Proposol Skipsi_(Habis Seminar)
-
Upload
annisafadhilahasan -
Category
Documents
-
view
35 -
download
1
description
Transcript of Proposol Skipsi_(Habis Seminar)
PENGARUH KONFLIK PERAN DAN AMBIGUITAS PERANTERHADAP INDEPENDENSI AUDITOR INTERNAL
(Studi Pada PT. Pelita Wira Sejahtera Jambi)
PROPOSAL SKRIPSI
HENI AFRIANTIC1C008075
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNISUNIVERSITAS JAMBI
2015
1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PROPOSAL...................................................... ii
KATA PENGANTAR........................................................................................ iii
DAFTAR ISI...................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah Penelitian.................................................. 7
1.3 Tujuan Penelitian.................................................................... 8
1.4 Manfaat Penelitian.................................................................. 8
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Independensi........................................................................... 10
2.2. Auditor Internal...................................................................... 12
2.3 Independensi Auditor Internal................................................ 13
2.4 Teori Peran............................................................................. 26
2.5 Konflik Peran.......................................................................... 29
2.6 Ambiguitas Peran................................................................... 33
2.7 Pengaruh Konflik Peran terhadap Independensi Auditor
internal.................................................................................... 37
2.8 Pengaruh Ambiguitas Peran terhadap Independensi Auditor
internal.................................................................................... 39
2.9 Penelitian Terdahulu............................................................... 40
2.10 Hipotesis Penelitian................................................................ 41
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional........................ 43
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian.............................................. 43
3.3 Jenis dan Sumber Data........................................................... 43
3.4 Metode Pengumpulan Data.................................................... 44
3.5 Metode Analisis...................................................................... 45
3.6 Definisi Operasional............................................................... 46
1
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 50
LAMPIRAN....................................................................................................... 52
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tema tentang independensi dalam profesi auditor memiliki pemahaman
yang sangat penting dan mendalam demi tercapainya tujuan organisasi. Sorotan
masyarakat terhadap profesi auditor sangatlah besar sebagai dampak beberapa
skandal perusahaan besar dunia seperti Enron dan WorldCom (Verrechia, 2006
dalam Sukrisno, 2009). Sorotan tajam diarahkan pada perilaku auditor ketika
berhadapan dengan klien yang dipersepsikan gagal dalam menjalankan perannya
sebagai auditor independen.
Independensi adalah cara pandang yang tidak memihak di dalam
pelaksanaan pengujian, evaluasi hasil pemeriksaan, dan penyusunan laporan audit
perusahaan (Arens, et al., dalam Sukrisno, 2009). Dalam buku Standar Profesional
Akuntan Publik (2001) seksi 220 PSA No 04 Alinea 02 disebutkan bahwa auditor
harus bersikap independen, artinya tidak mudah dipengaruhi, karena ia
melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum (dibedakan dalam hal
berpraktik sebagai auditor intern). Dengan demikian, ia tidak dibenarkan memihak
kepada kepentingan siapapun, sebab bagaimanapun sempurnanya keahlian teknis
seorang auditor, jika ia kehilangan sikap tidak memihak, maka ia tidak dapat
mempertahankan kebebasan pendapatnya.
Dalam lingkup perusahaan, independensi auditor internal sangat
dibutuhkan untuk menjalankan fungsi pengawasan serta fungsi evaluasi terhadap
kecukupan dan efektivitas kerja sistem pengendalian manajemen yang
1
diselenggarakan perusahaan. Auditor internal bertanggung jawab untuk dapat
mempertahankan independensinya dalam kondisi apapun, sehingga pendapat,
kesimpulan, pertimbangan, serta rekomendasi dari hasil pemeriksaan yang
dilakukan tidak memihak dan dipandang tidak memihak terhadap pihak manapun.
Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan Halim (2009), disebutkan bahwa
independensi akuntan sebagai perilaku profesional berpengaruh terhadap kualitas
opini audit yang diberikan oleh akuntan tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat
Mautz dan Sharaf (2007) yang mengatakan bahwa jika akuntan tidak independen
terhadap kliennya, maka opininya tidak akan memberikan tambahan apapun.
Menurut Tugiman (dalam Sukrisno, 2009), independensi auditor biasanya
berkaitan dengan abiguitas peran. Kahn et al (dalam Sukrisno, 2006)
mendefinisikan ambiguitas peran sebagai suatu keadaan di mana informasi yang
berkaitan dengan suatu peran tertentu kurang atau tidak jelas. Kedudukan dasar
dari peran auditor internal tersebut dapat menciptakan sebuah tantangan bagi para
auditor untuk menjaga independensinya.
Kondisi yang kompleks dan perubahan dalam lingkungan operasional
auditor internal, termasuk kompleksitas dan perubahan peraturan dan teknologi,
dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya ambiguitas peran Simamora (2013).
Sawyer dan Dittenhofer (dalam Simamora, 2013) juga menjelaskan penyebab
terjadinya ambiguitas peran dalam lingkungan auditor internal adalah bahwa
auditor internal mungkin melakukan investigasi internal dengan kondisi proses
operasional yang belum dikenali, kompleks, dan semakin meluas.
2
Ambiguitas peran mengurangi tingkat kepastian apakah informasi yang
diperoleh dalam pemeriksaan telah objektif dan relevan. Ambiguitas peran dapat
menyebabkan auditor internal mengalami tekanan (Schuller et al. dalam Sukrisno,
2009). Penjelasan di atas menegaskan bahwa, ambiguitas peran dapat mengurangi
kemampuan auditor internal untuk tetap bersikap independen.
Peran auditor internal seringkali mengandung konflik. Hal tersebut
diungkapkan oleh Mohr dan Puck (dalam Halim, 2009) dengan menyebutkan
bahwa, konflik peran merupakan suatu pikiran, pengalaman, atau persepsi dari
pemegang peran yang diakibatkan oleh terjadinya dua atau lebih harapan peran
secara bersamaan, sehingga timbul kesulitan untuk melakukan kedua peran
tersebut dengan baik dalam waktu yang bersamaan. Konflik peran dalam
lingkungan auditor internal dapat berasal dari pertentangan yang berasal dari
peran dalam melakukan audit dan peran dalam memberikan jasa konsultasi.
Auditor internal harus menjaga independensi dengan tidak mendasarkan
pertimbangan auditnya pada objek pemeriksaan. Namun dalam peran konsultasi,
auditor internal harus bekerja sama dan membantu objek pemeriksaan (Tugiman,
dalam Halim, 2009). Konflik peran yang dijumpai oleh auditor internal
berhubungan dengan kedudukan auditor internal itu sendiri dalam organisasi
profesinya. Dengan demikian, konflik peran yang dialami oleh auditor internal
mungkin mengakibatkan auditor rentan terhadap tekanan dari objek pemeriksaan.
Hal tersebut mengakibatkan rusaknya independensi auditor internal (Koo dan
Sim, dalam Sukrisno, 2009).
3
Penelitian mengenai pengaruh ambiguitas peran terhadap auditor internal
pernah dilakukan sebelumnya oleh beberapa peneliti, seperti yang dilakukan oleh
Saraswati, dkk. (2014) dengan judul pengaruh tekanan klien, motivasi, dan
ambiguitas peran terhadap independensi auditor internal perusahaan (studi empiris
pada Inspektorat Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar). Dalam penelitian
tersebut disimpulkan bahwa tekanan klien dan motiviasi auditor tidak
berpengaruh terhadap independensi auditor. Sedangkan ambiguitas peran secara
parsial berpengaruh terhadap independensi auditor.
Penelitian ini adalah merupakan replikasi penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Saraswati, dkk. (2014). Hasil penelitian ini menyatakan bahwa
dari tiga variabel yang diteliti hanya satu variabel yang mempengaruhi
independensi auditor. Oleh karena itu, penulis mereplikasi penelitian tersebut
dengan mengambil dan menguji kembali satu variabel yang mempengaruhi
independensi auditor, yaitu variabel ambiguitas peran. Selanjutnya, sesuai dengan
saran peneliti bagi penelitian selanjutnya yaitu perlunya dilakukan kajian pada
pihak perusahaan swasta sebagai upaya untuk melengkapi informasi yang telah
ada, yaitu Auditor Internal yang ada di PT. Pelita Wira Sejahtera. Kemudian pada
saran yang kedua disebutkan bahwa perlu dilakukan pengujian variabel
independensi auditor secara lebih jauh dengan menggunakan variabel yang lain
seperti konflik peran agar secara empiris dan ilmiah lebih banyak diketahui faktor-
faktor yang mempengaruhi independensi auditor.
Pemilihan PT. Pelita Wira Sejahtera sebagai tempat atau objek penelitian
didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu perusahaan tersebut merupakan
4
perusahaan yang dikelola oleh keluarga sehingga memungkinkan adanya banyak
tekanan dalam proses audit yang dilakukan oleh tim auditor perusahaan tersebut.
Alasan kedua adalah, karena PT. Pelita Wira Sejahtera merupakan induk dari
beberapa perusahaan besar yang ada di Provinsi Jambi dimana perusahaan ini
membawahi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang kegiatan usaha,
seperti CV. Damai Sejahtera, CV. Perintis Lintas, LTd, CV. Pelita Lestari, CV.
KSA, dan CV. Aneka Pangan Makmur. Proses audit pada semua anak perusahaan
dari PT. Pelita Wira Sejahtera dilakukan oleh Divisi Pengawasan dan
Pengendalian yang dipimpin oleh seorang Kepala Divisi dan dibantu oleh 17 staf
auditor.
Menurut Kepala Divisi Pengawasan dan Pengendalian PT. Pelita Wira
Sejahtera masalah yang utama dalam proses audit adalah pekerjaan audit yang
sangat banyak tetapi sumber daya manusia sangat terbatas. Kondisi ini seringkali
menyebabkan anggota tim audit memiliki dua atau lebih pekerjaan yang berbeda.
Di satu sisi, seorang auditor pada suatu tim audit berperan sebagai, sementara
ketika auditor tersebut berada pada tim audit yang lain, berperan sebagai anggota.
Selain itu, tim auditor internal juga seringkali harus menangani kasus-kasus yang
berbeda yang sebenarnya tidak sesuai dengan bidang keahliannya, seperti pada
satu sisi tim auditor harus menangani audit perusahaan yang bergerak dibidang
jasa, sedangkan pada sisi lain tim tersebut juga harus melakukan audit perusahaan
yang bergerak dibidang produksi. Konflik peran yang terjadi di PT. Pelita Wira
Sejahtera juga berkaitan dengan masalah perusahaan keluarga. Diketahui bahwa
PT. Pelita Wira Sejahtera merupakan perusahaan keluarga, auditor internal yang
5
bekerja di perusahaan tersebut juga masih memiliki hubungan saudara, keadaan
ini akan menyebabkan timbulnya konflik peran dalam diri auditor, di satu sisi
auditor harus berkerja secara profesional, tetapi di sisi lain seringkali auditor harus
berperan sebagai saudara dari pemilik perusahaan.
Permasalahan yang terjadi di PT. Pelita Wira Sejahtera sebagaimana
dijelaskan di atas, memiliki kemungkinan besar berkaitan erat dengan ambiguitas
peran dan konflik peran. Sehingga dalam penelitian ini dilakukan pengkajian
terhadap kedua masalah tersebut. Namun demikian, sebagaimana telah disebutkan
di atas, bahwa penelitian ini merupakan penelitian replikasi, sehingga untuk
membedakan dengan penelitian sebelumnya perlu dikemukakan perbedaan-
perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan mendasar dari
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang pertama adalah terletak pada
pemilihan variabel independen. Dalam penelitian utama ada tiga variabel bebas
yang diteliti, yaitu tekanan klien, ambiguitas peran, dan motivasi. Sedangkan
untuk penelitian ini penulis hanya mengambil satu variabel bebas yang terdapat
dalam penelitian sebelumnya, yaitu ambiguitas peran. Pemilihan ambiguitas peran
sebagai variabel yang diteliti kembali, karena berdasarkan hasil penelitian
sebelumnya variabel inilah yang memberikan pengaruh, sedangkan untuk variabel
tekanan klien dan motivasi tidak berpengaruh.
Penelitian ini tidak hanya menguji satu variabel bebas, melainkan dua
variabel bebas. Selain variabel ambiguitas peran, penulis juga menambahkan satu
variabel lain sesuai dengan saran yang diberikan oleh peneliti dalam penelitian
yang direplikasi, yaitu variabel konflik peran. Pemilihan variabel konflik peran
6
sebagai variabel bebas kedua ini didasarkan pada hasil penelitian Bhakti (2011)
menyebutkan bahwa penurunan konflik peran akan meningkatkan independensi
auditor, karena rendahnya konflik peran akan menciptakan kondisi positif pada
hubungan antar bagian, tanggungjawab atas tugas dan wewenang setiap bagian,
dan akan terbentuk kondisi yang harmonis saling menghormati dan saling
mendukung untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan.
Perbedaan selanjutnya adalah pada fokus penelitian, pada penelitian ini
menguji kembali variabel-variabel tersebut dengan menggunakan instrumen
pengukuran independensi yang sama, namun dalam lingkup kerja yang berbeda,
yaitu auditor internal perusahaan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengembangkan ukuran-ukuran konsep independensi, konflik peran, dan
ambiguitas peran dalam lingkup kerja auditor internal Perusahaan, dengan maksud
untuk memberikan bukti empiris mengenai pengaruh konflik peran dan
ambiguitas peran beserta dimensinya terhadap independensi auditor internal
perusahaan.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Apakah konflik peran berpengaruh terhadap independensi auditor internal
pada PT. Pelita Wira Sejahtera?
2. Apakah ambiguitas peran berpengaruh terhadap independensi auditor internal
pada PT. Pelita Wira Sejahtera?
7
3. Apakah konflik peran dan ambiguitas peran secara bersama-sama
berpengaruh terhadap independensi auditor internal pada PT. Pelita Wira
Sejahtera?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pengaruh konflik peran terhadap independensi auditor
internal pada PT. Pelita Wira Sejahtera.
2. Untuk mengetahui pengaruh ambiguitas peran terhadap independensi auditor
internal pada PT. Pelita Wira Sejahtera.
3. Untuk mengetahui pengaruh konflik peran dan ambiguitas peran terhadap
independensi auditor internal pada PT. Pelita Wira Sejahtera.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti
empiris mengenai bagaimana pengaruh konflik peran dan ambiguitas peran
terhadap independensi auditor internal suatu perusahaan.
2. Secara praktisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan
untuk memperbaiki kinerja para auditor internalnya. Diharapkan Anak-anak
perusahaan PT. Pelita Wira Sejahtera dapat menciptakan lingkungan yang
kondusif dan terhindar dari benturan-benturan kepentingan yang dapat
mempengaruhi independensi auditor internal.
8
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Independensi
Kata independensi merupakan terjemahan dari kata ”independence” yang
berasal dari Bahasa Inggris. Dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary
of Current English terdapat entri kata “independence” yang artinya “dalam
keadaan independen”. Adapun entri kata “independent” bermakna “tidak
tergantung atau dikendalikan oleh (orang lain atau benda); tidak mendasarkan diri
pada orang lain; bertindak atau berfikir sesuai dengan kehendak hati; bebas dari
pengendalian orang lain” (Echols dan Shadily, 2010).
Menurut Mulyadi (2012) “Independensi berarti bersikap bebas dari
pengaruh pihak lain, tidak tergantung pada pihak lain dan jujur dalam
mempertimbangkan fakta serta adanya pertimbangan yang objective dalam
merumuskan dan menyatakan pendapatnya.”
Pengertian independensi di atas dapat dipahami bahwa independensi
berarti tidak memihak, bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan. Dalam makna
yang lebih sempit independensi berarti bersikap obyektif sesuai dengan apa
adanya, jika sesuatu itu bernilai baik maka akan dinyatakan baik, demikian
sebaliknya jika buruk maka akan dikatakan buruk.
Independensi pada dasarnya diwujudkan dalam sikap. Hal tersebut dapat
dijelaskan dalam teori sikap dan perilaku. Menurut Soegiastuti (2005:57), teori
Teori sikap dan perilaku dipandang sebagai teori yang dapat mendasari untuk
menjelaskan independensi. Teori tersebut menyatakan, bahwa perilaku ditentukan
9
untuk apa orang-orang ingin lakukan (sikap), apa yang mereka pikirkan akan
mereka lakukan (aturan-aturan sosial), apa yang mereka bisa lakukan (kebiasaan)
dan dengan konsekuensi perilaku yang mereka pikirkan. Sikap menyangkut
komponen kognitif berkaitan dengan keyakinan, sedangkan komponen sikap
afektif memiliki konotasi suka atau tidak suka.
Sikap adalah pernyataan evaluatif mengenai seluruh tendensi tindakan,
baik yang menguntungkan atau tidak menguntungkan mengenai obyek, orang atau
peristiwa. Sikap merupakan kecenderungan dalam merespon sesuatu. Sikap
bukanlah perilaku, namun sikap menghadirkan suatu kesiapsiagaan untuk
tindakan yang mengarah pada perilaku, sehingga sikap merupakan wahana dalam
membimbing perilaku. Fenomena sikap timbulnya tidak saja ditentukan oleh
keadaan obyek yang sedang dihadapi, tetapi juga oleh kaitanya dengan
pengalaman-pengalaman, oleh situasi pada saat ini, dan oleh harapan untuk masa
yang akan datang (Soegiastuti, 2005:58).
Sikap memiliki fungsi: pemahaman, kebutuhan akan kepuasan, defensi ego
dan ungkapan nilai. Pemahaman berfungsi membantu seseorang dalam
memberikan maksud atau memahami situasi atau peristiwa baru. Sikap juga
melayani suatu hal yang bermanfaat atau sebagai fungsi kebutuhan yang
memuaskan. Sikap juga melayani fungsi defensif ego dengan melakukan
pengembangan guna melindungi manusia dari pengetahuan yang berlandaskan
kebenaran mengenai dasar manusia itu sendiri atau dunianya, dan akhirnya sikap
juga melayani fungsi nilai ekpresi untuk mencapai kepuasan (Soegiastuti,
2005:58).
10
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa independensi
berarti bersikap bebas, tidak tergantung pada pihak lain, bersifat objektif dalam
menilai dan mengambil keputusan, dan jujur dalam memberikan penilaian dan
pernyataan sesuai dengan data-data dan fakta-fakta yang ada.
2.2. Auditor Internal
Menurut Sukisno (2005) "Auditor adalah orang yang melakukan kegiatan
audit." Sedangkan audit menurut Arens, at al (2009) adalah proses pengumpulan
dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat
kesesuaian antar informasi itu dengan kriteria yang telah ditetapkan.
Konsep di atas juga dipertegas oleh Tugiman (2001) yang menyatakan
bahwa audit atau auditing adalah suatu proses sistematis untuk mendapatkan dan
mengevaluasi bukti yang berhubungan dengan asersi tentang tindakan-tindakan
dan kejadian-kejadian ekonomi secara objektif untuk menentukan tingkat
kesesuaian antara asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan dan
mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Sesuai dengan konsep di atas maka dapat dipahami bahwa auditor adalah
orang yang melakukan proses sistematis untuk mendapatkan dan mengevaluasi
bukti yang berhubungan dengan bagian-bagian dari suatu tindakan-tindakan dan
kejadian-kejadian ekonomi secara objektif untuk menentukan tingkat kesesuaian
antara bagian tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan dan
mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Auditor internal bekerja di suatu perusahaan untuk melakukan audit bagi
kepentingan pihak manajemen. Tugas yang diberikan kepada auditor internal
11
bermacam-macam, tergantung dari perintah dari atasannya. Dalam menjalankan
tugasnya seorang auditor internal harus berada diluar fungsi lini suatu organisasi.
Seorang auditor internal wajib memberikan informasi yang penting bagi pihak
manajemen yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan yang berkaitan
dengan operasi suatu perusahaan. Independensi merupakan suatu syarat yang
penting yang harus dimiliki oleh tiap auditor dengan tujuan agar dapat menilai
kewajaran suatu informasi yang disajikan manajemen untuk para pemakai
informasi yang terdiri dari pemakai internal dan eksternal.
2.3 Independensi Auditor Internal
Arens, et al (2009) mendefinisikan independensi dalam pengauditan
sebagai "Penggunaan cara pandang yang tidak bias dalam pelaksanaan pengujian
audit, evaluasi hasil pengujian tersebut, dan pelaporan hasil temuan audit".
Sedangkan Mulyadi (2012) mendefinisikan independensi sebagai "keadaan bebas
dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang
lain" dan akuntan publik yang independen haruslah akuntan publik yang tidak
terpengaruh dan tidak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan yang berasal dari luar
diri akuntan dalam mempertimbangkan fakta yang dijumpainya dalam
pemeriksaan.
Independen berarti auditor tidak dapat dipengaruhi. Auditor internal tidak
dibenarkan memihak kepentingan siapapun. Auditor internal berkewajiban untuk
jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga pada
kreditor dan pihak lain yaitu masyarakat dan pengguna laporan keuangan yang
lainnya yang meletakkan kepercayaan pada pekerjaan internal auditor. Jika
12
seorang auditor internal tidak dapat bersikap independen, maka akan sulit dalam
upaya mencegah dan mendeteksi terjadinya fraud di perusahaan. Oleh sebab itu,
profesi auditor internal akan sangat sensitif terhadap masalah independensi.
Dengan demikian sikap independensi sangat dibutuhkan agar laporan keuangan
yang disajikan oleh manajer dapat berkualitas dan berkredibilitas dalam mencegah
dan mendeteksi terjadinya fraud yang ada.
Teori sikap dan perilaku ini dapat menjelaskan independensi auditor dalam
penampilan. Seorang auditor yang memiliki sikap independen akan berperilaku
independen dalam penampilanya, artinya seorang auditor dalam menjalankan
tugasnya tidak dibenarkan memihak terhadap kepentingan siapapun. Auditor
mempunyai kewajiban untuk bersikap jujur baik kepada pihak manajemen
maupun pihak-pihak lain seperti pemilik, kreditor, investor. Kebanyakan literatur
independensi auditor menyarankan bahwa kredibilitas laporan keuangan
tergantung pada persepsi audit independen dari seorang auditor eksternal oleh
pengguna laporan keuangan. Studi yang dilakukan oleh Firth dalam Mulyadi
(2012), misalnya mengemukakan alasan bahwa, jika auditor terlihat tidak
independen, maka pengguna laporan keuangan semakin tidak percaya atas laporan
keuangan yang dihasilkan auditor dan opini auditor tentang laporan keuangan
perusahaan yang diperiksa menjadi tidak ada nilainya. Kredibilitas seorang
auditor tergantung tidak hanya pada independensi dalam fakta, tetapi juga
tergantung pada independensi dalam persepsi/penampilan, guna menjaga dan
mempertahankan kepercayaan publik akan profesinya sebagai auditor. Studi ini
berfokus pada independensi berdasarkan persepsi.
13
Mayoritas studi empiris yang ada tentang persepsi independensi auditor
memfokuskan pada pengidentifikasian faktor-faktor yang berpotensi
mempengaruhi independensi dan menilai dampaknya terhadap independensi
dalam persepsi, karena independensi aktual tidak mudah untuk diobsevasi.
Beberapa studi mencoba untuk menemukan hubungan antara faktor-faktor
tersebut dengan independensi auditor, apakah berhubungan atau tidak, apakah
berhubungan secara positif atau secara negatif (Pany dan Reckers, dalam Mulyadi,
2012).
Auditing memiliki tujuan utama untuk memberi pendapat atau opini atas
wajar tidaknya laporan keuangan yang disajikan oleh klien agar bisa dijadikan
acuan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk melakukan keputusan
ekonomi. Dalam melakukan audit untuk menjaga dan meningkatkan profesinya,
seorang akuntan publik diharuskan untuk selalu bersikap independen dalam arti
dalam menjalankan tugasnya seorang akuntan publik tidak boleh memihak kepada
siapapun, bersikap obyektif dan jujur.
Sejalan dengan Arens, at al (2009) menguraikan independensi berarti sikap
mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak
tergantung pada orang lain. Independensi juga dapat diartikan adanya kejujuran
dalam diri auditor dalam memertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang
obyektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan
pendapatnya. Menyinggung independensi dalam sikap mental (Independence in
fact) bertumpukan pada kejujuran, obyektivitas, sedangkan independensi dalam
penampilan diartikan sebagai sikap hati-hati seorang akuntan agar tidak diragukan
14
kejujurannya. Kondisi di lapangan, auditor seringkali menemui kesulitan dalam
mempertahankan sikap mental independen. Keadaan yang seringkali mengganggu
sikap mental independen auditor adalah : karena ia dibayar oleh klien atas jasanya,
sebagai penjual jasa, auditor sering mempunyai kecenderungan untuk memuaskan
keinginan klien dan mempertahankan sikap independen seringkali dapat
menyebabkan hilangnya klien.
Masalah independensi sebenarnya bukanlah monopoli akuntan publik
Indonesia, melainkan sudah merupakan masalah internasional. Internasional
Federation of Accountans telah mengeluarkan exposure draft yang membahas
masalah independensi ini (Media Akuntansi, Juni 2000). Tidak sekedar
independensi dalam sikap mental dan penampilan saja, tetapi juga mencakup
mutu, integritas, obyektivitas dan sikap kehati-hatian akuntan publik.
Independensi dalam penampilan akuntan publik dianggap rusak jika ia
mengetahui atau patut mengetahui keadaan atau hubungan yang mungkin
mengkompromikan independensinya. Menurut Sukrisno (2006) ada empat jenis
risiko yang dapat merusak independensi akuntan publik , yaitu :
a. Self interest risk, yang terjadi apabila akuntan publik menerima manfaat dari
keterlibatan keuangan klien.
b. Self review risk, yang terjadi apabila akuntan publik melaksanakan penugasan
pemberian jasa keyakinan yang menyangkut keputusan yang dibuat untuk
kepentingan klien atau melaksanakan jasa lain yang mengarah pada produk
atau pertimbangan yang mempengaruhi informasi yang menjadi pokok
bahasan dalam penugasan pemberian jasa keyakinan.
15
c. Advocacy risk, yang terjadi apabila tindakan akuntan publik menjadi terlalu
erat kaitanya dengan kepentingan klien.
d. Client influence risk, yang terjadi apabila akuntan publik mempunyai
hubungan erat yang kontinyu dengan klien, termasuk hubungan pribadi yang
dapat mengakibatkan intimidasi oleh atau keramahtamahan (familiarity) yang
berlebihan dengan klien.
Kualitas auditing sangat bergantung pada persepsi publik akan
independensi yang dimiliki auditor, independensi ini mengandung makna
mengambil sudut pandang yang tidak bias dalam melakukan ujian audit,
mengevaluasi hasilnya dan membuat laporan audit. Bila auditor sebagai penasehat
kliennya, seorang bankir atau lainnya, maka auditor tidak bisa dianggap sebagai
karakteristik auditor yang paling kritis. Hal ini didasari bahwa banyak pemakai
berbeda yang bergantung pada laporan akuntan publik untuk kewajaran dari
laporan keuangan adalah harapan dari sudut pandang yang tidak bias. Oleh karena
itu adalah suatu yang tidak mengherankan jika independensi merupakan hal
sangat diutamakan dalam auditing.
Mempertahankan perilaku independen bagi auditor dalam memenuhi
tanggung jawab mereka adalah sangat penting, namun yang lebih penting lagi
adalah bahwa pemakai laporan keuangan memiliki kepercayaan atas independensi
itu sendiri. Berubahnya lingkungan audit telah menimbulkan kebutuhan akan
perubahan yang cukup besar persyaratan independensi.
Arens, at al (2009) menyatakan independensi merupakan tujuan yang
harus selalu diupayakan, dan itu dapat dicapai sampai tingkat tertentu, misalnya
16
sekalipun auditor dibayar oleh klien, ia harus tetap memiliki kebebasan yang
cukup untuk melakukan audit yang andal. Sedangkan Ralph Estes menyatakan
pendapat mengenai independensi adalah sebagai kondisi keterbukaan, netral dan
tidak bias, untuk atau terhadap pihak lain.
Menurut Causin dan Ardiani (2013) Independensi auditor diperlukan
karena auditor sering disebut pihak pertama dan memegang peran utama dalam
pelaksanaan audit kinerja. Hal ini karena auditor dapat mengakses informasi
keuangan dan informasi manajemen dari organisasi yang diaudit, memiliki
kemampuan profesional dan bersifat independen. Walaupun pada kenyataannya
prinsip independen ini sulit untuk benar-benar dilaksanakan secara mutlak, antara
auditor dan auditee harus berusaha menjaga independensi tersebut sehingga tujuan
audit dapat tercapai. Independensi auditor merupakan salah satu dasar dalam
konsep teori auditing. Auditor internal yang profesional harus memiliki
independensi untuk memenuhi kewajiban profesionalismenya; memberikan opini
yang objektif, tidak bias; dan tidak dibatasi; dan melaporkan masalah apa adanya;
bukan melaporkan sesuai keinginan eksekutif atau lembaga (Sawyer, 2006).
Adapun pengertian dari independensi selalu dihubungkan dengan
objektifitas dalam internal auditor seperti yang dijelaskan oleh IIA dalam Arens,
at al (2009) sebagai berikut:
“Objectivity ia a mental attitude which internal auditors should maintain while performing engangements. The internal auditors should have an impartial, un-biased attitude and avoid conflict of interest situations, as that would prejudice his/her desired characteristic of the environment in which the assurance services are performed by the individual or team; i.e., it is desirable for the individual or team to be free from material conflicts of interest that threaten objectivity”. Objektifitas adalah
17
sikap mental yang harus dimiliki oleh auditor internal dalam melaksanakan pekerjaannya. Auditor internal harus bersikap tidak memihak, berperilaku yang tidak bias dan menghindari situasi konflik kepentingan yang akan membuat auditor internal dapat melaksanakan penilaian yang sesuai dengan kenyataan. Independensi merupakan karakteristik yang diperoleh dari lingkungan sekitar dalam pelaksanaan assurance service yang dilakukan oleh satuan kerja dalam tim maupun individu yang harus bebas dari konflik kepentingan yang dapat mengancam penilaian yang objektif auditor internal.
Buku Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP, 2001) seksi 220 PSA No.04
alinea 2, dijelaskan bahwa: “Independensi berarti tidak mudah dipengaruhi,
karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum.” Dengan
demikian, ia tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan siapapun meskipun ia
bekerja atau mengabdi pada perusahaan, sebab bilamana tidak demikian halnya,
bagaimanapun sempurnanya keahlian teknis yang ia miliki, maka dengan otomatis
ia akan kehilangan sikap independensi yang justru paling penting untuk
mempertahankan kebebasan pendapatnya. Berbagai definisi independensi telah
disampaikan oleh para ahli dapat disimpulkan, sebagai berikut:
1. Independensi merupakan syarat yang sangat penting bagi profesi auditor
untuk menilai kewajaran informasi yang disajikan oleh manajemen kepada
pemakai laporan keuangan.
2. Independensi diperlukan oleh auditor untuk memperoleh kepercayaan dari
klien maupun dari masyarakat, khususnya bagi para pemakai laporan
keuangan.
3. Independensi diperlukan agar dapat kreadibilitas laporan keuangan yang
disajikan oleh pihak manajemen.
18
Dimensi atau indikator dari pelaksanaan independensi auditor internal
(Sukrisno, 2006) adalah sebagai berikut:
1. Kemandirian Auditor
Kemandirian para pemeriksa internal dapat memberikan penilaian-
penilaian yang tidak memihak dan tanpa prasangka, yang mana sangat
diperlukan atau penting bagi pemeriksaan sebagaimana mestinya. Hal ini
dapat diperoleh melalui status organisasi dan sikap objektifitas dari para
pemeriksa internal (auditor internal).
a. Kemandirian Auditor Dilihat Dari Status Organisasi.
Kemandirian auditor dilihat dari status organisasi adalah bahwa
status organisasi dari bagian internal audit haruslah memberikan
keleluasaan untuk memenuhi atau menyelesaikan tanggung jawab
pemeriksaan yang diberikan kepadanya. Internal audit haruslah
mendapat dukungan dari manajemen senior dan dewan, sehingga mereka
akan mendapatkan suatu kerja sama dari pihak yang diperiksa dan dapat
menyelesaikan pekerjaannya secara bebas dari berbagai campur tangan
pihak lain.
b. Kemandirian Auditor Dilihat Dari Sikap Objektifitas.
Kemandirian auditor dilihat dari sikap objektifitas adalah sikap
mental yang bebas dan yang harus dimiliki oleh pemeriksa internal
(auditor internal) dalam melaksanakan pemeriksaan. Auditor internal
tidak boleh menempatkan penilaian sehubungan dengan pemeriksaan
yang dilakukan secara lebih rendah dibandingkan dengan penilaian yang
19
dilakukan oleh pihak lain atau menilai sesuatu berdasarkan hasil
penilaian orang lain. Bukan hanya penting bagi auditor internal untuk
memelihara sikap mental independen dan tanggung jawab mereka, akan
tetapi penting juga bahwa pemakai laporan keuangan menaruh
kepercayaan terhadap independensi tersebut.
2. Independensi dalam Kenyataan (Independence In Fact)
Independensi dalam kenyataan adalah apabila dalam kenyataannya
auditor mampu mempertahankan sikap yang tidak memihak sepanjang
pelaksanaan auditnya.
3. Independensi dalam Penampilan (Independence In Appearance)
Independensi dalam penampilan adalah hasil penilaian atau
interpretasi pihak lain terhadap independensi auditor dalam menjalankan
tugasnya.
Mautz dan Sharaf (Sawyer, 2006), dalam karya terkenal mereka, “The
Philosophy of Auditing” (Filosofi Audit), memberikan beberapa indikator
independensi profesional. Indikator tersebut memang diperuntukkan bagi akuntan
publik, tetapi konsep yang sama dapat diterapkan untuk auditor internal yang
ingin bersikap objektif. Indikator-indikatornya adalah sebagai berikut:
1. Independensi dalam Program Audit
a. Bebas dari intervensi manajerial atas program audit.
b. Bebas dari segala intervensi atas prosedur audit.
c. Bebas dari segala persyaratan untuk penugasan audit selain yang
memang disyaratkan untuk sebuah proses audit.
20
2. Independensi dalam Verifikasi
a. Bebas dalam mengakses semua catatan, memeriksa aktiva, dan
karyawan yang relevan dengan audit yang dilakukan.
b. Mendapatkan kerja sama yang aktif dari karyawan manajemen selama
verifikasi audit.
c. Bebas dari segala usaha manajerial yang berusaha membatasi aktivitas
yang diperiksa atau membatasi pemerolehan bahan bukti.
d. Bebas dari kepentingan pribadi yang menghambat verifikasi audit.
3. Independensi dalam Pelaporan
a. Bebas dari perasaan wajib memodifikasi dampak atau signifikansi dari
fakta-fakta yang dilaporkan.
b. Bebas dari tekanan untuk tidak melaporkan hal-hal yang signifikan
dalam laporan audit.
c. Menghindari penggunaan kata-kata yang menyesatkan baik secara
sengaja maupun tidak sengaja dalam melaporkan fakta, opini, dan
rekomendasi dalam interpretasi auditor.
d. Bebas dari segala usaha untuk meniadakan pertimbangan auditor
mengenai fakta atau opini dalam laporan audit internal.
Unsur-Unsur yang Mempengaruhi Independensi Auditor adalah sebagai
berikut:
1. Kepercayaan masyarakat terhadap integritas, objektivitas dan independensi.
2. Kepercayaan auditor terhadap diri sendiri.
21
3. Kemampuan auditor untuk meningkatkan kredibilitas pernyataannya terhadap
laporan keuangan yang diperiksa.
4. Suatu sikap pikiran dan mental auditor yang jujur dan ahli serta bebas dari
pengaruh pihak lain dalam melaksanakan pemeriksaan, penilaian, dan
pelaporan hasil pemeriksaannya dan dalam upaya mencegah dan mendeteksi
terjadinya fraud. Kepercayaan masyarakat terhadap profesi auditor (internal
maupun eksternal) berhubungan langsung dengan pemeriksaan dan salah satu
elemen pengendali mutu yang penting adalah independensi.
Auditor internal yang profesional harus memiliki independensi untuk
memenuhi kewajiban profesionalnya; memberikan opini yang objektif, tidak bias,
dan tidak dibatasi; dan melaporkan masalah apa adanya, bukan melaporkan sesuai
keinginan eksekutif atau lembaga (Sawyer, 2006). Untuk mengetahui apakah
seorang auditor internal telah profesional dalam melakukan tugasnya, maka perlu
adanya evaluasi kinerja. Dan evaluasi kinerja auditor internal dapat dilakukan
dengan cara yaitu: sudahkah terpenuhinya kriteria-kriteria profesionalisme auditor
internal.
International Standards for the Professional Practice of Internal Auditing
mengidentifikasi independensi auditor internal sebagai kriteria paling penting bagi
efektivitas fungsi auditor internal. Jadi, dalam setiap kejadian, auditor internal
diharapkan untuk mempunyai integritas dan komitmen untuk membuat pendapat
yang bebas dari bias (Tugiman, 2005).
Standar Profesi Audit Internal (2012) juga menyatakan bahwa auditor
internal harus mempunyai objektivitas yang tinggi. Badan Pengawasan Keuangan
22
dan Pembangunan (2008) mengartikan obyektivitas sebagai bebasnya seseorang
dari pengaruh pandangan subyektif pihak-pihak lain yang berkepentingan
sehingga dapat mengemukakan pendapat apa adanya.
Auditor internal harus memiliki sikap mental yang objektif, tidak
memihak, dan menghindari kemungkinan timbulnya pertentangan kepentingan.
Objektivitas mensyaratkan bahwa auditor internal tidak menundukkan penilaian
mereka dalam masalah-masalah audit terhadap pihak-pihak lain. Dengan
demikian, independensi dapat menghindarkan hubungan yang mungkin
mengganggu obyektivitas auditor.
Menurut Mautz dalam Sukrisno (2005) mengenai pentingnya independensi
adalah ”Jika manfaat seorang sebagai auditor rusak oleh perasaan pada sebagian
pihak ketiga yang meragukan independensinya, dia bertanggung jawab tidak
hanya mempertahankan independensi dalam kenyataan tetapi juga menghindari
penampilan yang memungkinkan dia kehilangan independensinya.”
Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI Nomor 01 tentang Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara dalam Lampiran II menyebutkan bahwa dalam
semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa
dan pemeriksa, harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan
pribadi, ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya.
Dengan pernyataan standar umum kedua ini, organisasi pemeriksa dan
pemeriksanya bertanggung jawab untuk dapat mempertahankan independensinya
sedemikian rupa, sehingga pendapat, simpulan, pertimbangan atau rekomendasi
dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tidak memihak dan dipandang tidak
23
memihak oleh pihak manapun. Selain itu, seperti yang diungkapkan Sukrisno
(2006) salah satu faktor yang mempengaruhi independensi akuntan publik adalah
jasa-jasa lain selain audit yang dilakukan oleh auditor bagi klien. Oleh sebab itu,
pemeriksa harus menghindar dari situasi yang menyebabkan pihak ketiga
mengetahui fakta dan keadaan yang relevan serta menyimpulkan bahwa
pemeriksa tidak dapat mempertahankan independensinya sehingga tidak mampu
memberikan penilaian yang objektif dan tidak memihak terhadap semua hal yang
terkait dalam pelaksanaan dan pelaporan hasil pemeriksaan, sehingga menurut
Sukrisno (2005) publik dapat mempercayai fungsi audit karena auditor bersikap
tidak memihak yang berarti mengakui adanya kewajiban untuk bersikap adil.
2.4 Teori Peran
Teori peran (Role Theory) adalah teori yang merupakan perpaduan antara
teori, orientasi, maupun disiplin ilmu. Selain dari psikologi, teori peran berawal
dari sosiologi dan antropologi (Siusiana, 2012). Dalam ketiga ilmu tersebut,
istilah “peran” diambil dari dunia teater. Dalam teater, seorang aktor harus
bermain sebagai seorang tokoh tertentu dan dalam posisinya sebagai tokoh itu ia
diharapkan untuk berperilaku secara tertentu. Posisi aktor dalam teater
(sandiwara) itu kemudian dianologikan dengan posisi seseorang dalam
masyarakat. Sebagaimana halnya dalam teater, posisi orang dalam masyarakat
sama dengan posisi aktor dalam teater, yaitu bahwa perilaku yang diharapkan
daripadanya tidak berdiri sendiri, melainkan selalu berada dalam kaitan dengan
adanya orang-orang lain yang berhubungan dengan orang atau aktor tersebut. Dari
sudut pandang inilah disusun teori-teori peran.
24
Menurut Linton (dalam Halim, 2009), seorang antropolog, telah
mengembangkan teori peran. Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam
terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh
budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman
bersama yang menuntun individu untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai
dokter, mahasiswa, orang tua, waSukrisno, dan lain sebagainya, diharapkan agar
seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Mengapa seseorang
mengobati orang lain, karena dia adalah seorang dokter. Jadi karena statusnya
adalah dokter maka dia harus mengobati pasien yang datang kepadanya dan
perilaku tersebut ditentukan oleh peran sosialnya.
Kemudian, Elder dalam Sukrisno (2006) membantu memperluas
penggunaan teori peran dengan menggunakan pendekatan yang dinamakan
“lifecourse” yang artinya bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada
setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-
kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian besar
warga Amerika Serikat akan menjadi murid sekolah ketika berusia empat atau
lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia delapan belas tahun, bekerja pada
usia tujuh belas tahun, mempunyai istri/suami pada usia dua puluh tujuh, pensiun
pada usia enam puluh tahun. Di Indonesia berbeda, usia sekolah dimulai sejak
usia tujuh tahun, punya pasangan hidup sudah bisa sejak usia tujuh belas tahun,
dan pensiun pada usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan
usia” (age grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan manusia dibagi
25
ke dalam masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana
setiap masa mempunyai bermacam-macam pembagian lagi.
Selain itu, Kahn et al. (dalam Tugiman, 2005) juga mengenalkan teori
peran pada literatur perilaku organisasi. Mereka menyatakan bahwa sebuah
lingkungan organisasi dapat mempengaruhi harapan setiap individu mengenai
perilaku peran mereka. Harapan tersebut meliputi norma-norma atau tekanan
untuk bertindak dalam cara tertentu. Individu akan menerima pesan tersebut,
menginterpretasikannya, dan merespon dalam berbagai cara. Masalah akan
muncul ketika pesan yang dikirim tersebut tidak jelas, tidak secara langsung, tidak
dapat diinterpretasikan dengan mudah, dan tidak sesuai dengan daya tangkap si
penerima pesan. Akibatnya, pesan tersebut dinilai ambigu atau mengandung unsur
konflik.
Ketika hal itu terjadi, individu akan merespon pesan tersebut dalam cara
yang tidak diharapkan oleh si pengirim pesan. Harapan akan peran tersebut dapat
berasal dari peran itu sendiri, individu yang mengendalikan peran tersebut,
masyarakat, atau pihak lain yang berkepentingan terhadap peran tersebut. Setiap
orang yang memegang kewenangan atas suatu peran akan membentuk harapan
tersebut. Oleh karena setiap individu dapat menduduki peran sosial ganda, maka
dimungkinkan bahwa dari beragam peran tersebut akan menimbulkan
persyaratan/harapan peran yang saling bertentangan (Tugiman, 2005).
Hal tersebut yang dikenal sebagai konflik peran. Sebagaimana
diungkapkan juga oleh Kats dan Kahn (dalam Simamora, 2013) bahwa individu
akan mengalami konflik dalam dirinya apabila terdapat dua tekanan atau lebih
26
yang terjadi secara bersamaan yang ditujukan pada diri individu tersebut. Konflik
pada setiap individu disebabkan karena individu tersebut harus menyandang dua
peran yang berbeda dalam waktu yang sama.
Teori peran juga menyatakan bahwa ketika perilaku yang diharapkan oleh
individu tidak konsisten, maka mereka dapat mengalami stress, depresi, merasa
tidak puas, dan kinerja mereka akan kurang efektif daripada jika pada harapan
tersebut tidak mengandung konflik. Jadi, dapat dikatakan bahwa konflik peran
dapat memberikan pengaruh negatif terhadap cara berpikir seseorang. Dengan
kata lain, konflik peran dapat menurunkan tingkat independensi seseorang
(Tugiman, 2005).
Adapun ambiguitas peran merupakan sebuah konsep yang menjelaskan
ketersediaan informasi yang berkaitan dengan peran. Pemegang peran harus
mengetahui apakah harapan tersebut benar dan sesuai dengan aktivitas dan
tanggung jawab dari posisi mereka. Selain itu, individu juga harus memahami
apakah aktivitas tersebut telah dapat memenuhi tanggung jawab dari suatu posisi
dan bagaimana aktivitas tersebut dilakukan (Tugiman, 2001).
Sama halnya dengan konflik peran Kahn et al. (dalam Tugiman, 2005)
mengemukakan bahwa ambiguitas peran juga dapat meningkatkan kemungkinan
seseorang menjadi merasa tidak puas dengan perannya, mengalami kecemasan,
memutarbalikkan fakta, dan kinerjanya menurun. Selain itu, Kahn et al. (dalam
Tugiman, 2005) juga menjelaskan bahwa ambiguitas peran dapat meningkat
ketika kompleksitas organisasi melebihi rentang pemahaman seseorang. Oleh
27
sebab itu, auditor internal yang menghadapi ambiguitas peran kemungkinan sulit
untuk menjaga komitmen mereka untuk tetap bersikap independen.
2.5 Konflik Peran
2.5.1 Pengertian Konflik Peran
Menurut Wolfe dan Snoke dalam Sunarto (2009) menyatakan bahwa,
“Konflik peran timbul karena adanya dua perintah berbeda yang diterima secara
bersamaan dan pelaksanaan atas salah satu perintah saja mengakibatkan
diabaikannya perintah yang lain”. Sedangkan pengertian konflik peran menurut
Scemerhorn dalam Tugiman (2005) menyatakan bahwa, “Role Conflict (konflik
peran) yaitu, perasaan dimana karyawan merasa mampu untuk memuaskan
banyak orang dan berpotensial untuk menyebabkan konflik atas penghargaan
performa dari orang lain”.
Menurut Tsai dan Shis dalam Tugiman (2005) menyatakan bahwa,
“Konflik peran (role conflict) merupakan sesuatu gejala psikologis yang dialami
oleh anggota organisasi yang bias menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja
dan secara potensial bias menurunkan motivasi kerja, sehingga bisa menurunkan
kinerja secara keseluruhan”. Sedangkan Menurut Tugiman (2005):
“Konflik peran merupakan suatu gejala psikologis yang dialami oleh auditor yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan dalam bekerja dan berpotensi menurunkan motivasi kerja. Konflik peran berdampak negatif terhadap perilaku auditor, seperti timbulnya ketegangan kerja, penurunan komitmen pada organisasi dan penurunan kinerja secara keseluruhan”.
Dari beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa konflik peran
muncul ketika auditor merasa kesulitan dalam hal menyesuaikan berbagai peran
yang dimiliki dalam waktu yang bersamaan. Misalnya, perintah pertama berasal
28
dari kode etik profesi akuntan, sedangkan perintah kedua berasal dari sistem
pengendalian yang berlaku diperusahaan (KAP). Apabila seorang professional
bertindak sesuai dengan kode etik, maka ia akan merasa berperan sebagai auditor
yang baik. Sebaliknya, apabila ia bertindak sesuai dengan prosedur yang
ditentukan perusahaan, maka ia akan merasa bertindak secara tidak professional.
Kondisi seperti inilah yang disebut konflik peran yaitu suatu konflik yang timbul
Karena mekanisme pengendalian birokratis organisasi tidak sesuai dengan norma,
aturan, etika, dan kemandirian professional.
2.5.2 Indikator Konflik Peran
Menurut Rizzo, House dan Lirtzman dalam Rimawati (2013), konflik
peran diukur menggunakan indikator-indikator sebagai berikut :
1. Sumber Daya Manusia
2. Mengesampingkan Aturan
3. Kegiatan yang Tidak Perlu
4. Arahan yang Tidak Jelas”
Dari indikator di atas, berikut ini akan dijelaskan kembali pengertian dari
masing-masing penyebab indikator konflik peran tersebut :
1. Sumber Daya Manusia
Melakukan suatu pekerjaan dengan cara yang berbeda-beda dan
menerima penugasan tanpa sumber daya manusia yang cukup untuk
menyelesaikannya.
29
2. Mengesampingkan Aturan
Mengesampingkan aturan agar dapat menyelesaikan tugas dan
menerima permintaan dua pihak atau lebih yang tidak sesuai satu sama lain.
3. Kegiatan yang Tidak Perlu
Melakukan pekerjaan yang cenderung diterima oleh satu pihak tetapi
tidak diterima oleh pihak lain dan melakukan kegiatan yang sebenarnya tidak
perlu.
4. Arahan yang Tidak Jelas
Bekerja di bawah arahan yang tidak pasti dan perintah yang tidak
jelas.
Berdasarkan indikator di atas maka dapat disimpulkan, konflik peran
muncul ketika perilaku peran yang ditampilkannya tidak sesuai dengan berbagai
pengharapan peran yang ia terima dari anggota kumpulan perannya (yaitu : pihak
atasan, rekan kerja, dan pihak bawahan).
Menurut Tugiman (2001), konflik peran dapat ditimbulkan dari hal-hal
sebagai berikut :
1. Koordinasi Arus Kerja
2. Kecukupan Wewenang
3. Kecukupan Komunikasi, dan
4. Kemampuan Adaptasi”
Dari beberapa penyebab konflik peran di atas, berikut ini akan dijelaskan
kembali pengertian dari masing-masing penyebab konflik peran tersebut.
30
1. Koordinasi Arus Kerja
Berkaitan dengan seberap baik berbagai aktivitas kerja yang saling
berhubungan dapat dikoordinasikan dan seberapa jauh individu memperoleh
informasi mengenai kemajuan tugasnya.
2. Kecukupan Wewenang
Berkaitan dengan sampai sejauh mana individu berwewenang
mengambil keputusan yang perlu dan untuk mengatasi masalah kerja.
3. Kecukupan Komunikasi
Berkaitan dengan derajat penyediaan informasi yang akurat dan tepat
waktu sesuai dengan kebutuhan.
4. Kemampuan Adaptasi
Kemampuan menangani perubaahn keadaan dengan baik dan tepat
waktu.
Dalam kegiatan pemeriksaan lapangan, seorang auditor memerlukan
prosedur dan aturan yang komprehensif, auditor senior berperan sangat penting
dalam mengawasi pekerjaan staf akuntan dan memberikan bantuan yang
diperlukan. Kelemahan pengawasan (Supervisi) oleh auditor senior akan
mengakibatkan staf akuntan harus mengerjakan tugasnya tanpa pedoman, hal
tersebut dapat mengakibatkan konflik peran, terutama antara tuntutan audit dan
tuntutan klien.
31
2.6 Ambiguitas Peran
2.6.1 Pengertian Ambiguitas Peran
Ketidakjelasan Peran (ambiguitas peran) termasuk dalam Roles Stres,
Ketidakjelasan peran (ambiguitas peran) adalah tidak adanya informasi yang
memadai yang diperlukan seseorang untuk menjalankan peranannya dengan cara
yang memuaskan (Kahn et al. dalam Rimawati, 2013). Pengertian ketidakjelasan
peran (role konflik) Schemerhorn (dalam Tugiman, 2005) menyatakan bahwa,
“Role ambiguities, yaitu ketidakjelasan peran dari seseorang karyawan untuk
melakukan apa yang harus dilakukan dalam sebuah pekerjaan dan tidak
mengetahui standar evaluasi pekerjaan yang akhirnya dapat menyebabkan stress”.
Menurut Bamber et al dalam Tugiman (2005) menyatakan bahwa :
“Ketidakjelasan peran adalah tidak adanya prediktabilitas hasil atau respon terhadap perilaku seseorang dan eksistensi atau kejelasan perilaku yang dibutuhkan. Hal ini seringkali dalam bentuk input dari lingkungan yang akan berfungsi untuk memadu perilaku dan memberikan pengetahuan, mana perilaku yang tepat atau tidak ada”.
Menurut Rebele dan Michaels dalam Rimawati (2013) menyatakan bahwa,
“Ketidakjelasan peran (ambiguitas peran) mengacu pada kurangnya kejelasan
mengenai harapan-harapan pekerjaan, metoda-metoda untuk memenuhi harapan-
harapan yang dikenal, dan/atau konsekuensi dari kinerja atau peran tertentu”.
Sedangkan menurut Tugiman (2005) menyatakan bahwa, “Ketidakjelasan adalah
tidak cukupnya informasi yang dimiliki serta tidak adanya arah dan kebijakan
yang jelas, ketidakpastian tentang otoritas, kewajiban yang jelas dan hubungan
lainnya”.
32
Dari beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Ketidakjelasan peran muncul karena tidak cukupnya informasi yang diperlukan
untuk menyelesaikan tugas-tugas atau pekerjaan yang diberikan dengan cara yang
memuaskan. Ketidakjelasan ini adalah akibat kekacauan yang terjadi dalam
pendelegasian tanggung jawab kerja. Banyak pekerjaan tidak mempunyai
deskripsi kerja tertulis dan ketika auditor diberitahu apa yang harus dilakukan,
instruksinya tidak jelas.
Bhakti (2011) mengatakan bahwa ambiguitas peran terjadi akibat job
description yang tidak ditulis atau dijelaskan dengan rinci serta tidak adanya
standar kerja yang jelas, sehingga ukuran kinerja karyawan yang baik
dipersepsikan secara kabur oleh karyawan. Menurut Sumrall & Sebastianelli
dalam (Tugiman, 2001) menyatakan bahwa penyebab lain munculnya ambiguitas
peran adalah komunikasi yang buruk antara karyawan dengan atasan atau dengan
rekan kerjanya, kurangnya pengawasan (supervisi) dari pihak manajemen dan
program pelatihan yang buruk. Ambiguitas peran muncul ketika ada harapan dari
pihak lain (misal, rekan kerja, atasan, pelanggan) yang dipersepsikan tidak jelas
(singh dalam Tugiman. 2001).
Ambiguitas peran menurut Luthan (dalam Bhakti, 2011) terjadi ketika
individu tidak memperoleh kejelasan mengenai tugas-tugas dari pekerjaannya atau
lebih umum dikatakan “tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan”. Job
description yang tidak jelas, perintah-perintah yang tidak lengkap dari atasan dan
tidak adanya pengalaman memberikan kontribusi terhadap ambiguitas peran.
Sedangkan Robbins (dalam Sukrisno, 2001) menyatakan bahwa ambiguitas peran
33
tercipta manakala ekspektasi peran tidak dipahami secara jelas dan karyawan
tidak yakin apa yang harus ia lakukan. Ambiguitas peran dirasakan seseorang jika
ia tidak memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak
mengerti atau merealisasikan harapan-harapan yang berkaitan dengan peran
tertentu.
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya ambiguitas peran menurut
Everly dan Giordano (dalam Maryati dan Arisudana, 2010) :
1. Ketidakjelasan dari sasaran-sasaran kerja
2. Kesamaran tentang tanggung jawab
3. Ketidakjelasan tentang prosedur kerja
4. Kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain
5. Kurang adanya balikan, atau ketidakpastian tentang unjuk kerja pekerjaan.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan ambiguitas peran adalah ketidakjelasan peran seseorang
dalam organisasi yang disebabkan oleh tidak adanya arahan yang jelas dari pihak
manajemen.
2.6.2 Indikator Ketidakjelasan Peran
Menurut Rizzo, House dan Lirtzman dalam Novitasari (2011),
ketidakjelasan peran diukur menggunakan indikator-indikator sebagai berikut :
1. Wewenang
2. Tanggung Jawab
3. Kejelasan Tujuan
4. Cakupan Pekerjaan
34
Dari indikator di atas, berikut ini akan dijelaskan kembali pengertian dari
masing-masing penyebab indikator ketidakjelasan peran tersebut :
1. Wewenang
Merasa pasti dengan seberapa besar wewenang yang dimiliki dan
mempunyai rencana yang jelas untuk pekerjaan.
2. Tanggung Jawab
Mempunyai tujuan yang jelas untuk pekerjaan dan mengetahui bahwa
perlunya membagi waktu dengan tepat.
3. Kejelasan Tujuan
Mengetahui apa yang menjadi tanggung jawab dan penjelasan tentang
apa yang harus dikerjakan adalah jelas.
4. Cakupan Pekerjaan
Mengetahui cakupan dari pekerjaan dan bagaimana kinerjanya
dievaluasi.
2.7 Pengaruh Konflik Peran terhadap Independensi Auditor internal
Konflik peran didefinisikan oleh Brief et al (dalam Amilin dan Dewi,
2008) sebagai “the incongruity of expectations associated with a role”. Jadi,
konflik peran adalah adanya ketidakcocokan antara harapan-harapan yang
berkaitan dengan suatu peran. Secara lebih spesifik, Leigh et al. (dalam Rimawati,
2013) menyatakan bahwa: “Role conflict is the result of an employee facing the
inconsistent Expectations of various parlies or personal needs, values, etc.”
Artinya, konflik peran merupakan hasil dari ketidakkonsistenan harapan-harapan
berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan antara tuntutan peran dengan
35
kebutuhan, nilai-nilai individu, dan sebagainya. Sebagai akibatnya, seseorang
yang mengalami konflik peran akan berada dalam suasana terombang-ambing,
terjepit, dan serba salah.
Konflik peran terjadi saat munculnya peran-peran yang saling
bertentangan yang harus dilakukan oleh individu sebagai anggota dalam sebuah
organisasi (Koo dan Sim, dalam Rimawati, 2013). Hal itu mengakibatkan individu
yang mengalami konflik peran tidak dapat membuat keputusan yang tepat
mengenai bagaimana peran-peran tersebut akan dilakukan dengan baik. Dalam
menjalankan tugasnya di auditor internal pasti berhubungan dengan bagian atau
individu yang lain. Hubungan tersebut kemungkinan besar mengakibatkan
terjadinya perbedaan-perbedaan yang mengarah pada konflik. Berdasarkan teori
konflik peran dan literatur audit internal, konflik peran yang berkaitan dengan
auditor internal dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: inter-role conflict, intra-sender
role conflict, dan personal role conflict (Tugiman, 2001).
Inter-role conflict timbul karena adanya permintaan peran yang terlalu
banyak, seperti konflik/pertentangan yang dialami auditor internal akibat
perbedaan permintaan dari organisasi dengan aturan standar profesi audit internal
(Tugiman, 2005).
Kompleksitas birokrasi dapat menyebabkan prosedur dan praktik kerja
perusahaan menyimpang dari standar praktik profesional. Oleh karena itu, dalam
lingkungan audit perusahaan terdapat kemungkinan yang besar bahwa auditor
internal menjalankan suatu hal yang dapat diterima oleh pegawai perusahaan
tetapi dilarang dalam profesi audit. Selain itu, peluang untuk mengabaikan standar
36
etika profesi dan menyetujui permintaan pegawai perusahaan akan mengakibatkan
menurunnya pelaporan tingkat pelanggaran, ketidakberesan, dan kelemahan
sistem pengendalian internal.
Auditor internal menjalankan dua peran dalam organisasi, yaitu: peran
audit dan peran jasa konsultasi. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya intra-
sender role conflict. Penelitian Causin dan Ardiani, (2013) menyimpulkan bahwa
pertentangan yang terjadi karena peran audit dan peran konsultasi pada auditor
internal merupakan subjek konflik. Dalam peran audit auditor internal harus
menjaga independensi dengan tidak mendasarkan pertimbangan auditnya pada
manajemen. Namun dalam peran jasa konsultasi manajemen, auditor internal
harus bekerja sama dan membantu manajemen, termasuk menerima pertimbangan
dari komite audit (Tugiman, 2005).
Auditor internal juga dapat mengalami personal role conflict, seperti
ketika diminta untuk berperan dalam berbagai cara yang tidak konsisten dengan
nilai-nilai pribadi mereka atau diharuskan bertindak melawan serta melaporkan
pelanggaran rekan kerja mereka. Menurut Arens, at al (2009), auditor internal
cenderung akan mengabaikan, melunak, atau menunda pelaporan temuan audit
yang berdampak negatif supaya tidak mempermalukan rekan kerja mereka.
Dengan demikian, personal role conflict mengindikasikan ketidaksesuaian antara
harapan manajemen dan nilai personal auditor internal (Tugiman, 2005). Hal ini
menyebabkan kemungkinan auditor diharuskan untuk melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan nilai-nilai atau keyakinan individu auditor intenal tersebut,
seperti melakukan perbuatan yang ilegal atau tidak etis.
37
2.8 Pengaruh Ambiguitas Peran terhadap Independensi Auditor internal
Agar dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik, para karyawan
memerlukan keterangan tertentu yang menyangkut hal-hal yang diharapkan untuk
mereka lakukan dan hal-hal yang tidak harus mereka lakukan. Karyawan perlu
mengetahui hak-hak, hak-hak istimewa dan kewajiban mereka. Ambiguitas peran
didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana informasi yang berkaitan dengan
suatu peran tertentu kurang atau tidak jelas (Kahn et al. dalam Sukrisno 2005)
menyatakan bahwa ambiguitas peran menunjukkan ambivalensi saat apa yang
diharapakan tidak jelas karena kekurangan informasi mengenai suatu peran dan
apa yang dibutuhkan dalam suatu tugas. Pegawai tidak mengetahui upaya apa
yang harus dilakukan dalam melaksanakan pekerjaan. Dalam suatu organisasi
sebaiknya memiliki keterangan yang jelas mengenai tugas dan tanggung jawab
yang diberikan penerima mandat. Dapat disimpulkan bahwa ambiguitas peran
dapat timbul pada lingkungan kerja saat seseorang kurang mendapat informasi
yang cukup mengenai kinerja yang efektif dari sebuah peran.
Tugiman (2001) mengembangkan enam dimensi dari ambiguitas peran
auditor internal sebagai berikut: (1) Pedoman (Guidelines); (2) Tugas (Tasks); (3)
Wewenang (Authority); (4) Tanggung Jawab (Responsibilities); (5) Standar
(Standards); (6) Waktu (Time). Oleh karena itu, adanya ambiguitas peran dalam
seluruh aspek diatas dapat mempengaruhi sikap dan persepsi auditor internal.
Dalam penelitian Schuller et al., Beehr et al., dan Babin (dalam Koustelios, 2007),
ditemukan bahwa ambiguitas peran mengakibatkan kepuasan kerja yang rendah,
absenteeism, low involvement, dan tekanan kerja. Ambiguitas peran dapat
38
menyebabkan auditor internal rentan terhadap ketidakpuasan kerja hingga
kejenuhan sehingga mengakibatkan turunnya independensi auditor internal.
2.9 Penelitian Terdahulu
Telah banyak penelitian yang mengkaji masalah yang berkaitan dengan
konflik peran, ambiguitas peran, dan komitmen idependensi. Berikut ini adalah
beberapa penelitian yang berkaitan dengan masalah tersebut dan telah
dipulikasikan dalam beberapa jurnal ilmiah.
Tabel 2.1.Penelitian Terdahulu
No TahunNama Peneliti &
SumberJudul Hasil
1. 2014 Ni Putu Intan Putri Saraswati, Anantawikrama Tungga Atmadja, Nyoman Ari Surya Darmawan Jurnal Akuntansi Universitas Pendidikan Ganesha, ISSN 2416-0164Vol. 10 No 1: 50-55
Pengaruh Tekanan Klien, Motivasi, dan Ambiguitas peran Terhadap Independensi
Auditor internal Perusahaan (Studi Empiris Pada Inspektorat Kota Denpasar Dan Kabupaten Gianyar)
Tekanan klien dan motiviasi auditor tidak berpengaruh secara signifikan terhadap independensi auditor. Sedangkan ambiguitas peran secara parsial berpengaruh terhadap independensi auditor
2. 2013 Nike Rimawatie-JurnalJurusan Akuntansi Program S1Universitas Pendidikan GaneshaSingaraja, IndonesiaISSN : 1744-5379Volume 2, No. 1 2014, 81 - 90
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Idenpendensi Auditor
Ambiguitas peran secara signifikan mempengaruhi idenpendensi auditor
3. 2013 Germana Causin dan Ardiani Ika SJurnal EkonisiaFakultas Ekonomi Universitas Jendral Soedirman
Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Independensi dan Kualitas Audit Auditor di Jawa Tengah
Faktor motivasi merupakan faktor internal yang mempengaruhi independensi auditor. Sedangkan konflik peran merupakan
39
(Unsoed), Purwokerto, IndonesiaISSN : 1443-1009,Vol. 8 No. 2: 23- 33
faktor eksternal yang mempengaruhi independensi auditor
4. 2011 Friska NovitasariJurnal SEIP Fakultas Ekonomi Universitas Jember IndonesiaISSN : 2113-1443,Vol. 2 No. 5
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Independensi Auditor
Konflik peran dan hubungan keluarga secara parsial berpengaruh signifikan terhadap independensi auditor
5. 2011 Septa Jangkung Waskita BhaktiJurnal EkonisiaFakultas Ekonomi Universitas Jendral Soedirman (Unsoed), Purwokerto, IndonesiaISSN : 1443-1009,Vol. 8 No. 2: 59-75
Pengaruh Kepuasan Kerja, Organisasi, Konflik Peran, dan Ambiguitas Peran terhadap Independensi Auditor (Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Semarang)
Kepuasan kerja, konflik peran dan ambiguitas peran berpengaruh terhadap independensi auditor. Sedangkan komitmen organisasi tidak berpengaruh terhadap independensi auditor
6. 2010 Siti Maryati dan Dicky Arisudana Jurnal SEIP Fakultas Ekonomi Universitas Jember IndonesiaISSN : 2127-1641,Vol. 3 No. 6
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Independensi Auditor (studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Jakarta
Idenpendensi auditor internal secara signifikan dipengaruhi oleh ambiguitas peran
2.10 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H1 : Konflik peran dan Ambiguitas peran secara parsial berpengaruh terhadap
independensi auditor internal.
H2 : Konflik dan Ambiguitas peran secara bersama-sama berpengaruh terhadap
independensi auditor internal.
40
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Objek Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang pengaruh konflik peran dan ambiguitas
peran terhadap independensi auditor internal di PT. Pelita Wira Sejahtera. Sesuai
dengan judul tersebut, maka objek penelitian ditinjau dari sisi variabel adalah
konflik peran, ambiguitas peran, dan independensi auditor. Sedangkan jika dilihat
dari sisi tempat, objek dalam penelitian ini adalah PT. Pelita Wira Sejahtera,
sedangkan waktu yang dipilih adalah tahun 2015.
3.2 Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer
merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber asli yang berkaitan dengan
variabel yang menjadi tujuan penelitian (Sekaran, 2006). Data primer ini meliputi
identitas responden dan juga informasi-informasi atau jawaban-jawaban yang
telah diberikan terhadap kuesioner yang telah disebarkan. Sumber data berasal
dari skor total yang diperoleh dari pengisian kuesioner yang telah diisi oleh staf
auditor PT. Pelita Wira Sejahtera.
3.3 Metode Penentuan Sampel Penelitian
Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah staf auditor PT. Pelita
Wira Sejahtera yang berjumlah 17 orang. Pengambilan sampel ditentukan dengan
metode sampling jenuh dengan tujuan untuk mendapatkan informasi dari individu
41
maupun kelompok dengan sasaran yang tepat. Menurut Uma Sekaran (2006)
pengambilan sampel dalam hal ini terbatas pada jenis orang tertentu yang dapat
memberikan informasi yang diinginkan. Adapun responden atau sampel penelitian
adalah auditor internal yang bertindak langsung melakukan pemeriksaan di
lingkungan Anak-anak Perusahaan PT. Pelita Wira Sejahtera, yaitu: Kepala
bagian Pengawasan dan Pengendalian serta seluruh staf auditor yang berjumlah 17
orang. Metode penelitian yang dipakai adalah survey. Data diperoleh dengan
menggunakan kuesioner yang disebar kepada staf auditor PT. Pelita Wira
Sejahtera yang merupakan responden atau sampel dalam penelitian ini.
Adapun sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1.Sampel Penelitian
No Jabatan dalam Tim Auditor Internal Jumlah (Orang)
1. Kepala Auditor 1
2. Pengendalian Mutu 3
3. Pengendalian Teknis 3
4. Ketua Tim 2
5. Anggota Tim 8
Jumlah 17
Sumber : (PT. Perlita Wira Sejahtera, 2014)
3.4 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan teknik
pengumpulan kuesioner, dimana pertanyaan yang sudah disusun oleh peneliti
dibagikan kepada responden yang bersangkutan untuk diisi. Kuesioner dibagi
menjadi 2 (dua) bagian utama yaitu: data tentang demografi responden dan
42
tentang item-item yang terkait dengan independensi, konflik peran, serta
ambiguitas peran.
Dalam pengumpulan data, ada beberapa tahapan yang dilakukan. Pertama
menghubungi pihak perusahan. Dalam hal ini ditanyakan apakah boleh dilakukan
penelitian pada lingkungan PT. Pelita Wira Sejahtera dan bila diperbolehkan
selanjutnya ditanyakan mengenai bagaimana prosedur pengajuan ijin penelitian.
Apabila pihak auditor telah memperbolehkan untuk mengajukan ijin penelitian
maka dilanjutkan ke tahap kedua, yaitu memasukkan surat ijin penelitian dari
fakultas. Tahap ketiga berupa pembagian kuesioner kepada para responden.
3.5 Metode Analisis
3.5.1 Uji Validitas dan Reliabilitas
Hadi (2010) menyebutkan bahwa jika menggunakan instrumen yang tidak
standar, maka diperlukan standarisasi melalui uji reliabilitas dan validitas. Uji
reliabilitas dan uji validitas tersebut digunakan untuk mengetahui konsistensi dan
akurasi data yang dikumpulkan dari penggunaan instrumen. Data yang tidak valid
dan tidak reliabel harus dibuang dan tidak dimasukkan dalam proses analisis data
selanjutnya. Sementara data yang telah dinyatakan reliabel dan valid dapat
digunakan untuk proses analisis data selanjutnya.
3.5.2 Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik dilakukan sebelum melakukan analisis regresi berganda.
Analisis regresi hanya dapat dilakukan apabila suatu model yang akan diuji telah
43
bebas dari asumsi klasik, yaitu: memiliki nilai residual yang terdistribusi normal,
serta bebas heteroskedastisitas, dan multikolinearitas.
3.5.3 Model Regresi Berganda
Untuk melihat bagaimana pengaruh dari variabel bebas (independent)
terhadap variabel tidak bebas (dependent) dalam penelitian ini, model analisis
yang digunakan adalah Model Regresi Linear Berganda, yang dirumuskan:
Y = a + b1X1 + b2X2 + ε
Keterangan:
Y = nilai estimasi independensi auditor internala = nilai Y pada perpotongan antara garis linear dengan sumbu vertikal Yb1 = nilai yang berhubungan dengan variabel X1
X1 = konflik peranb2 = nilai yang berhubungan dengan variabel X2
X2 = ambiguitas peranε = error of estimation (Hadi, 2010).
3.5.4 Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis untuk penelitian ini menggunakan analisis regresi
dengan menggunakan Software SPSS Statistics versi 17 di mana metode yang
dipilih adalah metode analisis regresi. Untuk mengetahui apakah suatu persamaan
regresi yang dihasilkan baik untuk mengestimasi nilai variabel dependen atau
tidak, dilakukan dengan melakukan Uji Koefisien Determinasi (R2), Uji
Signifikansi Simultan (Uji Statistik F), dan Uji Signifikansi Parameter Individual
(Uji Statistik t) (Ghozali, 2005).
Uji koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui besar
pengaruh variabel X terhadap variabel Y. Uji F digunakan untuk mengetahui
44
apakah variabel ambiguitas peran dan konflik peran secara bersama-sama
berpengaruh terhadap independensi auditor internal. Sedangkan uji t digunakan
untuk menguji apakah variabel ambiguitas peran berpengaruh terhadap
independensi auditor intenal. Demikian juga uji t digunakan untuk menguji
apakah variabel konflik peran berpengaruh terhadap independensi auditor intenal.
3.6 Definisi Operasional Variabel
Berikut ini adalah definisi operasional dari variabel-variabel yang diteliti:
Tabel 3.2.Definisi Operasional Variabel
Variabel Definisi Operasional Skala Ukur Alat Ukur
Independensi Auditor (Variabel Dependent)
Independensi auditor internal adalah adalah cara pandang tidak memihak di dalam pelaksanaan pengujian, evaluasi hasil pemeriksaan, penyusunan laporan audit dan menyediakan jasanya kepada perusahaan dimana auditor bekerja, terutama dalam bidang audit atas laporan keuangan yang dibuat kliennya (Mulyadi, 2012)
Ordinal Angket
Ambiguitas Peran (Variabel Independent)
Ambiguitas peran dirasakan jika auditor tidak memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti atau merealisasi harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu (Rimawati, 2013).
Ordinal Angket
Konflik Peran (Variabel Independent)
Konflik peran merupakan konflik yang terjadi akibat dari adanya tuntutan peranan yang melanggar nilai-nilai dasar, sikap, dan kebutuhan individu yang menduduki suatu posisi. Konflik itu terjadi karena individu secara simultan (berbarengan) menampilkan banyak peranan, beberapa di antaranya mempunyai harapan yang bertentangan (Tugiman, 2005 )
Ordinal Angket
45
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim, 2009, Auditing 2 Dasar-dasar Prosedur Pengauditan Laporan Keuangan, Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN.
Abdul Halim, 2009, Auditing 1 Dasar-dasar Audit Laporan Keuangan, Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN.
Agoes, Sukrisno. 2001. Internal Audit Departemen, Enterprises Risk Manajement, dan Good Corporate Governance,. Disajikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Ilmu Akuntansi, Salemba Empat.
Agoes, Sukrisno. 2005. Peranan Internal Audit Department, Enterprises Risk Management, dan Good Corporate Governance terhadap Pencegahan Fraud dan Implikasinya kepada Peningkatan Mutu Lulusan Perguruan Tinggi di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Agoes, Sukrisno. 2006. Auditing Pemeriksaan Akuntan oleh Kantor Akuntan Publik Jilid II. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Agoes, Sukrisno. 2009. Etika Bisnis dan Profesi, Jakarta: Salemba Empat.
Amilin dan Dewi. 2008. Manajemen Organisasi, Jakarta: Salemba Empat.
Arens, Alvin A., and Loebbecke, James K., 2009, Auditing An Integrated Approach, dialihbahasakan oleh Amir Abadi Jusuf, Auditing Pendekatan Terpadu, edisi revisi Indonesia, Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Arens, Alvin A., Randal J. Elder, Mark S. Beasley., 2009, Auditing dan Pelayanan Verifikasi: Pendekatan Terpadu, alih bahasa oleh Tim Dejakarta, edisi kesembilan, Jakarta: Indeks.
Echols, John M. & Hassan Shadily. 2010. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: P.T. Gramedia.
Friska Novitasari, 2011, Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Independensi Auditor Jurnal SEIP Fakultas Ekonomi Universitas Jember Indonesia ISSN : 2113-1443, Vol. 2 No. 5
Germana Causin dan Ardiani Ika S, 2013, Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Independensi dan Kualitas Audit Auditor di Jawa Tengah Jurnal Ekonisia Fakultas Ekonomi Universitas Jendral Soedirman Unsoed, Purwokerto, Indonesia ISSN : 1443-1009, Vol. 8 No. 2: 23- 33
Hadi, Sutrisno. 2010. Statistik Terapan. Edisi X. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hendry Simamora, 2013, Auditing 1, Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN.
49
Mautz dan Sharaf, 2007. Paradigma Baru Internal Auditor, Auditor, Jakarta, Edisi No. 05 Tahun 2012.
Moch. Nazir, 2009, Metodologi Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Mulyadi, Auditing, buku 1, 2012, edisi keenam Jakarta: Salemba Empat.
Mulyadi, Auditing, buku 2, 2012, edisi keenam Jakarta: Salemba Empat.
Ni Putu Intan Putri Saraswati, Anantawikrama Tungga Atmadja, Nyoman Ari Surya Darmawan, 2014, Pengaruh Tekanan Klien, Motivasi, dan Ambiguitas peran Terhadap Independensi Auditor internal Perusahaan Studi Empiris Pada Inspektorat Kota Denpasar Dan Kabupaten Gianyar Jurnal Akuntansi Universitas Pendidikan Ganesha, ISSN 2416-0164 Vol. 10 No 1: 50-55
Nike Rimawati, 2013, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Idenpendensi Auditor. e-Jurnal Jurusan Akuntansi Program S1 Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia ISSN : 1744-5379 Volume 2, No. 1 2014, 81 - 90
Sakaran, 2006, Dasar-dasar Internal Audit, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Sawyer, Dittenhofer, Scheiner. 2006. Sawyer’s Internal Auditing. Edisi 5. Salemba Empat, Jakarta.
Koustelios, 2007, Management, Edisi Keneam. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Septa Jangkung Waskita Bhakti, 2011, Pengaruh Kepuasan Kerja, Organisasi, Konflik Peran, dan Ambiguitas Peran terhadap Independensi Auditor Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Semarang Jurnal Ekonisia Fakultas Ekonomi Universitas Jendral Soedirman Unsoed, Purwokerto, Indonesia ISSN : 1443-1009, Vol. 8 No. 2: 59-75
Siti Maryati dan Dicky Arisudana, 2010, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Independensi Auditor studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Jakarta, Jurnal SEIP Fakultas Ekonomi Universitas Jember Indonesia ISSN : 2127-1641, Vol. 3 No. 6
Siusiana, Fani. 2012. Manfaat Pemeriksaan Operasional atas Gaji dalam Menurunkan Risiko Kecurangan pada Perusahaan. Pustaka Widyatama, Yogyakarta.
Soegiastuti, Janti. 2005. Kode Etik Auditor. Kanisius, Yogyakarta.
Standar Profesi Audit Internal. 2012. Standar Akuntansi Keuangan, Jakarta: Salemba Empat.
50
Standar Profesional Akuntan Publik Ikatan Akuntan Indonesia, 2001, Jakarta: Salemba.
Sunarto, 2009, Auditing, Panduan, Yogyakarta.
Tugiman, Hiro. 2001, Standar Profesional Audit Internal, Edisi Kelima, Yogyakarta : Kanisius anggota IKAPI.
Tugiman, Hiro. 2005. Pandangan Baru Internal Auditing. Jilid 5. Kanisius, Yogyakarta.
51
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian
KUESIONER PENELITIAN
Bagaimana pandangan bapak/ibu mengenai Ambiguitas Peran yang
selama ini terjadi di tempat kerja bapak/ibu. Jawablah dengan memberikan tanda
() pada pernyataan pernyataan berikut ini.
Keterangan Jawaban:
Sangat tidak benar : 1
Tidak Benar : 2
Ragu-ragu : 3
Benar : 4
Sangat Benar : 5
No PernyataanJawaban
1 2 3 4 5
1. Saya merasa ada kepastian mengenai berapa banyak kewenangan yang saya miliki di tempat kerja saya
2. Saya mempunyai tujuan dan sasaran yang jelas dan terencana untuk pekerjaan saya
3. Saya tahu bahwa saya telah mengalokasikan waktu saya secara tepat di tempat kerja saya
4. Saya tahu apa yang menjadi tanggung jawab saya di tempat kerja
5. Saya telah diberi penjelasan yang gamblang tentang apa yang harus dilakukan di tempat kerja
6. Saya mengetahui bagaimana kinerja saya dievaluasi
Sumber : Bhakti (2005)
52
KUESIONER PENELITIAN
Bagaimana pandangan bapak/ibu mengenai Konflik Peran yang selama
ini terjadi di tempat kerja bapak/ibu yang dilihat kesepakatan antara bapak/ibu
dengan pekerjaan. Jawablah dengan memberikan tanda () pada pernyataan
pernyataan berikut ini.
Keterangan Jawaban:
Sangat tidak setuju : 1
Tidak setuju : 2
Ragu-ragu : 3
Setuju : 4
Sangat setuju : 5
No PernyataanJawaban
1 2 3 4 5
1. Jumlah pekerjaan yang diperkirakan akan dilakukan dan jumlah yang sebenarnya yang akan dilakukan
2. Jumlah tugas yang anda harapkan untuk anda selesaikan dengan jumlah tugas yang benar-benar harus anda lakukan
3. Jumlah tugas non pekerjaan yang anda perkirakan untuk dilakukan dengan jumlah tugas non pekerjaan yang benar-benar anda lakukan
4. Jumlah waktu senggang yang diharapkan untuk dimiliki dengan jumlah waktu senggang yang benar-benar anda miliki.
5. Kepastian anda harus melapor kepada atasan anda
6. Kepastian andanya aturan dengan atasan untuk melakukan pekerjaan
7. Kepastian banyaknya tugas yang harus anda selesaikan
8. Kepastian banyaknya kewenangan yang anda miliki dalam membuat keputusan
9. Kepastian batasan tanggungjawab yang anda miliki
10. Kepastian aturan yang mengikat untuk semua anggota kelompok
11. Kejelasan pembagian wewenang
12. Kejelasan pembagian tugas
13. Kejelasan pembagian tanggungjawab
14. Beban kerja yang jelas
Sumber: Indrawan (2009), Wijaya (2013).
53
KUESIONER PENELITIAN
Bagaimana pandangan bapak/ibu mengenai Independensi Auditor
Internal yang selama ini terjadi di tempat kerja bapak/ibu yang dilihat
kesepakatan antara bapak/ibu dengan pekerjaan. Jawablah dengan memberikan
tanda () pada pernyataan pernyataan berikut ini.
Keterangan Jawaban:
Sangat tidak setuju : 1
Tidak setuju : 2
Ragu-ragu : 3
Setuju : 4
Sangat setuju : 5
No PernyataanJawaban
1 2 3 4 5
1. Penyusunan program audit bebas dari campur tangan pimpinan untuk menentukan, mengeliminasi atau memodifikasi bagian-bagian tertentu yang diperiksa
2. Pemeriksaan langsung dan bebas mengakses semua buku-buku, catatan-catatan, pejabat, serta sumber informasi lain yang berhubungan dengan kegiatan, kewajiban-kewajiban, dan sumber-sumber pendanaan
3. Pemeriksaan bebas dari kepentingan pribadi atau hubungan yang membatasi pemeriksaan pada kegiatan catatan, orang-orang tertentu yang seharusnya tercakup dalam pemeriksaan
4. Pelaporan bebas dari perasaan kewajiban untuk memodifikasi pengaruh fakta-fakta yang dilaporkan pada pihak tertentu
5. Pelaporan menghindari bahasa atau istilah-istilah yang mendua arti secara sengaja atau tidak dalam pelaporan fakta-fakta, pendapat, rekomendasi, serta dalam penafsirannya
6. Penyusunan program audit bebas dari campur tangan atau suatu sikap tidak mau bekerjasama mengenai penerapan prosedur yang dipilih
Sumber: Fardiansyah dan Purnima (2011)
54