Prosedur Lapangan Metode Tahanan Jenis

22
PROSEDUR LAPANGAN METODE TAHANAN JENIS A. Konfigurasi elektrode Wenner Konfigurasi Wenner merupakan salah satu konfigurasi yang sering digunakan dalam eksplorasi geolistrik dengan susunan jarak antar elektroda sama panjang seperti yang terlihat pada Gambar 1. Gambar 1. Susunan Elektroda Konfigurasi Wenner (Hendrajaya dan Arif, 1990) Dalam hal ini elektroda-elektroda, baik arus maupun potensial diletakkan secara simetris terhadap titik sounding. Jarak antar elektroda arus tiga kali jarak antar elektroda potensial. Jadi, jika jarak masing-masing potensial terhadap titik souding adalah a/2 maka jarak masing-masing elektroda arus terhadap titik sounding adalah 3a/2. Pada tahanan jenis mapping, jarak spasi elektroda tersebut tidak berubah-ubah untuk setiap titik sounding yang diamati (besarnya a tetap). Sedangkan pada tahanan jenis sounding, jarak spasi elektroda tersebut diperbesar secara gradual, mulai dari harga “a” kecil, untuk suatu titik sounding. Model pengukuran 2-D dengan metode Wenner terlihat pada Gambar 2.

description

eksplorasi bahan galian

Transcript of Prosedur Lapangan Metode Tahanan Jenis

PROSEDUR LAPANGAN METODE TAHANAN JENIS

A. Konfigurasi elektrode Wenner

Konfigurasi Wenner merupakan salah satu konfigurasi yang sering digunakan dalam

eksplorasi geolistrik dengan susunan jarak antar elektroda sama panjang seperti yang

terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Susunan Elektroda Konfigurasi Wenner (Hendrajaya dan Arif, 1990)

Dalam hal ini elektroda-elektroda, baik arus maupun potensial diletakkan secara

simetris terhadap titik sounding. Jarak antar elektroda arus tiga kali jarak antar

elektroda potensial. Jadi, jika jarak masing-masing potensial terhadap titik souding

adalah a/2 maka jarak masing-masing elektroda arus terhadap titik sounding adalah 3a/2.

Pada tahanan jenis mapping, jarak spasi elektroda tersebut tidak berubah-ubah untuk

setiap titik sounding yang diamati (besarnya a tetap). Sedangkan pada tahanan jenis

sounding, jarak spasi elektroda tersebut diperbesar secara gradual, mulai dari harga “a”

kecil, untuk suatu titik sounding. Model pengukuran 2-D dengan metode Wenner terlihat

pada Gambar 2.

Gambar 2. Model Pengukuran 2D dengan Konfigurasi Wenner. (Loke, 1999).

Batas pembesaran spasi elektroda ini tergantung pada kemampuan alat yang dipakai.

Semakin sensitif dan besar arus yang dapat dihasilkan alat tersebut, maka semakin besar pula

jarak spasi yang dapat diukur, sehingga semakin dalam pula lapisan yang terdeteksi.

Adanya sifat bahwa pembesaran jarak elektroda arus diikuti pula oleh pembesaran jarak

elektroda potensial menyebabkan jenis konfigurasi Wenner dapat mendeteksi ketidak-

homogenan lokal dari lokasi yang diamati.

Dalam prosedur Wenner pada tahanan jenis mapping, empat elektroda konfigurasi

(C2P2P1C1) dengan spasi yang sama dipindahkan secara keseluruhan dengan jarak yang

tetap sepanjang garis pengukuran. Pemilihan spasi terutama tergantung pada kedalaman

lapisan yang akan dipetakan (Sharma, 1997).

Konfigurasi Wenner mempunyai kelebihan dan kekurangan. Menurut Burger (2006),

kelebihan konfigurasi Wenner adalah dengan lebar spasi elektroda potensial yang besar maka

tidak memerlukan peralatan yang sensitif. Sedangkan kekurangannya adalah semua elektroda

harus dipindahkan untuk setiap pembacaan data resistivitas. Hal ini untuk mendapatkan

sensitifitas yang lebih tinggi untuk daerah lokal dan variasi lateral dekat permukaan.

Kedalaman investigasi yang dicapai oleh konfigurasi Wenner dengan menggunakan

penetrasi kedalaman adalah: Ze = 0,519 × “a”. Sedangkan faktor geometri Wenner sebesar:

Dari hambatan jenis yang terbaca dalam konfigurasi Wenner dapat dinyatakan dalam rumus:

A. Akuisisi Data Lapangan

Proses pengambilan data pada metode geolistrik mempunyai beberapa tahap

pelaksanaan. Tahap pelaksanaan tersebut adalah:

Tahap I : Penentuan titik sounding pada peta lapangan.

Pada umumnya, sebelum melakukan pengukuran geolistrik di lapangan, peta lapangan

yang akan disurvei perlu dipelajari terlebih dahulu untuk menentukan posisi yang tepat

bagi titik-titik sounding.

Tahap II : Penempatan titik sounding di lapangan.

Pada tahap ini, titik-titik sounding yang telah ditentukan pada peta lapangan di cari

posisinya secara tepat di lapangan. Berdasarkan referensi-referensi yang didapat di

lapangan, misalnya letak bangunan, pohon, sungai dan lain-lain dengan bantuan kompas.

Letak titik-titik tersebut mestinya akan dapat ditentukan dengan tepat dan lurus.

Tahap III : Pengambilan data.

Pada titik sounding, ditentukan bentangan elektroda berupa garis lurus dengan titik

sounding merupakan titik tengah. Arah bentangan yang dipilih adalah arah bentangan

yang lurus. Kemudian dibentangkan (tali yang sudah diberi jarak tertentu) sesuai dengan

arah tersebut. Sementara itu, diatur peralatan pengukuran (resistivitymeter, 2 gulung

kabel arus, 2 gulung kabel potensial, elektroda dan lainnya) sedemikian rupa sehingga

mempermudah pelaksanaan pengukuran nantinya. Pertama diukur posisi awal dengan

menggunakan GPS (Global Positioning System) untuk menentukan posisi terhadap garis

lintang dan garis bujur, kemudian dilakukan pengukuran geolistrik.

Disamping seorang operator dan pencatat data, pada pelaksanaan pengukuran diperlukan

paling sedikit 4 orang pembantu, yaitu masing-masing bertugas untuk memindahkan

salah satu dari ke-empat elektroda ( 2 elektroda arus dan 2 elektroda potensial). Akuisisi

data di lapangan dilakukan dengan menggunakan metode geolistrik tahanan jenis.

Konfigurasi elektroda yang digunakan adalah konfigurasi Wenner.

B. Pengolahan Data

Setelah dilakukan akuisisi data di lapangan maka didapatkan hasil datan tentang

resistivitas dari tiap-tiap titik, kemudian data tersebut dikalikan dengan faktor geometri

untuk mendapatkan harga resistivitas semu (ρaw) yang akan digunakan dalam membuat

kontur dengan menghubungkan tiap-tiap nilai ρaw tersebut.

Dalam tahap pengolahan data ini dilakukan dengan komputer dengan menggunakan

perangkat lunak Res2DInv. Perangkat lunak ini mengolah data yang didapatkan dari

akuisisi lapangan. Pemodelan 2-D dilakukan dengan menggunakan program inversi.

Program inversi ini menggambarkan dan membagi keadaan bawah permukaan dalam

bentuk penampang 2-D. Program inversi ini juga menentukan harga resistivitas semu

terukur dan terhitung. Metode inversi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

kuadrat terkecil (least square).

C. Analisa Data

Pada penelitian ini telah dilakukan pengambilan data geolistrik dengan konfigurasi

Wenner. Data-data geolistrik tersebut kemudian diolah dengan menggunakan perangkat

lunak Res2dinv untuk mendapatkan tampilan 2 dimensi kontur resistivitas dari struktur

lapisan tanah bawah permukaan. Tampilan 2 dimensi yang dihasilkan dari perangkat

lunak Res2dinv tersebut terdiri dari tiga kontur isoresistivitas pada penampang

kedalaman semu (pseudodepth section). Penampang yang pertama menunjukkan kontur

resistivitas semu pengukuran (measured apparent resistivity), yaitu data resistivitas semu

yang diperoleh dari pengukuran di lapangan (akusisi data). Penampang yang kedua

menunjukkan kontur resistivitas semu dari hasil perhitungan (calculated apparent

resistivity). Dan penampang yang ketiga adalah kontur resistivitas sebenarnya yang

diperoleh setelah melalui proses pemodelan inversi (inverse model resistivity section)

(Telford, 1976).

Lintasan 1

Akuisisi data resistivitas bumi pada survei lintasan 1 ini dilakukan dengan

mengambil lintasan sepanjang 200 meter dengan titik awal (titik 0 meter) berada pada

koordinat 112°43’03,2” BT dan 07°31’53,6” LS yang membentang pada arah E 98°

S di bahu jalan dengan variasi jarak antar elektroda berturut-turut 5 meter, 10 meter,

dan 15 meter.

Dari hasil pengukuran diperoleh harga resistivitasnya berkisar antara 0,198 – 76,2

Ωm. Pengolahan data dengan menggunakan Res2DInv untuk lintasan 1 diperoleh

penampang harga resistivitas semu seperti pada Gambar 3.

Gambar 3. Penampang Harga Resistivitas Semu dari Hasil Inversi Lintasan 1.

Dari Gambar 3 terlihat beberapa bidang lemah yang ditunjukkan dengan warna

biru dan hijau dengan harga resistivitas antara 0,198 – 5,84 Ωm yang memotong

perlapisan antar batuan yang memiliki nilai resistivitas yang lebih tinggi. Bidang-

bidang ini diperkirakan merupakan patahan.

Lintasan 2

Untuk akuisisi data resistivitas bumi pada survei lintasan 2 dilakukan dengan

mengambil lintasan sepanjang 120 meter dengan titik awal (titik 0 meter) berada pada

koordinat 112°43’10,2” BT dan 07°31’53,5” LS yang membentang ke arah N 5° E di

bahu jalan dengan variasi jarak antar elektroda berturut-turut 5 meter, 10 meter, 15

meter dan 20 meter.

Dari hasil pengukuran diperoleh harga resistivitasnya berkisar antara 0,164 – 62,9

Ωm. Pengolahan data dengan menggunakan Res2DInv untuk lintasan 2 diperoleh

penampang harga resistivitas semu seperti pada Gambar 4.

Gambar 4. Penampang Harga Resistivitas Semu dari Hasil Inversi Lintasan 2

Dari Gambar 4 terlihat beberapa bidang lemah yang ditunjukkan dengan warna

kuning dengan harga resistivitas antara 9,88 – 14,00 Ωm yang memotong perlapisan

antar batuan yang memilik nilai resistivitas yang lebih tinggi. Bidang-bidang ini

diperkirakan merupakan patahan.

Lintasan 3

Untuk akuisisi data resistivitas bumi pada survei lintasan 3 dilakukan dengan

mengambil lintasan sepanjang 150 meter dengan titik awal (titik 0 meter) berada pada

koordinat 112°43’39,3” BT dan 07°31’52,2”LS yang membentang ke arah E 90° S di

bahu jalan dengan variasi jarak antar elektroda berturut-turut 5 meter, 10 meter, 15

meter, dan 20 meter.

Dari hasil pengukuran diperoleh harga resistivitasnya berkisar antara 1,28 – 10,1

Ωm. Pengolahan data dengan menggunakan Res2DInv untuk lintasan 3 diperoleh

penampang harga resistivitas semu seperti pada Gambar 5.

Gambar 5. Penampang Harga Resistivitas Semu dari Hasil Inversi Lintasan 3.

Dari Gambar 5 di atas tidak ditemukan terobosan – terobosan bidang lemah

dengan harga resistivitas yang rendah terhadap perlapisan antar batuan yang memiliki

harga resistivitas yang lebih tinggi. Jadi pada lintasan 3 tidak ditemukan suatu

patahan.

B. Konfigurasi elektrode Schlumberger

Prinsip konfigurasi Schlumberger idealnya jarak MN dibuat sekecil – kecilnya,

sehingga jarak MN secara teoritis tidak berubah. Tetapi karena keterbatasan kepekaan alat

ukur, maka ketika jarak AB sudah relatif besar maka jarak MN hendaknya dirubah.

Perubahan jarak MN hendaknya tidak lebih besar dari 1/5 jarak AB seperti pada gambar

1. Kelemahan dari konfigurasi Schlumberger adalah pembacaan tegangan pada elektroda

MN adalah lebih kecil terutama ketika jarak AB yang terlalu jauh, sehingga diperlukan

alat ukur multimeter yang mempunyai karakteristik high impedance dengan mengatur

tegangan minimal 4 digit atau 2 digit dibelakang koma atau dengan cara peralatan arus

yang mempunyai tegangan listrik DC yang sangat tinggi. Keunggulan konfigurasi

Schlumberger adalah kemampuan untuk mendeteksi adanya sifat tidak homogen lapisan

batuan pada permukaan, yaitu dengan membandingkan nilai resistivitas semu ketika

terjadi perubahan jarak elektroda MN/2.

Gambar 1. Konfigurasi Metode Schlumberger

Dari hambatan jenis yang terbaca dalam konfigurasi Schlumberger dapat dinyatakan

dalam rumus :

Peralatan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah resistivitymeter dengan

serangkaian elektrodanya.

Gambar 2. Medium penelitian berupa pasir dan tanah liat

Bahan penelitian adalah wadah kaca dengan ukuran panjang 2 m, lebar 1 m, dan tinggi

0,6 m yang diisi dengan pasir dan tanah liat sebagai host-rock yang disusun seperti pada

Gambar 2.

1. Sket lintasan penelitian

Spasi yang digunakan adalah 10 cm dengan penempatan posisi elektroda potensial

dan elektroda arus mengg unakan konfigurasi Schlumberger.

2. Pengambilan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Menyusun rangkaian alat resistivitymeter .

Mengaktifkan resistivitymeter, kemudian mengalirkan arus listrik ke medium.

Mencatat arus listrik (I) dan beda potensial (V) antara 2 titik elektroda.

Menginjeksi medium pengukuran dengan air sebanyak 0,5 liter yang dilakukan

pada titik tengah permukaan pasir.

Melakukan pengukuran seperti langkah 1 sampai 3 kira-kira 2 jam setelah

penginjeksian air.

Mengulangi langkah 4 sampai 5 masing-masing dengan penambahan jumlah air

yang sama. Penambahan air dalam selang waktu 2 jam dilakukan sebanyak 5 kali.

3. Pengolahan data

Menghitung nilai resistivitas (ρ) menggunakan persamaan (1) dan diolah

menggunakan Software IP2WIN. Konstanta geometri k untuk konfigurasi elektroda

schlumberger digunakan persamaan: k = πn (n + 1) a ……… persamaan 1

Sedang nilai R diperoleh dengan membagi nilai tegangan dengan nilai arus terukur,

selanjutnya menghitung nilai resistivitas (ρ) menggunakan persamaan (1). Data hasil

perhitungan diinversi menggunakan software IP2Win untuk memetakan formasi

bawah

permukaan yang diukur.

4. Interpretasi penampang isoresistivitas

a. Penampang melintang isoresistivitas sebelum injeksi air

Nampak pada titik pengukuran ke 100 cm (Titik 3) memiliki nilai resistivitas lebih

kecil dari 447 ohmmeter (citra warna biru dan hitam), pada titik pengukuran

tersebut terdapat tanah liat, dimana nilai resistivitas tanah liat adalah 1-100 ohm

meter (Telford 1990). Sedangkan disekitar Titik 3 memiliki nilai resistivitas yang

lebih besar sampai 2512 Ohmmeter yang masuk pada range resistivitas pasir.

Gambar 3. Penampang isoresistivitas 2D sebelum injeksi air

b. Penampang melintang isoresistivitas setelah injeksi air pertama

Pada titik pengukuran lokasi injeksi air (Titik 3) terlihat nilai resistivitas kecil

semakin melebar (citra warna biru dan hitam) dengan nilai resistivitas lebih kecil

dari 464 Ohmmeter, hal ini disebabkan adanya tanah liat yang diinjeksi air

sehingga menyebabkan tanah dan pasir di sekitar injeksi air lebih konduktif.

Gambar 4. Penampang isoresistivitas 2D setelah injeksi air pertama

c. Penampang melintang isoresistivitas setelah injeksi air kedua

Pada titik pengukuran ke 100 cm (Titik 3) nilai resistivitas lebih kecil 215 ohm

meter (citra warna biru dan hitam), nilai resistivitas ini lebih kecil daripada nilai

resistivitas material sebelumnya dan juga semakin melebar dan dalam. Hal ini

disebabkan karena jumlah volume air yang diinjeksikan pada material tanah liat

telah menyebar diseluruh bagian tanah liat yang menyebabkan nilai resistivitasnya

menurun, karena air bersifat konduktif. Tanah liat yang pada saat sebelum injeksi

air berbentuk persegi telah berubah bentuk menjadi bentuk yang tak beraturan,

karena tanah liat sudah mulai mengikat air.

\

Gambar 5. Penampang Isoresistivitas 2D setelah injeksi air kedua

d. Penampang melintang isoresistivitas setelah injeksi air ketiga

Pada injeksi air ketiga ini terlihat nilai resistivitas kecil (citra warna biru dan

hitam) tidak hanya pada titik pengukuran ke 100 cm (Titik 3) tetapi mencakup

wilayah pengukuran yang lebih luas.

Gambar 6. Penampang Isoresistivitas 2D setelah injeksi air ketiga

e. Penampang melintang isoresistivitas setelah injeksi air keempat

Pada titik pengukuran ke 100 cm (Titik 3) nilai resistivitas meningkat dibanding

pada saat injeksi air sebelumnya yaitu lebih kecil 578 ohm meter (citra warna biru

dan hitam), dengan wilayah pengukuran yang lebih luas lagi dibanding pada saat

injeksi air sebelumnya. Nilai resistivitas tanah liat pada saat injeksi air keempat ini

seharusnya memiliki nilai yang lebih kecil daripada nilai resistivitas sebelumnya,

hal ini disebabkan adanya nilai resistivitas material pasir bercampur tanah liat.

Gambar 7. Peta Isoresistivitas 2D setelah injeksi air keempat

f. Penampang melintang isoresistivitas setelah injeksi air kelima

Pada titik pengukuran ke 100 cm nilai resistivitas lebih kecil dari 562 Ohm meter

yang juga menyebar karena semakin banyaknya air yang diinjeksikan.

Gambar 8. Peta Isoresistivitas 2D setelah injeksi air kelima

Dari hasil pengukuran yang telah dilakukan dapat diketahui sebaran air dengan

membandingkan nilai resistivitas air yaitu 0,5 – 100 Ohm meter.

C. Konfigurasi elektrode Pole – Dipole

Pada metode resistivity dikenal metode pengukuran 1D (disebut Res-1D), 2D (disebut

Res-2D ataupun imaging resistivity), 3D dan bahkan 4D. Pada Res-1D, hasil interpretasi

seperti data bor yakni data yang tergambar hanya satu dimensi merupakan sebaran

resistivity pada suatu titik dari kedalaman 0 m sampai ratusan meter dibawah permukaan.

Sedangkan pada Res-2D hasilnya berupa vertical section (sebuah penampang berupa

informasi bawah permukaan yang mempunyai informasi kedalaman dan penyebaran

secara lateral). Tentu saja hasil Res-2D jauh lebih bagus daripada hasil Res-1D. Pada

penerapan praktis, model 1D kurang baik apabila diterapkan pada eksplorasi. Dengan

berkembangnya metode numeric dan pemakaian computer yang semakin canggih, maka

selanjutnya metode Res-2D berkembang lebih baik dan lebih cocok untuk daerah dengan

geologi yang lebih kompleks.

1. Akuisisi data lapangan

Pengukuran geolistrik Res-2D diawali dengan penentuan titik-titik lintasan di

lapangan menggunakan alat Global Positioning System (GPS) berdasarkan rencana

pengukuran Res-2D yang telah ditentukan.

Konfigurasi (susunan) elektroda arus dan potensial pada geolistrik 2D berbeda

dengan geolistrik 1D. Pada geolistrik 2D, susunannya adalah sebagai berikut :

Gambar 1.

Konfigurasi elektroda arus dan potensial pada geolistrik 2D ,

metoda pole-dipole. Jarak P1 – P2 selalu l.

Dari hambatan jenis yang terbaca dalam konfigurasi Pole - Dipole dapat

dinyatakan dalam rumus :

Konfigurasi yang dipakai adalah pole-dipole dengan spasi antar elektroda 15

meter, dan kedalaman penetrasi mencapai 150 meter. Karena menggunakan kabel

multicore dan elektroda sebanyak 32 batang, maka dalam satu lintasan panjang yang

diperoleh adalah 465 meter.

Besaran yang diukur pada metoda geolistrik adalah potensial listrik dan kuat

arus ,sedangkan yang dihitung adalah tahanan jenis.

Data yang diperoleh dari pengukuran lapangan adalah data posisi setiap elektroda

(x,y,z) dan data V (pot ensial) serta I (kuat arus). Dari data V dan I dihitung nilai

resistivity (ρ). Sebaran data ρ untuk setiap penampang dapat dilihat pada gambar

berikut di bawah ini.

Gambar 2. Sebaran data rho untuk setiap penampang

2. Pengolahan data lapangan

Data hasil perhitungan menghasilkan nilai rho dan kedalaman semu. Oleh karena

itu untuk mendapatkan kedalaman dan nilai rho sebenarnya, harus dilakukan

pemodelan. Pemodelan dilakukan dengan metoda inversi.

Hasil pemodelan menggambarkan suatu penampang dengan panjang penampang

465 meter, kedalaman penampang 150 meter. Penampang ini menggambarkan

sebaran nilai resistivity batuan di bawah permukaan.

3. Interpretasi data lapangan

Untuk keperluan interpretasi, harus dilakukan pengukuran pada titik yang telah

diketahui susunan batuannya. Informasi diketahui dari data bor ataupun singkapan.

Hasil pengukuran berupa data R (tahanan dalam omm), kemudian di olah untuk

mendapatkan nilai tahanan jenis semu (pseudoresistivity). Setelah itu untuk

mendapatkan rho sebenarnya dibuat pemodelan dengan cara inversi. Hasil pemodelan

berupa penampang sayatan vertical, seperti yang terlihat pada halaman berikut.

Gambar 3. Penampang geolistrik Daerah Telaga Banta

Pengukuran geofisika yang dilakukan di daerah penelitian (Telaga Banta) terdiri

dari 2 (dua) lintasan, dimana masing-masing lintasan saling melintang (saling tegak

lusurs). Perhatikan Gambar 6, lintasan 1 dengan arah A-B melintang tegak lurus

terhadap lintasan ke 2 yang arahnya C-D.

Air bawah tanah dapat diidentifikasi dari nilai tahanan jenisnya. Pada penampang

di atas, tahanan jenis akuifer yang berisi air bawah tanah adalah 20 – 30 ohmm,

sedangkan batuan keras mempunyai kisaran tahanan jenis > 1500 ohmm. Pada

penampang A – B, air bawah tanah terdapat pada kedalaman 40 – 60 m (daerah

sebelah kanan), 30 m (daerah sebelah kiri) dan 10 m (daerah tengah). Melihat bentuk

akuifer yang terisi air bawah tanah tersebu t, maka dapat disimpulkan bahwa jumlah

(debit) tidak banyak.

Pada penampang C - D, air bawah tanah terdapat pada kedalaman 20 –30 meter,

dengan jumlah yang tidak banyak.

Hasil pengukuran geofisika diatas me njawab permasalahan yang muncul di

daerah Telaga Banta, yaitu kenapa Telaga Banta yang sebelumnya merupakan

penyedia air pengairan bagi persawahan disekitarnya dan tidak kering, tapi sekarang

mengalami kekeringan dan kesulitan akan air. Hal ini dikarenakan jumlah cadangan

air tanahnya tidak begitu banyak dan begi tu tergantung terhadap curah hujan. Faktor-

faktor lainnya yang kemungkinan mempengaruhi kekeringan di Telaga Banta ini

seperti adanya penghijauan pohon pinus disekitar perbukitan telaga, masih dalam

pertanyaan dan perlu adanya pembuktian.

Survei hidrologi dilakukan dengan mendatangi sumur-sumur penduduk, dimana

untuk keperluan hidup sehari-hari penduduk setempat, kebutuhan akan air diperoleh

dengan membuat sumur gali.

Pengukuran pada sumur-sumur gali penduduk dilakukan dengan menggunakan

peralatan meteran untuk mendapatkan informasi kedalaman rata-rata sumurnya, yaitu

sekitar 15 sampai 20 m, dan kedalaman permukaan airnya antara 13 m sampai 12 m.

Hasil pengukuran tersebut sejalan dengan hasil dari pengukuran geofisika.