perbuatan tercela. Di sinilah diperlukan kearifan

dan kebijakan sembilan hakim konstitusi untuk tidak larut dalam hegemoni politik dan

mampu untuk menggali hukum yang hidup (living law) sehingga dapat memberikan

putusan yang syarat dengan nilai-nilai keadilan.

Alasan pemakzulan yang didasarkan pada tidak terpenuhinya lagi syarat sebagai Presiden

dan Wakil Presiden didasarkan pada dua kategori:

1. Alasan pemakzulan dikarenakan tidak terpenuhinya syarat-syarat Presiden dan Wakil

Presiden sebagai mana ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yaitu: 1)

warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan

lain karena kehendaknya sendiri, 2) tidak pernah mengkhianati negara, dan 3) mampu

secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan

Wakil Presiden.

2. Alasan pemakzulan dikarenakan tidak terpenuhinya syarat-syarat Presiden dan Wakil

Presiden sebagaimana ditetapkan oleh Undang-undang tentang Pemilihan Presiden dan

Wakil Presiden.

Perdebatan sering muncul terkait dengan syarat mampu secara jasmani dan rohani

untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai persiden dan wakil presiden, hal ini

karena memang tidak terdapat ukuran yang pasti mengenai kapan seorang Presiden dan

Wakil Presiden dianggap tidak mampu sacara jasmani dan rohani tersebut.

Prosedur Pemakzulan

Usul pemberhentian dari DPR tersebut harus terlebih dahulu diajukan kepada

Mahkamah Konstitusi untuk diperiksa dan diputus apakah Pendapat DPR dibenarkan atau

permohonan ditolak. Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada

Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3

dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang

dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakya.

Meskipun demikian, dalam hal Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri

pada saat proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi, maka proses pemeriksaan

tersebut dihentikan dan permohonan dinyatakan gugur oleh Mahkamah Konstitusi.

Putusan Mahkamah Konstitusi wajib dibacakan paling lama 90 hari setelah permohonan

DPR dicatat dalam buku registrasi perkara.

Page 11: Prosedur Pencopotan Jabatan Presiden Secara Konstitusional

Tindak lanjut dari Putusan MK yang membenarkan pendapat DPR atas dugaan

pelanggaran adalah Dewan Perwakilan Rakyat harus menyelenggarakan sidang paripurna

untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis

Permusyawaratan Rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan

sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga

puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. Syarat yang

ketat juga diterapkan dalam Sidang Paripurna karena Keputusan Majelis

Permusyawaratan Rakyat harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan

yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh

sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, dengan terlebih dahulu memberi

kesempatan Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menyampaikan penjelasan dalam

rapat paripurna.

Dengan menyimak Prosedur pemberhentian Presiden dan/atau Wapres yang

dilembagakan dalam UUD 45 Perubahan, terlihat bahwa sistem ketatanegaraan RI

menganut 2 mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wapres, yaitu: mekanisme

forum previelegiantum sebagaimana pelaksanaan kewenangan MK dalam memutus

pendapat DPR perihal dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau

Wapres, dan mekanisme impeachment sebagaimana dilakukan MPR dalam Sidang

Paripurna untuk memutuskan apakah Presiden dan/atau Wapres diberhentikan atau tidak.

Akan tetapi, putusan akhir/final yang memiliki dampak hukum, apakah Presiden dan/atau

Wapres diberhentikan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada keputusan politik di

MPR.

C. Penutup

Dalam teori hukum tata negara, terdapat dua cara pemberhentian presiden,

pertama adalah impeachment dan yang kedua adalah mekanisme forum previelegiantum.

Impeachment berasal dari bahasa Inggris – “to impeach”, yang berarti memanggil atau

mendakwa untuk meminta pertanggungjawaban, dalam hal ini terkait dengan tugas dan

fungsi parlemen dalam pengawasan terhadap pemerintah. Sementara mekanisme forum

previelegiantum/ special legal procedings, merupakan prosedur pemberhentian presiden

melalui proses pengadilan khusus, dan bukan melalui mekanisme parlemen. Pada

prinsipnya impeachment tidak hanya diartikan sebagai prosedur pemberhentian presiden

di tengah masa jabatanya, melainkan pula mencakup pemecatan terhadap pejabat tinggi

negara lainnya.

Meskipun tidak secara lengkap mengatur prosedur pemberhentian Presiden dalam

masa jabatannya, Konstitusi RIS 1949 maupun UUDS 1950 sama-sama mengatur forum

peradilan khusus (forum previelegiantum) yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung,

Page 12: Prosedur Pencopotan Jabatan Presiden Secara Konstitusional

tidak hanya terbatas pada Presiden saja, melainkan juga pejabat-pejabat tinggi negara

lainnya. UUD 45 sebelum amandemen sendiri tidak mengatur secara tegas ketentuan

mengenai pemberhentian Presiden, jikalau dikatakan ada landasan konstitutionalnya,

maka itupun hanya terdapat dalam Penjelasan dan tidak secara jelas menyebut bahwa

akhir dari pertanggungjwaban Presiden sebagai mandataris MPR adalah pemberhentian.

Pengaturan yang lebih teknis termuat dalam beberapa Tap. MPR Nomor III/MPR/1978

dan Tap. MPR No.II/MPR/1999.

Dimuatnya pengaturan mekanisme impeachment secara lebih rinci dan lebih

dipersulit dalam UUD NRI Tahun 1945 Perubahan dilatari oleh 2 hal, yaitu latar

belakang politik, ialah kisruhnya proses impeachment yang telah terjadi selama ini. Di

samping itu, ditinjau dari perspektif teori ketatanegaraan, wacana penguatan sistem

presidensiil dan dilembagakannya prinsip check and balances dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia juga menghendaki reformasi mekanisme impeachment yang

selama ini ada. UUD NRI Tahun 1945 Perubahan menganut dua sistem sekaligus dalam

proses pemberhentian Presiden dan / atau Wapres, yaitu : prosedur forum

previelegiantum dalam persidangan MK dan proses impeachment di MPR.