Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

87
PENGARUH KONFLIK PERAN DAN AMBIGUITAS PERAN TERHADAP INDEPENDENSI AUDITOR INTERNAL (Studi Pada PT. Pelita Wira Sejahtera Jambi) PROPOSAL SKRIPSI HENI AFRIANTI C1C008075 1

description

proposal aud

Transcript of Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

Page 1: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

PENGARUH KONFLIK PERAN DAN AMBIGUITAS PERANTERHADAP INDEPENDENSI AUDITOR INTERNAL

(Studi Pada PT. Pelita Wira Sejahtera Jambi)

PROPOSAL SKRIPSI

HENI AFRIANTIC1C008075

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNISUNIVERSITAS JAMBI

2015

1

Page 2: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PROPOSAL...................................................... ii

KATA PENGANTAR........................................................................................ iii

DAFTAR ISI...................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang........................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian.................................................. 7

1.3 Tujuan Penelitian.................................................................... 8

1.4 Manfaat Penelitian.................................................................. 8

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Independensi........................................................................... 10

2.2. Auditor Internal...................................................................... 12

2.3 Independensi Auditor Internal................................................ 13

2.4 Teori Peran............................................................................. 26

2.5 Konflik Peran.......................................................................... 29

2.6 Ambiguitas Peran................................................................... 33

2.7 Pengaruh Konflik Peran terhadap Independensi Auditor

internal.................................................................................... 37

2.8 Pengaruh Ambiguitas Peran terhadap Independensi Auditor

internal.................................................................................... 39

2.9 Penelitian Terdahulu............................................................... 40

2.10 Hipotesis Penelitian................................................................ 41

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional........................ 43

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian.............................................. 43

3.3 Jenis dan Sumber Data........................................................... 43

3.4 Metode Pengumpulan Data.................................................... 44

3.5 Metode Analisis...................................................................... 45

3.6 Definisi Operasional............................................................... 46

1

Page 3: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 50

LAMPIRAN....................................................................................................... 52

2

Page 4: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tema tentang independensi dalam profesi auditor memiliki pemahaman

yang sangat penting dan mendalam demi tercapainya tujuan organisasi. Sorotan

masyarakat terhadap profesi auditor sangatlah besar sebagai dampak beberapa

skandal perusahaan besar dunia seperti Enron dan WorldCom (Verrechia, 2006

dalam Sukrisno, 2009). Sorotan tajam diarahkan pada perilaku auditor ketika

berhadapan dengan klien yang dipersepsikan gagal dalam menjalankan perannya

sebagai auditor independen.

Independensi adalah cara pandang yang tidak memihak di dalam

pelaksanaan pengujian, evaluasi hasil pemeriksaan, dan penyusunan laporan audit

perusahaan (Arens, et al., dalam Sukrisno, 2009). Dalam buku Standar Profesional

Akuntan Publik (2001) seksi 220 PSA No 04 Alinea 02 disebutkan bahwa auditor

harus bersikap independen, artinya tidak mudah dipengaruhi, karena ia

melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum (dibedakan dalam hal

berpraktik sebagai auditor intern). Dengan demikian, ia tidak dibenarkan memihak

kepada kepentingan siapapun, sebab bagaimanapun sempurnanya keahlian teknis

seorang auditor, jika ia kehilangan sikap tidak memihak, maka ia tidak dapat

mempertahankan kebebasan pendapatnya.

Dalam lingkup perusahaan, independensi auditor internal sangat

dibutuhkan untuk menjalankan fungsi pengawasan serta fungsi evaluasi terhadap

kecukupan dan efektivitas kerja sistem pengendalian manajemen yang

1

Page 5: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

diselenggarakan perusahaan. Auditor internal bertanggung jawab untuk dapat

mempertahankan independensinya dalam kondisi apapun, sehingga pendapat,

kesimpulan, pertimbangan, serta rekomendasi dari hasil pemeriksaan yang

dilakukan tidak memihak dan dipandang tidak memihak terhadap pihak manapun.

Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan Halim (2009), disebutkan bahwa

independensi akuntan sebagai perilaku profesional berpengaruh terhadap kualitas

opini audit yang diberikan oleh akuntan tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat

Mautz dan Sharaf (2007) yang mengatakan bahwa jika akuntan tidak independen

terhadap kliennya, maka opininya tidak akan memberikan tambahan apapun.

Menurut Tugiman (dalam Sukrisno, 2009), independensi auditor biasanya

berkaitan dengan abiguitas peran. Kahn et al (dalam Sukrisno, 2006)

mendefinisikan ambiguitas peran sebagai suatu keadaan di mana informasi yang

berkaitan dengan suatu peran tertentu kurang atau tidak jelas. Kedudukan dasar

dari peran auditor internal tersebut dapat menciptakan sebuah tantangan bagi para

auditor untuk menjaga independensinya.

Kondisi yang kompleks dan perubahan dalam lingkungan operasional

auditor internal, termasuk kompleksitas dan perubahan peraturan dan teknologi,

dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya ambiguitas peran Simamora (2013).

Sawyer dan Dittenhofer (dalam Simamora, 2013) juga menjelaskan penyebab

terjadinya ambiguitas peran dalam lingkungan auditor internal adalah bahwa

auditor internal mungkin melakukan investigasi internal dengan kondisi proses

operasional yang belum dikenali, kompleks, dan semakin meluas.

2

Page 6: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

Ambiguitas peran mengurangi tingkat kepastian apakah informasi yang

diperoleh dalam pemeriksaan telah objektif dan relevan. Ambiguitas peran dapat

menyebabkan auditor internal mengalami tekanan (Schuller et al. dalam Sukrisno,

2009). Penjelasan di atas menegaskan bahwa, ambiguitas peran dapat mengurangi

kemampuan auditor internal untuk tetap bersikap independen.

Peran auditor internal seringkali mengandung konflik. Hal tersebut

diungkapkan oleh Mohr dan Puck (dalam Halim, 2009) dengan menyebutkan

bahwa, konflik peran merupakan suatu pikiran, pengalaman, atau persepsi dari

pemegang peran yang diakibatkan oleh terjadinya dua atau lebih harapan peran

secara bersamaan, sehingga timbul kesulitan untuk melakukan kedua peran

tersebut dengan baik dalam waktu yang bersamaan. Konflik peran dalam

lingkungan auditor internal dapat berasal dari pertentangan yang berasal dari

peran dalam melakukan audit dan peran dalam memberikan jasa konsultasi.

Auditor internal harus menjaga independensi dengan tidak mendasarkan

pertimbangan auditnya pada objek pemeriksaan. Namun dalam peran konsultasi,

auditor internal harus bekerja sama dan membantu objek pemeriksaan (Tugiman,

dalam Halim, 2009). Konflik peran yang dijumpai oleh auditor internal

berhubungan dengan kedudukan auditor internal itu sendiri dalam organisasi

profesinya. Dengan demikian, konflik peran yang dialami oleh auditor internal

mungkin mengakibatkan auditor rentan terhadap tekanan dari objek pemeriksaan.

Hal tersebut mengakibatkan rusaknya independensi auditor internal (Koo dan

Sim, dalam Sukrisno, 2009).

3

Page 7: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

Penelitian mengenai pengaruh ambiguitas peran terhadap auditor internal

pernah dilakukan sebelumnya oleh beberapa peneliti, seperti yang dilakukan oleh

Saraswati, dkk. (2014) dengan judul pengaruh tekanan klien, motivasi, dan

ambiguitas peran terhadap independensi auditor internal perusahaan (studi empiris

pada Inspektorat Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar). Dalam penelitian

tersebut disimpulkan bahwa tekanan klien dan motiviasi auditor tidak

berpengaruh terhadap independensi auditor. Sedangkan ambiguitas peran secara

parsial berpengaruh terhadap independensi auditor.

Penelitian ini adalah merupakan replikasi penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Saraswati, dkk. (2014). Hasil penelitian ini menyatakan bahwa

dari tiga variabel yang diteliti hanya satu variabel yang mempengaruhi

independensi auditor. Oleh karena itu, penulis mereplikasi penelitian tersebut

dengan mengambil dan menguji kembali satu variabel yang mempengaruhi

independensi auditor, yaitu variabel ambiguitas peran. Selanjutnya, sesuai dengan

saran peneliti bagi penelitian selanjutnya yaitu perlunya dilakukan kajian pada

pihak perusahaan swasta sebagai upaya untuk melengkapi informasi yang telah

ada, yaitu Auditor Internal yang ada di PT. Pelita Wira Sejahtera. Kemudian pada

saran yang kedua disebutkan bahwa perlu dilakukan pengujian variabel

independensi auditor secara lebih jauh dengan menggunakan variabel yang lain

seperti konflik peran agar secara empiris dan ilmiah lebih banyak diketahui faktor-

faktor yang mempengaruhi independensi auditor.

Pemilihan PT. Pelita Wira Sejahtera sebagai tempat atau objek penelitian

didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu perusahaan tersebut merupakan

4

Page 8: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

perusahaan yang dikelola oleh keluarga sehingga memungkinkan adanya banyak

tekanan dalam proses audit yang dilakukan oleh tim auditor perusahaan tersebut.

Alasan kedua adalah, karena PT. Pelita Wira Sejahtera merupakan induk dari

beberapa perusahaan besar yang ada di Provinsi Jambi dimana perusahaan ini

membawahi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang kegiatan usaha,

seperti CV. Damai Sejahtera, CV. Perintis Lintas, LTd, CV. Pelita Lestari, CV.

KSA, dan CV. Aneka Pangan Makmur. Proses audit pada semua anak perusahaan

dari PT. Pelita Wira Sejahtera dilakukan oleh Divisi Pengawasan dan

Pengendalian yang dipimpin oleh seorang Kepala Divisi dan dibantu oleh 17 staf

auditor.

Menurut Kepala Divisi Pengawasan dan Pengendalian PT. Pelita Wira

Sejahtera masalah yang utama dalam proses audit adalah pekerjaan audit yang

sangat banyak tetapi sumber daya manusia sangat terbatas. Kondisi ini seringkali

menyebabkan anggota tim audit memiliki dua atau lebih pekerjaan yang berbeda.

Di satu sisi, seorang auditor pada suatu tim audit berperan sebagai, sementara

ketika auditor tersebut berada pada tim audit yang lain, berperan sebagai anggota.

Selain itu, tim auditor internal juga seringkali harus menangani kasus-kasus yang

berbeda yang sebenarnya tidak sesuai dengan bidang keahliannya, seperti pada

satu sisi tim auditor harus menangani audit perusahaan yang bergerak dibidang

jasa, sedangkan pada sisi lain tim tersebut juga harus melakukan audit perusahaan

yang bergerak dibidang produksi. Konflik peran yang terjadi di PT. Pelita Wira

Sejahtera juga berkaitan dengan masalah perusahaan keluarga. Diketahui bahwa

PT. Pelita Wira Sejahtera merupakan perusahaan keluarga, auditor internal yang

5

Page 9: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

bekerja di perusahaan tersebut juga masih memiliki hubungan saudara, keadaan

ini akan menyebabkan timbulnya konflik peran dalam diri auditor, di satu sisi

auditor harus berkerja secara profesional, tetapi di sisi lain seringkali auditor harus

berperan sebagai saudara dari pemilik perusahaan.

Permasalahan yang terjadi di PT. Pelita Wira Sejahtera sebagaimana

dijelaskan di atas, memiliki kemungkinan besar berkaitan erat dengan ambiguitas

peran dan konflik peran. Sehingga dalam penelitian ini dilakukan pengkajian

terhadap kedua masalah tersebut. Namun demikian, sebagaimana telah disebutkan

di atas, bahwa penelitian ini merupakan penelitian replikasi, sehingga untuk

membedakan dengan penelitian sebelumnya perlu dikemukakan perbedaan-

perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan mendasar dari

penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang pertama adalah terletak pada

pemilihan variabel independen. Dalam penelitian utama ada tiga variabel bebas

yang diteliti, yaitu tekanan klien, ambiguitas peran, dan motivasi. Sedangkan

untuk penelitian ini penulis hanya mengambil satu variabel bebas yang terdapat

dalam penelitian sebelumnya, yaitu ambiguitas peran. Pemilihan ambiguitas peran

sebagai variabel yang diteliti kembali, karena berdasarkan hasil penelitian

sebelumnya variabel inilah yang memberikan pengaruh, sedangkan untuk variabel

tekanan klien dan motivasi tidak berpengaruh.

Penelitian ini tidak hanya menguji satu variabel bebas, melainkan dua

variabel bebas. Selain variabel ambiguitas peran, penulis juga menambahkan satu

variabel lain sesuai dengan saran yang diberikan oleh peneliti dalam penelitian

yang direplikasi, yaitu variabel konflik peran. Pemilihan variabel konflik peran

6

Page 10: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

sebagai variabel bebas kedua ini didasarkan pada hasil penelitian Bhakti (2011)

menyebutkan bahwa penurunan konflik peran akan meningkatkan independensi

auditor, karena rendahnya konflik peran akan menciptakan kondisi positif pada

hubungan antar bagian, tanggungjawab atas tugas dan wewenang setiap bagian,

dan akan terbentuk kondisi yang harmonis saling menghormati dan saling

mendukung untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan.

Perbedaan selanjutnya adalah pada fokus penelitian, pada penelitian ini

menguji kembali variabel-variabel tersebut dengan menggunakan instrumen

pengukuran independensi yang sama, namun dalam lingkup kerja yang berbeda,

yaitu auditor internal perusahaan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengembangkan ukuran-ukuran konsep independensi, konflik peran, dan

ambiguitas peran dalam lingkup kerja auditor internal Perusahaan, dengan maksud

untuk memberikan bukti empiris mengenai pengaruh konflik peran dan

ambiguitas peran beserta dimensinya terhadap independensi auditor internal

perusahaan.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Apakah konflik peran berpengaruh terhadap independensi auditor internal

pada PT. Pelita Wira Sejahtera?

2. Apakah ambiguitas peran berpengaruh terhadap independensi auditor internal

pada PT. Pelita Wira Sejahtera?

7

Page 11: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

3. Apakah konflik peran dan ambiguitas peran secara bersama-sama

berpengaruh terhadap independensi auditor internal pada PT. Pelita Wira

Sejahtera?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui pengaruh konflik peran terhadap independensi auditor

internal pada PT. Pelita Wira Sejahtera.

2. Untuk mengetahui pengaruh ambiguitas peran terhadap independensi auditor

internal pada PT. Pelita Wira Sejahtera.

3. Untuk mengetahui pengaruh konflik peran dan ambiguitas peran terhadap

independensi auditor internal pada PT. Pelita Wira Sejahtera.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti

empiris mengenai bagaimana pengaruh konflik peran dan ambiguitas peran

terhadap independensi auditor internal suatu perusahaan.

2. Secara praktisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan

untuk memperbaiki kinerja para auditor internalnya. Diharapkan Anak-anak

perusahaan PT. Pelita Wira Sejahtera dapat menciptakan lingkungan yang

kondusif dan terhindar dari benturan-benturan kepentingan yang dapat

mempengaruhi independensi auditor internal.

8

Page 12: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Independensi

Kata independensi merupakan terjemahan dari kata ”independence” yang

berasal dari Bahasa Inggris. Dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary

of Current English terdapat entri kata “independence” yang artinya “dalam

keadaan independen”. Adapun entri kata “independent” bermakna “tidak

tergantung atau dikendalikan oleh (orang lain atau benda); tidak mendasarkan diri

pada orang lain; bertindak atau berfikir sesuai dengan kehendak hati; bebas dari

pengendalian orang lain” (Echols dan Shadily, 2010).

Menurut Mulyadi (2012) “Independensi berarti bersikap bebas dari

pengaruh pihak lain, tidak tergantung pada pihak lain dan jujur dalam

mempertimbangkan fakta serta adanya pertimbangan yang objective dalam

merumuskan dan menyatakan pendapatnya.”

Pengertian independensi di atas dapat dipahami bahwa independensi

berarti tidak memihak, bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan. Dalam makna

yang lebih sempit independensi berarti bersikap obyektif sesuai dengan apa

adanya, jika sesuatu itu bernilai baik maka akan dinyatakan baik, demikian

sebaliknya jika buruk maka akan dikatakan buruk.

Independensi pada dasarnya diwujudkan dalam sikap. Hal tersebut dapat

dijelaskan dalam teori sikap dan perilaku. Menurut Soegiastuti (2005:57), teori

Teori sikap dan perilaku dipandang sebagai teori yang dapat mendasari untuk

menjelaskan independensi. Teori tersebut menyatakan, bahwa perilaku ditentukan

9

Page 13: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

untuk apa orang-orang ingin lakukan (sikap), apa yang mereka pikirkan akan

mereka lakukan (aturan-aturan sosial), apa yang mereka bisa lakukan (kebiasaan)

dan dengan konsekuensi perilaku yang mereka pikirkan. Sikap menyangkut

komponen kognitif berkaitan dengan keyakinan, sedangkan komponen sikap

afektif memiliki konotasi suka atau tidak suka.

Sikap adalah pernyataan evaluatif mengenai seluruh tendensi tindakan,

baik yang menguntungkan atau tidak menguntungkan mengenai obyek, orang atau

peristiwa. Sikap merupakan kecenderungan dalam merespon sesuatu. Sikap

bukanlah perilaku, namun sikap menghadirkan suatu kesiapsiagaan untuk

tindakan yang mengarah pada perilaku, sehingga sikap merupakan wahana dalam

membimbing perilaku. Fenomena sikap timbulnya tidak saja ditentukan oleh

keadaan obyek yang sedang dihadapi, tetapi juga oleh kaitanya dengan

pengalaman-pengalaman, oleh situasi pada saat ini, dan oleh harapan untuk masa

yang akan datang (Soegiastuti, 2005:58).

Sikap memiliki fungsi: pemahaman, kebutuhan akan kepuasan, defensi ego

dan ungkapan nilai. Pemahaman berfungsi membantu seseorang dalam

memberikan maksud atau memahami situasi atau peristiwa baru. Sikap juga

melayani suatu hal yang bermanfaat atau sebagai fungsi kebutuhan yang

memuaskan. Sikap juga melayani fungsi defensif ego dengan melakukan

pengembangan guna melindungi manusia dari pengetahuan yang berlandaskan

kebenaran mengenai dasar manusia itu sendiri atau dunianya, dan akhirnya sikap

juga melayani fungsi nilai ekpresi untuk mencapai kepuasan (Soegiastuti,

2005:58).

10

Page 14: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa independensi

berarti bersikap bebas, tidak tergantung pada pihak lain, bersifat objektif dalam

menilai dan mengambil keputusan, dan jujur dalam memberikan penilaian dan

pernyataan sesuai dengan data-data dan fakta-fakta yang ada.

2.2. Auditor Internal

Menurut Sukisno (2005) "Auditor adalah orang yang melakukan kegiatan

audit." Sedangkan audit menurut Arens, at al (2009) adalah proses pengumpulan

dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat

kesesuaian antar informasi itu dengan kriteria yang telah ditetapkan.

Konsep di atas juga dipertegas oleh Tugiman (2001) yang menyatakan

bahwa audit atau auditing adalah suatu proses sistematis untuk mendapatkan dan

mengevaluasi bukti yang berhubungan dengan asersi tentang tindakan-tindakan

dan kejadian-kejadian ekonomi secara objektif untuk menentukan tingkat

kesesuaian antara asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan dan

mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Sesuai dengan konsep di atas maka dapat dipahami bahwa auditor adalah

orang yang melakukan proses sistematis untuk mendapatkan dan mengevaluasi

bukti yang berhubungan dengan bagian-bagian dari suatu tindakan-tindakan dan

kejadian-kejadian ekonomi secara objektif untuk menentukan tingkat kesesuaian

antara bagian tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan dan

mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Auditor internal bekerja di suatu perusahaan untuk melakukan audit bagi

kepentingan pihak manajemen. Tugas yang diberikan kepada auditor internal

11

Page 15: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

bermacam-macam, tergantung dari perintah dari atasannya. Dalam menjalankan

tugasnya seorang auditor internal harus berada diluar fungsi lini suatu organisasi.

Seorang auditor internal wajib memberikan informasi yang penting bagi pihak

manajemen yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan yang berkaitan

dengan operasi suatu perusahaan. Independensi merupakan suatu syarat yang

penting yang harus dimiliki oleh tiap auditor dengan tujuan agar dapat menilai

kewajaran suatu informasi yang disajikan manajemen untuk para pemakai

informasi yang terdiri dari pemakai internal dan eksternal.

2.3 Independensi Auditor Internal

Arens, et al (2009) mendefinisikan independensi dalam pengauditan

sebagai "Penggunaan cara pandang yang tidak bias dalam pelaksanaan pengujian

audit, evaluasi hasil pengujian tersebut, dan pelaporan hasil temuan audit".

Sedangkan Mulyadi (2012) mendefinisikan independensi sebagai "keadaan bebas

dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang

lain" dan akuntan publik yang independen haruslah akuntan publik yang tidak

terpengaruh dan tidak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan yang berasal dari luar

diri akuntan dalam mempertimbangkan fakta yang dijumpainya dalam

pemeriksaan.

Independen berarti auditor tidak dapat dipengaruhi. Auditor internal tidak

dibenarkan memihak kepentingan siapapun. Auditor internal berkewajiban untuk

jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga pada

kreditor dan pihak lain yaitu masyarakat dan pengguna laporan keuangan yang

lainnya yang meletakkan kepercayaan pada pekerjaan internal auditor. Jika

12

Page 16: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

seorang auditor internal tidak dapat bersikap independen, maka akan sulit dalam

upaya mencegah dan mendeteksi terjadinya fraud di perusahaan. Oleh sebab itu,

profesi auditor internal akan sangat sensitif terhadap masalah independensi.

Dengan demikian sikap independensi sangat dibutuhkan agar laporan keuangan

yang disajikan oleh manajer dapat berkualitas dan berkredibilitas dalam mencegah

dan mendeteksi terjadinya fraud yang ada.

Teori sikap dan perilaku ini dapat menjelaskan independensi auditor dalam

penampilan. Seorang auditor yang memiliki sikap independen akan berperilaku

independen dalam penampilanya, artinya seorang auditor dalam menjalankan

tugasnya tidak dibenarkan memihak terhadap kepentingan siapapun. Auditor

mempunyai kewajiban untuk bersikap jujur baik kepada pihak manajemen

maupun pihak-pihak lain seperti pemilik, kreditor, investor. Kebanyakan literatur

independensi auditor menyarankan bahwa kredibilitas laporan keuangan

tergantung pada persepsi audit independen dari seorang auditor eksternal oleh

pengguna laporan keuangan. Studi yang dilakukan oleh Firth dalam Mulyadi

(2012), misalnya mengemukakan alasan bahwa, jika auditor terlihat tidak

independen, maka pengguna laporan keuangan semakin tidak percaya atas laporan

keuangan yang dihasilkan auditor dan opini auditor tentang laporan keuangan

perusahaan yang diperiksa menjadi tidak ada nilainya. Kredibilitas seorang

auditor tergantung tidak hanya pada independensi dalam fakta, tetapi juga

tergantung pada independensi dalam persepsi/penampilan, guna menjaga dan

mempertahankan kepercayaan publik akan profesinya sebagai auditor. Studi ini

berfokus pada independensi berdasarkan persepsi.

13

Page 17: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

Mayoritas studi empiris yang ada tentang persepsi independensi auditor

memfokuskan pada pengidentifikasian faktor-faktor yang berpotensi

mempengaruhi independensi dan menilai dampaknya terhadap independensi

dalam persepsi, karena independensi aktual tidak mudah untuk diobsevasi.

Beberapa studi mencoba untuk menemukan hubungan antara faktor-faktor

tersebut dengan independensi auditor, apakah berhubungan atau tidak, apakah

berhubungan secara positif atau secara negatif (Pany dan Reckers, dalam Mulyadi,

2012).

Auditing memiliki tujuan utama untuk memberi pendapat atau opini atas

wajar tidaknya laporan keuangan yang disajikan oleh klien agar bisa dijadikan

acuan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk melakukan keputusan

ekonomi. Dalam melakukan audit untuk menjaga dan meningkatkan profesinya,

seorang akuntan publik diharuskan untuk selalu bersikap independen dalam arti

dalam menjalankan tugasnya seorang akuntan publik tidak boleh memihak kepada

siapapun, bersikap obyektif dan jujur.

Sejalan dengan Arens, at al (2009) menguraikan independensi berarti sikap

mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak

tergantung pada orang lain. Independensi juga dapat diartikan adanya kejujuran

dalam diri auditor dalam memertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang

obyektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan

pendapatnya. Menyinggung independensi dalam sikap mental (Independence in

fact) bertumpukan pada kejujuran, obyektivitas, sedangkan independensi dalam

penampilan diartikan sebagai sikap hati-hati seorang akuntan agar tidak diragukan

14

Page 18: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

kejujurannya. Kondisi di lapangan, auditor seringkali menemui kesulitan dalam

mempertahankan sikap mental independen. Keadaan yang seringkali mengganggu

sikap mental independen auditor adalah : karena ia dibayar oleh klien atas jasanya,

sebagai penjual jasa, auditor sering mempunyai kecenderungan untuk memuaskan

keinginan klien dan mempertahankan sikap independen seringkali dapat

menyebabkan hilangnya klien.

Masalah independensi sebenarnya bukanlah monopoli akuntan publik

Indonesia, melainkan sudah merupakan masalah internasional. Internasional

Federation of Accountans telah mengeluarkan exposure draft yang membahas

masalah independensi ini (Media Akuntansi, Juni 2000). Tidak sekedar

independensi dalam sikap mental dan penampilan saja, tetapi juga mencakup

mutu, integritas, obyektivitas dan sikap kehati-hatian akuntan publik.

Independensi dalam penampilan akuntan publik dianggap rusak jika ia

mengetahui atau patut mengetahui keadaan atau hubungan yang mungkin

mengkompromikan independensinya. Menurut Sukrisno (2006) ada empat jenis

risiko yang dapat merusak independensi akuntan publik , yaitu :

a. Self interest risk, yang terjadi apabila akuntan publik menerima manfaat dari

keterlibatan keuangan klien.

b. Self review risk, yang terjadi apabila akuntan publik melaksanakan penugasan

pemberian jasa keyakinan yang menyangkut keputusan yang dibuat untuk

kepentingan klien atau melaksanakan jasa lain yang mengarah pada produk

atau pertimbangan yang mempengaruhi informasi yang menjadi pokok

bahasan dalam penugasan pemberian jasa keyakinan.

15

Page 19: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

c. Advocacy risk, yang terjadi apabila tindakan akuntan publik menjadi terlalu

erat kaitanya dengan kepentingan klien.

d. Client influence risk, yang terjadi apabila akuntan publik mempunyai

hubungan erat yang kontinyu dengan klien, termasuk hubungan pribadi yang

dapat mengakibatkan intimidasi oleh atau keramahtamahan (familiarity) yang

berlebihan dengan klien.

Kualitas auditing sangat bergantung pada persepsi publik akan

independensi yang dimiliki auditor, independensi ini mengandung makna

mengambil sudut pandang yang tidak bias dalam melakukan ujian audit,

mengevaluasi hasilnya dan membuat laporan audit. Bila auditor sebagai penasehat

kliennya, seorang bankir atau lainnya, maka auditor tidak bisa dianggap sebagai

karakteristik auditor yang paling kritis. Hal ini didasari bahwa banyak pemakai

berbeda yang bergantung pada laporan akuntan publik untuk kewajaran dari

laporan keuangan adalah harapan dari sudut pandang yang tidak bias. Oleh karena

itu adalah suatu yang tidak mengherankan jika independensi merupakan hal

sangat diutamakan dalam auditing.

Mempertahankan perilaku independen bagi auditor dalam memenuhi

tanggung jawab mereka adalah sangat penting, namun yang lebih penting lagi

adalah bahwa pemakai laporan keuangan memiliki kepercayaan atas independensi

itu sendiri. Berubahnya lingkungan audit telah menimbulkan kebutuhan akan

perubahan yang cukup besar persyaratan independensi.

Arens, at al (2009) menyatakan independensi merupakan tujuan yang

harus selalu diupayakan, dan itu dapat dicapai sampai tingkat tertentu, misalnya

16

Page 20: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

sekalipun auditor dibayar oleh klien, ia harus tetap memiliki kebebasan yang

cukup untuk melakukan audit yang andal. Sedangkan Ralph Estes menyatakan

pendapat mengenai independensi adalah sebagai kondisi keterbukaan, netral dan

tidak bias, untuk atau terhadap pihak lain.

Menurut Causin dan Ardiani (2013) Independensi auditor diperlukan

karena auditor sering disebut pihak pertama dan memegang peran utama dalam

pelaksanaan audit kinerja. Hal ini karena auditor dapat mengakses informasi

keuangan dan informasi manajemen dari organisasi yang diaudit, memiliki

kemampuan profesional dan bersifat independen. Walaupun pada kenyataannya

prinsip independen ini sulit untuk benar-benar dilaksanakan secara mutlak, antara

auditor dan auditee harus berusaha menjaga independensi tersebut sehingga tujuan

audit dapat tercapai. Independensi auditor merupakan salah satu dasar dalam

konsep teori auditing. Auditor internal yang profesional harus memiliki

independensi untuk memenuhi kewajiban profesionalismenya; memberikan opini

yang objektif, tidak bias; dan tidak dibatasi; dan melaporkan masalah apa adanya;

bukan melaporkan sesuai keinginan eksekutif atau lembaga (Sawyer, 2006).

Adapun pengertian dari independensi selalu dihubungkan dengan

objektifitas dalam internal auditor seperti yang dijelaskan oleh IIA dalam Arens,

at al (2009) sebagai berikut:

“Objectivity ia a mental attitude which internal auditors should maintain while performing engangements. The internal auditors should have an impartial, un-biased attitude and avoid conflict of interest situations, as that would prejudice his/her desired characteristic of the environment in which the assurance services are performed by the individual or team; i.e., it is desirable for the individual or team to be free from material conflicts of interest that threaten objectivity”. Objektifitas adalah

17

Page 21: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

sikap mental yang harus dimiliki oleh auditor internal dalam melaksanakan pekerjaannya. Auditor internal harus bersikap tidak memihak, berperilaku yang tidak bias dan menghindari situasi konflik kepentingan yang akan membuat auditor internal dapat melaksanakan penilaian yang sesuai dengan kenyataan. Independensi merupakan karakteristik yang diperoleh dari lingkungan sekitar dalam pelaksanaan assurance service yang dilakukan oleh satuan kerja dalam tim maupun individu yang harus bebas dari konflik kepentingan yang dapat mengancam penilaian yang objektif auditor internal.

Buku Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP, 2001) seksi 220 PSA No.04

alinea 2, dijelaskan bahwa: “Independensi berarti tidak mudah dipengaruhi,

karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum.” Dengan

demikian, ia tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan siapapun meskipun ia

bekerja atau mengabdi pada perusahaan, sebab bilamana tidak demikian halnya,

bagaimanapun sempurnanya keahlian teknis yang ia miliki, maka dengan otomatis

ia akan kehilangan sikap independensi yang justru paling penting untuk

mempertahankan kebebasan pendapatnya. Berbagai definisi independensi telah

disampaikan oleh para ahli dapat disimpulkan, sebagai berikut:

1. Independensi merupakan syarat yang sangat penting bagi profesi auditor

untuk menilai kewajaran informasi yang disajikan oleh manajemen kepada

pemakai laporan keuangan.

2. Independensi diperlukan oleh auditor untuk memperoleh kepercayaan dari

klien maupun dari masyarakat, khususnya bagi para pemakai laporan

keuangan.

3. Independensi diperlukan agar dapat kreadibilitas laporan keuangan yang

disajikan oleh pihak manajemen.

18

Page 22: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

Dimensi atau indikator dari pelaksanaan independensi auditor internal

(Sukrisno, 2006) adalah sebagai berikut:

1. Kemandirian Auditor

Kemandirian para pemeriksa internal dapat memberikan penilaian-

penilaian yang tidak memihak dan tanpa prasangka, yang mana sangat

diperlukan atau penting bagi pemeriksaan sebagaimana mestinya. Hal ini

dapat diperoleh melalui status organisasi dan sikap objektifitas dari para

pemeriksa internal (auditor internal).

a. Kemandirian Auditor Dilihat Dari Status Organisasi.

Kemandirian auditor dilihat dari status organisasi adalah bahwa

status organisasi dari bagian internal audit haruslah memberikan

keleluasaan untuk memenuhi atau menyelesaikan tanggung jawab

pemeriksaan yang diberikan kepadanya. Internal audit haruslah

mendapat dukungan dari manajemen senior dan dewan, sehingga mereka

akan mendapatkan suatu kerja sama dari pihak yang diperiksa dan dapat

menyelesaikan pekerjaannya secara bebas dari berbagai campur tangan

pihak lain.

b. Kemandirian Auditor Dilihat Dari Sikap Objektifitas.

Kemandirian auditor dilihat dari sikap objektifitas adalah sikap

mental yang bebas dan yang harus dimiliki oleh pemeriksa internal

(auditor internal) dalam melaksanakan pemeriksaan. Auditor internal

tidak boleh menempatkan penilaian sehubungan dengan pemeriksaan

yang dilakukan secara lebih rendah dibandingkan dengan penilaian yang

19

Page 23: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

dilakukan oleh pihak lain atau menilai sesuatu berdasarkan hasil

penilaian orang lain. Bukan hanya penting bagi auditor internal untuk

memelihara sikap mental independen dan tanggung jawab mereka, akan

tetapi penting juga bahwa pemakai laporan keuangan menaruh

kepercayaan terhadap independensi tersebut.

2. Independensi dalam Kenyataan (Independence In Fact)

Independensi dalam kenyataan adalah apabila dalam kenyataannya

auditor mampu mempertahankan sikap yang tidak memihak sepanjang

pelaksanaan auditnya.

3. Independensi dalam Penampilan (Independence In Appearance)

Independensi dalam penampilan adalah hasil penilaian atau

interpretasi pihak lain terhadap independensi auditor dalam menjalankan

tugasnya.

Mautz dan Sharaf (Sawyer, 2006), dalam karya terkenal mereka, “The

Philosophy of Auditing” (Filosofi Audit), memberikan beberapa indikator

independensi profesional. Indikator tersebut memang diperuntukkan bagi akuntan

publik, tetapi konsep yang sama dapat diterapkan untuk auditor internal yang

ingin bersikap objektif. Indikator-indikatornya adalah sebagai berikut:

1. Independensi dalam Program Audit

a. Bebas dari intervensi manajerial atas program audit.

b. Bebas dari segala intervensi atas prosedur audit.

c. Bebas dari segala persyaratan untuk penugasan audit selain yang

memang disyaratkan untuk sebuah proses audit.

20

Page 24: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

2. Independensi dalam Verifikasi

a. Bebas dalam mengakses semua catatan, memeriksa aktiva, dan

karyawan yang relevan dengan audit yang dilakukan.

b. Mendapatkan kerja sama yang aktif dari karyawan manajemen selama

verifikasi audit.

c. Bebas dari segala usaha manajerial yang berusaha membatasi aktivitas

yang diperiksa atau membatasi pemerolehan bahan bukti.

d. Bebas dari kepentingan pribadi yang menghambat verifikasi audit.

3. Independensi dalam Pelaporan

a. Bebas dari perasaan wajib memodifikasi dampak atau signifikansi dari

fakta-fakta yang dilaporkan.

b. Bebas dari tekanan untuk tidak melaporkan hal-hal yang signifikan

dalam laporan audit.

c. Menghindari penggunaan kata-kata yang menyesatkan baik secara

sengaja maupun tidak sengaja dalam melaporkan fakta, opini, dan

rekomendasi dalam interpretasi auditor.

d. Bebas dari segala usaha untuk meniadakan pertimbangan auditor

mengenai fakta atau opini dalam laporan audit internal.

Unsur-Unsur yang Mempengaruhi Independensi Auditor adalah sebagai

berikut:

1. Kepercayaan masyarakat terhadap integritas, objektivitas dan independensi.

2. Kepercayaan auditor terhadap diri sendiri.

21

Page 25: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

3. Kemampuan auditor untuk meningkatkan kredibilitas pernyataannya terhadap

laporan keuangan yang diperiksa.

4. Suatu sikap pikiran dan mental auditor yang jujur dan ahli serta bebas dari

pengaruh pihak lain dalam melaksanakan pemeriksaan, penilaian, dan

pelaporan hasil pemeriksaannya dan dalam upaya mencegah dan mendeteksi

terjadinya fraud. Kepercayaan masyarakat terhadap profesi auditor (internal

maupun eksternal) berhubungan langsung dengan pemeriksaan dan salah satu

elemen pengendali mutu yang penting adalah independensi.

Auditor internal yang profesional harus memiliki independensi untuk

memenuhi kewajiban profesionalnya; memberikan opini yang objektif, tidak bias,

dan tidak dibatasi; dan melaporkan masalah apa adanya, bukan melaporkan sesuai

keinginan eksekutif atau lembaga (Sawyer, 2006). Untuk mengetahui apakah

seorang auditor internal telah profesional dalam melakukan tugasnya, maka perlu

adanya evaluasi kinerja. Dan evaluasi kinerja auditor internal dapat dilakukan

dengan cara yaitu: sudahkah terpenuhinya kriteria-kriteria profesionalisme auditor

internal.

International Standards for the Professional Practice of Internal Auditing

mengidentifikasi independensi auditor internal sebagai kriteria paling penting bagi

efektivitas fungsi auditor internal. Jadi, dalam setiap kejadian, auditor internal

diharapkan untuk mempunyai integritas dan komitmen untuk membuat pendapat

yang bebas dari bias (Tugiman, 2005).

Standar Profesi Audit Internal (2012) juga menyatakan bahwa auditor

internal harus mempunyai objektivitas yang tinggi. Badan Pengawasan Keuangan

22

Page 26: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

dan Pembangunan (2008) mengartikan obyektivitas sebagai bebasnya seseorang

dari pengaruh pandangan subyektif pihak-pihak lain yang berkepentingan

sehingga dapat mengemukakan pendapat apa adanya.

Auditor internal harus memiliki sikap mental yang objektif, tidak

memihak, dan menghindari kemungkinan timbulnya pertentangan kepentingan.

Objektivitas mensyaratkan bahwa auditor internal tidak menundukkan penilaian

mereka dalam masalah-masalah audit terhadap pihak-pihak lain. Dengan

demikian, independensi dapat menghindarkan hubungan yang mungkin

mengganggu obyektivitas auditor.

Menurut Mautz dalam Sukrisno (2005) mengenai pentingnya independensi

adalah ”Jika manfaat seorang sebagai auditor rusak oleh perasaan pada sebagian

pihak ketiga yang meragukan independensinya, dia bertanggung jawab tidak

hanya mempertahankan independensi dalam kenyataan tetapi juga menghindari

penampilan yang memungkinkan dia kehilangan independensinya.”

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI Nomor 01 tentang Standar

Pemeriksaan Keuangan Negara dalam Lampiran II menyebutkan bahwa dalam

semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa

dan pemeriksa, harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan

pribadi, ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya.

Dengan pernyataan standar umum kedua ini, organisasi pemeriksa dan

pemeriksanya bertanggung jawab untuk dapat mempertahankan independensinya

sedemikian rupa, sehingga pendapat, simpulan, pertimbangan atau rekomendasi

dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tidak memihak dan dipandang tidak

23

Page 27: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

memihak oleh pihak manapun. Selain itu, seperti yang diungkapkan Sukrisno

(2006) salah satu faktor yang mempengaruhi independensi akuntan publik adalah

jasa-jasa lain selain audit yang dilakukan oleh auditor bagi klien. Oleh sebab itu,

pemeriksa harus menghindar dari situasi yang menyebabkan pihak ketiga

mengetahui fakta dan keadaan yang relevan serta menyimpulkan bahwa

pemeriksa tidak dapat mempertahankan independensinya sehingga tidak mampu

memberikan penilaian yang objektif dan tidak memihak terhadap semua hal yang

terkait dalam pelaksanaan dan pelaporan hasil pemeriksaan, sehingga menurut

Sukrisno (2005) publik dapat mempercayai fungsi audit karena auditor bersikap

tidak memihak yang berarti mengakui adanya kewajiban untuk bersikap adil.

2.4 Teori Peran

Teori peran (Role Theory) adalah teori yang merupakan perpaduan antara

teori, orientasi, maupun disiplin ilmu. Selain dari psikologi, teori peran berawal

dari sosiologi dan antropologi (Siusiana, 2012). Dalam ketiga ilmu tersebut,

istilah “peran” diambil dari dunia teater. Dalam teater, seorang aktor harus

bermain sebagai seorang tokoh tertentu dan dalam posisinya sebagai tokoh itu ia

diharapkan untuk berperilaku secara tertentu. Posisi aktor dalam teater

(sandiwara) itu kemudian dianologikan dengan posisi seseorang dalam

masyarakat. Sebagaimana halnya dalam teater, posisi orang dalam masyarakat

sama dengan posisi aktor dalam teater, yaitu bahwa perilaku yang diharapkan

daripadanya tidak berdiri sendiri, melainkan selalu berada dalam kaitan dengan

adanya orang-orang lain yang berhubungan dengan orang atau aktor tersebut. Dari

sudut pandang inilah disusun teori-teori peran.

24

Page 28: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

Menurut Linton (dalam Halim, 2009), seorang antropolog, telah

mengembangkan teori peran. Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam

terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh

budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman

bersama yang menuntun individu untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai

dokter, mahasiswa, orang tua, waSukrisno, dan lain sebagainya, diharapkan agar

seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Mengapa seseorang

mengobati orang lain, karena dia adalah seorang dokter. Jadi karena statusnya

adalah dokter maka dia harus mengobati pasien yang datang kepadanya dan

perilaku tersebut ditentukan oleh peran sosialnya.

Kemudian, Elder dalam Sukrisno (2006) membantu memperluas

penggunaan teori peran dengan menggunakan pendekatan yang dinamakan

“lifecourse” yang artinya bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada

setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-

kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian besar

warga Amerika Serikat akan menjadi murid sekolah ketika berusia empat atau

lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia delapan belas tahun, bekerja pada

usia tujuh belas tahun, mempunyai istri/suami pada usia dua puluh tujuh, pensiun

pada usia enam puluh tahun. Di Indonesia berbeda, usia sekolah dimulai sejak

usia tujuh tahun, punya pasangan hidup sudah bisa sejak usia tujuh belas tahun,

dan pensiun pada usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan

usia” (age grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan manusia dibagi

25

Page 29: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

ke dalam masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana

setiap masa mempunyai bermacam-macam pembagian lagi.

Selain itu, Kahn et al. (dalam Tugiman, 2005) juga mengenalkan teori

peran pada literatur perilaku organisasi. Mereka menyatakan bahwa sebuah

lingkungan organisasi dapat mempengaruhi harapan setiap individu mengenai

perilaku peran mereka. Harapan tersebut meliputi norma-norma atau tekanan

untuk bertindak dalam cara tertentu. Individu akan menerima pesan tersebut,

menginterpretasikannya, dan merespon dalam berbagai cara. Masalah akan

muncul ketika pesan yang dikirim tersebut tidak jelas, tidak secara langsung, tidak

dapat diinterpretasikan dengan mudah, dan tidak sesuai dengan daya tangkap si

penerima pesan. Akibatnya, pesan tersebut dinilai ambigu atau mengandung unsur

konflik.

Ketika hal itu terjadi, individu akan merespon pesan tersebut dalam cara

yang tidak diharapkan oleh si pengirim pesan. Harapan akan peran tersebut dapat

berasal dari peran itu sendiri, individu yang mengendalikan peran tersebut,

masyarakat, atau pihak lain yang berkepentingan terhadap peran tersebut. Setiap

orang yang memegang kewenangan atas suatu peran akan membentuk harapan

tersebut. Oleh karena setiap individu dapat menduduki peran sosial ganda, maka

dimungkinkan bahwa dari beragam peran tersebut akan menimbulkan

persyaratan/harapan peran yang saling bertentangan (Tugiman, 2005).

Hal tersebut yang dikenal sebagai konflik peran. Sebagaimana

diungkapkan juga oleh Kats dan Kahn (dalam Simamora, 2013) bahwa individu

akan mengalami konflik dalam dirinya apabila terdapat dua tekanan atau lebih

26

Page 30: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

yang terjadi secara bersamaan yang ditujukan pada diri individu tersebut. Konflik

pada setiap individu disebabkan karena individu tersebut harus menyandang dua

peran yang berbeda dalam waktu yang sama.

Teori peran juga menyatakan bahwa ketika perilaku yang diharapkan oleh

individu tidak konsisten, maka mereka dapat mengalami stress, depresi, merasa

tidak puas, dan kinerja mereka akan kurang efektif daripada jika pada harapan

tersebut tidak mengandung konflik. Jadi, dapat dikatakan bahwa konflik peran

dapat memberikan pengaruh negatif terhadap cara berpikir seseorang. Dengan

kata lain, konflik peran dapat menurunkan tingkat independensi seseorang

(Tugiman, 2005).

Adapun ambiguitas peran merupakan sebuah konsep yang menjelaskan

ketersediaan informasi yang berkaitan dengan peran. Pemegang peran harus

mengetahui apakah harapan tersebut benar dan sesuai dengan aktivitas dan

tanggung jawab dari posisi mereka. Selain itu, individu juga harus memahami

apakah aktivitas tersebut telah dapat memenuhi tanggung jawab dari suatu posisi

dan bagaimana aktivitas tersebut dilakukan (Tugiman, 2001).

Sama halnya dengan konflik peran Kahn et al. (dalam Tugiman, 2005)

mengemukakan bahwa ambiguitas peran juga dapat meningkatkan kemungkinan

seseorang menjadi merasa tidak puas dengan perannya, mengalami kecemasan,

memutarbalikkan fakta, dan kinerjanya menurun. Selain itu, Kahn et al. (dalam

Tugiman, 2005) juga menjelaskan bahwa ambiguitas peran dapat meningkat

ketika kompleksitas organisasi melebihi rentang pemahaman seseorang. Oleh

27

Page 31: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

sebab itu, auditor internal yang menghadapi ambiguitas peran kemungkinan sulit

untuk menjaga komitmen mereka untuk tetap bersikap independen.

2.5 Konflik Peran

2.5.1 Pengertian Konflik Peran

Menurut Wolfe dan Snoke dalam Sunarto (2009) menyatakan bahwa,

“Konflik peran timbul karena adanya dua perintah berbeda yang diterima secara

bersamaan dan pelaksanaan atas salah satu perintah saja mengakibatkan

diabaikannya perintah yang lain”. Sedangkan pengertian konflik peran menurut

Scemerhorn dalam Tugiman (2005) menyatakan bahwa, “Role Conflict (konflik

peran) yaitu, perasaan dimana karyawan merasa mampu untuk memuaskan

banyak orang dan berpotensial untuk menyebabkan konflik atas penghargaan

performa dari orang lain”.

Menurut Tsai dan Shis dalam Tugiman (2005) menyatakan bahwa,

“Konflik peran (role conflict) merupakan sesuatu gejala psikologis yang dialami

oleh anggota organisasi yang bias menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja

dan secara potensial bias menurunkan motivasi kerja, sehingga bisa menurunkan

kinerja secara keseluruhan”. Sedangkan Menurut Tugiman (2005):

“Konflik peran merupakan suatu gejala psikologis yang dialami oleh auditor yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan dalam bekerja dan berpotensi menurunkan motivasi kerja. Konflik peran berdampak negatif terhadap perilaku auditor, seperti timbulnya ketegangan kerja, penurunan komitmen pada organisasi dan penurunan kinerja secara keseluruhan”.

Dari beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa konflik peran

muncul ketika auditor merasa kesulitan dalam hal menyesuaikan berbagai peran

yang dimiliki dalam waktu yang bersamaan. Misalnya, perintah pertama berasal

28

Page 32: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

dari kode etik profesi akuntan, sedangkan perintah kedua berasal dari sistem

pengendalian yang berlaku diperusahaan (KAP). Apabila seorang professional

bertindak sesuai dengan kode etik, maka ia akan merasa berperan sebagai auditor

yang baik. Sebaliknya, apabila ia bertindak sesuai dengan prosedur yang

ditentukan perusahaan, maka ia akan merasa bertindak secara tidak professional.

Kondisi seperti inilah yang disebut konflik peran yaitu suatu konflik yang timbul

Karena mekanisme pengendalian birokratis organisasi tidak sesuai dengan norma,

aturan, etika, dan kemandirian professional.

2.5.2 Indikator Konflik Peran

Menurut Rizzo, House dan Lirtzman dalam Rimawati (2013), konflik

peran diukur menggunakan indikator-indikator sebagai berikut :

1. Sumber Daya Manusia

2. Mengesampingkan Aturan

3. Kegiatan yang Tidak Perlu

4. Arahan yang Tidak Jelas”

Dari indikator di atas, berikut ini akan dijelaskan kembali pengertian dari

masing-masing penyebab indikator konflik peran tersebut :

1. Sumber Daya Manusia

Melakukan suatu pekerjaan dengan cara yang berbeda-beda dan

menerima penugasan tanpa sumber daya manusia yang cukup untuk

menyelesaikannya.

29

Page 33: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

2. Mengesampingkan Aturan

Mengesampingkan aturan agar dapat menyelesaikan tugas dan

menerima permintaan dua pihak atau lebih yang tidak sesuai satu sama lain.

3. Kegiatan yang Tidak Perlu

Melakukan pekerjaan yang cenderung diterima oleh satu pihak tetapi

tidak diterima oleh pihak lain dan melakukan kegiatan yang sebenarnya tidak

perlu.

4. Arahan yang Tidak Jelas

Bekerja di bawah arahan yang tidak pasti dan perintah yang tidak

jelas.

Berdasarkan indikator di atas maka dapat disimpulkan, konflik peran

muncul ketika perilaku peran yang ditampilkannya tidak sesuai dengan berbagai

pengharapan peran yang ia terima dari anggota kumpulan perannya (yaitu : pihak

atasan, rekan kerja, dan pihak bawahan).

Menurut Tugiman (2001), konflik peran dapat ditimbulkan dari hal-hal

sebagai berikut :

1. Koordinasi Arus Kerja

2. Kecukupan Wewenang

3. Kecukupan Komunikasi, dan

4. Kemampuan Adaptasi”

Dari beberapa penyebab konflik peran di atas, berikut ini akan dijelaskan

kembali pengertian dari masing-masing penyebab konflik peran tersebut.

30

Page 34: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

1. Koordinasi Arus Kerja

Berkaitan dengan seberap baik berbagai aktivitas kerja yang saling

berhubungan dapat dikoordinasikan dan seberapa jauh individu memperoleh

informasi mengenai kemajuan tugasnya.

2. Kecukupan Wewenang

Berkaitan dengan sampai sejauh mana individu berwewenang

mengambil keputusan yang perlu dan untuk mengatasi masalah kerja.

3. Kecukupan Komunikasi

Berkaitan dengan derajat penyediaan informasi yang akurat dan tepat

waktu sesuai dengan kebutuhan.

4. Kemampuan Adaptasi

Kemampuan menangani perubaahn keadaan dengan baik dan tepat

waktu.

Dalam kegiatan pemeriksaan lapangan, seorang auditor memerlukan

prosedur dan aturan yang komprehensif, auditor senior berperan sangat penting

dalam mengawasi pekerjaan staf akuntan dan memberikan bantuan yang

diperlukan. Kelemahan pengawasan (Supervisi) oleh auditor senior akan

mengakibatkan staf akuntan harus mengerjakan tugasnya tanpa pedoman, hal

tersebut dapat mengakibatkan konflik peran, terutama antara tuntutan audit dan

tuntutan klien.

31

Page 35: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

2.6 Ambiguitas Peran

2.6.1 Pengertian Ambiguitas Peran

Ketidakjelasan Peran (ambiguitas peran) termasuk dalam Roles Stres,

Ketidakjelasan peran (ambiguitas peran) adalah tidak adanya informasi yang

memadai yang diperlukan seseorang untuk menjalankan peranannya dengan cara

yang memuaskan (Kahn et al. dalam Rimawati, 2013). Pengertian ketidakjelasan

peran (role konflik) Schemerhorn (dalam Tugiman, 2005) menyatakan bahwa,

“Role ambiguities, yaitu ketidakjelasan peran dari seseorang karyawan untuk

melakukan apa yang harus dilakukan dalam sebuah pekerjaan dan tidak

mengetahui standar evaluasi pekerjaan yang akhirnya dapat menyebabkan stress”.

Menurut Bamber et al dalam Tugiman (2005) menyatakan bahwa :

“Ketidakjelasan peran adalah tidak adanya prediktabilitas hasil atau respon terhadap perilaku seseorang dan eksistensi atau kejelasan perilaku yang dibutuhkan. Hal ini seringkali dalam bentuk input dari lingkungan yang akan berfungsi untuk memadu perilaku dan memberikan pengetahuan, mana perilaku yang tepat atau tidak ada”.

Menurut Rebele dan Michaels dalam Rimawati (2013) menyatakan bahwa,

“Ketidakjelasan peran (ambiguitas peran) mengacu pada kurangnya kejelasan

mengenai harapan-harapan pekerjaan, metoda-metoda untuk memenuhi harapan-

harapan yang dikenal, dan/atau konsekuensi dari kinerja atau peran tertentu”.

Sedangkan menurut Tugiman (2005) menyatakan bahwa, “Ketidakjelasan adalah

tidak cukupnya informasi yang dimiliki serta tidak adanya arah dan kebijakan

yang jelas, ketidakpastian tentang otoritas, kewajiban yang jelas dan hubungan

lainnya”.

32

Page 36: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

Dari beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

Ketidakjelasan peran muncul karena tidak cukupnya informasi yang diperlukan

untuk menyelesaikan tugas-tugas atau pekerjaan yang diberikan dengan cara yang

memuaskan. Ketidakjelasan ini adalah akibat kekacauan yang terjadi dalam

pendelegasian tanggung jawab kerja. Banyak pekerjaan tidak mempunyai

deskripsi kerja tertulis dan ketika auditor diberitahu apa yang harus dilakukan,

instruksinya tidak jelas.

Bhakti (2011) mengatakan bahwa ambiguitas peran terjadi akibat job

description yang tidak ditulis atau dijelaskan dengan rinci serta tidak adanya

standar kerja yang jelas, sehingga ukuran kinerja karyawan yang baik

dipersepsikan secara kabur oleh karyawan. Menurut Sumrall & Sebastianelli

dalam (Tugiman, 2001) menyatakan bahwa penyebab lain munculnya ambiguitas

peran adalah komunikasi yang buruk antara karyawan dengan atasan atau dengan

rekan kerjanya, kurangnya pengawasan (supervisi) dari pihak manajemen dan

program pelatihan yang buruk. Ambiguitas peran muncul ketika ada harapan dari

pihak lain (misal, rekan kerja, atasan, pelanggan) yang dipersepsikan tidak jelas

(singh dalam Tugiman. 2001).

Ambiguitas peran menurut Luthan (dalam Bhakti, 2011) terjadi ketika

individu tidak memperoleh kejelasan mengenai tugas-tugas dari pekerjaannya atau

lebih umum dikatakan “tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan”. Job

description yang tidak jelas, perintah-perintah yang tidak lengkap dari atasan dan

tidak adanya pengalaman memberikan kontribusi terhadap ambiguitas peran.

Sedangkan Robbins (dalam Sukrisno, 2001) menyatakan bahwa ambiguitas peran

33

Page 37: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

tercipta manakala ekspektasi peran tidak dipahami secara jelas dan karyawan

tidak yakin apa yang harus ia lakukan. Ambiguitas peran dirasakan seseorang jika

ia tidak memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak

mengerti atau merealisasikan harapan-harapan yang berkaitan dengan peran

tertentu.

Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya ambiguitas peran menurut

Everly dan Giordano (dalam Maryati dan Arisudana, 2010) :

1. Ketidakjelasan dari sasaran-sasaran kerja

2. Kesamaran tentang tanggung jawab

3. Ketidakjelasan tentang prosedur kerja

4. Kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain

5. Kurang adanya balikan, atau ketidakpastian tentang unjuk kerja pekerjaan.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa

yang dimaksud dengan ambiguitas peran adalah ketidakjelasan peran seseorang

dalam organisasi yang disebabkan oleh tidak adanya arahan yang jelas dari pihak

manajemen.

2.6.2 Indikator Ketidakjelasan Peran

Menurut Rizzo, House dan Lirtzman dalam Novitasari (2011),

ketidakjelasan peran diukur menggunakan indikator-indikator sebagai berikut :

1. Wewenang

2. Tanggung Jawab

3. Kejelasan Tujuan

4. Cakupan Pekerjaan

34

Page 38: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

Dari indikator di atas, berikut ini akan dijelaskan kembali pengertian dari

masing-masing penyebab indikator ketidakjelasan peran tersebut :

1. Wewenang

Merasa pasti dengan seberapa besar wewenang yang dimiliki dan

mempunyai rencana yang jelas untuk pekerjaan.

2. Tanggung Jawab

Mempunyai tujuan yang jelas untuk pekerjaan dan mengetahui bahwa

perlunya membagi waktu dengan tepat.

3. Kejelasan Tujuan

Mengetahui apa yang menjadi tanggung jawab dan penjelasan tentang

apa yang harus dikerjakan adalah jelas.

4. Cakupan Pekerjaan

Mengetahui cakupan dari pekerjaan dan bagaimana kinerjanya

dievaluasi.

2.7 Pengaruh Konflik Peran terhadap Independensi Auditor internal

Konflik peran didefinisikan oleh Brief et al (dalam Amilin dan Dewi,

2008) sebagai “the incongruity of expectations associated with a role”. Jadi,

konflik peran adalah adanya ketidakcocokan antara harapan-harapan yang

berkaitan dengan suatu peran. Secara lebih spesifik, Leigh et al. (dalam Rimawati,

2013) menyatakan bahwa: “Role conflict is the result of an employee facing the

inconsistent Expectations of various parlies or personal needs, values, etc.”

Artinya, konflik peran merupakan hasil dari ketidakkonsistenan harapan-harapan

berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan antara tuntutan peran dengan

35

Page 39: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

kebutuhan, nilai-nilai individu, dan sebagainya. Sebagai akibatnya, seseorang

yang mengalami konflik peran akan berada dalam suasana terombang-ambing,

terjepit, dan serba salah.

Konflik peran terjadi saat munculnya peran-peran yang saling

bertentangan yang harus dilakukan oleh individu sebagai anggota dalam sebuah

organisasi (Koo dan Sim, dalam Rimawati, 2013). Hal itu mengakibatkan individu

yang mengalami konflik peran tidak dapat membuat keputusan yang tepat

mengenai bagaimana peran-peran tersebut akan dilakukan dengan baik. Dalam

menjalankan tugasnya di auditor internal pasti berhubungan dengan bagian atau

individu yang lain. Hubungan tersebut kemungkinan besar mengakibatkan

terjadinya perbedaan-perbedaan yang mengarah pada konflik. Berdasarkan teori

konflik peran dan literatur audit internal, konflik peran yang berkaitan dengan

auditor internal dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: inter-role conflict, intra-sender

role conflict, dan personal role conflict (Tugiman, 2001).

Inter-role conflict timbul karena adanya permintaan peran yang terlalu

banyak, seperti konflik/pertentangan yang dialami auditor internal akibat

perbedaan permintaan dari organisasi dengan aturan standar profesi audit internal

(Tugiman, 2005).

Kompleksitas birokrasi dapat menyebabkan prosedur dan praktik kerja

perusahaan menyimpang dari standar praktik profesional. Oleh karena itu, dalam

lingkungan audit perusahaan terdapat kemungkinan yang besar bahwa auditor

internal menjalankan suatu hal yang dapat diterima oleh pegawai perusahaan

tetapi dilarang dalam profesi audit. Selain itu, peluang untuk mengabaikan standar

36

Page 40: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

etika profesi dan menyetujui permintaan pegawai perusahaan akan mengakibatkan

menurunnya pelaporan tingkat pelanggaran, ketidakberesan, dan kelemahan

sistem pengendalian internal.

Auditor internal menjalankan dua peran dalam organisasi, yaitu: peran

audit dan peran jasa konsultasi. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya intra-

sender role conflict. Penelitian Causin dan Ardiani, (2013) menyimpulkan bahwa

pertentangan yang terjadi karena peran audit dan peran konsultasi pada auditor

internal merupakan subjek konflik. Dalam peran audit auditor internal harus

menjaga independensi dengan tidak mendasarkan pertimbangan auditnya pada

manajemen. Namun dalam peran jasa konsultasi manajemen, auditor internal

harus bekerja sama dan membantu manajemen, termasuk menerima pertimbangan

dari komite audit (Tugiman, 2005).

Auditor internal juga dapat mengalami personal role conflict, seperti

ketika diminta untuk berperan dalam berbagai cara yang tidak konsisten dengan

nilai-nilai pribadi mereka atau diharuskan bertindak melawan serta melaporkan

pelanggaran rekan kerja mereka. Menurut Arens, at al (2009), auditor internal

cenderung akan mengabaikan, melunak, atau menunda pelaporan temuan audit

yang berdampak negatif supaya tidak mempermalukan rekan kerja mereka.

Dengan demikian, personal role conflict mengindikasikan ketidaksesuaian antara

harapan manajemen dan nilai personal auditor internal (Tugiman, 2005). Hal ini

menyebabkan kemungkinan auditor diharuskan untuk melakukan hal-hal yang

bertentangan dengan nilai-nilai atau keyakinan individu auditor intenal tersebut,

seperti melakukan perbuatan yang ilegal atau tidak etis.

37

Page 41: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

2.8 Pengaruh Ambiguitas Peran terhadap Independensi Auditor internal

Agar dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik, para karyawan

memerlukan keterangan tertentu yang menyangkut hal-hal yang diharapkan untuk

mereka lakukan dan hal-hal yang tidak harus mereka lakukan. Karyawan perlu

mengetahui hak-hak, hak-hak istimewa dan kewajiban mereka. Ambiguitas peran

didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana informasi yang berkaitan dengan

suatu peran tertentu kurang atau tidak jelas (Kahn et al. dalam Sukrisno 2005)

menyatakan bahwa ambiguitas peran menunjukkan ambivalensi saat apa yang

diharapakan tidak jelas karena kekurangan informasi mengenai suatu peran dan

apa yang dibutuhkan dalam suatu tugas. Pegawai tidak mengetahui upaya apa

yang harus dilakukan dalam melaksanakan pekerjaan. Dalam suatu organisasi

sebaiknya memiliki keterangan yang jelas mengenai tugas dan tanggung jawab

yang diberikan penerima mandat. Dapat disimpulkan bahwa ambiguitas peran

dapat timbul pada lingkungan kerja saat seseorang kurang mendapat informasi

yang cukup mengenai kinerja yang efektif dari sebuah peran.

Tugiman (2001) mengembangkan enam dimensi dari ambiguitas peran

auditor internal sebagai berikut: (1) Pedoman (Guidelines); (2) Tugas (Tasks); (3)

Wewenang (Authority); (4) Tanggung Jawab (Responsibilities); (5) Standar

(Standards); (6) Waktu (Time). Oleh karena itu, adanya ambiguitas peran dalam

seluruh aspek diatas dapat mempengaruhi sikap dan persepsi auditor internal.

Dalam penelitian Schuller et al., Beehr et al., dan Babin (dalam Koustelios, 2007),

ditemukan bahwa ambiguitas peran mengakibatkan kepuasan kerja yang rendah,

absenteeism, low involvement, dan tekanan kerja. Ambiguitas peran dapat

38

Page 42: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

menyebabkan auditor internal rentan terhadap ketidakpuasan kerja hingga

kejenuhan sehingga mengakibatkan turunnya independensi auditor internal.

2.9 Penelitian Terdahulu

Telah banyak penelitian yang mengkaji masalah yang berkaitan dengan

konflik peran, ambiguitas peran, dan komitmen idependensi. Berikut ini adalah

beberapa penelitian yang berkaitan dengan masalah tersebut dan telah

dipulikasikan dalam beberapa jurnal ilmiah.

Tabel 2.1.Penelitian Terdahulu

No TahunNama Peneliti &

SumberJudul Hasil

1. 2014 Ni Putu Intan Putri Saraswati, Anantawikrama Tungga Atmadja, Nyoman Ari Surya Darmawan Jurnal Akuntansi Universitas Pendidikan Ganesha, ISSN 2416-0164Vol. 10 No 1: 50-55

Pengaruh Tekanan Klien, Motivasi, dan Ambiguitas peran Terhadap Independensi

Auditor internal Perusahaan (Studi Empiris Pada Inspektorat Kota Denpasar Dan Kabupaten Gianyar)

Tekanan klien dan motiviasi auditor tidak berpengaruh secara signifikan terhadap independensi auditor. Sedangkan ambiguitas peran secara parsial berpengaruh terhadap independensi auditor

2. 2013 Nike Rimawatie-JurnalJurusan Akuntansi Program S1Universitas Pendidikan GaneshaSingaraja, IndonesiaISSN : 1744-5379Volume 2, No. 1 2014, 81 - 90

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Idenpendensi Auditor

Ambiguitas peran secara signifikan mempengaruhi idenpendensi auditor

3. 2013 Germana Causin dan Ardiani Ika SJurnal EkonisiaFakultas Ekonomi Universitas Jendral Soedirman

Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Independensi dan Kualitas Audit Auditor di Jawa Tengah

Faktor motivasi merupakan faktor internal yang mempengaruhi independensi auditor. Sedangkan konflik peran merupakan

39

Page 43: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

(Unsoed), Purwokerto, IndonesiaISSN : 1443-1009,Vol. 8 No. 2: 23- 33

faktor eksternal yang mempengaruhi independensi auditor

4. 2011 Friska NovitasariJurnal SEIP Fakultas Ekonomi Universitas Jember IndonesiaISSN : 2113-1443,Vol. 2 No. 5

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Independensi Auditor

Konflik peran dan hubungan keluarga secara parsial berpengaruh signifikan terhadap independensi auditor

5. 2011 Septa Jangkung Waskita BhaktiJurnal EkonisiaFakultas Ekonomi Universitas Jendral Soedirman (Unsoed), Purwokerto, IndonesiaISSN : 1443-1009,Vol. 8 No. 2: 59-75

Pengaruh Kepuasan Kerja, Organisasi, Konflik Peran, dan Ambiguitas Peran terhadap Independensi Auditor (Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Semarang)

Kepuasan kerja, konflik peran dan ambiguitas peran berpengaruh terhadap independensi auditor. Sedangkan komitmen organisasi tidak berpengaruh terhadap independensi auditor

6. 2010 Siti Maryati dan Dicky Arisudana Jurnal SEIP Fakultas Ekonomi Universitas Jember IndonesiaISSN : 2127-1641,Vol. 3 No. 6

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Independensi Auditor (studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Jakarta

Idenpendensi auditor internal secara signifikan dipengaruhi oleh ambiguitas peran

2.10 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H1 : Konflik peran dan Ambiguitas peran secara parsial berpengaruh terhadap

independensi auditor internal.

H2 : Konflik dan Ambiguitas peran secara bersama-sama berpengaruh terhadap

independensi auditor internal.

40

Page 44: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang pengaruh konflik peran dan ambiguitas

peran terhadap independensi auditor internal di PT. Pelita Wira Sejahtera. Sesuai

dengan judul tersebut, maka objek penelitian ditinjau dari sisi variabel adalah

konflik peran, ambiguitas peran, dan independensi auditor. Sedangkan jika dilihat

dari sisi tempat, objek dalam penelitian ini adalah PT. Pelita Wira Sejahtera,

sedangkan waktu yang dipilih adalah tahun 2015.

3.2 Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer

merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber asli yang berkaitan dengan

variabel yang menjadi tujuan penelitian (Sekaran, 2006). Data primer ini meliputi

identitas responden dan juga informasi-informasi atau jawaban-jawaban yang

telah diberikan terhadap kuesioner yang telah disebarkan. Sumber data berasal

dari skor total yang diperoleh dari pengisian kuesioner yang telah diisi oleh staf

auditor PT. Pelita Wira Sejahtera.

3.3 Metode Penentuan Sampel Penelitian

Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah staf auditor PT. Pelita

Wira Sejahtera yang berjumlah 17 orang. Pengambilan sampel ditentukan dengan

metode sampling jenuh dengan tujuan untuk mendapatkan informasi dari individu

41

Page 45: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

maupun kelompok dengan sasaran yang tepat. Menurut Uma Sekaran (2006)

pengambilan sampel dalam hal ini terbatas pada jenis orang tertentu yang dapat

memberikan informasi yang diinginkan. Adapun responden atau sampel penelitian

adalah auditor internal yang bertindak langsung melakukan pemeriksaan di

lingkungan Anak-anak Perusahaan PT. Pelita Wira Sejahtera, yaitu: Kepala

bagian Pengawasan dan Pengendalian serta seluruh staf auditor yang berjumlah 17

orang. Metode penelitian yang dipakai adalah survey. Data diperoleh dengan

menggunakan kuesioner yang disebar kepada staf auditor PT. Pelita Wira

Sejahtera yang merupakan responden atau sampel dalam penelitian ini.

Adapun sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1.Sampel Penelitian

No Jabatan dalam Tim Auditor Internal Jumlah (Orang)

1. Kepala Auditor 1

2. Pengendalian Mutu 3

3. Pengendalian Teknis 3

4. Ketua Tim 2

5. Anggota Tim 8

Jumlah 17

Sumber : (PT. Perlita Wira Sejahtera, 2014)

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan teknik

pengumpulan kuesioner, dimana pertanyaan yang sudah disusun oleh peneliti

dibagikan kepada responden yang bersangkutan untuk diisi. Kuesioner dibagi

menjadi 2 (dua) bagian utama yaitu: data tentang demografi responden dan

42

Page 46: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

tentang item-item yang terkait dengan independensi, konflik peran, serta

ambiguitas peran.

Dalam pengumpulan data, ada beberapa tahapan yang dilakukan. Pertama

menghubungi pihak perusahan. Dalam hal ini ditanyakan apakah boleh dilakukan

penelitian pada lingkungan PT. Pelita Wira Sejahtera dan bila diperbolehkan

selanjutnya ditanyakan mengenai bagaimana prosedur pengajuan ijin penelitian.

Apabila pihak auditor telah memperbolehkan untuk mengajukan ijin penelitian

maka dilanjutkan ke tahap kedua, yaitu memasukkan surat ijin penelitian dari

fakultas. Tahap ketiga berupa pembagian kuesioner kepada para responden.

3.5 Metode Analisis

3.5.1 Uji Validitas dan Reliabilitas

Hadi (2010) menyebutkan bahwa jika menggunakan instrumen yang tidak

standar, maka diperlukan standarisasi melalui uji reliabilitas dan validitas. Uji

reliabilitas dan uji validitas tersebut digunakan untuk mengetahui konsistensi dan

akurasi data yang dikumpulkan dari penggunaan instrumen. Data yang tidak valid

dan tidak reliabel harus dibuang dan tidak dimasukkan dalam proses analisis data

selanjutnya. Sementara data yang telah dinyatakan reliabel dan valid dapat

digunakan untuk proses analisis data selanjutnya.

3.5.2 Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik dilakukan sebelum melakukan analisis regresi berganda.

Analisis regresi hanya dapat dilakukan apabila suatu model yang akan diuji telah

43

Page 47: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

bebas dari asumsi klasik, yaitu: memiliki nilai residual yang terdistribusi normal,

serta bebas heteroskedastisitas, dan multikolinearitas.

3.5.3 Model Regresi Berganda

Untuk melihat bagaimana pengaruh dari variabel bebas (independent)

terhadap variabel tidak bebas (dependent) dalam penelitian ini, model analisis

yang digunakan adalah Model Regresi Linear Berganda, yang dirumuskan:

Y = a + b1X1 + b2X2 + ε

Keterangan:

Y = nilai estimasi independensi auditor internala = nilai Y pada perpotongan antara garis linear dengan sumbu vertikal Yb1 = nilai yang berhubungan dengan variabel X1

X1 = konflik peranb2 = nilai yang berhubungan dengan variabel X2

X2 = ambiguitas peranε = error of estimation (Hadi, 2010).

3.5.4 Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis untuk penelitian ini menggunakan analisis regresi

dengan menggunakan Software SPSS Statistics versi 17 di mana metode yang

dipilih adalah metode analisis regresi. Untuk mengetahui apakah suatu persamaan

regresi yang dihasilkan baik untuk mengestimasi nilai variabel dependen atau

tidak, dilakukan dengan melakukan Uji Koefisien Determinasi (R2), Uji

Signifikansi Simultan (Uji Statistik F), dan Uji Signifikansi Parameter Individual

(Uji Statistik t) (Ghozali, 2005).

Uji koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui besar

pengaruh variabel X terhadap variabel Y. Uji F digunakan untuk mengetahui

44

Page 48: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

apakah variabel ambiguitas peran dan konflik peran secara bersama-sama

berpengaruh terhadap independensi auditor internal. Sedangkan uji t digunakan

untuk menguji apakah variabel ambiguitas peran berpengaruh terhadap

independensi auditor intenal. Demikian juga uji t digunakan untuk menguji

apakah variabel konflik peran berpengaruh terhadap independensi auditor intenal.

3.6 Definisi Operasional Variabel

Berikut ini adalah definisi operasional dari variabel-variabel yang diteliti:

Tabel 3.2.Definisi Operasional Variabel

Variabel Definisi Operasional Skala Ukur Alat Ukur

Independensi Auditor (Variabel Dependent)

Independensi auditor internal adalah adalah cara pandang tidak memihak di dalam pelaksanaan pengujian, evaluasi hasil pemeriksaan, penyusunan laporan audit dan menyediakan jasanya kepada perusahaan dimana auditor bekerja, terutama dalam bidang audit atas laporan keuangan yang dibuat kliennya (Mulyadi, 2012)

Ordinal Angket

Ambiguitas Peran (Variabel Independent)

Ambiguitas peran dirasakan jika auditor tidak memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti atau merealisasi harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu (Rimawati, 2013).

Ordinal Angket

Konflik Peran (Variabel Independent)

Konflik peran merupakan konflik yang terjadi akibat dari adanya tuntutan peranan yang melanggar nilai-nilai dasar, sikap, dan kebutuhan individu yang menduduki suatu posisi. Konflik itu terjadi karena individu secara simultan (berbarengan) menampilkan banyak peranan, beberapa di antaranya mempunyai harapan yang bertentangan (Tugiman, 2005 )

Ordinal Angket

45

Page 49: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim, 2009, Auditing 2 Dasar-dasar Prosedur Pengauditan Laporan Keuangan, Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN.

Abdul Halim, 2009, Auditing 1 Dasar-dasar Audit Laporan Keuangan, Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN.

Agoes, Sukrisno. 2001. Internal Audit Departemen, Enterprises Risk Manajement, dan Good Corporate Governance,. Disajikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Ilmu Akuntansi, Salemba Empat.

Agoes, Sukrisno. 2005. Peranan Internal Audit Department, Enterprises Risk Management, dan Good Corporate Governance terhadap Pencegahan Fraud dan Implikasinya kepada Peningkatan Mutu Lulusan Perguruan Tinggi di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.

Agoes, Sukrisno. 2006. Auditing Pemeriksaan Akuntan oleh Kantor Akuntan Publik Jilid II. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Agoes, Sukrisno. 2009. Etika Bisnis dan Profesi, Jakarta: Salemba Empat.

Amilin dan Dewi. 2008. Manajemen Organisasi, Jakarta: Salemba Empat.

Arens, Alvin A., and Loebbecke, James K., 2009, Auditing An Integrated Approach, dialihbahasakan oleh Amir Abadi Jusuf, Auditing Pendekatan Terpadu, edisi revisi Indonesia, Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

Arens, Alvin A., Randal J. Elder, Mark S. Beasley., 2009, Auditing dan Pelayanan Verifikasi: Pendekatan Terpadu, alih bahasa oleh Tim Dejakarta, edisi kesembilan, Jakarta: Indeks.

Echols, John M. & Hassan Shadily. 2010. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: P.T. Gramedia.

Friska Novitasari, 2011, Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Independensi Auditor Jurnal SEIP Fakultas Ekonomi Universitas Jember Indonesia ISSN : 2113-1443, Vol. 2 No. 5

Germana Causin dan Ardiani Ika S, 2013, Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Independensi dan Kualitas Audit Auditor di Jawa Tengah Jurnal Ekonisia Fakultas Ekonomi Universitas Jendral Soedirman Unsoed, Purwokerto, Indonesia ISSN : 1443-1009, Vol. 8 No. 2: 23- 33

Hadi, Sutrisno. 2010. Statistik Terapan. Edisi X. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hendry Simamora, 2013, Auditing 1, Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN.

49

Page 50: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

Mautz dan Sharaf, 2007. Paradigma Baru Internal Auditor, Auditor, Jakarta, Edisi No. 05 Tahun 2012.

Moch. Nazir, 2009, Metodologi Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Mulyadi, Auditing, buku 1, 2012, edisi keenam Jakarta: Salemba Empat.

Mulyadi, Auditing, buku 2, 2012, edisi keenam Jakarta: Salemba Empat.

Ni Putu Intan Putri Saraswati, Anantawikrama Tungga Atmadja, Nyoman Ari Surya Darmawan, 2014, Pengaruh Tekanan Klien, Motivasi, dan Ambiguitas peran Terhadap Independensi Auditor internal Perusahaan Studi Empiris Pada Inspektorat Kota Denpasar Dan Kabupaten Gianyar Jurnal Akuntansi Universitas Pendidikan Ganesha, ISSN 2416-0164 Vol. 10 No 1: 50-55

Nike Rimawati, 2013, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Idenpendensi Auditor. e-Jurnal Jurusan Akuntansi Program S1 Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia ISSN : 1744-5379 Volume 2, No. 1 2014, 81 - 90

Sakaran, 2006, Dasar-dasar Internal Audit, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Sawyer, Dittenhofer, Scheiner. 2006. Sawyer’s Internal Auditing. Edisi 5. Salemba Empat, Jakarta.

Koustelios, 2007, Management, Edisi Keneam. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Septa Jangkung Waskita Bhakti, 2011, Pengaruh Kepuasan Kerja, Organisasi, Konflik Peran, dan Ambiguitas Peran terhadap Independensi Auditor Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Semarang Jurnal Ekonisia Fakultas Ekonomi Universitas Jendral Soedirman Unsoed, Purwokerto, Indonesia ISSN : 1443-1009, Vol. 8 No. 2: 59-75

Siti Maryati dan Dicky Arisudana, 2010, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Independensi Auditor studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Jakarta, Jurnal SEIP Fakultas Ekonomi Universitas Jember Indonesia ISSN : 2127-1641, Vol. 3 No. 6

Siusiana, Fani. 2012. Manfaat Pemeriksaan Operasional atas Gaji dalam Menurunkan Risiko Kecurangan pada Perusahaan. Pustaka Widyatama, Yogyakarta.

Soegiastuti, Janti. 2005. Kode Etik Auditor. Kanisius, Yogyakarta.

Standar Profesi Audit Internal. 2012. Standar Akuntansi Keuangan, Jakarta: Salemba Empat.

50

Page 51: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

Standar Profesional Akuntan Publik Ikatan Akuntan Indonesia, 2001, Jakarta: Salemba.

Sunarto, 2009, Auditing, Panduan, Yogyakarta.

Tugiman, Hiro. 2001, Standar Profesional Audit Internal, Edisi Kelima, Yogyakarta : Kanisius anggota IKAPI.

Tugiman, Hiro. 2005. Pandangan Baru Internal Auditing. Jilid 5. Kanisius, Yogyakarta.

51

Page 52: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian

KUESIONER PENELITIAN

Bagaimana pandangan bapak/ibu mengenai Ambiguitas Peran yang

selama ini terjadi di tempat kerja bapak/ibu. Jawablah dengan memberikan tanda

() pada pernyataan pernyataan berikut ini.

Keterangan Jawaban:

Sangat tidak benar : 1

Tidak Benar : 2

Ragu-ragu : 3

Benar : 4

Sangat Benar : 5

No PernyataanJawaban

1 2 3 4 5

1. Saya merasa ada kepastian mengenai berapa banyak kewenangan yang saya miliki di tempat kerja saya

2. Saya mempunyai tujuan dan sasaran yang jelas dan terencana untuk pekerjaan saya

3. Saya tahu bahwa saya telah mengalokasikan waktu saya secara tepat di tempat kerja saya

4. Saya tahu apa yang menjadi tanggung jawab saya di tempat kerja

5. Saya telah diberi penjelasan yang gamblang tentang apa yang harus dilakukan di tempat kerja

6. Saya mengetahui bagaimana kinerja saya dievaluasi

Sumber : Bhakti (2005)

52

Page 53: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

KUESIONER PENELITIAN

Bagaimana pandangan bapak/ibu mengenai Konflik Peran yang selama

ini terjadi di tempat kerja bapak/ibu yang dilihat kesepakatan antara bapak/ibu

dengan pekerjaan. Jawablah dengan memberikan tanda () pada pernyataan

pernyataan berikut ini.

Keterangan Jawaban:

Sangat tidak setuju : 1

Tidak setuju : 2

Ragu-ragu : 3

Setuju : 4

Sangat setuju : 5

No PernyataanJawaban

1 2 3 4 5

1. Jumlah pekerjaan yang diperkirakan akan dilakukan dan jumlah yang sebenarnya yang akan dilakukan

2. Jumlah tugas yang anda harapkan untuk anda selesaikan dengan jumlah tugas yang benar-benar harus anda lakukan

3. Jumlah tugas non pekerjaan yang anda perkirakan untuk dilakukan dengan jumlah tugas non pekerjaan yang benar-benar anda lakukan

4. Jumlah waktu senggang yang diharapkan untuk dimiliki dengan jumlah waktu senggang yang benar-benar anda miliki.

5. Kepastian anda harus melapor kepada atasan anda

6. Kepastian andanya aturan dengan atasan untuk melakukan pekerjaan

7. Kepastian banyaknya tugas yang harus anda selesaikan

8. Kepastian banyaknya kewenangan yang anda miliki dalam membuat keputusan

9. Kepastian batasan tanggungjawab yang anda miliki

10. Kepastian aturan yang mengikat untuk semua anggota kelompok

11. Kejelasan pembagian wewenang

12. Kejelasan pembagian tugas

13. Kejelasan pembagian tanggungjawab

14. Beban kerja yang jelas

Sumber: Indrawan (2009), Wijaya (2013).

53

Page 54: Proposol Skipsi_(Habis Seminar)

KUESIONER PENELITIAN

Bagaimana pandangan bapak/ibu mengenai Independensi Auditor

Internal yang selama ini terjadi di tempat kerja bapak/ibu yang dilihat

kesepakatan antara bapak/ibu dengan pekerjaan. Jawablah dengan memberikan

tanda () pada pernyataan pernyataan berikut ini.

Keterangan Jawaban:

Sangat tidak setuju : 1

Tidak setuju : 2

Ragu-ragu : 3

Setuju : 4

Sangat setuju : 5

No PernyataanJawaban

1 2 3 4 5

1. Penyusunan program audit bebas dari campur tangan pimpinan untuk menentukan, mengeliminasi atau memodifikasi bagian-bagian tertentu yang diperiksa

2. Pemeriksaan langsung dan bebas mengakses semua buku-buku, catatan-catatan, pejabat, serta sumber informasi lain yang berhubungan dengan kegiatan, kewajiban-kewajiban, dan sumber-sumber pendanaan

3. Pemeriksaan bebas dari kepentingan pribadi atau hubungan yang membatasi pemeriksaan pada kegiatan catatan, orang-orang tertentu yang seharusnya tercakup dalam pemeriksaan

4. Pelaporan bebas dari perasaan kewajiban untuk memodifikasi pengaruh fakta-fakta yang dilaporkan pada pihak tertentu

5. Pelaporan menghindari bahasa atau istilah-istilah yang mendua arti secara sengaja atau tidak dalam pelaporan fakta-fakta, pendapat, rekomendasi, serta dalam penafsirannya

6. Penyusunan program audit bebas dari campur tangan atau suatu sikap tidak mau bekerjasama mengenai penerapan prosedur yang dipilih

Sumber: Fardiansyah dan Purnima (2011)

54